BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori. 1. Tinjauan Umum tentang Sistem Peradilan Pidana

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori. 1. Tinjauan Umum tentang Sistem Peradilan Pidana"

Transkripsi

1 digilib.uns.ac.id 15 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum tentang Sistem Peradilan Pidana Sistem Peradilan Pidana berasal dari kata yaitu sistem dan peradilan pidana. Pemahaman mengenai sistem dapat diartikan sebagai suatu rangkaian diantara sejumlah unsur yang saling terkait untuk mencapai tujuan tertentu. Apabila dikaji secara etimologis, maka sistem mengandung arti terhimpun (antar) bagian atau komponen (subsistem) yang saling berhubungan secara beraturan dan merupakan suatu keseluruhan. Sedangkan peradilan pidana merupakan suatu mekanisme pemeriksaan perkara pidana yang bertujuan untuk menghukum atau membebaskan seseorang dari suatu tuduhan pidana. Dalam kaitannya dengan peradilan pidana, maka dalam implementasinya dilaksanakan dalam suatu sistem peradilan pidana. Tujuan akhir dari peradilan ini tidak lain adalah pencapaian keadilan bagi masyarakat. Sistem Peradilan Pidana atau Criminal Justice System kini telah menjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem (Romli Atmasasmita, 2010: 2). Ada beberapa asas yang harus diperhatikan dan merupakan pedoman dalam proses pelaksanaan sistem peradilan pidana demi terwujudnya suatu keadilan yaitu (Heri Tahrir, 2010: 38) : a. The Rule Of Law yakni bahwa tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang- undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan. b. Equality Before The Law yakni bahwa harus adanya persamaan dihadapan hukum yang berarti adanya perlakuan yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan.

2 digilib.uns.ac.id 16 c. Asas praduga tidak bersalah yakni bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/ atau dihadapkan didepan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Ketiga asas sebagaimana yang telah diuraikan di atas ialah merupakan pedoman bagi aparat atau aktor- aktor penyelenggara peradilan pidana yang harus dipatuhi dan dipahami demi terwujudnya suatu keadilan hukum. Mardjono memberikan batasan bahwa yang dimaksud dengan sistem peradilan pidana adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga- lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan terpidana. Selanjutnya dikemukakan bahwa tujuan sistem peradilan pidana dapat dirumuskan yakni mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana dan mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya. Bertitik tolak dari tujuan tersebut, Mardjono mengemukakan bahwa empat komponen dalam sistem peradilan pidana (kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan) diharapkan dapat bekerja sama dan dapat membentuk suatu integrated criminal justice administration (Romli Atmasasmita, 2010: 2-3). Bicara tentang Sistem Peradilan Pidana berarti bicara soal penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana yang mana tidak dapat dipisahkan dari sistem hukum. Menurut Lawrence Meir Friedman sistem hukum terdiri dari 3 (tiga) hal (Lawrence Meir Friedman, 2001: 6-8) : a. Substansi Hukum Dalam teori Lawrence Meir Friedman hal ini disebut sebagai sistem substansial. Sistem substansial inilah yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan. Substansi juga berarti produk yang

3 digilib.uns.ac.id 17 dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum yang mencakup keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Substansi juga mencakup hukum yang hidup (living law), bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang- undang (law books). Sebagai negara yang masih menganut Civil Law System atau Eropa Kontinental (meski sebagian peraturan perundang- undangan juga telah menganut Common Law System atau Anglo Saxon) dikatakan hukum adalah peraturanperaturan yang tertulis sedangkan peraturan- peraturan yang tidak tertulis bukan dinyatakan hukum. Sistem ini mempengaruhi sistem hukum di Indonesia. Salah satu pengaruhnya adalah adanya asas Legalitas dalam KUHP. Dalam Pasal 1 KUHP ditentukan tidak ada suatu perbuatan pidana yang dapat di hukum jika tidak ada aturan yang mengaturnya. Sehingga bisa atau tidaknya suatu perbuatan dikenakan sanksi hukum apabila perbuatan tersebut telah mendapatkan pengaturannya dalam peraturan perundang- undangan. b. Struktur Hukum Dalam teori Lawrence Meir Friedman hal ini disebut sebagai sistem struktural. Sistem struktural inilah yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan dengan baik. Struktur hukum berdasarkan UU No. 8 Tahun 1981 meliputi mulai dari Kepolisian yang bertindak dalam tahap proses penyelidikan dan atau penyidikan, yang kedua Kejaksaan bertindak dalam proses penuntutan, yang ketiga Pengadilan dalam hal pemeriksaan dan memberikan putusan, dan keempat Badan Pelaksana Pidana (Lembaga Pemasyarakatan) dalam pelaksanaan hasil putusan pidana. Kewenangan lembaga penegak hukum dijamin oleh undang- undang sehingga dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh- pengaruh lain. Terdapat adagium yang menyatakan fiat justitia et pereat mundus meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan. Hukum tidak dapat berjalan atau tegak bila tidak ada aparat

4 digilib.uns.ac.id 18 penegak hukum yang kredibilitas, kompeten dan independen. Seberapa bagusnya suatu peraturan perundang- undangan bila tidak didukung dengan aparat penegak hukum yang baik maka keadilan hanyalah angan- angan. Lemahnya mentalitas aparat penegak hukum mengakibatkan penegakkan hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya. Banyak faktor yang mempengaruhi lemahnya mentalitas aparat penegak hukum diantaranya lemahnya pemahaman agama, ekonomi, proses rekruitmen yang tidak transparan dan lain sebagainya. Sehingga dapat dipertegas bahwa faktor penegak hukum memainkan peran penting dalam memfungsikan hukum. Kalau peraturan sudah baik tetapi kualitas penegak hukum rendah maka akan ada masalah. Demikian juga apabila peraturannya buruk sedangkan kualitas penegak hukum baik, kemungkinan munculnya masalah masih terbuka. c. Budaya Hukum Dalam teori Lawrence Meir Friedman hal ini disebut sebagai kultur hukum. Kultur hukum menurut Lawrence Meir Friedman adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum, kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Kultur hukum adalah suasana pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalahgunakan. Budaya hukum erat kaitannya dengan kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan tercipta budaya hukum yang baik dan dapat merubah pola pikir masyarakat mengenai hukum selama ini. Secara sederhana, tingkat kepatuhan masyarakat terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum. Hubungan antara 3 (tiga) unsur sistem hukum itu sendiri tak berdaya, seperti pekerjaan mekanik. Struktur diibaratkan seperti mesin, substansi adalah apa yang dikerjakan dan dihasilkan oleh mesin, sedangkan kultur hukum adalah apa saja atau siapa saja yang memutuskan

