MODEL PENGENDALIAN PENCEMARAN PERAIRAN DI DANAU MANINJAU SUMATERA BARAT MARGANOF

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "MODEL PENGENDALIAN PENCEMARAN PERAIRAN DI DANAU MANINJAU SUMATERA BARAT MARGANOF"

Transkripsi

1 MODEL PENGENDALIAN PENCEMARAN PERAIRAN DI DANAU MANINJAU SUMATERA BARAT MARGANOF SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Model Pengendalian Pencemaran Perairan di Danau Maninjau Sumatera Barat adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Juli 2007 Marganof NRP P

3 ABSTRAK MARGANOF. Model Pengendalian Pencemaran Perairan di Danau Maninjau Sumatera Barat. Dibimbing oleh LATIFAH K. DARUSMAN, ETTY RIANI, dan BAMBANG PRAMUDYA N. Kualitas perairan Danau Maninjau semakin menurun akibat masuknya beban pencemar baik organik maupun anorganik yang berasal dari berbagai sumber pencemar. Sumber utama pencemaran berasal dari kegiatan di sekitar perairan danau, seperti dari permukiman, pertanian, peternakan dan perhotelan serta kegiatan di badan air danau yaitu kegiatan keramba jaring apung (KJA). Tujuan utama penelitian ini adalah untuk membangun model pengendalian pencemaran perairan di Danau Maninjau. Untuk mencapai tujuan utama tersebut, maka pada penelitian ini dilakukan beberapa kegaitan diantaranya (1) menentukan kondisi eksisting perairan Danau Maninjau, (2) membangun suatu model dinamis yang menggambarkan sistem pengendalian pencemaran perairan di Danau Maninjau, dan (3) merumuskan kebijakan atau skenario pengendalian pencemaran perairan danau. Model di dalam penelitian ini dibangun melalui pendekatan sistem dengan menggunakan program powersim versi 2,5c. Hasil penelitian menunjukkan bahwa parameter pencemaran perairan danau seperti COD, BOD 5, DO, TSS dan PO 4 3- sudah di atas ambang batas yang dipersyaratkan sebagai sumber air baku air minum. Berdasarkan nilai indeks mutu lingkungan perairan (IMLP) perairan Danau Maninjau dikategorikan dalam kondisi tercemar sedang. Model pengendalian pencemaran terbangun dalam lima sub-model limbah yaitu: (1) submodel limbah penduduk, (2) sub-model limbah hotel, (3) sub-model limbah peternakan, (4) sub-model limbah pertanian, dan (5) sub-model limbah KJA. Melalui analisis prospektif didapatkan lima faktor penting yang berpengaruh di masa depan dalam pengendalian pencemaran perairan di Danau Maninjau, yaitu (1) jumlah KJA, (2) pertumbuhan penduduk, (3) partisipasi masyarakat, (4) pemanfaatan lahan, dan (5) dukungan pemerintah daerah. Kebijakan yang direkomendasikan untuk pengendalian pencemaran di perairan Danau Maninjau berdasarkan prioritas adalah meningkatkan persepsi dan kesadaran masyarakat di sekitar perairan danau, menekan laju pertumbuhan KJA, membatasi laju pertumbuhan KJA, efisiensi pemberian pakan dan pemberian pakan dengan kandungan posfor (P) yang rendah, pemakaian pupuk dan pestisida yang efisien, serta pengolahan lahan dan vegetasi di sempadan danau. Kata kunci : pengendalian pencemaran, pendekatan sistem, model, analisis prospektif

4 ABSTRACT MARGANOF. Model of Water Pollution Control on Maninjau Lake, West Sumatera. Under direction of LATIFAH K. DARUSMAN, ETTY RIANI and BAMBANG PRAMUDYA N. Water quality of Maninjau Lake has been diminished by organic and inorganic matters that flow into the lake from various sources. The main sources of pollution come from the surrounding activities such as residential area, agriculture, husbandry, and hotel accommodation along with activities on the water body of the lake, that is floating net cage. The main objective of the research was to develop a model of water pollution control on Maninjau Lake. To achieve this main objective, there were three activities to be accomplished to: (1) determine the existing water condition of Maninjau Lake, (2) develop a dynamic model for describing the pollution control system, and (3) formulate policies or scenarios of water pollution control of the lake. Model in this study was developed using system approach by means of powersim version 2.5c. Results of the study showed that water pollution parameter such as Chemical Oxygen Demand (COD), Biochemical Oxygen Demand (BOD 5 ), Dissolved Oxygen (DO), Total Suspended Solid (TSS), and Phosphate (PO 4 ) are over tolerable pollutant level for the source of drinking water standard. According to water quality environmental index, the Maninjau Lake is categorized as medium pollution level. Pollution control model in this study were built into five sub-models, namely: (1) house hold waste sub-model, (2) hotel debris sub-model, (3) husbandry waste sub-model, (4) agriculture waste submodel, and (5) floating net cage trash sub-model. By using prospective analysis, there were five important factors identified that can affect the future of the lake s water pollution control: (1) number of floating net cage, (2) population growth, (3) community participation, (4) land used, and (5) local government support. Recommended policies to control the future of the Maninjau lake s water pollution in priority are increasing community perception and participation, controlling population growth, limiting the growth rate of fish floating net cage, making efficiency of fish feeding using low phosphorus (P)-content-foods, making efficiency on using fertilizers and pesticides, conducting better land and vegetation management in catchments areas. Key words: pollution control, system approach, model, prospective analysis

5 Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak Cipta Dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotocopy, mikrofilm, dan sebagainya

6 MODEL PENGENDALIAN PENCEMARAN PERAIRAN DI DANAU MANINJAU SUMATERA BARAT MARGANOF Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

7 Judul Disertasi : Model Pengendalian Pencemaran Perairan Di Danau Maninjau Sumatera Barat Nama : Marganof NRP : P Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Latifah K. Darusman, MS. Ketua Dr. Ir. Etty Riani, MS. M.Eng. Anggota Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudya N., Anggota Diketahui Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS. MS. Prof. Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, Tanggal Ujian : 10 Juli 2007 Tanggal Lulus :

8 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas karunia dan rahmat-nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan disertasi dengan judul: Model Pengendalian Pencemaran Perairan Di Danau Maninjau Sumatera Barat. Disertasi ini disusun dalam rangka memenuhi tugas akhir penyelesaian program Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Selama pelaksanaan penelitian dan penulisan disertasi ini penulis telah banyak mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Latifah Kosim Darusman, MS., selaku ketua Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan perhatian, nasehat, arahan dan waktu secara sabar untuk berdiskusi dengan memberikan semangat secara terus menerus sejak perencanaan penelitian sampai penyelesaian penulisan disertasi ini. 2. Dr. Ir. Etty Riani, MS. dan Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudya N., M.Eng., selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan arahan dan perhatian serta waktu dan tenaga dalam berdiskusi mulai dari perencanaan penelitian sampai terselesaikannya disertasi ini. 3. Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, MS., selaku Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana IPB yang telah memacu dan memberikan semangat untuk menyelesaikan studi secara lebih baik. 4. Prof. Dr. Ir. Much. Sri Saeni, MS., selaku Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup, yang telah memberikan koreksi, masukan, saran perbaikan dan semangat dalam menyelesaikan studi. 5. Dr. Ir. Hartrisari Hardjomidjojo, DEA dan Dr. Ir. Siti Nurbaya, MSc., selaku Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka, yang telah memberikan masukan, kritik dan saran dalam rangka penyelesaian studi.

9 6. Koordinator Kopertis Wilayah X beserta staf atas izin pendidikan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti program Doktor di Institut Pertanian Bogor. 7. Rektor Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat yang telah memberikan izin kepada penulis untuk mengikuti program Doktor di Institut Pertanian Bogor. 8. Gubernur Sumatera Barat yang telah memberikan dana bantuan untuk menunjang pelaksanaan penelitian dan penulisan disertasi ini. 9. Ayahanda Karani Rasul (Alm) dan Ibunda Dahniar N, yang senantiasa memberikan doa restu dan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan pendidikan Doktor di Institut Pertanian Bogor dengan baik. 10. Kakakku Neldayuliarti sekeluarga dan adikku Onwarnida sekeluarga yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materil selama penulis menempuh pendidikan Doktor di Institut Pertanian Bogor. 11. Istriku Desi Darma dan anak-anakku Zahrah Marganof dan Hasnan Habib Marganof yang telah memberikan pengorbanan selama penulis menempuh pendidikan Doktor di Institut Pertanian Bogor. 12. Teman-teman khususnya Dr. Ir. Gufran Darma Dirawan, MSc., Dr. Ir. Herman, MS., Dr. Syafrani, MSi., Ir. Frida Purwanti, MSc., Dr. Drh. Ratna Katharina, MSi., Ir. Nanti Kasih, MT., Ir. Henny Pagorai, MSi., Ir. Saharia, MSi., Ir. Luluk Sulistiyono, MS., dan Ir. Marini Susanti, MSi., yang telah banyak membantu dan berdiskusi selama menuntut ilmu di Institut Pertanian Bogor. Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan Ibu dan Bapak dengan berlipat ganda. Akhir kata penulis menyadari bahwa tulisan ini masih belum sempurna, namun demikian penulis berharap semoga karya ilmiah yang sederhana ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan semua pihak yang memerlukannya. Bogor, Juli 2007 Marganof

10 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sungai Naning, Kabupaten Limapuluh Kota Provinsi Sumatera Barat pada tanggal 21 September 1963 sebagai anak ke tiga dari pasangan Karani Rasul (alm) dan Dahniar N. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Pendidikan Kimia, Fakultas Pendidkan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Padang, lulus pada tahun Pada tahun 1997, penulis diterima di Program Studi Kimia pada Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang dan menamatkannya pada tahun Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari program BPPS Departemen Pendidikan Nasional. Penulis bekerja sebagai dosen Kopertis Wilayah X yang dipekerjakan pada Program Studi Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat sejak tahun Mata kuliah yang diasuh adalah Kimia Dasar dan Kimia Kayu. Artikel ilmiah penulis berjudul Analisis Beban Pencemaran, Kapasitas Asimilasi dan Tingkat Pencemaran dalam Upaya Pengendalian Pencemaran Perairan di Danau Maninjau Sumatera Barat dalam proses penerbitan dalam Jurnal Nature Indonesia Volume 10 No. 1 bulan Oktober Artikel lain berjudul Model Dinamik Pencemaran Perairan Danau Maninjau akan diterbitkan pada CrestWater Journal Volume 1 No. 1 pada bulan Agustus Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.

11 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xiv DAFTAR GAMBAR... xvi DAFTAR LAMPIRAN... xix I. PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Kerangka Pemikiran Perumusan Masalah Manfaat Penelitian Novelty (Kebaruan) Penelitian... 9 II. TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Perairan Danau Pencemaran Perairan Danau Eutrofikasi Indikator Parameter Pencemaran Parameter Fisika Parameter Kimia Parameter Mikrobiologi Dampak Pemanfaatan Lahan terhadap Kualitas Perairan Dampak Sedimentasi terhadap Kualitas Perairan Pengendalian Pencemaran Perairan Danau Pendekatan Sistem Modeling (Pemodelan) Validasi dan Sensitivitas Model Persepsi Masyarakat dalam Pengendalian Pencemaran III. METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Jenis dan Sumber Data Pelaksanaan Penelitian Analisis Data Analisis Fisika, Kimia dan Mikrobiologi Analisis Beban Pencemar Analisis Persepsi Masyarakat Pendekatan Sistem dalam Pengendalian Pencemaran Model Pengendalian Pencemaran Asumsi yang Digunakan Analisis Pengembangan Skenario Pengendalian Pencemaran Definisi Operasional xii

12 IV. PROFIL DAERAH PENELITIAN Letak Administrasi dan Kondisi Geografis Iklim dan Curah Hujan Kondisi Tofografi Hidrologi Geologi Kawasan Danau Maninjau Tataguna Lahan di sekitar Perairan Danau Kependudukan di Kawasan Danau Maninjau Lapangan Kerja Penduduk Pendidikan Masyarakat di Kawasan Danau Maninjau Kesehatan Masyarakat Isu Pencemaran Perairan di Danau Maninjau V. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Eksisting Perairan Danau Parameter Fisika, Kimia dan Mikrobiologi Status Kualitas Lingkungan Perairan Danau Sumber dan Jenis Pencemar Perairan Danau Beban Pencemaran Perairan Danau Persepsi Masyarakat dalam Pengendalian Pencemaran Pemodelan Sistem Sub-model Limbah Penduduk Sub-model Limbah Hotel Sub-model Limbah Peternakan Sub-model Limbah Pertanian Sub-model Limbah KJA Analisis Kecenderungan Sistem Validasi Model Penyusunan Skenario Pengendalian Pencemaran Perairan Analisis Perbandingan Penerapan antar Skenario Arahan Kebijakan Pengendalian Pencemaran Perairan Danau Analisis Sensitivitas Pembahasan Umum VI. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xiii

13 DAFTAR TABEL Halaman 1. Klasifikasi tingkat trofik (kesuburan) perairan danau Sumber pencemar N dan P di Waduk Cirata Jumlah N dan P masuk ke perairan dari berbagai sumber pencemar Status kualitas air berdasarkan kandungan oksigen terlarut Status kualitas air berdasarkan nilai BOD Status kualitas air berdasarkan kandungan nitrit Jenis dan ukuran sedimen yang masuk ke perairan danau Parameter kualitas air dan metode analisis serta alat yang digunakan Sumber pencemar, parameter dan sumber data Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian Kriteria indeks mutu lingkungan perairan Faktor konversi limbah organik Analisis kebutuhan stakeholder (pelaku) Pedoman penilaian keterkaitan antar faktor Matriks pengaruh langsung antar faktor dalam analisis prospektif Data unsur iklim kawasan Danau Maninjau ( ) Jumlah bulan basah, kering dan lembab kawasan Danau Maninjau Lebar dan debit beberapa sungai yang bermuara ke Danau Maninjau Luas penggunaan lahan kawasan Danau Maninjau Rasio jenis kelamin penduduk kawasan Danau Maninjau Kondisi luas lahan dan kepadatan penduduk kawasan Danau Maninjau Pertumbuhan penduduk kawasan Danau Maninjau Tingkat pendidikan penduduk kawasan Danau Maninjau Sumber dan jenis bahan pencemar potensial di perairan Danau Maninjau Keadaan pembuangan tinja penduduk kawasan Danau Maninjau Total beban pencemaran dari sungai yang masuk ke perairan Danau Maninjau Januari-Juli 2006 (ton/tahun) Sebaran karakteristik responden xiv

14 28. Populasi penduduk dan jumlah KJA serta jumlah limbah yang dihasilkan tahun Keterkaitan antar faktor dan state (kondisi) untuk analisis prospektif Skenario dan kombinasi keadaan faktor xv

15 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Kerangka pemikiran penelitian Komposisi air limbah domestik Tahapan kerja dalam pendekatan sistem Peta lokasi penelitian Hubungan antara beban pencemaran dan konsentrasi pencemar Diagram lingkar sebab akibat (causal loop diagram) sistem pengendalian pencemaran perairan danau Diagram masukan-keluaran (input-output diagram) sistem pengendalian pencemaran perairan danau Tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor dalam sistem Peta penggunaan lahan kawasan perairan Sebaran nilai rata-rata suhu di perairan danau Sebaran nilai rata-rata TSS di perairan danau Sebaran nilai rata-rata kecerahan di perairan danau Sebaran nilai rata-rata kekeruhan di perairan danau Sebaran nilai rata-rata TDS di perairan danau Sebaran nilai rata-rata warna di perairan danau Sebaran nilai rata-rata ph di perairan danau Sebaran nilai rata-rata CO 2 bebas di perairan danau Sebaran nilai rata-rata DO di perairan danau Sebaran nilai rata-rata BOD 5 di perairan danau Sebaran nilai rata-rata COD di perairan danau Sebaran nilai rata-rata nitrat di perairan danau Sebaran nilai rata-rata nitrit di perairan danau Sebaran nilai rata-rata ammonia di perairan danau Sebaran nilai rata-rata fosfat di perairan danau Sebaran nilai rata-rata DDT di perairan danau Sebaran rata-rata karbofenotion di perairan danau Sebaran nilai rata-rata fecal coliform di perairan danau xvi

16 28. Sebaran nilai rata-rata total coliform di perairan danau Indeks mutu lingkungan perairan (IMLP) danau Hubungan antara beban pencemar TSS di muara sungai dengan kadar TSS perairan danau Hubungan antara beban pencemar TDS di muara sungai dengan kadar TDS perairan danau Hubungan antara beban pencemar COD di muara sungai dengan kadar COD perairan danau Hubungan antara beban pencemar BOD 5 di muara sungai dengan kadar BOD 5 perairan danau Hubungan antara beban pencemar PO 4 di muara sungai dengan kadar PO 4 perairan danau Hubungan antara beban pencemar NO 3 di muara sungai dengan kadar NO 3 perairan danau Persentase persepsi masyarakat Nagari Bayur tentang pengendalian pencemaran perairan danau Persentase persepsi masyarakat Nagari Maninjau tentang pengendalian pencemaran perairan danau Persentase persepsi masyarakat Nagari Sungai Batang tentang pengendalian pencemaran perairan danau Diagram alir model limbah dari luar danau Diagram alir sub-model limbah penduduk Diagram alir sub-model limbah hotel Diagram alir sub-model limbah peternakan Diagram alir sub-model limbah pertanian Diagram alir sub-model limbah KJA Diagram alir model pengendalian pencemaran perairan danau Kecenderungan jumlah limbah masuk ke perairan danau Hubungan antara jumlah penduduk dengan jumlah limbah Grafik perbandingan jumlah penduduk hasil simulasi dengan data empirik Grafik perbandingan perkembangan jumlah KJA hasil simulasi dengan data empirik Gambaran tingkat kepentingan faktor-faktor yang berpengaruh pada sistem pengendalian pencemaran Prediksi beban limbah pada skenario pesimistik sampai tahun Prediksi beban limbah pada skenario moderat sampai tahun xvii

17 53. Prediksi beban limbah pada skenario optimistik sampai tahun Grafik perbandingan tiga skenario beban limbah dalam pengendalian pencemaran perairan di Danau Maninjau tahun Grafik beban limbah dengan pengurangan pertumbuhan penduduk dengan intervensi struktural Grafik beban limbah dengan pengurangan pertumbuhan KJA dengan intervensi struktural xviii

18 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air Nilai rata-rata parameter kualitas air pada setiap stasiun pengamatan Hasil perhitungan indeks mutu lingkungan perairan (IMLP) Penghitungan beban limbah dari aktivitas penduduk Persepsi masyarakat sekitar Danau Maninjau tentang pengendalian pencemaran perairan Pengaruh langsung antar faktor pada analisis prospektif Daftar responden pakar (expert) pengendalian pencemaran perairan di Danau Maninjau Hasil perhitungan KF dan tingkat kecocokan model dari data empirik dan simulasi xix

19 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki lebih dari 500 danau dengan luas keseluruhan lebih dari km 2 atau sekitar 0,25% dari luas daratan Indonesia (Davies et al.,1995), namun status kondisi sebagian besar danau tersebut akhir-akhir ini sudah sangat memprihatinkan. Pada saat ini fungsi dan manfaat danau dirasakan sudah semakin berkurang. Fenomena ini disebabkan oleh terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan perairan danau serta koordinasi antar sektoral dalam pengelolaannya yang sangat lemah atau hampir tidak ada sama sekali (Sumarwoto et al., 2004). Pencemaran yang terjadi di perairan danau, merupakan masalah penting yang perlu memperoleh perhatian dari berbagai pihak. Hal ini disebabkan beragamnya sumber bahan pencemar yang masuk dan terakumulasi di danau. Sumber-sumber bahan pencemar tersebut antara lain berasal dari kegiatan produktif dan non-produktif di upland (lahan atas), dari permukiman dan dari kegiatan yang berlangsung di badan perairan danau itu sendiri, dan sebagainya. Jenis bahan pencemar utama yang masuk ke perairan danau terdiri dari beberapa macam, antara lain limbah organik dan anorganik, residu pestisida, sedimen dan bahan-bahan lainnya. Keberadaan bahan pencemar tersebut dapat menyebabkan terjadinya penurunan kualitas perairan danau, sehingga tidak sesuai lagi dengan jenis peruntukannya sebagai sumber air baku air minum, perikanan, pariwisata dan sebagainya. Selain itu, pencemaran juga dapat menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati, khususnya spesies endemik (asli) danau tersebut (Khosla et al., 1995; Kumurur, 2002). Dampak negatif lain dari pencemaran perairan danau tidak hanya dapat menimbulkan kerugian secara ekonomis dan ekologis berupa penurunan produktivitas hayati perairan, tetapi juga dapat membahayakan kesehatan bahkan dapat menyebabkan kematian manusia yang memanfaatkan perairan danau untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Fakhrudin et al., 2001). Danau Maninjau merupakan salah satu danau terpenting di Sumatera Barat, tepatnya di Kabupaten Agam. Bagi masyarakat yang berdomisili di sekitar danau, danau merupakan sumber kehidupan dan penghidupan. Masyarakat

20 2 memanfaatkannya untuk memenuhi berbagai kebutuhan domestik seperti sumber air baku air minum, mandi, dan mencuci (MCK). Pemanfaatan penting lainnya adalah untuk perikanan (perikanan budidaya dan perikanan tangkap), sumber air untuk irigasi, sebagai obyek wisata serta sebagai sumber pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang mengaliri sebagian besar kebutuhan listrik untuk wilayah Sumatera Barat. Nilai penting lainnya dari keberadaan Danau Maninjau adalah adanya jenis ikan endemik, yakni ikan bada (Rasbora argyrotaenia) yang mempunyai nilai ekonomis yang tinggi. Bahkan ikan bada yang sudah dikeringkan ( ikan bada masiak ) harganya mencapai Rp ,- per kg (Diliarosta, 2002). Keberadaan ikan-ikan tersebut sudah semakin terancam akibat semakin meningkatnya beban pencemaran yang masuk ke badan air danau, sehingga menyebabkan kualitas perairan danau semakin menurun (Syandri, 2002a). Meningkatnya beban pencemaran yang masuk ke perairan danau juga disebabkan oleh kebiasaan masyarakat yang berdomisili di sekitar danau. Umumnya masyarakat sekitar danau membuang limbah domestik, baik limbah cair maupun limbah padatnya langsung ke perairan danau (Fahkruddin et al., 2001; Haryani, 2001). Hal ini akan memberikan tekanan terhadap ekosistem perairan danau. Berbagai aktivitas penduduk yang ada di sempadan danau, seperti permukiman, perhotelan, pertanian dan peternakan merupakan sumber bahan pencemar yang masuk ke perairan danau. Kegiatan di badan perairan danau, berupa pembudidayaan ikan dengan teknik keramba jaring apung (KJA) juga merupakan sumber limbah yang potensial mencemari perairan danau. Bapedalda Sumbar (2001) melaporkan bahwa penyebab utama penurunan kualitas perairan Danau Maninjau adalah akibat dari kegiatan perikanan KJA yang sudah melampaui daya dukung perairan danau. Fakta lain juga mengungkapkan bahwa kualitas perairan Danau Maninjau cenderung terus menurun dari waktu ke waktu, akibat semakin tingginya tingkat pencemaran karena buangan limbah domestik dan pertanian (LPP UMJ, 2006). Saat ini, kepedulian terhadap ekosistem perairan Danau Maninjau semakin kurang diperhatikan oleh hampir seluruh pengguna ekosistem perairan danau

