BAB III KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. perkotaan telah menyebabkan semakin meningkatnya

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB III KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. perkotaan telah menyebabkan semakin meningkatnya"

Transkripsi

1 BAB III KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kajian Teori Pengelolaan Sampah Terpadu Pertambahan jumlah penduduk serta semakin modernnya kehidupan perkotaan telah menyebabkan semakin meningkatnya volume, jenis dan karakteristik sampah kota yang dihasilkan. Sampah kota adalah sampah padat yang berasal dari daerah pemukiman, pertamanan, pasar, dan area komersial (Kementerian Lingkungan Hidup, 2012). Dalam UU No. 18 Tahun 2008 yang dimaksud dengan sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat. Sedangkan McDougall et al (2008) mendefinisikan sampah sebagai produk samping dari aktivitas manusia. Secara fisik sampah mengandung material yang sama dengan ketika sebelum dipakai, tetapi nilai gunanya sudah berbeda akibat kerusakan atau perubahan komposisinya. Permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan sampah kota antara lain adalah masih rendahnya tingkat pelayanan sampah dan masih diterapkannya pola kumpul-angkut-buang sehingga sangat tergantung kepada keberadaan TPA. Sementara itu sebagian besar TPA masih menerapkan open dumping, sehingga pencemaran air, tanah dan udara tidak hanya terjadi di sumber sampah, atau di tempat penampungan sementara, tetapi juga disekitar TPA. Oleh karena itu, agar tidak memberikan dampak yang merugikan, maka sampah harus dikelola sesuai dengan kaidah lingkungan. 15

2 Menurut UU No.18 Tahun 2008, pengelolaan sampah adalah kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah. Sistem pengelolaan sampah dalam UU ini dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu pengurangan dan penanganan sampah. Pengurangan sampah meliputi kegiatan pembatasan timbulan sampah, pendaurulangan sampah, dan/atau pemanfaatan kembali sampah. Sedangkan penanganan sampah meliputi pengumpulan, pemilahan, pengangkutan, pengolahan, dan pemrosesan akhir sampah dalam bentuk pengembalian sampah atau residu ke lingkungan (TPA) secara aman. Sistem pengelolaan sampah tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.1. Pengelolaan Sampah Pengurangan Sampah Penanganan Sampah Pembatasan Timbulan Sampah Pendaurulangan Sampah Pengumpulan Pemilahan Pemanfaatan kembali Sampah Pengangkutan Pengolahan Pemrosesan Akhir Gambar 3.1. Sistem Pengelolaan Sampah Menurut UU No.18 Tahun 2008 Menindaklanjuti UU No.18 Tahun 2008, melalui Permen PU No.: 03/PRT/M/2013, pemerintah mengeluarkan peraturan menteri tentang penanganan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga. Sampah rumah 16

3 tangga harus diolah terlebih dahulu di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) dan hanya residu sampah saja yang dibuang ke TPA. Dalam peraturan yang sama, pemerintah pusat mewajibkan Pemerintah Kabupaten/Kota untuk menyediakan TPST. TPST adalah tempat dilaksanakannya kegiatan pengumpulan, pemilahan, penggunaan ulang, pendaur ulangan, pengolahan dan pemrosesan akhir. Dalam konsep atau sistem pengelolaan sampah menurut UU No.18 Tahun 2008 dan Permen PU No.: 03/PRT/M/2013 tersebut di dalamnya tidak hanya memasukan unsur 3R yaitu reduce (pengurangan), reuse (guna ulang) dan recycle (daur ulang), tetapi juga recovery (pemulihan atau perolehan kembali), sehingga dapat disebut sebagai konsep 4R. Dalam konsep tersebut pembatasan timbulan sampah dapat dikategorikan sebagi reduce. Pemanfaatan kembali sampah sebagai reuse, dan pendaur ulangan sampah sebagai recycle. Sementara itu pengolahan sampah, antara lain menjadi biogas, kompos dan waste to energi melalui incinerator dapat dikategorikan sebagai recovery. Adapun tujuan pengelolaan sampah menurut Permen PU No.: 03/PRT/M/2013 adalah untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan serta menjadikan sampah sebagai sumber daya. Sementara itu McDougall et al (2008) menyatakan tujuan dari pengelolaan sampah adalah merecovery lebih banyak produk-produk yang bernilai yang berasal dari dalam sampah dengan menggunakan sedikit energi dan memberikan lebih banyak dampak positif terhadap lingkungan alam, meningkatkan kesehatan masyarakat dan menjadikan sampah sebagai sumber daya. 17

4 Pengelolaan sampah terpadu menurut Tchobanoglous dan Keith (2004) dapat didefinisikan sebagai pemilihan dan penerapan berbagai teknik, teknologi, program pengelolaan yang sesuai untuk mencapai tujuan dan sasaran spesifik dalam pengelolaan sampah. Sementara itu, Anschurtz dan Klundert (2004) menyatakan bahwa pengelolaan sampah harus terpadu berkelanjutan. Pengelolaan sampah terpadu berkelanjutan adalah pengelolaan sampah yang memadukan elemen-elemen sistem pengelolaan sampah, melibatkan seluruh para pemangku kepentingan (stakeholders) dan mempertimbangkan aspek-aspek pengelolaan sampah. Konsep pengelolaan sampah terpadu berkelanjutan tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.2. Gambar 3.2. Konsep Pengelolaan Sampah Terpadu Berkelanjutan Sumber : Anschurtz dan Klundert, 2004 Elemen-elemen sistem pengelolaan sampah meliputi produksi sampah, teknis pewadahan, pengumpulan, transfer dan pengangkutan, pengolahan dan 18

5 pembuangan. Selain itu juga reduction, re-use, recycling dan recovery. Para pemangku kepentingan meliputi pemerintah setempat, lembaga swadaya masyarakat, sektor informal, swasta dan lembaga donor. Adapun aspek-aspek yang perlu dipertimbangkan adalah aspek teknik, lingkungan, finansial/ekonomi, sosio kultur, institusi dan kebijakan/hukum/politik. Sedangkan McDougall et al (2008) menyatakan bahwa pengelolaan sampah yang berkelanjutan harus sesuai dengan tiga hal penting yaitu secara ekonomi dapat diusahakan, secara sosial dapat diterima oleh masyarakat dan secara lingkungan efektif, yaitu dampak negatif yang diakibatkan oleh sampah dapat direduksi Hirarki Pengelolaan Sampah Siklus hidup material dimulai dengan ekstraksi sumberdaya alam dan berlanjut dengan tahap pemrosesan, produksi, konsumsi dan selanjutnya menuju pengolahan akhir dan pembuangan (Kristanto, 2013). Elemen-elemen sistem sampah umumnya berada pada akhir siklus hidup material. Dalam proses pengolahan akhir dan pembuangan, terdapat pilihan-pilihan dalam pengelolaan limbah/sampah. Bagchi (2004) memperkenalkan konsep hirarki pengelolaan sampah, yaitu minimisasi limbah (waste minimization), guna ulang (reuse), daur ulang (recycling), pembakaran untuk energi (incineration with energi recovery), pembakaran tanpa untuk energi (incineration without energu recovery), dan pembuangan akhir (land disposal). Konsep hirarki pengelolaan sampah tersebut dapat dilihat pada Gambar

6 Demikian pula dengan US Environmental Protection Agency ( 2014) telah mengidentifikasi empat pilihan dasar manajemen (strategi) untuk pengelolaan sampah yaitu (1) pengurangan di sumber dan penggunaan kembali (source reduction and re-use), (2) daur ulang dan pengomposan (recycling and composting), (3) pembakaran untuk energi (waste to energy incinerator), dan (4) pembuangan akhir (landfilling). Hirarki tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.4. Paling Disukai waste minimization reuse recycling incineration With energi recovery incineration Without energi recovery land disposal Paling Tidak Disukai source reduction & reuse recycling and composting waste to energy incinerator landfilling Gambar 3.3. Hirarki Pengelolaan Sampah Sumber : Bagchi, 2004 Gambar 3.4. Hirarki Pengelolaan Sampah Menurut USEPA Sumber : USEPA, 2014 Pilihan strategi pengelolaan sampah tersebut dalam operasionalisasinya dilakukan berdasarkan urutan hirarkis yang digambarkan sebagai piramida terbalik. Dimana hirarki paling atas adalah yang paling disukai untuk dilakukan dan yang paling bawah, yaitu pembuangan akhir (land disposal/landfilling) adalah yang paling tidak disukai. Konsep tersebut dikenal sebagai hirarki pengelolaan sampah. 20

7 Ide hirarki pengelolaan sampah dipakai sebagai pedoman kebijakan pengelolaan sampah dan dipakai sebagai panduan operasionalisasi elemen-elemen pengelolaan sampah dan menentukan metode mana yang didahulukan. Dalam konsep tersebut, daur ulang (recycling) dapat dianggap hanya setelah pengurangan disumber dan penggunaan kembali sudah dilakukan (source reduction and reuse). Demikian pula transformasi sampah dapat dianggap hanya setelah daur ulang (recycling) dilakukan. Sedangkan landfilling merupakan langkah paling akhir dalam pengelolaan sampah. Konsep hirarki pengelolaan sampah yang digagas oleh Bagchi (2004) dan USEPA (2014) dikritisi oleh McDougall et al (2008). Menurut McDougall et al (2008) konsep hirarki memiliki sedikit dasar ilmiah atau teknis, tidak menggambarkan adanya kombinasi teknologi pengelolaan sampah dan tidak dapat menjelaskan berbagai macam situasi lokal yang spesifik dimana sistem pengelolaan limbah harus beroperasi secara efektif. Selain itu UK Waste Strategy (McDougall et al, 2008) menyatakan bahwa hirarki tidak selalu menunjukkan pilihan pengelolaan sampah paling berkelanjutan untuk limbah tertentu. Keterbatasan hirarki pengelolaan limbah juga diidentifikasi dalam dokumen United Nations Environmental Program bahwa hirarki tidak dapat diikuti secara kaku, karena dalam situasi tertentu biaya kegiatan yang ditentukan dapat melebihi manfaat, ketika semua pertimbangan keuangan, sosial dan lingkungan diperhitungkan. McDougall et al (2008) mengusulkan konsep pengelolaan sampah terpadu, dimana semua opsi/unsur-unsur (waste elements)/teknologi dapat memiliki peran 21

8 yang sama penting, dapat dikombinasikan dalam aplikasinya dan memiliki hubungan timbal balik diantara bagian-bagian sistem tersebut. Model unsur-unsur pengelolaan sampah terpadu (The elements of Integrated Waste Management) menurut McDougall et al (2008) seperti terlihat pada Gambar 3.5. Gambar 3.5. Unsur-unsur Pengelolaan Sampah Terpadu Sumber : McDougall et al, 2008 Dalam konsepnya McDougall et al (2008) menggambarkan pengumpulan dan pemilahan sampah berada pada pusat lingkaran. Kegiatan pengumpulan dan pemilahan sampah adalah langkah awal dalam pengelolaan sampah terpadu, apapun jenis teknologi yang akan dipergunakan. Pada lingkaran tepi terdapat empat jenis teknologi pengolahan sampah yaitu daur ulang, pengolahan secara biologi, pengolahan dengan dibakar dan TPA. Keempat jenis teknologi tersebut (dengan berbagai variasinya) digambarkan memiliki luas kuadran yang sama, yang menggambar bahwa setiap teknologi dapat mempunyai peran yang setara. Keempat teknologi tersebut secara fleksibel dapat saling dikombinasikan dalam 22

