BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM KEKELUARGAAN DAN HUKUM PERKAWINAN ISLAM

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM KEKELUARGAAN DAN HUKUM PERKAWINAN ISLAM"

Transkripsi

1 9 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM KEKELUARGAAN DAN HUKUM PERKAWINAN ISLAM 2.1 Hukum Kekeluargaan Menurut Hukum Islam Menurut Hazairin, hukum menentukan bentuk masyarakat. Hukum perkawinan dan hukum kewarisan menentukan dan mencerminkan sistem kekeluargaan yang berlaku dalam masyarakat. Bentuk kekeluargaan berpokok pangkal kepada cara menarik garis keturunan. Pada prinsipnya di Indonesia dikenal tiga macam cara menarik garis keturunan, yaitu patrilineal, matrilineal, dan bilateral. 16 Sistem patrilineal, yaitu cara menarik garis keturunan ke atas melalui pihak laki-laki atau kerabat ayah secara patrilineal, sistem matrilineal yaitu cara menarik garis keturunan ke atas hanya melalui pihak perempuan atau kerabat ibu secara matrilineal, dan sistem kekeluargaan bilateral atau parental yaitu cara menarik garis keturunan baik dari pihak ayah maupun pihak Ibu. Untuk mempertahankan bentuk masyarakat yang patrilineal ataupun matrilineal adalah dengan melaksanakan bentuk perkawinan yang exogami, sedangkan pada masyarakat bilateral tidak dikenal larangan bentuk perkawinan yang indogami maupun exogami. Demikian pula bentuk perkawinan yang diatur dalam hukum Islam, hal tersebut dapat dilihat pada larangan perkawinan menurut surah an-nisaa ayat 23 dan pada perkawinan yang dilakukan puteri Rasululah, 16 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-quran dan Hadits, Cet. 5, (Jakarta: PT. Tintamas Indonesia, 1981), hal. 11.

2 10 Fatimah az-zahra binti Muhammad dengan kemenakan laki-laki beliau, yaitu anak laki-laki dari saudara laki-laki ayah Rasulullah, bernama Ali bin Abi Talib. 17 Bentuk perkawinan indogami maupun exogami yang dapat dilakukan oleh seorang muslim (muslimah) berdasarkan surah an-nisaa ayat 23 serta sunnah Rasulullah menunjukan bahwa bentuk masyarakat yang dikehendaki Islam adalah masyarakat bilateral. 18 Selain itu, ayat-ayat kewarisan dalam al-quran juga menunjukkan dengan jelas bahwa sistem kewarisan yang dikehendaki oleh Islam adalah sistem kewarisan bilateral, sehingga dengan demikian dapat dilihat bahwa sistem kewarisan Islam menghendaki sistem masyarakat bilateral. Hal tersebut dapat dilihat dari ketentuan-ketentuan hukum kewarisan yang terdapat dalam surat an-nisaa ayat 7, ayat 11, ayat 12, ayat 33, dan ayat 176, serta hadist-hadist Rasulullah Hukum Perkawinan Islam Keluarga sebagai unit terkecil dari suatu lingkungan masyarakat memainkan peranan penting dalam membentuk kehidupan masyarakat dan negara. Suatu keluarga harus dibangun atas dasar yang kokoh agar dapat menciptakan masyarakat yang kokoh pula. Agama Islam memberi perhatian yang besar pada pembentukan dan pembinaan suatu keluarga. Dalam agama Islam, perkawinan ditetapkan sebagai satu-satunya dasar utama dalam pembentukan suatu keluarga. Untuk lebih memahami pentingnya perkawinan dalam Islam, terlebih dahulu harus dipahami beberapa hal mengenai perkawinan yang antara lain: pengertian perkawinan, dasar hukum perkawinan, asas-asas perkawinan, tujuan perkawinan, hukum melakukan perkawinan, larangan melakukan perkawinan, dan rukun serta syarat melakukan perkawinan. Ketujuh hal tersebut akan diuraikan berikut ini. 17 Neng Djubaedah; Sulaikin Lubis; dan Farida Prihatini, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Hecca Mitra Utama, 2005), hal Ibid. 19 Ibid., hal. 82.

3 Pengertian Perkawinan Nikah menurut bahasa berarti perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri (dengan resmi) 20. Dalam Ensiklopedia Hukum Islam, nikah dinyatakan sebagai salah satu upaya untuk menyalurkan naluri seksual suami istri dalam sebuah rumah tangga sekaligus sarana untuk menghasilkan keturunan yang dapat menjamin kelangsungan eksistensi manusia di atas bumi 21. Ada berbagai macam pendapat yang dikemukakan oleh para ahli hukum Islam mengenai definisi perkawinan, tetapi seluruh definisi tersebut mengandung esensi yang sama meskipun redaksionalnya berbeda. Definisi tersebut antara lain: a. Menurut ulama Mazhab Syafi I, nikah adalah akad yang mengandung kebolehan melakukan hubungan suami istri dengan lafal nikah atau yang semakna dengan itu 22. b. Menurut ulama Mahzab Hanafi, nikah adalah akad yang memfaedahkan halalnya melakukan hubungan suami istri antara seorang lelaki dan seorang wanita selama tidak ada halangan syarak 23. c. Menurut Sajuti Thalib, perkawinan ialah perjanjian suci membentuk keluarga antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Selain itu, Sajuti Thalib juga berpendapat bahwa perkawinan harus dilihat dari tiga segi pandangan, yaitu pertama, segi agama merupakan suatu segi yang sangat penting bahwa perkawinan sebagai suatu lembaga suci, kedua, segi sosial bahwa orang yang berkeluarga atau pernah berkeluarga berkedudukan yang lebih dihargai, dan 20 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed.2, cet.9, (Jakarta : Balai Pustaka, 1997), hal Abdul Azis Dahlan, et. al., Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. 1, Jil. 4, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), hal Ibid. 23 Ibid.

4 12 yang ketiga, segi hukum, yaitu perkawinan merupakan suatu perjanjian yang kuat (mitsaaqaan ghaliizhaan) 24. d. Menurut Pasal 1 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa 25. e. Menurut Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (KHI), perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqon gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. 26 f. Menurut Pasal 2 Rancangan Undang-Undang Hukum Terapan Pengadilan Agama Bidang Perkawinan, perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami isteri berdasarkan akad nikah yang diatur dalam Undang-Undang ini dengan tujuan untuk membentuk keluarga sakinah atau rumah tangga yang bahagia sesuai Hukum Islam Dasar Hukum Perkawinan Islam Hukum Islam bersumber pada al-quran, Sunnah Rasul, dan Ijtihad Ulil-Amri. Al-Quran memuat aqidah, syari ah, dan akhlak, yang meliputi bidang ibadah dalam pengertian vertikal (hablummina-allah) dan muamalah dalam pengertian horizontal (hablum-minan-nas) yang isinya sangat menyeluruh dan 24 Sajuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Cet. 5, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 1986), hal Indonesia, Undang-Undang tentang Perkawinan, UU No. 1 Tahun 1974, LN. No. 1 Tahun 1974, ps Indonesia, Kompilasi Hukum Islam. loc. cit.., ps Indonesia, Rancangan Undang-Undang Hukum Terapan Pengadilan Agama Bidang Perkawinan, Ps. 2.

5 13 komprehensif, salah satunya adalah mengenai perkawinan. Ayat-ayat al-quran yang mengatur hukum perkawinan terdapat dalam: 28 a. Surah an-nisaa ayat 1, ayat 3, ayat 4, ayat 6, ayat 19, ayat 20, ayat 21, ayat 22, ayat 23, ayat 24, ayat 25, ayat 32, ayat 34, ayat 35, ayat 127, ayat 128, ayat 129; b. Surah al-baqarah ayat 221, ayat 228, ayat 229, ayat 230, ayat 231, ayat 232, ayat 233, ayat 234, ayat 235, ayat 236, ayat 237, ayat 240, ayat 241, ayat 242; c. Surah al-hijr ayat 72; d. Surah Taha ayat 40; e. Surah an-nur ayat 3, ayat 6, ayat 7, ayat 8, ayat 9, ayat 26, ayat 32, ayat 33; f. Surah ar-rum ayat 21; g. Surah al-ahzab ayat 4, ayat 5, ayat 37, ayat 38, ayat 49, ayat 50, ayat 51, ayat 52, ayat 55; h. Surah at-talaq ayat ayat 1, ayat 2, ayat 4, ayat 6, ayat 7; i. Surah at-tahrim ayat 1, ayat 6, ayat 10, ayat 11; j. Surah al-maidah ayat 5. Terjemahan surah an-nisaa ayat 1 dan ayat 3: 29 Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silahturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (Q. An- Nisaa: 1) Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. 28 Neng Djubaedah, Op. cit., hal Kementerian urusan agama Islam, Wakaf, Da wah, dan Irsyad Kerajaan Saudi Arabia, Al-Quran dan Terjemahannya, Saudi Arabia : 1990.

6 14 Kemudian jika kamu tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (Q.an-Nisaa: 3). Dalam Hukum Islam, Al-Quran adalah sebagai sumber hukum yang utama dan pertama, dan sunnah Rasulullah merupakan sumber hukum yang kedua. Al-Quran memerintahkan orang yang beriman untuk mentaati Allah dan Rasulullah (an-nisaa ayat 59), menjelaskan bahwa Rasulullah sebagai tauladan yang baik (al-ahzab ayat 21), dan memiliki akhlak yang mulia (al-qalam ayat 4). Allah menilai seorang muslim yang taat kepada Rasul berarti taat kepada Allah (an-nisaa ayat 80), dan Allah menilai seseorang tidak beriman apabila ia tidak menerima keputusan Rasulullah (an-nisaa ayat 65). Beberapa Sunnah dan Hadits Rasul tentang perkawinan antara lain: 1. Hadits riwayat Jama ah ahli hadits: Sabda Rasulullah SAW, Hai pemuda-pemuda, barangsiapa yang mampu di antara kamu serta berkeinginan hendak kawin, hendaklah dia kawin. Karena sesungguhnya perkawinan itu akan memejamkan mata terhadap orang yang tidak halal dilihatnya, dan akan memeliharanya dari godaan syahwat. Dan barangsiapa yang tidak mampu kawin hendaklah dia puasa, karena dengan puasa hawa nafsunya terhadap perempuan akan berkurang Hadits riwayat Muslim dan Tirmidzi: Dari jabir, Sesungguhnya Nabi SAW telah bersabda: Sesungguhnya perempuan itu dinikahi orang karena agamanya, hartanya, dan kecantikannya; maka pilihlah yang beragama Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap), cet. ke-25, (Bandung: CV. Sinar Baru, 1992), hal Ibid., hal

7 15 3. Hadits riwayat Hakim dan Abu Dawud: Dari Aisyah, Kawinilah olehmu kaum wanita itu, maka sesungguhnya mereka akan mendatangkan harta (rezeki) bagi kamu Hadits riwayat Muslim: Dari Amru Ibnu Ash, Dunia itu harta benda, dan sebaik-baik harta benda dunia adalah perempuan yang saleh Hadits riwayat Baihaqi: Janganlah kamu mengawini perempuan itu karena ingin melihat kecantikannya, mungkin kecantikannya itu akan membawa kerusakan bagi mereka sendiri, dan janganlah kamu mengawini mereka karena mengharap harta mereka, mungkin hartanya itu akan menyebabkan mereka sombong, tetapi kawinilah mereka dengan dasar agama, dan sesungguhnya hamba sahaya yang hitam lebih baik asal ia beragama Hadits riwayat Muslim: Takutlah kepada Allah dalam urusan perempuan; sesungguhnya kamu ambil mereka dengan kepercayaan Allah, dan kamu halalkan mereka dengan kalimat Allah Asas asas Hukum Perkawinan Islam Ikatan perkawinan sebagai salah satu bentuk perjanjian suci antara seorang pria dengan seorang wanita, yang mempunyai segi-segi hukum perdata, berlaku beberapa asas-asas Hukum Islam dalam lapangan hukum perdata, yang menjadi tumpuan atau landasan untuk melindungi kepentingan pribadi seseorang. Asas-asas tersebut antara lain: Ibid., hal Ibid. 34 Ibid., hal Ibid., hal Ali, Op. cit., hal. 125.