5 digilib.uns.ac.id 19 untuk menghidupkan dan mematikan mesin itu, serta memutuskan bagaimana mesin itu digunakan. Dikaitkan dengan sistem hukum di Indonesia, Teori Friedman tersebut dapat kita jadikan patokan dalam mengukur proses penegakan hukum di Indonesia. Polisi adalah bagian dari struktur bersama dengan organ jaksa, hakim, advokat dan lembaga permasyarakatan. Interaksi antar komponen pengabdi hukum ini menentukan kokohnya struktur hukum. Walau demikian, tegaknya hukum tidak hanya ditentukan oleh kokohnya struktur tetapi juga terkait dengan kultur hukum di dalam masyarakat. Namun demikian, hingga kini ketiga unsur sebagaimana dikatakan oleh Friedman belum dapat terlaksana dengan baik, khususnya dalam struktur hukum dan budaya hukum. 2. Asas Equality Before The Law dalam Lembaga Pemasyarakatan Persamaan dihadapan hukum atau Equality Before The Law adalah salah satu asas terpenting dalam hukum moderen. Perundang- Undangan Indonesia mengadopsi asas ini sejak masa kolonial lewat Burgelijke Wetboek (KUHPerdata) dan Wetboek van Koophandel voor Indonesie (KUHDagang) pada tanggal 30 April 1847 melalui Stb No. 23. Asas Equality Before The Law adalah setiap orang harus diperlakukan sama didepan hukum tanpa membedakan suku, agama, pangkat, jabatan dan sebagainya. Asas ini mengandung pengertian yaitu dalam hal penyidikan dan persidangan asas ini mengandung pengertian bahwa orang yang sedang dalam persidangan harus diperlakukan sama, tanpa harus memandang siapa orang tersebut baik itu pejabat Negara maupun masyarakat umum. Tidak hanya dalam persidangan, asas Equality Before The Law juga diatur untuk dilaksanakan oleh aparat penegak hukum salah satunya yaitu Lembaga Pemasyarakatan sebagaimana pendapat Romli Atmasasmita. Di dalam Lembaga Pemasyarakatan, sering kali terdapat penyimpangan- penyimpangan yang dilakukan baik oleh oknum petugas maupun oleh narapidana itu sendiri. Sering kali tidak disadari oleh mereka yang ada dalam lembaga pemasyarakatan tersebut. Sesuai Undangcommit to user Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 28 D Ayat (1) setiap orang

6 digilib.uns.ac.id 20 berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Bagaimanapun Narapidana atau Anak Didik adalah subyek yang perlu dilindungi dan diayomi. Berdasarkan Pasal 3 Undang- Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, setiap orang di lahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia yang sama dan sederajat serta dikaruniai akal dan hati nurani untuk hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam semangat persaudaraan, yang kedua setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum. Dan yang ketiga adalah setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi. Hak- hak tersebut berlaku bagi setiap anggota umat manusia tanpa memperhatikan faktor- faktor pemisah seperti ras, agama, warna kulit, kasta, kepercayaan, jenis kelamin atau kebangsaan (Shad Saleem Faruqui, 1998: 13). Sehingga apabila dilihat dari uraian diatas, asas ini sangat perlu diterapkan di dalam Lembaga Pemasyarakatan, agar mereka yang berada didalam Lembaga Pemasyarakatan yaitu narapidana memperoleh perlakuan yang sama. Tanpa ada perbedaan- perbedaan baik itu suku, agama jenis kelamin dan jabatan. Di dalam Pasal 5 huruf (b) Undang- Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan disebutkan bahwa salah satu sistem pembinaan dalam pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan persamaan perlakuan dan pelayanan. Dalam penjelasan ayat ini pun menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan persamaan perlakuan dan pelayanan adalah pemberian perlakuan dan pelayanan yang sama kepada warga binaan pemasyarakatan tanpa membeda- bedakan orang. Jadi sudah jelas bahwa secara tersirat, pasal ini mewakili adanya Asas Equality Before The Law menjadi salah satu asas yang terpenting dalam sistem pembinaan pemasyarakatan.

7 digilib.uns.ac.id 21 Narapidana di didalam Lembaga Pemasyarakatan mempunyai hak yang sama dengan Narapidana yang lain yaitu berdasarkan asas Equality Before The Law dapat dilihat dari pola pembinaan dan pelaksanaan pemenuhan hak- hak narapidana. Hak tersebut diperoleh secara otomatis dengan syarat atau kriteria tertentu. Hak- hak Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan itu yang diatur didalam Pasal 14 Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyaraktan jo Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan Pasal 2-52 yaitu meliputi : a. Hak untuk melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaanya Ibadah dilaksanakan di dalam lembaga Pemasyarakatan atau diluar Lembaga Pemasyarakatan, sesuai program pembinaan. Pada setiap Lembaga Pemasyarakatan wajib disediakan petugas untuk memberikan pendidikan dan bimbingan keagamaan. Dalam melaksanakan pendidikan dan bimbingan keagamaan, Kepala Lembaga Pemasyarakatan setempat dapat mengadakan kerja sama dengan intansi terkait, badan kemasyarakatan, atau perorangan. Setiap Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan wajib mengikuti perogram pendidikan dan bimbingan agama sesuai agama dan kepercayaanya. Pasal 14 huruf a Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan jo Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 Ayat (3), Pasal 4. b. Hak untuk mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani Perawatan rohani diberikan melalui bimbingan rohani dan pendidikan budi pekerti. Pada setiap Lembaga Pemasyarakatan wajib menyediakan petugas bimbingan rohani dan pendidikan budi pekerti. Dalam melaksanakan bimbingan dan pendidikan, Kepala Lembaga

8 digilib.uns.ac.id 22 Pemasyarakatan dapat bekerja sama dengan isnstansi terkait, badan kemasyarakatan atau perorangan. Setiap Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan berhak mendapatkan perawatan jasmani berupa : 1) pemberian kesempatan melakukan olah raga dan rekreasi ; 2) pemberian perlengkapan pakaian ; 3) pemberian perlengkapan tidur dan mandi. Pemberian perlengkapan dilaksanakan segera setelah Terpidana selesai didaftar. Selain itu, Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan wajib memakai pakaian seragam yang telah ditetapkan. Pasal 14 huruf b Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan jo Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan (Pasal 6 ayat(1), Pasal 7 Ayat (1 dan 2)). c. Hak untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran Pada setiap Lembaga Pemasyarakatan wajib disediakan petugas pendidikan dan pengajaran. Dalam melaksanakan pendidikan dan pengajaran, Kepala Lembaga Pemasyarakatan dapat bekerja sama dengan instansi pemerintah yang lingkup tugasnya meliputi bidang Pendidikan, Kebudayaan dan atau badan- badan kemasyarakatan yang bergerak dibidang pendidikan dan pengajaran. Pendidikan dan Pengajaran bagi Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan dilaksanakan di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Apabila Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan membutuhkan pendidikan dan pengajaran lebih lanjut yang tidak tersedia didalam Lembaga Pemasyarakatan, maka dapat dilaksanakan diluar Lembaga Pemasyarakatan. Pendidikan dan pengajaran di dalam Lembaga Pemasyarakatan di selenggarakan menurut kurikulum yang berlaku pada lembaga pendidikan yang sederajat. Pelaksanaan pendidikan dan commit pengajaran to user menjadi tanggung jawab Kepala

9 digilib.uns.ac.id 23 Lembaga Pemasyarakatan. Kepala Lembaga Pemasyarakatan mengadakan perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pendidikan dan pengajaran didalam Lembaga Pemasyarakatan. Setiap Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan yang telah berhasil menyelesaikan pendidikan dan pengajaran, berhak memperoleh Surat Tanda Tamat Belajar dari instansi yang berwenang. Pasal 14 Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan jo Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan (Pasal 10 Ayat (2), Pasal 11 Ayat (1,2,3), Pasal 12, Pasal 13)). d. Hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak Pada setiap Lembaga Pemasyarakatan disediakan poliklinik beserta fasilitasnya dan disediakan sekurang- kurangnya seorang dokter dan seorang tenaga kesehatan lainya. Pelayanan kesehatan dilakukan oleh dokter Lembaga Pemasyarakatan. Apabila dokter berhalangan, maka pelayanan kesehatan tertentu dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan lainya. Pemeriksaan kesehatan dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan dan dicatat dalam kartu kesehatan. Apabila Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan ada keluhan mengenai kesehatannya, maka dokter atau tenaga kesehatan lainya didalam Lembaga Pemasyarakatan wajib melakukan pemeriksaan. Apabila penderita memerlukan perawatan lebih lanjut maka dokter Lembaga Pemasyarakatan memberikan rekomendasi kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan agar pelayanan kesehatan dilakukan di rumah sakit umum Pemerintah di luar Lembaga Pemasyarakatan. Pelayanan kesehatan bagi penderita di rumah sakit harus mendapatkan izin tertulis dari Kepala Lembaga Pemasyarakatan. Penderita yang di bawa dan di rawat di rumah sakit wajib dikawal oleh Petugas Lembaga Pemayarakatan dan bila diperlukan meminta bantuan petugas kepolisian.

