PENDAHULUAN REPRESENTASI PEREMPUAN DALAM POLITIK: SEBUAH KENISCAYAAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENDAHULUAN REPRESENTASI PEREMPUAN DALAM POLITIK: SEBUAH KENISCAYAAN"

Transkripsi

1 PENDAHULUAN REPRESENTASI PEREMPUAN DALAM POLITIK: SEBUAH KENISCAYAAN Seiring perkembangan zaman, modernisasi, serta globalisasi ilmu pengetahuan dan teknologi, anggapan bahwa politik adalah dunia laki-laki yang keras, bahkan kotor dan tidak pantas untuk dimasuki oleh kaum perempuan seolah semakin memudar. Munculnya gerakan feminisme di negara-negara Barat yang kemudian diikuti oleh negara-negara di dunia ketiga perlahan tetapi pasti berhasil mendobrak tradisi yang selama berabad-abad hanya menempatkan perempuan pada sektor privat (rumah tangga) untuk bergerak memasuki berbagai bidang yang ada di sektor publik, termasuk di dalamnya bidang politik. Memasuki akhir abad ke-20, lebih dari 95% negara di dunia menjamin dua hak demokratik perempuan yang paling mendasar atau fundamental, yaitu hak untuk memilih (right to vote) dan hak untuk mencalonkan diri dalam pemilihan (right to stand for elections). 1 Data dari International Parliamentary Union menunjukkan, Selandia Baru merupakan negara pertama di dunia yang memberikan hak suara kepada perempuan pada tahun Sedangkan negara pertama yang mengadopsi dua hak demokratik mendasar kaum perempuan adalah Finlandia, yang dilakukan pada tahun Demikian pula yang terjadi di Indonesia. Dalam beberapa dekade terakhir ini, masalah keterwakilan perempuan dalam politik menjadi wacana yang penting dalam upaya meningkatkan partisipasi politik perempuan. Pembicaraan mengenai partisipasi politik perempuan tidak dapat dilepaskan dari hak-hak politik perempuan yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan maupun konvensi internasional. 1 Nadezhda Shvedova, Kendala-kendala terhadap Partisipasi Perempuan di Parlemen dalam Perempuan di Parlemen, Bukan Sekedar Jumlah, Bukan Sekedar Hiasan, Azza Karam, dkk, penerjemah Arya Wisesa dan Widjanarko, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 1999, hlm Ibid. 3 Ibid. 1

2 Representasi Perempuan dalam Politik A. Hak Perempuan untuk Berpolitik Keterlibatan perempuan dalam bidang politik merupakan salah satu bentuk nyata dari perwujudan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan yang dijamin dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), terutama Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan bahwa Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Implementasi dari ketentuan tersebut terdapat dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Hak politik perempuan antara lain diatur dalam Pasal 43 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa: 1) Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan. 2) Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau dengan perantaraan wakil yang dipilihnya dengan bebas, menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. 3) Setiap warga negara dapat diangkat dalam setiap jabatan pemerintahan. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 bahkan secara khusus mengatur mengenai hak perempuan dalam Bab III Bagian ke-9 tentang Hak Wanita. Pasal 46 menyatakan bahwa Sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif, dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif, yudikatif harus menjamin keterwakilan wanita sesuai persyaratan yang ditentukan. Berkaitan dengan partisipasi politik perempuan tersebut, Indonesia juga telah meratifikasi dua konvensi, yaitu: 1) Konvensi PBB tentang Hak-hak Politik Perempuan Tahun 1952 yang diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 68 Tahun 1958 tentang Pengesahan Konvensi tentang Hak-hak Politik Perempuan (The Convention on the Political Rights for Women; 2) Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan/Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women/CEDAW (diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita). CEDAW ini juga dikenal secara luas sebagai Konvensi Perempuan. 2

3 Representasi Perempuan dalam Lembaga Legislatif Dalam Konvensi tentang Hak-hak Politik Perempuan (The Convention on the Political Rights for Women) Pasal 1 dinyatakan bahwa: perempuan berhak memberikan suara dalam semua pemilihan dengan status sama dengan pria tanpa diskriminasi (women shall be entitled to vote in all elections on equal terms with men without any discrimination). 4 Selanjutnya dalam Pasal 2 dinyatakan bahwa: 5 perempuan dapat dipilih untuk semua badan elektif yang diatur dengan hukum nasional, dengan status sama dengan pria tanpa diskriminasi (women shall be eligible for election to all publicly elected body established by national law, on equal terms with men without any discrimination); Perempuan berhak menduduki jabatan resmi dan menyelenggarakan semua fungsi resmi yang diatur semua hukum nasional, dengan status sama dengan pria tanpa diskriminasi (women shall be entitled to hold public office and to exercise all public functions, established by national law, on equal terms with men without any discrimination). Hak perempuan dalam kehidupan politik secara khusus juga diatur dalam Pasal 7 Konvensi Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women, yang menyatakan kewajiban negara untuk menjamin bahwa perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki untuk: a. Dipilih dan memilih; b. Berpartisipasi dalam perumusan kebijakan pemerintah dan implementasinya, memegang jabatan dalam pemerintahan dan melaksanakan fungsi pemerintahan di semua tingkat; c. Berpartisipasi dalam organisasi dan perkumpulan non-pemerintah yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat dan politik negara. Selain dalam dua konvensi tersebut, hak politik perempuan juga terdapat dalam Kovenan Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights). 6 Kovenan ini telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun Pasal 3 Kovenan Hak Sipil dan Politik menyatakan bahwa: Negara-negara Peserta Kovenan ini sepakat untuk menjamin hak yang sama bagi pria dan perempuan untuk menikmati hak-hak sipil dan politik yang dicanangkan dalam Kovenan ini (The States Parties to the present Covenant undertake to ensure the equal right of men and women to the enjoyment of all civic and political rights set forth in the present Covenant). Hak-hak ini antara lain mencakup hak atas hidup (Pasal 6), kesamaan di badan-badan pengadilan 4 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, edisi revisi, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009, hlm Ibid. 6 Ibid. 3

4 Representasi Perempuan dalam Politik (Pasal 14), kebebasan mempunyai pendapat tanpa campur tangan pihak lain (Pasal 19). Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, Politik juga menyatakan hal yang sama dalam Pasal 3. Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, Politik telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang- Undang-Undang Nomor 11 Tahun Deklarasi Wina (Vienna Declaration and Programme of Action) Tahun 1993 juga mendukung pemberdayaan perempuan. Deklarasi Wina merupakan hasil kompromi antara negara barat dan negara-negara dunia ketiga yang menegaskan kembali konsep-konsep universal (universal), tidak terpisah satu hak dari hak lainnya (indivisible), saling tergantung (interdependent), saling berhubungan (inter-related), tidak berpihak (non-selectivity) dan mempertahankan objektivitas (objectivity). 7 Pasal 1/18 Deklarasi Wina menyatakan secara tegas bahwa hak asasi perempuan serta anak adalah bagian integral dari hak asasi yang tidak dapat dicabut (inalienable), integral, dan tidak dapat dipisahkan (indivisible). 8 Dengan meratifikasi beberapa konvensi dan kovenan tersebut, berarti Pemerintah Indonesia memiliki kewajiban untuk menjalankan setiap bagian dan pasal dari konvensi dan karena itu secara maksimal, terutama yang berkaitan dengan upaya untuk meningkatkan keterlibatan perempuan dalam politik. Akan tetapi, realitas politik yang ada saat ini menunjukkan bahwa tingkat partisipasi politik perempuan di Indonesia masih relatif rendah dibandingkan dengan laki-laki, tidak terkecuali partisipasi perempuan dalam lembaga legislatif. Pentingnya peran perempuan dalam proses pengambilan keputusan juga dapat dilihat dari kesepakatan internasional dalam bentuk Deklarasi dan Landasan Aksi Beijing atau Beijing Declaration and Platform for Action (BPFA) yang merupakan hasil Konperensi Perempuan se-dunia ke IV yang diselenggarakan di Beijing pada tahun BPFA merupakan landasan operasional yang disepakati bagi pelaksanaan Konvensi Perempuan yang bertema kesetaraan, pembangunan, dan perdamaian (equality, development, and peace). BPFA mengidentifikasi 12 bidang kritis beserta tujuan-tujuan strategis bagi setiap bidang yang meliputi: 1. perempuan dan kemiskinan; 2. pendidikan dan pelatihan bagi perempuan; 3. perempuan dan kesehatan; 4. kekerasan terhadap perempuan; 5. perempuan dan konflik bersenjata; 6. perempuan dan ekonomi; 7 Ibid., hlm Ibid., hlm

5 Representasi Perempuan dalam Lembaga Legislatif 7. perempuan dan pengambilan keputusan; 8. mekanisme institusional bagi kemajuan perempuan; 9. hak asasi perempuan; 10. perempuan dan media; 11. perempuan dan lingkungan; dan 12. anak perempuan. Indonesia bersama 188 negara lainnya telah menyepakati BPFA ini. Terkait bidang kritis nomor 7 (perempuan dan pengambilan keputusan), terdapat 2 poin yang perlu diperhatikan oleh Indonesia dan negara-negara lain peserta konperensi, yaitu: 9 1. mengambil langkah-langkah untuk menjamin akses dan partisipasi penuh perempuan dalam struktur kekuasaan dan pengambil keputusan; 2. meningkatkan kapasitas perempuan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan kepemimpinan. Selain itu, komitmen untuk meningkatkan kesetaraan dan keadilan gender, termasuk dalam bidang politik dan pengambilan keputusan juga tercantum dalam Tujuan Pembangunan Abad Milenium/Millenium Development Goals (MDGs) yang dicanangkan oleh PBB dalam Millenium Summit yang diselenggarakan pada bulan September MDGs berisi 8 tujuan dan 17 target yang harus dicapai oleh 191 negara anggota PBB pada tahun Ke delapan tujuan tersebut adalah: 1. meniadakan kemiskinan dan kelaparan ekstrim; 2. mencapai pendidikan dasar secara universal; 3. meningkatkan kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan; 4. mengurangi tingkat kematian anak; 5. memperbaiki kesehatan ibu; 6. memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit-penyakit lainnya; 7. menjamin kelestarian lingkungan hidup; dan 8. membentuk sebuah kerja sama global untuk pembangunan. Peningkatan peran perempuan dalam bidang politik dan pengambilan keputusan merupakan salah satu indikator dalam target ketiga MDGs. Walaupun secara normatif UUD 1945 telah menjamin persamaan kedudukan setiap warga negara, baik perempuan maupun laki-laki dan Indonesia telah meratifikasi beberapa konvensi dan kovenan, yang kemudian diperkuat dengan BPFA dan MDGs, namun sampai saat ini perempuan masih mengalami diskriminasi hampir di segala bidang kehidupan. Akibat 9 Mengertikah Anda? Begitu Banyak Peluang bagi Perempuan dalam Menyelenggarakan NKRI. Leaflet Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, tanpa tahun. 5

