HASIL DAN PEMBAHASAN
|
|
- Yohanes Lesmono
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 HASIL DAN PEMBAHASAN Sampel semen sapi yang diuji dalam penelitian ini berasal dari 13 (76.47%) BIB ditambah satu laboratorium IB dari total 17 BIB/BIBD yang ada di Indonesia, dengan jumlah total sapi jantan 164 ekor. Sapi-sapi tersebut terdiri atas jenis Simmental, Limousine, Brahman, Bali, Brangus, Angus, Ongole, Peranakan Ongole (PO), peranakan Simmental Brahman (Simbrah) dan Friesian Holstein atau FH (Tabel 3). Dari jumlah tersebut jenis Simmental merupakan sapi yang paling banyak (42.68%) sedangkan PO, Ongole dan Simbrah jenis yang paling sedikit masing-masing hanya satu ekor (0.61%). Tabel 3 Jenis Sapi Pejantan pada 13 BIB dan 1 laboratorium IB Bangsa Sapi Jumlah (ekor) (%) Simmental 70 42,68 Limousine 30 18,29 Bali 22 13,42 FH 22 13,42 Brahman 12 7,32 Brangus 3 1,83 Angus 2 1,22 Simbrah 1 0,61 PO 1 0,61 Ongole 1 0,61 Jumlah % Abnormalitas Primer Spermatozoa Abnomalitas primer merupakan kelainan yang bersifat serius dikarenakan terjadi pada proses spermatogenesis dan beberapa kelainan dapat diturunkan (Chenoweth 2005), sehingga apabila ditemukan dalam jumlah tinggi pada semen, maka pejantan tersebut tidak dapat dipergunakan sebagai sumber bibit. Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan 13 jenis kelainan spermatozoa primer yaitu pearshape, narrow at the base, narrow (tapered head), abnormal contour, undeveloped, round head, variable size (macrocephalus/microcephalus), double head, abaxial, knobbed acrosome defect, detached head, dan diadem (Gambar 4).
2 Bentuk kepala pearshape atau pyriform dalam Barth et al. (1992) disebut juga narrow at the base. Akan tetapi berdasarkan derajat penyempitan pada bagian post acrosome regional, bentuk pearshape dibedakan dengan kelainan yang berbentuk seperti buah pear di mana daerah akrosom (anterior) tampak penuh berisi kromatin atau membesar, sedangkan post acrosome sempit sedikit memanjang dengan batas jelas antara daerah anterior dan posterior. a b c d e f g h i Gambar 4 Bentuk normal dan abnormalitas primer spermatozoa (Pewarnaan Williams) a) Bentuk sperma normal, b) Pearshape, c) Narrow at the base, d) Abnormal contour, e) Undeveloped f) Round head, g) Abaxial, h) Microsephalus dengan KA defect, i) Detached head
3 Pada penelitian ini tanpa melihat bangsa sapi terdapat 2.02% dan 0.34% abnormalitas pearshape dan narrow at the base. Penelitian yang dilakukan oleh Sarder (2004) terhadap enam kelompok bangsa sapi menemukan tingkat abnormalitas pearshape lebih rendah dari hasil penelitian ini yaitu hanya 0.79%, sebaliknya jumlah kelainan narrow at the base justru lebih tinggi yaitu 1.71%. Al-Makhzoomi et al. (2007) melaporkan tingkat abnormalitas pearshape dan narrow at the base yang cukup tinggi yaitu 6.5% dan 4.3% pada pejantan sapi perah Swedia. Menurut Barth et al. (1992) kelainan pearshape dan narrow at the base ini biasa ditemukan pada semen seekor pejantan sapi dengan jumlah yang bervariasi dan tidak mempengaruhi fertilitas sepanjang derajat penyimpitan yang tidak terlalu parah. Sebelumnya Barth dan Oko (1989) juga melaporkan kelainan pearshape dalam jumlah yang tinggi dapat menurunkan fertilitas. Kelainan ini bersifat genetik, hal ini terbukti sapi jantan keturunan dari tetua dengan tingkat abnormalitas pearshape yang tinggi memperlihatkan gambaran semen yang sama dengan tetuanya (Barth & Oko 1989) Bentuk kepala narrow (tapered) merupakan jenis kelainan kepala dimana daerah akrosom dan postacrosome mengalami penyempitan akibat perkembangan yang tidak sempurna pada saat spermatosit primer. Pada bentuk narrow, kepala spermatozoa terlihat lebih kecil dan panjang daripada kepala normal tanpa batas yang jelas. Bentuk narrow ini hampir sama dengan bentuk pearshape, akan tetapi bagian nukleus pada bentuk narrow terlihat lebih menyempit atau memanjang. Pada penelitian ini abnormalitas bentuk narrow ditemukan sebesar 0.21% lebih kecil jika dibandingkan dengan temuan Sarder (2004) dan Al-Makhzoomi et al. (2008), masing-masing sebesar 1.03% dan 0.4%. Bentuk narrow yang tidak terlalu sempit didaerah postregional acrosome serta tidak disertai kelainan pada spermatogenesis tidak menurunkan fertilitas (Barth et al. 1992). Abnormal contour dan undeveloped. Kedua istilah ini oleh Barth dan Oko (1989) disebut teratoid spermatozoa yaitu spermatozoa yang mengalami aberasi struktur yang menyebabkan spermatozoa tidak dapat melakukan fungsinya dalam fertilisasi. Abnormal contour merupakan kelainan bentuk spermatozoa yang
4 secara keseluruhan tidak normal, baik pada bagian kepala maupun ekor. Sedangkan undeveloped merupakan spermatozoa yang tidak mengalami perkembangan sehingga dapat berbentuk kecil, ekor pendek dan dengan pemeriksaan lanjut diperoleh bahwa sel tersebut tidak disusun oleh materi genetik yang lengkap (Barth & Oko 1989). Pada penelitian ini abnormalitas bentuk abnormal contour dan undeveloped ditemukan sebesar 0.14% dan 0.16%. Laporan sebelumnya menyatakan bahwa bentuk abnormal contour ditemukan sebesar 0.3% (Al- Makhzoomi et al. 2008), dan abnormalitas bentuk undeveloped sebesar 0.13% (Sarder 2004) sampai dengan 0.7% (Al-Makhzoomi et al. 2008). Besarnya variasi abnormalitas teratoid spermatozoa dipengaruhi oleh genetik, dimana hal ini didasarkan oleh penelitian yang dilakukan Barth dan Oko (1989) pada sapi Charolais dengan tingkat teratoid dari 1-2,5 x 10 6 per ml semen, tanpa ada latar belakang kecelakaan, penyakit dan stress. Round head adalah abnormalitas pada kepala spermatozoa, dimana kepala spermatozoa berbentuk bulat tanpa ada batas akrosom. Menurut Chenoweth (2005) kebanyakan kepala spermatozoa mempunyai kantung tanpa disertai pembentukkan akrosom. Pada penelitian ini abnormalitas round head ditemukan sebesar 0.06%. Abnormalitas round head jarang dilaporkan pada pejantan sapi (Chenoweth 2005), tetapi sering ditemukan pada spermatozoa manusia (Jones et al. 2003). Variable size, merupakan istilah untuk abnormalitas pada spermatozoa memiliki ukuran kepala lebih besar (macrocephalus) atau lebih kecil (microcephalus) dari ukuran normal spermatozoa umumnya pada spesies tersebut. Pada penelitian ini abnormalitas bentuk macrocephalus dan microcephalus ditemukan masing-masing sebesar 0.03% dan 0.12%. Penelitian sebelumnya oleh Al-Makhzoomi et al. (2008) menemukan abnormalitas variable size sebesar 1.4%. Menurut Barth dan Oko (1989) ukuran kepala spermatozoa yang lebih kecil atau lebih besar dari ukuran normal akan mempengaruhi kandungan kromosom inti pada kepala, sehingga dapat lebih sedikit atau lebih banyak dibandingkan normal, dimana selanjutnya akan menyebabkan tidak terdapat atau berlebihnya kromosom. Tinggi rendahnya kejadian abnormalitas variable size
5 dipengaruhi oleh genetik, dimana tingkat abnormalitas macrocephalus pada khususnya, ditemukan lebih tinggi pada sapi-sapi inbreeding dibandingkan persilangan (Salisbury & Baker 1966). Double head adalah kejadian dimana kepala spermatozoa memiliki dua kepala dengan satu ekor. Kedua kepala tersebut dapat berukuran serupa atau berbeda. Pada penelitian ini tingkat kejadian double head ditemukan paling sedikit dari abnormalitas jenis lainnya, yaitu sebesar 0.01%. Kejadian ini pernah dilaporkan pada babi yang menderita demam (pyrexia) (Kojima 1973). Penyebab utama kejadian ini adalah abnormalitas pada saat proses miosis spermatogenesis (Zukerman et al. 1986). Abaxial merupakan bentuk abnormalitas dimana posisi ekor spermatozoa tidak terletak dibagian tengah. Ekor yang seharusnya terletak menempel pada bagian tengah kepala, bergeser ke arah samping dengan membentuk fosa implantasi baru sebagai tempat pertautan ekor. Pada penelitian yang dilakukan, abnormalitas abaxial ditemukan sebesar 0.13%. Menurut Barth (1989) abnormalitas abaxial merupakan gambaran normal yang biasa ditemukan pada semen kuda dan babi, cenderung bersifat genetik, akan tetapi tidak berpengaruh terhadap fertilitas (Barth & Oko 1989), sehingga dikatagorikan sebagai suatu bentuk variasi dari spermatozoa normal pada sapi (Barth 1989). Knobbed acrosome (KA) defect. merupakan kelainan yang terjadi pada bagian akrosom spermatozoa, dimana bentuk kepala tidak mulus tetapi seperti ada lekukan ke arah dalam atau ke arah luar. Barth (1986) pernah melaporkan persentase KA defect yang sangat tinggi yaitu % pada 16 dari 2054 ekor sapi potong serta pada bangsa Charolais. Sebelumnya Donald dan Hancock (1953) melaporkan bahwa KA defect yang tinggi pada FH berhubungan erat dengan autosomal seks resesif. Kelainan ini disebabkan oleh berlebihnya matriks akrosomal dan pelipatan bagian akrosom sampai ke bagian apeks dari kepala spermatozoa dan kejadian disebabkan keterlambatan pembentukkan fase akrosomal saat spermiogenesis (Barth & Oko 1989). Pada penelitian ini, abnormalitas KA defect ditemukan sebesar 0.16%, angka ini hampir sama dengan yang ditemukan pada sapi perah Swedia yaitu 0.2% (Al-Makhzoomi et al. 2008) tetapi lebih rendah dari laporan