21 3 tersebut. Prinsip-prinsip ekologis bahwa perairan danau memiliki carrying capacity (daya dukung) dan daya asimilasi terhadap limbah yang terbatas tidak dipahami oleh sebagian besar masyarakat pengguna danau. Seperti contoh pemanfaatan danau untuk kegiatan budidaya perikanan dengan teknik KJA selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya. Sampai akhir tahun 2006, terdapat unit KJA yang beroperasi di perairan Danau Maninjau. Jumlah ini sudah sangat melebihi daya dukung perairan danau untuk kegiatan KJA (Syandri, 2006). Hal ini akan memberikan tekanan terhadap perairan danau semakin meningkat. Di satu sisi, pengembangan usaha budidaya ikan dalam KJA akan memberikan dampak positif berupa penciptaan lapangan kerja baru dan peningkatan pendapatan masyarakat setempat, namun di sisi lain usaha ini juga akan membawa dampak negatif terhadap ekosistem perairan danau. Dalam hal ini, kegiatan budidaya ikan dengan KJA secara langsung akan mempengaruhi (menurunkan) kualitas perairan danau (Bappeda Agam, 2002). Pengaruh tersebut diakibatkan oleh limbah pakan dan zat pemberantas hama perikanan. Bila konsentrasinya melebihi ambang batas, dapat mencemari dan meracuni biota di perairan danau tersebut. Kematian masal ikan dalam KJA sebanyak 950 ton yang terjadi pada tahun 1997 dan 2000 yang menelan kerugian milyaran rupiah, mengindikasikan telah terjadi penurunan kualitas perairan di Danau Maninjau (Syandri, 2002b). Masuknya limbah pakan (nutrien) ke perairan danau dalam jumlah yang berlebih dapat menyebabkan perairan menjadi lewat subur, sehingga akan menstimulir blooming (ledakan) populasi fitoplankton dan mikroba air yang bersifat patogen. Limbah zat hara dan organik baik dalam bentuk terlarut maupun partikel, berasal dari pakan yang tidak dimakan dan eksresi ikan, yang umumnya dikarakterisasi oleh peningkatan total padatan tersuspensi (TSS), BOD 5, COD, dan kandungan C, N dan P. Secara potensial penyebaran dampak buangan limbah yang kaya zat hara dan bahan organik tersebut dapat meningkatkan sedimentasi, siltasi, hipoksia, hipernutrifikasi, dan perubahan produktivitas serta struktur komunitas bentik (Barg, 1992). Fenomena-fenomena tersebut menunjukkan bahwa pencemaran yang terjadi di perairan Danau Maninjau semakin mengkhawatirkan karena dapat

22 4 mengancam kelestarian fungsi danau. Hal ini merupakan masalah yang perlu segera ditangani secara serius agar tidak meluas dan semakin parah di kemudian hari. Ekosistem danau merupakan suatu sistem, terdiri dari komponen biotik dan abiotik yang saling berinteraksi dengan lingkungannya. Fenomena tentang penurunan kualitas perairan (pencemaran) yang terjadi di perairan Danau Maninjau, menunjukkan permasalahan yang kompleks dan sulit dipahami jika hanya menggunakan satu disiplin keilmuan. Konsep sistem yang berlandaskan pada unit keragaman dan selalu mencari keterpaduan antar komponen melalui pemahaman secara holistik (menyeluruh) dan utuh, merupakan suatu alternatif pendekatan baru dalam memahami dunia nyata (Forester, 1971). Pendekatan sistem merupakan cara penyelesaian persoalan yang dimulai dengan dilakukannya identifikasi terhadap sejumlah kebutuhan, sehingga dapat menghasilkan suatu operasi sistem yang efektif (Eriyatno, 2007). Oleh karena itu, kajian tentang pencemaran yang terjadi di perairan Danau Maninjau dapat dilakukan dengan pendekatan sistem dalam membangun model pengendalian pencemarannya dalam upaya mewujudkan perairan danau yang bersih dan lestari, sehingga pemanfaatan fungsi danau dapat berkesinambungan Tujuan Penelitian Tujuan utama penelitian ini adalah membangun model pengendalian pencemaran perairan di Danau Maninjau; untuk mencapai tujuan tersebut, maka pada penelitian ini akan dilakukan kegiatan-kegiatan: 1. Menganalisis kualitas perairan dan tingkat pencemaran perairan di Danau Maninjau 2. Membangun model yang menggambarkan sistem pengendalian pencemaran perairan di Danau Maninjau 3. Merumuskan alternatif atau rancangan kebijakan pengendalian pencemaran perairan di Danau Maninjau Kerangka Pemikiran Permasalahan utama yang dihadapi oleh perairan lentik (tergenang), terutama danau dan waduk adalah masalah penurunan kualitas dan kuantitas

23 5 perairan. Permasalahan penurunan kualitas perairan umumya disebabkan oleh adanya bahan pencemar baik organik maupun anorganik yang masuk ke badan perairan tersebut. Sementara itu, permasalahan kekurangan air disebabkan oleh terbatasnya presipitasi air dan penggunaan air yang berlebihan. Danau Maninjau merupakan sumberdaya alam yang memberikan manfaat besar bagi masyarakat baik dari aspek ekonomi, sosial maupun dari aspek ekologi. Oleh karena itu, salah satu program penting pemerintahan Kabupaten Agam yang tertuang dalam Renstra dan Propeda Kabupaten Agam tahun tentang pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan adalah menjadikan kawasan perairan danau sebagai kawasan yang bersih, sehat dan indah yang bebas dari pencemaran (Bappeda Agam, 2005). Danau Maninjau mempunyai banyak potensi yang menunjang secara finansial, sehingga menyebabkan pertumbuhan penduduk dan pelayanan jasa di sekitar danau menjadi semakin meningkat. Perkembangan penduduk di sekitar perairan danau dengan berbagai aktivitasnya, merupakan sumber utama bahan pencemar (limbah) yang masuk ke perairan danau, sehingga menyebabkan terjadinya penurunan kualitas perairan danau. Pada kawasan perairan danau terdapat beberapa faktor lingkungan yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya, yaitu lingkungan permukiman, lingkungan pariwisata, lingkungan pertanian dan peternakan, serta lingkungan sosial ekonomi masyarakat baik berupa pasar, rumah sakit dan sarana sosial lainnya. Semua hasil buangan dari kegiatan di lingkungan tersebut akan bermuara ke perairan danau. Kenyataan yang ada dan langsung dapat dirasakan adalah turunnya fungsi lingkungan perairan danau sebagai sumber kehidupan masyarakat sehari-hari. Meskipun berbagai upaya penanggulangan pencemaran telah dilakukan oleh pemerintah, seperti program pengendalian pencemaran perairan secara biologi ingkongbudo, program kalibersih (prokasih) dan program lainnya, namun pencemaran perairan tetap terjadi. Upaya dalam menanggulangi makin menurunnya kualitas perairan danau akibat berbagai kegiatan masyarakat yang berada di sekitar perairan danau dan di badan air danau, perlu dilakukan suatu kajian model pengendalian yang menyentuh semua aspek kehidupan masyarakat di sekitar perairan danau sebagai

24 6 penghasil limbah. Menurut Jorgensen dan Vollenweider (1989), penggunaan pemodelan dalam pengelolaan danau atau waduk merupakan suatu hal yang bermanfaat. Hal ini disebabkan model dapat mensintesis pengetahuan dari sistem dan permasalahan yang ada. Pendekatan studi untuk mewujudkan pengendalian pencemaran perairan danau yang holistik, memerlukan kajian yang mendalam mengenai permasalahan yang terdapat di perairan danau. Permasalahan tersebut berkaitan dengan potensi dan ancaman dalam pemanfaatan danau oleh masyarakat sekitar perairan danau. Potensi dan ancaman tersebut diidentifikasi baik secara fisika, kimia dan mikrobiologi maupun secara ekonomi-sosial dan budaya berdasarkan kebutuhan stakeholder (pelaku) yang terlibat dalam pemanfaatan perairan danau. Tahap selanjutnya adalah menyusun alternatif skenario model pengendalian pencemaran perairan danau dan akhirnya menyusun rancangan model pengendalian pencemaran di perairan danau yang komprehensif yang dapat mengakomodasi semua kepentingan pelaku. Model pengendalian yang dibangun dilakukan dengan cara identifikasi secara mendalam tentang isu atau permasalahan yang terjadi di perairan danau serta membangun sistem dan kontrol untuk mencegah atau meminimisasi dampak atau kerugian lingkungan. Model pengendalian yang dibangun didasarkan pada beban limbah dari berbagai kegiatan di sekitar danau dan di badan air danau serta karakteristik dari danau itu sendiri. Model yang dibangun juga diharapkan sebagai dasar dalam memformulasi kebijakan oleh pengelola dan para pengambil keputusan dalam pemanfaatan dan pengelolaan pencemaran perairan danau. Secara skematis kerangka pemikiran penelitian pengendalian pencemaran perairan di Danau Maninjau diilustrasikan seperti pada Gambar 1.

25 7 Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian Perumusan Masalah Danau Maninjau, seperti halnya danau-danau di Indonesia pada umumnya juga mengalami masalah yang hampir sama yaitu masalah pencemaran perairan, penurunan kualitas perairan, penurunan debit air dan pendangkalan danau. Apabila tidak ada usaha-usaha pencegahan dan pengendalian dikhawatirkan pencemaran dan sedimentasi akan terus-menerus berlangsung, yang selanjutnya akan berpengaruh pada menurunnya nilai atau fungsi dari danau serta berdampak pada kelangsungan fungsi danau. Perubahan yang terjadi pada sumberdaya alam tersebut akan berdampak terhadap pemenuhan kebutuhan hidup penduduk setempat. Penurunan kualitas perairan danau juga dapat berdampak buruk terhadap kesehatan dan kesejahteraan masyarakat sekitar perairan danau pada khususnya dan masyarkat Sumatera Barat pada umumnya. Pencemaran yang terjadi di perairan Danau Maninjau diduga berasal dari aliran (masukan) beban limbah dari kegiatan masyarakat yang berlangsung di

26 8 indogenous (badan air danau) dan di exogenous (luar danau). Limbah yang berasal dari kegiatan yang berlangsung di badan air bersumber dari kegiatan KJA. Beban limbah organik yang bersumber dari KJA berupa sisa pakan dan feses ikan dapat menurunkan kualitas perairan danau. Selain itu, penurunan kualitas perairan juga disebabkan oleh limbah yang berasal dari luar danau berupa limbah domestik, limbah dari kegiatan pertanian dan peternakan yang berada di sekitar perairan danau. Penumpukan unsur hara hasil dekomposisi bahan organik yang berlebihan di perairan danau, akan menimbulkan permasalahan karena, unsur hara yang berlebihan akan menyebabkan perairan mengalami pengkayaan oleh unsur hara (eutrofikasi). Dekomposisi bahan organik yang berlebihan juga akan menyebabkan perairan mengalami kekurangan oksigen (anoxia). Proses dekomposisi tanpa adanya oksigen akan menyebabkan terbentuknya senyawasenyawa toksik (beracun), sehingga berdampak buruk terhadap organisme akuatik dan manusia yang memanfaatkan perairan danau tersebut. Pendangkalan yang terjadi di danau diduga dari erosi yang berasal dari daerah tangkapan air (DTA) dan sempadan danau. Erosi yang tinggi pada daerah tersebut akan terbawa oleh aliran sungai yang pada akhirnya akan mengendap sebagai sedimen di dasar danau. Akumulasi dari erosi yang terjadi terus-menerus akan mengarah pada terjadinya pendangkalan danau, penurunan kuantitas dan kualitas air serta dapat merusak habitat di badan perairan danau. Oleh karena itu diperlukan upaya-upaya pengendalian sumber pencemaran yang masuk ke perairan danau melalui pendekatan kesisteman dan kebijakan yang dapat diterima oleh berbagai pihak. Menurut Jorgensen (1989), penggunaan model sangat cocok untuk memecahkan permasalahan lingkungan yang kompleks. Jorgensen (1994) juga mengemukakan bahwa penggunaan model dalam permasalahan ekologi adalah suatu keharusan jika ingin memahami tentang fungsi sistem yang kompleks seperti dalam ekosistem. Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah tersebut terlihat bahwa ada keterkaitan fungsi danau dengan dampak dari pencemaran yang terjadi di perairan danau. Oleh karena itu, maka dalam konteks

27 9 pengendalian pencemaran perairan di Danau Maninjau, diajukan beberapa pertanyaan penelitian yaitu: 1. Bagaimana kualitas perairan dan tingkat pencemaran perairan di Danau Maninjau? 2. Model seperti apa yang dapat menggambarkan sistem pengendalian pencemaran perairan di Danau Maninjau? 3. Bagaimana skenario strategi pengendalian pencemaran perairan di Danau Maninjau? 1.5. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada berbagai pihak, terutama : 1. Bagi pemerintah daerah, informasi ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan atau acuan dalam memformulasi kebijakan dalam pengendalian pencemaran yang terjadi di perairan Danau Maninjau. 2. Bagi masyarakat sebagai informasi dalam pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya perairan Danau Maninjau. 3. Sebagai sumber informasi untuk pengembangan ilmu pengetahuan dalam menyelesaikan masalah pencemaran lingkungan perairan, khususnya di Danau Maninjau Novelty (Kebaruan) Penelitian Penelitian-penelitian yang dilakukan di perairan Danau Maninjau selama ini masih bersifat sporadik dan bersifat parsial, sedangkan dalam penelitian ini sifat dasarnya adalah bersandarkan pada metode pendekatan sistem dengan mengintegrasikan secara menyeluruh kepentingan para pelaku yang terlibat dalam sistem pengendalian pencemaran. Metode ini digunakan sebagai tolok ukur dalam merancang atau membangun pemodelannya. Oleh karena itu, kebaruan utama dalam penelitian ini terdapat pada konsep penggunaan model dalam pengendalian pencemaran perairan danau yang dibangun dengan pendekatan sistem untuk memecahkan isu global yang terkait dengan degradasi lingkungan perairan.

28 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Perairan Danau Ekosistem merupakan suatu sistem ekologi yang terdiri atas komponenkomponen biotik dan abiotik yang saling berintegrasi sehingga membentuk satu kesatuan. Di dalam ekosistem perairan danau terdapat faktor-faktor abiotik dan biotik (produsen, konsumen dan pengurai) yang membentuk suatu hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi. Perairan danau merupakan salah satu bentuk ekosistem air tawar yang ada di permukaan bumi. Secara fisik, danau merupakan suatu tempat yang luas yang mempunyai air yang tetap, jernih atau beragam dengan aliran tertentu (Jorgensen and Vollenweiden, 1989). Sementara itu, menurut Ruttner (1977) dan Satari (2001) danau adalah suatu badan air alami yang selalu tergenang sepanjang tahun dan mempunyai mutu air tertentu yang beragam dari satu danau ke danau yang lain serta mempunyai produktivitas biologi yang tinggi. Ekosistem danau termasuk habitat air tawar yang memiliki perairan tenang yang dicirikan oleh adanya arus yang sangat lambat sekitar 0,1 1 cm/detik atau tidak ada arus sama sekali. Oleh karena itu residence time (waktu tinggal) air bisa berlangsung lebih lama. Menurut Wetzel (2001), perairan danau biasanya memiliki stratifikasi vertikal kualitas air yang bergantung pada kedalaman dan musim. Menurut Odum (1993), pada dasarnya proses terjadinya danau dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu: danau alami dan danau buatan. Danau alami merupakan danau yang terbentuk sebagai akibat dari kegiatan alamiah, misalnya bencana alam, kegiatan vulkanik dan kegiatan tektonik. Sedangkan danau buatan adalah danau yang dibentuk dengan sengaja oleh kegiatan manusia dengan tujuantujuan tertentu dengan jalan membuat bendungan pada daerah dataran rendah. Umumnya perairan danau selalu menerima masukan air dari daerah tangkapan air di sekitar danau, sehingga perairan danau cenderung menerima bahan-bahan terlarut yang terangkut bersamaan dengan air yang masuk. Oleh karena itu konsentrasi zat-zat yang terdapat di danau merupakan resultante dari zat-zat yang berasal dari aliran air yang masuk (Payne, 1986). Kualitas perairan

29 11 danau sangat tergantung pada pengelolaan atau pengendalian daerah aliran sungai (DAS) yang berada di atasnya. Cole (1988) menyatakan bahwa berdasarkan kemampuan penetrasi cahaya matahari menembus ke dalam danau, wilayah danau dapat dibagi menjadi tiga mintakat (zone) yaitu: zone litoral, zone limnetik, dan zone profundal. Zone litoral merupakan daerah pinggiran danau yang dangkal dengan penetrasi cahaya sampai ke dasar, sedangkan zone limnetik adalah daerah air terbuka dimana penetrasi cahaya bisa mencapai daerah yang cukup dalam, sehingga efektif untuk proses fotosintesis. Bagian air di zone ini terdiri dari produsen plantonik, khususnya diatome dan spesies alga hijau-biru. Daerah ini juga merupakan daerah produktif dan kaya akan plankton. Selain itu, daerah ini juga merupakan daerah untuk memijah bagi banyak organisme air seperti insekta. Zone profundal merupakan bagian dasar yang dalam yang tidak tercapai oleh penetrasi cahaya efektif. Menurut Goldmen dan Horne (1989), berdasarkan kandungan hara (tingkat kesuburan) danau diklasifikasikan dalam 3 jenis, yaitu: danau eutrofik, danau oligotrofik dan danau mesotrofik. Danau eutropik (kadar hara tinggi) merupakan danau yang memiliki perairan yang dangkal, tumbuhan litoral melimpah, kepadatan plankton lebih tinggi, sering terjadi blooming alga dengan tingkat penetrasi cahaya matahari umumnya rendah. Sementara itu, danau oligotropik adalah danau dengan kadar hara rendah, biasanya memiliki perairan yang dalam, dengan bagian hipolimnion lebih besar dibandingkan dengan bagian epilimnion. Semakin dalam danau tersebut semakin tidak subur, tumbuhan litoral jarang dan kepadatan plankton rendah, tetapi jumlah spesiesnya tinggi. Danau mesotropik merupakan danau dengan kadar nutrien sedang, juga merupakan peralihan antara kedua sifat danau eutrofik dan danau oligotrofik. Jorgensen (1990) menambahkan bahwa tingkat trofik (kesuburan) suatu danau juga dapat dinyatakan berdasarkan kandungan total nitrogen (TN), total fosfat (TP), klorofil-a dan biomassa fitoplankton, seperti disajikan pada Tabel 1.

30 12 Tabel 1. Klasifikasi tingkat kesuburan perairan danau (Jorgensen, 1990) Tipe trofik Oligotrofik Mesptrofik Eutrofik Hipertrofik Biomassa fitoplankton (mg C m -3 ) > Klorofil-a (mg/l) 0, TN (μg/l) < TP (μg/l) < Pencemaran Perairan Danau Peraturan Pemerintah nomor 82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air menyatakan bahwa, pencemaran air adalah masuknya atau dimasukkannya mahkluk hidup, zat, energi atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas perairan turun sampai pada tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya. Peraturan ini menyatakan bahwa pencemaran harus ditanggulangi dan penanggulangannya adalah merupakan kewajiban semua pihak. Dari rumusan tersebut, secara singkat pencemaran air dapat dikatakan sebagai turunnya kualitas air karena masuknya komponen-kompoen pencemar dari kegiatan manusia atau proses alam, sehingga air tersebut tidak memenuhi syarat atau bahkan mengganggu pemanfaatannya. Terjadinya pencemaran perairan danau dapat ditunjukkan oleh dua hal, yaitu (1) adanya pengkayaan unsur hara yang tinggi, sehingga terbentuk komunitas biota dengan produksi yang berlebihan, (2) air diracuni oleh zat kimia toksik yang menyebabkan lenyapnya organisme hidup, bahkan mencegah semua kehidupan di perairan (Southwick, 1976). Senada dengan hal tersebut Saeni (1989) menyatakan bahwa pencemaran yang terjadi di perairan dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu (1) pencemaran kimiawi berupa bahan-bahan organik, mineral, zat-zat beracun dan radioaktif, (2) pencemaran fisik berupa lumpur dan uap panas, dan (3) pencemaran biologis berupa berkembangbiaknya ganggang, tumbuh-tumbuhan pengganggu air, kontaminasi organisme mikro yang berbahaya atau dapat berupa gabungan ketiga pencemaran tersebut. Sumber pencemaran yang masuk ke badan perairan, dibedakan atas pencemaran yang disebabkan oleh alam dan pencemaran karena kegiatan manusia. Menurut Davis dan Cornwell (1991), sumber bahan pencemar yang

31 13 masuk ke perairan dapat berasal dari buangan yang diklasifikasikan sebagai: (1) point source discharges (sumber titik) dan (2) non point source (sumber menyebar). Sumber titik atau sumber pencemaran yang dapat diketahui secara pasti dapat merupakan suatu lokasi tertentu seperti dari air buangan industri maupun domestik serta saluran drainase. Pencemar bersifat lokal dan efek yang diakibatkan dapat ditentukan berdasarkan karakteristik spasial kualitas air. Sedangkan sumber pencemar yang berasal dari sumber menyebar berasal dari sumber yang tidak diketahui secara pasti. Pencemar masuk ke perairan melalui run off (limpasan) dari permukaan tanah wilayah pertanian yang mengandung pestisida dan pupuk, atau limpasan dari daerah permukiman dan perkotaan. Dewasa ini permasalahan ekologis yang menjadi perhatian utama adalah menurunnya kualitas perairan oleh masuknya bahan pencemar yang berasal dari berbagai kegiatan manusia seperti, sampah permukiman, sedimentasi dan siltasi, industri, pemupukan dan pestisida. Bahan pencemar yang berasal dari permukiman pada umumnya dalam bentuk limbah (organik dan anorganik) dan sampah. Bahan pencemar yang terdapat dalam air limbah dapat berupa bahan terapung, padatan tersuspensi atau padatan terlarut. Selain itu, air limbah juga dapat mengandung mikroorganisme seperti virus, bakteri dan protozoa. Komposisi air limbah domestik sangat bervariasi tergantung pada tempat, sumber dan waktu. Namun secara garis besar zat-zat yang terdapat di dalam air limbah dapat dikelompokkan seperti Gambar 2 (Tebbut, 1998 dalam Mara, 2004). Gambar 2. Komposisi air limbah domestik (Mara, 2004).

32 14 Limbah organik yang mencemari perairan danau, berdasarkan asalnya dapat dibedakan menjadi limbah organik yang berasal dari luar danau dan berasal dari kegiatan di badan air danau. Limbah yang berasal dari luar danau berupa limbah industri, domestik, dan pertanian, sedangkan yang berasal dari kegiatan di badan perairan danau adalah sisa pellet dari kegiatan budidaya ikan dalam KJA. Ditambahkan oleh Haryadi (2003), limbah organik yang masuk ke perairan umumnya berasal dari sisa makanan, eksresi, deterjen, bahan pembersih, minyak dan lemak, bahan-bahan tersuspensi, sisa insektisida, pestisida dan bahan-bahan sintetik lainnya. Limbah organik merupakan sisa atau buangan dari berbagai aktivitas manusia seperti rumah tangga, idustri, permukiman, peternakan, pertanian dan perikanan yang berupa bahan organik, yang biasanya tersusun oleh karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, fosfor, sulfur dan mineral lainnya (Porpraset, 1989). Limbah organik yang masuk ke dalam perairan dalam bentuk padatan akan langsung mengendap menuju dasar perairan, sedang bentuk lainnya berada di badan air, baik di bagian yang aerob maupun anaerob. Limbah organik, jika tidak dimanfaatkan oleh fauna perairan lain, seperti ikan, kepiting, bentos dan lainnya, maka akan segera dimanfaatkan oleh mikroba, baik mikroba aerobik maupun anaerobik ataupun mikroba fakultatif (Garno, 2004). Limbah organik yang ada di badan air aerobik akan dimanfaatkan dan diurai (dekomposisi) oleh mikroba aerobik (BAR), dengan proses seperti pada reaksi berikut. BAR + O 2 BAR e CO 2 + NH 3 + produk lain + energi COHNS + O 2 + BAR + energi e C 5 H 7 O 2 N (sel MO baru) Reaksi tersebut mengisyaratkan bahwa makin banyak limbah organik yang masuk dan tinggal pada lapisan aerobik akan makin besar pula kebutuhan oksigen bagi mikroba yang mendekomposisinya. Jika keperluan oksigen bagi mikroba yang ada melebihi konsentrasi oksigen terlarut, maka oksigen bisa menjadi nol dan mikroba aerobpun musnah digantikan oleh mikroba anaerob dan fakultatif yang tidak memerlukan oksigen. Sementara itu limbah organik yang masuk ke badan air yang anaerob akan dimanfaatkan dan diurai (dekomposisi) oleh mikroba anaerobik atau fakultatif (BAN) dengan proses seperti reaksi berikut.

