3. KONDISI SISTEM EKOLOGI SOSIAL GUGUS PULAU SAPEKEN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "3. KONDISI SISTEM EKOLOGI SOSIAL GUGUS PULAU SAPEKEN"

Transkripsi

1 . KONDISI SISTEM EKOLOGI SOSIAL GUGUS PULAU SAPEKEN. Pendahuluan.. Latar belakang Pengenalan terhadap kondisi eksisting merupakan langkah awal dalam mengembangkan suatu kawasan pulau-pulau kecil. Kawasan pulau kecil merupakan suatu suatu sistem yang komplek, didalamnya terdapat interaksi antara sistem ekologi, sistem sosial dan sistem ekonomi. Sistem ekologi sosial (SES) merupakan konsep yang luas tentang manusia di alam (Berkes et al. 00) di mana sistem manusia dan sistem ekologi dipandang sebagai bagian yang terkait erat. Terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdayaalam, gagasan SES telah dipraktekkan selama ribuan tahun di berbagai adat masyarakat dan sumberdaya lainnya yang bergantung pada budaya, namun relatif baru bagi ilmu pengetahuan dan pengelolaan lingkungan hidup. Pada saat masyarakat, ilmuwan, dan manajer sedang mencari pendekatan untuk menanggapi perubahan lingkungan (Walker et al. 00), mempertimbangkan perlunya penerapan hubungan antara manusia dan ekosistem secara implisit untuk menerapkan permintaan sumberdaya berkelanjutan. Masyarakat yang dapat berhasil menanggapi perubahan kondisi lingkungan, menjaga fungsionalitas dan bertahan dari waktu ke waktu, menunjukkan bahwasanya masyarakat tersebut memiliki resiliensi yang tinggi (Walker et al. 004) dan ada peningkatan kesadaran yang terintegrasi pada SES sebagai salah satu komponen untuk suksesnya manajemen resiliensi (Walker et al. 00). Berbagai aspek ketahanan spasial telah dibahas dalam ekologi (Peterson 00) tetapi aspek-aspek sosial budaya nilai-nilai kemanusiaan yang berkaitan dengan proses-proses ekologi hanya sedikit dibahas. Berangkat dari hal tersebut, penilaian terhadap dinamika dalam SES timbul sebagai akibat dari heterogenitas lanskap spatiotemporal, saling ketergantungan sosial-budaya, ekonomi dan variabel biofisik. Pola permintaan, teknologi, dan permintaan sumberdaya dapat memberikan dampak balik antara masyarakat dan kontribusi sumberdaya. Terkait dengan hal tersebut penilaian keterkaitan antar sistem yang ada dalam kawasan pulau kecil diperlukan untuk menilai kondisi jasa ekosistem yang ada. Bagi pengembangan wisata di gugus Pulau Sapeken,

2 0 penilaian kondisi SES diperlukan untuk menilai pelaksanaan wisata yang dapat bermanfaat bagi masyarakat sekaligus upaya melindungi keberlanjutan ekosistem... Tujuan Sapeken Penelitian bertujuan menganalisis sistem ekologi sosial gugus Pulau. Bahan dan Metode Penelitian ini dilakukan di gugus Pulau Sapeken, Kecamatan Sapeken, Kabupaten Sumenep, berada pada posisi LS dan BT... Bahan Bahan dalam analisis sistem ekologi sosial (SES), berupa data diperoleh dengan cara melakukan pengumpulan data primer dan sekunder. Pengumpulan data sekunder diperoleh melalui proses studi literatur, dan pengumpulan hasil laporan terkait. Untuk pengumpulan data primer diperoleh melalui metode wawancara terhadap masyarakat di wilayah penelitian dengan menggunakan sarana blanko isian (kuesioner). Detail pengumpulan data, jenis data dan sumber data yang dibutuhkan dalam analisis SES sebagai berikut Tabel 5 Pengumpulan data, jenis data dan sumber data untuk analisis SES No Pengumpulan data Jenis data Sumber data. Data sekunder o Potensi desa BPS, Kab Sumenep, 00 o Profil Kecamatan Sapeken BPS, Kab Sumenep, 00 o Peta land use Bappeda Kab Sumenep, 00 o Demografi Bappeda Kab Sumenep, 00 Laporan penelitian terkait o Kondisi terumbu karang FDC, IPB Bogor, 006 o Kondisi sosial APS Sidoarjo, 008. Data primer Persepsi masyarakat o Supply jasa lingkungan Kuesioner o Demand jasa lingkungan Kuesioner o Budget jasa lingkungan Kuesioner Penarikan contoh untuk penentuan dan pemilihan responden guna mengetahui persepsi masyarakat. Penentuan jumlah responden yang diambil mengikuti rumus yang diacu dalam Hutabarat et al. (009) sebagai berikut: n ( 0 05 )... Dimana n : Jumlah contoh p : Proporsi kelompok yang akan diambil contoh q : Proporsi kelompok yang tidak terambil dalam contoh Z : Nilai ta el dari ½ α = 0 05 Z =.96 dibulatkan b : Nilai kritis (0%)

3 .. Metode Metode penilaian socio-ecological system (SES) yang dilakukan oleh beberapa stakeholder yang secara eksplisit memberikan penilaian terhadap kondisi lokasi yang sama atau berbeda (Burkhard et al. 0). Tahapan pelaksanaan penilaian sistem ekologi sosial (SES) ditampilkan pada Gambar 4. Gambar 4 Tahapan pelaksanaan penilaian sistem ekologi sosial (SES) Terdapat tiga langkah utama dalam metode penilaian SES ini. Pertama, beberapa jasa ekosistem masing-masingdiidentifikasi dan dinilai oleh berbagai stakeholder. Kedua, serangkaian matriks digunakan untuk melakukan kuantifikasidan kaitan secara berurutan antara tutupan lahan dan jasa ekosistem. Matriks ini mengorganisasikan dan mengintegraskan informasi penilaian stakeholder terhadap peranan jasa ekosistem di beberapa pulau kecil di gugus Pulau Sapeken, untuk mendapatkan suplai ekosistem dan permintaan ekosistem. Ketiga, hasil kuantifikasi terhadap status keseimbangan jasa ekosistemdiperoleh dari selisih antara nilai suplai ekosistem dan permintaan ekosistem. Kuantifikasi terhadap suplai ekosistem, permintaan ekosistem dan status keseimbangan jasa ekosistem dalam sosio ecological system (SES) beberapa pulau kecil di gugus Pulau Sapeken, sebagai berikut :

4 a. Penilaian suplai ekosistem Penilaian suplai ekosistem dilakukan dengan memberikan nilai atau skor relevansi terhadap kemampuan pulau kecil, direpresentasikan melalui tutupan lahan dalam menyediakan jasa ekosistem tertentu pada skalayang meliputi : 0 : Tidak ada relevansi : Relevan : Cukup relevan : Sangat relevan Matrik yang digunakan dalam penilaian suplai ekosistem di gugus Pulau Sapeken sebagai berikut : Terumbu Karang Mangrove Tegalan 4 Pemukiman 5 Tanah Terbuka 6 Vegetasi 7 Laut a. Estetik e. KeberlanjutanHidup 0 Tidak ada relevansi Cukup relevan Relevan Sangat relevan b. Penilaian permintaan (demand) jasa ekosistem Penilaian permintaan (demand) jasa ekosistem dilakukan dengan memberikan nilai atau skor relevansi atas permintaan manusia untuk jasa ekosistem di jenis tutupan lahan tertentu pada skalayang meliputi : 0 : Tidak ada relevansi : Relevan : Cukup relevan : Sangat relevan Matrik yang digunakan dalam penilaian permintaan (demand) jasa ekosistem gugus Pulau Sapeken sebagai berikut : Terumbu Karang Mangrove Tegalan 4 Pemukiman 5 Tanah Terbuka 6 Vegetasi 7 Laut 0 Tidak ada relevansi Cukup relevan Relevan Sangat relevan

5 c. Penilaian status keseimbangan jasa ekosistem Penilaian status keseimbangan jasa ekosistem, diperoleh dengan menggabungkan matrik suplai ekosistem (supply) dengan matrik permintaan (demand) jasa ekosistem. Setiap bidang dalam matriks penilaian status keseimbangan jasa ekosistem dihitung berdasarkan bidang yang sesuai pada suplai ekosistem (supply) dan matriks permintaan (demand). Skala berkisar dari - sampai. Tanda (-) menunjukkan permintaan (demand) melebihi pasokan (supply); 0 = keseimbangan netral, dan untuk tanda (+) menunjukkan pasokan (supply) melebihi permintaan (demand). Matrik yang digunakan dalam penilaian status keseimbangan ketersediaanjasa ekosistem gugus Pulau Sapeken sebagai berikut : Terumbu Karang Mangrove Tegalan 4 Pemukiman 5 Tanah Terbuka 6 Vegetasi 7 Laut. Hasil dan Pembahasan.. Profil umum gugus Pulau Sapeken Gugus Pulau Sapeken sebagai kumpulan dari sejumlah pulau pulau kecil, memiliki sejumlah ekosistem laut yang berpotensi untuk dikembangkan. Keberadaan ekosistem terumbu karang, lamun, mangrove dan potensi perairan yang ada, memungkinkan untuk dikembangkan sejumlah kegiatan pemanfaatan Terkait dengan upaya tersebut, pemahaman terhadap kondisi ekologi, ekonomi dan sosial kawasan gugus Pulau Sapeken diperlukan sebagai dasar penilaian awal terhadap potensi wilayah gugus Pulau Sapeken. o Kondisi Ekologi Kondisi ekologi wilayah gugus Pulau Sapeken merupakan hasil penilaian terhadap karakteristik alam dan lingkungan yang dapat memberikan manfaat terhadap kehidupan biota dan kegiatan yang ada. Penilaian terhadap mondisi ekologi tersebut meliputi kondisi iklim, parameter kualitas perairan laut,

