BAB 1 PENDAHULUAN. identitas, atau upaya pengaburan (eliminasi) identitas. ( Nina, Identitas Khas

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 1 PENDAHULUAN. identitas, atau upaya pengaburan (eliminasi) identitas. ( Nina, Identitas Khas"

Transkripsi

1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada era globalisasi ini, Indonesia dihadapkan pada masalah krisis identitas, atau upaya pengaburan (eliminasi) identitas. ( Nina, Identitas Khas Bangsa Indonesia. Diakses pada tanggal 22 Agustus 2012) Globalisasi bukan hanya soal ekonomi, namun juga terkait soal isu makna budaya (Barker, 2005). Kaum muda Indonesia seolah kehilangan identitas diri dengan mengaplikasikan budaya asing/barat dalam kehidupan sehari-hari tanpa proses penyaringan, mulai dari perubahan selera makan, gaya berbusana, sampai melazimkan gaya hidup pergaulan bebas. Kaum muda sebagai penerus bangsa perlu memantapkan identitasnya agar dapat menjawab tantangan globalisasi tanpa terjerumus pada pengaburan identitas. Persoalan identitas penting untuk dipelajari karena dengan mengetahui langkah-langkah seseorang atau suatu komunitas mengalami perubahan identitas akan membantu menilai kemungkinan dari pengembangan individu atau komunitas itu sendiri (Goodenough, 1963). Melalui penelusuran proses pembentukan identitas, seorang individu, sebuah komunitas, atau masyarakat, akan terungkap sejauh mana usaha seseorang memperoleh kesadaran baru akan dirinya sendiri dan pandangannya. 1

2 Sementara itu globalisasi yang melanda negara-negara Asia dalam bidang ekonomi dan industri semakin berkembang pesat dan memunculkan perubahan yang signifikan dalam kehidupan sosial budaya masyarakat. Salah satunya yaitu mengubah struktur kelas masyarakat. Perubahan struktur kelas tersebut berupa munculnya lapisan sosial baru dalam masyarakat yaitu kelas menengah (midlle class) yang mana merupakan kelompok sosial sejahtera baru yang muncul karena adanya perubahan industrial di Asia (Gerke, 2000 : 135). Di Indonesia keberadaan kelas menengah dilatarbelakangi oleh pembangunan ekonomi dan transformasi pendidikan sebagai akibat dari program modernisasi yang dijalankan pemerintah Orde Baru. Syafii Anwar (1995) menyebutkan dampak dari kemakmuran ekonomi dan transformasi pendidikan ini adalah Indonesia memiliki sejumlah besar tenaga ahli (skilled man-power) yang terdiri dari para manajer, para pekerja terlatih, para teknisi, para guru, dan dosen yang berdedikasi tinggi, dan jenis-jenis SDM lainnya yang cukup kualified pada tahun 1980-an (Hasbullah, 2007). Dengan berbagai profesi yang dimiliki kelompok menengah maka kelas menengah terdidik ini kemudian menjadi kelompok penting di birokrasi pemerintah dan juga di banyak sector swasta yang ada (Nakamura 1993: 12 13). Keberadaan kelas menengah tidak hanya dapat dilihat dari sisi ekonomis yaitu kesejahteraan menjadi dasar kemunculan mereka, namun secara cultural gaya hidup kelas menengah ini juga menarik untuk dikaji. Gaya hidup kelas menengah identik dengan budaya leisure time seperti shopping, wisata, dan fashion yang menggambarkan bagaimana mereka menghabiskan waktu luang. 2

3 Veblen dalam karyanya Theory of the leisure class menggambarkan bagaimana kesejahteraan dan status sosial ditunjukkan melalui kegiatan konsumsi yang mencolok, salah satunya yaitu melalui pakaian. Pakaian yang identik dengan fashion merupakan symbol status yang dapat digunakan untuk mencitrakan gaya hidup oleh kelompok kelas menengah. Roach dan Eicher (1979) menyatakan bahwa fashion juga secara simbolis dapat mengikat satu komunitas, kesepakatan sosial dalam suatu kelompok atas apa yang akan dikenakan merupakan ikatan sosial itu sendiri yang pada gilirannya akan memperkuat ikatan sosial lainnya. Fungsi mempersatukan dari fashion dan pakaian berlangsung untuk mengkominukasikan keanggotaan suatu kelompok cultural baik pada orang-orang yang menjadi anggota maupun yang bukan (Barnard, 2002 : 83). Dengan kata lain fashion sebagai bagian dari gaya hidup dapat memperkuat ikatan sosial bagi kelompok kelas menengah. Gaya hidup menjadi cara bagi kelas menengah untuk memisahkan dirinya dengan golongan kelas menengah bawah dalam masyarakat. Kelas menengah mengkonstruksikan hirarki dengan mencipatakan dan mempromosikan gaya hidup modern melalui konsumsi sebagai nilai yang mereka miliki. Gaya hidup menjadi semakin penting sebagai cara integrasi sosial baru bagi kelas menengah di Indonesia, dimana tidak hanya sebagai penanda identitas diri namun juga untuk membangun dan menjaga keanggotaan dalam identitas kolektif sebagai anggota kelas menengah. Sebagai bagian dari proses pembentukan kelas, maka produksi gaya hidup tidak lagi hanya merupakan masalah personal melainkan telah terhubung dengan pembangunan ikatan sosial dalam suatu kelompok yang 3

4 bertujuan untuk membangun identitas kolektif. Dengan kata lain produksi identitas kolektif dilakukan melalui gaya hidup dan keanggotaan dari suatu kelompok kelas diekspresikan melalui presentasi gaya hidup tertentu (Gerke, 2000 : ). Salah satu media yang dapat digunakan untuk membentuk identitas dan gaya hidup seseorang adalah pakaian/busana dalam hal ini adalah jilbab/hijab. Pakaian merupakan salah satu media komunikasi yang memiliki peran serta makna di dalamnya dan telah menjadi sebuah gaya hidup, bahkan ideologi. Fungsi identitas pakaian meliputi identitas agama, sosial, budaya, dan sebagainya. Fungsi dan makna tersebut yang membuat Thomas Carlyle, seorang ahli komunikasi, melontarkan kata I speak with my cloth. (Ibrahim, 2007). Jilbab sebagai simbol dan identitas perempuan islam (muslimah) sebagai bentuk ketaatan perempuan dalam berpakain/berbusana juga tidak bisa berlepas dari pengaruh media dan dunia populer. Jilbab bukan lagi hanya sekedar kain penutup aurat tapi juga mengalami perkembangan seperti pakaian lainnya dalam dunia fashion. Jilbab sudah menjadi barang fashion sebagai tuntutan dari dunia populer, yang pada akhirnya memposisikan busana sebagai identitas sekaligus kapitalisasi. Ini merupakan perkembangan yang menarik, karena dilatarbelakangi satu opini bahwa jilbab itu terbelakang, kampungan, tidak gaul, terbelakang, dan gak fashionable. Inilah yang melatarbelakangi munculnya sekelompok designer muslimah atau perkumpulan jilbaber dan beberapa peragawati untuk mengubah pandangan tersebut dan meyakinkan pada 4

5 masyarakat bahwa busana muslimah juga bisa modis, fashionable, tidak mengurangi kreatifitas dalam berbusana dan tentu saja tetap sesuai syariat. Dari komunitas untuk budaya, suku, hingga komunitas akan gaya hidup dan fashion style. Seperti dilansir dalam fashion blog yakni Compagnons (2021), komunitas yang selalu hangat dibicarakan dan paling menarik adalah komunitas k-pop dan komunitas jilbab kontemporer seperti Hijabers yang dengan cepat membuat sebuah tren berkerudung terbaru di Indonesia. Komunitas-komunitas ini adalah sekumpulan orang yang ingin terlihat sama dalam satu pandangan dalam bergaya dan berbusana. Yang dengan begitu akan membantu manusia atau anggota mendapatkan identitas diri secara bersama meskipun budaya yang dianut didalamnya bukan lagi budaya murni pribadi melainkan telah terasimilasi oleh budaya yang dianut oleh komunitas tersebut. Meski demikian, selalu ada perasaan penasaran dan gairah untuk bergabung dalam setiap komunitas-komunitas yang ada. Menilik khusus komunitas fashion style tadi, khususnya Hijabers ternyata adalah sebuah komunitas jilbab kontemporer yang berisikan wanita-wanita muslimah cantik dengan pakaian atau jilbab yang penuh gaya dan tidak biasa. Ada banyak wanita yang tertarik dan ingin bergabung dalam komunitas tersebut. Buktinya, dalam akun twitter saja Hijabers Yogyakarta tercatat pengguna tertarik mengikuti atau menjadi followers (bahasa dalam akun twitter yang berarti mengikuti suatu akun untuk terus berhubungan dengan akun tersebut), sedangkan untuk akun facebook Hijabers Community Yogyakarta mencapai hingga angka yang telah bergabung dalam grup. Angka ini hanya berlaku di sosial media, namun jumlah anggota yang 5

6 sebenarnya untuk wilayah Yogyakarta mencapai 508 anggota Hijabers Community Yogyakarta. Meski tidak sebanyak angka di sosial media, angka ratusan ini tentunya cukup representatif menjelaskan bahwa Hijabers banyak dilirik oleh para muslimah di kota Yogyakarta. Hal ini karena sebagian besar gaya berbusana para muslimah Hijabers berkiblat dari budaya luar yang disebar oleh media elektronik dan media massa seperti sosial media atau jejaring sosial, majalah elektronik dan lain sebagainya. Atas kehendak media pula lah, gaya hijabers ini menjadi gaya nasional masa kini yang kemudian fenomena ini disebut budaya populer atau fashion style dalam berjilbab. Srinati (Bing Tejo, 2007) menemukakan bahwa budaya populer adalah budaya yang lahir atas kehendak media. Artinya, jika media mampu memproduksi sebuah bentuk budaya, maka publik akan menyerapnya dan menjadikannya sebagai sebuah bentuk kebudayaan. Populer yang dibicarakan di sini tidak terlepas dari perilaku konsumsi dan determinasi media massa terhadap publik yang bertindak sebagai konsumen. Budaya populer inilah yang mampu menembus batas demografis indonesia, bahkan agama dan setiap detiknya memberikan gambaran budaya pop kepada khalayak ramai. Baik cetak maupun elektronik, budaya pop mengalir deras mempengaruhi masyarakat untuk ikut arus dalam setiap perubahannya. 6

7 Budaya pop ini pun dengan cepat mengubah pola pikir masyarakat dengan bantuan media massa. Khusus untuk perempuan yang notabene sangat memperhatikan penampilan, hegemoni budaya pop benar-benar mensuguhkan banyak hal untuk menjadi lebih proaktif dalam berpakaian dan gaya hidup. Sedikit mengingat, bahwasannya, budaya pop atau popular culture adalah budaya pertarungan makna di mana segala macam makna bertarung memperebutkan hati masyarakat. Budaya pop seringkali diistilahkan sebagai budaya praktis, prakmatis, dan instan yang menjadikan ciri khas dalam pola kehidupan (Bing Tedjo,2007). Budaya pop untuk pakaian perempuan berjilbab yang dibawa oleh Hijabers dan digemborkan oleh media massa tentunya memberikan pergeseran makna akan bagaimana gaya busana muslimah atau perempuan berjilbab dahulu dan kini. Sejatinya jilbab menurut agama Islam adalah hal yang wajib hukumnya bagi perempuan untuk menutupi aurat yakni rambut, dada, dan bagian tubuh lainnya. Hendaklah mereka (perempuan muslim) menutupkan khumur (kerudungnya) ke dadanya. (Al-Qur an, An Nuur :31). Jilbab pada masa Nabi Muhammad SAW ialah pakaian yang menutupi segenap anggota badan dari kepala hingga kaki perempuan dewasa. Terbuat dari kain dengan potongan yang sederhana. Serta diupayakan untuk tidak berlebihan dalam memakai aksesoris atau perhiasan yang mengundang perhatian orang lain. Namun, pada perkembangannya kini, persepsi penggunaan jilbab itu sendiri tidak lagi sederhana. Hijabers memperkenalkan gaya terbaru dalam berjilbab yang selanjutnya untuk mengubah pola pikir perempuan berjilbab bahwa mereka pun 7

