HERBETH TARULI YOHANES MARPAUNG

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HERBETH TARULI YOHANES MARPAUNG"

Transkripsi

1 PENERAPAN PERBANDINGAN DUA PLANNING UNIT BERBEDA (HEKSAGON DAN MANAGAMENT UNIT) PERANGKAT LUNAK MARXAN DALAM PERANCANGAN WILAYAH LARANG AMBIL TAMAN NASIONAL WAKATOBI, KABUPATEN WAKATOBI PROPINSI SULAWESI TENGGARA HERBETH TARULI YOHANES MARPAUNG SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

2 RINGKASAN HERBETH TY MARPAUNG. Penerapan Perbandingan Dua Planning Unit Berbeda (Heksagon dan Managament Unit) Perangkat Lunak Marxan Dalam Perancangan Wilayah Larang Ambil Taman Nasional Wakatobi. Dibimbing oleh SETYO BUDI SUSILO. Taman Nasional Wakatobi terletak di Kabupaten Wakatobi, Propinsi Sulawesi Tenggara. Secara geografis Taman Nasional Wakatobi merupakan kawasan yang termasuk dalam coral tri angle, dimana kawasan ini merupakan kawasan pusat keanekaragaman karang dunia. Di kawasan ini banyak terdapat jenis-jenis karang, ikan, dan penyu. Taman Nasional wakatobi terletak diantara 123 o o BT dan 05 o o LS. Taman Nasional Wakatobi memiliki luas kawasan sebesar Ha yang terbagi daratan dan perairan. Luas perairan yang menutupi luas kawasan tersebut sebesar 97% dan luas daratan yang menutupi luas kawasan tersebut sebesar 3%. Secara sosial dan ekonomi, penduduk Taman Nasional Wakatobi berjumlah jiwa. Penduduk di Taman Nasional Wakatobi didominasi oleh penduduk yang menamatkan jenjang pendidikan pada jenjang Sekolah Dasar (SD) hanya sedikit dari penduduk tersebut yang menyelesaikan pendidikan pada jenjang Sekolah Menengah Umum (SMA) dan Perguruan Tinggi. Hal inilah yang menjadi perhatian, untuk menjaga kelestarian sumberdaya alam yang cukup melimpah diperlukannya suatu area untuk menjadi stok keanekaragaman hayati kawasan tersebut. Penentuan wilayah larang ambil merupakan salah satu solusi untuk menjawab problematika yang terjadi. MARXAN (Marine Reserve Design Using Spatially Explicit Annealing) merupakan suatu perangkat lunak berbasis Sistem Informasi Geografis yang digunakan untuk keperluan atau membantu mengambil keputusan dalam pembuatan wilayah larang ambil di laut. Perangkat lunak marxan bekerja dengan algoritma simulated annealing, algoritma ini mencari total cost terendah untuk dipilih sebagai wilayah larang ambil dalam satuan unit perencanaan. Penelitian ini berlangsung dari bulan November 2010 sampai Maret 2011 yang dilakukan di Laboratorium Penginderaan Jarak Jauh dan Sistem Informasi Geografis, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Perangkat lunak MARXAN membutuhkan input data fitur konservasi dan fitur cost. Data fitur konservasi dan fitur cost tersebut didapatkan dari tim monitoring join program LSM TNC-WWF. Dalam penelitian ini fitur konservasi yang dikaji ada enam yaitu terumbu karang, padang lamun, mangrove, populasi burung pantai, populasi penyu, dan daerah pemijahan ikan (SPAGs) sedangkan fitur pemanfaatan yang akan dikaji yaitu budidaya rumput laut, alat tangkap sero, alat bantu penangkapan ikan rumpon, keramba jaring apung, perikanan tradisional, dan alat tangkap jaring angkat. Kedua fitur tersebut akan dimasukkan kedalam dua satuan unit perencanaan, heksagon dan management unit. Hasil dari pengolahan data dan analisis data pada penelitian ini menetapkan bahwa perancangan wilayah larang ambil menggunakan satuan unit perencanaan heksagon dengan memakai number of run 10, 50, 100, 500, 1000 menetapkan luas wilayah larang ambil di Taman Nasional Wakatobi masing-masing sebesar

3 Ha, Ha, Ha, Ha, Ha, Ha. Berbeda dengan perancangan yang menggunakan satuan unit perencanaan management unit, luas wilayah larang ambil yang terbentuk dengan memakai number of run 10, 50, 100, 500, 1000 sebesar Ha. Pada management unit, number of run tidak mempengaruhi hasil keluaran oleh marxan.

4 PENERAPAN PERBANDINGAN DUA PLANNING UNIT BERBEDA (HEKSAGON DAN MANAGAMENT UNIT) PERANGKAT LUNAK MARXAN DALAM PERANCANGAN WILAYAH LARANG AMBIL TAMAN NASIONAL WAKATOBI, KABUPATEN WAKATOBI PROPINSI SULAWESI TENGGARA Oleh : HERBETH TARULI YOHANES MARPAUNG SKRIPSI sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan Pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

5 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul: PENERAPAN PERBANDINGAN DUA PLANNING UNIT BERBEDA (HEKSAGON DAN MANAGAMENT UNIT) PERANGKAT LUNAK MARXAN DALAM PERANCANGAN WILAYAH LARANG AMBIL TAMAN NASIONAL WAKATOBI, KABUPATEN WAKATOBI PROPINSI SULAWESI TENGGARA adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Skripsi ini. Bogor, Juli 2011 HERBETH TARULI YOHANES MARPAUNG NRP. C

6 Hak cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian/seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

7 Judul Skripsi : PENERAPAN PERBANDINGAN DUA PLANNING UNIT BERBEDA (HEKSAGON DAN MANAGEMENT UNIT) PERANKAT LUNAK MARXAN DALAM PERANCANGAN WILAYAH LARANG AMBIL TAMAN NASIONAL WAKATOBI, KABUPATEN WAKATOBI, PROPINSI SULAWESI TENGGARA Nama Mahasiswa Nomor Pokok Departemen : Herbeth Taruli Yohanes Marpaung : C : Ilmu dan Teknologi Kelautan Menyetujui, Dosen Pembimbing Prof. Dr. Ir. H. Setyo Budi Susilo, M. Sc NIP Mengetahui, Ketua Departemen, Prof. Dr. Ir. H. Setyo Budi Susilo, M. Sc NIP Tanggal lulus : 25 Juli 2011

8 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis mengucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas Kasih dan AnugerahNya kepada penulis sehingga penulis masih diberikan nafas kehidupan sampai pada akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan oleh penulis. Skripsi ini berjudul Penerapan Perbandingan Dua Planning Unit Berbeda (Heksagon dan Management unit) Perangkat Lunak Marxan Dalam Perancangan Wilayah Larang Ambil Taman Nasional Wakatobi, Kabupaten Wakatobi, Propinsi Sulawesi Tenggara yang diajukan sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar sarjana kelautan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak, mama, abang, dan kakak-kakak penulis yang sudah memberikan dan mendidik penulis sehingga penulis mampu menempuh tingkatan akademik strata satu. 2. Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo selaku komisi pembimbing yang telah membimbing penulis pada saat penelitian sampai pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 3. Abang Anton Wijonarno, S.Pi selaku pembimbing lapang yang telah membimbing secara teknis dalam menyelesaikan skripsi ini. 4. Dr. Ir. Henry M Manik, M.T selaku Ketua Komisi Pendidikan Sarjana. 5. Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, DEA selaku dosen penguji.

9 6. WWF//Marine yang telah memberikan data untuk digunakan dalam penelitian ini. 7. Abang dan Kakak Senior members GMKI cabang Bogor, Jhony Allen Marbun, Bungaran Saragih, Rapma Tampubolon, dan Saut Hutagalung yang telah memotivasi penulis dalam penyelesaian skripsi ini. 8. Rekan-rekan Badan Pengurus Cabang GMKI cabang Bogor masa bhakti yang memacu penulis agar menyelesaikan skripsi ini. 9. Fisheries Diving Club (FDC-IPB) yang telah mendidik dan melatih penulis dalam pendidikan non-formal sehingga penulis mendapatkan keahlian tambahan. 10. Civitas Warga Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan atas semangat yang diberikan untuk penulis. 11. Warga Bengkel Workshop Laboratorium Instrumentasi dan Telemetri Kelautan, ITK-IPB. Penulis menyadari skripsi ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu saran dan kritik sangat diharapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kalimat penulis berharap agar skripsi ini berguna bagi banyak pihak. Bogor, Juli 2011 Herbeth TY Marpaung

10 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... i DAFTAR GAMBAR... iii DAFTAR TABEL... v DAFTAR LAMPIRAN... vi 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Lokasi Penelitian Sistem Informasi Geografis Wilayah Larang Ambil MARXAN (Marine Reserve Design Using Spatially Explicit Annealing) METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Daerah Kajian/Area of Interest (AOI) Alat dan Bahan Alur Kerja Marxan Penentuan Wilayah Larang Ambil Fitur Konservasi dan Fitur Pemanfaatan/Cost Nilai Target Konservasi dan Species Penalty Factor (SPF) HASIL DAN PEMBAHASAN Fitur Pemanfaatan/Cost...19 i

11 4.2. Fitur Konservasi Wilayah Larang Ambil dengan Planning Unit Heksagon Wilayah Larang Ambil dengan Planning Unit Management Unit KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP...68 ii

12 DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Peta Taman Nasional Wakatobi Gambar 2. Satuan Unit Perencanaan Heksagon Gambar 3. Satuan Unit Perencanaan Managament Unit Gambar 4. Diagram Alir Kerja Marxan pada Satuan Unit Perencanaan Heksagon Gambar 5. Diagram Alir Kerja Marxan pada Satuan Unit Perencanaan Managament Unit Gambar 6. Fitur Pemanfaatan Taman Nasional Wakatobi Gambar 7. Fitur Konservasi Taman Nasional Wakatobi Gambar 8. Wilayah Larang Ambil dengan Satuan Unit Perencanaan Heksagon dan Proses Simulasi Sebanyak 10 kali.32 Gambar 9. Wilayah Larang Ambil dengan Satuan Unit Perencanaan Heksagon dan Proses Simulasi Sebanyak 50 kali.33 Gambar 10. Wilayah Larang Ambil dengan Satuan Unit Perencanaan Heksagon dan Proses Simulasi Sebanyak 100 kali...36 Gambar 11. Wilayah Larang Ambil dengan Satuan Unit Perencanaan Heksagon dan Proses Simulasi Sebanyak 500 kali...39 Gambar 12. Wilayah Larang Ambil dengan Satuan Unit Perencanaan Heksagon dan Proses Simulasi Sebanyak 1000 kali...42 Gambar 13. Diagram Batang Sebaran Frekuensi Nilai cost number of run Gambar 14. Diagram Batang Sebaran Frekuensi Nilai cost number of run Gambar 15. Diagram Batang Sebaran Frekuensi Nilai cost number of run Gambar 16. Diagram Batang Sebaran Frekuensi Nilai cost number of run Gambar 17. Diagram Batang Sebaran Frekuensi Nilai cost number of run Gambar 18. Wilayah Larang Ambil dengan Satuan Unit Perencanaan Management Unit dan Proses Simulasi Sebanyak 10 kali...51 iii

13 Gambar 19. Wilayah Larang Ambil dengan Satuan Unit Perencanaan Management Unit dan Proses Simulasi Sebanyak 50 kali Gambar 20. Wilayah Larang Ambil dengan Satuan Unit Perencanaan Management Unit dan Proses Simulasi Sebanyak 100 kali Gambar 21. Wilayah Larang Ambil dengan Satuan Unit Perencanaan Management Unit dan Proses Simulasi Sebanyak 500 kali Gambar 22. Wilayah Larang Ambil dengan Satuan Unit Perencanaan Management Unit dan Proses Simulasi Sebanyak 1000 kali iv

14 DAFTAR TABEL Tabel 1. Alat dan Bahan Penelitian v

15 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Tabel Skenario Wilayah Larang Ambil Satuan Unit Perencanaan Heksagon Lampiran 2. Tabel Skenario Wilayah Larang Ambil Satuan Unit Perencanaan Managament Unit Lampiran 3. Analysis Report Planning Unit Heksagon vi

16 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Wilayah laut indonesia mempunyai luas berkisar 5,8 juta km 2 atau bisa dikatakan luas wilayah laut Indonesia sebesar 70% dari luas wilayah keseluruhan negara Indonesia. Di wilayah pesisir laut terdapat beberapa ekosistem seperti ekosistem terumbu karang, ekosistem mangrove, dan ekosistem padang lamun. Antar ekosistem memiliki hubungan fungsional baik dari nutrisi terlarut, sifat fisik air, maupun migrasi biota laut. Ekosistem-ekosistem tersebut berinteraksi harmonis, salah satu ekosistem rusak maka ekosistem lainnya pun ikut rusak. Indonesia memiliki 50 Taman Nasinal diantaranya adalah Taman Nasional Wakatobi. Sebelumnya Taman Nasional Wakatobi bernama Taman Nasional Kepulauan Wakatobi yang disahkan oleh keputusan Menteri Kehutanan No. 393KPTS-VI/1996 pada tanggal 30 Juli Dengan terbitnya Peraturan Menteri Kehutanan No. P29 tahun 2006 maka penamaan taman nasional berganti menjadi Taman Nasional Wakatobi (TNW) dan berlaku hingga sekarang. Secara administratif wilayah Kepulauan Wakatobi mencakup 67 desa dan 8 kecamatan yang termasuk kedalam Kabupaten Wakatobi. Taman Nasional Wakatobi mempunyai luas kawasan sebesar Ha. Luas kawasan tersebut terbagi atas 97% perairan dan 3% daratan dengan jumlah penduduk jiwa (Balai Taman Nasional Wakatobi, 2008). Taman Nasional Wakatobi memiliki 2 musim yaitu musim kemarau yang terjadi pada bulan April sampai dengan bulan Agustus dan musim hujan yang terjadi pada bulan September sampadi dengan April. Taman Nasional Wakatobi memiliki sumberdaya alam laut yang sangat berpotensi 1

