Abstrak

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Abstrak"

Transkripsi

1 1 Manajemen Kasus Spesialis Keperawatan Jiwa pada Klien Isolasi Sosial Menggunakan Pendekatan Model dan Konsep Teori Hildegard Peplau dan Virginia Henderson di Ruang Arimbi Rumah Sakit Dr. H Marzoeki Mahdi Bogor Jek Amidos Pardede 1, Achir Yani Hamid 2, Yossie Susanti Eka Putri 3 jekpardedemi@rocketmail.com Abstrak Karya Ilmiah Akhir ini bertujuan memberikan gambaran manajemen kasus spesialis keperawatan jiwa pada klien isolasi sosial melalui pendekatan model dan konsep teori Hildegrad Peplau dan Virginia Henderson di Ruang Arimbi Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor. Social Skill Training (SST) dan Cognitive Behavior Social Skill Training (CBSST) diberikan kepada 32 klien. Hasil yang ditemukan SST dan CBSST efektif dalam menurunkan gejala isolasi sosial yang ditunjukkan melalui respon kognitif, afektif, fisiologis, perilaku dan sosial. SST dan CBSST direkomendasikan sebagai terapi spesialis keperawatan pada klien isolasi sosial. Kata kunci : Isolasi sosial, Social Skill Training, Cognitive Behavior Social Skill Training, Model Peplau dan Model Henderson Abstract This study aims to describe the case management specialist in mental nursing to the patients with social isolation using model and theory concepts Hildegard Pepalu and Virginia Henderson approach at Arimbi room Dr. H. Marzoeki Mahdi Hospital in Bogor. Social Skill Training (SST) and Cognitive Behavior Social Skill Training (CBSST) provided to 32 clients. The results of SST and CBSST were found effective in reducing symtoms of social isolation is demonstreted through the response of cognitive, affective, physiological, behavioral and social. SST and CBSST is recommended as therapy of nursing specialists at the client's social isolation. Key Words : Social isolation, Social Skill Training, Cognitive Behavior Social Skill Training, Peplau Model and Henderson Model Pendahuluan Skizofrenia merupakan sekelompok reaksi psikotik yang mempengaruhi berbagai area fungsi individu, termasuk berfikir, berkomunikasi, menerima, menginterpretasikan realitas, merasakan dan menunjukkan emosi (Isaacs, 2005). Rhoads (2011) menambahkan definisi skizofrenia yaitu penyakit kronis, parah, dan melumpuhkan, gangguan otak yang ditandai dengan pikiran kacau, waham, halusinasi, dan perilaku aneh. Prevalensi skizofrenia diperkirakan sebesar 0,2% meningkat menjadi 1,5% setara untuk pria dan wanita di semua tingkatan usia (Buchanan & Carpenter, 2005 dalam Barlow & Durand, 2011). National Advisory Council Mental Health, 2001; National Institute Of Mental Health, 2008) dalam Shives, 2012), mengatakan 2 4 juta orang, atau 1,1% dari populasi di didunia menderita skizofrenia atau gangguan yang mirip dengan skizofrenia yang merusak kesadaran diri bagi banyak individu tapi mereka tidak menyadari bahwa mereka sakit dan membutuhkan pengobatan. Statistik menunjukkan bahwa sekitar 40% jiwa (1,0 juta jiwa) tidak menerima perawatan psikiatri yang menyebabkan terjadinya tuna wisma, penahanan atau kekerasan.

2 2 Prevalensi skizofrenia yang cukup tinggi bukan hanya di dunia tetapi di Indonesia juga mengalami hal yang sama. Penelitian Pardede, Keliat, & Wardani (2013) mendapatkan hasil kelompok skizofrenia juga menempati sebesar 83.3% klien di rumah sakit jiwa RSJ Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan dan Keliat (2006). Klien skizofrenia 72% mengalami isolasi sosial (Keliat, 2006). Hasil penelitian Bobes et al (2009) mendapatkan hasil 45,8% klien skizofrenia mengalami isolasi sosial. Isolasi sosial merupakan salah satu masalah keperawatan yang banyak dialami oleh pasien gangguan jiwa berat. Menurut NANDA (2012) mendefiniskan isolasi sosial sebagai suatu pengalaman menyendiri dari seseorang dan perasaan segan terhadap orang lain sebagai sesuatu yang negatif atau keadaan yang mengancam. Townsend (2014) juga mengatakan bahwa isolasi sosial merupakan keadaan kesepian yang dialami oleh seseorang karena orang lain dianggap menyatakan sikap negatif dan mengancam bagi dirinya. Isolasi sosial adalah keadaan dimana seorang individu mengalami penurunan fungsi pikiran dan perilaku atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya (Keliat dkk, 2011). Beberapa penelitian sudah dilakukan pada klien yang mengalami masalah keperawatan isolasi sosial, ternyata dengan memberikan terapi generalis keperawatan dan terapi spesialis keperawatan mampu memberikan efek yang sangat baik dalam penurunan gejala dan peningkatan kemampuan klien dengan Social Skills Training (Renidayati, Keliat, & Sabri, 2008); Cognitive Behavior Social Skills Training (Jumaini, Keliat, & Daulima, 2010); Cognitive Behavior Therapy (Nyumirah, Yani & Mustikasari, 2012); Supportive Therapy (Surtiningrum, Hamid, & Waluyo, 2011). Terapi spesialis keperawatan yang sudah diberikan pada klien dengan masalah isolasi sosial terbukti sangat efektif. Tindakan keperawatan akan lebih berkualitas apabila diberikan dengan penggunaan teori dan model konsep keperawatan sebagai kerangka pikir bagi perawat untuk melaksanakan asuhan keperawatan. Penggunaan model dan konsep teori keperawatan dalam pendekatan asuhan keperawatan yang diberikan dapat menjadi dasar penerapan serta pengembangan terapi spesialis keperawatan jiwa yang pada akhirnya bertujuan meningkatkan kemampuan klien khususnya yang mengalami gangguan jiwa dalam berfikir maupun berperilaku. Tindakan keperawatan ini menggunakan pendekatan model dan konsep teori keperawatan dalam merawat klien dengan isolasi sosial yakni model dan konsep teori Hildegard Peplau dan Virginia Henderson. Model konsep dan teori keperawatan ini bertujuan untuk membantu perkembangan kepribadian kearah kedewasaan dalam menjalin hubungan interpersonal (Peplau, 1991). Model konsep dan teori Virginia Henderson memberikan prinsip hubungan timbal balik antara klien, perawat dan lingkungan. Kedua Model konsep dan teori keperawatan ini membantu perawat dan klien dalam berhubungan dan berinteraksi sehingga tujuan perawat dan klien tercapai. Teori model keperawatan ini juga membantu perawat membuat kerangka fikir terhadap masalah yang sedang dialami klien, sehingga dapat diuraikan dalam rencana keperawatan terkait dengan masalah isolasi sosial. Penggunaan Model konsep dan teori keperawatan hubungan interpersonal Peplau dan hubungan timbal balik Handerson dapat melandasi pelaksanaan manajemen asuhan dan pelayanan pada klien isolasi sosial secara eklektik. Metode Karya ilmiah akhir ini merupakan analisis terhadap penerapan manajemen kasus pasien isolasi sosial menggunakan pendekatan model dan konsep teori Hildegard Peplau dan

3 3 Virginia Henderson di Ruang Arimbi Rumah Sakit dr Marzoeki Mahdi Bogor. Hasil Pelaksanaan asuhan keperawatan spesialis jiwa pada 32 klien yang mengalami isolasi sosial ini dilakukan mulai tanggal 17 Februari-18 April 2014 di Ruang Arimbi RS Dr Marzoeki Mahdi Bogor. Karakteristik klien dikelompokkan berdasarkan usia, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, status pernikahan dan tingkat kemandirian. Secara rinci dapat dilihat pada instrument karakteristik klien. Berdasarkan hasil distribusi karakteristik klien diperoleh bahwa klien berada dalam rentang usia sebanyak 18 klien (56.2%) dan berjenis perempuan (100%). Klien memiliki latar belakang pendidikan menengah sebanyak 12 klien (37.5%), tidak bekerja sebanyak 29 (90.6%), dan status pernikahan sebanyak 14 klien (43.7%) belum menikah dan tingkat ketergantungan mayoritas partial care sebanyak 24 klien (75%). Menurut Stuart (2013) faktor predisposisi merupakan faktor risiko yang dipengaruhi oleh jenis dan jumlah sumber risiko yang dapat menyebabkan individu mengalami stres. Faktor predisposisi ini meliputi biologis, psikologis, dan sosiokultural. Pada klien yang mengalami masalah isolasi sosial yang sebanyak 32 orang akan diidentifikasi berdasarkan tiga aspek tersebut, dapat dilihat pada tabel 4.2. Berdasarkan hasil distribusi faktor prediposisi dapat dijelaskan bahwa pada faktor predisposisi aspek biologis terbanyak yaitu adanya riwayat gangguan jiwa sebelumnya sebanyak 32 klien (100%). Gangguan konsep diri sebanyak 32 klien (100%) pada aspek psikologis. Sedangkan sosial kultural sebanyak 30 klien (93.7%) jarang terlibat dalam kegiatan sosial. Faktor presipitasi merupakan stimulus internal maupun eksternal yang mengancam individu. Sesuai dengan model adaptasi Stuart, faktor ini dapat bersifat biologis, psikologis maupun sosialbudaya dan aspek yang dikaji meliputi sifat stresor, asal stresor, waktu dan jumlah stresor. Fakrtor presipitasi terjadinya masalah isolasi sosial. Berdasarkan hasil faktor presipitasi klien diperoleh bahwa berdasarkan sifat stresor pada 32 klien isolasi sosial ditemukan stresor presipitasi biologis sebagian besar berupa riwayat putus obat sebanyak 32 klien (100%). Stresor tersebut berasal dari faktor internal klien yaitu merasa bosan minum obat, obat terasa pahit, merasa sudah sembuh, merasa tidak cocok karena jika minum obat badan menjadi lemas dan mengantuk sehingga tidak dapat bekerja serta rasa khawatir adanya ketergantungan akan obat sehingga klien tidak patuh terhadap program pengobatannya. Stresor biologis yang dialami klien kurang dari 6 (<6)bulan. Faktor presipitasi klien yang bersifat psikologis semuanya bersumber dari internal klien. Pada stresor psikologis sebagian besar disebabkan karena keinginan tidak terpenuhi pada 28 klien (87.5%), kegagalan membina hubungan dengan lawan jenis pada 12 orang klien (37.5%), dan merasa tidak berguna pada 6 klien (18.7%). Sedangkan pada stresor sosio kultural masalah ekonomi merupakan stresor yang dialami oleh seluruh klien. Stresor ini dialami kurang dari 6 bulan dan bersumber dari eksternal klien. Klien yang mengalami 3 stresor yaitu stresor biologis, psikologis, dan sosiobudaya sebanyak 19 klien (59.4%). Sedangkan klien yang mengalami 2 stressor yaitu psikologis dan sosiokultural sebanyak 13 orang (40.6%). Penilaian stresor merupakan proses evaluasi secara menyeluruh yang dilakukan oleh individu terhadap sumber stres dengan tujuan untuk melihat tingkat kemaknaan dari suatu kejadian yang dialaminya (Stuart, 2013). Penilaian stresor meliputi penentuan arti dan pemahaman terhadap pengaruh situasi yang penuh dengan stress bagi individu. Penilaian stresor ini menggunakan instrumen tanda gejala yang meliputi respon kognitif, afektif,

