LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK

Transkripsi

1 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR : 13 TAHUN 2006 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA DAN TEKNIK PENYUSUNAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LEBAK, Menimbang : a. bahwa Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 4 Tahun 2000 tentang Tata Cara dan Teknik Penyusunan Peraturan Daerah dan Penerbitan Lembaran Daerah perlu diadakan penyesuaian kembali dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ; b. bahwa penyesuaian sebagaimana dimaksud pada huruf a tersebut di atas bertujuan untuk mewujudkan suatu cara dan metode yang pasti, baku dan standar yang mengikat semua unsur Pemerintahan yang ada di Kabupaten Lebak dalam proses penyusunan Produk Hukum Daerah ; c. bahwa untuk melaksanakan hal tersebut perlu ditetapkan Peraturan Daerah tentang Tata Cara dan Teknik Penyusunan Produk Hukum Daerah. Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Banten (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4010) ; 2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389) ; 3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548) ; 4. Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 4 Tahun 2002 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah Kabupaten Lebak (Lembaran Daerah Kabupaten Lebak Tahun 2002 Nomor 8 Seri D) ; 5. Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 2 Tahun 2004 tentang Rencana Strategis Kabupaten Lebak Tahun sebagaimana

2 diubah terakhir dengan Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 7 Tahun 2006 (Lembaran Daerah Kabupaten Lebak Tahun 2006 Nomor 5 Seri E) ; 6. Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 6 Tahun 2004 tentang Transparansi dan Partisipasi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pengelolaan Pembangunan di Kabupaten Lebak (Lembaran Daerah Kabupaten Lebak Tahun 2004 Nomor 10 Seri E). Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN LEBAK dan BUPATI LEBAK MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK TENTANG TATA CARA DAN TEKNIK PENYUSUNAN PRODUK HUKUM DAERAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini, yang dimaksud dengan : 1. Daerah adalah Kabupaten Lebak. 2. Pemerintahan Daerah adalah peyelenggaraan urusan pemerintahan daerah oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. 3. Pemerintah Daerah adalah Bupati dan perangkat daerah di lingkungan Pemerintah Kabupaten Lebak sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. 4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Lebak. 5. Bupati adalah Bupati Lebak. 6. Produk Hukum Daerah adalah naskah dinas tertulis sebagai perwujudan penyelenggaraan pemerintahan di Daerah baik bersifat peraturan perundangundangan maupun produk hukum biasa. 7. Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. 8. Peraturan Perundang-undangan Daerah adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh pejabat di Daerah yang berwenang dan mengikat secara umum. 9. Peraturan Daerah adalah peraturan tertulis yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bersama Bupati. 10. Peraturan Bupati adalah peraturan tertulis yang dibuat oleh Bupati sebagai penjabaran dari Peraturan Daerah atau pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. 11. Keputusan Bupati adalah peraturan tertulis yang dibuat oleh Bupati sebagai penjabaran dari Peraturan Daerah atau kebutuhan lain di Daerah yang berpedoman pada peraturan perundang-undangan.

3 12. Instruksi Bupati adalah peraturan tertulis yang dibuat oleh Bupati dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan untuk melakukan tindakan yang bersifat teknis. 13. Peraturan Desa adalah peraturan tertulis yang dibuat oleh Badan Permusyawaratan Desa bersama Kepala Desa. 14. Program Legislasi Daerah adalah instrumen perencanaan program pembentukan Peraturan Daerah yang disusun secara berencana, terpadu, dan sistematis. 15. Pengundangan adalah penempatan Peraturan Daerah dalam Lembaran Daerah dan Peraturan Bupati dalam Berita Daerah. 16. Lembaran Daerah adalah naskah dinas sebagai pengundangan Peraturan Daerah oleh Sekretaris Daerah. 17. Berita Daerah adalah naskah dinas sebagai pengundangan Peraturan Bupati oleh Sekretaris Daerah. 18. Materi muatan Peraturan Perundang-undangan Daerah adalah materi yang dimuat dalam Peraturan Perundang-undangan Daerah sesuai dengan jenis, fungsi, dan hierarki peraturan perundang-undangan. 19. Rancangan Peraturan Daerah yang selanjutnya disebut Raperda adalah Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Lebak. 20. Rancangan Akademik adalah hasil kajian yang disusun oleh perangkat daerah tentang materi suatu Rancangan Peraturan Daerah yang dalam pelaksanaannya dapat mengikutsertakan Perguruan Tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat atau pihak ketiga lainnya yang mempunyai keahlian dalam penyusunan peraturan perundang-undangan dan materi yang akan diatur. 21. Perangkat Daerah adalah perangkat daerah di lingkungan Pemerintah Kabupaten Lebak. 22. Unit Kerja adalah unit kerja perangkat daerah yang menangani bidang hukum dan perundang-undangan. Pasal 2 Produk Hukum Daerah dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan atau sebagai penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan memiliki ciri khas sesuai dengan kondisi dan kebutuhan Daerah. BAB II ASAS PRODUK HUKUM DAERAH DAERAH Pasal 3 Pembentukan Produk Hukum Daerah didasarkan pada asas-asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, meliputi : a. kejelasan tujuan ; b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat ; c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan ; d. dapat dilaksanakan ; e. kemanfaatan umum ; f. kejelasan rumusan ; g. keterbukaan. Pasal 4

4 (1) Materi muatan Produk Hukum Daerah mengandung asas : a. pengayoman ; b. kemanusiaan ; c. kebangsaan ; d. kekeluargaan ; e. kenusantaraan ; f. bhineka tunggal ika ; g. keadilan ; h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan ; i. ketertiban dan kepastian hukum ; dan/atau j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. (2) Selain asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Produk Hukum Daerah dapat berisi asas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan hukumnya. BAB III JENIS DAN HIERARKI PRODUK HUKUM DAERAH Pasal 5 (1) Jenis dan hierarki Produk Hukum Daerah adalah sebagai berikut : a. Peraturan Daerah ; b. Peraturan Bupati ; c. Keputusan Bupati ; d. Instruksi Bupati ; e. Peraturan Desa. (2) Jenis Produk Hukum Daerah selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. BAB IV MATERI MUATAN PRODUK HUKUM DAERAH Pasal 6 Materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan dan menampung kondisi khusus Daerah serta penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Pasal 7 Materi muatan Peraturan Bupati adalah seluruh materi muatan dalam rangka penjabaran Peraturan Daerah dan peraturan perundang-undangan lain yang lebih tinggi yang bersifat mengatur pelaksanaan teknis dengan masa berlaku yang relatif lama. Pasal 8 Materi muatan Keputusan Bupati adalah seluruh materi muatan dalam rangka penjabaran Peraturan Daerah, Peraturan Bupati atau peraturan perundang-undangan lain yang lebih tinggi yang bersifat menetapkan sesuatu guna memberikan dasar hukum bagi suatu kebijaksanaan atau untuk memberikan kepastian hukum dengan masa berlaku yang relatif tidak lama. Pasal 9

