Efektifitas Penerapan Pidana Bersyarat Dalam Mewujudkan Tujuan Pemidanaan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Efektifitas Penerapan Pidana Bersyarat Dalam Mewujudkan Tujuan Pemidanaan"

Transkripsi

1 Efektifitas Penerapan Pidana Bersyarat Dalam Mewujudkan Tujuan Pemidanaan Masdin Saragih Dosen Fakultas Hukum USI Abstrak Berdasarkan penelitian ternyata pidana perampasan kemerdekaan sangat merugikan baik terhadap orang yang dijatuhkan pidana maupun terhadap masyarakat. Oleh karena itu perlu diupayakan suatu cara sebagai alternatif pidana perampasan kemerdekaan, antara lain dengan meningkatkan dan mendayagunakan penerapan pidana bersyarat. Dengan mendayagunakan pidana bersyarat maka tujuan pemidanaan yang mengintegrasikan beberapa fungsi secara sekaligus dan terpadu diharapkan dapat tercapai dan akhirnya dapat mewujudkan kesejahteraan sosial baik bagi orang yang dikenai pidana bersyarat maupun masyarakat. Pidana bersyarat bila didayagunakan akan dapat mencapai tujuan pemidanaan yang bersifat ingratif (pencegahan umum/khusus, perlindungan masyarakat, solidaritas masyarakat, pengimbalan), sebab dengan pidana bersyarat terpidana akan terselamatkan dari penderitaan pidana pencabutan kemerdekaan khususnya yang berjangka pendek dengan segala akibatnya dan memberikan kesempatan kepada terpidana untuk memperbaiki dirinya di masyarakat, dengan ketentuan terpidana bersyarat akan mematuhi syarat-syarat (umum/khusus). Demikian pula dengan menghindarkan terpidana dari pengaruh buruk pidana pencabutan kemerdekaan maka masyarakat akan terlindungi dari kemungkinan timbulnya penjahat yang lebih berat. Pidana bersyarat diharapkan dapat bermanfaat menjadi suatu kemungkinan salah satu pilihan yang sangat berguna dalam rangka rehabilitasi, khususnya bagi pelaku-pelaku tindak pidana pemula. Dalam penerapan pidana bersyarat masih ditemui hambatanhambatan dalam sistem pengawasan dan pembinaan, belum adanya pedoman yang jelas dalam perundang-undangan Kata kunci : Penetapan, Pidana Bersyarat, Pemindanaan PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah Negara hukum, maka setiap tindakan maupun kegiatan yang dilaksanakan oleh individu, masyarakat maupun pemerintah harus berdasarkan hukum yang dibentuk atas dasar kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. Semua tindakan yang tidak berdasarkan hukum dikatakan sebagai pelanggaran hukum dengan konsekwensi bagi sipelanggar hukum akan dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan hukum/ perundangundangan yang telah dilanggarnya. Dalam konteks konsekwensi pelanggaran hukum ini JTC. Simorangkir dan Woejono Sastropranoto mengatakan : hukum 1

2 Jurnal Elektronik DELIK - Vol.2 No. 1 Tahun 2017 ISSN adalah peraturan yang sifatnya memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, yang dibuat oleh badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman. Pada umumnya setiap sarjana hukum melihat hukum sebagai jumlah peraturan, sebagai kumpulan peraturan atau kaedah, mempunyai sifat yang bersifat umum dan normatif, umum karena berlaku bagi setiap orang dan normative karena menentukan apa yang seyogianya, apa yang tidak boleh dilakukan serta menetukan bagaimana caranya melaksanakan kepatuhan pada kaedah tersebut. Dari uraian tersebut diatas dapat diketahui bahwa hukum adalah memegang peranan penting dalam mengatur tingkah laku manusia dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara serta membawa konsekwensi bagi pelanggar hukum untuk dijatuhi hukuman, dengan tujuan supaya tercipta kerukunan dan kedamaian dalam menjalin kehidupan, sebagaimana dikatakan Soedjono Dirdjosisworo tujuan hukum yang sebenar-benarnya adalah menghendaki kerukunan dan perdamaian dalam pergaulan hidup bersama. Hukum itu mengisi kehidupan yang jujur dan dalam seluruh lapisan masyarakat. Didalam hukum pidana, pelanggaran terhadap hukum pidana tersebut dengan tindak pidana. Dalam kenyataannya bahwa setiap tindak pidana dapat mengakibatkan kerugian-kerugian, baik yang bersifat individual maupun yang bersifat sosial. Oleh sebab itu hukum pidana mengancamkan hukuman/sanksi pelaku tindak pidana. Membahas hukum pidana dengan segala aspeknya yaitu aspek sifat melawan hukum, kesalahan dan pidana, akan selalu menarik perhatian, berhubung dengan sifat dan fungsinya yang istimewa. Hukum pidana mempunyai fungsi ganda yakni primer sebagai sarana penanggulangan kejahatan yang rasional (sebagai bagian politik kriminal) dan yang sekunder sebagai sarana pengaturan tentang kontrol sosial 2

3 Efektifitas Penerapan Pidana Bersyarat... Masdin Saragih sebagaimana dilaksanakan secara spontan atau cara yang dibuat oleh Negara dengan alat perlengkapannya. Dengan fungsi yang kedua ini tugas hukum pidana adalah policing the police, yakni melindungi warga masyarakat dari campur tangan penguasa yang mungkin menggunakan pidana sebagai sarana tidak benar. Kesadaran untuk menjalankan kedua fungsi tersebut diatas secara hati-hati akan semakin menjadi besar bilamana seseorang mendalami lebih lanjut masalahmasalah utama yang terdapat didalam hukum pidana yaitu perbuatan yang dilarang/orang melakukan perbuatan yang dilarang dan dipidana. Berdasarkan hal tersebut diatas maka usaha pembaharuan hukum pidana sampai saat ini terus dilakukan. Pembaharuan hukum pidana tersebut mau tidak mau akan mencakup persoalan pelik yang berkaitan dengan tiga masalah pokok didalam hukum pidana sebagaimana telah disebutkan. Dalam hal yang terakhir, yakni masalah pidana terdapat suatu masalah yang dewasa ini secara universal harus dicarikan pemecahannya. Masalah tersebut adalah adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap pidana perampasan kemerdekaan, yang dalam pelbagai penelitan terbukti sangat merugikan baik terhadap individu yang dikenai pidana, maupun terhadap masyarakat. Beberapa Negara, termasuk Indonesia terus berusaha untuk mencari alternatif-alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan, antara lain berupa peningkatan pemidanaan yang bersifat non institusional dalam bentuk pidana bersyarat (voorwaardelijke veroordeling), dan pidana harta (vermogenstraf) misalnya denda. B. Rumusan Masalah 1. Pengaruh penerapan pidana bersyarat terhadap tujuan pemidanaan 2. Apakah manfaat yang diharapkan dari penerapan pidana bersyarat? 3. Apa hambatan-hambatan dalam penerapan pidana bersyarat? 3