8 16 a. Asas kesukarelaan Asas ini merupakan asas yang terpenting dalam perkawinan Islam. Kesukarelaan harus terdapat antara kedua calon suami-isteri. b. Asas persetujuan Asas ini merupakan konsekuensi logis dari asas kesukarelaan. Hal ini berarti bahwa tidak boleh ada paksaan antara kedua calon suami-isteri dalam melangsungkan perkawinan. c. Asas kebebasan memilih pasangan Asas ini disebutkan dalam Sunnah Nabi. Diceritakan oleh Ibnu Abbas, mengenai seorang gadis yang menghadap Rasulullah yang menyatakan bahwa ia telah dikawinkan oleh ayahnya dengan seseorang yang tidak disukainya dan Nabi menegaskan bahwa gadis tersebut dapat meneruskan perkawinan dengan orang yang tidak disukainya atau meminta supaya perkawinannya dibatalkan untuk dapat memilih pasangan dan kawin dengan orang lain yang disukainya. d. Asas kemitraan suami-isteri Asas kemitraan suami-isteri dengan tugas dan fungsi yang berbeda karena perbedaan kodrat (sifat asal, pembawaan) disebut dalam al-qur an surah an- Nisaa ayat dan surah al-baqarah ayat Kemitraan ini menyebabkan kedudukan suami-isteri dalam beberapa hal sama, dalam hal yang lain berbeda, seperti suami menjadi kepala keluarga dan isteri menjadi kepala dan penanggung jawab pengaturan rumah tangga. e. Asas untuk selama-lamanya Asas ini menunjukkan bahwa perkawinan dilaksanakan untuk melangsungkan keturunan dan membina cinta serta kasih sayang selama hidup (surah ar-rum ayat 21). f. Asas monogami terbuka 37 Terjemahan surah an-nisaa ayat 34: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagaian dari harta meraka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara mereka. Lihat Kementerian urusan agama Islam, Wakaf, Da wah, dan Irsyad Kerajaan Saudi Arabia, Al-Quran dan Terjemahannya. 38 Terjemahan surah al-baqarah ayat 187:... mereka itu (istri-isteri kamu) adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka... Lihat Kementerian urusan agama Islam, Wakaf, Da wah, dan Irsyad Kerajaan Saudi Arabia, Al-Quran dan Terjemahannya.

9 17 Asas ini menyatakan bahwa seorang pria muslim diperbolehkan untuk beristeri lebih dari seorang, asal memenuhi beberapa syarat tertentu, di antaranya adalah syarat mampu berlaku adil terhadap semua wanita yang menjadi isterinya (surah an-nisaa ayat 3) Tujuan Perkawinan Dalam pandangan Islam, tujuan perkawinan antara lain adalah agar suami istri dapat membina kehidupan yang tentram lahir batin dan saling cinta mencintai dalam satu rumah tangga yang bahagia sebagaimana diungkapkan dalam al-quran, surah ar-rum ayat 21. Pasal 3 KHI meyatakan bahwa perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. 39 Dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dinyatakan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa Hukum Melakukan Perkawinan Menurut pendapat sebagian ulama, asal hukum melakukan perkawinan jika di hubungkan dengan al-ahkam al-khamsah adalah kebolehan atau ibahah atau halal, sebagaimana ditegaskan dalam surah an-nisaa ayat 1, ayat 3, ayat 24 41, dan hadits Rasul sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim: Hai golongan pemuda, barangsiapa diantara kamu telah sanggup kawin, maka kawinlah, karena kawin itu lebih menundukan mata dan lebih memelihara faraj/kehormatan dan barang siapa yang belum sanggup maka berpuasa itu melemahkan syahwat Indonesia, Kompilasi Hukum Islam. loc. cit., ps Indonesia, Undang-Undang tentang Perkawinan, loc. cit., ps Terjemahan surah an-nisaa ayat 24: Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian, yaitu mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina... Lihat Kementerian urusan agama Islam, Wakaf, Da wah, dan Irsyad Kerajaan Saudi Arabia, Al-Quran dan Terjemahannya. 42 Neng Djubaedah, Op. cit., hal. 59.

10 18 Namun menurut Sajuti Thalib, hukum melakukan pernikahan dapat berubah menjadi sunnah, wajib, makruh, dan haram berdasarkan kepada illahnya. Perubahan itu terjadi apabila: 43 a. Hukumnya berubah menjadi sunnah. Dengan illah: seseorang apabila dipandang dari segi pertumbuhan jasmaninya telah wajar dan cenderung untuk kawin serta sekedar biaya hidup telah ada, maka baginya menjadi sunnahlah untuk melakukan perkawinan. Apabila dia kawin dia mendapat pahala dan apabila dia tidak atau belum kawin, dia tidak mendapat dosa dan juga tidak mendapat pahala. b. Hukumnya berubah menjadi wajib. Dengan illah: seseorang apabila dipandang dari segi biaya kehidupan telah mencukupi dan dipandang dari sudut pertumbuhan jasmaniahnya sudah sangat mendesak untuk kawin, sehingga apabila dia tidak kawin dia akan terjerumus kepada penyelewengan, maka menjadi wajiblah baginya untuk kawin. Apabila dia tidak kawin dia akan mendapat dosa dan apabila dia kawin dia mendapat pahala. c. Hukumnya berubah menjadi makruh. Dengan illah: seseorang yang dipandang dari sudut pertumbuhan jasmaninya telah wajar untuk kawin walaupun belum sangat mendesak, tetapi belum ada biaya untuk hidup sehingga apabila dia kawin hanya akan membawa kesengsaraan hidup bagi istri dan anak-anaknya, maka makruhlah baginya untuk kawin. Apabila dia kawin dia tidak berdosa dan tidak pula mendapat pahala. Sedangkan apabila dia tidak kawin dengan pertimbangan yang telah dikemukakan tersebut maka dia akan mendapat pahala. d. Hukumnya berubah menjadi haram. Dengan illah: apabila seorang laki-laki hendak mengawini seorang wanita dengan maksud menganiayanya dan memperolok-olokannya maka haramlah bagi laki-laki itu kawin dengan perempuan tersebut sebagaimana ditegaskan 43 Thalib, Op. cit., hal

11 19 dalam surah an-nisaa ayat 24 dan ayat serta dalam surah al-baqarah ayat Apabila dia tetap melakukan perkawinan untuk maksud terlarang tersebut, maka dia berdosa walaupun perkawinan tersebut tetap sah selama telah memenuhi rukun dan syarat yang telah digariskan. Sedangkan apabila dia tidak jadi melakukan perkawinan tersebut maka dia akan mendapatkan pahala Larangan Melakukan Perkawinan Pada dasarnya seorang laki-laki Islam diperbolehkan kawin dengan perempuan mana saja, namun demikian ada syarat-syarat yang harus dipenuhi dan diperhatikan antara lain tidak menikah dengan orang yang dilarang menurut al- Quran, sunnah, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Larangan-larangan itu dengan tegas dinyatakan antara lain dalam ayatayat al-quran pada surah al-baqarah ayat 221 dan surah an-nisaa ayat 23, maupun dalam peraturan perundang-undangan seperti diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Adapun larangan-larangan tersebut adalah 46 : a. Larangan perkawinan karena perbedaan agama. KHI mengatur larangan ini dalam Pasal 40 huruf c, bahwa seorang laki-laki dilarang menikah dengan wanita yang bukan beragama Islam. Pasal 44 KHI menentukan bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam. 44 Terjemahan surah an-nisaa ayat 25: Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki... Lihat Kementerian urusan agama Islam, Wakaf, Da wah, dan Irsyad Kerajaan Saudi Arabia, Al-Quran dan Terjemahannya. 45 Terjemahan surah al-baqarah ayat 231: Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma ruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka... Lihat Kementerian urusan agama Islam, Wakaf, Da wah, dan Irsyad Kerajaan Saudi Arabia, Al-Quran dan Terjemahannya. 46 Neng Djubaedah, Op. cit., hal

12 20 b. Larangan perkawinan karena hubungan darah Larangan ini tercantum dalam surah an-nisaa ayat KHI mengatur larangan ini dalam Pasal 39 ayat (1) yang isinya menentukan bahwa, dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan karena pertalian nasab, yaitu: (i) dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya, (ii) dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu, (iii) dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya. 48 Dalam UU Perkawinan, larangan perkawinan karena hubungan darah diatur dalam Pasal 8 huruf (a) dan (b) yang isinya menyatakan perkawinan dilarang antara dua orang yang (a) berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau pun ke atas, (b) berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping. 49 c. Larangan perkawinan karena hubungan sesusuan Larangan ini juga tercantum dalam surah an-nisaa ayat 23. KHI mengatur larangan ini dalam Pasal 39 ayat (3) yang isinya menentukan bahwa dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan karena pertalian sesusuan, yaitu: (i) dengan wanita yang menyusuinya dan seterusnya menurut garis lurus ke atas, (ii) dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah, (iii) dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemenakan sesusuan ke bawah, (iv) 47 Terjemahan surah an-nisaa ayat 23: Diharamkan atas kamu (mengawini) Ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudarasaudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibuibumu yang menyusui kamu, saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu isterimu, anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu, dari isteri yang talah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu, dan menghimpunkan dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau... (Q.S. IV: 23) Lihat Kementerian urusan agama Islam, Wakaf, Da wah, dan Irsyad Kerajaan Saudi Arabia, Al-Quran dan Terjemahannya. 48 Indonesia, Kompilasi Hukum Islam. loc. cit., ps Indonesia, Undang-Undang tentang Perkawinan, loc. cit., ps. 8.