6 4 ekosistem laut (pantai, terumbu karang, mangrove dan ikan karang) sebagai suatu sistem ekologi yang saling terkait dan mempengaruhi kegiatan ekowisata di gugus Pulau Sapeken. o Iklim Gugus Pulau Sapeken memiliki iklim laut tropis dengan sifat iklim musiman. Kondisi ini ditunjukkan dengan adanya peralihan musim, dimana musim hujan terjadi antara Oktober sampai Maret dan musim kemarau terjadi antara bulan Juni sampai September. Curah hujan yang terjadi di wilayah gugus Pulau Sapeken tidak merata dan fluktuatif tiap bulannya. Berdasarkan data yang diperoleh, rata rata curah hujan berkisar antara.479 mm/tahun (BMG 00). o Kualitas Perairan Kualitas perairan wilayah gugus Pulau Sapeken ditunjukkan oleh penilaian sejumlah parameter, yaitu parameter fisik dan kimia perairan laut. Pengamatan terhadap kondisi perairan dilakukan pada dua titik tahun yang berbeda, yaitu pada bulan Agustus 006, mewakili musim kemarau dan pada bulan Maret 0, mewakili musim hujan. Kualitas perairan pada musim kemarau mengacu pada hasil pengamatan yang dilakukan Fisheries Diving Club (FDC) IPB dalam Ekspedisi Zooxanthellae VIII. Untuk pengamatan pada musim hujan dilakukan pada saat penelitian berlangsung. Hasil pengamatan terhadap kondisi kualitas perairan di wilayah gugus Pulau Sapeken ditampilkan pada Tabel 6. Tabel 6 Hasil pengamatan kualitas perairan pada tahun 006 dan 0 No Parameter Kualitas Perairan Hasil Pengamatan Agustus 006 Maret 0 Rerata Min Mak Rerata Min Mak Suhu ( 0 C) Salinitas ( 0 / 00 ) Kecepatan arus (m / det) ph Kecerahan (m) DO (ppm) TSS Suhu Distribusi ekosistem dan spesies sangat dipengaruhi oleh suhu. Tiap ekosistem dan spesies memiliki kisaran suhu optimal bagi pertumbuhan dan perkembangannya. Salah satu ekosistem yang ada di wilayah gugus Pulau Sapeken adalah terumbu karang. Suhu optimal untuk pertumbuhan terumbu karang mempunyai nilai berkisar antara 6 0 C 0 0 C (Nybakken, 988). Kehidupan hewan karang ditentukan oleh kondisi suhu perairan sekitarnya. Hasil

7 5 pengamatan menunjukkan bahwa nilai di setiap stasiun pengamatan berkisar antara 6 0 C 9 0 C. Berdasarkan hasil tersebut dapat dikatakan bahwasanya perairan gugus Pulau Sapeken cukup baik untuk pertumbuhan terumbu karang dan biota yang hidup disekitarnya. Kedalaman perairan Gugus Pulau Sapeken pada umumnya merupakan pulau kecil yang dikelilingi terumbu karang. Kedalaman wilayah gugus Pulau Sapeken berdasarkan hasil pengamatan dan survey cepat yang dilakukan Bakosurtanal tahun 005 di tiap pulau kecil yang dijadikan subyek penelitian berkisar antara 0 0 meter. Pada kedalaman 0 meter mulai banyak ditemukan terumbu karang. Hal tersebut mengindikasikan bahwasanya wilayah gugus Pulau Sapeken dilihat dari parameter kedalaman, baik untuk pertumbuhan dan perkembangan terumbu karang sebagai salah satu ekosistem penting di kawasan pulau kecil. Kecepatan arus Kecepatan arus di wilayah gugus Pulau Sapeken berbeda pada tiap musimnya. Pada tiap musim kecepatan arus tergantung pada kecepatan angin saat musim berlangsung. Kecepatan angin pada saat musim hujan lebih tinggi dibandingkan dengan kecepatan angin pada saat musim kemarau. Kecepatan angin yang lebih tinggi pada waktu musim hujan tentunya akan membangkitkan kecepatan arus yang lebih tinggi pula. Kecepatan arus di wilayah gugus Pulau Sapeken baik pada musim hujan dan kemarau berkisar antara m / detik (Tabel 6). Kondisi tersebut sangat memungkinkan untuk dikembangkan sejumlah wisata semisal wisata selam, snorkeling dan pancing (Yulianda et al. 00). Kecerahan Kecerahan perairan hasil pengamatan pada dua titik (musim) berbeda menunjukkan, pada musim hujan kecerahan perairan rata rata pada kedalaman 4 meter, yang mengindikasikan pada kedalaman tersebut cahaya matahari masih dapat dimanfaatkan untuk proses fotosintesis. Kondisi tersebut menunjukkan bahwasanya ekosistem penting di wilayah gugus Pulau Sapeken yang ditemukan pada kedalaman 4 meter seperti lamun dan terumbu karang masih dapat tumbuh dengan baik, dengan menggunakan cahaya matahari untuk proses fotosintesis.

8 6 Salinitas ( 0 / 00 ) Gugus Pulau Sapeken memiliki rata rata salinitas.60 0 / 00 pada musim kemarau dan. 0 / 00 pada musim hujan, masih memungkinkan untuk sejumlah ekosistem dan biota di dalamnya untuk tumbuh dan berkembang. Terumbu karang sebagai ekosistem yang dominan ada di wilayah gugus Pulau Sapeken, memiliki nilai salinitas optimal berkisar antara 0 / / 00 namun karang baru dapat mentolerir kisaran salinitas antara 7 0 / / 00 (Nybakken, 988) dan kondisi salinitas yang baik bagi pertumbuhan dan dan perkembangan karang karang berkisar antara 0 0 / / 00 ph Wilayah perairan gugus Pulau Sapeken memiliki derajat keasaman atau ph yang berbeda tiap musimnya. Hasil pengamatan pada dua titik waktu (musim) menunjukkan pada musim hujan, perairan cenderung memiliki ph yang lebih tinggi berkisar antara (Tabel 6). Pada kisaran ph tersebut, perairan wilayah gugus Pulau Sapeken merupakan tempat yang baik bagi sejumlah ekosistem dan biota untuk tumbuh dan berkembang dengan baik, seperti derajat keasaman yang optimal untuk pertumbuhan terumbu karang berkisar antara serta berpengaruh terhadap komunitas biologi yang ada pada perairan tersebut DO (ppm) DO atau Dissolved Oxygen atau oksigen terlarut adalah parameter kimia perairan yang menunjukkan banyaknya oksigen yang terlarut dalam ekosistem perairan. Hasil pengamatan menunjukkan DO perairan wilayah gugus Pulau Sapeken memiliki perbedaan pada dua titik waktu (musim) pengamatan. Kisaran DO terendah terjadi pada waktu pengamatan musim kemarau 4.55 ppm 5.59 ppm (Tabel 6). Rendahnya nilai DO pada waktu pengamatan musin kemarau menunjukkan pada suhu lebih tinggi atau terjadi peningkatan suhu maka kelarutan oksigen akan semakin berkurang dan kelarutan oksigen cenderung lebih rendah daripada kadar oksigen di perairan air tawar (Effendi, 00). Total Suspended Solid (TSS) Nilai TSS (Total Suspended Solid) yang didapatkan dari dua titik waktu (musim) pengamatan menunjukkan, pada musim hujan perairan wilayah gugus Pulau Sapeken memiliki nilai TSS yang lebih tinggi dibandingkan pada saat musim kemarau. Nilai TSS tertinggi berkisar antara 0.04 mg/liter 7.95 mg/liter.

9 7 Kandungan padatan tersuspensi di wilayah perairan gugus Pulau Sapeken ini cukup layak untuk kehidupan biota laut. Nilai kandungan padatan tersuspensi yang cuku layak agi karang adalah 0 mg/liter o Ekosistem di gugus Pulau Sapeken Gugus Pulau Sapeken memiliki sejumlah ekosistem yang menjadi ciri khas sebuah pulau kecil, seperti ekosistem pantai, terumbu karang, lamun, mangrove dan sumberdaya perikanan. Keberadaan sejumlah ekosistem tersebut memberikan kontribusi penting terhadap keberlanjutan jasa ekosistem (ecosystem service) gugus Pulau Sapeken. Pantai Ekosistem pantai merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari keberadaan pulau pulau kecil yang ada di wilayah gugus Pulau Sapeken. Ekosistem pantai yang ada umumnya merupakan pantai yang landai berupa hamparan pasir putih yang memiliki lebar antara > 5 meter (FDC dan INRR 006). Penutupan lahan pantai pada pulau pulau yang ada di gugus Pulau Sapeken umumnya berupa kelapa dan pemukiman, hanya beberapa pantai pada pulau kecil penutupannya berupa hutan mangrove yaitu di Pulau Sepanjang dan Pulau Paliat. Sumber : Survey Lapang (0) Gambar 5 Kondisi dan penutupan lahan pantai pada gugus Pulau Sapeken Terumbu Karang dan Ikan Karang Terumbu karang di gugus Pulau Sapeken merupakan ekosistem yang paling memegang peranan penting dalam keberlanjutan kehidupan yang ada di dalamnya. Kondisi terumbu karang di sekitar perairan wilayah gugus Pulau Sapeken umumnya dalam kondisi baik. Prosentase penutupan karang berkisar antara 50 % - 74 % (FDC - INRR 006). Lebih lanjut dijelaskan rata rata tutupan substrat dasar di dominasi oleh karang keras (HC), abiotik (pasir, batu

10 8 dan patahan karang), karang mati beralga (DCA) dan karang lunak (SC). Terdapat hampir 6 genera karang yang ditemukan di perairan gugus Pulau Sapeken. Genera karang karang terkecil terdapat di Pulau Paliat sebanyak 8 genera. Sumber :KEI, (006) Gambar 6 Bentuk pertumbuhan terumbu karang pada gugus Pulau Sapeken Mangrove Ekosistem mangrove merupakan ekosistem yang tidak dijumpai pada semua pulau pulau kecil yang ada di gugus Pulau Sapeken. Ekosistem mangrove pada luasan yang besar hanya dijumpai di Pulau Sepanjang, Pulau Paliat dan Pulau Sapangkur. Lebih lanjut dijelaskan jenis mangrove terbanyak terdapat di Pulau Sepanjang, yaitu sebesar 6 jenis, jenis di antaranya dikategorikan sebagai jenis - jenis mangrove langka berdasarkan ketetapan IUCN dengan status kelangkaan terkikis (LR) sampai kritis (CR), seperti Bruguiera gymnorrhiza Xylocarpus moluccensis, Lumnitzera littorea, Bruguiera parviflora, Heritiera littoralis dan Sesuvium portulacastrum (Suharjono 007). Sumber : Survey Lapang (0) Gambar 7 Ekosistem mangrove pada gugus Pulau Sapeken

11 9 Lamun Ekosistem lamun merupakan ekosistem perairan yang ditumbuhi oleh lamun sebagai vegetasi yang dominan (Wimbaningrum 00). Terdapat sejumlah pulau kecil dalam wilayah perairan gugus Pulau Sapeken yang memiliki ekosistem lamun, seperti Pulau Sepanjang dan Pulau Sapangkur. Keberadaan ekosistem lamun pada wilayah perairan gugus Pulau Sapeken banyak ditentukan oleh faktor lingkungan yang sesuai seperti suhu, salinitas, arus dan kedalaman. Kisaran suhu wilayah gugus Pulau Sapeken pada bulan kemarau dan hujan berkisar antara 6.5 C C (Tabel 6). Kisaran suhu tersebut masih berada pada kisaran suhu optimal (8 C 0 C) bagi perkembangan lamun (Berwick, 98). Demikian pula kisaran salinitas yang ada di perairan wilayah gugus Pulau Sapeken berada pada rentang kisaran salinitas yang baik bagi pertumbuhan lamun sebesar 0 0 / / 00 (Dahuri et al. 996) Sumber : Survey Lapang (0) Gambar 8 Ekosistem lamun pada gugus Pulau Sapeken b. Kondisi Ekonomi Gugus Pulau Sapeken secara administrasi terbagi menjadi 9 desa, memiliki penduduk sebesar 4.78 jiwa. Berdasarkan data yang dikeluarkan Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Sumenep Tahun 00 menyebutkan sektor penggerak perekonomian di wilayah Kecamatan Sapeken meliputi sektor energi dan pertambangan, perikanan, pertanian tanaman pangan serta kehutanan dan perkebunan. Mata pencaharian utama penduduk pada di gugus wilayah Pulau Sapeken adalah nelayan dan petani, selainnya memiliki mata pencaharian sebagai pedagang, jasa angkutan, pegawai pemerintahan maupun bekerja pada pertambangan minyak. Sektor yang memiliki potensi untuk dikembangkan adalah sektor perikanan, meliputi perikanan tangkap dan perikanan budidaya.