8 mampu tampil modis, chic dan stylish dan menjadi tidak sederhana lagi seperti konsep sebelumnya. Agaknya gambaran seperti ini tercermin pada kehidupan di lingkungan komunitas Hijabers Yogyakarta. Di mana pada saat ini dapat dengan mudah kita temui perempuan muslim para Hijabers di lingkungan kita mengenakan jilbab kontemporer/hijab dalam aktivitas keseharian mereka. Lantas bagaimana mereka mereka memahami esensi jilbab kontemporer/hijab dalam mengkomunikasikan identitas muslimah itu sendiri? Bagaimana kemudian mereka memaknai jilbab kontemporer/hijab sebagai bagian dari diri/identitas mereka? Lebih jauh mengenai fenomena tren jilbab kontemporer/hijab ini dengan dinamika fashion (busana) di mana adanya keinginan untuk tampil modern dan up date (kebutuhan life style) saat ini. Di sini penulis tidak ingin menggambarkan jilbab kontemporer ini dari sudut pandang keagamaan tetapi meninjaunya dari sudut pandang kebudayaan. Fenomena jilbab dan perkembangannya di dunia Islam khususnya di Indonesia merupakan satu topik yang sangat menarik untuk diteliti dalam kaitannya dengan modernitas, identitas dan kontestasi makna jilbab yang kini marak diperkenalkan dengan hijab oleh sebuah komunitas yang memperjuangkan jilbab bagi kaum perempuan muslim. Melihat hal ini, penulis kemudian mencoba melakukan penelitian lebih jauh yang selanjutnya mengambil judul skripsi Gaya Hidup dan Pembentukan Identitas Hijabers Yogyakarta sebagai Potret Kelas Menengah Muslim Perkotaan. 8

9 B. Rumusan Masalah Kemunculan kelas menengah di Indoensia diikuti dengan fenomena yang menarik yaitu bangkitnya semangat kehidupan beragama (Hasbullah, 2007). Vatikitiotis (dalam Hasbullah, 2007) menyatakan kebangkitan kembali kepada semnagat keagamaan pada tahun 1980-an dan 1990-an adalah fenomena khas kelas menengah di wilayah-wilayah perkotaan segmen masyarakat yang paling banyak tersentuh oleh pembangunan ekonomi dan perubahan sosial. Fenomena ini berpengaruh luas pada meningkatnya ketaatan beragama pada orang-orang Islam yang sedang menikmati kemakmuran sebagai kelas menengah. Mengapa peningkatan kesejahteraan dan posisi ekonomi membawa masyarakat ekonomi kelas menengah di perkotaan tersebut kea rah yang lebih Islami? Hefner (dalam Hasbullah, 2007) menyatakan bahwa peningkatan ekonomi masyarakat berdampak pada terjadinya kekecewaan terhadap penurunan moral serta disintegrasi sosial terutama di wilayah perkotaan. Hal itu memicu terjadinya kebangkitan Islam di kalangan kelas menengah dimana Islam dilihat sebagai kunci untuk menjaga etika dan kedisiplinan masyarakat ditengah modernisasi dan kerusakan social order yang ada di sekitarnya. Salah satu fenomena yang menandai keeksisan kelompok kelas menengah pada orientasi Islam salah satunya ditandai dengan peningkatan popularitas jilbab dan perkembangan mode jilbab. Menurut Brenner (1996) gerakan kebnagkitan Islam pada tahun 1970-an ditandai dengan praktik berjilbab yang semakin popular di kalangan perempuan Jawa terutama pada para perempuan muda kelas 9

10 menengah terpelajar. Perkembangan popularitas jilbab tersebut tidak hanya didasari oleh masyarakat Indonesia yang memang mayoritas beragama Islam, meski demikian secara kuantitas penduduk tidak cukup mendorong berkembangnya jilbab di Indonesia karena jilbab justru baru berkembang di tahun 1990-an. Oleh karena itu perkembangan popularitas jilbab harus dilihat dari adanya keterkaitan antara dimensi relijius dengan dimensi sosial dan kultural. Keberadaan kelas menengah muslim dengan kemampuan mereka untuk mengonsumsi budaya leisure time seperti fashion turut menunjang perkembangan jilbab di Indonesia, teruatama di wilayah perkotaan dimana kelas menengah tumbuh dari adanya pembangunan ekonomi di perkotaan. Golongan kelas menengah ini mencari Islam yang cocok dengan gaya hidupnya dimana ingin tetap relijius namun tidak meninggalkan kemodernan. Kebutuhan kelas menengah Islam tersebut difasilitasi oleh kemmapuan pasar yang selalu dapat beradaptasi dengan apa saja termasuk jilbab dan busana muslim, maka muncullah jilbab dan busana muslim yang lebih fashionable dengan berbagai model yang siap dikonsumsi oleh golongan atas dan menengah muslim. Meskipun pada awal kemunculannya, gaya-gaya dan desain-desain tersebut relative mahal dan hanya bisa dikonsumsi oleh orang kaya saja tapi saat ini karena permintaan pasar yang senkain luas dan adanya strategi pasar yang dapat membuat jilbab dengan berbagai desain dengan harga yang lebih murah maka kepopuleran jilbab semakin meluas di berbagai kalangan masyarakat. Esensi awal jilbab yaitu sebagai simbol keagamaan yang menunjukkan identitas dan relijiusitas kelompok Muslim, namun pada kenyataannya kini 10

11 menurut Religh (2004) bahwa jilbab telah menjadi suatu kebudayaan popular dan mendorong kecenderungan jilbab tidak hanya sebagai simbol yang mencerminkan identitas agama namun jilbab/hijab juga dapat menjadi identitas kolektif bagi kelompok. Salah satu kelompok yang menjadikan jilbab sebagai identitas kolektifnya adalah Hijabers Community. Hijabers Community memproklamirkan dirinya sebagai komunitas jilbab pertama di Indonesia. Kiprahnya kini menjadi trendsetter jilbab dan busana muslim bagi muslimah muda di Indoensia khususnya di wilayah perkotaan. Hal inilah yang mendorong keingintahuan peneliti tentang bagaimanakah kelompok tersebut merepresentasikan gaya hidup mereka dengan menggunakan jilbab dan busana muslim yang merupakan simbol agama dan relijiusitas seorang muslimah. Apakah unsur keagamaan dapat tercermin dalam praktik berjilbab dan berbusana yang merupakan aktivitas gaya hidup mereka, ataukah jilbab dan busana muslim dalam kelompok ini hanya dijadikan simbol status yang mencerminkan kesejahteraan ekonomi dan posisi sosial mereka? Pemikiran tersebut mengarahkan pada pertanyaan selanjutnya yaitu bagaimana Hijabers Community merepresentasikan dan bernegosiasi terhadap agama, fashion dan budaya? Tak dipungkiri, fashion atau penampilan bagi seorang perempuan memang memegang peranan penting. Oleh karena itu banyak kaum hawa yang terinspirasi oleh komunitas Hijabers. Belakangan muncullah pelabelan, gaya berjilbab dan berbusana ala Hijabers. Toko-toko pakaian dan kerudung dengan cepat diserbu oleh banyak perempuan yang berhasrat membeli banyak kerudung kemudian mengkreasikannya dan tampil di depan umum seperti perempuan-perempuan 11

12 dalam komunitas Hijabers. Sebuah identitas baru kemudian ingin ditampilkan dan dipamerkan dari individu-individu dalam komunitas Hijabers. Selain itu keberadaan Hijabers merupakan fenomena yang unik karena keberadaannya adalah bentuk dari sebuah negosiasi terhadap budaya berjilbab sebelumnya yang cenderung terlihat kolot dan kurang fleksibel dan juga terhadap budaya fashion popular lain yang tak kalah marak yaitu hot pens, tang-top, dan baju-baju seksi lainnya yang terlihat mengumbar aurat/tubuh. Dari deskripsi fenomena jilbab diatas dapat dikaji bahwa jilbab sebagai salah satu tren fesyen yang sedang berkembang saat ini membawa perubahan seseorang dalam memaknai jilbab dan fashion statement seseorang. Perburuan tentang gaya dan model terkini dengan segala aksesoris, aksen, dan bahan yang digunakan berpotensi menciptakan ruang, pasar ekonomi baru juga bentuk identitas serta gaya hidup modern baru di kalangan menengah perkotaan. Fenomena ini memunculkan pertanyaan yang menjadi masalah yaitu : a. Bagaimana Hijabers Community mengkonstruksikan dan merepresentasikan jilbab/hijab dan busana muslim sebagai simbol gaya hidup dan identitas muslimah kalangan menengah perkotaan? b. Bagaimana peran Hijabers Community dalam mensyiarkan nilai-nilai Islami pada komitenya? 12

13 C.Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian C.1.Tujuan Penelitian adalah : Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini a. Menjelaskan tentang bagaimana Hijabers Community menempatkan hijab dan busana muslim sebagai simbol kolektif, agama dan status di perkotaan. b. Menggali peran Hijabers Community dalam perkembangan syiar Islam modern. C.2.Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian Gaya Hidup dan Pembentukan Identitas Hijabers Yogyakarta sebagai Potret Kelas Menengah Perkotaan adalah sebagai berikut : a. Dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi mahasiswa, pemerintah, maupun masyarakat umum mengenai busana dan gaya hidup muslimah perkotaan berlatarbelakang kelas menengah serta dinamikanya yang menjadikan busana untuk merepresentasikan posisi sosialnya. b. Dengan melihat berbagai penelitian yang ada, skripsi ini mengisi kesenjangan yang ada terkait dengan studi tentang jilbab di Indonesia yang kini telah menjadi bagian dari fashion di Indonesia. c. Sebagai bahan bacaan, literatur dan referensi untuk penelitian selanjutnya. 13

14 D. Tinjauan Pustaka Pada bagian ini akan dijelaskan beberapa studi yang pernah dilakukan terdahulu terkait dengan masalah jilbab di Indonesia yang menjadi acuan kerangka pemikiran dalam penelitian ini. D.1 Busana Muslim dan Kebudayaan Populer di Indonesia: Pengaruh dan Persepsi (Raleigh, 2004) Penelitian Raleigh (2004) di Malang dilakukan dengan tujuan menjelaskan bagaimana jilbab dan busana muslim menjadi popular dan dapat diterima di Indonesia serta menemukan pengalaman maupun alasan-alasan para pemakai jilbab. Dalam penelitiannya, Raleigh (2004) memaparkan sejarah perkembangan jilbab dan busana muslim di Indonesia serta bagaimana gaya berjilbab di Indoensia yang cenderung berbeda dengan negara Timur Tengah yang merupakan pusat asal jilbab. Gaya berjilbab yang lebih dinamis dan bergaya di Indonesia dipengaruhi lingkungan politik dan budaya Indonesia yang lebih terbuka, sedangkan di negara Timur Tengah gaya berjilbabnya cenderung tidak berubah. Perkembangan jilbab debagai budaya popular di Indonesia dipengaruhi konteks politik, agama, sosial dan ekonomi yang ada sejak kebangkitan Islam pada tahun 1980-an. Dari segi politik dan sosial, pada saat itu jilbab dan busana muslim dijadikan sebagai symbol gerakan perlawanan terhadap keadaan di Indonesia. Dan dalam perkembangannya jilbab dan busana muslim justru lebih diterima dalam politik dan sosial. Sedangkan dari sisi agama, popularitas jilbab mulai meningkat 14

