REKAYASA BIOPOLIMER DARI LIMBAH PERTANIAN BERBASIS SELULOSA DAN APLIKASINYA SEBAGAI MATERIAL SEPARATOR HENNY PURWANINGSIH

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "REKAYASA BIOPOLIMER DARI LIMBAH PERTANIAN BERBASIS SELULOSA DAN APLIKASINYA SEBAGAI MATERIAL SEPARATOR HENNY PURWANINGSIH"

Transkripsi

1 REKAYASA BIPLIMER DARI LIMBA PERTANIAN BERBASIS SELULSA DAN APLIKASINYA SEBAGAI MATERIAL SEPARATR ENNY PURWANINGSI SEKLA PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BGR BGR 2012

2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFRMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Rekayasa Biopolimer dari Limbah Pertanian berbasis Selulosa dan Aplikasinya sebagai Material Separator adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Januari 2012 enny Purwaningsih NIM F

3 ABSTRACT ENNY PURWANINGSI. Biopolymer Engineering of Cellulose-Based Agricultural Waste Materials and Its Application for Separator. Under direction of TUN TEDJA IRAWADI, ZAINAL ALIM MAS UD, and ANAS MIFTA FAUZI. Natural biopolymers such as polysaccharides e.g. cellulose, is known to be used as polymer backbone in order to produce a separator material. Agricultural wastes such as sago waste, sugarcane bagasse, and rice straw are potential raw materials because they contain cellulose in large quantities. In addition to cheap and untapped, potential biopolymers of the three materials are very abundant in Indonesia. Use of local materials will be very economical and sustainable, while also address the environmental problems caused by poor waste management. To improve the properties owned by a natural polysaccharide of these three raw materials it needs to be engineered by graft copolymerization and cross-linking. The objective of this study is to obtain a molecular separator material through biopolymer engineering-based agricultural waste cellulose by graft copolymerization and cross-linking technique. This study consists of several stages. The first stage is the analysis of chemical components of raw materials. The second stage is the isolation and characterization of cellulosic isolate. The third stage is the determination of biopolymer engineering through graft copolymerization and cross-linking technique. The fourth stage is to evaluate the performance of the product as a molecular separator material. The next stage is to analyze the financial and value-added products. The results showed that the separator material from sugarcane bagasse is potential to be developed. This material is able to separate the active components in the extract of java turmeric with good resolution. Keywords: biopolymer, cellulose, grafting, crosslinking, separator

4

5 RINGKASAN ENNY PURWANINGSI. Rekayasa Biopolimer dari Limbah Pertanian Berbasis Selulosa dan Aplikasinya Sebagai Material Separator. Dibimbing oleh TUN TEDJA IRAWADI, ZAINAL ALIM MAS UD, dan ANAS MIFTA FAUZI. Tahap isolasi, pemisahan, dan pemurnian dalam rangka menghasilkan senyawa aktif murni merupakan langkah utama yang dibutuhkan dan terus dikembangkan sampai saat ini. Kromatografi merupakan salah satu teknik pemisahan yang banyak digunakan dalam teknologi pemisahan. Saat ini, teknik kromatografi yang dibutuhkan adalah yang memiliki tingkat selektivitas yang tinggi dan efisien dalam memisahkan campuran senyawa yang kompleks. Biopolimer berupa polisakarida alami seperti selulosa diketahui dapat dijadikan polimer backbone untuk menghasilkan material separator. Limbah pertanian berupa ela sagu, bagas tebu, dan jerami padi merupakan bahan baku yang potensial karena mengandung selulosa dalam jumlah banyak. Selain murah dan belum termanfaatkan, potensi biopolimer dari ketiga bahan ini sangat berlimpah di Indonesia. Pemanfaatan material lokal ini akan sangat ekonomis dan berkesinambungan, selain itu juga mengatasi masalah lingkungan akibat pengelolaan limbah yang belum tepat. Untuk tujuan tertentu, polisakarida alami seperti selulosa tidak dapat langsung digunakan. leh karena itu, perlu dilakukan rekayasa dengan cara kopolimerisasi cangkok dan taut silang dengan tujuan memperbaiki sifat yang dimiliki oleh polisakarida alami ini sesuai peruntukkannya. Penelitian ini bertujuan mendapatkan material separator molekul melalui rekayasa biopolimer limbah pertanian berbasis selulosa dengan teknik kopolimerisasi cangkok dan taut silang. Penelitian terdiri atas beberapa tahap. Tahap pertama adalah analisis koomponen kimia bahan baku. Tahap kedua adalah isolasi dan pencirian selulosa dari bahan baku. Tahap ketiga adalah penentuan kondisi rekayasa biopolimer melalui teknik kopolimerisasi cangkok dan taut silang. Tahap keempat adalah melakukan uji kinerja terhadap produk sebagai material separator molekul. Tahap berikutnya adalah melakukan analisis finansial dan nilai tambah produk pada prototipe material separator yang potensial. Dari tahap pertama diperoleh karakteristik awal bahan baku untuk dijadikan acuan pada tahap isolasi. Kandungan selulosa alfa dari ketiga bahan baku di atas 20%. Ela sagu memiliki kandungan pati yang cukup tinggi (47,03%). Bagas tebu dan jerami padi memiliki kandungan lignin yang tinggi (22,28 dan 32,07%). Dari tahap kedua diperoleh informasi bahwa selulosa berhasil diisolasi dari ela sagu, bagas tebu, dan jerami padi. Pada tahap ini terdapat kebaruan metode isolasi, yaitu penggunaan 2 2 pada tahap delignifikasi. Delignifikasi dilakukan dengan metode peroksida bersuasana basa ( 2 2 5% p 12 T=70 C, t=3 jam) pada contoh yang telah diberi perlakukan basa (Na). Rendemen polisakarida yang dihasilkan dari ela sagu, bagas tebu, dan jerami padi adalah 5, 41, 11%, yang mengandung α-selulosa sebesar 62,53-77,47% dan sisa lignin sebesar 0,81-1,62%. Isolat selulosa dikaji melalui teknik degradasi seperti differential thermal

6 analysis (DTA) dan teknik non-degradasi seperti spektroskopi fourier transform infrared (FTIR) dan mikroskopi elektron pemayaran (SEM). Selain itu, juga ditentukan indeks kristalinitas dari masing-masing isolat selulosa. Spektrum FTIR, mikrograf, dan kurva analisis termal menunjukkan bahwa sebagian besar isolat yang dihasilkan adalah selulosa. Dari tahap ketiga diperoleh kondisi rekayasa biopolimer melalui kopolimerisasi cangkok dan taut silang akrilamida (Am) yang dilakukan dalam suasana hampa udara menggunakan aliran gas N 2 dengan amonium persulfat (APS) sebagai inisiator dan N,N -metilena-bis-akrilamida (MBAm). Pencirian dilakukan dengan teknik SEM untuk melihat morfologi permukaan, teknik spektroskopi FTIR untuk melihat gugus fungsi, teknik difraksi sinar X untuk menganalisis kristalinitas, dan teknik DTA untuk menganalisis ketahanan produk terhadap suhu. Kajian dilakukan terhadap kemampuan produk hasil rekayasa dalam menjerap air (swelling factor), kekuatan mekanik, dan ketahanan terhadap pelarut. Spektrum FTIR dan mikrograf SEM menunjukkan bahwa kopolimerisasi cangkok dan taut silang telah terjadi pada permukaan rantai selulosa. Produk hasil rekayasa memiliki kestabilan termal yang lebih baik. Indeks kristalinitas meningkat dengan meningkatnya jumlah penaut silang, sedangkan swelling factornya menurun. Material separator berbasis bagas tebu dievaluasi kinerjanya melalui teknik kromatografi kolom. Puncak dengan luas terbesar pada kromatogram diidentifikasi sebagai senyawa xantorizol dan bisdemetoksikurkumin. Resolusi pemisahan diperoleh sebesar 6,44, lebih tinggi dari standar Center for Drug Evaluation and Research U.S Food and Drug Administration (CDER-FDA), yaitu >2. Efisiensi kolom yang dihasilkan dalam penelitian ini memiliki pelat teoritis <2.000 dengan tailing factor sebesar 2,3. Standar pelat teoritis yang ditetapkan CDER-FDA adalah >2.000 dan tailing factor <2. Jadi, material separator berbasis bagas tebu memiliki resolusi pemisahan yang baik untuk memisahkan senyawa aktif xantorizol dan kurkuminoid, namun efisiensi kolom masih perlu ditingkatkan. Informasi lain yang dihasilkan adalah selain dapat memisahkan xantorizol dan kurkuminoid, material separator ini juga dapat digunakan untuk memisahkan senyawaan kurkuminoid (kurkumin, demetoksikurkumin, dan bisdemetoksikurkumin). Material separator berbasis bagas tebu berpotensi dikembangkan untuk mendukung teknologi separasi di Indonesia. Kelayakan finansial dan analisis nilai tambah dilakukan untuk mengevaluasi potensi material separator berbasis bagas tebu secara ekonomi. asil menunjukkan bahwa secara finansial industri material separator berbasis bagas tebu ini menguntungkan karena memiliki nilai benefit cost ratio (rasio B/C) lebih dari satu, yaitu 1,22. Jumlah produksi per tahun adalah kg material separator dengan penerimaan aktual sebesar Rp ,00 jauh lebih besar daripada jumlah produksi saat titik impas (BEP), yaitu kg dan penerimaan saat BEP (Rp ,00). Nilai tambah yang diperoleh dari industri material separator berbasis bagas tebu adalah Rp ,44 per kg bagas tebu. Kenaikan pada upah tenaga kerja, harga bahan baku dan bahan kimia, serta sumbangan input lainnya sampai dengan 10% dan harga penjualan yang tetap masih dapat menguntungkan perusahaan. Kata kunci: biopolimer, selulosa, pencangkokan, taut silang, separator

7 ak Cipta milik IPB, tahun 2012 ak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah b. pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB

8 REKAYASA BIPLIMER DARI LIMBA PERTANIAN BERBASIS SELULSA DAN APLIKASINYA SEBAGAI MATERIAL SEPARATR ENNY PURWANINGSI Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian SEKLA PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BGR BGR 2012

9 Ujian Tertutup pada ari : Senin Tanggal : 30 Januari 2012 Pukul : Tempat : Ruang Sidang Dekanat Fateta Penguji : 1. Prof. Dr. Purwantiningsih, MS 2. Prof. Dr. Ir. Erliza Noor, M.Sc Ujian Terbuka pada ari : Selasa Tanggal : 31 Januari 2012 Pukul : Tempat : Ruang Sidang Konferensi Faperta Penguji : 1. Prof (APU). Dr. Ir. Gustan Pari, MS 2. Dr. Ir. Liesbetini artoto, MS

10 Judul Disertasi Nama NIM : Rekayasa Biopolimer dari Limbah Pertanian Berbasis Selulosa dan Aplikasinya sebagai Material Separator : enny Purwaningsih : F Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir Tun Tedja Irawadi, MS Ketua Dr. Zainal Alim Mas ud, DEA Anggota Prof. Dr. Ir. Anas Miftah Fauzi, M.Eng Anggota Diketahui Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Dr. Ir. Machfud, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr Tanggal Ujian : 31 Januari 2012 Tanggal Lulus :

11 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia- Nya sehingga karya ilmiah ini bisa diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak Januari 2010 sampai ktober 2011 ini ialah Rekayasa Biopolimer dari Limbah Pertanian berbasis Selulosa dan Aplikasinya sebagai Material Separator. Dengan selasainya disertasi ini, maka dengan hati yang tulus dan ikhlas perkenankan penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat Prof. Dr. Ir. Tun Tedja Irawadi, MS sebagai ketua komisi pembimbing, Dr. Zainal Alim Mas ud, DEA, dan Prof. Dr. Ir. Anas Miftah Fauzi, M.Eng sebagai anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan saran dalam penelitian ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Kepala Laboratorium Kimia Terpadu IPB Dr. Zainal Alim Mas ud DEA dan Kepala Divisi Penelitian Laboratorium Kimia Terpadu IPB Prof (Emeritus). Dr. Ir. M. Anwar Nur, M.Sc atas sarana dan fasilitas yang diberikan kepada penulis selama melakukan penelitian. Penghargaan dan ucapan terima kasih untuk pengelola Program Pascasarjana IPB, Dekan dan Sekretaris Sekolah Pascasarjana, Dekan dan Wakil Dekan FATETA, Ketua dan Sekretaris Program Studi TIP atas dorongan semangat, kesempatan, kemudahan dan fasilitas yang diberikan selama penulis melaksanakan studi. Begitu pula kepada seluruh staf Laboratorium Kimia Terpadu IPB (khususnya Indah, Baim, Wida, Sarah, Mas Khotib, Riki) atas kerja samanya yang baik dan bantuan kepada penulis selama melakukan penelitian dan penulisan disertasi ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dekan FMIPA IPB dan Ketua Departemen Kimia FMIPA IPB, atas ijin dan kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan S3. Tidak ketinggalan terima kasih yang tak terhingga kepada rekan-rekan staf pengajar Departemen Kimia FMIPA IPB dan teman-teman TIP angkatan 2005 (Bu Cut, Pak Novizar, Pak Bagus, Pak Luluk, Pak Yuli, Pak Fahmi, dan Bu Rizki) atas dukungannya, yang selalu mendoakan, memberikan motivasi, dan banyak membantu penulis dalam menjalani pendidikan dan menyelesaikan studi S3 ini. Secara khusus, penulis menyampaikan terima kasih dan kasih sayang yang tak terhingga kepada keluarga tercinta, suami Ir. Nasruddin Suyuti, anak Rahma Fitriyanti Suyuti, Papih. Djaidiono, Mamah j. Sri Maryati, dan adik-adikku (Tri Tjahyono, M.Si dan keluarga serta Dwi Prasetiyo, S.Kom dan keluarga), bulek dan paklek beserta keluarga yang penuh pengertian, kesabaran, pengorbanan, dan kesetiaan senantiasa mendoakan serta memberikan semangat dan dorongan kepada penulis selama mengikuti pendidikan S3 dan menyelesaikan disertasi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang dengan tulus dan ikhlas telah membantu penulis selama penelitian dan penyelesain disertasi ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan memberikan kontribusi bagi ilmu pengetahuan. Semoga

12 Allah SWT menerima amalan dan senantiasa memberkahi dengan anugerah dan hidayah serta perlindungan-nya kepada kita semua. Amin ya Rabbal alamin. Januari 2012 enny Purwaningsih

13 RIWAYAT IDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 01 Desember 1974 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan. Djaidiono dan j. Sri Maryati. Pada tahun 2003, penulis menikah dengan Ir. Nasruddin Suyuti dan dikaruniai seorang puteri bernama Rahma Fitriyanti Suyuti. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor (IPB) dan lulus pada tahun Pada tahun 1999, penulis melanjutkan studi pada Program Magister Kimia Universitas Indonesia dan lulus pada tahun Selanjutnya, penulis memperoleh kesempatan untuk melanjutkan program Doktor di Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian IPB pada tahun 2005 dengan bantuan dana dari BPPS Departemen Pendidikan Nasional. Penulis bekerja sebagai staf pengajar honorer di Departemen Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor sejak tahun 1999 dan diangkat sebagai pegawai negeri sipil di tempat yang sama pada tahun Sejak tahun 2002 sampai sekarang, penulis berkesempatan untuk bergabung di Laboratorium Kimia Terpadu IPB pada Divisi Layanan Jasa Analisis dan bertanggung jawab terhadap bagian mutu. Pada tahun 2005 sampai sekarang, penulis dipercaya menjadi Kepala Lembaga Sertifikasi Produk Laboratorium Kimia Terpadu IPB. Pada tahun , melalui kerja sama antara IPB dan Pemda almahera Barat, penulis berkesempatan menjadi dosen tamu di Sekolah Tinggi Pertanian dan Kewirausahaan (STPK) Banau, almahera Barat untuk mata kuliah Kimia Pertanian. Selama mengikuti program S3 di IPB, penulis menulis beberapa artikel ilmiah di antaranya Isolasi dan Pencirian Ela Sagu, Bagas Tebu, dan Jerami Padi yang akan diterbitkan pada Jurnal Ilmiah Gema Agro, ISSN: , Tahun XII, 30 Maret 2012 dan Rekayasa Biopolimer Jerami Padi dengan Teknik Kopolimerisasi Cangkok dan Taut Silang yang akan diterbitkan pada Jurnal Valensi (Jurnal Penelitian dan Pengembangan Ilmu Kimia) Tahun 2012.

14 DAFTAR ISI alaman DAFTAR TABEL... xv DAFTAR GAMBAR... xvi DAFTAR LAMPIRAN... xviii PENDAULUAN Latar Belakang... 1 Perumusan Masalah... 5 Tujuan Penelitian... 6 Manfaat Penelitian... 6 ipotesis... 7 Ruang Lingkup Penelitian... 7 Kebaruan... 8 TINJAUAN PUSTAKA Selulosa... 9 Ela Sagu Bagas Tebu Jerami Padi Pencangkokan dan Taut Silang Kromatografi Material Separator Temu Lawak Analisis Finansial dan Nilai Tambah METDE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Rancangan Penelitian ISLASI DAN PENCIRIAN SELULSA DARI ELA SAGU, BAGAS TEBU, DAN JERAMI PADI Abstrak Abstract.. 33 Pendahuluan Bahan dan Metode asil dan Pembahasan Simpulan REKAYASA BIPLIMER DENGAN TEKNIK PENCANGKKAN DAN TAUT SILANG Abstrak Abstract.. 57 Pendahuluan Bahan dan Metode asil dan Pembahasan Simpulan... 81

15 DAFTAR ISI alaman UJI KINERJA MATERIAL SEPARATR Abstrak Abstract 83 Pendahuluan Bahan dan Metode asil dan Pembahasan Simpulan ANALISIS NILAI TAMBA DAN PENDAPATAN USAA INDUSTRI MATERIAL SEPARATR BERBASIS BAGAS TEBU Abstrak Abstract. 91 Pendahuluan Metode asil dan Pembahasan Simpulan SIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

16 DAFTAR TABEL alaman 1 Komposisi kimia beberapa bahan yang mengandung lignoselulosa Derajat polimerisasi berbagai jenis selulosa Kondisi isolasi dan rendemen polisakarida Viskositas intrinsik, derajat polimerisasi, dan bobot molekul Absorbansi relatif isolat selulosa dan produk hasil rekayasa ela sagu Absorbansi relatif isolat selulosa dan produk hasil rekayasa bagas tebu Absorbansi relatif isolat selulosa dan produk hasil rekayasa jerami padi Jenis pelarut pada fraksinasi ekstrak temu lawak Format analisis nilai tambah pengolahan Biaya produksi dan pendapatan industri material separator berbasis bagas tebu arga pokok, harga jual, dan keuntungan industri material separator berbasis bagas tebu Nilai B/C Ratio industri material separator berbasis bagas tebu Titik impas industri material separator berbasis bagas tebu

