KAJIAN PENENTUAN TINGKAT BAHAYA KEBAKARAN MENGGUNAKAN SISTEM FIRE WEATHER INDEX DWI YOGA PRIMARTONO

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KAJIAN PENENTUAN TINGKAT BAHAYA KEBAKARAN MENGGUNAKAN SISTEM FIRE WEATHER INDEX DWI YOGA PRIMARTONO"

Transkripsi

1 KAJIAN PENENTUAN TINGKAT BAHAYA KEBAKARAN MENGGUNAKAN SISTEM FIRE WEATHER INDEX DWI YOGA PRIMARTONO DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 26

2 ABSTRAK DWI YOGA PRIMARTONO. Kajian Penentuan Tingkat Bahaya Kebakaran Menggunakan Sistem Fire Weather Index. Dibimbing oleh AHMAD BEY dan EDI SANTOSO. Sistem Fire Weather Index (Sistem FWI) merupakan salah satu sub sistem utama dari suatu sistem pemeringkat bahaya kebakaran regional yang berasal dari Kanada. Sistem FWI tengah dicobakan sebagai sistem peringatan dini di kawasan Asia Tenggara. Dalam penghitungannya beberapa komponen Sistem FWI mempertimbangkan faktor panjang hari, Le, dan panjang hari terkoreksi, Lf. Lf merupakan fungsi dari rataan bulanan suhu maksimum dan evapotranspirasi potensial. Kanada dan Asia Tenggara merupakan kawasan dengan perbedaan letak lintang yang signifikan. Kondisi tersebut mengakibatkan Kanada dan Asia Tenggara memiliki nilai Le, dan Lf yang tidak sama. Perbedaan tersebut selama ini baru diantisipasi dengan merubah selang kelas bahaya kebakaran dari komponen Sistem FWI. Dalam penelitian ini selain dilakukan penghitungan komponen kode kelembaban dari Sistem FWI berdasarkan adopsi dari persamaan asalnya, juga dilakukan modifikasi, dengan cara memasukan nilai Le, dan Lf lokal. Komponen kode kelembaban tadi meliputi komponen kode kelembaban pada sarasah (FFMC), lapisan humus (DMC), dan lapisan organik padat (DC). Penggunaan nilai Le dan Lf lokal dilakukan dengan harapan agar hasil yang didapat dari penghitungan Sistem FWI akan lebih menggambarkan nilai-nilai sebenarnya dari tingkatan potensi kebakaran relatif yang didasarkan pada data observasi cuaca harian setempat. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan Sistem FWI sebagai alat bantu dalam pengambilan keputusan mengenai penentuan selang waktu periode kritis yaitu periode pada saat model bahan bakar di suatu daerah memiliki resiko terbakar yang tinggi. Dalam penelitian ini dilakukan evaluasi apakah perbedaan faktor faktor tadi juga akan mengakibatkan perbedaan label kelas bahaya kebakaran dari komponen FFMC, DMC, dan DC. Hasil penelitian dengan menggunakan kedua metode menunjukkan bahwa di daerah kajian, periode kritis pada FFMC terjadi di sepanjang tahun, sedangkan periode kritis pada komponen DMC terjadi pada bulan Juli, Agustus dan September, kecuali di Tanjungselor dan Tanjungredep. Pada kedua stasiun tersebut periode kritis juga dijumpai pada pertengahan bulan Januari hingga awal bulan Maret. Periode kritis pada DC pada umumnya terjadi pada bulan September. Koreksi yang dilakukan menghasilkan nilai kode kelembaban yang berbeda, kecuali pada komponen FFMC. Koreksi akan menghasilkan nilai kode kelembaban yang lebih tinggi, kecuali pada bulan April, Mei, Juni, dan Juli, untuk komponen DMC. Komponen DC terkoreksi akan menghasilkan nilai yang lebih tinggi hanya pada bulan September, kecuali di Tanjungredep dan Tanjungselor. Pada kedua daerah tersebut nilai DC yang lebih tinggi juga dijumpai pada bulan Maret dan April. Peningkatan nilai kode kelembaban Sistem FWI akan semakin terlihat ketika tidak terjadi hujan pada selang waktu yang telah disebutkan tadi. Pada periode itu tidak jarang peningkatan nilai tadi berhasil menaikkan label kelas bahaya dari komponen FWI. Koreksi yang dilakukan juga menginformsikan resiko kebakaran pada kelas yang lebih tinggi akan terjadi lebih awal.

3 KAJIAN PENENTUAN TINGKAT BAHAYA KEBAKARAN MENGGUNAKAN SISTEM FIRE WEATHER INDEX Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor Oleh: DWI YOGA PRIMARTONO G24988 DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 26

4 RIWAYAT HIDUP Dwi Yoga Primartono dilahirkan di Purbalingga pada 4 Maret 198. Penulis merupakan anak pertama dari pasangan Bapak Aspono dan Ibu Tati Surati. Penulis menamatkan Sekolah Menengah Umum Negeri 1 Purbalingga, dan berhasil masuk ke Institut Pertanian Bogor pada tahun 1998 melalui jalur USMI. Selama masa perkuliahan, penulis melaksanakan praktik lapang di PT. PAGILARAN pada bulan Juli-Agustus 21. Selain itu penulis juga pernah bekerja di PT. WIFA EKATAMA sebagai wakil manager dan penanggung jawab bagian produksi pada tahun

5 PRAKATA Bismillahir rahmanir rahim Segala Puji bagi Allah SWT, Shalawat serta salam semoga terlimpahkan kepada Rasulullah SAW beserta keluarga dan para sahabatnya. Alhamdulillah, setelah sekian lama, akhirnya penulis bisa menyelesaikan skripsi, sungguh hanya Alloh Maha Pengatur yang telah menata jalan hambanya. Semua itu juga tidak lepas dari berbagai pihak yang telah membantu jalannya penelitian ini. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Ahmad Bey dan Dr. Edi Santoso, atas segala bimbingan dan arahannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini 2. Bapak dan Ibu yang selalu memberikan motivasi, serta dorongan material dan spiritual 3. Bapak Kusnadi Prabakusuma yang telah berkenan menampung penulis 4. M. Taufik yang telah mengijinkan penulis mengakses data sekunder dari 5 buah stasiun AWS di Kaltim 5. Seluruh Staff Pengajar dan Pegawai di Fakultas MIPA dan di Departemen Geofisika dan Meteorologi 6. Seluruh keluarga, dan teman-teman yang telah berkenan memberikan dorongan dalam menyelesaikan skripsi ini Semoga segala bimbingan, motivasi, dan segala bantuan tadi diberikan balasan yang berlipatganda. Penulis juga memohon maaf yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah terbebani oleh penulis selama penyusunan skripsi ini berlangsung. Kebenaran hanya datang dari Allah SWT semata, sedangkan kesalahan dan kekhilafan kembali kepada penulis. Semoga skripsi ini mampu memberikan manfaat, baik bagi penulis sendiri maupun bagi pihak-pihak yang berkenan membacanya, dan menjadi motivator untuk membuat karya yang lebih berguna. Akhirul kalam, semoga Allah SWT senantiasa memberikan taufik dan hidayah serta limpahan rahmat dan karunia-nya kepada kita semua. Amin. Bogor, Januari 26 Dwi Yoga Primartono

6 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL...viii DAFTAR GAMBAR... ix DAFTAR LAMPIRAN... x PENDAHULUAN Latar Belakang... 1 Waktu dan Tempat Penelitian... 1 TINJAUAN PUSTAKA Pengetahuan Dasar Kebakaran... 2 Bahan Bakar... 3 Lingkungan Kebakaran... 5 Kondisi Atmosfer dan Kebakaran... 6 Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran... 8 Sistem FWI... 8 BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Asumsi Pengisian Data Kosong Penghitungan Sistem FWI dengan Formulasi Adopsi Penghitungan Le dan Lf Penghitungan Sistem FWI dengan Penyesuaian Faktor Le dan Lf HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Daerah Kajian FFMC DMC DC SIMPULAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 29

7 DAFTAR TABEL Halaman 1 Pengkelasan bahaya kebakaran Tabulasi time-lag pada Sistem FWI Interpretasi nilai-nilai FFMC Interpretasi nilai-nilai DMC Interpretasi nilai-nilai DC Interpretasi nilai-nilai FWI Lokasi pengamatan AWS Daftar nilai Lf asli Daftar nilai Lf lokal Selang kelas pada beberapa komponen FWI Prosentase kelas FFMC di Tanjungredep Perbandingan prosentase kelas DMC di Tanjungredep Perubahan nilai Le pada DMC Pebandingan prosentase kelas DC di Tanjungselor Perubahan nilai Lf pada DC... 27

8 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Konsep segitiga api (Borrow, 1951) Distribusi vertikal dari komponen bahan bakar (Pyne, 1996) Distribusi suhu sesuai ketinggian Distribusi radiasi matahari pada sistem bumi-atmosfer Struktur Sistem FWI Skema penghitungan FFMC Skema penghitungan DMC Skema penghitungan DC Skema penghitungan ISI, BUI, FWI Sebaran geografis daerah kajian Perbandingan hasil penghitungan dari beberapa komponen Sistem FWI Pengaruh Curah Hujan pada FFMC Hasil penghitungan DMC dengan menggunakan dua metode berbeda Windowing anomali curah hujan tahun 2 sampai dengan Windowing DMC dan anomali curah hujan bulan Januari sampai dengan Maret Hasil penghitungan DC berdasarkan penggunaan dua metode berbeda Windowing anomali DC dan curah hujan bulan Januari sampai dengan Maret

9 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Contoh format data mentah dari Statiun AWS di Loajanan Contoh format masukan data pada Sistem FWI untuk Stasiun Loajanan Prosentase kelas FFMC di Loajanan Prosentase kelas FFMC di Marangkayu Prosentase kelas FFMC di Samuntai Prosentase kela s FFMC di Tanjungredep Prosentase kelas FFMC di Tanjungselor Perbandingan prosentase kelas DMC di Loajanan Perbandingan prosentase kelas DMC di Marangkayu Perbandingan prosentase kelas DMC di Samuntai Perbandingan prosentase kelas DMC di Tanjungredep Perbandingan prosentase kelas DMC ditanjungselor Perbandingan prosentase kelas DC di Loajanan Perbandingan prosentase kelas DC di Marangkayu Perbandingan prosentase kelas DC di Samuntai Perbandingan prosentase kelas DC di Tanjungredep Perbandingan prosentase kelas DC di Tanjungselor Perbandingan DMC di Loajanan Perbandingan DMC di Marangkayu Perbandingan DMC di Samuntai Perbandingan DMC di Tanjungredep Perbandingan DMC di Tanjungselor... 37

10 23 Perbandingan DC di Loajanan Perbandingan DC d Marangkayu Perbandingan DC di Samuntai Perbandingan DC di Tanjungredep Perbandingan DC di Tanjungselor... 39

