TINJAUAN PUSTAKA Mebel

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TINJAUAN PUSTAKA Mebel"

Transkripsi

1 TINJAUAN PUSTAKA Mebel Mebel merupakan salah satu komoditi yang diproduksi dan diperdagangkan secara global. Menurut ITTO (2006), nilai produksi mebel dunia pada tahun 2005 berdasarkan pada data statistik dari 60 negara adalah sebesar US$ 267 milyar, dengan produsen terbesar USA yaitu mencapai US$ 57,4 milyar. Produsen terbesar berikutnya adalah China US$ 37,9 milyar, Italy US$ 23,7 milyar, Jerman US$ 18,9 milyar, Jepang US$ 12,4 milyar, Kanada US$ 11,7 milyar, Inggris US$ 10,1 milyar dan Prancis US$ 9,2 milyar. Kurang lebih 55% dari nilai total produksi mebel dunia tersebut diproduksi oleh negara maju (tidak termasuk China). Negara tertinggi dalam mengkonsumsi mebel per kapita adalah Norwegia, Kanada, Austria, Switzerland, Denmark dan Finlandia. Sedangkan konsumen mebel terbesar pada tahun 2005 adalah USA (US$ 78,2 milyar), China (US$ 24,9 milyar), Jerman (US$20,5 milyar), Inggris (US$15,5 milyar) dan Jepang (US$ 15,5 milyar) (ITTO 2006). Dalam hal perdagangan, 54% ekspor mebel dunia berasal dari negara maju, namun sejak tahun 1990-an, pangsa pasar ini menurun sebesar 22%, dan diambil alih oleh negara-negara penting lain seperti Polandia, Malaysia, Indonesia dan Meksiko. Adapun negara pengekspor mebel terbesar di dunia adalah China, dengan nilai ekspor pada tahun 2005 US$ 13,5 milyar dan besarnya tingkat pertumbuhan ekspor pada tahun 2007 meningkat sebesar 17% (ITTO 2006). Sedangkan mebel Indonesia hanya menguasai 2,5% dari pangsa pasar dunia. Pasar ekspor terbesar bagi Indonesia adalah Amerika Serikat sebesar 29,3%, Jepang 9,6%, Belanda dan Inggris masing-masing 6,47%, dan Jerman 5,79% (USAID-SENADA 2007). Industri mebel di Indonesia sebagian besar termasuk dalam industri kecil dan menengah, telah menyumbangkan devisa yang tidak sedikit. Hal ini dapat dilihat dari besarnya nilai ekspor mebel yang terus mengalami peningkatan, dimana selama tahun meningkat 17% dan benilai US$ 1,78 milyar

2 8 pada tahun Sebagian besar ekspor tersebut berasal dari mebel kayu (75%), sementara mebel rotan 20% dan mebel logam/plastik 5% (ASMINDO 2007 dalam USAID-SENADA 2007). Data ASMINDO Komda Jepara (2008) menunjukkan bahwa ekspor mebel kayu Indonesia pada tahun 2005 hampir mencapai US$ 1,351 milyar. Pada tahun-tahun berikutnya, nilai ekspor mebel terus mengalami peningkatan seperti terlihat pada Gambar Nilai (Juta US$) Tahun Sumber: ASMINDO Komda Jepara (2008) Gambar 1 Nilai ekspor mebel kayu Indonesia tahun Selain kontribusinya dalam penerimaan devisa Negara, industri mebel ini juga memiliki peranan yang sangat penting bagi penerimaan daerah terutama di Kabupaten Jepara. Pada tahun 2006, volume perdagangan mebel yang berasal dari Kabupaten Jepara mencapai ,73 ton dan menghasilkan devisa sebesar US$ 111,84 juta (BPS Kabupaten Jepara 2007). Sedangkan Roda et al. (2007) melaporkan bahwa aliran tunai industri mebel di Jepara disinyalir mencapai Rp milyar per tahun. Disamping besarnya penerimaan daerah dari hasil ekspor mebel, kegiatan ini juga telah menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar. Menurut data Dinas

3 9 Perindustrian Kabupaten Jepara dalam Loebis dan Schmitz (2005), pada tahun 1997 sebanyak tenaga kerja diserap oleh industri, dan pada tahun 2002 jumlah tersebut meningkat menjadi industri dengan menyerap tenaga kerja. Data yang berbeda dikemukakan oleh Roda et al. (2007), dimana pada tahun 2002 paling tidak terdapat industri dan menyerap orang tenaga kerja. Selanjutnya dikatakan bahwa pada tahun 2005 paling sedikit terdapat unit industri dengan menyerap orang tenaga kerja. Jumlah eksportir mebel di Kabupaten ini sebanyak 265 yang mencakup 68 negara tujuan ekspor (BPS Kabupaten Jepara 2007). Menurut Roda et al. (2007), hampir semua perusahaan di Jepara mempunyai satu atau lebih perusahaan mitra, sehingga perusahaan sangat terkait satu sama lain melalui ikatan bisnis. Perusahaan di Jepara dapat dikategorikan dalam tiga kelompok yaitu: (1) perusahaan terpadu yang menghasilkan produk jadi atau setengah jadi dari kayu bulat yang belum diolah; (2) perusahaan (tempat penimbunan kayu dan tempat penggergajian kayu) yang berfokus pada pengolahan awal bahan baku kayu dan menghasilkan kayu gergajian untuk keperluan kelompok ketiga; (3) bengkel yang menggunakan kayu gergajian serta berbagai komponen dan menghasilkan produk jadi. Berdasarkan sumber bahan baku, industri lokal dapat dikelompokkan menjadi (1) bengkel yang memperoleh bahan baku secara langsung dari luar Jepara; (2) bengkel yang memperoleh bahan baku secara tidak langsung dengan membelinya dari tempat penimbunan kayu atau penjual di Jepara. Kelompok kedua ini umumnya tidak memiliki modal untuk membeli semua bahan baku, mereka memperoleh pinjaman dari pembelinya. Bahan baku kayu bulat yang telah dibeli tersebut selanjutnya di sub kontrakkan ke penggergajian awal kemudian membawanya ke tempat kerjanya. Banyaknya jumlah industri mebel tersebut telah mengakibatkan banyaknya bahan baku yang dibutuhkan. Menurut Roda et al. (2007) konsumsi kayu untuk industri mebel di Jepara mencapai 1,5 2,2 juta m³ per tahun. Dengan demikian, kelangsungan dari industri-industri tersebut sangat tergantung dari kelangsungan bahan bakunya itu sendiri.