17 2 yang dapat mengundang banyak pihak untuk berkunjung. Perairan Taman Nasional Wakatobi berada pada wilayah segitiga terumbu karang dunia (Coral Tri Angle) dengan demikian perairan taman nasional ini sangat kaya akan sumber daya hayati pesisirnya yang memiliki 396 jenis karang Scleractinia hematipic yang terbagi dalam 68 genus dan 15 famili, 590 jenis ikan dari 52 famili, 9 jenis tumbuhan lamun, 2 jenis penyu, dan 22 jenis dari 13 famili mangrove (Balai Taman Nasional Wakatobi, 2008). Hal ini lah yang menarik perhatian untuk membuat wilayah larang ambil (No-Take Area). Luas perairan yang sangat luas tersebut menjadi problematika bagi banyak pihak, baik dari pihak pemerintah maupun pihak masyarakat setempat. Pemanfaatan luas perairan tersebut sering disalahgunakan oleh masyarakat setempat dengan cara instan untuk memanfaatkan sumber daya alam yang dimiliki oleh lingkungannya. Sementara itu pihak pemerintah ingin menjaga dan melestarikan sumber daya alam yang dimiliki oleh suatu wilayah dengan cara menjaga kekhasan dan kekayaan hayati yang ada didalamnya. Pengaturan zona suatu kawasan laut sangatlah penting agar terjadi keselarasan antara pemerintahan dengan masyarakat khususnya masyarakat pesisir. Dengan demikian kebijakan pemerintah untuk menetapkan suatu tempat sebagai lokasi wilayah larang ambil dapat didukung oleh masyarakat setempat yang didasarkan oleh pertimbanganpertimbangan yang tidak bersahabat dengan masyarakat setempat. Teknologi Sistem informasi Geografis (SIG) dapat membantu dalam menangani problematika di atas. Dengan teknologi SIG, si pengelola dipermudah untuk membuat wilayah larang ambil untuk membuat penetapan wilayah larang ambil (No-Take Area). SIG merupakan suatu komponen yang terdiri dari perangkat

18 3 keras, data geografis, dan sumberdaya manusia yang bekerja bersama secara efektif untuk menangkap, menyimpan, memperbaiki, memperbaharui, mengelola, memanipulasi, mengintegrasikan, menganalisis, dan menampilkan data dalam suatu informasi geografis. Program Marine Reserve Design Using Spatially Explicit Anealling (MARXAN) merupakan suatu perangkat lunak berbasis SIG yang digunakan untuk keperluan atau membantu dalam proses penentuan wilayah larang ambil, perangkat lunak ini sudah banyak digunakan oleh beberapa negara termasuk negara Indonesia (Ball dan Posingham, 2000). MARXAN akan mengacak keseluruh bagian daerah yang layak dijadikan wilayah larang ambil (No-Take Area) dengan titik acuan data-data ekologi yang dimasukkan kedalam program ini. Marxan akan mengeluarkan rekomendasi-rekomendasi tempat secara acak yang akan dijadikan lokasi wilayah larang ambil. Berdasaran surat keputusan direktur jenderal perlindungan hutan dan koservasi alam tentang penetapan zonasi taman nasional wakatobi terdiri dari zona inti, zona perlindungan bahari, zona pariwisata, zona pemanfaatan umum, zona pemanfaatan lokal, zona khusus daratan. Wilayah larang ambil telah diidentifikasi sebagai alat yang paling efektif untuk konservasi ekosistem terumbu karang dan menjaga sistem laut terkait (Palumbi, 2003). 1.2 Tujuan Penelitian ini bertujuan membuat suatu rancangan skenario penetapan wilayah larang ambil (No-Take Area) dengan memakai perangkat lunak marxan. Selain itu penelitian ini juga bertujuan membandingkan hasil satuan unit

19 4 perencanaan heksagon dengan satuan unit perencanaan management unit yang dirancang pada perangkat lunak marxan.

20 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian Taman Nasional Wakatobi terletak di Kabupaten Wakatobi Propinsi Sulawesi Tenggara. Dalam sejarahnya, kabupaten ini merupakan pemekaran dari Kabupaten Buton. Kabupaten ini terbentuk pada tahun 2004 dengan ibu kota Wanci. Kabupaten Wakatobi memiliki 8 kecamatan, antara lain Kecamatan Wangi-Wangi, Kecamatan Wangi-wangi Selatan, Kecamatan Kaledupa, Kecamatan Kaledupa Selatan, Kecamatan Tomia, Kecamatan Tomia Timur, dan Kecamatan Binongko, dan Kecamatan Togo Binongko. Berdasarkan Taman Nasional Wakatobi (2008) pada tahun 2006 data yang dikeluarkan oleh Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Wakatobi jumlah penduduk di Kabupaten Wakatobi mencapai jiwa, yang terdiri dari berjenis kelamin laki-laki dan berjenis kelamin perempuan sebesar jiwa. Penduduk berasal dari bermacam etnis, yaitu etnis Wakatobi asli, Bugis, Buton, Jawa, dan Bajau. Sebagian besar penduduk menganut agama Islam. Tingkat pendidikan masyarakat masih tergolong rendah, hal ini dapat dilihat tingkat pendidikan masyarakat yang sebagian besar hanya menyelesaikan tingkat pendidikan pada jenjang Sekolah Dasar (SD), hanya sebagian kecil dari masyarakat yang menyelesaikan sampai jenjang Sekolah Menengah Umum (SMU) dan perguruan tinggi. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri No.393/KPTS-VI/1996 pada tanggal 30 Juli 1996 menetapkan Kabupaten Buton memiliki taman nasional yang bernama Taman Nasional Kepulauan Wakatobi. Pada tahun 2006 dengan 5

21 6 terbitnya Peraturan Menteri Kehutanan No.P.29 yang menetapkan pergantian nama Taman Nasional Kepulauan Wakatobi (TNKW) menjadi Taman Nasional Wakatobi (TNW). Berdasarkan geografis, Taman Nasional Wakatobi merupakan salah satu kabupaten yang terletak di Propinsi Sulawesi Tenggara. Pada awalnya Kabupaten Wakatobi bukan lah kabupaten melainkan salah satu kecamatan yang berada di Kabupaten Buton. Pada tahun 2004 terbentuk Kabupaten Wakatobi yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Buton dengan ibu kota Wanci. Kabupaten Wakatobi memiliki 4 buah pulau utama, yaitu Pulau Wangi wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko. Secara geografis Kabupaten Wakatobi terletak 123 o o BT dan 05 o o LS. Taman Nasional Wakatobi merupakan kawasan pelestarian alam yang memiliki berbagai ekosistem asli yang dikelola dalam sistem zonasi yang berguna untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, budidaya, pariwisata, dan rekreasi wisata. Taman Nasional Wakatobi memiliki luas sebesar Ha yang terletak pada batasan-batasan wilayah bagian utara dibatasi oleh laut Banda, bagian selatan dibatasi oleh laut Flores, bagian timur dibatasi oleh laut Banda, bagian barat dibatasi oleh laut Banda. Letak secara administrasi Taman Nasional Wakatobi terletak di Kabupaten Wakatobi, Propinsi Sulawesi Tenggara. Taman Nasional Wakatobi sering disebut dengan Kepulauan Tukang Besi. 2.2 Sistem Informasi Geografis Sistem informasi Geografis merupakan suatu komponen yang terdiri dari perangkat keras, data geografis, dan sumberdaya manusia yang bekerja bersama secara efektif untuk menangkap, menyimpan, memperbaiki, memperbaharui,

22 7 mengelola, memanipulasi, mengintegrasikan, menganalisis, dan menampilkan data dalam suatu informasi geografis. Aplikasi SIG dapat diaplikasikan di berbagai ekosistem, baik ekosistem terestrial maupun ekosistem pesisir. Aplikasi SIG juga bisa diaplikasikan untuk pengaturan tata ruang pengelolaan wilayah pesisir dan laut (Purwadhi et al, 1998). Perkembangan teknologi SIG telah banyak dimanfaatkan dalam berbagai penelitian baik penelitian yang dilakukan di daerah terrestrial maupun daerah laut. 2.3 Wilayah Larang Ambil (No-Take Area) Wilayah larang ambil merupakan suatu wilayah yang terletak di laut yang bertujuan untuk menjaga kelestarian ekosistem yang ada pada wilayah tersebut agar sumber daya alam yang ada tidak punah atau terdegradasi. Wilayah larang ambil dikenal dengan istilah lain yang dikenal sebagai Daerah Perlindungan Laut atau Marine Protected Area adalah suatu wilayah yang sengaja dibuat untuk melindungi, memperbaiki, dan mempertahankan produksi perikanan di sekitar lokasi daerah perlindungan laut (Wahyuni et al, 2008). Daerah perlindungan laut telah diidentifikasi sebagai alat yang paling efektif untuk konservasi terumbu karang dan sistem laut lainnya (Palumbi, 2003) tetapi daerah perlindungan laut tidaklah efektif jika pengelolaannya tidak dikaitkan dengan perubahan iklim dan tekanan manusia. Sistem wilayah larang ambil yang ideal akan diintegrasikan dengan sistem pengelolaan pesisir agar tejadi kontrol yang efektif untuk menghambat ancaman yang berasal dari hulu dan menjaga kualitas air (Done dan Reichelt, 1998).

23 8 Menurut Agardy dalam Bengen (2002), dalam pemilihan wilayah larang ambil diperlukan 3 tahapan dalam pemilihan tersebut : 1. Identifikasi habitat atau lingkungan kritis, distribusi ikan ekologis, dan ekonomis penting yang dilanjutkan dengan memetakan informasi tersebut dalam sistem infomasi geografis. 2. Mengetahui tingkat pemanfaatan sumberdaya dan mengidentifikasi sumbersumber degradasi konservasi. 3. Dalam penentuan lokasi yang diprioritaskan dapat menjadi wilayah larang ambil harus didasarkan pada proses perencanaan lokasi. Dalam pengembangan wilayah larang ambil dapat dilaksanakan dengan 3 pendekatan (UNCLOS pasal 61-68) yakni pendekatan pertama melalui pengaturan dan pengelolaan kegiatan individual di sektor kelautan, misalnya kegiatan perikanan tangkap komersil yang dilaksanakan pemerintah dengan koordinasi dengan banyak lembaga. Biasanya hubungan koordinasi ini sangat lemah sehingga pendekatan pertama ini sangat tidak efektif dalam pengelolaan wilayah larang ambil tersebut (Kelleher dan Kenchington, 1991 dalam Robert dan Hawkins, 2000). Pendekatan kedua melalui pembentukan wilayah larang ambil dalam skala kecil atau skala desa yang memiliki wilayah laut yang bertujuan untuk memberikan yang bernilai tinggi dengan peraturan formal ataupun peraturan lainnya, seperti peraturan adat. Pendekatan ketiga, pendekatan ini merupakan pendekatan yang terbaru. Pendekatan ini melalui pembentukan wilayah larang ambil yang serba guna yang menggunakan prinsip terpadu dalam mengelola suatu kawasan sampai dengan koordinasi antara wilayah laut dengan wilayah darat di kawasan pesisir.

24 9 2.4 MARXAN (Marine Reserve Design Using Spatially Explicit Annealing) Marxan merupakan perangkat lunak yang dikembangkan untuk membantu merancang sistem konservasi ekosistem laut. Marxan merupakan pengembangan dari perangkat lunak Spexan yang dibuat untuk merancang daerah konservasi terestrial. Pengoperasionalan kinerja marxan berlangsung secara langsung, pengelola/designer wilayah konservasi dapat mencoba berbagai skenario dan dapat melihat hasil dari skenario yang diinginkan (Meerman, 2005). Perangkat lunak marxan bekerja menggunakan algoritma simulated annealing dengan prinsip kerja terbagi menjadi tiga tahap yaitu iterative improvement, random backward, dan repetition. Langkah ini dapat dianalogikan dengan peluncuran beberapa robot (Sihite et al., 2007). Robot yang memiliki empat lengan akan diturunkan untuk melakukan misi pencarian permukaan yang paling rendah pada suatu wilayah. Robot tersebut akan mengukur tinggi permukaan secara langsung. Ketika sampai di permukaan, daerah yang diukur oleh lengan robot memiliki permukaan yang lebih rendah daripada permukaan dibawah badan robot maka robot akan bergerak menuju permukaan yang diukur oleh lengan robot yang memiliki tinggi permukaan yang lebih rendah. Langkah ini ini disebut iterative improvement. Langkah ini memiliki kelemahan, robot tidak dapat bergerak menuju permukaan yang lebih tinggi. Untuk mengatasi kelemahan tersebut robot diperintahkan untuk mundur terlebih dahulu setelah mendarat dan belum sampai pada dasar lembah yang baru, langkah tersebut dinamakan random backward. Kesatupaduan langkah iterative improvement dan random backward yang berguna untuk meningkatkan frekuensi pertemuan dengan daerah yang lebih

25 10 rendah dengan mengulangi langkah iterative improvement dan random backward. Langkah ini dinamakan repetition.

26 3. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian Rencana Pengelolaan Taman Nasional Wakatobi (Revisi 2008) dilakukan oleh tim monitoring join program Lembaga Swadaya Masyarakat TNC-WWF, pengambilan data lapangan berlangsung selama satu tahun yang berlangsung dari bulan Maret 2006 sampai Maret 2007 di Taman Nasional Wakatobi (Gambar 1.) Pada bulan November 2010 sampai bulan Maret 2011 dilakukan pengolahan dan analisis data di Laboratorium Penginderaan Jarak Jauh dan Sistem Informasi Geografis ITK-IPB. Gambar 1. Peta Taman Nasional Wakatobi 11

27 Daerah Kajian/Area of Interest (AOI) Area of Interest yang akan dikaji pada penelitian ini merupakan kawasan Taman Nasional Wakatobi. Pengkajian AOI menggunakan algoritma simulated annealing. Daerah yang akan dikaji ialah daerah yang masih terdapat terumbu karang dan daerah yang tidak dimasukkan kedalam perhitungan ialah daerah yang mengarah ke laut lepas. AOI yang telah dibuat akan dibentuk menjadi satuan unit perencanaan/planning unit dengan satuan unit perencanaan heksagon dan satuan unit perencanaan management unit. Bentuk yang dapat diadopsi dalam satuan unit perencanaan yaitu segitiga, persegi empat, dan heksagon (Loss, 2006). Bentuk heksagon dipilih karena memiliki bentuk yang paling natural dan lebih mendekati lingkaran sehingga memiliki rasio tepi yang rendah (Gaselbarcht et al, 2005 dalam Loss, 2006). Artinya satu heksagon dapat mewakili daerah terdekat dari setiap sisi-sisi daerah sekelilingnya. Bentuk heksagon juga memiliki keluaran yang lebih halus dibandingkan dengan satuan unit perencanaan lainnya (Miller et al., 1993 dalam Loss, 2006).

