BAB II LANDASAN TEORI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II LANDASAN TEORI"

Transkripsi

1 BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Ascaris lumbricoides Linn. a. Klasifikasi Kingdom Filum Kelas Sub kelas Ordo Superfamili Famili Genus : Animalia : Nemathelminthes : Nematoda : Secernentea : Ascaridida : Ascaridoidea : Ascarididae : Ascaris Spesies : Ascaris lumbricoides Linn. (Widodo, 2013). b. Morfologi Cacing nematoda ini adalah cacing berukuran besar, berwarna putih kecoklatan atau kuning pucat. Cacing jantan berukuran panjang antara cm, sedangkan cacing betina panjang badannya antara cm. kutikula yang halus bergaris-garis tipis menutupi seluruh permukaan badan cacing. Ascaris lumbricoides mempunyai mulut dengan tiga buah bibir, yang terletak sebuah di bagian dorsal dan dua bibir lainnya terletak subventral (Soedarto, 2011). 5

2 6 Selain ukurannya lebih kecil daripada cacing betina, cacing jantan mempunyai ujung posterior yang runcing, dengan ekor melengkung ke arah ventral. Di bagian posterior ini terdapat 2 buah spikulum yang ukuran panjangnya sekitar 2 mm, sedangkan di bagian ujung posterior cacing terdapat juga banyak papil-papil yang berukuran kecil. Bentuk tubuh cacing betina membulat (conical) dengan ukuran badan lebih besar dan lebih panjang daripada cacing jantan dan bagian ekor yang lurus, tidak melengkung (Soedarto, 2011). c. Siklus Hidup Pada tinja penderita askariasis yang membuang air tidak pada tempatnya dapat mengandung telur askariasis yang telah dibuahi. Telur ini akan matang dan menjadi bentuk yang infektif dalam waktu 21 hari dalam lingkungan yang sesuai. Bentuk infektif ini, jika tertelan oleh manusia menetas di usus halus. Larvanya menembus dinding usus halus menuju pembuluh darah atau saluran limfe, kemudian dialirkan ke jantung. Dari jantung kemudian dialirkan menuju ke paru-paru (Widodo, 2013). Larva di paru-paru menembus dinding pembuluh darah, lalu dinding alveolus, masuk rongga alveolus kemudian naik ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus. dari trakea larva ini menuju faring, sehingga menimbulkan rangsangan pada faring. Penderita batuk karena rangsangan ini dan larva akan tertelan ke dalam oesofagus, lalu menuju ke usus halus. Di usus halus larva berubah menjadi cacing dewasa. Sejak

3 7 telur matang tertelan sampai cacing dewasa berteur dibutuhkan waktu kurang lebih 2 bulan (Gandahusada et al., 2000; CDC, 2015). Gambar 2.1. Siklus Hidup Ascaris lumbricoides (CDC, 2015) d. Patologi dan Gambaran Klinis Kelainan klinik dapat disebabkan larva maupun cacing dewasa Ascaris lumbricoides. Patologi dan gambaran klinis yang terjadi disebabkan oleh : 1) Migrasi larva Kelainan akibat larva yaitu demam selama beberapa hari pada periode larva menembus dinding usus dan bermigrasi akhirnya sampai ke paru. Biasanya pada waktu tersebut ditemukan eosinofilia pada pemeriksaan darah. Foto thoraks menunjukkan adanya infiltrat yang menghilang dalam waktu 3 minggu. Keadaan ini disebut Sindrom Loeffler yang hanya ditemukan pada orang

4 8 yang pernah terpajan dan rentan terhadap antigen Ascaris atau bilamana terdapat infeksi berat. Pada penderita penyakit yang juga disebut pneumonitis Ascaris, dapat ditemukan gejala ringan seperti batuk ringan sampai pneumonitis berat yang berlangsung selama 2-3 minggu. Kumpulan gejala termasuk batuk, mengi, sesak nafas, agak meriang, sianosis, takikardi, rasa tertekan pada dada atau sakit dada, dan di dalam dahak kadang-kadang ada darah. Gejala-gejala berlangsung selama 7-10 hari dan menghilang secara spontan pada waktu larva bermigrasi keluar paru (Margono dan Hadjijaja, 2011). 2) Cacing dewasa Terdapatnya cacing Ascaris dewasa dalam jumlah yang besar di usus halus dapat menyebabkan abdominal distension dan rasa sakit. Keadaan ini juga dapat menyebabkan lactose intolerance, malabsorpsi dari vitamin A dan nutrisi lainnya. Hepatobiliary dan pancreatic ascariasis terjadi sebagai akibat masuknya cacing dewasa dari duodenum ke orificium ampullary dari saluran empedu, timbul kolik empedu, kolesistitis, kolangitis, pankreatitis dan abses hepar (Suriptiastuti, 2006). Jumlah cacing yang banyak sangat berhubungan dengan terjadinya malnutrisi, defisit pertumbuhan dan gangguan kebugaran fisik, di samping itu masa cacing itu sendiri dapat menyebabkan obstruksi. Hidup dalam rongga usus halus manusia mengambil makanan terutama karbohidrat dan protein, seekor cacing akan

5 9 mengambil karbohidrat 0,14 g/hari dan protein 0,035 g/hari (Siregar, 2006). e. Pengobatan Obat-obat yang digunakan untuk terapi askariasis adalah: 1) Pirantel pamoat Derivat pirimidin ini berkhasiat terhadap Ascaris, Oxyuris, dan cacing tambang, tetapi tidak efektif terhadap Trichiuris. Mekanisme kerjanya berdasarkan pelumpuhan cacing dengan jalan menghambat penerusan impuls neuromuskular. Lalu parasit dikeluarkan oleh peristaltik usus tanpa memerlukan laksans. Efek sampingnya ringan berupa gangguan saluran cerna dan kadang sakit kepala. Dosis yang diberikan pada cacing kermi dan gelang adalah 2-3 tablet dari 250 mg, anak-anak 1½-2 tablet sesuai usia (10mg/kg). Pada cacing cambuk dosisnya sama selama 3 hari (Tjay dan Rahardja, 2007). 2) Mebendazol Ester-metil dari benzimidazol ini adalah antihelmintikum berspektrum luas yang sangat efektif terhadap cacing kermi, gelang, pita, cambuk dan tambang. Mekanisme kerjanya melalui perintangan pemasukan glukosa dan mempercepat penggunaannya (glikogen) pada cacing. Tidak perlu diberikan laksans. Efek sampingnya jarang terjadi dan berupa gangguan saluran cerna seperti sakit perut dan diare. Dosis dewasa dan anak-anak sama,yakni pada infeksi cacing gelang, tambang, benang, pita dan