17

18 DAFTAR GAMBAR alaman 1 Struktur kimia selulosa Bahan lignoselulosa berdasarkan sumbernya Ikatan hidrogen intra dan antar rantai selulosa Model fibril struktur supramolekul selulosa Skema ekstraksi pati sagu Pohon industri sagu Proses pembuatan gula pada pabrik gula Pohon industri tebu Proses menghasilkan padi Pohon industri padi A Skema fisisorpsi (I), grafting to (II), grafting form (III); B Skema crosslinking antarmolekul (I) dan intramolekul (II) Profil kromatogram Profil kromatogram terkoreksi (a) Tanaman temu lawak dan (b) rimpang temu lawak (a) Struktur kimia kurkuminoid dan (b) Struktur kimia xantorizol Bagan alir penelitian Metode isolasi selulosa secara umum (A) dan metode isolasi selulosa yang digunakan dalam penelitian ini (B) Komposisi kimia bahan baku Komposisi selulosa alfa Komposisi lignin Jenis ikatan yang terdapat pada lignin Ikatan antara lignin dan selulosa Skema reaksi kompleks karbohidrat lignin dengan Na Spektra FTIR bahan baku awal, pulp, dan selulosa dari ela sagu Spektra FTIR bahan baku awal, pulp, dan selulosa dari bagas tebu Spektra FTIR bahan baku awal, pulp, dan selulosa dari jerami padi Mikrograf (a) bagas tebu, (b) jerami padi, dan (c) ela sagu Difraktogram isolat selulosa ela sagu, bagas tebu, dan jerami padi 54

19 DAFTAR GAMBAR alaman 29 Kurva DTA selulosa (a) ela sagu, (b) bagas tebu, (c) jerami padi, dan (d) komersial Mekanisme kopolimerisasi cangkok akrilamida dan taut silang MBAm Mekanisme pembentukan homopolimer akrilamida Pengaruh jumlah penaut silang terhadap (a) kadar nitrogen, (b) nisbah pencangkokan, dan (c) efisiensi pencangkokan Spektra FTIR selulosa ela sagu dan produk hasil rekayasa Spektra FTIR selulosa bagas tebu dan produk hasil rekayasa Spektra FTIR selulosa jerami padi dan produk hasil rekayasa Mikrograf selulosa dan produk hasil rekayasa (a) ela sagu, (b) bagas tebu, dan (c) jerami padi Pengaruh jumlah penaut silang terhadap indeks kristalinitas Kurva DTA selulosa, homopolimer, dan produk rekayasa dari ela sagu Kurva DTA selulosa, homopolimer, dan produk rekayasa dari bagas tebu Kurva DTA selulosa, homopolimer, dan produk rekayasa dari jerami padi Daya serap air sebelum dan sesudah saponifikasi idrolisis parsial gugus amida pada rantai poliakrilamida Indeks refraksi selulosa dan produk rekayasa ela sagu Indeks refraksi selulosa dan produk rekayasa bagas tebu Indeks refraksi selulosa dan produk rekayasa jerami padi Kromatogram pemisahan xantorizol dan kurkuminoid... 89

20 DAFTAR LAMPIRAN alaman 1 Analisis proksimat dan komponen kimia Serapan vibrasi FTIR ela sagu, pulp ela sagu, dan selulosa ela sagu Serapan vibrasi FTIR bagas tebu, pulp bagas tebu, dan selulosa bagas tebu Serapan vibrasi FTIR jerami padi, pulp jerami padi, dan selulosa jerami padi Serapan vibrasi FTIR dari selulosa ela sagu dan produk hasil rekayasa Serapan vibrasi FTIR dari selulosa bagas tebu dan produk hasil rekayasa Serapan vibrasi FTIR dari selulosa jerami padi dan produk hasil rekayasa Mikrograf selulosa dan produk hasil rekayasa Difraktogram selulosa ela sagu dan produk hasil rekayasa Difraktogram selulosa bagas tebu dan produk hasil rekayasa Difraktogram selulosa jerami padi dan produk hasil rekayasa Kurva DTA selulosa dan produk hasil rekayasa ela sagu Kurva DTA selulosa dan produk hasil rekayasa bagas tebu Kurva DTA selulosa dan produk hasil rekayasa jerami padi asil kurva termogravimetri Kromatogram standar zantorizol Kromatogram standar kurkumin Kromatogram ekstrak kasar temu lawak Kromatogram hasil fraksi ekstrak kasar temu lawak Perkiraan biaya investasi industri material separator berbasis bagas tebu Biaya tenaga kerja tidak langsung dan langsung Biaya bahan baku, bahan kimia, dan utilitas Perkiraan biaya perawatan Perkiraan biaya penyusutan

21 DAFTAR LAMPIRAN alaman 25 Sumbangan input lain di luar bahan baku dan gaji pengelola Analisis nilai tambah pada nilai 100 % Analisis nilai tambah pada nilai 110 % Neraca bahan material separator berbasis bagas tebu

22 PENDAULUAN Latar Belakang Kajian bioprospeksi senyawa aktif dari bahan alam dan cara memperoleh senyawa aktif murni merupakan salah satu topik penelitian yang terus digali seiring dengan meningkatnya kebutuhan dan permintaan akan senyawa aktif murni dalam industri farmasi maupun kimia. Untuk menghasilkan senyawa aktif murni tersebut maka tahap isolasi, pemisahan, dan pemurnian menjadi langkah utama yang dibutuhkan dan terus dikembangkan sampai saat ini. Dari beberapa teknik pemisahan untuk menghasilkan senyawa aktif murni, kromatografi merupakan teknik yang paling banyak digunakan. Kromatografi merupakan teknik pemisahan yang cepat, mudah, dan tidak membutuhkan contoh yang banyak (Sastrohamidjojo 1991). Pada prinsipnya, semua teknik kromatografi melibatkan dua fase, yaitu fase diam (stationary phase) dan fase gerak (mobile phase). Klasifikasi utama metode kromatografi dilakukan berdasarkan fase geraknya, subklasifikasi lebih lanjut didasarkan pada fase diam dan interaksi antara analit dan fase diam (Miller 1975). Fase diam dalam kromatografi dapat berupa zat padat atau zat cair, sedangkan fase gerak dapat berupa zat cair atau gas. Fase diam yang berbentuk zat padat pada teknik kromatografi untuk selanjutnya disebut material separator dalam penelitian ini. Pemilihan dan penggunaan material separator dalam kromatografi bergantung pada sifat dan jenis senyawa aktif yang akan dipisahkan (Sastrohamidjojo 1991). Salah satu material separator yang dapat digunakan untuk pemisahan senyawa aktif adalah material separator yang berbasis senyawa polisakarida, seperti selulosa dan amilosa. Material separator jenis ini telah digunakan sebagai fase diam pada kolom PLC (high performance liquid chromatography) dan dapat diperoleh secara komersial. Beberapa material separator berbasis polisakarida adalah kolom PLC kromasil seperti AmyCoat yang berbasis amilosa dan CelluCoat yang berbasis selulosa, serta kolom PLC Astec Cellulose DMP yang berbasis selulosa. Namun demikian, sampai saat ini material separator belum dapat diproduksi di Indonesia. Untuk penggunaannya

23 2 diperoleh dengan cara mengimpor dan harganya relatif mahal. Sebagai ilustrasi untuk kolom PLC Astec Cellulose DMP dengan panjang kolom 25 cm, diameter internal 2,1 mm, dan ukuran partikel sebesar 5 µm mempunyai harga SGD (dolar Singapura). Di dalam material separator berbasis senyawa polisakarida, salah satu polimer backbone yang dapat digunakan adalah selulosa. Selulosa merupakan senyawa penyusun utama hampir sebagian besar jaringan tanaman. Jumlahnya yang cukup banyak menjadikan selulosa sebagai bahan baku potensial yang dapat digunakan di berbagai industri. Selulosa dapat diisolasi dari kayu dan bahan organik lainnya. Limbah pertanian seperti ampas sagu atau ela sagu, ampas tebu atau bagas tebu, jerami padi, ampas tapioka, dan lain-lain dapat dijadikan sumber alternatif untuk mendapatkan selulosa. Di dalam penelitian ini, 3 jenis limbah pertanian, yaitu ela sagu, bagas tebu, dan jerami padi digunakan sebagai bahan baku untuk menghasilkan polimer backbone pada material separator. Di Indonesia, potensi ela sagu sangat besar. Sampai saat ini, luas area tanaman sagu belum dapat diketahui dengan pasti. Namun, beberapa pakar memperkirakan luas lahan sagu mencapai ha, dengan luas lahan terbesar berada di Papua (Papilaya 2009). Satu hektar lahan sagu memiliki rerata masak tebang 20 pohon dengan tingkat produksi sekitar kg tepung sagu. Sementara itu, nisbah antara tepung sagu dan ela sagu yang dihasilkan adalah 1:6 (Rumalatu 1981 yang diacu Matitaputty dan Alfons 2006). Dengan demikian, ela sagu yang dapat dihasilkan dapat mencapai kira-kira 58 juta ton. Beberapa kajian potensi ela sagu telah dilaporkan, yaitu sebagai pakan ternak (origome et al yang diacu Bintoro 2008; Matitapputty dan Alfons 2006), sebagai pupuk dan media tumbuh tanaman (Bintoro 2008), juga sebagai arang briket (Papilaya 2009). Namun, pemanfaatan ela sagu belum maksimal dan jika limbah ini tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan dampak pencemaran terhadap lingkungan karena menimbulkan bau yang kurang sedap. Selain itu, akan mencemari sungai terutama daerah aliran sungai di sekitar tempat pengolahan tepung sagu tersebut karena biasanya sungai menjadi tempat pembuangan ela sagu. Sampai saat ini, belum ditemukan kajian tentang pemanfaatan selulosa dari ela sagu sebagai polimer backbone untuk material separator.

24 3 Selain ela sagu, ampas tebu juga berpotensi sebagai sumber alternatif selulosa. Ampas tebu atau lazimnya disebut bagas (bagasse) adalah hasil samping dari proses ekstraksi (pemerahan) cairan tebu di pabrik gula. Pada tahun 2009, produksi tebu di Indonesia mencapai 2,7 juta ton per tahun dengan luas lahan ± 400 ribu ha (Direktorat Jenderal Perkebunan 2010). Areal perkebunan tebu di Indonesia tersebar di Medan, Lampung, Semarang, Solo, dan Makassar. Ampas tebu yang dapat dihasilkan setiap pabrik gula sekitar 35-40% dari berat tebu yang digiling (usin 2007). Jumlah total tebu giling pada tahun 2009 sebesar 33,3 juta ton sehingga ampas tebu yang dihasilkan mencapai 9,9 juta ton. Sebanyak 60% dari ampas tebu yang dihasilkan tersebut dimanfaatkan oleh pabrik gula itu sendiri sebagai bahan bakar, sedangkan sisanya sekitar 3,96 juta ton ampas tebu per tahun belum dimanfaatkan secara maksimal. Jumlah ini akan terus bertambah seiring dengan penambahan lahan perkebunan tebu dan peningkatan produktivitas tanaman tebu yang telah dicanangkan oleh Pemerintah Indonesia dalam rangka menuju swasembada gula di tahun Kajian pemanfaatan bagas tebu selain sebagai bahan bakar adalah sebagai bahan baku industri kertas, bahan baku industri kanvas rem, pakan ternak (Tarmidi 2004; Widodo 2006), membran (Rodrigues et al. 2000), campuran pembuatan asbes (Mubin & Fitriadi 2005), produksi furfural (Wijanarko et al. 2006), produksi bioetanol (Samsuri et al. 2007), metilselulosa (Viera et al. 2007), plastisizer (amid et al. 2009), dan lain-lain. Bagas tebu juga telah dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan papan partikel serta bahan bakar. Sampai saat ini, belum diperoleh informasi mengenai pemanfaatan selulosa dari bagas tebu sebagai polimer backbone dalam material separator. Sumber alternatif selulosa lainnya adalah jerami padi. Di Indonesia, limbah pertanian berupa jerami padi ditemukan dalam jumlah yang cukup banyak. Perkiraan total produksi padi pada tahun 2011 adalah 67,31 juta ton (BPS 2011). Menurut Kim dan Dale (2004), nisbah jerami padi terhadap padi yang dipanen adalah 1,4. Jadi, untuk menghasilkan 1 ton padi akan diperoleh 1,4 ton jerami padi. Jadi, total potensi jerami padi di Indonesia pada tahun 2011 adalah 94,23 juta ton.

25 4 Beberapa kajian tentang pemanfaatan jerami padi telah dilaporkan, di antaranya sebagai bahan baku pembuat kertas (Sun et al. 2000), bahan untuk pupuk kompos (Zayed dan Abdel-Motaal 2005), bahan baku untuk pakan ternak (van Soest 2006), karbon aktif (Basta et al. 2009; Fierro et al. 2010), adsorben (Gong et al. 2008), bahan bakar gas hidrogen (uang et al. 2010) ), papan partikel (Li et al. 2011). Sampai saat ini, belum diperoleh informasi mengenai pemanfaatan selulosa dari jerami padi sebagai polimer backbone dalam material separator. Untuk memperbaiki/meningkatkan sifat fisik dan kimia biopolimer yang dihasilkan dari limbah pertanian berbasis selulosa seperti ela sagu, bagas tebu, dan jerami padi, maka perlu dilakukan kajian untuk merekayasa biopolimer tersebut melalui teknik pencangkokan (grafting) dan taut silang (crosslinking). Berbagai jenis polimer dapat dicangkokkan ke rantai selulosa melalui gugus hidroksil pada posisi C2, C3, dan C6 (Enomoto-Rogers et al. 2009). Dengan memilih monomer yang tepat, maka kekuatan mekanik dan stabilitas termal material berbasis selulosa yang direkayasa/dimodifikasi dengan teknik pencangkokan dan taut silang juga dapat ditingkatkan (Princi 2005). Selain itu, produk yang dihasilkan akan memiliki struktur makromolekular seperti gel atau hidrogel, resin polimer, membran atau material komposit yang dapat diaplikasikan untuk teknologi pemisahan (Crini 2005). Berdasarkan analisis peluang dan permasalahan tersebut di atas, maka masih perlu dilakukan penelitian mengenai rekayasa biopolimer dari limbah pertanian berbasis selulosa dan mengevaluasi kinerja produk hasil rekayasa dengan cara mengaplikasikannya sebagai material separator untuk pemisahan senyawa aktif dari bahan alam pada skala laboratorium. Pada penelitian ini, biopolimer berupa selulosa diisolasi dari 3 jenis limbah pertanian, yaitu ela sagu, bagas tebu, dan jerami padi. Isolat selulosa selanjutnya akan digunakan sebagai backbone pada tahap rekayasa dengan teknik kopolimerisasi cangkok dan taut silang untuk menghasilkan material separator. Isolat selulosa dari ketiga limbah pertanian memiliki karakteristik khusus dan berbeda, sesuai dengan jenis limbahnya sehingga material separator yang dihasilkan juga akan memiliki karakteristik yang berbeda untuk setiap jenis backbone selulosa yang digunakan. Uji kinerja material

26 5 separator dievaluasi sebagai kolom pemisahan pada teknik kromatografi untuk memisahkan senyawa aktif xantorizol pada ekstrak kasar temu lawak. Rekayasa biopolimer dari limbah pertanian berbasis selulosa untuk diaplikasikan sebagai material separator seperti yang dilakukan pada penelitian ini dapat menjadi solusi permasalahan dalam teknologi separasi dan juga permasalahan yang ditimbulkan akibat pemanfaatan limbah pertanian yang belum optimal. Selain itu, akan mendorong kemandirian nasional dalam memenuhi kebutuhan material separator dan penyediaan senyawa aktif xantorizol ekstrak kasar temu lawak untuk kebutuhan industri farmasi. Perumusan Masalah Berbagai limbah pertanian seperti ela sagu, bagas tebu, dan jerami padi diketahui mengandung selulosa (Awg-Adeni et al. 2010; Samsuri et al. 2007; Jiang et al. 2011). Selulosa yang diperoleh dari tanaman berbeda akan memiliki karakteristik yang berbeda pula, sehingga melalui tahapan isolasi dan pencirian selulosa akan diperoleh informasi karakteristik selulosa dari ela sagu, bagas tebu, dan jerami padi. Selanjutnya, selulosa dari ela sagu, bagas tebu, dan jerami padi akan dijadikan sebagai backbone pada tahap rekayasa untuk menghasilkan material separator. Selulosa merupakan polimer hidrofilik dengan tiga gugus hidroksil reaktif di tiap unit hidroglukosa, tersusun atas ribuan gugus anhidroglukosa yang tersambung melalui ikatan 1,4-β-glikosida membentuk molekul berantai yang panjang dan linier (Lehninger 1993). Gugus hidroksil pada selulosa ini dapat dimanfatkan pada saat memodifikasi selulosa, yaitu dengan cara memasukkan gugus fungsi tertentu pada selulosa melalui teknik pencangkokan. Modifikasi kimia dengan teknik pencangkokan ini bertujuan memperbaiki dan meningkatkan sifat hidrofilik atau hidrofobik, elastisitas, kemampuan pertukaran ion, ketahanan panas, dan ketahanan terhadap serangan mikroba. Modifikasi lebih lanjut terhadap selulosa melalui teknik taut silang membuat struktur material polimer yang terbentuk menjadi lebih kuat dan stabil (Saika dan Ali 1999; Princi 2005). Umumnya, material separator konvensional berbasis pada penggunaan satu jenis gugus fungsi yang bertindak sebagai tapak dimana proses pemisahan terjadi.

27 6 Pada penelitian ini, material separator yang dihasilkan memiliki multigugus fungsi (-, -C, -CN 2, dsb.) yang diharapkan dapat meningkatkan resolusi dan efisiensi pemisahan melalui sistem multipartisi. Adanya taut silang juga dapat membantu proses pemisahan melalui efek sterik, di samping memberikan kontribusi terhadap stabilitas material separator sehingga lebih tahan dan dapat diregenerasi untuk penggunaan ulang. Teknik kopolimerisasi pencangkokan dan taut silang terhadap selulosa dari limbah pertanian berbasis selulosa yang dipadu dengan proses hidrolisis parsial, memungkinkan diperoleh material separator dengan multigugus fungsi seperti tersebut di atas. Secara spesifik permasalahan yang akan diteliti adalah sebagai berikut: 1. Kondisi proses isolasi selulosa dari ela sagu, bagas tebu, dan jerami padi, serta karakteristik selulosa yang dihasilkan dari ketiga contoh tersebut di atas 2. Kondisi proses rekayasa biopolimer untuk menghasilkan material separator dengan menggunakan selulosa sebagai polimer backbone, akrilamida sebagai monomer untuk menghasilkan polimer cangkok, dan N,N -metilena-bis-akrilamida sebagai pereaksi penaut silang. 3. Uji kinerja material separator dalam pemisahan senyawa aktif xantorizol pada ekstrak temu lawak. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan mendapatkan material separator molekul melalui rekayasa biopolimer dari limbah pertanian berbasis selulosa dengan teknik kopolimerisasi cangkok dan taut silang. Manfaat Penelitian Material separator yang dihasilkan dari penelitian ini diharapkan dapat diaplikasikan dalam teknologi separasi senyawa aktif bahan alam, meningkatkan nilai tambah limbah pertanian berbasis selulosa, dan mendorong kemandirian nasional dalam memenuhi kebutuhan material separator, serta penyediaan senyawa aktif xantorizol dalam ekstrak temu lawak untuk kebutuhan industri farmasi.