6 Söderquist et al. (1996) sebesar 0.8% pada jenis sapi yang sama. Menurut Chenoweth (2005) peningkatan KA defect pada semen sapi pejantan dapat dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Detached head adalah keadaan dimana kepala spermatozoa patah atau sampai terlepas dari bagian leher dan ekor. Pada penelitian ini abnormalitas detached head sebesar 0.02%. Penelitian yang dilakukan oleh Söderquist et al. (1996) pada sapi perah Swedia melaporkan jumlah yang lebih tinggi, yaitu 1.6%. Kejadian detached head biasanya dihubungkan dengan hipoplasia testikular, akan tetapi apabila ditemukan dalam jumlah tinggi dapat disebabkan oleh pengaruh genetik (Barth & Oko 1989). Diadem merupakan jenis abnormalitas spermatozoa dimana terlihat seperti ada lubang-lubang yang ditemukan di daerah nukleus posterior sampai apikal akrosom, batas selubung acrosome atau diseluruh kepala spermatozoa, akan tetapi lebih sering terdapat pada bagian apeks nukleus yang disebabkan invaginasi membran nuklear ke dalam nukleoplasma. Lubang tersebut juga terlihat sebagai sebuah kantung, sehingga beberapa peneliti menamakan diadem dengan pouches, craters dan nuclear vacuoles (Barth & Oko 1989). Pada penelitian ini, abnormalitas diadem ditemukan sebesar 0.18%. Hasil ini hampir sama dengan yang ditemukan pada sapi perah Swedia yaitu sebesar 0.1% sampai dengan 0.2% (Söderquist et al. 1996; Al-Makhzoomi et al. 2008). Menurut Barth dan Oko (1989) jumlah spermatozoa dengan kelainan diadem ini dapat meningkat akibat stress karena cedera, kekurangan pakan, kondisi iklim yang ekstrim, serta beberapa kondisi lain yang tidak mendukung. Abnormalitas jenis diadem cenderung menyebabkan infertilitas, pejantan yang mempunyai fertilitas yang rendah ternyata pada semennya ditemukan abnormalitas diadem >80% (Miller et al. 1982). Berdasarkan hasil penelitian maka abnormalitas primer spermatozoa secara umum dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Dada et al. (2001) menyatakan abnormalitas spermatozoa akan menyebabkan terjadinya gangguan terhadap proses pembuahan. Ada dua kemungkinan yang terjadi terhadap kemampuan fertilitas seekor pejantan dengan persentase abnormalitas spermatozoa yang tinggi, pertama spermatozoa tidak dapat mencapai tempat
7 fertilisasi dan kedua spermatozoa tidak dapat membuahi sel telur atau mempertahankan perkembangan tahap awal embrio (Chenoweth 2005). Selain itu ditemukan juga beberapa abnormalitas primer spermatozoa yang apabila ditemukan tinggi di dalam semen akan dapat menurunkan fertilitas, akan tetapi abnormalitas morfologi spermatozoa dan fertilitas berbeda-beda antar bangsa (Al-Makhzoomi et al. 2007). Karakteristik Abnormalitas Primer Spermatozoa Pada Sapi Potong Berdasarkan Umur Sapi Berdasarkan bangsa sapi potong dan sebaran umur dari kelompok sapi dengan jumlah sampel lebih dari 10 ekor, ternyata tingkat abnormalitas primer spermatozoa tertinggi ditemukan pada sapi-sapi yang berumur sembilan tahun ke atas yaitu pada sapi Simmental, Limousine dan Bali berturut-turut adalah 7.93, 7.49 dan 2.35%, sedangkan pada sapi Brahman ditemukan pada umur dua tahun (3.30%). Tetapi ditemukan juga tingkat abnormalitas primer spermatozoa >10% pada umur kurang dari sembilan tahun (Tabel 4). Tingkat abnormalitas primer spermatozoa sapi Simmental yang berumur 9 tahun berbeda nyata (p<0.05) dengan umur 2-3 tahun tetapi tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan umur 4-6 tahun. Akan tetapi tingkat abnormalitas primer spermatozoa yang berumur 9 tahun masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan 4-6 tahun. Pada sapi Limousine berumur 9 tahun, tingkat abnormalitas primer spermatozoa berbeda nyata (p<0.05) dengan umur 3-4 tahun. Pada sapi Brahman umur 2, 6 dan 9 tahun keatas serta Bali yang berumur 3, 4, 6 dan 9 tahun keatas, masing-masing tidak berbeda nyata (p>0.05). Tingginya abnormalitas primer spermatozoa pada sapi-sapi Simmental, dan Limousine yang berumur 9 tahun dapat disebabkan oleh terjadinya degenerasi sel pada saluran reproduksi jantan karena pengaruh penuaan. Sebelumnya Dowsett dan Knott (1996) melaporkan terjadinya peningkatan abnormalitas spermatozoa pada kuda berumur >11 tahun yang disebabkan oleh berkurangnya kemampuan proses spermatogenesis dan fungsi epididimis. Pernyataan ini diperkuat oleh Söderquist et al. (1996) bahwa terdapat pengaruh umur yang sangat signifikan terhadap abnormalitas primer spermatozoa dan total abnormalitas spermatozoa. Al-Makhzoomi et al. (2007) menyatakan bahwa
8 tingkat abnormalitas primer spermatozoa >10% akan dapat berpengaruh terhadap fertilitas. Oleh karena itu sangat tepat jika batasan umur penggunaan pejantan untuk produksi semen beku di Indonesia telah ditetapkan antara umur 6-7 tahun (Dirjennak 2007). Tidak ditemukannya perbedaan yang nyata tingkat abnormalitas primer spermatozoa pada sapi Brahman dan sapi Bali kemungkinan dipengaruhi oleh jumlah sampel yang diamati pada masing-masing umur sapi-sapi tersebut. Tabel 4 Tingkat abnormalitas primer spermatozoa pada empat bangsa sapi potong berdasarkan sebaran umur Bangsa Simmental Limousine Brahman Bali Umur Jumlah Abnormalitas (Range %) (tahun) (ekor) [mean± SEM (%)] ±0.49 c ±0.76 bc ±1.65 abc ±1.37 abc ±2.03 ab ±1.08 a ±0.58 b ±0.45 b ±1.97 a ±1.70 a ±0.10 a ±0.12 a ±0.74 a ±0.40 a ±0.17 a ±0.46 a Huruf berbeda mengikuti angka pada lajur yang sama berbeda nyata (P<0.05) Pada penelitian ini tingginya abnormalitas primer spermatozoa yang ditemukan pada sapi Brahman berumur dua tahun mungkin dipengaruhi oleh jumlah sampel pada sapi Brahman tersebut. Jumlah sampel pada masing-masing umur berkisar antara 2-3 ekor. Ditemukannya tingkat abnormalitas primer spermatozoa yang tinggi pada pejantan umur produksi 3-5 tahun telah diprediksi sebelumnya, dikarenakan sapi-sapi pejantan yang terdapat di BIB, hampir tidak
9 dilakukan evaluasi abnormalitas spermatozoa sebelumnya. Adanya pengaruh genetik, lingkungan dan manajemen pemeliharaan, memungkinkan abnormalitas spermatozoa dapat ditemukan pada umur yang lebih muda. Kejadian abnormalitas spermatozoa juga tidak berhubungan dengan penampilan kesehatan secara umum, sehingga tidak mudah dideteksi tanpa melalui analisis semen di laboratorium. Penelitian yang dilakukan oleh Miller et al. (1982) menemukan bahwa tingginya abnormalitas spermatozoa terkadang tidak ditunjukkan oleh adanya perubahan anatomi atau gangguan fungsional organ reproduksi, akan tetapi menunjukkan tingkat fertilitas yang rendah. Karakteristik Abnormalitas Primer Spermatozoa Pada Sapi Perah Berdasarkan Umur Sapi Pengamatan abnormalitas primer spermatozoa pada sapi perah dikelompokkan berdasarkan tiga kelompok umur (Gambar 5), dimana jumlah sampel dari masing-masing kelompok, yaitu umur 2 tahun 3 ekor, 3 tahun 14 ekor dan 9 tahun keatas 2 ekor. Hasil analisis menunjukkan abnormalitas primer spermatozoa tertinggi pada umur 2 tahun (6.53%) dan terendah pada umur 3 tahun (2.24%). Berdasarkan analisis sidik ragam, tingkat abnormalitas primer spermatozoa pada sapi perah umur 2 tahun tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan umur 9 tahun, akan tetapi tingkat abnormalitas primer spermatozoa pada umur 2 tahun masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan umur 3 dan 9 tahun. Abnormalitas (%) Umur (tahun) Gambar 5 Abnormalitas primer sapi perah di BIB Indonesia Keterangan ; 1= umur 2 thn, 2=umur 3 thn, 3=umur 9 thn
