BAB I PENDAHULUAN. segera mendapatkan regulasi untuk mencegahnya. akan berhenti pada titik zero population growth. Maka muncul beragam

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan penduduk dan kebutuhannya yang terus meningkat, ternyata tidak mampu diimbangi oleh suplai tanah, sehingga membawa konsekuensi yang sangat serius terhadap pola hubungan antara tanah dengan manusia, dan hubungan antara manusia dengan manusia yang berobyek tanah. Ketidakseimbangan itu akan semakin timpang atau bahkan di daerah tertentu terjadi polarisasi penguasaan tanah apabila mekanisme penguasaan tanah tidak segera mendapatkan regulasi untuk mencegahnya. Berhubungan kebutuhan manusia yang harus dipenuhi oleh tanah, baik sebagai basis dari terciptanya kebutuhan itu ataupun sebagai faktor produksi akan terus meningkat, meskipun seandainya pertumbuhan penduduk Indonesia akan berhenti pada titik zero population growth. Maka muncul beragam individu atau lembaga berbadan hukum yang sangat rakus tanah yang selalu berupaya dengan segala kemampuannya untuk menguasai, mengumpulkan tanah orang-orang lemah yang dihimpit oleh jeratan kemajuan ekonomi. 1 Hak menguasai tanah oleh Negara bersumber dari kekuasaan yang melekat pada Negara, sebagaimana tercermin dalm ketentuan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa: 2 bumi dan air dan 1 Ali Sofwan Husein, 1997, Konflik Pertanahan, Dimensi Keadilan dan Kepentingan Ekonomi, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hlm Adrian Sutedi, 2008, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 1, 2, 31, 32. 1

2 2 kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Selanjutnya dalam penjelasannya dinyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat, sebab itu harus dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pernyataan tersebut menjelaskan dua hal, yaitu bahwa secara konstitusional Negara memiliki legitimasi yang kuat untuk menguasai tanah sebagai bagian dari bumi, namun penguasaan tersebut harus dalam kerangka intuk kemakmuran rakyat. Penguasaan tanah oleh Negara dalam konteks di atas adalah penguasaan yang otoritasnya menimbulkan tanggung jawab, yaitu untuk kemakmuran rakyat. Disisi lain, rakyat juga dapat memiliki hak atas tanah. Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dimiliki orang atas tanah dengan mengingat fungsi sosial yang melekat pada kepemilikan tanah tersebut. Dengan perkataan lain hubungan individu dengan tanah adalah hubungan hukum yang melahirkan kewenangan dan tanggung jawab. 3 Dinamika pembangunan nasional, seringkali menuntut Negara untuk melakukan penataan kembali atas tata ruang termasuk pemanfaatan tanah sedemikian rupa yang meminta masyarakat untuk menyerahkan tanahnya kepada Negara untuk dipergunakan bagi kepentingan umum. Pembangunan prasarana jalan raya, kawasan industri, pertanian dan sebagainya adalah 3 Ibid, hlm. 31

3 3 beberapa diantara dasar legitimasi yang digunakan oleh Negara dalam pengambilalihan tanah masyarakat. Gejala ketidakadilan berupa berkurangnya tanah pertanian disertai dengan penggusuran, hilangnya mata pencaharian petani, unsur spekulasi dalam penguasaan tanah yang dilakukan oleh pengembang perumahan dan pengusaha kawasan industri, hanyalah beberapa contoh yang merupakan keprihatinan kelompok populis. Kenyataan empiris tersebut mendorong kelompok populis untuk mengupayakan peninjauan kembali berbagai kebijakan pertanahan yang berdampak terhadap ketidakadilan dan kesenjangan sosial. Sebaliknya kelompok yang cenderung berpikiran kapitalis justru berpendapat bahwa UUPA kurang tanggap dalam mengantisipasi arus penanaman modal asing, kurang mendorong daya saing, kurang terbuka dan ketinggalan zaman, serta kurang memberi kelonggaran terhadap penanaman modal asing. 4 Kecenderungan untuk memandang tanah lebih pada nilai ekonomisnya semata, yakni tanah sebagai barang dagangan yang tentunya lebih mudah dikuasai oleh mereka yang mempunyai kelebihan modal dan mengakibatkan ketimpangan distribusi penguasaan tanah karena perbedaan akses, jelas tidak sesuai dengan jiwa UUPA. Tanah merupakan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa (Pasal 1 ayat (2) UUPA), dengan demikian selain memiliki nilai fisik, tanah juga mempunyai nilai kerohanian, karena tanah sebagai titipan Tuhan, 4 Maria SW Sumardjono, 2001, Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi dan Implementasi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, hlm. 41