4 4 fisiologis, perilaku dan respon sosial. Secara rinci instrumen tanda gejala klienisolasi sosial Berdasarkan respon klien dapat dijelaskan bahwa sebagian besar klien isolasi sosial memiliki respon kognitif, sulit membuat keputusan sebesar 31 klien (96.9%). Respon afektif klien isolasi sosial merasa ditolak orang lain yaitu sebanyak 26 klien (81.2%). Respon fisiologis klien isolasi sosial, merasa lelah dan letih dialami oleh 30 klien (93.7%). Respon perilaku yang paling banyak dilakukan oleh klien isolasi social, negativism (kurang aktivitas fisik dan verbal) sebanyak 27 klien (84.4%). Respon sosial klien isolasi sosial, sulit berinteraksi dengan orang lain yang ada didekatnya sebanyak 28 klien (87.5%) Sumber koping merupakan kekuatan yang dimiliki individu dalam menhadapi berbagai stresor. Menurut Stuart (2013) bahwa sumber koping terdiri dari kemampuan individu (personal abilities), dukungan sosial (social support), ketersediaan materi (material assets), kepercayaan (positive beliefs). Klien yang dikelola selaian mengalami masalah isolasi sosial, juga memiliki diagnosis keperawatan penyerta lainnya seperti terlihat pada tabel 4.1. Tabel 4.1 Distribusi Diagnosa Keperawatan yang Menyertai Klien Isolasi Sosial di Ruang Arimbi Rumah Sakit Dr.Marzoeki Mahdi Bogor 17 Februari 18 April 2014 (n=32) Diagnosa Keperawatan Isolasi Sosial Diagnosa penyerta Jumlah % Halusinasi RPK Harga Driri Rendah Defisit Perawatan Diri Tabel 4.1 menunjukkan bahwa klien yang dirawat tidak hanya memiliki satu diagnosis keperawatan saja, namun juga memiliki diagnosis keperawatan lain yang menyertai. Terapi yang akan diberikan juga harus mempertimbangkan diagnosa keperawatn penyerta tersebut, sehingga tidak hanya terfokus pada intervensi untuk satu diagnosis keperawatan saja dan klien dapat tertangani secara komprehensif. Pemberian terapi psikofarmaka jenis anti psikotik tipikal terbanyak pada chlorpromazine 100 mg (1 tablet perhari), Tindakan keperawatan yang diberikan pada klien tidak hanya berfokus pada diagnosa keperawatan isolasi sosial, namun juga mempertimbangkan diagnosa keperawatan penyerta lainnya sehingga saling berkontribusi terhadap tujuan yang ingin dicapai. Tindakan keperawatan yang diberikan meliputi terapi generalis keperawatan dan terapi spesialis keperawatan yang keduanya dilakukan oleh Peneliti serta bekerja sama dengan tim kesehatan di Ruang Arimbi RSMM Bogor, dapat dilihat pada tabel 4.2. Tabel 4.2 Distribusi Pelaksanaan Terapi Keperawatan Jiwa Pada Klien Isolasi Sosial di Ruang Arimbi Periode 17 Februari - 18 April 2014 (n = 32) No Terapi Keperawatan Jumlah % 1. Terapi Generalis Terapi Spesialis a. Social Skills Training (SST) b. Cognitive behavior Social Skill Training (CBSST)

5 5 Terapi generalis atau tindakan keperawatan generalis dilakukan kepada 32 klien isolasi sosial, rata-rata dilakukan sebanyak 3-4 kali. Tindakan keperawatan untuk masalah isolasi sosial bertujuan agar klien mampu melakukan interaksi sosial dengan orang lain. Tindakan keperawatan yang diberikan yaitu: membantu klien menyadari penyebab perilaku isolasi sosial, mendiskusikan manfaat dan kerugian tidak melakukan interaksi dan melatih klien berkenalan dengan orang lain secara bertahap, serta mampu melakukan interaksi dalam hubungan sosial. Tindakan keperawatan generalis dilakukan dengan bekerjasama dengan perawat ruangan dan mahasiswa D3 keperawatan, S1+Ners keperawatan di ruang Arimbi. Terapi spesialis keperawatan merupakan terapi lanjutan dilakukan pada 32 klien, pemberian terapi spesialis keperawatan dilakukan melalui analisa masalah klien serta kebutuhan yang harus dicapai berdasarkan pendekatan secara individu, keluarga, maupun kelompok. Terapi spesialis keperawatan yang dilakukan pada klien dengan isolasi sosial adalah Social Skills Training (SST) dan Cognitive Behavior Social Skill Training (CBSST). Tindakan keperawatan generalis dilakukan pada 25 keluarga oleh perawat ruangan karena setiap keluarga ingin bertemu dengan perawat ruangan untuk menanyakan kondisi klien sekaligus memberikan uang jajan pada klien sehingga perawat berkesempatan memberikan terapi keperawatan generalis atau keluarga datang pada sore hari disaat penulis sudah lepas ship sehingga penulis tidak sempat untuk memberikan terapi sedangkan 7 keluarga memang keluarga yang ingin bertemu dan langsung meminta agar keluarga diajarin cara merawat klen pada penulis sehingga penulis berkesempatan untuk melakukan terapi pada keluarga, karena pada saat pertemuan keluarga di ruangan Arimbi penulis sebagai pembicara dimana topik yang dibahas mengenai cara merawat klien dengan berbagai masalah keperawatan terutama isolasi sosial. Sehingga dalam Karya Ilmiah Akhir ini tidak berfokus pada terapi generalis keperawatan tetapi berfokus pada terapi spesialis keperawatan. Social Skills Training (SST) diberikan pada 26 klien. Terapi SST ini rata-rata diberikan dalam 5 kali pertemuan. Keterampilan yang dilatih kepada klien dalam pelaksanaan SST khususnya dengan masalah isolasi sosial yaitu melatih kemampuan berkomunikasi atau bersosialisasi, melatih menjalin persahabatan, melatik bekerjasama dalam kelompok, melatih menghadapi situasi yang sulit, serta melatih kemampuan untuk mengungkapkan pendapat tentang manfaat latihan keterampilan sosial. Setelah mengikuti Social Skills Training (SST), klien mampu menampilkan sikap terapeutik pada saat berinteraksi dengan orang lain, mampu menjalin persahabatan dan mempertahankan persahabatan dengan orang lain selain itu klien mampu menampilkan perilaku seperti meminta pertolongan pada orang lain memberi pujian serta memberikan pertolongan pada orang lain. Kemampuan lain yang diperlihatkan klien setelah mengikuti latihan keterampilan sosial adalah adanya peningkatan kemampuan klien untuk bekerja sama dalam kelompok. Semua klien yang terlibat dalam kelompok mampu menampilkan interaksi satu sama lain dalam bekerja sama selain itu klien mampu menampilkan perilaku penyelesaian masalah yang dihadapi pada saat bekerja sama dalam tim seperti klien tidak marah ketika mendapatkan kritik dari anggota tim terkait dengan kinerja klien dalam kelompok. Terapi spesilis keperawatan yang lain diberikan pada 6 klien dalah Cognitive Behavior Social Skill Training (CBSST). Cognitive Behavior Social Skill Training (CBSST) merupakan grup psikoterapi yang merupakan kombinasi cognitive beahavioral therapy (CBT) dan Social Skill Training (SST) untuk meningkatkan fungsi kognitif dan ketrampilan fungsi sosial pada klien skizofrenia dengan isolasi sosial. Menurut Granholm (2006) CBSST bertujuan untuk melatih teknik koping, meningkatkan fungsi

6 6 kognitif dan perilaku, ketrampilan fungsi sosial dan pemecahan masalah. Teknik pelaksanaan Cognitive Behavior Social Skill Training (CBSST) terdiri dari 2 (dua) bagian, dimana bagian 1 (satu) berfokus pada Cognitive Behavioral Skills (CBT) yang terdiri dari 3 (tiga) sesi dan bagian 2 (dua) berfokus pada Social Skills Training (SST) yang terdiri dari 3 (tiga) sesi, sehingga total menjadi 6 (enam) sesi dan 30 menit setiap sesinya. Pada setiap sesi klien menggunakan catatan atau buku kerja untuk keberlangsungan latihan yang diberikan pada klien. Pada sesi 1-2 klien diarahkan untuk mengidentifikasi pikiran otomatis negatif, mengidentifikasi perilaku negatif akibat pikiran otomatis negatif yaitu perilaku yang berhubungan dengan interaksi sosial. Selanjutnya klien akan dilatih mengidentifikasi pikiran untuk melawan atau memberi tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis negatif dan memilih perilaku baru yang akan dilatih sebagai pengganti perilaku negatif akibat pikiran otomatis negatif. Pada sesi 3-6 klien akan diberikan latihan untuk meningkatkan ketrampilan berkomunikasi dan berinteraksi secara sosial. Pelaksanaan sesi 3-5 dengan menggunakan 4 (empat) metode pada Social Skills Training (SST) yaitu: (1) modelling, metode dimana terapis melakukan demonstrasi tindakan ketrampilan yang akan dilakukan; (2) roleplaying, metode bermain peran, dimana klien mendapat kesempatan untuk memerankan kemampuan/ketrampilan yang telah dilakukan/diperankan oleh terapis; (3) performance feedback, metode pemberian umpan balik, dimana umpan balik harus diberikan segera setelah klien mencoba memerankan seberapa baik menjalankan latihan serta (4) transfer training, metode pemindahan ketrampilan yang diperoleh klien ke dalam praktik sehari-hari. Pada sesi 6 (enam) klien akan dilatih mengungkapkan pendapatnya tentang manfaat latihan kognitif dan perilaku/psikomotor : komunikasi. Pengukuran untuk mengevaluasi respon atau tanda dan gejala terhadap stresor klien isolasi sosial dengan menggunakan standart assesment (evaluasi tanda dan gejala). Standart assesment yang diberikan pada klien isolasi sosial sudah uji expert validity oleh pakar keperawatan jiwa (Prof. Dr. Budi Anna Keliat, SKp, M. App.Sc). Stantart assesment respon atau tanda dan gejala ini terdiri 37 pernyataan, pernyataan respon kognitif sebanyak 13 item, respon afektif sebanyak 10 item, respon fisiologis sebanyak 3 item, respon perilaku sebanyak 6 item dan respon sosial sebanyak 5 item. Pengukuran dilakukan saat pengkajian atau sebelum diberikan terapi dan setelah diberikan terapi spesilis keperawatan SST pada 26 klien dan CBSST pada 6 klien, dapat dilihat pada tabel 4.3 dan tabel 4.4. Tabel 4.3 Distribusi Evaluasi Respon Terhadap Stressor Klien Isolasi sosial Sebelum dan Sesudah Pemberian Terapi SST di Ruang Arimbi RSMM Bogor 17 Februari 18 April 2014 (n=26) No Penilaian Terhadap Isolasi Sosial Stresor Jumlah Mean Mean Mean selisih Respon Sebelum setelah 1 Respon kognitif Respon Afektif Respon Fisiologis Respon Perilaku Respon Sosial Komposit (%) 3.54(%) 19.53(%) Berdasarkan tabel 4.3 didapatkan respon klien dengan isolasi sosial terjadi perbedaan ratarata setelah diberikan SST dimana rata-rata respon kognitif sebelum diberikan SST sebesar 8.78 dan setelah diberikan latihan SST menjadi Berdasarkan nilai terhadap

7 7 penilaian stresor pada respon kognitif pada tabel 4.10 menunjukkan penurunan respon kognitif klien isolasi sosial sebesar 7.51 setelah mendapatkan SST. Rata-rata respon klien dengan isolasi sosial terjadi perbedaan setelah diberikan SST dimana rata-rata respon Afektif sebelum diberikan latihan SST sebesar 5.23 dan setelah diberikan SST menjadi Berdasarkan nilai terhadap penilaian stresor pada respon afektif pada tabel 4.10 menunjukkan penurunan respon afektif klien isolasi sosial sebesar 4.15 setelah mendapatkan SST. Rata-rata respon klien dengan isolasi sosial terjadi perbedaan setelah diberikan SST dimana rata-rata respon fisiologis sebelum diberikan latihan SST sebesar 2.30 dan setelah diberikan SST menjadi Berdasarkan nilai terhadap penilaian stresor pada respon fisiologis pada tabel 4.10 menunjukkan penurunan respon fisiologis klien isolasi sosial sebesar 2.07 setelah mendapatkan SST. Rata-rata respon klien dengan isolasi sosial terjadi perbedaan setelah diberikan SST dimana rata-rata respon perilaku sebelum diberikan SST sebesar 3.57 dan setelah diberikan SST menjadi Berdasarkan nilai terhadap penilaian stresor pada respon perilaku pada tabel 4.10 menunjukkan penurunan respon perilaku klien isolasi sosial sebesar 2.84 setelah mendapatkan SST. Rata-rata respon klien dengan isolasi sosial terjadi perbedaan setelah diberikan SST dimana rata-rata respon sosial sebelum diberikan latihan SST sebesar 3.19 dan setelah diberikan SST menjadi Berdasarkan nilai terhadap penilaian stresor pada respon sosial pada tabel 4.10 menunjukkan penurunan respon sosial klien isolasi sosial sebesar 2.96 setelah mendapatkan SST. Tabel 4.4 Distribusi Evaluasi Respon Terhadap Stressor Klien Isolasi sosial Sebelum dan Sesudah Pemberian Terapi CBSST di Ruang Arimbi RSMM Bogor 17 Februari 18 April 2014 (n=6) Isolasi Sosial No Penilaian Terhadap Jumlah Respon Mean Mean Mean selisih Stresor Sebelum setelah 1 Respon kognitif Respon Afektif Respon Fisiologis Respon Perilaku Respon Sosial Komposit 37 31(%) 2.08(%) 28.92(%) Berdasarkan tabel 4.4 didapatkan respon klien dengan isolasi sosial terjadi perbedaan ratarata setelah diberikan CBSST, dimana ratarata respon kognitif sebelum diberikan CBSST sebesar 10.2 dan setelah diberikan CBSST menjadi Berdasarkan nilai terhadap penilaian stresor pada respon kognitif pada tabel 4.4 menunjukkan penurunan respon kognitif klien isolasi sosial sebesar 9.17 setelah mendapatkan CBSST. Rata-rata respon klien dengan isolasi sosial terjadi perbedaan setelah diberikan CBSST dimana rata-rata respon Afektif sebelum diberikan CBSST sebesar 7.8 dan setelah diberikan CBSST menjadi Berdasarkan nilai terhadap penilaian stresor pada respon afektif pada tabel 4.11 menunjukkan penurunan respon afektif klien isolasi sosial sebesar 6.92 setelah mendapatkan CBSST. Rata-rata respon klien dengan isolasi sosial terjadi perbedaan setelah diberikan CBSST dimana rata-rata respon fisiologis sebelum diberikan latihan CBSST sebesar 2.7 dan setelah diberikan CBSST menjadi 0. Berdasarkan nilai terhadap penilaian stresor pada respon fisiologis pada tabel 4.11 menunjukkan penurunan respon fisiologis klien isolasi sosial sebesar 2.7 setelah mendapatkan CBSST. Rata-rata respon klien dengan isolasi sosial terjadi perbedaan setelah diberikan CBSST dimana rata-rata respon perilaku sebelum diberikan CBSST sebesar 6 dan setelah diberikan latihan CBSST menjadi

