SURAT BATAK SEJARAH PERKEMBANGAN TULISAN BATAK. Berikut Pedoman Menulis Aksara Batak dan Cap Si Singamangaraja XII. Uli Kozok

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "SURAT BATAK SEJARAH PERKEMBANGAN TULISAN BATAK. Berikut Pedoman Menulis Aksara Batak dan Cap Si Singamangaraja XII. Uli Kozok"

Transkripsi

1 SURAT BATAK SEJARAH PERKEMBANGAN TULISAN BATAK Berikut Pedoman Menulis Aksara Batak dan Cap Si Singamangaraja XII Uli Kozok Ecole française d'extrême-orient KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) 2009

2

3

4 Daftar Isi SURAT BATAK PENDAHULUAN BAHASA DAN KESUSASTRAAN BAHASA SASTRA HATA PODA PUNAHNYA SEBUAH TRADISI BAHAN-BAHAN REFERENSI PERKAMUSAN INVENTARISASI NASKAH NASKAH BATAK DI DUNIA MAYA PENGADAAN NASKAH JENIS BAHAN NASKAH PROSES PEMBUATAN PUSTAHA PROSES PEMBUATAN NASKAH BAMBU PUSTAHA DAN ISINYA CERITA ILMU HITAM ILMU PUTIH ILMU-ILMU LAINNYA OBAT (TAOAR, TAMBAR, DAON) ILMU NUJUM AKSARA BATAK DAN SEJARAHNYA ASAL USUL AKSARA BATAK AKSARA BATAK MASUK PERCETAKAN URUTAN AKSARA BATAK INA NI SURAT ANAK NI SURAT PENYIMPANGAN DARI AKSARA BATAK

5 Daftar Isi 5 7 PEDOMAN MENULIS AKSARA BATAK ANAK NI SURAT AKSARA A DAN HA AKSARA I DAN U VOKAL GANDA & DERETAN VOKAL NASALISASI KENDALA MORFEMIK KONSONAN GANDA AWALAN -ER LATIHAN TRANSLITERASI DAN TERJEMAHAN TRANSLITERASI I / PENYALINAN RALAT TRANSLITERASI II / PENYUNTINGAN TERJEMAHAN PENDOKUMENTASIAN CONTOH TRANSLITERASI AKSARA KOMPUTER KARO PAKPAK SIMALUNGUN TOBA MANDAILING VARIAN-VARIAN AKSARA BATAK JAWABAN CAP SINGAMANGARAJA XII KEPUSTAKAAN

6 6 Surat Batak Prakata Buku saya Warisan Leluhur: Sastra Lama dan Aksara Batak yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia pada tahun 2009 sudah lama habis terjual. Hal itu menunjukkan adanya minat untuk mempelajari dan lebih mengetahui aksara Batak. Buku terbitan tahun 1999 itu sekarang diterbitkan ulang dengan berbagai tambahan dan perbaikan. Bagian yang mengalami revisi mendasar adalah bagian yang membahas porhalaan (kalender Batak). Untuk itu, saya sangat berhutang budi pada Bapak H.J.A. Promes, seorang ahli Batak asal Belanda, atas masukannya yang sangat berharga. Selain itu pemulis juga menambahkan satu BAB tentang cap Singamangaraja yang didasari atas artikel berbahsa Inggris yang pernah diterbitkan di majalah Indonesia and the Malay World (Kozok 2000c). Artikel itu disajikan kembali dalam bahasa Indonesia setelah direvisi secara menyeluruh. Seyogyannya dalam buku ini terdapat juga bagian buku mengenai program komputerasi aksara Batak yang belakangan ini dikembangkan oleh pengarang bekerjasama dengan Leander Seige. Akan tetapi karena program tersebut bagaimanapun berada di Internet maka kami persilakan para pembaca untuk singgah di laman untuk mengikuti perkembangan aksara Batak yang terkini: serta

7 Daftar Isi 7

8 I Surat Batak

9 1 PENDAHULUAN Buku ini menguraikan tradisi dan sejarah tulisan Batak, terutama aksara Batak, dan naskah Batak yang ditulis dengan surat (aksara) Batak. Dengan demikian buku ini bukan pengantar teori filologi yang umum, melainkan pengantar filologi Batak yang isinya terutama mencakup dasar-dasar filologi Batak serta penerapannya. Dengan demikian ruang lingkup karangan ini lebih bersifat praktek daripada teori dan dimaksudkan agar para mahasiswa Batakologi dapat secara ringkas dan praktis memperoleh pengetahuan yang mempersiapkannya untuk membaca dan mentransliterasi (mengalihaksarakan) naskah-naskah Batak. Pembaca yang ingin mengetahui secara lebih mendalam studi filologi Indonesia serta teorinya dipersilakan untuk membaca buku-buku yang telah ada, khususnya Pengantar Teori Filologi (Baried et al. 1994) dan Principles of Indonesian Philology (Robson 1988). Para filolog yang meneliti naskah Batak telah banyak menyumbangkan pengetahuan tentang kesusastraan Batak sebagaimana tertulis di kulit kayu, bambu, dan tulang kerbau. Hampir semua karangan para ahli tersebut tertulis dalam bahasa asing bahasa Jerman, Inggris, dan Belanda, dan malahan seorang filolog Batak asli, Dr. Liberty Manik, memilih menulis dalam bahasa Jerman. Tulisan mengenai naskah Batak dalam bahasa Indonesia masih sangat langka sehingga banyak orang kurang mengetahui tentang isi buku-buku kulit kayu yang sangat dibanggakan orang Batak itu. Oleh sebab itu dimasukkan beberapa BAB yang menguraikan baik isi pustaha dan naskah-naskah lainnya maupun proses pengadaan naskah tersebut. Para penulis buku bertopik kebudayaan Batak pada umumnya tidak luput memasukkan satu BAB, atau paling tidak sebuah tabel yang me-

10 10 Surat Batak muat surat Batak 1. Hal ini menunjukkan bahwa orang Batak bangga atas prestasi nenek moyangnya yang telah mampu menciptakan sebuah tulisan sendiri dan mengarang ribuan naskah yang kini tersimpan di museummuseum mancanegara. Sayangnya, tidak satu pun dari susunan aksara Batak tersebut memberikan gambaran yang jelas dan lengkap. Hal ini diakibatkan oleh beberapa faktor, pertama karena aksara Batak sudah lama tidak digunakan lagi, dan kedua karena bentuk-bentuk aksara Batak dipengaruhi oleh varian-varian aksara yang mulai akhir abad ke-19 sudah diangkat untuk mencetak buku-buku yang bersifat keagamaan dan pendidikan untuk keperluan zending dan pengajaran. Sebagai hasil dari faktorfaktor tersebut, maka apa yang dianggap sebagai aksara baku sering merupakan hasil penyimpangan. Kendatipun akasara Batak kini dijadikan pelajaran wajib bagi murid SD dan SMP, mutu buku pelajaran masih sangat kurang. Buku pelajaran bahasa daerah (Toba) misalnya yang disarankan oleh Kantor Wilayah Provinsi Sumatra Utara Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sebagai buku bacaan di sekolah lanjutan tingkat pertama penuh dengan kesalahan dan kejanggalan. Keadaan di perguruan tinggi juga memprihatinkan. Sebagaimana telah dialami pengarang saat menjadi dosen luar biasa di jurusan sastra daerah, Fakultas Sastra, Universitas Sumatra Utara mahasiswa pada umumnya tidak dapat membaca sebuah naskah Batak karena surat Batak yang telah mereka pelajari ternyata kurang lengkap dan kerap kali malahan salah. Salah satu penyebab adalah bahwa sampai sekarang belum ada buku yang secara lengkap membahas seluk-beluk kelima surat Batak dengan segala variasinya. Diharapkan bahwa buku ini dapat mengisi kekosongan tersebut. Buku ini terutama bermaksud untuk mempersiapkan mahasiswa dan khalayak yang menaruh minat pada budaya Batak agar mereka dapat membaca dan mengalihaksarakan naskah-naskah Batak. Karangan ini juja merangkap sebagai pedoman untuk menulis surat Batak baik pakai 1. Lihat misalnya (Marbun dan Hutapea 1987; Sarumpaet 1994; Sihombing 1986; Situmorang 1983; Tampubolon 2002a; Tampubolon 2002b).

11 Pendahuluan 11 tangan maupun dengan komputer dengan menggunakan aksara Batak yang dikomputerkan. Bahan-bahan untuk penulisan buku ini berasal dari berbagai sumber melalui penelitian kepustakaan, penelitian lapangan, dan terutama dari pengalaman penulis yang telah lima belas tahun berkecimpung di bidang sastra Batak dan telah membaca dan mentransliterasikan ratusan naskah Batak. Penelitian khusus untuk penulisan buku ini dilakukan selama tiga minggu di Museum für Völkerkunde Berlin, dan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia di Jakarta. Jumlah naskah yang dievaluasi dan dipetakan dalam upaya perbandingan aksara mencapai kira-kira 200 naskah, kira-kira separuh di antaranya adalah buku kulit kayu (pustaha) dan sisanya merupakan naskah yang ditulis di atas bambu, tulang, dan kertas. Kedua ratus naskah tersebut berasal terutama dari daerah Simalungun, Toba, dan Angkola-Mandailing. Evaluasi naskah Karo berdasarkan kirakira 200 naskah Karo telah dilakukan penulis waktu menulis disertasinya (Kozok 2000a), sedangkan naskah Pakpak-Dairi memang sangat langka, dan penulis hanya menemukan sekitar lima naskah saja yang jumlahnya tentu belum cukup untuk sebuah evaluasi yang mendalam. Oleh karena itu, hasilnya yang menyangkut surat Batak Pakpak-Dairi bersifat sementara saja. Definisi istilah Batak Kita tidak mungkin menulis mengenai Batak tanpa memberikan definisi dulu dengan apa yang dimaksud dengan istilah tersebut. Dewasa ini, istilah Batak sebenarnya sudah jarang dipakai bila merujuk kepada kelompok etnis Batak selain Toba, yaitu Karo, Pakpak-Dairi, Simalungun serta Angkola-Mandailing. Keempat etnis tersebut sekarang jarang menyandang predikat Batak, namun di zaman prakolonial, dan juga masih di awal penjajahan Belanda, mereka lazim menyebut diri sebagai Batak (Mandailing sudah mulai dijajah pada tahun 1835, tetapi kebanyakan daerah Batak baru menjadi teritorial pemerintahan kolonial pada tahun 1904 atau 1907). Salah satu alasan maka predikat Batak kini jarang dipakai oleh keempat etnik tersebut berkaitan dengan kenyataan bahwa orang Toba cenderung menyebut diri sebagai Batak dan bukan

12 12 Surat Batak sebagai Toba. Dengan demikian maka Batak sering dianggap sinonim dengan Toba. Jadi mengapa orang Batak Toba lebih suka menggunakan predikat Batak ketimbang Toba? Sebabnya ialah karena "Toba" sebenarnya nama daerah dan bukan nama suku bangsa. Pada intinya Toba merujuk pada dua daerah saja, yaitu Toba Humbang dan Toba Holbung, sementara Habinsaran, Samosir, Silalahi, Silindung, Uluan, dan beberapa daerah kecil lainnya sebenarnya tidak termasuk daerah Toba. Akan tetapi karena kesamaan dari segi bahasa dan budaya penduduk daerah-daerah itu lazim disebut etnis Toba, terutama oleh orang luar (orang Karo misalnya menyebutnya kalak Teba orang Toba ), dan kemudian juga oleh para ahli bahasa dan antropologi. Karena sampai sekarang, banyak orang Samosir masih tetap merasa janggal bila mereka disebut Toba, dan lebih suka menggunakan istilah Batak saja. Buku ini mengenai aksara Batak, yang dalam bahasa-bahasa Batak disebut Surat Batak. Sekarang sistem tulisan yang ada di Sumatra Utara suka dibedakan antara aksara Toba, Karo, dsb, tetapi dulu semua orang Batak, termasuk Karo, Simalungun, dan Mandailing, menggunakan hanya satu istilah: surat Batak. Oleh karena itu, dan demi menjaga kesederhanaan tulisan ini, istilah Batak digunakan bila merujuk kepada semua sub-etnis Batak, sedangkan istilah Karo, Pakpak-Dairi, Simalungun, Toba dan Angkola- Mandailing digunakan bila merujuk pada suatu kelompok sebagaimana telah ditunjukkan pada gambar di halaman berikut.

