STRATEGI RESTORASI HABITAT BEKANTAN DI SUAKA MARGASATWA KUALA LUPAK BERDASARKAN KARAKTERISTIK HABITAT REFERENSI MILA RABIATI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "STRATEGI RESTORASI HABITAT BEKANTAN DI SUAKA MARGASATWA KUALA LUPAK BERDASARKAN KARAKTERISTIK HABITAT REFERENSI MILA RABIATI"

Transkripsi

1 STRATEGI RESTORASI HABITAT BEKANTAN DI SUAKA MARGASATWA KUALA LUPAK BERDASARKAN KARAKTERISTIK HABITAT REFERENSI MILA RABIATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016

2

3 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Saya dengan ini menyatakan bahwa tesis berjudul Strategi Restorasi Habitat Bekantan di Suaka Margasatwa Kuala Lupak berdasarkan Karakteristik Habitat Referensi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Saya dengan ini melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Februari 2016 Mila Rabiati NIM E

4 RINGKASAN MILA RABIATI. Strategi Restorasi Habitat Bekantan di Suaka Margasatwa Kuala Lupak berdasarkan Karakteristik Habitat Referensi. Dibimbing oleh AGUS PRIYONO KARTONO dan BURHANUDDIN MASY UD. Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan strategi restorasi habitat bekantan di Suaka Margasatwa Kuala Lupak (SMKL) berdasarkan hasil identifikasi kondisi habitat dan populasi bekantan di habitat referensi serta persepsi masyarakat aktor konversi lahan terhadap pelestarian bekantan. Penelitian dilaksanakan di SMKL, Kalimantan Selatan pada Februari-April Areal penelitian adalah habitat bekantan pada formasi Sonneratia-Avicennia di hutan mangrove Blok Hutan Tanjung Pedada Tua seluas ±195 ha. Pengumpulan data dilaksanakan di tiga lokasi, yakni: 1) areal bervegetasi baik dan disukai bekantan seluas ±72.77 ha sebagai tapak referensi, 2) areal bervegetasi dan kurang disukai bekantan seluas ±33.96 ha sebagai areal model 1, dan 3) areal bervegetasi terganggu yang terletak dekat dengan pemukiman seluas ±19.71 ha sebagai areal model 2. Peubah komponen fisik habitat yang diamati meliputi kondisi iklim mikro, tanah serta perairan sungai. Data komponen biotik habitat bekantan meliputi komposisi dan struktur vegetasi, pohon tidur dan jenis satwa kompetitor. Pengumpulan data vegetasi dilakukan dengan menerapkan metode jalur berpetak. Pengamatan dan penghitungan jumlah populasi dilakukan dengan metode terkonsentrasi dengan kriteria kelas umur bekantan mengikuti kriteria dari Yeager (1990), Murai (2004), Murai (2006) dan Stark et al. (2012). Data persepsi masyarakat diperoleh dengan mewawancarai 33 responden yang merupakan pelaku konversi lahan. Persepsi masyarakat yang digali meliputi: 1) Pengetahuan, terdiri atas: (a) pengetahuan tentang keberadaan bekantan termasuk jenis tumbuhan yang menjadi pakan bekantan, pohon yang dipilih sebagai pohon tidur serta anggapan terhadap bekantan sebagai sumber gangguan, (b) pengetahuan tentang status perlindungan bekantan, dan (c) pengetahuan tentang status kawasan SMKL, serta pengetahuan responden tentang konsekuensi hukum bagi aktivitas menggarap lahan di SMKL; 2) Sikap, meliputi: (a) sikap penerimaan terhadap kegiatan rehabilitasi yang sudah dilaksanakan sebelumnya dan (b) sikap dukungan atau kesediaan untuk terlibat dalam program/kegiatan restorasi yang akan dilaksanakan selanjutnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bekantan di SMKL menempati hutan mangrove formasi Sonneratia-Avicennia yang didominasi oleh Sonneratia caseolaris (INP=273.98%) dan Avicennia alba (INP=189.01%). Jumlah jenis vegetasi yang ditemukan sebanyak 17 jenis terdiri atas 7 jenis habitus pohon dan 10 jenis habitus tumbuhan bawah. Indeks keanekaragaman jenis vegetasi di areal bervegetasi baik dan disukai oleh bekantan adalah H =0.58, areal bervegetasi kurang disukai sebesar H =0.79, dan areal bervegetasi terganggu sebesar H =0.38. Jenis S. caseolaris merupakan vegetasi sumber pakan utama dan digunakan sebagai pohon tidur oleh bekantan. Jenis ini mengalami hambatan regenerasi alami akibat dominansi tumbuhan bawah Derris trifoliata yang menghalangi pertumbuhan anakan S. caseolaris. Dominansi D. trifoliata

5 merupakan indikator ekosistem mangrove yang mengalami kerusakan. Dugaan populasi bekantan di SMKL adalah 139±43 individu dengan kepadatan 81 individu/km 2 dan nisbah kelamin dewasa 1:3.09. Struktur populasi bekantan menunjukkan jumlah populasi yang terkonsentrasi pada kelompok usia menengah-dewasa. Pengetahuan masyarakat tentang keberadaan bekantan dan status perlindungannya cukup tinggi (>50%), tetapi sikap penerimaan dan dukungan terhadap kegiatan restorasi masih rendah (<50%). Perbedaan persepsi masyarakat ditunjukkan oleh faktor domisili responden dan status kepemilikan lahan. Strategi restorasi habitat bekantan yang direkomendasikan meliputi: (a) penanaman jenis S. caseolaris dan jenis tumbuhan pakan lainnya (b) pengendalian tumbuhan bawah D. trifoliata, (c) penyuluhan, penyadartahuan masyarakat dan sosialiasi serta (d). Program penanaman untuk restorasi SMKL dalam jangka menengah diarahkan untuk membangun koridor bagi bekantan. Selain itu peningkatan manajemen pengelolaan dan penyelesaian konflik lahan terus diupayakan dengan tujuan mendapatkan dukungan dan partisipasi masyarakat dalam upaya restorasi ekosistem mangrove di SM Kuala Lupak. Kata kunci: habitat referensi, hambatan regenerasi alami, populasi bekantan, persepsi masyarakat, strategi restorasi

6 SUMMARY MILA RABIATI. Proboscis Monkey s Habitat Restoration Strategy at Kuala Lupak Wildlife Sanctuary based Reference Habitat Characteristics. Supervised by AGUS PRIYONO KARTONO and BURHANUDDIN MASY UD. This study has main objective to formulate the habitat restoration strategy of proboscis monkey at Kuala Lupak Wildlife Sanctuary (KLWS). It based on the identification of the reference habitat condition and it characteristic, proboscis monkey population and community perception about proboscis monkey conservation. This study was conducted at KLWS, South Borneo from February to April 2015 at proboscis monkey habitat on formation of Sonneratia-Avicennia at Tanjung Pedada Tua mangrove forest as wide as ± 195 ha. Data collection carried out in three areas: 1) good vegetation and preferably proboscis monkeys area as wide as ± ha as reference site, 2) vegetated but less favored proboscis area as wide as ± ha as model 1 site, and 3) disturbed vegetation area, where near from settlement as wide as ±19.71 ha as model 2 site. Abiotic component of habitat were obtained by measured micro-climate, soil and the river. Biotic component habitat including the composition and structure vegetation, sleeping trees and competitor. Observation of vegetation applied strip transect sampling method and proboscis population by concentration count method. The classification by Yeager (1990), Murai (2004), Murai (2006) and Stark et al. (2012) was used to identified the proboscis age classification Community perception data were collected by interviewed 33 respondents who were actors of land conversion. The community perception that observed: 1) Knowledge, (a) the knowledge of the existence of proboscis, food, sleeping tree, and whether proboscis monkey is considered as disturbance or not, (b) proboscis conservation status and (c) Kuala Lupak s status, and also whether the respondent understanding the legal consequences of land conversion 2) Attitude: (a) the acceptance attitude towards the rehabilitation activities that have done before and (b) the willingness to support the restoration programme in the future. This study showed that proboscis monkey inhabited mangrove forest Sonneratia-Avicennia formation which was dominated by Sonneratia caseolaris (IVI=273.98%) and Avicennia alba (IVI=189.01%). There are seven tree species and ten ground dwelling herb species. Indeks of diversity of vegetation in the good vegetation and preferably proboscis monkeys area is H =0.58, in vegetated less favored proboscis monkeys area is H = 0.79, and in disturbed vegetation area H =0.38. S. caseolaris, which is the fundamental vegetation for this proboscis, have no ability to naturally regenerating. Derris trifoliata domination on forest floor that over S. caseolaris seedlings indicated that the mangrove ecosystem had been disturbed. Population estimate of proboscis are 139 ± 43 with the density of 81 individual/km 2. The sex ratio of adult proboscis are 1:3.09. The population structure of proboscis based on age compotition, showed that highest population is concentrated on the middle-adult age.

7 The community s knowledge of the existence of proboscis monkey and its conservation status are quite high (>50%), but the acceptance attitude and the willingness to support the restoration program are low (<50%). The habitat restoration strategy that must do comprise: (a) the cultivation of Sonneratia caseolaris and other vegetation food, (b) controlling Derris trifoliata, (c) education, awareness and socialization programme, (d) in medium period, restoration proggrame at KLWS must be directed to build up corridor of proboscis monkey. In addition, the improvement the habitat management and land conflict resolution must be pursued in order to get the support and participation from the community to restorate the mangrove ecosystem in Kuala Lupak Wildlife Sanctuary. Keyword: reference habitat, regenerative natural barrier, proboscis monkeys population, community perception, restoration strategy

8 Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

9 STRATEGI RESTORASI HABITAT BEKANTAN DI SUAKA MARGASATWA KUALA LUPAK BERDASARKAN KARAKTERISTIK HABITAT REFERENSI MILA RABIATI Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016

10 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Nyoto Santoso, MS

11

12

13 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa ta ala atas segala karunia-nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari sampai dengan April 2015 ini ialah penurunan kualitas dan kuantitas hutan mangrove di Suaka Margasatwa Kuala Lupak yang merupakan habitat bekantan, dengan judul Strategi Restorasi Habitat Bekantan di Suaka Margasatwa Kuala Lupak berdasarkan Karakteristik Habitat Referensi Terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir Agus Priyono Kartono, MSi dan Bapak Dr Ir Burhanuddin Masy ud, MS selaku pembimbing, atas arahan dan bimbingan selama proses penyelesaian karya ilmiah ini, serta Bapak Dr Ir Nyoto Santoso, MS selaku penguji luar komisi yang telah banyak memberikan saran terutama pada aspek strategi. Penghargaan penulis sampaikan juga kepada Bapak Ir. Ridwan (Kepala Seksi Konservasi Wilayah II Balai KSDA Kalimantan Selatan), Bapak Suriadi beserta staf Resort KSDA Kuala Lupak, Sdr. Usman, S.Hut dan Bapak Indra Kusuma Wijaya yang telah memfasilitasi dan membantu selama pengumpulan data, Bapak Sofwan Hidayat yang membantu selama masa perkuliahan di program studi Konservasi Biodiversitas Tropika. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, adik serta seluruh keluarga, atas segala doa, dukungan dan kasih sayangnya, serta teman-teman KVT 2013 atas dukungan semangat dan kerjasama. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Februari 2016 Mila Rabiati E

14 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 3 Tujuan Penelitian 5 Manfaat Penelitian 5 Ruang Lingkup Penelitian 5 2 METODE 7 Lokasi dan Waktu Penelitian 7 Peralatan dan Bahan 7 Jenis Data 8 Prosedur Pengumpulan Data 9 Pengolahan dan Analisis Data 13 3 HASIL DAN PEMBAHASAN 16 Karakteritik Habitat Bekantan 16 Struktur dan Komposisi Vegetasi 20 Populasi Bekantan 24 Persepsi Masyarakat terhadap Konservasi Bekantan di SMKL 29 Strategi Restorasi Habitat Bekantan 40 4 SIMPULAN DAN SARAN 48 Simpulan 48 Saran 48 DAFTAR PUSTAKA 49 LAMPIRAN 55 RIWAYAT HIDUP 66 vi vi vii

15 DAFTAR TABEL 1 Jenis data yang dikumpulkan 8 2 Penentuan rentang kelas umur bekantan 15 3 Perbandingan komponen fisik habitat pada tapak referensi, tapak model 1 dan tapak model Komposisi jenis dan suku pada setiap tingkatan vegetasi di habitat bekantan SM Kuala Lupak 17 5 Jenis vegetasi sumber pakan bekantan di Tanjung Pedada Tua 18 6 Kerapatan dan Indeks Nilai Penting empat jenis mangrove tertinggi pada habitat bekantan di tapak referensi, tapak model 1 dan tapak model Status regenerasi jenis mangrove di Tanjung Pedada Tua berdasarkan kriteria Shankar (2001) 22 8 Kerapatan dan Indeks Nilai Penting tumbuhan bawah pada habitat bekantan di tapak referensi, tapak model 1 dan tapak model Rekapitulasi struktur dan ukuran kelompok bekantan Jumlah populasi beantan menurut kelas umur Karakteristik responden Persepsi masyarakat tentang konservasi bekantan dan SM Kuala Lupak 32 DAFTAR GAMBAR 1 Bagan kerangka pikir 6 2 Peta lokasi penelitian di Blok Hutan Tanjung Pedada Tua SMKL 7 3 Bentuk dan ukuran jalur pengamatan vegetasi 11 4 Salah satu kelompok bekantan jantan (AMG) di SMKL 27 5 Salah satu kelompok bekantan OMG di SMKL 6 Struktur populasi bekantan menurut kelas umur 29 7 Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah (SPPFBT) 31 8 Distribusi responden berdasarkan pengetahuan masyarakat tentang keberadaan bekantan 33 9 Distribusi responden berdasarkan pengetahuan masyarakat tentang status perlindungan bekantan Distribusi responden berdasarkan pengetahuan masyarakat tentang status kawasan SMKL sebagai kawasan konservasi Distribusi responden berdasarkan sikap penerimaan masyarakat terhadap program restorasi Distribusi responden berdasarkan kesediaan masyarakat dalam mendukung program restorasi Silvofishery model empang parit (Bengen 2000) Silvofishery model empang parit yang disempurnakan (Bengen 2000) Silvofishery model komplangan (Bengen 2000) 44

16 DAFTAR LAMPIRAN 1 Data hasil pengukuran komponen fisik habitat 56 2 Daftar pemilik tambak di SMKL 57 3 Hasil identifikasi kondisi eksisting dan saran strategi aspek habitat 62 4 Hasil identifikasi kondisi eksisting dan saran strategi aspek populasi bekantan 63 5 Hasil identifikasi kondisi eksisting dan saran strategi aspek sosial 64 6 Peta strategi aspek ruang restorasi habitat SMKL 65

17 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb, 1781) merupakan jenis satwa primata endemik Borneo, yang sebarannya meliputi tiga negara yakni: Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam. Jenis ini telah dinyatakan sebagai salah satu jenis dilindungi oleh Pemerintah Indonesia berdasarkan PP No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa; termasuk kategori endangered species menurut Red List IUCN 2008, dan tercantum dalam CITES Appendix I. Selain itu, sejak tahun 1990 bekantan ditetapkan sebagai fauna maskot Provinsi Kalimantan Selatan (Saidah et al. 2002). Bekantan dapat hidup di berbagai tipe habitat seperti hutan mangrove, hutan rawa gambut, hutan tepi sungai (Salter et al. 1985, Matsuda et al. 2010), hutan Dipterocarpaceae, hutan kerangas (Salter et al. 1985), hutan rawa gelam, hutan karet dan hutan bukit kapur/karst (Soendjoto et al. 2006a, Soendjoto 2006b). Luas habitat bekantan terus mengalami penurunan dari waktu ke waktu, yakni dari 29,500 km 2 telah berkurang sebanyak 40% menjadi sekitar 17,700 km 2 (McNelly et al. 1990). Habitat bekantan yang berada di kawasan konservasi hanya sekitar 4.1%. Tahun 1995 terjadi penurunan luas habitat berkisar antara 20-88% di enam tipe ekosistem (Meijaard & Nijman 2000). Laju penurunan luas habitat bekantan, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan adalah 2% per tahun (Manansang et al. 2005). Tahun 2000, laju deforestasi habitat bekantan bahkan meningkat menjadi 3.49% per tahun (Bismark 2009). Selain kerusakan dan/atau perubahan kondisi habitat, populasi bekantan juga diketahui terus mengalami penurunan secara drastis dan terancam punah akibat menurunnya kualitas dan kuantitas habitatnya. MacKinnon (1987) menduga populasi bekantan di Indonesia pada tahun 1987 berjumlah 260,950 individu dengan kepadatan 25 individu/km 2 dan selama kurun waktu 10 tahun menurun menjadi 114,000 individu (Bismark & Iskandar 2002). Di antara jumlah populasi tersebut diduga sebanyak 25,625 individu berada di dalam kawasan konservasi (BEBCI 2007 dalam Kartono et al. 2008) namun berdasarkan simposium Population and Habitat Viability Assessment (PHVA) bekantan tahun 2004, populasi bekantan ditaksir tinggal 25,000 individu dan sekitar 5,000 individu hidup di dalam kawasan konservasi (Ditjen PHKA 2012). Stark et al. (2012) bahkan memperkirakan populasi bekantan di Kalimantan akan terus mengalami penurunan sampai lebih dari setengah populasi yang ada saat ini, dan menuju kepunahan dalam kurun waktu kurang dari 30 tahun jika tidak ada upaya peningkatan pengelolaan habitat. Suaka Margasatwa Kuala Lupak (SMKL) adalah salah satu habitat bekantan di Kalimantan Selatan. Degradasi habitat akibat konversi mangrove menjadi areal budidaya di SMKL saat ini merupakan faktor utama yang mengancam kelestarian populasi bekantan di SMKL. Konversi hutan mangrove dalam satu dekade terakhir hanya menyisakan ± ha atau sekitar 22% areal yang masih berhutan dari total luas kawasan ±3, ha dan mengakibatkan gangguan terhadap habitat bekantan. Akibatnya bekantan banyak meninggalkan habitat