13 21 dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesuan ke atas, (v) dengan anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya. 50 Dalam UU Perkawinan, larangan perkawinan karena hubungan sesusuan diatur dalam Pasal 8 huruf (d) yang isinya menyatakan perkawinan dilarang antara dua orang yang berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan, dan bibi/paman susuan. 51 d. Larangan perkawinan karena hubungan semenda Larangan ini juga tercantum dalam surah an-nisaa ayat KHI mengatur larangan ini dalam Pasal 39 ayat (2) yang isinya menentukan bahwa dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan karena pertalian kerabat semenda, yaitu: (i) dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya atau bekas isterinya, (ii) dengan seorang wanita bekas isteri orang yang menurunkannya, (iii) dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas isterinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas isterinya itu qabla al-dukhul, (iv) dengan seorang wanita bekas isteri keturunannya. 53 Dalam UU Perkawinan, larangan perkawinan karena hubungan semenda diatur dalam Pasal 8 huruf (c) yang isinya menyatakan perkawinan dilarang antara dua orang yang berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri. 54 e. Larangan perkawinan karena zina. Larangan perkawinan karena zina diatur dalam Q.S. an-nur (24):3. Dalam surah ini ditentukan bahwa orang-orang mukmin dilarang menikah dengan orang yang berzina. Orang-orang yang berzina hanya dapat menikah dengan orang-orang yang berzina juga. Menurut Mahzab Syafi i dan Mahzab Maliki, anak hasil zina dapat dinikahi oleh ayah genetisnya. 50 Indonesia, Kompilasi Hukum Islam. loc. cit. 51 Indonesia, Undang-Undang tentang Perkawinan, loc. cit. 52 Lihat catatan kaki hal Indonesia, Kompilasi Hukum Islam. loc. cit. 54 Indonesia, Undang-Undang tentang Perkawinan, loc. cit.

14 22 f. Larangan perkawinan karena Li an. Li an adalah tuduhan suami bahwa istrinya berbuat zina dengan orang lain atau pengingkaran suami terhadap kehamilan istrinya sebagai buah pergaulan dengan istrinya itu. 55 KHI mengatur mengenai li an pada Pasal 126. Pasal 43 ayat (1) huruf b menyatakan bahwa seorang pria dilarang menikah dengan bekas istrinya yang dili an. Akibat dari li an adalah antara suami dan istri yang melakukan li an tersebut tidak boleh menikah kembali untuk selamanya dan anak yang dikandung dinasabkan kepada ibunya, sedang suaminya terbebas dari kewajiban memberi nafkah (Pasal 125 jo. Pasal 162 KHI). 56 g. Larangan perkawinan karena mempunyai empat orang istri. Hukum perkawinan Islam menganut asas monogami terbuka. Hal ini dapat dilihat dalam surah an-nisaa ayat KHI mengatur mengenai pembatasan jumlah istri dalam Pasal 42 yang menentukan bahwa seorang laki-laki dilarang untuk menikah dengan wanita lain apabila ia sedang mempunyai empat orang istri yang keempat-empatnya masih terikat tali perkawinan dengannya atau masih dalam masa iddah. Ketentuan ini dipertegas lagi dengan Pasal 55 yang menetapkan seseorang bila ingin beristri lebih dari satu pada waktu bersamaan hanya boleh 4 (empat) orang. h. Larangan perkawinan karena talak Ba in Kubra. Talak ba in kubra adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. 58 Apabila terjadi talak ba in kubra, maka antara suami istri tersebut tidak boleh rujuk lagi dan tidak boleh nikah kembali kecuali bekas istri telah menikah dengan laki-laki lain dan kemudian terjadi perceraian ba da dukhul (telah melakukan hubungan suami istri) serta masa iddahnya telah habis (al-baqarah ayat 230). KHI mengatur ketentuan ini dalam Pasal 43 jo. Pasal 120 KHI. 55 Abdul Azis Dahlan, et. al., Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. 1, Jil. 3, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), hal Kompilasi Hukum Islam, loc. cit., ps Lihat hal Kompilasi Hukum Islam, loc. cit., ps. 120.

15 23 i. Larangan perkawinan dengan perempuan yang masih dalam masa Iddah. Iddah adalah masa menunggu bagi wanita untuk melakukan perkawinan setelah terjadinya perceraian dengan suaminya, baik cerai hidup maupun cerai mati, dengan tujuan untuk mengetahui keadaan rahimnya atau untuk berpikir bagi suami isteri bersangkutan. 59 Ketentuan mengenai iddah terdapat dalam surah al-baqarah ayat 228 dan ayat 234, serta surah at-thalaq ayat 1 dan ayat 4. Mengenai larangan menikah dengan wanita yang masih dalam masa iddah, KHI mengaturnya dalam Pasal 40 huruf (b) 60 dan Pasal j. Larangan perkawinan karena sedang melaksanakan ibadah haji. Ketentuan ini didasarkan pada hadits Rasul riwayat Muslim dari Usman r.a, dinyatakan bahwa Tidak boleh menikah orang yang sedang dalam keadaan ihram, demikian juga tidak boleh menikahkan. 62 KHI mengatur hal ini dalam Pasal 54 ayat (1) dan ayat (2). k. Larangan perkawinan poliandri. Poliandri adalah sistem perkawinan yang membolehkan seorang wanita mempunyai suami lebih dari satu dalam waktu yang bersamaan. 63 Dalam surah an-nisaa ayat 24 sangat tegas dinyatakan larangan menikahi wanita yang sedang bersuami. Hal ini dilarang dengan tujuan untuk menjaga kemurnian turunan dan kepastian hukum seorang anak. 64 KHI mengatur masalah ini dalam Pasal 40 huruf (a) Abdul Azis Dahlan, et. al., Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. 1, Jil. 2, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), hal Pasal 40 huruf (b) KHI: dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain. Lihat Kompilasi Hukum Islam. Ps Pasal 151 KHI: Bekas isteri selama dalam iddah, wajib menjaga dirinya tidak menerima pinangan dan tidak menikah dengan pria lain. Lihat Kompilasi Hukum Islam. Ps Neng Djubaedah, Op. cit., hal Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, loc. cit., hal Thalib, Op. cit., hal Kompilasi Hukum Islam, loc. cit., Ps. 40.

16 Rukun dan Syarat Perkawinan Sahnya suatu perkawinan dalam hukum Islam adalah dengan terlaksananya akad nikah yang telah memenuhi rukun dan syarat perkawinan. Rukun ialah unsur pokok (tiang) sedangkan syarat merupakan unsur pelengkap dalam setiap perbuatan hukum. 66 Rukun nikah merupakan bagian dari hakekat perkawinan sehingga apabila salah satu rukun nikah tidak terpenuhi maka perkawinan tersebut batal demi hukum. Kompilasi Hukum Islam mengatur rukun perkawinan pada Pasal 14, bahwa untuk melakukan perkawinan harus terdapat: 67 a. Calon suami b. Calon Isteri c. Wali nikah Pasal 19 KHI menyatakan bahwa wali nikah merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya. Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat Hukum Islam, yakni muslim, aqil, dan baligh (Pasal 20 ayat 1). KHI membagi wali nikah menjadi 2 (dua), yaitu: 68 i. Wali nasab Menurut Pasal 21 KHI, wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita, yaitu: 69 Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya; Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka; 66 Neng Djubaedah, Op. cit., hal Kompilasi Hukum Islam, loc. cit., Ps Ibid., Ps. 20 ayat Ibid., Ps. 21 ayat 1.

17 25 Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka; Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek dan keturunan laki-laki mereka. ii. Wali hakim Wali hakim adalah pengusa atau wakil penguasa yang berwenang dalam bidang perkawinan, biasanya penghulu atau petugas lain dari Departemen Agama. 70 Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan. Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut (Pasal 23 KHI). 71 d. Dua orang saksi Saksi dalam perkawinan merupakan rukun dan setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi (Pasal 24). Yang dapat ditunjuk untuk menjadi seorang saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, akil baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli (Pasal 25). Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan (Pasal 26). e. Ijab dan Kabul Ijab yaitu penegasan kehendak mengikatkan diri dalam bentuk perkawinan dan dilakukan oleh wali pihak perempuan ditujukan kepada laki-laki calon suami atau wakilnya. Qabul yaitu penegasan penerimaan mengikatkan diri sebagai suami istri yang dilakukan pihak laki-laki 72. Yang berhak mengucapkan kabul ialah calon mempelai pria secara pribadi atau wakilnya (Pasal 29 ayat 1). Pelaksanaan penegasan qabul harus diucapkan pihak laki- 70 Thalib, Op. cit., hal Kompilasi Hukum Islam, Op. cit., Ps Neng Djubaedah, Op. cit., hal. 64.

18 26 laki langsung sesudah ucapan penegasan ijab pihak perempuan, tidak boleh mempunyai antara waktu yang lama (Pasal 27). Dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan dinyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dalam penjelasan Pasal 2 dinyatakan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, oleh karena itu bagi umat Islam ketentuan yang berlaku adalah hukum perkawinan Islam. Syarat sahnya perkawinan menurut UU Perkawinan ini adalah : a. Persetujuan kedua calon mempelai (Pasal 6); b. Harus berusia 16 (enam belas) tahun bagi wanita dan berusia 19 (sembilan belas) tahun bagi pria (Pasal 7); c. Tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain kecuali dalam hal yang diijinkan (Pasal 9); d. Bagi yang belum berusia 21 (dua puluh satu)tahun harus mendapat izin kedua orang tua (Pasal 6 ayat 2); e. Tidak merupakan pihak-pihak yang dilarang untuk menikah seperti tercantum dalam Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10. Berdasarkan pasal-pasal dalam KHI, syarat-syarat perkawinan yang harus dipenuhi oleh kedua mempelai agar perkawinan dinyatakan sah adalah 73 : a. Dilakukan menurut Hukum Islam (Pasal 4); b. Kedua calon mempelai harus telah mencapai umur yang ditetapkan dalam Pasal 7 UU Perkawinan, yaitu harus berusia 16 (enam belas) tahun bagi wanita dan berusia 19 (Sembilan belas) tahun bagi pria (Pasal 15 ayat 1). Bagi yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 UU Perkawinan (Pasal 15 ayat 2); c. Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai (Pasal 16 ayat 1). Bentuk persetujuan ini dapat berupa pernyataan yang tegas dan nyata dengan tulisan, lisan maupun isyarat. Namun boleh juga berupa diamnya calon mempelai dalam arti tidak ada penolakan yang tegas (Pasal 16 ayat 2); 73 Kompilasi Hukum Islam, loc. cit.