9 aplikasinya. Pendekatan ini tidak memprediksi sistem atau teknologi apa yang akan menjadi terbaik dalam pengolahan sampah. Dalam pendekatan ini tidak ada sistem yang universal terbaik, tetapi tergantung kepada komposisi dan jumlah limbah yang dihasilkan, perbedaan geografis serta pasar yang tersedia untuk produk yang berasal dari pengolahan limbah. Perbedaan antara model pengelolaan sampah McDougall et al (2008) dengan hirarki pengelolaan sampah Bagchi (2004) dan USEPA (2014) adalah tidak dimasukkannya minimisasi limbah atau pengurangan sampah di sumbernya atau penggunaan kembali oleh McDougall et al (2008). Oleh karena itu, kedua model/konsep tersebut dapat digunakan bersama-sama untuk saling melengkapi. Piramida hirarki dapat digunakan untuk menggambarkan tahapan-tahapan pelaksanaan pengelolaan sampah, sedangkan model lingkaran dapat digunakan untuk menggambarkan fleksibilitas kombinasi teknologi yang akan diaplikasikan Teknologi Pengolahan Sampah Teknologi pengolahan sampah yang dapat diterapkan di TPST adalah (a) teknologi daur ulang, (b) teknologi biogas, (c) teknologi pengomposan dan (d) teknologi pembakaran Teknologi Daur Ulang. Teknologi daur ulang pada prinsipnya adalah memanfaatkan kembali material yang sudah dianggap sebagai limbah namun masih dapat didaur ulang menjadi bahan baku dan melalui remanufaktur menjadi produk baru (USEPA, 2014). Adapun Bahan-bahan yang dapat didaur ulang antara lain kertas, kardus, kaca, kaleng, besi, aluminium, dan plastik. Di Amerika Serikat, berdasarkan hasil 23

10 studi Franklin Associates, tingkat daur ulang untuk limbah padat perkotaan adalah sekitar 22 % (McDougall et al, 2008). Sementara itu, hasil survei tentang komposisi sampah yang dilakukan di TPA Piyungan, Yogyakarta pada tahun 2007 menunjukkan sampah yang masih dapat didaur ulang (recyclable materials) adalah 17,3 % (Wahyono dkk, 2008). Pembuatan produk dari recycled waste umumnya memerlukan energi yang lebih rendah dan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan juga lebih rendah dibandingkan dengan pembuatan produk dengan bahan baku asli, serta dapat melestarikan sumberdaya (USEPA, 2014). Sebagai contoh, konsumsi energi untuk pembuatan kertas daur ulang lebih rendah dibandingkan dengan pembuatan kertas dari bahan asli. Pembuatan kertas daur ulang juga dapat mengurangi pembabatan hutan. Namun demikian hasil studi yang dilakukan Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap sektor limbah menunjukkan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh kegiatan daur ulang limbah plastik lebih tinggi dibandingkan yang dihasilkan oleh pengomposan atau pembuatan biogas dari sampah organik (ICCSR, 2010). Demikian juga kegiatan daur ulang accu bekas untuk mendapatkan timahnya serta daur ulang limbah elektronik melalui pembakaran akan menyebabkan pencemaran udara, air dan tanah disekitar (Martono, 2006). Di Indonesia, kegiatan daur ulang sampah anorganik umumnya dilakukan oleh sektor informal, sedangkan di negara maju dilakukan secara formal. Subsistem kegiatan daur ulang di Indonesia biasanya di mulai dari pemulung, lapak, bandar, sampai industri daur ulang. Para pemulung melaksanakan kegiatan 24

11 pemungutan sampah yang masih dapat didaur ulang mulai di sumbernya (rumah tangga), di TPS dan di TPA. Meskipun metode yang digunakan untuk pemilahan sampah di Indonesia dianggap tidak sesuai dengan sistem manajemen sampah yang didefinisikan oleh negara-negara maju, metode yang ada tersebut tidak hanya memberikan arus pendapatan ekonomi kepada ratusan ribu orang yang terlibat dalam sektor informal ini, tetapi juga memberikan kontribusi positif berupa lebih banyaknya sampah yang dapat didaur ulang. Komponen sampah anorganik yang mempunyai nilai tinggi untuk didaur ulang kembali adalah sampah kertas, karton, plastik, logam dan gelas/kaca. Sampah kertas dan karton yang dikumpulkan oleh para pemulung umumnya berakhir di industri kertas untuk di daur ulang kembali. Demikian pula dengan plastik, logam dan kaca umumnya akan berakhir di industri sejenis untuk didaur ulang sebagai bahan tambahan atau bahan baku industri untuk dijadikan produk. Contoh berbagai produk daur ulang dapat dilihat pada Gambar 3.6. Kertas dan karton dapat dijadikan kotak souvenir, kotak tisu, dan pigura. Plastik bekas kemasan dapat dijadikan tas dan plastik grade rendah dapat dijadikan pot. Gambar Produk Daur Ulang Kertas, Karton dan Plastik 25

12 Teknologi Biogas Teknologi biogas adalah sistem pengelolaan sampah organik melalui dekomposisi alamiah tanpa bantuan oksigen (anaerobik) dengan mengatur suhu, kelembaban, dan ph optimum (RIS, 2005). Biogas merupakan salah satu sumber energi terbarukan yang dapat menjawab kebutuhan energi alternatif. Teknologi biogas untuk memproduksi methan sebagai bahan bakar telah sukses diterapkan baik skala besar maupun kecil. Limbah yang ditangani dapat berupa sampah organik rumah tangga, limbah pertanian, limbah peternakan, dan limbah makanan. Sifatnya yang ramah lingkungan dan dapat diperbaharui merupakan keunggulan biogas dibandingkan dengan bahan bakar fosil. Reaktor biogas (digester) di Indonesia sudah dikembangkan di berbagai daerah. Menurut Wahyuni (2013), pada prinsipnya terdapat empat tipe digester yang dikembangkan, yaitu (a) Tipe kubah terbuat dari pasangan batu kali atau batu bata atau beton, (b) Tipe silinder terbuat dari tong/drum/plastik, (c) Tipe plastik terbuat dari plastik, (d) Tipe fiberglass terbuat dari bahan fiberglass. Beberapa contoh digester untuk skala individu, komunal dan kawasan dapat dilihat pada Gambar 3.7a, 3.7b, dan 3.7c. (halaman 29). Untuk skala individu terbuat dari tong plastik volume 1 m 3 dengan bahan baku sampah organik atau makanan 2 kg hari (Gambar 3.7a). Untuk skala komunal terbuat dari pasangan batu dengan bahan baku sampah organik atau makanan 10 kg hari (Gambar 3.7c). Sedangkan untuk skala kawasan dapat terbuat dari fiberglass atau mildstell dengan bahan baku sampah organik atau makanan 10 ton hari (Gambar 3.7c). Prinsip bangunan digester adalah menciptakan suatu ruang kedap udara 26

13 (anaerob) yang menyatu dengan saluran atau pemasukkan serta saluran atau bak pengeluaran. Bak pemasukan berfungsi untuk melakukan homogenisasi dari bahan baku limbah/sampah organik. Bak penampungan bertujuan menampung bahan sisa (sludge) hasil perombakan bahan organik dari digester. Berdasarkan cara pengisiannya, menurut Martono (2007) ada dua jenis digester, yaitu batch feeding dan continues feeding. Batch feeding adalah jenis digester yang pengisian bahan organik dilakukan sekali sampai penuh, kemudian ditunggu sampai biogas dihasilkan. Setelah biogas produksinya sangat rendah, isian digester dibongkar, lalu diisi kembali dengan bahan organik yang baru. Sedangkan continues feeding adalah jenis digester yang pengisian bahan organiknya dilakukan setiap hari dalam jumlah tertentu. Pada pengisian awal, digester diisi penuh, lalu ditunggu sampai biogas diproduksi. Stelah biogas diproduksi, pengisian bahan organik dilakukan secara kontinu setiap hari dengan jumlah tertentu. Setiap pengisian bahan organik yang baru akan selalu diikuti pengeluaran bahan sisa (sludge). Proses biogas menggunakan mikroba khusus untuk memecah sampah organik, mengubahnya menjadi biogas, campuran metana dan karbon dioksida, dan biomassa yang stabil. Proses tersebut sering digambarkan sebagai proses tiga tahap yang mungkin terjadi secara bersamaan dalam sebuah digester anaerobik. Tahap tersebut adalah : (1) hidrolisis bahan larut organik biodegradable; (2) produksi asam dari molekul larut organik yang lebih kecil dan (3) produksi metana. (Zaher et al, 2007). Selama proses pengolahan anaerobik, bahan organik oleh mikroba methanogens ditransformasikan menjadi biogas,yaitu campuran gas 27

14 metana (CH 4 ) dan karbon dioksida (CO 2 ) serta lumpur (sludge) yang kaya dengan nutrisi. Pada umumnya biogas terdiri atas gas metana (CH 4 ) %, karbondioksida (CO 2 ) %, hidrogen (H2) 0-10 % dan gas-gas lainnya dalam jumlah yang sedikit (Martono, 2007). Proses teknologi biogas dapat mengurangi metana (CH 4 ) yang terlepas ke udara secara signifikan dan CO 2 yang dihasilkan hanya sebesar 193 kg CO 2 /ton sampah (McDougall et al, 2008). Jumlah CO 2 yang dihasilkan oleh proses teknologi biogas adalah paling rendah dibandingkan teknologi pengolahan sampah lainnya. Selain itu berdasarkan IPCC 2006 Guidelines, CO 2 yang diemisikan dari pengolahan limbah biologi dikategorikan sebagai biogenic origin, sehingga aman bagi lingkungan. (Kementerian Lingkungan Hidup, 2012). Sebagai penghasil energi alternatif, biogas dari sampah organik dapat diandalkan, namun demikian untuk dapat mengurangi sampah kota secara nyata dibutuhkan kapasitas digester yang sangat besar. Menurut Wahyuni (2013), jumlah bahan organik yang dimasukkan ke dalam digester per hari adalah 6 kg per m 3 volume digester. Menurut RIS (2005) teknologi biogas dapat mereduksi volume sampah sebesar 22 %, karena proses pengolahan sampah menjadi biogas akan menghasilkan limbah berupa padatan (sludge) dan juga limbah cair, yang jika tidak dikelola dengan baik akan mencemari tanah dan air sekitar. Untuk proses dan perawatannya, teknologi biogas memerlukan keahlian khusus, karena jika proses tidak berjalan sempurna, maka tidak akan menghasilkan biogas, Menurut Martono (2007), 1 ton sampah organik dapat menghasilkan sekitar 200 m 3 biogas yang terdiri dari sekitar % gas metana dan 40 % CO 2. 28

15 Nilai kalor 1 m 3 gas metana setara dengan 8550 kcal. Menurut Wahyuni (2013) nilai kalor dari 1 m 3 biogas setara dengan 0,62 liter minyak tanah, setara dengan 0,52 liter minyak solar. Untuk menghasilkan daya listrik 1 kwh dibutuhkan 0,62 1 m 3 biogas. Hasil analisis ekonomi oleh RIS (2005) terhadap plant pengolahan biogas dari sampah kota dengan kapasitas olah ton/tahun, investasi yang dibutuhkan untuk setiap ton sampah adalah Rp ,-, biaya operasional sebesar Rp ,- dan manfaat ekonomi sebesar Rp ,-. Manfaat ekonomi didapat dari energi listrik yang dihasilkan serta tipping fee pembuangan sampah. Beberapa gambar teknologi pengolahan sampah menjadi biogas, dari mulai skala rumah tangga dan skala kawasan dapat dilihat pada gambar berikut. Gambar 3.7a. Teknologi Biogas Sampah Organik, Skala Rumah Tangga Kapasitas 2 kg per hari. Sumber : Wahyono, Gambar 3.7b. Teknologi Biogas Sampah Organik, Skala Kawasan Kapasitas 1 ton per hari. Sumber : Martono, 2007 Gambar 3.7c. Teknologi Biogas Sampah Organik, Kawasan Kapasitas 10 kg per hari. Sumber : Kementerian Lingkungan Hidup,

16 Teknologi Pengomposan Pengomposan didefinisikan sebagai proses penguraian materi organik secara biologis menjadi material seperti humus dalam kondisi aerobik yang terkendali (Epstein dalam Wahyono dkk, 2010). Jadi proses pengomposan adalah proses penguraian materi organik atau sampah organik oleh mikroorganisma yang bekerja dalam suasana kebutuhan oksigennya terpenuhi menjadi material yang lebih sederhana, sifatnya relatif stabil (seperti humus) atau disebut sebagai kompos. Proses penguraian ini memerlukan kondisi yang optimal seperti ketersediaan nutrisi yang memadai, udara yang cukup, kelembapan (kadar air) yang tepat, dan lain-lain. Makin sesuai kondisi lingkungannya, makin cepat prosesnya dan makin tinggi mutu komposnya. Teknologi pengomposan ini menjadi penting dalam pengolahan sampah kota mengingat hampir % sampah di Indonesia adalah material organik yang mudah dikomposkan seperti, sampah sayur mayur, sampah daun, dan juga sampah-sampah dari pasar tradisional (Sahwan, 2005). Menurut Wahyono dkk (2010) proses pengomposan dapat mereduksi jumlah sampah kota sebesar 63,7 %. Dengan demikian pengomposan sampah organik, dapat mereduksi sampah yang dibuang ke TPA sehingga dapat memperpanjang masa layanan TPA dan juga dapat mereduksi biaya pengelolaan sampah kota terutama biaya transportasi. Menurut McDougall et al (2008), karena proses pengomposan adalah proses aerobik, maka proses tersebut dapat mereduksi gas metana (CH4) yang terlepas ke udara secara signifikan. Selain itu, menurut RIS (2005), jumlah CO 2 yang dihasilkan sebesar 210 kg per ton sampah, relatif lebih sedikit dibandingkan 30

