RANCANGAN PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "RANCANGAN PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA"

Transkripsi

1 RANCANGAN PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PEMANFAATAN PERAIRAN INDONESIA DAN ZONA TAMBAHAN SERTA PENEGAKAN HUKUM DI PERAIRAN INDONESIA DAN DI ZONA TAMBAHAN I. UMUM Ditinjau dari kedudukan Indonesia sebagai negara kepulauan, Perairan Indonesia merupakan satu aset nasional yang dalam rangka pembangunan nasional perlu dimanfaatkan untuk meningkatkan ketahanan nasional. Sesuai dengan hukum yang berlaku, peraturan perundangundangan mengenai Pemanfaatan Perairan Indonesia dan Penegakan Hukum di Perairan Indonesia adalah seperti yang terdapat dalam Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonnantie Tahun 1939 (Stb Nonor 442) yang Pasal 1 ayat (1) angka 1 sampai dengan angka 4-nya tentang ketentuan kewilayahan, karena tidak sesuai dengan konsepsi kewilayahan berdasarkan wawasan nusantara, telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia dan Pasal 2 sampai dengan Pasal 8 telah dinyatakan tidak berlaku lagi dengan Undang-Undang dibidang Perikanan. Konsepsi mengenai kewilayahan negara, pemanfaatan perairan, dan penegakan hukum di Perairan Indonesia seperti yang mendasari perundang-undangan tersebut telah mengalami pengembangan dan penyempurnaan seperti yang dapat juga dilihat dari ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1983 tentang Pengesahan Perjanjian antara Republik Indonesia dan Malaysia tentang Rezim Negara Nusantara dan Hak-hak Malaysia di Laut Teritorial dan Perairan Nusantara Serta Ruang Udara di Atas Laut Teritorial Perairan Nusantara dan Wilayah Republik Indonesia yang Terletak Antara Malaysia Timur dan Malaysia Barat dan ketentuan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa Tahun 1982 tentang Hukum Laut yang mengatur rezim-rezim, hukum laut secara lengkap dan menyeluruh, yang rezim-rezimnya satu sama lain tidak dapat dipisahkan. Konvensi tersebut bagi bangsa dan negara Republik Indonesia mempunyai arti yang penting karena untuk pertama kalinya asas Negara Kepulauan yang selama 25 tahun secara terus menerus diperjuangkan oleh Indonesia, telah berhasil memperoleh pengakuan resmi masyarakat internasional.

2 2 Republik Indonesia telah meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut tersebut dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985, tentang Pengesahan "United Nations Convention on The Law of The Sea". Sebagai konsekuensi dari ratifikasi Konvensi PBB tentang Hukum Laut tersebut, peraturan perundang-undangan mengenai Perairan Indonesia, baik mengenai aspek kewilayahan maupun mengenai aspek fungsi-fungsi kelautan, perlu dirubah agar sesuai dengan ketentuan Konvensi PBB tentang Hukum Laut tersebut dan berfungsi sebagai peraturan induk bagi peraturan perundang-undangan sektoral. Indonesia telah menetapkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia yang mengatur aspek kewilayahan Perairan Indonesia, sebagai pengganti Undang- Undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Berhubung dengan itu, dalam rangka memantapkan landasan hukum bagi pengaturan kegiatan di Perairan Indonesia, dan untuk menyesuaikan dengan perkembangan kepentingan nasional di laut dan perkembangan serta penyempurnaan hukum internasional seperti yang terdapat dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hukum Laut tersebut, peraturan mengenai pemanfaatan dan penegakan Hukum di Perairan Indonesia seperti yang terdapat dalam Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonnantie Tahun 1939 tersebut perlu diganti. Pengaturan mengenai Pemanfaatan dan Penegakan Hukum di Perairan Indonesia dalam Undang-Undang ini bertitik tolak dari kepentingan nasional dengan didasarkan pada pendekatan keamanan dan pendekatan kesejahteraan dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang materinya berkaitan dengan materi yang diatur dalam Undang-Undang ini adalah : Undang-undang dibidang Perairan Indonesia, Undang-Undang dibidang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, Undang-Undang dibidang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan, Undang-Undang dibidang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang dibidang Pengelolaan Lingkungan Hidup; Undang-Undang dibidang Pertahanan Keamanan Negara, Undang-Undang dibidang Perikanan, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on The Law of The Sea (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3318), Undang-Undang dibidang Telekomunikasi, Undang-Undang dibidang Cagar Budaya, Undang-Undang dibidang Pelayaran.

3 3 Di samping memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan materi yang diatur dalam Undang-Undang ini, pengaturan dalam Undang-Undang ini juga memperhatikan ketentuanketentuan seperti yang terdapat dalam Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut, khususnya Bab I tentang Pendahuluan, Bab II tentang Laut Teritorial dan Zona Tambahan, Bab III tentang Selat Yang Digunakan Untuk Pelayaran 1nternasional, Bab IV tentang Negara Kepulauan, Bab V tentang Zona Ekonomi Eksklusif, Bab VI tentang Landas Kontinen, Bab VII tentang Laut Lepas, Bab XII tentang Perlindungan Lingkungan Laut, dan Bab XIII tentang Riset Ilmiah Kelautan. Sehubungan dengan kedudukan Indonesia sebagai Negara Kepulauan pengaturan dalam Undang-Undang ini yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan di perairan Indonesia bersifat menyeluruh dan terpadu dalam arti pokok-pokok kebijakan mengenai fungsi dan peranan Perairan Indonesia di bidang Politik, ekonomi, pertahanan dan keamanan dijabarkan secara menyeluruh dan terpadu untuk dapat berfungsi sebagai landasan bagi pengaturan secara sektoral lebih lanjut maupun bagi penegakan hukumnya secara integratif. Dalam Undang-Undang ini juga diatur masalah penegakan hukum di Zona Tambahan terhadap peraturan perundangundangan dibidang kepabeanan, kefiskalan, keimigrasian dan kekarantinaan, dan pemindahan benda purbakala dan benda sejarah, dan berhubung dengan itu, judul Undang-Undang ini adalah Undang-Undang tentang Pemanfaatan Perairan Indonesia dan Zona Tambahan serta Penegakan Hukum di Perairan Indonesia dan di Zona Tambahan. Undang-Undang ini terdiri dari VIII Bab yaitu BAB I mengenai Ketentuan Umum, BAB II mengenai Pemanfaatan dan Pengelolaan Perairan Indonesia dan Zona Tambahan, BAB III mengenai Perlindungan dan Pelestarian Lingkungan Laut Perairan Indonesia, BAB IV mengenai Penegakan Kedaulatan dan Hukum di Perairan Indonesia dan di Zona Tambahan, BAB V mengenai Ketentuan Pidana, BAB VI mengenai Acara Pidana, BAB VII mengenai Ketentuan Peralihan, dan Bab VIII tentang Ketentuan Penutup. II. PASAL DEMI PASAL Pasal l Pasal 2 Cukup jelas

4 4 Pasal 3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 dan Pasal 2 Pasal 4 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2), Pasal 39 ayat (1), dan Pasal 54 Pasal 5 Ketentuan ini menetapkan bahwa untuk menjamin kedaulatan dan keutuhan wilayah negara serta peningkatan pertahanan dan keamanan negara, daerah tertentu dari Perairan Indonesia dapat dinyatakan sebagai daerah tertutup untuk kegiatan tertentu. Dengan mengingat akan implikasi terhadap dunia internasional dari penetapan sebagai daerah tertutup untuk kegiatan tertentu, kewenangan untuk menyatakan daerah tertentu dari Perairan Indonesia sebagai daerah tertutup untuk melakukan kegiatan tertentu ada pada Presiden Republik Indonesia. sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, ayat (1), Pasal 34, dan Pasal 49 ayat (4) Ketentuan ini menetapkan bahwa dalam hal sangat diperlukan untuk perlindungan keamanan negara, daerah tertentu dari Perairan Indonesia dapat dinyatakan sebagai daerah terlarang untuk sementara waktu bagi lintas laut damai kendaraan air asing. Juga dengan memperhatikan implikasi internasionalnya, kewenangan untuk menyatakan daerah tertentu sebagai daerah terlarang untuk sementara waktu bagi lintas laut dan kendaraan air asing, ada pada Presiden Republik Indonesia. sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2)dan Pasal 25 ayat (3)