19 27 d. Di antara kedua mempelai tidak terdapat halangan perkawinan sebagaiman diatur dalam al-quran (Pasal 18); Kewajiban-kewajiban Lain Yang Berkaitan Dengan Akad Nikah Selain rukun dan syarat perkawinan yang telah disebutkan di atas, terdapat beberapa hal yang harus dipenuhi namun tidak termasuk rukun dan syarat perkawinan, melainkan merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan berkaitan dengan akad nikah yang apabila tidak terpenuhi tidak mempengaruhi sah atau tidaknya perkawinan itu. Adapun kewajiban-kewajiban itu ialah: 1. Pencatatan Perkawinan Perkawinan harus dicatat dan dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah (Pasal 5 jo. Pasal 6 KHI). Menurut pendapat Neng Djubaedah, pencatatan perkawinan bukan merupakan rukun dan juga bukan merupakan syarat perkawinan, tetapi merupakan kewajiban setiap warga negara Indonesia terhadap negaranya. Beliau berpendapat bahwa apabila kewajiban ini tidak dipenuhi maka tidak mempengaruhi sahnya perkawinan, karena kewajiban ini bukan merupakan syarat yang dapat dibatalkan oleh pihak-pihak tertentu, tetapi dapat dijatuhi hukuman ta zir. Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Terapan Pengadilan Agama Bidang Perkawinan mengatur ketentuan pidana terhadap para pihak yang tidak mencatatkan perkawinan. Pasal 141 menentukan bahwa setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak dihadapan Pejabat Pencatat Nikah dapat dikenakan pidana denda tiga juta rupiah atau hukuman kurungan paling lama tiga bulan. 2. Mahar Mahar, menurut Pasal 1 huruf d KHI, adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang, atau jasa yang tidak bertentangan dengan Hukum Islam. 74 Mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang mana jumlah, bentuk, 74 Ibid., Ps. 1 huruf d.

20 28 dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak. 75 Kewajiban menyerahkan mahar bukan merupakan rukun dalam perkawinan. 76 Menurut pendapat Neng Djubaedah, mahar juga bukan merupakan rukun dan juga bukan merupakan syarat yang perkawinannya dapat dibatalkan. Mahar merupakan kewajiban suami dan hak pribadi isteri. Belum dibayarnya mahar oleh suami bukan merupakan alasan untuk dibatalkannya perkawinan, tetapi jika terjadi perceraian, maka mahar yang belum dibayar dapat dituntut oleh isteri. Jumlah mahar yang dapat dituntut tergantung kepada kondisi hubungan suami isteri dalam perkawinan, qabla ad-dukhul atau ba da ad-dukhul. 2.3 Hukum Kewarisan Islam Dalam surah an-nisaa ayat 7 ditentukan bahwa, bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapaknya dan kerabatnya, dan bagi orang perempuan juga ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapaknya dan kerabatnya. Hal ini menandakan bahwa sistem hukum kewarisan dalam hukum Islam adalah bilateral. Kemudian dalam surah an-nisaa ayat 11, ayat 12 dan ayat 176 juga lebih memperjelas bahwa hukum kewarisan Islam menghendaki masyarakat bilateral, melalui ketentuan hukum kewarisan bagi anak laki-laki dan anak perempuan pewaris beserta keturunannya, ibu pewaris, ayah pewaris, dan suami atau istri yang berkedudukan sebagai ahli waris dari istrinya atau suaminya. Demikian pula saudara-saudara pewaris, baik saudara laki-laki maupun saudara perempuan, baik saudara kandung, saudara seayah, maupun saudara seibu dapat berkedudukan sebagai ahli waris Ibid., Ps Ibid., Ps. 34 ayat Ibid., hal. 84.

21 29 Hukum Kewarisan Islam mengandung lima asas, yaitu: Asas ijbari Asas ini mengandung arti bahwa peralihan harta seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah SWT tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris atau ahli waris. Asas Ijbari Hukum Kewarisan Islam terutama terlihat dari segi ahli waris harus (tidak boleh tidak) menerima berpindahnya harta pewaris kepada dirinya sesuai dengan jumlah yang telah ditentukan oleh Allah. 2. Asas bilateral Asas ini mengandung arti bahwa seseorang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak, yaitu pihak kerabat keturunan laki-laki dan dari pihak keturunan perempuan. Asas ini dapat dilihat dalam surah an-nisaa ayat 7, ayat 11, ayat 12 dan ayat Asas individual Asas ini menyatakan bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi pada masingmasing ahli waris untuk dimiliki secara perseorangan. 4. Asas keadilan yang berimbang Asas ini mengandung arti bahwa dalam hal kewarisan harus senantiasa terdapat keseimbangan antara hak yang diperoleh seseorang dengan kewajiban yang harus ditunaikannya. 5. Asas akibat kematian. Asas ini mengandung arti bahwa kewarisan semata-mata sebagai akibat kematian seseorang. Neng Djubaedah dalam tesisnya yang berjudul Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam di Kabupaten Pandeglang, Banten, menambahkan satu asas dalam asasasas Hukum Kewarisan Islam, yaitu asas personalitas keislaman. 79 Asas ini mengandung arti bahwa antara pewaris dan ahli waris dalam kewarisan Islam 78 Ali, Op. cit., hal Neng Djubaedah, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam di Kabupaten Pandeglang, Banten, (Tesis Magister, Jakarta, 2000).

22 2.4.1 Kedudukan Ayah dalam Hukum Perkawinan Islam Dalam suatu perkawinan, ayah berkedudukan sebagai seorang kepala keluarga sekaligus sebagai seorang suami bagi istrinya. Sebagai seorang suami, ayah memiliki kewajiban untuk menjaga sekaligus memelihara istrinya dan berkewajiban untuk mendidik dan mengurus kepentingan anak-anaknya (Pasal 31 ayat (3) UU Perkawinan). Ayah wajib memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya (Pasal 34 ayat (1) UU Perkawinan). Apabila suami memiliki istri lebih dari seorang, maka hendaklah ia berlaku adil terhadap para istrinya (surah an-nisaa ayat 3). Ketentuan serupa juga diatur dalam Pasal 55 KHI yang menyebutkan bahwa syarat utama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anakanaknya. 80 Pasal 80 KHI menyebutkan bahwa suami adalah pembimbing terhadap 30 harus beragama Islam. Beliau mendasarkan pendapatnya pada ketentuan yang terdapat dalam Pasal 171 KHI. 2.4 Kedudukan Ayah, Ibu, dan Anak dalam Hukum Kekeluargaan Islam Bentuk kekeluargaan dalam suatu masyarakat dipengaruhi oleh sistem garis keturunan yang dianut oleh masyarakat tersebut. Keluarga inti menurut ajaran Islam terdiri dari suami, istri, anak (keturunan), orang tua suami dan atau orang tua isteri. Masing-masing mempunyai kedudukan tertentu di dalam perkawinan dan kewarisan yang menimbulkan wewenang, hak, dan kewajiban. isteri dan rumah tangganya. Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu kebutuhan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada isterinya dan memberikan kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa, dan bangsa Indonesia, Kompilasi Hukum Islam. Cet. 2, (Jakarta : Fokus Media, 2007), Ps Ibid., Ps. 80.

23 kaki ibu. 82 Dalam suatu keluarga, ibu atau seorang istri berkedudukan sebagai ibu Kedudukan Ayah dalam Hukum Kewarisan Islam Dalam hukum kewarisan, ayah sebagai pewaris yang meninggalkan harta warisan dibagikan kepada anak-anaknya, orang tuanya, dan istri atau jandanya. Bagi anak-anaknya, laki-laki maupun perempuan, akan menerima harta peninggalannya (surah an-nisaa ayat 11). Ayah memiliki dua kemungkinan dalam mewaris. Ayah dapat berkedudukan sebagai dzul faraa-idh atau dzul qarabat. Ayah berkedudukan sebagai dzul faraa-idh, yaitu ahli waris tertentu yang mendapat bagian warisan tertentu dalam keadaan tertentu, apabila dirinya mewaris bersama-sama dengan anak pewaris (surah an-nisaa ayat 11). Ayah berkedudukan sebagai dzul qarabat, yaitu ahli waris yang mendapat bagian yang tidak tertentu jumlahnya atau mendapat bagian yang terbuka (sisa), apabila dirinya tidak mewaris bersama-sama anak pewaris meskipun ada ahli waris lainnya yang sama-sama mewaris bersamanya (surah an-nisaa ayat 11) Kedudukan Ibu dalam Hukum Perkawinan Islam Menurut Islam, yang disebut dengan ibu adalah perempuan yang melahirkan anaknya, sebagaimana ditegaskan oleh Allah dalam al-quran surah ar-ruum ayat 4 tanpa melihat perkawinan resmi atau tidak. Seorang ibu dalam ajaran Islam ditempatkan dalam kedudukan yang mulia. Hal ini diumpamakan oleh Nabi Muhammad SAW dengan mengatakan bahwa Surga itu ada di telapak rumah tangga (Pasal 31 ayat 3 UU Perkawinan jo. Pasal 79 ayat (1) KHI). Berdasarkan surah an-nisaa ayat 34, seorang istri memiliki kewajiban untuk menjaga diri serta memelihara rahasia dan harta suaminya ketika suaminya tidak ada Abdul Azis Dahlan, et. al., Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. 1, Jil. 6, Op. cit., hal Terjemahan surah an-nisaa ayat 34:...wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara mereka. Lihat Kementerian urusan agama Islam, Wakaf, Da wah, dan Irsyad Kerajaan Saudi Arabia, Al-Quran dan Terjemahannya.

24 32 Pasal 31 ayat (2) UU Perkawinan menentukan bahwa hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Hal yang serupa juga diungkapkan dalam surah al-baqarah ayat 228, bahwa...dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya... dan Pasal 79 ayat (2) KHI 84. Kewajiban utama seorang isteri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami dalam batas-batas yang dibenarkan oleh Hukum Islam (Pasal 83 ayat (1) KHI). Isteri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya (Pasal 83 ayat (2) KHI) Kedudukan Ibu dalam Hukum Kewarisan Islam Dalam hukum kewarisan, ibu berkedudukan sebagai ahli waris dzul faraa-idh dari anaknya (pewaris) yaitu memperoleh 1/3 bagian harta peninggalan apabila pewaris tidak meninggalkan anak atau kalalah (surah an-nisaa ayat 11). Apabila ibu menjadi ahli waris bersama-sama dengan anak pewaris atau terdapat saudara dari pewaris, maka kedudukan ibu akan memperoleh 1/6 bagian harta peninggalan sebagai dzul faraa-idh (surah an-nisaa ayat 11). Adanya ayah sebagai ahli waris bersama ibu tidak mempengaruhi perolehan dan kedudukan ibu menurut ajaran Hukum Kewarisan Islam. 85 Ibu sebagai pewaris yang meninggalkan harta warisan dibagikan kepada anak-anaknya, orang tuanya (surah an-nisaa ayat 11), dan kepada suaminya (surah an-nisaa ayat 12) Kedudukan Anak dalam Hukum Perkawinan Islam Anak adalah orang yang lahir dari rahim seorang ibu, baik anak lakilaki maupun anak perempuan, sebagai hasil dari percampuran benih antara dua 84 Pasal 79 ayat 2 KHI: Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masarakat. Lihat Kompilasi Hukum Islam, Ps Thalib, Hukum Kewarisan., Op. cit., hal. 134.

