BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pernapasan, mulai dari hidung, tenggorokan dan paru-paru. Influenza dapat

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Influenza merupakan penyakit infeksi viral akut yang menyerang sistem pernapasan, mulai dari hidung, tenggorokan dan paru-paru. Influenza dapat disebabkan oleh virus maupun bakteri. Influenza yang paling banyak terjadi disebabkan oleh virus influenza yang tersebar di seluruh dunia (WHO, 2016). Penyakit influenza disebabkan virus famili Orthomyxoviridaine, yang terdiri atas virus Tipe A, B dan C berdasarkan hemaglutinin permukaan (H) dan antigen neuraminidase (N). Wabah influenza terjadi setiap tahun, meskipun berat dan besarnya bervariasi (Bratawidjaja, 2004). Untuk menghilangkan gejala yang menyertai dapat digunakan obatobatan yang sesuai. Obat-obat ini hanya untuk meringankan gejala, bukan untuk mengatasi virus penyebabnya (BPOM, 2006). Untuk mencegah menyebarnya virus influenza pada manusia serta mengurangi terjadinya komplikasi dan penurunan tingkat kematian akibat influenza, vaksinasi memegang peranan yang sangat penting (Setiawan, 2008);(Bowles dkk., 1999). Pencegahan penyakit infeksi dengan vaksinasi merupakan kemajuan yang besar dalam upaya imunoprofilaksis. Imunitas selular (sel T, makrofag) yang diinduksi vaksinasi adalah esensial untuk mencegah dan eradikasi bakteri, protozoa, virus, dan jamur intraselular. Vaksinasi digunakan untuk menginduksi sistem imun humoral maupun selular, respons CD4 atau CD8, respons Th1 atau Th2 sesuai dengan yang diperlukan. 1

2 2 Imunisasi atau vaksinasi adalah prosedur untuk meningkatkan deraat imunitas dengan menginduksi respon memori terhadap patogen tertentu atau toksin menggunakan preparat antigen nonvirulent/nontoksik. Antibodi yang diproduksi oleh imunisasi harus efektif terutama terhadap mikroba ekstraselular dan produknya (Bratawidjaja, 2004). Wabah influenza terbesar yang pernah terjadi disebabkan influenza A karena antigennya dapat berubah-ubah. Influenza B tidak menyebabkan wabah yang besar karena antigennya lebih stabil. Antigen virus tipe A dapat mengalami dua jenis mutasi yaitu antigenic drift bila mutasi tersebut terjadi perlahan dan antigenic shift yang terjadi mendadak. Virus B lebih stabil dibanding virus A dan hanya menimbulkan antigenic drift. Adanya antigenic drift/shift tersebut memungkinkan virus untuk lolos dari pengawasan sistem imun yang ada sehingga manusia selalu rentan terhadap infeksi virus untuk seumur hidupnya. Antibodi yang dibentuk terhadap infeksi terdahulu, tidak lagi dapat mengenal virus penyebab infeksi baru. Oleh karena itu komposisi vaksin disesuaikan setiap tahun dengan antigenic shift/drift yang ada (Bratawidjaja, 2004). World Health Organization (WHO) merekomendasikan vaksin influenza yang beredar mengandung kombinasi dari 3 tipe virus yang paling sering muncul di masyarakat, vaksin influenza ini lebih dikenal dengan nama vaksin trivalen (Trivalent vaccine). Vaksin trivalen biasanya terdiri dari 2 sub tipe virus influenza A dan 1 sub tipe virus influenza B. Pada tahun 2013 hingga 2014 dalam rangka menghadapi musim influenza di bagian bumi utara (northern hemisphere influenza season), WHO mengeluarkan rekomendasi untuk

