BAB 1 BAB 1 PENDAHULUAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 1 BAB 1 PENDAHULUAN"

Transkripsi

1 BAB 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Lahan rawa adalah suatu bentangan tanah yang mempunyai topografi relatif datar atau cekung dengan kondisi drainase yang buruk dan secara alami tergenang air sepanjang tahun atau selama periode tertentu yang cukup panjang (semusim) (Kodoatie et. al., 2007; Kementerian PU, 2008). Ditinjau dari segi fisik dan proses pembentukannya, lahan rawa dibagi menjadi rawa pasang surut dan rawa non pasang surut (Noor, 2004; Kementerian PU, 2008). Rawa pasang surut terletak di pantai atau dekat pantai, di muara atau dekat muara sungai sehingga dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Rawa non pasang surut dikenal sebagai rawa pedalaman atau rawa lebak yaitu rawa yang tidak dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Pengembangan lahan rawa pasang surut menjadi perhatian serius, mengingat daerah ini berpotensi untuk dikembangkan sebagai lahan pertanian, seperti tanaman padi dan palawija guna menunjang program ketahanan pangan nasional (Mulyana, 2012). Luas potensi lahan rawa pasang surut untuk pertanian di Indonesia sekitar 9,5 juta hektar (Noor, 2004), yang tersebar di tiga pulau, yaitu terluas di Sumatera sekitar 3,9 juta hektar, di Papua 2,8 juta hektar, dan di Kalimantan 2,7 juta hektar (Sudana, 2005). Total lahan rawa pasang surut yang telah diusahakan baik direklamasi oleh pemerintah maupun oleh penduduk secara swadaya sekitar 4,1 juta hektar (44%) (Sudana, 2005). Hal ini menunjukkan potensi lahan rawa pasang surut masih dapat dikembangkan. Setelah kurang lebih 40 tahun pelaksanaan pengembangan irigasi pasang surut pada daerah rawa oleh pemerintah, hingga saat ini tingkat produktivitas padi di lahan rawa masih rendah, yaitu 2 hingga 2,5 ton/ha/tahun (Noor, 2004; Sutami, 2004; Consultant DDC, 2007; Kurniawan, 2010; Irwandi, 2015). Tingkat produktivitas yang rendah ini dipengaruhi oleh rendahnya kualitas lahan dan kualitas air yang disebabkan oleh infrastruktur yang masih minim, kemampuan petani, dan dukungan pemerintah yang kurang memadai (Consultant DDC, 2007; Irwandi, 2015). Kualitas air di daerah rawa pasang surut salah satunya dipengaruhi oleh kinerja jaringan tata air. Dari pengamatan dilapangan, jaringan yang ada saat ini, salah satunya yaitu jaringan tata air di daerah rawa pasang surut Pinang Luar di Kabupaten Kubu Raya 1

2 Provinsi Kalimantan Barat, belum dikembangkan sesuai tahapan pengembangan jaringan rawa sehingga menyebabkan kesulitan dalam mendapatkan air tawar yang cukup. Contoh kasus lain pada daerah rawa di Kalimantan Selatan, jaringan yang sudah dibangun tidak terawat dengan baik sehingga aliran airnya tidak lancar (Consultant DDC, 2007). Pada musim hujan terjadi penggenangan air yang berasal dari air hujan, luapan banjir dari sungai utama, pasang naik dari air laut, atau kombinasi keduanya. Sedangkan pada musim kemarau akan terjadi kekeringan dan pada daerah yang dekat dengan muara akan terjadi rob, yaitu masuknya aliran muka air laut ke daratan (Widada, 2007; Rahmasari & Hariyanto, 2011). Produktivitas tanaman pangan komoditas padi secara nasional pada tahun 1993 s.d. tahun 2015 menunjukkan kecenderungan (trend) meningkat. Produktivitas padi nasional pada tahun berkisar antara 4,2 hingga 5,3 ton gabah kering giling (GKG) per hektar. Produktivitas padi tertinggi berada di Pulau Jawa, yaitu berkisar antara 4,5 hingga 5,6 ton GKG per hektar. Produktivitas terendah berada di Pulau Kalimantan yaitu 2,4 hingga 3,7 ton GKG per hektar (BPS, 2016), lihat Gambar 1.1. Lahan pertanian di Kalimantan didominasi oleh lahan rawa. Produktivitas padi di lahan rawa masih rendah (Haryono, 2013). Untuk meningkatkan produktivitas lahan rawa maka perlu dilakukan upaya-upaya pengembangan pada segala sektor, antara lain peningkatan jaringan irigasi rawa. Peningkatan jaringan irigasi rawa dapat dilakukan dengan perbaikan teknis sarana dan prasarana penunjang pertanian. Gambar 1.1. Produktivitas Padi per Tahun (BPS, 2016) Produktivitas pertanian yang rendah di daerah rawa pasang surut menyebabkan petani tidak termotivasi untuk terus menanam padi. Akibat dari rendahnya produksi pertanian ini juga menyebabkan banyak lahan pertanian di lahan rawa pasang surut 2

3 berubah fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit atau perkebunan lainnya. Laju alih fungsi lahan persawahan pasang surut menjadi perkebunan kelapa sawit mencapai 6% per tahun (Suprapto, 2011). Secara signifikan alih fungsi lahan ini dipengaruhi oleh persepsi negatif petani terhadap faktor kondisi infrastruktur, harga kelapa sawit yang lebih tinggi, dan harga padi yang rendah (Suprapto, 2011). Kondisi infrastuktur yang dimaksud adalah tidak terawatnya jaringan tata air yang ada karena kurang memadainya pelaksanaan operasi dan pemeliharaan (OP) oleh pemerintah. Secara teknis kondisi saluran kurang baik menyebabkan aliran air di saluran tidak lancar, yang berdampak pada rendahnya kualitas air di saluran maupun di lahan pertanian. Kinerja OP yang maksimal memerlukan dukungan jaringan tata air yang baik. Pengelolaan air yang baik hanya dapat dilakukan pada lokasi yang dilengkapi dengan infrastruktur jaringan yang baik. Fakta di lapangan menunjukkan pengelolaan air yang ideal masih sulit dilakukan karena minimnya infrastruktur penunjang yang tersedia di daerah rawa pasang surut, misalnya infrastruktur di daerah rawa Pinang Luar di Kalimantan Barat. Pengolahan lahan rawa pasang surut menyebabkan terjadi perubahan karakteristik lahan salah satunya yaitu perubahan hidrotopografi. Hidrotopografi lahan adalah hubungan antara elevasi muka lahan dan elevasi muka air di saluran dan di lahan rawa pasang surut. Tipe hidrotopografi lahan dapat menunjukkan sejauh mana kemungkinan luapan air dapat menggenangi lahan (Departemen PU, 2007). Berdasarkan luapan air pada lahan, ada 4 tipe hidrotopografi yang dikenal, yaitu A, B, C, dan D. Penjelasan tipe hidrotopografi lahan rawa pasang surut dapat dilihat pada Subbab Gambar 2.7. Hidrotopografi A adalah lahan terluapi air sebanyak 4-5 kali pada siklus pasang surut selama 14 hari di musim hujan maupun musim kemarau, sedangkan hidrotopgrafi B terluapi 4-5 kali pada musim hujan saja. Hidrotopografi C merupakan lahan yang tidak dapat terluapi air pasang atau terluapi kurang dari 4 kali. Permukaan lahan umumnya relatif lebih tinggi dari tipe A dan B, sehingga air pasang hanya mempengaruhi muka air tanah saja. Hidrotopografi D tidak pernah terluapi air, namun pengaruh tinggi muka air di saluran mempengaruhi tinggi muka air tanah. Hidrotopografi C, tinggi muka air kurang dari 50 cm di bawah muka tanah, sedangkan hidrotopografi D, tinggi muka air tanah lebih dari 50 cm di bawah muka tanah. 3

