KARAKTERISTIK PASIEN KARSINOMA NASOFARING DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR.WAHIDIN SUDIROHUSODO DAN RUMAH

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KARAKTERISTIK PASIEN KARSINOMA NASOFARING DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR.WAHIDIN SUDIROHUSODO DAN RUMAH"

Transkripsi

1 SKRIPSI 2017 KARAKTERISTIK PASIEN KARSINOMA NASOFARING DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR.WAHIDIN SUDIROHUSODO DAN RUMAH SAKIT UNIVERSITAS HASANUDDIN PERIODE TAHUN OLEH: AMIRAH FEBRIANTI ISMAIL C PEMBIMBING: Prof. Dr. dr. Eka Savitri, Sp.THT-KL (K) FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2017 i

2 KARAKTERISTIK PASIEN KARSINOMA NASOFARING DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO DAN RUMAH SAKIT UNIVERSITAS HASANUDDIN PERIODE TAHUN Diajukan Kepada Universitas Hasanuddin Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Kedokteran Amirah Febrianti Ismail C Pembimbing : Prof. Dr. dr. Eka Savitri, Sp.THT KL (K) UNIVERSITAS HASANUDDIN FAKULTAS KEDOKTERAN MAKASSAR 2017 i

3

4

5

6 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas segala berkat dan rahmat-nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Karakteristik Pasien Karsinoma Nasofaring di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo dan Rumah Sakit Universitas Hasanuddi Periode Tahun Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat mencapai gelar Sarjana Kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak dapat terselesaikan dengan baik tanpa adanya bantuan, dorongan, dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada: 1. Prof. Dr. dr. Andi Asadul Islam, Sp.BS, FICS. Selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin yang telah memberikan kepercayaan kepada penulis untuk menimba ilmu di Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. 2. Prof. Dr. dr. Eka Savitri, Sp.THT KL (K) selaku pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk memberikan bimbingan, motivasi, petunjuk, dan saran kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik dan berjalan dengan lancar. 3. dr. Asty Amalia selaku pembimbing akademik yang telah membimbing penulis dari awal semester hingga saat ini. 4. Kedua orang tua penulis, Ayah Ismail Muammil. Dan Ibu Nur Fatimah. yang selalu memberikan dorongan, motivasi, semangat, dan selalu mendoakan penulis. v

7 5. Teman - teman Alodie yaitu kak amel, widya, ulfa, kak cindy, ningrum, kak indah, yuni, dan aisyah yang selalu menemani dan membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi serta memberikan motivasi dan semangat untuk penulis sejak awal semester hingga saat ini. 6. Teman - teman Neutrof14vine atas dukungan dan semangat yang telah diberikan selama ini. 7. Para staf rekam medis Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo dan Rumah Sakit Universitas Hasanuddin yang telah membantu penulis dalam mencari daftar rekam medis yang ingin diteliti. 8. Seluruh dosen, staf akademik, staf tata usaha, dan staf perpustakan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin yang telah banyak memberikan bantuan kepada penulis. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati penulis senantiasa menerima kritik dan saran yang diberikan oleh pembaca. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua serta bagi perkembangan ilmu kedepannya. Makassar, 15 November 2017 Penulis vi

8 SKRIPSI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN November 2017 Amirah Febrianti Ismail Prof. Dr. dr. Eka Savitri, Sp.THT KL (K) Karakteristik Pasien Karsinoma Nasofaring di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo dan Rumah Sakit Universitas Hasanuddin Periode Tahun ABSTRAK Latar Belakang: Tumor kepala leher meliputi tumor yang tumbuh pada bagian atas klavikula kecuali otak dan medula spinalis. Hampir 60% tumor ganas kepala leher merupakan karsinoma nasofaring (KNF). KNF berasal dari epitel nasofaring. Penyebab utamanya adalah virus Epstein-Barr. Biasanya tumor ganas ini tumbuh dari fossa Rossenmuller dan dapat meluas ke hidung, tenggorok, serta dasar tengkorak. Prevalensi kanker nasofaring di Indonesia adalah 6,2 per , dengan hampir sekitar kasus baru, namun itu merupakan bagian kecil yang terdokumentasikan. Melihat peningkatan kasus karsinoma nasofaring di Indonesia, serta gejala dini yang seringkali tidak dikenali dan menyebabkan penderita kebanyakan datang pada stadium lanjut, maka penulis ingin menunjukkan karakteristik pasien rawat inap dengan diagnosis karsinoma nasofaring di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo dan Rumah Sakit Universitas Hasanuddin Periode Tahun Metode Penelitian: Penelitian ini bersifat deskriptif retrospektif dengan sampel sebanyak 67 pasien di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo dan sebanyak 72 pasien di Rumah Sakit Universitas Hasanuddin. Hasil penelitian: Berdasarkan data yang didapatkan, didapatkan 67 sampel pasien rawat inap karsinoma nasofaring di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo dan sebanyak 72 sampel pasien rawat inap karsinoma nasofaring di Rumah Sakit Universitas Hasanuddin. Proporsi tertinggi berdasarkan umur yaitu kelompok tahun sebesar 26,87% di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo dan kelompok tahun sebesar 27,78% di Rumah Sakit Universitas Hasanuddin, berdasarkan jenis kelamin yaitu laki laki sebesar 64,18% di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo dan laki laki sebesar 55,56% di Rumah Sakit Universitas Hasanuddin, berdasarkan keluhan utama yaitu limfadenopati leher sebesar 47,76% di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo dan limfadenopati leher sebesar 50% di Rumah Sakit Universitas Hasanuddin, berdasarkan faktor risiko yaitu jenis kelamin laki laki sebesar 64,18% di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo dan jenis kelamin laki laki sebesar 55,56% di Rumah Sakit Universitas Hasanuddin, berdasarkan stadium yaitu stadium III sebesar 32,84% di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo dan stadium III sebesar 30,56% di Rumah Sakit Universitas Hasanuddin, berdasarkan vii

9 klasifikasi histopatologi yaitu undifferentiated nonkeratinizing carcinoma sebesar 59,70% di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo dan undifferentiated nonkeratinizing carcinoma sebesar 56,94% di Rumah Sakit Universitas Hasanuddin, dan berdasarkan terapi yaitu kemoterapi sebesar 100% di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo dan kemoterapi sebesar 54,17% di Rumah Sakit Universitas Hasanuddin. Kata Kunci: Pasien rawat inap dengan diagnosis karsinoma nasofaring, karakteristik, Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo, Rumah Sakit Universitas Hasanuddin Kepustakaan: 31 Referensi viii

10 THESIS FACULTY OF MEDICINE UNIVERSITY OF HASANUDDIN November 2017 Amirah Febrianti Ismail Prof. Dr. dr. Eka Savitri, Sp.THT KL (K) The Characteristic of Nasopharyngeal Carcinoma at Dr. Wahidin Sudirohusodo Hospital and Hasanuddin University Hospital Period ABSTRACT Background: Tumor with a predisposition at both head and neck includes a tumor that grows on the upper part of the clavicle except the brain and spinal cord. Nearly 60% of malignant tumor with a predisposition at both head and neck is nasopharyngeal carcinoma (NPC). NPC is derived from the nasopharyngeal epithelium. The main etiology is the Epstein-Barr virus. This malignant tumor usually grows from Rossenmuller's fossa and may extend into the nose, throat, and base of the skull. The prevalence of nasopharyngeal carcinoma in Indonesia is 6.2 per 100,000, with nearly 13,000 new cases, but that is a small part that documented. Seeing the increase in cases of nasopharyngeal carcinoma in Indonesia, as well as an early symptoms are often not recognized and cause most patients come at an advanced stage, the authors want to show the characteristics of inpatients with diagnosis of nasopharyngeal carcinoma at Dr. Wahidin Sudirohusodo Hospital and Hasanuddin University Hospital Period Methods: This study was a retrospective descriptive study with 67 patients at Dr. Wahidin Sudirohusodo Hospital and 72 patients at Hasanuddin University Hospital. Results: Based on the obtained data, there 67 patients were sampled as inpatients of nasopharyngeal carcinoma at Dr. Wahidin Sudirohusodo Hospital and 72 patients were sampled as inpatients of nasopharyngeal carcinoma at Hasanuddin University Hospital. The highest proportion by age is the group of years old that is 26.87% in Dr. Wahidin Sudirohusodo Hospital and group of years old that is 27.78% at Hasanuddin University Hospital, based on gender that is male is 64.18% at Dr. Wahidin Sudirohusodo Hospital and male that is 55.56% at Hasanuddin University Hospital, based on the main complaints that is neck lymphadenopathy is 47.76% at Dr. Wahidin Sudirohusodo Hospital and neck lymphadenopathy that is 50% at Hasanuddin University Hospital, based on the risk factors that is gender of male is 64.18% at Dr. Wahidin Sudirohusodo Hospital and gender of male that is 55.56% at Hasanuddin University Hospital, based on stage that is stage III is 32.84% at Dr. Wahidin Sudirohusodo Hospital and stage III that is 30.56% at Hasanuddin University Hospital, based on histopathology classification that is undifferentiated nonkeratinizing carcinoma is 59.70% at Dr. Wahidin Sudirohusodo Hospital and undifferentiated nonkeratinizing carcinoma that is 56,94% at Hasanuddin University Hospital, and based on therapy that is 100% chemotherapy at Dr. Wahidin ix

11 Sudirohusodo Hospital and chemotherapy that is 54.17% at Hasanuddin University Hospital. Keywords: Inpatient patients with diagnosis of nasopharyngeal carcinoma, characteristics, Dr. Wahidin Sudirohusodo Hospital, Hasanuddin University Hospital Literature: 31 References x

12 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERSETUJUAN CETAK KATA PENGANTAR... ABSTRAK... DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... i ii iv v vii xi xvi xviii xx BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Tujuan Umum Tujuan Khusus Manfaat Penelitian BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Nasofaring Histologi Nasofaring Karsinoma Nasofaring xi

13 2.3.1 Insidensi Etiologi Faktor Genetik Faktor Lingkungan Virus Epstein-Barr Patogenesis Histopatologi Diagnosis Gejala Klinis Pemeriksaan Nasofaring Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan Serologi Pemeriksaan Patologi (Biopsi) Stadium Tumor Penatalaksaan Radioterapi Kemoterapi Deteksi Dini.. 31 BAB III KERANGKA KONSEP 3.1 Kerangka Konsep Penelitian Definisi Operasional Variabel xii

14 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Jenis Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi Penelitian Waktu Penelitian Populasi dan Sampel Penelitian Populasi Penelitian Sampel Penelitian Metode Pengumpulan Data Pengolahan dan Penyajian Data Pengolahan Data Penyajian Data Etika Penelitian BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 Distribusi Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Umur Distribusi Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Jenis Kelamin Distribusi Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Keluhan Utama xiii

15 5.4 Distribusi Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Faktor Risiko Distribusi Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Stadium Distribusi Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Klasifikasi Histopatologi Distribusi Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Terapi BAB V PEMBAHASAN 6.1 Distribusi Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Umur Distribusi Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Jenis Kelamin Distribusi Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Keluhan Utama Distribusi Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Faktor Risiko Distribusi Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Stadium xiv

16 6.6 Distribusi Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Klasifikasi Histopatologi Distribusi Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Terapi BAB VII KESIMPULAN, KETERBATASAN, DAN SARAN 7.1 Kesimpulan Keterbatasan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xv

17 DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Klasifikasi stadium karsinoma nasofaring menurut American Joint Comittee on Cancer (AJCC) tahun Tabel 5.1 Distribusi Proporsi Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Umur yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo (2016) dan Rumah Sakit Universitas Hasanuddin ( ) Tabel 5.2 Distribusi Proporsi Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Jenis Kelamin yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo (2016) dan Rumah Sakit Universitas Hasanuddin ( ) Tabel 5.3 Distribusi Proporsi Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Keluhan Utama yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo (2016) dan Rumah Sakit Universitas Hasanuddin ( ) Tabel 5.4 Distribusi Proporsi Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Jumlah Faktor Risiko yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo (2016) dan Rumah Sakit Universitas Hasanuddin ( ) Tabel 5.5 Distribusi Proporsi Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Faktor Risiko yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin xvi

18 Sudirohusodo (2016) dan Rumah Sakit Un iversitas Hasanuddin ( ) Tabel 5.6 Distribusi Proporsi Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Stadium yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo (2016) dan Rumah Sakit Universitas Hasanuddin ( ) Tabel 5.7 Distribusi Proporsi Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Klasifikasi Histopatologi yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo (2016) dan Rumah Sakit Universitas Hasanuddin ( ) Tabel 5.8 Distribusi Proporsi Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Terapi yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo (2016) dan Rumah Sakit Universitas Hasanuddin ( ) xvii

19 DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Anatomi Nasofaring Gambar 2.2 Kelenjar Getah Bening Kepala dan Leher Gambar 2.3 Algoritma Skrining Karsinoma Nasofaring Gambar 6.1 Distribusi Proporsi Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Umur yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo (2016) dan Rumah Sakit Universitas Hasanuddin ( ) Gambar 6.2 Distribusi Proporsi Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Jenis Kelamin yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo (2016) Gambar 6.3 Distribusi Proporsi Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Jenis Kelamin yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Universitas Hasanuddin ( ) Gambar 6.4 Distribusi Proporsi Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Keluhan Utama yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo (2016) dan Rumah Sakit Universitas Hasanuddin ( ) Gambar 6.5 Distribusi Proporsi Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Jumlah Faktor Risiko yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo (2016) dan Rumah Sakit Universitas Hasanuddin ( ) xviii

20 Gambar 6.6 Distribusi Proporsi Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Faktor Risiko yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo (2016) dan Rumah Sakit Universitas Hasanuddin ( ) Gambar 6.7 Distribusi Proporsi Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Stadium yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo (2016) dan Rumah Sakit Universitas Hasanuddin ( ) Gambar 6.8 Distribusi Proporsi Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Klasifikasi Histopatologi yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo (2016) Gambar 6.9 Distribusi Proporsi Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Klasifikasi Histopatologi yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Universitas Hasanuddin ( ) Gambar 6.10 Distribusi Proporsi Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Terapi yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo (2016) Gambar 6.11 Distribusi Proporsi Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Terapi yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Universitas Hasanuddin ( ) xix

21 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Jadwal Penelitian Lampiran 2. Surat Izin Penelitian dan Pengambilan Data Lampiran 3. Surat Rekomendasi Persetujuan Etik Lampiran 4. Master Data Lampiran 5. Surat Keterangan Selesai Penelitian Lampiran 6. Biodata Peneliti xx

22 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tumor kepala leher meliputi tumor yang tumbuh pada bagian atas klavikula kecuali otak dan medula spinalis. Tumor di daerah kepala dan leher digabungkan menjadi satu kategori tumor kepala leher karena mempunyai satu kesamaan etiologi, cara penyebarannya, metode pemeriksaan diagnostik, pengobatan, dan rehabilitasi. Dibandingkan pertumbuhan tumor ganas di tempat lain, tumor kepala leher tidak banyak dijumpai. 1,2 Insidensi tumor kepala leher sangat bervariasi. Di dunia ditemukan lebih dari kasus dengan tingkat mortalitas sebanyak kasus per tahun, dan umumnya terjadi di negara berkembang. 1,2 Di Eropa dan Amerika Serikat, tumor kepala leher merupakan salah satu keganasan yang jarang terjadi, dengan prevalensi 5-10% dari seluruh tumor, sedangkan di negara lain seperti India, prevalensinya mencapai 45%. 3,4 Hampir 60% tumor ganas kepala leher merupakan karsinoma nasofaring (KNF), diikuti oleh karsinoma sinonasal (18%), laring (16%), dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam prosentase rendah. KNF menduduki urutan keempat dari seluruh keganasan setelah kanker mulut rahim, payudara, dan paru. 5 Penemuan kasus baru KNF setiap tahun di berbagai penjuru dunia cukup bervariasi. Di Amerika Serikat angka insiden kurang dari 1 kasus per penduduk setiap tahunnya. Namun, di beberapa Negara di Asia (terutama di Cina bagian selatan) dan Afrika bagian utara kasus kanker nasofaring banyak ditemukan. 1

23 Pada tahun 2002, ditemukan sekitar insiden kanker nasofaring di seluruh dunia, dan diperkirakan menyebabkan kematian pada penderita. Di Indonesia, dari seluruh kanker kepala dan leher, kanker nasofaring menunjukkan entitas yang berbeda secara epidemiologi, manifestasi klinis, marker biologi, faktor resiko, faktor prognostik. Prevalensi kanker nasofaring di Indonesia adalah 6,2 per , dengan hampir sekitar kasus baru, namun itu merupakan bagian kecil yang terdokumentasikan. Marlinda dkk., melaporkan kanker nasofaring adalah kanker kepala leher tersering (28,4%) den gan rasio pria-wanita adalah 2-3:1, dan endemis pada populasi Jawa. 24 KNF berasal dari epitel nasofaring. Penyebab utamanya adalah virus Epstein- Barr. Biasanya tumor ganas ini tumbuh dari fossa Rossenmuller dan dapat meluas ke hidung, tenggorok, serta dasar tengkorak. Gejala utama biasanya terjadi pada leher, hidung, dan telinga. 3,6,9 Gejala yang timbul pada KNF biasanya berhubungan dengan letak tumor, penyebaran, dan stadiumnya. Karena nasofaring terletak di daerah yang sulit dilihat dari luar, gejala dini sering tidak dikenali sehingga penderita kebanyakan datang pada stadium lanjut. Kadang-kadang penderita datang dengan gejala KNF stadium dini, tetapi gejala yang dikeluhkan sangat umum seperti flu, rinitis atau sinusitis sehingga tidak terpikir oleh pemeriksa. Hal ini sangat disayangkan, karena kesalahan ini akan sangat merugikan. Oleh karena itu harus dilakukan berbagai upaya agar dapat menemukan penderita KNF sedini mungkin agar prognosis lebih baik. 10,11 Kasus kanker di Indonesia termasuk karsinoma nasofaring dari tahun ke tahun semakin menunjukkan peningkatan. Hal ini berkaitan dengan meningkatnya 2

24 usia harapan hidup dan perubahan pola hidup masyarakat kita, seperti kebiasaan menggunakan rokok dan alkohol yang merupakan salah satu faktor risiko terjadinya tumor maupun kanker. 12 Selain faktor risiko, informasi lain seperti faktor usia, riwayat pekerjaan, stadium tumor, dan jenis terapi juga perlu diketahui untuk pencegahan secara dini, pengenalan, dan penanggulangan kasus kanker pada masyarakat secara luas untuk peningkatan mutu pelayanan kesehatan. Melihat peningkatan kasus karsinoma nasofaring di Indonesia, serta gejala dini yang seringkali tidak dikenali dan menyebabkan penderita kebanyakan datang pada stadium lanjut, mendorong penulis untuk melakukan penelitian mengenai karakteristik penderita karsinoma nasofaring yang dirawat di Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo dan Rumah Sakit Universitas Hasanuddin selama periode Januari 2012 sampai dengan Desember Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana karakteristik pasien karsinoma nasofaring di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo dan Rumah Sakit Universitas Hasanuddin periode tahun ? 3

25 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik pasien karsinoma nasofaring di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo dan Rumah Sakit Universitas Hasanuddin periode tahun Tujuan Khusus Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui distribusi pasien karsinoma nasofaring berdasarkan umur. 2. Untuk mengetahui distribusi pasien karsinoma nasofaring berdasarkan jenis kelamin. 3. Untuk mengetahui distribusi pasien karsinoma nasofaring berdasarkan keluhan utama. 4. Untuk mengetahui distribusi pasien karsinoma nasofaring berdasarkan faktor resiko. 5. Untuk mengetahui distribusi pasien karsinoma nasofaring berdasarkan stadium. 4

26 6. Untuk mengetahui distribusi pasien karsinoma nasofaring berdasarkan klasifikasi histopatologi. 7. Untuk mengetahui distribusi pasien karsinoma nasofaring berdasarkan jenis terapi. 1.4 Manfaat Penelitian a. Memberikan informasi mengenai deteksi dini, khususnya karsinoma nasofaring kepada masyarakat secara luas untuk peningkatan mutu pelayanan kesehatan. b. Dengan adanya informasi mengenai pengenalan dan penanggulangan karsinoma nasofaring, diharapkan dokter dapat melakukan deteksi dini adanya tumor pada nasofaring, sehingga dapat dilakukan penanganan lebih awal dan menurunkan tingkat mortalitas. c. Melengkapi data yang sudah ada pada Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo dan Rumah Sakit Universitas Hasanuddin, atau institusi lain guna penelitian lebih lanjut. d. Diharapkan penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman penulis dalam membuat suatu karya ilmiah. e. Penelitian ini dapat menjadi rujukan untuk penelitian lebih lanjut. 5