3 3 menambahkan komponen virus keempat (quadrivalent vaccine) yang terdiri dari 2 sub tipe virus influenza A dan 2 sub tipe virus influenza B sebagai salah satu langkah untuk memberikan perlindungan tambahan terhadap serangan virus influenza B (WHO, 2016). Komposisi vaksin yang terus disesuaikan ini membuat perusahaan vaksin memperbaharui produk vaksinnya. Perbaharuan vaksin berarti melakukan pengembangan obat baru sehingga diperlukan pengujian praklinik. Salah satu pengujian yang dilakukan adalah menguji toksisitas kandidat vaksin yang akan diproduksi massal dan diedarkan. Salah satu perusahaan farmasi yang berkontribusi dalam pengembangan adalah PT Biofarma. Perusahaan ini mengembangkan vaksin influenza musiman yang berupa virus yang dimatikan. Pada tahap pengembangan vaksin perlu dilakukan uji toksisitas praklinik. Menurut WHO (2005), uji toksisitas praklinik merupakan persyaratan untuk memindahkan kandidat vaksin dari laboratorium ke studi klinis pada manusia. Parameter yang dapat dimonitor pada uji toksisitas praklinik, antara lain gejala klinis, berat badan hewan uji, tingkat kematian, serta pemeriksaan histologi organ vital (WHO, 2005). Respons toksik yang timbul merupakan akibat aksi racun, terwujud sebagai perubahan biokimia, fungsional, dan atau struktural (Donatus, 2005). Ginjal merupakan organ utama untuk membuang produk sisa metabolisme yang tidak diperlukan oleh tubuh. Produk dari ginjal, meliputi ureum yang didapat dari metabolisme asam amino, kreatinin yang didapat dari kreatin otot, asam urat yang didapat dari asam nukleat, dan produk akhir dari

4 4 pemecahan bilirubin, serta metabolit dari berbagai hormon. Ginjal merupakan sarana ekskresi utama bagi sebagian besar xenobiotika (Donatus, 2005). Ginjal juga membuang toksin dan zat asing lainnya yang diproduksi oleh tubuh dan pencernaan seperti pestisida, obat-obatan dan makanan tambahan (Guyton & Hall, 2007). Peningkatan kadar ureum merupakan salah salah satu yang diidentifikasi pada pasien gagal ginjal berat dengan melakukan pengukuran kadar Blood Ureum nitrogen (BUN) (Sacher dan McPherson, 2004). Ureum adalah produk akhir katabolisme protein dan asam amino yang diproduksi oleh hati dan didistribusikan melalui cairan intraseluler dan ekstraseluler ke dalam darah untuk kemudian difiltrasi oleh glomerulus. Produksi ureum meningkat karena asam amino dengan jumlah yang lebih banyak dimetabolisme di hati, akibat pemecahan jaringan, atau penurunan sintesa protein. Sebaliknya, produksi ureum menurun jika asupan protein berkurang. Ureum difiltrasi oleh glomerulus dan direabsorbsi sebagian oleh tubulus. Apabila fungsi ginjal terganggu, maka konsentrasi ureum dalam serum maupun plasma meningkat (Sacher dan McPherson, 2004). Peningkatan kadar kreatinin dalam darah merupakan indikasi rusaknya ginjal. Selain itu, data kadar kreatinin dalam darah dan jumlah dalam urin dapat digunakan untuk memperkirakan laju filtrasi glomerulus (Lu, 2010). Sama dengan ureum, kreatinin akan menumpuk dalam darah apabila ginjal tidak berfungsi sebagaimana mestinya untuk menyaring serta membuangnya bersama urin (Sacher dan McPherson, 2004).

5 5 Ginjal merupakan organ sasaran utama dari efek toksik selain hati, sehingga menjadi parameter yang sensitif dalam uji toksisitas. Fungsi ginjal dapat dilihat dengan analisis kadar parameter ureum dan kreatinin dalam darah. Untuk itu perlu dilakukan penelitian uji toksisitas kandidat vaksin influenza pada parameter ureum dan kalium kelinci (Oryctolagus cuniculus) galur New Zealand, sehingga dapat diketahui keamanan dari kandidat vaksin dan menjadi dasar studi klinis pada manusia. B. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: apakah pemberian kandidat vaksin influenza dapat menimbulkan efek toksik terhadap organ ginjal dilihat dari parameter kadar ureum dan kreatinin dalam darah kelinci galur New Zealand? C. Urgensi Penelitian dan Kontribusi pada Ilmu Pengetahuan Dari penelitian ini dapat diketahui pengaruh pemberian kandidat vaksin influenza pada parameter ureum dan kreatinin kelinci galur New Zealand sehingga nantinya dapat diketahui apakah ada pengaruh efek toksik atau tidak sebagai acuan pemberian kepada manusia. D. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: mengetahui efek toksik pemberian kandidat vaksin terhadap parameter fungsi ginjal kelinci dilihat dari pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin darah kelinci galur New Zealand.