4 Lahan tipe hidrotopografi A berpotensi untuk ditanami padi, tipe hidrotopografi B berpotensi ditanami padi dan palawija, sedangkan tipe hidrotopografi C dan D berpotensi ditanami tanaman keras. Hidrotopografi ini dapat mempengaruhi terjadinya sirkulasi air yang terkendali pada sistem tata air pasang surut, sehingga proses pematangan atau pencucian tanah dapat berjalan dengan baik (Syaefudin, 2009). Berdasarkan tipe hidrotopografi, kemampuan pemberian air irigasi dan drainase secara gravitasi yang dinyatakan sebagai irigabilitas (potensi irigasi pasang surut) dan drainabilitas (kemampuan drainase atau kemampuan membuang air kelebihan) dari suatu lahan daerah rawa pasang surut (Kodoatie et. al., 2007; Wangsadipoera, 2007). Perubahan hidrotopografi dapat terjadi akibat perubahan karakteristik lahan. Perubahan hidrotopografi yang dimaksud adalah perubahan tipe hidrotopografi suatu lahan, dimana semula pada lahan tersebut merupakan lahan dengan tipe hidrotopografi A, berubah menjadi lahan dengan tipe hidrotopografi B atau sebaliknya. Perubahan hidrotopografi lahan rawa pasang surut dipengaruhi oleh penurunan muka tanah (landsubsidence) (Rahmadi et. al., 2012), kondisi jaringan tata air di daerah rawa pasang surut, perubahan regime aliran di sungai, dan perubahan kenaikan muka air laut (sea level rise). Perubahan hidrotopografi lahan dapat berdampak positif maupun negatif bagi irigasi rawa pasang surut. Perubahan hidrotopografi yang berdampak positif dapat diperoleh dengan adanya penurunan elevasi muka tanah (land subsidence) (Glopper et. al., 1986; Dradjad et. al., 1986). Dengan terjadinya penurunan elevasi muka tanah akan memperluas daerah tipe hidrotopografi A dan B, yaitu daerah yang cocok untuk tanaman pertanian (khususnya padi) dengan sistem irigasi pasang surut. Perubahan hidrotopografi yang berdampak negatif dapat disebabkan oleh pengaruh penurunan regime aliran dari sungai, dimana akan menyebabkan penurunan frekwensi luapan air tawar pada lahan. Sedangkan kenaikan muka air laut bisa berdampak positif atau negatif, tergantung pada keadaan aliran dari hulu sungai. Gejala perubahan regime aliran sungai ini dapat dilihat pada penurunan fungsi hidrologis DAS di hulu sungai. DAS yang berfungsi sebagai penyimpan air pada musim hujan dan melepaskan air sebagai base flow pada musim kemarau, dan kemampuan menyimpan air telah menurun (DKKSDA, 2010). Ketika musim penghujan, air langsung mengalir menjadi aliran permukaan yang kadang-kadang menyebabkan banjir. 4

5 Sebaliknya pada musim kemarau, aliran base flow sangat kecil bahkan ada beberapa sungai tidak mengalirkan air, sehingga ribuan hektar sawah dan tambak ikan tidak mendapat suplai air tawar selama musim kemarau (DKKSDA, 2010). Kenaikan muka air laut atau sea level rise (SLR) adalah meningkatnya muka air laut yang disebabkan oleh banyak faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain, pengaruh pasang surut air laut dan perubahan iklim global, serta akibat mencairnya glasier pegunungan dan tutupan es yang diprediksi menjadi penyebab utama kenaikan muka air laut. Kenaikan muka air laut hingga awal abad ke-19 hanya berkisar antara 0,1 hingga 0,2 mm/tahun. Pada tahun 1990 an, muka air laut naik 1 hingga 3 mm/tahun (Alley et. al., 2010; Cronin, 2012). Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Laut dan Pesisir- P3SDLP (2014), menyatakan bahwa kenaikan muka laut Indonesia yaitu 0,76 cm per tahun. Kenaikan muka air laut ini dapat menyebabkan kemungkinan intrusi air asin semakin jauh masuk ke daratan (Glopper et. al., 1986). Jika debit sungai tetap, maka naiknya muka air laut bertindak sebagai pembendung yang lebih tinggi, sehingga air sungai bisa lebih tinggi dan lebih luas menggenangi lahan di sekitarnya. Meskipun jangkauan intrusi lebih ke hulu saat pasang air laut, namun intrusi air laut hanya terjadi di air tanah. Berkenaan dengan perencanaan daerah rawa telah diterbitkan Manual Perencanaan Teknis Jaringan Reklamasi Rawa dan Tambak tahun 2007 (Departemen PU, 2007). Disebutkan dalam manual tersebut bahwa dalam penentuan pengelolaan air, faktor penting untuk dikaji adalah faktor hidrotopografi, disamping faktor tanah, kualitas air dan tata letak geografisnya (Kementerian PU, 2008). Kriteria desain pada aspek teknis didasarkan pada data fisik seperti: penetapan beban limpasan (modulus drainase), pengaturan ketinggian muka air tanah di lahan dan di saluran, penentuan dimensi atau ukuran saluran dan pola drainase, kebutuhan transportasi (navigability), kebutuhan jalan, jembatan, timbunan, dan bangunan hidraulis atau pintu air (Departemen PU, 2007). Namun kriteria pengaruh regime aliran sungai sebagai pemasok air irigasi belum secara eksplisit disebutkan. Dalam perencanaan jaringan tata air di daerah rawa pasang surut, dimensi saluran ditentukan oleh kebutuhan pembuangan air atau saluran drainase (Departemen PU, 2007). Debit rencana untuk penentuan dimensi saluran adalah besarnya modulus drainase yang 5

6 merupakan penjumlahan dari kebutuhan air irigasi dan kelebihan air hujan (Departemen PU, 2007). Besarnya modulus drainase ini dihitung berdasarkan banyaknya curah hujan. Pada lahan yang dipengaruhi pasang surut, saluran tidak hanya menampung kelebihan air hujan saja, tetapi ada pengaruh pasang surut air laut. Pengaruh pasang surut ini dapat menahan aliran air berupa pembendungan terhadap aliran air dari hulu, maupun dapat menyebabkan masuknya air laut ke dalam saluran atau sungai (Lin et. al., 1995; Widada, 2007). Beberapa penelitian yang pernah dilakukan di daerah rawa pasang surut adalah berikut ini. 1. Fluktuasi air tanah di Daerah Rawa Telang, Sumatera Selatan yang mempunyai frekwensi pasang surut sangat perlahan (satu siklus tiap tiga hari) dan mempunyai amplitudo kurang dari 60 cm (Nugroho, 2004). 2. Pengendalian muka air tanah di lahan sangat tergantung pada tinggi muka air di saluran tersier. Banyaknya curah hujan dan evapotranspirasi hanya memberikan pengaruh yang kecil terhadap tinggi muka air tanah di lahan (Ngudiantoro, 2010). 3. Tujuan utama pengelolaan air di daerah rawa pasang surut adalah tampungan air (water retention) dan pencucian lahan (land leaching) (Imanudin et. al., 2009). 4. Pemanfaatan lahan rawa pasang surut yang optimal dapat dilakukan dengan pengelolaan lahan dan komoditas yang adaptif. Pengelolaan air dengan sistem aliran air satu arah pada tipe hidrotopografi A dan B, serta sistem tabat (konservasi) pada tipe hidrotopografi C dapat meningkatkan produktivitas lahan rawa pasang surut (Nazemi et. al., 2012). 5. Hidrotopografi merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan kebijakan pengelolaan air di lahan rawa pasang surut (Rahmadi et. al., 2010). Perubahan hidrotopografi dapat disebabkan oleh terjadinya subsidence dan sea level rise (SLR), di daerah rawa Telang I Palembang, Sumatera Selatan telah terjadi perubahan berupa hidrotopografi A dan B yang cenderung bertambah, sedangkan hidrotopografi C berkurang (Rahmadi et. al., 2010). Dari penelitian yang pernah dilakukan belum ada penelitian yang meninjau pengaruh faktor perubahan (penurunan) regime aliran air di bagian hulu sungai dan kenaikan muka air laut (sea level rise) (SLR) terhadap perubahan hidrotopografi pada daerah rawa pasang surut. Dengan demikian penelitian dengan topik perubahan 6

