BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Pertimbangan Hakim Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Dalam

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Pertimbangan Hakim Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Dalam"

Transkripsi

1 72 BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pertimbangan Hakim Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Dalam Putusan Nomor 59/Pid.Sus/2012/PN.Tipikor.Smg, Putusan Nomor : 11/PID/TPK/2013/PT.DKI dan Putusan Nomor : 1616 K/PID.SUS/2013 Sebelum menelaah lebih jauh mengenai putusan Hakim yang memberikan vonis pemidanaan, pertimbangan Hakim maupun penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi dengan terdakwa Angelina Sondakh dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor : 54/PID.B/TPK/2012/PN.JKT.PST, Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor : 11/PID/TPK/2013/PT.DKI dan Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1616 K/PID.SUS/2013 (Terdakwa Angelina Sondakh) dikaitkan dengan tujuan pemidanaan. Peneliti terlebih dahulu akan menyajikan deskripsi kasus sebagai berikut: 1. Kasus Posisi ANGELINA PATRICIA PINGKAN SONDAKH sebagai Anggota Komisi X (sepuluh) DPR RI selanjutnya diangkat sebagai Anggota Badan Anggaran DPR RI dari Komisi X (sepuluh) sebagaimana Keputusan DPR RI Nomor: 48/DPRRI/I/ yang mempunyai kewenangan, salah satunya membahas bersama Pemerintah dalam menentukan pokok-pokok kebijakan fiskal secara umum dan prioritas anggaran untuk dijadikan acuan bagi setiap Kementrian/Lembaga dalam menyusun usulan anggaran. Berdasarkan kesepakatan internal di Komisi X (sepuluh) ANGELINA PATRICIA PINGKAN SONDAKH ditunjuk menjadi Koordinator Kelompok Kerja (Pokja) Anggaran Komisi (X) yang bertugas menindak lanjuti kesepakatan anggaran dengan mitra kerja antara lain Kemendiknas dan Kemenpora yang dibahas melalui Rapat Kerja dan Rapat Dengar Pendapat dalam Badan Anggaran DPR RI. 72

2 ANGELINA PATRICIA PINGKAN SONDAKH diajak Muhammad Nazaruddin merupakan rekan sesama anggota DPR RI dari Partai Demokrat bertemu dengan Mindo Rosalina Manulang serta beberapa orang lainnya dari Permai Grup antara lain Gerhana Sianipar, Clara Mauren, Silvy dan Bayu Wijokongko di Restoran Nippon Kan di Hotel Sultan Jakarta Selatan. Pada pertemuan itu Muhammad Nazaruddin memperkenalkan Mindo Rosalina Manulang dan beberapa orang dari Permai Grup tersebut sebagai Pengusaha. Muhammad Nazaruddin juga menjelaskan kepada Terdakwa bahwa pada saat dirinya masih menjadi Pengusaha, mereka bergabung bersama dalam sebuah konsorsium, tetapi setelah Muhammad Nazaruddin menjadi Anggota DPR RI maka Mindo Rosalina Manulang yang akan maju menggantikannya untuk nanti berhubungan dengan Terdakwa dalam rangka mendapatkan proyekproyek di Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) dan di Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora). Setelah berkenalan lalu Terdakwa dan Mindo Rosalina Manulang saling bertukar Nomor Handphone dan PIN (Personal Identification Number) Blackberry dalam rangka memudahkan hubungan komunikasi selanjutnya. Menindaklanjuti perkenalan tersebut maka sekitar awal tahun 2010 Mindo Rosalina Manulang menghubungi Terdakwa untuk bertemu kembali dan Terdakwa mempersilahkan Mindo Rosalina Manulang menemuinya di Apartemen Bellezza depan ITC Permata Hijau Jakarta Selatan. Pada pertemuan itu Mindo Rosalina Manulang menanyakan kesediaan Terdakwa untuk menggiring anggaran di Kemendiknas dan di Kemenpora, yakni mengusahakan agar program kegiatan berupa Proyek- Proyek Pembangunan/Pengadaan dan Nilai Anggarannya dapat sesuai dengan permintaan Permai Grup. Terdakwa kemudian menyanggupi permintaan tersebut dan meminta agar proyek pada program kegiatan yang akan diusulkan Permai Grup dibuatkan daftar (list) nya lalu diserahkan kepada Terdakwa. Selain itu terdakwa juga menambahkan bahwa khusus untuk proyek pada program pendidikan tinggi di Kemendiknas harus dilengkapi dengan adanya proposal usulan kegiatan dari Universitas-Universitas ke Biro Perencanaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Kemendiknas karena apabila usulan dari universitas belum ada maka tidak bisa dilakukan pembahasan di DPR Republik Indonesi. Atas jawaban dari Terdakwa maka beberapa hari kemudian Mindo Rosalina Manulang melaporkan hal itu dalam rapat di kantor Permai Grup yang dihadiri Muhammad Nazaruddin selaku pemilik (owner) Permai Grup. Terhadap laporan Mindo Rosalina Manulang bahwa Terdakwa bersedia membantu menggiring anggaran di Kemendiknas dan di Kemenpora, maka Muhammad Nazaruddin memerintahkan Mindo Rosalina Manulang untuk mengecek ke Biro Perencanaan Ditjen Dikti Kemendiknas terhadap usulan dari berbagai Universitas Negeri untuk proyek yang akan dianggarkan Kemendiknas pada Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBN-P)

3 maupun Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2011, selain itu Muhammad Nazaruddin juga memerintahkan Mindo Rosalina Manulang untuk menemui beberapa Rektor Universitas Negeri terkait pengajuan proposal usulan Universitas ke Ditjen Dikti Kemendiknas. Sedangkan terhadap proyek yang akan dianggarkan di Kemenpora maka Muhammad Nazaruddin memperkenalkan Mindo Rosalina Manulang dengan Wafid Muharam yang menjabat sebagai Sekretaris Menteri Pemuda dan Olahraga (Sesmenpora) sekitar bulan Maret 2010 di Restoran Arcadia Senayan Jakarta, agar Mindo Rosalina Manulang dapat berhubungan langsung dengan pihak Kemenpora terkait pengajuan usulan proyek pembangunan Wisma Atlet yang akan dianggarkan pada APBN-P Terdakwa selanjutnya kembali bertemu dengan Mindo Rosalina Manulang sekitar awal bulan Maret 2010 di kantor Terdakwa di Ruang 2301 Gedung Nusantara I kantor DPR RI, yang pada pertemuan itu Mindo Rosalina Manulang menyampaikan bahwa ia telah melakukan pengecekan terhadap Proposal Usulan Universitas-Universitas Negeri yang masuk di Ditjen Dikti Kemendiknas serta hendak menyerahkan daftar (list) kegiatan sekaligus usulan besarnya anggaran yang diinginkan Permai Grup, namun Terdakwa mengatakan bahwa ia akan mempelajari terlebih dahulu dan nanti dikomunikasikan lagi dengan Mindo Rosalina Manulang. Barulah sekitar pertengahan bulan Maret 2010, Terdakwa mengadakan pertemuan kembali dengan Mindo Rosalina Manulang di Plaza FX Senayan dan dalam pertemuan kali ini Terdakwa menyanggupi permintaan penggiringan anggaran yang diinginkan Permai Grup dengan meminta imbalan uang (fee) sebesar 7% (tujuh persen) dari nilai proyek dan fee tersebut sudah harus diberikan kepada Terdakwa sebesar 50% (lima puluh persen) pada saat pembahasan dilakukan dan sisanya 50% (lima puluh persen) setelah DIPA turun atau disetujui. Terhadap permintaan Terdakwa tersebut maka esok harinya Mindo Rosalina Manulang melaporkan kepada Muhammad Nazaruddin selaku pemilik (owner) Permai Grup dalam rapat di kantor Permai Grup, lalu Muhammad Nazaruddin memerintahkan Mindo Rosalina Manulang untuk menawar sebesar 5% (lima persen) dan imbalan uangnya (fee) baru bisa diberikan setelah DIPA turun atau disetujui. Beberapa hari kemudian Mindo Rosalina Manulang kembali menemui Terdakwa di kantor DPR RI lalu menyampaikan bahwa imbalan uang (fee) dalam rangka menggiring anggaran tersebut supaya dapat dikurangi menjadi sebesar 5% (lima persen) saja dan akan diberikan kepada Terdakwa setelah DIPA turun atau disetujui. Sebagai tindak lanjut upaya menggiring anggaran di Kemendiknas agar sesuai dengan permintaan Permai Grup, selanjutnya Terdakwa mengikuti kegiatan pembahasan rapat-rapat di Badan Anggaran DPR RI yang membahas alokasi Anggaran APBN-P 2010 dan APBN 2011, bahkan pada pembahasan Anggaran Program Pendidikan Tinggi Kemendiknas, Terdakwa ikut mengajukan usulan program kegiatan untuk sejumlah Perguruan Tinggi yang awalnya tidak diusulkan 74

