KARAWANG DALAM BIOENERGI A

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KARAWANG DALAM BIOENERGI A"

Transkripsi

1 1 KLASIFIKASI KESESUAIAN LAHAN TANAMAN SINGKONG (Manihot utilissima) BERBASIS PRODUKSI DAN KADAR PATI DAERAH BOGOR, SUKABUMI DAN KARAWANG DALAM RANGKA PENGEMBANGAN BIOENERGI NURUL HIDAYAH A PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

2 2 ABSTRACT The classification of cassava (Manihot utilissima) land suitability with the basis of production and starch content in Bogor, Sukabumi, and Karawang for the development of bioenergy resources. Nurul Hidayah A Under the guidance of WIDIATMAKA, ATANG SUTANDI and MUHAMMAD HIKMAT Cassava (tapioca or manioc) is an annual tropical and subtropical tree of Euphorbiaceae family. The easiness in planting cassava leads people attracted to plant it. Moreover, it contains starch that can be used as a basic substance in producing bioethanol and as one of the bioenergy sources. The quality of cassava used as bioenergy source can be observed from its tuber production and starch concentration. Therefore, a cassava growth requirements needs to be paid more attention in order to meet the maximum productivity. The determination of land suitability criteria was using withdrawal limit method or also known as Boundary Line Method. This research was conducted in Bogor, Karawang and Sukabumi by withdrawing datas in several places. Laboratory observations were also done to measure starch concentration and to analyze the soil. The study is based on the correlation between cassava production level and its starch concentration and land's quality elements which spread in specific pattern that is restricted by the outline. The limit of land suitability criteria classes for each evaluated land qualities could be made by creating projection from the intersection of the outline limit (boundary line) with production partition/bulkhead. The boundary limit for cassava production is obtained from the maximum imprint production value (75 tons/ha) which are S1/S2 60 tons/ha, S2/S3 45 tons/ha, S3/N 18,75 tons/ha. The boundary limit for starc cassava concentration from maximum imprint production value (7,29 ton/ha) are S1/S2 5,83 tons/ha, S2/S3 4,37 tons/ha, S3/N 1,82 tons/ha. That limit will be used to make cassava suitability criteria classes. The exploration study that are conducted once withdrawing data and determining limit based on boundary withdrawal could be used for land suitability criteria formation. Correlation pattern between land quality parameter and cassava production and its starch consentration that relatively the same, portrayed that there is interconnectedness between the cassava production and its starch concentration Keyword : Cassava, Land suitability, Boundary line methods

3 3 RINGKASAN Klasifikasi kesesuaian lahan tanaman singkong (Manihot utilissima) berbasis produksi dan kadar pati daerah Bogor, Sukabumi, dan Karawang dalam rangka pengembangan sumber bioenergi. Nurul Hidayah A Di bawah bimbingan WIDIATMAKA, ATANG SUTANDI dan MUHAMMAD HIKMAT Singkong (ketela pohon atau ubi kayu) adalah pohon tahunan tropika dan subtropika dari keluarga Euphorbiaceae. Singkong merupakan umbi atau akar pohon yang memiliki diameter dan panjang yang beragam tergantung dari jenis singkong yang ditanam. Kemudahan dalam menanam singkong menjadi daya tarik masyarakat untuk menanam singkong. Selain itu, singkong mengandung pati yang dapat dijadikan sebagai bahan dasar pembuatan bioetanol dan salah satu sumber bioenergi. Kualitas tanaman singkong yang digunakan sebagai sumber bioenergi dapat dilihat dari produksi umbi dan kadar patinya. Oleh karena itu, syarat tumbuh singkong perlu lebih diperhatikan agar produktifitasnya maksimum. Penelitian ini bertujuan untuk : (1) Mempelajari pola hubungan antara beberapa parameter kualitas lahan dengan produksi tanaman singkong dan kadar pati singkong. (2) Menetapkan kriteria kesesuaian lahan untuk beberapa parameter kualitas lahan yang berkaitan dengan produksi tanaman singkong dan kadar pati singkong di wilayah penelitian. Penetapan kriteria kesesuaian lahan ini menggunakan metode penarikan batas yang dikenal dengan Boundary Line Method. Penelitian ini dilaksanakan di Bogor, Karawang, dan Sukabumi dengan pengambilan data di beberapa titik. Pengamatan laboratorium dilakukan untuk pengukuran kadar pati dan analisis tanah. Penelitian didasarkan pada hubungan tingkat produksi tanaman singkong dan kadar pati singkong dengan unsur kualitas lahan yang menyebar dengan pola tertentu yang dibatasi oleh garis luar. Batas kriteria kelas kesesuaian lahan untuk setiap kualitas lahan yang dievaluasi dapat dibuat dengan membuat proyeksi dari perpotongan garis batas luar (boundary line) dengan sekat produksi. Batas sekat untuk produksi tanaman singkong dihasilkan dari nilai produksi teraan maksimum (75 ton/ha) yaitu S1/S2 60 ton/ha, S2/S3 45 ton/ha, S3/N 18,75 ton/ha. Sementara batas sekat untuk kadar pati singkong dari nilai kadar pati teraan maksimum (7,29 ton/ha) yaitu S1/S2 5,83 ton/ha, S2/S3 4,37 ton/ha, S3/N 1,82 ton/ha. Batas sekat tersebut akan digunakan untuk membuat kelas kriteria kesesuaian tanaman singkong. Studi ekplorasi yang dilakukan saat pengambilan data dan penetapan batas berdasarkan metode penarikan batas (Boundary Line Methods) dapat digunakan untuk pembentukan kriteria kesesuaian lahan. Pola hubungan antara parameter kualitas lahan dengan produksi tanaman singkong dan kadar pati relatif sama, menunjukkan bahwa ada keterkaitan antara produksi tanaman singkong dengan kadar pati.

4 4 KLASIFIKASI KESESUAIAN LAHAN TANAMAN SINGKONG (Manihot utilissima) BERBASIS PRODUKSI DAN KADAR PATI DAERAH BOGOR, SUKABUMI DAN KARAWANG DALAM RANGKA PENGEMBANGAN BIOENERGI Nurul Hidayah A SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

5 5 LEMBAR PENGESAHAN Judul Nama NIM : Klasifikasi kesesuaian lahan tanaman singkong (Manihot utilissima) berbasis produksi dan kadar pati daerah Bogor, Sukabumi, dan Karawang dalam rangka pengembangan sumber bioenergi : Nurul Hidayah : A Pembimbing I Menyetujui, Pembimbing II Dr. Ir. Widiatmaka, DAA Dr. Ir. Atang Sutandi, MSi NIP NIP Pembimbing III Ir. Muhammad Hikmat, MSi NIP Mengetahui, Ketua Departemen, Dr. Ir. Syaiful Anwar, MSc NIP Tanggal lulus :

6 6 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sukabumi pada tanggal 13 September Penulis adalah anak kedua dari dua bersaudara pasangan Bapak Dadin Syaripudin dan Ibu Yeyet Kusmiati. Penulis memulai masa sekolahnya pada tahun 1992 di TK Islam Al-Azhar Sukabumi hingga tahun Penulis melanjutkan studinya di SD Islam Al-Azhar Sukabumi dan selesai pada tahun Kemudian melanjutkan sekolah di Mts Darul Arqam hingga tahun 2003 dilanjutkan sekolah di MA Darul Arqam hingga tahun Selanjutnya penulis meneruskan pendidikan ke perguruan tinggi. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Setelah menjalani masa Tingkat Persiapan Bersama, penulis diterima di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan. Selama masa perkuliahan penulis aktif menjadi panitia di beberapa acara di Departemen Ilmu Tanah seperti Seminar Nasional, Masa Perkenalan Departemen, dan Soilidarity. Selain di kepanitiaan, penulis juga ikut berpartisipasi sebagai asisten praktikum mata kuliah, yaitu Geomorfologi dan Analisis landskap pada tahun ajaran 2009/2010.

7 7 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah swt berkat rahmat, kasih sayang, dan hidayahnya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Klasifikasi Kesesuaian Lahan Tanaman Singkong (Manihot utilissima) Berbasis Produksi dan Kadar Pati Daerah Bogor, Sukabumi, dan Karawang Dalam rangka Pengembangan Bioenergi ini dengan baik. Ucapan terimakasih kepada para dosen pembimbing Dr. Ir. Widiatmaka, DAA, Dr. Ir. Atang Sutandi, MSi dan Ir. Muhammad Hikmat, MSi atas kesabaran, bimbingan dan segala saran sejak dimulainya penelitian ini hingga skripsi selesai. Penelitian ini dibiayai melalui Program Insentif Ristek TA 2010, dengan peneliti utama Dr. Ir. Widiatmaka, DAA. Untuk itu, diucapkan terimakasih kepada Kementrian Negara Riset dan Teknologi RI. Pada kesempatan kali ini penulis juga ingin menyampaikan rasa terimakasih sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak, ibu tercinta yang selalu mendukung baik materi maupun spirit, yang tak henti berdoa untuk kelancaran penyusunan skripsi penulis. 2. Kakak tercinta Tia Agustiani yang selalu membantu dalam proses pembuatan skripsi ini. 3. Ir. Hermanu Widjaya, MSc selaku dosen penguji yang telah memberikan berbagai masukan. 4. Pak Halim yang tak henti memberikan masukan dan bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi. 5. Para dosen Ilmu tanah dan Sumberdaya Lahan yang telah memberikan berbagai macam ilmu di bangku perkuliahan. 6. Kepada para pengurus lab yang bersedia berbagi ilmu dalam analisis. 7. Kepada keluarga besar tante dan om yang memberkan semangat tak henti. 8. Kepada Imam Ismail dan Aprianto T atas doa dan dukungannya selama berlangsungnya penelitian ini. 9. Kepada sahabat-sahabat Rahmi, Anissa R, Miranty, Nailah, Mawar, Melly dan Puti yang tak henti memberikan semangat. 10. Kepada para maleaers Izha, Dede, Ceu Reres, Ipeh, Aan, Nurul, dan Dina atas segala perhatian dan doa.

8 8 11. Para rekan seperjuangan, mahasiswa Ilmu Tanah angkatan 43 anggota DR, para Mpo-mpo, Ivong, Popy, Luluk, Laras, Mike, Ajang, Sony, Adi, Sabda, dan lainnya yang tak dapat disebutkan satu persatu terimakasih banyak. Bogor, Februari 2011 penulis

9 9 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... i DAFTAR GAMBAR... ii DAFTAR LAMPIRAN... iv I. PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan... 2 II. TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi Tanaman Singkong (Manihot utilissima) Syarat Tumbuh Singkong Iklim Media Tanam Ketinggian Tempat Singkong Sebagai Biodiesel Pati Tanaman Singkong Lahan Karakteristik Lahan Kualitas Lahan Klasifikasi Lahan Pengertian Kesesuaian Lahan Boundary Line Methods Metode Pembatasan Minimum III. BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Pengambilan Sampel Tanah dan Umbi Singkong Metode Analisis... 14

10 Analisis Data untuk Penentuan Kelas Kesesuaian Lahan Peneraan Umur untuk Produksi Singkong Model Penarikan Batas Kriteria Kesesuaian Lahan Perumusan Batas Kesesuaian Lahan IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN Bogor Formasi Geologi Jenis Tanah Kelas Lereng Ketinggian Sukabumi Formasi Geologi Jenis Tanah Kelas Lereng Ketinggian Karawang Formasi Geologi Jenis Tanah Kelas Lereng Ketinggian V. HASIL DAN PEMBAHASAN Budidaya Singkong Produksi Singkong Teraan Produksi Pati Singkong Teraan Penetapan Kriteria Kesesuaian Lahan Berdasarkan Produksi Singkong dan Produksi Pati Singkong... 41

11 Hubungan Produksi Singkong dan Produksi Pati Singkong dengan Elevasi Hubungan Produksi Singkong dan Produksi Pati Singkong dengan Media Perakaran Hubungan Produksi Singkong dan Produksi Pati Singkong dengan Retensi Hara Hubungan Produksi Singkong dan Produksi Pati Singkong dengan Kondisi Terrain Hubungan Produksi Singkong dan Produksi Pati Singkong dengan Toksisitas Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Singkong Perbandingan Data Analisis Sampel Bogor Berdasarkan Kriteria Karakteristik Lahan dan Kriteria Produksi VI. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 62

12 i DAFTAR TABEL Nomor Judul Halaman 1. Nilai kalori berbagai tanaman penghasil karbohidrat Potensi beberapa tanaman sebagai bahan baku etanol Komposisi kimia singkong Sekat produksi singkong untuk kelas kesesuaian lahan Sekat produksi pati singkong untuk kelas kesesuaian lahan Selang nilai elevasi untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi singkong dan produksi pati singkong Selang kadar liat untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi singkong dan produksi pati singkong Selang kadar pasir untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi singkong dan produksi pati singkong Selang kelas tekstur untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi singkong dan produksi pati singkong Selang nilai ph untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi singkong dan produksi pati singkong Selang nilai C-organik untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi singkong dan produksi pati singkong Selang nilai KTK untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi singkong dan produksi pati singkong Selang nilai KB untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi singkong dan produksi pati singkong Selang nilai kemiringan lereng untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi singkong dan produksi pati singkong Selang nilai Al-dd untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi singkong dan produksi pati singkong Kriteria klasifikasi kesesuaian lahan berbasis produksi singkong Kriteria klasifikasi kesesuaian lahan berbasis broduksi pati singkong Data kelas kesesuaian sampel Bogor berdasarkan produksi singkong dan karakteristik lahan... 54

13 ii DAFTAR GAMBAR Nomor Judul Halaman 1. Alur logik penyusunan kesesuaian lahan (FAO, 1976) Peta sebaran titik pengamatan Bogor Peta geologi Bogor Peta tanah Bogor Peta kelas lereng Kabupaten Bogor Peta sebaran ketinggian Bogor Peta sebaran titik pengamatan Sukabumi Peta geologi Sukabumi Peta tanah Sukabumi Peta sebaran ketinggian Sukabumi Peta sebaran titik pengamatan Karawang Peta geologi Karawang Peta tanah Karawang Peta sebaran ketinggian Karawang Hubungan umur dengan produksi singkong Hubungan umur dengan produksi pati singkong Hubungan antara produksi singkong teraan dan produksi pati singkong teraan dengan elevasi Hubungan antara produksi singkong teraan dan produksi pati singkong teraan dengan tekstur Hubungan antara produksi singkong teraan dan produksi pati singkong teraan dengan ph H2O Hubungan antara produksi singkong teraan dan produksi pati singkong teraan dengan C-orgnik Hubungan antara produksi singkong teraan dan produksi pati singkong teraan dengan KTK Hubungan antara produksi singkong teraan dan produksi pati singkong teraan dengan KB Hubungan antara produksi singkong teraan dan produksi pati singkong teraan dengan kemiringan lereng Hubungan antara produksi singkong teraan dan produksi pati singkong teraan dengan Al Peta kesesuaian lahan tanaman singkong berdasarkan kriteria kesesuaian lahan berbasis produksi... 53

14 26. Peta kesesuaian lahan tanaman singkong berdasarkan kriteria kesesuaian lahan Badan Litbang Deptan iii

15 iv DAFTAR LAMPIRAN Nomor Judul Halaman 1. Blanko pengamatan Lokasi titik pengamatan Bogor Tabel kondisi umum pada titik pengamatan Bogor Lokasi titik pengamatan Sukabumi Tabel kondisi umum pada titik pengamatan Sukabumi Lokasi titik pengamatan Karawang Tabel kondisi umum pada titik pengamatan Karawang Data pengamatan lapang, tanah, dan data produksi teraan Hasil analisis laboratorium kadar pati... 69