33 15 BAN e CO 2 + H 2 S + NH 3 + CH 4 + produk lain + energi CHONS + BAN + energi e C 5 H 7 O 2 N (sel MO baru) Proses reaksi tersebut mengungkapkan bahwa aktivitas mikroba yang hidup di bagian badan air yang anaerob, selain menghasilkan sel-sel mikroba baru juga menghasilkan senyawa-senyawa CO 2, NH 3, H 2 S dan CH 4 serta senyawa lain seperti amin dan komponen fosfor. H 2 S, amin dan komponen fosfor adalah senyawa yang mengeluarkan bau menyengat yang tidak sedap dan anyir. Selain itu telah disinyalir bahwa NH 3 dan H 2 S hasil dekomposisi anaerob pada tingkat konsentrasi tertentu adalah beracun dan dapat membahayakan organisme lain, termasuk manusia. Pencemaran perairan danau juga dapat disebabkan oleh buangan bahan beracun baik yang dapat diuraikan secara kimiawi oleh bakteri maupun yang sukar diuraikan serta hara anorganik yang menyebabkan pertumbuhan alga secara berlebihan. Bahan-bahan beracun yang berasal dari limbah buangan industri mengandung senyawa-senyawa yang bersifat toksik seperti logam berat; Hg, Pb, dan Cd (Shivastava et al., 2003). Masuknya bahan pencemar tersebut ke badan perairan dapat menurunkan kualitas air serta mengubah kondisi ekologi perairan. Sutamihardja (1992) menyatakan bahwa bahan pencemaran yang menurunkan kualitas air dapat menyebabkan gangguan pada kesehatan (health hazard), sanitari (sanitary hazard) dan kerugian-kerugian secara ekonomi dan sosial. Kegiatan dalam bidang pertanian, secara langsung maupun tidak langsung dapat menyebabkan kualitas perairan danau menjadi menurun. Hal ini disebabkan karena residu dari penggunaan pupuk dan pestisida akan mengalir ke badan air danau. Residu pestisida yang masuk ke perairan, proporsi utama adalah terserap pada partikel tersuspensi dan partikel yang diam atau terpisah ke dalam substrat organik. Residu tersebut umumnya mempunyai sifat afinitas yang kuat terhadap komponen lipid dan bahan organik yang hidup. Bahan aktif pestisida sukar dihilangkan setelah masuk ke badan perairan, karena memiliki tingkat kestabilan yang cukup tinggi. Bahan aktif tersebut tidak mudah larut dalam air, tetapi larut dalam lemak serta menempel pada partikel-partikel halus. Akibatnya residu pestisida akan terkumpul dan terakumulasi dalam perairan, sehingga

34 16 menyebabkan perairan menjadi tercemar dan merusak ekosistem di dalamnya (Cornel and Miller, 1995). Residu pupuk yang tidak terserap tanaman, mengandung unsur nitrogen dan fosfor yang cukup tinggi, sehingga dapat merangsang pertumbuhan alga dan tanaman air lainnya. Kelimpahan hara nutrisi ini dapat menyebabkan terjadinya eutrofikasi (penyuburan perairan) (Kemka et al., 2006). Pengaruh negatif dari eutrofikasi di perairan danau adalah terjadinya perubahan keseimbangan kehidupan antara tanaman air dengan hewan air, sehingga beberapa spesies ikan akan musnah dan tanaman air akan dapat menghambat laju arus air (Darmono, 2001). Seperti dilaporkan oleh Garno (2002) bahwa penyuburan yang terjadi di Waduk Cirata oleh hara N dan P, sebagian besar bersumber dari limbah yang berasal dari kegiatan budidaya perikanan yang ada di waduk, limbah domestik dan limbah pertanian seperti terlihat pada Tabel 2. Tabel 2. Sumber pencemar N dan P di Waduk Cirata Sumber pencemar Jenis pencemar atau hara (ton/tahun) Nitrogen Fosfor Domestik *) 2.111,20 276,64 Pertanian **) 5,00 0,10 Perikanan (KJA) ***) *) Brahmana dan Ahmad, 1997; **) Anonim, 1998; dan ***) Garno, 2002 Jenis alga terutama ganggang hijau, sangat subur bila mendapatkan pupuk nitrat. Tumbuhan ini dapat menutupi permukaan perairan, sehingga menghambat sinar matahari yang masuk ke dalam air. Hal ini dapat menyebabkan organisme atau tumbuhan air akan mati. Bakteri pembusuk akan menguraikan organisme yang mati, baik tanaman maupun hewan yang terdapat di dasar air. Proses pembusukan tersebut banyak menggunakan oksigen terlarut dalam air, sehingga terjadi hypoksia atau kadar oksigen akan menurun secara drastis dan pada akhirnya kehidupan biologis di perairan danau juga akan sangat berkurang. Garno (2002) melaporkan bahwa perkiraan besarnya kandungan N dan P yang dihasilkan dari berbagai sumber pencemar di darat yang masuk ke dalam ekosistem perairan Waduk Saguling disajikan pada Tabel 3.

35 17 Tabel 3. Perkiraan jumlah N dan P yang masuk ke Waduk Saguling dari berbagai sumber pencemar (Garno, 2002) No. Nitrogen Fosfor Sumber Pencemar Limbah rumah tangga (permukiman) Limbah industri Pencucian dari lahan pertanian Budidaya ikan dalam KJA Limbah peternakan (ton/tahun) (ton/tahun) Kegiatan budidaya perikanan dengan teknik keramba jaring apung yang berlangsung di badan air, merupakan kegiatan yang langsung berhubungan dengan perairan danau, sehingga berdampak langsung terhadap perairan danau yaitu penurunan kualitas perairan. Limbah yang dihasilkan oleh kegiatan tersebut pada umunya berupa limbah organik berupa sisa pakan (pellet). Pakan yang tidak termanfaatkan dari kegiatan budidaya ikan intensif merupakan suatu hal yang dapat mengganggu lingkungan perairan serta dapat menyebabkan terpacunya eutrofikasi di ekosistem perairan danau. Begitu juga halnya dengan kegiatan peternakan yang terdapat di sempadan danau, merupakan penghasil limbah organik berupa kotoran hewan dan sisa pakan yang masuk ke badan air danau. Walaupun sebagian besar limbahnya tergolong limbah padat, tetapi saluran drainase dari kegiatan peternakan akan membawa limbah cair organik dengan kandungan zat tersuspensi yang tinggi. Di samping itu, limbah ternak dapat merupakan sumber nitrogen dan fosfor yang dapat mengakibatkan terjadinya eutrofikasi pada badan air. Keadaan ini dapat mengakibatkan gangguan keseimbangan ekologis dan bahkan dapat menyebabkan kematian biota perairan serta merusak estetika perairan Eutrofikasi Kesuburan perairan danau secara alamiah umumnya disebabkan pengkayaan oleh unsur hara yang dibawa oleh aliran sungai dari hasil pencucian lapisan tanah permukaan dan limbah organik dari kegiatan pertanian. Setiana (1996) menyatakan bahwa proses masuknya hara ke badan perairan dapat melalui dua cara yaitu: (1) penapisan air drainase lewat pelepasan hara tanaman terlarut dari tanah; dan (2) lewat erosi permukaan tanah atau gerakan dari partikel tanah

36 18 halus masuk ke sistem drainase. Proses terjadinya pengkayaan perairan danau oleh unsur hara berlangsung dalam waktu yang cukup lama, namun proses tersebut dapat dipercepat oleh berbagai aktivitas penduduk di sekitar perairan danau. Peningkatan jumlah penduduk yang semakin tinggi di sekitar perairan danau, dapat mengganggu keseimbangan lingkungan perairan. Hal ini akan memberikan kontribusi pada laju penambahan zat hara dan limbah organik lainnya yang masuk ke badan air. Jumlah unsur hara yang masuk ke badan perairan biasanya lebih besar dari pemanfaatan unsur hara tersebut oleh biota perairan, sehingga akan terjadi penyuburan yang berlebihan (Ahl, 1980). Menurut Goldmen and Horne (1983), eutrofikasi perairan danau dapat terjadi secara cultural eutrophication (kultural) maupun secara natural eutrophication (alami). Eutrofikasi kultural disebabkan karena terjadinya proses peningkatan unsur hara di perairan oleh aktivitas manusia, sedangkan pada eutrofikasi alami terjadi peningkatan unsur hara bukan karena aktivitas manusia melainkan oleh aktivitas alami. Gejala eutrofikasi di perairan danau biasanya ditunjukkan dengan melimpahnya konsentrasi unsur hara dan perubahan parameter kimia seperti oksigen terlarut (OT), kandungan klorofil-a dan turbiditas serta produktivitas primer. Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan konsentrasi biomassa di bagian epilimnion danau dan tingginya laju pengendapan alga ke bagian dalam kolom air, sehingga menjadikan kondisi anaerobik pada daerah hipolimnion (Gather and Imboden, 1985). Hal senada dikemukakan oleh Agustiyani (2004), meningkatnya unsur hara di danau akan meningkatkan biomassa jenis organisme primer tetapi akan menurunkan jenis konsumer. Hal ini mengakibatkan melimpahnya salah satu jenis saja dan mengurangi varietas dan kualitas. Salah satu contohnya adalah melimpahnya alga yang biasa didominasi oleh blue green algae (alga biru-hijau) dan berkembangnya gulma air. Fenomena eutrofikasi juga berdampak terhadap meningkatnya jumlah kematian ikan dan sulitnya pengolahan air untuk air minum. Hal ini disebabkan karena disekresikannya toksin hasil metabolisme alga yang dapat menyebabkan kematian bagi hewan. Kondisi ini pernah terjadi di daerah sub-tropis pada alga jenis Mycrocystis sp yang menghasilkan endotoksin dan eksotoksin yang hasil

37 19 sekresinya disebut dengan Mycrosystin, dapat menyerang syaraf dan hati, sehingga dapat mengakibatkan kematian bagi hewan-hewan ternak (Kemka et al., 2006). Henderson-Seller and Markland (1987) mengemukakan bahwa ada enam indikator utama yang dapat dipakai untuk mendeteksi terjadinya eutrofikasi di suatu perairan danau yakni : 1) menurunnya konsentrasi oksigen terlarut di zone hipolimnotik, 2) meningkatnya konsentrasi unsur hara, 3) menigkatnya padatan tersuspensi, terutama bahan organik, 4) bergantinya populasi fitoplankton yang dominan dari kelompok diatome menjadi chlorophyceae, 5) meningkatnya konsentrasi fosfat, dan 6) menurunnya penetrasi cahaya (meningkatnya kekeruhan). Fosfor merupakan komponen biokimia sebagai pengubah energi di dalam sel dan terdapat dalam bentuk adenosin fosfat, yang sangat diperlukan dalam kehidupan sel. Kekurangan fosfor akan menghambat metabolisme secara keseluruhan, sehingga menyebabkan penurunan pertumbuhan biomassa. Hal ini senada dengan pernyataan Beveridge (1996) yang menyatakan bahwa unsur fosfor merupakan unsur utama yang diperlukan oleh semua ikan untuk pertumbuhan normal, pembentukan tulang, mengatur regulasi asam-basa dan metabolisme lipid dan karbohidrat. Sementara itu, nitrogen adalah merupakan bagian dari struktur protein dan asam amino yang penting untuk kehidupan. Menurut Goldman & Horne (1983) dan Sastrawijaya (2000), fosfor dan nitrogen merupakan unsur pembatas dalam proses eutrofikasi. Bila rasio N dan P > 12, maka sebagai faktor pembatas adalah P, sedangkan rasio N dan P < 7 sebagai pembatas adalah N. Rasio N dan P yang berada antara 7 dan 12 menandakan bahwa N dan P bukan sebagai faktor pembatas (non-limiting factor). Ryding & Rast (1989) menyatakan bahwa perairan termasuk dalam klasifikasi eutrofik bila kandungan total N di perairan sebesar 0,393 6,100 mg/l dan bila > 6,100 mg/l perairan termasuk dalam klasifikasi hipertrofik. Dampak negatif lain dari eutrofikasi adalah meningkatnya jumlah alga yang mati dan tenggelam ke dasar perairan. Alga tersebut akan diuraikan oleh bakteri, mereduksi kandungan oksigen di dasar perairan, dapat mencapai ke tingkat yang sangat rendah untuk mendukung kehidupan organisme, sehingga

38 20 menyebabkan kematian ikan. OECD (1982), menyatakan bahwa dampak dari eutrofikasi yang paling sensitif bagi masyarakat adalah yang berkaitan dengan fungsi danau sebagai tempat rekreasi dan wisata air. Aspek-aspek seperti menurunnya transparansi, warna, rasa dan bau, serta meningkatnya penyakit kulit sangat mengurangi daya tarik dan nilai estetika dari obyek wisata tersebut Indikator Parameter Pencemaran Perairan Pengelolaan lingkungan perairan danau diperlukan sebagai suatu petunjuk untuk menilai perairan tersebut apakah masih layak digunakan sesuai dengan peruntukannya atau tidak. Mengingat kebutuhan akan air bukan saja dari segi kuantitas, tetapi juga dalam hal kualitas harus baik. Dalam usaha pengendalian pencemaran perairan danau sangat diperlukan informasi dan masukan mengenai tingkat pencemaran yang terjadi di perairan tersebut. Indeks mutu lingkungan perairan (IMLP) secara umum dapat digunakan untuk memonitor status kualitas air secara menyeluruh sebagai dasar dalam pengambilan kebijakan pengelolaan perairan di masa yang akan datang. Beberapa karakteristik atau indikator kualitas air yang disarankan untuk dianalisis sehubungan pemanfaatan sumberdaya air untuk berbagai keperluan, antara lain parameter fisika, kimia dan biologi (Manik, 2003; Effendi, 2003), Parameter Fisika Suhu Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari permukaan laut, sirkulasi udara, penutupan awan, dan aliran serta kedalaman dari badan air. Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia, dan biologi di badan air. Peningkatan suhu mengakibatkan peningkatan viskositas, reaksi kimia, evaporasi dan volatilisasi. Selain itu, peningkatan suhu air juga mengakibatkan penurunan kelarutan gas dalam air seperti O 2, CO 2, N 2, dan CH 4 (Haslam, 1995). Beberapa sifat termal air seperti panas jenis, nilai kalor penguapan dan nilai peleburan air mengakibatkan minimnya perubahan suhu air, sehingga variasi suhu air lebih kecil bila dibandingkan dengan variasi suhu udara. Danau di daerah tropik mempunyai kisaran suhu yang tinggi yaitu antara C, dan

39 21 menunjukkan sedikit penurunan suhu dengan bertambahnya kedalaman. Oleh karena itu perubahan suhu dapat menghasilkan stratifikasi yang mantap sepanjang tahun, sehingga pada danau yang amat dalam cenderung hanya sebagian yang tercampur (Effendi, 2003; Hadi, 2005). Adanya penyerapan cahaya oleh air danau akan menyebabkan terjadinya lapisan air yang mempunyai suhu yang berbeda. Bagian lapisan yang lebih hangat biasanya berada pada daerah eufotik, sedangkan lapisan yang lebih dingin biasanya berada di bagian afotik (bagian bawah). Menurut Goldman & Horne (1989), bila pada danau tersebut tidak mengalami pengadukan oleh angin, maka kolam air danau terbagi menjadi beberapa lapisan, yaitu: (1) epilimnion, lapisan yang hangat dengan kerapatan jenis air kurang, (2) hipolimnion, merupakan lapisan yang lebih dingin dengan kerapatan air kurang, dan (3) metalimnion adalah lapisan yang berada antara lapisan epilimnion dan hipolimnion. Pada daerah metalimnion terdapat lapisan termoklin yaitu lapisan dimana suhu akan turun sekurang-kurangnya 1 0 C dalam setiap 1 meter (Jorgensen & Volleweider, 1989). Suhu merupakan controling factor (faktor pengendali) bagi proses respirasi dan metabolisme biota akuatik yang berlanjut terhadap pertumbuhan dan proses fisiologi serta siklus reproduksinya (Hutabarat dan Evans, 1984). Suhu juga dapat mempengaruhi proses dan keseimbangan reaksi kimia yang terjadi dalam sistem air (Stumm and Morgan, 1981). Total Padatan Tersuspensi (Total Suspended Solid, TSS) dan Total Padatan Terlarut (Total Dissolved Solid, TDS) Total padatan tersuspensi adalah bahan-bahan tersuspensi (diameter >1 μm) yang tertahan pada saringan millipore dengan diameter pori 0,45 μm. TSS terdiri atas lumpur dan pasir halus serta jasad-jasad renik terutama yang disebabkan oleh kikisan tanah atau erosi yang terbawa ke dalam badan air. Masuknya padatan tersuspensi ke dalam perairan dapat menimbulkan kekeruhan air. Hal ini menyebabkan menurunnya laju fotosintesis fitoplankton, sehingga produktivitas primer perairan menurun, yang pada gilirannya menyebabkan terganggunya keseluruhan rantai makanan. Padatan tersuspensi yang tinggi akan mempengaruhi biota di perairan melalui dua cara. Pertama, menghalangi dan mengurangi penentrasi cahaya ke

40 22 dalam badan air, sehingga mengahambat proses fotosintesis oleh fitoplankton dan tumbuhan air lainnya. Kondisi ini akan mengurangi pasokan oksigen terlarut dalam badan air. Kedua, secara langsung TDS yang tinggi dapat mengganggu biota perairan seperti ikan karena tersaring oleh insang. Menurut Fardiaz (1992), padatan tersuspensi akan mengurangi penetrasi cahaya ke dalam air, sehingga mempengaruhi regenerasi oksigen secara fotosisntesis dan kekeruhan air juga semakin meningkat. Ditambahkan oleh Nybakken (1992), peningkatan kandungan padatan tersuspensi dalam air dapat mengakibatkan penurunan kedalaman eufotik, sehingga kedalaman perairan produktif menjadi turun. Penentuan padatan tersuspensi sangat berguna dalam analisis perairan tercemar dan buangan serta dapat digunakan untuk mengevaluasi kekuatan air, buangan domestik, maupun menentukan efisiensi unit pengolahan. Padatan tersuspensi mempengaruhi kekeruhan dan kecerahan air. Oleh karena itu pengendapan dan pembusukan bahan-bahan organik dapat mengurangi nilai guna perairan. Total padatan terlarut merupakan bahan-bahan terlarut dalam air yang tidak tersaring dengan kertas saring millipore dengan ukuran pori 0,45 μm. Padatan ini terdiri dari senyawa-senyawa anorganik dan organik yang terlarut dalam air, mineral dan garam-garamnya. Penyebab utama terjadinya TDS adalah bahan anorganik berupa ion-ion yang umum dijumpai di perairan. Sebagai contoh air buangan sering mengandung molekul sabun, deterjen dan surfaktan yang larut air, misalnya pada air buangan rumah tangga dan industri pencucian. Kekeruhan dan Kecerahan Mahida (1993) mendefinisikan kekeruhan sebagai intensitas kegelapan di dalam air yang disebabkan oleh bahan-bahan yang melayang. Kekeruhan perairan umumnya disebabkan oleh adanya partikel-partikel suspensi seperti tanah liat, lumpur, bahan-bahan organik terlarut, bakteri, plankton dan organisme lainnya. Kekeruhan perairan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat dalam air (Davis dan Cornwell, 1991). Kekeruhan yang terjadi pada perairan tergenang seperti danau lebih banyak disebabkan oleh bahan tersuspensi berupa koloid dan parikel-partikel

41 23 halus. Kekeruhan yang tinggi dapat mengakibatkan terganggunnya sistem osmeregulasi seperti pernafasan dan daya lihat organisme akuatik serta dapat menghambat penetrasi cahaya ke dalam air. Menurut Koesoebiono (1979), pengaruh kekeruhan yang utama adalah penurunan penetrasi cahaya secara mencolok, sehingga aktivitas fotosintesis fitoplankton dan alga menurun, akibatnya produktivitas perairan menjadi turun. Di samping itu Effendi (2003), menyatakan bahwa tingginya nilai kekeruhan juga dapat menyulitkan usaha penyaringan dan mengurangi efektivitas desinfeksi pada proses penjernihan air. Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan yang ditentukan secara visual dengan menggunakan secchi disk (Effendi, 2003). Kecerahan perairan sangat dipengaruhi oleh keberadaan padatan tersuspensi, zat-zat terlarut, partikelpartikel dan warna air. Pengaruh kandungan lumpur yang dibawa oleh aliran sungai dapat mengakibatkan tingkat kecerahan air danau menjadi rendah, sehingga dapat menurunkan nilai produktivitas perairan (Nybakken, 1992). Warna Perairan Pada umumnya warna perairan dikelompokkan menjadi warna sesungguhnya dan warna tampak. Menurut Effendi (2003), warna sesungguhnya dari perairan adalah warna yang hanya disebabkan oleh bahan-bahan terlarut, sedangkan warna tampak adalah warna yang tidak hanya disebabkan oleh bahan terlarut, tetapi juga oleh bahan tersuspensi. Warna perairan timbul disebabkan oleh bahan organik dan anorganik, keberadaaan plankton, humus, dan ion-ion logam seperti besi dan mangan. Oksidasi besi dan mangan mengakibatkan perairan bewarna kemerahan dan kecoklatan atau kehitaman, sedangkan oksidasi kalsium karbonat menimbulkan warna kehijauan. Bahan-bahan organik seperti tanin, lignin dan asam humus dapat menimbulkan warna kecoklatan di perairan. Perairan yang berwarna dapat menghambat penetrasi cahaya ke dalam air, sehingga proses fotosintesis menjadi terganggu. Untuk kepentingan estetika dan pariwisata, warna air sebaiknya tidak melebihi 15 unit PtCo, sedangkan untuk kepentingan air minum warna air yang dianjurkan adalah 5 50 unit PtCo (Santika, 1997; Effendi, 2003).