10 Menurut Al-Makhzoomi et al. (2008) menemukan adanya korelasi antara abnormalitas primer spermatozoa >10% dengan fertilitas pada sapi perah Swedia. Pada penelitian ini, abnormalitas primer spermatozoa secara individu ditemukan sebesar 18.2% pada pejantan umur 2 tahun. Tingginya abnormalitas primer spermatozoa umur 2 tahun menunjukkan adanya kemungkinan abnormalitas primer dapat terjadi pada umur muda. Selain itu abnormalitas individu seekor pejantan juga dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti stress (Barth & Oko 1989; Söderquist et al. 1996), genetik dan gangguan pada tubuli seminiferi (Barth & Oko 1989). Secara umum pejantan di BIB dipelihara dengan nutrisi pakan, perkandangan dan perawatan kesehatan yang baik, serta telah melalui tahapan seleksi yang cukup ketat, sehingga sudah selayaknya abnormalitas primer spermatozoa ditemukan dalam jumlah rendah. Ditemukannya individu yang diproduksi semennya dengan abnormalitas primer lolos dalam proses produksi dan distribusi menunjukkan pengamatan morfologi spermatozoa penting dilakukan. Hal ini mengingat banyaknya penelitian yang menemukan abnormalitas primer spermatozoa >10% berkorelasi dengan fertilitas, diantaranya pada anjing (Freshman 2002) dan pada sapi perah (Al-Makhzoomi et al. 2007; Al-Makhzoomi et al. 2008). Selain itu juga akan menurunkan keberhasilan program inseminasi buatan (Sarder 2004; Saacke 2008). Pada penelitian ini tidak ditemukan adanya pengaruh peningkatan umur terhadap tingginya abnormalitas primer spermatozoa, meskipun menurut Söderquist et al. (1996) terdapat korelasi antara peningkatan umur dengan jumlah abnormalitas primer spermatozoa. Hal ini mungkin disebabkan oleh sedikitnya jumlah sampel pada umur 9 tahun, sehingga tidak memperlihatkan adanya korelasi tersebut. Jumlah dan Jenis Abnormalitas Primer Spermatozoa Berdasarkan Bangsa Sapi Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan (p>0.05), jumlah abnormalitas primer spermatozoa pada lima bangsa sapi (jumlah sampel lebih >10 ekor), dimana jumlah abnormalitas masing-masing untuk Simmental, Limousine, FH, Brahman dan Bali berturut-turut adalah 4.58±0.75, 3.56±1.22, 2.65±1.12, 2.60±1.01 dan 1.85±0.64%. Berdasarkan jenis abnormalitas primer spermatozoa,
11 bentuk pearshape merupakan jumlah yang paling banyak (p<0.05) ditemukan pada setiap bangsa sapi dan bentuk pearshape pada Simmental tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan Limousine serta Brahman, akan tetapi lebih tinggi (p<0.05) jika dibanding dengan Bali dan Friesian Holstein. Tidak terdapat perbedaan nyata (p>0.05) antara 12 jenis abnormalitas primer spermatozoa lainnya (Tabel 5). Tabel 5 Jenis abnormalitas primer spermatozoa pada sapi pejantan Bangsa Sapi Jenis Abnormalitas Bali Simmental Limousine Brahman FH Rataan (n=22) (n=70) (n=30) (n=12) (n=22) Pearshape 0.87±0.23 ba 2.81±0.36 aa 2.13±0.67 aba 1.38±0.46 aba 0.86±0.22 ba 2.02±0.22 Narrow at the base 0.05±0.03 bb 0.51±0.10 ab 0.26±0.07 abb 0.10±0.04 bb 0.29±0.14 abbc 0.34±0.05 Narrow 0.17±0.04 bb 0.20±0.03 bc 0.15±0.03 bb 0.10±0.06 bb 0.42±0.14 ab 0.21±0.03 Abnormal contour 0.14±0.10 ab 0.17±0.02 ac 0.06±0.03 ab 0.08±0.04 ab 0.19±0.12 abc 0.14±0.03 Underdevelope 0.06±0.02 ab 0.17±0.05 ac 0.27±0.09 ab 0.03±0.02 ab 0.16±0.12 abc 0.16±0.03 Round head 0.01±0.01 ab 0.07±0.03 ac 0.11±0.05 ab 0.03±0.03 ab 0.04±0.02 ac 0.06±0.02 Macrocephalus 0.04±0.02 bb 0.01±0.01 bc 0.03±0.01 bb 0.10±0.06 ab 0.06±0.02 abc 0.03±0.01 Microcephalus 0.05±0.02 ab 0.16±0.04 ac 0.09±0.03 ab 0.08±0.03 ab 0.15±0.12 abc 0.12±0.02 Double head 0.01±0.01 ab 0.01±0.01 ac 0.01±0.01 ab 0.00±0.00 ab 0.03±0.02 ac 0.01±0.00 Abaxial 0.15±0.07 abb 0.11±0.03 bc 0.07±0.03 bb 0.30±0.11 ab 0.13±0.07 bbc 0.13±0.02 KA defect 0.15±0.05 ab 0.13±0.04 ac 0.20±0.12 ab 0.15±0.04 ab 0.17±0.04 abc 0.16±0.03 Detached head 0.00±0.00 ab 0.02±0.01 ac 0.04±0.03 ab 0.00±0.00 ab 0.01±0.01 ac 0.02±0.01 Diadem 0.14±0.04 ab 0.21±0.04 ac 0.14±0.06 ab 0.23±0.12 ab 0.14±0.07 abc 0.18±0.03 Total 1.85±0.64 a 4.58±0.75 a 3.56±1.22 a 2.60±1.01 a 2.65±1.12 a Nilai dinyatakan sebagai mean±sem (%); Huruf kecil untuk baris dan huruf kapital untuk kolom ; Huruf berbeda mengikuti angka pada kolom dan baris yang sama berbeda nyata (P<0,05) Jenis abnormalitas spermatozoa pearshape pada sapi Simmental berbeda nyata (p<0.05) dengan sapi Bali dan FH, akan tetapi tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan sapi Limousine dan Brahman. Namun demikian abnormalitas primer spermatozoa pearshape sapi Limousine dan Brahman tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan sapi Bali dan Friesian Holstein. Abnormalitas pearshape merupakan jenis yang lebih sering ditemukan pada semen seekor pejantan. Sarder (2004) pada sapi-sapi perah di Bangladesh, melaporkan abnormalitas pearshape berkisar antara 0.35±0.2% sampai dengan 0.93±0.1%, sedangkan Al-Makhzoomi et al. (2008) pada sapi-sapi perah Swedia berkisar antara 1.2± ±5.5%. Barth dan Oko (1989) menyatakan bahwa
12 abnormalitas pearshape biasa ditemukan dalam jumlah kecil pada semen sapi pejantan dengan fertilitas yang baik. Tingginya abnormalitas pearshape pada individu pejantan harus ditindak lanjuti dengan evaluasi berkala dan pengamatan yang intensif mengingat laporan penelitian sebelumnya oleh Barth dan Oko (1989), jenis abnormalitas ini dapat menurunkan fertilitas apabila ditemukan dalam jumlah yang cukup tinggi. Pendapat tersebut diperkuat oleh Al-Makhzoomi et al. (2008) yang menemukan korelasi negatif abnormalitas pearshape terhadap tingkat fertilitas. Pada kebanyakan kasus abnormalitas spermatozoa bentuk pearshape, disebabkan oleh kondisi abnormal akibat perubahan fungsi testis, seperti gangguan pengaturan temperatur testis atau gangguan hormonal (Barth & Oko 1989). Beberapa peneliti melaporkan kelainan ini bersifat genetik (Barth et al. 1992; Chenoweth 2005). Tingginya perbedaan abnormalitas spermatozoa pearshape pada berbagai jenis sapi dapat disebabkan oleh tingginya variasi jumlah sampel yang diamati, seperti keseragaman umur, lingkar skrotum, bangsa sapi dan berat badan, hal ini dapat terlihat dari tingginya ragam hasil. Tingkat Abnormalitas Primer Spermatozoa Antara bos taurus dan bos indicus Sapi-sapi yang ada dibalai IB Indonesia, selain sapi bali (bos sondaicus) terdapat sapi-sapi bukan asli Indonesia seperti Bos taurus (FH, Simmental, Limousine dan Angus) dan Bos indicus (Brahman dan Ongole). Sapi-sapi tersebut didatangkan untuk tujuan meningkatkan kualitas genetik. Pada penelitian ini, berdasarkan pengelompokkan B.taurus meliputi Simmental, Limousine, Angus dan FH sebanyak 34 ekor sedangkan B.indicus hanya berasal dari Brahman sebanyak delapan ekor (Tabel 6). Dari hasil tersebut, tanpa membedakan umur, abnormalitas primer spermatozoa sapi B.taurus lebih tinggi (6.81%) dibandingkan dengan B.indicus (3.13%). Hasil sidik ragam tingkat abnormalitas primer spermatozoa berdasarkan B.taurus dan B.indicus terdapat perbedaan nyata (p<0.05) dimana tingkat abnormalitas primer spermatozoa pada B.taurus lebih tinggi dibandingkan dengan B.indicus, hasil ini menguatkan laporan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sarder (2004), yang juga menemukan perbedaan yang nyata tingkat abnormalitas primer dan