27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Nasofaring Nasofaring merupakan organ berbentuk kuboid yang terletak di belakang rongga hidung, superior dari soft palate dengan diameter anteroposterior 2-4 cm dan tinggi 4 cm. Nasofaring dibagi dalam beberapa regio, yaitu dinding anterior, posterosuperior, dan lateral. Pada bagian anterior, nasofaring berhubungan dengan rongga hidung melalui bagian posterior dari koana dan di dinding lateral berisi muara tuba Eustachius dan fossa Rosenmuller (resesus faringeal) yang berbatasan dengan dinding posterolateral. Dinding posterolateral berisi jaringan adenoid yang di belakangnya berbatasan dengan fasia prevertebralis. 4,13 Gambar 2.1 Anatomi Nasofaring 25 6

28 Fossa Rosenmuller merupakan area yang menjadi asal dari sebagian besar sel karsinoma nasofaring. Area ini berhubungan secara anatomis dengan beberapa organ penting yang menjadi tempat penyebaran tumor dan menentukan presentasi klinis serta prognosis. Area-area tersebut adalah 13 : Anterior : tuba Eustachius Antero-lateral : otot levator veli palatini Posterior Superior : retropharyngeal space : foramen laserum di bagian medial, apeks petrosus dan kanalis karotikus di bagian posterior, serta foramen ovale dan spinosum di bagian anterolateral Lateral Inferior : otot tensor veli palatini dan pharyngeal space : otot konstriktor superior Suplai darah nasofaring berasal dari cabang arteri karotis eksternal, sedangkan drainase vena adalah melalui pleksus faring ke vena jugular internal. Persarafan nasofaring berasal dari cabang saraf kranial V2, IX, dan X, serta saraf simpatik. 4 Nasofaring memiliki banyak jaringan limfatik dan saluran getah bening sehingga dapat mempermudah dan mempercepat terjadinya metastasis. Kelenjar getah bening eselon pertama berada di ruang parafaring dan retrofaring, dimana terdapat kelenjar getah bening yang berpasangan, yang dinamakan Rouviere node. Drainase ke daerah jugular dapat melalui kelenjar getah bening parafaring atau melalui saluran langsung. Sedangkan di bagian segitiga posterior terdapat jalur langsung terpisah yang mengarah ke kelenjar getah bening di tulang belakang. 7

29 Drainase lebih lanjut dapat terjadi ke leher bagian kontralateral, ke bagian servikal, kemudian ke kelenjar getah bening di supraklavikula. 4 Gambar 2.2 Kelenjar Getah Bening Kepala dan Leher Histologi Nasofaring Mukosa nasofaring pada saat lahir dilapisi oleh pseudostatified kolumnar epitelium, pada usia sekitar 10 tahun berubah menjadi stratified squamous epitelium. Pada dinding lateral nasofaring terdapat daerah yang merupakan tempat transisi pertemuan kedua jenis epitel ini, yaitu berisi epitel berbentuk kuboid atau globular yang nantinya berpotensi ke arah keganasan. Membran mukosa nasofaring juga berisi jaringan limfoid dan kelenjar air liur minor yang bisa menjadi asal dari sel keganasan di nasofaring. 13 8

30 2.3 Karsinoma Nasofaring Insidensi Penemuan kasus baru KNF setiap tahun di berbagai penjuru dunia cukup bervariasi. Penelitian di 17 negara Eropa, ditemukan rata-rata 187 kasus baru setiap tahun. Di Rio de Janeiro ditemukan 16 kasus baru dan di Nigeria 12 kasus baru setiap tahun, sedangkan di Israel hanya ditemukan 3 kasus baru setiap tahun. Kasus baru yang sangat banyak, ditemukan di Hongkong, yaitu kasus setiap tahun. 6 Insidensi KNF yang paling tinggi ditemukan di daerah Cina Selatan, dengan frekuensi 100 kali dibanding frekuensi karsinoma nasofaring pada ras Kaukasia. Prevalensi karsinoma nasofaring di Provinsi Guangdong China Selatan adalah 39,84/ penduduk. Ras Mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya karsinoma nasofaring, sehingga sering terjadi pada penduduk Cina bagian selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Ditemukan cukup banyak pula di Yunani, Afrika bagian utara seperti Aljazair dan Tunisia, pada orang Eskimo di Alaska, diduga penyebabnya adalah karena mereka memakan makanan yang diawetkan dalam musim dingin yang menggunakan bahan pengawet nitrosamin. 6,7, Etiologi Penyebab pasti KNF masih belum diketahui, namun gabungan dari beberapa faktor intrinsik dan ektrinsik diyakini sebagai penyebab, yaitu faktor genetik, lingkungan, dan virus Epstein Barr (EBV). 9

31 Faktor Genetik Kerentanan genetik sebagai faktor predisposisi KNF didasarkan atas fakta banyaknya penderita dari bangsa atau ras China. Selain itu KNF juga banyak dijumpai pada ras mongoloid, termasuk bangsa-bangsa di Asia terutama Asia Tenggara yang masih tergolong rumpun Melayu. Insiden KNF di China maupun negara di Asia Tenggara lebih besar kali dibandingkan negara lainnya. Adanya riwayat tumor ganas dalam keluarga merupakan salah satu faktor resiko KNF. Secara umum didapatkan sekitar 10% dari penderita KNF mempunyai keluarga yang menderita keganasan nasofaring atau organ lain, dan 5% diantaranya sama-sama menderita KNF dalam keluarganya. 10,15 Hilangnya alel HLA kelas I atau kelas II (alelle HLA loss) pada gen HLA tertentu diperkirakan menyebabkan kegagalan interaksi HLA- peptide complex dengan limfosit T c/s (CD8+) atau limfosit T helper (CD4+). Hal ini disebabkan karena tidak dimunculkannya antigen virus/tumor pada epitop (antigenic determinant) sehingga keberadaan virus EB didalam sel inang (limfosit B dan sel epitel faring) atau sel kanker tidak dapat dikenali oleh sel imunokompeten. Adanya kelainan genetik ini akan sangat merugikan karena sel yang terinfeksi virus maupun sel kanker dapat terhindar dari penghancuran melalui mekanisme imunologik, berakibat pertumbuhan kanker yang terus berlangsung. 10, Faktor Lingkungan Insidensi KNF yang tinggi di lokasi geografi tertentu mengindikasikan adanya faktor atau bahan kimia tertentu di lingkungan yang dapat menginduksi 10

32 terjadinya KNF (environmental carcinogens) antara lain adat kebiasaan atau gaya hidup (life style related cancer), termasuk kebiasaan makan (diet habits). Karsinogen lingkungan bertindak sebagai kofaktor atau promotor timbulnya KNF. 15 Penelitian in vitro membuktikan bahwa aktivasi virus Epstein-Barr dapat menyebabkan perubahan sel normal menjadi sel kanker. Penelitian epidemiologi menunjukkan hubungan yang kuat antara meningkatnya kejadian KNF dengan konsumsi bahan makanan berupa ikan atau udang yang diawetkan dengan garam (diasinkan), seperti ikan asin (dry salted fish), pindang asin dan udang asin, atau yang dikeringkan dengan pengasapan. Penelitian pada penduduk ras Cina di Hongkong dan Malaysia ditemukan ikan asin terbukti sebagai faktor risiko yang sangat kuat terhadap kejadian KNF. Bubur ikan asin yang banyak di konsumsi penduduk di daerah Cina Selatan sejak kecil, dikenal sebagai Cantonese salted fish terbukti mengandung nitrosamin. Nitrosamin merupakan pro karsinogen dan promotor aktivasi EBV diketemukan dalam kadar yang tinggi pada ikan asin. Pro karsinogen merupakan karsinogen yang memerlukan perubahan metabolis agar menjadi karsinogen aktif (ultimate carcinogen), sehingga dapat menimbulkan perubahan DNA, RNA, atau protein sel tubuh. 10,13,16,17 Hubungan yang konsisten dan kuat antara kejadian KNF dengan konsumsi ikan asin dalam waktu yang panjang dan dimulai sejak usia dini di Hongkong pada sekitar 90 % kasus KNF. Pada proses pengasinan atau pengeringan ikan (protein) dengan pemanasan sinar matahari terjadi reaksi biokimiawi berupa nitrosasi. Gugus nitrit dan nitrat yang terbentuk akan bereaksi dengan ekstrak ikan asin menjadi nitrosamin dan beberapa volatile nitrosamines antara lain senyawa N- 11

33 nitrosodimethylamine (NDMA), N-nitrosodiethylamine (NDEA), N-nitrosodi-npropylamine (NDPA), N-nitrosodi-butylamine (NDBA) dan N-nitrosomorpholine (NMOR). Disamping sebagai pemicu aktifnya virus EB (promotor, EBV inducer), beberapa senyawa ini terutama NDMA dan NDEA bersifat karsinogenik aktif (epigenetic carcinogen). Selain ikan asin, nitrosamin juga ditemukan pada ikan atau makanan yang diawetkan dengan nitrit atau nitrat sebagai bahan aditif, sayuran yang diawetkan dengan cara fermentasi atau diasinkan dan taoco di Cina Kadar NDMA diketemukan dalam jumlah yang lebih tinggi setelah ikan asin bereaksi dengan asam lambung dan nitrit. Hal ini menunjukkan bahwa nitrosamin dapat dibuat secara endogen pada proses pencernaan ikan asin di lambung. Selain nitrosamin, diduga ada substrat atau bahan kimiawi lain yang terdapat di ikan asin yang dapat menyebabkan replikasi dan aktivasi virus EB yang secara laten berada dalam epitel nasofaring dan limfosit B. 10,17 Kebiasaan makan termasuk minum jamu, merokok, dan minum alkohol serta kebersihan lingkungan yang buruk diduga dapat meningkatkan risiko terkena KNF. Sejumlah makanan dan tanaman obat, baik yang tradisional (jamu) ataupun yang berasal dari Cina (Chinese herbal medicine) dan minyak untuk hidung ternyata mengandung ester forbol dan N-butyric acid yang selain dapat bertindak sebagai EBV inducer, juga mutagenik. Semacam teh dari Cina dan Tunisia dapat merupakan bahan karsinogenik. Selain menyebabkan iritasi menahun pada tenggorok (nasofaringitis kronik), makanan panas atau pedas dan asap pembakaran hio diduga dapat mengaktifkan virus EB. 10,18 12

34 Dilaporkan juga bahwa risiko terkena KNF pada perokok yang merokok lebih dari 20 batang sehari ternyata dua kali lipat lebih besar dari pada yang bukan perokok. 18 Bahan karsinogenik di asap rokok yang diperkirakan berperan sebagai promotor terjadinya KNF yaitu 3,4- benzypyrene dan polycyclic aromatic hydrocarbon. Namun demikian, Roezin mengatakan bahwa meskipun kebiasaan merokok lebih sering dijumpai pada kelompok penderita KNF (49,38%) dibandingkan non KNF (32,1 0%) ternyata tidak menunjukkan kemaknaan secara statistik. Bahan lainnya yang diduga dapat mengaktifkan virus EB antara lain debu yang mengandung kromium, nikel, arsen, asap dari pembakaran dupa, rumput, tembakau, candu, kemenyan, kayu atau minyak tanah serta obat nyamuk. Beberapa bumbu masak tertentu, makanan yang terlalu panas dan pedas juga dapat meningkatkan kejadian KNF. Bahan-bahan ini mungkin berperan dalam mempercepat timbulnya KNF bersama faktor predisposisi lainnya. Bahan karsinogen dapat mencapai nasofaring melalui inhalasi, per-oral, subkutan dan intra vena. Kelembaban tinggi yang disertai adanya asap (polusi udara) dalam jangka waktu yang lama akan memperbesar kemungkinan terjadinya KNF. Hal ini terutama didasarkan atas kenyataan bahwa sebagian besar penderita KNF berasal dari golongan status ekonomi yang lebih rendah. Selain kondisi lingkungan yang buruk, terdapat beberapa bukti bahwa KNF berkaitan dengan kurangnya makan buah atau sayuran segar. Defisiensi nutrisi khususnya hipovitaminose-a berhubungan erat dengan kejadian KNF. Hal ini mungkin disebabkan karena difisiensi vitamin A, B, dan C menyebabkan terganggunya pertumbuhan epitel. Konsumsi vitamin C dan E dapat mencegah pembentukan nitrosamin dalam tubuh

35 Virus Epstein-Barr Virus Epstein-Barr (EBV) termasuk famili virus herpes yang merupakan penyebab mononukleosis akut dan salah satu faktor etiologi pada KNF, karsinoma gaster serta limfoma akut. 6 Bukti kuat adanya peran EBV sebagai penyebab KNF didasarkan atas laporan hasil penelitian epidemiologi maupun laboratorik terutama serologi, virologi, patologi, dan biologi molekuler dengan ditemukannya 19 : 1. Antibodi dengan titer yang tinggi terhadap antigen EBV dalam serum 2. Antigen inti EBV (EBNA) di dalam sel tumor nasofaring 3. Genom EBV dalam bentuk plasmid di jaringan tumor nasofaring dan isolasi virus 4. DNA EBV pada jaringan kanker nasofaring 5. mrna-ebv (EBERs) di sel kanker nasofaring Keganasan yang disertai meningkatnya titer antibodi terhadap virus EB hanya ditemukan pada KNF, dan tidak didapatkan pada keganasan di daerah kepala dan leher lainnya. Peningkatan titer antibodi terhadap virus EB hanya dijumpai pada KNF dengan jenis WHO tipe 2 atau nonkeratinizing carcinoma, sedangkan pada jenis WHO tipe 1 atau squamous cell carcinoma tidak diketemukan peningkatan titer atau meningkat dalam titer yang sangat rendah. 6 Penularan EBV lewat orofaring terjadi karena kontak oral yang intim, atau melalui saliva yang tertinggal pada peralatan makan. Kebiasaan makan secara tradisional dengan menggunakan sumpit untuk mengambil hidangan makanan diduga berkaitan dengan tingginya infeksi virus EB pada ras Cina. Karena mudah dan 14

36 cepatnya terjadi penularan maka hampir semua individu dibawah 25 tahun sudah terinfeksi virus EB. 10 Infeksi primer alamiah dimulai pada masa anak-anak, biasanya gejala klinik ringan atau bahkan tanpa gejala. Di negara berkembang, hampir semua (99,9 %) anak umur 3 tahun telah terinfeksi virus EB. Infeksi virus EB diperkirakan mengenai 80-90% populasi di negara maju. Survei di Hongkong menunjukkan bahwa semua anak ras Cina sebelum umur 15 tahun telah mempunyai antibodi terhadap virus EB. Keadaan ini menunjukkan bahwa meskipun hanya memberikan gejala klinik ringan, virus EB yang memasuki tubuh manusia akan menetap seumur hidup (persisten). Hal ini mendukung pendapat bahwa EBV infected lymphocytes and pharyngeal epithelium banyak ditemukan pada orang normal. 10 Patogenesis infeksi EBV dimulai dengan masuknya virus EB pada epitel faring yang kemudian di ikuti dengan replikasi virus. Proliferasi limfosit B yang pasif akibat provokasi virus EB diduga mendorong terjadinya translokasi gen c-myc dengan menghasilkan suatu klon sel-sel limfosit B yang neoplastik. Gangguan ekspresi protoonkogen karena terjadinya translokasi gen c-myc mengakibatkan turunnya ekspresi gen-gen MHC (mayor histocompatibility complex) kelas I yang diperlukan untuk mengenali antigen asing oleh limfosit T sitotoksik (CD8). Menurunnya kemampuan st CD8 dalam mengenal dan menghancurkan sel kanker berakibat perkembangan sel kanker yang seakan tanpa hambatan. EBV dalam siklus litik menghasilkan protein yang disebut BZLF1 yang dapat menghilangkan fungsi protein p53. Inaktivasi dari oncoprotein yang merupakan produk dari tumor 15

37 suppressor gene (p53) menyebabkan hilangnya hambatan proliferasi sel yang berakibat proliferasi yang tak terkendali. 10 Mekanisme karsinogenesis lainnya yaitu melalui insersi sebagian atau seluruh DNA virus EB pada kromosom sel inang (hospes). Penggabungan DNA ini dalam waktu yang lama menimbulkan mutasi gen p53 sehingga sel bebas mengadakan replikasi DNA. 10 Infeksi virus EB secara tersendiri tidak akan menimbulkan KNF. Virus EB baru akan menimbulkan perubahan pada sel inang (hospes) apabila di aktifkan oleh promotor. Walaupun untaian ganda DNA (double stranded DNA) dari virus EB pada penelitian in vitro terbukti dapat menyebabkan proliferasi dan transformasi morfologik dari limfosit B maupun epitel nasofaring, namun mekanisme virus EB dalam menyebabkan transformasi sel epitel nasofaring masih belum diketahui dengan jelas. 10 Virus EB akan mengekspresikan berbagai macam antigen spesifik tergantung pada siklus hidupnya dalam sel inang. Pada fase infeksi laten, dibentuk protein inti ( Epstein Barr nuclear antigen / EBNA) dan protein membran ( latent membrane protein / LMP). Kedua antigen ini mempunyai pengaruh terhadap proliferasi dan replikasi virus, menyebabkan sel yang terinfeksi menjadi imortal. Antigen pada fase replikasi dini disebut early antigen (EA) yang dibentuk sebelum sintesa DNA virus. Pada fase lanjut dibentuk antigen kapsul ( viral capsid antigen / VCA) yang di-ekspresikan pada saat infeksi aktif. 19 Masuknya virus EB dalam tubuh menyebabkan dibentuknya beberapa antibodi antara lain antibodi terhadap antigen kapsul (anti VCA ) yang dapat 16

38 digunakan sebagai petunjuk (petanda) infeksi virus EB. Selanjutnya genom EBV yang berada dalam sel inang yaitu limfosit B dan / atau sel epitel faring akan mengalami fusi (terminal repeat EBV genome) sehingga terbentuk episom berbentuk lingkaran, atau integrasi DNA EBV pada genom (kromosom) sel inang. Nukleus sel inang yang mengandung DNA virus EB (integrated EBV genome) akan memberi sinyal terbentuknya protein baru. Perubahan fase laten ke bentuk litik dimulai dengan adanya aktivasi protein ZEBRA yang di sandi oleh gen BZLF-1. Ekspresi protein ini mengawali sintesis berbagai protein lainnya. Sebanyak sekitar 85 gen EBV di transkripsi selama fase litik. Fase litik ditandai dengan berbagai ekspresi gen EBV antara lain protein transkripsi (BZLF -1), 6 protein inti ( EBV associated nuclear antigen/ebna 1-6) dan beberapa protein membran (latent membrane protein/lmp). EBNA dan LMP yang di ekspresikan dipermukaan limfosit B, disebut sebagai LYDMA (lymphocyte detected membrane antigen) merupakan kompleks antigen yang dapat dikenali oleh sel NK dan limfosit T cytotoxic / suppressor melalui HLA (MHC). Sel limfosit B yang terinfeksi virus EB dapat dihancurkan (lisis) oleh sel NK dan limfosit T c/s melalui ikatan HLA - antigen restricted limfosit T c/s. Adanya EBNA menimbulkan reaksi tubuh dengan membentuk anti EBNA. 19 Salah satu protein produk onkogen virus EB yang secara in vitro terbukti menyebabkan transformasi sel epitel faring maupun limfosit B menjadi bentuk yang imortal adalah EBV-nuclear antigen 1 (EBNA-1) dan latent membrane protein 1 dan 2 (EBV -LMP 1, 2). Beberapa bukti penelitian menunjukkan bahwa untuk dapat menimbulkan terjadinya perubahan keganasan dan replikasi tanpa kontrol pada sel host (in vivo), virus EB harus mengalami aktivasi terlebih dahulu. Berdasarkan 17

39 penelitian pada hewan, beberapa bahan diduga dapat bertindak sebagai mediator yang dapat mengaktifkan virus EB antara lain yaitu nitrosamine, benzopyrene, bensoanthracene dan beberapa hydrocarbon. Zat-zat ini terutama nitrosamin, banyak dijumpai pada bahan makanan yang di awetkan dengan cara di asinkan (misalnya ikan asin, sayur asin, soy beans salted) maupun dengan pengasapan misalnya smoked salmon. Beberapa pengobatan dengan menggunakan bahan dari tumbuh-tumbuhan (herbal) pada pengobatan tradisional yang berasal dari Cina (Chinese traditional medicine) diduga mengandung N - butyric acid yang juga dapat bertindak sebagai kofaktor atau promotor terjadinya KNF melalui aktivasi virus EB. Bahan yang di produksi oleh bakteri yang hidup di mukosa nasofaring juga berpengaruh terhadap replikasi dan reaktivasi virus EB. 10,19 Keganasan di nasofaring yang dihubungkan dengan virus EB ini terutama jenis karsinoma anaplastik atau undifferentiated carcinoma dan differentiated nonkeratinizing carcinoma. Karena tidak ditemukan DNA virus EB pada jaringan tumor, maka jenis squamous cell carcinoma diperkirakan tidak berkaitan dengan infeksi virus EB. Tidak adanya peningkatan titer antibodi atau peningkatan titer antibodi terhadap virus EB yang sangat sedikit, maka KNF jenis WHO tipe 1 diduga disebabkan karena mutasi genetik yang terjadi spontan atau karena induksi bahan kimiawi karsinogenik. 10 Meskipun hubungan EBV dengan kejadian KNF sangat kuat, namun pada kenyataannya tidak semua individu yang terinfeksi EBV akan berkembang menjadi KNF. Keadaan ini menunjukkan bahwa EBV secara tersendiri masih belum dapat menginduksi transformasi maligna dari sel mukosa nasofaring normal. Transformasi 18