42 Parameter Kimia Derajat Keasaman (ph) Derajat keasaman merupakan gambaran jumlah atau aktivitas ion hidrogen dalam perairan. Secara umum nilai ph menggambarkan seberapa besar tingkat keasaman atau kebasaan suatu perairan. Perairan dengan nilai ph = 7 adalah netral, ph < 7 dikatakan kondisi perairan bersifat asam, sedangkan ph > 7 dikatakan kondisi perairan bersifat basa (Effendi, 2003). Adanya karbonat, bikarbonat dan hidroksida akan menaikkan kebasaan air, sementara adanya asamasam mineral bebas dan asam karbonat menaikkan keasaman suatu perairan. Sejalan dengan pernyataan tersebut Mahida (1993) menyatakan bahwa limbah buangan industri dan rumah tangga dapat mempengaruhi nilai ph perairan. Nilai ph dapat mempengaruhi spesiasi senyawa kimia dan toksisitas dari unsur-unsur renik yang terdapat di perairan, sebagai contoh H 2 S yang bersifat toksik banyak ditemui di perairan tercemar dan perairan dengan nilai ph rendah. Selain itu, ph juga mempengaruhi nilai BOD 5, fosfat, nitrogen dan nutrien lainnya (Dojildo and Best, 1992). Karbondioksida (CO 2 ) Bebas Karbondioksida bebas merupakan istilah untuk menunjukkan CO 2 yang terlarut di dalam air. CO 2 yang terdapat dalam perairan alami merupakan hasil proses difusi dari atmosfer, air hujan, dekomposisi bahan organik dan hasil respirasi organisme akuatik. Tingginya kandungan CO 2 pada perairan dapat mengakibatkan terganggunya kehidupan biota perairan. Konsentrasi CO 2 bebas 12 mg/l dapat menyebabkan tekanan pada ikan, karena akan menghambat pernafasan dan pertukaran gas. Kandungan CO 2 dalam air yang aman tidak boleh melebihi 25 mg/l, sedangkan konsentrasi CO 2 lebih dari 100 mg/l akan menyebabkan semua organisme akuatik mengalami kematian (Wardoyo, 1979). Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen, DO) Oksigen terlarut adalah gas oksigen yang terlarut dalam air. Oksigen terlarut dalam perairan merupakan faktor penting sebagai pengatur metabolisme tubuh organisme untuk tumbuh dan berkembang biak. Sumber oksigen terlarut dalam air berasal dari difusi oksigen yang terdapat di atmosfer, arus atau aliran air

43 25 melalui air hujan serta aktivitas fotosintesis oleh tumbuhan air dan fitoplankton (Novonty and Olem, 1994). Difusi oksigen atmosfer ke air bisa terjadi secara langsung pada kondisi air stagnant (diam) atau terjadi karena agitasi atau pergolakan massa air akibat adanya gelombang atau angin. Difusi oksigen dari atmosfer ke perairan pada hakekatnya berlangsung relatif lambat, meskipun terjadi pergolakan massa air atau gelombang. Sebagian besar oksigen pada perairan danau dan waduk merupakan hasil sampingan aktivitas fotosintesis. Pada proses fotosintesis, karbondioksida direduksi menjadi karbohidrat dan air mengalami dehidrogenasi menjadi oksigen. 6 CO H 2 O C 6 H 12 O O 2 Di perairan danau, oksigen lebih banyak dihasilkan oleh fotosintesis alga yang banyak terdapat pada zone epilimnion, sedangkan pada perairan tergenang yang dangkal dan banyak ditumbuhi tanaman air pada zone litoral, keberadaaan oksigen lebih banyak dihasilkan oleh aktivitas fotosintesis tumbuhan air. Keberadaan oksigen terlarut di perairan sangat dipengaruhi oleh suhu, salinitas, turbulensi air, dan tekanan atmosfer. Kadar oksigen berkurang dengan semakin meningkatnya suhu, ketinggian, dan berkurangnya tekanan atmosfer (Jeffries and Mills, 1996). Penyebab utama berkurangnya kadar oksigen terlarut dalam air disebabkan karena adanya zat pencemar yang dapat mengkonsumsi oksigen. Zat pencemar tersebut terutama terdiri dari bahan-bahan organik dan anorganik yang berasal dari barbagai sumber, seperti kotoran (hewan dan manusia), sampah organik, bahan-bahan buangan dari industri dan rumah tangga. Menurut Connel and Miller (1995), sebagian besar dari zat pencemar yang menyebabkan oksigen terlarut berkurang adalah limbah organik. Menurut Lee et al. (1978), kandungan oksigen terlarut pada suatu perairan dapat digunakan sebagai indikator kualitas perairan, seperti terlihat pada Tabel 4. Tabel 4. Status kualitas air berdasarkan kandungan DO (Lee et al., 1978) No Kadar oksigen terlarut (mg/l) Status kualitas air 1 > 6,5 Tidak tercemar sampai tercemar sangat ringan 2 4,5 6,4 Tercemar ringan 3 2,0 4,4 Tercemar sedang 4 < 2,0 Tercemar berat

44 26 Kebutuhan Oksigen Biokimia (Biochemical Oxygen Demand, BOD 5 ) dan Kebutuhan Oksigen Kimia (Chemical Oxygen Demand, COD) BOD 5 merupakan salah satu indikator pencemaran organik pada suatu perairan. Perairan dengan nilai BOD 5 tinggi mengindikasikan bahwa air tersebut tercemar oleh bahan organik. Bahan organik akan distabilkan secara biologik dengan melibatkan mikroba melalui sistem oksidasi aerobik dan anaerobik. Oksidasi aerobik dapat menyebabkan penurunan kandungan oksigen terlarut di perairan sampai pada tingkat terendah, sehingga kondisi perairan menjadi anaerob yang dapat mengakibatkan kematian organisme akuatik. Lee et al. (1978) menyatakan bahwa tingkat pencemaran suatu perairan dapat dinilai berdasarkan nilai BOD 5 -nya, seperti disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Status kualitas air berdasarkan nilai BOD 5 (Lee et al., 1978) No Nilai BOD 5 (ppm) Status kualitas air ,9 3,0 5,0 5,1 14,9 15 Tidak tercemar Tercemar ringan Tercemar sedang Tercemar berat Selain BOD 5, kadar bahan organik juga dapat diketahui melalui nilai COD. Effendi (2003) menggambarkan COD sebagai jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik secara kimiawi, baik yang dapat didegradasi secara biologi maupun yang sukar didegradasi menjadi CO 2 dan H 2 O. Berdasarkan kemampuan oksidasi, penentuan nilai COD dianggap paling baik dalam menggambarkan keberadaan bahan organik baik yang dapat didekomposisi secara biologis maupun yang tidak. Senyawa-senyawa Nitrogen Nitrogen di perairan terdapat dalam bentuk gas N 2, NO - 2, NO - 3, NH 3 dan NH + 4 serta sejumlah N yang berikatan dalam organik kompleks (Haryadi, 2003). Sumber nitrogen terbesar berasal dari udara, sekitar 80% dalam bentuk nitrogen bebas yang masuk melalui sistem fiksasi biologis dalam kondisi aerobik. Menurut Chester (1990), keberadaan nitrogen di perairan dapat berupa nitrogen anorganik dan organik. Nitrogen anorganik terdiri atas ion nitrit (NO - 2 ), ion nitrat (NO - 3 ), ammonia (NH 3 ), ion ammonium (NH + 4 ) dan molekul N 2 yang larut dalam air, sedangkan nitrogen organik berupa protein, asam amino dan urea

45 27 akan mengendap dalam air. Effendi (2003) menyatakan bahwa bentuk-bentuk nitrogen tersebut mengalami transformasi (ada yang melibatkan mikrobiologi dan ada yang tidak) sebagai bagian dari siklus nitrogen. Transformasi nitrogen secara mikrobiologi mencakup hal-hal sebagai berikut: 1. Asimilasi nitrogen anorganik (nitrat dan ammonium) oleh tumbuhan dan mikroorganisme (bakteri autorof) untuk membentuk nitrogen organik misalnya asam amino dan protein. 2. Fiksasi gas nitrogen menjadi ammonia dan nitrogen organik oleh mikroorganisme. Fiksasi gas nitrogen secara langsung dapat dilakukan oleh beberapa jenis alga Cyanophyta (alga biru) dan bakteri. N H 2 2 NH 3 (ammonia); atau NH + 4 (ion ammonium). Ion ammonium yang tidqak berbahaya adalah bentuk nitrogen hasil hidrolisis ammonia yang berlangsung dalam kesetimbangan seperti reaksi berikut: H 2 O + NH 3 NH 4 OH NH OH - Kondisi pada ph tinggi (suasana basa) akan menyebabkan ion ammonium menjadi ammonium hidroksida yang tidak berdisosiasi dan bersifat racun (Goldman and Horne, 1989). 3. Nitrifikasi yaitu oksidasi ammonia menjadi nitrit dan nitrat dapat dilakukan oleh bakteri aerob. Nitrifikasi berjalan secara optimum pada ph 8 dan berkurang secara nyata pada ph < 7. NH /2 O 2 NO ½ O 2 Nitrosomonas Nitrobacter 2 H + + NO H 2 O NO 3 - Hasil oksidasi ini sangat reaktif dan mudah sekali larut, sehingga dapat langsung digunakan dalam proses biologis (Hendersen-Seller, 1987). 4. Amonifikasi nitrogen organik untuk menghasilkan ammonia selama proses dekomposisi bahan organik. Proses ini banyak dilakukan oleh mikroba dan jamur yang membutuhkan oksigen untuk mengubah senyawaan organik menjadi karbondioksida (Hendersend-Seller, 1987). Selain itu, autolisasi atau pecahnya sel dan eksresi ammonia oleh zooplankton dan ikan juga berperan sebagai pemasok ammonia. 5. Denitrifikasi yaitu reduksi nitrat menjadi nitrit (NO - 2 ), dinitrogen oksida (N 2 O) dan molekul nitrogen (N 2 ). Proses reduksi nitrat berjalan optimal

46 28 pada kondisi anoksik (tak ada oksigen). Dinitrogen oksida (N 2 O) adalah produk utama dari denitrifikasi pada perairan dengan kadar oksigen sangat rendah, sedangkan molekul nitrogen (N 2 ) adalah produk utama dari proses denitrifikasi pada kondisi anaerob. Proses denitrifikasi akan berkurang atau lambat pada kondisi ph dan suhu rendah, tetapi akan berjalan optimum pada suhu rata-rata danau pada umumnya. Kondisi anaerob di sedimen membuat proses denitrifikasi lebih besar, yaitu dengan laju ratarata 1 mg l -1 hari -1 (Jorgensen, 1980). Kadar nitrogen yang tinggi dalam perairan dapat merangsang pertumbuhan algae secara tak terkendali (blooming). Konsentrasi nitrogen organik di perairan berkisar 0,1 sampai 5 mg/l, sedangkan di perairan tercemar berat kadar nitrogen bisa mencapai 100 mg/l (Dojlido and Best, 1992). Konsentrasi nitrit yang tinggi dapat menyebabkan perairan menjadi tercemar. Schmit (1978) dalam Wardoyo (1989) menyatakan bahwa pencemaran perairan dapat dinilai berdasarkan kandungan nitritnya (Tabel 6). Tabel 6. Status kualitas air berdasarkan kandungan nitrit (Schmit, 1978 dalam Wardoyo, 1989) No Kadar nitrit (mg/l) Status kualitas air 1 < 0,003 Tidak tercemar sampai tercemar sangat ringan 2 0,003 0,014 Tercemar sedang 3 0,014 0,10 Tercemar berat Ortofosfat Keberadaan fosfor di perairan adalah sangat penting terutama berfungsi dalam pembentukan protein dan metabolisme bagi organisme. Fosfor juga berperan dalam transfer energi di dalam sel misalnya adenosine triphosfate (ATP) dan adenosine diphosphate (ADP). Ortofosfat yang merupakan produk ionisasi dari asam ortofosfat adalah bentuk yang paling sederhana di perairan (Boyd, 1982). Reaksi ionisasi ortofosfat ditunjukkan dalam persamaan berikut: H 3 PO 4 H H 2 PO 4 - H 2 PO 4 H HPO 4 - HPO 4 H PO 4

47 29 Fosfor dalam perairan tawar ataupun air limbah pada umumnya dalam bentuk fosfat, yaitu ortofosfat, fosfat terkondensasi seperti pirofosfat (P 2 O 4-7 ), metafosfat (P 3 O 3-9 ) dan polifosfat (P 4 O 6-13 dan P 3 O 5-10 ) serta fosfat yang terikat secara organik (adenosin monofosfat). Senyawaan ini berada sebagai larutan, partikel atau detritus atau berada di dalam tubuh organisme akuatik (Faust & Osman, 1981; APHA AWWA, 1995). Ortofosfat merupakan bentuk fosfat yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan akuatik, sedangkan polifosfat harus mengalami hidrolisis membentuk ortofosfat terlebih dahulu sebelum dapat dimanfaatkan sebagai sumber fosfor. Menurut Perkins (1974), kandungan fosfat yang terdapat di perairan umumnya tidak lebih dari 0,1 mg/l, kecuali pada perairan yang menerima limbah dari rumah tangga dan industri tertentu, serta dari daerah pertanian yang mendapat pemupukan fosfat. Oleh karena itu, perairan yang mengandung kadar fosfat yang cukup tinggi melebihi kebutuhan normal organisme akuatik akan menyebabkan terjadinya eutrofikasi. Pestisida Dampak negatif dari penggunaan pestisida dalam bidang pertanian adalah berupa timbulnya pencemaran terhadap lingkungan, baik lingkungan perairan, tanah dan udara maupun mahluk hidup yang bukan sasaran. Pestisida masuk ke badan air melalui banyak jalur, misalnya limpasan dari daerah pertanian, aliran dari persawahan, buangan limbah domestik, limbah perkotaan dan industri. Dalam badan air, proporsi utama pestisida adalah terserap pada partikel tersuspensi dan partikel yang diam atau terpisah ke dalam subtrat organik. Pestisida memperlihatkan afinitas yang kuat untuk komponen lipid dan bahan organik. Jumlah pestisida yang tercakup tergantung pada karakteristik kimiawi dan kelarutan pestisida serta karakteristik sedimen (Connell dan Miller, 1995). Pestisida dalam air dan tanah mengalami degradasi baik secara fisik maupun biologis. Jenis-jenis pestisida persisten praktis tidak mengalami degradasi dalam air dan tanah, tetapi akan terakumulasi. Di dalam badan air pestisida dapat mengakibatkan pemekatan biologis terutama pestisida yang persisten. Edward (1975) dan Brown (1978) menyatakan bahwa pada saat pestisida memasuki suatu

48 30 perairan, pestisida tersebut akan segera diserap oleh plankton, hewan-hewan vertebrata akuatik, tanaman akuatik, ikan dan sebagian mengendap di sedimen. Kadar pestisida yang tinggi dapat menimbulkan kematian organisme akuatik secara langsung (keracunan akut) yaitu kontak langsung atau melalui jasad lainnya seperti plankton, perifiton dan bentos, sedangkan kadar rendah dalam badan air kemungkinan besar menyebabkan kematian organisme dalam waktu yang lama yaitu akibat akumulasi pestisida dalam organ tubuhnya (Soemarwoto et al., 1979). Pada umumnya pestisida memperlihatkan sifat lebih toksik terhadap zooplankton dan bentos dengan tingkat toksisitasnya bervariasi sangat luas, tergantung jenis pestisida dan tingkat stadia komunitas yang bersangkutan Parameter Mikrobiologi Lingkungan perairan mudah tercemar oleh mikroorganisme patogen (berbahaya) yang masuk dari berbagai sumber seperti permukiman, pertanian dan peternakan. Bakteri yang umum digunakan sebagai indikator tercemarnya suatu badan air adalah bakteri yang tergolong Escherichia coli, yang merupakan salah satu bakteri yang tergolong koliform dan hidup normal di dalam kotoran manusia dan hewan (Effendi, 2003). Keberadaan bakteri ini dapat digunakan sebagai indikator dalam menilai tingkat higienisitas suatu perairan. Pencemaran bakteri tinja (feses) di perairan sangat tidak dikehendaki, baik ditinjau dari segi estetika, kebersihan, sanitasi maupun kemungkinan terjadinya infeksi berbahaya. Mikroba patogen asal tinja yang sering menyebabkan penyakit disentri yang ditularkan melalui air mencakup salmonella, shigella dan coliform (Lay, 1994). Bakteri coliform total merupakan semua jenis bakteri aerobik, anaerobik fakultatif, dan rod-shape (bakteri batang) yang dapat memfermentasi laktosa dan menghasilkan gas dalam waktu 48 jam pada suhu 35 0 C. Bakteri coliform total terdiri dari Escherichia coli, Citrobacter, Klebsiella, dan Enterobacter. Fecal coliform adalah anggota dari coliform yang mampu memfermentasi laktosa pada suhu 44,5 0 C dan merupakan bagian yang paling dominan (97%) pada tinja manusia dan hewan (Effendi, 2003). Alaerts dan Santika (1994) menyatakan bahwa Fecal coliform merupakan bakteri petunjuk adanya pencemaran tinja yang

49 31 paling efisien, karena Fecal coliform hanya dan selalu terdapat dalam tinja manusia Dampak Pemanfaatan Lahan terhadap Kualitas Perairan Keberlangsungan fungsi suatu danau sangat tergantung pada kondisi atau keadaan lahan di sekitar daerah tangkapan air (DTA). Berbagai penggunaan lahan di DTA, seperti untuk pertanian, perkebunan, persawahan dan permukiman. Semua aktivitas dari kegiatan tersebut dapat menghasilkan berbagai bahan pencemar atau limbah yang akan mengalir ke perairan danau. Hal ini dapat memberikan dampak negatif terhadap lingkungan perairan danau. Peningkatan jumlah penduduk di sekitar danau secara langsung akan meningkatkan kebutuhan terhadap lahan, baik untuk permukiman, pertanian, sarana dan prasarana lainnya dalam menunjang kehidupan. Hal ini secara langsung maupun tidak langsung akan memberikan tekanan terhadap perairan danau. Demikian juga penggunaan pupuk dan pestisida dalam pengolahan hasil pertanian akan berdampak terhadap kualitas perairan danau. Residu yang berasal dari pelindian pupuk, pestisida dan limbah cair dari agroindustri akan terbawa oleh aliran air ke daerah hilir yang akan terakumulasi di perairan danau, sehingga dapat menyebabkan terjadinya penurunan kualitas perairan danau. Limbah yang masuk ke perairan danau secara terus-menerus, terutama limbah organik dapat menyebabkan terjadinya pengkayaan terhadap hara yang ada di badan air, sehingga dapat menghasilkan suksesi perairan yang disebut eutrofikasi. Keadaan seperti ini dapat menurunkan kualitas perairan danau, sehingga dapat membahayakan bagi kehidupan organisme perairan danau. Apabila danau selalu dijejali oleh buangan-buangan dari hulu yang mengandung bahan pencemar, akan berdampak negatif terhadap perairan danau seperti meningkatnya nilai BOD 5, COD, nitrogen, fosfat, senyawa-senyawa beracun, dan TSS (Manik, 2003). Hal ini akan menyebabkan kualitas perairan danau menjadi menurun, sehingga perairan danau tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya Dampak Sedimentasi terhadap Kualitas Perairan Kegiatan pembukaan lahan di bagian hulu dan DTA untuk pertanian, pertambangan dan pengembangan permukiman merupakan sumber sedimen dan

50 32 pencemaran perairan danau. Masuknya padatan tersuspensi ke dalam perairan danau dapat meningkatkan kekeruhan air. Hal ini menyebabkan menurunnya laju fotosintesis fitoplankton, sehingga produktivitas primer perairan menjadi turun, yang pada gilirannya menyebabkan terganggunya keseluruhan rantai makan (Haryani, 2001). Sedimen yang dihasilkan oleh proses erosi akan terbawa oleh aliran dan diendapkan pada suatu tempat yang kecepatannya melambat atau terhenti. Proses ini dikenal dengan sedimentasi atau pengendapan. Asdak (2002) menyatakan bahwa sedimen hasil erosi terjadi sebagai akibat proses pengolahan tanah yang tidak memenuhi kaidah-kaidah konservasi pada daerah tangkapan air di bagian hulu. Kandungan sedimen pada hampir semua sungai meningkat terus karena erosi dari tanah pertanian, kehutanan, konstruksi dan pertambangan. Hasil sedimen (sediment yield) adalah besarnya sedimen yang berasal dari erosi yang terjadi di daerah tangkapan air yang dapat diukur pada periode waktu dan tempat tertentu. Hal ini biasanya diperoleh dari pengukuran padatan tersuspensi di dalam perairan danau. Berdasarkan pada jenis dan ukuran partikel-partikel tanah serta komposisi bahan, sedimen dapat dibagi atas beberapa klasifikasi yaitu gravels (kerikil), medium sand (pasir), silt (lumpur), clay (liat) dan dissolved material (bahan terlarut) (Asdak, 2002; Al-Masri et al., 2004). Tabel 7 memperlihatkan klasifikasi sedimen menurut Asdak (2002). Tabel 7. Jenis dan ukuran sedimen yang masuk ke perairan danau (Asdak, 2002) Jenis Sedimen Liat Debu Pasir Pasir besar Ukuran Partikel (mm) < 0,0039 0,0039 0,0625 0,0625 2,0 2,0 64,0 Ukuran partikel memiliki hubungan dengan kandungan bahan organik sedimen. Sedimen dengan ukuran partikel halus memiliki kandungan bahan organik yang lebih tinggi dibandingkan dengan sedimen dengan ukuran partikel yang lebih kasar. Hal ini berhubungan dengan kondisi lingkungan yang tenang,

51 33 sehingga memungkinkan pengendapan sedimen lumpur yang diikuti oleh akumulasi bahan organik ke dasar perairan (Wood, 1997). Pada sedimen kasar, kandungan bahan organik biasanya rendah karena partikel yang halus tidak mengendap. Selain itu, tingginya kadar bahan organik pada sedimen dengan ukuran butir lebih halus disebabkan oleh adanya gaya kohesi (tarik menarik) antara partikel sedimen dengan partikel mineral, pengikatan oleh partikel organik dan pengikatan oleh sekresi lendir organisme (Wood, 1997) Pengendalian Pencemaran Perairan Danau Pencemaran perairan terbuka seperti danau oleh limbah domestik maupun limbah rumah tangga merupakan masalah yang serius yang dapat mengancam keberadaan sumberdaya perairan dan kerusakan lingkungan. Oleh sebab itu diperlukan upaya untuk mengendalikan, sehingga dapat meminimalkan dampak tersebut. Pengendalian pencemaran perairan diartikan sebagai upaya pencegahan dan penanggulangan pencemaran serta pemulihan kualitas air untuk menjamin kualitas air agar sesuai dengan peruntukannya. Brahmana et al. (2002) menyatakan upaya upaya dalam pengendalian pencemaran dalam hal mengurangi beban pencemar yang masuk ke perairan sungai dan danau dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan, yang antara lain : (1) pendekatan teknologi yaitu dengan membangun IPAL untuk pengendalian limbah penduduk dan limbah industri, (2) pendekatan hukum, yaitu dengan penerapan perundang-undangan yang berlaku secara tegas, dan (3) pendekatan sosial ekonomi dan budaya, yaitu dengan penerapan secara top down dan bottom up (komunikasi dua arah) Pendekatan Sistem System approach (pendekatan sistem) diartikan sebagai suatu metodologi penyelesaian masalah yang dimulai secara tentatif mendefinisikan atau merumuskan tujuan dan hasilnya adalah suatu sistem operasi yang secara efektif dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan yang kompleks. Oleh karena itu dalam pendekatan sistem selalu mencari keterpaduan antar bagian melalui pemahaman yang utuh. Pada pendekatan sistem menurut Eriyatno (2003),

52 34 umumnya ditandai oleh dua hal yaitu: (1) mencari semua faktor yang ada dalam mendapatkan solusi yang baik untuk menyelesaikan masalah, dan (2) dibuat suatu model kuantitatif untuk membantu keputusan secara rasional. Tiga pola dasar yang menjadi pegangan dalam penyelesaian permasalahan dengan pendekatan sistem, yaitu: 1) sibernetik (goal oriented), artinya dalam penyelesaian permasalahan berorientasi pada tujuan. Tujuan ini diperoleh melalui need analysis (analisis kebutuhan); 2) Holistik yaitu cara pandang yang utuh terhadap totalitas sistem, atau menyelesaikan permasalahan secara utuh, menyeluruh dan terpadu; dan 3) Efektif, artinya lebih dipentingkan hasil guna yang operasional serta dapat dilaksanakan, bukan sekedar pendalaman teoritis. Dengan demikian, berbagai metodologi dikembangkan sebagai karakter dalam pendekatan sistem, sehingga beragam metode yang ada di berbagai disiplin ilmu lainnya dapat digunakan sebagai alat bantu oleh ahli sistem. Menurut Manetsch dan Park (1977), suatu pendekatan sistem akan dapat berjalan dengan baik jika terpenuhi kondisi-kondisi berikut: 1) tujuan sistem didefinisikan dengan baik dan dapat dikenali jika tidak dapat dikuantifikasikan, 2) prosedur pembuatan keputusan dalam sistem riil adalah tersentralisasi atau cukup jelas batasannya, dan 3) dalam perencanaan jangka panjang memungkinkan untuk dilakukan. Sedangkan menurut Ford (1999), mendefinisikan sistem sebagai suatu kombinasi dari dua atau lebih elemen yang saling terkait dan memiliki ketergantungan antar komponen. Lebih lanjut Eriyatno (2003) menyatakan bahwa untuk menyelesaikan permasalahan yang kompleks dengan pendekatan sistem melalui beberapa tahapan, yaitu: (1) analisis kebutuhan, bertujuan untuk mengidentifikasi kebutuhan dari semua pelaku dalam sistem, (2) formulasi permasalahan, yang merupakan kombinasi dari semua permasalahan yang ada dalam sistem, (3) identifikasi sistem, bertujuan untuk menentukan variabel-variabel sistem dalam rangka memenuhi kebutuhan semua pelaku dalam sistem, (4) pemodelan abstrak, pada tahap ini mencakup suatu proses interaktif antara analisis sistem dengan pembuat keputusan, yang menggunakan model untuk mengeksplorasi dampak dari berbagai alternatif dan variabel keputusan terhadap berbagai kriteria sistem, (5) implementasi, tujuan utamanya adalah untuk memberikan wujud fisik dari