13 2 BAHASA DAN KESUSASTRAAN Gambar 1: Peta Linguistik Sumatra Utara

14 14 Surat Batak 2.1 Bahasa Alas PNB Karo Dairi Proto-Batak PSB PT PAM Si To An Ma Kelima suku Batak memiliki bahasa yang satu sama lain mempunyai banyak persamaan. Namun demikian, para ahli bahasa membedakan sedikitnya dua cabang bahasa-bahasa Batak yang perbedaannya begitu besar sehingga tidak memungkinkan adanya komunikasi antara kedua kelompok tersebut. Gambar 2: Rumpun Bahasa Batak Bahasa Angkola, Mandailing, dan Toba membentuk rumpun selatan, sedangkan bahasa Karo dan Pakpak-Dairi termasuk rumpun utara. Bahasa Simalungun sering digolongkan sebagai kelompok ketiga yang berdiri di antara rumpun utara dan rumpun selatan, namun menurut ahli bahasa Adelaar (1981) secara historis bahasa Simalungun merupakan cabang dari rumpun selatan yang berpisah dari cabang Batak Selatan sebelum bahasa Toba dan bahasa Angkola-Mandailing terbentuk. Semua dialek bahasa Batak berasal dari satu bahasa purba (protolanguage) yang sebagian kosa katanya dapat direkonstruksikan. 2 Linguistik historis komparatif adalah bidang linguistik yang menyelidiki perkembangan bahasa dari masa ke masa serta menyelidiki perbandingan satu bahasa dengan bahasa lain. Dengan metode tersebut dapat diketahui bahwa misalnya kata untuk bilangan 3 (tiga) dalam bahasa Batak Purba adalah tělu. Bentuk ini sampai sekarang diwariskan oleh rumpun Batak Utara, sedangkan rumpun Batak Selatan mengalami pergeseran dari [ə] menjadi [o] sehingga tělu berubah menjadi tolu. 3 Dengan cara perban- 2. Bahasa purba adalah sebuah bahasa yang menjadi perintis dari bahasa yang saling berhubungan yang membuat sebuah rumpun bahasa. Bahasa purba tersebut dapat direkonstruksikan dengan metode komparatif yang dapat menentukan kekerabatan bahasa-bahasa dengan membandingkan bentuk dari kata-kata seasal. 3. Dalam hal ini rumpun utara yang melestarikan bentuk aslinya, namun banyak contoh lainnya di mana bentuk aslinya dipertahankan oleh rumpun selatan (PBS).

15 Bahasa dan Kesusastraan 15 dingan yang demikian, linguistik historis komparatif dapat menentukan hubungan kekerabatan antara bahasa-bahasa yang seasal. Adapun bahasa Alas secara linguistik dapat digolongkan dalam rumpun bahasa Batak Utara, namun dari segi budaya suku Alas tidak termasuk kebudayaan Batak. Ada kemungkinan bahwa di masa dahulu orang Alas juga pernah menggunakan sebuah varian surat Batak mengingat bahwa dari segi budaya, sistem kekerabatan, dan terutama dari segi bahasa, Alas masih cukup banyak memiliki persamaan dengan Batak, khususnya Batak Karo (Iwabuchi 1994). Karena orang Alas sudah lama memeluk agama Islam, maka huruf Jawi dipakai untuk surat-menyurat sebelum abjad Latin diperkenalkan. Walaupun bahasa Karo dan bahasa Simalungun merupakan dua bahasa yang begitu berbeda sehingga sulit berkomunikasi satu sama lain, di daerah-daerah perbatasan Karo-Simalungun tidak ada masalah komunikasi karena di situ masing-masing bahasa memiliki banyak kata yang dipinjam dari seberang perbatasan. Dan bukan saja dari segi bahasa, dari segi budaya pula tidak ada perbedaan yang mencolok di antara kampungkampung Simalungun dan Karo di daerah perbatasan. Demikian juga halnya di daerah perbatasan antara bahasa/budaya Karo dan Pakpak atau Pakpak dan Toba. Bahasa Toba, Angkola, dan Mandailing tidak banyak berbeda. Malahan Angkola dan Mandailing merupakan dua bahasa yang mempunyai sedemikian banyak persamaan sehingga pada umumnya disebut bahasa Angkola-Mandailing saja. Dengan adanya kesinambungan linguistik antara suku-suku Batak, tidak mengherankan bahwa tiada juga perbedaan-perbedaan yang jelas antara varian-varian surat Batak. Secara umum dapat dikatakan bahwa ada lima varian surat Batak, ialah Karo, Pakpak, Simalungun, Toba, dan Angkola-Mandailing. Namun, kita harus mengingat bahwa baik dari segi bahasa, budaya maupun tulisan tidak selalu ada garis pemisah yang jelas antara kelima suku Batak tersebut karena kelima suku Batak itu mempunyai induk yang sama.

16 16 Surat Batak 2.2 Sastra Sebagian besar sastra Batak tidak pernah ditulis. Cerita-cerita rakyat dalam bentuk fabel, mitos dan legenda, umpama dan umpasa, torhantorhanan, turi-turian, huling-hulingan semua itu tidak pernah ditulis, tetapi diturunkan secara lisan dari generasi ke generasi. Walaupun orang Batak sudah berabad-abad memiliki tulisan tersendiri, mereka tidak pernah menggunakan sistem tulisannya untuk tujuan sehari-hari. Membuat catatan, mengeluarkan dokumen-dokumen, mencatat utang-piutang atau pengeluaran rumah-tangga, mencatat silsilah marganya semuanya ini tidak pernah dilakukan dengan menggunakan pena melainkan secara lisan saja. Orang Batak menggunakan tulisannya hanya untuk tiga tujuan: 1. Ilmu kedukunan (hadatuon) 2. Surat-menyurat (termasuk surat ancaman) 3. Ratapan (hanya di Karo, Simalungun, dan Angkola-Mandailing). Tiga perempat naskah membahas hal-hal yang berkaitan dengan ilmu kedukunan atau hadatuon. Yang berhak untuk menulis perihal hadatuon adalah para dukun (datu). Pengetahuannya terutama ditulis pada buku kulit kayu, tetapi kadang-kadang mereka juga menggunakan bambu atau tulang kerbau. Diperkirakan terdapat sekitar hingga pustaha yang kini disimpan dalam koleksi-koleksi museum atau perpustakaan di mancanegara, terutama di Belanda dan Jerman. Sebuah koleksi yang besar juga terdapat di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia di Jakarta. Pustaha dan isinya akan diteliti dengan lebih mendalam pada BAB berikut. Tidak semua naskah Batak ditulis oleh para datu. Dalam hampir setiap koleksi terdapat surat yang ditulis oleh orang biasa, atau seorang raja. Juga surat ancaman (T,S pulas, K musuh běrngi) sering ditemukan. Surat seperti itu mengandung ancaman terhadap pihak yang memperlakukan si penulis secara tidak wajar, misalnya karena kecurian kerbau atau upah yang tidak dibayar. Di banyak daerah, terutama Karo, Simalungun, Angkola dan Mandailing banyak terdapat ratapan (K bilangbilang, S suman-suman, M andung) yang membahas penderitaan si pe-

17 Bahasa dan Kesusastraan 17 nulis yang terbuang oleh sanak saudara, kematian orang tua atau kerabat lainnya serta juga percintaan yang gagal. Bahan yang dipakai untuk surat, surat ancaman, serta ratapan biasanya bambu. Di Karo ratapan tersebut ditulis pada sebuah ruas bambu yang diberi tutup dan dipakai sebagai tempat kapur sirih (tagan pěrkapurěn) atau tempat tembakau (tagan pěrtimbakon). Di Simalungun, di samping tempat kapur sirih juga parlilian (tempat untuk menyimpan lidi yang dipakai untuk bertenun) sering ditulisi ratap-tangis, sedangkan di Angkola dan Mandailing bambu yang panjangnya bisa mencapai empat atau lima ruas biasanya dipakai untuk menulis sebuah andung. Ratap-tangis andung juga dikenal di Toba dan Pakpak, tetapi hanya sebagai tradisi lisan saja. Kebiasaan menulis surat, surat ancaman dan ratap-tangis ini menunjukkan bahwa di zaman dulu bukan saja sang datu bisa menulis dan membaca. Kemungkinan besar bahwa angka keberaksaraan di zaman prakolonial telah mencapai persen dari kaum laki-laki. Kendati demikian, hanya sang datu-lah yang pandai menulis pustaha. Mereka adalah penulis profesional dan mereka juga merupakan lapisan penduduk dengan mobilitas yang paling tinggi. Seorang murid (sisean) sering merantau jauh agar dapat berguru kepada seorang datu yang terkenal. Dalam pustaha Perpustakaan Nasional, No. D 2 misalnya, disebut bahwa penulis pustaha tersebut yang berasal dari Pangaribuan di daerah Habinsaran, merantau sampai ke dataran tinggi Karo untuk berguru pada seorang datu terkenal yang juga menjadi raja (sibayak) di kampung Kuta Bangun. Mobilitas yang sangat tinggi ini mungkin juga merupakan salah satu sebab mengapa kita sering dapat menjumpai kata-kata dan aksara-aksara dari daerah lain di dalam sebuah pustaha. 2.3 Hata Poda Dalam menulis sebuah pustaha, para datu menggunakan sebuah ragam bahasa yang lazim disebut hata poda. Kata poda (pědah di dialek utara) dalam bahasa sehari-hari diartikan nasehat, tetapi dalam pustaha artinya lebih mendekati instruksi atau petunjuk. Ragam hata poda yang hanya dipakai di pustaha ini, merupakan sejenis dialek kuno

18 18 Surat Batak rumpun bahasa Batak Selatan dan banyak bercampur dengan kata-kata yang dipinjam dari bahasa Melayu. Karena kekunoannya, dialek tersebut juga menjamin bahwa hanya seorang datu yang telah mempelajari ragam bahasa ini dapat mengerti isi pustaha. Kerahasiaan ini merupakan salah satu sebab mengapa isi pustaha sangat sukar dimengerti petunjuk-petunjuk yang diberikan pada umumnya hanya dapat dipahami oleh seseorang yang sudah memiliki pengetahuan mendalam mengenai masalah yang dibicarakan. Walaupun seorang datu harus menguasai bahasa poda sebelum ia mulai menyusun sebuah pustaha, hal itu tidak berarti bahwa bahasa yang dipakai di pustaha-pustaha adalah murni hata poda. Tentu banyak kata dari masing-masing bahasa daerah ikut memperkaya bahasa yang dipakai dalam pustaha. Tetapi ada pula banyak naskah yang kalau dilihat dari segi bahasa, tempat asalnya tidak dapat diketahui karena ditulis dalam ragam hata poda tersebut. Standardisasi yang dilakukan dalam penulisan pustaha seperti halnya menggunakan bahasa poda sebagai ragam bahasa penulisan pustaha, juga terdapat pada tulisannya. Jika seorang datu Karo misalnya menulis sebuah pustaha, ia cenderung untuk mengubah aksara Karo sedemikian rupa hingga tampak lebih selatan. Untuk mencapai itu, ia akan menghindarkan penggunaan diakritik e-pepet (kěběrětěn) dan menggantinya dengan diakritik /o/ (kětolongěn). Karena keseragaman baik bahasa maupun tulisan, bentuk-bentuk aksara sebagaimana terdapat dalam sebuah pustaha tidak selalu mewakili bentuk-bentuk aksara yang biasanya dipakai di daerah asal datu yang mengarang pustaha tersebut. Hal itu dapat terjadi bukan saja karena kecenderungan untuk menyesuaikan tulisan dengan bentuk selatan, tetapi juga karena para datu sering memperoleh pengetahuannya, termasuk kepandaian membaca dan menulis, dari seorang datu dari lain daerahnya. Oleh sebab itu, sebuah perbandingan aksara seperti dilakukan di BAB 6 sebaiknya dilakukan berdasarkan naskah-naskah bambu dan bukan pustaha agar mendapatkan sebuah gambaran yang lebih akurat. Sebagai contoh ragam hata poda, saya berikan di sini beberapa kata yang lazim dipakai dalam penulisan sebuah pustaha:

