Peranan Pembimbing Kemasyarakatan dalam Pengadilan Anak di Pematangsiantar. Abstrak

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Peranan Pembimbing Kemasyarakatan dalam Pengadilan Anak di Pematangsiantar. Abstrak"

Transkripsi

1 1 Peranan Pembimbing Kemasyarakatan dalam Pengadilan Anak di Pematangsiantar Novelina M.S. Hutapea Staf Pengajar Kopertis Wilayah I Dpk Fakultas Hukum USI Pematangsiantar Abstrak Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang pengadilan anak mengatur tentang pembimbing kemasyarakatan dengan peranannya yang sangat penting dalam penanganan perkara anak nakal. Pembimbing kemasyarakatan membantu mempelancar tugas penyidik, penuntut umum, hakim baik di dalam maupun di luar sidang anak dengan membuat laporan hasil penelitian kemasyarakatan tentang anak. Laporan penelitian kemasyarakatan tersebut wajib dipertimbangkan hakim agar dapat menghasilkan keputusan yang tepat dan terbaik bagi anak yang telah menjalani proses hukum karena melakukan tindak kriminal. Akan tetapi dalam menjalankan tugasnya banyak kendala yang dihadapi sehingga sering mengganggu kelancaran tugas Pembimbing Kemasyarakatan. Kata Kunci : Pembimbing kemasyarakatan, Pengadilan anak Pendahuluan Apabila seorang anak melakukan tindak kejahatan, maka anak tersebut akan dikenakan ancaman pidana sebagaimana terdapat dalam KUHP maupun undang-undang pidana lainnya. Akan tetapi karena pelakunya adalah anak, maka sistem hukum kita membuat perbedaan sehingga dirumuskanlah sidang anak sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun Sidang anak ini berbeda dengan sidang orang dewasa menyangkut tentang proses hukum acara dan hukuman yang dijatuhkan, bentuk pidana yang bisa dijatuhkan kepada si anak serta perlakuan ketika dia menjalani masa pidananya selaku anak didik di lembaga pemasyarakatan. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 juga menentukan pemabatasanpembatasan lain dan hak-haknya serta pihak lain yang memberikan treatment tertentu kepada anak sebagai pelaku kriminal. Selain orang tua, maka pembimbing kemasyarakatan juga memiliki peran ketika anak memasuki sidang pada pengadilan anak. Pihak pembimbing kemasyarakatan bahkan memiliki kewajiban untuk mendampingi anak pada tahap awal pertama kali terjadinya proses penyidikan, dan memberikan penelitian Pembimbing Kemasyarakatan mengeluarkan produk yaitu penelitian masyarakat (litmas) yang wajib disampaikan kepada pengadilan pada saat sebelum sidang dibuka. Dengan demikian tugas pembimbing kemasyarakatan tidaklah mudah. Pelaksanaan tugasnya diperlukan sejak dini, mulai proses penyidikan, persidangan di pengadilan hingga anak pelaku tindak pidana yang bersangkutan selesai menjalani hukuman. Dengan demikian, eksistensi pembimbing kemasyarakatan sudah diakomodir dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang pengadilan anak, walaupun dalam kenya-

2 2 ilmiah dosen upload : biro sistem informasi data & hubungan masyarakat@2013 taannya masih ditemui hambatan-hambatan dalam upaya memaksimalkan peran pembimbing kemasyarakatan dalam sistem peradilan pidana nasional. Bahkan dibeberapa daerah di Indonesia keberadaan pembimbing kemasyarakatan ini justru tidak efektif yang disebabkan oleh beberapa faktor, pada hal makin meningkatnya keterlibatan anak-anak dalam melakukan tindak pidana sebagaimana halnya di Kota Pematangsiantar menuntut peranan pembimbing kemasyarakatan semakin penting. Rumusan Masalah 1. Bagaimana eksistensi pembimbing kemasyarakatan di kota Pematangsiantar? 2. Bagaimana proses penanganan perkara anak nakal oleh pembimbing kemasyarakatan di kota Pematangsiantar? 3. Apa hambatan-hambatan dalam pelaksanaan tugas pembimbing kemasyarakatan di kota Pematangsiantar? Metode Penelitian 1. Metode penelitian hukum normatif Pengumpulan data untuk penyelesaian penelitian ini dengan metode kepustakaan dilakukan dengan mengumpulkan literaturliteratur yang berbentuk buku, perundangundangan, artikel dan sebagainya sesuai dengan materi yang terkandung dalam judul sebagaimana telah dipilih. 2. Metode penelitian hukum empiris Dengan metode ini, maka akan diperoleh aplikasi antara teori dengan praktek di lapangan. Pengumpulan data dilakukan dengan studi lapangan yaitu Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Pematangsiantar, yaitu tempat petugas yang dalam realitanya melaksanakan peranan sebagai pembimbing kemasyarakatan dalam pengadilan anak. PEMBAHASAN a. Eksistensi Pembimbing Kemasyarakatan Di Pematangsiantar Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui eksistensi pembimbing kemasyarakatan di kota Pematangsiantar. 2. Untuk mengetahui proses penanganan perkara anak nakal oleh pembimbing kemasyarakatan di kota Pematangsiantar. 3. Untuk mengetahui hambatan-hambatan dalam pelaksanaan tugas pembimbing kemasyarakatan di kota Pematangsiantar. Pembimbing kemasyarakatan adalah petugas kemasyarakatan yang eksistensinya telah diakomodir di dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun Pada dasarnya petugas kemasyarakatan tersebut terdiri dari : 1. Pembimbing 2. Pekerja sosial. 3. Organisasi sosial Pembimbing kemasyarakatan diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka 2, Pasal 33 huruf a, Pasal 34 ayat (1) huruf a dan b,