28 Alat dan Bahan Alat dan bahan pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian. No. Alat dan Bahan Kegunaan 1 Personal computer (laptop) Sebagai media untuk menyimpan dan mengeluarkan file dan data 2 Data hasil survei ekologi, meliputi : Fitur Konservasi Fitur Ekstraksi Pemanfaatan Sebagai input data dalam perangkat lunak marxan 3 Data kontur kedalaman perairan (Batimetri) Shuttle Radar Topography Mission (SRTM tahun 2009) Sebagai pertimbangan dalam menetapkan wilayah larang ambil 3 Perangkat lunak Arcview GIS 3.2 Sebagai alat dalam pengolahan data GIS 4 Extension tambahan dalam perangkat lunak Arcview GIS 3.2, meliputi : Av Tools, CLUZ, TNC Tools, dan Repeating Shapes. Mengolah data 5 Perangkat lunak Marxan 211 Sebagai alat untuk menyeleksi satuan unit perancangan dan menampilkan skenario wilayah larang ambil 3.4 Alur Kerja Marxan Pada penelitian ini menggunakan perangkat lunak marxan untuk membantu proses penentuan wilayah larang ambil. Perangkat lunak ini sudah banyak digunakan untuk proses penentuan wilayah larang ambil di beberapa negara termasuk Indonesia (Ball dan Possingham, 2004). Di Indonesia perangkat lunak ini telah banyak digunakan untuk keperluan proyek-proyek pembangunan kelautan seperti proyek zonasi Taman Nasional Wakatobi, dan identifikasi kawasan konservasi di Pulau Kakaban dan Pulau Maratua, Kalimantan Timur.

29 14 Marxan membutuhkan data spasial dan data ekologi yang digunakan sebagai input data. Input data tersebut akan dianalisis sesuai dengan kebutuhan dan keperluan dengan skenario konservasi yang akan dibuat. Perencanaan wilayah larang ambil dibutuhkan target konservasi yang akan dikaji. Menurut Wiryawan (2007), target konservasi merupakan ekosistem utama di dalam wilayah larang ambil seperti terumbu karang, padang lamun, mangrove, dan gosong pasir. Pengelola wilayah larang ambil harus menentukan terlebih dahulu jumlah target konservasi yang ingin dikaji dan dikonservasi. Target konservasi yang dipilih biasanya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan seperti pertimbangan nilai ekonomis, nilai ekologis, dan nilai estetika dari konservasi yang dipilih. Pertimbangan-pertimbangan tersebut biasanya berdasarkan referensi yang berbeda-beda. Pola pemanfaatan pada setiap lokasi pastilah berbeda-beda. Pada setiap daerah memiliki pola pemanfaatan tersendiri, dengan demikian dibutuhkan survei lapang untuk mengetahui pola pemanfaatan pada setiap daerah. Dengan survei ekologi, pola pemanfaatan, dan status pengelolaan diharapkan mendapat data yang akurat untuk digunakan sebagai masukan data dari marxan. Berdasarkan masukan data tersebutlah akan diolah dan dianalisis oleh marxan dan akan mengeluarkan solusi-solusi alternatif pada pembentukan suatu wilayah larang ambil.

30 Gambar 2. Satuan Unit Perencanaan Heksagon 15

31 Gambar 3. Satuan Unit Perencanaan Managament Unit 16

32 Penentuan Wilayah Larang Ambil Penentuan wilayah larang ambil ditentukan dengan data fitur yang digunakan dalam menentukan wilayah yang ingin ditetapkan menjadi wilayah larang ambil. Fitur cost/pemanfaatan dan fitur konservasi yang ditentukan akan digunakan sebagai input algoritma marxan. Dalam penelitian ini penentuan wilayah larang ambil menggunakan algoritma silmulated annealing. Nilai hasil perhitungan yang lebih kecil akan menjadi solusi yang lebih baik (Ball dan Possingham, 2004). Persamaan algoritma marxan dapat dilihat pada persamaan (1). (1).... dimana ; Cost = Nilai cost yang terpilih pada satuan unit perencanaan yang dapat diukur. BLM = Boundary Lenght Modifier, kontrol penting dari batas relatif cost terpilih dari satuan unit perencanaan (BLM bernilai 0 (nol maka boundary lenght tidak dimasukkan ke dalam fungsi objektif). Boundary = Batas area yang terpilih. SPF = Species Penalty Factor, yaitu faktor yang mengontrol besarnya nilai penalty apabila target tiap-tiap spesies tidak terpenuhi. Penalty = Nilai yang ditambahkan dalam fungsi obyektif untuk setiap target tidak terpenuhi, penalty ini opsional, dapat tidak dimasukkan kedalam fungsi objektif. i= Unit ID poligon. n= Unit ID poligon terakhir.

33 Fitur Konservasi dan Fitur Pemanfaatan/Cost Dalam suatu perancangan wilayah larang ambil dibutuhkan beberapa fitur konservasi dan fitur pemanfaatan yang ingin dikaji dalam suatu kawasan. Fitur konservasi merupakan suatu acuan ekologi yang dikaji untuk tujuan konservasi, fitur konservasi dapat berupa ekosistem, spesies, atau komunitas biota laut lainnya. Fitur pemanfaatan merupakan nilai pola pemanfaatan lingkungan, artinya suatu data yang menunjukkan tingkat nilai pemaanfaatan dalam suatu kawasan yang dapat mengakibatkan kenaikan biaya untuk pengelolaan kawasan konservasi tersebut ataupun dapat merusak kawasan konservasi tersebut. Dalam penelitian ini akan digunakan fitur konservasi berupa ekosistem terumbu karang, ekosistem padang lamun, ekosistem mangrove, daerah pemijahan ikan/spags (Spawning Agregation Site), penyu bertelur, dan populasi burung pantai (Gambar 7.). Fitur pemanfaatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah perikanan tradisional, keramba jaring apung, alat tangkap sero, rumput laut, jaring angkat, dan rumpon (Gambar 6.). Dalam penelitian ini fitur pemanfaatan dipertimbangkan dalam perhitungan marxan untuk rancangan pembentukan wilayah larang ambil. Jumlah dan jenis fitur pemanfaatan disesuaikan oleh kebutuhan-kebutuhan si pengelola dengan tujuan pembentukan wilayah larang ambil. Dalam hal ini digunakan persamaan dalam nilai cost seperti ditunjukkan pada persamaan (2) : TVC = (Perikanan tradisional x 1) + (Rumpon x 2) + (Jaring angkat x 3) + (Rumput laut x 4) + (Sero x 5) + (Keramba jaring apung x 6)..(2) Keterangan : TVC : Total Cost Value

34 Nilai Target Konservasi dan Species Penalty Factor (SPF) Nilai target dan SPF dari fitur konservasi yang ada sangatlah penting sebagai masukan data pada marxan. Nilai target dan SPF dapat ditentukan dari hasil penetian sebelumnya tetapi nilai-nilai tersebut tidak mutlak digunakan pada penelitian berbeda, nilai-nilai tersebut harus disesuaikan dengan kondisi lingkungannya (kondisonal). Pada penelitian ini menggunakan referensi nilai taget konservasi pada fitur konservasi masing-masing sebesar terumbu karang 30%, padang lamun 30%, mangrove 30%, daerah pemijahan ikan/spags 100%, populasi burung laut/seabird 30%, dan populasi penyu/turtle 100%. Penelitian ini menggunakan nilai SPF sebesar 100. Nilai SPF pada setiap target konservasi diberi nilai 100. Hal ini dikarenakan pada kondisi lingkungan yang mengasumsikan bahwa kepentingan seluruh target-target konservasi bernilai penting dan sama pentingnya antara satu dengan lainya.

35 Terumbu karang Area of Interest Habitat layer Planning unit heksagon Cost layer Daerah Pemijahan ikan Mangrove Padang lamun Penyu Burung pantai Jaring angkat Rumput laut Rumpon Jaring Sero Keramba jaring apung Data abudance Fitur Target table data MARXAN Selected Unselected Batimetri Penetapan wilayah larang Gambar 4. Diagram Alir Kerja MARXAN pada Satuan Unit Perencanaan Heksagon 20

36 Pembagian wilayah Buffering AOI (per 5 km sejajar Area of Interest Habitat layer Planning unit heksagon Cost layer Terumbu karang Daerah Pemijahan ikan Mangrove Padang lamun Penyu Burung pantai Jaring angkat Rumput laut Rumpon Jaring Sero Keramba jaring apung Data abudance Fitur Target table data MARXAN Selected Unselected Batimetri Penetapan wilayah larang Gambar 5. Diagram Alir Kerja Marxan pada Satuan Unit Perencanaan Management Unit 21

37 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Fitur Pemanfaatan/Cost Luas area Taman Nasional Wakatobi (TNW) sebesar Ha yang terbagi atas daratan dan lautan yang masing-masing memiliki luas sebesar ,39 Ha dan Ha. Jika dipersentasikan proporsi luas kawasan taman nasional memiliki 96.7% perairan dan 3,3% daratan. Perairan Taman Nasional Wakatobi terdapat beberapa fitur pemanfaatan yang diidentifikasi pada saat survei lapang yang dilakukan oleh tim joint program TNC-WWF. Fitur pemanfaatan yang teridentifikasi terdapat enam fitur yaitu perikanan tradisional, alat tangkap sero, keramba jaring apung, budidaya rumput laut, alat tangkap kategori jaring angkat, dan alat bantu penangkapan ikan, rumpon (Gambar 6.). Fitur pemanfaatan Taman Nasional Wakatobi dalam penelitian ini dibuat pada dua satuan unit perencanaan (planning unit), heksagon dan management unit. Pada gambar 6 terlihat jelas bahwa aktivitas perikanan tradisional hampir tersebar di seluruh Area kajian/area of Interest (AOI). Pulau Kentiolo, Pulau Cowo cowo, dan Pulau Koromaha saja yang tidak terdapat aktivitas penangkapan dengan menggunakan jaring tersebut. Aktivitas perikanan dengan menggunakan alat tangkap tradisional seperti jaring tidak berpengaruh nyata dalam hal memberikan dampak kerusakan pada target konservasi, dalam penelitian ini nilai biaya yang diberikan untuk fitur pemanfaatan ini (artisanal) bernilai 1. Hal ini dikarenakan aktivitas ini hanya menangkap ikan dengan menggunakan sampan dan jaring. 22

38 23 Fitur pemanfaatan rumpon diberikan nilai 2 dikarenakan alat ini merupakan alat bantu pada aktivitas perikanan. Pada kesehariannya, rumpon hanya menggunakan daun kelapa untuk menarik perhatian ikan agar berkumpul disekitar daun kelapa tersebut (perikanan tradisional) tetapi ada juga rumpon yang menggunakan sinar lampu untuk menarik perhatian ikan agar berkumpul di area sinar lampu tersebut. Rumpon hanya berdampak pada migrasi ruaya ikan saja. Pada gambar 6 terlihat pada Pulau Binongko tidak ada aktivitas rumpon, rumpon hanya tersebar pada 3 pulau besar lainnya, Pulau Wangi-wangi, Pulau Kaledupa, dan Pulau Tomia. Alat tangkap yang termasuk dalam kategori jaring angkat ini menjadi suatu kajian dan dimasukkan sebagai masukan data marxan. Alat tangkap jaring angkat merupakan suatu fitur pemanfaatan yang memberikan dampak terhadap kerusakan ekosistem/target konservasi. Pada penelitian ini alat tangkap jaring angkat diberikan nilai 3. Hal ini dikarenakan pemantauan secara langsung yang dilakukan oleh tim pengambilan data lapangan melihat bahwa ketika aktivitas penangkapan ikan yang menggunakan alat tangkat jaring angkat sering sekali hasil tangkapan tidak sesuai dengan target penangkapan sehingga banyak jenis ikan yang terbuang tanpa dikonsumsi secara langsung atau dijual di tempat pelelangan ikan (TPI). Rumput laut merupakan salah satu budidaya perikanan untuk kebutuhan komersil bagi masyarakat nelayan budidaya. Fitur pemanfaatan rumput laut pada penelitian ini diberikan nilai 4 dikarenakan budidaya rumput laut memberikan dampak negatif pada ekosistem terumbu karang. Rusaknya ekosistem terumbu karang terjadi pada saat hasil panen. Pada saat waktu panen, nelayan akan

39 24 mengambil hasil panennya pada saat surutnya air laut, biasanya pencabutan benih panen rumput laut dilakukan dengan cara menginjak karang yang mengakibatkan terjadinya patahan karang yang disebabkan perilaku manusia (nelayan) yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi untuk jangka waktu yang singkat daripada menjaga keberlangsungan ekosistem terumbu karang. Pada gambar 6 tidak terlihat aktifitas perikanan budidaya rumput laut di Pulau Binongko. Aktifitas perikanan budidaya rumput laut hanya terlihat di Pulau Wangi-wangi, Pulau Kaledupa, dan Pulau Tomia. Fitur pemanfaatan sero dalam penelitian ini sangat diasumsikan mendapatkan nilai biaya bernilai 5. Alat tangkap sero merupakan alat tangkap yang terkadang dapat merusak ekologi yang ada pada ekosistem. Alat tangkap sero adalah suatu alat tangkap jenis perangkap (trap) yang memanfaatkan pasang surut untuk menangkap ikan. Hasil tangkapan yang dihasilkan oleh alat tangkap ini adalah jenis ikan karang yang berekonomis tinggi. Selain ikan, terkadang alat ini secara tidak sengaja memperangkap penyu. Alat ini juga dapat merusak terumbu karang, komponen karatan besi yang menempel pada badan karang mempengaruhi simbiosis hewan karang yang menyebabkan tekanan (stress) pada hewan karang. Pada gambar 6 tidak banyak ditemukan alat tangkap sero di Taman Nasional Wakatobi dan hanya ada di sekitar Pulau Kaledupa. Keramba jaring apung juga memberikan dampak negatif terhadap lingkungan ataupun target konservasi yang ingin dilindungi. Pada penelitian ini rumah bagan diberikan nilai 6. Hal ini dikarenakan sisa sisa pakan dalam wadah budidaya nya dapat mempengaruhi kualitas air di lingkungan sekitar yang menyebabkan tercemarnya perairan yang menutupi ekosistem terumbu karang,

40 25 ekosistem padang lamun, dan ekosistem mangrove. Dalam jumlah yang banyak dapat mempengaruhi siklus air didalam ekosistem tersebut tetapi dalam jumlah yang sedikit belum bisa dikatakan mempengaruhi secara signifikan kualitas air didalam ekosistem terumbu karang, ekosistem padang lamun, dan ekosistem mangrove.