19 Bahasa dan Kesusastraan 19 Tabel 1: Ragam Hata Poda Hata Poda Batak Toba Batak Karo Melayu jaha molo adi jika purba habinsaran kěbincarěn timur dongan dohot ras dengan turun tuat, susur susur turun inon on enda ini lobe jolo lěbe dulu bajik uli uli bajik dumatang ro rěh datang da- (pasif) di- i- di- Daftar ini masih dapat diperpanjang dengan puluhan atau bahkan lebih dari seratus kata lainnya. Bagi yang ingin mengetahui lebih lanjut mengenai hata poda dianjurkan untuk membaca karya Sarumpaet (1982), Hariara (1987), atau merujuk pada kamus-kamus bahasa Batak, terutama kamus Van der Tuuk (1861) dan Warneck (1977). Dari beberapa contoh tersebut menjadi jelas bahwa idiolek poda terutama berdasarkan rumpun bahasa Batak Selatan dengan pengecualian kata lobe yang diambil dari rumpun bahasa Batak Utara. Selain itu juga tampak banyaknya kata pinjaman dari bahasa Melayu seperti jaha, dongan, turun, bajik, d=um=atang, dan juga dari bahasa Sanskerta (purba). 2.4 Punahnya sebuah tradisi Waktu ahli bahasa Belanda Herman Neubronner van der Tuuk mengadakan perjalanannya ke Sipirok pada tahun 1852, beliau telah mencatat bahwa daerah tersebut sangat kekurangan atas pustaha, datu, dan babi sebagai akibat masuknya agama Islam ke daerah tersebut. 4 Enam tahun 4. Een algemeene schaarschte in poestahas, datoes en varkens, welke laatste bestand-

20 20 Surat Batak sebelumnya, Willer, seorang civiel gezaghebber (pegawai pamongpraja) di Mandailing, juga sudah menulis bahwa di daerah Pertibi (Angkola) tidak lagi terdapat pustaha, sedangkan di Mandailing sudah menjadi sangat jarang. Dijelaskannya bahwa kaum Padri berusaha sedapat-dapatnya untuk memusnahkannya. 5 Ternyata bukan kaum Padri saja yang benci pada produk-produk para datu. Penginjil-penginjil Jerman bersama dengan pendeta-pendeta pribumi memilih jalan yang sama pula dan secara besar-besaran mereka membakar pustaha serta obyek-obyek "kekafiran" lainnya. 6 Pada tahun an agama Kristen sudah memasuki daerah-daerah pedalaman termasuk Samosir, Dairi serta dataran tinggi Karo dan Simalungun. Walaupun kebanyakan penduduk di daerah tersebut saat itu masih bertahan pada agama nenek moyangnya, boleh dipastikan bahwa pada waktu itu sudah hampir tidak ada lagi datu yang menulis pustaha. Pada saat itu juga, tidak ada lagi buku, baik terbitan zending maupun pemerintah, yang dicetak dengan menggunakan aksara Batak. Setahu saya buku terakhir yang dicetak dalam aksara Batak adalah Porgolatanta: Buku sidjahaon ni anak sikola karangan Arsenius Lumbantobing (1916) yang terbit di Balige pada tahun 1916, dan naskah-naskah asli yang masih ditulis setelah tahun itu jumlahnya sangat sedikit sekali. deelen van de Battaksche gemeente voor den invloed van het Islamisme de vlugt hebben moeten nemen. Dikutip dari Voorhoeve (1927:314). 5. Wat Pertibie en Mandheling betreft, kan ik verzekeren, dat in eerstgenoemd landschap geen poestaha's hoegenaamd zijn te verkrijgen, en zij in het laatstgenoemde hoogst zeldzaam zijn te vinden. De Padries hebben deze boeken overal met veel godsdienstijver opgespoord en verbrand, de bezitters daarvoor hooge boeten afgeperst; zij gebruiken hier hetzelfde argument als Omar bij de Alexandrijnsche boekerij. (Willer 1846:391) 6. Penginjil Meerwaldt (1922:295) misalnya menulis: De boeken door de datoe's met zooveel opoffering van tijd en moeite geschreven, zij dienden hen, die, gelijk wij in Hand. 19 : 19 lezen, ijdele kunsten pleegden, en waren dus rijp, om, evenals daar, ten vure gedoemt te worden.

21 3 BAHAN-BAHAN REFERENSI 3.1 Perkamusan Kebanyakan kamus bahasa-bahasa Batak masih berbahasa asing Belanda atau Jerman. Berkat upaya Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan) sudah ada beberapa kamus bahasa-bahasa Batak Indonesia, tetapi kebanyakan masih belum memenuhi standar. Dibandingkan dengan kamus asing, kamus-kamus keluaran Pusat Bahasa pada umumnya kurang lengkap, dan juga sangat kekurangan dari segi metodologi penyajian data. Hal itu menjadi jelas bila kita menyimak kamus Karo (Siregar et al. 1985), Simalungun (Zubeirsyah 1985), Toba (Tambunan 1977) dan Angkola-Mandailing (Siregar 1977). Keakuratan data keempat kamus tersebut tidak terlalu dapat diandalkan dan kurang bermanfaat sebagai referensi sehingga kita masih tetap harus menggunakan kamus-kamus asing. Kamus bahasa-bahasa Batak Indonesia yang lebih baik justru dibuat oleh orang yang bukan akademik. Kamus Pakpak-Dairi Indonesia yang disusun oleh T. R. Manik (1977) cukup bermutu. Sayang sekali kamus tersebut diterbitkan oleh Pusat Bahasa tanpa memberi kesempatan kepada penyusun untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan yang terjadi selama proses penyuntingan. Japorman E. Saragih (1989) telah menyusun kamus Simalungun Indonesia yang sederhana tetapi sangat berguna untuk melengkapi kamus Simalungun Simalungun yang dikarang oleh Wismar Saragih (1936). Salah satu contoh kamus Batak Indonesia yang bermutu adalah Kamus Toba Indonesia yang disusun oleh J.P. Sarumpaet (1994). Kamus ini sangat berguna terutama karena kosakatanya yang kontemporer, tetapi kurang bermanfaat bagi seorang filolog yang meneliti naskah-naskah lama sehingga kita masih tetap tergantung pada kamus Van der Tuuk dan Warneck.

22 22 Surat Batak Setelah lebih dari seratus tiga puluh tahun, kamus Van der Tuuk masih merupakan referensi yang sangat penting bagi bahasa Toba, Dairi, dan Angkola-Mandailing (Tuuk 1861). Tidak kalah penting adalah kamus Toba Jerman yang disusun oleh Warneck dan, dalam edisi keduanya, dilengkapi oleh Winkler dengan sejumlah kata khas hadatuon yang kerap terdapat dalam pustaha (Warneck 1906; 1977). Untuk bahasa Angkola-Mandailing, selain kamus Van der Tuuk masih ada kamus Angkola-Mandailing Belanda yang disusun oleh Eggink (1936). Untuk bahasa Pakpak-Dairi, selain kamus Van der Tuuk yang kurang lengkap memuat kata-kata Pakpak-Dairi, hanya ada kamus Pakpak- Dairi Indonesia yang disusun oleh Tindi Raja Manik (1977). Karena pendudukan Jepang maka upaya P. Voorhoeve untuk menyusun kamus Simalungun Belanda tidak pernah rampung. Kamus-kamus Simalungun yang ada semua berbahasa Indonesia. Kamus Karo-Belanda pertama disusun oleh misionaris M. Joustra (1907). Kamus tersebut disusun dalam aksara Batak. Kemudian J.H. Neumann (1951) yang juga menjadi misionaris zending Belanda di Tanah Karo, menyusun sebuah kamus Karo-Belanda beraksara Latin. Dalam kamus tersebut, semua lema kamus Joustra dimasukkan sehingga yang pertama tidak dibutuhkan lagi sebagai referensi. 3.2 Inventarisasi Naskah Tugas seorang filolog adalah untuk menguraikan sebuah naskah sedemikian rupa sehingga naskah tersebut tersedia dalam bentuk yang dapat dibaca dan dipahami oleh kalangan yang lebih luas. Karena naskah-naskah Batak sering sulit dimengerti dan juga karena faktor lainnya (kerusakan atau hilangnya bagian sebuah naskah misalnya) biasanya kita mesti membaca beberapa naskah dari jenis yang serupa untuk dapat memahami isi naskah yang sedang dipelajari. Katakanlah seseorang ingin meneliti surat-menyurat antara penginjil Nommensen dan raja-raja Toba. Sudah barang tentu peneliti tersebut akan merasa kurang kalau hanya membahas satu atau dua naskah karena informasi yang diperolehnya tidak cukup. Maka ia akan berusaha untuk mencari sebanyak-banyaknya

23 Bahan-Bahan Referensi 23 naskah yang dapat dipelajarinya. Untuk itu ia perlu mengetahui di mana saja tersimpan surat-surat seperti ini. Untuk itu, tersedia sejumlah buku referensi. 1. Manik, Liberty. Batak-Handschriften. Vol. XXVIII, Verzeichnis der orientalischen Handschriften in Deutschland. Penyunting: W. Voigt. Wiesbaden: Franz Steiner Verlag Katalog ini adalah salah satu referensi yang terpenting yang memuat semua naskah Batak yang ada di Jerman, berjumlah sekitar 500 naskah; dilengkapi dengan suplemen oleh Theodore G.Th. Pigeaud dan P. Voorhoeve berjudul Handschriften aus Indonesien: Bali, Java und Sumatra. Vol. XXVIII, 2, Verzeichnis der orientalischen Handschriften in Deutschland; disunting oleh D. George. Stuttgart: Franz Steiner Verlag Wiesbaden Kedua katalog ini berbahasa Jerman. 2. Voorhoeve, Petrus. Codices Batacici. Codices Manuscripti XIX. Leiden: Universitaire Pers Deskripsi dari sekitar dua ratus naskah yang tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden, termasuk koleksi-koleksi Van der Tuuk dan Ophuijsen. Karangan yang berbahasa Belanda ini merupakan salah satu sumber yang sangat penting. Di Universiteitsbibliotheek Leiden terdapat juga ribuan lembar berisi transliterasi dan deskripsi ratusan naskah Batak dari puluhan koleksi mancanegara. Bahan yang sangat berharga ini dikumpulkan oleh Voorhoeve selama puluhan tahun. Koleksi tersebut telah diinventariskan oleh P. Voorhoeve dan Uli Kozok (1993). 3. Voorhoeve, Petrus. A catalogue of the Batak manuscripts in the Chester Beatty Library. Dublin: Hodges Figgis & Co.Ltd Penguraian yang sangat teliti dan luas atas 51 naskah koleksi Perpustakaan Chester Beatty di Dublin, Irlandia. Naskah yang dibahas secara amat teliti adalah naskah 1101 karena pustaha Karo ini merupakan salah satu dari hanya beberapa pustaha yang menjelaskan cara pembuatan dan penggunaan tunggal panaluan. Seluruh teks pustaha tersebut ditransliterasikan dan bagian-bagian yang kurang lengkap dapat dilengkapi dengan mengambil teks dari dua naskah Karo lainnya yang juga bertopik tunggal panaluan. Katalog ini dilengkapi dengan suplemen oleh

24 24 Surat Batak P. Voorhoeve berjudul Supplement to the Batak Catalogue. The Chester Beatty Library yang dimuat di majalah Bijdragen tot de Taal-, Land en Volkenkunde 124 (3) Ricklefs, M.C., dan P. Voorhoeve. Indonesian Manuscripts in Great Britain. A Catalogue of Manuscripts in Indonesian Languages in British Public Collections. Vol. 5, London Oriental Bibliographies. Oxford: Oxford University Press Karangan ini berupa katalog naskah-naskah Indonesia, termasuk puluhan naskah dari daerah Batak yang ada di berbagai museum dan perpustakaan di Britania Raya. Katalog tersebut dilengkapi dengan Addenda et Corrigenda yang dimuat di Bulletin of the School of Oriental and African Studies, University of London, Vol. XLV, Part 2, Voorhoeve, Petrus. Catalogue of Indonesian Manuscripts. Part 1, Batak Manuscripts. Copenhagen: The Royal Library Katalog berbahasa Inggris ini menguraikan dengan sangat teliti dan luas isi 86 naskah Batak koleksi Perpustakaan Kerajaan Denmark. Bagian pertama buku ini yang berjudul Comparative observations on some typical designs in Batak manuscripts ditulis oleh Carl Schuster dan membandingkan ornamen-ornamen yang lazim terdapat di dalam naskah-naskah Batak (seperti bindu matoga dan bindu matogu, tapak raja Suleman dsb.) dengan ornamen-ornamen di India dan juga luar India. Bagian kedua katalog ini yang ditulis oleh Voorhoeve dibagi atas enam bagian. BAB pertama yang berjudul Mythology berkaitan dengan makhluk halus sangat berbahaya yang bernama Sirudang Gara yang diuraikan di naskah BAT.1. BAB kedua berjudul Aggressive Magic dan menguraikan teks-teks yang mengandungi ajaran ilmu gaib yang bertujuan untuk memusnahkan musuh (songon, pangulubalang dsb.). BAB ketiga berjudul Protective Magic terutama berisikan pagar dan azimat serta ajaran untuk memperoleh kekebalan. BAB keempat berjudul Divination (ramalan), BAB kelima berkaitan dengan tambar dan tawar (obat-obatan), dan BAB keenam membahas beberapa naskah bambu dan tulang seperti bilang-bilang (ratap-tangis), surat, dan pulas (surat ancaman).