6 10 cambuk 2 dd 100 mg selama 3 hari, bila perlu diulang setelah 3 minggu (Tjay dan Rahardja, 2007). 3) Albendazol Derivat karbamat dari benzimidazol ini berspektrum luas terhadap Ascaris, Oxyuris, Taenia, Ancylostoma, Strongyloides dan Trichiuris. Efek sampingnya berupa gangguan lambung-usus, demam, dan rontok rambut. Dosis pada ascariasis, enterobiasis, ancylostomiasis, trichuriasis anak dan dewasa single dose 400 mg d.c, pada strongyloidiasis 1 dd 400 mg d.c selama 3 hari (Tjay dan Rahardja, 2007). 4) Piperazin Zat basa ini sangat efektif terhadap Oxyuris dan Ascaris berdasarkan perintangan penerusan-impuls neuromuskuler, hingga cacing dilumpuhkan untuk kemudian dikeluarkan dari tubuh oleh gerakan peristaltik usus. Efek sampingnya jarang terjadi, pada overdose timbul gatal-gatal (urticaria), kesemutan (paresthesia) dan gejala neurotoksis (rasa kantuk, pikiran kacau konvulsi, dll). Dosis terhadap Ascaris 75 mg/kg berat badan atau dosis tunggal dari 3 g selama 2 hari (Tjay dan Rahardja, 2007). 5) Levamisol Derivat-imidazol ini sangat efektif untuk Ascaris dan cacing tambang dengan jalan melumpuhkannya. Khasiat lainnya yang penting adalah stimulasi sistem-imunologi tubuh. Efek sampingnya

7 11 jarang terjadi, yakni reaksi alergi (rash), granulocytopenia dan kelainan darah lainnya. Dosis untuk askariasis pada orang dewasa dengan berat badan lebih dari 40 kg adalah 150 mg d.c (garam HCl), anak-anak kg: 50 mg, kg: 100 mg (Tjay dan Rahardja, 2007). 6) Praziquantel Obat ini digunakan sebagai obat satu-satunya pada schistosomiasis dan juga dianjurkan pada taeniasis. Khasiatnya berdasarkan pemicuan kontraksi cepat pada cacing dan desintegrasi kulitnya, untuk kemudian dikeluarkan dari tubuh. Dosis 600 mg setelah makan malam. Untuk taeniasis dosis tunggal 10 mg/kg (Tjay dan Rahardja, 2007). 2. Ascaris suum Goeze a. Klasifikasi Kingdom Phyllum Kelas Sub kelas Ordo : Animalia : Nemathelminthes : Nematoda : Secernentea : Ascaridida Superfamili : Ascaridoidea Famili Genus : Ascarididae : Ascaris Spesies : Ascaris suum Goeze (Widodo, 2013)

8 12 b. Morfologi Ascaris suum Goeze atau yang biasa dikenal sebagai cacing gelang babi adalah nematoda yang menyebabkan askariasis pada babi. Hospes utama Ascaris suum Goeze adalah babi, meskipun dapat pula menjadi parasit pada tubuh manusia, sapi, kambing, domba, anjing, dan lain-lain (Loreille dan Bouchet, 2003). Secara morfologi, tidak banyak perbedaan antara Ascaris suum Goeze dan Ascaris lumbricoides Linn. Perbedaan di antara keduanya tidak dapat diamati dengan mikroskop cahaya biasa. Sedangkan penelitian dengan menggunakan mikroskop elektron menunjukkan adanya perbedaan pada geligi dan bentuk bibir di antara keduanya. Adanya beberapa perbedaan pola ikatan molekul protein yang sama antara Ascaris lumbricoides dan Ascaris suum Goeze mencerminkan hubungan genetik yang cukup dekat, serta menunjukkan adanay kemungkinan terjadinya hibridisasi antara Ascaris lumbricoides dan Ascaris suum (Alba et al., 2009). c. Siklus Hidup Siklus hidup Ascaris suum Goeze tergolong sederhana. Babi menyebarkan infeksi melalui tinja yang mengandung telur Ascaris. Telur infertil akan berkembang menjadi telur yang fertil dalam waktu 4-6 minggu. Perkembangan ini membutuhkan kondisi tanah pada suhu antara C (Mejer dan Roepstorff, 2006).

9 13 Pada Ascaris suum siklus hidup dapat terjadi secara langsung (direct) maupun tidak langsung (indirect). Pada siklus direct, babi akan menelan telur infentif yang mengandung larva III. Larva tersebut akan bermigrasi ke bronkus. Selanjutnya, larva tersebut akan melakukan penetrasi pada dinding usus besar dan bermigrasi melalui hati ke paruparu,. Ketika host batuk, larva akan tertelan dan masuk ke saluran gastrointestinal. Di dalam traktus gastrointestinal, larva akan berkembang menjadi bentuk dewasa. cacing dewasa akan hidup dan berkembang baik dalam usus halus babi (Loreille dan Bouchet, 2003). Pada siklus indirect, perkembangan akan melalui host perantara atau host paratenik seperti cacing tanah. Host paratenik akan menelan telur infertil yang berisi larva II dan larva tersebut akan berada di jaringan sampai babi memangsa host paratenik tersebut. Selanjutnya, larva akan berkembang dalam tubuh babi menjadi larva III seperti proses yang berlangsung dalam siklus direct (Mejer dan Roepstorff, 2006). Gambar 2.2. Siklus Hidup Ascaris suum Goeze (Loreille dan Bouchet, 2003)

10 14 d. Aspek Klinis pada Manusia Siklus hidup Ascaris suum menyebabkan kemungkinan cacing ini menginfeksi manusia. Rute transmisi Ascaris suum dapat terjadi akibat kontak dengan kotoran babi yang sering digunakan sebagai pupuk tanaman. Rute yang lain diduga melalui konsumsi daging mentah dari babi yang terinfeksi (Nejsum et al., 2012). Pada tubuh penderita yang terinfeksi, larva Ascaris suum akan bermigrasi ke berbagai organ dan menyebabkan manifestasi klinis yang dikenal sebagai visceral larva migrans (VLM). Manifestasi klinis dari VLM digambarkan dengan keadaan hipereosinophilia dengan hepatomegali atau pneumonia serta gejala tidak spesifik seperti malaise, batuk dan gangguan fungsi hati (Sakakibara et al., 2002). 3. Katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr.) a. Klasifikasi Kingdom Subkingdom Superdivisi Divisi Kelas Subkelas Ordo Famili Genus : Plantae : Tracheobionta : Spermatophyta : Magnoliophyta : Magnoliopsida : Rosidae : Euphorbiales : Euphorbiaceae : Sauropus

11 15 Spesies : Sauropus androgunus(l.) Merr. (Tjitrosoepomo, 2002) b. Morfologi Katuk memiliki beberapa nama yang berbeda di setiap daerah di Indonesia antara lain sekop manis (Melayu), simami (Minangkabau), sibabing, katu, katukan (Jawa), katuk (Sunda) dan kerakur (Madura). Di beberapa negara, katuk dikenal dengan nama antara lain cekur manis, sayur manis (Malaysia), puk waan (Thailand), sweet leaf bush/ star gooseberry (Inggris) dan so kun mu (Cina) (Agoes, 2010). Tanaman katuk merupakan tumbuhan perdu dengan ketinggian tanaman mencapai 500 cm. Susunan morfologi tanaman katuk terdiri atas akar, batang, daun, bunga, buah dan biji. Daun katuk berbentuk bulat telur, berujung tumpul dengan ukuran panjang 2-7,5 cm. Bunga tanaman katuk berwarna merah gelap atau kuning dengan bercak merah gelap. Buahnya berbentuk bulat dengan diameter 1,5 cm (Bunawan et al., 2015). Sistem perakaran tanaman katuk menyebar ke segala arah dan dapat mencapai kedalaman antara cm. Batang tanaman tumbuh tegak dan berkayu. Pada stadium muda, batang tanaman berwarna hijau dan setelah tua berubah menjadi kelabu keputih-putihan. Tanaman katuk tumbuh baik pada daerah dengan ketinggian m di atas permukaan laut (dpl) dengan rataan curah hujan antara 200 dan 300 mm per tahun