4 Jurnal Elektronik DELIK - Vol.2 No. 1 Tahun 2017 ISSN PEMBAHASAN A. Pengaruh Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Tujuan Pemidanaan Pada dasarnya manusia ditempatkan pada keluhuran harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dengan kesadaran untuk mengemban kodratnya sebagai makhluk pribadi dan sekaligus sebagai makhluk sosial. Pancasila sebagai ideologi Negara dan utuh itu memberi keyakinan kepada rakyat dan bangsa Indonesia bahwa kebahagian hidup akan tercapai bila didasarkan atas keselarasan dan keseimbangan, baik dalam hidup manusia sebagai pribadi, dalam hubungan manusia dengan alam, dalam hubungan dengan bangsa lain, dalam hubungan manusia dengan Tuhan maupun dalam mewujudkan citacita kebahagiaan lahir dan batin. Dari uraian tersebut di atas, maka tujuan pidana yang cocok untuk diterapkan di Indonesia adalah tujuan pidana yang bertitik berat pada upaya untuk memperbaiki kerusakan individual ataupun masyarakat (tujuan pemidanaan yang bersifat integratif), mencakup : pencegahan (umum dan khusus), perlindungan masyarakat, memelihara solidaritas masyarakat dan pengimbalan/ pengimbangan. Pencegahan terhadap maksud melakukan kejahatan mempunyai aspek ganda yakni yang bersifat individual dan yang bersifat umum. Dikatakan ada pencegahan individual, jika seorang penjahat dapat dicegah melakukan kejahatan di kemudian hari dan sudah meyakini bahwa kejahatan itu membawa penderitaan baginya. Dalam hal ini dianggap pidana mempunyai daya untuk memperbaiki. Bentuk pencegahan yang kedua ialah pencegahan umum, yang berarti bahwa penjatuhan pidana yang dilakukan oleh pengadilan dimaksudkan agar orang-orang lain tercegah melakukan kejahatan. Perlindungan masyarakat sebagai tujuan pemidanaan mempunyai dimensi yang bersifat luas karena secara fundamental ia merupakan tujuan semua pemidanaan. Secara sempit hal ini 4

5 Efektifitas Penerapan Pidana Bersyarat... Masdin Saragih digambarkan sebagai kebijaksanaan pengadilan untuk mencari jalan melalui pemidanaan agar masyarakat terlindungi dari bahaya pengulangan tindak pidana. Tujuan pemidanaan untuk memelihara solidaritas msyarakat dalam hal ini mengandung beberapa pengertian, yakni dikaitkan dengan pengertian bahwa pemidanaan bertujuan untuk menegakkan adat istiadat masyarakat dan mencegah balas dendam perseorangan, pemidanaan juga bertujuan untuk memelihara atau mempertahankan kepaduan masyarakat yang utuh. Dalam solidaritasi ini terkandung juga pengertian solidaritas terhadap korban kejahatan yang erat kaitannya dengan masalah kompensasi terhadap korban. Sedangkan bila dilihat dari tujuan pemidanaan sebagai pengimbalan/ pengimbangan, dewasa ini sudah tidak ada lagi yang menganutnya secara fanatik. Dalam arti sudah tidak ada lagi penganut ajaran pembalasan yang klasik sebagai dasar lahirnya teori tujuan pemidanaan yang bersifat pembalasan. Pembalasan dalam hal ini bukanlah sebagai tujuan sendiri melainkan sebagai pembatasan dalam arti harus ada keseimbangan antara perbuatan dan pidana serta menghindari atau mencegah orang lain main hakim sendiri. Dengan tujuan pemidanaan sebagaimana dijelaskan di atas, maka tujuan yang paling positif adalah perbaikan yang merupakan tujuan yang paling penting sehingga diadakan syarat-syarat khusus dan pengawasan khusus dalam pidana bersyarat, suatu hal yang mutlak perlu dipertahankan. Hal ini penting supaya lembaga pidana bersyarat berdaya guna dan tidak menimbulkan kesan merupakan pemberian yang murah hati. Selain pencegahan khusus, maka pidana bersyarat juga mengandung dimensi lain dari tujuan pemidanaan yakni memelihara solidaritas masyarakat. Hal ini terlihat dari hal-hal sebgai berikut : 1. Berdasarkan Pasal 14 c KUHP, maka disamping syarat umum bahwa terpidana 5

6 Jurnal Elektronik DELIK - Vol.2 No. 1 Tahun 2017 ISSN tidak akan melakukan tindak pidana, hakim dapat menetapkan syarat khusus bahwa terpidana dalam waktu yang lebih pendek daripada masa percobaannya, harus mengganti semua atau sebagian kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan pidananya. Di samping itu dapat pula ditetapkan syarat khusus lainnya mengenai tingkah laku terpidana yang harus dipenuhi semasa percobaan atau selama sebahagian masa percobaan. Kewajiban memenuhi syarat khusus ini merupakan pencerminan dari usaha untuk mengembalikan keseimbangan sosial dalam bentuk solidaritas sosial terpidana. 2. Dalam Pasal 14 d ayat (2) KUHP ditentukan bahwa untuk memberikan pertolongan atau membantu terpidana dalam memenuhi syarat-syarat khusus, hakim dapat mewajibkannya kepada lembaga-lembaga yang berbentuk badan hukum, atau pemimpin suatu rumah penampung atau pejabat tertentu dalam bentuk partisipasi masyarakat di dalam pembinaan narapidana bersyarat. Pengaruh penerapan pidana bersyarat terhadap tujuan pemidanaan berupa perlindungan masyarakat terlihat pada tujuan negatif pidana bersyarat yakni untuk menyelamatkan terpidana dari penderitaan pidana pencabutan kemerdekaan khususnya yang berjangka pendek dengan segala akibatnya. Alasan ini sangat penting bilamana benar-benar tidak perlu dikhawatirkan bahwa yang bersalah akan mengulangi suatu tindak pidana yang lebih berat. Dengan menghindarkan terpidana dari pengaruh buruk pidana pencabutan kemerdekaan, maka masyarakat akan terlindungi dari kemungkinan timbulnya penjahat yang lebih berat yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Sehingga dengan memberikan kesempatan bagi terpidana untuk memperbaiki dirinya di masyarakat yang secara fakultatif dapat dibantu oleh lembaga reklasering, 6