25 Bahan-Bahan Referensi 25 Katalog ini dilengkapi dengan sebuah BAB tambahan yang mengandung transliterasi teks-teks yang diambil dari 22 pustaha dan yang berkaitan dengan pengayauan (pemenggalan kepala orang). Perlu ditambah di sini bahwa selama ini orang Batak hanya dikenal karena antropofaginya (makan daging manusia), dan tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa pengayauan sebagaimana dikenal dari suku Dayak misalnya pernah ada di tanah Batak. Teks-teks yang disajikan Voorhoeve membuktikan bahwa pengayauan ternyata pernah juga dilakukan orang Batak. 6. Petrus Voorhoeve. Elio Modigliani s Batak Books, Archivio per l Antropologia e la Etnologia Vol. CIX-CX, , Hal Kisah Elio Modigliani yang pernah dianggap oleh orang Batak sebagai utusan Raja Rum telah diceritakan oleh Sitor Situmorang dalam buku Guru Somalaing dan Modigliani Utusan Raja Rom. Sekelumit sejarah lahirnya gerakan Ratu Adil di Toba (Situmorang 1993a). Tokoh Itali yang telah banyak mempengaruhi sejarah orang Batak membawa pulang 20 pustaha dan empat naskah bambu dari perjalanannya ke tanah Batak pada tahun 1890 yang kini tersimpan di kota kelahirannya Firenze. 7. Poerbatjaraka, R. Ng., P. Voorhoeve, dan C. Hooykaas, Indonesische Handschriften. Bandung Katalog berbahasa Belanda ini antara lain juga memuat daftar dari beberapa naskah Batak yang ada di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. 8. Saragih, Japorman Edison, Pustaha-pustaha laklak dan surat-surat buluh yang berasal dari daerah Batak, Sumatera Utara Perpustakaan Nasional (stensilan) (Saragih 1973). Daftar naskah Batak di Perpustakaan Nasional yang lebih lengkap (namun banyak mengandung kesalahan) telah disusun oleh J. E. Saragih yang dapat dibaca di ruangan naskah Perpustakaan Nasional. Daftar ini juga sangat penting karena menunjuk kepada map berkode Vt. yang berisi transliterasi-transliterasi sebagian besar naskah Batak yang ada di Perpustakaan Nasional. Transliterasi itu sangat berguna karena dibuat oleh orang yang memiliki pengetahuan yang sangat mendalam mengenai isiisi pustaha. Perlu diingat bahwa transliterasi yang dibuat pada awal abad

26 26 Surat Batak ini tidak merupakan transliterasi yang ilmiah, melainkan transliterasi praktis yang tanpa memberi indikasi apa pun memperbaiki kesalahan atau kekurangan yang ada pada naskah asli. 9. Haruki Yamamoto dan Andreas S. Lingga, Catalogue of the Batak Manuscripts in the Simalungun Museum. Nampo-Bunka 17, November 1990:1 18 Artikel ini merupakan sebuah daftar inventaris yang memuat deskripsi oleh sembilan belas pustaha yang dimiliki Museum Simalungun di Pematang Siantar. Demikianlah daftar bahan-bahan referensi berupa daftar inventaris beberapa koleksi. Daftar ini masih dapat dilengkapi dengan katalog inventaris beberapa koleksi yang lebih kecil, antara lain Tenri Central Library, Tenri, Jepang (Yamamoto 1992), Royal Art and History Museums di Brussels, Belgia (Persoons 1986), Perpustakaan John Rylands di Manchester, Inggris (Voorhoeve 1951), Museum Antropologi (Museum voor Volkenkunde) Leiden, Belanda (Fischer 1914; 1920), Linden- Museum Stuttgart, Jerman (Kozok 2003) serta koleksi H.H. Bartlett, pengarang The Labors of the Datu (Bartlett 1973), yang diinventariskan oleh Voorhoeve (1980). Sekilas pandang daftar ini bisa kelihatan mengagumkan. Hal ini terutama berkat kegiatan Petrus Voorhoeve yang, mulai tahun 1927 sewaktu ia menerbitkan disertasinya berjudul Overzicht van de volksverhalen der Bataks (Peninjauan terhadap cerita-cerita rakyat Batak) hingga pada tahun 1996 ketika beliau menemui ajalnya, menekuni sastra lisan dan filologi Batak. Sumbangan Voorhoeve pada filologi Batak memang luar biasa. Dilahirkan di tahun 1899 di Vlissingen, provinsi Zeeland, negeri Belanda, beliau mempelajari bahasa dan sastra Indonesia di Universitas Leiden. Setelah tamat ia ditugaskan di Pematang Siantar sebagai taalambtenaar (pegawai bahasa) dengan tugas untuk menyusun kamus Simalungun yang tak pernah terbit karena sebagian besar bahan yang telah dikumpulkannya hancur terbakar di zaman Jepang. Beliau sendiri dikirim ke Burma untuk bekerja paksa untuk mesin perang Nippon, sedangkan isteri dan anak-anaknya diinternir di Jaranguda, Berastagi. Kembali ke negeri Belanda ia menjadi kepala bagian pernaskahan di Perpustakaan

27 Bahan-Bahan Referensi 27 Universitas Leiden sampai mencapai usia pensiun. Masa jabatannya di perpustakaan tersebut dan juga setelah pensiun merupakan masanya yang paling produktif sehingga ia menerbitkan puluhan buku dan artikel seputar bahasa dan sastra, dan terutama filologi Aceh, Batak, Jawa, dan Sumatra bagian selatan. Alangkah miskinnya filologi Batak kalau tidak ada orang ini yang menyumbangkan seluruh jiwa dan raga pada dunia pernaskahan Nusantara. Tetapi apakah dayanya seorang diri menghadapi ratusan bahkan ribuan naskah yang terpencar di mancanegara. Hingga kini, belum ada orang yang menghitung jumlah naskah Batak yang ada di Belanda yang barangkali mencapai beberapa ratus atau bahkan seribu lebih. Naskahnaskah yang ada di museum-museum terbesar seperti di Tropenmuseum Amsterdam atau di Museum Geraldus van der Leeuwen, Groningen, misalnya, tidak pernah diinventariskan sehingga pengetahuan kita tentang koleksi-koleksi ini sangat minim. Demikian juga dengan naskahnaskah yang ada di Austria (misalnya di Museum für Völkerkunde Wien, Vienna) atau di berbagai koleksi lainnya di Eropa dan luar Eropa. 3.3 Naskah Batak di Dunia Maya Salah satu masalah bagi mahasiswa Indonesia adalah bahwa lebih dari 90% naskah-naskah Batak berada di luar negeri. Upaya "pengembalian" naskah Batak ke tanah air telah dirintis oleh penulis melalui dunia maya. Pranala (link) untuk mengakses situs internet adalah: Dalam bilik tersebut terpajang sejumlah naskah Batak dari berbagai koleksi luar negeri. Naskahnya dapat langsung dibaca di situ, didownload atau dicetak serta dibawa pulang untuk menghemat biaya.

28 4 PENGADAAN NASKAH 4.1 Jenis Bahan Naskah Naskah-naskah Batak pada umumnya ditulis pada tiga jenis bahan: kulit kayu (laklak), bambu, dan tulang kerbau. Di antara 500 naskah Batak yang ada di berbagai koleksi di Jerman, naskah kulit kayu dan bambu yang paling banyak, yakni masing-masing sekitar 43%, sedangkan naskah tulang 12% dan naskah kertas hanya 2%. Kertas sudah ada di Tanah Batak pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, tetapi jarang digunakan kecuali di sekolah-sekolah dan untuk menulis dengan huruf Latin. Tabel 2: Jenis-jenis naskah (di Jerman) Ratapan Surat Surat Ancaman Hadatuon Pustaha Bambu Tulang Kertas Kulit kayu dapat diolah menjadi sebuah buku yang disebut pustaha yang bentuk dan ukurannya bisa berbeda-beda. Pustaha yang sederhana hanya terdiri dari laklak yang dilipat-lipat, dan tidak memiliki sampul

29 Pengadaan Naskah 29 kayu untuk menjilidnya, sedangkan pustaha yang mewah, sampulnya (lampak) dapat memiliki ukiran yang indah sekali. Ukurannya pun dapat berbeda sekali dari pustaha yang kecil berukuran sekitar 3 x 5 cm hingga pustaha besar yang ukurannya bisa mencapai 40 x 25 cm. Proses pembuatan pustaha diuraikan di BAB berikut. Tulang kerbau yang dipakai sebagai bahan tulis pada umumnya tulang rusuk dan tulang bahu. Proses penulisan sama dengan di bambu yakni dengan ujung pisau, dan bekas goresan pisau itu kemudian dihitamkan. Bambu adalah bahan yang sangat praktis karena dapat diperoleh kapan dan di mana saja. Hampir semua jenis bambu dapat dipakai dan jenis mana yang dipilih tergantung pada jenis naskah yang mau dihasilkan. Naskah-naskah bambu yang paling panjang biasanya ditemukan di Angkola dan Mandailing. Naskah bambu seperti itu yang panjangnya dapat mencapai 5 ruas berukuran sekitar 1,5 2 meter dengan diameternya sekitar 5 8 cm biasanya dipakai untuk menulis sebuah ratapan (andung). Naskah yang begini sangat berbeda dengan ratapan di Karo dan Simalungun yang hampir selalu ditulis pada tabung-tabung bambu yang dipakai sebagai tagan pěrkapurěn (tempat kapur sirih), tagan pěrtimbakon (tempat tembakau), dan di Simalungun juga sebagai parlilian (tempat menyimpan lidi yang dipakai dalam bertenun). Bambu yang dipakai untuk tagan pěrkapurěn biasanya jenis bambu yang kulitnya tipis dan selalu dipakai satu ruas saja yang bukunya menjadi dasar tabung, sedangkan tutupnya terbuat dari kayu atau dipakai sumbat bambu. Tinggi tabung tersebut antara 10 sampai 20 cm dan diameternya 2,5 hingga 4 cm. Tempat tembakau juga beruas satu dan diberi tutup dari kayu. Tingginya sekitar cm dengan diameter antara 7 dan 9 cm. Parlilian hanya digunakan di Simalungun sebagai tempat untuk menulis sebuah ratapan. Bambunya biasanya agak tinggi dengan ukuran sekitar 30 x 4 cm. Ketiga jenis tagan ini biasanya dihiasi dengan bermacam-macam ornamen. Tempat-tempat lain yang terbuat dari bambu dan ditulisi ratap tangis adalah tuldak (torak) dan běluat (suling). Sekedar untuk melengkapi daftar ini masih dapat disebut naskah yang ditulis di tali pinggang yang dipakai sebagai azimat terutama dalam masa perang untuk menangkal peluru musuh. Sebuah tali pinggang bia-