28 7 ipotesis ipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: 1. Selulosa yang diperoleh dari ketiga jenis limbah pertanian yang digunakan bersifat khas/unik. al ini akan terlihat melalui nilai derajat polimerisasi, bobot molekul, indeks kristalinitas, dan stabilitas termal. 2. Material separator dapat diperoleh melalui rekayasa biopolimer selulosa melalui teknik kopolimerisasi cangkok dan taut silang. 3. Material separator yang dihasilkan dapat memisahkan senyawa aktif xantorizol secara efektif dan efisien. al ini akan terlihat dari efisiensi dan resolusi pemisahan senyawa tersebut dengan teknik kromatografi. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup tahapan penelitian yang dikerjakan adalah sebagai berikut: 1. Analisis komponen kimia ela sagu, bagas tebu, dan jerami padi 2. Isolasi dan pencirian selulosa yang diperoleh dari ela sagu, bagas tebu, dan jerami padi. 3. Penentuan kondisi rekayasa biopolimer dengan teknik kopolimerisasi cangkok dan taut silang dari ela sagu, bagas tebu, dan jerami padi untuk menghasilkan material separator 4. Uji kinerja material separator untuk pemisahan senyawa aktif xantorizol dalam ekstrak kasar temu lawak dengan teknik kromatografi 5. Analisis finansial dan nilai tambah material separator potensial

29 8 Kebaruan Kebaruan dari penelitian ini adalah: 1. Teknik isolasi selulosa, khususnya isolasi selulosa dari ela sagu 2. Rekayasa biopolimer selulosa dari ela sagu, bagas tebu, dan jerami padi dengan teknik pencangkokan dan taut silang menggunakan akrilamida dan N,N -metilena-bis-akrilamida. 3. Teknik pemisahan senyawa aktif xantorizol dari ekstrak temu lawak dengan material separator berbasis limbah pertanian

30 TINJAUAN PUSTAKA Selulosa Selulosa adalah homopolimer yang tersusun dari subunit D-glukosa yang ditautkan satu sama lain dengan ikatan β-(1 4)-glikosida. Unit penyusun (building block) selulosa adalah selobiosa karena unit keterulangan dalam molekul selulosa adalah 2 unit gula (D-glukosa). Selulosa adalah senyawa yang tidak larut di dalam air dan ditemukan pada dinding sel tumbuhan terutama pada tangkai, batang, dahan, dan semua bagian berkayu dari jaringan tumbuhan. Selulosa merupakan polisakarida struktural yang berfungsi untuk memberikan perlindungan, bentuk, dan penyangga terhadap sel, dan jaringan. (Lehninger 1993). Gambar 1 menyajikan struktur kimia dari selulosa. Gambar 1 Struktur kimia selulosa. Di dalam jaringan tumbuhan berkayu, selulosa dapat dijumpai bersamasama dengan hemiselulosa, lignin, dan pati. Gabungan 40-50% selulosa dan 15-25% hemiselulosa disebut holoselulosa. Kandungan holoselulosa berdasarkan bobot keringnya adalah sebesar 65-70%. Gabungan antara selulosa, hemiselulosa, dan lignin disebut lignoselulosa (Rowell 2005). Menurut u et al. (2008), bahanbahan yang mengandung lignoselulosa dapat dihasilkan dari berbagai sumber, di antaranya biomassa hasil hutan, limbah pertanian, tanaman rumput-rumputan, dan limbah industri (Gambar 2). Komposisi kimia bahan lignoselulosa tergantung pada jenis dan sumber/asal bahannya. Komposisi kimia bahan lignoselulosa disajikan pada Tabel 1.

31 10 Gambar 2 Bahan lignoselulosa berdasarkan sumbernya (u et al. 2008). Tabel 1 Komposisi kimia beberapa bahan yang mengandung lignoselulosa Sumber Lignoselulosa Komposisi (%) Pustaka Acuan Selulosa emiselulosa Lignin Jerami padi 36,5 33,8 12,3 Sun et al. (2000) Bagas tebu 43,6 33,5 18,1 Sun et al. (2004a) Abaka 63, ,83 on (1996) Tongkol jagung on (1996) Kapas ,9 on (1996) Sisal le Digabel dan Avérous (2006) Jerami gandum 39,4 24,0 11,2 Kham et al. (2005) Serat rami 65,0 15,8 12,7 Jahan et al. (2011) Jumlah unit glukosa di dalam molekul selulosa dapat dilihat melalui derajat polimerisasinya (DP). Derajat polimerisasi didefinisikan sebagai berikut: DP = bobot molekul selulosa bobot molekul satu unit glukosa

32 11 Derajat polimerisasi dapat ditentukan secara viskometri. Derajat polimerisasi selulosa sangat bervariasi, nilai DP bergantung pada sumber dan perlakuan yang diberikan. Perlakuan kimia secara intensif seperti pembuatan pulp, pengelantangan, dan transfromasi akan sangat menurunkan harga DP. Proses delignifikasi dan ekstraksi juga dapat menurunkan DP selulosa. Selain itu, semakin tua umur pohon, maka derajat polimerisasi juga semakin menurun (Fengel dan Wegener 1995). Derajat polimerisasi juga menggambarkan perkiraan bobot molekul dari selulosa. Tabel 2 menyajikan derajat polimerisasi berbagai bahan yang mengandung selulosa. Tabel 2 Derajat polimerisasi berbagai jenis selulosa Bahan Kisaran DP Native cotton Up to Scoured & bleached cotton Wood pulp Man-made cellulose filaments and fibers Cellulose powders (prepared by partial hyrolysis and mechanical disintegration) Sumber: Klemm et al. (1998) Selulosa memiliki struktur yang unik karena kecenderungannya membentuk ikatan hidrogen yang kuat. Ikatan hidrogen intramolekular terbentuk antara: (1) gugus hidroksil C3 pada unit glukosa dan atom cincin piranosa yang terdapat pada unit glukosa terdekat, (2) gugus hidroksil pada C2 dan atom pada C6 unit glukosa tetangganya. Ikatan hidrogen antarmolekul terbentuk antara gugus hidroksil C6 dan atom pada C3 di sepanjang sumbu b (Gambar 3). Dengan adanya ikatan hidrogen serta gaya van der Waals yang terbentuk, maka struktur selulosa dapat tersusun secara teratur dan membentuk daerah kristalin. Di samping itu, juga terbentuk rangkaian struktur yang tidak tersusun secara teratur yang akan membentuk daerah nonkristalin atau amorf. Semakin tinggi packing density-nya maka selulosa akan berbentuk kristal, sedangkan semakin rendah packing density maka selulosa akan berbentuk amorf. Derajat kristalinitas selulosa dipengaruhi oleh sumber dan perlakuan yang diberikan. Rantai-rantai selulosa akan bergabung menjadi satu kesatuan membentuk mikrofibril, dimana bagian

33 12 kristalin akan bergabung dengan bagian nonkristalin. Mikrofibril-mikrofibril akan bergabung membentuk fibril, selanjutnya gabungan fibril akan membentuk serat (Gambar 4). Gambar 3 Ikatan hidrogen intra dan antar rantai selulosa (Klemm et al. 1998). Gambar 4 Model fibril struktur supramolekul selulosa (Klemm et al. 1998).

34 13 Ela Sagu Ela sagu (hampas) adalah limbah padat selain kulit batang yang dihasilkan pada saat ekstraksi pati sagu (Metroxylon sagu). Pada saat ekstraksi pati sagu akan dihasilkan 3 (tiga) limbah, yaitu kulit batang sagu (bark), limbah padat berserat (ela sagu~hampas), dan air limbah. Skema ekstraksi pati sagu disajikan pada Gambar 5. Sago Pith Debarking Bark Pulping Starch Extraction Drying & Packing ampas Wastewater Fiber Starch Gambar 5 Skema ekstraksi pati sagu. Jumlah ela sagu yang dihasilkan pada setiap proses ekstraksi pati sagu bergantung pada kualitas proses ekstraksi di tempat tersebut. Menurut Awg-Adeni et al. (2010), ela sagu mengandung sekitar 66% pati dan 14% serat kasar serta 25% lignin. Pada proses ekstraksi pati sagu, limbah padat berserat yang masih mengandung sedikit pati merupakan masalah utama, khususnya untuk pabrik berskala besar, karena jumlahnya yang sangat banyak. Penanganan limbah ela sagu ini juga sulit karena kelembabannya yang tinggi sehingga tidak mudah kering dan masih mengandung pati. Pada kondisi ini, ela sagu mudah menjadi media tumbuh mikroorganisme. Selain pati, ela sagu mengandung sejumlah selulosa dan lignin. Beberapa kajian tentang pemanfaatan ela sagu telah dilaporkan pada pohon industri sagu yang disajikan pada Gambar 6.

35 14 bat tradisional Daun Atap, dinding Tumang Kerajinan Kertas Sagu Kulit Batang Papan partikel Lantai Bahan bakar Salad Dressing Batang Sagu Makanan Siklodektrin Sirup glukosa Roti Mie Cookies dll bioplastik Bahan kimia Pati Sagu bioetanol lem Biofuel Farmasi plywood tekstil Asam Sitrat Asam Laktat Pakan ternak Papan partikel Ela Sagu Kompos Kultur media Biosorben Fermentable sugars Gambar 6 Pohon industri sagu.

36 15 Bagas Tebu Ampas tebu atau lazimnya disebut bagas (bagasse) adalah hasil samping dari proses ekstraksi (pemerahan) cairan tebu di pabrik gula. Gambar 7 menyajikan proses pembuatan gula pada pabrik gula. Gambar 7 Proses pembuatan gula pada pabrik gula. Bagas tebu mengandung air 48-52%, rerata gula 3,3% dan rerata serat 47,7%. Menurut Samsuri et al. (2007), serat dari bagas tebu tidak dapat larut dalam air dan komposisi lignoselulosa pada ampas tebu terdiri atas 52,7% selulosa, 20% hemiselulosa, dan 24,2% lignin (berdasarkan bobot kering). Dengan komposisi selulosa yang cukup tinggi, ampas tebu berpotensi untuk dimanfaatkan oleh industri lainnya. Beberapa pemanfaatan bagas tebu dapat dilihat pada pohon industri dari tanaman tebu yang disajikan pada Gambar 8.

37 16 Gambar 8 Pohon industri tebu.

38 17 Jerami Padi Jerami padi adalah limbah pertanian yang dihasilkan dalam jumlah cukup banyak setiap tahunnya. Jerami padi dihasilkan sebagai proses penggabahan. (Gambar 9). Pohon industri dari tanaman padi disajikan pada Gambar 10. Gambar 9 Proses menghasilkan padi. Komponen utama dinding sel jerami padi adalah selulosa. Di dalam dinding sel ini, rantai selulosa akan terikat melalui ikatan hidrogen membentuk beberapa mikrofibril dengan panjang beberapa milimeter dan diameter beberapa nanometer (Chen et al. 2011). Pada musim panen, kadar air jerami padi mencapai 60% berdasarkan bobot basah. Akan tetapi setelah dikeringkan dapat mencapai 10-12%. Jerami padi mempunya kadar abu yang tinggi mencapai 22% dan kandungan protein yang rendah (Abdel-Mohdy et al. 2009). Menurut Sun et al. (2000), komposisi jerami padi terdiri atas selulosa 36,5%, hemiselulosa 33,8%, lignin 12,3%, bahan ekstraktif 3,8%, abu 13,3%, dan silika 70,8%.

39 18 Gambar 10 Pohon industri padi.

40 19 Pencangkokan dan Taut Silang Penggabungan monomer dan polimer dapat dilakukan dengan berbagai teknik, di antaranya adalah dengan fisisorpsi, pencangkokan (grafting), dan taut silang (crosslinking) (Bhattacharya et al. 2009). Istilah fisisorpsi digunakan jika melibatkan ikatan secara fisik. Proses fisisorpsi ini adalah proses yang dapat balik (reversibel). Pencangkokan melibatkan ikatan secara kovalen dan bersifat tidak dapat balik (irreversibel). Teknik pencangkokan terbagi menjadi grafting to dan grafting from. Pada grafting to, polimer backbone membawa gugus fungsional X reaktif yang terdistribusi secara random dan bereaksi dengan polimer lain yang membawa gugus fungsi Y. Teknik grafting from terjadi jika polimer backbone membawa tapak aktif yang digunakan untuk menginisiasi polimerisasi monomer lain. Teknik grafting form akan menghasilkan polimer dengan derajat grafting yang tinggi. Proses grafting secara skematis disajikan pada Gambar 11a. Taut silang adalah menggabungkan polimer-polimer melalui suatu ikatan kimia. Pada sebagian kasus, taut silang bersifat tidak dapat balik. Ikatan yang terbentuk melalui taut silang dapat berbentuk intra- atau antarmolekul. Proses taut silang secara skematis disajikan pada Gambar 11b. Gambar 11 A Skema fisisorpsi (I), grafting to (II), grafting form (III); B Skema crosslinking antarmolekul (I) dan intramolekul (II)

41 20 Kromatografi Kromatografi berasal dari kata chroma yang berarti warna dan graphein yang artinya menulis. Kromatografi adalah salah satu teknik yang digunakan di laboratorium untuk pemisahan campuran. Pada prinsipnya semua kromatografi menggunakan dua cara, yaitu fase diam (stationary phase) dan fase gerak (mobile phase). Pemisahan bergantung pada gerakan relatif dari kedua fase ini. Keuntungan penggunaan teknik kromatografi adalah cepat, murah, dapat memisahkan campuran yang kompleks, dan membutuhkan analit yang sedikit (Miller 1975; Ahuja 2002). Pada beberapa jenis kromatografi, kolom merupakan tempat untuk memisahkan. Kolom selalu berbentuk tabung yang dapat diatur menjadi kumparan atau lurus. Jika suatu analit dimasukkan ke dalam alat kromatografi, maka akan ada waktu dimana analit ditahan oleh kolom. Waktu ini disebut waktu penahanan (t R ). Pada kondisi ideal dengan pemisahan yang sempurna, puncak yang dihasilkan oleh suatu campuran analit adalah berbentuk garis tipis (Gambar 12a), namun demikian kondisi ini jarang terjadi. Puncak yang sering didapatkan adalah puncak dengan bentuk kurva-kurva Gauss dengan pelebaran puncak (Gambar 12b), atau pada keadaan tertentu dapat dihasilkan puncak berekor dengan pemanjangan di muka. d A C D Injeksi B (a) W1 W2 (b) Gambar 12 Profil kromatogram.

42 21 Resolusi Pemisahan Resolusi pemisahan adalah pemisahan nyata antara 2 puncak yang saling berdekatan. Resolusi pemisahan (R) dinyatakan sebagai: 2d R = W1+ W 2 Jika R=1 maka pemisahan dikatakan 98%. Untuk pemisahan yang baik, maka R harus 1.5. al ini berarti pemisahan yang terjadi adalah 99.7% Pemisahan dari puncak-puncak dalam kromatogrfi erat hubungannya dengan dua faktor, yaitu: 1. Efisiensi Kolom: Pelebaran puncak merupakan hasil dari bentuk kolom dan kondisi operasi 2. Efisiensi Pelarut: asil dari interaksi antara cuplikan dengan fase diamnya. Efisiensi pelarut menentukan relatif dari jalur-jalur solut dalam suatu kromatogram. Efisiensi Kolom Efisiensi kolom diukur sebagai jumlah pelat teoritis (N). ETP (The height equivalent to a theoretical plate) didefinisikan sebagai: ETP = L N N adalah jumlah pelat teoritis dalam suatu kolom dan L adalah panjang kolom(cm). Efisiensi kolom tergantung pada: 1. Pelarut-fase diam 2. Analit/zat yang dilarutkan 3. Suhu 4. Kecepatan aliran 5. Ukuran dari analit

43 22 Efisiensi Pelarut Kromatografi dapat memisahkan campuran kompleks yang memiliki titik didih sama. Pada kondisi ini, pemisahan tidak akan bisa dilakukan melalui teknik distilasi. Pelarut mempunyai interaksi yang spesifik dengan analit. Pemisahan akan tergantung pada harga koefisien partisi (K). Efisiensi pelarut didefinisikan sebagai perbandingan dari koefisien partisi atau waktu retensi yang telah diatur. Profil kromatogram terkoreksi disajikan pada Gambar 13. X 2 X 2 Injeksi X udara Puncak udara X 1 X 1 Puncak 1 Puncak 2 Keterangan: X 1, X 2 adalah waktu retensi (volume) dari puncak 1,2 X 1, dan X 2 adalah waktu retensi terkoreksi Gambar 13 Profil kromatogram terkoreksi. Efisiensi pelarut (α) dinyatakan sebagai: α = x = x ' 2 ' 1 k k 2 1 Selain itu dapat didefinisikan juga faktor pemisahan (SF) sebagai: SF = x x 2 1 Faktor kapasistas untuk suatu pemisahan didefinisikan sebagai: k ' 2 = x ' 2 x udara

44 23 Koefisien partisi (K) akan tergantung pada suhu. arga K akan turun dengan meningkatnya suhu karena molekul-molekul akan tertahan lebih lama di dalam fase gas pada suhu yang tinggi dan efisiensi pelarut akan tetap pada kisaran suhu tertentu. Akan tetapi, pada suhu yang relatif tinggi, harga K akan menjadi sangat kecil sehingga pemisahan akan menjadi tidak sempurna. al ini disebabkan pemisahan hanya terjadi di fase cairnya saja. Secara umum dapat diperkirakan jumlah pelat teoritis (N) yang dibutuhkan dalam suatu pemisahan atau dengan kata lain dapat diperkirakan panjang kolom yang dibutuhkan untuk menghasilkan pemisahan yang baik, melalui persamaan berikut ini: N yangdibutuhkan = α k 2 ' ' R α x k dengan R adalah resolusi pemisahan, α adalah efisiensi pelarut, dan k 2 adalah faktor kapasistas. Material Sepator Senyawa selulosa dan turunan selulosa telah digunakan dalam teknologi separasi sebagai material separator, khususnya dalam teknik kromatografi misalnya pada kromatografi kertas sampai kromatografi cair kinerja tinggi. Aplikasi senyawa turunan selulosa sebagai penukar ion pada kromatografi lapis tipis dilaporkan memberikan hasil yang cepat dan akurat dalam pemisahan ion-ion anorganik pada konsentrasi yang kecil. Beberapa kajian terkait dengan pemisahan ion logam ini telah dilaporkan di antaranya menggunakan karboksimetil selulosa (CMC) (Shimizu et al. 1976), menggunakan selulosa fosfat (Shimizu et al. 1980), menggunakan polietilenimina-selulosa (Shimizu et al. 1989). Kajian beberapa material separator berbasis selulosa sebagai chiral stationary phases (CSP) telah dilaporkan di antaranya oleh Ficarra et al. (2000) melaporkan telah menggunakan kolom selulosa untuk memisahkan 1-metil-3- hidroksi-5-aril-2-pirolidinonat. Selain itu, kolom selulosa tris (3,5- dimetilfenilkarbamat untuk pemisahan 8 enansiomer,-dialkil-2-

45 24 benziloksikarbonilaminoarilmetil fosfonat (Yang et al. 2002). Lipka et al. (2005) melakukan pemisahan secara kiral pada derivat senyawa melatoninergat menggunakan kolom kiral berbasis selulosa. Su-lian et al. (2007) menggunakan etil selulosa (EC) dan paduan etil selulosa/selulosa asetat (EC/CA) sebagai column packing material pada PLC (high performance liquid chromatography). Temu Lawak Temu lawak (Curcuma xanthorrhiza) merupakan salah satu jenis tanaman unggulan yang mememilik banyak manfaat, di antaranya sebagai bahan tambahan makanan, obat-obatan, dan suplemen energi (wang et al. 2004). Klasifikasi tanaman temu lawak adalah sebagai berikut: kingdom Plantae, divisi Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, kelas Monocotyledonae, ordo Zingeberales, famili Zingiberaceae, genus Curcuma, dan spesies Curcuma xanthorrhiza. Temu lawak memiliki beberapa nama, misalnya koneng gede (Jawa Barat), temu lawak (Jawa Tengah), temu lobak (Madura), dan tetemu lawak (Sumatera) (Supriadi 2001). Temu lawak termasuk tanaman tahunan yang tumbuh merumpun. Setiap rumpun tanamannya terdiri atas beberapa anakan dengan 2-9 helai daun. Temu lawak memiliki rimpang dengan daging rimpang berwarna kuning, berbau tajam, dan terasa pahit. Tanaman dan rimpang temu lawak disajikan pada Gambar 14. (a) (b) Gambar 14 (a) Tanaman temu lawak dan (b) rimpang temu lawak. Kandungan rimpang temu lawak segar terutama terdiri atas pati (48-59,64%), kurkuminoid (1,6-2,2%), dan minyak atsiri (1,48-1,63%). Kandungan utama minyak atsiri dalam rimpang temu lawak adalah xantorizol dan oleoresin.