12 40 Produk perikanan tangkapan yang dihasilkan berupa ikan karang, ikan hias, layang, kepiting, dan kerang. Armada tangkap yang digunakan berupa perahu bermotor sebesar.859 unit dan tidak bermotor sebesar. unit yang terdapat di seluruh desa di wilayah gugus Pulau Sapeken (DKP Sumenep 00). Kondisi tersebut menunjukkan bahwasanya pada wilayah gugus Pulau Sapeken permintaan mesin sudah biasa digunakan untuk meningkatkan hasil tangkapan. Tabel 7 Jumlah sarana penangkapan di Kecamatan Sapeken No Desa Perahu Bermotor Tidak Bermotor Jumlah Sabuntan Paliat 8 75 Sapeken 949 9,88 4 Sasiil Sepanjang Tanjungakiaok Pagerungan Kecil Pagerungan Besar Sakala Jumlah,859, 4,08 Sumber : DKP Kabupaten Sumenep 00 Nelayan di Kecamatan Sapeken masih menggunakan metode pengambilan sumberdaya ikan secara tradisional dengan menggunakan alat pancing dan perahu dengan memanfaatkan angin untuk bergerak namun terkadang terdapat perahu yang menggunakan mesin sebagai alat penggerak utamanya. Kegiatan memancing ini hasil yang didapat cukup untuk konsumsi sendiri, namun jika jenis ikan yang didapat memiliki nilai ekonomi tinggi dapat dijual ke pengepul untuk menambah penghasilan. Perdagangan produk hasil perikanan yang berasal dari wilayah gugus Pulau Sapeken terkonsentrasi di Pulau Sapeken sebagai sentra perdagangan. Produk hasil perikanan tersebut selanjutnya diperdagangkan di luar wilayah gugus Pulau Sapeken seperti Probolinggo, Banyuwangi dan Bali. Pelabuhan Sapeken inilah yang digunakan masyarakat melalui transportasi laut untuk melakukan transaksi perdagangan antar wilayah untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Permintaan transportasi laut dalam transaksi perdagangan antar wilayah sangat tergantung pada kondisi cuaca. Gangguan cuaca akan menyebabkan aktifitas pelayaran yang berpengaruh terhadap distribusi barang kebutuhan masyarakat. Kondisi tersebut menyebabkan transaksi perdagangan dan kegiatan ekonomi menjadi terganggu, pertukaran barang dan jasa menjadi tersendat, baik barang dan jasa yang berasal dari kepulauan maupun yang berasal dari luar. Kondisi tersebut seringkali membuat masyarakat kepulauan harus berhemat dalam menggunakan barang kebutuhan pokok sebagai dampak

13 4 karena keterbatasan suplai barang dan semakin tingginya harga barang kebutuhan. Sumber : Survey Lapang (0) Gambar 9 Alat tangkap yang digunakan pada wilayah gugus Pulau Sapeken c. Kondisi Sosial Gugus Pulau Sapeken terdiri dari sejumlah pulau kecil yang ada di dalamnya memiliki sejumlah keunikan. Salah satunya adalah budaya. Keunikan budaya tersebut berasal dari sejumlah suku yang ada di wilayah gugus Pulau Sapeken seperti Suku. Bajo, Suku Mandar, Suku Bugis, Suku Bali dan Suku Madura. Terdapat lima bahasa yang digunakan masyarakat pada wilayah gugus Pulau Sapeken sehari-hari, yaitu bahasa Indonesia, Bajo, Bugis, Makassar dan Mandu (semuanya Sulawesi), hanya sejumlah orang saja yang bisa bahasa Madura. Keragaman suku yang ada menjadikan penduduk pada gugus Pulau Sapeken lebih terbuka dalam menerima budaya lain. Keunikan budaya di gugus Pulau Sapeken terlihat dari bentuk rumah panggung penduduk yang khas. Roma Tenggi merupakan rumah tradisional yang dirancang sedemikian rupa untuk mencegah masuknya air laut waktu pasang. Status pemilik rumah tinggi dibedakan dari Tembak Layar, atau bentuk atap rumah. Untuk masyarakat dengan status social tinggi biasanya memiliki memiliki dua hingga tiga tingkat tembak layar, sedangkan rakyat biasa umumnya memiliki satu tembak layar saja.

14 4 Sumber : Survey Lapang (0) Gambar 0 Roma Tenggi, rumah tradisonal suku Bajo di gugus Pulau Sapeken Keberadaan sarana prasarana pada wilayah gugus Pulau Sapeken merupakan salah satu hal yang perlu dibenahi dalam pengembangan kegiatan ekowisata, selain peninggalan berupa budaya. Jumlah dan kondisi sarana prasarana yang ada, belum mencukupi kebutuhan masyarakat yang ada. Berikut kondisi sarana prasarana kewilayahan yang ada pada gugus Pulau Sapeken : o Infrastruktur perhubungan dan transportasi Sarana perhubungan dan transportasi merupakan faktor yang berpengaruh bagi wilayah yang bersifat insular dan remoteness. Ketersediaan sarana dan prasarana perhubungan baik berupa jalan, darmaga, dan sarana angkutan akan mempermudah akses bagi masuknya barang dan jasa pada gusus Pulau Sapeken. Berdasarkan data Bappeda Kabupaten Sumenep (00) Kecamatan Sapeken memiliki panjang jalan darat secara keseluruhan sepanjang 9,4 km dengan kondisi jalan rusak 9,5 %. Sarana transportasi antar pulau banyak menggunakan perahu bermotor dan sarana angkutan darat didominasi oleh sepeda motor, mobil jarang ditemui di beberapa pulau pada wilayah gugus Pulau Sapeken. Sarana perhubungan lain yang terdapat di Kecamatan Sapeken adalah dermaga / pelabuhan. Keberadaan dermaga / pelabuhan sangat diperlukan mengingat jalur transportasi laut merupakan jalur utama yang menghubungkan wilayah gugus Pulau Sapeken dengan wilayah di sekitarnya. Tidak semua pulau kecil yang ada di gugus Pulau Sapeken memiliki dermaga / pelabuhan. Dermaga / pelabuhan hanya terdapat di Pulau Sapeken, Pegerungan Kecil dan Pagerungan Besar, Sabunten, Paliat, Sasiil, Sepanjang dan Sakala. Untuk sarana perhubungan bandara udara, hanya ditemui di Pulau Pagerungan Besar sebagai tempat beroperasinya eksploitasi migas milik perusahaan Kangean

15 4 Energy Indonesia Ltd (KEI). Keberadaan bandara tersebut hanya digunakan sebagai pendukung kegiatan eksploitasi perusahaan dan tidak dibuka untuk penerbangan umum. o Infrastruktur listrik Masyarakat pada wilayah Pulau Sapeken belum seluruhnya dapat menikmati listrik. Pada umumnya kebutuhan listrik untuk penerangan dibeberapa pulau-pulau kecil pada wilayah gugus Pulau Sapeken diperoleh dari generator. Listrik untuk penerangan yang berasal PLN hanya terdapat di Pulau Sapeken. Layanan tersebut hanya bisa dinikmati selama jam, mulai jam 5 sore sampai jam 5 pagi. Perbedaan ketersediaan sarana penerangan di tiap pulau ini menjadikan pada saat malam hari aktifitas ekonomi dan hiburan di Pulau Sapeken, Pagerungan Kecil dan Pegerungan Besar lebih ramai dibandingkan pulau disekitarnya. Khusus untuk Pulau Sapeken, ketersediaan sarana penerangan ini menjadi salah satu faktor Pulau Sapeken sebagai sentra distribusi barang dan jasa bagi pulau pulau kecil disekitarnya. Tabel 8 Jumlah rumah tangga pelanggan listrik di Kecamatan Sapeken No Desa Listrik PLN Non PLN Sabuntan 9 Paliat 8 Sepeken Sasiil 68 5 Sepanjang 76 6 Tanjungkiaok 69 7 Pagerungan Kecil 5 8 Pagerungan Besar 48 9 Sakala 49 Jumlah 98,59 Sumber : Kecamatan Sapeken Dalam Angka 00 Pulau pulau kecil lainnya, umumnya pemenuhan kebutuhan listrik berasal dari generator (non PLN). Tidak semua masyarakat di luar pulau Sapeken memiliki generator, hanya beberapa KK yang menyediakan generator dan hanya menyala selama jam dari jam 6 sore sampai jam 9 malam. Untuk Pulau Pagerungan Besar dan Pulau Pagerungan Kecil, kebutuhan listrik masyarakat dibantu oleh perusahaan Kangean Energy Imdonesia (KEI), meski terbatas pada beberapa tempat.

16 44 o Infrastruktur telekomunikasi Konsekuensi dari letak pulau-pulau kecil yang terpisah dari mainland dan terisolasi membuat tersedianya sarana komunikasi amat diperlukan. Ketersediaan sarana telekomunikasi pada wilayah gugus Pulau Sapeken diperlukan untuk membuka akses informasi dari luar. Saat ini ketersediaan sarana telekomunikasi pada wilayah gugus Pulau Sapeken hanya terdapat di Pulau Sapeken, meliputi kantor pos, kantor telekomunikasi (Telkom), tower Telkomsel, tower Indosat dan tower XL. Sumber : Survey Lapang (0) Gambar Sarana telekomunikasi pada wilayah gugus Pulau Sapeken o Infrastruktur air bersih Ketersediaan air bersih merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terhadap keberlanjutan kehidupan di sebuah pulau kecil. Pada gugus Pulau Sapeken, kebutuhan air bersih sangat tergantung dari air hujan dan sumur yang ada, hanya di Pulau Sapeken yang mendapat layanan PAM. Di saat tertentu, pada musim kemarau, ketersediaan air bersih di sejumlah pulau pada gugus Pulau Sapeken tidak mampu mencukupi kebutuhan penduduk yang ada. Tidak jarang, masyarakat setempat untuk memenuhi kebutuhan air bersih mendatangkan dari mainland sekitarnya seperti Sumenep dan Banyuwangi.

