PENGGUNAAN KEWENANGAN DISKRESI DALAM PENETAPAN PERATURAN GUBERNUR (KAJIAN TERHADAP PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENGGUNAAN KEWENANGAN DISKRESI DALAM PENETAPAN PERATURAN GUBERNUR (KAJIAN TERHADAP PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT)"

Transkripsi

1 Jurnal Risalah Kenotariatan Volume 2 No. 2, Desember 2021 open access at : Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Mataram This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License PENGGUNAAN KEWENANGAN DISKRESI DALAM PENETAPAN PERATURAN GUBERNUR (KAJIAN TERHADAP PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT) Sofwan, Rusnan, Haeruman, & Johannes Johny Koinja Fakultas Hukum Universitas Mataram Corresponding sofwaniwanfh@gmail.com Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji tentang penggunaan kewenangan diskresi dalam penetapan Peraturan Gubernur (Kajian terhadap Peraturan Gubernur NusaTenggara Barat). Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dengan menelaah peraturan perundang-undangan dan pendekatan konseptual dengan mengkaji pendapat para ahli yang terkait dengan kewenangan gubernur tentang diskresi dalam pembentukan peraturan gubernur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa banyak peraturan gubernur yang ditetapkan tidak berdasarkan kewenangan delegasi dari peraturan daerah dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, tetapi hanya beralasan bahwa kebutuhan untuk kewenangan bertindak dalam pelaksanaan tugas pemerintahan. Penetapan peraturan gubernur sejenis tersebut harus dilakukan berdasarkan ketentuan tentang penggunaan diskresi yaitu syarat dan tujuan diskresi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB). Selain itu, Penggunaan diskresi Gubernur dalam Pembentukan Peraturan Gubernur, harus dilandasi oleh semangat dan tekad untuk senantiasa mempertanggungjawabkan kebijakan, sikap dan tindakannya. Siapapun yang menggunakan diskresi secara keliru, berarti tidak melandasi diskresi dengan pertanggungjawaban pribadi, korps, serta profesinya. Selain pertanggungjawaban, kaidah hukum, nilai-nilai standar di tengah masyarakat, hak asasi manusia dan lainlain, penggunaan diskresi pun harus diberi landasan mendahulukan kepentingan publik. Prioritas kepentingan publik. Kata Kunci: Gubernur, Diskresi, dan Peraturan Gubernur I. PENDAHULUAN Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pemerintah Daerah berhak dan berwenang melaksanakan otonomi daerah sesuai dengan urusan yang menjadi kewenangannya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Kewenangan Pemerintah Daerah adalah yang berkaitan dengan urusan yang diotomikan kepada daerah. Selain itu, di dalam Lampiran Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 juga diatur tentang pembagian urusan konkuren antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten Kota. Pembagian tersebut dimaksudkan agar ada kejelasan kewenangan dari masing-masing tingkat pemerintahan dalam melaksanakan urusan-urusannya. Untuk melaksanakan urusan otonomi daerah tersebut, Pemerintah Daerah dapat membentuk Peraturan Daerah untuk melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan. Peraturan Daerah tersebut dapat berasal dari inisiatif dari Gubernur DOI :

2 Jurnal Risalah Kenotariatan hlm, 16~30 (Pemerinth Daerah) dan juga dapat berasal dari usul prakarsa Dewan Perwakilan Rakyat untuk dibahas bersama dan pada akhirnya untuk mendapatkan persetujuan bersama. Pembentukan peraturan daerah dilaksanakan dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dirubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 120 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah. Pembentukan dilakukan oleh Gubernur dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Materi muatan suatu peraturan daerah tidak selamanya dapat dimuat dalam peraturan daerah, karena peraturan daerah hanya memuat hal-hal yang pokok-pokok saja, sedangkan materi peraturan daerah yang mudah menyusunnya dan tidak terlalu sulit untuk merubahnya termasuk yang bersifat teknis dapat didelegasikan kepada kepada Peraturan Gubernur untuk mengaturnya. Pendelegasian pengaturan materi tertentu tersebut kepada Peraturan Gubernur merupakan hasil kesepakatan antara Gubernur dan DPRD, sehingga ketika peraturan daerah sudah ditetapkan, dinyatakan berlaku dan diundangkan, maka kewajiban Gubernur untuk segera menetapkan peraturan gubernur sebagai peraturan pelaksana yang menerima pendelegasian kewenangan dari peraturan daerah, karena kalau peraturan gubernur tidak dtetapkan maka peraturan daerah tersebut tidak dapat dilaksanakan secara komprehensif. Namun demikian, realitas dalam pelaksanaan, penetapan peraturan gubernur yang yang tidak didasarkan atas pendelegasian kewenangan pengaturan yang didelegasikan oleh peraturan daerah, bahkan banyak peraturan gubernur yang ditetapkan tidak sebagai delegasi dari peraturan daerah, tetapi didasarkan atas keinginan pemerintah daerah untuk pengaturan terhadap hal-hal yang dibutuhkan sangat mendesak dan tidak mendesak karena harus segera ada dasar hukum dan pedoman bertindak bagi gubernur dalam melaksanakan tugas-tugasnya yang belum ada peraturan yang mengaturnya. Penetapan peraturan gubernur tanpa pendelegasian kewenangan mengatur, dilakukan karena, tetapidapat dilaksanakan dengan menggunakan kewenangan diskresi. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menentukan pengertian Diskreasi adalah keputusan dan/ atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan dalam peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan. 16

3 E-ISSN : X Hasil kajian awal menunjukkan bahwa banyak Peraturan Gubernur Nusa Tenggara Barat yang sudah ditetapkan tidak berdasarkan pendelegasian kewenangan dari peraturan daerah. Peraturan Gubernur yang sudah ditetapkan tersebut secara subyektif ditetapkan oleh Gubernur (Pemerintah Daerah) karena adanya kebutuhan yang mendesak. Apakah peraturan gubernur yang sudah ditetapkan tanpa delegasi dari peraturan daerah atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tersebut merupakan suatu tindakan yang dilakukan didasarkan pada penggunaan kewenangan diskresi dari Gubernur? Oleh karena itu, kuat alasannya untuk melakukan kajian dalam penelitian tentang topik ini sehingga menjadi kajian ilmiah yang outputnya dapat dijadikan rekomendasi kepada Gubernur (Pemerintah Daerah) dalam menetapkan diskresi sehingga penggunaan kewenangan diskresi dalam melaksanakan tugas pemerintahan dan pembangunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. II. METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif menggunakan pendekatan perundang-undangan dengan menelaah peraturan perundang-undangan dan pendekatan konseptual dengan mengkaji pendapat para ahli yang terkait dengan kewenangan gubernur tentang diskresi dalam pembentukan peraturan gubernur, analisis bahan hokum menggunakan penafsiran hukum autentik dan gramatikal. III. LANDASAN TEORI. Teori dan Asas Negara Hukum. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum sebagaimana ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3), sehingga segala tindakan yang dilakukan oleh penyelenggara negara, masyarakat, dan para pembuat peraturan perundang-undangan harus berdasarkan atas hukum, karena penyimpangan dari hukum akan menimbulkan akibat hukum bagi tindakan yang dilakukan oleh para subyek hukum tersebut. Prinsip pemerintahan berdasarkan atas hukum dinamai juga sebagai prinsip legalitas. Prinsip ini merupakan prinsip yang paling umum karena setiap negara modern memilikinya. Dalam kedudukan demikian, prinsip pemerintahan berdasarkan hukum disebut sebagai syarat minimal negara hukum. Secara esensial, prinsip ini berarti bahwa semua tindakan pemerintahan harus didasarkan atau diotorisasi pada dan oleh aturan hukum Hukum merupakan satu-satunya instrumen bagi pemerintahan untuk menjalankan kegiatannya. Cara paling mudah untuk memahami esensi prinsip pemerintahan berdasarkan hukum adalah dengan membuat pernyataan pendukung bahwa aturan hukum tidak didasarkan kepada keputusan atau perkataan seseorang. Dengan 17