4 75 oleh Ditjen Dikti Kemendiknas namun kemudian diusulkan sebagai usulan aspirasi dari Komisi X (sepuluh). Selain itu Terdakwa juga beberapa kali memanggil Harris Iskandar dan Dadang Sudiyarto (Kabag Perencanaan dan Penganggaran Ditjen Dikti Kemendiknas) ke kantor DPR RI untuk membahas alokasi anggaran yang akan diusulkan Kemendiknas, serta meminta agar Harris Iskandar dan Dadang Sudiyarto memprioritaskan pemberian alokasi anggaran terhadap beberapa perguruan tinggi yang diusulkan Terdakwa. Bahwa sebagai realisasi dari permintaan imbalan uang (fee) sebesar 5% (lima persen) dari nilai proyek-proyek yang akan dianggarkan sebagaimana yang telah dijanjikan kepada Terdakwa tersebut, maka Permai Grup memberikan sebesar Rp ,00 (dua belas milyar lima ratus delapan puluh juta rupiah) dan US $ ,00 (dua juta tiga ratus lima puluh ribu Dollar Amerika Serikat) secara bertahap. Terdakwa menyanggupi akan mengusahakan supaya anggaran untuk proyek pembangunan/pengadaan pada Program Pendidikan Tinggi di Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) dan program pengadaan sarana dan prasarana di Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) dapat disesuaikan dengan permintaan Permai Grup karena nantinya proyek-proyek tersebut akan dikerjakan oleh Permai Grup ataupun pihak lain yang telah dikoordinasikan oleh Permai Grup. 2. Perbandingan Putusan Hakim No Unsur-Unsur PN PT Kasasi 1 Dakwaan 1) Pasal 12 huruf a jo Pasal 18 Undangundang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi tentang Pidana sebagai sebagai mana diubah dengan Undangundang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP 2) Pasal 11 jo Pasal 18 Undangundang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagai mana 1) Pasal 12 huruf a jo Pasal 18 Undangundang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagai mana diubah dengan Undangundang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP 2) Pasal 5 ayat 1) Pasal 12 huruf a jo Pasal 18 Undangundang Nomor 31 Tahun 1999 Tindak Korupsi mana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP 2) Pasal 5 ayat (2) jo Pasal 5 ayat (1) huruf e jpo Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan Undang-undang

5 76 No Unsur-Unsur PN PT Kasasi diubah dengan Undangundang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP 2 Tuntutan Pasal 11 jo Pasal 18 Undangundang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagai mana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP (2) jo Pasal 5 ayat (1) huruf e jpo Pasal 18 Undangundang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan Undangundang Nomor 20 tahun 2001 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP 3) Pasal 11 jo Pasal 18 Undangundang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagai mana diubah dengan Undangundang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP Pasal 12 huruf a jo Pasal 18 Undangundang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagai mana diubah dengan Undangundang Nomor Nomor 20 tahun 2001 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP 3) Pasal 11 jo Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagai mana diubah dengan Undangundang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP Pasal 12 huruf a jo Pasal 18 Undangundang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagai mana diubah dengan Undangundang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP

6 77 No Unsur-Unsur PN PT Kasasi 20 Tahun 2001 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP 3 Pertimbangan Unsur yuridis Unsur-unsur di dalam Pasal 11 jo Pasal 18 Undangundang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagai mana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP Unsur-unsur di dalam Pasal 12 huruf a jo Pasal 18 Undangundang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagai mana diubah dengan Undangundang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP Unsur-unsur di dalam Pasal 12 huruf a jo Pasal 18 Undangundang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagai mana diubah dengan Undangundang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP 4 Faktor yang memberatkan Dapat memicu tindak pidana korupsi berikunya dalam penggiringan pemenangan tender proyek, perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam memberantasa tindak pidana korupsi, perbuatan terdakwa dapat merenggut hak sosial dan hak ekonomi masyarakat, terdakwa merupakan wakil rakyat dan publik figure, tidak mengakui dan Dapat memicu tindak pidana korupsi berikunya dalam penggiringan pemenangan tender proyek, perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam memberantasa tindak pidana korupsi, perbuatan terdakwa dapat merenggut hak sosial dan hak ekonomi masyarakat, terdakwa merupakan wakil rakyat

7 78 No Unsur-Unsur PN PT Kasasi menyesali perbuatanya dan publik figure, tidak mengakui dan menyesali 5 Faktor yang meringankan Terdakwa berlaku sopan dalam persidangan, terdakwa merupakan orang tua tungal dan mempunyai tanggungan keluarga yakni anak-anak yang masih kecil, terdakwa belum pernah dihukum dan masih berusia muda, terdakwa memiliki jasa pernah mewakili bangsa dan negara Indonesia di forum nasional dan internasional dan terdkawa pernah mendapatkan penghargaan dari Menteri Sosial Republik Indonesia perbuatanya Terdakwa berlaku sopan dalam persidangan, terdakwa merupakan orang tua tungal dan mempunyai tanggungan keluarga yakni anak-anak yang masih kecil, terdakwa belum pernah dihukum dan masih berusia muda, terdakwa memiliki jasa pernah mewakili bangsa dan negara Indonesia di forum nasional dan internasional dan terdkawa pernah mendapatkan penghargaan dari Menteri Sosial Republik Indonesia 6 Putusan Penjara 4 tahun 6 bulan 4 tahun 6 bulan Denda Rp ,- Rp ,- Uang Pengganti 12 tahun Rp ,- Rp ,- dan US$ ,-

8 79 B. Analisis Pertimbangan Putusan Perkara Ditinjau dari Kajian Pemidanaan 1. Pertimbangan berat ringannya pidana dalam Penjatuhan putusan yang dilakukan oleh majelis hakim Penegakan hukum terhadap kejahatan di Indonesia, khususnya dalam pemidanaan, seharusnya merujuk pada pendekatan norma hukum untuk membuktikan perbuatan yang didakwakan terbukti atau tidak, sehingga hakim dapat menjatuhkan sanksi pidana yang tepat sehingga dapat memberikan efek jera kepada sipelaku. Hal ini memberikan wacana kepada para hakim dalam merumuskan vonis penjatuhan sanksi pidana kepada para pelaku kejahatan agar yang dijatuhkan sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. Suatu perbuatan baru dapat dikategorikan sebagai tindak pidana apabila perbuatan tersebut telah memenuhi seluruh unsur-unsur dari pasal atau aturan yang mengatur dimana perbuatan tersebut dinyatakan dilarang. Dalam hal adanya suatu dugaan tindak pidana, penegak hukum harus dapat menyidik untuk memperoleh kejelasan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh pelaku benar merupakan suatu tindak pidana. Proses hukum lalu berlanjut dengan penerapan sanksi untuk mengetahui peraturan apa saja yang telah dilanggar serta sejauh mana perbuatan pelaku melanggar perturan tersebut. Pada akhirnya, setelah melalui proses pembuktian, diputuskanlah sanksi pidana yang akan diterapkan kepada pelaku.