17 45 Tabel 9 Jumlah rumah tangga berdasarkan permintaan air di Kecamatan Sapeken No Desa Sumber air PAM / Ledeng Sumur Mata air / lainnya Sabuntan 4 Paliat 7 Sepeken Sasiil 5 Sepanjang 4 6 Tanjungkiaok 8 7 Pagerungan Kecil 45 8 Pagerungan Besar 44 9 Sakala Jumlah 8 04 Sumber : Kecamatan Sapeken Dalam Angka 00 o Infrastruktur pendidikan Pengembangan pulau kecil tidak terlepas dari upaya untuk peningkatan dan pengembangan sumberdaya manusia. Terkait dengan hal tersebut ketersediaan sarana pendidikan sangat diperlukan. Pada wilayah gugus Pulau Sapeken ketersediaan sarana pendidikan cukup lengkap (Tabel 4), mulai taman kanak kanak (TK) sampai sekolah menengah tingkat atas. Kondisi ini merupakan indikator bahwasanya masyarakat di gugus Pulau Sapeken menyadari arti penting pendidikan. Ketersediaan sarana pendidikan yang cukup merata juga akan berpengaruh terhadap pola pikir masyarakat lokal sehingga dapat menerima perubahan tanpa meninggalkan nilai nilai tradisi yang telah ada. Lebih lanjut keberadaan Madrasah Aliyah (MA) setingkat sekolah lanjutan tingkat atas, yang dibangun atas partisipasi masyarakat merupakan bentuk kepedulian terhadap pendidikan di wilayah gugus Pulau Sapeken. Tabel 0 Sarana pendidikan di gugus Pulau Sapeken No Desa TK SD SMP MI MTs MA Sabunten 4-5 Paliat Sapeken Sasiil Sepanjang Tanjungkiaok Pagerungan Kecil 6-8 Pagerungan Besar 4-9 Sakala - - Jumlah Sumber : Kecamatan Sapeken Dalam Angka 00

18 46 o Infrastruktur kesehatan Sarana kesehatan di Kecamatan Sapeken terdiri dari Puskesmas, Puskesmas pembantu dan Polindes. Keberadaan sarana kesehatan amat berperan dalam meningkatkan kesehatan masyarakat terutama menanggulangi untuk sejumlah penyakit tertentu. Pada tahun 009 di beberapa pulau kecil, terserang wabah penyakit muntaber. Keterbatasan sarana kesehatan menyebabkan jatuhnya korban akibat penyakit tersebut. Untuk itu penyediaan sarana kesehatan yang cukup dan memadai diperlukan untuk menjamin kesehatan masyarakat di gugus Pulau Sapeken. Tabel Sarana kesehatan di gugus Pulau Sapeken No Desa Puskesmas Puskesmas Pembantu Polindes Sabunten - Paliat - - Sapeken - 4 Sasiil - 5 Sepanjang - 6 Tanjungkiaok Pagerungan Kecil - 8 Pagerungan Besar - 9 Sakala - - Jumlah 7 9 Sumber : Kecamatan Sapeken Dalam Angka 00.. Kondisi sistem ekologi sosial gugus Pulau Sapeken Ekosistem memiliki fungsi salah satunya sebagai penyedia barang dan jasa bagi manusia. Pasokan beberapa barang dan jasa yang dihasilkan ekosistem harus sesuai dengan kebutuhan individu guna mencapai keberlanjutan pemanfaatan jasa ekosistem. Interaksi tersebut dapat lebih dipahami dalam konteks yang kompleks dan adaptif melalui pendekatan socio-ecology system, di mana terdapat interaksi yang kuat antara ekosistem dan masyarakat (Gunderson and Holling 00). Pendekatan yang dapat digunakan untuk menilai kondisi socio ecological system (SES) sebagai pendekatan baru secara kualitatif, dilakukan melalui penilaian individu dalam bentuk matrik keterkaitan terhadap kondisi ekologi, sosial dan ekonomi. Penilaian tersebut berisikan suplai jasa ekosistem (supply); permintaan jasa ekosistem (demand); dan ketersediaan (budgets) jasa ekosistem. Terkait dengan pengembangan kegiatan ekowisata di wilayah gugus Pulau Sapeken, hasil analisis socio ecological tourism based system (SES) yang dilakukan antara lain :

19 47.. Suplai Jasa Ekosistem Suplai jasa ekosistem mengacu pada suplai dari wilayah tertentu untuk menyediakan sebuah paket tertentu dari barang dan jasa ekosistem dalam jangka waktu tertentu.di sini,suplai jasa ekosistem mengacu pada pemahaman permintaan dan pengelolaan sumberdaya alam bagi kegiatan ekowisata. Berangkat dari pemahaman tersebut suplai ekosistem yang direpresentasikan melalui tipe permintaan lahan di wilayah gugus Pulau Sapeken, memiliki fungsi berbeda berdasarkan struktur dan proses yang ada. Kondisi tersebut menjadikan, suplai ekosistem untuk menyediakan jasa ekosistem tertentu yang digunakan dapat sangat bervariasi. Lebih lanjut dijelaskan bahwasanya suplai ekosistem untuk memasok jasa sangat terkait dengan (a) kondisi alam, misalnya tutupan lahan alami (vegetasi), hidrologi, kondisi tanah, fauna, elevasi, kemiringan dan iklim; serta (b) dampak manusia; terutama permintaan lahan emisi, polusi dan lainnya (Burkharda et al. 0). Adapun hasil penilaian terhadap suplai jasa ekosistem yang ada di pulau pulau kecil dalam wilayah gugus Pulau Sapeken (Tabel 8). Tabel Suplai jasa ekosistem di Pulau Pagerungan Besar Terumbu Karang Mangrove 0 Tegalan Pemukiman Tanah Terbuka Vegetasi 7 Laut 0 Tidak ada relevansi Cukup relevan Relevan Sangat relevan Tabel Suplai jasa ekosistem di Pulau Pagerungan Kecil Terumbu Karang Tegalan Pemukiman Tanah Terbuka Vegetasi 0 6 Laut 0 Tidak ada relevansi Cukup relevan Relevan Sangat relevan

20 48 Tabel 4 Suplai jasa ekosistem di Pulau Paliat Terumbu Karang Mangrove Tegalam Pemukiman Tanah Terbuka Vegetasi 7 Laut Tabel 5 Suplai jasa ekosistem di Pulau Sapangkur Terumbu Karang Mangrove Tegalam Pemukiman Tanah Terbuka Vegetasi 0 7 Laut Tabel 6 Suplai jasa ekosistem di Pulau Sapeken Terumbu Karang Tegalan Pemukiman Tanah Terbuka Vegetasi Laut Tidak ada relevansi Cukup relevan Relevan Sangat relevan Tidak ada relevansi Cukup relevan Relevan Sangat relevan Tidak ada relevansi Cukup relevan Relevan Sangat relevan

21 49 Tabel 7 Suplai jasa ekosistem di Pulau Saor Terumbu Karang Tegalam Pemukiman Tanah Terbuka Vegetasi Laut Tabel 8 Suplai jasa ekosistem di Pulau Sepanjang Terumbu Karang Mangrove Tegalam Pemukiman Tanah Terbuka Vegetasi 0 7 Laut 0 0 Tidak ada relevansi Cukup relevan Relevan Sangat relevan Tidak ada relevansi Cukup relevan Relevan Sangat relevan Jasa ekosistem adalah proses ekologi dan mekanisme yang menghasilkan kondisi yang memenuhi dan mempertahankan kehidupan manusia (Daily 997). Jasa ekosistem pulau kecil dapat dikategorikan menjadi tiga bagian yaitu sebagai penghasil sumberdaya alam; sebagai pengatur iklim global, siklus hidrologi, dan biogeokimia; penyedia nilai nilai sosial berupa spiritual, estetika, pendidikan dan rekreasi (MEA 005), sehingga dalam pemanfaatannya harus seimbang dengan upaya konservasi dan kelestariannya sehingga tercipta pemanfaatan yang optimal dan berkelanjutan. Penyediaan jasa ekosistem sendiri mengacu pada suplai tertentu dari suatu wilayah dalam menyediakan barang dan jasa tertentu dalam jangka waktu tertentu pula. Kondisi tersebut sangat tergantung pada adanya intervensi manusia dalam menentukan penyediaan jasa ekosistem. Intervensi manusia yang dimaksud disini berupa permintaan lahan. Permintaan lahan berpengaruh terhadap tutupan lahan yang ada di pulau kecil semisal terumbu karang, mangrove, vegetasi, laut dan lainnya.

22 50 Penyediaan jasa ekosistem berdasarkan hasil penilaian yang dilakukan masyarakat gugus Pulau Sapeken (Tabel sampai Tabel 8) menunjukkan tipe tutupan (natural capital asset) yang memiliki Suplai jasa ekosistem terbesar di gugus Pulau Sapeken, adalah laut, kecuali Pulau Sepanjang yang memiliki Suplai jasa ekosistem terbesar adalah tipe tutupan berupa mangrove. Untuk Suplai jasa ekosistem terendah di gugus Pulau Sapeken adalah tipe tutupan berupa tegalan, tanah terbuka dan pemukiman. Bagi sebuah pulau kecil, keberadaan ekosistem laut sangat berpengaruh dalam menunjang kesejahteraan yang ada disana. Kondisi ini sangat memungkinkan mengingat, luas laut lebih besar dibandingkan luas daratan; pulau kecil dikelilingi oleh perairan (ekosistem laut); penyedia sumberdaya perikanan dan; penghubung antar pulau kecil atau dengan mainland. Lebih lanjut dijelaskan MEA (005), jasa yang dimiliki ekosistem laut terbagi menjadi 4 ketegori yaitu : Provisioning services (jasa ekosistem laut yang dapat secara langsung dimanfaatkan, seperti penghasil sumberdaya perikanan, mangrove, terumbu karang dan lainnya); Regulating services (jasa ekosistem laut terkait dengan pengaturan iklim, penyerapan dan penyimpanan karbon alami, penyerapan limbah dan pengendalian biologis); Cultural services (jasa ekosistem laut terkait dengan manfaat non materi yang dapat diperoleh berupa pemandangan indah, nilai estetik dan nilai spiritual); dan Supporting services (jasa ekosistem laut dalam mendukung keberlanjutan jasa ekosistem lainnya) Keberadaan jasa jasa ekosistem laut (provisioning service) yang dimiliki terkait dengan kondisi sosial yang ada di wilayah gugus Pulau Sapeken misal mata pencaharian. Mata pencaharian masyarakat di wilayah gugus Pulau Sapeken bergerak dibidang perikanan.khusus untuk bidang perikanan, potensi yang dimiliki Kecamatan Sapeken meliputi penangkapan ikan di laut, budidaya, perdagangan dan pengolahan. Hasil penangkapan ikan di wilayah gugus Pulau Sapeken lantara lain ikan karang, ikan hias, layang, kepiting, dan kerang. Usaha penangkapan ikan didukung oleh armada tangkap berupa perahu bermotor.99 unit yang terdapat di seluruh desa dan tidak bermotor.4 unit (Bappeda 00). Lebih lanjut, dalam perencanaan kegiatan ekowisata, ekosistem laut di wilayah gugus Pulau Sapeken memiliki suplai cultural services yang tergolong tinggi. Kondisi ini dapat dilihat dari belum adanya kegiatan pemanfaatan terhadap cultural service yang dimiliki melalui aktifitas diving, snorkeling dan rekreasi pantai. Padahal berdasarkan hasil laporan ilmiah Ekspedisi Zooxanthellae VIII,