13 total abnormalitas spermatozoa antara sapi Friesian (B.taurus) dan sapi Sahiwal (B.indicus). Sebelumnya Söderquist et al. (1996) telah melaporkan adanya pengaruh bangsa dan umur terhadap tingkat abnormalitas spermatozoa. Tabel 6 abnormalitas primer spermatozoa berdasarkan bos taurus dan bos indicus No. Jenis sapi Jumlah (ekor) Total abnormalitas (%) Bos Taurus ±0.79 a 1 Range ( ) Bos Indicus ±0.76 b 2 Range ( ) Nilai dinyatakan sebagai mean±sem (%) Huruf yang sama mengikuti angka pada lajur yang sama tidak berbeda nyata (P>0.05) Hansen (2004) menemukan sapi-sapi dari golongan B.indicus mempunyai daya tahan selular terhadap peningkatan temperatur dibandingkan dengan B.taurus, sehingga heat stress tidak begitu berpengaruh terhadap B.indicus dibandingkan dengan B.taurus. Setchell (1978), diacu dalam Hansen (2004) menyatakan heat stress dapat meningkatkan temperatur testis, sehingga lebih lanjut berakibat mengganggu proses spermatogenesis. Brito et al. (2004) membandingkan antara anatomi testis antara B.indicus dan B.taurus hasilnya ternyata B.indicus mempunyai arteri testis yang lebih panjang dengan ketebalan jarak dinding arteri dan vena lebih tipis serta lebih dekat, sehingga proses termoregulatoris testis dapat lebih baik sehingga temperatur testis lebih rendah dibandingkan dengan B.taurus. Tingkat Abnormalitas Primer Spermatozoa Antar BIB Sampel semen sapi pejantan dari beberapa BIB yang dipergunakan untuk melakukan pengamatan abnormalitas primer spermatozoa berasal dari sapi-sapi yang berumur 5.4±3.0 tahun. Dari 164 sampel semen yang diamati 11 ekor (6.7%) menunjukkan abnormalitas spermatozoa primer >10% terdiri atas sapi potong 10 ekor dan sapi FH 1 ekor. Tingkat abnormalitas primer spermatozoa tertinggi ditunjukkan oleh BIB H (8.57%), sedangkan terendah ditunjukkan oleh BIB A (1.58±%) (Tabel 7).
14 Tabel 7 abnormalitas primer spermatozoa antar BIB BIB Jumlah sample (ekor) Abnormalitas (%) Kisaran (%) A ± 0.94 e B ± 4.34 abcd C ± 2.09 de D ± 3.29 abc E ± 3.96 bcde F ± ab G ± 2.50 de H ± 5.03 a I ± 4.58 abcd J ± 2.96 de K ± 2.19 cde L ± 0.99 de M ± 6.25 abcde N ± 0.46 de Nilai dinyatakan sebagai mean±sem Huruf berbeda mengikuti angka pada lajur yang sama berbeda nyata (P<0.05) Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat abnormalitas antara balai inseminasi buatan. Tingkat abnormalitas primer spermatozoa BIB H berbeda sangat nyata (p<0.01) dengan BIB A, C, E, G, J, K, L, dan N. Selanjutnya tingkat abnormalitas primer spermatozoa pada BIB H tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan BIB B, D, F, I dan M, namun tingkat abnormalitas primer spermatozoa pada BIB H masih lebih tinggi dari BIB tersebut. Dari hasil penelitian ini ditemukan 42.85% BIB memiliki sapi-sapi dengan tingkat abnormalitas primer spermatozoa 10%. Kondisi ini dapat disebabkan karena pengamatan morfologi spermatozoa saat evaluasi semen tidak dilakukan. Hal ini dapat terjadi karena evaluasi morfologi spermatozoa belum secara tegas disampaikan pada petunjuk teknis pengawasan mutu semen beku sapi dan kerbau, ataupun yang tercantum dalam Standar Nasional Indonesia (SNI ) yang merupakan peraturan dari Direktur Jenderal Peternakan (Dirjennak)(BSN 2005). Padahal jika dicermati di dalam SNI tersebut telah tercantum sumber pustaka yang menyebutkan bahwa tingkat abnormalitas spermatozoa sapi harus kurang dari 20%. Sebab lain adalah keterbatasan Sumber daya manusia (SDM) untuk melakukan evaluasi tersebut.
15 Ditemukannya abnormalitas primer spermatozoa yang tinggi pada sapi yang dikoleksi semennya untuk produksi semen beku, menunjukkan terdapatnya semen beku (straw) yang diproduksi dan didistribusi mempunyai abnormalitas primer spermatozoa. Penemuan tingkat abnormalitas primer spermatozoa yang tinggi di BIB ini, menunjukkan sudah saatnya evaluasi morfologi abnormalitas spermatozoa dilakukan dan dimasukkan sebagai bagian dari evaluasi semen pada petunjuk teknis produksi semen beku. Menurut Al-Makhzoomi et al. (2008) evaluasi morfologi spermatozoa pada pejantan di BIB sangat penting dilakukan secara rutin (setiap 2 sampai dengan 3 bulan sekali untuk melihat pengaruh nyata perubahan musim) sehingga dapat diketahui setiap kemungkinan terjadinya abnormalitas spermatozoa. Seharusnya evaluasi morfologi spermatozoa dilakukan saat pejantan untuk pertama kali memasuki BIB, jika ada perubahan dalam komposisi pakan atau jika sapi tersebut sakit dengan suhu tinggi dalam waktu yang lama. Jika hal tersebut tidak dilakukan maka kemungkinan semen dari pejantan dengan abnormalitas yang tinggi akan diproduksi dan strawnya akan distribusikan, sehingga dikhawatirkan dapat mempengaruhi keberhasilan inseminasi serta menurunkan kualitas pedet yang dilahirkan dan akan mempengaruhi peningkatan populasi ternak. Oleh karena itu untuk menghindari terjadinya produksi semen beku dari pejantan yang mempunyai tingkat abnormalitas tinggi, perlu dilakukan program seleksi pejantan yang lebih ketat dan juga peningkatan kualitas SDM yang bekerja di balai inseminasi buatan. Program seleksi dapat mengacu pada standar-standar yang telah dipergunakan diberbagai negara dengan tingkat keberhasilan IB yang tinggi, diantaranya melalui metode BSE dengan beberapa modifikasi yang disesuaikan dengan kondisi ternak sapi di Indonesia. Dari paparan diatas secara keseluruhan tanpa melihat faktor individu, tingkat abnormalitas primer spermatozoa masih tergolong rendah dan semen umumnya layak untuk diproduksi. Tetapi secara individu terlihat ada 11 ekor yang seharusnya tidak digunakan sebagai sumber bibit, mengingat tujuan inseminasi buatan adalah untuk meningkatkan kualitas genetik dan efisiensi reproduksi pejantan (Ax et al. 2000; Foote 2002), sehingga sapi-sapi dengan
16 tingkat abnormalitas primer spermatozoa yang tinggi harus dikeluarkan dari balai inseminasi buatan. Korelasi Tingkat Abnormalitas Primer Spermatozoa Terhadap Fertilitas Angka konsepsi (CR) adalah jumlah sapi yang bunting dari hasil inseminasi yang pertama dinyatakan dalam bentuk persen. Pada penelitian ini hasil inseminasi pada 186 ekor betina dari delapan ekor pejantan terdapat korelasi negatif sebesar (r = -0.95, p<0.05) (Gambar 6). Terdapatnya korelasi negatif antara tingkat abnormalitas primer dengan CR ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat abnormalitas pada semen sapi tersebut, maka ada kecenderungan terjadi penurunan conception rate. Pada penelitian ini tidak membedakan jenis kelainan abnormalitas. Al Makhzoomi et al 2008 melaporkan adanya korelasi negatif abnormalitas primer spermatozoa terhadap fertilitas (r = -0.23, p<0.05) akan tetapi dengan parameter yang berbeda pada penelitian ini menggunakan CR sedangkan peneliti tersebut menggunakan non return rate (NRR) yaitu jumlah sapi-sapi yang tidak kembali minta kawin sampai dengan umur 56 hari setelah inseminasi, sehingga nilai korelasinya berbeda r = - 0,952, p Value = 0,048 Nilai CR (%) >3-6 2 >6-9 3 >9 4 5 Tingkat Abnormalitas (%) Gambar 6 korelasi tingkat abnormalitas primer spermatozoa dengan fertilitas Kelainan pada kepala spermatozoa akan mempengaruhi kemampuan spermatozoa untuk melakukan fertilisasi, atau kemungkinan fertilisasi dengan sel telur dapat terjadi akan tetapi selanjutnya tidak dapat berkembang membentuk
17 embrio lebih lanjut (Hawk 1988). Dengan alasan inilah, maka nilai CR dijadikan sebagai dasar untuk mengukur korelasi abnormalitas spermatozoa dengan fertilitas. Al-Makhzoomi et al. (2008), melaporkan korelasi antara jenis morfologi yang ditemukan dengan fertilitas. Hasilnya ternyata terdapat korelasi negatif abnormalitas spermatozoa pearshape (r = -0.55, p<0.01), loose head (r = -0.32, p<0.01), double coiled tails (r = -0.21, p<0.05) dan variable size (r = -0.27, p<0.05). Sebelumnya Al Makhzoomi et al. (2007) juga telah melaporkan korelasi negatif antara morfologi spermatozoa abnormal pada kepala dengan fertilitas, umummnya terjadi pada tingkat abnormalitas diatas 10%. Sedikitnya jumlah betina dalam pengujian korelasi abnormalitas primer spermatozoa dengan fertilitas ini disebabkan oleh sulitnya memperoleh data dilapangan. Sebenarnya dari BIB sudah ada kerjasama operasional (KSO) dengan pengguna (pemerintah daerah, koperasi pegawai negeri dan pihak swasta) akan tetapi kenyataannya dilapangan pencatatan keberhasilan IB tidak dilakukan, sehingga peneliti kesulitan untuk mendapatkan data fertilitas. Selain itu juga beberapa inseminator belum memiliki kemampuan untuk mendeteksi kebuntingan sehingga pemeriksaan kebuntingan (PKB) dilakukan oleh orang yang berbeda. Perbedaan petugas dan tidak tertibnya pencatatan dilapangan ini menyebabkan sulitnya penghitungan angka konsepsi dari betina sebagai akseptor IB dengan menggunakan semen beku yang telah teruji morfologinya pada penelitian sebelumnya Sulitnya mencari data keberhasilan program inseminasi ini juga telah dilaporkan oleh Prasojo et al. (2010), dimana hasil penelitiannya menunjukkan hanya 7.43% data hasil IB yang lengkap. Oleh karena itu, untuk ke depannya akan menjadi suatu catatan khusus bagi penyelenggaraan program tentang pentingnya pencatatan kegiatan, sehingga tolak ukur keberhasilan IB dapat dilihat secara nyata dan penelitian terhadap keberhasilan pelaksanaan dilapangan dapat dilakukan.