5 Materi muatan Instruksi Bupati adalah seluruh materi muatan dalam rangka penjabaran Peraturan Daerah, Peraturan Bupati, Keputusan Bupati atau peraturan perundang-undangan lain yang lebih tinggi yang bersifat sebagai pelaksanaan hal-hal yang bersifat penting dan segera serta memerintahkan bagaimana harus melakukan atau tidak melakukan sesuatu atau dapat berisikan petunjuk pelaksanaan (juklak). Pasal 10 Materi muatan Peraturan Desa adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan urusan Desa serta penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan lain yang lebih tinggi. Pasal 11 Materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam Peraturan Daerah. BAB V PERECANAAN PENYUSUNAN PRODUK HUKUM DAERAH Pasal 12 (1) Perencanaan penyusunan Produk Hukum Daerah dilakukan terhadap rencana penyusunan Peraturan Daerah. (2) Perencanaan penyusunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam suatu Program Legislasi Daerah. Pasal 13 (1) Penyusunan Program Legislasi Daerah antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Pemerintah Daerah dikoordinasikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah melalui alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang khusus menangani bidang legislasi. (2) Penyusunan Program Legislasi Daerah di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dikoordinasikan oleh alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang khusus menangani bidang legislasi. (3) Penyusunan Program Legislasi Daerah di lingkungan Pemerintah Daerah dikoordinasikan oleh Sekretaris Daerah. (4) Tata Cara penyusunan Program Legislasi Daerah berpedoman pada peraturan perundang-undangan. BAB VI PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH Bagian Kesatu Peraturan Daerah Paragraf 1 Prakarsa Pasal 14

6 Rancangan Peraturan Daerah dapat berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau Bupati. Paragraf 2 Proses Penyusunan Pasal 15 (1) Proses penyusunan Raperda yang berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Derah diatur dengan Peraturan Tata Tertib DPRD. (2) Pimpinan perangkat daerah dapat mengambil prakarsa penyusunan Rancangan Peraturan Daerah untuk mengatur hal-hal yang menyangkut bidang tugasnya. (3) Prakarsa Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dimintakan persetujuan terlebih dahulu dari Bupati dengan disertai penjelasan selengkapnya mengenai konsepsi pengaturan yang meliputi : a. Latar Belakang dan Tujuan Penyusunan ; b. Landasan hukum yang mendasari ; c. Sasaran yang ingin diwujudkan ; d. Pokok-pokok pikiran, lingkup atau obyek yang akan diatur ; e. Jangkauan dan arah pengaturan. Pasal 16 Dalam rangka pengharmonisan, pembulatan, dan pemantapan konsepsi yang akan dituangkan dalam Rancangan Peraturan Daerah, Pimpinan Perangkat Daerah wajib mengkonsultasikan terlebih dahulu konsepsi tersebut dengan unit kerja yang menangani bidang hukum dan perundang-undangan. Pasal 17 (1) Pimpinan Perangkat Daerah sebagai pemrakarsa apabila dipandang perlu dapat terlebih dahulu menyusun Rancangan Akademik mengenai Rancangan Peraturan Daerah yang akan disusun. (2) Penyusunan Rancangan Akademik dilakukan oleh Perangkat Daerah sebagai pemrakarsa bersama-sama dengan unit kerja yang menangani bidang hukum dan perundang-undangan yang pelaksanaannya dapat mengikutsertakan Perguruan Tinggi, Lembaga Swadaya Masayarakat atau pihak ketiga lainnya yang mempunyai keahlian untuk itu. Pasal 18 (1) Untuk kelancaran pelaksanaan Pasal 15 Peraturan Daerah ini, unit kerja yang menangani bidang hukum dan perundang-undangan mengkoordinasikan pelaksanaan konsultasi di antara pejabat yang secara teknis mengauasai permasalahan yang akan diatur dan pejabat yang menangani perturan perundang-undangan pada Perangkat Daerah pemrakarsa serta perangkat daerah lain yang terkait. (2) Dalam hal Raperda tersebut memerlukan Rancangan Akademik, maka Rancangan Akademik tersebut dijadikan bahan pembahasan dalam Rapat Konsultasi. (3) Rapat Konsultasi dapat mengikutsertakan para ahli dari lingkungan Perguruan Tinggi, Organisasi di bidang Sosial, Politik, Profesi atau kemasyarakatan lainnya sesuai dengan kebutuhan.

7 (4) Bupati menugaskan satuan kerja di lingkungan Pemerintah Daerah untuk secara fungsional bertindak sebagai penyelenggara Rapat Konsultasi yang bersifat permanen antar perangkat daerah. Pasal 19 Upaya pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Raperda diarahkan pada perwujudan keselarasan konsepsi tersebut dengan ideologi negara, kebijakan nasional, kebijakan daerah, aspirasi masyarakat, norma-norma adat dan budaya serta peraturan perundang-undangan yang berlaku terkait dengan materi yang akan diatur dalam Raperda. Pasal 20 (1) Apabila keharmonisan, kebulatan, dan kemantapan konsepsi tidak tercapai dalam Rapat Konsultasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 Peraturan Daerah ini, Pimpinan Perangkat Daerah Pemrakarsa melaporkan kepada Bupati untuk mendapatkan keputusan. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan penjelasan mengenai perbedaan pendapat ataupun pandangan yang timbul. (3) Keputusan yang diberikan oleh Bupati dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekaligus merupakan persetujuan terhadap prakarsa penyusunan Raperda. Pasal 21 Dalam hal telah diperoleh keharmonisan, kebulatan, dan kemantapan konsepsi, unit kerja atau Pimpinan Perangkat Daerah Pemrakarsa secara resmi mengajukan permintaan persetujuan prakarsa penyusunan Raperda kepada Bupati dengan memperhatikan ketentuan Pasal 20 ayat (2) Peraturan Daerah ini. Pasal 22 Persetujuan Bupati terhadap prakarsa penyusunan Raperda diberitahukan secara tertulis oleh Sekretaris Derah kepada Pimpinan Perangkat Daerah Pemrakarsa. Paragraf 3 Pembentukan Tim Asistensi Pasal 23 (1) Berdasarkan persetujuan pemrakarsa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dan 21 Peraturan Daerah ini, unit kerja atau Pimpinan Perangkat Daerah Pemrakarsa membentuk Tim Asistensi antar Perangkat Daerah yang diketuai oleh Pejabat yang ditunjuk untuk menyusun Raperda tersebut. (2) Permintaan pembentukan keanggotaan Tim Asistensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan langsung oleh Sekretaris Daerah kepada Pimpinan Perangkat Daerah Pemrakarsa dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah dikeluarkannya Surat Sekretaris Daerah mengenai persetujuan prakarsa Raperda. (3) Permintaan keanggotaan Tim Asistensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai dengan salinan usul prakarsa yang telah memperoleh persetujuan Bupati, konsepsi yang akan dituangkan dalam Raperda tersebut dan hal-hal lain yang dapat memberi gambaran mengenai materi yang akan diatur. (4) Pimpinan Perangkat Daerah Pemrakarsa menugaskan unit kerjanya yang menangani bidang hukum dan perundang-undangan, ahli hukumnya dan pejabat senior di