23 5 FDC-IPB, gugus wilayah Pulau Sapeken memiliki sejumlah daya tarik wisata laut seperti terumbu karang (didominasi famili Acroporidae, genera Acropora dan Montipora) beserta ikan karang didalamnya (4 spesies yang termasuk dalam 96 genus dan famili). Suplai ekosistem terendah yang ada di wilayah gugus Pulau Sapeken adalah tipe tutupan berupa tegalan, tanah terbuka dan pemukiman. Rendahnya suplai ekosistem ke tiga tipe tutupan banyak dipengaruhi oleh keterbatasan yang dimiliki oleh pulau pulau kecil yang ada di wilayah gugus Pulau Sapeken. Wilayah pulau kecil pulau kecil secara karakteristik merupakan tempat yang baik dalam menilai keterkaitan antara ekologi dan sosial (Vogiatzakis et al.008). Pulau-pulau kecil bersifat insular memiliki beberapa keterbatasan seperti lokasi yang terpencil (remoteness), sumber daya yang terbatas (limited resources), ketergantungan pada pasokan dari luar yang tinggi (high dependence on imports), biaya transportasi yang tinggi (high transportation costs), dan rentan terhadap bencana alam (susceptibility to natural disasters) (MEA 005; Vogiatzakis et al. 008). Wilayah pulau-pulau keciljuga ditandai dengan ukuran fisik yang terbatas, pada umumnya terbatas sumber daya alam, kerentanan tinggi terhadap perubahan iklim dan bencana alam, dan relatif berkurang pasokan air bersih yang terbatas, dan tergantung pada perubahan permukaan laut. Meskipun insularitas semakin tinggi terkait dengan kondisi geografis, sosialekonomi,dan isolasi politik (Granger 99), faktor sosial-budaya lebih memegang peranan lebih penting dalam menentukan karakteristik dari insularitas pulau kecil (MEA 005). Lebih lanjut dijelaskan pulau pulau kecil juga menjadikan masyarakat yang ada di dalamnya memiliki kesadaran akan pentingnya keberadaan pulau kecil dan perairan laut yang mengelilinginya baik secara fisik maupun budaya. Mengacu pada hal tersebut diatas, terdapat satu hal yang perlu di garis bawahi adalah wilayah pulau kecil memiliki sumberdaya yang terbatas (limited resources) terutama sumberdaya lahan. Hal tersebut menunjukkan rendahnya Suplai jasa ekosistem terhadap pemanfaatan untuk pemukiman, tegalan dan tanah terbuka. Batasan untuk pemanfaatan pulau pulau kecil berbasis konservasi, maka pulau kecil dengan ukuran kurang dari atau sama dengan.000 km hendaknya berjumlah penduduk kurang dari atau sama dengan orang (DKP 00). Luas pulau pulau kecil di wilayah gugus Pulau Sapeken semuanya diatas.000 km dengan pulau terluas adalah Pulau

24 5 Sepanjang seluas km dan terkecil adalah Pulau Pagerungan Kecil dengan luas.755 km. Meskipun memiliki luas terkecil dibandingkan pulau lainnya (Pulau Pagerungan Besar, Pulau Paliat, Pulau Sapangkur, Pulau Sapeken, Pulau Saor dan Pulau Sepanjang), Pulau Pagerungan Kecil memiliki kepadatan penduduk terbesar yaitu jiwa/km. Kebutuhan akan ruang (berupa tegalan dan lahan terbuka) bagi masyarakat di wilayah gugus Pulau Sapeken juga diperlukan dalam melakukan sejumlah aktifitas guna pemenuhan kebutuhan hidup dasar (makanan), seperti bertani dan berkebun. Kondisi ini akan menambah tekanan terhadap ecosystem servicedi gugus Pulau Sapeken. Hubungan antara masyarakat (societal) dan tempat dapat juga terkait dengan makna atau nilai-nilai negatif (Manzo 005). Nilai negatif sering dikaitkan dengan aktifitas yang dapat mengurangi atau memperburuk terhadap jasa ekosistem tertentu. Lebih lanjut dijelaskan bahwasanya dampak aktifitas manusia terhadap jasa ekosistem merupakan bagian dari socio ecological system sehingga perlu dipertimbangkan dalam upaya pengelolaan lingkungan (Folke 006). Tabel 9 Jenis permintaan lahan kering (Ha) No Desa Bangunan Halaman Sekitarnya Tegal, Kebun Ladang Sabunten Paliat Sapeken 5.00, Sasiil Sepanjang 5.00, Tanjungkiaok Pagerungan Kecil Pagerungan Besar Sakala Jumlah ,0.67 Sumber : Kecamatan Sapeken Dalam Angka, 00 Pertimbangan tersebut diperlukan, mengingat pulau-pulau kecil merupakan ekosistem yang sangat unik dan rentan serta mendukung budaya dan lanskap yang khas. Keterbatasan ukuran yang dimiliki pulau pulau kecil bagaimanapun membatasi perkembangan dan pilihan hidup masyarakat serta berpengaruh terhadap lingkungan, khususnya untuk jasa ekosistem (ecosystem service). Kondisi ini menjelaskan bahwasanya selain modal alam (ecology) yang diperlukan dalam pembangunan ekonomi (Gomez-Baggethun et al. 00), modal sosial juga telah dianggap sebagai sumber potensial (Roseta-Palma et al. 00), karena modal sosial berpengaruh terhadap efisiensi komunitas dalam memanfaatkan sumberdaya (human well-being)

25 5..4 Permintaan (Demand) Permintaan Jasa Ekosistem Permintaan jasa ekosistem adalah jumlah dari semua barang dan jasa ekosistem saat ini dikonsumsi atau digunakan di daerah tertentu selama periode waktu tertentu. Pola pola penyediaan jasa ekosistem ini adalah bagian dari supply ekosistem, berkaitan erat dengan konsep rekam jejak ekologi (Rees 99) diperlukan untuk menghitung daerah yang menghasilkan jasa ekosistem tertentu yang dibutuhkan oleh manusia di daerah dan dalam waktu tertentu. Lebih lanjut dijelaskan, harus adapermintaan tertentu oleh individu untuk menggunakan suatu jasa ekosistem tertentu (Fisher et al. 009). Berdasarkan pendekatan tersebut jasa ekosistem yang dibutuhkan dalam pengembangan ekowisata di wilayah gugus Pulau Sapeken meliputi nilai estetik, biodiversitas, budaya, keberlanjutan hidup, pembelajaran, rekreasi dan spirituallebih lanjut hasil penilaian terhadap permintaan penggunan jasa ekosistem di wilayah gugus Pulau Sapeken menunjukkan pola kondisi alam yang berbeda pada tiap tipe tutupan lahan berpengaruh terhadap permintaan permintaan jasa ekosistem. Berikut hasil analisa terhadap permintaan penggunan jasa ekosistem pulau pulau kecil di wilayah gugus Pulau Sapeken. Tabel 0 Permintaan jasa ekosistem di Pulau Pagerungan Besar Terumbu Karang 0 Mangrove 0 0 Tegalam Pemukiman Tanah Terbuka Vegetasi 0 7 Laut 0 Tidak ada relevansi Cukup relevan Relevan Sangat relevan

26 54 Tabel Permintaan jasa ekosistem di Pulau Pagerungan Kecil Terumbu Karang 0 Tegalam Pemukiman Tanah Terbuka Vegetasi 0 7 Laut Tabel Permintaan jasa ekosistem di Pulau Paliat Terumbu Karang 0 Mangrove Tegalam Pemukiman Tanah Terbuka Vegetasi 7 Laut 0 0 Tidak ada relevansi Cukup relevan Relevan Sangat relevan Tidak ada relevansi Cukup relevan Relevan Sangat relevan Tabel Permintaan jasa ekosistem di Pulau Sapangkur Terumbu Karang Mangrove 0 0 Tegalam Pemukiman Tanah Terbuka Vegetasi Laut 0 Tidak ada relevansi Cukup relevan Relevan Sangat relevan

27 55 Tabel 4 Permintaan jasa ekosistem di Pulau Sapeken Terumbu Karang Tegalam Pemukiman Tanah Terbuka Vegetasi Laut 0 Tidak ada relevansi Cukup relevan Relevan Sangat relevan Tabel 5 Permintaan jasa ekosistem di Pulau Saor Terumbu Karang Tegalan 0 Pemukiman Tanah Terbuka Vegetasi 0 6 Laut Tabel 6 Permintaan jasa ekosistem di Pulau Sepanjang Terumbu Karang Mangrove Tegalan Pemukiman Tanah Terbuka Vegetasi Laut 0 0 Tidak ada relevansi Cukup relevan Relevan Sangat relevan Tidak ada relevansi Cukup relevan Relevan Sangat relevan Kesejahteraan manusia terkait erat dengan penyediaan barang dan jasa (goods and service) dari ekosistem yang beragam di seluruh wilayah bioclimatic. Permintaan hasil ekosistem oleh manusia disesuaikan dengan dengan pola spasial dan perubahan sumber daya serta socio ecological system (Bennett et al. 009). Seiring dengan pertumbuhan populasi manusia dan pembangunan, tekanan terhadap sumberdaya utama di pulau kecil (misalnya pantai, mangrove,