11 PENDAHULUAN Latar Belakang Kebakaran hutan di Indonesia seringkali terjadi, beberapa kejadian kebakaran besar diantaranya terjadi pada tahun 1982, 1983, 1991, 1994, 1997, 1998, 1999 sampai dengan awal tahun 21 (Wardhani 21). Kebakaran hutan tahun 1998 oleh Los Angeles Times edisi 23 Maret 1998 bahkan dinyatakan sebagai bencana yang telah merusak hutan hujan tropis terbesar di dunia. Bencana tersebut mengakibatkan sebagian kawasan Asia Tenggara diselimuti dengan asap, dan diperkirakan telah menyebabkan kerugian yang nilainya melampaui 9 milyar USD ( Selain Indonesia, beberapa negara di kawasan Asia Tenggara seperti Brunei, Malaysia, dan Singapura juga mengalami bencana asap dan kebakaran hutan. Mengingat besarnya kerugian dan dampak negatif yang telah ditimbulkan ole h bencana tersebut, ke empat negara di kawasan Asia Tenggara tadi kemudian bersama-sama menyetujui untuk melakukan tindak pengawasan terhadap bahaya asap dan kebakaran. Salah satu langkah yang ditempuh yaitu melalui penerapan Sistem Fire Weather Index. (Sistem FWI). Sistem FWI merupkan salah satu sub sistem utama dari Fire Danger Rating Sytem (FDRS). FDRS merupakan suatu sistem pemeringkat bahaya kebakaran regional yang berasal dari Kanada, dalam hal ini sistem tersebut tengah dicobakan sebagai sistem peringatan dini di kawasan Asia Tenggara. Sistem FWI memberikan informasi tingkatan dari potensi kebakaran relatif berdasarkan data observasi cuaca harian. Beberapa komponen Sistem FWI juga mempertimbangkan faktor panjang hari, Le, dan panjang hari terkoreksi, Lf. Lf merupakan fungsi dari rataan bulanan suhu maksimum dan rataan bulanan evapotranspirasi potensial. Kanada dan Asia Tenggara merupakan kawasan dengan perbedaan letak lintang yang signifikan. Letak lintang merupakan salah satu faktor pengendali unsur unsur cuaca dan iklim. Perbedaan letak lintang tentunya akan membuat perbedaan selang waktu penerimaan radiasi matahari pada kedua kawasan. Kondisi tersebut diantaranya mengakibatkan Kanada dan kawasan Asia Tenggara memiliki perbedaan panjang hari yang cukup besar. Perbedaan tersebut selama ini baru diantisipasi dengan merubah selang kelas bahaya kebakaran dari komponen Sistem FWI. Dalam penelitian ini selain dilakukan penghitungan Sistem FWI berdasarkan adopsi dari persamaan asalnya, juga akan dilakukan modifikasi, dengan cara memasukan nilai Le, dan Lf lokal menggantikan nilai Le dan Lf asalnya. Hal tersebut dilakukan dengan harapan agar hasil yang didapat dari penghitungan Sistem FWI yang telah dimodifikasi tersebut akan lebih menggambarkan nilai-nilai sebenarnya dari tingkatan potensi kebakaran relatif yang berdasarkan pada data observasi cuaca harian setempat. Penelitian ini bertujuan untuk turut mengembangkan Sistem FWI sebagai alat bantu dalam pengambilan keputusan mengenai penentuan periode kritis yaitu selang waktu ketika model bahan bakar pada suatu daerah terindikasi memiliki resiko terbakar yang tinggi. Dalam penelitian ini akan dilihat apakah perbedaan faktor faktor tadi, juga akan mengakibatkan perubahan pada penentuan label kelas bahaya kebaka ran dari Sistem FWI. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai Juli 22 sampai dengan September 25, bertempat di Lab. TSI Gedung BPP Teknologi dan Asrama IPB Sukasari, Bogor.

12 TINJAUAN PUSTAKA Pengetahuan Dasar Keba karan Tanaman ataupun bagian-bagiannya merupakan komponen dari biomassa hutan yang paling banyak dilalap api. Komponen biomassa yang paling banyak terbakar tadi, pada umumnya berupa tumbuhan hijau yang mampu melakukan proses fotosintesis. Pada proses fotosintesis terjadi reaksi kimia yang melibatkan karbondioksida, air dan energi dari matahari, hingga menghasilkan selulosa, lignin, amilum dan berbagai komponen kimia lainnya. Seluosa, lignin, amilum merupakan hasil fotosintesis yang dapat ditemukan pada setiap bagian tanaman. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa komponen tanaman merupakan bagian dari manifestasi energi kimia yang dihasilkan dalam proses fotosintesis. Proses fotosintesis dan kebakaran memiliki hubungan yang unik. Kebakaran pada tanaman ataupun komponennya, akan melangsungkan perubahan energi. Energi kimia yang diwujudkan dari proses fotosintesis akan dirubah menjadi energi termal, energi radiasi, dan energi kinetik. Secara sepintas proses kebakaran dan fotosintesis, merupakan dua proses yang saling berkebalikan. Pada proses fotosintesis terjadi pemusatan energi, dalam hal ini terjadi pemusatan energi kimia yang berlangsung secara perlahan lahan sedangkan dalam kejadian kebakaran, energi kerapkali dilepaskan secara spontan. Hubungan antara kedua proses tersebut dapat ditampilkan melalui formulasi berikut: Fotosintesis CO2 + H 2O + energi matahari C6H1O 6 + n ( ) O Kebakaran H1O6 + O + suhu pemicu CO2 + H 2O ( ) bahang C6 n + Reaksi bahan bakar dengan oksigen hanya akan berlangsung pada kondisi tertentu. Kondisi tersebut akan tercapai ketika komposisi kadar air yang terdapat pada bahan bakar mencapai suatu nilai yang mendukung terbakarnya bahan bakar tersebut. Sagala (1988) menyatakan agar suatu bahan bakar terbakar maka suhu bahan bakar tersebut harus ditingkatkan hingga mencapai suhu pemicu kebakaran yang lazim dikenal sebagai titik bakar. Titik bakar suatu bahan bakar bervariasi, namun Merril dan Alexander (1987) dalam Alexander (1988) menyatakan nilai suhu tersebut berada pada kisaran nilai 35 C. Pencapaian suhu kritis tadi terjadi setelah bahan bakar terlebih dahulu mendapatkan bahang yang cukup dari suatu sumber pemanasan. Sumber pemanasan bahan bakar dapat berupa petir, bunga api, api unggun, ataupun dari puntung rokok. Merril dan Alexander (1987) dalam Alexander (1988) menyatakan meskipun banyak ahli melihat kebakaran hanya terdiri dari dua fase namun pada hakekatnya ia terdiri dari tiga fase atau lebih yang saling overlap. Ketiga fase tersebut adalah fase prapemanasan, fase destilasi, dan fase pembentukan arang. Sormin dan Hartono (1986) menyatakan kebakaran terbagi atas fase pemanasan, fase penguraian, dan fase pembakaran. Berbagai pendapat tadi sebenarnya menyatakan hal yang relatif sama Proses kebakaran pada awalnya merupakan suatu reaksi yang bersifat endotermal karena ia membutuhkan energi. Dalam hal ini dibutuhkan pasokan bahang untuk meningkatkan suhu bahan bakar hingga suhu pemicu pengapian tercapai. Ketika pemanasan belum mencapai suhu pengapian, pada sebagian jenis bahan bakar hutan pemanasan akan terlebih dahulu mengakibatkan volatilisasi sejumlah resin yang bersifat atsiri. Zat astiri tadi memiliki titik didih disekitar suhu kamar. Pyne (1996) menyatakan hal tersebut merupakan salah satu sebab timbulnya bau yang khas pada ekosistem hutan. Selanjutnya peningkatan suhu yang terus terjadi seiring dengan berlangsungnya pemanasan bahan bakar akan mengakibatkan terjadinya pengeringan. Air yang terjerap pada bahan bakar secara bertahap akan terevaporasikan, dengan kata lain kelembaban bahan bakar akan terus berkurang. Kelembaban bahan bakar sangat beragam, bahan bakar dari vegetasi yang telah mati memiliki kelembaban 1 hingga 3 % dari bobot keringnya, sedangkan bahan bakar dari vegetasi hidup pada umumnya memiliki kelembaban yang lebih besar dari 3 %. Peningkatan suhu selanjutnya akan mengakibatkan berlangsungnya pirolisis. Pyne (1996) mendefinisikan pirolisis sebagai penguraian molekul atau polimer zat karena panas. Proses pirolisis akan menghasilkan arang, karbonmonoksida, karbondioksida, uap air, tar dan sejumlah zat dari keluarga hidrokarbon yang mudah terbakar seperti methana, methanol dan propana. Ketika pemanasan bahan bakar telah mencapai suhu pengapian, zat-zat produk dari pirolisis akan beraksi dengan oksigen.

13 Oksidasi tar, dan zat-zat dari keluarga hid rokarbon akan memicu timbulnya nyala api, selanjutnya oksidasi dari produk pirolisis lainnya akan menimbulkan bara api. Kedua proses tadi akan menyuplai bahang lebih banyak lagi. Pada tahap ini reaksi tidak lagi bersifat endotermal, akan tetapi telah bersifat eksotermal. Ketika api pada suatu bahan bakar telah terbentuk, peningkatan suhu tidak hanya berasal dari sumber pemanasan awal saja. Keberadaan api tadi juga akan turut berperan dalam menghasilkan bahang sendiri. Bahang yang dihasilkan selanjutnya akan turut berperan sebagai sumber pemanasan bagi bahan bakar lainnya melalui mekanisme radiasi, konduksi ataupun konveksi. Ketika bahan bakar mengalami kebakaran yang tidak sempurna, sebagian dari zat volatil yang dihasilkan akan menyisakan jelaga, selain itu juga dihasilkan partikel hasil pembakaran tidak sempurna yang melayang di udara yang dikenal sebagai asap. Api akan padam ketika bahan bakar tidak lagi tersedia ataupun ketika bahang yang tersedia tidak cukup lagi untuk mempertahankan kebakaran (Pyne, 1996). Untuk menjelaskan faktor-faktor yang berperan dalam pembentukan kebakaran digunakan konsep segitiga api. Konsep tersebut menyatakan terjadinya kebakaran dipengaruhi oleh tiga hal utama yaitu bahan bakar yang sesuai, kadar oksigen yang memadai, dan ju mlah bahang yang mencukupi untuk memulai kebakaran (Sullivan, 1997). Konsep segitiga api itu sendiri dapat digambarkan sebagai berikut: Gambar 1 Konsep segitiga api (Borrow, 1951). Dalam konsep segitiga api tersebut suatu daerah tidak akan mengalami kebakaran, ketika semua hal tadi tidak terkumpul secara bersamaan. Oleh karena itu syarat dari konsep segitiga api tadi juga dapat digunakanan dalam tindak pencegahan kebakaran. Singkatnya, kejadian kebakaran akan dapat dihindarkan dengan mencegah terkumpulnya ketiga komponen dalam konsep segitiga api. Hal tersebut diantaranya adalah dengan mengurangi bahan bakar hutan yang potensial maupun sumber panas yang mungkin timbul baik karena faktor alam ataupun manusia (Sormin dan Hartono, 1986). Bahan Bakar Bahan bakar dari tumbuhan tidak hanya berupa vegetasi yang masih hidup (living fuel), ia dapat pula berujud bahan bakar mati (dead fuel). Dead fuels adalah tanaman yang telah mati ataupun bagian dari tanaman yang telah terpisah. Bagian tanaman yang telah terpisah tadi dapat berupa dahan, ranting, daun, pucuk tanaman, ataupun buah yang telah berguguran, bisa pula berupa batang tanaman yang tumbang, juga potongan sulur, serta akar tanaman. Hal tersebut memperlihatkan variasi kondisi bahan bakar yang tampak sangat beragam baik dari segi jenis, ukuran, ataupun distribusinya. Menurut Clar dan Chatten (1954), hal-hal penting dari bahan bakar yang dapat mempengaruhi kebakaran meliputi ukuran bahan bakar, susunan bahan bakar, volume, jenis, kerapatan, dan kadar air dari bahan bakar. Pyne (1996) juga menyebutkan hal yang hampir senada dengan apa yang dinyatakan oleh Clar dan Chatten (1954). Pyne (1996) menyatakan jumlah bahan bakar, kepadatan, susunan, bentuk dan ukuran bahan bakar sebagai sifat ekstrinsik dari bahan bakar yang berpengaruh pada kebakaran selain sifat-sifat intrinsik seperti kadar zat kimia dan potensi bahang yang dimiliki oleh suatu jenis bahan bakar. Bahan bakar dengan ukuran yang lebih kecil akan lebih mudah terbakar dibandingkan dengan bahan bakar yang memiliki ukuran yang lebih besar. Hal tersebut terjadi karena pengeringan bahan bakar yang berukuran kecil hingga mencapai suhu pengapian, akan membutuhkan jumlah bahang yang lebih sedikit daripada melakukan hal yang sama pada bahan bakar yang berukura n lebih besar. Bahan bakar yang berdiameter kurang dari.5 inchi dikenal sebagai bahan bakar halus (light fuels/fine fuels ), sedangkan bahan bakar yang memiliki ukuran diameter lebih dari.5 inchi dinamakan bahan bakar kasar (heavy fuels ). Pada umumnya heavy fuels kering akan menyediakan materi yang dapat terbakar dalam jumlah yang lebih banyak dari fine