16 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan Atlas Arahan Tata Ruang Pertanian Nasional (Puslitbangtanak, 2001) Indonesia mempunyai wilayah daratan yang cukup luas sekitar 188,2 juta ha, yang terdiri dari 148 juta ha lahan kering dan 40,2 juta ha lahan basah. Wilayah Indonesia ini memiliki sifat tanah, fisiografi, elevasi, iklim, dan lingkungan yang beragam serta tanahnya yang berasal dari berbagai macam bahan induk. Oleh karena itu, Indonesia berpotensi untuk memproduksi berbagai komoditas. Salah satu komoditas yang sangat potensial untuk ditanam adalah singkong atau yang dikenal sebagai ketela pohon. Menurut Suprapti (2005), masyarakat Indonesia mengenal singkong sebagai bahan makanan pokok setelah beras dan jagung. Singkong memiliki berbagai manfaat lain yaitu daunnya dapat digunakan sebagai bahan sayuran, kayunya dapat digunakan sebagai kayu bakar, dan umbinya dapat digunakan sebagai obat. Selain itu, umbi singkong merupakan sumber pati yang cukup tinggi dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan dasar bioetanol (Kusumastuti, 2007). Seiring dengan isu nasional mengenai alternatif BBM (Bahan Bakar Minyak) maka energi alternatif yang dipilih adalah sumber-sumber terbarukan dan ramah lingkungan, tetapi harganya relatif terjangkau. Salah satu sumber yang memenuhi syarat tersebut adalah bahan tanaman (bio-fuel). Sumber bio-fuel yang cukup potensial dikembangkan di Indonesia adalah singkong (Manihot utilissima). Singkong dipilih karena masyarakat mengenal singkong sebagai tanaman yang mudah untuk ditanam dimanapun, baik di lahan kritis maupun di lahan subur. Selain itu, singkong merupakan tanaman yang sudah dikenal lama oleh petani Indonesia walaupun bukan tanaman asli Indonesia. Singkong pertama kali didatangkan oleh pemerintah kolonial Belanda pada awal abad ke-19 dari Amerika Latin. Karena sudah dikenal lama oleh petani Indonesia, pengembangan singkong untuk diolah menjadi bahan baku bioetanol tidak terlalu sulit. Indonesia adalah penghasil singkong terbesar keempat di dunia. Dari luas areal 1,24 juta ha

17 2 pada tahun 2005, produksi singkong Indonesia sebesar 19,5 juta ton (Yakinudin, 2010). Kemudahan dalam menanam singkong mengakibatkan terjadinya demam bertanam singkong tanpa perencanaan yang matang, baik dikalangan masyarakat (termasuk swasta dan BUMN) maupun pemerintah. Sebagian besar masyarakat beranggapan bahwa singkong adalah tanaman serba super yang dapat ditanam di mana saja dan seolah-olah tanpa memerlukan pemeliharaan. Karena itu tidak mengherankan jika semua daerah memprogramkan pengembangan singkong. Di satu sisi hal ini positif karena akan mempercepat tersedianya singkong sebagai bahan baku industri bio-fuel, tetapi di sisi lain dapat menimbulkan kekecewaan karena tingkat produktifitas yang diperhitungkan tidak tercapai akibat kesalahan pemilihan lokasi. Perlu disadari bahwa tingkat produktifitas dipengaruhi oleh potensi genetik, kondisi lingkungan, dan teknologi (manajemen) pengelolaan tanaman. Untuk itu, dibutuhkan kriteria yang akurat untuk pemilihan lahan penanaman singkong yang akan digunakan sebagai bioenergi yaitu dengan penentuan kelas kesesuaian berbasis produksi dan kadar pati untuk tanaman singkong. 1.2 Tujuan 1. Melihat pola hubungan antara beberapa parameter kualitas lahan dengan produksi singkong. 2. Melihat pola hubungan antara beberapa parameter kualitas lahan dengan produksi pati singkong. 3. Menghasilkan kriteria kesesuaian lahan pada beberapa parameter kualitas lahan dan kaitannya dengan produksi singkong dan produksi pati singkong di wilayah penelitian.

18 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Tanaman Singkong (Manihot utilissima) Singkong (Manihot utilissima), termasuk dalam Kingdom Plantae atau tumbuh-tumbuhan, Divisi Spermathophyta atau tumbuhan berbiji, Sub divisi Angiospermae atau berbiji tertutup, Kelas Dicotyledoneae atau biji berkeping dua, Ordo Euphorbiales, Family Euphorbiaceae, Genus Manihot, dan Spesies Manihot utilissima pohl dan Manihot esculenta Crantz sin. Singkong merupakan tanaman pangan yang berasal dari benua Amerika berupa perdu, memiliki nama lain ubi kayu, singkong, kasepe, dan dalam Bahasa Inggris cassava. Singkong termasuk famili Euphorbiaceae yang umbinya dimanfaatkan sebagai sumber karbohidrat dan daunnya dikonsumsi sebagai sayuran. Di Indonesia, singkong menjadi bahan pangan pokok setelah beras dan jagung (Lidiasari et al., 2006). Singkong merupakan umbi atau akar pohon yang panjang dengan diameter dan tinggi yang beragam tergantung dari varietas singkong yang ditanam. Daging umbinya berwarna putih kekuning-kuningan. Umbi singkong tidak tahan disimpan lama meskipun di dalam lemari pendingin. Gejala kerusakan ditandai dengan keluarnya warna biru gelap akibat terbentuknya asam sianida yang bersifat racun bagi manusia. Umbi singkong merupakan sumber energi yang kaya karbohidrat, namun sangat miskin protein. Sumber protein terdapat pada daun singkong karena mengandung asam amino dan metionin. Singkong merupakan salah satu sumber pati. Pati merupakan senyawa karbohidrat yang kompleks. Sebelum difermentasi, pati diubah menjadi glukosa, karbohidrat yang lebih sederhana. Dalam penguraian pati diperlukan bantuan cendawan Aspergillus sp. Cendawan ini akan menghasilkan enzim alfaamilase dan glikoamilase yang akan berperan dalam mengurai pati menjadi glukosa atau gula sederhana. Setelah menjadi gula baru difermentasi menjadi etanol (Kusumastuti, 2007).

19 4 2.2 Syarat Tumbuh Singkong Meningkatnya produktifitas tanaman singkong akan dipengaruhi oleh beberapa aspek karakteristik lahan yang menjadi syarat tumbuh. Bappenas (2009) mengeluarkan beberapa persyaratan tumbuh singkong berdasarkan iklim, media tanam, dan ketinggian Iklim Kondisi iklim yang menjadi syarat tumbuh singkong adalah : a) Curah hujan antara mm/tahun. b) Suhu udara minimal sekitar 10 0 C. Bila suhunya di bawah 10 0 C menyebabkan pertumbuhan tanaman sedikit terhambat, menjadi kerdil karena pertumbuhan bunga yang kurang sempurna. c) Kelembaban udara optimal antara 60-65%. d) Sinar matahari yang dibutuhkan sekitar 10 jam/hari terutama untuk kesuburan daun dan perkembangan umbinya Media Tanam Media tanam yang menjadi syarat tumbuh singkong adalah : a) Tanah yang paling sesuai adalah tanah yang berstruktur remah, gembur, tidak terlalu liat dan tidak terlalu poros serta kaya bahan organik. Tanah dengan struktur remah mempunyai tata udara yang baik, unsur hara lebih mudah tersedia dan mudah diolah. Pertumbuhan tanaman ketela pohon akan lebih baik dengan menggunakan tanah yang subur dan kaya bahan organik baik unsur makro maupun mikronya. b) Jenis tanah yang sesuai adalah jenis alluvial, latosol, podsolik merah kuning, mediteran, grumusol dan andosol. c) Derajat keasaman (ph) tanah yang sesuai berkisar antara 4,5-8,0 dengan ph ideal 5,8. Pada umumnya tanah di Indonesia ber-ph rendah (asam), yaitu berkisar 4,0-5,5, sehingga seringkali dikatakan cukup netral bagi suburnya tanaman ketela pohon.

20 Ketinggian Tempat Ketinggian tempat yang baik dan ideal untuk tanaman ketela pohon antara mdpl, sedangkan toleransinya antara mdpl. Jenis ketela pohon tertentu dapat ditanam pada ketinggian tempat tertentu untuk dapat tumbuh optimal. 2.3 Singkong Sebagai Biodiesel Bioetanol merupakan hasil fermentasi dari tanaman yang mengandung pati, gula dan serat selulosa. Beberapa tanaman yang berpotensi sebagai penghasil etanol adalah aren dengan potensi produksi liter per hektar per tahun, jagung (6.000 liter), biji sorgum (4.000 liter) dan singkong (7.800 liter) (Fortuna, 2008). Singkong merupakan tanaman pangan dan perdagangan (crash crop). Sebagai tanaman perdagangan, singkong menghasilkan pati, gaplek, tepung singkong, etanol, gula cair, sorbitol, tepung aromatik, dan pellet. Sebagai tanaman pangan, singkong merupakan sumber karbohidrat bagi sekitar 500 juta manusia di dunia. Singkong merupakan penghasil kalori terbesar dibandingkan dengan tanaman lain perharinya. Data nilai kalori berbagai tanaman penghasil karbohidrat disajikan pada Tabel 1 dan data potensi beberapa tanaman sebagai bahan baku etanol disajikan pada Tabel 2. Tabel 1. Nilai kalori berbagai tanaman penghasil karbohidrat No. Jenis Tanaman Nilai Kalori (kal/ha/hari) 1 Singkong 250 x Jagung 200 x Beras 176 x Sorgum 114 x Gandum 110 x 10 3

21 6 Tabel 2. Potensi beberapa tanaman sebagai bahan baku etanol No. Jenis Tanaman Hasil Panen (ton/ha/tahun) Etanol (liter/ha/tahun) 1 Jagung Singkong Tebu Ubi Jalar Sorgum Sorgum manis Kentang Bit Tabel 2 menunjukkan bahwa singkong merupakan tanaman penghasil etanol kedua setelah tebu. Hal ini menunjukkan bahwa singkong memiliki potensi yang cukup bagus sebagai tanaman bahan baku etanol. Bit tidak dipertimbangkan karena tidak dapat berproduksi optimal di Indonesia sehingga tidak ekonomis. Keunggulan singkong dibanding tebu adalah masa panen singkong relatif lebih singkat dan biaya produksi lebih murah. Singkong yang akan digunakan sebagai bahan Fuel Grade Ethanol (FGE) disarankan memiliki kadar pati tinggi, potensi hasil tinggi, tahan cekaman biotik dan abiotik, dan fleksibel dalam usaha tani dan umur panen (Yakinudin, 2010). 2.4 Pati Tanaman Singkong Pati merupakan karbohidrat berupa polisakarida yang terbentuk dari tanaman hijau melalui proses fotosintesis. Untuk mengetahui kadar karbohidrat dalam singkong, Tabel 3 menunjukkan komposisi kimia singkong. Bentuk pati berupa kristal bergranula yang tidak larut dalam air pada temperatur ruangan. Pati memiliki perbedaan bentuk dan ukuran granula tergantung pada jenis tanamannya. Tabel 3 menunjukkan bahwa dalam singkong terdapat 34 gram karbohidrat. Karbohidrat tersebut merupakan polisakarida yang berarti pati, sehingga dapat dikatakan bahwa dalam singkong terdapat 34 gram pati.

22 7 Tabel 3. Komposisi kimia singkong Komponen Kadar /100 gram Kalori Air Phospor Karbohidrat Kalsium Vitamin C Protein Besi Lemak Vitamin B1 Berat yang dapat dimakan (Sumber : BSN, 1996) 146 kal 62,5 gram 40 gram 34 gram 33 mg 30 mg 1,2 gram 0,7 mg 0,3 gram 0,06 mg 75 mg Pati mengandung 10% air pada RH 54% dan 20 o C. Pada umumnya pati tersusun dari 25% amilosa dan 75% amilopektin. Amilosa merupakan polimer berbentuk panjang dan lurus dan sedikit cabang (kurang dari 1%) (Nwokocha, 2008) dengan berat molekul g/mol. Unit-unit glukosa terhubung oleh ikatan α-1,4 pada molekul amilosa. Molekul amilosa berbentuk helix dan bersifat hidrofobik. Amilopektin memiliki bentuk yang bercabang dan memiliki berat molekul g/mol bergantung pada jenis tanamannya. Pati terbentuk dari monomer-monomer glukosa. Berdasarkan Wikipedia, amilosa merupakan polisakarida yang tersusun dari glukosa sebagai monomernya. Tiap-tiap monomer terhubung dengan ikatan 1,6-glikosidik. Amilosa merupakan polimer tidak bercabang yang bersama-sama dengan amilopektin menjadi komponen penyusun pati. Amilosa sebagai fraksi pati yang larut dalam air, tetapi tidak larut dalam N-butanol atau pelarut organik polar lainnya, tersusun dari rantai lurus D-glukosa yang berkaitan a -1,4 dengan derajat polimerasi antara , berwarna biru tua dengan iodine. Amilosa menyusun sekitar 20% dari pati serealia, tetapi hanya 1% dalam jagung dan sorgum. 2.5 Lahan Lahan merupakan bagian dari bentang alam yang mencakup pengertian lingkungan fisik termasuk iklim, topografi, hidrologi, bahkan keadaan vegetasi alami yang semuanya secara potensial akan berpengaruh terhadap

23 8 penggunaannya. Lahan dalam pengertian yang lebih luas termasuk yang sudah dipengaruhi oleh berbagai aktifitas manusia ( FAO, 1976) Karakteristik Lahan Karakteristik lahan mencakup beberapa faktor yang dapat diukur atau ditaksir, seperti lereng, curah hujan, tekstur tanah, air tersedia, dan sebagainya. Sifat-sifat tersebut saling berinteraksi, karena itu apabila karakteristik lahan digunakan secara langsung dalam evaluasi lahan maka akan menimbulkan kesulitan. Untuk itulah diperlukan adanya perbandingan antara lahan dan penggunaannya dalam pengertian kualitas lahan. Masing-masing kualitas lahan mempunyai keragaman tertentu yang berpengaruh terhadap kesesuaian untuk penggunaan tertentu. Setiap kualitas lahan dapat terdiri dari satu atau lebih karakteristik lahan (FAO, 1976). Penentuan karakteristik lahan yang berhubungan dengan tanah seperti tekstur, kedalaman efektif, KTK, kejenuhan basa, reaksi tanah (ph), unsur hara (N, P2O5, K2O). Sitorus (1985), mengemukakan bahwa karakteristik lahan pada sistem penggunaan lahan jarang yang bersifat langsung. Contohnya, pertumbuhan tanaman tidak secara langsung dipengaruhi oleh curah hujan atau tekstur tanah tetapi dipengaruhi oleh ketersediaan air, dan unsur hara Kualitas Lahan Kualitas lahan adalah sifat-sifat yang kompleks dari satuan lahan. Masingmasing kualitas lahan mempunyai kondisi tertentu yang berpengaruh terhadap kesesuaiannya bagi penggunaan tertentu. Kualitas lahan kadang-kadang dapat diduga atau diukur secara langsung di lapang, tetapi pada umumnya ditetapkan dari pengertian karakteristik lahan. Kualitas lahan menunjukkan sifat-sifat lahan yang mempunyai pengaruh nyata terhadap kesesuaian lahan untuk penggunaan tertentu. Satu jenis kualitas lahan dapat disebabkan oleh beberapa karakteristik lahan (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007) Klasifikasi Lahan Klasifikasi lahan adalah pengaturan satuan-satuan lahan ke dalam berbagai kategori berdasarkan sifat-sifat lahan atau kesesuaiannya untuk berbagai

24 9 penggunaan (Sitorus, 1985). Dalam klasifikasi lahan diperlukan faktor-faktor yang berhubungan dengan sifat-sifat lahan secara umum. Sifat-sifat lahan ini dibedakan antara karakteristik lahan dan kualitas lahan (FAO, 1976) Pengertian Kesesuaian Lahan Kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan suatu bidang lahan untuk penggunaan tertentu. Kesesuaian lahan tersebut dapat dinilai untuk kondisi saat ini (present) atau setelah diadakan perbaikan (improvement). Lebih spesifik lagi kesesuaian lahan tersebut ditinjau dari sifat-sifat fisik lingkungannya, yang terdiri atas iklim, tanah, topografi, hidrologi dan/atau drainase sesuai untuk usaha tani atau komoditas yang produktif (Djaenudin et al., 2003). Kesesuaian lahan terbagi menjadi dua, yaitu kesesuaian lahan aktual dan kesesuaian lahan potensial (Hardjowigeno, 1994). Kesesuaian lahan aktual merupakan kesesuaian lahan menurut kondisi yang ada saat ini atau kondisi lahan sekarang, belum mempertimbangkan masukan yang diperlukan untuk mengatasi faktor pembatas yang ada. Faktor pembatas tersebut ada yang bersifat permanen dan tidak memungkinkan atau tidak ekonomis untuk diperbaiki, serta ada faktor pembatas yang dapat diatasi atau diperbaiki dan secara ekonomis masih menguntungkan. Kesesuaian lahan potensial menggambarkan keadaan lahan yang dicapai apabila dilakukan usaha-usaha perbaikan. Usaha perbaikan yang dilakukan harus sejalan dengan tingkat penilaian kesesuaian lahan yang akan dilaksanakan. Dalam pelaksanaannya perlu dirinci faktor-faktor ekonomi yang disertakan dalam menduga biaya yang diperlukan untuk perbaikan-perbaikan tersebut. Alur logik penilaian kesesuaian lahan (FAO, 1976) disajikan pada Gambar 1 di bawah ini.

25 10 BMG/GIS Survai Tanah Penelitian Dasar Data Kualitas Lahan Data Persyaratan Agro-ekologi Tanaman matching Kesesuaian Aktual/fisik Manajemen Produksi Kendala Agro- Kesesuaian Lahan Potensial pada Tingkat Manajemen Produksi Gambar 1. Alur logik penyusunan kesesuaian lahan (FAO, 1976) Penilaian kesesuaian lahan dapat dilakukan dengan menggunakan hukum minimum yaitu membandingkan antara kualitas lahan dan karakteristik lahan sebagai parameter dengan kriteria kelas kesesuaian lahan yang telah disusun berdasarkan persyaratan penggunaan lahan atau persyaratan tumbuh tanaman. Struktur klasifikasi kesesuaian lahan menurut FAO (1976) terdiri dari empat kategori, yaitu: 1. Kesesuaian lahan pada tingkat ordo menunjukkan apakah suatu lahan sesuai atau tidak untuk penggunaan tertentu. Dikenal dua ordo, yaitu: Ordo S (sesuai): lahan yang termasuk ordo ini adalah lahan yang dapat digunakan dalam jangka waktu yang tidak terbatas untuk suatu tujuan yang telah dipertimbangkan. Keuntungan dari hasil pengelolaan lahan itu akan memuaskan setelah dihitung dengan

26 11 masukan yang diberikan, tanpa atau sedikit resiko kerusakan terhadap sumberdaya lahannya. Ordo N (tidak sesuai): lahan yang termasuk ordo ini adalah lahan yang mempunyai kesulitan sedemikian rupa, sehingga mencegah penggunaannya untuk suatu tujuan yang telah direncanakan. Lahan dapat digolongkan sebagai lahan tidak sesuai digunakan bagi suatu usaha pertanian karena berbagai penghambat, baik secara fisik (lereng yang sangat curam) atau secara ekonomi (keuntungan yang didapat lebih kecil dari biaya yang dikeluarkan). 2. Kesesuaian lahan pada tingkat kelas menunjukkan kesesuaian dari ordo dan pembagian lebih lanjut dari ordo tersebut. Banyaknya kelas dibagi dalam tiga kelas ordo S dan dua kelas dalam ordo N, yaitu: Kelas S1: Sangat sesuai, artinya lahan tidak mempunyai pembatas yang besar untuk pengelolaan yang diberikan, atau hanya mempunyai pembatas yang tidak secara nyata berpengaruh terhadap produksi dan tidak akan menaikkan masukan yang telah biasa diberikan. Kelas S2: Cukup sesuai, artinya lahan mempunyai pembataspembatas yang agak besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan. Pembatas akan mengurangi produk atau keuntungan dan meningkatkan masukan yang diperlukan. Kelas S3: Sesuai marjinal, artinya lahan mempunyai pembataspembatas yang besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan. Pembatas akan mengurangi produksi dan keuntungan atau lebih meningkatkan masukan yang diperlukan. Kelas N1: Tidak sesuai pada saat ini, artinya lahan mempunyai pembatas yang lebih besar, tetapi masih memungkinkan untuk diatasi dengan modal yang lebih besar dan tidak bisa diperbaiki dengan modal normal. Keadaan pembatas sedemikian besarnya, sehingga mencegah penggunaan lahan yang lestari dalam jangka panjang.

27 12 Kelas N2: Tidak sesuai untuk selamanya, artinya lahan mempunyai pembatas permanen yang mencegah segala kemungkinan penggunaan lahan yang lestari dalam jangka panjang. 3. Kesesuaian lahan pada tingkat sub-kelas menunjukkan jenis pembatas atau macam perbaikan yang harus dijalankan dalam masing-masing kelas. Setiap kelas dapat terdiri dari satu atau lebih sub-kelas, tergantung dari jenis pembatas yang ada. Jenis pembatas yang ada ini ditunjukkan dengan simbol huruf kecil yang ditempatkan setelah simbol kelas. Contohnya kelas S2 yang mempunyai pembatas kejenuhan basa (n) menjadi sub-kelas S2n. Dalam satu sub-kelas dapat mempunyai satu atau lebih simbol pembatas, dimana pembatas yang paling dominan ditulis paling depan. 4. Kesesuaian lahan pada tingkat unit menunjukkan perbedaanperbedaan besarnya faktor penghambat yang berpengaruh dalam pengelolaan suatu sub-kelas. Pemberian simbol dalam tingkat unit dilakukan dengan penambahan angka-angka yang dipisahkan oleh strip dari simbol sub-kelas, contohnya S3r-2. Unit dalam satu subkelas jumlahnya tidak terbatas. 2.6 Boundary Line Methods Boundary line methods adalah metode penarikan batas, dimana garis pembungkus dari diagram sebar menunjukkan hubungan antara produksi dan kualitas lahan. Garis tersebut membatasi data aktual lapang, sehingga sangat kecil peluangnya akan ditemukan data di luar garis tersebut. Garis batas ini menggambarkan hasil yang dapat terjadi pada produksi optimum dengan faktorfaktor pertumbuhan tertentu dan dapat digunakan untuk menetapkan kualitas lahan yang sesuai untuk mendapatkan produksi yang optimum. Diagram sebaran hasil yang direncanakan untuk mengatasi faktor pertumbuhan tanaman umumnya mencapai puncak pada tingkat optimum dari faktor pertumbuhan tertentu, dimana garis pembatas memisahkan data dari situasi nyata dan tidak nyata. Penggambaran seperti ini sangat bermanfaat dalam mendiagnosa kemungkinan perolehan produksi maksimum yang konsisten dengan nilai apapun dari faktor pertumbuhan tertentu yang dapat ditentukan (Walworth et al., 1986).

28 Metode Pembatasan Minimum Keseluruhan sifat fisik yang sesuai dari area lahan untuk tipe penggunaan lahan diambil dari yang paling membatasi kualitas lahan, yaitu kualitas lahan yang nilainya paling buruk. Metode ini memiliki keuntungan yaitu sederhana. Mengacu pada Hukum Minimum (Law of the minimum) Liebig bahwa jika tingkat kualitaskualitas lahan tergambar menurut suatu standar satuan pengurangan hasil dan faktor-faktor hasil ini tidak saling berhubungan (Alvyanto, 2010), maka dengan metoda ini akan diperoleh kelas yang sesuai. Praktek FAO secara umum, S1 sesuai untuk % dari hasil yang optimum, S2 pada 60-80%, dan S3/N pada 25-60%. Tetapi beberapa faktor fisik tidak mempengaruhi hasil, mereka hanya membuat pengelolaan menjadi lebih sulit. Kerugiannya adalah metoda ini tidak membedakan antara area lahan dengan beberapa pembatas dan hanya memiliki satu pembatas, selama pembatas maksimum sama (FAO, 1976 dalam Rossiter, 1994).

29 14 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di lapang yaitu di Bogor, Karawang, dan Sukabumi. Pengamatan kadar pati dilakukan di Laboratorium BPTP Cimanggu Bogor. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Mei 2010 sampai September Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah singkong (Manihot utilissima). Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan pengamatan lapang dan laboratorium. Proses pengamatan lapang dilakukan pada singkong siap panen dengan mengamati ciri morfologi tanaman dan menimbang hasil produksi. Pengamatan yang dilakukan di laboratorium adalah uji kadar pati. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah beberapa alat lapang, seperti bor, cangkul, munsell, abney level, timbangan, dan plastik. Bahan lain yang digunakan adalah peta dasar lokasi Bogor, Karawang dan Sukabumi dan diolah menggunakan program Arcview dan Microsoft Excel pada komputer. 3.3 Pengambilan Sampel Tanah dan Umbi Singkong Pengambilan sampel tanah dilakukan secara komposit pada setiap titik lokasi. Pengambilan tanah secara komposit dimaksudkan untuk mewakili jenis tanah di titik tersebut. Sampel tanah ini kemudian dianalisis di laboratorium untuk penetapan ph H2O, C-organik, N, KTK, KB, K, P, Al, dan tekstur tanah. Pengambilan sampel umbi dilakukan secara acak. Sampel umbi ini kemudian dianalisis di laboratorium untuk analisis kadar pati. 3.4 Metode Analisis Umbi yang akan dianalisis laboratorium terlebih dahulu dijadikan tepung. Langkah yang dilakukan dalam pembuatan tepung adalah dengan pemotongan singkong secara tipis, pengeringan dengan oven pada suhu 90 0 C, dan kemudian digiling menjadi tepung. Umbi yang telah berbentuk tepung kemudian dianalisis kadar pati dengan menggunakan metode spektro. Data lapang dan data laboratorium diolah dengan menggunakan Microsoft Excel.

30 Analisis Data untuk Penentuan Kelas Kesesuaian Lahan Data-data yang sudah diperoleh selanjutnya akan dianalisis untuk menentukan kelompok kelas kesesuaian lahan. Kelas kesesuaian lahan akan disusun dari berbagai kriteria yang diamati dilapang dan juga dari konsep kriteria kesesuaian lahan yang sudah dikembangkan. Pengelompokan data ini dikaitkan dengan produksi dan kandungan pati yang sudah diketahui. Pembuatan model kesesuaian lahan meliputi studi kondisi ekologi dan pengembangan konsep/model. Sifat biofisik didapat dari lapang dan hasil laboratorium Peneraan Umur untuk Produksi Singkong Umur tanaman tidak sama sedangkan produksi merupakan fungsi dari umur, dimana produksi yang satu dengan yang lainnya akan diperbandingkan yaitu sebagai dependent variabel, maka produksi perlu ditera oleh umur tanaman. Metode peneraan (Rathfon dan Burger, 1991) yang dipakai sebagai berikut : Ý = f (x) Keterangan: Y= Produksi dugaan berdasarkan umur x = Umur (tahun atau bulan) Yteraan = Ÿ + (Yi Ýi) Keterangan: Yteraan = Produksi teraan Ÿ = Rataan umum Yj = Produksi aktual pada umur ke- i Ýi = Produksi dugaan pada umur ke- i Model Penarikan Batas Kriteria Kesesuaian Lahan Data yang sudah diperoleh selanjutnya dianalisis untuk menentukan batas kriteria kelas kesesuaian lahan. Kelas kesesuaian lahan disusun dari berbagai karakteristik lahan yang diamati di lapang. Sebaran data ini dikaitkan dengan produksi yang sudah dianalisis. Pembuatan model kesesuaian lahan diterapkan pada produksi tersebut.

31 16 Berdasarkan metode penarikan batas berdasarkan titik potong garis sekat produksi dengan garis batas (boundary line): a) Diagram sebar hubungan antara produksi teraan dan karakteristik lahan dibungkus oleh garis batas dimana garis tersebut membatasi data aktual di lapang, sehingga sangat kecil peluangnya akan ditemukan data di luar garis tersebut. b) Garis tersebut ada kaitannya dengan peningkatan atau penurunan produksi sesuai kualitas atau karakteristik lahan yang sedang dinilai. c) Batas penurunan produksi dari produksi maksimum untuk Kelas S1 adalah 80%, Kelas S2 sampai 60%, dan S3 adalah 25% (FAO, 1976). d) Perpotongan antara garis batas dan tingkat produksi yang diharapkan merupakan batas kriteria penilaian kualitas lahan Perumusan Batas Kesesuaian Lahan Batas kriteria kesesuaian lahan ditetapkan sebagai berikut: 1. Berdasarkan persyaratan tumbuh tanaman 2. Studi lapang yaitu berdasarkan keterkaitan antara produksi dengan kualitas lahan.

32 17 IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Bogor Bogor dengan luasan total ,153 ha terdiri dari kabupaten dan kotamadya, yang masing masing memiliki beberapa kecamatan. Kotamadya Bogor terdiri dari 6 kecamatan dengan luas ,951 ha dan Kabupaten Bogor terdiri dari 32 kecamatan dengan luas ,202 ha. Titik pengamatan di daerah Bogor terdiri dari 21 titik. Sebaran titik pengamatan yaitu 19 titik di kabupaten dan 1 titik di kotamadya. Data lokasi ditampilkan pada Gambar 2 dan Lampiran Formasi Geologi Data geologi wilayah Bogor disajikan pada Gambar 3. Geologi wilayah Bogor dan sekitarnya terangkum dalam enam lembar peta geologi keluaran Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Ditjen Geologi dan Sumberdaya Mineral, Departemen Pertambangan dan Energi Republik Indonesia (1992) yaitu Lembar Serang, Leuwidamar, Jakarta, Bogor, Karawang dan Cianjur. Interpretasi kondisi geologi daerah penelitian untuk penelitian ini lebih banyak didasarkan atas kedudukan masing-masing formasi di lapangan. Formasi geologi daerah Bogor didominasi oleh formasi konglomerat dan batupasir tufaan atau kipas aluvium (Qav) yang berumur Pleistosen. Formasi ini terdiri dari tuf halus, berlapis, tuf pasiran berselingan dengan tuf konglomeratan. Formasi Qav berada di bagian utara daerah Bogor dengan luasan ,103 ha (18,14 % dari luasan daerah Bogor). Formasi ini terdiri dari tuf halus, berlapis, tuf pasiran berselingan dengan tuf konglomeratan. Formasi ini terdistribusi di bagian timur laut dan berdampingan dengan formasi endapan sungai, rawa dan pantai (Qa), yang terdiri dari lempung, lanau, pasir, kerikil, kerakal dan bongkah. Formasi endapan batupasir konglomeratan dan batu lanau (Qoa) terdiri dari batu pasir konglomeratan, batu lanau, dan batu pasir. Formasi Qa dan Qoa menyebar di bagian timur daerah penelitian Bogor. Formasi Genteng dijumpai di bagian utara sampai barat laut. Formasi genteng (Tpg) terdiri dari tuf berbatu apung, batupasir tufan, konglomerat, breksi andesit dan sisipan lempung tufan. Tuf berbatu apung memiliki morfologi putih sampai kelabu, berbutir halus sampai kasar, bersusunan menengah sampai kasar.

33 18 Batupasir tufaan berwarna kelabu kehijauan, mengandung glaukonit, berbutir menengah sampai kasar. Konglomerat berwarna kelabu tua, agak padat, komponennya terutama adalah andesit, dengan massa dasar pasir tufaan, lempung tufaan, berwarna kelabu kehijauan. Formasi Kelapanunggal (Tmk) terdistribusi di bagian timur laut. Formasi Tmk terdiri dari batugamping koral, sisipan batugamping pasiran, napal, dan batupasir kuarsa plokonitan hijau. Di bagian timur terdapat formasi Jatiluhur (Tmj) yang terdiri dari napal dan batulempung dengan sisipan batupasir gampingan. Selain itu, di bagian ini terdapat pula satuan batuan andesit hornblenda dan porfir diorit (ha) dan satuan batuan terobosan mangerit (ma), formasi Qos yang terdiri dari batupasir tufaan dan konglomerat, serta formasi Catayan (mttc, mtts dan mttb) terdistribusi di bagian tenggara. Wilayah bagian selatan didominasi oleh formasi Qvpo yang berada dalam kontak dengan formasi Qvsb dan Qvst. Formasi batuan Gunungapi Endut (Qpv) yang berumur pleistosen terdapat di bagian barat daya. Sementara itu, di bagian barat terdapat formasi Tmbs, Tmbl, Tmbc yang menyatu dengan anggota formasi Bojongmanik (Tmbs: batupasir; Tmbl: batugamping; Tmbc: batulempung) dan Tma (andesit) yang berumur pliosen akhir. Di bagian barat laut terdapat formasi batuan sedimen Tpg (Formasi Genteng: Tuf batuapung, batupasir tufaan, breksi konglomerat, napal dan kayu terkersikkan), formasi Bojongmanik (Tmb) yang merupakan perselingan batupasir dengan lempung, sisipan batu gamping dan berumur Miosen. Terdapat juga batuan terobosan Tba (andesit) dan satuan batuan endapan permukaan Qa yang berumur Pliosen. Titik-titik pengamatan terdapat pada 6 jenis formasi geologi, yaitu Qav, Qvst, Qvsb, Qvk, Qvpo, dan Tmj. Data sebaran formasi geologi pada titik pengamatan akan disajikan pada Lampiran Jenis Tanah Jenis tanah daerah Bogor sangat beragam. Wilayah Bogor didominasi oleh latosol coklat kemerahan dengan luas ,34 ha (meliputi 9,6 % dari total wilayah) yang berada di bagian utara (Puslittan, 1981). Sebaran tanah pada luasan sekitar titik pengamatan disajikan pada Gambar 4, dan data sebaran tanah pada

34 19 titik pengamatan disajikan pada Lampiran 3. Titik pengamatan daerah Bogor tersebar pada beberapa jenis tanah, yaitu 11 titik pada tanah latosol coklat kemerahan, 7 titik pada tanah regosol coklat kekelabuan, 3 titik pada tanah podsolik kuning, 2 titik pada tanah latosol coklat, 3 titik pada tanah latosol eutrik, dan 1 titik pada tanah podsolik coklat kekuningan. Sebaran titik pengamatan didominasi pada tanah latosol coklat kemerahan Kelas Lereng Kelas lereng yang mendominasi kabupaten Bogor adalah kelas A, yaitu selang antara 0-3% (datar) dengan luasan ,22 ha (31,92 % dari luasan kabupaten Bogor). Sebaran titik pengamatan daerah Bogor terdapat pada kelas lereng 0-3% (datar), 3-8% (landai/berombak), dan 8-15% (agak miring/bergelombang). Sebaran kelas lereng akan disajikan pada Gambar 5 dan data sebaran kemiringan lereng pada titik pengamatan akan disajikan pada Lampiran Ketinggian Daerah penelitian Bogor dominan memiliki ketinggian mdpl yang berada pada bagian utara Bogor. Ketinggian mdpl ini berada dekat dengan Provinsi DKI Jakarta yang memiliki formasi-formasi alluvium, sehingga ketinggian semakin menurun. Makin ke bagian selatan ketinggian akan semakin meningkat yaitu daerah yang berbatasan dengan daerah Sukabumi. Ketinggian pun meningkat pada bagian selatan yang mengarah ke daerah Puncak dimana lokasi dekat dengan Gunung Pangrango. Ketinggian daerah Bogor disajikan pada Gambar 6 dan data sebaran ketinggian pada titik pengamatan akan disajikan pada Lampiran 3.

35 Gambar 2. Peta sebaran titik pengamatan Bogor 20

36 Gambar 3. Peta geologi Bogor 21

37 Gambar 4. Peta tanah Bogor 22

38 Gambar 5. Peta kelas lereng Kabupaten Bogor 23

39 Gambar 6. Peta sebaran ketinggian Bogor 24

40 Sukabumi Sukabumi dengan luas total ,051 ha terdiri dari 56 kecamatan yang tersebar di kotamadya dan kabupaten. Kabupaten memiliki jumlah kecamatan sebanyak 49 dengan luasan ,602 ha, sedangkan kotamadya memiliki 7 kecamatan dengan luasan 4.693,449 ha. Pengamatan yang dilakukan di Sukabumi terdiri dari 4 titik yang tersebar di Kabupaten Sukabumi. Sebaran titik pengamatan yaitu 1 titik di Kecamatan Cicurug, 1 titik di Kecamatan Parungkuda, dan 2 titik di Kecamatan Cibadak. Data koordinat lokasi ditampilkan pada Lampiran 5 dan Gambar Formasi Geologi Formasi geologi Sukabumi didominasi oleh formasi tersier batu pasir tufan berselingan dengan konglomerat batugamping dan tufa dasit yang mengandung batubara, disajikan pada Gambar 8. Menurut Effendi et al. (1998) secara stratigrafis, batuan tertua di daerah Sukabumi adalah Formasi Walat yang disusun oleh batupasir kuarsa berlapisan silang, konglomerat kerakal kuarsa, batulempung karbonan, dan lapisan tipis-tipis batubara; ke atas ukuran butir bertambah kasar; tersingkap di Gunung Walat dan sekitarnya. Umur satuan ini diduga Oligosen Awal. Di atasnya secara selaras diendapkan Formasi Batuasih yang terutama terdiri atas batulempung napalan hijau dengan konkresi pirit. Di beberapa tempat mengandung banyak fosil foraminifera besar dan kecil yang diduga berumur Oligosen Akhir. Tebal satuan ini mencapai 200 m, dan tersingkap baik di Kampung Batuasih. Selanjutnya, diendapkan Formasi Rajamandala yang disusun oleh napal tufan, lempung napalan, batupasir, dan lensa-lensa batugamping mengandung fosil Globigerina oligocaenica, Globigerina praebulloides, Orbulina, Lepidocyclina, dan Spiroclypeus yang memberikan informasi kisaran umur Oligosen Akhir - Miosen Awal. Formasi ini menindih secara tak selaras Formasi Batuasih dengan tebal sekitar m. Anggota Batugamping Formasi Rajamandala yang terdiri atas batugamping terumbu koral dengan sejumlah fosil Lithothamnium, Lepidocyclina sumatrensis, dan Lepidocyclina (Eulepidina) ephippiodes, biasanya terdolomitkan. Di atasnya diendapkan Formasi Halang yang terdiri atas Anggota Tuf berupa batupasir tuf dasitan, tuf andesit, dan Anggota Breksi berupa breksi andesit/dasit tufan, batugamping, dan batulempung

41 26 napalan; setempat lapisan batugamping mengandung fosil Trillina howchini, Lepidocyclina brouweri, dan Globorotalia mayeri, yang memberikan indikasi umur Miosen Awal. Anggota ini merupakan bagian pa-ling bawah Formasi Jampang yang menindih secara selaras Formasi Rajamandala. Selanjutnya, ke arah atas terdapat batuan Gunung Api Tua yang terdiri atas: (1) Batuan Gunung Api Pangrango, endapan lebih tua, lahar, dan lava serta basal andesit, dan (2) Breksi Gunung Api, breksi bersusunan andesit basal, setempat aglomerat, lapuk. Titik-titik pengamatan terdapat pada formasi Walat (Tow), anggota batu gamping formasi Rajamandala (Toml), breksi gunung api, breksi dengan kandungan tuff (Qvt), endapan lebih tua, lahar dan lava (Qvpy). Data sebaran formasi geologi pada titik pengamapatan ditampilkan pada Lampiran Jenis Tanah Jenis tanah yang tersebar di daerah Sukabumi sangat beragam. Kompleks mediteran coklat kemerahan dan litosol merupakan tanah yang paling mendominasi daerah Sukabumi dengan luasan ,447 ha (meliputi 13,51% dari total wilayah) yang berada di bagian utara. Pengamatan yang dilakukan di Sukabumi berada di bagian utara daerah Sukabumi. Titik pengamatan tersebar pada 3 tipe tanah, yaitu tanah kompleks grumusol, regosol dan mediteran, tanah latosol coklat kemerahan, dan tanah asosiasi latosol coklat dan regosol kelabu. Sebaran tanah daerah Sukabumi ditampilkan pada Gambar 9 dan data sebaran tanah pada titik pengamatan pada Lampiran Kelas Lereng Sukabumi memiliki kondisi lereng yang paling dominan pada selang 3-8% (landai/berombak), dengan luasan ,823 ha (28,30%) dari luasan daerah Sukabumi). Daerah yang memilki kelas lereng 0-3% (landai) tersebar dibagian tenggara daerah Sukabumi. Kelas lereng 8-15% (agak miring/bergelombang) tersebar di bagian tengah dan sedikit dibagian utara. Kelas lereng 25-40% (agak curam) dan >40% (curam) tersebar di bagian barat laut daerah Sukabumi. Bagian timur laut didominasi oleh lereng dengan kelas % (miring/berbukit). Data sebaran kelas lereng ditampilkan pada Lampiran 5.

42 Ketinggian Pada bagian utara daerah Sukabumi memiliki ketinggian yang cukup tinggi, karena berdekatan dengan lokasi Gunung Pangrango. Sedangkan semakin ke selatan daerah semakin rendah. Bagian selatan daerah Sukabumi berbatasan dengan Pantai Selatan. Sebaran ketinggian daerah Sukabumi ditampilkan pada Gambar 10. Daerah Sukabumi didominasi oleh daerah yang landai dan berombak, dengan luasan ,85 ha (38,13% dari luasan wilayah) bagian dari Plateau Jampang. Tabel sebaran ketinggian ditampilkan pada Lampiran 5.

43 Gambar 7. Peta sebaran titik pengamatan Sukabumi 28

44 Gambar 8. Peta geologi Sukabumi 29

45 Gambar 9. Peta tanah Sukabumi 30

46 Gambar 10. Peta sebaran ketinggian Sukabumi 31

47 Karawang Kabupaten Karawang terletak di bagian utara propinsi Jawa Barat. Secara geografis, letaknya berada diantara BT dan LS. Kabupaten Karawang memiliki cakupan wilayah seluas 1.753,27 km 2 atau 3,73 % dari luas Propinsi Jawa Barat. Kabupaten Karawang merupakan salah satu daerah yang memiliki lahan yang cukup subur di Jawa Barat. Sebagian besar lahannya digunakan untuk pertanian. Pengamatan yang dilakukan di Kabupaten Karawang terdiri dari 3 titik, yaitu yang berada di Kecamatan Telukjambe. Penyebaran titik pengamatan akan ditampilkan pada Gambar 11 dan Lampiran Formasi Geologi Berdasarkan Peta Geologi Lembar Karawang daerah Kabupaten Karawang sebagian besar terbentuk dari formasi geologi Kuarter yang berupa endapan dataran banjir dan susunan batupasir bernapal dan konglomerat. Hanya sebagian kecil saja yang merupakan formasi geologi Tersier. Bagian utara yang merupakan bagian terbesar dari daerah Kabupaten Karawang terutama terbentuk dari endapan Kuarter yang merupakan endapan dataran banjir (Qaf) bersusunan batupasir berliat dan batuliat berpasir. Pada daerah yang lebih sempit, yaitu di daerah dekat pantai, batuannya terbentuk dari endapan pantai (Qac) dengan susunan batupasir dan batuliat, serta terbentuk dari endapan laut dangkal (Qnd) tersusun dari pasir, liat, dan debu. Daerah sempit yang memanjang sejajar pantai merupakan endapan pematang pantai (Qbr). Wilayah Kabupaten Karawang di bagian barat daya terutama terbentuk dari formasi geologi Tersier yang tersusun dari batupasir, batuliat, dan batugamping berpasir dari Formasi Subang (Tms dan Tmst). Pada daerah yang lebih sempit, terbentuk batugamping klastik dan batugamping terumbu dari Formasi Parigi (Tmp) serta batuliat bergamping dengan sisipan batugamping berpasir dari Formasi Jatiluhur (Tmj). Pada daerah yang berbatasan dengan daerah tersier terbentuk dari endapan tua (Qoa) yang tersusun dari batupasir berkonglomerat, batuliat, dan batupasir. Bagian tenggara terutama terbentuk dari formasi geologi yang lebih muda berupa endapan volkanik yang tersusun dari batupasir bertufa. Konglomerat dan

48 33 breksi (Qav). Sebaran formasi geologi disajikan pada Gambar 12 dan data penyebaran pada titik pengamatan disajikan pada Lampiran Jenis Tanah Tanah di Kabupaten Karawang dapat dikelompokkan kedalam 33 sub-grup tanah. Jenis tanah vertic tropaquept merupakan tanah yang mendominasi daerah Karawang, dengan luasan ha (38,56% dari luasan daerah Karawang) di bagian utara Karawang. Peta penyebaran tanah ditampilkan pada Gambar 13 dan data penyebarannya disajikan pada Lampiran Kelas Lereng Daerah Karawang yang memiliki kemiringan lahan 0-3%, meliputi areal 83,52% yang berada di Kecamatan Batujaya, Pedes, Rawamerta, Lemahabang, Tempuran, Cilamaya, Cikampek, Jatisari, Klari (sebagian Karawang, Rengasdengklok, Telagasari, dan sebagian Telukjambe). Wilayah yang berlereng 3-8%, meliputi areal 8,93% dari luas Kabupaten Karawang, terletak di Kecamtan Cikampek, sebagian Klari, dan Telukjambe. Wilayah yang berlereng 15-40%, kurang lebih 10,94% dari luas wilayah Kabupaten, berada di Kecamatan Cikampek, Klari, Telukjambe dan Pangkalan. Wilayah yang berlereng lebih dari 40% hanya sebagian kecil yaitu kurang dari 2,59% dari seluruh luas Kabupaten yaitu berada di Kecamatan Telukjambe dan Pangkalan. Data penyebaran pada titik pengamatan disajikan pada Lampiran Ketinggian Ketinggian Karawang berada pada kisaran mdpl. Ketinggian antara 0-12,5 mdpl mendominasi bagian utara daerah Karawang dengan luasan ,90 ha (84,2 % dari luasan Karawang). Bagian utara daerah Karawang berdekatan dengan Laut Jawa sehingga cenderung rendah. Semakin ke selatan, ketinggian semakin meningkat. Titik pengamatan tersebar pada ketinggian antara 0-37,5 mdpl. Sebaran ketinggian ditampilkan pada Gambar 14 dan sebaran pada titik pengamatan disajikan pada Lampiran 7.

49 Gambar 11. Peta sebaran titik pengamatan Karawang 34

50 Gambar 12. Peta geologi Karawang 35

51 Gambar 13. Peta tanah Karawang 36

52 Gambar 14. Peta sebaran ketinggian Karawang 37

53 38 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Budidaya Singkong Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Karawang merupakan wilayah yang dijadikan sebagai lokasi penelitian. Ketiga lokasi tersebut dipilih karena memiliki lahan pertanian yang ditanami singkong. Singkong ditanam oleh penduduk untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Berdasarkan hasil survey, lokasi Bogor merupakan lokasi yang paling mudah dalam menemukan lahan singkong. Di daerah Karawang cenderung sulit dalam menemukan lahan singkong, hal ini dikarenakan daerah Karawang didominasi oleh lahan sawah. Singkong yang ditanam di ketiga daerah tersebut cenderung berada di tanah yang gembur. Jenis yang ditanam para petani adalah jenis singkong lokal. Jenis singkong yang didapatkan di daerah Bogor adalah Manggu, Kuru, Adira, Hiris, Roti, Hijau, Belitung, Tambilung, Putih, Kuning, dan Mentega. Di daerah, Karawang, jenis singkong yang ditemukan adalah Rema, Perelek, dan Putih. Di daerah Sukabumi terdapat singkong jenis Manggu dan Lampining. Singkong cenderung ditanam di lokasi yang datar dan beberapa diberi guludan, sedangkan yang ditanam di lahan yang miring, para petani membuat teras bangku. Jarak tanam yang digunakan oleh para petani cenderung seragam, yaitu ± 100X100 cm. Perlakuan yang diberikan pada singkong berbeda di setiap daerah. Di daerah Bogor, kebanyakan petani menggunakan pupuk kandang seperti kotoran sapi dan kambing ditambah dengan pupuk kimia seperti Urea, Ponska, dan TSP, tetapi ada juga beberapa petani yang memilih untuk tidak memberi pupuk sedikitpun. Lahan singkong yang berada di daerah Karawang sebagian besar tidak diberi pupuk. Pemupukan untuk lahan singkong daerah Sukabumi dilakukan dengan pemberian pupuk kandang pada awal penanaman dan selanjutnya diberikan pupuk kimia, seperti Urea. Panen yang dilakukan di ketiga daerah penelitian tersebut sebagian besar dilakukan pada umur singkong 8-9 bulan. Produksi singkong pada umur tanaman siap panen mencapai nilai rata-rata 33,4 ton/ha.

54 Produksi Singkong Teraan Sampel yang diambil di lapang memiliki umur yang beragam. Untuk menghilangkan pengaruh faktor umur terhadap produksi singkong maka produksi singkong harus ditera terhadap umur. Peneraan dilakukan agar produksi singkong yang satu dapat dibandingkan dengan produksi singkong yang lainnya (Gambar 15). produksi singkong (ton/ha) y = -1,221x ,56x - 75,94 R² = 0, umur (bulan) Gambar 15. Hubungan umur dengan produksi singkong Walaupun koefisien determinan R 2 sangat kecil namun cenderung produksi singkong dipengaruhi oleh umur. Dengan menggunakan persamaan Ý = -1,221x ,56x - 75,94 pada produksi singkong, maka akan didapatkan produksi singkong tera berdasarkan rumus: Yti = 33,24 + (Yi (-1,221x ,56x - 75,94) Keterangan: Yti = Produksi teraan ke- i Yi = Produksi aktual pada umur ke- i x = Umur (bulan) Dalam menentukan kualitas lahan yang dipersyaratkan untuk kesesuaian lahan, maka selang produksi singkong untuk kelas S1 (sangat sesuai) adalah 80% dari produksi singkong teraan maksimum (75 ton/ha) yaitu 60 ton/ha, kelas S2 (cukup sesuai) adalah 60-80% dari produksi singkong teraan maksimum atau ton/ha, kelas S3 (sesuai marginal) adalah 25-60% dari produksi singkong teraan maksimum atau antara 18,75-45 ton/ha, dan kelas N (tidak sesuai) mempunyai selang produksi 25% dari produksi singkog teraan maksimum atau

55 40 18,75 ton/ha. Data produksi singkong teraan maksimum disajikan pada Lampiran 23. Tabel 4. Sekat produksi singkong untuk kelas kesesuaian lahan Kelas Kesesuaian Lahan Produksi Singkong Ton/ha Persentase (%) Sangat sesuai/cukup sesuai S1/S Cukup sesuai/sesuai marjinal S2/S Sesuai marjinal/tidak sesuai S3/N 18, Produksi Pati Singkong Teraan Bagian dari singkong yang dijadikan sebagai bahan dasar bioenergi adalah pati. Untuk menilai hubungan antara produksi singkong yang akan digunakan sebagai bahan dasar bioenergi dengan kualitas lahan maka digunakan produksi pati singkong. Sama halnya dengan studi lapang produksi singkong, agar dapat dibandingkan satu sama lain, maka produksi pati singkong harus ditera terlebih dahulu dengan umur. Hubungan produksi pati singkong dengan umur disajikan pada Gambar 16. Walaupun koefisien determinan R 2 sangat kecil namun cenderung produksi pati singkong dipengaruhi oleh umur. Produksi pati singkong ditera dengan umur dengan menggunakan persamaan Ý = -0,088x 2 + 1,873x 7,759 dan rumus Yteraan = Ÿ + ( Yi Ý), maka akan didapatkan produksi pati singkong yang bebas dari pengaruh umur sehingga dapat dibandingkan dengan kualitas lahan. Produksi pati singkong (ton/ha) y = -0,088x 2 + 1,873x - 7,759 R² = 0, umur (bulan) Gambar 16. Hubungan umur dengan produksi pati singkong Dalam menentukan kualitas lahan yang dipersyaratkan untuk kesesuaian lahan, maka selang produksi pati singkong untuk kelas S1 (sangat sesuai) adalah

56 41 80% dari produksi pati singkong teraan maksimum (7,29 ton/ha) yaitu 5,83 ton/ha, kelas S2 (cukup sesuai) adalah 60-80% dari produksi pati singkong teraan maksimum atau 4,37-5,83 ton/ha, kelas S3 (sesuai marginal) adalah 25-60% dari produksi pati singkong teraan maksimum atau antara 1,82-4,37 ton/ha, dan kelas N (tidak sesuai) mempunyai selang produksi 25% dari produksi pati singkog teraan maksimum atau 1,82 ton/ha. Data produksi pati singkong teraan maksimum disajikan pada Lampiran 23. Tabel 5. Sekat produksi pati singkong untuk kelas kesesuaian lahan Kelas Kesesuaian Lahan Produksi Pati Singkong Ton/ha Persentase (%) Sangat sesuai/cukup sesuai S1/S2 5,83 80 Cukup sesuai/sesuai marjinal S2/S3 4,37 60 Sesuai marjinal/tidak sesuai S3/N 1, Penetapan Kriteria Kesesuaian Lahan Berdasarkan Produksi Singkong dan Produksi Pati Singkong Penetapan kriteria kesesuaian lahan ditentukan berdasarkan hubungan antara karakteristik lahan dengan produksi singkong dan produksi pati singkong. Beberapa karakteristik lahan yang digunakan untuk penetapan kelas kesesuaian lahan adalah temperatur, media perakaran, retensi hara, kondisi terrain, dan toksisitas Hubungan Produksi Singkong dan Produksi Pati Singkong dengan Elevasi Penentuan kriteria kesesuaian lahan untuk temperatur menggunakan pendekatan elevasi. Hal ini dikarenakan adanya hubungan antara elevasi dan temperatur, semakin tinggi lokasi (elevasi) maka semakin rendah temperatur di lokasi tersebut. Hubungan antara produksi singkong dan produksi pati singkong dengan elevasi disajikan pada Gambar 17. Dengan memproyeksikan titik potong sekat produksi dengan garis batas pada sumbu X (karakteristik lahan), maka didapatkan persamaan produksi singkong tera dan pati singkong tera untuk elevasi yaitu : y = -0,069x + 94,31 dan y = -0,008x + 9,7528

57 42 Pola yang didapatkan dari hubungan produksi singkong teraan dan produksi pati singkong teraan dengan elevasi adalah berbanding terbalik. Hal ini dikarenakan pengaruh elevasi terhadap produksi adalah negatif. Nilai elevasi maksimum yang didapatkan di lapang yaitu 890 mdpl dan elevasi minimum 56 mdpl. Selang nilai karakteristik lahan yang didapat disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Selang nilai elevasi untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi singkong dan produksi pati singkong Selang nilai elevasi (mdpl) Selang nilai elevasi (mdpl) Kelas berdasarkan produksi berdasarkan produksi pati kesesuaian singkong singkong S1 < 497,25 <490,25 S2 497,25 714,64 490,25-672,75 S3 714, ,07 672,75-991,5 N >1095,07 >991,5 Produksi singkong teraan (ton/ha) y = -0,069x + 94,31 R² = 0, Elevasi (mdpl) Produksi pati singkong teraan (ton/ha) y = -0,008x + 9,752 R² = 0,971 Gambar 17. Hubungan antara produksi singkong teraan dan produksi pati singkong teraan dengan elevasi Hubungan Produksi Singkong dan Produksi Pati Singkong dengan Media Perakaran Hubungan antara produksi singkong dan produksi pati singkong dengan tekstur ditunjukan pada Gambar 18. Dengan menggunakan metode yang sama pada penentuan elevasi maka didapatkan persamaan produksi singkong tera dan pati singkong tera untuk tekstur liat yaitu : y-left = 1,139x + 14,09 dan y-right = -0,001x 2-0,879x + 121,8 dan y-left = 0,154x 0,887 dan y-right = -0,000x 2 0,059x + 11, Elevasi (mdpl)

58 43 pasir yaitu: Persamaan produksi singkong tera dan pati singkong tera untuk tekstur y-left = 0,150x 2-0,217x + 43,86 dan y-right = -0,980x + 89,81 dan y-left = -0,011x 2 + 0,667x - 0,217 dan y-right = -0,132x + 9,284 Pola yang didapatkan dari hubungan produksi singkong teraan dan produksi pati singkong teraan dengan tekstur adalah parabola. Hal ini dikarenakan tekstur memiliki titik optimum. Selang nilai karakteristik lahan yang didapat akan disajikan pada Tabel 7, Tabel 8, dan hasil overlay dari segitiga tekstur disajikan pada Table 9. Tabel 7. Selang kadar liat untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi singkong dan produksi pati singkong Kelas kesesuaian Selang kadar liat (%) berdasarkan produksi singkong Selang kadar liat (%) berdasarkan produksi pati singkong S1 40,31-65,44 17,32-32,1 S2 65,44-80,08 atau 27,14-40,31 22,62-32,1 atau 17,32-21,53 S3 80, atau 4,09-27,14 6,06-22,62 atau 21,53-28,88 N <4,09 <6,06 atau >28,88 Tabel 8. Selang kadar pasir untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi singkong dan produksi pati singkong Selang kadar pasir (%) Kelas Selang kadar pasir (%) berdasarkan produksi pati kesesuaian berdasarkan produksi singkong singkong S1 9,67-30,52 11,1-26,17 S2 2,13-9,67 atau 30,52-45,83 26,17-37,23 atau 7,91-11,1 S3 45,83-72,61 atau <2,13 37,23-56,55 atau 3,23-7,91 N >72,61 >56,55 atau <3,23 Tabel 9. Selang kelas tekstur untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi singkong dan produksi pati singkong Kelas kesesuaian Kelas tekstur berdasarkan produksi singkong Kelas tekstur berdasarkan produksi pati singkong S1 Liat dan liat berdebu Lempung berdebu dan lempung berliat S2 Lempung liat berdebu, liat berpasir, dan lempung berliat Lempung dan lempung liat berdebu S3 Lempung berpasir, lempung liat berpasir, lempung, dan lempung berdebu Lempung berpasir, debu, dan lempung liat berpasir N Pasir, pasir berlempung dan debu Pasir berlempung, pasir, liat, liat berpasir, dan liat berdebu

59 44 Produksi singkong teraan (ton/ha) y = -0,001x 2-0,879x + 121,8 R² = 0,993 y = 1,139x + 14,09 R² = 0, liat (%) Produksi pati singkong teraan (ton/ha) y = -0,000x 2-0,059x + 11,84 R² = 1 y = 0,154x - 0,887 R² = 0, liat (%) produksi singkong teraan (ton/ha) y = 0,150x 2-0,217x + 43,86 R² = 1 y = -0,980x + 89,81 R² = Pasir (%) Produksi pati singkong teraan (ton/ha) y = -0,011x 2 + 0,667x - 0,217 R² = 1 y = -0,132x + 9,284 R² = Pasir (%) Gambar 18. Hubungan antara produksi singkong teraan dan produksi pati singkong teraan dengan tekstur Hubungan Produksi Singkong dan Produksi Pati Singkong dengan Retensi Hara Hubungan antara produksi singkong dan produksi pati singkong dengan beberapa aspek dari retensi hara yaitu ph tanah, C-organik, kapasitas tukar kation (KTK), dan kejenuhan basa (KB) disajikan pada Gambar 19, Gambar 20, Gambar 21, dan Gambar 22. Dengan metode yang sama pada penentuan elevasi, maka didapatkan persamaan produksi singkong tera dan produksi pati singkong tera untuk ph yaitu : y-left = 540,8ln(x) - 793,0 dan y-right = -450ln(x) + 802,3 dan y-left = -30,57x ,3x 769,6 dan y-right = -24,9x + 138,2 Pola yang didapatkan dari hubungan produksi singkong teraan dan produksi pati singkong teraan dengan ph adalah parabola. Hal ini dikarenakan ph

60 45 memiliki titik optimum. Nilai ph maksimum yang didapatkan yaitu 6,8 dan ph minimum 4,6. Selang nilai karakteristik lahan yang didapat akan disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Selang nilai ph untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi singkong dan produksi pati singkong Kelas kesesuaian Selang nilai ph berdasarkan produksi singkong Selang nilai ph berdasarkan produksi pati singkong S1 4,84 5,2 4,79 5,31 S2 4,71-4,84 atau 5,2-5,38 4,71-4,79 atau 5,31-5,37 S3 4,49-4,71 atau 5,38-5,7 4,6-4,71 atau 5,37-5,48 N <4,49 atau >5,7 < 4,6 atau > 5,48 Persamaan produksi singkong teraan dan produksi pati singkong teraan untuk C-organik yaitu : y = -17,00x ,53x - 26,09 dan y= -0,558x 2 + 7,362x - 3,882 Pola yang didapatkan dari hubungan produksi singkong teraan dan produksi pati singkong teraan dengan C-organik adalah berbanding lurus. Hal ini dikarenakan pengaruh C-organik terhadap produksi adalah positif. Nilai C-organik maksimum yang didapatkan yaitu 3,03% dan C-organik minimum 0,6%. Selang nilai karakteristik lahan yang didapat akan disajikan pada Tabel 11. Tabel 11. Selang nilai C-organik untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi singkong dan produksi pati singkong Selang nilai C-organik (%) Selang nilai C-organik (%) Kelas berdasarkan produksi berdasarkan produksi pati kesesuaian singkong singkong S1 >1,32 >1,33 S2 1,01-1,32 1,13-1,33 S3 <1,01 <1,13 N - - Persamaan produksi singkong teraan dan produksi pati singkong teraan untuk KTK yaitu : y = 20,80x - 221,6 dan y = 3,018x - 35,75 Pola yang didapatkan dari hubungan produksi singkong teraan dan produksi pati singkong teraan dengan KTK adalah berbanding lurus. Hal ini dikarenakan pengaruh KTK terhadap produksi adalah positif. Nilai KTK

61 46 maksimum yang didapatkan yaitu 19,05 (cmol (+) kg -1 ) dan KTK minimum 12,63 (cmol (+) kg -1 ). Selang nilai karakteristik lahan yang didapat akan disajikan pada Tabel 12. Tabel 12. Selang nilai KTK untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi singkong dan produksi pati singkong Selang KTK (cmol (+) kg -1 ) Selang nilai KTK (cmol (+) Kelas berdasarkan produksi kg -1 ) berdasarkan produksi kesesuaian singkong pati singkong S1 >13,54 >13,78 S2 12,82-13,54 13,29-13,78 S3 <12,82 <13,29 N - - Persamaan produksi singkong teraan dan produksi pati singkong teraan untuk KB yaitu : y = -0,073x 2 + 7,970x 144,4 dan y = 0,374x - 9,783 Pola yang didapatkan dari hubungan produksi singkong teraan dan produksi pati singkong teraan dengan KB adalah berbanding lurus. Hal ini dikarenakan pengaruh KB terhadap produksi adalah positif. Nilai KB maksimum yang didapatkan yaitu 70,50% dan KB minimum 23,91%. Selang nilai karakteristik lahan yang didapat akan disajikan pada Tabel 13. Tabel 13. Selang nilai KB untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi singkong dan produksi pati singkong Selang nilai KB (%) Selang nilai KB (%) Kelas berdasarkan produksi berdasarkan produksi pati kesesuaian singkong singkong S1 >41,17 >41,75 S2 34,96-41,17 37,84-41,75 S3 <34,96 <37,84 N - -

62 47 Produksi singkong teraan (ton/ha) y = 540,8ln(x) - 793,0 R² = 0,879 y = -450ln(x) + 802,3 R² = 0, ph H2O Produksi pati singkong teraan (ton/ha) y = -30,57x ,3x - 769,6 R² = 0,972 y = -24,9x + 138,1 R² = ph H2O Gambar 19. Hubungan antara produksi singkong teraan dan produksi pati singkong teraan dengan ph H2O Produksi singkong teraan (ton/ha) y = -17,00x ,53x - 26,09 R² = C- organik (%) Produksi pati singkong teraan (ton/ha) y = -0,558x 2 + 7,362x - 3,882 R² = C-org anik (%) Gambar 20. Hubungan antara produksi singkong teraan dan produksi pati singkong teraan dengan C-organik produksi singkong teraan (ton/ha) y = 20,80x - 221,6 R² = KTK (cmol (+) kg -1 ) Produksi pati singkong teraan (ton/ha) y = 3,018x - 35,75 R² = 1 KTK (cmol (+) kg -1 ) Gambar 21. Hubungan antara produksi singkong teraan dan produksi pati singkong teraan dengan KTK

63 48 Produksi singkong teraan (ton/ha) y = -0,073x 2 + 7,970x - 144,4 R² = 0, KB (%) Produksi pati singkong teraan (ton/ha) Gambar 22. Hubungan antara produksi singkong teraan dan produksi pati singkong teraan dengan KB Hubungan Produksi Singkong dan Produksi Pati Singkong dengan Kondisi Terrain Kondisi terrain adalah spesifik lokasi pada tempat dimana sampel diambil, atau bukan menggambarkan terrain makro, terutama kaitannya dengan kemiringan lereng. Hubungan antara produksi singkong dan produksi pati singkong dengan beberapa aspek kondisi terrain, yaitu kemiringan lereng akan disajikan pada Gambar 23. Dengan menggunakan metode yang sama seperti sebelumnya, maka didapat persamaan produksi singkong teraan dan produksi pati singkong teraan untuk kemiringan lereng yaitu : y = -1,193x + 78,58 dan y = -0,155x + 7,755 y = 0,374x - 9,783 R² = 1 Pola yang didapatkan dari hubungan produksi singkong teraan dan produksi pati singkong teraan dengan kemiringan lereng adalah berbanding terbalik. Hal ini dikarenakan pengaruh kemiringan lereng terhadap produksi adalah negatif. Kemiringan lereng maksimum yang didapatkan di lapang yaitu 40% dan kemiringan lereng minimum 2%. Selang nilai karakteristik lahan yang didapat akan disajikan pada Tabel KB (%)

64 49 Tabel 14. Selang nilai kemiringan lereng untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi singkong dan produksi pati singkong Selang nilai kemiringan Selang nilai kemiringan lereng Kelas lereng (%) berdasarkan (%) berdasarkan produksi pati kesesuaian produksi singkong singkong S1 <15,57 <12,42 S2 15,57-28,15 12,42-21,84 S3 28,15-50,15 21,84-38,29 N >50,15 >38,29 Produksi singkong teraan (ton/ha) y = -1,193x + 78,58 R² = Lereng (%) produksi pati singkong teraan (ton/ha) y = -0,155x + 7,755 R² = Lereng (%) Gambar 23. Hubungan antara produksi singkong teraan dan produksi pati singkong teraan dengan kemiringan lereng Hubungan Produksi Singkong dan Produksi Pati Singkong dengan Toksisitas Hubungan antara produksi singkong dan produksi pati singkong dengan aspek toksisitas, yaitu Al-dd akan disajikan pada Gambar 24. Dengan menggunakan metode yang sama seperti sebelumnya, maka didapat persamaan produksi singkong tera untuk Al-dd yaitu : y = -4,525x + 77,17 dan y = -0,576x + 7,566 Pola yang didapatkan dari hubungan produksi singkong teraan dan produksi pati singkong teraan dengan Al-dd adalah berbanding terbalik. Hal ini dikarenakan pengaruh Al-dd terhadap produksi adalah negatif. Nilai Al-dd maksimum yang didapatkan yaitu 5,94 (cmol (+) kg -1 ) dan Al-dd minimum 0,12 (cmol (+) kg -1 ). Selang nilai karakteristik lahan yang didapat akan disajikan pada Tabel 15.

65 50 Tabel 15. Selang nilai Al-dd untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi singkong dan produksi pati singkong Selang nilai Al-dd (cmol (+) Selang nilai Al-dd (cmol (+) Kelas kg -1 ) berdasarkan produksi kg -1 ) berdasarkan produksi kesesuaian singkong pati singkong S1 <3,79 <3,01 S2 3,79-7,11 3,01-5,55 S3 >7,11 >5,55 N - - produksi singkong teraan (ton/ha y = -4,525x + 77,17 R² = Al (cmol (+) kg -1 ) Produksi pati singkong teraan (ton/ha) y = -0,576x + 7,566 R² = Al (cmol (+) kg -1 ) Gambar 24. Hubungan antara produksi singkong teraan dan produksi pati singkong teraan dengan Al

66 Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Singkong Produksi Singkong. Berdasarkan persyaratan tumbuh dan studi lapang yang telah diperoleh, maka dapat disusun kriteria kesesuaian lahan seperti yang disajikan pada Tabel 16. Tabel 16. Kriteria klasifikasi kesesuaian lahan berbasis produksi singkong Kelas kesesuaian lahan Kualitas lahan Sangat sesuai (S1) Cukup sesuai (S2) Sesuai marjinal (S3) Tidak sesuai (N) Temperatur (t) - Elevasi (mdpl) <497,25 497,25-714,64 714, ,07 >1095,07 Media Perakaran (r) - Tekstur C dan SiC SiCL, SC, dan CL Retensi Hara (f) - KTK tanah (cmol (+) kg -1 ) - KB (%) - ph (H2O) >13,54 >41,17 4,84-5,2 12,82-13,54 34,96-41,17 4,71-4,84 5,2-5,38 1,01-1,32 SL, SCL, L, dan SiL <12,82 <34,96 4,49-4,71 5,38-5,7 <1,01 S, Si, dan LS - - <4,49 >5,7 - - C-organik (%) >1,32 Toksisitas (x) - Kejenuhan Al (cmol (+) <3,79 3,79-7,11 >12,91 - kg -1 ) Kondisi terrain (m) - Lereng (%) <15,57 15,57-28,15 28,15-50,15 >50,15 Keterangan: C = Clay; L = Loam; S = pasir (Sand); Si = debu (Silt), SL = lempung berpasir (Sandy loam); pasir berlempung (Loamy Sand); SC = liat berpasir (Sandy Clay); SCL = Lempung Liat Berpasir; SiCL = Lempung Liat Berdebu; CL = Lempung Berliat; SiC = Liat Berdebu; SiL = Lempung berdebu.

67 52 Produksi Pati Singkong. Berdasarkan persyaratan tumbuh dan studi lapang yang telah diperoleh, maka dapat disusun kriteria kesesuaian lahan seperti pada Tabel 17. Tabel 17. Kriteria klasifikasi kesesuaian lahan berbasis produksi pati singkong Kelas kesesuaian lahan Kualitas lahan Sangat sesuai (S1) Cukup sesuai (S2) Sesuai marjinal (S3) Tidak sesuai (N) Temperatur (t) - Elevasi (mdpl) <490,25 490,25-672,75 672,75-991,5 >991,5 Media Perakaran (r) - Tekstur SiL dan CL L dan SiCL SL, Si dan SCL Retensi Hara (f) - KTK tanah (cmol (+) kg -1 ) - KB (%) - ph (H2O) >13,78 >41,75 4,79-5,31 13,29-13,78 37,84-41,75 4,71-4,79 5,31-5,37 1,13-1,33 <13,29 <37,84 4,6-4,71 5,37-5,48 <1,13 LS, S, C, SC, dan SiC - - <4,6 >5, C-organik (%) >1,33 Toksisitas (x) - Kejenuhan Al (cmol (+) <3,01 3,01-5,55 >5,55 - kg -1 ) Kondisi terrain (m) - Lereng (%) <12,42 12,42-21,84 21,84-38,29 >38,29 Keterangan: C = Clay; L = Loam; S = pasir (Sand); Si = debu (Silt), SL = lempung berpasir (Sandy loam); pasir berlempung (Loamy Sand); SC = liat berpasir (Sandy Clay); SCL = Lempung Liat Berpasir; SiCL = Lempung Liat Berdebu; CL = Lempung Berliat; SiC = Liat Berdebu; SiL = Lempung berdebu. Berdasarkan dua kriteria kesesuaian lahan yang telah dibuat (Tabel 16 dan Tabel 17), dapat diketahui bahwa antara kriteria kesesuaian lahan berbasis produksi singkong dan berbasis produksi pati singkong menunjukkan batas-batas kelas kesesuaian yang relatif sama. Hal ini berarti antara produksi singkong dan produksi pati singkong memiliki keterkaitan. 5.6 Peta Kesesuaian Lahan Tanaman Singkong Setelah didapatkan kriteria kesesuaian lahan tanaman singkong yang baru, maka data tersebut dapat diaplikasikan kedalam peta. Untuk mengetahui perbedaan dengan kriteria kesesuaian lahan yang telah dibuat sebelumnya oleh Badan Litbang Deptan (2000) berdasarkan sifat tanah yang relatif, maka pada Gambar 25 akan disajikan peta kesesuaian lahan tanaman singkong berdasarkan kriteria kesesuaian lahan berbasis produksi dan pada Gambar 26 akan disajikan

68 53 peta kesesuaian lahan tanaman singkong berdasarkan kriteria kesesuaian lahan Badan Litbang Deptan (2000). Gambar 25. Peta kesesuaian lahan tanaman singkong berdasarkan kriteria kesesuaian lahan berbasis produksi Gambar 26. Peta kesesuaian lahan tanaman singkong berdasarkan kriteria kesesuaian lahan Badan Litbang Deptan Kedua peta di atas memperlihatkan adanya perbedaan. Pada peta kesesuaian berdasarkan kriteria baru didominasi oleh kelas S1 di bagian utara disusul dengan kelas N(m) yang artinya lokasi tersebut tergolong kelas N dengan faktor pembatas lereng, sedangkan pada peta kesesuaian berdasarkan kriteria

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Tanaman Singkong ( Manihot utilissima

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Tanaman Singkong ( Manihot utilissima 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Tanaman Singkong (Manihot utilissima) Singkong (Manihot utilissima), termasuk dalam Kingdom Plantae atau tumbuh-tumbuhan, Divisi Spermathophyta atau tumbuhan berbiji,

Lebih terperinci

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 17 IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Bogor Bogor dengan luasan total 273.930,153 ha terdiri dari kabupaten dan kotamadya, yang masing masing memiliki beberapa kecamatan. Kotamadya Bogor terdiri dari

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Lahan adalah lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi dan vegetasi dimana faktor tersebut mempengaruhi potensi penggunaan lahannya (Hardjowigeno et

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 8 V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Budidaya Singkong Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Karawang merupakan wilayah yang dijadikan sebagai lokasi penelitian. Ketiga lokasi tersebut dipilih karena

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.)

TINJAUAN PUSTAKA. A. Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.) II. TINJAUAN PUSTAKA A. Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.) Ubi jalar atau ketela rambat (Ipomoea batatas L.) merupakan salah satu jenis tanaman budidaya yang dimanfaatkan bagian akarnya yang membentuk umbi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan banyak tumbuh di Indonesia, diantaranya di Pulau Jawa, Madura, Sulawesi,

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan banyak tumbuh di Indonesia, diantaranya di Pulau Jawa, Madura, Sulawesi, II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Ubi Kayu Ubi kayu yang sering pula disebut singkong atau ketela pohon merupakan salah satu tanaman penghasil bahan makanan pokok di Indonesia. Tanaman ini tersebar

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 34 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan dari penelitian terdahulu yang dilakukan di Jawa Barat. Kegiatan yang dilakukan terdiri dari survei

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.) Tanaman ubi jalar tergolong famili Convolvulaceae suku Kangkungkangkungan,

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.) Tanaman ubi jalar tergolong famili Convolvulaceae suku Kangkungkangkungan, II. TINJAUAN PUSTAKA A. Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.) 1. Karakteristik Tanaman Ubi Jalar Tanaman ubi jalar tergolong famili Convolvulaceae suku Kangkungkangkungan, dan terdiri dari 400 species. Ubi jalar

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

II. TINJAUAN PUSTAKA A. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Durian 1. Karakteristik tanaman durian Durian (Durio zibethinus Murr.) merupakan salah satu tanaman hasil perkebunan yang telah lama dikenal oleh masyarakat yang pada umumnya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tanaman Singkong. prasejarah. Potensi singkong menjadikannya sebagai bahan makanan pokok

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tanaman Singkong. prasejarah. Potensi singkong menjadikannya sebagai bahan makanan pokok II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Singkong 1. Karakteristik Tanaman Singkong Singkong atau cassava (Manihot esculenta) pertama kali dikenal di Amerika Selatan yang dikembangkan di Brasil dan Paraguay pada

Lebih terperinci

Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz.) ialah tumbuhan tropika dan subtropika dari

Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz.) ialah tumbuhan tropika dan subtropika dari II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Ubi Kayu Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz.) ialah tumbuhan tropika dan subtropika dari famili Euphorbiaceae yang terkenal sebagai sumber utama karbohidrat dan daunnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bercocok tanam. Berdasarkan luas lahan dan keragaman agroekosistem, peluang

I. PENDAHULUAN. bercocok tanam. Berdasarkan luas lahan dan keragaman agroekosistem, peluang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertanian merupakan salah satu sektor penting bagi perekonomian Indonesia. Hal ini dikarenakan kondisi alam dan luas areal lahan pertanian yang memadai untuk bercocok tanam.

Lebih terperinci

BIOETANOL DARI PATI (UBI KAYU/SINGKONG) 3/8/2012

BIOETANOL DARI PATI (UBI KAYU/SINGKONG) 3/8/2012 BIOETANOL DARI PATI (UBI KAYU/SINGKONG) Ubi kayu (Manihot utilissima Pohl) merupakan tanaman pangan berupa perdu dengan nama lain ketela pohon, singkong, atau kasape. Ubi kayu berasal dari benua Amerika,

Lebih terperinci

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Letak, Luas dan Batas Wilayah Secara Geografis Kota Depok terletak di antara 06 0 19 06 0 28 Lintang Selatan dan 106 0 43 BT-106 0 55 Bujur Timur. Pemerintah

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Prosedur Penelitian dan Parameter Pengamatan

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Prosedur Penelitian dan Parameter Pengamatan 17 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di beberapa lokasi daerah sebaran duku di Propinsi Jambi, di 8 (delapan) kabupaten yaitu Kabupaten Muaro Jambi, Kabupaten Batanghari, Kabupaten

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Material Vulkanik Merapi. gunung api yang berupa padatan dapat disebut sebagai bahan piroklastik (pyro = api,

TINJAUAN PUSTAKA. A. Material Vulkanik Merapi. gunung api yang berupa padatan dapat disebut sebagai bahan piroklastik (pyro = api, II. TINJAUAN PUSTAKA A. Material Vulkanik Merapi Abu vulkanik adalah bahan material vulkanik jatuhan yang disemburkan ke udara saat terjadi suatu letusan dan dapat jatuh pada jarak mencapai ratusan bahkan

Lebih terperinci

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala Geografi Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala TANAH Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Lokasi Kesampaian Daerah Daerah penelitian secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kampung Seibanbam II, Kecamatan Angsana, Kabupaten Tanah Bumbu, Propinsi Kalimantan Selatan.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. merupakan bagian dari bentang alam ( Landscape) yang mencakup pengertian lingkungan

I. PENDAHULUAN. merupakan bagian dari bentang alam ( Landscape) yang mencakup pengertian lingkungan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Lahan adalah wilayah dipermukaan bumi, meliputi semua benda penyusun biosfer baik yang berada di atas maupun di bawahnya, yang bersifat tetap atau siklis (Mahi,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang mungkin dikembangkan (FAO, 1976). Vink, 1975 dalam Karim (1993)

TINJAUAN PUSTAKA. yang mungkin dikembangkan (FAO, 1976). Vink, 1975 dalam Karim (1993) TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Evaluasi Lahan Evaluasi lahan adalah proses penilaian penampilan atau keragaman lahan jika dipergunakan untuk tujuan tertentu, meliputi pelaksanaan dan interpretasi survei serta

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sawi hijau sebagai bahan makanan sayuran mengandung zat-zat gizi yang

TINJAUAN PUSTAKA. Sawi hijau sebagai bahan makanan sayuran mengandung zat-zat gizi yang 17 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Sawi hijau sebagai bahan makanan sayuran mengandung zat-zat gizi yang cukup lengkap untuk mempertahankan kesehatan tubuh. Komposisi zat-zat makanan yang terkandung dalam

Lebih terperinci

TANAMAN PENGHASIL PATI

TANAMAN PENGHASIL PATI TANAMAN PENGHASIL PATI Beras Jagung Sagu Ubi Kayu Ubi Jalar 1. BERAS Beras (oryza sativa) terdiri dari dua jenis, yaitu Japonica yang ditanam di tanah yang mempunyai musim dingin, dan Indica atau Javanica

Lebih terperinci

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH Asmoro Widagdo*, Sachrul Iswahyudi, Rachmad Setijadi, Gentur Waluyo Teknik Geologi, Universitas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM 9 BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Lokasi dan Kesampaian Daerah Kegiatan penelitian dilakukan di salah satu tambang batubara Samarinda Kalimantan Timur, yang luas Izin Usaha Pertambangan (IUP) sebesar 24.224.776,7

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Taksonomi Tanaman Singkong.

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Taksonomi Tanaman Singkong. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi Tanaman Singkong. Singkong (Manihot utilissima), termasuk dalam Kingdom : Plantae atau tumbuh-tumbuhan, Divisi: Spermathophyta atau tumbuhan berbiji, Sub divisi: Angiospermae

Lebih terperinci

KONDISI UMUM. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 12. Peta Adminstratif Kecamatan Beji, Kota Depok

KONDISI UMUM. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 12. Peta Adminstratif Kecamatan Beji, Kota Depok IV. KONDISI UMUM 4.1 Lokasi Administratif Kecamatan Beji Secara geografis Kecamatan Beji terletak pada koordinat 6 21 13-6 24 00 Lintang Selatan dan 106 47 40-106 50 30 Bujur Timur. Kecamatan Beji memiliki

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Perolehan Data dan Lokasi Penelitian Lokasi penelitian pada Peta Geologi Lembar Cianjur skala 1 : 100.000 terletak di Formasi Rajamandala (kotak kuning pada Gambar

Lebih terperinci

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1. Kondisi Geografis Wilayah Provinsi Jawa Barat Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak antara 5 54' - 7 45' LS dan 106 22' - 108 50 BT dengan areal seluas 37.034,95

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM Kegiatan penelitian dilakukan di Laboratorium BALAI BESAR KERAMIK Jalan Jendral A. Yani 392 Bandung. Conto yang digunakan adalah tanah liat (lempung) yang berasal dari Desa Siluman

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara fisiografi, Pulau Jawa berada dalam busur kepulauan yang berkaitan dengan kegiatan subduksi Lempeng Indo-Australia dibawah Lempeng Eurasia dan terjadinya jalur

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Profil Perusahaan PT. Cipta Kridatama didirikan 8 April 1997 sebagai pengembangan dari jasa penyewaan dan penggunaan alat berat PT. Trakindo Utama. Industri tambang Indonesia yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang termasuk dalam famili Cruciferae dan berasal dari Cina bagian tengah. Di

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang termasuk dalam famili Cruciferae dan berasal dari Cina bagian tengah. Di 10 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Radish Radish (Raphanus sativus L.) merupakan tanaman semusim atau setahun (annual) yang termasuk dalam famili Cruciferae dan berasal dari Cina bagian tengah. Di Indonesia,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Fisiografi Jawa Barat Fisiografi Jawa Barat oleh van Bemmelen (1949) pada dasarnya dibagi menjadi empat bagian besar, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung

Lebih terperinci

BAB 2 Tatanan Geologi Regional

BAB 2 Tatanan Geologi Regional BAB 2 Tatanan Geologi Regional 2.1 Geologi Umum Jawa Barat 2.1.1 Fisiografi ZONA PUNGGUNGAN DEPRESI TENGAH Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949). Daerah Jawa Barat secara fisiografis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 2.1 Survei Tanah BAB II TINJAUAN PUSTAKA Salah satu kegiatan yang dilakukan untuk mempelajari lingkungan alam dan potensi sumber dayanya adalah survei. Sebuah peta tanah merupakan salah satu dokumentasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka Ubi kayu adalah/singkong yang juga disebut Kaspe, dalam bahasa Latin disebut Manihot Esculenta Crantz, merupakan tanaman yang banyak yang mengandung karbohidrat.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Lahan Pasir Pantai. hubungannya dengan tanah dan pembentukkannya.

TINJAUAN PUSTAKA. A. Lahan Pasir Pantai. hubungannya dengan tanah dan pembentukkannya. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Lahan Pasir Pantai Lahan adalah bagian daratan dari permukaan bumi sebagai lingkungan fisik yang meliputi tanah beserta faktor yang mempengaruhi penggunaannya seperti iklim relief/topografi,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM 10 BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Lokasi dan Kesampaian Daerah 2.1.1 Lokasi Lokasi penelitian Tugas Akhir dilakukan pada tambang quarry andesit di PT Gunung Sampurna Makmur. Secara geografis, terletak pada koordinat

Lebih terperinci

KADAR GLUKOSA DAN BIOETANOL PADA FERMENTASI TEPUNG KETELA POHON (Manihot utilissima Pohl) DENGAN DOSIS RAGI DAN WAKTU FERMENTASI YANG BERBEDA

KADAR GLUKOSA DAN BIOETANOL PADA FERMENTASI TEPUNG KETELA POHON (Manihot utilissima Pohl) DENGAN DOSIS RAGI DAN WAKTU FERMENTASI YANG BERBEDA KADAR GLUKOSA DAN BIOETANOL PADA FERMENTASI TEPUNG KETELA POHON (Manihot utilissima Pohl) DENGAN DOSIS RAGI DAN WAKTU FERMENTASI YANG BERBEDA SKRIPSI Untuk Memenuhui sebagian persyaratan Guna mencapai

Lebih terperinci

Batuan beku Batuan sediment Batuan metamorf

Batuan beku Batuan sediment Batuan metamorf Bagian luar bumi tertutupi oleh daratan dan lautan dimana bagian dari lautan lebih besar daripada bagian daratan. Akan tetapi karena daratan adalah bagian dari kulit bumi yang dapat kita amati langsung

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Kelapa Sawit(Elaeis guineensis) tanaman kelapa sawit diantaranya Divisi Embryophyta Siphonagama, Sub-devisio

TINJAUAN PUSTAKA. A. Kelapa Sawit(Elaeis guineensis) tanaman kelapa sawit diantaranya Divisi Embryophyta Siphonagama, Sub-devisio 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kelapa Sawit(Elaeis guineensis) Kelapa sawit (Elaeis guineensis) berasal dari Afrika dan Brazil. Di Brazil, tanaman ini tumbuh secara liar di tepi sungai. Klasifikasi dan pengenalan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Luas masing-masing Kelas TWI di DAS Cimadur. Lampiran 2. Luas Kelas TWI dan order Sungai Cimadur

Lampiran 1. Luas masing-masing Kelas TWI di DAS Cimadur. Lampiran 2. Luas Kelas TWI dan order Sungai Cimadur LAMPIRAN 63 64 Lampiran 1. Luas masing-masing Kelas TWI di DAS Cimadur No. Kelas TWI Luas Area Ha % 1 1 1 0,007 2 2 20987 99,830 3 3 34 0,163 Luas Total 21022 100 Lampiran 2. Luas Kelas TWI dan order Sungai

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ubi kayu merupakan bahan pangan yang mudah rusak (perishable) dan

TINJAUAN PUSTAKA. Ubi kayu merupakan bahan pangan yang mudah rusak (perishable) dan TINJAUAN PUSTAKA Ubi Kayu (Manihot esculenta Crantz.) Ubi kayu merupakan bahan pangan yang mudah rusak (perishable) dan akan menjadi busuk dalam 2-5 hari apabila tanpa mendapat perlakuan pasca panen yang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 71 PENDAHULUAN Latar Belakang Sorgum manis [Sorghum bicolor (L.) Moench] merupakan salah satu tanaman pangan utama dunia. Hal ini ditunjukkan oleh data mengenai luas areal tanam, produksi dan kegunaan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. Lahan adalah suatu daerah dipermukaan bumi dengan sifat- sifat tertentu yaitu

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. Lahan adalah suatu daerah dipermukaan bumi dengan sifat- sifat tertentu yaitu 7 II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Lahan Lahan adalah suatu daerah dipermukaan bumi dengan sifat- sifat tertentu yaitu adanya persamaan dalam hal geologi, geomorfologi,

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kondisi Eksisting Fisiografi Wilayah Studi. wilayahnya. Iklim yang ada di Kecamatan Anak Tuha secara umum adalah iklim

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kondisi Eksisting Fisiografi Wilayah Studi. wilayahnya. Iklim yang ada di Kecamatan Anak Tuha secara umum adalah iklim V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Eksisting Fisiografi Wilayah Studi Kecamatan Anak Tuha, Kabupaten Lampung Tengah terdiri dari 12 desa dengan luas ± 161,64 km2 dengan kemiringan kurang dari 15% di setiap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi kayu atau singkong (Manihot esculenta Crantz.) merupakan bahan pangan

I. PENDAHULUAN. Ubi kayu atau singkong (Manihot esculenta Crantz.) merupakan bahan pangan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ubi kayu atau singkong (Manihot esculenta Crantz.) merupakan bahan pangan utama ketiga di Indonesia setelah padi dan jagung. Ubi kayu yang berasal dari Brazil,

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Citra Digital Interpretasi dilakukan dengan pembuatan area contoh (training set) berdasarkan pengamatan visual terhadap karakteristik objek dari citra Landsat. Untuk

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sumatera terletak di sepanjang tepi Barat Daya Paparan Sunda, pada perpanjangan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sumatera terletak di sepanjang tepi Barat Daya Paparan Sunda, pada perpanjangan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Struktur Geologi Sumatera terletak di sepanjang tepi Barat Daya Paparan Sunda, pada perpanjangan Lempeng Eurasia ke daratan Asia Tenggara dan merupakan bagian dari Busur Sunda.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Lokasi dan Kesampaian Daerah Lokasi CV. Jayabaya Batu Persada secara administratif terletak pada koordinat 106 O 0 51,73 BT dan -6 O 45 57,74 LS di Desa Sukatani Malingping Utara

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN LOKASI

BAB III TINJAUAN LOKASI BAB III TINJAUAN LOKASI 3.1 Gambaran Umum Kota Surakarta 3.1.1 Kondisi Geografis dan Administratif Wilayah Kota Surakarta secara geografis terletak antara 110 o 45 15 dan 110 o 45 35 Bujur Timur dan antara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geomorfologi Geomorfologi adalah studi yang mendiskripsikan bentuklahan, proses-proses yang bekerja padanya dan menyelidiki kaitan antara bentuklahan dan prosesproses tersebut

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Survei Tanah. potensi sumber dayanya adalah survei. Sebuah peta tanah merupakan salah satu

TINJAUAN PUSTAKA. Survei Tanah. potensi sumber dayanya adalah survei. Sebuah peta tanah merupakan salah satu TINJAUAN PUSTAKA Survei Tanah Salah satu kegiatan yang dilakukan untuk mempelajari lingkungan alam dan potensi sumber dayanya adalah survei. Sebuah peta tanah merupakan salah satu dokumentasi utama sebagai

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman ubi kayu diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom : Plantae,

TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman ubi kayu diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom : Plantae, TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman: Tanaman ubi kayu diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom : Plantae, Divisi : Spermatophyta, Subdivisi : Angiospermae, Kelas : Dicotyledonae, Ordo : Euphorbiales, Famili

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 4. Dinamika Lithosferlatihan soal 4.6

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 4. Dinamika Lithosferlatihan soal 4.6 SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 4. Dinamika Lithosferlatihan soal 4.6 1. Komponen tanah yang baik yang dibutuhkan tanaman adalah.... bahan mineral, air, dan udara bahan mineral dan bahan organik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM 6 BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Lokasi Penelitian Secara administrasi, lokasi penelitian berada di Kecamata Meureubo, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh. Sebelah utara Sebelah selatan Sebelah timur Sebelah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Keadaan Umum 2.1.1 Lokasi Kesampaian Daerah Lokasi CV JBP secara administratif termasuk dalam wilayah Kecamatan Malingping, Kabupaten Lebak. Provinsi Banten. Secara geografis lokasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Berdasarkan penelitian terdahulu urutan sedimentasi Tersier di Cekungan Sumatera Selatan dibagi menjadi dua tahap pengendapan, yaitu tahap genang laut dan tahap

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Daerah penelitian terletak di daerah Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Daerah penelitian terletak di daerah Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Lokasi Penelitian Daerah penelitian terletak di daerah Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat (pedon AM1 s/d AM8), dan Kabupaten Serang Propinsi Banten (pedon AM9 dan AM10)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disegala bidang industri jasa maupun industri pengolahan bahan baku menjadi

BAB I PENDAHULUAN. disegala bidang industri jasa maupun industri pengolahan bahan baku menjadi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris, kehidupan sebagian besar masyarakatnya adalah ditopang oleh hasil-hasil pertanian dan pembangunan disegala bidang industri jasa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi tanaman mentimun ( Cucumis sativus L.) (Cahyono, 2006) dalam tata nama tumbuhan, diklasifikasikan kedalam :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi tanaman mentimun ( Cucumis sativus L.) (Cahyono, 2006) dalam tata nama tumbuhan, diklasifikasikan kedalam : 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Mentimun Klasifikasi tanaman mentimun ( Cucumis sativus L.) (Cahyono, 2006) dalam tata nama tumbuhan, diklasifikasikan kedalam : Divisi :

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI Menurut van Bemmelen (1949), fisiografi Jawa Barat dibagi menjadi enam zona, yaitu Zona Dataran Aluvial Utara Jawa Barat, Zona Antiklinorium Bogor, Zona Gunungapi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tanaman jagung merupakan salah satu jenis tanaman pangan biji-bijian dari keluarga

I. PENDAHULUAN. Tanaman jagung merupakan salah satu jenis tanaman pangan biji-bijian dari keluarga I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanaman jagung merupakan salah satu jenis tanaman pangan biji-bijian dari keluarga rumput-rumputan. Berasal dari Amerika yang tersebar ke Asia dan Afrika melalui kegiatan

Lebih terperinci

PELUANG BISNIS MELALUI NATA DE CASSAVA. Bab I Pendahuluan. Abstrak

PELUANG BISNIS MELALUI NATA DE CASSAVA. Bab I Pendahuluan. Abstrak Nama :Rhizky Eva Marisda NIM :10.11.4462 Kelas : S1TI-2L PELUANG BISNIS MELALUI NATA DE CASSAVA Bab I Pendahuluan Abstrak Peluang bisnis yang ditampilkan pada bisnis ini adalah inovasi limbah tapioka baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. minyak bumi pun menurun. Krisis energi pun terjadi pada saat ini, untuk

BAB I PENDAHULUAN. minyak bumi pun menurun. Krisis energi pun terjadi pada saat ini, untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan akan sumber energi semakin meningkat seiring dengan perkembangan zaman. Namun hal tersebut tidak diimbangi dengan ketersediaan sumber energi yang ada. Manusia

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. bahan induk, relief/ topografi dan waktu. Tanah juga merupakan fenomena alam. pasir, debu dan lempung (Gunawan Budiyanto, 2014).

I. TINJAUAN PUSTAKA. bahan induk, relief/ topografi dan waktu. Tanah juga merupakan fenomena alam. pasir, debu dan lempung (Gunawan Budiyanto, 2014). I. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanah dan Lahan Tanah merupakan sebuah bahan yang berada di permukaan bumi yang terbentuk melalui hasil interaksi anatara 5 faktor yaitu iklim, organisme/ vegetasi, bahan induk,

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL A. Fisiografi yaitu: Jawa Bagian Barat terbagi menjadi 4 zona fisiografi menurut van Bemmelen (1949), 1. Zona Dataran Aluvial Utara Jawa 2. Zona Antiklinorium Bogor atau Zona Bogor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan salah satu tanaman pangan

I. PENDAHULUAN. Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan salah satu tanaman pangan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan salah satu tanaman pangan yang mempunyai peranan penting dalam perekonomian Indonesia, yaitu dalam penyediaan

Lebih terperinci

ANALISIS KADAR BIOETANOL DAN GLUKOSA PADA FERMENTASI TEPUNG KETELA KARET (Monihot glaziovii Muell) DENGAN PENAMBAHAN H 2 SO 4

ANALISIS KADAR BIOETANOL DAN GLUKOSA PADA FERMENTASI TEPUNG KETELA KARET (Monihot glaziovii Muell) DENGAN PENAMBAHAN H 2 SO 4 ANALISIS KADAR BIOETANOL DAN GLUKOSA PADA FERMENTASI TEPUNG KETELA KARET (Monihot glaziovii Muell) DENGAN PENAMBAHAN H 2 SO 4 SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara penghasil umbi-umbian yang sangat

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara penghasil umbi-umbian yang sangat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara penghasil umbi-umbian yang sangat beragam. Umbi-umbian yang dihasilkan banyak yang diekspor. Salah satu jenis umbi-umbian yang cukup

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian adalah interaksi dari proses eksogen dan proses endogen (Thornburry, 1989). Proses eksogen adalah proses-proses

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dalam buku Steenis (2003), taksonomi dari tanaman tebu adalah Kingdom :

TINJAUAN PUSTAKA. dalam buku Steenis (2003), taksonomi dari tanaman tebu adalah Kingdom : TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Berdasarkan klasifikasi taksonomi dan morfologi Linneus yang terdapat dalam buku Steenis (2003), taksonomi dari tanaman tebu adalah Kingdom : Plantae, Divisio : Spermatophyta,

Lebih terperinci

11. TINJAUAN PUSTAKA

11. TINJAUAN PUSTAKA 11. TINJAUAN PUSTAKA, r,. t ' -! '. 2.1. Evaluasi Kesesuaian Lahan Lahan merupakan bagian dari bentang darat (land scape) yang mencakup lingkungan fisik seperti iklim, topografi, vegetasi alami yang semuanya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dikenal sebagai sektor penting karena berperan antara lain sebagai sumber

BAB 1 PENDAHULUAN. dikenal sebagai sektor penting karena berperan antara lain sebagai sumber 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam perekonomian Indonesia, sektor pertanian secara tradisional dikenal sebagai sektor penting karena berperan antara lain sebagai sumber utama pangan dan

Lebih terperinci

2013, No.1041 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

2013, No.1041 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 5 2013, No.1041 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 79/Permentan/OT.140/8/2013 TENTANG PEDOMAN KESESUAIAN LAHAN PADA KOMODITAS TANAMAN PANGAN PEDOMAN KESESUAIAN LAHAN PADA KOMODITAS

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi Tanaman Singkong (Manihot esculenta)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi Tanaman Singkong (Manihot esculenta) 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Taksonomi Tanaman Singkong (Manihot esculenta) Singkong (Manihot esculenta Crantz sin), termasuk dalam Kingdom Plantae atau tumbuh-tumbuhan, Divisi Spermathophyta atau tumbuhan

Lebih terperinci

geografi Kelas X PEDOSFER II KTSP & K-13 Super "Solusi Quipper" F. JENIS TANAH DI INDONESIA

geografi Kelas X PEDOSFER II KTSP & K-13 Super Solusi Quipper F. JENIS TANAH DI INDONESIA KTSP & K-13 Kelas X geografi PEDOSFER II Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini kamu diharapkan memiliki kemampuan untuk memahami jenis tanah dan sifat fisik tanah di Indonesia. F. JENIS TANAH

Lebih terperinci

MENGENAL JENIS BATUAN DI TAMAN NASIONAL ALAS PURWO

MENGENAL JENIS BATUAN DI TAMAN NASIONAL ALAS PURWO MENGENAL JENIS BATUAN DI TAMAN NASIONAL ALAS PURWO Oleh : Akhmad Hariyono POLHUT Penyelia Balai Taman Nasional Alas Purwo Kawasan Taman Nasional Alas Purwo sebagian besar bertopogarafi kars dari Semenanjung

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teoritis Gambaran Umum Lahan Pertanian di Area Wisata Posong Desa Tlahap terletak di Kecamatan Kledung,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teoritis Gambaran Umum Lahan Pertanian di Area Wisata Posong Desa Tlahap terletak di Kecamatan Kledung, BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teoritis 2.1.1 Gambaran Umum Lahan Pertanian di Area Wisata Posong Desa Tlahap terletak di Kecamatan Kledung, Kabupaten Temanggung tepatnya pada koordinat 7 19 20.87-7

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ibukota Jawa Barat berada disekitar gunung Tangkuban Perahu (Gambar 1).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ibukota Jawa Barat berada disekitar gunung Tangkuban Perahu (Gambar 1). BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lokasi Daerah Penelitian Lokasi daerah penelitain berada di pulau Jawa bagian barat terletak di sebelah Utara ibukota Jawa Barat berada disekitar gunung Tangkuban Perahu (Gambar

Lebih terperinci

II. IKLIM, TANAH DAN WILAYAH PRODUKSI

II. IKLIM, TANAH DAN WILAYAH PRODUKSI II. IKLIM, TANAH DAN WILAYAH PRODUKSI 2.1. Iklim Ubi kayu tumbuh optimal pada ketinggian tempat 10 700 m dpl, curah hujan 760 1.015 mm/tahun, suhu udara 18 35 o C, kelembaban udara 60 65%, lama penyinaran

Lebih terperinci

(Shanti, 2009). Tanaman pangan penghasil karbohidrat yang tinggi dibandingkan. Kacang tanah (Arachis hypogaea) merupakan salah satu tanaman pangan

(Shanti, 2009). Tanaman pangan penghasil karbohidrat yang tinggi dibandingkan. Kacang tanah (Arachis hypogaea) merupakan salah satu tanaman pangan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor sub pertanian tanaman pangan merupakan salah satu faktor pertanian yang sangat penting di Indonesia terutama untuk memenuhi kebutuhan pangan, peningkatan gizi masyarakat

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kondisi Eksisting Fisiografi Wilayah Studi

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kondisi Eksisting Fisiografi Wilayah Studi V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Eksisting Fisiografi Wilayah Studi Desa Panapalan, Kecamatan Tengah Ilir terdiri dari 5 desa dengan luas 221,44 Km 2 dengan berbagai ketinggian yang berbeda dan di desa

Lebih terperinci

PELUANG BISNIS BUDIDAYA JAMBU BIJI

PELUANG BISNIS BUDIDAYA JAMBU BIJI PELUANG BISNIS BUDIDAYA JAMBU BIJI Oleh : Nama : Rudi Novianto NIM : 10.11.3643 STRATA SATU TEKNIK INFORMATIKA SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER AMIKOM YOGYAKARTA 2011 A. Abstrak Jambu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUN PUSTAKA

BAB II TINJAUN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUN PUSTAKA 2.1 Konsep Evaluasi Kesesuain Lahan Lahan merupakan bagian dari bentang alam yang mencakup pengertian fisik termasuk iklim, topografi/relief, hidrologi, bahkan keadaan vegetasi

Lebih terperinci

BAB II TATANAN GEOLOGI REGIONAL

BAB II TATANAN GEOLOGI REGIONAL BAB II TATANAN GEOLOGI REGIONAL II.1 FISIOGRAFI DAN MORFOLOGI Secara fisiografis, daerah Jawa Tengah dibagi menjadi lima zona yang berarah timur-barat (van Bemmelen, 1949). Zona tersebut dari arah utara

Lebih terperinci

RESUME HASIL KEGIATAN PEMETAAN GEOLOGI TEKNIK PULAU LOMBOK SEKALA 1:

RESUME HASIL KEGIATAN PEMETAAN GEOLOGI TEKNIK PULAU LOMBOK SEKALA 1: RESUME HASIL KEGIATAN PEMETAAN GEOLOGI TEKNIK PULAU LOMBOK SEKALA 1:250.000 OLEH: Dr.Ir. Muhammad Wafid A.N, M.Sc. Ir. Sugiyanto Tulus Pramudyo, ST, MT Sarwondo, ST, MT PUSAT SUMBER DAYA AIR TANAH DAN

Lebih terperinci

III.1 Morfologi Daerah Penelitian

III.1 Morfologi Daerah Penelitian TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 Morfologi Daerah Penelitian Morfologi suatu daerah merupakan bentukan bentang alam daerah tersebut. Morfologi daerah penelitian berdasakan pengamatan awal tekstur

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Geografis Propinsi Jawa Tengah secara geografis terletak diantara 108 30-111 30 BT dan 5 40-8 30 LS dengan batas batas sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah selatan

Lebih terperinci

Gambar 2. Lokasi Penelitian Bekas TPA Pasir Impun Secara Administratif (http://www.asiamaya.com/peta/bandung/suka_miskin/karang_pamulang.

Gambar 2. Lokasi Penelitian Bekas TPA Pasir Impun Secara Administratif (http://www.asiamaya.com/peta/bandung/suka_miskin/karang_pamulang. BAB II KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 2.1 Geografis dan Administrasi Secara geografis daerah penelitian bekas TPA Pasir Impun terletak di sebelah timur pusat kota bandung tepatnya pada koordinat 9236241

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masih bertumpu pada beras. Meskipun di beberapa daerah sebagian kecil penduduk

BAB I PENDAHULUAN. masih bertumpu pada beras. Meskipun di beberapa daerah sebagian kecil penduduk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Cakupan pangan di Indonesia secara mandiri masih merupakan masalah serius yang harus kita hadapi saat ini dan masa yang akan datang. Bahan pokok utama masih bertumpu

Lebih terperinci

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL BAB 2 GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara fisiografis, menurut van Bemmelen (1949) Jawa Timur dapat dibagi menjadi 7 satuan fisiografi (Gambar 2), satuan tersebut dari selatan ke utara adalah: Pegunungan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan hubungan dengan kelingkungan (Versatappen, 1983 dalam Suwarno 2009).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan hubungan dengan kelingkungan (Versatappen, 1983 dalam Suwarno 2009). 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Geomorfologi Geomorfologi merupakan ilmu yang mempelajari bentuklahan yang menyusun permukaan bumi, baik diatas maupun dibawah permukaan air laut dan menekankan pada asal mula

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Berdasarkan pengamatan awal, daerah penelitian secara umum dicirikan oleh perbedaan tinggi dan ralief yang tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur pada

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Fisiografi Regional Van Bemmelen (1949) membagi Pulau Sumatera menjadi 6 zona fisiografi, yaitu: 1. Zona Paparan Sunda 2. Zona Dataran Rendah dan Berbukit 3. Zona Pegunungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Biakan murni merupakan tahapan awal di dalam pembuatan bibit jamur. Pembuatan biakan murni diperlukan ketelitian, kebersihan, dan keterampilan. Pertumbuhan miselium

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998)

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah yaitu : Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Lahan diartikan sebagai lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air,

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak Geografis. 08º00'27" Lintang Selatan dan 110º12'34" - 110º31'08" Bujur Timur. Di

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak Geografis. 08º00'27 Lintang Selatan dan 110º12'34 - 110º31'08 Bujur Timur. Di IV. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak Geografis Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai lima Kabupaten dan satu Kotamadya, salah satu kabupaten tersebut adalah Kabupaten Bantul. Secara geografis,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. spesies. Klasifikasi tanaman ubikayu adalah sebagai berikut:

II. TINJAUAN PUSTAKA. spesies. Klasifikasi tanaman ubikayu adalah sebagai berikut: 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani ubikayu: taksonomi dan morfologi Dalam sistematika tumbuhan, ubikayu termasuk ke dalam kelas Dicotyledoneae. Ubikayu berada dalam famili Euphorbiaceae yang mempunyai sekitar

Lebih terperinci