4 Potensi, Produksi dan Perdagangan Mahoni 10 Adapun jenis-jenis kayu yang biasa digunakan dalam membuat mebel di Jepara antara lain Jati (Tectona grandis), kayu mahoni (Swietenia macrophylla), sonokeling, waru, mangga, suren, duren, akasia dan rimba lainnya (Ewasechko 2005; DEPERIN 2006; Roda et al. 2007). Kayu-kayu tersebut antara lain berasal dari hutan Perhutani, hutan rakyat di Jawa dan hutan di Luar Jawa (Ewasechko 2005; DEPERIN 2006; USAID-SENADA 2007). Mahoni sebagai salah satu jenis kayu yang banyak digunakan dalam pembuatan mebel di Jepara, memiliki potensi yang cukup tinggi. Luas hutan produksi Perum Perhutani adalah ,55 Ha dimana 3,89% atau ,98 Ha merupakan hutan produksi mahoni. Namun demikian, berdasarkan data statistik Perhutani tahun 2005, volume produksi kayu mahoni terus mengalami penurunan seperti terlihat pada Tabel 1. Tabel 1 Produksi kayu mahoni Perhutani Tahun Produksi (m 3 ) Sumber: Perhutani (2005) Penurunan produksi kayu mahoni Perhutani tersebut menjadikan kayu mahoni dari hutan rakyat sebagai alternatif bahan baku. Berdasarkan data dari Departemen Kehutanan (2004), potensi kayu mahoni masyarakat tahun 2003 sebanyak 45,26 juta pohon yang dikuasai oleh 2,31 juta rumah tangga. Tanaman mahoni ini merupakan tanaman ketiga terbesar yang dikuasai oleh masyarakat setelah jati (79,71 juta pohon) dan sengon (59,83 juta pohon). Adapun yang menjadi daerah potensi utama mahoni adalah Jawa Tengah (39,04%), Jawa Barat (27,56%) dan Jawa Timur (11,63%). Produksi kayu rakyat di Jawa Tengah tahun 2006 adalah sebesar ,57 m 3, dimana produksi kayu mahoni sebesar ,97 m 3 (13%) (Dishut Prov. Jateng 2008). Sedangkan produksi kayu bulat asal hutan rakyat di

5 11 Propinsi DIY tahun 2006 adalah ,43 m 3, dan 11,9% (15.361,25 m 3 ) dari kayu tersebut adalah mahoni (Dishut Prov DIY 2006, diacu dalam Hudaya 2008). Sedangkan potensi mahoni rakyat di lima kabupaten di Jawa Barat (Sukabumi, Ciamis, Tasikmalaya, Kuningan dan Majalengka) pada tahun 2003 seluas ,63 ha yang menghasilkan kayu pertukangan mahoni sebesar ,07 m 3 (Pasaribu dan Roliadi 2006). Dalam perdagangan mahoni dunia, kebanyakan kayu yang diperdagangkan berasal dari hutan alam dan sebagian kecil berasal dari hutan tanaman. Ekportir utama kayu ini adalah Brazil, Bolivia dan Peru, dan importir yang paling utama adalah Amerika dan Inggris. Perdagangan kayu mahoni dari hutan tanaman di Asia Tenggara yaitu berasal dari Malaysia, Indonesia dan Philippina (Soerianegara dan Lemmens 1994). Dengan masuknya seluruh jenis mahoni dalam appendix II CITES yaitu Swietenia macrophylla King (mahoni daun besar) pada tahun 2003, S. mahagoni tahun 1992, Jacq (mahoni daun kecil) dan S. humilis Zucc tahun 1975 (CITES 2007; Burley et al. 2004; Grogan dan Barreto 2005), mengandung konsekuensi bahwa perdagangan internasional dari mahoni perlu adanya verifikasi yang menjamin penebangan kayu secara legal dan dengan cara yang tidak menimbulkan kerusakan ekosistemnya (Grogan dan Barreto 2005). Kondisi ini merupakan peluang bagi Indonesia untuk memenuhi permintaan pasar. Hal ini disebabkan tanaman mahoni di Indonesia merupakan tanaman eksotis. Tanaman mahoni (Swietenia) termasuk dalam famili Meliaceae, secara alami terdapat di daerah tropis Amerika antara 20 LU dan 18 LS. Terdapat di Mexico tengah melalui Amerika Tengah dan India Barat termasuk Florida bagian Barat menuju Bolivia, Peru dan Brazil (Soerianegara dan Lemmens 1994). Tanaman mahoni yang ada di Indonesia terdiri dari dua jenis yaitu S. macrophylla King dan S. mahagoni Jacq. Besarnya ketergantungan industri mebel terhadap pasokan bahan baku sementara produksi kayu dari Perhutani yang semakin menurun walaupun diimbangi dengan meningkatnya produksi kayu rakyat, telah mengakibatkan persaingan yang tinggi antar pelaku bisnis mebel untuk memperoleh bahan baku yang diperlukannya. Persaingan tersebut tidak hanya terjadi dalam upaya

6 12 pemenuhan bahan baku, tetapi persaingan juga terjadi dalam hal penjualan produk mebel yang dihasilkannya. Kondisi ini telah membentuk para pelaku berhubungan satu sama lain dalam jaringan yang kompleks seperti yang dikemukakan oleh Kaplinsky et al. (2003) mengenai rantai nilai industri mebel kayu. Rantai Nilai Istilah rantai nilai (value chain) banyak digunakan dalam berbagai bidang penelitian dengan menggunakan berbagai terminologi yang berbeda. Istilahistilah seperti global commodity chains, value chains, value systems, production network dan value networks merupakan istilah yang banyak digunakan oleh para peneliti (Gereffi et al. 2001). Penggunaan istilah rantai nilai ini tergantung dari konteks yang digunakan. Menurut Kaplinsky dan Morris (2000) telah terjadi tumpang tindih dengan konsep sejenis yang digunakan dalam konteks yang lain. Rantai nilai ini bervariasi tergantung dari skala kegiatan organisasi (Sturgeon 2001). Istilah rantai nilai pertama kali dikemukakan oleh Michael E. Porter pada tahun 1985 dalam bukunya Competitive Advatage: Creating and Sustaining Superior Performance. Menurut Porter, rantai nilai merupakan alat untuk menguji seluruh kegiatan perusahaan secara sistematik serta bagaimana hubungannya untuk menganalisis daya saing perusahaan. Porter membedakan dua elemen penting dari analisis rantai nilai yaitu (Porter 1985; Kaplinsky dan Morris 2000): a. Berbagai kegiatan yang diselenggarakan dalam hubungan rantai tertentu. Di sini menggambarkan kegiatan transformasi input menjadi output (inbound logistik, operasional, outbound logistik, pemasaran dan penjualan, dan jasa) serta berbagai jasa pendukung perusahaan (infrastuktur perusahaan, sumberdaya manusia, pengembangan teknologi, dan pengadaan) untuk menyelesaikan pekerjaannya. Kegiatan intra-link ini disebut sebagai rantai nilai (value chain).

7 13 Infrastruktur Perusahaan Kegiatan Pendukung Inbound Logistic Operasi Manajemen SDM Pengembangan Teknologi Procurement Outbound Logistic Penjualan & Pemasaran Pelayanan K e u n t u n g a n Kegiatan Utama Sumber: Porter (1985) Gambar 2 Rantai nilai secara umum. b. Konsep rantai nilai multi-link yang disebut sebagai value system. Value system pada dasarnya merupakan pengembangan dari rantai nilai intra link menjadi hubungan inter-link. Sedangkan Womack dan Jones menggunakan frase value stream untuk merujuk pada istilah rantai nilai (Kaplinsky dan Morris 2000). Konsep lain yang hampir sama mengenai rantai nilai adalah filiere yang digunakan untuk menggambarkan aliran input secara fisik dan jasa dalam memproduksi suatu produk akhir yang intinya tidak ada perbedaan antara Porter atau Womack dan Jones. Konsep rantai nilai yang ketiga adalah yang dikemukanan oleh Gereffi selama pertengahan 1990-an, dimana rantai nilai digambarkan sebagai global commodity chain. Konsep ini memfokuskan pada koordinasi penyebaran global dari sistem produksi (Kaplinsky dan Morris 2000). Gereffi mengemukakan bahwa beberapa rantai terkarakterisasi oleh anggota atau beberapa anggota yang dominan, sehingga anggota tersebut menentukan karakter dari rantai. Sebagai perusahaan pemimpin, mereka menjadi bertanggung jawab untuk meningkatkan kegiatan hubungan individu dan mengkoordinasikan interkasi antar link. Disamping terdapat istilah yang berbeda mengenai rantai nilai, Kaplinsky dan Morris (2000) membedakan rantai nilai menjadi rantai nilai sederhana dan