14 fuels. Fine fuels memang lebih mudah mengering, selain itu dibandingkan heavy fuels ia juga lebih mudah menyerap air. Karena sifatnya itu ketika fine fuels terbakar, api akan menyebar dengan cepat, akan tetapi kebakaran yang ditimbulkannya juga relatif lebih cepat padam, karena materi yang dapat terbakar yang ada padanya relatif sedikit. Pada umumnya fine fuels memegang peranan yang dominan pada periode awal kebakaran. Adapun kadar air yang terdapat pada heavy fuels relatif stabil. Heavy fuels relatif lebih sulit terbakar, akan tetapi ketika sudah tersulut api, heavy fuels mampu menimbulkan kebakaran dengan periode yang relatif lama. Kerapatan bahan bakar menyatakan jarak antar partikel dari bahan bakar. Bahan bakar dengan kerapatan yang rendah akan lebih cepat bereaksi terhadap perubahan kelembaban, selain itu angin dengan mudah melakukan penetrasi dan turut berperan dalam mengurangi kelembaban bahan bakar. Ia juga memiliki potensi pasokan oksigen yang lebih banyak, karena memiliki lebih banyak ruang kosong sehingga dapat menampung lebih banyak oksigen. Dengan kata lain ia memiliki potensi jumlah oksigen yang lebih banyak pada setiap luasan penampangnya. Kebakaran akan merambat lebih cepat jika terjadi pada bahan bakar yang memiliki tingkat kerapatan yang rendah. Penjalaran api pada bahan bakar yang memiliki tingkat kerapatan yang rendah akan berperilaku seperti halnya pada fine fuels, sedangkan penjalaran api pada bahan bakar yang memiliki tingkat kerapatan yang tinggi/padat akan berperilaku seperti halnya heavy fuels. Susunan bahan bakar meliputi orientasi arah secara vertikal ataupun horisontal. Bahan bakar yang tersusun kontinyu akan semakin mempercepat perambatan api. Jika bahan bakar tersusun vertikal secara kontinyu kebakaran tajuk (aerial fire) akan terjadi lebih cepat, demikian pula bila terdapat kekontinyuan susunan bahan bakar dalam arah horisontal, dalam hal ini perambatan api secara horisontal lebih cepat terjadi. Berdasarkan distribusi vertikalnya, komponen bahan bakar dikelompokkan ke dalam tiga kelas, yaitu bahan bakar bawah (ground fuels ), bahan bakar permukaan (surface fuels), dan bahan bakar tajuk (aerial fuels ). Ground fuels meliputi semua bahan bakar yang terdapat di bawah lapisan sarasah. Ground fuels didominasi oleh akar tanaman, dan bongkahan kayu yang tengah ataupun telah membusuk dan terkubur di dalam permukaan tanah. Jenis bahan bakar ini lebih mungkin untuk menimbulkan kebakaran yang berupa bara api daripada nyala api. Ground fuels pada umumnya memiliki kadar air yang lebih banyak daripada surface fuels ataupun aerial fuels. Pada umumnya sebelum kadar air yang dikandung oleh ground fuels jumlahnya kurang dari 2% dari bobot keringnya, kebakaran akan susah timbul. Api pada umumnya berasal dari terbakarnya lapisan sarasah di atasnya, yang kemudian merambat membakar bahan-bahan organik yang berada pada lapisan di bawahnya. Begitu terjadi, kebakaran yang lazim disebut sebagai ground fire tersebut akan susah untuk dipadamkan. Surface fuels meliputi seluruh sarasah yang terdapat pada lantai hutan. Pada umumnya surface fuels terdiri atas pucuk daun ataupun dedaunan, ranting, kulit kayu, buah, dan cabang kecil yang telah jatuh berguguran di permukaan tanah. Selain itu surface fuels juga meliputi rerumputan, semak belukar, dan bibit ataupun tumbuhan hutan yang masih muda. Pada umumnya sarasah akan membentuk suatu lapisan bahan bakar yang sangat mudah dilalap api. Komponen bahan bakar ini pada umumnya memiliki diameter yang besarnya kurang dari.5 inchi, sehingga dapat dikategorikan sebagai fine fuels. Kebakaran yang terjadi di permukaan tanah yang mengkonsumsi surface fuels dengan ketinggian maksimum 1.2 meter dikenal sebagai surface fire. Pada umumnya kebakaran ini tidak mencapai tajuk karena pohon-pohonnya jarang atau dari jenis yang sulit terbakar. Surface fuels yang tersusun secara kontinyu dan terekspos secara langsung dengan udara, seperti rerumputan dan semak belukar, ketika mati kadar kelembabannya akan sangat dipengaruhi oleh perubahan cuaca harian. Kadar kelembaban komponen bahan bakar tersebut sangat sensitif terhadap perubahan nilai suhu, angin dan kelembaban udara disekitarnya. Aerial fuels meliputi semua zat yang dapat terbakar baik hidup ataupun mati yang terdapat pada kanopi hutan, serta terpisah dari permukaan tanah dengan jarak minimal sejauh 1,2 meter. Aerial fuels biasanya didominasi oleh cabang, daun, pucuk, buah tanaman, lumut kerak, lumut daun, serta tanaman epifit lainnya. Pada umumnya bahan bakar ini terbakar setelah sebelumnya mengalami penambahan bahang yang bersumber dari surface fire terutama melalui mekanisme konveksi. Distribusi vertikal dari komponen bahan bakar dapat diilustrasikan dengan gambar berikut:

15 Gambar 2 Distribusi vertikal dari komponen. bahan bakar (Pyne, 1996). Lingkungan Kebakaran Kebakaran yang telah terbentuk akan saling berinteraksi dengan lingkungan di sekitarnya. Countryman (1972) menuliskan hubungan antara lingkungan dengan kebakaran yang terjadi. Konsep tersebut menggambarkan kondisi lingkungan sekitar yang mempengaruhi, merubah, dan menentukan perilaku api yang terjadi. Perilaku api didefinisikan oleh De Bano (1998) sebagai suatu respon atau kebiasaan api yang terbentuk sebagai hasil interaksi api dengan lingkungannya. Baik Countryman (1972) maupun De Bano (1998) menyatakan kondisi dan perubahan komponen-komponen lingkungan sekitar akan mempengaruhi kebakaran. Komponen komponen utama dari lingkungan tersebut terdiri atas kondisi cuaca, topografi, dan bahan bakar. Interaksi ketiganya dengan kebakaran yang ada juga akan menentukan karakteristik dan perilaku dari kebakaran. Bahan bakar, topografi, cuaca dan interaksi ketiganya merupakan tiga buah komponen lingkungan yang sangat mempengaruhi perilaku kebakaran. Bahan bakar menentukan potensi penyebaran api, potensi kerusakan yang dapat terjadi, serta potensi hambatan dalam pengendalian kebakaran. Topografi suatu wilayah pada umumnya memiliki kondisi yang relatif lebih konstan. Secara alamiah kondisi topografi akan berperan dalam penentuan kondisi iklim di suatu wilayah. Topografi merupakan salah satu faktor pengendali unsur-unsur iklim dan cuaca. Perbedaan ketinggian, aspek dan kelerengan suatu daerah akan menimbulkan keragaman nilai unsur-unsur cuaca, selain itu pada umumnya juga dijumpai kekhasan vegetasi di suatu daerah. Topografi juga berperan cukup penting pada proses penyebaran aerial fire, kelerengan yang terjal akan mempercepat penyebaran aerial fire. Akan tetapi ketika terjadi anomali cuaca seperti angin yang bertiup dengan kencang akan mampu membuat pengaruh topografi di suatu daerah tidak lagi mendominasi penyebaran aerial fire. Cuaca menentukan kebakaran seperti apa yang terjadi, kecepatan penyebaran api, tingkat kerusakan aktual yang ditimbulkan, serta tingkat kesulitan dalam pengendalian kebakaran, singkatnya cuaca menentukan level dari kebakaran yang terjadi. Ketika tidak dijumpai bahan bakar, kebakaran memang tidak akan pernah terjadi. Akan tetapi ketersediaan bahan bakar saja tidak bisa menjamin terjadinya kebakaran. Meskipun di suatu daerah terdapat bahan bakar yang berlimpah, misalnya dijumpai timbunan sisa hasil penebangan hutan, akan tetapi ketika pada periode tersebut daerah itu senantiasa diguyur hujan maka lazimya di daerah tadi kebakaran pada periode itu tidak akan terjadi. Kontrol terhadap bahan bakar relatif lebih mungkin dan mudah untuk dilakukan daripada tindak pengendalian unsur-unsur cuaca. Tindak management hutan dapat dilakukan guna mengontrol ketersediaan bahan bakar. Tindak penjarangan tanaman, pembuatan sekat bakar, bahkan pengaturan pola tanam dapat dilakukan pada kawasan agroforestri ataupun hutan, terutama pada kawasan hutan tanaman industri. Selain itu secara alamiah, perubahan ketersediaan bahan bakar yang signifikan berlangsung dengan lambat, kejadiannya mengikuti siklus hidup tumbuhan, yang juga dipengaruhi oleh iklim dan topografi setempat. Berbeda dengan hal tersebut, unsur-unsur cuaca kondisinya dapat berubah secara drastis dalam hitungan hari, jam bahkan dalam hitungan menit. Perubahan unsur cuaca tadi akan mempengaruhi kondisi bahan bakar, ataupun kondisi kebakaran itu sendiri baik secara langsung atau tidak (Brown dan Davis, 1975). Chandler (1983) menyatakan cuaca dan iklim mempengaruhi kebakara n melalui beberapa cara sebagai berikut: Iklim menentukan jumlah total bahan bakar yang tersedia. Iklim menentukan selang waktu dan level dari musim kebakaran.

16 Cuaca menentukan kadar air/kelembaban bahan bakar dan kemudahan bahan bakar untuk terbakar. Cuaca mempengaruhi proses pengapian dan penyebaran bahan bakar. Kondisi Atmosfer dan Kebakaran Cuaca adalah keadaan fisis atmosfer dan perubahannya di suatu tempat tertentu dalam selang waktu yang relatif pendek. Atmosfer sendiri dapat didefinisikan sebagai lapisan gas atau campuran gas yang menyelimuti dan terikat pada bumi oleh gaya gravitasi bumi. Campuran gas tersebut dinamakan udara. Di dalam atmosfer terdapat udara kering, uap air, dan aerosol. Gas gas lain yang membentuk udara kering di atmosfer kadarnya sangat kecil dalam hal ini campuran udara kering dan uap air tidak jenuh dikenal sebagai udara lembab. Meskipun kadar uap air di udara sangat kecil, uap air memainkan peranan yang penting di dalam proses termodinamika. Dalam kisaran suhu atmosfer, uap air dapat berubah fasa menjadi cair, atau padat. Uap air masuk ke atmosfer dari permukaan bumi melalui penguapan air di permukaan bumi, ataupun melalui transpirasi yang terjadi pada tanaman. Jika mengalami pendinginan, uap air berubah fasa menjadi padat (es), dan membentuk awan atau kabut yang kemudian turun ke permukaan sebagai gerimis, hujan, hujan deras, salju, ataupun batu es. Tidak jarang perubahan fasa uap air terjadi di permukaan bumi dan membentuk embun atupun embun beku. Atmosfer dapat dibagi menjadi lapisanlapisan yang berbeda berdasarkan perbedaan suhu pada berbagai ketinggian. Berdasarkan distribusi suhu dan ketinggiannya, atmosfer dapat dibagi menjadi 4 lapisan utama seperti dinyatakan dalam ilustrasi berikut: Sumber: du Gambar 3 Distribusi suhu sesuai ketinggian. Dari ke empat lapisan tersebut lapisan troposfer merupakan satu-satunya lapisan tempat fenomena meteorologi terjadi. Hampir semua pemanasan pada permukaan bumi dan atmosfer berasal dari radiasi matahari, meskipun hanya sebagian kecil dari radiasi yang dipancarkan oleh matahari diterima bumi. Pendekatan distribusi radiasi matahari pada sistem bumi-atmosfer dapat dinyatakan sebagai berikut: Sumber: Gambar 4 Distribusi radiasi matahari pada sistem bumi-atmosfer. Geiger (1959) menyatakan radiasi matahari yang sampai di permukaan bumi, nilainya hanyalah setengah dari radiasi matahari yang diterima di puncak atmosfer. Sebagian dari radiasi matahari tersebut akan diserap, dan dipantulkan kembali ke angkasa luar oleh atmosfer bumi. Penerimaan radiasi matahari di permukaan bumi sangat bervariasi menurut ruang ataupun waktu. Keragaman radiasi menurut ruang disebabkan oleh perbedaan letak lintang dan kondisi atmosfer di suatu daerah. Keragaman penerimaan radiasi matahari menurut waktu terjadi karena adanya perbedaan sudut datang dari radiasi matahari, dan jarak antara bumi dengan matahari pada saat bumi berevolusi mengelilingi matahari pada orbitnya yang berbentuk elips. Perbedaan jarak tersebut membuat perbedaan kerapatan fluks radiasi matahari yang sampai di permukaan bumi yang besarnya sebanding dengan perbandingan kuadrat jarak antara bumi dan matahari. Perbedaan sudut datang akan mengakibatkan perbedaan selang waktu penerimaan radiasi matahari. Selang waktu penerimaan radiasi matahari juga dipengaruhi oleh tingkat penutupan awan di atmosfer, serta perbedaan tempat menurut letak lintang. Dalam skala mikro jumlah radiasi matahari yang diterima dipengaruhi oleh faktor topografi lahan seperti faktor arah