5 5 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) dan Pasal 25 ayat (3) Pasal 6 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf e dan Pasal 52 ayat (1) Pasal 7 Izin sebagaimana dimaksud pada ayat ini diberikan oleh Menteri yang ruang lingkup tugas pokoknya meliputi bidang sebagaimana dimaksudkan dalam huruf a, b atau c ayat ini. Untuk ketentuan ayat ini, lihat ketentuan Pasal 116 huruf b. Untuk ketentuan dalam ayat ini, lihat juga ketentuan pada ayat (2) Pasal 19, ayat (1) huruf g Pasal 21, Pasal 40 dan Pasal 54 Ayat (4) Pasal 8 Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Pasal 19 dan Pasal 54 yo ayat (1) Pasal 39 Konvensi mengacu juga pada Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa. Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 menentukan bahwa tujuan Perserikatan Bangsa Bangsa adalah antara lain memelihara perdamaian dan keamanan internasional dan untuk tujuan itu, mengambil secara kolektif langkahlangkah yang tepat untuk mencegah dan meniadakan ancaman-ancaman bagi perdamaian, dan melenyapkan tindakan-tindakan agresi atau gangguan lainnya terhadap perdamaian, dan untuk menciptakan, dengan jalan yang bersifat damai dan sesuai dengan asas-asas keadilan dan hukum internasional, pengaturan atau penyelesaian sengketa internasional atau keadaan yang dapat mengganggu perdamaian. Sejalan dengan tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa tersebut, Pasal ini menentukan bahwa Pemerintah dapat

6 6 bekerjasama dengan negara sahabat untuk menciptakan dan memelihara kawasan damai, bebas, dan netral di laut yang berbatasan dengan Perairan Indonesia. Masalah yang diatur dalam ketentuan pasal ini termasuk dalam ruang lingkup tugas Menteri Pertahanan Keamanan dan Panglima Tentara Nasional Republik Indonesia dan Menteri Luar Negeri. Berhubung dengan itu, yang dimaksudkan dengan Pemerintah dalam Pasal ini adalah Menteri Pertahanan Keamanan dan Panglima Tentara Nasional Republik Indonesia dan Menteri Luar Negeri. Pasal 9 Pasal 10 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 dan Pasal 94 Pasal 11 Yang dimaksud Pemerintah adalah Menteri yang bertanggung jawab dibidang perhubungan. sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (1) Lihat juga penjelasan ayat (1). sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (2) Lihat juga penjelasan ayat (1). sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (3) Ayat (4) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (4) Ayat (5) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (5) Konvensi

7 7 Pasal 12 Yang dimaksud Pemerintah adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang perhubungan. Lihat juga penjelasan ayat (1) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (7) Pasal 13 Ayat (l) Yang dimaksud dengan sistem sarana bantu navigasi adalah penetapan pola, pemasangan dan perawatan alat bantu navigasi seperti misalnya alat-alat bantu navigasi elektronika. Dalam menyelenggarakan sarana bantu navigasi Pemerintah dapat bekerjasama dengan swasta nasional. Untuk ketentuan ini lihat juga ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1), Pasal 42 ayat (1), dan Pasal 54 Pasal 14 Pengangkatan kerangka kendaraan dan benda-benda lain dari dasar laut di Perairan Indonesia memerlukan penelitian di laut terlebih dahulu tentang lokasi sebenarnya dari benda tersebut dan tentang keadaan arus, gelombang, dan sebagainya. Penelitian tersebut dapat dilakukan dengan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7. Berhubung dengan itu untuk dapat mengangkat kerangka kendaraan dan benda-benda lain dari dasar laut Perairan Indonesia pihak yang bersangkutan sebelum mengajukan permohonan izin pengangkatan harus mengajukan permohonan izin untuk penelitian kelautan. sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 49 ayat (2), dan Pasal 303 ayat (2) Yang dimaksud dengan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat ini, adalah Menteri yang

8 8 tugasnya terkait dengan fungsi-fungsi pemerintahan di bidang perhubungan, penelitian kelautan, dan pemetaan navigasi. Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum mengenai pemilikan atas bendabenda yang bersangkutan. Pasal 15 Yang dimaksud dengan kepentingan nasional lainnya sebagaimana dimaksud dalam pasal ini adalah kepentingan nasional di bidang pertahanan keamanan, pertambangan, perikanan, lingkungan hidup dan lain-lain. sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf k dan Pasal 21 ayat (1) huruf c Pasal 16 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat 1 huruf c Untuk ketentuan ini, lihat penjelasan Pasal 34. Pasal 17 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) kalimat pertama Yang dimaksud Pemerintah adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang Telekomunikasi. sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) kalimat terakhir Pasal 18 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf i, Pasal 21 ayat (1) huruf d dan huruf e, Pasal 42 ayat (1) huruf c, dan Pasal 54

9 9 Pasal 19 Untuk ketentuan ini, lihat penjelasan Pasal 31 dan Pasal 32. sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 Untuk ketentuan ini, lihat penjelasan Pasal 31 dan Pasal 32. Pasal 20 Hak perikanan tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat ini adalah hak untuk melaksanakan perikanan tradisional berdasarkan perjanjian antara Indonesia dengan negara tetangga yang langsung berbatasan. Untuk ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat ini, lihat juga ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) kalimat pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) kalimat kedua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (l) kalimat terakhir Pasal 21 Untuk ketentuan ini yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan adalah peraturan perundang-undangan di bidang sumber daya alam non-hayati di bidang pertambangan dan energi atau peraturan perundang-undangan di bidang sumber daya alam non-hayati lainnya.

10 10 Pasal 22 Untuk ketentuan ini, lihat juga penjelasan Pasal 31 dan Pasal 32. sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 jo Pasal 60 Untuk ketentuan ini, lihat juga penjelasan Pasal 31 dan Pasal 32. Pasal 23 Untuk ketentuan ini, lihat juga penjelasan Pasal 34. Pasal 24 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245 Yang dimaksud dengan kepentingan nasional lainnya adalah kepentingan nasional di bidang Pertahanan Keamanan, Pertambangan, Perikanan dan lain-lain. sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c dan huruf j dan Pasal 21 ayat (1) huruf g sebagaimana dimaksud dalam Pasal 240 Pasal 25 Izin sebagaimana dimaksud pada ayat ini diberikan oleh Menteri yang ruang lingkup tugas pokoknya meliputi masalah yang merupakan obyek penelitian ilmiah kelautan yang bersangkutan. Kegiatan penelitian ilmiah kelautan sebagaimana dimaksud pada ayat ini dapat juga menghimpun data dan informasi yang bertalian dengan data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal 7. Berhubung dengan itu dalam memberikan izin sebagaimana dimaksud dalam pasal ini harus

11 11 diindahkan ketentuan Pasal 7. Untuk ketentuan ayat ini lihat ketentuan Pasal 116 huruf b Untuk ketentuan ayat ini lihat juga ketentuan pada Pasal 245 Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat ini dibuat dalam rangka meningkatkan ilmu pengetahuan mengenai Perairan Indonesia dan meningkatkan kemampuan Indonesia melakukan penelitian ilmiah kelautan. Untuk ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat ini, lihat juga ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 239 Izin tersebut diberikan berdasarkan perjanjian internasional antara Pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintah dari badan hukum asing yang bersangkutan atau berdasarkan perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dengan badan hukum internasional yang berwenang. Ayat (4) Izin penelitian ilmiah kelautan diberikan setelah memperoleh lebih dahulu pertimbangan mengenai aspek pertahanan keamanan khususnya di laut. Ayat (5) Pasal 26 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 248 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 246 ayat (5) konvensi. Pasal 27 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249 ayat (1) Pasal 28 Untuk ketentuan ayat ini, lihat juga ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 253 ayat (1)

12 12 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 253 ayat (2) Untuk ketentuan ini lihat juga ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 253 ayat (3) Ayat (4) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 253 ayat (4) Ayat (5) sebagaimana dimaksud Pasal 253 ayat (5) Pasal 29 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 258 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 261 Pasal 30 Pasal 31 Membangun, menggunakan dan memelihara pulau buatan, instalasi atau bangunan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat ini adalah dalam rangka kegiatan eksplorasi dan atau eksploitasi sumber daya alam hayati maupun nonhayati, penelitian ilmiah kelautan dan dalam rangka kegiatan lainnya. Dalam rangka eksplorasi dan atau eksploitasi sumber daya alam dapat juga digunakan kapal atau alat lainnya sebagai instalasi eksplorasi dan atau eksploitasi. Izin sebagaimana dimaksud pada ayat ini diberikan oleh Menteri yang ruang lingkup tugasnya meliputi bidang untuk mana pulau buatan, instalasi atau bangunan lainnya tersebut dibangun dan digunakan,

13 13 dan Menteri yang bertanggung jawab di bidang perhubungan. sebagaimana dimaksud Pasal 60 ayat (8) dan Pasal 121 ayat (1) Ayat (4) Ketentuan ini, dimaksudkan untuk menjamin keselamatan pulau buatan dan untuk menjamin keselamatan pelayaran. sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (3) Ayat (5) Untuk ketentuan ini, lihat juga penjelasan ayat (4). Ayat (6) Pasal 32 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (4) Ketentuan ini dimaksudkan untuk menjamin keselamatan pulau buatan, instalasi atau bangunan lainnya tersebut. sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (6) Ayat (4) dalam Pasal 60 ayat (6) Ayat (5) Karena pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ini berkaitan dengan masalah keselamatan pelayaran, maka yang dimaksud Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ini adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang perhubungan.