7 hidrotopografi pada daerah rawa pasang surut yang dipengaruhi oleh perubahan regime aliran sungai dan kenaikan muka air laut menarik untuk dilakukan. Penelitian ini penting, karena akan mendapatkan laju perubahan hidrotopografi pada daerah rawa pasang surut akibat perubahan regime aliran dan kenaikan muka air laut. Dengan mengetahui adanya perubahan hidrotopografi lahan maka dapat dilakukan beberapa upaya penyesuaian tata air daerah rawa sehingga produktivitas lahan dapat ditingkatkan Identifikasi Masalah Dengan anggapan bahwa daerah rawa merupakan suatu daerah yang relatif datar, maka sistem yang direncanakan di lapangan dianggap cukup dengan membangun 1 sistem jaringan pengembangan rawa. Fakta di lapangan tidaklah demikian. Berdasarkan fakta di lapangan, timbul pemikiran mengenai pembagian lahan sesuai kondisi kebasahannya (Darmanto, 2013). Selanjutnya pembagian lahan yang dikenal dengan tipe hidrotopografi ini menentukan kesesuaian lahan pada daerah rawa yang akan dikembangkan. Setelah dibangun dan dikembangkan selama 40 tahun, produktivitas pertanian di daerah rawa pasang surut masih rendah, misalnya produktivitas padi yaitu 2 hingga 2,5 ton GKG/ha/tahun. Rendahnya produktivitas pertanian ini dapat disebabkan oleh kuantitas dan kualitas air yang tersedia belum mencukupi kebutuhan tanaman. Selain itu aspek operasional dan pemeliharaan infrastruktur tata air juga mempengaruhi keberhasilan produktivitas pertanian. Metode pemberian air irigasi yang dibutuhkan oleh tanaman juga dipengaruhi oleh tipe hidrotopografi lahan. Dalam suatu sistem tata air daerah rawa dapat terjadi perubahan tipe hidrotopografi lahan. Perubahan hidrotopografi dapat disebabkan oleh penurunan permukaan lahan (land subsidence), peningkatan pemukaan air laut (sea level rise) dan regime aliran dari hulu sungai. Perubahan iklim global dan pengembangan wilayah pada bagian hulu sungai telah menyebabkan terjadinya perubahan debit aliran dari hulu sungai. Perubahan ini berpengaruh terhadap penyediaan air tawar bagi pertanian di daerah rawa pasang surut yang dikembangkan. Fenomena yang terjadi adalah pada musim hujan akan terjadi banjir sehingga menggenangi lahan, sedangkan pada musim kemarau akan terjadi kekeringan yang menyebabkan lahan tidak dapat ditanami. Demikian juga pengaruh dari perubahan muka air laut akan mempengaruhi kuantitas air yang mengalir ke daerah rawa pasang surut. 7

8 Salah satu contoh daerah rawa yang mengalami perubahan hidrotopografi adalah daerah rawa Pinang Luar di Provinsi Kalimantan Barat. Sistem tata air daerah ini mulai dibangun pada tahun 1976 dengan luas area ha. Berdasarkan kajian pada tahun 1999, pembagian tipe hidrotopografinya adalah tipe B seluas 442 ha, tipe C seluas 955 ha, dan tipe D seluas 803 ha (Euroconsult, 1999). Sedangkan pada tahun 2008 pembagian luas hidrotopografi di daerah rawa Pinang Luar yaitu, tipe B seluas 822 ha, tipe C seluas 886 ha, dan tipe D seluas 740 ha (BWSK-I, 2008). Produktivitas pertanian pada daerah rawa Pinang Luar masih rendah. Hasil panen padi tahun 1999 adalah 1 hingga 2,5 ton/ha (Euroconsult, 1999). Meskipun telah terjadi penambahan tipe hidrotopografi B dan C pada tahun 2008, namun hasil panen padi pada tahun 2008 masih rendah, yaitu 1 hingga 1,5 ton/ha. Dari data diketahui bahwa beberapa bagian lahan semula diperuntukkan menanam padi telah diubah untuk tanaman palawija. Tanaman palawija yang banyak diusahakan adalah jagung. Produksi jagung berkisar antara 2,4 hingga 3,6 ton/ha per musim tanam. Dari latar belakang dan uraian di atas dan dengan memperhatikan fakta di lapangan dapat diidentifikasi masalah sebagai berikut: 1. produktivitas pertanian di daerah rawa pasang surut masih rendah, 2. motivasi petani melakukan usaha tani di daerah rawa pasang surut rendah, 3. terjadi kenaikan muka air laut (sea level rise), 4. terjadi perubahan regime aliran, 5. beberapa bagian di lahan, pada waktu sebelumnya dapat terluapi air dari saluran, namun saat ini air di saluran tidak dapat mencapai lahan tersebut Perumusan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. apakah telah terjadi perubahan regime aliran sungai dari hulu? 2. bagaimana pengaruh penurunan regime aliran (debit sungai) terhadap perubahan hidrotopografi? 3. bagaimana pengaruh kenaikan muka air laut pada perubahan hidrotopografi? 4. bagaimana pengaruh perubahan regime aliran dan kenaikan muka air laut terhadap perubahan hidrotopografi? 5. bagaimana dampak perubahan hidrotopografi terhadap irigasi pasang surut yang ada di daerah rawa pasang surut? 8

9 1.4. Maksud dan Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan di atas maka maksud penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penurunan regime aliran dan kenaikan muka air laut terhadap hidrotopografi pada irigasi pasang surut. Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. menganalisis perubahan regime aliran sungai, 2. menganalisis pengaruh perubahan regime aliran terhadap perubahan hidrotopografi, 3. menganalisis pengaruh kenaikan muka air laut terhadap perubahan hidrotopografi. 4. menganalisis pengaruh perubahan regime aliran dan kenaikan muka air laut terhadap perubahan hidrotopografi, 5. menganalisis dampak perubahan hidrotopografi terhadap irigasi pasang surut yang ada di daerah rawa pasang surut Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah: 1. memberikan masukan dalam perencanaan tata air pada irigasi pasang surut agar memperhitungkan pengaruh regime aliran air di hulu sungai dan kenaikan muka air laut dalam menentukan tipe hidrotopografi lahan di daerah rawa pasang surut, dengan perencanaan jaringan tata air yang lebih baik, diharapkan dapat meningkatkan produktivitas pertanian pada lahan rawa pasang surut. 2. memberikan penjelasan teori tentang perubahan hidrotopografi yang terjadi di lahan rawa pasang surut, 3. memberikan bahan referensi dan informasi bagi peneliti tentang hidrotopografi daerah rawa pasang surut Pembatasan (Ruang Lingkup) Masalah Penelitian Aspek yang berpengaruh terhadap pengembangan irigasi pasang surut di daerah rawa pasang surut ini pada masing-masing lokasi pengembangan mempunyai karakteristik yang berbeda-beda. Penelitian dilakukan pada daerah rawa Pinang Luar, Kabupaten Kubu Raya Provinsi Kalimantan Barat, dengan pembatasan pembahasan, yaitu: 1. jaringan tata air daerah rawa pasang surut yang ditinjau adalah jaringan yang sudah ada di lapangan saat ini, 2. aspek yang ditinjau hanya pada aspek teknis saja yang berhubungan dengan desain saluran sebagai dampak perubahan regime aliran dan kenaikan muka air laut, 9

10 3. pengaruh parameter penurunan muka tanah (land subsidence) terhadap perubahan hidrotopografi di daerah rawa pasang surut tidak ditinjau pada penelitian ini, 4. daerah rawa pasang surut yang ditinjau adalah pada unit pelayanan lahan rawa pasang surut yang mempunyai tipe hidrotopografi B, C dan D, 5. lahan yang mempunyai tipe hidrotopografi A tidak ditinjau, karena lahan A umumnya merupakan lahan dengan topografi lebih rendah, sehingga pasang surut air laut sangat berpengaruh terhadap tinggi elevasi air di jaringan tata air daerah rawa pasang surut Sistematika Penulisan Disertasi Sistematika penulisan disertasi ini terdiri dari: Bab 1 Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, identifikasi masalah, perumusan masalah, maksud dan tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan pembatasan (ruang lingkup) masalah serta sistematika penulisan disertasi. Bab 2 Kajian Pustaka dan Kerangka Berpikir terdiri dari uraian tentang pengertian dan definisi lahan rawa, pasang surut, lahan rawa pasang surut, irigasi pasang surut, topografi lahan rawa pasang surut, tinggi muka air tanah, hidrotopografi rawa pasang surut, kenaikan permukaan laut, regime aliran, daerah aliran sungai, pemodelan, kerangka berpikir dan hipotesis penelitian serta kebaruan (novelty). Bab 3 Metode Penelitian terdiri dari uraian tentang pendekatan penelitian, populasi dan sampel penelitian, variabel dan instrument penelitian, desain dan skenario penelitian, prosedur penelitian, dan rencana analisis data. Bab 4 Kompilasi dan Analisis Data berisi tentang pengumpulan data, analisis curah hujan dan debit aliran sungai, analisis perubahan regime aliran sungai, analisis pasang surut air laut, analisis jaringan tata air daerah rawa Pinang Luar dan analisis hidrotopografi lahan. Bab 5 Hasil dan Pembahasan Penelitian terdiri dari pembahasan tentang perubahan regime aliran sungai, pengaruh penurunan regime aliran terhadap perubahan hidrotopografi, pengaruh perubahan kenaikan air laut terhadap perubahan hidrotopografi, dampak perubahan hidrotopografi terhadap irigasi pasang surut. Bab 6 Kesimpulan, Implikasi dan Saran atau Rekomendasi Daftar Pustaka. Lampiran-Lampiran. 10

Rawa pasang surut adalah rawa yang terletak di pantai atau dekat pantai, di muara atau dekat muara sungai sehingga dipengaruhi oleh pasang surutnya

Rawa pasang surut adalah rawa yang terletak di pantai atau dekat pantai, di muara atau dekat muara sungai sehingga dipengaruhi oleh pasang surutnya RAWA adalah sumber air berupa genangan air terus menerus atau musiman yang terbentuk secara alamiah merupakan satu kesatuan jaringan sumber air dan mempunyai ciri-ciri khusus secara phisik, kimiawi dan

Lebih terperinci

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa 3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa Lahan basah non rawa adalah suatu lahan yang kondisinya dipengaruhi oleh air namun tidak menggenang. Lahan basah biasanya terdapat di ujung suatu daerah ketinggian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akan mempengaruhi produksi pertanian (Direktorat Pengelolaan Air, 2010).

BAB I PENDAHULUAN. akan mempengaruhi produksi pertanian (Direktorat Pengelolaan Air, 2010). BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Air merupakan salah satu komponen penting untuk kehidupan semua makhluk hidup di bumi. Air juga merupakan kebutuhan dasar manusia yang digunakan untuk kebutuhan

Lebih terperinci

Rawa pasang surut adalah rawa yang terletak di pantai atau dekat pantai, di muara atau dekat muara sungai sehingga dipengaruhi oleh pasang surutnya

Rawa pasang surut adalah rawa yang terletak di pantai atau dekat pantai, di muara atau dekat muara sungai sehingga dipengaruhi oleh pasang surutnya PENGETAHUAN RAWA RAWA adalah sumber air berupa genangan air terus menerus atau musiman yang terbentuk secara alamiah merupakan satu kesatuan jaringan sumber air dan mempunyai ciri-ciri khusus secara phisik,

Lebih terperinci

REKLAMASI TEKNIK PENGAIRAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

REKLAMASI TEKNIK PENGAIRAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA 1 & 2 REKLAMASI TEKNIK PENGAIRAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA JADFAN SIDQI FIDARI Rencana Pembelajaran Semester (RPS) Rencana Pembelajaran Semester (RPS) Reklamasi Pengertian reklamasi : Istilah reklamasi adalah

Lebih terperinci

PEDOMAN TEKNIS DESAIN OPTIMASI LAHAN RAWA TA 2018 DIREKTORAT PERLUASAN DAN PERLINDUNGAN LAHAN

PEDOMAN TEKNIS DESAIN OPTIMASI LAHAN RAWA TA 2018 DIREKTORAT PERLUASAN DAN PERLINDUNGAN LAHAN PEDOMAN TEKNIS DESAIN OPTIMASI LAHAN RAWA TA 2018 DIREKTORAT PERLUASAN DAN PERLINDUNGAN LAHAN KATA PENGANTAR Pedoman Desain Optimasi Lahan Rawa dimaksudkan untuk memberikan acuan dan panduan bagi para

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diwujudkan melalui keberlanjutan sistem irigasi.

BAB I PENDAHULUAN. diwujudkan melalui keberlanjutan sistem irigasi. BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Irigasi adalah usaha penyediaan dan pengaturan air untuk menunjang pertanian yang jenisnya meliputi irigasi permukaan, irigasi rawa, irigasi air bawah tanah, irigasi

Lebih terperinci

ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahan merupakan sumber daya alam yang memiliki fungsi yang sangat luas dalam memenuhi berbagai kebutuhan manusia. Di lihat dari sisi ekonomi, lahan merupakan input

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rawa merupakan sebutan bagi semua lahan yang tergenang air, yang penggenangannya dapat bersifat musiman ataupun permanen dan ditumbuhi oleh tumbuhan (vegetasi). Di Indonesia

Lebih terperinci

Pengelolaan Sumbedaya Air untuk Meningkatkan Produksi Tanaman Padi Secara Berkelanjutan di Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan

Pengelolaan Sumbedaya Air untuk Meningkatkan Produksi Tanaman Padi Secara Berkelanjutan di Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan Pengelolaan Sumbedaya Air untuk Meningkatkan Produksi Tanaman Padi Secara Berkelanjutan di Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan Water Resource Management to Increase Sustainably of Rice Production in Tidal