4 Jurnal Risalah Kenotariatan hlm, 18~30 mensyaratkan semua tindakan pemerintah berdasarkan aturan hukum, prinsip ini hendak mencegah pemerintah bertindak atas dasar kekuasaan aturan berlandaskan diskresi. Hukum adalah suatu sistem yang merupakan satu kesatuan sistem yang tidak dipisahkan satu sama lain yang terdiri atas 3 (tiga) komponen yang meliputi komponen: a. Struktural, b.substansi, dan c.kultural. Salah satu komponen sistem hukum adalah komponen substansi yaitu isi hukum sebagaimana termuat dalam peraturan perundangundangan. Peraturan merupakan suatu instrumen yang digunakan sebagai dasar bagi pemerintah untuk melaksanakan pemerintahan dan pembangunan, baik mengatur tugas dan wewenang pemerintah maupun untuk meletakkan hak dan kewajiban bagi subyek yang diatur oleh peraturan tersebut yaitu hak dan kewajiban warga negara. Teori Perundang-undangan. Salah satu komponen dari sistem hukum adalah komponen substansi yaitu isi hukum yang terbentuk dalam wujud peraturan perundang-undangan seperti; Undang- Undang Dasar, Undang-Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah, dan peraturan-peraturan lainnya. Peraturan Perundang-undangan adalah suatu peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga yang berwenang membentuk peraturan perundangundangan dan mengikat umum ( Pasal 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan).Di dalam penyusunan produkproduk hukum ada 5 (lima) aspek,yaitu: 1 a. legitimasi dan kewenangan, b. kesesuaian produk hukum, c. mengikuti tata cara tertentu, d. tertib (hirarki) peraturan perundangundangan; dan e. penerimaan oleh masyarakat. Suatu peraturan harus dibentuk oleh lembaga yang diberikan kewenangan oleh peraturan perundang-undangan sehingga memiliki suatu legitimasi secara hukum. Pembentukannya harus sesuai dengan jenis peraturan yang dibentuk berdasarkan kewenangannya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, juga harus sesuai dengan nilai-nilai yang hidup di masyarakat sehingga ada legitimasi dari masyarakat.sebagian besar dari asas-asas tersebut juga digunakan sebagai asas pembentukan peraturan perundang-undang yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam penyusunan peraturan perundang-undangan yang bersifat demokratis harus mempresentasikan peran hukum sebagai alat untuk mendinamisasikan masyarakat, dengan demikian fungsi cita hukum dalam negara yang berubah dapat mengakomodasikan semua dinamika masyarakat yang kompleks seperti Indonesia ( Esmi Warassih, 2005; 35). Hukum tidak hanya mengatur perilaku yang sudah ada dalam masyarakat dan mempertahankan pola kebiasaan yang telah ada, tetapi lebih jauh hukum telah mengarah kepada penggunaannya sebagai suatu sarana atau alat untuk 1 Supardan Modeong, Teknik Perundang-undangan di Indonesia, Penerbit Perca, Jakarta, 2005, hal

5 E-ISSN : X merubah masyarakat (social engineering). Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan bahwa materi muatan undang-undang adalah seluruh materi yang merupakan ketentuan atas pendelegasian yang ditentukan oleh undang-undang dasar, mengatur penyelenggaraan pembangunan, pemerintahan, dan kemasyarakatan. Semua peraturan hukum, siapapun yang menetapkannya adalah secara kemasyarakatan bersifat normatif. Oleh karena itu setiap peraturan harus memuat norma-norma yang mengikat perilaku subyek yang diaturnya 2. Dalam pembentukan dan penyusunan kalimat perundang-undangan memuat hal yang bersifat normatif. Norma adalah suatu ukuran yang harus dipenuhi oleh seseorang dalam hubungannya dengan sesama ataupun lingkungannya. Norma merupakan pedoman, patokan, atau ukuran bagi seseorang dalam bertindak atau bertingkah laku dalam masyarakat dan harus dipatuhi 3 Dalam mentransformasi hukum pembentuk undang-undang menggunakan bahasa hukum yaitu bahasa perundang-undangan. Menurut JJ.H. Bruggink orang mengatakan bahwa pada waktu belajar hukum orang mempelajari cara berpikir yuridik dan mungkin kegiatan mempelajari hukum itu memang lebih banyak merupakan usaha untuk menguasai bahasa hukum, karena dalam hukum itulah bermukimnya cara berpikir yuridik 4. Ruang lingkup berlakunya berlakunya hukum mempunyai kriterium yang menentukan norma itu ditujukan kepada kelompok masyarakat mana sebagai subyeknya atau normadressaat 5. Dalam perumusan tentang subyek norma harus ada kejelasan sehingga menimbulkan permasalahan dalam implementasinya. Menurut Ahmad Yani 6, kelemahan sistem teridentifikasi dalam 3 (tiga) permasalahan yaitu: a. tumpang tindih dan insinkronisasi peraturan perundang-undangan; b. implementasi undang-undang (UU) yang terhambat peraturan pelaksananya; c. tidak adanya peraturan perundang-undang. Undang-Undang sebagai salah satu subsistem dari sistem hukum nasional merupakan peraturan yang dibentuk berdasarkan tahapan dan prosedur yang diatur dalam peraturan perundang-undangan (Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Meskipun ada kewenangan pembentukan peraturan daerah, tetapi tidak semua materi dpat dimuat di dalam peraturan daerah, maka dapat didelegasikan kepada 2 Ibid. 3 Maria Farida Suprapti, Loc.Cit,hal Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, (Alih Bahasa Arief Sidharta), PT Citra Aditya Bakti,1999,1 5 Abintoro Prakoso, 2016: 27 6 Ahmad Yani,2013,hal

6 Jurnal Risalah Kenotariatan hlm, 20~30 peraturan gubernur, sehingga Gubernur dalam menetapkan peraturan gubernur harus berdasarkan delegasi yang diberikan oleh peraturan daerah. Selain itu, gubernur juga banyak menetapkan peraturan gubernur yang bukan merupakan delegasi dari peraturan daerah dengan dalih selain karena alasan kebutuhan pengaturan dalam penyelenggaraan pemerintahan, kemasyarakatan, dan pembangunan daerah yang belum ada peraturannya sedangkan kebutuhan sangat mendesak, juga karena dengan dalih adanya kewenangan diskresi yaitu kewenangan dan kebebasan bertindak dari aparatur administrasi negara. Menurut Jimly Ashiddiqie 7 berpendapat bahwa berdasarkan prinsip pendelegasian, norma hukum yang bersifat pelaksanaan dianggap tidak sah apabila dibentuk tanpa didasarkan atas delegasi kewenangan dari peraturan yang lebih tinggi. Misalnya Peraturan Menteri jika tidak diperintahkan oleh Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden, berarti peraturn tersebut tidk dapat dibentuk sebagaimana mestinya. Dengan demikian, kewenangan lembaga pelaksana untuk membuat peraturan pelaksana undang-undang harus dimuat dengan tegas dalam undang-undang sebagai ketentuan mengenai pendelegasian kewenangan legislasi (legislative delegation of rule making power) dari pembentuk undang-undang kepada lembaga pelaksana undang-undang atau kepada pemerintah. Suatu pembentukan peraturan pelaksana harus berdasarkan pendelegasian kewenangan dari peraturan yang lebih tinggi karena dalam pendelegasian ditetapkan tentang; materi yang diatur oleh peraturan pelaksana, dan nama peraturan pelaksana yang menerima pendelegasian kewenangan, sehingga pembentukan dan penetapan peraturan pelaksana tidak keluar atau menyimpang dari materi yang didelegasikan oleh peraturan yang mendelegasikannya. Pembentukan peraturan pelaksana tanpa ada pendelegasian kewenangan mengatur dari peraturan yang lebih tinggi terkadang menggunakan dalih penggunaan kewenangan diskresi dari aparat administrasi negara., namun kewenangan diskresi tersebut harus sesuai dengan alasan, syarat, tujuan dan prosedur diskresi sebagaiman diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Asas Diskresi. Asas Diskresi merupakan salah satu asas yang dikenal dalam Hukum Administrasi Negara sebagai bentuk pemberian kebebasan bertindak dari aparat administrasi Negara untuk menjaga stagnasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, karena tidak ada peraturan yang mengatur sedangkan pemerintah harus bertindak. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Diskresi adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam 7 Jimly Ashiddiqie, Perihal Undang-Undang, Kostitusi Press,Jakarta, 2006,