8 Berdasarkan nilai terhadap penilaian stresor pada respon perilaku pada tabel 4.11 menunjukkan penurunan respon perilaku klien isolasi sosial sebesar 5.83 setelah mendapatkan CBSST. Rata-rata respon klien dengan isolasi sosial terjadi perbedaan setelah diberikan CBSST dimana rata-rata respon sosial sebelum diberikan latihan CBSST sebesar 4.3 dan setelah diberikan CBSST menjadi 0. Berdasarkan nilai terhadap penilaian stresor pada respon sosial pada tabel 4.4 menunjukkan penurunan respon sosial klien isolasi sosial sebesar 4.3 setelah mendapatkan CBSST. Pengukuran untuk mengevaluasi kemampuan klien isolasi sosial dengan menggunakan standart assesment (evaluasi kemampuan dalam melaksanakan SST dan CBSST). Standart assesment yang diberikan pada klien isolasi sosial sudah uji expert validity oleh pakar keperawatan jiwa (Prof. Dr. Budi Anna Keliat, SKp, M. App.Sc). Stantart assesment kemampuan terapi SST ini terdiri 39 pernyataan, pernyataan untuk sesi 1 sebanyak 8 item, sesi 2 sebanyak 10 item, sesi 3 sebanyak 3 item, sesi 4 sebanyak 6 item dan sesi 5 sebanyak 18 item. Pengukuran dilakukan saat pengkajian atau sebelum diberikan terapi dan setelah diberikan terapi spesilis keperawatan SST pada 26 klien. Untuk Stantart assesment kemampuan terapi CBSST ini terdiri 38 pernyataan, pernyataan untuk sesi 1 sebanyak 8 item, sesi 2 sebanyak 1 item, sesi 3 sebanyak 6 item, sesi 4 sebanyak 4 item dan sesi 5 sebanyak 8 item. Pengukuran dilakukan saat pengkajian atau sebelum diberikan terapi dan setelah diberikan terapi spesilis keperawatan CBSST pada 26 klien, dapat dilihat pada tabel 4.5 dan 4.6. Tabel 4.5 Distribusi Evaluasi Kemampuan Social Skill Training (SST) Sebelum dan Sesudah diberikan Pada Klien Isolasi Sosial di Ruang Arimbi RSMM Bogor Periode 17 Februari-18April 2014 (n = 26) SST Sesi 1 Sesi 2 Sesi 3 Sesi 4 Sesi 5 Komposit Kemampuan Sebelum Sesudah Selisih 4.57(%) 2.81(%) 1.61(%) 3.3(%) 10.85(%) 24.14(%) Berdasarkan tabel 4.5 didapatkan kemampuan klien dengan isolasi sosial terjadi perbedaan rata-rata setelah diberikan SST dimana ratarata kemampuan pada sesi 1 sebelum diberikan latihan SST sebesar 2.27 dan setelah diberikan latihan SST meningkat menjadi Berdasarkan nilai terhadap kemampuan klien pada sesi 1, menunjukkan peningkatan kemampuan klien isolasi sosial sebesar 4.57 setelah mendapatkan SST. Ratarata respon klien dengan isolasi sosial terjadi perbedaan setelah diberikan SST dimana ratarata kemampuan pada sesi 2 sebelum diberikan SST sebesar 0.42 dan setelah diberikan SST meningkat menjadi Berdasarkan nilai terhadap kemampuan klien pada sesi 2 menunjukkan peningkatan kemampuan klien isolasi sosial sebesar 2.81 setelah mendapatkan SST. Rata-rata respon klien dengan isolasi sosial terjadi perbedaan setelah diberikan SST dimana rata-rata kemampuan pada sesi 3 sebelum diberikan latihan SST sebesar 0.62 dan setelah diberikan SST meningkat menjadi Berdasarkan nilai terhadap kemampuan klien pada sesi 3 menunjukkan peningkatan kemampuan klien isolasi sosial sebesar 1.61 setelah mendapatkan SST. Rata-rata respon klien dengan isolasi sosial terjadi perbedaan setelah diberikan SST dimana rata-rata kemampuan pada sesi 4 sebelum diberikan

9 9 latihan SST sebesar 1.46 dan setelah diberikan SST meningkat menjadi Berdasarkan nilai terhadap kemampuan klien pada sesi 4 menunjukkan peningkatan kemampuan klien isolasi sosial sebesar 3.3 setelah mendapatkan SST. Rata-rata respon klien dengan isolasi sosial terjadi perbedaan setelah diberikan SST dimana rata-rata. kemampuan pada sesi 5 sebelum diberikan SST sebesar 3.88 dan setelah diberikan SST meningkat menjadi Berdasarkan nilai terhadap kemampuan klien pada sesi 5, menunjukkan peningkatan kemampuan klien isolasi sosial sebesar setelah mendapatkansst. Tabel 4.6 Distribusi Evaluasi Kemampuan Cognitive Behavior Social Skill Training (CBSST) Sebelum dan Sesudah diberikan Pada Klien Isolasi Sosial di Ruang Arimbi RSMM Bogor Periode 17 Februari-18April 2014 (n = 6) CBSST Sesi 1 Sesi 2 Sesi 3 Sesi 4 Sesi 5 Sesi 6 Komposit Kermampuan Sebelum Sesudah Selisih 1.3(%) 0.1(%) 7.7(%) 5.3(%) 2.8(%) 5(%) 21.5(%) Berdasarkan tabel 4.6 didapatkan kemampuan klien dengan isolasi sosial terjadi perbedaan rata-rata setelah diberikan CBSST dimana rata-rata kemampuan pada sesi 1 sebelum diberikan CBSST sebesar 1.5 dan setelah diberikan CBSST meningkat menjadi 2.8. Berdasarkan nilai terhadap kemampuan klien pada sesi 1, menunjukkan peningkatan kemampuan klien isolasi sosial sebesar 1.3 setelah mendapatkan CBSST. Rata-rata respon klien dengan isolasi sosial terjadi perbedaan setelah diberikan terapi CBSST dimana rata-rata kemampuan pada sesi 2 sebelum diberikan latihan CBSST sebesar 0.7 dan setelah diberikan CBSST meningkat menjadi 0.8. Berdasarkan nilai terhadap kemampuan klien pada sesi 2 menunjukkan peningkatan kemampuan klien isolasi sosial sebesar 0.1 setelah mendapatkan CBSST. Rata-rata respon klien dengan isolasi sosial terjadi perbedaan setelah diberikanterapi CBSST dimana rata-rata kemampuan pada sesi 3 sebelum diberikan CBSST sebesar 5 dan setelah diberikan CBSST meningkat menjadi Berdasarkan nilai terhadap kemampuan klien pada sesi 3 menunjukkan peningkatan kemampuan klien isolasi sosial sebesar 7 setelah mendapatkan CBSST. Ratarata respon klien dengan isolasi sosial terjadi perbedaan setelah diberikan terapi CBSST dimana rata-rata kemampuan pada sesi 4 sebelum diberikan CBSST sebesar 0.7 dan setelah diberikan latihan SST meningkat menjadi 6. Berdasarkan nilai terhadap kemampuan klien pada sesi 4, menunjukkan peningkatan kemampuan klien isolasi sosial sebesar 5.3 setelah mendapatkan CBSST. Rata-rata respon klien dengan isolasi sosial terjadi perbedaan setelah diberikan terapi CBSST dimana rata-rata kemampuan pada sesi 5 sebelum diberikan CBSST sebesar 0.2 dan setelah diberikan latihan CBSST meningkat menjadi 3. Berdasarkan nilai terhadap kemampuan klien pada sesi 5 menunjukkan peningkatan kemampuan klien isolasi sosial sebesar 2.8 setelah mendapatkan CBSST. Rata-rata respon klien dengan isolasi sosial terjadi perbedaan setelah diberikan terapi CBSST dimana rata-rata kemampuan pada sesi 6 sebelum diberikan CBSST sebesar 2.2 dan setelah diberikan latihan CBSST meningkat menjadi 7.2. Berdasarkan nilai terhadap kemampuan klien pada sesi 6 menunjukkan peningkatan kemampuan klien

10 10 isolasi sosial sebesar 5 setelah mendapatkan CBSST. Pembahasan Hasil Pengkajian klien dengan isolasi sosial diruang rawat Arimbi Rumah Sakit Marzoeki Mahdi terdiri dari karakteristik klien, faktor predisposisi, faktor presipitasi, penilaian terhadap stresor dan sumber koping. Hasil pengkajian karakteristik klien dengan masalah isolasi sosial terdiri usia, jenis kelamin, pendidikan, status perkawinan, status pekerjaan dan tingkat kemandirian klien. Berikut ini pembahasan tentang karakteristik klien dan hubungannya dengan masalah isolasi sosial : Klien dengan masalah isolasi sosial diruang rawat Arimbi sebanyak 56.2 % berusia tahun. Kondisi ini sesuai dengan pendapat Sadock dan Sadock (2007), yang menyatakan bahwa gangguan jiwa ini mengenai hampir 1% populasi dewasa dan biasanya onsetnya pada usia remaja akhir atau awal masa dewasa. Stuart (2009) juga menyebutkan bahwa resiko tinggi terjadinya gangguan jiwa yaitu pada usia dewasa. Hasil diatas sesuai dengan penelitian yang dilakukan Renidayati (2009) menunjukkan usia klien isolasi sosial berada dalam rentang usia tahun. Penelitian Jumaini, Keliat, & Daulima (2010) menunjukkan hasil rata-rata usia klien yang mengalami isolasi sosial adalah 33 tahun. Stuart (2013) berpendapat bahwa frekuensi tertinggi usia seseorang berisiko mengalami gangguan jiwa yaitu pada usia tahun. Sehingga bisa dikatakan usia klien yang mengalami gangguan jiwa dengan masalah isolasi sosial dalam pemaparan di atas termasuk dalam kategori usia dewasa. Jenis kelamin klien dengan isolasi sosial adalah 100% wanita karena ruangan yang digunakan dalam pengambilan data merupakan ruang rawat wanita (Ruang Arimbi RSMM Bogor). Menurut Sinaga (2007) bahwa prevalensi gangguan jiwa berat berdasarkan jenis kelamin, ras dan budaya adalah sama. Wanita dapat mengalami gejala gangguan jiwa karena tanggung jawab dan peran dalam keluarga. Klien dengan masalah isolasi sosial yang dirawat sebagian besar memiliki latar belakang pendidikan Sekolah Menengah Pertama (37.5%). Klien isolasi sosial yang dirawat mempunyai pendidikan yang rendah, pendidikan SD sebanyak 8 klien (25 %) dari delapan klien ada 2 klien juga yang belum menamatkan pendidikannya sehingga dalam menerapkan terapi yang akan diberikan harus memiliki tehnik yang dapat membantu proses pemberian terapi terhadap klien. Tehnik yang diberikan yaitu jika pengetahuannya kurang dan sudah diikuti dengan perilaku yang kurang positif, penulis memberikan terapi CBSST sehingga terbantu dalam menangani kognitif dan perilaku. Klien yang mendapatkan SST, klien yang masih mudah di arahkan dan dari segi kognitif masih mampu dengan mudah mengikuti terapi. Sebelum terapi diberikan klien juga diberikan pre test untuk mengetahui kemampuan yang dimiliki klien sehingga lebih mudah untuk mengetahui klien mempunyai pengetahuan yang baik atau tidak. Dari 32 klien rata-rata yang mendapatkan CBSST adalah yang pendidikannya rendah, ada sebanyak 6 klien. Menurut Stuart (2009), bahwa pendidikan yang rendah merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya gangguan jiwa karena klien dengan pendidikan rendah kurang mampu menyampaikan ide atau pendapatnya, sehingga mempengaruhi klien dalam mewujudkan harapan dan keinginan yang ingin dicapai dalam hidupnya. Stuart (2013) menjelaskan bahwa tingkat pendidikan sangat mempengaruhi cara klien berinteraksi, membuat keputusan, memecahkan masalah serta mempengaruhi cara penilaian klien terhadap stresor. Menurut Kopelowicz, Liberman dan Zarare (2002) menyatakan bahwa semakin tinggi pendidikan dan pengetahuan seseorang akan berkorelasi positif dengan keterampilan koping yang