17 kelerengan/aspek, dan ketinggian lahan (Handoko, 1993). Perbedaan penerimaan radiasi matahari mengakibatkan perbedaan pemanasan permukaan bumi. Fuller (1991) menyatakan perbedaan pemanasan oleh matahari pada permukaan bumi berperan dalam pembentukan keragaman iklim yang memberikan kontribusi pada bahaya kebakaran hutan karena bersama dengan angin penyinaran matahari memegang peranan yang penting pada perubahan suhu dan pengeringan bahan bakar. Jumlah panas yang dapat dikandung oleh suatu benda tergantung dari kapasitas panas benda tersebut C. Semakin besar kapasitas panas C semakin besar energi panas yang dapat dimiliki benda tersebut. Kapasitas panas merupakan fungsi dari massa m dan panas jenis suatu benda c. Udara memiliki panas jenis yang paling rendah bila dibandingkan dengan panas jenis tanah ataupun dengan panas jenis air, c 8 Jkg 1 = K 1 c 1 1 = 42 Jkg K, c Tanah, Udara Air 1 1 = 717 Jkg K. Meskipun nilai panas jenis udara hampir sama dengan panas jenis tanah, massa tanah nilainya seribu kali massa udara karena kerapatan tanah nilainya hampir 3 seribu kali kerapatan udara, ñ = 12 kgm Tanah 3 sedangkan, ñudara = 1,275 kgm. Faktor tersebut menjadikan udara sebagai penyimpan panas yang paling buruk ketika dibandingkan dengan ke dua zat tadi, oleh karena itu udara lebih cepat menjadi panas ataupun menjadi dingin dibandingkan dengan daratan dan lautan. Rendahnya kapasitas panas udara menjadikan udara cukup peka terhadap perubahan energi di permukaan bumi. Permukaan bumi merupakan bidang aktif dalam hal penerimaan radiasi matahari. Hal tersebut menjadikan permukaan bumi sebagai pemasok panas pada udara, sehingga semakin tinggi tempat semakin rendah suhunya (Prawirowardoyo, 1996). Karena sebab yang senada pula, maka suhu di permukaan bumi juga semakin rendah dengan bertambahnya letak lintang seperti halnya dengan penurunan suhu menurut ketinggian. Pada penyebaran suhu menurut lintang sumber pemasok bahang terasa berasal dari daerah tropika (Handoko, 1996). Daerah dengan suhu yang tinggi akan mempercepat terjadinya pengeringan bahan bakar, ataupun mempermudah terjadinya kebakaran. Hal tersebut dikarenakan perubahan suhu bahan bakar dicapai melalui penyerapan radiasi matahari secara langsung ataupun melalui mekanisme konduksi, dan konveksi dari lingkungan termasuk dari udara di sekitar bahan bakar (Brown dan Davis, 1973). Suhu udara menentukan kapasitas udara untuk menampung uap air. Semakin tinggi suhu udara maka kapasitas udara dalam menampung uap air akan semakin besar. Kapasitas udara untuk menampung uap air dinyatakan sebagai tekanan uap jenuh e s, sedangkan kadar/kandungan uap air aktual di udara dinyatakan dengan tekanan aktual e a. Perbandingan antara tekanan uap aktual e a dengan tekanan uap jenuh e s pada suhu yang sama dinyatakan sebagai kelembaban relatif rh. Kelembaban relatif menunjukan derajat kejenuhan udara, ia menunjukan jauh dekatnya kondisi udara dari keadaan jenuhnya. Pada siang dan malam hari dengan tekanan uap aktual yang relatif tetap, nilai kelembaban relatif pada siang hari akan lebih kecil daripada kelembaban relatif pada malam hari. Hal tersebut diakibatkan karena kapasitas udara dalam menampung uap air akan membesar seiring dengan naiknya suhu udara, sedangkan pada pola suhu diurnal kondisi suhu udara pada siang hari pada umumnya lebih panas daripada suhu udara pada malam hari. Selain kelembaban udara, kondisi kelembaban bahan bakar secara langsung dipengaruhi oleh adanya hujan. Hujan akan seketika itu juga membasahi permukaan bahan bakar, sehingga tidak memungkinkan timbulnya kebakaran. Semakin besar intensitas hujan semakin cepat kelengasan bahan bakar mencapai nilai maksimumnya. Pola hujan di suatu daerah akan menentukan selang waktu terjadinya kebakaran. Selama periode atau musim penghujan kebakaran akan sangat sulit terjadi. Selama musim hujan walaupun hujan turun dengan intensitas yang rendah, pada umumnya ia terjadi pada selang waktu yang relatif panjang. Seiring dengan pergantian musim, hujanpun berkurang baik intensitas ataupun periodenya. Pada masa ini, pengeringan bahan bakar dimulai kembali. Pengeringan tersebut diakib atkan oleh penerimaan radiasi surya yang memicu peningkatan devisit tekanan uap yang terjadi seiring dengan meningkatnya suhu udara dan dipercepat oleh angin sebagai pembawa air yang sudah diuapkan oleh bahan bakar. Angin turut memicu terjadinya kebakaran dan juga memasok oksigen yang

18 merupakan salah satu komponen penyebab terjadinya kebakaran. Selain itu Affan (22) menyatakan bahwa angin juga menentukan arah penjalaran api. Kondisi cuaca yang mempengaruhi timbulnya api, perilaku kebakaran dan pengendalian terhadapnya dikenal dengan cuaca kebakaran (fire weather), sedangkan periode ketika seringkali dijumpai kebakaran dahsyat yang menyebar dengan cepat, serta mengakibatkan kerusakan yang cukup parah disebut sebagai musim kebakaran (fire season) (The Glossary Team, 22). Brown dan Davis (1973) juga menyatakan bahwa pola, selang waktu, dan intensitas dari musim kebakaran merupakan fungsi dari iklim, yang juga dipengaruhi oleh karakteristik bahan bakar. Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran Bahaya kebakaran merupakan suatu istilah yang komprehensif. Ia digunakan untuk menyatakan penilaian dari berbagai peubahpeubah lingkungan yang menentukan kemudahan terpicunya api (ease of ignition), laju penyebaran kebakaran, kesulitan dalam pengendalian api dan dampak dari kebakaran itu sendiri (Merrill, 1987). Peubah peubah lingkungan, baik peubah bebas maupun peubah tak bebas terdiri dari komponen komponen dalam konsep segitiga lingkungan yang menentukan terjadinya berbagai hal tadi. Peringkat bahaya kebakaran merupakan sistem manajemen kebakaran yang mengintegrasikan dampak dari faktor faktor lingkungan kebakaran tertentu ke dalam suatu daftar nilai atau peringkat nilai kualitatif. Pada umumnya unsur-unsur cuaca cukup diperhitungkan pada berbagai sistem peringkat bahaya kebakaran yang ada (Pyne, 1996). Sistem klasifikasi bahaya kebakaran dinyatakan dalam kelas -kelas bahaya kebakaran dengan masing-masing kode warna yang khas. Contoh kelas -kelas bahaya kebakaran tersebut dapat diinterpretasikan sebagai berikut: Tabel 1. Pengkelasan bahaya kebakaran Bahaya Kebakaran Kelas Karakteristik Kebakaran Kesulitan Pemadaman Kebakaran Rendah Api permukaan merambat Tak ada masalah pengendalian kecuali kebakaran dalam tanah Sedang Tinggi Api permukaan bisa menyebar pesat atau dengan intensitas sedang Menyebar cepat atau intensitas api Api dapat dikendalikan dengan menggunakan peralatan sederhana dan air Pengendalian api dengan menggunakan Ekstrim sedang sampai tinggi Menyebar cepat atau intensitas api tinggi Sumber: pompa air kuat dan/atau pembuatan sekat bakar menggunakan peralatan mekanis Sangat sulit untuk dikendalikan. Pemadaman menggunakan drip torches dari garis pengendalian dapat digunakan Peringkat dari penaksiran bahaya kebakaran dapat digunakan sebagai saran prakiraan yang digunakan untuk menilai resiko terjadinya kebakaran, penyebaran api serta kerugian yang dapat ditimbulkannya. Sehingga dalam aplikasinya ia dapat dijadikan sebagai acuan dalam sistem peringatan dini tentang adanya bahaya kebakaran. Salah satu sistem peringkat bahaya kebakaran yang ada adalah sistem indeks cuaca kebakaran atau Sistem Fire Weather Index, yang disingkat dengan Sistem FWI (Beck, 22). Sistem FWI Sistem FWI telah digunakan di Kanada sejak tahun 196an, meskipun dikembangkan di Kanada Sistem FWI telah diaplikasikan di daerah yang lain (contoh, di New Zealand, Alaska, Swedia, Argentina). Sistem FWI terdiri atas enam komponen yang menggambarkan pengaruh dari cuaca pada kelembaban bahan bakar dan perilaku kebakaran. Tiga komponen Sistem FWI yang pertama, merupakan kode kelembaban pada tiga model bahan bakar. Dua komponen Sistem FWI selanjutnya berupa petunjuk kualitatif dari laju penyebaran api dan tingkat ketersediaan bahan bakar, sedangkan komponen terakhir dari Sistem FWI berupa indikator kualitatif untuk intensitas ke bakaran. Kode kelembaban merupakan suatu teknik perhitungan kadar kelambaban bahan bakar pada periode kering dan periode hujan. Adapun kadar kelembaban bahan bakar merupakan suatu perbandingan antara massa air yang terdapat pada bahan bakar dengan berat kering bahan bakar tersebut. Bahan bakar pada Sistem FWI dimodelkan terbagi atas tiga jenis model bahan bakar, yaitu fine fuel, lapisan humus/fermentasi tanah, dan lapisan organik padat. Ketiga kode kelembaban dalam Sistem FWI masing-masing berupa peringkat numerik kelembaban fine fuel, rataan kadar kelembaban dari bagian atas lapisan duff yang mewakili lapisan fermentasi tanah/humus, dan rataan kadar kelembaban pada lapisan organik

19 padat. Kode kelembaban dalam Sistem FWI berbanding terbalik dengan kadar kelembaban pada model bahan bakarnya. Peningkatan nilai pada ketiga kode kelembaban menyatakan terjadinya pengeringan pada ketiga model bahan bakar. Kode-kode kelembaban dalam Sistem FWI nilainya akan berubah mengikuti laju pengeringan dari masing-masing model bahan bakar. Kejadian hujan akan menambah kelembaban suatu model bahan bakar hanya ketika terjadi hujan yang lebih besar daripada ambang batas pembasahan model bahan bakar tersebut. Ambang batas pembasahan merupakan fungsi intersepsi dari lapisan yang ada di atas model bahan bakar. Kenaikan kadar kelembaban suatu model bahan bakar ditunjukkan dengan menurunnya kode kelembaban model bahan bakar untuk menyatakan menurunnya bahaya kebakaran pada model bahan bakar tersebut (Beck 22). Laju pengurangan kelembaban pada suatu model bahan bakar berlangsung secara eksponensial. Penurunan kadar kelembaban suatu model bahan bakar ditunjukkan dengan bertambah besarnya nilai kode kelembaban model bahan bakar untuk menyatakan terjadinya peningkatan peringkat bahaya kebakaran pada model bahan bakar tersebut. Selang waktu terjadinya proses pengurangan kelembaban bahan bakar sebesar 2/3 bagian dari kadar kelembaban aktualnya pada kondisi standar (kisaran suhu 21 C, kelembaban relatif 45%, kecepatan angin 13 km/jam) yang konstan dikenal sebagai time lag. Time lag menyatakan kecepatan suatu model bahan bakar mencapai tingkat kesetimbangan kelembabannya. Kesetimbangan kelembaban merupakan suatu kondisi ketika kadar kelembaban bahan bakar sama dengan kondisi kelembaban lingkungannya. Setiap model bahan bakar dalam Sistem FWI memiliki nilai time lag yang berbeda. Besarnya time lag dan ambang batas pembasahan (wetting threshold) dari ketiga model bahan bakar tadi adalah sebagai berikut: Tabel 2. Tabulasi time lag pada Sistem FWI Kode kelembaban Model bahan bakar Wetting threshold Time lag FFMC Sarasah.5 mm 18 jam DMC Humus 1.4 mm 15 hari DC Organik padat 2.8 mm 53 hari Sumber : Alexander, 1988 Komponen-komponen dari Sistem FWI, dan hubungan diantara komponen-komponen tersebut, ditunjukkan pada gambar berikut: Sumber: Gambar 5. Struktur Sistem FWI. Penghitungan setiap komponen didasarkan dari pengamatan harian beberapa parameter cuaca pada tengah hari waktu setempat. Parameter cuaca tersebut meliputi kecepatan angin pada ketinggian 1 meter dari permukaan tanah, suhu udara, kelembaban relatif, dan curah hujan yang terakumulasikan selama 24 jam. Selain itu juga diperlukan nilai dari komponen FWI hari sebelumnya, beserta informasi tanggal ketika pengukuran dilakukan. Gambaran umum dari setiap komponen FWI adalah sebagai berikut: Fine Fuel Moisture Code Fine Fuel Moisture Code (FFMC) merupakan peringkat numerik kadar kelembaban dari sarasah, lumut, rerumputan, paku-pakuan, dedaunan, cabang, batang, ranting dan bagian tanaman lainnya yang telah berguguran, yang lazim disebut sebagai bahan bakar halus (fine fuels ). Fine fuels dimodelkan sebagai bahan bakar yang memiliki berat kering pada kisaran.25 2 kg m. FFMC dapat berperan sebagai indikator dari mudah tidaknya bahan bakar tersebut terbakar dan sebagai sumber penyalaan api, karena dari ketiga model bahan bakar yang ada, fine fuels merupakan bahan bakar yang paling mudah tersulut api. Seperti halnya sifat bahan bakar halus, FFMC dimodelkan sangat peka terhadap perubahan suhu harian, kelembaban relatif, dan curah hujan. Kode ini berkorelasi dengan kejadian-kejadian kebakaran yang disebabkan manusia. Seluruh kode kelembaban bahan bakar pada Sistem FWI nilainya akan berkurang ketika terjadi hujan. FFMC merupakan satu-satunya kode kelembaban yang nilainya juga akan berkurang ketika terjadi peningkatan nilai kelembaban relatif. Nilai-nilai suhu, dan kecepatan angin menentukan laju pemulihan nilai FFMC

20 setelah mengalami pengurangan nilai ketika terjadi hujan. Bahan bakar pada model FFMC akan mengering dengan cepat. Time lag FFMC adalah 2/3 hari (18 jam). Nilai FFMC berada pada kisaran sampai dengan 11. Kondisi suhu dan kecepatan yang tinggi, serta kelembaban relatif yang rendah akan mempercepat laju pengeringan model bahan bakar pada FFMC. Nilai-nilai FFMC dapat diinterpretasikan sebagai berikut: Tabel 3. Interpretasi nilai-nilai FFMC Kelas Karakteristik Api Kesulitan Pemadaman Api Rendah (-36) Sedang (37-69) Tinggi (7-83) Ekstrim (>83) Kecil kemungkinan dimulainya api Api yang merambat di permukaan Cepat menyebar atau intensitas api sedang sampai tinggi Cepat menyebar atau intensitas api tinggi tergantung dari BUI Sumber: dan Alexander, 1988 Tidak ada masalah pengendalian Api dapat dikendalikan dengan serangan langsung menggunakan peralatan tangan dan air Pengendalian api menggunakan pompa air dan/atau pembuatan sekat bakar Sangat sulit dikendalikan. Serangan tidak langsung menggunakan drip torches dari jalur kontrol bisa dilakukan Duff Moisture Code Duff Moisture Code DMC adalah peringkat numerik dari kelembaban rata-rata bagian atas lapisan duff dengan berat kering sekitar 5 2 kg m (Beck, 22 ). Kode kelembaban ini memberikan indikasi konsumsi bahan bakar pada bagian atas lapisan duff dan materi berkayu yang berukuran sedang. Duff adalah lapisan yang tedapat diantara sarasah dan mineral tanah yang terdiri atas zat yang sedang ataupun telah terdekomposisi, yang seringkali dihubungkan dengan lapisan fermentasi dan lapisan humus pada lantai hutan (Beck, 22). Bahan bakar pada DMC dimodelkan memiliki time lag sekitar 15 hari. Pada sistem skala DMC, nilai terendah dibataskan pada, akan tetapi tidak dilakukan pembatasan pada skala nilai tertinggi dari sistem DMC. Nilainilai DMC dapat diinterpretasikan sebagai berikut: Tabel 4. Interpretasi nilai-nilai DMC Kelas Karakteristik Api Kesulitan Pemadaman Rendah (-19) Sedang (2-29) Tinggi (3-39) Ekstrim 4 Kecil kemungkinan dimulainya api pada tanah organik Bahan bakar kerkayu dan tanah organik dapat terakar Intensitas api sedang sampai tinggi karena konsumsi bahan bakar yang lebih tinggi Ada kemungkinan perilaku api yang ekstrim dan akan dipengaruhi oleh FFMC Sumber: dan Alexander, 1988 Api Tidak ada masalah pengendalian Api dapat dikendalikan dengan serangan langsung menggunakan peralatan tangan dan air Pengendalian api memerlukan pompa listrik dan/atau pembuatan sekat bakar Sangat sulit dikendalikan. Serangan tidak langsung menggunakan drip torches dari jalur pengendali bisa dilakukan Drought Code Drought Code (DC) merupakan peringkat numerik dari rataan kadar kelembaban pada model lapisan organik padat dan bongkahan kayu besar dengan berat kering 25 2 kg m. Lapisan ini memiliki time lag sekitar 53 hari dan pada umumnya dijumpai sebagai lapisan terbawah dari ketiga model bahan bakar yang ada pada Sistem FWI. DC dapat digunakan sebagai parameter dari dampak kekeringan musiman pada bahan bakar hutan dan juga dapat digunakan untuk memperkirakan tingkat kebakaran yang tidak disertai dengan penampakan nyala api (Alexander, 1988). Dengan kata lain kode ini adalah indikator penting dari dampak kemarau musiman pada bahan bakar hutan, dan banyaknya bara api dalam lapisan organik padat dan bongkahan kayu besar ( bmg.go.id). Senada dengan DMC, skala nilai terendah dari DC dibataskan pada, sedangkan skala nilai tertinggi dari DC tidak dibatasi. Nilainilai DC dapat diinterpretasikan sebagai berikut:

21 Tabel 5. Interpretasi nilai-nilai DC Kelas Karakteristik Api Kesulitan Pemadaman Api Rendah (-199) Kecil kemungkinan adanya api permukaan pada lahan gambut Tidak ada masalah pembenahan Tinggi (7-13) Intensitas api tinggi. Pengendalian api memerlukan pompa listrik dan/atau pembuatan sekat bakar Ekstrim Intensitas api sangat tinggi, kebakaran yang timbul sangat sulit dikendalikan. (> 13) Sumber: Alexander, 1988 Sedang (2-299) Kemungkinan adanya nyala bara api pada gambut Api sulit dimatikan dan dibenahi Tinggi (3-399) Bara api menyala terus Sangat sulit dikendalikan Ekstrim ( 4) Kebakaran yang dalam dan lama Sumber: dan Alexander, 1988 Api hanya dapat dimatikan dengan sendirinya atau dengan curah hujan tinggi Initial Spread Index, dan Buildup Index merupakan 2 buah komponen dari Sistem FWI yang dapat dikategorikan sebagai prasyarat yang diperlukan untuk menentukan nilai dari komponen terakhir dalam sistem tersebut. Initial Spread Index (ISI) merupakan peringkat numerik dari prakiraan laju penyebaran api. ISI memprediksi akibat dari angin dan FFMC pada laju penyebaran api, ia mengilustrasikan bagaimana kebakaran akan menjalar setelah api tersulut tanpa memperhitungkan pengaruh kuantitas dari variabel bahan bakar. Buildup Index (BUI) adalah peringkat numerik dari tingkat bahan bakar yang akan dikonsumsi dan merupakan kombinasi dari DMC dan DC. BUI disebut juga sebagai indeks penumpukan, yang dapat digunakan sebagai indikator tingkat pertumbuhan api berdasarkan total bahan bakar yang tersedia. Fire Weather Index (FWI) secara umum dapat disebut sebagai final indeks dari peringkat kebakaran yang ditinjau dari segi cuaca. FWI dituangkan dalam beberapa kelas bahaya kebakaran. FWI merupakan kombinasi dari ISI dan BUI, yang dapat digunakan sebagai peringkat numerik dari intensitas api. Nilainilai FWI dapat diinterpretasikan sebagai berikut: Tabel 6. Interpretasi nilai-nilai FWI Kelas Karakteristik Api Rendah Intensitas api rendah. Api akan menyebar dengan perlahan, bahkan akan padam dengan (-1) sendirinya. Sedang (2-6) Intensitas api sedang. Akan tetapi Api masih dapat dikendalikan dengan serangan langsung menggunakan peralatan tangan dan air

HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Ketiga (ATMOSFER)

HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Ketiga (ATMOSFER) Dosen : DR. ERY SUHARTANTO, ST. MT. JADFAN SIDQI FIDARI, ST., MT HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Ketiga (ATMOSFER) 1. Pengertian Atmosfer Planet bumi dapat dibagi menjadi 4 bagian : (lithosfer) Bagian padat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebakaran Hutan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1 Definisi dan Tipe Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran hutan adalah sebuah kejadian terbakarnya bahan bakar di hutan oleh api dan terjadi secara luas tidak

Lebih terperinci

Karakteristik Air. Siti Yuliawati Dosen Fakultas Perikanan Universitas Dharmawangsa Medan 25 September 2017

Karakteristik Air. Siti Yuliawati Dosen Fakultas Perikanan Universitas Dharmawangsa Medan 25 September 2017 Karakteristik Air Siti Yuliawati Dosen Fakultas Perikanan Universitas Dharmawangsa Medan 25 September 2017 Fakta Tentang Air Air menutupi sekitar 70% permukaan bumi dengan volume sekitar 1.368 juta km

Lebih terperinci

BAB VII KEBAKARAN HUTAN

BAB VII KEBAKARAN HUTAN BAB VII KEBAKARAN HUTAN Api merupakan faktor ekologi potensial yang mempengaruhi hampir seluruh ekosistem daratan, walau hanya terjadi pada frekuensi yang sangat jarang. Pengaruh api terhadap ekosistem

Lebih terperinci

5. Restaurasi merupakan konsep mengenai kegiatan yang dilakukan terhadap wilayah atau daerah pasca kebakaran.

5. Restaurasi merupakan konsep mengenai kegiatan yang dilakukan terhadap wilayah atau daerah pasca kebakaran. A. PENDAHULUAN Kecenderungan bergesernya pola iklim terhadap harga normalnya sejak beberapa tahun terakhir telah memberikan banyak dampak yang kurang bersahabat kepada manusia. Walaupun disadari bahwa

Lebih terperinci

PEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu

PEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu BAB 2 PEMANASAN BUMI S alah satu kemampuan bahasa pemrograman adalah untuk melakukan kontrol struktur perulangan. Hal ini disebabkan di dalam komputasi numerik, proses perulangan sering digunakan terutama

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Perubahan Rasio Hutan Sebelum membahas hasil simulasi model REMO, dilakukan analisis perubahan rasio hutan pada masing-masing simulasi yang dibuat. Dalam model

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Nino telah melanda sebagian belahan bumi, termasuk diantaranya Indonesia.