12 16 pada tanah jenis latosol. Tanaman ini dapat tumbuh di negara Malaysia, Indonesia, Cina, dan Taiwan (Rukmana dan Harahap, 2003). Gambar 2.3. Daun Katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr.) (Christi, 2014) c. Efek Farmakologis Katuk Tanaman katuk (Sauropus androgunus (L.) Merr) telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat, baik sebagai obat tradisional, sebagai sayuran atau pewarna makanan. Kandungan nutrisi tanaman katuk sangat tinggi antara lain protein sebesar 7,6 g/100 g, lemak 1,8 g/100 g, karbohidrat 6,9 g/100 g, dan serat 1,9 g/100 g. Daun katuk yang segar merupakan sumber provitamin A carotenoid, vitamin B, vitamin C, protein dan mineral yang sangat baik. Selain kaya akan kandungan nutrisi, katuk juga mengandung senyawa metabolit sekunder (Sanjayasari dan Pliliang, 2011). Metabolit sekunder adalah senyawa kimia bermolekul kecil yang terkandung dalam tumbuhan. Tumbuhan menghasilkan senyawa metabolit sekunder berfungsi untuk melindungi tumbuhan dari serangan serangga, bakteri, jamur dan jenis patogen lainnya (Sarker et al., 2006).

13 17 Berdasarkan skrining fitokimia, daun katuk mengandung senyawa metabolit sekunder antara lain steroid, tanin, saponin, alkaloid, flavonoid, terpenoid, dan fenol (Selvi dan Basker, 2012). Beberapa penelitian yang dilakukan para ahli menyebutkan bahwa daun katuk memiliki efek meningkatkan produksi ASI (Sa roni et al., 2004), perbaikan jaringan pada penyembuhan luka (Bhaskar et al., 2009), menurunkan kadar kolesterol jahat (LDL-k) (Agoes, 2010), aktivitas antioksidan (Zuhra et al., 2008), dan antibakteri (Paul dan Anto, 2011). d. Kandungan Daun Katuk yang Mempunyai Efek Antihelmintik Hasil penapisan fitokimia menyatakan bahwa daun katuk mengandung senyawa-senyawa aktif yang merupakan metabolit sekunder. Senyawa yang terbukti terkandung dalam ekstrak daun katuk adalah tannin, saponin, flavonoid, fenol, alkaloid, dan terpenoid (Selvi dan Basker, 2012). Daun katuk mengandung kadar tanin sebesar 0,46 g/100 g berat kering dan saponin sebesar 2,84 g/100 g berat kering (Azlan et al., 2015), kadar flavonoid sebesar 0,823 g/100 g (Andarwulan et al., 2010), kadar fenol total sebesar 1,15 g/100 g berat kering dan kadar alkaloid sebesar 0,58 g/100 g berat basah (Petrus, 2013). Tanin merupakan senyawa bahan alam yang terdiri dari sejumlah besar gugus hidroksi fenolik. Tanin adalah senyawa fenolik yang larut dalam air atau bersifat polar. Secara kimia tanin sangat kompleks dan biasanya dibagi ke dalam dua kelompok yaitu tanin terkondensasi dan tanin terhidrolisis. Tanin memiliki efek vermifuga dengan cara merusak

14 18 protein tubuh cacing. Tanin dapat mengikat protein bebas pada saluran pencernaan cacing (Hoste et al., 2006) atau glikoprotein pada kutikula cacing sehingga mengganggu fungsi fisiologis seperti motilitas, penyerapan nutrisi dan reproduksi (Githiori et al., 2006). Di samping tanin, saponin juga memiliki efek antihelmintik. Saponin merupakan glikosida tanaman yang terdiri atas gugus sapogenin atau triterpenoid, gugus heksosa, pentosa dan asam uronat. Mekanisme kerja saponin sebagai antihelmintik adalah dengan cara menghambat kerja enzim asetilkolinesterase (Chastity et al., 2015). Enzim asetilkolinesterase merupakan enzim yang berfungsi untuk menghidrolisis asetilkolin. Asetilkolin merupakan zat yang dilepaskan dari ujung saraf motorik untuk mengaktivasi reseptor sehingga mengawali serangkaian kontraksi. Penghambatan kerja enzim asetilkolinesterase akan meningkatkan penghambatan penerusan impuls neuromuskuler sehingga akan menyebabkan paralisis otot pada cacing (Syarif dan Elysabeth, 2007). Aktivitas antihelmintik pada ekstrak daun katuk juga dipengaruhi oleh komponen bioaktif lainnya seperti flavonoid, fenol, alkaloid, dan terpenoid. Senyawa-senyawa ini mampu meningkatkan kerja senyawa aktif lain atau melalui mekanisme tersendiri dalam melawan cacing. Klongsiriwet et al. (2015) memaparkan bahwa kandungan tanin terkondensasi dan dua flavonoid umum, quercetin dan luteolin, mampu menyebabkan degenerasi sel otot dan disorganisasi intraseluler sehingga

15 19 mengakibatkan kematian cacing. Quercetin bertindak sebagai inhibitor P- glikoprotein (P-gp) sehingga terjadi akumulasi produk metabolik yang berlanjut menghasilkan toksisitas seluler. Komponen fenol juga mempunyai mekanisme tersendiri dalam menghasilkan aktivitas antihelmintik. Mekanisme fenol dalam membunuh cacing adalah dengan cara mengganggu proses penghasilan energi cacing. Fenol mampu memutus reaksi pada fosforilasi oksidatif dan mengganggu glioprotein pada permukaan sel (John et al., 2007). Alkaloid yang memiliki efek analgesik dan sedatif berkontribusi dalam proses paralisis dan kematian cacing. Alkaloid bersifat toksik karena efeknya dalam menstimulasi kebocoran isi sel dan disfungsi neurologis (Nalule et al., 2013). Terpenoid dapat menyebabkan inhibisi motilitas dan proses reproduksi pada cacing (Chitwood, 2002). 4. Ekstraksi Ekstraksi merupakan proses pemisahan kandungan senyawa aktif dari jaringan tumbuhan menggunakan pelarut tertentu. Beberapa hal yang dapat mempengaruhi efisiensi ekstraksi yaitu bahan tanaman yang digunakan, pemilihan pelarut, dan metode yang digunakan. Bahan tanaman yang digunakan dapat berupa bagian tanaman utuh atau yang telah melalui proses pengeringan. Pemilihan metode dan pelarut yang digunakan harus tepat untuk mendapatkan hasil yang maksimal (Rompas et al., 2012). Beberapa metode ekstraksi yang umum dilakukan adalah ekstraksi dengan pelarut, distilasi, pengepresan mekanik, dan sublimasi. Di antara metode-