11 11 dimiliki. Sesuai dengan pendapat Stuart (2013) menyatakan bahwa aspek intelektual adalah salah satu faktor penyebab terjadinya gangguan jiwa karena berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk menyampaikan idea atau pendapatnya, selanjutnya akan berpengaruh pada kemampuan klien untuk memenuhi harapan dan keinginan yang ingin dicapai dalam kehidupannya sehingga sangat mempengaruhi terjadinya isolasi sosial. Pendidikan merupakan salah satu sumber koping seseorang dalam menyelesaikan masalahnya. Semakin tinggi pendidikan dan pengetahuan seseorang akan berkorelasi positif dengan keterampilan koping yang dimiliki. Klien isolasi sosial yang dirawat sebagian besar tidak bekerja (90.6%). Hal ini menunjukan klien tidak produktif yang merupakan proses terjadinya gangguan jiwa dari faktor predisposisi dan presipitasi sosial budaya. Kondisi tidak memiliki pekerjaan pada kasus kelolaan ini semakin membuat klien mengkritik diri, merasa tidak berguna atau tidak berharga dan akhirnya individu merasa frustasi dengan kondisinya dan merasa iri jika melihat kemampuan orang lain, klien merasa malu dan marah pada diri sendiri, orang lain dan lingkungan. Menurut pendapat Hawari (2007) masalah pekerjaan merupakan sumber stres pada diri seseorang yang bila tidak dapat diatasi yang bersangkutan dapat jatuh sakit. Towsend (2014) juga mengatakan sosial ekonomi yang rendah merupakan salah satu faktor sosial yang menyebabkan tingginya angka gangguan jiwa termasuk skizofrenia. Berdasarkan status pernikahan dari 32 klien isolasi sosial yang dirawat ada 43.7% klien belum menikah dan bercerai (janda) ada 31.3% yang disebabkan karena pengalaman kegagalan dalam membina hubungan dengan lawan jenis. Klien mengatakan dirinya belum menikah disebabkan trauma karena sudah berkali-kali membina hubungan tetapi selalu gagal, ada yang ditinggal menikah, ada yang ditinggal karena meninggal dan ada yang dipermainkan saja. Hal inilah yang membuat klien menjadi belum menikah sehingga bisa dikatakan menjadi sumber stresor pada klien. Klien yang gagal membina hubungan rumah tangga juga bisa menjadi sumber stres, terbukti dari beberapa klien yang mengatakan trauma dalam pernikahan karena suami menikah lagi dengan perempuan lain, suami yang selalu bersikap kasar, ada juga suami yang tidak pernah menafkahi keluarga dan ada juga tidak pernah perduli dengan rumah tangganya tetapi lebih perduli pada orang tuanya. Berdasarakan hasil pengkajian pada 32 klien isolasi sosial bahwa 100% klien secara biologis ditemukan memiliki riwayat gangguan jiwa sebelumnya dan klien yang mengalami trauma atau penyakit fisik 53.1%, klien dengan riwayat herediter 18.8%, serta riwayat menggunakan NAPZA sebesar 6.2%. Keseluruhan klien isolasi sosial yang dirawat di ruang Arimbi memiliki riwayat gangguan jiwa sebelumnya karena ada pengaruh putus obat. Berdasarkan pengkajian yang dilakukan pada 32 klien, sebagian besar klien mengatakan putus obat karena sudah merasa bosan minum obat terus menerus setiap harinya, obat yang diminum membuat kepala pusing, obat terasa pahit, dan obat membuat klien mengantuk. Wawancara dilakukan pada beberapa keluarga saat mengunjungi klien di ruang Arimbi, keluarga mengatakan klien putus obat karena klien sudah lama tidak patuh minum obat, klien terkadang minum obat dan terkadang tidak mau minum serta klien sering keluyuran dan terkadang klien tidak pulang kerumah sehingga klien tidak m minum obat, itulah yang membuat klien tidak sembuh dan mempunyai riwayat gangguan jiwa. Faktor predisposisi pada aspek psikologis teridentifikasi bahwa 81.2 % klien memiliki kepribadian introvert/ tertutup dan 100% klien mengalami riwayat kegagalan atau kehilangan sesuatu. Hal ini sesuai dengan pendapat Stuart (2013) bahwa faktor psikologis, yang meliputi konsep diri, intelektualitas, kepribadian,

12 12 moralitas, pengalaman masa lalu, koping dan keterampilan komunikasi secara verbal mempengaruhi perilaku seseorang dalam hubungannya dengan orang lain. Kepribadian seseorang dengan tipe kepribadian introvert, menutup diri dari kemungkinan orang-orang yang memperhatikannya, sehingga tidak memiliki orang terdekat atau orang yang berarti dalam hidupnya. Sesuai dengan pendapat Hurlock (2000) bahwa kegagalan dalam melaksanakan tugas perkembangan dapat mengakibatkan individu tidak percaya diri, tidak percaya pada orang lain, ragu, takut salah, pesisimis, putus asa, menghindar dari orang lain, tidak mampu merumuskan keinginan, dan merasa tertekan. Isolasi sosial diperoleh dari dua sumber, yaitu dari faktor internal (diri sendiri) dan faktor eksternal (orang lain). Faktor yang mempengaruhi isolasi sosial yang berasal dari diri sendiri seperti kegagalan yang berulang kali, kurang mempunyai tanggung jawab personal, ketergantungan pada orang lain, dan ideal diri yang tidak realistis, sedangkan yang berasal dari orang lain adalah penolakan orang tua, harapan orang tua yang tidak realistis. Faktor predisposisi lainnya adalah aspek sosial budaya, sesuai dengan pengkajian dilakukan pada klien di ruang Arimbi bahwa 87.5% klien memiliki status ekonomi yang rendah dan 93.7% jarang terlibat kegiatan sosial. Stuart (2013) menyatakan faktor sosial kultural yang dapat mempengaruhi munculnya gangguan jiwa yaitu usia, jenis kelamin, pendidikan, penghasilan, pekerjaan. posisi sosial, latar belakang budaya, nilai dan pengalaman sosial individu. Faktor pendidikan mempengaruhi kemampuan seseorang menyelesaikan masalah yang dihadapi termasuk dalam hal ini kemampuan dalam merespon stresor yang dihadapi yang menyebabkan klien mengalami masalah isolasi sosial. Pendidikan juga dapat dijadikan tolak ukur kemampuan seseorang berinteraksi dengan orang lain secara efektif, karena semakin tinggi pendidikan seseorang akan lebih mudah untuk mengintepretasikan sesuatu dan lebih mudah memperoleh informasi. Faktor pendidikan juga dipengaruhi oleh sosial ekonomi rendah karena jika tidak mempunyai biaya atau dana seseorang tidak mampu untuk sekolah maupun kuliah. Pengkajian faktor presipitasi klien di ruang Arimbi didapatkan hasil bahwa 100% klien memiliki riwayat putus obat. Alasan klien dengan riwayat putus obat adalah perasaan bosan, obat terasa pahit, merasa sudah sembuh, merasa obat tidak cocok karena jika minum obat badan menjadi lemas dan mengantuk sehingga tidak bisa bekerja lagi dan adanya rasa khawatir menjadi ketergantungan obat. Menurut Wardani (2009) alasan klien memiliki perilaku tidak patuh minum obat dikarenakan klien dan keluarga tidak merasakan manfaat minum obat dan merasa tidak nyaman khususnya secara fisik dengan mengkonsumsi obat-obat antipsikotik serta kurangnya informasi kepada klien dan keluarga yang adekuat dari fasilitas pelayanan kesehatan tentang manfaat dan efek obat berdampak pada kekambuhan sehingga memperburuk kondisi klien. Sehingga disimpulkan pada dasarnya banyak klien tidak patuh minum obat sehingga klien tidak sembuh. Penilaian terhadap stresor yang dialami seluruh klien dengan isolasi sosial memiliki pandangan yang negatif terhadap stresor seperti hanya berfokus pada masalah, memilliki pandangan yang negatif terhadap diri sendiri dan merasa tidak mampu menghadapi stressor tesebut. Sesuai dengan pendapat Stuart (2009) penilaian stressor merupakan proses evaluasi secara menyeluruh yang dilakukan oleh individu terhadap sumber stress dengan tujuan untuk melihat makna dari kejadian yang dialami. Untuk menentukan repon atau tanda dan gejela klien, penulis menggunakan instrument penilaian stressor yang terdiri dari respon kogitif sebanyak 13 pernyataan, respon afektif sebanyak 10 pernyataan, respon fisiologis sebanyak 3 pernyataan, respon perilaku sebanyak 6 pernyataaan, dan respon sosial sebanyak 5 pernyataan. Hasil yang diperoleh dari klien mengenai respon kognitif yang paling menonjol adalah

13 13 sulit mengambil keputusan, sebanyak 31 klien (96.9%), merasa kesepian dan ditolak oleh orang lain sebanyak 28 klien (87.5%) dan diikuti dengan merasa tidak berguna sebanyak 27 klien (84.4%). Sesuai dengan respon kognitif yang sudah dipaparkan di atas menujukkan awal dari klien menarik diri karena sulit mengambil keputusan, dalam hal ini sulit mengambil keputusan dalam berhubungan, berinteraksi dan menjalin persahabatan sehingga klien merasa kesepian dan ada perasaan ditolak oleh orang lain sehingga pada akhirnya klien merasa tidak mempunyai teman akrab. Menurut Stuart & Laraia (2005) Respon kognitif memegang peran sentral dalam proses adaptasi, dimana faktor kognitif mempengaruhi dampak suatu kejadian yang penuh dengan stres, memilih koping yang akan digunakan, dan reaksi emosi, fisiologi, perilaku, dan sosial seseorang. Respon afektif yang paling banyak dialami klien adalah merasa ditolak oleh orang lain sebanyak 28 (87.5%) dan diikuti dengan merasa tidak diperdulikan oleh oran lain sebanyak 25 klien (78.1%). Respon fisiologis yang paling banyak dialami klien adalah merasa lelah atau letih sebanyak 30 klien (93.7%). Hal ini dapat berpengaruh karena efek dari pikiran, dimana bila selalu berpikir yang negatif akan mempengaruhi fisik, dalam hal ini yang terjadi pada klien adalah kelelahan dan keletihan. Respon perilaku yang paling banyak yang dialami klien adalah kurang aktivitas dan verbal sebanyak 27 klien (84.4%). Respon sosial yang paling banyak dialami klien adalah menarik diri sebanyak 30 klien (93.7%). Respon sosial merupakan hasil perpaduan dari respon kognitif, afektif, fisiologis dan perilaku yang akan mempengaruhi hubungan atau interaksi dengan orang lain. Klien isolasi sosial dalam kasus ini memiliki pengalaman hidup yang tidak menyenangkan seperti kegagalan membina hubungan, komunikasi tertutup, jarang terlibat pada kegiatan sosial, penolakan, kegagalan-kegagalan lain. Kenyataan yang ada pada klien ini sesuai dengan yang diuraikan Fortinash & Worret (2004) dan Townsend (2014) bahwa pada klien isolasi sosial penilaian individu bahwa adanya perasaan kesepian dan ditolak oleh orang lain, merasa orang lain tidak bisa mengerti dirinya, merasa tidak aman berada dengan orang lain, merasa hubungan tidak berarti dengan orang lain, tidak mampu konsentrasi dan membuat keputusan, merasa tidak memiliki tujuan hidup. Klien menjadi kebingungan, kurangnya perhatian, merasa putus asa, merasa tidak berdaya, dan merasa tidak berguna. Sumber koping merupakan strategi yang mampu membantu klien isolasi sosial menentukan apa yang dapat dilakukan dalam menghadapi suatu masalah internal maupun eksternal. Stuart (2013) membagi sumber koping menjadi empat yaitu kemampuan personal, dukungan sosial, asset material dan keyakinan positif. Berdasarkan hasil pelaksanaan pengelolaan 32 klien isolasi sosial di ruang Arimbi bahwa sumber koping yang dialami oleh klien diperoleh 25 klien (78.1%) tidak tahu dan tidak mampu cara mengatasi isoslasi sosial demikian juga dengan keluarganya sebanyak 93.7% tidak tahu dan ketidakmampuan merawat anggota keluarga dengan isolasi sosial. Keseluruhan klien dapat menjangkau puskesmas dan memiliki jamkesmas dan yakin akan sembuh dengan pelayanan kesehatan. Kemampuan personal yang harus dimiliki klien meliputi tiga aspek yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor. Hal ini sesuai dengan pendapat Stuart (2009) bahwa klien harus mempunyai kemampuan dalam mengatasi masalahnya meliputi kemampuan mengenal atau mengidentifikasi masalah, menentukan masalah yang akan diatasi, dan kemampuan menyelesaikan masalahnya. Menurut Stuart dan Laraia (2005), sumber koping merupakan pilihan atau strategi bantuan untuk memutuskan mengenai apa yang dapat dilakukan dalam menghadapi suatu masalah. Untuk menghadapi masalah yang dirasakan klien harus menggunakan sumber koping yang dimilki dari internal maupun eksternal.