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
JENIS DAN TINGKAT ABNORMALITAS PRIMER PADA SPERMATOZOA SAPI PEJANTAN DI BEBERAPA BALAI INSEMINASI BUATAN DI INDONESIA MUHAMMAD RIYADHI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA Peranan Inseminasi Buatan (IB) dan Seleksi Pejantan Pada Sapi
TINJAUAN PUSTAKA Peranan Inseminasi Buatan (IB) dan Seleksi Pejantan Pada Sapi Inseminasi buatan merupakan bioteknologi yang pertama diterapkan untuk meningkatkan genetik dan reproduksi pada hewan ternak.
Lebih terperinciPENGUJIAN MORFOLOGI SPERMATOZOA SAPI BALI (Bos Sondaicus) MENGGUNAKAN PEWARNAAN "WILLIAMS"
PENGUJIAN MORFOLOGI SPERMATOZOA SAPI BALI (Bos Sondaicus) MENGGUNAKAN PEWARNAAN "WILLIAMS" [Sperm Morphology Assesment of Bali Bull Cattle Using "Williams" Stain] R.I. Arifiantini, T. Wresdiyati, dan E.F.
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. indicus yang berasal dari India, Bos taurus yang merupakan ternak keturunan
3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Potong Jenis sapi potong dapat dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu Bos indicus yang berasal dari India, Bos taurus yang merupakan ternak keturunan Eropa, dan Bos sondaicus
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Semen Segar Kelinci Lop dan Rex Evaluasi terhadap semen sangat diperlukan untuk memperoleh informasi mengenai kualitas semen. Informasi tersebut dapat digunakan sebagai
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dibagikan. Menurut Alim dan Nurlina ( 2011) penerimaan peternak terhadap
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Persepsi Peternak Terhadap IB Persepsi peternak sapi potong terhadap pelaksanaan IB adalah tanggapan para peternak yang ada di wilayah pos IB Dumati terhadap pelayanan IB
Lebih terperincimenghasilkan keturunan (melahirkan) yang sehat dan dapat tumbuh secara normal. Ternak yang mempunyai kesanggupan menghasilkan keturunan atau dapat
UKURAN KRITERIA REPRODUKSI TERNAK Sekelompok ternak akan dapat berkembang biak apalagi pada setiap ternak (sapi) dalam kelompoknya mempunyai kesanggupan untuk berkembang biak menghasilkan keturunan (melahirkan)
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Populasi dan produktifitas sapi potong secara nasional selama beberapa tahun terakhir menunjukkan kecenderungan menurun dengan laju pertumbuhan sapi potong hanya mencapai
Lebih terperinciI PENDAHULUAN. berasal dari daerah Gangga, Jumna, dan Cambal di India. Pemeliharaan ternak
1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kambing Peranakan Etawah atau kambing PE merupakan persilangan antara kambing kacang betina asli Indonesia dengan kambing Etawah jantan yang berasal dari daerah Gangga,
Lebih terperinciBAB VI TEKNOLOGI REPRODUKSI
SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TERNAK RIMUNANSIA BAB VI TEKNOLOGI REPRODUKSI KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Peranakan Ongole Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi lokal. Sapi ini tahan terhadap iklim tropis dengan musim kemaraunya (Yulianto
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Kebutuhan protein hewani di Indonesia semakin meningkat seiring dengan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kebutuhan protein hewani di Indonesia semakin meningkat seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya protein hewani bagi tubuh. Hal ini
Lebih terperinciTINGKAT KEBERHASILAN INSEMINASI BUATAN SAPI POTONG DI TINJAU DARI ANGKA KONSEPSI DAN SERVICE PER CONCEPTION. Dewi Hastuti
TINGKAT KEBERHASILAN INSEMINASI BUATAN SAPI POTONG DI TINJAU DARI ANGKA KONSEPSI DAN SERVICE PER CONCEPTION Dewi Hastuti Dosen Fakultas Pertanian Universitas Wahid Hasyim Abstrak Survai dilakukan terhadap
Lebih terperinciPENDAHULUAN. masyarakat Pesisir Selatan. Namun, populasi sapi pesisir mengalami penurunan,
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sapi Pesisir merupakan salah satu bangsa sapi lokal yang banyak dipelihara petani-peternak di Sumatra Barat, terutama di Kabupaten Pesisir Selatan. Sapi Pesisir mempunyai
Lebih terperinciPENANGANAN SEMEN DARI TEMPAT KOLEKSI KE LAB HINDARI SINAR MATAHARI LANGSUNG USAHAKAN SUHU ANTARA O C HINDARI DARI KOTORAN TERMASUK DEBU
PENANGANAN SEMEN DARI TEMPAT KOLEKSI KE LAB HINDARI SINAR MATAHARI LANGSUNG USAHAKAN SUHU ANTARA 32-35 O C HINDARI DARI KOTORAN TERMASUK DEBU PENANGANAN SEMEN DI LAB PERALATAN BERSIH WAKTU EVALUASI ( 15-30
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sapi potong merupakan salah satu ternak penghasil daging dan merupakan komoditas peternakan yang sangat potensial. Dalam perkembangannya, populasi sapi potong belum mampu
Lebih terperinciAnimal Agriculture Journal 3(2): , Juli 2014 On Line at :
On Line at : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/aaj PENGARUH UMUR TERHADAP UKURAN TESTIS, VOLUME SEMEN DAN ABNORMALITAS SPERMATOZOA PADA SAPI SIMMENTAL DI BALAI INSEMINASI BUATAN UNGARAN (Influence
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Evaluasi Semen Segar
HASIL DAN PEMBAHASAN Semen adalah cairan yang mengandung suspensi sel spermatozoa, (gamet jantan) dan sekresi dari organ aksesori saluran reproduksi jantan (Garner dan Hafez, 2000). Menurut Feradis (2010a)
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Teknologi Inseminasi Buatan (IB) atau dikenal dengan istilah kawin suntik pada
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Teknologi Inseminasi Buatan (IB) atau dikenal dengan istilah kawin suntik pada ternak sapi telah banyak diterapkan di Indonesia. Menurut SNI 4896.1 (2008),
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. kebutuhan sehingga sebagian masih harus diimpor (Suryana, 2009). Pemenuhan
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi potong merupakan salah satu ternak penghasil daging di Indonesia. Daging sapi merupakan salah satu sumber protein hewani yang banyak dibutuhkan konsumen, namun sampai
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Semen beku merupakan semen cair yang telah ditambah pengencer sesuai
3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Semen Beku Semen beku merupakan semen cair yang telah ditambah pengencer sesuai prosedur teknis pengawasan mutu bibit ternak kemudian dimasukkan ke dalam straw dan dibekukan
Lebih terperinciPembibitan dan Budidaya ternak dapat diartikan ternak yang digunakan sebagai tetua bagi anaknya tanpa atau sedikit memperhatikan potensi genetiknya. B
Budidaya Sapi Potong Berbasis Agroekosistem Perkebunan Kelapa Sawit BAB III PEMBIBITAN DAN BUDIDAYA PENGERTIAN UMUM Secara umum pola usahaternak sapi potong dikelompokkan menjadi usaha "pembibitan" yang
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Mekar, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Lokasi
IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum PT. UPBS Pangalengan 4.1.1. Kondisi Lingkungan Perusahaan PT. UPBS (Ultra Peternakan Bandung Selatan) berlokasi di Desa Marga Mekar, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. agar diperoleh efisiensi dan efektifitas dalam penggunaan pejantan terpilih,
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inseminasi Buatan (IB) adalah proses perkawinan yang dilakukan dengan campur tangan manusia, yaitu mempertemukan sperma dan sel telur agar dapat terjadi proses pembuahan
Lebih terperinciCARA MUDAH MENDETEKSI BIRAHI DAN KETEPATAN WAKTU INSEMINASI BUATAN (IB) PADA SAPI INSEMINASI BUATAN(IB).