8 14 rantai nilai kompleks. Dalam hal ini, Kaplinsky dan Morris (2000) mendefinisikan rantai nilai sebagai gambaran kegiatan yang diperlukan untuk menghasilkan suatu barang atau jasa, dimana barang dan jasa tersebut bermula dari sebuah gagasan, selanjutnya melalui beberapa tahap produksi yang berbeda untuk kemudian dibawa ke konsumen dan akhirnya didaur ulang setelah dipergunakan. Gambar dari sebuah rantai nilai sederhana seperti tersaji pada Gambar 3. Disain dan pengembangan produk Produksi -logistik -transformasi -input -pengemasan -dll Pemasaran Pemakaian/ daur ulang Disain Produksi Pemasaran Pemakaian/ daur ulang Sumber: Kaplinsky dan Morris (2000) Gambar 3 Rantai nilai sederhana. Berdasarkan gambar di atas, proses pembuatan sebuah produk bermula dari kegiatan desain dilanjutkan dengan proses produksi untuk kemudian dipasarkan, sehingga produk yang dihasilkan dapat dinikmati oleh konsumen. Produk tersebut pada akhirnya didaur ulang setelah dipergunakan. Dalam dunia sesungguhnya, tentu saja rantai nilai tidak sesederhana seperti yang diilustrasikan pada Gambar 3. Pada dunia nyata, rantai nilai cenderung lebih kompleks dan banyak link yang saling berhubungan, seperti yang terjadi pada rantai nilai industri mebel kayu yang dikemukakan oleh Kaplinsky dan Morris (2000); Kaplinsky et al. (2003) pada gambar berikut:

9 15 Bibit Mesin Air Kehutanan Kimia Penggergajian Mesin Disain Industri mebel Logistik,k ualitas Mesin Pembeli Cat, perekat, dll Pedagang besar dalam negeri Pedagang besar luar negeri Pedagang pengecer domestik Pedagang pengecer luar negeri Konsumen Daur ulang Dibuang Sumber: Kaplinsky dan Morris (2000); Kaplinsky et al. (2003), dimodifikasi Gambar 4 Rantai nilai industri mebel kayu. Nilai Tambah Masing-masing pelaku yang terlibat dalam rantai nilai mebel tersebut memberikan nilai tambah dalam setiap prosesnya. Nilai tambah adalah selisih antara pendapatan yang diperoleh dari penjualan barang atau jasa dan biaya untuk pembelian barang atau jasa yang diperlukan untuk menghasilkan barang atau jasa (Anonim 1997, diacu dalam Susanty 2000) Pengertian nilai tambah adalah perbedaan antara harga pembelian bahan mentah atau bagian-bagian yang selesai dikerjakan dalam proses produksi dan harga penjualan produk yang bersangkutan. Dalam pengertian nilai tambah di sini, dikenal dua metode untuk menghitung nilai tambah yaitu (1) nilai tambah

10 16 kotor (gross value added), adalah berdasarkan nilai tambah produk yang dicapai dari penjualan pada suatu periode dikurangi harga pokok penjualannya (Sudarsono 1992, diacu dalam Sumaryuwono 2001); (2) nilai tambah bersih (net value added), besarnya nilai tambah ini, sama dengan pendapatan yang berasal dari hasil penjualan suatu produk, dikurangi dengan pengeluaran untuk memiliki/menghasilkan produk tersebut, yang terdiri dari harga pokok penjualan, biaya pemasaran, penyusutan, bunga pinjaman dan pajak pemerintah (Aliludin 1993 dalam Sumaryuwono 2001). Besarnya nilai tambah yang diperoleh masing-masing pelaku dalam rantai nilai mebel menurut Purnomo (2006) terdistribusi tidak merata, dimana yang terkecil memperoleh adalah drying kiln 0,2%, dan yang terbesar adalah pengecer internasional 46,7%. Besarnya keuntungan yang diperoleh masing-masing pelaku tersebut dipengaruhi oleh hubungan kemitraan yaitu hubungan principal agent antar pelaku yang membentuk aturan main (kelembagaan) dan karakteristik dari rantai nilai yang ada. Teori Kemitraan dan Biaya Transaksi Persaingan dalam industri mebel tidak hanya terjadi antar perusahaan di dalam klaster, tetapi persaingan juga terjadi dengan perusahaan lain pada klaster yang berbeda. Dengan demikian maka keberhasilan dalam persaingan tidak hanya ditentukan oleh perusahaan itu sendiri, tetapi juga ditentukan oleh sistem pendukungnya termasuk kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, kebijakan dari perusahaan pemimpin, dan kebijakan yang dikeluarkan oleh pihak lain seperti tuntutan adanya sertifikasi (menurut Kaplinsky dan Morris (2000) fungsi ini termasuk dalam fungsi legislatif). Kebijakan-kebijakan tersebut berpengaruh terhadap hubungan kemitraan antar pelaku di dalam rantai sehingga membentuk kelembagaan dan peta kekuatan yang ada di dalam rantai. Untuk memaksimumkan keuntungan para pelaku yang terlibat, ke dalam perusahaan mengalami permasalahan jaringan kontrak antara pemilik modal dan manajernya, serta manajer dan bawahannya. Ke luar perusahaan menghadapi permasalahan hubungan atau jaringan kontrak antara perusahaan dengan mitra pemasok input (supplier) dan pembeli output (buyer) (Nugroho 2003). Salah satu

11 17 pendekatan yang digunakan untuk mempelajari teori kemitraan adalah pendekatan hubungan yang memberi kepercayaan (principal) dan yang menerima kepercayaan (agents) atau secara umum disebut principal-agent relationship. Analisis principal agent ini merupakan alat yang populer dan sangat berguna dalam ilmu sosial sejak awal 1970-an terutama dalam akutansi, ekonomi, keuangan, management, teori organisasi dan sosiologi (Munro 2001). Eggertsson (1990), diacu dalam Nugroho (2003) menyebutkan bahwa teori kemitraan merupakan teori yang biasanya digunakan utuk menjelaskan hubungan hirarkis, tetapi secara umum dapat dimanfaatkan pula untuk menjelaskan berbagai bentuk pertukaran (exchange). Dalam hubungan hirarkis yang kompleks seseorang dapat memainkan peranan secara simultan baik sebagai agent bagi principal di atasnya, dan sebagai principal bagi agent di bawahnya (Whynes 1993). Hubungan kemitraan yang mungkin terjadi di dalam rantai nilai mebel yaitu antara pembeli produk mebel dengan industri pembuatnya, dan antara pedagang log dengan industri dan petani. Hubungan antara principal (pemberi kepercayaan) dan agent (penerima kepercayaan) selalu memunculkan masalah ketidaksepadanan informasi antara penjual dan pembeli mengakibatkan kemitraan rentan terhadap perilaku oportunitis (Nugroho 2003). Selanjutnya dikatakan bahwa hubungan principal-agent akan efisien jika tingkat harapan keuntungan (reward) kedua belah pihak seimbang dengan korbanan masing-masing serta biaya transaksi sehubungan dengan pembuatan kontrak atau kesepakatan dapat diminimumkan. Hubungan principal-agent yang efisien mejadi sesuatu yang kompleks untuk dipecahkan, karena munculnya informasi asimetris (asymentric information) dan sangat ditentukan oleh derajat penolakan terhadap resiko. Derajat penerimaan terhadap resiko dapat dikelompokkan menjadi: (1) kelompok yang menyukai resiko (risk lover), (2) tidak menyukai resiko (risk averter) dan (3) netral terhadap resiko (risk neutral) (Varian 1992; Silberberg 1990; Beaty dan Taylor 1984; dan Eggertsson 1990, diacu dalam Nugroho 2003). Menurut North (1990), biaya transaksi ialah biaya untuk mengukur nilai atribut barang dan jasa (information cost), biaya untuk melindungi hak atas barang (exclusion cost), biaya untuk menetapkan kontrak (contractual cost) dan biaya untuk menjalankan perjanjian (policing cost). Ostrom et al. (1993),