53 35 sistem yang diinginkan, dan (6) operasi, pada tahap ini akan dilakukan validasi sistem. Pada tahap ini terjadi modifikasi-modifikasi tambahan karena cepatnya perubahan lingkungan dimana sistem tersebut berfungsi. Menurut Pramudya (1989), pendekatan sistem dilakukan dengan tahapan kerja yang sistematis yang dimulai dari analisis kebutuhan hingga tahap evaluasi, seperti disajikan pada Gambar 3. Gambar 3. Tahapan kerja dalam pendekatan sistem (Pramudya, 1989). Analisis sistem merupakan kajian mengenai struktur sistem yang bertujuan (1) mengidentifikasi unsur-unsur penyususn sistem atau sub-sistem, (2) memahami proses-proses yang terjadi dalam sistem, dan (3) memprediksi kemungkinan-kemungkinan keluaran sistem yang terjadi sebagi akibat adanya perubahan dalam sistem. Dengan demikian analisis sistem dapat diartikan sebagai suatu metode pendekatan masalah atau metode ilmiah yang merupakan dasar dalam pemecahan masalah dalam pengelolaan sistem tersebut. Menurut Pramudya (1989), analisis sistem merupakan studi mengenai sistem atau organisasi dengan menggunakan azas-azas metode ilmiah, sehingga dapat dibentuk konsepsi dan

54 36 model yang dapat digunakan sebagai dasar pengelolaan untuk mengadakan perubahan-perubahan struktur dan metode serta menentukan kebijakan, stategi, dan taktik. Winardi (1989) menyatakan bahwa sistem harus dipandang secara holistik (keseluruhan) dan akan bersifat sebagai goal seeking (pengejar sasaran), sehingga terjadi sebuah keseimbangan untuk pencapaian tujuan. Suatu sistem mempunyai input (masukan) yang akan berproses untuk menghasilkan output (keluaran). Pada suatu sistem terdapat umpan balik yang berfungsi sebagai pengatur komponen-komponen sistem yang saling berinteraksi untuk mencapai tujuan. Sistem yang lebih besar dapat terdiri atas beberapa sub-sistem (sistem kecil) yang akan membentuk suatu hirarki. Perubahan pada satu komponen dari suatu sistem akan mempengaruhi komponen lain dan biasanya akan menghasilkan umpan balik pada periode yang sama atau pada periode berikutnya. Perubahan tersebut dapat disebabkan oleh faktor internal (dari dalam sistem) maupun faktor eksternal (dari luar sistem). Sistem dinamis merupakan sistem yang memiliki variabel yang dapat berubah sepanjang waktu sebagai akibat dari perubahan input dan interaksi antar elemenelemen sistem. Dengan demikian nilai output sangat tergantung pada nilai sebelumnya dari variabel input (Djojomartono, 2000) Modeling (Pemodelan) Modeling (pemodelan) diartikan sebagai suatu gugus pembuatan model (Eriyatno, 2003). Pramudya (1989) mendefinisikan model adalah suatu abstraksi dari keadaan sesungguhnya atau merupakan pernyataan sistem nyata untuk memudahkan pengkajian suatu sistem. Sejalan dengan pernyataan tersebut Muahammadi et al. (2001) menyatakan bahwa model adalah suatu bentuk yang dibuat untuk menirukan suatu gejala atau proses. Dalam pelaksanaan pendekatan sistem, pengembangan model merupakan hal yang sangat penting yang akan menentukan keberhasilan dalam mempelajari sistem secara keseluruhan. Disamping itu, pengembangan model diperlukan guna menemukan peubahpeubah penting dan tepat serta hubungan antar peubah dalam sistem yang dikaji. Menurut Winardi (1989), model adalah suatu gambaran abstrak dari sistem dunia nyata dalam hal-hal tertentu. Model tersebut memperlihatkan hubungan langsung

55 37 maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik dalam istilah sebab akibat. Suatu model yang baik akan menggambarkan dengan baik segi tertentu yang penting dari perilaku dunia nyata. Dalam membangun suatu model harus dimulai dari konsep yang paling sederhana dengan cara mendefinisikan permasalahan secara hati-hati serta menggunakan analisis sensitivitas untuk membantu menentukan rincian model. Selanjutnya untuk penyempurnaan dilakukan dengan menambahkan variabel secara gradual sehingga diperoleh model yang logis dan dapat merepresentasikan keadaan yang sebenarnya. Model yang dibangun haruslah merupakan gambaran yang sahih dari sistem yang nyata, realistik dan informatif. Model yang tidak sahih akan memberikan hasil simulasi yang sangat menyimpang dari kenyataan yang ada, sehingga akan memberikan informasi yang tidak tepat. Model yang dianggap baik apabila model dapat menggambarkan semua hal yang penting dari dunia nyata dalam sistem tersebut. Lebih lanjut Pramudya (1989) menyatakan bahwa ada empat keuntungan penggunaan model dalam penelitian dengan menggunakan pendekatan sistem yaitu: (1) memungkinkan melakukan penelitian yang bersifat lintas sektoral dengan ruang lingkup yang luas, (2) dapat melakukan eksperimentasi terhadap sistem tanpa mengganggu (memberikan perlakuan) tertentu terhadap sistem, (3) mampu menentukan tujuan aktivitas pengelolaan dan perbaikan terhadap sistem yang diteliti, dan (4) dapat dipakai untuk menduga (meramal) perilaku dan keadaan sistem pada masa yang akan datang. Penggunaan model sistem dinamis merupakan salah satu cara untuk menyelesaikan masalah yang kompleks dalam pendekatan sistem (Winardi, 1989; Muhammadi et al., 2001). Langkah pertama dalam menyusun model sistem dinamis adalah menentukan struktur model yang akan memberikan bentuk dan sekaligus memberi ciri yang mempengaruhi perilaku sistem. Perilaku sistem tersebut dibentuk oleh kombinasi perilaku simpal causal-loop (sebab-akibat) yang menyusun struktur model. Semua perilaku model dapat disederhanakan menjadi struktur dasar yaitu mekanisme dari masukan, proses, keluaran, dan umpan balik. Mekanisme tersebut akan berkerja menurut perubahan waktu atau bersifat dinamis

56 38 yang dapat diamati perilakunya dalam bentuk unjuk kerja (level) dari suatu model sistem dinamis. Menurut Muahammadi et al. (2001) dan Eriyatno (2003), model dikelompokkan menjadi 3 jenis yaitu: (1) model ikonik (model fisik) yaitu model yang mempunyai bentuk fisik sama dengan barang yang ditirukan, meskipun skalanya dapat diperbesar atau diperkecil, (2) model analog (model diagramatik) yaitu model suatu proses atau sifat, model ini sifatnya lebih sederhana dan sering dipakai pada situasi khusus, seperti pada proses pengendalian mutu industri, dan (3) model simbolik (model matematik) yaitu model yang menggunakan simbol-simbol matematika. Untuk memahami struktur dan perilaku sistem, yang akan membantu dalam pembentukan model dinamik kuantitatif digunakan causal-loop diagram (diagram lingkar sebab-akibat) dan flow chart diagram (diagram alir). Pada sistem dinamis, diagram sebab akibat ini akan digunakan sebagai dasar untuk membuat diagram alir yang akan disimulasikan dengan menggunakan program powersim. Program ini dapat memberikan gambaran tentang perilaku sistem, sehingga dengan simulasi dapat ditentukan alternatif terbaik dari sistem yang dibangun. Selanjutnya dilakukan analisis untuk mendapatkan kesimpulan dan kebijakan apa yang harus dilakukan untuk mengantisipasi atau mengubah perilaku sistem yang terjadi. Kinerja pada model dinamis ditentukan oleh kekhususan dan struktur dari model yang dibangun. Melalui simulasi akan didapatkan perilaku dari suatu gejala atau proses yang terjadi dalam sistem yang dikaji, sehingga dapat dilakukan analisis dan peramalan perilaku dari gejala atau proses tersebut di masa depan. Empat tahapan dalam melakukan simulasi model (Muhammadi et al., 2001), yaitu: (a) Penyusunan konsep, pada tahap ini dilakukan identifikasi unsur-unsur yang berperan dalam menimbulkan gejala atau proses. Dari unsur-unsur dan keterkaitannya dapat disusun gagasan atau konsep mengenai gejala (proses) yang akan disimulasikan,

57 39 (b) Pembuatan model, gagasan atau konsep yang dihasilkan pada tahap pertama selanjutnya dirumuskan sebagai model yang berbentuk uraian, gambar atau rumus, (c) Simulasi model; pada model kuantitatif, simulasi dilakukan dengan memasukkan data ke dalam model, sedangkan pada model kualitatif, simulasi dilakukan dengan menelusuri dan melakukan analisis hubungan sebab akibat antar variabel dengan memasukkan data atau informasi yang dikumpulkan untuk memahami perilaku gejala atau proses model. (d) Validasi hasil simulasi; validasi bertujuan untuk mengetahui kesesuaian antara hasil simulasi dengan gejala atau proses yang ditirukan. Model dapat dinyatakan baik jika kesalahan atau simpangan hasil simulasi terhadap gejala atau proses yang terjadi di dunia nyata relatif kecil Validitas dan Sensitivitas Model Model yang baik adalah model yang dapat merepresentasikan keadaan yang sebenarnya. Untuk menguji kebenaran suatu model dengan kondisi oyektif dilakukan uji validasi (Muhammadi et al., 2001). Ada dua jenis validasi dalam model, yakni validasi struktur dan validasi kinerja. Validasi struktur dilakukan untuk memperoleh keyakinan konstruksi model valid secara ilmiah, sedangkan validitas kinerja untuk memperoleh keyakinan sejauhmana model sesuai dengan kinerja sistem nyata atau sesuai dengan data empirik. Validitas struktur meliputi dua pengujian, yaitu validitas konstruksi dan validitas kestabilan. Validitas konstruksi melihat apakah konstruksi model yang dikembangkan sesuai dengan teori. Uji validitas konstruksi ini sifatnya abstrak, tetapi konstruksi model yang benar secara ilmiah berdasarkan teori yang ada akan terlihat dari konsistensi model yang dibangun (Muhammadi et al., 2001). Menurut Barlas (1996), validitas kestabilan merupakan fungsi dari waktu. Model yang stabil akan memberikan output yang memiliki pola yang hampir sama antara model agregat dengan model yang lebih kecil (disagregasi). Validitas kinerja atau output model bertujuan untuk memperoleh keyakinan sejauhmana kinerja model sesuai (compatible) dengan kinerja sistem nyata, sehingga memenuhi syarat sebagai model ilmiah yang taat fakta. Caranya

58 40 adalah memvalidasi kinerja model dengan data empirik, untuk melihat sejauhmana perilaku output model sesuai dengan perilaku data empirik. Hal ini dapat dilakukan dengan cara: (1) membandingkan pola output model dengan data empirik, dan (2) melakukan pengujian secara statistik untuk melihat penyimpangan antara output simulasi dengan data empirik dengan beberapa cara, antara lain AME (absolute mean error), AVE (absolute variation error) dan U- Theil s (Barlas, 1996; Muahammadi et al., 2001). Disamping itu juga digunakan uji DW (Durbin Watson) dan KF (Kalman Filter) untuk menjelaskan kesesuaian antara hasil simulasi terhadap data aktual. Untuk mengetahui kekuatan (robustness) model dalam dimensi waktu dilakukan uji sensitivitas. Uji ini dilakukan untuk mengetahui respon model terhadap stimulus. Tujuan utamanya adalah untuk mengetahui alternatif tindakan baik untuk menjelaskan sensitivitas parameter, variabel dan hubungan antar variabel dalam model. Hasil uji sensitivitas dalam bentuk perubahan perilaku atau kinerja model, digunakan untuk menganalisis efek intervensi terhadap model. Uji sensitivitas model dapat dilakukan dengan dua macam (Muhammadi et al. 2001): (1) intervensi fungsional, yakni dengan memberikan fungsi-fungsi khusus terhadap model dengan menggunakan fasilitas, antara lain: step, random, pulse, ramp dan forecast, trend, if, sinus dan setengah sinus, dan (2) intervensi struktural, yakni dengan mempengaruhi hubungan antar unsur atau struktur model dengan cara mengubah struktur modelnya. Sensitivitas model mengungkapkan hasil-hasil intervensi terhadap unsur dan struktur sistem. Disamping itu, analisis sensitivitas model juga berfungsi dalam menemukan alternatif tindakan atau kebijakan, baik untuk mengakselerasi kemungkinan pencapaian hasil positif maupun untuk mengantisipasi kemungkinan dampak negatif Persepsi Masyarakat dalam Pengendalian pencemaran Konsep persepsi pada dasarnya merupakan suatu konsep dan kajian psikologi. Persepsi merupakan pandangan individu terhadap suatu objek. Akibat adanya stimulus, individu memberikan reaksi (respon) berupa penerimaan atau penolakan terhadap stimulus tersebut (Langevelt, 1996 dalam Harihanto, 2001). Individu tidak hanya merespon suatu objek, tetapi juga memberi makna situasi tersebut menurut kepentingannya.

59 41 Proses terbentuknya persepsi terjadi sebagai hasil proses penerimaan informasi melalui penarikan kesimpulan atau pembentukan arti yang dikaitkan dengan kesan atau ingatan untuk kejadian yang sama dimasa lalu. Kunci pemahaman terhadap persepsi masyarakat terhadap suatu objek, terletak pada pengenalan dan penafsiran unik terhadap objek pada suatu situasi tertentu dan bukan merupakan suatu pencatatan yang sebenarnya dari situasi tersebut. Informasi dan situasi dapat berfungsi sebagai stimulus bagi terbentuknya suatu persepsi, walau informasi tentang lingkungan itu juga bisa berupa suatu situasi tertentu, tidak harus berupa rangkaian kalimat atau isyarat ( Thoha, 1988). Proses kognitif yang bisa terjadi pada setiap orang dalam memahami lingkungannya dapat diperoleh melalui penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan maupun penciuman. Ada tiga rangkaian proses yang membentuk persepsi, yaitu seleksi, organisasi dan interpretasi. Stimulus yang diterima mula-mula diseleksi, hanya stimulus yang sesuai dengan kebutuhan atau menarik perhatian saja kemudian diubah menjadi kesadaran. Pada tahap organisasi, stimulus yang diterima seseorang disusun secara sederhana dan terpadu, sedangkan pada tahap interpretasi yakni dilakukan penilaian dan pengambilan keputusan. Seseorang akan menangkap berbagai gejala atau rangsangan di luar dirinya melalui indra yang dimilikinya dan selanjutnya akan memberikan interpretasi terhadap rangsangan tersebut. Pemaknaan individu terhadap suatu objek kemudian akan membentuk struktur kognisi di dalam dirinya. Data yang diperoleh terhadap suatu objek tertentu akan masuk ke dalam kognisi mengikuti prinsip organisasi kognitif yang sama dan proses ini tidak hanya berkaitan dengan penglihatan tetapi juga melalui semua indra manusia. Hasil interpretasi tersebut merupakan bagaimana pengertian atau pemahaman seseorang terhadap suatu objek. Persepsi masyarakat terhadap lingkungan diperlukan untuk mengoptimalkan kualitas lingkungan sesuai dengan persepsi masyarakat yang menggunakannya. Persepsi mengenai lingkungan yang mencakup harapan, aspirasi ataupun keinginan terhadap suatu kualitas lingkungan tertentu sebaiknya dipahami secara subjektif, yakni dikaitkan dengan aspek-aspek psikologis dan sosio kultur masyarakat. Dengan demikian, kualitas lingkungan harus didefinisikan secara

60 42 umum sebagai lingkungan yang memenuhi preferensi imajinasi ideal seseorang atau sekelompok orang. Persepsi bukanlah sesuatu hal yang memiliki sifat statis, tetapi terbuka terhadap berbagai informasi yang muncul dari lingkungan. Krech (1985) meyatakan bahwa perubahan persepsi dapat terjadi akibat berkembangnya pemahaman terhadap lingkungan ataupun akibat terjadinya perubahan kebutuhan nilai-nilai yang dianut, sikap dan sebagainya. Dengan demikian persepsi masyarakat yang ada di sekitar perairan danau akan dipengaruhi oleh karakteristik personalnya, seperti umur, pendidikan, pekerjaan, pendapatan dan lokasi tempat tinggalnya (lingkungan). Pada gilirannya persepsi masyarakat tersebut akan mempengaruhi sikap dan perilakunya terhadap pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya alam perairan danau. Khusus dalam penelitian ini, pengertian persepsi masyarakat sekitar danau dibatasi sebagai tanggapan mereka tentang pengendalian pencemaran perairan Danau Maninjau dalam hal pencegahan, penanggulangan dan partisipasi.

61 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian dilakukan di perairan Danau Maninjau, Kecamatan Tanjung Raya Kabupaten Agam Sumatera Barat. Lokasi penelitian berjarak ± 140 km dari Kota Padang. Secara geografis Danau Maninjau terletak antara lintang selatan dan bujur timur. Danau Maninjau merupakan danau kaldera yang terbentuk dari aktivitas gunung berapi, terletak pada ketinggian muka air danau sekitar 264,5 m di atas permukaan laut (dpl) yang mempunyai luas permukaan air sekitar 9.737, 50 ha, dengan volume air sebesar ,2 m 3. Penelitian ini dilakukan selama 7 (tujuh) bulan, dimulai dari bulan Januari sampai dengan Juli Beberapa pengambilan data juga dilakukan di luar jadwal tersebut Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel air, tiosulfat, KI, H 2 SO 4 pekat, MnSO 4, K 2 Cr 2 O 7, FeSO 4, indikator ferroin, pereaksi Nessler, larutan standar ammonia, brusin, larutan NaCl, larutan standar nitrat, larutan sulfanilamid, larutan N-(1-naftil)-etilendiamin dihidroklorida, larutan standar nitrit, amonium molibdat, stano klorida, larutan baku fosfat, Na 2 CO 2 dan indikator fenolptalein. Sedangkan alat-alat yang digunakan meliputi: ph meter, thermometer, secchi disk, kemmerer water sampler dan water quality checker, kuesioner, program powersim versi 2,5c dan program prospektif Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer yang berupa pengukuran kondisi fisik, kimia dan biologi perairan danau diperoleh di lapangan dan sebagian dari hasil analisis di laboratorium. Data persepsi masyarakat di sekitar perairan Danau Maninjau diperoleh dengan cara pengisian kuesioner oleh responden penduduk. Data primer tentang prospek pengendalian pencemaran dimasa depan diperoleh dari hasil kuesioner dari seluruh pelaku dan para pakar. Data sekunder diperoleh dari

62 44 berbagai sumber seperti hasil penelitian terdahulu, hasil studi pustaka, laporan serta dokumen dari berbagai instansi yang berhubungan dengan topik yang dikaji Pelaksanaan Penelitian A. Pengambilan Sampel Kualitas Air Tujuan dari pengambilan data ini adalah untuk mendapatkan gambaran tentang sifat fisika, kimia dan mikrobiologi perairan danau. Penentuan lokasi pengambilan sampel parameter fisika, kimia dan mikrobiologi perairan danau ditetapkan secara purporsive (sengaja). Pengambilan sampel air lebih diarahkan pada pusat-pusat kegiatan penduduk sebagai sumber aliran limbah yang masuk ke perairan danau seperti permukiman, pertanian dan hotel (pariwisata) serta lokasi kegiatan keramba jaring apung. Penentuan titik-titik pengambilan contoh air di sungai dengan pertimbangan bahwa lokasi pengambilan sampel air diduga sebagai aliran limbah cair dari berbagai kegiatan aktivitas penduduk yang mengalir ke perairan danau. Selanjutnya ditentukan titik (stasiun) pengambilan contoh air, yaitu satu di muara sungai dan satu lagi di perairan danau dengan jarak 100 meter dari muara sungai. Pengambilan contoh air di danau dilakukan sebanyak 7 (tujuh) kali dengan interval waktu sebulan. Pengambilan contoh air dilakukan pada kedalaman 0 m (permukaan), 2 m dan 10 m dan dilakukan secara komposit. Lokasi penelitian dan pengambilan sampel contoh air ditunjukkan pada Gambar 4. Lokasi pengambilan contoh air dapat digambarkan sebagai berikut: 1. Muara Batang Limau Sundai, terletak di Nagari Maninjau. Kawasan daerah ini merupakan daerah permukiman, perhotelan, pasar dan kegiatan home stay. 2. Muara Batang Maransi, terletak di Nagari Bayur. Kawasan ini merupakan daerah pertanian lahan basah, peternakan, perhotelan, permukiman dan pasar. 3. Muara Bandar Ligin, terletak di Nagari Sungai Batang. Kawasan ini merupakan daerah pertanian, peternakan, permukiman dan pasar. 4. Muara Sungai Jembatan Ampang, terletak di Nagari II Koto. Kawasan ini merupakan daerah lahan pertanian dan permukiman. 5. Muara Sungai Kalarian, terletak di Nagari Koto Kaciak. Kawasan ini merupakan daerah lahan pertanian, permukiman, pasar dan peternakan.