10 digilib.uns.ac.id 24 Biaya perawatan kesehatan dirumah sakit bagi penderita dibebankan kepada negara. Setiap Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan berhak mendapatkan makanan dan minuman sesuai dengan jumlah kalori yang memenuhi syarat kesehatan. Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan yang berkewarganegaraan asing bukan penduduk indonesia, atas petunjuk dokter dapat diberikan jenis lain sesuai dengan kebiasaan di negaranya. Harga makanan jenis lain tidak melampaui 1 ½ (satu satu per dua) kali dari harga makanan yang telah ditentukan bagi Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan. Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan yang sakit, hamil atau menyusui, berhak mendapatkan makanan tambahan sesuai dengan petunjuk dokter. Makanan tambahan juga diberikan kepada Narapidana yang melakukan jenis pekerjaan tertentu. Kepala Lembaga Pemasyarakatan bertanggungjawab atas pengelolaan makanan, yang meliputi : 1) pengadaan, penyimpanan makanan ; 2) kebersihan makanan dan dipenuhinya syarat- syarat kesehatan dan gizi ; 3) pemeliharaan peralatan masak, makanan dan minuman. Setiap Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan dapat menerima makanan dari luar Lembaga Pemasyarakatan setelah mendapat izin Kepala Lembaga Pemasyarakatan. Makanan tersebut sebelum diserahkan kepada Narapidana harus diperiksa terlebih dahulu oleh Petugas Lembaga Pemasyarakatan. Setiap Narapidana yang berpuasa diberikan makanan tambahan. Setiap orang dilarang memberikan makanan atau minuman yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan, keamanan dan ketertiban kepada Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan. Pasal 14 huruf d Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan jo Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun

11 digilib.uns.ac.id tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan (Pasal 14 Ayat (1 dan 2), Pasal 15 Ayat (2), Pasal 16 Ayat (1 dan 3), Pasal 17 Ayat (1, 2, 3,dan 4), Pasal 19 Ayat (1 dan 2), Pasal 20 Ayat (1), Pasal 21 Ayat (1), Pasal 22 Ayat (1 dan 2)). e. Hak untuk menyampaikan keluhan Setiap Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan berhak menyampaikan keluhan kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan atas perlakuan petugas tau sesama penghuni terhadap dirinya. Keluhan disampaikian apabila keluhyan tersebut benar- benar dirasakan dapat mengganggu hak asasi atau hak- hak Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan yang bersangkutan atau Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan lainya. Keluhan dapat disampaikan secara lisan atau tulisan dengan tetap memperhatikan tata tertib Lembaga Pemasyarakatan. Pasal 14 huruf e Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan jo Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan (Pasal 26 Ayat ( 1, 2 dan 3)). f. Hak untuk mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media masa lainya yang tidak dilarang Setiap Lembaga Pemasyarakatan menyediakan bahan bacaan, media masa yang berupa media cetak dan media elektronik. Bahan bacaan dan media masa harus menunjang program pembinaan kepribadian dan kemandirian Narapidana dan Anak didik Pemasyarakatan dan tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Setiap Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan yang berkeinginan membawa dan mendapat bahan bacaan atau informasi dari media massa dari luar Lembaga

12 digilib.uns.ac.id 26 Pemasyarakatan harus mendapat izin dari Kepala Lembaga Pemasyarakatan. Setiap lembaga Pemasyarakatan menyediakan sekurangkurangnya 1 (satu) buah pesawat televisi, 1 (satu) buah radio penerima dan media elektronik lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Setiap Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan dilarang membawa pesawat televisi dan radio atau media elektronik yang lain ke dalam Lembaga Pemasyarakatan. Pasal 14 huruf f Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan jo Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan (Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28 Ayat (1, 2 dan 3)). g. Hak untuk mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan Setiap Narapidana yang bekerja berhak mendapatkan upah atau premi. Besarnya upah atau premi sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Upah atau premi harus dititipkan dan dicatat di Lembaga Pemasyarakatan. Upah atau premi diberikan kepada yang bersangkutan apabila diperlukan untuk memenuhi keperluan yang mendasar selama berada didalam Lembaga Pemasyarakatan atau untuk biaya pulang setelah menjalani masa pidana. Pasal 14 huruf g Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan jo Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan ( Pasal 29 Ayat (2,3, dan 4)). h. Hak untuk menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum atau orang tertentu lainya yang tidak dilarang Kunjungan dicatat dalam buku daftar kunjungan. Setiap Lebaga Pemasyarakatan wajib menyediakan sekurang- kurangnya 1 (satu)

13 digilib.uns.ac.id 27 ruangan khusus untuk menerima kunjungan. Petugas Pemasyarakatan yang bertugas ditempat kunjungan wajib : 1) memeriksa dan meneliti keterangan identitas diri pengunjung ; 2) menggeledah pengunjung dan memeriksa barang bawaanya. Apabila ditemukan keterangan dan identitas palsu atau adanya barang bawaan yang dilarang berdasar peraturan perundang- undangan yang berlaku, maka untuk waktu selanjutnya dilarang dan tidak boleh mengunjungi Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan yang bersangkutan.kunjungan orang- orang tertentu dimungkinkan bagi terpidana mati yang memohon grasinya ditolak. Pasal 14 huruf h Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan jo Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan (Pasal 30 Ayat (3), Pasal 31 Ayat (1 dan 2), Pasal 32). i. Hak untuk mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi) Remisi diberikan kepada Narapidana dan Anak Pidana apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut : 1) berbuat jasa kepada Negara ; 2) melakukan perbuatan yang sekiranya bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan ; 3) melakukan perbuatan yang membantu kegiatan Lembaga Pemasyarakatan. Ketentuan ini juga berlaku bagi Narapidana dan Anak Pidana yang menunggu grasi sambil menjalani pidana. Pasal 14 huruf i Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan jo Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara

14 digilib.uns.ac.id 28 Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan (Pasal 34 Ayat (2 dan 3)). j. Hak untuk mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga Setiap Narapidana dan Anak Pidana berhak mendapatkan Asimilasi. Asimilasi diberikan kepada Narapidana apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut : 1) berkelakuan baik ; 2) dapat mengikuti program pembinaan dengan baik ; 3) telah menjalani 1/2 (satu per dua) masa pidana. Bagi anak negara dan Anak Sipil, asimilasi diberikan setelah menjalani masa pendidikan di Lembaga Pemasyarakatan Anak 6 (enam) bulan pertama. Apabila asimilasi bagi Narapidana dan anak Didik Pemasyarakatan dicabut maka : 1) bagi Narapidana dan Anak Pidana, untuk tahun pertama setelah dilakukan pencabutan tidak dapat diberikan remisi, asimilasi, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas dan cuti mengunjungi keluarga. 2) apabila Narapidana dan Anak Pidana yang dicabut asimilasinya untuk kedua kalinya, maka yang bersangkutan tidak diberikan hak asimilasi, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas dan cuti mengunjungi keluarga. 3) bagi Anak Negara dan Anak Sipil, untuk 6 (enam) bulan pertama setelah dilaksanakan pencabutan asimilasinya tidak dapat mengikuti kegiatan asimilasi.