9 80 Kasus yang Penulis uraikan di atas merupakan kasus korupsi yang diduga dilakukan oleh Angelina Sondakh. Akibat perbuatan tersebut, Negara mengalami kerugian sebesar Rp ,- dan sebesar US$ ,- sebagai imbalan (fee) kepada terdakwa terkait upaya menggiring anggaran proyek Wisma Atlit Kemenpora dan proyek-proyek Universitas Kemendiknas yang diberikan secara bertahap berdasarkan catatan pengeluaran kas Permai Grup. Penuntut umum merupakan instansi yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan dan penetapan pengadilan. 1 Salah satu yang menjadi tugas penuntut umum adalah membuat surat dakwaan yang nantinya akan menjadi dasar landasan pemeriksaan kasus tersebut pada proses peradilan. Maka dari itu, surat dakwaan harus disusun dengan cermat dan jelas. Hal ini secara tegas diatur dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana bahwa surat dakwaan harus memenuhi syarat materiil yang harus menguraikan secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan. 2 Pemilihan bentuk surat dakwaan harus dilakukan dengan berpedoman pada hasil penyidikan atas tindak pidana yang dilakukan 1 Yahya Harahap, Op. Cit., h PAF Lamintang, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan Pembahasan Secara Yuridis Menurut Yurisprudensi dan Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana, CV. Sinar Baru, Bandung, 1984, h. 315

10 81 oleh terdakwa. Jika terdakwa hanya melakukan satu tindak pidana, maka dapat digunakan dakwan biasa atau tunggal. Jika terdakwa melakukan tindak pidana yang lebih dari satu rumusan tindak pidana pada Undang- Undang dan belum dapat dipastikan ketentuan mana yang telah dilanggar, maka jaksa dapat menyusun surat dakwaan alternatif atau subsidair. Dalam hal terdakwa melakukan perbarengan tindak pidana (concursus) yang tiap-tiap tindak pidana tersebut berdiri sendiri, maka dapat digunakan jenis dakwaan kumulatif. Penjatuhan putusan yang dilakukan oleh majelis hakim terhadap pelaku tindak pidana didasarkan pada surat dakwaan yang telah disusun oleh jaksa. Selain harus berdasarkan pada fakta-fakta yang terungkap di persidangan. Dalam menjatuhkan putusan, hakim wajib berpedoman pada hasil pembuktian atas kasus tersebut diikuti dengan pertimbangan hakim terhadap terdakwa bahwa terdakwa telah terbukti melanggar Pasal 11 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. Sebelum penjatuhan putusan, hakim wajib mempertimbangkan hal-hal yang dapat memberatkan ataupun meringankan. Perbuatan terdakwa merupakan perbuatan berlanjut sesuai dengan Pasal 64 KUHP yang berbunyi : Jika beberapa perbuatan perhubungan, sehingga demikian harus dipandang sebagai satu perbuatan yang diteruskan, maka hanya ada satu ketentuan pidana saja yang digunakan walaupun masing masing perbuatan itu menjadi kenjahatan atau pelanggaran, jika

11 82 hukumannya berlainan, maka yang digunakan ialah peraturan terberat hukuman utamanya. Menurut putusan hakim yang telah disebutkan di atas, hakim menyatakan terdakwa Angelina Sondakh terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Secara Berlanjut sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 11 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. Putusan hakim yang memilih untuk menjatuhkan pidana berdasarkan dakwaan ketiga yang menggunakan Undang Undang PTPK menurut Penulis adalah hal yang tepat. Menurut analisis penulis, pemberian fee terkait upaya menggiring anggaran proyek Wisma Atlit Kemenpora dan proyek-proyek Universitas Kemendiknas yang diberikan secara bertahap berdasarkan catatan pengeluaran kas Permai Grup, merupakan tindak pidana yang dilakukan dalam ruang lingkup korupsi, maka dari itu, Undang Undang PTPK memiliki kekhususan yang lebih dibandingkan KUHP. Selain pemilihan dakwaan yang dijatuhkan kepada terdakwa, Penulis turut mencermati sanksi pidana yang dijatuhkan oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat maupun hakim Pengadilan Tinggi Jakarta terhadap terdakwa Angelina Sondakh. Pada amar putusan, hakim menjatuhkan pidana penjara 4 (empat) tahun dan 6 (enam) bulan dan denda sebesar Rp ,- (dua ratus lima puluh juta rupiah) subsider 6 (enam) bulan kurungan. Sanksi pidana juga yang dijatuhkan

12 83 oleh hakim Mahkamah Agung dengan pidana penjara 12 (dua belas) tahun dan denda sebesar Rp ,- (lima ratus juta rupiah) serta uang pengganti sebesar Rp ,- dan US$ ,-. Putusan tersebut didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan hakim, termasuk dalam hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa, dengan memperhatikan kepentingan masyarakat dan negara akan menjatuhkan pidana kepada Terdakwa dengan pidana yang layak, patut setimpal dan adil sesuai dengan perbuatan yang telah dilakukannya dalam dakwaan ketiga Penuntut Umum yang terbukti di persidangan dan pidana tersebut juga sebagai pembinaan bagi diri Terdakwa. Setelah diuraikan pertimbangan-pertimbangan di dalam menentukan putusan persidangan maka dikaitkan dengan putusan tindak pidana korupsi dengan terdakwa Angelina Sondakh, di mana dalam dakwaan dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum, selain merumuskan uraian pasal yang didakwakan serta pembuktianya didalam surat tuntutan, jaksa penuntut umum juga telah merumuskan hal hal yang meringankan dan memberatkan hukuman terdakwa Angelina Sondakh. Hal-hal yang memberatkan dari diri terdakwa: a. Perbuatan terdakwa tidak mendukung program Pemerintah yang saat ini sedang giat-giatnya memberantas tindak pidana korupsi akan tetapi justru memanfaatkan jabatannya selaku Anggota DPR-RI untuk melakukan tindak pidana korupsi; b. Perbuatan terdakwa telah merenggut hak sosial dan hak ekonomi masyarakat karena anggaran yang telah ditetapkan tidak sepenuhnya digunakan untuk kepentingan masyarakat; c. Terdakwa yang merupakan wakil rakyat dan publik figur justru tidak memberikan teladan yang baik kepada masyarakat; d. Terdakwa tidak mengakui dan tidak menyesali perbuatannya;