15 disebabkan oleh masyarakat Indonesia sekarang yang ingin terlihat sebagai muslim yang taat dan lebih religious. Selanjutnya dari segi ekonomi, yang berubah adalah dimana pada masa lalu busana muslim yang modis untuk orang kaya saja. Namun dalam perkembangannya gaya berbusana yang modis bukan hanya milik kalangan tertentu saja tapi mampu merambah ke semua kalangan. Pergeseran sosial-politik, ekonomi, dan budaya di Indoensia memungkinkan pakaian muslim dan bentuknya yang modis serta dinamis sekaligus sebagai sarana untuk menemukan diri dan mengekspresikan identitasnya sebagai perempuan muslim. Temuan dari penelitian ini berupa, gambaran perkembangan jilbab dan busana muslim dari segi produksi, distribusi, dan konsumsi serta dipersepsikan oleh kebanyakan muslimah di Indonesia. Produksi busana muslim yaitu dari perancang dan penjahit, distribusi yaitu dari penjual busana muslim, media cetak seperti buku dan majalah serta iklan produk, juga sisi konsumsi, yaitu para mahasiswa berjilbab. Dari sisi produksi perkembangan jilbab sebagai budaya popular di Indonesia salah satunya dipengaruhi oleh munculnya lembaga-lembaga seperti APPMI yang juga mempopulerkan busana muslim dalam lingkungan mode di Indonesia, dan gaya mode itu sudah punya derajat yang sama dengan gaya-gaya mode pakaian biasa. Sedangkan dari sisi distribusi ternyata distribusi busana muslim meningkat karena telah menjadi suatu industry besar. Pedagang, media massa seperti majalah dan iklan juga fashion show menyumbang dalam perkembangan jilbab sebagai budaya popular di Indonesia dengan menampilkan citra bagaimana tetap terlihat cantik dan modis walaupun berjilbab dengan 15

16 menggunakan produk-produk tertentu dan dikonstruksikan sebagai kebutuhan bagi para muslimah yang berjilbab. Terakhir dari sisi konsumsi, bagi para pemakainya menikmati praktik berjilbab dan walaupun busana muslim sudah menjadi popular di Indonesia, tetapi masih melindungi arti-arti agama-bukan mode saja atau dengan kata lain tidak mengurangi makna jilbab sebagai siombol yang memiliki makna keagamaan. Hasil dari penelitian ini yaitu jilbab telah menjadi suatu kebudayaan popular, dalam arti sebagai komoditas dan pengalaman yang diterima dan dinikmati perempuan Indonesia dan pemakaianya memperoleh kesenangan dari tindakan berjilbab yang modis. Penelitian Raleigh (2004) berkonstribusi sebagai landasan pemikiran mengenai sejarah perkembangan jilbab dan busana muslim di Indoensia serta pihak yang berperan didalamnya. Selain itu juga menjelaskan bagaimana konteks sosial dan budaya mempengaruhi gaya berjilbab di Indonesia cenderung lebih berbeda dengan jilbab di negara lain. Keterbatasan penelitian ini tidak melihat adanya kemunculan kelas menengah muslim yang berperan dalam popularisasi jilbab pada masyarakat Indonesia dan juga meningkatkan industry jilbab dan busana muslim. Oleh karena itu pada penelitian yang saya lakukan berusaha untuk menunjukkan peran kelompok menengah muslim yang berperan dalam popularisasi jilbab di masyarakat Indonesia. 16

17 D.2 Pemakaian Jilbab sebagai Identitas Kelompok : Studi kasus terhadap Mahasiswa Perempuan Fakultas X Universitas Y (Susiana, 2005) Penelitian mengenai jilbab sebagai identitas kelompok dilakukan Susiana (2005) secara kualitatif pada mahasiswa fakultas X Universitas Y di Jakarta yang belum berjilbab saat masuk ke fakultas tersebut sebagai subyek penelitian utama dengan mengambil 3 orang mahasiswi sebagai subyek utama dan 5 mahasiswi sebagai subyek pendukung. Tujuan penelitian untuk mengetahui penggunaan jilbab sebagai identitas kelompok serta bagaimana kaitan pemahaman ajaran agama dengan motovasi seseorang untuk berjilbab. Hasil penelitian ini yaitu ajaran agama ternyata bukan merupakan factor yang dominan mendorong seorang individu untuk mengenakan jilbab, melainkan lebih dipengaruhi oleh lingkungan sosial seperti orang yang paling dekat dan berpengaruh (significant other) seperti pacar dan teman. Kebutuhan untuk melakukan konformitas dan berafiliasi dengan kelompoknya serta lingkungan sosialnya yang mayoritas menggunakan jilbab mendorong individu untuk mengenakan jilbab. Penelitian ini memaparkan cara menjadikan jilbab sebagai identitas kelompok yaitu dapat melalui sosialisasi dari mentor dalam kegiatan kelompok yang mana merupakan agen sosialisasi pentingnya pemakaian jilbab menurut ajaran Islam dan terdapat kecenderungan menjadikan jilbab sebagai identitas kelompok di fakultas X melalui aktivitas agama yang selalu berkaitan dengan masalah jilbab. Kecenderungan ini menjadikan jilbab sebagai suatu identitas 17

18 kelompok yang dilakukan melalui berbagai kegiatan mahasiswa yang mengarahkan para anggotanya untuk menggunakan jilbab. Pengarahan anggota kelompok untuk menggunakan jilbab menghasilkan du akelompok yang berbeda. Anggota yang bersedia melakukan konformitas dengan kelompok yang tadinya tidak berjilbab menjadi berjilbab tidak mengalami masalah berarti yang berkaitan dengan kelompoknya. Namun di sisi lain naggota kelompok yang tidka bersedia melakukan konformitas mengalami masalah karena dianggap pembelot oleh anggota kelompok lainnya. Hal tersebut membuatnya merasa tidak nyaman dengan kelompoknya dan menimbulkan sikap antipasti terhadap kelompok tersebut. Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Susiana (2005) menunjukkan pemakaian jilbab tidka hanya sebagai penutup aurat yang diperintahkan dalam Islam. Namun juga memiliki makna simbolis sebagai penanda atau pembeda antara mahasiswa perempuan fakultas X dengan mahasiswa perempuan lainnya. Penelitian Susiana (2005) memberikan kontribusi sebagai landasan pemikiran bagaimana jilbab yang merupakan bagian dari busana bagi para muslimah dapat dijadikan identitas kelompok sebagai pembeda dengan kelompok lainnya. Selain itu memberikan landasan pemikiran tentang bagaimana identitas kelompok berperan dalam menanamkan nilai kepad aanggotanya termasuk dalam hal berbusana. Keterbatasan pada penelitian ini adalah kurang menyoroti nilai relijiusitas yang tertanam pada anggota dari pemakaian jilbab akibat identifikasi diri anggota 18

19 terhadap kelompok. Pada penelitian yang disusun Susiana (2005) menjelaskan bahwa pemaksaan jilbab pada anggota sebagai identitas kelompok didasari oleh tujuan penanaman nilai Islam, namun hasil penelitian Susiana (2005) kurang menjelaskan bagaimana pemaknaan anggota terhadap nilai-nilai relijiusiats yang ditanamkan oleh kelompok dalam hal berbusana, yaitu dalam praktik berjilbab. Oelh karena itu penelitian yang saya lakukan berusaha menggali bagaimana peran kelompok dalam menanamkan nilai-nilai Islam termasuk dalam hal berbusana. D.3 Islamic Pop Culture in Indonesia (Saluz, 2007) Penelitian Saluz (2007) dilakukan terhadap mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) selama 7 bulan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji Islam sebagai buday apopuler dan bagaimana prktik yang berbeda-beda dalam berjilbab sebagai ekspresi dari budaya pop terutama dalam masyarakat urban. Saluz (2007) memaparkan adanya perbedaan praktik Islam yang salah satunya dari perbedaan gaya berjilbab dimana tidka ada konsesus tentang standar jilbab seharusnya, dimana dalam penelitiannya ditemukan dan terdapat 3 kategori kelompok dalam gaya berjilbab yaitu kelompok berjilbab cadar, kelompok jilbab panjang yang biasanya menggunakan rok dan kelompok jilbab trendi. Saluz (2007) juga menjelaskan bahwa muncullnya model berjilbab yang trendi ditimbulkan dari proses hibridasi yaitu proses interaksi budaya antara local dengan global, hegemoni dan subaltern, sentral dengan periferi. Oleh karena itu Saluz (2007) melihat bahwa fenomena jilbab ini harus dilihat dari perspektif 19

20 berbeda yang saling berhubungan dimana dimensi relijius harus dikaitkan dengan dimensi sosial dan kultural. Penlitian Saluz (2007) juga menjelaskan bagaimana konteks sejarah, kebijakan pemerintah, media massa, situasi ekonomi dan gender berperan dalam pembentukan budaya popular Islam dan perkembangan jilbab. Dari segi sejarah sejak zaman colonial Belanda jilbab sudah mulai dikenal namun hanya dipakai pada acara tertentu saja dan umumnya yang memakai hanya santri. Pada saat itu jilbab menyimbolkan kelas sosial dan relijius yang tinggi dimana biasanya orang yang memakai jilbab adalah orang-orang yang telah melakukan ibadah haji, sedangkan pada masa orde lama sempat terjadi pelarangan pemakaian jilbab di sekolah-sekolah. Barulah pada masa orde baru masyarakat mulai bebas berjilbab dan popularitas jilbab meningkat hingga memasuki dunia fashion Indonesia dimana bermunculan koleksi busana muslim yang dipamerkan dalam koleksi terbaru para perancang busana. Pada era reformasi, jilbab semakin berkembang dan mulai merambah ke media massa dimana makin banyak munculnya majalah muslim denagn target konsumsi anak muda, film dan iklan pun mulai rame menampilkan perempuan berjilbab. Saluz(2007) menyatakan bahwa media massa memiliki peran penting dalam membuat jilbab menjadi trendi secara umum dan membuat image Islam menjadi friendly dan sociable. Media massa yang berbasis Islam setelah reformasi semakin banyak dan menmapilkan artis berjilbab, mereka menjadi ikon dari identitas muslim saat ini. Jilbabpun menjadi lahan pasar baru, berkembnagnya berbagai produk islami seperti ragam pakaian muslim yang diiringi gencarnya media dan iklan 20

21 menimbulkan kebutuhan konsumsi akan model jilbab dan pakaian muslim terbaru untuk membentuk identitas muslim. Selain itu penelitian Saluz (2007) juga menggambarkan bagaimana muslimah muda berperan aktif dalam mengkonstruksikan identitasnya salah satunya lewat gaya berjilbab. Ajaran Islam mungkin memberikan ketentuan yang kuat yang harus diikuti oleh para anak muda muslim namun terdapat aspek lain yang harus dinegosiasikan oleh para anak muda muslim tersebut sehingga tindakan mereka tertutama dalam berjilbab tidak hanya memperhatikan aspek agamanya saja. Begitupun dalam hal gaya hidup, muslimah muda tidak hanya memperhatikan unsure Islam namun juga tidak terlepas dari paktik gaya hidup modern. Saluz (2007) juga memyatakan bahwa terjadi perkembangan makna dari jilbab itu sendiri dimana sebagai symbol yang kuat dengan konotasi relijius, namun ternyata terjadi kontestasi dalam makna jilbab trendi yang kini lebih menjadi aksesori fashion saja dan kehilangan konotasi agamanya akibat proses hibridasi. Jilbab dimanfaatkan untuk membangun identitas serta citra yang baik bagi pemakainya dan menimbulkan destabilisasi makna dari jilbab. Penelitian yang dilakukan Saluz (2007) cukup komprehensif dalam memaparkan perkembangan jilbab di Indonesia, perubahan gaya hidup para muslimah muda serta perubahan makna jilbab. Penelitian ini berkontribusi dalam memberikan landasan pemikiran mengenai konteks sosial perkembangan jilbab di Indonesia, menjelaskan bagaimana munculnya berbagai gaya berjilbab serta 21