15 digilib.uns.ac.id 29 Selain itu setiap Narapidana berhak mendapatkan cuti, meliputi : 1) cuti mengunjungi keluarga ; 2) cuti menjelang bebas. Cuti mengunjungi keluarga dapat diberikan kerpada Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan, berupa kesempatan berkumpul bersama keluarga ditempat kediamannya. Cuti diberikan paling lama 2 (dua) hari atau 2 x 24 (dua kali dua puluh empat) jam. Ijin cuti mengunjungi keluarga diberikan oleh Kepala Lembaga Pemasyatarakatan dan wajib diberitahukan kepada Kepala Lembaga pemasyarakatan setempat. Pasal 14 huruf i Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan jo Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan ( Pasal 37 Ayat (1), Pasal 39, Pasal 41 Ayat (1), Pasal 42 Ayat (1, 2 dan 3)). k. Hak untuk mendapatkan pembebasan bersyarat Setiap Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan kecuali Anak Sipil, berhak mendapatkan pembebasan bersyarat apabila telah memenuhi telah memenuhi persyaratan yaitu telah menjalani masa pidana sekurangkurangnya 2/3 (dua per tiga) dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan. Pencabutan pembebasan bersyarat dapat dilakukan apabila narapidana, anak pidana dan anak negara yang sedang melaksanakan pembebasan bersyarat : 1) mengulangi tindak pidana ; 2) hidup secara tidak teratur dan menimbulkan kekerasan dalam masyarakat ; 3) malas bekerja atau malas sekolah. Dalam hal ini narapidana dan anak pidana yang pembebasan bersyarat di cabut maka :

16 digilib.uns.ac.id 30 1) masa selama berada di luar Lembaga Pemasyarakatan tidak dihukum sebagai masa menjalani pidana ; 2) untuk tahun pertama setelah melakukan pencabutan pembebasn bersyarat tidak diberikan remisi, cuti menjelang bebas, dan cuti mengunjungi keluarga. Dalam hal anak negara pembebasan bersyaratnya dicabut, maka masih selama berada dalam bimbingan Balai Pemasyarakatan di luar Lembaga Pemasyarakatan dihitung sebagai masa pembinaan. Pasal 14 huruf k Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan jo Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan (Pasal 43 Ayat (1 dan 2), Pasal 46, Pasal 47 Ayat (1 dan 2)). l. Hak untuk mendapatkan cuti menjelang bebas Ketentuan mengenai cuti menjelang bebas tidak berlaku untuk anak sipil. Setiap anak pidana dan anak negara dapat diberikan cuti menjelang bebas apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut : 1) Telah menjalani sekurang- kurangnya 2/3 (dua per tiga) masa pidana dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan ; 2) Berkelakuan baik selama menjalani masa pidana sekurang- kurangnya 9 (sembilan) bulan terakir di hitung sebelum tanggal 2/3 (dua per tiga) masa pidana ; 3) Lamanya cuti menjelang bebas sebesar remisi terakhir paling lama 6 (enam) bulan. Bagi anak negara yang tidak mendapatkan pemebebasan bersyarat diberikan cuti menjelang bebas apabila sekurang- kurangnya telah mencapai usia 17 (tujuh belas) tahun 6 (enam) bulan dan berkelakuan baik selama menjalani masa binaan. Pasal 14 huruf l Undang- Undang Nomor

17 digilib.uns.ac.id Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan jo Pasal 49 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. m. Hak untuk mendapatkan hak- hak lain sesuai dengan peraturan perundang- Undangan yang berlaku Setiap narapidana yang berada di Lembaga Pemasyarakatan berhak memperoleh hak- hak lain diantaranya : 1) Hak politik bagi narapidana dan anak didik pemasyarakatan adalah menjadi anggota partai politik sesuai dengan aspirasinya. 2) Hak memilih, narapidana dan anak didik pemasyarakatan diberi kesempatan untuk menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku. 3) Keperdataan lainnya, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tatacara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan meliputi : a) Surat menyurat dengan keluarga dan sahabat- sahabatnya Narapidana dan anak didik lembaga pemasyaraatan dapat mengirim surat keluar narapidana di Lembaga Pemasyarakatan dan menerima surat dari luar Lembaga Pemasyarakatan b) Izin keluar Lembaga Pemasyarakatan dalam hal- hal luar biasa Narapidana dan anak didik pemasyarakatan dapat diberi izin keluar Lembaga Pemasayarakatan. Izin keluar Lembaga Pemasyarakatan diberikan oleh kepala Lembaga Pemasyarakatan. Pasal 14 huruf m Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyaraktan jo Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan

18 digilib.uns.ac.id 32 Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan (Pasal 51 dan 52). Terkadang tidak disadari oleh petugas bahwa asas ini sangat penting diterapkan di dalam Lembaga Pemasyarakatan, meskipun asas ini kelihatanya sangat sederhana tapi apabila diabaikan maka dapat berakibat fatal. Banyak contoh karena mengabaikan asas ini dan yang menjadi korban adalah narapidana yang mempunyai kemampuan ekonomi rendah, mereka hanya dapat melihat saja. Mereka yang mempunyai kemampuan ekonomi menengah keatas dapat mengubah penjara sebagai tempat yang nyaman dengan fasilitas yang mereka inginkan. Asas Equality Before The Law sangat perlu diterapkan di dalam lembaga pemasyarakatan agar semua narapidana disamping melakukan kewajibanya selama menjadi Warga Binaan Pemasyarakatan tapi juga mendapatkan hak- haknya. 3. Tinjauan Umum tentang Narapidana a. Pengertian Narapidana Menurut Pasal 1 angka 7 Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 77 menjelaskan bahwa Narapidana adalah Terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan. Diambil dari beberapa pendapat mengenai pengertian narapida, dapat disimpulkan bahwa narapidana merupakan anggota dari masyarakat umum yang memiliki hak dan kewajiban sebagaimana warga negara lainnya, dikarenakan perlakuannya dalam kehidupan sehari- hari telah melakukan kesalahan yaitu melanggar hukum yang berlaku, maka untuk sementara waktu dimasukkan ke dalam Lembaga Pemasyarakatan dan akan kehilangan kemerdekaannya dalam waktu tertentu.