7 E-ISSN : X penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang- undangan y a n g memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan. Ketentuan Pasal 22 ayat (2) menentukan bahwa setiap penggunaan Diskresi pejabat pemerintahan bertujuan untuk: a. melancarkan penyelenggaraan pemerintahan, b. mengisi kekosongan hukum, c. memberikan kepastian hukum; dan mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum. Ketentuan Pasal 24 mengatur bahwa Pejabat Pemerintahan yang menggunakan Diskresi harus memenuhi syarat: a. sesuai dengan tujuan Diskresi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2),b. tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, c. sesuai dengan AUPB, d. berdasarkan alasan-alasan yang objektif, e.tidak menimbulkan konflik kepentingan; dan f. dilakukan dengan iktikad baik. Pasal 26 mengatur tentang prosedur penggunaan diskresi sebagai berikut: (1) Pejabat yang menggunakan Diskresi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dan ayat (2) wajib menguraikan maksud, tujuan, substansi, serta dampak administrasi dan keuangan. (2) Pejabat yang menggunakan Diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan permohonan persetujuan secara tertulis kepada Atasan Pejabat. (3) Dalam waktu 5 (lima) hari kerja setelah berkas permohonan diterima, Atasan Pejabat menetapkan persetujuan, petunjuk perbaikan, atau penolakan. (4) Apabila Atasan Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) melakukan penolakan, Atasan Pejabat tersebut harus memberikan alasan penolakan secara tertulis. Oleh karena itu, penggunaan kewenangan diskresi harus diuji legalitasnya berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, sehingga tidak sewenang-wenang menggunakan kewenangan diskresi yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang kemungkinan dapat merugikan kepentingan masyarakat. IV. PEMBAHASAN Dasar Hukum Penetapan Peraturan Gubernur. Peraturan perundang-undangan tertulis menempati posisi yang penting dalam kancah hukum modern sekarang ini. Sebagai salah satu sumber hukum, peraturan perundangundangan tidak selalu menjunjung tinggi keadilan, demokrasi dan kepentingan masyarakat luas, karena hukum bukanlah subsistem yang otonom dan netral tetapi selalu dipengaruhi banyak faktor dan kepentingan 8. 8 Sirajuddin, Fatkhurohman, Zulkarnain, Legislative Drafting, Pelembagaan Metode Partisipatif dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,Setara Press,Malang 2015, hal

8 Jurnal Risalah Kenotariatan hlm, 22~30 Pembentukan suatu peraturan perundang-undangan harus didasarkan kepada dasar kewenangan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dasar kewenangan yang dimaksud di sini adalah adanya pemberian kewenangan kepada badan atau suatu lembaga untuk membentuk peraturan perundang-undangan. Karena kalau tidak ada dasar kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan, maka badan atau lembaga tersebut tidak memiliki kewenangan untuk membentuk peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan adalah suatu keputusan dari suatu lembaga Negara atau lembaga pemerintahan yang dibentuk berdasarkan atribusi dan delegasi. Atribusi kewenangan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan ialah pemberian kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan oleh undang-undang dasar atau undang-undang kepada lembaga Negara/pemerintah. Kewenangan tersebut melekat terus menerus dan dapat dilaksanakan atas prakarsa sendiri setiapwaktu diperlukan, sesuai dengan batas-batas yang diberikan 9 Contoh lain terkait dengan kewenangan pembentukan peraturan daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (6) sebagai landasan konstitusionalnya menentukan bahwa Pemerintahan Daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Selain itu di dalam Pasal 236 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah diatur kewenangan daerah untuk membentuk peraturan daerah sebagai berikut: (1) Untuk menyelenggarakan otonomi daerah dan tugas pembantuan, daerah membentuk perda. (2) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat materi muatan: a. penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan; dan b. penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. (3) Selain materi muatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Perda dapat memuat materi muatan lokal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan tugas pembantuan, serta untuk melaksanakan perintah atau pendelegasian kewenangan mengatur dari peraturan yang lebih tinggi, maka Pemerintahan Daerah berwenang membentuk peraturan daerah. Di sini disebutkan bahwa pemerintahan daerah yang membentuk peraturan daerah, bukan pemerintah daerah, hal ini dimaksudkan bahwa peraturan daerah dibentuk secara kemitraan oleh penyelenggara pemerintahan daerah, bisa prakarsa DPRD atau prakarsa gubernur (Pemerintah Daerah) untuk mendapatkan persetujuan bersama sehingga terbentuklah peraturan daerah. Selain kewenangan untu k membentuk/menetapkan peraturan daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (6), maka dapat juga menetapkan peraturan-peraturan lain 9 Maria Farida Indrati, 1998, Ilmu Perundang-undangan: Dasar-dasar dan Pembentukannya, Yogyakarta, Kanisius,hal

9 E-ISSN : X untuk melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan. Bentuk peraturan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (6) tersebut adalah Peraturan Kepala Daerah ( peraturan gubernur/peraturan bupati/peraturan walikota). Kalau dilihat dari kedudukannya, maka peraturan kepala daerah salah satu diantaranya adalah peraturan gubernur merupakan peraturan pelaksana yang melaksanakan perintah atau delegasi dari peraturan yang lebih tinggi untuk mengatur lebih lanjut suatu materi tertentu. Menurut Jimly Asshiddiqie bahwa berdasarkan prinsip pendelegasian ini, norma hukum yang bersifat pelaksanaan dianggap tidak sah apabila dibentuk tanpa didasarkan atas delegasi kewenangan dari peraturan yang lebih tinggi 10. Oleh karena itu, dalam prinsip pendelegasian kewenangan pengaturan yang dilakukan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan selalu disebutkan secara limitatif (tersurat) dalam pasal yang mendelegasikan sehingga jelas materi yang harus diatur oleh peraturan yang menerima pendelegasian kewenangan pengaturan, juga agar pengaturannya tidak menyimpang dari materi yang didelegasikan oleh peraturan yang memberikan delegasi tersebut. Selain itu, akan sesuai pula dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu asas kepastian hukum. Peraturan Gubernur merupakan peraturan pelaksana yang pembentukannya didasarkan pada beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai berikut: Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Tidak semua peraturan perundang-undangan yang dicantumkan dalam hierarki peraturan perundang-undangan, termasuk beberapa peraturan pelaksana lainnya seperti peraturan menteri masuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 selain peraturan yang ada di dalam hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 7, juga diatur beberapa jenis peraturan yang dapat ditetapkan sebagai berikut: (1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/ Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. (2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan 10 Jimly Asshiddiqie, Op.Cit, hal