40 sel baru terjadi bila EBV mengalami aktivasi terlebih dahulu, baru kemudian dapat mempengaruhi sel inang ( host cell) sehingga menjadi maligna dan mengadakan replikasi tanpa kontrol. Aktivasi EBV terjadi oleh karena faktor pendukung lain Patogenesis KNF terjadi akibat perubahan genetik yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan, baik virus maupun faktor kimiawi. Keterlibatan faktor kerentanan genetik dan delesi pada kromosom 3p/9p berperan pada tahap awal perkembangan kanker. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan genetik dapat dirangsang oleh karsinogen kimia di lingkungan yang menyebabkan transformasi epitel normal ke lesi pra-kanker tingkat rendah, seperti NPIN I dan II. Penemuan berikutnya menunjukkan bahwa infeksi laten virus EB berperan dalam progresi lesi pra-kanker tingkat rendah ke tingkat tinggi yaitu NPIN III. Infeksi laten virus EB juga berperan penting dalam proses seleksi klonal dan perkembangan lebih lanjut. 13 Ekspresi bcl-2 yang terdapat di dalam sel displastik dari lesi pra-kanker tingkat tinggi (NPIN III) berperan dalam menghambat proses apoptosis. Kemudian faktor lingkungan, perubahan genetik seperti aktivasi telomerase, inaktivasi gen p16/p15, delesi kromosom 11q dan 14q juga berperan dalam tahap awal perkembangan KNF. 13 Peran LOH (Loss of Heterozygosity) pada kromosom 14q dan overekspresi dari gen c-myc, protein ras dan p53 berperan dalam progresi karsinoma yang invasif. Selain itu, mutasi gen p53 dan perubahan genetik lainnya juga berperan dalam proses metastasis

41 2.3.4 Histopatologi Pada tahun 2005, WHO membagi KNF ke dalam tiga tipe, yaitu 26 : 1. Karsinoma sel skuamosa berkeratin ( keratinizing squamous cell carcinoma). Dijumpai adanya diferensiasi dari sel skuamosa dengan intercellular bridge atau keratinisasi. Tumor tumbuh dalam bentuk pulaupulau yang dihubungkan dengan stroma yang desmoplastik dengan infiltrasi sel-sel radang limfosit, sel plasma, neutrofil, dan eosinofil yang bervariasi. Sel-sel tumor berbentuk polygonal dan berlapis. Sel-sel pada bagian tengah pulau menunjukkan sitoplasma eosinofilik yang banyak mengindikasikan keratinisasi. 2. Nonkeratinizing carcinoma, terbagi atas differentiated nonkeratinizing carcinoma dan undifferentiated carcinoma. Pada differentiated nonkeratinizing carcinoma, pemeriksaan histopatologi memperlihatkan gambaran stratified dan membentuk pulaupulau. Sel-sel menunjukkan batas antar sel yang jelas dan terkadang dijumpai intercellular bridge yang samar-samar. Dibandingkan dengan undifferentiated carcinoma ukuran sel lebih kecil, rasio inti sitoplasma lebih kecil, inti lebih hiperkromatik, dan anak inti tidak menonjol. Pada undifferentiated carcinoma, gambarannya berupa kelompokan sel-sel berukuran besar yang tidak berdiferensiasi, batas sel tidak jelas, inti bulat sampai oval, vesicular inti. Beberapa sel tumor dapat berbentuk 20

42 spindle. Dijumpai infiltrate sel radang dalam jumlah banyak, khususnya limfosit, sehingga dikenal juga sebagai lymphoepithelioma. 3. Basaloid squamous carcinoma memiliki dua komponen, yaitu sel-sel basaloid dan sel-sel squamous. Sel-sel basaloid berukuran kecil dengan inti hiperkromatin dan tidak dijumpai anak inti dan sitoplasma sedikit. Tumbuh dalam pola solid dengan konfigurasi lobular dan pada beberapa kasus dijumpai adanya peripheral palisading. Komponen sel-sel squamous dapat in situ atau invasif. Batas antara komponen basaloid dan squamous jelas Diagnosis Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan nasofaring, pemeriksaan radiologi, pemeriksaan serologi, dan pemeriksaan patologi. 4,10, Gejala Klinis Gejala yang timbul pada KNF biasanya berhubungan dengan letak tumor, penyebaran, dan stadiumnya. Karena nasofaring terletak di daerah yang sulit dilihat dari luar, gejala dini sering tidak dikenali sehingga penderita kebanyakan datang dengan keluhan benjolan di leher akibat penyebaran tumor ke kelenjar getah bening regional. Biasanya keluhan pertama yang muncul adalah keluhan pada telinga atau hidung yang bersifat unilateral. Keluhan di telinga dapat berupa gejala oklusi tuba Eustachius sampai otitis media serosa dan perforasi membran timpani. Gejala pada hidung dapat berupa sumbatan hidung dengan atau tanpa ingus yang bercampur darah 21

43 atau berupa epistaksis. Gangguan penciuman dan obstruksi biasanya menetap dan bertambah berat akibat massa tumor yang menutupi koana. Gejala lanjut yang paling sering dijumpai dan mendorong pasien untuk datang berobat adalah pembesaran kelenjar getah bening leher unilateral atau bilateral. 13 Gejala lain yang dapat terjadi adalah kelumpuhan saraf intrakranial. Tumor dapat meluas kearah superior menuju ke intra kranial dan menjalar sepanjang fosa kranii media (penjalaran petrosfenoid). Biasanya tumor masuk rongga tengkorak melalui foramen laserum, menimbulkan kerusakan atau lesi pada grup anterior saraf otak yaitu N. III, IV, V dan N VI. Paling sering terjadi gangguan N.VI (keluhan diplopia) yang disusul N.V (keluhan neuralgi trigeminal dan parestesi wajah). Peneliti luar negeri melaporkan saraf kranial yang tersering mengalami gangguan adalah N. V, kemudian disusul N. VI. Bila semua saraf grup anterior terkena gangguan maka timbul kumpulan gejala yang disebut sebagai sindroma petrosfenoid yaitu neuralgia trigeminal dan oftalmoplegia unilateral, amaurosis dan nyeri kepala hebat karena penekanan tumor pada dura mater. Terkenanya N. III menimbulkan gejala ptosis dan klinis didapatkan fiksasi bolamata (oftalmoplegi) kecuali untuk pergerakan ke lateral karena kelumpuhan muskulus rektus internus superior dan inferior serta muskulus palpebrae inferior dan obliqus. Gangguan N.IV menimbulkan kelumpuhan muskulus obliqus inferior bolamata. Lesi saraf ini jarang merupakan kelainan yang berdiri sendiri tetapi lebih sering diikuti kelumpuhan N.III. Biasanya penekanan saraf-saraf ini terjadi didalam atau pada dinding lateral sinus kavernosus. Gangguan N.VI mengakibatkan kelumpuhan m. rektus bulbi lateral sehingga timbul keluhan penglihatan dobel dan mata tampak juling (strabismus konvergen). Keluhan lain 22

44 akibat perluasan ke intra kranial berupa sakit kepala yang sering kali hebat. Perluasan tumor kearah anterior menuju rongga hidung, sinus paranasal, fossa pterigopalatina dan dapat sampai apeks orbita. Tumor besar dapat mendesak palatum mole, menimbulkan gejala obstruksi jalan napas atas dan jalan makanan. Perluasan tumor kearah postero-lateral menuju ke ruang parafaring dan fosa pterigopalatina yang kemudian masuk foramen jugulare (penjalaran retroparotidian). Disini yang terkena adalah grup posterior syaraf otak yaitu N. VII sampai dengan N. XII, serta nervus simpatikus servikalis yang berjalan menuju fasia orbitalis. Bila terjadi kelumpuhan N. IX, X, XI dan XII disebut sebagai sindroma retroparotidean, atau sindroma Jackson. 13 Manifestasi kelumpuhan saraf tersebut adalah sebagai berikut 13 : N. IX : kesulitan menelan karena hemiparesis otot konstriktor superior, dan gangguan pengecapan pada sepertiga belakang lidah. N. X : hiper/hipo/anestesi mukosa palatum mole, faring dan laring (gejala regurgitasi, bindeng) disertai gangguan menelan, respirasi dan salivasi. N. XI : hemiparesis palatum mole dan sulit mengangkat bahu karena kelumpuhan atau atrofi otot trapesius dan sternokleidomastoid. N. XII : gangguan menelan, hemiparalisis dan atrofi lidah unilateral. Gejala penekanan saraf-saraf ini dapat disertai gejala akibat kelumpuhan dari nervus simpatikus servikalis berupa penyempitan fisura palpebralis, enoftalmi dan miosis yang dikenal sebagai sindroma Horner. Nervus VII dan N.VIII jarang terkena karena letaknya tinggi dan berada dalam kanal tulang. Kelainan neurologik pada KNF ini berkisar antara 29-53%. Tumor di postero-lateral nasofaring dapat menginfiltrasi otot-otot mengunyah, terutama otot pterigoid internus yang berakibat 23

45 trismus. Perluasan tumor kearah inferior menuju rongga mulut atau regio retrotonsil yang juga dapat berakibat sumbatan jalan makan dan napas. 10,13 Gejala lain KNF adalah trismus yang disebabkan oleh infiltrasi tumor pada muskulus pterigoideus yang menyebabkan gangguan membuka mulut. Apabila tumor telah menginvasi otot levator velli palatini maka akan mengakibatkan paralisis palatum. Keadaan ini jarang terjadi, dan biasanya akibat gejala sisa radioterapi berupa fibrosis otot tersebut. 13 Gejala metastasis jauh jarang terjadi, dan yang paling sering adalah metastasis ke paru-paru, tulang, dan hepar. Metastase ke otak terjadi melalui penjalaran secara hematogen, sedangkan penyebaran ke hipofisis dapat terjadi akibat perluasan langsung dari tumor primer. Metastasis KNF ke epidural medula spinalis dapat menyebabkan penekanan medula spinalis, dengan gejala sisa paraplegia dan inkontinensia Pemeriksaan Nasofaring Pemeriksaan tumor primer di nasofaring dapat dilakukan dengan cara rinoskopi posterior (tidak langsung) dengan menggunakan kaca laring yang kecil, dan cara nasofaringoskopi langsung dengan alat endoskop/nasofaringoskop kaku (rigid nasopharyngoscope). Alat ini terdiri dari berbagai sudut pencahayaan, biasanya dihubungkan dengan sumber cahaya dan monitor TV. Penggunaan alat ini dapat melalui hidung (transnasal), atau mulut (trans -oral). Alat-alat tersebut dapat 24

46 digunakan untuk melihat keadaan massa di nasofaring, berupa massa yang eksofitik atau berupa penonjolan submukosa. 10 Dengan pemeriksaan rinoskopi posterior sering ditemukan kesulitan karena yang dilihat hanya berupa gambaran atau bayangan yang ada di kaca. Pada kasus yang sulit, diperlukan pemeriksaan dengan teknik nasofaringoskopi, dan jika perlu digunakan anestesi lokal. Flexible fibrescope atau endoskop Hopkins kaku 00 dan 300 cukup baik dipakai untuk pemeriksaan nasofaring secara lebih rinci. Dengan alat ini dapat dideteksi seluruh permukaan rongga hidung dan nasofaring Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan radiologi diperlukan untuk mendapatkan informasi adanya tumor, perluasan, serta kekambuhan paska terapi. Pemeriksaan radiologi untuk karsinoma nasofaring terdiri dari foto polos tengkorak, CT scan, dan MRI. 13,20,21 1. Foto polos tengkorak dilakukan untuk mengetahui adanya jaringan lunak di dinding posterior pada proyeksi lateral, melihat struktur tulang dan foramen pada proyeksi basis, serta mengetahui ekspansi tumor ke hidung dan sinus paranasal pada proyeksi antero-posterior dan Waters. 2. Tomografi Komputer (CT scan) mempunyai keuntungan dan nilai diagnosis tinggi yaitu kemampuan membedakan berbagai densitas di nasofaring dan dapat menilai perluasan tumor, penyebaran ke kelenjar limfa leher, destruksi tulang serta penyebaran ke intrakranial. 25

47 3. MRI ( Magnetic Resonance Imaging) merupakan pemeriksaan tambahan dari CT scan karena dapat membedakan antara jaringan lunak dan cairan misalnya retensi cairan akibat invasi ke sinus paranasal Pemeriksaan Serologi Pemeriksaan serologi sangat menunjang diagnosis KNF. Virus Epstein-Barr yang diketahui sebagai etiologi KNF mengandung antigen virus, antara lain EBV- VCA, EA, LMA 1-6 dan EBNA 1-3. Pemeriksaan serologi dilakukan untuk mendeteksi antibodi yang terbentuk yaitu IgA anti EBV-VCA, IgA anti EBV-EA, antibodi terhadap antigen membran, antibodi terhadap inti virus ( Epstein Barr Nuclear Antigen/EBNA), antibodi terhadap EBV-Dnase dan antibody dependent cellular cytotoxicity (ADCC). Titer antibodi spesifik ini dapat ditemukan dengan pemeriksaan imunofluoresensi (IF), enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) dan radio-immuno assay. Dapat juga menggunakan teknik PCR pada material yang diperoleh dari aspirasi biopsi jarum halus pada metastase kelenjar getah bening leher. Virus Epstein Barr biasanya ditemukan pada undifferentiated carcinoma dan nonkeratinizing squamous cell carcinoma. Pada pasien KNF dapat dideteksi antibodi IgG yang ditemukan pada awal infeksi virus dan antibodi IgA yang ditemukan pada kapsid antigen virus. Ig A anti VCA adalah antibodi yang paling spesifik untuk diagnosis dini KNF dan dapat dipakai sebagai tumor marker. Antibodi ini dianggap positif bila titernya > 5. Kadang-kadang titernya meninggi sebelum gejala KNF timbul. Antibodi IgA terhadap viral capsid antigen EBV ternyata lebih spesifik dibandingkan dengan IgG. Pembentukan IgA anti EBV-VCA terjadi setelah sintesis 26

48 DNA virus, dengan demikian antibodi ini berkaitan dengan fase lanjut dari infeksi virus EB. Imunoglobulin A anti VCA ini akan tetap ada seumur hidup, titernya akan meningkat sesuai dengan stadium penyakitnya. Imunoglobulin A anti EBV-VCA ini dapat merupakan pertanda tumor (tumor marker) yang spesifik untuk deteksi KNF terutama pada stadium dini (nilai diagnostik), memantau hasil pengoba tan dan memperkirakan kekambuhan (nilai prognostik). 10 IgG anti EBV-EA terbentuk sebelum sintesis DNA virus yaitu pada fase dini siklus replikasi virus. Adanya kenaikan titer IgG anti EBV-EA sudah ditemukan sebelum metastasis secara klinik terjadi. Titer IgG anti EBV-EA dianggap positif bila 1/80. Berdasarkan pemeriksaan imunofluoresensi, IgG anti EBV-EA dapat dibedakan menjadi 2 tipe yaitu tipe terbatas (EA-restricted) dan tipe menyebar (EAdiffuse). Penurunan titer IgG anti EBV-EA (D) didapatkan pada semua penderita KNF yang telah mendapatkan pengobatan dengan radiasi dan tidak pada penderita dengan kanker kepala dan leher lainnya. Bila titernya meningkat lagi harus dicurigai adanya kekambuhan atau metastasis. Dengan demikian pemeriksaan IgG anti EBV- EA lebih berguna untuk menentukan perjalanan penyakit dan prognosis KNF Pemeriksaan Patologi (Biopsi) Diagnosis pasti KNF ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan jaringan tumor di nasofaring (ditemukan sel -sel ganas) yang diperoleh dari jaringan hasil biopsi. Apabila penderita yang menunjukkan hasil pemeriksaan serologi yang positif, tetapi hasil biopsi negatif tetap tidak dapat dianggap menderita KNF. Ada beberapa cara melakukan biopsi, yaitu biopsi buta (blind biopsy), biopsi buta terpimpin (guided 27

49 biposy), biopsi dengan nasofaringoskopi direkta, dan biopsi dengan fibernasolaringoskop Stadium Tumor Tabel 2.1 Klasifikasi stadium karsinoma nasofaring menurut American Joint Comittee on Cancer (AJCC) tahun T : Tumor primer Tx : Tumor primer tidak dapat dinilai T0 : Tidak terbukti adanya tumor primer Tis : Karsinoma in situ T1 : Tumor terbatas di nasofaring atau tumor meluas ke orofaring dan/kavum nasi tanpa perluasan ke parafaring T2 : Tumor dengan perluasan ke daerah parafaring T3 : Tumor melibatkan struktur tulang dasar tengkorak dan/atau sinus paranasal T4 : Tumor dengan perluasan ke intrakranial dan/atau terlibatnya saraf kranialis, hipofaring, orbita, atau dengan perluasan ke fossa infratemporal/ruang mastikator N : Pembesaran kelenjar getah bening (KGB) regional Nx : KGB regional tidak dapat dinilai N0 : Tidak ada metastasis ke KGB regional N1 : Metastasis kelenjar getah bening leher unilateral dengan diameter terbesar 6 cm atau kurang, di atas fossa supraklavikular, dan/atau unilateral atau bilateral kelenjar getah bening retrofaring dengan diameter terbesar 6 cm atau kurang N2 : Metastasis kelenjar getah bening bilateral dengan diameter terbesar 6 cm atau kurang, di atas fossa supraklavikular N3 : Metastasis pada kelenjar getah bening diatas 6 cm dan/atau pada fossa supraklavikular N3a : Diameter terbesar 6 cm N3b : Meluas ke fossa supraklavikular M : Metastasis jauh M0 : Tidak ada metastasis jauh M1 : Terdapat metastasis jauh Stadium Stadium 0 : Tis N0 M0 Stadium I : T1 N0 M0 Stadium II : T1 N1 M0; T2 N 0-1 M0 Stadium III : T 1-2 N2 M0; T3 N 0-2 M0 Stadium IVA : T4 N 0-2 M0 28

50 Stadium IVB : Semua T N3 M0 Stadium IVC : Semua T semua N M Penatalaksanaan Radioterapi Radioterapi merupakan pengobatan utama pada KNF. Radioterapi juga efektif terhadap terapi paliatif pada kasus yang sudah metastasis jauh. Radioterapi pada penderita KNF tanpa metastasis merupakan terapi kuratif utama yang dapat diberikan dalam dua tipe yaitu radioterapi eksternal dan brakhiterapi. 6 Radioterapi mematikan sel dengan cara merusak DNA dan mengakibatkan destruksi sel tumor. Disamping itu radioterapi memiliki kemampuan untuk mempercepat proses apoptosis sel tumor. Ionisasi yang ditimbulkan oleh radiasi dapat mematikan sel tumor. Radioterapi memiliki kemampuan mengurangi rasa sakit dengan mengecilkan ukuran tumor sehingga mengurangi pendesakan di area sekitarnya. Disamping itu juga berguna sebagai terapi paliatif untuk pasien dengan perdarahan dari massa tumor. 6 Dosis radiasi yang dibutuhkan untuk eradikasi tumor tergantung dari besarnya tumor. Untuk KNF yang masih dini (T1 dan T2) diberikan radiasi dengan dosis sebesar 1,8-20 Gy per fraksi, 5 kali seminggu tanpa istirahat selama sekitar 6 7,5 minggu sampai mencapai dosis total Gy. Sedangkan untuk KNF dengan ukuran tumor yang lebih besar (T3 dan T4) diberikan dosis total radiasi pada tumor primer di nasofaring yang lebih tinggi yaitu Gy. Bila tidak didapatkan 29

51 metastasis di KGB leher (N0) maka diberikan radiasi profilaktik dengan dosis sekitar Gy dalam empat atau empat setengah minggu, sedangkan bila ada pembesaran KGB di leher (metastasis regional) diberikan radiasi yang dosisnya sama dengan tumor primernya. Bila masih didapatkan residu tumor, diberikan radiasi tambahan (booster) dengan area diperkecil hanya pada tumornya saja sebesar Gy sehingga mencapai dosis total sebesar Gy. Selain radiasi eksterna, radiasi tambahan dapat diberikan dengan cara radiasi interna (brakhitherapi). 10,13 Brakhiterapi adalah pemberian ion radiasi dosis tinggi terhadap jaringan dengan volume kecil. Pemberian brakhiterapi terhadap tumor primer KNF dapat dibagi berdasarkan beberapa indikasi. Indikasi tersebut adalah tumor persisten lokal setelah 4 bulan pemberian radioterapi primer sebagai terapi tambahan setelah radioterapi eksternal dan untuk tumor persisten regional dimana brakhiterapi diberikan pada penderita yang akan menjalani diseksi leher. 6 Brakhiterapi dilakukan dengan menggunakan endotracheal tube. Pada awalnya brakhiterapi hanya diberikan pada tumor primer T1 atau T2 yang rekuren setalah pemberian radioterapi eksternal. Biasanya diberikan pada tumor yang hanya melibatkan nasofaring, para-nasofaring, dan atau fosa posterior nasal. Diberikan dosis Gy kemudian diikuti dengan tambahan dosis 20 Gy Kemoterapi Kemoterapi biasanya digunakan pada kasus KNF yang rekuren atau yang telah mengalami metastasis. Mekanisme kerja kemoterapi adalah sebagai antimetabolit, mengganggu struktur dan fungsi DNA serta inhibitor mitosis. 30

52 Antimetabolit bekerja dengan menghambat biosintesis purin atau pirimidin, sehingga 6, 13 dapat mengubah struktur DNA dan menahan replikasi sel. Obat kemoterapi dapat bekerja menghambat pembelahan sel pada semua siklus sel (Cell Cycle non Specific) baik dalam siklus pertumbuhan sel maupun dalam keadaan istirahat, yaitu cisplatin, doxorubicin, dan bleomycin. Disamping itu ada juga obat kemoterapi yang hanya bekerja menghambat pembelahan sel pada siklus pertumbuhan tertentu ( Cell Cycle phase specific), yaitu metrotrexate dan 5-6, 13 fluorouracil (5-FU). Kemoterapi dapat diberikan secara bersamaan dengan radioterapi (kemoradioterapi) yang dimaksudkan untuk mempertinggi manfaat radioterapi. Kemoradioterapi dapat mengontrol tumor secara lokoregional dan meningkatkan survival pasien dengan cara mengatasi sel kanker secara sistemik lewat mikrosirkulasi. Kemoradioterapi juga dapat mengontrol metatasis jauh dan mengontrol mikrometastasis. Dengan cara ini diharapkan dapat membunuh sel kanker yang sensitif terhadap kemoterapi dan mengubah sel kanker yang radioresisten menjadi lebih sensitif terhadap radiasi. 6,13, Deteksi Dini Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, KNF disebabkan oleh multifaktor yaitu infeksi virus EB, pengaruh faktor lingkungan, ras (genetik), dan sebagainya. Pencegahan KNF harus ditujukan untuk menghindarkan, mengurangi atau menghilangkan faktor-faktor tersebut. Salah satu hambatan utama dalam pencegahan 31

53 adalah belum diketahuinya dengan pasti bagaimana, dalam keadaan apa dan sejauh mana faktor-faktor tersebut berpengaruh dalam patogenesis KNF. 10 Di Indonesia, beberapa faktor yang dapat diidentifikasi terutama berhubungan dengan faktor kebiasaan dan lingkungan terutama pada penduduk golongan sosial ekonomi rendah. Faktor-faktor tersebut misalnya makan ikan asin, pemakaian kecap, pemakaian kayu bakar, lampu minyak, dan asap obat nyamuk. Faktor lingkungan yang buruk, baik di rumah maupun di tempat kerja dengan ventilasi yang kurang akan menambah besarnya faktor risiko. 10 Untuk menghindari, mengurangi, atau menghilangkan faktor-faktor risiko tersebut perlu diadakan penyuluhan kepada masyarakat, baik oleh pemerintah maupun badan-badan swasta (LSM) yang bergerak dalam usaha penanggulangan kanker. Usaha yang tak kalah pentingnya yaitu upaya yang untuk meningkatkan status sosial ekonomi penduduk terutama penduduk pedesaan. 10 Dengan ditemukan bukti-bukti yang kuat bahwa virus EB memegang peranan yang penting dalam patogenesis KNF maka saat ini telah mulai dilakukan berbagai penelitian untuk membuat vaksin terhadap virus EB. Apabila vaksin yang efektif telah ditemukan, maka vaksinasi dapat segera diberikan terutama pada golongan penduduk dengan risiko tinggi terkena KNF. 10 Selain itu, mengingat letak nasofaring tidak mudah diperiksa, gejala dini sering tidak dikenali sehingga penderita kebanyakan datang pada stadium lanjut, perlu dilakukan skrining KNF untuk deteksi dini, sehingga dapat dilakukan penanganan lebih awal dan menurunkan tingkat mortalitas.17 Untuk mencapai tujuan ini perlu kerjasama dari berbagai sektor terkait seperti Dinas Kesehatan, Pemda, 32

54 LSM, Institusi Pendidikan Dokter/Perawat, IDI dan profesi (Perhati -KL, IAPI). Selain itu dokter atau tenaga kesehatan pada lini pertama perlu meningkatkan pengetahuan mengenai KNF. 10,11 Gambar 2.3 Algoritma Skrining Karsinoma Nasofaring 23 33

55 3.1 Kerangka Konsep Penelitian BAB III KERANGKA KONSEP Umur Jenis Kelamin Keluhan Utama Karsinoma Faktor Resiko Nasofaring Stadium Klasifikasi Histopatologi Terapi Gambar 3.1 Skema variabel dependen dan variabel independen Keterangan: = Variabel Dependen = Variabel Independen 34

56 3.2 Definisi Operasional Variabel 1. Umur Definisi : Lamanya penderita hidup, sejak dilahirkan sampai sekarang yang dinyatakan dalam satuan tahun. Umur dalam penelitian ini adalah umur berdasarkan Depkes RI 2009 yang tercatat dalam rekam medis pasien. Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur : Rekam medis : Pencatatan status pasien melalui rekam medis pasien. : Berupa data kategorik yaitu: tahun tahun tahun tahun tahun tahun tahun tahun tahun 2. Jenis kelamin Definisi : Perbedaan jenis kelamin dari pasien sesuai dengan yang tercatat dalam rekam medis. Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur : Rekam medis : Pencatatan status pasien melalui rekam medis pasien. : Berupa data kategorik yaitu: 1. Laki-laki 35

57 2. Perempuan 3. Keluhan Utama Definisi : Keluhan yang dirasakan pasien, sehingga menjadi alasan pasien datang ke rumah sakit. Keluhan utama dalam penelitian ini adalah keluhan utama sesuai dengan yang tertera pada rekam medis. Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur : Rekam medis : Pencatatan status pasien melalui rekam medis pasien. : Berupa data kategorik yaitu: 1. Massa terlihat pada nasofaring 2. Limfadenopati leher 3. Gejala khas di hidung 4. Gejala khas di pendengaran 5. Sakit kepala unilateral atau bilateral 6. Gangguan neurologic saraf otak 7. Eksoftalmus 8. Dan lain lain 4. Faktor Risiko Definisi : Faktor-faktor yang berhubungan dengan peningkatan terjadinya suatu penyakit. Faktor risiko dalam penelitian ini 36

58 adalah faktor risiko yang sesuai dengan yang tertera pada rekam medis. Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur : Rekam medis : Pencatatan status pasien melalui rekam medis pasien. : Berupa data kategorik yaitu: 1. Jenis kelamin pria 2. Umur tahun 3. Makanan yang diawetkan 4. Infeksi virus Epstein-Barr 5. Riwayat keluarga 6. Faktor gen HLA (Human Leokcyte Antigen) dan genetic 7. Merokok 8. Minum alkohol 9. Dan lain lain 5. Stadium Definisi : Tingkatan tentang progresifitas sel-sel kanker pada tubuh dan lokasinya. Stadium dalam penelitian ini adalah stadium berdasarkan AJCC 2010 ketika pertama kali terdiagnosis menderita karsinoma nasofaring. Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur : Rekam medis : Pencatatan status pasien melalui rekam medis pasien. : Berupa data kategorik yaitu: 37

59 1. Stadium I 2. Stadium II 3. Stadium III 4. Stadium IV 4.1 Stadium IV A 4.2 Stadium IV B 4.3 Stadium IV C 6. Klasifikasi Histopatologi Definisi : Klasifikasi karsinoma nasofaring berdasarkan histopaologi (ilmu yang mempelajari kondisi dan fungsi jaringan dalam hubungannya dengan penyakit). Jenis histopatologi pada penelitian ini berdasarkan pada WHO 2005 ketika pertama kali dilakukan pemeriksaan biopsi. Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur : Rekam medis : Pencatatan status pasien melalui rekam medis pasien. : Berupa data kategorik yaitu: 1. Squamous cell carcinoma 2. Nonkeratinizing carcinoma 2.1 Differentiated nonkeratinizing carcinoma 2.2 Undifferentiated carcinoma 3. Basaloid squamous carcinoma 38

60 7. Terapi Definisi : Terapi yang diberikan kepada pasien untuk mengatasi atau mencegah komplikasi dari karsinoma nasofaring. Terapi dalam penelitian ini sesuai dengan yang tertera pada rekam medis. Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur : Rekam medis : Pencatatan status pasien melalui rekam medis pasien. : Berupa data kategorik yaitu: 1. Radioterapi 2. Kemoterapi 3. Kemoradiasi 39

61 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Jenis Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan cara studi deskriptif. Pengumpulan data dilakukan secara retrospektif dari rekam medis atau data sekunder penderita karsinoma nasofaring yang sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi, yaitu: Kriteria inklusi : 1. Semua pasien yang datang dan terdiagnosis menderita karsinoma nasofaring dan menjalani rawat inap di Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo dan Rumah Sakit Universitas Hasanuddin periode tahun Semua pasien yang data rekam medisnya lengkap sesuai variabel yang ingin diteliti. Kriteria ekslusi : Semua pasien yang telah terdiagnosis menderita karsinoma nasofaring dan hanya menjalani rawat jalan. 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo dan Rumah Sakit Universitas Hasanuddin, Kota Makassar Waktu Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan September hingga Oktober

62 4.3 Populasi dan Sampel Penelitian Populasi Penelitian Populasi pada penelitian ini adalah semua data pasien karsinoma nasofaring yang menjalani rawat inap periode tahun Sampel Penelitian Sampel pada penelitian ini adalah semua data pasien karsinoma nasofaring yang menjalani rawat inap periode tahun Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data sekunder yang diperoleh dari pencatatan pada rekam medis pasien Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo dan Rumah Sakit Universitas Hasanuddin, Kota Makassar. Rekam medis pasien dengan karsinoma nasofaring yang dipilih sebagai sampel, dikumpul dan dilakukan pencatatan tabulasi sesuai dengan variabel yang akan diteliti. 4.5 Pengolahan dan Penyajian Data Pengolahan Data Data yang dikumpulkan diolah dengan menggunakan komputer dan dianalisa secara statistik deskriptif dengan menggunakan Microsoft Excel. 41

63 4.5.2 Penyajian Data Data yang telah diolah disajikan dalam bentuk tabel distribusi proporsi, diagram pie dan diagram batang yang disertai dengan penjelasan yang disusun dan dikelompokkan sesuai dengan tujuan penelitian. 4.6 Etika Penelitian 1. Menyertakan surat pengantar yang ditujukan kepada pihak Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo dan Rumah Sakit Universitas Hasanuddin sebagai permohonan izin untuk melakukan penelitian. 2. Menjaga kerahasiaan identitas pribadi pasien yang terdapat pada data rekam medis, sehingga diharapkan tidak ada pihak yang merasa dirugikan atas penelitian yang dilakukan. 3. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak yang terkait sesuai dengan manfaat penelitian yang telah disebutkan sebelumnya. 42

64 BAB V HASIL PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di dua rumah sakit, yaitu Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo dan Rumah Sakit Universitas Hasanuddin, pada bulan September - Oktober Data yang didapatkan di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo adalah sebanyak 67 kasus, sedangkan data yang didapatkan di Rumah Sakit Universitas Hasanuddin adalah sebanyak 72 kasus. Data diperoleh dari data sekunder melalui rekam medik pasien penderita karsinoma nasofaring yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo pada tahun 2016 dan Rumah Sakit Universitas Hasanuddin pada tahun untuk mengetahui karakteristiknya berdasarkan variabel umur, jenis kelamin, keluhan utama, faktor risiko, stadium, klasifikasi histopatologi, dan terapi. Adapun hasil penelitian, disajikan dalam bentuk tabel sebagai berikut: 5.1 Distribusi Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Umur Berdasarkan hasil penelitian tentang karakteristik pasien penderita karsinoma nasofaring yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo pada tahun 2016 dan Rumah Sakit Universitas Hasanuddin pada tahun , diperoleh distribusi proporsi berdasarkan umur sebagai berikut: 43

65 Tabel 5.1 Distribusi Proporsi Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Umur yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo (2016) dan Rumah Sakit Universitas Hasanuddin ( ) Umur Rumah Sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo Rumah Sakit Universitas Hasanuddin F (%) f (%) 0 5 tahun 6 11 tahun tahun tahun tahun tahun tahun tahun 65 tahun 0 0,00 0 0,00 1 1,49 0 0,00 0 0,00 2 2, ,45 3 4, , , , , , , , ,28 4 5,97 7 9,72 Total Berdasarkan tabel 5.1, dapat diketahui bahwa dari 67 pasien penderita karsinoma nasofaring yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo, proporsi tertinggi berdasarkan umur ada pada kelompok usia tahun yaitu sebanyak 18 orang atau sebesar 26,87% dan proporsi terendah ada pada kelompok usia 0 5 tahun dan tahun yaitu tidak ada kasus atau sebanyak 44

66 0,00%. Penderita karsinoma nasofaring termuda adalah umur 9 tahun dan yang tertua adalah umur 79 tahun. Sedangkan dari 72 pasien penderita karsinoma nasofaring yang dirawat inap di Rumah Sakit Universitas Hasanuddin, proporsi tertinggi berdasarkan umur ada pada kelompok usia tahun yaitu sebanyak 20 orang atau sebesar 27, 78% dan proporsi terendah ada pada kelompok usia 0 5 tahun dan 6 11 tahun yaitu tidak ada kasus atau sebanyak 0,00%. Penderita karsinoma nasofaring termuda adalah umur 14 tahun dan yang tertua adalah umur 85 tahun. 5.2 Distribusi Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Jenis Kelamin Berdasarkan hasil penelitian tentang karakteristik pasien penderita karsinoma nasofaring yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo pada tahun 2016 dan Rumah Sakit Universitas Hasanuddin pada tahun , diperoleh distribusi proporsi berdasarkan jenis kelamin sebagai berikut: Tabel 5.2 Distribusi Proporsi Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Jenis Kelamin yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo (2016) dan Rumah Sakit Universitas Hasanuddin ( ) Jenis Kelamin Rumah Sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo Rumah Sakit Universitas Hasanuddin F (%) f (%) Laki laki 43 64, ,56 Perempuan 24 35, ,44 Total

67 Berdasarkan tabel 5.2, dapat diketahui bahwa dari 67 pasien penderita karsinoma nasofaring yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo, proporsi tertinggi berdasarkan jenis kelamin adalah pasien laki - laki yaitu sebanyak 43 orang atau sebesar 64,18% sedangkan pasien perempuan sebanyak 24 orang atau sebesar 35,82%. Sedangkan dari 72 pasien penderita karsinoma nasofaring yang dirawat inap di Rumah Sakit Universitas Hasanuddin, proporsi tertinggi berdasarkan jenis kelamin adalah pasien laki - laki yaitu sebanyak 40 orang atau sebesar 55,56% sedangkan pasien perempuan sebanyak 32 orang atau sebesar 44,44%. 5.3 Distribusi Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Keluhan Utama Berdasarkan hasil penelitian tentang karakteristik pasien penderita karsinoma nasofaring yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo pada tahun 2016 dan Rumah Sakit Universitas Hasanuddin pada tahun , diperoleh distribusi proporsi berdasarkan keluhan utama sebagai berikut: 46

68 Tabel 5.3 Distribusi Proporsi Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Keluhan Utama yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo (2016) dan Rumah Sakit Universitas Hasanuddin ( ) Keluhan Utama Rumah Sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo Rumah Sakit Universitas Hasanuddin F (%) F (%) Massa terlihat pada nasofaring Limfadenopati leher Gejala khas di hidung Gejala khas di pendengaran Sakit kepala unilateral/bilateral 3 4, , , , ,93 2 2,78 2 2,99 0 0, , ,44 Gangguan neurologis otak saraf 5 7,46 4 5,56 Eksoftalmus 0 0,00 0 0,00 Lain lain 1 1,49 3 4,17 Total

69 Berdasarkan tabel 5.3, dapat diketahui bahwa dari 67 pasien penderita karsinoma nasofaring yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo, proporsi tertinggi berdasarkan keluhan utama adalah pasien dengan keluhan limfadenopati leher yaitu sebanyak 32 orang atau sebesar 47,76% dan proporsi terendah adalah pasien dengan keluhan eksoftalmus yaitu tidak ada kasus atau sebesar 0,00%. Sedangkan dari 72 pasien penderita karsinoma nasofaring yang dirawat inap di Rumah Sakit Universitas Hasanuddin, proporsi tertinggi berdasarkan keluhan utama adalah pasien dengan keluhan limfadenopati leher yaitu sebanyak 36 orang atau sebesar 50,00% dan proporsi terendah adalah pasien dengan keluhan gejala khas di pendengaran dan eksoftalmus yaitu tidak ada kasus atau sebesar 0,00%. 5.4 Distribusi Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Faktor Risiko Berdasarkan hasil penelitian tentang karakteristik pasien penderita karsinoma nasofaring yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo pada tahun 2016 dan Rumah Sakit Universitas Hasanuddin pada tahun , diperoleh distribusi proporsi berdasarkan jumlah faktor risiko sebagai berikut: 48

70 Tabel 5.4 Distribusi Proporsi Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Jumlah Faktor Risiko yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo (2016) dan Rumah Sakit Universitas Hasanuddin ( ) Jumlah Faktor Risiko 1 faktor risiko > 1 faktor risiko Rumah Sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo Rumah Sakit Universitas Hasanuddin F (%) f (%) 17 25, , , ,44 Total Berdasarkan tabel 5.4, dapat diketahui bahwa dari 67 pasien penderita karsinoma nasofaring yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo, proporsi tertinggi berdasarkan jumlah faktor risiko adalah pasien dengan lebih dari satu faktor risiko yaitu sebanyak 50 orang atau sebesar 74,63% dan proporsi terendah adalah pasien dengan satu faktor risiko yaitu sebanyak 17 orang atau sebesar 25,37%. Sedangkan dari 72 pasien penderita karsinoma nasofaring yang dirawat inap di Rumah Sakit Universitas Hasanuddin, proporsi tertinggi berdasarkan jumlah faktor risiko adalah pasien dengan lebih dari satu faktor risiko yaitu sebanyak 50 orang atau sebesar 69,44% dan proporsi terendah adalah pasien dengan satu faktor risiko yaitu sebanyak 22 orang atau sebesar 30,56%. Adapun distribusi proporsi berdasarkan faktor risiko dapat dilihat pada tabel di bawah ini: 49

71 Tabel 5.5 Distribusi Proporsi Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Faktor Risiko yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo (2016) dan Rumah Sakit Universitas Hasanuddi n ( ) Rumah Sakit Rumah Sakit Faktor Risiko Dr. Wahidin Sudirohusodo Universitas Hasanuddin F (%) f (%) Jenis pria kelamin 43 64, ,56 Umur tahun 37 55, ,83 Makanan yang diawetkan 22 32, ,61 Infeksi virus Epstein Barr 0 0,00 0 0,00 Riwayat Keluarga 1 1,49 4 5,56 50

72 Faktor gen HLA dan genetic 9 13,43 7 9,72 Merokok 17 25, ,83 Minum Alkohol 9 13,43 5 6,94 Lain lain 19 28, ,33 Total Berdasarkan tabel 5.5, dapat diketahui bahwa dari 67 pasien penderita karsinoma nasofaring yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo, proporsi tertinggi berdasarkan faktor risiko adalah pasien dengan jenis kelamin pria yaitu sebanyak 43 orang atau sebesar 64,18% dan proporsi terendah adalah pasien dengan infeksi virus epstein barr yaitu tidak ada kasus atau sebesar 0,00%. Sedangkan dari 72 pasien penderita karsinoma nasofaring yang dirawat inap di Rumah Sakit Universitas Hasanuddin, proporsi tertinggi berdasarkan faktor risiko adalah pasien dengan jenis kelamin pria yaitu sebanyak 40 orang atau sebesar 55,56% dan proporsi terendah adalah pasien dengan infeksi virus epstein barr yaitu tidak ada kasus atau sebesar 0,00%. 51