CARA MUDAH MENDETEKSI BIRAHI DAN KETEPATAN WAKTU INSEMINASI BUATAN (IB) PADA SAPI INSEMINASI BUATAN(IB). Peningkatan produktifitas ternak adalah suatu keharusan, Oleh karena itu diperlukan upaya memotivasi
Lebih terperinciRENCANA KINERJA TAHUNAN
RENCANA KINERJA TAHUNAN BALAI EMBRIO TERNAK CIPELANG Tahun 2016 KEMENTERIAN PERTANIAN DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN BALAI EMBRIO TERNAK CIPELANG-BOGOR 1 RENCANA KINERJA TAHUNAN BALAI
Lebih terperinciBAB III MATERI DAN METODE. Ongole (PO) dan sapi Simmental-PO (SIMPO) dilaksanakan pada tanggal 25 Maret
BAB III MATERI DAN METODE Penelitian tentang evaluasi keberhasilan inseminasi buatan sapi Peranakan Ongole (PO) dan sapi Simmental-PO (SIMPO) dilaksanakan pada tanggal 25 Maret 2014 sampai 4 Mei 2014.
Lebih terperinciIdentifikasi Fenotipik Sapi Hitam- Peranakan Angus di Kabupaten Sragen
Identifikasi Fenotipik Sapi Hitam- Peranakan Angus di Kabupaten Sragen PENDAHULUAN Indonesia sudah mengenal teknologi Inseminasi Buatan (IB) sejak tahun 1952, aplikasi di peternak rakyat dimulai tahun
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. kualitas semen yang selanjutnya dapat dijadikan indikator layak atau tidak semen
19 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil evaluasi terhadap kualitas semen dimaksudkan untuk menentukan kualitas semen yang selanjutnya dapat dijadikan indikator layak atau tidak semen tersebut diproses lebih
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Hasil Evaluasi Karakteristik Semen Ayam Arab pada Frekuensi Penampungan yang Berbeda
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil evaluasi semen secara makroskopis (warna, konsistensi, ph, dan volume semen) dan mikroskopis (gerakan massa, motilitas, abnormalitas, konsentrasi, dan jumlah spermatozoa per
Lebih terperinciKESIMPULAN DAN SARAN. Kesimpulan. Hasil estimasi heritabilitas calving interval dengan menggunakan korelasi
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Hasil estimasi heritabilitas calving interval dengan menggunakan korelasi saudara tiri dan regresi anak-induk berturut turut 0,60±0,54 dan 0,28±0,52. Nilai estimasi heritabilitas
Lebih terperinciSERVICE PER CONCEPTION (S/C) DAN CONCEPTION RATE (CR) SAPI PERANAKAN SIMMENTAL PADA PARITAS YANG BERBEDA DI KECAMATAN SANANKULON KABUPATEN BLITAR
SERVICE PER CONCEPTION (S/C) DAN CONCEPTION RATE (CR) SAPI PERANAKAN SIMMENTAL PADA PARITAS YANG BERBEDA DI KECAMATAN SANANKULON KABUPATEN BLITAR Vivi Dwi Siagarini 1), Nurul Isnaini 2), Sri Wahjuningsing
Lebih terperinciPENDAHULUAN. pangan hewani. Sapi perah merupakan salah satu penghasil pangan hewani, yang
I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peternakan merupakan bagian penting dari sektor pertanian dalam sistem pangan nasional. Industri peternakan memiliki peran sebagai penyedia komoditas pangan hewani. Sapi
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. tepatnya yang berada di daerah Batur, Banjarnegara (Noviani et al., 2013). Domba
4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Domba Batur Domba Batur merupakan salah satu domba lokal yang ada di Jawa Tengah tepatnya yang berada di daerah Batur, Banjarnegara (Noviani et al., 2013). Domba Batur sangat
Lebih terperinciIV HASIL DAN PEMBAHASAN. menggunakan metode artificial vagaina (AV). Semen yang didapatkan kemudian
IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Semen Segar Kambing PE Semen ditampung dari satu ekor kambing jantan Peranakan Etawah (PE) menggunakan metode artificial vagaina (AV). Semen yang didapatkan kemudian
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Indonesia. Laju pertambahan penduduk yang terus meningkat menuntut
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Peningkatan produksi daging merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan ketahanan pangan sekaligus memajukan tingkat kecerdasan sumber daya manusia Indonesia.
Lebih terperinciPEDOMAN PELAKSANAAN UJI PERFORMAN SAPI POTONG TAHUN 2012
PEDOMAN PELAKSANAAN UJI PERFORMAN SAPI POTONG TAHUN 2012 DIREKTORAT PERBIBITAN TERNAK DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2012 KATA PENGANTAR Peningkatan produksi ternak
Lebih terperinciRENCANA KINERJA TAHUNAN
RENCANA KINERJA TAHUNAN BALAI EMBRIO TERNAK CIPELANG Tahun 2017 KEMENTERIAN PERTANIAN DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN BALAI EMBRIO TERNAK CIPELANG-BOGOR 1 RENCANA KINERJA TAHUNAN BALAI
Lebih terperincipenampungan [ilustrasi :1], penilaian, pengenceran, penyimpanan atau pengawetan (pendinginan dan pembekuan) dan pengangkutan semen, inseminasi, pencat
Problem utama pada sub sektor peternakan saat ini adalah ketidakmampuan secara optimal menyediakan produk-produk peternakan, seperti daging, telur, dan susu untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat akan
Lebih terperinciI PENDAHULUAN. pedesaan salah satunya usaha ternak sapi potong. Sebagian besar sapi potong
I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masyarakat pedesaan pada umumnya bermatapencaharian sebagai petani, selain usaha pertaniannya, usaha peternakan pun banyak dikelola oleh masyarakat pedesaan salah satunya
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi yang menyebar di berbagai penjuru dunia terdapat kurang lebih 795.
4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Potong Sapi yang menyebar di berbagai penjuru dunia terdapat kurang lebih 795. Walaupun demikian semuanya termasuk dalam genus Bos dari famili Bovidae (Murwanto, 2008).
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia. Sebagai ternak potong, pertumbuhan sapi Bali tergantung pada kualitas
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ternak Sapi Bali Sapi Bali merupakan plasma nutfah dan sebagai ternak potong andalan yang dapat memenuhi kebutuhan daging sekitar 27% dari total populasi sapi potong Indonesia.