10 Jurnal Risalah Kenotariatan hlm, 24~30 oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (1) tersebut bahwa jenis peraturan yang diatur dalam Pasal 7 tentang hierarki peraturan perundang-undangan, maka ada kewenangan yang diberikan bagi badan atau lembaga untuk menetapkan peraturan-peraturan. Ada syarat yang harus dipenuhi oleh badan atau lembaga untuk menetapkan peraturan agar diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) yaitu dibentuk: a. sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi; atau b.berdasarkan kewenangan. Kedua persyaratan tersebut bersifat alternatif, maksudnya peraturan tersebut ditetapkan apabila ada perintah atau pendelegasian dari peraturan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi, atau tanpa itu, dapat ditetapkan karena ada kewenangan dari badan/lembaga tersebut. Peraturan yang dibentuk sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi berarti ada pendelegasian kewenangan mengatur dari peraturan yang lebih tinggi untuk peraturan yang menerima delegasi. Misalnya undang-undang mendelegasikan materi muatan tertentu dari undang-undang untuk diatur dengan peraturan menteri, maka menteri dapat menetapkan peraturan menteri untuk materi yang didelegasikan tersebut. Apabila dikaji dari segi hukum, bahwa model pendelegasian kewenangan mengatur sebagaimana dalam praktik yang dilaksanakan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia dapat disimpulkan: a. tidak konsisten karena ada yang berjenjang dan ada yang tidak berjenjang yaitu langsung melompati beberapa tingkat peraturan; dan b. tidak diatur secara eksplisit tentang tingkatan pendelegasian kewenangan mengatur di dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pembentukan peraturan perundang-undang-undangan. Kaidah dalam memberikan pendelegasian kewenangan mengatur harus menyebutkan dengan tegas: a. ruang lingkup materi muatan yang diatur; dan b. jenis Peraturan perundang-undangan. (maksudnya peraturan perundang-undangan yang menerima pendelegasian kewenangan mengatur). Kewenangan gubernur membentuk peraturan gubernur selain, diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, juga dapat menetapkan peraturan gubernur karena berdasarkan pada kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun Apabila dikaji dari makna penjelasan pasal, maka Penjelasan Pasal 8 ayat (2) masih menimbulkan pertanyaan dan belum menjelaskan secara jelas tentang makna berdasarkan kewenangan, karena di dalam penjelasan tersebut disebutkan penyelenggaraan urusan tertentu pemerintahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Harus ada kejelasan tentang urusan tertentu pemerintahan yang dimaksud, karena ini akan menjadi dasar kewenangan bagi gubernur dalam menetapkan peraturan gubernur dan tidak lagi multi tafsir. 24

11 E-ISSN : X Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaima diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah dasar hukum pengaturan tentang peraturan gubernur diatur dalam Pasal 246 sebagai berikut: (1) Untuk melaksanakan Perda atau atas kuasa peraturan perundang-undangan, kepala daerah menetapkan Perkada. (2) Ketentuan mengenai asas pembentukan dan materi muatan,serta pembentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 237 berlaku secara mutatis mutandis tentang asas pembentukan dan materi muatan, serta pembentukan Perkada. Ketentuan Pasal 246 ayat (1) menentukan bahwa kepala daerah dapat menetapkan perkada (peraturan kepala daerah) untuk melaksanakan peraturan daerah. Perkada yang dimaksud di sini adalah peraturan kepala daerah yang terdiri atas peraturan gubernur, peraturan bupati/walikota. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 ketentuan Pasal 246 ayat (1), maka peraturan kepala daerah (peraturan gubernur) ditetapkan untuk melaksanakan peraturan daerah atas kuasa peraturan perundang-undangan. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Produk Hukum Daerah sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 120 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Produk Hukum Daerah. Ketentuan Pasal 3 mengatur bahwa produk hukum daerah berbentuk peraturan dan ketetapan. Selanjutnya yang berbentuk peraturan adalah peraturan gubernur,peraturan bupati/walikota. Penggunaan Diskreasi dan Penetapan Peraturan Gubernur Nusa Tenggara Barat. Pengertian Diskresi. Penggunaan diskresi dalam pembentukan produk hukum daerah dalam kaitannya dengan pembentukan produk hukum di daerah, diskresi digunakan dengan berdasarkan pada kriteria sebagai berikut : Isi pengaturan dalam Keputusan Diskresi merupakan perbuatan hukum dari pelaksanaan asas-asas umum pemerintahan yang baik yaitu; a. asas kepastian hukum : adalah asas dalam kerangka Negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara Negara, b. asas keseimbangan, c. asas kesamaan, d. asas bertindak cepat, e. asas motivasi, f. asas mencampuradukkan kewenangan, g. asas permainan yang layak pemerintah memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi yang benar dan adil, h. asas keadilan atau kewajaran, i. asas menanggapi pengharapan yang wajar, j. asas meniadakan suatu akibat keputusan-keputusan yang batal; jika akibat pembatalan keputusan ada kerugian, maka pihak yang dirugikan harus 25

12 Jurnal Risalah Kenotariatan hlm, 26~30 diberi ganti rugi dan rehabilitasi, k. asas perlindungan pandangan hidup pribadi: setiap Pegawai Negeri Sipil diberi kebebasan untuk mengatur hidup pribadinya dengan batas Pancasila, l. asas kebijaksanaan: pemerintah berhak untuk membuat kebijaksanaan demi kepentingan umum, m. asas pelaksanaan kepentingan umum. Perbuatan diskresi meliputi: a. kepastian hukum, b. keseimbangan, c. kecermatan/ kehati-hatian, d. ketajaman dalam menentukan sasaran; dan e. kebijakan. Kriteria di atas bersifat integral dan komulatif artinya merupakan syarat yang menyatu dan harus dipenuhi semuanya untuk dapat dilakukan tindakan yang tidak melanggar hukum, sehingga apabila salah satu syarat tidak dipenuhi, maka tindakan tersebut tetap merupakan tindakan yang murni perbuatan melanggar hukum beserta segala akibatnya. Sebelumnya untuk dapat mengetahui peraturan gubernur yang tidak terdapat delegasi atau perintah dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dicermati dari bagian konsideran menimbang suatu peraturan gubernur itu sendiri. Sebagai contoh dalam Peraturan Gubernur Nusa Tenggara Barat Nomor 30 Tahun 2018 tentang Pembentukan, Kedudukan, Susunan Organisasi, Tugas dan Fungsi Serta Tata Kerja Cabang Dinas Pada Dinas-Dinas Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat dalam konsideran menimbang dinyatakan: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 10 Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat, perlu menetapkan Peraturan Gubernur tentang Pembentukan, Kedudukan, Susunan Organisasi, Tugas dan Fungsi serta Tata Kerja Cabang Dinas pada Dinas-Dinas Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat; Contoh di atas merupakan pendelegasian kewenangan dari Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat kepada Peraturan Gubernur Nusa Tenggara Barat. Inilah peraturan yang dimaksudkan dari aspek ilmu peraturan perundang-undangan dibentuk atas dasar perintah dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sehingga halhal yang diatur oleh peraturan gubernur tersebut jelas karena secara langsung hal-hal yang akan diatur oleh peraturan gubernur telah dimuat secara tegas di peraturan daerah yang mendelegasikannya. Data yang peneliti dapatkan Pemerintahan Provinsi Nusa Tenggara Barat bahwa terdapat Peraturan Gubernur yang dibentuk tidak atas dasar delegasi dari peraturan perundang-undangan di atasnya, baik dari Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri dan Peraturan Daerah Provinsi. Dalam hal ini penyusun akan menampilkan daftar Peraturan Gubernur dari beberapa tahun terakhir yang dibentuk tidak atas dasar delegasi dari peraturan perundang-undangan di atasnya yaitu sebanyak 31 peraturan gubernur yang dibentuk tidak berdasarkan delegasi dari peraturan perundang undangan diatasnya, sehingga perlu dikaji lebih lanjut tentang legalitasnya. 26