3 3 Peranan Pembimbing Kemasyarakatan dalam Pengadilan Anak di Pematangsiantar - Novelina M.S. Hutapea Pasal 35, Pasal 36 dan Pasal 38 Undangundang Nomor 3 Tahun Ditinjau dari aspek juridis pembimbing kemasyarakatan tersebut adalah petugas kemasyarakatan pada Balai Pemasyarakatan yang melakukan bimbingan warga binaan pemasyarakatan. Sedangkan pengertian Balai Pemasyarakatan merupakan pranata untuk melaksanakan bimbingan klien pemasyarakatan yakni seseorang yang berada dalam bimbingan Balai Pemasyarakatan (BAPAS), dan pengertian warga binaan pemasyarakatan adalah narapidana, anak didik pemasyarakatan dan klien pemasyarakatan (Pasal 1 angka 4, 5, 9, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995). Mengenai tugasnya, dalam Pasal 34 ayat (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 telah menetapkan pembimbing kemasyarakatan mempunyai tugas sebagai berikut : 1. Membantu memperlancar tugas penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam perkara anak nakal, baik di dalam maupun di luar sidang anak dengan membuat laporan hasil penelitian 2. Membimbing, membantu dan mengawasi anak nakal yang berdasarkan putusan pengadilan di jatuhi pidana bersyarat, pidana pengawasan, pidana denda, diserahkan kepada negara dan harus mengikuti latihan kerja, atau anak yang memperoleh pembebasan bersyarat dari lembaga pemasyarakatan. Sedangkan untuk petugas sosial di atas mempunyai tugas membimbing, membantu dan mengawasi anak nakal yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan kepada departemen sosial untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja. Dalam melaksanakan tugas tersebut supaya seragam dan dengan maksud dan tujuan yang sama, Pasal 34 ayat (3) menghendaki agar pekerja sosial mengadakan koordinasi dengan pembimbing Pembimbing kemasyarakatan dan pekerja sosial agar dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, harus mempunyai keahlian khusus sesuai dengan tugas dan kewajibannya atau mempunyai ketrampilan teknis dan jiwa pengabdian di bidang usaha kesejahteraan sosial. Di dalam melaksanakan tugasnya, pembimbing kemasyarakatan dan pekerja sosial dapat dibantu oleh pekerja sosial sukarela. Tidak sembarang orang diperbolehkan membantu kedua petugas kemasyarakatan di atas, meskipun orang tersebut bersedia membantu secara sukarela tanpa bayaran dan berasal dari anggota organisasi sosial kemasyarakatan, akan tetapi undangundang pengadilan Anak tetap menghendaki seorang pekerja sosial sukarela yang memiliki perhatian khusus kepada masalah anak nakal. Adanya lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang menaruh minat terhadap masalah kenakalan anak dan remaja, anggotanya dapat membantu pekerjaan kedua petugas kemasyarakatan dimaksud. Dengan anggota LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang demikian, sebagai pekerja sosial sukarela tentu telah memiliki

4 4 ilmiah dosen upload : biro sistem informasi data & hubungan masyarakat@2013 pengetahuan dan kemampuan untuk melaksanakan tugas sebagaimana yang dimaksud oleh undang-undang. Sejalan dengan hal tersebut Pasal 39 ayat (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 telah memberikan syarat, bahwa pekerja sosial sukarela harus mempunyai keahlian atau ketrampilan khusus dan minat untuk membina, membimbing, dan membantu anak demi kelangsungan hidup, perkembangan fisik, mental, sosial dan perlindungan terhadap anak. Sebagaimana diketahui bahwa kedudukan pekerja sosial sukarela adalah membantu pembimbing kemasyarakatan dan pekerja sosial, walaupun pekerjaan kedua petugas tersebut tidak selalu harus dibantu. Sehubungan dengan pekerjaannya itu, pekerja sosial sukarela mempunyai kewajiban menyampaikan laporan kepada pembimbing kemasyarakatan mengenai hasil bimbingan, bantuan, dan pembinaan terhadap anak yang berdasarkan putusan pengadilan dijatuhi pidana atau tindakan. Berkaitan dengan tugas dan peranan dari pembimbing kemasyarakatan dapat dijelaskan bahwa : Pembimbing kemasyarakatan melaksanakan tugasnya baik sebelum sidang, selama sidang, dan setelah putusan pengadilan, sedangkan pekerja sosial hanya setelah putusan pengadilan dijatuhkan. Bahkan menurut Pasal 59 ayat (2) hakim terikat bahwa putusannya wajib mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan dari pembimbing kemsyarakatan. Di situlah letak strategis dan urgennya pembimbing Di Pematangsiantar saat ini sudah ada pembimbing kemasyarakatan yang telah diangkat dengan Surat Keputusan dari Menteri Hukum dan HAM ditugaskan di lembaga pemasyarakatan klas II A Pematangsiantar dan telah berperan dalam menangani perkara anak nakal sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 3 Tahun Pembimbing kemasyarakatan tersebut membuat laporan penelitian kemasyarakatan dari anak nakal yang mempunyai fungsi yang sangat penting bagi penjatuhan pidana terhadap anak nakal yang bersangkutan. Semua perkara anak nakal yang diproses mulai tingkat penyidikan sampai pemeriksaan sidang pengadilan di Pematangsiantar sudah dilengkapi dengan laporan hasil penelitian Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pembimbing kemasyarakatan dalam pengadilan anak di Pematangsiantar sudah diakui eksistensinya. Pembimbing kemasyarakatan ini telah menjalankan peranannya membantu tugas penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam pengadilan anak. b. Proses Penanganan Perkara Anak Nakal oleh Pembimbing Kemasyarakatan Pembimbing kemasyarakatan yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 adalah pembimbing kemasyarakatan pada balai pemasyarakatan di wilayah hukum pengadilan negeri setempat. Apabila di wilayah hukum