17 CO2 yang dihasilkan oleh proses pembakaran (insinerasi) maupun kegiatan daur ulang limbah melalui proses pembakaran. Menurut IPCC 2006 Guidelines, CO 2 yang diemisikan dari pengolahan limbah secara biologi dikategorikan sebagai biogenic origin yang tidak termasuk dalam lingkup inventarisasi GRK dari kegiatan pengolahan limbah (Kementerian Lingkungan Hidup, 2012). Dengan demikian gas yang dihasilkan dalam proses pengomposan aman bagi lingkungan. Pengomposan sampah kota saat ini sudah banyak diterapkan di berbagai kota di Indonesia. Teknik-teknik pengomposan yang dipergunakan juga beragam jenisnya seperti open windrow, open windrow bergulir, sistem cetak, sistem bak aerasi dan vermicomposting. Pengomposan dapat dilakukan mulai dari skala rumah tangga, skala kawasan dan skala besar. Sementara itu hasil penelitian Drescher dan Zurbrugg (2006), Muller (2006) dan Drescher et al (2007) menunjukkan bahwa sistem desentralisasi pengomposan terbukti lebih menguntungkan dibandingkan dengan pengomposan terpusat. Strategi desentralisasi pengomposan secara signifikan mengurangi biaya transportasi sehingga dapat digunakan atau sebagai kompensasi biaya investasi dan biaya operasional pengomposan, Sejak tahun 1997 Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) telah mengkaji beberapa teknik pengomposan dari teknologi sederhana sampai teknologi tinggi dengan dilandasi oleh dasar-dasar ilmu pengomposan modern. Teknik pengomposan dengan teknologi sederhana adalah dimana proses penumpukan, pembalikan dan penyiraman dilakukan secara manual dengan peralatan-peralatan sederhana (Gambar 3.8a). Sedangan Teknik pengomposan 31

18 dengan teknologi tinggi adalah dimana proses penumpukan, pembalikan dan penyiraman, pengayakan dan pengemasan semua dapat dilakukan dengan peralatan dan mesin yang lebih modern (Gambar 3.8b). Dari berbagai teknik pengomposan yang dikaji, akhirnya ditarik kesimpulan bahwa pengomposan sampah kota skala kawasan yang cocok dengan kondisi perkotaan di Indonesia adalah sistem open windrow bergulir dengan teknologi sederhana. Tatacara pengomposan sistem open windrow bergulir merupakan hasil optimasi dan pengembangan yang dilakukan oleh BPPT (Wahyono dkk, 2010). Menurut Wahyono dkk (2010) teknologi pengomposan dengan sistem open windrow bergulir ini sederhana, mudah diterapkan, tidak memerlukan keahlian khusus sehingga dapat menyerap tenaga kerja relatif banyak serta biaya investasi, biaya operasi dan pemeliharaannya relatif dapat terjangkau. Selanjutnya, menurut Wahyono (2012), hasil perhitungan plant pengomposan dengan kapasitas olah ton/tahun membutuhkan biaya investasi sebesar Rp ,- per ton sampah, biaya operasional sebesar Rp ,- per ton sampah dan manfaat yang diterima sebesar Rp ,-. Plant pengomposan open windrow bergulir terdiri dari bangunan beratap dan berlantai semen cor. Bangunan harus beratap tujuannya adalah agar terhindar dari air hujan dan terik matahari sehingga pengendalian proses terutama faktor kelembaban dapat lebih mudah dilakukan. Lantai harus semen cor dengan kemiringan tertentu dan dibuatkan bak penampung lindi, tujuannya adalah agar air lindi dari proses pengomposan dapat dikendalikan sehingga tidak mencemari 32

19 tanah dan air tanah di sekitar plant serta dapat dipergunakan kembali untuk penyiraman. Cara membuat kompos berbahan baku sampah kota dengan sistem open windrow bergulir sangat sederhana dan mudah dilakukan. Sampah organik yang sudah dipilah ditumpuk dengan ukuran lebar 2,5 meter, tinggi 1,5 m dan panjang minimum 5 meter di ruang pengomposan, kemudian secara berkala dilakukan penyiraman dan pembalikan. Pada sistem windrow bergulir, pembalikan dilakukan dengan cara menggulirkan atau memindahkan tumpukan dari awal ke tempat berikutnya. Pembalikan mempunyai peran yang penting dalam proses pengomposan. Tujuannya adalah untuk menjaga agar aerasi berjalan dengan baik. Waktu yang diperlukan dalam proses pengomposan sekitar 6 sampai 7 minggu. Ciri-ciri kompos yang telah matang yaitu rasio C/N kompos kurang dari 20, temperatur tumpukan berada di kisaran 40 o C, baunya seperti bau tanah, bukan bau sampah, warnanya coklat gelap kehitaman, bentuk fisik sudah hancur, tidak menyerupai bentuk awalnya, volumenya telah tereduksi sehingga tinggal 25 30% dari volume awal (Wahyono dkk, 2010). Gambar 3.8a. Pengomposan Sistem Open Windrow dengan Teknologi Sederhana Sumber : Wahyono dkk, 2010 Gambar 3.8b. Pengomposan Sistem Open Windrow dengan Teknologi Tinggi. Sumber : Wahyono dkk,

20 Teknologi Pembakaran (Insinerasi). Salah satu teknologi pengolahan sampah adalah dengan teknologi pembakaran (insinerasi). Menurut Damanhuri dan Padmi (2010) insinerasi merupakan proses pengolahan sampah dengan cara pembakaran pada temperatur yang sangat tinggi (>800ºC) untuk mereduksi sampah yang tergolong mudah terbakar. Sementara itu menurut Kementerian Lingkungan Hidup (2012) proses insenarasi adalah pembakaran limbah dalam sebuah insinerator yang terkendali dalam hal temperatur, proses pembakaran maupun emisi. Menurut Martono (2006) teknologi pembakaran sampah (incineration) dibedakan atas cara pengumpanan dan pembakarannya. Secara garis besar, teknologi pengumpanan dan pembakaran sampah dibagi atas sistem terputus (batch) dan sistem berkelanjutan (continuous). Sistem pembakaran terputus umumnya digunakan untuk kapasitas kecil. Cara kerja sistem terputus, yaitu sampah diumpankan dan dibakar. Setelah pembakaran selesai dan sampah sudah menjadi abu, maka untuk pembakaran selanjutnya abu tersebut harus dikeluarkan terlebih dahulu, kemudian dimasukkan sampah baru dan dibakar. Sementara itu sistem berkelanjutan dalam proses pengumpanan dan pembakarannya menggunakan gerakan mekanisasi dan otomatisasi sehingga pengumpanan sampah dan pembakaran dapat beroperasi secara terus menerus. Sistem ini umumnya dilengkapi fasilitas pengendali pembersih sisa pembakaran dan gas buangan. Sistem ini umumnya digunakan untuk pembakaran skala besar yaitu diatas 100 ton per hari. 34

21 Teknologi pembakaran ini menawarkan peluang besar untuk mengurangi volume sampah yang akan dibuang ke TPA. Menurut Damahuri dan Padmi (2010) insinerasi dapat mereduksi volume sampah padat domestik sampai % dan pengurangan berat sampai %. Selanjutnya, Damanhuri dan Padmi (2010) menyatakan bahwa enersi panas yang dihasilkan dalam proses pembakaran dapat dikonversi menjadi daya listrik. Recovery panas merupakan salah satu keunggulan yang ditawarkan dari insinerator jenis baru. Enersi tersebut berasal dari panas dalam tungku, yang biasanya didinginkan dengan air, dan uap air yang terjadi dapat digunakan sebagai penggerak turbin pembangkit listrik. Sistem ini dikenal dengan Waste-to-energy. Insinerasi sudah umum diterapkan di negara-negara maju seperti Singapura, Jepang, negara-negara di Amerika dan Eropa karena keterbatasan lahan, harga lahan yang tinggi, dan oposisi politik terhadap keberadaan landfill. Menurut Martono (2006) insinerasi jarang dipakai di negara-negara berkembang karena biaya investasi, biaya operasi dan pemeliharaannya sangat mahal serta dalam pengoperasiannya memerlukan keahlian yang sangat tinggi. Hasil analisis yang dilakukan oleh Purwaningsih (2012) terhadap rencana pembangunan insinerator pengolah sampah dimana panas yang dihasilkan akan dimanfaatkan untuk energi listrik, yang akan dibangun di Bandung adalah sebagai berikut. Rencana kapasitas olah insinerator adalah 700 ton sampah per hari. Adapun biaya investasi yang dibutuhkan sebesar Rp ,- dan biaya operasional untuk 20 tahun operasi sebesar Rp ,-. Sedangkan manfaat yang diterima dari penjualan energi listrik dan tipping fee sampah selama 35

22 20 tahun hanya Rp ,-. Dengan demikian selama 20 tahun operasi manfaat total atau manfaat bersih yang diterima masih minus Rp ,- Insinerasi memiliki sejumlah output seperti abu dan emisi ke atmosfer berupa gas-gas sisa hasil pembakaran. Sebelum melewati fasilitas pembersihan gas, gas-gas tersebut mungkin mengandung partikulat, logam berat, dioksin, furan, sulfur dioksida, dan asam hidroklorat dan gas NOx dan CO 2. Abu ringan mengandung konsentrasi logam berat (timbal, kadmium, tembaga, dan seng) berkontribusi lebih pada potensi gangguan kesehatan karena dapat berbaur pada udara dan berisiko terhirup paru-paru. Emisi-emisi hasil pembakaran insinerator tersebut sangat berisiko terhadap kesehatan manusia, memiliki efek rumah kaca dan pencemaran lingkungan (Allsopp et al, 2011). Menurut RIS (2005), emisi CO2 yang dihasilkan oleh pembakaran sebesar 485 kg/ton sampah, relatif lebih besar dibandingkan yang dihasilkan oleh teknologi biogas atau teknologi pengomposan. Demikian pula dengan hasil penelitian Latief (2010) yang menyatakan bahwa teknologi pembakaran menghasilkan residu dan emisi gas yang berpotensi mencemari udara, tanah dan air. Sehingga penggunaan teknologi pembakaran untuk pengolahan sampah ditentang oleh organisasi dan masyarakat sekitar. Untuk mengatasi abu dan emisi hasil pembakaran, pada incinerator modern pada umumnya sudah dilengkapi dengan pengendalian pencemaran. Menurut Damanhuri (2008) sejak tahun 2000 fasilitas WTE di USA sudah 36

23 disesuaikan dengan standar pengendalian pencemaran dari Clean Air Act Section 129, dengan peralatan kontrol standar, yaitu: Baghouse: bekerja layaknya vacuum cleaner raksasa, dengan fabric filter bag yang membersihkan udara dari asap dan logam berat. Scrubber: menyemprotkan bubur kapur dan air ke yang dapat menetralkan gas asam, serta meningkatkan penangkapan merkuri pada udara yang ke luar. Selective non-catalytic reduction: mengkonversi NOx, menjadi nitrogen, dengan menyemprotkan ammonia atau urea ke dalam tungku panas. Sistem carbon injection: menyemprotkan karbon aktif ke dalam exhaust gas untuk menyerap logam berat dan mengontrol emisi organik lain seperti dioxin. Abu hasil pembakaran, sekitar 10% volume, sesuai leaching test di USA aman untuk digunakan kembali dan diurug, atau sebagai bahan penutup landfill. Tata letak incinerator : waste-to-energy adalah seperti pada Gambar 3.9. Limbah masuk kedalam tungku pembakaran, kemudian panas yang dihasilkan setelah melalui boiler dan steam kemudian dialirkan ke turbine yang akan menghasilkan daya listrik. Sementara emisi pencemar dialirkan melalui APC dan juga bag filters untuk dikurangi dampak pencemarnya terhadap lingkungan. Gambar 3.9. Tata Letak Incinerator : Waste-to-energy Sumber : Ekstrand dan Waan,