41 Gambar 6. Fitur pemanfaatan Taman Nasional Wakatobi 26

42 Fitur Konservasi Fitur konservasi perancangan wilayah larang ambil (No-Take Area) yang digunakan pada penelitian ini yaitu terumbu karang, padang lamun, mangrove, populasi penyu, populasi burung laut, dan daerah pemijahan ikan (SPAGs). Survei yang dilakukan dalam kegiatan monitoring joint program TNC-WWF pada tahun 2006 sampai dengan tahun 2007 untuk memantau fitur konservasi dengan menggunakan metode present absent atau dapat disebut dengan tingkat frekuensi kehadiran. Fitur konservasi merupakan komponen ekologi yang ingin dilindungi keberlanjutannya. Dalam hal ini terumbu karang, padang lamun, mangrove, penyu bertelur, daerah pemijahan ikan (SPAGs), dan populasi burung laut bertelur dalam penelitian ini dianggap penting keberlanjutannya sehingga dirasakan perlu dimasukkan/direncanakan dalam fitur konservasi untuk perancangan wilayah larang ambil. Kawasan perlindungan diharapkan mampu untuk mengembalikan fungsi perlindungan untuk menjamin stock breeding ikan (Roberts dan Hawkins, 2000). Hal ini lah menjadi pertimbangan mengapa daerah pemijahan ikan (SPAGs) menjadi fitur konservasi dalam penelitian ini. Pada populasi penyu, spesies penyu sangatlah diperlukan untuk dilindungi. Menurut laporan Rencana Pengelolaan Taman Nasional Wakatobi tahun 2008 jenis biota yang termasuk dalam kategori jenis biota yang harus dilindungi di Taman Nasional Wakatobi adalah penyu sisik (Eretmochelys runcates), penyu hijau (Chelonia mydas), lumba-lumba (Delphinus delphis, Stenella longilotris, Tursiops runcates), ikan napoleon (Cheilinus undulates), Kima (Tridacna sp.), dan Lola (Trochus sp.). Pada wilayah pesisir sangatlah terkait dengan ekosistem pesisir.

43 Gambar 7. Fitur Konservasi Taman Nasional Wakatobi 28

44 29 Terumbu karang menyebar hampir di seluruh pulau.pada penelitian ini terumbu karang ditargetkan 30% dari luas total terumbu karang yang ada dalam Area kajian/area of Interest (AOI) untuk dikonservasi/dilindungi keberadaannya untuk menjaga kelestarian ekosistem terumbu karang. Hamparan padang lamun tersebar di Pulau Wangi wangi, Pulau Kaledupa, Pulau Hoga, dan Pulau Tomia. Ekosistem padang lamun pada penelitian ini ditargetkan 30% dari luas padang lamun yang ada akan dikonservasi/dilindungi keberadaannya untuk menjaga kelestarian ekosistem tersebut begitu juga dengan ekosistem mangrove. Populasi burung pantai (seabird) sangat jarang ditemukan, burung pantai hanya dapat ditemukan di Pulau Anano dan Pulau Koromaha. Populasi burung pantai pada penelitian ini akan dilindung keseluruhan keberadaannya (100%). Daerah pemijahan ikan (SPAGs) yang ada di kawasan ini hanya terdapat di Gosong Karang Kaledupa, Pulau Runduma, Pulau Tomia, dan Pulau Hoga. SPAGs akan dilindungi wilayahnya secara keseluruha (100%). Populasi penyu terdapat di bagian Timur Taman Nasional Wakatobi tepatnya terdapat di Pulau Anano, Pulau Runduma, Pulau Cowo cowo, Pulau Kentiolo, dan Pulau Koromaha. Populasi penyu pada penelitian ini juga akan dilindungi 100% keberadaaannya. 4.3 Wilayah Larang Ambil dengan Satuan Unit Perencanaan Heksagon Dalam perancangan wilayah larang ambil pada perangkat lunak marxan dapat dirancang dengan simulasi (number of run ) yang dilakukan oleh marxan dan ditentukan oleh si pengelola. Simulasi/Number of run merupakan jumlah perulangan dalam proses yang dilakukan oleh marxan. Dalam proses marxan terjadi proses simulasi yang dilakukan oleh algoritma yang dipakai pada

45 30 perangkat lunak marxan, proses tersebut dinamakan number of iteration. Nilai Number of iteration yang dipakai pada penelitian ini adalah Perancangan wilayah larang ambil di Taman Nasional Wakatobi pada penelitian ini dilakukan dengan simulasi/number of run 10 kali, 50 kali, 100 kali, 500 kali, dan 1000 kali (Lampiran 3.). Simulasi menggunakan satuan unit perencanaan heksagon. Dalam proses simulasi berguna untuk secara penuh menyeleksi satuan unit perencanaan yang telah terbentuk. Luas satu heksagon yang berbentuk sebesar 1 km 2 (Lampiran 3.). Area of Interest/daerah kajian akan dibentuk menjadi heksagon, heksagon yang terbentuk dalam daerah kajian sebanyak buah. Boundary Length Modifier (BLM) merupakan satuan konstanta yang mengatur tingkat pengelompokan satuan unit perencanaan yang terpilih. Semakin besar nilai BLM maka semakin mengelompok pula satuan unit perencanaan yang terpilih/terseleksi oleh perangkat lunak marxan. Penelitian ini menggunakan nilai BLM sebesar Nilai BLM dipengaruhi oleh sistem proyeksi peta yang digunakan. Sistem proyeksi peta satuan unit perencanaan dalam meter (proyeksi UTM), nilai BLM 0-1 cukup menghasilkan variasi pengelompokan yang banyak. Sistem proyeksi peta satuan unit perencanaan dalam degree (proyeksi geografik), nilai BLM cukup menghasilkan variasi pengelompokan yang berbedabeda (Barmawi dan Darmawan, 2007). Pada penelitan ini menggunakan sistem proyeksi peta degree sehingga menggunakan nilai BLM Nilai tersebut dapat mengakurasikan satuan unit perencaaan yang dipilih oleh marxan sehingga satuan unit perencanaan tersebut jika memakai nilai BLM 1000 tidak terpencar

46 31 melainkan mengelompok membentuk suatu area yang akan dijadikan wilayah larang ambil. Wilayah larang ambil menjadi bahan penunjang untuk menjaga kestabilan dan stok flora dan fauna yang ada didalam ekosistem laut. Kegiatan penangkapan ikan dulunya dianggap tidak akan mengurangi keanekaragaman hayati laut, secara fisik permukaan laut tidak memberikan pertanda kerusakan hayati yang ada di kehidupan bawah air. Seiring berjalannya waktu dan telah diteliti bahwa kegiatan perikanan memberikan dampak terhadap kondisi keanekaragaman hayati laut (Roberts dan Hawkins, 2000). Perancangan wilayah larang ambil dengan menggunakan satuan unit perancanaan yang berbentuk heksagon dengan 5 jenis simulasi/number of run (10, 50, 100, 500, 1000). Berdasarkan hasil olahan dan analisa data yang dilakukan terlihat pada Gambar 8, 9, 10, 11, dan 12 bahwa pengelompokan satuan unit perancanaan heksagon yang terseleksi/terpilih oleh marxan sangatlah berbedabeda. Boundary Length Modifier (BLM) merupakan konstanta yang mengatur penggelompokkan satuan unit perancanaan yang terpilih oleh marxan. Nilai BLM 1000 lebih mengelompok daripada perancangan yang menggunakan nilai BLM 10, 50, 100, dan 500. Semakin besar nilai BLM maka semakin mengelompok satuan unit perencanaan yang terpilih/terseleksi (Barmawi dan Darmawan, 2007).

47 Gambar 8. Wilayah larang ambil dengan satuan unit perencanaan heksagon dan proses simulasi sebanyak 10 kali 32

48 Gambar 9. Wilayah larang ambil dengan satuan unit perencanaan heksagon dan proses simulasi sebanyak 50 kali 33

49 34 Perancangan wilayah larang ambil yang dirancang oleh proses marxan yang menggunakan proses simulasi/number of run 10 (Gambar 8.) dan proses simulasi/number of run 50 (Gambar 9.) menghasilkan suatu hasil keluaran yang sama. Marxan menyeleksi luas rekomendasi wilayah larang ambil sebesar Ha dari total luas perairan Taman Nasional Wakatobi sebesar Ha. Areaarea rekomendasi yang dihasilkan oleh marxan tersebar di sekitar Pulau Kamponaone, Gosong karang Kapota, Pulau Kaledupa, Pulau Hoga, Gosong karang Kaledupa, Pulau Tomia, Pulau Koromaha, Pulau Runduma, Pulau Kentiolo, Pulau Cowo cowo, dan Pulau Anano. Area-area yang terpilih (selected) oleh marxan tersebut akan dikaji kembali berdasarkan ukuran wilayah larang ambil, jarak antar wilayah larang ambil, bentuk wilayah larang ambil, dan kedalaman perairan. Dalam penentuan wilayah larang ambil harus didasarkan banyak pertimbangan termasuk ukuran wilayah larang ambil tersebut dan jejaring/konektivitas antar wilayah larang ambil (Roberts dan Hawkins, 2000). Semakin luas area wilayah larang ambil maka semakin banyak populasi spesies yang terlindungi, luas area wilayah larang ambil yang luas akan menimbulkan peluang konflik dalam pengelolaannya karena masyarakat nelayan akan berpandangan bahwa derah penangkapannya sudah digarap oleh pemerintah. Luas wilayah larang ambil yang lebih kecil tetapi menyebar dan memiliki konektivitas dalam suatu kawasan akan lebih efektif (Roberts dan Hawkins, 2000). Hasil kajian yang dilakukan pada penelitian ini menetapkan 13 area yang akan dijadikan wilayah larang ambil di Taman Nasional Wakatobi (TNW). Ketigabelas wilayah larang ambil tersebut tersebar di sekitar Pulau Koromaha, Pulau Cowo cowo, Pulau Kentiolo, Pulau Anano, Pulau Runduma, Pulau Tomia, Gosong Karang

50 35 Kaledupa, Pulau Kaledupa, Pulau Hoga, dan Gosong Karang Kapota (Gambar 8 dan 9.) dengan total luas area sebesar Ha dari total keseluruhan luas perairan Taman Nasional Wakatobi sebesar Ha. Wilayah larang ambil yang terbentuk memiliki kedalaman perairan 200 meter. Wilayah larang ambil akan efektif jika kedalam perairan wilayah tersebut tidak lebih dari 200 meter (Mous, 2006). Jarak antar wilayah larang ambil yang terbentuk beragam, beberapa wilayah larang ambil berjarak 0-6 km, sebagian lagi berjarak 10 km. Wilayah larang ambil berfungsi untuk melindungi cadangan larva, dengan demikian jarak antar wilayah larang ambil harus lah berjarak 4-6 km agar mampu untuk menangkap ruaya larva hewan laut (Shanks et al, 2003). Menurut Palumbi (2003) untuk melindungi hewan invertebrata laut dan ikan dapat digunakan dengan cara membuat area perlindungan laut dengan jarak antar area tersebut sebesar km untuk melindungi hewan invertebrata dan km untuk melindungi ikan. Tingkat konektivitas antar wilayah larang ambil akan aman ketika wilayah tersebut berjarak 15 km (Mora et al, 2006). Perangkat lunak marxan menyeleksi heksagon sehingga membentuk suatu area yang merupakan rekomendasi marxan untuk ditetapkan menjadi wilayah larang ambil. Marxan merekomendasi area wilayah larang ambil sebesar Ha. Berdasarkan kajian jarak, bentuk, ukuran, dan kedalaman wilayah larang ambil maka pada penelitian ini ditetapkan wilayah larang ambil sebesar Ha. Luas rekomendasi marxan lebih besar dari wilayah larang ambil yang ditetapkan. Hal ini dikarenakan pada saat pengkajian-pengkajian tersebut memaksa adanya pertambahan luas area yang akan ditetapkan.

51 Gambar 10. Wilayah larang ambil dengan satuan unit perencanaan heksagon dan proses simulasi sebanyak 100 kali 36

52 37 Perancangan wilayah larang ambil (No Take Area) yang dibuat dengan menggunakan proses marxan dengan memakai number of run/proses simulasi sebanyak 100 kali menyeleksi suatu area rekomendasi wilayah larang ambil dengan luas Ha dari total keseluruhan perairan Taman Nasional Wakatobi (TNW) sebesar Ha. Area-area rekomendasi tersebar di sekitar Pulau Wangi wangi, Gosong karang Kapota, Pulau Kaledupa, Pulau Hoga, Gosong karang Kaledupa, Pulau Tomia, Pulau Koromaha, Pulau Cowo-cowo, Pulau Anano, Pulau Runduma, dan Pulau Kentiolo (Gambar 10.). Hasil olahan data dengan menggunakan number of run 100, marxan mengeluarkan area rekomendasi wilayah larang ambil di gugusan pulau Wangi-wangi sedangkan hasil olahan data menggunakan number of run 10 dan 50 marxan tidak mengeluarkan area rekomendasi pada daerah tersebut. Hal ini diduga proses perulangan yang dilakukan oleh perangkat lunak marxan untuk memilih Pulau Wangi-wangi membutuhkan perulangan/pengacakan lebih dari 50 kali untuk memilih atau menyeleksi satuan unit perencanaan yang ada di sekitar Pulau Wangi-wangi. Marxan mengeluarkan area rekomendasi untuk ditetapkan menjadi wilayah larang ambil. Rekomendasi-rekomendasi tersebut akan dikaji kembali untuk ditetapkan menjadi wilayah larang ambil. Berdasakan hasil olahan dan analisa data pada penelitian ini ditetapkan wilayah larang ambil Taman Nasional Wakatobi terdapat 9 lokasi dengan luas area sebesar Ha yang akan dijadikan wilayah larang ambil (No-Take Area). Lokasi berada di Pulau Koromaha, Pulau Cowo-cowo, Pulau Hoga, Pulau Kaledupa, Gosong Karang Kaledupa, Gosong Karang Kapota, Pulau Wangi wangi, dan Pulau Kentiolo. Penetapan wilayah larang ambil tersebut dirancang berdasarkan luas wilayah

53 38 larang ambil, jarak antar wilayah larang ambil, bentuk dari wilayah larang ambil, dan kedalaman perairan. Wilayah larang ambil yang terbentuk memiliki kedalaman perairan 200 meter. Wilayah larang ambil akan efektif jika kedalam perairan wilayah tersebut tidak lebih dari 200 meter (Mous, 2006). Jarak antar wilayah larang ambil yang terbentuk beragam, beberapa wilayah larang ambil berjarak 0-6 km, sebagian lagi berjarak 10 km. Wilayah larang ambil berfungsi untuk melindungi cadangan larva, dengan demikian jarak antar wilayah larang ambil harus lah berjarak 4-6 km agar mampu untuk menangkap ruaya larva hewan laut (Shanks et al, 2003). Menurut Palumbi (2003) untuk melindungi hewan invertebrata laut dan ikan dapat digunakan dengan cara membuat area perlindungan laut dengan jarak antar area tersebut sebesar km untuk melindungi hewan invertebrata dan km untuk melindungi ikan. Tingkat konektivitas antar wilayah larang ambil akan aman ketika wilayah tersebut berjarak 15 km (Mora et al, 2006). Perangkat lunak marxan menyeleksi heksagon sehingga membentuk suatu area yang merupakan rekomendasi marxan untuk ditetapkan menjadi wilayah larang ambil. Marxan merekomendasi area wilayah larang ambil sebesar Ha. Berdasarkan kajian jarak, bentuk, ukuran, dan kedalaman wilayah larang ambil maka pada penelitian ini ditetapkan wilayah larang ambil sebesar Ha. Luas rekomendasi marxan lebih besar dari wilayah larang ambil yang ditetapkan. Hal ini dikarenakan pada saat pengkajian-pengkajian tersebut memaksa adanya pertambahan luas area yang akan ditetapkan.