22 bagaimana identitas anak muda dapat dikonstruksi melalui gaya berbusana yang dikenakannya termasuk dengan jilbab. Namun keterbatasan penelitian Saluz (2007) adalah kurang mampu menjelaskan bagaimana gaya berjilbab dan praktik konsumsi gaya hidup western pada para muslimah muda dikonstruksikan sebagai symbol status yang mengarah pada identitas kelas sosial. Oleh karena itu pada penelitian yang saya lakukan berusaha menjelaskan bagaimana gaya berjilbab dapat menjadi simbol agama seklaigus simbol status yang dapat direpresentasikan posisi sosial pemakainya beserta gaya hidup seperti apa yang ada didalamnya. Kesimpulan dari ketiga studi mengenai jilbab diatas, secara umum berkontribusi menjadi landasan pemikiran dalam 3 aspek yaitu : (1) sejarah perkembangan jilbab dan busana muslim di Indoensia (2) konteks sosial dan budaya mempengaruhi gaya berjilbab di Indoensia cenderung lebih berbeda dengan jilbab di negara lainnya (3) jilbab dapat menjadi identitas kelompok sebagai pembeda dengan kelompok lainnya. Namun terdapat 2 hal yang menjadi keterbatasan pada studi-studi sebelumnya yaitu : (1) kurang menyorot kemunculan kelompok menengah muslim yang berperan dalam popularisasi jilbab dan perubahan gaya hidup yang terjadi pada masyarakat muslim di Indonesia (2) mayoritas studi mengenai jilbab hanya membahas jilbab sebagai simbol agama saja. Belum banyak studi yang mneyoroti perubahan makna pada jilbab yang kini juga menjadi simbol status bagi kelompok kelas tertentu. Oleh karen aitu, studi ini berusaha mengkaji keberadaan kelompok kelas menengah muslim terkait dengan popularisasi jilbab dan berusaha menjelaskan bagaimana perubahan pemaknaan pada jilbab dan busana muslim. 22

23 E. Kerangka Pemikiran E.1 Gaya Hidup Perkembangan teknologi semakin pesat, membuat angan bukan lagi sebuah mimpi atau khayalan bukan lagi imajinasi, penampilan modern menjadi sebuah life style yang menjadi kebutuhan gengsi. Gaya hidup dapat dijelaskan sebagai penggunaan waktu, ruang, uang dan barang karakteristik sebuah kelompok masyarakat. Pola-pola tersebut dimuati dengan tanda dan makna simbolik tertentu, yang menciptakan perbedaan (difference) antara satu kelompok dengan kelompok lainnya Gaya hidup selanjutnya merupakan cara-cara terpola dalam menginvestasi aspek-aspek tertentu kehidupan sehari-hari dengan nilai sosial atau simbolik, tapi ini juga berarti bahwa gaya hidup adalah cara bermain dengan identitas. Bagaimana orang membentuk dan menampilakan gaya hidupnya? Apakah gaya hidup dan perlengkapannya hanya sekedar masalah selera, seperangkat tingkah laku, dan benda yang disukai, atau lebih jauh dari itu, merupakan representasi dari kepribadian manusia? Apakah gaya hidup hanya berkaitan dengan kehidupan individu atau mencerminkan norma dan nilai yang ada dalam masyarakat? Banyak pertanyaaan yang ada berkenaan dengan gaya hidup mengingat fenomena ini belakangan banyak mendapat perhatian besar seiring makin beragamnya perwujudan gaya hidup ditampilkan oleh berbagai kelompok dalam masyarakat. Sosiologi menjadikan gaya hidup sebagai pintu masuk untuk 23

24 memahami pengaruh nilai dan norma sosial dalam diri individu. Dalam psikologi sosial gaya hidup dipahami sebagai adaptasi aktif individu terhadap kondisis social dalam rangka memenuhi kebutuhan untuk manyatu dan bersosialisasi dengan orang lain, misalnya; cara berpakain, konsumsi makanan, cara kerja, dan lain-lain. Kepribadian dianggap sebagai penentu gaya hidup, dan oleh karena kepribadian setiap manusia unik, gaya hidup-pun unik. Gaya hidup dipahami sebagai tata cara hidup yang mencerminkan sikap-sikap dan nilai dari seseorang. Menurut Chaney (2011) gaya hidup merupakan ciri sebuah dunia modern atau yang biasa juga disebut modernitas, gaya hidup digunakan oleh siapapun yang hidup sebagai suatu cara kehidupan yang khas dijalani oleh kelompok sosial tertentu dimana di dalamnya terdapat perilaku yang ekspresif dan dapat dikenali mellaui pola-pola tindakan yang membedakan anatar satu orang dengan orang lain. Melalui gaya hidup dapat membantu memahami apa yang orang lakukan, mengapa mereka melkaukannya dan apakah yang mereka lakukan bermakna bagi dirinya maupun orang lain. Pola gaya hidup dapat dicirikan oleh 3 elemen (Blyton et al : 141), yaitu : (1) aktivitas individual dalam menghabisakan waktu; bersama siapa dan apa yang dikonsumsi dalam aktivitas tersebut; (2) makna, nilai dan seberapa pentingnya aktivitas, (3) objek yang dikonsumsi. Sedangkan menurut Robinson (1977) aktivitas individu yang menjadi elemen gaya hidup dibatasi oleh 2 kategori waktu yaitu waktu wajib dan waktu bebas (dikutip dari Wilson, 1980: 22). Waktu wajib merupakan wkatu yang digunakan untuk melaksanakan aktivitas seperti bekerja, mengurus pekerjaan rumah, mengurus rumah tangga, mengurus anak, memenuhi kebutuhan fisiologis 24

25 seperti makan dan tidur, serta melakukan perjalanan yang dibutuhkan seperti perjalanan mneuju kantor atau sekolah. Sedangkan pada wkatu bebas, individu sudha terlepas dari kativitas yang merupakan kewajibannya sehingga dapat diisi dengan aktivitas yang dapat ditentukannya sendiri. Istilah wkatu bebas ini selnajutnya pada penelitian ini disebut dengan istilah waktu luang. Waktu luang tersebut diartikan bahwa individu tidak merasakan tekanan ekonomi, hukum, moral dan desakan sosial serta keperluan fisiologis sehingga dapat secara leluasa memanfaatkan waktu ini untuk berbagai keperluan yang ditentukannya sendiri (Surya, 2007 : 176). Dalam konteks gaya hidup, kativitas waktu luang menjadi signifikan menggambarkan gaya hidup yang dimiliki seseorang. Hal tersebut disebabkan dari pilihan individu dalam aktivitas waktu luang yang ditentukannya sendiri mencerminkan minat dan seberapa pentingnya makna aktivitas tersebut bagi dirinya. Robinson (1977) mengklasifikasi aktivitas yang dilakukan pada waktu luang tersebut menjadi : (1) aktivitas organisasi (partisipasi pada organisasi tertentu, menghadiri kegiatan organisasi), (2) mengkonsumsi media massa (menonton film, membaca buku atau majalah, internetan, mendengarkan radio), (3) sosialisasi dan rekreasi (bertemu teman/kerabat, bepergian, berolahraga, menjalankan hobi, relaksasi) (dikutip dari Wilson, 1980 : 22). Menurut Wilson (1980) aktivitas waktu luang terkait dengan beberapa faktor yaitu pendapatan, pekerjaan, pendidikan. Tingkat pendapatan yang dimiliki akan menentukan jumlah uang yang digunakan dalam aktivitas waktu luang, 25

26 selain itu pendapatan membentuk perilaku dalam menghabiskan waktu luang karena individu hanya akan terbatas pada aktivitas yang sesuai dengan kemampuan ekonominya. Pendidikan memilikiasosiasi positif dengan pengejaran kativitas waktu luang dan terkait dengan jangkauan pilihan aktivitas waktu luang. Oleh karen aitu semkain tinggi pendidikan maka akan semakin tinggi pengejaran akan aktivitas waktu luang dan pilihan aktivitas waktu luangnya pun semaki banyak. Sedangkan pekerjaan berkorelasi dengan pilihan aktivitas waktu luang. Contohnya orang-orang yang memiliki pekerjaan berprestise tinggi seperti kaum professional-manajerial akan memilih aktivitas wkatu luang yang mempunyai nilai prestise pula seperti bermain golf atau berkuda. Dari penjelasan di atas, maka kelompok kelas menengah memiliki peluang untuk mengkonsumsi berbagai keperluan dalam kativitas waktu luang karena memiliki pendidikan dan pekerjaannya yang memungkinkan untuk mendapatkan pendapatan yang memadai/lebih. Orientasi kelas menengah ini tidak lagi pada pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari, namun cenderung bergeser pada kebutuhan tersier seperti mengikuti trend fashion, membeli gadget keluaran terbaru atau liburan ke luar negeri. Hal tersebut tentu berbeda dengan kelas bawah, pemanfaatan waktu luang cenderung didisi dengan bekerja untuk memenuhi kebutuhan primer. Pemanfaatan waktu luang dengan rekreasi adalah barang mewah bagi kelas bawah. Selain dilihat dari pilihan aktivitas waktu luang, objek yang dikonsumsi pada aktivitas waktu luang juga merupakan elemen penting dalam menggambarkan gaya hidup. Bourdieu dalam Distinction menyatakan bahwa 26

27 tujuan utama dari konsumsi yaitu menjadi eksis dalam ruang sosial. Bordieu (1984) juga menjelaskan bahwa struktur konsumsi terbagi menjadi 3 berdasarkan objeknya yaitu : konsumsi makanan, konsumsi cultural, serta konsumsi penampilan. Sedangkan pada penelitian ini lebih difokuskan pada konsumsi penampilan. E.2 Konsumsi Penampilan Perkembangan budaya konsumen telah mempengaruhi cara-cara masyarakat mengekspresikan estetika dan gaya hidup. Dalam masyarakat konsumen, terjadi perubahan mendasar berkaitan dengan cara-cara orang diri dalam gaya hidupnya. David Chaney bahwa gaya hidup telah menjadi cirri dalam dunia modern, sehingga masyarakat modern akan menggunakan gaya hidup untuk menggambarkan tindakannya sendiri dan orang lain. Definisi life style-gaya hidup saat ini menjadi semakin kabur. Namun, dalam kiatannya dengan budaya konsumen, istilah tersebut dikonotasikan dengan individualitas, ekspresi diri serta kesadaran diri yang stylistik. Tubuh, gaya pembicaraan, busana, aktivitas rekreasi dsb adalah beberapa indicator dari individualitas selera konsumen. Gaya hidup adalah salah satu bentuk budaya konsumen. Karena memang, gaya hidup seseorang bisa dilihat dari apa-apa yang dikonsumsinya, baik konsumsi barang atau jasa. Secara literal, konsumsi berarti pemakaian komoditas untuk memuaskan kebutuhan dan hasrat. Konsumsi tidak hanya mencakup kegiatan membeli sejumlah barang (materi), dari televise hingga mobil, tetapi juga 27