25 33 lawan jenis. 86 Islam sangat memperhatikan kedudukan anak, hal ini terlihat dengan banyaknya ayat dalam al-quran serta beberapa hadits yang membahas masalah anak, di antaranya adalah surah an-nahl ayat 72, surah Asy-Syura ayat 49 dan ayat 50, surah al-kahfi ayat 46, dan surah an-nisaa ayat 9 dan ayat 11. Anak merupakan titipan atau amanat Allah kepada orang tua. Menurut pandangan Islam, anak adalah ciptaan Allah, seperti firman Allah dalam surah al- Hajj ayat 5, yaitu anak yang dilahirkan oleh sepasang suami istri (surah an-nisaa ayat 1). Anak merupakan perhiasan dunia (surah al-kahfi ayat 46) dan manusia diberikan rasa cinta kepada anak-anaknya (surah al-imran ayat 14). Allah menciptakan manusia berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan (surah an- Najm ayat 45 dan surah al-an aam ayat 140) untuk bersatu dalam perkawinan. Dari perkawinan ini akan dilahirkan anak laki-laki dan atau anak perempuan (surah an-nisaa ayat 9 dan ayat 11). 87 Anak yang lahir dari hasil hubungan perkawinan yang sah adalah anak sah, sedangkan anak yang lahir dari hubungan tidak sah atau perzinaan oleh masyarakat lazim disebut sebagai anak zina atau menurut Neng Djubaedah, lebih sesuai apabila menyebutnya dengan anak hasil zina. Menurut fukaha, perkawinan yang mengakibatkan sahnya anak sebagai salah satu keturunan harus melengkapi 4 (empat) syarat kumulatif, yakni hamilnya istri dari suaminya itu merupakan suatu hal yang mungkin dan sebagai akibat perkawinan yang sah, istri melahirkan anaknya sedikitnya setelah enam bulan dari tanggal dilangsungkannya akad nikah, istri melahirkan anaknya dalam waktu yang kurang dari masa hamil yang terpanjang dihitung dari tanggal perpisahnnya dengan suaminya, dan suami tidak mengingkari hubungan anak tersebut dengan dirinya. 88 UU Perkawinan menjelaskan tentang kedudukan anak pada Pasal 42 sampai dengan Pasal 44 yang dapat disimpulkan bahwa: Dahlan, Jil. 1, loc. cit., hal Neng Djubaedah, loc. cit., hal Abdul Azis Dahlan, et. al., Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. 1, Jil. 4, Op. cit., hal Neng Djubaedah, loc. cit., hal. 176.

26 34 1. Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah (Pasal 42). 2. Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya (Pasal 43). 3. Suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat dari perzinaan tersebut (Pasal 44). Selain UU Perkawinan, KHI juga mengatur mengenai kedudukan anak dalam Pasal 98 sampai dengan Pasal 106. Kedudukan anak dalam KHI dapat dijabarkan sebagai berikut: Anak yang sah adalah: (a) anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah, (b) hasil pembuahan suami istri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut (Pasal 99). 2. Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya (Pasal 100). 3. Suami yang mengingkari sahnya anak, sedang istri tidak menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkarannya dengan li an dan mengajukan ke Pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari sesudah lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah suami mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak dan berada ditempat yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya ke Pengadilan Agama (Pasal ). Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Terapan Pengadilan Agama Bidang Perkawinan menetapkan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan akibat perkawinan yang sah. 91 Anak yang lahir sebagai hasil pembuahan suami isteri yang sah di luar cara alami dan dilahirkan oleh isteri tersebut adalah anak yang sah. 92 Dalam al-quran, orang tua wajib memelihara, mengasuh, mendidik dan menjaga, melindungi anak menurut kadar kemampuannya (surah al-baqarah 90 Ibid,. hal Indonesia, Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Terapan Pengadilan Agama Bidang Perkawinan, Ps Ibid.

27 35 ayat 233). Kewajiban orang tua merupakan hak bagi anak. Menurut Wahdah Az- Zuhaili, ada 5 macam hak anak terhadap orangtuanya, yaitu hak nasab, hak radla, hak hadlanah, hak walayah, dan hak nafkah. 93 Sedangkan menurut Abdur Rozak, anak mempunyai hak-hak sebagai berikut: Hak anak sebelum dan sesudah dilahirkan. 2. Hak anak dalam kesucian keturunannya. 3. Hak anak dalam pemberian nama yang baik. 4. Hak anak dalam menerima susuan. 5. Hak anak dalam mendapatkan asuhan, perawatan, dan pemeliharaan. 6. Hak anak dalam kepemilikan harta benda atau hak warisan demi kelangsungan hidupnya. 7. Hak anak dalam bidang pendidikan dan pengajaran. UU Perkawinan mengatur kewajiban orang tua terhadap anak dalam Pasal 45 dan Pasal 48. Pasal 45 UU Perkawinan menetapkan bahwa kewajiban orang tua adalah memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya hingga anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban tersebut berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus. Pasal 48 UU Perkawinan menetapkan bahwa orang tua tidak boleh memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya. Pasal 47 UU Perkawinan menyatakan bahwa anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak menguraikan secara jelas tentang kewajiban orang tua terhadap anak, namun hanya tersirat bahwa kewajiban orang tua terhadap anak antara lain: 93 Neng Djubaedah, loc. cit., hal Ibid., hal. 177.

28 36 1. Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani, maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya (Pasal 77 ayat 3); 2. Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri dan anak-anaknya (Pasal 81 ayat 1); 3. Memelihara anak hingga batas usia anak mampu berdiri sendiri atau dewasa (21 tahun) sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan (Pasal 98 ayat 1); 4. Mewakili anak dalam segala perbuatan hukum baik di dalam maupun di luar Pengadilan (Pasal 98 ayat 2); 5. Semua biaya penyusuan anak dipertanggungjawabkan kepada ayahnya (Pasal 104 ayat 1); 6. Dalam hal terjadi perceraian, pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anaknya untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya. (Pasal 105); 7. Orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa atau di bawah pengampuan, dan tidak diperbolehkan memindahkan atau menggadaikannya kecuali karena keperluan yang mendesak jika kepentingan dan kemaslahatan anak itu menghendaki atau suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan lagi (Pasal 106). 8. Dalam hal terjadi perceraian, ayah wajib memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun (Pasal 149 huruf d KHI); 9. Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah (Pasal 156 KHI): a. anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh: 1. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu; 2. ayah; 3. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah; 4. saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN 1. Pengertian Perkawinan Dalam ajaran Islam sebuah perkawinan merupakan peristiwa sakral bagi manusia, karena melangsungkan perkawinan merupakan

Lebih terperinci

MENGENAL PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA Oleh: Marzuki

MENGENAL PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA Oleh: Marzuki MENGENAL PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA Oleh: Marzuki Perkawinan atau pernikahan merupakan institusi yang istimewa dalam Islam. Di samping merupakan bagian dari syariah Islam, perkawinan memiliki hikmah

Lebih terperinci

Penyuluhan Hukum Hukum Perkawinan: Mencegah Pernikahan Dini

Penyuluhan Hukum Hukum Perkawinan: Mencegah Pernikahan Dini Penyuluhan Hukum Hukum Perkawinan: Mencegah Pernikahan Dini Oleh: Nasrullah, S.H., S.Ag., MCL. Tempat : Balai Pedukuhan Ngaglik, Ngeposari, Semanu, Gunungkidul 29 Agustus 2017 Pendahuluan Tujuan perkawinan

Lebih terperinci

BAB III Rukun dan Syarat Perkawinan

BAB III Rukun dan Syarat Perkawinan BAB III Rukun dan Syarat Perkawinan Rukun adalah unsur-unsur yang harus ada untuk dapat terjadinya suatu perkawinan. Rukun perkawinan terdiri dari calon suami, calon isteri, wali nikah, dua orang saksi

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM

TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM Oleh : Abdul Hariss ABSTRAK Keturunan atau Seorang anak yang masih di bawah umur

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA) Sumber: LN 1974/1; TLN NO. 3019 Tentang: PERKAWINAN Indeks: PERDATA. Perkawinan.

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TENTANG STATUS PERWALIAN ANAK AKIBAT PEMBATALAN NIKAH

BAB IV ANALISIS TENTANG STATUS PERWALIAN ANAK AKIBAT PEMBATALAN NIKAH BAB IV ANALISIS TENTANG STATUS PERWALIAN ANAK AKIBAT PEMBATALAN NIKAH A. Analisis Status Perwalian Anak Akibat Pembatalan Nikah dalam Putusan Pengadilan Agama Probolinggo No. 154/Pdt.G/2015 PA.Prob Menurut

Lebih terperinci

Pasal 3 Pasal 3 Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.

Pasal 3 Pasal 3 Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. 1 KOMPILASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA BUKU I HUKUM PERKAWINAN BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Yang dimaksud dengan: a. Peminangan ialah kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang

Lebih terperinci

BAB II KRITERIA ANAK LUAR NIKAH DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

BAB II KRITERIA ANAK LUAR NIKAH DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA 48 BAB II KRITERIA ANAK LUAR NIKAH DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Kriteria Anak Luar Nikah dalam Kompilasi Hukum Islam Dalam Kompilasi Hukum Islam selain dijelaskan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. UU Perkawinan dalam Pasal 1 berbunyi Perkawinan adalah ikatan lahir batin

II. TINJAUAN PUSTAKA. UU Perkawinan dalam Pasal 1 berbunyi Perkawinan adalah ikatan lahir batin 10 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan UU Perkawinan dalam Pasal 1 berbunyi Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan

Lebih terperinci

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN. Pasal 1. Pasal 2

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN. Pasal 1. Pasal 2 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN Pasal 1 Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri

Lebih terperinci

BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN sembarangan. Islam tidak melarangnya, membunuh atau mematikan nafsu

BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN sembarangan. Islam tidak melarangnya, membunuh atau mematikan nafsu BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 A. Pengertian Perkawinan Nafsu biologis adalah kelengkapan yang diberikan Allah kepada manusia, namun tidak berarti bahwa hal tersebut

Lebih terperinci

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN 1. Akibat Hukum Terhadap Kedudukan, Hak dan Kewajiban Anak dalam Perkawinan yang Dibatalkan a. Kedudukan,

Lebih terperinci

H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h.6

H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h.6 BAB I PENDAHULUAN Dalam kehidupan, manusia tidak dapat hidup dengan mengandalkan dirinya sendiri. Setiap orang membutuhkan manusia lain untuk menjalani kehidupannya dalam semua hal, termasuk dalam pengembangbiakan

Lebih terperinci

BAB IV KOMPARASI ANTARA HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TERHADAP STATUS PERKAWINAN KARENA MURTAD

BAB IV KOMPARASI ANTARA HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TERHADAP STATUS PERKAWINAN KARENA MURTAD BAB IV KOMPARASI ANTARA HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TERHADAP STATUS PERKAWINAN KARENA MURTAD A. Analisis Persamaan antara Hukum Islam dan Hukum Positif Terhadap Status Perkawinan Karena Murtad Dalam