73 5.5 Distribusi Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Stadium Berdasarkan hasil penelitian tentang karakteristik pasien penderita karsinoma nasofaring yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo pada tahun 2016 dan Rumah Sakit Universitas Hasanuddin pada tahun , diperoleh distribusi proporsi berdasarkan stadium diagnosis awal sebagai berikut: Tabel 5.6 Distribusi Proporsi Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Stadium yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo (2016) dan Rumah Sakit Universitas Hasanuddin ( ) Stadium Rumah Sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo Rumah Sakit Universitas Hasanuddin F (%) f (%) Stadium I 3 4,48 2 2,78 Stadium II 8 11, ,67 Stadium III 22 32, ,56 Stadium IVA 17 25, ,44 Stadium IVB 11 16, ,83 Stadium IVC 6 8,96 7 9,72 Total Berdasarkan tabel 5.6, dapat diketahui bahwa dari 67 pasien penderita karsinoma nasofaring yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo, proporsi tertinggi berdasarkan stadium diagnosis awal adalah pasien 52

74 dengan stadium III yaitu sebanyak 22 orang atau sebesar 32,84% dan proporsi terendah adalah pasien dengan stadium I yaitu sebanyak 3 orang atau sebesar 4,48%. Sedangkan dari 72 pasien penderita karsinoma nasofaring yang dirawat inap di Rumah Sakit Universitas Hasanuddin, proporsi tertinggi berdasarkan stadium diagnosis awal adalah pasien dengan stadium III yaitu sebanyak 22 orang atau sebesar 30,56% dan proporsi terendah adalah pasien dengan stadium I yaitu sebanyak 2 orang atau sebesar 2,78%. 5.6 Distribusi Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Klasifikasi Histopatologi Berdasarkan hasil penelitian tentang karakteristik pasien penderita karsinoma nasofaring yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo pada tahun 2016 dan Rumah Sakit Universitas Hasanuddin pada tahun , diperoleh distribusi proporsi berdasarkan klasifikasi histopatologi sebagai berikut: Tabel 5.7 Distribusi Proporsi Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Klasifikasi Histopatologi yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo (2016) dan Rumah Sakit Universitas Hasanuddin ( ) Klasifikasi Histopatologi Squamous cell carcinoma Rumah Sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo Rumah Sakit Universitas Hasanuddin f (%) f (%) 0 0,00 0 0,00 53

75 Differentiated nonkeratinizing carcinoma 27 40, ,06 Undifferentiated Nonkeratinizing carcinoma 40 59, ,94 Basaloid squamous carcinoma 0 0,00 0 0,00 Total Berdasarkan tabel 5.7, dapat diketahui bahwa dari 67 pasien penderita karsinoma nasofaring yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo, proporsi tertinggi berdasarkan klasifikasi histopatologi adalah pasien dengan tipe undifferentiated nonkeratinizing carcinoma yaitu sebanyak 40 orang atau sebesar 59,70% dan proporsi terendah adalah pasien dengan tipe squamous cell carcinoma dan basaloid squamous carcinoma yaitu tidak ada kasus atau sebesar 0,00%. Sedangkan dari 72 pasien penderita karsinoma nasofaring yang dirawat inap di Rumah Sakit Universitas Hasanuddin, proporsi tertinggi berdasarkan klasifikasi histopatologi adalah pasien dengan tipe undifferentiated nonkeratinizing carcinoma yaitu sebanyak 41 orang atau sebesar 56,94% dan proporsi terendah adalah pasien 54

76 dengan tipe squamous cell carcinoma dan basaloid squamous carcinoma yaitu tidak ada kasus atau sebesar 0,00%. 5.7 Distribusi Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Terapi Berdasarkan hasil penelitian tentang karakteristik pasien penderita karsinoma nasofaring yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo pada tahun 2016 dan Rumah Sakit Universitas Hasanuddin pada tahun , diperoleh distribusi proporsi berdasarkan terapi sebagai berikut: Tabel 5.8 Distribusi Proporsi Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Terapi yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo (2016) dan Rumah Sakit Universitas Hasanuddin ( ) Terapi Rumah Sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo Rumah Sakit Universitas Hasanuddin f (%) f (%) Radioterapi 0 0, ,83 Kemoterapi , ,17 Kemoradiasi 0 0,00 0 0,00 Total Berdasarkan tabel 5.8, dapat diketahui bahwa dari 67 pasien penderita karsinoma nasofaring yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo, proporsi tertinggi berdasarkan jenis terapi adalah pasien dengan pengobatan kemoterapi yaitu sebanyak 67 orang atau sebesar 100,00% dan proporsi 55

77 terendah adalah pasien dengan pengobatan radioterapi atau kemoradiasi yaitu tidak ada kasus atau sebesar 0,00%. Sedangkan dari 72 pasien penderita karsinoma nasofaring yang dirawat inap di Rumah Sakit Universitas Hasanuddin, proporsi tertinggi berdasarkan jenis terapi adalah pasien dengan pengobatan kemoterapi yaitu sebanyak 39 orang atau sebesar 54,17% dan proporsi terendah adalah pasien dengan pengobatan kemoradiasi yaitu tidak ada kasus atau sebesar 0,00%. 56

78 BAB VI PEMBAHASAN Penelitian tentang karakteristik pasien rawat inap dengan diagnosis karsinoma nasofaring di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo dan Rumah Sakit Universitas Hasanuddin periode tahun telah dilaksanakan pada bulan September Oktober Penelitian ini menggunakan metode deskriptif retrospektif yang melihat berdasarkan data sekunder melalui rekam medik pasien. Penelitian ini ingin mengetahui gambaran pasien karsinoma nasofaring berdasarkan umur, jenis kelamin, keluhan utama, faktor risiko, stadium, klasifikasi histopatologi, dan terapi. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa pasien rawat inap dengan diagnosis karsinoma nasofaring di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo tahun 2016 yaitu sebanyak 67 pasien, sedangkan pasien rawat inap dengan diagnosis karsinoma nasofaring di Rumah Sakit Universitas Hasanuddin yaitu sebanyak 72 pasien. 6.1 Distribusi Pasien Karsinoma Nasofaring berdasarkan Umur Hasil penelitian tentang karakteristik pasien rawat inap dengan diagnosis karsinoma nasofaring di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo (2016) dan Rumah Sakit Universitas Hasanuddin ( ), diperoleh distribusi proporsi berdasarkan umur sebagai berikut: 57

79 Proporsi (%) Gambar 6.1 Distribusi Proporsi Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Umur yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo (2016) dan Rumah Sakit Universitas Hasanuddin ( ) Berdasarkan gambar 6.1 dapat diketahui bahwa proporsi tertinggi berdasarkan umur pasien rawat inap dengan diagnosis karsinoma nasofaring di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo tahun 2016 adalah kelompok umur tahun yaitu sebanyak 26,87% sedangkan proporsi terendah adalah kelompok umur 0 5 tahun yaitu sebanyak 0,00% Adapun jika dilihat pada gambar 6.1 dapat diketahui bahwa proporsi tertinggi berdasarkan umur pasien rawat inap dengan diagnosis karsinoma nasofaring di Rumah Sakit Universitas Hasanuddin tahun adalah kelompok umur tahun yaitu sebanyak 27,78% sedangkan proporsi terendah adalah kelompok umur 0 5 tahun dan 6 11 tahun yaitu sebanyak 0,00% Hasil penelitian ini sejalan dengan kepustakaan yang mengatakan bahwa insidensi tertinggi penderita karsinoma nasofaring ada pada kisaran usia Umur (tahun) RS Dr. Wahidin Sudirohusodo RS Universitas Hasanuddin

80 tahun. Insidensi karsinoma nasofaring pada kisaran umur tersebut semakin meningkat disebabkan adanya pengaruh faktor genetik, faktor lingkungan, atau paparan bahan karsinogenik pada usia sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa sejak pertama kali terpapar bahan karsinogenik hingga timbulnya kanker membutuhkan waktu yang lama. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sukri Rahman dkk. (2015) dari Universitas Andalas Padang bahwa insidensi karsinoma nasofaring mulai meningkat setelah usia 30 tahun dengan puncak tertinggi saat usia tahun. Begitupun hasil penelitian Ferdinand Maubere (2014) di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar yang menemukan bahwa dari 68 sampel pasien didapatkan kelompok usia dengan insidensi karsinoma nasofaring terbanyak adalah kelompok usia tahun dengan jumlah sebanyak 35 orang atau sebesar 51,5% 6.2 Distribusi Pasien Karsinoma Nasofaring berdasarkan Jenis Kelamin Hasil penelitian tentang karakteristik pasien rawat inap dengan diagnosis karsinoma nasofaring di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo tahun 2016, diperoleh distribusi proporsi berdasarkan jenis kelamin sebagai berikut: 59

81 35.82 Laki - laki Perempuan Gambar 6.2 Distribusi Proporsi Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Jenis Kelamin yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo (2016) Hasil penelitian tentang karakteristik pasien rawat inap dengan diagnosis karsinoma nasofaring di Rumah Sakit Universitas Hasanuddin tahun , diperoleh distribusi proporsi berdasarkan jenis kelamin sebagai berikut: Laki - laki Perempuan Gambar 6.3 Distribusi Proporsi Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Jenis Kelamin yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Universitas Hasanuddin ( ) 60

82 Berdasarkan gambar 6.2 dapat diketahui bahwa dari 67 pasien penderita karsinoma nasofaring yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo, proporsi tertinggi berdasarkan jenis kelamin adalah pasien laki - laki yaitu sebanyak 43 orang atau sebesar 64,18% sedangkan pasien perempuan sebanyak 24 orang atau sebesar 35,82%. Adapun berdasarkan gambar 6.3 dapat diketahui bahwa dari 72 pasien penderita karsinoma nasofaring yang dirawat inap di Rumah Sakit Universitas Hasanuddin, proporsi tertinggi berdasarkan jenis kelamin adalah pasien laki - laki yaitu sebanyak 40 orang atau sebesar 55,56% sedangkan pasien perempuan sebanyak 32 orang atau sebesar 44,44%. Hasil penelitian ini sejalan dengan kepustakaan yang mengatakan bahwa laki laki berhubungan erat dengan insidensi karsinoma nasofaring dibandingkan perempuan. Selain itu, prognosis karsinoma nasofaring lebih baik pada perempuan dibandingkan laki laki. Angka harapan hidup lima tahun penderita karsinoma nasofaring pada perempuan sebesar 84% sedangkan pada laki laki sebesar 78%. Hal tersebut terjadi karena pengaruh gaya hidup laki laki dan perempuan yang berbeda. Contohnya kebiasaan merokok dimana jumlah perokok laki laki lebih tinggi daripada perempuan. Begitupun dengan kebiasaan minum alkohol dimana jumlah peminum alkohol laki laki lebih tinggi daripada perempuan. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Riska Adriana (2015) di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. Hasilnya menunjukkan 61

83 bahwa dari 215 sampel pasien didapatkan insidensi karsinoma nasofaring terbanyak adalah pasien berjenis kelamin laki laki yaitu sebanyak 148 orang atau sebesar 68,8% sedangkan pasien perempuan sebanyak 67 orang atau sebesar 31,2%. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ferdinand Maubere (2014) di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar yang menemukan bahwa dari 68 sampel pasien didapatkan jumlah pasien laki laki lebih banyak yaitu 50 orang atau sebesar 73,5% dibandingkan jumlah pasien perempuan dengan jumlah 18 orang atau sebesar 26,5%. 6.3 Distribusi Pasien Karsinoma Nasofaring berdasarkan Keluhan Utama Hasil penelitian tentang karakteristik pasien rawat inap dengan diagnosis karsinoma nasofaring di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo (2016) dan Rumah Sakit Universitas Hasanuddin ( ), diperoleh distribusi proporsi berdasarkan keluhan utama sebagai berikut: Keluhan Utama Massa terlihat pada nasofaring Limfadenopati leher Gejala khas di hidung Gejala khas di pendengaran Sakit kepala unilateral/bilateral Gangguan neurologis saraf otak Eksoftalmus Lain - lain RS. Universitas Hasanuddin RS Dr. Wahidin Sudirohusodo Proporsi (%) Gambar 6.4 Distribusi Proporsi Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Keluhan Utama yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo (2016) dan Rumah Sakit Universitas Hasanuddin ( ) 62

84 Berdasarkan gambar 6.4 dapat diketahui bahwa dari 67 pasien penderita karsinoma nasofaring yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo, proporsi tertinggi berdasarkan keluhan utama adalah pasien dengan keluhan limfadenopati leher yaitu sebanyak 32 orang atau sebesar 47,76% dan proporsi terendah adalah pasien dengan keluhan eksoftalmus yaitu tidak ada kasus atau sebesar 0,00%. Sedangkan jika dilihat pada gambar 6.4 dapat diketahui bahwa dari 72 pasien penderita karsinoma nasofaring yang dirawat inap di Rumah Sakit Universitas Hasanuddin, proporsi tertinggi berdasarkan keluhan utama adalah pasien dengan keluhan limfadenopati leher yaitu sebanyak 36 orang atau sebesar 50,00% dan proporsi terendah adalah pasien dengan keluhan gejala khas di pendengaran dan eksoftalmus yaitu tidak ada kasus atau sebesar 0,00%. Hasil penelitian ini sejalan dengan kepustakaan yang mengatakan bahwa seringkali tumor telah tumbuh atau berada di bawah mukosa tanpa menimbulkan gejala yang berarti pada pasien. Pembesaran kelenjar getah bening merupakan penyebaran terdekat secara limfogen dari sel kanker nasofaring. Metastasis tumor ke kelenjar getah bening leher dapat terjadi unilateral atau bilateral. Gejala pembesaran kelenjar getah bening di leher sering terjadi yaitu sekitar 60 97,5%, sehingga hal inilah yang menjadi alasan penderita untuk pergi berobat ke dokter. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Wulan Melani dkk. (2013) di Rumah Sakit H. Adam Malik Medan yang menemukan bahwa dari 151 sampel pasien, didapatkan pasien yang datang dengan keluhan benjolan 63

85 leher yaitu sebanyak 135 orang atau sebesar 89,4%. Hasil ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2011) bahwa sebagian besar penderita karsinoma nasofaring datang ke rumah sakit atau dokter spesialis THT dengan mengeluhkan adanya benjolan di leher. 6.4 Distribusi Pasien Karsinoma Nasofaring berdasarkan Faktor Risiko Hasil penelitian tentang karakteristik pasien rawat inap dengan diagnosis karsinoma nasofaring di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo (2016) dan Rumah Sakit Universitas Hasanuddin ( ), diperoleh distribusi proporsi berdasarkan jumlah faktor risiko sebagai berikut: Proporsi (%) Faktor Resiko > 1 Faktor Resiko RS Dr. Wahidin Sudirohusodo RS Universitas Hasanuddin Gambar 6.5 Distribusi Proporsi Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Jumlah Faktor Risiko yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo (2016) dan Rumah Sakit Universitas Hasanuddin ( ) 64

86 Berdasarkan gambar 6.5 dapat diketahui bahwa dari 67 pasien penderita karsinoma nasofaring yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo, proporsi tertinggi berdasarkan jumlah faktor risiko adalah pasien dengan lebih dari satu faktor risiko yaitu sebanyak 50 orang atau sebesar 74,63% dan proporsi terendah adalah pasien dengan satu faktor risiko yaitu sebanyak 17 orang atau sebesar 25,37%. Adapun berdasarkan gambar 6.5 dapat diketahui bahwa dari 72 pasien penderita karsinoma nasofaring yang dirawat inap di Rumah Sakit Universitas Hasanuddin, proporsi tertinggi berdasarkan jumlah faktor risiko adalah pasien dengan lebih dari satu faktor risiko yaitu sebanyak 50 orang atau sebesar 69,44% dan proporsi terendah adalah pasien dengan satu faktor risiko yaitu sebanyak 22 orang atau sebesar 30,56%. Adapun distribusi proporsi berdasarkan faktor risiko dapat dilihat pada diagram di bawah ini: Faktor Risiko Jenis kelamin pria Umur tahun Makanan yang diawetkan Infeksi virus Epstein - Barr Riwayat keluarga Faktor gen HLA dan genetik Merokok Minum alkohol Lain - lain Proporsi (%) RS Universitas Hasanuddin RS Dr. Wahidin Sudirohusodo Gambar 6.6 Distribusi Proporsi Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Faktor Risiko yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo (2016) dan Rumah Sakit Universitas Hasanuddin ( ) 65

87 Berdasarkan gambar 6.6 dapat diketahui bahwa dari 67 pasien penderita karsinoma nasofaring yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo, proporsi tertinggi berdasarkan faktor risiko adalah pasien dengan jenis kelamin pria yaitu sebanyak 43 orang atau sebesar 64,18% dan proporsi terendah adalah pasien dengan infeksi virus epstein barr yaitu tidak ada kasus atau sebesar 0,00%. Sedangkan jika dilihat pada gambar 6.6 dapat diketahui bahwa dari 72 pasien penderita karsinoma nasofaring yang dirawat inap di Rumah Sakit Universitas Hasanuddin, proporsi tertinggi berdasarkan faktor risiko adalah pasien dengan jenis kelamin pria yaitu sebanyak 40 orang atau sebesar 55,56% dan proporsi terendah adalah pasien dengan infeksi virus epstein barr yaitu tidak ada kasus atau sebesar 0,00%. Hasil penelitian ini sejalan dengan kepustakaan yang mengatakan bahwa laki laki berhubungan erat dengan insidensi karsinoma nasofaring. Hal tersebut terjadi karena pengaruh gaya hidup laki laki yang berbeda daripada perempuan pada umumnya. Contohnya kebiasaan merokok dimana jumlah perokok laki laki lebih tinggi daripada perempuan. Begitupun dengan kebiasaan minum alkohol dimana jumlah peminum alkohol laki laki lebih tinggi daripada perempuan. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Riska Adriana (2015) di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. Hasilnya menunjukkan bahwa dari 215 sampel pasien didapatkan insidensi karsinoma nasofaring terbanyak 66

88 adalah pasien berjenis kelamin laki laki yaitu sebanyak 148 orang atau sebesar 68,8%. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ferdinand Maubere (2014) di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar yang menemukan bahwa dari 68 sampel pasien didapatkan jumlah pasien laki laki lebih banyak yaitu 50 orang atau sebesar 73,5%. 6.5 Distribusi Pasien Karsinoma Nasofaring berdasarkan Stadium Hasil penelitian tentang karakteristik pasien rawat inap dengan diagnosis karsinoma nasofaring di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo (2016) dan Rumah Sakit Universitas Hasanuddin ( ), diperoleh distribusi proporsi berdasarkan stadium diagnosis awal sebagai berikut: Proporsi (%) I II III IV A IV B IV C Stadium RS. Dr Wahidin Sudirohusodo RS Universitas Hasanuddin Gambar 6.7 Distribusi Proporsi Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Stadium yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo (2016) dan Rumah Sakit Universitas Hasanuddin ( ) 67

89 Berdasarkan gambar 6.7 dapat diketahui bahwa dari 67 pasien penderita karsinoma nasofaring yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo, proporsi tertinggi berdasarkan stadium diagnosis awal adalah pasien dengan stadium III yaitu sebanyak 22 orang atau sebesar 32,84% dan proporsi terendah adalah pasien dengan stadium I yaitu sebanyak 3 orang atau sebesar 4,48%. Sedangkan jika dilihat pada gambar 6.6 dapat diketahui bahwa dari 72 pasien penderita karsinoma nasofaring yang dirawat inap di Rumah Sakit Universitas Hasanuddin, proporsi tertinggi berdasarkan stadium diagnosis awal adalah pasien dengan stadium III yaitu sebanyak 22 orang atau sebesar 30,56% dan proporsi terendah adalah pasien dengan stadium I yaitu sebanyak 2 orang atau sebesar 2,78%. Hasil penelitian ini sejalan dengan kepustakaan yang mengatakan bahwa gejala dan tanda dari karsinoma nasofaring tidak spesifik, sehingga 80% pasien umumnya mulai berobat pada stadium III atau IV. Hal ini juga disebabkan karena tidak memadai pelayanan kesehatan, keterlambatan penderita karsinoma nasofaring datang ke rumah sakit karena kurangnya ilmu pengetahuan, serta keterlambatan dalam deteksi secara dini gejala awal karsinoma nasofaring karena karsinoma nasofaring mempunyai gejala klinis yang tidak khas, mirip dengan infeksi saluran nafas atas. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ferdinand Maubere (2014) di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar yang menemukan bahwa dari 68 sampel pasien, insidensi karsinoma nasofaring yang mulai berobat pada stadium lanjut yaitu sebanyak 20,6% berobat pada stadium III dan 68