14 14 Model dan konsep teori merupakan sebuah sistem yang terstruktur dan berdasarkan pemikiran rasional dalam bertindak dan menjadi landasan untuk menentukan tindakan keperawatan yang diberikan pada klien. Aplikasi model dan konsep teori yang sesuai, maka proses keperawatan yang diberikan pada klien lebih terarah dan akan diperoleh hasil asuhan keperawatan yang berkualitas dan mempunyai nilai profesionalisme. Asuhan keperawatan pada klien isolasi sosial dengan pemberian Social Skill Training (SST) dan Cognitive Behavior Social Skill Training (CBSST) menggunakan proses keperawatan yang meliputi pengkajian, penegakan diagnosa keperawatan, menetapkan rencana tindakan keperawatan, melakukan tindakan keperawatan dan melakukan evaluasi terhadap hasil dari tindakan yang sudah dilakukan. Aplikasi teori interpersonal Peplau digunakan dalam melakukan asuhan keperawatan dengan tujuan dapat membantu meningkatkan keterampilan kognitif, perilaku dan berkomunikasi pada klien isolasi sosial (Peplau, 1991), didukung dengan tujuan dan harapan Henderson bahwa klien harus ditingkatkan pengetahuan, keinginan, dan kekuatannya (Fitzpatrick & Whall, 1989) sehingga hubungan interaksi antara perawat dan klien berjalan dengan baik dan asuhan keperawatan yang diberikan mampu mengurangi gejala dan meningkatkan kemampuan klien isolasi sosial. Model teori Peplau menggunakan 4 fase dari hubungan perawat dan klien yaitu orientasi, identifikasi, eksploitasi dan resolusi (Aligood, 2014). Fase orientasi lebih difokuskan untuk membantu klien menyadari ketersediaan bantuan dan rasa percaya terhadap kemampuan perawat untuk berperan serta secara efektif dalam pemberian asuhan keperawatan pada klien. Ditahap ini perawat dan klien melakukan kontrak awal untuk membangun kepercayaan dan terjadi proses pengumpulan data. Fase orientasi dimulai diawal pertama sekali perawat dan klien bertemu dimana perawat berperan sebagai orang asing bagi klien. Perawat harus menempatkan klien dengan penuh perasaan dan secara sopan serta menerima keberadaan klien apa adanya sebagai manusia yang utuh (Peplau, 1991). Fase ini diharapkan klien menyadari bahwa dirinya membutuhkan pertolongan atau bantuan dari perawat terhadap masalah yang dialaminya sehingga perawat dapat menolong dan menentukan apa yang terbaik untuk mengatasi masalah klien (Peplau, 1990). Penggunaan diri secara terapeutik dan kemampuan melakukan tehnik terapeutik dalam berhubungan sehingga memiliki pengaruh yang besar membina hubungan saling percaya. Sehingga dapat disimpulkan kemampuan melakukan tehnik terapeutik yang baik dan empati merupakan cara yang dapat menciptakan hubungan saling percaya antara perawat dan klien. Henderson mengatakan bila hubungan tercipta dengan baik antara perawat dan klien harus mempergunakan interaksi yang baik tercapailah tujuan dan harapan, dimana diharapkan klien mempunyai pengetahuan, keinginan dan kekuatan sehingga terapi keperawatan yang diberikan perawat kepada klien tersampaikan yang pada akhirnya klien bisa sembuh dari sakitnya. Klien yang mengalami isolasi sosial akan sulit berhubungan dan berinteraksi dengan orang lain sehingga dengan menggunakan teori Peplau dapat membantu klien untuk berhubungan dengan orang lain (hubungan perawat dan klien) dan teori Henderson membantu perawat dan klien untuk berinteraksi dengan menggunakan komunikasi terapeutik sehingga tujuan perawat dan klien tercapai. Kesimpulan Karakteristik klien isolasi sosial di ruang Arimbi Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor didapatkan mayoritas berusia tahun (56.2%), seluruhnya klien berjenis kelamin wanita, tingkat pendidikan rata rata pendidikan menengah (SMP) 37.5%, hampir semua tidak bekerja sebelum menjalani perawatan (90.6%), belum menikah (43.7%)

15 15 dan tingkat kemandirian mayoritas rata-rata partial care (75%). Faktor predisposisi terjadinya isolasi sosial, seluruhnya klien pada aspek biologi yaitu riwayat gangguan jiwa dan aspek psikologis yaitu riwayat kegagalan/tidak menyenangkan sedangkan jarang terlibat kegiatan sosial sebanyak 30 klien (93.7%) Faktor presipitasi, keseluruhan klien mengalami putus obat pada aspek biologis, dilanjutkan dengan keinginan tidak terpenuhi pada aspek psikologis sebanyak 28 klien (87.5%) dan masalah ekonomi pada aspek ekonomi sebanyak 30 klien (93.7%). Sumber koping sebagian besar klien (78.1%) tidak tahu dan tidak mampu cara mengatasi isolasi sosial, 56.2% keluarga tidak tahu dan tidak mampu cara merawat klien isolasi sosial, keseluruahn klien memiliki jamkesmas/bpjs dan 81.2% klien memiliki keyakinan akan sembuh dari penyakit yang dialami. Social Skill Training (SST) bertujuan untuk meningkatkan ketrampilan interpersonal klien maupun menjalin persahabatan pada orang lain dengan cara melatih ketrampilan yang selalu digunakan dalam berhubungan dengan orang lain dan lingkungan. Semua klien (26 klien) yang diberikan SST telah mampu mengikuti atau laithan untuk bersosialisasi, bekerjasama dalam kelompok, menjalin persahabatan, dan menghadapi situasi yang sulit. Kemampuan klien meningkat dilihat dari kemampuan sebelum dan sesudah diberikan SST sebanyak 5 sesi. Kemampuan klien secara komposit pada semua sesi (5 sesi) adalah 39 kemampuan. Kemampuan klien sebelum diberikan SST adalah 8.46 dan setelah diberikan SST meningkat menjadi 32.6 dan selisihnya hal ini menujukkan bahwa SST sangat mampu meningkatkan kemampuan klien yang mengalami isolasi sosial. CBSST dapat meningkatkan kemampuan kognitif dan perilaku sosialisasi pada klien isolasi sosial. Semua klien (6 klien) yang diberikan CBSST telah mampu melakukan latihan mengenal pikiran dan perilaku negatif, melakukan latihan melawan pikiran negatif menggunakan tanggapan rasional berbicara yang baik, melakukan latihan berbicara untuk menjalin persahabatan, dan melakukan latihan berbicara untuk menghadapi situasi sulit. Kemampuan klien meningkat dilihat dari kemampuan sebelum dan sesudah diberikan CBSST sebanyak 6 sesi. Kemampuan klien secara komposit pada semua sesi (6 sesi) adalah 38 kemampuan. Kemampuan klien sebelum diberikan SST adalah 11 kemampuan dan setelah diberikan SST meningkat menjadi 32.5 kemampuan dan selisihnya 21.5 kemampuan. hal ini menujukkan bahwa CBSST sangat mampu meningkatkan kemampuan klien yang mengalami isolasi sosial. Social Skill Training (SST) dan Cognitive Behavior Social Skill Training (CBSST) dapat menurunkan tanda dan gejala pada klien yang mengalami isolasi sosial. Pendekatan model hubungan interpersonal Peplau membantu klien dalam mengembangkan kemampuan kognitif dan perilaku sosialisasi dengan orang lain serta lingkungan yang diperoleh dengan menggunakan hubungan secara interpersonal sehingga meningkatkan kemampuan kognitif dan perilaku bersosialisasi klien dan menurunkan tanda dan gejala isolasi sosial yang dialami sedangkan model hubungan timbal-balik Henderson memberikan dampak lebih ke interaksi dengan adanya hubungan timbal balik antara perawat dan klien mampu mencapai tujuan dengan harapan untuk memperoleh pengetahuan, keinginan dan kekuatan sehingga meninggalkanpun bisa dengan tenang. Referensi Alligood, M. R. (2014). Nursing Theorists And Their Work. (8 th ed). St. Louis: Elsevier Mosby

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial, dimana untuk mempertahankan kehidupannya

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial, dimana untuk mempertahankan kehidupannya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial, dimana untuk mempertahankan kehidupannya manusia memerlukan hubungan interpersonal yang positif baik dengan individu lainnya

Lebih terperinci

PENGARUH ACCEPTANCE AND COMMITMENT THERAPY TERHADAP GEJALA DAN KEMAMPUAN KLIEN DENGAN RESIKO PERILAKU KEKERASAN

PENGARUH ACCEPTANCE AND COMMITMENT THERAPY TERHADAP GEJALA DAN KEMAMPUAN KLIEN DENGAN RESIKO PERILAKU KEKERASAN PENGARUH ACCEPTANCE AND COMMITMENT THERAPY TERHADAP GEJALA DAN KEMAMPUAN KLIEN DENGAN RESIKO PERILAKU KEKERASAN Ni Made Dian Sulistiowati*, Budi Anna Keliat **, Ice Yulia Wardani** * Program Studi Ilmu

Lebih terperinci

PENGARUH ACCEPTANCE AND COMMITMENT THERAPY TERHADAP GEJALA DAN KEMAMPUAN KLIEN DENGAN RESIKO PERILAKU KEKERASAN

PENGARUH ACCEPTANCE AND COMMITMENT THERAPY TERHADAP GEJALA DAN KEMAMPUAN KLIEN DENGAN RESIKO PERILAKU KEKERASAN PENGARUH ACCEPTANCE AND COMMITMENT THERAPY TERHADAP GEJALA DAN KEMAMPUAN KLIEN DENGAN RESIKO PERILAKU KEKERASAN Ni Made Dian Sulistiowati*, Budi Anna Keliat **, Ice Yulia Wardani** * Program Studi Ilmu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyesuaikan diri yang mengakibatkan orang menjadi tidak memiliki. suatu kesanggupan (Sunaryo, 2007).Menurut data Badan Kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. menyesuaikan diri yang mengakibatkan orang menjadi tidak memiliki. suatu kesanggupan (Sunaryo, 2007).Menurut data Badan Kesehatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Chaplin,gangguan jiwa adalah ketidakmampuan menyesuaikan diri yang mengakibatkan orang menjadi tidak memiliki suatu kesanggupan (Sunaryo, 2007).Menurut data

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyimpangan dari fungsi psikologis seperti pembicaraan yang kacau, delusi,

BAB I PENDAHULUAN. penyimpangan dari fungsi psikologis seperti pembicaraan yang kacau, delusi, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Skizofrenia merupakan sekelompok reaksi psikotik yang mempengaruhi berbagai area fungsi individu, termasuk fungsi berfikir dan berkomunikasi, menerima dan menginterpretasikan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kelompok atau masyarakat yang dapat dipengaruhi oleh terpenuhinya kebutuhan dasar

BAB 1 PENDAHULUAN. kelompok atau masyarakat yang dapat dipengaruhi oleh terpenuhinya kebutuhan dasar BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan merupakan unsur terpenting dalam kesejahteraan perorangan, kelompok atau masyarakat yang dapat dipengaruhi oleh terpenuhinya kebutuhan dasar hidup seperti

Lebih terperinci

GAMBARAN KEMAMPUAN INTERAKSI SOSIAL PASIEN ISOLASI SOSIAL SETELAH PEMBERIAN SOCIAL SKILLS THERAPY DI RUMAH SAKIT JIWA. Sukma Ayu Candra Kirana

GAMBARAN KEMAMPUAN INTERAKSI SOSIAL PASIEN ISOLASI SOSIAL SETELAH PEMBERIAN SOCIAL SKILLS THERAPY DI RUMAH SAKIT JIWA. Sukma Ayu Candra Kirana GAMBARAN KEMAMPUAN INTERAKSI SOSIAL PASIEN ISOLASI SOSIAL SETELAH PEMBERIAN SOCIAL SKILLS THERAPY DI RUMAH SAKIT JIWA Sukma Ayu Candra Kirana Prodi S1 Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya email : sukmaayucandrakirana@stikeshangtuah-sby.ac.id

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mental dan sosial yang lengkap dan bukan hanya bebas dari penyakit atau. mengendalikan stres yang terjadi sehari-hari.

