IND P PROFIL KEMENTERIAN KESEHATAN PENGENDALIAN PENYAKIT DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN TAHUN 2012

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "IND P PROFIL KEMENTERIAN KESEHATAN PENGENDALIAN PENYAKIT DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN TAHUN 2012"

Transkripsi

1 IND P KEMENTERIAN KESEHATAN PROFIL PENGENDALIAN PENYAKIT DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN TAHUN 2012 DIREKTORAT JENDERAL PENGENDALIAN PENYAKIT DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN TAHUN 2013

2 KATA PENGANTAR Tahun 2012 merupakan tahun ketiga dari periode Rencana Pembangunan Menengah Nasional (RPJMN) , dalam dokumen RPJMN Program Direktorat Jenderal Pengendalian dan Penyehatan Lingkungan dijabarkan dalam kegiatan-kegiatan yang tercantum di dalam Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Kesehatan Untuk melihat hasil-hasil kegiatan yang telah dilaksanakan selama periode tahun 2012 dan beberapa tahun sebelumnya maka penerbitan Profil PP dan PL 2012 sangatlah tepat. Profil PP dan PL disusun setiap tahun, merupakan sarana untuk memantau dan mengevaluasi pencapaian pembangunan kesehatan khususnya di bidang PP dan PL. Tantangan pelaksanaan Program Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan di masa yang akan datang semakin berat, keberhasilannya ditentukan oleh kerjasama berbagai pihak, Pemerintah Pusat, Daerah, LSM, Swasta, Peran Serta Masyarakat serta pihak-pihak terkait lainnya. Dengan diterbitkannya Profil PP dan PL diharapkan dapat dipergunakan sebagai bahan acuan untuk mendukung perencanaan kesehatan yang berdasarkan fakta (evidence based) serta bahan masukan dalam menyusun kebijakan-kebijakan program maupun pengambilan keputusan yang kesemuanya sejalan dengan Visi Kementerian Kesehatan yang baru yaitu Masyarakat Sehat yang Mandiri dan Berkeadilan. Saran, kritik serta masukan-masukan sangat kami harapkan guna peningkatan mutu Profil PP dan PL di tahun-tahun mendatang. Penghargaan setinggi-tingginya dan ucapan terima kasih disampaikan kepada tim penyusun dan semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan Profil Tahun Jakarta, Juli 2013 Direktur Jenderal PP&PL ttd Prof. dr Tjandra Yoga Aditama, Sp.P(K) NIP

3 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... 1 DAFTAR ISI... 2 DAFTAR GRAFIK... 4 DAFTAR TABEL... 9 DAFTAR GAMBAR I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG B. TUJUAN Tujuan Umum Tujuan Khusus C. LINGKUP KEGIATAN PP&PL D. ORGANISASI II. PENCAPAIAN KEGIATAN PENGENDALIAN PENYAKIT DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN A. SURVEILANS EPIDEMIOLOGI, IMUNISASI, KARANTINA KESEHATAN, DAN KESEHATAN MATRA Surveilans Epidemiologi Imunisasi Karantina Kesehatan dan Kesehatan Pelabuhan Kesehatan Matra B. PENGENDALIAN PENYALIT MENULAR LANGSUNG Tuberkulosis HIV/AIDS dan IIMS Infeksi Saluran Pernafasan Akut Pengendalian Penyakit Diare dan Infeksi Saluran Pencernaan Pengendalian Penyakit Kusta dan Frambusia C. PENGENDALIAN PENYAKIT BERSUMBER BINATANG (PPBB) Pengendalian Penyakit Filariasia dan Schistosomiasis Pengendalian Penyakit Arbovirosis Pengendalian Penyakit Malaria Pengendalian Vektor Pengendalian Penyakit Zoonosis D. PENGENDALIAN PENYAKIT TIDAK MENULAR (PPTM) E. PENYEHATAN LINGKUNGAN (PL) Penyelenggaraan Kegiatan Penyehatan Air & Sanitasi Dasar Penyelenggaraan Kegiatan Penyehatan Kawasan dan Sanitasi Darurat (PKSD) Penyelenggaraan Kegiatan Penyehatan Pemukiman dan Tempat-tempat Umum (PP dan TTU) Penyelenggaraan Kegiatan Pengamanan Limbah, Udara dan Radiasi Penyelenggaran Kegiatan Higiene Sanitasi Pangan (HSP) III. PENUNJANG KEGIATAN PP&PL A. Ketenagaan B. Program dan Informasi C. Keuangan

4 D. Hukum, Organisasi & Humas IV. UNIT PELAKSANA TEKNIS (UPT) PP&PL A. Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) B. Balai Teknik Kesehatan Lingkungan Dan Pengendalian Penyakit (BTKL-PP) DAFTAR SINGKATAN TIM PENYUSUN

5 DAFTAR GRAFIK NO. NAMA GRAFIK Grafik 2.A.1.1 Trend Capaian Indikator Kinerja Surveilans AFP di Indonesia Tahun 2008 sd 2012 Grafik 2.A1..2 Trend Jumlah Kasus Campak Rutin, Frekuensi KLB Campak, dan Jumlah Kasus pada KLB Campak Tahun 2008 sd 2012 Grafik 2.A.1.3 KLB Campak yang Dilaporkan dan Konfirmasi Laboratorium Tahun 2008 sd 2012 Grafik 2.A.1.4 Kasus Campak Rutin Berdasarkan Kelompok Umur Tahun 2008 sd 2012 Grafik 2.A.1.5 Kasus Tetanus Neonatorum Berdasarkan Faktor Risiko Tahun 2012 Grafik 2.A.1.6 Cakupan Vaksin TT2+ dengan Kasus Tetanus Neonatorum Tahun 2008 sd 2012 Grafik 2.A.1.7 Target dan Pencapaian Indikator Penanggulangan KLB < 24 Jam Tahun 2009 sd 2014 Grafik 2.A.1.8 Frekuensi KLB Berdasarkan Provinsi Tahun 2012 Grafik 2.A.1.9 Frekuensi KLB Berdasarkan Jenis Penyakit Tahun 2012 Grafik 2.A.1.10 Frekuensi KLB Berdasarkan Bulan Tahun 2012 Grafik 2.A.1.11 Persentase Lama Waktu KLB Direspon Tahun 2012 Grafik 2.A.1.12 Persentase Respon KLB Berdasarkan Provinsi Tahun 2012 Grafik 2.A.1.13 Persentase Respon KLB Berdasarkan Jenis Penyakit Tahun 2012 Grafik 2.A.1.14 Persentase Respon KLB Berdasarkan Bulan Tahun 2012 Grafik 2.A.2.1 Pencapaian Cakupan Imunisasi HB0 (<7 hari) Per Provinsi Tahun 2012 Grafik 2.A.2.2 Pencapaian Cakupan Imunisasi BCG Per Provinsi Tahun 2012 Grafik 2.A.2.3 Pencapaian Cakupan Imunisasi DPT-HB1 Per Provinsi Tahun 2012 Grafik 2.A.2.4 Pencapaian Cakupan Imunisasi BCG, HB0 (<7 hari), dan DPT-HB1 Tahun 2008 sd 2012 Grafik 2.A.2.5 Pencapaian Cakupan Imunisasi DPT-HB3 Per Provinsi Tahun 2012 Grafik 2.A.2.6 Pencapaian Cakupan Imunisasi Polio4 Per Provinsi Tahun 2012 Grafik 2.A.2.7 Pencapaian Cakupan Imunisasi Campak Per Provinsi Tahun 2012 Grafik 2.A.2.8 Pencapaian Cakupan Imunisasi DPT-HB3, Polio4, dan Campak Tahun 2008 sd 2012 Grafik 2.A.2.9 Pencapaian Cakupan Imunisasi Dasar Lengkap Per Provinsi Tahun 2012 Grafik 2.A.2.10 Pencapaian Cakupan Imunisasi Dasar Lengkap Tahun 2008 sd 2012 Grafik 2.A.2.11 Pencapaian UCI Desa Per Provinsi Tahun 2012 Grafik 2.A.2.12 Pencapaian UCI Desa Tahun 2008 sd 2012 Grafik 2.A.2.13 Angka Drop Out (DPT1-Campak) Tahun 2012 Grafik 2.A.2.14 Pencapaian Angka Drop Out (DPT1-Campak) Tahun 2008 sd 2012 Grafik 2.A.2.15 Cakupan BIAS Tahun 2012 Grafik 2.A.2.16 Cakupan BIAS Tahun 2008 sd 2012 Grafik 2.A.2.17 Pencapaian Cakupan Imunisasi TT2+ pada Ibu Hamil Tahun 2012 Grafik 2.A.2.18 Pencapaian Cakupan Imunisasi TT2+ pada Ibu Hamil Tahun 2007 sd 2011 Grafik 2.A.2.19 Pencapaian Cakupan Imunisasi pada Sub PIN Difteri di Jawa Timur Tahun 2012 Grafik 2.A.3.1 Kedatangan Kapal dari Dalam dan Luar Negeri Tahun 2008 sd 2012 Grafik 2.A.3.2 Keberangkatan Kapal Ke Dalam dan Luar Negeri Tahun 2008 sd 2012 Grafik 2.A.3.3 Kedatangan Pesawat Dari Dalam dan Luar Negeri Tahun 2008 sd 2012 Grafik 2.A.3.4 Pemeriksaan General Declaration (Gendec) Pada Pesawat yang Datang Dari Luar Negeri Tahun 2008 sd 2012 Grafik 2.A.3.5 Keberangkatan Pesawat Ke Dalam dan Luar Negeri Tahun 2008 sd 2012 Grafik 2.A.3.6 Grafik 2.A.3.7 Grafik 2.A.3.8 Kedatangan Penumpang Kapal/Pesawat dari Dalam Negeri dan Luar Negeri di Seluruh KKP Tahun 2008 sd 2012 Keberangkatan Penumpang Kapal/Pesawat Ke Dalam Negeri dan Luar Negeri di Seluruh KKP Tahun 2008 sd 2012 Keberangkatan dan Kedatangan ABK dan Crew Dari dan Ke Luar Negeri di Seluruh KKP Tahun 2008 sd 2012 Grafik 2.A.3.9 Penerbitan SSCEC dan SSCC Oleh KKP Tahun 2008 sd 2012 Grafik 2.A.3.10 Pemberian Buku Kesehatan Kapal Oleh KKP Tahun 2008 sd 2012 Grafik 2.A.3.11 Jenis Penyakit Tertinggi Dalam Kunjungan Poliklinik di KKP Seluruh Indonesia Tahun 2008 sd 2012 Grafik 2.A.4.1 Jumlah Peselam yang Dilakukan Survei Tahun 2008 sd 2012 Grafik 2.A.4.2 Peselam yang Pernah Mendapatkan Penyuluhan Tentang Kesehatan Penyelaman Tahun 2008 sd 2012 Grafik 2.A.4.3 Teknik yang Digunakan Peselam Dalam Kegiatan Penyelaman Tahun 2008 sd

6 Grafik 2.A.4.4 Keluhan yang Dialami Peselam Dalam Kegiatan Penyelaman Tahun 2008 sd 2012 Grafik 2.A.4.5 Jenis Keluhan yang Dialami Peselam Tahun 2012 Grafik 2.A.4.6 Pencarian Pengobatan Pertama Setelah Menderita Keluhan Tahun 2007 sd 2011 Grafik 2.A.4.7 Tempat Pencarian Pengobatan Tahun 2008 sd 2012 Grafik 2.A.4.8 Jumlah KK, Jiwa dan Lokasi Transmigrasi yang dikunjungi Tahun 2008 sd 2012 Grafik 2.B.1.1 Angka Penjaringan Suspek Tahun 2005 sd 2012 Grafik 2.B.1.2 Angka Penjaringan Suspek per Provinsi Tahun 2011 sd 2012 Grafik 2.B.1.3 Proporsi Pasien TB Paru BTA Positif di Antara Suspek yang Diperiksa (Positivity Rate) Tahun 2005 sd 2012 Grafik 2.B.1.4 Proporsi Pasien TB Paru BTA Positif di Antara Suspek yang Diperiksa (Positivity Rate) per Provinsi Tahun 2011 sd 2012 Grafik 2.B.1.5 Proporsi BTA positif di antara seluruh kasus tahun 2005 sd 2012 Grafik 2.B.1.6 Proporsi pasien TB paru BTA positif di antara seluruh kasus Tahun 2011 sd 2012 Grafik 2.B.1.7 Angka Notifikasi Kasus BTA Positif dan Seluruh Kasus per Penduduk Tahun 2005 sd 2012 Grafik 2.B.1.8 Angka Notifikasi Kasus (case notification) Kasus Baru TB Paru BTA Positif Tahun 2011 sd 2012 Grafik 2.B.1.9 Angka Notifikasi Kasus (case notification) Seluruh Kasus Tahun 2011 sd 2012 Grafik 2.B.1.10 Proporsi Kasus TB Anak di Antara Seluruh Kasus Tahun 2011 sd 2012 Grafik 2.B.1.11 Grafik 2.B.1.12 Grafik 2.B.1.13 Grafik 2.B.1.14 Grafik 2.B.1.15 Grafik 2.B.1.16 Grafik 2.B.1.17 Grafik 2.B.1.18 Angka Penemuan Kasus atau case detection rate (CDR) Tahun 2005 sd 2012 Angka Konversi atau Convertion Rate di Indonesia Tahun 2005 sd 2012 Angka Konversi atau Convertion Rate per Provinsi di Indonesia Tahun 2011 sd 2012 Angka Keberhasilan Pengobatan (success rate /SR) Tahun 2005 sd 2012 Angka Kesembuhan atau Cure Rate Tahun 2010 sd 2012 Angka Keberhasilan Pengobatan (success rate/sr) per Provinsi di Indonesia Tahun 2011 sd 2012 Persentase Kabupaten/Kota yang Melaksanakan Uji Silang Tahun 2009 sd 2011 Presentase Fasyankes melaksanakan Uji Silang dan Fasyankes dengan Kualitas Baik Tahun 2010 sd 2011 Grafik 2.B.1.19 Hasil Uji Silang Tahun 2012 Grafik 2.B.1.20 Penemuan Kasus TB di Beberapa Fasilitas Pelayanan Kesehatan di Indonesia Tahun 2008 sd 2012 Grafik 2.B.1.21 Hasil Akhir Pengobatan di Beberapa Tipe Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tahun 2012 Grafik 2.B.2.1 Grafik 2.B.2.2 Grafik 2.B.2.3 Jumlah Kasus HIV dan AIDS Menurut Tahun di Indonesia Tahun 2005 sd 2012 Persentase Kasus AIDS Menurut Jenis Kelamin di Indonesia Tahun 2012 Persentase Kumulatif Kasus AIDS Menurut Jenis Kelamin di Indonesia s/d 31 Desember 2012 Grafik 2.B.2.4 Persentase Kasus AIDS Menurut Kelompok Umur di Indonesia Tahun 2012 Graf3k 2.B.2.5 Persentase Kumulatif Kasus AIDS Menurut Kelompok Umur di Indonesia s/d 31 Desember 2012 Grafik 2.B.2.6 Persentase Kasus AIDS Menurut Faktor Risiko Tahun 2012 Grafik 2.B.2.7 Sepuluh Provinsi dengan Jumlah Kasus AIDS Terbanyak di Indonesia Tahun 2012 Grafik 2.B.2.8 Persentase Kumulatif Kasus AIDS Menurut Faktor Risiko per Periode 5 Tahunan 1991 sd 1995, 1996 sd 2000, 2001 sd 2005 dan 2006 sd 2010 Grafik 2.B.2.9 Peningkatan Jumlah ODHA yang Mendapatkan ARV Tahun 2007 sd 2012 Grafik 2.B.3.1 Cakupan Penemuan Pnemonia Balita di Indonesia Tahun 2008 sd 2012 Grafik 2.B.3.2 Cakupan Penemuan Pnemonia Balita di 33 Provinsi Tahun

7 Grafik 2.B.3.3 Proporsi (%) Kasus Pneumonia Berdasarkan Kelompok Umur di 40 Puskesmas Sentinel Tahun 2011 dan 2012 Grafik 2.B.3.4 Proporsi (%) Kasus Pneumonia Berdasarkan Kelompok Umur di 40 RS Sentinel Tahun 2011 dan 2012 Grafik 2.B.3.5 Kasus Kematian Karena Pneumonia pada Bayi dan Balita di 40 RS Sentinel Tahun 2012 Grafik 2.B.4.1 Distribusi Frekuensi Penderita Diare Di Indonesia Tahun 2008 sd 2012 Grafik 2.B.4.2 Distribusi Frekuensi Cakupan Pelayanan Diare Berdasarkan Provinsi Tahun 2011 sd 2012 Grafik 2.B.4.3 Distribusi Angka Kematian Saat KLB (CFR) Di Indonesia Tahun 2008 sd 2012 Grafik 2.B.4.4 Proporsi Penggunaan Oralit Di Puskesmas di Indonesia Tahun 2008 sd 2012 Grafik 2.B.4.5 Proporsi Penggunaan Antibiotik Tidak Rasional Di Indonesia Tahun 2008 sd 2012 Grafik 2.B.4.6 Proporsi Penggunaan Anti Diare Di Indonesia Tahun 2008 sd 2012 Grafik 2.B.4.7 Persentase Kualitas Tatalaksana Diare Sesuai Standar Tahun 2008 sd 2011 Grafik 2.B.5.1 Trend Angka Prevalensi dan Angka Penemuan Kasus Baru Kusta New Case Detection Rate (NCDR) Tahun 2007 sd 2012 Grafik 2.B.5.2 Proporsi Penderita MB di antara Kasus Baru Kusta Tahun 2007 sd 2012 Grafik 2.B.5.3 Proporsi Cacat Tingkat 2 Kusta dan Proporsi Anak di antara Kasus Baru Tahun 2007 sd 2012 Grafik 2.B.5.4 Tren Jumlah Kasus Frambusia Tahun 2007 sd 2011 Grafik 2.C.1.1 Kasus Klinis Filariasis per Tahun di Indonesia Tahun 2008 sd 2012 Grafik 2.C.1.2 Persentase Penatalaksanaan Kasus Klinis Filariasis Tahun 2008 sd 2012 Grafik 2.C.1.3 Cakupan Pemberian Obat Massal Pencegahan Filariasis Tahun 2008 sd 2012 Grafik 2.C.1.4 Prevalensi Schistosomiasis pada Manusia Grafik 2.C.1.5 Prevalensi Schistosomiasis pada Tikus Grafik 2.C.1.6 Prevalensi Schistosomiasis pada Keong Grafik 2.C.1.7 Prevalensi Cacingan Tahun 2012 Grafik 2.C.2.1 Jumlah Kasus DBD Per Provinsi Tahun 2012 Grafik 2.C.2.2 Jumlah Kematian DBD per Provinsi Tahun 2012 Grafik 2.C.2.3 Angka Kesakitan/ IR DBD per Provinsi Tahun 2012 Grafik 2.C.2.4 Angka Kematian/ CFR DBD per Provinsi Tahun 2012 Grafik 2.C.2.5 Jumlah Kabupaten/ Kota Terjangkit DBD Tahun 2008 sd 2012 Grafik 2.C.2.6 Angka Bebas Jentik (ABJ) Tahun 2008 sd 2012 Grafik 2.C.2.7 Tren Angka Kesakitan (IR) dan Angka Kematian (CFR) DBD Tahun 2008 sd 2012 Grafik 2.C.2.8 Pola Kasus DBD Bulanan Tahun 2011 sd 2012 Grafik 2.C.2.9 Kasus Demam Chikungunya Tahun 2008 sd 2012 Grafik 2.C.2.10 Kasus Tersangka Japanese Encephalitis Tahun 2008 sd 2012 Grafik 2.C.3.1 Distribusi Jumlah Kasus Malaria per Provinsi di Indonesia Grafik 2.C.3.2 Persentase Pemeriksaan Sediaan Darah Suspeck Malaria Tahun 2008 sd 2012 Grafik 2.C.3.3 Jumlah Kelambu yang sudah Didistribusikan ke Masyarakat Tahun 2008 sd 2012 Grafik 2.C.4.1 Persentase Pemetaan Vektor pada Kabupaten/Kota per Provinsi Tahun 2012 Grafik 2.C.4.2 Pelatihan Entomologi Kesehatan yang diselenggarakan di Pusat dan di Daerah Tahun 2012 Grafik 2.C.5.1 Grafik 2.C.5.2 Jumlah Kasus, Kematian dan CFR Penyakit FB di Indonesia Distribusi kasus dan kematian Flu Burung Indonesia Bulan Juni 2005 sd Desember 2012 Grafik 2.C.5.3 Kasus Flu Burung menurut jenis kelamin,bulan Juni 2005 sd Desember 2012 Grafik 2.C.5.4 Kasus Flu Burung menurut Kelompok Umur Bulan Juni 2005 sd Desember 2012 Grafik 2.C.5.5 Kasus Flu Burung menurut Faktor Risiko Bulan Juni 2005 sd Desember 2012 Grafik 2.C.5.6 Jumlah Spesimen Positif Rabies pada hewan Tahun 2008 sd 2012 Grafik 2.C.5.7 Grafik 2.C.5.8 Jumlah Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR) dan Post Exposure Treatment (PET) Tahun 2008 sd 2012 Provinsi & Kabupaten/Kota yang Melaporkan Adanya Lyssa Tahun 2008 sd 2012 Grafik 2.C.5.9 Lyssa per-provinsi Tahun 2011 sd

8 Grafik 2.C.5.10 Provinsi yang melaporkan adanya kasus Leptospirosis Tahun 2005 sd 2012 Grafik 2.C.5.11 Distribusi Kasus Leptospirosis Tahun 2004 sd 2012 Grafik 2.C.5.12 Distribusi Kasus Leptospirosis menurut Provinsi Tahun 2012 Grafik 2.C.5.13 Situasi Antraks pada manusia di Indonesia Tahun 2008 sd 2012 Grafik 2.C.5.14 Situasi Antraks pada Manusia di Daerah Endemis Antraks Tahun 2008 sd 2012 Grafik 2.C.5.15 Situasi Spesimen Pes pada Manusia yang Diperiksa Tahun 2004 sd 2012 Grafik 2.C.5.16 Situasi Spesimen yang diperiksa pada Rodent Tahun 2004 sd 2012 Grafik 2.D.1 Distribusi Kematian Pada Semua Umur menurut Kelompok Penyakit SKRT dan Riskesdas 2007 Grafik 2.D.2 Proporsi Penyebab Kematian yang Disebabkan oleh PTM Tahun 2007 Grafik 2.D.3 Persentase Provinsi yang Memiliki Peraturan tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) Tahun 2010 sd 2012 Grafik 2.E.1.1 Capaian Desa Melaksanakan STBM Kumulatif Tahun 2010 sd 2012 Grafik 2.E.1.2 Kumulatif Capaian Desa Melaksanakan STBM per Provinsi di Wilayah Indonesia Bagian Barat Tahun 2010 sd 2012 Grafik 2.E.1.3 Kumulatif Capaian Desa Melaksanakan STBM per Provinsi di Wilayah Indonesia Bagian Tengah Tahun 2010 sd 2012 Grafik 2.E.1.4 Kumulatif Capaian Desa Melaksanakan STBM per Provinsi di Wilayah Indonesia Bagian Timur Tahun 2010 sd 2012 Grafik 2.E.1.5 Trend Proporsi Rumah Tangga Menurut Akses Terhadap Air Minum Layak Tahun 2002 sd 2012 Grafik 2.E.1.6 Proporsi Rumah Tangga Dengan Akses Terhadap Sumber Air Minum Layak Menurut Provinsi Tahun 2012 Grafik 2.E.1.7 Trend Persentase Rumah Tangga dengan Akses Sanitasi Layak Tahun 1993 sd 2012 Grafik 2.E.1.8 Proporsi Penduduk Dengan Akses Sanitasi Dasar Layak Berdasarkan Provinsi Tahun Grafik 2.E Perbandingan Kab/Kota Penyelenggara KKS dan yang Belum per Provinsi Tahun 2011 Grafik 2.E.3.1 Capaian Rumah Sehat Tahun 2012 Grafik 2.E.3.2 Target dan Capaian Rumah Sehat Tahun 2010 sd 2012 Grafik 2.E.3.3 Capaian TTU Sehat Tahun 2012 Grafik 2.E.3.4 Target dan Capaian TTU Sehat Tahun 2010 sd 2012 Grafik 2.E.3.5 Grafik 2.E.4.1 Grafik 2.E.4.2 Opsi Sarana yang Dibangun di Pondok Pesantren Distribusi limbah yang dihasilkan Rumah Sakit Kabupaten/Kota yang Melakukan Pembinaan Pengelolaan Limbah Medis Fayankes Tahun 2012 Grafik 2.E.4.3 Distribusi RS yang Memiliki IPAL Tahun 2012 Grafik 2.E.4.4 Distribusi RS dengan IPAL yang Berfungsi Baik Tahun 2012 Grafik 2.E.4.5 Distribusi RS yang Memiliki Alat Pengolah Limbah Medis Padat Tahun 2012 Grafik 2.E.4.6 Distribusi RS yang Menyerahkan Limbah Medis Padat ke Pihak Luar yang Berijin Tahun 2012 Grafik 2.E.4.7 Distribusi RS menurut Keberadaan Organisasi Internal dengan Tupoksi Pengelolaan Limbah Tahun 2012 Grafik 2.E.4.8 Distribusi RS Responden Monev menurut Adanya Kebijakan Internal Tahun 2012 Grafik 2.E.4.9 Distribusi RS Responden Monev yang Telah Melakukan Pemilahan Limbah Medis dan Non Medis dari Sumbernya Tahun 2012 Grafik 2.E.4.10 Distribusi RS Responden Monev Menurut Kepemilikan Ijin Incinerator Tahun 2012 Grafik 2.E.4.11 Distribusi RS Responden Monev menurut Kepemilikan SDM Pengelola Limbah Medis yang Terlatih Tahun 2012 Grafik 2.E.4.12 Jumlah Dokumen berdasarkan Jenis Dokumen Tahun 2008 sd 2012 Grafik 2.E.4.13 Jumlah Dokumen berdasarkan Jenis Kegiatan Tahun 2008 sd 2012 Grafik 2.E.5.1 Persentase Target dan Capaian TPM Memenuhi Syarat Kesehatan Tahun 2010 sd 2012 Grafik 2.E.5.2 Cakupan TPM Memenuhi Syarat Kesehatan Berdasarkan Provinsi 7

9 Tahun 2011 Grafik 2.E.5.3 Cakpan TPM yang Memenuhi Syarat Kesehatan Berdasarkan Provinsi Tahun 2012 Grafik 2.E.5.4 Angka Kejadian Keracunan Pangan Tahun 2011 Grafik 2.E.5.5 Angka Kejadian Keracunan Pangan Tahun 2012 Grafik 2.E.5.6 Kejadian Keracunan Pangan Berdasarkan Tempat Kejadian Tahun 2012 Grafik 2.E.5.7 Tren Kejadian Keracunan Pangan di Indonesia Tahun 2008 sd 2012 Grafik 3.A.1 Distribusi Pegawai Ditjen PP dan PL beserta UPT Tahun 2012 Grafik 3.A.2 Distribusi Pegawai Ditjen PP dan PL Unit Pusat Tahun 2012 Grafik 3.A.3 Distribusi Pegawai Ditjen PP dan PL beserta UPT berdasarkan Pendidikan Tahun 2012 Grafik 3.A.4 Distribusi Pegawai Ditjen PP dan PL beserta UPT berdasarkan Jabatan Tahun 2012 Grafik 3.A.5 Distribusi Pegawai Ditjen PP dan PL beserta UPT berdasarkan Jabatan Fungsional Kesehatan Grafik 3.A.6 Distribusi pegawai Ditjen PP dan PL berdasarkan Golongan Tahun 2012 Grafik 3.C.1 Alokasi dan Realisasi Anggaran Kantor Pusat, Kantor Daerah, Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan Tahun Anggaran 2010, 2011, dan 2012 Grafik 3.C.2 Alokasi dan Realisasi Anggaran Satker Pusat, UPT, Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan Tahun Anggaran 2010, 2011, dan 2012 Grafik 3.C.3 Persentase Realisasi Anggaran Satker Pusat, UPT, Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan Tahun Anggaran 2010, 2011, dan 2012 Grafik 3.C.4 Alokasi Anggaran Ditjen PP dan PL Berdasarkan Sumber Dana Rupiah Murni, Pinjaman Luar Negeri, Hibah Luar Negeri, Rupiah Murni Pendamping, dan PNBP Tahun Anggaran 2010, 2011, dan 2012 Grafik 3.C.5 Realisasi Anggaran Ditjen PP & PL berdasarkan Jenis Belanja Tahun 2010, 2011, dan 2012 Grafik 3.C.6 Realisasi Anggaran Ditjen PP & PL berdasarkan Jenis Belanja Tahun 2010, 2011, dan 2012 Grafik 3.C.7 Target dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Kantor Pusat dan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Tahun Anggaran 2010, 2011, dan 2012 Grafik 3.C.8 Target dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Kantor Pusat dan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Tahun Anggaran 2010 dan 2011 Grafik 3.D.1 Bantuan Hukum yang Ditangani Ditjen PP dan PL Tahun 2010 sd 2012 Grafik 3.D.2 Trend Produk Hukum yang Dihasilkan Ditjen PP dan PL Tahun 2010 sd 2012 Grafik 3.D.3 Perkembangan Klasifikasi Kantor Kesehatan Pelabuhan Tahun 2004 sd 2012 Grafik 3.D.4 Perkembangan Klasifikasi Balai Teknik Kesehatan Lingkungan Tahun 2004 sd 2012 Grafik 3.D.5 Proporsi Pelaksanaan Kegiatan Peliputan berdasarkan Bulan Tahun 2012 Grafik 3.D.6 Distribusi SK PPID di Lingkungan Unit Pelaksana Teknis Tahun

10 NO. Tabel 2.A.2.1 Tabel 2.A.3.1 DAFTAR TABEL Jadwal Pemberian Imunisasi pada Bayi NAMA TABEL Pemberian Free Pratique Untuk Kapal Yang Datang Dari Luar Negeri Tabel 2.A.4.1 Jenis Keluhan yang Dialami Peselam Tahun 2008 sd 2012 Tabel 2.B.1.1 Estimasi Insidensi, Prevalensi dan Mortalitas TB Tahun 1990, 2011 dan 2012 Tabel 2.B.1.2 Hasil Kegiatan Kolaborasi TB HIV dari Unit TB Tahun 2009 sd 2012 Tabel 2.B.2.1 Jumlah Kasus AIDS Menurut Provinsi di Indonesia Tahun 1987 sd 2012 Tabel 2.B.2.2 Jumlah Kematian AIDS Menurut Tahun di Indonesia Tahun 1987 sd 2012 Tabel 2.B.2.3 Jumlah Kasus HIV Menurut Faktor Risiko di Indonesia Tahun 2010 sd 2012 Tabel 2.B.2.4 Jumlah Kasus AIDS Menurut Faktor Risiko dan Tahun di Indonesia Tahun1987 sd 2012 Tabel 2.B.2.5 Jumlah Kasus AIDS Menurut Penyakit Penyerta di Indonesia Tahun 2007 sd 2012 Tabel 2.B.2.6 Indikator terkait HIV & AIDS dan Pencapaiannya Tahun 2012 Tabel 2.B.2.7 Target dan Pencapaian MDGs Tahun 2012 Tabel 2.B.4.1 Rekapitulasi KLB Diare Tahun 2011 Tabel 2.B.4.2 Rekapitulasi KLB Diare Tahun 2012 Tabel 2.B.4.3 Rekapitulasi KLB Diare di Indonesia Tahun 2008 sd 2012 Tabel 2.B.5.1 Jumlah Penderita Terdaftar dan Penderita Baru Kusta Tahun 2007 sd 2012 Tabel 2.C.1.1 Distribusi Kasus Klinis Filariasis per Provinsi Tahun 2008 sd 2012 Tabel 2.C.1.2 Distribusi Obat (Prazikuantel) Schistosomis dan F. Buski Tahun 2008 sd 2012 Tabel 2.C.1.3 Kabupaten/Kota yang Disurvei Cacing Tahun 2012 Tabel 2.C.3.1 Tingkat Endemisitas Kabupaten/Kota di Indonesia berdasarkan API Tahun 2010 sd 2012 Tabel 2.C.3.1 Target dan capaian Indikator P2 Malaria pada Renstra Kementerian Kesehatan RI Tahun 2010 sd 2014 Tabel 2.C.4.1 Realisasi Pemetaan Vektor di Indonesia Tahun 2010 sd 2012 Tabel 2.C.4.2 Beberapa Kegiatan Survai Cepat, Longitudinal Survei Tabel 2.C.4.3 Tabel 2.C.4.4 Tabel 2.C.4.5 Tabel 2.C.5.1 Tabel 2.D.1 Tabel 2.E.1.1 Hasil Uji Kerentanan Vektor Malaria dan Demam Berdarah Dengue Beberapa Kegiatan Fasilitasi/Sosialisasi/Narasumber di Subdit Pengendalian Vektor Beberapa Jenis Pelatihan (Jabatan Fungsional, TOT Entokes, Pelatihan Teknis Pengendalian Vektor) Beberapa Kasus Antraks Kulit Hasil Pemeriksaan Faktor Risiko Pengemudi Perkembangan Program Percepatan Pembangunan Sanitasi Pemukiman Tabel 2.E.1.2 Kegiatan Fasilitasi Pasar Sehat Percontohan di 8 (Delapan) Lokasi Tahun 2012 Tabel 2.E.3.1 Target dan Capaian Indikator Rencana Aksi Kegiatan Tahun 2010 sd 2014 Penyehatan Permukiman dan Tempat-Tempat Umum serta Adaptasi Perubahan Iklim Bidang Kesehatan Tabel 2.E.3.2 Provinsi Peserta Lomba Sekolah Sehat Tingkat Nasional Tahun 2012 Tabel 2.E.3.3 Pemenang Lomba Sekolah Sehat Tingkat Nasional Tahun 2012 Tabel 2.E.3.4 Daftar Provinsi, Kabupaten, dan Pondok Pesantren Penerima Bantuan Stimulan Tahun 2012 Tabel 3.B.1 Alokasi Anggaran berdasarkan Kegiatan Tahun 2012 Tabel 3.B.1 Alokasi Anggaran per Satuan Kerja Tahun 2012 Tabel 3.C.1 Sumber Pinjaman dan Hibah Luar Negeri di lingkungan Ditjen PP & PL Tahun 2010, 2011, dan 2012 Tabel 3.D.1 Hasil Pengukuran Kinerja Program Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Tahun 2012 Tabel 4.1 Wilayah Kerja Regional B/BTKL PP Seluruh Indonesia Tahun

11 NO. Gambar 1.1 Gambar 1.2 Gambar 2.A.1.1 DAFTAR GAMBAR NAMA GAMBAR Bagan Struktur Organisasi Ditjen PP dan PL Sruktur & Foto Dirjen, Sesditjen dan ParaDirektur Pencapaian Non Polio AFP Rate Per Anak Usia < 15 Tahun Menurut Provinsi Tahun 2012 Gambar 2.A.1.2 Pencapaian Spesimen Adekuat Menurut Provinsi Tahun 2012 Gambar 2.A.1.3 Distribusi Kasus Campak Rutin di Indonesia Tahun 2012 Gambar 2.A.1.4 Distribusi Kasus Tetanus Neonatorum Per ProvinsiTahun 2012 Gambar 2.A.2.1 Sebaran Kasus Difteri Menurut Provinsi Tahun 2012 Gambar 2.B.3.1 Peta Cakupan Penemuan Pneumonia Balita di Indonesia Tahun 2012 Gambar 2.B.5.1 Situasi Beban Penyakit Kusta di Indonesia Tahun 2012 Gambar 2.C.1.1 Kabupaten/Kota yang Melaksanakan MDA Tahun 2012 Gambar 2.C.1.2 Gambar 2.C.1.3 Gambar 2.C.2.1 Gambar 2.C.2.2 Gambar 2.C.2.3 Daerah fokus keong Oncomelania hupensis lindoensis Siklus Penularan Schistosomiasis Pencanangan Gerakan Bersama Pemberantasan Sarang Nyamuk (GEBER PSN) Dalam Rangka Hari Kesehatan Nasional ke -48 di Palangkaraya-Kalimantan Tengah Tanggal 20 November 2012 Kegiatan Penyuluhan oleh Jumantik di Wilayah Bandung Jawa Barat Kegiatan Pemantauan Jentik oleh Jumantik di Wilayah Bandung Jawa Barat Gambar 2.C.2.4 Peringatan Hari Dengue ASEAN (ASEAN Dengue Day) ke-2 tanggal 15 Juni 2012 di Kota Medan Gambar 2.C.3.1 Peta Endemisitas Malaria di Indonesia Tahun 2010 Gambar 2.C.3.2 Peta Endemisitas Malaria di Indonesia Tahun 2011 Gambar 2.C.3.3 Peta Endemisitas Malaria di Indonesia Tahun 2012 Gambar 2.C.3.4 Gambar 2.C.3.5 Gambar 2.C.3.6 Gambar 2.C.3.7 Gambar 2.C.4.1 Malaria Center di Halmahera Selatan Maluku Utara Malaria Center di Mandailing Natal Sumatera Utara ATM Center di Aceh Pos Malaria Desa dan Kader Posmaldes Peta Sebaran Vektor Malaria di Indonesia Gambar 2.C.4.2 Peta Resistensi Ae. Aegypti di Indonesia Tahun 2004 sd 2012 Gambar 2.C.4.3 Peta Resistensi Vektor Malaria di Indonesia Tahun 2007 sd 2012 Gambar 2.C.4.4 Gambar 2.C.4.5 Gambar 2.D.1 Gambar 2.D.2 Gambar 2.D.3 Pelatihan Pengendalian Vektor di Bapelkes Cikarang Bekasi Pelatihan Pengendalian Vektor di Situ Burung Bogor Sebaran Posbindu dan Kegiatan Posbindu Daerah yang Mengembangkan Program Deteksi Dini Kanker Payudara dan Kanker Leher Rahim Pemeriksaan FR Terpadu dalam Rangka Kesiapsiagaan pada Mudik Lebaran Gambar 2.E.1.1 Wilayah Kerja Pelaku STBM di Indonesia Tahun 2012 Gambar 2.E.1.2 Kegiatan STBM Gambar 2.E.2.1 Kegiatan Lokakarya Nasional Kabupaten Kota Sehat Gambar 2.E.2.2 Faktor Risiko Lingkungan dan Perilaku yang ada di Pasar Tradisional Gambar 2.E.2.3 Beberapa Persyaratan Faktor Kesehatan Lingkungan di Pasar Tradisonal Gambar 2.E.2.4 Proses Kegiatan Fasilitasi Masyarakat di Pasar Gambar 2.E.2.5 Orientasi Pasar Sehat Gambar 2.E.2.6 Kondisi Banjir di Daerah Banten Tahun 2012 Gambar 2.E.2.7 Peta Pusat Daerah Bencana Gambar 2.E.2.8 Bencana yang ditangani oleh Tim Direktorat Penyehatan Lingkungan 10

12 Gambar 2.E.3.1 Capacity Building MPA PHAST Kesling Pontren bagi Petugas Provinsi dan Kabupaten Gambar 2.E.4.1 Wadah Limbah Medis Infeksius dan Limbah Tajam yang Ditempatkan di Sumber Penghasil (Ruangan) Gambar 2.E.4.2 Pemilahan Limbah dari Sumber Penghasil dengan Menggunakan Wadah Berbeda untuk Tiap Jenis Limbah dan Menggunakan Label Gambar 4.1 Struktur Organisasi KKP Kelas I Gambar 4.2 Struktur Organisasi KKP Kelas II Gambar 4.3 Struktur Organisasi KKP Kelas III Gambar 4.4 Peta Wilayah Kerja Regional B/BTKL-PP Seluruh Indonesia Tahun 2012 Gambar 4.5 Struktur Organisasi Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan Dan Pengendalian Penyakit Gambar 4.6 Struktur Organisasi Balai Teknik Kesehatan Lingkungan Dan Pengendalian Penyakit Kelas I Gambar 4.7 Struktur Organisasi Balai Teknik Kesehatan Lingkungan Dan Pengendalian Penyakit Kelas II 11

13 NO. Lampiran 1 Lampiran 2 DAFTAR LAMPIRAN NAMA LAMPIRAN Daftar Kantor Kesehatan Pelabuhan di Lingkungan Kementerian Kesehatan Unit Organisasi dan Eselon Unit Pelaksana Teknis (UPT) Lampiran 3 Daftar Unit Pelaksana Teknis di Bidang Teknis Kesehatan Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit Menular Lampiran 4 Jumlah Infeksi HIV dari layanan VCT di Indonesia Berdasarkan Provinsi Tahun 2012 Lampiran 5 Jumlah ODHA yang diobati dan mendapat ARV Tahun 2010 sd 2012 Lampiran 6 Lampiran 7 Lampiran 8 Hasil Kegiatan Monitoring dan Evaluasi Pemetaan Kerentanan Vektor DBD Tahun 2012 Hasil Kegiatan Monitoring dan Evaluasi Pemetaan Kerentanan Vektor Malaria Tahun 2012 Lokasi Uji Efikasi Kelambu pada 7 Provinsi di Pulau Kalimantan dan Sulawesi Lampiran 9 Rekapitulasi Hasil Pemeriksanan Kualitas Air Minum PDAM Tahun 2012 Lampiran 10 Distribusi Desa STBM Tahun 2012 Lampiran 11 Daftar Peraturan Perundang-Undangan Bidang Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Tahun 2012 Lampiran 12 Kegiatan Peliputan Bagian Hukormas Tahun

14 I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Saat ini kita memasuki tahun ketiga pada Periode Rencana Pembangunan baru yaitu Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) , merupakan moment yang sangat penting untuk mengawali pelaksanaan pembangunan kita. Disamping itu Kementerian Kesehatanpun telah menyusun Rencana Strategis yang baru untuk tahun dengan visi baru yaitu Masyarakat sehat yang mandiri dan berkeadilan dengan Misinya ;(1) Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, melalui pemberdayaan masyarakat, termasuk swasta dan masyarakat madani; (2) Melindungi kesehatan masyarakat dengan menjamin tersedianya upaya kesehatan yang paripurna, merata, bermutu, dan berkeadilan; (3) Menjamin ketersediaan dan pemerataan sumberdaya kesehatan, (4) Menciptakan tata kelola kepemerintahan yang baik. Arah kebijaka, sasaran, strategi, fokus prioritas serta program-program dilingkungan Kementerian Keseha telah ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 60 Tahun Dalam RPJMN Program Pengendalian Penyakit & Penyehatan Lingkunan menjadi satu kesatuan dengan sasaran pencapaian indikator untuk setiap kegiatan. Agar diperoleh pencapaian keberhasilan dalam pelaksaaan Program-program tersebut perlu didukung oleh data & informasi tahun-tahun sebelumnya. Buku Profil ini memuat gambaran cakupan setiap kegiatan yang dikumpulkan dari setiap Direktorat dilingkungan Ditjen PP & PL untuk tahun 2012 dan juga trend tahun-tahun sebelumnya Secara ringkas Buku Profil memuat tentang gambaran Organisasi Ditjen PP & PL, pencapaian cakupan kegiatan Direktorat Simkar Kesma, pencapaian cakupan kegatan Direktorat Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang, pencapaian cakupan kegiatan Direktorat Penhendalian Penyakit Menular Langsung, pencapaian cakupan kegatan Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular, pencapaian cakupan kegatan Direktorat Penyehatan Lingkungan, informasi ringkas tentang Unit Pelaksana Teknis yang berada dilingkungan Ditjen PP &PL yang terdiri dari Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP), Balai Besar/Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (B/BTKL-PP). Disamping itu yang tidak kalah penting dalam menunjang kegiatan program adalah bidang ke-sekretariatan yang terdiri dari Kepegawaian, Keuangan, Umum dan Program & Informasi. Pencapaian cakupan kegiatan digambarkan dalam bentuk Grafik, Tabel maupun Peta/Map juga disertai analisa ringkas dari penyajian tersebut. Tantangan dan permasalahan pembangunan kesehatan makin bertambah berat, dan kompleks, dengan berbagai upaya kita terus berjuang untuk mencapai targettarget/sasaran pembangunan kesehatan khsusnya dalam bidang pengendalian penyakit & penyehatan lingkungan. B. TUJUAN Tujuan diterbitkannya Buku Profil Pengendalian Penyakit &penyehatan Lingkungan Tahun 2012 ini adalah : 13

15 1. Tujuan Umum Memberikan gambaran/informasi kepada pembaca tentang latar belakang, kondisi saat ini dari suatu kegiatan dan hasilnya pada tahun ybs atau perbandingan/trend dengan tahun sebelumnya 2. Tujuan Khusus a. Tersajinya data & informasi organisasi PP & PL b. Tersajinya data & informasi cakupan kegiatan tiap Direktorat dilingkungan Ditjen PP & PL sampai tahun 2011 c. Tersajinya data & informasi Unit Pelaksana Teknis Ditjen PP & PL d. Tersajinya data & informasi ke pendukung program PP & PL C. LINGKUP KEGIATAN PP&PL 1. Surveilans, Imunisasi, Karantina, dan Kesehatan Matra a. Surveilans dan Respon Kejadian Luar Biasa (KLB); b. Imunisasi; c. Karantina Kesehatan dan Kesehatan Pelabuhan; d. Kesehatan Matra; 2. Penyakit Menular Langsung a. TB b. HIV/AIDS & Penyakit Menular Seksual c. ISPA d. Diare dan Penyakit Saluran Pencernaan e. Kusta & Frambusia 3. Penyakit Bersumber Binatang a. Malaria b. Arbovirosis c. Zoonosis d. Filariasis, Schistosomiasis dan Kecacingan e. Pengendalian Vektor 4. Penyakit Tidak Menular a. Penyakit Jantung & Pembuluh Darah b. Kanker c. Diabetes Mellitus & Penyakit Metabolis d. Penyakit Kronis & Degeneratif Lainnya e. Gangguan Akibat Kecelakaan & Tindak Kekerasan 5. Penyehatan Lingkungan a. Penyehatan Air dan Sanitasi Dasar; b. Penyehatan Permukiman dan Tempat-Tempat Umum; c. Penyehatan Kawasan dan Sanitasi Darurat; d. Higiene Sanitasi Pangan; e. Pengamanan Limbah, Udara, dan Radiasi; 14

16 D. ORGANISASI Berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan nomor 1575 tahun 2005 jo 439 tahun 2009 jo 1144/Menkes/Per/VIII/2010, Direktorat Jenderal PP&PL bertanggung jawab kepada Menteri Kesehatan. Bagan Struktur Organisasi Ditjen PP&PL sesuai SK Menkes 1575/2005dan SK Menkes 439/2009 dapat dilihat pada Gambar1.1 dan Gambar 1.2berikut ini: Gambar 1.1 Bagan Struktur Organisasi Ditjen PP dan PL (1144/MENKES/PER/VIII/2010) 15

17 Gambar 1.2 Sruktur & Foto Dirjen, Sesditjen dan Para Direktur 16

18 II. PENCAPAIAN KEGIATAN PENGENDALIAN PENYAKIT DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN A. SURVEILANS EPIDEMIOLOGI, IMUNISASI, KARANTINA KESEHATAN, DAN KESEHATAN MATRA 1. Surveilans Epidemiologi a. Surveilans AFP (Acute Flaccid Paralysis = Lumpuh Layuh Akut) Salah satu upaya dalam pemberantasan polio adalah dengan melakukan surveilans AFP. Surveilans AFP adalah pengamatan yang dilakukan terhadap semua kasus lumpuh layuh akut (acute flaccid paralysis/afp) pada anak usia < 15 tahun yang merupakan kelompok rentan terhadap penyakit polio, dalam upaya untuk menemukan adanya transmisi polio liar. Tujuan surveilans AFP antara lain mengidentifikasi daerah berisiko terjadinya transmisi virus polio liar, memantau perkembangan program eradikasi polio, dan membuktikan Indonesia bebas polio. Surveilans AFP tersebut dilaksanakan dalam dua hal, surveilans berbasis masyarakat maupun surveilans berbasis rumah sakit. Dalam hal ini, ada dua indikator utama kinerja surveilans AFP sesuai dengan standar sertifikasi yaitu : Non Polio AFP rate minimal 2/ populasi anak usia < 15 th Persentase spesimen adekuat minimal 80% No case/report NP AFP rate < 1 NP AFP rate 1-1,99 NP AFP rate >=2 Gambar 2.A.1.1 Pencapaian Non Polio AFP Rate Per Anak Usia < 15 Tahun Menurut Provinsi Tahun 2012 Non Polio AFP adalah kasus lumpuh layuh akut yang diduga kasus polio sampai dibuktikan dengan pemeriksaan laboratorium bukan kasus Polio. Secara nasional, Non Polio AFP rate pada tahun 2012 telah memenuhi target, yaitu 2,77/ populasi anak < 15 tahun. Namun, ada 1 provinsi yang masih belum mencapai target, yaitu Maluku Utara. 17

19 No case/report Adeq. Spec <60% Adeq. Spec 60-79% Adeq. Spec >=80% Gambar 2.A.1.2 Pencapaian Spesimen Adekuat Menurut Provinsi Tahun 2012 Pada tahun 2012, capaian indikator spesimen adekuat secara nasional telah mencapai target yaitu 89,6%. Ada 3 provinsi yang mencapai 100%, yaitu Sumatera Utara, Bengkulu, dan Maluku. Namun, ada 6 provinsi dengan spesimen adekuat yang masih berada di bawah target. Untuk dapat melihat tren kinerja surveilans AFP selama 5 tahun terakhir, berikut ini adalah gambaran capaian indikator kinerja Surveilans AFP di Indonesia tahun : Grafik 2.A.1.1 Trend Capaian Indikator Kinerja Surveilans AFP di Indonesia Tahun 2008 sd 2012 Dalam 5 tahun terakhir, kinerja surveilans AFP cukup baik. Non Polio AFP rate mampu mencapai target yang ditetapkan dan cenderung meningkat pada setahun terakhir. Untuk spesimen adekuat, indikator tersebut telah mencapai target (> 80%) dan dan mengalami peningkatan pada 5 tahun terakhir. Namun, pencapaian indikator laporan nihil (zero report), baik di Rumah Sakit maupun Puskesmas, selama 5 tahun terakhir masih berada dibawah target (< 90%). 18

20 a. Surveilans Campak Penyakit campak disebabkan oleh virus campak, golongan Paramyxovirus. Campak ditularkan dari orang ke orang melalui droplet (percikan ludah) dan transmisi melalui udara, terutama batuk, bersin, atau sekresi hidung. Kekebalan terhadap campak didapat, baik secara alamiah ketika seseorang telah terkena penyakit campak, maupun secara buatan melalui vaksinasi campak. Untuk pengamatan terhadap penyakit campak tersebut, surveilans yang dilakukan berbasis kasus yang terjadi di masyarakat (Case Based Measles Surveilans/CBMS) Pada tahun 2012, kasus campak yang rutin dilaporkan sebesar kasus. Kasus campak rutin tersebut terbanyak dilaporkan dari provinsi Jawa Barat (4.276 kasus), kemudian Jakarta (4.192 kasus) dan Banten (1.093 kasus). Dari seluruh kasus campak rutin tersebut, ada 4 kasus meninggal, yang dilaporkan dari provinsi Kalimantan Barat (3 kasus) dan Sulawesi Selatan (1 kasus). Gambar 2.A.1.3 Distribusi Kasus Campak Rutin di Indonesia Tahun 2012 Kasus campak tersebut dapat terjadi KLB campak apabila ada 5 atau lebih kasus klinis dalam waktu 4 minggu berturut-turut yang terjadi mengelompok dan dibuktikan adanya hubungan epidemiologi. KLB campak yang terjadi di Indonesia pada tahun 2012 sebesar 160 kejadian, dengan jumlah kasus sebanyak kasus. Frekuensi KLB dan jumlah kasus pada KLB campak mengalami penurunan dibanding tahuntahun sebelumnya. Hal tersebut menunjukkan surveilans campak berjalan baik. 19

21 Grafik 2.A.1.2 Trend Jumlah Kasus Campak Rutin, Frekuensi KLB Campak, dan Jumlah Kasus pada KLB Campak Tahun 2008 sd 2012 Berdasarkan hasil konfirmasi laboratorium, sebagian besar kasus pada KLB adalah positif campak. Pada tahun 2008 dan tahun 2012, kasus campak konfirmasi jumlahnya hampir sama dengan kasus rubella. Namun, pada tahun 2009, kasus rubella justru lebih banyak dibandingkan campak kasus campak. Perbandingan hasil laboratorium KLB campak dapat dilihat pada gambar berikut. Grafik 2.A.1.3 KLB Campak yang Dilaporkan dan Konfirmasi Laboratorium Tahun 2008 sd 2012 Sebagian besar kasus campak menyerang anak-anak usia pra sekolah dan usia SD. Selama periode 5 tahun, kasus campak lebih banyak terjadi pada kelompok umur 5-9 tahun, kemudian kelompok umur yang lebih muda (1-4 tahun). Pada golongan umur yang lebih tinggi (> 14 tahun), kasusnya cenderung meningkat setiap tahunnya. Hal ini disebabkan karena telah terjadi akumulasi kelompok yang rentan terkena campak dari tahun ke tahun. 20