16 20 metode tersebut, metode yang banyak dilakukan adalah distilasi dan ekstraksi menggunakan pelarut. Maserasi adalah metode umum untuk mengekstraksi sejumlah kecil bahan tanaman di laboratorium karena bisa dilakukan mudah di termos Erlenmeyer (termos dapat ditutup dengan parafilm atau aluminium untuk mencegah penguapan pelarut). Metode ini dapat dilakukan dengan cara merendam bahan dengan sekali-kali dilakukan pengadukan atau pengadukan secara berkesinambungan (maserasi kinetik). Maserasi didasarkan pada kelarutan komponen terhadap komponen lain dalam campuran. Kelarutan suatu zat tergantung pada polaritas senyawa yang akan diekstrak (Jones dan Kinghorn, 2006). Kelebihan dari metode ini yaitu efektif untuk senyawa yang tidak tahan panas (terdegradasi karena panas), peralatan yang digunakan relatif sederhana, murah, dan mudah didapat. Namun, metode ini juga memiliki beberapa kelemahan yaitu waktu ekstraksi yang lama, membutuhkan pelarut dalam jumlah banyak, dan adanya kemungkinan bahwa senyawa tertentu tidak dapat diekstrak karena kelarutannya yang rendah pada suhu ruang (Sarker et al., 2006). Pada penelitian ini, peneliti menggunakan metode maserasi dengan pelarut etanol 70% untuk mendapatkan kandungan kimia seperti tanin dan saponin yang ada pada daun katuk. Golongan tanin merupakan senyawa fenolik yang cenderung larut dalam air dan pelarut polar. Saponin merupakan glikosida triterpen yang memiliki sifat cenderung polar karena

17 21 ikatan glikosidanya (Sangi et al., 2008). Penggunaan etanol sebagai bahan ekstraksi dengan alasan karena pelarut etanol memiliki indeks polaritas sebesar 5,2 dan pelarut etanol dalam ekstraksi dapat meningkatkan permeabilitas dinding sel simplisia sehingga proses ekstraksi menjadi lebih efisien dalam menarik komponen polar hingga semi polar (Jones dan Kinghorn, 2006).

18 22 B. Kerangka Pemikiran Ekstrak Daun Katuk Pirantel pamoat Saponin Tanin Menghambat kerja enzim kolinesterase Menghambat kerja enzim kolinesterase Vermifuga (merusak protein tubuh cacing) Asetilkolin tidak terhidrolisis Merintangi penerusan impuls neuromuskular Depolarisasi persisten Gangguan aktivitas otot cacing Gangguan aktivitas otot cacing Paralisis spastik Paralisis spastik Cacing mati Cacing mati Waktu kematian Waktu kematian Variabel perancu yang terkendali: 1. Jenis dan panjang cacing 2. Suhu percobaan (37 C) Variabel perancu yang tidak terkendali: 1. Umur cacing 2. Kepekaan cacing Gambar 2.4 Kerangka Pemikiran Keterangan: : mengandung, berefek : variabel perancu yang mempengaruhi hasil penelitian : hal yang dipengaruhi oleh variabel perancu

19 23 C. Hipotesis Ekstrak etanol daun katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr) pada konsentrasi tertentu memiliki efek antihelmintik terhadap Ascaris suum Goeze in vitro.

BAB V PEMBAHASAN. androgunus (L.) Merr.) terhadap mortalitas Ascaris suum Goeze secara in vitro,

BAB V PEMBAHASAN. androgunus (L.) Merr.) terhadap mortalitas Ascaris suum Goeze secara in vitro, BAB V PEMBAHASAN Penelitian tentang uji antihelmintik esktrak etanol daun katuk (Sauropus androgunus (L.) Merr.) terhadap mortalitas Ascaris suum Goeze secara in vitro, dilakukan dalam dua tahap penelitian,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lamtoro (Leucaena leucocephala (Lam.)) de Wit. 2.1.1 Klasifikasi Lamtoro Kingdom Divisio Sub Divisio Kelas Ordo Suku Genus Spesies : Plantae : Magnoliophyta : Spermatophyta

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lamtoro (Leucaena leucocephala (Lam.)) 2.1.1 Klasifikasi Lamtoro Kingdom Divisio Sub Divisio Kelas Ordo Suku Genus : Plantae : Magnoliophyta : Spermatophyta : Magnolipsida :

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ascaris lumbricoides Manusia merupakan hospes beberapa nematoda usus. Sebagian besar nematoda ini menyebabkan masalah kesehatan masyarakat Indonesia (FKUI, 1998). Termasuk dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infestasi nematoda usus terutama yang ditularkan melalui tanah (Soil Transmitted Helminths) banyak terdapat pada anak-anak dan merupakan salah satu masalah kesehatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Metode Suzuki Metode Suzuki adalah suatu metode yang digunakan untuk pemeriksaan telur Soil Transmitted Helmints dalam tanah. Metode ini menggunakan Sulfas Magnesium yang didasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.1 Latar Belakang Pada tahun 2007, infeksi cacing di seluruh dunia mencapai 650 juta sampai 1 milyar orang, dengan prevalensi paling tinggi di daerah tropis. Populasi di daerah pedesaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Lamtoro (Leucaena leucocephala (Lam.) de Wit)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Lamtoro (Leucaena leucocephala (Lam.) de Wit) BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lamtoro (Leucaena leucocephala (Lam.) de Wit) 2.1.1 Klasifikasi tanaman Kingdom Divisio : Plantae : Magnoliophyta Sub division: Spermatophyta Kelas Ordo Famili Genus Species

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lumbricoides) yang ditularkan melalui tanah (Soil Transmitted

BAB I PENDAHULUAN. lumbricoides) yang ditularkan melalui tanah (Soil Transmitted BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit infeksi cacing merupakan salah satu penyakit infeksi yang paling sering ditemukan di negara-negara berkembang (Rasmaliah, 2001). Jenis cacing yang sering

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI II AKTIVITAS ANTELMINTIK. Nama kelompok. Ogy Goesgyantoro ( ) Nur azaniah Rakhmadewi ( )

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI II AKTIVITAS ANTELMINTIK. Nama kelompok. Ogy Goesgyantoro ( ) Nur azaniah Rakhmadewi ( ) LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI II AKTIVITAS ANTELMINTIK Nama kelompok Ogy Goesgyantoro (10060309086) Nur azaniah Rakhmadewi (10060309087) Nina Nurwila (10060309088) Siska Hotimah (10060309089) Eldi Ali

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penduduk di dunia. Biasanya bersifat symtomatis. Prevalensi terbesar pada daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penduduk di dunia. Biasanya bersifat symtomatis. Prevalensi terbesar pada daerah BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ascaris Lumbricoides Ascariasis merupakan infeksi cacing yang paling sering dijumpai. Diperkirakan prevalensi di dunia berjumlah sekitar 25 % atau 1,25 miliar penduduk di dunia.