13 84 Sedangkan hal-hal yang meringankan dari diri terdakwa: a. Terdakwa bersikap sopan di persidangan; b. Terdakwa mempunyai tanggungan keluarga yakni seorang anak yang masih kecil; c. Terdakwa belum pernah dihukum dan relatif masih berusia muda sehingga diharapkan dapat memperbaiki diri; Putusan pengadilan yang berupa penjatuhan pidana harus disertai pula fakta-fakta yang digunakan, untuk mempertimbangkan berat ringannya pidana, sebagaimana ditentukan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Memorie Van Toelichting dari Strafwetboek tahun 1886, memberikan pedoman untuk mempertimbangkan berat ringannya pidana sebagai berikut: Dalam menentukan tinggi rendahnya pidana, hakim untuk tiap kejadian harus memperhatikan keadaan obyektif dan subyektif dari tindak pidana yang dilakukan, harus memperhatikan perbuatan dan pembuatannya. Hak-hak apa saja yang dilanggar dengan adanya tindak pidana itu? Kerugian apakah yang ditimbulkan? Bagaimanakah sepak terjang kehidupan si pembuat dulu-dulu? Apakah kejahatan yang dipersalahkan kepadanya itu langkah pertama kearah jalan yang sesat ataukan merupakan suatu perbuatan, merupakan suatu pengulangan dari watak jahat yang sebelumnya sudah tampak. Pedoman dari Memorie Van Toelichting ini dapat pula dipergunakan sebagai pedoman untuk mempertimbangkan berat ringannya pidana dalam praktek peradilan di Indonesia, karena KUHP pada prinsipnya merupakan salinan dari Strafwetboek tahun Dalam perundang-undangan Indonesia juga terdapat ketentuan-ketentuan yang merupakan petunjuk ke arah pertimbangan berat ringannya pidana.

14 85 Bentuk dari suatu putusan tidak diatur dalam KUHAP. Namun jika diperhatikan bentuk-bentuk putusan, maka bentuknya hampir bersamaan dan tidak pernah dipermasalahkan karenanya sebaiknya bentuk-bentuk putusan yang telah ada tidak keliru jika diikuti. Mengenai isi putusan, ditentukan secara rinci dan limitatif dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP yang rumusannya sebagai berikut: Surat putusan pemidanaan memuat. a. Kepala putusan yang ditulis: Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. b. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa. c. Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan. d. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa. e. Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan. f. Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa. g. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal. h. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan. i. Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti. j. Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu dan keterangan di mana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat autentik dianggap palsu. k. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan. l. Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera. Mengenai proses pengambilan putusan secara singkat diawali dengan Ketua Sidang/Ketua Majelis yang menyatakan bahwa

15 86 pemeriksaan tertutup (Pasal 182 ayat (2) KUHAP), maka Hakim mengadakan musyawarah yang dipimpin Ketua Sidang/Ketua Majelis yang mengajukan pertanyaan dimulai dari hakim yang termuda sampai hakim yang tertua. Pertanyaan dimaksud adalah bagaimana pendapat dan penilaian hakim yang bersangkutan terhadap perkara yang dihadapi. Hakim yang bersangkutan mengutarakan pendapat dan uraiannya dimulai dengan pengamatan dan penelitiannya tentang hal formil barulah kemudian tentang hal materiil, yang kesemuanya didasarkan atas surat dakwaan penuntut umum. Hal-hal formil yang dimaksud misalnya sebagai berikut. a. Apakah pengadilan negeri di mana majelis hakim bersidang berwenang memeriksa perkara tersebut atau tidak. b. Apakah surat dakwaan telah memenuhi syarat-syarat. c. Apakah dakwaan dapat diterima atau tidak, hal ini berkenaan dengan ne bis in iden dan verjaring. Setelah hal-hal formil ini terpenuhi, maka dilanjutkan dengan materi perkara. a. Perbuatan mana yang telah terbukti di persidangan, unsur-unsur mana yang terbukti dan alat bukti yang mendukungnya serta nama yang tidak terbukti. b. Apakah terdakwa dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya tersebut. c. Apakah hukuman yang patut dan adil yang dijatuhkan kepada terdakwa atas perbuatannya. Setelah masing-masing Hakim Anggota Majelis mengutarakan pendapat atau pertimbangan-pertimbangan dan keyakinannya atas perkara tersebut maka dilakukan musyawarah untuk mufakat. Ketua Majelis berusaha agar diperoleh permufakatan bulat (Pasal 182 ayat (2)

16 87 KUHAP), akan tetapi jika mufakat bulat tidak diperoleh maka putusan diambil dengan suara terbanyak. 3 Adakalanya para hakim masing-masing berbeda pendapat atau pertimbangan, sehingga suara terbanyak pun tidak dapat diperoleh. Jika hal tersebut terjadi maka putusan yang dipilih adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan terdakwa seperti yang disebutkan dalam Pasal 182 ayat (6) KUHAP. Pelaksanaan (proses) pengambilan putusan tersebut dicatat dalam buku Himpunan Putusan yang disediakan secara khusus untuk itu yang sifatnya rahasia. Secara teoritik, setiap pemidanaan harus didasarkan paling sedikit pada keadaan-keadaan individual yang berkaitan dengan tindak pidana yang bersangkutan dengan pelaku tindak pidana. Dalam praktinya, hal ini akan bervariasi baik orang per orang maupun tindak pidana per tindak pidana dan dengan demikian dapat dimengerti apabila tidak selalu tercapai. Untuk itu maka diperlukan hal-hal sebagai berikut: 4 a. Perlunya informasi yang lengkap tentang tindak pidana dan pelaku tindak pidana. Dalam hal ini kewaspadaan sangat diperlukan, sebab pemidanaan harus benar-benar memperhitungkan segala fakta yang relevan. Situasi peradilan seringkali diwarnai oleh kondisi buatan (artificial situations) yang berkaitan dengan perbuatan yang dipertimbangkan lebih dahulu baru kemudian keadaan-keadaan yang berkaitan dengan si pelaku. Laporan sosial si pelaku sangat dibutuhkan dan dalam hal-hal tertentu laporan medis juga diperlukan. b. Analisis terhadap informasi yang telah diperoleh tentang tindak pidana, hakikat dakwaan, tingkat gravitas tindak pidana, dalam hal ini akan diperhitungkan pula baik hal-hal yang memperberat maupun yang meringankan tindak pidana. 3 Leden Marpaung. Op cit. h Muladi dan Barda Nawawi, Op cit., h. 211

17 Hal-hal yang memperberat yaitu: a. Pegawai negeri yang melanggar suatu kewajiban jabatan yang khusus ditentukan oleh peraturan perundang-undangan atau pada waktu melakukan tindak pidana mempergunakan kekuasaan, kesempatan atau upaya yang diberikan kepadanya karena jabatannya; b. Seseorang melakukan tindak pidana dengan menyalahgunakan bendera kebangsaan, lagu kebangsaan atau lambanga negara republik indonesia; c. Seseorang melakukan tindak pidana dengan menyalahgunakan keahlian atau profesinya; d. Orang dewasa melakukan tindak pidana bersama dengan anak di bawah umur 18 tahun; e. Tindak pidana dilakukan dengan kekuatan bersama, dengan kekerasan atau dengan cara yang kejam; f. Tindak pidana dilakukan pada waktu ada huru-hara atau bencana alam; g. Tindak pidana dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya. h. Terjadinya pengulangan tindak pidana. Sedangkan hal-hal yang meringankan yaitu: a. Seseorang yang melakukan tindak pidana dan pada waktu itu berumur 12 tahun atau lebih tetapi masih di bawah umur 18 tahun; b. Seseorang mencoba melakukan atau membantu terjadinya tindak pidana; c. Seseorang setelah melakukan tindak pidana dengan sukarela menyerahkan diri kepada yang berwajib; d. Seorang wanita hamil muda melakukan tindak pidana; e. Seseorang setelah melakukan tindak pidana dengan sukarela memberi ganti kerugian yang layak atau memperbaiki kerusakan akibat perbuatannya; f. Seseorang melakukan tindak pidana karea kegoncangan jiwa yang sangat hebat sebagai akibat yang sangat berat dari keadaan pribadi atau keluarganya; g. Pertimbangan yang berkaitan dengan pandangan korban dan masyarakat. Pertimbangan ini tidak harus mempengaruhi secara absolut terhadap kalkulasi pemidanaan, sebab informasi yang berkaitan dengan tindak pidana dan si pelaku merupakan faktor yang sangat diperhitungkan. Kelemahannya yang sangat menonjol dalam hal ini adalah sifat sentimentil dari pandangan ini. Namun demikian, pandangan si korban dan masyarakat dan sampai seberapa jauh kompensasi yang telah diberikan misalnya kepada korban merupakan bahan pertimbangan pemidanaan yang sangat penting. Dalam kaitannya dengan kedudukan korban dalam sistem peradilan pidana, tidak menganut procedural right model yang menempatkan korban sebagai pihak ketiga dalam sistem 88