19 digilib.uns.ac.id 33 Terpidana yang diterima di Lembaga Pemasyarakatan wajib didaftar. Pendaftaran tersebut mengubah status Terpidana menjadi Narapidana. Pendaftaran tersebut meliputi : 1) Pencatatan : a) Putusan pengadilan ; b) Jati diri dan ; c) Barang atau uang yang dibawa 2) Pemeriksaan kesehatan ; 3) Pembuatan pasfoto ; 4) Pengambilan sidik jari ; 5) Pembuatan berita acara serah terima Terpidana. Berdasarkan Pasal 12 Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, dalam rangka pembinaan terhadap Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan, maka dilakukan penggolongan atas dasar : 1) umur ; 2) jenis kelamin ; 3) lama pidana yang dijatuhkan ; 4) jenis kejahatan ; 5) kriteria lainnya yang sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan. b. Hak dan Kewajiban Normatif Narapidana Dalam kamus hukum Indonesia karangan B.N Marbun mengartikan narapidana sebagai berikut orang yang sedang menjalani pidana atau hukuman dalam penjara (lembaga pemasyarakatan) (B.N. Marbun, 2009: 197). Dari pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa lembaga pemasyarakatan adalah tempat berkumpulnya narapidana.

20 digilib.uns.ac.id 34 Tujuan diselenggarakannya sistem pemasyarakatan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 UU No. 12 Tahun 1995 ialah dalam rangka membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali dalam lingkungan masyarakat, dapat berperan aktif dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab. Adapun dalam implementasinya, sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan atas asas pengayoman, persamaan perlakuan dan pelayanan, pendidikan, pembimbingan, penghormatan harkat dan martabat manusia, kehilangan kemerdekaan merupakan satu- satunya penderitaan, serta terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang- orang tertentu (Dwija Priyatno, 2006: 106). Didalam asas- asas tersebut telah terangkum hak- hak seorang narapidana adapun hak narapidana sebagaimana disebutkan pada Pasal 14 ayat (1) UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan ialah sebagai berikut, narapidana berhak : 1) Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya ; 2) Mendapatkan perawatan, rohani maupun jasmani ; 3) Mendapatkan pendidikan dan pengajaran ; 4) Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak ; 5) Menyampaikan keluhan ; 6) Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa yang tidak dilarang ; 7) Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan ; 8) Menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum, atau orang tertentu lainnya ; 9) Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi) ; 10) Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga ;

21 digilib.uns.ac.id 35 11) Mendapatkan pembebasan bersyarat ; 12) Mendapatkan cuti menjelang bebas ; 13) Mendapatkan hak- hak lain sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Kesemua hak tersebut adalah merupakan hak- hak normatif narapidana yang dalam pelaksanaan pembinaan pemasyarakatan harus dipenuhi atau diperoleh bagi setiap narapidana yang sedang menjalani masa hukumannya di dalam lembaga pemasyarakatan. Adapun mengenai kewajiban narapidana juga telah tertuang dalam Pasal 15 Undang- Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yaitu : 1) Narapidana wajib mengikuti secara tertib program pembinaan dan kegiatan tertentu ; 2) Ketentuan mengenai program pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. 4. Tinjauan Umum Mengenai Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) a. Lembaga Pemasyarakatan Sebagai Pelaksana Pidana Menurut Pasal 1 ayat (3) Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menjelaskan bahwa lembaga pemasyarakatan (LAPAS) adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan (Dwidja Priyatno, 2006: 66). Sedangkan Menurut Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor : M.01.PR Tahun 1985 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemasyarakatan dalam Pasal 1 Ayat (1) lembaga pemasyarakatan untuk selanjutnya di sebut LAPAS adalah unit pelaksana teknis dibidang pemasyarakatan yang berada dibawah dan tanggung jawab langsung kepada kepala kantor wilayah daerah departemen kehakiman.

22 digilib.uns.ac.id 36 Konsep Pemasyarakatan pertama kali dicetuskan oleh Bapak Sahardjo, S.H (Menteri Kehakiman), pada tanggal 5 juli 1953 pidato pengukuhan penganugrahan gelar Doktor Honoris Causa dalam Ilmu Hukum dari Universitas Indonesia di Istana Negara. Sahardjo merumuskan tujuan pidana penjara disamping menimbulkan rasa derita pada terpidana, juga agar terpidana bertobat, mendidik supaya menjadi anggota masyarakat yang berguna. Beliau mengatakan bahwa dengan singkat tujuan pidana penjara adalah pemasyarakatan. Uraian lebih lanjut dirumuskan menjadi sepuluh prinsip pemasyarakatan sebagai berikut (M. Zen Abdullah, 2009: 50) : 1) Tidak hanya masyarakat diayomi dari diulanginya perbuatan jahat oleh terpidana, tetapi orang yang tersesat (ditinjau dari segi hukum yaitu terpidana) diayomi dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga yang berguna didalam masyarakat ; 2) Penjatuhan pidana bukan tindakan balas dendam dari Negara ; 3) Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan melainkan dengan bimbingan ; 4) Negara tidak berhak membuat seseorang lebih buruk atau lebih jahat daripada sebelum ia masuk ke Lembaga Pemasyarakatan ; 5) Selain kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana dan anak didik harus dikenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan dengan masyarakat. Antara lain kontak dengan masyarakat dalam bentuk kunjungan hiburan kedalam Lembaga Pemasyarakatan dari anggota masyarakat bebas dan kesempatan lebih banyak untuk berkumpul bersama- sama keluarganya ; 6) Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik tidak boleh sekedar mengisi waktu juga tidak boleh diberikan untuk memenuhi kebutuhan jawatan atau kepentingan negara pada waktuwaktu tertentu saja. Pekerjaan yang diberikan harus satu dengan pekerjaan yang terdapat commit to dimasyarakat user dan yang menunjang

23 digilib.uns.ac.id 37 pembangunan umpamanya menjang usaha meningkatan produksi pangan ; 7) Bimbingan dan didikan harus didasarkan Pancasila ; 8) Setiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia, meskipun telah tersesat ; 9) Narapidana hanya dijatuhi pidana kehilangan kemerdekaan ; 10) Perlu didirikan Lembaga- Lembaga Pemasyarakatan yang baru yang sesuai dengan kebutuhan pelaksanaan program pembinaan dan memindahkan Lembaga- Lembaga yang berada ditengah- tengah kota ketempat- tempat yang sesuai dengan kebutuhan proses pemasyarakatan. Kesepuluh prinsip- prinsip pokok diatas diambil dari pokok- pokok pemikiran Sahardjo, S.H dari konsepsi pemasyarakatan, sehingga bukan lagi semata- mata sebagai tujuan dari pidana penjara, melainkan merupakan sistem pembinaan narapidana yang sekaligus merupakan metodologi di bidang treatment of offenders (Sri Wulandari,2010: 4). Jenis- jenis pidana sendiri diatur dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) tercantum dalam Pasal 10. Pasal ini sebagai dasar bagi hakim dalam menjatuhkan pidana. Dalam penulisan skripsi ini jenis pidana yang akan penulis paparkan hanyalah pidana penjara dan kurungan karena kedua jenis pidana itulah yang terdapat dalam lembaga pemasyarakatan : 1) Pidana Penjara Pidana penjara merupakan bentuk pidana yang berupa kehilangan kemerdekaan. Menurut PAF Lamintang pidana penjara adalah suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana yang dilakukan dengan menutup orang tersebut dalam sebuah lembaga commit permasyarakatan to user dengan mewajibkan orang