30 30 Surat Batak sanya terdiri atas sejumlah kepingan-kepingan tulang bersegi empat yang dipotong dari tulang bahu kerbau. Masing-masing kepingan tulang diberi dua lubang untuk memasang tali katun yang dipakai untuk mengikat kepingan-kepingan tulang tadi. Bahan tulis yang paling banyak digunakan di Jawa, Bali, dan Sulawesi yakni lontar tidak dipakai di Sumatra, dan demikian juga naskah yang terbuat dari logam serta prasasti di batu-batu besar. Tradisi seperti itu tidak pernah ada di tanah Batak, dan itu juga salah satu sebab mengapa kita tidak memiliki pengetahuan apa pun mengenai sastra Batak di zaman pra-eropa maksudnya zaman sebelum naskah Batak yang pertama dibawa dari Sumatra ke Eropa yang terjadi pada akhir abad ke-18. Semua naskah Batak terbuat dari bahan yang pada suhu yang panas dan kelembaban udara yang tinggi di daerah yang beriklim tropis dan subtropis tidak dapat bertahan lama. 4.2 Proses Pembuatan Pustaha Kini, tradisi pembuatan pustaha sudah lama usai. Dan bukan pustaha saja, demikian juga dengan naskah-naskah lainnya yang ditulis pada ruas-ruas bambu atau di tulang-tulang rusuk kerbau. Sudah punah memang, tetapi masih ada sisa-sisa yang bertahan walaupun dalam keadaan yang menyedihkan dan memprihatinkan. Yang dimaksud adalah industri cenderamata yang di samping berbagai jenis kitsch dan barang rongsokan juga menghasilkan obyek kesenian seperti debata hidup, tunggal panaluan, dan juga naskah-naskah Batak untuk dijual pada wisatawan lokal maupun mancanegara di pusat-pusat parawisata seperti Parapat dan Kecamatan Simanindo, pulau Samosir. Terutama naskah-naskah baru yang diciptakan cukup memprihatinkan. Para pembeli tidak bisa membaca surat Batak dan para penghasil mengetahui hal itu. Konsekuensi yang logis adalah bahwa surat Batak dipakai sebagai hiasan saja. Kebanyakan naskah (bambu maupun pustaha) yang terjual di Medan, Parapat, Berastagi dan Samosir adalah naskah tiruan yang "teksnya" hanya terdiri atas rantaian huruf-huruf yang tidak berarti. Setelah dicek ke kampung pembuatannya seperti Sosor

31 Pengadaan Naskah 31 Tolong, sekitar lima kilometer dari Tomok, ternyata bahwa para pengrajin hanya bisa menulis beberapa huruf saja, tetapi tidak mengerti artinya. Hasilnya adalah sebuah naskah yang teksnya dikarang oleh orang yang buta huruf, yang kemudian dijual kepada masyarakat sebagai hasil ciptaan budaya Batak. Walaupun kebanyakan naskah yang dihasilkan sebagai cenderamata sangat rendah nilainya, ternyata masih ada juga pengrajin naskah yang memiliki ketrampilan dan dapat menghasilkan naskah yang lebih lumayan bobotnya. Sebagai contoh kami perkenalkan dua pengrajin yang termasuk pada kategori tersebut. Informan pertama berasal dari Lumban Dolok, Tomok. Teks-teks pustaha yang dibuatnya diambil dari pustaha-pustaha asli yang pernah dibacanya. Namun huruf yang digunakan merupakan huruf "baru" dan bukan huruf asli seperti yang dipakai di pustaha-pustaha zaman dulu. Pustaha-pustaha yang diciptakannya terkesan agak terburu-buru dan kurang rapi. Informan kedua, Nanti Sidabutar dari Siharbangan, Tomok, belajar surat Batak dari ayahnya yang juga pernah menjadi pengrajin pustaha. 7 Mendiang ayahnya juga menjadi datu yang masih menguasai sebagian dari pokok-pokok yang dibahas di pustaha. Dia juga sering membaca pustaha-pustaha asli. Teksnya kemudian disalin sehingga pustaha yang dibuatnya mirip dengan pustaha yang asli. Hurufnya juga sangat menyerupai huruf yang lazim dipakai dalam pustaha asli. Informan kedua ini kemudian kami mintai untuk memperagakan langkah demi langkah proses pembuatan naskah. Perlu diingat bahwa cara pembuatannya tidak sama dengan cara yang dipakai oleh para datu seratus tahun yang lalu. Tentu sudah banyak yang berubah, tetapi dalam banyak hal, proses pembuatannya masih hampir persis sama dengan dahulu kala. Jika perlu, keterangan narasumber dilengkapi dengan keterangan yang didapat dari studi kepustakaan. 7. Ternyata Nanti Sidabutar dan ayahnya yang sekarang sudah almarhum pernah juga menjadi narasumber René Teygeler yang menulis bahwa tahun 1990 ia mengunjungi sebuah keluarga di desa Siharbangan, Samosir (Teygeler 1993:595). Hal itu baru saya ketahui beberapa bulan setelah pertemuan saya dengan Nanti Sidabutar.

32 32 Surat Batak Pada hakikatnya, sebuah pustaha terdiri dari laklak dan lampak. Laklak adalah "kertasnya", sedangkan lampak adalah sampul bukunya. Laklak adalah kulit kayu alim, sebuah pohon yang tumbuh di kawasan hutan dataran tinggi. Pohon alim (Latin: Aquilaria) banyak dijumpai di daerah Barus hulu, di sekitar Pardomuan, Kab. Dairi, dan juga di daerah Pulau Raja, Kab. Asahan, terutama di Kecamatan Bandar Pulau, tetapi tidak terdapat di daerah yang padat penduduk seperti di Karo, Toba, Silindung atau di Samosir. Kulit kayu dikupas dari pokoknya dalam kupasan yang panjangnya menurut narasumber kami dapat mencapai sampai tujuh meter, dan lebarnya hingga 60 cm tergantung pada besarnya pohon. 8 Namun hasil studi kepustakaan menunjuk bahwa ternyata ada pustaha yang laklaknya mencapai 15 meter lebih. Pustaha yang sangat panjang tersebut kini disimpan di perpustakaan Universitas Leiden (Or. 3428) (Teygeler 1993:605). Kulit kayu pustaha tersebut masih utuh dan tidak disambung-sambung seperti sering terdapat pada pustaha lain. Kalau tidak terdapat potongan laklak yang cukup panjang, dua potong dapat dijadikan satu dengan cara menjahit atau merekatnya. Kulit kayu yang dipakai sebagai bahan dasar pustaha bukanlah kulit luar (yang sudah kering dan mati) melainkan lapisan dalam yang tidak keras melainkan liat. Sebagai langkah pertama kulitnya dipotong sesuai dengan lebar dan panjangnya pustaha yang diinginkan. Kemudian kulit luarnya yang sudah kering dipisah dari kulit dalamnya (Lihat Gambar 3). 8. Harganya pada tanggal wawancara (31/10/1998) mencapai sekitar Rp per meter ( 0,30) untuk kupasan yang lebarnya sekitar 40 cm.

33 Pengadaan Naskah Gambar 3: Kulit dalam dipisahkan dari kulit luar. Gambar 4: Laklak dilipat dan lipatannya ditokoh. 33

34 34 Surat Batak Gambar 5: Kedua sisi laklak diratakan. Gambar 6: Laklak ditulisi dari bawah ke atas. Kalam (tarugi) dimasukkan ke bolpoin kosong agar lebih enak dipegang.

35 Pengadaan Naskah 35 Proses tersebut sangat mudah bila kulitnya masih berair (baru diambil dari pohonnya), tetapi kalau sempat menjadi kering proses pengupasan makan waktu lebih lama. Setelah proses pemisahan kulit dalam dan kulit luar selesai, bagianbagian yang masih kasar dilicinkan dengan pisau. Kulit dalam yang sudah bersih kemudian diketam dengan memakai parang dan untuk membuatnya lebih licin, kulitnya digosok pakai kertas pasir. Informan kami tidak dapat menjelaskan apa yang dipakai oleh para datu dahulu kala waktu kertas pasir belum ada, tetapi menurut dia, kalau bahannya masih segar dan berair, proses pelicinan itu sebenarnya tidak perlu karena kulitnya dapat dipisahkan dari kulit dalam secara mudah dan tanpa meninggalkan bekas-bekas. Menurut Heyne, daun-daun yang kasar dipakai sebagai pengganti kertas pasir untuk melicinkan permukaan kulit kayu (Heyne 1927:567). Laklak yang sudah bersih itu kemudian dilipat seperti akordeon. Lipatannya lalu ditokok-tokok dengan martil kayu agar terlihat rapi lipatannya dan kedua belah sisi laklak dipotong dengan pisau sehingga lurus (hal itu tidak selalu dilakukan dan banyak dapat dijumpai pustaha yang sisi kanan kirinya tidak rata). Setelah itu, laklaknya sudah siap untuk digunakan sebagai bahan tulisan. Namun, agar pustahanya lebih mudah terjual, diusahakan agar barang itu kelihatan seperti sudah antik. Untuk itu, seluruhnya laklak dioleskan zat pewarna yang disebut permagan (kaliumpermanganat). Langkah ini tentu tidak ada di zaman dahulu, dan menurut sumber kepustakaan ada dua langkah lainnya (yang tidak diketahui oleh narasumber kami) yang harus diambil sebelum laklaknya siap untuk ditulisi. Langkah pertama adalah mengoleskan larutan tepung beras dan air pada kulit kayu supaya menjadi licin dan agar tintanya mudah lengket. Setelah kering, pustaha digarisi sesuai dengan banyaknya baris yang mau ditulis pada setiap halaman. Garis halus tersebut yang hampir tidak kelihatan membantu penulis agar setiap baris menjadi lurus dan rapi. Sebagai penggaris (balobas) dipakai sebatang bambu, dan garis halus tersebut dibuat dengan pisau bambu (panggorit).

36 36 Surat Batak Setelah zat pewarna sudah kering, pustaha ditulisi dengan menggunakan kalam dari lidi enau (tarugi), dan tinta merek Parker. 9 Pengrajin mengakui tidak mengetahui resep untuk pembuatan mangsi yang dulu dipakai sebagai tinta. Menurut Warneck (1906) bahan utama mangsi adalah getah baja dan jeruk nipis (unte). Baja adalah sejenis pohon kecil yang kalau kayunya dibakar mengeluarkan getah hitam yang juga dipakai untuk menghitamkan gigi (manghihir). Getah tersebut dicampur dengan air jeruk dan kadang-kadang juga bahan-bahan lainnya seperti dapat dibaca di resep pustaha laklak Museum Simalungun No. 252 (Saragih dan Dalimunte 1979). Teygeler (1993:606) menyebut 15 resep mangsi yang sebagian besar berdasarkan getah baja atau getah damar. Pada proses penulisan, laklaknya terletak melintang di hadapan penulis yang kemudian mulai mengisi halaman pertama dengan menulis huruf-hurufnya dari bawah ke atas. 10 Perlu dicatat bahwa hurufnya tidak dibaca dari bawah ke atas melainkan dari kiri ke kanan (posisi laklak pada saat penulisan melintang sedangkan bila dibaca posisinya membujur). Proses penulisan berjalan lancar dan cukup cepat. Seperti dalam pustaha yang asli, setiap bagian baru diawali bindu godang, sebuah ornamen yang agak besar, sedangkan tiap akhir alinea ditandai dengan bindu na metmet. Selain itu tidak terdapat tanda-tanda baca apa pun dan spasi antarkata pun tidak ada. Setelah diisi dengan teks dan gambar, dibuat pula lampak, sebuah sampul yang biasa terbuat dari kayu. Menurut narasumber kami, jenis kayu yang dipakai pada umumnya kayu ingul. Sekali-sekali dapat ditemukan pustaha yang lampaknya terbuat dari tulang kerbau atau kulit rusa. Sampul atas biasanya dihiasi dengan ukiran cecak atau ornamen lainnya, sedangkan sampul bawah biasanya polos saja. Kedua sampul dilem pada kedua ujung lembaran laklak. Kadang-kadang sampul dilubangi dan diikat dengan rompu, pilinan tiga, tujuh atau sembilan tali rotan. 9. Menurut Teygeler, istilah tarugi hanya menunjuk pada bahan yang dipakai, ialah lidi pohon enau, sedangkan istilah untuk kalam adalah suligi (Teygeler 1993:605). 10. Karena kurang lengkapnya informasi mengenai cara penulisan pustaha belum dapat dikonfirmasikan dengan pasti apakah pustaha selalu ditulis dari bawah ke atas. Bisa saja hal tersebut merupakan sebuah kebiasaan karena naskah bambu memang harus ditulisi dari bahwah ke atas (lihat BAB berikut).