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Trichuris trichiura Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak terdapat pada manusia. Diperkirakan sekitar 900 juta orang pernah terinfeksi

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI FITOKIMIA DAN EVALUASI TOKSISITAS EKSTRAK KULIT BUAH LANGSAT (Lansium domesticum var. langsat)

IDENTIFIKASI FITOKIMIA DAN EVALUASI TOKSISITAS EKSTRAK KULIT BUAH LANGSAT (Lansium domesticum var. langsat) IDENTIFIKASI FITOKIMIA DAN EVALUASI TOKSISITAS EKSTRAK KULIT BUAH LANGSAT (Lansium domesticum var. langsat) Abstrak Kulit buah langsat diekstraksi menggunakan metode maserasi dengan pelarut yang berbeda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di Indonesia masih banyak penyakit yang merupakan masalah kesehatan, salah satunya ialah cacing perut yang ditularkan melalui tanah. Cacing ini dapat menurunkan kondisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyerang hewan jenis unggas. Ascaridia galli merupakan cacing parasit yang

BAB I PENDAHULUAN. menyerang hewan jenis unggas. Ascaridia galli merupakan cacing parasit yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cacing gelang Ascaridia galli merupakan cacing parasit yang umum menyerang hewan jenis unggas. Ascaridia galli merupakan cacing parasit yang dalam kehidupannya mengalami

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. STH adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. STH adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis, 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Trasmitted Helminth Soil Transmitted Helminth ( STH ) merupakan infeksi kecacingan yang disebabkan oleh cacing yang penyebarannya melalui tanah. Cacing yang termasuk STH

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Transmitted Helminths 1. Pengertian Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan penularannya melalui tanah. Di Indonesia terdapat lima species cacing

Lebih terperinci

1 Universitas Kristen Maranatha

1 Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Askariasis adalah infeksi parasit yang disebabkan oleh Ascaris lumbricoides. Parasit ini bersifat kosmopolitan karena tersebar luas di seluruh dunia terutama di daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit parasit di Indonesia masih menempati posisi penting seperti juga penyakit infeksi lainnya. Telah banyak upaya yang dilakukan untuk pemberantasan penyakit ini

Lebih terperinci

Distribusi Geografik. Etiologi. Cara infeksi

Distribusi Geografik. Etiologi. Cara infeksi Distribusi Geografik Parasit ini ditemukan kosmopolit. Survey yang dilakukan beberapa tempat di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi A. lumbricoides masih cukup tinggi, sekitar 60-90%. Etiologi Cara

Lebih terperinci

2. Strongyloides stercoralis

2. Strongyloides stercoralis NEMATODA USUS CIRI-CIRI UMUM Simetris bilateral, tripoblastik, tidak memiliki appendages Memiliki coelom yang disebut pseudocoelomata Alat pencernaan lengkap Alat ekskresi dengan sel renette atau sistem

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMAKOLOGI PERCOBAAN 6

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMAKOLOGI PERCOBAAN 6 LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMAKOLOGI PERCOBAAN 6 UJI EFEKTIVITAS ANTELMINTIK Dosen Pembimbing Praktikum: Fadli, S.Farm, Apt Hari/tanggal praktikum : Senin, 29 Desember 2014 Disusun oleh: KELOMPOK 5 / GOLONGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan yang optimal dan untuk mengatasi berbagai penyakit secara alami.

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan yang optimal dan untuk mengatasi berbagai penyakit secara alami. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengobatan tradisional dengan memanfaatkan tumbuhan berkhasiat obat merupakan pengobatan yang dimanfaatkan dan diakui masyarakat dunia, hal ini menandai kesadaran untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ascaris lumbricoides merupakan cacing gelang yang. termasuk ke dalam golongan Soil Transmitted Helminths

BAB I PENDAHULUAN. Ascaris lumbricoides merupakan cacing gelang yang. termasuk ke dalam golongan Soil Transmitted Helminths BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Ascaris lumbricoides merupakan cacing gelang yang termasuk ke dalam golongan Soil Transmitted Helminths (STH) yaitu cacing yang menginfeksi manusia dengan cara penularannya

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. rancangan the post test only controlled group design (Taufiqurahman, 2004).

BAB III METODE PENELITIAN. rancangan the post test only controlled group design (Taufiqurahman, 2004). BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik dengan rancangan the post test only controlled group design (Taufiqurahman, 2004). B. Lokasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengidap penyakit ini, baik kaya, miskin, muda, ataupun tua (Hembing, 2004).

BAB I PENDAHULUAN. mengidap penyakit ini, baik kaya, miskin, muda, ataupun tua (Hembing, 2004). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banyak orang yang masih menganggap penyakit diabetes merupakan penyakit orang tua atau penyakit yang timbul karena faktor keturunan. Padahal diabetes merupakan penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi yang disebabkan oleh Ascaris lumbricoides atau disebut dengan askariasis merupakan salah satu penyakit yang banyak ditemui di masyarakat. Infeksi cacing nematoda

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka 1. Berenuk (Crescentia cujete L). a. Sistematika Tumbuhan Kingdom : Plantae Sub kingdom : Tracheobionata Super divisi : Spermatophyta Divisi : Magnoliophyta

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Pengetahuan 2.1.1.1 Pengertian Pengetahuan merupakan hasil dari tahu setelah terjadinya pengindraan terhadap suatu objek menggunakan panca indra manusia,

Lebih terperinci

CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER

CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER PENGAMATAN EPIDEMIOLOGI HASIL PEMERIKSAAN KECACINGAN di SD MUH. KEDUNGGONG, SD DUKUH NGESTIHARJO,SDN I BENDUNGAN dan SD CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Askaris lumbricoides menyebabkan Askariasis yang merupakan salah satu infestasi cacing yang paling sering ditemukan di dunia. Kasus askariasis diperkirakan lebih dari

Lebih terperinci

PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I. (Bagian Parasitologi) didik.dosen.unimus.ac.id

PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I. (Bagian Parasitologi) didik.dosen.unimus.ac.id PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I (Bagian Parasitologi) Pengertian Parasitologi adalah ilmu yang mempelajari jasad renik yang hidup pada jasad lain di dalam maupun di luar tubuh dengan maksud mengambil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cacing Ascaris suum Goeze yang menyerang ternak, terutama pada babi muda

BAB I PENDAHULUAN. cacing Ascaris suum Goeze yang menyerang ternak, terutama pada babi muda BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Askariasis merupakan salah satu infeksi parasit usus yang paling sering terjadi serta ditemukan di seluruh dunia.penyakit askariasis disebabkan oleh cacing Ascaris

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Transmitted Helminth Soil Transmitted Helminth adalah Nematoda Intestinal yang berhabitat di saluran pencernaan, dan siklus hidupnya untuk mencapai stadium infektif dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecacingan (Ascariasis dan Trichuriasis) 1. Definisi Ascariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing Ascaris lumbricoides dalam tubuh manusia. Spesies cacing yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tumbuhan Mangrove Excoecaria agallocha 2.1.1 Klasifikasi Excoecaria agallocha Klasifikasi tumbuhan mangrove Excoecaria agallocha menurut Cronquist (1981) adalah sebagai berikut

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda merupakan spesies cacing terbesar yang hidup sebagai parasit.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda merupakan spesies cacing terbesar yang hidup sebagai parasit. BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Soil-transmitted helminths Nematoda merupakan spesies cacing terbesar yang hidup sebagai parasit. Cacing-cacing ini berbeda satu sama lain dalam habitat, daur hidup dan hubungan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan perkembangan pengetahuan masyarakat tentang gizi. Tingkat konsumsi