8 lingkungannya, yang secara teknis menguasai permasalahan yang akan diatur dalam Raperda yang disampaikan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal penerimaan surat permintaan. (5) Keputusan pembentukan Tim Asistensi ditetapkan paling lambat 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak tanggal dikeluarkannya surat Sekretaris Daerah mengenai pemberitahuan persetujun prakarsa Raperda. Pasal 24 Pimpinan Unit Kerja secara fungsional bertindak sebagai Sekretaris Tim Asistensi. Pasal 25 (1) Tim Asistensi menitikberatkan pembahasan pada hal-hal yang bersifat prinsip seperti kelengkapan obyek yang akan diatur, jangkauan, dan arah pengaturan. (2) Kegiatan perancangan Raperda secara teknis dilakukan oleh Unit Kerja. (3) Hasil perumusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) selanjutnya disampaikan kepada Tim Asistensi untuk diteliti kesesuaiannya dengan prinsip-prinsip yang telah disepakati. (4) Ketua Tim Asistensi menyampaikan laporan kepada Sekretaris Daerah mengenai perkembangan penyusunan Raperda, permasalahan yang dihadapi, dan permintaan keputusan mengenai permasalahan tersebut. (5) Tim Asistensi menyampaikan hasil perumusan akhir Raperda kepada Sekretaris Daerah dan Pimpinan Perangkat Daerah Pemrakarsa dengan disertai penjelasan. Paragraf 4 Konsultasi Raperda Pasal 26 (1) Apabila dipandang perlu, Raperda dapat dikonsultasikan kepada Departemen Dalam Negeri, Departemen yang menangani bidang hukum dan perundang-undangan atau Departemen lain yang menangani bidang sesuai materi yang diatur dalam Raperda. (2) Khusus untuk Raperda mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dapat dikonsultasikan kepada Departemen Keuangan. Pasal 27 (1) Apabila telah tercapai kesepakatan dalam perumusan Raperda, Sekretaris Daerah menyampaikan Raperda tersebut kepada Bupati. (2) Penyampaian Raperda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan bahan Nota Penyampaian kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pasal 28 Ketentuan Pasal 15 ayat (2) sampai dengan Pasal 27 Peraturan Daerah ini tetap berlaku sepanjang belum ditetapkannya Peraturan Presiden tentang Tata Cara Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari Bupati. Bagian Kedua Peraturan Bupati Pasal 29

9 (1) Pimpinan perangkat daerah dapat mengambil prakarsa penyusunan Rancangan Peraturan Bupati untuk mengatur hal-hal yang menyangkut bidang tugasnya atau sebagai penjabaran dari Peraturan Daerah dan peraturan perudang-undangan yang lebih tinggi. (2) Prakarsa Penyusunan Rancangan Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dimintakan persetujuan terlebih dahulu dari Bupati dengan disertai penjelesan selengkapnya mengenai konsepsi pengaturan yang meliputi : a. Latar Belakang dan Tujuan Penyusunan ; b. Landasan hukum yang mendasari ; c. Sasaran yang ingin diwujudkan ; d. Pokok-pokok pikiran, ligkup atau obyek yang akan diatur ; e. Jangkauan dan arah pengaturan. Pasal 30 Dalam rangka pengharmonisan, pembulatan dan pemantapan konsepsi yang akan dituangkan dalam Rancangan Peraturan Bupati, Pimpinan Perangkat Daerah wajib mengkonsultasikan terlebih dahulu konsepsi tersebut dengan unit kerja yang menangani bidang hukum dan perundang-undangan untuk mendapatkan koreksi dan masukan dari segi materi dan format penyusunan Peraturan Bupati. Pasal 31 Berdasarkan hasil konsultasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Rancangan Peraturan Bupati diajukan kepada Bupati untuk ditandatangani dan disahkan. Bagian Ketiga Keputusan Bupati Pasal 32 (1) Pimpinan perangkat daerah dapat mengambil prakarsa penyusunan Rancangan Keputusan Bupati untuk mengatur hal-hal yang menyangkut bidang tugasnya atau sebagai penjabaran dari Peraturan Daerah dan peraturan perudang-undangan yang lebih tinggi. (2) Prakarsa penyusunan Rancangan Keputusan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dimintakan persetujuan terlebih dahulu dari Bupati dengan disertai penjelesan selengkapnya mengenai konsepsi pengaturan yang meliputi : a. Latar Belakang dan Tujuan Penyusunan ; b. Landasan hukum yang mendasari ; c. Sasaran yang ingin diwujudkan ; d. Pokok-pokok pikiran, lingkup atau obyek yang akan diatur ; e. Jangkauan dan arah pengaturan. Pasal 33 Dalam rangka pengharmonisan, pembulatan dan pemantapan konsepsi yang akan dituangkan dalam Rancangan Keputusan Bupati, Pimpinan Perangkat Daerah wajib mengkonsultasikan terlebih dahulu konsepsi tersebut dengan unit kerja yang menangani bidang hukum dan perundang-undangan untuk mendapatkan koreksi dan masukan dari segi materi dan format penyusunan Keputusan Bupati. Pasal 34 Berdasarkan hasil konsultasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, Rancangan Keputusan Bupati diajukan kepada Bupati untuk ditandatangani.