54 Gambar 11. Wilayah larang ambil dengan satuan unit perencanaan heksagon dan proses simulasi sebanyak 500 kali 39

55 40 Perancangan wilayah larang ambil (No Take Area) yang dibuat dengan menggunakan proses marxan dengan memakai proses simulasi/number of run 500 menyeleksi suatu area rekomendasi wilayah larang ambil dengan luas Ha dari total keseluruhan perairan Taman Nasional Wakatobi (TNW) sebesar Ha. Area-area rekomendasi tersebar di sekitar Pulau Wangi wangi, Gosong karang Kapota, Pulau Kaledupa, Pulau Hoga, Gosong karang Kaledupa, Pulau Tomia, Pulau Koromaha, Pulau Cowo-cowo, Pulau Anano, Pulau Runduma, dan Pulau Kentiolo (Gambar 11.). Hasil olahan data dengan menggunakan number of run 500. Marxan mengeluarkan area rekomendasi untuk ditetapkan menjadi wilayah larang ambil. Area rekomendasi tersebut akan dikaji kembali untuk ditetapkan menjadi wilayah larang ambil. Berdasakan hasil olahan dan analisis data pada penelitian ini ditetapkan wilayah larang ambil Taman Nasional Wakatobi terdapat 11 lokasi dengan luas area sebesar Ha yang akan dijadikan wilayah larang ambil (No-Take Area). Lokasi berada sekitar Pulau Koromaha, Pulau Cowo-cowo, Pulau Hoga, Pulau Kaledupa, Pulau Runduma, Pulau Anano, Gosong Karang Kaledupa, Gosong Karang Kapota, dan Pulau Kentiolo. Penetapan wilayah larang ambil tersebut dirancang berdasarkan luas wilayah larang ambil, jarak antar wilayah larang ambil, bentuk dari wilayah larang ambil, dan kedalaman perairan. Wilayah larang ambil yang terbentuk memiliki kedalaman perairan 200 meter. Wilayah larang ambil akan efektif jika kedalam perairan wilayah tersebut tidak lebih dari 200 meter (Mous, 2006). Jarak antar wilayah larang ambil yang terbentuk beragam, beberapa wilayah larang ambil berjarak 0-6 km, sebagian lagi berjarak 10 km. Wilayah larang ambil berfungsi untuk melindungi cadangan larva, dengan demikian jarak antar wilayah larang

56 41 ambil harus lah berjarak 4-6 km agar mampu untuk menangkap ruaya larva hewan laut (Shanks et al, 2003). Menurut Palumbi (2003) untuk melindungi hewan invertebrata laut dan ikan dapat digunakan dengan cara membuat area perlindungan laut dengan jarak antar area tersebut sebesar km untuk melindungi hewan invertebrata dan km untuk melindungi ikan. Tingkat konektivitas antar wilayah larang ambil akan aman ketika wilayah tersebut berjarak 15 km (Mora et al, 2006). Perangkat lunak marxan menyeleksi heksagon sehingga membentuk suatu area yang merupakan rekomendasi marxan untuk ditetapkan menjadi wilayah larang ambil. Marxan merekomendasi area wilayah larang ambil sebesar Ha. Berdasarkan kajian jarak, bentuk, ukuran, dan kedalaman wilayah larang ambil maka pada penelitian ini ditetapkan wilayah larang ambil sebesar Ha. Luas rekomendasi marxan lebih besar dari wilayah larang ambil yang ditetapkan. Hal ini dikarenakan pada saat pengkajian-pengkajian tersebut memaksa adanya pertambahan luas area yang akan ditetapkan.

57 Gambar 12. Wilayah larang ambil dengan satuan unit perencanaan heksagon dan proses simulasi sebanyak 1000 kali 42

58 43 Perancangan wilayah larang ambil (No-Take Area) yang dilakukan oleh proses marxan yang menggunakan proses simulasi/number of run 1000 menghasilkan area rekomendasi wilayah larang ambil yang tersebar di sekitar Pulau Kapota, Gosong karang Kapota, Gosong karang Kaledupa, Pulau Kaledupa, Pulau Hoga, Pulau Tomia, Pulau Koromaha, Pulau Cowo-cowo, Pulau Anano, dan Pulau Kentiolo. Area rekomendasi yang dihasilkan oleh marxan memiliki luas sebesar Ha dari keseluruhan total luas perairan Taman Nasional Wakatobi (TNW) yang memiliki luas perairan sebesar Ha. Area-area rekomendasi tersebut kemudian akan dikaji kembali untuk ditetapkan sebagai wilayah larang ambil (No- Take Area). Wilayah larang ambil yang sudah ditetapkan pada penelitian ini memiliki luas sebesar Ha dari total luas perairan Taman Nasional Wakatobi (TNW) yang memiliki luas perairan sebesar Ha. Wilayah larang ambil tersebut terbagi atas 11 lokasi yang tersebar di Pulau Koromaha, Pulau Cowo cowo, Pulau Kentiolo, Pulau Runduma, Pulau Anano, Gosong Karang Kaledupa, Pulau Hoga, dan Gosong Karang Kapota. Penetapan wilayah larang ambil tersebut dirancang berdasarkan luas wilayah larang ambil, jarak antar wilayah larang ambil, bentuk dari wilayah larang ambil, dan kedalaman perairan. Wilayah larang ambil yang terbentuk memiliki kedalaman perairan 200 meter. Wilayah larang ambil akan efektif jika kedalam perairan wilayah tersebut tidak lebih dari 200 meter (Mous, 2006). Jarak antar wilayah larang ambil yang terbentuk beragam, beberapa wilayah larang ambil berjarak 0-6 km, sebagian lagi berjarak 10 km. Wilayah larang ambil berfungsi untuk melindungi cadangan larva, dengan demikian jarak antar wilayah larang ambil

59 44 harus lah berjarak 4-6 km agar mampu untuk menangkap ruaya larva hewan laut (Shanks et al, 2003). Menurut Palumbi (2003) untuk melindungi hewan invertebrata laut dan ikan dapat digunakan dengan cara membuat area perlindungan laut dengan jarak antar area tersebut sebesar km untuk melindungi hewan invertebrata dan km untuk melindungi ikan. Tingkat konektivitas antar wilayah larang ambil akan aman ketika wilayah tersebut berjarak 15 km (Mora et al, 2006). Perangkat lunak marxan menyeleksi heksagon sehingga membentuk suatu area yang merupakan rekomendasi marxan untuk ditetapkan menjadi wilayah larang ambil. Marxan merekomendasi area wilayah larang ambil sebesar Ha. Berdasarkan kajian jarak, bentuk, ukuran, dan kedalaman wilayah larang ambil maka pada penelitian ini ditetapkan wilayah larang ambil sebesar Ha. Luas rekomendasi marxan lebih besar dari wilayah larang ambil yang ditetapkan. Hal ini dikarenakan pada saat pengkajian-pengkajian tersebut memaksa adanya pertambahan luas area yang akan ditetapkan. Secara keseluruhan (simulasi sebanyak 10, 50, 100, 500, 1000 kali) perancangan wilayah larang ambil (No-Take Are) memakai satuan unit perencanaan heksagon menghasilkan hasil yang hampir sama. Pulau Binongko tidak menjadi pilihan oleh marxan, satuan unit perencanaan yang berada di sekitar pulau Binongko tidak dipilih/diseleksi oleh marxan. Pulau Binongko banyak terdapat hutan bakau (mangrove), terdapat 22 jenis mangrove. Meskipun begitu pulau Binongko terdapat tekanan dan ancaman. Ancaman penebangan kayu terjadi di pulau Binongko. Penebangan kayu yang tidak difungsikan yang sewajarnya, seperti diperuntukan

60 45 pembangunan pemukiman, pembuatan empang untuk budidaya, dan keperluan pembuatan alat tangkap sero (Balai Taman Nasional Wakatobi, 2008). Gosong karang Kaledupa dan Gosong karang Kapota selalu dipilih oleh marxan sebagai area rekomendasi Wilayah larang ambil (No-Take Area). Perairan Taman Nasional Wakatobi pada tahun 2007 sampai dengan tahun 2009 karang kategori Acropora mengalami penurunan kecuali di Gosong Karang Kapota yang mengalami kenaikan sebesar 2,56 % dan karang kategori non-acropora naik sebesar 2,41% (Salatalohi et al, 2009). Gosong Karang Kapota memiliki kekayaan jenis hewan karang seperti Porites lutea, Pocillopra verrucosa, Acropora formosa, Acropora palifera, Acropora brueggemanni, Porites lutea, Porites cylindrica, Mycedium elephantotus dan Pocillopora verrucosa (Salatalohi et al, 2009). Lokasi ini sangat cocok untuk zonasi pemanfaatan dikarenakan wilayah strategisnya yang dekat terhadap permukiman dan kondisi alam bawah lautnya yang begitu menakjubkan yang dapat menarik perhatian dalam bidang pariwisata. Sebaran Lamun juga merata menyebar di setiap pesisir pulau dan di beberapa bagian Karang Kaledupa dan Karang Kapota (Balai Taman Nasional Wakatobi, 2008). Gosong Karang Kapota dalam penelitian ini Gosong Karang Kapota tidak ditetapkan sebagai Wilayah larang ambil. Hal ini dikarenakan daerah tersebut menjadi perhatian para wisatawan yang menyukai keindahan bawah laut. Gosong Karang Kaledupa merupakan zona rehabilitasi (Salatalohi, 2009). Pulau Runduma dan Pulau Koromaha tetap menjadi pilihan untuk ditetapkan menjadi wilayah larang ambil (No-Take Area). Pulau Koromaha terkenal dengan keanekaragaman burung pantai sedangkan pulau Runduma terkenal dengan habitat

61 46 penyu yang berada pada lokasi tersebut. Terdapat 2 jenis penyu, penyu hijau (Chelonia mydas) dan penyu sisik (Eretmochelys imbricata) yang berada di Pulau Runduma (Balai Taman Nasional Wakatobi, 2008). Lokasi tersebut juga dapat menjadi feeding ground bagi penyu sehingga dapat diduga kelayakannya untuk dijadikan kawasan konservasi penyu. Selain itu juga, Pulau Runduma dan Pulau Koromaha jauh dari jangkauan aktivitas manusia sehingga dimungkinkan terlindungi dari aktivitas penangkapan ikan. Gambar 13. Diagram batang sebaran frekuensi nilai cost number of run 10 Berdasarkan gambar diatas terlihat bahwa proses simulasi sebanyak 10 kali terdapat tiga selang kelas. Marxan memilih kelas 1 sebanyak 1 kali dengan nilai cost Nilai cost >X dipilih sebanyak 7 kali oleh marxan sedangkan >X dipilih hanya 1 kali. Proses simulasi sebanyak 10 kali yang dilakukan oleh marxan menunjukan bahwa nilai cost yang dihasilkan berada pada nilai < sampai dengan

62 47 Gambar 14. Diagram batang sebaran frekuensi nilai cost number of run 50 Berdasarkan gambar diatas terlihat bahwa proses simulasi sebanyak 50 kali menghasilkan 10 selang kelas. Marxan memilih kelas 1 sebanyak 1 kali dengan nilai cost dan kelas 10 tidak dipilih oleh marxan. Proses simulasi sebanyak 50 kali yang dilakukan oleh marxan menunjukan bahwa nilai cost yang dihasilkan berada pada nilai sampai dengan

63 48 Gambar 15. Diagram batang sebaran frekuensi nilai cost number of run 100 Berdasarkan gambar diatas terlihat bahwa proses simulasi sebanyak 100 kali menghasilkan 10 selang kelas. Marxan memilih kelas 1 sebanyak 1 kali dengan nilai cost dan kelas 10 tidak dipilih oleh marxan. Proses simulasi sebanyak 100 kali yang dilakukan oleh marxan menunjukan bahwa nilai cost yang dihasilkan berada pada nilai sampai dengan Gambar 16. Diagram batang sebaran frekuensi nilai cost number of run 500

64 49 Berdasarkan gambar diatas terlihat bahwa proses simulasi sebanyak 500 kali menghasilkan 22 selang kelas. Marxan memilih kelas 1 sebanyak 1 kali dengan nilai cost dan kelas 22 tidak dipilih oleh marxan. Proses simulasi sebanyak 500 kali yang dilakukan oleh marxan menunjukan bahwa nilai cost yang dihasilkan berada pada nilai sampai dengan Gambar 17. Diagram batang sebaran frekuensi nilai cost number of run 1000 Berdasarkan gambar diatas terlihat bahwa proses simulasi sebanyak 1000 kali menghasilkan 31 selang kelas. Marxan memilih kelas 1 sebanyak 1 kali dengan nilai cost 411 dan kelas 31 terpilih hanya sekali dengan nilai cost > 944 marxan. Proses simulasi sebanyak 1000 kali yang dilakukan oleh marxan menunjukan bahwa nilai cost yang dihasilkan berada pada nilai 411 sampai dengan 944. Secara keseluruhan grafik dari proses marxan yang menggunakan simulasi/number of run 10, 50, 100, 500, Proses simulasi untuk menyeleksi

65 50 area yang layak dijadikan wilayah larang ambil oleh algoritma simulated annealing yang dilakukan oleh marxan sekarang ini masih menjadi kebimbangan. Belum adanya kepastian ataupun referensi pemakaian simulasi/number of run oleh si pengelola yang menggunakan marxan sebagai alat untuk membantu mengambil keputusan. 4.4 Wilayah Larang Ambil dengan Satuan Unit Perencanaan Management Unit Satuan unit perencanaan manajemen unit dapat dipakai dalam merancang wilayah larang ambil. Satuan unit perencanaan ini sering dipakai oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bidang kelautan untuk merancang suatu wilayah larang ambil di suatu Taman Nasional. Prinsip dari unit perencannan ini membagi suatu area menjadi ID poligon, dimana dalam satu ID poligon terdapat satu atau lebih fitur pemanfaatan/cost dan fitur konservasi berdasarkan survei lapangan yang dilakukan. Pada unit perencanaan ini juga akan dirancang dalam simulasi/number of run 10, 50, 100, 500, dan Dalam satu area kajian atau Area of Interest (AOI) terdapat 91 poligon yang terbentuk. Dari 91 poligon tersebut lah akan diacak (running) oleh marxan untuk menyeleksi area yang layak untuk dijadikan wilayah larang ambil.