14 14 Pasal 33 Yang dimaksud dengan peraturan perundangan yang berlaku adalah peraturan perundang-undangan di bidang hukum perdata. Pasal 34 Yang dimaksud izin Pemerintah adalah izin dari Menteri yang ruang lingkup tugasnya meliputi bidang untuk mana kabel dan pipa tersebut dipasang. Dalam pemasangan kabel dan pipa bawah laut, terkait kepentingan nasional di bidang pertahanan keamanan, perhubungan, telekomunikasi, perikanan, pertambangan, lingkungan laut dan lainlain. Dalam memberikan izin untuk pemasangan kabel dan pipa bawah laut, Menteri yang bersangkutan harus memperhatikan kepentingan nasional lainnya diluar kepentingan untuk mana kabel dan pipa bawah laut itu dipasang. Ayat (4) Untuk ketentuan ini, lihat penjelasan ayat (1). Ayat (5) Pasal 35 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 konvensi. Pasal 36 Pengangkatan benda purbakala memerlukan penelitian kelautan terlebih dahulu sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 14. Yang dimaksud dengan Pemerintah adalah Menteri yang ruang lingkup tugasnya di bidang cagar budaya. Pasal 37

15 15 Cukup jelas Yang dimaksud Pemerintah adalah Menteri yang ruang lingkup tugas pokoknya meliputi bidang bongkar muat komoditi, menurunkan dan atau menaikkan orang atau mengeluarkan atau memasukkan flora atau fauna dari atau ke atas kapal. Pasal 38 Zona Tambahan merupakan zona yang berada diluar kedaulatan satu negara pantai; negara pantai hanya memiliki yurisdiksi terbatas di dalam Zona Tambahan tersebut. Dalam Konvensi tidak terdapat ketentuan mengenai delimitasi antara dua negara pantai yang saling berhadapan yang lebar zona tambahannya kurang dari 2 (dua) kali 12 mil. Pasal 39 Pengangkatan benda dari dasar laut di Zona Tambahan memerlukan penelitian di laut terlebih dahulu tentang lokasi sebenarnya dari benda tersebut dan tentang keadaan arus, gelombang, dan sebagainya; penelitian tersebut dapat dilakukan dengan persetujuan sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Berhubung dengan itu untuk dapat mengangkat benda purbakala dari dasar laut di Zona Tambahan pihak yang bersangkutan sebelum mengajukan permohonan izin pengangkatan harus mengajukan izin untuk penelitian kelautan. Untuk ketentuan pasal ini, lihat juga ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 303 ayat (2) Persetujuan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalamd pasal ini, adalah persetujuan dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang cagar budaya dan dengan mengindahkan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan. Pasal 40

16 16 Pasal 41 Pencemaran yang terjadi di Perairan Indonesia dapat diakibatkan oleh kegiatan baik di Perairan Indonesia maupun kegiatan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Pencemaran tersebut dapat menyebar ke wilayah negara lain atau Zona Ekonomi Eksklusifnya ataupun ke laut lepas. Berhubung dengan itu upaya pencegahan pencemaran di Perairan Indonesia dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia mencakup pula upaya pencegahan agar pencemaran tersebut tidak menyebar ke wilayah negara lain dan Zona Ekonomi Eksklusifnya dan laut lepas. sebagaimana dimaksud dalam Pasal 194 ayat (2) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 194 ayat (3), Pasal 195, dan Pasal 208 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 194 ayat (5) Pasal 42 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 196 Pasal 43 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 194 ayat (3) Pasal 44 Pemerintah adalah Menteri yang bertanggung jawab dibidang Lingkungan Hidup. sebagaimana dimaksud dalam Pasal 198

17 17 Lihat penjelasan ayat (1) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 199 Untuk ketentuan ini. lihat juga ketentuan sebagaimana dimaskud dalam Pasal 199 Pasal 45 Yang dimaksud Pemerintah adalah Menteri yang bertanggung jawab dibidang Kelautan dan Perikanan. Untuk ketentuan ini. lihat juga ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 210 ayat (5) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 210 ayat (5) Lihat penjelasan ayat (1). Penetapan lokasi dan kawasan damping dilakukan dengan memperhatikan kepentingan di bidang Pertahanan keamanan, perhubungan, telekomunikasi, perikanan, pertambangan dan lainlain. Ayat (4) Ayat (5) Ayat (6) Ayat (7) Pasal 46 Tindakan yang perlu untuk mencegah, mengurangi dan mengendalikan pencemaran dalam ayat ini meliputi pemasangan dan peme1iharaan alat perlengkapan untuk mencegah, mengurangi dan mengendalikan pencemaran lingkungan laut dan mengambil tindakan yang perlu dalam hal terjadinya pencemaran lingkungan laut.

18 18 Yang dimaksud Pemerintah adalah Menteri yang bertanggung jawab dibidang Perhubungan. Sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat ini diberikan setelah memenuhi persyaratan-persyaratan mengenai pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemaran lingkungan laut antara lain persyaratan yang bertalian dengan disain, konstruksi dan alat perlengkapan kapal termasuk alat perlengkapan untuk mencegah, mengurangi dan mengendalikan pencemaran lingkungan laut. Ketentuan pasal ini hanya berlaku bagi kapal-kapal yang digunakan untuk tujuan niaga. Larangan berlayar sebagaimana dimaksud pada ayat ini berlaku sampai kapal tersebut memiliki sertifikat atau keadaan kapal telah sesuai dengan isi sertifikat yang dimilikinya. Ayat (4) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 217 Pasal 47 Ketentuan ini merupakan konsekuensi kewajiban setiap orang untuk melakukan upaya pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemaran dan atau perusakan lingkungan laut. Kerugian dalam ayat ini meliputi kerugian langsung yang diderita oleh penderita dan biaya yang dikeluarkannya untuk menanggulangi pencemaran dan atau perusakan lingkungan laut, serta hilangnya hasil dan keuntungan yang dideritanya. Biaya pemulihan lingkungan laut meliputi kerugian yang diakibatkan oleh tercemarnya dan atau rusaknya lingkungan laut, biaya yang diperlukan untuk menentukan besar kecilnya kerugian ekologis, termasuk biaya penelitian yang diperlukan untuk itu, serta biaya pemulihan lingkungan laut yang tercemar dan atau rusak. Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat ini adalah tanggung jawab yang menimbulkan kewajiban untuk membayar ganti rugi secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran lingkungan laut dan atau perusakan

19 19 sumber daya alam, tidak dapat dielakkan dan secara prosedural penderita tidak perlu membuktikannya; tanggung jawab tersebut adalah strict liability dan bukan absolute liability. Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat ini adalah sama dengan tanggung jawab mutlak sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 48 Ketentuan ini, merupakan pengecualian terhadap tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam pasal 47 Ketentuan ini, merupakan pengecualian terhadap tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 Pasal 49 Tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam pasal ini adalah sesuai dengan ketentuan dalam "The International Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage 1969" yang telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 18 Tahun Pasal 50 Pasal 51 Pasal 52 Untuk ketentuan ini, lihat juga penjelasan Pasal 47 Pasal 53 Sebagai imbangan terhadap tanggung jawab pencemar atau perusak yang timbul secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan atau perusakan lingkungan laut perlu ditentukan suatu jumlah maksimum ganti rugi sebagai batas tanggung jawab pencemar dan atau perusak lingkungan laut.

20 20 Bentuk, jenis dan besarnya kerugian yang timbul dari pencemaran lingkungan laut dan atau kerusakan sumberdaya alam yang terjadi akan menentukan besarnya kerugian. Penelitian ekologis tentang bentuk, jenis dan besarnya kerugian tersebut dilakukan oleh sebuah tim yang terdiri dari pihak Pemerintah, pihak penderita dan pihak pencemar. Tim dimaksud akan dibentuk secara khusus untuk tiap-tiap kasus. Pasal 54 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 235 ayat (3) Pasal 55 Tuntutan ganti rugi akibat pencemaran lingkungan laut oleh minyak yang disebabkan karena malapetaka kapal tanker pengangkut minyak tunduk pada "The International Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage 1969" yang telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 18 Tahun Tuntutan ganti rugi tersebut dilakukan oleh Menteri yang bertanggung jawab dibidang lingkungan hidup Republik Indonesia. Tuntutan ganti rugi tersebut dilakukan menurut prosedur sebagaimana diatur dalam konvensi tersebut dan "The International Convention on the Estab1ishment of an International Fund for the Compensation of Oil Pollution Damage, 1971". Pasal 56 Pasal 57 Terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan laut perlu segera ditanggulangi. Upaya penanggulangan tersebut memerlukan dana yang cukup besar. Adalah menjadi tugas Pemerintah untuk mengeluarkan dana penanggulangan tersebut yang akan diperhitungkan kembali dari hasil tuntutan ganti rugi yang diterima oleh negara.