12 18 mengemukkan bahwa biaya transaksi meliputi: (1) biaya koordinasi (coordination cost) yaitu biaya untuk waktu, dana dan personel dalam negosiasi, pengawasan dan penegakan kesepakatan; (2) biaya informasi (information cost) yaitu biaya untuk mencari dan mengorganisasi data termasuk biaya atas kesalahan informasi; (3) biaya strategis (strategic cost) biaya yang diakibatkan oleh kepemilikan informasi, kekuasaan dan sumberdaya yang tidak sepadan diantara pelaku, umumnya untuk membiayai aktivitas free riding, rent seeking dan corruption. Kegiatan pembuatan mebel yang banyak melibatkan para pelaku (aktor) mulai dari hulu (petani), industri, pedagang sampai pada konsumen, adanya hubungan principal agent dan distribusi nilai tambah yang tidak seimbang antar pelaku menyebabkan perumusan menjadi kompleks. Menurut Eriyatno (2003), karakteristik permasalahan tersebut memerlukan pendekatan sistem, karena pemikiran sistem selalu mencari keterpaduan antar bagian melalui pemahaman yang utuh. Pendekatan Sistem Menurut Manetsch dan Park (1979), diacu dalam Eriyatno (2003), secara definitif sistem adalah suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau suatu gugus dari tujuan-tujuan. Sedangkan Grant et al. (1997) mendefinisikan sistem sebagai kumpulan komponen-komponen fisik yang terorganisasi dan saling berhubungan yang dicirikan oleh suatu batasan dan kesatuan fungsional atau dapat didefinisikan sebagai kumpulan materi-materi dan proses yang saling berhubungan dan bersama-sama membentuk satu set fungsi. Analisis sistem merupakan kesatuan dari teori-teori dan teknik untuk mempelajari, menggambarkan, dan membuat prediksi tentang sesuatu yang kompleks, dimana analisis sistem menekankan pendekatan holistik pada pemecahan masalah dan penggunaan model matematis untuk mengidentifikasi serta mensimulasikan karakter-karakter dalam suatu sistem yang kompleks (Grant et al. 1997). Pemodelan adalah proses membangun sebuah model dari sistem nyata dalam bahasa formal tertentu. Model itu sendiri menurut Simatupang (1994) adalah suatu representasi atau formalisasi dalam bahasa tertentu dari suatu sistem nyata.

13 19 Melalui simulasi, pengkaji dapat menarik kesimpulan-kesimpulan tentang perilaku dari suatu sistem, dengan menelaah perilaku dari model yang selaras, dimana hubungan sebab akibatnya sama dengan atau seperti yang ada pada sistem yang sebenarnya (Eriyatno 1999). Simulasi menurut Grant et al. (1997) adalah proses penggunaan model untuk meniru atau menggambarkan secara bertahap sistem yang dipelajari. Model simulasi terbentuk dari suatu susunan operasi matematik dan logika yang bersama-sama mewakili struktur dan perilaku dari ruang lingkup sistem. Model-model simulasi tersebut termasuk model dinamis dimana model ini menggambarkan hubungan yang bervariasi oleh waktu. Purnomo (2006) mengemukakan bahwa sistem dinamik adalah metodologi umum yang digunakan terutama untuk mempelajari perilaku dinamis dari berbagai sistem kompleks.

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Industri kecil dan menengah, termasuk industri mebel merupakan hal yang penting bagi Indonesia karena selain memberikan kontribusi bagi penerimaan devisa, juga menciptakan lapangan

Lebih terperinci

RANTAI NILAI (VALUE CHAIN) MEBEL KAYU MAHONI JEPARA NUNUNG PARLINAH

RANTAI NILAI (VALUE CHAIN) MEBEL KAYU MAHONI JEPARA NUNUNG PARLINAH RANTAI NILAI (VALUE CHAIN) MEBEL KAYU MAHONI JEPARA NUNUNG PARLINAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Industri kecil dan menengah, termasuk industri furniture merupakan hal

BAB I PENDAHULUAN. Industri kecil dan menengah, termasuk industri furniture merupakan hal BAB I PENDAHULUAN a. Latar Belakang Industri kecil dan menengah, termasuk industri furniture merupakan hal yang penting bagi Indonesia. Furniture merupakan salah satu komoditi yang diproduksi dan diperdagangkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Usaha Kecil Menengah Usaha Kecil dan Menengah disingkat UKM adalah sebuah istilah yang mengacu ke jenis usaha kecil yang memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp.200.000.000

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Industri perkayuan mempunyai peranan yang sangat penting terhadap perolehan devisa dan pembangunan ekonomi negara. Perkembangan industri kayu di Indonesia dimulai pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (UKM) dengan sistem home industry yang bekerjasama dengan industri-industri

I. PENDAHULUAN. (UKM) dengan sistem home industry yang bekerjasama dengan industri-industri I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Usaha furniture sudah lama dikenal masyarakat Indonesia, bahkan dibeberapa daerah tertentu sudah menjadi budaya turun temurun. Sentra-sentra industri furniture berkembang

Lebih terperinci

PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : KAJIAN POTENSI KAYU PERTUKANGAN DARI HUTAN RAKYAT PADA BEBERAPA KABUPATEN DI JAWA BARAT

PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : KAJIAN POTENSI KAYU PERTUKANGAN DARI HUTAN RAKYAT PADA BEBERAPA KABUPATEN DI JAWA BARAT KAJIAN POTENSI KAYU PERTUKANGAN DARI HUTAN RAKYAT PADA BEBERAPA KABUPATEN DI JAWA BARAT Oleh: Ridwan A. Pasaribu & Han Roliadi 1) ABSTRAK Departemen Kehutanan telah menetapkan salah satu kebijakan yaitu

Lebih terperinci

Peningkatan Daya Saing Perusahaan Mebel Ekspor dengan Benchmarking Rantai Nilai (Studi Kasus PT. X dan PT. Y)

Peningkatan Daya Saing Perusahaan Mebel Ekspor dengan Benchmarking Rantai Nilai (Studi Kasus PT. X dan PT. Y) Petunjuk Sitasi: Putri, L. K., Liquiddanu, E., & Suletra, I. W. (2017). Peningkatan Daya Saing Perusahaan Mebel Ekspor dengan Benchmarking Rantai Nilai. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. F104-110).