63 Gambar 4. Peta lokasi penelitian Keterangan: 1. Batang Maransi 3. Sungai Limau Sundai 5. Bandar Ligin 7. Batang Kalarian 9. Sungai Jembatan Ampang 11. Sungai Tembok Asam

64 46 6. Muara Sungai Tembok Asam, terletak di Nagari III Koto. Kawasan ini merupakan daerah pertanian lahan basah dan perkebunan, permukiman dan peternakan. Parameter fisika, kimia dan biologi perairan yang diukur terutama didasarkan pada parameter kualitas air kelas 1 yaitu air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum, dan atau peruntukan lain yang mensyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air (Lampiran 1). Parameter fisika, kimia dan mikrobiologi perairan danau yang diukur, metode serta peralatan yang digunakan, mengikuti pedoman standar methods for examination of water and waste water (APHA, 1995), seperti yang ditunjukkan pada Tabel 8. Tabel 8. Parameter kualitas air dan metode analisis serta alat yang digunakan Parameter Satuan Metode Analisis Peralatan I. Fisika 1. Suhu 2. TSS 3. TDS 4. Kekeruhan 5. Warna 6. Kecerahan II. Kimia 1. ph 2. CO 2 3. DO 4. BOD 5 5. COD 6. N-NO 3 7. N-NO 2 8. Ammonia 9. Ortofosfat 10. Pestisida III. Mikrobiologi 1. Fecal coliform 2. Total coliform 0 C mg/l mg/l JTU Unit PtCo cm - mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l MPN/100 ml MPN/100 ml Pemuaian Gravimetri Gravimetri Turbidimetri VCM Visual Potensiometri Titrimetrik Titrimetri winkler Titrimetrik Spektrofotometrik Spektrofotometrik Spektrofotometrik Spektrofotometrik Spektrofotometrik Spektrofotometrik Metode MPN Metode MPN Termometer Timbangan analitik Timbangan analitik Turbiditimeter Skala PtCO Secchi Disc ph meter Peralatan titrasi DO meter Peralatan titrasi Spektrofotometer, titrasi Spektrofotometer Spektrofotometer Spektrofotometer Spektrofotometer Spektrofotometer Tabel MPN, filter Tabel MPN, filter

65 47 B. Sumber dan Beban Pencemaran Perairan Danau Pengumpulan data untuk mengidentifikasi sumber-sumber limbah yang masuk ke perairan danau dilakukan melalui wawancara dan dari data sekunder. Data beban limbah yang masuk ke perairan danau melalui sungai diperoleh melalui pengukuran konsentrasi parameter beban limbah pada setiap stasiun atau sungai yang mengalir ke danau, sedangkan pengumpulan data beban limbah dari KJA, peternakan dan hotel diperoleh melalui wawancara dan data sekunder. Disamping itu, data untuk menentukan kapasitas asimilasi terhadap beban limbah di perairan danau diperoleh melalui pengukuran parameter pencemaran pada jarak 100 meter dari muara sungai ke arah danau. C. Persepsi Masyarakat Pengumpulan data untuk mengetahui persepsi masyarakat tentang pengendalian pencemaran (pencegahan, penanggulangan dan partisipasi pada pencegahan dan pananggulangan) perairan danau menggunakan kuesioner terstruktur yang disebarkan pada responden. Penentuan responden dilakukan dengan metode multiple stage random sampling (Nazir, 1999) pada tiga jorong (kampung) terpilih dari tujuh nagari yang ada di sekitar Danau Maninjau. Jumlah responden yang diambil adalah 150 kk yang terdiri dari 50 kk setiap jorong terpilih. D. Membangun Model Pengendalian Pencemaran Perairan Data yang diperlukan untuk membangun model pengendalian pencemaran di perairan danau adalah merupakan beban pencemaran yang berasal dari luar danau dan dari dalam danau (KJA). Pengumpulan data tentang sumber-sumber pencemaran yang masuk ke perairan danau dilakukan melalui wawancara dan data sekunder. Data beban pencemaran yang berasal dari luar danau diperoleh melalui pengukuran debit sungai dan konsentrasi parameter beban limbah di muara sungai pada setiap stasiun penelitian. Data beban pencemaran yang berasal dari kegiatan di danau (KJA) diperoleh melalui penghitungan jumlah pakan yang diberikan dan jumlah pakan yang tidak dikomsumsi oleh ikan. Pada Tabel 9 disajikan secara rinci sumber-sumber pencemar yang masuk ke perairan danau. Adapun jenis dan

66 48 sumber data serta cara memperolehnya dalam penelitian ini terangkum dalam Tabel 10. Tabel 9. Sumber pencemar, parameter dan jenis data No Sumber Pencemar Parameter Primer Jenis Data Sekunder 1 Permukiman 1. Jumlah rumah tangga dan Statistik Kecamatan penduduk 2. Jumlah pemakaian air Responden KK 3. Volume limbah padat Responden KK Dinas Pertamanan dan 4. Sarana pembuangan dan Responden KK, pera- LH pengolahan limbah ngkat nagari/ domestik (tinja, limbah kecamatan dan padat, limbah cair) pengamatan 2 Restoran 1.Jumlah pemakaian air Pengusaha restoran PHRI dan statistik keca- 2.Volume limbah padat dan pengamatan matan 3.Sarana pembuangan dan Pengusaha restoran Dinas Pertamanan dan pengolahan limbah yang Pengusaha restoran LH Kabupaten digunakan (tinja, limbah cair dan padat) 3 Hotel 1. Jumlah kamar dan ranjang Pengusaha hotel Dinas Pariwisata Seni 2. Tingkat hunian Pengusaha hotel dan Budaya Kabupaten 3. Jumlah pemakaian air Pengusaha hotel Agam 4. Volume limbah padat Pengusaha hotel 5. Sarana pembuangan dan Pengusaha hotel dan pengolahan limbah yang pengamatan digunakan(tinja, limbah cair dan padat) 4 Perikanan 1.Jumlah KJA Responden petani Statistik nagari dan 2.Lokasi KJA KJA, Pengamatan dan kecamatan 3.Jumlah pakan per hari wawancara perangkat nagari/ kecamatan 5 Pertanian 1. Jumlah pemakaian pupuk Penyuluh pertanian Statistik nagari dan 2. Jenis pupuk kecamatan

67 49 Tabel 10. Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian Sumber data No Data yang diambil Digunakan untuk Lapangan Laboratorium Penelitian terdahulu Instan si Wawan cara Kondisi danau Model 1 Suhu 2 TSS 3 TDS 4 Kekeruhan 5 Sedimen 6 Warna 7 Kecerahan 8 ph 9 CO 2 -bebas 10 DO 11 BOD 5 12 COD 13 Ammonia 14 Ortofosfat 15 Nitrat 16 Nitrit 17 Pestisida 18 Fecal Coliform 19 Total Coliform 20 Jumlah pakan 21 P yang diperbolehkan 22 Rasio pakan 23 P pakan 24 Jumlah ikan tebar 25 Lama pemeliharaan 26 Jumlah KJA 27 Jumlah RT KJA 28 Jumlah sapi potong 39 Jumlah limbah sapi 30 Jumlah penduduk 31 Persepsi masyarakat 32 Kebutuhan sistem 33 Identifikasi faktor penting 3.5. Analisis Data Analisis Fisika, kimia dan mikrobiologi Perairan Danau Analisis parameter fisika, kimia dan mikrobiologi perairan danau dilakukan berdasarkan standard methods 1995 dan memperbandingkan dengan PP Nomor 82 tahun 2001 tentang baku mutu air kelas 1 (KLH, 2004). Analisis dilaksanakan di Laboratorium Kimia Lingkungan FMIPA Universitas Andalas dan Balai Laboratorium Kesehatan Propinsi Sumatera Barat Padang. Selanjutnya analisis indeks mutu lingkungan perairan (IMLP) berdasarkan metode National

68 50 Sanitation Foundation Water Quality Indeks (NSF-WQI) (Ott, 1978 dan Mahbud, 1990), dengan persamaan: IMLP = n i= 1 ( Wi. Ii) Keterangan: IMLP = Indeks mutu lingkungan perairan danau, skala W i = Konstanta pembobotan ke-i, skala 0 1 I i = Nilai dari kurva baku subindeks ke-i, skala Tabel 11. Kriteria indeks mutu lingkungan perairan Nilai IMLP-NSF Mutu Lingkungan Sangat baik Baik Sedang Buruk 0 25 Sangat buruk Analisis Beban Pencemar 1. Analisis beban pencemaran yang berasal dari luar danau (darat) dilakukan dengan perhitungan secara langsung di muara-muara sungai yang menuju Danau Maninjau. Cara penghitungan beban pencemaran ini didasarkan atas pengukuran debit sungai dan konsentrasi limbah di muara sungai berdasarkan persamaan (Mitsch & Goesselink, 1993): BP = Q xc Keterangan: BP = beban pencemaran (ton/tahun) Q = debit sungai (m 3 /detik) C = konsentrasi limbah (mg/liter) Total beban pencemaran dari seluruh sungai yang bermuara di perairan danau dihitung dengan persamaan: TBP = n i= 1 BP Keterangan : TBP = Total beban pencemaran n = Jumlah sungai i = Beban limbah sungai ke-i Untuk mengkonversi beban limbah ke dalam ton/tahun dikalikan dengan 10-6 x 3600 x 24 x 360.

69 51 2. Untuk estimasi besarnya beban pencemaran yang berasal dari aktivitas penduduk di sekitar perairan danau dilakukan berdasarkan pendekatan Rapid Assesment (Kositranata et al., 1989; WHO, 1993) dengan persamaan: BP = a x f Keterangan: BP = beban pencemaran dinyatakan dalam ton/tahun a = jumlah unit penghasil limbah f = faktor konstanta beban limbah organik Tabel 12. Faktor konstanta beban limbah organik Aktivitas Permukiman Peternakan Hotel Pertanian Konversi BOD COD TP TN ,6 22,7 3,8 694, ,1 8, ,2 5,4 0, ,04 1,68 3. Untuk menghitung besarnya beban limbah yang berasal dari kegiatan KJA dilakukan dengan metode pendugaan total bahan organik (Iwana, 1991 dalam Barg, 1992) dengan persamaan : O = TU + TFW Keterangan : O = total output bahan organik partikel TU = total pakan yang tidak dikonsumsi TFW = total limbah feses 4. Untuk menghitung kapasitas asimilasi perairan danau terhadap beban pencemaran dilakukan dengan menggunakan metode hubungan antara konsentrasi parameter limbah di perairan danau dengan total beban limbah tersebut di muara sungai. Nilai kapasitas asimilasi didapatkan dengan cara membuat grafik hubungan anatara nilai konsentrasi masing-masing parameter limbah di perairan danau dengan parameter limbah tersebut di muara sungai. Selanjutnya dianalisis dengan memotongkan dengan garis nilai baku mutu air kelas 1 seperti diperlihatkan pada (Gambar 5).

70 52 Konsentrasi pencemar (mg/l) Baku mutu Beban pencemaran (ton/tahun) Gambar 5. Hubungan antara beban pencemaran dan konsentrasi pencemar Validasi Model Validasi merupakan usaha untuk menyimpulkan model apakah model sistem yang dibangun merupakan perwakilan yang sah dari realitas yang dikaji, yang dapat menghasilkan kesimpulan yang menyakinkan (Eriyatno, 1999). Validasi yang dilakukan adalah terhadap struktur model dan keluaran model (output model). Validasi struktur dilakukan melalui studi pustaka, sedangkan validasi output dilakukan dengan membandingkan dengan data empirik. Untuk memverifikasi penyimpangan keluaran model dengan data empirik dilakukan dengan uji KF (Kalman Filter). Tingkat kecocokan hasil simulasi model dengan nilai aktual adalah 47,25-52,3% dengan menggunakan perasamaan: Vs KF = ( Vs + Va) Keterangan: KF = Kalman filter Vs = Varian nilai simulasi Va = Varian nilai aktual Analisis Persepsi Masyarakat Data karateristik masyarakat di sekitar perairan danau dianalisis dengan menggunakan distribusi frekuensi. Untuk mengetahui persepsi atau pandangan masyarakat di sekitar perairan danau terhadap pengendalian pencemaran dilakukan melalui analisis deskriptif menggunakan tabel Pendekatan Sistem dalam Pengendalian Pencemaran Perairan Danau Pendekatan sistem merupakan suatu metodologi pemecahan masalah yang dimulai dengan mengidentifikasi serangkaian kebutuhan sehingga dapat

71 53 menghasilkan suatu operasi dari sistem yang dianggap efektif. Pendekatan sistem ini dilakukan untuk menunjukkan kinerja intelektual berdasarkan perspektif, pedoman, model, metodologi dan sebagainya yang diformulasikan untuk perbaikan secara terorganisir dari tingkah laku dan perbuatan manusia (Winardi, 1989; Zhu, 1998). Oleh karena itu, menurut Eriyatno (2007) pada pendekatan kesisteman dalam penyelesaian suatu permasalahan selalu ditandai dengan: (1) pengkajian terhadap semua faktor penting yang berpengaruh dalam rangka mendapatkan solusi untuk pencapaian tujuan, dan (2) adanya model-model untuk membantu pengambilan keputusan lintas disiplin, sehingga permasalahan yang kompleks dapat diselesaikan secara komprehensif. a. Analisis Kebutuhan Analisis kebutuhan pada dasarnya merupakan tahap awal pengkajian dalam pendekatan sistem, dan sangat menentukan kelaikan sistem yang dibangun. Analisis kebutuhan juga merupakan kajian terhadap faktor-faktor yang berkaitan dengan sistem yang dianalisis (Pramudya, 1989). Oleh karena itu, dalam penelitian ini analisis kebtutuhan diarahkan pada pihak-pihak yang mempunyai kepentingan dan keterkaitan baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap pengendalian pencemaran perairan danau. Dalam pengendalian pencemaran perairan danau, pihak yang mempunyai kepentingan dan terkait secara langsung adalah (1) masyarakat lokal yaitu masyarakat yang tinggal di sekitar danau yang memanfaatkan perairan danau untuk berbagai kepentingan, (2) dinas instansi terkait yaitu semua dinas instansi pemerintah daerah yang mempunyai hubungan keterkaitan dengan perairan danau baik langsung mapun tidak, (3) akademisi (peneliti) yaitu orang yang melakukan penelitian pada perairan danau, (4) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yaitu lembaga yang dibentuk masyarakat setempat yang mempunyai kepedulian terhadap kelestarian perairan danau, dan (5) badan usaha milik negara yaitu perusahaan yang melakukan kegiatan usaha di perairan danau. Dalam analisis kebutuhan dilakukan inventarisasi kebutuhan setiap pelaku yang terlibat dalam sistem. Inventarisasi ini dilakukan dengan wawancara secara terbatas. Berdasarkan hasil wawancara dihasilkan analisis kebutuhan pelaku seperti disajikan pada Tabel 13.

72 54 Tabel 13. Analisis kebutuhan stakeholder (pelaku) No. Pelaku Kebutuhan 1 Masyarakat lokal Kualitas dan kuantitas air tidak menurun Penyediaan lapangan kerja Pendapatan meningkat Hasil tangkapan masyarakat tidak menurun Kegiatan usaha budidaya perikanan tetap jalan Kebersihan dan keindahan danau terjaga 2 Dinas Instansi terkait (Perikanan, Pertanian, Pertamanan dan Lingkungan Hidup, Kimpraswil dan Pariwisata) Elevasi air danau tidak menurun Penyediaan lapangan kerja Peningkatan PAD Kebersihan dan keindahan danau tetap terjaga Peningkatan perekonomian masyarakat Kualitas dan kuantitas air danau tetap baik 3 Akademisi (peneliti) Biodeversiti danau tetap terjaga Kualitas dan kuantitas air danau tetap baik 4 Lembaga Sosial Masyarakat Kelestarian danau terjamin (LSM) Pendapatan masyarakat meningkat 5 PLN Ketinggian muaka air danau tetap stabil Kualitas air danau baik b. Formulasi Permasalahan Sistem Permasalahan sistem pada dasarnya adalah terdapatnya gap antara kebutuhan pelaku dengan kondisi yang ada (reel). Pada kondisi nyata di lapangan, permasalahan sistem ditunjukan oleh adanya isu yang berkembang sehubungan dengan terjadinya pencemaran di perairan danau. Formulasi sistem di sini adalah merupakan aktivitas merumuskan permasalahan dalam pengendalian pencemaran di perairan danau yang berkaitan dengan adanya perbedaan antara kebutuhan pelaku dengan kondisi yang ada. Berdasarkan pada analisis kebutuhan para pelaku yang terlibat dalam pemanfaatan perairan danau dan kondisi yang dijumpai di perairan danau saat ini, maka permasalahan pengendalian pencemaran di perairan danau dapat diformulasikan sebagai berikut: 1. Tidak diperhatikannya limbah dari aktivitas KJA yang ditunjukan dengan tidak adanya pemahaman mengenai dampak dari limbah KJA terhadap kualitas air. 2. Tidak tersedianya sistem pengolahan limbah penduduk, menyebabkan buangan limbah dari permukiman akan langsung mengalir ke perairan danau, sehingga kualitas perairan danau menjadi turun.

73 55 3. Tidak diperhatikannya pemanfaatan tata guna lahan di kawasan sempadan danau yaitu banyaknya pengembangan permukiman, hotel, restoran, dan home stay serta pembukaan lahan pertanian yang tercermin dari tingginya padatan tersuspensi di perairan danau. 4. Tidak diperhatikannya persepsi masyarakat di sekitar perairan danau dalam upaya pengendalian pencemaran yang terjadi di perairan danau. 5. Tidak adanya zonasi (penataan ruang) kawasan danau yang tercermin dari penyebaran atau letak keramba jaring apung yang tersebar hampir di seluruh tepian atau keliling perairan danau. c. Identifikasi Sistem Identifikasi sistem merupakan suatu rantai hubungan antara pernyataan dari kebutuhan dengan pernyataan khusus dari masalah yang harus dipecahkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut (Eriyatno, 2003). Hal ini sering digambarkan dalam bentuk diagram lingkar sebab-akibat (cousal loop diagram). Diagram tersebut merupakan pengungkapan interaksi antara komponen di dalam sistem yang saling berinteraksi dan mempengaruhi dalam kinerja sistem, seperti disajikan pada Gambar 6. Disamping itu, hubungan antara input (masukan) dan output (keluaran) dalam suatu sistem digambarkan dalam sebuah diagram inputoutput (masukan-keluaran) seperti disajikan pada Gambar 7. Diagram lingkar sebab-akibat merupakan gambaran dari struktur model pengendalian pencemaran di perairan danau yang dibuat berdasarkan diagram input-output.

74 56 Sedimen - Daya dukung - + Indeks kualitas air + Sisa pakan - + Pariwisata /Hotel + + Pemukiman + Pakan + Beban limbah + + Pertanian + Jumlah KJA + + Pemanfaatan lahan + Populasi + Gambar 6. Diagram lingkar sebab-akibat (cousal-loop diagram) sistem pengendalian pencemaran perairan danau. Menurut Manetsch dan Park (1977), secara garis besarnya variabel yang mempengaruhi kinerja sistem ada 6 variabel yakni: (1) variabel output yang dikehendaki; ditentukan berdasarkan hasil analisis kebutuhan, (2) variabel input terkontrol, variabel yang dapat dikelola untuk menghasilkan perilaku sistem sesuai dengan yang diharapkan, (3) variabel output yang tidak dikehendaki; merupakan hasil sampingan atau dampak yang ditimbulkan bersama-sama dengan output yang diharapkan, (4) variabel input tak terkontrol, (5) variabel input lingkungan; variabel yang berasal dari luar sistem yang mempengaruhi sistem tetapi tidak dipengaruhi oleh sistem, dan (6) variabel kontrol sistem; merupakan pengendali terhadap pengoperasian sistem dalam menghasilkan output yang dikehendaki. Variabel-variabel yang mempengaruhi kinerja sistem disajikan pada Gambar 7.

75 57 Input Lingkungan UU RI No. 7 Tahun 2004 PP RI No. 82 Tahun 2001 Input Tidak Terkontrol 1. Iklim 2. Debit air 3. Erosi Output Diinginkan 1. Beban pencemaran menurun 2. Persepsi masyarakat meningkat 3. Kualitas perairan danau meningkat 4. Adanya program pengelolaan danau Model Pengendalian Pencemaran Perairan di Danau Maninjau Input Terkontrol 1. Jumlah pakan yang diberikan 2. Jumlah Budidaya (KJA) 3. Jumlah penduduk 4. Jumlah hotel 5. Jumlah peternakan Output Tidak Diinginkan 1. Terjadinya pendangkalan danau 2. Terjadi eutrofikasi di perairan danau 3. Bertambahnya timbulan limbah domestik 4. Penurunan kesehatan masyarakat Manajemen Pengendalian Pencemaran Perairan di Danau Maninjau Gambar 7. Diagram masukan-keluaran (input-output diagram) sistem pengendalian pencemaran perairan danau Model Pengendalian Pencemaran Model pengendalian pencemaran perairan di Danau Maninjau yang dibangun didasarkan pada kondisi faktual yang terjadi di lapangan yang dikombinasikan dengan studi literatur. Perangkat lunak yang digunakan sebagai alat bantu dalam pemodelan sistem ini adalah Powersim version 2,5 c. Konsep dasar dalam membangun model pengendalian pencemaran perairan danau bersumber dari beban pencemaran yaang berasal dari luar danau dan dari dalam danau. Model dinamik yang dibangun melibatkan lima sub-model, yaitu: 1) sub-

76 58 model limbah penduduk yang berdomisili di sekitar perairan danau, 2) sub-model limbah hotel (pariwisata), 3) sub-model limbah peternakan, 4) sub-model limbah pertanian, dan 5) sub-model limbah budidaya perikanan (KJA) Asumsi yang Digunakan Pembangunan model yang akan dirumuskan menggunakan beberapa batasan, guna untuk menyederhanakan dan memahami pengertian hubunganhubungan antar peubah dalam model yang akan membatasi keberhasilan model. Beberapa batasan yang dijadikan sebagai asumsi dalam model ini adalah : (a). Laju pertambahan limbah dari permukiman yang ada di sekitar perairan danau mengikuti pola pertumbuhan penduduk yang berdomisili di lokasi tersebut. (b). Nilai parameter hasil pengamatan di perairan danau dan sungai merupakan pencerminan dari dinamika yang ada di perairan tersebut. (c). Parameter limbah yang diacu adalah ortofosfat sebagai P dengan nilai baku mutu sebesar 0,2 mg/l. (d). Konstruksi dan tipe KJA di daerah penelitian dianggap homogen untuk semua unit KJA yang tersebar di seluruh perairan danau Analisis Pengembangan Skenario Pengendalian Pencemaran Perairan Pengembangan skenario pengendalian pencemaran perairan danau dilakukan dengan menggunakan analisis prospektif. Analisis prospektif merupakan suatu analisis yang digunakan untuk mengeksplorasi kemungkinan yang akan terjadi di masa yang akan datang. Dari analisis ini akan didapatkan informasi mengenai faktor kunci yang berperan dalam pengendalian pencemaran di perairan danau sesuai dengan kebutuhan dari para pelaku yang terlibat dalam sistem. Selanjutnya faktor kunci tersebut digunakan untuk mendeskripsikan perubahan kemungkinan masa depan bagi pengendalian pencemaran perairan danau. Penentuan faktor kunci ini sepenuhnya adalah merupakan pendapat dari pihak yang berkompeten sebagai pelaku dan pakar mengenai pengendalian pencemaran perairan. Penentuan faktor kunci menggunakan kuesioner dan wawancara. Responden pakar yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat

77 59 pada Lampiran 7. Tahapan-tahapan dalam melakukan analisis prospektif menurut Hardjomidjojo (2002) adalah sebagai berikut: 1. Menentukan tujuan studi 2. Identifikasi faktor-faktor penting 3. Analisis pengaruh antar faktor 4. Membuat suatu keadaan (state) suatu faktor 5. Membangun skenario yang mungkin terjadi 6. Implikasi dari skenario yang diinginkan Untuk melihat pengaruh langsung hubungan timbal balik antar faktor dalam sistem, dilakukan penilaian dengan skor antara 0 3. Kriteria pedoman penilaian dapat dilihat pada Tabel 14. Untuk melihat pengaruh langsung antar faktor dalam sistem yang dikaji dilakukan dengan cara matriks, seperti disajikan pada Tabel 15. Tabel 14. Pedoman penilaian keterkaitan antar faktor Skor (nilai) Keterangan 0 Tidak berpengaruh 1 Berpengaruh kecil 2 Berpengaruh sedang 3 Berpengaruh sangat kuat Tabel 15. Matriks pengaruh langsung antar faktor dalam analisis prospektif Dari Terhadap A B C D E F G H I J K A B C D E F G H I J K Keterangan: A K merupakan faktor penting atau kunci dalam sistem

78 60 Pedoman pengisian pengaruh langsung antar faktor : 1. Apakah faktor X berpengaruh terhadap Y? Jika tidak berpengaruh bernilai 0 2. Jika ada pengaruh, apakah pengaruhnya sangat kuat? jika ya bernilai 3, jika pengaruhnya sedang bernilai 2 dan jika pengaruhnya kecil bernilai 1. Jika nilai faktor yang diberikan oleh responden lebih dari 1 (misalnya sebanyak N), maka dilakukan analisis matriks gabungan dengan cara: a) Apabila pengaruh antar satu faktor dengan faktor lainnya mempunyai nilai 0 dengan jumlah > ½ N, maka nilai dari sel tersebut adalah 0. Jika nilai 1,2 dan 3 bersama-sama berjumlah >1/2 N, nilai sel tersebut ditentukan berdasarkan yang paling banyak dipilih antara 1,2 dan 3. b) Jika jumlah faktor adalah genap dan diperoleh dalam satu sel jumlah nilai 0 sama banyak dengan jumlah nilai 1,2 dan 3, maka dilakukan diskusi lebih lanjut dengan pakar untuk menentukan nilai sel tersebut. Selanjutnya untuk menentukan tingkat kepentingan faktor-faktor kunci (penting) yang berpengaruh pada sistem yang dikaji digunakan software analisis prospektif. Hasil analisis ini akan didapatkan gambaran pada kuadran I adalah terdiri dari faktor penentu (input factor), kuadran II terdiri dari faktor penghubung (stakes factor), kuadran III terdiri dari faktor terikat (output factor), dan kuadran IV terdiri dari faktor autonomous (unused factor) seperti disajikan pada Gambar 8. Pengaruh Faktor Penentu INPUT Faktor Bebas UNUSED Faktor Penghubung STAKES Faktor Terikat OUTPUT Ketergantungan Gambar 8. Tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor dalam sistem

79 Definisi Operasional 1. Pengendalian pencemaran adalah upaya pencegahan dan pananggulangan pencemaran air serta pemulihan kualitas air untuk menjamin kualitas air agar sesuai dengan baku mutu air 2. Umur adalah usia responden pada saat penelitian. Data yang diperoleh merupakan skala ordinal dengan pengkategorian ke dalam umur muda (< 19 tahun), dewasa (19-55 tahun) dan tua atau tidak produktif (> 55 tahun). 3. Pendidikan adalah tingkat pendidikan secara formal yang pernah diperoleh responden. Indikatornya adalah status pendidikan formal yang pernah diikuti responden. Parameter dan pengukurannya adalah tingkat pendidikan secara formal yang pernah diikuti responden dengan kategori rendah (tidak tamat SD atau lulus SD), sedang (lulus SLTP dan SMU) dan tinggi (lulus perguruan tinggi, D2, D3 dan S1). 4. Pendapatan adalah jumlah penghasilan secara keseluruhan yang diperoleh dalam satu bulan, kemudian diperhitungkan berdasarkan nilai tukar uang. Pendapatan dikategorikan dalam skala ordinal, yaitu rendah (< Rp ,-), sedang (Rp Rp ,-) dan tinggi (> Rp ,-) 5. Persepsi masyarakat adalah pandangan responden tentang kegiatan pengendalian pencemaran perairan danau. Cara untuk mengetahuinya adalah melalui beberapa indikator pertanyaan yang menjelaskan pandangan responden terhadap (a) kegiatan pencegahan pencemaran danau, (b) kegiatan penanggulangan pencemaran danau dan (c) kegiatan dalam berpartisipasi pada pencegahan dan penanggulangan pencemaran danau. Tiap indikator dikembangkan menjadi beberapa pertanyaan yang dinilai responden dengan menggunakan skala berjenjang dengan ketentuan; setuju bernilai 3, ragu-ragu bernilai 2 dan tidak setuju bernilai 1.