7 Efektifitas Penerapan Pidana Bersyarat... Masdin Saragih hal ini merupakan cermin yang mengutamakan pengakuan, penggunaan, dan pengimbangan atas rasa tanggung jawab yang merupakan bagian yang penting dari setiap manusia, termasuk pelaku tindak pidana, baik dipandang sebagai cara penerapan pidana ataupun dianggap sebagai pidana pokok yang mandiri, maka sifat pidana yang mengandung unsur penderitaan atau nestapa sedikit banyak tetap ada. Hal ini merupakan relevansi pidana bersyarat dengan tujuan pemidanaan yang bersifat pengimbalan/pengimbangan. Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas dapat dipahami bahwa pidana bersyarat pada dasarnya akan efektif untuk mencapai tujuan pemidanaan yang bersifat integratif jika penjatuhannya oleh hakim didasari oleh pertimbangan yang bijaksana dan dilaksanakan dengan baik dan penuh tanggungjawab oleh terpidana bersyarat dan disertai dengan pengawasan dari pihakpihak terkait. B. Manfaat Penerapan Pidana Bersyarat Pengadilan hendaknya menentukan sikap bahwa di dalam peradilan pidana hendaknya diutamakan kemungkinan penjatuhan pidana bersyarat. Pengecualian terhadap hal ini dapat dibatasi terhadap kejahatankejahatan yang sangat berat, yakni kejahatan-kejahatan yang sangat berat, yakni kejahatan-kejahatan kekerasan yang menggunakan senjata sehingga mematikan korban, kejahatan kesusilaan yang membuat korban sangat menderita, kejahatan terhadap keamanan Negara, ekonom, Bandar narkoba atau korupsi. Dalam hal menjatuhkan pidana bersyarat, pengadilan harus menentukan adanya bimbingan dan pengawasan baik yang bersifat umum maupun yang bersifat khusus. Pidana bersyarat bermanfaat bagi terpidana maupun masyarakat. Manfaat penjatuhan pidana dengan bersyarat ini adalah memperbaiki penjahat terutama bagi penjahat pemula tanpa harus memasukkannya kedalam penjara, artinya tanpa membuat derita bagi 7

8 Jurnal Elektronik DELIK - Vol.2 No. 1 Tahun 2017 ISSN dirinya dan keluarga, mengingat pergaulan dalam penjara terbukti sering membawa pengaruh buruk bagi seseorang terpidana, terutama bagi orang-orang yang melakukan tindak pidana karena dorongan faktor tertentu yang ia tidak mempunyai kemampuan untuk menguasai dirinya, dalam arti bukan penjahat yang sesungguhnya. Misalnya karena terdesak untuk kebutuhan membeli obat anaknya ia terpaksa mencuri, kemelaratan dan untuk makan, ia mencuri sebungkus roti, kejahatan-kejahatan culpa dan lain-lain. Manfaat lembaga pidana bersyarat ini akan tampak jelas jika dikaitkan dengan suatu masalah yang bersifat universal yakni adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap pidana perampasan kemerdekaan yang dalam kenyataannya terbukti sangat merugikan baik terhadap individu yang dikenai pidana maupun terhadap masyarakat. Kerugian-kerugian tersebut sebagai berikut : 1. Secara filosofis terdapat pertentangan yakni disatu pihak tujuan pencabutan perampasan adalah menjamin pengamanan narapidana, tetapi dilain pihak memberikan kesempatan kepadanya untuk direhabilitaskan. 2. Pidana perampasan kemerdekaan sering kali mengakibatkan dehumanisasi si pelaku tindak pidana dan pada akhirnya menimbulkan kerugian bagi pelaku tindak pidana berupa ketidakmampuan untuk melanjutkan kehidupannya secara produktif dalam masyarakat. 3. Proses sosisalisasi narapidana kedalam masyarakatmasyarakat narapidana cenderung membuat seorang narapidana menjadi residivis. 4. Pencabutan kemerdekaan, baik yang berjangka panjang maupun yang berjangka pendek akan menimbulkan cap jahat (stigma) bagi narapidana dan bekas narapidana yang akan menempatkan terpidana diluar lingkungan teman-temannya dan masyarakat. 8

9 Efektifitas Penerapan Pidana Bersyarat... Masdin Saragih 5. Pidana pencabutan kemerdekaan jangka pendek sangat tidak bermanfaat, sebab tidak dapat menunjang secara efektif kedudukan pidana perampasan kemerdekaan, baik sebagai sarana menjadikan terpidana tidak mampu maupun sarana pencegahan baik yang bersifat umum maupun khusus. Di berbagai Negara di dunia termasuk Indonesia, terus diusahakan untuk selalu mencari alternatif pidana perampasan kemerdekaan antara lain berupa peningkatan pemidanaan yang bersifat institusional dalam bentuk pidana bersyarat. Meskipun telah diadakan usaha-usaha pembaharuan dan perbaikan, baik yang bersifat praktis maupun teoritis untuk mengurangi akses pidana perampasan kemerdekaan, namun merupakan suatu kenyataan, bahwa disuatu pihak pidana perampasan kemerdekaan akan tetap ada, dan dilain pihak keburukan-keburukan yang melekat pada pidana perampasan kemerdekaan sulit dihindari. Jadi sekalipun pidana perampasan kemerdekaan diusahakan untuk tumbuh sebagai sarana reformasi dengan pendekatan manusiawi, namun sifat aslinya sebagai lembaga yang harus melakukan tindakan pengamanan dan pengendalian narapidana tidak dapat ditinggalkan. Sebaliknya pidana bersyarat sebagai salah satu alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan mempunyai keunggulan-keunggulan tersendiri disbanding pidana perampasan kemerdekaan, karena dalam hal ini pembinaan pelaku tindak pidana dilakukan di dalam masyarakat, sehingga kerugiankerugian yang mungkin terjadi akibat penerapan pidana perampasan kemerdekaan dapat dihindari. Penerapan pidana bersyarat mengandung keuntungan-keuntungan sebagai berikut : 1. Memberikan kesempatan kepada terpidana untuk memperbaiki dirinya di dalam masyarakat. 2. Memungkinkan terpidana untuk melanjutkan kebiasaan-kebiasaan sehari-hari se- 9

10 Jurnal Elektronik DELIK - Vol.2 No. 1 Tahun 2017 ISSN bagai manusia sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. 3. Mencegah terjadinya stigma 4. Memberikan kesempatakan kepada terpidana untuk berpartisipasi dalam pekerjaan-pekerjaan yang secara ekonomis menguntungkan masyarakat dan keluarganya 5. Biayanya lebih murah dibandingkan dengan pidana perampasan kemerdekaan 6. Dengan pembinaan di luar lembaga, maka para petugas Pembina dapat menggunakan segala fasilitas yang ada dalam masyarakat untuk mengadakan rehabilitasi terpidana. Untuk dapat mencapai keuntungan-keuntungan pidana bersyarat tersebut, harus dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan penerapan pidana bersyarat, sebagai bahan untuk mengambil langkah-langkah guna mendayagunakan pidana bersyarat, sebab dalam kenyataannya tampak bahwa penerapan pidana bersyarat di Indonesia tidak dapat efektif sehubungan dengan banyaknya hambatan yang terjadi. C. Hambatan-Hambatan dalam Penerapan Pidana Bersyarat Sebagaimana telah dijelaskan demikian juga berdasarkan penelitian di Pengadilan Negeri Pematangsiantar, ternyata bahwa pidana bersyarat ini masih jarang diterapkan sekalipun terhadap perkara-perkara yang tergolong ringan, seperti pencurian dengan nilai kerugian korban yang tidak terlalu besar. Ada beberapa faktor penghambat yang menyebabkan penerapan pidana bersyarat ini masih tidak memuaskan, dalam hal ini dapat dikemukakan sebagai berikut : 1. Dalam sistem pengawasan dan pembinaan. a. Pasal 284 KUHAP yang mengatur peranan hakim pengawas dan pengamat di dalam pelaksanaan pidana bersyarat ternyata belum berfungsi sebagaimana mestinya. 10