28 56 terumbu karang, lamun) semakin meningkat terkait dengan pemenuhan hidup manusia yang ada (islander). Permintaan hasil ekosistem oleh masyarakat di wilayah gugus Pulau Sapeken menunjukkan bahwasanya permintaan permintaan (demand) jasa ekosistem terbesar di gugus Pulau Sapeken, adalah laut, kecuali Pulau Sepanjang yang memiliki permintaan permintaan (demand) jasa ekosistem terbesar adalah tipe tutupan berupa mangrove. Untuk permintaan permintaan (demand) jasa ekosistem terendah di gugus Pulau Sapeken adalah tipe tutupan berupa tegalan, tanah terbuka dan pemukiman (Tabel 0 sampai Tabel 6). Laut yang ada di wilayah gugus Pulau Sapeken memiliki suatu system yang terdiri dari beberapa sistem dengan karakteristik tertentu seperti ekosistem terumbu karang, mangrove, lamun dan sumberdaya perikanan. Interaksi antar ekosistem-ekosistem inimembentuk suatu keseimbangan lingkungan laut. Ekosistem laut sendiri relatif memiliki tingkat sensitifitas yang lebih terhadap adanya perubahan baik yang diakibatkan oleh fenomena alam maupun kegiatan manusia. Kondisi ini menyebabkan ekosistem laut selalu berupaya mencari keseimbangan baru terhadap adanya perubahan. Tingginya permintaan permintaan terhadap jasa ekosistem laut di wilayah gugus Pulau Sapeken dipengaruhi oleh keragaman sumberdaya dan manfaat dari ekosistem laut. Salah satu sumberdaya yang memiliki keragaman tinggi adalah sumberdaya perikanan terutama ikan karang. Tercatat lebih dari 6 spesies dengan kelimpahan spesies Pomacentrus alexanderae, Dascyllus reticulatus dan Dascyllus aruanus dengan dengan jumlah mencapai ratusan. Melimpahnya ikan dari famili Pomacentridae yang bervariasi di terumbu karang dan ditemukannya spesies ikan karang Koralivora dari famili Chaetodontidae (FDC-IPB dan INNR 006). Keragaman sumberdaya pada ekosistem laut di gugus wilayah Pulau Sapeken berpengaruh terhadap kehidupan sosial budaya masyarakat. Perkembangan sosial budaya secara langsung dan tidak langsung dipengaruhi oleh faktor alam. Perkembangan selanjutnya memberikan karakteristik dalam aktifitas manusia untuk mengelola dan memanfaatkan sumberdaya perikanan, meskipun juga terdapat masyarakat di gugus Pulau Sapeken memiliki mata pencaharian selain memanfaatkan sumberdaya perikanan. Demikian pula, pada masyarakat pulau (islander) dalam memanfaatkan laut sebagai lahan mata pencaharian utama, menunjukkan poladan karakter yang berbeda dari kawasan

29 57 perairan pulau satu ke kawasan pulau lainnya. Adat istiadat suku yang bermukim di wilayah gugus Pulau Sapeken sangat beragam pula. Masyarakat di wilayah gugus Pulau Sapeken merupakan percampuran antara suku Bajo dan Madura. Adat istiadat yang ada di suatu kawasan dipengaruhi oleh kondisi jasa lingkungan yang ada. Hal ini menjelaskan bahwasanya masyarakat memiliki moralitas, spiritual, pendidikan, nilai estetika dan nilai-nilai lainnya terhadap lingkungan, yang semuanya dapat mempengaruhi sikap dan tindakan terhadap ekosistem dan jasa ekosistem yang diberikan (MEA 00). Lebih lanjut dijelaskan, nilai-nilai ini mencerminkan emosi, pandangan afektif dan nilai simbolis yang melekat pada lingkungan pulau pulau kecil yang tidak dapat secara dinilai secara moneter. Nilai-nilai sosial dan budaya merupakan nilai yang paling langsung berhubungan dengan keberlanjutan jasa ekosistem (ecosystem service), dan mungkin termasuk nilai memiliki tempat (place values), rasa memiliki komunitas dan identitas (sense of community and identity), kesehatan fisik dan mental, kohesi sosial (social cohesion), dan nilai-nilai pendidikan (Chan et al. 0). Permintaan jasa ekosistem terendah di gugus Pulau Sapeken adalah tipe tutupan berupa tegalan, tanah terbuka dan pemukiman. Ketiga jenis tipe tutupan tersebut (natural capital asset) terkait dengan kebutuhan manusia akan ruang (space). Ketersediaan ruang (space) merupakan salah satu permasalahan dalam pengembangan pulau pulau kecil. Keterbatasan tersebut menjadikan sebuah pulau pulau kecil sangat rentan terhadap perubahan landscape atau kegiatan pemanfaatan lahan (ruang). Perubahan landscape atau kegiatan pemanfaatan lahan (ruang) berpengaruh secara langsung terhadap siklus biogeokimia dan hidrologi (Metzger et al. 006). Perubahan permintaan lahan pada suatu wilayah merupakan hasil dari banyak perubahan dan pemicu kecil lainnya seperti pengambilan keputusan tiap individu, norma yang ada, kebijakan dan kekuatan pasar. Dengan demikian, tingkat dan dampak perubahan mungkin sangat bervariasi di seluruh wilayah bahkan relatif kecil. Kondisi tersebut perubahan permintaan lahan suatu wilayah secara spasial sering tidak merata (Barr et al. 005). Variasi curah hujan yang terjadi, kualitas tanah, dan akses infrastruktur menjadikan perubahan permintaan lahan dapat dilokalisasi hanya pada beberapa bagian dari suatu wilayah. Lebih lanjut dijelaskan oleh Barr (008), terdapat beberapa pemicu dari perubahan permintaan lahan yang secara bersamaan muncul, menjadikan pengaruh

30 58 dampak tergantung pada interaksi pemicu perubahan permintaan lahan dan respon lingkungan (resilience). Masyarakat di wilayah gugus Pulau Sapeken pada dasarnya telah memiliki kesadaran akan kondisi lahan yang ada disekitarnya. Hal ini ditunjukkan dengan adanya permintaan lahan yang berbeda di tiap pulau kecil. Pulau Saor, Pulau Sepanjang dan Pulau Paliat merupakan wilayah yang permintaan lahannya didominasi oleh kegiatan bercocok tanam tanaman pangan, sedangkan di Pulau Pagerungan Besar, Pulau Pagerungan Kecil dan Pulau Sapangkur, pemanfaatan lahan yang ada digunakan untuk tanaman perkebunan seperti kelapa dan lainnya (Tabel 9). Keterbatasan lahan di wilayah gugus Pulau Sapeken berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan hidup, terutama kebutuhan pangan. Kebutuhan panganmasyarakat di wilayah gugus Pulau Sapeken banyak dipenuhi oleh wilayah yang ada di sekitarnya seperti Sumenep daratan, Banyuwangi, Probolinggo dan Bali. Ketergantungan akan bahan pangan terhadap wilayah sekitarnya menjadi salah satu ciri kondisi socio-ekonomi di wilayah gugus Pulau Sapeken. Dimana pada saat tertentu masyarakat di wilayah gugus Pulau Sapeken lebih banyak melakukan aktifitas yang tidak terkait dengan laut...5 Status Ketersediaan (Budget) Jasa Ekosistem Status ketersediaan jasa ekosistem dinilai dengan membandingkan antara suplai ekosistem dan permintaan jasa ekosistem. Hasil penilaian menggambarkan dinamika keseimbangan jasa ekosistem di wilayah gugus Pulau Sapeken. Adapun status ketersediaan (budget) jasa ekosistem yang dihasilkan di tiap pulau pulau kecil pada wilayah gugus Pulau Sapeken. Tabel 7 Status ketersediaan jasa ekosistem di Pulau Pagerungan Besar Terumbu Karang Mangrove Tegalam Pemukiman Tanah Terbuka Vegetasi Laut 0 0 0

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pulau Madura merupakan wilayah dengan luas 15.250 km 2 yang secara geografis terpisah dari Pulau Jawa dan dikelilingi oleh selat Madura dan laut Jawa. Sebagai kawasan yang

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang besar karena didukung oleh letaknya yang strategis dari aspek ekonomi, pertahanan dan keamanan serta adanya ekosistem

Lebih terperinci

PENILAIAN KEBERLANJUTAN EKOSISTEM PULAU KECIL MELALUI PENDEKATAN SOCIO ECOLOGICAL SYSTEM DALAM MENENTUKAN KAPASITAS EKOSISTEM DI PULAU SAPEKEN, MADURA

PENILAIAN KEBERLANJUTAN EKOSISTEM PULAU KECIL MELALUI PENDEKATAN SOCIO ECOLOGICAL SYSTEM DALAM MENENTUKAN KAPASITAS EKOSISTEM DI PULAU SAPEKEN, MADURA PENILAIAN KEBERLANJUTAN EKOSISTEM PULAU KECIL MELALUI PENDEKATAN SOCIO ECOLOGICAL SYSTEM DALAM MENENTUKAN KAPASITAS EKOSISTEM DI PULAU SAPEKEN, MADURA Romadhon, A. Program studi Ilmu Kelautan, Fakultas

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengembangan pulau pulau kecil merupakan arah kebijakan baru nasional dibidang kelautan. Berawal dari munculnya Peraturan Presiden No. 78 tahun 2005 tentang Pengelolaan

Lebih terperinci

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya 1 Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya PENDAHULUAN Wilayah pesisir merupakan ruang pertemuan antara daratan dan lautan, karenanya wilayah ini merupakan suatu

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA DUKUNG MINAWISATA DI KELURAHAN PULAU TIDUNG, KEPULAUAN SERIBU

ANALISIS DAYA DUKUNG MINAWISATA DI KELURAHAN PULAU TIDUNG, KEPULAUAN SERIBU ANALISIS DAYA DUKUNG MINAWISATA DI KELURAHAN PULAU TIDUNG, KEPULAUAN SERIBU Urip Rahmani 1), Riena F Telussa 2), Amirullah 3) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan USNI Email: urip_rahmani@yahoo.com ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. besar sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, disisi lain masyarakat yang sebagian

BAB I PENDAHULUAN. besar sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, disisi lain masyarakat yang sebagian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu Negara kepulauan, yang memiliki potensi besar sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, disisi lain masyarakat yang sebagian besar bertempat

Lebih terperinci

ES R K I R P I S P I S SI S S I TEM

ES R K I R P I S P I S SI S S I TEM 69 4. DESKRIPSI SISTEM SOSIAL EKOLOGI KAWASAN PENELITIAN 4.1 Kondisi Ekologi Lokasi studi dilakukan pada pesisir Ratatotok terletak di pantai selatan Sulawesi Utara yang termasuk dalam wilayah administrasi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pulau-Pulau Kecil 2.1.1 Karakteristik Pulau-Pulau Kecil Definisi pulau menurut UNCLOS (1982) dalam Jaelani dkk (2012) adalah daratan yang terbentuk secara alami, dikelilingi

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

Bab 4 Hasil Dan Pembahasan

Bab 4 Hasil Dan Pembahasan Bab 4 Hasil Dan Pembahasan 4.1. Potensi Sumberdaya Lahan Pesisir Potensi sumberdaya lahan pesisir di Kepulauan Padaido dibedakan atas 3 tipe. Pertama adalah lahan daratan (pulau). Pada pulau-pulau berpenduduk,

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Penghitungan Nilai Daya Dukung Pemanfaatan Sebagai Pendekatan Nilai Daya Dukung Ekologi

Lampiran 1. Prosedur Penghitungan Nilai Daya Dukung Pemanfaatan Sebagai Pendekatan Nilai Daya Dukung Ekologi Lampiran 1. Prosedur Penghitungan Nilai Daya Dukung Pemanfaatan Sebagai Pendekatan Nilai Daya Dukung Ekologi 166 Lampiran 2. Hasil analisa kesesuaian kegiatan ekowisata, jenis wisata selam Pulau Pagerungan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut Menurut UU No. 26 tahun 2007, ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Pulau Pramuka secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu, Kotamadya Jakarta