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menonjol terutama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi pada periode

I. PENDAHULUAN. menonjol terutama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi pada periode I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peran sub sektor kehutanan pada perekonomian nasional Indonesia cukup menonjol terutama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi pada periode Pembangunan Lima Tahun Pertama

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perkembangan industrialisasi modern saat ini. Salah satu yang harus terus tetap

I. PENDAHULUAN. perkembangan industrialisasi modern saat ini. Salah satu yang harus terus tetap I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan akan energi dunia akan semakin besar seiring dengan pesatnya perkembangan industrialisasi modern saat ini. Salah satu yang harus terus tetap terpenuhi agar roda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor Usaha Kecil Menengah (UKM) merupakan unit usaha yang potensial untuk menopang perekonomian nasional. Usaha Kecil Menengah telah memberikan sumbangan yang nyata

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Tahun Manggis Pepaya Salak Nanas Mangga Jeruk Pisang

1 PENDAHULUAN. Tahun Manggis Pepaya Salak Nanas Mangga Jeruk Pisang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki sumber daya buah tropis yang melimpah yang bisa diandalkan sebagai kekuatan daya saing nasional secara global dan sangat menjanjikan. Buah tropis adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan terigu dicukupi dari impor gandum. Hal tersebut akan berdampak

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan terigu dicukupi dari impor gandum. Hal tersebut akan berdampak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perubahan pola konsumsi makanan pada masyarakat memberikan dampak positif bagi upaya penganekaragaman pangan. Perkembangan makanan olahan yang berbasis tepung semakin

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada era globalisasi saat ini, di mana perekonomian dunia semakin terintegrasi. Kebijakan proteksi, seperi tarif, subsidi, kuota dan bentuk-bentuk hambatan lain, yang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan luas laut mencapai 5,8 juta km 2 dan panjang garis pantai mencapai 95.181 km, serta jumlah pulau sebanyak 17.504 pulau (KKP 2009).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan di mata dunia internasional memiliki prospek bisnis hortikultura yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. dan di mata dunia internasional memiliki prospek bisnis hortikultura yang sangat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai salah satu negara agraris yang beriklim tropis dan di mata dunia internasional memiliki prospek bisnis hortikultura yang sangat cerah. Hortikultura

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Produk Domestik Bruto (PDB) yang cukup besar, yaitu sekitar 14,43% pada tahun

BAB I PENDAHULUAN. Produk Domestik Bruto (PDB) yang cukup besar, yaitu sekitar 14,43% pada tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting dalam kegiatan perekonomian di Indonesia, hal ini dapat dilihat dari kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto

Lebih terperinci

Uraian Diskusi Keadilan Ekonomi IGJ Edisi April/I/2018

Uraian Diskusi Keadilan Ekonomi IGJ Edisi April/I/2018 Uraian Diskusi Keadilan Ekonomi IGJ Edisi April/I/2018 Genderang perang dagang yang ditabuh oleh Amerika Serikat (AS) meresahkan banyak pihak. Hal ini akibat kebijakan Presiden AS, Donald Trump, yang membatasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. maupun sebagai sumber mata pencaharian sementara penduduk Indonesia.

I. PENDAHULUAN. maupun sebagai sumber mata pencaharian sementara penduduk Indonesia. 17 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkebunan sebagai salah satu subsektor pertanian, mempunyai peranan penting dalam meningkatkan pertumbuhan perekonomian nasional. Baik sebagai sumber penghasil devisa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan orientasi yaitu dari orientasi peningkatan produksi ke orientasi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang tangguh dalam perekonomian dan memiliki peran sebagai penyangga pembangunan nasional. Hal ini terbukti pada saat Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ukuran dari peningkatan kesejahteraan tersebut adalah adanya pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. ukuran dari peningkatan kesejahteraan tersebut adalah adanya pertumbuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, menganut sistem perekonomian terbuka dimana lalu lintas perekonomian internasional sangat penting dalam perekonomian

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah seyogyanya bertumpuh pada sumberdaya lokal yang dimiliki dan aktivitas ekonomi yang mampu melibatkan dan menghidupi sebagian besar penduduk. Pemanfaatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melimpah, menjadikan negara ini sebagai penghasil produk-produk dari alam

I. PENDAHULUAN. melimpah, menjadikan negara ini sebagai penghasil produk-produk dari alam I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai negara agraris, Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah, menjadikan negara ini sebagai penghasil produk-produk dari alam yang dapat diandalkan salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jabodetabek, dan lain-lain. kayu diantaranya dowel, moulding, pintu, jendela, wood-flooring,

BAB I PENDAHULUAN. Jabodetabek, dan lain-lain. kayu diantaranya dowel, moulding, pintu, jendela, wood-flooring, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri Furniture adalah industri yang mengolah bahan baku atau bahan setengah jadi dari kayu, rotan, dan bahan baku alami lainnya menjadi produk barang jadi furniture

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA SISTEM

BAB IV ANALISA SISTEM 71 BAB IV ANALISA SISTEM 4.1. Analisa Situasional Agroindustri Sutera Agroindustri sutera merupakan industri pengolahan yang menghasilkan sutera dengan menggunakan bahan baku kokon yaitu kepompong dari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. penyumbang devisa, kakao (Theobroma cacao) juga merupakan salah satu

I. PENDAHULUAN. penyumbang devisa, kakao (Theobroma cacao) juga merupakan salah satu I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang yang mengandalkan sektor migas dan non migas sebagai penghasil devisa. Salah satu sektor non migas yang mampu memberikan kontribusi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan pangan nasional. Menurut Irwan (2005), kedelai mengandung protein. dan pakan ternak serta untuk diambil minyaknya.

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan pangan nasional. Menurut Irwan (2005), kedelai mengandung protein. dan pakan ternak serta untuk diambil minyaknya. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Kedelai merupakan komoditas strategis di Indonesia, karena kedelai merupakan salah satu tanaman pangan penting di Indonesia setelah beras dan jagung. Komoditas

Lebih terperinci

nilai ekonomis cukup tinggi dalam dunia perdagangan (Ruaw, 2011). Kelapa merupakan komoditi strategis karena perannya yang besar sebagai sumber

nilai ekonomis cukup tinggi dalam dunia perdagangan (Ruaw, 2011). Kelapa merupakan komoditi strategis karena perannya yang besar sebagai sumber 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daya saing bisnis di pasar global tidak hanya ditentukan oleh kemampuan pelaku dalam memanajemeni usahanya tetapi juga oleh kinerja dari berbagai aktor yang terlibat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. komparatif karena tersedia dalam jumlah yang besar dan beraneka ragam serta dapat

BAB I PENDAHULUAN. komparatif karena tersedia dalam jumlah yang besar dan beraneka ragam serta dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumber daya kelautan berperan penting dalam mendukung pembangunan ekonomi daerah dan nasional untuk meningkatkan penerimaan devisa, lapangan kerja dan pendapatan penduduk.

Lebih terperinci

VII. RANCANGAN SISTEM PENGEMBANGAN KLASTER AGROINDUSTRI AREN

VII. RANCANGAN SISTEM PENGEMBANGAN KLASTER AGROINDUSTRI AREN 76 VII. RANCANGAN SISTEM PENGEMBANGAN KLASTER AGROINDUSTRI AREN Sistem pengembangan klaster agroindustri aren di Sulawesi Utara terdiri atas sistem lokasi unggulan, industri inti unggulan, produk unggulan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tahun. Sumber : [18 Februari 2009]

I. PENDAHULUAN. Tahun. Sumber :  [18 Februari 2009] I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Komoditas pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi sumber daya manusia suatu bangsa termasuk Indonesia. Indonesia dengan jumlah penduduk yang besar (228.523.300

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. semua fungsi manajemen karena tanpa perencanaan fungsi-fungsi lain

BAB II LANDASAN TEORI. semua fungsi manajemen karena tanpa perencanaan fungsi-fungsi lain 5 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Perencanaan Perencanaan adalah proses mendefinisikan tujuan organisasi, membuat strategi untuk mencapai tujuan itu, dan mengembangkan rencana aktivitas kerja organisasi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Neraca kebutuhan aluminium ingot (batangan) di dalam negeri hingga kini

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Neraca kebutuhan aluminium ingot (batangan) di dalam negeri hingga kini 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Neraca kebutuhan aluminium ingot (batangan) di dalam negeri hingga kini masih timpang karena produksi tak mampu mengimbangi pertumbuhan konsumsi yang terus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Industri pengolahan kayu merupakan industri yang mengolah kayu atau

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Industri pengolahan kayu merupakan industri yang mengolah kayu atau BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Industri pengolahan kayu merupakan industri yang mengolah kayu atau bahan berkayu (hasil hutan atau hasil perkebunan, limbah pertanian dan lainnya) menjadi berbagai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. (hardwood). Pohon jati memiliki batang yang bulat lurus dengan tinggi mencapai

II. TINJAUAN PUSTAKA. (hardwood). Pohon jati memiliki batang yang bulat lurus dengan tinggi mencapai II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pohon Jati Pohon jati merupakan pohon yang memiliki kayu golongan kayu keras (hardwood). Pohon jati memiliki batang yang bulat lurus dengan tinggi mencapai 40 meter. Tinggi batang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Obyek/Subyek Penelitian Obyek penelitian ini dilakukan di Kabupaten Gunungkidul tepatnya pada sentra IKM mebel kayu di Desa Genjahan, Kecamatan Ponjong, Gunungkidul. Sedangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. industri mendorong perusahaan untuk dapat menghasilkan kinerja terbaik. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. industri mendorong perusahaan untuk dapat menghasilkan kinerja terbaik. Dalam BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Dewasa ini, bisnis kian berfluktuasi dan persaingan bisnis semakin ketat. Fluktuasi bisnis ini disebabkan oleh ketidakpastian lingkungan bisnis dan stabilitas perekonomian.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Komoditas pangan masyarakat Indonesia yang dominan adalah beras yang

BAB I PENDAHULUAN. Komoditas pangan masyarakat Indonesia yang dominan adalah beras yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Komoditas pangan masyarakat Indonesia yang dominan adalah beras yang berfungsi sebagai makanan pokok sumber karbohidrat. Beras merupakan komoditi pangan yang memiliki

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. ini adalah industri pulp dan kertas. Ada tiga alasan utama yang melatarbelakangi

I. PENDAHULUAN. ini adalah industri pulp dan kertas. Ada tiga alasan utama yang melatarbelakangi I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Salah satu subsektor agroindustri yang berkembang pesat di Indonesia pada saat ini adalah industri pulp dan kertas. Ada tiga alasan utama yang melatarbelakangi pentingnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Jumlah Tenaga Kerja Penduduk Indonesia (Badan Pusat Statistik, 2014)

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Jumlah Tenaga Kerja Penduduk Indonesia (Badan Pusat Statistik, 2014) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian di bidang pertanian. Seperti yang terdapat pada Gambar 1.1, dari 110.804.042

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor perikanan Indonesia dalam era perdagangan bebas mempunyai peluang yang cukup besar. Indonesia merupakan negara bahari yang sangat kaya dengan potensi perikananan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. di Indonesia. Selain sebagai sumber pendapatan masyarakat tani pekebun,

I. PENDAHULUAN. di Indonesia. Selain sebagai sumber pendapatan masyarakat tani pekebun, 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karet merupakan komoditas perkebunan yang sangat penting peranannya di Indonesia. Selain sebagai sumber pendapatan masyarakat tani pekebun, komoditas ini juga memberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai perkebunan kelapa sawit terluas disusul Provinsi Sumatera. dan Sumatera Selatan dengan luas 1,11 juta Ha.

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai perkebunan kelapa sawit terluas disusul Provinsi Sumatera. dan Sumatera Selatan dengan luas 1,11 juta Ha. BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Perdagangan antar negara akan menciptakan pasar yang lebih kompetitif dan mendorong pertumbuhan ekonomi ke tingkat yang lebih tinggi. Kondisi sumber daya alam Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan

I. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan sumberdaya alam yang melimpah, terutama pada sektor pertanian. Sektor pertanian sangat berpengaruh bagi perkembangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terhadap dunia investasi di Indonesia. Di samping itu, pemerintah juga. internasional adalah Cina dan Mexico (Deperindag, 2002).

I. PENDAHULUAN. terhadap dunia investasi di Indonesia. Di samping itu, pemerintah juga. internasional adalah Cina dan Mexico (Deperindag, 2002). I. PENDAHULUAN A. DESKRIPSI UMUM Pertumbuhan ekonomi nasional berdasarkan proyeksi pemerintah pada tahun 2004, berada pada kisaran angka 4,5%-5% (BPS, 2003). Harapan yang optimis ini dibarengi dengan kebijakan

Lebih terperinci

2.2. Sumber Bahan Baku Kayu

2.2. Sumber Bahan Baku Kayu 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Mebel Kata mebel atau furnitur di dalam Kamus Bahasa Indonesia adalah perabot yang diperlukan, berguna, atau disukai, seperti barang-barang yang dipindahpindah, digunakan untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia terletak pada wilayah segitiga terumbu karang (coral reef triangle) dunia. Posisi tersebut menempatkan Indonesia sebagai salah satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara agraris yang mengandalkan sektor pertanian

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara agraris yang mengandalkan sektor pertanian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara agraris yang mengandalkan sektor pertanian dalam perekonomian. Selain itu sebagian besar penduduk Indonesia bekerja pada sektor

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA PENGUSAHA INDUSTRI KECIL MEBEL DI KOTA SURAKARTA

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA PENGUSAHA INDUSTRI KECIL MEBEL DI KOTA SURAKARTA ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA PENGUSAHA INDUSTRI KECIL MEBEL DI KOTA SURAKARTA SKRIPSI Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Strata 1 Pada Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen

Lebih terperinci

Proposal Usaha Kerajinan Rotan

Proposal Usaha Kerajinan Rotan Proposal Usaha Kerajinan Rotan DISUSUN OLEH ASEP SOPYAN, SP.,M.Si Penata Tk.I Nip. 19650720 199303 1 007 No. Hp 081321782532 1 A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu Negara berkembang dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah salah satu negara terbesar penghasil rotan di dunia. Selain itu

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah salah satu negara terbesar penghasil rotan di dunia. Selain itu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rotan merupakan sumber devisa yang sangat besar bagi negara karena Indonesia adalah salah satu negara terbesar penghasil rotan di dunia. Selain itu rotan dapat dimanfaatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Sumberdaya hutan tropis yang dimiliki negara Indonesia, memiliki nilai dan peranan penting yang bermanfaat dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Manfaat yang didapatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang sangat penting dalam perekonomian nasional. Oleh karena itu, pembangunan ekonomi nasional abad ke- 21, masih akan tetap berbasis pertanian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang sangat beragam dan mayoritas penduduknya mempunyai mata pencaharian

I. PENDAHULUAN. yang sangat beragam dan mayoritas penduduknya mempunyai mata pencaharian 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang mempunyai kekayaan hayati yang sangat beragam dan mayoritas penduduknya mempunyai mata pencaharian dibidang pertanian. Sektor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nasional adalah melalui perdagangan internasional. Menurut Mankiw. (2003), pendapatan nasional yang dikategorikan dalam PDB (Produk

BAB I PENDAHULUAN. nasional adalah melalui perdagangan internasional. Menurut Mankiw. (2003), pendapatan nasional yang dikategorikan dalam PDB (Produk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk meningkatkan pendapatan nasional adalah melalui perdagangan internasional. Menurut Mankiw (2003), pendapatan nasional yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan sangat berarti dalam upaya pemeliharaan dan kestabilan harga bahan pokok,