TINJAUAN PUSTAKA. Nino telah melanda sebagian belahan bumi, termasuk diantaranya Indonesia. TINJAUAN PUSTAKA Kebakaran Hutan Musim kemarau dan kekeringan yang panjang sebagai akibat dari badai El Nino telah melanda sebagian belahan bumi, termasuk diantaranya Indonesia. Badai El Nino yang kering

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hujan Tropis Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya,

Lebih terperinci

Suhu Udara dan Kehidupan. Meteorologi

Suhu Udara dan Kehidupan. Meteorologi Suhu Udara dan Kehidupan Meteorologi Suhu Udara dan Kehidupan Variasi Suhu Udara Harian Bagaimana Suhu Lingkungan Diatur? Data Suhu Udara Suhu Udara dan Rasa Nyaman Pengukuran Suhu Udara Variasi Suhu Udara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kalimantan Selatan sebagai salah satu wilayah Indonesia yang memiliki letak geografis di daerah ekuator memiliki pola cuaca yang sangat dipengaruhi oleh aktifitas monsoon,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan tentang aplikasi sistem pengabutan air di iklim kering

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan tentang aplikasi sistem pengabutan air di iklim kering 15 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Tinjauan tentang aplikasi sistem pengabutan air di iklim kering Sebuah penelitian dilakukan oleh Pearlmutter dkk (1996) untuk mengembangkan model

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Agro Klimatologi ~ 1

BAB I PENDAHULUAN. Agro Klimatologi ~ 1 BAB I PENDAHULUAN Klimatologi berasal dari bahasa Yunani di mana klima dan logos. Klima berarti kemiringan (slope) yang diarahkan ke lintang tempat, sedangkan logos berarti ilmu. Jadi definisi klimatologi

Lebih terperinci

Hidrometeorologi. Pertemuan ke I

Hidrometeorologi. Pertemuan ke I Hidrometeorologi Pertemuan ke I Pengertian Pengertian HIDROMETEOROLOGI Adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara unsur unsur meteorologi dengan siklus hidrologi, tekanannya pada hubungan timbal balik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama yang dihadapi dunia saat ini. Pemanasan global berhubungan dengan proses. infra merah diserap oleh udara dan permukaan bumi.

BAB I PENDAHULUAN. utama yang dihadapi dunia saat ini. Pemanasan global berhubungan dengan proses. infra merah diserap oleh udara dan permukaan bumi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanasan global (global warming) menjadi salah satu isu lingkungan utama yang dihadapi dunia saat ini. Pemanasan global berhubungan dengan proses meningkatnya suhu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dalam dekade terakhir kebakaran hutan sudah menjadi masalah global.

I. PENDAHULUAN. Dalam dekade terakhir kebakaran hutan sudah menjadi masalah global. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam dekade terakhir kebakaran hutan sudah menjadi masalah global. Hal itu terjadi karena dampak dari kebakaran hutan tersebut bukan hanya dirasakan ole11 Indonesia saja

Lebih terperinci

SUHU UDARA DAN KEHIDUPAN

SUHU UDARA DAN KEHIDUPAN BAB 3 14 Variasi Suhu Udara Harian Pemanasan Siang Hari Pemanasan permukaan bumi pada pagi hari secara konduksi juga memanaskan udara di atasnya. Semakin siang, terjadi perbedaan suhu yang besar antara

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. non hutan atau sebaliknya. Hasilnya, istilah kebakaran hutan dan lahan menjadi. istilah yang melekat di Indonesia (Syaufina, 2008).

TINJAUAN PUSTAKA. non hutan atau sebaliknya. Hasilnya, istilah kebakaran hutan dan lahan menjadi. istilah yang melekat di Indonesia (Syaufina, 2008). 3 TINJAUAN PUSTAKA Kebakaran hutan didefenisikan sebagai suatu kejadian dimana api melalap bahan bakar bervegetasi, yang terjadi didalam kawasan hutan yang menjalar secara bebas dan tidak terkendali di

Lebih terperinci

Jurusan Geofisika dan Meteorologi, FMlPA IPB

Jurusan Geofisika dan Meteorologi, FMlPA IPB IKLlM INDONESIA HANDOKO Jurusan Geofisika dan Meteorologi, FMlPA IPB Secara umum, daerah tropika terletak di antara lintang 23,5O LU (tropika Cancer) sampai 23,5O LS (tropika Capricorn). Batasan ini berdasarkan

Lebih terperinci

Skema proses penerimaan radiasi matahari oleh bumi

Skema proses penerimaan radiasi matahari oleh bumi Besarnya radiasi yang diserap atau dipantulkan, baik oleh permukaan bumi atau awan berubah-ubah tergantung pada ketebalan awan, kandungan uap air, atau jumlah partikel debu Radiasi datang (100%) Radiasi

Lebih terperinci

Luas Luas. Luas (Ha) (Ha) Luas. (Ha) (Ha) Kalimantan Barat

Luas Luas. Luas (Ha) (Ha) Luas. (Ha) (Ha) Kalimantan Barat II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Hujan Tropis Hujan hujan tropis adalah daerah yang ditandai oleh tumbuh-tumbuhan subur dan rimbun serta curah hujan dan suhu yang tinggi sepanjang tahun. Hutan hujan tropis

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Perbandingan Evapotranspirasi Tanaman Acuan Persyaratan air tanaman bervariasi selama masa pertumbuhan tanaman, terutama variasi tanaman dan iklim yang terkait dalam metode

Lebih terperinci

Pemanasan Bumi. Suhu dan Perpindahan Panas

Pemanasan Bumi. Suhu dan Perpindahan Panas Pemanasan Bumi Meteorologi Suhu dan Perpindahan Panas Suhu merupakan besaran rata- rata energi kine4k yang dimiliki seluruh molekul dan atom- atom di udara. Udara yang dipanaskan akan memiliki energi kine4k

Lebih terperinci

Unsur Cuaca = unsur iklim. Keadaan fisik atmosfir bumi yang dapat diukur.

Unsur Cuaca = unsur iklim. Keadaan fisik atmosfir bumi yang dapat diukur. Unsur Cuaca = unsur iklim. Keadaan fisik atmosfir bumi yang dapat diukur. Biasanya keadaan atmosfer yang dipengaruhi oleh radiasi matahari (sumber utama energi pada sistem iklim) adalah (1) radiasi mthr

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebakaran Hutan 2.1.1. Definisi Kebakaran Hutan Kebakaran hutan merupakan kejadian alam yang bermula dari proses reaksi secara cepat antara oksigen, sumber penyulutan, dan bahan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian Parameter pertumbuhan yang diamati pada penelitian ini adalah diameter batang setinggi dada ( DBH), tinggi total, tinggi bebas cabang (TBC), dan diameter tajuk.

Lebih terperinci

Perubahan iklim dunia: apa dan bagaimana?

Perubahan iklim dunia: apa dan bagaimana? Perubahan iklim dunia: apa dan bagaimana? Oleh : Imam Hambali Pusat Kajian Kemitraan & Pelayanan Jasa Transportasi Kementerian Perhubungan Pada awal Februari 2007 yang lalu Intergovernmental Panel on Climate

Lebih terperinci

Air dalam atmosfer hanya merupakan sebagian kecil air yang ada di bumi (0.001%) dari seluruh air.

Air dalam atmosfer hanya merupakan sebagian kecil air yang ada di bumi (0.001%) dari seluruh air. KELEMBABAN UDARA 1 Menyatakan Kandungan uap air di udara. Kelembapan adalah konsentrasi uap air di udara. Angka konsentasi ini dapat diekspresikan dalam kelembapan absolut, kelembapan spesifik atau kelembapan

Lebih terperinci

Daur Siklus Dan Tahapan Proses Siklus Hidrologi

Daur Siklus Dan Tahapan Proses Siklus Hidrologi Daur Siklus Dan Tahapan Proses Siklus Hidrologi Daur Siklus Hidrologi Siklus hidrologi adalah perputaran air dengan perubahan berbagai bentuk dan kembali pada bentuk awal. Hal ini menunjukkan bahwa volume

Lebih terperinci

Sifat fisika air. Air O. Rumus molekul kg/m 3, liquid 917 kg/m 3, solid. Kerapatan pada fasa. 100 C ( K) (212ºF) 0 0 C pada 1 atm

Sifat fisika air. Air O. Rumus molekul kg/m 3, liquid 917 kg/m 3, solid. Kerapatan pada fasa. 100 C ( K) (212ºF) 0 0 C pada 1 atm Sifat fisika air Rumus molekul Massa molar Volume molar Kerapatan pada fasa Titik Leleh Titik didih Titik Beku Titik triple Kalor jenis Air H 2 O 18.02 g/mol 55,5 mol/ L 1000 kg/m 3, liquid 917 kg/m 3,

Lebih terperinci

KALOR. Peristiwa yang melibatkan kalor sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari.

KALOR. Peristiwa yang melibatkan kalor sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. KALOR A. Pengertian Kalor Peristiwa yang melibatkan kalor sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, pada waktu memasak air dengan menggunakan kompor. Air yang semula dingin lama kelamaan

Lebih terperinci

RADIASI MATAHARI DAN TEMPERATUR

RADIASI MATAHARI DAN TEMPERATUR RADIASI MATAHARI DAN TEMPERATUR Gerakan Bumi Rotasi, perputaran bumi pada porosnya Menghasilkan perubahan waktu, siang dan malam Revolusi, gerakan bumi mengelilingi matahari Kecepatan 18,5 mil/dt Waktu:

Lebih terperinci

ESTIMASI NILAI TPW (TOTAL PRECIPITABLE WATER) DI ATAS DAERAH PADANG DAN BIAK BERDASARKAN HASIL ANALISIS DATA RADIOSONDE IRE PRATIWI

ESTIMASI NILAI TPW (TOTAL PRECIPITABLE WATER) DI ATAS DAERAH PADANG DAN BIAK BERDASARKAN HASIL ANALISIS DATA RADIOSONDE IRE PRATIWI ESTIMASI NILAI TPW (TOTAL PRECIPITABLE WATER) DI ATAS DAERAH PADANG DAN BIAK BERDASARKAN HASIL ANALISIS DATA RADIOSONDE IRE PRATIWI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebakaran hutan merupakan fenomena yang sering terjadi di Indonesia (Stolle et al, 1999) yang menjadi perhatian lokal dan global (Herawati dan Santoso, 2011). Kebakaran

Lebih terperinci

Sistem Informasi Tingkat Bahaya Kebakaran Hutan dan Lahan Dengan Menggunakan Fire Weather Index (FWI) dan SIG Arcview.