24 digilib.uns.ac.id 38 itu untuk menaati semua peraturan tata tertib yang berlaku, yang dikaitkan dengan suatu tindakan bagi mereka yang telah melanggar peraturan tersebut. Sedangkan menurut ketentuan pasal 12 ayat (1) KUHP, pidana penjara dapat berupa pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara waktu tertentu/ sementara. Lamanya hukuman penjara untuk sementara waktu berkisar antara 1 (satu) hari sedikitdikitnya dan 15 (limabelas) tahun berturut- turut paling lama. Akan tetapi dalam beberapa hal lamanya hukuman penjara sementara itu dapat ditetapkan sampai 20 tahun berturut- turut. Yaitu dalam hal kejahatan yang menurut pilihan hakim sendiri boleh dihukum mati, penjara seumur hidup dan penjara sementara, hukuman ditambah karena ada gabungan kejahatan atau karena berulang-ulang membuat kejahatan atau karena aturan pasal 52 KUHP. Akan tetapi, bagaimanapun juga hukuman penjara sementara waktu tidak boleh melebihi 20 tahun. Hal ini sesuai dengan pasal 12 ayat (4) KUHP. 2) Pidana Kurungan Pidana kurungan juga merupakan pidana hilang kemerdekaan sebagaimana pidana penjara, akan tetapi lebih ringan. Pidana kurungan ini hanya diancamkan pada tindak pidana yang sifatnya ringan. Menurut pasal 18 KUHP, lamanya pidana kurungan dikenakan sekurang- kurangnya 1 (satu) hari (minimum umum) dan selama- lamanya 1 (satu) tahun (maksimum umum). Hukuman kurungan ini mempunyai banyak kesamaan dengan hukuman penjara. Didalam beberapa hal (samenloop, residive dan pemberatan karena jabatan) hukuman kurungan itu dapat dikenakan lebih lama, yaitu 1 tahun 4 bulan (pasal 18 ayat (2) KUHP). Hukuman kurungan dianggap lebih ringan dari hukuman penjara dan hanya diancamkan

25 digilib.uns.ac.id 39 bagi peristiwa yang ringan sifatnya seperti di dalam kejahatan yang tidak disengaja dan didalam hal pelanggaran. b. Tugas, Fungsi dan Tujuan Lembaga Pemasyarakatan Berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Republik Indonesia Nomor : M.01.PR Tahun 1985 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemasyarakatan, Lembaga Pemasyarakatan mempunyai tugas melaksanakan pemasyarakatan Narapidana atau Anak Didik. Untuk menyelenggarakan tugas tersebut, menurut Pasal 3 Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan Lembaga Pemasyarakatan mempunyai fungsi untuk menyiapkan Warga Binaan Pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab. Tujuan dari lembaga pemasyarakatan yakni antara lain : 1) Membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat dan dapat aktif berperan dalam pembangunan serta dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab ; 2) Memberikan jaminan perlindungan hak asasi tahanan yang ditahan di Rumah Tahanan Negara dan Cabang Rumah Tahanan Negara dalam rangka memperlancar proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan ; 3) Memberikan jaminan perlindungan hak asasi tahanan/ para pihak berperkara serta keselamatan dan keamanan benda- benda yang disita untuk keperluan barang bukti pada tingkat penyidikan, penuntutan dan

26 digilib.uns.ac.id 40 pemeriksaan di sidang pengadilan serta benda- benda yang dinyatakan dirampas untuk negara berdasarkan putusan pengadilan. B. Kerangka Pemikiran Tindak Pidana Vonis Eksekusi Lembaga Pemasyarakatan Sragen sebagai Pelaksana Pidana Asas Equality Before The Law Pola Pembinaan dan Pemenuhan Hak- hak Narapidana Gambar 1. Kerangka Pemikiran Keterangan : Bedasarkan kerangka pemikiran diatas dapat dijelaskan bahwa apabila seseorang melakukan suatu tindak pidana dan dinyatakan bersalah melakukan suatu tindak pidana maka akan dijatuhi vonis/ putusan hukuman oleh Hakim. Kemudian bila semua pihak setuju commit dengan to user vonis/ putusan pengadilan, maka

27 digilib.uns.ac.id 41 putusan akan memiliki kekuatan hukum tetap dan disusul dengan pelaksanaan eksekusi. Eksekusi adalah pelaksanaan putusan pengadilan yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap. Eksekusi akan dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum. Apabila seseorang yang melakukan tindak pidana itu divonis dengan hukuman penjara maka eksekusi dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan. Dalam hal ini penulis melakukan penelitian di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Sragen sebagai pelaksana pidana. Asas Equality Before The Law ini diterapkan terhadap pola pembinaan dan pemenuhan hak- hak kepada para narapidana yang berada di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Sragen, kemudian dikaji dengan peraturan perundang- undangan yang terkait.

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN 1999 TENTANG SYARAT-SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN WEWENANG, TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB PERAWATAN TAHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pada hakikatnya

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 58 TAHUN 1999 TENTANG SYARAT-SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN WEWENANG, TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB PERAWATAN TAHANAN PRESIDEN, Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa pada hakikatnya Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai insan dan sumber daya manusia

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN 1999 TENTANG SYARAT-SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN WEWENANG, TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB PERAWATAN TAHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR M.01.PK.04-10 TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pada hakikatnya perlakuan terhadap

Lebih terperinci

PP 58/1999, SYARAT-SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN WEWENANG, TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB PERAWATAN TAHANAN

PP 58/1999, SYARAT-SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN WEWENANG, TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB PERAWATAN TAHANAN PP 58/1999, SYARAT-SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN WEWENANG, TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB PERAWATAN TAHANAN Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 58 TAHUN 1999 (58/1999) Tanggal: 22 JUNI 1999 (JAKARTA)

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1999 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN HAK WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1999 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN HAK WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 32 TAHUN 1999 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN HAK WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN PRESIDEN, Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 14 ayat (2), Pasal

Lebih terperinci

NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN

NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa pada hakikatnya Warga Binaan Pemasyarakatan

Lebih terperinci

PP 32/1999, SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN HAK WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN

PP 32/1999, SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN HAK WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN Copyright (C) 2000 BPHN PP 32/1999, SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN HAK WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN *36451 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 32 TAHUN 1999 (32/1999) TENTANG SYARAT DAN

Lebih terperinci

1 dari 8 26/09/ :15

1 dari 8 26/09/ :15 1 dari 8 26/09/2011 10:15 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pada hakikatnya

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : M.01-PK.04.10 TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS

KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : M.01-PK.04.10 TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : M.01-PK.04.10 TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBUK INOONESIA NOMOR M.2.PK.04-10 TAHUN 2007 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN ASIMILASI,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1999 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN HAK WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1999 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN HAK WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1999 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN HAK WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa dalam rangka melaksanakan

Lebih terperinci

BAB II URAIAN TEORITIS. Teori adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dan hasil

BAB II URAIAN TEORITIS. Teori adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dan hasil BAB II URAIAN TEORITIS Teori adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dan hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. para pemimpin penjara. Gagasan dan konsepsi tentang Pemasyarakatan ini

BAB I PENDAHULUAN. para pemimpin penjara. Gagasan dan konsepsi tentang Pemasyarakatan ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem Pemasyarakatan lahir di Bandung dalam konferensi jawatan kepenjaraan para pemimpin penjara. Gagasan dan konsepsi tentang Pemasyarakatan ini dicetuskan oleh DR.