11 Efektifitas Penerapan Pidana Bersyarat... Masdin Saragih b. Belum melembaganya pola-pola pengawasan yang dilakukan dalam sistem kerja sama di dalam pengawasan. c. Tidak berkembangnya lembaga-lembaga reklasering swasta yang sebenarnya merupakan sarana yang sangat penting dalam melaksanakan pengawasan dan pembinaan narapidana bersyarat. 2. Dalam perundang-undangan : a. Belum adanya pedoman yang jelas tentang penerapan pidana bersyarat yang mencakup hakekat, tujuan yang hendak dicapai serta ukuran-ukuran dalam penjatuhan pidana bersyarat. b. Tidak adanya pedoman penerapan pidana bersyarat tersebut, menyebabkan timbulnya pertimbangan-pertimbangan yang berdasar atas subjektifitas hakim di dalam mengadili suatu perkara. Subjektifitas tersebut kadangkadang terlalu bersifat psikologis yang saa sekali tidak relevan untuk dijadikan dasar penjatuhan pidana bersyarat. 3. Dalam bidang teknis dan administrasi : a. Terpidana tidak ditemui (tidak ada) di rumah. b. Terpidana berdomisili di wilayah yang sulit untuk dijangkau. c. Terpidana pindah tempat tinggal secara diam-diam. 4. Dalam bidang sarana dan prasana a. Kurangnya sarana angkutan untuk pelaksanaan tugas pengawasan b. Petugas-petugas pengawas (BAPAS) jumlah sangat terbatas. c. Anggaran perjalanan dinas untuk pengawasan juga sangat terbatas jumlahnya. 5. Dalam proses penjatuhan pidana : a. Jaksa dan hakim masih sangat selektif dan membatasi diri di dalam menuntut atau menjatuhkan sanksi pidana bersyarat, 11

12 Jurnal Elektronik DELIK - Vol.2 No. 1 Tahun 2017 ISSN walaupun sebenarnya KUHP memberikan kemungkinan untuk menerapkan sanksi bersyarat secara lebih luas. Hal ini tampak pada masih sedikitnya jenis-jenis tindak pidana yang menjadi dasar bagi hakim untuk menjatuhkan pidana bersyarat dan masih sedikitnya penjatuhan pidana bersyarat dibandingkan dengan penjatuhan pidana perapasan kemerdekaan, dalam hal mana pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek berupa pidana kurungan masih banyak dijatuhkan. b. Terpidana tidak diberikan penjelasan tentang syaratsyarat pidana bersyarat, sehingga tidak mengetahui secara jelas pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana bersyarat serta syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh si terpidana bersyarat. c. Hakim tidak memperoleh laporan pemeriksaan pribadi pelaku tindak pidana yang sangat penting sebagai bahan untuk memutuskan pidana secara tepat. d. Pedoman penjatuhan pidana bersyarat tidak hanya menyangkut hal-hal yang bersifat objektif (yang menyangkut perbuatannya), tetapi juga menyangkut hal-hal yang bersifat subjektif (yang menyangkut si pembuat). Pelaksanaan pidana bersyarat, harus selalu dihubungkan dengan keseluruhan sistem penyelenggaraan hukum pidana dalam arti luas, sebab hampir segala sub sistem di dalam sistem penyelenggaraan hukum pidana dalam arti luas ini terlibat di dalamnya. Rasa keterlibatan tersebut masih harus di tingkatkan secara sistematis, sebab pelaksanaan pidana bersyarat sampai saat ini belum mencerminkan asas-asas umum yang mendasari pidana bersyarat. Melihat kenyataan tersebut, maka kiranya cukup beralasan untuk meningkatkan usaha-usaha 12

13 Efektifitas Penerapan Pidana Bersyarat... Masdin Saragih guna melembagakan pidan bersyarat ini di dalam masyarakat. Lembaga legislatif baik pusat maupun di daerah di harapkan dapat memikirkan pembiayaan yang cukup memadai. Individu dan organisasi-organisasi sosial di dalam masyarakat serta lembagalembaga pemerintah yang di tugasi dalam pelaksanaan pidana bersyarat ini sudah seharusnya mempunyai kewajiban untuk memberikan informasi kepada masyarakat serta badan legislatif, dalam rangka memperkenalkan dan menggalakan pentingnya penanganan pelaksanaan pidana bersyarat secara sungguhsungguh. Demikian pula kurangnya partisipasi individu-individu serta lembaga-lembaga reklasering swasta di dalam menunjang pembinaan narapidana bersyarat perlu mendapat perhatian. Untuk mengatasi kelemahan ini perlu dipikirkan adanya pedoman minimum pembinaan yang mencakup standar pengawasan, riset dan statistik, persyaratan-persyaratan kerja dan subsidi pemerintah terhadap lembaga-lembaga reklasering swasta. Suatu hal yang sangat strategis kedudukannya di dalam pelaksanaan pidana bersyarat adalah petugas pembinaan terpidana bersyarat, yakni semacam probation officers di Inggris dan Amerika Serikat. Jabatan petugas Pembina ini merupakan propesi yang memerlukan persyaratan-persyaratan cukup tinggi, khususnya dalam kaitannya dengan latar belakang pendidikan. Dalam hal ini di utamakan bagi mereka yang mempunyai bidang studi ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu tentang perilaku manusia serta pengalaman kerja di dalam pekerjaanpekerjaan sosial. Mengingat bahwa petugas Pembina tersebut berasal dari lingkungan pendidikan dan lingkungan sosial yang berbedabeda, maka diperlukan pendidikan khusus yang seragam dalam bidang-bidang studi yang berkaitan dengan tugasnya sebagai Pembina, sebelum yang bersangkutan menjalankan tugasnya. Di dalam menjalankan tugasnya, maka petugas Pembina ini sebaiknya mendapatkan bantuan 13

14 Jurnal Elektronik DELIK - Vol.2 No. 1 Tahun 2017 ISSN daripada sukarelawan yang mempunyai pengalaman dengan pelaku tindak pidana. Mereka ini sangat penting untuk menunjang program-program perbaikan narapidana bermaysarakat di masyarakat, sebab seringkali persoalan-persoalan yang timbul tidak mungkin di pecahkan oleh petugas Pembina sendiri disebabkan kemungkinan tidak mempunyai kemungkinan untuk itu. Sebagai contoh dapat dikemukakan dalam hal ini masalah-masalah yang menyangkut psikologi dan psikiatri hanya mungkin dipecahkan oleh para ahli-ahli psikologi dan psikiatri, sebab mereka inilah yang dapat mematahkan hambatan komunikasi yang ada di antara manusiamanusia dengan latar belakang yang bermacam-macam. Selanjutnya untuk meningkatkan kemampuan para petugas Pembina, maka harus ada kerjasama antara lembaga-lemabaga yang mempunyai wewenang di dalam pembinaan petugas pembinaan dengan lebaga-lembaga pendidik terutama perguruan tinggi, sebab dengan mengkombinasikan pengalaman kerja mereka serta latihan-latihan yang telah diperolehnya dengan ilmu pengetahuan kemanusiaaan dan perilaku, maka diharapkan hasil yang diperoleh di dalam tugastugas pebinaan akan lebih efektif. PENUTUP A. Kesimpulan 1. Penerapan pidana bersyarat bila didayagunakan akan mencapai tujuan pemidaan yang bersifat integratif (pencegahan umum/khusus, perlindungan masyarakat, solidaritas masyarakat, pengimbalan), sebab dengan pidana bersyarat terpidana akan terselamatkan dari penderitaan pidana pencabutan kemerdekaan khususnya yang berjangka pendek dengan segala akibatnya dan memberikan kesempatan kepada terpidana untuk memperbaiki dirinya di masyarakat, dengan ketentuan pidana bersyarat akan mematuhi syarat-syarat (umum/khusus). Demikian pula 14

15 Efektifitas Penerapan Pidana Bersyarat... Masdin Saragih dengan menghindarkan terpidana dari pengaruh buruk pidana pencabutan kemerdekaan maka masyarakat akan terlindungi dan kemungkinan timbulnya penjahat yang lebih berat. 2. Penjatuhan pidana bersyarat diharapkan dapat bermanfaat menjadi suatu kemungkinan pilihan yang sangat berguna dalam rangka rehabilitasi, khususnya bagi pelaku-pelaku tindak pidana pemula. 3. Dalam penerapan pidana bersyarat masih ditemui hambatan-hambatan dalam sistem pengawasan dan pembinaan, belum adanya pedoman yang jelas dalam perundang-undangan, hambatan dalam tekhnis administrasi, kurangnya sarana dan prasarana serta sikap jaksa dan hakim yang masih sangat membatasi diri untuk menuntut/ menjatuhkan pidana bersyarat. B. Saran 1. Diperlukan keberanian hakim untuk menjatuhkan pidana bersyarat bagi pelaku tindak pidana dalam perkaraperkara tertentu yang sifatnya berdasarkan keadaankeadaan tertentu dan menurut penilaian hakim patut untuk dijatuhi pidana bersyarat. 2. Agar pemerintah dapat menyediakan anggaran pembiayaan yang cukup dalam rangka pelaksanaan dan pengawasan pidana bersyarat tersebut. 3. Perlu dirumuskan dan ditetapkan sistem untuk keseragaman, baik didalam pola pengawasan maupun sistem kerjasama di antara pihak-pihak yang terlibat didalam pengawasan pidana bersyarat tersebut, sesuai dengan kewenangan masingmasing untuk keberhasilan pengawasan. DAFTAR PUSTAKA Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 1, Raja 15

16 Jurnal Elektronik DELIK - Vol.2 No. 1 Tahun 2017 ISSN Grafindo Persada, Jakarta,2010. Dirdjosisworo, Soedjono, Pengantar Ilmu Hukum, Grafindo Persada, Jakarta, Ishaq, Dasar-dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, Lamintang, PAF., Hukum Penintensier Indonesia, Armico, Bandung, Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni Bandung, Prakoso Djoko, Hukum Penintensier, Liberty, Yogjakarta, Priyatno, Dwidja, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, refika Aditama, Bandung, Waluyo Bambang, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, KUHP dan Undang-Undang RI Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan KUHP yang Berkaitan Dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara, Asa Mandiri, Jakarta,

Penerapan Pidana Bersyarat Sebagai Alternatif Pidana Perampasan Kemerdekaan

Penerapan Pidana Bersyarat Sebagai Alternatif Pidana Perampasan Kemerdekaan 1 Penerapan Pidana Bersyarat Sebagai Alternatif Pidana Perampasan Kemerdekaan Novelina MS Hutapea Staf Pengajar Kopertis Wilayah I Dpk FH USI Di satu sisi masih banyak anggapan bahwa penjatuhan pidana

Lebih terperinci

BAB III PIDANA BERSYARAT

BAB III PIDANA BERSYARAT 36 BAB III PIDANA BERSYARAT A. Pengertian Pidana Bersyarat Pidana bersyarat yang biasa disebut dengan pidana perjanjian atau pidana secara jenggelan, yaitu menjatuhkan pidana kepada seseorang akan tetapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Negara

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Negara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah negara yang meletakkan hukum sebagai supremasi kekuasaan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Negara hukum dalam berbangsa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pidana penjara termasuk salah satu jenis pidana yang kurang disukai, karena

I. PENDAHULUAN. Pidana penjara termasuk salah satu jenis pidana yang kurang disukai, karena I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pidana penjara termasuk salah satu jenis pidana yang kurang disukai, karena dilihat dari sudut efektivitasnya maupun dilihat dari akibat negatif lainnya yang menyertai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melanggarnya, sedangkan kejahatan adalah perbuatan dengan proses yang sama dan

BAB I PENDAHULUAN. melanggarnya, sedangkan kejahatan adalah perbuatan dengan proses yang sama dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan yang disertai ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu bagi siapa saja yang melanggarnya,

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SKRIPSI PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA BERSYARAT SERTA PENGAWASAN PELAKSANAANYA DALAM KASUS PEMBERIAN UPAH KARYAWAN DI BAWAH UPAH MINIMUM (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA) Disusun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pidana denda merupakan salah satu jenis pidana yang telah lama diterima dan diterapkan dalam sistem hukum di berbagai negara dan bangsa di dunia. Akan tetapi, pengaturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. telah ditegaskan dengan jelas bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum,

BAB I PENDAHULUAN. telah ditegaskan dengan jelas bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan manusia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijalani oleh setiap manusia berdasarkan aturan kehidupan yang lazim disebut norma. Norma

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara hukum yang memiliki konstitusi tertinggi dalam

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara hukum yang memiliki konstitusi tertinggi dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara hukum yang memiliki konstitusi tertinggi dalam tata urutan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Undang- Undang dasar 1945 hasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum diciptakan oleh manusia mempunyai tujuan untuk menciptakan

BAB I PENDAHULUAN. Hukum diciptakan oleh manusia mempunyai tujuan untuk menciptakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum diciptakan oleh manusia mempunyai tujuan untuk menciptakan keadaan yang teratur, aman dan tertib, demikian juga hukum pidana yang dibuat oleh manusia yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup)

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup) BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup) merupakan bagian dari pidana pokok dalam jenis-jenis pidana sebagaimana diatur pada Pasal

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang,

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana adalah suatu tindakan pada tempat, waktu dan keadaan tertentu yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang,