18 2 alaminya dan sisanya menempati areal habitat yang sempit di blok Hutan Tanjung Pedada Tua, SM Kuala Lupak. Keberadaan bekantan di SMKL merupakan salah satu indikator kondisi ekosistem mangrove di wilayah ini. Hal ini karena bekantan Kerusakan dan hilangnya habitat mangrove yang berganti menjadi areal tambak dan persawahan masyarakat telah mengubah struktur, fungsi, keanekaragaman serta dinamika ekosistem mangrove. Selain mempengaruhi kehidupan bekantan, fungsi kawasan mangrove sebagai tempat mencari ikan, udang dan kepiting bagi masyarakat desa sekitar SMKL juga berkurang. Air sungai yang mengandung sedimen lumpur tinggi dan juga sampah rumah tangga telah menyebabkan gangguan fisik seperti pendangkalan pantai dan pencemaran. Gangguan lingkungan fisik hutan mangrove akan berpengaruh terhadap produktivitas, sebaran, kerapatan dan biodiversitas tumbuhan (Bismark 2009). Kondisi ini menurut Bismark (2009) akan menentukan kuantitas dan kualitas nutrisi sumber pakan bekantan. Berdasarkan kondisi tersebut maka diperlukan suatu upaya pembinaan habitat melalui kegiatan restorasi ekosistem untuk mengembalikan fungsi SMKL sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan dan habitat bagi hidupan liar di dalamnya termasuk biota perairan. Restorasi ekosistem atau pemulihan ekologi (ecological restoration) adalah proses untuk membantu pemulihan suatu ekosistem yang telah terdegradasi, rusak atau hancur dengan tujuannya untuk mengembalikan struktur, fungsi, keanekaragaman serta dinamika dari ekosistem tersebut (SER Internasional 2004). Beberapa praktek restorasi ekosistem didasarkan pada pendekatan kesesuaian habitat spesies kunci, yakni kegiatan penanaman jenis-jenis pohon asli yang ditujukan untuk mencukupi kebutuhan pakan, cover dan ruang pergerakan satwa di habitat aslinya. Contoh keberhasilan restorasi dengan pendekatan kesesuaian habitat spesies kunci telah dilakukan pada habitat gajah di Kinabatangan River, Sabah Malaysia, yaitu restorasi habitat yang menghubungkan area terpilih dengan habitat populasi gajah (Keenelyside et al. 2012). Restorasi ekosistem mangrove di SMKL memerlukan lokasi acuan (reference site) yang dapat memberikan gambaran kondisi ekosistem yang belum terdegradasi. Habitat referensi bekantan dipilih sebagai lokasi acuan atau referensi bagi restorasi SMKL karena bekantan merupakan spesies kunci yang harus dipertahankan keberadaannya di wilayah ini. Habitat referensi dipilih berdasarkan observasi awal, terdapat tiga karakteristik tipe tapak habitat bekantan yang ada di SMKL. Pertama, habitat bervegetasi baik banyak dijumpai bekantan, kedua habitat bervegetasi yang kurang disukai bekantan dan ketiga habitat bervegetasi dekat dengan gangguan (permukiman dan areal budidaya). Upaya restorasi SMKL akan lebih optimal jika berdasarkan kajian karakteristik habitat bekantan sebagai spesies kunci. Keberadaan populasi bekantan sangat tergantung pada kondisi habitatnya, karena komponen sumberdaya dan kondisi spesifik habitat akan menentukan daya survival dan reproduksi. Sejauh ini gambaran terkini dari kondisi habitat dan populasi bekantan di SMKL belum diketahui secara lengkap, padahal informasi ini penting sebagai acuan dalam menentukan langkah-langkah pengelolaan secara akurat, termasuk upaya pembinaan habitat melalui restorasi. Oleh karena itu pengetahuan mengenai faktor-faktor ekologis atas habitat yang dapat dijadikan sebagai dasar pendekatan restorasi penting diketahui. Selain itu informasi kondisi sosial dan persepsi

19 masyarakat aktor konversi lahan kawasan yang menjadi faktor ancaman terhadap kelestarian bekantan dibutuhkan untuk menjaring data pendukung dalam merumuskan strategi pemulihan ekosistem SMKL. 3 Perumusan Masalah Habitat adalah sejumlah sumber daya dan kondisi spesifik yang dibutuhkan oleh suatu spesies untuk hidup, serta dapat memberikan tempat hidup termasuk survival dan reproduksi. Oleh karena itu habitat merupakan kombinasi komunitas biotik dan lingkungan abiotik yang mencakup serangkaian kondisi yang menentukan suatu spesies dapat hidup dan bereproduksi (Sinclair et al. 2006). Pemilihan habitat oleh bekantan dipengaruhi oleh distribusi, ukuran dan ketersediaan sumber pakan (Boonratana 1999), sedangkan distribusi dan reproduksi suatu spesies dipengaruhi kondisi lingkungan abiotik seperti suhu dan curah hujan (Sinclair et al. 2006). Akibatnya kondisi populasi yang menempati suatu habitat bergantung pada kondisi habitat. Ketersediaan pakan, cover, air dan komponen habitat dibutuhkan untuk memelihara fungsi fisiologi dasar satwa untuk bertahan hidup dan bereproduksi sampai menghasilkan keturunan yang menjadi anggota populasi (Patton 2011). Kerusakan dan hilangnya habitat saat ini merupakan faktor utama yang mengancam kelestarian bekantan di SMKL. Saat ini, kawasan yang masih berhutan di SMKL hanya tersisa ± ha atau sekitar 22% dari total luas kawasan (BKSDA Kalsel 2014a). Luas wilayah yang telah berubah peruntukan menjadi tambak adalah seluas ± 1, ha dan persawahan seluas ± ha (BKSDA Kalsel 2012). Deforestasi mangrove ini telah menyebabkan degradasi habitat dan terganggunya fungsi ekologis ekosistem mangrove SMKL. Salah satu dampak yang terlihat adalah terhadap keberadaan populasi bekantan. Bekantan hidup terpencar dalam kelompok kecil (2 sampai 15 ekor) di dalam kawasan SMKL, sedangkan selebihnya memilih mendiami habitat yang masih tersisa yang di luar kawasan. Jarak terdekat konsentrasi populasi yang terdapat di dalam kawasan dengan yang ada di luar SMKL adalah ±12 km, dipisahkan oleh areal tambak. Restorasi habitat diperlukan untuk mengembalikan kondisi SMKL. Sesuai dengan fungsinya, restorasi SMKL ditujukan untuk memulihkan fungsi ekosistem dan mengembalikan struktur vegetasi. Pemulihan fungsi ekosistem dimaksud adalah sebagai habitat satwa liar yang ada di dalamnya, termasuk bekantan yang merupakan satwa kunci. Pengembalian struktur vegetasi harus mengacu pada komposisi vegetasi asli sebelum mengalami degradasi. Oleh karena pada bagian kawasan yang telah terdegradasi sudah sulit untuk melihat rona asli ekosistem asli, maka diperlukan untuk melihat habitat alami yang masih tersisa, yang masih digunakan sebagai habitat bekantan sebagai lokasi acuan (reference site). Pendekatan yang dapat dilakukan untuk mempelajari lokasi acuan adalah melalui observasi awal yang meliputi survei hutan alam yang masih ada, survei tinggi permukaan tanah, pengukuran salinitas, pemeriksaan tanah dan vegetasi lain, dan sebagainya (Basyuni 2002). Menurut Lewis (2005), faktor yang paling penting dalam merancang suatu proyek restorasi mangrove yang akan berhasil baik adalah

20 4 pengenalan hidrologi (frekuensi dan durasi pasang-surut air laut) komunitas mangrove yang berdekatan dengan kawasan yang akan direstorasi. Habitat referensi yang tersedia di SMKL adalah di blok Hutan Tanjung Pedada Tua seluas ±195 ha. Blok hutan Tanjung Pedada Tua adalah bagian dari SMKL yang masih bervegetasi relatif baik dan satu-satunya tapak terdapat kelompok bekantan dalam jumlah yang besar antara individu (perkiraan kasar, pengamatan langsung tahun 2013). Habitat bekantan di Tanjung Pedada Tua saat ini diduga masih memenuhi syarat sebagai habitat referensi bekantan di SMKL. Hal ini didasarkan pada dugaan bahwa : (1) wilayah ini masih bervegetasi alami dan mampu menyediakan sumber pakan bekantan; (2) di wilayah ini terdapat populasi bekantan yang sedang mengalami perkembangan dan (3) tingkat gangguan relatif rendah. Oleh karena itu areal ini dapat dijadikan sebagai lokasi acuan yang dapat memberikan informasi ekologis untuk dapat merekonstruksi habitat bekantan di SMKL. Terdapat tiga karakteristik pada habitat bekantan yang tersisa, yakni (1) areal bervegetasi baik, disukai dan banyak terdapat bekantan, (2) areal bervegetasi baik, kurang disukai, bekantan yang dijumpai sedikit, dan (3) areal bervegetasi terganggu, dekat dengan areal budidaya dan pondok masyarakat. Berdasarkan karakteristik areal tersebut pengambilan contoh dilakukan dilakukan di ketiga areal tersebut yang selanjutnya dinamakan tapak referensi, tapak model 1 dan tapak model 2. Selain aspek habitat, kondisi populasi bekantan terkini diperlukan sebagai dasar bagi kegiatan restorasi habitat di SMKL. Populasi merupakan penciri utama preferensi habitat dan juga menjadi indikator kesehatan habitat. Populasi akan dapat dijumpai pada wilayah yang dapat memenuhi segala kebutuhan dasar yang meliputi makanan dan air, tempat untuk berlindung, serta pergerakan. Populasi satwa liar berfluktuasi dari waktu ke waktu mengikuti keadaan fluktuasi lingkungannya (Alikodra 1990). Jumlah individu kelompok bekantan dipengaruhi oleh kualitas dan tipe habitat (Bismark 2009). Selain jumlah individu, komposisi dan struktur populasi menjadi faktor penentu apakah suatu populasi masih bisa berkembang atau tidak. Selain itu kecenderungan populasi di suatu wilayah dapat digunakan untuk menganalisis daya dukung habitat dan kelestariannya. Data mengenai populasi bekantan di SMKL masih minim, dari data yang tersedia masih belum bisa memberikan informasi bagaimana gambaran populasi bekantan pada habitat yang mengalami gangguan. Oleh karena itu pengumpulan data populasi bekantan diperlukan untuk memperoleh gambaran sejauh mana gangguan habitat di SMKL mempengaruhi kondisi populasi bekantan yang ada. Penyebab utama degradasi habitat bekantan di SMKL adalah faktor antropogenik, yakni aktivitas masyarakat yang mengkonversi hutan mangrove menjadi tambak, sawah dan permukiman. Oleh karena itu upaya restorasi habitat bekantan harus mempertimbangkan faktor sosial masyarakat. Program restorasi akan lebih besar peluang keberhasilannya jika mendapatkan dukungan dari masyarakat, termasuk masyarakat lokal yang menjadi aktor atau pelaku konversi lahan itu sendiri. Contoh keberhasilan praktek restorasi ekosistem mangrove dengan dukungan komunitas lokal telah dilakukan di Diawling National Park, Mauritania (Keenelyside et al. 2012). Kegiatan restorasi tersebut telah berhasil mengembalikan fungsi kawasan mangrove sebagai pengendali banjir. Upaya restorasi atau rehabilitasi yang dilakukan memerlukan partisipasi aktif dari masyarakat. Partisipasi masyarakat dipengaruhi oleh persepsi atau pandangan,

21 penilaian interpretasi terhadap obyek (Haritanto 2001). Tingkat partisipasi masyarakat dalam suatu kegiatan akan dipengaruhi oleh tingkat persepsinya. Tingkat persepsi yang tinggi merupakan dasar dukungan dan motivasi positif untuk berperan serta, demikian pula sebaliknya tingkat persepsi yang rendah dapat menghambat peran serta seseorang dalam kegiatan. Oleh karena itu data sosial masyarakat diperlukan sebagai pendukung untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap kegiatan restorasi sekaligus sebagai dasar untuk melakukan pemetaan sosial terhadap pelaku konversi lahan di SMKL. Berdasarkan pendekatan habitat dan populasi bekantan serta aspek sosial masyarakat yang menggarap lahan di SMKL maka penelitian ini diharapkan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimana keadaan bio-fisik habitat bekantan. Komponen biotik habitat meliputi pohon pakan, pohon tidur, dan predator, sedangkan komponen fisik meliputi kelembaban, suhu, dan kondisi sungai 2. Bagaimana komposisi dan struktur vegetasi penyusun habitat bekantan, termasuk vegetasi yang menjadi sumber pakan dan pohon tidurnya 3. Bagaimana keadaan populasi bekantan termasuk komposisi jenis dan struktur umur 4. Bagaimana persepsi masyarakat (aktor yang mengolah lahan di SMKL terhadap konservasi bekantan, kawasan, serta kegiatan restorasi di SMKL. 5 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi komponen habitat bekantan di SMKL. 2. Mengukur keanekaragaman vegetasi di habitat bekantan di SMKL. 3. Menghitung populasi bekantan di SMKL. 4. Mengidentifikasi persepsi masyarakat terhadap konservasi bekantan di SMKL. 5. Merumuskan strategi restorasi habitat bekantan di SM Kuala Lupak. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain : 1. Memberikan kontribusi keilmuan terhadap konservasi habitat bekantan di SMKL. 2. Sebagai bahan pertimbangan bagi kegiatan restorasi dan pembinaan habitat bekantan di SMKL berdasarkan hasil kajian karakteristik habitat referensi bekantan. 3. Sebagai bahan acuan untuk meningkatkan partisipasi dan keterlibatan masyarakat dalam kegiatan restorasi habitat bekantan. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini mencoba merumuskan strategi restorasi habitat bekantan di SMKL berdasarkan karakteristik habitat referensi di Tanjung Pedada Tua. Perumusan strategi didasarkan pada kerangka pikir bahwa pemulihan ekosistem

22 6 SMKL harus ditujukan untuk mengembalikan kondisi ekosistem kepada kondisi sebelum mengalami kerusakan akibat konversi menjadi areal pertambakan dan persawahan. Tujuan akhir pemulihan ekosistem SMKL adalah mengembalikan struktur dan fungsi ekosistem mangrove sebagai habitat bekantan. Strategi yang dirumuskan dibatasi pada kajian aspek ekologi habitat referensi dan aspek sosial masyarakat yang beraktivitas di dalam kawasan SMKL. Perumusan strategi didasarkan pada hasil identifikasi permasalahan pada kondisi eksisting saat ini dan kondisi yang berpotensi menjadi peluang dalam upaya restorasi SM Kuala Lupak. Suaka Margasatwa Kuala Lupak Fungsi dan Manfaat : - Fungsi hutan mangrove (biologis/ekologis, fisik, sosial ekonomi) - Habitat bekantan Kondisi eksisting : - Konversi hutan mangrove menjadi tambak dan persawahan - Populasi bekantan keluar kawasan - Rehabilitasi lahan belum berdasarkan kajian ekologis Pemulihan Ekosistem : mengembalikan struktur dan fungsi SMKL Pendekatan karakteristik habitat bekantan Persepsi masyarakat Karakteristik Habitat Referensi Komponen fisik Komponen Biotik Populasi bekantan Pengukuran & Observasi Observasi Observasi Wawancara Kondisi iklim mikro, suhu & ph tanah, ph dan salinitas perairan sungai Jenis vegetasi pakan & pohon tidur, struktur & komposisi vegetasi, keanekaragaman jenis Jenis kompetitor dan atau predator Kepadatan, struktur dan komposisi populasi Pengetahuan masyarakat mengenai keberadaan & konservasi bekantan serta sikap masyarakat dan stakeholder tentang restorasi habitat bekantan STRATEGI RESTORASI Gambar 1 Bagan kerangka pemikiran

23 7 2 METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di kawasan Suaka Margasatwa Kuala Lupak (SMKL), Kabupaten Barito Kuala, Provinsi Kalimantan Selatan. Berdasarkan wilayah administrasi pemerintahan, kawasan SMKL termasuk dalam 2 desa yaitu Desa Kuala Lupak dan Desa Sungai Telan Besar Kecamatan Tabunganen Kabupaten Barito Kuala. Tanjung Pedada Tua termasuk dalam wilayah Desa Sungai Telan Besar. SM Kuala Lupak dapat dicapai dalam waktu menit dengan memakai speed boat 85 PK atau ± 2 jam dengan menggunakan kelotok dari pusat Kota Banjarmasin. Alternatif lain adalah naik kelotok dari Kecamatan Aluh-aluh dengan waktu tempuh menit. Dari pusat Kota Banjarmasin menuju Kecamatan Aluh-aluh ditempuh dengan jalur darat lebih kurang jam. Pengumpulan data dilakukan selama tiga bulan dari bulan Februari sampai April Peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 2. Tanjung Pedada Tua Gambar 2 Lokasi penelitian di Blok Hutan Tanjung Pedada Tua SMKL Peralatan dan Bahan Peralatan yang digunakan adalah peta kawasan SM Kuala Lupak, GPS receiver, dan meteran gulung/tali plastik (50 meter) untuk membuat plot. Pengukuran data iklim mikro menggunakan thermohygrometer digital (HTC-1) untuk mengukur suhu dan kelembaban udara, serta soil tester digital (4 in 1 soil

24 8 survey instrument) untuk mengukur intensitas cahaya matahari yang diterima tanah. Kondisi tanah yang meliputi suhu, kelembaban dan ph tanah diukur menggunakan soil tester digital. Kondisi keasaman/kebasaan air sungai perairan sungai diukur dengan menggunakan ph meter (ATC), sedangkan salinitas diukur dengan menggunakan salt meter (CT-3086). Pengamatan bekantan menggunakan binokuler dan hand counter untuk menghitung jumlah individu bekantan. Pita ukur (1.5 meter) digunakan untuk mengukur diameter pohon. Peralatan lainnya yang digunakan meliputi kamera digital, buku pengenalan jenis dan tally sheet. Obyek penelitian adalah bekantan (Nasalis larvatus) dan habitat di Tanjung Pedada Tua, SM Kuala Lupak, serta masyarakat pelaku konversi lahan di dalam kawasan. Jenis Data Data yang dikumpulkan meliputi karakteristik habitat, populasi bekantan dan data sosial masyarakat. Jenis data yang dikumpulkan sajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Jenis data yang dikumpulkan Tujuan Jenis Data Parameter diukur Teknik Pengumpulan Data 1. Mengidentifikasi komponen habitat bekantan 1. Komponen fisik habitat Pengukuran dgn alat Data BMKG a. Kondisi udara Suhu udara Pengukuran dengan Kelembaban udara thermohygrometer b. Kondisi tanah Suhu, kelembaban, ph, intensitas cahaya matahari Pengukuran dengan Soil tester 4 in 1 yang diterima tanah Jenis tanah Penentuan kualitatif di c. Kondisi perairan sungai ph air sungai, Salinitas Kondisi pasang surut 2. Komponen Biotik habitat a. vegetasi pakan Jenis, bagian yang dimakan b. Pohon tidur Jenis, diameter, tinggi, jarak dari sungai, jarak dengan pohon terdekat c. Komposisi dan Jenis, diameter, jumlah struktur vegetasi d. Satwa lain Jenis satwa (kompetitor, predator) lapangan Pengukuran dgn ph meter, Pengukuran dengan saltmeter Pengamatan langsung Pengamatan langsung Pengamatan langsung dan pengukuran Pengamatan langsung dan pengukuran Pengamatan langsung 2. Mengukur keragaman vegetasi habitat bekantan Jenis vegetasi Jenis, indeks keanekaragaman Pengamatan langsung,

25 Tabel 1 Jenis data yang dikumpulkan (lanjutan) Tujuan Jenis Data Parameter diukur 3. Menghitung Populasi bekantan 4. Mengidentifikasi persepsi masyarakat Kepadatan, komposisi dan struktur populasi a.persepsi masyarakat lokal (aktor konversi) b. Persepsi stakeholder Jumlah individu berdasarkan jenis kelamin dan struktur umur Karakteristik responden, status lahan, persepsi Persepsi tentang pengetahuan, pandangan, saran Teknik Pengumpulan Data Metode Concentration count Wawancara dengan kuisioner Wawancara 9 5. Merumuskan strategi restorasi Hasil penelitian tujuan 1 s.d 4 Hasil penelitian tujuan 1 s.d 4 Analisis data dan sintesis Prosedur Pengumpulan Data Penentuan Contoh Pengumpulan data vegetasi dan populasi bekantan dilaksanakan di tiga lokasi tapak berbeda. Penentuan lokasi ini didasarkan pada pertimbangan adanya preferensi habitat bekantan yang dipengaruhi oleh kondisi habitat. Wilayah bervegetasi di SMKL tidak merupakan satu hamparan yang utuh, tetapi dipisahkan oleh sungai-sungai, baik alami maupun buatan (sodetan). Bekantan tidak memilih semua wilayah bervegetasi sebagai habitatnya, tetapi ada preferensi tertentu. Pemilihan lokasi untuk menempatkan plot sampling adalah lokasi yang menjadi konsentrasi bekantan berdasarkan hasil observasi awal. Analisis vegetasi dan pengumpulan data populasi bekantan akan dilakukan di 3 lokasi (tapak) yang berbeda, dengan kriteria sebagai berikut : Tapak referensi : lokasi bervegetasi baik dan disukai bekantan Tapak model 1 : lokasi bervegetasi baik kurang disukai bekantan Tapak model 2 : lokasi bervegetasi rusak (terganggu) Intensitas sampling (IS) yang digunakan dalam pengambilan contoh sebesar 2% (Kustanti 2011) karena pertimbangan bahwa vegetasi mangrove di Tanjung Pedada Tua relatif homogen. Plot contoh berukuran 0.25 ha mengikuti pedoman Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala (IHMB) berbentuk jalur berpetak dengan ukuran 10 m x 250 m, dengan masing-masing pengambilan sampling sebagai berikut : Tapak referensi (luas ± ha) : 1.50 ha (6 jalur, 150 petak ukur) Tapak model 1 (luas ± ha) : 1.00 ha (4 jalur, 100 petak ukur) Tapak model 2 (luas ± ha) : 0.75 ha (3 jalur, 75 petak ukur) Plot contoh berbentuk jalur dibuat tegak lurus memotong arah laut, dengan jarak antar jalur 500 m (Kustanti 2011). Penempatan plot contoh ditentukan secara stratifikasi. Lokasi pohon pakan atau pohon tidur menjadi titik awal pembuatan plot, selanjutnya dilakukan secara sistematik.