BAB I PENDAHULUAN. mental dan sosial yang lengkap dan bukan hanya bebas dari penyakit atau. mengendalikan stres yang terjadi sehari-hari. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Kesehatan jiwa adalah suatu kondisi dimana seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI. (DepKes, 2000 dalam Direja, 2011). Adapun kerusakan interaksi sosial

BAB II TINJAUAN TEORI. (DepKes, 2000 dalam Direja, 2011). Adapun kerusakan interaksi sosial BAB II TINJAUAN TEORI A. PENGERTIAN Isolasi sosial merupakan suatu gangguan interpersonal yang terjadi akibat adanya kepribadian yang tidak fleksibel menimbulkan perilaku maladaptif dan mengganggu fungsi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Halusinasi adalah gangguan terganggunya persepsi sensori seseorang,dimana tidak terdapat stimulus. Pasien merasakan stimulus yang sebetulnya tidak ada. Pasien merasa

Lebih terperinci

PEMBERIAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN HARGA DIRI RENDAH. Kata Kunci : harga diri rendah, pengelolaan asuhan keperawatan jiwa

PEMBERIAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN HARGA DIRI RENDAH. Kata Kunci : harga diri rendah, pengelolaan asuhan keperawatan jiwa PEMBERIAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN HARGA DIRI RENDAH Sri Wahyuni Dosen PSIK Universitas Riau Jl Pattimura No.9 Pekanbaru Riau Hp +62837882/+6287893390999 uyun_wahyuni2@yahoo.com ABSTRAK Tujuan penelitian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. akibat adanya kepribadian yang tidak fleksibel menimbulkan perilaku

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. akibat adanya kepribadian yang tidak fleksibel menimbulkan perilaku BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PENGERTIAN Isolasi sosial merupakan suatu gangguan interpersonal yang terjadi akibat adanya kepribadian yang tidak fleksibel menimbulkan perilaku maladaptif dan mengganggu fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keadaan tanpa penyakit atau kelemahan (Riyadi & Purwanto, 2009). Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. keadaan tanpa penyakit atau kelemahan (Riyadi & Purwanto, 2009). Hal ini 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan adalah keadaan sehat fisik, mental dan sosial, bukan semata-mata keadaan tanpa penyakit atau kelemahan (Riyadi & Purwanto, 2009). Hal ini berarti seseorang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI. dengan orang lain (Keliat, 2011).Adapun kerusakan interaksi sosial

BAB II TINJAUAN TEORI. dengan orang lain (Keliat, 2011).Adapun kerusakan interaksi sosial BAB II TINJAUAN TEORI A. KONSEP DASAR 1. Pengertian Isolasi sosial adalah keadaan dimana seseorang individu mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya.

Lebih terperinci

Key words: social skills training therapy, social isolated, behavioral system model

Key words: social skills training therapy, social isolated, behavioral system model Penerapan Terapi Social Skills Training Pada Klien Isolasi Sosial dengan Pendekatan Teori Dorothy E. Johnson Behavioral System Model di Kelurahan Balumbang Jaya Kecamatan Bogor Barat Kota Bogor Sutejo

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan gejala-gejala positif seperti pembicaraan yang kacau, delusi, halusinasi,

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan gejala-gejala positif seperti pembicaraan yang kacau, delusi, halusinasi, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Skizofrenia adalah gangguan mental yang sangat berat. Gangguan ini ditandai dengan gejala-gejala positif seperti pembicaraan yang kacau, delusi, halusinasi, gangguan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perpecahan antara pemikiran, emosi dan perilaku. Stuart, (2013) mengatakan

BAB I PENDAHULUAN. perpecahan antara pemikiran, emosi dan perilaku. Stuart, (2013) mengatakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Skizofrenia merupakan gangguan kesehatan serius yang perlu mendapatkan perhatian dari keluarga. Townsend (2014), mengatakan skizofrenia yaitu terjadi perpecahan antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengadaptasikan keinginan-keinginan dengan kenyataan-kenyataan yang

BAB I PENDAHULUAN. mengadaptasikan keinginan-keinginan dengan kenyataan-kenyataan yang BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pada masa globalisasi saat ini dengan kehidupan modern yang semakin kompleks, manusia cenderung akan mengalami stress apabila ia tidak mampu mengadaptasikan keinginan-keinginan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perilaku, dan sosialisasi dengan orang sekitar (World Health Organization,

BAB I PENDAHULUAN. perilaku, dan sosialisasi dengan orang sekitar (World Health Organization, BAB I PENDAHULUAN I.I. Latar Belakang Gangguan jiwa merupakan sekumpulan gangguan pada fungsi pikir, emosi, perilaku, dan sosialisasi dengan orang sekitar (World Health Organization, 2001). Gangguan jiwa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. stressor, produktif dan mampu memberikan konstribusi terhadap masyarakat

BAB 1 PENDAHULUAN. stressor, produktif dan mampu memberikan konstribusi terhadap masyarakat BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sehat jiwa adalah keadaan mental yang sejahtera ketika seseorang mampu merealisasikan potensi yang dimiliki, memiliki koping yang baik terhadap stressor, produktif

Lebih terperinci

MODUL KEPERAWATAN JIWA I NSA : 420 MODUL ANXIETAS DISUSUN OLEH TIM KEPERAWATAN UNIVERSITAS ESA UNGGUL

MODUL KEPERAWATAN JIWA I NSA : 420 MODUL ANXIETAS DISUSUN OLEH TIM KEPERAWATAN UNIVERSITAS ESA UNGGUL MODUL KEPERAWATAN JIWA I NSA : 420 MODUL ANXIETAS DISUSUN OLEH TIM KEPERAWATAN UNIVERSITAS ESA UNGGUL UNIVERSITAS ESA UNGGUL FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN JAKARTA A. KOMPETENSI

Lebih terperinci

Abstract. Key word : social skills training, social isolation, low self esteem, Peplau interpersonal model

Abstract. Key word : social skills training, social isolation, low self esteem, Peplau interpersonal model PENERAPAN TERAPI LATIHAN KETRAMPILAN SOSIAL PADA KLIEN ISOLASI SOSIAL DAN HARGA DIRI RENDAH DENGAN PENDEKATAN MODEL HUBUNGAN INTERPERSONAL PEPLAU DI RS DR MARZOEKI MAHDI BOGOR Abdul Wakhid *), Achir Yani

Lebih terperinci

MODUL KEPERAWATAN JIWA I NSA : 420 MODUL ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN RESIKO BUNUH DIRI DISUSUN OLEH TIM KEPERAWATAN UNIVERSITAS ESA UNGGUL

MODUL KEPERAWATAN JIWA I NSA : 420 MODUL ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN RESIKO BUNUH DIRI DISUSUN OLEH TIM KEPERAWATAN UNIVERSITAS ESA UNGGUL MODUL KEPERAWATAN JIWA I NSA : 420 MODUL ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN RESIKO BUNUH DIRI DISUSUN OLEH TIM KEPERAWATAN UNIVERSITAS ESA UNGGUL UNIVERSITAS ESA UNGGUL FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN PROGRAM

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Gangguan jiwa (Mental Disorder) merupakan salah satu dari empat

BAB 1 PENDAHULUAN. Gangguan jiwa (Mental Disorder) merupakan salah satu dari empat BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gangguan jiwa (Mental Disorder) merupakan salah satu dari empat masalah kesehatan utama di Negara-negara maju, modern dan industri. Keempat masalah kesehatan tersebut

Lebih terperinci

A. Pengertian Defisit Perawatan Diri B. Klasifikasi Defisit Perawatan Diri C. Etiologi Defisit Perawatan Diri

A. Pengertian Defisit Perawatan Diri B. Klasifikasi Defisit Perawatan Diri C. Etiologi Defisit Perawatan Diri A. Pengertian Defisit Perawatan Diri Kurang perawatan diri adalah gangguan kemampuan untuk melakukan aktifitas perawatan diri (mandi, berhias, makan, toileting) (Maslim, 2001). Kurang perawatan diri adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menuju era globalisasi manusia disambut untuk memenuhi kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. Menuju era globalisasi manusia disambut untuk memenuhi kebutuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menuju era globalisasi manusia disambut untuk memenuhi kebutuhan hidupnya di tengah-tengah persaingan yang semakin ketat di segala kehidupan. Tidak orang semua orang

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata Kunci: Manajemen halusinasi, kemampuan mengontrol halusinasi, puskesmas gangguan jiwa

ABSTRAK. Kata Kunci: Manajemen halusinasi, kemampuan mengontrol halusinasi, puskesmas gangguan jiwa ABSTRAK Halusinasi adalah gangguan jiwa pada individu yang dapat ditandai dengan perubahan persepsi sensori, dengan merasakan sensasi yang tidak nyata berupa suara, penglihatan, perabaan, pengecapan dan

Lebih terperinci

/BAB I PENDAHULUAN. yang dapat mengganggu kelompok dan masyarakat serta dapat. Kondisi kritis ini membawa dampak terhadap peningkatan kualitas

/BAB I PENDAHULUAN. yang dapat mengganggu kelompok dan masyarakat serta dapat. Kondisi kritis ini membawa dampak terhadap peningkatan kualitas 1 /BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan jiwa merupakan salah satu dari empat masalah kesehatan utama di negara - negara maju. Meskipun masalah kesehatan jiwa tidak dianggap sebagai gangguan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengatasi tantangan hidup, dapat menerima orang lain apa adanya dan

BAB I PENDAHULUAN. mengatasi tantangan hidup, dapat menerima orang lain apa adanya dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan jiwa merupakan perasaan sehat dan berbahagia mampu mengatasi tantangan hidup, dapat menerima orang lain apa adanya dan mempunyai sikap positif terhadap diri

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sendiri. Kehidupan yang sulit dan komplek mengakibatkan bertambahnya

BAB 1 PENDAHULUAN. sendiri. Kehidupan yang sulit dan komplek mengakibatkan bertambahnya 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan yang pesat dalam berbagai bidang kehidupan manusia yang meliputi bidang ekonomi, teknologi, sosial, dan budaya serta bidangbidang yang lain telah membawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sering juga disertai dengan gejala halusinasi adalah gangguan manic depresif

BAB I PENDAHULUAN. yang sering juga disertai dengan gejala halusinasi adalah gangguan manic depresif BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Halusinasi merupakan salah satu gejala yang sering ditemukan pada klien dengan gangguan jiwa. Halusinasi sering diidentikkan dengan skizofrenia. Dari seluruh skizofrenia,

Lebih terperinci

Abdul Wakhid 1), Achir Yani S. Hamid 2), Novy Helena CD 3) AKPER Ngudi Waluyo, Ungaran, 50515, Indonesia

Abdul Wakhid 1), Achir Yani S. Hamid 2), Novy Helena CD 3) AKPER Ngudi Waluyo, Ungaran, 50515, Indonesia PENERAPAN TERAPI LATIHAN KETRAMPILAN SOSIAL PADA KLIEN ISOLASI SOSIAL DAN HARGA DIRI RENDAH DENGAN PENDEKATAN MODEL HUBUNGAN INTERPERSONAL PEPLAU DI RS DR MARZOEKI MAHDI BOGOR 1) Abdul Wakhid 1), Achir

Lebih terperinci

1. Bab II Landasan Teori

1. Bab II Landasan Teori 1. Bab II Landasan Teori 1.1. Teori Terkait 1.1.1. Definisi kecemasan Kecemasan atau dalam Bahasa Inggrisnya anxiety berasal dari Bahasa Latin angustus yang berarti kaku, dan ango, anci yang berarti mencekik.