28 mengkonsumsi jasa seperti pergi ke tempat hiburan dan berbagai pengalaman sosial. Menurut Baudrillard (2004), konsumsi bukan sekedar nafsu untuk membeli begitu banyak komoditas, satu fungsi kenikmatan, satu fungsi individual, pembebasan kebutuhan, pemuas diri, kekayaan, atau konsumsi objek. Konsumsi berada dalam satu tatanan pemaknaan pada satu panoply objek; satu sistem, atau kode, tanda. Konsumsi merupakan system yang menjalankan urutan tandatanda dan penyatuan kelompok. Jadi konsumsi itu sekaligus sebuah moral (sebuah sistem nilai ideologi) dan sistem komunikasi, struktur pertukaran. Sementara itu kegiatan mengkonsumsi yang lekat dengan wanita adalah konsumsi pakaian. Disini konsumsi pakaian menjadi sesuatu yang menarik dibicarakan. Keberadaan pusat-pusat kota yang sekaligus menjadi pusat kapitalis menjadi simbol di masa sekarang. Sekarang orang tidak lagi mengumpulkan dedaunan, kulit pohon, ataupun kulit binatang sebagai bahan utama pakaian tetapi kini dengan mudah mendapatkannya di toko pakaian atau online shop. Disini dapat kita lihat bahwa terdapat fakta yang disebut kekonkritan (concreteness) oelh Douglas dan Isherwood, dimana benda-benda memiliki peran sebagai sumber identitas sosial dan pembawa makna sosial, karena benda-benda mampu menciptakan atau menggerakkan asumsi-asumsi dan keyakinan budaya yang menjadikan keyakinan menjadi relaitas (Lury, 1998: 17). Benda-benda diberi nilai pemaknaan oleh sesama konsumen, setiap orang adalah sumber penilaian dan subyek penilaian; setiap individu berada 28

29 dalam skema klasifikasi dengan diskriminasi yang ia ciptakan sendiri. Satu dunia yang mereka ciptakan bersama dibangun dari komoditas yang dipilih untuk kemampuan merekan dalam menandai peristiwa, seperti hari kelahiran, pernikahan, dan pemakaman, dalam skala bertingkat yang sesuai. Dalam masyarakat konsumen (Douglas dan Isherwood 1979 : 75 dalam Lury : 17). Konsumsi penampilan dapat dimanifestasikan malalui busana. Barnard (2009) menjelaskan bahwa busana menjadi komoditas yang difetishkan dalam masyarakat kapitalis, yang mana mengarah pada relasi sosial dimana terdapat peran dan status sosial berdasarkan atas apa yang kita kenakan. Dengan meminjam istilah Marx, Barnard menjelaskan bahwa fashion merupakan suatu hiroglif sosial yang berfungsi untuk mengkomunikasikan posisi sosial pemakainay sehingga menjadi cara yang paling signifikan yang dapat mengkonstruksi, mengalami serta memahami relasi sosial. Sedangkan Rouse menyatakan pakaian sebagai indikator nyata yang mana busana/pakaian dapat menunjukkan posisi status ekonomi seseorang. Rouse menunjukkan bahwa label dan logo adalah salah satu cara untuk menunjukkan daya beli seorang konsumen (dalam Barnard : 158). Label serta merk pakaian terkenal dengan harga yang mahal dapat membawa efek prestisius dan meneguhkan posisi sosial dan ekonomi yang tinggi bagi yang mampu membelinya karena komunikasi visual melalui fashion dapat mengekspresikan lebih dibandingkan komunikasi verbal Barnard, 2009 : 25). 29

30 Seperti yang dinyatakan oleh Roach dan Eicher menghias seseorang bisa merefleksikan hubungan dengan system produksi yang merupakan karakteristik ekonomi tertentu yang didalamnya orang itu tinggal (Roach dan Eicher, 1979 : 13) maka dapat disimpulkan bahwa gaya berbusana dapat digunakan untuk mengkomunikasikan posisi sosial, bagaimana dan pakaian apa yang digunakan akan merefleksikan dari kelompok kelas mana individu tersebut berasal dan gaya hidup seperti apa yang ada di dalamnya. Konsumsi penampilan yang dalam hal ini dimanifestasikan dengan busana, lebih banyak dilakukan oleh perempuan dibandingkan laki-laki dan tingkat pembelian meningkat sesuai dengan hirarki sosial (Bordieu, 1984 : 201). Objek atau barang yang dikonsumsi dapat berguna sebagai sumber distingsi. Distingsi tersebut berasal dari nilai ekslusivitas yang terkandung didalam objek atau barang yang dikonsumsi. Apabila tidak semua orang memiliki maka barg tersebut mengidentifikasikan pemiliknya sebagai anggota klub kecil (mereka yang tahu/ those who are in the know) dan membedakan dengan mereka dari massa (mereka yang tidak tahu menahu (those who don t have a clue). Distingsi tersebut menimbulkan inklusivitas seklaigus ekslusivitas dimana menyatukan mereka yang dapat memiliki kemampuan konsumsi serupa dan membedakan dengan orang kebanyakan (dikutip dari Ferica, 2006). 30

31 E.3 Busana dan Identitas Sosial Dalam masyarakat modern, semua manusia adalah performer. Setiap orang diminta untuk bisa memainkan dan mengontrol peranan mereka sendiri. Gaya pakaian, dandanan rambut, segala macam asesoris yang menempel, selera musik, atau pilihan-pilihan kegiatan yang dilakukan adalah bagian dari pertunjukkan identitas dan kepribadian diri. Kita bisa memilih tipe-tipe kepribadian yang kita inginkan lewat contoh-contoh kepribadian yang banyak beredar di sekitar kita bintang film, bintang iklan, penyanyi, model, bermacam-macam tipe kelompok yang ada atau kita bisa menciptakan sendiri gaya kepribadian yang unik, yang berbeda, bahkan jika perlu yang belum pernah ada. Menurut Giddens, (1991: 53) menyatakan bahwa identitas diri bukanlah sifat distingtif atau bahakan kumpulan sifat-sifat yang dimiliki oleh individu. Ini adalah diri yang dipahami secara refleksif oleh orang dalam konteks biografinya. Giddens juga menyebut identitas sebagai proyek, maksudnya adalah bahwa identitas merupakan sesuatu yang kita ciptakan, sesuatu yang selalu dalam proses, suatu gerak maju ketimbang sesuatu yang datang kemudian. Sedangkan Weeks (1990 : 89) identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan, tentang aspek personal dan sosial, tentang kesamaan anda dengan sejumlah orang dan apa yang membedakan anda dari orang lain. Diri adalah salah satu bentuk keberadaan manusia, perwujudan dari mengada-nya dalam sebuah dunia. Gaya hidup, tak akan padat dilepaskan dari diri yang meng-ada dan eksis dalam gaya hidup tersebut. Jika dulu Martin Heidegner pernah mempersoalkan pendapat Rene Descartes yang mengatakan Saya berpikir maka saya ada, yang menurut Heidegner lebih tepat Saya ada, maka saya 31

32 bergaya. Manusia di dunia, mengalami keterlemparan (faktizitat) di satu kultur yang memaksanya untuk bergaya. Manusi bergerak dalam tanda-tanda yang berkemampuan melekatkan pada dirinya suatu diskursus tertentu yang mampu meminjaminya sebuah identitas. Pada tataran kehidupan tertentu, diskursus ini menjadikan gaya hidup ketika diambil dan diangkat dalam kesadaran berperilaku. Gaya hidup, dengan demikian memanifestasikan dirinya selalu dalam ranah kesadaran. Meski dorongan bergaya bisa jadi memang berasal dari ranah ketidaksadaran. David Chaney pernah mengatakan bahwa gaya hidup adalah seperangkat praktik dan sikap yang masuk akal dalam konteks tertentu (David Chaney, Lifestyle: Sebuah Pengantar paling Komprehensif, terj. Nuraeni, Yogyakarta & Bandung: Jalasutra, 2004, hlm. 41). Lain lagi bagi Sobel yang mengatakan bahwa gaya hidup adalah setiap cara kehidupan yang khas, dan karena itu dapat dikenali. Gaya hidup berjalan sebagai seperangkat ekspektasi yang bertindak sebagai suatu bentuk kontrol terkendali terhadap munculnya ketidakpastian sosial masyarakat massa (mass society) (David Chaney, Lifestyle: Sebuah Pengantar paling Komprehensif, terj. Nuraeni, Yogyakarta & Bandung: Jalasutra, 2004, hlm. 50). Dari sinilah memunculkan dua macam mainstream gaya hidup, yaitu yang mengikuti arus gaya hidup global (diferensiasi) dan yang melawan/ resisten terhadap gaya hidup global (alternatif). Manusia bisa memilih untuk mengambil identitas atau justru membuat identitas baru. Dalam teori identitas sosial, seorang individu tidaklah dianggap sebagai individu secara mutlak satu dalam kehidupannya. Individu merupakan bagian dari 32

33 kelompok tetentu baik disadari maupun tidak disadari. Konsep identitas sosial adalah bagaimana seseorang itu secara sosial dapat didefinisikan. Giddens (2005) menyatakan bahwa dengan sosialisasi individu dapat mengembangakan identitas dan kemampuan berpikir yang independen dalam tindakannya. Konsep identitas dalam sosiologi adalah hal multi makna, dan dapat didekati dengan beberapa cara. Secara garis besar, identitas berkaitan dengan pemahaman orang mengenai siapa mereka dan apa yang bermakna bagi mereka. Beberapa sumber utama identitas meliputi jenis kelamin, orientasi seksual, kebangsaan atau etnis, dan kelas sosial. Ada dua jenis identitas yang sering dibicarakan para ahli sosiologi menurut Giddens yakni identitas sosial dan identitas diri (atau identitas pribadi). Bentuk-bentuk identitas yang dianalitis berbeda, tetapi terkait erat satu sama lain. Identitas sosial mengacu pada karakteristik yang dikaitkan dengan individu oleh orang lain di mana hal ini kerap terjadi pada individu dalam kelompok. Ini dapat dilihat sebagai penanda yang menunjukkan siapa, dalam arti dasar, orang itu. Pada saat yang sama, mereka menempatkan orang tersebut dalam kaitannya dengan orang lain yang berbagi atribut yang sama. Identitas social itu melibatkan dimensi kolektif. Identitas bersama didasarkan pada seperangkat tujuan bersama, nilai-nilai atau pengalaman dapat membentuk dasar penting untuk gerakan social. Jika identitas sosial menandai cara di mana individu adalah sama seperti orang lain, identitas diri (atau identitas pribadi) membedakan seseorang sebagai 33

BAB V PENUTUP. menengah perkotaan, mereka menyadari bahwa penampilan memegang peranan

BAB V PENUTUP. menengah perkotaan, mereka menyadari bahwa penampilan memegang peranan BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Sebagai komunitas yang dibentuk berdasarkan kesadaran religious, Komunitas Hijabers Yogyakarta ingin menampilkan sebuah identitas baru yaitu berbusana yang modis tapi tetap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Religiusitas erat kaitannya dengan keyakinan terhadap nilai-nilai keislaman dan selalu diidentikkan dengan keberagamaan. Religiusitas dalam kehidupan seseorang

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. dalam hal ini yaitu kota Yogyakarta bertujuan untuk melihat pola-pola yang

BAB IV PENUTUP. dalam hal ini yaitu kota Yogyakarta bertujuan untuk melihat pola-pola yang BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Penelitian mengenai terjadinya variasi penggunaan hijab di masyarakat perkotaan, dalam hal ini yaitu kota Yogyakarta bertujuan untuk melihat pola-pola yang menimbulkan pembentukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Secara etimologis, dalam Oxford English Dictonary (OED),

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Secara etimologis, dalam Oxford English Dictonary (OED), 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara etimologis, dalam Oxford English Dictonary (OED), Fashion is good place to start as any, dari bahasa latin Faction yang berarti make or to do. Sementara itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Tampil cantik dan modis dengan gaya elegan, feminine, atau simple kini dapat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Tampil cantik dan modis dengan gaya elegan, feminine, atau simple kini dapat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tampil cantik dan modis dengan gaya elegan, feminine, atau simple kini dapat dinikmati dalam balutan busana muslimah, Anak muda sekarang kian menggemari tren busana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Islam menyerukan seorang wanita muslimah untuk mengulurkan jilbab-jilbab

I. PENDAHULUAN. Islam menyerukan seorang wanita muslimah untuk mengulurkan jilbab-jilbab 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di dalam kehidupan seorang muslimah, menutup aurat merupakan sebuah kewajiban yang tidak dapat dihindari. Dalam menutup aurat tersebut, ajaran Islam menyerukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mengenakan jilbab atau kerudung sudah menjadi sesuatu yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mengenakan jilbab atau kerudung sudah menjadi sesuatu yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Siapa yang tidak mengenal istilah jilbab? Jilbab atau kerudung merupakan istilah yang sudah tidak asing bagi masyarakat Indonesia. Di Indonesia mengenakan jilbab atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memberikan identitas kultural terhadap seseorang (Jayanti, 2008: 48).