I. PENDAHULUAN. dan perkembangan pengetahuan masyarakat tentang gizi. Tingkat konsumsi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permintaan terhadap protein hewani terus meningkat yang disebabkan oleh pertambahan jumlah penduduk yang pesat, peningkatan pendapatan masyarakat dan perkembangan pengetahuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Cacing Tambang dan Cacing Gelang 1. Cacing Tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale) a. Batasan Ancylostoma duodenale dan Necator americanus kedua parasit ini di

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Kadar Air Ekstraksi dan Rendemen Hasil Ekstraksi

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Kadar Air Ekstraksi dan Rendemen Hasil Ekstraksi 24 Rancangan ini digunakan pada penentuan nilai KHTM. Data yang diperoleh dianalisis dengan Analysis of Variance (ANOVA) pada tingkat kepercayaan 95% dan taraf α 0.05, dan menggunakan uji Tukey sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Sapi adalah salah satu ruminansia yang paling banyak di ternakkan di

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Sapi adalah salah satu ruminansia yang paling banyak di ternakkan di 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sapi adalah salah satu ruminansia yang paling banyak di ternakkan di Indonesia, merupakan penyumbang daging terbesar dari kelompok ruminansia terhadap produksi daging

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Soil-Transmitted Helminths (STH) STH adalah cacing yang dalam siklus hidupnya memerlukan tanah yang sesuai untuk berkembang menjadi bentuk infektif. Ukuran sangat bervariasi,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. endemik di Indonesia (Indriani dan Suminarsih, 1997). Tumbuhan-tumbuhan

I. PENDAHULUAN. endemik di Indonesia (Indriani dan Suminarsih, 1997). Tumbuhan-tumbuhan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang kaya dengan keanekaragaman hayatinya dan menduduki peringkat lima besar di dunia dalam hal keanekaragaman tumbuhan, dengan 38.000 spesies

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Babi merupakan salah satu hewan komersil yang dapat diternakkan untuk memenuhi kebutuhan protein hewani dikalangan masyarakat. Babi dipelihara oleh masyarakat dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Air adalah merupakan bagian yang terbesar dari sel, mencapai lebih kurang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Air adalah merupakan bagian yang terbesar dari sel, mencapai lebih kurang BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori Air adalah merupakan bagian yang terbesar dari sel, mencapai lebih kurang 70 80%. Air sangat penting bagi kehidupan jasad renik ataupun kehidupan pada umumnya,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. personal hygiene. Hygiene berasal dari kata hygea. Hygea dikenal dalam sejarah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. personal hygiene. Hygiene berasal dari kata hygea. Hygea dikenal dalam sejarah BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hygiene Perorangan Hygiene perorangan disebut juga kebersihan diri, kesehatan perorangan atau personal hygiene. Hygiene berasal dari kata hygea. Hygea dikenal dalam sejarah Yunani

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tumbuhan dan hewan yang bersama-sama dengan kekuatan fisik dan kimia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tumbuhan dan hewan yang bersama-sama dengan kekuatan fisik dan kimia BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tanah Tanah memegang peranan penting bagi masyarakat. Kehidupan tumbuhan dan hewan yang bersama-sama dengan kekuatan fisik dan kimia murni menata tubuh tanah menjadi bagian-bagian

Lebih terperinci

UJI IN VITRO EKSTRAK ETANOL BUAH NANAS (Ananas comosus (L.) Merr) TERHADAP DAYA MORTALITAS CACING GELANG BABI (Ascaris suum Goeze)

UJI IN VITRO EKSTRAK ETANOL BUAH NANAS (Ananas comosus (L.) Merr) TERHADAP DAYA MORTALITAS CACING GELANG BABI (Ascaris suum Goeze) UJI IN VITRO EKSTRAK ETANOL BUAH NANAS (Ananas comosus (L.) Merr) TERHADAP DAYA MORTALITAS CACING GELANG BABI (Ascaris suum Goeze) Putra, B.P.A. 1, Astuti, K.W. 1, Dwinata, I.M. 2 1 Jurusan Farmasi Fakultas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daerah di Indonesia. Prevalensi yang lebih tinggi ditemukan di daerah perkebunan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daerah di Indonesia. Prevalensi yang lebih tinggi ditemukan di daerah perkebunan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Cacing Tambang Pada umumnya prevalensi cacing tambang berkisar 30 50 % di perbagai daerah di Indonesia. Prevalensi yang lebih tinggi ditemukan di daerah perkebunan seperti di

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pengetahuan masyarakat tentang gizi yang meningkat. Penduduk Indonesia

I. PENDAHULUAN. pengetahuan masyarakat tentang gizi yang meningkat. Penduduk Indonesia I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permintaan terhadap protein hewani terus meningkat yang disebabkan oleh jumlah penduduk yang pesat, pendapatan masyarakat dan perkembangan pengetahuan masyarakat tentang

Lebih terperinci

Mekanisme penyerapan Ca dari usus (Sumber: /16-calcium-physiology-flash-cards/)

Mekanisme penyerapan Ca dari usus (Sumber: /16-calcium-physiology-flash-cards/) 92 PEMBAHASAN UMUM Berdasarkan bukti empiris menunjukkan bahwa pegagan yang kaya mineral, bahan gizi dan bahan aktif telah lama digunakan untuk tujuan meningkatkan fungsi memori. Hasil analisa kandungan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi Proksimat Komposisi rumput laut Padina australis yang diuji meliputi kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, dan kadar abu tidak larut asam dilakukan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi saluran pencernaan disebabkan karena tertelannya mikroorganisme patogen yang dapat menimbulkan infeksi dan intoksikasi pada manusia dan menimbulkan penyakit

Lebih terperinci

PEMANFAATAN JENIS POHON. (Avicennia spp.) SEBAGAI BAHAN

PEMANFAATAN JENIS POHON. (Avicennia spp.) SEBAGAI BAHAN PEMANFAATAN JENIS POHON MANGROVE API-API (Avicennia spp.) SEBAGAI BAHAN PANGAN DAN OBAT-OBATAN Ketua : Dr. Ir. Cahyo Wibowo, MScF. Anggota : 1. Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS. 2. Dr. Ir. Ani Suryani,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Taksonomi Dan Morfologi Tanaman Durian. Kingdom : Plantae ( tumbuh tumbuhan ) Divisi : Spermatophyta ( tumbuhan berbiji )

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Taksonomi Dan Morfologi Tanaman Durian. Kingdom : Plantae ( tumbuh tumbuhan ) Divisi : Spermatophyta ( tumbuhan berbiji ) BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Durian 1. Taksonomi Dan Morfologi Tanaman Durian Menurut Rahmat Rukmana ( 1996 ) klasifikasi tanaman durian adalah sebagai berikut : Kingdom : Plantae ( tumbuh tumbuhan ) Divisi

Lebih terperinci

xvii Universitas Sumatera Utara

xvii Universitas Sumatera Utara xvii BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Soil Transmitted Helminths Manusia merupakan hospes yang utama untuk beberapa nematoda usus. Sebagian besar dari nematoda ini menyebabkan masalah kesehatan yang penting

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5)

I. PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) I. PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1.1) Latar Belakang Penelitian, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis Penelitian

Lebih terperinci

Uji Toksisitas Potensi Insektisida Nabati Ekstrak Kulit Batang Rhizophora mucronata terhadap Larva Spodoptera litura