22 Grafik 2.A.1.4 Kasus Campak Rutin Berdasarkan Kelompok Umur Tahun 2008 sd 2012 c. Surveilans Tetanus Neonatorum Status Eliminasi Tetanus Neonatorum adalah ditemukannya kasus Tetanus Neonatorum <1 per kelahiran hidup per tahun per Kabupaten/Kota, dengan catatan yaitu cakupan imunisasi TT2 positif lebih dari 80%, persalinan oleh tenaga kesehatan >70% dan laporan Puskesmas dan Rumah Sakit >80%. Hasil validasi Eliminasi Tetanus Maternal-Neonatal (Maternal Neonatal Tetanus Elimination/ MNTE) tahun 2011 menyimpulkan bahwa regional Jawa-Bali, Sumatera, dan Kalimantan-Sulawesi-Nusa Tenggara telah mencapai Eliminasi Tetanus Neonatal dan Maternal. Untuk regional 4 (Maluku-Papua), belum mendapatkan status eliminasi tersebut. Gambar 2.A.1.4 Distribusi Kasus Tetanus Neonatorum Per Provinsi Tahun 2012 Pada tahun 2012, kasus Tetanus Neonatorum (TN) di Indonesia dilaporkan sebanyak 114 kasus yang tersebar di 20 provinsi. Adapun jumlah meninggal akibat Tetanus Neonatorum tersebut sebanyak 59 kasus. Kasus TN paling banyak terjadi di provinsi Banten (32 kasus) dan Jawa Timur (29 kasus). 21

23 Grafik 2.A.1.5 Kasus Tetanus Neonatorum Berdasarkan Faktor Risiko Tahun 2012 Pemeriksaan kehamilan sebagian besar kasus TN dilakukan oleh bidan/perawat (54%). Namun menurut faktor risiko penolong persalinan, sebagian besar kasus TN justru ditolong oleh penolong persalinan tradisional, misalnya dukun. Untuk pemotongan tali pusat, alat yang digunakan lebih banyak berupa gunting (60%) dibandingkan alat tradisional lain, seperti bambu (26%). Namun, hal tersebut menjadi salah satu faktor risiko terjadinya kasus TN karena alat yang digunakan mungkin tidak steril. Jika dilihat dari status imunisasi, sebagian besar kasus (65%) terjadi pada kelompok yang tidak diimunisasi TT. Lebih lanjut lagi, hubungan antara cakupan TT2+ pada ibu hamil dengan kasus Tetanus Neonatorum selama tahun dapat dilihat dari grafik tersebut. Grafik 2.A.1.6 Cakupan Vaksin TT2+ dengan Kasus Tetanus Neonatorum Tahun 2008 sd

24 Jika dilihat keterkaitannya, hal yang diharapkan adalah trend grafik kasus TN berbanding terbalik dengan cakupan TT2+. Artinya, kasus TN menurun seiring dengan meningkatnya cakupan imunisasi TT2+. Namun berdasarkan grafik tersebut, ada kecenderungan bahwa penurunan cakupan imunisasi TT2+ diikuti pula dengan penurunan kasus TN, dan sebaliknya. Pola keterkaitan tersebut belum bisa disimpulkan karena secara umum cakupan TT2+ masih dibawah target. d. Surveilans Difteri Penyakit difteri disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae yang menyerang sistem pernapasan bagian atas. Untuk pengamatan penyakit tersebut, Surveilans Difteri mulai diintegrasikan dengan Surveilans AFP, Campak, dan Tetanus Neonatorum pada tahun Jumlah kasus difteri pada tahun 2012 sebanyak kasus, dengan jumlah kasus meninggal sebanyak 76 kasus. Dari 18 provinsi yang melaporkan adanya kasus difteri, kasus tertinggi terjadi di Jawa Timur sebanyak 954 kasus (80%), diikuti oleh Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan masing-masing sebanyak 61 kasus (5,1%) dan 50 kasus (4,2%). Gambar 2.A.1.5 Sebaran Kasus Difteri Menurut Provinsi Tahun 2012 e. Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) Penanggulangan KLB < 24 jam merupakan salah satu indikator kinerja dalam Renstra Kementerian Kesehatan yang ditargetkan tercapai 100% pada tahun Target ini ditetapkan secara bertahap mulai tahun 2009 hingga Tahun 2012, capaian indikator penanggulangan KLB < 24 jam sebesar 80,3% dan telah mencapai target yang ditetapkan. 23

25 Grafik 2.A.1.7 Target dan Pencapaian Indikator Penanggulangan KLB < 24 Jam Tahun 2009 sd ) Frekuensi Kejadian Luar Biasa (KLB) Grafik 2.A.1.8 Frekuensi KLB Berdasarkan Provinsi Tahun 2012 Tahun 2012, telah terjadi KLB di seluruh Indonesia. Pada tahun 2012, frekuensi KLB tertinggi terjadi di Jawa Timur (415 kejadian), kemudian diikuti Jawa Timur (171 kejadian) dan Jawa Barat 118 (8.89%). Tingginya KLB di Jawa Timur tersebut sebagian besar adalah KLB Difteri. Secara umum, frekuensi KLB tertinggi masih didominasi oleh provinsi dengan jumlah penduduk yang padat. 24

26 Grafik 2.A.1.9 Frekuensi KLB Berdasarkan Jenis Penyakit Tahun 2012 Selama tahun 2012 beberapa penyakit memiliki frekuensi KLB yang tinggi di beberapa provinsi di Indonesia, yang didominasi penyakit-penyakit endemis. Difteri merupakan KLB yang paling banyak terjadi dengan frekuensi KLB 384 kejadian, kemudian diikuti dengan KLB keracunan pangan (248 kejadian) dan KLB campak (178 kejadian). Hal tersebut berbeda dengan tahun sebelumnya, dengan campak sebagai penyakit dengan frekuensi tertinggi, yang diikuti dengan keracunan pangan dan difteri. Grafik 2.A.1.10 Frekuensi KLB Berdasarkan Bulan Tahun 2012 Distribusi atau frekuensi data menurut waktu sangat penting ditampilkan untuk melihat waktu peningkatan dan penurunan KLB terjadi. Berdasarkan bulan, frekuensi KLB cenderung menurun sampai dengan pertengahan tahun. Namun, terjadi sedikit peningkatan menjelang akhir tahun KLB tertinggi terjadi di awal tahun, bulan Januari 2012 (233 kejadian). 2) Respon Penanggulangan KLB < 24 Jam Beberapa daerah di Indonesia saat ini masih mengalami kejadian luar biasa (KLB). Penanganan yang cepat terbukti mampu mengurangi dampak KLB dengan didukung oleh pelaporan yang cepat. Di bawah ini adalah beberapa analisis yang berhubungan dengan respon KLB. 25

27 Grafik 2.A.1.11 Persentase Lama Waktu KLB Direspon Tahun 2012 Grafik di atas memperlihatkan lama waktu respon sejak terjadi KLB. Dari 1528 KLB, 80,35% KLB dari data tersebut direspon kurang dari 24 jam. Tahun 2012 target KLB yang direspon kurang dari 24 jam adalah 80%. Beberapa kendala yang ditemukan dalam pencapaian target respon KLB kurang dari 24 jam adalah terlambat diketahuinya KLB yang terjadi. Grafik 2.A.1.12 Persentase Respon KLB Berdasarkan Provinsi Tahun 2012 Dari peta di atas tampak bahwa terdapat 4 Propinsi yang berhasil merespon kurang dari 24 jam dari seluruh KLB yang terjadi, yaitu provinsi Kepulauan Riau, Kalimantan Timur, Sulawesi Tenggara, dan Papua Barat sedangkan di beberapa provinsi lain angkanya masih bervariasi. Provinsi yang respon KLB nya kurang dari 24 jam masih dibawah 50% adalah Aceh, Bangka Belitung, NTB, NTT, Papua, Riau dan Sulawesi Tengah. Sedangkan provinsi lain memiliki respon kurang dari 24 jam berkisar antara 50-90%. 26

28 Grafik 2.A.1.13 Persentase Respon KLB Berdasarkan Jenis Penyakit Tahun 2012 Grafik diatas mengambarkan persentase respon KLB berdasarkan 10 jenis penyakit/kejadian terbesar. Dari 10 jenis KLB tersebut, respon kurang dari 24 jam yang tertinggi adalah Keracunan pangan (96,37%), sedangkan KLB yang respon kurang dari 24 jam masih dibawah 50% adalah campak dan chikungunya. Sementara penyakit lainnya sekitar 50%-80% direspon kurang dari 24 jam. Rendahnya angka respon pada penyakit tertentu khususnya penyakit yang endemis di suatu daerah disebabkan adanya kesalahan dalam menetapkan kapan KLB mulai terjadi. Untuk menetapkan kriteria KLB mengacu kepada Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1501 tahun Grafik 2.A.1.14 Persentase Respon KLB Berdasarkan Bulan Tahun

29 Rata-rata respon KLB kurang dari 24 jam berdasarkan bulan adalah 70%, hanya pada bulan Agustus respon KLB kurang dari 24 jam masih dikisaran 50%. Masalah yang mungkin menyebabkan belum tercapainya target respon < 24 jam di beberapa provinsi adalah KLB terjadi di daerah yang sulit sehingga lambat diketahui, dan masih terbatasnya tenaga, anggaran dan untuk penanggulangan. 2. Imunisasi a. Imunisasi Rutin 1) Imunisasi Dasar Bayi Bayi usia kurang dari 1 tahun harus diberikan imunisasi dasar lengkap yang terdiri dari imunisasi Hepatitis B (1 dosis), BCG (1 dosis), DPT-HB (3 dosis), Polio (4 dosis) dan Campak (1 dosis). Jadwal pemberian dari masing-masing jenis imunisasi dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 2.A.2.1 Jadwal Pemberian Imunisasi pada Bayi Usia Jenis Imunisasi yang Diberik an 0-7 Hari Hepatitis B 1 Bulan BCG, Polio 1 2 Bulan DPT-HB 1, Polio 2 3 Bulan DPT-HB 2, Polio 3 4 Bulan DPT-HB 3, Polio 4 9 Bulan Campak Dari sudut pandang program, cakupan imunisasi BCG, HB (< 7 hari) dan DPT-HB1 merupakan indikator bagi jangkauan program, Drop Out/DO (DPT1-DPT3 atau DPT1-Campak) merupakan indikator manajemen program, sedangkan cakupan imunisasi DPT-HB3, Polio4 dan Campak adalah indikator bagi tingkat perlindungan program. Tiap jenis imunisasi tersebut memiliki target cakupan masing-masing. Pencapaian cakupan tiap jenis imunisasi akan disajikan dalam beberapa grafik di bawah ini. Grafik 2.A.2.1 Pencapaian Cakupan Imunisasi HB0 (<7 hari) Per Provinsi Tahun 2012 Cakupan imunisasi HB0 (< 7 hari) secara nasional telah mencapai target ( 80%), yaitu 85,6%. Ada 10 provinsi yang telah mencapai target cakupan. Provinsi dengan 28

30 cakupan imunisasi HB0 (< 7 hari) tertinggi adalah provinsi Jambi (102,4%), sedangkan cakupan terendah adalah provinsi Papua Barat (38,1%). Grafik 2.A.2.2 Pencapaian Cakupan Imunisasi BCG Per Provinsi Tahun 2012 Secara nasional, capaian cakupan imunisasi BCG adalah 99,6%, dan telah mencapai target 95%. Provinsi yang sudah mencapai target sebanyak 14 provinsi, 9 provinsi diantaranya memiliki cakupan imunisasi BCG >100%. Provinsi dengan cakupan imunisasi BCG tertinggi adalah provinsi Jambi (112,7%), sedangkan cakupan terendah ada pada provinsi Papua (75,2%). Grafik 2.A.2.3 Pencapaian Cakupan Imunisasi DPT-HB1 Per Provinsi Tahun 2012 Cakupan imunisasi DPT-HB 1 nasional telah mencapai target ( 95%), yaitu 103%. Dari 21 provinsi telah mencapai target, dua pertiga diantaranya memiliki cakupan >100%. Berdasarkan grafik, provinsi dengan cakupan imunisasi DPT-HB 1 29

31 tertinggi yaitu provinsi Jambi (113,2%), sedangkan cakupan terendah ada pada provinsi Papua (80,3%). Grafik 2.A.2.4 Pencapaian Cakupan Imunisasi BCG, HB0 (<7 hari), dan DPT-HB1 Tahun 2008 sd 2012 Dalam 5 tahun terakhir, baik cakupan imunisasi BCG, HB0 (< 7 hari), maupun DPT- HB1 cenderung mengalami peningkatan. Jangkauan program imunisasi semakin baik dengan semakin meningkatnya capaian cakupan ketiga imunisasi tersebut. Pada tahun 2012, ada peningkatan cakupan ketiga jenis imunisasi tersebut yang cukup signifikan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hal ini karena adanya perubahan data sasaran bayi (0 11 bulan), yang dalam hal ini digunakan sebagai denominator pada perhitungan cakupan. Grafik 2.A.2.5 Pencapaian Cakupan Imunisasi DPT-HB3 Per Provinsi Tahun 2012 Pada tahun 2012, cakupan imunisasi DPT-HB3 nasional telah mencapai target ( 90%), yaitu 100,9%. Sebagian besar provinsi telah mencapai target cakupan imunisasi DPT-HB3, bahkan setengah diantaranya melebihi 100%. Provinsi 30

32 dengan cakupan imunisasi DPT-HB3 tertinggi yaitu provinsi Jambi (112,8%), sedangkan cakupan terendah ada pada provinsi Papua (71,4%). Grafik 2.A.2.6 Pencapaian Cakupan Imunisasi Polio4 Per Provinsi Tahun 2012 Secara nasional, cakupan imunisasi Polio4 telah mencapai target ( 90%) yaitu 100,9%. Sebanyak 25 provinsi telah mencapai target cakupan imunisasi Polio4. Provinsi dengan cakupan imunisasi Polio4 tertinggi yaitu provinsi Jambi (113,7%), sedangkan cakupan terendah adalah provinsi Papua (72,6%). Grafik 2.A.2.7 Pencapaian Cakupan Imunisasi Campak Per Provinsi Tahun 2012 Cakupan imunisasi campak nasional telah mencapai target ( 90%), yaitu 99,3%. Hampir dua pertiga provinsi telah mencapai target cakupan imunisasi campak tersebut. Provinsi dengan cakupan imunisasi campak tertinggi yaitu provinsi Jambi (113,2%), sedangkan cakupan terendah adalah provinsi Papua Barat (72,7%). Dalam 5 tahun terakhir, cakupan imunisasi DPT-HB3, Polio4, dan Campak cenderung mengalami peningkatan dan selalu mencapai target. Namun, pada 31

33 tahun 2012, cakupan imunisasi DPT-HB3, Polio4, dan Campak mengalami peningkatan yang signifikan dibanding tahun sebelumnya dan melebih 100%. Hal ini karena adanya perubahan data sasaran bayi (0 11 bulan), yang dalam hal ini digunakan sebagai denominator pada perhitungan cakupan. Pencapaian cakupan ketiga imunisasi tersebut selama periode dapat dilihat pada gambar berikut. Grafik 2.A.2.8 Pencapaian Cakupan Imunisasi DPT-HB3, Polio4, dan Campak Tahun 2008 sd 2012 Keberhasilan program imunisasi dasar lengkap dapat diukur melalui capaian cakupan imunisasi dasar lengkap pada bayi (0-11 bulan). Cakupan imunisasi dasar lengkap nasional tahun 2012 adalah 86,8% dan telah mencapai target yang ditetapkan yaitu 85%. Dari 33 provinsi, 15 provinsi telah dapat mencapai target tersebut. Provinsi dengan cakupan tertinggi adalah NTB (107,4%), sedangkan provinsi Maluku memiliki cakupan imunisasi dasar lengkap yang terendah (36,5%). Pencapaian cakupan imunisasi dasar lengkap per provinsi pada tahun 2012 dapat dilihat pada gambar berikut. Grafik 2.A.2.9 Pencapaian Cakupan Imunisasi Dasar Lengkap Per Provinsi Tahun

34 Pencapaian cakupan imunisasi dasar lengkap tahun cenderung meningkat setiap tahunnya dan mencapai 90%. Namun, pada tahun 2012, capaian cakupan imunisasi dasar lengkap tersebut mengalami penurunan tetapi tetap dapat mencapai target yang telah ditetapkan. Pada tahun 2012, perhitungan capaian cakupan tersebut telah didasarkan pada catatan kohort bayi. Seorang bayi dapat dikatakan telah mendapat imunisasi dasar lengkap jika telah mendapatkan 5 jenis imunisasi dasar berdasarkan catatan pada kohort bayi. Grafik 2.A.2.10 Pencapaian Cakupan Imunisasi Dasar Lengkap Tahun 2008 sd 2012 Indikator lain yang diukur untuk menilai keberhasilan imunisasi adalah capaian cakupan UCI desa. Universal Child Immunization (UCI) merupakan gambaran dimana 80% dari jumlah bayi yang ada di suatu desa/kelurahan tersebut sudah mendapat imunisasi dasar lengkap. Pada tahun 2014, target cakupan UCI desa adalah 100%, artinya seluruh desa yang ada di Indonesia dapat mencapai UCI. Sebagai upaya pencapaian target tersebut, Kementerian Kesehatan melaksanakan Gerakan Akselerasi Imunisasi Nasional untuk mencapai UCI (GAIN UCI) dengan beberapa strategi, yaitu penguatan Pemantauan Wilayah Setempat (PWS), penyiapan sumber daya, pemberdayaan masyarakat dan pemerataan jangkauan pelayanan. Pencapaian UCI Desa secara nasional pada tahun 2012 belum memenuhi target ( 90%), yaitu 79,3%. Namun demikian, ada 10 provinsi yang telah mencapai target cakupan. Provinsi yang memiliki cakupan UCI desa sangat rendah adalah provinsi Papua Barat (29,6%) dan Papua (16,6%). Salah satu hambatan dalam mencapai UCI desa di kedua provinsi tersebut adalah geografi, dengan letak desa yang terpencil. Pencapaian cakupan UCI desa per provinsi pada tahun 2012 dapat dilihat pada gambar berikut. 33

35 Grafik 2.A.2.11 Pencapaian UCI Desa Per Provinsi Tahun 2012 Selama tahun , terlihat bahwa cakupan UCI desa cenderung mengalami peningkatan. Hal tersebut menunjukkan bahwa upaya GAIN UCI yang dicanangkan sejak tahun 2010 dapat meningkatkan pencapaian cakupan UCI desa dari 68% pada tahun 2009 menjadi 75,3% di tahun Grafik 2.A.2.12 Pencapaian UCI Desa Tahun 2008 sd 2012 Drop out imunisasi terjadi ketika bayi yang seharusnya mendapatkan imunisasi dasar lengkap sesuai dengan jadwal pemberian dan dosis yang dianjurkan, namun ternyata bayi tersebut tidak memperolehnya secara lengkap. Angka Drop Out (DO) merupakan indikator untuk menilai efektivitas program, dihitung berdasarkan persentase penurunan cakupan imunisasi campak terhadap cakupan imunisasi DPT-HB 1. Angka Drop Out yang diharapkan adalah tidak melebihi 5%. Pencapaian angka DO secara nasional pada tahun 2012 telah memenuhi target (5), yaitu 3,6%. Sebanyak 15 provinsi telah mencapai target angka DO. Namun, masih ada beberapa provinsi yang belum memenuhi target. Pencapaian angka Drop Out per provinsi dapat dilihat pada grafik di bawah ini. 34

36 Grafik 2.A.2.13 Angka Drop Out (DPT1-Campak) Tahun 2012 Jika dilihat dari tahun , angka Drop Out menunjukkan kecenderungan yang terus menurun. Angka Drop Out sejak empat tahun terakhir sudah sesuai dengan target yakni 5%. Hal ini berarti kecenderungan bayi tidak mendapat imunisasi lengkap pun semakin menurun. Grafik 2.A.2.14 Pencapaian Angka Drop Out (DPT1-Campak) Tahun 2008 sd ) Imunisasi Anak Sekolah Anak yang telah mendapatkan imunisasi dasar lengkap pada waktu bayi, masih perlu diberikan imunisasi lanjutan pada saat Sekolah Dasar. Imunisasi pada anak sekolah terdiri dari imunisasi Campak dan DT pada siswa kelas 1 dan imunisasi Td pada siswa kelas 2 dan 3. Pemberian imunisasi tersebut dilaksanakan pada bulan Agustus untuk imunisasi Campak dan bulan November untuk imunisasi DT dan Td, dikenal dengan Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS). Tujuan dari BIAS ini adalah untuk memberikan perlindungan jangka panjang bagi anak terhadap penyakit Campak, Difteri, dan Tetanus. 35

37 INDONESIA SULBAR KEPRI PAPUA BARAT BABEL GORONTALO MALUT BANTEN PAPUA MALUKU NTT NTB BALI SULTRA SULSEL SULTENG SULUT KALTIM KALSEL KALTENG KALBAR JATIM DI YOGYAKARTA JATENG JABAR DKI JAKARTA LAMPUNG BENGKULU SUMSEL JAMBI RIAU SUMBAR SUMUT ACEH 93,4 91,3 95,5 75,2 64,8 82,6 93,8 89,0 87,0 92,1 57,9 91,3 99,3 91,8 93,2 95,4 91,1 86,2 95,0 91,3 87,6 97,4 98,1 101,6 91,9 95,6 98,3 92,9 89,3 97,4 94,1 93,5 98,1 90,2 91,7 92,6 96,6 82,5 66,2 82,3 93,8 94,2 82,0 44,0 94,0 58,2 92,9 99,0 91,3 92,4 93,4 90,4 88,0 95,5 99,5 74,2 97,6 98,6 99,0 90,1 92,8 97,9 93,5 89,9 97,2 93,8 94,1 86,0 89,4 58,1 74,1 89,9 89,7 94,0 98,7 84,9 91,8 93,0 94,7 92,9 99,0 90,0 85,5 93,4 91,7 90,8 95,8 93,1 93,2 97,6 96,9 98,9 92,0 92,7 97,4 95,5 94,3 96,7 94,8 91,5 76,9 88,4 0,0 20,0 40,0 60,0 80,0 100,0 120,0 Cakupan Td Cakupan DT Cakupan Campak Grafik 2.A.2.15 Cakupan BIAS Tahun 2012 Cakupan BIAS Campak, DT maupun Td nasional pada tahun 2012 belum mencapai target ( 95%). Cakupan imunisasi campak pada anak sekolah mencapai 91,8%, cakupan DT 91,7%, dan cakupan Td 93,4%. Untuk cakupan imunisasi campak, imunisasi DT, dan imunisasi Td, 6 provinsi telah mencapai target cakupan masing2 imunisasi tersebut, yaitu provinsi Jambi, Lampung, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, dan Bali. Grafik 2.A.2.16 Cakupan BIAS Tahun 2008 sd

38 Cakupan BIAS nasional selama 5 tahun terakhir cenderung mengalami peningkatan. Untuk setiap jenis imunisasi pada anak sekolah tersebut, cakupan pada tahun 2012 lebih tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya. Selain pelaksanaan BIAS menjadi lebih baik, peningkatan ini juga dapat disebabkan oleh semakin meningkatnya kelengkapan laporan BIAS tiap provinsi dari tahun ke tahun. 3) Imunisasi pada Ibu Hamil Salah satu penyakit menular yang menjadi penyebab kematian ibu dan anak adalah tetanus maternal (ibu hamil) dan tetanus neonatal (bayi baru lahir). Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kementerian Kesehatan RI, berkomitmen dalam program Maternal and Neonatal Tetanus Elimination (MNTE), yang merupakan program eliminasi tetanus pada neonatal dan wanita usia subur termasuk ibu hamil. Menurut WHO, tetanus maternal dan neonatal dikatakan tereliminasi apabila hanya terdapat kurang dari satu kasus tetanus neonatal per 1000 kelahiran hidup di setiap kabupaten. Salah satu upaya untuk mencapai eliminasi tersebut adalah pemberian imunisasi TT pada wanita usia subur, termasuk ibu hamil, untuk memberikan perlindungan seumur hidup terhadap penyakit tetanus, termasuk tetanus maternal dan tetanus neonatorum. Perlindungan seumur hidup tersebut dapat diperoleh dengan imunisasi TT sebanyak 5 dosis sesuai dengan interval atau jarak waktu yang dianjurkan. Sampai dengan tahun 2011, telah dilaksanakan Survei Validasi MNTE di 3 regional, yaitu regional Sumatera, regional Jawa-Bali, dan regional Kalimantan-Sulawesi- Nusa Tenggara. Hasil survey tersebut adalah telah tercapainya eliminasi tetanus maternal dan neonatal di 3 regional tersebut. Pada tahun 2012, telah dilaksanakan Survei Pre validasi MNTE di regional Maluku-Papua, dengan hasil bahwa perlu dilakukannya pemberian imunisasi TT2+ pada wanita usia subur (WUS), terutama ibu hamil secara masif. Grafik 2.A.2.17 Pencapaian Cakupan Imunisasi TT2+ pada Ibu Hamil Tahun

39 Cakupan TT2+ ibu hamil secara nasional belum dapat mencapai target ( 80%), yaitu 71,2%. Dari 33 provinsi, ada 8 provinsi yang telah mencapai target, dengan cakupan tertinggi adalah provinsi Jawa Barat (107,6%). Sementara itu, provinsi dengan cakupan terendah adalah Papua (8,6%). Grafik 2.A.2.18 Pencapaian Cakupan Imunisasi TT2+ pada Ibu Hamil Tahun 2007 sd 2011 Selama 5 tahun terakhir, cakupan imunisasi TT2+ pada ibu hamil mengalami penurunan. Namun, pada tahun 2012, cakupan imunisasi TT2+ pada ibu hamil mengalami peningkatan dibanding dua tahun sebelumnya. Dalam periode 5 tersebut, cakupan imunisasi TT2+ bagi ibu hamil belum dapat mencapai target yang telah ditetapkan (80%). Rendahnya cakupan TT2+ ini dapat terjadi karena masih rendahnya penerapan skrining status T sebelum pemberian imunisasi TT pada ibu hamil, sehingga data cakupan TT2+ yang terlaporkan cenderung under reporting. b. Imunisasi Tambahan Imunisasi tambahan adalah imunisasi yang dilakukan atas dasar ditemukannya masalah dari hasil pemantauan atau evaluasi. Pada tahun 2012, telah terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) difteri di provinsi Jawa Timur. Untuk penanggulangan wabah difteri tersebut, Kementerian Kesehatan beserta Dinkes Provinsi Jawa Timur melaksanakan sub Pekan Imunisasi Nasional (sub PIN) Difteri Putaran II secara keseluruhan pada tanggal November 2012 di 19 kabupaten/kota yang terpilih di Jawa Timur. Tujuan sub PIN Difteri tersebut adalah untuk meningkatkan cakupan imunisasi difteri pada anak usia 2 bulan hingga 15 tahun sebesar 95%. Imunisasi difteri tersebut diberikan sesuai golongan umur. Imunisasi DPT-HB diberikan pada bayi umur lebih dari 2 bulan sampai dengan balita umur 36 bulan. Untuk golongan umur lebih dari 3 tahun sampai dengan 7 tahun, imunisasi yang diberikan adalah imunisasi DT. Imunisasi Td diberikan untuk anak-anak dengan golongan umur lebih dari 7 tahun sampai dengan 15 tahun. 38

40 Grafik 2.A.2.19 Pencapaian Cakupan Imunisasi pada Sub PIN Difteri di Jawa Timur Tahun 2012 Untuk keseluruhan provinsi Jawa Timur, cakupan imunisasi pada sub PIN Difteri Jawa Timur telah mencapai target ( 95%) pada ketiga jenis imunisasi tersebut. Untuk masingmasing kabupaten/kota pun, cakupan ketiga jenis imunisasi tersebut telah mencapai target. Namun, di kabupaten Sampang dan Sumenep, cakupan imunisasi DPT-HB masih berada di bawah target, yaitu 92,6% dan 91,9%. 3. Karantina Kesehatan dan Kesehatan Pelabuhan Sebagai bagian dari masyarakat dunia, Indonesia berkewajiban melakukan upaya mencegah terjadinya kedaruratan kesehatan yang meresahkan dunia atau lebih dikenal dengan Public Health Emergency of International Concern (PHEIC) sebagaimana yang diamanatkan dalam International Health Regulation (IHR) Dalam melaksanakan amanat ini Indonesia harus menghormati sepenuhnya martabat, hak asasi manusia dan dasar-dasar kebebasan seseorang dan penerapannya secara universal. IHR 2005 adalah Peraturan Kesehatan Internasional yang disetujui oleh 194 negara anggota WHO dalam sidang World Health Assembly (WHA) Ke-58 pada bulan Mei 2007 dan sudah mulai diberlakukan sejak tanggal 15 Juni Sebagai salah satu negara anggota WHO yang ikut menyetujui ketetapan IHR 2005 tersebut, Indonesia sudah melaksanakannya kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi sejak awal pemberlakuan IHR

41 Implementasi IHR 2005 diawali dengan melakukan assesmen terhadap kapasitas inti yang dimiliki di pintu masuk negara untuk melakukan deteksi, notifikasi dan respon terhadap kejadian yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat. Dalam hal ini Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) merupakan bagian penting khususnya dalam penerapan IHR Sesuai Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2348/Menkes/Per/XI/2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan No.356/Menkes/Per/IV/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Kesehatan Pelabuhan, KKP diklasifikasikan menjadi 4 kelas, yaitu KKP Kelas I, Kelas II, Kelas.III, dan Kelas IV yang didasarkan pada beban kerja di bandara, pelabuhan dan lintas batas darat negara. Jumlah KKP di Indonesia adalah 49 KKP terdiri dari 7 KKP Kelas I, 21 KKP Kelas II dan 20 KKP Kelas III, dan 1 KKP Kelas IV (KKP Yogyakarta), dengan 296 wilayah kerja (wilker) dan 8 Pos Lintas Batas Darat (PLBD). a. Kegiatan Subdit Karantina Kesehatan dan Kesehatan Pelabuhan Tahun 2012 Subdit Karantina Kesehatan dan Kesehatan Pelabuhan sebagai unit koordinasi yang memfasilitasi dan mendukung KKP dalam cegah tangkal penyakit menular di pintu masuk negara. Subdit Karantina Kesehatan dan Kesehatan Pelabuhan mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan teknis, penyusunan NSPK dan bimbingan teknis serta penyiapan evaluasi dan penyusunan laporan karantina kesehatan dan kesehatan pelabuhan (Permenkes No. 1144/Menkes/PER/VIIII/2010). b. Kegiatan Di KKP Berdasarkan tupoksi, KKP berperan dalam mencegah keluar dan masuk (penyebaran) penyakit lintas negara yang mempunyai potensi menimbulkan PHEIC melalui pintu masuk negara (pelabuhan, bandara dan PLBD). Oleh karena itu diperlukan pengawasan, pencegahan dan pengendalian beberapa aspek terkait yakni alat angkut (kapal laut, pesawat, kendaraan darat) dan muatannya (termasuk kontainer); manusia (awak kapal, kapten, personil penerbang dan penumpang); barang; serta lingkungan pelabuhan, bandara, dan PLBD yang dapat berpotensi sebagai faktor risiko. 1) Kedatangan Kapal Selama periode tahun , jumlah kedatangan kapal dari dalam dan luar negeri mencapai kapal. Kapal yang datang dari dalam negeri lebih banyak, yaitu kapal (84,9%) dibandingkan yang datang dari luar negeri, yaitu kapal (15,1%). Adapun kedatangan kapal dari luar negeri terdiri dari kapal (10,2%) berasal dari daerah terjangkit dan kapal (89,8%) berasal dari daerah tidak terjangkit. Pada tahun 2012, jumlah kedatangan kapal dari dalam negeri mengalami peningkatan 23,5% dibanding tahun sebelumnya. Sebaliknya kedatangan kapal dari luar negeri mengalami penurunan. 40

42 800, ,000 Jumlah Kapal (Buah) 600, , , , , , Dari Dalam Negeri 309, , , , ,930 Dari Luar Negeri 85,981 62,976 83,284 83,999 81,553 Grafik 2.A.3.1 Kedatangan Kapal dari Dalam dan Luar Negeri Tahun 2008 sd 2012 Berdasarkan grafik di atas, jumlah kapal yang datang dari dalam negeri selama periode tahun cenderung mengalami peningkatan. Sebaliknya, kedatangan kapal dari luar negeri cenderung menurun. Dalam rangka pengawasan dan pemeriksaan kekarantinaan, kapal-kapal yang datang dari luar negeri perlu mengajukan permohonan Certificate Radio Pratique dan Certificate of Pratique (Free Pratique). Free Pratique adalah sertifikat izin bebas karantina yang diterbitkan terhadap alat angkut yang datang dari luar negeri maupun dari daerah terjangkit, sedangkan Radio Pratique diberikan melalui perantara radio. Free Pratique tersebut diberikan kepada pihak kapal setelah dilakukan pemeriksaan terhadap kapal, awak kapal, muatan, dan dokumen kesehatan lainnya dan dinyatakan bebas dari PHEIC. Tabel 2.A.3.1 Pemberian Free Pratique Untuk Kapal Yang Datang Dari Luar Negeri Tahun Total Pemberian Free Pratique Terjangkit Tdk terjangkit Tidak Diberikan Free Pratique Total Terjangki t Tdk terjangkit Jml % Jml % Jml % Jml % Jml % Jml % , , , , , , , , , , , ,521 99,99 6,144 99,9 74,377 99,

43 Tabel di atas menunjukkan hampir seluruh kapal yang datang dari luar negeri pada periode telah dilakukan pemeriksaan dan diberikan Free Pratique yakni lebih dari 99,9% bahkan pada tahun 2002 mencapai 99,9%. Mulai tahun 2009 sampai dengan tahun 2012, pemberian Free Pratique untuk kapal yang datang dari negara terjangkit meningkat tajam dibanding tahun sebelumnya. Hal ini berkaitan dengan kejadian pandemi Swine Flu (H1N1) dan Avian Influenza di beberapa negara, yang ditetapkan WHO sebagai PHEIC. Namun demikian, masih ada kapal terutama dari negara terjangkit yang tidak diberikan Free Pratique terutama pada tahun yang mencapai lebih dari 60% dari total kapal yang tidak diberikan Free Pratique meskipun angkanya terus menurun di tahun berikutnya bahkan di tahun 2012 hanya sebesar 0,05%. 2) Keberangkatan Kapal Pada periode tahun , jumlah kapal yang berangkat ke dalam dan luar negeri berjumlah kapal, terdiri dari kapal yang berangkat ke dalam negeri sebanyak kapal (81,5%) dan kapal dari luar negeri sebanyak kapal (18,5%). Pada tahun 2012 terjadi peningkatan 23,6% keberangkatan kapal ke dalam negeri dari tahun sebelumnya. Sebaliknya, pada tahun 2012 kapal yang berangkat ke luar negeri justru mengalami penurunan sekitar 5,6% dibanding tahun sebelumnya. Jumlah Kapal (Buah) Ke Dalam Negeri Ke Luar Negeri Grafik 2.A.3.2 Keberangkatan Kapal Ke Dalam dan Luar Negeri Tahun 2008 sd 2012 Berdasarkan grafik di atas, keberangkatan kapal terbanyak merupakan keberangkatan domestik (dalam negeri). Grafik ini juga menunjukkan trend yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Sebaliknya, keberangkatan kapal ke luar negeri justru terus menurun pasca peningkatan tajam pada tahun Kondisi umum pada periode berbanding terbalik pada tahun 2009 dimana jumlah keberangkatan kapal ke dalam negeri mengalami penurunan tetapi keberangkatan ke luar negeri justru meningkat signifikan. 42

44 3) Kedatangan Pesawat Selama periode tahun , jumlah kedatangan pesawat dari dalam dan luar negeri mencapai pesawat, terdiri dari pesawat yang datang dari dalam negeri sebanyak pesawat (85,1%) dan pesawat dari luar negeri sebanyak pesawat (14,9%). Grafik 2.A.3.3 Kedatangan Pesawat Dari Dalam dan Luar Negeri Tahun 2008 sd 2012 Berdasarkan grafik di atas diketahui bahwa kedatangan pesawat terbanyak berasal dari dalam negeri. Dalam 5 tahun terakhir, kedatangan pesawat dari dalam maupun luar negeri tersebut cenderung mengalami peningkatan. Pada tahun 2010, jumlah kedatangan pesawat dari dalam negeri mengalami peningkatan yang signifikan, hampir dua kali lipat. Sebaliknya pesawat yang datang dari luar negeri cendrung stabil di bawah per tahun meski ada peningkatan dari tahun ke tahun. Sehubungan dengan pengawasan kekarantinaan, pesawat yang datang dari luar negeri harus menyerahkan General Declaration (Gendec) kepada petugas terkait. Gendec merupakan suatu dokumen kesehatan yang menginformasikan mengenai kondisi kesehatan pelaku perjalanan di pesawat selama perjalanan internasionalnya dan setiap tindakan penyehatan yang dilakukan. 100,00 Persentase (%) 80,00 60,00 40,00 20,00 41,95 58,05 61,29 38,71 33,09 32,87 36,97 66,91 67,13 63,03 0, Diperiksa Tidak Diperiksa Grafik 2.A.3.4 Pemeriksaan General Declaration (Gendec) Pada Pesawat yang Datang Dari Luar Negeri Tahun 2008 sd

45 Dari pesawat yang datang dari luar negeri selama periode 2008 sd 2012, sebagian besar (lebih dari 60%) yakni pada tahun 2010 sd 2012 dilakukan pemeriksaaan Gendec. Sedangkan pada 2008 sd 2009 hanya separuhnya bahkan kurang (38,7%). 4) Keberangkatan Pesawat Pada periode tahun , jumlah pesawat yang berangkat ke dalam dan luar negeri berjumlah buah, terdiri dari pesawat yang berangkat dengan tujuan ke dalam negeri sebanyak (85,6%) dan pesawat yang berangkat ke luar negeri sebanyak buah (14,4%). Jumlah Pesawat (Buah) Ke Dalam Negeri Ke Luar Negeri Grafik 2.A.3.5 Keberangkatan Pesawat Ke Dalam dan Luar Negeri Tahun 2008 sd 2012 Berdasarkan grafik di atas, sebagian besar keberangkatan pesawat merupakan keberangkatan dalam negeri (domestik) yang mencapai lebih dari 80% pada setiap tahunnya. Pada tahun , keberangkatan pesawat baik dalam maupun luar negeri cenderung lebih sedikit dibandingkan tahun 2010 sd ) Penumpang Kapal/Pesawat Selama periode tahun , jumlah seluruh kedatangan penumpang kapal/pesawat baik dari dalam dan luar negeri adalah orang. Penumpang yang berasal dari luar negeri berjumlah orang (19,6%) sedangkan yang dari dalam negeri berjumlah orang (80,4%) dari total penumpang yang melewati pelabuhan atau bandar udara. 44

46 Grafik 2.A.3.6 Kedatangan Penumpang Kapal/Pesawat dari Dalam Negeri dan Luar Negeri di Seluruh KKP Tahun 2008 sd 2012 Berdasarkan grafik di atas, terlihat bahwa sebagian besar penumpang yang datang berasal dari dalam negeri (domestik). Penumpang yang datang dari luar negeri berjumlah <.20% dari seluruh penumpang yang melewati pelabuhan atau bandar udara Indonesia.. Pada periode , jumlah seluruh penumpang kapal/pesawat yang berangkat baik ke dalam maupun luar negeri adalah orang. Penumpang yang berangkat ke luar negeri berjumlah orang (15%) sedangkan penumpang yang berangkat ke dalam negeri berjumlah orang (85%) Jumlah Penumpang Ke Dalam Negeri Ke Luar Negeri Grafik 2.A.3.7 Keberangkatan Penumpang Kapal/Pesawat Ke Dalam Negeri dan Luar Negeri di Seluruh KKP Tahun 2008 sd

47 Berdasarkan grafik di atas, sebagian besar penumpang adalah penumpang yang berangkat menuju daerah-daerah di dalam negeri (domestik). Penumpang yang berangkat ke luar negeri jumlahnya <.20% dari seluruh penumpang yang melewati pelabuhan atau bandar udara Indonesia tersebut setiap tahunnya. Bagi penumpang yang berangkat ke luar negeri terutama yang menuju ke negara/daerah endemis atau daerah terjangkit penyakit karantina atau terjangkit penyakit yang berpotensi wabah perlu dilakukan vaksinasi internasional untuk melindungi penumpang tersebut dari terjangkitnya penyakit. 6) ABK dan Crew ABK dan Crew adalah faktor risiko yang paling rentan kemungkinan untuk terjangkitnya penyakit yang berpotensi wabah. Kedatangan ABK dan Crew dari daerah terjangkit dan tidak terpantau oleh KKP memiliki risiko yang lebih besar untuk tertular penyakit berpotensi wabah. Bagi ABK dan Crew yang berangkat ke luar negeri dan tidak terpantau oleh KKP juga dianggap sebagai faktor risiko, yaitu bagi daerah tujuan berikutnya apabila mereka terjangkit penyakit potensial wabah. Grafik 2.A.3.8 Keberangkatan dan Kedatangan ABK dan Crew Dari dan Ke Luar Negeri di Seluruh KKP Tahun 2008 sd 2012 Berdasarkan tabel tersebut, dalam 5 tahun terakhir, jumlah ABK dan Crew yang datang dari luar negeri tidak berbeda jauh dengan yang berangkat ke luar negeri, kecuali pada tahun Pada tahun 2012, ABK dan Crew yang datang dari luar negeri sebanyak 43,2% sedangkan yang berangkat ke luar negeri sebanyak 56,8%. Dalam rangka mencegah keluar masuknya penyakit karantina dan penyakit yang berpotensi wabah, kepada para ABK dan Crew yang akan berangkat ke luar negeri yang merupakan daerah terjangkit perlu dilakukan Vaksinasi Internasional dan selanjutnya diberikan Sertifikat Vaksinasi Internasional (ICV). 46

48 7) Dokumen Kesehatan Kapal Dokumen kesehatan kapal yang diberikan pada kapal-kapal yang diperiksa adalah Deratting Certificate (DC)/Deratting Exemption Certificate (DEC). Kedua dokumen tersebut berkaitan dengan pemeriksaan tanda-tanda kehidupan tikus di kapal. Namun, sejak bulan Desember 2007, DC/DEC sudah tidak diberlakukan lagi dan digantikan dengan dokumen berupa Ship Sanitation Control Exemption Certificate (SSCEC)/Ship Sanitation Control Certificate (SSCC). Ship Sanitation Control Exemption Certificate (SSCEC) adalah sertifikat yang diterbitkan oleh Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) setelah dilakukan pemeriksaan secara menyeluruh pada kapal dan terbukti bahwa kapal bebas dari penyakit menular dan kontaminasi, termasuk vektor dan reservoir tanpa dilakukan tindakan sebelumnya. Sedangkan Ship Sanitation Control Certificate (SSCC) adalah sertifikat yang dikeluarkan oleh Kantor Kesehatan Pelabuhan sebagai bukti tidak ditemukannya risiko kesehatan masyarakat, sumber penyakit menular, dan kontaminasi di kapal setelah dilakukan tindakan penyehatan. SSCEC dan SSCC berlaku paling lama enam bulan, masa berlakunya dapat diperpanjang satu bulan bila inspeksi atau tindakan pengendalian yang diperlukan tidak dapat dilakukan pada pelabuhan tersebut Hasil Pemeriksaan Kapal SSCC SSCEC Grafik 2.A.3.9 Penerbitan SSCEC dan SSCC Oleh KKP Tahun 2008 sd 2012 Berdasarkan grafik di atas, jumlah Penerbitan SSCEC/SSCC oleh KKP selama tahun cenderung mengalami peningkatan kecuali pada tahun 2009 terjadi penurunan sekitar 9% dari tahun sebelumnya. Sebagian besar dokumen yang diberikan adalah SSCEC, yang setiap tahunnya lebih dari 90% yang berarti pula bahwa sebagian besar kapal bebas dari penyakit menular dan kontaminasi, termasuk vektor dan reservoir tanpa dilakukan tindakan sebelumnya. 47

49 Setiap kapal yang berlayar di perairan Indonesia harus memiliki buku kesehatan kapal. Penerbitan buku kesehatan kapal diberlakukan terhadap kapal yang belum memiliki dokumen kesehatan, baik karena baru pertama kali datang ke Indonesia, kapal baru, ganti nama maupun jika buku kesehatan kapal yang lama telah habis lembarannya. 25,000 21,752 23,235 20,000 18,329 Jumlah (Buku) 15,000 10,000 13,392 11,030 5, Grafik 2.A.3.10 Pemberian Buku Kesehatan Kapal Oleh KKP Tahun 2008 sd 2012 Berdasarkan grafik di atas, pemberian buku kesehatan kapal selama tahun cenderung mengalami peningkatan kecuali pada tahun 2009 dimana buku kesehatan kapal yang diberikan mengalami penurunan. Hal tersebut sejalan dengan penurunan kapal yang keluar/masuk wilayah Indonesia karena terkait kejadian pandemi Swine Flu (H1N1) di beberapa negara. 8) Kunjungan Poliklinik KKP Grafik 2.A.3.11 Jenis Penyakit Tertinggi Dalam Kunjungan Poliklinik di KKP Seluruh Indonesia Tahun 2008 sd

50 Berdasarkan data kunjungan pasien di poliklinik KKP tahun , jumlah pasien yang datang cendrung mengalami peningkatan terutama pada tahun 2010 ( ) meski pada tahun 2012 mengalami penurunan signifikan di banding tahun-tahun sebelumnya ( ). Sedangkan berdasarkan distribusi kelompok pasien/klien yang datang berobat cendrung berbeda setiap tahunnya. Namun demikian dari grafik di atas menunjukkan bahwa sebagian besar pasien yang datang berobat adalah karyawan dan pengantar/penjemput. 4. Kesehatan Matra a. Kesehatan Penyelaman dan Hiperbarik Terdapat lebih dari 1 juta nelayan peselam di Indonesia, dan sebagian besar adalah nelayan peselam tradisional (peselam alam). Dapat dipastikan bahwa peselam alam biasanya kurang memperhatikan dengan hal-hal yang berhubungan dengan keselamatan dan kesehatan pekerjaannya. Fenomena ini sering terjadi di daerah kepulauan yang banyak memiliki sumberdaya manusia sebagai peselam alam, dimana dengan keterbatasan pengetahuan sering terjadi kecelakaan akibat penyelaman. Terjadinya kesakitan, kecacatan dan kematian pada masyarakat peselam tradisional di Indonesia dapat berupa ketulian akibat kerusakan gendang telinga dan infeksi telinga bagi penyelam tahan nafas. Kelumpuhan dapat diakibatkan karena penyakit dekompresi berat bagi peselam yang menggunakan kompresor, bahkan dapat menyebabkan kematian. Masyarakat penselam sebagian besar merupakan masyarakat dengan tingkat ekonomi dan pendidikan yang rendah, sehingga belum mengetahui pentingnya kesehatan penyelaman. Sampai saat ini para peselam tradisional pada umumnya belum memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai, dimana para peselam tersebut merupakan kepala keluarga yang menghidupi banyak anggota keluarganya sehingga bila sakit atau lumpuh, maka kehidupuan anggota keluarga menjadi terancam. Sebaliknya bila para penyelam ini produktif maka kehidupan ekonomi mereka menjadi terjamin. Data kesehatan penyelaman yang tersedia sampai saat ini adalah data yang diambil langsung dari lokasi penyelaman melalui kegiatan survei yang dilakukan Sub Dit Kesehatan Matra sejak tahun 2004, sedangkan laporan rutin belum dilaksanakan oleh daerah. Data kesehatan penyelaman ini sebagian besar adalah data peselam tradisional yang diambil dari wilayah yang berbeda pada setiap tahunnya. 1) Jumlah Peselam Pada tahun 2012 dilakukan survei pada 112 penyelam tradisional. Jumlah terbanyak peselam yang disurvei dalam 5 tahun terakhir adalah pada tahun

51 Grafik 2.A.4.1 Jumlah Peselam yang Dilakukan Survei Tahun 2008 sd 2012 Grafik di atas menunjukkan jumlah responden yang disurvei terkait kegiatan kesehatan penyelaman pada setiap tahunnya mengalami fluktuasi dan kecendrungan menurun. Hal ini disebabkan wilayah yang disurvei setiap tahunnya berbeda-beda. 2) Penyuluhan pada Peselam Grafik 2.A.4.2 Peselam yang Pernah Mendapatkan Penyuluhan Tentang Kesehatan Penyelaman Tahun 2008 sd

52 Grafik di atas menunjukkan bahwa pada tahun 2012 peselam yang sudah mendapatkan penyuluhan tentang kesehatan dan prosedur penyelaman standar sebelum melakukan kegiatan penyelaman baik dari instansi pemerintah maupun swasta hanya 9,2 %. Dari tahun terlihat bahwa para peselam tradisional yang belum pernah mendapatkan penyuluhan diatas 80%. 3) Teknik Penyelaman 100% 80% 60% 40% 20% 0% Scuba Compresor Tahan Nafas Grafik 2.A.4.3 Teknik yang Digunakan Peselam Dalam Kegiatan Penyelaman Tahun 2008 sd 2012 Grafik di atas menunjukkan bahwa sebagian besar peselam tradisional dalam melakukan kegiatan penyelaman menggunakan teknik tanpa alat (tahan nafas) dan sebagian lainnya menggunakan compresor, sedangkan scuba digunakan para peselam profesional (pemandu wisata). Umumnya kompresor yang digunakan para peselam adalah compresor yang konvensional (kompresor tambal ban). Pada tahun 2012 lebih dari 95% masih menggunakan kedua teknik tahan nafas dan compresor. 4) Keluhan pada Peselam Grafik 2.A.4.4 Keluhan yang Dialami Peselam Dalam Kegiatan Penyelaman Tahun 2008 sd 2012 Berdasarkan grafik di atas diketahui bahwa sebagian besar peselam mengalami keluhan setelah melakukan kegiatan penyelaman. Sepanjang 5 tahun terakhir, 51

53 keluhan pasca kegiatan penyelaman sangat tinggi bahkan pada tahun 2012 mencapai 92,2%. Hal ini kemungkinan disebabkan teknik penyelaman yang digunakan yakni tradisonal (tanpa alat). 5) Jenis Keluhan yang Dialami Peselam Dalam Kegiatan Penyelaman Grafik 2.A.4.5 Jenis Keluhan yang Dialami Peselam Tahun 2012 Grafik di atas menunjukkan bahwa terdapat 11 jenis keluhan yang dialami dalam kegiatan penyelamannya. Keluhan terbanyak adalah pusing yang mencapai 19,4% dan keluhan paling jarang adalah hilang kesadaran/pingsang (0,3%) Tabel 2.A.4.1 Jenis Keluhan yang Dialami Peselam Tahun 2008 sd 2012 No. Keluhan Tahun Penglihatan berkurang Kelumpuhan Hilang kesadaran Gigitan binatang Sakit dada/sesak Gatal/bercak merah di kulit 7 Perdarahan hidung Nyeri sendi/otot Pendengaran berkurang Pusing/sakit kepala Lelah Total

54 Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa selama periode ditemukan bahwa hampir semua peselam mengalami lebih dari satu macam keluhan sehingga jumlah keluhan lebih banyak daripada jumlah peselam yang disurvei. Keluhan terbanyak yang dialami adalah sakit kepala/pusiang, pendengaran berkurang, Sakit dada/sesak, Nyeri sendi/otot dan perdarahan hidung. 6) Pencarian Pengobatan Grafik 2.A.4.6 Pencarian Pengobatan Pertama Setelah Menderita Keluhan Tahun 2007 sd 2011 Grafik di atas menunjukkan bahwa pada tahun 2011 peselam yang menderita keluhan melakukan penyelaman kembali (rekompresi basah) untuk mengobati keluhan yang diderita. Dari tahun sebagian besar peselam berupaya melakukan/mencari pengobatan baik ke fasilitas kesehatan maupun diobati sendiri (beli obat di warung). Grafik 2.A.4.7 Tempat Pencarian Pengobatan Tahun 2008 sd

55 Grafik di atas menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun sebagian peselam besar mencari pengobatan ke fasilitas kesehatan khususnya pada tahun 2008, 2010, dan Sedangkan pada tahun 2009 dan 2012 pengobatan tradisional juga menjadi alternatif yang banyak dilakukan dalam mengatasi keluhan/penyakit pasca kegiatan penyelaman. Peselam yang menggunakan fasilitas chamber hanya sedikit sekali hal ini disebabkan karena ketidaktahuan peselam tentang pengobatan yang tepat untuk penyakit akibat penyelaman dan masih mahalnya biaya untuk menggunakan fasilitas chamber. b. Kesehatan Transmigrasi Paradigma baru program transmigrasi tidak lagi merupakan program pemindahan penduduk, melainkan upaya untuk pengembangan wilayah. Metodenya tidak lagi bersifat sentralistik dan top down dari Pusat, melainkan berdasarkan Kerjasama antar daerah pengirim transmigran dengan daerah penerima transmigran. Penduduk setempat semakin diberi kesempatan besar untuk menjadi Transmigran Penduduk Setempat (TPS), proporsinya hingga mencapai 50:50 dengan Transmigran Penduduk Asal (TPA). Kegiatan kesehatan transmigrasi merupakan upaya kesehatan yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan fisik, mental dan sosial untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berubah mulai dari daerah asal sampai dengan minimal 6 bulan setelah berada di lokasi. Dalam rangka mencegah terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit potensial KLB (campak, malaria, diare) di lokasi tranmigrasi maka perlu adanya kader kesehatan di lokasi transmigrasi diberi pengetahuan (diberikan pelatihan) tentang penyakit potensial KLB (gejala, pertolongan pertama, pencegahan) agar dapat melakukan Sistem Kewaspadaan Dini (SKD-KLB) di wilayahnya. Oleh karena itu dilakukan pendampingan petugas di lokasi transmigrasi dalam rangka upaya peningkatan kesehatan di bidang PP dan PL yang meliputi kegiatan penyuluhan kesehatan, pembentukan kader, koordinasi lintas program dan lintas sektor serta pengumpulan data dasar. Dari data sekunder dapat diperoleh gambaran situasi di lokasi transmigrasi (Penduduk, Pola penyakit, Sarana kesehatan, Sanitasi lingkungan dan Tenaga Kesehatan). Sampai saat ini pembinaan kesehatan dilaksanakan di lokasi transmigrasi yang baru (tahun pertama/t1) dimana pada umumnya di lokasi transmigrasi sudah tersedia bangunan fasilitas kesehatan (Puskesmas pembantu). Pada tahun 2012, pembinaan kesehatan dilakukan di 5 lokasi transmigrasi di 5 provinsi yaitu Maluku Utara, Gorontalo, Bangka Belitung, Jambi dan Kalimanta Barat 54