5 5 Peranan Pembimbing Kemasyarakatan dalam Pengadilan Anak di Pematangsiantar - Novelina M.S. Hutapea pengadilan negeri tidak terdapat balai pemasyarakatan, maka menurut Pasal 12 ayat (2) Keputusan Menteri Kehakiman No.M.02.PW Tahun 1997, hakim dapat memerintahkan pembimbing kemasyarakatan dari anak yang bersangkutan untuk membuat laporan hasil penelitian kemasyarakatan pada balai pemasyarakatan terdekat. Di Sumatera Utara, balai pemasyarakatan masih terdapat di kota Medan dan di Sibolga saja, oleh karena belum ada balai pemasyarakatan, maka pembimbing kemasyarakatan yang ada pada saat ini adalah pembimbing kemasyarakatan yang bertugas/ditempatkan di lembaga pemasyarakatan Klas II A Pematangsiantar. Dalam prakteknya, jika pihak penyidik ada menerima perkara yang pelakunya anak di bawah umur, segera diadakan hubungan dengan pembimbing Kemudian pembimbing kemasyarakatan datang kepada pihak penyidik dan untuk itu penyidik meminta saran serta dibuatkan laporan penelitian hasil kemasyarakatan dari anak yang perkaranya sedang diperiksa. Adapun laporan hasil penelitian kemasyarakatan sekurang-kurangnya memuat hal-hal sebagai berikut : a. Data individu anak dan data keluarga anak yang bersangkutan, b. Kesimpulan atau pendapat dari pembimbing kemasyarakatan yang membuat laporan hasil penelitian Hasil penelitian kemasyarakatan ini selanjutnya akan dilampirkan dalam berkas perkara anak nakal oleh penyidik pada waktu melimpahkannya kepada penuntut umum. Laporan hasil penelitian kemasyarakatan ini akan diminta oleh hakim sebelum sidang dibuka kepada pembimbing kemasyarakatan dan berdasarkan Pasal 55 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997, pembimbing kemasyarakatan wajib hadir pada sidang anak. Demikian pula setelah anak nakal berdasarkan putusan pengadilan dijatuhi pidana bersyarat, dan anak yang memperoleh pembebasan bersyarat dari lembaga pemasyarakatan, pembimbing kemasyarakatan masih tetap menjalankan peranannya untuk membimbing, membantu dan mengawasi anak nakal yang bersangkutan. c. Hambatan-hambatan dalam Pelaksanaan Tugas Pembimbing Kemasyarakatan Begitu pentingnya peranan pembimbing kemasyarakatan dalam pengadilan anak. Hasil penelitian kemasyarakatan berbentuk laporan yang disusun oleh pembimbing kemasyarakatan wajib dipertimbangkan hakim dalam penjatuhan putusan yang tepat dan bersifat mendidik terhadap anak, sekalipun dalam prakteknya, hakim masih mengabaikan arti pentingnya laporan pembimbing kemasyarakatan tersebut namun sesuai dengan pengaturan undang-undang pengadilan anak, pembimbing kemasyarakatan tetap melaksanakan tugasnya.

6 6 ilmiah dosen upload : biro sistem informasi data & hubungan masyarakat@2013 Demikian juga terhadap anak yang menjalani pidana bersyarat ataupun pembebasan bersyarat, pembimbing kemasyarakatan menjalankan peranannya untuk mengawasi dan membimbing anak yang bersangkutan agar setelah selesai menjalani pidanannya anak tersebut mempunyai kepercayaan diri yang kuat untuk kembali menjadi manusia yang berguna sehingga dapat diterima di tengahtengah masyarakat. Dalam menjalankan peranannya tersebut, ternyata ada beberapa kendala yang dihadapi pembimbing kemasyarakatan sehingga sering mengakibatkan kinerja pembimbing kemasyarakatan tersebut tidak maksimal. Adapun kendala-kendala tersebut, yaitu : 1. Tidak adanya dana yang dianggarkan lembaga pemasyarakatan untuk pelaksanaan tugas pembimbing Sebagaimana telah dijelaskan bahwa pembimbing kemasyarakatan yang ada di Pematangsiantar adalah petugas pemasyarakatan pada lembaga pemasyarakatan, sebab BAPAS belum ada di kota ini. Dana untuk kunjungan/visit dan lain-lain yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pembimbing kemasyarakatan hanya ada anggarannya di BAPAS sedangkan pada lembaga pemasyarakatan tidak ada. Hal ini menyebabkan pembimbing kemasyarakatan harus mengeluarkan dana sendiri dalam pelaksanaan kunjungan terhadap klien untuk penyusunan laporan hasil penelitian kemasyarakatan ataupun pengawasan dan pembimbingan terhadap terpidana bersyarat dan anak yang memperoleh pembebasan bersyarat. Dalam hal ini, misalnya : anak nakal yang sedang diperiksa, bertempat tinggal jauh dari Pematangsiantar atau bahkan tidak diketahui sama sekali keberadaan orang tuanya, pembimbing kemasyaraktan tentu mengalami kesulitan untuk menyusun laporan hasil penelitian dari anak yang bersangkutan. Pembimbing kemasyarakatan terpaksa hanya mengandalkan jawaban yang diberikan oleh anak untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ataupun hal-hal yang harus dituangkan di dalam laporan hasil penelitian kemasyarakatan tentang keadaan keluarga anak, riwayat hidup anak, dan keadaan lingkungan masyarakat. Demikian pula tanggapan masyarakat tentang anak terpaksa direkayasa oleh pembimbing Berdasar uraian tersebut di atas dapat dipahami bahwa pembimbing kemasyarakatan mengalami kesulitan dalam melaksanakan tugasnya karena tidak adanya biaya transport yang tersedia untuk mengunjungi klien terutama yang berdomisili tidak di dalam kota Pematangsiantar. 2. Kurangnya personil pembimbing Semakin banyaknya tindak pidana yang terjadi dan pelakunya adalah anak di

7 7 Peranan Pembimbing Kemasyarakatan dalam Pengadilan Anak di Pematangsiantar - Novelina M.S. Hutapea bawah umur membuat pembimbing kemasyarakatan mengalami kesulitan dalam menjalankan tugasnya, dengan jumlah personil hanya 2 (dua) orang dirasa sangat kurang untuk menangani perkara-perkara anak di Pematangsiantar. Selain jumlahnya yang kurang, maka tidak adanya bekal ilmu psikologi anak juga membuat pembimbing kemasyarakatan sering mengalami hambatan dalam berkomunikasi dengan anak. Memang tidak semua anak bisa diajak lancar berkomunikasi dan bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pembimbing Dalam menghadapi anak yang sifatnya tertutup, karena kurangnya pemahaman tentang anak maka pembimbing kemasyarakatan sering menjadi emosi dan marah kepada anak yang bersangkutan. Sikap seperti ini dapat membuat anak menjadi takut dan bisa berdampak buruk terhadap jiwa anak. Dengan alasan-alasan tersebut di atas, maka pada masa mendatang diharapkan pembimbing kemasyarakatan memperoleh pendidikan ataupun pelatihan tentang penanganan perkara anak untuk dapat meningkatkan profesionalismenya. Kesimpulan dan Saran a. Kesimpulan 1. Pembimbing kemasyarakatan sebagai bagian dari BAPAS dalam kenyataannya di Pematangsiantar saat ini memang sudah ada, walaupun masih merupakan penempatan di lembaga Pemasyarakatan Klas II A Pematangsiantar. Sedangkan instansi BAPAS di Sumatera Utara hanya ada di Medan dan Sibolga saja. 2. Proses penanganan perkara anak nakal oleh pembimbing kemasyarakatan di Pematangsiantar dimulai dari tingkat penyidikan sampai anak menjalani pidananya sesuai dengan keputusan pengadilan. 3. Hambatan-hambatan dalam pelaksanaan tugas pembimbing kemasyarakatan di Pematangsiantar yaitu tidak adanya dana yang dianggarkan oleh lembaga pemasyarakatan untuk kunjungan/visit dan kurangnya tenaga yang profesional di bidang penanganan anak. b. Saran 1. Agar dianggarkan oleh lembaga pemasyarakatan dana yang cukup untuk menunjang kelancaran tugas pembimbing kemasyarakatan yaitu untuk kunjungan/visit terhadap klien, sehingga tidak menghambatan tugas Pembimbing Kemasyarakatan dalam mengumpulkan data yang dibutuhkan guna pembuatan laporan penelitian hasil kemasyarakatan dari anak nakal. 2. Agar jumlah personil pembimbing kemasyarakatan di Pematang siantar dapat ditambah, demikian juga ditingkatkan kemampuan profesionalnya dalam membimbing anak nakal melalui pendidikan/pelatihan khusus tentang hal tersebut.

8 8 ilmiah dosen upload : biro sistem informasi data & hubungan masyarakat@2013 Daftar Kepustakaan B u k u : Azis Aminah, Aspek Hukum Perlindungan Anak, USU Press, Medan, Mulyadi Lilik, Pengadilan Anak Di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, Hukum Anak Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, Prinst Darwan, Supramono Gatot, Hukum Acara Pengadilan Anak, Djambatan, Jakarta, Soetojo Wagiati, Hukum Pidana Anak, Refika Aditama, Bandung, Waluyo Bambang, Pidana Dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, Undang-undang : Undang-undang Nomor 12 Tahun Tentang Pemasyarakatan. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Pengadilan Anak. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Catatan : Tulisan ini telah dipublikasi pada Jurnal : Habonaron Do Bona; Edisi 1, Maret 2011; ISSN :

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana 1 Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana Novelina MS Hutapea Staf Pengajar Kopertis Wilayah I Dpk Fakultas Hukum USI Pematangsiantar Abstrak Adakalanya dalam pembuktian

Lebih terperinci

Perlindungan Hukum terhadap Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana (Studi di Kota Pematangsiantar)

Perlindungan Hukum terhadap Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana (Studi di Kota Pematangsiantar) 1 Perlindungan Hukum terhadap Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana (Studi di Kota Pematangsiantar) Novelina M.S. Hutapea* *Staf Pengajar Kopertis Wilayah I Dpk Fakultas Hukum USI Pematangsiantar Abstrak Seorang

Lebih terperinci

Penerapan Pidana Bersyarat Sebagai Alternatif Pidana Perampasan Kemerdekaan

Penerapan Pidana Bersyarat Sebagai Alternatif Pidana Perampasan Kemerdekaan 1 Penerapan Pidana Bersyarat Sebagai Alternatif Pidana Perampasan Kemerdekaan Novelina MS Hutapea Staf Pengajar Kopertis Wilayah I Dpk FH USI Di satu sisi masih banyak anggapan bahwa penjatuhan pidana

Lebih terperinci

Pelaksanaan Penyidik Diluar Wilayah Hukum Penyidik

Pelaksanaan Penyidik Diluar Wilayah Hukum Penyidik 1 Pelaksanaan Penyidik Diluar Wilayah Hukum Penyidik Novelina M.S. Hutapea Staf Pengajar Kopertis Wilayah I Dpk Fakultas Hukum USI Pematangsiantar Abstrak Penyidikan suatu tindak pidana adalah merupakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. berusia tahun, korban berusia 6 12 tahun sebanyak 757 kasus (26 %)

BAB 1 PENDAHULUAN. berusia tahun, korban berusia 6 12 tahun sebanyak 757 kasus (26 %) BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap orang berpotensi sebagai pelaku kejahatan, tidak mengenal jenis kelamin pria atau wanita, dewasa maupun anak-anak. Masyarakat menganggap siapapun pelaku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada hakekatnya anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha

BAB I PENDAHULUAN. Pada hakekatnya anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada hakekatnya anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Untuk menjaga harkat dan

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. mewujudkan rasa keadilan dalam masyarakat. dari Balai Pemasyarakatan. Hal-hal yang meringankan terdakwa yaitu :

BAB III PENUTUP. mewujudkan rasa keadilan dalam masyarakat. dari Balai Pemasyarakatan. Hal-hal yang meringankan terdakwa yaitu : 66 BAB III PENUTUP A. Simpulan Putusan hakim harus memberikan efek jera terhadap pelaku tindak pidana dan dapat membuat terdakwa menjadi orang yang lebih bertanggung jawab dan dapat kembali menjadi warga

Lebih terperinci

Alternative Penyelesaian Perkara Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana dengan Diversi dan Restoratif Justice

Alternative Penyelesaian Perkara Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana dengan Diversi dan Restoratif Justice Alternative Penyelesaian Perkara Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana dengan Diversi dan Restoratif Justice NOVELINA MS HUTAPEA Staf Pengajar Kop.Wil. I dpk Fakultas Hukum USI P.Siantar Ringkasan Undang-undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melanggarnya, sedangkan kejahatan adalah perbuatan dengan proses yang sama dan

BAB I PENDAHULUAN. melanggarnya, sedangkan kejahatan adalah perbuatan dengan proses yang sama dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan yang disertai ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu bagi siapa saja yang melanggarnya,

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 3, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 3668) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. DESKRIPSI SINGKAT B. KOMPETENSI UMUM C. KOMPETENSI KHUSUS

BAB I PENDAHULUAN A. DESKRIPSI SINGKAT B. KOMPETENSI UMUM C. KOMPETENSI KHUSUS BAB I PENDAHULUAN A. DESKRIPSI SINGKAT Modul Penanganan ABH di Bapas merupakan bagian dari Modul Penyuluhan penanganan anak yang berhadapan dengan hukum terkait diversi dan keadilan restoratif bagi petugas

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ATMAJAYA YOGYAKARTA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ATMAJAYA YOGYAKARTA NASKAH PUBLIKASI PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN PIDANA PENJARA TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PENCURIAN Diajukan Oleh : Nama : Yohanes Pandu Asa Nugraha NPM : 8813 Prodi : Ilmu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berbicara hukum, menyebabkan kita akan dihadapkan dengan hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan pergaulan

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berbicara hukum, menyebabkan kita akan dihadapkan dengan hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan pergaulan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berbicara hukum, menyebabkan kita akan dihadapkan dengan hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan pergaulan hidup manusia dimasyarakat yang diwujudkan sebagai

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. maupun hukum positif, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : Bersyarat sudah berjalan cukup baik dan telah berjalan sesuai dengan

BAB III PENUTUP. maupun hukum positif, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : Bersyarat sudah berjalan cukup baik dan telah berjalan sesuai dengan 54 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian terhadap kendala Balai Pemasyarakatan Klas I Yogyakarta dalam mendampingi Klien Pemasyarakatan yang memperoleh Pembebasan Bersyarat dengan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. Bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan BAB II KEBIJAKAN HUKUM PIDANA YANG MENGATUR TENTANG SISTEM PEMIDANAAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA DI INDONESIA A. Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan yang Dilakukan Oleh Anak Dibawah

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan uraian analisis data dan wawancara dengan narasumber

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan uraian analisis data dan wawancara dengan narasumber 69 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian analisis data dan wawancara dengan narasumber mengenai perlakuan dan kendala terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana dalam proses peradilan yaitu

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN BAB 3 METODE PENELITIAN Dalam suatu karya ilmiah metode penelitian merupakan suatu unsur yang penting dan mutlak, demikian pula terkait dengan apa yang akan dibahas dalam penelitian adalah Perlindungan

Lebih terperinci

PERANAN BALAI PEMASYARAKATAN (BAPAS) DALAM PROSES PERADILAN ANAK DI KOTA JAYAPURA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOmor 11 TAHUN 2012

PERANAN BALAI PEMASYARAKATAN (BAPAS) DALAM PROSES PERADILAN ANAK DI KOTA JAYAPURA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOmor 11 TAHUN 2012 PERANAN BALAI PEMASYARAKATAN (BAPAS) DALAM PROSES PERADILAN ANAK DI KOTA JAYAPURA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOmor 11 TAHUN 2012, SH.,MH 1 Abstrak : Peranan Balai Pemasyarakatan (Bapas) Dalam Proses Peradilan

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Terkait upaya pemberian perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Terkait upaya pemberian perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Terkait upaya pemberian perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, system peradilan pidana anak harus dimaknai secara luas, ia tidak hanya dimaknai hanya sekedar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Para pelaku tindak pidana tersebut,yang memperoleh pidana penjara

BAB I PENDAHULUAN. Para pelaku tindak pidana tersebut,yang memperoleh pidana penjara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan Indonesia yang dilaksanakan disegala bidang sudah barang tentu akan menimbulkan suatu perubahan dan perkembangan bagi kehidupan masyarakat, serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengertian Anak dalam Konsideran Undang-Undang Nomor 11 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Pengertian Anak dalam Konsideran Undang-Undang Nomor 11 Tahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengertian Anak dalam Konsideran Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang selanjutnya disebut dengan UU SPPA menyebutkan bahwa

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DALAM PROSES PENUNTUTAN PERKARA PIDANA DI KEJAKSAAN NEGERI PADANG JURNAL. Oleh:

PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DALAM PROSES PENUNTUTAN PERKARA PIDANA DI KEJAKSAAN NEGERI PADANG JURNAL. Oleh: 0 PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DALAM PROSES PENUNTUTAN PERKARA PIDANA DI KEJAKSAAN NEGERI PADANG JURNAL Oleh: FEBBY ZAHARA NPM : 0910005600012 PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS

Lebih terperinci

Maksudnya adalah bahwa pembimbing kemasyarakatan yang ada di BAPAS. kerjaannya untuk dapat menyelesaikan persoalan tersebut.

Maksudnya adalah bahwa pembimbing kemasyarakatan yang ada di BAPAS. kerjaannya untuk dapat menyelesaikan persoalan tersebut. e. BAPAS dituntut sebagai konselor Maksudnya adalah bahwa pembimbing kemasyarakatan yang ada di BAPAS tersebut dituntut untuk selalu siap dalam menerima segala keluhan yang terjadi pada diri Klien Pemasyarakatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari

BAB I PENDAHULUAN. hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus dijaga dan diperhatikan harkat, martabat dan hak-hak anak sebagai manusia seutuhnya. Hak yang

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Kasus Putusan No: 164/Pid.B/2009/PN.PL) SAHARUDDIN / D

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Kasus Putusan No: 164/Pid.B/2009/PN.PL) SAHARUDDIN / D PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Kasus Putusan No: 164/Pid.B/2009/PN.PL) SAHARUDDIN / D 101 07 502 ABSTRAK Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan

Lebih terperinci

Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Kurir Narkotika. (Study Putusan No. 14/Pid.Sus Anak/2015/PN. Dps) Siti Zaenab

Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Kurir Narkotika. (Study Putusan No. 14/Pid.Sus Anak/2015/PN. Dps) Siti Zaenab Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Kurir Narkotika (Study Putusan No. 14/Pid.Sus Anak/2015/PN. Dps) Siti Zaenab Program Studi Ilmu Hukum-Universitas Narotama Surabaya Abstrak Maraknya peredaran narkotika

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Polresta Yogyakarta

BAB III PENUTUP. dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Polresta Yogyakarta 70 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan 1. Pemenuhan hak-hak korban tindak pidana melalui pelaksanaan diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Polresta Yogyakarta Pelaksanaan diversi di Polresta Yogyakarta

Lebih terperinci

2 2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara R

2 2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara R BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1452, 2014 KEMENKUMHAM. Pengubahan Klas. UPT. Pemasyarakatan. Penilaian. Pedoman. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2014

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. khusus untuk melaporkan aneka kriminalitas. di berbagai daerah menunjukkan peningkatan.

BAB I PENDAHULUAN. khusus untuk melaporkan aneka kriminalitas. di berbagai daerah menunjukkan peningkatan. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berbicara tentang kejahatan seakan tidak ada habis-habisnya, setiap hari selalu saja terjadi dan setiap media massa di tanah air bahkan mempunyai ruang khusus untuk

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. pada bab-bab sebelumnya maka dapat dijabarkan kesimpulan sebagai berikut:

BAB III PENUTUP. pada bab-bab sebelumnya maka dapat dijabarkan kesimpulan sebagai berikut: 50 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan penelitian dan analisi yang dilaksanakan, sebagaimana diuraikan pada bab-bab sebelumnya maka dapat dijabarkan kesimpulan sebagai berikut: 1. Kewenangan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang dan peraturan serta ketentuan-ketentuan lain yang berlaku di

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang dan peraturan serta ketentuan-ketentuan lain yang berlaku di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak merupakan seseorang yang dianggap belum dewasa dari segi umur. Penentuan seseorang dikatakan sebagai anak tidak memiliki keseragaman. Undang-Undang dan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Balai pemasyarakatan (BAPAS) klas II Gorontalo dibentuk sesuai dengan Keputusan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Balai pemasyarakatan (BAPAS) klas II Gorontalo dibentuk sesuai dengan Keputusan BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Balai pemasyarakatan (BAPAS) klas II Gorontalo dibentuk sesuai dengan Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi manusia RI Nomor : M.07.PR.07.03

Lebih terperinci

PENUNTUTAN TERHADAP PERKARA ANAK DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DI INDONESIA 1 Oleh: Robert Andriano Piodo 2

PENUNTUTAN TERHADAP PERKARA ANAK DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DI INDONESIA 1 Oleh: Robert Andriano Piodo 2 PENUNTUTAN TERHADAP PERKARA ANAK DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DI INDONESIA 1 Oleh: Robert Andriano Piodo 2 Abstrak Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana penuntutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pergeseran paradigma dalam hukum pidana, mulai dari aliran klasik,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pergeseran paradigma dalam hukum pidana, mulai dari aliran klasik, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pergeseran paradigma dalam hukum pidana, mulai dari aliran klasik, aliran neo-klasik, dan aliran modern menandai babak baru dalam wacana hukum pidana. Pergeseran

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bagi negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran-pemikiran

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bagi negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran-pemikiran BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bagi negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran-pemikiran baru mengenai pemidanaan yang tidak lagi sekedar penjeraan tapi juga merupakan suatu usaha

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK

NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

TUGAS MATA KULIAH ANALISIS KASUS DAN PRAKTEK BERACARA

TUGAS MATA KULIAH ANALISIS KASUS DAN PRAKTEK BERACARA TUGAS MATA KULIAH ANALISIS KASUS DAN PRAKTEK BERACARA OLEH : MAHASISWA BAGIAN ACARA SEMESTER VII JANUARSE DJAMI RIWU NIM. 1202011076 DPA. BILL NOPE,SH.,LLM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NUSA CENDANA TAHUN

Lebih terperinci

BAB III FAKTOR PENYEBAB TERJADI KORBAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI DI KABUPATEN ACEH BARAT

BAB III FAKTOR PENYEBAB TERJADI KORBAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI DI KABUPATEN ACEH BARAT 38 BAB III FAKTOR PENYEBAB TERJADI KORBAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI DI KABUPATEN ACEH BARAT A. Faktor Penyebab Terjadi Korban 1. Faktor Internal a. Faktor Aparat Penegak Hukum Penegakan hukum

Lebih terperinci

perundang-undangan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi serta tugas dan wewenang Kejaksaan, maka dapat disimpulkan bahwa:

perundang-undangan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi serta tugas dan wewenang Kejaksaan, maka dapat disimpulkan bahwa: BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh penulis terhadap peraturan perundang-undangan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi serta tugas dan wewenang Kejaksaan, maka

Lebih terperinci

Penegakan Hukum atas Pelanggaran Terhadap Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Penegakan Hukum atas Pelanggaran Terhadap Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat 1 Penegakan Hukum atas Pelanggaran Terhadap Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Novelina MS Hutapea Staf Pengajar Kop.Wil. I Dpk Fakultas Hukum USI Pematangsiantar Intisari Persaingan

Lebih terperinci

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB 1 PENDAHULUAN. pengaruh yang cukup besar dalam membentuk perilaku seorang anak. 1

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB 1 PENDAHULUAN. pengaruh yang cukup besar dalam membentuk perilaku seorang anak. 1 BAB 1 PENDAHULUAN I. Latar Belakang Anak adalah masa depan suatu bangsa sebagai tunas dan potensi yang mempunyai peran untuk menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara di masa depan. Anaklah yang

Lebih terperinci

Rekontruksi dalam Pemeriksaan Tersangka dan Permasalahannya

Rekontruksi dalam Pemeriksaan Tersangka dan Permasalahannya 1 Rekontruksi dalam Pemeriksaan Tersangka dan Permasalahannya - Novelina MS Hutapea Rekontruksi dalam Pemeriksaan Tersangka dan Permasalahannya Novelina MS Hutapea Dosen Fakultas Hukum USI Abstrak Pemeriksaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping. pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping. pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tidak ada suatu perkara pidana yang lepas dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu didasarkan kepada pemeriksaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Alat bukti berupa keterangan saksi sangatlah lazim digunakan dalam penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi dimaksudkan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai komentar

BAB I PENDAHULUAN. yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai komentar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan merupakan suatu fenomena kompleks yang dapat dipahami dari segi yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai komentar tentang

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Hasil PANJA 12 Juli 2006 Dokumentasi KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI Hasil Tim perumus PANJA, santika 12 Juli

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Pada era modernisasi dan globalisasi seperti sekarang ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Pada era modernisasi dan globalisasi seperti sekarang ini BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Pada era modernisasi dan globalisasi seperti sekarang ini menyebabkan pergeseran perilaku di dalam masyarakat dan bernegara yang semakin kompleks. Perilaku-perilaku

Lebih terperinci

PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah

Lebih terperinci

WAWANCARA. Pewawancara : Dame Hutapea (Mahasiswa Fak. Hukum Universitas Esa Unggul)

WAWANCARA. Pewawancara : Dame Hutapea (Mahasiswa Fak. Hukum Universitas Esa Unggul) WAWANCARA Pewawancara : Dame Hutapea (Mahasiswa Fak. Hukum Universitas Esa Unggul) Terwawancara : AKP Sri Pamujiningsih (Kanit dan Penyidik Unit PPA Polres Metro Jakarta Utara. A. Wawancara dengan unit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tanggung jawab besar demi tercapainya cita-cita bangsa. Anak. dalam kandungan. Penjelasan selanjutnya dalam Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. tanggung jawab besar demi tercapainya cita-cita bangsa. Anak. dalam kandungan. Penjelasan selanjutnya dalam Undang-Undang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak merupakan tumpuan sekaligus harapan dari semua orang tua. Anak merupakan satu-satunya penerus bangsa yang mempunyai tanggung jawab besar demi tercapainya cita-cita

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

PENJELASAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN

PENJELASAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN PENJELASAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN UMUM Sebagaimana ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995

Lebih terperinci

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR M.01.PK.04-10 TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

ANALISIS TERHADAP SISTEM PEMIDANAAN DALAM UU NO. 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK 1 Oleh : Merril Constantia Lomban 2

ANALISIS TERHADAP SISTEM PEMIDANAAN DALAM UU NO. 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK 1 Oleh : Merril Constantia Lomban 2 ANALISIS TERHADAP SISTEM PEMIDANAAN DALAM UU NO. 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK 1 Oleh : Merril Constantia Lomban 2 ABSTRAK Pemidanaan terhadap orang yang belum dewasa atau yang belum cukup umur

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

DASAR PERTIMBANGAN HAKIM MEMBERIKAN PUTUSAN BERSYARAT TERHADAP ANAK PEMAKAI NARKOTIKA DI PENGADILAN NEGERI KELAS 1A PADANG

DASAR PERTIMBANGAN HAKIM MEMBERIKAN PUTUSAN BERSYARAT TERHADAP ANAK PEMAKAI NARKOTIKA DI PENGADILAN NEGERI KELAS 1A PADANG DASAR PERTIMBANGAN HAKIM MEMBERIKAN PUTUSAN BERSYARAT TERHADAP ANAK PEMAKAI NARKOTIKA DI PENGADILAN NEGERI KELAS 1A PADANG (Studi Kasus di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Kelas I A Padang Perkara Nomor:

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. 1. Upaya yang dilakukan Polisi DIY dalam Penanggulangan Tindak. pidana Kesusilaan

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. 1. Upaya yang dilakukan Polisi DIY dalam Penanggulangan Tindak. pidana Kesusilaan 49 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan 1. Upaya yang dilakukan Polisi DIY dalam Penanggulangan Tindak pidana Kesusilaan Berdasarkan wawancara dengan narasumber Bapak Kompol Zulham Efendi Lubis, S.iK dalam hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ada juga kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak. Anak yaitu seorang yang belum berumur 18 tahun dan sejak masih dalam

BAB I PENDAHULUAN. ada juga kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak. Anak yaitu seorang yang belum berumur 18 tahun dan sejak masih dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara hukum yang pada masa sekarang ini sedang melakukan pembangunan disegala aspek tidak terkecuali bidang hukum, maka segala usaha

Lebih terperinci

SKRIPSI PERAN BAPAS DALAM PEMBIMBINGAN KLIEN PEMASYARAKATAN YANG MENJALANI CUTI MENJELANG BEBAS. (Studi di Balai Pemasyarakatan Surakarta)

SKRIPSI PERAN BAPAS DALAM PEMBIMBINGAN KLIEN PEMASYARAKATAN YANG MENJALANI CUTI MENJELANG BEBAS. (Studi di Balai Pemasyarakatan Surakarta) SKRIPSI PERAN BAPAS DALAM PEMBIMBINGAN KLIEN PEMASYARAKATAN YANG MENJALANI CUTI MENJELANG BEBAS (Studi di Balai Pemasyarakatan Surakarta) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha

BAB I PENDAHULUAN. eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum sebagai subsistem sosial menempati posisi penting dalam eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha membangun sistem hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan Gouvermenta Besluit tanggal 5 Agustus 1927 yang berpusat di

BAB I PENDAHULUAN. dengan Gouvermenta Besluit tanggal 5 Agustus 1927 yang berpusat di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebelum lahirnya Balai Pemasyarakatan, di Indonesia telah dikenal jawatan Reklasering yang didirikan oleh pemerintahan Belanda pada tahun 1927, dengan Gouvermenta Besluit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/ BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ditinjau dari aspek yuridis maka pengertian anak dalam hukum positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/ minderjaring, 1 orang yang di

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Juli 2006) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat dikenakan sanksi pidana. Seperti kita tahu bahwa Indonesia adalah

BAB I PENDAHULUAN. dapat dikenakan sanksi pidana. Seperti kita tahu bahwa Indonesia adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Semakin meningkatnya perkembangan kehidupan masyarakat di berbagai bidang, maka semakin berkembang pula pelanggaran terhadap hukum ataupun perbuatan pidana yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat: a. bahwa anak merupakan amanah

Lebih terperinci

PERANAN BALAI PEMASYARAKATAN (BAPAS) KOTA SURAKARTA DALAM PEMBINAAN TERHADAP ANAK YANG MEMPEROLEH SANKSI TINDAKAN

PERANAN BALAI PEMASYARAKATAN (BAPAS) KOTA SURAKARTA DALAM PEMBINAAN TERHADAP ANAK YANG MEMPEROLEH SANKSI TINDAKAN PERANAN BALAI PEMASYARAKATAN (BAPAS) KOTA SURAKARTA DALAM PEMBINAAN TERHADAP ANAK YANG MEMPEROLEH SANKSI TINDAKAN NASKAH PUBLIKASI Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Persyaratan Guna

Lebih terperinci

Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang 1 Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang Novelina MS Hutapea Dosen Fakultas Hukum USI Ringkasan Manusia adalah mahluk ciptaan Tuhan yang sangat mulia, berakal budi, berakhal dan bermartabat. Oleh

Lebih terperinci

PEMBIMBINGAN OLEH BALAI PEMASYARAKATAN KLAS I MALANG TERHADAP ANAK NAKAL YANG DIJATUHI PUTUSAN PIDANA BERSYARAT. Oleh : MEGA FANDITA SARI

PEMBIMBINGAN OLEH BALAI PEMASYARAKATAN KLAS I MALANG TERHADAP ANAK NAKAL YANG DIJATUHI PUTUSAN PIDANA BERSYARAT. Oleh : MEGA FANDITA SARI PEMBIMBINGAN OLEH BALAI PEMASYARAKATAN KLAS I MALANG TERHADAP ANAK NAKAL YANG DIJATUHI PUTUSAN PIDANA BERSYARAT Oleh : MEGA FANDITA SARI Nim : 201010380211004 PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam. dan tantangan dalam masyarakat dan kadang-kadang dijumpai

BAB I PENDAHULUAN. mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam. dan tantangan dalam masyarakat dan kadang-kadang dijumpai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional. Dalam rangka mewujudkan sumber

Lebih terperinci

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR 2.1. Penyidikan berdasarkan KUHAP Penyidikan merupakan tahapan penyelesaian perkara pidana setelah penyelidikan yang merupakan

Lebih terperinci

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyeles

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyeles LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.194, 2015 PIDANA. Diversi. Anak. Belum Berumur 12 Tahun. Pedoman. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5732). PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hanya terbatas pada kuantitas dari bentuk kejahatan tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. hanya terbatas pada kuantitas dari bentuk kejahatan tersebut. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Angka kejahatan dewasa ini menunjukan tingkat kerawanan yang cukup tinggi. Hal ini dapat diketahui melalui pemberitaan media cetak maupun elektronik serta sumber-sumber

Lebih terperinci

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA Oleh : Sumaidi, SH.MH Abstrak Aparat penegak hukum mengalami kendala dalam proses pengumpulan alat-alat bukti yang sah

Lebih terperinci

Peran dan Masalah yang Dihadapi Penyidik Polri dalam Proses Perkara Tindakan Kekerasan dalam Rumah Tangga

Peran dan Masalah yang Dihadapi Penyidik Polri dalam Proses Perkara Tindakan Kekerasan dalam Rumah Tangga 1 Peran dan Masalah yang Dihadapi Penyidik Polri dalam Proses Perkara Tindakan Kekerasan dalam Rumah Tangga Novelina MS Hutapea Dosen Kopertis Wilayah I Dpk Fakultas Hukum USI Dalam upaya penghapusan kekerasan

Lebih terperinci

Penjatuhan Sanksi Pidana Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Narkotika ========================================================== Oleh: Jaenam

Penjatuhan Sanksi Pidana Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Narkotika ========================================================== Oleh: Jaenam Penjatuhan Sanksi Pidana Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Narkotika ========================================================== Oleh: Jaenam ABSTRACT This study aimed at studying how the sanctions

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 68, 1999 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3842) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 menegaskan bahwa cita-cita Negara Indonesia ialah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah

Lebih terperinci

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D 101 10 523 Abstrak Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. pertanggungjawaban pidana, dapat disimpulkan bahwa:

BAB V PENUTUP. pertanggungjawaban pidana, dapat disimpulkan bahwa: BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pemaparan dan kajian penulis tentang penerapan banutan Psikiater dan ilmu Psikiatri Kehakiman dalam menentukan kemampuan pertanggungjawaban pidana, dapat disimpulkan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

PENJATUHAN PIDANA PENJARA BAGI TERDAKWA PENYALAHGUNAAN NARKOBA

PENJATUHAN PIDANA PENJARA BAGI TERDAKWA PENYALAHGUNAAN NARKOBA PENJATUHAN PIDANA PENJARA BAGI TERDAKWA PENYALAHGUNAAN NARKOBA Diajukan Untuk Memenuhi dan Melengkapi Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Strata Satu (S1) Bidang Ilmu Hukum Oleh : MUHAMMAD

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI DAN PENANGANAN ANAK YANG BELUM BERUMUR 12 (DUA BELAS) TAHUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.789, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BNPT. Kerjasama. Penegak Hukum. Penanganan Tindak Pidana. Terorisme PERATURAN KEPALA BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN TERORISME REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER-04/K.BNPT/11/2013

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. korupsi dan kekuasaan kehakiman maka penulis menarik kesimpulan. mengenai upaya pengembalian kerugian negara yang diakibatkan korupsi

BAB III PENUTUP. korupsi dan kekuasaan kehakiman maka penulis menarik kesimpulan. mengenai upaya pengembalian kerugian negara yang diakibatkan korupsi 72 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan dan ditinjau dari peraturan perundang undangan mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi dan kekuasaan kehakiman maka penulis

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 31 TAHUN 1999 (31/1999) TENTANG PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 31 TAHUN 1999 (31/1999) TENTANG PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN PERATURAN PEMERINTAH (PP) NOMOR 31 TAHUN 1999 (31/1999) TENTANG PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN PRESIDEN, Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 7 ayat (2) Undang-undang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI DAN PENANGANAN ANAK YANG BELUM BERUMUR 12 (DUA BELAS) TAHUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN Pada bab ini memuat kesimpulan untuk menjawab pertanyaan penelitian dan saran-saran. 6.1. Kesimpulan 1.a. Pelaksanaan kewajiban untuk melindungi anak yang berhadapan dengan hukum

Lebih terperinci

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai dengan apa yang tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bahwa wewenang penghentian penuntutan ditujukan kepada

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT INTERNAL TIMUS KOMISI III DPR-RI DALAM RANGKA PEMBAHASAN RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA --------------------------------------------------- (BIDANG HUKUM, HAM

Lebih terperinci

BAB IV FAKTOR PENGHAMBAT DALAM PELAKSANAAN PEMBIMBINGAN OLEH PEMBIMBING KEMASYARAKATAN PADA KLIEN PEMASYARAKATAN ANAK

BAB IV FAKTOR PENGHAMBAT DALAM PELAKSANAAN PEMBIMBINGAN OLEH PEMBIMBING KEMASYARAKATAN PADA KLIEN PEMASYARAKATAN ANAK 66 BAB IV FAKTOR PENGHAMBAT DALAM PELAKSANAAN PEMBIMBINGAN OLEH PEMBIMBING KEMASYARAKATAN PADA KLIEN PEMASYARAKATAN ANAK Berdasarkan hasil wawancara penulis pada tanggal 14 Februari 2014 dengan KaBapas

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Setelah dilakukan pembahasan dan analisis, penulis dapat. menyimpulkan:

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Setelah dilakukan pembahasan dan analisis, penulis dapat. menyimpulkan: BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Setelah dilakukan pembahasan dan analisis, penulis dapat menyimpulkan: 1. Penerapan diversi dalam penyelesaian perkara pidana pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh anak

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.832, 2013 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Remisi. Asimilasi. Syarat. Pembebasan Bersyarat. Cuti. Tata Cara. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK

Lebih terperinci