Lebih terperinci

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan BAB II KEBIJAKAN HUKUM PIDANA YANG MENGATUR TENTANG SISTEM PEMIDANAAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA DI INDONESIA A. Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan yang Dilakukan Oleh Anak Dibawah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemberantasan atau penindakan terjadinya pelanggaran hukum. pada hakekatnya telah diletakkan dalam Undang-Undang Nomor 48 tahun

BAB I PENDAHULUAN. pemberantasan atau penindakan terjadinya pelanggaran hukum. pada hakekatnya telah diletakkan dalam Undang-Undang Nomor 48 tahun 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara hukum dimana penyelenggaraan kekuasaan pemerintahannya didasarkan atas hukum. Negara hukum dalam kekuasaan pemerintahan berdasarkan kedaulatan

Lebih terperinci

BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Pengedaran Makanan Berbahaya yang Dilarang oleh Undang-Undang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu

I. PENDAHULUAN. dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana pencabulan adalah suatu tindak pidana yang bertentangan dan melanggar kesopanan dan kesusilaan seseorang mengenai dan yang berhubungan dengan alat kelamin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. 1 Hal ini berarti setiap

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. 1 Hal ini berarti setiap BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam pemerintahan suatu negara pasti diatur mengenai hukum dan pemberian sanksi atas pelanggaran hukum tersebut. Hukum merupakan keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 menegaskan bahwa cita-cita Negara Indonesia ialah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana 1 Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana Novelina MS Hutapea Staf Pengajar Kopertis Wilayah I Dpk Fakultas Hukum USI Pematangsiantar Abstrak Adakalanya dalam pembuktian

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ATMAJAYA YOGYAKARTA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ATMAJAYA YOGYAKARTA NASKAH PUBLIKASI PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN PIDANA PENJARA TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PENCURIAN Diajukan Oleh : Nama : Yohanes Pandu Asa Nugraha NPM : 8813 Prodi : Ilmu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang-bidang

II. TINJAUAN PUSTAKA. arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang-bidang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban pidana 1. Pengertian Pidana Istilah pidana atau hukuman yang merupakan istilah umum dan konvensional dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan sebuah Negara hukum, dimana setiap orang dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa penerapan peraturan dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. prinsip hukum acara pidana yang mengatakan peradilan dilakukan secara

I. PENDAHULUAN. prinsip hukum acara pidana yang mengatakan peradilan dilakukan secara I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyidik berwenang melakukan penahanan kepada seorang tersangka. Kewenangan tersebut diberikan agar penyidik dapat melakukan pemeriksaan secara efektif dan efisien

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN 2.1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Dasar dari adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dari dapat dipidananya

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. V/No. 2/Feb/2016. PENJATUHAN PIDANA TERHADAP PERBUATAN PERCOBAAN MELAKUKAN TINDAK PIDANA 1 Oleh: Magelhaen Madile 2

Lex Crimen Vol. V/No. 2/Feb/2016. PENJATUHAN PIDANA TERHADAP PERBUATAN PERCOBAAN MELAKUKAN TINDAK PIDANA 1 Oleh: Magelhaen Madile 2 PENJATUHAN PIDANA TERHADAP PERBUATAN PERCOBAAN MELAKUKAN TINDAK PIDANA 1 Oleh: Magelhaen Madile 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana penerapan hukum Pidana Materil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pidana yang berupa pembayaran sejumlah uang dinamakan pidana denda. Kedua

BAB I PENDAHULUAN. Pidana yang berupa pembayaran sejumlah uang dinamakan pidana denda. Kedua 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum pidana di negara kita selain mengenal pidana perampasan kemerdekaan juga mengenal pidana yang berupa pembayaran sejumlah uang. Pidana yang berupa pembayaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sistem pemasyarakatan yang merupakan proses pembinaan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sistem pemasyarakatan yang merupakan proses pembinaan yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem pemasyarakatan yang merupakan proses pembinaan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, memandang narapidana sebagai individu anggota

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bernegara, sebagaimana yang telah diamanahkan oleh Undang-undang Dasar

BAB I PENDAHULUAN. bernegara, sebagaimana yang telah diamanahkan oleh Undang-undang Dasar BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sejarah Negara Indonesia adalah negara yang meletakkan hukum sebagai supremasi kekuasaan tertinggi dalam menata seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara, sebagaimana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. langsung merugikan keuangan Negara dan mengganggu terciptanya. awalnya muncul Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang

BAB I PENDAHULUAN. langsung merugikan keuangan Negara dan mengganggu terciptanya. awalnya muncul Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara berkembang yang dari waktu ke waktu mengalami perkembangan diberbagai bidang. Perkembangan yang diawali niat demi pembangunan nasional

Lebih terperinci

NASKAH PUBLIKASI SKRIPSI PERBANDINGAN PENJATUHAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERTAMA DAN RESIDIVIS.

NASKAH PUBLIKASI SKRIPSI PERBANDINGAN PENJATUHAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERTAMA DAN RESIDIVIS. NASKAH PUBLIKASI SKRIPSI PERBANDINGAN PENJATUHAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERTAMA DAN RESIDIVIS. Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Juli 2006) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI 20 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Undang-Undang Dasar 1945 Adapun terkait hal keuangan, diatur di dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai komentar

BAB I PENDAHULUAN. yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai komentar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan merupakan suatu fenomena kompleks yang dapat dipahami dari segi yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai komentar tentang

Lebih terperinci

SKRIPSI PERAN BAPAS DALAM PEMBIMBINGAN KLIEN PEMASYARAKATAN YANG MENJALANI CUTI MENJELANG BEBAS. (Studi di Balai Pemasyarakatan Surakarta)

SKRIPSI PERAN BAPAS DALAM PEMBIMBINGAN KLIEN PEMASYARAKATAN YANG MENJALANI CUTI MENJELANG BEBAS. (Studi di Balai Pemasyarakatan Surakarta) SKRIPSI PERAN BAPAS DALAM PEMBIMBINGAN KLIEN PEMASYARAKATAN YANG MENJALANI CUTI MENJELANG BEBAS (Studi di Balai Pemasyarakatan Surakarta) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidahkaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini menganut asas kesalahan sebagai salah satu asas disamping asas legalitas.

Lebih terperinci

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai dengan apa yang tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bahwa wewenang penghentian penuntutan ditujukan kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap tahun kenakalan anak selalu terjadi. Apabila dicermati

BAB I PENDAHULUAN. Setiap tahun kenakalan anak selalu terjadi. Apabila dicermati BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap tahun kenakalan anak selalu terjadi. Apabila dicermati perkembangan tindak pidana yang dilakukan anak selama ini, baik dari kualitas maupun modus operandi, pelanggaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan globalisasi dan kemajuan teknologi yang terjadi dewasa ini telah menimbulkan dampak yang luas terhadap berbagai bidang kehidupan, khususnya di bidang

Lebih terperinci

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, HASIL Rapat PANJA 25 Juli 2016 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pidana Denda dalam Pemidanaan Pasal 10 KUHP menempatkan pidana denda di dalam kelompok pidana pokok sebagai urutan terakhir atau keempat,sesudah pidana mati,pidana penjara dan pidana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kurangnya kualitas sumber daya manusia staf Lembaga Pemasyarakatan, minimnya fasilitas dalam Lembaga Pemasyarakatan.