Lebih terperinciPERFORMAN REPRODUKSI SAPI PERANAKAN ONGOLE DAN SAPI PERANAKAN LIMOUSINE DI KECAMATAN BERBEK KABUPATEN NGANJUK
PERFORMAN REPRODUKSI SAPI PERANAKAN ONGOLE DAN SAPI PERANAKAN LIMOUSINE DI KECAMATAN BERBEK KABUPATEN NGANJUK Fendi Candra Prasetyo Wibowo 1, Nurul Isnaini 2) dan Sri Wahjuningsih 2) 1. Mahasiswa Fakultas
Lebih terperinciBAB VIII PEMBIBITAN TERNAK RIMINANSIA
SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TERNAK RIMUNANSIA BAB VIII PEMBIBITAN TERNAK RIMINANSIA KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA
Lebih terperinciPUBERTAS DAN ESTRUS 32 Pubertas 32 Estrus 32 Waktu kawin 33
PUBERTAS DAN ESTRUS 32 Pubertas 32 Estrus 32 Waktu kawin 33 HORMON KEBUNTINGAN DAN KELAHIRAN 33 Peranan hormon dalam proses kebuntingan 33 Kelahiran 34 MASALAH-MASALAH REPRODUKSI 35 FERTILITAS 35 Faktor
Lebih terperinciF.K. Mentari, Y. Soepri Ondho dan Sutiyono* Program Studi S-1 Peternakan Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro
On Line at : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/aaj PENGARUH UMUR TERHADAP UKURAN EPIDIDIMIS, ABNORMALITAS SPERMATOZOA DAN VOLUME SEMEN PADA SAPI SIMMENTAL DI BALAI INSEMINASI BUATAN UNGARAN (The
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dengan kemajuan teknologi membawa pengaruh pada
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Perkembangan zaman dengan kemajuan teknologi membawa pengaruh pada peningkatan pendapatan, taraf hidup, dan tingkat pendidikan masyarakat yang pada akhirnya
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
14 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Semen Domba Segera Setelah Koleksi Pemeriksaan karakteristik semen domba segera setelah koleksi yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi pemeriksaan secara makroskopis
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan
1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kebutuhan daging sapi dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi termasuk dalam genus Bos yaitu dalam Bos taurus dan Bos indicus.
4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Potong Sapi termasuk dalam genus Bos yaitu dalam Bos taurus dan Bos indicus. Sapi potong adalah sapi yang dibudidayakan untuk diambil dagingnya atau dikonsumsi. Sapi
Lebih terperinciI PENDAHULUAN. dikembangkan di Indonesia. Sistem pemeliharannya masih dilakukan secara
1 I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kambing merupakan salah satu jenis ternak yang mudah dipelihara dan dikembangkan di Indonesia. Sistem pemeliharannya masih dilakukan secara tradisional. Salah satu bangsa
Lebih terperinci2013, No TARIF LAYANAN BADAN LAYANAN UMUM BALAI BESAR INSEMINASI BUATAN SINGOSARI PADA KEMENTERIAN PERTANIAN
6 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 119/PMK.05/2013 TENTANG TARIF LAYANAN BADAN LAYANAN UMUM BALAI BESAR INSEMINASI BUATAN SINGOSARI PADA KEMENTERIAN PERTANIAN TARIF LAYANAN
Lebih terperinciPEMBIBITAN SAPI BRAHMAN CROSS EX IMPORT DIPETERNAKAN RAKYAT APA MUNGKIN DAPAT BERHASIL?
PEMBIBITAN SAPI BRAHMAN CROSS EX IMPORT DIPETERNAKAN RAKYAT APA MUNGKIN DAPAT BERHASIL? Trinil Susilawati (email : Trinil_susilawati@yahoo.com) Dosen dan Peneliti Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya-
Lebih terperinciII KAJIAN KEPUSTAKAAN. dan sekresi kelenjar pelengkap saluran reproduksi jantan. Bagian cairan dari
6 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Karakteristik Semen Kambing Semen adalah cairan yang mengandung gamet jantan atau spermatozoa dan sekresi kelenjar pelengkap saluran reproduksi jantan. Bagian cairan dari suspensi
Lebih terperinciPENDAHULUAN. kebutuhan susu nasional mengalami peningkatan setiap tahunnya.
I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Produksi susu sangat menentukan bagi perkembangan industri susu sapi perah nasional. Susu segar yang dihasilkan oleh sapi perah di dalam negeri sampai saat ini baru memenuhi
Lebih terperinciEFISIENSI REPRODUKSI SAPI POTONG DI KABUPATEN MOJOKERTO. Oleh : Donny Wahyu, SPt*
EFISIENSI REPRODUKSI SAPI POTONG DI KABUPATEN MOJOKERTO Oleh : Donny Wahyu, SPt* Kinerja reproduksi sapi betina adalah semua aspek yang berkaitan dengan reproduksi ternak. Estrus pertama setelah beranak
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. manajemen. Pembibitan sapi perah dimaksudkan untuk meningkatkan populasi
3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pembibitan Sapi Perah Dalam kerangka budidaya sapi perah, pembibitan merupakan unsur yang tidak terpisahkan dari ketiga pilar bidang peternakan yaitu, pakan, bibit dan manajemen.
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Inseminasi Buatan pada Ayam Arab
HASIL DAN PEMBAHASAN Inseminasi Buatan pada Ayam Arab Ayam Arab yang ada di Indonesia sekarang adalah ayam Arab hasil kawin silang dengan ayam lokal. Percepatan perkembangbiakan ayam Arab dapat dipacu
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Umum Kelinci Tipe kecil ( small and dwarf breeds
TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Umum Kelinci Kelinci yang banyak diternakkan saat ini berasal dari kelinci liar (Orytolagus cuniculus) yang telah mengalami domestikasi, tersebar di kawasan Afrika Utara, Eropa,
Lebih terperinciPENGARUH BANGSA PEJANTAN TERHADAP PRODUKTIVITAS PEDET SAPI POTONG HASIL INSEMINASI BUATAN
PENGARUH BANGSA PEJANTAN TERHADAP PRODUKTIVITAS PEDET SAPI POTONG HASIL INSEMINASI BUATAN (Study Breed influence to the Productivity of Beef Cattle Calf from Artificial Insemination) MATHEUS SARIUBANG,
Lebih terperinciVIII. PRODUKTIVITAS TERNAK BABI DI INDONESIA
Tatap muka ke : 10 POKOK BAHASAN VIII VIII. PRODUKTIVITAS TERNAK BABI DI INDONESIA Tujuan Instruksional Umum : Mengetahui peranan ternak babi dalam usaha penyediaan daging. Mengetahui sifat-sifat karakteristik
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Flemish giant dan belgian hare dan berasal dari Amerika. Kelinci ini mempunyai
3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelinci New Zealand White Kelinci New Zealand White (NZW) merupakan kelinci hasil persilangan dari Flemish giant dan belgian hare dan berasal dari Amerika. Kelinci ini mempunyai
Lebih terperinciKAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari
II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Karakteristik Sapi perah Sapi perah (Bos sp.) merupakan ternak penghasil susu yang sangat dominan dibanding ternak perah lainnya dan sangat besar kontribusinya dalam memenuhi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan untuk membajak sawah oleh petani ataupun digunakan sebagai
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Sapi adalah salah satu hewan yang sejak jaman dulu produknya sudah dimanfaatkan oleh manusia seperti daging dan susu untuk dikonsumsi, dimanfaatkan untuk membajak
Lebih terperinciKAJIAN KEPUSTAKAAN. sangat besar dalam memenuhi kebutuhan konsumsi susu bagi manusia, ternak. perah. (Siregar, dkk, dalam Djaja, dkk,. 2009).
II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1. Karakteristik Sapi Perah FH (Fries Hollands) Sapi perah merupakan ternak penghasil susu yang sangat dominan dibandingkan dengan ternak perah lainnya. Sapi perah memiliki kontribusi
Lebih terperinciRENCANA KERJA TAHUNAN BALAI INSEMINASI BUATAN LEMBANG TAHUN 2018
RENCANA KERJA TAHUNAN BALAI INSEMINASI BUATAN LEMBANG TAHUN 2018 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Organisasi dan Tata Kerja Balai Inseminasi Buatan Lembang ditetapkan dengan Surat Keputusan (SK) Menteri
Lebih terperinciKeberhasilan IB menggunakan semen beku hasil sexing dengan metode sedimentasi putih telur pada sapi PO cross
Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan 24 (1): 72-76 ISSN: 0852-3581 Fakultas Peternakan UB, http://jiip.ub.ac.id/ Keberhasilan IB menggunakan semen beku hasil sexing dengan metode sedimentasi putih telur pada sapi
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA Bangsa Sapi
TINJAUAN PUSTAKA Bangsa Sapi Sapi adalah hewan sosial yang hidupnya berkelompok (Bouissou dan Boissy 2005), sedangkan bangsa sapi adalah sekumpulan ternak yang memiliki karakteristik tertentu yang sama.
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Entok (Cairina moschata) Entok (Cairina moschata) merupakan unggas air yang berasal dari Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Entok lokal memiliki warna bulu yang beragam
Lebih terperinciPENGARUH JENIS PENGENCER TERHADAP MOTILITAS DAN DAYA TAHAN HIDUP SPERMATOZOA SEMEN CAIR SAPI SIMMENTAL
PENGARUH JENIS PENGENCER TERHADAP MOTILITAS DAN DAYA TAHAN HIDUP SPERMATOZOA SEMEN CAIR SAPI SIMMENTAL Oleh Nurcholidah Solihati 1) dan Petrus Kune 2) 1) 2) Staf Dosen pada Fakultas Peternakan Universitas
Lebih terperinciPENGARUH LINGKAR SCROTUM DAN VOLUME TESTIS TERHADAP VOLUME SEMEN DAN KONSENTRASI SPERMA PEJANTAN SIMMENTAL, LIMOUSINE DAN BRAHMAN
PENGARUH LINGKAR SCROTUM DAN VOLUME TESTIS TERHADAP VOLUME SEMEN DAN KONSENTRASI SPERMA PEJANTAN SIMMENTAL, LIMOUSINE DAN BRAHMAN (The Effects of Scrotal Diameter and Testical Volume in Semen Volume and
Lebih terperinciPEMILIHAN DAN PENILAIAN TERNAK SAPI POTONG CALON BIBIT Lambe Todingan*)
PEMILIHAN DAN PENILAIAN TERNAK SAPI POTONG CALON BIBIT Lambe Todingan*) I. PENDAHULUAN Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (IPTEKS) dalam bidang peternakan, maka pengembangan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. kelamin sehingga tidak menimbulkan kematian pada anak atau induk saat
3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkawinan Perkawinan yang baik yaitu dilakukan oleh betina yang sudah dewasa kelamin sehingga tidak menimbulkan kematian pada anak atau induk saat melahirkan (Arif, 2015).