66 Gambar 18. Wilayah larang ambil dengan satuan unit perencanaan manajemen unit dan proses simulasi sebanyak 10 kali 51

67 Gambar 19. Wilayah larang ambil dengan satuan unit perencanaan manajemen unit dan proses simulasi sebanyak 50 kali 52

68 Gambar 20. Wilayah larang ambil dengan satuan unit perencanaan manajemen unit dan proses simulasi sebanyak 100 kali 53

69 Gambar 21. Wilayah larang ambil dengan satuan unit perencanaan manajemen unit dan proses simulasi sebanyak 500 kali 54

70 Gambar 22. Wilayah larang ambil dengan satuan unit perencanaan manajemen unit dan proses simulasi sebanyak 1000 kali 55

71 56 Proses simulasi/running suatu area yang dilakukan oleh marxan dengan menggunakan algoritma simulated annealing akan menyeleksi area-area yang bagi marxan layak untuk dijadikan wilayah larang ambil. Algoritma simulated annealing akan menyeleksi area-area yang memiliki nilai biaya/cost yang terendah, area yang memiliki nilai biaya terendahlah yang akan terpilih oleh marxan, area yang berada di unit perencanaan tersebutlah yang akan dikaji kembali untuk ditetapkan sebagai wilayah larang ambil (No-Take Area). Perancangan wilayah larang ambil dengan menggunakan satuan unit perencanaan/planning unit management unit dirancang oleh marxan dengan proses menyeleksi ID poligon yang dibentuk. ID poligon yang dibentuk pada penelitian ini sebanyak 91 ID poligon. ID poligon inilah yang akan diseleksi oleh marxan untuk pembentukan wilayah larang ambil. ID poligon dibentuk dengan membagi daerah per 5-10 km sejajar garis pantai. Resources use di Taman Nasional Wakatobi berjarak 5-10 km, baik masyarakat setempat maupun pendatang biasanya memanfaatkan wilayah perairan dengan jarak 5-10 km secara horizontal (Balai Taman Nasional Wakatobi, 2008). Secara keseluruhan proses marxan menghasilkan hasil keluaran yang sama dengan proses simulasi/number of run yang berbeda-beda. Simulasi yang dilakukan sebanyak 10, 50, 100, 500, dan 1000 kali menghasilkan suatu keluaran yang sama. Luas area yang terseleksi oleh marxan tersebut sebesar Ha dari keseluruhan luas perairan Taman Nasional Wakatobi (TNW) yang memiliki luas perairan sebesar Ha dan luas yang dibentuk atau ditetapkan menjadi wilayah larang ambil

72 57 pada penelitian ini sebesar Ha dari keseluruhan total luas perairan Taman Nasional Wakatobi (TNW) yang memiliki luas perairan sebesar Ha. Berbeda dengan perancangan wilayah larang ambil yang menggunakan satuan unit perencanaan heksagon, perancangan wilayah larang ambil dengan menggunakan satuan unit perencanaan/planning unit management unit area rekomendasi dan area wilayah larang ambil yang terbentu berada pada lokasi yang sama sekaligus. Wilayah larang ambil terbentuk sebanyak 12 lokasi yang tersebar di Pulau Koromaha, Pulau Cowo cowo, Pulau Kentiolo, Pulau Runduma, Pulau Anano, Pulau Hoga, Pulau Kapota, dan Pulau Binongko. Penetapan wilayah larang ambil tersebut dirancang berdasarkan luas wilayah larang ambil, jarak antar wilayah larang ambil, bentuk dari wilayah larang ambil, dan kedalaman perairan. Pulau Runduma terkenal sebagai pulau penyu. Pulau Runduma terdapat dua spesies penyu yaitu penyu sisik (Eretmochelys imbricata) dan penyu hijau (Helonia mydas) (Balai Taman Nasional Wakatobi, 2008). Pulau Runduma sangat cocok untuk habitat penyu sehingga pulau ini dapat dijadikan lokasi konservasi penyu yang perlu dilindungi keberadaannya. Pulau Koromaha terdapat keanekaragaman burung pantai. Pada Taman Nasional Wakatobi terdapat 5 lokasi tempat bertelur penyu, yaitu Pulau Koromaha, Pulau Cowo-cowo, Pulau Kentiolo, Pulau Runduma, dan Pulau Anano (Balai Taman Nasional Wakatobi, 2008). Wilayah larang ambil yang terbentuk memiliki kedalaman perairan 200 meter. Wilayah larang ambil akan efektif jika kedalam perairan wilayah tersebut tidak lebih dari 200 meter (Mous, 2006). Jarak antar wilayah larang ambil yang terbentuk

73 58 beragam, beberapa wilayah larang ambil berjarak 0-6 km, sebagian lagi berjarak 10 km. Wilayah larang ambil berfungsi untuk melindungi cadangan larva, dengan demikian jarak antar wilayah larang ambil harus lah berjarak 4-6 km agar mampu untuk menangkap ruaya larva hewan laut (Shanks et al, 2003). Menurut Palumbi (2003) untuk melindungi hewan invertebrata laut dan ikan dapat digunakan dengan cara membuat area perlindungan laut dengan jarak antar area tersebut sebesar km untuk melindungi hewan invertebrata dan km untuk melindungi ikan. Tingkat konektivitas antar wilayah larang ambil akan aman ketika wilayah tersebut berjarak 15 km (Mora et al, 2006). Perangkat lunak marxan menyeleksi heksagon sehingga membentuk suatu area yang merupakan rekomendasi marxan untuk ditetapkan menjadi wilayah larang ambil. Marxan merekomendasi area wilayah larang ambil sebesar Ha. Berdasarkan kajian jarak, bentuk, ukuran, dan kedalaman wilayah larang ambil maka pada penelitian ini ditetapkan wilayah larang ambil sebesar Ha. Luas rekomendasi marxan lebih besar dari wilayah larang ambil yang ditetapkan. Hal ini dikarenakan pada saat pengkajian-pengkajian tersebut memaksa adanya pertambahan luas area yang akan ditetapkan. Perancangan wilayah larang ambil menggunakan satuan unit perencanaan management unit sangatlah berbeda dengan satuan unit perencanaan lainnya. Pemakaian satuan unit perencanaan ini menandai/memarking wilayah-wilayah yang sebelumnya sudah diketahui oleh si pengelola. Pada proses perancangan wilayah larang ambil dengan menggunakan satuan unit perencanaan management unit nilai

74 59 running tidak berpengaruh terhadap hasil keluaran marxan, berapa pun nilai run nya tidak akan mempengaruhi penyeleksian area yang dilakukan oleh marxan. Perancangan wilayah larang ambil dengan menggunakan satuan unit perencanaan management unit akan memudahkan para konservasionis jika para pengelola sebelumnya sudah mengetahui dan meninjau lokasi daerah kajiannya (Area of Interest), sebaliknya perancangan wilayah larang ambil dengan menggunakan satuan unit perencanaan management unit akan menyulitkan para pengelola jika sebelumnya tidak mengetahui dan meninjau langsung lokasi daerah kajiannya (Area of Interest). Berbeda dari satuan unit perencanaan heksagon, pada satuan unit perencanaan heksagon Pulau Binongko tidak menjadi pilihan bagi marxan tetapi pada satuan unit perencanaan management unit dengan berbagai nilai run pulau Binongko menjadi pilihan bagi marxan. Hal ini dikarenakan pada saat pembagiaan daerah kajian (Area of Interest) menjadi suatu ID poligon yang akan diseleksi oleh marxan sangat sedikit sehingga peluang terpilihnya Pulau Binongko akan semakin besar. Marxan dengan algorimatnya akan penyeleksi ID poligon yang sudah dibentuk oleh pengelola, marxan tidak akan menyeleksi ID poligon yang tidak dibentuk oleh pengelola. Hal ini lah yang menjadi dasar dari perancangan wilayah larang ambil dengan menggunakan satuan unit perencanaan management unit.

75 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Secara keseluruhan perancangan wilayah larang ambil (No-Take Area) yang menggunakan satuan unit perencanaan/planning unit heksagon dengan number of run yang berbeda-beda menghasilkan suatu hasil yang berbeda-beda pula. Berbeda halnya dengan perancangan wilayah larang ambil yang menggunakan satuan unit perencanaan managament unit yang menghasilkan hasil yang sama dengan number of run yang berbeda-beda. Berapa pun nilai number of run pada satuan unit perencanaan management unit akan menghasilkan hal yang sama. Number of run tidak mempengaruhi penyeleksian wilayah yang dilakukan oleh marxan. Perancangan wilayah larang ambil menggunakan satuan unit perencanaan/planning unit heksagon dengan memakai number of run 10, 50, 100, 500, dan 1000 menghasilkan luas wilayah larang ambil masing-masing sebesar Ha, Ha, Ha, Ha, Ha, Ha dari luas perairan Taman Nasional Wakatobi (TNW) yang memiliki luas perairan sebesar Ha. Perancangan wilayah larang ambil menggunakan satuan unit perencanaan management unit dengan memakai number of run 10, 50, 100, 500, 1000 menghasilkan luas wilayah larang ambil sebesar Ha dari luas perairan Taman Nasional Wakatobi (TNW) yang memiliki luas perairan sebesar Ha. Satuan unit perencanaan managament unit tidak dipengaruhi oleh nilai number of run. 60

76 61 Berdasarkan penelitian ini yang mencoba merancang wilayah larang ambil menggunakan dua planning unit yang berbeda (heksagon dan managament unit), planning unit heksagon baik digunakan ketika konservasionis belum mengetahui dan meninjau langsung lokasi (AOI) yang ingin dijadikan wilayah larang ambil, sebaliknya konservasionis yang sudah mengetahui dan meninjau langsung suatu lokasi (AOI) yang ingin dijadikan wilayah larang ambil sebaiknya menggunakan satuan unit perencanaan management unit dengan memilah-milah lokasi dalam bentuk ID poligon. 5.2 Saran Perancangan suatu wilayah larang ambil (No-Take Area) dengan menggunakan perangkat lunak Marxan membutuhkan masukan/input data yang dinamakan fitur konservasi dan fitur pemanfaatan/cost. Saran untuk penelitian selanjutnya diperlukan penambahan fitur konservasi yang lebih detail lagi seperti spesies-spesies yang dilindungi. Data oseanografi seperti arus dan pasang surut secara real time untuk melihat pengaruh kondisi ekologi yang terdapat pada wilayah larang ambil terhadap arus dan pasang surut. Pada satuan unit perencanaan managament unit ID poligon dibagi berdasarkan data perbatasan administratif daerah juga diperlukan untuk memudahkan pengelolaan terhadap wilayah larang ambil tersebut.

77 DAFTAR PUSTAKA Balai Taman Nasional Wakatobi Rencana Pengelolaan Taman Nasional Wakatobi Balai Taman Nasional Wakatobi. Jakarta. Ball, I.R, dan Possinghamm, H.M Marxan (v1. 8.2). Manual Book. New York. Ball, I. R, dan Possingham, H. P Marxan-A Resesrve System Tool [24 Maret 2011] Barmawi, M., dan Darmawan, A Tutorial Mrxan dengan Arcview 3.3 dan CLUZ untuk Perencanaan Jejaring Kawasan Perlindungan Laut. The Nature Conservancy-Coral Triangle Center. Bogor. Bengen, D. G Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut-IPB. Bogor. Done T. J. dan R. E. Reichelt Integrated coastal zone dan fisheries ecosystem management: generic goals dan performance indices. Ecological Applications 8 (Supplement): S Herdiana, Y., S. L. Campbell, dan A. Baird Systematic Marine Conservation Planning Towards a Representative Areas Networks in Aceh, Indonesia. Proceedings of the 11 th International Coral Reef Symposium, Ft. Lauderdale, Florida. Loss, S. A Exploration of Marxan Utility in Marine Protected Area Zoning. [Tesis] University of Victoria. Melbourne. Meerman, J. C NPASP-Protected Areas System Assesment & Analysis:MARXAN Analysis. Ministry of Natural Resources. Peterborough. Ontario. Mora, C., S. Andréfouët, M.J. Costello, C. Kranenburg, A. Rollo, J. Veron, K.J. Gaston, and R.A. Myers Coral Reefs and The Global Network of Marine Protected Areas. Science 312: Mous, P Guidelines and principles for spatial planning of Marine Protected Areas in Indonesia MARXAN-supported network design and zoning. Draft Report. The Nature Conservancy. Australia Palumbi, S. R Population Genetics, Demographic Connectivity, dan the Design of Marine Reserves. Ecological Applications. 13: S146-S

78 63 Purwadhi, S. H., Susanto, dan Hidayat Sistem Informasi Geografis (SIG). LAPAN. Jakarta. P, Puntodewo., S. Dewi., dan J. Tarigan., Sistem Informasi Geografis Untuk Sumberdaya Alam. Center for International Foresty Research (CIFOR). Bogor. Roberts, C.M. dan J.P. Hawkins Fully-protected marine reserves: a guide. WWF Endangered Seas Campaign, th Street, NW, Washington, DC 20037, USA dan Environment Department, University of York, York. Salatalohi, A., A. Efendi., A. Budiyanto., A. Dendi., D. Zulfianita., J. Picasowu., N. Dhewani., Winardi., Yahmantoro Studi Baseline Ekologi Di Kabupaten Wakatobi-Sulawesi Tenggara. Coral Reef Information dan Tranning Center (CRITC) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Jakarta. Sihite, J., Darmawan, A., dan Subijanto, J Marxan Untuk Perancangan Jejaring Wilayah larang ambil Di Wilayah Lesser Sunda (Bali, NTB, NTT, NTT, Tiomr Leste). Proceeding Geo-Marine Research Forum. Hal Shanks, A.L., Grantham, B.A. and M.H. Carr Propagule Dispersal Distance and The Size And Spacing of Marine Reserves. Ecological Applications. 13(1 Supplement). S159-S169. Wahyuni, S., Darjamuni, Litasari, L., Sutrisno., Krisnanti., R., Agus., S.B., Sunuddin, A., dan Triana, T Panduan Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut/Area Perlindungan Laut (DPL/APL) Kepulauan Seribu. Dinas Peternakan, Perikanan, dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta. Jakarta. Wiyawan, B Panduan Penyusunan Rencana Zonasi dan Rencana Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut. COREMAP. Jakarta.