46 25 Temu lawak dilaporkan memiliki berbagai aktivitas biologis seperti antitumor, antiinflamasi, antioksidan, hepatoprotektif, dan antibakteri (Ravindran et al. 2007). Sementara itu, Irawati (2008) melaporkan bahwa kapasitas antioksidan temu lawak menggunakan metode CUPRAC dengan pelarut TF sebesar 131,5937 µmol tr/g ekstrak. Aktivitas tersebut disebabkan adanya senyawa aktif dalam temu lawak, terutama kurkuminoid dan xantorizol (wang et al. 2004) Temu lawak dapat dimanfaatkan untuk mengobati berbagai macam penyakit, yaitu gangguan hati, demam, sakit kuning, pegal-pegal, sembelit, perangsang air susu, dan obat peluruh haid. Selain itu, rimpang temu lawak juga berkhasiat untuk obat kejang, antijerawat, malaria, diare, kurang nafsu makan, kurang darah, cacar air, radang lambung, getah empedu, cacingan, kencing darah, dan radang ginjal (Sidik et al. 1995). Kurkuminoid (Gambar 15a) merupakan komponen yang memberi warna kuning atau jingga pada rimpang temu lawak, berbentuk serbuk, berasa pahit, memiliki aroma yang khas, dan tidak bersifat toksik. Senyawa ini larut dalam aseton, alkohol, asam asetat glasial, dan alkali hidroksida kurkuminoid berkhasiat menetralkan racun, menurunkan kadar kolesterol dan trigliserida darah, antibakteri, analgesik, dan antiinflamasi (Ravindran et al. 2007). Xantorizol (Gambar 15b) merupakan komponen khas minyak atsiri yang dapat diisolasi dari rimpang temu lawak. Senyawa ini termasuk ke dalam kelompok seskuiterpena dengan tipe bisabolen (Itokawa et al. 1984, Aguilar et al. 2001). Xantorizol tidak berwarna dan rasanya sangat pahit (Itokawa et al. 1984). Xantorizol memiliki aktivitas membantu relaksasi pembuluh darah (Campos et al. 2000), antibakteri perusak gigi sehingga dapat digunakan dalam produk makanan dan pasta gigi (wang et al. 2004), dan antitumor (Chung et al. 2007).

47 26 Keterangan : 1. Kurkumin R 1 = R 2 = C 3 2. Demetoksikurkumin R 1 =, R 2 = C 3 3. Bisdemetoksikurkumin R 1 = R 2 = a. Struktur kimia kurkuminoid. b. Struktur kimia xantorizol. Gambar 15 Struktur kimia kurkuminoid (a) dan xantorizol (b) Analisis Finansial dan Nilai Tambah Dalam pendirian suatu pabrik terdapat investasi, yaitu kegiatan yang menuntut akan waktu yang singkat, dan tingkat keyakinan yang tinggi akan keberhasilan suatu pertukaran penggunaan untuk harapan berkembangnya penggunaan tersebut di masa mendatang (olmes 1998). Menurut Sutojo (2002), kajian terhadap keadaan dan prospek suatu industri dilakukan atas aspek-aspek tertentu di antaranya aspek pasar dan pemasaran, aspek produksi, teknis dan teknologis, aspek manajemen dan sumber daya manusia serta aspek keuangan dan ekonomi. Masalah yang dikaji dalam aspek finansial dan ekonomi adalah keuntungan proyek. Evaluasi finansial dimaksudkan untuk memperkirakan jumlah dana yang diperlukan, baik untuk dana tetap maupun modal kerja awal. Pada evaluasi aspek finansial juga dipelajari struktur pembiayaan serta sumber dana modal yang digunakan, berapa bagian dari jumlah kebutuhan dana tersebut yang wajar

48 27 dibiayai dengan pinjaman dari pihak ketiga, serta dari mana sumbernya dan berapa besarnya. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam analisis finansial, yaitu modal investasi, modal kerja, dan penyusutan. Menurut Kadariah et al. (1999), analisis finansial suatu proyek memandang perbandingan pengeluaran uang dan perolehan keuntungan dari proyek tersebut. Bila analisis tersebut menunjukkan keuntungan (benefit) yang bernilai positif, maka rencana proyek dapat dilanjutkan. Bila sebaliknya yaitu bernilai negatif, maka rencana investasi tersebut sebaiknya dibatalkan. Analisis finansial dapat dilakukan dengan menghitung biaya investasi dan biaya produksi, yang kemudian dinilai kelayakan investasinya melalui beberapa penilaian di antaranya Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Net Benefit-Cost Ratio (net B/C), Break Even Point (BEP), Pay Back Period (PBP), dan analisis sensitivitas. Di dalam penelitian ini, penilaian terhadap analisis finansial dilakukan terhadap (a) analisis biaya dan pendapatan yang meliputi biaya produksi, penerimaan, dan keuntungan; (b) rasio B/C; dan (c) nilai BEP Nilai tambah adalah pertambahan nilai yang terjadi karena suatu komoditi mengalami proses pengolahan, pengangkutan, dan penyimpanan dalam suatu proses produksi (penggunaan/pemberian input fungsional). Menurut Gumbira dan Intan (2000), nilai tambah agroindustri adalah nilai yang tercipta dari kegiatan mengubah input pertanian menjadi produk pertanian atau yang tercipta dari kegiatan mengolah hasil pertanian menjadi produk akhir. Nilai tambah dipengaruhi oleh faktor teknis dan nonteknis. Informasi atau keluaran yang diperoleh dari hasil analisis nilai tambah adalah besarnya nilai tambah, rasio nilai tambah, marjin, dan balas jasa yang diterima oleh pemilik-pemilik faktor produksi (ayami et al. 1987).

49 METDE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia Terpadu, Laboratorium Kimia Fisik, dan Laboratorium Kimia rganik-departemen Kimia, Institut Pertanian Bogor. Beberapa pencirian juga dilakukan di laborotorium pendukung lainnya, seperti di Puslitbang utan, Bogor dan di Faperta IPB. Waktu penelitian berlangsung dari bulan Januari 2010-ktober 2011 Rancangan Penelitian Penelitian rekayasa biopolimer ini dilakukan dalam beberapa tahapan, meliputi: 1. Preparasi dan pencirian bahan baku limbah pertanian berbasis selulosa 2. Isolasi dan pencirian selulosa 3. Rekayasa biopolimer dengan teknik kopolimerisasi cangkok dan taut silang untuk menghasilkan material separator 4. Uji kinerja material separator 5. Analisis nilai tambah Tahapan penelitian ini disajikan secara skematis pada bagan alir (Gambar 16).

50 30 Limbah Pertanian berbasis Selulosa Sampling Bahan Baku Air, Na, Cl, 2 2 Preparasi dan Isolasi Residu dan pereaksi sisa Biopolimer (Selulosa) Monomer, inisiator, crosslinker Rekayasa Biopolimer omopolimer pereaksi sisa 3 Prototipe Material Separator (ela, bagas, jerami) Uji Kinerja & Seleksi Analisis Nilai Tambah 1 Prototipe Material Separator Terbaik Gambar16 Bagan alir penelitian.

51 31 Preparasi dan Pencirian Bahan Baku Limbah Pertanian Berbasis Selulosa Bahan baku yang akan digunakan dalam penelitian ini berupa limbah pertanian berbasis selulosa, yaitu: a) ampas tebu (bagas) yang diperoleh dari pabrik gula Modjopanggung di Tulungagung, Jawa Timur, b) ela sagu yang diperoleh dari industri pengolahan sagu di Cimahpar, Kab. Bogor, Jawa Barat, dan c) jerami padi dari daerah Kab. Purwakarta, Jawa Barat. Masing-masing bahan baku dicuci dan dihaluskan dengan ukuran kira-kira 100 mesh serta dicampur secara homogen. Bahan baku yang telah mengalami perlakuan tersebut terlebih dahulu dicirikan melalui analisis proksimat, seperti karbohidrat, protein, lemak, mineral, dan air dengan mengacu pada metode standar (AAC 2005). Selain itu, komposisi selulosa, hemiselulosa, dan lignin juga akan ditentukan dengan mengacu pada metode standar TAPPI (1961) dan ASTM (1981). Rincian tahapan penelitian ini disajikan pada bagian Isolasi dan Pencirian Selulosa. Isolasi dan Pencirian Selulosa Tahap isolasi selulosa diawali dengan penghilangan protein dan lemak melalui teknik ekstraksi Soxhlet menggunakan campuran toluena-etanol 2:1 v/v. Tahap selanjutnya adalah delignifikasi dan demineralisasi (dengan perlakuan asam) dan dilanjutkan dengan fraksionasi untuk memperoleh isolat selulosa. Isolat yang diperoleh kemudian dikeringkan dan dibuat dalam bentuk bubuk (100 mesh). Isolat ini lebih lanjut akan digunakan sebagai bahan backbone untuk pembuatan material separator. Tahap berikutnya adalah pencirian terhadap isolat selulosa ini, seperti penentuan derajat polimerisasi secara viskometri, analisis morfologi permukaan dengan teknik SEM, profil gugus fungsi melalui spektrum inframerah, dan analisis termal dengan teknik thermal gravimetric. asil pencirian ini akan digunakan sebagai pembanding sekaligus sebagai data pantau keberhasilan tahapan rekayasa biopolimer. Rincian tahapan penelitian ini disajikan pada bagian Isolasi dan Pencirian Selulosa.

52 32 Rekayasa Biopolimer Rekayasa biopolimer dilakukan dengan teknik kopolimerisasi cangkok dan taut silang secara radikal bebas yang mengacu pada metode Doane (2009) dalam atmosfir inert (menggunakan gas nitrogen). Monomer yang akan digunakan adalah jenis akrilamida (Am), sedangkan sebagai inisiator dan penaut silang berturut-turut adalah amonium persulfat (APS) dan N,N -metilena-bis-akrilamida (MBAm). Kajian pengaruh penaut silang terhadap total substrat akan dilakukan. Keberhasilan rekayasa ini akan dipantau dengan paduan teknik fourier transform infrared (FTIR) spectrometric dan gravimetrik. Melalui spektrum FTIR akan diperoleh informasi menyangkut keberlangsungan proses grafting-crosslinking copolimerization secara kualitatif, sedangkan teknik gravimetrik (kuantitatif) akan digunakan untuk mengevaluasi kopolimerisasi cangkok dan taut silang menggunakan parameter nisbah pencangkokan dan efisiensi pencangkokan. Rincian tahapan penelitian ini disajikan pada bagian Rekayasa Biopolimer dengan Teknik Pencangkokan dan Taut Silang. Uji Kinerja Material Separator Uji kinerja akan dilakukan terhadap satu prototipe material separator terbaik hasil prototipe potensial yang diperoleh pada tahap sebelumnya. Evaluasi kinerja meliputi resolusi dan efisiensi pemisahan mengacu pada Ahuja (2002). Uji kinerja material separator dilakukan dengan mengaplikasikan material separator untuk pemisahan senyawa aktif xantorizol ekstrak kasar temu lawak dengan teknik kromatografi. Analisis Finansial dan Nilai Tambah Analisis finansial dan nilai tambah dilakukan terhadap satu prototipe yang digunakan pada tahap uji kinerja material separator. Analisis finansial dilakukan untuk melihat besarnya penerimaan, pengeluaran, pendapatan, rasio B/C, titik impas (BEP), serta analisis nilai tambah berdasarkan metode hayami.

53 ISLASI DAN PENCIRIAN SELULSA DARI ELA SAGU, BAGAS TEBU, DAN JERAMI PADI Abstrak Selulosa diisolasi dari ela sagu, bagas tebu, dan jerami padi. Delignifikasi dilakukan dengan metode peroksida bersuasana basa ( 2 2 5% p 12 T=70 C, t=3 jam) pada contoh yang telah diberi perlakukan basa pekat (Na). Rendemen polisakarida yang dihasilkan dari ela sagu, bagas tebu, dan jerami padi adalah 5, 41, 11%, yang mengandung α-selulosa sebesar 62,53-77,47% dan sisa lignin sebesar 0,81-1,62%. Isolat selulosa dikaji melalui teknik degradasi seperti analisis termal dan teknik non-degradasi seperti spektroskopi FTIR dan mikroskopi elektron pemayaran. Selain itu, juga ditentukan indeks kristalinitas dari masingmasing isolat selulosa. Spektrum FTIR, mikrograf, dan kurva analisis termal menunjukkan bahwa sebagian besar isolat yang dihasilkan adalah selulosa. Kata kunci: selulosa, isolasi, hidrogen peroksida Abstract Cellulose were isolated from sago waste, sugarcane bagasse, and rice staw. Delignification was carried out by alkaline peroxide method ( 2 2 5% p 12 T=70 C, t=3 jam) after extraction with concentrated alkali (Na). The polysaccharide yields from sago waste, sugarcane baggase, and rice straw were 5, 41, 11%, which contained 62,53-77,47% α-cellulose and 0,81-1,62% remaining lignin. The cellulose isolates were comparatively studied by both degradation technique such as thermal analysis and non-degradation techniques such as FTIR spectroscopy and scanning electron microscopy (SEM), and the cristallinity index was also comparatively estimated. FTIR spectrum, SEM micrograph, and thermal analysis curve confirmed that the isolates were cellulose. Keywords: cellulose, isolation, hydrogen peroxide

54 34 Pendahuluan Selulosa adalah komponen utama yang terdapat pada jaringan tanaman, yaitu sekitar 30-50% bagian jaringan tanaman. Secara kimia, selulosa adalah polimer alam berantai lurus dari monomer anhidroglukosa yang terikat secara β- 1,4-glikosida. Selulosa merupakan komponen utama pada tumbuhan tinggi, seperti kayu, kapas, tebu, serat rami, jerami (Sun et al. 2004a). Limbah hasil pertanian seperti ela sagu, bagas tebu, dan jerami padi merupakan sumber selulosa yang potensial. Di Indonesia, ketiga limbah pertanian ini dapat ditemukan dalam jumlah yang cukup banyak. Limbah jerami padi mencapai 94,23 juta ton (Kim dan Dale 2004; BPS 2010), ela sagu sebesar 58,08 juta ton (Rumalatu 1981 yang diacu Matitaputty dan Alfons 2006; Papilaya 2009), dan bagas tebu 9,9 juta ton (Direktorat Jenderal Perkebunan 2010). Ketiga jenis limbah pertanian ini belum dimanfaatkan secara optimal. leh karena itu, pemanfaatan limbah pertanian berbasis selulosa untuk mendapatkan nilai tambahnya menarik untuk terus dikaji lebih lanjut. Kebutuhan selulosa sebagai bahan baku potensial yang banyak digunakan di sejumlah industri merupakan daya tarik dalam pengembangan kajian metode isolasinya. Berbagai kajian yang berkaitan dengan teknik isolasi selulosa dari kayu atau bahan organik lainnya terus dikembangkan. Umumnya selulosa ditemukan tidak dalam bentuk murni melainkan berada bersama-sama dengan senyawa lain seperti hemiselulosa dan lignin, oleh karena itu fokus kajian dalam pengembangan metode isolasinya adalah memperoleh metode isolasi yang efektif dan efisien untuk menghilangkan senyawa-senyawa selain selulosa tersebut. Metode konvensional yang sering digunakan untuk menghilangkan lignin adalah metode yang dikembangkan oleh Green pada tahun 1963, yaitu menggunakan natrium klorit (NaCl 2 ) dalam suasana asam sebagai tahap awal untuk mengisolasi selulosa. Namun, pereaksi yang mengandung klorin (Cl - 2 ) ini menimbulkan masalah lingkungan yang cukup serius sehingga perlu dikembangkan metode penghilangan lignin yang lebih ramah lingkungan dengan menggunakan pereaksi yang tidak mengandung klorin, misalnya ozon, oksigen, hidrogen peroksida (Kham et al. 2005). Beberapa kajian penggunaan hidrogen peroksida pada tahap penghilangan lignin telah dilaporkan. Beberapa di antaranya

55 35 telah digunakan pada tahap isolasi selulosa dari jerami Barley (Sun et al. 2005), jerami gandum (Sun et al. 2004b), dan bagas tebu ( Sun et al. 2004a). Tahap penelitian ini bertujuan mendapatkan (1) selulosa dari berbagai limbah pertanian, yaitu ela sagu, bagas tebu, dan jerami padi melalui tahap asidifikasi, pulping, dan delignifikasi menggunakan hidrogen peroksida (2) karakteristik isolat selulosa melalui analisis komponen kimia, analisis derajat polimerisasi dengan teknik viskometri, analisis gugus fungsi dengan teknik spektroskopi IR (infrared), analisis morfologi permukaan dengan teknik mikroskopi, analisis kristalinitas dengan teknik difraksi sinar X, dan analisis termal. Bahan dan Metode Bahan dan Alat Ela sagu diperoleh dari industri pengolahan sagu di daerah Cimahpar, Bogor. Bagas tebu diperoleh dari pabrik gula tebu Modjo Panggung, Tulungagung, Jawa Timur. Jerami padi diperoleh dari daerah Dramaga, Bogor. Pereaksi yang digunakan di antaranya Cl p.a (E-Merck), 2 2 p.a (E-Merck), pelet Na murni (E-Merck). Semua pereaksi langsung dipakai tanpa perlakuan awal terlebih dahulu. Peralatan yang dipakai adalah peralatan gelas, oven, dan peralatan instrumen yang digunakan pada tahap pencirian. Metode Penelitian Tahap Isolasi Isolasi Selulosa Ampas Sagu. Ampas sagu dikeringkan di bawah sinar matahari kemudian digiling sampai berukuran sekitar 100 mesh (A 1 ). Ampas sagu kering selanjutnya dianalisis komponen kimianya. Contoh A 1 ditambahkan sejumlah akuades dan diaduk dengan pengaduk magnet selama 5 menit. Campuran disaring dan pencucian dilakukan tiga kali sehingga diperoleh residu A 2. Contoh A 2 ditambahkan Cl 3% untuk pembebasan pati. Campuran dipanaskan pada suhu 80 C selama 30 menit sambil diaduk. Campuran disaring dan dinetralkan dengan akuades sehingga diperoleh residu A 3. Contoh A 3 kemudian ditambahkan larutan 2 2 5% p = 12 untuk penghilangan lignin. Campuran lalu dipanaskan pada