10 Bagian Keempat Instruksi Bupati Pasal 35 (1) Pimpinan perangkat daerah dapat mengambil prakarsa penyusunan Rancangan Instruksi Bupati untuk mengatur hal-hal yang menyangkut bidang tugasnya atau sebagai penjabaran dari Peraturan Daerah dan peraturan perudang-undangan yang lebih tinggi. (2) Prakarsa Penyusunan Rancangan Instruski Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dimintakan persetujuan terlebih dahulu dari Bupati dengan disertai penjelesan selengkapnya mengenai konsepsi pengaturan yang meliputi : a. Latar Belakang dan Tujuan Penyusunan ; b. Landasan hukum yang mendasari ; c. Sasaran yang ingin diwujudkan ; d. Pokok-pokok pikiran, lingkup atau obyek yang akan diatur ; e. Jangkauan dan arah pengaturan. Pasal 36 Dalam rangka pengharmonisan, pembulatan dan pemantapan konsepsi yang akan dituangkan dalam Rancangan Instruksi Bupati, Pimpinan Perangkat Daerah wajib mengkonsultasikan terlebih dahulu konsepsi tersebut dengan unit kerja yang menangani bidang hukum dan perundang-undangan untuk mendapatkan koreksi dan masukan dari segi materi dan format penyusunan Instruksi Bupati. Pasal 37 Berdasarkan hasil konsultasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Rancangan Instruksi Bupati diajukan kepada Bupati untuk ditandatangani. Bagian Kelima Peraturan Desa Pasal 38 (1) Tata cara dan prakarsa penyusunan Rancangan Peraturan Desa dari Kepala Desa berpedoman pada peraturan perundang-undangan. (2) Tata cara dan prakarsa penyusunan Rancangan Peraturan Desa dari Badan Permusyawaratan Desa diatur dengan Peraturan Tata Tertib Badan Permusyawaratan Desa. BAB VII TEKNIK PENYUSUNAN PRODUK HUKUM DAERAH Bagian Pertama Peraturan Daerah Pasal 39 (1) Teknik penyusunan Peraturan Daerah adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Daerah ini dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

11 (2) Teknik penyusunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijadikan acuan standar bagi peraturan perundang-undangan daerah lainnya dengan perubahan yang disesuikan dengan materi muatan dan jenis masing-masing peraturan perundang-undangan. (3) Bentuk Rancangan Peraturan Daerah adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Daerah ini. Bagian Kedua Peraturan Bupati Pasal 40 (1) Teknik penyusunan Peraturan Bupati adalah sama dengan teknik penyusunan Peraturan Daerah, kecuali bagi hal-hal sebagai berikut : a. Menggunakan kop naskah khusus Peraturan Bupati ; b. Setelah pencantuman judul, tidak diikuti dengan frase Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa ; c. Setelah pencantuman Dasar Hukum sebelum kata MEMUTUSKAN, tidak diikuti dengan frase Dengan Persetujuan Bersama.. dst ; d. Tidak memuat materi Ketentuan Pidana ; e. Pasal terakhir tentang perintah pengundangan adalah penempatannya dalam Berita Daerah ; f. Halaman terakhir setelah pembubuhan tanda tangan pengundangan adalah BERITA DAERAH KABUPATEN LEBAK TAHUN.. NOMOR, yang diletakkan pada baris terakhir dari naskah Peraturan Bupati. (2) Bentuk Rancangan Peraturan Bupati adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Daerah ini. Bagian Ketiga Keputusan Bupati Pasal 41 (1) Teknik penyusunan Keputusan Bupati adalah sama dengan teknik penyusunan Peraturan Daerah, kecuali bagi hal-hal sebagai berikut : a. Menggunakan kop naskah khusus Keputusan Bupati ; b. Setelah pencantuman judul, tidak diikuti dengan frase Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa ; c. Selain konsiderans Menimbang dapat pula mencantumkan konsiderans Membaca ; d. Setelah pencantuman Dasar Hukum dalam konsiderans Mengingat dapat mencantumkan pula konsiderans Memperhatikan yang memuat ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan materi Keputusan Bupati tetapi bukan merupakan peraturan perundang-undangan ; e. Setelah pencantuman Dasar Hukum sebelum kata MEMUTUSKAN, tidak diikuti dengan frase Dengan Persetujuan Bersama.. dst ; f. Setelah kata Menetapkan tidak diikuti dengan nama judul Keputusan Bupati ; g. Batang tubuh tidak berisi Bab-bab, Pasal-pasal atau ayat melainkan diktum yang memakai kata : PERTAMA, KEDUA, KETIGA dan seterusnya ; g. Tidak memuat materi Ketentuan Pidana ; h. Pada halaman penandatanganan mencantumkan Tembusan ; i. Tidak memiliki perintah pengundangan ; j. Penomoran Keputusan dilakukan dengan menggunakan nomor panjang yang berisi kode-kode pembantu serta tahun pembuatannya. (2) Bentuk Rancangan Keputusan Bupati adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Daerah ini.

12 Bagian Keempat Instruksi Bupati Pasal 42 (1) Teknik penyusunan Rancangan Instruksi Bupati adalah sama dengan teknik penyusunan Peraturan Daerah, kecuali bagi hal-hal sebagai berikut : a. Menggunakan kop naskah khusus Instruksi Bupati ; b. Setelah pencantuman judul, tidak diikuti dengan frase Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa ; c. Selain konsiderans Menimbang dapat pula mencantumkan konsiderans Membaca ; d. Setelah pencantuman Dasar Hukum dalam konsiderans Mengingat dapat mencantumkan pula konsiderans Memperhatikan yang memuat ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan materi Instruksi Bupati tetapi bukan merupakan peraturan perundang-undangan ; e. Setelah pencantuman Dasar Hukum sebelum kata MENGINSTRUKSIKAN, tidak diikuti dengan frase Dengan Persetujuan Bersama.. dst ; f. Setelah kata MENGINSTRUKSIKAN tidak diikuti dengan nama judul Instruksi Bupati tetapi dengan kata Kepada ; g. Batang tubuh tidak berisi Bab-bab, Pasal-pasal atau ayat melainkan diktum yang memakai kata : PERTAMA, KEDUA, KETIGA dan seterusnya ; h. Tidak memuat materi Ketentuan Pidana ; i. Pada halaman penandatanganan mencantumkan Tembusan ; j. Tidak memiliki perintah pengundangan. (2) Bentuk Rancangan Instruksi Bupati adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Daerah ini. Peraturan Desa Pasal 43 (1) Teknik penyusunan Peraturan Desa adalah sama dengan teknik penyusunan Peraturan Daerah, kecuali bagi hal hal sebagai berikut : a. Penyesuaian sebutan Daerah Kabupaten menjadi Desa yang diikuti dengan nama Kecamatan ; b. Penyesuaian sebutan Bupati menjadi Kepala Desa ; c. Penyesuaian sebutan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menjadi Badan Permusyawaratan Desa ; d. Tidak memuat materi Ketentuan Pidana ; e. Perintah pengundangan dalam Lembaran Desa (2) Bentuk Rancangan Peraturan Desa adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Daerah ini. BAB VII PEMBAHASAN, PENGESAHAN DAN PENETAPAN PERATURAN DAERAH Bagian Pertama Pembahasan Raperda di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Pasal 44 (1) Pembahasan Raperda di DPRD dilakukan oleh DPRD bersama Bupati.