21 21 Pencemaran dan atau perusakan lingkungan laut sebagaimana dimaksud dalam Bab ini merupakan suatu malapetaka. Keadaan yang demikian tidak dapat diramalkan kapan dan dimana akan terjadi, serta seberapa besar pencemaran dan atau perusakan itu. Oleh karena itu tidaklah mungkin untuk menentukan jumlah dana yang diperlukan untuk penanggulangannya, sedangkan penyediaan dana tersebut dalam anggaran belanja adalah juga sulit. Oleh karena itu perlu dibentuk suatu dana nasional yang setiap saat dapat digerakkan apabila terjadi malapetaka pencemaran dan atau perusakan lingkungan laut. Pasal 58 Pasal 59 Pasal 60 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) jo Pasal 52 ayat (1) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 Ayat (4) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) dan Pasal 54 Ayat (5)

22 22 Pasal 61 Konvensi Hukum Laut 1982 memuat berbagai hak dan kewajiban negara-negara di laut, baik dalam wilayah perairan suatu negara maupun dalam wilayah perairan di luar yurisdiksi nasional suatu negara. Pelaksanaan hak dan kewajiban suatu negara di perairan negara lain dapat menimbulkan ancaman terhadap kedaulatan, integritas wilayah atau kemerdekaan politik negara lain tersebut. Ancaman itu dapat pula ditimbulkan dari pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut di perairan di luar yurisdiksi nasional suatu negara. Pelaksanaan penanggulangan terhadap ancaman di luar yurisdiksi nasional merupakan suatu kewenangan yang luar biasa, dan berhubung dengan itu kewenangan tersebut dilakukan oleh Panglima Tentara Nasional Republik Indonesia. sebagaimana dimaksud dalam Pasal 301 Pasal 62 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dan Pasal 54 Pasal 63 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 229 Pasal 64 Yang dimaksud Pemerintah adalah Menteri yang bertanggung jawab atas kegiatan yang menimbulkan pencemaran atau perusakan lingkungan laut tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 207, pasal 208, Pasal 213, Pasal 214, dan Pasal 216

23 23 Pasal 65 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 210, Pasal 216 ayat (1) huruf a Pasal 66 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 219 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 219 Konvensi Pasal 67 Yang dimaksud dengan kendaraan air atau pesawat udara asing yang mempunyai imunitas adalah kapal perang asing atau pesawat udara militer asing atau kendaraan air atau pesawat udara asing lainnya yang dioperasikan pemerintah negara asing untuk keperluan dinas pemerintah asing tersebut yang tidak bersifat komersial. sebagaimana dimaksud dalam Pasal 233 dan Pasal 236 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 233 Pasal 68 Untuk ketentuan (1) ini, lihat juga ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Pasal 30, dan Pasal 42 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 42, dan Pasal 54 Pasal 69 Syarat bahwa terdapat dugaan yang patut bahwa orang atau kapal tersebut bermaksud memasukkan komoditi, orang, flora, atau fauna ke dalam wilayah perairan atau wilayah darat Indonesia harus dipenuhi agar tidak dipersalahkan melakukan tindakan perompakan di laut

24 24 (piracy), karena di Zona Tambahan tersebut yang terletak di Zona Ekonomi Eksklusif berlaku kebebasan pelayaran seperti yang terdapat dalam ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) huruf a Konvensi atau Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Pasal 70 Untuk syarat bahwa terdapat dugaan yang patut bahwa orang atau kapal tersebut bermaksud memindahkan benda purbakala atau benda sejarah keluar dari Zona Tambahan tersebut untuk diperdagangkan, lihat penjelasan Pasal 69 Pasal 71 Perintah agar kapal tersebut mengindahkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan dilakukan dalam hal kapal tersebut belum atau tidak mengindahkan ketentuan perundang-undangan yang tidak dikenai sanksi administratif. Akan tetapi apabila ketentuan peraturan perundang-undangan yang belum atau tidak dipenuhi itu merupakan ketentuan yang dikenai sanksi administratif, kepada kapal tersebut dapat diperintahkan untuk meninggalkan perairan Indonesia. Ayat (4) Untuk ketentuan ini, lihat penjelasan Pasal 99 ayat (5) Ayat (5) Pasal 72 Ketentuan ini adalah ketentuan yang serupa dengan ketentuan seperti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonnantie 1939 (Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim 1939). Yang dimaksud dengan pengawasan atas pentaatan terhadap ketentuan Undang-Undang ini adalah, penegakan hukum secara fungsional terhadap kegiatan-kegiatan di perairan Indonesia yang dapat

25 25 dilakukan baik oleh kapal berbendera asing maupun kapal berbendera Indonesia. Pengawasan tersebut perlu dilakukan untuk memastikan bahwa kegiatankegiatan tersebut dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang ini. Upaya penegakan hukum tersebut dilakukan dengan memperhatikan hak dan kewajiban kapal berbendera asing seperti yang ditentukan dalam ketentuanketentuan Berhubung dengan itu kewenangan untuk mengawasi atas pentaatan terhadap ketentuan Undang-Undang ini diberikan kepada kapal perang dan pesawat udara militer Republik Indonesia. Sepanjang berkenaan dengan fungsi dan tugasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kewenangan tersebut juga dapat dilakukan oleh kapal atau pesawat udara Pemerintah lainnya. Demi keamanan negara diperlukan pencapaian sasaran yang efektif, dan berhubung dengan itu keterpaduan antara aparat-aparat penegak hukum dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya merupakan keharusan. Undang- Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Lihat penjelasan ayat (1). Ketentuan ini adalah ketentuan yang terdapat dalam Pasal 13 ayat (2) Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonnantie 1939 (Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim 1939). Yang dimaksud dengan komandan kapal dan pesawat udara pemerintah lainnya adalah komandan kapal dan pesawat udara Pabean, Imigrasi, Penjaga Laut dan Pantai, Perikanan, dan lain-lainnya. Kapalkapal tersebut melaksanakan pengawasan atas pentaatan terhadap peraturan perundang-undangan yang bersangkutan dengan diberi penugasan khusus untuk itu. Pasal 73 Pasal 74

26 26 Pasal 75 Pasal 76 Pasal 77 Pasal 78 Pasal 79 Pasal 80 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf k Konvensi Pasal 81 Cukup jelas Pasal 82 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e, Pasal 42 ayat (1) huruf c, dan Pasal 54 Pasal 83 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1). Pasal 84 Pasal 85 Pasal 86 Pasal 87 Cukup jelas

27 27 Pasal 88 Pasal 89 Pasal 90 Cukup jelas Pasal 91 Pasal 92 Pasal 93 Cukup jelas Terhadap Kapal perang asing atau kapal pemerintah asing lainnya yang digunakan bukan untuk tujuan niaga tidak dapat diambil tindakan-tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), karena kapalkapal tersebut mempunyai imunitas. Untuk ayat ini lihat juga ketentuan Pasal 32 Pasal 94 Cukup jelas Pengertian dikuasai oleh negara dalam ayat ini dimaksudkan untuk melindungi pemilik sah dari benda purbakala atau benda sejarah tersebut. Pasal 95 Cukup jelas Pasal 96 Pasal 97

28 28 Pasal 98 Ketentuan ayat ini adalah ketentuan yang serupa dengan ketentuan seperti yang terdapat pada Pasal 14 Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonnantie 1939 (Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim 1939). Upaya penegakan hukum di laut dilakukan selain memperhatikan hak dan kewajiban kapal berbendera asing serta kedudukan Perairan Indonesia sebagaimana ditentukan dalam Konvensi juga pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan sebagaimana diuraikan dalam Bab II. Berhubung dengan itu dalam ketentuan pasal ini, yang ditetapkan sebagai aparat penyidik adalah Perwira TNI Angkatan Laut, Perwira Kepolisian Negara dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Penunjukan Perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut sebagai penyidik adalah sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya sebagaimana dimaksud pada ketentuan Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Masalah penyidikan di laut berkaitan erat dengan aspek hubungan internasional dan aspek hukum internasional yang melekat pada masalah-masalah kelautan; berhubung dengan itu untuk dapat melaksanakan tugas penyidikan di laut dengan aspek-aspek yang demikian, petugas yang dibebani dengan tugas penyidikan di laut harus mempunyai cukup pengalaman dan mempunyai kualifikasi perwira. Kewenangan Perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut untuk melakukan penyidikan atas tindak pidana dalam ayat ini merupakan kewenangan yang dilaksanakan berdasarkan Pasal 14 Teritoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonnantie 1939 (Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim 1939). Untuk ketentuan ini, lihat juga penjelasan ayat (1). pada