Lebih terperinci

MODUL KEPERAWATAN JIWA I NSA : 420 MODUL ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN WAHAM DISUSUN OLEH TIM KEPERAWATAN UNIVERSITAS ESA UNGGUL

MODUL KEPERAWATAN JIWA I NSA : 420 MODUL ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN WAHAM DISUSUN OLEH TIM KEPERAWATAN UNIVERSITAS ESA UNGGUL MODUL KEPERAWATAN JIWA I NSA : 420 MODUL ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN WAHAM DISUSUN OLEH TIM KEPERAWATAN UNIVERSITAS ESA UNGGUL UNIVERSITAS ESA UNGGUL FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Gangguan jiwa (mental disorder) merupakan salah satu dari empat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Gangguan jiwa (mental disorder) merupakan salah satu dari empat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gangguan jiwa (mental disorder) merupakan salah satu dari empat masalah kesehatan utama di negara-negara maju, modern, industri dan termasuk Indonesia. Meskipun gangguan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan kestabilan emosional. Upaya kesehatan jiwa dapat dilakukan. pekerjaan, & lingkungan masyarakat (Videbeck, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. dan kestabilan emosional. Upaya kesehatan jiwa dapat dilakukan. pekerjaan, & lingkungan masyarakat (Videbeck, 2008). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesehatan jiwa merupakan suatu kondisi sehat emosional, psikologi, dan sosial, yang terlihat dari hubungan interpersonal yang memuaskan, perilaku dan koping

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kasus gangguan jiwa berat mendapatkan perhatian besar di berbagai negara. Beberapa

BAB I PENDAHULUAN. Kasus gangguan jiwa berat mendapatkan perhatian besar di berbagai negara. Beberapa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kasus gangguan jiwa berat mendapatkan perhatian besar di berbagai negara. Beberapa peneliti melaporkan kasus gangguan jiwa terbesar adalah skizofrenia. Menurut capai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa yang menghadapi

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa yang menghadapi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa yang menghadapi perubahan pertumbuhan dan perkembangan. Masa remaja mengalami perubahan meliputi perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keperawatan jiwa adalah proses interpersonal yang berupaya untuk

BAB I PENDAHULUAN. Keperawatan jiwa adalah proses interpersonal yang berupaya untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keperawatan jiwa adalah proses interpersonal yang berupaya untuk meningkatkan dan mempertahankan perilaku yang mengkonstribusi pada fungsi yang terintegrasi. Pasien

Lebih terperinci

MODUL KEPERAWATAN JIWA I NSA : 420 MODUL KEPUTUSASAAN DISUSUN OLEH TIM KEPERAWATAN UNIVERSITAS ESA UNGGUL

MODUL KEPERAWATAN JIWA I NSA : 420 MODUL KEPUTUSASAAN DISUSUN OLEH TIM KEPERAWATAN UNIVERSITAS ESA UNGGUL MODUL KEPERAWATAN JIWA I NSA : 420 MODUL KEPUTUSASAAN DISUSUN OLEH TIM KEPERAWATAN UNIVERSITAS ESA UNGGUL UNIVERSITAS ESA UNGGUL FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN JAKARTA A. KOMPETENSI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gangguan jiwa ditemukan disemua lapisan masyarakat, dari mulai

BAB I PENDAHULUAN. Gangguan jiwa ditemukan disemua lapisan masyarakat, dari mulai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tuntutan hidup yang semakin tinggi dan tidak tepatanya pemberian koping pada stresor mengakibatkan peningkatan kasus gangguan jiwa. Menurut WHO (2009) memperkirakan

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL

BAB III KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL BAB III KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL Dalam bab ini akan diuraikan tentang kerangka teori, kerangka konsep, hipotesis, dan definisi operasional yang menjadi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Skizofrenia adalah suatu penyakit otak persisten dan serius yang mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam memproses informasi, hubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Skizofrenia adalah gangguan mental yang sangat berat. Gangguan ini ditandai dengan gejala-gejala positif seperti pembicaraan yang kacau, delusi, halusinasi, gangguan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. muncul dalam masyarakat, diantaranya disebabkan oleh faktor politik, sosial

BAB I PENDAHULUAN. muncul dalam masyarakat, diantaranya disebabkan oleh faktor politik, sosial BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada era globalisasi seperti sekarang ini banyak permasalahan sosial yang muncul dalam masyarakat, diantaranya disebabkan oleh faktor politik, sosial budaya serta krisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perhatian dari keluarga. Townsend (2014), mengatakan skizofrenia yaitu terjadi

BAB I PENDAHULUAN. perhatian dari keluarga. Townsend (2014), mengatakan skizofrenia yaitu terjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Skizofrenia merupakan gangguan kesehatan serius yang perlu mendapatkan perhatian dari keluarga. Townsend (2014), mengatakan skizofrenia yaitu terjadi perpecahan antara

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sisiokultural. Dalam konsep stress-adaptasi penyebab perilaku maladaptif

BAB 1 PENDAHULUAN. sisiokultural. Dalam konsep stress-adaptasi penyebab perilaku maladaptif BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gangguan jiwa merupakan penyakit dengan multi kausal, suatu penyakit dengan berbagai penyebab yang bervariasi. Kausa gangguan jiwa selama ini dikenali meliputi kausa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan Jiwa menurut Rancangan Undang-Undang Kesehatan Jiwa tahun

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan Jiwa menurut Rancangan Undang-Undang Kesehatan Jiwa tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan Jiwa menurut Rancangan Undang-Undang Kesehatan Jiwa tahun 2012(RUU KESWA,2012) adalah kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, mental, dan spiritual

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Manusia adalah mahluk sosial yang terus menerus membutuhkan orang lain disekitarnya. Salah satu kebutuhannya adalah kebutuhan sosial untuk melakukan interaksi sesama

Lebih terperinci

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2010 GAMBARAN POLA ASUH

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2010 GAMBARAN POLA ASUH GAMBARAN POLA ASUH PENDERITA SKIZOFRENIA Disusun Oleh: Indriani Putri A F 100 040 233 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2010 GAMBARAN POLA ASUH BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melangsungkan pernikahan dengan calon istrinya yang bernama Wida secara

BAB I PENDAHULUAN. melangsungkan pernikahan dengan calon istrinya yang bernama Wida secara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tidak pernah terbayangkan sebelumnya, Dadang yang awalnya ingin melangsungkan pernikahan dengan calon istrinya yang bernama Wida secara serentak batal menikah, karena

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Komunikasi adalah proses penyampaian gagasan, harapan, dan pesan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Komunikasi adalah proses penyampaian gagasan, harapan, dan pesan yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Komunikasi 2.1.1 Pengertian Komunikasi Secara Umun Komunikasi adalah proses penyampaian gagasan, harapan, dan pesan yang disampaikan melalui lambang tertentu, mengandung

Lebih terperinci

BAB II KONSEP DASAR. tanda-tanda positif penyakit tersebut, misalnya waham, halusinasi, dan

BAB II KONSEP DASAR. tanda-tanda positif penyakit tersebut, misalnya waham, halusinasi, dan BAB II KONSEP DASAR A. Pengertian Isolasi sosial sering terlihat pada klien skizofrenia. Hal ini sebagian akibat tanda-tanda positif penyakit tersebut, misalnya waham, halusinasi, dan kehilangan batasan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI. (dalam Setiadi, 2008).Menurut Friedman (2010) keluarga adalah. yang mana antara yang satu dengan yang lain

BAB II TINJAUAN TEORI. (dalam Setiadi, 2008).Menurut Friedman (2010) keluarga adalah. yang mana antara yang satu dengan yang lain BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Keluarga 2.1.1 Pengertian Menurut UU No.10 tahun 1992 keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari suami, istri, atau suami istri dan anaknya atau ayah dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. genetik, faktor organo-biologis, faktor psikologis serta faktor sosio-kultural.

BAB I PENDAHULUAN. genetik, faktor organo-biologis, faktor psikologis serta faktor sosio-kultural. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gangguan jiwa merupakan proses interaksi yang kompleks antara faktor genetik, faktor organo-biologis, faktor psikologis serta faktor sosio-kultural. Telah terbukti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam pengendalian diri serta terbebas dari stress yang serius. Kesehatan jiwa

BAB I PENDAHULUAN. dalam pengendalian diri serta terbebas dari stress yang serius. Kesehatan jiwa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan jiwa menurut UU No.36 tahun 2009 adalah "Kondisi jiwa seseorang yang terus tumbuh berkembang dan mempertahankan keselarasan, dalam pengendalian diri serta

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI. maupun minatnya terhadap lingkungan sosial secara langsung (isolasi diri).

BAB II TINJAUAN TEORI. maupun minatnya terhadap lingkungan sosial secara langsung (isolasi diri). 1 BAB II TINJAUAN TEORI A. Pengertian Menarik diri adalah satu tindakan melepaskan diri, baik perhatian maupun minatnya terhadap lingkungan sosial secara langsung (isolasi diri). (Depkes RI, 1983) Menarik

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pada gangguan jiwa berat dan beberapa bentuk waham yang spesifik sering

BAB 1 PENDAHULUAN. pada gangguan jiwa berat dan beberapa bentuk waham yang spesifik sering BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Waham merupakan salah satu jenis gangguan jiwa. Waham sering ditemui pada gangguan jiwa berat dan beberapa bentuk waham yang spesifik sering ditemukan pada penderita

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Penderita gangguan skizifrenia di seluruh dunia ada 24 juta jiwa dengan angka

BAB 1 PENDAHULUAN. Penderita gangguan skizifrenia di seluruh dunia ada 24 juta jiwa dengan angka BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penderita gangguan skizifrenia di seluruh dunia ada 24 juta jiwa dengan angka kejadian 7 per 1000 penduduk (pada wanita dan pria sama ). Diperkirakan terdapat 4 10

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara global, diperkirakan sebanyak 24 juta orang telah menderita skizofrenia (WHO, 2009). Di Indonesia, menurut Riskesdas (2007), sebanyak 1 juta orang atau sekitar

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam BAB 1 PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Skizofrenia merupakan suatu penyakit otak persisten dan serius yang mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam memproses informasi, hubungan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI

BAB II TINJAUAN TEORI BAB II TINJAUAN TEORI A. Pengertian Kerusakan interaksi sosial merupakan upaya menghindari suatu hubungan komunikasi dengan orang lain karena merasa kehilangan hubungan akrab dan tidak mempunyai kesempatan

Lebih terperinci

PENATALAKSANAAN PASIEN GANGGUAN JIWA DENGAN ISOLASI SOSIAL: MENARIK DIRI DI RUANG ARIMBI RSJD Dr. AMINO GONDOHUTOMO SEMARANG. Oleh

PENATALAKSANAAN PASIEN GANGGUAN JIWA DENGAN ISOLASI SOSIAL: MENARIK DIRI DI RUANG ARIMBI RSJD Dr. AMINO GONDOHUTOMO SEMARANG. Oleh PENATALAKSANAAN PASIEN GANGGUAN JIWA DENGAN ISOLASI SOSIAL: MENARIK DIRI DI RUANG ARIMBI RSJD Dr. AMINO GONDOHUTOMO SEMARANG Oleh Afandi 1), Y.Susilowati 2) 1) Alumni Akademi Keperawatan Krida Husada,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lain, kesulitan karena persepsinya terhadap dirinya sendiri (Djamaludin,

BAB I PENDAHULUAN. lain, kesulitan karena persepsinya terhadap dirinya sendiri (Djamaludin, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gangguan jiwa adalah kesulitan yang harus dihadapi oleh orang lain, kesulitan karena persepsinya terhadap dirinya sendiri (Djamaludin, 2001). Gangguan jiwa erat hubungannya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI. pengecapan maupun perabaan (Yosep, 2011). Menurut Stuart (2007)

BAB II TINJAUAN TEORI. pengecapan maupun perabaan (Yosep, 2011). Menurut Stuart (2007) BAB II TINJAUAN TEORI A. Definisi Halusinasi didefinisikan sebagai seseorang yang merasakan stimulus yang sebenarnya tidak ada stimulus dari manapun, baik stimulus suara, bayangan, baubauan, pengecapan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI. menimbulkan perilaku maladaptif dan mengganggu fungsi seseorang dalam

BAB II TINJAUAN TEORI. menimbulkan perilaku maladaptif dan mengganggu fungsi seseorang dalam BAB II TINJAUAN TEORI A. Pengertian Gangguan hubungan sosial merupakan suatu gangguan hubungan interpersonal yang terjadi akibat adanya kepribadian yang tidak fleksibel dan menimbulkan perilaku maladaptif

Lebih terperinci

BAB II KONSEP TEORI. Perubahan sensori persepsi, halusinasi adalah suatu keadaan dimana individu

BAB II KONSEP TEORI. Perubahan sensori persepsi, halusinasi adalah suatu keadaan dimana individu BAB II KONSEP TEORI A. Pengertian Perubahan sensori persepsi, halusinasi adalah suatu keadaan dimana individu mengalami perubahan dalam jumlah dan pola dari stimulus yang datang internal / eksternal (Carpenito,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Manusia adalah makhluk hidup yang lebih sempurna dibandingkan dengan makhluk yang lain. Konsep tentang manusia bermacam-macam. Ada yang menyatakan bahwa manusia adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesehatan jiwa menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 1966 merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesehatan jiwa menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 1966 merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesehatan jiwa menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 1966 merupakan suatu kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual dan emosional yang optimal dari

Lebih terperinci

DUKUNGAN SOSIAL PADA KLIEN ISOLASI SOSIAL DENGAN PENDEKATAN SOCIAL SUPPORT THEORY

DUKUNGAN SOSIAL PADA KLIEN ISOLASI SOSIAL DENGAN PENDEKATAN SOCIAL SUPPORT THEORY DUKUNGAN SOSIAL PADA KLIEN ISOLASI SOSIAL DENGAN PENDEKATAN SOCIAL SUPPORT THEORY Rahmi Imelisa, Achir Yani S. Hamid, dan Novy Helena C.D. Keperawatan Jiwa, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berat sebesar 4,6 permil, artinya ada empat sampai lima penduduk dari 1000

BAB I PENDAHULUAN. berat sebesar 4,6 permil, artinya ada empat sampai lima penduduk dari 1000 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Orang dianggap sehat jika mereka mampu memainkan peran dalam masyarakat dan perilaku pantas dan adaptif.organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefeniskan kesehatan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan jiwa pada manusia. Menurut World Health Organisation (WHO),

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan jiwa pada manusia. Menurut World Health Organisation (WHO), 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Multi krisis yang menimpa masyarakat dewasa ini merupakan salah satu pemicu yang menimbulkan stres, depresi dan berbagai gangguan kesehatan jiwa pada manusia.