13 (2) Pembahasan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui tingkattingkat pembicaraan. (3) Tingkat-tingkat pembicaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam rapat komisi / panitia / alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislsi dan rapat paripurna. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembahasan Raperda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Tata Tertib DPRD. Pasal 45 (1) Raperda dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama oleh DPRD dan Bupati. (2) Raperda yang sedang dibahas hanya dapat ditarik kembali berdasarkan persetujuan bersama DPRD dan Bupati. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penarikan kembali Raperda diatur dengan Peraturan Tata Tertib DPRD. Bagian Kedua Penetapan Pasal 46 (1) Raperda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Bupati disampaikan oleh Pimpinan DPRD kepada Bupati untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah. (2) Penyampaian Raperda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama. Pasal 47 (1) Raperda sebagaimana dimaksud pada Pasal ditetapkan oleh Bupati dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak Raperda tersebut disetujui bersama oleh DPRD dan Bupati. (2) Dalam hal Raperda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditandatangani oleh Bupti dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak Raperda tersebut disetujui bersama, maka Raperda tersebut sah menjadi Peraturan Daerah dn wajib diundangkan. (3) Dalam hal sahnya Raperda sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka kalimat pengesahannya berbunyi Peraturan Daerah ini dinyatakan sah. (4) Kalimat pengesahan yang berbunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dibubuhkan pada halaman terakhir Peraturan Daerah sebelum pengundangan naskah Peraturan Daerah ke dalam Lembaran Daerah. BAB VIII PENGUNDANGAN DAN PENYEBARLUASAN Bagian Kesatu Pengundangan Pasal 48 (1) Peraturan Daerah diundangkan dengan menempatkannya dalam Lembaran Daerah.

14 (2) Peraturan Bupati diundangkan dengan menempatkannya dalam Berita Daerah. (3) Pengundangan Peraturan Daerah dalam Lembaran Daerah dan Peraturan Bupati dalam Berita Daerah dilakukan oleh Sekretaris Daerah. Pasal 49 Bentuk Lembaran Daerah dan Berita Daerah berpedoman pada peraturan perundangundangan. Bagian Kedua Penyebarluasan Pasal 50 Pemerintah Daerah wajib menyebarluaskan Peraturan Daerah dan Peraturan Bupati yang telah diundangkan dalam Lembaran Daerah dan Berita Daerah. BAB IX PARTISIPASI MASYARAKAT Pasal 51 Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan ataupun tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan Raperda. Pasal 52 Dalam rangka penampungan aspirasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50, Raperda yang berasal dari DPRD disebarluaskan oleh Sekretariat DPRD sedangkan Raperda yang berasal dari Pemerintah Daerah disebarluaskan oleh Sekretariat Daerah. BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 53 Teknis penyusunan Produk Hukum Daerah selain yang telah disebutkan dalam Peraturan Daerah ini, sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundangan, tunduk pada ketentuan Peraturan Daerah ini. Pasal 54 Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, maka : a. Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 4 Tahun 2000 tentang Tata Cara dan Teknik Penyusunan Peraturan Daerah dan Penerbitan Lembaran Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Lebak Tahun 2000 Nomor 4 Seri D) ; dan b. Keputusan Bupati Lebak Nomor 12 Tahun 2000 tentang Tata Naskah Keputusan Bupati dan Instruksi Bupati pada Dinas / Instansi / Kantor / Unit Kerja / Bagian di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Lebak (Lembaran Daerah Kabupaten Lebak Tahun 2000 Nomor 17 Seri D), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

15 Pasal 55 Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Lebak. Ditetapkan di Rangkasbitung Pada tanggal 20 Oktobr 2006 BUPATI LEBAK, Cap/Ttd Diundangkan di Rangkasbitung Pada tanggal 7 November 2006 SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN LEBAK, H. MULYADI JAYABAYA H. RUSWAN EFFENDI LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK TAHUN 2006 NOMOR 13

16 LAMPIRAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK Nomor Tanggal Tentang : : : Tata Cara dan Teknik Penyusunan Produk Hukum Daerah. SISTEMATIKA TEKNIK PENYUSUNAN PRODUK HUKUM DAERAH BAB I KERANGKA PERATURAN DAERAH A. JUDUL B. PEMBUKAAN 1. Frase Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa 2. Jabatan Pembentuk Peraturan Daerah 3. Konsiderans 4. Dasar Hukum 5. Diktum C. BATANG TUBUH 1. Ketentuan Umum 2. Materi Pokok yang Diatur 3. Ketentuan Pidana (jika Diperlukan) 4. Ketentuan Peralihan (jika Diperlukan) 5. Ketentuan Penutup D. PENUTUP E. PENJELASAN (jika diperlukan) F. LAMPIRAN (jika diperlukan) BAB II HAL-HAL KHUSUS A. PENDELEGASIAN WEWENANG B. PENYIDIKAN C. PENCABUTAN D. PERUBAHAN PERATURAN DAERAH BAB III RAGAM BAHASA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAERAH A. BAHASA PERATURAN DAERAH B. PILIHAN KATA ATAU ISTILAH C. TEKNIK PENGACUAN BAB IV BAB V TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN BUPATI, KEPUTUSAN BUPATI, DAN INSTRUKSI BUPATI. BENTUK RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAERAH A. BENTUK RANCANGAN PERATURAN DAERAH B. BENTUK RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PERUBAHAN PERATURAN DAERAH C. BENTUK RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENCABUTAN PERATURAN DAERAH D. BENTUK RANCANGAN PERATURAN BUPATI E. BENTUK RANCANGAN KEPUTUSAN BUPATI F. BENTUK RANCANGAN PERATURAN DESA G. BENTUK RANCANGAN INSTRUKSI BUPATI

17 BAB I KERANGKA PERATURAN DAERAH 1. Kerangka Peraturan Daerah terdiri atas : A. Judul; B. Pembukaan; C. Batang Tubuh; D. Penutup; E. Penjelasan (Jika diperlukan); F. Lampiran (Jika diperlukan). A. JUDUL 2. Judul Peraturan Daerah memuat keterangan mengenai jenis, nomor, tahun pengundangan atau penetapan, dan nama Peraturan Daerah. 3. Nama Peraturan Daerah dibuat secara singkat dan mencerminkan isi Peraturan Daerah. 4. Judul ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin tanpa diakhiri tanda baca. PERATURAN DAERAH KABUPATENLEBAK NOMOR 12 TAHUN 2002 TENTANG RETRIBUSI IJIN PENEBANGAN KAYU 5. Pada judul Peraturan Daerah perubahan ditambahkan frase perubahan atas di depan nama Peraturan Daerah yang diubah, PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 16 TAHUN 2002 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 4 TAHUN 1998 TENTANG PAJAK PENERANGAN JALAN 6. Jika Peraturan Daerah telah diubah lebih dari 1 (satu) kali, di antara kata perubahan dan kata atas disisipkan keterangan yang menunjukkan berapa kali perubahan tersebut telah dilakukan, tanpa merinci perubahan sebelumnya. PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR TAHUN.TENTANG.