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan sangat berarti dalam upaya pemeliharaan dan kestabilan harga bahan pokok, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perdagangan memegang peranan penting dalam perekonomian suatu negara. Kegiatan perdagangan sangat berarti dalam upaya pemeliharaan dan kestabilan harga bahan pokok,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menjadi komoditas pangan yang dapat mempengaruhi kebijakan politik

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menjadi komoditas pangan yang dapat mempengaruhi kebijakan politik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Beras merupakan makanan pokok di Indonesia. Beras bagi masyarakat Indonesia menjadi komoditas pangan yang dapat mempengaruhi kebijakan politik di negara ini. Gejolak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. komoditi pertanian, menumbuhkan usaha kecil menengah dan koperasi serta

I. PENDAHULUAN. komoditi pertanian, menumbuhkan usaha kecil menengah dan koperasi serta 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pertanian di bidang pangan khususnya hortikultura pada saat ini ditujukan untuk memantapkan swasembada pangan, meningkatkan pendapatan masyarakat, dan memperbaiki

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kopi merupakan salah satu komoditas andalan dan termasuk dalam kelompok

I. PENDAHULUAN. Kopi merupakan salah satu komoditas andalan dan termasuk dalam kelompok I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kopi merupakan salah satu komoditas andalan dan termasuk dalam kelompok komoditas ekspor unggulan di Indonesia. Komoditas kopi berperan dalam meningkatkan devisa negara

Lebih terperinci

KONSEP EKO EFISIENSI DALAM PEMANFAATAN KELUARAN BUKAN PRODUK DI KLASTER INDUSTRI MEBEL KAYU BULAKAN SUKOHARJO TUGAS AKHIR

KONSEP EKO EFISIENSI DALAM PEMANFAATAN KELUARAN BUKAN PRODUK DI KLASTER INDUSTRI MEBEL KAYU BULAKAN SUKOHARJO TUGAS AKHIR KONSEP EKO EFISIENSI DALAM PEMANFAATAN KELUARAN BUKAN PRODUK DI KLASTER INDUSTRI MEBEL KAYU BULAKAN SUKOHARJO TUGAS AKHIR Oleh: HEPILIA KORNILASARI L2D 004 319 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS

Lebih terperinci

konsumen, dan tiap kegiatan menambah nilai pada produk akhir.

konsumen, dan tiap kegiatan menambah nilai pada produk akhir. 2. TELAAH TEORITIS 2.1. Definisi Rantai Nilai Menurut Campbell (2008), rantai nilai mencakup seluruh kegiatan dan layanan untuk membawa suatu produk atau jasa dari tahap perencanaan hingga penjualan di

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Mencermati data laporan Bank Indonesia dari berbagai seri dapat

I. PENDAHULUAN. Mencermati data laporan Bank Indonesia dari berbagai seri dapat I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mencermati data laporan Bank Indonesia dari berbagai seri dapat dinyatakan bahwa perekonomian Indonesia pada tahun 1997 telah mengalami kontraksi dari tahun sebelumnya,

Lebih terperinci

KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS

KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS III. KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS 3.1. Teori Perdagangan Internasional Teori tentang perdagangan internasional telah mengalami perkembangan yang sangat maju, yaitu dimulai dengan teori klasik tentang keunggulan

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT 5.1 Produk Kelapa Sawit 5.1.1 Minyak Kelapa Sawit Minyak kelapa sawit sekarang ini sudah menjadi komoditas pertanian unggulan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional bagi banyak negara di dunia. Semakin terbuka suatu

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional bagi banyak negara di dunia. Semakin terbuka suatu I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perdagangan internasional memiliki peranan penting sebagai motor penggerak perekonomian nasional bagi banyak negara di dunia. Semakin terbuka suatu negara terhadap arus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era perdagangan bebas saat ini, telah terjadi perubahan secara

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era perdagangan bebas saat ini, telah terjadi perubahan secara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam era perdagangan bebas saat ini, telah terjadi perubahan secara fundamental, bahwa gerak perdagangan semakin terbuka, dinamis, dan cepat yang menyebabkan

Lebih terperinci

VALUE CHAIN ANALYSIS (ANALISIS RANTAI PASOK) UNTUK PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI KOPI PADA INDUSTRI KOPI BIJI RAKYAT DI KABUPATEN JEMBER ABSTRAK

VALUE CHAIN ANALYSIS (ANALISIS RANTAI PASOK) UNTUK PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI KOPI PADA INDUSTRI KOPI BIJI RAKYAT DI KABUPATEN JEMBER ABSTRAK VALUE CHAIN ANALYSIS (ANALISIS RANTAI PASOK) UNTUK PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI KOPI PADA INDUSTRI KOPI BIJI RAKYAT DI KABUPATEN JEMBER ABSTRAK Peneliti : Dewi Prihatini 1) mahasiswa yang terlibat : -

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Minyak nabati merupakan salah satu komoditas penting dalam perdagangan minyak pangan dunia. Tahun 2008 minyak nabati menguasai pangsa 84.8% dari konsumsi minyak pangan

Lebih terperinci

1 Universitas Indonesia

1 Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kedelai merupakan komoditas strategis di Indonesia karena kedelai merupakan salah satu tanaman pangan penting di Indonesia setelah beras dan jagung. Komoditas ini mendapatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara, meningkatkan output dunia, serta menyajikan akses ke sumber-sumber

BAB I PENDAHULUAN. negara, meningkatkan output dunia, serta menyajikan akses ke sumber-sumber BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perdagangan merupakan faktor penting untuk merangsang pertumbuhan ekonomi suatu negara. Perdagangan akan memperbesar kapasitas konsumsi suatu negara, meningkatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi kayu mempunyai peran cukup besar dalam memenuhi kebutuhan pangan

I. PENDAHULUAN. Ubi kayu mempunyai peran cukup besar dalam memenuhi kebutuhan pangan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ubi kayu mempunyai peran cukup besar dalam memenuhi kebutuhan pangan maupun mengatasi ketimpangan ekonomi dan pengembangan industri. Pada kondisi rawan pangan,

Lebih terperinci

DINAMIKA PERKEMBANGAN KLASTER INDUSTRI MEBEL KAYU DESA BULAKAN, SUKOHARJO TUGAS AKHIR. Oleh : SURYO PRATOMO L2D

DINAMIKA PERKEMBANGAN KLASTER INDUSTRI MEBEL KAYU DESA BULAKAN, SUKOHARJO TUGAS AKHIR. Oleh : SURYO PRATOMO L2D DINAMIKA PERKEMBANGAN KLASTER INDUSTRI MEBEL KAYU DESA BULAKAN, SUKOHARJO TUGAS AKHIR Oleh : SURYO PRATOMO L2D 004 354 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. perekonomian Indonesia. Hal ini terlihat dari beberapa peranan sektor pertanian

1. PENDAHULUAN. perekonomian Indonesia. Hal ini terlihat dari beberapa peranan sektor pertanian 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang berbasis pada sektor pertanian, sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang sangat penting bagi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Globalisasi perdagangan internasional memberi peluang dan tantangan bagi

I. PENDAHULUAN. Globalisasi perdagangan internasional memberi peluang dan tantangan bagi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Globalisasi perdagangan internasional memberi peluang dan tantangan bagi perekonomian nasional, termasuk di dalamnya agribisnis. Kesepakatan-kesepakatan pada organisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai nilai sangat strategis. Dari beberapa jenis daging, hanya konsumsi