6 6 E. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai gambaran karakter kandidat vaksin secara in vivo terkait keamanan dan risiko yang ditimbulkan dari kandidat vaksin. Apabila kandidat vaksin terbukti aman sehingga tidak menimbulkan efek toksik pada parameter ureum dan kreatinin kelinci galur New Zealand, maka kandidat vaksin tersebut dapat dikembangkan sebagai agen vaksin influenza dan dilanjutkan uji klinis pada manusia. Apabila kandidat vaksin terbukti tidak aman dan menimbulkan efek toksik pada parameter ureum dan kreatinin kelinci galur New Zealand maka kandidat vaksin tersebut dapat tidak dikembangkan sebagai agen vaksin influenza dan diperlukan eksplorasi lebih lanjut mengenai varian kandidat vaksin influenza. F. Tinjauan Pustaka 1. Influenza a. Definisi dan gejala Influenza merupakan infeksi yang disebabkan oleh virus atau bakteri yang terjadi pada hidung, tenggorokan, bronkus, dan paru-paru. Infeksi berlangsung selama satu minggu dan ditandai dengan demam, nyeri otot, sakit kepala, sakit tenggorokan, dan rhinitis (Nicholson, 2003). Virus influenza sangat mudah menular melalui partikel-partikel dari batuk atau bersin orang yang terinfeksi. Umumnya, orang yang terinfeksi dapat sembuh dalam dua minggu tanpa memerlukan perawatan medis. Namun, infeksi dapat menjadi semakin parah pada anak berusia kurang dari dua tahun, usia

7 7 lanjut, dan orang-orang dengan kondisi tertentu. Infeksi yang semakin parah dapat mengakibatkan pneumonia bahkan kematian (WHO, 2016). b. Etiologi Virus influenza termasuk dalam famili Orthomyxoviridae. Virus ini berbentuk sferis dan berdiameter nm. Komposisi virus terdiri atas RNA (1%), protein (73%), lipid (20%), dan karbohidrat (6%). Virus influenza merupakan virus RNA beruntai tunggal dan memiliki negative sense yang tersusun dari 8 segmen (Manickan dkk., 2014). Ada empat macam tipe virus influenza, yaitu tipe A, B, C, dan D. Virus tipe A dan B menyebabkan epidemi influenza hampir setiap musim dingin di Amerika Serikat. Munculnya strain baru virus tipe A dapat menyebabkan pandemi influenza pada manusia. Virus tipe C menyebabkan penyakit pernapasan ringan dan tidak menyebabkan epidemic (CDCP, 2017). c. Patogenesis Virus influenza ditularkan dari satu manusia ke manusia yang lain melalui udara. Penularan virus dari sekret bersin orang yang terinfeksi influenza. Sasaran utama dari virus influenza adalah sel-sel epitel kolumnar pada saluran pernapasan. Patogenesitas virus influenza tergantung dari beberapa faktor, yaitu: keberadaan reseptor target pada sel inang, ketersediaan enzim yang digunakan untuk replikasi, kondisi sistem imun inang, kemampuan virus berikatan dengan sel inang, dan kemampuan virus menyebar (Cox & Subbarao, 1999).