18 peradilan tetapi cenderung untuk menggunakan services model, sebab yang utama adalah bagaimana melayani dan membantu si korban dalam rangka access to justice. 1) Perhatian terhadap setiap asas pemidanaan dan petunjukpetunjuk baik yang bersumber dari perundang-undangan, yurisprudensi maupun dari kecenderungan-kecenderungan lain seperti resolusi-resolusi internasional dan sebagainya. 2) Perhatian terhadap bobot pemidanaan baik yang bersifat umum maupun yang bersifat khusus yang telah diputuskan oleh pengadilan yang sama atau pengadilan yang lain. Sekalipun Indonesia tidak menganut asas stare decisis melalui apa yang dinamakan dengan the binding force of precedent, tetapi yurisprudensi dari pengadilan dan Mahkamah Agung merupakan keputusan-keputusan hakim yang perlu diperhitungkan, khususnya dalam kasus-kasus yang memerlukan penafsiran dan penjelasan dari yang lebih ahli seperti kasuskasus tindak pidana berat dan yang berkaitan dengan pemidanaan yang bersifat kumulatif. 3) Pertimbangan terhadap tujuan pemidanaan yang hendak ditetapkan. Tujuan pemidanaan yang hendak diterapkan dirumuskan antara lain sebagai berikut: (1) Mencegah dilakukannya tindak pidana demi pengayoman masyarakat; (2) Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadikannya orang yang baik dan berguna; (3) Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkanm rasa damai dalam masyarakat; (4) Membebaskan rasa bersalah pada terpidana. 4) Pertimbangan tentang hal-hal yang meringankan yang melekat pada si pelaku tindak pidana seperti: (1) Karakter yang baik; (2) Rasa penyesalan yang dalam; (3) Mengaku bersalah; (4) Rekor pekerjaan yang baik; (5) Masalah keluarga; (6) Umur; (7) Tidak cakap; (8) Kemungkinan stres emosional; (9) Kondisi fisik yang cacat; (10) Pendapatan yang sangat rendah; (11) Akibat provokasi. 89

19 90 5) Apabila lebih dari satu pidana diterapkan, perlu dilakukan pemeriksaan atau peninjauan tentang sampai seberapa jauh efek keadilan tercapai. 6) Apabila pidana yang pantas jauh lebih berat atau lebih ringan dari pidana yang bersifat normal, maka harus diberikan alasanalasan yang jelas. a. Teori Pemidanaan Apabila mendasarkan pada teori pemidanaan di mana di dalamnya terdapati teori absolut, yang menyatakan bahwa pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana (quia peccatum est). Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. Jadi, dasar pembenaran dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri. Oleh karena itu, pemidanaan terhadap Angelina Sondakh merupakan akibat dari perbuatannya yang merugikan negara dan masyarakat ditambah dengan jabatannya yang seharusnya berperan sebagai pelopor pemberantasan tindak kejahatan (korupsi) malah melakukan tindak kejahatan (korupsi) tersebut. Tuntutan keadilan yang sifatnya absolut ini terlihat dengan jelas dalam pendapat Immanuel Kant bahwa Pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk mempromosikan tujuan/kebaikan lain, baik bagi si pelaku itu sendiri maupun bagi masyarakat, tetapi dalam semua hal harus dikenakan hanya karena orang yang bersangkutan telah melakukan suatu kejahatan.

20 91 Teori pemidanaan penganut teori retributief, salah satunya Nigel Walker, para penganut teori retributif ini dapat pula dibagi dalam beberapa golongan sebagai berikut: 5 1) Penganut teori retributif yang murni (The pure retributivist) yang berpendapat bahwa pidana harus cocok atau sepadan dengan kesalahan si pembuat; 2) Penganut teori retributif tidak murni (dengan modifikasi) yang dapat pula dibagi dalam: a) Penganut teori retributif tidak murni (the limiting retributivist) yang berpendapat bahwa pidana tidak harus cocok/sepadan dengan kesalahan, hanya saja tidak boleh melebihi batas yang cocok/sepadan dengan kesalahan terdakwa; b) Penganut teori retributis yang distributif (retribution in distribution) atau disingkat dengan teori distributif yang berpendapat bahwa pidana janganlah dikenakan pada orang yang tidak bersalah, tetapi pidana juga tidak harus cocok/sepadan dan dibatasi oleh kesalahan. Prinsip tiada pidana tanpa kesalahan dihormati tetapi dimungkinkan adanya pengecualian midalnya dalam hal strict liability. Berkaitan dengan pemidanaan terhadap terdakwa Angelina Sondakh, penjatuhan pemidanaan oleh Majelis Hakim Mahkamah Agung yang lebih berat daripada pemidanaan dari peradilan tingkat di bawahnya mendasarkan pada teori teori retributis yang distributif (Retribution in distribution) atau disingkat dengan teori distributif yang berpendapat bahwa pidana janganlah dikenakan pada orang yang tidak bersalah, tetapi pidana juga tidak harus cocok/sepadan dan dibatasi oleh kesalahan, karena jelas ancaman pidana terhadap tindak pidana korupsi lebih dari apa yang menjadi vonis Majelis Hakim Mahkamah Agung, namun Majelis Hakim Mahkamah Agung 5 Ibid. h. 64

21 92 lebih mempertimbangkan kepada faktor-faktor yang memperberat terdakwa sebagai seorang pemimpin yang seharusnya menjadi leader di dalam pemberantasan korupsi dan menjadi teladan bagi masyarakat karena secara teoritik, setiap pemidanaan harus didasarkan paling sedikit pada keadaan-keadaan individual yang berkaitan dengan tindak pidana yang bersangkutan dengan pelaku tindak pidana. Meskipun dalam praktiknya, hal ini akan bervariasi baik orang per orang maupun tindak pidana per tindak pidana dan dengan demikian dapat dimengerti apabila tidak selalu tercapai. b. Teori tanggung jawab hukum Ditinjau dari teori tanggung jawab hukum, maka pemidanaan terhadap Terdakwa Angelina Sondakh merupakan tanggung jawab subjek hukum atau pelaku yang telah melakukan perbuatan melawan hukum atau perbuatan pidana sehingga menimbulkan kerugian. Tanggung jawab atau verantwoordelijkeheid adalah kewajiban memikul pertanggungjawaban dan memikul kerugian yang diderita (bila dituntut) baik dalam hukum maupun dalam bidang administrasi. Tanggung jawab hukum adalah jenis tanggung jawab yang dibebankan kepada subjek hukum atau pelaku yang melakukan perbuatan melawan hukum atau tindak pidana sehingga yang bersangkutan dapat dituntut membayar ganti rugi dan atau menjalankan pidana.