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai nilai sangat strategis. Dari beberapa jenis daging, hanya konsumsi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Daging merupakan salah satu bahan pangan yang sangat penting dalam mencukupi kebutuhan gizi masyarakat, serta merupakan komoditas ekonomi yang mempunyai nilai

Lebih terperinci

RANTAI NILAI (VALUE CHAIN) MEBEL KAYU MAHONI JEPARA NUNUNG PARLINAH

RANTAI NILAI (VALUE CHAIN) MEBEL KAYU MAHONI JEPARA NUNUNG PARLINAH RANTAI NILAI (VALUE CHAIN) MEBEL KAYU MAHONI JEPARA NUNUNG PARLINAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa

Lebih terperinci

VI. DAMPAK KEBIJAKAN MAKROEKONOMI DAN FAKTOR EKSTERNAL. Kebijakan makroekonomi yang dianalisis adalah kebijakan moneter, yaitu

VI. DAMPAK KEBIJAKAN MAKROEKONOMI DAN FAKTOR EKSTERNAL. Kebijakan makroekonomi yang dianalisis adalah kebijakan moneter, yaitu VI. DAMPAK KEBIJAKAN MAKROEKONOMI DAN FAKTOR EKSTERNAL 6.1. Dampak Kebijakan Makroekonomi Kebijakan makroekonomi yang dianalisis adalah kebijakan moneter, yaitu penawaran uang, dan kebijakan fiskal, yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Bab ini berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan dilakukannya penelitian, batasan masalah dalam penelitian, serta pada bagian akhir sub bab juga terdapat sistematika penulisan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang penting dalam perekonomian Indonesia, baik karena banyaknya penduduk yang bekerja di sektor pertanian, maupun karena kontribusinya yang

Lebih terperinci

Mengekspor di Tengah Perubahan Lansekap Hukum

Mengekspor di Tengah Perubahan Lansekap Hukum Mengekspor di Tengah Perubahan Lansekap Hukum LOKAKARYA PELATIHAN LEGALITAS Indonesia 2,3 & 5 Agustus, 2010 LOKAKARYA PELATIHAN LEGALITAS Kebijakan dan Konvensi Internasional yang berdampak pada Perdagangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada awal masa pembangunan Indonesia dimulai, perdagangan luar negeri

BAB I PENDAHULUAN. Pada awal masa pembangunan Indonesia dimulai, perdagangan luar negeri BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada awal masa pembangunan Indonesia dimulai, perdagangan luar negeri Indonesia bertumpu kepada minyak bumi dan gas sebagai komoditi ekspor utama penghasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. samping komponen konsumsi (C), investasi (I) dan pengeluaran pemerintah (G).

BAB I PENDAHULUAN. samping komponen konsumsi (C), investasi (I) dan pengeluaran pemerintah (G). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam sistem perekonomian terbuka, perdagangan internasional merupakan komponen penting dalam determinasi pendapatan nasional suatu negara atau daerah, di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pertumbuhan perekonomian suatu negara tentunya tidak terlepas dari

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pertumbuhan perekonomian suatu negara tentunya tidak terlepas dari 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan perekonomian suatu negara tentunya tidak terlepas dari aktivitas perdagangan international yaitu ekspor dan impor. Di Indonesia sendiri saat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain.

II. TINJAUAN PUSTAKA. atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Perdagangan Internasional Menurut Oktaviani dan Novianti (2009) perdagangan internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan negara lain

Lebih terperinci

BAB VI KELEMBAGAAN USAHA KAYU RAKYAT

BAB VI KELEMBAGAAN USAHA KAYU RAKYAT BAB VI KELEMBAGAAN USAHA KAYU RAKYAT 6.1 Kelembagaan Pengurusan Hutan Rakyat Usaha kayu rakyat tidak menjadi mata pencaharian utama karena berbagai alasan antara lain usia panen yang lama, tidak dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini menguraikan beberapa hal mengenai penelitian yaitu latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, batasan masalah dan asumsi, serta sistematika

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Teh merupakan salah satu komoditi yang mempunyai peran strategis dalam perekonomian Indonesia. Industri teh mampu memberikan kontribusi Produk Domestik Bruto (PDB) sekitar

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data sekunder selama enam tahun pengamatan (2001-2006). Pemilihan komoditas yang akan diteliti adalah sebanyak lima komoditas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bersaing dari negara lain yaitu tanaman kopi. Dari 10 negara penghasil kopi

I. PENDAHULUAN. bersaing dari negara lain yaitu tanaman kopi. Dari 10 negara penghasil kopi 1 I. PENDAHULUAN A Latar Belakang dan Masalah Negara Indonesia memiliki salah satu tanaman perkebunan yang mampu bersaing dari negara lain yaitu tanaman kopi. Dari 10 negara penghasil kopi di dunia, Indonesia

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. tersebut antara lain menyediakan pangan bagi seluruh penduduk, menyumbang

I PENDAHULUAN. tersebut antara lain menyediakan pangan bagi seluruh penduduk, menyumbang I PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Sektor pertanian memegang peranan penting dalam pembangunan nasional. Peranan tersebut antara lain menyediakan pangan bagi seluruh penduduk, menyumbang devisa,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Untuk tingkat produktivitas rata-rata kopi Indonesia saat ini sebesar 792 kg/ha

I. PENDAHULUAN. Untuk tingkat produktivitas rata-rata kopi Indonesia saat ini sebesar 792 kg/ha I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kopi merupakan salah satu komoditas perkebunan tradisional yang mempunyai peran penting dalam perekonomian Indonesia. Peran tersebut antara lain adalah sebagai sumber

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Lengkap Ekonomi Collins (1997) dalam Manaf (2000),

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Lengkap Ekonomi Collins (1997) dalam Manaf (2000), II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Teori 2.1.1. Subsidi Menurut Kamus Lengkap Ekonomi Collins (1997) dalam Manaf (2000), subsidi adalah cadangan keuangan dan sumber-sumber daya lainnya untuk mendukung

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perekonomian merupakan salah satu indikator kestabilan suatu negara. Indonesia

I. PENDAHULUAN. Perekonomian merupakan salah satu indikator kestabilan suatu negara. Indonesia I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perekonomian merupakan salah satu indikator kestabilan suatu negara. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, menganut sistem perekonomian terbuka, di mana lalu

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 20 3. METODOLOGI PENELITIAN Kerangka Pemikiran Penelitian Pengembangan agroindustri udang merupakan hal yang sangat penting dalam siklus rantai komoditas udang. Pentingnya keberadaan agroindustri udang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Dalam pembangunan pertanian, beras merupakan komoditas yang memegang posisi strategis. Beras dapat disebut komoditas politik karena menguasai hajat hidup rakyat Indonesia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. angka tersebut adalah empat kali dari luas daratannya. Dengan luas daerah

BAB I PENDAHULUAN. angka tersebut adalah empat kali dari luas daratannya. Dengan luas daerah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki luas daerah perairan seluas 5.800.000 km2, dimana angka tersebut adalah empat kali dari luas daratannya. Dengan luas daerah perairan tersebut wajar

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Definisi Kemitraan Definisi kemitraan diungkapkan oleh Hafsah (1999) yang menyatakan bahwa kemitraan adalah suatu strategi bisnis yang dilakukan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri furnitur Indonesia masih memiliki pamor yang mengkilap di perdagangan internasional. Dalam acara pameran tunggal yang bertajuk Indonesia Paviliun yang berlangsung

Lebih terperinci

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn) I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sektor pertanian merupakan sektor penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Peran strategis sektor pertanian digambarkan dalam kontribusi sektor pertanian dalam

Lebih terperinci