24 Identifikasi Kriteria-kriteria Pemilihan Teknologi Pengolahan Sampah Dimasa lalu, biaya ekonomi adalah faktor pengendali utama dalam pengambilan keputusan sistem pengelolaan sampah. Kemudian peran lingkungan memiliki peran yang lebih penting dalam proses ini. Selanjutnya dimasukkannya kriteria sosial dalam pengambilan keputusan pengelolaan sampah, merupakan bagaimana mengukur kepedulian sosial dalam proses pengelolaan sampah tersebut (Djerf, 2008). Sementara itu Anschurtz dan Klundert (2004) menyatakan, untuk mencapai tujuan pengelolaan sampah perlu mempertimbangkan aspek teknik, lingkungan, ekonomi, sosio kultur, institusi dan kebijakan/hukum/politik. Amurwaraharja (2004) yang melakukan penelitian tentang teknologi pengolahan limbah padat perkotaan di Jakarta Timur dengan menggunakan metode AHP telah memakai kriteria ekonomi, sosial, lingkungan dan teknis dalam penelitiannya. Demikian pula dengan Herminindian (2007) yang melakukan penelitian tentang pemilihan teknologi pengolahan sampah untuk Intermediate Treatment Facilities (ITF) di DKI Jakarta telah menggunakan kriteria ekonomi, sosial dan lingkungan. Susangka dan Chaerul (2009) yang melakukan analis multikriteria dengan menggunakan metode AHP untuk mengetahui sistem pengkomposan yang paling sesuai dengan kebutuhan Indonesia telah menggunakan kriteria ekonomi, sosial, lingkungan dan teknis dalam penelitiannya. Selanjutnya Surjandari dkk (2009) yang melakukan penelitian tentang pengelolaan sampah untuk mengurangi beban penumpukan di TPA Bantar Gebang telah menggunakan kriteria ekonomi, sosial, lingkungan dan teknis. 38

25 Demikian pula dengan Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) (2010) yang melakukan kajian terhadap teknologi pengelolaan sampah terkait dengan kebutuhan akan transfer teknologi dari negara maju ke negara berkembang. Hasil kajian tersebut menyimpulkan bahwa keberhasilan transfer teknologi tersebut harus mempertimbangkan kriteria ekonomi, sosial, lingkungan, sosial dan teknis. Namun demikian terdapat juga penelitian-penelitian lain tentang pengelolaan sampah yang memperluas kriteria-kriterianya, seperti Astuti dkk (2011) yang memasukkan kriteria ekonomi, sosial, lingkungan, hukum dan politik serta transportasi. Rangkuman identifikasi kriteria-kriteria dalam pemilihan teknologi pengolahan sampah dapat dilihat pada Tabel 3.1. Tabel 3.1. Kriteria Pemilihan Teknologi Pengolahan Sampah No Peneliti Ekonomi Sosial Lingkung an Kriteria Teknis 1 Amurwaraharja, Schouw et al, Herminindian, Susangka dan Chaerul, 2009 Hukum & Politik Kelembagaan Transportasi 4 Surjandari, dkk, DNPI, Astuti, dkk, 2011 Sumber : Amurwaraharja, 2004; Schouw et al, 2004, Hermininindian, 2007; Susangka dan Chaerul, 2009; Surjandari dkk, 2009; DNPI, 2010; Astuti dkk, Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu, maka kriteria-kriteria yang dipakai dalam penelitian ini adalah mengacu kepada kriteria-kriteria yang terbanyak di pakai oleh para peneliti tersebut yaitu (1) ekonomi, (2) sosial, (3) lingkungan, dan (4) teknis. 39

26 Kriteria Lingkungan Menurut Undang Undang No. 23 Tahun 1997, lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Kriteria lingkungan perlu mendapat perhatian karena masalah sampah sesungguhnya adalah masalah pengelolaan lingkungan di suatu kawasan. Pertimbangan kriteria lingkungan dalam menentukan prioritas teknologi pengolahan sampah terpilih akan menunjang kegiatan pengelolaan sampah yang optimal dan berkelanjutan. Sampah yang tidak dikelola dengan baik telah menyebabkan pencemaran lingkungan. Menurut Kristanto (2013) pencemaran lingkungan adalah masuknya mahluk hidup, zat, energi dan/atau komponen lain kedalam lingkungan dan/atau berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia atau proses alam, sehingga kualitas lingkungan turun sampai ketingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukkannya Teknologi pengolahan sampah juga turut menyumbang dalam pencemaran lingkungan, baik berupa emisi gas buang yang dapat mencemari udara, atau air lindi yang dapat mencemari air permukaan maupun air tanah (McDougall et al, 2008 dan Hutton, 2009). Untuk mengetahui dampak teknologi pengolahan sampah terhadap lingkungan, beberapa peneliti, diantaranya Amurwaraharja (2004), Herminindian (2007), Surjandari dkk (2009) serta Susangka dan Chaerul, 40

27 (2009), memakai indikator atau sub kriteria pencemaran udara, pencemaran air dan pencemaran tanah. Pencemaran udara diartikan sebagai adanya bahan-bahan, zat-zat asing atau emisi gas di dalam udara yang menyebabkan perubahan komposisi kualitas udara dari keadaan normal. Pencemaran air adalah masuk atau dimasukkannya, zat atau komponen lain kedalam air sehingga kualitas air menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukkannya. Sedangkan pencemaran tanah adalah keadaan dimana bahan kimia, limbah padat atau limbah cair atau air sampah (lindi) masuk ke dalam tanah sehingga menyebabkan kualitas tanah atau kesuburan tanah berkurang (Kristanto, 2013) Kriteria Ekonomi Secara umum alokasi pembiayaan untuk sektor persampahan masih rendah, karena pada umumnya pengelolaan persampahan belum menjadi prioritas. Kondisi tersebut berakibat pada terbatasnya biaya investasi, operasi dan pemeliharaan sarana dan parasarana kebersihan (Permen PU RI No :21, 2006). Sementara itu menurut Kementerian Pekerjaan Umum (2012) pembiayaan sangat mendominasi dalam keberhasilan sistem pengelolaan persampahan di suatu kota karena secara langsung hal itu berkaitan erat dengan masalah teknis operasional dan perawatan. Dengan kondisi alokasi pembiayaan yang terbatas, maka pemilihan teknologi pengolahan sampah harus mempertimbangkan kelayakannya. Menurut Salengke (2012) untuk menilai kelayakan investasi publik atau proyek-proyek sektor publik umumnya menggunakan analis rasio manfaat-biaya atau dikenal 41

28 dengan benefit-cost ratio (BCR). Analisis BCR dapat membantu pengambil keputusan memilih opsi atau alternatif yang paling efisien dalam penggunaan sumber daya sehingga dapat memberi manfaat sosial sebesar-besarnya kepada masyarakat umum. Penilaian kelayakan dengan analisis BCR dapat didasarkan atas perbedaan antara manfaat (benefit) dengan biaya (cost) ataupun didasarkan atas rasio antara manfaat dengan biaya. Dikatakan layak bila nilai dari manfaat dikurangi nilai dari biaya lebih besar dari nol. Atau perbandingan antara nilai dari manfaat dengan nilai dari biaya lebih besar dari satu (Salengke, 2012). Menurut Salengke (2012), langkah-langkah penting yang harus dilakukan dalam analis BCR adalah identifikasi semua aspek manfaat (benefit) dan semua aspek biaya (cost) dari proyek yang dipertimbangkan atau dianalisa. Lebih lanjut, Salengke menyatakan aspek biaya terdiri atas biaya investasi, biaya operasional dan perawatan, serta biaya administrasi dan overhead. Sedangkan manfaat (benefit) meliputi semua pendapatan yang dihasilkan dari proyek tersebut dan dampak positif yang ditimbulkan bagi masyarakat. Sementara itu Assamoi dan Lawryshyn (2011) yang melakukan analisis ekonomi pengolahan limbah padat perkotaan menyatakan aspek biaya (cost) adalah meliputi biaya investasi, biaya operasional dan pemeliharaan. Sedangkan yang dimaksud dengan manfaat (benefit) adalah manfaat finansial atau pendapatan yang berasal dari produk yang dihasilkan, pendapatan yang berasal dari recovery material, pengurangan biaya pengangkutan dan atau pengurangan biaya (fee) pembuangan sampah di TPA. 42

29 Demikian pula dengan Amurwaraharja (2004), Surjandari dkk (2009), Susangka dan Chaerul, (2009) yang menggunakan biaya investasi, biaya operasional dan pemeliharaan serta manfaat sebagai indikator atau sub kriteria dari kriteria ekonomi dalam analisis tentang teknologi pengolahan sampah Kriteria Sosial Program-program pengelolaan sampah selain bermanfaat ke lingkungan dan layak secara ekonomi, juga harus memperhatikan kondisi sosial masyarakat dimana teknologi tersebut akan ditempatkan. Menurut Djerf (2008), faktor sosial dianggap semakin penting, karena penerimaan sosial merupakan kunci dalam keberhasilan pengelolaan sampah. Beberapa program pengelolaan sampah dengan sejarah panjang dan sukses, disebabkan oleh penerimaan dan partisipasi yang tinggi oleh masyarakat. Hasil penelitian terhadap tingkat penerimaan masyarakat pada programprogram pengelolaan sampah oleh Joos et al (2006), menyimpulkan bahwa hal-hal berikut harus diterapkan untuk menjamin penerimaan sosial, yakni : Kemudahan mendapat informasi, transparansi dalam pengambilan keputusan maupun pelaksanaan keputusannya. Perlu kompromi atas kepentingan individu dan kelompok, kepentingan lokal dan regional, bila perlu dilakukan mediasi atas konflik yang terjadi. Memperhatikan kebutuhan dasar seperti peluang kerja. Tanpa adanya penerimaan sosial dari masyarakat, sebaik apapun teknologi pengolahan sampah yang akan diterapkan tidak akan dapat dioperasikan dengan baik karena akan mengalami berbagai kendala (Wahyono dkk, 2010). Oleh karena 43

30 itu, dengan adanya penerimaan sosial dari masyarakat, maka hal ini akan berdampak positif karena akan meminimalisir bahkan meniadakan konflik antara masyarakat dengan pemerintah atau pengelola persampahan sehingga tujuan penerapan teknologi pengolahan sampah akan tercapai. Penerapan teknologi pengolahan sampah idealnya dapat menciptakan lapangan kerja baru, sehingga dapat membantu mengatasi salah satu masalah sosial yang ada yaitu mengurangi penganguran. Penyerapan tenaga kerja yang tinggi pada kegiatan pengolahan sampah akan berimplikasi kepada peningkatan taraf hidup masyarakat disekitar lokasi. Demikian pula dengan Amurwaraharja (2004), Herminindian (2007), Surjandari dkk (2009), Susangka dan Chaerul, (2009) yang menggunakan penerimaan masyarakat dan penyerapan tenaga kerja sebagai indikator atau sub kriteria dari kriteria sosial dalam analisis tentang teknologi pengolahan sampah Kriteria Teknis Pertimbangan teknis dalam menentukan alternatif teknologi pengolahan sampah adalah untuk menjamin bahwa teknologi tersebut dapat diimplementasikan dan dapat mencapai tujuannya. Salah satu tujuan penerapan teknologi pengolahan sampah menurut McDougalls et al (2008) adalah untuk mengurangi atau mereduksi jumlah sampah yang dibuang ke TPA. Dengan demikian, indikator atau sub kriteria kemampuan mereduksi sampah penilaiannya dilihat berdasarkan kemampuan teknologi pengolahan sampah dalam memproses sejumlah sampah kota. Kegagalan pengelolaan sampah kota di beberapa negara berkembang 44

31 disebabkan oleh negara-negara donor dan karyawan pemerintah yang lebih menyukai pilihan peralatan, teknologi dan sistem yang mutakhir serta padat modal yang tidak tidak sesuai dengan kondisi setempat. Banyak peralatan pengumpulan dan pengolahan sampah yang akhirnya tidak dapat dioperasikan dengan optimal karena tidak sesuai dengan kondisi dan kemampuan masyarakat setempat (Klundert, 2008). Menurut Klundert (2008) terdapat beberapa prinsip operasional atau teknis yang harus dipertimbangkan agar teknologi dan sistem pengolahan sampah kota dapat beroperasi dengan optimal. Teknologi dan sistem tersebut harus : Disesuaikan dengan lingkungan fisik, topografi dan persyaratan fisik lainnya. Berbasis teknologi setempat sehingga mudah dioperasikan oleh masyarakat setempat. Sebaiknya dapat diproduksi secara lokal, disesuaikan dengan ketersediaan suku cadang lokal, tahan lama dan berkualitas. Efisiens dan optimal dalam pemanfaatan peralatan. Demikian pula dengan Amurwaraharja (2004) serta Susangka dan Chaerul (2009) yang menggunakan tingkat kemudahan penerapan atau kompleksitas proses/operasi dan pemeliharaan serta kemampuan mereduksi jumlah sampah sebagai indikator atau sub kriteria dari kriteria teknis dalam analisis tentang teknologi pengolahan sampah Analytical Hierarchy Process (AHP) Proses analisis keputusan membutuhkan adanya kriteria sebelum memutuskan pilihan dari berbagai alternatif yang ada. Kriteria menunjukkan 45

32 definisi masalah dalam bentuk yang konkret dan kadang-kadang dianggap sebagai sasaran yang akan dicapai. Analisis atas kriteria penilaian dilakukan untuk memperoleh seperangkat standar pengukuran, untuk kemudian dijadikan sebagai alat dalam membandingkan berbagai alternatif (Rusydiana dan Devi, 2013). Dalam proses pengambilan keputusan untuk menetapkan alternatif terbaik dari sejumlah alternatif yang tersedia harus mempertimbangkan beberapa kriteria atau multi kriteria, dimana kriteria-kriteria tersebut dapat saling bertentangan yang perlu dievaluasi dalam membuat keputusan. Metode pengambilan keputusan atau analisis yang mempertimbangkan multi kriteria dalam pengambilan keputusan yang kompleks dikenal dengan nama multi criteria decision making (MCDM) atau multi criteria decision analysis (MCDA) (Goroner, 2012). Salah satu teknik pengambilan keputusan multi kriteria atau analisis multi kriteria adalah Analytical Hierarchy Process (AHP). AHP merupakan sebuah hirarki fungsional dengan input utamanya persepsi manusia. Suatu masalah yang kompleks dan tidak terstruktur dipecah ke dalam kelompok-kelompok kemudian diatur menjadi suatu bentuk hirarki (Saaty dalam Rusydiana dan Devi, 2013). AHP digunakan untuk menentukan prioritas relatif pada skala absolut dari perbandingan berpasangan dalam struktur hirarki bertingkat (Saaty dan Vargas dalam Gorener, 2012). Menurut Marimin (2004) AHP merupakan suatu model pengambilan keputusan yang komprehensif dengan memperhitungkan hal-hal yang bersifat kualitatif dan kuantitatif. Suatu persoalan akan dipecahkan dalam suatu kerangka berpikir yang terorganisir dengan menggunakan AHP, sehingga memungkinkan 46

33 dapat diekspresikan untuk mengambil keputusan yang efektif atas persoalan tersebut. Persoalan yang kompleks dapat disederhanakan dan dipercepat proses pengambilan keputusannya Prinsip Dasar AHP Menurut Saaty dalam Atmani (2008), ada beberapa prinsip dasar yang harus dipahami dalam memecahkan persoalan dengan AHP, yaitu prinsip dekomposisi (decomposition), penilaian komparasi (comparative judgement), sintesis dari prioritas (synthesis of priority) dan konsistensi logis (logical consistensy). 1. Prinsip Dekomposisi (Decomposition). Setelah persoalan didefinisikan, maka perlu dilakukan dekomposisi (decomposition) yaitu memecah permasalahan yang utuh menjadi unsurunsurnya. Pemecahan dilakukan terhadap unsur-unsur sampai tidak mungkin dilakukan pemecahan lebih lanjut, sehingga didapatkan beberapa tingkatan dari persoalan tadi. Karena alasan ini, maka proses analisis ini dinamakan hirarki (hierarchy). 2. Prinsip Penilaian Komparasi (Comparative Judgement). Penilaian komparasi (comparative judgement) merupakan penilaian tentang kepentingan relatif dua elemen pada suatu tingkat tertentu dalam kaitannya dengan tingkat diatasnya. Penilaian komparasi ini merupakan inti dari AHP karena sangat berpengaruh terhadap prioritas elemen-elemen. Penilaian ini disajikan dalam bentuk yang dinamakan matrik perbandingan pasangan (pairwise comparison). 47

34 3. Prinsip Sintesis dari Prioritas (Synthesis of priority). Sintesis dari prioritas (synthesis of priority) atau menentukan prioritas, yaitu dari setiap matriks perbandingan berpasangan (pairwise comparison) kemudian dicari eigen vector nya untuk mendapatkan prioritas lokal. Karena matriks perbandingan berpasangan terdapat pada setiap tingkat, maka untuk mendapatkan prioritas global harus dilakukan sintesa diantara prioritas lokal. Prosedur melakukan sintesa berbeda menurut bentuk hirarki. Pengurutan elemen-elemen menurut kepentingan relatif melalui prosedur sintesa dinamakan priority setting. 4. Prinsip Konsistensi Logis (Logical Consistency). Konsistensi logis (logical consistency) menyatakan ukuran tentang konsisten tidaknya suatu penilaian atau pembobotan perbandingan berpasangan. Pengujian ini diperlukan, karena pada keadaan yang sebenarnya akan terjadi beberapa penyimpangan dari hubungan tersebut sehingga matriks tersebut tidak konsisten sempurna. Hal ini dapat terjadi karena ketidak konsistenan dalam preferensi seseorang Langkah-langkah dan Prosedur AHP Langkah-langkah dan prosedur dalam menyelesaikan persoalan dengan menggunakan metode AHP menurut Lee (2010) adalah sebagai berikut : 1. Definisikan Permasalahan. Pada tahap ini permasalahan tidak terstruktur didefinisikan dan tentukan tujuan atau hasil yang diinginkan. 2. Mengembangkan Struktur Hirarki. 48

35 Pada tahap ini masalah yang kompleks diuraikan menjadi menjadi struktur hirarki yang terdiri dari keseluruhan tujuan, kriteria dan alternatif. Kriteria selanjutnya dapat dipecah menjadi sub kriteria dalam beberapa tingkatan sesuai dengan kebutuhan. Sebagai contoh, penyusunan hirarki ini diawali dengan tujuan untuk level 1, dilanjutkan dengan kriteria pada level 2, sub kriteria pada level 3 dan alternatif pada level4. 3. Membuat Matrik Perbandingan Berpasangan. Setelah hirarki dibangun, langkah selanjutnya adalah membuat matrik perbandingan berpasangan yang menggambarkan kontribusi relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap tujuan atau kriteria yang setingkat diatasnya. Perbandingan dilakukan berdasarkan judgment dari pengambilan keputusan dengan menilai tingkat kepentingan suatu elemen dibandingkan elemen lainnya. Contoh matrik perbandingan berpasangan seperti pada Tabel 3.2. Tabel 3.2. Matrik Perbandingan Berpasangan C A 1 A2... A n A 1 1 A A 1n A 2 1/a A 2n A n 1/a 1n 1/a 2n... 1 Keterangan : a = nilai skala perbandingan Dalam rangka untuk menentukan preferensi relatif untuk dua elemen hirarki dalam matrik tersebut, digunakan nilai bilangan (numerik) untuk menggambarkan relatif pentingnya suatu elemen diatas yang lainnya. Skala tersebut mendefinisikan nilai 1 sampai dengan 9 yang ditetapkan bagi pertimbangan dalam membandingkan pasangan elemen yang sejenis di setiap 49

BAB IV METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah deskriptif analitik. Menurut Sangaji dan Sopiah

BAB IV METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah deskriptif analitik. Menurut Sangaji dan Sopiah BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Jenis Disain Penelitian Jenis penelitian ini adalah deskriptif analitik. Menurut Sangaji dan Sopiah (2010) penelitian deskriptif adalah penelitian terhadap masalah-masalah

Lebih terperinci

Timbulan sampah menunjukkan kecenderungan kenaikan dalam beberapa dekade ini. Kenaikan timbulan sampah ini disebabkan oleh dua faktor dasar, yaitu 1)

Timbulan sampah menunjukkan kecenderungan kenaikan dalam beberapa dekade ini. Kenaikan timbulan sampah ini disebabkan oleh dua faktor dasar, yaitu 1) Pengelolaan Sampah Timbulan sampah menunjukkan kecenderungan kenaikan dalam beberapa dekade ini. Kenaikan timbulan sampah ini disebabkan oleh dua faktor dasar, yaitu 1) perubahan populasi, 2) perubahan

Lebih terperinci

PEMILIHAN DAN PENGOLAHAN SAMPAH ELI ROHAETI

PEMILIHAN DAN PENGOLAHAN SAMPAH ELI ROHAETI PEMILIHAN DAN PENGOLAHAN SAMPAH ELI ROHAETI Sampah?? semua material yang dibuang dari kegiatan rumah tangga, perdagangan, industri dan kegiatan pertanian. Sampah yang berasal dari kegiatan rumah tangga

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Manusia dalam aktivitasnya tidak terlepas dari kebutuhan terhadap ruang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Manusia dalam aktivitasnya tidak terlepas dari kebutuhan terhadap ruang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sampah Manusia dalam aktivitasnya tidak terlepas dari kebutuhan terhadap ruang untuk memanfaatkan sumberdaya alam dan lingkungan. Sadar atau tidak dalam proses pemanfaatan sumberdaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh kota-kota di Indonesia adalah

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh kota-kota di Indonesia adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh kota-kota di Indonesia adalah sampah kota. Data Kementerian Lingkungan Hidup tahun 2010 menyebutkan volume rata-rata

Lebih terperinci

TEKNOLOGI TEPAT GUNA PENGOLAHAN SAMPAH ANORGANIK

TEKNOLOGI TEPAT GUNA PENGOLAHAN SAMPAH ANORGANIK TUGAS SANITASI MASYARAKAT TEKNOLOGI TEPAT GUNA PENGOLAHAN SAMPAH ANORGANIK Disusun Oleh : KELOMPOK Andre Barudi Hasbi Pradana Sahid Akbar Adi Gadang Giolding Hotma L L2J008005 L2J008014 L2J008053 L2J008078

Lebih terperinci

Potensi Pencemaran Lingkungan dari Pengolahan Sampah di Rumah Kompos Kota Surabaya Bagian Barat dan Pusat

Potensi Pencemaran Lingkungan dari Pengolahan Sampah di Rumah Kompos Kota Surabaya Bagian Barat dan Pusat Potensi Pencemaran Lingkungan dari Pengolahan Sampah di Rumah Kompos Kota Surabaya Bagian Barat dan Pusat Oleh: Thia Zakiyah Oktiviarni (3308100026) Dosen Pembimbing IDAA Warmadewanthi, ST., MT., PhD Latar

Lebih terperinci

B P L H D P R O V I N S I J A W A B A R A T PENGELOLAAN SAMPAH DI PERKANTORAN

B P L H D P R O V I N S I J A W A B A R A T PENGELOLAAN SAMPAH DI PERKANTORAN B P L H D P R O V I N S I J A W A B A R A T PENGELOLAAN SAMPAH DI PERKANTORAN 1 Sampah merupakan konsekuensi langsung dari kehidupan, sehingga dikatakan sampah timbul sejak adanya kehidupan manusia. Timbulnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dipancarkan lagi oleh bumi sebagai sinar inframerah yang panas. Sinar inframerah tersebut di

BAB I PENDAHULUAN. dipancarkan lagi oleh bumi sebagai sinar inframerah yang panas. Sinar inframerah tersebut di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pancaran sinar matahari yang sampai ke bumi (setelah melalui penyerapan oleh berbagai gas di atmosfer) sebagian dipantulkan dan sebagian diserap oleh bumi. Bagian yang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA, MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 54 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH DAN ZAT KIMIA PENGOPERASIAN PESAWAT UDARA DAN BANDAR UDARA DENGAN

Lebih terperinci

KAJIAN PELUANG BISNIS RUMAH TANGGA DALAM PENGELOLAAN SAMPAH

KAJIAN PELUANG BISNIS RUMAH TANGGA DALAM PENGELOLAAN SAMPAH ABSTRAK KAJIAN PELUANG BISNIS RUMAH TANGGA DALAM PENGELOLAAN SAMPAH Peningkatan populasi penduduk dan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kuantitas sampah kota. Timbunan sampah yang tidak terkendali terjadi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN Pesatnya pertambahan penduduk menyebabkan meningkatnya berbagai aktivitas sosial ekonomi masyarakat, pembangunan fasilitas kota seperti pusat bisnis, komersial dan industri,

Lebih terperinci

PENGELOLAAN PERSAMPAHAN

PENGELOLAAN PERSAMPAHAN PENGELOLAAN PERSAMPAHAN 1. LATAR BELAKANG PENGELOLAAN SAMPAH SNI 19-2454-1991 tentang Tata Cara Pengelolaan Teknik Sampah Perkotaan, mendefinisikan sampah sebagai limbah yang bersifat padat, terdiri atas

Lebih terperinci

SAMPAH SEBAGAI SUMBER DAYA

SAMPAH SEBAGAI SUMBER DAYA SAMPAH SEBAGAI SUMBER DAYA I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Permasalahan Masalah sampah sebagai hasil aktivitas manusia di daerah perkotaan memberikan tekanan yang besar terhadap lingkungan, terutama

Lebih terperinci

KLASIFIKASI LIMBAH. Oleh: Tim pengampu mata kuliah Sanitasi dan Pengolahan Limbah

KLASIFIKASI LIMBAH. Oleh: Tim pengampu mata kuliah Sanitasi dan Pengolahan Limbah KLASIFIKASI LIMBAH Oleh: Tim pengampu mata kuliah Sanitasi dan Pengolahan Limbah 1 Pengertian Limbah Limbah: "Zat atau bahan yang dibuang atau dimaksudkan untuk dibuang atau diperlukan untuk dibuang oleh

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KOMPOSISI DAN KARAKTERISTIK SAMPAH KOTA BOGOR 1. Sifat Fisik Sampah Sampah berbentuk padat dibagi menjadi sampah kota, sampah industri dan sampah pertanian. Komposisi dan jumlah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengelolaan lingkungan hidup tidak bisa dipisahkan dari sebuah pembangunan. Angka pertumbuhan penduduk dan pembangunan kota yang makin meningkat drastis akan berdampak

Lebih terperinci

PERANCANGAN SISTEM PENGELOLAAN SAMPAH UNTUK MENDUKUNG PERKEMBANGAN INDUSTRI KREATIF DI DAERAH PARIWISATA

PERANCANGAN SISTEM PENGELOLAAN SAMPAH UNTUK MENDUKUNG PERKEMBANGAN INDUSTRI KREATIF DI DAERAH PARIWISATA PERANCANGAN SISTEM PENGELOLAAN SAMPAH UNTUK MENDUKUNG PERKEMBANGAN INDUSTRI KREATIF DI DAERAH PARIWISATA Rany Puspita Dewi 1 Program Studi Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Tidar Jl Kapten Suparman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sampah merupakan limbah yang dihasilkan dari adanya aktivitas manusia.

BAB I PENDAHULUAN. Sampah merupakan limbah yang dihasilkan dari adanya aktivitas manusia. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Sampah merupakan limbah yang dihasilkan dari adanya aktivitas manusia. Jumlah atau volume sampah sebanding dengan tingkat konsumsi manusia terhadap barang

Lebih terperinci

Bagaimana Solusinya? 22/03/2017 PENGELOLAAN SAMPAH ORGANIK RUMAH TANGGA DI KOTA CIAMIS PENGERTIAN SAMPAH

Bagaimana Solusinya? 22/03/2017 PENGELOLAAN SAMPAH ORGANIK RUMAH TANGGA DI KOTA CIAMIS PENGERTIAN SAMPAH SOSIALISASI DAN PELATIHAN PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA DI KOTA CIAMIS Nedi Sunaedi nedi_pdil@yahoo.com PENGERTIAN SAMPAH Suatu bahan yang terbuang dari sumber aktivitas manusia dan/atau alam yang tidak

Lebih terperinci

BAB III TEKNOLOGI PEMANFAATAN SAMPAH KOTA BANDUNG SEBAGAI ENERGI

BAB III TEKNOLOGI PEMANFAATAN SAMPAH KOTA BANDUNG SEBAGAI ENERGI BAB III TEKNOLOGI PEMANFAATAN SAMPAH KOTA BANDUNG SEBAGAI ENERGI Waste-to-energy (WTE) merupakan konsep pemanfaatan sampah menjadi sumber energi. Teknologi WTE itu sendiri sudah dikenal di dunia sejak

Lebih terperinci

1.1 GRK dan Pengelolaan Limbah

1.1 GRK dan Pengelolaan Limbah 1.1 GRK dan Pengelolaan Limbah Limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan (UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan LH). Pengelolaan Sampah diatur melalui UU 18/2008 (berwawasan lingkungan)

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Salah satu tantangan pertanian Indonesia adalah meningkatkan produktivitas berbagai jenis tanaman pertanian. Namun disisi lain, limbah yang dihasilkan dari proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. PPK Sampoerna merupakan Pusat Pelatihan Kewirausahaan terpadu yang

BAB I PENDAHULUAN. PPK Sampoerna merupakan Pusat Pelatihan Kewirausahaan terpadu yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang PPK Sampoerna merupakan Pusat Pelatihan Kewirausahaan terpadu yang dibangun di atas lahan seluas 27 Ha di Dusun Betiting, Desa Gunting, Kecamatan Sukorejo, Kabupaten

Lebih terperinci

Pengolahan Sampah. Tim Abdimas Sehati Universitas Gunadarma, Bekasi, 7 Desember Disampaikan oleh: Dr. Ridwan, MT- UG

Pengolahan Sampah. Tim Abdimas Sehati Universitas Gunadarma, Bekasi, 7 Desember Disampaikan oleh: Dr. Ridwan, MT- UG Pengolahan Sampah Tim Abdimas Sehati Universitas Gunadarma, Bekasi, 7 Desember 2017 PENDAHULUAN Latar Belakang: Penanganan sampah/problem tentang sampah khususnya di daerah perkotaan belum bisa teratasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ini adalah perlunya usaha untuk mengendalikan akibat dari peningkatan timbulan

BAB I PENDAHULUAN. ini adalah perlunya usaha untuk mengendalikan akibat dari peningkatan timbulan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peningkatan jumlah penduduk memberikan efek negatif, salah satunya adalah terjadinya peningkatan timbulan sampah. Konsekuensi dari permasalahan ini adalah perlunya

Lebih terperinci

1. Pendahuluan ABSTRAK:

1. Pendahuluan ABSTRAK: OP-26 KAJIAN PENERAPAN KONSEP PENGOLAHAN SAMPAH TERPADU DI LINGKUNGAN KAMPUS UNIVERSITAS ANDALAS Yenni Ruslinda 1) Slamet Raharjo 2) Lusi Susanti 3) Jurusan Teknik Lingkungan, Universitas Andalas Kampus

Lebih terperinci

BIOGAS. Sejarah Biogas. Apa itu Biogas? Bagaimana Biogas Dihasilkan? 5/22/2013

BIOGAS. Sejarah Biogas. Apa itu Biogas? Bagaimana Biogas Dihasilkan? 5/22/2013 Sejarah Biogas BIOGAS (1770) Ilmuwan di eropa menemukan gas di rawa-rawa. (1875) Avogadro biogas merupakan produk proses anaerobik atau proses fermentasi. (1884) Pasteur penelitian biogas menggunakan kotoran

Lebih terperinci

GREEN INCINERATOR Pemusnah Sampah Kota, Industri, Medikal dsbnya Cepat, Murah, Mudah, Bersahabat, Bermanfaat

GREEN INCINERATOR Pemusnah Sampah Kota, Industri, Medikal dsbnya Cepat, Murah, Mudah, Bersahabat, Bermanfaat GREEN INCINERATOR Pemusnah Sampah Kota, Industri, Medikal dsbnya Cepat, Murah, Mudah, Bersahabat, Bermanfaat WASTE-TO-ENERGY Usaha penanggulangan sampah, baik dari rumah tangga/penduduk, industri, rumah

Lebih terperinci

PEMBUATAN KOMPOS DARI LIMBAH PADAT ORGANIK YANG TIDAK TERPAKAI ( LIMBAH SAYURAN KANGKUNG, KOL, DAN KULIT PISANG )

PEMBUATAN KOMPOS DARI LIMBAH PADAT ORGANIK YANG TIDAK TERPAKAI ( LIMBAH SAYURAN KANGKUNG, KOL, DAN KULIT PISANG ) PEMBUATAN KOMPOS DARI LIMBAH PADAT ORGANIK YANG TIDAK TERPAKAI ( LIMBAH SAYURAN KANGKUNG, KOL, DAN KULIT PISANG ) Antonius Hermawan Permana dan Rizki Satria Hirasmawan Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kompleks. Serta peraturan di indonesia memang agak rumit, dan tidak benar-benar

BAB I PENDAHULUAN. kompleks. Serta peraturan di indonesia memang agak rumit, dan tidak benar-benar BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah sampah di Indonesia merupakan salah satu permasalahan yang sangat kompleks. Serta peraturan di indonesia memang agak rumit, dan tidak benar-benar memakai konsep

Lebih terperinci

VII. PEMBAHASAN UMUM 7.1. Visi Pengelolaan Kebersihan Lingkungan Berkelanjutan

VII. PEMBAHASAN UMUM 7.1. Visi Pengelolaan Kebersihan Lingkungan Berkelanjutan VII. PEMBAHASAN UMUM 7.1. Visi Pengelolaan Kebersihan Lingkungan Berkelanjutan TPA Bakung kota Bandar Lampung masih belum memenuhi persyaratan yang ditentukan, karena belum adanya salahsatu komponen dari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sampah masih merupakan masalah bagi masyarakat karena perbandingan antara

I. PENDAHULUAN. Sampah masih merupakan masalah bagi masyarakat karena perbandingan antara I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Sampah masih merupakan masalah bagi masyarakat karena perbandingan antara jumlah sampah yang dihasilkan dengan sampah yang diolah tidak seimbang. Sampah merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat (UU RI No.18 Tentang Pengelolaan Sampah, 2008). Untuk

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat (UU RI No.18 Tentang Pengelolaan Sampah, 2008). Untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia menghadapi masalah serius dalam hal pengelolaan sampah kota. Pertambahan jumlah penduduk dan perubahan pola konsumsi masyarakat menimbulkan bertambahnya

Lebih terperinci

PEMBEKALAN KKN -PENGOLAHAN LIMBAH PIAT UGM- Bidang Energi dan Pengelolaan Limbah Pusat Inovasi Agroteknologi UGM 2017

PEMBEKALAN KKN -PENGOLAHAN LIMBAH PIAT UGM- Bidang Energi dan Pengelolaan Limbah Pusat Inovasi Agroteknologi UGM 2017 PEMBEKALAN KKN -PENGOLAHAN LIMBAH PIAT UGM- Bidang Energi dan Pengelolaan Limbah Pusat Inovasi Agroteknologi UGM 2017 AKTIVITAS MANUSIA PRODUK SISA/SAMPAH/ LIMBAH PEMILAHAN LAIN-LAIN PLASTIK ORGANIK 3

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sampah Sampah merupakan zat- zat atau benda-benda yang sudah tidak terpakai lagi, baik berupa bahan buangan yang berasal dari rumah tangga maupun dari pabrik sebagai sisa industri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kompleks. Selain karena pengelolaannya yang kurang baik, budaya masyarakat. Gambar 1.1 Tempat Penampungan Sampah

BAB I PENDAHULUAN. kompleks. Selain karena pengelolaannya yang kurang baik, budaya masyarakat. Gambar 1.1 Tempat Penampungan Sampah BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar belakang Masalah sampah di Indonesia merupakan salah satu permasalahan yang kompleks. Selain karena pengelolaannya yang kurang baik, budaya masyarakat Indonesia dalam membuang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sampah menurut SNI 19-2454-2002 tentang Tata Cara Teknik Operasional Pengelolaan Sampah Perkotaan didefinisikan sebagai limbah yang bersifat padat terdiri atas bahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditanggung alam karena keberadaan sampah. Sampah merupakan masalah yang

BAB I PENDAHULUAN. ditanggung alam karena keberadaan sampah. Sampah merupakan masalah yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lingkungan yang kotor merupakan akibat perbuatan negatif yang harus ditanggung alam karena keberadaan sampah. Sampah merupakan masalah yang dihadapi hampir seluruh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya alam (SDA) dan lingkungan merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan dan merupakan tempat hidup mahluk hidup untuk aktivitas kehidupannya. Selain itu,

Lebih terperinci

KERANGKA PENDEKATAN TEORI. manusia yang beragam jenisnya maupun proses alam yang belum memiliki nilai

KERANGKA PENDEKATAN TEORI. manusia yang beragam jenisnya maupun proses alam yang belum memiliki nilai II. KERANGKA PENDEKATAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Sampah Sampah merupakan barang sisa yang sudah tidak berguna lagi dan harus dibuang. Berdasarkan istilah lingkungan untuk manajemen, Basriyanta

Lebih terperinci

STUDI PENGELOLAAN SAMPAH BANDARA HASANUDDIN. Yemima Agnes Leoni 1 D Mary Selintung 2 Irwan Ridwan Rahim 3 1

STUDI PENGELOLAAN SAMPAH BANDARA HASANUDDIN. Yemima Agnes Leoni 1 D Mary Selintung 2 Irwan Ridwan Rahim 3 1 STUDI PENGELOLAAN SAMPAH BANDARA HASANUDDIN Yemima Agnes Leoni 1 D 121 09 272 Mary Selintung 2 Irwan Ridwan Rahim 3 1 Mahasiwa S1 Program Studi Teknik Lingkungan Jurusan Sipil Fakultas Teknik Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Beberapa tahun terakhir, energi menjadi persoalan yang krusial di dunia, dimana peningkatan permintaan akan energi yang berbanding lurus dengan pertumbuhan populasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah persampahan kota hampir selalu timbul sebagai akibat dari tingkat kemampuan pengelolaan sampah yang lebih rendah dibandingkan jumlah sampah yang harus dikelola.

Lebih terperinci

Sampah Kota atau Municipal Solid Waste (MSW) dan Penyelesaian Masalahnya

Sampah Kota atau Municipal Solid Waste (MSW) dan Penyelesaian Masalahnya Sampah Kota atau Municipal Solid Waste (MSW) dan Penyelesaian Masalahnya Di Indonesia saat ini sampah kota yang disebut sebagai municipal solid waste atau MSW masih belum diolah secara Terpadu. Standar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan dan perkembangan suatu kota dapat menimbulkan efek negatif terhadap lingkungan. Salah satu efek negatif tersebut adalah masalah lingkungan hidup yang disebabkan

Lebih terperinci

PROPOSAL. PEMUSNAHAN SAMPAH - PEMBANGKIT LISTRIK KAPASITAS 20 mw. Waste to Energy Commercial Aplications

PROPOSAL. PEMUSNAHAN SAMPAH - PEMBANGKIT LISTRIK KAPASITAS 20 mw. Waste to Energy Commercial Aplications PROPOSAL PEMUSNAHAN SAMPAH - PEMBANGKIT LISTRIK KAPASITAS 20 mw Waste to Energy Commercial Aplications PT. ARTECH Jalan Raya Narogong KM 9.3 Bekasi HP.0811815750 FAX.8250028 www.artech.co.id Pendahuluan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pertumbuhan penduduk kota sekarang ini semakin pesat, hal ini berbanding

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pertumbuhan penduduk kota sekarang ini semakin pesat, hal ini berbanding 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan penduduk kota sekarang ini semakin pesat, hal ini berbanding lurus dengan sampah yang dihasilkan oleh penduduk kota. Pada data terakhir bulan November

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN PERSAMPAHAN/KEBERSIHAN

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN PERSAMPAHAN/KEBERSIHAN PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN PERSAMPAHAN/KEBERSIHAN I. UMUM Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah mengamanatkan perlunya

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SAMPAH KANTOR SECARA TERPADU: (Studi Kasus Kantor BPPT)

PENGELOLAAN SAMPAH KANTOR SECARA TERPADU: (Studi Kasus Kantor BPPT) JRL Vol.7 No.2 Hal. 153-160 Jakarta, Juli 2011 ISSN : 2085.3866 No.376/AU1/P2MBI/07/2011 PENGELOLAAN SAMPAH KANTOR SECARA TERPADU: (Studi Kasus Kantor BPPT) Rosita Shochib Pusat Teknologi Lingkungan-BPPT

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. dan pengelolaan yang berkelanjutan air dan sanitasi untuk semua. Pada tahun 2030,

BAB 1 : PENDAHULUAN. dan pengelolaan yang berkelanjutan air dan sanitasi untuk semua. Pada tahun 2030, BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Upaya kesehatan lingkungan berdasarkan Sustainable Development Goals (SDGs) tahun 2030 pada sasaran ke enam ditujukan untuk mewujudkan ketersediaan dan pengelolaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. biasanya disertai dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat.

BAB I PENDAHULUAN. biasanya disertai dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Secara umum perkembangan jumlah penduduk yang semakin besar biasanya disertai dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat. Perkembangan tersebut membawa

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA II.

TINJAUAN PUSTAKA II. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Limbah Lumpur Water Treatment Plant Limbah pada dasarnya adalah suatu bahan yang terbuang dari aktifitas manusia maupun proses alam yang tidak atau belum mempunyai nilai ekonomis.

Lebih terperinci

Analisis Kelayakan Ekonomi Alat Pengolah Sampah Organik Rumah Tangga Menjadi Biogas

Analisis Kelayakan Ekonomi Alat Pengolah Sampah Organik Rumah Tangga Menjadi Biogas Analisis Kelayakan Ekonomi Alat Pengolah Sampah Organik Rumah Tangga Menjadi Biogas Tofik Hidayat*, Mustaqim*, Laely Dewi P** *PS Teknik Industri Fakultas Teknik Universitas Pancasakti Tegal ** Dinas Lingkungan

Lebih terperinci

SATUAN TIMBULAN, KOMPOSISI DAN POTENSI DAUR ULANG SAMPAH PADA TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR (TPA) SAMPAH TANJUNG BELIT KABUPATEN ROKAN HULU

SATUAN TIMBULAN, KOMPOSISI DAN POTENSI DAUR ULANG SAMPAH PADA TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR (TPA) SAMPAH TANJUNG BELIT KABUPATEN ROKAN HULU SATUAN TIMBULAN, KOMPOSISI DAN POTENSI DAUR ULANG SAMPAH PADA TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR (TPA) SAMPAH TANJUNG BELIT KABUPATEN ROKAN HULU Alfi Rahmi, Arie Syahruddin S ABSTRAK Masalah persampahan merupakan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA DENPASAR TPST-3R DESA KESIMAN KERTALANGU DINAS KEBERSIHAN DAN PERTAMANAN KOTA DENPASAR

PEMERINTAH KOTA DENPASAR TPST-3R DESA KESIMAN KERTALANGU DINAS KEBERSIHAN DAN PERTAMANAN KOTA DENPASAR PEMERINTAH KOTA DENPASAR TPST-3R DESA KESIMAN KERTALANGU DINAS KEBERSIHAN DAN PERTAMANAN KOTA DENPASAR VISI DAN MISI VISI Meningkatkan Kebersihan dan Keindahan Kota Denpasar Yang Kreatif dan Berwawasan

Lebih terperinci

Bakteri Untuk Biogas ( Bag.2 ) Proses Biogas

Bakteri Untuk Biogas ( Bag.2 ) Proses Biogas Biogas adalah gas mudah terbakar yang dihasilkan dari proses fermentasi bahan-bahan organik oleh bakteri-bakteri anaerob (bakteri yang hidup dalam kondisi kedap udara). Pada umumnya semua jenis bahan organik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang ada dibumi ini, hanya ada beberapa energi saja yang dapat digunakan. seperti energi surya dan energi angin.

BAB I PENDAHULUAN. yang ada dibumi ini, hanya ada beberapa energi saja yang dapat digunakan. seperti energi surya dan energi angin. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan energi pada saat ini dan pada masa kedepannya sangatlah besar. Apabila energi yang digunakan ini selalu berasal dari penggunaan bahan bakar fosil tentunya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pemanfaatan Limbah Cair Industri Tahu sebagai Energi Terbarukan. Limbah Cair Industri Tahu COD. Digester Anaerobik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pemanfaatan Limbah Cair Industri Tahu sebagai Energi Terbarukan. Limbah Cair Industri Tahu COD. Digester Anaerobik 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Kerangka Teori Pemanfaatan Limbah Cair Industri Tahu sebagai Energi Terbarukan Limbah Cair Industri Tahu Bahan Organik C/N COD BOD Digester Anaerobik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pada data terakhir bulan november tahun 2015 volume sampah di TPA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pada data terakhir bulan november tahun 2015 volume sampah di TPA 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada data terakhir bulan november tahun 2015 volume sampah di TPA Putri Cempo, Solo mencapai 260 ton per hari, apabila Sampah di tempat tersebut masih tercampur antara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Industri kelapa sawit merupakan salah satu industri penghasil devisa non migas di

I. PENDAHULUAN. Industri kelapa sawit merupakan salah satu industri penghasil devisa non migas di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri kelapa sawit merupakan salah satu industri penghasil devisa non migas di Indonesia dengan komoditas utama yaitu minyak sawit (Crude Palm Oil/CPO). Minyak sawit

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang 17 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang mempunyai potensi biomassa yang sangat besar. Estimasi potensi biomassa Indonesia sekitar 46,7 juta ton per tahun (Kamaruddin,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Krisis energi yang terjadi secara global sekarang disebabkan oleh ketimpangan antara konsumsi dan sumber energi yang tersedia. Sumber energi fosil yang semakin langka

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI digilib.uns.ac.id BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI 2.1. Tinjauan Pustaka Menurut Ir. Yul H. Bahar, 1986 dalam bukunya, sampah memiliki arti suatu buangan yang berupa bahan padat merupakan polutan

Lebih terperinci

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sampah merupakan sisa-sisa aktivitas manusia dan lingkungan yang sudah tidak diinginkan lagi keberadaannya. Sampah sudah semestinya dikumpulkan dalam suatu tempat

Lebih terperinci

Pengaruh Pengaturan ph dan Pengaturan Operasional Dalam Produksi Biogas dari Sampah

Pengaruh Pengaturan ph dan Pengaturan Operasional Dalam Produksi Biogas dari Sampah Pengaruh Pengaturan ph dan Pengaturan Operasional Dalam Produksi Biogas dari Sampah Oleh : Nur Laili 3307100085 Dosen Pembimbing : Susi A. Wilujeng, ST., MT 1 Latar Belakang 2 Salah satu faktor penting

Lebih terperinci

PEMBANGUNAN BERWAWASAN LINGKUNGAN ( Pertemuan ke-7 ) Disampaikan Oleh : Bhian Rangga Program Studi Pendidikan Geografi FKIP -UNS 2013

PEMBANGUNAN BERWAWASAN LINGKUNGAN ( Pertemuan ke-7 ) Disampaikan Oleh : Bhian Rangga Program Studi Pendidikan Geografi FKIP -UNS 2013 PEMBANGUNAN BERWAWASAN LINGKUNGAN ( Pertemuan ke-7 ) Disampaikan Oleh : Bhian Rangga Program Studi Pendidikan Geografi FKIP -UNS 2013 Standar Kompetensi 2. Memahami sumberdaya alam Kompetensi Dasar 2.3.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berkembang pesat pada dua dekade terakhir. Produksi minyak sawit Indonesia

I. PENDAHULUAN. berkembang pesat pada dua dekade terakhir. Produksi minyak sawit Indonesia I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri kelapa sawit merupakan salah satu agroindustri yang sangat potensial dan berkembang pesat pada dua dekade terakhir. Produksi minyak sawit Indonesia telah menyumbang

Lebih terperinci

Karakteristik Limbah Padat

Karakteristik Limbah Padat Karakteristik Limbah Padat Nur Hidayat http://lsihub.lecture.ub.ac.id Tek. dan Pengelolaan Limbah Karakteristik Limbah Padat Sifat fisik limbah Sifat kimia limbah Sifat biologi limbah 1 Sifat-sifat Fisik

Lebih terperinci

PENGOLAHAN SAMPAH DENGAN SISTEM 3R (REDUCE, REUSE, RECYCLE)

PENGOLAHAN SAMPAH DENGAN SISTEM 3R (REDUCE, REUSE, RECYCLE) PENGOLAHAN SAMPAH DENGAN SISTEM 3R (REDUCE, REUSE, RECYCLE) Disampaikan oleh: DINAS CIPTA KARYA DAN TATA RUANG KABUPATEN KENDAL 2016 Dasar hukum Pengelolaan Sampah Undang undang no. 18 tahun 2008 ttg Pengelolaan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN JEPARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA.