13 27 E-ISSN : X Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak semua peraturan gubernur yang dibentuk tidak atas dasar delegasi atau perintah dari peraturan perundang-undangan di atasnya dapat tergolong ke dalam peraturan kebijakan (suatu produk hukum yang dibentuk dari kewenangan diskresi pejabat pemerintahan), karena peraturan tersebut harus dikaji dari sisi administrasi pemerintahan yang meliputi apakah peraturan tersebut dibentuk sudah sesuai dengan tujuan, ruang lingkup, dan persyaratan diskesi atau tidak. Karena ketika suatu peraturan tersebut dibentuk dan pada kenyataannya tidak sesuai dengan tujuan, ruang lingkup, dan syarat-syarat dari suatu diskresi maka peraturan tersebut bisa dikatakan tidak sah, dapat dibatalkan yang mengakibatkan adanya konsekuensi yaitu suatu peraturan tersebut Batal Demi Hukum. Kebijakan Diskresi dalam Praktek Menurut Muchsan 11, di dalam membentuk suatu produk hukum aparat yang berwenang dapat menggunakan 2 (dua) dasar, yaitu : a. Wetmatig (dasar hukum positif) ini merupakan dasar yang ideal, karena produk hukum yang akan dibuat oleh aparat yang berwenang merupakan produk hukum yang berpatokan atau berlandaskan pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi secara hirarki peraturan perundangan. b. Doelmatig (kebijakan / kearifan lokal) ialah produk hukum yang dibuat tanpa adanya landasan hukum peraturan perundangan yang lebih tinggi secara hierarki Peraturan Perundangan. Dasarnya diambil dari teori hukum yang dikenal adanya asas diskresi discretionare principle atau juga disebut asas kebebasan bertindak, dan sebagai landasan hukumnya (diskresi) adalah : Algemene Beginselen Van Behoorlijk Bestuur / The Principle of Good Public Administration atau disebut asas-asas umum pemerintahan yang baik 15 namun, menurut Muchsan 12, terhadap penggunaan diskresi oleh aparat yang berwenang/ administrasi Negara ternyata mengundang dilema, disatu sisi pejabat administrasi/ aparat yang berwenang harus mengeluarkan suatu keputusan yang sifatnya/terlihat adanya perbuatan sewenang-wenang (karena tidak berdasarkan Peraturan perundangundangan), dan di sisi lain apabila pejabat administrasi/aparat yang berwenang tidak mengeluarkan suatu keputusan, maka tujuan pembangunan nasional (demi kesejahteraan) sulit dilakukan. Jadi, penggunaan diskresi tetap digunakan, akan tetapi penggunaannya harus dibatasi. Melihat perkembangan yang semakin cepat dalam masyarakat pada suatu Negara modern saat ini, maka dituntut pula kesiapan administrasi Negara untuk mengantisipasi perkembangan yang terjadi itu. Dalam hal ini, sudah barang tentu asas legalitas (dalam arti: wetmatigeheid van bestuur) tidak dapat lagi dipertahankan secara kaku. Sebab administrasi Negara bukan hanya terompet dari suatu Peraturan Perundang undangan, melainkan dalam melaksanakan tugasnya itu, mereka wajib bersikap aktif demi terselenggaranya tugas tugas pelayanan publik, yang 11 Muchsan,, Beberapa Catatan Tentang Hukum Administrasi Negara Dan Peradilan Administrasi Negara Di Indonesia, Yogyakarta : Liberty, Ibid.

14 Jurnal Risalah Kenotariatan hlm, 28~30 semuanya itu tidak dapat ditampung dalam hukum yang tertulis saja. Oleh karenanya maka diperlukan adanya diskresi/freies ermessen. Apabila dihubungkan dengan pendapat Sjachran Basah terdahulu, maka implementasi diskresi/freies Ermessen melalui sikap dan tindakan administrasi Negara ini dapat berwujud : 1. Membentuk peraturan perundang undangan dibawah undang undang yang secara materiil mengikat umum; 2. Mengeluarkan beschikkingyang bersifat konkrit, final dan individual; 3. Melakukan tindak administrasi yang nyata dan aktif; 4. Menjalankan fungsi peradilan, terutama dalam hal keberatan dan banding administratif. Di dalam Negara hukum modern, administrasi Negara tidak hanya sekedar melaksanakan undang-undang (legisme), melainkan demi terselenggaranya Negara hukum dalam arti materiil, memerlukan adanya diskresi/freies ermessen. Diskresi ini hanya diberikan kepada lembaga eksekutif (pemerintah) beserta seluruh jajarannya, baik di tingkat pusat maupun daerah. Karena itu dalam penggunaan diskresi yang melanggar atau merugikan hak warga Negara, pemerintah (eksekutif) dapat dimintai pertanggungjawaban melalui pengadilan. Cita negara hukum seperti ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 itu sebaiknya kita pahami bahwa didalam sistem tersebut terdapat segala bentuk kebijakan dan tindakan aparatur penyelenggara negara harus berdasar atas hukum, tidak semata-mata berdasarkan kekuasaan yang melekat pada kedudukan aparatur penyelenggara negara itu sendiri. Dari paparan di atas, dapat diambil intisarin bahwa penggunaan diskresi oleh pejabat publik, harus dilandasi oleh semangat dan tekad untuk senantiasa mempertanggungjawabkan kebijakan sikap dan tindakannya. Siapa pun yang menggunakan diskresi secara keliru, berarti tidak melandasi diskresi dengan pertanggungjawaban pribadi, korps, serta profesinya. Selain pertanggungjawaban, kaidah hukum, nilai-nilai standar di tengah masyarakat, hak asasi manusia dan lainlain, penggunaan diskresi pun harus diberi landasan pendahuluan kepentingan publik. V. KESIMPULAN Hasil kajian dan penelitian Penggunaan Diskresi dalam Pembentukan Peraturan Gubernur Nusa Tenggara Barat dapat disimpulkan sebagai berikut: a. Banyak peraturan daerah yang dibentuk oleh Gubernur Nusa Tenggara Barat bukan untuk melaksanakan pendelegasian perundang-undangan yang lebih tinggi atau dari peraturan daerah, tetapi dibuat karena kebutuhan pengaturan dan belum ada peraturan yang mengatur, sehingga kalau dikaji subtansi materi muatannya, pembentukannya menggunakan kewenangan diskresi dan menggunakan alasan diskresi. b. Selain itu, banyak peraturan gubernur yang didelegasikan oleh peraturan daerah yang mengatur dan memuat materi tertentu untuk melaksanakan ketentuan peraturan daerah bahkan belum ditetapkan, justru banyak peraturan gubernur yang bukan 28

15 E-ISSN : X pendelegasian dari peraturan daerah kalau dilihat substansi bukan merupakan diskresi, tetapi menjadikan kebutuhan pengaturan dan alasan diskresi untuk menetapkan. c. Penggunaan diskresi Gubernur dalam Pembentukan Peraturan Gubernur, harus dilandasi oleh semangat dan tekad untuk senantiasa mempertanggungjawabkan kebijakan sikap dan tindakannya. Siapa pun yang menggunakan diskresi secara keliru, berarti tidak melandasi diskresi dengan pertanggungjawaban pribadi, korps, serta profesinya. Selain pertanggungjawaban, kaidah hukum, nilai-nilai standar di tengah masyarakat, hak asasi manusia dan lain-lain, penggunaan diskresi pun harus diberi landasan pendahuluan kepentingan publik. Prioritas kepentingan publik, biasanya lebih mudah dibicarakan. Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan dalam penggunaan Diskresi Gubernur dalam Pembentukan Peraturan Gubernur di Nusa Tenggara Barat dikemukakan saransaran sebagai berikut: a. Untuk menjamin kepastian hukum dalam penggunaan diskresi dalam pembentukan peraturan gubernur Nusa Tenggara Barat, maka penggunaan diskresi harus betulbetul sesuai dengan syarat-syarat penggunaan diskresi dan tujuan diskresi dilakukan sehingga tidak menyimpang dari ketentuan tentang penggunaan diskresi sebagai diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. b. Hendaknya perauran gubernur yang merupakan delegasi dari peraturan perundangundangan yang lebih tinggi dan peraturan daerah harus ditetapkan menyusul penetapan dan pengundangan peraturan daerah agar substansi materi yang didelegasikan tersebut dapat diimplementasikan atau dilaksanakan. DAFTAR PUSTAKA Abintoro Prakoso, Penemuan Hukum, Sistem, Metode, Aliran dan Prosedur dalam Menemukan Hukum, LaksBang Pressindo, Yogyakarta, Ahmad Yani, Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Responsif, Catatan atas UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, Konstitusi Press, Jakarta, Amirroeddin Sjarif, Perundang-undang Dasar, Jenis, dan Teknik Membuatnya, Rineka Cipta, Jakarta; A.Mukthie Fajar, Teori-Teori Hukum Kontenporer, Setara Press ( Kelompok Penerbit Intrans), Malang, 2013). Andri Gunawan dkk, Indeks Negara Hukum Indonesia 2013, Indonesia Legal Roundtable, Jakarta, Azis Syamsuddin, Proses dan Teknik Penyusunan Undang-Undang, Sinar Grafika, Jakarta, Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Konstitusi Press,Jakarta. JJ.H.Bruggink (Alih bahasa B.Arief Sidharta) Refleksi tentang Hukum Pengertian- 29

16 Jurnal Risalah Kenotariatan hlm, 30~30 pengertian Dasar dalam Teori Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, PT Suryandaru Utama, 2005, Semarang. Mardian Wibowo, Kebijakan Hukum Terbuka dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Konsep dan Kajian dalam Pembatasan Kebebasan Pembentuk Undang-Undang, Rajawali Pers PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, Maria Farida Suprapto, Ilmu Perundang-undangan Dasar-dasar dan Pembentukannya, Kanisius, Yoyakarta, 1998., Ilmu Perundang-Undangan Proses dan Teknik Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, 2007 Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System, PT Rajawali Pers, Jakarta Supardan Modeong, Legal Drafting, Jakarta,

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.292, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA ADMINISTRASI. Pemerintahan. Penyelengaraan. Kewenangan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5601) UNDANG UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 (UUD Tahun 1945) telah melahirkan sebuah

PENDAHULUAN. Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 (UUD Tahun 1945) telah melahirkan sebuah PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 (UUD Tahun 1945) telah melahirkan sebuah lembaga baru dengan kewenangan khusus yang merupakan salah satu bentuk judicial

Lebih terperinci

Pemetaan Kedudukan dan Materi Muatan Peraturan Mahkamah Konstitusi. Rudy, dan Reisa Malida

Pemetaan Kedudukan dan Materi Muatan Peraturan Mahkamah Konstitusi. Rudy, dan Reisa Malida Pemetaan Kedudukan dan Materi Muatan Peraturan Mahkamah Konstitusi Rudy, dan Reisa Malida Dosen Bagian Hukum Tata Negara FH Unila Mahasiswa Bagian HTN angkatan 2009 Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas penyelenggaraan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF KEPADA PEJABAT PEMERINTAHAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF KEPADA PEJABAT PEMERINTAHAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF KEPADA PEJABAT PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BUPATI LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

BUPATI LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH BUPATI LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LOMBOK TIMUR, Menimbang Mengingat : a. bahwa

Lebih terperinci

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Formatted: Left: 3,25 cm, Top: 1,59 cm, Bottom: 1,43 cm, Width: 35,56 cm, Height:

Lebih terperinci

Pdengan Persetujuan Bersama

Pdengan Persetujuan Bersama info kebijakan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang ADMINISTRASI PEMERINTAHAN A. LATAR BELAKANG ada tanggal 17 Oktober 2014 Pdengan Persetujuan Bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia,

Lebih terperinci

BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI. Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU

BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI. Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU 62 BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU 3.1. Kekuatan berlakunya Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Peraturan Perundang-undangan

Lebih terperinci

KETENTUAN PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH (Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan)

KETENTUAN PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH (Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan) KETENTUAN PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH (Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan) NURYANTI WIDYASTUTI Direktur Fasilitasi Perancangan Peraturan Daerah dan Pembinaan

Lebih terperinci

Membanguan Keterpaduan Program Legislasi Nasional dan Daerah. Oleh : Ketua Asosiasi DPRD Provinsi Seluruh Indonesia

Membanguan Keterpaduan Program Legislasi Nasional dan Daerah. Oleh : Ketua Asosiasi DPRD Provinsi Seluruh Indonesia Membanguan Keterpaduan Program Legislasi Nasional dan Daerah Oleh : Ketua Asosiasi DPRD Provinsi Seluruh Indonesia Pendahuluan Program Legislasi Nasional sebagai landasan operasional pembangunan hukum

Lebih terperinci

Hukum Administrasi Negara

Hukum Administrasi Negara Hukum Administrasi Negara ASAS-ASAS HUKUM ADMINISTRASI NEGARA SUMBER-SUMBER HUKUM ADMINISTRASI NEGARA KEDUDUKAN HAN DALAM ILMU HUKUM Charlyna S. Purba, S.H.,M.H Email: charlyna_shinta@yahoo.com Website:

Lebih terperinci

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, MENTERI

Lebih terperinci

MATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

MATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN MATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 1. Menimbang: Menimbang: a. bahwa pembentukan peraturan perundang undangan merupakan salah satu syarat dalam rangka pembangunan hukum nasional

Lebih terperinci

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM

Lebih terperinci

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM TENTANG DISKRESI PEJABAT PEMERINTAHAN, LARANGAN PENYALAHGUNAAN WEWENANG TERKAIT DISKRESI MENURUT UUAP

TINJAUAN HUKUM TENTANG DISKRESI PEJABAT PEMERINTAHAN, LARANGAN PENYALAHGUNAAN WEWENANG TERKAIT DISKRESI MENURUT UUAP TINJAUAN HUKUM TENTANG DISKRESI PEJABAT PEMERINTAHAN, LARANGAN PENYALAHGUNAAN WEWENANG TERKAIT DISKRESI MENURUT UUAP Sumber: http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt57b510afc8b68/bahasa-hukum--diskresi-pejabatpemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan.

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan. Menurut Sri Soemantri tidak ada satu negara pun yang tidak mempunyai konstitusi atau Undang-Undang

Lebih terperinci

PENGAWASAN PERATURAN DAERAH BERDASARKAN PERUNDANG- UNDANGAN (KAJIAN POLITIK HUKUM)

PENGAWASAN PERATURAN DAERAH BERDASARKAN PERUNDANG- UNDANGAN (KAJIAN POLITIK HUKUM) Volume 15, Nomor 2, Hal. 73-80 Juli Desember 2013 ISSN:0852-8349 PENGAWASAN PERATURAN DAERAH BERDASARKAN PERUNDANG- UNDANGAN (KAJIAN POLITIK HUKUM) Meri Yarni Fakultas Hukum Universitas Jambi Kampus Pinang

Lebih terperinci

Reposisi Peraturan Desa dalam Kajian Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 & Undang-undang No. 12 Tahun 2011

Reposisi Peraturan Desa dalam Kajian Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 & Undang-undang No. 12 Tahun 2011 REPOSISI PERATURAN DESA DALAM KAJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2004 DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 1 Oleh : Dr. H. Nandang Alamsah Deliarnoor, S.H., M.Hum 2 Pendahuluan Ada hal yang menarik tentang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

BUPATI SAMBAS PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PROGRAM LEGISLASI DAERAH

BUPATI SAMBAS PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PROGRAM LEGISLASI DAERAH BUPATI SAMBAS PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PROGRAM LEGISLASI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SAMBAS, Menimbang : a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

PROVINSI KALIMANTAN BARAT

PROVINSI KALIMANTAN BARAT PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PROGRAM LEGISLASI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SAMBAS, Menimbang : Mengingat : a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

INSTRUMEN PEMERINTAH

INSTRUMEN PEMERINTAH INSTRUMEN PEMERINTAH Dibuat untuk Melengkapi Tugas Mata Kuliah Hukum Administrasi Negara KELOMPOK 8 KELAS A PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL "VETERAN" JAWA TIMUR

Lebih terperinci

Page 1 of 10 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembentukan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5234 ADMINISTRASI. Peraturan Perundang-undangan. Pembentukan. Teknik Penyusunan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82) PENJELASAN ATAS

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembentukan peraturan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Dalam hal tuntutan pemberian otonomi yang luas kepada daerah kabupaten dan kota,

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Dalam hal tuntutan pemberian otonomi yang luas kepada daerah kabupaten dan kota, BAB III TINJAUAN TEORITIS 1.1. Peraturan Daerah Di Indonesia Dalam hal tuntutan pemberian otonomi yang luas kepada daerah kabupaten dan kota, Marsdiasmo, menyatakan bahwa tuntutan seperti itu adalah wajar,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

GAYA PERUMUSAN KALIMAT PERINTAH PEMBENTUKAN PERATURAN YANG MENJALANKAN DELEGASI DARI UNDANG-UNDANG DI INDONESIA

GAYA PERUMUSAN KALIMAT PERINTAH PEMBENTUKAN PERATURAN YANG MENJALANKAN DELEGASI DARI UNDANG-UNDANG DI INDONESIA GAYA PERUMUSAN KALIMAT PERINTAH PEMBENTUKAN PERATURAN YANG MENJALANKAN DELEGASI DARI UNDANG-UNDANG DI INDONESIA Fitriani Ahlan Sjarif Fakultas Hukum Universitas Indonesia Jalan Prof. Djoko Soetono, Depok

Lebih terperinci

Pengaturan Daerah Pengelolaan Keuangan Daerah

Pengaturan Daerah Pengelolaan Keuangan Daerah A-PDF Watermark DEMO: Purchase from www.a-pdf.com to remove the watermark Pengaturan Daerah Pengelolaan Keuangan Daerah Substansi dan Isu-isu Penting Syukriy Abdullah http://syukriy.wordpress.com Otonomi

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

BUPATI KEPULAUAN SELAYAR

BUPATI KEPULAUAN SELAYAR BUPATI KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG LEGISLASI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEPULAUAN SELAYAR, Menimbang a. bahwa Peraturan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT LD. 5 2010 R PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG MEKANISME PENYUSUNAN PROGRAM LEGISLASI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang BUPATI

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN I. UMUM Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan merupakan pelaksanaan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

DISUSUN OLEH: FARIDA RIANINGRUM Rombel 05

DISUSUN OLEH: FARIDA RIANINGRUM Rombel 05 MAKALAH ASAS-ASAS UMUM PEMERINTAHAN YANG BAIK Menganalisis pelanggaran AAUPB terhadap Surat Keputusan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 2238 Tahun 2014 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi

Lebih terperinci

8. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2007 tentang Pengesahan, Pengundangan dan Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan;

8. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2007 tentang Pengesahan, Pengundangan dan Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan; PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG LEGISLASI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUWU TIMUR, Menimbang : a. bahwa peraturan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berperan untuk mentransfer ilmu pengetahuan kepada peserta didik, guru

BAB I PENDAHULUAN. berperan untuk mentransfer ilmu pengetahuan kepada peserta didik, guru BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peranan guru sangat penting dalam dunia pendidikan, karena selain berperan untuk mentransfer ilmu pengetahuan kepada peserta didik, guru juga dituntut untuk

Lebih terperinci

OLEH: DR. WICIPTO SETIADI, S.H., M.H. PENDAHULUAN. law as a tool of social engineering

OLEH: DR. WICIPTO SETIADI, S.H., M.H. PENDAHULUAN. law as a tool of social engineering TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KEDUDUKAN HUKUM DAN IMPLIKASI PERSETUJUAN MENTERI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN OLEH: DR. WICIPTO SETIADI, S.H., M.H.

Lebih terperinci

2/1/2008 RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PERATURAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SRAGEN,

2/1/2008 RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PERATURAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SRAGEN, 1 SALINAN 2/1/2008 RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PERATURAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SRAGEN, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM. Dalam literatur ilmu politik, ilmu pemerintahan, dan ilmu hukum sering ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM. Dalam literatur ilmu politik, ilmu pemerintahan, dan ilmu hukum sering ditemukan BAB II TINJAUAN UMUM 2.1. Pengertian kewenangan Dalam literatur ilmu politik, ilmu pemerintahan, dan ilmu hukum sering ditemukan istilah kekuasaan, kewenangan, dan wewenang. Kekuasaan sering disamakan

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang a. bahwa pembentukan peraturan

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Kedudukan dan Kewenangan Wakil Kepala Daerah dalam Menandatangani Produk Hukum Daerah Ditinjau dari Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pembentukan

Lebih terperinci

KEPASTIAN HUKUM DAN TANGGUNG GUGAT ATAS DISKRESI

KEPASTIAN HUKUM DAN TANGGUNG GUGAT ATAS DISKRESI KEPASTIAN HUKUM DAN TANGGUNG GUGAT ATAS DISKRESI Publicadm.blogspot.com I. PENDAHULUAN Salah satu permasalahan pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan dan pengelolaan keuangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berwenang untuk membuat Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah.

BAB I PENDAHULUAN. berwenang untuk membuat Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai daerah otonom, pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota, berwenang untuk membuat Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah. Peraturan Daerah

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 38/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 38/PUU-XV/2017 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 38/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 I. PEMOHON Afriady Putra S.,SH., S.Sos. Kuasa Hukum: Virza

Lebih terperinci

GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH 1 GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI SELATAN, Menimbang : a.

Lebih terperinci

PROVINSI JAWA TENGAH

PROVINSI JAWA TENGAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 15 TAHUN 2014 TENTANG MEKANISME PENYUSUNAN PROGRAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANJARNEGARA,

Lebih terperinci

BUPATI TAPIN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN BUPATI TAPIN NOMOR 02 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI TAPIN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN BUPATI TAPIN NOMOR 02 TAHUN 2014 TENTANG SALINAN BUPATI TAPIN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN BUPATI TAPIN NOMOR 02 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN TAPIN DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR M.HH-01.PP.05.01 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN FASILITASI PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang merupakan peraturan yang

BAB I PENDAHULUAN. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang merupakan peraturan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang merupakan peraturan yang ditetapkan oleh Presiden dalam keadaan genting dan memaksa. Dalam hal kegentingan tersebut, seorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Norma hukum yang berlaku di Indonesia berada dalam sistem berlapis dan

BAB I PENDAHULUAN. Norma hukum yang berlaku di Indonesia berada dalam sistem berlapis dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Norma hukum yang berlaku di Indonesia berada dalam sistem berlapis dan berjenjang sekaligus berkelompok-kelompok dimana suatu norma berlaku, bersumber pada norma yang

Lebih terperinci

BUPATI TASIKMALAYA PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN TASIKMALAYA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

BUPATI TASIKMALAYA PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN TASIKMALAYA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH BUPATI TASIKMALAYA PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN TASIKMALAYA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TASIKMALAYA,

Lebih terperinci

Kewenangan pembatalan peraturan daerah

Kewenangan pembatalan peraturan daerah Kewenangan pembatalan peraturan daerah Oleh : Dadang Gandhi, SH.,MH Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Tangerang Email: dadanggandhi@yahoo.co.id Abstrak Sebagai pelaksanaan Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

BUPATI LUMAJANG PROPINSI JAWA TIMUR

BUPATI LUMAJANG PROPINSI JAWA TIMUR BUPATI LUMAJANG PROPINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KAB LUMAJANG NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUMAJANG, Menimbang : a. bahwa produk

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG UNDANG RANCANGAN UNDANG UNDANG

RANCANGAN UNDANG UNDANG RANCANGAN UNDANG UNDANG RUU-AP VERSI NOVEMBER 2007 (SARAN RAPAT RANCANGAN UNDANG UNDANG NOMOR TAHUN TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sesuai dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat diubah oleh MPR sekalipun, pada tanggal 19 Oktober 1999 untuk pertama

BAB I PENDAHULUAN. dapat diubah oleh MPR sekalipun, pada tanggal 19 Oktober 1999 untuk pertama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setelah pemerintah orde baru mengakhiri masa pemerintahannya pada tanggal 20 Mei 1998 melalui suatu gerakan reformasi, disusul dengan percepatan pemilu di tahun 1999,

Lebih terperinci

WALIKOTA SERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KOTA SERANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

WALIKOTA SERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KOTA SERANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH WALIKOTA SERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KOTA SERANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SERANG, Menimbang : a. bahwa pembentukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah institusi yang berperan melakukan kegiatan pengujian konstitusional di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TRENGGALEK,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TRENGGALEK, PEMERINTAH KABUPATEN TRENGGALEK SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG TATA HUBUNGAN KERJA ANTAR PENYELENGGARA PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH I. UMUM Berdasarkan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

Lebih terperinci

DELEGASI REGULASI DAN SIMPLIFIKASI REGULASI DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN KEPALA DAERAH

DELEGASI REGULASI DAN SIMPLIFIKASI REGULASI DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN KEPALA DAERAH 1 DELEGASI REGULASI DAN SIMPLIFIKASI REGULASI DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN KEPALA DAERAH Abstract Oleh : Petrus Kadek Suherman, S.H., M.Hum Perancang Peraturan Perundang-Undangan Pertama Kantor Wilayah

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2010 SERI D.1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2010 SERI D.1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2010 SERI D.1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas

Lebih terperinci

PENGUATAN FUNGSI LEGISLASI DPRD KABUPATEN/KOTA Oleh: Achmadudin Rajab * Naskah diterima: 06 April 2016; disetujui: 22 April 2016

PENGUATAN FUNGSI LEGISLASI DPRD KABUPATEN/KOTA Oleh: Achmadudin Rajab * Naskah diterima: 06 April 2016; disetujui: 22 April 2016 PENGUATAN FUNGSI LEGISLASI DPRD KABUPATEN/KOTA Oleh: Achmadudin Rajab * Naskah diterima: 06 April 2016; disetujui: 22 April 2016 Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Kewenangan Pengawasan Produk Hukum Daerah oleh Pemerintah

BAB V PENUTUP. 1. Kewenangan Pengawasan Produk Hukum Daerah oleh Pemerintah 137 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan analisis sebagaimana diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Kewenangan Pengawasan Produk Hukum Daerah oleh Pemerintah Keberadaan produk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Produk hukum, terutama undang-undang, keberadaannya dituntut. untuk dinamis terhadap kebutuhan hukum yang diperlukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Produk hukum, terutama undang-undang, keberadaannya dituntut. untuk dinamis terhadap kebutuhan hukum yang diperlukan oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Produk hukum, terutama undang-undang, keberadaannya dituntut untuk dinamis terhadap kebutuhan hukum yang diperlukan oleh masyarakat, sehingga tidak jarang apabila sebuah

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 9/PUU-XV/2017 Mekanisme Pengangkatan Wakil Kepala Daerah yang Berhenti Karena Naiknya Wakil Kepala Daerah Menggantikan Kepala Daerah I. PEMOHON Dr. Ahars Sulaiman, S.H.,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULANG BAWANG BARAT NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULANG BAWANG BARAT NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULANG BAWANG BARAT NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TULANG BAWANG BARAT, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG HIBAH DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG HIBAH DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG HIBAH DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi

Lebih terperinci

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN DAERAH KOTA KEDIRI NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN DAERAH KOTA KEDIRI NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN WALIKOTA KEDIRI PERATURAN DAERAH KOTA KEDIRI NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KEDIRI, Menimbang : a. bahwa produk hukum

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKUM. Peraturan Perundang-undangan. Penyusunan. Pedoman

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKUM. Peraturan Perundang-undangan. Penyusunan. Pedoman No.1430, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKUM. Peraturan Perundang-undangan. Penyusunan. Pedoman PERATURAN MENTERI KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 08 /PER/M.KUKM/IX/2014

Lebih terperinci

Gubernur Jawa Barat DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT,

Gubernur Jawa Barat DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 37 TAHUN 2011 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG PENYUSUNAN DAN PENGELOLAAN PROGRAM LEGISLASI

Lebih terperinci

WALIKOTA MADIUN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

WALIKOTA MADIUN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH WALIKOTA MADIUN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MADIUN, Menimbang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Bahan Raker, 17-05-04 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :a.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berlaku, yang mana bertujuan agar masyarakat dalam menjalani

BAB I PENDAHULUAN. yang berlaku, yang mana bertujuan agar masyarakat dalam menjalani 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan masyarakat senantiasa diliputi dengan aturan atau hukum yang berlaku, yang mana bertujuan agar masyarakat dalam menjalani kehidupannya, tidak merugikan

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 1 TAHUN 2010 TENTANG PENYUSUNAN DAN PENGELOLAAN PROGRAM LEGISLASI DAERAH

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 1 TAHUN 2010 TENTANG PENYUSUNAN DAN PENGELOLAAN PROGRAM LEGISLASI DAERAH RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 1 TAHUN 2010 TENTANG PENYUSUNAN DAN PENGELOLAAN PROGRAM LEGISLASI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR PENYUSUNAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR PENYUSUNAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR PENYUSUNAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, Menimbang : a. bahwa dalam rangka untuk

Lebih terperinci

PENGHARMONISASIAN, PEMBULATAN, DAN PEMANTAPAN KONSEPSI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG MASYARAKAT ADAT

PENGHARMONISASIAN, PEMBULATAN, DAN PEMANTAPAN KONSEPSI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG MASYARAKAT ADAT PENGHARMONISASIAN, PEMBULATAN, DAN PEMANTAPAN KONSEPSI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG MASYARAKAT ADAT I. Pendahuluan Badan Legislasi telah menerima surat tertanggal 27 Juli 2017 perihal usulan Rancangan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 87 TAHUN 2014 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB III KEDUDUKAN SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 34/PUU- XII/2014

BAB III KEDUDUKAN SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 34/PUU- XII/2014 BAB III KEDUDUKAN SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 34/PUU- XII/2014 A. Latar Belakang Keluarnya SEMA No. 7 Tahun 2014 Pada awalnya SEMA dibentuk berdasarkan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2018 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 87 TAHUN 2014 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembentukan peraturan

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No.5943 ADMINISTRASI. Sanksi. Pejabat Pemerintahan. Administratif. Tata Cara. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 230) PENJELASAN ATAS PERATURAN

Lebih terperinci

BEBERAPA KETENTUAN DALAM UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 DENGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 1

BEBERAPA KETENTUAN DALAM UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 DENGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 1 BEBERAPA KETENTUAN DALAM UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 DENGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 1 Yudi Widagdo Harimurti 2 Email : yudi.harimurti@trunojoyo.ac.id Abstrak Dasar hukum

Lebih terperinci

WALIKOTA AMBON PROVINSI MALUKU PERATURAN DAERAH KOTA AMBON NOMOR - 15 TAHUN 2015 TENTANG PROSEDUR PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

WALIKOTA AMBON PROVINSI MALUKU PERATURAN DAERAH KOTA AMBON NOMOR - 15 TAHUN 2015 TENTANG PROSEDUR PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH WALIKOTA AMBON PROVINSI MALUKU PERATURAN DAERAH KOTA AMBON NOMOR - 15 TAHUN 2015 TENTANG PROSEDUR PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA AMBON, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

KEKUATAN HUKUM PERDA

KEKUATAN HUKUM PERDA SUBSTANSI PENGERTIAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH PERATURAN DAERAH KEPENTINGAN UMUM PRINSIP PENETAPAN RAPERDA MENJADI PERDA KEKUATAN HUKUM PERDA DASAR PERTIMBANGAN PERDA TAHAP RAPERDA DAN PENETAPANNYA PERSIAPAN

Lebih terperinci

Muchamad Ali Safa at

Muchamad Ali Safa at Muchamad Ali Safa at DASAR HUKUM Pasal 18 ayat (6) UUD 1945, Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturanperaturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Pemerintahan

Lebih terperinci

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DESA

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DESA BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TRENGGALEK, Menimbang : a.

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 7 2006 SERI E R PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 4 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN MENGHARAP BERKAT DAN RAHMAT ALLAH SUBHANAHU

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembentukan peraturan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 48/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas yang bertentangan dengan Pancasila Dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 48/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas yang bertentangan dengan Pancasila Dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 48/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas yang bertentangan dengan Pancasila Dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 I. PEMOHON Chandra Furna Irawan, Ketua Pengurus Yayasan Sharia

Lebih terperinci