29 29 Pasal 99 Tindakan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat ini dapat dilakukan terhadap setiap kapal yang melakukan tindak pidana yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini di Perairan Indonesia, baik terhadap kapal Indonesia, maupun terhadap kapal asing yang mempunyai hak untuk melintas di Perairan Indonesia. Sesuai dengan hukum internasional, suatu kapal mempunyai kedudukan sebagai teritori dari negara yang benderanya dikibarkan oleh kapal tersebut. Berhubungan dengan itu, menghentikan, menaiki, dan memeriksa kapal asing yang diduga melakukan tindak pidana di Perairan Indonesia dilakukan dengan memperhatikan kedudukan kapal tersebut sebagai teritori negara bendera. Sehubungan dengan itu, menghentikan, menaiki dan memeriksa kapal berbendera asing hanya dapat dilakukan dalam hal-hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ini. Satu kapal yang kedapatan di perairan Indonesia sedang melakukan kegiatan yang merupakan tindak pidana dapat dikatakan sebagai melakukan suatu tindak pidana secara tertangkap tangan. Sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (2) KUHAP, siapapun dapat melakukan penangkapan terhadap seseorang yang tertangkap tangan melakukan suatu tindak pidana. Berbeda dengan keadaan di darat dimana tindak pidana dapat dilakukan oleh orang perorangan, tindak pidana sebagaimana diatur dalam Undang- Undang ini pada dasarnya dilakukan oleh kapal atau nahkoda atau awak yang bertanggung jawab atas kapal tersebut. Berhubung dengan itu, penghentian dan pemeriksaan terhadap kapal yang kedapatan di laut sedang melakukan tindak pidana pada dasarnya tidak dapat dilakukan oleh orang perorangan tetapi hanya dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum/aparat penyidik. Suatu kapal yang hendak melakukan pelayaran kesuatu tujuan/pelabuhan yang telah direncanakan dengan membawa muatan diatas kapal yang tunduk kepada peraturan kepabeanan akan berlayar melalui jalur tertentu, akan tetapi apabila kapal tersebut kedapatan berada bukan pada jalur pelayaran yang

30 30 seharusnya dipergunakan, maka kapal demikian patut diduga akan melakukan penyelundupan. Suatu kapal yang berada pada suatu tempat yang tidak seharusnya dan tidak memiliki izin penangkapan ikan ditempat itu serta peralatan penangkapan ikan yang dalam keadaan siap pakai, patut diduga telah atau akan melakukan penangkapan ikan secara ilegal. Peralatan penangkapan ikan dalam keadaan siap pakai terjadi apabila tidak tersimpan dalam palka atau winch serta kabel-kabel penarik berada dalam keadaan terurai atau terlepas. Apabila telah diperiksa terdapat bukti-bukti yang dengan jelas menunjukkan bahwa kapal tersebut melakukan suatu tindak pidana maka aparat penyidik dapat menahan dan membawa kapal tersebut kepelabuhan terdekat untuk pemrosesan selanjutnya. Apabila setelah diperiksa tidak terdapat bukti-bukti yang dengan jelas menunjukkan bahwa kapal tersebut melakukan suatu tindak pidana, maka aparat penyidik wajib segera mempersilakan kapal tersebut untuk melanjutkan pelayarannya. Kapal yang di laut kedapatan tanpa tanda-tanda kebangsaan menimbulkan dugaan digunakan untuk tujuan yang bertentangan dengan hukum, misalnya penyelundupan, perompakan, dan lain-lain. Ayat (4) Kapal yang tidak terbukti melakukan tindak pidana harus segera dipersilahkan untuk melanjutkan pelayarannya untuk mencegah timbulnya tuntutan ganti rugi atas tindakan-tindakan penghentian dan pemeriksaan terhadap kapal yang tidak pada tempatnya. Terhadap kapal yang kedapatan di Perairan Indonesia tanpa tanda-tanda kebangsaan dan setelah diperiksa ternyata berkebangsaan asing dapat dianjurkan untuk mengibarkan bendera kebangsaan. Ayat (5) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 225

31 31 Ayat (6) Untuk ketentuan ini, lihat juga penjelasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (2) Ayat (7) Ketentuan ini merupakan ketentuan yang serupa dengan ketentuan seperti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 18 Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonnantie 1939; ketentuan pelaksanaan dari Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 18 tersebut adalah sebagaimana terdapat dalam Territoriale Zee en Maritieme Kringen Verordening tahun 1935 (Stb.1935 Nomor 525) dan Keputusan Nomor 39 tanggal 18 Nopember 1939 tentang Petunjuk untuk digunakan pada penyidikan tindak pidana di laut. Berhubung dengan itu, Peraturan Pemerintah yang dimaksud pada ayat ini akan mengatur substansi seperti yang terdapat dalam Verordening dan Keputusan tersebut. Peraturan Pemerintah tersebut mengandung ketentuan mengenai penghentian dan pemeriksaan di laut baik terhadap kapal Indonesia maupun kapal berbendera asing. Pasal 100 Ketentuan ini adalah ketentuan yang serupa dengan ketentuan seperti yang terdapat dalam Pasal 17 Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonnantie 1939 (Ordonansi Laut teritorial dan Lingkungan Maritim 1939). sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (1) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (3) sebagaimana dimaksud Pasal 111 ayat (1) kalimat terakhir Ayat (4) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (4) kalimat pertama

32 32 Ayat (5) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (4) kalimat terakhir Pasal 101 Untuk ketentuan ini, sepanjang bertalian dengan lintas laut damai, lihat juga ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) Sepanjang bertalian dengan akses dan komunikasi, dan lintas alur laut kepulauan, lihat juga ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (4) konvensi, dan sepanjang bertalian dengan lintas transit lihat juga ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) Yang dimaksud dengan tindak pidana yang merupakan ancaman bagi keamanan negara atau ketertiban Perairan Indonesia adalah misalnya tindak pidana seagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Dan yang dimaksud dengan tindak pidana yang konsekuensinya berpengaruh kepada Indonesia adalah misalnya tindak pidana dimana pelaku atau korban adalah subyek hukum Indonesia atau tindak pidana yang dapat menimbulkan akibat yang luas dalam masyarakat seperti mengedarkan uang palsu. sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) Ayat (4) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (4) Ayat (5) sebagaimana dimaksud Pasal 27 ayat (5)

33 33 Pasal 102 Kedudukan perairan pedalaman sebagai perairan yang termasuk dalam kedaulatan Republik Indonesia membawa konsekuensi bahwa aparat penegak hukum berwenang untuk melaksanakan yurisdiksi pidana di perairan pedalaman tersebut. Ketentuan ini mencerminkan asas teritorial seperti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana. Negara bendera kapal mempunyai yurisdiksi atas kapal sebagai teritori negara, yang dilaksanakan oleh nakhoda kapal. Sehubungan dengan hal itu, pelaksanaan yurisdiksi pidana di atas kapal asing yang sedang berlabuh atau buang jangkar di perairan pedalaman dilakukan setelah diadakan komunikasi dengan nakhoda kapal untuk persetujuannya atas pelaksanaan yurisdiksi pidana tersebut. Nakhoda kapal asing tersebut pada kebiasaannya harus memberikan persetujuan, terlebih-lebih apabila pelaksanaan yurisdiksi pidana tersebut bertalian dengan : a. tindak pidana yang mempunyai konsekuensi yang berpengaruh terhadap Indonesia; b. tindak pidana yang merupakan ancaman terhadap keamanan negara atau terhadap ketertiban perairan pedalaman. Yang dimaksud dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Pasal 101 ayat (1) Ayat (4) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) Pasal 103 Ketentuan ini, merupakan ketentuan yang berkaitan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) huruf a. sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 konvensi.

34 34 Untuk syarat bahwa terdapat bukti yang cukup kuat bahwa orang atau kapal tersebut bermaksud memasukkan komoditi, orang, flora atau fauna ke dalam wilayah Perairan Indonesia atau wilayah darat Indonesia bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dibidang kepabeanan, kefiskalan, keimigrasian, atau kekarantinaan tersebut harus dipenuhi agar tidak dipersalahkan melakukan perompakan laut (piracy) karena di Zona Tambahan yang terletak di Zona Ekonomi Eksklusif berlaku kebebasan berlayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) huruf (a) Ketentuan ini, merupakan ketentuan yang berkaitan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 (1) huruf b. sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 konvensi. Untuk syarat bahwa terdapat bukti yang cukup kuat bahwa orang atau kapal tersebut bermaksud memasukan komoditi, orang, flora, atau fauna kedalam wilayah Perairan Indonesia atau wilayah darat Indonesia bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dibidang kepabeanan, kefiskalan, keimigrasian atau kekarantinaan. Untuk ketentuan ini, lihat juga penjelasan ayat (1) alinea 2. Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Untuk ketentuan ini, lihat juga Penjelasan Pasal 107 ayat (1). Pasal 104 Untuk ketentuan ini, lihat juga Penjelasan Pasal 39. Syarat bahwa terdapat bukti permulaan yang kuat bahwa orang atau kapal tersebut bermaksud melakukan pemindahan benda purbakala atau benda sejarah keluar dari Zona Tambahan dengan maksud untuk diperdagangkan bertentangan dengan ketentuan Pasal 39 harus dipenuhi agar tidak dipersalahkan melakukan tindakan perompakan di laut (piracy), karena di Zona Tambahan tersebut yang terletak di Zona Ekonomi Eksklusif berlaku