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN RAWA PASANG SURUT UNTUK TAMBAK. SITI YULIAWATI DOSEN KOPERTIS WILAYAH I Dpk UNIVERSITAS DHARMAWANGSA MEDAN

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN RAWA PASANG SURUT UNTUK TAMBAK. SITI YULIAWATI DOSEN KOPERTIS WILAYAH I Dpk UNIVERSITAS DHARMAWANGSA MEDAN ANALISIS KESESUAIAN LAHAN RAWA PASANG SURUT UNTUK TAMBAK SITI YULIAWATI DOSEN KOPERTIS WILAYAH I Dpk UNIVERSITAS DHARMAWANGSA MEDAN LAHAN RAWA PASANG SURUT Merupakan lahan yang dipengaruhi oleh gerakan

Lebih terperinci

Pemanfaatan Pintu Pengendali Muka Air Di Jaringan Sub Kuarter Daerah Rawa Terentang Hulu Kalimantan Barat

Pemanfaatan Pintu Pengendali Muka Air Di Jaringan Sub Kuarter Daerah Rawa Terentang Hulu Kalimantan Barat Pemanfaatan Pintu Pengendali Muka Air Di Jaringan Sub Kuarter Daerah Rawa Terentang Hulu Kalimantan Barat Henny Herawati 1 1 Program Studi Teknik Sipil, Universitas Tanjungpura, Jl. Ahmad Yani Pontianak

Lebih terperinci

TATA PENGELOLAAN BANJIR PADA DAERAH REKLAMASI RAWA (STUDI KASUS: KAWASAN JAKABARING KOTA PALEMBANG)

TATA PENGELOLAAN BANJIR PADA DAERAH REKLAMASI RAWA (STUDI KASUS: KAWASAN JAKABARING KOTA PALEMBANG) TATA PENGELOLAAN BANJIR PADA DAERAH REKLAMASI RAWA (STUDI KASUS: KAWASAN JAKABARING KOTA PALEMBANG) Ishak Yunus Dosen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Bina Darma Palembang Pengurus Himpunan Ahli

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Terdapat beberapa penelitian dan kajian mengenai banjir pasang. Beberapa

TINJAUAN PUSTAKA. Terdapat beberapa penelitian dan kajian mengenai banjir pasang. Beberapa II. TINJAUAN PUSTAKA Terdapat beberapa penelitian dan kajian mengenai banjir pasang. Beberapa penelitian dan kajian berkaitan dengan banjir pasang antara lain dilakukan oleh Arbriyakto dan Kardyanto (2002),

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Letak Geografis dan Astronomis Indonesia Serta Pengaruhnya

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Letak Geografis dan Astronomis Indonesia Serta Pengaruhnya BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum 1. Letak Geografis dan Astronomis Indonesia Serta Pengaruhnya Letak geografi Indonesia dan letak astronomis Indonesia adalah posisi negara Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Danau Toba merupakan hulu dari Sungai Asahan dimana sungai tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Danau Toba merupakan hulu dari Sungai Asahan dimana sungai tersebut BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Danau Toba merupakan hulu dari Sungai Asahan dimana sungai tersebut berasal dari perairan Danau Toba. DAS Asahan berada sebagian besar di wilayah Kabupaten Asahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lainnya. Kebutuhan yang paling banyak memerlukan air yaitu lahan pertanian.

BAB I PENDAHULUAN. lainnya. Kebutuhan yang paling banyak memerlukan air yaitu lahan pertanian. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Air adalah sumberdaya yang sangat diperlukan bagi seluruh makhluk hidup. Manusia memanfaatkan sumberdaya air untuk dapat memenuhi berbagai kebutuhan seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN ARHAM BAHTIAR A L2A PRIYO HADI WIBOWO L2A

BAB I PENDAHULUAN ARHAM BAHTIAR A L2A PRIYO HADI WIBOWO L2A BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Daerah dataran merupakan suatu daerah yang mempunyai peranan penting dan telah lama dikembangkan sesuai dengan peradaban dan kehidupan suatu bangsa. Segala

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) telah memproyeksikan

BAB I PENDAHULUAN. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) telah memproyeksikan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) telah memproyeksikan jumlah penduduk Indonesia tahun 2010-2035. Proyeksi jumlah penduduk ini berdasarkan perhitungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sampai pada kegiatan industri yang rumit sekalipun. Di bidang pertanian air atau yang

BAB I PENDAHULUAN. sampai pada kegiatan industri yang rumit sekalipun. Di bidang pertanian air atau yang 1 BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Air sangat penting bagi kehidupan manusia, hampir semua kegiatan makhluk hidup dimuka bumi memerlukan air, mulai dari kegiatan rumah tangga sehari-hari sampai

Lebih terperinci

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bencana alam tampak semakin meningkat dari tahun ke tahun yang disebabkan oleh proses alam maupun manusia itu sendiri. Kerugian langsung berupa korban jiwa, harta

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11/PRT/M/2015 TENTANG EKSPLOITASI DAN PEMELIHARAAN

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11/PRT/M/2015 TENTANG EKSPLOITASI DAN PEMELIHARAAN PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11/PRT/M/2015 TENTANG EKSPLOITASI DAN PEMELIHARAAN JARINGAN REKLAMASI RAWA PASANG SURUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendahuluan - 1 -

BAB I PENDAHULUAN. Pendahuluan - 1 - BAB I PENDAHULUAN 1.1. Tinjauan Umum Dengan pembangunan dan industrialisasi, pemerintah berusaha mengatasi permasalahan yang timbul akibat pertumbuhan penduduk yang pesat. Dan dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Sumatera Selatan memiliki lahan yang cukup luas dan banyaknya sungai-sungai yang cukup besar. Dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan dan untuk mencapai Lumbung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Laporan Tugas Akhir (SI 40Z1) 1.1. UMUM

BAB I PENDAHULUAN. Laporan Tugas Akhir (SI 40Z1) 1.1. UMUM BAB I PENDAHULUAN 1.1. UMUM Propinsi Riau memiliki potensi rawa pantai yang paling luas dibandingkan propinsi lainnya. Wilayah rawa pantai di propinsi Riau mencakup luasan sebesar 3.214.360 Ha. Dalam rangka

Lebih terperinci

Prosiding Semnas Geomatika ISBN :

Prosiding Semnas Geomatika ISBN : PENGGUNAAN TEKNOLOGI GIS DAN REMOTE SENSING DALAM PENYUSUNAN ZONA PENGELOLAAN AIR DI DAERAH REKLAMASI RAWA PASANG SURUT (Kasus Delta Saleh Kab Banyu Asin Sumatera Selatan) oleh Momon Sodik Imanudin, Armanro,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan Drainase Sistem Sungai Tenggang 1

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan Drainase Sistem Sungai Tenggang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Semarang adalah ibu kota Propinsi Jawa Tengah, yang terletak didataran pantai Utara Jawa, dan secara topografi mempunyai keunikan yaitu dibagian Selatan berupa

Lebih terperinci

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Dalam melaksanakan kegiatannya, manusia selalu membutuhkan air bahkan untuk beberapa kegiatan air merupakan sumber utama.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan sumber air yang dapat dipakai untuk keperluan makhluk hidup. Dalam siklus tersebut, secara

Lebih terperinci

PERSYARATAN JARINGAN DRAINASE

PERSYARATAN JARINGAN DRAINASE PERSYARATAN JARINGAN DRAINASE Untuk merancang suatu sistem drainase, yang harus diketahui adalah jumlah air yang harus dibuang dari lahan dalam jangka waktu tertentu, hal ini dilakukan untuk menghindari