Lebih terperinci

BAB IV. A. Analisis Terhadap Putusan Hakim Tentang Pemberian Izin Poligami Dalam Putusan No. 913/Pdt.P/2003/PA. Mlg

BAB IV. A. Analisis Terhadap Putusan Hakim Tentang Pemberian Izin Poligami Dalam Putusan No. 913/Pdt.P/2003/PA. Mlg BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG PEMBERIAN IZIN POLIGAMI TANPA ADANYA SYARAT ALTERNATIF PADA PUTUSAN PENGADILAN AGAMA KOTA MALANG NO. 913/Pdt.P/2003/PA.Mlg A. Analisis Terhadap Putusan Hakim Tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia pada kodratnya adalah sebagai makhluk sosial (zoon politicon)

BAB I PENDAHULUAN. Manusia pada kodratnya adalah sebagai makhluk sosial (zoon politicon) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia pada kodratnya adalah sebagai makhluk sosial (zoon politicon) Dimana memiliki sifat yang saling membutuhkan, karena sejak lahir manusia telah dilengkapi dengan

Lebih terperinci

FH UNIVERSITAS BRAWIJAYA

FH UNIVERSITAS BRAWIJAYA NO PERBEDAAN BW/KUHPerdata Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 1 Arti Hukum Perkawinan suatu persekutuan/perikatan antara seorang wanita dan seorang pria yang diakui sah oleh UU/ peraturan negara yang bertujuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA A. Pengertian Perkawinan Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan nomor 1 Tahun 1974. Pengertian perkawinan menurut Pasal

Lebih terperinci

SOAL SEMESTER GANJIL ( 3.8 )

SOAL SEMESTER GANJIL ( 3.8 ) SOAL SEMESTER GANJIL ( 3.8 ) Mata Pelajaran : Pendidikan Agama Islam Kompetensi Dasar : Pernikahan dalam Islam ( Hukum, hikmah dan ketentuan Nikah) Kelas : XII (duabelas ) Program : IPA IPS I. Pilihlah

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Pembahasan perwalian nikah dalam pandangan Abu Hanifah dan Asy-

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Pembahasan perwalian nikah dalam pandangan Abu Hanifah dan Asy- BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Pembahasan perwalian nikah dalam pandangan Abu Hanifah dan Asy- Syafi i telah diuraikan dalam bab-bab yang lalu. Dari uraian tersebut telah jelas mengungkapkan

Lebih terperinci

Undang-undang Republik Indonesia. Nomor 1 Tahun Tentang. Perkawinan

Undang-undang Republik Indonesia. Nomor 1 Tahun Tentang. Perkawinan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN 1 2 TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN (Studi Penelitian di Pengadilan Agama Kota Gorontalo) Nurul Afry Djakaria

Lebih terperinci

BAB III PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA MURTAD MENURUT HUKUM POSITIF. A. Putusnya Perkawinan karena Murtad dalam Hukum Positif di Indonesia

BAB III PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA MURTAD MENURUT HUKUM POSITIF. A. Putusnya Perkawinan karena Murtad dalam Hukum Positif di Indonesia BAB III PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA MURTAD MENURUT HUKUM POSITIF A. Putusnya Perkawinan karena Murtad dalam Hukum Positif di Indonesia Di Indonesia, secara yuridis formal, perkawinan di Indonesia diatur

Lebih terperinci

Munakahat ZULKIFLI, MA

Munakahat ZULKIFLI, MA Munakahat ZULKIFLI, MA Perkawinan atau Pernikahan Menikah adalah salah satu perintah dalam agama. Salah satunya dijelaskan dalam surat An Nuur ayat 32 : Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara

Lebih terperinci

KOMPETENSI DASAR: INDIKATOR:

KOMPETENSI DASAR: INDIKATOR: SYARIAH - MUNAKAHAT KOMPETENSI DASAR: Menganalisis ajaran Islam tentang perkawinan Menganalisis unsur-unsur yang berkaitan dengan ajaran perkawinan dalam agama Islam INDIKATOR: Mendeskripsikan ajaran Islam

Lebih terperinci

SIAPAKAH MAHRAMMU? Mahram adalah orang yang haram untuk dinikahi karena hubungan nasab atau hubungan susuan atau karena ada ikatan perkawinan1)

SIAPAKAH MAHRAMMU? Mahram adalah orang yang haram untuk dinikahi karena hubungan nasab atau hubungan susuan atau karena ada ikatan perkawinan1) SIAPAKAH MAHRAMMU? Mahram adalah orang yang haram untuk dinikahi karena hubungan nasab atau hubungan susuan atau karena ada ikatan perkawinan1) Adapun ketentuan siapa yang mahram dan yang bukan mahram

Lebih terperinci

MEMBANGUN KELUARGA YANG ISLAMI BAB 9

MEMBANGUN KELUARGA YANG ISLAMI BAB 9 MEMBANGUN KELUARGA YANG ISLAMI BAB 9 A. KELUARGA Untuk membangun sebuah keluarga yang islami, harus dimulai sejak persiapan pernikahan, pelaksanaan pernikahan, sampai pada bagaimana seharusnya suami dan

Lebih terperinci

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac. DAMPAK PEMBATALAN PERKAWINAN AKIBAT WALI YANG TIDAK SEBENARNYA TERHADAP ANAK DAN HARTA BERSAMA MENURUT HAKIM PENGADILAN AGAMA KEDIRI (Zakiyatus Soimah) BAB I Salah satu wujud kebesaran Allah SWT bagi manusia

Lebih terperinci

Nikah Sirri Menurut UU RI Nomor 1 Tahun 1974 Wahyu Widodo*

Nikah Sirri Menurut UU RI Nomor 1 Tahun 1974 Wahyu Widodo* Nikah Sirri Menurut UU RI Nomor 1 Tahun 1974 Wahyu Widodo* Abstrak Nikah Sirri dalam perspektif hukum agama, dinyatakan sebagai hal yang sah. Namun dalam hukum positif, yang ditunjukkan dalam Undang -

Lebih terperinci

BAB TIGA PERKAHWINAN KERANA DIJODOHKAN MENURUT UNDANG UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM INDONESIA

BAB TIGA PERKAHWINAN KERANA DIJODOHKAN MENURUT UNDANG UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM INDONESIA BAB TIGA PERKAHWINAN KERANA DIJODOHKAN MENURUT UNDANG UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM INDONESIA 3.0 Pendahuluan Perkahwinan adalah sunnatullah yang berlaku bagi semua umat

Lebih terperinci

SAHNYA PERKAWINAN MENURUT HUKUM POSITIF YANG BERLAKU DI INDONESIA. Oleh : Akhmad Munawar ABSTRAK

SAHNYA PERKAWINAN MENURUT HUKUM POSITIF YANG BERLAKU DI INDONESIA. Oleh : Akhmad Munawar ABSTRAK SAHNYA PERKAWINAN MENURUT HUKUM POSITIF YANG BERLAKU DI INDONESIA Oleh : Akhmad Munawar ABSTRAK Menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pengertian perkawinan ialahikatan lahir

Lebih terperinci

BAB5 PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974.

BAB5 PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974. BAB5 PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974. A. Pendahuluan Perkawinan merupakan sebuah institusi yang keberadaannya diatur dan dilindungi oleh hukum baik agama maupun negara. Ha

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rohani. Dalam kehidupannya manusia itu di berikan akal serta pikiran oleh Allah

BAB I PENDAHULUAN. rohani. Dalam kehidupannya manusia itu di berikan akal serta pikiran oleh Allah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia pada umumnya tidak lepas dari kebutuhan baik jasmani maupun rohani. Dalam kehidupannya manusia itu di berikan akal serta pikiran oleh Allah SWT untuk

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PERNIKAHAN DALAM MASA IDDAH. A. Analisis Pemikiran Pernikahan dalam Masa Iddah di Desa Sepulu Kecamatan

BAB IV ANALISIS PERNIKAHAN DALAM MASA IDDAH. A. Analisis Pemikiran Pernikahan dalam Masa Iddah di Desa Sepulu Kecamatan BAB IV ANALISIS PERNIKAHAN DALAM MASA IDDAH A. Analisis Pemikiran Pernikahan dalam Masa Iddah di Desa Sepulu Kecamatan Sepulu Kabupaten Bangkalan Syariat Islam telah menjadikan pernikahan menjadi salah

Lebih terperinci

www.pa-wonosari.net admin@pa-wonosari.net UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : bahwa sesuai dengan

Lebih terperinci

yang dapat membuahi, didalam istilah kedokteran disebut Menarche (haid yang

yang dapat membuahi, didalam istilah kedokteran disebut Menarche (haid yang 20 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perkawinan Usia Dini 1. Pengertian Perkawinan Usia Dini Menurut Ali Akbar dalam Rouf (2002) untuk menentukan seseorang melaksanakan kawin usia dini dapat dilihat dari sudut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG STATUS ANAK DARI PEMBATALAN PERKAWINAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG STATUS ANAK DARI PEMBATALAN PERKAWINAN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG STATUS ANAK DARI PEMBATALAN PERKAWINAN A. Pembatalan Perkawinan 1. Pengertian pembatalan perkawinan Yaitu perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat

Lebih terperinci

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN 2.1 Pengertian Perkawinan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. poligami yang diputus oleh Pengadilan Agama Yogyakarta selama tahun 2010

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. poligami yang diputus oleh Pengadilan Agama Yogyakarta selama tahun 2010 51 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kasus Posisi Sebelum menjelaskan mengenai kasus posisi pada putusan perkara Nomor 321/Pdt.G/2011/PA.Yk., penulis akan memaparkan jumlah perkara poligami yang

Lebih terperinci

IMPLIKASI PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DALAM PRESFEKTIF HUKUM ISLAM DAN UU NO. 1 TAHUN 1974

IMPLIKASI PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DALAM PRESFEKTIF HUKUM ISLAM DAN UU NO. 1 TAHUN 1974 IMPLIKASI PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DALAM PRESFEKTIF HUKUM ISLAM DAN UU NO. 1 TAHUN 1974 Samuji Sekolah Tinggi Agama Islam Ma arif Magetan E-mail: hajaromo@yahoo.co.id Abstrak Perkawinan di bawah tangan

Lebih terperinci

BAB IV WALI NIKAH PEREMPUAN HASIL PERNIKAHAN SIRI MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN. Undang-undang perkawinan di Indonesia, adalah segala

BAB IV WALI NIKAH PEREMPUAN HASIL PERNIKAHAN SIRI MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN. Undang-undang perkawinan di Indonesia, adalah segala 75 BAB IV WALI NIKAH PEREMPUAN HASIL PERNIKAHAN SIRI MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN Undang-undang perkawinan di Indonesia, adalah segala peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkawinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menginginkan bahagia dan berusaha agar kebahagiaan itu tetap menjadi

BAB I PENDAHULUAN. menginginkan bahagia dan berusaha agar kebahagiaan itu tetap menjadi 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Setiap manusia diatas permukaan bumi ini pada umumnya selalu menginginkan bahagia dan berusaha agar kebahagiaan itu tetap menjadi miliknya. Sesuatu kebahagiaan itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Islam mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT dan hubungan

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Islam mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT dan hubungan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Hukum Islam mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT dan hubungan sesama manusia. Salah satu hubungan sesama manusia adalah melalui perkawinan, yaitu perjanjian

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN. perkawinan, tujuan hak dan kewajiban dalam perkawinan.