79 LAMPIRAN 64

80 Lampiran 1. Tabel Skenario Wilayah Larang Ambil Satuan Unit Perencanaan Heksagon Skenario Fitur Konservasi Fitur Cost BLM Iteration Run Fitur Target SPF Fitur Skor 1 Terumbu karang 30% 100 Perikanan tradisional Padang Lamun 30% 100 Rumput laut Mangrove 30% 100 Sero SPAGs 100% 100 Keramba jaring apung Burung pantai 100% 100 Jaring angkat Penyu bertelur 100% 100 Rumpon Terumbu karang 30% 100 Perikanan tradisional Padang Lamun 30% 100 Rumput laut Mangrove 30% 100 Sero SPAGs 100% 100 Keramba jaring apung Burung pantai 100% 100 Jaring angkat Penyu bertelur 100% 100 Rumpon Terumbu karang 30% 100 Perikanan tradisional Padang Lamun 30% 100 Rumput laut Mangrove 30% 100 Sero SPAGs 100% 100 Keramba jaring apung Burung pantai 100% 100 Jaring angkat Penyu bertelur 100% 100 Rumpon Terumbu karang 30% 100 Perikanan tradisional Padang Lamun 30% 100 Rumput laut Mangrove 30% 100 Sero SPAGs 100% 100 Keramba jaring apung Burung pantai 100% 100 Jaring angkat Penyu bertelur 100% 100 Rumpon Terumbu karang 30% 100 Perikanan tradisional Padang Lamun 30% 100 Rumput laut Mangrove 30% 100 Sero SPAGs 100% 100 Keramba jaring apung Burung pantai 100% 100 Jaring angkat Penyu bertelur 100% 100 Rumpon

81 Lampiran 2. Tabel Skenario Wilayah Larang Ambil Satuan Unit Perencanaan Managament Unit Skenario Fitur Konservasi Fitur Cost BLM Iteration Run Fitur Target SPF Fitur Skor 1 Terumbu karang 30% 100 Perikanan tradisional Padang Lamun 30% 100 Rumput laut Mangrove 30% 100 Sero SPAGs 100% 100 Keramba jaring apung Burung pantai 100% 100 Jaring angkat Penyu bertelur 100% 100 Rumpon Terumbu karang 30% 100 Perikanan tradisional Padang Lamun 30% 100 Rumput laut Mangrove 30% 100 Sero SPAGs 100% 100 Keramba jaring apung Burung pantai 100% 100 Jaring angkat Penyu bertelur 100% 100 Rumpon Terumbu karang 30% 100 Perikanan tradisional Padang Lamun 30% 100 Rumput laut Mangrove 30% 100 Sero SPAGs 100% 100 Keramba jaring apung Burung pantai 100% 100 Jaring angkat Penyu bertelur 100% 100 Rumpon Terumbu karang 30% 100 Perikanan tradisional Padang Lamun 30% 100 Rumput laut Mangrove 30% 100 Sero SPAGs 100% 100 Keramba jaring apung Burung pantai 100% 100 Jaring angkat Penyu bertelur 100% 100 Rumpon Terumbu karang 30% 100 Perikanan tradisional Padang Lamun 30% 100 Rumput laut Mangrove 30% 100 Sero SPAGs 100% 100 Keramba jaring apung Burung pantai 100% 100 Jaring angkat Penyu bertelur 100% 100 Rumpon

82 67 Lampiran 3. Analysis Report Planning Unit Heksagon Analysis Report: Shape Type = Hexagons --> Hexagon Area = 1sq. Kilometers --> Hexagon Edge Leng th = Kilometers --> Hexagon Diameter = Kilometers --> Hexagon Width = Kilometers --> Hexagon Orientation = 0 Degrees --> Hexagon Theme Extent = Intersecting the selected features of Park_border.shp Hexagon Shape File saved to: --> d:\heksagon\hexagons.shp Hexagon Theme 'Hexagons.shp' added to View 'View1' --> Theme has 14,142 records Analysis Began: March 6, 3:03:26 PM Analysis Complete: March 6, 3:04:49 PM Time Elapsed: 1 minutes, 23 second

83 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Belawan, 11 Oktober 1987 dari ayah bernama St. Rusman Hery Marpaung dan ibu bernama Meryati Makmur br. Manurung. Penulis merupakan anak bungsu dari 5 bersaudara. Pada tahun 2006 penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah di SMA Swasta HKBP 2 Tarutung. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Ujian Seleksi Masuk IPB), dan tahun 2007 masuk di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan. Selama proses perkuliahan penulis aktif dalam organisasi kemahasiswan baik yang bersifat internal kampus maupun eksternal kampus. Penulis berperan aktif didalam organisasi Fisheries Diving Club (FDC)-IPB, Komisi Persekutuan PMK-IPB, Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan (HIMITEKA)- IPB, dan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Cabang Bogor. Selain perkuliahan dan berorganisasi penulis juga aktif sebagai Asisten mata kuliah Metode Observasi Bawah Air selama 2 tahun. Untuk menyelesaikan studinya dan memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan di Fakultasi Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor, penulis menyusun skripsi dengan judul Perbandingan Dua Planning Unit Berbeda (Heksagon dan Managament Unit) Perangkat Lunak Marxan Dalam Perancangan Wilayah Larang Ambil Taman Nasional Wakatobi, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara. 68

METODE PENELITIAN. Alat dan Bahan Alat dan bahan pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2.

METODE PENELITIAN. Alat dan Bahan Alat dan bahan pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2. III. 3.1. METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni 2012 yang bertepatan dengan acara nyalawean di laut dan muara Sungai Cimaja, Citiis, Citepus dan Sukawayana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Taman Nasional menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Kawasan Konservasi Landasan hukum

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Kawasan Konservasi Landasan hukum II. 2.1. TINJAUAN PUSTAKA Pengelolaan Kawasan Konservasi Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) adalah kawasan konservasi laut yang berada dalam wilayah kewenangan pemerintah daerah dan ditetapkan serta

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepulauan Wakatobi merupakan salah satu ekosistem pulau-pulau kecil di Indonesia, yang terdiri atas 48 pulau, 3 gosong, dan 5 atol. Terletak antara 5 o 12 Lintang Selatan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang dan asosiasi biota penghuninya secara biologi, sosial ekonomi, keilmuan dan keindahan, nilainya telah diakui secara luas (Smith 1978; Salm & Kenchington

Lebih terperinci

VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA

VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA 73 VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA Pengelolaan ekosistem wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Kecamatan Kayoa saat ini baru merupakan isu-isu pengelolaan oleh pemerintah daerah, baik

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Natuna memiliki potensi sumberdaya perairan yang cukup tinggi karena memiliki berbagai ekosistem laut dangkal yang merupakan tempat hidup dan memijah ikan-ikan

Lebih terperinci

REPORT MONITORING SEAGRASS PADA KAWASAN TAMAN NASIONAL WAKATOBI KABUPATEN WAKATOBI

REPORT MONITORING SEAGRASS PADA KAWASAN TAMAN NASIONAL WAKATOBI KABUPATEN WAKATOBI REPORT MONITORING SEAGRASS PADA KAWASAN TAMAN NASIONAL WAKATOBI KABUPATEN WAKATOBI Kerjasama TNC-WWF Wakatobi Program dengan Balai Taman Nasional Wakatobi Wakatobi, Juni 2008 1 DAFTAR ISI LATAR BELAKANG...

Lebih terperinci

Analisis Zonasi Sembilan Kawasan Konservasi Perairan Daerah di Provinsi Sulawesi Tenggara

Analisis Zonasi Sembilan Kawasan Konservasi Perairan Daerah di Provinsi Sulawesi Tenggara Analisis Zonasi Sembilan Kawasan Konservasi Perairan Daerah di Provinsi Sulawesi Tenggara Desita Anggraeni, Christian Novia N.H, Dirga Daniel, Agus Wahyudi, Tarlan Subarno, Zulfikar Afandy, Dyah Rahmatika,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia yang merupakan pusat dari segitiga terumbu karang (coral triangle), memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia (megabiodiversity). Terumbu karang memiliki

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Wilayah Pesisir 2.2. Pengertian Wilayah Pesisir

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Wilayah Pesisir 2.2. Pengertian Wilayah Pesisir 5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Wilayah Pesisir Wilayah pesisir (coastal zone) merupakan daerah yang unik, karena pada daerah ini hanya bisa dijumpai daerah pasang surut, hutan bakau, terumbu karang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

MARXAN. Perencanaan Kawasan Konservasi Laut Sistematis

MARXAN. Perencanaan Kawasan Konservasi Laut Sistematis MARXAN Perencanaan Kawasan Konservasi Laut Sistematis MENGAPA: Sistem komputasi MARXAN dikembangkan untuk membantu dalam desain wilayah perlindungan laut. Ini dirancang didasarkan pada Spexan, desain perangkat

Lebih terperinci

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG PENCADANGAN KAWASAN TERUMBU KARANG PASIR PUTIH SEBAGAI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN SITUBONDO BUPATI SITUBONDO, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 101111111111105 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sumberdaya alam hayati laut yang potensial seperti sumberdaya terumbu karang. Berdasarkan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir dan laut Indonesia merupakan wilayah dengan potensi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan

Lebih terperinci

Identifikasi Lokasi Prioritas Konservasi di Indonesia Berdasarkan Konektivitas Darat-Laut

Identifikasi Lokasi Prioritas Konservasi di Indonesia Berdasarkan Konektivitas Darat-Laut Identifikasi Lokasi Prioritas Konservasi di Indonesia Berdasarkan Konektivitas Darat-Laut Christian Novia N. Handayani, Estradivari, Dirga Daniel, Oki Hadian, Khairil Fahmi Faisal, Dicky Sucipto, Puteri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu merupakan kabupaten administratif yang terletak di sebelah utara Provinsi DKI Jakarta, memiliki luas daratan mencapai 897,71 Ha dan luas perairan mencapai

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

REPORT MONITORING MANGROVE PADA KAWASAN TAMAN NASIONAL WAKATOBI KABUPATEN WAKATOBI

REPORT MONITORING MANGROVE PADA KAWASAN TAMAN NASIONAL WAKATOBI KABUPATEN WAKATOBI REPORT MONITORING MANGROVE PADA KAWASAN TAMAN NASIONAL WAKATOBI KABUPATEN WAKATOBI Kerjasama TNC-WWF Wakatobi Program dengan Balai Taman Nasional Wakatobi Wakatobi, Juni 2008 1 DAFTAR ISI LATAR BELAKANG...

Lebih terperinci

VALUASI EKONOMI EKOSISTEM TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA RETNO ANGGRAENI

VALUASI EKONOMI EKOSISTEM TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA RETNO ANGGRAENI VALUASI EKONOMI EKOSISTEM TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA RETNO ANGGRAENI PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS DAN EKONOMI PERIKANAN KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

KERENTANAN TERUMBU KARANG AKIBAT AKTIVITAS MANUSIA MENGGUNAKAN CELL - BASED MODELLING DI PULAU KARIMUNJAWA DAN PULAU KEMUJAN, JEPARA, JAWA TENGAH

KERENTANAN TERUMBU KARANG AKIBAT AKTIVITAS MANUSIA MENGGUNAKAN CELL - BASED MODELLING DI PULAU KARIMUNJAWA DAN PULAU KEMUJAN, JEPARA, JAWA TENGAH KERENTANAN TERUMBU KARANG AKIBAT AKTIVITAS MANUSIA MENGGUNAKAN CELL - BASED MODELLING DI PULAU KARIMUNJAWA DAN PULAU KEMUJAN, JEPARA, JAWA TENGAH oleh : WAHYUDIONO C 64102010 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang mempunyai keanekaragaman biologi yang tinggi dan berfungsi sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah pengasuhan dan berlindung bagi berbagai

Lebih terperinci

Rencana Pengembangan Berkelanjutan Kelautan dan Perikanan di Pulau Maratua

Rencana Pengembangan Berkelanjutan Kelautan dan Perikanan di Pulau Maratua Rencana Pengembangan Berkelanjutan Kelautan dan Perikanan di Pulau Maratua Pulau Maratua berada pada gugusan pulau Derawan, terletak di perairan laut Sulawesi atau berada dibagian ujung timur Kabupaten

Lebih terperinci

Nama WAKATOBI diambil dengan merangkum nama. ngi- wangi, Kaledupa. dan Binongko

Nama WAKATOBI diambil dengan merangkum nama. ngi- wangi, Kaledupa. dan Binongko OU MATAHORA BANK IKAN UNTUK PERIKANAN BERKELANJUTAN DI DESA MATAHORA KECAMATAN WANGI-WANGI SELATAN KABUPATEN WAKATOBI Oleh : Anggun Ciputri Pratami (8220) Dian Ekawati (8224) Musriani (8242) SMA Negeri

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di Dunia, yang terdiri dari 17.508 pulau dan garis pantai sepanjang 95.181 km (terpanjang ke empat di Dunia setelah Canada,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, terdiri dari lebih 17.000 buah pulau besar dan kecil, dengan panjang garis pantai mencapai hampir

Lebih terperinci

PEMETAAN KAWASAN HABITAT PENYU DI KABUPATEN BINTAN

PEMETAAN KAWASAN HABITAT PENYU DI KABUPATEN BINTAN PEMETAAN KAWASAN HABITAT PENYU DI KABUPATEN BINTAN Oleh : Dony Apdillah, Soeharmoko, dan Arief Pratomo ABSTRAK Tujuan penelitian ini memetakan kawasan habitat penyu meliputi ; lokasi tempat bertelur dan

Lebih terperinci

TINJAUAN ASPEK GEOGRAFIS TERHADAP KEBERADAAN PULAU JEMUR KABUPATEN ROKAN HILIR PROPINSI RIAU PADA WILAYAH PERBATASAN REPUBLIK INDONESIA - MALAYSIA

TINJAUAN ASPEK GEOGRAFIS TERHADAP KEBERADAAN PULAU JEMUR KABUPATEN ROKAN HILIR PROPINSI RIAU PADA WILAYAH PERBATASAN REPUBLIK INDONESIA - MALAYSIA TINJAUAN ASPEK GEOGRAFIS TERHADAP KEBERADAAN PULAU JEMUR KABUPATEN ROKAN HILIR PROPINSI RIAU PADA WILAYAH PERBATASAN REPUBLIK INDONESIA - MALAYSIA Tito Latif Indra, SSi, MSi Departemen Geografi FMIPA UI

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan di sub-sektor perikanan tangkap telah memberikan kontribusi yang nyata dalam pembangunan sektor kelautan dan perikanan. Hal ini ditunjukkan dengan naiknya produksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya merupakan perairan dan terletak di daerah beriklim tropis. Laut tropis memiliki

Lebih terperinci

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU INDAH HERAWANTY PURWITA DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

Bab 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang

Bab 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Bab 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Diketahui bahwa Papua diberi anugerah Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah. Sumberdaya tersebut dapat berupa sumberdaya hayati dan sumberdaya non-hayati. Untuk sumberdaya

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Indonesia merupakan negara maritim dengan garis pantai sepanjang 81.290 km dan luas laut termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 5,8 juta km 2 (Dahuri et al. 2002).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekayaan jenis flora dan fauna yang sangat tinggi (Mega Biodiversity). Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. kekayaan jenis flora dan fauna yang sangat tinggi (Mega Biodiversity). Hal ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki kekayaan jenis flora dan fauna yang sangat tinggi (Mega Biodiversity). Hal ini disebabkan karena Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih 50.000 km 2 (Moosa et al dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan yang dilakukan banyak negara berkembang sering harus dibayar dengan biaya mahal dalam bentuk berbagai kerusakan alam maupun lingkungan sosial. Karena itu,

Lebih terperinci

vi panduan penyusunan rencana pengelolaan kawasan konservasi laut daerah DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Tahapan Umum Penetapan KKLD 9 Gambar 2. Usulan Kelembagaan KKLD di Tingkat Kabupaten/Kota 33 DAFTAR LAMPIRAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. II/1999 seluas ha yang meliputi ,30 ha kawasan perairan dan

BAB I PENDAHULUAN. II/1999 seluas ha yang meliputi ,30 ha kawasan perairan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Taman Nasional Karimunjawa (TNKJ) terletak di Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah merupakan Kawasan Pelestarian Alam yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut dan hampir sepertiga penduduknya mendiami daerah pesisir pantai yang menggantungkan hidupnya dari

Lebih terperinci

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993).