56 Grafik 2.A.4.8 Jumlah KK, Jiwa dan Lokasi Transmigrasi yang dikunjungi Tahun 2008 sd 2012 Berdasarkan grafik di atas diketahui bahwa kunjungan di lokasi transmigrasi cenderung stabil kecuali pada tahun 2008 dilakukan di 9 provinsi. Grafik juga menggambarkan jumlah penduduk di masing-masing wilayah trasmigrasi yang dikunjungi. 55

57 B. PENGENDALIAN PENYALIT MENULAR LANGSUNG 1. Tuberkulosis a. Angka prevalensi, insidensi dan mortalitas Tabel 2.B.1.1 Estimasi Insidensi, Prevalensi dan Mortalitas TB Tahun 1990, 2011 dan 2012 Kasus TB Tahun 1990 Tahun Insiden Tuberkulosis N.A Prevalensi Tuberkulosis Mortalitas N.A Sumber : Global Tuberculosis Control WHO Report 2011 Tabel 2.B.1.1 di atas memperlihatkan estimasi prevalensi, insidens, dan mortalitas TB yang dinyatakan dalam penduduk tahun 1990 dan 2011 berdasarkan hasil perhitungan WHO dalam WHO Report 2011 Global Tuberculosis Control.Sedangkan prevalensi TB 2012, menggunakan perhitungan Pemodelan Matematika untuk Estimasi Epidemi TB di Indonesia, sedangkan insidens dan mortalitas TB belum dapat dikeluarkan menunggu hasil perhitungan WHO. Angka insidens semua tipe TB tahun 2011 dan 2012 sebesar 189 per penduduk mengalami penurunan dibanding tahun 1990 (343 per penduduk), angka prevalensi berhasil diturunkan hampir setengahnya pada tahun 2011 (214 per penduduk) dan 213 per penduduk pada tahun 2012 dibandingkan dengan tahun 1990 (423 per penduduk). Sama halnya dengan angka Mortalitas yang berhasil diturunkan lebih dari separuhnya pada tahun 2012 (27 per penduduk) dibandingkan tahun 1990 (51 per penduduk).hal tersebut membuktikan bahwa Program pengendalian TB berhasil menurunkan insidens, prevalensi dan mortalitas akibat penyakit TB. b. Angka penjaringan suspek (suspect evaluation rate) Adalah jumlah suspek yang diperiksa dahaknya di antara penduduk pada suatu wilayah tertentu dalam satu tahun. Angka penjaringan suspek ini digunakan untuk mengetahui upaya penemuan pasien dalam suatu wilayah tertentu, dengan memperhatikan kecenderungannya dari waktu ke waktu (triwulan/tahunan). 56

58 Grafik 2.B.1.1 Angka Penjaringan Suspek Tahun 2005 sd 2012 Berdasarkan grafik 2.B.1.1, angka penjaringan suspek secara umum menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun, meskipun pada tahun 2009 terjadi penurunan. Pada tahun 2009 angka penjaringan suspek menurun sebesar 7 per penduduk dibandingkan dengan tahun Peningkatan penjaringan suspek kembali terjadi pada tahun 2010 dan 2011 angka ini terjadi peningkatan sebesar 57 per penduduk (2010) dan 63 per penduduk (2011), untuk tahun 2012 terjadi penurunan sebesar 1 per penduduk yang diakibatkan masih ada provinsi yang belum mengirimkan data secara lengkap dan diharapkan pada akhir Maret 2013 akan meningkat.peningkatan penjaringan suspek terjadi karenameningkatnya jumlah rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lain yang terlibat DOTS berkontribusi terhadap peningkatan jumlah kasus yang ternotiifikasi termasuk juga jumlah suspek. Berdasarkan grafik 2.B.1.2 dibawah ini, angka penjaringan suspek per provinsi pada tahun 2012 menunjukkan capaian 430 sampai dengan per penduduk, tertinggi Sulawesi Utara dan terendah Riau. Provinsi yang mempunyai kontribusi peningkatan penjaringan suspekyang signifikan di tahun 2012 adalah Sulawesi Barat, Sulawesi Utara, Gorontalo, NTT, NTT, Sumatera Selatan, Bengkulu, Banten, NAD, DKI Jakarta, Kalimantan Timur, Maluku Utara dan Papua. 57

59 Grafik 2.B.1.2 Angka Penjaringan Suspek per Provinsi Tahun 2011 sd 2012 c. Proporsi pasien baru BTA positif diantara suspek yang diperiksa (positivity rate) Adalah presentase pasien baru BTA positif yang ditemukan di antara seluruh suspek yang diperiksa dahaknya. Angka ini menggambarkan mutu dari proses penemuan sampai diagnosis pasien, serta kepekaan menetapkan kriteria suspek. Angka proporsi pasien baru TB paru BTA positif diantara suspek yang diperiksa ini sekitar 5 sd 15%. Angka ini bila terlalu kecil (<5%) kemungkinan disebabkan antara lain karena penjaringan suspek terlalu longgar, banyak orang yang tidak memenuhi kriteria suspek, atau ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium (negatif palsu). Sedangkan bila angka ini terlalu besar (>15%) kemungkinan disebabkan antara lain karena penjaringan terlalu ketat atau ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium (positif palsu). Berdasarkan grafik 1.3, proporsi pasien baru BTA positif di antara suspek yang diperiksa dahak tahun 2007 sd 2011 masih dalam range target yang diharapkan yaitu (5-15%). Pada tahun 2007 sd 2011, proporsi pasien baru BTA positif diantara suspek yang terendah tahun 2012 (10%) sedangkan yangtertinggi tahun 2007 (12%). 58

60 Grafik 2.B.1.3 Proporsi Pasien TB Paru BTA Positif di Antara Suspek yang Diperiksa (Positivity Rate) Tahun 2005 sd 2012 Grafik 2.B.1.4 Proporsi Pasien TB Paru BTA Positif di Antara Suspek yang Diperiksa (Positivity Rate) per Provinsi Tahun 2011 sd 2012 Meskipun proporsi nasional pasien baru BTA positif diantara suspek yang diperiksa dahaknya mencapai hasil yang diharapkan berkisar yaitu 5 sd 15%, namun beberapa provinsi memiliki angka yang belum sesuai dengan yang diharapkan. Sebagaimana terlihat pada grafik 2.B.1.4, provinsi yang angkanya melebihi angka proporsi 15% di tahun 2012 dan 2011 adalah Maluku Utara. Hal ini menunjukan bahwa penjaringan kasus di provinsi tersebut terlalu ketat atau 59

61 ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium (positif palsu). Hasil pemeriksaan laboratorium dapat dilihat dari hasil pemantapan mutu eksternal (error rate). d. Proporsi pasien baru BTA positif di antara semua kasus Adalah presentase pasien baru BTA positif diantara semua pasien TB paru tercatat. Indikator ini menggambarkan prioritas penemuan pasien TB yang menular diantara seluruh pasien TB paru yang diobati. Angka ini diharapkan tidak lebih rendah dari 65%. Karena akan menunjukan mutu diagnosis yang rendah, dan kurang memberikan prioritas untuk menemukan pasien yang menular (pasien BTA Positif). Grafik 2.B.1.5 Proporsi BTA positif di antara seluruh kasus tahun 2005 sd 2012 Berdasarkan grafik 2.B.1.5 diatas, proporsi pasien baru BTA positif di antara seluruh kasus dari tahun 2007 sd 2012, yang terendah pada tahun 2009 (57%) sedangkan tertinggi pada tahun 2007 dan 2011 (62%). Sejak tahun 2007 sampai dengan 2012, angka ini masih berada di bawah target yang diharapkan meskipun tidak terlalu jauh berada di bawah target. Hal ini mengindikasikan bahwa kurang memberikan prioritas menemukan kasus BTA positif. 60

62 Grafik 2.B.1.6 Proporsi pasien TB paru BTA positif di antara seluruh kasus Tahun 2011 sd 2012 Grafik 2.B.1.6 diatas menggambarkan capaian proporsi pasien baru TB paru BTA positif diantara seluruh kasus dari tahun 2010 sd 2012, pada tahun 2012 capaian yang tertinggi adalah Provinsi Sulawesi Tenggara (94%) dan terendah Provinsi DKI Jakarta (33%). Provinsi yang memiliki pencapaian di bawah target (<65%) adalah Jawa Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Banten, Kepulauan Riau, Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali, D.I. Yogyakarta, Papua, dan Papua Barat. e. Angka notifikasi kasus atau case notification rate (CNR) Adalah angka yang menunjukkan jumlah pasien baru yang ditemukan dan tercatat diantara penduduk di suatu wilayah tertentu. Angka ini apabila dikumpulkan serial akan menggambarkan kecenderungan penemuan kasus dari tahun ke tahun di wilayah tersebut. Angka ini berguna untuk menunjukkan kecenderungan (trend) meningkat atau menurunnya penemuan pasien pada wilayah tersebut. 61

63 Grafik 2.B.1.7 Angka Notifikasi Kasus BTA Positif dan Seluruh Kasus per Penduduk Tahun 2005 sd 2012 Berdasarkan grafik 2.B.1.7, angka notifikasi kasus baru TB paru BTA positif dan semua kasus dari tahun 2007 sd 2012 mengalami peningkatan. Angka notifikasi kasus barubta positif dan semua kasus tertinggi pada tahun 2011 dan terendah pada tahun 2007 (untuk kasus baru BTA positif), tahun 2012 tercatat masih 135 per penduduk diharapkan akan menunjukkan peningkatan yang signifikan. Grafik 2.B.1.8 Angka Notifikasi Kasus (case notification) Kasus Baru TB Paru BTA Positif Tahun 2011 sd

64 Berdasarkan grafik 2.B.1.8, angka notifikasi atau case notification (CNR) kasus baru BTA positif per provinsi tahun 2012 secara nasional terjadi penurunan dibandingkan dengan tahun2011. Berdasarkan angka capaian tahun 2012, bervariasi antara 34 per penduduk dan 251 per penduduk. Provinsi dengan angka capaian tertinggi adalah Sulawesi Utara sedangkan yang terendah D.I.Yogyakarta. Beberapa provinsi ada yang mengalami penurunan yaitu D.I. Yogyakarta, Sumatera Selatan, Papua Barat, NAD, Bangka Belitung, Bengkulu, Jambi, dan Sumatera Utara. Grafik 2.B.1.9 Angka Notifikasi Kasus (case notification) Seluruh Kasus Tahun 2011 sd 2012 Grafik 2.B.1.9 memperlihatkan, angka notifikasi semua kasus secara nasional pada tahun 2011 (133 per penduduk) meningkat dibandingkan dengan tahun 2010 (129 per penduduk) sedangkan pada tingkat provinsi beberapa provinsi mengalami penurunan yaitu Provinsi Maluku, Jawa Barat, Riau, Papua Barat, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Jawa Tengah dan Kalimantan Tengah.Berdasarkan angka capaian tahun 2012, bervariasi antara 74 per penduduk ( D.I. Yogyakarta) dan 303 per penduduk (Papua) f. Proporsi kasus TB anak di antara seluruh kasus Adalah persentase pasien TB anak (0-14 tahun) diantara seluruh pasien TB tercatat. Angka ini sebagai salah satu indikator untuk menggambarkan ketepatan dalam mendiagnosis TB pada anak. Angka ini berkisar 8-12% pada angka maksimal 15%. Bila angka ini terlalu besar dari 15%, kemungkinan terjadi overdiagnosis. Pada tahun 2007, pencatatan dan pelaporan program TB belum mempunyai format yang memuat variabel anak secara rinci sehingga kasus TB anak pada tahun tersebut tidak terlaporkan. 63

65 Berdasarkan grafik 2.B.1.10, proporsi TB Anak diantara semua kasus dari tahun 2008 sd 2012 berada dalam batas normal, namun apabila dilihat pada tingkat provinsi (grafik 2.B.1.10), menunjukkan proporsi yang sangat bervariasi dari 1,6% sampai 15%. Target sekitar 15% Grafik 2.B.1.10 Proporsi Kasus TB Anak di Antara Seluruh Kasus Tahun 2011 sd 2012 Grafik 2.B.1.10 diatas menunjukkan bahwa pada tahun 2012 terdapat variasi proporsi TB anak dibanding semua kasus yang diobati baik pada tahun 2011 maupun tahun Perbedaan proporsi TB anak antara tahun 2011 dengan 2012 tidak begitu berbeda jauh kecuali beberapa provinsi seperti Banten, Kepri, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Kalimantan Selatan. Provinsi-provinsi tersebut menujukan penurunan proporsi kasus TB anak.pada tahun 2012, provinsi dengan proporsi lebih dari 15% adalah Papua.Hal ini mengindikasikan adanya kemungkinan over-diagnosis. Provinsi dengan proporsi <5% adalah Sulawesi Tenggara, Aceh, Gorontalo, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, Sulawesi Utara, Sumatera Selatan, Jambi, Kepri, Kalimantan Barat, NTB dan Jawa Timur. Hal ini mengindikasikan kemungkinan adanya under-diagnosis dan underreporting terutama kasus TB anak yang diterapi di rumah sakit. g. Angka penemuan kasus atau case detection rate (CDR) Adalah presentase jumlah pasien baru BTA positif yang ditemukan dan diobati dibandingkan dengan jumlah pasien baru BTA positif yang diperkirakan ada dalam wilayah tersebut.case Detection Rate menggambarkan cakupan penemuan pasien baru BTA positif pada wilayah tersebut.perkiraan jumlah pasien baru TB BTA positif diperoleh berdasarkan perhitungan angka insidens kasus TB paru BTA positif dikalikan dengan jumlah penduduk. Target Case Detection Rate Program Penanggulangan Tuberkulosis Nasionaldalam RPJMN tahun 2012 adalah minimal 80%. 64

66 100% 80% 67,7% 75,7% 69,8% 72,8% 73,1% 78,3% 83,5% 82,4% 60% 40% 20% 0% Target RPJMN : minimal 80% Grafik 2.B.1.11 Angka Penemuan Kasus atau case detection rate (CDR) Tahun 2005 sd 2012 Grafik 2.B.1.11, menggambarkan angka penemuan kasus TB tahun meningkat secara signifikan dengan pencapaian sebesar 83,48% pada tahun 2011 sedangkan untuk tahun 2012 capaian penemuan kasus TB paru BTA positif masih lebih rendah dibandingkan tahun 2011 (82,4%) namun angka tersebut sudah memenuhi target RPJMN (80%). h. Angka konversi atau convertion rate Angka konversi adalah presentase pasien baru BTA positif yang mengalami perubahan menjadi BTA negatif setelah menjalani masa pengobatan intensif. Indikator ini berguna untuk mengetahui secara cepat hasil pengobatan dan untuk mengetahui apakah pengawasan langsung menelan obat dilakukan dengan benar. Angka ini dihitung dengan cara mereview seluruh kartu pasien baru BTA positif yang mulai berobat dalam 3 sd 6 bulan sebelumnya, kemudian dihitung berapa diantaranya yang hasil pemeriksaan dahak negatif, setelah pengobatan intensif (2 bulan). Angka minimal yang harus dicapai adalah 80%. 65

67 Grafik 2.B.1.12 Angka Konversi atau Convertion Rate di Indonesia Tahun 2005 sd 2012 Grafik 2.B.1.12 menunjukan bahwa angka konversi tahun 2007 sd 2012 memperlihatkan angka konversi yang tidak jauh berbeda, terjadi penurunan tetapi angka ini masih di atas target yang diharapkan (80%). Target: minimal 80% Grafik 2.B.1.13 Angka Konversi atau Convertion Rate per Provinsi di Indonesia Tahun 2011 sd

68 Berdasarkan grafik 2.B.1.13, angka konversi per provinsi tahun 2012 dibandingkan dengan tahun 2011 terlihat tidak berbeda jauh, beberapa provinsi terlihat mengalami peningkatan dan sebagian lain mengalami penurunan yang cukup besar yaitu Provinsi Sumatera Barat, Riau, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Bengkulu, Babel, Jambi, Lampung, Kepri, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Maluku Utara, DKI Jakarta, Jawa Timur, DI Yogyakarta, NTT, NTB, Bali, Maluku, Sulawesi Selatan, Papua Barat dan Kalimantan Barat. i. Angka kesembuhan atau cure rate dan angka keberhasilan pengobatan atau success rate Angka kesembuhan (CR) adalah angka yang menunjukkan presentase pasien baru TB paru BTA positif yang sembuh setelah selesai masa pengobatan, diantara pasien baru BTA positif yang tercatat. Angka minimal yang harus dicapai adalah 85%. Angka kesembuhan digunakan untuk mengetahui hasil pengobatan. Walaupun angka kesembuhan telah mencapai 85%, hasil pengobatan lainnya tetap perlu diperhatikan, yaitu berapa pasien dengan hasil pengobatan lengkap, meninggal, gagal, default, dan pindah. Angka default tidak boleh lebih dari 5%, karena akan menghasilkan proporsi pasien pengobatan ulang yang tinggi di masa yang akan datang yang disebabkan karena penanggulangan TB yang tidak efektif. Peningkatan kualitas penanggulangan TB akan menurunkan proporsi kasus pengobatan ulang antara 10 sd 20 % dalam beberapa tahun. Sedangkan angka pengobatan gagal untuk pasien baru BTA positif tidak boleh 2% untuk daerah yang belum ada masalah resistensi obat, dan tidak boleh 10% untuk daerah yang sudah ada masalah resistensi obat. Angka keberhasilan pengobatan (SR) menunjukkan presentase pasien baru TB paru BTA positif yang menyelesaikan pengobatan (baik yang sembuh maupun pengobatan lengkap)diantara pasien baru TB paru BTA positif yang tercatat. Dengan demikian angka ini merupakan penjumlahan dari angka kesembuhan dan angka pengobatan lengkap. Angka ini berguna untuk menunjukkan kecenderungan (trend) meningkat atau menurunnya penemuan pasien pada wilayah tersebut. Angka ini dapat dihitung dengan cara mereview seluruh kartu pasien baru BTA positif yang mulaiberobat dalam 9 sd 12 bulan sebelumnya, kemudian dihitung berapa diantaranya yang sembuh setelah selesai pengobatan.oleh karena itu, pasien yang mendapatkan pengobatan di tahun 2011 baru dapat dilaporkan di tahun Data yang disajikan masih belum lengkap karena belum semua provinsi melaporkan data hasil akhir pengobatan secara tepat waktu. 67

69 Target RPJMN: SR minimal 87% Grafik 2.B.1.14 Angka Keberhasilan Pengobatan (success rate /SR) Tahun 2005 sd 2012 Berdasarkan grafik 2.B.1.14, angka keberhasilan pengobatan mencapai lebih dari 85%, bahkan sejak tahun 2007 angka ini mencapai >90%. Target RPJMN untuk angka keberhasilan pengobatan di tahun 2012 adalah sebesar 87%.Jika dibandingkan antara pencapaian dengan target maka pada tahun 2012 angka keberhasilan pengobatan tercapai. Meskipun angka keberhasilan pengobatan dapat dikatakan cukup baik tetapi angka kesembuhan dari tahun 2007 sd 2012 masih berada di bawah target yang diharapkan (>85%). Targetprogram : minimal 85% Target RPJMN: minimal 86% Grafik 2.B.1.15 Angka Kesembuhan atau Cure Rate Tahun 2010 sd

70 Berdasarkan grafik 2.B.1.15, provinsi dengan angka kesembuhan < 85% di tahun 2012 sebanyak 17 provinsi dan 16 provinsi berhasil mencapai minimal 85% yaitu Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Aceh, Sulawesi Tengah, Banten, Lampung, Bangka Belitung, Kalimantan Selatan, Sumatera Utara, Jambi, Kalimantan Barat, Sulawesi Tenggara, Jawa Timur, Jawa Barat, NTTdan Sulawesi Utara. Provinsi dengan angka kesembuhan di tahun 2012 tertinggi adalah Kalimantan Barat (93,3%) dan terendah adalah Papua Barat (49,6%). Target RPJMN: SR minimal 87% Grafik 2.B.1.16 Angka Keberhasilan Pengobatan (success rate/sr) per Provinsi di Indonesia Tahun 2011 sd 2012 Berdasarkan grafik 2.B.1.16, menunjukan angka keberhasilan pengobatan per provinsi tahun 2011 sd 2012 terdapat beberapa provinsi dengan angka keberhasilan pengobatan yang lebih rendah di tahun 2012 jika dibandingkan dengan tahun Provinsi yang menunjukan penurunan angka keberhasilan pengobatan yang cukup signifikan adalah Provinsi Banten, Lampung, Kalsel, DKI Jakarta, Sulteng, Sulbar, Babel, NTB dan Bali.. Provinsi dengan angka keberhasilan pengobatan di tahun 2012 tertinggi adalah Gorontalo (96,6%) dan terendah adalah Papua Barat (71%). j. Angka kesalahan laboratorium Angka kesalahan laboratorium yang menyatakan presentase kesalahan pembacaan slide/ sediaan yang dilakukan oleh laboratorium pemeriksa pertama setelah di uji silang (cross check) oleh BLK atau laboratorium rujukan lain. Angka ini menggambarkan kualitas pembacaan sediaan secara mikroskopis langsung oleh laboratorium pemeriksa pertama. Untuk 8 provinsi (Bali, Nusa Tenggara Barat, Lampung, Jawa Barat, Sumatera Selatan, Riau, dan Kalimantan Selatan) sudah melakukan untuk penerapan uji silang pemeriksaan dahak (cross 69

71 check) dengan metode Lot Sampling Quality ssessment (LQAS). Untuk masa yang akan datang akan diterapkan metode LQAS di seluruh UPK. Waktu penghitungan angka ini berdasarkan sediaan dahak yang dikirim laboratorium pemeriksa pertama dan BLK yang melakukan uji silang sekitar 3-6 bulan sebelumnya. Angka ini menggambarkan kualitas pembacaan sediaan secara mikroskopis langsung oleh laboratorium pemeriksa pertama. Beberapa provinsi (Bali, Nusa Tenggara Barat, Lampung, Jawa Barat, Lampung,Sumatra Selatan, Riau dan Kalimantan Selatan saat ini sudah menggunakan uji silang dengan metode Lot Sampling Quality Assessment (LQAS) sedangkan provinsi yang lain masih menggunakan metode konvensional yaitu memerisa ulang 100% sediaan positif dan 10% sediaan negative. Grafik 2.B.1.17 menunjukkan presentase kabupaten/ kota yang melaksanakan uji silang tahun 2010 sd Data tahun 2011 diperoleh sampai dengan triwulan 3 tahun Grafik 2.B.1.17 Persentase Kabupaten/Kota yang Melaksanakan Uji Silang Tahun 2009 sd 2011 Sedangkan presentase fasyankes melaksanakan Uji Silang dan fasyankes dengan kualitas baik pada tahun 2010 sd 2011 dapat dilihat di bawah ini : 70

72 90,0 80,0 70,0 75,3 74,7 70,7 70,9 68,9 75,5 76,5 60,0 50,0 40,0 30,0 43,0 39,6 40,7 32,4 48,9 41,9 30,3 20,0 10,0 0,0 Tw Tw Tw Tw Tw Tw Tw % Fasyankes melaks Uji silang %Fasyankes kualitas baik diantara Fasyankes melaks Uji Silang Grafik 2.B.1.18 Presentase Fasyankes melaksanakan Uji Silang dan Fasyankes dengan Kualitas Baik Tahun 2010 sd 2011 Dari grafik 2.B.1.18 menunjukkan masih banyak fasyankes yang belum melaksanakan uji silang. Presentase fasyankes dengan kualitas baik dari fasyankes yang melaksanakan uji silang menunjukkan angka yang stabil. Fasyankes dengan kualitas baik pada daerah yang melaksanakan uji silang secara konvensional merupakan fasyankes dengan Error Rate 5%, sedangkan pada LQAS merupakan fasyankes tanpa KB (Kesalahan Besar) dan atau KK (Kesalahan Kecil) 3. Grafik 2.B.1.19 Hasil Uji Silang Tahun 2012 Berdasarkan grafik Hasil Uji Silang Tahun 2012, sampai dengan Triwulan 3 menunjukkan masih banyak fasyankes yang belum melaksanakan uji silang hanya 71

73 18% sedangkan persentase fasyankes dengan kualitas baik dari fasyankes yang melaksanakan uji silang menunjukkan kenaikan per triwulan pada Fasyankes dengan kualitas baik pada daerah yang melaksanakan uji silang secara konvensional merupakan fasyankes dengan Error Rate 5%, sedangkan pada LQAS merupakan fasyankes tanpa KB (Kesalahan Besar) dan atau KK (Kesalahan Kecil) 3. k. Kontribusi fasilitas pelayanan kesehatan lain dalam penemuan dan pengobatan kasus Grafik 2.B.1.20 Penemuan Kasus TB di Beberapa Fasilitas Pelayanan Kesehatan di Indonesia Tahun 2008 sd 2012 Berdasarkan grafik 2.B.1.20, trend penemuan kasus dan penggobatan di setiap tipe fasilitas pelayanan kesehatan dari tahun berbeda-beda. Puskesmas masih menjadi fasyankes yang paling besar kontribusinya dalam menemukan dan mengobati kasus. Sebelum tahun 2008 data kasus yang dilaporkan dari puskesmas dan fasilitas kesehatan lainnya digabung. Namun saat ini semakin banyak provinsi yang telah memisahkan data kasus dari beberapa tipe fasilitas pelayanan kesehatan. Dari pemisahan tersebut terlihat bahwa kontribusi penemuan kasus TB di rumah sakit terlihat semakin meningkat. Selain jumlah kasus dari rumah sakit jumlah rumah sakit yang telah melaksanakan DOTS. Penemuan dan pengobatan kasus oleh Balai Besar Pengobatan Paru Balai Pengobatan Penyakit Paru (BP4) dari tahun tampak mengalami penurunan. Selain puskesmas, rumah sakit, dan BP, klinikdi tempat kerja (workplace), dokter praktek swasta (DPS), dan klinik di lapas/rutan mulai terlihat kontribusinya. Dari tipe fasilitas pelayanan kesehatan yang terlibat DOTS, Puskesmas memberikan kontribusi terbanyak dalam menemukan dan mengobati kasus. 72

74 Grafik 2.B.1.21 Hasil Akhir Pengobatan di Beberapa Tipe Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tahun 2012 Berdasarkan grafik 2.B.1.20 dan 2.B.1.21, proporsi hasil akhir pengobatan dari masing-masing fasilitas pelayanan kesehatan dari tahun 2009 sd 2012 terlihat tidak terlalu berbeda. Angka pengobatan dan keberhasilan pengobatan tertinggi dan memenuhi target (>85%) adalah di puskesmas. selain itu hasil akhir pengobatan di Rumah sakit, BP4, workplacedan DPS juga terlihat cukup menggembirakan. Yang masih harus menjadi perhatian saat ini adalah proporsi pasien yang pindah di lapas terlihat cukup besar (20-40%) hal ini menunjukan pemantauan setelah penggobatan di klinik lapas belum berjalan dengan baik. l. Hasil kegiatan kolaborasi TB HIV Dari tabel 2.B.1.2 di bawah terlihat bahwa dari tahun 2009 sampai dengan 2012 terjadi peningkatan jumlah kasus TB baik yang dites HIV, TB dengan HIV positif, dan TB HIV yang mendapatkan ARV. Hal ini menunjukan kegiatan kolaborasi TB HIV yang semakin baik atau semakin banyak jumlah provinsi yang mengirimkan laporan. Proporsi TB dengan HIV positif tahun terlihat mengalami penurunan.hal ini disebabkan karena jumlah kasus TB yang ada dari tahun ke tahun meningkat.meskipun demikian, jika dilihat jumlah absolute maka jumlah pasien TB dengan HIV positif mengalami peningkatan. 73

75 Tabel 2.B.1.2 Hasil Kegiatan Kolaborasi TB HIV dari Unit TB Tahun 2009 sd 2012 Tahun Kasus TB (33provinsi) Kasus TB yang dites HIV TB dengan HIV positif di antara pasien TB yang dites HIV TB dengan HIV positif di antara seluruh pasien TB TB HIV yang mendapat ARV di antara pasien koinfeksi TB HIV Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % (18 provinsi) (18 provinsi) (18 provinsi) (18 provinsi) (18 provinsi) (18 provinsi) (18 provinsi) (18 provinsi) (18 provinsi) (18 provinsi) (18 provinsi) (33 provinsi) (33 provinsi) (33 provinsi) (33 provinsi) 39 Dari tabel 2.B.1.2 di atas terlihat bahwa dari tahun 2009 sampai dengan 2012 terjadi peningkatan jumlah kasus TB baik yang dites HIV, TB dengan HIV positif, dan TB HIV yang mendapatkan ARV. Hal ini menunjukan kegiatan kolaborasi TB HIV yang semakin baik atau semakin banyak jumlah provinsi yang mengirimkan laporan. Proporsi TB dengan HIV positif tahun terlihat mengalami penurunan.hal ini disebabkan karena jumlah kasus TB yang ada dari tahun ke tahun meningkat.meskipun demikian, jika dilihat jumlah absolute maka jumlah pasien TB dengan HIV positif mengalami peningkatan. m. Hasil kegiatan PMDT (Programmatic Management of Drug Resistant TB) Berdasarkan WHO global report 2012, Indonesia berada diperingkat 9 dari 27 negara dengan beban TB MDR terbanyak di dunia dengan perkiraan pasien TB MDR di Indonesia sebesar 6620, yaitu 1,9% (1,4 sd 2,5%) TB MDR diantara TB kasus baru (5700 kasus) dan 12% (8,1 sd 17%) TB MDR diantara kasus TB yang pernah mendapatkan pengobatan (920 kasus). Kondisi yang ada saat ini banyak rumah sakit, B/BKPM, klinik swasta, praktisi swasta melakukan pengobatan terhadap pasien yang diduga TB MDR dengan menggunakan paduan yang tidak standar yaitu yang dijual bebas di pasaran. Hasil DRS di Jawa Tengah yang dilaksanakan pada tahun 2006 menunjukkan bahwa 1,8% TB MDR ditemukan diantara TB kasusbaru dan 17,1% TB MDR ditemukan pada kasus TB yang pernah mendapatkan pengobatan sedangkan hasil DRS di Jawa Timur yang dilaksanakan pada tahun 2009 menunjukkan bahwa 2% TB MDR ditemukan diantara TB kasus baru dan 9,7% TB MDR ditemukan pada kasus TB yang pernah mendapatkan pengobatan. Sampai dengantahun 2012 telah ada 9 RS Rujukan untuk pelayanan TB MDR di 8 Provinsi yaitu RS Persahabatan, RS dr. Soetomo, RS. dr. Syaiful Anwar, RS. dr. Moewardi, RSUD Labuang Baji, RS Hasan Sadikin, RS Adam Malik, RS Sanglah danrs dr. Sardjito. Suspek yang terjaring sampai dengan bulan Desember 2012, telah terjaring 4297 suspek TB MDR, 1005 pasien TB-MDR dan 825 diantaranya sudah menjalani pengobatan. Angka keberhasilan pengobatan pada pasien TB MDR sekitar 71%. 74

76 2. HIV/AIDS dan IIMS Cakupan program pengendalian HIV dan AIDS tahun sebagaimana penjelasan di bawah ini: a. Kasus HIV dan AIDS serta Persebarannya Penemuan kasus baru HIV dan AIDS di Indonesia dari tahun 2005 hingga tahun 2012 cenderung meningkat. Tahun 2012 dilaporkan ada kasus baru HIV dan kasus baru AIDS. Meskipun kumulatif kasus AIDS dari tahun ke tahun terus meningkat tetapi jumlah kasus baru AIDS di tahun 2012 lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya sebagaimana dapat terlihat dalam grafik ini. Jumlah kasus AIDS yang dilaporkan pada tahun 2011 mengalami perubahan karena adanya validasi data bersama Dinkes Provinsi pada Mei Grafik 2.B.2.1 Jumlah Kasus HIV dan AIDS Menurut Tahun di Indonesia Tahun 2005 sd 2012 Kasus AIDS di atas lebih banyak terjadi pada laki-laki (51,5%) dibandingkan perempuan (33,0%) serta didominasi oleh kelompok usia produktif tahun (57,1%). Secara lengkap dapat dilihat pada diagram di bawah ini. Grafik 2.B.2.2 Persentase Kasus AIDS Menurut Jenis Kelamin di Indonesia Tahun

77 Grafik 2.B.2.3 Persentase Kumulatif Kasus AIDS Menurut Jenis Kelamin di Indonesia s/d 31 Desember 2012 Grafik 2.B.2.4 Persentase Kasus AIDS Menurut Kelompok Umur di Indonesia Tahun 2012 Grafik 2.B.2.5 Persentase Kumulatif Kasus AIDS Menurut Kelompok Umur di Indonesia s/d 31 Desember 2012 Apabila dilihat faktor risiko, penularan utama pada tahun 2012 adalah melalui hubungan heteroseksual (71,5%). Hal ini dapat dilihat dari diagram di bawah ini. 76

78 Grafik 2.B.2.6 Persentase Kasus AIDS Menurut Faktor Risiko Tahun 2012 Menurut lokasi provinsi, maka provinsi dengan kasus AIDS terbanyak adalah JawaTimur (822 kasus), Jawa Tengah (798 kasus), Bali (650 kasus), DKI Jakarta (649 kasus), dan Papua (639 kasus). Grafik 2.B.2.7 Sepuluh Provinsi dengan Jumlah Kasus AIDS Terbanyak di Indonesia Tahun

79 Tabel 2.B.2.1 Jumlah Kasus AIDS Menurut Provinsi di Indonesia Tahun 1987 sd 2012 No. 1 Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun Jumlah kasus AIDS* Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kepulauan Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta 3,008 1,310 1, , Jawa Barat 2, , Jawa Tengah , DI Yogyakarta Jawa Timur 4, , , Banten Bali 1, , Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat 1, , Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan , Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua 4,449 1,340 1, ,795 Nasional

80 Tabel 2.B.2.2 Jumlah Kematian AIDS Menurut Tahun di Indonesia Tahun 1987 sd 2012 No. Tahun Jumlah kematian AIDS , , ,146 tidak diketahui 11 Total 8,235 b. Faktor Risiko HIV dan AIDS di Indonesia Cara penularan HIV-AIDS melalui pertukaran darah, seksual dan vertikal dari ibu ke bayi/anaknya, namun bervariasi menurut faktor risikonya dari waktu ke waktu. Pada era 80-90an penularan lebih banyak disebabkan oleh hubungan homoseksual dan pada tahun 2001 sd 2005 lebih banyak disebabkan oleh penggunaan jarum suntik (Intravenous Drug User/IDU). Dan saat ini penularan lebih banyak disebabkan oleh hubungan heteroseksual. Secara lengkap faktor risiko penularan dapat dilihat pada diagram di bawah ini. 79

81 Grafik 2.B.2.8 Persentase Kumulatif Kasus AIDS Menurut Faktor Risiko per Periode 5 Tahunan 1991 sd 1995, 1996 sd 2000, 2001 sd 2005 dan 2006 sd 2010 Faktor risiko utama penularan HIV dan AIDS adalah melalui hubungan heteroseksual. Sedangkan faktor risiko LSL (homoseksual) dari tahun 2012 sedikit meningkat pada kasus HIV dan kasus AIDS dari tahun sebelumnya. Tabel 2.B.2.3 Jumlah Kasus HIV Menurut Faktor Risiko di Indonesia Tahun 2010 sd 2012 Tahun No Faktor Risiko Penasun 2,780 3,299 2,461 2 Heteroseksual 6,623 10,668 10,825 3 LSL 506 1,040 1,514 4 Lain-lain 4,362 6,549 6,903 5 Tidak Diketahui 2 7, Total LSL=Lelaki Seks Lelaki; 1 Antara lain WBP (Warga Binaan Pemasyarakatan); 2Tidak menjawab;*beberapa kasus memiliki lebih dari 1 faktor resiko. Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi,

82 Tabel 2.B.2.4 Jumlah Kasus AIDS Menurut Faktor Risiko dan Tahun di Indonesia Tahun1987 sd 2012 Tahun No. Faktor Risiko Total* 1 Penasun 1,426 1,165 1,155 1, ,752 2 Heteroseksual 2,151 1,691 2,172 2,964 3,433 4,242 4,460 4,421 25,534 3 Biseksual Homoseksual , Dari ibu ke anak ,158 Darah donor dan produk darah lainnya Tidak diketahui 1, ,477 1, ,116 Total LSL=Lelaki Seks Lelaki Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi, 2012 c. Infeksi Oportunistik Berdasarkan infeksi oportunistik yang paling banyak adalah TB-HIV, karena TB dan HIV dapat merupakan ko-infeksi, disusul oleh diare dan kandidiasis. Secara lengkap dapat dilihat pada tabel di bawah ini. No Tabel 2.B.2.5 Jumlah Kasus AIDS Menurut Penyakit Penyerta di Indonesia Tahun 2007 sd 2012 Penyakit Penyerta* Tahun Tuberkulosis Diare Kandidiasis Dermatitis Limfadenopati generalisata 5 persisten PCP (pneumonia pneumocystis) Herpes zooster Encephalopati Herpes simplex Toksoplasmosis

83

84 d. Layanan Tes dan konseling terkait HIV Keberadaan layanan tes dan konseling terkait HIV harus terjangkau secara luas di masyarakat dalam upaya pengendalian, sehingga memudahkan akses ke layanan pengobatan ART dan layanan dukungan lainnya. Tes dan Konseling HIV merupakan pintu masuk (entry point) untuk membantu setiap orang mendapatkan akses layanan komprehensif, baik informasi, edukasi, terapi atau dukungan psikososial. Dengan terbukanya akses, maka kebutuhan akan informasi yang akurat dan tepat dapat dicapai, sehingga proses pikir, perasaan dan perilaku dapat diarahkan kepada perubahan perilaku yang lebih sehat. Cakupan program layanan Konseling dan Tes Sukarela (KTS/VCT: Voluntary Counseling and Test) terlihat pada tabel di bawah. Seluruh HIV positif telah dirujuk ke layanan Perawatan Dukungan Pengobatan (PDP), minimal untuk register pra ARV dan penetapan stadium klinis AIDS (lampiran 4) e. Perawatan HIV dan Layanan ARV Rumah sakit yang memberikan pelayanan ART sesuai dengan SK Menkes RI No. 782/MENKES/SK/IV/2011 tentang RS Rujukan Bagi Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) sebanyak 355 RS Rujukan Bagi ODHA. Saat ini rumah sakit yang aktif melapor sebanyak 249 RS. Sedangkan jumlah ODHA yang diobati dan mendapat ARV sampai dengan Desember 2012 adalah orang, terjadi peningkatan daripada tahun 2010 pada semua Provinsi sebagaimana yang terlihat pada lampiran 5. Grafik 2.B.2.9 Peningkatan Jumlah ODHA yang Mendapatkan ARV Tahun 2007 sd 2012 f. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap cakupan pengobatan: rendahnya deteksi dini diagnosis HIV, pasien yang layak mendapat pengobatan (eligible) menurut pedoman nasional belum siap untuk menerima pengobatan karena masalah psikososial (tidak siap untuk berobat seumur hidup), masalah transportasi (rumah jauh), dukungan keluarga, pasien masuk sudah dalam taraf terminal, dan lain-lain. Faktor eksternal lain yang berpengaruh besar adalah upaya penjangkauan terhadap ODHA masih belum optimal karena masih adanya stigma dan diskriminasi sehingga penemuan kasus secara dini belum optimal,

85 g. Layanan Infeksi Menular Seksual (IMS) IMS merupakan salah satu pintu masuk atau tanda-tanda adanya HIV. Total kasus IMS yang ditangani pada tahun 2012 adalah dari 430 layanan IMS. Jumlah kasus IMS terbanyak adalah duh tubuh vagina (klinis) 20,962 dan servicitis/ proctitis (lab) 33,025. Dalam upaya pengendalian HIV-AIDS dan IMS ada beberapa hal yang perlu dilakukan dan menjadi perhatian antara lain : a) Percepatan dan perluasan program dan layanan yang komprehensif. Sektor kesehatan dan jajarannya di semua tingkatan akan berupaya meningkatkan jumlah fasilitas kesehatan yang peduli dan mengerti permasalahan program dan layanan HIV-AIDS termasuk IMS, diagnosis dini, konseling dan tes (K&T) terintegrasi dalam setiap bentuk program maupun layanan kesehatan, pengurangan dampak buruk napza atau PTRM, dan akses serta ketersediaan ART. Dalam era desentralisasi, sektor kesehatan di tingkat provinsi bersama kabupaten/kota masing-masing menetapkan target percepatan dan perluasan program dengan memberikan perhatian beberapa hal sebagai berikut: i. Peningkatan kualitas pengetahuan, keterampilan dan kewenangan tenaga kesehatan di pelayanan maupun program. ii. Ketersediaan dan kecukupan serta berkesinambungan dalam hal logistik obat, bahan habis pakai dan alat kesehatan, iii. Menyebarluaskan pengetahuan komprehensif promosi, pencegahan, pengobatan dan rehabilitasi melalui distribusi dan ketersediaan informasi, edukasi dan konseling yang bermutu terutama penguatan substansi pesan tentang cara akurat mencegah penularan IMS dan HIV melalui perilaku seks dan pertukaran darah, dan penularan dari ibu ke bayi/anak beserta faktor dan populasi berisiko, serta pengelompokan media KIE berdasarkan segmentasi populasi risiko tinggi, dan populasi umum. iv. Meningkatkan efektivitas penggunaan media KIE di pusat-pusat layanan kesehatan (RS, Puskesmas/ Klinik), dan pusat informasi kesehatan pada spot populasi berisiko, beserta layanan yang tersedia. Sektor Kesehatan tingkat provinsi dan kabupaten/kota berupaya menggerakkan partisipasi aktif kelompok dukungan sebaya ODHA, populasi berisiko dan pemangku kepentingan lokal untuk pelaksanaan program komunikasi kesehatan yang berorientasi membangun motivasi hidup sehat dan rendah risiko penularan HIV. i. Meningkatkan cakupan pesan tentang kesehatan reproduksi dan seks aman seperti menunda hubungan seks pertama pada remaja dan pemuda, dan mengurangi jumlah pasangan seks pada populasi berisiko. ii. Menyebarluaskan informasi yang benar untuk menghapus pandangan yang salah tentang penularan IMS dan HIV, pelayanan dan pemeriksaan kesehatan bersahabat serta meningkatkan pelayanan pengobatan terkait HIV dan AIDS. iii. Meningkatkan cakupan pemakaian kondom pada populasi penjaja seks dan menyediakan serta meresepkan kondom sebagai alat kesehatan preventif bagi setiap pasien IMS. 84

86 iv. Meningkatkan pengurangan dampak buruk narkoba melalui layanan PTRM, ketersediaan dan permintaan alat dan jarum suntik steril sekali pakai bagi pengguna narkoba suntik dan menganjurkan rehabilitasi. b) Meningkatkan jumlah fasilitas kesehatan yang menyediakan layanan IMS, PTRM, KT HIV, dan TB-HIV, ART dan IO. Peningkatan jumlah bertujuan untuk mendekatkan akses layanan agar: i. Prevalensi IMS dan HIV pada populasi berisiko dapat dikendalikan. ii. Meningkatnya jumlah peserta aktif PTRM. iii. Meningkatnya cakupan testing dan konseling HIV pada populasi berisiko dan rawan tertular HIV, penderita TB dan Ibu hamil iv. Meningkatnya cakupan penapisan TB pada ODHA dan sebaliknya. v. Meningkatnya cakupan layanan PMTCT vi. Meningkatnya cakupan layanan ART dan IO c) Meningkatkan kinerja supervisi, bimbingan teknis, monitoring dan evaluasi dengan memperkuat kepemimpinan dan koordinasi, serta sinkronisasi pelaksanaan sistem yang telah tersedia. d) Memperkuat konsolidasi dan koordinasi pada semua jajaran sektor kesehatan di semua tingkatan. e) Memperkuat penyusunan perencanaan program dan anggaran yang terpadu serta saling bersinergis di semua tingkatan i. Tingkat Pusat: masing-masing unit utama menyusun rencana kerja sebagai penjabaran dari Rencana Aksi ini. ii. Tingkat Provinsi: menyusun rencana kerja dimana didalamnya terdapat penetapan kerangka prioritas wilayah dan program, target pencapaian program yang terukur, sistim pelaksanaan kegiatan program, monitoring dan evaluasi. Tingkat kabupaten/kota dilibat aktifkan dalam proses penyusunan rencana kerja provinsi tersebut. iii. Tingkat Kabupaten/Kota: menyusun rencana kerja spesifik tentang sasaran prioritas program dan sub populasi, ukuran pencapaian hasil, alur kerja, dan monitoring serta evaluasi. f) Memperkuat alur kerja pelaksanaan program yang saling bersinergis di masing-masing tingkat dan antar tingkat. g) Memperkuat kebijakan dan mekanisme pelaksanaan surveilans terpadu. h) Memperkuat pelaksanaan sistim supervisi, bimbingan teknis, monitoring dan evaluasi program. i) Memperkuat koordinasi lintas program dan lintas sektor terkait di masingmasing tingkat agar program percepatan dan perluasan pengendalian IMS, HIV dan AIDS mendapat dukungan politis dan teknis operasional. 85

87 j) Membangun perspektif hidup sehat dan rendah risiko penularan HIV. Sektor Kesehatan di masing-masing tingkat melaksanakan advokasi kepada penentu keputusan dan pemangku kepentingan sebagai usaha memperkuat dukungan sumberdaya dan dana, menciptakan suasana kondusif untuk pelaksanaan program, dan menggerakkan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan program. h. Pencapaian Indikator Renstra dan MDG. Dalam pembangunan kesehatan nasional dibentuklah Rencana Strategis kementerian dan lembaga sebagai penjabaran dari RPJMN yang selanjutnya dijabarkan dalam Rencana Kerja Pemerintahan dengan periode tahunan. Tabel 2.B.2.6 Indikator terkait HIV & AIDS dan Pencapaiannya Tahun 2012 Indikator Target Pencapaian 2012 Prevalensi Kasus HIV pada penduduk usia 15- <0,5 0,32 49 tahun Persentase ODHA yang mendapatkan ART 40% 44,2% Persentase penduduk 15 tahun ke atas 85% 21,25% menurut pengetahuan tentang HIV dan AIDS Penggunaan kondom pada hubungan seks 45% 37,6% berisiko Jumlah penduduk yg berumur 15 tahun atau lebih yang menerima konseling dan testing HIV Persentase kab/kota yang melaksanakan upaya peningkatan pengetahuan komprehensif tentang HIV dan AIDS pada kab/kota kab/kota penduduk usia tahun Selain RPJMN dan Renstra, HIV dan AIDS juga merupakan agenda penting di dalam pencapaian tujuan pembangunan milenium (Millenium Development Goal). Oleh karenanya dalam roadmap Reformasi Kesehatan Masyarakat, HIV- AIDS terpilih menjadi salah satu area perubahan yang mendapat perhatian pula. Dalam MDG, pengendalian HIV-AIDS termasuk dalam Goal 6 yakni Memberantas HIV AIDS, Malaria dan Penyakit Lainnya dan memiliki dua (2) target dan empat (4) indikator sebagai berikut: 86

88 Tabel 2.B.2.7 Target dan Pencapaian MDGs Tahun 2012 Indikator Target 2012 Pencapaian 2012 Keterangan Target 6A: Mengendalikan penyebaran dan mulai menurunkan jumlah kasus baru HIV/AIDS pada tahun 2015 Prevalensi HIV/AIDS <0,5 0,32 Penggunaan kondom pada hubungan seks 45% 37,6% STBP 2011 berisiko tinggi terakhir Persentase remaja usia tahun yang 75% 21,25 (Rapid memiliki pengetahuan komprehensif mengenai HIV dan AIDS survey, 2012) Target 6B: Mewujudkan akses terhadap pengobatan HIV/AIDS bagi semua yang membutuhkan sampai dengan tahun 2010 Proporsi penduduk terinfeksi HIV lanjut 80% 88,4% yang memiliki akses pada obat-obatan anti retroviral 3. Infeksi Saluran Pernafasan Akut a. Penemuan dan Penanganan Kasus ISPA pada Balita ISPA khususnya Pneumonia masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia terutama pada Balita. Menurut hasil Riskesdas 2007, pneumonia merupakan pembunuh nomor dua pada Balita (15,5%) setelah diare (25,2%). Jika dibandingkan dengan hasil penelitian oleh Rudan,et al (2004) di negara berkembang termasuk Indonesia insidens pneumonia sekitar 36% dari jumlah Balita. Faktor risiko yang berkontribusi terhadap insidens pneumonia tersebut antara lain gizi kurang, ASI ekslusif rendah, polusi udara dalam ruangan, kepadatan, cakupan imunisasi campak rendah dan BBLR. Sejak tahun 2000, angka cakupan penemuan pneumonia Balita berkisar antara 20% sd 36%. Angka cakupan tersebut masih jauh dari target nasional yaitu periode 2005 sd 2009 adalah 46% sd 86%, sedangkan periode 2010 sd 2014 adalah 60% sd 100% Data cakupan penemuan Pneumonia Balita nasional dalam kurun waktu 5 tahun terakhir (Grafik 2.B.3.1) 87

89 Grafik 2.B.3.1 Cakupan Penemuan Pnemonia Balita di Indonesia Tahun 2008 sd 2012 Cakupan penemuan pneumonia balita dari tahun ke tahun relatif tetap. Pada tahun 2012 mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya, hal ini karena sampai saat ini belum semua provinsi mengirimkan laporan secara lengkap. Grafik 2.B.3.2 Cakupan Penemuan Pnemonia Balita di 33 Provinsi Tahun 2012 Secara nasional cakupan penemuan pneumonia pada tahun 2012 masih jauh di bawah target yang di tetapkan yaitu 23,42% (Target 80%). 88

90 Gambar 2.B.3.1 Peta Cakupan Penemuan Pneumonia Balita di Indonesia Tahun 2012 Rendahnya angka cakupan penemuan pneumonia Balita tersebut disebabkan antara lain: Sumber data laporan cakupan program P2ISPA sebagian besar berasal dari PUSKESMAS, hanya sebagian kecil didapat dari RS milik pemerintah. Karena tingginya frekuensi mutasi sebagian besar tenaga kesehatan di daerah termasuk Pengelola program ISPA, serta keterbatasan sumber daya terutama dalam Capacity building dan Supervisi (MTBS maupun Tatalaksana kasus ISPA balita), sehingga banyak kasus pneumonia balita yang Under reported. Ketepatan dan kelengkapan Laporan program P2ISPA relatif masih rendah terutama dari Dinkes Kabupaten/Kota ke Dinkes Provinsi Indonesia sampai dengan saat ini belum mempunyai angka insiden kasus Pneumonia balita, sehingga perkiraan kasus pneumonia balita di Indonesia masih menggunakan estimasi 10% dari populasi balita (WHO). Dana BOK belum dipergunakan secara optimal dalam mendukung penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas (operasional luar gedung). Beberapa kegiatan yang dilakukan dalam rangka peningkatan cakupan penemuan pneumonia Balita tahun 2012 antara lain: 1. Pertemuan regional manajemen program pengendalian ispa bagi petugas kesehatan di Provinsi dan kabupaten/kota 2. Pertemuan LP/LS dengan organisasi profesi, LSM, 3. Pertemuan Revisi Pedoman Manajemen ISPA 4. Workshop dan orientasi pedoman penggunaan oksigen terapi di Rumah Sakit dan Puskesmas Dengan Tempat Perawatan 5. Pemantapan cakupan & kualitas tatalaksana kasus ISPA di 23 provinsi 6. Narasumber kegiatan pelatihan di daerah 89 b. Kesiapsiagaan Dan Respon Terhadap Pandemi Influenza Beberapa kegiatan yang berkaitan dengan kesiapsiagaan dan respon terhadap pandemi influenza yang dilaksanakan tahun 2012 antara lain:

91 (a) Pembinaan/monitoring kegiatan Sentinel Surveilans Pneumonia Sentinel surveilans pneumonia sudah dilaksanakan sejak tahun 2007 yang pada awalnya di 10 provinsi (10 Puskesmas, 10 RS). Kemudian pada tahun 2010 dikembangkan menjadi di 20 provinsi (40 Puskesmas, 40 RS). Adapun tujuan dari sentinel ini adalah untuk mendapatkan gambaran epidemiologi penyakit pneumonia dan kewaspadaan pandemi influenza di Indonesia untuk perencanaan dan penentuan kebijakan Program P2 ISPA. Hasil dari pelaksanaan sentinel surveilans pneumonia di 40 Puskesmasdan 40 RS tahun 2010 dan 2012 adalah sebagaimana dijabarkan pada grafik di bawah. Grafik 2.B.3.3 Proporsi (%) Kasus Pneumonia Berdasarkan Kelompok Umur di 40 Puskesmas Sentinel Tahun 2011 dan 2012 Proporsi kasus Pneumonia di Puskesmas Sentinel selama 2 tahun terakhir lebih di dominasi kasus pneumonia pada balita. (Grafik 2.B.3.4) Grafik 2.B.3.4 Proporsi (%) Kasus Pneumonia Berdasarkan Kelompok Umur di 40 RS Sentinel Tahun 2011 dan

92 Grafik 2.B.3.5 Menggambarkan proporsi kasus Pneumonia di Rumah Sakit Sentinel selama 2 tahun terakhir lebih tinggi terjadi pada balita. Grafik 2.B.3.5 Kasus Kematian Karena Pneumonia pada Bayi dan Balita di 40 RS Sentinel Tahun 2012 Proporsi kematian karena pneumonia di 40 RS Sentinel, lebih besar terjadi pada usia > 5 Tahun yaitu 3,2%. (Grafik 2.B.3.5) 91 (b) Assesment sentinel pneumonia Tujuan assessment : menilai kinerja system surveilans sesuai tujuan yang telah ditetapkan menetapkan bahwa system surveilans sentinel pneumonia sejalan dengan kebutuhan program Rekomendasi secara umum: Meningkatkan pemanfaatan system Memperkuat pengumpulan data, pelaporan dan analisa di semua tingkatan Meningkatkan umpan balik disemua tingkat Meningkatkan pemberian informasi hasil surveilans diantara unit-unit terkait di semua tingkat Pertemuan pemangku kepentingan secara teratur untuk sharing informasi terkait pengendalian penyakit pernapasan. Rekomendasi pelaksanaan sentinel pneumonia di puskesmas Penguatan dalam pengumpulan data, pelaporan dan analisa di semua tingkatan Peningkatan umpan balik dan sharing informasi Pertemuan secara teratur Rekomendasi pelaksanaan sentinel pneumonia di rumah sakit Mempertimbangkan perubahan besar menjadi sentinel system pernapasan Merubah definisi kasus untuk mempermudah dan meningkatkan kualitasnya Merubah variable dan data yang dikumpulkan Membuat system berbasis kasus

93 Menambah komponen laboratorium Mengurangi jumlah site sentinel Menambah komponen X-ray (c) Pengembangan Sentinel SARI Tujuan pengembangan Sentinel SARI adalah Mendapatkan informasi epidemiologi Infeksi Saluran Pernafasan Akut Berat (SARI) sebagai dasar pengambilan keputusan dalam pengendalian penyakit. Kegiatan meliputi : 1) Penyusunan pedoman sentinel SARI 2) Seleksi lokasi sentinel SARI berbasis laboratorium, dari 8 lokasi yang diseleksi kemudian ditetapkan 6 lokasi sentinel SARI antara lain : RSUD Deli Serdang, Sumatera Utara RSUD Gunung Kidul, DIY RSUD Kanujoso Djati Wibowo, Kalimantan Timur RSUD Mataram, NTB RSUD Haulussy, Maluku RSUD Bitung, Sulawesi Utara 4. Pengendalian Penyakit Diare dan Infeksi Saluran Pencernaan Penyakit Diare merupakan penyakit endemis di Indonesia dan penyakit potensial KLB yang sering disertai dengan kematian. RISKESDAS tahun 2007 menunjukkan bahwa Penyakit Diare merupakan penyebab kematian nomor satu pada bayi (31,4%) dan pada Balita (25,2%), sedangkan pada golongan semua umur merupakan penyebab kematian yang ke empat (13,2%). Angka kesakitan diare semua umur pada tahun 2012 adalah 214 per penduduk pada tahun 2012 dan angka kesakitan diare balita pada tahun 2012 adalah 900 per 1000 balita. Angka kesakitan hasil kajian morbiditas diare tahun 2012 tersebut lebih rendah dari tahun 2010 sebesar 411 per penduduk dan episode diare balita 1,3 kali per tahun. Kajian morbiditas diare sejak tahun 1993 dilakukan setiap 3-4 tahun sekali. Kejadian Luar Biasa (KLB) Diare masih sering terjadi terutama di daerah yang pengendalian faktor risikonya masih rendah. Kalau diperhatikan dari tahun ke tahun kejadian KLB Diare sangat bervariasi, pada tahun 2011 terjadi KLB di 19 lokasi yang tersebar di 15 provinsi dengan CFR 0.40% dan Tahun 2012 terjadi di 32 lokasi yang tersebar di 16 provinsi dengan CFR 1,53%. a. Pengendalian Diare Dari hasil pengumpulan data melalui rekapitulasi laporan bulanan yang diterima dari provinsi menunjukkan hasil sebagai berikut: 92

94 Grafik 2.B.4.1 Distribusi Frekuensi Penderita Diare Di Indonesia Tahun 2008 sd 2012 Grafik diatas menunjukkan bahwa jumlah penderita diare yang dilayani Puskesmas dan kader dari tahun 2008 sampai dengan 2012 sangat berfluktuasi dan pada tahun 2012 nampak menurun bila dibandingkan dengan tahun 2011, yaitu penderita pada tahun 2011 menjadi penderita di tahun Hal ini disebabkan masih 8 provinsi yang belum mengirimkan laporan ke Pusat, sehingga berpengaruh pada jumlah total penderita yang direkapitulasi oleh Subdit Diare dan ISP. Distribusi cakupan pelayanan penderita diare dirinci berdasarkan provinsi tahun 2011 dan 2012 dapat dilihat pada grafik berikut: 93 Grafik2.B.4.2 Distribusi Frekuensi Cakupan Pelayanan Diare Berdasarkan Provinsi Tahun 2011 sd 2012

95 No Provinsi Dari grafik di atas menunjukkan bahwa berdasarkan laporan dari provinsi yang diterima oleh Subdit Diare dan ISP tahun 2011 sd 2012, Tahun 2011 cakupan pelayanan diare tertinggi di Provinsi Sulawesi Barat (103.86%) dan terendah di Provinsi Riau (10.39%). Tahun 2012 cakupan pelayanan diare tertinggi di Provinsi NTB (96,32%) dan terendah di Provinsi Sumatera Utara (1,87%). Di samping itu pada tahun 2012 ada beberapa provinsi yang belum mengirimkan laporan. Kejadian Luar Biasa (KLB) Diare masih sering terjadi di Indonesia, dan sering disertai kematian. a. Pada tahun 2011 terjadi di 19 lokasi tersebar di 15 provinsi dan 19 kabupaten/kota: No. Kej. Kab / Kota Tabel 2.B.4.1 Rekapitulasi KLB Diare Tahun 2011 Kec. Jumlah Kec. Mgg Jumlah Pend. Mati 1 BANTEN 1 Lebak Rangkasbitung Cikulur NTT 2 Timor Tengah Selatan Niki niki LAMPUNG 3 Lampung Selatan Merbau Mataram JAWA TENGAH 4 Magelang Mungkid Brebes Larangan JAWA BARAT 6 Ciamis Sindang Kasih RIAU 7 Meranti Kedabu Rapat ACEH 8 KEPULAUAN RIAU 8 Bandar Pusaka Aceh Tamiang 9 Kejuruan Muda Tanjung Pinang Bukit Bestari, TPI Kota, TPI Barat, TPI Timur CFR MALUKU 11 Buru Selatan Waesama KALIMANTAN TENGAH SULAWESI TENGAH 12 Kotawaringan Baamang Timur MB Ketapang Poso Pamona Timur Toli-toli Salumpaga JAWA TIMUR 16 Kab.Malang Dau SULAWESI Konawe Soropia TENGGARA SULAWESI Minahasa Ratahan UTARA Selatan 15 GORONTALO 19 Gorontalo Telaga Biru JUMLAH

96 b. Pada tahun 2012 terjadi di 32 lokasi tersebar di 16 provinsi dan 30 kabupaten/kota: Tabel 2.B.4.2 Rekapitulasi KLB Diare Tahun 2012 No Provinsi No Kab Kasus Mati CFR 1 Sulawesi Tengah 1 Poso ,27 2 Touna ,00 2 DI Yogyakarta 3 Bantul ,88 4 Gunung Kidul ,00 5 Bantul ,00 3 Maluku Utara 6 Kab.Kep.Sula ,00 4 Jawa Timur 7 Kediri 5 0 0,00 8 Malang ,00 9 Tulungagung 9 0 0,00 10 Probolinggo ,00 5 Sumatera Utara 11 Nias ,45 12 Lab.Batu ,00 6 Banten 13 Kab.Pandeglang ,00 14 Kab.Lebak ,00 7 Jawa Tengah 15 Cilacap ,00 16 Cilacap ,00 17 Temanggung ,50 8 Lampung 18 Kab.Way Kanan ,00 9 Bali 19 Denpasar ,00 10 Sulawesi Tenggara 20 Kab.Bombana ,00 11 Sumatra Barat 21 Kab.Pesisir Selatan ,00 22 Kab.Pasaman ,00 23 Kota Padang ,00 24 Kab.Kep.Mentawai ,86 25 Kab.Kep.Mentawai ,52 12 Jawa Barat 26 Kab.Tasikmalaya ,00 27 Subang ,00 13 Kepulauan Riau 28 Anambas ,00 14 NTT 29 Rote Ndao ,00 15 Papua 30 BIME ,00 16 Sumatra Selatan 31 Banyuasin ,71 32 Ogan Ilir , ,538 Tabel 2.B.4.3 Rekapitulasi KLB Diare di Indonesia Tahun 2008 sd 2012 Tahun Jumlah Provinsi Jumlah Kejadian Kasus Kematian CFR

97 c. Angka Kematian (CFR) Diare saat KLB CFR pada saat KLB menunjukkan fluktuasi yag bervariasi, gambaran CFR saat KLB dapat dilihat pada grafik berikut : Grafik 2.B.4.3 Distribusi Angka Kematian Saat KLB (CFR) Di Indonesia Tahun 2008 sd 2012 Grafik sejak tahun 2008 menunjukkan bahwa Angka Kematian Diare saat KLB (CFR) masih cukup tinggi, trendnya nampak menurun pada tahun 2011 CFR KLB Diare mencapai target yaitu 0.4%. Target CFR saat KLB diharapkan < 1 %. Pada tahun 2012 CFR meningkat lagi mencapai 1.53 Dari hasil pemantauan cakupan dan kualitas tatalaksana diare di Puskesmas selama tahun 2008 sampai tahun 2012 yang dilaksanakan oleh Subdit Diare dan ISP menunjukkan gambaran penggunaan oralit, penggunaan Antibiotik tidak rasional, penggunaan Anti Diare dan Tatalaksana diare sesuai standar adalah : a) Penggunaan Oralit Sesuai dengan LINTAS DIARE (Lima Langkah Tuntaskan Diare) bahwa semua penderita diare harus mendapatkan oralit maka target penggunaan oralit adalah 100%. Dari grafik 2.B.4.4 diketahui bahwa penggunaan oralit sejak tahun 2008 sampai dengan tahun 2012 masih belum mencapai target, berkisar antara 76.5% sd 86.5%. Pencapaian yang masih kurang tersebut karena masih banyak masyarakat yang belum mengetahui tentang manfaat oralit osmolaritas rendah yang dapat mengurangi muntah, pengeluaran tinja dan terapi intravena. Petugas kesehatan masih perlu melakukan sosialisasi dan edukasi tentang oralit osmolaritas rendah sehingga masyarakat diharapkan lebih mengetahui tentang manfaat dan penggunaannya. Proporsi penggunaan oralit menunjukkan gambaran sebagaimana nampak pada grafik berikut : 96

98 Grafik 2.B.4.4 Proporsi Penggunaan Oralit Di Puskesmas di Indonesia Tahun 2008 sd 2012 b) Penggunaan Antibiotik Tidak Rasional Gambaran penggunaan Antibiotik tidak rasional selama tahun menunjukkan fluktuasi, berkisar antara 63,4% - 81,8%. Sesuai dengan LINTAS DIARE, pemberian antibiotik hanya atas indikasi tertentu (selektif) sehingga diharapkan pemberian antibiotik tidak rasional tagetnya adalah 0%. Lebih jelasnya dapat dilihat pada grafik berikut. Grafik 2.B.4.5 Proporsi Penggunaan Antibiotik Tidak Rasional Di Indonesia Tahun 2008 sd 2012 Grafik di atas menunjukkan proporsi penggunan Antibiotik tidak rasional yang diberikan oleh tenaga medis pada penderita diare, ternyata cukup tinggi. Hal ini pada umumnya karena petugas tidak begitu yakin apabila tidak diberikan antibiotik khawatir tidak sembuh dan petugas 97

99 mempertimbangkan apabila penderita tersebut tinggalnya jauh dari sarana kesehatan. Namun bila kita perhatikan, terjadi peningkatan penggunaan antibiotik tidak rasional dari 63.4% pada tahun 2011 menjadi 81.8% pada tahun Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan antibiotik pada penderita diare semakin selektif. i. Penggunaan Anti Diare Penggunaan Anti Diare tidak dianjurkan untuk penderita Diare terutama pada Balita, hal ini membahayakan penderita karena dapat menyebabkan terjadinya invaginasi atau ileus di samping itu kuman penyebab diare yang ada dialam usus tidak dapat keluar bersama tinja. Proporsi penggunaan Antidiare sejak tahun cenderung menurun, dan berkisar antara 8,8%-33.4%, hal tersebut dapat dilihat pada grafik berikut : Grafik 2.B.4.6 Proporsi Penggunaan Anti Diare Di Indonesia Tahun 2008 sd 2012 Grafik di atas menunjukkan gambaran penggunaan anti diare selama tahun 2008 sd Angka penggunaan Anti Diare yang terendah terjadi pada tahun 2012 yaitu 8.8% dan tertinggi pada tahun 2008 (33.4%), selanjutnya terus menurun. Hal ini menunjukkan tatalaksana kasus diare semakin baik. Penurunan proporsi penggunaan anti diare selama tiga tahun tersebut kemungkinan disebabkan karena sejak tahun 2008 telah digunakan zinc dalam tatalaksana diare sehingga zinc dapat dianggap sebagai pengganti anti diare tersebut. ii. Tatalaksana Diare Sesuai Standar Definisi operasional Tatalaksana Diare sesuai standar adalah penderita diare yang diberi oralit, mendapatkan antibiotik sesuai indikasi dan tidak mendapatkan obat lain yang tidak perlu (anti diare, anti emetik). Target pencapaian tatalaksana diare sesuai standar tahun tahun 2011 adalah 45%. Persentase tatalaksana diare sesuai standar selama tahun belum terlaksana sebagaimana yang diharapkan, hal ini mungkin banyak faktor yang mempengaruhi hal tersebut. Pada Tahun 2012 tidak dilakukan evaluasi kualitas tatalaksana diare sesuai standar. 98

100 Grafik 2.B.4.7 Persentase Kualitas Tatalaksana Diare Sesuai Standar Tahun 2008 sd 2011 Grafik di atas menunjukkan gambaran proporsi tatalaksana diare sesuai standar yang berfluktuasi, angka paling tinggi terjadi pada tahun 2011 yaitu 35.5% dan yang terendah pada tahun 2009 yaitu 9,1%. Belum tercapainya target tatalaksana diare sesuai standar ini mungkin disebabkan belum tersosialisasinya tatalaksana diare sesuai standar ke seluruh petugas di daerah, di samping itu rotasi perpindahan petugas di daerah sangat tinggi, pelatihan petugas dalam tatalaksana diare sangat kurang. Hal lain yang mungkin menyebabkan masih rendahnya tatalaksana diare sesuai standar adalah masih tingginya penggunaan antibiotik yang tidak rasional (tidak sesuai indikasi). b. Pengendalian Penyakit Demam Tifoid Penyakit Saluran Pencernaan Lain yang dikelola adalah penyakit Demam Tifoid. Penyakit ini masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia, karena masih tingginya angka kesakitan dan kematian. Dari hasil telaah kasus di rumah sakit besar di Indonesia, menunjukkan adanya kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun dengan rata-rata angka kesakitan per penduduk dan kematian antara 0,6%-5%. Berdasarkan hasil RISKESDAS tahun 2007 menunjukkan bahwa penyakit Tifoid merupakan penyebab kematian nomor 2 (13,%) pada kelompok umur 5-14 tahun di daerah perkotaan dan pada golongan semua umur menduduki peringkat nomor 5 (13,2%) diantara kelompok penyakit menular. Pada tahun 2012, Subdit Diare dan ISP telah melakukan sosialisasi tatalaksana Tifoid bagi petugas kesehatan di Rumah Sakit dan Puskesmas dan melakukan revisi buku Pedoman Pengendalian Penyakit Demam Tifoid. c. Pengendalian Penyakit Hepatitis B Hepatitis masih merupakan masalah kesehatan di dunia, diperkirakan 2 milyar orang pernah terinfeksi virus Hepatitis B, dan sekitar 400 juta menjadi kronis, bahkan Hepatitis C sampai saat ini belum dapat dicegah dengan vaksinasi dan 99

101 sekitar 80% diantaranya menjadi kronis. Di Indonesia diperkirakan 25 juta orang terinfeksi Hepatitis B dan C. Menurut hasil RISKESDAS tahun 2007, penyakit hati merupakan penyebab kematian nomor 8 (5,1%) pada semua golongan umur, sedangkan pada kelompok penyakit menular merupakan penyebab kematian nomor 2 dengan proporsi 19,1%. Pada kelompok umur tahun merupakan penyebab kematian nomor 1 (9,9%) di pedesaan & nomor 3 (8,8%) diperkotaan. Hasil RISKESDAS Biomedis tahun 2007 menunjukkan bahwa prevalensi HbsAg (+) di Indonesia sebesar 9.4%. Ini menandakan bahwa Indonesia merupakan negara dengan endemisitas tinggi (>8%). Atas dasar kondisi tersebut maka sejak tahun 2011 dikembangan Penanggulangan Hepatitis di Indonesia. Pada tahun 2012 Subdit Diare dan ISP telah selesai menyusun Pedoman Pengendalian Hepatitis bersama pakar dari perguruan tinggi dan Organisasi Profesi. Pada tahun 2012 telah disusun rencana membentuk daerah sentinel bersama dengan Dinas Kesehatan DKI untuk melaksanakan deteksi dini di daerah sentinel tersebut. 5. Pengendalian Penyakit Kusta dan Frambusia a. Penyakit Kusta Tahun 2000 mempunyai arti penting bagi program pengendalian kusta. Pada tahun 2000, dunia dan khususnya negara kita Indonesia berhasil mencapai status eliminasi. Eliminasi didefinisikan sebagai pencapaian jumlah penderita terdaftar kurang dari 1 kasus per penduduk. Dengan demikian, sejak tahun tersebut di tingkat dunia maupun nasional, kusta bukan lagi menjadi masalah kesehatan bagi masyarakat. Diagnosis dini dan pengobatan dengan menggunakan MDT (Multi Drug Therapy) merupakan kunci utama dalam keberhasilan mengeliminasi kusta sebagai masalah kesehatan masyarakat. Pengobatan MDT berhasil menurunkan beban penyakit kusta dunia secara dramatis dari 5,2 juta kasus terdaftar pada tahun 1985 menjadi kasus pada akhir tahun Di Indonesia sendiri, pengobatan dengan MDT berhasil menurunkan 84,6% kasus. Dari kasus terdaftar pada tahun 1985 menjadi kasus pada akhir tahun Sejak tercapainya status eliminasi kusta, situasi kusta di Indonesia menunjukkan kondisi yang relatif statis. Hal ini dapat terlihat dari angka penemuan kasus baru kusta yang berkisar antara 7 hingga 8 per penduduk per tahunnya. Begitu pula halnya dengan angka penderita terdaftar yang berkisar antara 0,8 hingga 0,9 per penduduk. Situasi tersebut dapat dilihat dalam gambar berikut : 100

102 Grafik 2.B.5.1 Trend Angka Prevalensi dan Angka Penemuan Kasus Baru Kusta New Case Detection Rate (NCDR) Tahun 2007 sd 2012 Hingga laporan profil ini dibuat, Subdit P2 Kusta dan Frambusia baru menerima laporan dari 22 provinsi. Berdasarkan data yang ada, angka penemuan kasus baru kusta selama tahun 2012 lebih rendah bila dibandingkan dengan data pada tahun sebelumnya. Diperkirakan angka ini akan meningkat bila seluruh provinsi telah mengirimkan laporannya. Jumlah penderita terdaftar dan penderita baru kusta selama 6 tahun terakhir digambarkan dalam tabel berikut: Tabel 2.B.5.1 Jumlah Penderita Terdaftar dan Penderita Baru Kusta Tahun 2007 sd 2012 JML KASUS BARU KASUS BARU KASUS BARU TIPE JML PENDE CACAT TK. 2 ANAK MB PENDE THN RITA RITA TERDA JML % JML % JML % BARU FTAR , , , , , , , , , , , , , , , * , , ,69 Dari tabel diatas terlihat bahwa penemuan penderita baru kusta antara tahun 2007 hingga tahun 2010 mengalami penurunan. Namun di tahun 2011 terjadi peningkatan penemuan penderita baru menjadi kasus. Dan di tahun 2012 diharapkan penemuan kasus baru kusta lebih meningkat lagi dibanding tahun

103 Gambar 2.B.5.1 Situasi Beban Penyakit Kusta di Indonesia Tahun 2012 Dari grafik di atas terlihat bahwa distribusi beban penyakit kusta yang tinggi lebih banyak tersebar di wilayah Indonesia bagian tengah dan timur. Di wilayah Indonesia bagian barat hanya Aceh dan seluruh provinsi di pulau Jawa kecuali Provinsi Banten dan DI. Yogyakarta. Diantara total penderita baru yang ditemukan pada tahun 2012, kasus (82,69%) merupakan penderita tipe MB sedangkan jumlah penderita anak sebesar kasus (10,78%) dan penderita yang mengalami cacat tingkat 2 sebesar kasus (11,75)%. Jumlah penderita kusta yang masih terdaftar di akhir tahun 2012 sebesar kasus. Berikut grafik proporsi penderita MB, cacat kusta tingkat 2 dan proporsi anak di antara penderita baru kusta tahun 2007 sd Grafik 2.B.5.2 Proporsi Penderita MB di antara Kasus Baru Kusta Tahun 2007 sd

104 Dari grafik di atas dapat diketahui bahwa proporsi penderita MB di antara kasus baru kusta pada tahun 2012 meningkat sebesar 2,3% bila dibanding data tahun Grafik 2.B.5.3 Proporsi Cacat Tingkat 2 Kusta dan Proporsi Anak di antara Kasus Baru Tahun 2007 sd 2012 Dari grafik diatas dapat diketahui bahwa proporsi penderita anak di antara kasus baru lebih rendah sebesar 0,5% dibanding data tahun sebelumnya sedangkan proporsi penderita cacat kusta tingkat 2 diantara kasus baru meningkat sebesar 1,6%. b. Pengendalian Frambusia di Indonesia Seperti halnya penyakit kusta, penyakit frambusia juga merupakan penyakit yang utamanya mengenai jaringan kulit. Penyakit ini tidak menimbulkan kematian. Namun demikian bila tidak ditangani dengan baik frambusia dapat menimbulkan kecacatan. Frambusia biasanya terjadi di daerah yang sulit dijangkau (end of the road) oleh pelayanan kesehatan. Masyarakat miskin dengan kebersihan perorangan dan sanitasi lingkungan yang jelek sering terinfeksi oleh penyakit ini. Secara nasional angka prevalensi frambusia sudah kurang dari 1 per penduduk, namun hingga saat ini frambusia masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Prevalensi penyakit frambusia turun secara bermakna dalam kurun waktu 1985 hingga Pada periode itu, angka prevalensi frambusia turun secara dramatis dari 2,21 per penduduk menjadi hampir mendekati 0. Setelah tahun 1995, penurunan prevalensi frambusia berjalan lambat. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor antara lain upaya pemberantasan yang tidak adekuat karena program frambusia bukan merupakan program prioritas. Berikut grafik jumlah kasus frambusia di Indonesia sejak tahun 2007 sd 2012: 103

105 Grafik 2.B.5.4 Tren Jumlah Kasus Frambusia Tahun 2007 sd 2011 Hasil pertemuan manajer program frambusia yang dilakukan pada bulan April 2012 di Geneve, Swiss menyepakati bahwa eradikasi frambusia diharapkan dapat tercapai pada tahun Dalam upaya mencapai eradikasi frambusia pada tahun 2020, Subdit Kusta dan Frambusia pada tahun 2012 melaksanakan survei serologi di 16 kabupaten yang selama 3 tahun melaporkan tidak adanya kasus di daerah tersebut. Bila selama 3 tahun berturut-turut hasil survei serologi menunjukkan hasil yang baik (negatif) maka kabupaten tersebut berhak mendapat sertifikat bebas frambusia dari WHO. Intensifikasi penemuan kasus kusta dan frambusia juga dilakukan di beberapa daerah yang masih termasuk daerah kantong frambusia. Kegiatan ini dilakukan untuk menemukan kasus sebanyak-banyaknya untuk kemudian diobati sehingga diharapkan di tahun-tahun mendatang tidak ditemukan lagi kasus frambusia. Sisi negatif dari kegiatan intensifikasi penemuan kasus frambusia adalah tidak ditemukannya kasus bila kegiatan ini tidak dilakukan. Bisa dikatakan bahwa kabupaten dan Provinsi sepenuhnya bergantung pada alokasi dana dari Pusat/APBN dalam pencarian kasus Frambusia. 104

106 C. PENGENDALIAN PENYAKIT BERSUMBER BINATANG (PPBB) 1. Pengendalian Penyakit Filariasia dan Schistosomiasis a. Filariasis Filariasis atau elephantiasis atau penyakit kaki gajah, adalah penyakit yang disebabkan infeksi cacing filaria dan ditularkan melalui gigitan nyamuk. Penyakit ini tersebar luas di pedesaan dan perkotaan. Dapat dan menyerang semua golongan tanpa mengenal usia dan jenis kelamin. Di dunia terdapat 1,3 miliar penduduk yang berisiko tertular penyakit kaki gajah di lebih dari 83 negara dan 60% kasus berada di Asia Tenggara. Penyakit kaki gajah merupakan salah satu penyakit yang terabaikan (NTD/Neglelected Tropical Disease). Dapat menyebabkan kecacatan, stigma, psikososial dan penurunan produktivitas penderitanya dan lingkungannya. Diperkirakan kerugian ekonomi mencapai 43 trilyun rupiah (Kementerian Kesehatan, 2009), jika tidak dilakukan Pemberian Obat Massal Pencegahan filariasis. Dengan berbagai akibat tersebut, saat ini penyakit kaki gajah telah menjadi salah satu penyakit yang diprioritaskan untuk dieliminasi, Di prakarsai oleh WHO sejak 1999, pada tahun 2000 diperkuat dengan keputusan WHO dengan mendeklarasikan The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem by the Year Indonesia sepakat untuk memberantas filariasis sebagai bagian dari eliminasi filariasis global melalui dua pilar kegiatan yaitu : 1. Pemberian obat massal pencegahan (POMP) filariasis kepada semua penduduk di Kabupaten endemis filariasis dengan menggunakan DEC 6 mg/kg BB dikombinasikan dengan Albendazole 400 mg sekali setahun selama minimal 5 tahun berturut-turut, guna memutus rantai penularan. 2. Tatalaksana kasus klinis filariasis guna mencegah dan mengurangi Kecacatan. Grafik 2.C.1.1 Kasus Klinis Filariasis per Tahun di Indonesia Tahun 2008 sd

107 106 Grafil diatas menunjukan dari tahun 2008 sampai dengan 2011 kasus klinis filariasis meningkat dari tahun ke tahun, namun pada tahun 2012 kasus klinis filariasis ada penurunan sebesar 163 kasus, hal ini disebabkan adanya penderita yang meninggal karena penyakit lain atau umur yang sudah cukup tua. Jumlah tersebut belum menggambarkan situasi yang sebenarnya kemungkinan masih ada kasus lain yang belum dilaporkan sehingga masih perlu ditingkatkan penemuan kasus klinis filariasis di masyarakat. Tabel 2.C.1.1 Distribusi Kasus Klinis Filariasis per Provinsi Tahun 2008 sd 2012 No Provinsi Jumlah Kasus Klinis Filariasis Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kepulauan Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Papua Barat Total

108 Dari tabel diatas menunjukan kasus klinis filariasis di Indonesia tersebar di 33 provinsi. Provinsi Aceh, Nusa Tenggara Timur dan Papua mempunyai kasus klinis yang paling banyak, sedangkan jumlah kasus klinis yang kurang dari 50 terlihat di Bali, Kepuluan Riau, Maluku Utara dan Sulawesi Utara. Grafik 2.C.1.2 Persentase Penatalaksanaan Kasus Klinis Filariasis Tahun 2008 sd 2012 Grafik diatas menunjukan kasus klinis filariasis yang di tatalaksana masih dibawah 50%, memperlihatkan kegiatan penatalaksanaan kasus klinis kurang berjalan dengan baik, hal ini bisa disebakan karena masih ada stigma pada masyarakat sehingga penderita malu untuk berobat ke fasilatas pelayanan kesehatan setempat. Kegiatan tatalaksana kasus klinis filariasis harus dilaksanakan pada semua penderita. Tatalaksana ini bertujuan untuk mencegah atau mengurangi kecacatan penderita dan agar penderita menjadi mandiri dalam merawat dirinya. Setiap penderita dibuatkan status rekam medis yang disimpan di Puskesmas, dan mendapatkan kunjungan dari petugas kesehatan minimal 6 kali dalam setahun. Gambar 2.C.1.1 Kabupaten/Kota yang Melaksanakan MDA Tahun

109 Pada tahun 2012 Kabupaten/Kota endemis filariasis sebanyak 300 Kab/Kota, hanya 87 Kabupaten/Kota yang melaksanakan Pemberian Obat Massal Pencegahan (POMP) filariasis dan 32 Kabupaten/Kota yang telah selesai POMP filariasis selama 5 tahun berturut-turut. Belum semua kabupaten endemis filariasis melaksanakan POMP hal ini disebabkan kurangnya komitmen pemerintah daerah dalam menyediakan biaya operasional POMP selama minimal 5 tahun berturut- turut yang menjadi tanggung jawab Pemda, sedangkan tanggung jawab pemerintah pusat adalah menyediakan obat ,0 50,0 40,0 30,0 20,0 10,0 0,0 Target POMP Cakupan POMP % Cakupan POMP 41,3 51,0 39,4 37,7 56,5 Grafik 2.C.1.3 Cakupan Pemberian Obat Massal Pencegahan Filariasis Tahun 2008 sd 2012 Grafik diatas menunjukan adanya peningkatan cakupan pada tahun 2012 dibandingkan tahun Target POMP filariasis pada tahun 2012 adalah dan cakupan yang dicapai adalah (56,5%) untuk meningkatkan cakupan perlu dilakukan advokasi terus menerus kepada pemangku kebijakan di Kabupaten/Kota untuk mendapatkan komitmen dan kesinambungan penganggaran dalam upaya mencapai tujuan eliminasi filariasis di Indonesia tahun 2020 b. Pengendalian penyakit Schistosomiasis Schistosomiasis atau penyakit demam keong adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh cacing schistosoma (serkaria) cacing ini hidup dalam pembuluh darah vena manusia dan binatang mamalia di daerah tropik dan sub tropik. Cacing dewasa hidup di dalam vena mesenterica superior serta cabangcabangnya, di Indonesia hanya ditemukan di Provinsi Sulawesi Tengah yaitu di dataran tinggi Lindu (Kabupaten Sigi), Napu dan Bada (Kabupaten Poso). Penyakit ini pertama ditemukan di Lindu pada tahun 1937 (Brug & Tesch), sedangkan hospes perantaranya baru ditemukan pada tahun 1971 yakni berupa keong yang kemudian diidentifikasi oleh Davis dan Carney (1972) sebagai Oncomelania hupensis lindoensis, keong ini hidup ditempat-tempat yang becek terlindung dari terik matahari langsung. 108

110 Oncomelania hupensis lindoensis ukuran Oncomelania hupensis lindoensis Gambar 2.C.1.2 Daerah fokus keong Oncomelania hupensis lindoensis 109 Penyakit ini berbahaya, karena dapat menimbulkan kematian. Gejala klinis akut penyakit ini antara lain adalah urtikaria/dermatitis, demam, malaise, mual/muntah, diare. Pada tahap lanjut dapat menimbulkan sindroma disentri, ikterus, udema, ascites, hematemesis, anemia, hepato megali dan splenomegali. Akhirnya penderita dapat meninggal akibat kerusakan hepar yang irreversible atau kegagalan fungsi organ organ vital. Berbagai upaya pemberantasan telah dilakukan sejak tahun 1982 mulai bermacam bentuk kegiatan seperti pengobatan penduduk, penyuluhan, perbaikan lingkungan. Pemberantasan ditujukan pada cacing schistosoma japonicum (host), keong Oncomelania hupensis lindoensis (hospes perantara), manusia dan hewan mamalia (hospes definitif), dan lingkungan baik fisik dan maupun biologis. Dalam program pengendalian Schistosomiasis, prevalensi baik pada manusia, tikus, keong penularnya, maupun pada binatang diupayakan di bawah 1%.

111 Gambar 2.C.1.3 Siklus Penularan Schistosomiasis Daur hidup Schistosoma japonicum,dimulai ketika terjadi proses infeksi pada manusia. Infeksi ini dimulai dari masuknya bentuk infektif (cercaria) menembus kulit pada waktu manusia masuk ke dalam air yang mengandung cercaria. Di dalam tubuh manusia, cecaria akan berubah bentuk menjadi schistosomula yang akan mengikuti sistem peredaran darah, masuk kedalam jantung kanan, paru paru, ke dalam jantung kiri dan keluar ke sistem peredaran darah besar dan menjadi dewasa di dalam hati. Setelah dewasa cacing ini kembali ke vena porta dan vena usus dan kemudian cacing betina bertelur setelah berkopulasi. Telur dapat menembus keluar pembuluh darah, berimigrasi di jaringan dan akhirnya masuk ke dalam lumen usus untuk kemudian ditemukan di dalam tinja. Telur menetas dalam air,larva yang keluar disebut mirasidium. Mirasidium masuk ke dalam tubuh keong Oncomelania hupensis lindoensis dan berkembang menjadi sporokista I dan sporokista II dan kemudian menghasilkan cercaria. (Hadidjaja, 2000). Dari tahun 2008 sampai dengan 2010, situasi Schistosomiasis pada manusia, keong, dan tikus dapat digambarkan sebagai berikut : 110

112 Lindu, Kab. Sigi 2,19 2,5 4,66 0,89 1,22 Napu-Besoa, Kab. Poso 2,44 3,8 4,78 0,31 1,11 Lore Barat, Kab. Poso 5,93 Grafik 2.C.1.4 Prevalensi Schistosomiasis pada Manusia Grafik diatas menunjukan prevalensi Schistosomiasis pada manusia dari tahun 2008 s/d 2010 cenderung naik karena pada tahun 2008 dan 2009 obat prazikuantel stoknya sangat terbatas dan baru ada pada tahun 2010, pada tahun itu dilaksanakan pengobatan massal di kedua kabupaten sehingga terlihat hasilnya prevelansi pada tahun 2011 menurun drastis sampai dibawah 1%. Pada tahun 2012 prevalensi naik diatas 1% hal ini disebabkan karena perilaku masyarakat yang kurang mendukung seperti tidak pakai alas kaki atau sepatu dan masih tingginya prevalensi pada hewan perantara, tikus dan keong Lindu, Kab. Sigi 25,4 20,8 9,8 12,5 15,5 Napu-Besoa, Kab. Poso 10,4 18,2 7,92 6,67 9,4 Grafik 2.C.1.5 Prevalensi Schistosomiasis pada Tikus Grafik diatas menunjukan terjadi peningkatan prevalensi Schistosomiasis pada tikus dari tahun 2010 sampai tahun 2012 hal ini disebabkan kegiatan surveilans 111

113 pada hewan perantara tikus kurang masksimal dan masih banyak ladang yang kurang diolah dengan baik yang merupakan tempat berkembang biaknya hewan perantara tikus Lindu, Kab. Sigi 10,5 1,7 3,3 3,56 1,95 Napu-Besoa, Kab. Poso 2,2 9,7 4 1,88 1,75 Grafik 2.C.1.6 Prevalensi Schistosomiasis pada Keong Grafik diatas menunjukan adanya penurunan prevalensi Schistosomiasis pada keong Oncomelania hupensis lindoensis di kedua Kabupaten Sigi dan Kabupaten Poso, hal ini disebabkan karena di kedua wilayah endemis Schistosomiasis sudah mulai menggarap lahan-lahan yang selama ini menjadi tempat perindukan keong. Pengobatan Schistosomiasis dan Fasciolopsis Buski adalah Prazikuantel, pada tahun 2008 dan 2009 ditribusi obat prazikuantel tidak ada dikarenakan waktu itu produsen tidak memproduksi dengan alasan permintaan prazikuantel sedikit (faktor ekonomis). Tahun 2010 WHO membantu 9000 tablet prazikuantel yang didistribusikan ke Kabupaten Poso 3000 tablet, Kabupaten Sigi 3000 tablet dan Kabupaten Hulu Sungai Utara 1000 tablet. Dan APBN tahun 2010 mendistribusikan masing masing tablet untuk Kabupaten Poso dan Sigi sementara kabupaten HSU tablet dapat dilihat tabel dibw Tabel 2.C.1.2 Distribusi Obat (Prazikuantel) Schistosomis dan F. Buski Tahun 2008 sd 2012 NO Provinsi/Kabupaten/Kota Poso Tablet Sigi Tablet 2 Hulu Sungau Utara Tablet 3 Jawa Barat 100 Tablet 112 c. Pengendalian Kecacingan Di Indonesia masih banyak penyakit yang merupakan masalah kesehatan, salah satu diantaranya ialah cacingan yang ditularkan melalui tanah. Cacingan ini

114 dapat mengakibatkan menurunnya kondisi kesehatan, gizi, kecerdasan dan produktifitas penderitanya sehingga sehingga secara ekonomi banyak menyebabkan kerugian. Cacingan menyebabkan kehilangan karbohidrat dan protein serta kehilangan darah, sehingga menurunkan kualitas sumber daya manusia.prevalensi cacingan di Indonesia pada umumnya masih sangat tinggi, terutama pada golongan penduduk yang kurang mampu dengan sanitasi yang buruk. Prevalensi cacingan dapat ditunjukan pada grafik dibawah ini; Grafik 2.C.1.7 Prevalensi Cacingan Tahun 2012 Pada grafik diatas menunjukan 10 kabupaten prevalensi cacingannya diatas 20% dan prevalensi tertinggi di kabupaten Gunung Mas (76,67%) dan Kabupaten Lebak (62%) terendah di Kota Yogyakarta 0 %. Pada tahun 2012 dipilih dua Kabupaten/Kota yang telah selesai melaksanakan Pemberian Obat Massal Pencegahan (POMP) Filariasis sebelumnya, untuk melihat efektitas POMP dalam menurunkan prevalensi cacingan di kedua kabupaten/kota Tidore Kepulauan dan Kuantan Singingi dengan hasil Prevalensi <20% seperti tabel diatas dengan klasifikasi Rendah (WHO 2002). Hal ini menunjukan bahwa Pemberian Obat Massal Pencegahan Filariasis sangat membantu dalam penurunan angka kecacingan di suatu daerah seperti terlihat pada grafik dibawah ini: Tabel 2.C.1.3 Kabupaten/Kota yang Disurvei Cacing Tahun 2012 No Kabupaten/Kota Jumlah Sampel Cacing Gelang % Cacing Cambuk Hasil Cacing % Tambang % Total % 1 Tidore Kepulauan ,0 20 6, Kuantan Singingi ,3 10 3, Total ,2 113

115 2. Pengendalian Penyakit Arbovirosis a. Demam Berdarah Dengue Demam berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit infeksi virus akut yang disebabkan oleh virus dengue yang tergolong Arthropod-Borne Virus, genus Flavivirus, famili Flaviviridae. DBD ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes spp. Aedes aegypti dan Aedes albopictus merupakan vektor utama penyakit DBD. Jumlah penderita DBD yang dilaporkan pada tahun 2012 sebanyak kasus dengan jumlah kematian 816 orang (IR= 37,27 per penduduk dan CFR= 0,90 %). Selama tahun 2012 lebih kurang terdapat 14 kabupaten/kota dari 8 provinsi yang melaporkan terjadinya KLB DBD yaitu: Kota Kupang (NTT), Kab.Sumba Timur (NTT), Maluku Tenggara (Maluku), Kota Tual (Maluku), Buru (Maluku), Maluku Tenggara Barat (Maluku), Hulu Sungai Selatan (Kalsel), Kab. Pesisir Selatan (Sumbar), Kota Bukit Tinggi (Sumbar), Kab. Asahan (Sumut), Kota Gunung Sitoli (Sumut) Kab Ketapang (Kalbar), Kab. Fak-Fak (Papua Barat) dan Kab. Bone (Sulawesi Selatan). Grafik 2.C.2.1 Jumlah Kasus DBD Per Provinsi Tahun 2012 Pada tahun 2012 Jumlah kasus DBD terbanyak di Provinsi Jawa Barat yaitu kasus diikuti oleh Jawa Timur (8.177 kasus), Jawa Tengah (7.088 kasus) dan DKI Jakarta (6669 kasus).provinsi-provinsi tersebut memiliki jumlah penduduk yang besar dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi sehingga merupakan salah satu faktor resiko penyebaran DBD. 114

116 Grafik 2.C.2.2 Jumlah Kematian DBD per Provinsi Tahun 2012 Jumlah kematian DBD tertinggi pada tahun 2012 juga terdapat di Provinsi Jawa Barat yaitu 167 kematian diikuti oleh Provinsi Jawa Timur (114 kematian) dan Jawa Tengah (108 kematian); namun Provinsi DKI Jakarta memiliki jumlah kematian DBD yang rendah yaitu 4 kematian, hal ini mungkin disebabkan sistim surveilans dan manajemen penatalaksanaan kasus DBD di DKI Jakarta sudah cukup baik. Grafik 2.C.2.3 Angka Kesakitan/ IR DBD per Provinsi Tahun 2012 Target nasional angka kesakitan (IR) DBD tahun 2012 yaitu < 53 per penduduk. Terdapat 11 provinsi yang memiliki angka kesakitan DBD di atas target nasional tahun 2012 yaitu Provinsi Sulawesi Tengah, Bangka-Belitung, Kalimantan Timur, Lampung, DKI Jakarta, Kalimantan Tengah, Sumatra Barat, Bali, Kepulauan Riau dan Bengkulu. 115

117 Grafik 2.C.2.4 Angka Kematian/ CFR DBD per Provinsi Tahun 2012 Target nasional angka kematian (CFR) DBD t ahun 2012 yaitu < 1 %. Ada 12 provinsi yang memiliki angka kematian (CFR) DBD di atas target nasional tahun 2012 yaitu Provinsi Papua Barat, Maluku, Gorontalo, Bangka-Belitung, Jambi, Kalimantan Selatan, Jawa Tengah, Riau, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kepualuan Riau, dan Sulawesi Utara. Grafik 2.C.2.5 Jumlah Kabupaten/ Kota Terjangkit DBD Tahun 2008 sd 2012 Pada tahun 2012 jumlah Kabupaten/Kota terjangkit DBD mengalami peningkatan sebesar 11 % dibandingkan tahun 2011 menjadi 415 Kabupaten/Kota terjangkit. Peningkatan ini dapat disebabkan oleh semakin luasnya penyebaran DBD. 116

118 Grafik 2.C.2.6 Angka Bebas Jentik (ABJ) Tahun 2008 sd 2012 Angka Bebas Jentik (ABJ) sejak tahun 2008 sampai dengan 2012 belum mencapai target nasional ( 95%). Namun validitas data ABJ di atas belum dapat dijadikan ukuran pasti yang menggambarkan kepadatan jentik secara nasional. Hal ini dikarenakan pelaporan data ABJ belum mencakup seluruh wilayah Kabupaten/ Kota di Indonesia. Sebagian besar puskesmas tidak melaksanakan kegiatan Pemantauan Jentik Berkala (PJB) secara rutin, disamping itu kegiatan kader Juru Pemantau Jentik (JUMANTIK) tidak berjalan disebagian besar wilayah dikarenakan keterbatasan alokasi anggaran di daerah untuk kedua kegiatan tersebut. 117 Grafik 2.C.2.7 Tren Angka Kesakitan (IR) dan Angka Kematian (CFR) DBD Tahun 2008 sd 2012 Pada tahun 2011 angka kesakitan DBD sebesar 27,67 per penduduk dimana telah mencapai target nasional yaitu 54 per penduduk, begitu pula tahun 2012 angka kesakitan DBD nasional sebesar 37,27 per

119 penduduk dimana telah mencapai target nasional tahun 2012 yaitu 53 per penduduk. Pencapaian ini tidak lepas dari pengaruh kondisi cuaca yaitu curah hujan yang relativ rendah pada tahun 2011 dan 2012 di samping adanya upaya pengendalian vektor DBD yang semakin terintegrasi di daerahdaerah Grafik 2.C.2.8 Pola Kasus DBD Bulanan Tahun 2011 sd 2012 Pola kasus DBD tidak banyak berubah dari tahun ke tahun di Indonesia seperti tampak pada grafik di atas, jumlah kasus meningkat menjelang akhir tahun dan mencapai puncaknya pada bulan Januari Februari seiring dengan meningkatnya curah hujan dan populasi nyamuk Aedes spp. Kasus biasanya turun dan mencapai titik terendah pada bulan Agustus dan September. b. Demam Chikungunya Demam Chikungunya infeksi virus akut yang disebabkan virus Chik yang tergolong Arthropod-Borne Virus, genus Alphavirus famili Togaviridae. 118 Grafik 2.C.2.9 Kasus Demam Chikungunya Tahun 2008 sd 2012

120 Kejadian Demam Chikungunya mengalami penurunan kasus yang cukup signifikans dalam 2 tahun terakhir.hingga saat ini belum pernah dilaporkan adanya kematian akibat Chikungunya.Faktor penyebab turunnya kasus antara lain kondisi cuaca yang relatif kering dengan curah hujan yang rendah. Adanya community imun, jika pada lokasi pernah terkena chikungunya maka dalam jangka waktu yang lama kurang lebih 15 tahun ke depan baru akan muncul, juga ada sebagian daerah tidak melaporkan kasus chikungunya. c. Japanese Encephalitis Japanese Encephalitis (JE) adalah penyakit radang akut pada otak yang disebabkan oleh virus Japanense Encephalitis yang tergolong Flavivirus dengan dengan gejala demam, kaku pada leher, kejang dan gangguan keseimbangan serta koordinasi. JE merupakan penyakit yang berakibat fatal, hasil penelitian di RS Sanglah Bali apabila penderita sembuh dapat menimbulkan sequele (kecacatan) ± 46% dengan kematian (CFR) 16%, reservoir utama (amplifier) virus JE adalah babi. Virus JE ditularkan ke manusia lewat gigitan nyamuk. Culex tritaeniorhynchus merupakan vektor yang paling dominan. Data kasus JE di Indonesia sampai saat ini belum secara rutin diperoleh melalui surveilans JE di Rumah Sakit (RS) hanya dalam bentuk kegiatan penelitian survey serologi baik terhadap manusia dan reservoir-nya yang dilakukan oleh Badan Litbangkes dan Ditjen PP & PL. Grafik 2.C.2.10 Kasus Tersangka Japanese Encephalitis Tahun 2008 sd Pada tahun 2009 terdapat 25 kasus tersangka Japanese Encephalitis dengan gejala klinis menyerupai meningoencephalitis di Kecamatan Tangguladang, Kabupaten Sitaro Provinsi Sulawesi Utara. Tahun 2010 dilaporkan 2 kasus tersangka JE yang dirawat di RSUPN Cipto Mangunsumo (1 kasus dari Bekasi Barat dan 1 kasus dari Jakarta Barat). Sedangkan pada tahun 2011 dan 2012 tidak ada laporan kasus tersangka JE. Surveilans JE yang belum berjalan optimal dan kesulitan untuk mendiagnosis pasti penderita dengan ensefasilitis lainnya di Indonesia merupakan kendala utama dalam menilai besaran masalah

121 yang sebenarnya. Hal ini menyebabkan sebagian besar kasus JE tidak terlaporkan dari daerah-daerah. Gambar 2.C.2.1 Pencanangan Gerakan Bersama Pemberantasan Sarang Nyamuk (GEBER PSN) Dalam Rangka Hari Kesehatan Nasional ke -48 di Palangkaraya-Kalimantan Tengah Tanggal 20 November

122 Gambar 2.C.2.2 Kegiatan Penyuluhan oleh Jumantik di Wilayah Bandung Jawa Barat Gambar 2.C.2.3 Kegiatan Pemantauan Jentik oleh Jumantik di Wilayah Bandung Jawa Barat 121 Gambar 2.C.2.4 Peringatan Hari Dengue ASEAN (ASEAN Dengue Day) ke-2 tanggal 15 Juni 2012 di Kota Medan

123 Pengendalian Penyakit Malaria Malaria merupakan salah satu penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat baik di dunia maupun di Indonesia. Malaria di dunia berdasarkan The World Malaria Report 2011 sebanyak lebih dari 655 ribu orang meninggal pada tahun 2010 dimana 81% terjadi di Afrika, dan 6% nya terjadi di Asia. Secara keseluruhan terdapat 3,3 Milyar penduduk dunia tinggal di daerah berisiko (endemis) malaria yang terdapat di 106 negara. Indonesia merupakan salah satu negara yang masih terjadi transmisi malaria (Berisiko Malaria/Risk- Malaria), dimana pada tahun 2010 terdapat sekitar kasus malaria positif, sedangkan tahun 2011 menjadi kasus. Upaya penanggulangan malaria telah dilakukan sejak lama, dimulai pada dekade tahun yang pada akhir periode ini Presiden Soekarno mencanangkan program pembasmian malaria yang dikenal dengan sebutan Komando Operasi Pembasmian Malaria (KOPEM). Tanggal 12 November tersebut kemudian ditetapkan sebagai Hari Kesehatan Nasional. Penggalakkan pemberantasan malaria melalui gerakan masyarakat yang dikenal dengan Gerakan Berantas Kembali Malaria atau Gebrak Malaria telah dicetuskan pada tahun Gerakan ini merupakan embrio pengendalian malaria yang berbasis kemitraan berbagai sektor dengan slogan Ayo Berantas Malaria. Berdasarkan Gebrak Malaria tersebut, dalam rangkaian Peringatan Hari Malaria Sedunia tahun 2012 dibentuklah Forum Nasional Gebrak Malaria (FNGM) pada tanggal 12 April Anggota FNGM ini berasal dari berbagai bidang, sektor dan institusi. FNGM ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi kebijakan program pengendalian Malaria menuju eliminasi. Pengendalian malaria di Indonesia yang tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 293/MENKES/SK/IV/2009 tanggal 28 April 2009 tentang Eliminasi Malaria di Indonesia bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang hidup sehat, yang terbebas dari penularan malaria secara bertahap sampai tahun Strategi yang ditempuh adalah pencapaian eliminasi secara bertahap dengan sasaran dan target sebagai berikut : 1. Kepulauan Seribu (Provinsi DKI Jakarta), Pulau Bali, dan pulau Batam pada tahun 2010; 2. Pulau Jawa, Provinsi NAD, dan Provinsi Kepulauan Riau pada tahun 2015; 3. Pulau Sumatera (Kecuali Provinsi NAD dan Provinsi Kepulauan Riau), Provinsi NTB, Pulau Kalimantan, dan Pulau Sulawesi pada tahun 2020; dan 4. Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat, Provinsi Maluku, Provinsi NTT dan Provinsi Maluku Utara, pada tahun Kebijakan dalam pengendalian malaria adalah : 1. Semua penderita yang dicurigai malaria harus dikonfirmasi laboratorium baik menggunakan mikroskop maupun test diagnostic cepat (Rapid Diagnostic Test/RDT) 2. Pengobatan menggunakan terapi kombinasi Artemisinin (Artemisinin based Combination Therapy / ACT) 3. Pencegahan dengan menggunakan kelambu berinsektisida, penyemprotan dinding rumah (Indoor Residual Spraying/IRS). 4. Kemitraan melalui Forum Gebrak Malaria

124 5. Peningkatan peran serta masyarakat seperti melalui Pos malaria desa (Posmaldes), desa siaga. a. Endemisitas Malaria Stratifikasi endemisitas wilayah di Indonesia dibagi menjadi : Endemis Tinggi adalah API > 5 per penduduk Endemis Sedang adalah API berkisar antara 1 < 5 per penduduk Endemis Rendah adalah API 0-1 per penduduk Non Endemis adalah daerah yang tidak terdapat penularan malaria (Daerah pembebasan malaria) atau API = 0, seperti Provinsi DKI Jakarta. Dari data yang dilaporkan ke Subdit Malaria diperoleh gambaran peta endemisitas malaria sebagai berikut: Gambar 2.C.3.1 Peta Endemisitas Malaria di Indonesia Tahun 2010 Gambar 2.C.3.2 Peta Endemisitas Malaria di Indonesia Tahun

125 Gambar 2.C.3.3 Peta Endemisitas Malaria di Indonesia Tahun 2012 Berdasarkan peta endemisitas tersebut diatas diperoleh gambaran tentang situasi endemisitas malaria di kabupaten/kota di Indonesia pada tahun Sedangkan persentase kab/kota berdasarkan tingkat endemisitasnya pada tahun 2010, 2011 dan 2012 dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 2.C.3.1 Tingkat Endemisitas Kabupaten/Kota di Indonesia berdasarkan API Tahun 2010 sd 2012 Tingkat Endemisitas Kab/Kota Rendah % 71 % 71.22% Sedang % 17 % 15.90% Tinggi % 12 % 12.88% Dari gambaran peta dan tabel endemisitas malaria di Kabupaten/Kota terlihat penurunan jumlah daerah endemis tinggi dimana pada tahun 2009 kabupaten/kota yang termasuk daerah endemis tinggi sebanyak 24,1 %, pada tahun 2010 sebanyak 16,97% dan pada tahun 2012 sebanyak 12,88 %. Data kasus tahun 2012 mempunyai tingkat kelengkapan laporan sebesar 80%. Dari peta endemisitas terlihat bahwa papua, papua barat dan NTT masih berwarna merah (endemis tinggi) karena kondisi geografis dan banyak daerah terpencil (menyebabkan kesulitan untuk akses ke layanan kesehatan), keterbatasan sumber daya manusia, sarana dan prasarana. 124 b. Angka Kesakitan Malaria Secara nasional kasus malaria selama tahun cenderung menurun yaitu pada tahun 2005 angka Annual Paracite Incidence (API/ Insidens parasit malaria) sebesar 4,10/1.000 menjadi 1,69/1.000 penduduk pada tahun Angka ini cukup bermakna karena diikuti dengan intensifikasi upaya pengendalian malaria yang salah satu hasilnya adalah peningkatan cakupan pemeriksaan sediaan darah atau konfirmasi laboratorium (lihat grafik

126 Persentase Pemeriksaan Sediaan darah suspek Malaria tahun 2008 sd 2012). Angka kematian malaria tahun 2012 di Indonesia sebanyak 252 orang. Dalam Renstra Kemenkes RI tahun 2010 sd 2014, malaria menjadi salah satu indikator kinerja kementerian kesehatan dengan target dan capaian sebagai berikut : Tabel 2.C.3.2 Target dan capaian Indikator P2 Malaria pada Renstra Kementerian Kesehatan RI Tahun 2010 sd 2014 Indikator Renstra Kemenkes RI Dalam Pengendalian Malaria : Angka Penemuan Kasus Malaria Per Penduduk (API per Penduduk) TAHUN 2010 TAHUN 2011 TAHUN 2012 TAHUN 2013 Target 2 1,75 1,5 1,25 1 Capaian 1,96 1,75 1,69 TAHUN 2014 Berdasarkan tabel di atas, API (Annual Paracite Incident) per penduduk telah mengalami penurunan walaupun target renstra tahun 2012 sebesar 1,5 tidak tercapai. API tidak mencapai target karena: 1. Kelengkapan laporan meningkat, yaitu sebesar 87% (dibandingkan dari tahun sebelumnya) 2. Kesadaraan Health seeking behaviour meningkat sehingga masyarakat yang sakit banyak yang datang ke Unit Layanan Kesehatan. Dan diikuti dengan pengobatan bagi penderita positif malaria 3. Persentase Konfirmasi laboratorium meningkat menjadi 93 %. Sebaran jumlah kasus malaria menurut provinsi tahun 2012 dapat dilihat pada grafik berikut : Grafik 2.C.3.1 Distribusi Jumlah Kasus Malaria per Provinsi di Indonesia Tahun

127 Berdasarkan grafik tersebut dapat dilihat, bahwa jumlah kasus malaria paling tinggi masih di daerah timur Indonesia seperti NTT, Papua dan Papua Barat, namun jika dilihat API nya, maka yang tertinggi adalah Provinsi Papua. c. Persentase Pemeriksaan Sediaan Darah (Konfirmasi Laboratorium) Grafik 2.C.3.2 Persentase Pemeriksaan Sediaan Darah Suspeck Malaria Tahun 2008 sd 2012 Berdasarkan cakupan konfirmasi laboratorium belum semua suspek malaria dilakukan pemeriksaan sediaan darahnya baik secara mikroskopis (laboratorium) maupun dengan Rapid Diagnosis Test (RDT) Malaria. Dari tahun 2008 sd 2012 pemeriksaan sediaan darah terhadap jumlah suspek malaria terus meningkat secara signifikan yaitu pada tahun 2008 sebesar 48% sedangkan pada tahun 2012 meningkat menjadi 93%. d. Persentase Penderita Malaria yang Diobati Persentase penderita malaria yang diobati merupakan persentase penderita malaria yang diobati sesuai pengobatan standar dalam kurun waktu 1 tahun dibandingkan dengan jumlah kasus malaria positif dalam tahun tersebut. Pencapaian persentase penderita malaria yang diobati ACT pada tahun 2012adalah sebesar 81,78% yaitu setiap penderita tersangka malaria dilakukan pemeriksaan sediaan darah dan apabila hasilnya positif maka diobati menggunakan ACT. Angka ini meningkat dibanding tahun 2010 yang baru mencapai 66,3%. Pengobatan terhadap penderita positif malaria belum 100% dikarenakan: masih adanya pengobatan malaria dengan menggunakan obat selain ACT (misal khloroquin) dan ACT tidak boleh dikonsumsi oleh ibu hamil trimester pertama. e. Upaya Pencegahan Penularan Malaria Pemakaian kelambu berinsektisida merupakan salah satu strategi untuk mengurangi faktor resiko penularan malaria. Dalam rangka pencapaian salah satu tujuan dari Millenium Development Goals (MDGs), yaitu maka kegiatan program pengendalian malaria terkait yang telah dijalankan saat ini adalah dengan pembagian kelambu yang bertujuan untuk melindungi penduduk dari 126

128 gigitan nyamuk penyebab penyakit malaria terutama untuk balita dan ibu hamil. Grafik 2.C.3.3 Jumlah Kelambu yang sudah Didistribusikan ke Masyarakat Tahun 2008 sd 2012 Saat ini di Indonesia, jumlah penduduk berisiko adalah sekitar 149 juta jiwa dan jumlah kelambu yang telah tersedia dimasyarakat sampai dengan tahun 2012 sekitar 6,4 juta kelambu. Jumlah kelambu tersedia dimasyarakat adalah jumlah kelambu yang sudah didistribusikan dikurangi dengan jumlah kelambu yang sudah kadaluarsa (lebih dari 3 tahun sejak didistribusikan). Apabila 1 kelambu diperkirakan mampu melindungi 2 sd 3 orang dari anggota keluarga maka sekitar 12,8 sd 19,2 juta jiwa yang terlindungi dengan kelambu. Pada tahun 2012 jumlah kelambu yang dibagikan sebanyak buah, dibagikan ke seluruh Provinsi di Indonesia kecuali : DKI Jakarta, Jawa Barat dan Aceh. Kebijakan Pendistribusian kelambu malaria Indonesia saat ini adalah : 1) Penggunaan kelambu berinsektisida harus didasarkan pada data penyakit malaria dan memperhatikan sosial budaya masyarakat 2) Pelaksanaan distribusi dan penggunaan kelambu dilakukan secara rutin dan kampanye, dengan pendekatan integrasi antara lintas program, lintas sektor serta mitra terkait. 3) Kelambu berinsektisida yang digunakan harus mengacu pada ketentuan teknis 4) Seluruh penduduk berisiko terlindungi dari penularan malaria melalui penggunaan kelambu berinsektisida 5) Penggunaan kelambu berinsektisida, diutamakan yang efektifitasnya lama (LLIN s). 127

129 128 Sedangkan strategi pendistribusian kelambu dilakukan dengan : 1) Menggalang Kemitraan dengan Lintas program, Lintas sektor, LSM/Civil Society, Swasta dan Masyarakat dalam perencanaan, pengadaan, distribusi dan pemantauan penggunaan. 2) Melaksanakan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) agar masyarakat bersedia menggunakan kelambu berinsektisida sehingga penggunaan kelambu dianggap sebagai kebutuhan (budaya). 3) Memberdayakan Masyarakat hingga mampu membeli kelambu berinsektisida sendiri antara lain melalui sistim bergulir (revolving fund) atau arisan. 4) Mendukung ketersediaan dan kemudahan masyarakat untuk mendorong & memperoleh secara gratis dan ataumembeli kelambu berinsektisida, serta 5) Meningkatkan advokasi, fasilitasi dan pembinaan dalam pendistribusian kelambu di masyarakat. Selain pendistribusian kelambu kepada populasi berisiko, upaya pencegahan penularan malaria lainnya adalah penyemprotan rumah dengan menggunakan insektisida atau indoor residual spraying. f. Dukungan Kegiatan Pengendalian Malaria 1) Forum Gebrak Malaria / Roll Back Malaria Upaya penanggulangan malaria tidak berhasil optimal bila hanya bertumpu pada sektor kesehatan semata karena berkaitan dengan berbagai aspek lainnya. Hal inilah yang mendasari negara-negara WHO berkomitmen untuk meluncurkan gerakan intensifikasi pengendalian malaria dengan kemitraan global, Roll Back Malaria Initiative (RBMI) pada Oktober Sebagai bentuk operasional dari RBMI, di Indonesia upaya pemberantasan malaria melalui kemitraan dengan seluruh komponen masyarakat ini dikenal sebagai Gerakan Berantas Kembali Malaria (Gebrak Malaria), dicanangkan oleh Menteri Kesehatan pada 8 April 2000 di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Lebih lanjut, Indonesia bertekad untuk melakukan eliminasi malaria pada 2030, sesuai dengan Keputusan Menkes No.293/Menkes/SK/IV/2009 tanggal 28 April 2009 tentang Eliminasi malaria di Indonesia. Pelaksanaan Gebrak Malaria di berbagai daerah harus dilaksanakan secara intensif dan komprehensif dengan melibatkan berbagai sektor, keahlian, organisasi profesi dan organisasi kemasyarakatan terkait sebagai mitra. Oleh karena itu, pada rangkaian Peringatan Hari Malaria Sedunia tahun 2012, dibentuklah Forum Nasional Gebrak Malaria (FNGM) pada tanggal 12 April Anggota FNGM ini berasal dari berbagai bidang, sektor dan institusi. FNGM ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi kebijakan program pengendalian Malaria menuju eliminasi. Forum Nasional Gebrak Malaria merupakan forum koordinasi lintas program dan lintas sektor yang bertugas membantu Menteri Kesehatan melalui Direktorat Jenderal PP dan PL untuk merumuskan berbagai kebijakan dan strategi dalam menggerakkan kegiatan pengendalian malaria, serta menggalang kemitraan dengan berbagai stakeholder terkait menuju

130 tercapainya eliminasi malaria tahun Forum ini terbagi menjadi enam komisi, yaitu Komisi Diagnosis dan Pengobatan Malaria; Komisi Laboratorium; Komisi Penilaian Eliminasi; Komisi Pengendalian Faktor Risiko; Komisi Kemitraan; dan Komisi Operasional Riset. Secara umum, Forum Nasional Gebrak Malaria memiliki tugas untuk melakukan kajian ilmiah tentang pelaksanaan diagnosis dan pengobatan malaria terkini guna merekomendasikan strategi dan pedoman penatalaksanaan kasus malaria yang efektif dan aman; melakukan kajian ilmiah tentang kualitas laboratorium dan pemeriksaan malaria serta merekomendasikan hasilnya; melakukan advokasi dan sosialisasi ditingkat pusat dan daerah untuk meningkatkan kemitraan dan komitmen; melakukan telaah terhadap hasil penilaian tim monitoring eliminasi di Kabupaten/Kota atau Provinsi dan mengusulkan kepada Menteri Kesehatan untuk memperoleh sertifikat bebas malaria tingkat wilayah dan kepada WHO untuk tingkat nasional apabila memenuhi persyaratan; melakukan telaah kebijakan pengendalian vektor malaria dan faktor risiko lainnya; serta merumuskan, memfasilitasi dan menggerakkan kerjasama lintas program dan lintas sektor. 2) Pusat Pengendalian Malaria (Malaria Center) Pusat Pengendalian Malaria (Malaria Center) adalah wadah yang dibentuk atas inisiatif dan komitmen Pemerintah Daerah sebagai pusat koordinasi kegiatan pengendalian malaria dari berbagai aspek menuju eliminasi dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan yang terkait dibawah koordinasi Kepala Daerah. Kepala daerah, seperti Gubernur di tingkat provinsi dan Bupati/Walikota pada tingkat kabupaten/kota, bertanggung jawab untuk kegiatan Malaria Center. Tujuan Pendirian Malaria center adalah mendukung pemerintah daerah dalam upaya pengendalian malaria menuju percepatan eliminasi malaria. Beberapa Malaria Center telah didirikan di Provinsi Maluku Utara dan beberapa kabupaten di Maluku Utara, yaitu Tidore Kepulauan, Halmahera Selatan, Halmahera Barat, Halmahera Tengah, Ternate, Halmahera Timur dan Kepulauan Sula, serta Provinsi Sumatera Utara yaitu Kabupaten Mandailing Natal. AIDS, TB dan Malaria Center di Provinsi Aceh, di Malaria Center juga memiliki fungsi sebagai pusat pelatihan di beberapa Provinsi. 129

131 Berikut adalah foto - foto gedung Malaria Center: Gambar 2.C.3.4 Malaria Center di Halmahera Selatan Maluku Utara Gambar 2.C.3.5 Malaria Center di Mandailing Natal Sumatera Utara Gambar 2.C.3.6 ATM Center di Aceh 130

132 3) Pos Malaria Desa (Posmaldes) Pos malaria desa atau posmaldes merupakan tempat untuk pemberdayaan masyarakat dalam pengendalian malaria, dibentuk secara mandiri dan berkelanjutan oleh dan untuk masyarakat. Sampai dengan tahun 2012 telah dibentuk 2000 posmaldes di daerah di Indonesia Timur dan NTB. Serta 225 Posmaldes di wilayah Kalimantan dan Sulawesi. Tujuan dari pendirian posmaldes adalah untuk mengurangi angka kesakitan dan kematian malaria dengan meningkatkan penemuan kasus dan pengobatan melalui partisipasi aktif dari masyarakat. Ditargetkan pada tahun 2013 akan didirikan sebanyak 80 pos malaria desa di daerah Kalimantan dan Sulawesi. Berikut adalah foto foto Pos Malaria Desa dan kadernya: Gambar 2.C.3.7 Pos Malaria Desa dan Kader Posmaldes 131 Data Kematian Malaria Tahun 2012

133 4. Pengendalian Vektor Penyakit tular vektor masih menjadi masalah utama di Indonesia. Salah satu upaya preventif pengendalian penyakit tular vektor yaitu dengan melakukan pengendalian vektor. Subdit Pengendalian Vektor sebagai pengatur dan pelaksana regulasi pengendalian vektor di Dirjen PPPL, tahun 2012 mempunyai 12 orang tenaga, terdiri dari 1 orang doktor entomolog kesehatan, 4 orang magister entomolog kesehatan, 4 orang sajana kesehatan dan 3 orang pendidikan SMU sederajat. Selain ruang administrasi kantor, Subdit Pengendalian Vektor juga mempunyai ruang laboratorium entomolog kesehatan yang digunakan untuk menyimpan spesimen, membiakan nyamuk serta menganalisis bahan dan peralatan pengendalian vektor. Selama tahun 2012, Subdit Pengendalian Vektor telah berbagai kegiatan, yang terbagi menjadi kegiatan peningkatan SDM entomolog kesehatan, pemetaan vektor dan survei entomologi. a. Pemetaan Vektor (Mapping Vektor) Data pemetaan vektor diperoleh dari laporan konfirmasi hasil survei vektor yang dilaksanakan oleh Tingkat Pusat dan Tingkat Provinsi serta Kabupaten/Kota dengan sumber dana dari APBN, Bantuan Luar Negeri, APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Target indikator pada rencana aksi kegiatan Direktorat Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang sampai dengan tahun 2012 adalah 50%, indikator dan telah mencapai 52% atau mencapai target. Tabel 2.C.4.1 Realisasi Pemetaan Vektor di Indonesia Tahun 2010 sd

134 Grafik 2.C.4.1 Persentase Pemetaan Vektor pada Kabupaten/Kota per Provinsi Tahun 2012 Gambar 2.C.4.1 Peta Sebaran Vektor Malaria di Indonesia 133

135 Gambar 2.C.4.2 Peta Resistensi Ae. Aegypti di Indonesia Tahun 2004 sd 2012 Gambar 2.C.4.3 Peta Resistensi Vektor Malaria di Indonesia Tahun 2007 sd 2012 b. Survei Entomologi Kesehatan Kegiatan survei entomologi kesehatan yang dilaksanakan pada tahun 2012 dengan sumber dana APBN kegiatan survei cepat pada situasi khusus KLB pada 4 Provinsi (Jawa Barat, Sumatera Barat, Maluku Utara, NAD, DKI Jakarta) dan kegiatan Longitudinal Survei pada 10 Provinsi dari sumber dana Bantuan Luar Negeri. Tabel 2.C.4.2 Beberapa Kegiatan Survai Cepat, Longitudinal Survei Kegiatan Tahun Lokasi Sumber biaya 2012 Cirebon-Jabar, Pesisir Selatan- APBN Sumbar, Morotai-Maluku Utara, Bireun-Aceh, Kepulauan Seribu Provinsi DKI Jakarta (4 Provinsi) Survai cepat pada situasi khusus (KLB) Longitudinal Survai Vektor Malaria Kalimantan-Sulawesi (10 Provinsi), tiap bulan sekali GF R 8 134

136 Kegiatan survei cepat yang bersumber biaya APBN 2012 dilakukan di 5 (lima) lokasi/provinsi yaitu Jawa Barat(Kota Cirebon), Sumatera Barat (Kabupaten Pesisir Selatan), Maluku Utara(Kabupaten Morotai) dan Provinsi NAD (Kabupaten Bireun). Kegiatan survei cepat vektor tahun 2012 dilaksanakan pada situasi khusus yaitu: 1) Pada saat KLB penyakit Chikungunya di kecamatan Gandapura, Kabupaten Bireun Provinsi NAD 2) KLB DBD di Kabupaten Pesisir Selatan, Provinsi Sumatera Barat 3) Persiapan sail morotai di Kabupaten Morotai Provinsi Maluku Utara 4) Terjadinya peningkatan kepadatan populasi nyamuk di Kota Cirebon 5) Dalam rangka mendukung eliminasi malaria di Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta. Tujuan dari kegiatan survei cepat adalah : untuk mengetahui gambaran faktor resiko kemungkinan terjadinya penyakit tular vektor sebagai upaya pencegahan atau pengendalian vektor yang tepat di lokasi khusus. Dari hasil kegiatan survai cepat yang telah dilaksanakan di masing-masing Provinsi dapat diketahui bahwa : 1. Kota CirebonProvinsi Jawa Barat Dari informasi masyarakat dilaporkan bahwa kota Cirebon mengalami peningkatan kepadatan populasi nyamuk yang aktif menggigit malam hari. Untuk itu dilakukan survei cepat di 5 kecamatan, masing-masing kecamatan 1 kelurahan dan masing-masing kelurahan 1 RW. Lokasi yang disurvei adalah : - Kecamatan Pekalipan, kelurahan jakasatru, RW 04, 1 kasus - Kecamatan Harja Muhti, kelurahan Larangan, RW 01, 23 kasus - Kecamatan Kesambi, kelurahan Karya mulia, RW 17, 13 kasus - Kecamatan Kejaksan, kelurahan Sukapura, RW 04, 1 kasus - Kecamatan Wungkuk, kelurahan pengambiran, RW 14, 1 kasus Dari hasil survei cepat (entomologi) yang dilakukan di 5 kecamatan dan 6 kelurahan di kota cirebon didapatkan bahwa tempat perkembangbiakan potensial Ae aegypti yang ditemukan adalah bak mandi, ember, drum, bak WC dan tempayan dengan Angka Bebas Jentik (ABJ) rata-rata 94 %. Sebagian besar jentik Ae. aegypti dominan ditemukan di bak mandi. Selain itu ditemukan pula tempat perkembangbiakan potensial nyamuk culex di Parit/anak sungai yang ada di 5 kecamatan dan 6 kelurahan tersebut dengan kepadatan tinggi yaitu 40 ekor/cidukan. Kondisi lingkungan di parit tersebut banyak sampah sehingga air tidak mengalir. Hal itu yang menyebabkan terjadinya peningkatan kepadatan nyamuk Culex sp. Dari hasil penangkapan nyamuk pada malam hari ditemukan nyamuk Culex sp. dengan jumlah yang cukup tinggi 10 ekor/menit. 135

137 Kegiatan pengendalian vektor antara lain larvasidasi sudah dilaksanakan dengan menggunakan insektisida vectobac WG dengan pelarut air lalu disemprotkan ke tempat saluran-saluran air yang terdapat jentik Culex sp.disamping itu melakukan pembersihan sampah di saluran air secara gotong royong.kegiatan Fogging tidak perlu dilakukan di lokasi karena dari hasil pengamatan vektor dan kasus DBD di 5 (lima) wilayah kecamatan cukup rendah sehinggakurang efektif terhadap nyamuk Culex sp. Fogging hanya efektif kurang lebih menit. Nyamuk Culex sp. aktif menggigit pada malam hari. 2. Kabupaten Pesisir Selatan- Provinsi Sumatera Barat. Kegiatan survei cepat vektor dilaksanakan di Desa Nagari Pasir Ganting Kecamatan Pancung soal wilayah kerja Puskesmas Indrapura, kabupaten pesisir selatan, Provinsi Sumatera Barat dalam rangka investigasi KLB. Tujuankegiatan survei cepat vektor adalah untuk memastikan terjadinya KLB dan penyakit yang menyebabkan KLB,mengidentifikasi wilayah penyebaran kasus dan;mempelajari faktor risiko terjadinya KLB dan identifikasi vektor di daerah KLB. Dari hasil survei cepat vektor diketahui KLB DBD di Desa Pasir Ganting terjadi karena ditemukan vektor dan agen penular penyakit di daerah tersebut yaitu ditemukannya jentik Aedes sp. (Ae.aegypti dan Ae.albopictus) dengan nilai ABJ (Angka Bebas Jentik) yang rendah (ABJ PE69,6%) dan (ABJ Survei93,02%). Disamping itu Kabupaten Pesisir Selatan merupakan daerah endemis DBD, sehingga dengan mobilitas penduduk resiko penularan dan penyebaran kasus sangat memungkinkan. Sampai dengan bulan April 2012, Desa Pasir Ganting tidak dilaporkan adanya kasus malaria, meskipun sebagai daerah endemis malaria.hal ini bisa disebabkan karena tidak ditemukan jentik Anopheles sp. pada saat dilakukan survei pada breeding places yang berupa lagoon dan kobakan yang disebabkan kondisi breeding places telah mengalami perubahan, sehingga tidak menjamin survival dari jentik Anopheles sp, oleh karena itu sebaiknya perlu dilakukan Human Landing Collection (HLC) untuk mengetahui kepadatan nyamuk dewasa Anopheles sp.di lokasi juga masih ditemukan penderita baru suspek DBD di Pasir Ganting maka periode KLB Demam Berdarah Dengue belum berakhir sehingga masih perlu dilakukan upaya monitoring. Upaya pengendalian telah dilakukan Dinas Kesehatan Kabupaten Pesisir Selatan melalui penyuluhan/sosialisasi, larvasidasi dan fogging, namun perlu upaya yang lebih cepat dalam deteksi dini kasus dan upaya preventif lainnya. Diagnosa kasus DBD di Puskesmas berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan fisik sehingga perlu ditunjang dengan pemeriksaan penunjang lain (laboratorium). 3. Kabupaten Morotai Provinsi Maluku Utara. Kegiatan survei cepat di kabupaten morotai dilakukan dalam rangka persiapan sail morotai yang dilakukan untuk mengetahui faktor resiko 136

138 terjadinya penyakit tular vektor di Kabupaten Morotai dalam upaya pencegahan dan pengendalian penyakit tular vektor.lokasi kegiatan Sail Morotai direncanakan dilakukan di Desa Daruba, Bere-bere, Sofi, Pulau Dodola dan pulau Sumsum. Dari hasil survei jentik nyamuk ditemukan tempat perkembangbiakan potensial positif jentik Aedessp. berupa tempurung kelapa, perahu nelayan, ember, drum, bak mandi. Selain itu ditemukan pula tempat perkembangbiakan jentik positif Anopheles sp. dirawa, sekitar permukiman penduduk dan bandara, parit, kubangan bekas hewan dan bekas kendaran serta parit(galian) yang belum selesai dikerjakan.dari survei nyamuk malam hari di pulau Dodala dan pulau Sumsum ditemukan nyamuk Culex sp dan Aedes sp dan agas. Di lokasi (wilayah) dilakukan pula survei lalat yang banyak ditemukan atau berpusat di pasar disebabkan pengelolaan sampahnya kurang baik. 4. Kabupaten Bireun- Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Menurut Dinkes Kabupaten Bireun, NAD, Di Kecamatan Gandapura Kabupaten Bireun, Provinsi NAD terjadi peningkatan kasus tersangka Chikungunya, di tahun 2010 ditemukan 33 suspect chikungunya, pada bulan Desember 2011 ditemukan22 suspect chikungunya, dan pada tanggal 24 Januari 2012 ditemukan 58 suspect chikungunya. Total suspectchikungunya dari tanggal 27 Desember 2011 sampai dengan 24 Januari 2012 sebanyak 80 orang suspect.berdasarkan laporan KLB (W1) di Kecamatan Gandapura telah terjadi KLB Cikungunya di 5 desa yaitu Desa Cot Jabet, Lingka Kuta, Lapang Timu, Alumangki, Teupin Siron. Dari hasil kegiatan survei cepat vektor cikungunya diketahui bahwa wilayah kerja Puskesmas Gandapura, Kabupaten Bireun, Provinsi NAD ditemukan beberapa jenis tempat perkembangbiakan positif jentik Aedes sp. berupa bak mandi, ember, vas bunga, dispenser, drum, ban bekas, tempurung kelapa, botol bekas.sebagian besar ditemukan di ban bekas. Dari 830 container yang diperiksa, 87 container positif jentik Aedes (CI 10,5%), Dari 163 rumah yang diperiksa, 46 rumah positif jentik (HI 28,2%), dan Angka Bebas jentik (ABJ: 71,8%). Meningkatnya kasus Chikungunya di kecamatan Gandapura, Kabupaten Bireun- NAD kemungkinan karena kurangnya penyuluhan kepada masyarakat, serta peran serta masyarakat dalam pemantauan jentik berkala dan PSN, kurangnya SDM di puskesmas dalam pengendalian vektor.dari hasil survai cepat vektor dapat disimpulkan bahwa dalam intervensi nyamuk tempat-tempat perkembangbiakan potensial nyamuk Aedes sp yang sulit dikuras atau yang terbengkalai supaya diberikan larvasida. Dalam fogging /pengasapan nyamuk dewasa perlu diperhatikan dosis, waktu, cuaca dan tenaga. 5. Kabupaten Kepulauan Seribu- Provinsi DKI Jakarta. Survei cepat (rapid survei) monitoring eliminasi malaria di kepulauan seribu, Provinsi DKI Jakarta, dilakukan di Pulau Pramuka, Pulau Untung Jawa.Dari hasil survei cepat didapatkan bahwa dalam metodologi mapping vector perlu mempertimbangkan parameter-parameter sebagai berikut, 137

139 larva tiap cidukan, salinitas, ph dan suhu. Sehingga parameter-parameter tersebut saling melengkapi. Dari survei vektor di Pulau Pari ditemukan Larva Anopheles sundaicus denganbreeding places berupa empang, salinitas 25. Larva Ae.aegyptiditemukan pada sumur yang berada diluar rumah, Larva Culex spp. ditemukan di empang dengan salinitas Di lokasi kegiatan perlu dilakukan uji kerentanan vektor malaria (monitoring insektisida), karena data ini yang belum dimiliki oleh Dinkes Provinsi DKI Jakarta dan Dinkes Kabupaten Pulau Seribu. Dalam upaya pengendalian vektor malaria perlu peningkatan kerjasama lintas sektoral, perlu SDM dibidang entomologi/pengendalian vektor malaria. Tabel 2.C.4.3 Hasil Uji Kerentanan Vektor Malaria dan Demam Berdarah Dengue No Kegiatan Tahun Lokasi Sumber biaya 1. Uji kerentanan Kalimantan-Sulawesi (10 GF R 8 vektor malaria provinsi) 2012 (Mei) Belu-NTT APBN 2012 (Agustus) Paser-Kaltim APBN 2012 (September) Sorong-Papua Barat APBN 2. Uji kerentanan 2012 (Bulan Mei ) Langkat-Sumut APBN vektor DBD (Bulan Juni) DKI Jakarta APBD-DKI Jakarta (Pelaksana BBTKL- Jakarta) c. Monitoring dan Evaluasi Kerentanan Vektor Monitoring dan evaluasi kerentanan vektor dilakukan untuk mengetahui ketahanan nyamuk terhadap insektisida yang telah digunakan. Monitoring dan evaluasi kerentanan dilakukan terhadap vektor DBD dan vektor malaria. Hasil evaluasi kerentanan terhadap vektor DBD (Aedes aegypti) menunjukan bahwa di Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur telah resisten terhadap insektisida malathion 0,8% dan cypermethrin 0,025 %, serta toleran di Jambi, Kalimantan Barat, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Utara Monitoring evaluasi pemetaan kerentanan vektor DBD dilakukan di 8 lokasi Provinsi: 1) Sumatera Utara (Kabupaten Langkat), 2)Jawa Barat (Kabupaten Cirebon), 3) Jawa Tengah (Kabupaten Demak), 4) Jawa Timur (Kabupaten Bangkalan), 5) Jambi (Kabupaten Batang Hari), 6) Kalimantan Barat (Kabupaten Ketapang), 7) Sulawesi Tenggara (Kabupaten Konawe Selatan), 8) Sulawesi Utara (Kabupaten Bitung). Latar belakang pemilihan lokasi dengan kriteria : - Lokasi tersebut merupakan daerah endemis DBD - Pernah dilakukan penyemprotan ( Indoor Residual Spraying) vektor DBD dengan menggunakan insektisida yang telah digunakan di lokasi. - Belum pernah dilakukan uji kerentanan vektor DBD. 138

140 Tujuan monitoring evaluasi pemetaan kerentanan vektor DBD untuk mengetahui gambaran keberadaan vektor DBD dan faktor resiko serta permasalahan lainnya, status kerentanan dan sejarah penggunaan insektisida terhadap vektor DBD yang digunakan di lokasi survei. Hasil kegiatan Monitoring dan Evaluasi Pemetaan Kerentanan Vektor DBD di 8 (delapan) Provinsi dapat dilihat pada lampiran 6. Hasil evaluasi kerentanan terhadap vektor malaria menunjukan bahwa An. subpictus di Nusa Tenggara Timur masih rentan terhadap insektisida bendiocarb 0,1 % dan lamda sihalotrin 0,05 %, An.punctulatusdi Papua Barat masih rentan terhadap bendiocarb 0,1%, di Bengkulu An. kochi rentan terhadap bendiocarb 0,1 % dan lamdasihalotrin 0,05%, di Kalimantan Tengah An. tesselatustoleran terhadap lamdasihalotrin 0,05 % d. Monitoring dan Evaluasi Efikasi Insektisida Monitoring dan evaluasi efikasi insektisida bertujuan untuk mengetahui kemampuan insektisida dalam membunuh vektor. Monitoring dan evaluasi efikasi dilakukan terhadap kelambu insektisida pengendali vektor malaria. Hasil uji efikasi terhadap kelambu insektisida (olyset) di Kalimantan Timur masih efektif membunuh An. sundaicus dan tidak efektif membunuh An. vagus, di Gorontalo masih efektif membunuh An.vagus, di Kalimantan Barat tidak efektif terhadap An. peditaeniatus, di Sulawesi Utara tidak efektif terhadap An. parangensis, di Sulawesi Selatan tidak efektif terhadap An. vagus, di Kalimantan Selatan efektif terhadap An.tesselatusdan di Sulawesi Barat efektif terhadap An. Subpictus pada lampiran 8. Pelatihan yang diselenggaran oleh pusat adalah : 1. Pelatihan TOT Jabatan Fungsional Entomologi Kesehatan ini dilakukan oleh Subdit Pengendalian Vektor dan dilaksanakan di Bekasi dan Bogor, sebanyak 30 orang peserta selama 6 hari. 2. Pelatihan di Jakarta oleh Subdit Karkes, pelatihan ini ada 3 kelas dan masing-masing kelas 30 orang. 3. Pelatihan oleh Subdit Malaria, pelatihan ini dilaksanakan di Jakarta dan Sukabumi dengan peserta sebanyak 20 orang per angkatan dan ada sebanyak 2 angkatan. 4. Pelatihan Jabfung Entokes di BBPK Ciloto, pelatihan ini diselenggarakan oleh BBPK Ciloto sebanyak 2 angkatan dan masing-masing angkatan dengan 30 peserta, angkatan pertama untuk Jabatan Fungsional Entomologi Kesehatan Terampil dan angkatan kedua untuk Jabatan Fungsional Entomologi Kesehatan Ahli 5. Pelatihan Pengendalian Vektor Malaria, pelatihan ini diselenggarakan oleh BBPK Ciloto dengan jumlah peserta sebanyak 30 orang 139

141 6. Pelatihan Pengendalian Vektor dan Pemantauan Air Bersih, Pelatihan ini diselenggarakan oleh pertamina bekerjasama dengan P2B2 dalam hal ini Subdit Pengendalian Vektor dengan jumlah peserta sebanyak 30 orang. Sumber dana yang dipakai dalam pelatihan ini dari Pertamina. Gambar 2.C.4.4 Pelatihan Pengendalian Vektor di Bapelkes Cikarang Bekasi Gambar 2.C.4.5 Pelatihan Pengendalian Vektor di Situ Burung Bogor 140

142 Tabel 2.C.4.4 Beberapa Kegiatan Fasilitasi/Sosialisasi/Narasumber di Subdit Pengendalian Vektor No Kegiatan Tahun Output Sumber biaya 1. Pelatihan pengendalian vektor di daerah (sebagai narasumber) 2. Pelatihan pengendalian vektor di daerah (sebagai narasumber) 3. Pelatihan pengendalian vektor di daerah (sebagai narasumber) 2012 Padang (2 kali), Batam, Jakarta (Subdit Karkes), Jakarta (Subdit Arbovirosis), Tanjung Balai Karimun Lhokseumawe 2012 Pangkal Pinang, Makassar, Balikpapan, Tarakan 2012 Jakarta-Sukabumi (Subdit Malaria)-2 kali APBN KKP (APBN) APBD GF R 8 Pelatihan yang diselenggarakan oleh daerah: 1. Pelatihan Pengendalian Vektor di Pelabuhan, yang diselenggaraka oleh KKP Kementerian Kesehatan Tanjung Balai Karimun dengan jumlah peserta sebanyak 30 orang. 2. Pelatihan Pengendalian Vektor di Pelabuhan yang diselenggarakan oleh BTKL Kementerian Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan di Makasar dengan peserta sebanyak 30 orang. 3. Pelatihan Pengendalian Vektor di Pelabuhan yang diselenggarakan oleh KKP Kementerian Kesehatan Provinsi Bangka Belitung di Pangkal Pinang dengan jumlah peserta sebanyak 25 orang. 4. Pelatihan Pengendalian Vektor di Pelabuhan yang diselenggarakan oleh di KKP Lhokseumawe dengan jumlah peserta sebanyak 28 orang. 5. Pelatihan Pengendalian Vektor di Pelabuhan yang diselenggarakan oleh KKP Kementerian Kesehatan Kabupaten Tarakan dengan peserta sebanyak 9 orang, sebagai Nara Sumber dari Subdit Pengendalian Vektor dan Subdit Pengendalian Arbovirosis. Tabel 2.C.4.5 Beberapa Jenis Pelatihan (Jabatan Fungsional, TOT Entokes, Pelatihan Teknis Pengendalian Vektor) No. Kegiatan Tahun Frekwensi Jumlah peserta Sumber biaya 1. Pelatihan Jabfung Entokes di BBPK Ciloto kali setahun 30 orang APBN (PPSDM- BBPK Ciloto) 2. Pelatihan Pengendalian Vektor Malaria kali 30 orang APBN (PPSDM- BBPK Ciloto) 3. Pelatihan TOT Entokes kali 30 orang APBN (PPSDM) 4. Pelatihan Pengendalian Vektor dan Pemantauan kali 30 orang APBN (Pertamina) Air Bersih JUMLAH 5 Kali 150 orang 141

143 Grafik 2.C.4.2 Pelatihan Entomologi Kesehatan yang diselenggarakan di Pusat dan di Daerah Tahun Pengendalian Penyakit Zoonosis a. Pengendalian Flu Burung Sampai saat saat ini daerah tertular Flu Burung di Indonesia ada15 Provinsi, yaitu Provinsi Sumatera Barat, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Riau, Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Bali, DIY, Bengkulu dan NTB. Terlihat melalui tabel di bawah ini, jumlah kasus Flu Burung cenderung menurun pada tahun 2012 dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Grafik 2.C.5.1 Jumlah Kasus, Kematian dan CFR Penyakit FB di Indonesia 142 Penurunan ini terjadi karena telah dilakukan pelatihan-pelatihan tatalaksana Flu Burung untuk petugas kesehatan baik dari puskesmas, rumah sakit pemerintah maupun swasta. Selain itu penyebarluasan Komunikasi, Informasi

144 dan Edukasi (KIE) melalui poster, leaflet dan informasi melalui media massa banyak mengenai tanda dan gejala flu burung kepada masyarakat sehingga masyarakat lebih waspada terhadap Flu Burung. Namun demikian, pada tahun 2012 dari 9 kasus konfirmasi Flu Burung seluruhnya meninggal dunia (CFR 100%). Ke-9 kasus konfirmasi ini terjadi di Provinsi Jawa Barat dilaporkan 2 kasus, DKI Jakarta, Banten, D.I. Yogyakarta, Bali, Bengkulu, Riau dan Nusa Tenggara Barat masing-masing dilaporkan terjadi 1 kasus.hal ini dapat dijelaskan dari hasil penyelidikan epidemiologi adalah sebagai berikut: 1. Teridentifikasi pasien masih melakukan doctor shoping dan baru berobat ke pelayanan kesehatan setelah beberapa hari mengalami gejala sehingga deteksi dini kasus flu burung dan pemberian oseltamivir menjadi terlambat (lebih dari 48 jam). 2. Beberapa pasien tidak diberikan oseltamivir. 3. Masih terdapat petugas kesehatan yang kurang waspada terhadap penyakit flu burung sehingga pada saat melakukan anamnesa tidak menanyakan riwayat kontak dengan faktor risiko karena gejala awal flu burung serupa dengan penyakit influenza musiman. 4. Banyak pasien yang sudah meminum obat warung sehingga tanda-tanda gejala flu burung kurang jelas 5. Masih banyaknya peternak unggas rumahan (backyard farm) yang kurang memperhatikan kebersihan lingkungan sehingga kasus flu burung masih dapat ditemukan. Sampai saat ini masih diyakini bahwa flu burung pada manusia ditularkan melalui unggas. 6. Adanya mobilisasi mutasi tenaga kesehatan yang sudah mendapatkan Pelatihan Tatalaksana Kasus Flu Burung tergantikan dengan tenaga yang relatif masih baru dan belum mendapatkan pelatihan tatalaksana Flu Burung. Grafik 2.C.5.2 Distribusi kasus dan kematian Flu Burung Indonesia Bulan Juni 2005 sd Desember 2012 Sampai saat ini kasus Flu Burung ( Konfirmasi ) telah dilaporkan di 15 Provinsi Indonesia dimana kasus terbanyak terdapat di Provinsi DKI dan disusul oleh Provinsi Banten. 143

145 LAKI-LAKI; 45,3% PEREMPUAN; 54,7% Grafik 2.C.5.3 Kasus Flu Burung menurut jenis kelamin, Bulan Juni 2005 sd Desember 2012 Kasus Flu Burung menurut jenis kelamin terlihat bahwa sekitar 54,7% (105 orang) terkonfirmasi pada jenis kelamin perempuan dan 45,3% (87 orang) pada jenis kelamin laki-laki. Perbedaan sekitar 10% ini perlu diteliti lebih lanjut apakah jenis kelamin mempengaruhi kekuatan imunitas seseorang terhadap virus Flu Burung. Grafik 2.C.5.4 Kasus Flu Burung menurut Kelompok Umur Bulan Juni 2005 sd Desember 2012 Berdasarkan grafik di atas menunjukkan kasus Flu Burung banyak terjadi pada kelompok balita (< 5 tahun), anak anak (5 sd 14 tahun), remaja (15 sd 19 tahun) dan dewasa muda (20 sd 39 tahun). Ini berarti semua kelompok umur bisa terinfeksi virus Flu Burung. 144

146 Grafik 2.C.5.5 Kasus Flu Burung menurut Faktor Risiko Bulan Juni 2005 sd Desember 2012 Ada 2 (dua) faktor risiko terbesar yang dapat menyebabkan terjadinya kasus Flu Burung yaitu kontak langsung 45 % (87 orang) dan kontak lingkungan 41 % (78 orang). b. Pengendalian Rabies Hingga tahun 2012 saat ini terdapat 24 Provinsi tertular Rabies (SK Menteri Pertanian) yaitu Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD), Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Bengkulu, Palembang, Lampung, Banten, Jawa Barat, Bali, NTT, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Maluku Utara, Maluku). Provinsi Kalimantan Barat hingga saat ini tidak dilaporkan adanya kasus Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR) begitu juga tidak ada kasus lyssa.namun demikian,status daerah kasus tertular rabies masih belum dicabut oleh Kementerian Pertanian. Pada tahun 2012 spesimen positif Rabies pada hewan sebanyak spesimen dari kasus gigitan yang dilaporkan dari 24 provinsi tertular Rabies selama tahun 2012 (Grafik 2.C.5.6) di bawah ini. 145 Grafik 2.C.5.6 Jumlah Spesimen Positif Rabies pada hewan Tahun 2008 sd 2012

147 Selama tahun 2012 kasus Rabies di hewan dilaporkan dari provinsi Sulawesi Tengah, Maluku dan Sulawesi Utara Pemeriksaan spesimen otak anjing terhadap Rabies dilakukan di Balai Penelitian Veteriner (BPVet) dimasingmasing regional atau laboratorium hewan setempat (laboratorium tipe C) dengan menggunakan metode pewarnaan seller dan FAT(Fluorescent Antibody Technique) Apabila dibandingkan dengan tahun 2011, jumlah spesimen positif Hewan Penular Rabies (HPR) menunjukkan penurunan. Hal ini diikuti oleh jumlah kasus lyssa (Rabies pada manusia ) yang juga menurun, jumlah spesimen yang diperiksa pada tahun 2012 sebanyak spesimen, sedangkan kematian karena lyssa sebanyak 135 kasus. Grafik 2.C.5.7 Jumlah Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR) dan Post Exposure Treatment (PET) Tahun 2008 sd 2012 Dari grafik di atas terlihat bahwa jumlah gigitan hewan penular rabies (GHPR) pada tahun 2012 (lebih rendah apabila dibanding dengan jumlah HPR pada tahun 2011, terlihat juga terjadi peningkatan persentase penatalaksanaan kasus gigitan/post Exposure Treatment (PET) yaitu sebanyak (85,52%) pada tahun 2011 dan sebanyak (87,64%) pada tahun Grafik 2.C.5.8 Provinsi & Kabupaten/Kota yang Melaporkan Adanya Lyssa Tahun 2008 sd

148 Dari Grafik di atas, terlihat daerah yang melaporkan adanya kasus kematian akibat Rabies (lyssa) pada tahun 2008 adalah di 19 Provinsi. Dari Tahun 2008 hingga 2011, provinsi yang terdapat lyssa jumlahnya cenderung semakin menurun. Namun pada tahun 2012 jumlah provinsi yang melaporkan adanya kasus lyssa sama dengan tahun 2011 yaitu sebanyak 16 Provinsi.Sedangkan jumlah kabupaten/kota yang terdapat kasus lyssa relatif menurun yaitu sebanyak 65 Kab/Kota pada tahun 2011 dan sebanyak 65 Kab/Kota pada tahun Grafik 2.C.5.9 Lyssa per-provinsi Tahun 2011 sd 2012 Dari grafik di atas terlihat upaya terintegrasi yang telah dilakukan di Provinsi Bali berhasil menurunkan kematian akibat rabies (lyssa) dari 23 lyssa menjadi 8 lyssa. Namun di Provinsi Sulawesi Utara terjadi peningkatan lyssa dari 26 lyssa menjadi 35 lyssa dan merupakan lyssa tertinggi di Tahun Hal ini terjadi karena banyaknya hewan penular rabies yang diliarkan dan rendahnya cakupan vaksinasi anti rabies pada hewan penular rabies tersebut. c. Pengendalian Leptospirosis Provinsi yang masih melaporkan adanya kasus leptopirosis dari tahun 2005 sampai tahun 2012 adalah Provinsi DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Timur (Grafik..di bawah ini). Banjir di Jakarta Peningktan Tajam Grafik 2.C.5.10 Provinsi yang melaporkan adanya kasus Leptospirosis Tahun 2005 sd

149 Dari grafik di atas distribusi Provinsi endemis di atas, selama 6 tahun kebelakang ada lonjakan kasus Leptospirosis yang terjadi yakni di tahun 2007 dan Tahun 2007, lonjakan terjadi akibat terjadinya banjir besar di Provinsi DKI Jakarta pada bulan Februari dan pada tahun 2011 terjadi pula peningkatan yang cukup tinggi yang terjadi di Provinsi DIY. Hal ini dikarenakan terjadi KLB di Kabupaten Bantul. Grafik 2.C.5.11 Distribusi Kasus Leptospirosis Tahun 2004 sd 2012 Pada tahun 2010 kasus Leptospirosis di Indonesia dilaporkan sebanyak 409 kasus dengan 43 kasus kematian (CFR 10,51%). Kasus-kasus ini ditemukan di delapan (8) Provinsi: DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bengkulu, Kepulauan Riau dan Sulawesi Selatan. Pada bulan Maret 2011 telah terjadi wabah Leptospirosis di Yogyakarta, dilaporkan sebanyak 39 kasus dengan 7 kasus kematian (CFR 17,95%) dan Pemerintah Kabupaten Bantul menyatakan KLB Leptospirosis setelah dilaporkan sebanyak 154 orang telah terinfeksi oleh Leptospira dan 12 orang di antaranya meninggal (CFR 7,79%). Pada tahun 2012 terjadi 29 kasus kematian yang terjadi di Provinsi Jawa Tengah dilaporkan 20 kematian, Provinsi D.I. Yogyakarta dilaporkan 7 kematian dan Provinsi Jawa Timur dilaporkan 2 kematian. Grafik 2.C.5.12 Distribusi Kasus Leptospirosis menurut Provinsi Tahun

150 Dalam upaya pengendalian Leptospirosis Kementerian Kesehatan telah melaksanakan berbagai upaya seperti membuat surat edaran kewaspadaan Leptospirosis setiap tahun, pengadaan Rapid Test Diagnostic (RDT) sebagai buffer stock apabila terjadi KLB, mendistribusikan media KIE seperti buku pedoman, lefleat, poster, roll banner dll. Tetapi hingga saat ini Leptospirosis di Indonesia terus menyebar dan menyebabkan kematian manusia. Beberapa masalah dalam kegiatan penanggulangan Leptospirosis di Indonesia diantaranya sebagian besar pasien Leptospirosis datang ke rumah sakit dalam keadaan terlambat, masih rendahnya sensitivitas kemampuan petugas kesehatan dasar dalam mendiagnosa leptospirosis, terbatasnya ketersediaan RDT serta managemen dan pelaporan yang belum baik. Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) leptospirosis ditujukan pada upaya penemuan dini serta pengobatan segera penderita untuk mencegah kematian, Intervensi lingkungan untuk mencegah munculnya sarang-sarang atau tempat persembunyian tikus. d. Pengendalian Antraks Penyakit antraks merupakan salah satu penyakit zoonosa yang menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.Penyakit ini disebabkan oleh kuman antraks (Bacillus anthracis). Kuman ini dapat membentuk spora yang tahan terhadap perubahan lingkungan dan dapat bertahan hidup selama 60 tahun didalam tanah, sehingga sulit untuk dimusnahkan. Sumber penularan antraks adalah hewan peliharaan seperti sapi, kerbau, kambing dan domba yang terinfeksi Bacillus anthracis. Manifestasi pada manusia terjadi bila seseorang berhubungan dengan hewan yang sakit atau produk hewan tersebut misalnya bulu, kulit, atau memakan daging hewan yang tertular antraks.selain itu penularan juga dapat terjadi bila seseorang menghirup spora dari produk hewan yang sakit misalnya dari kulit atau bulu yang dikeringkan. Hewan yang sering terkena adalah hewan ternak herbivora yang makan rumput dari tanah yang terkontaminasi spora tetapi kadang-kadang dapat juga menulari hewan liar yang memakan daging hewan yang telah tertular antraks.penularan pada manusia dapat terjadi bila mengkonsumsi daging dari ternak potong yang sedang sakit antraks dan tidak dimasak dengan sempurna. 149 Grafik 2.C.5.13 Situasi Antraks pada manusia di Indonesia Tahun 2008 sd 2012

151 Pada tahun 2010 telah dilaporkan kasus Antraks pada manusia sebanyak 31 kasus dan 1 orang diantaranya meninggal (CFR 11,76%). Penderita Antraks yang meninggal tersebut adalah penderita Antraks tipe pencernaan. Sebanyak 24 kasus berasal dari Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah dan 7 kasus berasal dari Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan. Pada tahun 2010 jumlah kasus Antraks meningkat namun jumlah kematian menurun bila dibandingkan dengan tahun Pada tahun 2011, terjadi peningkatan kasus yang berasal dari Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pada tahun 2012 ditemukan kasus antraks kulit sebanyak 15 kasus pada bulan Maret 2012 dan 3 kasus pada Bulan Juni 2012 di Kabupaten Ende Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kembali dilaporkan sebanyak 4 kasus pada Bulan Agustus 2012 di Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan, sehingga total kasus pada tahun 2012 adalah sebanyak 22 kasus dan tidak ada kematian. Pengendalian kasus antraks dapat dilakukan dengan peningkatan kegiatan surveilans yang intensif terhadap kasus antraks dengan fokus daerah endemis atau daerah rawan lainnya.kegiatan surveilans diintensifkan pada hari-hari perayaan agama seperti Hari Raya Idul Fitri, Idul Adha, Natal ataupun perayaan hari besar lainnya dan juga saat dimungkinkan konsumsi daging meningkat. Gambar 2.C.5.1 Beberapa Kasus Antraks Kulit Grafik 2.C.5.14 Situasi Antraks pada Manusia di Daerah Endemis Antraks Tahun 2008 sd

152 Tahun 2012, kasus antraks hanya terjadi di Kabupaten Ende, provinsi Nusa Tenggara Timur dan Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan. Gambar 2.C.5.2 Peta Penyebaran Antraks di Indonesia e. Pengendalian Pes Sampai tahun 2012 di Indonesia khususnya di Pulau Jawa masih terdapat 3 daerah fokus Pes yang masih aktif, yaitu di 1) Provinsi Jawa Timur di Kabupaten Pasuruan ada dua kecamatan yaitu: Kecamatan Tosari dan Kecamatan Nongkojajar. 2) Jawa Tengah di Kabupaten Boyolali ; Kecamatan Selo dan Kecamatan Cepogo, 3) Yogyakarta di Kabupaten Sleman, Kecamatan Cangkringan. Kegiatan Pengendalian dan Penanggulangannya masih tetap dilakukan secara rutin dengan menitikberatkan kepada pengamatan secara aktif dan pasif pada penduduk setempat maupun hewan-hewan rodensia dan pinjalnya yang masih menjadi sumber penularan/ vektornya. Grafik 2.C.5.15 Situasi Spesimen Pes pada Manusia yang Diperiksa Tahun 2004 sd

153 Kegiatan spesimen pes yang dilakukan terakhir adalah pada tahun 2009, sampai dengan tahun 2012 di Indonesia belum ditemukan lagi penderita Pes (yang positif kuman Pes). Sedangkan hasil pengamatan yang berupa pemeriksaan serologis terhadap spesimen-spesimen yang berasal dari suspek Pes dan spesimen serum rodensia sampai dengan tahun 2007 masih terdapat beberapa yang positif antibodi Pes. Demikian juga masih ditemukannya kuman Pes pada rodensia dan pinjalnya di daerah-daerah fokus Pes DIPERIKSA POSITIF Grafik 2.C.5.16 Situasi Spesimen yang diperiksa pada Rodent Tahun 2004 sd 2012 Dari grafik diatas, terlihat dari data tahun jumlah spesimen kosong, hal ini disebabkan sejak tahun 2010 sampai dengan 2012 tidak ada laporan kasus yang masuk. 152

154 D. PENGENDALIAN PENYAKIT TIDAK MENULAR (PPTM) Penyebab kematian akibat PTM di Indonesia dapat dilihat pada grafik 1.1, terlihat bahwa angka kematian PTM lebih tinggi dibandingkan dengan angka kematian Gangguan Perinatal/Maternal dan Penyakit Menular. Proporsi kematian yang disebabkan oleh PTM di Indonesia meningkat secara signifikan dari 41,7% pada tahun 1995 menjadi 49,9% pada tahun 2001 dan 59,5% pada tahun Sementara itu, proporsi kematian penyakit menular telah menurun dari 44,2% pada 1995 menjadi 28,1% pada tahun 2007 begitu juga dengan angka kematian gangguan perinatal/maternal terjadi penurunan dari 10,1 menjadi 6,0. Sumber: Riskesdas, 2007 Grafik 2.D.1 Distribusi Kematian Pada Semua Umur menurut Kelompok Penyakit SKRT dan Riskesdas 2007 Pola kematian PTM mirip dengan pola morbiditas. Penyakit jantung adalah penyebab utama kematian yang menyumbang 30,6% dari semua kematian PTM, diikuti oleh kanker (12,9%), Penyakit Paru Obstruktif Kronik (7,1%) dan diabetes melitus (2,9%) (Grafik 2.1). Sumber: Global Health Observatory. WHO 2011 Grafik 2.D.2 Proporsi Penyebab Kematian yang Disebabkan oleh PTM Tahun