35 35 kebebasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) huruf (a) Cukup jelas Pasal 105 Untuk ketentuan ini, lihat juga Penjelasan Pasal 100. Untuk ketentuan ini, lihat juga Penjelasan Pasal 100 ayat (2) sampai ayat (5). Pasal 106 Yang dimaksud dengan benda-benda yang digunakan sebagai alat atau alat bantu untuk melakukan tindak pidana yang ditetapkan oleh Undang-undang ini dapat meliputi kendaraan air yang digunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut. Kendaraan air tersebut hanya dapat disita jika benar-benar terdapat bukti yang dengan jelas menunjukkan bahwa tindak pidana itu dilakukan dengan kendaraan air tersebut sebagai alat utama. Terhadap kapal-kapal dan/atau orang-orang yang diduga melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup di laut khususnya bagi kapal dan/atau orang-orang yang berkebangsaan asing dapat ditahan dan dibawa ke pelabuhan terdekat untuk diproses lebih lanjut, sedangkan terhadap kapalkapal dan/atau orang-orang yang berkebangsaan Indonesia dapat diperintahkan (perintah ad hoc) ke suatu pelabuhan atau pangkalan yang ditunjuk oleh penyidik di laut untuk diproses lebih lanjut. Selama pelayaran menuju ke pelabuhan/pangkalan terdekat tersebut, penyidik harus mengawasi agar keadaan kapal dan benda-benda lainnya sebagai barang bukti tidak mengalami perubahan yang dapat menyulitkan proses perkara. Penahanan terhadap kapal atau orang untuk dibawa ke pelabuhan/ pangkalan terdekat tidak selalu dapat dilaksanakan sesuai dengan batas waktu penangkapan yang ditetapkan dalam Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana, yaitu satu hari. Oleh karena itu untuk tindakan penahanan di laut diberi

36 36 jangka waktu yang memungkinkan para aparat penyidik di laut membawa kapal dan/atau orangorang tersebut ke pelabuhan/pangkalan terdekat. Jangka waktu maksimum 5 (lima) hari dianggap sebagai jangka waktu maksimal untuk menarik/membawa suatu kapal dari jarak yang terjauh di Perairan Indonesia sampai ke pelabuhan/pangkalan. Berbeda dengan keadaan di darat, dimana penyitaan benda-benda barang bukti dapat dilakukan dengan persetujuan Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan, dalam hal penyitaan di laut permohonan persetujuan Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan baru dapat dilakukan setelah kapal tersebut dibawa ke pelabuhan terdekat. Proses penyelesaian perkara mengenai kapal, nakhoda, awak kapal, dan penumpang yang ditahan baik berbendera Indonesia maupun berbendera asing harus dilakukan dalam waktu yang sesingkat mungkin untuk mencegah agar kapal, Nakhoda, Awak kapal dan penumpang tidak mengalami kerugian yang besar. Proses penyelesaian perkara sesingkat mungkin tersebut terlebih-lebih diperlukan dalam perkara mengenai kapal-kapal berbendera asing karena dalam melaksanakan penegakan kedaulatan dan hukum di perairan Indonesia harus senantiasa diperhatikan hak dan kewajiban Negara lain seperti yang ditentukan dalam Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982 untuk mencegah timbulnya hal-hal yang merugikan Indonesia dalam hubungan internasiona1 dengan negara lain. Berhubung dengan itu dalam ayat ini ditentukan bahwa pemberitahuan tentang dilakukannya penyidikan dan penyampaian hasil penyidikan dilakukan langsung kepada Penuntut Umum, sehingga proses penuntutan dan penyelesaian perkara di Pengadilan dapat dilakukan sesegera mungkin.

37 37 Pasal 107 Wewenang Pemerintah untuk melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap kapal berbendera Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat ini merupakan suatu konsekuensi dari kewajiban negara untuk menjamin ter1indunginya lingkungan laut terhadap pencemaran dan perusakannya. Selain itu, wewenang tersebut juga merupakan suatu pencerminan kewajiban negara untuk menjamin bahwa kapal berbendera Indonesia tidak merugikan kepentingan negara lain, khususnya di bidang perlindungan lingkungan laut. sebagaimana dimaksud dalam Pasal 217 ayat (4) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 217 ayat (5) Pasal 108 Yang dimaksud dengan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat ini adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang perhubungan. sebagaimana dimaksud dalam Pasal 217 ayat (5) Lihat juga penjelasan ayat (1) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 217 ayat (6) dan ayat (7) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 217 ayat (6) dan ayat (7) Ayat (4) Lihat juga penjelasan ayat (1) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 217 ayat (6) dan ayat (7)

38 38 Pasal 109 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 ayat (1) Pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat ini dilakukan oleh suatu kapal terhadap peraturan perundang-undangan negara lain. Oleh karena itu, penyidikan dan penuntutan terhadap kapal tersebut oleh Pemerintah hanya dapat dilakukan apabila diminta oleh negara lain itu, pemerintah negara bendera, atau oleh negara yang dirugikan atau terancam kerugian. Walaupun kapal tersebut melanggar peraturan perundang-undangan negara lain namun Pemerintah dapat memeriksa dan menuntut kapal tersebut apabila pelanggaran oleh kapal tersebut mengakibatkan tercemarnya Perairan Indonesia atau Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 ayat (2) Yang dimaksud dengan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat ini adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang perhubungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 ayat (3) Ayat (4) Lihat juga penjelasan ayat (3) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 ayat (3) Ayat (5) Lihat juga penjelasan ayat (3) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 ayat (3) Ayat (6) Lihat juga penjelasan ayat (3) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 ayat (4)

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 44, 1983 (KEHAKIMAN. WILAYAH. Ekonomi. Laut. Perikanan. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1983 TENTANG ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1983 TENTANG ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1983 TENTANG ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pada tanggal 21 Maret 1980

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2002 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2002 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2002 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL ASING DALAM MELAKSANAKAN LINTAS DAMAI MELALUI PERAIRAN INDONESIA Menimbang : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a.

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2002 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL ASING DALAM MELAKSANAKAN LINTAS DAMAI MELALUI PERAIRAN INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1996 WILAYAH. KEPULAUAN. PERAIRAN. Wawasan Nusantara (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 5 TAHUN 1983 (5/1983) Tanggal: 18 OKTOBER 1983 (JAKARTA) Sumber: LN 1983/44; TLN NO. 3260 Tentang: ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA Indeks:

Lebih terperinci

Pembagian Kewenangan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan Di Perairan Indonesia

Pembagian Kewenangan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan Di Perairan Indonesia Pembagian Kewenangan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan Di Perairan Indonesia Abdul Muthalib Tahar dan Widya Krulinasari Dosen Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: 1. bahwa berdasarkan kenyataan sejarah dan cara pandang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1983 TENTANG ZONA EKONOMI EKSLUSIF INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1983 TENTANG ZONA EKONOMI EKSLUSIF INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1983 TENTANG ZONA EKONOMI EKSLUSIF INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : 1. bahwa pada tanggal 21 Maret 1980

Lebih terperinci

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL ASING DALAM MELAKSANAKAN LINTAS DAMAI MELALUI PERAIRAN INDONESIA.

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL ASING DALAM MELAKSANAKAN LINTAS DAMAI MELALUI PERAIRAN INDONESIA. PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 36 TAHUN 2002 (36/2002) TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL ASING DALAM MELAKSANAKAN LINTAS DAMAI MELALUI PERAIRAN INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pembangunan nasional

Lebih terperinci

pres-lambang01.gif (3256 bytes)

pres-lambang01.gif (3256 bytes) pres-lambang01.gif (3256 bytes) Menimbang Mengingat PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2002 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL DAN PESAWAT UDARA ASING DALAM MELAKSANAKAN HAK LINTAS ALUR

Lebih terperinci

Hak Lintas Damai di Laut Teritorial

Hak Lintas Damai di Laut Teritorial Hak Lintas Damai di Laut Teritorial A. Laut Teritorial HAK LINTAS DAMAI DI LAUT TERITORIAL (KAJIAN HISTORIS) Laut teritorial merupakan wilayah laut yang terletak disisi luar dari garis-garis dasar (garis

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2002 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL DAN PESAWAT UDARA ASING DALAM MELAKSANAKAN HAK LINTAS ALUR LAUT KEPULAUAN MELALUI ALUR LAUT KEPULAUAN YANG DITETAPKAN

Lebih terperinci

ZONASI LAUT TERITORIAL. Oleh Dr. Ir. HJ. KHODIJAH ISMAIL, M.Si

ZONASI LAUT TERITORIAL. Oleh Dr. Ir. HJ. KHODIJAH ISMAIL, M.Si ZONASI LAUT TERITORIAL Oleh Dr. Ir. HJ. KHODIJAH ISMAIL, M.Si Indonesia memiliki wilayah perairan laut yang sangat luas. Untuk landas kontinen negara Indonesia berhak atas segala kekayaan alam yang terdapat

Lebih terperinci

Undang Undang No. 5 Tahun 1983 Tentang : Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia

Undang Undang No. 5 Tahun 1983 Tentang : Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia Undang Undang No. 5 Tahun 1983 Tentang : Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 5 TAHUN 1983 (5/1983) Tanggal : 18 OKTOBER 1983 (JAKARTA) Sumber : LN 1983/44; TLN NO.