18 7. Pada judul Peraturan Daerah pencabutan disisipkan kata pencabutan di depan nama Peraturan Daerah yang dicabut. PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG PENCABUTAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 29 TAHUN 2001 TENTANG RETRIBUSI PEMERIKSAAN KESEHATAN HEWAN TERNAK B. PEMBUKAAN 8. Pembukaan Peraturan Daerah terdiri atas: 1. Frase Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa; 2. Jabatan Pembentuk Peraturan Daerah ; 3. Konsiderans; 4. Dasar Hukum; dan 5. Diktum. B.1. B.2. B.3. Frase Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa 9. Pada pembukaan Peraturan Daerah sebelum nama jabatan pembentuk Peraturan Daerah dicantumkan frase DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA yang ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin tanpa diakhiri tanda baca titik. Jabatan Pembentuk Peraturan Daerah 10. Jabatan pembentuk Peraturan Daerah ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin dan diakhiri dengan tanda baca koma. Konsiderans 11. Konsiderans diawali dengan kata Menimbang. 12. Konsiderans memuat uraian singkat mengenai pokok-pokok pikiran yang menjadi latar belakang dan alasan pembuatan Peraturan Daerah. 13. Pokok-pokok pikiran pada konsiderans Peraturan Daerah memuat unsur filosofis, yuridis, dan sosiologis yang menjadi latar belakang pembuatannya. 14. Pokok-pokok pikiran yang hanya menyatakan bahwa Peraturan Daerah dianggap perlu untuk dibuat adalah kurang tepat karena tidak mencerminkan tentang latar belakang dan alasan dibuatnya Peraturan Daerah tersebut. 15. Jika konsiderans memuat lebih dari satu pokok pikiran, tiap-tiap pokok pikiran dirumuskan dalam rangkaian kalimat yang merupakan kesatuan pengertian. 16. Tiap-tiap pokok pikiran diawali dengan huruf abjad, dan dirumuskan dalam satu kalimat yang diawali dengan kata bahwa dan diakhiri dengan tanda baca titik koma. Menimbang : a. bahwa.. ; b. bahwa.. ; c. bahwa. ; 17. Jika konsiderans memuat lebih dari satu pertimbangan, rumusan butir pertimbangan terakhir berbunyi sebagai berikut: Menimbang : a. bahwa.. ;

19 b. bahwa.. ; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b perlu membentuk Peraturan Daerah tentang ; B.4. Dasar Hukum 18. Dasar hukum diawali dengan kata Mengingat. 19. Dasar hukum memuat dasar kewenangan pembuatan Peraturan Daerah dan Peraturan Perundang-undangan yang memerintahkan pembuatan Peraturan Daerah tersebut. 20. Peraturan Perundang-undangan yang digunakan sebagai dasar hukum hanya Peraturan Perundang-undangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi. 21. Peraturan Daerah yang akan dicabut dengan Peraturan Darah yang akan dibentuk atau Peraturan Daerah yang sudah diundangkan tetapi belum resmi berlaku, tidak dicantumkan sebagai dasar hukum. 22. Jika jumlah Peraturan Perundang-undangan yang dijadikan dasar hukum lebih dari satu, urutan pencantuman perlu memperhatikan tata urutan Peraturan Perundang-undangan dan jika tingkatannya sama disusun secara kronologis berdasarkan saat pengundangan atau penetapannya. 23. Penulisan undang-undang, kedua huruf u ditulis dengan huruf kapital.undang- Undang, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Presiden perlu dilengkapi dengan pencantuman Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia yang diletakkan di antara tanda baca kurung. Mengingat : 1... ; 2. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316); 24. Dasar hukum yang berasal dari peraturan perundang-undangan jaman Hindia Belanda atau yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda sampai dengan tanggal 27 Desember 1949, ditulis lebih dulu terjemahannya dalam Bahasa Indonesia dan kemudian judul asli Bahasa Belanda dan dilengkapi dengan tahun dan nomor Staadsblad yang dicetak miring di antara tanda baca kurung. Mengingat : 1. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel, Staatsblad 1847) ; 2... ; 25. Cara penulisan sebagaimana dimaksud dalam Nomor 24 berlaku juga untuk pencabutan peraturan perundang-undangan yang berasal dari jaman Hindia Belanda atau yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda sampai dengan tanggal 27 Desember Jika dasar hukum memuat lebih dari satu Peraturan Perundang-undangan, tiap dasar hukum diawali dengan angka Arab 1, 2, 3, dan seterusnya, dan diakhiri dengan tanda baca titik koma.

20 B.5. Diktum 27. Diktum terdiri atas : a. kata Memutuskan; b. kata Menetapkan; c. Nama Peraturan Daerah. 28. Kata Memutuskan ditulis seluruhnya dengan huruf kapital tanpa spasi di antara suku kata dan diakhiri dengan tanda baca titik dua serta diletakkan di tengah marjin. 29. Pada Peraturan Daerah, sebelum kata Memutuskan dicantumkan frase Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN LEBAK dan BUPATI LEBAK, yang ditulis seluruhnya dengan huruf kapital dan diletakkan di tengah marjin. Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN LEBAK dan BUPATI LEBAK MEMUTUSKAN : 30. Kata Menetapkan dicantumkan sesudah kata Memutuskan yang disejajarkan ke bawah dengan kata Menimbang dan Mengingat. Huruf awal kata Menetapkan ditulis dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda baca titik dua. 31. Nama yang tercantum dalam judul Peraturan Daerah dicantumkan lagi setelah kata Menetapkan dan didahului dengan percantuman kata Peraturan Daerah, serta ditulis se!uruhnya dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda baca titik. MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK TENTANG IJIN MENDIRIKAN BANGUNAN. C. BATANG TUBUH 32. Batang tubuh Peraturan Daerah memuat semua substansi Peraturan Daerahh yang dirumuskan dalam pasal-pasal. 33. Pada umumnya substansi dalam batang tubuh dikelompokkan ke dalam: (1) Ketentuan Umum; (2) Materi Pokok yang Diatur; (3) Ketentuan Pidana (Jika diperlukan); (4) Ketentuan Peralihan (Jika diperlukan); (5) Ketentuan Penutup. 34. Dalam pengelompokkan substansi sedapat mungkin dihindari adanya bab ketentuan lain atau sejenisnya. Materi yang bersangkutan, diupayakan untuk masuk ke dalam bab yang ada atau dapat pula dimuat dalam bab tersendiri dengan judul yang sesuai dengan materi yang diatur. 35. Substansi yang berupa sanksi administratif atau sanksi keperdataan atas pelanggaran norma tersebut dirumuskan menjadi satu bagian (pasal) dengan norma yang memberikan sanksi administratif atau sanksi keperdataan. 36. Jika norma yang memberikan sanksi administratif atau keperdataan terdapat lebih dari satu pasal, sanksi administratif atau sanksi keperdataan dirumuskan dalam pasal terakhir dari bagian (pasal) tersebut. Dengan demikian hindari rumusan ketentuan sanksi yang sekaligus memuat sanksi pidana, sanksi perdata, dan sanksi administratif dalam satu bab.