Mengenai Pustaha: Buku Lipat dari Batak 1. Oleh. Muhammad Nida Fadlan 2

Mengenai Pustaha: Buku Lipat dari Batak 1. Oleh. Muhammad Nida Fadlan 2 Mengenai Pustaha: Buku Lipat dari Batak 1 Oleh. Muhammad Nida Fadlan 2 Mengenal Pustaha: Sebuah Pengantar Istilah pustaha disebut sebagai buku ramalan masyarakat Batak yang telah dikenal di dunia Barat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sekarang ini, istilah Batak sebenarnya sudah jarang sekali dipakai untuk

BAB I PENDAHULUAN. sekarang ini, istilah Batak sebenarnya sudah jarang sekali dipakai untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Terlebih dahulu harus diketahui apa itu sebenarnya Batak. Di zaman sekarang ini, istilah Batak sebenarnya sudah jarang sekali dipakai untuk merujuk kepada semua

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. teks yang ditulis dengan huruf bahasa daerah atau huruf Arab-Melayu. Naskah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. teks yang ditulis dengan huruf bahasa daerah atau huruf Arab-Melayu. Naskah BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Kepustakaan yang relevan 1.1.1 Transliterasi Transliterasi merupakan salah satu tahap/langkah dalam penyuntingan teks yang ditulis dengan huruf bahasa daerah atau huruf Arab-Melayu.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan gugusan pulau dan kepulauan yang memiliki beragam warisan budaya dari masa lampau. Kekayaan-kekayaan yang merupakan wujud dari aktivitas-aktivitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesusastraan Melayu klasik telah ada sebelum mesin cetak digunakan di

BAB I PENDAHULUAN. Kesusastraan Melayu klasik telah ada sebelum mesin cetak digunakan di 11 BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Masalah Kesusastraan Melayu klasik telah ada sebelum mesin cetak digunakan di Nusantara. Pada masa itu, proses reproduksi naskah dilakukan dengan cara disalin. Naskah-naskah

Lebih terperinci

Churmatin Nasoichah. Naskah diterima: ; direvisi: ; disetujui:

Churmatin Nasoichah. Naskah diterima: ; direvisi: ; disetujui: FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERBEDAAN BENTUK AKSARA BATAK PADA PUSTAHA LAKLAK DAN NASKAH BAMBU DI MANDAILING NATAL Factors Affecting The Different Forms of Batak Letter on Pustaha Laklak and an Bamboo Manuscript

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Naskah kuno merupakan salah satu warisan nenek moyang yang masih tersimpan dengan baik di beberapa perpustakaan daerah, seperti Perpustakaan Pura Pakualaman dan Museum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat mengenali apa saja terdapat di daerah itu. Keberagaman kebudayaan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. dapat mengenali apa saja terdapat di daerah itu. Keberagaman kebudayaan tersebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebudayaan adalah sesuatu yang paling menonjol yang terdapatdalamsebuahbangsabahkannegara.denganmengenalikebudayaanitusendirikitadapatm engetahui atau mengenal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Naskah kuno merupakan warisan budaya masa lampau yang penting dan patut

BAB I PENDAHULUAN. Naskah kuno merupakan warisan budaya masa lampau yang penting dan patut 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Naskah kuno merupakan warisan budaya masa lampau yang penting dan patut dilestarikan. Kita juga perlu mempelajarinya karena di dalamnya terkandung nilainilai luhur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman budaya yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman budaya yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman budaya yang berbeda-beda dan mempunyai ciri khas yang unik di setiap daerahnya. Keanekaragaman budaya

Lebih terperinci

BAB I PEDAHULUAN. tersebut telah menjadi tradisi tersendiri yang diturunkan secara turun-temurun

BAB I PEDAHULUAN. tersebut telah menjadi tradisi tersendiri yang diturunkan secara turun-temurun BAB I PEDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Sumatera Utara memiliki kekayaan budaya yang beraneka ragam dalam bentuk adat istiadat, seni tradisional, dan bahasa daerah. Semua etnis memiliki budaya yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Agustono, B., Suprayitno., Dewi, H., dkk, (2012), Sejarah Etnis Simalungun, Penerbit Hutarih Jaya, Pematang Siantar

BAB I PENDAHULUAN. Agustono, B., Suprayitno., Dewi, H., dkk, (2012), Sejarah Etnis Simalungun, Penerbit Hutarih Jaya, Pematang Siantar BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Suku Batak merupakan salah satu suku bangsa Indonesia yang terletak di Sumatera Utara. Batak adalah salah satu kelompok gelombang proto Melayu. Menurut Ichwan Azhari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Koentjaraningrat mengatakan bahwa kata budaya berasal dari bahasa Sanksekerta budhayah yang berasal dari bentuk jamak kata budhi yang berarti budi dan akal. Kebudayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu daerah di Indonesia dan suku Simalungun menjadikan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu daerah di Indonesia dan suku Simalungun menjadikan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa Batak Simalungun merupakan bahasa yang digunakan oleh suku Simalungun yang mendiami Kabupaten Simalungun. Bahasa Batak Simalungun merupakan salah satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bangunan besar, benda-benda budaya, dan karya-karya sastra. Karya sastra tulis

BAB I PENDAHULUAN. bangunan besar, benda-benda budaya, dan karya-karya sastra. Karya sastra tulis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia memiliki banyak warisan kebudayaan yang berupa bangunan besar, benda-benda budaya, dan karya-karya sastra. Karya sastra tulis berupa naskah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. rangkaian dari kebudayaan-kebudayaan masa lalu. Tidak ada salahnya bila ingin

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. rangkaian dari kebudayaan-kebudayaan masa lalu. Tidak ada salahnya bila ingin BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebudayaan suatu bangsa pada masa sekarang ini merupakan suatu rangkaian dari kebudayaan-kebudayaan masa lalu. Tidak ada salahnya bila ingin memahami lebih dalam mengenai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Simalungun, Batak Pakpak, Batak Toba, Batak Angkola, dan Mandailing. Di. dengan cara mempelajarinya. (Koentjaraningrat, 1990:180)

BAB I PENDAHULUAN. Simalungun, Batak Pakpak, Batak Toba, Batak Angkola, dan Mandailing. Di. dengan cara mempelajarinya. (Koentjaraningrat, 1990:180) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Suku Batak adalah suatu suku terbesar yang mendiami pulau Sumatera Utara. Suku Batak memiliki 6 sub suku-suku bangsa yaitu, Batak karo, Batak Simalungun, Batak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Butir-butir mutiara kebudayaan Indonesia pada masa lampau sebagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Butir-butir mutiara kebudayaan Indonesia pada masa lampau sebagai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Butir-butir mutiara kebudayaan Indonesia pada masa lampau sebagai warisan kebudayaan para leluhur antara lain terdapat di dalam berbagai cerita lisan, benda-benda,

Lebih terperinci

SERAT MUMULEN (SUNTINGAN TEKS DAN KAJIAN SEMIOTIK)

SERAT MUMULEN (SUNTINGAN TEKS DAN KAJIAN SEMIOTIK) SERAT MUMULEN (SUNTINGAN TEKS DAN KAJIAN SEMIOTIK) SKRIPSI Diajukan untuk Menempuh Ujian Sarjana Program Strata 1 dalam Ilmu Sastra Indonesia Oleh: Ika Cahyaningrum A2A 008 057 FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki lingkungan geografis. Dari lingkungan geografis itulah

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki lingkungan geografis. Dari lingkungan geografis itulah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kekompleksitasan Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang memiliki lingkungan geografis. Dari lingkungan geografis itulah membuat Indonesia menjadi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dulu sampai saat ini. Warisan budaya berupa naskah tersebut bermacam-macam

BAB 1 PENDAHULUAN. dulu sampai saat ini. Warisan budaya berupa naskah tersebut bermacam-macam BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Naskah kuno adalah benda budaya yang merekam informasi dan pengetahuan masyarakat lampau yang diturunkan secara turun temurun semenjak dulu sampai saat ini. Warisan

Lebih terperinci

Koreksi atas Penulisan Aksara Batak Toba

Koreksi atas Penulisan Aksara Batak Toba Koreksi atas Penulisan Aksara Batak Toba Ama ni Pardomuan Semula aksara Batak hanya dipahami dan dimengerti oleh kalangan yang sangat terbatas saja yaitu para ahli mejik (magic) dan pengobatan (datu atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, peneliti melakukan batasan

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, peneliti melakukan batasan 1 BAB I PENDAHULUAN Bab I ini berisi pendahuluan yang membahas latar belakang penelitian. Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, peneliti melakukan batasan masalah dan rumusan masalah. Tujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya-karya peninggalan masa lampau merupakan peninggalan yang menginformasikan buah pikiran, buah perasaan, dan informasi mengenai berbagai segi kehidupan yang

Lebih terperinci

ADAPTASI KARAKTER AKSARA BATAK TOBA DALAM HURUF LATIN

ADAPTASI KARAKTER AKSARA BATAK TOBA DALAM HURUF LATIN Njoo Dewi Candra Kertasari, Adaptasi Karakter Aksara Batak Toba dalam Huruf Latin 33-40 ADAPTASI KARAKTER AKSARA BATAK TOBA DALAM HURUF LATIN Njoo Dewi Candra Kertasari 1, Naomi Haswanto 2, Priyanto Sunarto

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Humbang Hasundutan, Kabupaten Toba Samosir, dan Kabupaten Samosir.

BAB I PENDAHULUAN. Humbang Hasundutan, Kabupaten Toba Samosir, dan Kabupaten Samosir. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara geografis di Provinsi Sumatera Utara, suku Batak terdiri dari 5 sub etnis yaitu : Batak Toba (Tapanuli), Batak Simalungun, Batak Karo, Batak Mandailing,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Museum merupakan suatu lembaga yang sifatnya tetap dan tidak mencari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Museum merupakan suatu lembaga yang sifatnya tetap dan tidak mencari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Museum merupakan suatu lembaga yang sifatnya tetap dan tidak mencari keuntungan dalam melayani masyarakat dan dalam pengembangannya terbuka untuk umum, yang

Lebih terperinci

MENGAPA KITA MEMPELAJARI FILOLOGI???

MENGAPA KITA MEMPELAJARI FILOLOGI??? MENGAPA KITA MEMPELAJARI FILOLOGI??? Peninggalan suatu kebudayaan yang berupa puing bangunan besar, semarak tapi belum cukup. Gambaran pikiran dan perasaan tersebut dapat dipahami lewat dokumen tertulis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Zainal Arifin Nugraha, 2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Zainal Arifin Nugraha, 2013 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Naskah kuno merupakan hasil kebudayaan suatu bangsa yang tak ternilai harganya. Di dalamnya terdapat nilai-nilai luhur yang ingin disampaikan oleh nenek moyang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang beragam, dimana salah satunya terwujud dalam aksara atau tulisan asli

BAB I PENDAHULUAN. yang beragam, dimana salah satunya terwujud dalam aksara atau tulisan asli BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki warisan kekayaan budaya yang beragam, dimana salah satunya terwujud dalam aksara atau tulisan asli daerah yang termasuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rakyat, sejarah, budi pekerti, piwulang, dll. (Nindya 2010:1). Manfaat dalam

BAB I PENDAHULUAN. rakyat, sejarah, budi pekerti, piwulang, dll. (Nindya 2010:1). Manfaat dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Naskah kuna mempunyai peran penting dalam peradaban umat manusia, karena naskah kuna berisi berbagai macam tulisan tentang: adat istiadat, cerita rakyat, sejarah, budi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar yang terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar yang terdiri dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar yang terdiri dari berbagai suku yang tersebar di seluruh pelosok tanah air. Setiap suku memiliki kebudayaan, tradisi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Konservasi naskah..., Yeni Budi Rachman, FIB UI, Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Konservasi naskah..., Yeni Budi Rachman, FIB UI, Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Konservasi (conservation) bermakna pengawetan atau perlindungan. Feather (1991, p. 2) mendefinisikan konservasi sebagai upaya pencegahan atau perbaikan materi atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ini sudah memiliki kebudayaan dan karya sastra tersendiri.