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN. perkawinan, tujuan hak dan kewajiban dalam perkawinan. BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN Dalam memahami batasan usia seseorang mampu menikah menurut Undang- Undang No.1 Tahun 1974 dan Mazhab Syafi i, maka harus diketahui terlebih dahulu mengenai pengertian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, baik bagi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, baik bagi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, baik bagi perseorangan maupun kelompok. Dengan jalan perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan

Lebih terperinci

IZIN POLIGAMI AKIBAT TERJADI PERZINAAN SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DI PENGADILAN AGAMA YOGYAKARTA

IZIN POLIGAMI AKIBAT TERJADI PERZINAAN SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DI PENGADILAN AGAMA YOGYAKARTA 3 IZIN POLIGAMI AKIBAT TERJADI PERZINAAN SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DI PENGADILAN AGAMA YOGYAKARTA Oleh : Alip No. Mhs : 03410369 Program Studi : Ilmu Hukum UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah merupakan makhluk sosial yang

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah merupakan makhluk sosial yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah merupakan makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lainnya. Contohnya dalam hal pemenuhan kebutuhan lahiriah dan kebutuhan

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG ISBAT NIKAH. Mengisbatkan artinya menyungguhkan, menentukan, menetapkan

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG ISBAT NIKAH. Mengisbatkan artinya menyungguhkan, menentukan, menetapkan BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG ISBAT NIKAH A. Isbat Nikah 1. Pengertian Isbat Nikah Kata isbat berarti penetapan, penyungguhan, penentuan. Mengisbatkan artinya menyungguhkan, menentukan, menetapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan yang bernilai ibadah adalah perkawinan. Shahihah, dari Anas bin Malik RA, Ia berkata bahwa Rasulullah SAW

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan yang bernilai ibadah adalah perkawinan. Shahihah, dari Anas bin Malik RA, Ia berkata bahwa Rasulullah SAW BAB I PENDAHULUAN Allah SWT menciptakan manusia terdiri dari dua jenis, pria dan wanita. dengan kodrat jasmani dan bobot kejiwaan yang relatif berbeda yang ditakdirkan untuk saling berpasangan dan saling

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENDAPAT MAZHAB HANAFI DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG WALI NIKAH. A. Analisa Terhadap Mazhab Hanafi Tentang Wali Nikah

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENDAPAT MAZHAB HANAFI DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG WALI NIKAH. A. Analisa Terhadap Mazhab Hanafi Tentang Wali Nikah 56 BAB IV ANALISIS TERHADAP PENDAPAT MAZHAB HANAFI DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG WALI NIKAH A. Analisa Terhadap Mazhab Hanafi Tentang Wali Nikah Menurut mazhab Hanafi wali dalam pernikahan bukanlah

Lebih terperinci

BISMILLAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BISMILLAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor: 0213/Pdt.G/2010/PA.Slk BISMILLAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Solok yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara tertentu dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Aristoteles, seorang filsuf yunani yang terkemuka pernah berkata bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Aristoteles, seorang filsuf yunani yang terkemuka pernah berkata bahwa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan untuk berpasang-pasangan, manusia pun tak bisa hidup tanpa manusia lainnya. Seperti yang telah dikemukakan oleh Aristoteles, seorang filsuf

Lebih terperinci

BAB IV. ANALISIS DASAR DAN PERTIMBANGAN MAJELIS HAKIM DALAM PENETAPAN PENGADILAN AGAMA BLITAR NO. 0187/Pdt.P/2014/PA.BL

BAB IV. ANALISIS DASAR DAN PERTIMBANGAN MAJELIS HAKIM DALAM PENETAPAN PENGADILAN AGAMA BLITAR NO. 0187/Pdt.P/2014/PA.BL 57 BAB IV ANALISIS DASAR DAN PERTIMBANGAN MAJELIS HAKIM DALAM PENETAPAN PENGADILAN AGAMA BLITAR NO. 0187/Pdt.P/2014/PA.BL A. Analisis Dasar Hukum Majelis Hakim dalam Menetapkan Penolakan Permohonan Dispensasi

Lebih terperinci

Perzinahan dan Hukumnya SEPUTAR MASALAH PERZINAHAN DAN AKIBAT HUKUMNYA

Perzinahan dan Hukumnya SEPUTAR MASALAH PERZINAHAN DAN AKIBAT HUKUMNYA Perzinahan dan Hukumnya SEPUTAR MASALAH PERZINAHAN DAN AKIBAT HUKUMNYA Pertanyaan Dari: Ny. Fiametta di Bengkulu (disidangkan pada Jum at 25 Zulhijjah 1428 H / 4 Januari 2008 M dan 9 Muharram 1429 H /

Lebih terperinci

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pembukaan Bab I Dasar perkawinan Bab II Syarat-syarat perkawinan Bab III Pencegahan perkawinan Bab IV Batalnya perkawinan Bab V Perjanjian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jalan pernikahan. Sebagai umat Islam pernikahan adalah syariat Islam yang harus

BAB I PENDAHULUAN. jalan pernikahan. Sebagai umat Islam pernikahan adalah syariat Islam yang harus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah salah satu mahluk ciptaan Allah yang paling sempurna, manusia sendiri diciptakan berpasang-pasangan. Setiap manusia membutuhkan bermacam-macam kebutuhan,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN. Perkawinan yang dalam istilah agama disebut nikah ialah melakukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN. Perkawinan yang dalam istilah agama disebut nikah ialah melakukan 18 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN A. Pengertian Perkawinan Perkawinan yang dalam istilah agama disebut nikah ialah melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki

Lebih terperinci

RANCANGAN QANUN ACEH NOMOR...TAHUN 2016 TENTANG HUKUM KELUARGA (FIQH MUNAKAHAT)

RANCANGAN QANUN ACEH NOMOR...TAHUN 2016 TENTANG HUKUM KELUARGA (FIQH MUNAKAHAT) 1 RANCANGAN QANUN ACEH NOMOR...TAHUN 2016 TENTANG HUKUM KELUARGA (FIQH MUNAKAHAT) BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA PENGASIH LAGI MAHA PENYAYANG ATAS RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA. Presiden Republik Indonesia

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA. Presiden Republik Indonesia UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA Presiden Republik Indonesia Menimbang : bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk

Lebih terperinci

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang,

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, Pendahuluan Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat. Di dalam agama islam sendiri perkawinan merupakan sunnah Nabi Muhammad Saw, dimana bagi setiap umatnya dituntut untuk mengikutinya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah

BAB I PENDAHULUAN. mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah 1 BAB I PENDAHULUAN Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang umum berlaku pada mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah hidupnya karena keturunan dan perkembangbiakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk

Lebih terperinci

BAB III KONSEP MAQASID ASY-SYARI AH DAN PENCEGAHAN TERHADAP NIKAH DI BAWAH TANGAN

BAB III KONSEP MAQASID ASY-SYARI AH DAN PENCEGAHAN TERHADAP NIKAH DI BAWAH TANGAN BAB III KONSEP MAQASID ASY-SYARI AH DAN PENCEGAHAN TERHADAP NIKAH DI BAWAH TANGAN Menurut Imam Asy-Syathibi jika aturan/hukum itu membawa kepada kemaslahatan, maka aturan /hukum itu harus dijadikan sebagai

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN PERMOHONAN IZIN POLIGAMI TERHADAP WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA MALANG

BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN PERMOHONAN IZIN POLIGAMI TERHADAP WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA MALANG BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN PERMOHONAN IZIN POLIGAMI TERHADAP WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA MALANG A. Dasar Pertimbangan Hukum Hakim Pengadilan Agama Malang dalam Penolakan Izin Poligami

Lebih terperinci

BAB IV. A. Analisis hukum formil terhadap putusan perkara no. sebagai tempat untuk mencari keadilan bagi masyarakat pencari keadilan.

BAB IV. A. Analisis hukum formil terhadap putusan perkara no. sebagai tempat untuk mencari keadilan bagi masyarakat pencari keadilan. 81 BAB IV ANALISIS HUKUM FORMIL DAN MATERIL TERHADAP PUTUSAN HAKIM TENTANG NAFKAH IDDAH DAN MUT AH BAGI ISTRI DI PENGADILAN AGAMA BOJONEGORO (Study Putusan Perkara No. 1049/Pdt.G/2011/PA.Bjn) A. Analisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Esa secara berpasangpasangan. yaitu laki-laki dan perempuan. Sebagai makhluk sosial, manusia

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Esa secara berpasangpasangan. yaitu laki-laki dan perempuan. Sebagai makhluk sosial, manusia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Esa secara berpasangpasangan yaitu laki-laki dan perempuan. Sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan orang lain untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian, Tujuan dan Dasar Hukum Perkawinan. a. Menurut Hanabilah: nikah adalah akad yang menggunakan lafaz nikah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian, Tujuan dan Dasar Hukum Perkawinan. a. Menurut Hanabilah: nikah adalah akad yang menggunakan lafaz nikah 12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perkawinan 1. Pengertian, Tujuan dan Dasar Hukum Perkawinan Perkawinan atau pernikahan dalam fikih berbahasa Arab disebut dengan dua kata, yaitu nikah dan zawaj. Menurut fiqih,

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TERHADAP PELAKSANAAN PERNIKAHAN WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH DI KUA KECAMATAN CERME KABUPATEN GRESIK

BAB IV ANALISIS TERHADAP PELAKSANAAN PERNIKAHAN WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH DI KUA KECAMATAN CERME KABUPATEN GRESIK BAB IV ANALISIS TERHADAP PELAKSANAAN PERNIKAHAN WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH DI KUA KECAMATAN CERME KABUPATEN GRESIK A. Analisis Terhadap Prosedur Pernikahan Wanita Hamil di Luar Nikah di Kantor Urusan Agama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengertian tentang perkawinan di Indonesia tercantum dalam Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, disana dijelaskan bahwa perkawinan adalah ikatan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

BAB II TINJAUAN UMUM PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM 34 BAB II TINJAUAN UMUM PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM A. Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan 1. Pengertian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Artinya: Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah. 2

BAB I PENDAHULUAN. Artinya: Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah. 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peristiwa perkawinan yang oleh masyarakat disebut sebagai peristiwa yang sangat penting dan religius. Arti perkawinan sendiri ialah ikatan lahir batin antara seorang

Lebih terperinci

KOMPILASI HUKUM ISLAM INDONESIA

KOMPILASI HUKUM ISLAM INDONESIA KOMPILASI HUKUM ISLAM INDONESIA Dasar Hukum : - Intruksi Presiden Republik Indonesia nomor 1 tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 - Keputusan Mentri Agama Republik Indonesia nomer 154 tahun 1991 Tentang Pelaksaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rasulullah SAW juga telah memerintahkan agar orang-orang segera