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pelecypoda merupakan biota bentik yang digunakan sebagai indikator biologi perairan karena hidupnya relatif menetap (sedentery) dengan daur hidup yang relatif lama,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG LARANGAN PENGAMBILAN KARANG LAUT DI WILAYAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang besar karena didukung oleh letaknya yang strategis dari aspek ekonomi, pertahanan dan keamanan serta adanya ekosistem

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan adanya kecenderungan menipis (data FAO, 2000) terutama produksi perikanan tangkap dunia diperkirakan hanya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang diperkirakan memiliki kurang lebih 17 504 pulau (DKP 2007), dan sebagian besar diantaranya adalah pulau-pulau kecil

Lebih terperinci

KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH (KKLD) KABUPATEN WAKATOBI MILAWATI ODE, S.KEL

KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH (KKLD) KABUPATEN WAKATOBI MILAWATI ODE, S.KEL KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH (KKLD) KABUPATEN WAKATOBI MILAWATI ODE, S.KEL KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH (KKLD) KABUPATEN WAKATOBI PROVINSI SULAWESI TENGGARA Coral Triangle Wilayah Sasaran = Pulau Wangiwangi,

Lebih terperinci

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Selat Lembeh merupakan suatu kawasan khas yang terletak di wilayah Indonesia bagian timur tepatnya di Kota Bitung, Provinsi Sulawesi Utara dengan berbagai potensi sumberdaya

Lebih terperinci

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010 KRITERIA KAWASAN KONSERVASI Fredinan Yulianda, 2010 PENETAPAN FUNGSI KAWASAN Tiga kriteria konservasi bagi perlindungan jenis dan komunitas: Kekhasan Perlindungan, Pengawetan & Pemanfaatan Keterancaman

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam suatu wilayah pesisir terdapat beragam sistem lingkungan (ekosistem). Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, terumbu karang,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas 49 307,19 km 2 memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi. Luas laut 29 159,04 Km 2, sedangkan luas daratan meliputi

Lebih terperinci

Pemanfaatan jenis sumberdaya hayati pesisir dan laut seperti rumput laut dan lain-lain telah lama dilakukan oleh masyarakat nelayan Kecamatan Kupang

Pemanfaatan jenis sumberdaya hayati pesisir dan laut seperti rumput laut dan lain-lain telah lama dilakukan oleh masyarakat nelayan Kecamatan Kupang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Kupang adalah salah satu kabupaten dengan ekosistem kepulauan. Wilayah ini terdiri dari 27 pulau dimana diantaranya masih terdapat 8 pulau yang belum memiliki

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Tual adalah salah satu kota kepulauan yang ada di Provinsi Maluku dengan potensi sumberdaya kelautan dan perikanan yang cukup melimpah serta potensi pariwisata yang

Lebih terperinci

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Indonesia adalah negara bahari dan negara kepulauan terbesar di dunia dengan keanekaragaman hayati laut terbesar (mega marine biodiversity) (Polunin, 1983).

Lebih terperinci

Tantangan Ke Depan. 154 Tantangan Ke Depan

Tantangan Ke Depan. 154 Tantangan Ke Depan 5 Tantangan Ke Depan Pemahaman ilmiah kita terhadap ekosistem secara umum, khususnya pada ekosistem laut, mengalami kemajuan pesat dalam beberapa dekade terakhir. Informasi tentang pengelolaan ekosistem

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir merupakan daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Kawasan pesisir merupakan ekosistem yang kompleks dan mempunyai nilai sumberdaya alam yang tinggi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistemnya. Pasal 21 Ayat (2). Republik Indonesia. 1

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistemnya. Pasal 21 Ayat (2). Republik Indonesia. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, Indonesia memiliki kekayaan laut yang sangat berlimpah. Banyak diantara keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN LOKASI PENELITIAN

BAB IV GAMBARAN LOKASI PENELITIAN 34 BAB IV GAMBARAN LOKASI PENELITIAN 4.1. Desa Karimunjawa 4.1.1. Kondisi Geografis Taman Nasional Karimunjawa (TNKJ) secara geografis terletak pada koordinat 5 0 40 39-5 0 55 00 LS dan 110 0 05 57-110

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ikan) yang cukup tinggi, namun jika dibandingkan dengan wilayah

BAB I PENDAHULUAN. ikan) yang cukup tinggi, namun jika dibandingkan dengan wilayah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai salah satu Kabupaten yang paling banyak memproduksi Ikan, komoditi perikanan di Kabupaten Kupang merupakan salah satu pendukung laju perekonomian masyarakat,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. lebih pulau dan memiliki panjang garis pantai km yang merupakan

PENDAHULUAN. lebih pulau dan memiliki panjang garis pantai km yang merupakan PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri atas lebih 17.000 pulau dan memiliki panjang garis pantai 81.000 km yang merupakan terpanjang kedua di dunia

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI POTENSI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DI KABUPATEN MALUKU TENGGARA BARAT BERDASARKAN ANALISIS MARXAN

IDENTIFIKASI POTENSI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DI KABUPATEN MALUKU TENGGARA BARAT BERDASARKAN ANALISIS MARXAN IDENTIFIKASI POTENSI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DI KABUPATEN MALUKU TENGGARA BARAT BERDASARKAN ANALISIS MARXAN Christian Handayani 1*, Dirga Daniel 1 dan Estradivari 1 1 WWF-Indonesia Jl. Letjen TB Simatupang

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara ekologis ekosistem padang lamun di perairan pesisir dapat berperan sebagai daerah perlindungan ikan-ikan ekonomis penting seperti ikan baronang dan penyu, menyediakan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG LARANGAN PENGAMBILAN KARANG LAUT DI WILAYAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

Penilaian pengelolaan lingkungan pulau wisata, di kawasan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, Jakarta Utara Siregar, Mara Oloan

Penilaian pengelolaan lingkungan pulau wisata, di kawasan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, Jakarta Utara Siregar, Mara Oloan Perpustakaan Universitas Indonesia >> UI - Tesis (Membership) Penilaian pengelolaan lingkungan pulau wisata, di kawasan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, Jakarta Utara Siregar, Mara Oloan Deskripsi

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24/KEPMEN-KP/2014 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24/KEPMEN-KP/2014 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24/KEPMEN-KP/2014 TENTANG KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN NUSA PENIDA KABUPATEN KLUNGKUNG DI PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang 4 TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang Ruang (space) dalam ilmu geografi didefinisikan sebagai seluruh permukaan bumi yang merupakan lapisan biosfer, tempat hidup tumbuhan, hewan dan manusia (Jayadinata

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu bentuk pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan adalah melalui pengembangan kegiatan wisata bahari. Berbicara wisata bahari, berarti kita berbicara tentang

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT

PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT DESSY NOVITASARI ROMAULI SIDABUTAR SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir

Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir Daerah peralihan (interface area) antara ekosistem daratan dan laut. Batas ke arah darat: Ekologis: kawasan yang masih dipengaruhi oleh proses-proses laut seperti pasang

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terumbu karang merupakan salah satu komponen utama sumberdaya pesisir dan laut, disamping hutan mangrove dan padang lamun. Terumbu karang adalah struktur di dasar laut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mempunyai kekayaan alam dan keragaman yang tinggi dalam

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mempunyai kekayaan alam dan keragaman yang tinggi dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia mempunyai kekayaan alam dan keragaman yang tinggi dalam berbagai bentukan alam, struktur historik, adat budaya, dan sumber daya lain yang terkait dengan wisata.

Lebih terperinci

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. MUNTADHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

KONDISI EKOSISTEM DAN SUMBERDAYA ALAM HAYATI PESISIR DI KABUPATEN ALOR

KONDISI EKOSISTEM DAN SUMBERDAYA ALAM HAYATI PESISIR DI KABUPATEN ALOR RINGKASAN EKSEKUTIF KAJIAN KONDISI EKOSISTEM DAN SUMBERDAYA ALAM HAYATI PESISIR DI KABUPATEN ALOR Ir. Jotham S. R. Ninef, M.Sc. (Ketua Tim Pengkajian dan Penetapan Kawasan Konservasi Laut Provinsi NTT)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai sebuah negara yang sebagian besar wilayahnya terdiri atas lautan, Indonesia memiliki potensi sumberdaya perikanan yang potensial untuk dikembangkan sebagai salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari pulau besar dan kecil dengan panjang garis pantai km

BAB I PENDAHULUAN. dari pulau besar dan kecil dengan panjang garis pantai km BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau besar dan kecil dengan panjang garis pantai 81.000 km dan luas laut 3,1 juta

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan, telah dikenal memiliki kekayaan alam, flora dan fauna yang sangat tinggi. Kekayaan alam ini, hampir merata terdapat di seluruh wilayah

Lebih terperinci

KAJIAN KESESUAIAN PEMANFAATAN KAWASAN TERUMBU KARANG PADA ZONA PEMANFAATAN WISATA TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU OLEH PERSADA AGUSSETIA SITEPU

KAJIAN KESESUAIAN PEMANFAATAN KAWASAN TERUMBU KARANG PADA ZONA PEMANFAATAN WISATA TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU OLEH PERSADA AGUSSETIA SITEPU KAJIAN KESESUAIAN PEMANFAATAN KAWASAN TERUMBU KARANG PADA ZONA PEMANFAATAN WISATA TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU OLEH PERSADA AGUSSETIA SITEPU SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SEMINAR

Lebih terperinci

PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI

PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI Oleh Pengampu : Ja Posman Napitu : Prof. Dr.Djoko Marsono,M.Sc Program Studi : Konservasi Sumberdaya Alam Dan Lingkungan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Jogjakarta,

Lebih terperinci

GUBERNUR MALUKU KEPUTUSAN GUBERNUR MALUKU NOMOR 387 TAHUN 2016 TENTANG

GUBERNUR MALUKU KEPUTUSAN GUBERNUR MALUKU NOMOR 387 TAHUN 2016 TENTANG GUBERNUR MALUKU KEPUTUSAN GUBERNUR MALUKU NOMOR 387 TAHUN 2016 TENTANG PENCADANGAN KAWASAN KONSERVASI PESISIR DAN PULAU PULAU KECIL KEPULAUAN LEASE KABUPATEN MALUKU TENGAH GUBERNUR MALUKU, Menimbang :

Lebih terperinci

REKLAMASI PANTAI DI PULAU KARIMUN JAWA

REKLAMASI PANTAI DI PULAU KARIMUN JAWA LAPORAN PRAKTIKUM REKLAMASI PANTAI (LAPANG) REKLAMASI PANTAI DI PULAU KARIMUN JAWA Dilaksanakan dan disusun untuk dapat mengikuti ujian praktikum (responsi) mata kuliah Reklamasi Pantai Disusun Oleh :

Lebih terperinci

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT 1 BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 42 TAHUN 2014 PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 42 TAHUN 2014 RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU PULAU KECIL PROVINSI NUSA TENGGARA

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Eksploitasi sumberdaya pesisir dan laut dalam dekade terakhir ini menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat, bahkan telah mendekati kondisi yang membahayakan kelestarian

Lebih terperinci

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya 1 Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya PENDAHULUAN Wilayah pesisir merupakan ruang pertemuan antara daratan dan lautan, karenanya wilayah ini merupakan suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan fakta fisiknya, Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km (terpanjang

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem di wilayah pesisir yang kompleks, unik dan indah serta mempunyai fungsi biologi, ekologi dan ekonomi. Dari fungsi-fungsi tersebut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan dengan panjang garis pantai mencapai 95.181 km (Rompas 2009, dalam Mukhtar 2009). Dengan angka tersebut menjadikan Indonesia sebagai

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan 29 BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN 3.1. Kerangka Berpikir Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan ekosistem laut. Mangrove diketahui mempunyai fungsi ganda

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU MENTERI KEHUTANAN,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari atas 17.508 pulau, dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Luas laut Indonesia sekitar 3,1

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis PENDAHULUAN Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang memiliki peranan penting dalam pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis kondisi dan keberadaannya. Beberapa

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keanekaragaman hayati atau biodiversitas adalah keanekaragaman organisme yang menunjukkan keseluruhan atau totalitas variasi gen, jenis, dan ekosistem pada suatu daerah,

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI ANCAMAN TERHADAP KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN TAMAN WISATA PERAIRAN LAUT BANDA, PULAU HATTA, DAN PULAU AY

IDENTIFIKASI ANCAMAN TERHADAP KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN TAMAN WISATA PERAIRAN LAUT BANDA, PULAU HATTA, DAN PULAU AY Disampaikan dalam Simposium Nasional Kawasan Konservasi Perairan Kementerian Kelautan dan Perikanan 9-10 Mei 2017 IDENTIFIKASI ANCAMAN TERHADAP KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN TAMAN WISATA PERAIRAN LAUT BANDA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, karena Indonesia merupakan Negara kepulauan dengangaris pantai mencapai sepanjang 81.000 km. Selain

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL (Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta)

Lebih terperinci