22 93 c. Teori Keadilan Apabila dilihat dari bingkai keadilan berdasarkan Teori Keadillan Hans Kelsen dalam yang memandang bahwa hukum sebagai tatanan sosial yang dapat dinyatakan adil apabila dapat mengatur perbuatan manusia dengan cara yang memuaskan sehingga dapat menemukan kebahagian didalamnya. Pandangan Hans Kelsen ini pandangan yang bersifat positifisme, nilai-nilai keadilan individu dapat diketahui dengan aturan-aturan hukum yang mengakomodir nilai-nialai umum, namun tetap pemenuhan rasa keadilan dan kebahagian diperuntukan tiap individu, Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah memandang kejahatan ini sebagai kejahatan yang luar biasa hingga harus diundangkan tersendiri secara khusus bahkan dengan dengan membangun lembaga ad hoc yakni KPK. Sebagai tindak pidana khusus maka ancaman hukuman di dalam Undang-undang pemberantasan korupsi berusaha mengakomodir nilai-nialai umum, namun tetap pemenuhan rasa keadilan dan kebahagian diperuntukan tiap individu. Teori keadilan dan legalitas inilah yang diterapkan dalam hukum nasional bangsa Indonesia, yang memaknai bahwa peraturan hukum nasional dapat dijadikan sebagai payung hukum (law umbrella) bagi peraturan peraturan hukum nasional lainnya sesuai tingkat dan derajatnya dan peraturan hukum itu memiliki daya ikat

23 94 terhadap materi-materi yang dimuat (materi muatan) dalam peraturan hukum tersebut. 2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pertimbangan Hakim dalam Tujuan Pemidanaan (pengambilan keputusan) a. Pertimbangan Yuridis 1) Pengadilan Negeri Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menyatakan bahwa perbuatan terdakwa telah memenuhi Unsur-unsur di dalam Pasal 11 jo Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagai mana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP di mana menurut pendapat majelis hakim bahwa berdasarkan fakta-fakta diperoleh fakta bahwa terdakwa telah menerima hadiah atau janji berupa uang untuk pemenuhan 5% dari nilai proyek di mana janji tersebut diberikan oleh Permai Group/Mindo rosalina Manulang kepada terdakwa dan dapat dibuktikan atas janji tersebut dilakukan penyerahan sejumlah uang sebanyak 4 (empat) kali dengan jumlah sebesar Rp (dua milyar lima juta rupiah) dan US $ (satu juta dua ratus ribu dular amerika) di mana merupakan realisasi janji yang diberikan oleh Permai Group melalui saksi Mindo rosalina kepada terdakwa maka dapat disimpulkan bahwa pemberian hadiah atau janji tersebut adalah dalam hubungan

24 95 dengan usulan atau pembahasan proyek di Kementrian Pendidikan sehingga dengan perbuatan terdakwa merupakan tindak pidana dari Dakwaan Ketiga yakni melanggar Pasal 11 jo Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undangundang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. 2) Pengadilan Tinggi Setelah Majelis Hakim tingkat banding memeriksa dan meneliti serta mencermati dengan seksama berkas perkara beserta turunan resmi putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 54/Pid.B/TPK/2012 /PN.Jkt.Pst tanggal 10 Januari 2013, serta memori banding dari penuntut umum maka majelis hakim tingkat banding sependapat dengan pertimbangan majelis hakim tingkat pertama yang telah mempertimbangkan dengan tepat dan benar menurut hukum dan pertimbangan tersebut diambil alih serta dijadikan sebagai pertimbangan majelis hakim tingkat banding dalam memutus perkara ini serta menjadi bagian dan dianggap telah memuat dalam putusan. 3) Kasasi Pertimbangan yuridis dari majelis hakim tingkat kasasi adalah sebagai berikut: Pertama, judex facti (Pengadilan Tinggi) telah salah atau keliru dalam menilai dan menerapkan ketentuan mengenai alat bukti elektronik sebagaimana yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor: 11 Tahun 2008 tentang

25 96 Informasi dan Transaksi Elektronik, maka patut dan selayaknya putusan judex facti (Pengadilan Tinggi) dibatalkan, dengan pertimbangan alat bukti tersebut tidak memenuhi syarat formil dan materiil. a) Syarat Formil Persyaratan formil alat bukti elektronik diatur dalam Pasal 5 ayat (4) dan Pasal 43 Undang-Undang Nomor: 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yaitu: Informasi atau Dokumen Elektronik tersebut bukanlah: (1) Surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; (2) Surat beserta Dokumennya yang menurut Undang- Undang harus dibuat dalam bentuk Akta Notaris atau akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta, Penggeledahan atau penyitaan dan tetap menjaga terpeliharanya kepentingan pelayanan umum. b) Syarat Materil Persyaratan materil alat bukti elektronik diatur dalam: Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor: 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menyebutkan bahwa: Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini. Kedua, judex facti (Pengadilan Tinggi) telah keliru dan salah menerapkan hukum dalam menyimpulkan tugas, tanggung jawab, fungsi dan wewenang Pemohon Kasasi II/Terdakwa terkait proses pembahasan dan persetujuan Anggaran Ditjen Dikti Kemendiknas pada APBN Perubahan Tahun Anggaran 2010 dan APBN Tahun Anggaran Ketiga, judex facti (Pengadilan Tinggi) telah keliru dan salah menerapkan hukum dalam membuktikan penerimaan dan penyerahan sejumlah uang Rp ,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah) dan sebesar US $ ,00 (satu juta dua ratus Dollar Amerika Serikat) dan dalam membuktikan penyerahan sejumlah uang dimaksud yang dilakukan oleh Kurir Pengantar Uang maupun Kurir Penerima Uang, dengan cara mengesampingkan hukum pembuktian, lalai memperhatikan dan menilai pembuktian, dan tidak memperhatikan secara seksama fakta-fakta hukum maupun bukti-bukti yuridis yang diperoleh di persidangan perkara a quo, sebagaimana pertimbangan judex facti (Pengadilan Negeri) pada halaman 308 s/d 313 putusan.

26 97 Keempat, judex facti (Pengadilan Tinggi) telah keliru dan salah menerapkan hukum dalam menafsirkan pertanggungjawaban hukum yang dibebankan kepada Pemohon Kasasi II/Terdakwa dan judex facti salah dalam menafsirkan pertemuan di Restoran FX Senayan Jakarta antara Pemohon Kasasi II/Terdakwa, saksi Mindo Rosalina Manulang, dan saksi Harris Iskandar sehingga perbuatan Pemohon Kasasi II/Terdakwa disimpulkan telah melakukan penggiringan anggaran dalam pembahasan APBN Perubahan Tahun Anggaran 2010 dan APBN Tahun Anggaran 2011 pada Ditjen Dikti Kemendiknas, dengan cara mengesampingkan hukum pembuktian dan tidak memperhatikan secara seksama fakta-fakta hukum dan bukti-bukti yuridis yang diperoleh di persidangan perkara a quo, sebagaimana pertimbangan judex facti (Pengadilan Negeri) pada halaman 292 s/d 296 butir 9 putusan atas alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat : Mengenai alasan ke-1: Bahwa alasan kasasi Terdakwa tidak dapat dibenarkan, karena perbuatan Terdakwa yang secara aktif melakukan upaya menggiring Anggaran Kemendiknas agar Proyek-proyek Pembangunan dan Pengadaan dan Nilai Anggarannya sesuai dengan permintaan Permai Grup lalu Terdakwa mendapat uang Rp ,00 (dua belas milyar lima ratus delapan puluh juta rupiah) dan US $ ,00 (dua juta tiga ratus tiga puluh ribu Dollar Amerika Serikat) merupakan tindak pidana Korupsi; Mengenai alasan-alasan ke-2 sampai dengan ke-4 : Bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena alasan-alasan tersebut mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan, alasan semacam itu tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan pada tingkat kasasi, karena pemeriksaan pada tingkat kasasi hanya berkenaan dengan tidak diterapkan suatu peraturan hukum atau peraturan hukum tidak diterapkan sebagaimana mestinya, atau apakah cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan Undang-Undang, dan apakah Pengadilan telah melampaui batas wewenangnya, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 253 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Undang-Undang No.8 Tahun 1981);