56 36 suhu 70 C sambil diaduk pada kecepatan 1000 rpm selama 3 jam. Selanjutnya, campuran disaring dan dinetralkan dengan akuades. Tahapan ini diulang berturutturut untuk 3 jam dan 2 jam. Residu hasil perlakuan pada tahap ini adalah holoselulosa ampas sagu (A 4 ). Kemudian contoh A 4 ditambahkan larutan Na 10%, selanjutnya campuran dimaserasi pada suhu 20 C selama 10 jam. Campuran disaring dan dinetralkan dengan akuades. Residu yang diperoleh pada tahap ini adalah selulosa ampas sagu (A 5 ). Isolasi Selulosa Ampas Tebu. Ampas tebu yang telah kering digiling sampai berukuran 100 mesh (B 1 ). Ampas tebu giling selanjutnya dianalisis komponen kimianya. Contoh B 1 ditambahkan akuades dan diaduk dengan pengaduk magnet selama 5 menit. Campuran disaring dengan pencucian dilakukan tiga kali kemudian residu dikeringkan pada suhu 50 C hingga bobotnya konstan. Residu hasil penyaringan tersebut telah bebas dari komponen polisakarida yang larut dalam air (B 2 ). Contoh B 2 ditambahkan Na 4% dan dipanaskan pada suhu 80 C selama 4 jam. Campuran kemudian disaring dengan bantuan vakum. Kemudian, residu yang diperoleh dari penyaringan dicuci dengan akuades hingga p filtratnya tidak berubah dan diperoleh contoh B 3 yang selanjutnya dikeringkan pada suhu 50 C hingga bobotnya konstan. Contoh B 3 ditambahkan 500 ml larutan 2 2 5% p 12 dan dipanaskan dalam penangas air bersuhu 70 C yang dijaga konstan selama 3 jam kemudian campuran disaring dan endapannya dicuci dengan akuades sampai p netral. Perlakuan dengan larutan peroksida diulang kembali 2 kali dengan penambahan waktu pemanasan berturut-turut 3 jam dan 2 jam. Setelah itu, campuran disaring dan endapan dicuci hingga p netral dan dikeringkan dalam oven bersuhu 60 C. Residu yang diperoleh adalah selulosa bagas tebu (B 4 ). Isolasi Selulosa Jerami Padi. Jerami padi kering digiling sampai berukuran 100 mesh (C 1 ). Jerami padi giling selanjutnya dianalisis komponen kimianya. Contoh C 1 ditambahkan akuades dan diaduk dengan pengaduk magnet selama 5 menit. Campuran disaring dan pencucian dilakukan tiga kali. Residu kemudian dikeringkan pada suhu 50 C hingga bobotnya konstan. Contoh jerami padi tersebut telah bebas dari komponen polisakarida yang larut dalam air (C 2 ). Contoh C 2 ditambahkan Cl 3% untuk melarutkan mineral yang terkandung di dalam

57 37 jerami padi. Sejumlah contoh C 2 ditambahkan larutan Na 20%, kemudian campuran dipanaskan pada suhu 80 C selama 2 jam. Campuran disaring dan endapannya dicuci dengan akuades hingga p filtratnya netral. Residu dikeringkan pada suhu 50 C hingga bobotnya konstan (C 3 ). Contoh C 3 ditambahkan larutan 2 2 5% p 12 dan dipanaskan dalam penangas air bersuhu 70 C yang dijaga konstan selama 3 jam kemudian campuran disaring dan endapannya dicuci dengan akuades sampai p netral. Perlakuan dengan larutan peroksida diulang kembali 2 kali dengan penambahan waktu pemanasan berturutturut 3 jam dan 2 jam. Setelah itu, campuran disaring dan endapan dicuci hingga p netral dan dikeringkan dalam oven bersuhu 60 C. Residu yang diperoleh adalah selulosa jerami padi (C 4 ). Pencirian Analisis Komponen Kimia. Analisis komponen kimia dilakukan terhadap bahan baku awal dengan analisis proksimat, seperti karbohidrat, protein, lemak, mineral, dan air dengan mengacu pada metode standar SNI (1992) dan AAC (2005). Selain itu, komposisi selulosa, hemiselulosa, dan lignin juga ditentukan dengan mengacu pada metode standar TAPPI (1961) pada contoh bahan baku dan isolat selulosa. Analisis Gugus Fungsi dengan Spektrometer FTIR. Spektra IR isolat selulosa direkam melalui spektrometer FTIR Perkin Elmer Spectrum ne menggunakan pelet KBr dari bilangan gelombang 4000 cm -1 sampai 400 cm -1 dengan resolusi 8 cm -1 dan pemayaran 45 x per contoh. Analisis Morfologi Permukaan dengan Mikroskop Elektron Pemayaran (Scanning Electron Microscope, SEM). Produk hasil isolat ditempelkan di atas tempat contoh menggunakan perekat elektrokonduktif. Pengamatan morfologi dilakukan pada JEL 6400 mikroskop elektron dengan tegangan 20 kv. Analisis Kristalinitas dengan Difraktometer Sinar X. Difraksi sinar X dihasilkan oleh difraktometer Rigaku D/Max Radiasi yang digunakan adalah Ni-filtered Cu Kα pada panjang gelombang 0,1541 nm. Difraktometer dioperasikan pada 40 kv dan 200 ma. Contoh dipayar pada kisaran 2θ = Kristalinitas dihitung berdasarkan: CrI (%) = [(I 002 -I am )/I 002 ] x 100, dengan CrI

58 38 adalah indeks kristalinitas, I 002 adalah intensitas maksimum pada kisi difraksi 002, dan I am adalah intesitas puncak fasa amorf. Analisis Termal dengan TG/DTA. Thermogravimetric (TG) dan differential thermogravimetric analysis (DTA) dilakukan dengan DTG-60 FC-60A TA- 60WS. Suhu yang digunakan mulai 27 sampai 600 C dengan laju pemanasan 10 C menit -1. asil dan Pembahasan Selulosa adalah polisakarida yang jumlahnya paling melimpah di alam. leh karena ketersediaannya yang banyak dan bersifat dapat diperbarui serta keteraturan strukturnya, selulosa merupakan polimer alami yang murah dengan sifat fisik dan kimia yang khas. Selulosa dapat diperoleh melalui: (1) pemisahan poliosa utama dan sisa lignin dari holoselulosa, (2) isolasi langsung dari kayu, dan (3) penentuan kandungan selulosa dengan hidrolisis total kayu, holoselulosa atau selulosa alfa diikuti dengan penentuan gula yang dihasilkan (Fengel dan Wegener 1984; Achmadi 1990). Metode isolasi selulosa yang umum digunakan (Metode A) melibatkan penghilangan senyawa lipid, gula, protein, serta senyawa minor lainnya dengan ekstraksi pelarut (tahap delipifikasi), penghilangan lignin melalui pemutihan (bleaching) pada suasana asam dengan larutan NaCl 2 (tahap delignifikasi), selanjutnya penghilangan hemiselulosa dengan hidrolisis menggunakan larutan Na pekat. Dalam penelitian ini, terdapat modifikasi terhadap metode isolasi yang umumnya digunakan (Metode B), yaitu dengan melakukan tahap penghilangan hemiselulosa terlebih dahulu setelah tahap delipifikasi. Menurut Zhou et al. (2010), modifikasi metode isolasi dengan melakukan penghilangan hemiselulosa terlebih dahulu akan menghasilkan selulosa yang lebih murni. Selain itu, pereaksi yang digunakan pada tahap delipifikasi diganti dari benzena:etanol 2:1 v/v menjadi toluena:etanol 2:1 v/v. Pelarut benzena diketahui lebih bersifat karsinogenik dibandingkan dengan pelarut toluena. Selanjutnya, pereaksi pada tahap delignifikasi juga diganti dengan 2 2 yang telah banyak dilaporkan sebagai pereaksi yang lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan NaCl 2.

59 39 Gambar 17 menyajikan metode isolasi selulosa secara umum (A) dan metode isolasi selulosa yang digunakan dalam penelitian ini (B). Delipifikasi dengan pelarut Sumber Lignoselulosa oloselulosa + Lignin Delipifikasi dengan pelarut Sumber Lignoselulosa oloselulosa + Lignin Delignifikasi dengan C 3 C/NaCl 2 oloselulosa Penghilangan hemiselulosa dengan Na pekat Selulosa + Lignin Penghilangan hemiselulosa dengan Na pekat Selulosa A Delignifikasi dengan 2 2 Selulosa B Gambar 17 Metode isolasi selulosa secara umum (A) dan metode isolasi selulosa yang digunakan dalam penelitian ini (B). Komponen Kimia Analisis proksimat dilakukan terhadap 3 bahan baku, yaitu ela sagu, bagas tebu, dan jerami padi. Analisis proksimat yang dilakukan meliputi penentuan kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, dan kadar karbohidrat total. Selanjutnya, dilakukan juga analisis komponen kimia seperti kandungan α- selulosa, holoselulosa, hemiselulosa, dan lignin. Jumlah kandungan komponen kimia bahan baku awal selanjutnya dibandingkan dengan isolat selulosa yang diperoleh untuk mengevaluasi keberhasilan tahap isolasi. asil analisis proksimat dan komponen kimia adalah karakteristik untuk setiap bahan baku. Ela Sagu. Dari ketiga bahan baku yang digunakan, ela sagu memiliki kadar air yang cukup tinggi, yaitu 10,17% (Lampiran 1). Menurut Silahooy (2006), kadar air ela sagu segar dapat mencapai 18%. Kadar air yang cukup tinggi ini menyebabkan penanganan bahan baku ela sagu menjadi lebih sulit dibandingkan dua bahan baku lainnya. Ela sagu segar tidak dapat langsung disimpan melainkan

60 40 harus segera dikeringkan sesaat setelah dilakukan pengambilan contoh karena ela sagu akan mudah menjadi media tumbuh jamur atau mikroorganisme. Berdasarkan komposisi komponen kimia, ela sagu memiliki komposisi komponen kimia yang paling kecil jika dibandingkan dari ketiga bahan baku yang digunakan (Gambar 18). Ela sagu memiliki kandungan selulosa alfa sebesar 22,45% dan lignin 11,52%. Ela sagu memiliki kandungan pati cukup besar, yaitu 47,03% (selisih kandungan karbohidrat total dan holoselulosa). Kandungan pati yang cukup besar ini menunjukkan bahwa proses ekstraksi pati sagu yang dilakukan di tempat pengambilan contoh masih belum efektif. Kandungan pati yang cukup besar ini menjadi pertimbangan khusus pada tahap awal isolasi selulosa dari ela sagu. Pemanfaatan air panas (ASTM D ) yang semula digunakan untuk menghilangkan polisakarida pati menjadi tidak efektif dan tidak efisien karena untuk mendapatkan preparat ela sagu yang bebas pati membutuhkan air panas dalam jumlah yang cukup besar dan waktu yang lama. leh karena itu, pada tahap awal isolasi pada ela sagu digunakan larutan asam encer untuk menghidrolisis pati tersebut. Selain dapat menghidrolisis pati, perlakuan dengan asam dapat juga digunakan untuk menghidrolisis hemiselulosa menjadi mono atau oligosakarida yang dapat larut sehingga lebih mudah untuk diekstraksi (Zhang et al. 2010). Bagas Tebu. Berdasarkan kandungan komponen kimia bahan baku (Gambar 18), bagas tebu memiliki kandungan selulosa alfa yang paling tinggi (43,06%), selanjutnya diikuti oleh jerami padi dan ela sagu. Kandungan selulosa alfa yang tinggi menjadikan bagas tebu sebagai sumber selulosa yang potensial. Namun demikian, kandungan lignin pada bagas tebu juga relatif tinggi. al ini menjadi pertimbangan khusus pada tahap penghilangan senyawa lignin untuk mendapatkan selulosa dari bagas tebu. Dalam penelitian ini, penghilangan senyawa lignin pada isolasi selulosa dari bagas tebu menggunakan larutan 2 2 5%. Konsentrasi 2 2 yang digunakan ini lebih tinggi dari yang telah digunakan oleh Sun et al. (2004a). Jerami Padi. Jerami padi memiliki kadar abu yang tinggi (26,92%). al ini menunjukkan banyaknya mineral yang terkandung di dalam jerami padi. Menurut Jahan et al. (2006), jerami padi mengandung silika dalam jumlah cukup tinggi. Kadar abu yang tinggi juga menjadi pertimbangan khusus pada tahap awal isolasi

61 41 selulosa dari jerami padi. Perlakuan dengan asam encer pada tahap awal isolasi selulosa dari jerami padi bertujuan melarutkan mineral yang terkandung di dalamnya. Kandungan lignin yang mencapai 32,07% pada jerami padi menyebabkan tahap penghilangan lignin dilakukan secara berulang menggunakan larutan 2 2 5%. Konsentrasi 2 2 yang digunakan ini mengacu pada tahap delignifikasi bagas tebu dengan pertimbangan bahwa kandungan lignin jerami padi yang juga cukup tinggi. Persen komposisi (%) Karbohidrat Selulosa alfa emiselulosa Lignin Ela Sagu Bagas Tebu Jerami Padi Gambar 18 Komposisi kimia bahan baku. Evaluasi Keberhasilan Tahap Isolasi Dari berbagai metode isolasi yang telah dilaporkan selama ini, untuk mendapatkan selulosa dalam bentuk murni sangat sulit dilakukan. leh karena itu, selulosa yang diperoleh adalah selulosa dalam bahan kasar (crude) berupa selulosa alfa (α-selulosa), yaitu selulosa yang tidak larut dalam larutan Na pekat. Evaluasi keberhasilan tahap isolasi dalam penelitian ini dapat dilihat dari rendemen hasil isolat, peningkatan kandungan α-selulosa, dan penurunan kadar lignin. Rendemen Polisakarida. Rerata rendemen untuk ketiga bahan baku sangat bervariasi (Tabel 3). Jumlah rendemen polisakarida yang dihasilkan bergantung pada komposisi awal dari bahan baku dan perlakuan yang diberikan selama tahap isolasi. Rerata rendemen dalam penelitian ini dihitung berdasarkan bobot kering dari bahan baku awal sebelum diberi perlakuan. Dari hasil penelitian, rerata

62 42 rendemen polisakarida tertinggi dihasilkan oleh bagas tebu, yaitu mencapai 41%. Sun et al. (2004a) juga melaporkan rerata rendemen polisakarida yang diperoleh dari bagas tebu, yaitu sekitar 40%. Sementara itu, rerata rendemen polisakarida yang dihasilkan dari jerami padi pada penelitian ini (11%) lebih tinggi dari yang dilaporkan oleh Sun et al. (2000), yaitu 6,5%. Rerata rendemen polisakarida terendah dihasilkan oleh ela sagu (5%). al ini disebabkan tingginya kandungan pati pada bahan baku awal (47,03%), sehingga terjadi kehilangan bobot yang cukup besar pada tahap penghilangan pati, yaitu sekitar 80% dari bobot kering bahan baku awalnya. Sampai saat ini, belum ditemukan kajian terkait isolasi selulosa dari ela sagu sehingga rendemen polisakarida yang diperoleh dalam penelitian ini belum dapat dibandingkan dengan hasil penelitian dari peneliti lain. Bahan Baku Ela Sagu Bagas Tebu Jerami Padi Tabel 3 Kondisi isolasi dan rendemen polisakarida Kondisi Isolasi Cl 3% (1 g:10 ml), T=80 C, t = 3 jam Na 20% (1 g:25 ml), T=80 C, t = 2 jam; 2 2 5% p=12 (1 g:25 ml), T= 70 C, t= 3, 3, 2 jam Na 4% (1 g:19 ml), T=80 C, t=4 jam, 2 2 5% p=12 (1 g:25 ml), T= 70 C, t= 3, 3, 2 jam Cl 3% (1 g:10 ml), T=80 C, t = 3 jam Na 20% (1 g:25 ml), T=80 C, t = 2 jam; 2 2 5% p=12 (1 g:25 ml), T= 70 C, t= 3, 3, 2 jam Rendemen (%) Komponen Kimia. Analisis komponen kimia pada isolat selulosa yang diperoleh dari ketiga bahan baku merupakan salah satu indikator keberhasilan tahap evaluasi. Untuk ela sagu, kandungan selulosa alfa pada isolat selulosa (72,80%) meningkat lebih dari 2 (dua) kali kandungan selulosa alfa bahan baku awal (22,45%). Kadar lignin pada isolat selulosa dari ela sagu (1,62%), yaitu 0,14 kali kandungan lignin bahan baku awal (11,52%) atau berkurang hampir 93%. Sementara itu, kandungan selulosa alfa pada isolat selulosa dari bagas tebu (77,47%) meningkat hampir 0,8 kali, sedangkan untuk jerami padi meningkat lebih dari 0,8 kali dari kandungan selulosa alfa bahan baku awalnya. Kandungan lignin isolat selulosa bagas tebu (0,96%) berkurang hampir 96% dari kandungan

63 43 lignin bahan baku awal (22,28%). Sementara itu, kandungan lignin pada jerami padi berhasil berkurang hampir 97% dari kandungan lignin awal, yaitu dari 32,07% menjadi 0,81%. Komposisi selulosa alfa dan lignin berturut-turut disajikan pada Gambar 19 dan 20. Persen komposisi (%) Ela Sagu Bagas Tebu Jerami Padi Bahan Baku Isolat Selulosa Gambar 19 Komposisi selulosa alfa. Persen komposisi (%) Ela Sagu Bagas tebu Jerami Padi Bahan Baku Isolat Selulosa Gambar 20 Komposisi lignin Delignifikasi Lignin adalah polimer alam multifungsi yang dibangun melalui kopling oksidatif unit-unit fenilpropanoid membentuk kerangka tridimensional dengan ikatan antar-unit seperti β--4, β-5, dan β-β (Gambar 21). Lignin, khususnya pada jerami, tidak terdeposit di dalam dinding sel tumbuhan melainkan berasosiasi dengan karbohidrat (selulosa dan hemiselulosa) melalui ikatan kimia seperti ikatan eter, jembatan fenil glikosida, jembatan asetal, atau ikatan ester dan membentuk kompleks karbohidrat-lignin. Ikatan antara lignin dan selulosa yang diajukan oleh Zhou et al. (2010) disajikan pada Gambar 22.