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA Kementerian Kelautan dan Perikanan 2017 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.legalitas.org PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2002 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL DAN PESAWAT UDARA ASING DALAM MELAKSANAKAN HAK LINTAS ALUR LAUT KEPULAUAN MELALUI ALUR LAUT

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN PP 37/2002, HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL DAN PESAWAT UDARA ASING DALAM MELAKSANAKAN HAK LINTAS ALUR LAUT KEPULAUAN MELALUI ALUR LAUT KEPULAUAN YANG DITETAPKAN *39678 PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

2018, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Wilayah Udara adalah wilayah kedaulatan udara di a

2018, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Wilayah Udara adalah wilayah kedaulatan udara di a No.12, 2018 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERTAHANAN. RI. Wilayah Udara. Pengamanan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6181) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

No Laut Kepulauan (archipelagic sea lane passage) dan jalur udara di atasnya untuk keperluan lintas kapal dan Pesawat Udara Asing sesuai denga

No Laut Kepulauan (archipelagic sea lane passage) dan jalur udara di atasnya untuk keperluan lintas kapal dan Pesawat Udara Asing sesuai denga TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No.6181 PERTAHANAN. RI. Wilayah Udara. Pengamanan. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 12) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN. Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si www. Khodijahismail.com

PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN. Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si www. Khodijahismail.com PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si khodijah5778@gmail.com www. Khodijahismail.com POKOK BAHASAN Kontrak Perkuliahan dan RPKPS (Ch 01) Terminologi Ilmu dan Teknologi

Lebih terperinci

Hukum Laut Indonesia

Hukum Laut Indonesia Hukum Laut Indonesia Pengertian Hukum Laut Hukum Laut berdasarkan pendapat ahli ahli : Hukum laut menurut dr. Wirjono Prodjodikoro SH adalah meliputi segala peraturan hukum yang ada hubungan dengan laut.

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal. Fishing (IUUF) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia.

BAB V PENUTUP. 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal. Fishing (IUUF) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia. 161 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Menjawab rumusan masalah dalam Penulisan Hukum ini, Penulis memiliki kesimpulan sebagi berikut : 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal Asing yang Melakukan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR NO. 5 TAHUN 1983 ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR NO. 5 TAHUN 1983 ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR NO. 5 TAHUN 1983 ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. Bahwa pada

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa berdasarkan kenyataan sejarah dan cara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa pengaturan keimigrasian yang meliputi lalu lintas

Lebih terperinci

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN. Oleh : Ida Kurnia*

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN. Oleh : Ida Kurnia* PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN Oleh : Ida Kurnia* Abstrak KHL 1982 tentang Hukum Laut yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.68, 2013 HUKUM. Keimigrasian. Administrasi. Pelaksanaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5409) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KELAUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KELAUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KELAUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diakui

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: Bab I KETENTUAN UMUM Pasal 1 1. Keimigrasian adalah hal ihwal lalu lintas orang yang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3647);

2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3647); Lampiran 1 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2002 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL DAN PESAWAT UDARA ASING DALAM MELAKSANAKAN HAK LINTAS ALUR LAUT KEPULAUAN MELALUI ALUR LAUT KEPULAUAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1992 TENTANG PELAYARAN [LN 1992/98, TLN 3493]

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1992 TENTANG PELAYARAN [LN 1992/98, TLN 3493] UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1992 TENTANG PELAYARAN [LN 1992/98, TLN 3493] BAB XIII KETENTUAN PIDANA Pasal 100 (1) Barangsiapa dengan sengaja merusak atau melakukan tindakan apapun yang mengakibatkan tidak

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 109 TAHUN 2006 TENTANG PENANGGULANGAN KEADAAN DARURAT TUMPAHAN MINYAK DI LAUT

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 109 TAHUN 2006 TENTANG PENANGGULANGAN KEADAAN DARURAT TUMPAHAN MINYAK DI LAUT PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 109 TAHUN 2006 TENTANG PENANGGULANGAN KEADAAN DARURAT TUMPAHAN MINYAK DI LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut PEMBUKAAN Negara-negara Peserta pada Konvensi ini, Didorong oleh keinginan untuk menyelesaikan, dalam semangat saling pengertian dan kerjasama, semua

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 109 TAHUN 2006 TENTANG PENANGGULANGAN KEADAAN DARURAT TUMPAHAN MINYAK DI LAUT

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 109 TAHUN 2006 TENTANG PENANGGULANGAN KEADAAN DARURAT TUMPAHAN MINYAK DI LAUT PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 109 TAHUN 2006 TENTANG PENANGGULANGAN KEADAAN DARURAT TUMPAHAN MINYAK DI LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 109 TAHUN 2006 TENTANG PENANGGULANGAN KEADAAN DARURAT TUMPAHAN MINYAK DI LAUT

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 109 TAHUN 2006 TENTANG PENANGGULANGAN KEADAAN DARURAT TUMPAHAN MINYAK DI LAUT PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 109 TAHUN 2006 TENTANG PENANGGULANGAN KEADAAN DARURAT TUMPAHAN MINYAK DI LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa pengaturan keimigrasian yang meliputi lalu lintas orang masuk atau ke luar wilayah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa berdasarkan kenyataan sejarah dan cara pandang bangsa Indonesia, Negara Republik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2018 TENTANG PENGAMANAN WILAYAH UDARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2018 TENTANG PENGAMANAN WILAYAH UDARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2018 TENTANG PENGAMANAN WILAYAH UDARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pengaturan keimigrasian yang meliputi lalu lintas

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA Nomor 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa transportasi mempunyai peranan penting dan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Keimigrasian merupakan bagian dari perwujudan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa lingkungan hidup Indonesia

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

LAMPIRAN 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP LAMPIRAN 392 LAMPIRAN 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP 393 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 68, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699)

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 68, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699) LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 68, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN

Lebih terperinci

ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF

ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF Ardigautama Agusta. Analisis Undang-undang Kelautan di Wilayah Zona Ekonomi Eksklusif 147 ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF Ardigautama Agusta Teknik Geodesi dan Geomatika,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /PERMEN-KP/2017 TENTANG PENANGANAN TINDAK PIDANA PERIKANAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

Dengan Persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA. MEMUTUSKAN: Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP.

Dengan Persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA. MEMUTUSKAN: Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP. UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2002 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2002 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 33 TAHUN 2002 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa kegiatan penambangan, pengerukan, pengangkutan, dan perdagangan pasir laut,

Lebih terperinci

HUKUM LAUT. Laut adalah keseluruhan rangkaian air asin yang menggenangi permukaan bumi.

HUKUM LAUT. Laut adalah keseluruhan rangkaian air asin yang menggenangi permukaan bumi. HUKUM LAUT I. Pengertian Laut adalah keseluruhan rangkaian air asin yang menggenangi permukaan bumi. Laut secara hukum adalah keseluruhan air laut yang berhubungan secara bebas di seluruh permukaan bumi.

Lebih terperinci

NAVIGASI. Pengertian Lintas (Art. Art. 18 LOSC) SELAT SELAT REZIM HAK LINTAS. Dalam arti geografis: Dalam arti yuridis: lain.

NAVIGASI. Pengertian Lintas (Art. Art. 18 LOSC) SELAT SELAT REZIM HAK LINTAS. Dalam arti geografis: Dalam arti yuridis: lain. SELAT NAVIGASI Iman Prihandono, SH., MH., LL.M Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Airlangga E-Mail: iprihandono@unair.ac.id Blog: imanprihandono.wordpress.com Dalam arti geografis:

Lebih terperinci

Mengingat ketentuan-ketentuan yang relevan dari Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hukum Laut tanggal 10 Desember 1982,

Mengingat ketentuan-ketentuan yang relevan dari Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hukum Laut tanggal 10 Desember 1982, PERSETUJUAN PELAKSANAAN KETENTUAN-KETENTUAN KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG HUKUM LAUT TANGGAL 10 DESEMBER 1982 YANG BERKAITAN DENGAN KONSERVASI DAN PENGELOLAAN SEDIAAN IKAN YANG BERUAYA TERBATAS

Lebih terperinci

BERITA NEGARA. No.1834, 2015 KEMENKUMHAM. TPI. Masuk dan Keluar. Wilayah Indonesia. Pencabutan. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

BERITA NEGARA. No.1834, 2015 KEMENKUMHAM. TPI. Masuk dan Keluar. Wilayah Indonesia. Pencabutan. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1834, 2015 KEMENKUMHAM. TPI. Masuk dan Keluar. Wilayah Indonesia. Pencabutan. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2015 TENTANG

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2002 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2002 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2002 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kegiatan penambangan, pengerukan,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa berdasarkan kenyataan sejarah dan cara

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 23 TAHUN 1997 (23/1997) Tanggal: 19 SEPTEMBER 1997 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 23 TAHUN 1997 (23/1997) Tanggal: 19 SEPTEMBER 1997 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 23 TAHUN 1997 (23/1997) Tanggal: 19 SEPTEMBER 1997 (JAKARTA) Sumber: LN 1997/68; TLN NO.3699 Tentang: PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang: a. bahwa pengaturan keimigrasian yang meliputi lalu lintas