90 63,3% berobat pada stadium IV. Penelitian lain yang juga sejalan dengan penelitian ini dilaporkan oleh Adham dkk. bahwa dari 48 kasus karsinoma nasofaring didapatkan 40 kasus karsinoma nasofaring stadium lanjut dan 8 kasus karsinoma nasofaring stadium awal. 6.6 Distribusi Pasien Karsinoma Nasofaring berdasarkan Klasifikasi Histopatologi Hasil penelitian tentang karakteristik pasien rawat inap dengan diagnosis karsinoma nasofaring di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo tahun 2016, diperoleh distribusi proporsi berdasarkan klasifikasi histopatologi sebagai berikut: Differentiated nonkeratinizing carcinoma Undifferentiated nonkeratinizing carcinoma Gambar 6.8 Distribusi Proporsi Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Klasifikasi Histopatologi yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo (2016) 69

91 Hasil penelitian tentang karakteristik pasien rawat inap dengan diagnosis karsinoma nasofaring di Rumah Sakit Universitas Hasanuddin tahun , diperoleh distribusi proporsi berdasarkan klasifikasi histopatologi sebagai berikut: Differentiated nonkeratinizing carcinoma Undifferentiated nonkeratinizing carcinoma Gambar 6.9 Distribusi Proporsi Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Klasifikasi Histopatologi yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Universitas Hasanuddin ( ) Berdasarkan gambar 6.8 dapat diketahui bahwa dari 67 pasien penderita karsinoma nasofaring yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo, proporsi tertinggi berdasarkan klasifikasi histopatologi adalah pasien dengan tipe undifferentiated nonkeratinizing carcinoma yaitu sebanyak 40 orang atau sebesar 59,70% dan proporsi terendah adalah pasien dengan tipe squamous cell carcinoma dan basaloid squamous carcinoma yaitu tidak ada kasus atau sebesar 0,00%. Sedangkan jika dilihat pada gambar 6.9 dari 72 pasien penderita karsinoma nasofaring yang dirawat inap di Rumah Sakit Universitas Hasanuddin, proporsi 70

92 tertinggi berdasarkan klasifikasi histopatologi adalah pasien dengan tipe undifferentiated nonkeratinizing carcinoma yaitu sebanyak 41 orang atau sebesar 56,94% dan proporsi terendah adalah pasien dengan tipe squamous cell carcinoma dan basaloid squamous carcinoma yaitu tidak ada kasus atau sebesar 0,00%. Hasil penelitian ini sejalan dengan kepustakaan yang mengatakan bahwa jenis histopatologi yang paling banyak ditemukan pada karsinoma nasofaring adalah tipe undifferentiated nonkeratinizing carcinoma. Hal ini disebabkan karena tipe undifferentiated nonkeratinizing carcinoma ini terbanyak di Asia Tenggara dan di negara lain dengan insidensi karsinoma nasofaring yang tinggi. Selain itu, undifferentiated carcinoma berhubungan erat dengan virus epstein barr dan didapatkan tingginya ekspresi p53 yang berhubungan dengan tingginya proliferasi tumor. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Riska Adriana (2015) yang dil akukan di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa dari 215 sampel pasien didapatkan 183 orang atau sebesar 85,2% pasien karsinoma nasofaring dengan tipe undifferentiated nonkeratinizig carcinoma. Penelitian lain yang juga sesuai dengan penelitian ini dilaporkan oleh El-Sherbieny dkk. Bahwa dari 159 sampel pasien didapatkan 106 orang atau sebesar 67% pasien karsinoma nasofaring dengan tipe undifferentiated nonkeratinizing carcinoma. 71

93 6.7 Distribusi Pasien Karsinoma Nasofaring berdasarkan Terapi Hasil penelitian tentang karakteristik pasien rawat inap dengan diagnosis karsinoma nasofaring di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo tahun 2016, diperoleh distribusi proporsi berdasarkan terapi sebagai berikut: Kemoterapi Gambar 6.10 Distribusi Proporsi Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Terapi yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo (2016) Hasil penelitian tentang karakteristik pasien rawat inap dengan diagnosis karsinoma nasofaring di Rumah Sakit Universitas Hasanuddin tahun , diperoleh distribusi proporsi berdasarkan terapi sebagai berikut:

94 Radioterapi Kemoterapi Gambar 6.11 Distribusi Proporsi Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Terapi yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Universitas Hasanuddin ( ) Berdasarkan gambar 6.10 dapat diketahui bahwa dari 67 pasien penderita karsinoma nasofaring yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo, proporsi tertinggi berdasarkan jenis terapi adalah pasien dengan pengobatan kemoterapi yaitu sebanyak 67 orang atau sebesar 100,00% dan proporsi terendah adalah pasien dengan pengobatan radioterapi dan kemoradiasi yaitu tidak ada kasus atau sebesar 0,00%. Sedangkan jika dilihat pada gambar 6.11 dapat diketahui bahwa dari 72 pasien penderita karsinoma nasofaring yang dirawat inap di Rumah Sakit Universitas Hasanuddin, proporsi tertinggi berdasarkan jenis terapi adalah pasien dengan pengobatan kemoterapi yaitu sebanyak 39 orang atau sebesar 54,17% dan proporsi terendah adalah pasien dengan pengobatan kemoradiasi yaitu tidak ada kasus atau sebesar 0,00%. 73

95 Hasil penelitian ini sejalan dengan kepustakaan yang mengatakan bahwa karsinoma nasofaring bersifat kemosensitif terutama pada kasus karsinoma nasofaring stadium lanjut, tumor residif, metastasis jauh, tumor persisten, dan rekuren. Obat kemoterapi yang digunakan adalah methotrexate, bleomycin, karboplatin, paclitaxel, dan fluorouracil (5-FU). Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Wulan Melani (2013) di Rumah Sakit H. Ada m Malik Medan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa dari 151 sampel pasien, didapatkan 84 orang atau sebesar 57,6% pasien karsinoma nasofaring mendapatkan terapi kemoterapi, 29 orang atau sebesar 25,8% mendapatkan terapi radioterapi, dan sisanya tidak melakukan kemoterapi, radioterapi, maupun kemoradiasi. 74

96 BAB VII KESIMPULAN, KETERBATASAN, DAN SARAN 7.1 Kesimpulan Pada penelitian yang telah dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo dan Rumah Sakit Universitas Hasanuddin dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Berdasarkan karakteristik umur pasien rawat inap dengan diagnosis karsinoma nasofaring di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo tahun 2016 diperoleh bahwa penderita karsinoma nasofaring tertinggi ada pada kelompok umur tahun yaitu sebanyak 18 orang atau sebesar 26,87%. Sedangkan di Rumah Sakit Universitas Hasanuddin tahun diperoleh bahwa penderita karsinoma nasofaring tertinggi ada pada kelompok umur tahun yaitu sebanyak 20 orang atau sebesar 27, 78%. 2. Berdasarkan karakteristik jenis kelamin pasien rawat inap dengan diagnosis karsinoma nasofaring di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo tahun 2016 diperoleh bahwa penderita karsinoma nasofaring tertinggi ada pada jenis kelamin laki - laki yaitu sebanyak 43 orang atau sebesar 64,18%. Sedangkan di Rumah Sakit Universitas Hasanuddin tahun diperoleh bahwa penderita karsinoma nasofaring tertinggi ada pada jenis kelamin laki - laki yaitu sebanyak 40 orang atau sebesar 55,56%. 3. Berdasarkan karakteristik keluhan utama pasien rawat inap dengan diagnosis karsinoma nasofaring di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo tahun 75

97 2016 diperoleh bahwa penderita karsinoma nasofaring tertinggi datang dengan keluhan utama limfadenopati leher yaitu sebanyak 32 orang atau sebesar 47, 76%. Sedangkan di Rumah Sakit Universitas Hasanuddin tahun diperoleh bahwa penderita karsinoma nasofaring tertinggi datang dengan keluhan utama limfadenopati leher yaitu sebanyak 36 orang atau sebesar 50,00%. 4. Berdasarkan karakteristik faktor risiko pasien rawat inap dengan diagnosis karsinoma nasofaring di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo tahun 2016 diperoleh bahwa penderita karsinoma nasofaring tertinggi memiliki faktor risiko jenis kelamin laki - laki yaitu sebanyak 43 orang atau sebesar 64,18%. Sedangkan di Rumah Sakit Universitas Hasanuddin tahun diperoleh bahwa penderita karsinoma nasofaring tertinggi memiliki faktor risiko jenis kelamin laki - laki yaitu sebanyak 40 orang atau sebesar 55,56%. 5. Berdasarkan karakteristik stadium pasien rawat inap dengan diagnosis karsinoma nasofaring di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo tahun 2016 diperoleh bahwa penderita karsinoma nasofaring tertinggi ada pada stadium III yaitu sebanyak 22 orang atau sebesar 32,84%. Sedangkan di Rumah Sakit Universitas Hasanuddin tahun diperoleh bahwa penderita karsinoma nasofaring tertinggi ada pada stadium III yaitu sebanyak 22 orang atau sebesar 30,56%. 6. Berdasarkan karakteristik klasifikasi histopatologi pasien rawat inap dengan diagnosis karsinoma nasofaring di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo tahun 2016 diperoleh bahwa penderita karsinoma nasofaring tertinggi ada pada tipe undifferentiated nonkeratinizing carcinoma yaitu sebanyak 40 orang atau sebesar 59,70%. Sedangkan di Rumah Sakit Universitas Hasanuddin tahun

98 2016 diperoleh bahwa penderita karsinoma nasofaring tertinggi ada pada tipe undifferentiated nonkeratinizing carcinoma yaitu sebanyak 41 orang atau sebesar 56,94%. 7. Berdasarkan karakteristik terapi pasien rawat inap dengan diagnosis karsinoma nasofaring di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo tahun 2016 diperoleh bahwa penderita karsinoma nasofaring tertinggi ada pada kelompok terapi kemoterapi yaitu sebanyak 67 orang atau sebesar 100,00%. Sedangkan di Rumah Sakit Universitas Hasanuddin tahun diperoleh bahwa penderita karsinoma nasofaring tertinggi ada pada kelompok terapi kemoterapi yaitu sebanyak 39 orang atau sebesar 54,17%. 7.2 Keterbatasan Pada penelitian yang telah dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo dan Rumah Sakit Universitas Hasanuddin, terdapat kendala yaitu rekam medik di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo dari tahun 2012 hingga 2015 telah dibuang sehingga tidak dapat dijadikan sampel penelitian oleh peneliti. Maka dari itu, peneliti hanya menggunakan rekam medik tahun 2016 sebagai sampel penelitian. Adapun rekam medik di Rumah Sakit Universitas Hasanuddin dari tahun 2012 hingga 2013 juga telah dibuang sehingga tidak dapat dijadikan sampel penelitian oleh peneliti. Maka dari itu, peneliti hanya menggunakan rekam medik tahun sebagai sampel penelitian. 77

99 7.3 Saran 1. Bagi Instansi Kesehatan Instansi kesehatan dalam hal ini khusunya Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo dan Rumah Sakit Universitas Hasanuddin beserta para tenaga kesehatan di dalamnya hendaknya meningkatkan mutu dan kualitas pelayanan kesehatan, salah satunya dengan mengenali dan mendeteksi lebih dini tanda dan gejala dari karsinoma nasofaring agar pasien dapat diberikan penanganan yang tepat sedini mungkin guna meningkatkan angka harapan hidup pasien. Selain itu juga instansi kesehatan diharapkan lebih sering melakukan sosialisasi kepada masyarakat mengenai bahaya karsinoma nasofaring dan pentingnya untuk melakukan pemeriksaan agar karsinoma nasofaring dapat dideteksi lebih dini. 2. Bagi Masyarakat Masyarakat hendaknya lebih memerhatikan pola hidup sehat dan lebih sadar terhadap pentingnya memeriksakan diri ke sarana kesehatan guna deteksi dini penyakit terutama penyakit penyakit yang gejala awalnya tidak spesifik seperti karsinoma nasofaring. 3. Bagi Peneliti Selanjutnya Peneliti selanjutnya hendaknya melanjutkan penelitian ini dengan metode dan variabel yang berbeda sehingga dapat diketahui faktor lain yang berperan dalam terjadinya karsinoma nasofaring. 78

100 DAFTAR PUSTAKA 1. Wiliyanto, O. Insidensi Kanker Kepala Leher Berdasarkan Diagnosis Patologi Anatomi di RS. Dr. Kariadi Semarang Periode 1 Januari Desember Attar E, Dey S, Hablas A, Seifeldin IA, Ramadan M, Rozek LS, et al. Head and Neck Cancer in a Developing Country: A Population-based Perspective Across 8 Years. European Journal of Cancer. 2010;46(8): Evans PHR, Montgomery PQ, Gullane PJ. Principles and Practice of Head and Neck Oncology. London and New York: Martin Dunitz; Shah JP. Atlas of Clinical Oncology Cancer of the Head and Neck. Hamilton, London: BC Decker Inc; Karsinoma Nasofaring [cited ]; Available from: 6. Munir D. Karsinoma Nasofaring. Medan: USU press; Cao S, Simons M, Qian C. The Prevalence and Prevention of Nasopharyngeal Carcinoma in China. Pubmed. 2011;30(2): Wei KR, Yu YL, Yang YY, Ji MF, Yu BH, Liang Z, et al. Epidemiological Trends of Nasopharyngeal Carcinoma in China. Asian Pacific Journal of Cancer. 2010;11: Razak ARA, Siu LL, Liu FF, Ito E, O Sullivan B, Chan K. Nasopharyngeal Carcinoma: The Next Challenges. European Journal of Cancer. 2010;46(11):

101 10. Dewi YA. Karsinoma Nasofaring. Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, THT-KL; Fles R, Wildeman MA, Sulistiono B, Haryana SM, Tan IB. Knowledge of General Practitioners About Nasopharyngeal Cancer at the Puskesmas in Yogyakarta, Indonesia. BMC Medical Education. 2010;10(1): Head and Neck Cancer : Question and Answer. National Cancer Institute; 2005 [cited ]; Available from: Hasselt CAV, Gibb AG. Nasopharyngeal Carcinoma. Hong Kong and London: The Chinesse University Press, Greenwich Medical Media LTD.; Standring S. Gray's Anatomy - The Anatomical Basis of Clinical Practice. London: Elsevier; Ren ZF, Liua WS, Qina HD, Xua YF, Yua DD, Fenga QS, et al. Effect of Family History of Cancers and Environmental Factors on Risk of Nasopharyngeal Carcinoma in Guangdong, China. ScienceDirect - Cancer Epidemiology. 2010;34(4): Jia W, Luo X, Feng B, Ruan H, Bei J, Liu W, et al. Traditional Cantonese Diet and Nasopharyngeal Carcinoma Risk: a Large-Scale Case-Control Study in Guangdong, China. Pubmed. 2010;10: Wee J, Ha T, Loong S, Qian C. Is Nasopharyngeal Cancer Really a "Cantonese Cancer"? Pubmed. 2010;29(5):

102 18. Friborg J, Yuan J, Wang R, Koh W, Lee H, Yu M. A Prospective Study of Tobacco and Alcohol Use as Risk Factors for Pharyngeal Carcinomas in Singapore Chinese. Pubmed. 2007;109(6): Thompson MP, Kurzrock R. Epstein-Barr Virus and Cancer. American Association for Cancer Research February 1;10: Surarso B. Tanda dan Gejala Klinis Karsinoma Nasofaring. Surabaya: THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga RSUD Dr. Soetomo King AD, Bhatia KSS. Magnetic Resonance Imaging Staging of Nasopharyngeal Carcinoma in the Head and Neck. World Journal of Radiology. 2010;2(5): Xu T, Hu C, Wang X, Shen C. Role of Chemoradiotherapy in Intermediate Prognosis Nasopharyngeal Carcinoma. European Journal of Cancer. 2011;47(5): Guidelines on Cancer Prevention, Early Detection & Screening Nasopharyngeal carcinoma (NPC). The Hong Kong Anti-Cancer Society Adham M, Kurniawan AN, Muhtadi Al, et al. Nasopharyngeal carcinoma in Indonesia: Epidemiology, incidence, signs, and symptoms at presentation. Chin J Cancer 2012; 31(4): Netter, Frank H Atlas Anatomi Netter Edisi 6. Jakarta: Elsevier 26. Evlina S, Sirait T, Rahayu PS, Shalmont G, Anwar E, Andalusia R, et al. Registri kanker berbasis rumah sakit di rumah sakit kanker Dharmais Pusat Kanker Nasional Indonesian J Cancer 2012;6:

103 27. American Joint Commite on Cancer. AJCC cancer staging atlas: a companion to the 7 th editions of AJCC cancer staging manual and handbook. 2 nd ed. New York: Springer; Adriana, Riska., Yussy Afriani dan Dindy Samiadi Kesintasan Penderita Karsinoma Nasofaring dan Faktor yang Mempengaruhinya di RSHS. Bandung: Universitas Padjajaran 29. Melani, Wulan E-jurnal FK USU Karakteristik Penderita Karsinoma Nasofaring di Rumah Sakit H. Adam Malik Medan. Volume 1 No.1. Medan: Universitas Sumatera Utara 30. Maubere, Ferdinand Karakteristik Pasien Karsinoma Nasofaring di Poliklinik Telinga Hidung Tenggorokan Kepala Leher Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar Pada Bulan November Desember Denpasar: Universitas Udayana 31. Rahman, Sukri., Bestari Jaka dan Histawara Subroto Faktor Risiko Non Viral Pada Karsinoma Nasofaring. Padang: Universitas Andalas 82

104 LAMPIRAN

105 Lampiran 1. Jadwal Penelitian Jadwal Penelitian "Karakteristik Pasien Karsinoma Nasofaring di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo dan Rumah Sakit Universitas Hasanuddin Periode Tahun " No KEGIATAN Mendapatkan Topik Penyusunan Proposal Seminar Proposal Pengumpulan Data Pengolahan dan Analisis Data Penyusunan Laporan Seminar Hasil Ujian Akhir Skripsi Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November

106 Lampiran 2. Surat Izin Penelitian dan Pengambilan Data

107

108 Lampiran 3. Surat Rekomendasi Persetujuan Etik

109 Lampiran 4. Master Data Karakteristik Pasien Karsinoma Nasofaring di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo Periode Tahun 2016 No. Nomor RM L/P Umur Keluhan Utama Faktor Risiko Faktor Risiko Stadium Klasifikasi Histopatologi Terapi L P P L P L P L L L P L L P L P L L L L L P P L L L P

110 L P L L L L L P L L P L P L P L L P L P L L L L P L P P L L L P P P

111 L P L L L L

112 Karakteristik Pasien Karsinoma Nasofaring di Rumah Sakit Universitas Hasanuddin Periode Tahun No. Nomor RM L/P Umur Keluhan Utama Faktor Risiko Faktor Risiko Stadium Klasifikasi Histopatologi Terapi L P L P P L P L L L L L P P L P P L L L L L L L L L L

113 P P P P L P P L P P L L P L P L L L P L L L P P L L L L P P L P P L

114 P L P L L P P P P L P

115 Lampiran 5. Surat Keterangan Selesai Penelitian

116 Lampiran 6. Biodata Peneliti BIODATA PENELITI Data Pribadi: Nama Lengkap Nama Panggilan : Amirah Febrianti Ismail : Amirah Tempat/Tanggal Lahir : Ujung Pandang, 19 Februari 1998 Pekerjaan Agama Jenis Kelamin Gol. Darah : Mahasiswa : Islam : Perempuan : B Nama Orang Tua Ayah : Ismail Muammil Ibu : Nur Fatimah Sirajuddin Pekerjaan Orang Tua Ayah : Wiraswasta

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker adalah pertumbuhan dan penyebaran sel secara tidak terkendali, sering menyerang jaringan sekitar dan dapat bermetastasis atau menyebar ke organ lain (World Health

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kepala leher dan paling sering ditemukan di Indonesia dan sampai saat ini belum

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kepala leher dan paling sering ditemukan di Indonesia dan sampai saat ini belum 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Karsinoma nasofarings (KNF) merupakan keganasan yang menyerang daerah kepala leher dan paling sering ditemukan di Indonesia dan sampai saat ini belum diketahui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kompleks, mencakup faktor genetik, infeksi Epstein-Barr Virus (EBV) dan

BAB I PENDAHULUAN. kompleks, mencakup faktor genetik, infeksi Epstein-Barr Virus (EBV) dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang cenderung didiagnosis pada stadium lanjut dan merupakan penyakit dengan angka kejadian tertinggi serta menjadi

Lebih terperinci

KARSINOMA DEPT. ILMU TELINGA HIDUNG TENGGOROK-KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN-USU RS. H. ADAM MALIK 2009

KARSINOMA DEPT. ILMU TELINGA HIDUNG TENGGOROK-KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN-USU RS. H. ADAM MALIK 2009 KARSINOMA NASOFARING DEPT. ILMU TELINGA HIDUNG TENGGOROK-KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN-USU RS. H. ADAM MALIK 2009 Tumor ganas kepala dan leher yang terbanyak di Indonesia Banyak terjadi di dunia, insidens

Lebih terperinci

KARSINOMA NASOFARING

KARSINOMA NASOFARING KARSINOMA NASOFARING DEPT. ILMU TELINGA HIDUNG TENGGOROK-KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN-USU RS. H. ADAM MALIK 2009 Tumor ganas kepala dan leher yang terbanyak di Indonesia Banyak terjadi di dunia, insidens

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas epitel nasofaring. Etiologi tumor ganas ini bersifat multifaktorial, faktor etnik dan geografi mempengaruhi risiko

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PENDERITA KARSINOMA NASOFARING DI DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN THT-KL FKUP/RSUP DR. HASAN SADIKIN BANDUNG PERIODE TAHUN

KARAKTERISTIK PENDERITA KARSINOMA NASOFARING DI DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN THT-KL FKUP/RSUP DR. HASAN SADIKIN BANDUNG PERIODE TAHUN KARAKTERISTIK PENDERITA KARSINOMA NASOFARING DI DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN THT-KL FKUP/RSUP DR. HASAN SADIKIN BANDUNG PERIODE TAHUN 2006 2010 SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi gelar Sarjana di Fakultas Kedokteran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Epstein-Barr Virus (EBV) menginfeksi lebih dari. 90% populasi dunia. Di negara berkembang, infeksi

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Epstein-Barr Virus (EBV) menginfeksi lebih dari. 90% populasi dunia. Di negara berkembang, infeksi BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Epstein-Barr Virus (EBV) menginfeksi lebih dari 90% populasi dunia. Di negara berkembang, infeksi primer terjadi pada awal masa anak-anak dan umumnya asimptomatik.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang berasal dari sel

BAB 1 PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang berasal dari sel BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang berasal dari sel epitel nasofaring (Brennan, 2006). Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas yang relatif jarang ditemukan

Lebih terperinci

ABSTRAK. Etiopatogenesis Karsinoma Nasofaring (KNF) Rabbinu Rangga Pribadi, Pembimbing: dr. Freddy Tumewu A., M.S.