64 44 Ikatan β--4 Ikatan β-5 (open loop) Ikatan β-5 (closed loop) Ikatan β-β Gambar 21 Jenis ikatan yang terdapat pada lignin. Gambar 22 Ikatan antara lignin dan selulosa (Zhou et al. 2010). Perlakuan dengan basa dapat memutus ikatan ester antara lignin dan selulosa atau hemiselulosa melalui reaksi hidrolisis (e et al. 2008). Pada salah satu tahapan isolasi dalam penelitian ini digunakan larutan Na untuk memutus ikatan antara lignin dan selulosa atau hemiselulosa. Tong dan amzah (1989) melaporkan bahwa dari berbagai larutan basa seperti Na, K, Ca() 2, Na 2 C 3, N 3, dan C(N 2 ) 2 yang dapat digunakan untuk delignifikasi maka larutan Na merupakan basa yang paling efektif untuk menghilangkan lignin

65 45 dari serat alam. Larutan Na dapat menghilangkan lignin sebanyak 60%. Skema reaksi kompleks karbohidrat-lignin dengan Na disajikan pada Gambar 23. Gambar 23 Skema reaksi kompleks karbohidrat lignin dengan Na (Tong dan amzah 1989). Metode delignifikasi konvensional umumnya menggunakan natrium klorit (NaCl 2 ) dalam suasana asam. Namun, metode ini menimbulkan masalah lingkungan yang serius karena penggunaan klorin dan senyawa turunan klorin yang dapat menghasilkan sejumlah senyawa organik terklorinasi lainnya. Dengan berbagai pertimbangan terhadap keamanan lingkungan dan semakin meningkatnya kebutuhan akan pulp yang bebas klorin maka berbagai metode alternatif untuk mengganti pereaksi NaCl 2 banyak dikaji. Pada akhirnya, proses delignifikasi yang menggunakan pereaksi klorin atau turunan klorin akan ditinggalkan. Metode delignifikasi menggunakan pereaksi bebas klorin seperti elemental chlorine-free (ECF) dan totally chlorine-free (TCF) saat ini banyak dikembangkan (Nascimento et al. 1995; Sun et al. 2000; Kuznetsova et al. 2003; Sun et al. 2004a; Sun et al. 2004b; Sun et al. 2005; Kham et al. 2005; Jahan et al. 2011). Pereaksi utama yang digunakan dalam delignifikasi TCF adalah ozon, oksigen, dan hidrogen peroksida ( 2 2 ). Kondisi delignifikasi dengan hidrogen peroksida dan oksigen dilakukan dalan suasana basa, sedangkan untuk pereaksi ozon dilakukan dalam suasana asam (Kham et al. 2005). Dalam penelitian ini, pereaksi yang digunakan untuk metode delignifikasi adalah 2 2 5% dalam media basa pada p=12. idrogen peroksida adalah senyawa oksidator kuat yang dapat digunakan pada tahap pemutihan dan delignifikasi. Efisiensi pemutihan dan delignifikasi yang tinggi terjadi apabila reaksi berlangsung dalam media basa (Nascimento et

66 46 al. 1995). Di dalam media basa, spesi aktif 2 2 dihasilkan melalui reaksi disosiasi, yaitu anion hidroperoksida ( ). Anion ini merupakan spesi aktif pada tahap pemucatan (Nascimento et al. 1995; Sun et al. 2000). Anion akan mengeliminasi gugus kromofor dari senyawa lignin. Di samping itu, spesi radikal aktif seperti radikal hidroksil ( ) dan radikal anion superoksida ( 2 ) yang dihasilkan melalui dekomposisi 2 2 dalam suasana basa akan terlibat dalam proses delignifikasi dan pelarutan hemiselulosa (Sun et al. 2000). Radikalradikal yang diperoleh dari dekomposisi awal senyawa 2 2 selanjutnya akan menghasilkan radikal-radikal aktif sekunder lainnya. Selain itu, radikal aktif yang terbentuk juga dapat bereaksi dengan radikal aktif lainnya menghasilkan oksigen dan anion hidroksil. Terbentuknya anion hidroksil ( ) sebagai salah satu produk akhir menyebabkan p reaksi akan meningkat. Sun et al. (2000) melaporkan dengan meningkatnya p reaksi maka hemiselulosa yang ikut terlarut juga akan semakin banyak. Jadi, perlakukan dengan 2 2 dalam suasana basa juga dapat digunakan untuk melarutkan sebagian hemiselulosa, selain fungsi utamanya sebagai pereaksi pada tahap delignifikasi dan pemucatan. Spesi-spesi radikal aktif dari 2 2 dihasilkan melalui berbagai reaksi berikut ini: (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) Keberhasilan tahap delignifikasi dalam penelitian ini dievaluasi berdasarkan penurunan kandungan lignin pada isolat selulosa dibandingkan dengan bahan baku awalnya. Kandungan lignin isolat selulosa jerami padi yang diperoleh dalam penelitian ini lebih kecil dari yang telah dilaporkan oleh Sun et al. (2000), yaitu 0,81%. Sun et al. (2000) melaporkan kandungan lignin pada isolat selulosa jerami padi sebesar 4,5% menggunakan perlakuan alkali peroksida dengan konsentrasi

67 47 yang sama (5%). Kandungan lignin pada isolat selulosa bagas tebu dalam penelitian ini lebih kecil daripada kandungan lignin yang dilaporkan oleh Sun et al. (2004). Dalam penelitian ini, kandungan lignin isolat bagas tebu diperoleh sebesar 0,96%, sedangkan Sun et al. (2004) melaporkan kandungan lignin sebesar 3,86%. Sementara itu, informasi terkait kandungan lignin dari selulosa ela sagu dari peneliti lain belum diperoleh sehingga data hasil penelitian ini belum dapat dibandingkan dengan hasil penelitian dari peneliti lain. Keberhasilan tahap delignifikasi dari ela sagu, bagas tebu, dan jerami padi juga dipantau menggunakan teknik spektroskopi FTIR. Spektrum FTIR dari ketiga bahan baku menunjukkan serapan khas dari senyawa hemiselulosa dan lignin. Seiring dengan perlakuan yang diberikan pada setiap tahap isolasi, intensitas serapan khas ini semakin berkurang. Penjelasan lebih lanjut terkait dengan interpretasi spektrum FTIR dibahas pada bagian Kajian Gugus Fungsi. Bobot Molekul dan Derajat Polimerisasi Bobot molekul selulosa sangat bervariasi tergantung pada asal sampelnya. Selulosa merupakan polimer linier dengan unit-unit dan ikatan-ikatan yang seragam dan ukuran rantai molekul yang biasanya dinyatakan sebagai derajat polimerisasi (DP). arga DP dipengaruhi oleh metode isolasi dan perlakuan kimia yang diberikan. Sifat selulosa sebagai polimer biasanya dipelajari dalam pelarut CED (kuprietilena diamina) secara viskometri. Dari harga viskositas intrinsik (η) dapat ditentukan derajat polimerisasi (DP) dan bobot molekul selulosa (BM). asil yang diperoleh pada penelitian ini disajikan pada Tabel 4. Selulosa yang diperoleh dari bagas tebu memiliki derajat polimerisasi yang paling tinggi dibandingkan selulosa dari jerami padi dan ela sagu. Menurut Klem et al. (1998), selulosa yang diperoleh dari pulp berkisar antara Sementara itu, DP selulosa yang dihasilkan dalam penelitian lebih rendah dari 600. al ini disebabkan terjadi hidrolisis parsial pada rantai selulosa saat perlakuan asam di awal tahap isolasi serta adanya kerusakan mekanik akibat penggerusan pada saat menghasilkan serbuk selulosa untuk persiapan tahap

68 48 rekayasa. Derajat polimerisasi yang diperoleh pada penelitian ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Klem et al. (1998), yaitu DP selulosa yang mengalami hidrolisis parsial dan kerusakan mekanik berkisar antara Tabel 4 Viskositas intrinsik, derajat polimerisasi, dan bobot molekul Parameter Selulosa Ela sagu Bagas tebu Jerami padi Viskositas intrinsik (η, ml/g) a Derajat polimerisasi (P) b 194,7 586,5 67,6 BM (g/mol) c , ,6 a Ditentukan melalui viskositas dalam larutan CED (SCAN-CM 15:88) b Dihitung dengan cara P 0.90 =1.65[η], dengan P= derajat polimerisasi c Dihitung dengan P 162 Kajian Gugus Fungsi Di dalam spektrum elektromagnetik, energi sebagian besar vibrasi molekul terjadi pada daerah inframerah (IR). Vibrasi molekul dari senyawa organik dapat dilihat melalui spektrum IR pada daerah cm -1. Gugus fungsi pada senyawa organik memiliki frekuensi vibrasi yang karakteristik untuk setiap gugus fungsinya. al ini membuat teknik spektroskopi IR menjadi metode yang sederhana, cepat dan dapat digunakan untuk menentukan jenis senyawa berdasarkan vibrasi karakteristiknya (Williams dan Fleming 1980; Silverstein et al. 1986). Menurut Wang et al. (2004), teknik spektroskopi IR banyak digunakan dalam tahap karakterisasi selulosa karena metode ini relatif mudah dan dapat memberikan informasi awal tentang komposisi kimia, konformasi molekular, serta pola ikatan hidrogen. Selain itu, spektroskopi IR juga dapat memberikan informasi langsung tentang perubahan kimia yang terjadi akibat berbagai perlakuan kimia (Sun et al. 2004a). Ela Sagu. Warna kecoklatan yang berasal dari serbuk ela sagu dapat direduksi sehingga menghasilkan produk akhir yang berwarna putih melalui tahap delipifikasi, penghilangan senyawa hemiselulosa, dan delignifikasi. asil akhir produk diinterpretasi sebagai selulosa berdasarkan spektrum FTIR yang dsajikan pada Gambar 24. Spektrum FTIR bahan baku awal ela sagu menunjukkan adanya serapan vibrasi gugus karbonil lignin atau serapan gugus asetil dan ester uronat

69 49 hemiselulosa pada 1728 cm -1, serapan cincin aromatik lignin dan serapan unit guaiasil lignin di 1516 cm -1, serapan gugus metil pada cincin aromatik lignin di 1454 cm -1, serapan gugus tekuk dari unit siringil lignin pada 790 cm -1. Setelah diberi perlakuan, serapan-serapan khas untuk gugus fungsi pada senyawa hemiselulosa dan lignin semakin berkurang. al ini mengindikasikan bahwa perlakuan basa yang diberikan pada ela sagu mampu memutus ikatan ester antara selulosa dan hemiselulosa. Setelah tahap delignifikasi, serapan lignin relatif megnhilang, sedangkan serapan khas untuk selulosa pada 898 cm -1 semakin kuat. Serapan vibrasi dan interpretasi gugus fungsi disajikan pada Lampiran 2. Gambar 24 Spektra FTIR bahan baku awal, pulp, dan selulosa dari ela sagu.

70 50 Bagas Tebu. Spektrum FTIR bahan baku awal bagas tebu menunjukkan adanya serapan vibrasi gugus karbonil lignin yang cukup jelas pada 1732 cm -1 (Gambar 25). al ini sejalan dengan kandungan lignin yang cukup tinggi pada bagas tebu, yaitu 22,28%. Spektrum FTIR dari bagas tebu menunjukkan beberapa serapan di antaranya adalah serapan dari ikatan ester yang terbentuk antara senyawa lignin dan senyawa hemiselulosa pada 1732 cm -1, serapan cincin aromatik lignin pada 1604 cm -1, serapan unit guaiasil lignin di 1512 cm -1, serapan gugus metil pada cincin aromatik lignin di 1458 cm -1, serapan unit siringil dan tekuk dari gugus siringil lignin, yaitu pada 1242 cm -1 dan 833 cm -1. Setelah diberi perlakuan, serapan-serapan khas untuk senyawa hemiselulosa dan lignin berkurang, sedangkan serapan khas untuk selulosa pada 898 cm -1 semakin kuat. Serapan vibrasi dan interpretasi gugus fungsi disajikan pada Lampiran 3. Gambar 25 Spektra FTIR bahan baku awal, pulp, dan selulosa dari bagas tebu.

71 51 Jerami Padi. Spektrum FTIR bahan baku awal jerami padi menunjukkan adanya beberapa serapan dari gugus fungsi hemiselulosa pada 1728 cm -1, lignin pada 1516, 1454, dan 786 cm -1, serta silika pada 786 dan 470 cm -1 (Gambar 26). Setelah diberi perlakuan basa, serapan-serapan khas untuk senyawa hemiselulosa dan silika menjadi tidak ada. Sementara serapan untuk senyawa lignin berkurang. al ini mengindikasikan bahwa perlakuan basa yang diberikan pada jerami padi dalam penelitian ini mampu memutus ikatan ester antara selulosa dan hemiselulosa, serta silika dan sedikit lignin. Sun et al. (2000) melaporkan bahwa ekstraksi dengan Na 1% pada T=55 C selama 2 jam mampu menghilangkan 62,2% silika dari jerami padi. Setelah tahap delignifikasi, serapan lignin sudah tidak tampak, sedangkan serapan khas untuk selulosa pada 894 cm -1 semakin kuat. Serapan vibrasi dan interpretasi gugus fungsi disajikan pada Lampiran 4. Gambar 26 Spektra FTIR bahan baku awal, pulp, dan selulosa dari jerami padi.

72 52 Morfologi Permukaan asil mikrograf selulosa yang diisolasi dari ela sagu, bagas tebu, dan jerami padi menunjukkan selulosa yang berbentuk serat (Gambar 27). Dari foto SEM tampak bahwa selulosa bagas tebu memiliki serat yang lebih panjang dibandingkan selulosa dari ela sagu dan jerami padi. Panjang serat selulosa bagas tebu bervariasi dari 100 µm-1 mm. Panjang serat jerami padi sekitar µm, sedangkan ela sagu sekitar µm. Diameter selulosa untuk ela sagu, bagas tebu, dan jerami padi yang dihasilkan dalam penelitian ini berturut-turut adalah 18, 20, dan 6 µm. Elanthikal et al. (2010) melaporkan bahwa diameter selulosa berkisar antara µm, dengan panjang serat berkisar 100 µm-1 mm. (a) (b) (c) (Perbesaran 500x) Gambar 27 Mikrograf (a) bagas tebu, (b) jerami padi, dan (c) ela sagu. Analisis kristalinitas Selulosa adalah polimer kompleks dengan bentuk kristalin dan amorf. Bahan yang mengandung kristalin dapat mendifraksi dan membetuk pola khusus apabila diirradiasi oleh sinar X, sehingga struktur selulosa dapat dikaji. Di dalam media heterogen, selain bergantung pada derajat polimerisasi (DP) dari rantai selulosa, kemudahan suatu pereaksi untuk dapat mengakses gugus hidroksil pada selulosa juga bergantung pada derajat kristalinitasnya. Secara umum, bentuk nonkristalin (amorf) lebih mudah diakses oleh pereaksi sehingga reaksi lebih mudah terjadi (Sun et al. 2005; de Paula et al. 2008). Pola difraksi sinar X dari isolat selulosa disajikan pada Gambar 28. Dua puncak difraksi muncul pada 2θ sekitar 22 dan 20. Matsumura et al. (2000) melaporkan puncak difraksi untuk selulosa kapas pada 2θ = 14,5 ; 16,0 ; 22,5 ; 33,5 dengan puncak difraksi utama pada 22,5. Puncak yang tinggi menunjukkan struktur selulosa yang berada dalam

73 53 bentuk kristalin, sedangkan yang rendah berada dalam bentuk amorf. Menurut Ratanakamnuan et al. (2012), puncak pada 2θ=20 adalah puncak untuk selulosa dalam bentuk amorf. Pola difraksi sinar X untuk isolat selulosa dari jerami padi menunjukkan puncak pada 2θ=22 yang lebih tajam dibandingkan dengan puncak pada selulosa ela sagu dan bagas tebu. al ini sesuai dengan indeks kristalinitas dari selulosa jerami padi yang lebih tinggi (20,96%) dibandingkan dengan indeks kristalinitas dari selulosa ela sagu (16,01%) dan selulosa bagas tebu (16,69%). de Paula et al. (2008) melaporkan untuk selulosa sisal memiliki indeks kristalinitas 77%. Serat rami dan kapas memiliki indeks kristalinitas sekitar 70% (Jahan et al. 2011). Sementara itu, Zhang et al. (2010) melaporkan indeks kristalinitas untuk bonggol jagung sekitar 24,3-44,8%. Saat ini, belum diperoleh informasi mengenai indeks kristalin dari isolat selulosa dari bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini. Namun demikian, jika dibandingkan dengan selulosa kapas atau jerami, indeks kristalin yang diperoleh dalam penelitian ini lebih rendah. Penjelasan yang dapat diberikan mengenai indeks kristalinitas yang rendah pada hasil penelitian ini adalah adanya perlakukan merserisasi dengan basa pekat. Menurut de Paula et al. (2008), merserisasi dengan basa kuat dapat menyebabkan penurunan indeks kristalinitas karena merserisasi dapat mengubah konformasi dan morfologi serat selulosa. Selama proses merserisasi berlangsung, rantai selulosa akan mengembang (swelling) akibat difusi basa ke bagian selulosa kristalin. Selanjutnya, rantai selulosa akan mengalami penataan ulang yang berakibat pada rusaknya struktur selulosa kristalin. Kerusakan struktur kristalin selulosa menyebabkan peningkatan bagian nonkristalin (amorf) sehingga indeks kristalinitas selulosa menurun. Selain itu, indeks kristalinitas selulosa juga sangat dipengaruhi oleh komposisi biomassa dari bahan baku awalnya.

74 54 Difraktogram Isolat Selulosa Ela Sagu Difraktogram Isolat Selulosa Bagas Tebu Difraktogram Isolat Selulosa Jerami Padi Gambar 28 Difraktogram isolat selulosa ela sagu, bagas tebu, dan jerami padi. Analisis Termal Dekomposisi bahan selulosa terjadi melalui kombinasi proses dehidrasi, dekarboksilasi, dan dekarburasi/dekarbonisasi. Yang et al. (2007) melaporkan bahwa selulosa akan mulai terdekomposisi mulai suhu 200 C dan berlanjut sampai suhu mencapai 400 C. Kehilangan massa maksimum terjadi pada suhu 355 C dan pada suhu 400 C semua selulosa telah terpirolisis meninggalkan residu padatan dengan jumlah yang sangat sedikit, yaitu sekitar (6,5%). Gambar 29 menunjukkan pola degradasi dari selulosa hasil isolasi dari ela sagu, bagas tebu, dan jerami padi. Kehilangan massa terjadi pada 3 (tiga) tahap: (1) dehidrasi molekul air yang teradsorpsi ( < 200 C), (2) putusnya rantai selulosa karena putusnya ikatan C-C dan C- ( C), (3) aromatisasi membentuk residu karbon ( >400 C).

75 55 Kurva TG dan DTA menunjukkan bahwa semua isolat selulosa yang dihasilkan dalam penelitian ini sebaiknya tidak diberi perlakuan pemanasan pada suhu di atas 197 C. Suhu dekomposisi awal selulosa ela sagu (197 C) dan bagas tebu (197 C) yang dihasilkan dalam penelitian ini sedikit lebih rendah dari yang telah dilaporkan oleh Yang et al. (2007). Sementara, untuk jerami padi relatif hampir sama (204 C). Suhu pada saat dekomposisi maksimum untuk selulosa ela sagu, bagas tebu, dan jerami padi berturut-turut adalah 273, 349, dan 368 C sesuai dengan indeks kristalinitas selulosa jerami padi yang lebih tinggi dari selulosa ela sagu dan bagas tebu. asil yang sama juga dilaporkan oleh Szcześniak et al. (2008) bahwa semakin tinggi indeks kristalinitas maka selulosa akan terdekomposisi pada suhu yang lebih tinggi. DTA (uv) (b) (a) (d) (c) T ( C) Gambar 29 Kurva DTA selulosa (a) ela sagu, (b) bagas tebu, (c) jerami padi, dan (d) komersial.

76 56 Simpulan Selulosa diisolasi dari ela sagu, bagas tebu, dan jerami padi menggunakan tahapan metode isolasi, yaitu delipifikasi, penghilangan hemiselulosa dengan basa, dan alkali peroksida. Secara morfologi, selulosa yang diisolasi dari ela sagu, bagas tebu, dan jerami padi berbentuk serat atau fibril. Rendemen polisakarida tertinggi dihasilkan oleh bagas tebu, yaitu 41%. Derajat polimerisasi dan berat molekul dari selulosa bagas tebu lebih tinggi dari selulosa ela sagu dan jerami padi, yaitu 586,5 dan g/mol. Selulosa jerami padi lebih stabil secara termal dan memiliki indeks kristalinitas yang lebih tinggi dibandingkan selulosa ela sagu dan bagas tebu.