27 98 Berdasarkan pertimbangan di atas, lagi pula ternyata, putusan judex facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi II/Terdakwa tersebut harus ditolak. Memperhatikan Pasal 12 huruf a jo Pasal 18 UUPTPK jo Pasal 64 ayat (1) KUHP serta peraturan perundang-undangan yang lain maka Majelis Hakim di Mahkamah Agung menjatuhakn pidana menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi II/Terdakwa Angelina Sondakh dan mengabulkan permohonan kasasi I : Penuntut Umum pada KPK serta membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta No. 11/Pid.TPK/2013/PT.DKI tanggal 22 Mei 2013 yang telah menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 54/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst tanggal 10 Januari putusannya : Mahkamah Agung juga menjatuhkan pidana tersendiri dalam 1) Menyatakan terdakwa Angelina Sondakh terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara berlanjut; 2) Menghukum terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 12 (dua belas) tahun dan denda sebesar Rp ,- (lima ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila benda tersebut tiak dibayar diganti dengan pidana kurungan selam 8 (delapan) bulan; 3) Menghukum pula terdakwa untuk membayar uang pengganti sebesar Rp ,- dan US$ ,- dengan ketentuan jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan di lelang untuk membayar uang pengganti dan dengan ketentuan dalam hal terpindan tidak mempunyai harta yang

28 99 mencukupi membayar uang pengganti tersebut, maka akan diganti dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun. Berdasarkan dari putusan di atas, maka dapat diketahui bahwa Mahkamah Agung menjatuhkan pidana lebih berat dari pada Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi Jakarta menggunakan teori pemidanaan pembalasan (absolut). Teori Absolut atau Teori Pembalasan (vergeldings theorien) sebagaimana dikemukakan oleh Kant dan Hegel, bahwa hukuman itu adalah suatu akibat dilakukannya suatu kejahatan. Sebab, melakukan kejahatan maka akibatnya harus dihukum. Hukuman itu bersifat mutlak bagi yang melakukan kejahatan. Semua perbuatan yang berlawanan dengan keadilan harus menerima pembalasan. Manfaat hukuman bagi masyarakat bukanlah hal yang menjadi pertimbangan tetapi hukuman harus dijatuhkan. Dari teori pemidanaan pembalasan tersebut di atas, maka nampak jelas bahwa pidana merupakan suatu tuntutan etika. Setiap kejahatan harus disusul dengan pidana. Sejalan dengan itu, dijelaskan bahwa: Menurut etika Spinoza, tiada seorang pun boleh mendapat keuntungan karena kejahatan yang telah dilakukan (ne malis ex pediat esse malos). 6 Pidana harus memenuhi 3 (tiga) syarat : 7 6 Andi Hamzah, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan Indonesia, Akademika Presindo, Bandung, 1993, h Ibid, h. 33

29 100 1) Perbuatan yang dilakukan dapat dicela sebagai suatu perbuatan yang bertentangan dengan etika, yaitu sah bertentangan dengan kesusilaan dan tata hukum obyektif. 2) Pidana hanya boleh memperhatikan apa yang sudah terjadi. 3) Sudah tentu beratnya pidana harus seimbang dengan berat delik, ini perlu supaya penjahat tidak dipidana secara tidak adil. Dari pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa dasar dijatuhkannya hukuman ANGELINA PATRICIA PINKAN SONDAKH melakukan perbuatan korupsi, itu tidak lain karena kejahatan itu sendiri. Adapun akibat positif maupun negatif dan pemidanaan itu bukanlah merupakan tujuan. Tujuan yang sebenarnya adalah penjara atau penderitaan. Hal ini karena ANGELINA PATRICIA PINKAN SONDAKH melakukan perbuatan korupsi sehingga mengakibatkan: 1) Menimbulkan kerugian negara sebesar Rp ,00 (dua belas milyar lima ratus delapan puluh juta rupiah) dan US $ ,00 (dua puluh juta tiga ratus lima puluh ribu Dollar Amerika Serikat); 2) Perbuatan korupsi bersama-sama / terorganisasi; Terakwa melakukan perbutan bersama-sama dengan Muhammad Nazarudin, Mindo Rosalina Maulang dan Wafid Muharam. Kesengajaan yang ditujukan dalam hal kerjasamanya untuk mewujudkan tindak pidana, ialah berupa keinsyafan/kesadaran seseorang peserta terhadap peserta lainnya mengenai apa yang diperbuat oleh masing-masing dalam rangka mewujudkan tindak pidana yang sama-sama dikehendaki. 3) Tersangka selaku Anggota DPR RI tidak memberi teladan kepada masyarakat. 4) Korupsi dianggap sebagai kejahatan yang luar biasa (extra ordenery crime). Korupsi bukan lagi sebuah kejahatan yang biasa, dalam perkembangannya korupsi telah terjadi secara sistematis dan meluas. Menimbulkan efek kerugian negara dan dapat menyengsarakan rakyat. Karena itu korupsi kini dianggap sebagai kejahatan luar bisa (extra ordinary crime). Korupsi juga dapat memberikan dapak negatif demokrasi, bidang ekonomi dan kesejahteraan umum negara. Dampak negatif terhadap demokrasi korupsi mempersulit demokrasi dan tata

30 101 pemerintahan yang baik (good governance) dengan cara menghancurkan proses formal. Secara umum, korupsi mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah, karena pengabaian prosedur penyedotan sumberdaya, dan pejabat diangkat atau dinaikkan jabatan bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi. Dampak negatif terhadap bidang ekonomi, korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi karena tidak efisien yang tinggi. Dalam sektor private korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos managemen dalam negoisasi dengan pejabat korup, dan resiko pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan. Dampak negatif terhadap kesejahteraan umum, Korupsi politis ada di banyak negara. Korupsi politis ada di banyak negara, dan memberikan ancaman besar bagi warga negaranya. Korupsi politis berarti kebijaksanaan pemerintah sering menguntungkan pemberi sogok, bukan rakyat luas. Pertimbangan yang meringankan terdakwa dikesampingkan oleh Mahkamah Agung antara lain: 1) Terdakwa belum pernah di hukum. 2) Terdakwa relatif masih muda, sehingga diharapkan dapat memperbaiki perbuatannya dimasa yang akan dating; 3) Berjasa mewakili bangsa dan negara dalam forum nasional maupun internasional. b. Pertimbangan Sosiologis Dalam penjatuhan putusan pidana, majelis hakim telah mempertimbangkan mengenai keadaan yang melingkup terhadap terdakwa yaitu hal-hal yang memberatkan dan meringankan sehingga penjatuhan pidana terhadap terdakwa telah mempertimbangkan segala aspek yaitu rasa keadilan untuk masyarakat, negara dan terdakwa sendiri. Faktor-faktor yang memberatkan bagi terdakwa adalah bahwa perbuatan terdakwa dapat memicu tindak pidana korupsi

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Juli 2006) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa

Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa balinewsnetwork.com Mantan Bupati Jembrana, I Gede Winasa membantah tudingan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menyebut dirinya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 of 24 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan Pasal 176 Hakim dilarang menjatuhkan pidana kepada terdakwa, kecuali apabila hakim memperoleh keyakinan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.98, 2003 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874] UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874] BAB II TINDAK PIDANA KORUPSI Pasal 2 (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA 16 BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA A. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PUTUSAN PENGADILAN MENGENAI BESARNYA UANG PENGGANTI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI SUPRIYADI / D

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PUTUSAN PENGADILAN MENGENAI BESARNYA UANG PENGGANTI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI SUPRIYADI / D TINJAUAN YURIDIS TENTANG PUTUSAN PENGADILAN MENGENAI BESARNYA UANG PENGGANTI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI SUPRIYADI / D 101 07 638 ABSTRAK Proses pembangunan dapat menimbulkan kemajuan dalam kehidupan

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Hasil PANJA 12 Juli 2006 Dokumentasi KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI Hasil Tim perumus PANJA, santika 12 Juli

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT INTERNAL TIMUS KOMISI III DPR-RI DALAM RANGKA PEMBAHASAN RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA --------------------------------------------------- (BIDANG HUKUM, HAM

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB 1V ANALISIS PEMBERATAN HUKUMAN YANG DILAKUKAN ARTIDJO ALKOSTAR DALAM MEMUTUS SUATU PERKARA KORUPSI

BAB 1V ANALISIS PEMBERATAN HUKUMAN YANG DILAKUKAN ARTIDJO ALKOSTAR DALAM MEMUTUS SUATU PERKARA KORUPSI 1 BAB 1V ANALISIS PEMBERATAN HUKUMAN YANG DILAKUKAN ARTIDJO ALKOSTAR DALAM MEMUTUS SUATU PERKARA KORUPSI A. Analisis Putusan Angelina Sondakh tentang Tindak Pidana Korupsi Hasil persidangan, hakim dalam

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi diartikan sebagai penyelenggaraan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain atau suatu korporasi.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang Jaksa Penuntut Umum a. Pengertian Kejaksaan Keberadaan institusi Kejaksaan Republik Indonesia saat ini adalah Undang-Undang Nomor 16 Tahun

Lebih terperinci

NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang

Lebih terperinci

file://\\ \web\prokum\uu\2004\uu htm

file://\\ \web\prokum\uu\2004\uu htm Page 1 of 12 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI 20 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Undang-Undang Dasar 1945 Adapun terkait hal keuangan, diatur di dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana

Lebih terperinci

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) 1. Dany Try Hutama Hutabarat, S.H.,M.H, 2. Suriani, S.H.,M.H Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Setiap tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang pada dasarnya orang tersebut wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban pidana

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis.

Lebih terperinci

Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI

Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI Hakim Cepi Iskandar, pada Jumat 29 Oktober 2017 lalu menjatuhkan putusan yang mengabulkan permohonan Praperadilan yang diajukan oleh Setya Novanto,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN.

MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN. MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN www.kompasiana.com Mantan Kepala Divisi Konstruksi VII PT Adhi Karya Wilayah Bali, NTB, NTT, dan Maluku, Imam Wijaya Santosa, kembali mendapat pengurangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP memiliki tujuan dalam menegakkan

I. PENDAHULUAN. Asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP memiliki tujuan dalam menegakkan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP memiliki tujuan dalam menegakkan kepastian hukum dan mencegah kewenang-wenangan penguasa. Hukum berfungsi sebagai perlindungan

Lebih terperinci

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords:

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords: Abstrak Penelitian hukum ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian alasan terpidana pelaku tindak pidana penipuan dalam mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali dengan dasar adanya suatu kehilafaan hakim

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Masalah korupsi pada akhir-akhir ini semakin banyak mendapat perhatian dari

I. PENDAHULUAN. Masalah korupsi pada akhir-akhir ini semakin banyak mendapat perhatian dari 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah korupsi pada akhir-akhir ini semakin banyak mendapat perhatian dari berbagai kalangan, bukan saja dalam skala nasional, tetapi juga regional bahkan global, hal

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Kejaksaan a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidahkaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pembuktian Dakwaan Berbentuk Subsidaritas Dengan Sistem Alternatif Dalam Pemeriksaan Perkara Korupsi Bantuan Sosial Di Pengadilan Negeri Pasir Pangaraian Sebelum

Lebih terperinci

1 / 25 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Y A Y A S A N Diubah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. bentuk kejahatan terhadap nyawa manusia, diatur dalam Pasal 340 yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. bentuk kejahatan terhadap nyawa manusia, diatur dalam Pasal 340 yang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pembunuhan Berencana Pembunuhan dengan rencana terlebih dahulu atau disingkat pembunuhan berencana adalah pembunuhan yang paling berat ancaman pidananya dari seluruh

Lebih terperinci

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D 101 10 523 Abstrak Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1985 (ADMINISTRASI. KEHAKIMAN. LEMBAGA NEGARA. Mahkamah Agung. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR:...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR:...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR:...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG Menimbang UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia sebagai negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN

UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN [LN 2007/85, TLN 4740] 46. Ketentuan Pasal 36A diubah sehingga

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK Materi yang Diatur KUHAP RUU KUHAP Undang TPK Undang KPK Catatan Penyelidikan Pasal 1 angka 5, - Pasal 43 ayat (2), Komisi Dalam RUU KUHAP, Penyelidikan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat : a. bahwa Negara Kesatuan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009.... TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Hasil Penelitian 1. Gambaran Petikan Putusan Nomor 1361 K/Pid.Sus/2012 Berdasarkan pemeriksaan perkara pidana khusus dalam tingkat kasasi Mahkamah Agung telah memutuskan

Lebih terperinci

BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI. A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang

BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI. A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang Pengganti Masalah penetapan sanksi pidana dan tindakan pada

Lebih terperinci

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA, Menimbang Mengingat : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001 PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001 PERUMUSAN TINDAK PIDANA KORUPSI PENGELOMPOKKAN : (1) Perumusan delik dari Pembuat Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana

Lebih terperinci

NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI

NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan nasional bertujuan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mencabut: UU 5-1991 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 67, 2004 POLITIK. KEAMANAN. HUKUM. Kekuasaaan Negara. Kejaksaan. Pengadilan. Kepegawaian.

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.293, 2014 POLHUKAM. Saksi. Korban. Perlindungan. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5602) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.3, 2009 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBAGA NEGARA. MAHKAMAH AGUNG. Badan Peradilan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4958) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu unsur penegak hukum yang diberi tugas dan wewenang melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai Pasal 30 ayat 1(d)

Lebih terperinci

NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN

NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN Menimbang : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2005 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2005 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2005 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana 1. Hakim dan Kewajibannya Hakim dapat diartikan sebagai orang yang mengadili perkara dalam pengadilan atau mahkamah.

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1492, 2014 KEJAKSAAN AGUNG. Pidana. Penanganan. Korporasi. Subjek Hukum. Pedoman. PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER-028/A/JA/10/2014 TENTANG PEDOMAN

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sistem dan mekanisme

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor :102/PID.SUS/2015/PT.MDN DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N. Nomor :102/PID.SUS/2015/PT.MDN DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor :102/PID.SUS/2015/PT.MDN DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Medan yang memeriksa dan mengadili perkaraperkara pidana dalam pengadilan tingkat Banding,

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah

Lebih terperinci

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DAFTAR INVENTARISASI MASALAH PEMERINTAH ATAS RANCANGAN

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan berdasarkan kebiasaan dalam masyarakat,

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam BAB V ANALISIS A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam Perkara No. 97/PID.PRAP/PN.JKT.SEL Setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, maka penetapan

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2005 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2005 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2005 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana

Lebih terperinci