8 8 2. Vaksin a. Definisi Vaksin adalah sediaan yang mengandung zat antigenik yang mampu menimbulkan kekebalan humoral pada manusia. Vaksin dibuat dari bakteria, riketsia, atau virus. Vaksin dapat berupa suspensi organisme hidup, organisme inaktif, fraksi-fraksinya, atau toksoid (Depkes RI, 1995). b. Vaksin influenza Jenis vaksin virus influenza yang digunakan untuk mengimunisasi manusia di seluruh dunia adalah vaksin virus mati, karena vaksin virus hidup dapat bereplikasi dan dianggap berbahaya. Vaksin yang ada saat ini diproduksi dari virus yang ditumbuhkan dalam telur ayam yang subur dan dibunuh menggunakan formalin atau α-propiolakton serta mengandung 15µg antigen dari masing-masing tiga strain yaitu dua strain influenza A (H1N1 dan H3N2) dan satu strain influenza B. Untuk memproduksi vaksin, membutuhkan waktu 6 hingga 8 bulan (Nicholson, 2003); (Kamps, 2017). Vaksin influenza tidak boleh diberikan pada anak berumur kurang dari 6 bulan, karena pada kelompok umur ini vaksin sering menimbulkan gejala demam. Orang yang menderita penyakit saluran napas yang ringan dapat diberikan imunisasi vaksin influenza. Orang yang alergi terhadap protein telur dapat diimunisasi tetapi harus diberikan secara hati-hati (Kamps, 2017). Vaksinasi secara rutin untuk penyakit influenza musiman direkomendasikan bagi semua orang yang berusia 6 bulan ke atas dan tidak

9 9 memiliki kontraindikasi terhadap vaksin influenza (Brennan & Dougan, 2005). Untuk penyakit influenza musiman di tahun , vaksin virus mati utuh tersedia dalam bentuk formulasi trivalen maupun quadrivalen. Dari hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa vaksin influenza dapat memberikan perlindungan. Vaksin influenza akan bekerja dengan baik dan bervariasi setiap tahunnya tergantung pada virus yang menyebar dan karakteristik orang yang divaksinasi (NIAID, 2017). 3. Uji Toksisitas Uji toksisitas adalah suatu uji untuk mendeteksi efek toksik suatu zat pada sistem biologi dan untuk memperoleh data respon yang khas dari sediaan uji (Barile,2004). Hasil data yang diperoleh dapat digunakan untuk memberi informasi mengenai derajat bahaya sediaan uji tersebut bila terjadi pemaparan pada manusia, sehingga dapat ditentukan dosis penggunaannya demi keamanan manusia. Hasil yang didapatkan dari toksisitas seperti reaksi biokimia, fisiologis dan patologi dapat digunakan sebagai petunjuk adanya toksisitas dan membantu identifikasi efek toksik bila terjadi pemaparan pada manusia (Donatus, 2001). Secara ideal data yang digunakan untuk menilai resiko toksikan pada manusia juga diperoleh dari manusia, tetapi karena hambatan etik tidak memungkinkan uji toksisitas langsung dilakukan pada manusia. Oleh karena itu uji toksisitas umumnya dilakukan pada hewan uji yang disebut sebagai uji toksisitas praklinik (Hodgson & Levi, 2000). Uji toksisitas digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan kegiatan uji keamanan pengembangan obat baru, obat tradisional, kosmetik, suplemen kesehatan, dan pangan (BPOM, 2014). Uji

10 10 praklinik merupakan syarat untuk memindahkan kandidiat vaksin dari laboratorium ke uji klinik pada manusia dengan memperhatikan semua aspek dalam pengujian, seperti karakter produk, konsep imunitas, dan uji keamanan yang dilakukan pada hewan laboratorium sebagai petunjuk untuk melaksanakan uji klinik pada manusia (Donatus, 2001). Menurut WHO TRS 927 Annex I mengenai WHO Guideline on nonclinical evaluation of vaccines, uji toksisitas praklinik menggunakan dua jenis hewan, yaitu roden dan non-roden. Hewan uji diberikan vaksin pada hari ke-1, 15, dan 29, kemudian diamati gejala kliniknya. Dilakukan pengukuran suhu tubuh hewan uji untuk mengetahui efek dari vaksin dilihat dari suhu tubuh, diamati pula pakan dan minumnya, serta bobot tubuh hewan uji. 4. Uji Biokimia Darah Uji biokimia darah bertujuan untuk mengetahui kadar berbagai macam zat kimia dalam darah yang digunakan untuk melihat apakah tubuh berfungsi dengan baik. Berbagai zat yang diangkut darah, menunjukkan berbagai proses metabolik yang banyak, namun hanya sedikit diantaranya yang diukut pada pemeriksaan rutin. Pemeriksaan rutin tersebut dilakukan untuk mengetahui organ atau proses tertentu untuk menggambarkan akibat menyeluruh dari banyaknya peristiwa atau metabolisme (Sacher & McPherson 2004). Kerusakan fungsi ginjal dapat dideteksi dengan melihat kandungan ureum dan kreatinin dalam darah.