ABSTRAK. Etiopatogenesis Karsinoma Nasofaring (KNF) Rabbinu Rangga Pribadi, Pembimbing: dr. Freddy Tumewu A., M.S. ABSTRAK Etiopatogenesis Karsinoma Nasofaring (KNF) Rabbinu Rangga Pribadi, 2005. Pembimbing: dr. Freddy Tumewu A., M.S. Karsinoma Nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas kepala dan leher yang paling banyak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. lebih dari setengahnya terdapat di negara berkembang, sebagian besar dari

BAB 1 PENDAHULUAN. lebih dari setengahnya terdapat di negara berkembang, sebagian besar dari BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini jumlah penderita kanker di seluruh dunia semakin meningkat. Dari kasus kanker baru yang jumlahnya diperkirakan sembilan juta setiap tahun lebih dari setengahnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel mukosa nasofaring dengan predileksi di fossa Rossenmuller. Kesulitan diagnosis dini pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. siklus sel yang khas yang menimbulkan kemampuan sel untuk tumbuh tidak

BAB I PENDAHULUAN. siklus sel yang khas yang menimbulkan kemampuan sel untuk tumbuh tidak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan kelainan siklus sel yang khas yang menimbulkan kemampuan sel untuk tumbuh tidak terkendali (pembelahan sel melebihi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keganasan epitel tersebut berupa Karsinoma Sel Skuamosa Kepala dan Leher (KSSKL)

BAB I PENDAHULUAN. keganasan epitel tersebut berupa Karsinoma Sel Skuamosa Kepala dan Leher (KSSKL) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma kepala dan leher merupakan istilah luas yang mengacu kepada keganasan epitel sinus paranasalis, rongga hidung, rongga mulut, faring, dan laring. Hampir seluruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kanker merupakan penyebab kematian nomor dua terbesar setelah penyakit infeksi. Pada tahun-tahun terakhir ini tampak adanya peningkatan kasus kanker disebabkan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. berhubungan dengan orofaring. Nasofaring di bagian anterior berbatasan dengan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. berhubungan dengan orofaring. Nasofaring di bagian anterior berbatasan dengan 5 2.1 Anatomi Nasofaring BAB II KAJIAN PUSTAKA Nasofaring merupakan ruang atau rongga berbentuk kubus yang terletak di belakang rongga hidung atau koana, tepat di bawah dasar tengkorak yang berhubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) adalah suatu karsinoma epitel skuamosa yang timbul

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) adalah suatu karsinoma epitel skuamosa yang timbul BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Karsinoma nasofaring (KNF) adalah suatu karsinoma epitel skuamosa yang timbul dari permukaan dinding lateral nasofaring (Zeng and Zeng, 2010; Tulalamba and Janvilisri,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Paradigma mengenai kanker bagi masyarakat umum. merupakan penyakit yang mengerikan.

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Paradigma mengenai kanker bagi masyarakat umum. merupakan penyakit yang mengerikan. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Paradigma mengenai kanker bagi masyarakat umum merupakan penyakit yang mengerikan. Banyak orang yang merasa putus harapan dengan kehidupannya setelah terdiagnosis

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Karsinoma laring adalah keganasan pada laring yang berasal dari sel epitel laring.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Karsinoma laring adalah keganasan pada laring yang berasal dari sel epitel laring. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma laring adalah keganasan pada laring yang berasal dari sel epitel laring. Lebih dari 90% penderita karsinoma laring memiliki gambaran histopatologi karsinoma

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keganasan yang berasal dari sel epitel yang melapisi daerah nasofaring (bagian. atas tenggorok di belakang hidung) (KPKN, 2015).

BAB I PENDAHULUAN. keganasan yang berasal dari sel epitel yang melapisi daerah nasofaring (bagian. atas tenggorok di belakang hidung) (KPKN, 2015). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker masih menjadi masalah serius bagi dunia kesehatan. Hal ini terbukti dengan meningkatnya morbiditas dan mortalitas akibat kanker di seluruh dunia. Terdapat 14

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci : karsinoma sel skuamosa, rongga mulut, prevalensi.

ABSTRAK. Kata kunci : karsinoma sel skuamosa, rongga mulut, prevalensi. ABSTRAK Karsinoma sel skuamosa rongga mulut merupakan karsinoma yang berasal dari epitel berlapis gepeng dan menunjukkan gambaran morfologi yang sama dengan karsinoma sel skuamosa di bagian tubuh lain.

Lebih terperinci

ABSTRAK PREVALENSI DAN GAMBARAN PASIEN KARSINOMA NASOFARING DI RSUP DR. HASAN SADIKIN BANDUNG PERIODE JANUARI DESEMBER 2014

ABSTRAK PREVALENSI DAN GAMBARAN PASIEN KARSINOMA NASOFARING DI RSUP DR. HASAN SADIKIN BANDUNG PERIODE JANUARI DESEMBER 2014 ABSTRAK PREVALENSI DAN GAMBARAN PASIEN KARSINOMA NASOFARING DI RSUP DR. HASAN SADIKIN BANDUNG PERIODE JANUARI DESEMBER 2014 Jennifer Christy Kurniawan, 1210134 Pembimbing I : Dr. Hana Ratnawati, dr., M.Kes.,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan keganasan. yang berasal dari lapisan epitel nasofaring. Karsinoma

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan keganasan. yang berasal dari lapisan epitel nasofaring. Karsinoma BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan keganasan yang berasal dari lapisan epitel nasofaring. Karsinoma nasofaring merupakan neoplasma yang jarang terjadi di sebagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Karsinoma Nasofarings (KNF) merupakan subtipe yang berbeda dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Karsinoma Nasofarings (KNF) merupakan subtipe yang berbeda dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karsinoma Nasofarings (KNF) merupakan subtipe yang berbeda dari Kanker Kepala Leher (KKL) dalam hal epidemiologi, karakteristik klinis, etiologi, dan histopatologi (Ruiz

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ganas hidung dan sinus paranasal (18 %), laring (16%), dan tumor ganas. rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam persentase rendah.

BAB I PENDAHULUAN. ganas hidung dan sinus paranasal (18 %), laring (16%), dan tumor ganas. rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam persentase rendah. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Karsinoma merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia. Hampir 60 % tumor ganas kepala dan leher merupakan karsinoma nasofaring,

Lebih terperinci

ABSTRAK GAMBARAN SKOR OHIP-14 PASIEN KANKER KEPALA DAN LEHER YANG MENDAPATKAN RADIOTERAPI DAN KEMOTERAPI DI RSUP SANGLAH TAHUN 2016

ABSTRAK GAMBARAN SKOR OHIP-14 PASIEN KANKER KEPALA DAN LEHER YANG MENDAPATKAN RADIOTERAPI DAN KEMOTERAPI DI RSUP SANGLAH TAHUN 2016 ABSTRAK GAMBARAN SKOR OHIP-14 PASIEN KANKER KEPALA DAN LEHER YANG MENDAPATKAN RADIOTERAPI DAN KEMOTERAPI DI RSUP SANGLAH TAHUN 2016 Kanker kepala dan leher adalah kanker tersering ke lima di dunia. Banyak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker adalah pertumbuhan dan penyebaran sel secara tidak terkendali, sering menyerang jaringan disekitarnya dan dapat bermetastatis atau menyebar keorgan lain (WHO,

Lebih terperinci

ABSTRAK ANGKA KEJADIAN KANKER PARU DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE 1 JANUARI DESEMBER 2010

ABSTRAK ANGKA KEJADIAN KANKER PARU DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE 1 JANUARI DESEMBER 2010 ABSTRAK ANGKA KEJADIAN KANKER PARU DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE 1 JANUARI 2009 31 DESEMBER 2010 Stevanus, 2011; Pembimbing I : dr. Hartini Tiono, M.Kes. Pembimbing II : dr. Sri Nadya J Saanin,

Lebih terperinci

BAB 6 PEMBAHASAN. tahun, usia termuda 18 tahun dan tertua 68 tahun. Hasil ini sesuai dengan

BAB 6 PEMBAHASAN. tahun, usia termuda 18 tahun dan tertua 68 tahun. Hasil ini sesuai dengan BAB 6 PEMBAHASAN 6.1. Karakteristik subyek penelitian Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata usia sampel penelitian 47,2 tahun, usia termuda 18 tahun dan tertua 68 tahun. Hasil ini sesuai dengan penelitian

Lebih terperinci

2.8 Diagnosis Kanker Nasofaring Penggolongan Stadium pada Kanker Nasofaring...17

2.8 Diagnosis Kanker Nasofaring Penggolongan Stadium pada Kanker Nasofaring...17 DAFTAR ISI SAMPUL DALAM... i PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii PENETAPAN PANITIA PENGUJI... iii PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN...iv KATA PENGANTAR...v ABSTRAK...vi ABSTRACT...vii RINGKASAN...viii SUMMARY...ix

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda memiliki jenis histopatologi berbeda dan karsinoma sel skuamosa paling

BAB I PENDAHULUAN. berbeda memiliki jenis histopatologi berbeda dan karsinoma sel skuamosa paling 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker kepala dan leher adalah berbagai tumor ganas yang berasal dari saluran aerodigestive atas (UADT), meliputi rongga mulut, nasofaring, orofaring, hipofaring dan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Nasofaring merupakan ruang berbentuk trapezoid yang dilapisi epitel

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Nasofaring merupakan ruang berbentuk trapezoid yang dilapisi epitel BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Nasofaring Nasofaring merupakan ruang berbentuk trapezoid yang dilapisi epitel pseudostratified columnar tipe pernafasan dan epitel non keratinizing stratified squamous

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Papilloma sinonasal diperkenalkan oleh Ward sejak tahun 1854, hanya mewakili

BAB 1 PENDAHULUAN. Papilloma sinonasal diperkenalkan oleh Ward sejak tahun 1854, hanya mewakili 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tumor rongga hidung dan sinus paranasal atau disebut juga tumor sinonasal adalah tumor yang dimulai dari dalam rongga hidung atau sinus paranasal di sekitar hidung.

Lebih terperinci

TUMOR NASOFARING. Tumor benigna - Angiofibroma belia Tumor maligna - Karsinoma nasofaring (KNF)

TUMOR NASOFARING. Tumor benigna - Angiofibroma belia Tumor maligna - Karsinoma nasofaring (KNF) TUMOR NASOFARING TUMOR NASOFARING Tumor benigna - Angiofibroma belia Tumor maligna - Karsinoma nasofaring (KNF) - Limfoma non Hogdkin - Karsinoma kistik adenoid - Adenocarcinoma & tumor kel. ludah minor

Lebih terperinci

ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN KANKER PAYUDARA DAN PENANGANANNYA DI RSUD ARIFIN ACHMAD PEKANBARU PERIODE JANUARI 2010 DESEMBER 2012

ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN KANKER PAYUDARA DAN PENANGANANNYA DI RSUD ARIFIN ACHMAD PEKANBARU PERIODE JANUARI 2010 DESEMBER 2012 ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN KANKER PAYUDARA DAN PENANGANANNYA DI RSUD ARIFIN ACHMAD PEKANBARU PERIODE JANUARI 2010 DESEMBER 2012 Fajri Lirauka, 2015. Pembimbing : dr. Laella Kinghua Liana, Sp.PA, M.Kes.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan penyebab kematian pada wanita setelah kanker payudara. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. merupakan penyebab kematian pada wanita setelah kanker payudara. Hal ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker serviks uteri merupakan salah satu masalah penting pada wanita di dunia. Karsinoma serviks uteri adalah keganasan kedua yang paling sering terjadi dan merupakan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PENDERITA KANKER NASOFARING DI RUMAH SAKIT H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN Oleh: WULAN MELANI

KARAKTERISTIK PENDERITA KANKER NASOFARING DI RUMAH SAKIT H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN Oleh: WULAN MELANI KARAKTERISTIK PENDERITA KANKER NASOFARING DI RUMAH SAKIT H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2011 Oleh: WULAN MELANI 090100114 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2012 HALAMAN PERSETUJUAN Proposal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Karsinoma larings merupakan keganasan yang cukup sering dan bahkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Karsinoma larings merupakan keganasan yang cukup sering dan bahkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karsinoma larings merupakan keganasan yang cukup sering dan bahkan kedua tersering pada keganasan daerah kepala leher di beberapa Negara Eropa (Chu dan Kim 2008). Rata-rata

Lebih terperinci

ABSTRAK GAMBARAN KOMPLIKASI PASIEN KANKER KEPALA DAN LEHER PASCA RADIOTERAPI/KEMOTERAPI DI RSUP SANGLAH TAHUN 2016

ABSTRAK GAMBARAN KOMPLIKASI PASIEN KANKER KEPALA DAN LEHER PASCA RADIOTERAPI/KEMOTERAPI DI RSUP SANGLAH TAHUN 2016 ABSTRAK GAMBARAN KOMPLIKASI PASIEN KANKER KEPALA DAN LEHER PASCA RADIOTERAPI/KEMOTERAPI DI RSUP SANGLAH TAHUN 2016 Prevalensi kanker kepala dan leher (KKL) di Indonesia cukup tinggi. Kanker kepala dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Virus Epstein-Barr (EBV) adalah virus yang. menginfeksi lebih dari 90% populasi di dunia, baik yang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Virus Epstein-Barr (EBV) adalah virus yang. menginfeksi lebih dari 90% populasi di dunia, baik yang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Virus Epstein-Barr (EBV) adalah virus yang menginfeksi lebih dari 90% populasi di dunia, baik yang diikuti dengan timbulnya gejala ataupun tidak. WHO-IARC menggolongkan

Lebih terperinci

ABSTRAK. Wilianto, 2010 Pembimbing I :dr. July Ivone.,M.K.K.,M.Pd.Ked Pembimbing II :dr. Sri Nadya S., M.Kes

ABSTRAK. Wilianto, 2010 Pembimbing I :dr. July Ivone.,M.K.K.,M.Pd.Ked Pembimbing II :dr. Sri Nadya S., M.Kes ABSTRAK PREVALENSI KARSINOMA PROSTAT BERDASARKAN UMUR, KADAR PSA,DIAGNOSIS AWAL, DAN GAMBARAN HISTOPATOLOGI DI RUMAH IMMANUEL BANDUNG PERIODE 1 JANUARI 2007-31 DESEMBER 2009 Wilianto, 2010 Pembimbing I

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma kolorektal (KKR) merupakan masalah kesehatan serius yang

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma kolorektal (KKR) merupakan masalah kesehatan serius yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma kolorektal (KKR) merupakan masalah kesehatan serius yang kejadiannya cukup sering, terutama mengenai penduduk yang tinggal di negara berkembang. Kanker ini

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 6 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Nasofaring Nasofaring merupakan ruang atau rongga berbentuk kubus yang terletak di belakang rongga hidung atau koana, tepat di bawah dasar tengkorak yang berhubungan

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL. Korelasi stadium..., Nurul Nadia H.W.L., FK UI., Universitas Indonesia

BAB 4 HASIL. Korelasi stadium..., Nurul Nadia H.W.L., FK UI., Universitas Indonesia BAB 4 HASIL 4.1 Pengambilan Data Data didapatkan dari rekam medik penderita kanker serviks Departemen Patologi Anatomi RSCM pada tahun 2007. Data yang didapatkan adalah sebanyak 675 kasus. Setelah disaring

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma payudara merupakan penyakit keganasan yang paling sering

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma payudara merupakan penyakit keganasan yang paling sering BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma payudara merupakan penyakit keganasan yang paling sering dijumpai pada wanita dan penyebab kematian terbanyak. Pengobatannya sangat tergantung dari stadium

Lebih terperinci

ABSTRAK GAMBARAN PENDERITA KANKER PARU DI RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN BANDUNG PERIODE JANUARI DESEMBER 2011

ABSTRAK GAMBARAN PENDERITA KANKER PARU DI RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN BANDUNG PERIODE JANUARI DESEMBER 2011 ABSTRAK GAMBARAN PENDERITA KANKER PARU DI RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN BANDUNG PERIODE JANUARI 2011- DESEMBER 2011 Christone Yehezkiel P, 2013 Pembimbing I : Sri Utami Sugeng, Dra., M.Kes. Pembimbing II :

Lebih terperinci

ABSTRAK GAMBARAN PENDERITA PENYAKIT KANKER PARU PERIODE 1 JANUARI DESEMBER 2012 DI RS. IMMANUEL KOTA BANDUNG

ABSTRAK GAMBARAN PENDERITA PENYAKIT KANKER PARU PERIODE 1 JANUARI DESEMBER 2012 DI RS. IMMANUEL KOTA BANDUNG ABSTRAK GAMBARAN PENDERITA PENYAKIT KANKER PARU PERIODE 1 JANUARI 2011 31 DESEMBER 2012 DI RS. IMMANUEL KOTA BANDUNG Dwirama Ivan Prakoso Rahmadi, 1110062 Pembimbing I : dr. Sri Nadya J Saanin, M.Kes Pembimbing

Lebih terperinci

GAMBARAN HISTOPATOLOGI PADA PASIEN KARSINOMA NASOFARING TAHUN DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN. Oleh : FATHIMAH NURUL WAFA

GAMBARAN HISTOPATOLOGI PADA PASIEN KARSINOMA NASOFARING TAHUN DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN. Oleh : FATHIMAH NURUL WAFA GAMBARAN HISTOPATOLOGI PADA PASIEN KARSINOMA NASOFARING TAHUN 2012-2014 DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN Oleh : FATHIMAH NURUL WAFA 120100414 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2015 GAMBARAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. penyebab yang kompleks. Angka kejadian KNF tidak sering ditemukan di dunia barat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. penyebab yang kompleks. Angka kejadian KNF tidak sering ditemukan di dunia barat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker nasofaring (KNF) merupakan tumor daerah leher dan kepala dengan penyebab yang kompleks. Angka kejadian KNF tidak sering ditemukan di dunia barat diperkirakan

Lebih terperinci

ABSTRAK INSIDENSI DAN GAMBARAN PENDERITA KANKER SERVIKS DI RSUP DR HASAN SADIKIN BANDUNG TAHUN 2014

ABSTRAK INSIDENSI DAN GAMBARAN PENDERITA KANKER SERVIKS DI RSUP DR HASAN SADIKIN BANDUNG TAHUN 2014 ABSTRAK INSIDENSI DAN GAMBARAN PENDERITA KANKER SERVIKS DI RSUP DR HASAN SADIKIN BANDUNG TAHUN 2014 Gizella Amanagapa, 2015 Pembimbing : Dr. Hana Ratnawati, dr., M.kes., PA(K) Dr. Teresa L.W., S.Si., M.kes.,