26 10 Pengumpulan Data Komponen Habitat Komponen Fisik Habitat Pengukuran komponen fisik habitat dilakukan pengulangan masing-masing 3 kali dengan pemilihan titik pengukuran di tepi, tengah dan belakang dari arah laut menuju ke darat pada masing-masing tapak. Pengumpulan data komponen fisik habitat dilakukan dengan pengukuran dan atau pengamatan (observasi). Kondisi iklim mikro Pengukuran suhu dan kelembaban dilakukan dengan thermohigrometer digital (HTC-1) yang dapat langsung membaca hasil pengukuran. Pengukuran dilakukan dengan meletakkan thermohigrometer di tempat yang datar dan bebas penghalang. Pengukuran suhu dan kelembaban udara dilakukan sebanyak 3 kali yaitu pada pagi hari (07:30), siang hari (12:30) dan sore hari (17:30). Data yang dicatat adalah data rerata yang merupakan hasil pejumlahan suhu maksimum dan minimum pada hari pengukuran, selanjutnya dibagi 2 (Kartasapoetra 2004). Selanjutnya untuk mendapatkan suhu dan/atau kelembaban rata-rata harian dihitung dengan rumus (2 pagi + 1 siang + 1 sore)/4. Pengukuran intensitas ntensitas cahaya matahari yang diterima oleh tanah diukur dengan alat soil tester digital (4 in 1 soil survey instrument), dengan prosedur pengukuran yang sama. Kondisi tanah 1. Suhu, kelembaban, dan ph tanah diukur dengan alat soil tester digital (4 in 1 soil survey instrument) yang dapat langsung membaca hasil pengukuran. Alat ukur ditancapkan di tanah pada kedalaman 20 cm, kemudian dicatat pembacaan hasil pengukuran pada layar display. Pengukuran suhu maupun kelembaban udara dilakukan sebanyak 3 kali yaitu pada pagi hari (07:30), siang hari (12:30) dan sore hari (17:30). Hasil pengukuran kelembaban dan intensitas cahaya matahari yang diterima oleh tanah tersaji secara kualitatif sesuai dengan spesifikasi alat yang digunakan. 2. Tekstur tanah/substrat yang menjadi media tumbuh jenis mangrove dominan, ditentukan secara kualitatif di lapangan dengan cara menggambil komposit tanah pada kedalaman 20 cm. Sampel tanah kemudian kemudian dipirit di antara ibu jari dan telunjuk sehingga membentuk pita lembab dan diamati dan ditentukan apakah berpasir atau berlumpur. Kondisi perairan Derajat keasaman (ph) perairan. Derajat keasaman (ph) perairan diukur dengan menggunakan ph meter (ATC). Pengukuran dilakukan dengan cara mencelupkan bagian elektroda (electrode part) ke dalam air selama 2-3 menit, sampai angka digital yang terbaca secara otomatis pada display alat menunjukkan angka stabil. Salinitas. Salinitas diukur dengan menggunakan alat salt meter (CT-3086). Pengukuran dengan cara mencelupkan elektroda (electrode part) ke dalam air. Hasil pengukuran akan otomatis terbaca pada display alat.

27 Kondisi pasang surut. Kondisi yang diamati adalah kapan waktu pasang, kapan waktu surut, serta berapa lama waktu pasang berlangsung, dan apakah pada saat pasang terjadi penggenangan di habitat bekantan. Hasil pengamatan dicatat 11 Komponen Biotik Struktur dan komposisi vegetasi Pengumpulan data vegetasi dilakukan dengan metode jalur berpetak yang dibuat tegak lurus dengan sungai. Jumlah jalur pengamatan seluruhnya 13 jalur yakni masing-masing 6 jalur untuk tapak referensi, 3 jalur untuk tapak model 1 dan 4 jalur untuk tapak model 2. Untuk memudahkan perisalahan tegakan dalam plot berbentuk jalur 10 m x 250 m dibuat petak-petak ukur kontinyu berukuran 10 m x 10 m (Soerianegara & Indrawan 1998). Setiap jalur terdiri dari 25 petak ukur. Selanjutnya dalam petak ukur 10 m x 10 m dibuat sub-sub petak berukuran 5 m x 5 m dan 2 m x 2 m (Gambar 3). Gambar 3 Bentuk dan ukuran jalur pengamatan vegetasi A Sub petak 2m x 2m untuk tingkat semai dan tumbuhan bawah. B Sub petak 5m x 5m untuk tingkat pancang C Sub petak 10m x10m untuk tingkat pohon Kriteria untuk analisis vegetasi yang digunakan adalah sebagai berikut : a. Semai : permudaan mulai dari kecambah sampai anakan setinggi 1.5 m b. Pancang : permudaan dengan tinggi >1.5 m sampai anakan berdiameter kurang dari 10 cm c. Pohon : pohon berdiameter 10 cm atau lebih d. Tumbuhan bawah : tumbuhan selain permudaan pohon (rumput, herba, semak belukar) Data yang dikumpulkan untuk tingkat pertumbuhan pohon dan pancang adalah jenis pohon dan diameter. Untuk tingkat pertumbuhan pancang dan semai data yang diambil meliputi jenis dan jumlah individu setiap jenis. Pengukuran diameter dilakukan pada tinggi 1.3 m dari atas permukaan tanah dan atau 30 cm di

28 12 atas banir (untuk pohon dari marga Bruguiera) dan akar tunjang (untuk pohon dari marga Rhizophora). Data jenis vegetasi pakan bekantan diperoleh dari pengamatan dan pencatatan jenis vegetasi yang bagiannya (daun, buah, bunga) dimanfaatkan oleh bekantan sebagai sumber pakan. Untuk pohon tidur, data yang diambil meliputi jenis pohon, tinggi, jarak dari tepi sungai dan jarak dengan pohon tidur terdekat (Bernard et al. 2011). Satwa kompetitor dan predator Pengumpulan data jenis-jenis satwa yang merupakan kompetitor dan predator dilakukan bersamaan dengan pengumpulan data vegetasi. Satwa kompetitor dan atau predator yang dijumpai di areal pengamatan dicatat jenis dan jumlahnya. Pengumpulan Data Populasi Bekantan Penghitungan populasi bekantan dilakukan dengan menggunakan metode terkonsentrasi (Alikodra 1990), dengan asumsi bahwa bekantan adalah jenis satwa yang memiliki perilaku berkumpul di lokasi tidurnya di tepi sungai pada sore hari sampai dengan pagi hari keesokan harinya. Pengamatan dilakukan pada pagi hari antara jam 06:00-09:00 dan sore hari antara jam 16:00-18:30. Pengamatan dan penghitungan populasi dilakukan oleh tiga orang pengamat selama 3 hari pengamatan, dengan total ulangan sebanyak 6 kali di dua titik konsentrasi yakni di tapak referensi dan tapak model 1, sedangkan di tapak model 2 selama periode penelitian tidak terdapat konsentrasi bekantan. Jenis data yang dicatat meliputi jumlah individu, komposisi umur dan jenis kelamin untuk bekantan dewasa. Kriteria kelas umur yang digunakan mengacu pada pembagian berdasarkan ciri-ciri menurut Yeager (1990) sebagai berikut : 1. Jantan dewasa: hidung besar (telah berkembang sempurna), alat kelamin luar tampak jelas, bobot badan besar sekitar kg, terdapat warna putih berbentuk segitiga pada bagian pinggul, lapisan lemak terlihat jelas di bagian punggung, dan berkembang otot paha yang kuat. 2. Jantan setengah dewasa: ukuran tubuhnya sama atau lebih besar daripada betina dewasa, alat kelamin luar tampak jelas, otot bagian paha lebih berkembang dibandingkan dengan betina dewasa, hidung mulai membesar, tidak ada lapisan lemak di bagian punggungnya. 3. Betina dewasa: bobot badan relatif lebih kecil dibandingkan bobot badan jantan dewasa (10-12 kg), puting susu tampak jelas, hidung lebih kecil dan runcing. 4. Betina setengah dewasa: ukuran tubuh lebih dari ¾ dewasa, hampir sama dengan betina dewasa. 5. Remaja: ukuran tubuh setengah atau dua per tiga dari ukuran tubuh betina dewasa. Sudah dapat berdiri (berjalan) sendiri, tetapi masih tidur dengan induknya. 6. Anak/bayi: berumur 1.5 tahun. Bayi yang baru lahir memiliki warna yang lebih gelap dan muka berwarna gelap tetapi terus memudar. Selalu dekat dan bergantung atau digendong oleh induknya.

29 13 Pengumpulan Data Persepsi Masyarakat Masyarakat responden adalah masyarakat lokal yang terlibat kegiatan konversi lahan di SMKL, baik pemilik tambak atau lahan maupun pekerja tambak. Jumlah responden sebanyak 33 orang. Pengumpulan data persepsi masyarakat dilakukan dengan metode wawancara dengan kuisioner. Data yang dikumpulkan adalah karakteristik responden dan persepsi. Karakteristik responden untuk masyarakat lokal meliputi: jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, status lahan, jumlah anggota keluarga, dan suku/etnis serta lamanya mereka menggarap lahan di SMKL. Data persepsi masyarakat yang digali meliputi : 1. Pengetahuan, yang terdiri dari atas (a) pengetahuan terhadap keberadaan bekantan termasuk jenis tumbuhan yang menjadi pakan bekantan, pohon yang dipilih sebagai pohon tidur serta anggapan tentang bekantan sebagai gangguan atau tidak, (b) pengetahuan tentang status perlindungan bekantan, dan (c) pengetahuan tentang status kawasan SM Kuala Lupak, serta apakah responden mengetahui konsekuensi hukum menggarap lahan di SMKL. 2. Sikap, yang meliputi (a) sikap penerimaan terhadap kegiatan rehabilitasi yang sudah dilaksanakan sebelumnya dan (b) sikap dukungan atau kesediaan untuk terlibat dalam program/kegiatan restorasi yang akan dilaksanakan selanjutnya. 3. Sebagai bahan pendukung dilakukan wawancara dengan responden yang berasal dari stakeholder terkait. Pengujian dilakukan untuk mengetahui factor-faktor yang mempengaruhi persepsi masyarakat, dengan hipotesis awal (H 0 ): bahwa tidak terdapat perbedaan tingkat persepsi berdasarkan faktor yang diuji. Persepsi stakeholder dikembangkan dalam diskusi/wawancara yakni pengetahuan tentang keberadaan/ status bekantan dan SM Kuala Lupak, pandangan terhadap kondisi eksisting serta saran (alternatif solution) terhadap upaya restorasi SM Kuala Luak. Responden stakeholder terkait dipilih berdasarkan data dari BKSDA Kalsel, instansi/lembaga mana saja yang selama ini dilibatkan dalam upaya penanganan perambahan dan rehabilitasi hutan di SMKL, antara lain BPDAS Barito, Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru, Bappeda Kabupaten Barito Kuala, Dinas Kehutanan Kabupaten Barito Kuala, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Barito Kuala, Dinas Pertanian, Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Kabupaten Barito Kuala dan Camat Tabunganen dan Kepala Desa Sungai Telan. Pengolahan dan Analisis Data Komponen Habitat Komponen fisik habitat di ketiga tapak pengamatan dan diperbandingkan dan disajikan berdasarkan hasil analisi statistik deskriptif untuk melihat kesamaan atau perbedaan kondisi, dengan tapak referensi sebagai pembanding atas kedua tapak model 1 dan tapak model 2. Indeks kesamaan komunitas digunakan untuk menganalisis kesamaan vegetasi penyusun habitat bekantan di 3 (tiga) lokasi terpilih yang dilakukan sampling. Persamaan yang digunakan adalah indeks kesamaan Bray-Curtis (Ludwig & Reynolds 1988) sebagai berikut:

30 14 BC=1 min (, ) ( ) Keterangan: X ij = jumlah individu ke-i, pada tipe habitat ke-j, dan X ik = jumlah individu ke-i, pada tipe habitat ke-k. Struktur dan komposisi vegetasi Indeks Nilai Penting. Analisis vegetasi dilakukan untuk mengetahui komposisi vegetasi yang menyusun komunitas habitat bekantan. Komposisi vegetasi didapatkan dengan menghitung Indeks Nilai Penting (INP) dari masing-masing jenis pada setiap tingkatan vegetasi dengan persamaan sebagai berikut (Soerianegara & Indrawan 1998): Kerapatan suatu jenis (K) = Jumlah individu suatu jenis Luas petak contoh Kerapatan relatif suatu jenis (KR) = Kerapatan suatu jenis Kerapatan seluruh jenis X 100% Frekuensi suatu jenis (F) = Jumlah sub-petak ditemukan suatu jenis Total seluruh sub-petak contoh Frekuensi relatif suatu jenis (FR) = Frekuensi suatu jenis Total frekuensi seluruh jenis x 100% Dominansi suatu jenis (D) = Luas bidang dasar suatu jenis Luas petak contoh Dominansi relatif suatu jenis (DR) = Dominansi suatu jenis Dominansi seluruh jenis X 100% Luas bidang dasar (lbds) suatu jenis merupakan total luas bidang dasar setiap individu jenis tertentu yang dihitung dengan menggunakan persamaan: Lbds = 1. 2 K D atau Ldbs = Indeks nilai penting (INP) dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut: INP untuk tingkat pohon = KR + FR + DR INP untuk tingkat semai dan pancang = KR + FR Kerapatan individu per ha digunakan untuk menganalisis status regenerasi mangrove berdasarkan kriteria Shankar (2001). Indeks Keanekaragaman Jenis. Indeks keanekaragaman jenis dihitung berdasarkan rumus Shanon-Wiener (Ludwig & Reynolds 1988): Keterangan: H = indeks keanekaragaman Shannon-Wiener, P i = proporsi spesies ke-i (= n i /N), n i = jumlah individu spesies ke-i, dan N= jumlah individu seluruh spesies.

31 Populasi Bekantan Penghitungan populasi menggunakan metode penghitungan terkonsentrasi (Concentration Count) (Alikodra 1990) dengan persamaan penduga ukuran populasi yang digunakan adalah sebagai berikut: 15 Keterangan: X ij = ukuran populasi pada lokasi konsentrasi ke-i dan pengamatan ke-j, P ij = rerata jumlah individu yang dijumpai pada konsentrasi ke-i dan pengamatan ke-j, n = jumlah ulangan pengamatan dan P= total populasi pada seluruh areal penelitian.. Analisis struktur populasi bekantan didasarkan pada penentuan rentang kelas umur bekantan menggunakan pendekatan ciri biologis, morfologi dan perilaku yang diacu dari kriteria Yeager (1990), Murai (2004), Murai (2006) dan Stark et al. (2012) seperti disajikan pada Tabel 2. Kelas umur Tabel 2 Penentuan rentang kelas umur bekantan Selang kelas umur Keterangan Anak X 2 tahun Mulai umur 0 hingga 1.5 tahun (masa laktasi) + jeda dengan kelahiran berikutnya Remaja 2 < X 5 tahun Bekantan remaja mulai lepas dari induknya, hingga memasuki usia dewasa Dewasa 5 < X 20 tahun Betina mencapai kematangan seksual rata-rata umur 5 tahun dan jantan 7 tahun Acuan (Afrillia 2011), (Yeager 1990), (Stark et al. 2012) (Murai 2004, 2006) Persepsi Masyarakat Analisis data persepsi masyarakat dilakukan melalui analisis deskriptif dengan menyajikan frekuensi dan persentase. Analisis kuantitatif digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi masyarakat dengan uji Chi-Square pada taraf nyata α =.05. Keterangan = X 2 = nilai Chi-Kuadrat, o ij = frekuensi harapan, e ij = frekuensi yang diobservasi Perumusan Strategi Restorasi Strategi restorasi SMKL ditetapkan berdasarkan aspek ekologis, teknis dan sosial berdasarkan hasil kajian bio-ekologis dan persepsi masyarakat. Pendekatan yang digunakan adalah dengan merumuskan alternatif-alternatif kegiatan berdasarkan hasil identifikasi permasalahan pada kondisi eksisting, dan kondisi yang berpotensi menjadi peluang dalam upaya restorasi. Peluang adalah kondisi atau situasi menguntungkan bagi pelaksanaan restorasi atau pengelolaan SMKL.