BAB I PENDAHULUAN. kurangnya kualitas sumber daya manusia staf Lembaga Pemasyarakatan, minimnya fasilitas dalam Lembaga Pemasyarakatan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Narapidana sebagai warga negara Indonesia yang hilang kemerdekaannya karena melakukan tindak pidana pembunuhan, maka pembinaannya haruslah dilakukan sesuai dengan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana. hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana. hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan 16 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana Menurut Moeljatno (2000: 1), hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap

BAB I PENDAHULUAN. suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hakim adalah aparat penegak hukum yang paling dominan dalam melaksanakan penegakan hukum. Hakimlah yang pada akhirnya menentukan putusan terhadap suatu perkara disandarkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung

I. PENDAHULUAN. Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung pengakuan terhadap harkat dan martabat manusia didalam menemukan kemerdekaan, keadilan dan perdamaian

Lebih terperinci

BAB IV PERSAMAAN DAN PERBEDAAN DELIK PEMBUNUHAN TIDAK DISENGAJA OLEH ANAK DI BAWAH UMUR MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM

BAB IV PERSAMAAN DAN PERBEDAAN DELIK PEMBUNUHAN TIDAK DISENGAJA OLEH ANAK DI BAWAH UMUR MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM BAB IV PERSAMAAN DAN PERBEDAAN DELIK PEMBUNUHAN TIDAK DISENGAJA OLEH ANAK DI BAWAH UMUR MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM A. Persamaan Delik Pembunuhan Tidak Disengaja Oleh Anak di Bawah Umur Menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha

BAB I PENDAHULUAN. eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum sebagai subsistem sosial menempati posisi penting dalam eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha membangun sistem hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. didasarkan atas kekuasaan. Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (3)

BAB I PENDAHULUAN. didasarkan atas kekuasaan. Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (3) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara yang didasarkan atas hukum bukan didasarkan atas kekuasaan. Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (3) amandemen ke-3 Undang-Undang

Lebih terperinci

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Menurut Roeslan Saleh (1983:75) pengertian pertanggungjawaban pidana adalah suatu yang dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap seseorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, maka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, maka 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, maka kehidupan masyarakat tidak lepas dari aturan hukum. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada hakekatnya anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha

BAB I PENDAHULUAN. Pada hakekatnya anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada hakekatnya anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Untuk menjaga harkat dan

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum.

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum. PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR Suwarjo, SH., M.Hum. Abstrak Pemberantasan dollar AS palsu di Indonesia terbilang cukup sulit karena tidak terjangkau oleh hukum di Indonesia.

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA Nomor 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa transportasi mempunyai peranan penting dan

Lebih terperinci

2008, No e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tenta

2008, No e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tenta LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.170, 2008 DISKRIMINASI.Ras dan Etnis. Penghapusan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4919) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap anak adalah bagian dari penerus generasi muda yang merupakan faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita perjuangan bangsa

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008 1 PENYANTUNAN BAGI KELUARGA MENINGGAL ATAU LUKA BERAT KECELAKAAN LALU LINTAS DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PENGAMBILAN PUTUSAN HAKIM Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat Guna

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai Negara hukum, Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai Negara hukum, Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai Negara hukum, Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan

Lebih terperinci

Peranan Pembimbing Kemasyarakatan dalam Pengadilan Anak di Pematangsiantar. Abstrak

Peranan Pembimbing Kemasyarakatan dalam Pengadilan Anak di Pematangsiantar. Abstrak 1 Peranan Pembimbing Kemasyarakatan dalam Pengadilan Anak di Pematangsiantar Novelina M.S. Hutapea Staf Pengajar Kopertis Wilayah I Dpk Fakultas Hukum USI Pematangsiantar Abstrak Undang-undang Nomor 3

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana,

I.PENDAHULUAN. Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana, I.PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana, merupakan salah satu masalah besar dalam agenda kebijakan /politik hukum Indonesia.Khususnya

Lebih terperinci

: UPAYA PERLINDUNGAN ANAK BERHADAPAN HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN ANAK FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK

: UPAYA PERLINDUNGAN ANAK BERHADAPAN HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN ANAK FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK Judul : UPAYA PERLINDUNGAN ANAK BERHADAPAN HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN ANAK MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 Disusun oleh : Ade Didik Tri Guntoro NPM : 11100011 FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : 6. a. untuk menghindari anak dari penahanan;

BAB II LANDASAN TEORI. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : 6. a. untuk menghindari anak dari penahanan; BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Uraian Teori 2.1.1.Diversi Diversi adalah pengalihan penanganan kasus-kasus anak yang diduga telah melakukan tindak pidana dari proses formal dengan atau tanpa syarat. Pendekatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam hukum pidana Indonesia pidana penjara diatur sebagai salah satu bentuk pidana pokok berdasarkan Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Terpidana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Nasional pada dasarnya merupakan pembangunan manusia

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Nasional pada dasarnya merupakan pembangunan manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan Nasional pada dasarnya merupakan pembangunan manusia seutuhnya dan masyarakat Indonesia yang berdasarkan pada Undang-undang Dasar 1945. Fungsi hukum

Lebih terperinci

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN A. Analisa Yuridis Malpraktik Profesi Medis Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 merumuskan banyak tindak pidana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berkaitan dengan modus-modus kejahatan.

BAB I PENDAHULUAN. yang berkaitan dengan modus-modus kejahatan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini modus kejahatan semakin berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Dalam perkembangannya kita dihadapkan untuk bisa lebih maju dan lebih siap dalam

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. penelitian ini, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

BAB III PENUTUP. penelitian ini, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan analisis terhadap data yang berhasil dikumpulkan dalam penelitian ini, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Majelis Hakim menggunakan putusan peradilan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Pemidanaan 1. Tujuan Hukum Pidana Tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi kepentingan orang perseorangan atau hak asasi manusia dan masyarakat. Tujuan hukum

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PELAYARAN DI INDONESIA. A. Pengaturan Tindak Pidana Pelayaran Di Dalam KUHP

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PELAYARAN DI INDONESIA. A. Pengaturan Tindak Pidana Pelayaran Di Dalam KUHP 29 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PELAYARAN DI INDONESIA A. Pengaturan Tindak Pidana Pelayaran Di Dalam KUHP Indonesia merupakan negara maritim terbesar di dunia, yang mana hal tersebut

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa lingkungan hidup Indonesia

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.257, 2014 PERTAHANAN. Hukum. Disiplin. Militer. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5591) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

REORIENTASI KEBIJAKAN FORMULASI SANKSI PIDANA PENJARA TERHADAP PEREMPUAN PELAKU TINDAK PIDANA DALAM RANCANGAN KUHP (RKUHP)