Lebih terperinci

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R Oleh : Andreas Untung Diananto L 2D 099 399 JURUSAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kabupaten Lombok Barat-Propinsi Nusa Tenggara Barat, yaitu di kawasan pesisir Kecamatan Sekotong bagian utara, tepatnya di Desa Sekotong

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI POTENSI DAN PEMETAAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL

IDENTIFIKASI POTENSI DAN PEMETAAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL IDENTIFIKASI POTENSI DAN PEMETAAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL Nam dapibus, nisi sit amet pharetra consequat, enim leo tincidunt nisi, eget sagittis mi tortor quis ipsum. PENYUSUNAN BASELINE PULAU-PULAU

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut dan hampir sepertiga penduduknya mendiami daerah pesisir pantai yang menggantungkan hidupnya dari

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI

BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI IV.1 Gambaran Umum Kepulauan Seribu terletak di sebelah utara Jakarta dan secara administrasi Pulau Pramuka termasuk ke dalam Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengembangan pulau-pulau kecil (PPK) di Indonesia masih belum mendapatkan perhatian yang cukup besar dari pemerintah. Banyak PPK yang kurang optimal pemanfaatannya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air laut merupakan suatu medium yang unik. Sebagai suatu sistem, terdapat hubungan erat antara faktor biotik dan faktor abiotik, karena satu komponen dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai sebuah ekosistem mempunyai berbagai fungsi penting dan strategis bagi kehidupan manusia. Beberapa fungsi utama dalam ekosistem sumber daya hutan adalah

Lebih terperinci

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL SUKANDAR, IR, MP, IPM (081334773989/cak.kdr@gmail.com) Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Sebagai DaerahPeralihan antara Daratan dan Laut 12 mil laut

Lebih terperinci

V. KEADAAN UMUM WILAYAH. 5.1 Kondisi Wilayah Kelurahan Pulau Panggang

V. KEADAAN UMUM WILAYAH. 5.1 Kondisi Wilayah Kelurahan Pulau Panggang V. KEADAAN UMUM WILAYAH 5.1 Kondisi Wilayah Kelurahan Pulau Panggang Wilayah Kelurahan Pulau Panggang terdiri dari 12 pulau dan memiliki kondisi perairan yang sesuai untuk usaha budidaya. Kondisi wilayah

Lebih terperinci

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 49 V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 5.1 Distribusi Parameter Kualitas Perairan Karakteristik suatu perairan dan kualitasnya ditentukan oleh distribusi parameter fisik dan kimia perairan yang berlangsung

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir merupakan daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Kawasan pesisir merupakan ekosistem yang kompleks dan mempunyai nilai sumberdaya alam yang tinggi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi geografis yang dimiliki Indonesia berpengaruh terhadap pembangunan bangsa dan negara. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2011 menunjukkan bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari atas 17.508 pulau, dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Luas laut Indonesia sekitar 3,1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan zat yang sangat penting bagi kehidupan semua makhluk hidup yang ada di bumi. Hampir 71%

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam suatu wilayah pesisir terdapat beragam sistem lingkungan (ekosistem). Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, terumbu karang,

Lebih terperinci

Pemanfaatan jenis sumberdaya hayati pesisir dan laut seperti rumput laut dan lain-lain telah lama dilakukan oleh masyarakat nelayan Kecamatan Kupang

Pemanfaatan jenis sumberdaya hayati pesisir dan laut seperti rumput laut dan lain-lain telah lama dilakukan oleh masyarakat nelayan Kecamatan Kupang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Kupang adalah salah satu kabupaten dengan ekosistem kepulauan. Wilayah ini terdiri dari 27 pulau dimana diantaranya masih terdapat 8 pulau yang belum memiliki

Lebih terperinci

3 METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

3 METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian METODOLOGI. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini terdiri dari tahapan, yakni dilaksanakan pada bulan Agustus 0 untuk survey data awal dan pada bulan FebruariMaret 0 pengambilan data lapangan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan secara geografis Indonesia terletak di antara benua Asia dan Benua

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan secara geografis Indonesia terletak di antara benua Asia dan Benua BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara geografis Indonesia membentang 6 0 LU 11 0 LS dan 95 0-141 0 BT, sedangkan secara geografis Indonesia terletak di antara benua Asia dan Benua Australia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang secara geografis terletak di antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai keanekaragaman

Lebih terperinci

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan KERANGKA PEMIKIRAN Dasar teori yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada konsep pembangunan berkelanjutan, yaitu konsep pengelolaan dan konservasi berbasis sumberdaya alam serta orientasi perubahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terumbu adalah serangkaian struktur kapur yang keras dan padat yang berada di dalam atau dekat permukaan air. Sedangkan karang adalah salah satu organisme laut yang tidak

Lebih terperinci

II.TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioregion

II.TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioregion II.TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioregion Bioregion merupakan area geografis yang mempunyai karakteristik tanah, daerah aliran sungai (DAS), iklim, tanaman lokal serta hewan, yang unik dan memiliki nilai intrinsik

Lebih terperinci

MANAGEMENT OF THE NATURAL RESOURCES OF SMALL ISLAND AROUND MALUKU PROVINCE

MANAGEMENT OF THE NATURAL RESOURCES OF SMALL ISLAND AROUND MALUKU PROVINCE MANAGEMENT OF THE NATURAL RESOURCES OF SMALL ISLAND AROUND MALUKU PROVINCE (Environmental Study of University of Pattimura) Memiliki 1.340 pulau Pulau kecil sebanyak 1.336 pulau Pulau besar (P. Seram,

Lebih terperinci

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN. Berikut ini letak batas dari Desa Ponelo: : Pulau Saronde, Mohinggito, dan Pulau Lampu

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN. Berikut ini letak batas dari Desa Ponelo: : Pulau Saronde, Mohinggito, dan Pulau Lampu BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Desa Ponelo merupakan Desa yang terletak di wilayah administrasi Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Selat Lembeh merupakan suatu kawasan khas yang terletak di wilayah Indonesia bagian timur tepatnya di Kota Bitung, Provinsi Sulawesi Utara dengan berbagai potensi sumberdaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir.

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah tipe hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove banyak dijumpai di wilayah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan

I. PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan banyak digunakan oleh manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, selain itu lahan

Lebih terperinci

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir BAB V ANALISIS Bab ini berisi analisis terhadap bahasan-bahasan pada bab-bab sebelumnya, yaitu analisis mengenai komponen-komponen utama dalam pembangunan wilayah pesisir, analisis mengenai pemetaan entitas-entitas

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Geografis Kabupaten Bengkalis merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Riau. Wilayahnya mencakup daratan bagian pesisir timur Pulau Sumatera dan wilayah kepulauan,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir dan laut Indonesia merupakan wilayah dengan potensi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. meskipun ada beberapa badan air yang airnya asin. Dalam ilmu perairan

TINJAUAN PUSTAKA. meskipun ada beberapa badan air yang airnya asin. Dalam ilmu perairan TINJAUAN PUSTAKA Danau Perairan pedalaman (inland water) diistilahkan untuk semua badan air (water body) yang ada di daratan. Air pada perairan pedalaman umumnya tawar meskipun ada beberapa badan air yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan di daerah tropika yang terdiri dari 17.504 buah pulau (28 pulau besar dan 17.476 pulau kecil) dengan panjang garis pantai sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang mencapai 17.508 pulau dengan luas lautnya sekitar 3,1 juta km 2. Wilayah lautan yang luas tersebut

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelompok Umur Pertumbuhan populasi tiram dapat dilihat berdasarkan sebaran kelompok umur. Analisis sebaran kelompok umur dilakukan dengan menggunakan FISAT II metode NORMSEP.

Lebih terperinci

PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU

PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU Zonasi Wilayah Pesisir dan Lautan PESISIR Wilayah pesisir adalah hamparan kering dan ruangan lautan (air dan lahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pariwisata merupakan salah satu sektor yang diandalkan pemerintah untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pariwisata merupakan salah satu sektor yang diandalkan pemerintah untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata merupakan salah satu sektor yang diandalkan pemerintah untuk memperoleh devisa dari penghasilan non migas. Peranan pariwisata dalam pembangunan nasional,

Lebih terperinci

Gambar 3.1 : Peta Pulau Nusa Penida Sumber :

Gambar 3.1 : Peta Pulau Nusa Penida Sumber : BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Penulis mengambil lokasi penelitian di Desa Sakti Pulau Nusa Penida Provinsi Bali. Untuk lebih jelas peneliti mencantumkan denah yang bisa peneliti dapatkan

Lebih terperinci

INVENTORY SUMBERDAYA WILAYAH PESISIR KELURAHAN FATUBESI KEC. KOTA LAMA KOTA KUPANG - NUSA TENGGARA TIMUR

INVENTORY SUMBERDAYA WILAYAH PESISIR KELURAHAN FATUBESI KEC. KOTA LAMA KOTA KUPANG - NUSA TENGGARA TIMUR INVENTORY SUMBERDAYA WILAYAH PESISIR KELURAHAN FATUBESI KEC. KOTA LAMA KOTA KUPANG - NUSA TENGGARA TIMUR 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Kelurahan Fatubesi merupakan salah satu dari 10 kelurahan yang

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Kemiling, Kota Bandarlampung. Kota

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Kemiling, Kota Bandarlampung. Kota 66 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Gambaran Umum Kota Bandarlampung 1. Letak Geografis Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Kemiling, Kota Bandarlampung. Kota Bandarlampung memiliki luas wilayah

Lebih terperinci

TINJAUAN ASPEK GEOGRAFIS TERHADAP KEBERADAAN PULAU JEMUR KABUPATEN ROKAN HILIR PROPINSI RIAU PADA WILAYAH PERBATASAN REPUBLIK INDONESIA - MALAYSIA

TINJAUAN ASPEK GEOGRAFIS TERHADAP KEBERADAAN PULAU JEMUR KABUPATEN ROKAN HILIR PROPINSI RIAU PADA WILAYAH PERBATASAN REPUBLIK INDONESIA - MALAYSIA TINJAUAN ASPEK GEOGRAFIS TERHADAP KEBERADAAN PULAU JEMUR KABUPATEN ROKAN HILIR PROPINSI RIAU PADA WILAYAH PERBATASAN REPUBLIK INDONESIA - MALAYSIA Tito Latif Indra, SSi, MSi Departemen Geografi FMIPA UI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang mencapai pulau dengan panjang pantai sekitar km 2 dan luas

BAB I PENDAHULUAN. yang mencapai pulau dengan panjang pantai sekitar km 2 dan luas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang mencapai 17.508 pulau dengan panjang pantai sekitar 81.000 km 2 dan luas laut mencapai 5,8

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan fakta fisiknya, Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km (terpanjang

Lebih terperinci

Oleh: HAZMI C SKRlPSl Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana di Fakultas Perikanan Dan llmu Kelautan