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN JEPARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA. PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN JEPARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA., Menimbang : a. bahwa pertambahan penduduk dan perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak diperlukan lagi. Pengelolaan sampah merupakan kegiatan dalam upaya

BAB I PENDAHULUAN. tidak diperlukan lagi. Pengelolaan sampah merupakan kegiatan dalam upaya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Tchobanoglous dkk. ( 1993) sampah dapat didefinisikan sebagai semua buangan yang dihasilkan dari berbagai aktivitas manusia dan hewan yang berupa padatan,

Lebih terperinci

Uji Pembentukan Biogas dari Sampah Pasar Dengan Penambahan Kotoran Ayam

Uji Pembentukan Biogas dari Sampah Pasar Dengan Penambahan Kotoran Ayam Uji Pembentukan Biogas dari Sampah Pasar Dengan Penambahan Kotoran Ayam Yommi Dewilda, Yenni, Dila Kartika Jurusan Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Andalas Kampus Unand Limau Manis Padang

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Pengelolaan lingkungan hidup merupakan bagian yang tak terpisahkan

BAB I. PENDAHULUAN. Pengelolaan lingkungan hidup merupakan bagian yang tak terpisahkan BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengelolaan lingkungan hidup merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pembangunan kota. Angka pertumbuhan penduduk dan pembangunan kota yang semakin meningkat secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kurang tepat serta keterbatasan kapasitas dan sumber dana meningkatkan dampak

BAB I PENDAHULUAN. kurang tepat serta keterbatasan kapasitas dan sumber dana meningkatkan dampak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pertumbuhan industri dan urbanisasi pada daerah perkotaan dunia yang tinggi meningkatkan volume dan tipe sampah. Aturan pengelolaan sampah yang kurang tepat

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGELOLAAN SAMPAH MENUJU INDONESIA BERSIH SAMPAH 2020 KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP L/O/G/O

KEBIJAKAN PENGELOLAAN SAMPAH MENUJU INDONESIA BERSIH SAMPAH 2020 KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP L/O/G/O KEBIJAKAN PENGELOLAAN SAMPAH MENUJU INDONESIA BERSIH SAMPAH 2020 KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP L/O/G/O 2014 DASAR HUKUM PENGELOLAAN SAMPAH UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH PERATURAN

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi awal blotong dan sludge pada penelitian pendahuluan menghasilkan komponen yang dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Karakteristik blotong dan sludge yang digunakan

Lebih terperinci

STUDI KARAKTERISTIK SAMPAH KANTOR WALIKOTA MAKASSAR DAN ALTERNATIF PENGOLAHANNYA

STUDI KARAKTERISTIK SAMPAH KANTOR WALIKOTA MAKASSAR DAN ALTERNATIF PENGOLAHANNYA STUDI KARAKTERISTIK SAMPAH KANTOR WALIKOTA MAKASSAR DAN ALTERNATIF PENGOLAHANNYA Irwan Ridwan Rahim 1, Mery Selintung 1, Randy Ariestha. 2 Abstrak Pertambahan jumlah penduduk serta perubahan pola konsumtif

Lebih terperinci

PERATURAN DESA SEGOBANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA DESA SEGOBANG,

PERATURAN DESA SEGOBANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA DESA SEGOBANG, PERATURAN DESA SEGOBANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA DESA SEGOBANG, Menimbang Mengingat : a. bahwa lingkungan hidup yang baik merupakan hak asasi

Lebih terperinci

Bab II Tinjauan Pustaka

Bab II Tinjauan Pustaka Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Sampah Sampah merupakan barang atau benda yang dibuang karena tidak terpakai lagi. Pada kenyataannya, sampah menjadi masalah yang selalu timbul baik di kota besar maupun di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 6% 1% Gambar 1.1 Sumber Perolehan Sampah di Kota Bandung

BAB I PENDAHULUAN 6% 1% Gambar 1.1 Sumber Perolehan Sampah di Kota Bandung 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permasalahan sampah di Kota Bandung merupakan masalah yang belum terselesaikan secara tuntas. Sebagai kota besar, jumlah penduduk Kota Bandung semakin bertambah.

Lebih terperinci

INVENTARISASI SARANA PENGELOLAAN SAMPAH KOTA PURWOKERTO. Oleh: Chrisna Pudyawardhana. Abstraksi

INVENTARISASI SARANA PENGELOLAAN SAMPAH KOTA PURWOKERTO. Oleh: Chrisna Pudyawardhana. Abstraksi INVENTARISASI SARANA PENGELOLAAN SAMPAH KOTA PURWOKERTO Oleh: Chrisna Pudyawardhana Abstraksi Pengelolaan sampah yang bertujuan untuk mewujudkan kebersihan dan kesehatan lingkungan serta menjaga keindahan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian sampah Sampah adalah barang yang dianggap sudah tidak terpakai dan dibuang oleh pemilik/pemakai sebelumnya, tetapi bagi sebagian orang masih bisa dipakai jika dikelola

Lebih terperinci

PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KATINGAN NOMOR : 3 TAHUN 2016 TENTANG

PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KATINGAN NOMOR : 3 TAHUN 2016 TENTANG PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KATINGAN NOMOR : 3 TAHUN 2016 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA DAN SAMPAH SEJENIS SAMPAH RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

Praktik Cerdas TPA WISATA EDUKASI. Talangagung

Praktik Cerdas TPA WISATA EDUKASI. Talangagung Praktik Cerdas TPA WISATA EDUKASI Talangagung Tantangan Pengelolaan Sampah Pengelolaan sampah adalah salah satu tantangan yang dihadapi Indonesia. Sebagian besar tempat pemrosesan akhir sampah di Indonesia

Lebih terperinci

PENERAPAN PENGELOLAAN SAMPAH BERBASIS 3R

PENERAPAN PENGELOLAAN SAMPAH BERBASIS 3R PENERAPAN PENGELOLAAN SAMPAH BERBASIS 3R Drs. Chairuddin,MSc P E NE RAPAN P E NG E L O L AAN S AM PAH B E RB AS I S 3 R Program Studi Magister Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pasca Sarjana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertambahan penduduk dan aktivititas masyarakat di daerah perkotaan makin

BAB I PENDAHULUAN. Pertambahan penduduk dan aktivititas masyarakat di daerah perkotaan makin BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertambahan penduduk dan aktivititas masyarakat di daerah perkotaan makin meningkat seiring dengan kemajuan teknologi, yang juga akan membawa permasalahan lingkungan.

Lebih terperinci

pendahuluan dilakukan untuk memperoleh hasil pengolahan atau daur ulang yang mengefektifkan pengolahan sampah selanjutnya, termasuk upaya daur ulang.

pendahuluan dilakukan untuk memperoleh hasil pengolahan atau daur ulang yang mengefektifkan pengolahan sampah selanjutnya, termasuk upaya daur ulang. BAB VI POTENSI REDUKSI SAMPAH DI KOMPLEKS PERUMAHAN BBS KELURAHAN CIWEDUS KOTA CILEGON BANTEN 6.1. Konsep Pemilahan Sampah Dalam usaha mengelola limbah atau sampah secara baik, ada beberapa pendekatan

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. diperoleh peneliti yaitu dari Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. diperoleh peneliti yaitu dari Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Data yang diperoleh dalam penelitian ini bersumber dari instansi yang terkait dengan penelitian, melaksanakan observasi langsung di Tempat Pembuangan

Lebih terperinci

PENERAPAN PENGELOLAAN SAMPAH BERBASIS 3R

PENERAPAN PENGELOLAAN SAMPAH BERBASIS 3R Drs. Chairuddin,MSc PENERAPAN PENGELOLAAN SAMPAH BERBASIS 3R Program Studi Magister Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pasca Sarjana UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Reduce, Reuse, Recycling

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. anorganik terus meningkat. Akibat jangka panjang dari pemakaian pupuk

I. PENDAHULUAN. anorganik terus meningkat. Akibat jangka panjang dari pemakaian pupuk 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegiatan usaha tani yang intensif telah mendorong pemakaian pupuk anorganik terus meningkat. Akibat jangka panjang dari pemakaian pupuk anorganik yang berlebihan adalah

Lebih terperinci

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KOTA KEDIRI WALIKOTA KEDIRI,

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KOTA KEDIRI WALIKOTA KEDIRI, WALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KOTA KEDIRI WALIKOTA KEDIRI, Menimbang : a. bahwa memenuhi ketentuan pasal 18 ayat 1, 2 dan 3 Peraturan Daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berwarna hitam merupakan salah satu jenis plastik yang paling banyak beredar di

BAB I PENDAHULUAN. berwarna hitam merupakan salah satu jenis plastik yang paling banyak beredar di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah kesehatan adalah suatu masalah yang sangat kompleks, yang saling berkaitan dan memberikan pengaruh satu sama lain, mulai dari keturunan, lingkungan, perilaku

Lebih terperinci

Iklim Perubahan iklim

Iklim Perubahan iklim Perubahan Iklim Pengertian Iklim adalah proses alami yang sangat rumit dan mencakup interaksi antara udara, air, dan permukaan daratan Perubahan iklim adalah perubahan pola cuaca normal di seluruh dunia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sampah pada dasarnya merupakan suatu bahan yang terbuang atau dibuang dari suatu sumber hasil aktivitas manusia maupun proses-proses alam yang tidak mempunyai nilai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM PENGELOLAAN SAMPAH BERBASIS MASYARAKAT. Lingkungan hidup manusia adalah jumlah semua benda dan kondisi yang

BAB II TINJAUAN UMUM PENGELOLAAN SAMPAH BERBASIS MASYARAKAT. Lingkungan hidup manusia adalah jumlah semua benda dan kondisi yang 25 BAB II TINJAUAN UMUM PENGELOLAAN SAMPAH BERBASIS MASYARAKAT 2.1 Pengertian sampah dan sejenisnya Lingkungan hidup manusia adalah jumlah semua benda dan kondisi yang ada dalam ruangan yang ditempati

Lebih terperinci

KAJIAN PENGADAAN DAN PENERAPAN TEMPAT PENGOLAHAN SAMPAH TERPADU (TPST) DI TPA km.14 KOTA PALANGKA RAYA

KAJIAN PENGADAAN DAN PENERAPAN TEMPAT PENGOLAHAN SAMPAH TERPADU (TPST) DI TPA km.14 KOTA PALANGKA RAYA KAJIAN PENGADAAN DAN PENERAPAN TEMPAT PENGOLAHAN SAMPAH TERPADU (TPST) DI TPA km.14 KOTA PALANGKA RAYA Teguh Jaya Permana dan Yulinah Trihadiningrum Program Magister Teknik Prasarana Lingkungan Permukiman

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR :... TAHUN... TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH INDUSTRI MINYAK SAWIT MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR :... TAHUN... TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH INDUSTRI MINYAK SAWIT MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR :... TAHUN... TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH INDUSTRI MINYAK SAWIT MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang : a. bahwa Industri Minyak Sawit berpotensi menghasilkan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1429, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP. Dana Alokasi Khusus. Pemanfaatan. Petunjuk Teknis. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA NOMOR 09 TAHUN 2013

Lebih terperinci

Lay out TPST. ke TPA. Pipa Lindi

Lay out TPST. ke TPA. Pipa Lindi Lay out TPST A A B ke TPA 1 2 3 B 14 10 11 12 13 4 Pipa Lindi 18 15 9 8 18 7 5 19 16 17 18 1) Area penerima 2) Area pemilahan 3) Area pemilahan plastik 4) Area pencacah s.basah 5) Area pengomposan 6) Area

Lebih terperinci