BAB I PENDAHULUAN. memberikan identitas kultural terhadap seseorang (Jayanti, 2008: 48). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan dunia fashion terus mengalami kemajuan sehingga menghasilkan berbagai trend mode dan gaya. Hal ini tidak luput dari kemajuan teknologi dan media sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu kecantikan ragawi dan juga inner beauty atau kecantikan dari dalam.

BAB I PENDAHULUAN. yaitu kecantikan ragawi dan juga inner beauty atau kecantikan dari dalam. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Keindahan dan kecantikan seorang perempuan bersumber dari dua arah, yaitu kecantikan ragawi dan juga inner beauty atau kecantikan dari dalam. Kecantikan dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia selalu memiliki rasa untuk terus bersama dengan orang lain. Hal ini dikemukakan oleh seorang tokoh sosiologi dunia, Aristoteles (384-322 SM) dalam buku Sosiologi

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA KONSTRUKSI DAN REPRESENTASI GAYA HIDUP MUSLIMAH PERKOTAAN : STUDI KASUS PADA HIJABERS COMMUNITY DI JAKARTA

UNIVERSITAS INDONESIA KONSTRUKSI DAN REPRESENTASI GAYA HIDUP MUSLIMAH PERKOTAAN : STUDI KASUS PADA HIJABERS COMMUNITY DI JAKARTA KONSTRUKSI DAN REPRESENTASI GAYA HIDUP MUSLIMAH PERKOTAAN : STUDI KASUS PADA HIJABERS COMMUNITY DI JAKARTA SKRIPSI Ayu Agustin Nursyahbani 0806347656 FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK SOSIOLOGI DEPOK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia. Sebagian besar penghuni planet bumi kita dengan berbagai latar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia. Sebagian besar penghuni planet bumi kita dengan berbagai latar 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Agama merupakan hal yang boleh dikatakan universal dalam hidup manusia. Sebagian besar penghuni planet bumi kita dengan berbagai latar belakang lingkungan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tahun 2005 merupakan tahun saat penulis memasuki masa remaja awal, yakni 15 tahun dan duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Pada saat itu, masa remaja

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan berkomunikasi dengan manusia lainnya dalam kehidupan sehari-hari, baik itu

I. PENDAHULUAN. dan berkomunikasi dengan manusia lainnya dalam kehidupan sehari-hari, baik itu 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia merupakan makhluk sosial, oleh sebab itu manusia pasti berinteraksi dan berkomunikasi dengan manusia lainnya dalam kehidupan sehari-hari, baik itu secara langsung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bagi kemajuan suatu bangsa. Masa anak-anak disebut-sebut sebagai masa. yang panjang dalam rentang kehidupan.

BAB I PENDAHULUAN. bagi kemajuan suatu bangsa. Masa anak-anak disebut-sebut sebagai masa. yang panjang dalam rentang kehidupan. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak merupakan karunia terbesar bagi keluarga, agama, bangsa, dan negara. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah penerus citacita bagi kemajuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. gaya berbusana, atau fashion secara etimologis fashion berasal dari bahasa Latin

BAB I PENDAHULUAN. gaya berbusana, atau fashion secara etimologis fashion berasal dari bahasa Latin BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Dalam kehidupan manusia tidak akan pernah lepas dari yang namanya gaya berbusana, atau fashion secara etimologis fashion berasal dari bahasa Latin factio,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. hidup tanpa bantuan orang lain untuk melakukan hubungan atau interaksi dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. hidup tanpa bantuan orang lain untuk melakukan hubungan atau interaksi dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di era globalisasi ini, manusia pada dasarnya akan merasakan kesulitan jika hidup tanpa bantuan orang lain untuk melakukan hubungan atau interaksi dan melanjutkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (http://kbbi.web.id/jilbab). Pada zaman orde baru pemerintah melarang

BAB I PENDAHULUAN. (http://kbbi.web.id/jilbab). Pada zaman orde baru pemerintah melarang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk muslim terbanyak di dunia sehingga banyak ditemui perempuan muslim Indonesia menggunakan jilbab,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bidang usaha yang sasaran utamanya untuk remaja khususnya mahasiswa, misalnya

BAB I PENDAHULUAN. bidang usaha yang sasaran utamanya untuk remaja khususnya mahasiswa, misalnya BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Yogyakarta merupakan kota dengan jumlah mahasiswa yang sangat banyak sehingga tidak heran jika beragam karakteristik kebudayaan ada di kota tersebut. Banyak mahasiswa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Konteks Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Konteks Masalah 13 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah Jilbab merupakan jenis pakaian yang memiliki arti sebagai kerudung lebar yang dipakai wanita muslim untuk menutupi kepala dan leher sampai dada (kbbiweb.id). Jilbab

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Semakin berkembangnya zaman di era modern kebutuhan akan dunia fashion

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Semakin berkembangnya zaman di era modern kebutuhan akan dunia fashion BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Semakin berkembangnya zaman di era modern kebutuhan akan dunia fashion kini merambah begitu besar. Para pelaku bisnis dan perancang busana berlombalomba untuk menciptakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wanita muslim umumnya identik dengan hijab. Dalam agama Islam,

BAB I PENDAHULUAN. Wanita muslim umumnya identik dengan hijab. Dalam agama Islam, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wanita muslim umumnya identik dengan hijab. Dalam agama Islam, berhijab diwajibkan bagi perempuan untuk menjaga fitrahnya. Adapun pengertian hijab ini sebenarnya sangat

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN. dalam kehidupan masyarakat. Gaya hidup yang menjadi pilihan bebas bagi

BAB VI KESIMPULAN. dalam kehidupan masyarakat. Gaya hidup yang menjadi pilihan bebas bagi BAB VI KESIMPULAN Kajian media dan gaya hidup tampak bahwa pengaruh media sangat besar dalam kehidupan masyarakat. Gaya hidup yang menjadi pilihan bebas bagi masyarakat tidak lain merupakan hasil dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan kebudayaan, perubahan dalam

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan kebudayaan, perubahan dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemikiran Perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan kebudayaan, perubahan dalam kebudayaan mencakup semua bagiannya yaitu : kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Yogyakarta dikenal banyak orang dengan

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Yogyakarta dikenal banyak orang dengan BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Yogyakarta merupakan kota yang terletak di tengah-tengah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Yogyakarta dikenal banyak orang dengan sebutan Kota Budaya. Dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tersebut tentu saja membawa dampak dalam kehidupan manusia, baik dampak

BAB I PENDAHULUAN. tersebut tentu saja membawa dampak dalam kehidupan manusia, baik dampak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Semakin berkembangnya zaman telah menunjukkan kemajuan yang tinggi dalam berbagai aspek kehidupan. Selain menunjukkan kemajuan juga memunculkan gaya hidup baru

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah terkaya jika di bandingkan dengan negeri-negeri muslim lainya.

BAB I PENDAHULUAN. daerah terkaya jika di bandingkan dengan negeri-negeri muslim lainya. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia jumlah muslimnya terbesar dan keanekaragaman budaya daerah terkaya jika di bandingkan dengan negeri-negeri muslim lainya. Oleh karena itu konsep

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling bergaul, atau dengan

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling bergaul, atau dengan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling bergaul, atau dengan istilah ilmiah, saling berinteraksi. Suatu kesatuan manusia dapat mempunyai prasarana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mereka sangat memperhatikan penampilan selain menunjukan jati diri ataupun

BAB I PENDAHULUAN. Mereka sangat memperhatikan penampilan selain menunjukan jati diri ataupun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kaum wanita adalah kaum yang sangat memperhatikan penampilan. Mereka sangat memperhatikan penampilan selain menunjukan jati diri ataupun identitas, penampilan juga sebagai

Lebih terperinci

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis menyimpulkan inti permasalahan yang dihadapi, sebagai berikut :.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis menyimpulkan inti permasalahan yang dihadapi, sebagai berikut :. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Fashion, sepintas adalah mengenai pakaian atau busana. Jika kita berbicara tentang pakaian, hal tersebut merupakan sesuatu yang sangat dekat dengan diri kita.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Keadaan modern (modernitas) adalah berkaitan dengan suatu keadaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Keadaan modern (modernitas) adalah berkaitan dengan suatu keadaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keadaan modern (modernitas) adalah berkaitan dengan suatu keadaan di mana segala sistem kemasyarakatan yang bersifat tradisional dilepaskan menjadi tatanan yang mengimplikasikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan terkait dengan tren yang sedang berlaku. Masyarakat sudah menyadari

BAB I PENDAHULUAN. dan terkait dengan tren yang sedang berlaku. Masyarakat sudah menyadari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perubahan globalisasi telah membawa pengaruh besar terhadap perkembangan ekonomi dunia. Pesatnya pangsa pasar yang disebabkan oleh semakin dinamisnya perokonomian

Lebih terperinci

2015 HUBUNGAN RELIGIUSITAS DENGAN PERILAKU KONSUMTIF PADA MAHASISWI TINGKAT AWAL DI UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI) BANDUNG

2015 HUBUNGAN RELIGIUSITAS DENGAN PERILAKU KONSUMTIF PADA MAHASISWI TINGKAT AWAL DI UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI) BANDUNG 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Religiusitas adalah suatu keadaan yang mendorong diri seseorang untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya terhadap agama yang dipeluknya. Religiusitas

Lebih terperinci

Ideologi dan identitas..., Muchamad Sidik Roostandi, FIB UI, Universitas Indonesia

Ideologi dan identitas..., Muchamad Sidik Roostandi, FIB UI, Universitas Indonesia terdapat proses pertukaran (exchange) antara kapital yang dimiliki konsumen dengan nilai simbolik (dan juga nilai materi: uang) yang terkandung dalam suatu produk. Sementara pada kasus Bu Lani dan Pak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring berkembangnya zaman dari waktu ke waktu, yang diiringi dengan perkembangan ilmu dan tekhnologi, telah membawa manusia kearah modernisasi dan globalisasi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Seiring dengan berkembangnya era globalisasi saat ini, negara-negara di dunia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Seiring dengan berkembangnya era globalisasi saat ini, negara-negara di dunia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan berkembangnya era globalisasi saat ini, negara-negara di dunia termasuk Indonesia. Globalisasi tersebut membuat berbagai perubahan-perubahan yang