77 REKAYASA BIPLIMER DENGAN TEKNIK KPLIMERISASI CANGKK DAN TAUT SILANG Abstrak Kopolimerisasi cangkok dan taut silang akrilamida (Am) dilakukan dalam suasana hampa udara menggunakan aliran gas N 2 dengan amonium persulfat (APS) sebagai inisiator dan N,N -metilena-bis-akrilamida (MBAm). Pencirian dilakukan dengan teknik mikroskopi pemayaran elektron (SEM) untuk melihat morfologi permukaan, teknik spektroskopi FTIR untuk melihat gugus fungsi, teknik difraksi sinar X untuk menganalisis kristalinitas, dan teknik DTA untuk menganalisis ketahanan produk terhadap suhu. Kajian dilakukan terhadap kemampuan produk hasil rekayasa dalam menjerap air (swelling factor), kekuatan mekanik, dan ketahanan terhadap pelarut. Spektrum FTIR dan mikrograf SEM menunjukkan bahwa kopolimerisasi cangkok dan taut silang telah terjadi pada permukaan rantai selulosa. Produk hasil rekayasa memiliki kestabilan termal yang lebih baik. Indeks kristalinitas meningkat dengan meningkatnya jumlah penaut silang, sedangkan swelling factornya menurun. Kata kunci : biopolimer, kopolimerisasi, cangkok, taut silang, akrilamida Abstract The graft copolymerization of cellulose with acrylamide (AAm) has been carried out under N 2 atmosphere using ammonium persulfate (APS) as initiator and followed by crosslinking reaction with N,N -methylene-bis-acrylamide (MBAm). Scanning electron microscopy (SEM), fourier transform infrared spectroscopy (FTIR), X-Ray diffraction (XRD) and differential thermal analysis (DTA) were used to characterize the morfology, functional groups, crystal structure, and thermal properties of grafted-crosslinked products. The products were also evaluated for swelling factor, mechanical strength, and stability against organic solvents. FTIR spectrum and SEM micrograph confirmed that graft copolymerization and crosslinking succeeded. The products have better termal stability than cellulose isolate. Crystallinity index was increased with the increasing of crosslinking agent while swelling factor was decreased. Keywords : biopolymer, copolimerization, grafting, crosslinking, acrylamide

78 58 Pendahuluan Limbah pertanian banyak digunakan untuk memproduksi bahan baku awal (starting material). Penggunaan (reusing) dan pengolahan kembali (recycling) limbah pertanian dapat meminimalkan masalah lingkungan yang ditimbulkan akibat pembuangan limbah pertanian tersebut. Konversi limbah pertanian menjadi produk yang lebih berguna akan berdampak pada sosio-ekonomi pihak yang terkait. Limbah pertanian mengandung polisakarida lebih dari 90% yang dapat dimodifikasi secara kimia maupun biokimia. Selulosa adalah salah satu senyawa polimer yang banyak ditemukan di alam. Polimer alam memiliki beberapa keuntungan di antaranya tidak mahal, tidak toksik, sumberdaya alam yang dapat diperbarui, dapat didaur ulang, dan juga dapat didegradasi (Khan et al. 2009) Selain memiliki beberapa keunggulan, selulosa juga memiliki kelemahan dibandingkan dengan polimer sintetik karena adanya ikatan hidrogen intra- dan antarmolekulnya yang kuat sehingga sulit diakses oleh senyawa lain (Kadokawa et al. 2009). Modifikasi terhadap selulosa perlu dilakukan untuk memenuhi persyaratan dalam penerapannya di industri. Modifikasi selulosa dengan cara kopolimerisasi cangkok memberikan berbagai keuntungan sehingga dapat diaplikasikan pada berbagai bidang. Berbagai jenis polimer dapat dicangkok (grafting) ke rantai selulosa melalui gugus hidroksil pada posisi C2, C3, dan C6 (Enomoto-Rogers et al. 2009). Gugus hidroksil pada C2 dan C3 adalah gugus hidroksil yang terikat pada aton karbon sekunder, sedangkan gugus hidroksil pada C6 terikat pada atom karbon primer. Kereaktifan dan kemasaman gugus hidroksil primer dan sekunder ini berbeda. Dengan memilih monomer yang tepat, maka kekuatan mekanik dan stabilitas termal material berbasis selulosa yang dimodifikasi dengan teknik pencangkokan dapat ditingkatkan (Princi 2005). Selain itu, polisakarida yang telah dimodifikasi tersebut dapat menghasilkan produk berstruktur makromolekular seperti gel atau hidrogel, resin polimer, membran atau material komposit yang dapat diaplikasikan sebagai material separator dalam teknologi separasi (Crini 2005). Beberapa kajian kopolimer dengan teknik pencangkokan terhadap bahan berbasis selulosa telah banyak dilaporkan. Princi et al. (2005) melakukan

79 59 modifikasi selulosa melalui polimerisasi dengan teknik pencangkokan menggunakan metil metakrilat dan etil akrilat. Khan et al. (2009) melaporkan telah melakukan modifikasi pada permukaan serat kulit pohon kra dengan teknik pencangkokan menggunakan monomer akrilonitril, inisiator K 2 S 2 8, dan katalis FeS 4. Rendemen produk hasil pencangkokakan diperoleh sebesar 11.43% pada suhu 70 C selama 90 menit menggunakan 3 x 10-2 mol akrilonitril, 5 x 10-3 mol K 2 S 2 8. El-Mohdy dan El-Rehim (2009) memodifikasi kappa-karagenan (κc) melalui kopolimerisasi cangkok akrilamida menggunakan irradiasi γ. Selanjutnya κ-karagenan-graft-poliakrilamida tersebut dihidrolisis menggunakan larutan alkali. asil yang diperoleh menunjukkan produk yang telah dihidrolisis tersebut memiliki sifat sebagai hidrogel superabsorben dengan kemampuan mengembang (swelling) mencapai 10 kali di dalam air destilata dan 3 kali dalam larutan NaCl. uang et al. (2009) melaporkan telah memodifikasi ampas tebu yang telah diaktivasi secara mekanik dengan teknik pencangkokan menggunakan monomer asam akrilat dan pasangan redoks N 2 S 2 8 /Na 2 S 3 sebagai inisiator. asil yang diperoleh menunjukkan bahwa aktivasi secara mekanik mempengaruhi sifat produk kopolimerisasi cangkok ampas tebu, dimana rendemen dan efisiensi pencangkokan meningkat dengan meningkatnya waktu aktivasi. Doane et al. (2009) melaporkan memodifikasi pati dari berbagai sumber dengan teknik pencangkokan dilanjutkan dengan taut silang untuk mendapatkan polimer superabsorben. Tahapan penelitian ini bertujuan mendapatkan (1) produk hasil rekayasa biopolimer dengan teknik pencangkokan akrilamida dan taut silang N,N - metilena-bis-akrilamida; (2) karakteristik produk hasil rekayasa melalui analisis gugus fungsi dengan teknik spektroskopi IR (infrared), analisis morfologi permukaan dengan teknik mikroskopi, analisis termal, dan kemampuannya dalam mengadsorpsi air (water absorption)

80 60 Bahan dan Metode Bahan dan Alat Isolat selulosa dari ela sagu, bagas tebu, dan jerami padi. Akrilamida p.a (Am, E.Merck) digunakan sebagai monomer, amonium persulfat p.a (APS, E.Merck) digunakan sebagai inisiator, dan N N-metilena-bis-akrilamida p.a (MBAm, E.Merk) digunakan sebagai penaut silang. Bahan kimia lainnya seperti aseton p.a (E.Merk), metanol p.a (E.Merk), etanol p.a (E.Merk), Na p.a (E- Merck). Peralatan yang digunakan adalah reaktor untuk kopolimerisasi dan peralatan gelas lainnya. Metode Kopolimerisasi Cangkok Akrilamida dan Taut Silang N,N -Metilena-bis- Akrilamida. Selulosa hasil isolasi dimasukkan ke dalam reaktor lalu ditambahkan akuades, kemudian dipanaskan pada suhu 95 C dan diaduk dengan kecepatan 200 rpm selama 30 menit. Setelah itu, suhu diturunkan sampai kira-kira C. Ke dalam reaktor dimasukkan larutan APS dan suhu dijaga pada C selama 15 menit. Setelah itu, ke dalam reaktor ditambahkan larutan monomer Am dan penaut silang MBAm dengan kecepatan 0,5 ml/detik. Setelah semua pereaksi dimasukkan, suhu reaktor dinaikkan menjadi 70 C dan dipertahankan sampai 3 jam. Selanjutnya, reaktor didinginkan dan produk hasil sintesis diperoleh dalam bentuk gel. Untuk menghilangkan sisa monomer atau homopolimer yang terbentuk, gel yang diperoleh direndam berturut-turut ke dalam metanol p.a selama 30 menit, etanol p.a selama 30 menit, dan aseton p.a selama 1 jam. Kemudian gel dikeringkan pada suhu 60 C. Reaksi taut silang juga dilakukan dengan cara memvariasikan jumlah pereaksi penaut silang. Produk 1 untuk jumlah pereaksi penaut silang 0,1 g; produk 2 untuk jumlah penaut silang 0,5 g, dan produk 3 untuk jumlah penaut silang 1 g. Keberhasilan kopolimerisasi cangkok dan reaksi taut silang ini dievaluasi melalui rasio pencangkokan dan efisiensi pencangkokan.

81 61 BM Akrilamida 100 N(%) x BM Atom N Rasio Pencangkokan = BM Akrilamida 100 N(%) x BM Atom N Rasio pencangkokan Efisiensi pencangkokan (%) = 100 % % monomer terhadap preparat sampel Pencirian Analisis Gugus Fungsi dengan Spektrometer FTIR. Spektra IR isolat selulosa direkam melalui spektrometer FTIR Perkin Elmer Spectrum ne menggunakan pelet KBr dari bilangan gelombang 4000 cm -1 sampai 400 cm -1 dengan resolusi 8 cm -1 dan pemayaran 45 x per contoh. Analisis Morfologi Permukaan dengan Mikroskop Elektron Pemayaran (Scanning Electron Microscope, SEM). Produk hasil isolat ditempelkan di atas tempat contoh menggunakan perekat elektrokonduktif. Pengamatan morfologi dilakukan pada JEL 6400 mikroskop elektron dengan tegangan 20 kv. Analisis Kristalinitas dengan Difraktometer Sinar X. Difraksi sinar X dihasilkan oleh difraktometer Rigaku D/Max Radiasi yang digunakan adalah Ni-filtered Cu Kα pada panjang gelombang 0,1541 nm. Difraktometer dioperasikan pada 40 kv dan 200 ma. Contoh dipayar pada kisaran 2θ = Kristalinitas dihitung berdasarkan: CrI (%) = [(I 002 -I am )/I 002 ] x 100, dengan CrI adalah indeks kristalinitas, I 002 adalah intensitas maksimum pada kisi difraksi 002, dan I am adalah intesitas puncak fasa amorf. Analisis Termal dengan TG/DTA. Thermogravimetric (TG) dan differential thermogravimetric analysis (DTA) dilakukan dengan DTG-60 FC-60A TA- 60WS. Suhu yang digunakan mulai suhu kamar sampai 600 C dengan laju pemanasan 10 C menit -1. Kajian Swelling Factor. Sejumlah produk hasil modifikasi direndam dalam air destila dan disimpan pada suhu kamar sampai kesetimbangan proses pengembangan tercapai. Produk yang telah mengembang dipisahkan dari air yang tidak terserap. Daya serap air (Q 2 ) ditentukan dengan menimbang produk yang telah mengembang dan dihitung dengan menggunakan persamaan:

82 62 Q 2 m2 m = m 1 1 m 1 dan m 2 adalah bobot contoh kering dan contoh yang telah mengembang (g). Q 2 dinyatakan sebagai gram air per gram contoh (g g-1). idrolisis. Produk hasil pencangkokan direfluks menggunakan larutan Na 1,5% selama 2 jam dengan perbandingan padat:larutan adalah 1:25. Setelah hidrolisis, contoh dicuci menggunakan akuades sampai p netral. Produk yang telah dihidrolisis selanjutnya diuji daya serapnya terhadap air (swelling factor). Kajian Daya Tahan terhadap Pelarut rganik. Sebanyak 0,5 g produk fasa diam selulosa-g-akrilamida dalam tabung vial 15 ml ditambahkan masing-masing 10 ml pelarut metanol p.a, etanol, aseton p.a, etil asetat p.a, n-heksana p.a, dan toluena p.a kemudian didiamkan selama 3x24 jam sambil sesekali diaduk. Setelah 3 hari, masing-masing diukur indeks biasnya menggunakan Refraktometer Abbe asil dan Pembahasan Kopolimerisasi Cangkok dan Taut Silang Rekayasa biopolimer limbah pertanian (ela sagu, bagas tebu, dan jerami padi) dilakukan melalui reaksi kopolimerisasi cangkok akrilamida dan taut silang MBAm dengan inisiator APS. Biopolimer berupa isolat selulosa dari limbah pertanian tersebut dijadikan kerangka utama (backbone) dalam reaksi pencangkokan. Kopolimerisasi cangkok dan taut silang yang digunakan dalam penelitian ini tidak simultan karena kerangka utama selulosa berinteraksi terlebih dahulu dengan inisiator APS. Selanjutnya, selulosa yang telah teraktivasi akan bereaksi dengan campuran monomer akrilamida dan penaut silang MBAm. Metode tidak simultan ini digunakan untuk meminimalkan reaksi antarmonomer akrilamida dalam membentuk homopolimernya. Tahap awal reaksi kopolimerisasi cangkok dan taut silang melibatkan pembentukan radikal inisiator APS, yaitu N 4 S 4 (1). Menurut Li et al. (2007) dan Liang et al. (2009), radikal APS akan terbentuk dalam media larutan pada suhu C. Radikal APS akan menyerang gugus hidroksil yang terikat di atom C6 pada struktur selulosa dan mengambil atom hidrogennya sehingga terbentuk

83 63 radikal makroselulosa (2). Pembentukan radikal makroselulosa ini menjadi tahap inisiasi reaksi kopolimerisasi cangkok dan taut silang karena radikal makroselulosa akan bereaksi dengan monomer akrilamida membentuk radikal makromolekul lainnya (3). Tahap propagasi dimulai saat radikal (3) bereaksi dengan molekul monomer akrilamida lainnya membentuk radikal makromolekul (4). Pada tahap terminasi, radikal (4) akan bereaksi dengan radikal makromolekul lainnya dan penaut silang MBAm membentuk kopolimer cangkok dan taut silang (5). Mekanisme reaksi kopolimerisasi cangkok akrilamida dan taut silang MBAm disajikan pada Gambar 30. N 4 + S S Amonium peroksidisulfat N N 4 + S (1) N 4 + S C 2 C 2 N 4 + S Selulosa (2) Tahap inisiasi C 2 2 C C N 2 A krilam ida C 2 C C 2 N 2 Tahap propagasi (3) N 2 C C 2 C 2 N 2 2 C C N 2 C C 2 C 2 C C 2 N 2 (4)

84 64 C N 2 C N 2 C 2 N 2 C 2 C N 2 2 C n 2 C C C C 2 n N 2 C 2 N 2 C C 2 C 2 Tahap Terminasi C N 2 C N 2 C 2 C 2 C 2 C 2 C 2 C C 2 C n N 2 N 2 C 2 C C 2 C n N 2 N 2 2 N 2 N n 2 N C 2 C C 2 C C 2 C 2 N 2 N n 2 N C 2 C C 2 C C 2 C C 2 C 2 C 2 C 2 C 2 C 2 2 C C C N 2 C N C C C 2 N,N'-Metilena-bis-akrilamida

85 C 2 C 2 C 2 C 2 C 2 C 2 C 2 C 2 N 2 N 2 C C 2 N 2 C C C 2 C 2 C 2 2 C 2 C 2 C N C N C N C (5) C 2 N C 2 C N 2 C C 2 C N 2 C C 2 C C 2 10 C 2 10 C 2 10 C C 2 N 2 C C 2 N 2 C C 2 N 2 C 2 C 2 C 2 C 2 C 2 C 2 Selulosa tercangkok poliakrilamida Gambar 30 Mekanisme kopolimerisasi cangkok akrilamida dan taut silang MBAm. Selain reaksi kopolimerisasi cangkok dan taut silang MBAm pada selulosa, dimungkinkan juga terjadi reaksi pembentukan homopolimer dari monomer akrilamida. Reaksi pembentukan homopolimer disajikan pada Gambar 31. Radikal APS yang tidak bereaksi dengan selulosa masih dapat menginisiasi reaksi homopolimerisasi antarmonomer akrilamida (6). Selain reaksi ini, tahap propagasi juga mungkin terjadi pada pembentukan homopolimer dari akrilamida (7). Tahap terminasi juga terjadi pada pembentukan poliakrilamida (8).

86 66 Tahap inisiasi N 4 + S 2 C C N 2 Akrilamida N 4 + S (6) C 2 C N 2 Tahap Propagasi N 4 + S C 2 C N 2 2 C C N 2 N 4 + S 2 C C C 2 N 2 C N 2 n 2 C C N 4 + S 2 C C C 2 N 2 C N 2 N 2 N 4 + S 2 C C C 2 N 2 C C 2 N n 2 C N 2 Tahap Terminasi (7) N 4 + S C 2 C N 2 N 4 + S C 2 C N 2 2 C C N 2 n Poliakrilamida (8) Gambar 31 Mekanisme pembentukan homopolimer akrilamida. Banyaknya radikal yang terbentuk pada saat reaksi kopolimerisasi cangkok dan taut silang ini dipengaruhi oleh berbagai variabel, di antaranya konsentrasi monomer, konsentrasi inisiator, konsentrasi penaut silang, waktu reaksi, dan suhu reaksi (Khan et al. 2009). Pengaruh terhadap jumlah penaut silang dipelajari pada penelitian ini. Evaluasi terhadap keberhasilan rekayasa biopolimer salah satunya dilihat melalui nilai kadar nitrogen dari produk hasil rekayasa. Nilai kadar nitrogen ini setara dengan banyaknya akrilamida yang tercangkok pada selulosa.

87 67 Nilai kadar nitrogen, nisbah pencangkokan, efisiensi pencangkokan dari ketiga produk material separator disajikan pada Gambar 32. Nilai kadar nitrogen bervariasi antara 7,85-9,45%, dengan nilai kadar tertinggi dicapai oleh produk hasil modifikasi dari ela sagu. asil yang diperoleh sejalan dengan analisis kristalinitas yang dilakukan pada masing-masing isolat selulosa. Analisis kistalinitas menunjukkan isolat selulosa ela sagu memiliki indeks kristalinitas yang paling rendah (16,01%), sedangkan isolat selulosa jerami pada memiliki indeks kristalinitas tertinggi (20,96%). Menurut uang et al. (2009), pereaksi akan lebih mudah masuk pada struktur selulosa amorf. Pada ela sagu, struktur selulosa amorfnya paling banyak sehingga semakin mudah akrilamida untuk tercangkok pada rantai selulosanya. Semakin tinggi jumlah penaut silang yang ditambahkan selama reaksi berlangsung, maka kadar nitrogen pada produk pencangkokan dan taut silang juga semakin tinggi. Pola yang sama juga ditunjukkan oleh nisbah pencangkokan dan efisiensi pencangkokan. Nisbah pencangkokan berkisar antara 66,14-92,12% dengan produk rekayasa dari selulosa ela sagu yang memiliki nisbah pencangkokan tertinggi. Efisiensi pencangkokan berkisar antara 13,23-18,42% dengan produk rekayasa dari selulosa ela sagu yang memiliki nisbah pencangkokan tertinggi. (a) Pengaruh jumlah penaut silang terhadap kadar nitrogen.