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Tempat Penelitian 4.1.1. Sejarah UPTD BPPTD Margawati Garut Unit Pelaksana Teknis Dinas Balai Pengembangan Perbibitan Ternak Domba atau disingkat UPTD BPPTD yaitu
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan salah satu penghasil protein hewani, yang dalam
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sapi perah merupakan salah satu penghasil protein hewani, yang dalam pemeliharaannya selalu diarahkan pada peningkatan produksi susu. Sapi perah bangsa Fries Holland (FH)
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
31 HASIL DAN PEMBAHASAN A. Keragaman Gen FSH Sub-unit Beta Sapi Bali Metode PCR-RFLP Amplifikasi Ruas Gen FSH sub-unit beta Pada penelitian ini kondisi PCR yang digunakan adalah denaturasi awal 94 o C
Lebih terperinciDAYA HIDUP SPERMATOZOA EPIDIDIMIS KAMBING DIPRESERVASI PADA SUHU 5 C
DAYA HIDUP SPERMATOZOA EPIDIDIMIS KAMBING DIPRESERVASI PADA SUHU 5 C Disajikan oleh : Hotmaria Veronika.G (E10012157) dibawah bimbingan : Ir. Teguh Sumarsono, M.Si 1) dan Dr. Bayu Rosadi, S.Pt. M.Si 2)
Lebih terperinciKAJIAN KEPUSTAKAAN. Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai
II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Sapi Perah Fries Holland (FH) Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai klasifikasi taksonomi sebagai berikut : Phylum Subphylum Class Sub class Infra class
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Latar Belakang. kelahiran anak per induk, meningkatkan angka pengafkiran ternak, memperlambat
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Reproduksi merupakan sifat yang sangat menentukan keuntungan usaha peternakan sapi perah. Inefisiensi reproduksi dapat menimbulkan berbagai kerugian pada usaha peterkan sapi
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Propinsi Lampung memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Propinsi Lampung memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk pengembangan ternak sapi potong. Kemampuan menampung ternak sapi di Lampung sebesar
Lebih terperinciREPRODUCTION PERFORMANCE OF LIMOUSIN CROSSBREED IN TANGGUNGGUNUNG DISTRICT TULUNGAGUNG REGENCY
REPRODUCTION PERFORMANCE OF LIMOUSIN CROSSBREED IN TANGGUNGGUNUNG DISTRICT TULUNGAGUNG REGENCY Anang Wahyu Eko S 1), Nurul Isnaini 2) and Sri Wahjuningsih 2) 1) Undergraduate Student at the Faculty of
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Permasalahan yang dihadapi Provinsi Jambi salah satunya adalah pemenuhan
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Permasalahan yang dihadapi Provinsi Jambi salah satunya adalah pemenuhan kebutuhan daging sapi yang sampai saat ini masih mengandalkan pemasukan ternak
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Populasi Sapi Pertambahan jumlah penduduk, meningkatnya kesejahteraan dan pendidikan masyarakat Indonesia, mengakibatkan permintaan akan produk peternakan semakin bertambah.
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA Sapi Pedaging
TINJAUAN PUSTAKA Sapi Pedaging Bangsa sapi pedaging di dunia dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu bangsa Sapi Kontinental Eropa, Sapi Inggris dan Sapi Persilangan Brahman (India). Bangsa sapi keturunan
Lebih terperinciPEDOMAN PELAKSANAAN OPTIMALISASI FUNGSI UNIT PEMBIBITAN DAERAH TAHUN 2015
PEDOMAN PELAKSANAAN OPTIMALISASI FUNGSI UNIT PEMBIBITAN DAERAH TAHUN 2015 Direktorat Perbibitan Ternak Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian-RI Jl. Harsono RM No. 3 Pasar
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Fisik Reproduksi Lele dumbo. Tabel 4 Karakteristik fisik reproduksi lele dumbo
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Fisik Reproduksi Lele dumbo Lele dumbo merupakan salah satu jenis ikan konsumsi air tawar yang memiliki bentuk tubuh memanjang, memiliki sungut dengan permukaan tubuh
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48/Permentan/PK.210/10/2016
- 679 - PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48/Permentan/PK.210/10/2016 TENTANG UPAYA KHUSUS PERCEPATAN PENINGKATAN POPULASI SAPI DAN KERBAU BUNTING DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. bagian selatan atau pesisir selatan Kabupaten Garut. Kecamatan Pameungpeuk,
IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kecamatan Pameungpeuk merupakan salah satu daerah yang berada di bagian selatan atau pesisir selatan Kabupaten Garut. Kecamatan Pameungpeuk, secara
Lebih terperinciKualitas Semen Kambing Peranakan Boer. Quality of Semen Crossbreed Boer Goat. M. Hartono PENDAHULUAN. Universitas Lampung ABSTRACT
Jurnal Penelitian Pertanian Terapan Vol. 10 (1):52-58 ISSN 1410 5020 Kualitas Semen Kambing Peranakan Boer Quality of Semen Crossbreed Boer Goat M. Hartono Universitas Lampung ABSTRACT The research was
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Sektor peternakan adalah sektor yang memberikan kontribusi tinggi dalam
9 II TINJAUAN PUSTAKA 1.1. Usahaternak Sektor peternakan adalah sektor yang memberikan kontribusi tinggi dalam pembangunan pertanian. Sektor ini memiliki peluang pasar yang sangat baik, dimana pasar domestik
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Latar Belakang. Sapi potong merupakan salah satu komoditas ternak yang potensial dan
PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi potong merupakan salah satu komoditas ternak yang potensial dan strategis untuk dikembangkan di Indonesia. Populasi ternak sapi di suatu wilayah perlu diketahui untuk menjaga
Lebih terperinciBAB II TIJAUAN PUSTAKA. penis sewaktu kopulasi. Semen terdiri dari sel-sel kelamin jantan yang dihasilkan
4 BAB II TIJAUAN PUSTAKA 2.1. Semen Semen merupakan suatu produk yang berupa cairan yang keluar melalui penis sewaktu kopulasi. Semen terdiri dari sel-sel kelamin jantan yang dihasilkan oleh testis dan
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Tujuan umum pembangunan peternakan, sebagaimana tertulis dalam Rencana Strategis (Renstra) Direktorat Jenderal Peternakan Tahun 2010-2014, adalah meningkatkan penyediaan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Sejarah Sapi Potong Sapi adalah hewan ternak terpenting dari jenis-jenis hewan ternak yang
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sejarah Sapi Potong Sapi adalah hewan ternak terpenting dari jenis-jenis hewan ternak yang dipelihara manusia sebagai sumber daging, susu, tenaga kerja, dan kebutuhan manusia
Lebih terperinciAgros Vol. 16 No. 1, Januari 2014: ISSN
Agros Vol. 16 No. 1, Januari 2014: 207-213 ISSN 1411-0172 TINGKAT KEBERHASILAN PROGRAM INSEMINASI BUATAN TERNAK SAPI POTONG DI DISTRIK NIMBOKRANG, JAYAPURA SUCCESS RATE OF CATTLE ARTIFICIAL INSEMINATION
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. dikembangkan di Indonesia. Bahkan untuk memenuhi kebutuhan daging di
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kerbau adalah salah satu ternak besar penghasil daging yang banyak dikembangkan di Indonesia. Bahkan untuk memenuhi kebutuhan daging di Indonesia dan untuk mengurangi
Lebih terperinciBAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat. Metode Penelitian
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul (BBPTU) Sapi Perah Baturraden, Kecamatan Baturraden, Kabupaten Purwokerto, Jawa Tengah. Penelitian
Lebih terperinciPENGARUH LAMA THAWING DALAM AIR ES (3 C) TERHADAP PERSENTASE HIDUP DAN MOTILITAS SPERMATOZOA SAPI BALI (Bos sondaicus)
PENGARUH LAMA THAWING DALAM AIR ES (3 C) TERHADAP PERSENTASE HIDUP DAN MOTILITAS SPERMATOZOA SAPI BALI (Bos sondaicus) The effect of Thawing Lenght in Ice Water (3 o C) to viability and motility of Bali
Lebih terperinciAbnormalitas spermatozoa domba dengan frekuensi penampungan berbeda
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 4, Juli 2015 ISSN: 2407-8050 Halaman: 930-934 DOI: 10.13057/psnmbi/m010449 Abnormalitas spermatozoa domba dengan frekuensi penampungan berbeda Spermatozoa
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus meningkat sehingga membutuhkan ketersediaan makanan yang memiliki gizi baik yang berasal
Lebih terperinci