6 Representasi Perempuan dalam Politik perlakuan yang diskriminatif, perempuan belum memperoleh manfaat yang optimal dalam menikmati hasil pembangunan. Perempuan sebagai bagian dari proses pembangunan nasional, yaitu sebagai pelaku sekaligus pemanfaat hasil pembangunan, masih belum dapat memperoleh akses, berpartisipasi, dan memperoleh manfaat yang setara dengan laki-laki, terutama dalam proses perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan maupun dalam pelaksanaan pembangunan di semua bidang dan semua tingkatan. Demikian pula dengan partisipasi perempuan dalam bidang politik dan pengambilan keputusan. B. Partisipasi Politik Perempuan: Mengapa Perlu? Beberapa definisi mengenai partisipasi politik menekankan bahwa unsur utama dalam partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik. Hal itu antara lain terlihat dalam definisi partisipasi politik yang diberikan oleh Surbakti yang mengartikan partisipasi politik sebagai.keikutsertaan warga negara biasa dalam menentukan segala keputusan yang menyangkut atau mempengaruhi hidupnya. 10 Sementara itu, Suyanto mengatakan bahwa.partisipasi politik dalam pengertian umum adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik. 11 Suyanto mencontohkan masuknya seseorang dalam suatu partai atau keikutsertaan dalam pemilihan umum sebagai partisipasi politik. Sedangkan Herbert McClosky menambahkan adanya sifat sukarela dalam kegiatan yang menjadi unsur partisipasi politik, yang dapat dilihat dari definisi berikut: partisipasi adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa dan secara langsung atau tidak langsung dalam proses pembentukan kebijakan umum. 12 Secara lebih luas, Samuel P Huntington dan Joan M. Nelson melihat adanya tujuan tertentu dari kegiatan ini, yaitu mempengaruhi pengambilan keputusan, sehingga mereka mendefinisikan partisipasi politik sebagai kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi dengan tujuan mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah. 13 Dan bila melihat cara-cara yang ditempuh untuk mencapai tujuan tersebut, 10 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia, 1992, hlm Isbodroini Suyanto, Peranan Sosialisasi Politik terhadap Partisipasi Politik Perempuan, dalam Ihromi, TO (eds). Kajian Wanita dalam Pembangunan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hlm Isbodroini Suyanto, Ibid., Lihat juga Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, edisi revisi, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009, hlm Samuel P Huntington dan Joan M. Nelson, Partisipasi Politik di Negara Berkembang, Jakarta: Rineka Cipta, 1990, hlm. 4. Lihat juga Miriam Budiardjo, op.cit., hlm

7 Representasi Perempuan dalam Lembaga Legislatif partisipasi dapat dilakukan secara spontan, berkesinambungan maupun sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal, serta efektif atau tidak efektif. 14 Dari beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang sebagai warga negara untuk turut serta secara aktif dan sukarela dalam proses pembentukan kebijakan dengan tujuan mempengaruhi keputusan pemerintah sebagai pembuat dan pelaksana keputusan politik. Namun demikian tidak semua kegiatan dapat diartikan sebagai partisipasi politik. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi sehingga suatu kegiatan dapat disebut sebagai partisipasi politik, yaitu: Merupakan kegiatan atau perilaku yang dapat diamati, bukan perilaku yang berupa sikap dan orientasi; 2. Kegiatan tersebut dimaksudkan untuk mempengaruhi pemerintah sebagai pembuat dan pelaksana keputusan politik, tanpa memperhitungkan apakah kegiatan tersebut benar-benar efektif atau tidak; 3. Kegiatan tersebut tidak hanya kegiatan yang oleh pelakunya dimaksudkan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah (partisipasi otonom) melainkan juga kegiatan yang oleh orang lain di luar pelaku dimaksudkan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah (partisipasi yang dimobilisasikan); 4. Kegiatan tersebut dilakukan secara langsung maupun tidak langsung (melalui perantara), melalui prosedur yang wajar (konvensional) dan tidak berupa kekerasan (non-violence) maupun dengan cara-cara di luar prosedur yang wajar (non konvensional) dan berupa kekerasan (violence). Sebagaimana halnya laki-laki, sebagai bagian dari warga negara, perempuan juga perlu terlibat dalam politik. Mengapa? Karena perempuan memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus yang hanya dapat dipahami paling baik oleh perempuan sendiri. 16 Kebutuhan ini antara lain kebutuhankebutuhan yang terkait dengan isu-isu kesehatan reproduksi, seperti akses terhadap informasi kesehatan reproduksi dan akses terhadap pelayanan kesehatan reproduksi, terutama ketika seorang perempuan hamil dan melahirkan. Contoh lainnya, akibat perbedaan organ reproduksi, perempuan juga mengalami menstruasi, suatu hal yang tidak dialami oleh laki-laki, sehingga perempuan juga memiliki kebutuhan yang berbeda dengan laki-laki berkaitan dengan organ reproduksinya tersebut. 14 Samuel P Huntington dan Joan M. Nelson, ibid. 15 Ibid, hlm Lihat juga Ramlan Surbakti, op.cit., hlm Modul Perempuan untuk Politik, Sebuah Panduan tentang Partisipasi Perempuan dalam Politik, M,B. Wijaksana (ed.), Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2004, hlm. 3. 7

8 Representasi Perempuan dalam Politik Adanya pemahaman yang cukup mengenai perbedaan kebutuhan perempuan dengan laki-laki akan mempengaruhi proses pengambilan keputusan berikut hasilnya, yang akan membawa dampak yang signifikan bagi perempuan. Sebuah contoh sederhana, dalam penanganan suatu bencana alam, adanya pemahaman bahwa perempuan mengalami menstruasi akan menambah komponen bantuan yang wajib diberikan kepada korban bencana alam. Bantuan tersebut tidak hanya berupa makanan, air bersih, dan pakaian, tetapi juga pembalut untuk perempuan. Meskipun tidak berkaitan secara langsung, minimnya jumlah perempuan yang duduk di lembaga-lembaga pengambil keputusan pada gilirannya juga akan mempengaruhi setiap proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh lembaga tersebut berikut hasilnya. Secara tidak langsung, perempuan telah dirugikan dengan kondisi ini. Terlebih lagi, perempuan memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus yang berbeda dengan laki-laki, sehingga keterlibatan perempuan dalam lembaga-lembaga politik dengan jumlah yang memadai diharapkan dapat lebih mengakomodasikan kebutuhan perempuan. Di tingkat daerah, representasi perempuan yang rendah dalam lembaga pembuatan kebijakan di tingkat lokal ditambah dengan ketiadaan perspektif gender dalam kebijakan tersebut telah menimbulkan konsekuensi yang merugikan masyarakat, khususnya kaum perempuan. 17 Hal ini antara lain dapat dilihat dari banyaknya peraturan daerah (perda) atau peraturan lainnya di tingkat daerah yang diskriminatif terhadap perempuan, seperti Perda yang mengatur tentang Syariat Islam, Perda tentang Anti Pelacuran atau Perbuatan Maksiat, Perda tentang Larangan untuk Keluar Malam bagi Perempuan, Perda tentang Kewajiban untuk Berbusana Muslim, dan berbagai aturan lainnya yang berdampak pada diskriminasi terhadap perempuan. 18 Beberapa contoh yang dapat disebut antara lain Peraturan Daerah Kota Tangerang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran, 19 Peraturan Daerah Kabupaten Maros Nomor 16 Tahun 2005 tentang Busana Muslim, 20 dan Instruksi Walikota Padang Nomor Tahun 2005 tentang Busana Muslim Ani W. Soetjipto, Politik Perempuan Bukan Gerhana, Jakarta: Kompas, 2005, hlm Sali Susiana, Perda Diskriminatif dan Kekerasan terhadap Perempuan, Jakarta: Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI, 2011, hlm Ibid., hlm. 8. Lihat juga, Sali Susiana, Perda tentang Antipelacuran dan Hak Perempuan (Kajian tentang Peraturan Daerah Kota Tangerang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran: Perspektif Feminis Radikal), Majalah Ilmiah KAJIAN Vol. 11, No. 2 Juni Jakarta: Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi, Sekretariat Jenderal DPR RI, hlm Sali Susiana, Perda Diskriminatif dan Kekerasan terhadap Perempuan, op.cit., hlm Ibid., hlm. 7. 8

9 Representasi Perempuan dalam Lembaga Legislatif Data dari Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menunjukkan, kebijakan daerah yang diskriminatif terus meningkat jumlahnya. Hingga tanggal 18 Agustus 2013, terdapat 342 kebijakan diskriminatif, atau meningkat dua kali lipat dari tahun 2009 sebanyak 154 perda. 22 Perda diskriminatif ini tersebar di lebih dari 100 kabupaten /kota di 25 provinsi. 23 Sebanyak 265 dari 342 kebijakan diskriminatif tersebut (77,5%) secara langsung menyasar perempuan atas nama agama dan moralitas. 24 Termasuk dalam 265 kebijakan itu adalah 79 kebijakan yang mengatur cara berpakaian berdasarkan interpretasi tunggal ajaran agama penduduk mayoritas. 25 Ada pula 124 kebijakan tentang prostitusi dan pornografi, 27 kebijakan tentang pemisahan ruang publik lakilaki dan perempuan atas alasan moralitas (19 di antaranya menggunakan istilah khalwat atau mesum) dan 35 kebijakan terkait pembatasan jam keluar malam yang pengaturannya mengurangi hak perempuan bermobilitas, pilihan pekerjaan, serta perlindungan dan kepastian hukum. 26 Meskipun tidak ada jaminan bahwa semakin banyak perempuan duduk di lembaga pengambil kebijakan, termasuk di tingkat lokal maka kebijakan tersebut secara otomatis akan berperspektif gender, namun setidaknya keberadaan perempuan di lembaga kebijakan tersebut akan dapat mewarnai proses perumusan kebijakan, mengingat pengalaman perempuan berbeda dengan laki-laki dan perempuan sendiri yang paling mengerti apa yang paling mereka butuhkan. Dalam konteks ini, keberadaan perempuan di lembagalembaga politik diharapkan dapat menyuarakan kepentingan dan kebutuhan kaum mereka sendiri, yaitu kaum perempuan. 22 Siaran Pers Komnas Perempuan: Kebijakan Diskriminatif yang Bertentangan dengan Konstitusi tanggal 22 August 2013, diakses tanggal 23 Oktober Kemajuan Semu Perempuan Indonesia, Kompas 11 Maret Siaran Pers Komnas Perempuan: Kebijakan Diskriminatif yang Bertentangan dengan Konstitusi tanggal 22 August 2013, op.cit. 25 Ibid. 26 Ibid. 9