80 IV. PROFIL DAERAH PENELITIAN 4.1. Letak Administrasi dan Kondisi Geografis Danau Maninjau secara administrasi termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Tanjung Raya Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat dengan jarak 105 km dari kota Padang. Secara geografis wilayah ini terletak pada LS dan BT dengan ketinggian 461,5 meter di atas permukaan laut (dpl). Dilihat dari proses terbentuknya, Danau Maninjau merupakan danau vulkanis, yaitu berasal dari letusan gunung berapi. Kawasan Danau Maninjau, memanjang dari arah utara ke selatan dengan panjang 16,4 km dan lebar 7 km, dengan batas-batas sebelah utara Kecamatan Palembayan, sebelah selatan Kecamatan V Koto Kabupaten Padang Pariaman, sebelah barat Kecamatan IV Nagari dan sebelah timur Kecamatan Matur. Kawasan sekitar Danau Maninjau dikelilingi oleh 7 nagari (gabungan dari beberapa desa). Nagari-nagari tersebut adalah Nagari Maninaju, Nagari Bayur, Nagari Koto Kaciak, Nagari Tanjung Sani, Nagari II Koto, Nagari III Koto dan Nagari Sungai Batang. Curah hujan di kawasan danau tahun 2003 adalah mm dengan jumlah hari hujan 112 hari, sedangkan curah hujan pada tahun 2004 menurun mm dengan jumlah hari hujan 177 hari. Pada tahun 2005 curah hujan menurun mm dengan jumlah hari hujan 140 hari. Bulan terkering di kawasan Danau Maninjau adalah Juni dengan curah hujan 171,3 mm dan bulan terbasah adalah Nopember dengan curah hujan 497,8 mm. Danau Maninjau memiliki satu saluran air keluar yaitu Batang Antokan yang mengalir ke Samudera Indonesia di pantai barat Sumatera Barat. Berdasarkan laporan hasil studi LIPI (2003), batimetri danau memiliki karakteristik sebagai berikut: luas permukaan danau adalah 9.737,50 ha, panjang maksimum 16,46 km, lebar maksimum 7,5 km, volume air ,2 m 3, kedalaman maksimum 105 m dengan luas daerah tangkapan air (catchment area) sebesar ha.

81 Iklim dan Curah Hujan Iklim berpengaruh terhadap semua proses dinamika perairan yang terjadi, misalnya pola arus, sebaran panas, proses ekofisiologis biota air, dan kondisi hidrometeorologi. Perubahan dan penyimpangan iklim akan mempengaruhi proses-proses yang ada dalam daerah tangkapan air dan badan air, seperti hidrologi, neraca air, pola arus, sebaran panas, dan proses-proses biokimia yang ada di dalamnya. Berdasarkan data curah hujan dari Stasiun Maninjau mulai tahun menunjukkan bahwa pola hujan bulanan dapat dikatakan relatif merata sepanjang tahun. Bulan Nopember yang merupakan bulan dengan curah hujan lebih tinggi, sedangkan bulan Juni merupakan bulan dengan curah hujan terkecil. Rata-rata curah hujan bulanan sebesar 299 mm dan curah hujan tahunan 3661 mm. Data pendukung terhadap klasifikasi iklim di daerah kawasan danau tercantum pada Tabel 16. Tabel 16. Data rataan unsur iklim kawasan Danau Maninjau ( ) Bulan Suhu ( 0 Kelembaban Kec. Curah C) nisbi Angin hujan Mak. Min. Rata-rata (%) (km/hr) (mm) Januari 30,58 22,57 26,575 95,20 28,0 246,8 Februari 30,24 22,48 26,360 95,26 25,5 179,8 Maret 32,35 23,24 27,795 95,95 23,1 283,4 April 31,20 22,45 26,825 95,31 22,6 294,3 Mei 31,87 23,31 27,590 96,05 17,7 267,7 Juni 32,93 23,56 28,245 96,45 21,9 171,3 Juli 31,84 22,35 27,095 96,57 19,3 289,1 Agustus 32,29 22,46 27,375 96,11 22,4 267,6 September 30,08 22,15 26,115 95,97 24,7 323,4 Oktober 30,03 22,17 26,100 93,48 30,7 335,4 Nopember 30,63 22,05 26,340 93,08 21,0 497,8 Desember 31,19 23,15 27,170 93,07 24,9 343,4 Rata-rata 31,27 22,66 26,960 95,20 23,5 299,0 Sumber: Data diolah dari pencatatan stasiun penakar hujan PLTA Maninjau, ( ) Berdasarkan klasifikasi iklim menurut Schmidt dan Ferguson kawasan danau memiliki iklim golongan A yaitu daerah yang sangat basah dengan nilai Q sebesar 4,52%. Hal ini berdasarkan pada jumlah bulan basah yaitu 10,41/tahun. Berdasarkan klasifikasi iklim menurut Mohr, daerah kawasan Danau Maninjau termasuk golongan I, yaitu daerah basah. Sementara itu, berdasarkan klasifikasi

82 64 Koppen, kawasan Danau Maninjau beriklim hujan tropik dengan suhu bulanan terdingin > 18 0 C. Hal ini dicirikan kondisi daerah tangkapan air selalu basah, hujan rata-rata tiap bulan > 60 mm, dengan suhu udara berkisar antara C (Handoko, 1995). Tabel 17 memperlihatkan jumlah bulan basah, kering dan lembab di kawasan Danau Maninjau. Tabel 17. Jumlah bulan basah, kering dan lembab di kawasan Danau Maninjau Tahun Jumlah Bulan basah Bulan kering Bulan lembab Sumber: Data diolah dari pencatatan stasiun penakar hujan PLTA Maninjau, ( ) Keterangan: Bulan basah = bulan dengan hujan > 100 mm Bulan kering = bulan dengan hujan < 60 mm Bulan lembab = bulan dengan hujan mm Kawasan Danau Maninjau memiliki curah hujan rata-rata tahunan kurang lebih mm yang mengalami dua puncak hujan dalam setahun yaitu bulan April Mei dan Oktober Nopember. Keragaman curah hujan di kawasan danau juga dipengaruhi oleh sistem topografi yang memungkinkan terjadinya tipe hujan orografik. Kondisi ini menyebabkan kawasan danau memiliki sifat relatif basah, terjadi hujan sepanjang tahun. Curah hujan rata-rata bulanan pada musim yang lebih kering (kemarau) berkisar antara 171,3 267,6 mm, sedangkan pada musim hujan berkisar antara 283,4 497,8 mm Kondisi Topografi Secara umum, kawasan Danau Maninjau dapat dibedakan atas 2 tipologi berdasarkan karakteristik wilayahnya: 1) Wilayah di bagian utara-barat punggung dalam Danau Maninjau. Topografi di wilayah ini relatif datar (0-2% seluas 115,51 ha), sehingga cenderung menjadi daerah orientasi pembangunan saat ini. Kawasan

83 65 terbangun ini menunjukan adanya konsentrasi penduduk dan kegiatan, salah satunya adalah beberapa obyek wisata serta sarana dan prasarana pendukungnya. 2) Wilayah di bagian timur-selatan punggung dalam Danau Maninjau. Topografinya cenderung berbukit dan bergunung dengan kemiringan tanah >15% dengan luas 95,79 ha Hidrologi Kondisi hidrologi kawasan danau secara umum dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu air permukaan dan air tanah. Air permukaan di kawasan danau sebagian besar mengalir melalui pola penyaluran yang telah terbentuk. Sumber air Danau Maninjau terutama berasal dari sungai-sungai yang mengalir sepanjang DAS yang bermuara ke danau dan air hujan. Di kawasan danau terdapat 88 buah sungai besar dan kecil dengan lebar maksimum 8 meter yang mengalir ke danau. Kebanyakan dari sungai tersebut (61,4%) kering pada waktu musim kemarau, sedangkan sungai-sungai yang berair sepanjang tahun hanya 34 buah sungai. Sungai-sungai tersebut mengalir dengan debit yang relatif kecil. Tabel 18 menyajikan data debit beberapa sungai besar yang mengalir ke perairan Danau Maninjau. Tabel 18. Lebar dan debit beberapa sungai yang bermuara ke Danau Maninjau No Nama sungai Lebar (m) Debit ( m 3 /detik) 1 Batang Limau Sundai 7 0,075 2 Batang Maransi 6 0,074 3 Bandar Ligin 6 0,090 4 Jembatan Ampang 8 0,160 5 Batang Kalarian 7 0,160 6 Tembok Asam 8 0,090 Sumber: PSDA Sumatera Barat, (2005) Sungai-sungai yang bermuara ke Danau Maninjau memiliki perbedaan tipe. Sungai-sungai di sebelah utara Danau Maninjau memiliki pola linear (lurus atau tidak bercabang), sedangkan sungai di sebelah barat danau pada umumnya berpola dendritik (bercabang). Dengan demikian maka inflow air Danau Maninjau sebagian besar bersumber dari aliran sungai dan dari dasar danau (Bapedalda Sumbar, 2001).

84 Geologi Kawasan Danau Maninjau Danau Maninjau merupakan danau kaldera yang berbentuk elips dengan batas di sebelah timur dengan adanya volkano-tektonik yang terbentuk dari batuan dasar kompleks yaitu granodiorit, diabas, phyllitic, sekis dan gamping. Bentuk kaldera yang memanjang menunjukkan masa erupsi yang lama pada waktu terjadi pergeseran lateral kanan pada jalur patahan utama Sumatera. Jenis tanah yang terdapat di kawasan Danau Maninjau didominasi oleh jenis tanah andosol-distrik seluas ha (32,69%) dan yang paling sedikit adalah jenis tanah kambisol eutrik seluas 585 ha (1,10 %). Jenis-jenis tanah yang ada di kawasan danau secara keseluruhan meliputi 6 jenis tanah, yaitu (1) tanah andosol distrik seluas ha (32,69%), (2) glisol distrik seluas ha (25,15%), (3) kambisol distrik seluas ha (12,85%), (4) organosol saprik seluas ha (6,69 %), (5) regosol seluas ha (1,97%) dan (6) kombisol eutrik seluas 558 ha (1,10 %). Kawasan Danau Maninjau mempunyai bentuk lahan dari datar sampai dengan perbukitan atau bergunung. Topografi kawasan danau terdiri dari berbagai kelas kelerengan, yaitu lahan datar dengan kelas kelerangan (0 8%), landai (8 15%), agak curam (15 25%), curam (25 40% ) dan sangat curam > 40% Tataguna Lahan di sekitar Perairan Danau Maninjau Bentuk penggunaan lahan di kawasan Danau Maninjau terbagi dalam bentuk tegalan, sawah, hutan dan pekarangan atau permukiman. Penggunaan lahan yang ada akan berpengaruh terhadap penutupan tanah dan akan berpengaruh terhadap erosi dan sedimentasi di sub-sub DAS yang bermuara di Danau Maninjau. Besarnya erosi yang terbawa oleh limpasan yang terjadi di wilayah kawasan danau per tahun rata-rata 16 ton per ha, dengan total sedimen yang masuk ke danau setiap tahunnya sebanyak ton (PSDA Sumbar, 2005). Erosi yang terjadi di kawasan Danau Maninjau dapat menyebabkan merosotnya produktivitas lahan, rusaknya lingkungan, dan terganggunya keseimbangan estetika danau serta pencemaran perairan danau. Erosi akan berpengaruh terhadap penurunan produktivitas tanah akibat dari pengikisan tanah atau hilangnya tanah lapisan atas, memburuknya sifat fisik dan kimia, berkurangnya aktivitas biologi tanah dan tertutupnya tanah lapisan atas.

85 67 Penggunaan lahan yang ada akan berpengaruh terhadap penutupan tanah di sekitar danau. Hal ini akan berpengaruh terhadap tingkat erosi dan sedimentasi yang masuk ke perairan danau. Tingginya pemanfaatan kawasan hutan, terutama sebelah timur danau (Nagari Sigiran) untuk pertanian menyebabkan semakin berkurangnya kerapatan tajuk. Hal ini nampak dari banyak tanaman semusim di lereng-lereng sekitar perairan danau. Tabel 19 memperlihatkan penggunaan lahan di kawasan Danau Maninjau dan peta penggunaan lahanya dapat dilihat pada Gambar 9. Tabel 19. Luas penggunaan lahan di kawasan Danau Maninjau No Nagari Penggunaan Lahan (ha) Sawah Tegalan Permukiman Hutan Lain-lain 1 Maninjau Bayur III Koto Koto Kaciak II Koto Tanjung Sani Sungai Batang Jumlah Persentase (%) 16,70 23,92 5,76 46,11 0,64 Sumber: Tanjung Raya dalam Angka, (2005) dan RLKT-Sub DAS Antokan, (2005) 4.7. Kependudukan di Kawasan Danau Maninjau Penduduk di daerah penelitian adalah penduduk yang bertempat tinggal di daerah sekeliling danau yang daerahnya berbatasan langsung dengan Danau Maninjau. Daerah tersebut adalah Nagari Maninjau, Bayur, Tanjung Sani, Sungai Batang, Nagari II Koto, Koto Kaciak, dan Nagari III Koto. Jumlah penduduk di kawasan Danau Maninjau relatif merata di 7 nagari. Jumlah penduduk terbesar berada di Nagari Tanjung Sani (5.799 jiwa), diikuti oleh Nagari II Koto (4.781 jiwa) serta Nagari III Koto (4.667 jiwa), Nagari Bayur (4.255 jiwa), Nagari Sungai Batang (4.019 jiwa), Nagari Koto Kaciak (3.670 jiwa), sedangkan Nagari yang berpenduduk paling sedikit adalah Nagari Maninjau (3.341 jiwa). Gambaran kondisi jumlah penduduk di kawasan Danau Maninjau disajikan pada Tabel 20.

86 68 Gambar 9. Peta penggunaan lahan di kawasan Danau Maninjau. Tabel 20. Rasio jenis kelamin penduduk di kawasan Danau Maninjau No Nagari Jenis Kelamin Rasio jenis Jumlah Laki-laki Wanita kelamin 1 Maninjau ,96 2 Bayur ,90 3 III Koto ,97 4 Koto Kaciak ,89 5 II Koto ,89 6 Tanjung Sani ,98 7 Sungai Batang ,86 Jumlah ,95 Sumber: Kecamatan Tanjung Raya dalam Angka, (2005) Dari Tabel 20 terlihat bahwa di kawasan Danau Maninjau jumlah penduduk laki-laki adalah jiwa (48,69 %) dan jumlah penduduk perempuan adalah jiwa (51,31 %). Dengan demikian terdapat angka perbandingan jumlah penduduk laki-laki dengan jumlah penduduk perempuan (sex ratio) adalah 0,95.

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki lebih dari 500 danau dengan luas keseluruhan lebih dari 5.000 km 2 atau sekitar 0,25% dari luas daratan Indonesia (Davies et al.,1995), namun status

Lebih terperinci

MODEL PENGENDALIAN PENCEMARAN PERAIRAN DI DANAU MANINJAU SUMATERA BARAT MARGANOF

MODEL PENGENDALIAN PENCEMARAN PERAIRAN DI DANAU MANINJAU SUMATERA BARAT MARGANOF MODEL PENGENDALIAN PENCEMARAN PERAIRAN DI DANAU MANINJAU SUMATERA BARAT MARGANOF SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya

Lebih terperinci

MODEL PENGENDALIAN PENCEMARAN PERAIRAN DI DANAU MANINJAU SUMATERA BARAT MARGANOF

MODEL PENGENDALIAN PENCEMARAN PERAIRAN DI DANAU MANINJAU SUMATERA BARAT MARGANOF MODEL PENGENDALIAN PENCEMARAN PERAIRAN DI DANAU MANINJAU SUMATERA BARAT MARGANOF SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat (common property), sehingga dalam pemanfaatannya sering dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat (common property), sehingga dalam pemanfaatannya sering dilakukan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perairan danau merupakan sumberdaya alam yang dimiliki bersama oleh masyarakat (common property), sehingga dalam pemanfaatannya sering dilakukan secara bebas sesuai

Lebih terperinci

Bab V Hasil dan Pembahasan

Bab V Hasil dan Pembahasan biodegradable) menjadi CO 2 dan H 2 O. Pada prosedur penentuan COD, oksigen yang dikonsumsi setara dengan jumlah dikromat yang digunakan untuk mengoksidasi air sampel (Boyd, 1988 dalam Effendi, 2003).

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Waduk adalah genangan air besar yang sengaja dibuat dengan membendung aliran sungai, sehingga dasar sungai tersebut yang menjadi bagian terdalam dari sebuah waduk. Waduk

Lebih terperinci

PEMANTAUAN KUALITAS AIR SUNGAI CIBANTEN TAHUN 2017

PEMANTAUAN KUALITAS AIR SUNGAI CIBANTEN TAHUN 2017 PEMANTAUAN KUALITAS AIR SUNGAI CIBANTEN TAHUN 2017 1. Latar belakang Air merupakan suatu kebutuhan pokok bagi manusia. Air diperlukan untuk minum, mandi, mencuci pakaian, pengairan dalam bidang pertanian

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Zonasi pada perairan tergenang (Sumber: Goldman dan Horne 1983)

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Zonasi pada perairan tergenang (Sumber: Goldman dan Horne 1983) 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Waduk Waduk merupakan badan air tergenang yang dibuat dengan cara membendung sungai, umumnya berbentuk memanjang mengikuti bentuk dasar sungai sebelum dijadikan waduk. Terdapat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia dengan kurang lebih 17.508 buah pulau dan mempunyai panjang garis pantai 81.791 km (Supriharyono, 2002).

Lebih terperinci

Sungai berdasarkan keberadaan airnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu (Reid, 1961):

Sungai berdasarkan keberadaan airnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu (Reid, 1961): 44 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekologi Sungai Aspek ekologi adalah aspek yang merupakan kondisi seimbang yang unik dan memegang peranan penting dalam konservasi dan tata guna lahan serta pengembangan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Air sungai merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat vital bagi

BAB I PENDAHULUAN. Air sungai merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat vital bagi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air sungai merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat vital bagi pemenuhan kebutuhan hidup manusia sehingga kualitas airnya harus tetap terjaga. Menurut Widianto

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Air merupakan komponen lingkungan yang penting bagi kehidupan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Air merupakan komponen lingkungan yang penting bagi kehidupan yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Air merupakan komponen lingkungan yang penting bagi kehidupan yang merupakan kebutuhan utama bagi proses kehidupan di bumi. Manusia menggunakan air untuk memenuhi

Lebih terperinci

Pemodelan Penyebaran Polutan di DPS Waduk Sutami Dan Penyusunan Sistem Informasi Monitoring Kualitas Air (SIMKUA) Pendahuluan

Pemodelan Penyebaran Polutan di DPS Waduk Sutami Dan Penyusunan Sistem Informasi Monitoring Kualitas Air (SIMKUA) Pendahuluan Pendahuluan 1.1 Umum Sungai Brantas adalah sungai utama yang airnya mengalir melewati sebagian kota-kota besar di Jawa Timur seperti Malang, Blitar, Tulungagung, Kediri, Mojokerto, dan Surabaya. Sungai

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kesatuan. Di dalam ekosistem perairan danau terdapat faktor-faktor abiotik dan

TINJAUAN PUSTAKA. kesatuan. Di dalam ekosistem perairan danau terdapat faktor-faktor abiotik dan 17 TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Danau Ekosistem merupakan suatu sistem ekologi yang terdiri atas komponenkomponen biotik dan abiotik yang saling berintegrasi sehingga membentuk satu kesatuan. Di dalam ekosistem

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pencemaran Organik di Muara S. Acai, S. Thomas, S. Anyaan dan Daerah Laut yang Merupakan Perairan Pesisir Pantai dan Laut, Teluk Youtefa. Bahan organik yang masuk ke perairan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Danau Maninjau merupakan danau yang terdapat di Sumatera Barat, Kabupaten Agam. Secara geografis wilayah ini terletak pada ketinggian 461,5 m di atas permukaan laut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Mikroorganisme banyak ditemukan di lingkungan perairan, di antaranya di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Mikroorganisme banyak ditemukan di lingkungan perairan, di antaranya di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mikroorganisme banyak ditemukan di lingkungan perairan, di antaranya di ekosistem perairan rawa. Perairan rawa merupakan perairan tawar yang menggenang (lentik)

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini, data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Penyajian grafik dilakukan berdasarkan variabel konsentrasi terhadap kedalaman dan disajikan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHLUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHLUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHLUAN 1.1. Latar Belakang Air merupakan kebutuhan paling mendasar untuk menunjang suatu kehidupan. Sifat-sifat air menjadikannya sebagai suatu unsur yang paling penting bagi makhluk hidup. Manusia

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Perairan Danau

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Perairan Danau II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Perairan Danau Ekosistem merupakan suatu sistem ekologi yang terdiri atas komponenkomponen biotik dan abiotik yang saling berintegrasi sehingga membentuk satu kesatuan.

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KARTIKA NUGRAH PRAKITRI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Air merupakan unsur penting bagi kehidupan makhluk hidup baik manusia,

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Air merupakan unsur penting bagi kehidupan makhluk hidup baik manusia, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan unsur penting bagi kehidupan makhluk hidup baik manusia, flora, fauna maupun makhluk hidup yang lain. Makhluk hidup memerlukan air tidak hanya sebagai

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya air merupakan salah satu sumberdaya alam yang menjadi prioritas dari lima area kunci hasil Konferensi Sedunia Pembangunan Berkelanjutan (World Summit on

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Waduk adalah wadah air yang terbentuk sebagai akibat dibangunnya bendungan

I. PENDAHULUAN. Waduk adalah wadah air yang terbentuk sebagai akibat dibangunnya bendungan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Waduk adalah wadah air yang terbentuk sebagai akibat dibangunnya bendungan dan berbentuk pelebaran alur atau badan atau palung sungai (PerMen LH No 28 Tahun 2009). Waduk

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. hal yang penting dan harus tetap dijaga kestabilannya (Effendi, 2003).