155 Meningkatnya prevalensi penyakit tidak menular berdampak negatif pada ekonomi dan produktivitas bangsa, karena PTM ini menyerang kelompok usia produktif. Pada umumnya PTM tidak dapat/ sulit disembuhkan, seringkali memakan waktu lama dan memerlukan biaya besar sehingga menjadi beban baik pemerintah maupun masyarakat. Selain itu, PTM pada tahap lanjut akan sulit dapat disembuhkan dengan sempurna, bahkan dapat menimbulkan kecacatan dan kematian, terutama dirasakan oleh kalangan keluarga yang tidak mampu dari aspek ekonomi dan lebih memprihatinkan lagi, bila PTM diderita oleh tulang punggung keluarganya sebagai pencari nafkah Pengendalian PTM bertujuan untuk menurukan angka kesakitan dan kematian yang disebabkan oleh PTM. Dengan pendekatan pencegahan faktor risiko PTM dan mengendalikan FR PTM untuk mencegah terjadinya PTM, yang pada akhirnya dapat menurunkan insiden dan prevalensi PTM, komplikasi, kecacatan dan kematian premature akibat PTM utama di masyarakat. Penyakit PTM utama memiliki faktor risiko bersama yaitu faktor risiko PTM yang berkontribusi baik sendiri sendiri maupun berinteraksi satu sama lain sehingga dapat menyebabkan terjadinya satu atau lebih PTM. Berikut beberapa upaya-upaya yang dilakukan dalam pengendalian PTM di Indonesia POSBINDU PTM Posbindu PTM merupakan peran serta masyarakat dalam kegiatan deteksi dini, pemantauan dan tindaklanjut faktor risiko PTM secara mandiri dan berkesinambungan. Kegiatan ini dikembangkan sebagai bentuk kewaspadaan dini, mengingat hampir semua faktor risiko PTM tidak memberikan gejala pada yang mengalaminya. Posbindu PTM diintegrasikan dengan kegiatan masyarakat yang sudah aktif berjalan baik, antara lain sekolah, di tempat kerja, maupun dilingkungan tempat tinggal. Kegiatan Posbindu berupa pemantauan faktor risiko PTM Utama secara terintegrasi dan sistematik, kemudian diakhiri dengan tindak lanjut peningkatan pengetahuan untuk mengendalikan faktor risiko berupa konseling sesuai masalah yang ditemukan. Sasaran kegiatan adalah seluruh masyarakat sehat dan masyarakat berisiko. Pemantauan faktor risiko PTM antara lain pengukuran berat badan, tinggi badan, lingkar perut, Indeks massa tubuh (IMT), pengukuran tekanan darah, pemeriksaan analisa lemak tubuh, pemeriksaan gula darah, kolesterol dan trigliserida termasuk pemeriksaan uji fungsi paru sederhana untuk mengetahui gangguan mekanik pada organ pernafasan. Posbindu ini nantinya yang akan merujuk kasus PTM kepada Puskesmas yang memberikan layanan PTM. Berikut sebaran jumah posbindu di Indonesia. Sampai dengan tahun 2012, posbindu PTM diperkirakan sebanyak

156 155 Gambar 2.D.1 Sebaran Posbindu dan Kegiatan Posbindu PUSKESMAS dengan Pelayan PTM Puskesmas memberikan layanan kesehatan dasar dan merupakan ujung tombak pengendalian penyakit di masyarakat termasuk PTM. Upaya pelayanan kesehatan secara komprehensif dengan pendekatan faktor risiko terintegrasi dapat dilakukan di Puskesmas. Revitalisasi puskesmas melalui pengembangan sistem dan peningkatan kualitas layanan PTM sangat diperlukan untuk mengendalikan penyakit, kematian dan kecacatan yang diakibatkannya. Seringkali pasien PTM datang ke fasilitas pelayanan kesehatan sudah dalam fase lanjut atau bahkan sudah mengalami komplikasi penyakit sehingga penangannya menjadi lebih sulit dan membutuhkan biaya yang mahal atau terkadang tatalaksana pasien yang kurang tepat, sehingga kondisinya semakin memburuk. Hal ini jika ditangani pada fase awal, dan ditangani dengan baik dan tepat, maka kemungkinan untuk memperoleh kesembuhan akan lebih tinggi, dan komplikasi yang terjadi akan lebih minimal. Dengan demikian kualitas hidup dan harapan hidup menjadi lebih baik. Puskesmas PTM adalah Puskesmas yang mempunyai program unggulan yang dilengkapi dengan sumber daya manusia yang terlatih PTM, fasilitas dan peralatan untuk penatalaksanaan kasus PTM, sehingga mampu melakukan pelayanan. Upaya pengendalian PTM di Puskesmas ditekankan pada masyarakat yang masih sehat (well being), masyarakat yang berisiko (at risk) dan masyarakat yang berpenyakit (deseased

157 population) dan masyarakat yang menderita kecacatan dan memerlukan rehabilitasi (Rehabilitated population). Puskesmas Pelayanan PTM menerima rujukan dari posbindu dan puskesmas lainnya dalam melaksanakan promosi, preventif, sampai kepada tatalaksana pengendalian penyakit tidak menular. Pada tahun 2012 dilakukan pilot project Puskesmas dengan pelayanan PTM di 7 (tujuh) puskemas, di 7 (tujuh) provinsi. 1) Prov.Sulawesi tengah: Kota Palu:Puskesmas Talise 2) Prov.Lampung, Kota Bandar Lampung:Puskesmas Kedaton 3) Prov.Sulawesi tenggara, Kota Kendari:Puskesmas Poasia 4) Provinsi Bangka Belitung, Kota Pangkal Pinang : Puskesmas Kacang Pedang 5) Provinsi Papua Barat, Kota Manokwari : Puskesmas Sanggeng 6) Provinsi Riau: Kota Pekan Baru: Puskesmas Harapan jaya 7) Provinsi Aceh;Kota Banda Aceh: Puskesmas Ulee Kareng a. Deteksi Dini Kanker Leher Rahim dan Payudara Deteksi dini kanker leher rahim menggunakan metode Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA) dan krioterapi untuk IVA (lesi pra kanker leher rahim) positif, sedangkan deteksi dini kanker payudara menggunakan metode Clinical Breast Examiniation (CBE) dan Sadari (pemeriksaan payudadara Sendiri). Pada tahun 2011, program deteksi dini kanker payudara dan kanker leher rahim telah dikembangkan di 87 kab/kota di 17 provinsi, dan pada tahun 2012 bertambah menjadi 115 kab/kota di 23 provinsi. Berikut peta daerah yang mengembangkan program tersebut: Gambar 2.D.2 Daerah yang Mengembangkan Program Deteksi Dini Kanker Payudara dan Kanker Leher Rahim 156

158 157 b. Deteksi Dini Kanker Anak Menurut data Sistem Registrasi Kanker di Indonesia (SriKanDI) tahun menunjukkan bahwa estimasi insiden kanker pada anak (0-17 tahun) sebesar 9 per anak-anak. Leukemia merupakan kanker tertinggi pada anak sebesar 2,8 per , kanker bola mata/ retinoblastoma 2,4 per , osteosarkoma 0,97 per , limfoma 0,75 per , kanker nasopharing 0,43 per Kasus kanker pada anak-anak 4,7% dari kanker pada semua umur. Angka kematian akibat ini mencapai 50-60% karena umumnya penderita datang terlambat atau sudah dalam stadiumlanjut. Mulai tahun 2011, dikembangkan program deteksi dini kanker pada anak yang meliputi 6 jenis kanker pada anak, yaitu leukemia (kanker darah), retinoblastoma (kanker bola mata), kanker nasopharink (nasofaring), neuroblastoma(kanker pada saraf), lymphoma malignum(kanker kelenjar getah bening), dan osteosarcoma (kanker tulang). Program ini dikembangkan dengan deteksi dini yaitu mengenal tanda dan gejala sejak dini yang dilaksanakan di Puskesmas dan rujukan ke rumah sakit untuk setiap temuan kelainan curiga kanker pada anak. Pengembangan dimulai dengan membuat NSPK untuk pengendalian kanker anak, seperti pedoman dan buku saku. Sedangkan pada tahun 2012, dilakukan sosialisasi dan peningkatan SDM di 15 Provinsi. c. Kawasan Tanpa Rokok Kawasan Tanpa Rokok (KTR) adalah ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk melakukan kegiatan produksi, penjualan, iklan, promosi dan atau penggunaan rokok. Penetapan KTR merupakan upaya perlindungan untuk masyarakat terhadap risiko ancaman gangguan kesehatan karena lingkungan tercemar asap rokok. KTR merupakan tanggung jawab seluruh komponen bangsa baik individu, masyarakat, parlemen, maupun pemerintah, untuk melindungi generasi sekarang maupun yang akan datang. Komitmen bersama dari lintas sektor dan berbagai elemen akan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan KTR. Ruang lingkup KTR meliputi, tempat-tempat umum, tempat kerja tertutup, sarana kesehatan, tempat proses belajar mengajar, arena kegiatan anak, tempat ibadah, dan angkutan umum. Pemerintah telah menetapkan (mengupayakan) kebijakan Kawasan Tanpa Rokok untuk melindungi seluruh masyarakat dari bahaya asap rokok melalui Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 115 ayat (1) dan Pemerintah Daerah wajib menetapkan dan menerapkan KTR di wilayahnya sesuai Pasal 115 ayat (2), serta Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri Nomor 188/Menkes/PB/I/2011 dan Nomor 7 tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok, dikuatkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Pada tahun 2011 sudah ada 21 provinsi di wilayah kerjanya yang memiliki peraturan perundang-undangan tentang pencegahan dan penanggulangan dampak merokok terhadap kesehatan (surat Edaran/ Instruksi/SK/Peraturan Gubernur/ Perda/ Perwali/Perbub). Sedangkan pada tahun 2012 bertambah menjadi 27 provinsi di wilayah kerjanya yang memiliki peraturan perundang-undangan tentang

159 pencegahan dan penanggulangan dampak merokok terhadap kesehatan. Selain itu jumlah kab/kota yang memiliki peraturan perundang-undangan tentang pencegahan dan penanggulangan dampak merokok terhadap kesehatan (surat Edaran/ Instruksi/SK/Peraturan Gubernur/ Perda/ Perwali/Perbub) pada tahun 2011, sebanyak 50 kab/kota, dan bertambah pada tahun 2012 menjadi 85 kab/kota. Grafik 2.D.3 Persentase Provinsi yang Memiliki Peraturan tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) Tahun 2010 sd 2012 d. Deteksi Dini Faktor Risiko Gangguan Akibat Kecelakaan Kegiatan ini merupakan salah satu upaya preventif terhadap pengendalian faktor risiko Kecelakaan lalu lintas (KLL) yang berkaitan dengan kesehatan, meliputi: pemeriksaan tekanan darah, gula darah, kadar amfetamin dan kadar alkohol. Pemeriksaan kesehatan dilakukan pada pengemudi utama dan pengemudi pengganti menjelang keberangkatan. Pemeriksaan kesehatan pada situasi arus mudik lebaran dilakukan di sejumlah titik pemberangkatan bus di sepanjang jalur mudik utama di 10 Provinsi pada 22 terminal dari Sumatera, Jawa dan Bali dan pemberangkatan untuk mudik gratis di Provinsi DKI Jakarta di 12 lokasi. Pelaksana pemeriksaan kesehatan dikoordinir oleh Dinas Kesehatan Provinsi, Kabupaten/Kota dan Puskesmas wilayah setempat yang difasilitasi oleh Kementerian Kesehatan RI, Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular, Ditjen PP & PL. Data Hasil Pemeriksaan deteksi dini Faktor Risiko Kecelakaan selama arus mudik tahun 2012, di terminal dari 1460 pengemudi yang diperiksa diketahui pengemudi yang mengalami hipertensi sebanyak 46 %. Pengemudi yang positif mengandung alkohol dalam pernapasan 0,2%, pengemudi positif amphetamin sebanyak 0,07 %, dan yang hiperglikemia sebanyak 10%. Sedangkan pada pelaksanaan mudik gratis, dari 605 pengemudi yang diperiksa, didapatkan 56% mengalami hipertensi, 11 % pengemudi dengan hiperglikemia dan tidak ditemukan adanya pengemudi yang terdeteksi alkohol dalam pernapasannya ataupun amphetamin dalam urinnya. 158

160 Berikut data hasil pemeriksaan deteksi dini Faktor Risiko Kecelakaan selama arus mudik tahun 2010, 2011 dan tahun Tabel 2.D.1 Hasil Pemeriksaan Faktor Risiko Pengemudi Gambar 2.D.3 Pemeriksaan FR Terpadu dalam Rangka Kesiapsiagaan pada Mudik Lebaran e. Regulasi Gula Garam dan Lemak pada Pangan Olahan dan Siap Saji Untuk menciptakan perilaku makan dengan konsumsi gula, garam dan lemak yang benar, perlu diatur tentang batas maksimum gula, garam dan lemak yang dikonsumsi perorang perhari serta kadar gula, garam dan lemak pada pangan olahan dan siap saji. Regulasi ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi petugas kesehatan, produsen maupun pengusaha pangan olahan dan siap saji, serta bermanfaat dalam pengendalian penyakit tidak menular melalui Batas Maksimal konsumsi Gula, Garam dan Lemak yang dikonsumsi per orang perhari. Penguatan labeling sumber garam (Natrium), Gula (Sukrosa) dan Lemak dengan pencantuman informasi nilai gizi berupa kandungan gula, garam dan lemak serta peringatan kesehatan pada label produk pangan olahan dan siap saji. Sampai saat ini penyusunan Regulasi Gula Garam dan Lemak pada Pangan Olahan dan Siap saji masih dalam bentuk draft yang 159

161 masih memerlukan pengkajian dengan berbagai pihak terkait yang nantinya diharapkan menjadi Permenkes. Peraturan ini akan selesai pada 2013 dan dapat menjadi acuan bagi petugas kesehatan, produsen maupun pengusaha pangan olahan dan siap saji serta masyarakat karena semua bahan pangan olahan dan siap saji akan diwajibkan untuk mencantumkan informasi kandungan garam, gula dan lemak serta peringatan kesehatan pada produk-produk yang mereka konsumsi. f. Penetapan kadar alkohol dalam darah pengemudi Penetapan kadar alkohol dalam darah pengemudi (Standar Blood Alcohol Concentration), perlu ditetapkan dalam bentuk aspek legal mengingat hanya di Indonesia dan Vietnam di antara negara-negara ASEAN yang belum memiliki ketentuan mengenai hal tersebut. Pertemuan ini merupakan pertemuan lanjutan dari pertemuan sebelumnya yang dilaksanakan oleh Subdit Napza, Rokok, dan Alkohol, Direktorat Kesehatan Jiwa. Penetapan kadar alkohol dalam darah pengemudi ini masih dalam bentuk draft naskah yang akan dlajutkan nantinya menjadi permenkes. 160

162 E. PENYEHATAN LINGKUNGAN (PL) 1. Penyelenggaraan Kegiatan Penyehatan Air & Sanitasi Dasar Berdasarkan hasil studi WHO tahun 2007 dibuktikan bahwa kejadian diare menurun 32% dengan meningkatkan akses masyarakat terhadap sanitasi dasar, 45% dengan perilaku mencuci tangan pakai sabun, dan 39% perilaku pengelolaan air minum yang aman di rumah tangga sedangkan dengan menggabungkan ketiga perilaku intervensi tersebut, kejadian diare menurun sebesar 94%. Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan air bersih dan sanitasi dasar akan sangat berpengaruh terhadap derajad kesehatan masyarakat. Sebagaimana kita ketahui tingkat kesadaran masyarakat Indonesia terhadap lingkungan tempat tinggal masih tergolong rendah. Oleh karena itu dibuat terobosan sebagai salah satu opsi intervensi yang dapat diterapkan dalam mengatasi masalah sanitasi dan kecukupan kebutuhan air bersih tersebut adalah dengan dilakukan percepatan antara lain melalui kegiatan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM). STBM merupakan Kegiatan Nasional yang dilaksanakan dengan metode pendekatan untuk merubah perilaku higiene dan sanitasi melalui pemberdayaan masyarakat dengan metode pemicuan. Kegiatan STBM terdiri dari 5 pilar, yaitu stop buang air besar sembarangan, cuci tangan pakai sabun, pengelolaan air minum dan makanan rumah tangga, pengelolaan sampah rumah tangga dan pengelolaan limbah cair rumah tangga. Berikut adalah grafik pencapaian desa-desa yang melaksanakan STBM sampai dengan tahun Grafik 2.E.1.1 Capaian Desa Melaksanakan STBM Kumulatif Tahun 2010 sd

163 Grafik 2.E.1.2 Kumulatif Capaian Desa Melaksanakan STBM per Provinsi di Wilayah Indonesia Bagian Barat Tahun 2010 sd 2012 Grafik 2.E.1.3 Kumulatif Capaian Desa Melaksanakan STBM per Provinsi di Wilayah Indonesia Bagian Tengah Tahun 2010 sd 2012 Grafik 2.E.1.4 Kumulatif Capaian Desa Melaksanakan STBM per Provinsi di Wilayah Indonesia Bagian Timur Tahun 2010 sd

164 Selain melalui program nasional STBM upaya meningkatkan akses air bersih dan sanitasi dasar yang layak, juga dilakukan melalui kerjasama dengan donor agency internasional, seperti WHO, dan World Bank yang diimplementasikan melalui kegiatan Pamsimas, ICWRMIP, dan MCC (Millenium Challenge Coorporation) untuk mengatasi stunting pada anak-anak dengan intervensi nutrisi dan kesehatan lingkungan. Selain itu, beberapa lembaga internasional (NGO) atau LSM melakukan kegiatan berorientasi pada pembinaan, penyediaan sarana air minum dan sanitasi dasar bagi masyarakat khususnya bagi yang berpenghasilan rendah di perdesaan. Berikut adalah pemetaan pelaku kegiatan STBM di Indonesia saat ini dapat dilihat dalam gambar berikut: Gambar 2.E.1.1 Wilayah Kerja Pelaku STBM di Indonesia Tahun 2012 Pada tahun 2012 upaya peningkatan akses air minum dan sanitasi dilakukan pula melalui kegiatan PAM STBM untuk daerah yang mendapatkan alokasi Tugas Perbantuan di 28 kabupaten di 10 provinsi, serta pengembangan teknologi tepat guna air minum dan STBM di 4 lokasi. Gambar 2.E.1.2 Kegiatan STBM 163

165 Kegiatan Penyehatan Air dan Sanitasi Dasar tahun 2012 meliputi penyusunan NSPK, narasumber PASD dan Indonesia bersih, fasilitasi PASD (Penyusunan EHRA, MDGs, dan STBM), capacity building, kemitraan dan jejaring, koordinasi Program Indonesia Bersih, dan peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat di bidang penyehatan air dan sanitasi dasar. Sebagai gambaran hasil pencapaian dari berbagai upaya dan kegiatan penyehatan air dan sanitasi dasar, dapat dilihat dari pencapaian keempat indikator Penyehatan Lingkungan sebagai berikut. 1) Proporsi Rumah Tangga dengan Akses Terhadap Air Minum Layak Sumber: SUSENAS BPS, 2012 Grafik 2.E.1.5 Trend Proporsi Rumah Tangga Menurut Akses Terhadap Air Minum Layak Tahun 2002 sd 2012 Secara nasional terjadi penurunan akses dari 42.76% pada tahun 2011 menjadi % di tahun Di perdesaan terjadi penurunan sebesar 0.68%, dari 44.96% (2011) menjadi 44.28% (2012). Sedangkan di perkotaan terjadi penurunan akses sebesar 1.56%, dari tahun 2011 sebesar 40.52% menjadi 38.96% di tahun Akses air minum layak atau berkualitas sesuai pengertian MDGs berasal dari perpipaan, sumur pompa, sumur gali terlindung, mata air terlindung dengan jarak terhadap sumber pencemaran lebih dari 10 meter, dan penampungan air hujan. Air kemasan dalam botol/galon tidak termasuk ke dalamnya. 164

166 Sumber: Susenas BPS, 2012 Grafik 2.E.1.6 Proporsi Rumah Tangga Dengan Akses Terhadap Sumber Air Minum Layak Menurut Provinsi Tahun 2012 Dari grafik di atas. dapat diketahui bahwa Provinsi Sulawesi Utara tertinggi dalam pencapaian akses terhadap air minum berkualitas di tahun 2012, sedangkan beberapa yang terendah antara lain Kepulauan Riau dan Banten, masing-masing sebesar 20.40% dan 22.80%. Upaya untuk dapat meningkatkan akses air minum layak secara nasional terus menerus dilakukan, akan tetapi masih banyak kendala dalam pencapaiannya. Kendala tersebut antara lain: 1. Rencana Aksi Daerah (RAD) pencapaian target RKP dan Renstra tidak didukung skema pembiayaan yang jelas untuk implementasi 2. Belum optimalnya peran pemerintah provinsi dalam menggalang kerjasama antar pemerintah kabupaten/kota dalam mengembangkan SPAM untuk mencapai sasaran RKP dan Renstra 3. Belum optimalnya keterpaduan antara program dengan pembiayaan pengembangan SPAM perpipaan dan bukan perpipaan terlindungi untuk percepatan pencapaian sasaran air minum layak. 4. Penanganan pembangunan SPAM di pulau-pulau kecil, daerah terpencil termasuk daerah pesisir belum dilaksanakan secara terpadu, berbasis teknologi tepat guna dan berkelanjutan 5. Perilaku masyarakat dan pelaku usaha masih kurang memperhatikan efisiensi dan efektifitas pemanfaatan air minum dan air hasil daur ulang serta sanitasi 165 2) Proporsi Rumah Tangga dengan Akses Terhadap Sanitasi Layak Sampai saat ini, diperkirakan sekitar 47% masyarakat Indonesia masih buang air besar sembarangan, ada yang berperilaku buang air besar ke sungai, kebon, sawah, kolam dan tempat-tempat terbuka lainnya. Perilaku seperti tersebut

167 jelas sangat merugikan kondisi kesehatan masyarakat, karena tinja dikenal sebagai media tempat hidupnya bakteri coli yang berpotensi menyebabkan terjadinya penyakit diare. Berbagai alasan digunakan oleh masyarakat untuk buang air besar sembarangan, antara lain anggapan bahwa membangun jamban itu mahal, lebih enak BAB di sungai, tinja dapat untuk pakan ikan, dan lain-lain yang akhirnya dijadikan sebagai alasan karena kebiasaan sejak dulu, sejak anak-anak, sejak nenek moyang, dan beranggapan sampai saat ini tidak mengalami gangguan kesehatan. Perilaku ini harus dirubah karena bilamana masyarakat berperilaku higienis, dengan membuang air besar pada tempat yang benar, sesuai dengan kaidah kesehatan, akan dapat mencegah dan menurunkan kasus-kasus penyakit menular. Kejadian diare misalnya, dengan meningkatkan akses masyarakat terhadap sanitasi dasar, dan akan menurunkan kejadian diare sebesar 32%. Dalam menyikapi masalah ini dilakukan berbagai upaya antara lain melalui berbagai metode pendekatan dan upaya percepatan peningkatan akses penggunaan jamban, melalui program STBM yang diimplementasikan dalam program Pamsimas, CWSH, dan WSLIC-2, TSSM, ICWRMIP, serta kegiatan yang diinisiasi oleh Provinsi dan Kabupaten/Kota. Berikut adalah grafik yang menggambarkan kecenderungan peningkatan proporsi rumah tangga menurut akses sanitasi dasar layak dari tahun Catatan: Pada tahun 2005, pertanyaan sanitasi tidak ada dalam kuesioner Susenas Sumber: SUSENAS, BPS 2012 Grafik 2.E.1.7 Trend Persentase Rumah Tangga dengan Akses Sanitasi Layak Tahun 1993 sd 2012* Proporsi penduduk dengan akes sanitasi dasar yang layak (total) pada tahun 2012 adalah %, dimana hal ini sudah on-track dengan target MDGs pada tahun 2015 sebesar 62.4 %. Akses sanitasi perdesaan meningkat sebesar 3.33 angka ini lebih besar peningkatannya dibandingkan dengan peningkatan ditahun 2011 yang hanya 0.47 dari tahun 2010 sebesar % menjadi % (2011) untuk tahun 2012 dari %

168 menjadi 42.30%. Sedangkan akses di perkotaan mengalami peningkatan sebesar 0.16 dari 72.54% (2011) menjadi 72.70% di tahun Peningkatan akses sanitasi dasar tersebut berdampak positif pada penurunan kejadian diare per 1000 penduduk sebesar 12 poin, dari 423 per penduduk (2006) menjadi 411 per penduduk tahun 2010 (Survei morbiditas diare tahun 2006 dan 2010). Sedangkan episode diare pada golongan umur balita per tahun turun 0,1 poin, dari 1,3 episode per tahun (2006) menjadi 1,2 episode per tahun pada tahun 2010 (Survei morbiditas diare,tahun 2006 dan 2010). Sumber : Susenas, BPS 2012 Grafik 2.E.1.8 Proporsi Penduduk Dengan Akses Sanitasi Dasar Layak Berdasarkan Provinsi Tahun 2012 Berdasarkan grafik tersebut, diketahui angka rata-rata nasional akses sebesar 55.60%. Dapat dilihat bahwa Provinsi DI Yogyakarta menempati angka tertinggi pada akses sanitasi dasar yang layak yaitu sebesar % sedangkan provinsi dengan akses terendah yaitu Papua (26.97%) dan Nusa Tenggara Timur (30.31%). Secara umum, kendala yang dihadapi dalam upaya pencapaian target yaitu: a) Proses peningkatan perubahan perilaku tidak dapat dilakukan secara instan, cenderung membutuhkan waktu yang relatif lama agar masyarakat dapat mengadopsi perilaku yang lebih sehat dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun demikian, kondisi social budaya yang sangat bervariasi dapat mempengaruhi cepat lambatnya perubahan perilaku. b) Belum meratanya ketersediaan sarana air minum dan sanitasi yang mudah,murah, dan terjangkau oleh masyarakat c) Kondisi geografis yang sangat bervariasi mengakibatkan sulitnya menentukan pilihan teknologi sanitasi yang dapat diterapkan di daerah tersebut. 3) Persentase Kualitas Air Minum yang Memenuhi Syarat 167

169 Sebagai salah satu bentuk pengawasan kualitas air minum PDAM, sebagaimana tercantum dalam Permenkes 736 tahun 2010 tentang Tata Laksana dan Pengawasan Kualitas Air Minum, maka dilakukan uji petik terhadap kualitas air minum PDAM secara eksternal. Penghitungan dilakukan dengan membandingkan jumlah sampel air minum yang memenuhi syarat dibanding dengan jumlah seluruh sampel air minum yang diuji yang diambil pada jaringan distribusi PDAM. Dari hasil pemeriksaan kualitas air PDAM yang memenuhi syarat di tahun 2012 mencapai 95,39% dari target 95%. Secara umum, kondisi kualitas air minum PDAM yang memenuhi syarat pada tahun 2012 dapat dilihat pada tabel pada lampiran 9. 4) Jumlah Desa yang Melaksanakan STBM Yang disebut sebagai desa yang melaksanakan STBM adalah desa yang sudah melakukan pemicuan minimal 1 dusun, mempunyai tim kerja atau natural leader, dan telah mempunyai rencana tindak lanjut untuk menuju Sanitasi Total. Sesuai dengan indikator RPJMN dan INPRES No.3, diikuti dengan dikeluarkannya Surat Edaran Menteri kesehatan RI No.147/2011yang menyebutkan STBM sebagai kegiatan wajib PL tahun Pencapaian target desa STBM tahun Dari target desa STBM di tahun 2012 dapat dicapai sebanyak desa implementasi STBM pada lampiran 10. 5) Perkembangan Program PPSP* Tabel 2.E.1.1 Perkembangan Program Percepatan Pembangunan Sanitasi Pemukiman Tahun Program Jumlah Kota Buku Putih SSK MPSS Implementasi ISSDP Pilot Project lain TOTAL * berdasarkan website monev resmi PPSP tgl 8 Nov 2012 dibandingkan dengan SK Mendagri Tahun 2012 tentang peserta PPSP tahun Penyelenggaraan Kegiatan Penyehatan Kawasan dan Sanitasi Darurat (PKSD) 168 Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 373, Subdit PKSD menyelenggarakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dibidang penyehatan kawasan dan sanitasi darurat ; penyiapan bahan penyusunan norma,standar,prosedur dan kriteria di bidang penyehatan kawasan dan sanitasi

170 darurat, penyiapan bahan bimbingan teknis dan kerjasama/kemitraan di bidang penyehatan kawasan dan sanitasi darurat, penyiapan bahan pemantauan, evaluasi, dan penyusunan laporan pelaksanaan kebijakan di bidang penyehatan kawasan dan sanitasi darurat. Kegiatan Penyehatan Kawasan Sanitasi Darurat dilaksanakan melalui program Penyelenggaraaan Kabupaten/Kota Sehat, Pasar Sehat, Pelabuhan Sehat, Fasilitasi pemberdayaan masyarakat di Daerah Terpencil Perbatasan dan Kepulauan (DTPK), Kesiapsiagaan dan Penanggulangan Bencana, serta kegiatan even-even khusus yang sebagian besar dari keseluruhan kegiatan tersebut berorientasi pada pemberdayaan masyarakat. a. Penyelenggaraan Kabupaten/Kota Sehat Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menetapkan bahwa tujuan upaya penyehatan lingkungan adalah untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat, baik fisik, kimia, biologi, dan sosial yang memungkinkan setiap orang untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Salah satunya melalui pengembangan kawasan sehat, yaitu suatu kondisi wilayah yang bersih, nyaman, aman dan sehat bagi masyarakat dan salah satu program untuk mencapai kawasan sehat yaitu melalui penyelenggaraan Kab/Kota Sehat (KKS). Penyelenggaraan KKS dilakukan melalui berbagai kegiatan pemberdayaan masyarakat dimana masyarakat ditempatkan sebagai pelaku utama pembangunan. Forum atau lembaga yang di sepakati masyarakat harus didukung oleh pemerintah daerah, dan difasilitasi dari sektor-sektor terkait yang dibentuk dan dimanfaatkan dalam penyelenggaraan KKS sebagai wadah komunikasi dan implementasi program yang telah direncanakan masyarakat. Dalam pelaksanaannya pemerintah daerah menfasilitasi kegiatan yang menjadi pilihan masyarakat termasuk penggalian sumber daya masyarakat yang diperlukan. Ditinjau dari perkembangannya, penyelenggaraan Kabupaten/Kota Sehat dari tahun ke tahun terus meningkat ditambah lagi adanya dukungan pemerintah daerah yang sangat tinggi sehingga pada Tahun 2011 yang lalu Penghargaan "Swasti Saba" sudah diberikan sebanyak 101 piala dan piagam kepada 95 Kabupaten/Kota dari 237 Kabupaten/Kota yang sudah melakukan pendekatan Kabupaten/Kota Sehat. Sejak tahun 2005 sampai 2011 ada 4 kota telah memegang 3 Swasti Saba, yaitu Kota Payakumbuh, Yogyakarta, Malang dan Mataram, selain itu sebanyak 25 kabupaten/kota telah memiliki 2 swasti Saba. Dari 33 propinsi,ada 3 propinsi yang telah 100 % kabupaten/kotanya telah menyelenggarakan program Kab/Kota Sehat yaitu Provinsi Jawa Timur, Provinsi DIY dan Propinsi NTB (diagram 1). Jika diperhatikan perbandingan antara jumlah kab/kota yang dimiliki oleh masing-masing propinsi, banyaknya jumlah kab/kota tidak merupakan penghalang untuk upaya sosialisasi dan pemantapan penyelenggaraan KKS, hal ini terlihat dari diagram 2 berikut ini. 169

171 Berikut ini adalah grafik proporsi kab/kota yang menyelenggarakan Kabupaten/Kota Sehat pada tahun Dari 33 Provinsi, beberapa Provinsi telah menyelenggarakan program Kab/Kota Sehat di seluruh kab/kotanya. Tiga Provinsi tersebut adalah Provinsi Jawa Timur, Provinsi DIY dan Provinsi NTB (Grafik 2.E.2.1). Jika diperhatikan perbandingan antara jumlah kab/kota yang dimiliki oleh masing-masing Provinsi, banyaknya jumlah kab/kota tidak merupakan penghalang untuk upaya sosialisasi dan pemantapan penyelenggaraan KKS, ini terlihat dari diagram 2 berikut. Berikut ini adalah grafik proporsi kab/kota yang menyelenggarakan Kabupaten/Kota Sehat pada tahun : Kab/Kota yang sudah melaksanakan KKS : Kab/Kota yang belum melaksanakan KKS Grafik 2.E.2.1 Perbandingan Kab/Kota Penyelenggara KKS dan yang Belum per Provinsi Tahun 2011 Penghargaan "Swasti Saba" adalah penghargaan tertinggi yang diberikan oleh pemerintah setiap dua tahun sejak tahun 2005 bagi kabupaten/kota yang melaksanakan pendekatan kabupaten/kota sehat. Selama ini penyampaian penghargaan Swastisaba diberikan pada acara puncak peringatan HKN (Hari Kesehatan Nasional) pada bulan November. Penghargaan "Swasti Saba" meliputi: Padapa bagi Kabupaten/Kota yang memilih dan melaksanakan 2 tatanan, Wiwerda bagi Kabupaten/Kota yang memilih dan melaksanakan 3-4 tatanan, dan Wistara bagi Kabupaten/Kota yang memilih dan melaksanakan 5 tatanan atau lebih. Penilaian kabupaten/kota sehat dilakukan pada proses kegiatan yang dilaksanakan masyarakat, difasilitasi oleh pemerintah dan yang bersifat berkelanjutan jadi bukan bersifat kompetisi/lomba. Untuk mendukung pelaksanaan penyelenggaraan program KKS dalam menghadapi perkembangan KKS di masa datang pada pertengahan tahun 2012 telah dilakukan Lokakarya Nasional Kab/Kota Sehat 170

172 Gambar 2.E.2.1 Kegiatan Lokakarya Nasional Kabupaten Kota Sehat b. Fasilitasi Pemberdayaan Masyarakat di kawasan daerah terpencil, daerah perbatasan, pulau-pulau kecil dan lahan gambut Kegiatan fasilitasi penyediaan air bersih dan sanitasi pada masyarakat yang tinggal di daerah perbatasan, terpencil, Pulau-pulau kecil, Lahan Gambut dan Lahan basah dilaksanakan untuk memberikan bantuan pemicuan terhadap perbaikan kualitas kesehatan lingkungan yang dapat berupa perbaikan sarana air bersih dan sanitasi dasar berbasis masyarakat, agar masyarakat dapat terhindar dari meningkatnya kasus penyakit menular berbasis lingkungan, selain untuk mencegah jangan sampai terjadi KLB Pelaksanaan kegiatan ini sudah dilakukan sejak tahun 2005 berkerjasama dengan Kementerian Perikanan dan Kelautan, dan Kementerian Sosial. Pemilihan daerah sebagai lokasi kegiatan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 78 tentang Pengelolaan pulau-pulau terluar Indonesia memiliki nilainilai strategis dan Pasal 13 ayat 1 tentang peran serta masyarakat dalam perencanaan pembangunan. Kegiatan yang dilakukan di Daerah Terpencil, Daerah Perbatasan, Pulau Kecil dan Lahan Gambut adalah faslilitasi peningkatan pemberdayaan masyarakat agar berprilaku sehat dan bersih. Selain itu masyarakat juga diberikan bantuan stimulan sanitasi dan sarana air bersih guna mendukung perubahan perilaku masyarakat. Fakta yang ada saat ini di daerah terpencil, perbatasan dan pulau-pulau kecil adalah kondisi kesehatan lingkungan dan perilaku masyarakat masih buruk dan kejadian penyakit menular berbasis lingkungan cukup tinggi. Tahun 2012 Kegiatan dilaksanakan bersama-sama dengan Dinas Kesehatan, Puskesmas, bidan desa dan masyarakat setempat. Pada saat pertemuan telah disepakati untuk membangun sarana air bersih dan jamban. Untuk merealisasikan kegiatan tersebut dibuat TOR beserta RAB untuk pengajuan dana. Dari 2 (dua) lokasi penyediaan fasilitasi pemberdayaan masyarakat di kawasan Dacil dan Lahan Gambut yang direncanakan, telah terealisir fasilitasi yaitu pada Kabupaten Pangkep (Sulawesi Selatan) dan Kabupaten Merauke (Papua). 171

173 c. Program Pelabuhan Sehat Salah satu upaya dalam penyelenggaran Kab/Kota sehat adalah dengan pengembangan pelabuhan sehat yang merupakan intervensi terhadap faktor risiko lingkungan yang memungkinkan menjadi sumber atau media penularan penyakit. Intervensi faktor risiko dititikberatkan berdasarkan hasil dari proses dinamika interaksi manusia dan lingkungannya sehingga dapat dilakukan tindakan pencegahan ataupun tindakan pemberantasan penyakit guna meminimalkan risiko yang akan terjadi dan dapat mengembangkan pula pelayanan yang relevan dan mengarah kepada kebutuhan yang sesungguhnya. Sehubungan dengan hal tersebut perlu keterlibatan semua pihak termasuk masyarakat di kawasan pelabuhan. d. Program Pasar Sehat Sebagaimana kita ketahui kondisi kesehatan lingkungan pasar yang buruk sudah menjadi masalah umum antara lain adalah: Zoning tidak jelas masih tercampur ; tempat potong unggas dekat pedagang daging/ayam ; LOS daging/ikan/ayam tidak terpisah; kuantitas tempat sampah kurang; drainage mampet, penuh sampah; TPS dekat dengan los; Kondisi atap bocor; toilet tanpa sabun; dekat dengan los bahan pangan; pengelompokan sampah tidak dilakukan; PHBS masih rendah; Tidak ada sarana cuci tangan; makanan siap saji tanpa penutup; makanan siap saji kurang higienis dan pengelolaan limbah buruk. Dalam rangka menyikapi masalah tersebut Direktorat Penyehatan lingkungan telah melakukan pengembangan program Pasar Sehat. Program Pasar Sehat adalah salah satu kegiatan yang dikembangkan oleh Kementerian Kesehatan bekerjasama dengan WHO Uni Eropa sejak tahun 2008 dalam bentuk Pilot Proyek dalam rangka mencegah wabah Flu Burung. Pilot Proyek ini telah dilaksanakan di 10 (sepuluh) lokasi di 9 (sembilan) Propinsi yaitu: kota Payakumbuh, kota Metro, Jakarta Timur, kab. Gunung kidul, kota Pekalongan, kab Sragen, kota Malang, kota Bontang, kab. Gianyar dan kota Mataram yang telah berakhir pada tahun Pada tahun 2011 juga telah dikembangkan untuk direplikasi di 3 (tiga) lokasi dengan pembiayaan dari APBN. Selain itu beberapa daerah telah mengembangkan program Pasar Sehat dengan anggaran APBD. Propinsi D.I.Yogyakarta telah melakukan pelatihan bagi stakeholder dan komunitas pasar dari Kabupaten Bantul dan Kabupaten Sleman. Privinsi Jawa Tengah telah mengalokasikan anggaran APBD I untuk pertemuan sosialisasi dan advokasi di 6 wilayah Karesidenan. Dalam rangka replikasi Program Pasar Sehat, Tahun 2012 Kementerian Kesehatan bekerjasama dengan Kementerian Perdagangan telah mengembangkan pasar tradisonal menjadi pasar sehat dalam upaya mengembangkan ekonomi daerah dan pencegahan penyakit Flu Burung serta penyakit potensial wabah. Tujuan utamanya adalah memberikan pencerahan agar memotivasi para Bupati & Walikota untuk mengembangkan Pasar Sehat di wilayahnya dan merubah perilaku hidup bersih dan sehat masyarakat di pasar. 172

174 Gambar 2.E.2.2 Faktor Risiko Lingkungan dan Perilaku yang ada di Pasar Tradisional Gambar 2.E.2.3 Beberapa Persyaratan Faktor Kesehatan Lingkungan di Pasar Tradisonal Fasilitasi masyarakat dikawasan Pasar (Pasar Sehat) Merupakan fasilitasi bagi stakeholders terkait dan pedagang tentang penerapan pasar sehat meliputi: Pemahaman perilaku, pemahaman sarana, mengenali jenis penyakit yang ditularkan melalui pasar dan pencegahannya, keuntungan yang didapat jika diterapkan pasar sehat dan tentang pentingnya pasar sehat bagi masyarakat serta membuat rencana kerja masyarakat. Oleh karena itu Direktorat Penyehatan Lingkungan melakukan fasilitasi perubahan 173

175 perilaku hygiene dan bantuan stimulan perubahan perilaku dan sarana air bersih dan sanitasi. Tabel 2.E.2.1 Kegiatan Fasilitasi Pasar Sehat Percontohan di 8 (Delapan) Lokasi Tahun 2012 No Provinsi Kab/Kota Nama Pasar Kegiatan 1 Sumatra Utara Samosir Pangururan - Fasilitasi Perubahan perilaku PHBS - Bantuan stimulan 2 Bengkulu Bengkulu Panorama Fasilitasi Perubahan perilaku PHBS 3 Jawa Tengah Klaten Cokro - Fasilitasi Perubahan perilaku PHBS - Bantuan stimulan 4 Jawa Tengah Purworejo Grabag Fasilitasi Perubahan perilaku PHBS 5 Jawa Timur Pacitan Minulyo -Fasilitasi Perubahan perilaku PHBS - Bantuan stimulan 6 Bali Denpasar Agung - Fasilitasi Perubahan perilaku PHBS - Bantuan stimulan 7 Sulawesi Selatan Bantaeng Lambocca - Fasilitasi Perubahan perilaku PHBS - Bantuan stimulan 8 NTT Sikka Kowapante Fasilitasi Perubahan perilaku PHBS Gambar 2.E.2.4 Proses Kegiatan Fasilitasi Masyarakat di Pasar Orientasi Pasar Sehat Tahun 2012 dilaksanakan kegiatan Orientasi Pasar Sehat angkatan I (pertama) di wilayah Barat yaitu Sumatra, Jawa dan Kalimantan pada tanggal September Kegiatan ini berupa pelatihan melalui pendekatan metode PHAST. Peserta orientasi berjumlah 36 orang berasal dari Dinas Kesehatan Provinsi, Dinas Kesehatan Kab Bogor, Dinas Pasar Bogor, UPT (B/BTKL-PP dan KKP), Badan POM dan Direktorat Penyehatan Lingkungan. Dalam kegiatan 174

176 tersebut peserta diharapkan menjadi fasilitator dan atau pelatih di wilayah kerjanya. Gambar : Peserta Orientasi Pasar Sehat September 2012 Gambar 2.E.2.5 Orientasi Pasar Sehat e. Kesiapsiagaan dan Penanggulangan Bencana Sesuai dengan UU No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Bab XI tentang Kesehatan Lingkungan Pasal 162 yang menyatakan sebagai berikut: Upaya kesehatan lingkungan ditujukan untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat, baik fisik, kimia, biologi, maupun sosial yang memungkinkan setiap orang mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya, Sanitasi Darurat pada daerah bencana mengacu pada Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 12/MENKES/SK/I/2002 Tentang Pedoman Koordinasi Penanggulangan Bencana di Lapangan. upaya penanggulanan bencana dan pengungsi merupakan upaya untuk menanggulangi bencana baik yang ditimbulkan oleh alam maupun oleh ulah manusia, termasuk dampak kerusuhan yang meliputi kegiatan pencegahan, penjinakan, penyelamatan, rehabilitasi dan rekonstruksi. Untuk mencegah terjadinya risiko kesehatan pada kejadian atau situasi kedaruratan, seperti bencana dan pengungsian, khususnya untuk mengurangi dan menyelamatkan korban diperlukan suatu cara penanganan yang jelas untuk mangatur segala sesuatu yang berkaitan dengan kesiapsiagaan dan penanggulangan bencana dan pengungsian. Berkaitan dengan kondisi kedaruratan lingkungan, berbagai masalah dapat terjadi penyakit menular atau KLB penyakit menular berbasis lingkungan di lokasi penampungan pengungsi baik sebagai akibat bencana maupun dampak konflik/kerusuhan sosial di beberapa daerah. 175

177 Gambar 2.E.2.6 Kondisi Banjir di Daerah Banten Tahun Pelaksanaan kesiapsiagaan penanggulangan kedaruratan kesling pada bencana dilakukan di daerah yang terjadi bencana dan atau monitoring di daerah yang merupakan rawan bencana. Jenis kegiatan kesiapsiagaan penanggulangan kedaruratan kesling pada bencana juga bisa dilakukannya pembinaan kepada daera, salah satunya adalah contigency plan. Contigency plan ini dimaksudkan untuk selalu adanya kesiapsiagaan bencana, selain kegiatan tersebut pada situasi kedaruratan yang bersifat khusus juga dilakukan seperti kegiatan even even khusus. Kegiatan kesiapsiagaan penanggulangan kedaruratan kesling di tahun 2012 pada bencana ada 3 (tiga) kegiatan, yaitu: a. Saat terjadinya bencana antara lain: - Kesiapsiagaan meletusnya Kawah Gunung Ijen di Bondowoso, Jawa Timur; - Banjir di Bandung; - Banjir di Surabaya; - Kewaspadaan dini cuaca ekstrim di Provinsi jawa Timur; - Kesiapsiagaan Gunung Gamalama di Ternate; - Banjir di Banten; - KLB diare di Palembang, b. Pada saat bimbingan teknis ke daerah, antara lain: Jambi dan Riau c. Pada saat kegiatan even even khusus, antara lain: - Kegiatan Gerakan kwartir Pramuka tingkat Nasional, - Pekan Olah raga Nasional (PON) di Riau; - Sail Morotai di ternate - Musabaqoh Tilawatil Quran (MTQ); - Jambore sanitasi di Jakarta; - Kegiatan arus mudik lebaran 2012 dan Kegiatan arus mudik natal dan tahun baru 2013 Bufferstock logistik kedaruratan bencana Bufferstock logistik di Subdirektorat Penyehatan Kawasan dan Sanitasi Darurat disiapkan setiap tahun dengan rincian logistik antara lain: Desinfectan bubuk Kaporit, polybag sampah, larutan Penjernih Air Cepat (PAC), Replent Nyamuk, Replent lalat, Personal Hygiene Kit, Food hygiene kit, Aquatab, Masker Non

178 kain, Insectisida untuk lalat, Kelambu Replent, Penyemprot lalat / Mist Blower, Lifestraw/waterpurifier untuk keluarga (family), Lifestraw / waterpurifier untuk perorangan (personal). Kegiatan pada saat bencana dan monitoring paska bencana subdit PKSD Direktorat Penyehatan Lingkungan selalu berkordinasi dengan Pusat Penanggulangan Krisis (PPK), dan UPT terkait seperti KKP dan B/BBTKL-PP serta lintas program dan lintas sektor. Berdasarkan data yang ada tercatat di beberapa wilayah Indonesia, yang merupakan pusat daerah bencana dan untuk daerah-daerah tersebut harus tetap meningkatkan kewaspadaan atau tanggap bencana alam. Medan Padang Banjarmasin Makassar Manado Palembang Jakarta Semarang Surabaya Denpasar Jayapura Sumber : Pusat Penanggualangan krisis, 2011 Gambar 2.E.2.7 Peta Pusat Daerah Bencana Tahun 2012 tercatat telah terjadi bencana alam di beberapa tempat di wilayah Indonesia, berikut adalah beberapa kejadian bencana yang terjadi dan tercatat selama tahun 2012 seperti tampak pada peta dan table dibawah ini : Gunung Gamala Banjir Banjir Waspada Gunung Meletus 177 Gambar 2.E.2.8 Bencana yang ditangani oleh Tim Direktorat Penyehatan Lingkungan 3. Penyelenggaraan Kegiatan Penyehatan Pemukiman dan Tempat-tempat Umum (PP dan TTU) Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 162 dan 163, mengamanatkan bahwa upaya kesehatan lingkungan ditujukan untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat baik, fisik, kimia dan biologi maupun sosial yang memungkinkan setiap orang mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.

179 Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat menjamin ketersediaan lingkungan yang sehat dan tidak mempunyai faktor risiko buruk bagi kesehatan. Pada pasal 163 ayat 2, mengamanatkan bahwa lingkungan sehat antara lain mencakup lingkungan permukiman, tempat kerja, tempat rekreasi serta tempat dan fasilitas umum. Tabel 2.E.3.1 Target dan Capaian Indikator Rencana Aksi Kegiatan Tahun 2010 sd 2014 Penyehatan Permukiman dan Tempat-Tempat Umum serta Adaptasi Perubahan Iklim Bidang Kesehatan NO INDIKATOR TARGET dan CAPAIAN (%) target capaian target capaian target capaian target target 1 Persentase rumah 75 73, , , yang memenuhi syarat kesehatan 2 Persentase TTU 76 75, , , yang memenuhi syarat kesehatan 3 Persentase daerah potensial yang melaksanakan strategi adaptasi dampak kesehatan akibat perubahan iklim , , Untuk menjalankan amanat dari pasal tersebut dan seiring dengan Rencana Aksi Kegiatan Direktorat Penyehatan Lingkungan Tahun maka untuk penyelenggaraan penyehatan permukiman dan Tempat-Tempat Umum (TTU) difokuskan untuk meningkatkan rumah sehat, TTU sehat, dan pelaksanaan strategi adaptasi perubahan iklim bidang kesehatan. Pelaksanaan kegiatan tersebut mengacu pada target indikator yang telah ditetapkan dan dapat dilihat pada tabel 2.E a. Penyelenggaraan Penyehatan Permukiman Pembinaan dan pemantauan penyehatan permukiman salah satu tujuannya untuk meningkatkan capaian rumah sehat yang dilakukan mulai dari tingkat pusat sampai Puskesmas. Rumah pada dasarnya merupakan tempat hunian yang sangat penting bagi kehidupan setiap orang. Rumah tidak sekedar sebagai tempat untuk melepas lelah setelah bekerja seharian, namun di dalamnya terkandung arti yang penting sebagai tempat untuk membangun kehidupan keluarga sehat dan sejahtera. Rumah yang sehat dan layak huni tidak harus berwujud rumah mewah dan besar namun rumah yang sederhana dapat juga menjadi rumah yang sehat dan layak dihuni. Rumah sehat adalah kondisi fisik, kimia, biologi di dalam rumah dan perumahan sehingga memungkinkan penghuni atau masyarakat memperoleh derajat kesehatan yang optimal. Untuk menciptakan rumah sehat maka diperlukan perhatian terhadap beberapa aspek yang sangat berpengaruh antara lain akses air minum, akses jamban sehat, lantai, pencahayaan, dan ventilasi.