21 37. Sanksi administratif dapat berupa, antara lain, pencabutan izin, pembubaran, pengawasan, pemberhentian sementara, denda administratif, atau daya paksa polisional. Sanksi keperdataan dapat berupa, antara lain, ganti kerugian. 38. Pengelompokkan materi Peraturan Daerah dapat disusun secara sistematis dalam buku, bab, bagian, dan paragraf. 39. Jika Peraturan Daerah mempunyai materi yang ruang lingkupya sangat luas dan mempunyai banyak pasal, pasal-pasal tersebut dapat dikelompokkan menjadi: bab, bagian, dan paragraf. 40. Pengelompokkan materi dalam bab, bagian, dan paragraf dilakukan atas dasar kesamaan materi. 41. Urutan pengelompokan adalah sebagai berikut : a. bab dengan pasal-pasal tanpa bagian dan paragraf ; b. bab dengan bagian dan pasal-pasal tanpa paragraf-, atau c. bab dengan bagian dan paragraf yang berisi pasal-pasal. 42. Bab diberi nomor urut dengan angka Romawi dan judul bab yang seluruhnya ditulis dengan huruf kapital. BAB I KETENTUAN UMUM 43. Bagian diberi nomor urut dengan bilangan tingkat yang ditulis dengan huruf dan diberi judul. 44. Huruf awal kata bagian, urutan bilangan, dan setiap kata pada judul bagian ditulis dengan huruf kapital, kecuali huruf awal kata partikel yang tidak terletak pada awal frase. Bagian Kelima Persyaratan Teknis Kendaraan Bermotor, Kereta Gandengan, dan Kereta Tempelan 45. Paragraf diberi nomor urut dengan angka Arab dan diberi judul. 46. Huruf awal dari kata paragraf dan setiap kata pada judul paragraf ditulis dengan huruf kapital, kecuali huruf awal kata partikel yang tidak terletak pada awal frase. Paragraf 1 Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim 47. Pasal merupakan satuan aturan dalam Peraturan Daerah yang memuat satu norma, dan dirumuskan dalam satu kalimat yang disusun secara singkat, jelas, dan lugas. 48. Materi Peraturan Daerah lebih baik dirumuskan dalam banyak pasal yang singkat dan jelas daripada ke dalam beberapa pasal yang masing-masing pasal memuat banyak ayat, kecuali jika materi yang menjadi isi pasal itu merupakan satu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan. 49. Pasal diberi nomor urut dengan angka Arab. 50. Huruf awal kata pasal yang digunakan sebagai acuan ditulis dengan huruf kapital. Pasal 34

22 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dan Pasal 26 tidak meniadakan kewajiban membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal Pasal dapat dirinci ke dalam beberapa ayat. 52. Ayat diberi nomor urut dengan angka Arab di antara tanda baca kurung tanpa diakhiri tanda baca titik. 53. Satu ayat hendaknya hanya memuat satu norma yang dirumuskan dalam satu kalimat utuh. 54. Huruf awal kata ayat yang digunakan sebagai acuan ditulis dengan huruf kecil. Pasal 8 (1) Satu permintaan pendaftaran ijin dagang hanya dapat diajukan untuk 1 (satu) kelas barang. (2) Permintaan ijin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyebutkan jenis barang atau jasa yang termasuk dalam kelas yang bersangkutan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kelas barang atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati. 55. Jika satu pasal atau ayat memuat rincian unsur, maka di samping dirumuskan dalam bentuk kalimat dengar rincian, dapat pula dipertimbangkan penggunaan rumusan dalam bentuk tabulasi. Pasal 17 Yang dapat diberi hak pilih ialah warga negara Indonesia yang telah berusia 17 (tujuh belas) tahun atau telah kawin dan telah terdaftar pada daftar pemilih. Isi pasal tersebut dapat lebih mudah dipaham jika dirumuskan sebagai berikut: Contoh rumusan tabulasi : Pasal 17 Yang dapat diberi hak pilih ialah warga negara Indonesia yang: a. telah berusia 17 (tujuh belas) tahun atau telah kawin; dan b. telah terdaftar pada daftar pemilih. 56. Dalam membuat rumusan pasal atau ayat dengan bentuk tabulasi hendaknya diperhatikan hal-hal sebagai berikut: a. setiap rincian harus dapat dibaca sebagai satu rangkaian kesatuan dengan frase pembuka; b. setiap rincian diawali dengan huruf (abjad) kecil dan diberi tanda baca titik; c. setiap frase dalam rincian diawali dengan huruf kecil; d. setiap rincian diakhiri dengan tanda baca titik koma; e. jika suatu rincian dibagi lagi ke dalam unsur yang lebih kecil, maka unsur tersebut dituliskan masuk ke dalam; f. di belakang rincian yang masih mempunyai rincian lebih lanjut diberi tanda baca titik dua; g. pembagian rincian (dengan urutan makin kecil) ditulis dengan abjad kecil, yang diikuti dengan tanda baca titik; angka Arab diikuti dengan tanda baca

23 titik; abjad kecil dengan tanda baca kurung tutup; angka Arab dengan tanda baca kurung tutup; h. pembagian rincian hendaknya tidak melebihi empat tingkat. Jika rincian melebihi empat tingkat, perlu dipertimbangkan pemecahan pasal yang bersangkutan ke dalam pasal atau ayat lain. 57. Jika unsur atau rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian kumulatif, ditambahkan kata dan yang diletakkan di belakang rincian kedua dari rincian terakhir. 58. Jika rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian alternatif ditambahkan kata atau yang diletakkan di belakang rincian kedua dari rincian terakhir. 59. Jika rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian kumulatif dan alternatif, ditambahkan kata dan/atau yang diletakkan di belakang rincian kedua dari rincian terakhir. 60. Kata dan, atau, dan/atau tidak perlu diulangi pada akhir setiap unsur atau rincian. a. Tiap-tiap rincian ditandai dengan huruf a, huruf b, dan seterusnya. Pasal 9 (1)..: (2)..: a..; b..; (dan, atau, dan/atau) c.. b. Jika suatu rincian memerlukan lebih lanjut, rincian itu ditandai dengan angka Arab 1, 2, dan seterusnya. Pasal 12 (1).. (2)..; a..; b..; (dan, atau, dan/atau) c..: 1..; 2..; (dan, atau, dan/atau) 3.. c. Jika suatu rincian lebih lanjut memerlukan rincian yang mendetail, rincian itu ditandai dengan huruf a), b), dan setcrusnya. Pasal 20 (1). (2). (3).: a.. b..; (dan, atau, dan/atau) c..: 1. ; 2. ; (dan, atau, dan/atau) 3. : a) ; b) ; (dan, atau, dan/atau) c) d. Jika suatu rincian lebih lanjut memerlukan rincian yang mendetail, rincian itu ditandai dengan angka 1), 2), dan seterusnya.