Sistem Informasi Tingkat Bahaya Kebakaran Hutan dan Lahan Dengan Menggunakan Fire Weather Index (FWI) dan SIG Arcview. 1 Sistem Informasi Tingkat Bahaya Kebakaran Hutan dan Lahan Dengan Menggunakan Fire Weather Index (FWI) dan SIG Arcview Suciarti (1) Program Studi Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Tanjungpura

Lebih terperinci

Iklim, karakternya dan Energi. Dian P.E. Laksmiyanti, S.T, M.T

Iklim, karakternya dan Energi. Dian P.E. Laksmiyanti, S.T, M.T Iklim, karakternya dan Energi Dian P.E. Laksmiyanti, S.T, M.T Cuaca Cuaca terdiri dari seluruh fenomena yang terjadi di atmosfer atau planet lainnya. Cuaca biasanya merupakan sebuah aktivitas fenomena

Lebih terperinci

besarnya energi panas yang dapat dimanfaatkan atau dihasilkan oleh sistem tungku tersebut. Disamping itu rancangan tungku juga akan dapat menentukan

besarnya energi panas yang dapat dimanfaatkan atau dihasilkan oleh sistem tungku tersebut. Disamping itu rancangan tungku juga akan dapat menentukan TINJAUAN PUSTAKA A. Pengeringan Tipe Efek Rumah Kaca (ERK) Pengeringan merupakan salah satu proses pasca panen yang umum dilakukan pada berbagai produk pertanian yang ditujukan untuk menurunkan kadar air

Lebih terperinci

IRA TASKIRAWATI. E Pengaruh Kadar Air Bahan Bakar hutan

IRA TASKIRAWATI. E Pengaruh Kadar Air Bahan Bakar hutan IRA TASKIRAWATI. E 01495064. Pengaruh Kadar Air Bahan Bakar hutan Terhadap Timbulnya Asap pada Proses Pembakaran (Sknln Lnborntoriunl). Dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. F. Gunarwan Suratmo, MF sebagai Dosen

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Nanas merupakan tanaman buah semak yang memiliki nama ilmiah Ananas

II. TINJAUAN PUSTAKA. Nanas merupakan tanaman buah semak yang memiliki nama ilmiah Ananas II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nanas (Ananas comosus) Nanas merupakan tanaman buah semak yang memiliki nama ilmiah Ananas comosus. Dalam bahasa Inggris disebut pineapple dan orang-orang Spanyol menyebutnya pina.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebakaran Hutan 2.1.1 Pengertian dan Proses Terjadinya Kebakaran Kebakaran hutan secara umum didefinisikan sebagai kejadian alam yang bermula dari proses reaksi secara cepat

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Oksigen terlarut dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme, atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan

Lebih terperinci

PERTEMUAN II SIKLUS HIDROLOGI

PERTEMUAN II SIKLUS HIDROLOGI PERTEMUAN II SIKLUS HIDROLOGI SIKLUS HIDROLOGI Siklus Hidrologi adalah sirkulasi air yang tidak pernah berhenti dari atmosfir ke bumi dan kembali ke atmosfir melalui kondensasi, presipitasi, evaporasi

Lebih terperinci

CUACA PANAS BERPENGARUH TERHADAP TERJADINYA KEBAKARAN DI PERUMAHAN PADAT PENDUDUK

CUACA PANAS BERPENGARUH TERHADAP TERJADINYA KEBAKARAN DI PERUMAHAN PADAT PENDUDUK ORBITH VOL. 11 NO. 3 NOVEMBER 2015 : 153 160 CUACA PANAS BERPENGARUH TERHADAP TERJADINYA KEBAKARAN DI PERUMAHAN PADAT PENDUDUK Oleh : Amir Subagyo Jurusan Teknik Elektro Politeknik Negeri Semarang Jln.

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 9 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. Karakteristik Lokasi Penelitian Luas areal tanam padi adalah seluas 6 m 2 yang terletak di Desa Langgeng. Secara administrasi pemerintahan Desa Langgeng Sari termasuk dalam

Lebih terperinci

STUDI IDENTIFIKASI POLA UTAMA DATA RADIOSONDE MELALUI ANALISIS KOMPONEN UTAMA DAN ANALISIS SPEKTRUM (STUDI KASUS BANDUNG) SATRIYANI

STUDI IDENTIFIKASI POLA UTAMA DATA RADIOSONDE MELALUI ANALISIS KOMPONEN UTAMA DAN ANALISIS SPEKTRUM (STUDI KASUS BANDUNG) SATRIYANI STUDI IDENTIFIKASI POLA UTAMA DATA RADIOSONDE MELALUI ANALISIS KOMPONEN UTAMA DAN ANALISIS SPEKTRUM (STUDI KASUS BANDUNG) SATRIYANI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

Atmosfer Bumi. Meteorologi. Peran Atmosfer Bumi dalam Kehidupan Kita. Atmosfer Bumi berperan dalam menjaga bumi agar tetap layak huni.

Atmosfer Bumi. Meteorologi. Peran Atmosfer Bumi dalam Kehidupan Kita. Atmosfer Bumi berperan dalam menjaga bumi agar tetap layak huni. Atmosfer Bumi Meteorologi Pendahuluan Peran Atmosfer Bumi dalam Kehidupan Kita Atmosfer Bumi berperan dalam menjaga bumi agar tetap layak huni. Dengan keberadaan atmosfer, suhu Bumi tidak turun secara

Lebih terperinci

Analisis Hujan Ekstrim Berdasarkan Parameter Angin dan Uap Air di Kototabang Sumatera Barat Tia Nuraya a, Andi Ihwan a*,apriansyah b

Analisis Hujan Ekstrim Berdasarkan Parameter Angin dan Uap Air di Kototabang Sumatera Barat Tia Nuraya a, Andi Ihwan a*,apriansyah b Analisis Hujan Ekstrim Berdasarkan Parameter Angin dan Uap Air di Kototabang Sumatera Barat Tia Nuraya a, Andi Ihwan a*,apriansyah b a Jurusan Fisika FMIPA Universitas Tanjungpura Pontianak b Program Studi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. adalah kebakaran yang terjadi di luar kawasan hutan. Kebakaran hutan dan lahan

TINJAUAN PUSTAKA. adalah kebakaran yang terjadi di luar kawasan hutan. Kebakaran hutan dan lahan TINJAUAN PUSTAKA Kebakaran Hutan Pengertian Kebakaran hutan berbeda dengan kebakaran lahan. Kebakaran hutan yaitu kebakaran yang terjadi di dalam kawasan hutan, sedangkan kebakaran lahan adalah kebakaran

Lebih terperinci

Atmosphere Biosphere Hydrosphere Lithosphere

Atmosphere Biosphere Hydrosphere Lithosphere Atmosphere Biosphere Hydrosphere Lithosphere Atmosfer Troposfer Lapisan ini berada pada level yang paling rendah, campuran gasgasnya adalah yang paling ideal untuk menopang kehidupan di bumi. Di lapisan

Lebih terperinci

Udara & Atmosfir. Angga Yuhistira

Udara & Atmosfir. Angga Yuhistira Udara & Atmosfir Angga Yuhistira Udara Manusia dapat bertahan sampai satu hari tanpa air di daerah gurun yang paling panas, tetapi tanpa udara manusia hanya bertahan beberapa menit saja. Betapa pentingnya

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. kaca, dan air. Suhu merupakan faktor eksternal yang akan mempengaruhi

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. kaca, dan air. Suhu merupakan faktor eksternal yang akan mempengaruhi 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Uji Coba Lapang Paremeter suhu yang diukur pada penelitian ini meliputi suhu lingkungan, kaca, dan air. Suhu merupakan faktor eksternal yang akan mempengaruhi produktivitas

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sampai beriklim panas (Rochani, 2007). Pada masa pertumbuhan, jagung sangat

II. TINJAUAN PUSTAKA. sampai beriklim panas (Rochani, 2007). Pada masa pertumbuhan, jagung sangat 4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Jagung Jagung merupakan tanaman yang dapat hidup di daerah yang beriklim sedang sampai beriklim panas (Rochani, 2007). Pada masa pertumbuhan, jagung sangat membutuhkan sinar matahari

Lebih terperinci

HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Keenam (SUHU UDARA II)

HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Keenam (SUHU UDARA II) HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Keenam (SUHU UDARA II) Dosen : DR. ERY SUHARTANTO, ST. MT. JADFAN SIDQI FIDARI, ST. MT 5. Penyebaran Suhu Menurut Ruang dan Waktu A. Penyebaran Suhu Vertikal Pada lapisan troposfer,

Lebih terperinci

INDONESIA DIJULUKI NEGARA RING OF FIRE KARENA DIKELILINGI GUNUNG BERAPI YANG AKTIF. MEMILIKI BANYAK DEPOSIT MINERAL UNTUK MEMPERTAHANKAN KESUBURAN

INDONESIA DIJULUKI NEGARA RING OF FIRE KARENA DIKELILINGI GUNUNG BERAPI YANG AKTIF. MEMILIKI BANYAK DEPOSIT MINERAL UNTUK MEMPERTAHANKAN KESUBURAN SUMBERDAYA PENGERTIAN SUMBER DAYA MERUPAKAN UNSUR LINGKUNGAN HIDUP YANG TERDIRI DARI SUMBERDAYA MANUSIA, SUMBERDAYA HAYATI, SUMBERDAYA NON HAYATI DAN SUMBERDAYA BUATAN. (UU RI NOMOR 4 TAHUN 1982) SEHINGGA

Lebih terperinci

Gambar 1. Lahan pertanian intensif

Gambar 1. Lahan pertanian intensif 14 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Penggunaan Lahan Seluruh tipe penggunaan lahan yang merupakan objek penelitian berada di sekitar Kebun Percobaan Cikabayan, University Farm, IPB - Bogor. Deskripsi

Lebih terperinci

ATMOSFER BUMI A BAB. Komposisi Atmosfer Bumi

ATMOSFER BUMI A BAB. Komposisi Atmosfer Bumi BAB 1 ATMOSFER BUMI A tmosfer Bumi berperan dalam menjaga bumi agar tetap layak huni. Dengan keberadaan atmosfer, suhu Bumi tidak turun secara drastis di malam hari dan tidak memanas dengan cepat di siang

Lebih terperinci

Ikhlasul-pgsd-fip-uny/iad. Bumi, Berlian biru alam semesta

Ikhlasul-pgsd-fip-uny/iad. Bumi, Berlian biru alam semesta Bumi, Berlian biru alam semesta Planet Bumi merupakan tempat yang menarik. Jika dilihat dari angkasa luar, Bumi seperti sebuah kelereng berwarna biru. Dengan bentuk awan yang selalu berubah, Bumi menjadi

Lebih terperinci

VARIASI SPASIAL DAN TEMPORAL HUJAN KONVEKTIF DI PULAU JAWA BERDASARKAN CITRA SATELIT GMS-6 (MTSAT-1R) YETTI KUSUMAYANTI

VARIASI SPASIAL DAN TEMPORAL HUJAN KONVEKTIF DI PULAU JAWA BERDASARKAN CITRA SATELIT GMS-6 (MTSAT-1R) YETTI KUSUMAYANTI VARIASI SPASIAL DAN TEMPORAL HUJAN KONVEKTIF DI PULAU JAWA BERDASARKAN CITRA SATELIT GMS-6 (MTSAT-1R) YETTI KUSUMAYANTI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

Lebih terperinci

KALOR. Peta Konsep. secara. Kalor. Perubahan suhu. Perubahan wujud Konduksi Konveksi Radiasi. - Mendidih. - Mengembun. - Melebur.

KALOR. Peta Konsep. secara. Kalor. Perubahan suhu. Perubahan wujud Konduksi Konveksi Radiasi. - Mendidih. - Mengembun. - Melebur. KALOR Tujuan Pembelajaran: 1. Menjelaskan wujud-wujud zat 2. Menjelaskan susunan partikel pada masing-masing wujud zat 3. Menjelaskan sifat fisika dan sifat kimia zat 4. Mengklasifikasikan benda-benda

Lebih terperinci

BAB I SIKLUS HIDROLOGI. Dalam bab ini akan dipelajari, pengertian dasar hidrologi, siklus hidrologi, sirkulasi air dan neraca air.