32 16 3 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Habitat Bekantan Komponen Fisik Habitat bekantan di SMKL dibentuk oleh formasi hutan mangrove riparian yang didominasi oleh jenis Avicennia alba dan Sonneratia caseolaris. Habitat bekantan di SMKL tidak berupa satu hamparan utuh, tetapi berupa tapak-tapak yang dipisahkan oleh sungai dengan lebar antara m. Adanya pemisahan oleh sungai ini mempengaruhi pemilihan tapak (preferensi) oleh kawanan bekantan. Namun demikian, jarak antar tapak yang relatif dekat (<100 m) tidak berpengaruh terhadap perbedaan keadaan komponen fisik habitat. Kondisi suhu (baik udara, tanah dan perairan) dan kelembaban relatif udara tidak berbeda. Suhu harian berkisar antara C dan kelembaban udara relatif 76.75% (Tabel 3). Tabel 3 Perbandingan komponen fisik habitat pada tapak referensi, tapak model 1 dan tapak model 2 Parameter Tapak Referensi Tapak Model 1 Tapak Model 2 1. Udara - Suhu udara 28.7 C C C - Kelembaban udara % % % 2. Tanah - Suhu tanah C C C - ph tanah Kelembaban tanah WET WET WET - Intensitas cahaya LOW LOW LOW - Substrat berlumpur berlumpur, lumpur berpasir di bagian pantai 3. Perairan (sungai) - Suhu perairan C C C - ph Salinitas berlumpur, lumpur berpasir di bagian pantai Jenis tanah di SMKL merupakan tanah berlumpur hingga lumpur berpasir di bagian tepi pantai dengan kondisi tanah dalam yang selalu basah. Hamparan tanah yang tertutup oleh tumbuhan merambat jenis Derris trifoliata menyebabkan intensitas cahaya rendah sepanjang waktu dengan kisaran ph antara Perairan di SMKL mengalami kondisi pasang surut secara periodik setiap hari. Kondisi pasang terjadi mulai pukul 11:00 yang berlangsung hingga sore hari dan mulai surut pada pukul 16:00. Hari berikutnya kondisi pasang berlangsung sampai pagi menjelang siang, kemudian mulai surut pada pukul 11:00 hingga sore hari dan akan mulai pasang kembali sekitar pukul 16:00. Meski dipengaruhi oleh pasang surut air laut, perairan di habitat referensi bekantan adalah perairan tawar (salinitas 0%) dengan ph berkisar antara dan cenderung lebih asam di pagi hari pada kondisi air surut. Perubahan salinitas pada areal mangrove dipengaruhi oleh durasi pasang surut air laut. Selama periode pengamatan antara Februari- Maret 2015, yang termasuk periode musim hujan, tidak terjadi penggenangan pada saat kondisi pasang tertinggi. Pasang surut air laut mempengaruhi formasi komunitas flora mangrove. Lamanya penggenangan berpengaruh terhadap tingkat

33 salinitas. Selain mempengaruhi komposisi mangrove, salinitas berpengaruh meningkatkan kadar tanin (El-Lamey 2012). S. caseolaris memiliki adaptasi yang tinggi terhadap tingkat salinitas yang rendah (Zan et al. 2003, Aziz et al. 2012), sedangkan A. alba dapat beradaptasi pada tingkat salinitas yang lebih tinggi. S. caseolaris dapat tumbuh pada tanah yang memiliki salinitas mendekati air tawar yakni <0.1% salinitas air laut (0.1% salinitas air laut ekivalen dengan % kandungan garam atau 0.34 gram/liter) (Giesen et al. 2006). Tegakan S. caseolaris pada habitat bekantan di SMKL diduga memiliki kadar tanin yang rendah karena pengaruh tingkat salinitas yang rendah. Oleh karena itu bekantan di SMKL memilih S. caseolaris sebagai sumber pakan utama dan bertahan di habitat referensi yang didominasi oleh S. caseolaris dan A. alba. Komponen Biotik Komposisi Vegetasi. Hutan mangrove habitat bekantan di SMKL termasuk miskin jenis tumbuhan. Di lokasi ini ditemukan tujuh jenis tumbuhan habitus pohon yakni: A. alba, Excoecaria agallocha, Hibiscus tiliaceus dan S. caseolaris, Nypa fruticans dan Cerbera manghas dan Thespesia populnea (L). Jenis nipah (N. fruticans) dijumpai dalam jumlah terbatas, C. manghas dan T. populnea bahkan hanya dijumpai satu individu di tapak model 1. Kehadiran C. manghas dan T. Populnea pada ±200 m dari pantai, diduga berasal dari lokasi lain akibat pemencaran oleh arus laut. Tingkat pertumbuhan pancang hanya diisi oleh A. alba E. agallocha, sedangkan jenis. Lantai hutan ditumbuhi oleh jenis-jenis mangrove ikutan seperti D. trifoliata, Acanthus ilicifolius, dan Acrostichum speciosum. Total jenis tumbuhan yang ditemukan adalah 17 jenis dari 16 marga dan 15 suku (Tabel 4). Tabel 4 Komposisi jenis dan suku pada setiap habitus vegetasi di habitat bekantan Suaka Margasatwa Kuala Lupak Habitus dan Nama lokal Genus/spesies Suku (Famili) Pohon: Api-api Avicennia alba Bl. Avicenniaeae Buta-buta Excoecaria agallocha L. Euphorbiceae Rambai, pidada Sonneratia caseolaris (L) Engl. Sonneratiaceae Waru laut Hibiscus tiliaceus L. Malvaceae Waru pantai* Thespesia populnea (L) Malvaceae Bintaro* Cerbera manghas L. Apocynaceae Nipah Nypa fruticans Wurmb. Arecaceae Tumbuhan bawah: Karepotan / tuba laut Derris trifoliata Lour. Leguminosae Jeruju Acanthus ilicifolius L Acanthaceae Piai Acrostichum aureum Lin. Pteridaceae Lambai-lambai Cayratia trifolia (L.) Domin Vitaceae Dadap laut* Clerodendrum inerme Gaertn. Verbenaceae Keladi payau Cryptocoryne ciliata (Roxb.) Schott Araceae Bakung Crinum asiaticum L. Amaryllidaceae? Cyperus stoloniferus Retz. Cyperaceae Serunai laut Widelia biflora Asteraceae Beluntas* Pluchea indica (L.) Less Asteraceae Teratai kecil Nymphaea sp Nymphaeaceae Keterangan: * di luar petak pengamatan 17

34 18 Habitat bekantan di SMKL dibandingkan dengan hasil penelitian di lokasi lainnya di Kalimantan, keanekaragaman vegetasinya tergolong paling rendah. Sebagai pembanding, habitat bekantan di Delta Mahakam Kalimantan Timur tersusun oleh 46 jenis tumbuhan dari 44 marga dan 31 Suku (Atmoko & Sidiyasa 2008), dan di Kuala Samboja meliputi 79 jenis tumbuhan dari 71 marga dan 45 suku (Atmoko et al. 2014). Komunitas tumbuhan di suatu habitat dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti kondisi tanah, cahaya matahari, air dan curah hujan. Selain itu, di mangrove jenis-jenis penyusun komunitas juga dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hal ini karena tidak semua jenis tumbuhan mampu beradaptasi dengan tingkat salinitas. Gangguan dari luar seperti kegiatan budidaya ikan tambak juga dapat mempengaruhi komunitas mangrove. Vegetasi Sumber Pakan. Jenis vegetasi sumber pakan bekantan yang ditemukan di SMKL sebanyak tujuh jenis (Tabel 5). Jumlah jenis sumber pakan tersebut tergolong rendah jika dibandingkan dengan di Delta Mahakam Kalimantan Timur yang ditemukan sebanyak 10 jenis (Atmoko & Sidiyasa 2008), di Nipah Panjang Kalimantan Barat sebanyak 15 jenis (Kartono et al. 2008), dan di Menanggul River Sabah Malaysia sebanyak 188 jenis (Matsuda et al. 2009). Tabel 5 Jenis vegetasi sumber pakan bekantan di Suaka Margasatwa Kuala Lupak Nama lokal Genus/Spesies Family Bagian dimakan Rambai, pedada Sonneratia caseolaris Sonneratiaceae Daun, buah, kelopak buah Api-api Avicennia alba Avicinneaceae Daun muda Waru laut Hibiscus tiliaceus Malvaceae Daun,terutama yang muda Buta-buta Excoecaria agallocha Euphorbiceae Daun Nipah Nypa fruticans Arecaceae Umbut, daun muda Karepotan Derris trifoliata Leguminosae Daun Piai Acrostichum aureum Pteridaceae Daun Bekantan cenderung lebih memilih jenis S. caseolaris sebagai sumber pakan utama, sedangkan sebagai sumber pakan tambahan adalah jenis-jenis A. alba, H. tiliaceus dan D. trifoliata. Bagian tumbuhan S. caseolaris yang dikonsumsi bekantan terutama daun muda, serta buah dan kelopak buah. Pemilihan S. caseolaris sebagai sumber pakan utama juga ditemukan di Delta Mahakam (Alikodra & Mustari 1994, Atmoko et al. 2007), Sungai Sepaku dan Sungai Semoi Kalimantan Timur (Atmoko et al. 2012). Jenis liana D. trifoliata yang melimpah keberadaannya di habitat bekantan SMKL juga dimanfaatkan oleh bekantan sebagai sumber pakan. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Atmoko (2012) bahwa bekantan di Kuala Samboja memanfaatkan D. trifoliata, A. ilicifolius, Rhaphidophora sp., Flagellaria sp., dan Oxyceros longiflora sebagai sumber pakan. Pemilihan jenis tumbuhan D. trifoliata oleh bekantan sebagai sumber pakan diduga berkaitan dengan hal-hal berikut: (a) keterbatasan jenis sumber pakan yang ada mendorong bekantan beradaptasi untuk mengoptimalkan sumber daya pakan yang tersedia, yakni dengan memakan jenis D. trifoliata yang tersedia secara melimpah. Adaptasi ini merupakan salah satu strategi yang digunakan oleh bekantan untuk bertahan hidup di habitat yang terisolasi dan terfragmentasi (Suwarto 2015); (b) jenis D. trifoliata termasuk Leguminosae yang dapat memenuhi kebutuhan nutrisi

35 bekantan. Menurut Gupta & Chivers (2004) yang diacu oleh Atmoko (2012), beberapa jenis tumbuhan dari suku Leguminosae sering dipilih primata karena banyak mengandung N, P dan abu, sejauh tidak menghambat pencernaan. Pemilihan jenis-jenis Leguminosae sebagai sumber pakan oleh subfamili Colobine telah dilaporkan oleh Maisels et al. (1994) dan Chapman et al. (2002). Daun D. trifoliata memiliki kandungan tanin sebesar 9.5% (Orwa et al. 2009). Kandungan tersebut cukup tinggi jika dibandingkan dengan kandungan tanin dari 12 jenis tumbuhan di hutan mangrove yang dilaporkan oleh Bismark (2009), yakni berkisar antara %. Kedua belas tumbuhan tersebut adalah Aglaia cuculata, Allapphyllus cobbe, Ardisia humilis, Avicennia officinalis, Bruguiera gymnorrhiza, B. sexangula, B. parviflora, Ceriops tagal, Ficus sp., F. binnendykii, Lumnitzera littorea, Rhizophora apiculata, dan Sonneratia apiculata. Soendjoto et al. (2006) menyatakan bahwa tumbuhan pakan bekantan di habitat hutan karet berupa daun tiwadak banyu (Artocarpus teysmanii), karet (Hevea brassiliensis) dan kujamas (Syzygium stapfiana) mempunyai kadar tanin yang rendah %. Menurut Alikodra (1997), bekantan tidak menyukai jenis pakan yang mempunyai kadar tanin tinggi. Kadar tanin yang tinggi dapat bersifat toksik, pada tahapan lanjut pada hewan dapat menghalangi kerja enzim, mengurangi kemampuan mencerna dan mengakibatkan hilangnya nafsu makan (El-Lamey 2012). Primata dari sub famili Colobine menetralisir kandungan toksik tanin dengan bantuan bakteri dalam sistem pencernaanya, atau dengan memakan tanah. Kandungan protein, serat dan tanin berhubungan erat dengan seleksi pakan oleh primata termasuk bekantan (Bismark 2009). Variasi jenis pakan pada satwa ruminansia menurut Boonratana (2000) selain untuk memenuhi kebutuhan mineral, merupakan strategi untuk menghindari keracunan yang dapat ditimbulkan oleh senyawa sekunder dalam tumbuhan tersebut. Bekantan pada periode tertentu mengkonsumsi buah yang masih mentah dan biji karena buah yang mentah mengandung lebih sedikit toksin dibanding daun muda (Matsuda 2009). Jenis Pohon Tempat Tidur. Selain sebagai sumber pakan utama, S. caseolaris juga dipilih sebagai pohon tidur utama oleh bekantan. Tidak hanya pohon yang masih hidup, tapi beberapa diantaranya adalah pohon yang sudah mati (dicirikan oleh daun yang meranggas). Satu pohon tidur dapat ditempati oleh 4-17 ekor bekantan. Pemilihan S. caseolaris sebagai pohon tidur diduga karena beberapa alasan, antara lain: jenis ini memiliki diameter lebih besar ( 34 cm), lebih tinggi dan percabangan yang lebih banyak dibanding jenis A. alba, E. agallocha, dan H. tiliaceus. Pohon yang dipilih sebagai pohon tidur bekantan memiliki kisaran tinggi m. Profil S. caseolaris sebagai pohon tidur ini sesuai dengan Bernard et al. (2011) yang menyatakan bahwa struktur fisik dari pohon merupakan faktor penting dalam pemilihan pohon tidur oleh bekantan yang menyukai pohon tidur yang tinggi, serta dahan dan percabangan yang besar. Pohon yang besar memungkinkan semua anggota kelompok untuk tidur di satu pohon yang sama, memudahkan komunikasi dan interaksi sosial anggota kelompok (Anderson 1998, Di Bitetti et al. 2000). Keberadaan jenis S. caseolaris pada kisaran jarak m dari tepi sungai juga menjadi faktor dipilihnya jenis ini sebagai pohon tidur. Bekantan menempati pohon tidur pada kisaran jarak m dari tepi sungai. Di Sabah Malaysia, bekantan menempati pohon tidur dalam kisaran 0 46 m dari tepi sungai 19

36 20 (paling banyak 5-35 m) yang merupakan jarak terdekat dengan sungai sebagai salah satu strategi anti predator (Bernard et al. 2011). Berbeda dengan hasil penelitian Bernard et al. (2011), di SMKL pohon-pohon yang berada di tepi sungai (0 1 m) justru tidak dipilih sebagai pohon tidur. Hal ini diduga karena bekantan sensitif dengan kehadiran manusia sehingga merasa terganggu dengan frekuensi lalu lintas kelotok yang melewati sungai pada saat kondisi air pasang. Lalu lintas manusia ini akan semakin meningkat, terutama pada musim tanam maupun musim panen sawah masyarakat. Keberadaan jenis pohon besar di tepi sungai dimanfaatkan oleh bekantan untuk menyeberang sungai, terutama sebagai pohon tumpuan untuk melompat. Pemanfaatan jenis S. caseolaris sebagai sumber pakan dan pohon tidur utama memberikan kemudahan bagi bekantan mengakses pakan, baik di saat pagi hari ataupun sebelum beristirahat pada sore harinya. Pemilihan S. caseolaris sebagai sumber pakan, pohon tidur dan tempat beraktivitas oleh bekantan di Kuala Samboja telah dilaporkan oleh Alikodra (1997), akan tetapi hasil penelitian Saidah et al. (2002) di kawasan mangrove Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan menunjukkan hal berbeda, yakni S. caseolaris tidak dimanfaatkan oleh bekantan sebagai sumber pakan dan tempat beraktivitas. Kedekatan dengan sumber pakan menjadi faktor penting dalam pemilihan pohon tidur (Matsuda et al. 2010). Bekantan cenderung tetap mencari makan di habitat tepi sungai (dekat pohon tidur) sepanjang pakan tersedia. Hal ini berkaitan dengan strategi untuk menghemat energi (cost of travelling) jika harus menjelajah untuk mencari makan di tempat lain, serta untuk menghindari predator (Matsuda et al. 2011). Satwa Kompetitor dan Predator. Bekantan berbagi sumber daya dengan hirangan atau lutung (Trachypithecus cristatus Raffles, 1821) yang juga termasuk primata dari sub famili Colobine. Populasi hirangan diperkirakan sebanyak setengah dari populasi bekantan, di tapak habitat yang sama Hirangan juga menggunakan S. caseolaris sebagai pohon tidur. Kedua jenis tersebut bersimpatrik dan memanfaatkan ruang yang sama dengan wilayah jelajah yang tumpang tindih. Kedua jenis diduga memanfaatkan vegetasi pakan yang sama karena terbatasnya jenis vegetasi di SMKL. Satwa pemangsa bekantan seperti buaya muara (Crocodylus porosus Schneider, 1801) tidak ditemukan di habitat bekantan di SMKL, tetapi jenis biawak (Varanus salvator Laurenti, 1768) dijumpai di areal dekat tambak. Selama penelitian tidak dijumpai terjadinya peristiwa pemangsaan (predation) bekantan. Struktur dan Komposisi Vegetasi Dominansi dan Indeks Keanekaragaman. Hasil analisis vegetasi (Tabel 6) menunjukkan bahwa di areal bervegetasi dan disukai bekantan (tapak referensi), A. alba mendominasi pada tingkat pertumbuhan pohon (INP=189.01%), tingkat pancang (INP=179.92%) dan anakan (INP=2.08%), dengan kerapatan masing-masing tingkat pertumbuhan pohon sebanyak individu/ha, tingkat pancang sebanyak individu/ha dan tingkat anakan sebanyak individu/ha. S. caseolaris menempati urutan kedua dengan INP sebesar 96.09% dan kerapatan 16 pohon/ha, namun tidak dijumpai pada tingkatan pancang dan anakan.

37 21 Tabel 6 Kerapatan dan Indeks Nilai Penting empat jenis mangrove tertinggi pada habitat bekantan di Tapak referensi, tapak model 1 dan tapak model 2 Jenis K (ind/ha) Tapak Referensi Tapak Model 1 Tapak Model 2 INP H K INP H K INP (%) (ind/ha) (%) (ind/ha) (%) Pohon A. alba E. agallocha H. tiliaceus S. caseolaris Jumlah Pancang A. alba E. agallocha H. tiliaceus S. caseolaris Jumlah Semai A. alba E. agallocha H. tiliaceus S. caseolaris Jumlah H Areal bervegetasi baik yang kurang disukai bekantan (tapak model 1) pada tingkat pohon didominasi oleh S. caseolaris (INP=187.86%) dan A. Alba (INP=107.28%), namun dilihat dari kerapatannya jumlah individu pohon jenis A. alba (50.62 individu/ha) lebih tinggi dibanding dengan S. caseolaris (49.38 individu/ha). Excoecaria agallocha (INP=232.89%) mendominasi tingkat pancang dengan kerapatan individu/ha, disusul oleh A. alba (INP= 67.11%) dengan kerapatan individu/ha. S. caseolaris juga tidak dijumpai pada tingkat pancang di tapak model 1 ini. A. alba dan S. caseolaris memiliki kerapatan yang sama di tingkat anakan, yakni sebesar individu/ha dengan INP masing-masing 4.18% dan 2.46%. Areal terganggu dekat permukiman (tapak model 2) didominasi oleh S. caseolaris di tingkat pertumbuhan pohon dengan kerapatan 28 individu/ha dan INP %. A. alba mendominasi pada tingkat pancang dengan kerapatan 5.33 individu/ha dan INP %. Indeks Nilai Penting (INP) suatu jenis menggambarkan tingkat dominansinya terhadap jenis-jenis lainnya dalam suatu komunitas. Jenis dengan INP tinggi memiliki peluang lebih besar untuk dapat mempertahankan pertumbuhan dan kelestarian jenisnya. Dominansi suatu jenis mengindikasikan bahwa jenis tersebut memanfaatkan lingkungan secara efisien dibanding jenis lain dalam tempat yang sama sehingga keberadaan jenis tersebut lebih stabil dari sisi ketahanan jenis dan pertumbuhannya (Mawazin & Subiakto 2013). Kerapatan jenis pada masing-masing tingkat pertumbuhan dapat digunakan untuk menentukan status regenerasi suatu jenis (Shankar 2001). Berdasarkan klasifikasi Shankar (2001), maka status regenerasi keempat jenis mangrove tertinggi tersaji pada Tabel 7. S. caseolaris mengalami hambatan regenerasi alami, yakni tidak terdapat permudaan semai dan pancang di tapak referensi dan di tapak