180 Pengendalian faktor risiko yang mempengaruhi timbulnya ancaman dan melindungi keluarga dari dampak kualitas lingkungan perumahan dan tempat tinggal yang tidak sehat telah diatur dalam Kepmenkes RI No. 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan. Dalam upaya mengoptimalkan perlindungan masyarakat terhadap risiko penyakit saluran pernafasan di dalam ruang rumah ditetapkan Permenkes Nomor 1077/MENKES/PER/2011 tentang Pedoman Penyehatan Udara dalam Ruang Rumah. Berdasarkan informasi dan data dari 31 provinsi pada tahun 2012 capaian rumah sehat dapat dilihat pada grafik Grafik 2.E.3.1 Capaian Rumah Sehat Tahun 2012 Grafik di atas menunjukkan rata-rata nasional untuk capaian rumah sehat tahun 2012 dari 31 provinsi yang menginfomasikan capaiannya adalah sebesar 68,69% yang berarti di atas target nasional yang ditetapkan sebesar 60,00%. Capaian ini mengalami kenaikan dibandingkan dengan tahun 2011 sebesar 65,94%. Grafik 2.E.3.2 Target dan Capaian Rumah Sehat Tahun 2010 sd

181 Grafik di atas menunjukkan fluktuasi capaian rumah sehat. Fluktuasi ini salah satunya dipengaruhi oleh jumlah dan provinsi yang melaporkan capaiannya ke pusat berbeda-beda yang mempengaruhi pembagian angka rata-rata nasional. Beberapa upaya telah dilakukan untuk meningkatkan capaian rumah sehat diantaranya dengan aktif dalam Pokja Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) yang dibentuk oleh Bappenas. Pokja ini sebagai wadah koordinasi sinergisitas para pemangku kepentingan dalam melaksanakan pembangunan perumahan secara sistematis. Keterlibatan Kemenkes dalam Pokja ini diharapkan dapat mengawal dan mengarahkan pembangunan perumahan dan permukiman yang tidak hanya layak huni namun juga memenuhi persyaratan kesehatan. Diharapkan Pokja PKP ini juga dapat dibentuk di tingkat provinsi dan kabupaten/kota untuk mempercepat pembangunan perumahan dan permukiman di daerah. Melalui kegiatan pembinaan penyehatan permukiman di daerah, pusat melakukan fasilitasi kepada dinas kesehatan di daerah (provinsi dan kabupaten/kota) untuk keterlibatan dinas tersebut dalam Pokja PKP yang dibentuk di daerah. Salah satu strategi yang bisa dikembangkan untuk meningkatkan rumah sehat adalah memperkuat jejaring penyehatan permukiman hingga tingkat daerah (provinsi dan kabupaten/kota). Output yang dihasilkan dari jejaring tersebut adalah menjadikan upaya penyehatan permukiman / rumah sehat terintegrasi dengan program lain yang dikembangkan di daerah. Pada tahun 2012 seluruh provinsi telah membentuk Pokja PKP dan yang telah ditetapkan dengan Surat Keputusan Gubernur. Upaya lain yang dilakukan untuk meningkatkan angka capaian rumah sehat adalah bekerja sama dengan Tim Penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Salah satu kesulitan petugas kesehatan lingkungan dalam pendataan rumah sehat adalah keterbatasan sumber daya / jumlah tenaga di lapangan (Puskesmas) dibandingkan dengan jumlah rumah yang ada sehingga untuk hal ini kerja sama dengan PKK yang memiliki kader hingga tingkat dasawisma perlu dikembangkan. Kader PKK tersebut dapat diberdayakan sebagai kader kesehatan lingkungan yang menilai rumah dengan instrumen kartu rumah. Hasil penilaian mereka inilah yang disampaikan ke petugas kesehatan lingkungan di Puskesmas untuk direkap. Di tingkat pusat kerja sama Direktorat Penyehatan Lingkungan dengan Tim Penggerak PKK Pusat diwujudkan dalam bentuk pembinaan bersama ke desa untuk verifikasi lomba Lingkungan Bersih Sehat (LBS). b. Penyelenggaraan Penyehatan Tempat-Tempat Umum (TTU) Tempat-Tempat Umum (TTU) adalah tempat atau sarana yang diselenggarakan oleh Pemerintah/Swasta atau perorangan yang digunakan untuk kegiatan bagi masyarakat. Fokus pembinaan TTU dalam RAK Direktorat Penyehatan Lingkungan tahun meliputi sarana pendidikan (sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah, sekolah menegah pertama/madrasah tsanawiyah, sekolah menengah atas/sekolah menengah kejuruan/madrasah aliyah), sarana pelayanan kesehatan (rumah sakit dan Puskesmas), dan hotel (hotel bintang dan hotel nonbintang). TTU dinyatakan sehat apabila memenuhi persyaratan 180

182 fisiologis, psikologis, dan dapat mencegah penularan penyakit antarpengguna, penghuni, dan masyarakat sekitarnya serta memenuhi persyaratan dalam pencegahan terjadinaya kecelakaan. Pada akhir tahun 2012 sebanyak 27 provinsi yang menyampaikan informasi capaian TTU sehat yang dapat dilihat pada grafik 2.E.3.2. Grafik 2.E.3.3 Capaian TTU Sehat Tahun 2012 Grafik2.E.3.2 capaian TTU sehat 2012 dari 27 provinsi yang menginfomasikan capaiannya adalah sebesar 74,29% yang berarti di atas target nasional yang ditetapkan sebesar 60,00% namun jika dibandingkan capaian pada tahun 2011 mengalami penurunan, dimana pada tahun 2011 capaian TTU sebesar 74,43%. Penurunan ini dipengaruhi beberapa hal diantaranya beberapa daerah / provinsi melakukan penertiban / pendataan ulang pada TTU sehat dengan memutihkan capaian tahun sebelumnya. Grafik 2.E.3.4 Target dan Capaian TTU Sehat Tahun 2010 sd

183 Grafik di atas menunjukkan fluktuasi capaian TTU sehat. Fluktuasi ini salah satunya dipengaruhi oleh jumlah dan provinsi yang melaporkan capaiannya ke pusat berbeda-beda yang mempengaruhi pembagian angka rata-rata nasional. Berikut ini beberapa kegiatan yang dilaksanakan oleh Direktorat Penyehatan Lingkungan dalam upaya meningkatkan capaian TTU sehat : 1) Lingkungan Sekolah Sehat Kondisi sekolah dan madrasah sebagai salah satu TTU yang digunakan anakanak sekolah untuk menuntut ilmu juga harus memenuhi persyaratan kesehatan guna mencegah kemungkinan terjadinya gangguan kesehatan/penyakit pada semua warga sekolah di tempat tersebut. Lingkungan sekolah yang sehat sangat diperlukan, selain dapat mendukung proses pembelajaran diharapkan juga dapat membudayakan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), tidak hanya pada peserta didik tetapi diharapkan dapat meluas pada keluarga dan masyarakat sekitar. Derajat kesehatan yang optimal dapat dilakukan melalui upaya-upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Penyelenggaraan upaya di atas dapat dilakukan antara lain melalui kegiatan kesehatan lingkungan. Oleh karena itu dalam rangka upaya peningkatan kualitas kondisi lingkungan sekolah perlu dilakukan pembinaan dan fasilitasi sekolah. Dalam hal pembinaan kesehatan lingkungan di sekolah Kementerian Kesehatan telah bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, dan Kementerian Dalam Negeri yang tertuang dalam Keputusan Bersama Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Kesehatan, Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 1/U/SKB/2003, 1067/Menkes/SKB/VII/2003, MA/230 A/2003, 26 Tahun 2003 tanggal 23 Juli 2003 tentang Pembinaan dan Pengembangan Usaha Kesehatan Sekolah. Program Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) yang dalam pelaksanaannya menitikberatkan pada upaya promotif dan preventif serta didukung oleh upaya kuratif dan rehabilitatif yang berkualitas, sangat penting dan strategis untuk meningkatkan prestasi belajar pada khususnya dan status kesehatan peserta didik pada umumnya. Lomba Sekolah Sehat (LSS) merupakan suatu kegiatan untuk menilai pelaksanaan UKS, materi penilaian meliputi peran tim pembina UKS tingkat provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan serta pelaksanaan UKS di sekolah itu sendiri. LSS diikuti oleh semua tingkat pendidikan mulai dari TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/SMK/MA. Pada tahun 2012 penilaian LSS tingkat nasional diikuti oleh sekolah-sekolah di 24 provinsi yang lulus verifikasi persyaratan administrasi yang dapat dilihat pada tabel di bawah: 182

184 Tabel 2.E.3.2 Provinsi Peserta Lomba Sekolah Sehat Tingkat Nasional Tahun 2012 No Nama Provinsi No Nama Provinsi 1 Banten 13 Sulawesi Tenggara 2 Bali 14 Bangka Belitung Nusa Tenggara 3 Sumatera Barat 15 Barat 4 Sumatera Selatan 16 Jambi 5 Kalimantan Timur 17 DKI Jakarta 6 Kalimantan Selatan 18 Kalimantan Tengah 7 Jawa Tengah 19 Kalimantan Barat 8 D.I Yogyakarta 20 Sulawesi Selatan 9 Jawa Timur 21 Sulawesi Barat 10 Jawa Barat 22 Sulawesi Tengah 11 Riau 23 Sulawesi Utara 12 Lampung 24 Sumatera Utara Output yang diharapkan dari pelaksanaan kegiatan ini adalah pembinaan kesehatan lingkungan di sekolah untuk melindungi peserta didik dan warga sekolah lainnya dari faktor risiko lingkungan yang mengancam kesehatan. Acuan pembinaan kesehatan lingkungan di sekolah adalah Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1429/Menkes/SK/XII/2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Kesehatan di Lingkungan Sekolah. Setiap tahapan penilaian/verifikasi (mulai dari rapat persiapan, review instrumen, verifikasi ke lapangan, hingga penetapan pemenang) dilakukan secara bersama-sama oleh tim penilai pusat yang terdiri dari empat unsur kementerian yang tergabung dalam SKB Empat Menteri. Berikut ini tabel. merupakan enam besar pemenang LSS tahun 2012 dari masing-masing tingkatan sekolah yang ditetapkan melalui SK Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan No. 25/C1/KEP/KP/2012 tentang Pemenang Lomba Sekolah Sehat Tingkat Nasional Tahun 2012 : 183

185 Tabel 2.E.3.3 Pemenang Lomba Sekolah Sehat Tingkat Nasional Tahun 2012 No Pemenang Nama Sekolah Provinsi Tingkat TK/RA 1 Juara I TK Atisa Dipamkara Banten 2 Juara II TK Aisyiyah Bebekan Jawa Timur 3 Juara III TK Islam Sa adatuddarain Nusa Tenggara Barat Wakan 4 Harapan I TK Santa Ursula DKI Jakarta 5 Harapan II TK Negeri Pembina Pariaman Sumatera Barat 6 Harapan III TK Aisyiyah Bustanul Atfhal Jawa Barat Tingkat SD/MI 1 Juara I SDN Suryakencana Jawa Barat 2 Juara II SDK Sang Timur DKI Jakarta 3 Juara III MIN Demangan Jawa Timur 4 Harapan I SDN 33 Palembang Sumatera Selatan 5 Harapan II SDN Murungsari 2 Kalimantan Selatan 6 Harapan III SDN 25 Panaikang Sulawesi Selatan Tingkat SMP/MTs 1 Juara I SMPN 12 Tebo Jambi 2 Juara II SMPN 1 Susukan Jawa Tengah 3 Juara III SMPN 1 Kempo Nusa Tenggara Barat 4 Harapan I SMPN 1 Selat Kalimantan Tengah 5 Harapan II SMPN 216 Jakarta DKI Jakarta 6 Harapan III SMPN 4 Kediri Jawa Timur Tingkat SMA/MA 1 Juara I MAN Baubau Sulawesi Tenggara 2 Juara II SMKN 1 Muara Teweh Kalimantan Tengah 3 Juara III SMAN 78 Jakarta DKI Jakarta 4 Harapan I MAN Jombang Jawa Timur 5 Harapan II SMAN 15 Bandung Jawa Barat 6 Harapan III SMAN 6 Palembang Sumatera Selatan 2) Peningkatan Kesehatan Lingkungan di Pondok Pesantren Kegiatan Penyehatan Lingkungan bertujuan mewujudkan kualitas lingkungan yang lebih sehat melalui upaya preventif dan promotif. Gerakan Indonesia Berseri (GIB) yang merupakan komitmen nasional yang diketuai langsung oleh Wakil Presiden RI, Boediono, diluncurkan pada tahun 2012 untuk meningkatkan standard kebersihan lingkungan secara nasional. Salah satu fokus utama dalam GIB ini adalah peningkatan kebersihan dan hygiene 184

186 sanitasi sekolah/pondok pesantren. Kegiatan peningkatan kesehatan lingkungan di pondok pesantren (Pontren) ini juga dilakukan untuk meningkatkan akses masyarakat yang tinggal di pondok pesantren terhadap air minum dan sanitasi yang layak guna mendukung capaian MDG s. Pondok pesantren menjadi serius bagi perhatian pemerintah karena banyak kondisi lingkungan jauh dari bersih dan sehat, sehingga banyak santri yang terkena penyakit seperti kulit, diare, dan banyak penyakit berbasis lingkungan lainnya. Santri adalah masa depan bangsa dan berhak mendapatkan kualitas hidup yang baik dan sehat melalui perbaikan kualitas lingkungan, karena kondisi lingkungan yang tidak sehat memeberikan kontribusi yang besar terhadap kejadian penyakit berbasis lingkungan. Direktorat Penyehatan Lingkungan, Kementerian Kesehatan pada tahun 2012 memberikan bantuan stimulan di 20 Pontren, di 5 provinsi, setiap provinsi ditentukan 3 kabupaten sehingga secara keseluruhan berjumlah 15 kabupaten. Tabel 2.E.3.4 Daftar Provinsi, Kabupaten, dan Pondok Pesantren Penerima Bantuan Stimulan Tahun 2012 PROVINSI KABUPATEN NAMA PONDOK PESANTREN 1 Jawa Barat 1 Sukabumi 1 Pontren Manbaul Hikmah 2 Subang 2 Pontren Miftahul Ridwan 3 Garut 3 Pontren Jalalen 4 Pontren Al Hikmah 2 Jawa Tengah 4 Banyumas 5 Pontren Ibnu Taimiyyah 5 Pati 6 Pontren Al Channan 7 Pontren Raudlatul Falah 6 Brebes 8 Pontren Al Ishlah Assalafiyah 3 DI Yogyakarta 7 Gunung Kidul 9 Pontren Darul Quran 8 Sleman 10 Pontren As Salafiyyah 9 Bantul 11 Pontren Al-Fithroh 4 Jawa Timur 10 Ngawi 12 Pontren Al-Amnaniyah 5 Nusa Tenggara Barat 13 Pontren Al-Barokah 11 Pasuruan 14 Pontren Miftahul Ulum Banat-I 15 Pontren Miftahul Falah Al Hasani 12 Ponorogo 16 Pontren Darul Hasanah 17 Pontren Sulamul Huda 13 Lombok Timur 18 Pontren Maraqita limat 14 Lombok Tengah 19 Pontren Darul Muttaqien NW 15 Lombok Utara 20 Pontren Hidayaturrahman NW 185

187 Pemberian bantuan stimulan ini bertujuan : 1. Meningkatkan kemampuan dan kemauan masyarakat dalam berperilaku hidup bersih dan sehat serta dalam pemanfaatan sarana; 2. Meningkatkan kualitas hygiene dan sanitasi bangunan pondok pesantren (termasuk sarana air bersih dan sanitasi); 3. Melakukan upaya pencegahan penyakit berbasis lingkungan; 4. Menguatkan kemampuan dan partisipasi masyarakat di pondok pesantren dan masyarakat sekitarnya dalam pemeliharaan dan pengembangan sarana air bersih dan sanitasi. Pemberian bantuan stimulan ini menggunakan pendekatan pemberdayaan masyarakat MPA-PHAST (Methodology for Partispatory Assessment - Participatory Hygiene and Sanitation Transformation) yang diawali dengan penyusunan Rencana Kerja Masyarakat (RKM-Pontren) oleh Tim Kerja Masyarakat Pontren (TKM-Pontren) difasilitasi oleh petugas dinas kesehatan kabupaten yang sebelumnya telah dilatih menjadi fasilitator dan melibatkan sanitarian di wilayah pondok pesantren tersebut. Salah satu isi dalam RKM tersebut adalah pemilihan opsi perbaikan lingkungan sesuai masalah kesehatan lingkungan di Pontren. Masing-masing Pontren menerima bantuan stimulan sebesar Rp Dalam perjalanan perbaikan kualitas lingkungan di masing-masing Pontren mengalami perkembangan, nilai fisik yang dibangun melebihi nilai bantuan stimulan yang diperoleh dari dana swadaya masyarakat Pontren baik berupa in cash maupun in kind. Sarana yang dapat dibangun dengan dana stimulan ini difokuskan untuk 7 opsi yaitu : 1. Sarana air bersih; 2. Sarana jamban sehat; 3. Sarana cuci tangan pakai sabun; 4. Sarana pembuangan sampah; 5. Sarana pembuangan air limbah; 6. Tata ruang dan bangunan yang memadai; 7. Tempat wudhu Grafik 2.E.3.5 Opsi Sarana yang Dibangun di Pondok Pesantren 186

188 Grafik diatas menunjukkan sarana yang paling banyak dipilih untuk dibangun / diperbaiki adalah sarana jamban sehat yang dipilih oleh 15 pondok pesantren dan sarana air bersih yang dipilih oleh 12 pondok pesantren. Dalam proses penyusunan RKM, beberapa pondok pesantren mengenali permasalahan sanitasi lainnya yang perlu diperbaiki seperti dapur yang higienis, tempat cuci dan kamar mandi, sarana ini dibangun dan diperbaiki dengan dana swadaya di luar dana stimulan yang diberikan dari pusat. Proses perbaikan Pontren dikawal oleh pusat bekerja sama dengan dinas kesehatan setempat dengan melakukan monitoring dan evaluasi untuk melihat progess pembangunan fisik. Ke depannya diharapkan masing-masing daerah dapat membuat suatu rencana exit strategy yang dapat direplikasikan ke pondok pesantren yang lain, suatu bentuk peningkatan kualitas lingkungan dengan metode pemberdayaan masyarakat. Selain itu perlu dilakukan pembinaan dan monev rutin untuk memastikan pemanfaatan sarana yang sudah dibangun sesuai dengan tujuan dan sasaran serta perawatan dan pemeliharaannya. Gambar 2.E.3.1 Capacity Building MPA PHAST Kesling Pontren bagi Petugas Provinsi dan Kabupaten 3) Pemeriksaan Pra Embarkasi Haji Perjalanan ibadah haji merupakan kegiatan pada kondisi matra yang dapat berpengaruh terhadap kesehatan jamaah haji, termasuk pengaruh kondisi asrama haji embarkasi sebagai tempat persinggahan terakhir bagi jamaah haji sebelum keberangkatannya ke tanah suci untuk melaksanakan ibadah haji. Pengaruh asrama haji terdiri dari pengaruh fisik bangunan, cuaca, dan pengaturan kegiatan, ketersediaan makanan yang aman dan sehat serta pengaruh dari hadirnya banyak jamaah haji dari berbagai tempat secara bersamaan. Oleh karena itu diperlukan suatu upaya untuk melindungi calon jamaah haji dari gangguan kesehatan yang diakibatkan faktor risiko lingkungan di embarkasi haji Pada tahun 2012 embarkasi haji di Indonesia tersebar di 15 kota yaitu Banda Aceh, Medan, Padang, Palembang, Batam, Bandar Lampung, Bekasi, Pondok Gede, Solo, Surabaya, Banjarmasin, Balikpapan, Mataram, Makassar, dan Gorontalo. 187

189 188 c. Adaptasi Perubahan Iklim Bidang Kesehatan Perubahan iklim merupakan kenyataan yang tidak dapat dihindari, yang telah menimbulkan masalah sosial dan ekonomi pada berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.Suhu rata-rata global meningkat sebesar 0,74 0 C selama abad ke-20, yang lebih dirasakan pada daerah daratan daripada lautan. Jakarta sudah mengalami dampak perubahan iklim, Hal ini terlihat dari suhu kota Jakarta sempat naik hingga 37 o C, padahal dalam kondisi normal suhu udara di Ibukota hanya berkisar o C (KLH, 2007). Ancaman bahaya perubahan iklim di Indonesia dapat mempengaruhi kesehatan baik secara langsung maupun tidak langsung yang menyebabkan berbagai penyakit, dampak psikologis, pengungsian, bahkan kematian (mortality). Bahaya perubahan iklim terkait kesehatan diantaranya temperatur dan curah hujan yang ekstrim, peningkatan banjir dan kekeringan, perubahan distribusi vektor penyakit (vector-borne diseases), peningkatan kasus malnutrisi, dan peningkatan bencana terkait iklim. Pengaruh terhadap kesehatan manusia secara langsung berupa paparan langsung dari perubahan pola cuaca (temperatur, curah hujan, kenaikan muka air laut, dan peningkatan frekuensi cuaca ekstrim). Kejadian cuaca ekstrim dapat mengancam kesehatan manusia bahkan kematian. Contoh adalah Penyakit terkait Panas Extreme (heat related illness) seperti heat stroke, heat exhaustion dan terkait kondisi lain pada sirkulasi, pernafasan dan sistem persyarafan, sedangkan pengaruh terhadap kesehatan manusia secara tidak langsung mekanisme yang terjadi adalah perubahan iklim mempengaruhi faktor lingkungan seperti perubahan kualitas lingkungan (kualitas air, udara, dan makanan), penipisan lapisan ozon, penurunan sumber daya air, kehilangan fungsi ekosistem, dan degradasi lahan yang pada akhirnya faktor-faktor tersebut akan mempengaruhi kesehatan manusia dan dampaknya berupa (a) Kematian dan kesakitan akibat penyakit. Selanjutnya penyakit yang terkait perubahan iklim dipicu oleh adanya perubahan temperatur, pencemaran udara, penyakit bawaan air dan makanan, serta penyakit bawaan vektor dan hewan pengerat serta menurunnya ketersediaan air. (b) Malnutrisi, dapat terjadi karena terganggunya sumber makanan dan panen. Pengaruh di Indonesia, bedasarkan data yang telah ada maka terhadap Penyakit Malaria, Demam Berdarah Dengue, Diare, ISPA, sedangkan untuk penyakit lain masih dalam kajian dikarenakan belum ada kajian data terhadap penyakit lainnya contoh Malnutrisi, Cedera (Injuries), Asthma, Kanker (mata, kulit), Stress psikososial dan penurunan ketersediaan air Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden No. 46 tahun 2008, merupakan koordinator Nasional Perubahan Iklim, dimana Menteri Kesehatan merupakan salah satu anggotanya. Dalam upaya pengarusutamaan perubahan iklim di kesehatan, Kementerian kesehatan telah menyusun Norma, Standar, Peraturan dan Kriteria yang mendukung perubahan iklim, yaitu : Permenkes No. 1018/Menkes/Per/V/2011 tentang Strategi Adaptasi Sektor Kesehatan Terhadap Dampak Perubahan Iklim.

190 Dibentuknya Tim Koordinasi Adaptasi Perubahan Iklim Bidang KesehatanberdasarkanKeputusanMenteriKesehatan No. 1212/ Menkes/ SK/VIII/2012 Permenkes Nomor 035 tahun 2012 tentang Pedoman Identifikasi Faktor Risiko Kesehatan Akibat Perubahan Iklim. Pedoman Surveilans Dampak Perubahan Iklim (Balitbangkes dan P2PL) Pedoman Aplikasi Pengguna Dampak Perubahan Iklim (Balitbangkes dan P2PL) Modul Perubahan Iklim Draft Pedoman Pemetaan dampak Perubahan Iklim Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap (Health Sector) tahun 2010 Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim Pada tahun 2012 dilakukan penandatanganan kerja sama dengan Bappenas untuk melaksanakan kegiatan Kajian Kerentanan Perubahan iklim Penyakit Malaria dan Demam Berdarah dengan dana Hibah ICCTF (Indonesia Climate Change Trust Fund). Dalam pelaksanaannya, Direktorat Penyehatan Lingkungan menggandeng Pusat Penelitian Perubahan Iklim Universitas Indonesia (Reseacrh Centre for Climate Change / RCCC-UI) 4. Penyelenggaraan Kegiatan Pengamanan Limbah, Udara dan Radiasi Perkembangan teknologi dan pembangunan yang pesat di berbagai sektor seperti perindustrian, pertanian, transportasi, pertambangan, dan sebagainya memberikan manfaat untuk kesejahteraan masyarakat, peningkatan devisa dan membuka peluang kerja, juga memberikan dampak negatif terhadap lingkungan, yaitu terjadinya pencemaran lingkungan baik air, udara maupun tanah, yang pada akhirnya menimbulkan dampak terhadap kesehatan masyarakat. Pencemaran lingkungan dapat juga diakibatkan oleh manusia dan pada akhirnya dampaknya juga dirasakan, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Dampak limbah buangan hasil aktifitas manusia yang jika tidak dikelola dengan serius akan menjadi sumber penularan penyakit, juga dapat menimbulkan permasalahan tersendiri bagi masyarakat. Penyelenggaraan kegiatan pengamanan limbah, udara, dan radiasi bertujuan untuk mengendalikan risiko terjadinya pencemaran dan dampaknya terhadap kesehatan lingkungan, yang memfokuskan diantaranya pada : pengelolaan limbah medis fasyankes dan Analisis Dampak Kesehatan Lingkungan (ADKL). a. Pengelolaan Limbah Rumah Sakit (RS) Perkembangan Fasilitas Pelayanan Kesehatan (fasyankes) di Indonesia sudah seharusnya diimbangi dengan pengelolaan limbah yang benar dan aman. Limbah fasyankes menuntut perlakuan yang berbeda dengan limbah domestik karena sifatnya yang merupakan bahan berbahaya dan beracun (B3). Limbah B3 dari fasyankes disebut juga dengan limbah medis yang memiliki sifat infeksius, beracun, dan mudah terbakar. Oleh karena itu harus ditangani secara khusus sesuai dengan kategorinya. Secara keseluruhan fasyankes di Indonesia terdiri dari : 189

191 1. Rumah Sakit (RS) 2. Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) dan Pos Pelayanan Terpadu (Puskesmas) 3. Industri Farmasi dan Apotek 4. Laboratorium Kesehatan (Labkes) 5. Klinik dan Laboratorium Klinik 6. Praktek dokter 7. Pengobatan tradisional 8. Institusi akademik di bidang kesehatan Pada tahun 2012 terdapat RS yang dikelola oleh pemerintah, swasta dan militer. RS sebagai salah satu sumber utama penghasil limbah medis karena jumlah limbah yang dihasilkan dalam sehari sekitar 140 g/tempat tidur/hari yang terdiri dari : 1. 80% limbah non infeksius 2. 15% limbah infeksius 3. 3% limbah kimia dan obat 4. 1% limbah tajam 5. kurang dari 1% tabung atau termometer rusak Sumber : Pengelolaan Aman Limbah Layanan Kesehatan (WHO, 2005) Grafik 2.E.4.1 Distribusi limbah yang dihasilkan Rumah Sakit Bila jumlah tempat tidur RS di seluruh Indonesia diperkirakan tempat tidur, maka perkiraan jumlah limbah medis yang dihasilkan setiap harinya adalah : 140 g/hari x TT = 33,37 ton/hari Jumlah tersebut belum termasuk limbah medis yang dihasilkan puskesmas. Pada tahun 2012 jumlah puskesmas di Indonesia adalah puskesmas, dengan perkiraan timbulan limbah medis sekitar 7,5 g/pasien/hari. 190 Kondisi ini perlu penanganan khusus karena limbah medis sangat berdampak pada kesehatan, seperti penelitian yang telah dilakukan oleh WHO, yang menyatakan :

192 1. Jarum suntik yang terkontaminasi mengakibatkan : i. 21 juta infeksi virus hepatitis B (HBV), 32% dari kasus baru ii. 2 juta infeksi virus hepatitis C (HCV), 40% dari kasus baru iii. Paling sedikit infeksi HIV, 5% dari kasus baru 2. Kajian epidemiologi megindikasikan bahwa seseorang yang terluka karena tusukan jrum suntik yang berasal dari sumber infeksi berisiko terkena HV 30%, HCV 1,8%, dan HIV 0,3%. 3. Sekitar 22-53% kasus hepatitis B, 31-59% kasus hepatitis C, dan 7-24% kasus HIV/AIDS diasosiasikan dengan pengelolaan limbah medis yang tidak aman. Gambar 2.E.4.1 Wadah Limbah Medis Infeksius dan Limbah Tajam yang Ditempatkan di Sumber Penghasil (Ruangan) Gambar 2.E.4.2 Pemilahan Limbah dari Sumber Penghasil dengan Menggunakan Wadah Berbeda untuk Tiap Jenis Limbah dan Menggunakan Label 191 Fokus dari pengamanan limbah yang dilakukan oleh Subdit PLUR adalah pengelolaan limbah yang dilakukan oleh fasyankes dengan aman dan benar, yang dalam hal ini masih difokuskan pada Rumah Sakit (RS). Indikator utama Sub Direktorat PLUR adalah persentase Kabupaten/Kota yang melakukan pembinaan pengelolaan limbah fasyankes. Indikator ini sesuai dengan fokus dari pengamanan limbah sehingga untuk mengetahui tingkat pencapaian indikator ini dapat dilakukan dengan kegiatan seperti kemitraan, dan monitoring dan evaluasi.

193 1) Jejaring Kemitraan Penanganan khusus untuk limbah medis tidak dapat dilakukan oleh sektor kesehatan saja, karena peraturan mengenai B3 dan limbah B3 memiliki peraturan tersendiri yang melibatkan berbagai sektor dan pemangku kepentingan, yaitu : a) Pemerintah Pusat dan Daerah b) Swasta (pihak ketiga pengelola limbah dan produsen maupun distributor barang-barang yang nantinya akan menjadi limbah medis, atau pihak lainnya) c) Masyarakat (LSM) d) Penghasil limbah (fasyankes) e) Jika pihak-pihak ini mampu bekerja sama dan menjalankan peran sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan maka pengelolaan limbah medis di Indonesia akan berjalan dengan baik. Akan tetapi permasalahan mengenai limbah medis di Indonesia tidak sampai disitu saja. Masih perlu perencanaan yang baik dalam pengelolaannya, pilihan teknologi yang sesuai, implementasi konsep penanganan limbah, dan kesesuaian pandangan dari setiap pemangku kepentingan yang dalam hal ini sungguh sangat sulit diwujudkan. f) Maka membangun jejaring dan kemitraan dengan sektor terkait perlu untuk dilakukan. Kemitraan dapat membangun jejaring dengan setiap pemangku kepentingan yang berkaitan dengan pengelolaan limbah fasyankes guna menyamakan pandangan dalam pelaksanaan pengelolaan limbah fasyankes dengan aman dan benar. Kemitraan dalam pengelolaan limbah fasyankes melibatkan berbagai sektor dan pemangku kepentingan terkait pengelolaan limbah medis fasyankes. g) Kegiatan jejaring kemitraan ini bertujuan untuk memberikan rekomendasi pemecahan masalah yang dihadapi dalam pengelolaan limbah medis fasyankes di Indonesia. Selain itu, kegiatan ini bertujuan untuk membangun kemitraan dan kerjasama dengan sektor dan instansi terkait khususnya dalam bidang pengelolaan limbah medis fasyankes. 2) Monitoring dan Evaluasi a) Kegiatan monitoring dan evaluasi dilakukan dengan metode pengumpulan data dengan observasi langsung dan wawancara dengan instrumen (kuesioner) ke rumah sakit di Kab./Kota. Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana pembinaan dilakukan oleh Kabupaten/Kota dalam pengelolaan limbah fasyankes. b) Kegiatan Monitoring dan Evaluasi pengelolaan limbah fasyankes pada tahun 2012 telah dilakukan di 39 RS di 18 Kab./Kota di 12 Provinsi. Selain mengumpulkan data melalui kegiatan monitoring dan evaluasi, dilakukan pula pengumpulan data dari kabupaten/kota dan provinsi 192

194 mengenai pengelolaan limbah medis fasyankes. Kegiatan pengumpulan data ini dilaksanakan mulai Januari 2012 hingga Desember c) Data yang diperoleh dari kegiatan monev dan pelaporan kab./kota tersebut dijadikan sebagai bahan dalam memperoleh capaian target indikator di tahun Adapun indikator Sub Direktorat Pengamanan Limbah, Udara, dan Radiasi adalah % Kabupaten/Kota yang melakukan pembinaan pengelolaan limbah medis fasyankes, dengan cara perhitungan : d) / / 100% *) jumlah kab./kota se-indonesia adalah 498 (data tahun 2010) e) Dari kegiatan tersebut diperoleh bahwa dari seluruh Kab./Kota di Indonesia, ada 210 Kab./Kota yang telah melakukan pembinaan mengenai pengelolaan limbah medis ke fasyankes. Grafik 2.E.4.2 Kabupaten/Kota yang Melakukan Pembinaan Pengelolaan Limbah Medis Fayankes Tahun 2012 Provinsi yang paling banyak melaksanakan pembinaan dengan cakupan 100% dari jumlah kabupaten dan kotanya adalah : Bengkulu, Sumatera barat, Kepulauan Riau, Banten, DKI Jakarta, Jawa Timur, Bali, dan Gorontalo. 193 Dari kegiatan monev dan pengumpulan data dapat diketahui bagaimana potret pengelolaan limbah medis fasyankes, khususnya rumah sakit di Indonesia, yaitu dari kepemilikan alat pengolah limbah, keberfungsian alat pengolah limbah, organisasi internal RS yang memiliki tugas pengelolaan limbah dan bagaimana pemilahan limbah yang dilakukan di fasyankes.

195 Grafik 2.E.4.3 Distribusi RS yang Memiliki IPAL Tahun 2012 Dari 797 RS, sebanyak 640 RS (80,3%) memiliki IPAL, sedangkan 157 RS (19,7%) tidak memiliki IPAL. Grafik 2.E.4.4 Distribusi RS dengan IPAL yang Berfungsi Baik Tahun 2012 Sedangkan dari 640 RS yang memiliki IPAL, sebanyak 539 RS (84,2%) IPAL berfungsi dengan baik, sedangkan 101 RS (15.8%) IPAL tidak berfungsi baik. Grafik 2.E.4.5 Distribusi RS yang Memiliki Alat Pengolah Limbah Medis Padat Tahun

196 Dari 797 RS, sebanyak 330 RS (41,4%) memiliki alat pengolah limbah medis padat (yang dalam hal ini keseluruhannya adalah incinerator), sedangkan 467 RS (58,6%) tidak memiliki. Grafik 2.E.4.6 Distribusi RS yang Menyerahkan Limbah Medis Padat ke Pihak Luar yang Berijin Tahun 2012 Dari 467 RS yang tidak memiliki alat pengolah limbah medis, sebanyak 367 RS (79%) mengirimkan limbah medis padatnya ke pihak luar yang berijin untuk melakukan pengolahan akhir limbah padat medisnya. Sedangkan 100 RS lainnya (21%) tidak melakukan hal tersebut. Grafik 2.E.4.7 Distribusi RS menurut Keberadaan Organisasi Internal dengan Tupoksi Pengelolaan Limbah Tahun 2012 Dari diagram diatas, sebanyak 403 RS (50,6%) memiliki organisasi internal RS dengan tupoksi pengelolaan limbah, sedangkan 49,4% belum memiliki. Hal ini adalah salah satu penyebab mengapa pengelolaan limbah fasyankes terutama limbah medis padat belum dilakukan secara maksimal di fasyankes dan belum menjadi perhatian khusus bagi instansi terkait di daerah. Dengan adanya organisasi internal yang memiliki tupoksi pengelolaan limbah di RS, program dan kegiatan pengelolaan limbah khususnya limbah medis akan lebih terencana dan terpantau. Demikian juga dengan penyusunan kebijakan internal RS. Hasil monev pengelolaan limbah medis yang dilakukan tahun 2012 dapat mencerminkan hal tersebut. 195

197 Grafik 2.E.4.8 Distribusi RS Responden Monev menurut Adanya Kebijakan Internal Tahun 2012 Dari 34 RS yang di monev, sebanyak 17 RS (50%) memiliki kebijakan internal mengenai pengelolaan limbah medis, sedangkan 17 RS lainnya (50%) belum memiliki. Grafik 2.E.4.9 Distribusi RS Responden Monev yang Telah Melakukan Pemilahan Limbah Medis dan Non Medis dari Sumbernya Tahun 2012 Dari 34 RS yang di monev, sebanyak 27 RS (79,4%) telah melakukan pemilahan antara limbah medis dan non medis dari ruangan penghasil, sedangkan 7 RS lainnya (20,6%) belum. Grafik 2.E.4.10 Distribusi RS Responden Monev Menurut Kepemilikan Ijin Incinerator Tahun 2012 Dari 34 RS yang di monev, sebanyak 3 RS (8,8%) telah memiliki ijin incinerator, sedangkan 31 RS lainnya (91,2%) belum. 196

198 Grafik 2.E.4.11 Distribusi RS Responden Monev menurut Kepemilikan SDM Pengelola Limbah Medis yang Terlatih Tahun 2012 Dari 34 RS yang di monev, sebanyak 10 RS (29,4%) memiliki SDM yang pernah dilatih mengenai pengelolaan limbah medis, sedangkan 24 RS lainnya (70,6%) belum. a. Analisis Dampak Kesehatan Lingkungan Perlindungan terhadap lingkungan hidup dan rencana usaha kegiatan ditetapkan dengan UU No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Setiap rencana usaha/kegiatan yang mempunyai dampak besar dan penting wajib dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Menurut Henrik L. Blum, ada 4 faktor yang mempengaruhi status kesehatan manusia, diantaranya adalah faktor lingkungan. Dengan demikian apabila terjadi perubahan lingkungan, maka akan terjadi pula perubahan kondisi kesehatan lingkungan dan kesehatan masyarakat. Maka studi Amdal idealnya memasukkan pula metode Analisis Dampak Kesehatan Lingkungan (ADKL). Berikut ini adalah grafik yang menggambarkan jumlah dokumen berdasarkan jenisnya yang dibahas dalam sidang komisi Amdal pada tahun 2008 sampai dengan Grafik 2.E.4.12 Jumlah Dokumen berdasarkan Jenis Dokumen Tahun 2008 sd

199 Grafik 2.E.4.13 Jumlah Dokumen berdasarkan Jenis Kegiatan Tahun 2008 sd 2012 Dari dua diagram diatas dapat dilihat jumlah dokumen yang diterima mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun Dari hasil evaluasi dokumen yang dilakukan, sebagian dokumen sudah memasukkan kajian aspek kesehatan masyarakat, meskipun masih dangkal. Sebagai upaya peningkatan kapasitas petugas kesehatan dalam ADKL, tahun 2012 Sub Direktorat Pengamanan Limbah, Udara, dan Radiasi bekerjasama dengan Universitas Indonesia melaksanakan pelatihan Penilai Amdal dengan peserta adalah petugas Ditjen PP dan PL dan petugas dari B/BTKL-PP. Selain itu, 10 B/BTKL-PP telah melaksanakan 162 kajian Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan (ARKL) terhadap media air, makanan, dan udara, dengan pendanaan dari B/BTKL-PP. Pelaksanaan kajian merupakan salah satu upaya Ditjen PP dan PL dalam pelaksanaan dokumen Rencana Aksi Nasional Kesehatan Lingkungan (RAN Kesling) yang telah disusun antar kementerian Penyelenggaran Kegiatan Higiene Sanitasi Pangan (HSP) Kegiatan higiene sanitasi pangan bertujuan untuk meningkatkan mutu makanan siap saji yang berkualitas, higienis dan aman bagi konsumen sehingga angka kesakitan dan kematian akibat mengkonsumsi pangan siap saji yang tidak aman dapat dikendalikan. Higiene Sanitasi Pangan adalah upaya untuk mengendalikan faktor resiko terjadinya kontaminasi terhadap makanan, baik yang berasal dari bahan makanan, orang, tempat dan peralatan agar aman dikonsumsi. Adapun upaya untuk mengendalikan faktor resiko terjadinya penyakit bawaan makanan (PBM) adalah dengan dilakukannnya kegiatan yang berkesinambungan serta perbaikan strategi pelaksanaan teknis dan administrasi pelaksanaan, antara lain dengan: (1) Penguatan kebijakan pelaksanaan melalui penyusunan, revisi peraturan dan pedoman serta modul dan serta penggandaan bahan sosialisasi

200 (2) Peningkatan kemampuan teknis bagi petugas Provinsi/Kabupaten/Kota dalam hal pembinaan dan pengawasan Tempat Pengelolaan Makanan (TPM) melalui faslitasi dan advokasi (3) Perencanaan yang evidence based dalam dukungan administrasi dan manajemen pembinaan dan pengawasan (4) Peningkatan Pelaporan data cakupan TPM dari daerah yang terkini melalui survelans aktif dan pasif Indikator keberhasilan program higiene sanitasi pangan (HSP) adalah persentase TPM yang memenuhi syarat kesehatan. Pada tahun 2010 target indikator program HSP adalah sebesar 55%, capain sebesar 41,68%, target indikator tahun 2011 adalah sebesar 60% dengan capaian sebesar 64,26%, sedangkan target indikator tahun 2012 sebesar 65% dengan capaian sebesar 70,12%. Grafik 2.E.5.1 Persentase Target dan Capaian TPM Memenuhi Syarat Kesehatan Tahun 2010 sd 2012 Adapun cakupan TPM memenuhi syarat kesehatan menurut Provinsi pada tahun 2011 dapat dilihat dalam Grafik. Berikut ini: Grafik 2.E.5.2 Cakupan TPM Memenuhi Syarat Kesehatan Berdasarkan Provinsi Tahun

201 Pada grafik 2.E.5.2 pada tahun 2011 cakupan TPM memenuhi syarat kesehatan tertinggi adalah Provinsi Bali sebesar 90,49%, diikuti oleh Provinsi Maluku sebesar 88,45 dan Kalimantan Barat sebesar 83,72%. Sedangkan cakupan TPM tahun 2012 berdasrkan Provinsi dapat dilihat dalam Grafik 3 di bawah ini. Grafik 2.E.5.3 Cakpan TPM yang Memenuhi Syarat Kesehatan Berdasarkan Provinsi Tahun 2012 Pada grafik 2.E.5.3 cakupan nasional TPM memenuhi syarat kesehatan tahun 2012 adalah sebesar 70,12 %. Provinsi dengan cakupan TPM memenuhi syarat kesehatan tertinggi adalah Provinsi Maluku dengan capaian sebesar 93,58%, diikuti oleh Bali sebesar 90,01%, dan pada posisi ke-3 adalah Provinsi bangka Belitung (Babel) sebesar 85,01%. Cakupan TPM memenuhi syarat kesehatan yang terendah adalah Provinsi Jawa Tengah sebesar 42,01%. Selain dari tercapainya target indikator TPM memenuhi syarat kesehatan, angka Kejadian Luar Biasa (KLB) Keracunan Pangan dapat dijadikan indikator keberhasilan program HSP yang juga menunjukkan keberhasilan fasilitasi dan advokasi pusat kepada daerah secara berjenjang didukung dengan monitoring dan evaluasi yang kontinu atas penyelenggaraan program HSP yang optimal. Selain melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap TPM siap saji, program HSP juga melaksanakan investigasi lapangan terhadap Kejadian Keracunan Pangan. Dari data yang terlaporkan angka kejadian keracunan pangan di Indonesia tahun 2012 adalah sebanyak 312 kejadian, dapat dilihat dari grafik di bawah ini. 200

202 Grafik 2.E.5.4 Angka Kejadian Keracunan Pangan Tahun 2011 Dari Grafik 2.E.5.4, angka kejadian keracunan pangan pada tahun 2011 yang terlaporkan tertinggi terjadi di Provini Jawa Barat sebanyak 20 kejadian, diikuti oleh Provinsi Jawa Timur dan Lampung dengan angka kejadian masing-masing adalah 18 dan 17 kejadian. Sedangkan untuk Provinsi Sulawesi Utara, Jawa tengah, Maluku Utara, Papua, Papua Barat dan Sulawesi Barat tidak ada dilaporkan kejadian keracunan pangan, hal ini mungkin disebabkan memeang tidak ada kejadian tapi bisa juga karena belum adanya sistem laporan dan sistem kewaspadaan dini keracunan pangan yang baik. Angka kejadian keracunan pangan pada tahun 2012 meningkat menjadi 312 kejadian yang dapat dilihat dalam Grafik di bawah ini. 201 Grafik 2.E.5.5 Angka Kejadian Keracunan Pangan Tahun 2012 Berdasarkan Grafik 2.E.5.5, pada tahun 2012 angka kejadian keracunan pangan tahun 2012 berdasarkan yang dilaporkan paling banyak terjadi di Provinsi Jawa Barat, yaitu

203 sebanyak 53 kejadian, diikuti paling banyak ke-2 adalah Provinsi DI. Yogyakarta sebanyak 41 kejadian, dan Provinsi Jawa Timur sebanyak 34 kejadian. Sedangkan angka kejadian keracunan pangan terendah adalah di Provinsi Kalimantan Timur, Maluku, Sulawesi Barat dengan kejadian masing-masing sebanyak 1 kejadian. pada tahun 2010 keracunan pangan paling banyak terjadi dari rumah tangga, selanjutnya secara berurutan adalah jasa boga, pangan olahan, jajanan dan laian-lain. Sedangkan pada tahun 2011 keracunan paling banyak terjadi di rumah tangga, selanjutnya secara berurutan jasa boga, jajanan, tidak diketahui, dan lain-lain. Grafik 2.E.5.6 Kejadian Keracunan Pangan Berdasarkan Tempat Kejadian Tahun 2012 Pada grafik 2.E.5.6 di atas dapat diketahui bahwa kejadian keracunan pangan yang terjadi di event khusus/hajatan/rumah tangga adalah 37 kejadian (berdasarkan yang terlaporkan), sedangkan sumbernya yang tidak diketahui adalah sebanyak 207 kejadian. Berikut ini adalah tren kejadian keracunan pangan di Indonesia dari tahun 2008 sampai tahun Grafik 2.E.5.7 Tren Kejadian Keracunan Pangan di Indonesia Tahun 2008 sd

204 203 Pada grafik diatas menunjukkan angka kejadian keracunan pangan di Indonesia yang terlaporkan adalah 207 kejadian, pada tahun 2009 kejadian menurun menjadi 149 kejadian, lalu meningkat lagi menjadi 190 kejadian pada tahun Angka kejadian keracunan pangan menurun di tahun 2011 yaitu 177 kejadian dan kembali meningkat drastis pada tahun 2012 yaitu sebesar 312 kejadian. Meningkatnya angka kejadian keracunan pangan dapat dimungkinkan karena masih belum bagusnya pembinaan dan pengawasan TPM siap saji atau bisa juga karena sistem surveilans yang semakin membaik sehingga semakin banyak kejadian keracunan pangan yang terlaporkan dan tertanggulangi. Dalam rangka mengendalikan faktor resiko kontaminasi pangan siap saji dan Sistem Kewaspadaan Dini Keracunan Pangan, dan dalam rangka pembinaan dan pengawasan terhadap TPM bagi petugas di daerah serta meningkatkan kapasitas petugas dan performa mereka di lapangan maka pada tahun 2012 telah dilaksanakan pemberian Alat Deteksi Cepat Cemaran Pangan kepada 59 Kaupaten/Kota di Indonesia. Dalam rangka penyediaan makanan siap saji yang aman oleh kantin di lingkungan Kementerian Kesehatan, telah dilaksanakan pembinaan terhadap pengelola dan penjamah makanan kantin di Lingkungan Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan serta kantin di lingkungan Kementerian Kesehatan di Kuningan. Dalam rangka melindungi jemaah haji dari keracunana pangan akibat pangan siap saji maka dilaksanakan kegiatan asessment TPM di 15 embarkasi haji di Indonesia dan juga pengawasan dan pembinaan faktor resiko pangan siap saji di Arab Saudi bekerja sama dengan Kementerian Agama.

205 III. PENUNJANG KEGIATAN PP&PL A. Ketenagaan 1) Distribusi Pegawai Ditjen PP & PL dan UPT Pada Periode Mei 2013 jumlah pegawai Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit & Penyehatan Lingkungan (Ditjen PP dan PL) sebanyak 3835 orang dengan distribusi sebagai berikut: Jumlah pegawai pada Balai Besar/Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit (B/BTKL PP) sebanyak 703 orang (18%), Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) sebanyak 2521 orang (66%), dan jumlah pegawai Ditjen PP dan PL pada unit pusat adalah 611 orang (16%) Grafik 3.A.1 Distribusi Pegawai Ditjen PP dan PL beserta UPT Tahun 2012 Grafik 3.A.2 Distribusi Pegawai Ditjen PP dan PL Unit Pusat Tahun ) Keadaan Pegawai berdasarkan Jenjang dan Jenis Pendidikan Pegawai yang berlatar belakang pendidikan S3 sebanyak 5 orang, S2 sebanyak 642 orang, D4/S1 sebanyak 1296 orang, D3 sebanyak 1180 orang, D2/SM sebanyak 3 orang, D1 sebanyak 92 orang, SLTA sebanyak 539 orang, SMP sebanyak 47 orang, SD sebanyak 31 orang. 204

206 Grafik 3.A.3 Distribusi Pegawai Ditjen PP dan PL beserta UPT berdasarkan Pendidikan Tahun ) Disteibusi Pegawai Berdasarkan Jabatan Distribusi pegawai Ditjen PP dan PL berdasarkan jabatan dapat dilihat pada tabel dibawah : Grafik 3.A.4 Distribusi Pegawai Ditjen PP dan PL beserta UPT berdasarkan Jabatan Tahun 2012 Distribusi pegawai Ditjen PP dan PL berdasarkan jabatan fungsional kesehatan dapat dilihat pada tabel dibawah : 205 Grafik 3.A.5 Distribusi Pegawai Ditjen PP dan PL beserta UPT berdasarkan Jabatan Fungsional Kesehatan Tahun 2012

207 4) Distribusi Pegawai Berdasarkan Pegawai Berdasarkan Golongan Distribusi pegawai Ditjen PP dan PL berdasarkan golongan adalah sebagai berikut: yang menduduki golongan I sebanyak 19 (1%), golongan II sebanyak 1128 (29%). Pegawai Negeri Sipil yang menduduki golongan III sebanyak 2493 (65%). Pegawai Negeri Sipil yang menduduki golongan IV sebanyak 198 (5%). Grafik 3.A.6 Distribusi pegawai Ditjen PP dan PL berdasarkan Golongan Tahun 2012 B. Program dan Informasi Bagian Program dan Informasi mempunyai tugas melaksanakan koordinasi dan penyusunan rencana, program, dan anggaran, penyajian data dan informasi serta evaluasi dan penyusunan laporan. Dalam Pelaksanaan kegiatan koordinasi dan penyusunan rencana, program dan angaran tahunan, telah dilakukan Penyiapan penyusunan perencanaan program dan penganggaran yang dituangkan di dalam Rencana Kerja Anggaran Kementrian dan Lembaga (RKA-KL) tahun 2012 untuk Pusat, UPT sebanyak 56 Satker, terdiri dari 10 BTKL, 48 KKP. Sedangkan dana di 33 Provinsi untuk program pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan serta untuk Dana Tugas Pembantuan Kab/Kota, mempersiapkan dan membahas penganggaran yang dibiaya oleh PHLN baik di tingkat pusat dan daerah. 206

208 No Tabel 3.B.1 Alokasi Anggaran berdasarkan Kegiatan Tahun 2012 Kegiatan 1. Surveilens, Imunisasi, Karantina, dan Kesehatan Matra 2. Pengendalian Penyakit Menular Langsung 3. Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang 4. Pengendalian Penyakit Tidak Menular Anggaran 2012 Sebelum efisiensi Sesudah efisiensi , , ,5 5. Penyehatan Lingkungan ,5 6. Dukungan Manajemen dan Pelaksanaan Tugas Teknis Lainnya pada Program PP & PL ,8 Total Tabel 3.B.2 Alokasi Anggaran per Satuan Kerja Tahun 2012 No Satuan Kerja Anggaran Direktorat Surveilans Imunisasi, Karantina, dan Kesehatan Matra Direktorat Pengendalian Penyakit Menular Langsung Direktorat Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular Direktorat Penyehatan Lingkungan Sekretariat Direktorat Jenderal Balai Besar/Balai Teknik Kesehatan Lingkungan (BB/BTKL- PPM) Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) Dekonsentrasi Tugas Pembantuan Total

209 Hasil pelaksanaan kegiatan pada Sub Bagian Data dan Informasi tahun 2012 antara lain : Bahan-bahan KIE Program PP dan PL Buku Kaleidoskop 2012, Buku Profil Ditjen PP dan PL tahun 2012, Up date data Website Ditjen PP dan PL dengan alamat Sedangkan kegiatan evaluasi dan pelaporan dalam tahun 2012, melaksanakan kegiatan antara lain : Monitoring dan Evaluasi pelaksanaan program baik dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan di Provinsi maupun UPT Menyusun laporan tahunan Menyusun Laporan Inpres bidang Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. C. Keuangan Bagian Keuangan mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan urusan keuangan di lingkungan Dit.Jen. PP dan PL. Dalam melaksanakan tugas tersebut Bagian Keuangan mempunyai fungsi : a. Penyiapan bahan koordinasi rencana pelaksanaan anggaran b. Penyiapan bahan pembinaan kebendaharaan c. Pelaksanaan verifikasi dan akuntansi Sesuai ketentuan perundang-undangan bahwa Pengelolaan Keuangan Negara harus ditentukan dan ditetapkan oleh Menteri Kesehatan selaku Pengguna Anggaran setiap tahunnya. Tahun 2012 Satker Ditjen PP dan PL meliputi 128 yang terdiri dari: Kantor Pusat (6 Satker), Kantor Daerah (59 Satker), Dekon (33 Satker), dan Tugas Pembantuan (31 Satker). Kantor Daerah tahun 2011 sebanyak 59 Satker termasuk RSPI dr. Sulianti Saroso. Tahun 2012 Satker RSPI dr. Sulianti Saroso yang berdasarkan Nomenklatur baru menjadi UPT di Ditjen Bina Upaya Kesehatan, dan KKP Yogyakarta semula wilayah kerja Satker KKP Semarang menjadi Satuan kerja tersendiri. Berdasarkan data Laporan Keuangan Tahun 2010, 2011, dan Alokasi dan Realisasi Keuangan Dit.Jen. PP & PL dapat dilihat dalam Grafik berikut : 208 Grafik 3.C.1 Alokasi dan Realisasi Anggaran Kantor Pusat, Kantor Daerah, Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan Tahun Anggaran 2010, 2011, dan 2012

210 Dari tabel di atas terlihat dari sisi alokasi anggaran hanya Satker Dekonsentrasi yang mengalami peningkatan alokasi dana dimana tahun 2011 sebesar Rp ,- mengalami kenaikan 5,09% dibanding tahun 2010 dan tahun 2012 sebesar Rp ,- mengalami kenaikan sebesar 11,23% dibanding alokasi tahun sebelumnya, sedangkan untuk satker yang lain lebih fluktuatif. Grafik 3.C.2 Alokasi dan Realisasi Anggaran Satker Pusat, UPT, Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan Tahun Anggaran 2010, 2011, dan 2012 Dalam tiga tahun terakhir, tahun 2011 tercatat pencapaian realisasi anggaran yang cukup rendah yaitu hanya sebesar Rp (68,38%), hal ini terjadi karena adanya dana alokasi kegiatan flu burung yang diblokir, sedangkan tahun 2010 (86,83%) dan 2012 (86,39%) pencapaian realisasi tidak terlalu berbeda. Grafik 3.C.3 Persentase Realisasi Anggaran Satker Pusat, UPT, Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan Tahun Anggaran 2010, 2011, dan

211 Grafik di atas dapat dilihat bahwa Satker Tugas Pembantuan mencapai persentase realisasi anggaran yang meningkat dari tahun ke tahun, sedangkan Satker Dekonsentrasi sebaliknya mengalami penurunan persentasi realisasi anggaran. Grafik 3.C.4 Alokasi Anggaran Ditjen PP dan PL Berdasarkan Sumber Dana Rupiah Murni, Pinjaman Luar Negeri, Hibah Luar Negeri, Rupiah Murni Pendamping, dan PNBP Tahun Anggaran 2010, 2011, dan 2012 Dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa alokasi anggaran selama 3 tahun terakhir mengalami penurunan, tahun 2010 ke 2012 mengalami penurunan sekitar 42,90%. Selanjutnya alokasi dan realisasi anggaran Ditjen PP & PL berdasarkan jenis belanja digambarkan pada grafik berikut: 210 Grafik 3.C.5 Realisasi Anggaran Ditjen PP & PL berdasarkan Jenis Belanja Tahun 2010, 2011, dan 2012 Pada grafik di atas terlihat dari tahun 2010 hingga 2012 jenis belanja pegawai dan belanja barang terus mengalami peningkatan. Belanja Pegawai 2011 meningkat 10% dibanding tahun 2010 dan tahun 2012 meningkat 1,90% dibanding tahun sebelumnya. Kenaikan realisasi belanja pegawai ini antara lain disebabkan kenaikan belanja gaji pokok dan tunjangan seiring dengan bertambahnya jumlah pegawai.