BAB I SIKLUS HIDROLOGI. Dalam bab ini akan dipelajari, pengertian dasar hidrologi, siklus hidrologi, sirkulasi air dan neraca air. BAB I SIKLUS HIDROLOGI A. Pendahuluan Ceritakan proses terjadinya hujan! Dalam bab ini akan dipelajari, pengertian dasar hidrologi, siklus hidrologi, sirkulasi air dan neraca air. Tujuan yang ingin dicapai

Lebih terperinci

Oleh Listumbinang Halengkara, S.Si.,M.Sc. Prodi Pendidikan Geografi Jurusan Pendidikan IPS FKIP Unila

Oleh Listumbinang Halengkara, S.Si.,M.Sc. Prodi Pendidikan Geografi Jurusan Pendidikan IPS FKIP Unila Oleh Listumbinang Halengkara, S.Si.,M.Sc. Si Sc 2 0 1 3 Prodi Pendidikan Geografi Jurusan Pendidikan IPS FKIP Unila PRESIPITASI Presipitasi it iadalah curahan atau jatuhnya air dari atmosfer kepermukaan

Lebih terperinci

Unsur gas yang dominan di atmosfer: Nitrogen : 78,08% Oksigen : 20,95% Argon : 0,95% Karbon dioksida : 0,034%

Unsur gas yang dominan di atmosfer: Nitrogen : 78,08% Oksigen : 20,95% Argon : 0,95% Karbon dioksida : 0,034% Unsur gas yang dominan di atmosfer: Nitrogen : 78,08% Oksigen : 20,95% Argon : 0,95% Karbon dioksida : 0,034% Ozon (O 3 ) mempunyai fungsi melindungi bumi dari radiasi sinar Ultraviolet Ozon sekarang ini

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikim Kota Daerah Tropis

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikim Kota Daerah Tropis II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikim Kota Daerah Tropis Menurut Petterssen (1941), iklim merupakan rata-rata atau kondisi normal cuaca dalam jangka waktu panjang, 30 tahun atau lebih. Iklim suatu wilayah ditentukan

Lebih terperinci

PROSES-PROSES DAN LINGKUNGAN YANG MEMPENGARUHI KEBAKARAN BIOMASA

PROSES-PROSES DAN LINGKUNGAN YANG MEMPENGARUHI KEBAKARAN BIOMASA KARYA TULIS PROSES-PROSES DAN LINGKUNGAN YANG MEMPENGARUHI KEBAKARAN BIOMASA OLEH: ACHMAD SIDDIK THOHA NIP 132 259 563 DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2008 0 KATA PENGANTAR

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Jati (Tectona grandis Linn. f) Jati (Tectona grandis Linn. f) termasuk kelompok tumbuhan yang dapat menggugurkan daunnya sebagaimana mekanisme pengendalian diri terhadap

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 43 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Pengaruh RTH Terhadap Iklim Mikro 5.1.1 Analisis Pengaruh Struktur RTH Pohon Terhadap Iklim Mikro Pohon merupakan struktur RTH yang memiliki pengaruh cukup besar

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan ini merupakan salah satu cara untuk mengetahui dapat atau tidaknya limbah blotong dibuat menjadi briket. Penelitian pendahuluan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang. Secara umum ketergantungan manusia akan kebutuhan bahan bakar

BAB I PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang. Secara umum ketergantungan manusia akan kebutuhan bahan bakar BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang Secara umum ketergantungan manusia akan kebutuhan bahan bakar yang berasal dari fosil dari tahun ke tahun semakin meningkat, sedangkan ketersediaannya semakin berkurang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan klasifikasi iklim global, wilayah kepulauan Indonesia sebagian besar tergolong dalam zona iklim tropika basah dan sisanya masuk zona iklim pegunungan. Variasi

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA STUDI KASUS

BAB IV ANALISA STUDI KASUS BAB IV ANALISA STUDI KASUS IV.1 GOR Bulungan IV.1.1 Analisa Aliran Udara GOR Bulungan terletak pada daerah perkotaan sehingga memiliki variasi dalam batas-batas lingkungannya. Angin yang menerpa GOR Bulungan

Lebih terperinci

Pengeringan Untuk Pengawetan

Pengeringan Untuk Pengawetan TBM ke-6 Pengeringan Untuk Pengawetan Pengeringan adalah suatu cara untuk mengeluarkan atau mengilangkan sebagian air dari suatu bahan dengan menguapkan sebagian besar air yang di kandung melalui penggunaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN II. TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN II. TINJAUAN PUSTAKA I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sinar matahari yang sampai di bumi merupakan sumber utama energi yang menimbulkan segala macam kegiatan atmosfer seperti hujan, angin, siklon tropis, musim panas, musim

Lebih terperinci

Horizontal. Kedalaman. Laut. Lintang. Permukaan. Suhu. Temperatur. Vertikal

Horizontal. Kedalaman. Laut. Lintang. Permukaan. Suhu. Temperatur. Vertikal Temperatur Air Laut Dalam oseanografi dikenal dua istilah untuk menentukan temperatur air laut yaitu temperatur insitu (selanjutnya disebut sebagai temperatur saja) dan temperatur potensial. Temperatur

Lebih terperinci

Geografi. Kelas X ATMOSFER VII KTSP & K Iklim Junghuhn

Geografi. Kelas X ATMOSFER VII KTSP & K Iklim Junghuhn KTSP & K-13 Kelas X Geografi ATMOSFER VII Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan berikut. 1. Memahami iklim Junghuhn dan iklim Schmidt Ferguson. 2. Memahami

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI A. Hidrologi Menurut (Triatmodjo, 2008:1).Hidrologi merupakan ilmu yang berkaitan dengan air di bumi, baik mengenai terjadinya, peredaran dan penyebarannya. Penerapan ilmu hidrologi

Lebih terperinci

Long-Term Fire Retardant, Extinguisher and Inhibiter Concentrated Powder

Long-Term Fire Retardant, Extinguisher and Inhibiter Concentrated Powder LICET-FF Long-Term Fire Retardant, Extinguisher and Inhibiter Concentrated Powder 1. DESKRIPSI: LICET-FF adalah Zat Pemadam, Penyekat dan Penghambat Kebakaran yang biasa digunakan untuk pencegahan dan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sejarah Kebakaran Hutan Menurut sejarahnya, kebakaran hutan terutama hutan tropika basah ( tropical rain forest ) di Indonesia telah diketahui terjadi sejak abad ke-18. kebakaran

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 7 d) phase spectrum, dengan persamaan matematis: e) coherency, dengan persamaan matematis: f) gain spektrum, dengan persamaan matematis: IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Geografis dan Cuaca Kototabang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Efisiensi Pembakaran Efisiensi pembakaran menunjukkan sampai sejauh mana suatu bahan dapat terbakar dalam satuan persen. Bila pembakaran tidak sempurna, sebagian dari hasil

Lebih terperinci

Tim Dosen Biologi FTP Universitas Brawijaya

Tim Dosen Biologi FTP Universitas Brawijaya Tim Dosen Biologi FTP Universitas Brawijaya 1. Faktor Genetik : Faktor dalam yang sifatnya turun temurun + 2. Faktor lingkungan: - Tanah - Air - Lingkungan - udara (iklim) Iklim-------- sifat/peradaban

Lebih terperinci

5/4/2015. Tim Dosen Biologi FTP Universitas Brawijaya

5/4/2015. Tim Dosen Biologi FTP Universitas Brawijaya Tim Dosen Biologi FTP Universitas Brawijaya 1. Faktor Genetik : Faktor dalam yang sifatnya turun temurun + 2. Faktor lingkungan: - Tanah - Air - Lingkungan - udara (iklim) Iklim-------- sifat/peradaban

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebakaran hutan dan Lahan 2.1.1 Pengertian dan Proses Terjadinya Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran hutan oleh Brown dan Davis (1973) dalam Syaufina (2008) didefinisikan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Dalam bab ini diuraikan mengenai hasil dari penelitian yang telah dilakukan,

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Dalam bab ini diuraikan mengenai hasil dari penelitian yang telah dilakukan, BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini diuraikan mengenai hasil dari penelitian yang telah dilakukan, temuan penelitian, dan pembahasannya. Hasil penelitian yang diperoleh disajikan dalam

Lebih terperinci

STAF LAB. ILMU TANAMAN

STAF LAB. ILMU TANAMAN STAF LAB. ILMU TANAMAN CAHAYA Faktor esensial pertumbuhan dan perkembangan tanaman Cahaya memegang peranan penting dalam proses fisiologis tanaman, terutama fotosintesis, respirasi, dan transpirasi Fotosintesis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN 18 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Tinjauan Pustaka Padi (Oryza Sativa) Tanamanpadimerupakantanamansemusim,termasukgolonganrumputrumputandenganklasifikasisebagaiberikut:

Lebih terperinci

Suhu, Cahaya dan Warna Laut. Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221)

Suhu, Cahaya dan Warna Laut. Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221) Suhu, Cahaya dan Warna Laut Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221) Suhu Bersama dengan salinitas dan densitas, suhu merupakan sifat air laut yang penting dan mempengaruhi pergerakan masa air di laut

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.. Parameter Curah Hujan model REMO Data curah hujan dalam keluaran model REMO terdiri dari 2 jenis, yaitu curah hujan stratiform dengan kode C42 dan curah hujan konvektif dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berkurangnya jumlah curah hujan di bawah normal pada suatu periode atau biasa disebut dengan kekeringan meteorologis merupakan indikasi pertama yang selanjutnya mulai

Lebih terperinci

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada

Lebih terperinci

V. HASIL UJI UNJUK KERJA

V. HASIL UJI UNJUK KERJA V. HASIL UJI UNJUK KERJA A. KAPASITAS ALAT PEMBAKAR SAMPAH (INCINERATOR) Pada uji unjuk kerja dilakukan 4 percobaan untuk melihat kinerja dari alat pembakar sampah yang telah didesain. Dalam percobaan

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI A. Hidrologi Hidrologi adalah ilmu yang berkaitan dengan air di bumi, baik mengenai terjadinya, peredaran dan penyebarannya, sifat sifatnya dan hubungan dengan lingkungannya terutama

Lebih terperinci

BAB XII KALOR DAN PERUBAHAN WUJUD

BAB XII KALOR DAN PERUBAHAN WUJUD BAB XII KALOR DAN PERUBAHAN WUJUD Kalor dan Perpindahannya BAB XII KALOR DAN PERUBAHAN WUJUD 1. Apa yang dimaksud dengan kalor? 2. Bagaimana pengaruh kalor pada benda? 3. Berapa jumlah kalor yang diperlukan

Lebih terperinci

SMP kelas 9 - FISIKA BAB 9. KALOR DAN PERPINDAHANNYALatihan Soal 9.3

SMP kelas 9 - FISIKA BAB 9. KALOR DAN PERPINDAHANNYALatihan Soal 9.3 1. Perhatikan pernyataan berikut! SMP kelas 9 - FISIKA BAB 9. KALOR DAN PERPINDAHANNYALatihan Soal 9.3 1. Angin laut terjadi pada siang hari, karena udara di darat lebih panas daripada di laut. 2. Sinar

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian METODE Waktu dan Tempat Penelitian

PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian METODE Waktu dan Tempat Penelitian PENDAHULUAN Latar Belakang Kejadian kebakaran wilayah di Indonesia sudah menjadi peristiwa tahunan, khususnya di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Pada tahun 2013 kebakaran di Pulau Sumatera semakin meningkat

Lebih terperinci

Iklim Perubahan iklim

Iklim Perubahan iklim Perubahan Iklim Pengertian Iklim adalah proses alami yang sangat rumit dan mencakup interaksi antara udara, air, dan permukaan daratan Perubahan iklim adalah perubahan pola cuaca normal di seluruh dunia

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN PEBRUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN APRIL, MEI DAN JUNI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN PEBRUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN APRIL, MEI DAN JUNI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS HUJAN BULAN PEBRUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN APRIL, MEI DAN JUNI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK TANAH. Angga Yuhistira Teknologi dan Manajemen Lingkungan - IPB

KARAKTERISTIK TANAH. Angga Yuhistira Teknologi dan Manajemen Lingkungan - IPB KARAKTERISTIK TANAH Angga Yuhistira Teknologi dan Manajemen Lingkungan - IPB Pendahuluan Geosfer atau bumi yang padat adalah bagian atau tempat dimana manusia hidup dan mendapatkan makanan,, mineral-mineral

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori Dasar Steam merupakan bagian penting dan tidak terpisahkan dari teknologi modern. Tanpa steam, maka industri makanan kita, tekstil, bahan kimia, bahan kedokteran,daya, pemanasan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemampuan hutan dan ekosistem didalamnya sebagai penyimpan karbon dalam bentuk biomassa di atas tanah dan di bawah tanah mempunyai peranan penting untuk menjaga keseimbangan

Lebih terperinci

STAF LAB. ILMU TANAMAN

STAF LAB. ILMU TANAMAN STAF LAB. ILMU TANAMAN Suhu Suhu merupakan faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman Suhu berkorelasi positif dengan radiasi mata hari Suhu: tanah maupun udara disekitar

Lebih terperinci