38 22 model 1, namun menunjukkan regenerasi yang cukup di tapak model 2, yakni terdapat permudaan tingkat pancang (5.33 individu/ha) dan tingkat semai (66.67 individu/ha). Fenomena ini diduga karena tapak model 2 jarang dikunjungi kawanan bekantan, sehingga anakan S. caseolaris memiliki kesempatan untuk tumbuh, dan resiko mati terinjak ataupun dimakan oleh kawanan bekantan lebih kecil. Jenis S. caseolaris yang mengalami hambatan sistem permudaan alami juga terjadi di habitat bekantan di Kuala Samboja, Kalimantan Timur (Atmoko et al. 2014), yakni kerapatan tingkat semai (1,500 individu/ha) lebih rendah dari tingkat pancang (3,520 individu/ha). Rendahnya kerapatan tingkat semai tersebut menurut Atmoko et al. (2014) diduga disebabkan oleh rapatnya tumbuhan bawah Acrostichum aureum yang menyebabkan semai tertekan dan banyak mati. Tabel 7 Status regenerasi empat jenis mangrove tertinggi di SMKL berdasarkan kriteria Shankar (2001) Jenis Kriteria dan Status Regenerasi Jenis Tapak referensi Tapak Model 1 Tapak Model 2 S. caseolaris Po>Pc = S=0 Tidak ada regenerasi Po>Pc=S=0 Tidak ada regenerasi S>Po>Pc Regenerasi Cukup A. alba S>Po>Pc Regenerasi Cukup E. agallocha S>Pc>Po=0 Baru beregenerasi S>Po>Pc Regenerasi Cukup Pc>Po>A=0 Regenerasi Rendah H. tiliaceus S>Pc>Po Regenerasi baik S>Pc>Po=0 Baru beregenerasi Keterangan : S= semai, Pc = pancang, Po= pohon Pc>Po> S=0 Regenerasi Rendah -- A. alba memiliki regenerasi yang cukup di tapak referensi dan tapak model 1 (jumlah semai>pohon), namun mengalami gangguan regenerasi (regenerasi rendah) pada tingkat pancang (jumlah pancang<pohon) di tapak model 2. E. agallocha menunjukkan status baru beregenerasi karena jumlah semai> pancang, namun tidak dijumpai tingkat pertumbuhan pohon di tapak referensi, dan regenerasi yang cukup di tapak model 2 (jumlah pancang>pohon, tidak terdapat semai). Struktur vegetasi normal hanya ditunjukkan oleh H. tiliaceus di tapak referensi (jumlah semai>pancang>pohon). Struktur tegakan normal akan menyerupai bentuk huruf j terbalik yakni jumlah individu semai> pancang> pohon. Struktur tegakan berbentuk j terbalik akan terbentuk apabila regenerasi alami berjalan baik (Whitmore 1990), sehingga kelestarian populasi suatu jenis akan tercapai (Indriyanto 2006). Tingkat kerapatan pohon berpengaruh pada perilaku satwa arboreal seperti bekantan. Bekantan melompat dari satu cabang pohon ke cabang pohon lainnya untuk menghindarkan diri dari gangguan satwa predator atau manusia. Bekantan juga melompat untuk mendapatkan pakan (pucuk daun atau bunga) yang diinginkannya pada waktu mencari makan dalam kondisi normal. Ketika kawanan bekantan menuju ke pohon tidur di sore hari, mereka bergerak dari cabang ke cabang pohon sambil memtik dan memakan pucuk-pucuk daun. Kerapatan vegetasi di habitat sangat menentukan keberhasilan melompat. Jarak antar kanopi pohon yang melebihi lima meter, seringkali menyebabkan kegagalan dalam --

39 melompat, bekantan tidak sampai mencapai pohon tujuan dan terjatuh ke lantai hutan (Alikodra & Srimulyaningsih (2015). Derris trifoliata mendominansi tumbuhan bawah di semua tapak dengan kerapatan masing-masing pada tapak referensi sebanyak 10,733 individu/ha, tapak model 1 sebanyak 10,277 individu/ha dan tapak model 2 sebanyak 3,233 individu/ha (Tabel 8). D. trifoliata merupakan jenis tumbuhan liana yang membelit, dengan panjang antara 2 15 meter dan tumbuh dengan ketinggian mencapai paha sampai pinggang orang dewasa. Akibatnya regenerasi dari jenisjenis mangrove A. alba, S. caseolaris dan E. agallocha menjadi terhambat, karena anakannya kalah bersaing memperebutkan ruang dan cahaya dengan D. trifoliata. Rendahnya tingkat keanekaragaman jenis vegetasi habitat bekantan di SMKL ditunjukkan oleh nilai indeks keanekaragaman H <1 baik untuk tingkat pohon, pancang maupun tingkat semai (Tabel 6) dan tumbuhan bawah (Tabel 8). Indeks keanekaragaman menunjukkan tingkat kestabilan komunitas. Semakin tinggi nilai H, maka komunitas vegetasi hutan tersebut semakin tinggi tingkat kestabilan keanekaragaman jenisnya (Mawazin & Subiakto 2013). Keragaman jenis tumbuhan pada habitat satwa menentukan potensi jenis pakan serta perilaku makan yang akhirnya menentukan populasi satwa tersebut di alam (Bismark et al. 2003). Tabel 8 Kerapatan dan Indeks Nilai Penting tumbuhan bawah pada bekantan di tapak referensi, tapak model 1 dan tapak model 2 23 habitat Tapak Referensi Tapak Model 1 Tapak Model 2 Jenis K INP H K INP H K INP H (ind/ha) (%) (ind/ha) (%) (ind/ha) (%) A. ilicifolius 1, , A. aureum C. trifolia C. ciliata C. asiaticum C. stoloniferus D. trifoliata 10, , , Nymphaea sp W. biflora Jumlah 131, , , Kesamaan komunitas antar tapak. Nilai indeks kesamaan komunitas memberikan gambaran tingkat kesamaan struktur dan komposisi jenis dari komunitas yang dibandingkan. Antara kisaran 0-100%, semakin tinggi nilai indeks kesamaan jenis menunjukkan tingkat kemiripan jenis yang semakin tinggi diantara dua komunitas (Odum 1996). Tapak referensi dan tapak model 1 memiliki kesamaan komunitas yang paling dekat. Kesamaan komunitas tingkat pohon sebesar 77.01%, tingkat pancang sebesar 29.62% dan tingkat tumbuhan bawah sebesar 90.42%. Tapak referensi dan tapak model 2 memiliki kesamaan komunitas yang lebih rendah dengan nilai indeks kesamaan tingkat pohon sebesar 38.46%, tingkat pancang sebesar 21.28%, dan tumbuhan bawah sebesar 77.29%. Tapak model 1 dan tapak model 2 memiliki tingkat kesamaan komunitas tingkat pohon sebesar 47.76%, tingkat pancang sebesar 5.29% dan tumbuhan bawah sebesar 78.06%. Tapak

40 24 referensi dan tapak model 1 memiliki keempat jenis vegetasi utama yakni S. caseolaris, A. alba, E. agallocha dan H. tiliaceus, sedangkan di tapak model 2 hanya terdapat S. caseolaris dan A. alba. Jenis tumbuhan bawah yang terdapat di tapak referensi dan tapak model 1 adalah Acanthus ilicifolius L, Acrostichum aureum, Cryptocoryne ciliata, D. trifoliata dan Widelia biflora, sedangkan jenis yang sama yang terdapat di tapak model 2 hanya tiga jenis yakni A. Aureum, A. Ilicifolius dan D. trifoliata. Berdasarkan faktor komponen fisik habitat yang diukur tidak terdapat perbedaan antara ketiga tapak, yang membedakan adalah bahwa tapak model 2 lebih dekat dengan gangguan (permukiman) dibandingkan dengan tapak referensi dan tapak model 1. Faktor kesamaan komunitas yang lebih dekat antara tapak referensi dan tapak model 1 ini diduga merupakan penyebab populasi bekantan di SMKL lebih banyak terkonsentrasi di tapak tapak model 1 dan sebagian di tapak referensi. Hasil observasi awal (Juli 2013 dan Agustus 2014, bekantan terkonsentrasi di tapak referensi. Akan tetapi saat penelitian berlangsung kawanan bekantan yang semula berada di tapak referensi sebagian besar berpindah ke lokasi tapak model 1 yang sebelumnya diduga kurang disukai oleh bekantan. Adanya gangguan pembukaan areal untuk sawah baru oleh masyarakat di dekat lokasi tidur bekantan di tapak referensi diduga menjadi penyebab perpindahan sebagian kelompok bekantan tersebut. Selain tapak model 1 memiliki kesamaan komunitas yang lebih dekat dengan tapak referensi, jarak yang lebih dekat (menyeberangi sungai ±30m) diduga menjadi pertimbangan bekantan. Bekantan harus menyeberang sungai sebanyak 2 kali, dengan jarak sungai yang lebih lebar (40-50m) untuk mencapai lokasi tapak model 2. Walaupun ada laporan bahwa bekantan pernah terlihat di tapak model 2, selama periode penelitian berlangsung tidak ditemukan keberadaan bekantan di lokasi ini. Populasi Bekantan Kepadatan Populasi dan Seks Rasio Populasi bekantan yang teramati secara langsung selama 6 kali pengamatan dari dua titik konsentrasi berkisar antara ekor dengan ratarata 104 ekor. Dugaan populasi adalah sebesar 139±43 ekor. Kepadatan populasi 0.81 ekor/ha atau 81 ekor/km 2, pada habitat yang mengalami hambatan regenerasi. Hasil penelitian Yeager & Blondal (1992) bahwa kepadatan populasi bekantan pada habitat yang paling rusak berat 9 ekor/km 2, habitat rusak berat 25 ekor/km 2, habitat rusak sedang 33 ekor/km 2, habitat rusak ringan 62 ekor/km 2. Berdasarkan perbandingan ini populasi bekantan di SMKL dapat dikatakan termasuk over populasi. Kondisi ini mirip dengan populasi bekantan di Pulau Kaget pada akhir 1990an yang habitatnya terdegradasi karena meranggasnya S. caseolaris. Populasi bekantan di P.Kaget saat itu 288 ekor pada habitat seluas 267 ha (kepadatan ekor/km 2 ) dengan kerapatan S. caseolaris 150 tegakan/ha (Bismark 1997, 2009). Hasil analisis vegetasi di SMKL kerapatan S. caseolaris di tapak referensi, tapak model 1 dan tapak model 2 masing-masing hanya 16 tegakan/ha, 49 tegakan/ha dan 28 tegakan/ha. Bekantan yang ada di SMKL terdiri dari sedikitnya 2 kelompok populasi. Satu kelompok di tapak referensi dan 1 kelompok di tapak model 1. Dugaan

41 populasi anggota kelompok bekantan di tapak referensi sebanyak 53±19 individu dan di tapak model 1 sebanyak 86±13 individu, sedangkan di tapak model 2 tidak dijumpai populasi bekantan. Kelompok populasi di tapak referensi dan di tapak model 1 diduga merupakan satu kelompok populasi besar. Dugaan ini berdasarkan pengamatan pada saat observasi tahun 2014 (dan perjumpaan tahun 2013), bahwa populasi bekantan semuanya terkonsentrasi di tapak referensi. Kelompok populasi bekantan di tapak model 1 berasal dari populasi bekantan di tapak referensi yang berpindah ke Tapak model 1. Saat pengamatan berlangsung, teramati 1 kelompok bekantan sedang menyeberang dengan cara berenang dari tapak referensi ke tapak model 1. Kelompok tersebut merupakan kelompok jantan (all male group) yang terdiri dari 26 individu dengan rincian 6 jantan dewasa, 16 jantan setengah dewasa dan 4 remaja. Pemisahan dan penggabungan (fission-fusion) kelompok/sub-kelompok dalam kelompok populasi bekantan lazim terjadi. Menurut Bismark (2009) bahwa pada tahun 1985 kelompok bekantan di Sungai Sangkimah, Taman Nasional Kutai bergabung dalam jumlah lebih dari 80 individu dan 117 individu dalam waktu 3-7 hari. Penggabungan kelompok satu dengan kelompok yang lain berhubungan dengan perilaku anti predator (Yeager 1992), sedangkan pemisahan terkait dengan efisiensi waktu dan pergerakan kelompok dalam memanfaatkan sumber pakan yang ada di ruang pengembaraan (Salter et al. 1985). Nisbah kelamin (sex ratio) bekantan dewasa pada penelitian ini adalah 1:3.09. Nisbah kelamin bekantan di beberapa lokasi menunjukkan variasi diantaranya 1:3.9 di Kuala Samboja Kalimantan Timur (Atmoko et al. 2013), 1:2.83 di Kabupaten Tabalong (Soendjoto 2005), 1:8.4 di Kinabatangan (Boonratana 2000) dan 1:5 di Labuk Bay Sanctuari, Sabah (Agoramoorthy & Hsu 2005). Perbandingan jenis kelamin (sex ratio) merupakan salah satu faktor yang menentukan ukuran populasi efektif (Ne atau EPS/Effective Population Size) (Indrawan et al. 2007). Istilah EFS pertama kali diperkenalkan oleh Sewall Wright pada tahun 1931 dan 1938 sebagai jumlah individu yang berkembang biak dalam suatu populasi ideal yang akan menunjukkan jumlah sebaran frekuensi alel yang sama di bawah tekanan hanyutan genetik (genetic drift) acak. Ukuran populasi efektif didefinisikan sebagai bagian dari populasi yang berhasil berkembang biak (Indrawan et al. 2007). Sex ratio bekantan dewasa pada penelitian ini belum bisa digunakan untuk menentukan EPS-nya, karena hanya didasarkan pada jumlah individu jantan dan betina dewasa secara umum saja. Penentuan EPS harus berdasarkan seks rasio optimal, yakni perbandingan jenis kelamin jantan produktif terhadap semua betina produktif yang berhasil dikawini (menghasilkan keturunan). Meskipun jumlah jantan reproduktif dapat diduga dari jumlah jantan residen (alpha male) pada harem (one male group), namun jumlah betina reproduktif di lapangan tidak bisa diketahui kecuali melalui pengamatan intensif dalam periode waktu yang lama. Berbeda dengan jantan yang akan meninggalkan kelompoknya saat sudah tidak reproduktif dan digantikan oleh jantan residen yang baru, pada betina belum ada indikator yang dapat dijadikan acuan. 25

42 26 Struktur Kelompok Kelompok bekantan yang teridentifikasi di SMKL terdiri dari sub kelompok All Males Group (AMG), sub kelompok One Male Group (OMG), dan sub kelompok campuran (Multi Male), serta adanya kemungkinan sistem berpindah antar anggota kelompok (fission-fusion) (Tabel 9). Kriteria penentuan kelompok AMG dan OMG mengacu pada penelitian Yeager (1990). Menurut Bismark (2009), sistem sosial bekantan di hutan mangrove cenderung mengarah kepada sistem multi-male. Tabel 9 Rekapitulasi struktur kelompok dan ukuran kelompok bekantan Lokasi Tapak referensi (bervegetasi disukai bekantan) Tapak model 1 (bevegetasi tidak disukai bekantan) Tapak model 2 (bervegetasi, dekat gangguan) Jumlah dan tipe kelompok Kisaran Ukuran kelompok (Individu) Dugaan Populasi (individu) 1 AMG ±19 2 OMG Campuran/ multi-male 28 1/2 AMG ±13 5/6 OMG Campuran/ multi-male 9-59 Tidak dijumpai populasi bekantan Gambar 4 Salah satu kelompok jantan (AMG) di SMKL Sedikitnya terdapat dua sub kelompok AMG, yang pertama terdiri dari 26 ekor (6 jantan dewasa, 16 jantan setengah dewasa dan 4 remaja) yang teramati saat sedang menyeberang (melompat dan berenang dari tapak referensi ke tapak model 1). Kelompok yang lain terdiri dari 6 ekor jantan dewasa, dan pada ulangan yang lain teramati kelompok AMG yang anggotanya 2 individu jantan dewasa dan 3 individu setengah dewasa. Kelompok ini diduga merupakan sub kelompok yang sama dengan sub kelompok yang teramati berjumlah 6 ekor. Kelompok AMG dibentuk oleh jantan yang belum kawin. Bekantan jantan remaja yang lebih tua

43 akan meninggalkan kelompok natalnya (berdispersal) dan bergabung dengan kelompok jantan untuk menghindari inbreeding dan kompetisi intrasexual (Boonratana 1999). Bennet & Sebastian (1988) menyatakan bahwa komposisi AMG selalu berubah dan tidak stabil, karena mereka hanya beragregasi apabila terdapat kelompok non harem di sekitar mereka. Sub kelompok OMG atau harem adalah kelompok yang terdiri dari seekor jantan dewasa, beberapa betina dewasa, betina setengah dewasa, remaja dan anak/bayi. Hasil pengamatan terdapat 7 sampai 8 kelompok OMG, yakni dengan jumlah anggota kelompok bervariasi mulai dari 7 sampai 35 individu dalam satu kelompok. Anggota kelompok OMG biasanya tidur di pohon yang sama, atau menggunakan lebih dari 1 pohon tidur yang jarak antar pohon tidak lebih dari 15 meter. Yeager (1990) menyimpulkan bahwa bekantan cenderung hidup dalam kelompok OMG yang stabil. Namun perpindahan individu antar kelompok biasa terjadi pada kelompok bekantan (Bennet & Sebastian 1988, Murai 2004, Murai et al. 2007). Betina yang menginjak dewasa dilaporkan sering bergabung dengan kelompok AMG selama beberapa waktu untuk kawin dengan jantan pada kelompok tersebut tanpa menimbulkan konflik di antara jantan yang ada (Murai 2004). Perpindahan betina remaja atau betina dewasa yang membawa serta anaknya antar kelompok one male juga biasa terjadi walaupun kadang gagal karena dihalangi oleh jantan dewasa dari kelompok asalnya (Murai et al. 2007). Murai (2004) menemukan fenomena lain yakni betina dewasa yang berpindah kelompok meninggalkan anaknya yang jantan pada kelompok AMG. Alasan perpindahan betina terutama untuk menghindari inbreeding karena betina mengalami kematangan seksual sekitar 5 tahun, sedangkan posisi jantan pada kelompok OMG lebih lama yakni sekitar 8 tahun (Murai 2004). Alasan lainnya adalah untuk menghindari infanticide dan meningkatkan status dominansi hirarki dalam kelompok (Boonratana 1999). 27 Gambar 5 Salah satu kelompok OMG di SMKL. O= jantan alpha male

44 28 Sub kelompok multi male adalah sub kelompok campuran, terdapat lebih dari satu jantan dewasa dalam kelompok. Menurut Yeager (1990), struktur kelompok multi-male bekantan telah dilaporkan sebelumnya oleh Kawabe & Mano (1972), Kern (1964), Macdonald (1982), Salter (1985). Jumlah jantan dewasa dalam sub kelompok multi-male bervariasi antara 2 sampai 5 individu, dengan jumlah betina dewasa antara 4 sampai 19 individu. Jumlah anggota sub kelompok campuran ini mulai dari 9 individu hingga 59 individu. Besarnya jumlah anggota kelompok yang dapat mencapai 45 dan 59 individu, dimungkinkan akibat terjadinya penggabungan antara 2 atau lebih sub kelompok. Proses fision-fusion lumrah terjadi karena bekantan bukanlah jenis satwa yang memiliki teritorial (Boonratana 2000, Matsuda et al. 2008) yang harus dipertahankan. Tumpang tindih wilayah jelajah antar kelompok mencapai 95.9% (Yeager 1989). Bekantan bahkan sering berbagi pohon tidur (Boonratana 2000, Matsuda et al. 2010), di Tanjung Pedada tumpang tindih wilayah jelajah bukan hanya antar sesama kelompok bekantan tetapi juga antara kelompok bekantan dengan kelompok hirangan (Trachypithecus cristatus). Struktur Populasi Jumlah individu bekantan menurut kelas umur disajikan pada Tabel 10. Angka jumlah individu masing-masing kelas umur didapat dari hasil pembagian jumlah seluruh individu pada kelas umur masing-masing dibagi dengan selang kelas umurnya, sehingga didapatkan angka perbandingan untuk struktur populasi yakni jantan dewasa: betina dewasa: remaja: anak = 1: 4: 6: 4. Penentuan umur sebenarnya dan rentang dari tiap kelas umur bekantan sulit dilakukan di lapangan, oleh karena itu penentuan kelas umur dan selang kelas umur dalam penelitian ini menggunakan pendekatan hasil-hasil penelitian terdahulu. Kelas Umur Tabel 10 Jumlah populasi bekantan menurut kelas umur Selang Kelas Umur (tahun) Jumlah individu menurut kelas umur Jantan Betina Total Anakan 0-4 (jantan+betina) 4 Remaja (jantan+betina) 6 Dewasa Struktur populasi menunjukkan bahwa jumlah populasi yang tinggi terkonsentrasi pada kelompok usia remaja-dewasa (Gambar 6). Rendahnya jumlah populasi kelas umur anak belum bisa diduga sebagai indikasi adanya penurunan pada natalitas, karena ada banyak faktor yang mempengaruhi reproduksi bekantan. Sumberdaya yang tersedia merupakan faktor yang menentukan reproduksi betina pada spesies yang menganut sistem polygyni (Sinclair et al. 2006), seperti bekantan. Menurut Alcock (1989), keberhasilan reproduksi betina dipengaruhi oleh kandungan nutrisi yang tersedia. Kandungan nutrisi yang terdapat dalam sumber pakan menjadi pembatas utama reproduksi betina. Habitat yang kondusif untuk memenuhi kebutuhan pakan akan menjadi natal area yang kondusif pula, sebaliknya habitat yang terganggu akan menyebabkan regenerasi bekantan juga terganggu. Oleh karena itu diperlukan pemantauan berkala yang menunjukkan data series apakah jumlah kelahiran terus menurun dari waktu ke waktu, atau