Lebih terperinci

BAB IV. Mahasiswi Berjilbab di FKIP- PGSD UKSW Salatiga

BAB IV. Mahasiswi Berjilbab di FKIP- PGSD UKSW Salatiga BAB IV Mahasiswi Berjilbab di FKIP- PGSD UKSW Salatiga UKSW merupakan satu-satunya Universitas Swasta yang ada di kota Salatiga. Kebanyakan masyarakat mengeanal UKSW sebagai Indonesia mini. Karena didalamnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada dasarnya mengundang kekaguman pria. M.Quraish Shihab hlm 46

BAB I PENDAHULUAN. pada dasarnya mengundang kekaguman pria. M.Quraish Shihab hlm 46 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Jilbab berasal dari bahasa Arab yang jamaknya jalaabiib yang artinya pakaian yang lapang atau luas. Pengertiannya adalah pakaian yang lapang dan dapat menutup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tengok saja majalah, koran, radio, acara televisi, sampai media online

BAB I PENDAHULUAN. Tengok saja majalah, koran, radio, acara televisi, sampai media online BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Media massa di zaman ini telah menjadi bagian wajib dari kehidupan manusia. Sadar atau tidak, media massa telah menempati posisi penting untuk memuaskan kebutuhan manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Life style atau gaya hidup, salah satu unsur penting di kalangan masyarakat modern. Gaya hidup sudah menjadi bagian dari salah satu ciri-ciri masyarakat modern, yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan mayoritas penduduk muslim.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan mayoritas penduduk muslim. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan mayoritas penduduk muslim. Jumlah pemeluk agama Islam di Indonesia pada tahun 2010 sekitar 217 juta jiwa dari total penduduk

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA TEORI. yang ditandai dengan konsumsi terhadap simbol gaya hidup yang sama. Ketika

BAB II KERANGKA TEORI. yang ditandai dengan konsumsi terhadap simbol gaya hidup yang sama. Ketika BAB II KERANGKA TEORI 2.1. Gaya hidup Menurut Max Weber, gaya hidup merupakan persamaan status kehormatan yang ditandai dengan konsumsi terhadap simbol gaya hidup yang sama. Ketika seorang individu berada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memaknai bahwa kebudayaan itu beragam. Keragamannya berdasarkan norma norma serta

BAB I PENDAHULUAN. memaknai bahwa kebudayaan itu beragam. Keragamannya berdasarkan norma norma serta BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kebudayaan sebagai warisan leluhur yang dimiliki oleh masyarakat setempat, hal ini memaknai bahwa kebudayaan itu beragam. Keragamannya berdasarkan norma norma serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Teknologi komunikasi yang semakin maju dan berkembang pesat memberikan berbagai pengaruh bagi para penggunanya. Dalam pengembangannya teknologi memberikan kelebihan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merasa dibawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkat

BAB I PENDAHULUAN. merasa dibawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam perkembangan kepribadian seseorang maka remaja mempunyai arti yang khusus. Secara psikologis masa remaja adalah usia dimana anak tidak lagi merasa dibawah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam era-modernisasi negara Indonesia pada saat ini sudah

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam era-modernisasi negara Indonesia pada saat ini sudah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam era-modernisasi negara Indonesia pada saat ini sudah mencapai tahap pemikiran yang sangat modern. Pada konteks sejarah manusia, tercatat beberapa kali telah terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pakaian merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia selain papan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pakaian merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia selain papan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pakaian merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia selain papan dan pangan, hal tersebut sangat penting bagi manusia untuk menutup bagian bagian tubuh manusia. Perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengalami perkembangan. Tidak hanya dikalangan remaja, namun ibu-ibu juga

BAB I PENDAHULUAN. mengalami perkembangan. Tidak hanya dikalangan remaja, namun ibu-ibu juga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada saat sekarang ini penggunaan hijab dikalangan remaja telah mengalami perkembangan. Tidak hanya dikalangan remaja, namun ibu-ibu juga menggunakannya dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemunculannya sebuah kebudayaan baru yang kelihatan lebih atraktif,

BAB I PENDAHULUAN. kemunculannya sebuah kebudayaan baru yang kelihatan lebih atraktif, BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Tergesernya budaya setempat dari lingkungannya disebabkan oleh kemunculannya sebuah kebudayaan baru yang kelihatan lebih atraktif, fleksibel dan mudah dipahami sebagian

Lebih terperinci

PERAN MEDIA SOSIAL TERHADAP GAYA HIDUP SISWA SMA NEGERI 5 BANDUNG

PERAN MEDIA SOSIAL TERHADAP GAYA HIDUP SISWA SMA NEGERI 5 BANDUNG Elsa Puji Juwita, Peran Media Sosial terhadap Gaya Hidup Siswa PERAN MEDIA SOSIAL TERHADAP GAYA HIDUP SISWA SMA NEGERI 5 BANDUNG Elsa Puji Juwita 1, Dasim Budimansyah 2, Siti Nurbayani 3 1 SMA PGRI Bandung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ini. Globalisasi adalah ketergantungan dan keterkaitan antar manusia dan antar bangsa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ini. Globalisasi adalah ketergantungan dan keterkaitan antar manusia dan antar bangsa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Era globalisasi merupakan era yang tengah berkembang dengan pesat pada zaman ini. Globalisasi adalah ketergantungan dan keterkaitan antar manusia dan antar bangsa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. masyarakatnya, terutama pada kaum perempuan. Sebagian besar kaum perempuan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. masyarakatnya, terutama pada kaum perempuan. Sebagian besar kaum perempuan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menururt Waspodo (2014) Negara Indonesia merupakan negara muslim terbesar di dunia, meskipun hanya 88% penduduknya beragama Islam. Besarnya jumlah pemeluk agama Islam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gaya hidup merupakan gambaran bagi setiap orang yang mengenakannya dan menggambarkan seberapa besar nilai moral dalam masyarakat disekitarnya, menurut Suratno dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diwajibkan bagi perempuan untuk menjaga fitrahnya. Berhijab adalah. Sebagaimana kewajiban berhijab dalam Al-Qur'an Q.

BAB I PENDAHULUAN. diwajibkan bagi perempuan untuk menjaga fitrahnya. Berhijab adalah. Sebagaimana kewajiban berhijab dalam Al-Qur'an Q. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia, hijab yang lebih sering merujuk pada kerudung atau jilbab ditunjukkan sebagai sesuatu yang selalu digunakan untuk menutupi bagian kepala hingga dada wanita.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kaum hawa. Bahkan kebanyakan dari mereka merasa bangga dengan

BAB I PENDAHULUAN. kaum hawa. Bahkan kebanyakan dari mereka merasa bangga dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan globalisasi telah membawa pengaruh besar terhadap perkembangan ekonomi dunia. Pesatnya pangsa pasar yang disebabkan oleh semakin dinamisnya perokonomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Zenitha Vega Fauziah, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Zenitha Vega Fauziah, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh anggota masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengindentifikasi diri (KBBI, 2008:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Semenjak media massa dikenal mampu menjangkau khalayak dengan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Semenjak media massa dikenal mampu menjangkau khalayak dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Semenjak media massa dikenal mampu menjangkau khalayak dengan wilayah yang luas, pertumbuhan media dari waktu kewaktu semakin menunjukan peningkatan. Keberadaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kecantikan pada kulit wajah dan tubuh sudah menjadi prioritas utama dalam

BAB I PENDAHULUAN. kecantikan pada kulit wajah dan tubuh sudah menjadi prioritas utama dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada saat ini penampilan menjadi suatu perhatian utama bagi seluruh kalangan terlebih pada kaum wanita. Setiap wanita selalu berkeinginan untuk memiliki penampilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa. Negara Indonesia di masa yang lampau sebelum. masa kemerdekaan media massa belum bisa dinikmati oleh semua

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa. Negara Indonesia di masa yang lampau sebelum. masa kemerdekaan media massa belum bisa dinikmati oleh semua BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Balakang Masalah Media massa sudah menjadi bagian hidup bagi semua orang. Tidak dikalangan masyarakat atas saja media massa bisa diakses, akan tetapi di berbagai kalangan masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan zaman, teknologi dan. mengakibatkan berbagai perilaku manusia sebagai konsumen semakin mengalami

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan zaman, teknologi dan. mengakibatkan berbagai perilaku manusia sebagai konsumen semakin mengalami 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan zaman, teknologi dan pola pikir manusia mengakibatkan berbagai perilaku manusia sebagai konsumen semakin mengalami banyaknya perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan fashion dibidang aksesoris jilbab dengan manik, kristal dan

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan fashion dibidang aksesoris jilbab dengan manik, kristal dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan fashion dibidang aksesoris jilbab dengan manik, kristal dan peniti saat ini semakin pesat. Bisa dikatakan kerajinan yang sudah ada sejak dulu ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. komunitas-komunitas hijabers di Indonesia. 1. Sebagai sebuah perkumpulan, komunitas hijabers mempunyai ciri

BAB I PENDAHULUAN. komunitas-komunitas hijabers di Indonesia. 1. Sebagai sebuah perkumpulan, komunitas hijabers mempunyai ciri BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gaung perkembangan fashion muslim belakangan ini memang kian terdengar. Fashion muslim terus melakukan transformasi dari gaya konservatif menjadi lebih kontemporer

Lebih terperinci

HARAJUKU STYLE : KREATIVITAS DAN NILAI-NILAI HIDUP PARA PELAKU SENI COSPLAY PADA KOMUNITAS HARJUKJA DI KOTA SOLO

HARAJUKU STYLE : KREATIVITAS DAN NILAI-NILAI HIDUP PARA PELAKU SENI COSPLAY PADA KOMUNITAS HARJUKJA DI KOTA SOLO HARAJUKU STYLE : KREATIVITAS DAN NILAI-NILAI HIDUP PARA PELAKU SENI COSPLAY PADA KOMUNITAS HARJUKJA DI KOTA SOLO SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Mencapai Derajat Sarjana S 1 Psikologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antara individu dengan individu maupun kelompok. Interaksi sosial terjadi. pada setiap usia dan gender pada manusia.