4 4 perolehan dan pemanfaatannya harus sedemikian rupa sehingga dirasakan adil bagi semua pihak. Persepsi dan konsepsi pembuat kebijakan terhadap tanah akan berpengaruh terhadap pilihan kebijakan yang ditempuh; apakah berorientasi pada penghargaan hak seseorang terhadap perolehan dan pemanfaatan tanah sebagai hak asasi setiap orang yang dijamin dapat diperoleh secara adil, atau cenderung menyerahkan perolehan dan pemanfaatan tanah kepada mekanisme pasar dengan segala dampaknya. Perwujudan keadilan sosial di bidang pertanahan dapat dilihat pada prinsip-prinsip dasar dari UUPA, yakni: prinsip negara menguasai, prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah masyarakat hukum adat, asas fungsi sosial semua hak atas tanah, prinsip Landreform, prinsip perencanaan dalam penggunaan tanah dan upaya pelestariannya, dan prinsip nasionalitas. Prinsip dasar tersebut kemudian dijabarkan dalam berbagai produk berupa peraturan perundang-undangan dan kebijakan lainnya. Di dalam praktek dapat dijumpai berbagai peraturan yang bias terhadap kepentingan sekelompok kecil masyarakat dan belum memberikan perhatian serupa kepada kelompok masyarakat yang lebih besar. 5 Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 2 UUPA yang pada intinya mengatur mengenai Hak menguasai dari Negara, selanjutnya dalam Pasal 18 UUPA ditentukan bahwa untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah 5 Maria SW Sumardjono, 1994, Reorientasi Kebijakan Pertanahan, Kompas, September 1994

5 5 dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-Undang. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 18 UUPA tersebut, selanjutnya diimplementasikan melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan Benda-benda yang ada diatasnya. Upaya pencabutan hak atas tanah ini merupakan alternatif terakhir, setelah upayaupaya lain yang lebih menguntungkan kedua belah pihak sudah diupayakan secara maksimal, dan ternyata mengalami jalan buntu, sementara terlaksananya kepentingan umum tersebut demikian mendesak dan tidak bisa ditunda-tunda lagi, karena akan membahayakan kepentingan bersama dan keselamatan bersama. 6 Semenjak tahun 1975 bermunculan istilah-istilah baru yang lebih halus dan sopan untuk masalah pencabutan tanah, akan tetapi secara substansial maksud dan tujuannya hampir sama dengan pencabutan Hak atas tanah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961, yaitu pengambilalihan tanah-tanah rakyat, dengan alasan demi kepentingan umum, diberikan ganti rugi yang layak, dan dilakukan dengan cara musyarawarah. Adapun istilah-istilah tersebut antara lain: pencadangan tanah, Pemberian Izin Lokasi, Pembebasan Tanah, dan yang terakhir adalah Pengadaan Tanah, sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. 6 Ali Sofwan Husein, 1997, Op. Cit, hlm

6 6 Pengadaan tanah bagi kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum oleh pemerintah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah dan di luar cara tersebut, pengadaan tanah dilaksanakan dengan cara jual beli, tukar menukar atau cara lain yang disepakati. Menurut Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 55 Tahun 1993, pengadaan tanah dilakukan atas dasar musyawarah langsung, yaitu suatu proses atau kegiatan yang didasarkan atas kesukarelaan antara para pihak untuk memperoleh kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian (Pasal 1 angka 5 Kepres No. 55 Tahun 1993). Pada asasnya apabila Pemerintah memerlukan tanah untuk pelaksanaan pembangunan harus diusahakan agar tanah tersebut diperoleh dengan persetujuan dari pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. Akan tetapi cara yang demikian tidak selalu dapat membawa hasil sesuai dengan yang diharapkan, karena ada kemungkinan pemegang hak atas tanah tersebut tidak bersedia melepaskan haknya ataupun kalau mau melepaskan haknya, pemegang hak atas tanah meminta ganti rugi atau harga atas tanah tersebut dengan harga yang sangat tinggi. Berdasarkan adanya kepentingan umum, yaitu dalam rangka pelaksanaan pembangunan, maka pemerintah dapat memperoleh tanah yang diperlukan dengan mendasarkan pada Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Menurut kepentingan dalam Keppres tersebut, yang dimaksud dengan pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan

7 7 tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut. Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum dilakukan melalui musyawarah secara langsung antara pemegang hak atas tanah dan investasi pemerintah yang memerlukan tanah. Namun apabila telah diupayakan musyawarah berulang kali dan kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi tidak tercapai juga, maka panitia pengadaan tanah secara sepihak dapat mengeluarkan keputusan mengenai besarnya ganti rugi dengan sejauh mungkin memperhatikan pendapat, keinginan, saran dan pertimbangan yang berlangsung dalam musyawarah (Pasal 19 Keppres Nomor 55 Tahun 1993). Ketika negara atau investor swasta membutuhkan tanah untuk memenuhi kebutuhan yang terus meningkat itu, maka tak ada jalan lain, dipakailah prosedur pengadaan tanah dan penggusuran tanah, karena dianggap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan dalam arti menciptakan sesuatu yang belum ada menjadi ada dan menghasilkan, seperti yang terjadi di Kedung Ombo dan puluhan ribu kasus sejenis di tempat lain. bahkan hampir semua proyek pembangunan itu dipersamakan dengan kepentingan umum. Demikian juga seringkali kepentingan pemilik tanah harus mengalah untuk kejayaan beberapa individu yang mampu meminjam topeng kepentingan umum, dengan mengambil jalan melalui penetapan arti kepentingan umum itu kurang jelas dan mudah dimanipulasi, sekalipun sudah dilegalisasi melalui persetujuan wakil-wakil rakyat.

8 8 Sebagaimana yang terjadi, pembebasan itu ditetapkan demi pembangunan, yang nota bene langsung disamakan sebagai kepentingan umum. Dan sebagai backing dari kepentingan umum, maka aparat negara dengan serta merta menggunakan tangan dan kakinya memfasilitasi dan mengamankan jalannya pembebasan itu. Jika ada yang menghalangi, atau mempertanyakan pembebasan itu, maka si trouble maker itu harus diamankan. Sehingga pembebasan tanah itu lebih sering diartikan sebagai penggusuran hak. Bahkan dalam beberapa kasus dapat disebut sebagai pengambilalihan secara paksa tanah rakyat. Walaupun pengambilan itu ada ganti ruginya, tetapi ganti rugi tersebut tidak dimaksudkan untuk mengganti kerugian faktual yang diderita penduduk sejak awal rencana penggusuran sampai benar-benar mereka terusir dari tanah/tempat tinggalnya. Melainkan ia sebagai alat pembenar, dan bahkan sebagai alat rekayasa melalui hukum agar terkesan sebagai langkah konstitusional. Misalnya dengan alasan telah diberikannya/ dikonsinyasikan uang ganti rugi, maka mereka tidak dapat disebut sebagai melanggar hukum atau penyerobot tanah milik rakyat, karena syarat-syarat formal yang dibuat untuk memfasilitasinya telah dipenuhi dan tidak ada yang dilanggar. Dalam semua tahap penggusuran tanah, aspek musyawarah ini menduduki posisi yang sangat menentukan hasil tahapan berikutnya. Dalam arti, bila unsur musyawarah ini kurang dijalankan, sebagian dijalankan atau bahkan dimanipulasi, maka implikasinya sangat dirasakan pada hasil yang akan diperoleh pada tahapan berikutnya. Misalnya suatu ketidakadilan yang

9 9 dilegalisasikan sebagai adil dan aspiratif, sebagaimana yang disinyalir oleh banyak pihak. 7 Namun demikian persoalan tidak akan selesai begitu saja, walaupun telah ada keputusan Panitia Pengadaan tanah mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi, karena masalah ganti rugi merupakan masalah yang paling rumit penanganannya dalam upaya pengadaan tanah oleh pemerintah. Tampak bahwa menemukan keseimbangan antara kepentingan perorangan dan kepentingan umum adalah tidak mudah. Ganti kerugian sebagai suatu upaya mewujudkan penghormatan kepada hak-hak dan kepentingan perseorangan yang telah dikorbankan untuk kepentingan umum, dapat disebut adil apabila hal tersebut tidak membuat seorang menjadi lebih kaya, atau sebaliknya menjadi lebih miskin dari pada keadaan semula. Dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintah perlu menyelenggarakan pembangunan. Salah satu upaya pembangunan dalam kerangka pembangunan nasional yang diselenggarakan Pemerintah adalah pembangunan untuk Kepentingan Umum. Pembangunan untuk Kepentingan Umum tersebut memerlukan tanah yang pengadaannya dilaksanakan dengan mengedepankan prinsip yang terkandung di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan hukum tanah nasional, antara lain prinsip kemanusiaan, keadilan, kemanfaatan, kepastian, keterbukaan, kesepakatan, keikutsertaan, 7 Ibid, hlm. 49