Lebih terperinci

Kanker Nasofaring. Wulan Melani. Wulan Melani 1, Ferryan Sofyan 2. Mahasiswa F.Kedokteran USU angkatan 2009 /

Kanker Nasofaring. Wulan Melani. Wulan Melani 1, Ferryan Sofyan 2. Mahasiswa F.Kedokteran USU angkatan 2009 / Karakteristik Penderita Kanker Nasofaring di Rumah Sakit H. Adam Malik Medan Tahun 2011 Characteristic Of Nasopharyng Carcinoma Patient In Adam Malik Hospital Medan In 2011 1, Ferryan Sofyan 2 1 Mahasiswa

Lebih terperinci

ABSTRAK PREVALENSI KANKER PAYUDARA DI RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN, BANDUNG PERIODE JANUARI DESEMBER 2009

ABSTRAK PREVALENSI KANKER PAYUDARA DI RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN, BANDUNG PERIODE JANUARI DESEMBER 2009 ABSTRAK PREVALENSI KANKER PAYUDARA DI RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN, BANDUNG PERIODE JANUARI DESEMBER 2009 Ervina, 2011 Pembimbing I : dr. July Ivone, MKK, Mpd Ked Pembimbing II : dr. Sri Nadya Saanin M.Kes

Lebih terperinci

ABSTRAK GAMBARAN KANKER SERVIKS DI RUMAH SAKIT PIRNGADI MEDAN PERIODE 1 JANUARI DESEMBER 2013

ABSTRAK GAMBARAN KANKER SERVIKS DI RUMAH SAKIT PIRNGADI MEDAN PERIODE 1 JANUARI DESEMBER 2013 ABSTRAK GAMBARAN KANKER SERVIKS DI RUMAH SAKIT PIRNGADI MEDAN PERIODE 1 JANUARI 2012-31 DESEMBER 2013 Indra Josua M. Tambunan, 2014 Pembimbing : Dr. Iwan Budiman, dr, MS, MM, M.Kes, AIF.. Kanker serviks

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang WHO (World Health Organization) menyatakan bahwa lima besar karsinoma di dunia adalah karsinoma paru-paru, karsinoma mamae, karsinoma usus besar dan karsinoma lambung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di negara maju terlebih lagi bagi negara berkembang. Angka kematian akibat

BAB I PENDAHULUAN. di negara maju terlebih lagi bagi negara berkembang. Angka kematian akibat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Karsinoma rongga mulut merupakan ancaman besar bagi kesehatan masyarakat di negara maju terlebih lagi bagi negara berkembang. Angka kematian akibat kanker terus meningkat

Lebih terperinci

Kanker Paru-Paru. (Terima kasih kepada Dr SH LO, Konsultan, Departemen Onkologi Klinis, Rumah Sakit Tuen Mun, Cluster Barat New Territories) 26/9

Kanker Paru-Paru. (Terima kasih kepada Dr SH LO, Konsultan, Departemen Onkologi Klinis, Rumah Sakit Tuen Mun, Cluster Barat New Territories) 26/9 Kanker Paru-Paru Kanker paru-paru merupakan kanker pembunuh nomor satu di Hong Kong. Ada lebih dari 4.000 kasus baru kanker paru-paru dan sekitar 3.600 kematian yang diakibatkan oleh penyakit ini setiap

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Nasofaring Nasofaring merupakan suatu ruangan yang berbentuk mirip kubus, terletak dibelakang rongga hidung. Dasar nasofaring dibentuk oleh permukaan atas pallatum molle.

Lebih terperinci

SUHARTO WIJANARKO PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN (PIT) KE-21 TAHUN 2016 PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS BEDAH INDONESIA (IKABI) MEDAN, 12 AGUSTUS 2016

SUHARTO WIJANARKO PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN (PIT) KE-21 TAHUN 2016 PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS BEDAH INDONESIA (IKABI) MEDAN, 12 AGUSTUS 2016 SUHARTO WIJANARKO PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN (PIT) KE-21 TAHUN 2016 PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS BEDAH INDONESIA (IKABI) MEDAN, 12 AGUSTUS 2016 BSK sudah lama diketahui diderita manusia terbukti ditemukan

Lebih terperinci

KESINTASAN PENDERITA KARSINOMA NASOFARING DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA DI RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN

KESINTASAN PENDERITA KARSINOMA NASOFARING DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA DI RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN KESINTASAN PENDERITA KARSINOMA NASOFARING DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA DI RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN Oleh Riska Adriana 131421100503 TESIS Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Ujian Guna Memperoleh Gelar

Lebih terperinci

1. Staf Pengajar, Fakultas Kedokteran, Universitas Malahayati, Lampung 2. Mahasiswa Kedokteran, Fakultas Kedokteran, Universitas Malahayati, Lampung

1. Staf Pengajar, Fakultas Kedokteran, Universitas Malahayati, Lampung 2. Mahasiswa Kedokteran, Fakultas Kedokteran, Universitas Malahayati, Lampung HUBUNGAN FAKTOR USIA, JENIS KELAMIN DAN GEJALA KLINIS DENGAN KEJADIAN KARSINOMA NASOFARING DI RSUD DR. H. ABDUL MOELOEK PROVINSI LAMPUNG TAHUN 2013 2014 Resti Arania 1, Sri Maria Puji L 1, Irne Jayanti

Lebih terperinci

TUMOR KEPALA LEHER DI POLIKLINIK THT-KL RSUP PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO PERIODE JANUARI 2010 DESEMBER 2012

TUMOR KEPALA LEHER DI POLIKLINIK THT-KL RSUP PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO PERIODE JANUARI 2010 DESEMBER 2012 TUMOR KEPALA LEHER DI POLIKLINIK THT-KL RSUP PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO PERIODE JANUARI 2010 DESEMBER 2012 1 Taruli Hutauruk 2 Olivia Pelealu 3 Ora I. Palandeng Kandidat Fakultas Kedokteran Unsrat Bagian

Lebih terperinci

ABSTRAK GAMBARAN PENYAKIT KANKER OVARIUM DI RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN BANDUNG PERIODE JANUARI 2011-DESEMBER 2011

ABSTRAK GAMBARAN PENYAKIT KANKER OVARIUM DI RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN BANDUNG PERIODE JANUARI 2011-DESEMBER 2011 ABSTRAK GAMBARAN PENYAKIT KANKER OVARIUM DI RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN BANDUNG PERIODE JANUARI 2011-DESEMBER 2011 Adindha, 2012; Pembimbing I : Laella K. Liana, dr., Sp. PA., M. Kes. Pembimbing II : Rimonta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Kanker leher rahim menduduki urutan pertama kejadian kanker ginekologis pada wanita secara keseluruhan di dunia. Di seluruh dunia kanker leher rahim menempati urutan

Lebih terperinci

Tommyeko H Damanik, 2005, Pembimbing : Hana Ratnawati. dr., M.Kes.

Tommyeko H Damanik, 2005, Pembimbing : Hana Ratnawati. dr., M.Kes. ABSTRAK PREY ALENSI KARSINOMA NASOFARING DI RUMAH SAKIT UMUM HASAN SADIKIN BAN DUNG PERIODE JANUARI- DESEMBER 2003 Tommyeko H Damanik, 2005, Pembimbing : Hana Ratnawati. dr., M.Kes. Karsinoma nasofaring

Lebih terperinci

Hubungan Merokok dan Kejadian Nasofaring

Hubungan Merokok dan Kejadian Nasofaring Hubungan Merokok dan Kejadian Nasofaring 79 Hubungan antara Kebiasaan Merokok dan Kejadian Karsinoma Nasofaring Studi observasi analitik di RSUD dr. Moewardi Surakarta periode Februari sampai April 2009

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikalangan wanita sedunia, meliputi 16% dari semua jenis kanker yang diderita

BAB I PENDAHULUAN. dikalangan wanita sedunia, meliputi 16% dari semua jenis kanker yang diderita 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Kanker payudara merupakan jenis kanker yang paling sering ditemui dikalangan wanita sedunia, meliputi 16% dari semua jenis kanker yang diderita oleh kaum wanita dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di seluruh dunia kanker serviks atau kanker leher rahim menempati urutan ketujuh dari seluruh kejadian keganasan pada manusia (Cancer Research United Kingdom, 2010).

Lebih terperinci

LAPORAN PENDAHULUAN Soft Tissue Tumor

LAPORAN PENDAHULUAN Soft Tissue Tumor LAPORAN PENDAHULUAN Soft Tissue Tumor A. DEFINISI Jaringan lunak adalah bagian dari tubuh yang terletak antara kulit dan tulang serta organ tubuh bagian dalam. Yang tergolong jaringan lunak antara lain

Lebih terperinci

ABSTRAK PREVALENSI KARSINOMA SERVIKS DI RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN BANDUNG PERIODE JANUARI - DESEMBER 2009

ABSTRAK PREVALENSI KARSINOMA SERVIKS DI RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN BANDUNG PERIODE JANUARI - DESEMBER 2009 ABSTRAK PREVALENSI KARSINOMA SERVIKS DI RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN BANDUNG PERIODE JANUARI - DESEMBER 2009 Pitaria Rebecca, 2011 Pembimbing I : dr. July Ivone., MKK., M.Pd.Ked. Pembimbing II: dr. Sri Nadya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker adalah pertumbuhan sel yang tidak normal atau terus menerus dan tak terkendali, dapat merusak jaringan sekitarnya serta dapat menjalar ke tempat yang jauh dari

Lebih terperinci

ABSTRAK GAMBARAN PENDERITA CARCINOMA MAMMAE DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI 2012-DESEMBER 2013

ABSTRAK GAMBARAN PENDERITA CARCINOMA MAMMAE DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI 2012-DESEMBER 2013 ABSTRAK GAMBARAN PENDERITA CARCINOMA MAMMAE DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI 2012-DESEMBER 2013 Bram Adhitama, 2014 Pembimbing I : July Ivone, dr, MKK.MPd.Ked Pembimbing II : Cherry Azaria,dr.

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karsinoma Nasofaring 2.1.1. Defenisi Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang tumbuh di daerah nasofaring dengan predileksi difosa Rosenmuller dan atap nasofaring.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia kasus kanker rongga mulut berkisar 3-4% dari seluruh kasus kanker yang terjadi. Sekitar 90-95% dari total kanker pada rongga mulut merupakan kanker sel skuamosa

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2. Karsinoma Nasofaring 2.1 Defenisi Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor yang timbul dari sel epitel yang melindungi dan melintasi nasofaring. KNF pertama kali disebutkan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker atau karsinoma merupakan istilah untuk pertumbuhan sel abnormal dengan kecepatan pertumbuhan melebihi normal dan tidak terkontrol. (World Health Organization,

Lebih terperinci

ABSTRAK PREVALENSI KARSINOMA MAMAE DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE 1 JANUARI 31 DESEMBER 2008

ABSTRAK PREVALENSI KARSINOMA MAMAE DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE 1 JANUARI 31 DESEMBER 2008 ABSTRAK PREVALENSI KARSINOMA MAMAE DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE 1 JANUARI 31 DESEMBER 2008 Cory Primaturia, 2009, Pembimbing I : dr.freddy Tumewu A.,M.S Pembimbing II : dr. Hartini Tiono Karsinoma

Lebih terperinci

ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN SINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PADA APRIL 2015 SAMPAI APRIL 2016 Sinusitis yang merupakan salah

ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN SINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PADA APRIL 2015 SAMPAI APRIL 2016 Sinusitis yang merupakan salah ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN SINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PADA APRIL 2015 SAMPAI APRIL 2016 Sinusitis yang merupakan salah satu penyakit THT, Sinusitis adalah peradangan pada membran

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Karsinoma servik merupakan penyakit kedua terbanyak pada perempuan

BAB 1 PENDAHULUAN. Karsinoma servik merupakan penyakit kedua terbanyak pada perempuan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma servik merupakan penyakit kedua terbanyak pada perempuan dengan usia rata-rata 55 tahun (Stoler, 2014). Diperkirakan terdapat 500.000 kasus baru setiap

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian...

DAFTAR ISI. BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian... DAFTAR ISI Halaman SAMPUL DALAM... i LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii PENETAPAN PANITIA PENGUJI... iii PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN... iv ABSTRAK... v ABSTRACT... vi RINGKASAN... vii SUMMARY... ix

Lebih terperinci

ABSTRAK PREVALENSI INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT SEBAGAI PENYEBAB ASMA EKSASERBASI AKUT DI POLI PARU RSUP SANGLAH, DENPASAR, BALI TAHUN 2013

ABSTRAK PREVALENSI INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT SEBAGAI PENYEBAB ASMA EKSASERBASI AKUT DI POLI PARU RSUP SANGLAH, DENPASAR, BALI TAHUN 2013 ABSTRAK PREVALENSI INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT SEBAGAI PENYEBAB ASMA EKSASERBASI AKUT DI POLI PARU RSUP SANGLAH, DENPASAR, BALI TAHUN 2013 Data WHO 2013 dan Riskesdas 2007 menunjukkan jumlah penderita

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. nasofaring, orofaring dan hipofaring. Nasofaring adalah bagian dari faring yang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. nasofaring, orofaring dan hipofaring. Nasofaring adalah bagian dari faring yang BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi dan Histologi 2.1.1. Anatomi Secara fungsional dan struktural faring terbagi atas tiga bagian, yaitu nasofaring, orofaring dan hipofaring. Nasofaring adalah bagian dari

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mukosa rongga mulut. Beberapa merupakan penyakit infeksius seperti sifilis,

BAB 1 PENDAHULUAN. mukosa rongga mulut. Beberapa merupakan penyakit infeksius seperti sifilis, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejumlah penyakit penting dan serius dapat bermanifestasi sebagai ulser di mukosa rongga mulut. Beberapa merupakan penyakit infeksius seperti sifilis, tuberkulosis,

Lebih terperinci

ABSTRAK. Angka Kejadian Karsinoma Mammae di Rumah Sakit Immanuel Bandung Periode Januari 2007 Desember 2009

ABSTRAK. Angka Kejadian Karsinoma Mammae di Rumah Sakit Immanuel Bandung Periode Januari 2007 Desember 2009 ABSTRAK Angka Kejadian Karsinoma Mammae di Rumah Sakit Immanuel Bandung Periode Januari 2007 Desember 2009 Fifi, 2010. Pembimbing I: Laella Kinghua Liana, dr., Sp.PA, M.Kes Pembimbing II: Evi Yuniawati,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Selama tiga dasawarsa terakhir, kanker ovarium masih merupakan masalah

BAB I PENDAHULUAN. Selama tiga dasawarsa terakhir, kanker ovarium masih merupakan masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Selama tiga dasawarsa terakhir, kanker ovarium masih merupakan masalah kesehatan perempuan di dunia, termasuk Indonesia. Hal ini terkait dengan tingginya

Lebih terperinci

ABSTRAK GAMBARAN PASIEN KANKER PARU DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI 2013 DESEMBER 2014

ABSTRAK GAMBARAN PASIEN KANKER PARU DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI 2013 DESEMBER 2014 ABSTRAK GAMBARAN PASIEN KANKER PARU DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI 2013 DESEMBER 2014 Ida Ayu Komang Trisna Bulan, 2015 Pembimbing I : Dr. Hana Ratnawati, dr., M.Kes., PA (K). Pembimbing

Lebih terperinci

ABSTRACT. CHARACTERISTICS OF CERVICAL CARCINOMA AT HASAN SADIKIN HOSPITAL BANDUNG in 1 JANUARY DECEMBER 2010

ABSTRACT. CHARACTERISTICS OF CERVICAL CARCINOMA AT HASAN SADIKIN HOSPITAL BANDUNG in 1 JANUARY DECEMBER 2010 ABSTRACT CHARACTERISTICS OF CERVICAL CARCINOMA AT HASAN SADIKIN HOSPITAL BANDUNG in 1 JANUARY 2010-31 DECEMBER 2010 Fadhli Firman Fauzi, 2012 Tutor I : dr. Rimonta Gunanegara, Sp.OG Tutor II : dr. Sri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker paru adalah kanker yang paling sering didiagnosis di dunia dan merupakan penyebab utama kematian akibat kanker. Data kasus baru kanker paru di Amerika Serikat

Lebih terperinci

CA TONSIL 1. DEFINISI CA TONSIL

CA TONSIL 1. DEFINISI CA TONSIL CA TONSIL 1. DEFINISI CA TONSIL Kanker tonsil andalah indikasi keganasan pada tonsil. Penyakit tonsil dan adenoid merupakan masalah kesehatan yang sering terjadi dalam masyarakat. Nyeri tenggorokan, infeksi,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terutama pada daerah transformasi epitel gepeng serviks. Sebagian besar

I. PENDAHULUAN. terutama pada daerah transformasi epitel gepeng serviks. Sebagian besar I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker serviks adalah keganasan yang berasal dari epitel pada serviks terutama pada daerah transformasi epitel gepeng serviks. Sebagian besar kanker serviks adalah epidermoid

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kasus diantaranya menyebabkan kematian (Li et al., 2012; Hamdi and Saleem,

BAB 1 PENDAHULUAN. kasus diantaranya menyebabkan kematian (Li et al., 2012; Hamdi and Saleem, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker ovarium merupakan peringkat keenam keganasan terbanyak di dunia, dan merupakan penyebab kematian ketujuh akibat kanker. Kanker ovarium didiagnosis pada 225.500

Lebih terperinci

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN Karakteristik Penderita Otitis Media Akut pada Anak yang Berobat ke Instalasi Rawat Jalan SMF THT Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Haji Adam Malik Medan pada Tahun 2009 Oleh: TAN HONG SIEW 070100322 FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Regina Lorinda, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Regina Lorinda, 2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kanker adalah pertumbuhan dan penyebaran sel secara tidak terkendali, sering menyerang jaringan di sekitarnya dan dapat bermetastasis atau menyebar ke organ

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker paru merupakan penyebab kematian terbanyak di dunia akibat kanker, baik pada pria maupun wanita di dunia. Di seluruh dunia, kematian akibat kanker paru sendiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. belakang hidung dan belakang langit-langit rongga mulut. Data Laboratorium

BAB I PENDAHULUAN. belakang hidung dan belakang langit-langit rongga mulut. Data Laboratorium BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker nasofaring merupakan jenis kanker yang tumbuh di rongga belakang hidung dan belakang langit-langit rongga mulut. Data Laboratorium Patologi Anatomi FKUI melaporkan

Lebih terperinci

KARYA TULIS ILMIAH. Gambaran Merokok sebagai Faktor Risiko Pada Penderita Karsinoma Laring di RSUP. H. Adam Malik Medan

KARYA TULIS ILMIAH. Gambaran Merokok sebagai Faktor Risiko Pada Penderita Karsinoma Laring di RSUP. H. Adam Malik Medan KARYA TULIS ILMIAH Gambaran Merokok sebagai Faktor Risiko Pada Penderita Karsinoma Laring di RSUP. H. Adam Malik Medan Oleh : Todoan P Pardede 090100350 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Karsinoma prostat ialah keganasan pada laki-laki yang sangat sering didapat. Angka kejadian diduga 19% dari semua kanker pada pria dan merupakan karsinoma terbanyak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dari semua kanker pada organ reproduksi. Diantara kanker yang ditemukan pada

BAB 1 PENDAHULUAN. dari semua kanker pada organ reproduksi. Diantara kanker yang ditemukan pada 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Kanker ovarium adalah kanker ginekologi yang dijumpai hampir 30% dari semua kanker pada organ reproduksi. Diantara kanker yang ditemukan pada perempuan,

Lebih terperinci

BAB 6 PEMBAHASAN. Telah dilakukan penelitian pada 45 penderita karsinoma epidermoid serviks uteri

BAB 6 PEMBAHASAN. Telah dilakukan penelitian pada 45 penderita karsinoma epidermoid serviks uteri 78 BAB 6 PEMBAHASAN Telah dilakukan penelitian pada 45 penderita karsinoma epidermoid serviks uteri stadium lanjut yaitu stadium IIB dan IIIB. Pada penelitian dijumpai penderita dengan stadium IIIB adalah

Lebih terperinci

BAB 2 TUMOR. semua jaringan tubuh manusia pada berbagai keadaan sel untuk berkembang biak.

BAB 2 TUMOR. semua jaringan tubuh manusia pada berbagai keadaan sel untuk berkembang biak. BAB 2 TUMOR 2.1 Definisi Tumor Sel mempunyai tugas utama yaitu bekerja dan berkembang biak. Bekerja bergantung kepada aktivitas sitoplasma sedangkan berkembang biak bergantung pada aktivitas intinya. Proliferasi

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA 7 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Karsinoma Nasofaring 2.2.1 Anatomi nasofaring Nasofaring merupakan ruang berbentuk trapezoid dengan ukuran tinggi 4 cm, lebar 4 cm dan anteroposterior 3 cm. Dinding anterior

Lebih terperinci