10

11 PARTISIPASI POLITIK PEREMPUAN DAN AFFIRMATIVE ACTION Dalam bab sebelumnya telah diuraikan bahwa partisipasi politik perempuan yang dijamin dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan konvensi internasional sangat diperlukan karena hanya perempuan sendiri yang paling mengerti kebutuhannya dan perempuan memiliki kebutuhan khusus yang berbeda dengan kebutuhan laki-laki. Walaupun demikian, tidak serta merta perempuan dapat melenggang bebas masuk ke dunia politik. Banyak sekali hambatan yang harus dihadapi oleh perempuan yang akan memasuki dunia politik maupun perempuan yang sudah terjun ke dunia tersebut. Hambatan tersebut dapat bersifat struktural maupun kultural, dan dapat berasal dari dalam diri perempuan sendiri maupun dari luar dirinya. Bab ini akan membahas mengenai berbagai hambatan yang dihadapi oleh perempuan untuk berpolitik dan affirmative action sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan partisipasi politik perempuan. Namun demikian, sebelumnya akan digambarkan secara sekilas bagaimana partisipasi politik perempuan dalam lembaga legislatif di Indonesia. A. Partisipasi Politik Perempuan dalam Lembaga Legislatif Partisipasi perempuan dalam kegiatan politik di Indonesia secara umum dapat dilihat dari dua indikator. Pertama, keterlibatan perempuan dalam lembaga legislatif (DPR dan DPRD). Dan kedua, kehadiran perempuan sebagai pengambil keputusan (decision maker) dalam lembaga eksekutif, baik dalam struktur pemerintahan (mulai pemerintahan pusat sampai dengan pemerintahan daerah) maupun dalam jabatan Eselon I sampai dengan Eselon III dalam kementerian/ lembaga. Uraian selanjutnya hanya akan difokuskan pada indikator yang pertama, yaitu keterlibatan perempuan dalam lembaga legislatif. Lembaga legislatif di Indonesia menurut Miriam Budiardjo telah ada sejak masa pra-kemerdekaan, dengan dibentuknya Volksraad pada tahun Namun demikian, partisipasi politik perempuan di lembaga legislatif baru dimulai pada tahun 50-an. Untuk memudahkan melihat tingkat partisipasi 1 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, edisi revisi, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009, hlm

12 Partisipasi Politik Perempuan dan Affirmative Action perempuan dalam lembaga legislatif, penulis membaginya menjadi dua periode besar, yaitu sebelum era reformasi dan setelah era reformasi. Partisipasi perempuan dalam lembaga legislatif sebelum era reformasi meliputi: 1. masa pemerintahan Presiden Soekarno (Orde Lama: ) 2. pemerintahan Presiden Soeharto atau lebih dikenal dengan masa Orde Baru ( ). Sedangkan partisipasi setelah era reformasi dimulai pada tahun 1998 bersamaan dengan tumbangnya pemerintahan Presiden Soeharto. 1. Partisipasi Politik Perempuan dalam Lembaga Legislatif Sebelum Era Reformasi Selama masa pra-kemerdekaan hingga sebelum era reformasi, lembaga legislatif yang ada di Indonesia dapat dibagi menjadi beberapa periode, yaitu: 2 1. Volksraad ( ); 2. Komite Nasional Indonesia ( ); 3. DPR dan Senat Republik Indonesia Serikat ( ); 4. DPR Sementara ( ); 5. a. DPR hasil Pemilihan Umum 1955 ( ) b. DPR Peralihan ( ) 6. DPR Gotong Royong-Demokrasi Terpimpin ( ); 7. DPR Gotong Royong-Demokrasi Pancasila ( ); 8. DPR hasil Pemilihan Umum 1971; 9. DPR hasil Pemilihan Umum 1977; 10. DPR hasil Pemilihan Umum 1982; 11. DPR hasil Pemilihan Umum 1987; 12. DPR hasil Pemilihan Umum 1992; 13. DPR hasil Pemilihan Umum 1997; 14. DPR hasil Pemilihan Umum 1999; 15. DPR hasil Pemilihan Umum Dari periodisasi tersebut tampak bahwa embrio atau cikal bakal lembaga legislatif sudah terbentuk jauh sebelum masa kemerdekaan. Akan tetapi partisipasi perempuan Indonesia dalam lembaga legislatif baru dimulai pada tahun 50-an. Pada saat itu, perempuan yang berhasil menduduki kursi di DPR periode tahun baru berjumlah 17 orang atau 6,3% dari total 289 orang Anggota DPR. Jumlah ini secara kuantitas meningkat menjadi 25 orang pada periode berikutnya, yaitu pada masa Konstituante ( ), tetapi sebenarnya persentasenya lebih kecil dibanding dengan periode sebelumnya (5,1%), mengingat pada masa ini jumlah total Anggota DPR meningkat hampir dua kali lipat menjadi 513 orang. 2 Ibid., hlm

13 Representatif Perempuan dalam Lembaga Legislatif Persentase perempuan di lembaga legislatif baru meningkat kembali pada tahun 1971, di mana jumlah perempuan yang menjadi Anggota DPR tercatat 31 orang atau 6,7% dari total Anggota DPR secara keseluruhan yang berjumlah 496 orang. Pada masa Orde Baru ini, keterlibatan perempuan dalam lembaga legislatif terus menunjukkan adanya peningkatan, meskipun relatif lambat. Pada tahun 1987, jumlah perempuan yang duduk di lembaga legislatif meningkat hampir dua kali lipat menjadi 59 orang (11,8%). Bahkan, pada periode , jumlah perempuan yang menjadi Anggota DPR mencapai 150 orang (15%). 3 Jumlah ini kembali menurun menjadi 62 orang (12,5%) pada Pemilu Dan pada pemilu berikutnya (1997), jumlah ini menurun lagi menjadi 54 orang (10,8%). Persentase perempuan yang duduk di lembaga legislatif secara lebih lengkap dapat dilihat pada tabel berikut: Periode Tabel 1 Jumlah Perempuan di DPR Tahun Jumlah Anggota Laki-laki (%) Jumlah Anggota Perempuan (%) (93,7) 17 (6,3) Konstituante ( ) 488 (94,9) 25 (5,1) (92,2) 36 (7,8) (93,7) 29 (6,3) (91,5) 39 (8,5) (87) 65 (13) (87,5) 62 (12,5) (89,2) 54 (10,8) Sumber: Ani W. Soetjipto, Politik Perempuan Bukan Gerhana, Jakarta: Kompas, 2005, hlm. 239, diolah. Dari Tabel 1 tersebut terlihat bahwa meskipun partisipasi perempuan dalam lembaga legislatif sudah dimulai sejak pertengahan tahun 50-an, namun hingga lebih dari 40 tahun kemudian persentase perempuan yang menduduki kursi di lembaga tersebut tidak pernah lebih dari 13%. Bahkan persentase terendah terjadi pada masa Konstituante, yaitu hanya 5,1%. Bagaimana dengan partisipasi politik perempuan di lembaga legislatif pasca-orde Baru? 2. Partisipasi Politik Perempuan dalam Lembaga Legislatif pada Era Reformasi Pada era Reformasi, yang diawali dengan turunnya Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998, jumlah perempuan yang menduduki lembaga legislatif mengalami pasang surut. Pada awal reformasi hingga saat ini telah 3 Lihat Pengantar yang disampaikan oleh Mely G. Tan dalam Perempuan Indonesia Pemimpin Masa Depan, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996, hlm. xiii-xiv. 13

14 Partisipasi Politik Perempuan dan Affirmative Action dilaksanakan tiga kali pemilihan umum. Hasil Pemilihan Umum Tahun 1999 yang merupakan pemilu pertama kali yang diselenggarakan pada masa reformasi menunjukkan bahwa jumlah perempuan yang berhasil menduduki kursi di DPR menurun menjadi 45 orang atau hanya sebesar 9% dari total Anggota DPR secara keseluruhan yang berjumlah 500 orang. Pada periode sebelumnya ( ) jumlah perempuan yang duduk di kursi legislatif sedikit lebih banyak, yaitu 54 orang atau 10,8%. Namun demikian, pada pemilihan umum (pemilu) berikutnya, yaitu Pemilu Tahun 2004, jumlah ini meningkat menjadi 61 orang (11,09%). Demikian pula dengan hasil Pemilu Tahun 2009, di mana persentase tersebut mencapai 17,9% (101 orang dari total 560 orang Anggota DPR). Persentase perempuan dalam tiga pemilu pada era reformasi tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 2 Jumlah Perempuan di DPR Hasil Pemilu Pemilu Total Anggota DPR Jumlah Anggota Perempuan % orang 45 orang 9, orang 61 orang 11, orang 101 orang 17,86 Sumber: Kemitraan, Meningkatkan Keterwakilan Perempuan, Penguatan Kebijakan Afirmasi, Jakarta: Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan, Dari tabel tersebut di atas terlihat bahwa meskipun pada pemilu yang diselenggarakan pada awal reformasi kursi di DPR yang berhasil diduduki oleh perempuan lebih sedikit dibanding sebelumnya, tetapi pada dua pemilu berikutnya jumlah perempuan yang menduduki kursi di lembaga legislatif terus menunjukkan peningkatan. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah peningkatan tersebut merupakan salah satu dampak dari perubahan konstelasi politik pada masa reformasi yang relatif lebih terbuka dan dinamis ataukah ada faktor lain yang mempengaruhi persentase perempuan di DPR? Misalnya, adanya tuntutan yang deras dari berbagai kalangan, terutama para aktivis perempuan agar keterwakilan perempuan di lembaga legislatif ditingkatkan. B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Politik Perempuan Meskipun tingkat keterwakilan perempuan di lembaga legislatif selama era reformasi menunjukkan adanya peningkatan dari pemilu ke pemilu, namun persentasenya belum mencapai 30% sebagaimana yang diharapkan. Hal ini tidak terlepas dengan banyaknya faktor yang mempengaruhi tingkat keterwakilan perempuan di lembaga politik, tidak termasuk di dalamnya lembaga legislatif. 14

15 Representatif Perempuan dalam Lembaga Legislatif Center for Asia-Pasific Women in Politics mencatat adanya dua faktor utama yang menghambat partisipasi politik perempuan, yaitu: 4 1. pengaruh dari masih mengakarnya peran dan pembagian gender antara laki-laki dan perempuan yang tradisional yang membatasi atau menghambat partisipasi perempuan di bidang kepemimpinan dan pembuatan kebijakan atau keputusan; dan 2. kendala-kendala kelembagaan (institusional) yang masih kuat atas akses perempuan terhadap kekuasaan yang tersebar di berbagai kelembagaan sosial-politik, antara lain tipe sistem pemilihan umum (pemilu). Nadezhda Shvedova mengategorikan masalah atau kendala yang dihadapi perempuan yang memasuki kehidupan politik di parlemen menjadi 3 jenis, yaitu kendala politik, kendala sosio-ekonomi, dan kendala psikologi atau sosio-kultural. 5 Kendala politik yang utama yang dihadapi perempuan adalah: 6 1. kelaziman model maskulin mengenai kehidupan politik dan badanbadan pemerintahan hasil pemilihan; 2. kurangnya dukungan partai, seperti terbatasnya dukungan dana bagi kandidat perempuan, terbatasnya akses untuk jaringan politik, dan meratanya standar ganda; 3. kurangnya hubungan dan kerja sama dengan organisasi publik lainnya seperti serikat dagang (buruh) dan kelompok-kelompok perempuan; 4. tiadanya sistem pelatihan dan pendidikan yang berkembang, baik bagi kepemimpinan perempuan pada umumnya maupun bagi orientasi perempuan muda pada kehidupan politik pada khususnya; 5. hakekat sistem pemilihan, yang mungkin atau tidak mungkin menjadi menguntungkan bagi kandidat perempuan. Kendala-kendala sosio-ekonomi yang mempengaruhi partisipasi perempuan dalam parlemen yaitu: 7 1. kemiskinan dan pengangguran; 2. lemahnya sumber-sumber keuangan yang memadai; 3. buta huruf dan terbatasnya akses pendidikan dan pilihan profesi; 4. beban ganda mengenai tugas-tugas rumah tangga dan kewajiban profesional. 4 Pengantar buku Keterwakilan Perempuan di Lembaga-lembaga Nasional yang Anggotanya Dipilih melalui Pemilu: Perbedaan-perbedaan dalam Praktek Internasional dan Faktorfaktor yang Mempengaruhinya, IFES, tanpa tahun, hal. i. 5 Nadezhda Shvedova, Kendala-kendala terhadap Partisipasi Perempuan di Parlemen dalam Perempuan di Parlemen, Bukan Sekedar Jumlah, Bukan Sekedar Hiasan, op.cit., hlm Ibid., hlm Ibid., hlm