Oleh: HAZMI C SKRlPSl Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana di Fakultas Perikanan Dan llmu Kelautan or4 APLlKASl SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) DAN PENGINDERAAN JAUH DALAM PENENTUAN WILAYAH POTENSIAL WISATA BAHARI TERUMBU KARANG Dl PULAU SATONDA, DOMPU, NUSA TENGGARA BARAT HAZMI C06498017 PROGRAM STUD1

Lebih terperinci

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kecamatan Legonkulon berada di sebelah utara kota Subang dengan jarak ± 50 km, secara geografis terletak pada 107 o 44 BT sampai 107 o 51 BT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa ini memberikan tanggung jawab yang besar bagi warga Indonesia untuk

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa ini memberikan tanggung jawab yang besar bagi warga Indonesia untuk BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia dan juga memiliki keragaman hayati yang terbesar serta strukturnya yang paling bervariasi. Mangrove dapat tumbuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki peranan penting sebagai wilayah tropik perairan Iaut pesisir, karena kawasan ini memiliki nilai strategis berupa potensi sumberdaya alam dan sumberdaya

Lebih terperinci

KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA

KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA Umroh 1, Aries Dwi Siswanto 2, Ary Giri Dwi Kartika 2 1 Dosen Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian,Perikanan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang

I. PENDAHULUAN. rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia diramaikan oleh isu perubahan iklim bumi akibat meningkatnya gas rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang memicu terjadinya perubahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri atas 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.791 km (Supriharyono, 2007) mempunyai keragaman

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Proses pembangunan dan pengembangan suatu kota berjalan sangat cepat, sehingga apabila proses ini tidak diimbangi dengan pengelolaan lingkungan hidup dikhawatirkan akan

Lebih terperinci

Modul 1. Hutan Tropis dan Faktor Lingkungannya Modul 2. Biodiversitas Hutan Tropis

Modul 1. Hutan Tropis dan Faktor Lingkungannya Modul 2. Biodiversitas Hutan Tropis ix H Tinjauan Mata Kuliah utan tropis yang menjadi pusat biodiversitas dunia merupakan warisan tak ternilai untuk kehidupan manusia, namun sangat disayangkan terjadi kerusakan dengan kecepatan yang sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 101111111111105 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sumberdaya alam hayati laut yang potensial seperti sumberdaya terumbu karang. Berdasarkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 tahun 2007

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data satu periode, yaitu data Program

III. METODE PENELITIAN. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data satu periode, yaitu data Program III. METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian 1. Data dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data satu periode, yaitu data Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP)

Lebih terperinci

ANALISIS TUTUPAN LAHAN TERHADAP KUALITAS AIR SITU BURUNG, DESA CIKARAWANG, KABUPATEN BOGOR

ANALISIS TUTUPAN LAHAN TERHADAP KUALITAS AIR SITU BURUNG, DESA CIKARAWANG, KABUPATEN BOGOR ANALISIS TUTUPAN LAHAN TERHADAP KUALITAS AIR SITU BURUNG, DESA CIKARAWANG, KABUPATEN BOGOR R Rodlyan Ghufrona, Deviyanti, dan Syampadzi Nurroh Fakultas Kehutanan - Institut Pertanian Bogor ABSTRAK Situ

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir dan laut merupakan daerah dengan karateristik khas dan bersifat dinamis dimana terjadi interaksi baik secara fisik, ekologi, sosial dan ekonomi, sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sekitar 78 % wilayah Indonesia merupakan perairan sehingga laut dan wilayah pesisir merupakan lingkungan fisik yang mendominasi. Di kawasan pesisir terdapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Tapanuli Tengah merupakan salah satu wilayah yang berada di Pantai Barat Sumatera. Wilayahnya berada 0

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Tapanuli Tengah merupakan salah satu wilayah yang berada di Pantai Barat Sumatera. Wilayahnya berada 0 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Tapanuli Tengah merupakan salah satu wilayah yang berada di Pantai Barat Sumatera. Wilayahnya berada 0 1.266 m di atas permukaan laut serta terletak pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jenis kerang yang banyak terdapat di wilayah Kabupaten Cilacap yaitu jenis

BAB I PENDAHULUAN. Jenis kerang yang banyak terdapat di wilayah Kabupaten Cilacap yaitu jenis 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Wilayah Kabupaten Cilacap memiliki beragam ekosistem seperti: ekosistem estuarin, ekosistem mangrove, dan pantai berpasir. Hal ini menjadikan Cilacap memiliki

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam 2 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam lingkungan hidup. Oleh karena adanya pengaruh laut dan daratan, di kawasan mangrove terjadi interaksi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan penangkapan ikan merupakan aktivitas yang dilakukan untuk mendapatkan sejumlah hasil tangkapan, yaitu berbagai jenis ikan untuk memenuhi permintaan sebagai sumber

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM KABUPATEN SINTANG

KEADAAN UMUM KABUPATEN SINTANG KEADAAN UMUM KABUPATEN SINTANG Geografis dan Administrasi Kabupaten Sintang mempunyai luas 21.635 Km 2 dan di bagi menjadi 14 kecamatan, cakupan wilayah administrasi Kabupaten Sintang disajikan pada Tabel

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir bukan merupakan pemisah antara perairan lautan dengan daratan, melainkan tempat bertemunya daratan dan perairan lautan, dimana didarat masih dipengaruhi oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, keadaan dan mahluk termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 53 IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Kondisi Geografis Selat Rupat merupakan salah satu selat kecil yang terdapat di Selat Malaka dan secara geografis terletak di antara pesisir Kota Dumai dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peranan penting dalam kehidupan manusia, mulai hal yang terkecil dalam

BAB I PENDAHULUAN. peranan penting dalam kehidupan manusia, mulai hal yang terkecil dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan Pembangunan Nasional adalah masyarakat yang adil dan makmur. Untuk mencapai tujuan tersebut harus dikembangkan dan dikelola sumberdaya yang tersedia. Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan sebuah sistem dinamis yang kompleks dimana keberadaannya dibatasi oleh suhu, salinitas, intensitas cahaya matahari dan kecerahan suatu perairan

Lebih terperinci

STUDI KESESUAIAN PANTAI LAGUNA DESA MERPAS KECAMATAN NASAL KABUPATEN KAUR SEBAGAI DAERAH PENGEMBANGAN PARIWISATA DAN KONSERVASI

STUDI KESESUAIAN PANTAI LAGUNA DESA MERPAS KECAMATAN NASAL KABUPATEN KAUR SEBAGAI DAERAH PENGEMBANGAN PARIWISATA DAN KONSERVASI STUDI KESESUAIAN PANTAI LAGUNA DESA MERPAS KECAMATAN NASAL KABUPATEN KAUR SEBAGAI DAERAH PENGEMBANGAN PARIWISATA DAN KONSERVASI Oleh Gesten Hazeri 1, Dede Hartono 1* dan Indra Cahyadinata 2 1 Program Studi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Pesisir adalah wilayah bertemunya daratan dan laut, dengan dua karakteristik yang berbeda. Bergabungnya kedua karakteristik tersebut membuat kawasan pesisir memiliki

Lebih terperinci

BAB VIII KESIMPULAN, SARAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. (1). Potensi sumberdaya di kawasan pesisir Taman Konservasi Laut Olele.

BAB VIII KESIMPULAN, SARAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. (1). Potensi sumberdaya di kawasan pesisir Taman Konservasi Laut Olele. 303 BAB VIII KESIMPULAN, SARAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 8.1. Kesimpulan (1). Potensi sumberdaya di kawasan pesisir Taman Konservasi Laut Olele. Berdasarkan hasil penelitian, keberadaan sumberdaya dan potensi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Banyak pakar dan praktisi yang berpendapat bahwa di milenium ketiga, industri jasa akan menjadi tumpuan banyak bangsa. John Naisbitt seorang futurist terkenal memprediksikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki 18 306 pulau dengan garis pantai sepanjang 106 000 km (Sulistiyo 2002). Ini merupakan kawasan pesisir terpanjang kedua

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 3,2 juta ha (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera,

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Letak Geografis Kabupaten Lombok Timur merupakan salah satu dari delapan Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Secara geografis terletak antara 116-117

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kawasan pesisir Teluk Bone yang terajut oleh 15 kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara dan membentang sepanjang kurang lebih 1.128 km garis pantai

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU 4.1 Kondisi Geografis Secara geografis Provinsi Riau membentang dari lereng Bukit Barisan sampai ke Laut China Selatan, berada antara 1 0 15 LS dan 4 0 45 LU atau antara

Lebih terperinci

KESESUAIAN EKOWISATA SELAM DI PULAU MANDANGIN KABUPATEN SAMPANG

KESESUAIAN EKOWISATA SELAM DI PULAU MANDANGIN KABUPATEN SAMPANG KESESUAIAN EKOWISATA SELAM DI PULAU MANDANGIN KABUPATEN SAMPANG Firman Farid Muhsoni, S.Pi., M.Sc 1 Dr. HM. Mahfud Efendy, S.Pi, M.Si 1 1) Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki jumlah pulau yang sangat banyak. Secara astronomis, Indonesia terletak

BAB I PENDAHULUAN. memiliki jumlah pulau yang sangat banyak. Secara astronomis, Indonesia terletak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki jumlah pulau yang sangat banyak. Secara astronomis, Indonesia terletak pada garis

Lebih terperinci

Kadar Salinitas, Oksigen Terlarut,..Kepulauan Seribu-Provinsi DKI Jakarta (Dumarno, D & T. Muryanto)

Kadar Salinitas, Oksigen Terlarut,..Kepulauan Seribu-Provinsi DKI Jakarta (Dumarno, D & T. Muryanto) Kadar Salinitas, Oksigen Terlarut,..Kepulauan Seribu-Provinsi DKI Jakarta (Dumarno, D & T. Muryanto) KADAR SALINITAS, OKSIGEN TERLARUT, DAN SUHU AIR DI UNIT TERUMBU KARANG BUATAN (TKB) PULAU KOTOK KECIL

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam 11 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan, termasuk hutan tanaman, bukan hanya sekumpulan individu pohon, namun merupakan suatu komunitas (masyarakat) tumbuhan (vegetasi) yang kompleks yang terdiri dari pohon,

Lebih terperinci

Gambar 5. Peta Citra Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi

Gambar 5. Peta Citra Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi 54 IV. DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN IV.1. Deskripsi Umum Wilayah yang dijadikan objek penelitian adalah kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi, Propinsi Jawa Barat. Kecamatan Muara Gembong berjarak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Laut Indonesia sudah sejak lama didayagunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia terutama pemanfaatan sumberdaya hayati seperti ikan maupun sumberdaya non hayati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Jumlah penduduk yang terus meningkat membawa konsekuensi semakin

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Jumlah penduduk yang terus meningkat membawa konsekuensi semakin BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jumlah penduduk yang terus meningkat membawa konsekuensi semakin meningkat pula kebutuhan akan lahan-lahan untuk menyediakan permukiman, sarana penunjang ekonomi

Lebih terperinci