REORIENTASI KEBIJAKAN FORMULASI SANKSI PIDANA PENJARA TERHADAP PEREMPUAN PELAKU TINDAK PIDANA DALAM RANCANGAN KUHP (RKUHP) REORIENTASI KEBIJAKAN FORMULASI SANKSI PIDANA PENJARA TERHADAP PEREMPUAN PELAKU TINDAK PIDANA DALAM RANCANGAN KUHP (RKUHP) Subaidah Ratna Juita Fakultas Hukum, Universitas Semarang email: ratna.shmh@yahoo.co.id

Lebih terperinci

PELAKSANAAN SANKSI PIDANA DENDA PADA TINDAK PIDANA PSIKOTROPIKA

PELAKSANAAN SANKSI PIDANA DENDA PADA TINDAK PIDANA PSIKOTROPIKA PELAKSANAAN SANKSI PIDANA DENDA PADA TINDAK PIDANA PSIKOTROPIKA ABTRAKSI SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pengobatan dan pelayanan kesehatan. Namun, dengan semakin berkembangnya zaman, narkotika

I. PENDAHULUAN. pengobatan dan pelayanan kesehatan. Namun, dengan semakin berkembangnya zaman, narkotika I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada awalnya narkotika digunakan untuk kepentingan umat manusia, khususnya untuk pengobatan dan pelayanan kesehatan. Namun, dengan semakin berkembangnya zaman, narkotika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi,

BAB I PENDAHULUAN. diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai dengan hukuman pidana.

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

Al Adl, Volume VII Nomor 14, Juli-Desember 2015 ISSN UPAYA DIVERSI DALAM PROSES PERADILAN PIDANA ANAK INDONESIA

Al Adl, Volume VII Nomor 14, Juli-Desember 2015 ISSN UPAYA DIVERSI DALAM PROSES PERADILAN PIDANA ANAK INDONESIA UPAYA DIVERSI DALAM PROSES PERADILAN PIDANA ANAK INDONESIA Munajah Dosen FH Uniska Banjarmasin email : doa.ulya@gmail.com ABSTRAK Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia ditandai dengan lahirnya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional,

PENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional, 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyalahgunaan narkotika dapat mengakibatkan sindroma ketergantungan apabila penggunaannya tidak di bawah pengawasan dan petunjuk tenaga kesehatan yang mempunyai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Mengenai Penegakan Hukum Pidana. 1. Penegak Hukum dan Penegakan Hukum Pidana

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Mengenai Penegakan Hukum Pidana. 1. Penegak Hukum dan Penegakan Hukum Pidana 14 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Mengenai Penegakan Hukum Pidana 1. Penegak Hukum dan Penegakan Hukum Pidana Penegak hukum adalah petugas badan yang berwenang dan berhubungan dengan masalah peradilan

Lebih terperinci

RELEVANSI PIDANA KERJA SOSIAL DALAM PERSPEKTIF PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA

RELEVANSI PIDANA KERJA SOSIAL DALAM PERSPEKTIF PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA RELEVANSI PIDANA KERJA SOSIAL DALAM PERSPEKTIF PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA Oleh Ida Ayu Made Merta Dewi Pembimbing Akademik : Yuwono Program Kekhususan : Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Udayana Abstract

Lebih terperinci

POLITIK HUKUM PEMERINTAH DALAM PENYUSUNAN RUU KUHP. Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H.,M.Hum. Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional

POLITIK HUKUM PEMERINTAH DALAM PENYUSUNAN RUU KUHP. Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H.,M.Hum. Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional POLITIK HUKUM PEMERINTAH DALAM PENYUSUNAN RUU KUHP Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H.,M.Hum. Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional RKUHP (RUUHP): Politik Pembaharuan Hukum Pidana (1) ARAH PEMBANGUNAN HUKUM

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. Fenomena yang aktual saat ini yang dialami negara-negara yang sedang

I.PENDAHULUAN. Fenomena yang aktual saat ini yang dialami negara-negara yang sedang I.PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fenomena yang aktual saat ini yang dialami negara-negara yang sedang berkembang maupun negara maju sekalipun yaitu pencapaian kemajuan di bidang ekonomi dan ilmu pengetahuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tercatat 673 kasus terjadi, naik dari tahun 2011, yakni 480 kasus. 1

BAB I PENDAHULUAN. Tercatat 673 kasus terjadi, naik dari tahun 2011, yakni 480 kasus. 1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini perdagangan terhadap orang di Indonesia dari tahun ke tahun jumlahnya semakin meningkat dan sudah mencapai taraf memprihatinkan. Bertambah maraknya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Penegakan Hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide kepastian

II. TINJAUAN PUSTAKA. Penegakan Hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide kepastian 15 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Penegakan Hukum Penegakan Hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide kepastian hukum, kemanfaatan sosial dan keadilan menjadi kenyataan. Proses perwujudan

Lebih terperinci

Reni Jayanti B ABSTRAK

Reni Jayanti B ABSTRAK Analisis Yuridis Tentang Pertanggungjawaban Pidana Penyalahgunaan Narkotika Golongan I Bagi Diri Sendiri (Studi Kasus Putusan: No.147/Pid.SUS/2011/PN.MAROS) Reni Jayanti B111 09282 ABSTRAK Penelitian ini

Lebih terperinci

adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang

adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system) maka pidana menempati suatu posisi sentral. Hal ini disebabkan karena keputusan di dalam pemidanaan mempunyai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berlainan tetapi tetap saja modusnya dinilai sama. Semakin lama kejahatan di ibu

I. PENDAHULUAN. berlainan tetapi tetap saja modusnya dinilai sama. Semakin lama kejahatan di ibu I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah kejahatan bukanlah hal yang baru, meskipun tempat dan waktunya berlainan tetapi tetap saja modusnya dinilai sama. Semakin lama kejahatan di ibu kota dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan baik pembangunan ekonomi, politik, maupun pengembangan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan baik pembangunan ekonomi, politik, maupun pengembangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai Negara berkembang di dunia telah melakukan pembangunan baik pembangunan ekonomi, politik, maupun pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Serta

Lebih terperinci

Kebijakan Kriminal, Penyalahgunaan BBM Bersubsidi 36

Kebijakan Kriminal, Penyalahgunaan BBM Bersubsidi 36 Kebijakan Kriminal, Penyalahgunaan BBM Bersubsidi 36 KEBIJAKAN KRIMINAL PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN BAHAN BAKAR MINYAK (BBM) BERSUBSIDI Oleh : Aprillani Arsyad, SH,MH 1 Abstrak Penyalahgunaan Bahan Bakar

Lebih terperinci

Pasal 48 yang berbunyi :

Pasal 48 yang berbunyi : 41 BAB III PERSYARATAN TEKNIS DAN SANKSI HUKUM TERHADAP MODIFIKASI KENDARAAN BERMOTOR DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN A. Persyaratan Teknis Modifikasi Kendaraan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang sedang mengalami proses pembangunan. Proses pembangunan tersebut dapat menimbulkan dampak sosial positif yaitu

Lebih terperinci