11 11 5. Parameter Fungsi Ginjal Ginjal berfungsi sebagai organ ekskresi. Ginjal memiliki fungsi utama dalam menjaga keseimbangan internal dengan jalan menjaga komposisi cairan ekstraselular. Untuk melaksakan hal itu sejumlah besar cairan difiltrasi di glomerulus dan kemudian direabsopsi dan disekresi di sepanjang nefron sehingga zat-zat yang berguna diserap kembali dan sisa-sisa metabolisme dikeluarkan sebagai urin (Alatas dkk., 2002). a. Ureum Ureum adalah produk akhir katabolisme protein dan asam amino yang diproduksi oleh hati dan didistribusikan melalui cairan intraseluler dan ekstraseluler ke dalam darah untuk kemudian difiltrasi oleh glomerulus. Ketika asam amino mengalami deaminasi terbentuk amonia dan asam α keto. Perkembangan toksisitas pada darah dapat dicegah dengan konversi amonia menjadi ureum yang berlangsung di hati. Konsentrasi ureum sewaktu difiltrasi di glomerulus setara dengan konsentrasi pada plasma yang memasuki kapiler tubulus. Ureum difiltrasi oleh glomerulus dan direabsorbsi sebagian oleh tubulus. Apabila fungsi ginjal terganggu, maka konsentrasi dalam plasma meningkat (Sacher dan McPherson, 2004). Peningkatan kadar ureum merupakan salah salah satu yang diidentifikasi pada pasien gagal ginjal berat dengan melakukan pengukurankadar Blood Urea Nitrogen (BUN) (Sacher dan McPherson, 2004). Produksi ureum meningkat karena asam amino dengan jumlah yang lebih banyak dimetabolisme di hati akibat pemecahan jaringan, atau

12 12 penurunan sintesa protein. Sebaliknya, produksi ureum menurun jika asupan protein berkurang. Nilai normal Ureum pada manusia adalah 8 sampai 25 mg/dl (Almatsier, 2001). Pada kelinci yang sehat, ureum akan disaring dan diekskresikan dengan urin. Kadar ureum dalam darah dapat diukur dengan uji Blood Ureum Nitrogen (BUN). Kadar ureum pada kelinci dapat dengan mudah dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan atau fisiologis pada kelinci, yang mencerminkan keadaan stres kelinci pada saat tertentu, seperti status hidrasi, transportasi, keberadaan orang asing dan lingkungan, dan adanya suarasuara bising (Nakyinsige dkk., 2013). Ureum pada kelinci dapat dipengaruhi oleh periode waktu saat sampel diambil, karena kadar ureum akan lebih tinggi di malam hari. Sampel darah yang untuk pengecekan BUN dapat diambil setelah kelinci dipuasakan pakan dan tetap diberikan air minum supaya tetap terhidrasi. Peningkatan kadar BUN dapat disebabkan oleh adanya gagal ginjal, diare yang mengakibatkan hipovolemia, penyumbatan saluran kemih dengan ginjal atau batu kandung kemih, tumor atau polip, penyakit jantung, perdarahan di saluran pencernaan, dan adanya keracunan. Sedangkan penurunan kadar BUN dapat disebabkan oleh over hidrasi malnutrisi, penyakit liver atau kerusakan, obat, dan kehamilan. Tanda-tanda penyakit ginjal yang dapat terlihat antara lain penurunan nafsu makan, hilangnya berat badan, kelesuan, anemia, sering buang air kecil, dan selalu merasa haus sehingga kebutuhan untuk minum lebih dari biasanya (Medirabbit, 2017).