212 Sedangkan belanja barang di tahun 2011 mengalami penurunan 3% dibanding tahun 2010 dan mengalami peningkatan di tahun 2012 sebesar 8,55% dibanding tahun Kenaikan realisasi belanja barang ini antara lain disebabkan adanya kenaikan belanja barang berupa belanja barang operasional, belanja barang non operasional, dan belanja pemeliharaan. Grafik 3.C.6 Realisasi Anggaran Ditjen PP & PL berdasarkan Jenis Belanja Tahun 2010, 2011, dan 2012 Grafik berikut akan menyajikan target dan realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) per jenis satker pada Tahun 2010 hingga Grafik 3.C.7 Target dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Kantor Pusat dan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Tahun Anggaran 2010, 2011, dan 2012 Apabila kita bandingkan Penerimaan Negara Bukan Pajak ( PNBP ) dalam bentuk persen, realisasi PNBP Tahun 2010 dan 2011 tidak terlalu besar peningkatannya hanya 1,87% (2010 sebesar 76,28% sedangkan 2011 sebesar 78,15%). Namun di tahun 2012 terjadi peningkatan pencapaian realisasi kumulatif yang sangat tinggi sebesar 312,25% (Target Rp ,- Realisasi Rp ,-) dimana Satker BTKL mencapai 837,27% (T=Rp ,-, R=Rp ,-) sedangkan Satker KKP mencapai 215,94% (T=Rp ,- R=Rp ,-). Peningkatan PNBP di UPT ini disebabkan antara lain meningkatnya pelayanan pada masyarakat dan terpenuhinya ketersediaan logistik. 211

213 Grafik 3.C.8 Target dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Kantor Pusat dan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Tahun Anggaran 2010 dan 2011 Satker Kantor Pusat semuanya mengelola dana Pinjaman dan Hibah Luar Negeri, namun ada beberapa yang sudah selesai kegiatannya. Terinci pada tabel berikut: Tabel 3.C.1 Sumber Pinjaman dan Hibah Luar Negeri di lingkungan Ditjen PP & PL Tahun 2010, 2011, dan 2012 No. Sumber PHLN CDC Atlanta GAVI 3. Global Fund Komp AIDS 4. Global Fund Komp TB 5. Global Fund Komp Malaria 6. KNCV NLR 8. REDI Singapore Government UNION 11. UNICEF 12. WHO 13. ICWRMIP Sub Komp 2.3* 14. PAMSIMAS Komp. B* 15. WDF - V V 16. WSLIC2 V - - Dari tabel di atas, Ditjen PP dan PL melalui Satker Direktorat Penyehatan Lingkungan mengalokasikan 2 kegiatan bersumber dana pinjaman/loan yaitu kegiatan ICWRMIP Sub Komponen 2.3 (ADB) dan kegiatan PAMSIMAS komponen B (World Bank). D. Hukum, Organisasi & Humas Bagian Hukum, Organisasi, dan Hubungan Masyarakat mempunyai tugas penyiapan bahan urusan hukum, penyiapan bahan penataan dan evaluasi organisasi, jabatan fungsional dan ketatalaksanaan, serta pelaksanaan urusan hubungan masyarakat. 212

214 a) Hukum 1) Penyelesaian masalah hukum (bantuan Hukum dan Investigasi/Klarifikasi masalah hukum) yang ditangani Tahun 2012 antara lain: a. Klarifikasi surat pengaduan yang berasal dari masyarakat/mengatasnamakan staf KKP yang terjadi di 7 KKP. Pendampingan masalah hukum di 2 KKP. 2) Permasalahan status rumah dinas/tanah yang terjadi di 5 KKP. Peningkatan Kinerja PPNS di Bidang PP dan PL pada tahun 2012 dilaksanakan melalui Pendidikan dan Pelatihan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Pola 400 Jam di Pusdik Reskrim POLRI Mega Mendung, Ciawi, Bogor. Peserta Diklat berasal dari UPT di lingkungan Ditjen PP dan PL yang berjumlah 59 orang dari 49 KKP dan 10 BTKLPP. 3) Peraturan Perundang-undangan yang diterbitkan hasil Penyusunan dan Pembahasan Materi perundang-undangan pada tahun 2012 antara lain pada lampiran 11. Trend bantuan hukum yang telah diselesaikan pada tahun seperti yang tergambar pada Grafik dibawah: Grafik 3.D.1 Bantuan Hukum yang Ditangani Ditjen PP dan PL Tahun 2010 sd 2012 Gambar 3.D.2 Trend Produk Hukum yang Dihasilkan Ditjen PP dan PL Tahun 2010 sd

215 b) Organisasi 1) Penataan dan evaluasi organisasi Pelaksanaan Penataan dan evaluasi organisasi dilaksanakan melalui evaluasi klasifikasi UPT, penataan kelembagaan, prakondisi, serta penilaian unit pelayanan publik (UPP). a. Seiring dengan meningkatnya aktifitas di bandara, pelabuhan, dan lintas batas darat negara berkaitan dengan transmisi penyakit potensial wabah serta penyakit lainnya yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan yang meresahkan dunia, perlu menata kembali organisasi dan tata kerja kelembagaan Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP). Maka dikeluarkan Keputusan Menteri Kesehatan No. 265/2004, yang kemudian disusul dengan Peraturan Menteri Kesehatan No.167/2007, No.356/2008, dan terakhir No.2348/2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Kesehatan Pelabuhan, yang didalamnya terlampir beberapa KKP yang mengalami peningkatan kelas, seperti yang terlihat pada grafik perkembangan klasifikasi KKP dibawah ini : Grafik 3.D.3 Perkembangan Klasifikasi Kantor Kesehatan Pelabuhan Tahun 2004 sd 2012 b. Penyakit, kesehatan lingkungan, dan kesehatan matra tidak mengenal batas wilayah administrasihal pemerintah, namun dipengaruhi oleh batas ekosistem, sehingga Balai Teknik Kesehatan Lingkungan Pengendalian Penyakit (BTKLPP) yang mempunyai fungsi, volume dan beban kerja di bidang teknik lingkungan dan pemberantasan penyakit menular mengalami penataan organisasi dan peningkatan klasifikasi. Perkembangan klasifikasi dan penggantian nomenklatur BTKLPP tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan No. 267/2004, kemudian disusul dengan Permenkes No. 891/2008 dan Permenkes No. 2349/2011 tentang Organisasi Tata Kerja Balai Teknik Kesehatan Lingkungan Pengendalian Penyakit (BTKLPP), seperti yang terlihat pada Grafik 2 dibawah ini : 214

216 Grafik 3.D.4 Perkembangan Klasifikasi Balai Teknik Kesehatan Lingkungan Tahun 2004 sd 2012 c. Hasil evaluasi organisasi yang dilaksanakan melalui kegiatan Penilaian Unit Pelayanan Publik Calon Percontohan (UPCP), Kementerian Kesehatan mengajukan beberapa UPTnya termasuk UPT dilingkungan Ditjen PP dan PL yang telah diseleksi sebelumnya untuk dinilai oleh Kementerian Kesehatan bersama Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB), LSM, dan organisasi masyarakat lainnya. Pada tahun 2012 BBTKLPP Surabaya terpilih dan termasuk dalam 5 (lima) besar sebagai Unit Pelayanan Publik Calon Percontohan di tingkat Kementerian Kesehatan. d. Melakukan evaluasi rencana kerja 100 hari pada 5 (lima) KKP, yaitu KKP Kelas II Tanjung Balai Karimun, KKP Kelas II Panjang, KKP kelas III Jambi, KKP Kelas III Palangkaraya, dan KKP Kleas III Pangkal Pinang. 2) Ringkasan Eksekutif Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Laporan Akuntabilitas Kinerja Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PP dan PL) Tahun 2012 ini merupakan laporan pertanggungjawaban kinerja Ditjen PP dan PL dalam melaksanakan Program Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Tahun 2012 yang berorientasi kepada pencapaian tujuan dan sasaran kinerja Program Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan sebagaimana telah ditetapkan dalam Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun Program Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan memiliki sasaran menurunkan angka kesakitan, kematian dan akibat penyakit dengan melaksanakan 6 kegiatan, yaitu: Pembinaan Surveilans, Imunisasi, Karantina dan Kesehatan Matra, Pengendalian Penyakit Menular langsung, Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang, Penyehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular, serta Dukungan Manajemen dan Pelaksanaan Tugas Teknis Lainnya pada Program Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 215

217 Sebagai indikator keberhasilan sasaran pelaksanaan Program Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan telah ditetapkan 10 (sepuluh) indikator kinerja sasaran program yang memiliki target pertahun selama 5 tahun ( ). Pada dokumen Penetapan Kinerja Ditjen PP dan PL Tahun 2012 telah ditetapkan target dari 11 indikator kinerja Program PP dan PL. Jumlah Indikator menjadi 11 indikator karena ditambahkan satu indikator Persentase Provinsi yang memiliki peraturan tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang merupakan Indikator Kinerja Utama (IKU) Kementerian Kesehatan Tahun Kinerja Ditjen PP dan PL Tahun 2012 dalam melaksanakan Program Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan dapat dilihat dari hasil pengukuran indikator sasaran. Dari 11 indikator sasaran yang diukur, 10 indikator dapat mencapai target, dan hanya 1 indikator belum mencapai target yang telah ditetapkan yaitu Angka Penemuan Kasus Malaria Per 1000 Penduduk sebesar 88,76%. Dibawah ini disampaikan hasil pengukuran kinerja dari masing-masing indikator kinerja sebagai berikut : Tabel 3.D.1 Hasil Pengukuran Kinerja Program Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Tahun 2012 SASARAN INDIKATOR KINERJA TARGET REALISASI % Menurunnya angka kesakitan, kematian dan kecacatan akibat penyakit 1. Persentase bayi usia 0 11 bulan yang mendapat imunisasi dasar lengkap 2. Angka penemuan kasus Malaria per penduduk 85 86,8 102,1 1,5 1,69 88,76 3. Jumlah kasus TB (per penduduk) ,04 4. Persentase kasus baru TB Paru (BTA positif) yang ditemukan 80 82,4 101,9 5. Persentase kasus baru TB Paru (BTA positif) yang disembuhkan 87 90,8 104,5 6. Angka kesakitan penderita DBD per penduduk 53 36,82 130,53 7. Prevalensi kasus HIV <0,5 0,32 166,67 8. Jumlah kasus Diare per penduduk ,2 9. Jumlah Desa Yang Melaksanakan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) ,5 10. Persentase Provinsi Yang Melakukan Pembinaan, Pencegahan, dan Penanggulangan Penyakit Tidak Menular 80 90,9 113,6 (SE, Deteksi Dini, KIE, dan Tata Laksana) 11. Persentase Provinsi Yang Memiliki Peraturan tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) 80 81,8 102,3 216

218 Kebijakan-kebijakan Ditjen PP dan PL dalam melaksanakan Program Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Tahun 2012 adalah sebagai berikut: a. Meningkatkan advokasi, sosialisasi dan pengembangan kapasitas kepada pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota. b. Meningkatkan kemampuan manajemen dan profesionalisme pengelolaan sumber daya yang meliputi sumber daya manusia, anggaran dan sarana/prasarana. c. Meningkatkan pelayanan pada kelompok masyarakat risiko tinggi, daerah tertinggal, terpencil, perbatasan dan kepulauan serta daerah bermasalah kesehatan. d. Mengutamakan upaya program berbasis masyarakat. e. Meningkatkan jejaring kerja, kemitraan dan kerjasama yang baik dengan stakeholder terkait secara lintas program, lintas sektor, organisasi masyarakat, LSM maupun pihak swasta. f. Meningkatkan dukungan sumber daya anggaran kesehatan Program Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan yang bersumber APBN dan BLN (hibah dan pinjaman). g. Menyelenggarakan surveilans yang berjenjang dari daerah hingga ke pusat sehingga memberikan dukungan data dan informasi yang penting dalam perencanaan, pelaksanaan, monitoring evaluasi serta pelaporan. h. Memprioritaskan pencapaian sasaran MDG s, komitmen nasional dan internasional. Ada beberapa masalah yang dihadapi dalam pencapaian indikator, sbb: a. Kurangnya komitmen dari pemerintah daerah provinsi/kab/kota dalam penyelenggaraan Program Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan sehingga kebijakan pemerintah pusat kurang ditindaklanjuti oleh daerah. b. Terbatasnya SDM Kesehatan secara kuantitas dan kualitas yang dimiliki oleh daerah sehingga upaya kesehatan kurang menjangkau ke masyarakat di daerah-daerah yang terpencil, kepulauan dan perbatasan. c. Seringnya terjadi pergantian SDM di daerah yang menangani Program Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan sehingga menyebabkan pelaksanaan program menjadi tidak berkesinambungan. d. Masih kurang KIE kesehatan khususnya Program Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan kepada masyarakat khususnya masyarakat di daerah terpencil, kepulauan dan perbatasan, sehinga perilaku masyarakat untuk hidup bersih dan sehat masih rendah. e. Keterlambatan pemerintah daerah menyampaikan data dan laporan ke pusat. Terhadap masalah-masalah yang dihadapi tersebut di atas, Ditjen PP dan PL akan melakukan upaya tindak lanjut sebagai berikut: 217

219 a. Meningkatkan advokasi dan sosialisasi Program Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan kepada DPRD dan pemerintah daerah provinsi/kab/kota. b. Meningkatkan bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan. c. Mendorong dinas kesehatan provinsi untuk melaksanakan pelatihanpelatihan dalam rangka meningkatkan kualitas SDM kesehatan di tingkat provinsi, kab/kota dan Puskesmas. d. Meningkatkan KIE kesehatan masyarakat yang menjangkau masyarakat di daerah terpencil, kepulauan dan perbatasan. e. Meningkatkan koordinasi mekanisme pelaporan dari tingkat Puskesmas, Pemerintah Daerah Kab/Kota, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pusat. c) Hubungan Masyarakat 1) Peliputan Sepanjang tahun 2012, terdapat beberapa kegiatan yang berhasil diliput oleh subbagian humas, sepeti pada lampiran 12 dan grafik dibawah: Grafik 3.D.5 Proporsi Pelaksanaan Kegiatan Peliputan berdasarkan Bulan Tahun ) Newsletter Dalam rangka memperluas penyebaran informasi, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan mengembangkan suatu media informasi dalam bentuk Newsletter. Newsletter Ditjen PP dan PL merupakan media penghubung bagi lintas sektor terkait Ditjen PP dan PL dan jembatan informasi bagi lintas program. Sepanjang tahun 2012, newsletter diterbitkan sebanyak 4 edisi dengan sasaran lintas sektor maupun lintas program terkait dengan Direktorat Jenderal PP dan PL. Berita yang disajikan, diperoleh melalui hasil peliputan sepanjang tahun

220 3) Sosialisasi Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Undang-undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) dibuat untuk mengatur Badan atau pejabat publik termasuk Kementerian Kesehatan dalam memberikan akses informasi kepada publik secara efisien, terbuka dan transparan. Untuk mendukung implementasi keterbukaan informasi publik di UPT Ditjen PP dan PL (KKP dan B/BTKLPP), diperlukan Sosialisasi Undang- Undang KIP oleh para pejabat yang berkompeten dalam menyampaikan perkembangan dan informasi yang boleh dan tidak boleh disampaikan kepada umum dan jenis informasi yang akan disampaikan. Sosialisasi KIP pada tahun 2012 dilaksanakan di beberapa UPT yaitu di KKP Kelas I Soekarno-Hatta, KKP Kelas II Balikpapan, KKP Kelas III Gorontalo, KKP Kelas III Banda Aceh, BBTKLPP Yogyakarta dan BTKLPP Mando. Hal ini sejalan dengan program yang telah ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan. Informasi diharapkan dapat diterima terutama oleh petugas, baik di KKP maupun di BTKLPP guna pertimbangan pengambilan kebijakan. Dengan demikian akan terwujud pemerintahan yang terbuka dan bertanggung jawab (good governance). Grafik 3.D.6 Distribusi SK PPID di Lingkungan Unit Pelaksana Teknis Tahun

INDIKATOR KINERJA KEGIATAN (IKK)

INDIKATOR KINERJA KEGIATAN (IKK) INDIKATOR KINERJA KEGIATAN (IKK) TAHUN 2017 Kementerian Kesehatan RI Ditjen Pencegahan dan KKP Kelas I Soekarno-Hatta Area Perkantoran Bandara Soekarno-Hatta Email: kkp.soekarnohatta@yahoo.co.id ; www.kkpsoetta.com

Lebih terperinci

Buletin SKDR. Minggu ke: 5 Thn 2017

Buletin SKDR. Minggu ke: 5 Thn 2017 Gambar 1. Kelengkapan dan Ketepatan laporan SKDR Minggu ke 05 tahun 2017 (Pertanggal 9 Februari 2017) Minggu ke-5 2017, terdapat 13 provinsi yang memiliki ketepatan dan kelengkapan laporan SKDR >= 80%.

Lebih terperinci

BULETIN SISTEM KEWASPADAAN DINI DAN RESPONS

BULETIN SISTEM KEWASPADAAN DINI DAN RESPONS BULETIN SISTEM KEWASPADAAN DINI DAN RESPONS Minggu Epidemiologi Ke-52 Tahun 2016 (Data Sampai Dengan 6 Januari 2017) Website: skdr.surveilans.org Dikeluarkan oleh: Subdit Surveilans, Direktorat SKK, Ditjen

Lebih terperinci

KATA SAMBUTAN DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 1 BAB II GAMBARAN UMUM 3

KATA SAMBUTAN DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 1 BAB II GAMBARAN UMUM 3 DAFTAR ISI hal. KATA SAMBUTAN DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN i ii iv v x BAB I PENDAHULUAN 1 BAB II GAMBARAN UMUM 3 A. KEADAAN PENDUDUK 3 B. KEADAAN EKONOMI 8 C. INDEKS PEMBANGUNAN

Lebih terperinci

Oleh: Ellyna Chairani Direktorat Sistem dan Pelaporan EKP, BAPPENAS. Jakarta, 8 Desember 2015 Kementerian Kesehatan

Oleh: Ellyna Chairani Direktorat Sistem dan Pelaporan EKP, BAPPENAS. Jakarta, 8 Desember 2015 Kementerian Kesehatan Oleh: Ellyna Chairani Direktorat Sistem dan Pelaporan EKP, BAPPENAS Jakarta, 8 Desember 2015 Kementerian Kesehatan Outline Paparan 1. Kinerja Pelaksanaan Rencana Kerja Kemenkes 2014-2015 - Capaian Indikator

Lebih terperinci

PENGENDALIAN PENYAKIT, SURVEILANS EPIDEMIOLOGI, IMUNISASI & KESEHATAN MATRA

PENGENDALIAN PENYAKIT, SURVEILANS EPIDEMIOLOGI, IMUNISASI & KESEHATAN MATRA Katalog Buku Pedoman pada Seksi P2P PENGENDALIAN PENYAKIT, SURVEILANS EPIDEMIOLOGI, IMUNISASI & KESEHATAN MATRA Seksi P2P DINAS KESEHATAN KABUPATEN SUMEDANG BIDANG PENCEGAHAN & PENGENDALIAN PENYAKIT SEKSI

Lebih terperinci

Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih kepada tim penyusun, yang sudah bekerja. Jakarta, 2010 Kepala Pusat Data dan Informasi. dr.

Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih kepada tim penyusun, yang sudah bekerja. Jakarta, 2010 Kepala Pusat Data dan Informasi. dr. KATA PENGANTAR Dalam rangka meningkatkan pelayanan data dan informasi baik untuk jajaran manajemen kesehatan maupun untuk masyarakat umum perlu disediakan suatu paket data/informasi kesehatan yang ringkas

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Semoga Peta Kesehatan Indonesia Tahun 2012 ini bermanfaat. Jakarta, September 2013 Kepala Pusat Data dan Informasi

KATA PENGANTAR. Semoga Peta Kesehatan Indonesia Tahun 2012 ini bermanfaat. Jakarta, September 2013 Kepala Pusat Data dan Informasi KATA PENGANTAR Peta Kesehatan Indonesia Tahun 2012 ini disusun untuk menyediakan beberapa data/informasi kesehatan secara garis besar pencapaian program-program kesehatan di Indonesia. Pada edisi ini selain

Lebih terperinci

Kata Sambutan KEPALA DINAS KESEHATAN PROVINSI SULAWESI SELATAN

Kata Sambutan KEPALA DINAS KESEHATAN PROVINSI SULAWESI SELATAN Kata Sambutan KEPALA DINAS KESEHATAN PROVINSI SULAWESI SELATAN Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas berkat dan rakhmatnya sehingga buku Profil Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan

Lebih terperinci

Revisi ke 03 Tanggal : 06 Oktober 2016

Revisi ke 03 Tanggal : 06 Oktober 2016 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA LAMPIRAN : Satu set DIPA Petikan A. Dasar Hukum: 1.UU No. 17 Tahun 23 tentang Keuangan Negara. 2.UU No. 1 Tahun 24 tentang Perbendaharaan Negara. 3.UU No. 14 Tahun

Lebih terperinci

Revisi ke 01 Tanggal : 24 Mei 2017

Revisi ke 01 Tanggal : 24 Mei 2017 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA LAMPIRAN : Satu set DIPA Petikan A. Dasar Hukum: 1.UU No. 17 Tahun 23 tentang Keuangan Negara. 2.UU No. 1 Tahun 24 tentang Perbendaharaan Negara. 3.UU No. 18 Tahun

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Jakarta, November 2008 Kepala Pusat Data dan Informasi. DR. Bambang Hartono, SKM, MSc. NIP

KATA PENGANTAR. Jakarta, November 2008 Kepala Pusat Data dan Informasi. DR. Bambang Hartono, SKM, MSc. NIP KATA PENGANTAR Peta Kesehatan Indonesia Tahun 2007 ini disusun untuk menyediakan beberapa data/informasi kesehatan secara garis besar pencapaian program-program kesehatan di Indonesia. Pada edisi ini selain

Lebih terperinci

PROFIL KESEHATAN PROVINSI KEP. BANGKA BELITUNG TAHUN 2012

PROFIL KESEHATAN PROVINSI KEP. BANGKA BELITUNG TAHUN 2012 PROFIL KESEHATAN PROVINSI KEP. BANGKA BELITUNG TABEL 1 LUAS WILAYAH, DESA/KELURAHAN, PENDUDUK, RUMAH TANGGA, DAN KEPADATAN PENDUDUK MENURUT KECAMATAN NO KABUPATEN/KOTA LUAS RATA-RATA KEPADATAN WILAYAH

Lebih terperinci

BAB 28 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP KESEHATAN

BAB 28 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP KESEHATAN BAB 28 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP KESEHATAN YANG BERKUALITAS Pembangunan kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat, yaitu hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan

Lebih terperinci

STRUKTUR ORGANISASI KEMENTERIAN KESEHATAN

STRUKTUR ORGANISASI KEMENTERIAN KESEHATAN 1. Staf Ahli Bid. Teknologi Kesehatan dan Globalisasi; 2. Staf Ahli Bid. Pembiayaan & Pemberdayaan Masyarakat; 3. Staf Ahli Bid. Perlindungan Faktor Resiko Kesehatan; 4. Staf Ahli Bid Peningkatan Kapasitas

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR Masyarakat Kolaka yang Sehat, Kuat. Mandiri dan Berkeadilan Profil Kesehatan Kabupaten Kolaka 2016 Hal. i

KATA PENGANTAR Masyarakat Kolaka yang Sehat, Kuat. Mandiri dan Berkeadilan Profil Kesehatan Kabupaten Kolaka 2016 Hal. i KATA PENGANTAR Puji syukur Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas Taufik dan Hidayah - NYA, sehingga buku Profil Kesehatan Tahun dapat disusun. Profil Kesehatan Kabupaten Kolaka Tahun merupakan gambaran pencapaian

Lebih terperinci

WALIKOTA PADANG PROVINSI SUMATERA BARAT

WALIKOTA PADANG PROVINSI SUMATERA BARAT Menimbang WALIKOTA PADANG PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN WALIKOTA PADANG NOMOR 49 TAHUN 2015 TENTANG PENANGGULANGAN PENYAKIT MENULAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PADANG, : a. bahwa untuk

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP KATA PENGANTAR Keberhasilan pembangunan kesehatan membutuhkan perencanaan yang baik yang didasarkan pada data dan informasi kesehatan yang tepat dan akurat serta berkualitas, sehingga dapat menggambarkan

Lebih terperinci

Target Tahun. Kondisi Awal Kondisi Awal. 0,12 0,12 0,12 0,12 0,12 0,12 Program pengadaan, peningkatan dan penduduk (tiap 1000 penduduk

Target Tahun. Kondisi Awal Kondisi Awal. 0,12 0,12 0,12 0,12 0,12 0,12 Program pengadaan, peningkatan dan penduduk (tiap 1000 penduduk PEMERINTAH KOTA MALANG MATRIK RENCANA STRATEGIS DINAS KESEHATAN KOTA MALANG (PENYEMPURNAAN) TAHUN 2013-2018 Lampiran : KEPUTUSAN KEPALA DINAS KESEHATAN KOTA M Nomor : 188.47/ 92 / 35.73.306/ 2015 Tanggal

Lebih terperinci

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK TAHUN ANGGARAN 2016 NOMOR : SP DIPA /2016

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK TAHUN ANGGARAN 2016 NOMOR : SP DIPA /2016 SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK TAHUN ANGGARAN 216 MOR SP DIPA-24.5-/216 DS7838-314-681-8296 A. DASAR HUKUM 1. 2. 3. UU No. 17 Tahun 23 tentang Keuangan Negara. UU No.

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP KATA PENGANTAR Keberhasilan pembangunan kesehatan membutuhkan perencanaan yang baik yang didasarkan pada data dan informasi kesehatan yang tepat dan akurat serta berkualitas, sehingga dapat menggambarkan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP KATA PENGANTAR Keberhasilan pembangunan kesehatan membutuhkan perencanaan yang baik yang didasarkan pada data dan informasi kesehatan yang tepat dan akurat serta berkualitas, sehingga dapat menggambarkan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP KATA PENGANTAR Keberhasilan pembangunan kesehatan membutuhkan perencanaan yang baik yang didasarkan pada data dan informasi kesehatan yang tepat dan akurat serta berkualitas, sehingga dapat menggambarkan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP KATA PENGANTAR Keberhasilan pembangunan kesehatan membutuhkan perencanaan yang baik yang didasarkan pada data dan informasi kesehatan yang tepat dan akurat serta berkualitas, sehingga dapat menggambarkan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP KATA PENGANTAR Keberhasilan pembangunan kesehatan membutuhkan perencanaan yang baik yang didasarkan pada data dan informasi kesehatan yang tepat dan akurat serta berkualitas, sehingga dapat menggambarkan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP KATA PENGANTAR Keberhasilan pembangunan kesehatan membutuhkan perencanaan yang baik yang didasarkan pada data dan informasi kesehatan yang tepat dan akurat serta berkualitas, sehingga dapat menggambarkan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP KATA PENGANTAR Keberhasilan pembangunan kesehatan membutuhkan perencanaan yang baik yang didasarkan pada data dan informasi kesehatan yang tepat dan akurat serta berkualitas, sehingga dapat menggambarkan

Lebih terperinci

Penyakit Endemis di Kalbar

Penyakit Endemis di Kalbar Penyakit Endemis di Kalbar 1. Malaria Penyakit Malaria masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Berdasarkan data profil kesehatan Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2009 (tabel 11) terdapat

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP KATA PENGANTAR Keberhasilan pembangunan kesehatan membutuhkan perencanaan yang baik yang didasarkan pada data dan informasi kesehatan yang tepat dan akurat serta berkualitas, sehingga dapat menggambarkan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP KATA PENGANTAR Keberhasilan pembangunan kesehatan membutuhkan perencanaan yang baik yang didasarkan pada data dan informasi kesehatan yang tepat dan akurat serta berkualitas, sehingga dapat menggambarkan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP KATA PENGANTAR Keberhasilan pembangunan kesehatan membutuhkan perencanaan yang baik yang didasarkan pada data dan informasi kesehatan yang tepat dan akurat serta berkualitas, sehingga dapat menggambarkan

Lebih terperinci

STRUKTUR ORGANISASI KEMENTERIAN KESEHATAN

STRUKTUR ORGANISASI KEMENTERIAN KESEHATAN 1. Staf Ahli Bidang Ekonomi Kesehatan; 2. Staf Ahli Bidang Teknologi Kesehatan dan Globalisasi; 3. Staf Ahli Bidang Desentralisasi Kesehatan; dan 4. Staf Ahli Bidang Hukum Kesehatan STAF AHLI STRUKTUR

Lebih terperinci

PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2015

PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2015 PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2015 Dalam rangka mewujudkan manajemen pemerintahan yang efektif, transparan, dan akuntabel serta berorientasi pada hasil, kami yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : Rahmat

Lebih terperinci

REVIEW INDIKATOR RENSTRA DINAS KESEHATAN KOTA BOGOR

REVIEW INDIKATOR RENSTRA DINAS KESEHATAN KOTA BOGOR REVIEW INDIKATOR DINAS KESEHATAN KOTA BOGOR 2015-2019 MISI 1 : Menyediakan sarana dan masyarakat yang paripurna merata, bermutu, terjangkau, nyaman dan berkeadilan No Tujuan No Sasaran Indikator Sasaran

Lebih terperinci

Seluruh isi dalam buku ini dapat dikutip tanpa izin, dengan menyebut sumber.

Seluruh isi dalam buku ini dapat dikutip tanpa izin, dengan menyebut sumber. Pelindung/ Penasehat : Dr. dr. H. Rachmat Latief, SpPD., M.Kes., FINASIM drg.hj. Susilih Ekowati, M.Si Pengarah : Hj. Asmah, SKM., M.Kes Penyusun : Mohamad Nur, SKM Syahrir, S.Kom Agusyanti, SKM Nurmiyati

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP KATA PENGANTAR Keberhasilan pembangunan kesehatan membutuhkan perencanaan yang baik yang didasarkan pada data dan informasi kesehatan yang tepat dan akurat serta berkualitas, sehingga dapat menggambarkan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP KATA PENGANTAR Keberhasilan pembangunan kesehatan membutuhkan perencanaan yang baik yang didasarkan pada data dan informasi kesehatan yang tepat dan akurat serta berkualitas, sehingga dapat menggambarkan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP KATA PENGANTAR Keberhasilan pembangunan kesehatan membutuhkan perencanaan yang baik yang didasarkan pada data dan informasi kesehatan yang tepat dan akurat serta berkualitas, sehingga dapat menggambarkan

Lebih terperinci

KERANGKA ACUAN PROGRAM PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT UPT. PUSKESMAS SOTEK

KERANGKA ACUAN PROGRAM PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT UPT. PUSKESMAS SOTEK Upt. Puskesmas Waru KERANGKA ACUAN No. Kode : PKM- STK-/V.2015 Terbitan : Mei 2015 No. Revisi : 00 Tgl. Mulai Berlaku : 01/06/2015 Halaman : 1/15 Ditetapkan Oleh Kepala Upt. Puskesmas Sotek H.Sudarman,

Lebih terperinci

PERCEPATAN PENCAPAIAN SASARAN DALAM PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT DENGAN PENDEKATAN KELUARGA SEHAT 2017

PERCEPATAN PENCAPAIAN SASARAN DALAM PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT DENGAN PENDEKATAN KELUARGA SEHAT 2017 Direktorat Jenderal P2P Kementerian Kesehatan RI PERCEPATAN PENCAPAIAN SASARAN DALAM PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT DENGAN PENDEKATAN KELUARGA SEHAT 2017 Oleh : Dr. MOHAMAD SUBUH, MPPM Direktur Jenderal

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP KATA PENGANTAR Keberhasilan pembangunan kesehatan membutuhkan perencanaan yang baik yang didasarkan pada data dan informasi kesehatan yang tepat dan akurat serta berkualitas, sehingga dapat menggambarkan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2014 TENTANG PENANGGULANGAN PENYAKIT MENULAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2014 TENTANG PENANGGULANGAN PENYAKIT MENULAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2014 TENTANG PENANGGULANGAN PENYAKIT MENULAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa penyakit

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP KATA PENGANTAR Keberhasilan pembangunan kesehatan membutuhkan perencanaan yang baik yang didasarkan pada data dan informasi kesehatan yang tepat dan akurat serta berkualitas, sehingga dapat menggambarkan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP KATA PENGANTAR Keberhasilan pembangunan kesehatan membutuhkan perencanaan yang baik yang didasarkan pada data dan informasi kesehatan yang tepat dan akurat serta berkualitas, sehingga dapat menggambarkan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP KATA PENGANTAR Keberhasilan pembangunan kesehatan membutuhkan perencanaan yang baik yang didasarkan pada data dan informasi kesehatan yang tepat dan akurat serta berkualitas, sehingga dapat menggambarkan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP KATA PENGANTAR Keberhasilan pembangunan kesehatan membutuhkan perencanaan yang baik yang didasarkan pada data dan informasi kesehatan yang tepat dan akurat serta berkualitas, sehingga dapat menggambarkan

Lebih terperinci

PROPINSI LAMPUNG Minggu Epidemiologi ke-21

PROPINSI LAMPUNG Minggu Epidemiologi ke-21 BULLETIN KEWASPADAAN DINI DAN RESPONS Subdit Kejadian Luar Biasa Direktorat Imunisasi dan Karantina, Ditjen PP dan PL Jl. Percetakan Negara No. 29, Jakarta 156 Telp. (21)42665974, Fax. (21)4282669 e-mail:

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP KATA PENGANTAR Keberhasilan pembangunan kesehatan membutuhkan perencanaan yang baik yang didasarkan pada data dan informasi kesehatan yang tepat dan akurat serta berkualitas, sehingga dapat menggambarkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. xvi

BAB 1 PENDAHULUAN. xvi BAB 1 PENDAHULUAN 1.7. LATAR BELAKANG Cakupan imunisasi secara global pada anak meningkat 5% menjadi 80% dari sekitar 130 juta anak yang lahir setiap tahun sejak penetapan The Expanded Program on Immunization

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR dr. Hj. Rosmawati

KATA PENGANTAR dr. Hj. Rosmawati KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena kami dapat menyelesaikan Profil Kesehatan Kabupaten Kolaka ini dengan baik. Profil Kesehatan Kabupaten Kolaka merupakan salah

Lebih terperinci

Tim Penyusun Pengarah : dr. Hj. Rosmawati. Ketua : Sitti Hafsah Yusuf, SKM, M.Kes. Sekretaris : Santosa, SKM

Tim Penyusun Pengarah : dr. Hj. Rosmawati. Ketua : Sitti Hafsah Yusuf, SKM, M.Kes. Sekretaris : Santosa, SKM KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena kami dapat menyelesaikan Profil Kesehatan Kabupaten Kolaka 2014 ini dengan baik. Profil Kesehatan Kabupaten Kolaka merupakan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP KATA PENGANTAR Keberhasilan pembangunan kesehatan membutuhkan perencanaan yang baik yang didasarkan pada data dan informasi kesehatan yang tepat dan akurat serta berkualitas, sehingga dapat menggambarkan

Lebih terperinci

PROFIL KESEHATAN PROVINSI BENGKULU TAHUN 2012

PROFIL KESEHATAN PROVINSI BENGKULU TAHUN 2012 PROFIL KESEHATAN TABEL 1 LUAS WILAYAH, DESA/KELURAHAN, PENDUDUK, RUMAH TANGGA, DAN KEPADATAN PENDUDUK MENURUT KABUPATEN/KOTA LUAS RATA-RATA KEPADATAN KABUPATEN/KOTA WILAYAH RUMAH JIWA/RUMAH PENDUDUK DESA

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP KATA PENGANTAR Keberhasilan pembangunan kesehatan membutuhkan perencanaan yang baik yang didasarkan pada data dan informasi kesehatan yang tepat dan akurat serta berkualitas, sehingga dapat menggambarkan

Lebih terperinci

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas ijin dan. kehendak-nya sehingga Laporan Tahunan dan Profil Kesehatan Puskesmas

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas ijin dan. kehendak-nya sehingga Laporan Tahunan dan Profil Kesehatan Puskesmas Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas ijin dan kehendak-nya sehingga Laporan Tahunan dan Profil Kesehatan Puskesmas Kecamatan Matraman Tahun 2017 selesai disusun. Laporan Tahunan dan Profil

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP KATA PENGANTAR Keberhasilan pembangunan kesehatan membutuhkan perencanaan yang baik yang didasarkan pada data dan informasi kesehatan yang tepat dan akurat serta berkualitas, sehingga dapat menggambarkan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP KATA PENGANTAR Keberhasilan pembangunan kesehatan membutuhkan perencanaan yang baik yang didasarkan pada data dan informasi kesehatan yang tepat dan akurat serta berkualitas, sehingga dapat menggambarkan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP KATA PENGANTAR Keberhasilan pembangunan kesehatan membutuhkan perencanaan yang baik yang didasarkan pada data dan informasi kesehatan yang tepat dan akurat serta berkualitas, sehingga dapat menggambarkan

Lebih terperinci

PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA

PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA WALIKOTA TASIKMALAYA PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA NOMOR : 24 TAHUN 2006 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KESEHATAN DI KOTA TASIKMALAYA WALIKOTA TASIKMALAYA Menimbang : a. bahwa berdasarkan ketentuan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP KATA PENGANTAR Keberhasilan pembangunan kesehatan membutuhkan perencanaan yang baik yang didasarkan pada data dan informasi kesehatan yang tepat dan akurat serta berkualitas, sehingga dapat menggambarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karena adanya interaksi antara manusia dengan lingkungan. Terutama

BAB I PENDAHULUAN. karena adanya interaksi antara manusia dengan lingkungan. Terutama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kondisi sanitasi lingkungan yang buruk dapat menjadi media penularan penyakit. Terjadinya penyakit berbasis lingkungan disebabkan karena adanya interaksi antara manusia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Tingginya angka kejadian Rabies di Indonesia yang berstatus endemis

BAB 1 PENDAHULUAN. Tingginya angka kejadian Rabies di Indonesia yang berstatus endemis BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tingginya angka kejadian Rabies di Indonesia yang berstatus endemis Rabies, kini menjadi tantangan bagi pencapaian target Indonesia bebas Rabies pada 2015. Guna penanggulangan

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. Berdarah Dengue (DBD). Jumlah penderita dan luas daerah penyebarannya

BAB 1 : PENDAHULUAN. Berdarah Dengue (DBD). Jumlah penderita dan luas daerah penyebarannya BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit menular masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Salah satu penyakit menular yang jumlah kasusnya dilaporkan cenderung meningkat dan semakin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan nasional dapat terlaksana sesuai dengan cita-cita

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan nasional dapat terlaksana sesuai dengan cita-cita BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional dapat terlaksana sesuai dengan cita-cita bangsa jika diselenggarakan oleh manusia yang cerdas dan sehat. Pembangunan kesehatan merupakan bagian

Lebih terperinci

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 15 TAHUN 2007 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) BIDANG KESEHATAN DI KABUPATEN SITUBONDO

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 15 TAHUN 2007 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) BIDANG KESEHATAN DI KABUPATEN SITUBONDO BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 15 TAHUN 2007 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) BIDANG KESEHATAN DI KABUPATEN SITUBONDO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SITUBONDO, Menimbang

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP KATA PENGANTAR Keberhasilan pembangunan kesehatan membutuhkan perencanaan yang baik yang didasarkan pada data dan informasi kesehatan yang tepat dan akurat serta berkualitas, sehingga dapat menggambarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Polio merupakan (keluarga Picornaviridae), sering disingkat sebagai "Polio" adalah virus yang paling ditakuti abad ke-20 di dunia yang menghasilkan permulaan program

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. keberhasilan pembangunan bangsa. Untuk itu diselenggarakan pembangunan

BAB 1 PENDAHULUAN. keberhasilan pembangunan bangsa. Untuk itu diselenggarakan pembangunan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan adalah hak asasi manusia dan sekaligus investasi untuk keberhasilan pembangunan bangsa. Untuk itu diselenggarakan pembangunan kesehatan secara menyeluruh

Lebih terperinci

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH NOMOR 22 TAHUN 2008 T E N T A N G TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS KESEHATAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

PERNYATAAN PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2016 (PERUBAHAN ANGGARAN) PEMERINTAH KABUPATEN SUKABUMI PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2016

PERNYATAAN PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2016 (PERUBAHAN ANGGARAN) PEMERINTAH KABUPATEN SUKABUMI PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2016 PERNYATAAN PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2016 (PERUBAHAN ANGGARAN) PEMERINTAH KABUPATEN SUKABUMI PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2016 Dalam rangka mewujudkan manajemen pemerintahan yang efektif, transparan dan akuntabel

Lebih terperinci

RANCANGAN INDIKATOR RENCANA AKSI KEGIATAN UPT BTKLPP

RANCANGAN INDIKATOR RENCANA AKSI KEGIATAN UPT BTKLPP RANCANGAN INDIKATOR RENCANA AKSI KEGIATAN UPT BTKLPP SISTEMATIKA PENYAJIAN RENCANA AKSI PROGRAM (RAP) RANCANGAN INDIKATOR RAK BTKLPP SISTEMATIKA RAK PERJANJIAN KINERJA MONITORING CAPAIAN RAK RENCANA TINDAK

Lebih terperinci

Mewujudkan Peningkatan Budaya Sehat dan Aksesbilitas Kesehatan Masyarakat.

Mewujudkan Peningkatan Budaya Sehat dan Aksesbilitas Kesehatan Masyarakat. Mewujudkan Peningkatan Budaya Sehat dan Aksesbilitas Kesehatan Masyarakat. Pada misi V yaitu Mewujudkan Peningkatan Budaya Sehat dan Aksesbilitas Kesehatan Masyarakat telah didukung dengan 8 sasaran sebagai

Lebih terperinci

BAB 27 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP LAYANAN KESEHATAN YANG LEBIH BERKUALITAS

BAB 27 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP LAYANAN KESEHATAN YANG LEBIH BERKUALITAS BAB 27 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP LAYANAN KESEHATAN YANG LEBIH BERKUALITAS A. KONDISI UMUM Sesuai dengan UUD 1945, pembangunan kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat,

Lebih terperinci

BAB V RENCANA PROGRAM, KEGIATAN, INDIKATOR KINERJA, KELOMPOK SASARAN DAN PENDANAAN INDIKATIF

BAB V RENCANA PROGRAM, KEGIATAN, INDIKATOR KINERJA, KELOMPOK SASARAN DAN PENDANAAN INDIKATIF BAB V RENCANA PROGRAM, KEGIATAN, INDIKATOR KINERJA, KELOMPOK SASARAN DAN PENDANAAN INDIKATIF Berdasarkan Visi, Misi, Tujuan, Strategi dan Sasaran Strategis sebagai diuraikan dalam bab-bab sebelumnya, maka

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP KATA PENGANTAR Keberhasilan pembangunan kesehatan membutuhkan perencanaan yang baik yang didasarkan pada data dan informasi kesehatan yang tepat dan akurat serta berkualitas, sehingga dapat menggambarkan

Lebih terperinci

Terlampir. Terlampir

Terlampir. Terlampir KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA LAMPIRAN : Satu set DIPA Petikan A. Dasar Hukum: 1.UU No. 17 Tahun 23 tentang Keuangan Negara. 2.UU No. 1 Tahun 24 tentang Perbendaharaan Negara. 3.UU No. 14 Tahun

Lebih terperinci

RESUME HASIL DESK PROFIL KESEHATAN 2013

RESUME HASIL DESK PROFIL KESEHATAN 2013 A. GAMBARAN UMUM 1 LUAS WILAYAH 1 1762,4 km2 2 JUMLAH DESA/KELURAHAN 1 desa 270+ kel 10 = 280 3 JUMLAH PENDUDUK 1 341700 4 PENDUDUK 10 TAHUN KE ATAS MELEK HURUF 4 2388161 PENDUDUK 10 TAHUN KE ATAS DENGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melawan serangan penyakit berbahaya (Anonim, 2010). Imunisasi adalah alat yang terbukti untuk mengendalikan dan

BAB I PENDAHULUAN. melawan serangan penyakit berbahaya (Anonim, 2010). Imunisasi adalah alat yang terbukti untuk mengendalikan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Imunisasi merupakan program pemerintah yang senantiasa digalakkan dalam upaya untuk meningkatkan kekebalan seseorang terhadap suatu penyakit dengan melakukan vaksinasi

Lebih terperinci

Angka kematian bayi dan anak merupakan salah satu indikator penting yang

Angka kematian bayi dan anak merupakan salah satu indikator penting yang Angka kematian bayi dan anak merupakan salah satu indikator penting yang digunakan untuk menentukan derajat kesehatan masyarakat. Hal ini juga menjadi fokus dalam pencapaian Millenium Development Goals

Lebih terperinci

RESUME HASIL DESK PROFIL KESEHATAN 2013

RESUME HASIL DESK PROFIL KESEHATAN 2013 A. GAMBARAN UMUM 1 LUAS WILAYAH 1 167 2 JUMLAH DESA/KELURAHAN 1 151 3 JUMLAH PENDUDUK 1 1260565 1223412 2483977 4 PENDUDUK 10 TAHUN KE ATAS MELEK HURUF 4 1083136 1048577 2131713 5 PENDUDUK 10 TAHUN KE

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Jakarta, Maret 2010 Kepala Pusat Data dan Surveilans Eidemiologi. dr. Jane Soepardi NIP

KATA PENGANTAR. Jakarta, Maret 2010 Kepala Pusat Data dan Surveilans Eidemiologi. dr. Jane Soepardi NIP KATA PENGANTAR Peta Kesehatan Indonesia Tahun 2008 ini disusun untuk menyediakan beberapa data/informasi kesehatan secara garis besar pencapaian program program kesehatan di Indonesia. Pada edisi ini selain

Lebih terperinci

BAB 27 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP KESEHATAN YANG LEBIH BERKUALITAS

BAB 27 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP KESEHATAN YANG LEBIH BERKUALITAS BAB 27 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP KESEHATAN YANG LEBIH BERKUALITAS BAB 27 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP LAYANAN KESEHATAN YANG LEBIH BERKUALITAS A. KONDISI UMUM Sesuai dengan UUD 1945,

Lebih terperinci

RESUME HASIL DESK PROFIL KESEHATAN 2013

RESUME HASIL DESK PROFIL KESEHATAN 2013 A. GAMBARAN UMUM 1 LUAS WILAYAH 1 4037,6 ha 2 JUMLAH DESA/KELURAHAN 1 15 3 JUMLAH PENDUDUK 1 558178 4 PENDUDUK 10 TAHUN KE ATAS MELEK HURUF 4 327536 5 PENDUDUK 10 TAHUN KE ATAS DENGAN PENDIDIKAN TERTINGGI

Lebih terperinci

PERNYATAAN PERJANJIAN KINERJA PEMERINTAH KABUPATEN SUKABUMI PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2017

PERNYATAAN PERJANJIAN KINERJA PEMERINTAH KABUPATEN SUKABUMI PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2017 PERNYATAAN PERJANJIAN KINERJA PEMERINTAH KABUPATEN SUKABUMI PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2017 Dalam rangka mewujudkan manajemen pemerintahan yang efektif, transparan dan akuntabel serta berorientasi pada hasil,

Lebih terperinci

Revisi ke 03 Tanggal : 06 Oktober 2016

Revisi ke 03 Tanggal : 06 Oktober 2016 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA LAMPIRAN : Satu set DIPA Petikan A. Dasar Hukum: 1.UU No. 17 Tahun 23 tentang Keuangan Negara. 2.UU No. 1 Tahun 24 tentang Perbendaharaan Negara. 3.UU No. 14 Tahun

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. tinggi. Survei morbiditas yang dilakukan oleh sub Direktorat diare, Departemen

BAB 1 PENDAHULUAN. tinggi. Survei morbiditas yang dilakukan oleh sub Direktorat diare, Departemen BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit diare masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang seperti di Indonesia, karena morbiditas dan mortalitasnya yang masih tinggi. Survei

Lebih terperinci

STRUKTUR ORGANISASI DEPARTEMEN KESEHATAN

STRUKTUR ORGANISASI DEPARTEMEN KESEHATAN LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR : 1575/Menkes/SK/XI/2005 TANGGAL : 16 November 2005 MENTERI KESEHATAN STRUKTUR ORGANISASI DEPARTEMEN KESEHATAN MENTERI KESEHATAN INSPEKTORAT JENDERAL SEKRETARIAT

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KESEHATAN. Wabah. Penyakit. Penanggulangannya.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KESEHATAN. Wabah. Penyakit. Penanggulangannya. No.503, 2010 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KESEHATAN. Wabah. Penyakit. Penanggulangannya. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1501/MENKES/PER/X/2010 TENTANG JENIS PENYAKIT

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1479/MENKES/SK/X/2003 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1479/MENKES/SK/X/2003 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1479/MENKES/SK/X/2003 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN SISTEM SURVEILANS EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR DAN PENYAKIT TIDAK MENULAR TERPADU MENTERI KESEHATAN

Lebih terperinci

MODUL VISI, MISI, TUGAS, DAN FUNGSI ORGANISASI

MODUL VISI, MISI, TUGAS, DAN FUNGSI ORGANISASI MODUL VISI, MISI, TUGAS, DAN FUNGSI ORGANISASI PUSDIKLAT APARATUR BADAN PPSDM KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN 2013 DAFTAR ISI DAFTAR ISI... A. Deskripsi Singkat... 1 B. Tujuan Pembelajaran... 2 C. Pokok

Lebih terperinci

PERJANJIAN KINERJA DINAS KESEHATAN TAHUN 2016

PERJANJIAN KINERJA DINAS KESEHATAN TAHUN 2016 PERJANJIAN KINERJA DINAS KESEHATAN TAHUN 2016 Dalam rangka mewujudkan manajemen pemerintahan yang efektif, transparan, dan akuntabel serta berorientasi pada hasil, kami yang bertanda tangan di bawah ini:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lebih dari 2 miliar atau 42% penduduk bumi memiliki resiko terkena malaria. WHO

BAB I PENDAHULUAN. lebih dari 2 miliar atau 42% penduduk bumi memiliki resiko terkena malaria. WHO BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Malaria merupakan penyakit menular yang dominan di daerah tropis dan sub tropis dan dapat mematikan. Setidaknya 270 penduduk dunia menderita malaria dan lebih dari

Lebih terperinci

BUPATI BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 50 TAHUN 2016

BUPATI BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 50 TAHUN 2016 SALINAN BUPATI BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 50 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, URAIAN TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS KESEHATAN KABUPATEN BLITAR DENGAN

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP KATA PENGANTAR Keberhasilan pembangunan kesehatan membutuhkan perencanaan yang baik yang didasarkan pada data dan informasi kesehatan yang tepat dan akurat serta berkualitas, sehingga dapat menggambarkan

Lebih terperinci

RESUME HASIL DESK PROFIL KESEHATAN 2013

RESUME HASIL DESK PROFIL KESEHATAN 2013 A. GAMBARAN UMUM LUAS WILAYAH 8,5 Ha 2 JUMLAH DESA/KELURAHAN 68 3 JUMLAH PENDUDUK 50,884 493,947,004,83 4 PENDUDUK 0 TAHUN KE ATAS MELEK HURUF 4 407,97 382,66 790,533 5 PENDUDUK 0 TAHUN KE ATAS DENGAN

Lebih terperinci

RESUME HASIL DESK PROFIL KESEHATAN 2013

RESUME HASIL DESK PROFIL KESEHATAN 2013 A. GAMBARAN UMUM 1 LUAS WILAYAH 1 299,019 2 JUMLAH DESA/KELURAHAN 1 417 desa/17 kel 3 JUMLAH PENDUDUK 1 5,077,210 4 PENDUDUK 10 TAHUN KE ATAS MELEK HURUF 4 17,650 5 PENDUDUK 10 TAHUN KE ATAS DENGAN PENDIDIKAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis atau sering disebut dengan istilah TBC merupakan penyakit

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis atau sering disebut dengan istilah TBC merupakan penyakit BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tuberkulosis atau sering disebut dengan istilah TBC merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini biasanya menyerang

Lebih terperinci

RESUME HASIL DESK PROFIL KESEHATAN 2013

RESUME HASIL DESK PROFIL KESEHATAN 2013 A. GAMBARAN UMUM 1 LUAS WILAYAH 1 belum mendapat data dari BPS 2 JUMLAH DESA/KELURAHAN 1 Kabupaten 3 JUMLAH PENDUDUK 1 4 PENDUDUK 10 TAHUN KE ATAS MELEK HURUF 4 5 PENDUDUK 10 TAHUN KE ATAS DENGAN PENDIDIKAN

Lebih terperinci

RESUME HASIL DESK PROFIL KESEHATAN 2013

RESUME HASIL DESK PROFIL KESEHATAN 2013 A. GAMBARAN UMUM 1 LUAS WILAYAH 1 305,519 2 JUMLAH DESA/KELURAHAN 1 442 3 JUMLAH PENDUDUK 1 1,277,610 1,247,873 2,525,483 4 PENDUDUK 10 TAHUN KE ATAS MELEK HURUF 4 5 PENDUDUK 10 TAHUN KE ATAS DENGAN PENDIDIKAN

Lebih terperinci

TARGET INDIKATOR SATUAN MENINGKATKAN 1. INDIKATOR SASARAN CAPAIAN MISI TUJUAN SASARAN NO

TARGET INDIKATOR SATUAN MENINGKATKAN 1. INDIKATOR SASARAN CAPAIAN MISI TUJUAN SASARAN NO Tabel 4.2 Keterkaitan Visi, Misi, Tujuan, Sasaran, Indikator Renstra Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013-2018 Visi : "INSTITUSI YANG PROFESIONAL DALAM MEWUJUDKAN PARIPURNA DI JAWA TENGAH" MISI

Lebih terperinci