10 10 kesejahteraan, keberlanjutan, dan keselarasan sesuai dengan nilai-nilai berbangsa dan bernegara. Hukum tanah nasional mengakui dan menghormati hak masyarakat atas tanah dan benda yang berkaitan dengan tanah, serta memberikan wewenang yang bersifat publik kepada negara berupa kewenangan untuk mengadakan pengaturan, membuat kebijakan, mengadakan pengelolaan, serta menyelenggarakan dan mengadakan pengawasan yang tertuang dalam pokokpokok Pengadaan Tanah sebagai berikut: 8 1. Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin tersedianya tanah untuk Kepentingan Umum dan pendanaannya. 2. Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum diselenggarakan sesuai dengan: a. Rencana Tata Ruang Wilayah; b. Rencana Pembangunan Nasional/Daerah; c. Rencana Strategis; dan d. Rencana Kerja setiap Instansi yang memerlukan tanah. 3. Pengadaan Tanah diselenggarakan melalui perencanaan dengan melibatkan semua pemangku dan pengampu kepentingan. 4. Penyelenggaraan Pengadaan Tanah memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat. 5. Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum dilaksanakan dengan pemberian Ganti Kerugian yang layak dan adil. 8 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

11 11 Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, dinyatakan bahwa: Pengadaan tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak. Sedangkan menurut ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum bertujuan menyediakan tanah bagi pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara, dan masyarakat dengan tetap menjamin kepentingan hukum Pihak yang Berhak. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut dengan judul PELAKSANAAN PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN NEGARA DALAM PROYEK JOMBOR FLY OVER DI KABUPATEN SLEMAN. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah tersebut di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah proses dan dasar hukum pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan negara dalam proyek Jombor Fly Over di Kabupaten Sleman? 2. Hambatan-hambatan apa yang ditemui dalam proses pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan negara dalam proyek Jombor Fly Over di Kabupaten Sleman?

12 12 C. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai penulis dalam melakukan penelitian, meliputi dua hal yaitu: 1. Tujuan Oyektif a. Untuk mengetahui dan mengkaji proses dan dasar hukum pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan negara dalam proyek Jombor Fly Over di Kabupaten Sleman. b. Untuk mengetahui dan mengkaji hambatan-hambatan yang ditemui dalam proses pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan negara dalam proyek Jombor Fly Over di Kabupaten Sleman. 2. Tujuan Subjektif a. Mendapatkan informasi yang mendalam berkaitan dengan obyek yang sedang diteliti. b. Mendapatkan informasi untuk penyusunan penulisan hukum yang merupakan suatu mata kuliah wajib dan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. D. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran penulis pada berbagai sumber referensi yang diteliti oleh penulis, secara kepustakaan di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada diketahui pernah dilakukan penelitian yang berkaitan dengan Pelaksanaan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Negara

13 13 Dalam Proyek Jombor Fly over Di Kabupaten Sleman Yogyakarta, penulis menemukan beberapa penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini yaitu sebagai berikut: 1. Penelitian oleh Diana Kartikasari Bagian Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada pada tahun 2013 mengenai Konflik Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Fly over Jombor Sleman Yogyakarta dan Permasalahan-Permasalannya. Dengan rumusan masalah sebagai berikut: a. Bagaimana permasalahan dalam pengadaan tanah untuk pembangunan Flyover Jombor, Sleman, Yogyakarta? b. Apa usaha-usaha yang dilakukan untuk menyelesaikan konflik dalam pengadaan tanah untuk pembangunan Flyover Jombor, Sleman, Yogyakarta? 2. Penelitian oleh Wilda Prima Putri Bagian Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada pada tahun 2013 mengenai Analisis Kekuatan Pembuktian Girik dan Sertipikat Dalam Pemberian Ganti Kerugian Pada Kasus Pengadaan Tanah Jalan Tol JORR, dengan rumusan masalah sebagai berikut: a. Bagaimana kekuatan girik sebagai alat bukti pemilikan hak atas tanah dalam kasus ganti kerugian pengadaan tanah untuk pembangunan jalan tol JORR?