BAB I PENDAHULUAN. ini sudah memiliki kebudayaan dan karya sastra tersendiri. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar yang terdiri atas berbagai suku yang tersebar di seluruh pelosok tanah air. Salah satunya adalah etnis Batak. Etnis

Lebih terperinci

2014 SAJARAH CIJULANG

2014 SAJARAH CIJULANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Naskah kuno merupakan salah satu warisan budaya Indonesia dalam bidang keberaksaraan yang telah dilindungi oleh UU RI No. 11 tahun 2010. Ungkapan warisan

Lebih terperinci

2016 TEKS NASKAH SAWER PANGANTEN: KRITIK, EDISI, DAN TINJAUAN FUNGSI

2016 TEKS NASKAH SAWER PANGANTEN: KRITIK, EDISI, DAN TINJAUAN FUNGSI 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Naskah merupakan hasil medium tulis yang digunakan pada sastra klasik. Isi naskah tersebut dapat meliputi semua aspek kehidupan budaya bangsa yang bersangkutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Budaya daerah adalah sebuah ciri khas dari sekelompok suatu Etnik yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Budaya daerah adalah sebuah ciri khas dari sekelompok suatu Etnik yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Budaya daerah adalah sebuah ciri khas dari sekelompok suatu Etnik yang memiliki kebiasaan, aturan, serta norma yang harus dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. halnya di daerah Sumatera Utara khususnya di kabupaten Karo, rumah adat

BAB I PENDAHULUAN. halnya di daerah Sumatera Utara khususnya di kabupaten Karo, rumah adat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ragam hias atau disebut juga dengan ornamen di Indonesia merupakan kesatuan dari pola-pola ragam hias daerah atau suku-suku yang telah membudaya berabad-abad.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menurut sumber lisan turun-menurun berasal dari bahasa simalungun: sima-sima dan

BAB I PENDAHULUAN. menurut sumber lisan turun-menurun berasal dari bahasa simalungun: sima-sima dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Simalungun adalah salah satu Kabupaten di Sumatra Utara. Kabupaten Simalungun secara geografis terletak diantara 03 16-02 22 Lintang Utara dan 98 25-99 32 Bujur

Lebih terperinci

1.1 Latar Belakang Masalah

1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara multi kulturalisme yang di dalamnya terdapat beranekaragam suku. Batak merupakan sebuah suku di Sumatera Utara, adapun Suku batak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kepulauan Nusantara yang terletak di kawasan Asia Tenggara sejak kurun waktu yang cukup lama memiliki peradaban dan kebudayaan tinggi yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan teknologi. Perkembangan teknologi mengakibatkan terjadinya

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan teknologi. Perkembangan teknologi mengakibatkan terjadinya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Arsitektur sebagai produk dari kebudayaan, tidak terlepas dari pengaruh perkembangan teknologi. Perkembangan teknologi mengakibatkan terjadinya proses perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra tulis terdiri dari dua bentuk, yaitu karya sastra tulis yang berbentuk

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra tulis terdiri dari dua bentuk, yaitu karya sastra tulis yang berbentuk 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Karya sastra Indonesia terdiri dari karya sastra lisan dan karya sastra tulis. Karya sastra tulis terdiri dari dua bentuk, yaitu karya sastra tulis yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kebudayaan yang berbeda-beda. Hal ini oleh dilambangkan oleh bangsa Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. kebudayaan yang berbeda-beda. Hal ini oleh dilambangkan oleh bangsa Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa yang memiliki kebudayaan yang berbeda-beda. Hal ini oleh dilambangkan oleh bangsa Indonesia dengan semboyan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari manusia sering membicarakan kebudayaan. Budaya

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari manusia sering membicarakan kebudayaan. Budaya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Dalam kehidupan sehari-hari manusia sering membicarakan kebudayaan. Budaya terbentuk dan berkembang sesuai dengan kebutuhan, situasi dan kondisi di suatu tempat. Kebudayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Warisan pra kolonial di Tanah Karo sampai sekarang masih dapat dilihat

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Warisan pra kolonial di Tanah Karo sampai sekarang masih dapat dilihat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Warisan pra kolonial di Tanah Karo sampai sekarang masih dapat dilihat jejak keberadaannya, salah satunya adalah Rumah Tradisional Kalak Karo atau disebut dengan Siwaluh

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk generasi selanjutnya hingga sampai saat ini.

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk generasi selanjutnya hingga sampai saat ini. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara yang kaya akan kebudayaan. Kebudayaan dilestarikan dan di wariskan secara turun menurun dari nenek moyang terdahulu untuk generasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Suku ini banyak mendiami wilayah Provinsi Sumatera Utara,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Suku ini banyak mendiami wilayah Provinsi Sumatera Utara, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Suku Batak merupakan salah satu suku bangsa terbesar di Indonesia. Suku ini banyak mendiami wilayah Provinsi Sumatera Utara, khususnya daerah di sekitar Danau

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terdapat beranekaragam suku bangsa, yang memiliki adat-istiadat, tradisi dan

I. PENDAHULUAN. terdapat beranekaragam suku bangsa, yang memiliki adat-istiadat, tradisi dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang di dalamnya terdapat beranekaragam suku bangsa, yang memiliki adat-istiadat, tradisi dan kebiasaan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hanya ditunjukkan kepada masyarakat Batak Toba saja. Batak Toba adalah sub atau bagian dari suku bangsa Batak yang

BAB I PENDAHULUAN. hanya ditunjukkan kepada masyarakat Batak Toba saja. Batak Toba adalah sub atau bagian dari suku bangsa Batak yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masyarakat Batak terdiri dari beberapa etnik yaitu Toba, Simalungun, Karo, Angkola/Mandailing dan Pakpak Dairi. Namun sekarang ini sebutan Batak hanya ditunjukkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Tanah Dairi terletak di bagian pegunungan bukit barisan melintang di

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Tanah Dairi terletak di bagian pegunungan bukit barisan melintang di BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah Dairi terletak di bagian pegunungan bukit barisan melintang di sepanjang pulau sumatera dengan posisi yang jauh lebih dekat ke pantai Barat. disebelah utara

Lebih terperinci

Kawruh warnining udheng-udhengan (suatu tinjauan filologis) Budi Kristiono C UNIVERSITAS SEBELAS MARET BAB I PENDAHULUAN

Kawruh warnining udheng-udhengan (suatu tinjauan filologis) Budi Kristiono C UNIVERSITAS SEBELAS MARET BAB I PENDAHULUAN Kawruh warnining udheng-udhengan (suatu tinjauan filologis) Budi Kristiono C0199012 UNIVERSITAS SEBELAS MARET BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terbesar di dunia. Perkembangan Islam di Indonesia khususnya pulau Jawa sangat

BAB I PENDAHULUAN. terbesar di dunia. Perkembangan Islam di Indonesia khususnya pulau Jawa sangat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara dengan penduduk pemeluk agama Islam terbesar di dunia. Perkembangan Islam di Indonesia khususnya pulau Jawa sangat pesat, hal ini tak luput

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari serangga atau hewan-hewan tertentu. Rumput, bambu, kupasan kulit dan otot-otot

BAB I PENDAHULUAN. dari serangga atau hewan-hewan tertentu. Rumput, bambu, kupasan kulit dan otot-otot BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia memiliki berbagai macam kebutuhan yang terdiri dari kebutuhan pangan, sandang, dan papan. Kebutuhan pangan berupa makanan, sandang berupa pakaian, dan kebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menentukan dan menetapkan masa depan masyarakat melalui pelaksana religinya.

BAB I PENDAHULUAN. menentukan dan menetapkan masa depan masyarakat melalui pelaksana religinya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Merayakan upacara-upacara yang terkait pada lingkaran kehidupan merupakan hal yang sangat penting bagi masyarakat Karo. Upacara atau perayaan berhubungan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rakyat Indonesia dan khususnya suku Jawa ialah setelah akhir abad XVIII atau awal

BAB I PENDAHULUAN. rakyat Indonesia dan khususnya suku Jawa ialah setelah akhir abad XVIII atau awal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kerajinan batik di Indonesia telah dikenal sejak zaman Majapahit dan terus berkembang hingga kerajaan berikutnya. Meluasnya kesenian batik menjadi milik rakyat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Danau Toba merupakan salah satu danau vulkanik air tawar terbesar di dunia, dan merupakan yang terbesar di Indonesia dan Asia Tenggara, memiliki luas perairan sepanjang

Lebih terperinci

merupakan transpormasi dari naskah/kitab sastra, seeperti: kakawin, kidung dan sebagainya,

merupakan transpormasi dari naskah/kitab sastra, seeperti: kakawin, kidung dan sebagainya, Proses Pembuatan Prasi I Oleh Drs. I Nyoman Wiwana, dosen PS Seni Rupa Murni Seni lukis prasi merupakan salah satu karya seni rupa tradisional Bali, termasuk warisan budaya nenek moyang yang memiliki nilai

Lebih terperinci

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 19 3.1 Luas dan Lokasi BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Kabupaten Humbang Hasundutan mempunyai luas wilayah seluas 2.335,33 km 2 (atau 233.533 ha). Terletak pada 2 o l'-2 o 28' Lintang Utara dan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBONG NOMOR TAHUN 2013 TENTANG AKSARA KA GA NGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LEBONG,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBONG NOMOR TAHUN 2013 TENTANG AKSARA KA GA NGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LEBONG, PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBONG NOMOR TAHUN 2013 TENTANG AKSARA KA GA NGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LEBONG, Menimbang : a. bahwa Budaya masyarakat Adat Rejang merupakan kekayaan material

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan manusia tidak dapat terlepas dari budaya karena

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan manusia tidak dapat terlepas dari budaya karena BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan manusia tidak dapat terlepas dari budaya karena keseluruhan gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki banyak warisan hasil budaya dalam bentuk naskah atau manuskrip (Marsono, 2010), yang bahkan sampai saat ini belum dapat dihitung jumlahnya. Manuskrip

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri dari beribu-ribu pulau yang dihuni oleh

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri dari beribu-ribu pulau yang dihuni oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri dari beribu-ribu pulau yang dihuni oleh berbagai suku bangsa, golongan, dan lapisan masyarakat. Mengingat hal itu, sudah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di Bengkalis, Indragiri Hulu, Kampar, dan wilayah Pekanbaruyang merupakan kekuatan

BAB I PENDAHULUAN. di Bengkalis, Indragiri Hulu, Kampar, dan wilayah Pekanbaruyang merupakan kekuatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar yang terdiri dari berbagai suku yang tersebar di seluruh pelosok tanah air. Bangsa bisa disebut juga dengan suku,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Sumatera Timur adalah wilayah yang ada di Pulau Sumatera. Kawasan ini

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Sumatera Timur adalah wilayah yang ada di Pulau Sumatera. Kawasan ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sumatera Timur adalah wilayah yang ada di Pulau Sumatera. Kawasan ini didiami oleh beberapa kelompok etnis yaitu Etnis Melayu, Batak Karo dan Batak Simalungun.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa kolonialisme Belanda di Nusantara, penyebaran agama Kristen

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa kolonialisme Belanda di Nusantara, penyebaran agama Kristen BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pada masa kolonialisme Belanda di Nusantara, penyebaran agama Kristen merupakan hal penting bagi pemerintah Belanda. Agama Kristen mengajarkan perdamaian.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam budaya Batak Toba terdapat jenis Ragam Hias (Ornamen) yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam budaya Batak Toba terdapat jenis Ragam Hias (Ornamen) yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam budaya Batak Toba terdapat jenis Ragam Hias (Ornamen) yang sarat dengan nilai serta banyak melahirkan karya yang memiliki kekhususan, citra unggul, unik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dipandang sebagai cipta sastra karena teks yang terdapat dalam teks mengungkapkan

BAB I PENDAHULUAN. dipandang sebagai cipta sastra karena teks yang terdapat dalam teks mengungkapkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Naskah-naskah Nusantara sangat beraneka ragam, yang isinya mengemukakan tentang kehidupan manusia misalnya, masalah politik, sosial, ekonomi, agama, kebudayaan, bahasa,

Lebih terperinci

ANALISIS SEMIOTIK TEKSKIDUNG RUMEKSA ING WENGI

ANALISIS SEMIOTIK TEKSKIDUNG RUMEKSA ING WENGI ANALISIS SEMIOTIK TEKSKIDUNG RUMEKSA ING WENGI A. PENDAHULUAN Indonesia mempunyai khasanah sastra klasik yang beraneka ragam, yang terdiri dari sastra-sastra daerah. Sastra klasik adalah sastra dalam bahasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. wujud hasil kebudayaan seperti nilai - nilai, norma-norma, tindakan dalam