45 Jumlah undividu apakah ada fenomena lainnya, mengingat kondisi habitat bekantan di SMKL saat ini mengalami gangguan regenerasi alami dan semakin dekat dengan gangguan manusia. Struktur umur bekantan tersebut belum menggambarkan dinamika populasi yang sebenarnya, karena tidak dapat menampilkan kelas umur tua. Kriteria Yeager (1990) yang digunakan sebagai acuan pada saat survey hanya dapat mengidentifikasi/ mengklasifikasi individu bekantan apakah termasuk ke dalam kelas umur bayi/anak, remaja, setengah dewasa, dan dewasa. Penaksiran umur bekantan di lapangan sangat sulit, kecuali dilakukan di lingkungan terkontrol seperti penangkaran yang ada di lembaga konservasi. Kriteria kelas umur yang diacu menurut Bennet & Sebastian (1988) dan Yeager (1990) lebih didasarkan pada ciri morfologi dan perilaku. Sampai saat ini belum ada acuan praktis yang dapat digunakan untuk menaksir atau mengidentifikasi mana bekantan yang masih produktif dan yang sudah tidak produktif (kelas umur tua) di alam. Selang umur sebenarnya dari masing-masing kelas umur tidak diketahui secara pasti. Struktur populasi ini belum menggambarkan perbandingan jantan dan betina pada kelas umur remaja dan anak, karena di lapangan sulit menentukan jenis kelamin bekantan remaja dan anak karena organ yang mencirikan sex dimorphisme belum tumbuh sempurna (betina) 1 (Jantan) Anak Remaja Dewasa Kelas umur Gambar 6 Struktur populasi bekantan menurut kelas umur Persepsi masyarakat terhadap Konservasi Bekantan di SM Kuala Lupak Karakteristik masyarakat aktor konversi lahan Masyarakat responden dalam penelitian adalah masyarakat yang terlibat langsung dalam aktivitas konversi lahan di SM Kuala Lupak. Karakteristik masyarakat meliputi asal penduduk, status kepemilikan lahan, tingkat pendidikan, umur, lamanya menggarap lahan di SMKL, dan domisili (di dalam atau di luar kawasan). Responden yang diwawancarai sebanyak 33 orang, yang terdiri dari 31 orang (94%) laki-laki dan 2 orang (6%) perempuan. Sebanyak 78.7 % atau 26 orang merupakan warga pendatang dari Sulawesi (suku Bugis), 15.15% (5 orang) adalah penduduk asli (suku Banjar) dan sisanya sebanyak 6.06% (2 orang) berasal dari Lombok dan warga keturunan perkawinan suku Banjar dan Bugis.

46 30 Lebih dari 80% masyarakat petambak di SMKL adalah golongan usia produktif yang berusia antara 20 sampai 50 tahun, yakni 36.36% berumur antara tahun, 39.39% berusia antara tahun, serta 9.09% berusia antara tahun, hanya sekitar 15.15% yang berusia di atas 50 tahun. Sebagian dari mereka memiliki latar belakang pendidikan yang rendah yakni 57.58% tamatan SD, 21.21% tamatan SMP serta 15.15% diantaranya bahkan tidak menamatkan sekolah dasar. Para petambak di SMKL lebih dari 54% sudah menggarap tambak >10 tahun. Mereka ini termasuk dalam 2 kelompok pembuka lahan yang pertama di dalam kawasan SMKL. Sisanya, sekitar 21.21% menggarap tambak antara 2-5 tahun, sebagiannya adalah mereka yang membuka lahan dengan jalan membeli dari oknum atau mereka yang membeli lahan dari pemilik terdahulu. Para petambak sebagian (57.58%) menetap di luar kawasan, di Desa Aluh-aluh dan Desa Tabunganen, sedangkan sebagian lagi (42.42%) menetap di pondok yang dibangun di areal tambak (Tabel 11). Tabel 11 Karakteristik responden Kriteria pengelompokan berdasarkan karakteristik Jumlah Persentase (%) Jenis garapan sawah tambak sawah + tambak Jumlah Status kepemilikan lahan milik sendiri milik orang lain (penggarap) milik bersama (milik keluarga) Jumlah Umur tahun tahun tahun > 50 tahun Jumlah Tingkat pendidikan tidak tamat SD tamat SD/sederajat tamat SMP/sederajat tamat SMA/sederajat Jumlah Lamanya menggarap lahan di SMKL tahun < x 5 tahun < x 1 tahun >10 tahun Jumlah Domisili Di dalam kawasan Di luar kawasan Jumlah

47 Proses Pemilikan Tambak Kedatangan masyarakat dari Sulawesi di kawasan SMKL dimulai sejak tahun 1999 dan masih berlangsung hingga sekarang, meski tidak lagi dalam jumlah yang besar. Awal tahun 2000, para pendatang membuka hutan dan membangun tambak atas ijin kepala padang. Keberhasilan usaha tambak pada periode awal menarik minat pendatang baru dan penduduk asli untuk berusaha di bidang pertambakan. Seiring waktu, kepemilikan lahan sebagiannya berpindah tangan karena diperjualbelikan dari pemilik yang lama kepada pendatang baru ataupun penduduk lokal. Proses pengurusan ijin dan pembukaan hutan mangrove dilakukan secara berkelompok. Pembukaan lahan untuk tambak ada yang dikerjakan secara manual dan ada yang dengan mekanis dengan menggunakan alat berat. Upaya pemilik tambak untuk melegalformalkan status lahan ditempuh dengan cara mengurus Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah (SP2FBT) yang diterbitkan oleh kepala desa (Gambar 7). Saat ini sebanyak 54.55% petambak menggarap lahan milik sendiri baik hasil membuka hutan atau membeli dari pemilik terdahulu, dan sebanyak 42.42% merupakan petambak yang bekerja menggarap lahan milik orang lain dengan sistem bagi hasil. Sistem bagi hasil yang diterapkan adalah pemilik lahan (bos) memberikan modal berupa bibit dan biaya operasional, dan petambak penggarap bekerja di tambak dan menjaga tambak. Prosentase bagi hasil keuntungan adalah 2:1, yaitu 2 bagian untuk pemilik lahan dan 1 bagian untuk penggarap. Komoditi utama yang diusahakan adalah ikan bandeng, dengan hasil ikutan udang alam. Selain itu sebagian masyarakat petambak juga membudidayakan nila.. 31 Gambar 7 Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah (SPPFBT)

48 32 Persepsi Masyarakat Hasil identifikasi terhadap persepsi masyarakat yang meliputi tingkat pengetahuan mengenai bekantan dan status hukum perlindungannya, status kawasan SMKL, serta sikap penerimaan dan dukungan terhadap kegiatan restorasi di SMKL disajikan pada Tabel 12. Tingkat persepsi pengetahuan masyarakat yang meliputi pengetahuan tentang keberadaan dan status perlindungan bekantan cukup baik yakni di atas 50%, demikian juga dengan pengetahuan tentang status kawasan SMKL. Namun demikian sikap penerimaan dan dukungan masyarakat terhadap program restorasi masih rendah (<50%). Persepsi positif selanjutnya diuji statistik untuk melihat faktor-faktor mana yang memberikan perbedaan tingkat persepsi, baik pengetahuan maupun sikap. Tabel 12 Persepsi masyarakat tentang konservasi bekantan dan SM Kuala Lupak Aspek Persepsi Tingkat Persepsi Total Pengetahuan masyarakat : Tahu Ragu-ragu Tidak tahu Pengetahuan tentang keberadaan bekantan (84.85%) (15.15%) 33 (100%) Pengetahuan tentang status perlindungan bekantan 19 (57.58%) 0 14 (42.42%) 33 (100%) Pengetahuan tentang status kawasan SMKL 20 (60.61) 4 (12.12) 9 (27.27) 33 (100%) Sikap penerimaan : Setuju Ragu-ragu Tidak setuju Penerimaan terhadap kegiatan rehabilitasi SMKL (39.39%) (36.36%) (24.24%) Sikap dukungan : Mendukung Ragu-ragu Tidak mendukung Kesediaan mendukung/ dilibatkan dalam program restorasi 15 (45.45%) 13 (39.39%) 5 (15.15%) 33 (100%) 33 (100%) Pengetahuan masyarakat tentang keberadaan bekantan. Sebanyak 28 dari 33 atau 84.85% masyarakat yang beraktivitas di dalam kawasan SMKL mengetahui keberadaan bekantan. Pengetahuan tersebut umumnya diikuti dengan pengetahuan tentang jenis tumbuhan yang dimakan dan jenis pohon yang digunakan sebagai pohon tidur. Responden yang menyatakan tidak mengetahui tentang bekantan adalah mereka yang merupakan pendatang baru, yang keberadaannya di kawasan kurang dari 1 tahun. Mereka ini adalah pendatang dari Sulawesi yang bekerja sebagai petambak penggarap. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat pengetahuan responden terhadap bekantan berdasarkan status kepemilikan lahan (X 2 hit =12.72 > X 2 tabel (0.05) = 9.488, tingkat umur (X 2 hit =12.69 > X 2 tabel (0.05) = dan domisili di dalam atau di luar kawasan (X 2 hit =7.95 > X 2 tabel (0.05) = 5.991). Faktor tingkat pendidikan, asal responden dan lamanya menggarap lahan tidak menunjukkan adanya perbedaan tingkat pengetahuan tentang bekantan. Berdasarkan status kepemilikan lahan, tingkat umur dan domisili responden (di dalam/di luar kawasan) terdapat perbedaan pengetahuan responden. Hal ini karena sebagian penggarap (bukan pemilik tambak) adalah para pendatang baru yang belum lama menetap di SMKL, berusia antara tahun, dan tinggal di

49 pondok mengurus dan menjaga tambak. Mereka ini belum punya kesempatan banyak mengenali wilayah sekitarnya. Proporsi masyarakat responden yang mengetahui tentang keberadaan bekantan berdasarkan karakteristik responden tersaji pada Gambar Milik orang lain 27% Milik bersama 0% kepemilikan lahan Milik sendiri 73% Tamat SMP 27% Tamat SMA 7% tingkat pendidikan Tidak tamat SD 20% Tamat SD 46% Lainnya 7% Bugis 80% asal penduduk Banjar 13% > 10 tahun 67% 2 tahun 13% antara 2-5 th 20% lamanya menggarap lahan antara 5-10 th 0% > 50 tahun 13% tahun 13% tahun 40% di dalam kawasan 27% tahun 34% umur di luar kawasan 73% domisili Gambar 8 Distribusi responden berdasarkan pengetahuan masyarakat tentang keberadaan bekantan Pengetahuan masyarakat tentang status perlindungan bekantan. Masyarakat responden yang mengetahui bahwa bekantan termasuk satwa dilindungi sebanyak 57.58% (19 dari 33), sisanya 42.42% belum mengetahui status perlindungan bekantan (Gambar 9). Perbedaan tingkat pengetahuan masyarakat tentang status perlindungan bekantan dipengaruhi oleh status kepemilikan lahan (X 2 hit=16.46 > X 2 tabel (0.05 )= 9.488) dan lamanya menggarap lahan (X 2 hit= > X 2 tabel (0.05 ) = ). Perbedaan pengetahuan ini karena

50 34 masyarakat yang statusnya pemilik lahan sebagian besar telah menggarap lahan lebih dari 5 tahun. Mereka ini umumnya sudah pernah mendapatkan informasi tentang status perlindungan bekantan baik secara langsung melalui petugas atau kegiatan sosialisasi yang diselenggarakan oleh BKSDA Kalimantan Selatan, maupun secara tidak langsung dari teman yang pernah mengikuti sosialisasi. Selain itu para pemilik tambak ini kebanyakan berdomisili di desa di luar kawasan SMKL sehingga lebih banyak mndapatkan informasi dari luar. milik orang lain 11% Milik bersama 0% Tamat SMA 11% Tidak tamat SD 10% Milik sendiri 89% Tamat SMP 32% Tamat SD 47% kepemilikan lahan tingkat pendidikan Tamat SMA 11% tidak tamat SD 10% 2 tahun 16% antara 2-5 tahun 5% Tamat SMP 32% tamat SD 47% tingkat pendidikan > 10 tahun 74% antara 5-10 tahun 5% lamanya menggarap lahan tahun 5% > 50 tahun 21% umur tahun 32% tahun 42% di luar kawasan 74% domisili di dalam kawasan 26% Gambar 9 Distribusi responden berdasarkan pengetahuan masyarakat tentang status perlindungan bekantan

51 Pengetahuan tentang status kawasan SM Kuala Lupak Pengetahuan terhadap status kawasan SM Kuala Lupak meliputi (1) apakah responden mengetahui status kawasan SMKL sebagai kawasan konservasi dan (2) apakah responden mengetahui tentang ketentuan hukum tentang aktivitas menggarap lahan di kawasan konservasi SMKL. Sebanyak 60.61% responden menyatakan tahu, 12.12% responden menyatakan ragu-ragu dan 27.27% menyatakan tidak tahu tentang status kawasan SMKL sebagai kawasan konservasi. Responden yang menyatakan tahu, mengaku pada awalnya saat membuka lahan ataupun membeli lahan dari pemilik terdahulu mereka tidak mengetahui mengenai status kawasan. Mereka mengetahui setelah ada sosialisasi kegiatan penanaman di kawasan ini. Responden yang mengaku tidak tahu kebanyakan adalah pekerja tambak yang masih terbilang pendatang baru. Responden yang menjawab ragu-ragu beralasan bahwa mereka ragu bahwa lahan tambak mereka masuk dalam kawasan karena tidak ada penanda batas (pal batas) yang jelas di lapangan. Selain itu nomenklatur Kuala Lupak menurut mereka adalah wilayah Sungai Kuala Lupak yang terletak di Desa Kuala Lupak (terletak di sebelah barat kawasan), sedangkan posisi tambak mereka tidak berada di Sungai Kuala Lupak. Sebagaimana diuraikan pada gambaran umum kawasan bahwa ada 9 sembilan sungai yang mengaliri kawasan SMKL. Ketidaktahuan dan keraguan masyarakat mengenai status kawasan SMKL sebagai kawasan konservasi dimulai sejak proses pemilikan lahan garapan. Menurut pemilik tambak, mereka mendapatkan hak untuk memiliki dan menggarap lahan atas persetujuan oknum pembakal (kepala desa). Pengurusan ijin ke kepala desa dilakukan secara kolektif oleh ketua kelompok. Setelah mengantongi ijin berupa surat keterangan dari kepala desa dengan membayar sejumlah uang tertentu, mereka boleh membuka hutan dan menggarap lahan untuk tambak. Selanjutnya atas dasar surat keterangan tersebut dan modal yang sudah dikeluarkan untuk menggarap tambak/sawah masyarakat merasa berhak untuk mempertahankan haknya. Kepemilikan lahan tambak berpindah tangan dari pemilik lama ke pemilik baru dengan cara jual beli. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat pengetahuan responden mengenai status SMKL sebagai kawasan konservasi berdasarkan status kepemilikan lahan (X 2 hit= > X 2 tabel (0.05) = 9.488), asal responden (X 2 hit= > X 2 tabel (0.05) = 9.488, lamanya menggarap lahan (X 2 hit = > X 2 tabel (0.05) = ) dan domisili responden (X 2 hit = > X 2 tabel (0.05)= 5.991). Faktor tingkat umur dan tingkat pendidikan tidak menunjukkan perbedaan tingkat pengetahuan. Tingkat pengetahuan mengenai status SMKL ini terkait dengan informasi yang didapatkan oleh masyarakat. Para pemilik tambak sebagian besar (80%) merupakan pendatang generasi awal yang menggarap lahan lebih dari 10 tahun (65%) dan saat ini sebagiannya (70%) berdomisili di luar kawasan. Para pemilik tambak ini sudah hidup membaur dan bersosialisasi dengan penduduk setempat sehingga mengetahui informasi yang beredar di masyarakat. Selain itu sebagian di antaranya ada yang sudah pernah mendapatkan sosialisasi dari petugas BKSDA Kalimantan Selatan. Distribusi responden berdasarkan pengetahuan masyarakat responden tentang status kawasan SM Kuala Lupak sebagai kawasan konservasi disajikan pada Gambar

52 36 Milik orang lain 20% Milik bersama 0% Tamat SMP 20% Tamat SMA 5% Tidak tamat SD 15% kepemilikan lahan Milik sendiri 80% tingkat pendidikan tamat SD 60% Lainnya 10% Bugis 80% asal penduduk Banjar 10% > 10 tahun 65% 2 tahun 20% lamanya menggarap lahan antara 2-5 th 10% antara 5-10 th 5% > 50 tahun 25% tahun 30% di dalam kawasan 30% tahun 10% umur tahun 35% di luar kawasan 70% domisili Gambar 10 Distribusi responden berdasarkan pengetahuan masyarakat tentang status kawasan SMKL sebagai kawasan konservasi Sikap penerimaan masyarakat terhadap program restorasi Sikap responden terhadap program restorasi yang dimaksud adalah kegiatan penanaman mangrove di SMKL melalui kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) yang telah dilaksanakan oleh Balai KSDA Kalsel pada tahun 2012 dan Penanaman mangrove tersebut sebagian dilaksanakan di lokasi tambak

53 yang ada di dalam kawasan. Distribusi sikap penerimaan masyarakat tersaji pada Gambar Milik orang lain 23% Milik bersama 0% Tamat SMA 8% Tidak tamat SD 23% Milik sendiri 77% Tamat SMP 23% Tamat SD 46% kepemilikan lahan tingkat pendidikan Lainnya 8% Banjar 8% 2 tahun 16% antara 2-5 th 15% Bugis 84% asal penduduk > 10 tahun 69% antara 5-10 th 0% lamanya menggarap lahan tahun 15% > 50 tahun 15% tahun 39% di dalam kawasan 31% tahun 31% umur di luar kawasan 69% domisili Gambar 11 Distribusi responden berdasarkan sikap penerimaan masyarakat terhadap program restorasi Berdasarkan hasil uji statistik, faktor yang memberikan pengaruh terhadap perbedaan sikap responden terhadap program restorasi adalah faktor domisili atau keberadaan responden yang menetap di dalam kawasan atau di luar kawasan

54 38 (X 2 hit= 9.22 > X 2 tabel (0.05)= 5.991). Status kepemilikan lahan justru tidak menunjukkan perbedaan sikap. Hal ini diduga karena responden yang diwawancara sebagian (42.42%) adalah para pekerja tambak (penggarap) sehingga tidak mewakili pendapat sebagian pemilik tambak itu sendiri. Kesediaan mendukung/ terlibat dalam program restorasi Responden yang menyatakan kesediaannya mendukung program restorasi SM Kuala Lupak adalah 45.45% dari total responden (Gambar 12). Masyarakat bersedia mendukung program penanaman dengan catatan asalkan mereka tetap diijinkan menggarap tambak dan tidak diusir dari lahannya. Milik orang lain 27% Milik bersama 0% kepemilikan lahan Milik sendiri 73% Tamat SMP 27% Tamat SMA 7% tingkat pendidikan Tidak tamat SD 20% Tamat SD 46% Lainnya 7% Banjar 13% > 10 tahun 67% 2 tahun 13% antara 2-5 th 20% Bugis 80% asal penduduk antara 5-10 th 0% lamanya menggarap lahan tahun 13% > 50 tahun 13% tahun 40% di dalam kawasan 27% tahun 34% umur di luar kawasan 73% domisili Gambar 12 Distribusi responden berdasarkan mendukung program restorasi kesediaan masyarakat