16 Partisipasi Politik Perempuan dan Affirmative Action Adapun kendala-kendala ideologis dan psikologis perempuan yang memasuki parlemen mencakup: 8 1. ideologi gender dan pola-pola kultural maupun peran sosial yang ditetapkan sebelumnya yang diberikan kepada perempuan dan laki-laki; 2. kurangnya kepercayaan diri perempuan untuk mencalonkan diri; 3. persepsi perempuan tentang politik sebagai permainan kotor ; 4. kehidupan perempuan yang digambarkan dalam media massa. Secara lebih khusus, hasil survei yang telah dilakukan oleh Inter- Parliamentary Union antara tahun terhadap 272 anggota parlemen dari 110 negara anggota Inter-Parliamentary Union (40% di antaranya laki-laki) dan dipublikasikan tahun 2008 menunjukkan adanya 3 hal yang mempengaruhi masuknya responden ke dunia politik, yaitu: 9 1. konteks sosio-kultural (the socio-cultural context); 2. hambatan keuangan (financial constraints); dan 3. sistem pemilihan dan partai politik (electoral systems and political parties). Secara umum, hambatan yang dihadapi perempuan dalam politik antara lain: Perempuan kalah start dalam politik dibandingkan dengan laki-laki; 2. Beban yang berlapis yang dihadapi perempuan (privat, publik, dan komunitas); 3. Kemampuan ekonomi lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki; 4. Pendidikan politik yang lebih rendah dibanding laki-laki; 5. Label nilai patriarki melalui budaya dan agama terhadap perempuan. Di Indonesia, beberapa faktor yang menghambat keterwakilan perempuan di lembaga pengambil keputusan antara lain: kurangnya kehendak politik (political will); 2. kurangnya critical mass (massa kritis) perempuan di dunia politik; 3. keberadaan dan kuatnya jaringan laki-laki (all boys club); 4. akses yang berbeda terhadap sumber-sumber politik; 5. sistem pemilu; 6. ketidakadilan gender yang terjadi dalam masyarakat (stereotype, kekerasan, marginalisasi, beban ganda, dan subordinasi); 8 Ibid., hlm Inter-Parliamentary Union, Equality in Politics: a Survey of Women and Men in Parliaments, Reports and Documents No. 54, Pemilu 2009: Suara Terbanyak vs Nomor Urut (Studi atas Pemilu Legislatif 2009 di Indonesia), Women Research Institute, 12 Maret Mengapa Perempuan Perlu di Lembaga Pengambil Keputusan, Buklet Peningkatan Partisipasi Politik Perempuan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia,

17 Representatif Perempuan dalam Lembaga Legislatif 7. kurang dibukanya katup intelektualitas bagi individual perempuan yang berpotensi meraih dukungan massa dan berpotensi mengikuti rekrutmen di dunia politik, sehingga masih ada diskriminasi bagi perempuan untuk memasuki dunia politik, termasuk lembaga legislatif; 8. kurangnya percaya diri perempuan untuk memasuki wilayah atau arena politik, terlebih untuk bersaing dengan laki-laki; 9. lemahnya dukungan, baik secara internal maupun eksternal dalam mendukung perempuan di bidang politik, termasuk lemahnya dukungan media massa terhadap penyebarluasan potensi dan kontribusi yang dapat diberikan oleh perempuan di bidang politik. Menurut Marwah Daud Ibrahim, terdapat beberapa hambatan mendasar yang menjadi faktor penghalang bagi perempuan untuk tampil di barisan depan berbagai bidang, tidak terkecuali dalam bidang politik. Hambatan tersebut secara tidak langsung telah dipolakan oleh struktur sosial pada sementara lapisan budaya masyarakat tertentu. 12 Hambatan yang pertama menyangkut masalah fisik perempuan itu sendiri. Perempuan dibebani dengan kodrat mengandung, melahirkan, dan menyusui. Keharusan ini mau tidak mau telah mengurangi keleluasaan mereka untuk aktif terus menerus dalam berbagai bidang kehidupan. Kedua, hambatan teologis. Untuk waktu yang lama, perempuan dipandang sebagai makhluk yang diciptakan untuk lelaki, termasuk mendampingi, menghibur, dan mengurus keperluannya. Anggapan ini bersumber dari cerita teologis yang menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari rusuk laki-laki. Cerita ini telah jauh merasuk ke dalam benak masyarakat, dan secara psikologis menjadi salah satu faktor penghambat perempuan untuk mengambil peran yang lebih berarti. Ketiga, hambatan sosial budaya, terutama dalam bentuk stereotype. Pandangan ini melihat perempuan sebagai makhluk yang pasif, lemah, perasa, tergantung, dan menerima keadaan. Sebaliknya, laki-laki dinilai sebagai makhluk aktif, kuat, cerdas, mandiri, dan sebagainya. Pandangan ini secara sosio-kultural menempatkan laki-laki lebih tinggi derajatnya dibanding perempuan. Keempat, hambatan sikap pandang. Hambatan ini antara lain dapat dimunculkan oleh pandangan dikotomis antara tugas perempuan dan laki-laki. Perempuan dinilai sebagai makhluk rumah, sedangkan lakilaki dilihat sebagai makhluk luar rumah. Pandangan dikotomis seperti ini kemungkinan besar telah membuat perempuan merasa enggan ke luar rumah, dan memunculkan pandangan bahwa tugas-tugas kerumahtanggaan 12 Marwah Daud Ibrahim, Perempuan Indonesia: Pemimpin Masa Depan Mengapa Tidak? Dalam Mely G. Tan, Perempuan Indonesia Pemimpin Masa Depan (ed), op.cit., hlm

18 Partisipasi Politik Perempuan dan Affirmative Action tidak layak digeluti oleh laki-laki. Dan kelima, hambatan hsitoris. Kurangnya nama perempuan dalam sejarah di masa lalu juga dapat digunakan untuk membenarkan ketidakmampuan perempuan untuk berkiprah sebagaimana halnya laki-laki Menurut penulis, kelima hambatan tersebut seringkali bersifat overlap (tumpang tindih), misalnya antara hambatan teologis dan hambatan sosial budaya. Misalnya, dalam ajaran agama Islam, pada prinsipnya tidak membedabedakan kualitas dan kemampuan laki-laki dan perempuan untuk menjadi pemimpin. Akan tetapi dalam praktik, masih terdapat resistensi dari beberapa kelompok tertentu bila perempuan maju menjadi pemimpin, tidak terkecuali pemimpin negara. Hal ini misalnya terlihat dari betapa kerasnya penolakan berbagai kalangan terhadap wacana presiden perempuan sebelum Megawati Soekarno Putri menjabat sebagai Pesiden Republik Indonesia. Keunggulan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang dipimpin oleh Megawati Soekarno Putri pada Pemilu 1999 tidak secara otomatis membuat putri Presiden pertama Republik Indonesia ini melangkah tanpa hambatan untuk mencalonkan diri sebagai presiden. Berbagai kekuatan politik dan beberapa tokoh nasional secara tegas menolak pencalonan tersebut. 13 Salah satu parpol bahkan merasa perlu untuk mengeluarkan fatwa terkait pencalonan ini. 14 Penolakan tersebut jelas tidak beralasan. Sebagaimana dinyatakan oleh Ratna Batara Munti bahwa Islam tidak membeda-bedakan kualitas dan kemampuan laki-laki dan perempuan untuk menjadi pemimpin. Hal ini tercermin dalam Al-Qur an Surat At-Taubah ayat 71. Persamaan perlakuan ini sama halnya dengan kesempatan untuk mencapai tingkat spiritual seperti yang terdapat dalam Al-Qur an Surat Al-Ahzab ayat 35 yang pada prinsipnya menyatakan bahwa perempuan memiliki kesempatan mencapai tingkat kebaikan yang sama dengan laki-laki, sehingga Islam tidak membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan. 15 Terkait dengan keberadaan perempuan di parlemen, menurut Myra Diarsi, peran perempuan dalam lembaga legislatif dapat dianalogikan ke dalam tiga jenis. 16 Pertama, peran politik perempuan Anggota DPR yang merupakan perpanjangan dari keadaan tradisional yang selama ini telah 13 Lebih lanjut baca Ani Widyani Soetjipto, Politik Perempuan Bukan Gerhana, Jakarta: Kompas, 2005, hlm Ibid., hlm Maulana Muhammad Ali sebagaimana dikutip oleh Ratna Batara Munti, Benarkah Islam Melarang Perempuan Menjadi Imam bagi Laki-laki? Buklet Islam Seri 3. KIAS (Komunitas untuk Indonesia yang Adil dan Setara), 2011 hlm Media Indonesia, 26 September

19 Representatif Perempuan dalam Lembaga Legislatif dipertahankan. Artinya, masuknya perempuan dalam bidang politik karena adanya relasi kekerabatan. Kedua, peran politik perempuan Anggota DPR pada batas-batas moral force saja. Perempuan di parlemen hanya sebagai problem solving dari permasalahan yang telah ada. Ketimpangan ini terlihat daria sikap yang selalu setuju terhadap berbagai kebijakan politik yang telah diputuskan. Perempuan anggota parlemen di banyak negara berkembang berada pada tingkat ini. Dan ketiga, yang merupakan tingkatan ideal, peran politik perempuan anggota DPR yang lebih nyata karena didukung oleh latar belakang pendidikan politik yang memadai. Tingkat inilah yang sebenarnya harus dicapai agar pemberdayaan perempuan menjadi lebih optimal. C. Affirmative Action: Sejarah dan Penerapannya di Beberapa Negara Istilah affirmative action (aksi afirmatif) pertama kali digunakan dalam konteks diskriminasi rasial oleh Presiden Amerika John F. Kennedy dalam Perintah Eksekutif No. 10,925 pada tahun Pada saat itu Kennedy menginstruksikan para kontraktor federal untuk mengambil aksi afirmatif untuk menjamin agar para pelamar dan pekerja diperlakukan (sama) tanpa mempertimbangkan ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, atau asal kebangsaan. 18 Dengan demikian pada awalnya affirmative action dirancang sebagai respons atas ketimpangan kondisi ekonomi kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat. Affirmative action dimaksudkan untuk meningkatkan kondisi dan posisi ekonomi perempuan atau ras tertentu di Amerika Serikat sebagai upaya perlawanan atas pemisahan dan diskriminasi terhadap mereka. 19 Tindakan affirmative action memberikan perlakuan khusus kepada kelompok yang dianggap kurang beruntung di mana perlakuan tersebut bersifat sementara, hingga kelompok tersebut dianggap sudah memiliki posisi dan kesempatan setara dengan kelompok lain atau kelompok sosial minoritas yang dilindungi telah terintegrasi. 20 Salah satu contoh affirmative action adalah Rancangan Undang-Undang Hak Sipil Tahun 1964 di Amerika Serikat yang kemudian diamandemen dan disahkan pada bulan Februari 1964 oleh Presiden Amerika Serikat Lyndon B. 17 Sandra Kartika (ed.). Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan: Panduan bagi Jurnalis, Jakarta: Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), 1999, hlm Ibid. 19 Jurnal Perempuan No. 63: Catatan Perjuangan Politik Perempuan, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta, hlm Ibid. 19