Uji Toksisitas Potensi Insektisida Nabati Ekstrak Kulit Batang Rhizophora mucronata terhadap Larva Spodoptera litura Sidang TUGAS AKHIR, 28 Januari 2010 Uji Toksisitas Potensi Insektisida Nabati Ekstrak Kulit Batang Rhizophora mucronata terhadap Larva Spodoptera litura Nama : Vivid Chalista NRP : 1505 100 018 Program

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Minuman herbal merupakan minuman yang berasal dari bahan alami yang bermanfaat bagi tubuh. Minuman herbal biasanya dibuat dari rempah-rempah atau bagian dari tanaman,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Peternakan broiler merupakan salah satu sektor usaha peternakan yang

I. PENDAHULUAN. Peternakan broiler merupakan salah satu sektor usaha peternakan yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Peternakan broiler merupakan salah satu sektor usaha peternakan yang berkembang pesat. Pada 2013 populasi broiler di Indonesia mencapai 1.255.288.000 ekor (BPS,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit yang masih menjadi fokus utama masyarakat Internasional serta

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit yang masih menjadi fokus utama masyarakat Internasional serta BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit yang masih menjadi fokus utama masyarakat Internasional serta merupakan jenis penyakit yang berpotensi mematikan adalah demam berdarah dengue (DBD). World

Lebih terperinci

Prosiding Farmasi ISSN:

Prosiding Farmasi ISSN: Prosiding Farmasi ISSN: 2460-6472 Uji Aktivitas Antelmintik Infusa Daun Pandan Wangi (Pandanus amaryllifolius Roxb.) terhadap Cacing Gelang Babi (Ascaris suum) secara In Vitro The In Vitro Anthelmintic

Lebih terperinci

PARASITOLOGI. OLEH: Dra. Nuzulia Irawati, MS

PARASITOLOGI. OLEH: Dra. Nuzulia Irawati, MS PARASITOLOGI OLEH: Dra. Nuzulia Irawati, MS DEFINISI PARASITOLOGI ialah ilmu yang mempelajari tentang jasad hidup untuk sementara atau menetap pada/ di dalam jasad hidup lain dengan maksud mengambil sebagian

Lebih terperinci

1.1. LATAR BELAKANG MASALAH

1.1. LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia terletak di daerah tropis dan sangat kaya dengan berbagai spesies flora. Dari 40 ribu jenis flora yang tumbuh di dunia, 30 ribu diantaranya tumbuh

Lebih terperinci

1.1. LATAR BELAKANG MASALAH

1.1. LATAR BELAKANG MASALAH BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH Saat ini, tingkat kematian akibat penyakit degeneratif seperti jantung, kanker, kencing manis dan lain-lain mengalami peningkatan cukup signifikan di dunia.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Ekstraksi dan Penapisan Fitokimia

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Ekstraksi dan Penapisan Fitokimia 17 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Ekstraksi dan Penapisan Fitokimia Metode ekstraksi yang digunakan adalah maserasi dengan pelarut etil asetat. Etil asetat merupakan pelarut semi polar yang volatil (mudah

Lebih terperinci

J. Gaji dan upah Peneliti ,- 4. Pembuatan laporan ,- Jumlah ,-

J. Gaji dan upah Peneliti ,- 4. Pembuatan laporan ,- Jumlah ,- Anggaran Tabel 2. Rencana Anggaran No. Komponen Biaya Rp 1. Bahan habis pakai ( pemesanan 2.500.000,- daun gambir, dan bahan-bahan kimia) 2. Sewa alat instrument (analisa) 1.000.000,- J. Gaji dan upah

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. memiliki karakteristik ekonomis dengan ciri khas yaitu pertumbuhan yang cepat, konversi

I. TINJAUAN PUSTAKA. memiliki karakteristik ekonomis dengan ciri khas yaitu pertumbuhan yang cepat, konversi I. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ayam Pedaging Ayam Pedaging adalah istilah untuk menyebutkan strain ayam budidaya teknologi yang memiliki karakteristik ekonomis dengan ciri khas yaitu pertumbuhan yang cepat,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda adalah spesies yang hidup sebagai parasit pada manusia,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda adalah spesies yang hidup sebagai parasit pada manusia, BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Nematoda Usus Nematoda adalah spesies yang hidup sebagai parasit pada manusia, habitatnya didalam saluran pencernaan manusia dan hewan. Nematoda Usus ini yang tergolong Soil

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tumbuhan sebagai salah satu sumber kekayaan yang luar biasa. Banyak tanaman yang tumbuh subur dan penuh

Lebih terperinci

HASIL. Kadar Air Daun Anggrek Merpati

HASIL. Kadar Air Daun Anggrek Merpati 6 konsentrasi yang digunakan. Nilai x yang diperoleh merupakan konsentrasi larutan yang menyebabkan kematian terhadap 50% larva udang. Ekstrak dinyatakan aktif apabila nilai LC50 lebih kecil dai 1000 μg/ml.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. penting dalam pemenuhan kebutuhan gizi, karena memiliki protein yang

I. PENDAHULUAN. penting dalam pemenuhan kebutuhan gizi, karena memiliki protein yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Daging ayam merupakan salah satu bahan pangan yang memegang peranan cukup penting dalam pemenuhan kebutuhan gizi, karena memiliki protein yang berkualitas tinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai uji klinis dan di pergunakan untuk pengobatan yang berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai uji klinis dan di pergunakan untuk pengobatan yang berdasarkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alam yang dapat di manfaatkan sebagai obat tradisional. Obat tradisional merupakan obat yang berasal dari tumbuhan,

Lebih terperinci

UJI DAYA ANTHELMINTIK INFUSA BAWANG PUTIH (Allium sativum Linn.) TERHADAP CACING GELANG BABI (Ascaris suum) SECARA IN VITRO SKRIPSI

UJI DAYA ANTHELMINTIK INFUSA BAWANG PUTIH (Allium sativum Linn.) TERHADAP CACING GELANG BABI (Ascaris suum) SECARA IN VITRO SKRIPSI UJI DAYA ANTHELMINTIK INFUSA BAWANG PUTIH (Allium sativum Linn.) TERHADAP CACING GELANG BABI (Ascaris suum) SECARA IN VITRO SKRIPSI Diajukan Oleh : Restian Rudy Oktavianto J500050011 Kepada : FAKULTAS

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 20 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kadar Zat Ekstraktif Mindi Kadar ekstrak pohon mindi beragam berdasarkan bagian pohon dan jenis pelarut. Berdasarkan bagian, daun menghasilkan kadar ekstrak tertinggi yaitu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. (Rusmartini, 2009). Cacing ini ditularkan melalui telur cacing yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. (Rusmartini, 2009). Cacing ini ditularkan melalui telur cacing yang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Transmitted Helminths (STH) Soil Transmitted Helminths (STH) adalah nematoda usus yang dalam siklus hidupnya membutuhkan tanah untuk proses pematangan (Rusmartini, 2009). Cacing

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecacingan 1. Definisi Kecacingan secara umum merupakan infeksi cacing (Soil transmitted helminthiasis) yang disebabkan oleh cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Udang windu merupakan komoditas perikanan laut yang memiliki peluang usaha cukup baik karena sangat digemari konsumen lokal (domestik) dan konsumen luar negeri. Hal