55 Sebanyak 39.40% menyatakan masih ragu-ragu. Kelompok yang menyatakan ragu-ragu sebagian besar adalah mereka yang menggarap lahan milik orang lain, karena keputusan yang sebenarnya ada ditangan pemilik tambak. Sebagian responden menyatakan akan mengikuti keputusan kelompoknya. Kelompok responden menyatakan tidak bersedia memberikan dukungan sebanyak 15.15%. Alasannya karena sebelumnya saat membuka lahan/ membeli lahan tidak tahu mengenai status kawasan. Bertambak adalah mata pencaharian utama dan mereka sudah mengeluarkan modal yang besar untuk membuka tambak di Kuala Lupak. Sikap kesediaan mendukung program restorasi ini ternyata tidak dipengaruhi oleh faktor status kepemilikan lahan, tingkat umur, pendidikan, asal responden maupun lamanya mereka menggarap lahan. Faktor yang mempengaruhi perbedaan sikap adalah domisili responden (X 2 hit= > X 2 tabel (0.05)= 5.991). Hal ini diduga bahwa interaksi yang lebih intensif dengan masyarakat diluar kawasan memberikan pengaruh terhadap sikap melalui penerimaan informasi yang mereka terima. Dugaan lainnya adalah karena mereka menyadari bahwa mereka tidak memiliki kekuatan legalitas kepemilikan lahan. Berdasarkan wawancara lebih dalam, para petambak bersedia mendukung penanaman mangrove di tepi pantai. Untuk penanaman di lahan tambak, mereka akan mendukung dengan syarat : mereka boleh tetap diperbolehkan menggarap tambaknya dan jika tanaman mangrove nantinya sudah besar agar diperbolehkan untuk dilakukan penjarangan. Selain itu mereka minta agar dilibatkan dalam penanaman, terutama penanaman yang dialokasikan di lahan mereka. Para petambak juga bersedia dilibatkan dalam pembentukkan kelompok kelembagaan yang mendukung program pelestarian mangrove jika ada peluang untuk meningkatkan pendapatan. Persepsi Stakeholder dalam Restorasi Habitat Bekantan di SM Kuala Lupak Kegiatan restorasi habitat bekantan merupakan bagian dari upaya menyelesaikan permasalahan degradasi kawasan hutan SMKL yang disebabkan oleh aktivitas manusia. Balai KSDA Kalimantan Selatan sebagai pemangku kawasan tidak mampu menyelesaikan sendiri masalah fragmentasi dan degradasi ekosistem SMKL karena: (1) penyebab utamanya adalah konversi hutan untuk aktivitas budidaya masyarakat, (2) menyangkut persoalan hajat hidup masyarakat, (3) memerlukan penyelesaian lintas sektor untuk menyelesaikan permasalahan masyarakat. Oleh karena itu BKSDA Kalsel membutuhkan mitra untuk menjalankan strategi penyelesaian masalah. Berdasarkan hasil wawancara dan diskusi dengan perwakilan instansi/lembaga yang dianggap memiliki kewenangan untuk menjalankan kebijakan dan tupoksi yang dengan terkait dan permasalahan SM Kuala Lupak dan keberadaan masyarakat pelaku konversi lahan di SMKL, dapat ditarik kesimpulan pendapat para pemangku kepentingan sebagai berikut: 1) Koordinasi penanganan perambahan SM Kuala Lupak yang bersinergi melibatkan lintas stakeholder terkait masih berada di tingkat forum seperti rapat koordinasi penanganan perambahan SMKL, belum pada tingkat pelaksanaan aksi di lapangan 2) Program pelestarian bekantan belum menjadi prioritas dan belum disinergikan dengan program instansi di tingkat Kabupaten Barito Kuala 39

56 40 (Bappeda, Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Dinas Pertanian, Dinas Kelautan dan Perikanan, Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan. 3) Komunikasi dan kerjasama yang dilakukan oleh BKSDA dengan instansi kabupaten terkait penanganan perambahan SMKL masih minim. Selain koordinasi dan kerjasama dengan pihak TNI (Kodim-Korem) terkait pelaksanaan kegiatan RHL di Kuala Lupak, dengan instansi lain belum ada. Misalnya terkait keberadaan aktivitas pertanian masyarakat dan pertambakan masyarakat di dalam kawasan belum pernah dikomunikasikan antara BKSDA dengan Dinas Pertanian dan Dinas Kelautan dan Perikanan. Strategi Restorasi Habitat Bekantan Sasaran strategi restorasi habitat bekantan di SMKL meliputi areal habitat referensi dan di habitat terdegradasi di luar habitat referensi. Alternatif-alternatif kegiatan yang dirumuskan sebagai strategi restorasi disusun berdasarkan hasil identifikasi kondisi eksisting yang meliputi permasalahan dan peluang yang bisa mendukung keberhasilan restorasi berdasarkan aspek habitat dan ruang, populasi bekantan dan sosial. Aspek Habitat Habitat bekantan di SMKL terdiri atas: 1) habitat referensi, yang saat ini masih digunakan oleh bekantan seluas ±195 ha, 2) habitat terdegradasi berupa areal tambak (±1, ha) serta areal persawahan masyarakat (± ha) dan areal bervegetasi (± ha) yang tidak tidak digunakan bekantan ataupun lutung karena terhalang oleh tambak. Berdasarkan aspek habitat strategi restorasi di bedakan menjadi strategi di habitat referensi dan strategi di habitat terdegradasi. Strategi Restorasi di Habitat Referensi Pengendalian tumbuhan bawah Derris trifoliata. Tumbuhan bawah D. trifoliata mendominasi dan bersifat invasif di habitat referensi bekantan di Tanjung Pedada Tua. Kerapatan D. trifoliata mencapai lebih dari 10,000 individu/ha dan tinggi hampir sepinggang orang dewasa, menghalangi biji jenisjenis bakau untuk mencapai permukaan tanah sehingga mati sebelum sempat tumbuh. Biji yang tumbuh menjadi semai kemudian anakan, terganggu pertumbuhannya karena kekurangan cahaya, posisi tumbuh yang kurang baik, dan harus bersaing mendapatkan hara. Akibatnya regenerasi alami S. caseolaris, E. agallocha dan yang lainnya menjadi terhambat. Secara ekologi mangrove, dominasi mangrove ikutan seperti D. trifoliata merupakan indikator kerusakan mangrove (Ardli 2010). Oleh karena itu perlu langkah-langkah nyata untuk mengendalikan D. trifoliata dalam rangka pembinaan habitat bekantan. Pengendalian D. trifoliata harus didahului dengan kajian ekologi jenis ini seperti bagaimana perkembangbiakannya serta faktor-faktor apa saja yang dapat menunjang dan menghambat perkembangbiakannya. Kegiatan pengendalian dapat dilakukan dengan mengetahui faktor penghambat pertumbuhan. Salah satu strategi pengendalian D. trifoliata adalah dengan pemanenan dan pemanfaatan jenis ini. Oleh karena itu pengelola perlu mencari peluang pemanfaatan jenis ini.

57 D. trifoliata adalah sejenis tanaman yang berkhasiat tuba (racun) alami. Jenis ini dimanfaatkan sebagai racun ikan di beberapa tempat diantaranya di Papua Nugini. Di India, jenis ini digunakan sebagai obat lokal untuk stimulan, mengatasi iritasi dan rematik. D. trifoliata dan kerabatnya D. elliptica sudah jamak digunakan untuk memproduksi rotenone dalam jumlah komersial sebagai insektisida di Cina. Studi yang mengeksplorasi kandungan ekstrak bagian dari D. trifoliata untuk bidang farmakologi sudah banyak dilakukan di luar negeri antara lain sebagai anti mikroba, anti bakteri (Khan et al. 2006, Uyub et al. 2010), pencegah perkembangan larva nyamuk Aedes aegypti (Yenesew et al. 2009), sebagai antioksidan dan analgesik (Sarkar et al. 2012), anti kanker (Ito et al. 2004). Hal yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan dalam pengendalian D. trifoliata perlu agar jangan sampai mengganggu kenyamanan populasi bekantan. Oleh karenanya pengendalian dilakukan bertahap lebih dahulu di tapak referensi yang jarang didatangi oleh bekantan. Penanaman Sonneratia caseolaris dan jenis mangrove lainnya. Keberhasilan pengendalian D. trifoliata diharapkan dapat memberi kesempatan bagi permudaan S. caseolaris untuk tumbuh dan berkembang. Selanjutnya jika regenerasi alami S. caseolaris tetap tidak bisa berjalan maka dilakukan dengan intervensi penanaman. Permudaan alam adalah proses peremajaan alami yang berperan besar pada pembentukan struktur tegakan hutan (Alrasyid 2006). Indikasi terjadinya regenerasi atau permudaan alami pada suatu komunitas tumbuhan dapat dilihat dari kehadiran jenis-jenis tersebut pada semua tingkat pertumbuhan, dan tingkat kerapatan yang menggambarkan jumlah individu per hektar. Terhambatnya permudaan alam di habitat referensi dapat dilihat pada jenis S. caseolaris, yang tidak memiliki permudaan tingkat semai dan pancang. Permudaan S. caseolaris (semai dan pancang) tidak dijumpai di tapak referensi dan tapak model 1, selain itu kerapatan individu tingkat pohon dan pancang juga rendah masing-masing 16 pohon/ha dan 49 pohon/ha. Sebagian pohon S. caseolaris bahkan meranggas, hal tersebut disebabkan oleh tingginya frekuensi kunjungan dan penggunaan S. caseolaris oleh kelompok bekantan (dan hirangan) menyebabkan produktivitas daun muda menjadi tidak sebanding dengan kebutuhan. Kondisi sedikit lebih baik di areal tapak model 2, kerapatan pohon sebesar 28 pohon/ha dan semai anakan/ha, tetapi kerapatan tingkat pancang lebih kecil hanya 5.33 pohon/ha. Kondisi ini menurut Shankar (2001) digambarkan sebagai status regenerasi cukup yakni jumlah semai> pohon >pancang. Kerapatan tegakan di habitat bekantan sangat rendah, masing-masing; tapak referensi sebanyak 72 tegakan/ha, tapak model 1 sebanyak 102 tegakan/ha dan tapak model 2 sebanyak 32 tegakan/ha. Jika dijumlahkan kerapatan suatu jenis di ketiga tapak sekaligus masih kurang dari 200 tegakan/ha. Total kerapatan S. caseolaris hanya pohon/ha, A. alba pohon/ha, E. agallocha, 2.47 pohon/ha dan H. tiliaceus hanya 0.67 pohon/ha, oleh karena itu maka harus ada upaya intervensi dari pengelola untuk melaksanakan penanaman (reenrichment planting) terhadap keempat 4 jenis ini dengan prioritas utama untuk jenis yang menjadi sumber pakan utama dan tempat beraktivitas bekantan. Penanaman dapat dimulai pada tapak model 2, karena tapak ini jarang didatangi oleh bekantan sehingga dapat memberikan kesempatan kepada tanaman untuk tumbuh dan 41

58 42 berkembang. Peluang keberhasilan tumbuh tanaman dapat ditingkatkan sebagai berikut: 1. Menggunakan bibit yang berasal dari indukan lokal yang tersedia di SMKL. Bibit dapat diperoleh dengan mengumpulkan propagul dan menanamnya pada persemaian yang dibuat di lokasi. Jenis-jenis mangrove yang mempunyai propagul pendek atau berupa biji seperti Avicennia dan Sonneratia lebih baik jika ditumbuhkan di persemaian (Kustanti 2011). Jenis Avicennia sp. dan Sonneratia sp. yang baik sebagai sumber bibit berasal dari tegakan yang berumur 5 tahun lebih (Khazali 1999). Ciri-ciri buah A. alba yang tua berwarna coklat kekuningan dan S. caseolaris berwarna kekuningan. 2. Menanam anakan yang berukuran lebih besar. Penanaman dengan anakan yang dibesarkan di persemaian merupakan suatu cara yang efektif dalam mengatasi pemangsaan oleh kepiting, kera, maupun gangguan tumbuhan yang bersifat sebagai gulma seperti pakis Acrostichum. Bibit anakan yang berukuran lebih besar (tinggi > 1 meter) memiliki tingkat keberhasilan lebih tinggi yakni sekitar 85% (Khazali 1999). Bibit api-api (Avicennia sp.) atau pedada (Sonneratia sp.) siap ditanam setelah sekitar 5-6 bulan (Khazali 1999). 3. Pemagaran anakan yang ditanam Bekantan cenderung memakan pucuk anakan yang ditanam sehingga berpeluang untuk kegagalan proses restorasi habitat, karena tanaman tidak punya kesempatan untuk tumbuh dan berkembang. Oleh karena itu berdasarkan pengalaman penanaman jenis rambai di Pulau Kaget tahun 2000, teknis penanaman dapat dilakukan dengan pemagaran anakan. Jenis pemagaran yang digunakan adalah pagar kurung vertikal dan horisontal (Akbar et al. 2002). Cara lainnya adalah dengan menanam jenis yang kurang disukai bekantan terlebih dahulu sebagai barier. Strategi Restorasi di Habitat Terdegradasi Mempertahankan tegakan yang ada. Areal bervegetasi di SMKL yang masih tersisa saat ini seluas ± ha atau sekitar 22% dari total luas kawasan (BKSDA Kalsel 2014a). Areal bervegetasi tersebut sebagian besar merupakan zona Sonneratia di dekat pantai. Strategi mempertahankan tegakan yang masih ada merupakan strategi terbaik dan lebih ekonomis dibandingkan jika harus melakukan penanaman. Tegakan alami yang tersisa dapat menjadi sumber benih untuk kegiatan pembuatan bibit dalam kegiatan restorasi. Selain itu, tegakan alami yang ada merupakan patch habitat yang nantinya dapat dihubungkan dengan pembangunan koridor dengan patch habitat lainnya. Penanaman/pengayaan di sepanjang tepi sungai. S. caseolaris banyak dijumpai tumbuh di sepanjang tepi sungai-sungai yang terdapat di SMKL. S. caseolaris yang tumbuh di sepanjang tepi sungai di SMKL tumbuh baik dan mampu beregenerasi di beberapa lokasi. Hal ini menunjukkan bahwa S. caseolaris termasuk jenis intoleran karena sepanjang tepi sungai merupakan lokasi terbuka. Penanaman/pengayaan di sepanjang tepi sungai dilakukan pada radius meter mulai tepi sungai ke arah daratan. Penanaman di areal tambak dengan sistem wanamina (silvofishery). Sasaran restorasi habitat di SMKL adalah areal tambak dan areal budidaya lainnya yang terdapat di dalam kawasan. Penanaman dengan pola silvofishery disarankan

59 sebagai alternatif yang bersifat win-win solution antara kepentingan ekologi dan kepentinga ekonomil masyarakat. Sistem wanamina adalah memadukan antara tanaman mangrove (hutan) dengan budidaya perikanan (ikan, udang atau kepiting). Ada tiga desain konstruksi sistem wanamina yaitu pola empang parit tradisional, pola empang parit yang disempurnakan dan pola komplangan (Bengen 2000). Tiga sistem tersebut dapat dipilih salah satu dan diimplementasikan berdasarkan kesepakatan antara pihak BKSDA dan masyarakat yang lahan tambaknya akan ditanami. Pola empang parit Model empang parit, lahan untuk hutan mangrove dan tambak/empang masih menjadi satu hamparan yang diatur oleh satu pintu air. Kelemahan pola ini menurut Sambu et al. (2013) dapat dikatakan tidak ramah lingkungan, disebabkan: (1) masih menyatunya lahan mangrove sebagai area konservasi dan lahan tambak sebagai area budidaya, sehingga hasil dekomposisi serasah mangrove dapat mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas tanah dan kualitas air pada area tambak dan (2) menyatunya lahan mangrove sebagai area konservasi dan tambak sebagai area budidaya, menyebabkan organisme organisme yang bersifat hama yang terdapat pada area mangrove dapat mengganggu komoditas yang dibudidayakan diantaranya dapat menyebabkan usaha budidaya udang windu dan ikan bandeng sebagai komoditas utama serta organisme air lainnya akan mengalami kegagalan panen. 43 Gambar 13 Silvofishery model empang parit (Bengen 2000) Pola empang parit yang disempurnakan Model empang parit yang disempurnakan, lahan untuk hutan mangrove dan tambak/empang diatur oleh saluran air yang terpisah. Menurut Sambu et al. (2013) berpisahnya lahan mangrove sebagai area konservasi dan lahan tambak sebagai area budidaya menguntungkan karena (1) proses dekomposisi serasah mangrove tidak lagi berpotensi mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas tanah dan kualitas air pada area tambak, dan (2) organisme organisme yang bersifat hama yang terdapat pada area mangrove dapat dilokalisir sehingga tidak lagi mengganggu organisme yang dibudidayakan.

60 44 Gambar 14 Silvofishery model empang parit yang disempurnakan (Bengen 2000). a 1, a 2, a 3 : pintu masuk air ke caren (parit budidaya kepiting/ikan); b: pintu keluar masuk air ke hutan mangrove; c: caren (parit pemeliharaan ikan/kepiting); d: pelataran hutan mangrove; e: tanggul Pola komplangan Model komplangan merupakan penyempurnaan empang parit dan empang parit disempurnakan. Secara teknis konstruksi model komplangan lebih rumit, akan tetapi lebih ramah lingkungan karena lahan mangrove sebagai area konservasi terpisah dari lahan tambak sebagai area budidaya yang diatur oleh saluran air dengan dua pintu terpisah. Selain ramah lingkungan dan membatasi ruang gerak hama yang berhabitat pada area mangrove, pola komplangan memiliki sistem sirkulasi air yang dapat diatur berdasarkan kebutuhan. Gambar 15 Silvofishery model komplangan (Bengen 2000). a 1, a 2 : pintu masuk air ke tambak/empang; b: tanggul; c: pelataran hutan mangrove; d: tambak/empang tempat pemeliharaan kepiting/ikan

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 21 IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan secara langsung di Hutan Pendidikan Gunung Walat. Penelitian dilaksanakan selama 3 bulan yaitu pada bulan Maret sampai dengan bulan

Lebih terperinci

POPULASI BEKANTAN Nasalis larvatus, WURM DI KAWASAN HUTAN SUNGAI KEPULUK DESA PEMATANG GADUNG KABUPATEN KETAPANG KALIMANTAN BARAT

POPULASI BEKANTAN Nasalis larvatus, WURM DI KAWASAN HUTAN SUNGAI KEPULUK DESA PEMATANG GADUNG KABUPATEN KETAPANG KALIMANTAN BARAT POPULASI BEKANTAN Nasalis larvatus, WURM DI KAWASAN HUTAN SUNGAI KEPULUK DESA PEMATANG GADUNG KABUPATEN KETAPANG KALIMANTAN BARAT (Population Of Bekantan (Nasalis Larvatus, Wurmb) In The Area Of Sungai

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa

METODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa 19 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa Cugung, KPHL Gunung Rajabasa, Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Stasiun Penangkaran Semi Alami Pulau Tinjil, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Penelitian ini dilakukan pada bulan

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA MARTAJASAH KABUPATEN BANGKALAN

STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA MARTAJASAH KABUPATEN BANGKALAN STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA MARTAJASAH KABUPATEN BANGKALAN Supriadi, Agus Romadhon, Akhmad Farid Program Studi Ilmu Kelautan Universitas Trunojoyo Madura e-mail: akhmadfarid@trunojoyo.ac.id ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ekologi perilaku ayam hutan hijau (Gallus varius) dilaksanakan di hutan musim Tanjung Gelap dan savana Semenanjung Prapat Agung kawasan Taman

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi 12 Gymnospermae lebih efisien pada intensitas cahaya tinggi (Kramer & Kozlowski 1979). Sudomo (2007) menyatakan bahwa intensitas cahaya yang berlebihan akan menyebabkan laju transpirasi tinggi, sedangkan

Lebih terperinci

KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI

KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI Individual Density of Boenean Gibbon (Hylobates muelleri)

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terfokus di Desa Tompobulu dan kawasan hutan sekitarnya. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB III. METODE PENELITIAN BAB III. METODE PENELITIAN A. Tempat Penelitian Lokasi Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMb) Jawa Tengah, difokuskan di lereng sebelah selatan Gunung Merbabu, yaitu di sekitar

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan 29 BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN 3.1. Kerangka Berpikir Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan ekosistem laut. Mangrove diketahui mempunyai fungsi ganda

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli Lokasi penelitian adalah di kawasan

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli Lokasi penelitian adalah di kawasan III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli 2014. Lokasi penelitian adalah di kawasan hutan mangrove pada lahan seluas 97 ha, di Pantai Sari Ringgung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia dan kawasan konservasi memiliki korelasi yang kuat. Suatu kawasan konservasi memiliki fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial sedangkan manusia memiliki peran

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Gambar 1 Lokasi Taman Nasional Ujung Kulon.