20 Partisipasi Politik Perempuan dan Affirmative Action Johnson. 21 Selain melarang diskriminasi berbasis ras, warna kulit, agama, dan asal-usul kebangsaan, undang-undang tersebut juga telah mengintegrasikan pelarangan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin. 22 Pada perkembangan selanjutnya, affirmative action mengacu pada berbagai aktivitas, seperti monitoring terhadap pembuat keputusan di tingkat yang lebih rendah untuk memastikan keadilan dalam keputusan mempekerjakan dan mempromosikan pegawai, dan menyebarluaskan informasi mengenai peluang kerja atau kesempatan-kesempatan lainnya. 23 Affirmative action sebagai sebuah strategi untuk memberikan perlakuan khusus kepada kelompok tertentu juga kemudian juga diadopsi untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dalam dunia politik, sebuah dunia yang pada awalnya dianggap sebagai dunia yang berwajah maskulin. Keterwakilan politik perempuan tersebut sangat berarti karena beberapa argumen. 24 Pertama, dari segi demokrasi, jumlah perempuan lebih dari setengah jumlah total penduduk. Oleh karena itu merupakan bangunan teoritis yang wajar bila wakil rakyat merefleksikan konstituennya. Kedua, dari segi kesetaraan, keterwakilan dari perempuan untuk perempuan, sama halnya dengan tuntutan atas keterwakilan dari rakyat untuk rakyat. Ketiga, dari segi penggunaan sumber daya, hal itu merupakan penggunaan kemampuan intelektual perempuan. Dan keempat, dari segi keterwakilan, banyak penelitian empiris yang menunjukkan bahwa bila perempuan tidak terlibat dalam pengambilan keputusan, maka kepentingan mereka tidak dipertimbangkan secara sungguh-sungguh. Pengaruh perempuan yang berarti dalam politik sangat penting, mengingat sampai saat ini posisi dan kondisi antara laki-laki dan perempuan di berbagai belahan dunia masih menunjukkan adanya kesenjangan atau ketimpangan gender (gender gap). Ketimpangan antara perempuan dan laki-laki ini dapat dilihat antara lain melalui Indeks Ketimpangan Gender (Gender Inequality Index). Indeks Ketimpangan Gender (IKG) adalah indeks yang mencerminkan ketimpangan perempuan yang dilihat dari tiga dimensi, yaitu kesehatan reproduksi, pemberdayaan, dan pasar tenaga kerja. 25 Indeks yang terbentuk menunjukkan kehilangan dalam pembangunan manusia yang 21 Ibid. 22 Ibid. 23 Sandra Kartika (ed.)., op.cit., hlm lihat pengantar buku Keterwakilan Perempuan di Lembaga-lembaga Nasional yang Anggotanya Dipilih melalui Pemilu: Perbedaan-perbedaan dalam Praktik Internasional dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya, IFES, tanpa tahun, hal. i. 25 Indeks Ketimpangan Gender: Pembangunan Manusia Berbasis Gender Kerja Sama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dengan Badan Pusat Statistik, halaman

21 Representatif Perempuan dalam Lembaga Legislatif diakibatkan oleh adanya perbedaan gender. Nilai berkisar antara 0 hingga 1. Nilai 0 menunjukkan perempuan dan laki-laki kehilangan kesempatan yang sama, sementara nilai 1 menunjukkan bahwa perempuan kehilangan lebih banyak dibanding dengan laki-laki. Salah satu dimensi IKG adalah dimensi pemberdayaan yang dilihat dari dua indikator, yaitu: 26 (1) proporsi kursi parlemen yang diduduki oleh lakilaki atau perempuan; dan (2) capaian tingkat pendidikan menengah dan tinggi dari tiap jenis kelamin. Dengan demikian, tingkat keterwakilan perempuan di lembaga legislatif termasuk ke dalam indikator yang pertama. Rendahnya rasio perempuan terhadap laki-laki di parlemen menjadi salah satu faktor penentu IKG. Di beberapa negara, keterwakilan perempuan pada level pengambil keputusan bahkan merupakan posisi yang kritis bagi terlaksananya demokrasi di suatu negara. 27 Di parlemen negara-negara ASEAN, rasio keterwakilan perempuan terhadap laki-laki terlihat berbanding terbalik dengan nilai IKG di negara yang bersangkutan. Sebagai contoh, Myanmar yang mempunyai rasio keterwakilan perempuan dan laki-laki yang rendah memiliki nilai indeks ketimpangan yang tinggi. Sebaliknya, Singapura yang memiliki rasio keterwakilan perempuan yang tinggi mempunyai nilai indeks ketimpangan yang sangat rendah. 28 Seperti halnya di negara-negara ASEAN, sebagian besar tingkat keterwakilan perempuan di negara-negara berkembang lainnya juga relatif masih rendah. Dalam konteks ini, affirmative action dapat dipandang sebagai salah satu upaya yang dilakukan untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di dunia politik, terutama di lembaga legislatif. Pemberlakuan affirmative action di beberapa negara, terutama di Eropa, terbukti telah berhasil meningkatkan persentase perempuan yang duduk di lembaga legislatif. Affirmative action tersebut antara lain dilakukan melalui mekanisme kuota. Kuota adalah penetapan sejumlah tertentu atau persentase dari sebuah badan, kandidat, majelis, komite, atau suatu pemerintahan. 29 Kuota untuk perempuan bertujuan agar setidaknya perempuan dapat menjadi minoritas kritis (critical minority) yang terdiri dari 30% atau 40%. 30 Angka 30% sebagai critical minority ini sesuai dengan Laporan Perkembangan PBB tahun 1995 yang menganalisa gender dan pembangunan di 174 negara yang menyatakan bahwa: 26 Ibid, hlm Sun, dalam Indeks Ketimpangan Gender: Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2012, ibid., hlm Ibid. 29 Modul Perempuan untuk Politik, Sebuah Panduan tentang Partisipasi Perempuan dalam Politik,M,B. Wijaksana (ed), Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta, 2004, op.cit., hlm Ibid. 21

22 Partisipasi Politik Perempuan dan Affirmative Action Meskipun benar tidak ada hubungan nyata yang terbentuk antara tingkat partisipasi perempuan dalam lembaga-lembaga politik dan kontribusi mereka terhadap kemajuan perempuan, 30% keanggotaan dalam lembagalembaga politik dianggap sebagai jumlah kritis yang dapat membantu perempuan untuk memberikan pengaruh yang berarti dalam politik. 31 Ide dasar dari kuota adalah memastikan bahwa perempuan akan masuk dan terlibat dalam politik, sekaligus tidak akan menjadi kelompok masyarakat yang mengalami isolasi. 32 Penetapan sejumlah tertentu perempuan dalam politik tersebut harus secara nyata dituangkan dalam peraturan perundangundangan. 33 Praktik di beberapa negara selama ini kuota ditetapkan dalam konstitusi, undang-undang yang mengatur mengenai pemilu dan partai politik, atau melalui komitmen informal partai politik. 34 Secara umum terdapat 3 jenis kuota, yaitu: Kuota yang diterapkan dalam undang-undang (legislated quota); 2. Kuota yang diberikan khusus bagi perempuan (reserves seats); 3. Kuota Partai (party quota). Kuota yang diterapkan dalam undang-undang (legislated quota) dilaksanakan oleh partai politik. Beberapa negara telah mengadopsi model kuota ini, antara lain: Perancis, Argentina, Afrika Selatan, dan Namibia. 36 Amandemen Konstitusi Perancis tahun 1999 mulai memberlakukan persyaratan bagi partai politik agar mencantumkan 50% nama perempuan dalam daftar caleg yang diajukan dalam pemilu. Di Argentina, peraturan pemilu tahun 1991 di negara itu memperkenalkan kewajiban sistem kuota yang mensyaratkan dicantumkannya 30% kandidat perempuan dan memperhatikan proporsi kemungkinan terpilihnya. Setiap partai yang tidak memenuhi persyaratan ini tidak diperkenankan mengikuti pemilu. Afrika Selatan menerapkan kuota melalui Undang-Undang tentang Struktur Pemerintahan Kota (the Municipal Structures Act) yang menyatakan bahwa partai politik sedapat mungkin harus mencari dan memastikan bahwa 50% calon perempuan akan terdaftar dalam pemilihan tingkat lokal. Sedangkan di Namibia pada tahun 1992 dan 1998 dalam pemilu tingkat lokal diberlakukan affirmative action yang menuntut agar partai politik mencantumkan sekurangkurangnya 30% perempuan dalam daftar kandidat partai. 31 IFES, op.cit., hal Ibid. 33 Ibid. 34 Ibid. 35 Ibid., hlm Ibid. 22

BAB I PENDAHULUAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan

BAB I PENDAHULUAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demokrasi di Indonesia merupakan salah satu dari nilai yang terdapat dalam Pancasila sebagai dasar negara yakni dalam sila ke empat bahwa kerakyatan dipimpin oleh hikmat

Lebih terperinci

DISAMPAIKAN OLEH : YUDA IRLANG, KORDINATOR ANSIPOL, ( ALIANSI MASYARAKAT SIPIL UNTUK PEREMPUAN POLITIK)

DISAMPAIKAN OLEH : YUDA IRLANG, KORDINATOR ANSIPOL, ( ALIANSI MASYARAKAT SIPIL UNTUK PEREMPUAN POLITIK) DISAMPAIKAN OLEH : YUDA IRLANG, KORDINATOR ANSIPOL, ( ALIANSI MASYARAKAT SIPIL UNTUK PEREMPUAN POLITIK) JAKARTA, 3 APRIL 2014 UUD 1945 KEWAJIBAN NEGARA : Memenuhi, Menghormati dan Melindungi hak asasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. wilayah dan tataran kehidupan publik, terutama dalam posisi-posisi pengambilan

I. PENDAHULUAN. wilayah dan tataran kehidupan publik, terutama dalam posisi-posisi pengambilan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Demokrasi mengamanatkan adanya persamaan akses dan peran serta penuh bagi laki-laki, maupun perempuan atas dasar perinsip persamaan derajat, dalam semua wilayah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melalui penghargaan terhadap perbedaan-perbedaan yang ada, khususnya

I. PENDAHULUAN. melalui penghargaan terhadap perbedaan-perbedaan yang ada, khususnya 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebuah masyarakat dapat dikatakan demokratis jika dalam kehidupannya dapat menghargai hak asasi setiap manusia secara adil dan merata tanpa memarginalkan kelompok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan adalah dimensi penting dari usaha United Nations Development Programme (UNDP) untuk mengurangi separuh kemiskinan dunia

Lebih terperinci

BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK

BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK Di dalam UUD 1945 Bab XA tentang Hak Asasi Manusia, pada dasarnya telah dicantumkan hak-hak yang dimiliki oleh setiap orang atau warga negara. Pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sesama perempuan yang bersosialisasi ditengah-tengah kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. sesama perempuan yang bersosialisasi ditengah-tengah kehidupan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan yang dihadapi dan dijalani oleh kaum perempuan dari waktu ke waktu memiliki perkembangan yang signifikan. Kedinamisan dari perkembangan tersebut