BAB I PENDAHULUAN. wujud hasil kebudayaan seperti nilai - nilai, norma-norma, tindakan dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang kaya akan keanekaragaman hasil kebudayaan. Keanekaragaman hasil kebudayaan itu bisa dilihat dari wujud hasil kebudayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan bangsa yang multikultural terdiri dari ratusan suku

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan bangsa yang multikultural terdiri dari ratusan suku BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan bangsa yang multikultural terdiri dari ratusan suku bangsa yang tersebar di seluruh nusantara. Setiap daerah memiliki suku asli dengan adatnya

Lebih terperinci

TATA CARA PENULISAN BUKU LAPORAN PROYEK AKHIR

TATA CARA PENULISAN BUKU LAPORAN PROYEK AKHIR TATA CARA PENULISAN BUKU LAPORAN PROYEK AKHIR A. Bahan dan ukuran Bahan dan ukuran mencakup : naskah, sampul, warna sampul, tulisan pada sampul dan ukuran. 1. Naskah Naskah dibuat pada kertas A5 (8,27

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Wilayah tanah air Indonesia terdiri dari ribuan pulau dan dihuni oleh berbagai

I. PENDAHULUAN. Wilayah tanah air Indonesia terdiri dari ribuan pulau dan dihuni oleh berbagai I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Wilayah tanah air Indonesia terdiri dari ribuan pulau dan dihuni oleh berbagai suku bangsa, golongan, dan lapisan sosial. Sudah tentu dalam kondisi yang demikian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang kaya akan seni dan budayanya. Hal itu telihat dari keberagaman suku yang dimiliki Bangsa Indonesia, mulai dari cara hidup

Lebih terperinci

NASKAH KH ANWAR RANJI WETAN MAJALENGKA. (Kajian Filologis) Proposal Skripsi

NASKAH KH ANWAR RANJI WETAN MAJALENGKA. (Kajian Filologis) Proposal Skripsi 1 NASKAH KH ANWAR RANJI WETAN MAJALENGKA (Kajian Filologis) Proposal Skripsi Oleh : Reza Sukma Nugraha 206500034 Jurusan Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Lebih terperinci

A. LATAR BELAKANG MASALAH

A. LATAR BELAKANG MASALAH I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Kebudayaan dalam arti luas adalah perilaku yang tertanam, ia merupakan totalitas dari sesuatu yang dipelajari manusia, akumulasi dari pengalaman yang dialihkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahasa daerah. Masyarakatnya terdiri dari atas beberapa suku seperti, Batak Toba,

BAB I PENDAHULUAN. bahasa daerah. Masyarakatnya terdiri dari atas beberapa suku seperti, Batak Toba, BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Sumatera Utara merupakan salah satu Provinsi yang memiliki kekayaan budaya yang beraneka ragam dalam bentuk adat istiadat, seni tradisional maupun bahasa daerah. Masyarakatnya

Lebih terperinci

CARA CEPAT DAN MUDAH MENGAJARAKAN MATERI MENULIS AKSARA JAWA PADA ANAK SEKOLAH RENDAH

CARA CEPAT DAN MUDAH MENGAJARAKAN MATERI MENULIS AKSARA JAWA PADA ANAK SEKOLAH RENDAH CARA CEPAT DAN MUDAH MENGAJARAKAN MATERI MENULIS AKSARA JAWA PADA ANAK SEKOLAH RENDAH Sutarsih Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah surel: sutabinde1@yahoo.com ponsel: 081228131346 Abstrak Bidang studi Bahasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang terdapat pada kertas, lontar, kulit kayu atau rotan (Djamaris, 1977:20). Naskah

BAB I PENDAHULUAN. yang terdapat pada kertas, lontar, kulit kayu atau rotan (Djamaris, 1977:20). Naskah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Naskah merupakan obyek material filologi yang menyimpan berbagai ungkapan pikiran dan perasaan hasil budaya bangsa pada masa lalu (Baried, 1985:54). Naskah yang dimaksud

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan adat istiadatnya inilah yang menjadi kekayaan Bangsa Indonesia, dan suku Karo

BAB I PENDAHULUAN. dan adat istiadatnya inilah yang menjadi kekayaan Bangsa Indonesia, dan suku Karo BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia adalah bangsa besar yang terdiri dari berbagai suku, tersebar di seluruh pelosok tanah air. Setiap suku memiliki kebudayaan, tradisi dan adat istiadat

Lebih terperinci

METODE EDISI: STEMMA

METODE EDISI: STEMMA METODE EDISI: STEMMA Oleh: Tedi Permadi Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni - Universitas Pendidikan Indonesia Objek

Lebih terperinci

Daftar Pustaka (1992). Sastra Perang: Sebuah Pembicaraan mengenai Hikayat Perang Sabil. Jakarta: Balai Pustaka.

Daftar Pustaka (1992). Sastra Perang: Sebuah Pembicaraan mengenai Hikayat Perang Sabil. Jakarta: Balai Pustaka. Daftar Pustaka Naskah Syair Bintara Mahmud Setia Raja Blang Pidier Jajahan, NB 108. Perpustakaan Nasioanal Republik Indonesia. Buku Abdullah, Taufik. (1990). Sejarah Lokal di Indonesia. Yogyakarta: Gajah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk yang mampu melakukan olah cipta sebab

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk yang mampu melakukan olah cipta sebab BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk yang mampu melakukan olah cipta sebab manusia memiliki pengetahuan. Pengetahuan adalah sumber pokok kekuatan manusia dan pengetahuan

Lebih terperinci

PETUNJUK PENULISAN NASKAH BERKALA ILMIAH SIGNIFIKAN

PETUNJUK PENULISAN NASKAH BERKALA ILMIAH SIGNIFIKAN PETUNJUK PENULISAN NASKAH BERKALA ILMIAH SIGNIFIKAN 1. Tulisan merupakan karya orisinal penulis (bukan plagiasi) dan belum pernah dipublikasikan atau sedang dalam proses publikasi pada media lain yang

Lebih terperinci

T. H GEOGRAFI DIALEK BAHASA SIMALUNGUN DALAM PENGEMBANGAN LEKSIKON BAHASA INDONESIA

T. H GEOGRAFI DIALEK BAHASA SIMALUNGUN DALAM PENGEMBANGAN LEKSIKON BAHASA INDONESIA BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa Simalungun atau Sahap Simalungun adalah bahasa yang digunakan oleh suku Simalungun yang mendiami Kabupaten Simalungun. Bahasa Simalungun merupakan salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang Masalah. Istilah atau nama museum sudah sangat dikenal oleh rakyat Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang Masalah. Istilah atau nama museum sudah sangat dikenal oleh rakyat Indonesia 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Istilah atau nama museum sudah sangat dikenal oleh rakyat Indonesia termasuk oleh rakyat yang ada di Sumatera Utara. Secara umum mereka sudah mengetahui bahwa

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN MASYARAKAT BATAK TOBA DI DESA SENTANG KECAMATAN KISARAN TIMUR KABUPATEN ASAHAN ( ) BAB I PENDAHULUAN

PERKEMBANGAN MASYARAKAT BATAK TOBA DI DESA SENTANG KECAMATAN KISARAN TIMUR KABUPATEN ASAHAN ( ) BAB I PENDAHULUAN PERKEMBANGAN MASYARAKAT BATAK TOBA DI DESA SENTANG KECAMATAN KISARAN TIMUR KABUPATEN ASAHAN (1903-2012) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Badan Pusat Statistik Kabupaten Asahan (2012:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sumatera Utara pada umumnya dan Kota Medan khususnya adalah salah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sumatera Utara pada umumnya dan Kota Medan khususnya adalah salah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumatera Utara pada umumnya dan Kota Medan khususnya adalah salah satu penyumbang kemajemukan di Indonesia karena masyarakatnya yang tidak hanya terdiri dari

Lebih terperinci

BUKU RENCANA PROGRAM KEGIATAN PEMBELAJARAN SEMESTER ( R P K P S ) DAN BAHAN FILOLOGI NUSANTARA

BUKU RENCANA PROGRAM KEGIATAN PEMBELAJARAN SEMESTER ( R P K P S ) DAN BAHAN FILOLOGI NUSANTARA BUKU RENCANA PROGRAM KEGIATAN PEMBELAJARAN SEMESTER ( R P K P S ) DAN BAHAN FILOLOGI NUSANTARA 1. NAMA MATA KULIAH : FILOLOGI NUSANTARA 2. KODE / SKS : BDN 1224 / 2 SKS 3. PRASARAT : PENGANTAR FILOLOGI

Lebih terperinci

TATA CARA PENULISAN LAPORAN

TATA CARA PENULISAN LAPORAN TATA CARA PENULISAN LAPORAN 1. Ukuran dan Jenis Kertas Ukuran kertas yang digunakan untuk menyusun naskah adalah A4 (21 cm x 29,7 cm). Jenis kertas yang digunakan untuk menyusun naskah adalah kertas HVS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ciri khas masing-masing yang menjadi pembeda dari setiap suku.

BAB I PENDAHULUAN. ciri khas masing-masing yang menjadi pembeda dari setiap suku. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Suku Batak Toba merupakan salah satu bagian dari suku Batak. Seperti yang di ketahui suku Batak memiliki 6 sub suku diantaranya Batak Pak-pak, Batak Karo, Batak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keberagaman budaya, suku, ras, agama dan lain-lain. Keberagaman yang dimiliki

BAB I PENDAHULUAN. keberagaman budaya, suku, ras, agama dan lain-lain. Keberagaman yang dimiliki BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk, yang memiliki keberagaman budaya, suku, ras, agama dan lain-lain. Keberagaman yang dimiliki suatu bangsa dapat dijadikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karya sastra. Karya sastra merupakan hasil ide atau pemikiran dari anggota

BAB I PENDAHULUAN. karya sastra. Karya sastra merupakan hasil ide atau pemikiran dari anggota BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan peradaban manusia tidak pernah terlepas dari apa yang disebut karya sastra. Karya sastra merupakan hasil ide atau pemikiran dari anggota masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Suku Karo itu suku bangsa Haru kemudian di sebut Haru dan akhirnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Suku Karo itu suku bangsa Haru kemudian di sebut Haru dan akhirnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Suku Karo itu suku bangsa Haru kemudian di sebut Haru dan akhirnya dinamai suku Karo sekarang ini (P. Sinuraya,2000: 1). Setelah hancurnya Kerajaan Haru Wampu, Kerajaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah atau suku- suku yang telah membudaya berabad- abad. Berbagai ragam

BAB I PENDAHULUAN. daerah atau suku- suku yang telah membudaya berabad- abad. Berbagai ragam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ragam hias di Indonesia merupakan kesatuan dari pola- pola ragam hias daerah atau suku- suku yang telah membudaya berabad- abad. Berbagai ragam hias yang ada

Lebih terperinci

Danau Toba: Pesona Sumatera Utara

Danau Toba: Pesona Sumatera Utara Danau Toba: Pesona Sumatera Utara Danau Toba yang terletak di Sumatera Utara ini merupakan salah satu danau vulkanik terindah yang dimiliki Indonesia. Dengan luas yang mencapai 1.145 kilometer persegi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam periodesasinya disebut seni prasejarah indonesia. Seni prasejarah disebut

BAB I PENDAHULUAN. Dalam periodesasinya disebut seni prasejarah indonesia. Seni prasejarah disebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa perkembangan seni rupa Indonesia dimulai sejak zaman prasejarah. Dalam periodesasinya disebut seni prasejarah indonesia. Seni prasejarah disebut juga seni primitif.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Suku Batak merupakan salah satu suku yang tersebar luas dibeberapa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Suku Batak merupakan salah satu suku yang tersebar luas dibeberapa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Suku Batak merupakan salah satu suku yang tersebar luas dibeberapa wilayah di Indonesia. Di pulau Sumatera sendiri khususnya di Sumatera Utara, suku Batak bisa ditemukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki bermacam-macam suku bangsa,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki bermacam-macam suku bangsa, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki bermacam-macam suku bangsa, tidak hanya suku yang berasal dari nusantara saja, tetapi juga suku yang berasal dari luar nusantara.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kota Pematangsiantar merupakan kota terbesar kedua di Provinsi

BAB I PENDAHULUAN. Kota Pematangsiantar merupakan kota terbesar kedua di Provinsi BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Kota Pematangsiantar merupakan kota terbesar kedua di Provinsi Sumatera Utara, di kota tersebut banyak ditemukan hal menarik, mulai dari wisata kuliner sampai

Lebih terperinci