BAB III METODOLOGI. Gambar 1 Lokasi Taman Nasional Ujung Kulon. BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juli 2009 hingga Agustus 2009. Lokasi penelitian terletak di daerah Semenanjung Ujung Kulon yaitu Cigenter, Cimayang, Citerjun,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di dua tempat yaitu pengambilan data di lapangan dilakukan di sempadan muara Kali Lamong dan Pulau Galang, serta pengolahan

Lebih terperinci

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian BAB III METODELOGI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit, SPTN Wilayah II, Taman Nasional

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014.

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014. METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014. Penelitian ini dilakukan di kawasan Cagar Alam Dolok Sibual-buali (Studi Kasus: Desa Bulu

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2004 sampai dengan September 2005 di empat lokasi Taman Nasional (TN) Gunung Halimun-Salak, meliputi tiga lokasi

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di dalam areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) PT. Sari Bumi Kusuma, Unit S. Seruyan, Kalimantan Tengah. Areal hutan yang dipilih untuk penelitian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan metode transek belt yaitu dengan menarik garis lurus memanjang

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan metode transek belt yaitu dengan menarik garis lurus memanjang BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif. Penelitian ini dengan menggunakan metode transek belt yaitu dengan menarik garis lurus memanjang kearah

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

JUMLAH INDIVIDU DAN KELOMPOK BEKANTAN (Nasalis larvatus, Wurmb) Di TAMAN NASIONAL DANAU SENTARUM KABUPATEN KAPUAS HULU

JUMLAH INDIVIDU DAN KELOMPOK BEKANTAN (Nasalis larvatus, Wurmb) Di TAMAN NASIONAL DANAU SENTARUM KABUPATEN KAPUAS HULU JUMLAH INDIVIDU DAN KELOMPOK BEKANTAN (Nasalis larvatus, Wurmb) Di TAMAN NASIONAL DANAU SENTARUM KABUPATEN KAPUAS HULU Number of Individual and Groups Proboscis (Nasalis Larvatus, Wurmb) In Sentarum Lake

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan tanggal 22 April sampai 9 Mei 2007 di hutan rawa habitat tembesu Danau Sumbu dan Danau Bekuan kawasan Taman Nasional Danau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. Adapun yang membedakannya dengan hutan yang lainnya yaitu

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdapat di sepanjang pantai tropis dan sub tropis atau muara sungai. Ekosistem ini didominasi oleh berbagai jenis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan erat dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan devisa negara, yang pada masa lalu didominasi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 21 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan selama 3 (tiga) bulan, mulai dari Januari sampai April 2010, dilakukan dengan dua tahapan, yaitu : a. pengambilan

Lebih terperinci

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau, pada 3 tipe penggunaan lahan gambut yaitu; Hutan Alam, Kebun Rakyat dan Areal HTI Sagu, yang secara geografis

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian Kegiatan penelitian ini dilaksanakan mulai bulan April sampai bulan Juni tahun 2009, pada areal hutan produksi perusahaan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Kecamatan Anggrek, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo. Peta lokasi

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Kecamatan Anggrek, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo. Peta lokasi 18 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan di kawasan pesisir Pulau Dudepo, Kecamatan Anggrek, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo. Peta

Lebih terperinci

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal TINJUAN PUSTAKA Ekosistem Mangrove Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen, dan hutan payau (bahasa Indonesia), selain itu, hutan mangrove oleh masyarakat

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif, dengan objek penelitian tumbuhan mangrove di Pantai Bama hingga Dermaga Lama, Taman Nasional Baluran, Jawa

Lebih terperinci

STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN

STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PENYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan data lapangan dilaksanakan selama 2 bulan, yaitu bulan Agustus 2015 sampai dengan September 2015. Lokasi penelitian berada di Dusun Duren

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN BB III BHN DN METODE PENELITIN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei 2013. Tempat penelitian di Desa Brondong, Kecamatan Pasekan, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat dan analisis

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 12 IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kawasan Cagar Alam Sukawayana, Desa Cikakak, Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Waktu penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan hutan di Sumatera Utara memiliki luas sekitar 3.742.120 ha atau sekitar 52,20% dari seluruh luas provinsi, luasan kawasan hutan ini sesuai dengan yang termaktub

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di dunia dan terletak pada iklim tropis memiliki jenis hutan yang beragam. Salah satu jenis hutan

Lebih terperinci

4 METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

4 METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian 4 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di hutan Desa Aur Kuning, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Provinsi Riau. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga Mei 2012.

Lebih terperinci

Struktur Dan Komposisi Vegetasi Mangrove Di Pulau Mantehage

Struktur Dan Komposisi Vegetasi Mangrove Di Pulau Mantehage Struktur Dan Komposisi Vegetasi Mangrove Di Pulau Mantehage Elok Swasono Putro (1), J. S. Tasirin (1), M. T. Lasut (1), M. A. Langi (1) 1 Program Studi Ilmu Kehutanan, Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian tentang Perkembangan Tegakan Pada Hutan Alam Produksi Dalam Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) dilaksanakan di areal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh pada daerah yang berair payau dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove memiliki ekosistem khas karena

Lebih terperinci

ANALISIS VEGETASI EKOSISTEM HUTAN MANGROVE KPH BANYUMAS BARAT

ANALISIS VEGETASI EKOSISTEM HUTAN MANGROVE KPH BANYUMAS BARAT ANALISIS VEGETASI EKOSISTEM HUTAN MANGROVE KPH BANYUMAS BARAT Ana Dairiana, Nur illiyyina S, Syampadzi Nurroh, dan R Rodlyan Ghufrona Fakultas Kehutanan - Institut Pertanian Bogor ABSTRAK Analisis vegetasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni hutan tropis sumatera yang semakin terancam keberadaannya. Tekanan terhadap siamang terutama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari atas 17.508 pulau, dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Luas laut Indonesia sekitar 3,1

Lebih terperinci

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM Muhdi Staf Pengajar Program Studi Teknologi Hasil Hutan Departemen Kehutanan USU Medan Abstract A research was done at natural tropical

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Pembatasan Masalah Penelitian Keanekaragaman Jenis Burung di Berbagai Tipe Daerah Tepi (Edges) Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim Propinsi Riau selama 6 bulan adalah untuk

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE JAKARTA, MEI 2005 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas,

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas, 16 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas, Resort Way Kanan, Satuan Pengelolaan Taman Nasional 1 Way Kanan,

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENENTUAN BENTUK DAN LUAS PLOT CONTOH OPTIMAL PENGUKURAN KEANEKARAGAMAN SPESIES TUMBUHAN PADA EKOSISTEM HUTAN HUJAN DATARAN RENDAH : STUDI KASUS DI TAMAN NASIONAL KUTAI SANDI KUSUMA SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama 4 bulan pada bulan Agustus sampai November 2011 yang berada di dua tempat yaitu, daerah hutan mangrove Wonorejo

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan mangrove di DKI Jakarta tersebar di kawasan hutan mangrove Tegal Alur-Angke Kapuk di Pantai Utara DKI Jakarta dan di sekitar Kepulauan Seribu. Berdasarkan SK Menteri

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taman Nasional Way Kambas Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan lindung. Pendirian kawasan pelestarian alam Way Kambas dimulai sejak tahun 1936

Lebih terperinci

PENDUGAAN SERAPAN KARBON DIOKSIDA PADA BLOK REHABILITASI CONOCOPHILLIPS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI PRASASTI RIRI KUNTARI

PENDUGAAN SERAPAN KARBON DIOKSIDA PADA BLOK REHABILITASI CONOCOPHILLIPS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI PRASASTI RIRI KUNTARI PENDUGAAN SERAPAN KARBON DIOKSIDA PADA BLOK REHABILITASI CONOCOPHILLIPS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI PRASASTI RIRI KUNTARI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 15 s.d 20 September 2011 di Taman hutan raya R. Soerjo yang terletak di Kota Batu, Provinsi Jawa Timur

Lebih terperinci

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI)

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) 1 KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai

Lebih terperinci

Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus

Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus TEKNIK PENANAMAN MANGROVE PADA DELTA TERDEGRADASI DI SUMSEL Teknik Penanaman Mangrove Pada Delta Terdegradasi di Sumsel Teknik Penanaman

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 31 IV. METODE PENELITIAN 4.1.Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan secara langsung di Taman Wisata Alam (TWA) dan Cagar Alam (CA) Pananjung Pangandaran, dan menggunakan data populasi rusa timor di Taman

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di tiga padang golf yaitu Cibodas Golf Park dengan koordinat 6 0 44 18.34 LS dan 107 0 00 13.49 BT pada ketinggian 1339 m di

Lebih terperinci

PANDUAN PENGELOLAAN RIPARIAN

PANDUAN PENGELOLAAN RIPARIAN PANDUAN PENGELOLAAN RIPARIAN TFT 2018 Document Prepared by: The Forest Trust Jl. Dr.Wahidin No 42 Semarang, Jawa Tengah Indonesia Ph +62 24 8509798 1 PENGANTAR DEFINISI Sungai adalah alur atau wadah air

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam

I. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam (Supriatna dan Wahyono, 2000), dan Sumatera merupakan daerah penyebaran primata tertinggi, yaitu

Lebih terperinci

STUDI KARAKTERISTIK KUBANGAN BADAK JAWA (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON

STUDI KARAKTERISTIK KUBANGAN BADAK JAWA (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON STUDI KARAKTERISTIK KUBANGAN BADAK JAWA (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON (Study of Wallow Characteristics of Javan Rhinoceros - Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822 in

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (GASTROPODA DAN BIVALVIA) SERTA ASOSIASINYA PADA EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI ULEE - LHEUE, BANDA ACEH, NAD

STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (GASTROPODA DAN BIVALVIA) SERTA ASOSIASINYA PADA EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI ULEE - LHEUE, BANDA ACEH, NAD STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (GASTROPODA DAN BIVALVIA) SERTA ASOSIASINYA PADA EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI ULEE - LHEUE, BANDA ACEH, NAD Oleh : IRMA DEWIYANTI C06400033 SKRIPSI PROGRAM STUD1 ILMU

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 12 BAB III METODOLOGI PENELIT TIAN 31 Waktu dan Tempat Penelitian inii dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juli 2010 yang berlokasi di TAHURA Inten Dewata dimana terdapat dua lokasi yaitu Gunung Kunci dan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Desa Penengahan, Kecamatan Pesisir Tengah, Kabupaten Lampung Barat, Provinsi Lampung (Gambar 2). Penelitian dilaksanakan pada

Lebih terperinci

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah Kecamatan Sukarame Kota Bandar Lampung (Gambar 2) pada bulan Juli sampai dengan

Lebih terperinci

ANALISIS KERAPATAN TEGAKAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL BALURAN BERBASIS QUANTUM-GIS

ANALISIS KERAPATAN TEGAKAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL BALURAN BERBASIS QUANTUM-GIS 1 TEKNOLOGI PERTANIAN ANALISIS KERAPATAN TEGAKAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL BALURAN BERBASIS QUANTUM-GIS ANALYSIS OF STAND DENSITY IN BALURAN NATIONAL PARK BASED ON QUANTUM-GIS Maulana Husin 1), Hamid Ahmad,

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian. 0 IV. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Bidang Pengelolaan Wilayah III Bengkulu dan Sumatera Selatan, SPTN V Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, Taman Nasional Kerinci

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan dengan dua tahap: 1) Pengamatan langsung dilakukan di SM Paliyan yang berupa karst dan hutan terganggu dan Hutan wisata Kaliurang

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO 1 INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO (Johannes teijsmania altifrons) DI DUSUN METAH, RESORT LAHAI, TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH PROVINSI RIAU- JAMBI Yusi Indriani, Cory Wulan, Panji

Lebih terperinci

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE Berdasarkan tinjauan pustaka yang bersumber dari CIFOR dan LEI, maka yang termasuk dalam indikator-indikator ekosistem hutan mangrove berkelanjutan dilihat

Lebih terperinci

ANALISIS VEGETASI DAN STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI TELUK BENOA-BALI. Dwi Budi Wiyanto 1 dan Elok Faiqoh 2.

ANALISIS VEGETASI DAN STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI TELUK BENOA-BALI. Dwi Budi Wiyanto 1 dan Elok Faiqoh 2. ANALISIS VEGETASI DAN STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI TELUK BENOA-BALI Dwi Budi Wiyanto 1 dan Elok Faiqoh 2 1) Dosen Prodi Ilmu Kelautan, FKP Universitas Udayana 2) Dosen Prodi Ilmu Kelautan, FKP Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai wilayah di Nusantara. Kerusakan hutan mangrove ini disebabkan oleh konversi lahan menjadi areal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan hidup. Oleh karena adanya pengaruh laut dan daratan, dikawasan mangrove terjadi interaksi kompleks

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang BAB I PENDAHULUAN 1.1.LatarBelakang Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang 95.181 km terdiri dari sumber daya alam laut dan pantai yang beragam. Dengan kondisi iklim dan substrat

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan 23 III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan Hutan Lindung Batutegi Blok Kali Jernih (Gambar 3), bekerjasama dan di bawah

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode BAB III METODE PENELITIAN A. JENIS PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode deskriptif adalah suatu penelitian untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

STRUKTUR VEGETASI MANGROVE ALAMI DI AREAL TAMAN NASIONAL SEMBILANG BANYUASIN SUMATERA SELATAN

STRUKTUR VEGETASI MANGROVE ALAMI DI AREAL TAMAN NASIONAL SEMBILANG BANYUASIN SUMATERA SELATAN MASPARI JOURNAL Januari 2017, 9(1):1-8 STRUKTUR VEGETASI MANGROVE ALAMI DI AREAL TAMAN NASIONAL SEMBILANG BANYUASIN SUMATERA SELATAN NATURAL MANGROVE VEGETATION STRUCTURE IN SEMBILANG NATIONAL PARK, BANYUASIN

Lebih terperinci

PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN

PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN 1 PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau dan panjang pantai kurang lebih 81.000 km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat besar,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kawasan pesisir yang cukup luas, dan sebagian besar kawasan tersebut ditumbuhi mangrove yang lebarnya dari beberapa

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian. Kabupaten Gorontalo Utara merupakan wilayah administrasi yang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian. Kabupaten Gorontalo Utara merupakan wilayah administrasi yang BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Gorontalo Utara merupakan wilayah administrasi yang merupakan kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa Kecamatan Pagar Dewa Kabupaten Tulang Bawang Barat Provinsi Lampung, merupakan suatu kawasan ekosistem

Lebih terperinci

Analisis Vegetasi Hutan Alam

Analisis Vegetasi Hutan Alam Analisis Vegetasi Hutan Alam Siti Latifah Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara PENDAHULUAN Analisis vegetasi hutan merupakan studi untuk mengetahui komposisi dan struktur hutan.

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 24 III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di areal kebun kelapa sawit PT. Inti Indosawit Subur, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. Secara umum, areal yang diteliti adalah

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit Taman Nasional Meru Betiri. Gambar 3.1. Peta Kerja

Lebih terperinci

ANALISIS VEGETASI MANGROVE DAN PEMANFAATANNYA OLEH MASYARAKAT KAMPUNG ISENEBUAI DISTRIK RUMBERPON KABUPATEN TELUK WONDAMA SKRIPSI YAN FRET AGUS AURI

ANALISIS VEGETASI MANGROVE DAN PEMANFAATANNYA OLEH MASYARAKAT KAMPUNG ISENEBUAI DISTRIK RUMBERPON KABUPATEN TELUK WONDAMA SKRIPSI YAN FRET AGUS AURI ANALISIS VEGETASI MANGROVE DAN PEMANFAATANNYA OLEH MASYARAKAT KAMPUNG ISENEBUAI DISTRIK RUMBERPON KABUPATEN TELUK WONDAMA SKRIPSI YAN FRET AGUS AURI JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi umum daerah Wonorejo Kawasan mangrove di Desa Wonorejo yang tumbuh secara alami dan juga semi buatan telah diputuskan oleh pemerintah Surabaya sebagai tempat ekowisata.

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Desa Dabong merupakan salah satu desa di Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat yang memiliki hamparan hutan mangrove yang cukup luas. Berdasarkan Surat

Lebih terperinci

Keanekaragaman Jenis dan Indeks Nilai Penting Mangrove di Desa Tabulo Selatan Kecamatan Mananggu Kabupaten Boalemo Provinsi Gorontalo

Keanekaragaman Jenis dan Indeks Nilai Penting Mangrove di Desa Tabulo Selatan Kecamatan Mananggu Kabupaten Boalemo Provinsi Gorontalo Keanekaragaman Jenis dan Indeks Nilai Penting Mangrove di Desa Tabulo Selatan Kecamatan Mananggu Kabupaten Boalemo Provinsi Gorontalo 1,2 Yulinda R.Antu, 2 Femy M. Sahami, 2 Sri Nuryatin Hamzah 1 yulindaantu@yahoo.co.id

Lebih terperinci

II. METODOLOGI. A. Metode survei

II. METODOLOGI. A. Metode survei II. METODOLOGI A. Metode survei Pelaksanaan kegiatan inventarisasi hutan di KPHP Maria Donggomassa wilayah Donggomasa menggunakan sistem plot, dengan tahapan pelaksaan sebagai berikut : 1. Stratifikasi

Lebih terperinci

B III METODE PENELITIAN. ada di di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali.

B III METODE PENELITIAN. ada di di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali. B III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif. Penelitian ini menggunakan metode eksplorasi, yaitu melakukan pengamatan langsung pada mangrove yang ada

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. M11, dan M12 wilayah Resort Bandealit, SPTN wilayah II Balai Besar Taman

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. M11, dan M12 wilayah Resort Bandealit, SPTN wilayah II Balai Besar Taman BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian ini dilakukan selama kurun waktu satu bulan di grid vector O11, M11, dan M12 wilayah Resort Bandealit, SPTN wilayah II Balai

Lebih terperinci

MONITORING LINGKUNGAN

MONITORING LINGKUNGAN MONITORING LINGKUNGAN Monitoring dalam kegiatan pengelolaan hutan sangat diperlukan guna mengetahui trend/kecenderungan perkembangan vegetasi (flora), fauna maupun kondisi alam dengan adanya kegiatan pengelolaan

Lebih terperinci