Lebih terperinci

P E N G A N T A R. Pengantar J U L I E B A L L I N G T O N

P E N G A N T A R. Pengantar J U L I E B A L L I N G T O N 10 BAB 1 BAB 1 P E N G A N T A R Pengantar J U L I E B A L L I N G T O N Partisipasi sejajar perempuan dalam pengambilan keputusan bukanlah semata-mata sebuah tuntutan akan keadilan demokrasi, namun juga

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci

BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI

BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK Diskriminasi merupakan bentuk ketidakadilan. Pasal 1 ayat 3 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, menjelaskan bahwa pengertian

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN NEGARA PP&PA. Strategi Nasional. Sosial Budaya.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN NEGARA PP&PA. Strategi Nasional. Sosial Budaya. No.20, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN NEGARA PP&PA. Strategi Nasional. Sosial Budaya. PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN LEGISLATOR PEREMPUAN DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

BAB II PENGATURAN LEGISLATOR PEREMPUAN DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA BAB II PENGATURAN LEGISLATOR PEREMPUAN DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA A. Landasan Yuridis Partisipasi Perempuan dalam Lembaga Perwakilan Rakyat Keterlibatan perempuan untuk berpartisipasi

Lebih terperinci

Sistem Rekrutmen Anggota Legislatif dan Pemilihan di Indonesia 1

Sistem Rekrutmen Anggota Legislatif dan Pemilihan di Indonesia 1 S T U D I K A S U S Sistem Rekrutmen Anggota Legislatif dan Pemilihan di Indonesia 1 F R A N C I S I A S S E S E D A TIDAK ADA RINTANGAN HUKUM FORMAL YANG MENGHALANGI PEREMPUAN untuk ambil bagian dalam

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1482, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK. Partisipasi Politik. Perempuan. Legislatif. Peningkatan. Panduan. PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN

Lebih terperinci

BAB 12 PENINGKATAN KUALITAS KEHIDUPAN

BAB 12 PENINGKATAN KUALITAS KEHIDUPAN BAB 12 PENINGKATAN KUALITAS KEHIDUPAN DAN PERAN PEREMPUAN SERTA KESEJAHTERAAN DAN PERLINDUNGAN ANAK Permasalahan mendasar dalam pembangunan pemberdayaan perempuan dan anak yang terjadi selama ini adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tulisan ini berupaya mengkaji tentang adanya kebijakan kuota 30% Daerah Kota Kendari tahun anggaran

BAB I PENDAHULUAN. Tulisan ini berupaya mengkaji tentang adanya kebijakan kuota 30% Daerah Kota Kendari tahun anggaran BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tulisan ini berupaya mengkaji tentang adanya kebijakan kuota 30% perempuan dan kaitannya dalam penyusunan anggaran responsif gender. Yang menjadi fokus dalam penelitian

Lebih terperinci

BAB III INSTRUMEN INTERNASIONAL PERLINDUNGAN HAM PEREMPUAN

BAB III INSTRUMEN INTERNASIONAL PERLINDUNGAN HAM PEREMPUAN BAB III INSTRUMEN INTERNASIONAL PERLINDUNGAN HAM PEREMPUAN A. Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women 1. Sejarah Convention on the Elimination of All Discrimination Against

Lebih terperinci

PEREMPUAN DAN HAK ASASI MANUSIA Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 8 Agustus 2016; disetujui: 14 Oktober 2016

PEREMPUAN DAN HAK ASASI MANUSIA Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 8 Agustus 2016; disetujui: 14 Oktober 2016 PEREMPUAN DAN HAK ASASI MANUSIA Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 8 Agustus 2016; disetujui: 14 Oktober 2016 Pengakuan dan penghormatan terhadap perempuan sebagai makhluk manusia sejatinya diakui

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perserikatan Bangsa-Bangsa setelah perang dunia ke-2 tanggal 10 Desember

I. PENDAHULUAN. Perserikatan Bangsa-Bangsa setelah perang dunia ke-2 tanggal 10 Desember I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perserikatan Bangsa-Bangsa setelah perang dunia ke-2 tanggal 10 Desember 1984 mengadopsi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang mennunjukan komitmennya untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pendidikan, pekerjaan, dan politik. Di bidang politik, kebijakan affirmative

I. PENDAHULUAN. pendidikan, pekerjaan, dan politik. Di bidang politik, kebijakan affirmative I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kebijakan affirmative action merupakan kebijakan yang berusaha untuk menghilangkan tindakan diskriminasi yang telah terjadi sejak lama melalui tindakan aktif

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG, Menimbang Mengingat : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di kebanyakan negara demokrasi, pemilihan umum dianggap lambang sekaligus tolok ukur, dari demokrasi itu (Budiardjo, 2009:461). Pemilihan umum dilakukan sebagai

Lebih terperinci

REPRESENTASI PEREMPUAN DALAM POLITIK LOKAL DI ERA OTONOMI DAERAH

REPRESENTASI PEREMPUAN DALAM POLITIK LOKAL DI ERA OTONOMI DAERAH REPRESENTASI PEREMPUAN DALAM POLITIK LOKAL DI ERA OTONOMI DAERAH Oleh : FRANSIN KONTU, S.IP., M.Si. Email : fransin.ratih@gmail.com Dosen Ilmu Administrasi Negara FISIP-UNMUS ABSTRAK Kesenjangan gender

Lebih terperinci

ANGGARAN DASAR KOMNAS PEREMPUAN PENGESAHAN: 11 FEBRUARI 2014

ANGGARAN DASAR KOMNAS PEREMPUAN PENGESAHAN: 11 FEBRUARI 2014 ANGGARAN DASAR KOMNAS PEREMPUAN PENGESAHAN: 11 FEBRUARI 2014 PEMBUKAAN Bahwa sesungguhnya hak-hak asasi dan kebebasan-kebebasan fundamental manusia melekat pada setiap orang tanpa kecuali, tidak dapat

Lebih terperinci

Bab 5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Bab 5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Bab 5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Women can be very effective in navigating political processes. But there is always a fear that they can become pawns and symbols, especially if quotas are used. (Sawer,

Lebih terperinci

RENCANA AKSI GLOBAL MENANG DENGAN PEREMPUAN: MEMPERKUAT PARTAI PARTAI POLITIK

RENCANA AKSI GLOBAL MENANG DENGAN PEREMPUAN: MEMPERKUAT PARTAI PARTAI POLITIK RENCANA AKSI GLOBAL MENANG DENGAN PEREMPUAN: MEMPERKUAT PARTAI PARTAI POLITIK Sebagai para pemimpin partai politik, kami memiliki komitmen atas perkembangan demokratik yang bersemangat dan atas partai

Lebih terperinci

Peningkatan Keterwakilan Perempuan dalam Politik pada Pemilu Legislatif Nurul Arifin

Peningkatan Keterwakilan Perempuan dalam Politik pada Pemilu Legislatif Nurul Arifin Peningkatan Keterwakilan Perempuan dalam Politik pada Pemilu Legislatif Nurul Arifin Jakarta, 14 Desember 2010 Mengapa Keterwakilan Perempuan di bidang politik harus ditingkatkan? 1. Perempuan perlu ikut

Lebih terperinci

Oleh Dra. Hj. Siti Masrifah, MA (Ketua Umum DPP Perempuan Bangsa) Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PKB 1

Oleh Dra. Hj. Siti Masrifah, MA (Ketua Umum DPP Perempuan Bangsa) Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PKB 1 Disampaikan pada Seminar Menghadirkan Kepentingan Perempuan: Peta Jalan Representasi Politik Perempuan Pasca 2014 Hotel Haris, 10 Maret 2016 Oleh Dra. Hj. Siti Masrifah, MA (Ketua Umum DPP Perempuan Bangsa)

Lebih terperinci

STRATEGI MENINGKATKAN KETERWAKILAN PEREMPUAN

STRATEGI MENINGKATKAN KETERWAKILAN PEREMPUAN STRATEGI MENINGKATKAN KETERWAKILAN PEREMPUAN Oleh: Ignatius Mulyono 1 I. Latar Belakang Keterlibatan perempuan dalam politik dari waktu ke waktu terus mengalami peningkatan. Salah satu indikatornya adalah

Lebih terperinci

Hak Beribadah di Indonesia Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 4 Agustus 2015; disetujui: 6 Agustus 2015

Hak Beribadah di Indonesia Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 4 Agustus 2015; disetujui: 6 Agustus 2015 Hak Beribadah di Indonesia Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 4 Agustus 2015; disetujui: 6 Agustus 2015 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) menyebut istilah basic human rights (hak-hak asasi

Lebih terperinci

KEMENTERIAN DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI DALAM NEGERI PADA

KEMENTERIAN DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI DALAM NEGERI PADA KEMENTERIAN DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI DALAM NEGERI PADA ACARA PELUNCURAN STRATEGI NASIONAL (STRANAS) PERCEPATAN PENGARUSUTAMAAN GENDER (PUG) MELALUI PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN

Lebih terperinci

Perempuan dan Pembangunan Berkelanjutan

Perempuan dan Pembangunan Berkelanjutan SEMINAR KOALISI PEREMPUAN INDONESIA (KPI) Perempuan dan Pembangunan Berkelanjutan 20 Januari 2016 Hotel Ambhara 1 INDONESIA SAAT INI Jumlah Penduduk Indonesia per 201 mencapai 253,60 juta jiwa, dimana

Lebih terperinci

2017, No kewajiban negara untuk memastikan bahwa perempuan memiliki akses terhadap keadilan dan bebas dari diskriminasi dalam sistem peradilan

2017, No kewajiban negara untuk memastikan bahwa perempuan memiliki akses terhadap keadilan dan bebas dari diskriminasi dalam sistem peradilan No.1084, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA MA. Mengadili Perkara Perempuan. Pedoman. PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN MENGADILI PERKARA PEREMPUAN BERHADAPAN

Lebih terperinci

Kebijakan Jender. The Partnership of Governance Reform (Kemitraan) 1.0

Kebijakan Jender. The Partnership of Governance Reform (Kemitraan) 1.0 Kebijakan Jender 1.0 The Partnership of Governance Reform (Kemitraan) 2015 1 Latar Belakang Jender dipahami sebagai pembedaan sifat, peran, dan posisi perempuan dan lakilaki yang dibentuk oleh masyarakat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikehendaki. Namun banyak pula yang beranggapan bahwa politik tidak hanya

BAB I PENDAHULUAN. dikehendaki. Namun banyak pula yang beranggapan bahwa politik tidak hanya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Politik merupakan upaya atau cara untuk memperoleh sesuatu yang dikehendaki. Namun banyak pula yang beranggapan bahwa politik tidak hanya berkisar di lingkungan kekuasaan

Lebih terperinci

KAJIAN TEORITIS PEMGARUH SISTEM PENETAPAN CALON TERPILIH DENGAN SUARA TERBANYAK TERHADAP PEMENUHAN HAK AFFIRMATIVE ACTION

KAJIAN TEORITIS PEMGARUH SISTEM PENETAPAN CALON TERPILIH DENGAN SUARA TERBANYAK TERHADAP PEMENUHAN HAK AFFIRMATIVE ACTION KAJIAN TEORITIS PEMGARUH SISTEM PENETAPAN CALON TERPILIH DENGAN SUARA TERBANYAK TERHADAP PEMENUHAN HAK AFFIRMATIVE ACTION Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata 1 pada Jurusan