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa keimigrasian merupakan bagian dari perwujudan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Undang-undang Nomor 1 Tahun

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /PERMEN-KP/2017 TENTANG TINDAKAN KHUSUS TERHADAP KAPAL PERIKANAN BERBENDERA ASING YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERIKANAN DENGAN

Lebih terperinci

ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN KEPANITERAAN DAN SEKRETARIAT JENDERAL MAHKAMAH KONSTISI REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 37 TAHUN 2002 (37/2002) TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL DAN PESAWAT UDARA ASING DALAM MELAKSANAKAN HAK LINTAS ALUR LAUT KEPULAUAN MELALUI ALUR LAUT KEPULAUAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Undang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955 Tentang Tindak Pidana Imigrasi telah dicabut dan diganti terakhir dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.403, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHAN. Pengamanan. Wilayah Perbatasan. Kebijakan. PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG KEBIJAKAN PENGAMANAN WILAYAH

Lebih terperinci

Kerangka Rancangan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Tentang Izin Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut

Kerangka Rancangan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Tentang Izin Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut Kerangka Rancangan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Tentang Izin Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut BAB I BAB II BAB III BAB IV BAB V BAB VI BAB VII BAB VIII BAB IX BAB X BAB XI KETENTUAN UMUM KEWENANGAN

Lebih terperinci

No b. pemanfaatan bumi, air, dan udara serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; c. desentralis

No b. pemanfaatan bumi, air, dan udara serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; c. desentralis TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No.4925 WILAYAH NEGARA. NUSANTARA. Kedaulatan. Ruang Lingkup. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 177 ) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Keimigrasian merupakan bagian dari perwujudan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 05 TAHUN 2004 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI PROVINSI GORONTALO

PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 05 TAHUN 2004 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI PROVINSI GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 05 TAHUN 2004 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI PROVINSI GORONTALO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR GORONTALO, Menimbang : a. bahwa Lingkungan

Lebih terperinci

LEMBARAN-NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN-NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN-NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 68, 1997 LINGKUNGAN HIDUP. WAWASAN NUSANTARA. Bahan Berbahaya. Limbah. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699). UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PELAYARAN DI INDONESIA. A. Pengaturan Tindak Pidana Pelayaran Di Dalam KUHP

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PELAYARAN DI INDONESIA. A. Pengaturan Tindak Pidana Pelayaran Di Dalam KUHP 29 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PELAYARAN DI INDONESIA A. Pengaturan Tindak Pidana Pelayaran Di Dalam KUHP Indonesia merupakan negara maritim terbesar di dunia, yang mana hal tersebut

Lebih terperinci

PENGATURAN HUKUM HAK LINTAS DAMAI MENURUT KONVENSI HUKUM LAUT 1982 DAN IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA 1 Oleh: Monica Carolina Ingke Tampi 2

PENGATURAN HUKUM HAK LINTAS DAMAI MENURUT KONVENSI HUKUM LAUT 1982 DAN IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA 1 Oleh: Monica Carolina Ingke Tampi 2 PENGATURAN HUKUM HAK LINTAS DAMAI MENURUT KONVENSI HUKUM LAUT 1982 DAN IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA 1 Oleh: Monica Carolina Ingke Tampi 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian yaitu untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

SAN REMO MANUAL TENTANG HUKUM PERANG DI LAUT BAB I KETENTUAN UMUM. Bagian I Ruang Lingkup Penerapan Hukum

SAN REMO MANUAL TENTANG HUKUM PERANG DI LAUT BAB I KETENTUAN UMUM. Bagian I Ruang Lingkup Penerapan Hukum Catatan : Naskah ini adalah terjemahan yang dikerjakan oleh Tim TNI AL dan ICRC (Perbanyakan dan penggandaan hanya dapat dilakukan atas ijin team penterjemah) SAN REMO MANUAL TENTANG HUKUM PERANG DI LAUT

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 1996 TENTANG KEPELABUHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 1996 TENTANG KEPELABUHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 1996 TENTANG KEPELABUHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran, telah diatur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan (archipelagic

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan (archipelagic BAB I PENDAHULUAN Negara Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan (archipelagic state) yang terdiri dari lebih dari 17.000 pulau dengan kekayaan alam melimpah di berbagai sektor sumber daya alam. Selain

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1992 TENTANG PELAYARAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1992 TENTANG PELAYARAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1992 TENTANG PELAYARAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa transportasi mempunyai peranan penting dan strategis

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1985 TENTANG P E R I K A N A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1985 TENTANG P E R I K A N A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1985 TENTANG P E R I K A N A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: 1. bahwa perairan yang merupakan bagian terbesar wilayah

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 107 TAHUN 2000 TENTANG PANITIA NASIONAL PENGANGKATAN DAN PEMANFAATAN BENDA

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 107 TAHUN 2000 TENTANG PANITIA NASIONAL PENGANGKATAN DAN PEMANFAATAN BENDA - 1 - KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 107 TAHUN 2000 TENTANG PANITIA NASIONAL PENGANGKATAN DAN PEMANFAATAN BENDA BERHARGA ASAL MUATAN KAPAL YANG TENGGELAM PRESIDEN, Menimbang : bahwa untuk pengangkatan dan pemanfaatan

Lebih terperinci

KEPPRES 10/1997, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN YORDANIA HASHIMIAH MENGENAI PELAYARAN

KEPPRES 10/1997, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN YORDANIA HASHIMIAH MENGENAI PELAYARAN Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 10/1997, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN YORDANIA HASHIMIAH MENGENAI PELAYARAN *46909 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

Heni Susila Wardoyo, S.H., M.H

Heni Susila Wardoyo, S.H., M.H DAMPAK DARI PENERAPAN PASAL 73 UNCLOS DAN PASAL 102 UU PERIKANAN (UU NOMOR 31 TAHUN 2004 DAN UU NOMOR 45 TAHUN 2009) BERUPA LARANGAN IMPRISONMENT DAN CORPORAL PUNISHMENT TERHADAP PROSES PENEGAKAN HUKUM

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TABALONG TAHUN 2008 NOMOR 04 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABALONG NOMOR 04 TAHUN 2008 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TABALONG TAHUN 2008 NOMOR 04 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABALONG NOMOR 04 TAHUN 2008 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TABALONG TAHUN 2008 NOMOR 04 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABALONG NOMOR 04 TAHUN 2008 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA DI KABUPATEN TABALONG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1960 TENTANG PERAIRAN INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1960 TENTANG PERAIRAN INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1960 TENTANG PERAIRAN INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : 1. bahwa bentuk geografi Indonesia sebagai suatu negara

Lebih terperinci

2008, No hukum dan kejelasan kepada warga negara mengenai wilayah negara; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,

2008, No hukum dan kejelasan kepada warga negara mengenai wilayah negara; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.177, 2008 WILAYAH NEGARA. NUSANTARA. Kedaulatan. Ruang Lingkup. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4925) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG KEBANDARUDARAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG KEBANDARUDARAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG KEBANDARUDARAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, Pemerintah Daerah diberikan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG KEBANDARUDARAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, Pemerintah Daerah diberikan

Lebih terperinci

POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PEMBERANTASAN KEGIATAN PERIKANAN LIAR (IUU FISHING)

POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PEMBERANTASAN KEGIATAN PERIKANAN LIAR (IUU FISHING) POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PEMBERANTASAN KEGIATAN PERIKANAN LIAR (IUU FISHING) A. Pendahuluan Wilayah perairan Indonesia yang mencapai 72,5% menjadi tantangan besar bagi TNI

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG - 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN BANDAR UDARA ABDULRACHMAN SALEH MALANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah No. 70 Tahun 1996 Tentang : Kepelabuhanan

Peraturan Pemerintah No. 70 Tahun 1996 Tentang : Kepelabuhanan Peraturan Pemerintah No. 70 Tahun 1996 Tentang : Kepelabuhanan Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 70 TAHUN 1996 (70/1996) Tanggal : 4 DESEMBER 1996 (JAKARTA) Sumber : LN 1996/107; TLN PRESIDEN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN UU 6/1996, PERAIRAN INDONESIA *9315 Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 6 TAHUN 1996 (6/1996) Tanggal: 8 AGUSTUS 1996 (JAKARTA) Sumber: LN. 1996/73;

Lebih terperinci

NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN

NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pengaturan keimigrasian yang meliputi lalu lintas

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 17 TAHUN 1985 (17/1985) Tanggal: 31 DESEMBER 1985 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 17 TAHUN 1985 (17/1985) Tanggal: 31 DESEMBER 1985 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 17 TAHUN 1985 (17/1985) Tanggal: 31 DESEMBER 1985 (JAKARTA) Sumber: LN 1985/76; TLN NO. 3319 Tentang: PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION

Lebih terperinci