14 14 b. Bagaimana kekuatan sertipikat sebagai alat bukti pemilikan hak atas tanah dalam kasus ganti kerugian pengadaan tanah untuk pembangunan jalan tol JORR? Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat dinyatakan bahwa penelitian ini berbeda atau tidak sama dengan penelitian-penelitian sebelumya. 1. Perbedaan dengan Penulisan Hukum Penulis dalam skripsi dengan judul Konflik Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Flyover Jombor Sleman Yogyakarta dan permasalahan-permasalahannya, penelitian ini menunjukkan bahwa konflik antara warga masyarakat pemilik tanah dengan SATKER (Satuan Kerja) Pelaksana Proyek Pembangunan adalah berkaitan dengan perbedaan persepsi untuk menentukan besaran ganti kerugian tanah yang dibebaskan, dan juga perbedaan persepsi mengenai batas-batas tanah milik PT KAI di kawasan tersebut. Upaya yang ditempuh untuk menyelesaikan konflik adalah mediasi yang dilakukan oleh pihak Ombudsman. Walaupun dengan obyek yang sama perbedaan penelitian ini dengan yang dilakukan oleh penulis yaitu pada inti permasalahan yang akan diteliti. Penelitian yang dilakukan oleh Diana Kartikasari menitikberatkan pada pembahasan tentang konflik dalam pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan Flyover Jombor dan usaha-usaha yang dilakukan untuk menyelesaikan konflik tersebut, sedangkan penelitian yang diteliti oleh penulis menitikberatkan pada dasar hukum dan prosedur pelaksanaan pengadaan tanah dilihat dari sisi Hukum Benda Milik Negara

15 15 mengenai pengadaan benda milik negara berupa tanah oleh pemerintah serta hambatan yang terdapat dalam pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan negara dilihat dari sudut pandang Hukum Administrasi Negara. 2. Perbedaan dengan Penulisan Hukum Penulis: Dalam skripsi dengan judul Analisis Kekuatan Pembuktian Girik dan Sertipikat Dalam Pemberian Ganti Kerugian Pada Kasus Pengadaan Tanah Jalan Tol JORR, terdapat perbedaan dengan penelitian yang ditulis penulis yaitu pada obyek kajiannya sebab pada penelitian ini obyeknya lebih menekankan kekuatan sertipikat sebagai alat bukti pemilikan yang kuat kasus ganti kerugian untuk pembangunan jalan tol JORR karena terjadi permasalahan gugatan dipengadilan, sedangkan obyek penelitian yang diteliti oleh penulis pada pelaksanan dan hambatan yang terdapat dalam proses pengadaan atas tanah kaitannya dengan pengadaan tanah Fly over Jombor. Dengan demikian penulisan hukum tentang Pelaksanaan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Negara Dalam Proyek Jombor Fly Over di Kabupaten Sleman berbeda dengan penulisan hukum terdahulu walaupun terdapat obyek yang sama, tetapi penulis akan membahas penulisan hukum ini dengan sasaran kajian yang berbeda yaitu dalam sudut pandang Hukum Administrasi Negara, lokasi penelitian dan sumber datanya pun berbeda. Namun, ternyata apabila ada yang telah mengadakan penelitian tentang judul tersebut,

16 16 maka penulisan hukum ini diharapkan dapat melengkapi penulisan hukum sebelumnya. E. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian yang dihasilkan oleh peneliti diantaranya: 1. Manfaat Teoritis Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan memberikan sumbangan dalam memperbanyak referensi ilmu dibidang hukum pertanahan, khususnya mengenai pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan negara. 2. Manfaat Praktis a. Dapat memberikan jalan keluar terhadap permasalahan yang timbul/yang dihadapi dalam masalah hukum pertanahan khususnya mengenai pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan negara. b. Diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan acuan dan sumbangan bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam masalah hukum pertanahan khususnya dalam pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan negara dalam proyek Jombor Fly Over di Kabupaten Sleman.