Lebih terperinci

HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA

HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima : 29 September 2014; disetujui : 13 Oktober 2014 Indonesia adalah negara yang berdasar

Lebih terperinci

Lembaga Akademik dan Advokasi Kebijakan dalam Perlindungan Perempuan dari Kekerasan Berbasis Gender Margaretha Hanita

Lembaga Akademik dan Advokasi Kebijakan dalam Perlindungan Perempuan dari Kekerasan Berbasis Gender Margaretha Hanita + Lembaga Akademik dan Advokasi Kebijakan dalam Perlindungan Perempuan dari Kekerasan Berbasis Gender Margaretha Hanita Disampaikan dalam Seminar Nasional "Jaringan dan Kolaborasi untuk Mewujudkan Keadilan

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HAK-HAK MINORITAS DAN DEMOKRASI

PERLINDUNGAN HAK-HAK MINORITAS DAN DEMOKRASI PERLINDUNGAN HAK-HAK MINORITAS DAN DEMOKRASI Antonio Prajasto Roichatul Aswidah Indonesia telah mengalami proses demokrasi lebih dari satu dekade terhitung sejak mundurnya Soeharto pada 1998. Kebebasan

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN NASIONAL PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DI BIDANG POLITIK MENYONGSONG PEMILU 2009

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN NASIONAL PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DI BIDANG POLITIK MENYONGSONG PEMILU 2009 KEMENTERIAN NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN REPUBLIK INDONESIA KEBIJAKAN PEMBANGUNAN NASIONAL PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DI BIDANG POLITIK MENYONGSONG PEMILU 2009 Deputi Bidang Pemberdayaan Lembaga Masyarakat

Lebih terperinci

Oleh: Dr. Makarim Wibisono Direktur Eksekutif ASEAN Foundation Seminar KOMNAS Perempuan Hotel Kartika Chandra, 12 Maret 2012

Oleh: Dr. Makarim Wibisono Direktur Eksekutif ASEAN Foundation Seminar KOMNAS Perempuan Hotel Kartika Chandra, 12 Maret 2012 Oleh: Dr. Makarim Wibisono Direktur Eksekutif ASEAN Foundation Seminar KOMNAS Perempuan Hotel Kartika Chandra, 12 Maret 2012 Ucapan Selamat Saya atas nama saya pribadi dan ASEAN Foundation mengucapkan:

Lebih terperinci

Tujuan 5: Mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan

Tujuan 5: Mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan : Multi-stakeholder Consultation and Workshop, 26-27 April 2017, Jakarta, Tujuan 5: Mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan Hak Asasi Perempuan Pelarangan diskriminasi

Lebih terperinci

PERAN DAN FUNGSI LEGISLATIF DALAM MENDORONG PENCAPAIAN TUJUAN PEMBANGUNAN ABAD MILENIUN/MDGs. Dr. H. Marzuki Alie KETUA DPR-RI

PERAN DAN FUNGSI LEGISLATIF DALAM MENDORONG PENCAPAIAN TUJUAN PEMBANGUNAN ABAD MILENIUN/MDGs. Dr. H. Marzuki Alie KETUA DPR-RI PERAN DAN FUNGSI LEGISLATIF DALAM MENDORONG PENCAPAIAN TUJUAN PEMBANGUNAN ABAD MILENIUN/MDGs Dr. H. Marzuki Alie KETUA DPR-RI Disampaikan dalam Seminar Pembangunan Abad Milenium/Millenium Development Goals

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

KEDUDUKAN, TUGAS, FUNGSI & KEWENANGAN MENTERI PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK UU NO. 39 TAHUN 2008 TENTANG KEMENTERIAN NEGARA

KEDUDUKAN, TUGAS, FUNGSI & KEWENANGAN MENTERI PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK UU NO. 39 TAHUN 2008 TENTANG KEMENTERIAN NEGARA KEDUDUKAN, TUGAS, FUNGSI & KEWENANGAN MENTERI PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK UU NO. 39 TAHUN 2008 TENTANG KEMENTERIAN NEGARA Penduduk Indonesia 231 Juta 49,9% Perempuan Aset dan Potensi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Persoalan perempuan sampai saat ini masih menjadi wacana serius untuk

BAB I PENDAHULUAN. Persoalan perempuan sampai saat ini masih menjadi wacana serius untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Persoalan perempuan sampai saat ini masih menjadi wacana serius untuk didiskusikan, selain karena terus mengalami perkembangan, juga banyak permasalahan perempuan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 119, 2005 AGREEMENT. Pengesahan. Perjanjian. Hak Sipil. Politik (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara

Lebih terperinci

GENDER, PEMBANGUNAN DAN KEPEMIMPINAN

GENDER, PEMBANGUNAN DAN KEPEMIMPINAN G E N D E R B R I E F S E R I E S NO. 1 GENDER, PEMBANGUNAN DAN KEPEMIMPINAN The Australia-Indonesia Partnership for Reconstruction and Development Local Governance and Community Infrastructure for Communities

Lebih terperinci

BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK

BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk (multi-ethnic society). Kesadaran akan kemajemukan tersebut sebenarnya telah ada sebelum kemerdekaan,

Lebih terperinci

Lampiran Usulan Masukan Terhadap Rancangan Undang-Undang Bantuan Hukum

Lampiran Usulan Masukan Terhadap Rancangan Undang-Undang Bantuan Hukum Lampiran Usulan Masukan Terhadap Rancangan Undang-Undang Bantuan Hukum No. Draft RUU Bantuan Hukum Versi Baleg DPR RI 1. Mengingat Pasal 20, Pasal 21, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat

Lebih terperinci

No ekonomi. Akhir-akhir ini di Indonesia sering muncul konflik antar ras dan etnis yang diikuti dengan pelecehan, perusakan, pembakaran, perkel

No ekonomi. Akhir-akhir ini di Indonesia sering muncul konflik antar ras dan etnis yang diikuti dengan pelecehan, perusakan, pembakaran, perkel TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 4919 DISKRIMINASI.Ras dan Etnis. Penghapusan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 170) PENJELASAN A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENT ANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara melindungi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Sistem patriarki menempatkan perempuan berada di bawah sub-ordinasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Sistem patriarki menempatkan perempuan berada di bawah sub-ordinasi BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Sistem patriarki menempatkan perempuan berada di bawah sub-ordinasi laki-laki. Sistem patriarki hidup dalam realita sehari-hari, baik kelas bawah, di rumah,

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA INDONESIA TAHUN

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA INDONESIA TAHUN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA INDONESIA TAHUN 2011-2014 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

GENDER DAN PENDIDIKAN: Pengantar

GENDER DAN PENDIDIKAN: Pengantar GENDER DAN PENDIDIKAN: Pengantar 90 menit Managed by IDP Education Australia IAPBE-2006 TUJUAN Peserta mampu: 1. Memahami konsep gender sebagai konstruksi sosial 2. Memahami pengaruh gender terhadap pendidikan

Lebih terperinci

MAKALAH. CEDAW: Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Oleh: Antarini Pratiwi Arna, S.H., LL.M

MAKALAH. CEDAW: Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Oleh: Antarini Pratiwi Arna, S.H., LL.M INTERMEDIATE HUMAN RIGHTS TRAINING BAGI DOSEN HUKUM DAN HAM Hotel Novotel Balikpapan, 6-8 November 2012 MAKALAH CEDAW: Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan Oleh: Antarini

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG, Menimbang Mengingat : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

Mewujudkan Payung Hukum Penghapusan Diskriminasi Gender di Indonesia Prinsip-Prinsip Usulan Terhadap RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender

Mewujudkan Payung Hukum Penghapusan Diskriminasi Gender di Indonesia Prinsip-Prinsip Usulan Terhadap RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender Mewujudkan Payung Hukum Penghapusan Diskriminasi Gender di Indonesia Prinsip-Prinsip Usulan Terhadap RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender Mewujudkan Payung Hukum Penghapusan Diskriminasi Gender di Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keterlibatan perempuan di panggung politik merupakan isu yang

BAB I PENDAHULUAN. Keterlibatan perempuan di panggung politik merupakan isu yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keterlibatan perempuan di panggung politik merupakan isu yang sering kali diperdebatkan. Sejak tahun 2002, mayoritas para aktivis politik, tokoh perempuan dalam partai

Lebih terperinci

Peningkatan Kualitas dan Peran Perempuan, serta Kesetaraan Gender

Peningkatan Kualitas dan Peran Perempuan, serta Kesetaraan Gender XVII Peningkatan Kualitas dan Peran Perempuan, serta Kesetaraan Gender Salah satu strategi pokok pembangunan Propinsi Jawa Timur 2009-2014 adalah pengarusutamaan gender. Itu artinya, seluruh proses perencanaan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pasca reformasi tahun 1998, landasan hukum pemilihan umum (pemilu) berupa Undang-Undang mengalami perubahan besar meskipun terjadi

BAB I PENDAHULUAN. Pasca reformasi tahun 1998, landasan hukum pemilihan umum (pemilu) berupa Undang-Undang mengalami perubahan besar meskipun terjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasca reformasi tahun 1998, landasan hukum pemilihan umum (pemilu) berupa Undang-Undang mengalami perubahan besar meskipun terjadi kesinambungan dibandingkan dengan

Lebih terperinci

PEMILU & PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM POLITIK. MY ESTI WIJAYATI A-187 DPR RI KOMISI X Fraksi PDI Perjuangan

PEMILU & PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM POLITIK. MY ESTI WIJAYATI A-187 DPR RI KOMISI X Fraksi PDI Perjuangan PEMILU & PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM POLITIK MY ESTI WIJAYATI A-187 DPR RI KOMISI X Fraksi PDI Perjuangan Tujuan Indonesia Merdeka 1. Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia 2. Memajukan

Lebih terperinci

Keterwakilan Perempuan, Ketidakadilan dan Kebijakan Keadilan ke depan 1 oleh Dian Kartikasari 2

Keterwakilan Perempuan, Ketidakadilan dan Kebijakan Keadilan ke depan 1 oleh Dian Kartikasari 2 Keterwakilan Perempuan, Ketidakadilan dan Kebijakan Keadilan ke depan 1 oleh Dian Kartikasari 2 1. Keterwakilan Perempuan dalam Politik Perjuangan keterwakilan perempuan dalam politik memiliki dua makna.