BAB I PENDAHULUAN. antara individu dengan individu maupun kelompok. Interaksi sosial terjadi. pada setiap usia dan gender pada manusia. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan individu lainnya untuk hidup. Dalam kehidupan setiap hari manusia selalu bertemu dengan manusia lainnya yang

Lebih terperinci

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR UMB IRA PURWITASARI S.SOS KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR UMB IRA PURWITASARI S.SOS KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA budayanya secara linear dalam tahap media informasi yang seni pertunjukkannya, ritualnya, dan lisannya berproses menuju media cetak dan media membaca, industri elektronika dari Negara maju telah menodong

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pakaian merupakan kebutuhan dasar yang memiliki beragam. makna bagi manusia. Pakaian tidak hanya berfungsi sebagai pelindung

I. PENDAHULUAN. Pakaian merupakan kebutuhan dasar yang memiliki beragam. makna bagi manusia. Pakaian tidak hanya berfungsi sebagai pelindung I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pakaian merupakan kebutuhan dasar yang memiliki beragam makna bagi manusia. Pakaian tidak hanya berfungsi sebagai pelindung tubuh, tetapi juga berfungsi sebagai identitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diakses dalam hitungan detik, tidak terkecuali dengan perkembangan dunia fashion yang

BAB I PENDAHULUAN. diakses dalam hitungan detik, tidak terkecuali dengan perkembangan dunia fashion yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan zaman yang semakin cepat ini, mempercepat pula perkembangan informasi di era global ini. Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini dapat begitu mudahnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Televisi merupakan salah satu alat media massa yang paling digemari oleh masyarakat. Karena televisi telah ada di tengah-tengah lingkungan masyarakat. Televisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Menurut Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 32 Tentang Kebudayaan ayat 1 bahwa Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengubah pola perilaku konsumsi masyarakat. Globalisasi merupakan

BAB I PENDAHULUAN. mengubah pola perilaku konsumsi masyarakat. Globalisasi merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Era globalisasi merupakan perubahan global yang melanda seluruh dunia. Dampak yang terjadi sangatlah besar terhadap berbagai aspek kehidupan manusia di semua lapisan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 2016). Belakangan ini, fenomena perkembangan fashion yang sedang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. 2016). Belakangan ini, fenomena perkembangan fashion yang sedang menjadi BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia merupakan Negara Muslim terbesar didunia, dengan jumlah penduduk Muslim mencapai 88% atau ± 205 juta jiwa (Indonesia halal food expo, 2016). Belakangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam kegiatan ekonomi melibatkan produksi, distribusi, pertukaran dan

BAB I PENDAHULUAN. dalam kegiatan ekonomi melibatkan produksi, distribusi, pertukaran dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masyarakat merupakan pelaku kegiatan ekonomi dimana masyarakat memenuhi kebutuhan hidup mereka terhadap barang dan jasa. Masyarakat dalam kegiatan ekonomi melibatkan

Lebih terperinci

Pertama-tama izinkanlah, saya mengucapkan terima kasih atas kesediaan anda untuk membaca buku ini. Mudah-mudahan ucapan ini bukan sekadar basa-basi

Pertama-tama izinkanlah, saya mengucapkan terima kasih atas kesediaan anda untuk membaca buku ini. Mudah-mudahan ucapan ini bukan sekadar basa-basi Pendahuluan Pertama-tama izinkanlah, saya mengucapkan terima kasih atas kesediaan anda untuk membaca buku ini. Mudah-mudahan ucapan ini bukan sekadar basa-basi yang mungkin sudah mengemuka dalam setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peran Berita Politik Dalam Surat Kabar Pikiran Rakyat Terhadap Pengetahuan Politik Mahasiswa Ilmu Sosial se-kota Bandung

BAB I PENDAHULUAN. Peran Berita Politik Dalam Surat Kabar Pikiran Rakyat Terhadap Pengetahuan Politik Mahasiswa Ilmu Sosial se-kota Bandung BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi di era globalisasi ini, terutama teknologi informasi dan komunikasi yang semakin berkembang dengan cepat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Modernisasi yang dipelopori oleh negara-negara Barat tak bisa dipungkiri

BAB I PENDAHULUAN. Modernisasi yang dipelopori oleh negara-negara Barat tak bisa dipungkiri BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Modernisasi yang dipelopori oleh negara-negara Barat tak bisa dipungkiri berpengaruh sangat besar terhadap perkembangan negara-negara lain di dunia, tak terkecuali

Lebih terperinci

2016 PENGARUH POLA ASUH ORANG TUA TERHAD AP GAYA HID UP SISWA SMA LABORATORIUM PERCONTOHAN UPI

2016 PENGARUH POLA ASUH ORANG TUA TERHAD AP GAYA HID UP SISWA SMA LABORATORIUM PERCONTOHAN UPI 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Generasi muda memiliki peranan penting sebagai penerus bangsa untuk memberikan kontribusinya di masa yang akan datang. Sehingga perlu ditanamkan nilai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ini bisa dilihat dengan begitu maraknya shopping mall atau pusat

BAB I PENDAHULUAN. Ini bisa dilihat dengan begitu maraknya shopping mall atau pusat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan fashion, model busana, rancangan pakaian, gaya kostum dan lain-lain di Indonesia sudah sampai dititik yang mengesankan. Ini bisa dilihat dengan begitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diiringi dengan tingkat pendapatan yang semakin meningkat, akan sangat

BAB I PENDAHULUAN. diiringi dengan tingkat pendapatan yang semakin meningkat, akan sangat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Perkembangan zaman yang semakin modern, teknologi yang berkembang pesat serta kehidupan manusia yang dinamis selalu berubah diiringi dengan tingkat pendapatan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. manusia dan media. Baudrillard banyak mengkaji tentang fenomena media,

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. manusia dan media. Baudrillard banyak mengkaji tentang fenomena media, 1 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Pemikiran Baudrillard mendasarkan diri pada beberapa asumsi hubungan manusia dan media. Baudrillard banyak mengkaji tentang fenomena media, terutama peran media elektronik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rambut dan tata rias wajah yang mengusung gaya ketimuran khususnya tren

BAB I PENDAHULUAN. rambut dan tata rias wajah yang mengusung gaya ketimuran khususnya tren BAB I PENDAHULUAN Penelitian ini menjelaskan mengenai rencana bisnis salon perawatan rambut dan tata rias wajah Korean Beauty. Salon ini merupakan salon perawatan rambut dan tata rias wajah yang mengusung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jilbab. Selain dari perkembangan fashion atau mode, jilbab juga identik dengan

BAB I PENDAHULUAN. jilbab. Selain dari perkembangan fashion atau mode, jilbab juga identik dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Penelitian Fashion atau mode saat ini semakin berkembang di Indonesia, begitu pula dengan perkembangan jilbab. Saat ini semakin banyak wanita yang memakai jilbab. Selain dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sebagaimana telah disebutkan dalam ayat Al-Qur an. Jilbab diambil dari bahasa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sebagaimana telah disebutkan dalam ayat Al-Qur an. Jilbab diambil dari bahasa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penggunaan jilbab merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslimah sebagaimana telah disebutkan dalam ayat Al-Qur an. Jilbab diambil dari bahasa Arab yang artinya baju

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor industri sepatu di era globalisasi seperti sekarang ini berada dalam persaingan yang semakin ketat. Terlebih lagi sejak tahun 2010 implementasi zona perdagangan

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. mengambil posisi di ranah perbukuan Indonesia pasca-orde Baru. Praktik

BAB IV PENUTUP. mengambil posisi di ranah perbukuan Indonesia pasca-orde Baru. Praktik BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Generasi 90an merupakan karya yang membuat Marchella masuk dan mengambil posisi di ranah perbukuan Indonesia pasca-orde Baru. Praktik Marchella sebagai penulis, yakni meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Punk lahir di Inggris pada pada akhir 70an sebagai budaya tandingan dari budaya mainstream pada zamannya. Dipicu sebuah perasaan yang menjadi rahasia umum dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan pengindonesiaan dari kata tattoo yang berarti goresan, gambar, atau

BAB I PENDAHULUAN. merupakan pengindonesiaan dari kata tattoo yang berarti goresan, gambar, atau BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Perkembangan kebutuhan hidup manusia yang dipicu oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi terus mengalami perkembangan dari zaman ke zaman. Semakin banyaknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Media massa menjadi entertainer (penghibur) yang hebat karena bisa mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. Media massa menjadi entertainer (penghibur) yang hebat karena bisa mendapatkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini media massa mengalami perkembangan yang sangat pesat, dimana kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari peranan media. Media massa menjadi sangat penting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cetak seperti majalah, koran, buklet, poster, tabloid, dan sebagainya. Walaupun

BAB I PENDAHULUAN. cetak seperti majalah, koran, buklet, poster, tabloid, dan sebagainya. Walaupun BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Dalam era informasi sekarang ini, kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari peran media. Dari zaman ke zaman media massa mengalami perkembangan yang pesat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di era globalisasi, Indonesia dihadapi dengan berbagai pengaruh, terutama pengaruh

BAB I PENDAHULUAN. Di era globalisasi, Indonesia dihadapi dengan berbagai pengaruh, terutama pengaruh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di era globalisasi, Indonesia dihadapi dengan berbagai pengaruh, terutama pengaruh yang berasal dari luar Indonesia. Globalisasi merupakan istilah yang semakin gencar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Sarlito (2013) batasan umum usia remaja adalah tahun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Sarlito (2013) batasan umum usia remaja adalah tahun 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Sarlito (2013) batasan umum usia remaja adalah 11 24 tahun dan belum menikah untuk remaja Indonesia dengan pertimbangan usia 11 tahun adalah usia ketika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Komunikasi merupakan suatu kebutuhan pokok setiap manusia, karena

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Komunikasi merupakan suatu kebutuhan pokok setiap manusia, karena BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Komunikasi merupakan suatu kebutuhan pokok setiap manusia, karena manusia merupakan mahluk sosial yang membutuhkan manusia lain untuk dapat berlangsung hidup.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Penulisan skripsi ini berangkat dari pengamatan dan kesan penulis ketika melihat sikap dan tingkah laku anak muda yang cenderung tidak mengenal dan tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. informasi dan gaya hidup. Globalisasi ditandai dengan pesatnya perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. informasi dan gaya hidup. Globalisasi ditandai dengan pesatnya perkembangan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan teknologi yang begitu pesat, maka dengan sendirinya akan menimbulkan adanya perubahan di segala bidang seperti mode, informasi

Lebih terperinci

BAB 4 KESIMPULAN. Nonton bareng..., Rima Febriani, FIB UI, Universitas Indonesia

BAB 4 KESIMPULAN. Nonton bareng..., Rima Febriani, FIB UI, Universitas Indonesia dibayar. Di Eropa tempat duduk seperti ini biasanya dihuni petinggi klub, pejabat, atau konglomerat sementara suporter biasa duduk di tempat biasa. Ada pula semacam anggapan yang berlaku bahwa suporter

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. namun memiliki keuangan yang terbatas. Saat berbelanja di Boutique

BAB VI PENUTUP. namun memiliki keuangan yang terbatas. Saat berbelanja di Boutique 1 BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian di lapangan dapat disimpulkan bahwa pakaian bekas merupakan suatu fenomena yang sudah tidak asing lagi dikalangan mahasiswa, khususnya mahasiswa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam memprediksikan perilaku pembelian konsumen terhadap suatu

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam memprediksikan perilaku pembelian konsumen terhadap suatu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perilaku seseorang dapat dikatakan sesuatu yang unik, karena pilihan, kesukaan dan sikap terhadap obyek setiap orang berbeda. Selain itu konsumen berasal dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Teknologi komunikasi yang semakin maju dan berkembang akan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Teknologi komunikasi yang semakin maju dan berkembang akan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Teknologi komunikasi yang semakin maju dan berkembang akan menumbuhkan berbagai pengaruh bagi penggunanya. Masyarakat dituntut untuk lebih mampu memanfaatkan teknologi

Lebih terperinci

BAB. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Bandung sebagai pusat fesyen di tanah air selalu menjadi daya tarik para wisatawan untuk berkunjung, terutama di akhir pekan atau hari libur. Banyaknya Factory

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan. Media massa (media cetak, media elektronik dan media bentuk baru)

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan. Media massa (media cetak, media elektronik dan media bentuk baru) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan Media massa (media cetak, media elektronik dan media bentuk baru) sangat berperan penting dalam terjadinya proses komunikasi massa dalam masyarakat. Menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkembang dengan cepat tak terkecuali busana muslim. Desain-desain baru

BAB I PENDAHULUAN. berkembang dengan cepat tak terkecuali busana muslim. Desain-desain baru BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dinamika pergantian mode dalam fashion yang ada di dunia selalu berkembang dengan cepat tak terkecuali busana muslim. Desain-desain baru bermunculan dengan

Lebih terperinci