Lebih terperinci

LAPORAN PENDAHULUAN (LP) ISOLASI SOSIAL

LAPORAN PENDAHULUAN (LP) ISOLASI SOSIAL LAPORAN PENDAHULUAN (LP) ISOLASI SOSIAL A. Pengertian Isolasi social adalah keadaan dimana individu atau kelompok mengalami atau merasakan kebutuhan atau keinginan untuk meningkatkan keterlibatan dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Gangguan Harga Diri Rendah adalah evaluasi diri dan perasaan tentang diri atau kemampuan diri yang negatif dapat secara langsung atau tidak langsung di ekspresikan

Lebih terperinci

PERAN DUKUNGAN KELUARGA PADA PENANGANAN PENDERITA SKIZOFRENIA

PERAN DUKUNGAN KELUARGA PADA PENANGANAN PENDERITA SKIZOFRENIA PERAN DUKUNGAN KELUARGA PADA PENANGANAN PENDERITA SKIZOFRENIA SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S-1 Diajukan Oleh : ESTI PERDANA PUSPITASARI F 100 050 253 FAKULTAS

Lebih terperinci

PENGARUH COGNITIVE BEHAVIORAL SOCIAL SKILLS TRAINING

PENGARUH COGNITIVE BEHAVIORAL SOCIAL SKILLS TRAINING PENGARUH COGNITIVE BEHAVIORAL SOCIAL SKILLS TRAINING (CBSST) TERHADAP KEMAMPUAN BERSOSIALISASI KLIEN ISOLASI SOSIAL DI BLU RS DR. H. MARZOEKI MAHDI BOGOR TAHUN 2010 Jumaini 1, Budi Anna Keliat 2, Sutanto

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia adalah makhluk hidup yang lebih sempurna dibandingkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia adalah makhluk hidup yang lebih sempurna dibandingkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah makhluk hidup yang lebih sempurna dibandingkan dengan makhluk yang lain. Konsep tentang manusia bermacam-macam. Ada yang menyatakan bahwa manusia adalah

Lebih terperinci

PENERAPAN TERAPI KOGNITIF DAN PSIKOEDUKASI KELUARGA PADA KLIEN HARGA DIRI RENDAH DI RUANG YUDISTIRA RUMAH SAKIT Dr. H. MARZOEKI MAHDI BOGOR TAHUN 2013

PENERAPAN TERAPI KOGNITIF DAN PSIKOEDUKASI KELUARGA PADA KLIEN HARGA DIRI RENDAH DI RUANG YUDISTIRA RUMAH SAKIT Dr. H. MARZOEKI MAHDI BOGOR TAHUN 2013 PENERAPAN TERAPI KOGNITIF DAN PSIKOEDUKASI KELUARGA PADA KLIEN HARGA DIRI RENDAH DI RUANG YUDISTIRA RUMAH SAKIT Dr. H. MARZOEKI MAHDI BOGOR TAHUN 2013 Titik Suerni¹, Budi Anna Keliat 2 dan Novy Helena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Skizofrenia adalah suatu penyakit yang mempengaruhi otak dan menyebabkan timbulnya pikiran, persepsi, emosi, gerakan dan perilaku yang aneh dan terganggu. Penyakit ini

Lebih terperinci

PENERAPAN TERAPI KOGNITIF DAN TERAPI REMINISCENCE PADA LANSIA HARGA DIRI RENDAH MENGGUNAKAN PENDEKATAN MODEL ADAPTASI ROY

PENERAPAN TERAPI KOGNITIF DAN TERAPI REMINISCENCE PADA LANSIA HARGA DIRI RENDAH MENGGUNAKAN PENDEKATAN MODEL ADAPTASI ROY PENERAPAN TERAPI KOGNITIF DAN TERAPI REMINISCENCE PADA LANSIA HARGA DIRI RENDAH MENGGUNAKAN PENDEKATAN MODEL ADAPTASI ROY Novi Herawati (Politeknik Kesehatan Kemenkes Padang) ABSTRACT The study aimed to

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang menyebabkan meningkatnya penderita gangguan jiwa. Gangguan jiwa adalah gangguan dalam cara berpikir (cognitive),

BAB I PENDAHULUAN. yang menyebabkan meningkatnya penderita gangguan jiwa. Gangguan jiwa adalah gangguan dalam cara berpikir (cognitive), BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan industrialisasi dan proses globalisasi mempengaruhi tuntutan dan kebutuhan hidup akan sesuatu yang lebih baik, menyebabkan individu berlomba untuk memenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu gangguan jiwa (Neurosa) dan sakit jiwa (Psikosa) (Yosep, hubungan interpersonal serta gangguan fungsi dan peran sosial.

BAB I PENDAHULUAN. yaitu gangguan jiwa (Neurosa) dan sakit jiwa (Psikosa) (Yosep, hubungan interpersonal serta gangguan fungsi dan peran sosial. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Gangguan jiwa adalah kumpulan dari keadaan-keadaan yang tidak normal, baik yang berhubungan dengan fisik, maupun dengan mental. Keabnormalan tersebut dibagi

Lebih terperinci

PENGARUH COGNITIVE BEHAVIOUR THERAPY PADA KLIEN DENGAN MASALAH KEPERAWATAN PERILAKU KEKERASAN DAN HALUSINASI DI RSJD DR. RM SOEDJARWADI KLATEN

PENGARUH COGNITIVE BEHAVIOUR THERAPY PADA KLIEN DENGAN MASALAH KEPERAWATAN PERILAKU KEKERASAN DAN HALUSINASI DI RSJD DR. RM SOEDJARWADI KLATEN PENGARUH COGNITIVE BEHAVIOUR THERAPY PADA KLIEN DENGAN MASALAH KEPERAWATAN PERILAKU KEKERASAN DAN HALUSINASI DI RSJD DR. RM SOEDJARWADI KLATEN Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Klaten ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Krisis multi dimensi yang melanda masyarakat saat. ini telah mengakibatkan tekanan yang berat pada sebagian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Krisis multi dimensi yang melanda masyarakat saat. ini telah mengakibatkan tekanan yang berat pada sebagian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Krisis multi dimensi yang melanda masyarakat saat ini telah mengakibatkan tekanan yang berat pada sebagian besar masyarakat dunia pada umumnya dan Indonesia pada khususnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. World Health Organitation (WHO) mendefinisikan kesehatan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. World Health Organitation (WHO) mendefinisikan kesehatan sebagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang World Health Organitation (WHO) mendefinisikan kesehatan sebagai keadaan sehat fisik, mental, dan sosial, bukan semata-mata keadaan tanpa penyakit atau kelemahan. Definisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masing-masing dari kita mungkin pernah menyaksikan di jalan-jalan, orang yang berpakaian compang-camping bahkan terkadang telanjang sama sekali, berkulit dekil, rambut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan jiwa menurut WHO (World Health Organization) adalah ketika

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan jiwa menurut WHO (World Health Organization) adalah ketika 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan jiwa menurut WHO (World Health Organization) adalah ketika seseorang tersebut merasa sehat dan bahagia, mampu menghadapi tantangan hidup serta dapat menerima

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gangguan jiwa merupakan manifestasi klinis dari bentuk penyimpangan perilaku akibat adanya distrosi emosi sehingga ditemukan ketidakwajaran dalam bertingkah laku.

Lebih terperinci

NASKAH PUBLIKASI ILMIAH ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY. S DENGAN GANGGUAN PERILAKU KEKERASAN DI RUANG SHINTA RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA

NASKAH PUBLIKASI ILMIAH ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY. S DENGAN GANGGUAN PERILAKU KEKERASAN DI RUANG SHINTA RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA NASKAH PUBLIKASI ILMIAH ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY. S DENGAN GANGGUAN PERILAKU KEKERASAN DI RUANG SHINTA RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA Disusun Oleh : ANISSYA NURUL H J 200 090 023 PROGRAM STUDI DIPLOMA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. efektif, konsep diri yang positif dan kestabilan emosional (Videbeck, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. efektif, konsep diri yang positif dan kestabilan emosional (Videbeck, 2011). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut UU Kesehatan Jiwa No. 3 Tahun 1996, kesehatan jiwa adalah kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual, emosional secara optimal dari seseorang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI

BAB II TINJAUAN TEORI BAB II TINJAUAN TEORI A. Pengertian Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat mengakhiri kehidupan. Bunuh diri merupakan keputusan terakhir dari individu untuk memecahkan masalah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI. Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan

BAB II TINJAUAN TEORI. Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan BAB II TINJAUAN TEORI A. Pengertian Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan.

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Nn. L DENGAN GANGGUAN KONSEP DIRI: HARGA DIRI RENDAH DI RUANG SRIKANDI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Nn. L DENGAN GANGGUAN KONSEP DIRI: HARGA DIRI RENDAH DI RUANG SRIKANDI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA ASUHAN KEPERAWATAN PADA Nn. L DENGAN GANGGUAN KONSEP DIRI: HARGA DIRI RENDAH DI RUANG SRIKANDI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA KARYA TULIS ILMIAH Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Mendapatkan Gelar

Lebih terperinci

PROSES TERJADINYA MASALAH

PROSES TERJADINYA MASALAH PROSES TERJADINYA MASALAH ` PREDISPOSISI PRESIPITASI BIOLOGIS GABA pada sistem limbik: Neurotransmiter inhibitor Norepineprin pada locus cereleus Serotonin PERILAKU Frustasi yang disebabkan karena kegagalan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan jiwa dapat dilakukan perorangan, lingkungan keluarga, lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan jiwa dapat dilakukan perorangan, lingkungan keluarga, lingkungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan jiwa merupakan suatu kondisi sehat emosional, psikologi, dan sosial yang terlihat dari hubungan interpersonal yang memuaskan, perilaku dan koping yang efektif,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang menyeluruh dalam menjalankan fungsi-fungsinya, karena keluarga

BAB I PENDAHULUAN. yang menyeluruh dalam menjalankan fungsi-fungsinya, karena keluarga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga menjadi unit terkecil dalam lingkup masyarakat yang memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap suatu kondisi. Dalam ruang lingkup keluarga terdapat

Lebih terperinci

Proceeding Konas Keperawatan Jiwa X Samarinda Kalimantan Timur 7-9 November 2013 DAFTAR ISI

Proceeding Konas Keperawatan Jiwa X Samarinda Kalimantan Timur 7-9 November 2013 DAFTAR ISI Proceeding Konas Keperawatan Jiwa X Samarinda Kalimantan Timur 7-9 November 2013 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... ii SUSUNAN PANITIA KONAS X SAMARINDA... iv JADUAL ACARA... viii

Lebih terperinci

TERAPI MODALITAS DALAM KEPERAWATAN JIWA

TERAPI MODALITAS DALAM KEPERAWATAN JIWA TERAPI MODALITAS DALAM KEPERAWATAN JIWA TERAPI MODALITAS DALAM KEPERAWATAN JIWA Pendahuluan Gangguan jiwa atau penyakit jiwa merupakan penyakit dengan multi kausal, suatu penyakit dengan berbagai penyebab

Lebih terperinci

I Ketut Sudiatmika*), Budi Anna Keliat**), dan Ice Yulia Wardani***)

I Ketut Sudiatmika*), Budi Anna Keliat**), dan Ice Yulia Wardani***) EFEKTIVITAS COGNITIVE BEHAVIOUR THERAPY DAN RATIONAL EMOTIVE BEHAVIOUR THERAPY TERHADAP GEJALA DAN KEMAMPUAN MENGONTROL EMOSI PADA KLIEN PERILAKU KEKERASAN I Ketut Sudiatmika*), Budi Anna Keliat**), dan

Lebih terperinci

PROPOSAL KUNJUNGAN RUMAH (HOME VISIT) PADA KELUARGA NY. A DENGAN RISIKO PERILAKU KEKERASAN HARGA DIRI RENDAH DAN WAHAM CURIGA

PROPOSAL KUNJUNGAN RUMAH (HOME VISIT) PADA KELUARGA NY. A DENGAN RISIKO PERILAKU KEKERASAN HARGA DIRI RENDAH DAN WAHAM CURIGA PROPOSAL KUNJUNGAN RUMAH (HOME VISIT) PADA KELUARGA NY. A DENGAN RISIKO PERILAKU KEKERASAN HARGA DIRI RENDAH DAN WAHAM CURIGA Disusun Oleh: DESI SUCI ANGRAENI SRI WAHYUNINGSIH PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

Lebih terperinci