Lebih terperinci

BUPATI JEPARA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH

BUPATI JEPARA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH BUPATI JEPARA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. Perempuan Di Partai Politik dan Parlemen, maka kesimpulannya adalah. tujuannya untuk mempercepat tercapainya persamaan de facto antara

BAB IV PENUTUP. Perempuan Di Partai Politik dan Parlemen, maka kesimpulannya adalah. tujuannya untuk mempercepat tercapainya persamaan de facto antara BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Dari hasil penelitian dan pembahasan mengenai Penerapan Prinsip Equality Before The Law Dalam Pemberian Kuota 30% kepada Perempuan Di Partai Politik dan Parlemen, maka kesimpulannya

Lebih terperinci

RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA INDONESIA TAHUN

RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA INDONESIA TAHUN LAMPIRAN I KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2004 TANGGAL 11 MEI 2004 RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA INDONESIA TAHUN 2004 2009 I. Mukadimah 1. Sesungguhnya Hak Asasi Manusia

Lebih terperinci

Mengatasi diskriminasi etnis, agama dan asal muasal: Persoalan dan strategi penting

Mengatasi diskriminasi etnis, agama dan asal muasal: Persoalan dan strategi penting Mengatasi diskriminasi etnis, agama dan asal muasal: Persoalan dan strategi penting Kesetaraan dan non-diskriminasi di tempat kerja di Asia Timur dan Tenggara: Panduan 1 Tujuan belajar Menetapkan konsep

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keberagaman kebutuhan kelompok dan individu masyarakat, tak terkecuali

BAB I PENDAHULUAN. keberagaman kebutuhan kelompok dan individu masyarakat, tak terkecuali BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Prinsip partisipasi, transparansi dan akuntabilitas dalam good governance menjamin berlangsungnya proses pembangunan yang partisipatoris dan berkesetaraan gender. Menurut

Lebih terperinci

PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA

PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA Disajikan dalam kegiatan pembelajaran untuk Australian Defence Force Staff di Balai Bahasa Universitas Pendidikan Indonesia di Bandung, Indonesia 10 September 2007

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih mulia yaitu kesejahteraan rakyat.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih mulia yaitu kesejahteraan rakyat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia, upaya membangun demokrasi yang berkeadilan dan berkesetaraan bukan masalah sederhana. Esensi demokrasi adalah membangun sistem

Lebih terperinci

SINERGI ANGGOTA PARLEMEN, MEDIA DAN OMS UNTUK MENDORONG KEBIJAKAN YANG BERFIHAK PADA PEREMPUAN MISKIN

SINERGI ANGGOTA PARLEMEN, MEDIA DAN OMS UNTUK MENDORONG KEBIJAKAN YANG BERFIHAK PADA PEREMPUAN MISKIN SINERGI ANGGOTA PARLEMEN, MEDIA DAN OMS UNTUK MENDORONG KEBIJAKAN YANG BERFIHAK PADA PEREMPUAN MISKIN LENA MARYANA MUKTI Anggota DPR/MPR RI 2004-2009 Jakarta, 21 Mei 2015 1 PEREMPUAN DI LEMBAGA PEMBUAT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara demokrasi. 1 Demokrasi sebagai dasar hidup

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara demokrasi. 1 Demokrasi sebagai dasar hidup I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara demokrasi. 1 Demokrasi sebagai dasar hidup bernegara memberi pengertian bahwa rakyat turut membantu memberikan kontribusi dalam menilai kebijakan

Lebih terperinci

Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011.

Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011. Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011. 1. Atas undangan Organisasi Kesehatan Dunia, kami, Kepala Pemerintahan, Menteri dan perwakilan pemerintah datang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pandangan tentang perempuan di masyarakat tidak jarang menimbulkan

BAB I PENDAHULUAN. Pandangan tentang perempuan di masyarakat tidak jarang menimbulkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pandangan tentang perempuan di masyarakat tidak jarang menimbulkan pro dan kontra padahal banyak kemampuan kaum perempuan yang tidak dimiliki oleh laki - laki.

Lebih terperinci

Asesmen Gender Indonesia

Asesmen Gender Indonesia Asesmen Gender Indonesia (Indonesia Country Gender Assessment) Southeast Asia Regional Department Regional and Sustainable Development Department Asian Development Bank Manila, Philippines July 2006 2

Lebih terperinci

2015 PERANAN PEREMPUAN DALAM POLITIK NASIONAL JEPANG TAHUN

2015 PERANAN PEREMPUAN DALAM POLITIK NASIONAL JEPANG TAHUN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Jepang merupakan negara maju yang terkenal dengan masyarakatnya yang giat bekerja dan juga dikenal sebagai negara yang penduduknya masih menjunjung tinggi

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

BAB PERTAMA PENDAHULUAN. adanya peluang kerja di suatu badan usaha (Maitland, 1993). Tenaga kerja

BAB PERTAMA PENDAHULUAN. adanya peluang kerja di suatu badan usaha (Maitland, 1993). Tenaga kerja BAB PERTAMA PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Iklan lowongan kerja yang dimuat di media massa, merupakan salah satu aktivitas awal rekrutmen yang bertujuan untuk menyebarkan informasi mengenai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk rakyat (Abraham Lincoln). Demokrasi disebut juga pemerintahan rakyat

BAB I PENDAHULUAN. untuk rakyat (Abraham Lincoln). Demokrasi disebut juga pemerintahan rakyat BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Demokrasi adalah suatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (Abraham Lincoln). Demokrasi disebut juga pemerintahan rakyat sebagai bentuk pemerintahan

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 233 BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Setelah peneliti melakukan analisis mulai dari level teks, level konteks, hingga menemukan frame besar Kompas, peneliti menarik beberapa kesimpulan untuk menjawab

Lebih terperinci

Memutus Rantai Pelanggaran Kebebasan Beragama Oleh Zainal Abidin

Memutus Rantai Pelanggaran Kebebasan Beragama Oleh Zainal Abidin Memutus Rantai Pelanggaran Kebebasan Beragama Oleh Zainal Abidin Saat ini, jaminan hak asasi manusia di Indonesia dalam tataran normatif pada satu sisi semakin maju yang ditandai dengan semakin lengkapnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. politik masih sangat terbatas. Bahkan di negara yang demokrasinya sudah mapan

I. PENDAHULUAN. politik masih sangat terbatas. Bahkan di negara yang demokrasinya sudah mapan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Potensi perempuan dalam bidang politik pada dasarnya sangat besar bukan saja secara kuantitas melainkan juga kualitas. Namun demikian di banyak negara di dunia, baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengurus rumah dan selalu berada di rumah, sedangkan laki-laki adalah makhluk

BAB I PENDAHULUAN. mengurus rumah dan selalu berada di rumah, sedangkan laki-laki adalah makhluk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemajuan zaman telah banyak mengubah pandangan tentang perempuan, mulai dari pandangan yang menyebutkan bahwa perempuan hanya berhak mengurus rumah dan selalu

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KESETARAN DAN KEADILAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KESETARAN DAN KEADILAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KESETARAN DAN KEADILAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara melindungi dan menjamin

Lebih terperinci

Sulit menciptakan keadilan dan kesetaraan gender jika negara terus menerus memproduksi kebijakan yang bias gender. Genderisasi kebijakan publik telah

Sulit menciptakan keadilan dan kesetaraan gender jika negara terus menerus memproduksi kebijakan yang bias gender. Genderisasi kebijakan publik telah KATA PENGANTAR Pengarusutamaan Gender telah menjadi garis kebijakan pemerintah sejak keluarnya Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000. Instruksi tersebut menggariskan: seluruh departemen maupun lembaga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta penegasan istilah. Bab ini ini akan

BAB I PENDAHULUAN. masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta penegasan istilah. Bab ini ini akan BAB I PENDAHULUAN Bab ini merupakan kajian awal yang memberi pengantar tentang penelitian yang akan dilakukan, meliputi: latar belakang masalah, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,

Lebih terperinci

DAFTAR TABEL. Tabel IV.1 Data Jumlah Penduduk Kota Medan berdasarkan Kecamatan Tabel IV.2 Komposisi pegawai berdasarkan jabatan/eselon...

DAFTAR TABEL. Tabel IV.1 Data Jumlah Penduduk Kota Medan berdasarkan Kecamatan Tabel IV.2 Komposisi pegawai berdasarkan jabatan/eselon... DAFTAR TABEL Tabel IV.1 Data Jumlah Penduduk Kota Medan berdasarkan Kecamatan... 40 Tabel IV.2 Komposisi pegawai berdasarkan jabatan/eselon... 54 Tabel IV.3 Komposisi pegawai berdasarkan golongan kepangkatan...

Lebih terperinci

BAB IV DUKUNGAN INTERNASIONAL DALAM PERWUJUDAN KEADILAN GENDER DI FINLANDIA

BAB IV DUKUNGAN INTERNASIONAL DALAM PERWUJUDAN KEADILAN GENDER DI FINLANDIA BAB IV DUKUNGAN INTERNASIONAL DALAM PERWUJUDAN KEADILAN GENDER DI FINLANDIA A. Kerja Sama Gerakan Perempuan di Eropa Sejarah bersatunya gerakan perempuan di Eropa untuk memperjuangkan keadilan sebagai

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENT ANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. upaya dari anggota organisasi untuk meningkatkan suatu jabatan yang ada.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. upaya dari anggota organisasi untuk meningkatkan suatu jabatan yang ada. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Masyarakat hidup secara berkelompok dalam suatu kesatuan sistem sosial atau organisasi. Salah satu bidang dalam organisasi yaitu bidang politik (Wirawan,

Lebih terperinci

INSTRUMEN HUKUM MENGENAI HAM

INSTRUMEN HUKUM MENGENAI HAM INSTRUMEN HUKUM MENGENAI HAM Materi Perkuliahan HUKUM & HAM ke-6 INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI HAM Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa Universal Declaration of Human Rights, 1948; Convention on

Lebih terperinci

BAB 9 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK

BAB 9 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK BAB 9 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK A. KONDISI UMUM Dalam rangka mewujudkan persamaan di depan hukum, penghapusan praktik diskriminasi terus menerus dilakukan, namun tindakan pembedaan

Lebih terperinci

PELUANG DAN KENDALA MEMASUKKAN RUU KKG DALAM PROLEGNAS Oleh : Dra. Hj. Soemientarsi Muntoro M.Si

PELUANG DAN KENDALA MEMASUKKAN RUU KKG DALAM PROLEGNAS Oleh : Dra. Hj. Soemientarsi Muntoro M.Si PELUANG DAN KENDALA MEMASUKKAN RUU KKG DALAM PROLEGNAS 2017 Oleh : Dra. Hj. Soemientarsi Muntoro M.Si KOALISI PEREMPUAN INDONESIA Hotel Ambara, 19 Januari 2017 Pengertian Keadilan dan Kesetaraan Gender

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalam melakukan analisis untuk memahami persoalan-persoalan ketidakadilan

I. PENDAHULUAN. dalam melakukan analisis untuk memahami persoalan-persoalan ketidakadilan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konsep penting yang harus dipahami dalam membahas kaum perempuan adalah membedakan antara konsep seks (Jenis Kelamin) dan konsep gender. Pemahaman dan pembedaan terhadap

Lebih terperinci

BAB II FINLANDIA DAN MASALAH KETIDAKADILAN GENDER. A. Hak Pilih Perempuan (Women Suffrage) sebagai Awal Mula Perwujudan

BAB II FINLANDIA DAN MASALAH KETIDAKADILAN GENDER. A. Hak Pilih Perempuan (Women Suffrage) sebagai Awal Mula Perwujudan BAB II FINLANDIA DAN MASALAH KETIDAKADILAN GENDER A. Hak Pilih Perempuan (Women Suffrage) sebagai Awal Mula Perwujudan Keadilan Gender di Finlandia Perempuan Finlandia merupakan perempuan pertama di Eropa

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1604, 2014 BNPB. Penanggulangan. Bencana. Gender. Pengarusutamaan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1604, 2014 BNPB. Penanggulangan. Bencana. Gender. Pengarusutamaan. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1604, 2014 BNPB. Penanggulangan. Bencana. Gender. Pengarusutamaan. PERATURAN KEPALA BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG PENGARUSUTAMAAN

Lebih terperinci