13 13 Protein masuk ke dalam tubuh melalui makanan seperti telur, ikan dan daging. Protein yang dibutuhkan akan diserap oleh tubuh untuk proses metabolisme, sisanya yang tidak terserap merupakan sampah yang disebut ureum yang mengandung nitrogen. Apabila ginjal bekerja dengan baik, ureum tersebut akan dibuang bersama urin, namun apabila ginjal tidak dapat berfungsi dengan baik ureum akan tinggal di dalam darah. Pemeriksaan BUN dilakukan untuk mengukur kadar ureum dalam darah dan mengetahui performa ginjal dalam melaksanakan tugasnya membersihkan darah. Pemeriksaan ureum sangat membantu menegakkan diagnosis gagal ginjal akut. Pengukuran ureum serum dapat dipergunakan untuk mengevaluasi fungsi ginjal, status hidrasi, menilai keseimbangan nitrogen, menilai progresifitas penyakit ginjal, dan menilai hasil hemodialisis (Verdiansah, 2016). b. Kreatinin Kreatinin adalah produk protein otot yang merupakan hasil akhir metabolisme otot yang dilepaskan dari otot dengan kecepatan yang hampir konstan dan diekskresi dalam urin dengan kecepatan yang sama. Kreatinin diekskresikan oleh ginjal melalui kombinasi filtrasi dan sekresi, konsentrasinya relatif konstan dalam plasma dari hari ke hari, kadar yang lebih besar dari nilai normal menandakan adanya gangguan fungsi ginjal (Cotran, 1995). Meningkatnya kadar kreatinin dalam darah merupakan indikasi rusaknya ginjal. Selain itu, data kadar kreatinin dalam darah dan jumlah

14 14 dalam urin dapat digunakan untuk memperkirakan laju filtrasi glomerulus (Lu, 2010). Sama dengan ureum, kreatinin akan menumpuk dalam darah apabila ginjal tidak berfungsi sebagaimana mestinya untuk menyaring serta membuangnya bersama urin. Nilai normal kreatinin adalah 0,5 sampai 1,5 mg/dl untuk pria dewasa, dan 0,5 sampai 1,3 mg/dl untuk wanita dewasa (Almatsier, 2001). Kreatinin terbentuk di dalam otot dari kreatinin fosfat melalui proses dehidrasi nonenzimatik yang irreversibel dan pelepasan fosfat. Suatu produk penguraian otot yang diekskresikan oleh ginjal melalui kombinasi filtrasi dan ekskresi dikenal dengan kreatinin. Konsentrasi kreatinin dalam plasma relatif tetap dari hari ke hari. Kreatinin plasma merupakan indikator kuat bagi fungsi ginjal, peningkatan kadar dua kali lipat dari kadar plasma normal menunjukkan penurunan fungsi ginjal sebesar 50% (Perrone dkk., 1992). Kreatinin sering digunakan dalam tes fungsi ginjal untuk mengukur glomerulus filtration rate (GFR). Klirens kreatinin memberi perkiraan yang mendekati klirens inulin dan lebih mudah ditentukan daripada klirens inulin. Selain itu, kreatinin tidak dipengaruhi oleh diet protein, derajat hidrasi pasien dan metabolisme protein, sehingga pengukuran fungsi ginjalnya lebih realistis daripada ureum. Prinsip reaksi pada pengukuran kadar kreatinin, yaitu kreatinin akan membentuk senyawa berwarna kuning jingga dalam larutan alkalis pikrat. Jumlah kreatinin yang di ekskresi menggambarkan fungsi masa otot dan tidak dipengaruhi oleh makanan, umur, jenis kelamin dan aktivitas yang dilakukan (Perrone dkk., 1992).

15 15 G. Keterangan Empiris Penelitian ini bersifat eksperimental eksploratif untuk mengetahui efek toksik pemberian kandidat vaksin influenza pada kelinci jantan maupun betina galur New Zealand. Penelitian dilakukan dengan mengamati wujud efek toksik terhadap fungsi ginjal dengan parameter kimia darah yang berupa ureum dan kreatinin. Vaksin influenza dipejankan melalui pemberian intramuskular pada paha (femur) sebanyak satu hingga tiga kali dengan jeda waktu antar pemberian adalah dua minggu mengikut metode WHO Annex I TRS 927 mengenai WHO Guideline on non clinical evaluation of vaccines.