24 Pasal 22 (1) (2) a.... ; b. ; (dan, atau, dan/atau) c. : (dan, atau, dan/atau) 3. : a).; b).; (dan, atau, dan/atau) c).: 1. ; 2. ; (dan, atau, dan/atau) 3. C.1. Ketentuan Umum 61. Ketentuan umum diletakkan dalam bab kesatu. Jika dalam Peraturan Daerah tidak dilakukan pengelompokan bab, ketentuan umum diletakkan dalam pasalpasal awal. 62. Ketentuan umum dapat memuat lebih dari satu pasal. 63. Ketentuan umum berisi : a. batasan pengertian atau definisi; b. singkatan atau akronim vang digunakan dalam peraturan; c. hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal (-pasal) berikutnya antara lain ketentuan yang mencerminkan asas, maksud, dan tujuan. 64. Frase pembuka dalam ketentuan umum Peraturan Daerah berbunyi -Dalam Peraturan Daerah ini, yang dimaksud dengan : 65. Frase pembuka dalam ketentuan umum Peraturan Perundang-undangan di bawah Peraturan Daerah disesuaikan dengan jenis peraturannya. 66. Jika ketentuan umum memuat batasan pengertian atau definisi singkatan atau akronim lebih dari satu, maka masing-masing uraiannya diberi nomor urut dengan angka Arab dan diawali dengan huraf kapital serta diakhiri dengan tanda baca titik. 67. Kata atau istilah yang dimuat dalam ketentuan umum hanyalah kata atau istilah yang digunakan berulang-ulang di dalam pasal-pasal selanjutnya. 68. Jika suatu kata atau istilah hanya digunakan satu kali, namun kata atau istilah itu diperlukan pengertiannya untuk suatu bab, bagian atau paragraf tertentu, dianjurkan agar kata atau istilah itu diberi definisi. 69. Jika suatu batasan pengertian atau definsi perlu dikutip kembali di dalam ketentuan umum suatu peraturan pelaksanaan, maka rumusan batasan pengertian atau definisi di dalam peraturan pelaksanaan harus sama dengan rumusan batasan pengertian atau definisi yang terdapat di dalam peraturan lebih tinggi yang dilaksanakan tersebut. 70. Karena batasan pengertian atau definisi, singkatan, atau akronim berfungsi, untuk menjelaskan makna suatu kata atau istilah, maka batasan pengertian atau definisi, singkatan, atau akronim tidak perlu diberi penjelasan, dan karena itu harus dirumuskan sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan pengertian ganda. 71. Urutan penempatan kata atau istilah dalam ketentuan umum mengikuti ketentuan sebagai berikut : a. pengertian yang mengatur tentang lingkup umum ditempatkan lebih dahulu dari yang berlingkup khusus; b. pengertian yang terdapat lebih dahulu di dalam materi pokok yang diatur ditempatkan dalam urutan yang lebih dahulu; dan c. pengertian yang mempunyai kaitan dengan pengertian di atasnya diletakkan berdekatan secara berurutan.

25 C.2. Materi Pokok yang Diatur 72. Materi pokok yang diatur ditempatkan langsung setelah bab ketentuan umum, dan jika tidak ada pengelompokkan bab, materi pokok yang diatur diletakkan setelah pasal-pasal ketentuan umum. 73. Pembagian materi pokok ke dalam kelompok yang lebih kecil dilakukan menurut kriteria yang dijadikan dasar pembagian. a. pembagian berdasarkan hak atau kepentingan yang dilindungi, seperti pembagian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana: (1) kejahatan terhadap keamanan negara; (2) kejahatan terhadap martabat Presiden; (3) kejahatan terhadap negara sahabat dan wakilnya; (4) kejahatan terhadap kewajiban dan hak kenegaraan; (5) kejahatan terhadap ketertiban umum dan seterusnya. b. pembagian berdasarkan urutan/kronologis, seperti pembagian dalam hukum acara pidana, dimulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tingkat pertama, tingkat banding, tingkat kasasi, dan peninjauan kembali. c. pembagian berdasarkan urutan jenjang jabatan, seperti Jaksa Agung, Wakil Jaksa Agung, dan Jaksa Agung Muda. C.3. Ketentuan Pidana (jika diperlukan) 74. Ketentuan pidana memuat rumusan yang menyatakan penjatuhan pidana atas pelanggaran terhadap ketentuan yang berisi norma larangan atau perintah. 75. Dalam merumuskan ketentuan pidana perlu diperhatikan asas-asas umum ketentuan pidana yang terdapat dalam Buku Kesatu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, karena ketentuan dalam Buku Kesatu berlaku juga bagi perbuatan yang dapat dipidana menurut Peraturan Perundang-undangan lain, kecuali jika oleh Undang-Undang ditentukan lain (Pasal 103 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana). 76. Dalam menentukan lamanya pidana atau banyaknya denda perlu dipertimbangkan mengenai dampak yang ditimbulkan oleh tindak pidana dalam masyarakat serta unsur kesalahan pelaku. 77. Ketentuan pidana ditempatkan dalam bab tersendiri, yaitu bab ketentuan pidana yang letaknya sesudah materi pokok yang diatur atau sebelum bab ketentuan peralihan. Jika bab ketentuan peralihan tidak ada, letaknya adalah sebelum bab ketentuan penutup. 78. Jika di dalam Peraturan Daerah tidak diadakan pengelompokan bab per bab, ketentuan pidana ditempatkan dalam pasal yang terletak langsung sebelum pasal-pasal yang berisi ketentuan peralihan. Jika tiidak ada pasal yang berisi ketentuan peralihan, ketentuan pidana diletakkan sebelum pasal penutup. 79. Ketentuan pidana hanya dimuat dalam Undang-Undang dan Peraturan Daerah. 80. Rumusan ketentuan pidana harus menyebutkan secara tegas norma larangan atau perintah yang dilanggar dan menyebutkan pasal-pasal yang memuat norma tersebut. Dengan demikian, perlu dihindari: a. pengacuan kepada ketentuan pidana Peraturan Perandang-undangan lain. b. pengacuan kepada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, jika elemen atau unsur-unsur dari norma yang diacu tidak sama; atau c. penyusunan rumusan sendiri yang berbeda atau tidak terdapat di normanorma yang diatur dalam pasal-pasal sebelumnya. 81. Jika ketentuan pidana berlaku bagi siapapun, subyek dari ketentuan pidana dirumuskan dengan frase setiap orang.