Lebih terperinci

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1999 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN HAK WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang :

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.832, 2013 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Remisi. Asimilasi. Syarat. Pembebasan Bersyarat. Cuti. Tata Cara. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada hakikatnya warga Binaan Pemasyarakatan sebagai insan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada hakikatnya warga Binaan Pemasyarakatan sebagai insan dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada hakikatnya warga Binaan Pemasyarakatan sebagai insan dan sumber daya manusia harus diperlakukan dengan baik dan manusiawi dalam suatu sistem pembinaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum diciptakan oleh manusia mempunyai tujuan untuk menciptakan

BAB I PENDAHULUAN. Hukum diciptakan oleh manusia mempunyai tujuan untuk menciptakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum diciptakan oleh manusia mempunyai tujuan untuk menciptakan keadaan yang teratur, aman dan tertib, demikian juga hukum pidana yang dibuat oleh manusia yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi,

BAB I PENDAHULUAN. diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penegakan hukum pidana merupakan sebagian dari penegakan hukum di

BAB I PENDAHULUAN. Penegakan hukum pidana merupakan sebagian dari penegakan hukum di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum pidana merupakan sebagian dari penegakan hukum di dalam sistem hukum. Penegakan hukum pidana dilakukan melalui sistem peradilan pidana. Melalui

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK

NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

UU 12/1995, PEMASYARAKATAN. Oleh:PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor:12 TAHUN 1995 (12/1995) Tanggal:30 Desember 1995 (JAKARTA) Tentang:PEMASYARAKATAN

UU 12/1995, PEMASYARAKATAN. Oleh:PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor:12 TAHUN 1995 (12/1995) Tanggal:30 Desember 1995 (JAKARTA) Tentang:PEMASYARAKATAN UU 12/1995, PEMASYARAKATAN Oleh:PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor:12 TAHUN 1995 (12/1995) Tanggal:30 Desember 1995 (JAKARTA) Tentang:PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 99 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 32 TAHUN 1999 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN HAK WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat: a. bahwa anak merupakan amanah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia bertujuan membentuk masyarakat yang adil dan

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia bertujuan membentuk masyarakat yang adil dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia bertujuan membentuk masyarakat yang adil dan makmur berasaskan Pancasila. Dalam usaha-usahanya Negara menjumpai banyak rintangan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bagi negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran-pemikiran

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bagi negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran-pemikiran BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bagi negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran-pemikiran baru mengenai pemidanaan yang tidak lagi sekedar penjeraan tapi juga merupakan suatu usaha

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

PEMBINAAN BAGI TERPIDANA MATI. SUWARSO Universitas Muhammadiyah Purwokerto

PEMBINAAN BAGI TERPIDANA MATI. SUWARSO Universitas Muhammadiyah Purwokerto PEMBINAAN BAGI TERPIDANA MATI SUWARSO Universitas Muhammadiyah Purwokerto ABSTRAK Pro dan kontra terkait pidana mati masih terus berlanjut hingga saat ini, khususnya di Indonesia yang baru melakukan eksekusi

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang- Undang Dasar 1945 menetapkan bahwa Negara Republik Indonesia itu suatu Negara hukum (rechstsaat) (Julita Melissa Walukow, 2013: 163).

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR :M.01-PK TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS

KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR :M.01-PK TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR :M.01-PK.04.10 TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA. Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB II. Perlindungan Hukum Anak Pelaku Tindak Pidana Narkotika Di Lembaga. Pemasyarakatan Anak

BAB II. Perlindungan Hukum Anak Pelaku Tindak Pidana Narkotika Di Lembaga. Pemasyarakatan Anak BAB II Perlindungan Hukum Anak Pelaku Tindak Pidana Narkotika Di Lembaga Pemasyarakatan Anak 2.1 Dasar Hukum Perlindungan Hak Anak Di Lembaga Pemasyarakatan. Kenakalan anak disebut juga dengan Juvenile

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Juli 2006) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 99 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 99 TAHUN 2012 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 99 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 32 TAHUN 1999 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN HAK WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN

Lebih terperinci

PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah

Lebih terperinci

2018, No bersyarat bagi narapidana dan anak; c. bahwa Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 21 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata

2018, No bersyarat bagi narapidana dan anak; c. bahwa Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 21 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.282, 2018 KEMENKUMHAM. Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat. Pencabutan. PERATURAN MENTERI HUKUM

Lebih terperinci

BAB III. Pemasyarakatan Anak Blitar. 3.1 Pola Pembinaan Anak Pelaku Tindak Pidana Di Lembaga

BAB III. Pemasyarakatan Anak Blitar. 3.1 Pola Pembinaan Anak Pelaku Tindak Pidana Di Lembaga BAB III Pola Pembinaan Anak Pelaku Tindak Pidana Di Lembaga Pemasyarakatan Anak Blitar 3.1 Pola Pembinaan Anak Pelaku Tindak Pidana Di Lembaga Pemasayarakatan Anak Sebagaimana ditegaskan dalam Undang-undang

Lebih terperinci

PENJELASAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN

PENJELASAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN PENJELASAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN UMUM Sebagaimana ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai hukum. Hal ini tercermin di dalam Pasal 1 ayat (3) dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak merupakan amanah dan karunia

Lebih terperinci

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG BANTUAN HUKUM UNTUK MASYARAKAT MISKIN

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG BANTUAN HUKUM UNTUK MASYARAKAT MISKIN SALINAN BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG BANTUAN HUKUM UNTUK MASYARAKAT MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG BALAI PERTIMBANGAN PEMASYARAKATAN DAN TIM PENGAMAT PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pergeseran paradigma dalam hukum pidana, mulai dari aliran klasik,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pergeseran paradigma dalam hukum pidana, mulai dari aliran klasik, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pergeseran paradigma dalam hukum pidana, mulai dari aliran klasik, aliran neo-klasik, dan aliran modern menandai babak baru dalam wacana hukum pidana. Pergeseran

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pada hakikatnya Warga Binaan Pemasyarakatan

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Hasil PANJA 12 Juli 2006 Dokumentasi KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI Hasil Tim perumus PANJA, santika 12 Juli

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.153, 2012 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyiksaan dan diskriminatif secara berangsur-angsur mulai ditinggalkan melalui

BAB I PENDAHULUAN. penyiksaan dan diskriminatif secara berangsur-angsur mulai ditinggalkan melalui BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sistem penjara di Indonesia pada awalnya tidak jauh berbeda dengan negaranegara lain, yaitu sekedar penjeraan berupa penyiksaan, perampasan hak asasi manusia dan lebih

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

BAB IV. A. Bantuan Hukum Terhadap Tersangka Penyalahgunaan Narkotika. Dalam Proses Penyidikan Dihubungkan Dengan Undang-Undang

BAB IV. A. Bantuan Hukum Terhadap Tersangka Penyalahgunaan Narkotika. Dalam Proses Penyidikan Dihubungkan Dengan Undang-Undang BAB IV ANALISIS HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM UNTUK TERSANGKA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DALAM PROSES PENYIDIKAN DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA JUNCTO UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SEMARANG,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SEMARANG, DHARMOTTAMA SATYA PRAJA PEMERINTAH KABUPATEN SEMARANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 4 TAHUN 2000 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN BADAN PERWAKILAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SEMARANG,

Lebih terperinci

SKRIPSI PERAN BAPAS DALAM PEMBIMBINGAN KLIEN PEMASYARAKATAN YANG MENJALANI CUTI MENJELANG BEBAS. (Studi di Balai Pemasyarakatan Surakarta)