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Bila suatu saat Waduk Jatiluhur mengalami kekeringan dan tidak lagi mampu memberikan pasokan air sebagaimana biasanya, maka dampaknya tidak saja pada wilayah pantai utara (Pantura)

Lebih terperinci

Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Permalan mempunyai peranan penting dalam pengambilan keputusan, untuk perlunya dilakukan tindakan atau tidak, karena peramalan adalah prakiraan atau memprediksi peristiwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L] Merr.) merupakan tanaman komoditas pangan

BAB I PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L] Merr.) merupakan tanaman komoditas pangan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kedelai (Glycine max [L] Merr.) merupakan tanaman komoditas pangan terpenting ketiga di Indonesia setelah padi dan jagung. Kedelai juga merupakan tanaman sebagai

Lebih terperinci

Sosialisasi Undang-Undang 41/2009 beserta Peraturan Perundangan Turunannya

Sosialisasi Undang-Undang 41/2009 beserta Peraturan Perundangan Turunannya Sosialisasi Undang-Undang 41/2009 beserta Peraturan Perundangan Turunannya Latar Belakang Permasalahan yang menghadang Upaya pencapaian 10 juta ton surplus beras di tahun 2014 : Alih fungsi lahan sawah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil penelitian di DAS Ciliwung hulu tahun ,

HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil penelitian di DAS Ciliwung hulu tahun , HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian di DAS Ciliwung hulu tahun 1990 1996, perubahan penggunaan lahan menjadi salah satu penyebab yang meningkatkan debit puncak dari 280 m 3 /det menjadi 383

Lebih terperinci

Pada saat ini Indonesia telah memasuki tahap pembangunan

Pada saat ini Indonesia telah memasuki tahap pembangunan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada saat ini Indonesia telah memasuki tahap pembangunan jangka panjang ke dua (PJP II) dan tahun terakhir pelaksanaan Repelita VI. Selama kurun waktu Pembangunan Jangka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air (SDA) bertujuan mewujudkan kemanfaatan sumberdaya air yang berkelanjutan untuk sebesar-besar

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kawasan Danau Singkarak terletak di dua kabupaten yaitu KabupatenSolok dan Tanah Datar. Kedua kabupaten ini adalah daerah penghasil berasdan menjadi lumbung beras bagi Provinsi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan yang dititikberatkan pada pertumbuhan ekonomi berimplikasi pada pemusatan perhatian pembangunan pada sektor-sektor pembangunan yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan

Lebih terperinci

PERTANIAN BERBASIS SUMBERDAYA & KEARIFAN LOKAL. Benyamin Lakitan 2017

PERTANIAN BERBASIS SUMBERDAYA & KEARIFAN LOKAL. Benyamin Lakitan 2017 3 PERTANIAN BERBASIS SUMBERDAYA & KEARIFAN LOKAL Benyamin Lakitan 2017 Pertanian berbasis Sumberdaya & Kearifan Lokal Kuliah ke Sumberdaya Pertanian 3 Urgensi, Legalitas & Konsepsi Sumberdaya Pertanian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terus-menerus dari hulu (sumber) menuju hilir (muara). Sungai merupakan salah

BAB I PENDAHULUAN. terus-menerus dari hulu (sumber) menuju hilir (muara). Sungai merupakan salah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Tinjauan Umum Sungai adalah aliran air yang besar dan memanjang yang mengalir secara terus-menerus dari hulu (sumber) menuju hilir (muara). Sungai merupakan salah satu bagian dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN. Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Kota Semarang adalah ibukota Provinsi Jawa Tengah, yang terletak di dataran pantai Utara Jawa. Secara topografi mempunyai keunikan yaitu bagian Selatan berupa pegunungan

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Situasi Wilayah Letak Geografi Secara geografis Kabupaten Tapin terletak antara 2 o 11 40 LS 3 o 11 50 LS dan 114 o 4 27 BT 115 o 3 20 BT. Dengan tinggi dari permukaan laut

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mempertahankan eksistensinya. Penggunaan lahan yang semakin meningkat

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mempertahankan eksistensinya. Penggunaan lahan yang semakin meningkat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahan menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kehidupan manusia. Fungsi lahan sebagai tempat manusia beraktivitas untuk mempertahankan eksistensinya. Penggunaan

Lebih terperinci

PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN 2012, No.205 4 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07/Permentan/OT.140/2/2012 TENTANG PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN, PANGAN

Lebih terperinci

Tata at Ai a r Rawa (Makr

Tata at Ai a r Rawa (Makr SISTEM TATA AIR RAWA PASANG SURUT Tata Air Rawa (Makro) 1 PEDOMAN TEKNIS Tata Air Makro adalah : Penguasaan air ditingkat kawasan/areal reklamasi yang bertujuan mengelola berfungsinya jaringan drainase

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Bantul terletak pada Lintang Selatan dan 110

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Bantul terletak pada Lintang Selatan dan 110 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Deskripsi Daerah Daerah hulu dan hilir dalam penelitian ini adalah Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul. Secara geografis Kabupaten Sleman terletak pada 110 33 00

Lebih terperinci

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 45 TAHUN 2015 PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 45 TAHUN 2015 TENTANG KRITERIA DAN SYARAT KAWASAN PERTANIAN DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. Selain berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, sektor

Lebih terperinci

Tabel Posisi titik acuan (BM, dalam meter) di lokasi MIFEE

Tabel Posisi titik acuan (BM, dalam meter) di lokasi MIFEE 1 1.6. Hidrotopografi Lahan Peta hidro-topografi adalah peta yang memperlihatkan elevasi lahan relatif terhadap elevasi muka air sungai di sekitarnya. Pada lokasi yang terpengaruh oleh pasangsurut, elevasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan sawah memiliki arti penting, yakni sebagai media aktivitas bercocok tanam guna menghasilkan bahan pangan pokok (khususnya padi) bagi kebutuhan umat manusia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Azwar Wahirudin, 2013

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Azwar Wahirudin, 2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kebutuhan air untuk pertanian di Indonesia merupakan hal yang sangat penting, untuk tercapainya hasil panen yang di inginkan, yang merupakan salah satu program pemerintah

Lebih terperinci

Gambar 2.1.Komponen Drainase Sistem Polder yang Ideal

Gambar 2.1.Komponen Drainase Sistem Polder yang Ideal DRAINASE POLDER Drainase sistem polder berfungsi untuk mengatasi banjir yang diakibatkan genangan yang ditimbulkan oleh besarnya kapasitas air yang masuk ke suatu daerah melebihi kapasitas keluar dari

Lebih terperinci

AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA

AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA BAB VI. PERSIAPAN LAHAN Rizka Novi Sesanti KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laporan hasil kajian Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2001 mengenai perubahan iklim, yaitu perubahan nilai dari unsur-unsur iklim dunia sejak tahun

Lebih terperinci

2015 HUBUNGAN SIFAT LAHAN SAWAH DENGAN PRODUKTIVITAS PADI DI KAWASAN PESISIR KECAMATAN PASEKAN KABUPATEN INDRAMAYU

2015 HUBUNGAN SIFAT LAHAN SAWAH DENGAN PRODUKTIVITAS PADI DI KAWASAN PESISIR KECAMATAN PASEKAN KABUPATEN INDRAMAYU BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan, sehingga memiliki kawasan pesisir yang luas dari tiap wilayah pulaunya. Kawasan pesisir ini digunakan oleh penduduk Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I-1

BAB I PENDAHULUAN I-1 I-1 BAB I 1.1 Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) Pemali merupakan bagian dari Satuan Wilayah Sungai (SWS) Pemali-Comal yang secara administratif berada di wilayah Kabupaten Brebes Provinsi Jawa

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Tulang Bawang adalah kabupaten yang terdapat di Provinsi

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Tulang Bawang adalah kabupaten yang terdapat di Provinsi 69 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Letak dan Luas Daerah Kabupaten Tulang Bawang adalah kabupaten yang terdapat di Provinsi Lampung yang letak daerahnya hampir dekat dengan daerah sumatra selatan.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Global warming merupakan isu lingkungan terbesar dalam kurun waktu terakhir. Jumlah polutan di bumi yang terus bertambah merupakan salah satu penyebab utama terjadinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Irigasi pada hakekatnya merupakan upaya pemberian air pada tanaman

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Irigasi pada hakekatnya merupakan upaya pemberian air pada tanaman BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Irigasi pada hakekatnya merupakan upaya pemberian air pada tanaman sebanyak keperluan untuk tumbuh dan berkembang. Tanaman apabila kekurangan air akan menderit (stress)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Sumatera Selatan memiliki lahan yang cukup luas dan banyaknya sungai-sungai yang cukup besar. Dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan dan untuk mencapai Lumbung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki dua musim yaitu musim penghujan dan musim kemarau. paling terasa perubahannya akibat anomali (penyimpangan) adalah curah

BAB I PENDAHULUAN. memiliki dua musim yaitu musim penghujan dan musim kemarau. paling terasa perubahannya akibat anomali (penyimpangan) adalah curah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara agraris yang amat subur sehingga sebagian besar penduduknya bergerak dalam sektor agraris. Indonesia memiliki iklim tropis basah, dimana iklim

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bermatapencaharian sebagai petani. Kondisi geografis negara Indonesia terletak di

BAB I PENDAHULUAN. bermatapencaharian sebagai petani. Kondisi geografis negara Indonesia terletak di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya bermatapencaharian sebagai petani. Kondisi geografis negara Indonesia terletak di wilayah tropis, dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 TINJAUAN UMUM 1.2 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 TINJAUAN UMUM 1.2 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 TINJAUAN UMUM Kota Semarang adalah ibukota Provinsi Jawa Tengah, yang terletak di dataran pantai Utara Jawa. Secara topografi mempunyai keunikan yaitu bagian Selatan berupa pegunungan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Propinsi Lampung merupakan salah satu propinsi yang terdapat di Pulau

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Propinsi Lampung merupakan salah satu propinsi yang terdapat di Pulau IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Kondisi Wilayah Propinsi Lampung 1. Geografi Propinsi Lampung merupakan salah satu propinsi yang terdapat di Pulau Sumatera dengan luas wilayah 35.288,35 Km 2. Propinsi

Lebih terperinci

Ir. ZURAIDA TITIN MARIANA, M.Si

Ir. ZURAIDA TITIN MARIANA, M.Si Ir. ZURAIDA TITIN MARIANA, M.Si PERMASALAHAN AIR TEKNOLOGI PENGELOLAAN AIR Dalam pengelolaan tata air makro pada lahan rawa lebak menggunakan SISTEM POLDER. Pada sistem polder diperlukan bangunan air,

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Istimewa Yogyakarta. Gunungkidul memiliki luas 1.485,36 Km 2 terletak antara 7

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Istimewa Yogyakarta. Gunungkidul memiliki luas 1.485,36 Km 2 terletak antara 7 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Fisik Daerah Gunungkidul adalah daerah yang termasuk dalam wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Gunungkidul memiliki luas 1.485,36 Km 2 terletak antara

Lebih terperinci

Tabel 3 Kenaikan muka laut Kota Semarang berdasarkan data citra satelit.

Tabel 3 Kenaikan muka laut Kota Semarang berdasarkan data citra satelit. 11 dianggap nol. Sehingga biaya proteksi pantai dapat diketahui dari biaya kehilangan lahan basah dan biaya kehilangan lahan kering. Lahan basah merupakan lahan yang tergenang sepanjang tahun, dalam hal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian berperan penting dalam pembangunan ekonomi nasional.

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian berperan penting dalam pembangunan ekonomi nasional. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian berperan penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Paling tidak ada lima peran penting yaitu: berperan secara langsung dalam menyediakan kebutuhan pangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. terlihat dari rata-rata laju pertumbuhan luas areal kelapa sawit selama

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. terlihat dari rata-rata laju pertumbuhan luas areal kelapa sawit selama I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kelapa sawit merupakan salah satu komoditi perkebunan yang penting dalam perekonomian Indonesia, baik sebagai penghasil devisa maupun penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan

Lebih terperinci

PEDOMAN OPERASI DAN PEMELIHARAAN JARINGAN IRIGASI RAWA LEBAK

PEDOMAN OPERASI DAN PEMELIHARAAN JARINGAN IRIGASI RAWA LEBAK LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 08/PRT/M/2013 TANGGAL : 28 Agustus 2013 TENTANG PEDOMAN OPERASI DAN PEMELIHARAAN JARINGAN IRIGASI RAWA LEBAK PEDOMAN OPERASI DAN PEMELIHARAAN JARINGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN Uraian Umum

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN Uraian Umum BAB I PENDAHULUAN 1.1. Uraian Umum Banjir besar yang terjadi hampir bersamaan di beberapa wilayah di Indonesia telah menelan korban jiwa dan harta benda. Kerugian mencapai trilyunan rupiah berupa rumah,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan yang dikonsumsi hampir seluruh penduduk

I. PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan yang dikonsumsi hampir seluruh penduduk I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Beras merupakan bahan pangan yang dikonsumsi hampir seluruh penduduk Indonesia. Perkembangan produksi tanaman pada (Oryza sativa L.) baik di Indonesia maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan pokok manusia yang harus dipenuhi. Di

BAB I PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan pokok manusia yang harus dipenuhi. Di BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan pokok manusia yang harus dipenuhi. Di Indonesia salah satu tanaman pangan yang penting untuk dikonsumsi masyarakat selain padi dan jagung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN - 1 -

BAB I PENDAHULUAN - 1 - BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG DAN PERMASALAHAN Kota Semarang sebagai ibukota propinsi Jawa Tengah merupakan sebuah kota yang setiap tahun mengalami perkembangan dan pembangunan yang begitu pesat.

Lebih terperinci

PRODUKSI PADI DAN PALAWIJA (ANGKA RAMALAN II TAHUN 2015)

PRODUKSI PADI DAN PALAWIJA (ANGKA RAMALAN II TAHUN 2015) No. 78/11/33, Th. IX, 2 NOVEMBER 2015 PRODUKSI PADI DAN PALAWIJA (ANGKA RAMALAN II TAHUN 2015) Berdasarkan Angka Ramalan (ARAM) II, produksi padi Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2015 diperkirakan sebesar

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. terletak di bagian selatan Pulau Jawa. Ibu kota Provinsi Daerah Istimewa

IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. terletak di bagian selatan Pulau Jawa. Ibu kota Provinsi Daerah Istimewa IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Fisik Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan daerah provinsi di Indonesia, yang terletak di bagian selatan Pulau Jawa. Ibu kota Provinsi Daerah Istimewa

Lebih terperinci

Perkembangan Potensi Lahan Kering Masam

Perkembangan Potensi Lahan Kering Masam Perkembangan Potensi Lahan Kering Masam ANNY MULYANI Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (naskah ini disalin sesuai aslinya untuk kemudahan navigasi) (sumber : SINAR TANI

Lebih terperinci

KONDISI UMUM BANJARMASIN

KONDISI UMUM BANJARMASIN KONDISI UMUM BANJARMASIN Fisik Geografis Kota Banjarmasin merupakan salah satu kota dari 11 kota dan kabupaten yang berada dalam wilayah propinsi Kalimantan Selatan. Kota Banjarmasin secara astronomis

Lebih terperinci

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 07/Permentan/OT.140/2/2012

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 07/Permentan/OT.140/2/2012 MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 07/Permentan/OT.140/2/2012 TENTANG PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah dengan pasang surut air. Kegunaan pintu air otomatis ini adalah sebagai

BAB I PENDAHULUAN. daerah dengan pasang surut air. Kegunaan pintu air otomatis ini adalah sebagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pintu klep otomatis adalah salah satu pintu air yang pengoperasiannya dilakukan secara otomatis dengan membuka dan menutupnya pintu pada setiap perubahan muka air baik

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah yang

TINJAUAN PUSTAKA. Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah yang TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah yang dibatasi oleh batas batas topografi secara alami sehingga setiap air hujan yang jatuh dalam

Lebih terperinci

5/15/2012. Novitasari,ST.,MT

5/15/2012. Novitasari,ST.,MT SISTEM TATA AIR MIKRO (TAM) Novitasari,ST.,MT TIK Mahasiswa akan dapat memahami prinsipprinsip sistem pengelolaan air pada sistem tata air mikro, tipekal zoning, tipekal jaringan saluran blok sekunder,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bencana Gempa dan Tsunami yang terjadi di beberapa wilayah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) pada 26 Desember 2004 telah menimbulkan dampak yang sungguh luar

Lebih terperinci

Pengelolaan Air di Areal Pasang Surut. Disampaikan Pada Materi Kelas PAM

Pengelolaan Air di Areal Pasang Surut. Disampaikan Pada Materi Kelas PAM Pengelolaan Air di Areal Pasang Surut Disampaikan Pada Materi Kelas PAM Pundu Learning Centre - 2012 DEFINISI Disampaikan Pada Materi Kelas PAM Pundu Learning Centre - 2012 DEFINISI Areal Pasang Surut

Lebih terperinci

Pemanfaatan canal blocking untuk konservasi lahan gambut

Pemanfaatan canal blocking untuk konservasi lahan gambut SUMBER DAYA AIR Indonesia memiliki potensi lahan rawa (lowlands) yang sangat besar. Secara global Indonesia menempati urutan keempat dengan luas lahan rawa sekitar 33,4 juta ha setelah Kanada (170 juta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam usaha pertanian. Cara mengaliri air ketanaman yaitu dengan sistem irigasi,

BAB I PENDAHULUAN. dalam usaha pertanian. Cara mengaliri air ketanaman yaitu dengan sistem irigasi, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air mempunyai arti yang penting dalam kehidupan, salah satunya adalah dalam usaha pertanian. Cara mengaliri air ketanaman yaitu dengan sistem irigasi, aliran irgasi

Lebih terperinci

TUGAS MANDIRI MATA KULIAH PEGELOLAAN AIR

TUGAS MANDIRI MATA KULIAH PEGELOLAAN AIR 1 TUGAS MANDIRI MATA KULIAH PEGELOLAAN AIR IRIGASI PASANG SURUT Oleh: ELISA APRILIANI NIM. 1406120549 PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI JURUSAN AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS RIAU PEKANBARU 2017

Lebih terperinci

EXECUTIVE SUMMARY PEMETAAN ZONASI POTENSI DAN ALIH FUNGSI LAHAN IRIGASI

EXECUTIVE SUMMARY PEMETAAN ZONASI POTENSI DAN ALIH FUNGSI LAHAN IRIGASI EXECUTIVE SUMMARY PEMETAAN ZONASI POTENSI DAN ALIH FUNGSI LAHAN IRIGASI DESEMBER, 2014 Pusat Litbang Sumber Daya Air i KATA PENGANTAR Puji dan Syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunianya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hal ini seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk diiringi

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hal ini seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk diiringi 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebutuhan beras di Indonesia pada masa yang akan datang akan meningkat. Hal ini seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk diiringi dengan besarnya konsumsi beras

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 5.1. Letak dan Luas Wilayah Kabupaten Seluma Kabupaten Seluma merupakan salah satu daerah pemekaran dari Kabupaten Bengkulu Selatan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 3

Lebih terperinci

Achmad Rusdiansyah 1, Rony Riduan. Staf Pengajar Program Magister Teknik Sipil Fakultas Teknik Unlam 1

Achmad Rusdiansyah 1, Rony Riduan. Staf Pengajar Program Magister Teknik Sipil Fakultas Teknik Unlam 1 ANALISIS DEBIT ANDALAN IRIGASI PASANG SURUT STUDI KASUS IRIGASI TATA AIR MIKRO PERTANIAN PASANG SURUT TERANTANG MARABAHAN KABUPATEN BARITO KUALA KALIMANTAN SELATAN Achmad Rusdiansyah 1, Rony Riduan Staf

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang Latar Belakang PENDAHULUAN Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan salah satu komoditas perkebunan unggulan, yang menghasilkan minyak nabati paling efisien yang produknya dapat digunakan dalam

Lebih terperinci

No baik hayati berupa tumbuhan, satwa liar serta jasad renik maupun non-hayati berupa tanah dan bebatuan, air, udara, serta iklim yang saling

No baik hayati berupa tumbuhan, satwa liar serta jasad renik maupun non-hayati berupa tanah dan bebatuan, air, udara, serta iklim yang saling TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5460 SDA. Rawa. Pengelolaan. Pengawasan. Pencabutan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 180) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan kondisi hidrologi DAS sebagai dampak perluasan lahan kawasan budidaya yang tidak terkendali tanpa memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air seringkali

Lebih terperinci

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 45 KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN Lokasi Administrasi Secara geografis, Kabupaten Garut meliputi luasan 306.519 ha yang terletak diantara 6 57 34-7 44 57 Lintang Selatan dan 107 24 3-108 24 34 Bujur Timur.

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH DAN PRODUKSI PADI SAWAH DI DAERAH PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH DAN PRODUKSI PADI SAWAH DI DAERAH PENELITIAN IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH DAN PRODUKSI PADI SAWAH DI DAERAH PENELITIAN 4.. Gambaran Umum Wilayah Kabupaten PPU secara geografis terletak pada posisi 6 o 9 3-6 o 56 35 Bujur Timur dan o 48 9 - o 36 37 Lintang

Lebih terperinci

1. BAB I PENDAHULUAN

1. BAB I PENDAHULUAN 1. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejalan dengan perkembangan jumlah penduduk dan meningkatnya kegiatan masyarakat mengakibatkan perubahan fungsi lingkungan yang berdampak negatif terhadap kelestarian

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. swasembada beras. Produksi yang melebihi kebutuhan konsumsi penduduk, menempatkan daerah ini sebagai daerah suplai beras dan penyangga

PENDAHULUAN. swasembada beras. Produksi yang melebihi kebutuhan konsumsi penduduk, menempatkan daerah ini sebagai daerah suplai beras dan penyangga PENDAHULUAN Propinsi Sulawesi Selatan merupakan salah satu daerah penghasil beras di luar Pulau Jawa, yang berperan penting dalam upayah pelestarian swasembada beras. Produksi yang melebihi kebutuhan konsumsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemerintah sedang berupaya menjaga ketahanan pangan Indonesia dengan cara meningkatkan produksi tanaman pangan agar kebutuhan pangan Indonesia tercukupi. Ketidak tersediaan

Lebih terperinci