BAB I PENDAHULUAN. Rasulullah SAW juga telah memerintahkan agar orang-orang segera 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hubungan perkawinan antara seorang laki-laki dan perempuan pada kenyataannya merupakan sudut penting bagi kebutuhan manusia. Bahkan perkawinan adalah hukum

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Allah SWT. menciptakan manusia berpasang-pasangan. Dalam Al Qur an, Allah SWT. berfirman :

BAB I PENDAHULUAN. Allah SWT. menciptakan manusia berpasang-pasangan. Dalam Al Qur an, Allah SWT. berfirman : BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan oleh Allah SWT. dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Kelebihan manusia adalah melengkapi kekurangan manusia lainnya. Salah satunya yaitu

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA. A. Analisis Terhadap Prosedur Pengajuan Izin Poligami Di Pengadilan Agama

BAB IV ANALISIS DATA. A. Analisis Terhadap Prosedur Pengajuan Izin Poligami Di Pengadilan Agama 54 BAB IV ANALISIS DATA A. Analisis Terhadap Prosedur Pengajuan Izin Poligami Di Pengadilan Agama Pernikahan poligami hanya terbatas empat orang isteri karena telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pasal

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PENDAPAT MAZHAB H{ANAFI DAN MAZHAB SYAFI I TENTANG STATUS HUKUM ISTRI PASCA MULA> ANAH

BAB IV ANALISIS PENDAPAT MAZHAB H{ANAFI DAN MAZHAB SYAFI I TENTANG STATUS HUKUM ISTRI PASCA MULA> ANAH BAB IV ANALISIS PENDAPAT MAZHAB H{ANAFI DAN MAZHAB SYAFI I TENTANG STATUS HUKUM ISTRI PASCA MULA> ANAH A. Persamaan Pendapat Mazhab H{anafi Dan Mazhab Syafi i Dalam Hal Status Hukum Istri Pasca Mula> anah

Lebih terperinci

BAB IV TINJAUAN KITAB KLASIK DAN MODERN TERHADAP PASAL-PASAL DALAM KHI TENTANG MURTAD SEBAGAI SEBAB PUTUSNYA PERKAWINAN

BAB IV TINJAUAN KITAB KLASIK DAN MODERN TERHADAP PASAL-PASAL DALAM KHI TENTANG MURTAD SEBAGAI SEBAB PUTUSNYA PERKAWINAN 126 BAB IV TINJAUAN KITAB KLASIK DAN MODERN TERHADAP PASAL-PASAL DALAM KHI TENTANG MURTAD SEBAGAI SEBAB PUTUSNYA PERKAWINAN Sebagaimana telah dibahas dalam bab sebelumnya, bahwa dalam Kompilasi Hukum Islam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. istri dan anak-anaknya, ini didasarkan pada Surat Al-Baqarah ayat 233. Yang

BAB I PENDAHULUAN. istri dan anak-anaknya, ini didasarkan pada Surat Al-Baqarah ayat 233. Yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hubungan perkawinan menimbulkan kewajiban nafkah atas suami untuk istri dan anak-anaknya, ini didasarkan pada Surat Al-Baqarah ayat 233. Yang menjelaskan bahwa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan Perkawinan menurut Pasal 2 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh karena itu manusia wajib berdoa dan berusaha, salah satunya dengan jalan

BAB I PENDAHULUAN. oleh karena itu manusia wajib berdoa dan berusaha, salah satunya dengan jalan 1 BAB I PENDAHULUAN Pada hakekatnya manusia diciptakan untuk hidup berpasang-pasangan oleh karena itu manusia wajib berdoa dan berusaha, salah satunya dengan jalan melangsungkan perkawinan. Perkawinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antara suami, istri dan anak akan tetapi antara dua keluarga. Dalam UU

BAB I PENDAHULUAN. antara suami, istri dan anak akan tetapi antara dua keluarga. Dalam UU BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Perkawinan merupakan salah satu asas pokok yang paling utama dalam kehidupan rumah tangga yang sempurna. Perkawinan bukan hanya merupakan satu jalan yang amat

Lebih terperinci

BAB II SISTEM HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. makhluk-makhluk-nya berpasang-pasangan agar hidup berdampingan, saling

BAB II SISTEM HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. makhluk-makhluk-nya berpasang-pasangan agar hidup berdampingan, saling BAB II SISTEM HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA A. Pengertian Perkawinan Dalam kehidupan di dunia yang indah ini, Allah SWT menciptakan makhluk-makhluk-nya berpasang-pasangan agar hidup berdampingan, saling

Lebih terperinci

PUTUSAN FASAKH ATAS CERAI GUGAT KARENA SUAMI MURTAD (Studi Kasus di Pengadilan Agama Klaten)

PUTUSAN FASAKH ATAS CERAI GUGAT KARENA SUAMI MURTAD (Studi Kasus di Pengadilan Agama Klaten) PUTUSAN FASAKH ATAS CERAI GUGAT KARENA SUAMI MURTAD (Studi Kasus di Pengadilan Agama Klaten) SKRIPSI Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat guna Mencapai Derajad Sarjana Hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelaminnya (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarikmenarik

BAB I PENDAHULUAN. kelaminnya (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarikmenarik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan manusia di dunia ini yang berlainan jenis kelaminnya (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarikmenarik antara satu dengan

Lebih terperinci

BAB IV LAPORAN HASIL PENELITIAN. Dari Penelitian yang penulis lakukan dilapangan 8 (delapan) orang responden. 1) Nama : KH.

BAB IV LAPORAN HASIL PENELITIAN. Dari Penelitian yang penulis lakukan dilapangan 8 (delapan) orang responden. 1) Nama : KH. BAB IV LAPORAN HASIL PENELITIAN A. Deskripsi Menjelaskan Persepsi Ulama Dari Penelitian yang penulis lakukan dilapangan 8 (delapan) orang responden. 1. Deskripsi Satu a. Identitas Responden 1) Nama : KH.

Lebih terperinci

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor 17 Tahun 2013 Tentang BERISTRI LEBIH DARI EMPAT DALAM WAKTU BERSAMAAN

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor 17 Tahun 2013 Tentang BERISTRI LEBIH DARI EMPAT DALAM WAKTU BERSAMAAN FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor 17 Tahun 2013 Tentang BERISTRI LEBIH DARI EMPAT DALAM WAKTU BERSAMAAN (MUI), setelah : MENIMBANG : a. bahwa dalam Islam, pernikahan adalah merupakan bentuk ibadah yang

Lebih terperinci

Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. MEMUTUSKAN : BAB I DASAR PERKAWINAN. Pasal 1

Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. MEMUTUSKAN : BAB I DASAR PERKAWINAN. Pasal 1 Bentuk: Oleh: UNDANG-UNDANG (UU) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA) Sumber: LN 1974/1; TLN NO. 3019 Tentang: Indeks: PERKAWINAN PERDATA. Perkawinan.

Lebih terperinci

Setiap orang yang melaksanakan perkawinan mempunyai tujuan untuk. pada akhirnya perkawinan tersebut harus berakhir dengan perceraian.

Setiap orang yang melaksanakan perkawinan mempunyai tujuan untuk. pada akhirnya perkawinan tersebut harus berakhir dengan perceraian. BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PELAKSANAAN PUTUSAN PERCERAIAN ATAS NAFKAH ISTRI DAN ANAK DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA UTARA DAN PENYELESAIANYA JIKA PUTUSAN TERSEBUT TIDAK DILAKSANAKAN A. Pelaksanaan Putusan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS YURUDIS TERHADAP KEBIJAKAN KEPALA DESA YANG MENAMBAH USIA NIKAH BAGI CALON SUAMI ISTRI YANG BELUM

BAB IV ANALISIS YURUDIS TERHADAP KEBIJAKAN KEPALA DESA YANG MENAMBAH USIA NIKAH BAGI CALON SUAMI ISTRI YANG BELUM 62 BAB IV ANALISIS YURUDIS TERHADAP KEBIJAKAN KEPALA DESA YANG MENAMBAH USIA NIKAH BAGI CALON SUAMI ISTRI YANG BELUM CUKUP UMUR DI DESA BARENG KEC. SEKAR KAB. BOJONEGORO Perkawinan merupakan suatu hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sunnatullah yang umumnya berlaku pada semua mahkluk-nya. Hal ini merupakan

BAB I PENDAHULUAN. sunnatullah yang umumnya berlaku pada semua mahkluk-nya. Hal ini merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia secara alamiah mempunyai daya tarik antara satu dengan yang lainnya untuk membina suatu hubungan. Sebagai realisasi manusia dalam membina hubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menghimpit, menindih atau berkumpul, sedangkan arti kiasanya ialah watha

BAB I PENDAHULUAN. menghimpit, menindih atau berkumpul, sedangkan arti kiasanya ialah watha BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan menurut istilah ilmu fiqih dipakai perkataan nikah dan perkataan ziwaj, nikah menurut bahasa mempunyai arti sebenarnya ( hakikat ) dan arti kiasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk akad nikah.nikah menurut syarak ialah akad yang membolehkan seorang

BAB I PENDAHULUAN. untuk akad nikah.nikah menurut syarak ialah akad yang membolehkan seorang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nikah dalam bahasa arab ialah bergabung dan berkumpul, dipergunakan juga dengan arti kata wata atau akad nikah, tetapi kebanyakan pemakaiannya untuk akad nikah.nikah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hukum nasional, perlu

Lebih terperinci

MENTELU DI DESA SUMBEREJO KECAMATAN LAMONGAN

MENTELU DI DESA SUMBEREJO KECAMATAN LAMONGAN BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP LARANGAN NIKAH MENTELU DI DESA SUMBEREJO KECAMATAN LAMONGAN KECAMATAN LAMONGAN KABUPATEN LAMONGAN JAWA TIMUR A. Analisis Hukum Islam Terhadap Alasan Larangan Nikah

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM TERHADAP PERKAWINAN DI BAWAH UMUR TANPA DISPENSASI KAWIN PENGADILAN AGAMA

BAB IV ANALISIS HUKUM TERHADAP PERKAWINAN DI BAWAH UMUR TANPA DISPENSASI KAWIN PENGADILAN AGAMA 59 BAB IV ANALISIS HUKUM TERHADAP PERKAWINAN DI BAWAH UMUR TANPA DISPENSASI KAWIN PENGADILAN AGAMA A. Analisis Hukum Terhadap Pelaksanaan Perkawinan di bawah Umur Tanpa Dispensasi Kawin Perkawinan ialah

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KASUS TAUKIL WALI NIKAH VIA TELEPON

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KASUS TAUKIL WALI NIKAH VIA TELEPON BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KASUS TAUKIL WALI NIKAH VIA TELEPON A. Analisis Hukum Islam terhadap Alasan KUA Melaksanakan Pernikahan dengan Menggunakan Taukil Wali Nikah via Telepon Setelah mengetahui

Lebih terperinci