SKRIPSI PERAN BAPAS DALAM PEMBIMBINGAN KLIEN PEMASYARAKATAN YANG MENJALANI CUTI MENJELANG BEBAS. (Studi di Balai Pemasyarakatan Surakarta) SKRIPSI PERAN BAPAS DALAM PEMBIMBINGAN KLIEN PEMASYARAKATAN YANG MENJALANI CUTI MENJELANG BEBAS (Studi di Balai Pemasyarakatan Surakarta) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA 16 BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA A. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Lebih terperinci

elr 24 Sotnuqri f,ole NPM EIALAMA}.{ PERNYATAAN ORISINALITAS Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, Tanda Tangan

elr 24 Sotnuqri f,ole NPM EIALAMA}.{ PERNYATAAN ORISINALITAS Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, Tanda Tangan Kebijakan conjugal..., Fausia Isti Tanoso, FH UI, 2012 Kebijakan conjugal..., Fausia Isti Tanoso, FH UI, 2012 EIALAMA}.{ PERNYATAAN ORISINALITAS Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, da-n semua

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.727, 2012 LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN. Tata Cara. Pendampingan. Saksi. PERATURAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 2. Persamaan perlakuan dan pelayanan; 5. Penghormatan harkat dan martabat manusia;

BAB I PENDAHULUAN. 2. Persamaan perlakuan dan pelayanan; 5. Penghormatan harkat dan martabat manusia; BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menegaskan bahwa sistem pembinaan narapidana yang dilakukan oleh Negara Indonesia mengacu

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1979 TENTANG PEMBERHENTIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, MEMUTUSKAN :

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1979 TENTANG PEMBERHENTIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, MEMUTUSKAN : PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1979 TENTANG PEMBERHENTIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa ketentuan-ketentuan mengenai pemberhentian Pegawai

Lebih terperinci

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat: a. bahwa anak merupakan amanah

Lebih terperinci

2016, No Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pem

2016, No Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pem BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.810, 2016 KEMENKUMHAM. Remisi. Asimilasi. Cuti Mengunjungi Keluarga. Pembebasan Bersyarat. Cuti Menjelang Bebas. Cuti Bersyarat. Pemberian. Tata Cara. Perubahan. PERATURAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi diartikan sebagai penyelenggaraan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain atau suatu korporasi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengatakan bahwa setiap orang

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengatakan bahwa setiap orang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada hakekatnya, kesehatan merupakan hak setiap manusia. Hal tersebut sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 28 H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tugas pokok melaksanakan pemasyarakatan narapidana/anak didik. makhluk Tuhan, individu dan anggota masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. tugas pokok melaksanakan pemasyarakatan narapidana/anak didik. makhluk Tuhan, individu dan anggota masyarakat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lembaga Pemasyarakatan merupakan salah satu unit pelaksana tekhnis dari jajaran Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang mempunyai tugas pokok melaksanakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

Presiden Republik Indonesia,

Presiden Republik Indonesia, Copyright 2000 BPHN PP 32/1979, PEMBERHENTIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL *28126 Bentuk: PERATURAN PEMERINTAH (PP) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 32 TAHUN 1979 (32/1979) Tanggal: 29 SEPTEMBER 1979 (JAKARTA)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Norma atau kaidah hukum selalu ada dalam masyarakat yang berguna untuk mengatur masyarakat itu sendiri. Apabila mereka melanggar kaidah-kaidah hukum itu atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Nasional pada dasarnya merupakan pembangunan manusia

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Nasional pada dasarnya merupakan pembangunan manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan Nasional pada dasarnya merupakan pembangunan manusia seutuhnya dan masyarakat Indonesia yang berdasarkan pada Undang-undang Dasar 1945. Fungsi hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketika seseorang yang melakukan kejahatan atau dapat juga disebut sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Ketika seseorang yang melakukan kejahatan atau dapat juga disebut sebagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketika seseorang yang melakukan kejahatan atau dapat juga disebut sebagai pelaku tindak pidana, proses hukum pertama yang akan dijalani adalah proses penyelidikan. Seseorang

Lebih terperinci

PERSPEKTIF DAN PERAN MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN PIDANA ALTERNATIF

PERSPEKTIF DAN PERAN MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN PIDANA ALTERNATIF PERSPEKTIF DAN PERAN MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN PIDANA ALTERNATIF M. ALI ARANOVAL SEMINAR NASIONAL PEMBIMBINGAN KEMASYARAKATAN DAN ALTERNATIVE PEMIDANAAN IPKEMINDO - 19 APRIL 2018 CENTER FOR DETENTION

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG ADVOKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG ADVOKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG ADVOKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan

Lebih terperinci

Efektivitas Pelepasan Bersyarat Dalam Pembinaan Narapidana

Efektivitas Pelepasan Bersyarat Dalam Pembinaan Narapidana Efektivitas Pelepasan Bersyarat Dalam Pembinaan Narapidana Oleh Suyanto ABSTRAK Narapidana adalah anggota masyarakat, berasal dari masyarakat, merugikan masyarakat, tetapi juga karena sedikit banyak ada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemerdekaan yang wajar sesuai dengan Perundang-undangan yang berlaku dan normanorma

BAB I PENDAHULUAN. kemerdekaan yang wajar sesuai dengan Perundang-undangan yang berlaku dan normanorma BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Pembaharuan sistem secara lebih manusiawi dengan tidak melakukan perampasan hak-hak kemerdekaan warga binaan pemasyarakatan, melainkan hanya pembatasan kemerdekaan

Lebih terperinci

HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA

HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima : 29 September 2014; disetujui : 13 Oktober 2014 Indonesia adalah negara yang berdasar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kehidupan narapidana untuk dapat membina, merawat, dan memanusiakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kehidupan narapidana untuk dapat membina, merawat, dan memanusiakan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Lembaga Pemasyarakatan. 1. Pengertian Lembaga Pemasyarakatan Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) adalah Lembaga Negara yang mempunyai kewenangan dan kewajiban bertanggungjawab

Lebih terperinci

PERATURAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENDAMPINGAN SAKSI LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERATURAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENDAMPINGAN SAKSI LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN PERATURAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENDAMPINGAN SAKSI LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA LEMBAGA PERLINDUNGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. UUD 1945 pasal 1 ayat (3) bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. UUD 1945 pasal 1 ayat (3) bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Negara Indonesia merupakan negara hukum, sebagaimana dijelaskan dalam UUD 1945 pasal 1 ayat (3) bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 3, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 3668) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dan kemajuan manusia dalam bidang ilmu pengetahuan dan

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dan kemajuan manusia dalam bidang ilmu pengetahuan dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perkembangan dan kemajuan manusia dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang dengan pesat dan semakin memudahkan kehidupan manusia, namun

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK I. UMUM Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kurangnya kualitas sumber daya manusia staf Lembaga Pemasyarakatan, minimnya fasilitas dalam Lembaga Pemasyarakatan.

BAB I PENDAHULUAN. kurangnya kualitas sumber daya manusia staf Lembaga Pemasyarakatan, minimnya fasilitas dalam Lembaga Pemasyarakatan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Narapidana sebagai warga negara Indonesia yang hilang kemerdekaannya karena melakukan tindak pidana pembunuhan, maka pembinaannya haruslah dilakukan sesuai dengan

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No.5332 TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK I. UMUM Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini menganut asas kesalahan sebagai salah satu asas disamping asas legalitas.

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK

Lebih terperinci

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYIDIKAN BAGI PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH PROVINSI BANTEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN,

Lebih terperinci

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 Lex Crimen, Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci