BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pruritus Uremikum Pendahuluan Pruritus adalah suatu sensasi yang secara khusus ditemukan pada kulit, didefinisikan sebagai suatu sensasi yang tidak menyenangkan yang menyebabkan keinginan untuk menggaruk. Pruritus dapat terjadi akibat faktor-faktor dermatologis maupun non dermatologis. 6,21 Pruritus dermatologis adalah puritus karena kelainan-kelainan kulit seperti eksema atopi, psoriasis, xerosis, skabies, dermatitis kontak, insect bite, liken planus, dermatofitosis, pedikulosis, folikulitis, urtikaria dan liken simpleks kronis. Pruritus nondermatologis diakibatkan oleh penyakit-penyakit sistemik, seperti penyakit ginjal kronik, kolestasis, limfoma Hodgkin, polisitemia vera, infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan hipertiroidisme; penyakit-penyakit neuropati, seperti pruritus brakioradial, parestetika notalgia dan gatal pada pasca herpetika; dan penyakit-penyakit psikogenik, seperti gangguan obsesif kompulsif, delusi parasitosis dan penyalahgunaan obat. Pada penyakit-penyakit psikogenik ini dapat ditemukan gambaran ekskoriasi neurotik berupa garis-garis linier berkrusta yang tersebar. Gambaran ini dapat terjadi dibagian tubuh yang dapat dijangkau oleh pasien, walaupun paling sering ditemukan pada daerah ekstremitas. 22,23 Pruritus uremikum adalah istilah yang dipakai untuk pruritus yang dialami oleh pasien PGK atau penyakit ginjal stadium akhir, dengan tidak disertai oleh penyakit-penyakit lain yang dapat menyebabkan gatal. 3,24 6

2 Epidemiologi Pruritus uremikum terjadi pada 10-85% pasien-pasien yang menjalani hemodialisis. Kesulitan dalam menentukan gejala yang sangat subjektif, terbatasnya jumlah pasien pada kebanyakan penelitian, dan sifat-sifat retrospektif dari beberapa informasi, mungkin merupakan penyebab mengapa angka ini memiliki rentang yang lebar. 25 Dialysis Outcomes and Practice Pattern Study (DOPPS) melaporkan pruritus mengenai 42% pasien yang sedang menjalani hemodialisis. 24 Selama 20 tahun terakhir insidensi pruritus menurun dari 85% pada awal tahun 1970-an menjadi 30% pada akhir tahun 1990-an. 2 Kemajuan teknik-teknik dialisis dan manajemen pasien disebutkan sebagai alasan mengapa prevalensi pruritus uremikum ini telah menurun. 3, Etiologi dan patogenesis Banyak faktor yang terlibat sebagai etiologi pruritus uremikum, dan faktor-faktor metabolik dikaitkan dalam patogenesisnya. Faktor-faktor metabolik tersebut diantaranya adalah hiperkalsemia, hiperfosfatemia, hiperparatiroidisme sekunder, dan hipermagnesemia. Keithi-Reddy et al membagi penyebab terjadinya gatal pada pasien-pasien penyakit ginjal stadium akhir atau End-Stage Renal Disease (ESRD) berdasarkan penyebab yang berkaitan dengan uremia dan yang tidak berhubungan dengan uremia. 26 Ada lima teori yang didapatkan mengenai etiopatogenesis pruritus uremikum pada literatur-literatur tentang ginjal, diantaranya adalah: 27

3 Xerosis (kulit kering) Kira-kira 50% pasien-pasien dialisis dengan pruritus melaporkan adanya kulit kering dan dikaitkan dengan adanya sensasi gatal. Tiga hal yang dikaitkan dengan xerosis pada PGK adalah dehidrasi kulit, fungsi barier yang mengalami perubahan dan iritasi yang jelas terhadap substansi-substansi eksternal seperti surfaktan. Patogenesis pruritus uremikum dikaitkan dengan adanya atrofi kelenjar sebasea dan bagian duktus dari kelenjar ekrin yang menyebabkan kadar lipid permukaan kulit yang lebih rendah. Selain itu disfungsi barier juga menyebabkan hilangnya integritas dari kandungan air pada stratum korneum kulit Substansi-substansi pruritogenik Substansi pruritogenik merupakan akumulasi dari substansi-substansi yang tidak dapat dikeluarkan secara adekuat dengan dialisis yang dapat menyebabkan pruritus. Substansi-substansi ini antara lain adalah vitamin A, histamin, dan ionion divalen seperti kalsium, fosfor, dan magnesium. Secara lokal substansisubstansi ini dapat berperan pada reseptor-reseptor yang memediasi sensasi gatal. Secara sentral, substansi-substansi ini juga dapat memodulasi jalur yang menyebabkan persepsi gatal. 10 Ion-ion divalen disebutkan dapat mengendap pada lapisan epidermis kulit dan menghasilkan efek yang mensensitisasi pruritus. Selain itu kadar histamin serum juga ditemukan meningkat pada sebagian besar pasien dengan pruritus. Sementara peningkatan hormon paratiroid juga memiliki korelasi terhadap gejala pruritus, walaupun hormon paratiroid sendiri tampaknya bukan merupakan zat pruritogenik. 13

4 9 Toksin-toksin uremikum disebutkan berperan dalam proses terjadinya pruritus uremikum. Toksin dapat berupa senyawa kecil yang larut dalam air (berat molekul < 500 Dalton), molekul-molekul menengah (> 500 Dalton) dan molekulmolekul yang terikat protein (sebagian besar memiliki berat molekul <500 Dalton, juga berperan untuk terjadinya pruritus uremikum. Pada proses hemodialisis, senyawa-senyawa kecil mudah dibersihkan, namun molekul-molekul menengah hanya dapat dipindahkan dengan strategi tertentu. Sedangkan molekul-molekul yang terikat protein, oleh karena ikatannya tersebut, terhambat pola pemindahannya melalui proses hemodialis Etiologi neuropatik Proliferasi yang abnormal dari serat-serat saraf sensoris yang menyebabkan sensasi gatal pada PGK. Pada keadaan ini, pruritus dapat merupakan tanda dari neuropati yang mendasari. 10 Hipotesis ini didukung oleh penemuan bahwa gabapentin, suatu agen yang digunakan untuk nyeri neuropatik, telah terbukti efektif dalam mengobati pruritus pada penyakit ginjal kronik Ketidakseimbangan peptida opioid Pada pruritus yang berkaitan dengan PGK, diyakini bahwa terdapat ketidakseimbangan antara peptida opioid endogen yang menstimulasi dan yang menghambat jalur pruritus. 3 Beberapa reseptor opioid terlibat dalam jalur pruritus, seperti yang sudah dikonfirmasi dengan observasi bahwa morfin, suatu agonis opioid, dapat menginduksi gatal. Sebaliknya, agen-agen yang menstimulasi reseptor κ-opioid dapat mengurangi rasa gatal. 13

5 Keadaan proinflamasi Penyakit ginjal kronik dianggap menyebabkan abnormalitas sistem imun yang menyebabkan keadaan pro inflamasi, yang bermanifestasi sebagai pruritus. Hal ini didukung oleh studi-studi yang menunjukkan bahwa terapi-terapi imunosupresan termasuk sinar ultraviolet B (UVB), takrolimus, dan talidomid memberikan respon terhadap penurunan pruritus Pendekatan diagnostik Gambaran klinis dari pruritus uremikum adalah bersifat simetris, dimana daerah yang paling sering terlibat adalah punggung, lengan, dada dan kepala. Pruritus yang bersifat generalisata jarang dijumpai. Eksaserbasi pruritus dapat dipicu oleh adanya panas dari eksternal, keringat, stres dan kulit kering. Sementara mandi dengan air hangat atau dingin, suhu yang dingin dan aktivitas dapat mengurangi pruritus. Pada kulit dapat terlihat ekskoriasi akibat garukan, dengan atau tanpa adanya lesi impetigo, prurigo maupun likenifikasi yang merupakan suatu fenomena sekunder. Agitasi atau depresi dapat ditemukan pada separuh pasien pruritus uremikum. Durasi, derajat keparahan dan karakteristik pruritus bervariasi, dapat berubah sepanjang waktu dan berbeda-beda pada tiap pasien. Pruritus biasanya lebih berat dirasakan pada malam hari sehingga sering menyebabkan gangguan tidur. Sebagian pasien mengalami pruritus dalam jangka waktu yang singkat sementara sebagian lainnya merasakannya sepanjang hari dan sepanjang malam. 13,14 Diagnosis pruritus uremikum dapat ditegakkan dari anamnesis adanya suatu rasa gatal yang terjadi pada individu yang menderita penyakit ginjal kronik,

6 11 yang dapat dibantu oleh pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Penamaan pruritus uremikum sering dianggap suatu kesalahan dalam penamaan oleh karena beberapa alasan berikut: 3 1. Pruritus pada pasien-pasien penyakit ginjal stadium akhir tidak universal 2. Pruritus ini tidak memiliki korelasi dengan tingkat keparahan uremia 3. Bahkan dialisis dengan aliran tinggi tidak meringankan masalah 4. Pruritus tidak didapati pada pasien-pasien gagal ginjal akut Telah diajukan istilah pruritus yang terkait uremia, namun nomenklatur yang lebih tepat untuk kondisi ini adalah pruritus yang berkaitan dengan penyakit ginjal kronik atau gatal karena penyakit ginjal kronik. Kriteria spesifik yang digunakan untuk mendiagnosis pruritus uremikum adalah apabila didapatkan salah satu dari gejala-gejala yang berikut ini: Pruritus timbul segera sebelum dialisis, atau kapan saja, tanpa adanya bukti penyakit aktif lainnya yang dapat menjelaskan terjadinya pruritus. 2. Lebih dari atau sama dengan tiga episode gatal selama suatu periode 2 minggu, dengan gejala yang timbul beberapa kali sehari, terjadi paling tidak beberapa menit, dan mengganggu pasien. 3. Timbulnya suatu keadaan gatal dalam pola yang teratur selama periode 6 bulan, tetapi frekuensinya lebih sedikit daripada yang disebutkan diatas Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk membantu mengarahkan diagnosis pruritus uremikum. Pada pruritus yang generalisata biasanya dibutuhkan pemeriksaan darah lengkap, profil kimia darah meliputi ureum dan kreatinin serta

7 12 pemeriksaan urin lengkap. Pemeriksaan elemen-elemen darah lain yang terkait juga dapat dilakukan, seperti kalsium, fosfor, magnesium, aluminium, fosfatase alkali dan hormon paratiroid. 6, Penatalaksanaan Penatalaksanaan untuk pruritus uremikum meliputi penatalaksanaan nonfarmakologis, farmakologis dan dengan mengatasi penyakit yang mendasarinya. Penatalaksanaan nonfarmakologis meliputi pengobatan secara fisik, seperti fototerapi, akupunktur dan sauna, sampai dengan tindakan paratiroidektomi. Penatalaksanaan farmakologis meliputi penatalaksanaan topikal dan sistemik. Pada penatalaksanaan topikal dapat diberikan emolien, kapsaisin dan steroid topikal. Pada penatalaksanaan sistemik dapat diberikan diet rendah protein, minyak primrose, lidokain dan metiksilin, antagonis opioid, charcoal aktif, kolestiramin, antagonis serotonin, talidomid, nicergoline dan nalfurafine. Pruritus uremikum dapat diatasi dengan penanganan penyakit yang mendasarinya, yaitu dengan transplantasi ginjal, dialisis yang efisien maupun pemberian eritropoietin. 26, Derajat Keparahan Pruritus Derajat keparahan pruritus sulit untuk dinilai oleh sebab sifat-sifat alaminya dan lokalisasinya yang tidak jelas. Secara umum, penilaian pruritus dapat dibagi menjadi 2 kelompok utama yaitu evaluasi subyektif dari rasa gatal dan penilaian garukan. Untuk mengevaluasi rasa gatal secara subyektif dapat dilakukan penilaian sederhana terhadap derajat keparahan rasa gatal [seperti VAS,

8 13 numeric rating scale (NRS), verbal rating scale (VRS)], kuesioner gatal yang menyediakan data kualitas gatal, sistem analisis terkomputerisasi, dan penilaian ambang persepsi pruritus. Untuk menilai garukan dapat dilakukan dengan bantuan pengamatan adanya ekskoriasi dan derajat likenifikasi, rekaman video inframerah, limb meter (monitor aktivitas pergelangan tangan, sensor tekanan), transduser vibrasi kuku jari-jari tangan (sensor piezo film, pruritometer) dan sistem evaluasi akustik dari garukan. Selain itu, untuk menganalisis aktivitas otak selama episode gatal, telah dilakukan teknik-teknik pencitraan fungsional (functional magnetic resonance, positron emission tomography). 30 Untuk menilai pruritus direkomendasikan untuk menggunakan kombinasi paling sedikit dua metode penilaian rasa gatal yang independen. Namun, rekomendasi ini dapat terlalu menghabiskan waktu pada pengunaan klinis seharihari, oleh karena itu untuk penilaian intensitas gatal tersebut dibutuhkan suatu metode yang sederhana dan dapat dipercaya. 30, Visual analogue scale (VAS) VAS merupakan salah satu metode yang paling sering digunakan untk penilaian pruritus karena dapat memberikan estimasi rasa gatal yang mudah dan cepat. 29 VAS dinilai dengan meminta pasien menandai skala 1-10 pada kertas baik horizontal maupun vertikal, untuk menunjukkan derajat keparahan pruritus yang dirasakan pasien. 14,17,24,30 Namun VAS memiliki keterbatasan pada pasien-pasien yang berusia tua. Pada usia ini pasien dapat memiliki penurunan kognitif, sehingga sulit untuk mengerti skala yang dimaksud atau membutuhkan waktu

9 14 untuk mengubah suatu hasil grafik menjadi metrik, maupun dalam hal motorik, sehingga sulit untuk menandai garis dengan pena Penilaian pruritus modifikasi Duo dan Mettang Derajat keparahan pruritus dapat dinilai dengan suatu metode yang didasarkan pada metode yang diusulkan oleh Duo (1987) dan dimodifikasi oleh Mettang et al. Skor dinilai oleh peneliti yang sama terhadap semua pasien. Metode ini didasarkan pada kriteria yang mencakup scratching, keparahan, frekuensi dan distribusi pruritus, dan gangguan tidur yang berkaitan dengan pruritus, yaitu sebagai berikut: 7,32 1. Scratching: Pruritus yang dilaporkan dengan periode waktu: pagi, sore, dan malam, dan masing-masing memiliki 1 skor. 2. Keparahan: 1 skor : sensasi gatal ringan tanpa perlu menggaruk 2 skor : beberapa kali menggaruk 3 skor : sering menggaruk 4 skor : menggaruk tanpa ada rasa berkurang 5 skor : pruritus yang dirasakan terus menerus. 3. Distribusi: Setiap lokasi misalnya lengan, tungkai bawah, dan batang tubuh mendapatkan masing-masing 1 skor, dengan skor maksimal adalah 5, untuk pruritus generalisata. 4. Frekuensi: Yang dinilai adalah jumlah episode pruritus dan durasinya. Setiap dua episode singkat (< 10 menit) atau satu episode panjang (> 10)

10 15 mendapatkan 1 skor. Skor maksimal adalah 5, yaitu dengan > 10 episode singkat atau > 5 episode panjang. 5. Gangguan tidur: Keadaan yang dinilai adalah jumlah jam tidur dan frekuensi gangguan tidur oleh karena rasa gatal. Skor 0 jika memiliki > 7 jam tidur pada malam hari dan skor 10 jika tidak dapat tidur sama sekali. Gangguan tidur juga dinilai dari jumlah berapa kali pasien terbangun pada malam hari oleh karena rasa gatal. 1 skor : untuk 1 kali terbangun 2 skor : untuk 2 kali terbangun 3 skor : untuk 3 kali terbangun 4 skor : untuk 4 kali terbangun 5 skor : untuk > 5 kali terbangun. Untuk keparahan, distribusi dan frekuensi, penilaian skor dilakukan pagi dan siang. Sehingga skor paling tinggi selama 24 jam adalah 48. 7,32 Pada penelitian yang menggunakan penilaian derajat pruritus, evaluasi dalam 4 minggu terakhir pernah dilakukan untuk menentukan skor pruritus. 11,18 Skor pruritus dibagi menjadi skor 0 untuk yang tidak pruritus, dan pada subyek yang pruritus derajat keparahannya dapat dibagi gradasinya menjadi 1-16 untuk pruritus ringan, pruritus sedang dan pruritus berat. 7 Pada penelitian DOPPS I 45% pasien dilaporkan mengalami pruritus sedang ke berat dan dan DOPPS II melaporkan 42% pasien yang mengalami pruritus sedang ke berat. 17 Mirnezami et al melaporkan bahwa didapatkan 55,6% mengalami pruritus ringan, 33,3% pruritus sedang dan 11,1% pruritus berat dari 100 pasien yang diteliti. 7

11 Penyakit Ginjal Kronik Pendahuluan Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah suatu spektrum dari berbagai proses patofisiologis yang berkaitan dengan fungsi ginjal yang abnormal, dan suatu penurunan yang progresif dari laju filtrasi glomerulus (LFG). 1 Penyakit ginjal stadium akhir didefinisikan sebagai gangguan ginjal yang membutuhkan dialisis atau transplantasi ginjal untuk dapat bertahan hidup. 2 Istilah penyakit ginjal stadium akhir menunjukkan suatu stadium dari penyakit ginjal kronik dimana terjadi akumulasi toksin-toksin, cairan dan elektrolit yang secara normal diekskresikan oleh ginjal yang menyebabkan terjadinya sindrom uremikum. Sindrom ini dapat menyebabkan kematian jika toksin-toksin tersebut tidak dikeluarkan dengan terapi penggantian ginjal, dengan menggunakan dialisis atau transplantasi ginjal. Penyakit ginjal stadium akhir adalah istilah untuk penyakit ginjal kronik stadium 5. 1 Faktor-faktor risiko terjadinya PGK mencakup hipertensi, diabetes melitus, penyakit autoimun, usia yang lebih tua, keturunan Afrika, riwayat keluarga menderita penyakit ginjal, episode gagal ginjal akut sebelumnya, dan keadaan proteinuria, sedimen urin yang tidak normal atau abnormalitas traktus urinarius. Oleh karena itu penting untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang meningkatkan risiko penyakit ginjal kronik tersebut, bahkan pada individu yang memiliki LFG normal. 1

12 Epidemiologi Di Amerika Serikat pada tahun diperkirakan terdapat 100 kasus per 1 juta penduduk per tahun, dan angka ini meningkat 8% setiap tahunnya. Di Malaysia, yang memiliki populasi sekitar 18 juta penduduk, diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal per tahunnya, sedangkan di negara-negara berkembang lainnya insidensi ini diperkirakan sekitar kasus per 1 juta penduduk per tahun. 4 Prevalensi penyakit ginjal stadium akhir di Amerika Serikat pada tahun 2003 adalah lebih dari pasien dan prevalensi ini pada saat itu diperkirakan akan meningkat menjadi pada tahun 2010 dan menjadi 2 juta pada tahun Prevalensi gagal ginjal kronik di Indonesia adalah sekitar 12,5%, seperti yang dilaporkan oleh Perhimpunan Nefrologi Indonesia pada tahun Data yang didapatkan di Kota Medan adalah berdasarkan penelitian pada tahun 2010 didapatkan 265 orang penderita PGK di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr. Pirngadi Medan dan penelitian pada tahun 2011 terdapat 633 orang penderita PGK di RSUP Haji Adam Malik Medan. 33, Etiologi dan patogenesis Pada tahun , dilaporkan bahwa etiologi PGK di Amerika Serikat berturut-turut dimulai dari persentase yang paling banyak adalah diabetes melitus, hipertensi, glomerulonefritis, penyakit sistemik lain seperti lupus dan vaskulitis, neoplasma dan penyakit lainnya. Sedangkan di Indonesia pada tahun 2000, urutan penyebab PGK pada pasien yang menjalani hemodialisis antara lain adalah

13 18 glomerulonefritis, diabetes melitus, obstruksi dan infeksi, hipertensi dan sebabsebab lain. 4 Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Patofisiologi penyakit ginjal kronik melibatkan dua rangkaian mekanisme kerusakan, yaitu: (1) mekanisme awal yang spesifik terhadap etiologi yang mendasarinya (misalnya kompleks imun dan mediatormediator inflamasi dalam jenis tertentu dari glomerulonefritis, atau pajanan toksin pada penyakit-penyakit tertentu dari tubulus renal dan interstisium); dan (2) suatu rangkaian dari mekanisme progresif, yang melibatkan hiperfiltrasi dan hipertrofi dari nefron-nefron yang tersisa, yang merupakan konsekuensi umum dari etiologi yang mendasarinya tersebut. 1 Pada awal terjadinya PGK, pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa. Hal ini merupakan upaya kompensasi yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Keadaan ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi yang kemudian diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, kemudian selanjutnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Akhirnya, proses ini akan diikuti oleh penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh berbagai growth factor. Keadaan albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia juga dianggap berperan terhadap

14 19 progresifitas PGK. Terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstisial berbeda-beda pada tiap individu. 1,4 Pada PGK stadium dini, terjadi kehilangan daya cadang ginjal, walaupun LFG masih normal atau malah meningkat. Selanjutnya terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif yang ditandai dengan peningkatan urea dan kreatinin serum. Sampai LFG 60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimtomatik). Sampai LFG 30% mulai terjadi keluhan misalnya seperti nokturia dan badan lemah. Sampai LFG dibawah 30% pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata, seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme kalsium dan fosfor, mual dan muntah. Pada LFG dibawah 15% akan terjadi komplikasi yang lebih serius dan memerlukan terapi penggantian ginjal antara lain dialisis atau transplantasi, yaitu pada gagal ginjal Pendekatan diagnostik Beberapa gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik adalah: (a) sesuai dengan penyakit yang mendasari, (b) sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual, muntah, nokturia, kelebihan volume cairan, neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma, (c) gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, klorida). 4 Kriteria PGK meliputi: (1) Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural dan fungsional, dengan atau tanpa penurunan LFG dengan manifestasi kelainan patologis dan terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin, atau kelainan

15 20 dalam tes pencitraan (imaging tests) dan (2) LFG kurang dari 60 ml/menit/1,73 m 2 selama 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal. 4 Ada 5 klasifikasi PGK berdasarkan stadium penyakitnya yang dinilai dari laju filtrasi glomerulus, yaitu LFG normal atau meningkat, penurunan LFG ringan, sedang, berat sampai dengan gagal ginjal. 1,4 Gambaran laboratorium PGK meliputi: (a) sesuai penyakit yang mendasarinya, (b) penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum, dan penurunan LFG, (c) kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia dan asidosis metabolik, dan (d) kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuri, leukosuria, cast dan isostenuria. Pemeriksaan radiologi dan histopatologi juga membantu untuk mengetahui kerusakan ginjal yang terjadi, mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis dan mengevaluasi hasil terapi yang diberikan Penatalaksanaan Berbagai penatalaksanaan PGK telah dikemukakan, diantaranya adalah terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya, pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid, memperlambat pemburukan fungsi ginjal, pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskuler, pencegahan dan terapi terhadap komplikasi, terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Pada gagal ginjal kronik, apabila tidak dilakukan terapi penggantian ginjal, dapat terjadi kematian akibat kelainan metabolik dengan cepat. 35 Terapi pengganti ginjal ini dilakukan pada pasien yang memiliki LFG < 15 ml/menit/1,73 m 2. 1

16 Hemodialisis Hemodialisis adalah suatu sistem penggantian ginjal modern yang menggunakan mesin dialisis melalui difusi dan hemofiltrasi untuk mengeluarkan air dan zat terlarut yang tidak diinginkan maupun toksin-toksin, yang dilakukan pada pasien-pasien gagal ginjal kronik. 35,36 Difusi zat-zat terlarut melewati membran semipermeabel merupakan prinsip hemodialisis. Produk-produk sisa metabolisme berpindah sesuai dengan gradien konsentrasi dari sirkulasi ke dialisat. Laju transportasi difus meningkat sebagai respons terhadap berbagai faktor, termasuk besarnya gradien konsentrasi, daerah permukaan membran dan koefisien transfer massa dari membran tersebut. Modalitas hemodialisis ini dilakukan kira-kira selama 3-4 jam dengan sesi dialisis intermiten. 1 Darah dan cairan dialisat dipompa dengan arah gerakan yang berlawanan melewati sisi-sisi membran semipermeabel. Membran terdapat di dalam wadah sebagai lembaran yang memiliki lubang ditengahnya. Jumlah cairan yang dikeluarkan melalui ultrafiltrasi dikontrol dengan mengubah tekanan hidrostatik darah dibandingkan dengan cairan dialisat. Cairan dialisat terbuat dari konstituen esensial plasma yaitu natrium, kalium, klorida, kalsium, magnesium, dan glukosa, dan suatu bufer seperti bikarbonat, asetat, atau laktat. Pada kedua sisi membran dicapai kesetimbangan antara darah dan dialisat, sehingga komposisi plasma dapat dikontrol dengan mengubah komposisi dialisat. Konsentrasi kalium dalam dialisat biasanya lebih rendah daripada dalam plasma sehingga memacu pergerakan kalium keluar dari darah. Dalam sirkuit dialisis ini, untuk mencegah penggumpalan darah digunakan heparin. 35

17 22 Semakin besar molekul, semakin lambat laju perpindahannya melewati membran, sesuai dengan asas difusi. Molekul kecil seperti ureum (60 Da), dapat melalui klirens substansial, sementara molekul yang lebih besar, seperti kreatinin (113 Da), lebih sedikit yang dibersihkan secara efisien. Perpindahan produkproduk sisa dari sirkulasi ke dialisat juga dapat terjadi sebagai hasil dari ultrafiltrasi. Proses pembersihan konvektif terjadi oleh sebab tarikan dari pelarut, dengan zat-zat terlarut ikut terbuang bersama dengan air melewati membran dialisis semipermeabel tersebut Beberapa Faktor Metabolik yang Berkaitan dengan Pruritus Uremikum Gangguan mineral dan tulang pada PGK ialah suatu sindrom klinik yang terjadi akibat gangguan sistemik pada metabolisme mineral dan tulang pada PGK. Salah satu kelainan yang ditemukan pada sindrom ini adalah kelainan laboratorium akibat gangguan metabolisme kalsium, fosfat atau hormon paratiroid. 5 Faktor-faktor metabolik telah terlibat dalam patogenesis gatal, seperti, hiperkalsemia, hiperfosfatemia, hiperparatiroidisme sekunder, dan hipermagnesemia. 10 Namun demikian, secara klinis, belum jelas didapatkan adanya kaitan antara perubahan metabolik yang dapat dideteksi dengan persentase kejadian pruritus yang tinggi Kadar kalsium serum Kalsium berperan penting dalam fungsi dan pensinyalan sel normal, pengaturan proses-proses fisiologis yang berbeda, kontraktilitas jantung, sekresi

18 23 hormon dan koagulasi darah. Oleh karena itu konsentrasi kalsium ekstrasel harus dipertahankan dalam rentang yang sempit namun stabil melalui suatu rangkaian mekanisme umpan balik yang melibatkan hormon paratiroid dan metabolit vitamin D aktif. Mekanisme ini diatur oleh adanya sinyal-sinyal yang terintegrasi antara kelenjar paratiroid, ginjal, usus dan tulang. 1 Kalsium merupakan salah satu dari target biokimia yang telah ditetapkan dalam pemeriksaan laboratorium pada pasien-pasien yang menjalani hemodialisis. Jika target tersebut tercapai, penyakit ginjal terkait tulang oleh karena kadar kalsium yang abnormal semakin kecil kemungkinannya untuk berkembang. 36 Kalsium berada di dalam plasma dalam beberapa bentuk yaitu bentuk bebas/terionisasi, terikat pada protein dan bentuk kompleks. 37 Kalsium yang terionisasi merupakan 48% dari seluruh kalsium total, yang terikat pada protein 40% dan yang berbentuk kompleks yang terikat dengan anion lain seperti fosfat, sitrat dan bikarbonat sebanyak 12%. Dalam praktek di klinik yang dipakai adalah kalsium total yaitu jumlah dari ketiga bentuk tersebut. 5 Dalam keadaan kadar albumin plasma abnormal, kalsium (Ca) total tidak merefleksikan kadar yang sebenarnya, oleh karena itu dilakukan koreksi terhadap hasil pengukuran. Hasil yang didapat disebut kalsium koreksi (corrected Ca). Rumus koreksi adalah sebagai berikut: Ca koreksi = [(4-albumin)x0,8] + Ca total. Kadar kalsium darah normal atau normokalsemia adalah 8,4-9,5 mg/dl. Hipokalsemia adalah kadar kalsium total darah < 8 mg/dl. Hiperkalsemia adalah kadar kalsium total darah > 10 mg/dl. 5 Keadaan hiperkasemia dapat terjadi oleh karena gangguan pada mekanisme umpan balik yang normal yang meregulasi kalsium serum, seperti

19 24 produksi hormon paratiroid yang berlebihan, adanya keganasan, produksi 1,25(OH)2D yang berlebihan, peningkatan resorpsi tulang primer, peningkatan asupan kalsium yang berlebihan dan penyebab-penyebab lainnya. Produksi hormon paratiroid yang berlebihan dapat disebabkan adanya adenoma atau hiperplasia, stimulasi jangka panjang sekresi hormon paratiroid pada insufisiensi renal, sekresi hormon paratiroid ektopik, mutasi calcium sensor receptor (CaSR) atau perubahan fungsi CaSR. 1 Dengan memburuknya fungsi ginjal, terjadi gangguan homeostasis mineral yang progresif, yang terlihat dari abnormalitas kadar kalsium dan perubahan hormon paratiroid. Gangguan mineral dan tulang ditemukan pada sebagian besar pasien PGK stadium 3-5 dan secara universal dialami pasien PGK stadium 5 yang menjalani dialisis. 5 Pada pasien-pasien hemodialisis terjadi penurunan kemampuan mengeliminasi dan mereabsorpsi kalsium dan penurunan aktivasi vitamin D3 dalam ginjal. Kadar kalsium darah pada pasien-pasien ini dipengaruhi kuat oleh perubahan keseimbangan kalsium yang disebabkan oleh hiperparatiroidisme sekunder. 19 Peningkatan kadar kalsium serum pada pasien hemodialisis berkaitan dengan pruritus dalam beberapa penelitian, walaupun dalam penelitian-penelitian lainnya dikatakan tidak ditemukan hubungan. 10,11,16,38 Mekanisme yang bertanggung jawab terhadap induksi gatal masih tetap belum diketahui, namun ada yang menghubungkannya dengan adanya suatu deposit kalsium pada kulit, dan telah dilaporkan bahwa gradien kalsium yang tinggi pada epidermis dapat mengganggu barier permeabilitas. 16,19 Kalsium dapat berperan langsung dalam menyebabkan rasa gatal dengan menginduksi terjadinya degranulasi sel mast. 39

20 25 Obat-obat antihistamin atau anti alergi disebutkan memiliki mekanisme menghambat influks ion kalsium ke sel mast yang dapat menghambat degradasi sel mast. 19 Selain itu Menon menyebutkan bahwa pada kulit yang normal konsentrasi ion kalsium semakin tinggi ke arah lapisan terluar epidermis, namun pada pasienpasien pruritus ion kalsium didapatkan lebih tinggi pada lapisan yang lebih dalam. Hal ini mengindikasikan terjadinya gangguan dari gradien kalsium, yang disebabkan oleh gangguan fungsi barier permeabilitas pada stratum korneum. 40 Tidak diketahui dengan jelas apakah ion-ion kalsium yang meningkat pada lapisan yang lebih dalam dari epidermis ini adalah penyebab pruritus uremikum atau hanya fenomena terkait saja. 19 Pada penelitian pada hewan, Elias melaporkan bahwa hewan rodent yang memiliki gangguan perkembangan barier memiliki peningkatan ion-ion kalsium pada cairan ekstrasel di sekitar reseptor ujung saraf sensoris di dalam lapisan spinosum, membran basal dan dermis. 41 Ion-ion kalsium yang terdapat pada cairan ekstrasel telah terbukti mempengaruhi saraf sensoris. Batas ambang dari pruritus dapat diturunkan oleh karena perubahan aktivitas rangsangan dari serat-serat saraf C yang tidak bermielin. 19 Bibb dan Cochrane menyebutkan bahwa jika konsentrasi ion kalsium pada cairan ekstrasel tinggi maka sel mast, makrofag, limfosit dan keratinosit dapat mensekresikan sitokinsitokin, diantaranya adalah interleukin-2, dan beberapa protease seperti histamin, tryptase dan chymase. Oleh karena itu disebutkan bahwa ion kalsium yang tinggi dapat menstimulasi produksi sitokin-sitokin yang menginduksi pelepasan substansi-substansi pruritogenik pada perkembangan pruritus uremikum, walaupun tidak secara langsung. 19,20

21 Kadar fosfor serum Fosfor (P) adalah elemen penting bagi pembentukan adenosine triphosphate (ATP) dan sintesis membran fosfolipid dan tulang. Sumber dari fosfat anorganik pada sel terutama berasal dari fosfat ekstrasel, oleh sebab itu regulasi fosfat serum sangat penting untuk fungsi sel dan struktur membran. 37 Tubuh menyimpan fosfor dalam rentang 700 sampai 1000 g dan terutama berpasangan dengan oksigen sebagai suatu anion fosfat. Kira-kira 85% fosfat adalah komponen anorganik dari kristal hidroksiapatit yang terkandung dalam reservoar fosfat dalam tulang dan gigi. Empat belas persen fosfat adalah suatu anion intrasel organik yang penting untuk metabolisme energi aerobik dan anaerobik dalam sel darah merah. Dalam membran sel, fosfat merupakan struktur sebagai suatu fosfolipid dan merupakan konstituen utama dari deoxyribonucleic acid (DNA) dan ribonucleic acid (RNA) dan makromolekul fosfoprotein. Selain itu fosfat penting untuk metabolisme karbohidrat, lipid dan protein, serta berfungsi sebagai suatu kofaktor dalam berbagai sistem enzim dan sebagai suatu komponen integral dalam serum atau metabolisme asam basa intrasel. Terakhir, sebagai adenosin difosfat, menghasilkan energi yang penting untuk semua aktivitas metabolik. Fosfor anorganik yang sisa sebanyak 1% ditemukan dalam kompartemen ekstrasel, yang dapat diukur dalam serum. 42 Kadar fosfat normal dalam darah atau normofosfatemia adalah 2,5-4,5 mg/dl. Hiperfosfatemia ialah kadar fosfat darah >4,6 mg/dl. Pada pasien hemodialisis, kadar fosfat darah hendaknya dipertahankan antara 3,5-5,5 mg/dl. Pasien hemodialisis dengan kadar fosfat >6,5 mg/dl dilaporkan 27% mengalami peningkatan risiko mortalitas daripada 2,4-6,5 mg/dl. 5

22 27 Metabolisme fosfat diatur oleh pengangkut fosfat yang berpasangan dengan natrium yang terletak di nefron, tulang dan usus untuk mempertahankan homeostasis. Ekskresi fosfat melalui ginjal secara kasar serupa dengan absorpsi di saluran gastrointestinal. Fosfat terutama diabsorbsi melalui transport aktif pada tubulus proksimal. Mekanisme tambahan juga membantu homeostasis fosfor, dimana adanya parathyroid hormone (PTH) dapat menghambat reabsorpsi fosfat. 1 Ginjal merupakan organ utama yang berperan dalam mempertahankan homeostasis fosfat, dan progresifitas penyakit ginjal kronik dapat berakibat pada retensi fosfat, meskipun terdapat respons adaptasi untuk mengkompensasi rendahnya LFG terhadap keseimbangan fosfat. Hiperfosfatemia dapat meningkatkan mortalitas pada pasien hemodialisis dan pasien penyakit ginjal kronik yang tidak menjalani hemodialisis. Hiperfosfatemia menyebabkan hipokalsemia, penurunan kadar kalsitriol, hiperparatiroidisme sekunder, kalsifikasi ekstraosseus, kalsifikasi jaringan lunak, gangguan hemodinamik, kalsifikasi vaskuler dan koroner, kalsifikasi miokard dan katup jantung. 43 Penyakit ginjal kronik sering disertai beberapa gangguan diantaranya adalah pada metabolisme fosfat yang dapat berperan penting dalam patofisiologi pruritus. 18 Hubungan yang signifikan antara kadar fosfat serum dengan pruritus uremikum telah dilaporkan pada pasien-pasien hemodialisis, namun mekanisme patofisiologinya belum jelas. Beberapa penelitian, termasuk DOPPS, menyebutkan bahwa pada pasien-pasien penyakit ginjal kronik, didapatkan kadar kalsium dan fosfor yang lebih tinggi, yang selanjutnya akan menyebabkan peningkatan kadar kalsium dan fosfor di kulit. Ion-ion divalen ini akan menyebabkan mikropresipitasi pada kulit dan menyebabkan gatal. 13,17,42

23 Produk kalsium fosfor Produk kalsium fosfor adalah hasil perkalian antara kadar fosfor darah (mg/dl) dan kadar kalsium total darah (mg/dl). Nilai produk kalsium fosfat ini harus dipertahankan < 55 mg 2 /dl 2. 5 Gangguan mineral dan tulang pada penyakit ginjal kronik dapat diketahui dengan pemeriksaan laboratorium, diantaranya adalah kalsium, fosfor, produk kalsium x fosfor (Ca x P), hormon paratiroid dan fosfatase alkali. Walaupun hormon paratiroid sendiri tidak bersifat pruritogenik ketika diinjeksikan ke kulit, namun hormon paratiroid sendiri diperkirakan menyebabkan sel mast melepaskan histamin dan juga menyebabkan mikropresipitasi garam kalsium dan magnesium pada kulit. Peningkatan produk kalsium fosfor berhubungan erat dengan pruritus, diperkirakan oleh karena hormon paratiroid merangsang peningkatan kalsium dalam serum sehingga juga dapat menyebabkan mikropresipitasi kalsium pada kulit. 13, Hubungan antara Kalsium, Fosfor dan Produk Kalsium Fosfor Serum dengan Skor Pruritus Beberapa penelitian yang dilakukan untuk melihat adanya hubungan kalsium, fosfat dan produk kalsium fosfat memberikan hasil yang berbeda-beda. Duque et al melaporkan adanya korelasi hanya antara kalsium dengan pruritus uremikum. 16 Welter et al melaporkan kadar kalsium yang tinggi ditunjukkan oleh 55% pasien dan 47% diantaranya mengalami pruritus. Enam puluh persen pasien memiliki kadar fosfor yang tinggi dan 43% diantaranya mengalami pruritus. Rasio Ca/P adalah normal pada semua pasien. 38 Mirnezami et al melaporkan adanya hubungan langsung antara kadar fosfat dengan pruritus uremikum. 7 Narita et al

24 29 melaporkan bahwa hiperkalsemia dan hiperfosfatemia diidentifikasi sebagai faktor-faktor risiko independen untuk perkembangan pruritus uremikum yang lebih berat. 10 Resic et al melaporkan korelasi yang signifikan dari produk kalsium fosfat pada pasien-pasien pruritus dan tanpa pruritus dan tidak ada perbedaan yang signifikan pada kadar kalsium dan fosfor serum. 2 Afsar et al. menemukan korelasi yang signifikan antara pruritus uremikum dengan PTH dan produk kalsium fosfat. 45 Pisoni et al melaporkan bahwa pasien-pasien memiliki pruritus sedang hingga berat yang secara signifikan lebih tinggi jika mereka memiliki kadar kalsium serum atau fosfor serum yang lebih tinggi. Konsentrasi produk kalsium fosfor juga ditemukan berkaitan dengan pasien-pasien yang memiliki gejala gatal yang sedang sampai ekstrim, khususnya pasien-pasien dengan produk kalsium fosfor > 80 mg 2 /dl Gatmiri et al melaporkan derajat keparahan pruritus lebih tinggi didapatkan pada pasien-pasien dengan kadar fosfor serum yang lebih tinggi. 17 Kadar hormon paratiroid meningkat yang dapat menyebabkan proliferasi sel mast pada kulit yang menyebabkan pelepasan histamin dimana histamin itu sendiri menyebabkan pruritus. 14 Hampir 40 tahun yang lalu, telah dilaporkan peranan yang menonjol dari hiperparatiroidisme sekunder dan ketidakseimbangan dari metabolisme kalsium dan fosfat dalam patogenesis pruritus uremikum. Terdapat laporan-laporan yang masih diperdebatkan mengenai adanya korelasi antara pruritus dengan peningkatan hormon paratiroid intak. Pada studi DOPPS dengan sampel yang luas, hubungan independen yang kuat didapatkan antara serum kalsium yang lebih tinggi (>10.2 mg/dl), serum fosfor yang lebih tinggi (>5.5 mg/dl), dan produk kalsium dan fosfor serum yang lebih tinggi (>80

25 30 mg 2 /dl 2 ) dengan pruritus uremikum. 18 Penelitian oleh WikstrÖm di Swedia menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara kalsium serum yang lebih tinggi (>10,2 mg/dl), fosfor serum yang lebih tinggi (> 5,5 mg/dl) dan kadar produk kalsium fosfor yang lebih tinggi (>70 mg 2 /dl 2 ) dengan pruritus uremikum. Mekanisme hubungan yang pasti antara kalsium serum dan fosfor serum dengan pruritus uremikum masih belum dapat dimengerti. 11

26 Kerangka Teori Penyebab non dermatologis Penyebab dermatologis Penyebab sistemik Penyebab neuropatik Penyebab psikogenik Penatalaksanaan: - Berbagai terapi sesuai kondisi - Hemodialisis - Transplantasi ginjal Penyakit Ginjal Kronik Penyebab sistemik lain: - Kolestasis - Limfoma Hodgkin - Polisitemia Vera - Infeksi HIV - Hipertiroidisme Xerosis Substansi pruritogenik: vitamin A, histamin, ionion divalen (kalsium, fosfor,magnesium) Etiologi neuropatik Ketidakseimbangan peptida opioid Keadaan pro inflamasi Kalsium Fosfor Sel mast, Makrofag, Limfosit, Keratinosit Perubahan aktivitas serat saraf C Mikropresipitasi pada kulit Sitokin-sitokin: IL-2, Protease Pruritus uremikum Pruritus lainnya Gambar 2.1 Kerangka teori

27 Kerangka Konsep Dari landasan teori yang telah diuraikan dapat disusun kerangka konsep penelitian sebagai berikut: - Kalsium serum - Fosfor serum - Produk kalsium fosfor serum Skor Pruritus (Pruritus uremikum) Gambar 2.2 Kerangka konsep 2.8 Hipotesis 1. Terdapat hubungan antara kadar kalsium serum dengan skor pruritus pada pasien yang menjalani hemodialisis di Unit Hemodialisis RSUP Haji Adam Malik Medan. 2. Terdapat hubungan antara kadar fosfor serum dengan skor pruritus pada pasien yang menjalani hemodialisis di Unit Hemodialisis RSUP Haji Adam Malik Medan. 3. Terdapat hubungan antara produk kalsium fosfor serum dengan skor pruritus pada pasien yang menjalani hemodialisis di Unit Hemodialisis RSUP Haji Adam Malik Medan.

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah suatu proses patofisiologi dengan

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah suatu proses patofisiologi dengan 1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mempertahankan homeostasis tubuh. Ginjal menjalankan fungsi yang vital

I. PENDAHULUAN. mempertahankan homeostasis tubuh. Ginjal menjalankan fungsi yang vital I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ginjal merupakan salah satu organ penting dalam tubuh yang berperan dalam mempertahankan homeostasis tubuh. Ginjal menjalankan fungsi yang vital sebagai pengatur volume

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk asalnya atau dalam bentuk metabolit hasil biotransformasi. Ekskresi di sini merupakan hasil

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Singapura dan 9,1% di Thailand (Susalit, 2009). Di Indonesia sendiri belum ada

BAB 1 PENDAHULUAN. Singapura dan 9,1% di Thailand (Susalit, 2009). Di Indonesia sendiri belum ada BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Penyakit ginjal kronik (PGK) sudah menjadi masalah kesehatan masyarakat utama di seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Angka kejadian penyakit ginjal kronik,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit ginjal kronik (PGK) atau chronic kidney disease (CKD) adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit ginjal kronik (PGK) atau chronic kidney disease (CKD) adalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit ginjal kronik (PGK) atau chronic kidney disease (CKD) adalah suatu penurunan fungsi ginjal yang progresif dan ireversibel akibat suatu proses patofisiologis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup saat ini yang kurang memperhatikan keseimbangan pola makan. PGK ini

BAB I PENDAHULUAN. hidup saat ini yang kurang memperhatikan keseimbangan pola makan. PGK ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan penyakit yang cukup banyak terjadi di dunia ini. Jumlah penderita PGK juga semakin meningkat seiring dengan gaya hidup saat ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN Penderita penyakit - penyakit ginjal kronik (PGK) mempunyai resiko kematian yang jauh lebih tinggi dibandingkan populasi normal. Banyak faktor yang berkontribusi terhadap tingginya, resiko

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah suatu gangguan pada ginjal ditandai

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah suatu gangguan pada ginjal ditandai BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah suatu gangguan pada ginjal ditandai dengan abnormalitas struktur ataupun fungsi ginjal yang berlangsung lebih dari 3 bulan. PGK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. darah yang melalui ginjal, reabsorpsi selektif air, elektrolit dan non elektrolit,

BAB I PENDAHULUAN. darah yang melalui ginjal, reabsorpsi selektif air, elektrolit dan non elektrolit, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ginjal merupakan organ vital yang berperan sangat penting dalam mempertahankan kestabilan lingkungan dalam tubuh. Ginjal mengatur keseimbangan cairan tubuh, elektrolit,

Lebih terperinci

Hubungan Hipertensi dan Diabetes Melitus terhadap Gagal Ginjal Kronik

Hubungan Hipertensi dan Diabetes Melitus terhadap Gagal Ginjal Kronik Hubungan Hipertensi dan Diabetes Melitus terhadap Gagal Ginjal Kronik Latar Belakang Masalah Gagal ginjal kronik merupakan keadaan klinis kerusakan ginjal yang progresif dan irreversibel yang berasal dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang progresif dan irreversibel akibat berbagai penyakit yang merusak nefron

BAB I PENDAHULUAN. yang progresif dan irreversibel akibat berbagai penyakit yang merusak nefron BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit ginjal kronik merupakan suatu keadaan klinis kerusakan ginjal yang progresif dan irreversibel akibat berbagai penyakit yang merusak nefron ginjal, mengakibatkan

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan sindrom klinis yang bersifat

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan sindrom klinis yang bersifat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan sindrom klinis yang bersifat progresif dan dapat menyebabkan kematian pada sebagian besar kasus stadium terminal (Fored, 2003). Penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversibel,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversibel, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada umumnya berakhir

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ginjal adalah system organ yang berpasangan yang terletak pada rongga

TINJAUAN PUSTAKA. Ginjal adalah system organ yang berpasangan yang terletak pada rongga BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ginjal Ginjal adalah system organ yang berpasangan yang terletak pada rongga retroperitonium. Secara anatomi ginjal terletak dibelakang abdomen atas dan di kedua sisi kolumna

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Brunner dan Suddarth, 2002)

I. PENDAHULUAN. urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Brunner dan Suddarth, 2002) 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gagal Ginjal Kronik / penyakit ginjal tahap akhir (ESRD / End Stage Renal Disease) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh

Lebih terperinci

UKDW BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit gagal ginjal adalah kelainan struktur atau fungsi ginjal yang ditandai

UKDW BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit gagal ginjal adalah kelainan struktur atau fungsi ginjal yang ditandai BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit gagal ginjal adalah kelainan struktur atau fungsi ginjal yang ditandai penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) yang kurang dari 60 ml. Penyakit ginjal kronik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Glomerulonefritis akut masih menjadi penyebab. morbiditas ginjal pada anak terutama di negara-negara

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Glomerulonefritis akut masih menjadi penyebab. morbiditas ginjal pada anak terutama di negara-negara BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Glomerulonefritis akut masih menjadi penyebab morbiditas ginjal pada anak terutama di negara-negara berkembang meskipun frekuensinya lebih rendah di negara-negara maju

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. secara menahun dan umumnya bersifat irreversibel, ditandai dengan kadar

BAB I PENDAHULUAN. secara menahun dan umumnya bersifat irreversibel, ditandai dengan kadar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah penurunan faal ginjal yang terjadi secara menahun dan umumnya bersifat irreversibel, ditandai dengan kadar ureum dan kreatinin yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Insidensi dan prevalensi gagal ginjal kronik meningkat setiap tahunnya dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Insidensi dan prevalensi gagal ginjal kronik meningkat setiap tahunnya dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gagal ginjal kronik (GGK) merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. Insidensi dan prevalensi gagal ginjal kronik meningkat setiap tahunnya dan membutuhkan biaya

Lebih terperinci

( CKD ) Pembimbing :

( CKD ) Pembimbing : CHRONIC KIDNEY DISEASE ( CKD ) Pembimbing : dr. Albert Tri Rustamaji, Sp.PD Suatu proses patofsisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. buruk, dan memerlukan biaya perawatan yang mahal. 1 Jumlah pasien PGK secara

BAB I PENDAHULUAN. buruk, dan memerlukan biaya perawatan yang mahal. 1 Jumlah pasien PGK secara 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan masalah kesehatan yang mendunia dengan angka kejadian yang terus meningkat, mempunyai prognosis buruk, dan memerlukan biaya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit ginjal adalah salah satu penyebab paling penting dari kematian dan cacat tubuh di banyak negara di seluruh dunia (Guyton & Hall, 1997). Sedangkan menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronik merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. Di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronik merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. Di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit ginjal kronik merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. Di Amerika Serikat, didapatkan peningkatan insiden dan prevalensi dari gagal ginjal, dengan prognosis

Lebih terperinci

PERBEDAAN PENYEBAB GAGAL GINJAL ANTARA USIA TUA DAN MUDA PADA PENDERITA PENYAKIT GINJAL KRONIK STADIUM V YANG MENJALANI HEMODIALISIS DI RSUD

PERBEDAAN PENYEBAB GAGAL GINJAL ANTARA USIA TUA DAN MUDA PADA PENDERITA PENYAKIT GINJAL KRONIK STADIUM V YANG MENJALANI HEMODIALISIS DI RSUD PERBEDAAN PENYEBAB GAGAL GINJAL ANTARA USIA TUA DAN MUDA PADA PENDERITA PENYAKIT GINJAL KRONIK STADIUM V YANG MENJALANI HEMODIALISIS DI RSUD Dr. MOEWARDI SKRIPSI Diajukan Oleh : ARLIS WICAK KUSUMO J 500060025

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. nefrologi dengan angka kejadian yang cukup tinggi, etiologi luas, dan sering diawali

BAB 1 PENDAHULUAN. nefrologi dengan angka kejadian yang cukup tinggi, etiologi luas, dan sering diawali BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan salah satu permasalahan dibidang nefrologi dengan angka kejadian yang cukup tinggi, etiologi luas, dan sering diawali tanpa keluhan

Lebih terperinci

Nova Faradilla, S. Ked

Nova Faradilla, S. Ked Author : Nova Faradilla, S. Ked Faculty of Medicine University of Riau Pekanbaru, Riau 2009 Files of DrsMed FK UR (http://www.files-of-drsmed.tk 0 Gagal Ginjal Kronik I. Pendahuluan Penyakit Gagal ginjal

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. serta terjadinya kerusakan ginjal dan penurunan fungsi ginjal dengan Glomerular

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. serta terjadinya kerusakan ginjal dan penurunan fungsi ginjal dengan Glomerular BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Ginjal Kronik 2.1.1 Pengertian Penyakit Ginjal Kronik Penyakit ginjal kronik merupakan suatu keadaan patologis yang ditandai dengan kelainan struktural maupun fungsional

Lebih terperinci

DETEKSI DINI DAN PENCEGAHAN PENYAKIT GAGAL GINJAL KRONIK. Oleh: Yuyun Rindiastuti Mahasiswa Fakultas Kedokteran UNS BAB I PENDAHULUAN

DETEKSI DINI DAN PENCEGAHAN PENYAKIT GAGAL GINJAL KRONIK. Oleh: Yuyun Rindiastuti Mahasiswa Fakultas Kedokteran UNS BAB I PENDAHULUAN DETEKSI DINI DAN PENCEGAHAN PENYAKIT GAGAL GINJAL KRONIK Oleh: Yuyun Rindiastuti Mahasiswa Fakultas Kedokteran UNS BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di negara maju, penyakit kronik tidak menular (cronic

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Banyak penyebab dari disfungsi ginjal progresif yang berlanjut pada tahap

BAB I PENDAHULUAN. Banyak penyebab dari disfungsi ginjal progresif yang berlanjut pada tahap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Banyak penyebab dari disfungsi ginjal progresif yang berlanjut pada tahap akhir atau gagal ginjal terminal. Richard Bright pada tahun 1800 menggambarkan beberapa pasien

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai organ pengeksresi ginjal bertugas menyaring zat-zat yang sudah tidak

BAB I PENDAHULUAN. sebagai organ pengeksresi ginjal bertugas menyaring zat-zat yang sudah tidak BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Ginjal punya peran penting sebagai organ pengekresi dan non ekresi, sebagai organ pengeksresi ginjal bertugas menyaring zat-zat yang sudah tidak dibutuhkan oleh tubuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari tiga bulan, dikarakteristikan

BAB I PENDAHULUAN. kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari tiga bulan, dikarakteristikan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan National Kidney Foundation penyakit ginjal kronik adalah kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari tiga bulan, dikarakteristikan dengan kelainan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. 3.1 Desain penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik dengan rancangan kohort prospektif.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. 3.1 Desain penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik dengan rancangan kohort prospektif. BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Desain penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik dengan rancangan kohort prospektif. 3.2 Tempat dan Waktu 3.2.1 Tempat Penelitian dilakukan di unit hemodialisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan lambat. PGK umumnya berakhir dengan gagal ginjal yang memerlukan terapi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan lambat. PGK umumnya berakhir dengan gagal ginjal yang memerlukan terapi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan lambat. PGK umumnya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Dalam penatalaksanaan sindrom gagal ginjal kronik (GGK) beberapa aspek yang harus diidentifikasi sebagai berikut:

PENDAHULUAN. Dalam penatalaksanaan sindrom gagal ginjal kronik (GGK) beberapa aspek yang harus diidentifikasi sebagai berikut: PENDAHULUAN Dalam penatalaksanaan sindrom gagal ginjal kronik (GGK) beberapa aspek yang harus diidentifikasi sebagai berikut: 1. Etiologi GGK yang dapat dikoreksi misal: - Tuberkulosis saluran kemih dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang progresif dan lambat yang biasanya berlangsung beberapa tahun.

BAB I PENDAHULUAN. yang progresif dan lambat yang biasanya berlangsung beberapa tahun. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gagal Ginjal Kronik merupakan perkembangan dari gagal ginjal akut yang progresif dan lambat yang biasanya berlangsung beberapa tahun. Gagal Ginjal Kronik menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ginjal merupakan organ terpenting dalam mempertahankan homeostasis cairan tubuh secara baik. Berbagai fungsi ginjal untuk mempertahankan homeostatic dengan mengatur

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal (Suwitra, 2009).

I. PENDAHULUAN. pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal (Suwitra, 2009). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gagal Ginjal Kronis (GGK) merupakan keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel. Pada suatu derajat tertentu, penyakit ini membutuhkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. PENYAKIT GINJAL KRONIK 2.1.1. Defenisi Penyakit Ginjal Kronik Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (penting untuk mengatur kalsium) serta eritropoitein menimbulkan keadaan yang

BAB I PENDAHULUAN. (penting untuk mengatur kalsium) serta eritropoitein menimbulkan keadaan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ginjal adalah organ vital yang berperan sangat penting dalam memepertahankan kestabilan lingkungan dalam tubuh. Ginjal mengatur keseimbanagn cairan tubuh, dan nonelektrolit,

Lebih terperinci

a. Cedera akibat terbakar dan benturan b. Reaksi transfusi yang parah c. Agen nefrotoksik d. Antibiotik aminoglikosida

a. Cedera akibat terbakar dan benturan b. Reaksi transfusi yang parah c. Agen nefrotoksik d. Antibiotik aminoglikosida A. Pengertian Gagal Ginjal Akut (GGA) adalah penurunan fungsi ginjal mendadak dengan akibat hilangnya kemampuan ginjal untuk mempertahankan homeostasis tubuh. Akibat penurunan fungsi ginjal terjadi peningkatan

Lebih terperinci

PEMERIKSAAN KALSIUM DARAH (Metode CPC Photometric)

PEMERIKSAAN KALSIUM DARAH (Metode CPC Photometric) 1 PEMERIKSAAN KALSIUM DARAH (Metode CPC Photometric) A. Tujuan Instruksional Khusus 1. Mahasiswa akan dapat mengukur kadar kalsium darah dengan metode CPC photometric. 2. Mahasiswa akan dapat menganalisis

Lebih terperinci

kematian sebesar atau 2,99% dari total kematian di Rumah Sakit (Departemen Kesehatan RI, 2008). Data prevalensi di atas menunjukkan bahwa PGK

kematian sebesar atau 2,99% dari total kematian di Rumah Sakit (Departemen Kesehatan RI, 2008). Data prevalensi di atas menunjukkan bahwa PGK BAB 1 PENDAHULUAN Gagal ginjal kronik merupakan salah satu penyakit yang berpotensi fatal dan dapat menyebabkan pasien mengalami penurunan kualitas hidup baik kecacatan maupun kematian. Pada penyakit ginjal

Lebih terperinci

Reabsorbsi pada kapiler peritubuler

Reabsorbsi pada kapiler peritubuler SISTEM UROPOETIKA Reabsorbsi pada kapiler peritubuler Substansi yang dieliminasikan dari tubuh melalui filtrasi dari kapiler peritubuler GANGGUAN GINJAL Menunjukkan gejala klinis jika 70% fungsinya terganggu

Lebih terperinci

HUBUNGAN TINGKAT ASUPAN PROTEIN DENGAN KADAR UREUM DAN KREATININ DARAH PADA PENDERITA GAGAL GINJAL KRONIK DI RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA

HUBUNGAN TINGKAT ASUPAN PROTEIN DENGAN KADAR UREUM DAN KREATININ DARAH PADA PENDERITA GAGAL GINJAL KRONIK DI RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA HUBUNGAN TINGKAT ASUPAN PROTEIN DENGAN KADAR UREUM DAN KREATININ DARAH PADA PENDERITA GAGAL GINJAL KRONIK DI RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA Skripsi ini ini Disusun untuk memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ginjal memiliki peranan yang sangat vital sebagai organ tubuh

BAB I PENDAHULUAN. Ginjal memiliki peranan yang sangat vital sebagai organ tubuh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ginjal memiliki peranan yang sangat vital sebagai organ tubuh manusia terutama dalam sistem urinaria. Pada manusia, ginjal berfungsi untuk mengatur keseimbangan cairan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Selama proses pencernaan, karbohidrat akan dipecah dan diserap di dinding

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Selama proses pencernaan, karbohidrat akan dipecah dan diserap di dinding BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Glukosa Karbohidrat merupakan salah satu senyawa yang penting dalam tubuh manusia. Senyawa ini memiliki peran struktural dan metabolik yang penting. 10 Selama proses pencernaan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan suatu keadaan klinis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan suatu keadaan klinis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan suatu keadaan klinis kerusakan ginjal yang progresif dan irreversible dengan etiologi yang beragam. Setiap penyakit yang terjadi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Fisiologi Ginjal Ginjal menjalankan fungsi yang vital sebagai pengatur volume dan komposisi kimia darah dan lingkungan dalam tubuh dengan mengekresikan zat terlarut dan air

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan 8 16% di dunia. Pada tahun 1999 berdasarkan data Global burden of

BAB I PENDAHULUAN. dan 8 16% di dunia. Pada tahun 1999 berdasarkan data Global burden of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit ginjal kronis (PGK) merupakan salah satu masalah kesehatan utama di dunia. Dengan prevalensi 15% di negara berkembang, dan 8 16% di dunia. Pada tahun 1999

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. DM yaitu DM tipe-1 dan DM tipe-2. Diabetes tipe-1 terutama disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. DM yaitu DM tipe-1 dan DM tipe-2. Diabetes tipe-1 terutama disebabkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ulkus diabetikum (UD) adalah luka terbuka pada permukaan kulit yang disebabkan oleh adanya komplikasi kronik berupa mikroangiopati dan makroangiopati akibat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. keluhan maupun gejala klinis kecuali sudah terjun pada stadium terminal (gagal

I. PENDAHULUAN. keluhan maupun gejala klinis kecuali sudah terjun pada stadium terminal (gagal I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit ginjal kronik merupakan permasalahan bidang nefrologi dengan angka kejadian masih cukup tinggi, etiologi luas dan komplek, sering diawali tanpa keluhan maupun

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kulit merupakan organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasi dari lingkungan hidup manusia. Berat kulit kira-kira 15% dari berat badan seseorang. Kulit merupakan

Lebih terperinci

Gagal Ginjal Kronis. 1. Apa itu Gagal Ginjal Kronis?

Gagal Ginjal Kronis. 1. Apa itu Gagal Ginjal Kronis? Gagal Ginjal Kronis Banyak penyakit ginjal yang tidak menunjukkan gejala atau tanda-tanda gangguan pada kesehatan. Gagal ginjal mengganggu fungsi normal dari organ-organ tubuh lainnya. Penyakit ini bisa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada tubuh manusia, mineral berperan dalam proses fisiologis. Dalam sistem fisiologis manusia, mineral tersebut dibagi menjadi dua bagian yaitu makroelemen antara lain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bervariasi dari 2-3 bulan hingga tahun (Price dan Wilson, 2006).

BAB I PENDAHULUAN. bervariasi dari 2-3 bulan hingga tahun (Price dan Wilson, 2006). 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan perkembangan gagal ginjal yang progresif dan lambat (biasanya berlangsung selama beberapa tahun). Perjalanan penyakit ginjal stadium

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gagal ginjal kronik atau CKD (Chronic Kidney Disease) merupakan keadaan klinis kerusakan ginjal yang progresif dan ireversibel (Wilson, 2005) yang ditandai dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Penyakit ginjal kronik merupakan suatu keadaan abnormalitas struktural atau fungsional ginjal setidaknya selama 3 bulan atau lebih, dengan atau tanpa penurunan filtrasi glomerulus

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. kreatinin serum pada pasien diabetes melitus tipe 2 telah dilakukan di RS

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. kreatinin serum pada pasien diabetes melitus tipe 2 telah dilakukan di RS BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Gambaran Hasil Penelitian Pelaksanaan penelitian tentang korelasi antara kadar asam urat dan kreatinin serum pada pasien diabetes melitus tipe 2 telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cairan ekstrasel terdiri dari cairan interstisial (CIS) dan cairan intravaskular. Cairan interstisial mengisi ruangan yang berada di antara sebagian sel tubuh dan menyusun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kardiovaskular dan penyebab utama end stage renal disease (ESRD). Kematian

BAB I PENDAHULUAN. kardiovaskular dan penyebab utama end stage renal disease (ESRD). Kematian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kerusakan ginjal merupakan komplikasi yang serius pada diabetes melitus (DM), diperkirakan terjadi pada sepertiga pasien DM di seluruh dunia. Diabetes melitus dihubungkan

Lebih terperinci

PATOFISIOLOGI SINDROM NEFROTIK

PATOFISIOLOGI SINDROM NEFROTIK PATOFISIOLOGI SINDROM NEFROTIK Reaksi antara antigen-antibodi menyebabkan permeabilitas membran basalis glomerulus meningkat dan diiukti kebocoran protein, khususnya akbumin. Akibatnya tubuh kehilangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan pada pasien gagal ginjal terminal (GGT). Keluhan pruritus yang

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan pada pasien gagal ginjal terminal (GGT). Keluhan pruritus yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pruritus uremia (PU) masih merupakan keluhan yang paling sering ditemukan pada pasien gagal ginjal terminal (GGT). Keluhan pruritus yang signifikan ditemukan pada 15%

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gagal ginjal kronis atau End Stage Renal Desease (ESRD) merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Gagal ginjal kronis atau End Stage Renal Desease (ESRD) merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gagal ginjal kronis atau End Stage Renal Desease (ESRD) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan ireversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan

Lebih terperinci

BY : Cang Cool gitu loh. Bismillah hirrahmanirrahim Ass. Wr. Wb

BY : Cang Cool gitu loh. Bismillah hirrahmanirrahim Ass. Wr. Wb BY : Cang Cool gitu loh Bismillah hirrahmanirrahim Ass. Wr. Wb Mr X 60 tahun rujukan Dompu, dibawa ke RSU mataram dengan keluhan lemah, lelah, malaise yg telah dirasakan sejak lama. Riwayat sebelumnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA PengertianDrug Related Problems Drug Related Problems (DRPs) adalah kejadian yang tidak diinginkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA PengertianDrug Related Problems Drug Related Problems (DRPs) adalah kejadian yang tidak diinginkan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Drug Related Problems 2.1.1 PengertianDrug Related Problems Drug Related Problems (DRPs) adalah kejadian yang tidak diinginkan pasien terkait terapi obat yang secara nyata maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Adanya kelainan struktural atau fungsional pada. ginjal yang berlangsung selama minimal 3 bulan disebut

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Adanya kelainan struktural atau fungsional pada. ginjal yang berlangsung selama minimal 3 bulan disebut BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Adanya kelainan struktural atau fungsional pada ginjal yang berlangsung selama minimal 3 bulan disebut sebagai gagal ginjal kronis (Tanto, et al, 2014). Di Amerika

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. GFR < 60 ml/menit/1,73 m 2 selama 3 bulan dengan atau tanpa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. GFR < 60 ml/menit/1,73 m 2 selama 3 bulan dengan atau tanpa 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Chronic Kidney Disease 2.1.1 Definisi Chronic kidney disease (CKD) adalah suatu kerusakan pada struktur atau fungsi ginjal yang berlangsung 3 bulan, dengan atau tanpa disertai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan angka kejadian yang masih cukup tinggi. Di Amerika Serikat, UKDW

BAB I PENDAHULUAN. dengan angka kejadian yang masih cukup tinggi. Di Amerika Serikat, UKDW BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gagal ginjal kronik merupakan permasalahan di bidang nefrologi dengan angka kejadian yang masih cukup tinggi. Di Amerika Serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan insidensi

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penyakit Ginjal Kronik 2.1.1. Definisi dan Etiologi Penyakit ginjal kronik dapat didefinisikan sebagai suatu abnormalitas dari struktur ataupun fungsi ginjal yang berlangsung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Gagal ginjal adalah masalah kesehatan dunia. Prevalensi yang semakin meningkat, tingginya biaya, dan

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Gagal ginjal adalah masalah kesehatan dunia. Prevalensi yang semakin meningkat, tingginya biaya, dan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Gagal ginjal adalah masalah kesehatan dunia. Prevalensi yang semakin meningkat, tingginya biaya, dan buruknya prognosis gagal ginjal kini merupakan masalah yang menjadi

Lebih terperinci

SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 1. Sistem Ekskresi ManusiaLATIHAN SOAL BAB 1

SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 1. Sistem Ekskresi ManusiaLATIHAN SOAL BAB 1 1. Perhatikan gambar nefron di bawah ini! SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 1. Sistem Ekskresi ManusiaLATIHAN SOAL BAB 1 Urin sesungguhnya dihasilkan di bagian nomor... A. B. C. D. 1 2 3 4 E. Kunci Jawaban : D

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis vulgaris merupakan suatu penyakit inflamasi kulit yang bersifat

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis vulgaris merupakan suatu penyakit inflamasi kulit yang bersifat BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Psoriasis vulgaris merupakan suatu penyakit inflamasi kulit yang bersifat kronis dan kompleks. Penyakit ini dapat menyerang segala usia dan jenis kelamin. Lesi yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pasien dapat mengalami keluhan gatal, nyeri, dan atau penyakit kuku serta artritis

BAB I PENDAHULUAN. Pasien dapat mengalami keluhan gatal, nyeri, dan atau penyakit kuku serta artritis 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Psoriasis merupakan penyakit inflamasi kulit bersifat kronis residif dengan patogenesis yang masih belum dapat dijelaskan dengan pasti hingga saat ini. Pasien dapat

Lebih terperinci

Gambaran hasil produk kalsium dan fosfor pada pasien penyakit ginjal kronik stadium V di Ruang Hemodialisis RSUP Prof. Dr. R. D.

Gambaran hasil produk kalsium dan fosfor pada pasien penyakit ginjal kronik stadium V di Ruang Hemodialisis RSUP Prof. Dr. R. D. Jurnal e-clinic (ecl), Volume 4, Nomor 2, Juli-Desember 2016 Gambaran hasil produk kalsium dan fosfor pada pasien penyakit ginjal kronik stadium V di Ruang Hemodialisis RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 P a g e

BAB I PENDAHULUAN. 1 P a g e BAB I PENDAHULUAN Anemia adalah kondisi medis dimana jumlah sel darah merah atau hemoglobin kurang dari normal. Tingkat normal dari hemoglobin umumnya berbeda pada laki-laki dan wanita-wanita. Untuk laki-laki,

Lebih terperinci

Author : Liza Novita, S. Ked. Faculty of Medicine University of Riau Pekanbaru, Riau Doctor s Files: (http://www.doctors-filez.

Author : Liza Novita, S. Ked. Faculty of Medicine University of Riau Pekanbaru, Riau Doctor s Files: (http://www.doctors-filez. Author : Liza Novita, S. Ked Faculty of Medicine University of Riau Pekanbaru, Riau 2009 0 Doctor s Files: (http://www.doctors-filez.tk GLOMERULONEFRITIS AKUT DEFINISI Glomerulonefritis Akut (Glomerulonefritis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan pertumbuhan jumlah. penderita gagal ginjal pada tahun 2013 telah meningkat 50% dari tahun

BAB I PENDAHULUAN. Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan pertumbuhan jumlah. penderita gagal ginjal pada tahun 2013 telah meningkat 50% dari tahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan pertumbuhan jumlah penderita gagal ginjal pada tahun 2013 telah meningkat 50% dari tahun sebelumnya. Di Amerika Serikat, kejadian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perekrutan dan aktivasi trombosit serta pembentukan trombin dan fibrin 1. Proses

BAB I PENDAHULUAN. perekrutan dan aktivasi trombosit serta pembentukan trombin dan fibrin 1. Proses BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hemostasis adalah proses yang mempertahankan integritas sistem peredaran darah setelah terjadi kerusakan vaskular. Dalam keadaan normal, dinding pembuluh darah yang

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL. 24 Universitas Indonesia. Hubungan kadar..., Krishna Pandu W., FK UI., 2009

BAB 4 HASIL. 24 Universitas Indonesia. Hubungan kadar..., Krishna Pandu W., FK UI., 2009 BAB 4 HASIL 4.1. Data Umum Dalam penelitian ini disertakan 108 pasien hemodialisis kronik dengan karakteristik seperti yang ditampilkan pada tabel 4.1. Tabel 4.1. Data Demogragis dan Lama HD Pasien Variabel

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Ginjal kiri letaknya lebih tinggi dari ginjal kanan, berwarna merah keunguan.

BAB 1 PENDAHULUAN. Ginjal kiri letaknya lebih tinggi dari ginjal kanan, berwarna merah keunguan. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Ginjal sering disebut buah pinggang. Bentuknya seperti kacang dan letaknya disebelah belakang rongga perut, kanan dan kiri dari tulang punggung. Ginjal kiri letaknya

Lebih terperinci

PENYAKIT DEGENERATIF V I L D A A N A V E R I A S, M. G I Z I

PENYAKIT DEGENERATIF V I L D A A N A V E R I A S, M. G I Z I PENYAKIT DEGENERATIF V I L D A A N A V E R I A S, M. G I Z I EPIDEMIOLOGI WHO DEGENERATIF Puluhan juta ORANG DEATH DEFINISI Penyakit degeneratif penyakit yg timbul akibat kemunduran fungsi sel Penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Acute kidney injury (AKI) telah menjadi masalah kesehatan global di seluruh

BAB I PENDAHULUAN. Acute kidney injury (AKI) telah menjadi masalah kesehatan global di seluruh 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Acute kidney injury (AKI) telah menjadi masalah kesehatan global di seluruh dunia. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya kejadian AKI baik yang terjadi di masyarakat

Lebih terperinci

Sintesis purin melibatkan dua jalur, yaitu jalur de novo dan jalur penghematan (salvage pathway).

Sintesis purin melibatkan dua jalur, yaitu jalur de novo dan jalur penghematan (salvage pathway). I. Memahami dan menjelaskan gout arthritis 1.1.Memahami dan menjelaskan definisi gout arthritis Arthritis gout adalah suatu proses inflamasi yang terjadi karena deposisi Kristal asam urat pada jaringan

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Sakit Perut Berulang Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut berulang pada remaja terjadi paling sedikit tiga kali dengan jarak paling sedikit

Lebih terperinci

Sistem Eksresi> Kelas XI IPA 3 SMA Santa Maria Pekanbaru

Sistem Eksresi> Kelas XI IPA 3 SMA Santa Maria Pekanbaru Sistem Eksresi> Kelas XI IPA 3 SMA Santa Maria Pekanbaru O R G A N P E N Y U S U N S I S T E M E K S K R E S I K U L I T G I N J A L H A T I P A R U - P A R U kulit K ULIT K U L I T A D A L A H O R G A

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 2006). Pasien dengan penyakit ginjal kronik (PGK)mempunyai risiko lebih besar

BAB I PENDAHULUAN. 2006). Pasien dengan penyakit ginjal kronik (PGK)mempunyai risiko lebih besar BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversibel, dimana pada suatu derajat sehingga memerlukan terapi pengganti

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ginjal Ginjal merupakan organ ekskresi utama pada manusia. Ginjal mempunyai peran penting dalam mempertahankan kestabilan tubuh. Ginjal memiliki fungsi yaitu mempertahankan keseimbangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Pada tahun 1990, penyakit ginjal kronik merupakan penyakit ke-27 di

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Pada tahun 1990, penyakit ginjal kronik merupakan penyakit ke-27 di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit ginjal kronik saat ini menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia. Pada tahun 1990, penyakit ginjal kronik merupakan penyakit ke-27 di dunia yang menyebabkan

Lebih terperinci

SKRIPSI. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana S-1. Disusun oleh : ELYOS MEGA PUTRA J FAKULTAS KEDOKTERAN

SKRIPSI. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana S-1. Disusun oleh : ELYOS MEGA PUTRA J FAKULTAS KEDOKTERAN KESESUAIAN GAMBARAN ULTRASONOGRAFI GAGAL GINJAL KRONIK DENGAN KADAR KREATININ PLASMA PADA PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK DI RS PEMBINA KESEJAHTERAAN UMAT MUHAMMADIYAH SURAKARTA SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memerlukan upaya penanganan tepat dan serius. Diabetes Mellitus juga

BAB 1 PENDAHULUAN. memerlukan upaya penanganan tepat dan serius. Diabetes Mellitus juga BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes Mellitus (DM) secara luas diartikan sebagai gangguan metabolisme kronis yang ditandai dengan metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak yang abnormal akibat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asam urat telah diidentifikasi lebih dari dua abad yang lalu akan tetapi beberapa aspek patofisiologi dari hiperurisemia tetap belum dipahami dengan baik. Asam urat

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada penelitian ini digunakan sampel 52 orang yang terbagi menjadi 2

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada penelitian ini digunakan sampel 52 orang yang terbagi menjadi 2 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Pada penelitian ini digunakan sampel 52 orang yang terbagi menjadi 2 kelompok. Pada kelompok pertama adalah kelompok pasien yang melakukan Hemodialisa 2 kali/minggu,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diakibatkan insufisiensi vaskuler dan neuropati. 1

BAB I PENDAHULUAN. diakibatkan insufisiensi vaskuler dan neuropati. 1 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ulkus diabetikum pada penderita diabetes melitus merupakan komplikasi kronis berupa makroangiopati dan mikroangiopati yang paling sering kita jumpai diakibatkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ginjal 1. Mekanisme Filtrasi Ginjal Glomerulus adalah bagian kecil dari ginjal yang mempunyai fungsi sebagai saringan yang setiap menit kira-kira 1 liter darah yang mengandung

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kreatinin Kreatinin adalah produk akhir metabolisme kreatin.keratin sebagai besar dijumpai di otot rangka, tempat zat terlibat dalam penyimpanan energy sebagai keratin fosfat.dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Artritis Reumatoid Artritis reumatoid adalah penyakit autoimun dengan karakteristik adanya inflamasi kronik pada sendi disertai dengan manifestasi sistemik seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ginjal adalah salah satu organ utama sitem kemih atau uriner (tractus urinarius) yang berfungsi menyaring dan membuang cairan sampah metabolisme dari dalam tubuh. Fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Organisasi kesehatan dunia, World Health Organization (WHO)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Organisasi kesehatan dunia, World Health Organization (WHO) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Organisasi kesehatan dunia, World Health Organization (WHO) memperkirakan lebih dari 180 juta orang di dunia mengalami diabetes melitus (DM) dan cenderung

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronis (Chronic Kidney Disease / CKD) merupakan

BAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronis (Chronic Kidney Disease / CKD) merupakan BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penyakit ginjal kronis (Chronic Kidney Disease / CKD) merupakan masalah kesehatan baik di negara maju maupun negara berkembang (Prodjosudjadi & Suhardjono, 2009).

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Gangguan Ginjal Kronik 2.1.1 Definisi Penyakit ginjal kronik merupakan kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari sama dengan tiga bulan, berdasarkan kelainan

Lebih terperinci