PENDAHULUAN. hal yang penting dan harus tetap dijaga kestabilannya (Effendi, 2003). PENDAHULUAN Latar Belakang Air merupakan sumberdaya alam yang diperlukan sebagai hajat hidup orang banyak. Semua makhluk hidup membutuhkan air untuk kehidupannya sehingga sumberdaya air perlu dilindungi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Air merupakan sumberdaya alam yang diperlukan oleh makhluk hidup baik itu manusia, hewan maupun tumbuhan sebagai penunjang kebutuhan dasar. Oleh karena itu, keberadaan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 19 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Pertumbuhan beberapa tanaman air Pertumbuhan adalah perubahan dimensi (panjang, berat, volume, jumlah, dan ukuran) dalam satuan waktu baik individu maupun komunitas.

Lebih terperinci

BAB. II TINJAUAN PUSTAKA

BAB. II TINJAUAN PUSTAKA BAB. II TINJAUAN PUSTAKA A. Keadaan Teluk Youtefa Teluk Youtefa adalah salah satu teluk di Kota Jayapura yang merupakan perairan tertutup. Tanjung Engros dan Tanjung Hamadi serta terdapat pulau Metu Debi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pencemaran merupakan dampak negatif dari kegiatan pembangunan yang dilakukan selama ini. Pembangunan dilakukan dengan memanfaatkan potensi sumberdaya alam yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sumber irigasi, sumber air minum, sarana rekreasi, dsb. Telaga Jongge ini

BAB I PENDAHULUAN. sumber irigasi, sumber air minum, sarana rekreasi, dsb. Telaga Jongge ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Telaga merupakan wilayah tampungan air yang sangat vital bagi kelestarian lingkungan. Telaga merupakan salah satu penyedia sumber air bagi kehidupan organisme atau makhluk

Lebih terperinci

permukaan, sedangkan erosi tanah pertanian dapat menyebabkan tingginya parameter TSS dan sedimentasi pada sungai dan waduk. Permasalahan degradasi

permukaan, sedangkan erosi tanah pertanian dapat menyebabkan tingginya parameter TSS dan sedimentasi pada sungai dan waduk. Permasalahan degradasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Degradasi lingkungan menjadi salah satu penyebab penurunan kualitas lingkungan akibat kegiatan masyarakat, sehingga komponen-komponen pembentuk lingkungan tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air laut merupakan suatu medium yang unik. Sebagai suatu sistem, terdapat hubungan erat antara faktor biotik dan faktor abiotik, karena satu komponen dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. banyak, bahkan oleh semua mahkluk hidup. Oleh karena itu, sumber daya air

BAB I PENDAHULUAN. banyak, bahkan oleh semua mahkluk hidup. Oleh karena itu, sumber daya air BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber daya alam yang diperlukan untuk hajat hidup orang banyak, bahkan oleh semua mahkluk hidup. Oleh karena itu, sumber daya air harus dilindungi agar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dikenal sebagai Negara maritim karena sebagian besar wilayahnya didominasi oleh perairan. Perairan ini meliputi perairan laut, payau, maupun perairan

Lebih terperinci

ABSTRACT THE IMPACT OF AGRICULTURAL ACTIVITIES IN THE VARIOUS LEVELS OF EUTROPHICATION AND DIVERSITY OF PHYTOPLANKTON IN BUYAN LAKE BULELENG BALI

ABSTRACT THE IMPACT OF AGRICULTURAL ACTIVITIES IN THE VARIOUS LEVELS OF EUTROPHICATION AND DIVERSITY OF PHYTOPLANKTON IN BUYAN LAKE BULELENG BALI ABSTRACT THE IMPACT OF AGRICULTURAL ACTIVITIES IN THE VARIOUS LEVELS OF EUTROPHICATION AND DIVERSITY OF PHYTOPLANKTON IN BUYAN LAKE BULELENG BALI This research was conducted to find out the impact of agricultural

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Oksigen terlarut dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme, atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Sungai.. ' Sungai merupakan Perairan Umum yang airnya mengalir secara terus

II. TINJAUAN PUSTAKA Sungai.. ' Sungai merupakan Perairan Umum yang airnya mengalir secara terus II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sungai.. ' Sungai merupakan Perairan Umum yang airnya mengalir secara terus menerus pada arah tertentu, berasal dari air tanah, air hujan dan air permukaan yang akhirnya bermuara

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. di darat maupun di laut. Kandungan bahan organik di darat mencerminkan

PENDAHULUAN. di darat maupun di laut. Kandungan bahan organik di darat mencerminkan 15 PENDAHULUAN Latar Belakang Bahan organik merupakan salah satu indikator kesuburan lingkungan baik di darat maupun di laut. Kandungan bahan organik di darat mencerminkan kualitas tanah dan di perairan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur Komunitas Makrozoobenthos

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur Komunitas Makrozoobenthos 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur Komunitas Makrozoobenthos Odum (1993) menyatakan bahwa benthos adalah organisme yang hidup pada permukaan atau di dalam substrat dasar perairan yang meliputi organisme

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber daya alam yang memenuhi hajat hidup orang banyak sehingga perlu dilindungi agar dapat bermanfaat bagi hidup dan kehidupan manusia serta mahkluk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Waduk Cengklik merupakan salah satu waduk di Kabupaten Boyolali yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Waduk Cengklik merupakan salah satu waduk di Kabupaten Boyolali yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Waduk Cengklik merupakan salah satu waduk di Kabupaten Boyolali yang memiliki luas 240 ha. Pemanfaatan lahan di sekitar Waduk Cengklik sebagian besar adalah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Air Limbah Limbah deidefinisikan sebagai sisa atau buangan dari suatu usaha atau kegiatan manusia. Limbah adalah bahan buangan yang tidak terpakai yang berdampak negatif jika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sidoarjo dan 6 kota yaitu Batu, Malang, Blitar, Kediri, Mojokerto, dan Surabaya

BAB I PENDAHULUAN. Sidoarjo dan 6 kota yaitu Batu, Malang, Blitar, Kediri, Mojokerto, dan Surabaya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sungai Brantas adalah sungai terpanjang yang ada di provinsi Jawa Timur. Panjangnya yaitu mencapai sekitar 320 km, dengan daerah aliran seluas sekitar 12.000 km 2

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Danau merupakan salah satu bentuk ekosistem perairan tawar, dan berfungsi sebagai penampung dan menyimpan air yang berasal dari air sungai, mata air maupun air hujan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada era industrialisasi, semakin banyak orang yang menikmati waktu

BAB I PENDAHULUAN. Pada era industrialisasi, semakin banyak orang yang menikmati waktu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada era industrialisasi, semakin banyak orang yang menikmati waktu senggangnya (leisure time), dengan melakukan aktifitas wisata (Mulyaningrum, 2005). Lebih

Lebih terperinci

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN 186 BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan 1. Secara umum suhu air perairan Teluk Youtefa berkisar antara 28.5 30.0, dengan rata-rata keseluruhan 26,18 0 C. Nilai total padatan tersuspensi air di

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Air Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat di daratan, perairan lepas pantai (off shore water) dan perairan laut. Ekosistem air yang terdapat

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. A. Tinjauan Pustaka. Air merupakan komponen lingkungan hidup yang kondisinya

BAB II LANDASAN TEORI. A. Tinjauan Pustaka. Air merupakan komponen lingkungan hidup yang kondisinya BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Air dan Sungai 1.1 Air Air merupakan komponen lingkungan hidup yang kondisinya mempengaruhi dan dipengaruhi oleh komponen lainnya. Penurunan kualitas air akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Barus, 1996). Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri dari pulau

BAB I PENDAHULUAN. (Barus, 1996). Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri dari pulau BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem perairan yang menutupi seperempat bagian dari permukaan bumi dibagi dalam dua kategori utama, yaitu ekosistem air tawar dan ekosistem air laut (Barus, 1996).

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Waduk didefinisikan sebagai perairan menggenang atau badan air yang memiliki

II. TINJAUAN PUSTAKA. Waduk didefinisikan sebagai perairan menggenang atau badan air yang memiliki II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Waduk Waduk didefinisikan sebagai perairan menggenang atau badan air yang memiliki ceruk, saluran masuk (inlet), saluran pengeluaran (outlet) dan berhubungan langsung dengan sungai

Lebih terperinci

PELAKSANAAN KEGIATAN BIDANG PENGENDALIAN KERUSAKAN PERAIRAN DARAT TAHUN 2015

PELAKSANAAN KEGIATAN BIDANG PENGENDALIAN KERUSAKAN PERAIRAN DARAT TAHUN 2015 PELAKSANAAN KEGIATAN BIDANG PENGENDALIAN KERUSAKAN PERAIRAN DARAT TAHUN 2015 A. PEMANTAUAN KUALITAS AIR DANAU LIMBOTO Pemantauan kualitas air ditujukan untuk mengetahui pengaruh kegiatan yang dilaksanakan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. masih merupakan tulang pungung pembangunan nasional. Salah satu fungsi lingkungan

1. PENDAHULUAN. masih merupakan tulang pungung pembangunan nasional. Salah satu fungsi lingkungan 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air sungai merupakan salah satu komponen lingkungan yang memiliki fungsi penting bagi kehidupan manusia, termasuk untuk menunjang pembangunan ekonomi yang hingga saat ini

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.1 PENELITIAN PENDAHULUAN Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan titik kritis pengenceran limbah dan kondisi mulai mampu beradaptasi hidup pada limbah cair tahu. Limbah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Oleh

TINJAUAN PUSTAKA. Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Oleh TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Sungai Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Oleh karena itu, sumber air sangat dibutuhkan untuk dapat menyediakan air yang baik dari segi kuantitas

Lebih terperinci

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA A. Deskripsi Data 1. Kondisi saluran sekunder sungai Sawojajar Saluran sekunder sungai Sawojajar merupakan aliran sungai yang mengalir ke induk sungai Sawojajar. Letak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menjalankan aktivitas budidaya. Air yang digunakan untuk keperluan budidaya

I. PENDAHULUAN. menjalankan aktivitas budidaya. Air yang digunakan untuk keperluan budidaya I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kualitas perairan merupakan faktor utama yang harus dipenuhi sebelum menjalankan aktivitas budidaya. Air yang digunakan untuk keperluan budidaya perikanan tidak sekedar

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN KUALITAS PERAIRAN PELABUHAN PERIKANAN CILINCING JAKARTA UTARA IRWAN A

STRATEGI PENGELOLAAN KUALITAS PERAIRAN PELABUHAN PERIKANAN CILINCING JAKARTA UTARA IRWAN A STRATEGI PENGELOLAAN KUALITAS PERAIRAN PELABUHAN PERIKANAN CILINCING JAKARTA UTARA IRWAN A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 STRATEGI PENGELOLAAN KUALITAS PERAIRAN PELABUHAN PERIKANAN

Lebih terperinci

Konsentrasi (mg/l) Titik Sampling 1 (4 April 2007) Sampling 2 (3 Mei 2007) Sampling

Konsentrasi (mg/l) Titik Sampling 1 (4 April 2007) Sampling 2 (3 Mei 2007) Sampling Tabel V.9 Konsentrasi Seng Pada Setiap Titik Sampling dan Kedalaman Konsentrasi (mg/l) Titik Sampling 1 (4 April 2007) Sampling 2 (3 Mei 2007) Sampling A B C A B C 1 0,062 0,062 0,051 0,076 0,030 0,048

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencemaran Perairan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencemaran Perairan 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencemaran Perairan Menurut Odum (1971), pencemaran adalah perubahan sifat fisik, kimia dan biologi yang tidak dikehendaki pada udara, tanah dan air. Sedangkan menurut Saeni

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ekosistem air tawar merupakan ekosistem dengan habitatnya yang sering digenangi

I. PENDAHULUAN. Ekosistem air tawar merupakan ekosistem dengan habitatnya yang sering digenangi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem air tawar merupakan ekosistem dengan habitatnya yang sering digenangi air tawar yang kaya akan mineral dengan ph sekitar 6. Kondisi permukaan air tidak selalu

Lebih terperinci

Buku Panduan Operasional IPAL Gedung Sophie Paris Indonesia I. PENDAHULUAN

Buku Panduan Operasional IPAL Gedung Sophie Paris Indonesia I. PENDAHULUAN I. PENDAHULUAN Seiring dengan tingginya laju pertumbuhan penduduk dan pesatnya proses industrialisasi jasa di DKI Jakarta, kualitas lingkungan hidup juga menurun akibat pencemaran. Pemukiman yang padat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. selain memproduksi tahu juga dapat menimbulkan limbah cair. Seperti

BAB I PENDAHULUAN. selain memproduksi tahu juga dapat menimbulkan limbah cair. Seperti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Industri pembuatan tahu dalam setiap tahapan prosesnya menggunakan air dengan jumlah yang relatif banyak. Artinya proses akhir dari pembuatan tahu selain memproduksi

Lebih terperinci

Kata Pengantar. Siborongborong, Penulis, Abdiel P. Manullang

Kata Pengantar. Siborongborong, Penulis, Abdiel P. Manullang Kata Pengantar Segala puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Karena dengan Rahamat-Nya lah penulis telah dapat menyelesaikan makalah ini. Pada kesempatan ini secara khusus penulis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Laut Indonesia sudah sejak lama didayagunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia terutama pemanfaatan sumberdaya hayati seperti ikan maupun sumberdaya non hayati

Lebih terperinci

BAB III. PENCEMARAN AIR A. PENDAHULUAN

BAB III. PENCEMARAN AIR A. PENDAHULUAN BAB III. PENCEMARAN AIR A. PENDAHULUAN Topik kuliah pencemaran air ini membahas tentang pencemaran air itu sendiri, penanganan air limbah dan konseryasi sumberdaya alam laut. Poko bahasan kuliah ini secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Keberadaan industri dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat namun juga tidak jarang merugikan masyarakat, yaitu berupa timbulnya pencemaran lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memonitor kualitas perairan (Leitão, 2012), melalui pemahaman terhadap siklus

BAB I PENDAHULUAN. memonitor kualitas perairan (Leitão, 2012), melalui pemahaman terhadap siklus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Status trofik merupakan indikator tingkat kesuburan suatu perairan yang dapat ditentukan oleh faktor-faktor yang meliputi nutrien perairan, produktivitas fitoplankton

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air

TINJAUAN PUSTAKA. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air TINJAUAN PUSTAKA Sungai Sungai merupakan suatu bentuk ekositem aquatik yang mempunyai peran penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air (catchment area) bagi daerah di sekitarnya,

Lebih terperinci

EKOSISTEM. Yuni wibowo

EKOSISTEM. Yuni wibowo EKOSISTEM Yuni wibowo EKOSISTEM Hubungan Trofik dalam Ekosistem Hubungan trofik menentukan lintasan aliran energi dan siklus kimia suatu ekosistem Produsen primer meliputi tumbuhan, alga, dan banyak spesies

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Aktivitas pencemaran lingkungan yang dihasilkan dari suatu kegiatan industri merupakan suatu masalah yang sangat umum dan sulit untuk dipecahkan pada saat

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 27 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi Vertikal Oksigen Terlarut Oksigen terlarut merupakan salah satu faktor pembatas bagi sumberdaya suatu perairan karena akan berpengaruh secara langsung pada kehidupan

Lebih terperinci

Kombinasi pengolahan fisika, kimia dan biologi

Kombinasi pengolahan fisika, kimia dan biologi Metode Analisis Untuk Air Limbah Pengambilan sample air limbah meliputi beberapa aspek: 1. Lokasi sampling 2. waktu dan frekuensi sampling 3. Cara Pengambilan sample 4. Peralatan yang diperlukan 5. Penyimpanan

Lebih terperinci

sedangkan sisanya berupa massa air daratan ( air payau dan air tawar ). sehingga sinar matahari dapat menembus kedalam air.

sedangkan sisanya berupa massa air daratan ( air payau dan air tawar ). sehingga sinar matahari dapat menembus kedalam air. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perairan merupakan ekosistem yang memiliki peran sangat penting bagi kehidupan. Perairan memiliki fungsi baik secara ekologis, ekonomis, estetika, politis,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan pembangunan di beberapa negara seperti di Indonesia telah

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan pembangunan di beberapa negara seperti di Indonesia telah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelaksanaan pembangunan di beberapa negara seperti di Indonesia telah memicu berbagai pertumbuhan di berbagai sektor seperti bidang ekonomi, sosial dan budaya.

Lebih terperinci

Polusi. Suatu zat dapat disebut polutan apabila: 1. jumlahnya melebihi jumlah normal 2. berada pada waktu yang tidak tepat

Polusi. Suatu zat dapat disebut polutan apabila: 1. jumlahnya melebihi jumlah normal 2. berada pada waktu yang tidak tepat Polusi Polusi atau pencemaran lingkungan adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat energi, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan, atau berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laju pertambahan penduduk yang tinggi banyak terjadi di negara berkembang seperti Indonesia, telah menghabiskan surplus sumberdaya alam yang diperuntukkan bagi pembangunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Batik merupakan suatu seni dan cara menghias kain dengan penutup

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Batik merupakan suatu seni dan cara menghias kain dengan penutup I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Batik merupakan suatu seni dan cara menghias kain dengan penutup lilin untuk membentuk corak hiasannya, membentuk sebuah bidang pewarnaan. Batik merupakan salah satu kekayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup. Namun disamping itu, industri yang ada tidak hanya menghasilkan

BAB I PENDAHULUAN. hidup. Namun disamping itu, industri yang ada tidak hanya menghasilkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Meningkatnya sektor industri pertanian meningkatkan kesejahteraan dan mempermudah manusia dalam pemenuhan kebutuhan hidup. Namun disamping itu, industri yang ada tidak

Lebih terperinci

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton. Ima Yudha Perwira, SPi, Mp

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton. Ima Yudha Perwira, SPi, Mp Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton Ima Yudha Perwira, SPi, Mp Suhu Tinggi rendahnya suhu suatu badan perairan sangat mempengaruhi kehidupan plankton. Semakin tinggi suhu meningkatkan kebutuhan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Kata Pengantar. Daftar Isi. Daftar Tabel. Daftar Gambar

DAFTAR ISI. Kata Pengantar. Daftar Isi. Daftar Tabel. Daftar Gambar DAFTAR ISI Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Daftar i ii iii vii Bab I Pendahuluan A. Kondisi Umum Daerah I- 1 B. Pemanfaatan Laporan Status LH Daerah I-10 C. Isu Prioritas Lingkungan Hidup Kabupaten Kulon

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tetapi limbah cair memiliki tingkat pencemaran lebih besar dari pada limbah

BAB I PENDAHULUAN. tetapi limbah cair memiliki tingkat pencemaran lebih besar dari pada limbah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri tahu merupakan salah satu industri yang menghasilkan limbah organik. Limbah industri tahu yang dihasilkan dapat berupa limbah padat dan cair, tetapi limbah

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persepsi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persepsi 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persepsi Persepsi adalah kemampuan otak dalam menerjemahkan stimulus atau proses untuk menerjemahkan stimulus yang masuk ke dalam alat indera manusia. Proses ini yang memungkinkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. banyak efek buruk bagi kehidupan dan lingkungan hidup manusia. Kegiatan

PENDAHULUAN. banyak efek buruk bagi kehidupan dan lingkungan hidup manusia. Kegiatan PENDAHULUAN Latar Belakang Aktivitas kehidupan manusia yang sangat tinggi telah menimbulkan banyak efek buruk bagi kehidupan dan lingkungan hidup manusia. Kegiatan pembangunan, terutama di sektor industri

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 27 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Lokasi penelitian terletak di belakang Perumahan Nirwana Estate, Cibinong yang merupakan perairan sungai kecil bermuara ke Situ Cikaret sedangkan yang terletak di belakang Perumahan,

Lebih terperinci

PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK

PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK 1. Siklus Nitrogen Nitrogen merupakan limiting factor yang harus diperhatikan dalam suatu ekosistem perairan. Nitrgen di perairan terdapat

Lebih terperinci

Nama : Putri Kendaliman Wulandari NPM : Jurusan : Teknik Industri Pembimbing : Dr. Ir. Rakhma Oktavina, M.T Ratih Wulandari, S.T, M.

Nama : Putri Kendaliman Wulandari NPM : Jurusan : Teknik Industri Pembimbing : Dr. Ir. Rakhma Oktavina, M.T Ratih Wulandari, S.T, M. Nama : Putri Kendaliman Wulandari NPM : 35410453 Jurusan : Teknik Industri Pembimbing : Dr. Ir. Rakhma Oktavina, M.T Ratih Wulandari, S.T, M.T TUGAS AKHIR USULAN PENINGKATAN PRODUKTIVITAS DAN KINERJA LINGKUNGAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG DAYA TAMPUNG BEBAN PENCEMARAN AIR DANAU DAN/ATAU WADUK

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG DAYA TAMPUNG BEBAN PENCEMARAN AIR DANAU DAN/ATAU WADUK SALINAN PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG DAYA TAMPUNG BEBAN PENCEMARAN AIR DANAU DAN/ATAU WADUK MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. khususnya di Kabupaten Banjarnegara dengan rata-rata turun sebesar 4,12 % per

BAB 1 PENDAHULUAN. khususnya di Kabupaten Banjarnegara dengan rata-rata turun sebesar 4,12 % per BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan lahan Daerah Aliran Sungai Merawu didominasi oleh lahan pertanian. Jenis sayuran yang menjadi komoditas unggulan wilayah ini yaitu jagung, daun bawang, wortel,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai saluran air bagi daerah

I. PENDAHULUAN. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai saluran air bagi daerah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai peran penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai saluran air bagi daerah sekitarnya. Oleh karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan kebutuhan utama bagi proses kehidupan di bumi ini. Tidak akan ada kehidupan seandainya di bumi ini tidak ada air. Air relatif bersih sangat didambakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. bersifat dinamis (bergerak atau mengalir) seperti laut dan sungai maupun statis

TINJAUAN PUSTAKA. bersifat dinamis (bergerak atau mengalir) seperti laut dan sungai maupun statis TINJAUAN PUSTAKA Perairan Sungai Perairan adalah suatu kumpulan massa air pada suatu wilayah tertentu, baik yang bersifat dinamis (bergerak atau mengalir) seperti laut dan sungai maupun statis (tergenang)

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Depok merupakan salah satu daerah penyangga DKI Jakarta dan menerima cukup banyak pengaruh dari aktivitas ibukota. Aktivitas pembangunan ibukota tidak lain memberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkatnya aktivitas industri akan memberikan dampak terhadap kondisi

BAB I PENDAHULUAN. meningkatnya aktivitas industri akan memberikan dampak terhadap kondisi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kualitas air sungai dipengaruhi oleh kualitas pasokan air yang berasal dari daerah tangkapannya sedangkan kualitas pasokan air dari daerah tangkapan berkaitan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. limbah yang keberadaannya kerap menjadi masalah dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. limbah yang keberadaannya kerap menjadi masalah dalam kehidupan masyarakat. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Limbah cair atau yang biasa disebut air limbah merupakan salah satu jenis limbah yang keberadaannya kerap menjadi masalah dalam kehidupan masyarakat. Sifatnya yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kualitas Air Kualitas air secara biologis ditentukan oleh banyak parameter, yaitu parameter mikroba pencemar, patogen dan penghasil toksin. Banyak mikroba yang sering bercampur

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Sungai Batang Toru Sungai Batang Toru merupakan salah satu sungai terbesar di Tapanuli Selatan. Dari sisi hidrologi, pola aliran sungai di ekosistem Sungai Batang

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN BAB IV METODOLOGI PENELITIAN Maksud dari penelitian ini adalah untuk meneliti pengaruh berkembangnya aktivitas kolam jaring apung di Waduk Cirata terhadap kualitas air Waduk Cirata. IV.1 KERANGKA PENELITIAN

Lebih terperinci

Bab V Hasil dan Pembahasan. Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman

Bab V Hasil dan Pembahasan. Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman Dekomposisi material organik akan menyerap oksigen sehingga proses nitrifikasi akan berlangsung lambat atau bahkan terhenti. Hal ini ditunjukkan dari

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pencemaran Perairan 2.2. Ekosistem Mengalir

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pencemaran Perairan 2.2. Ekosistem Mengalir 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pencemaran Perairan Pencemaran lingkungan adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain kedalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga

Lebih terperinci