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman srikaya memiliki bentuk pohon yang tegak dan hidup tahunan.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman srikaya memiliki bentuk pohon yang tegak dan hidup tahunan. 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Srikaya (Annona squamosa L.). 2.1.1 Klasifikasi tanaman. Tanaman srikaya memiliki bentuk pohon yang tegak dan hidup tahunan. Klasifikasi tanaman buah srikaya (Radi,1997):

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Salah satu ciri budaya masyarakat di negara berkembang adalah masih dominannya unsur-unsur tradisional dalam kehidupan sehari-hari. Keadaan ini didukung

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. cacing. Dimana dapat terjadi infestasi ringan maupun infestasi berat. 16 Infeksi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. cacing. Dimana dapat terjadi infestasi ringan maupun infestasi berat. 16 Infeksi BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Defenisi Kecacingan Kecacingan merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit berupa cacing. Dimana dapat terjadi infestasi ringan maupun infestasi berat. 16 Infeksi

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Cacingan Cacing merupakan salah satu parasit pada manusia dan hewan yang sifatnya merugikan dimana manusia merupakan hospes untuk beberapa jenis cacing yang termasuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan, hewan, mineral, sediaan sarian (galenika) atau campuran dari bahanbahan

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan, hewan, mineral, sediaan sarian (galenika) atau campuran dari bahanbahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obat tradisional merupakan bahan atau ramuan bahan berupa bahan tumbuhan, hewan, mineral, sediaan sarian (galenika) atau campuran dari bahanbahan tersebut yang secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berlebihan (Rohmawati, 2008). Selain itu, kulit juga berfungsi sebagai indra

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berlebihan (Rohmawati, 2008). Selain itu, kulit juga berfungsi sebagai indra BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kulit pada Mamalia merupakan salah satu organ yang berperan penting dalam fisiologis tubuh. Organ ini berfungsi untuk melindungi jaringan di bawahnya, menjaga

Lebih terperinci

pudica L.) pada bagian herba yaitu insomnia (susah tidur), radang mata akut, radang lambung, radang usus, batu saluran kencing, panas tinggi pada

pudica L.) pada bagian herba yaitu insomnia (susah tidur), radang mata akut, radang lambung, radang usus, batu saluran kencing, panas tinggi pada BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia sangat bergantung dengan alam untuk memenuhi kebutuhannya dari dulu sampai sekarang ini. Kebutuhan paling utama yang berasal dari alam merupakan kebutuhan makanan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemajuan perkembangan teknologi sangat mempengaruhi gaya hidup masyarakat, salah satu dampak negatifnya ialah munculnya berbagai penyakit degeneratif seperti Diabetes

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Demam adalah kenaikan suhu diatas normal. bila diukur pada rectal lebih dari 37,8 C (100,4 F), diukur pada oral lebih dari 37,8 C, dan bila diukur melalui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB I PENDAHULUAN I.1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Abad 20 merupakan era dimana teknologi berkembang sangat pesat yang disebut pula sebagai era digital. Kemajuan teknologi membuat perubahan besar bagi peradaban

Lebih terperinci

MORTALITAS LARVA 58 JAM

MORTALITAS LARVA 58 JAM 1 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Deskripsi Hasil Penelitian Berdasarkan hasil pengamatan pengaruh filtrat daun tanaman bunga pagoda terhadap mortalitas larva Aedes aegypti yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kerang hijau (Perna viridis) merupakan salah satu komoditas sumber daya laut yang memiliki nilai ekonomis. Kerang ini tergolong dalam filum Mollusca makanan laut yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diabetes melitus (DM) tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes Melitus (IDDM) dan

BAB I PENDAHULUAN. diabetes melitus (DM) tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes Melitus (IDDM) dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Diabetes Melitus (DM) atau yang biasa disebut kencing manis adalah suatu group penyakit metabolik yang dikarakteristikan dengan adanya kondisi hiperglikemik

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Trichuris trichiura disebut juga cacing cambuk, termasuk golongan nematoda yang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Trichuris trichiura disebut juga cacing cambuk, termasuk golongan nematoda yang BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Trichuris trichiura Trichuris trichiura disebut juga cacing cambuk, termasuk golongan nematoda yang hidup di sekum dan kolon ascending manusia. Pejamu utama T.trichiura adalah

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Infeksi Cacing Infeksi cacing merupakan salah satu penyakit paling umum tersebar dan mengjangkiti lebih dari 2 miliar manusia di seluruh dunia. Walaupun tersedia obat-obat baru

Lebih terperinci

penglihatan (Sutedjo, 2010). Penyakit ini juga dapat memberikan komplikasi yang mematikan, seperti serangan jantung, stroke, kegagalan ginjal,

penglihatan (Sutedjo, 2010). Penyakit ini juga dapat memberikan komplikasi yang mematikan, seperti serangan jantung, stroke, kegagalan ginjal, BAB 1 PENDAHULUAN Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit yang dapat terjadi pada semua kelompok umur dan populasi, pada bangsa manapun dan usia berapapun. Kejadian DM berkaitan erat dengan faktor keturunan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Bentuk jeruk purut bulat dengan tonjolan-tonjolan, permukaan kulitnya kasar

I. PENDAHULUAN. Bentuk jeruk purut bulat dengan tonjolan-tonjolan, permukaan kulitnya kasar I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jeruk purut (Citrus hystrix D. C.) merupakan tanaman buah yang banyak ditanam oleh masyarakat Indonesia di pekarangan atau di kebun. Bentuk jeruk purut bulat dengan tonjolan-tonjolan,

Lebih terperinci

1. Jenis-jenis Sapi Potong. Beberapa jenis sapi yang digunakan untuk bakalan dalam usaha penggemukan sapi potong di Indonesia adalah :

1. Jenis-jenis Sapi Potong. Beberapa jenis sapi yang digunakan untuk bakalan dalam usaha penggemukan sapi potong di Indonesia adalah : BUDIDAYA SAPI POTONG I. Pendahuluan. Usaha peternakan sapi potong mayoritas masih dengan pola tradisional dan skala usaha sambilan. Hal ini disebabkan oleh besarnya investasi jika dilakukan secara besar

Lebih terperinci

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB 5 HASIL PENELITIAN BAB 5 HASIL PENELITIAN 5.1 Hasil Uji Identifikasi Fitokimia Hasil uji identifikasi fitokimia yang tersaji pada tabel 5.1 membuktikan bahwa dalam ekstrak maserasi n-heksan dan etil asetat lidah buaya campur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bakteri merupakan salah satu mikroorganisme utama penyebab penyakit infeksi (Jawetz et al., 2001). Bakteri yang dapat menyebabkan penyakit infeksi antara lain

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ascariasis Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO) tahun 2015, infeksi cacing Soil Transmitted Helminth adalah salah satu infeksi yang paling umum di seluruh dunia

Lebih terperinci

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB 5 HASIL PENELITIAN BAB 5 HASIL PENELITIAN 5.1 Uji Identifikasi Fitokimia Uji identifikasi fitokimia hasil ekstraksi lidah buaya dengan berbagai metode yang berbeda dilakukan untuk mengetahui secara kualitatif kandungan senyawa

Lebih terperinci