88 68 (b) Pengaruh jumlah penaut silang terhadap nisbah pencangkokan. (c) Pengaruh jumlah penaut silang terhadap efisiensi pencangkokan. Gambar 32 Pengaruh jumlah penaut silang terhadap (a) kadar nitrogen, (b) nisbah pencangkokan, dan (c) efisiensi pencangkokan. Pencirian Produk asil Kopolimerisasi Cangkok dan Taut Silang Spektroskopi FTIR Spektrum IR dari produk hasil rekayasa menunjukkan adanya serapan baru pada bilangan gelombang sekitar 1660 cm -1 karena adanya vibrasi C= regangan. al ini menunjukkan bahwa akrilamida telah tercangkok pada rantai selulosa (Kumar et al. 2011). Pada homopolimer poliakrilamida, serapan ini akan muncul pada 1670 cm -1 (Yazdani-Pedram et al. 2002). Spektrum IR menunjukkan serapan karakteristik N sekitar 1542 cm -1, CN ulur pada 1384 cm -1, dan C C N asimetrik pada 1245 cm -1. Selain itu terdapat serapan pada 1566 cm -1 untuk gugus C asimetrik dan 1416 cm -1

89 69 untuk gugus C simetrik. Serapan yang lebar sekitar cm -1 adalah serapan untuk dan N 2. Kedua serapan ini menunjukkan serapan yang lebih kuat dibandingkan dengan serapan pada isolat selulosa (Song et al. 2008). Puncak yang melebar dan sedikit bergeser ke bilangan gelombang yang lebih kecil disebabkan adanya tumpang tindih serapan dan N amida dan meningkatnya ikatan hidrogen karena adanya gugus CN 2. Spektrum produk hasil rekayasa cangkok dan taut silang menunjukkan adanya pergeseran puncak setelah 3000 cm -1 ke arah bilangan gelombang yang lebih tinggi. Gambar spektra FTIR dari selulosa ela sagu, bagas tebu, dan jerami padi serta produk hasil rekayasa disajikan pada Gambar Intrepretasi spektrum dari masing-masing contoh dapat dilihat secara lengkap pada Lampiran 5-7. Gambar 33 Spektra FTIR selulosa ela sagu dan produk hasil rekayasa.

90 70 Gambar 34 Spektra FTIR selulosa bagas tebu dan produk hasil rekayasa. Gambar 35 Spektra FTIR selulosa jerami padi dan produk hasil rekayasa.

91 71 Evaluasi keberhasilan rekayasa cangkok dan taut silang dengan teknik spektroskopi dipantau melalui absorbansi relatif vibrasi selulosa dan produk hasil rekayasa (Tabel 5-7). Absorbansi relatif adalah nisbah intesitas serapan puncak suatu gugus fungsi pada bilangan gelombang tertentu terhadap intensitas pada bilangan gelombang ~1325 cm -1, yaitu C rocking untuk cincin selulosa (Nada et al. 2007). Rekayasa melalui pencangkokan dan taut silang meningkatkan absorbansi relatif dari vibrasi C dari C 2 pada 2920 cm -1. Nisbah intensitas vibrasi C terhadap intensitas gugus pada 3419 cm -1 memiliki nilai yang lebih tinggi pada produk hasil rekayasa daripada isolat selulosa awal. Absorbansi relatif pada 1650 cm -1 (serapan karakteristik C= pada gugus amida) akan meningkat dengan meningkatnya jumlah penaut silang. Nisbah intensitas pada bilangan gelombang 1650 cm -1 terhadap intensitas pada 1114 cm -1, yaitu serapan dari ikatan eter (C C) antara unit glukosa pada rantai selulosa, akan meningkat dengan adanya rekayasa karena masuknya gugus CN 2 pada selulosa. Di samping itu, absorbansi relatif dari C C pada 1114 cm -1 akan menurun dengan adanya rekayasa jika dibandingkan dengan absorbansi relatif pada selulosa. al ini menunjukkan terputusnya ikatan eter pada selulosa selama rekayasa berlangsung. asil yang sama juga dilaporkan oleh Nada et al. (2007). Tabel 5 Absorbansi relatif isolat selulosa dan produk hasil rekayasa ela sagu Bilangan Gugus Fungsi Absorbansi relatif Gelombang (cm -1 ) Selulosa Produk 1 Produk 2 Produk ,54 0,61 0,72 0, C 2 0,48 0,68 0,76 0, C 2 0,56 0,67 0,64 0, CN 2-0,92 0,96 1, Selulosa 0,98 0,98 0,99 0,55 kristalin I 1114 C--C 1,17 1,13 1,07 1, β-glikosida 1,04 1,02 0,96 0,52 Nisbah 1650/1114 CN 2 /C--C - 0,81 0,90 0,97 Nisbah 2920/3419 C 2 / 0,89 1,11 1,06 0,93 Nisbah 1425/900 CrI 1,10 0,96 1,03 1,06

92 72 Tabel 6 Absorbansi relatif isolat selulosa dan produk hasil rekayasa bagas tebu Bilangan Gugus Fungsi Absorbansi relatif Gelombang (cm -1 ) Selulosa Produk 1 Produk 2 Produk ,93 0,71 0,58 0, C 2 0,93 0,82 0,64 0, C 2 0,56 0,77 0,61 0, CN 2-0,81 0,96 1, Selulosa 0,93 0,80 1,04 0,96 kristalin I 1076 C--C 1,21 1,13 1,04 0, β-glikosida 0,90 0,81 1,03 0,94 Nisbah 1608/1076 CN 2 /C--C - 0,71 0,92 1,19 Nisbah 2947/3487 C 2 / 0,89 1,16 0,96 0,96 Nisbah 1415/898 CrI 1,04 0,98 1,01 1,02 Tabel 7 Absorbansi relatif isolat selulosa dan produk hasil rekayasa jerami padi Bilangan Gugus Fungsi Absorbansi relatif Gelombang (cm -1 ) Selulosa Produk 1 Produk 2 Produk ,20 0,93 0,89 1, C 2 0,98 0,95 0,86 1, C 2 1,00 0,91 0,88 1, CN , Selulosa 1,25 1,00 1,00 1,22 kristalin I 1041 C--C 1,44 1,31 1,08 1, β-glikosida 0,95 0,95 0,96 1,12 Nisbah 1600/1041 CN 2 /C--C - 0,74 0,95 1,12 Nisbah 2924/3576 C 2 / 0,83 0, ,89 Nisbah 1427/898 CrI 1,32 1,05 1,04 1,09 Selain menggunakan teknik difraksi sinar X, indeks kristalinitas juga dapat ditentukan dengan teknik spektroskopi dengan melihat nisbah intensitas pada 1425 cm -1 terhadap nisbah pada 898 cm -1. Indeks kristalinitas selulosa akan menurun dengan adanya rekayasa melalui kopolimerisasi cangkok dan taut silang karena masuknya gugus amida pada rantai selulosa. Semakin banyak jumlah penaut silang maka indeks kristalinitas akan meningkat. Mikroskopi Pemayaran Elektron Teknik SEM merupakan salah satu teknik yang dapat digunakan untuk melihat morfologi permukaan pada beberapa jenis polimer. Sebagai bukti bahwa rekayasa melalui cangkok dan taut silang telah berhasil dilakukan adalah dengan cara membandingkan mikrograf dari isolat selulosa dengan produk hasil rekayasa.

93 73 Morfologi permukaan dari ketiga isolat selulosa sangat berbeda jika dibandingkan dengan mikrograf produk hasil rekayasa. Pada mikrograf isolat selulosa tampak bentuk fibril dari selulosa, sedangkan pada mikrograf produk hasil rekayasa tidak ditemukan bentuk fibril. asil yang sama juga dilaporkan oleh Mishra et al (2008); Mulinari dan da Silva (2008). Gambar 36 adalah mikrograf dari selulosa ela sagu, bagas tebu, dan jerami padi serta produk hasil rekayasa. Mikrograf seluruh produk hasil penelitian dapat dilihat pada Lampiran 8. a.1 Selulosa ela sagu a.2 Produk hasil rekayasa b.1 Selulosa bagas tebu b.2 Produk hasil rekayasa c.1 Selulosa jerami padi c.2 Produk hasil rekayasa (Perbesaran 500x) Gambar 36 Mikrograf selulosa dan produk hasil rekayasa (a) ela sagu, (b) bagas tebu, dan (c) jerami padi.

94 74 Difraksi Sinar X Difraktogram pada produk hasil rekayasa menunjukkan adanya puncak kristalin baru yang tidak terdapat pada difraktogram isolat selulosa dan homopolimer poliakrilamida. Adanya puncak baru tersebut mengindikasikan telah terjadi perubahan struktur pada rantai selulosa akibat rekayasa melalui cangkok dan taut silang. Difraktogram selulosa dan produk hasil rekayasa secara lengkap disajikan pada Lampiran Indeks kristalinitas yang dihasilkan oleh poliakrilamida adalah 27,81%. Rekayasa melalui kopolimerisasi cangkok dan taut silang menurunkan indeks kristalinitas poliakrilamida karena masuknya gugus amida pada rantai selulosa. asil analisis difraksi sinar X menguatkan hasil analisis dengan teknik spektroskopi. Semakin banyak jumlah penaut silang maka indeks kristalinitas semakin tinggi. Kopolimerisasi cangkok dan taut silang akrilamida berkontribusi pada peningkatan indeks kristalinitas produk rekayasa. Indeks kristalinitas terkecil dihasilkan oleh produk rekayasa bagas tebu (17,74%), sedangkan indeks kristalinitas tertinggi dihasilkan oleh produk rekayasa ela sagu (23,79%). Gambar 37 menunjukkan pengaruh jumlah penaut silang terhadap indeks kristalinitas berdasarkan teknik difraksi. Gambar 37 Pengaruh jumlah penaut silang terhadap indeks kristalinitas.

95 75 Analisis Termal Dekomposisi bahan selulosa terjadi melalui kombinasi proses dehidrasi, dekarboksilasi, dan dekarburasi/dekarbonisasi. Untuk memahani perubahan sifat fisikokimia setelah kopolimerisasi cangkok dan taut silang, maka analisis termal berupa DTA diamati. Kehilangan massa (11-15% untuk sampel selulosa) mulai terjadi pada 96 C, yaitu kehilangan air yang terikat secara fisik dan umum terjadi pada bahan-bahan yang mengandung selulosa (Zhang et al. 2010). Pirolisis selulosa mulai terjadi pada suhu T=197 C. Kurva DTA menunjukkan ada 2 puncak (270 C dan 349 C) yang merupakan dekomposisi termal dari selulosa yang berupa dekarboksilasi dan dekarburasi/dekarbonisasi (Szcześniak et al. 008; Shen et al. 2010). Selain itu, kurva DTA juga membuktikan bahwa modifikasi kimia telah terjadi pada isolat selulosa karena adanya pergeseran suhu dekomposisi selulosa dan homopolimer (PAm). Suhu dekomposisi produk lebih rendah dari selulosa, namun lebih tinggi dari PAm. Walaupun suhu dekomposisi produk hasil rekayasa sedikit lebih rendah dari suhu dekomposisi isolat selulosa. Pada kisaran suhu yang sama, persentase massa yang hilang dari produk hasil rekayasa lebih sedikit daripada selulosa. Persentase kehilangan massa produk hasil rekayasa bagas tebu pada saat mulai terdekomposisi, yaitu > 220 C adalah 67,20%, sedangkan untuk isolat selulosa pada kisaran suhu yang sama mengalami kehilangan massa sampai 79,51%. Kecenderungan yang sama juga ditunjukkan oleh produk rekayasa lainnya. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa produk hasil rekayasa lebih tahan terhadap termal/panas dibandingkan dengan selulosa. Gambar menunjukkan kurva DTA dari selulosa, homopolimer, dan produk hasil rekayasa. Data hasil kurva termogravimetri (TG) secara lengkap disajikan pada Lampiran 15.

96 76 DTA (uv) g Cell PAm Cellulose T ( C) Gambar 38 Kurva DTA selulosa, homopolimer, dan produk rekayasa dari ela sagu. DTA (uv) g Cell PAm Cellulose T( C) Gambar 39 Kurva DTA selulosa, homopolimer, dan produk rekayasa dari bagas tebu.

97 77 DTA (uv) g Cell PAm Cellulose T ( C) Gambar 40 Kurva DTA selulosa, homopolimer, dan produk rekayasa dari jerami padi. Swelling Factor Pengaruh penambahan penaut silang terhadap swelling factor atau daya serap air dikaji dengan meningkatkan jumlah N,N -metilena-bis-akrilamida (MBAm) secara bertahap. Selain itu, pengaruh saponifikasi terhadap daya serap air juga diamati. asil uji daya serap produk hasil pencangkokan dan taut silang merupakan informasi awal dalam aplikasinya sebagai material separator melalui mekanisme sorpsi (Gambar 41).

98 Daya Serap (g g-1) Ela (Sblm) Ela (Stlh) Bagas (Sblm) Bagas (Stlh) Jerami (Sblm) Jerami (Stlh) Produk 1 Produk 2 Produk 3 Gambar 41 Daya serap air sebelum dan sesudah saponifikasi. Daya serap tertinggi yang dapat dicapai oleh produk hasil rekayasa dari 3 bahan baku menunjukkan nilai yang berbeda-beda. Produk hasil rekayasa dari ela sagu pada kondisi sebelum saponifikasi memiliki rerata daya serap air yang tinggi dibandingkan produk hasil rekayasa dari bagas tebu dan jerami padi. Sebelum saponifikasi, produk hasil rekayasa ela sagu dengan jumlah MBAm sebesar 0,1 g memiliki daya serap air yang paling tinggi, yaitu 35,40 (g g -1 ). Penambahan jumlah penaut silang akan menurunkan daya serap air. asil yang sama juga dilaporkan oleh Khan et al. (2009); Liu et al. (2009). Peningkatan jumlah penaut silang akan meningkatkan kerapatan dari jaring (network) dan ikatan taut silang dari produk sehingga struktur rangka polimer secara keseluruhan menjadi kaku dan sulit untuk menyerap sejumlah air. Reaksi saponifikasi dapat meningkatkan daya serap air seluruh produk hasil rekayasa. asil yang sama juga dilaporkan oleh Saikia & Ali (1999); Wu et al. (2003); dan Teli & Waghmare (2009). Perlakuan dengan alkali akan mengkonversi CN 2 menjadi C, dan C (Gambar 42). Jumlah dan variasi gugus hidrofilik seperti CN 2, C, dan C akan mempengaruhi daya serap air dari masing-masing produk (Wu et al. 2003). Peningkatan daya serap air akibat reaksi saponifikasi bervariasi 2-12,5 kali daya serap awalnya. Daya serap air tertinggi setelah reaksi saponifikasi (124,60 g g -1 )

99 79 dicapai oleh produk hasil rekayasa dari ela sagu dengan jumlah MBAm sebesar 1 g. Gambar 42 idrolisis parsial gugus amida pada rantai poliakrilamida. Daya Tahan terhadap Pelarut rganik Ketahanan produk pencangkokan terhadap pelarut organik dipantau melalui indeks bias (Gambar 43-45). Pemantauan ini bertujuan untuk melihat adanya interaksi pelarut organik dengan produk pencangkokan. asil uji daya tahan terhadap pelarut merupakan informasi awal produk pencangkokan dan taut silang dalam aplikasinya sebagai material separator pada teknologi separasi. Pelarut organik yang digunakan adalah toluena, heksana, etil asetat, aseton, metanol, dan etanol. asilnya menunjukkan bahwa produk pencangkokan berinteraksi dengan pelarut toluena, aseton, dan etanol. leh karena itu, pelarut yang dapat digunakan sebagai fasa gerak dalam teknologi separasi untuk produk pencangkokan ini adalah heksana, etil asetat, dan metanol.

100 80 Gambar 43 Indeks refraksi selulosa dan produk rekayasa ela sagu. Gambar 44 Indeks refraksi selulosa dan produk rekayasa bagas tebu. Gambar 45 Indeks refraksi selulosa dan produk rekayasa jerami padi.

101 81 Simpulan Rekayasa biopolimer melalui kopolimerisasi cangkok dan taut silang telah dilakukan. Nisbah dan efisiensi pencangkokan berturut-turut adalah 66,14-92,12% dan 13,23-18,42%. Nilai nisbah dan efisiensi pencangkokan meningkat dengan meningkatnya jumlah penaut silang. asil pencirian dengan teknik spektroskopi menunjukkan adanya serapan gugus amida yang membuktikan kopolimerisasi cangkok dan taut silang telah terjadi. Morfologi permukaan produk rekayasa tidak berbentuk fibril, melainkan berupa permukaan yang kasar dan berongga. Semakin meningkat jumlah penaut silang, permukaan produk rekayasa semakin kasar dan berongga. Indeks kristalinitas meningkat dengan meningkatnya jumlah penaut silang. Rerata indeks kristalinitas tertinggi ditunjukkan oleh produk rekayasa dari jerami padi. Analisis termal menunjukkan bahwa produk hasil rekayasa lebih tahan secara termal. Kajian terhadap kemampuan produk hasil rekayasa dalam menjerap air (swelling factor) menunjukkan bahwa dengan meningkatnya jumlah penaut silang maka swelling factor akan semakin menurun. idrolisis produk hasil rekayasa dapat meningkatkan swelling factor. Kajian terhadap ketahanan produk hasil rekayasa terhadap berbagai pelarut organik menunjukkan bahwa produk hasil rekayasa lebih stabil dalam pelarut metanol, etil asetat, dan heksana.

102 UJI KINERJA MATERIAL SEPARATR DENGAN TEKNIK KRMATGRAFI Abstrak Material separator berbasis bagas tebu dievaluasi kinerjanya melalui teknik kromatografi kolom. Puncak pada kromatogram dengan luas area terbesar telah diidentifikasi sebagai senyawa xantorizol dan bisdemetoksikurkumin. Resolusi pemisahan diperoleh 6,44. Efisiensi kolom berbasis bagas tebu masih di bawah standar U.S Food and Drug Administration (FDA) yang telah ditetapkan dengan tailing factor sebesar 2,3. Informasi lain yang dihasilkan adalah selain dapat memisahkan xantorizol dan kurkuminoid, material separator ini juga dapat digunakan untuk memisahkan senyawaan kurkuminoid (kurkumin, demetoksikurkumin, dan bisdemetoksikurkumin). Kata kunci: kromatografi, pemisahan, xantorizol, kurkuminoid Abstract The performance of material separator based on sugarcane bagasse has been evaluated by using column chromatography. Two peaks has been identified as xanthorhizol and bisdemetoxycurcumin. The resolution was 6,44. Column efficiency was higher than FDA upper limit. The Material separator was not only for xanthorrizhol separation, but also for Curcuminoids separation. Keywords: chromatography, separation, xanthorrizhol, curcuminoids

103 84 Pendahuluan Kromatografi merupakan salah satu teknik pemisahan yang banyak digunakan dalam bidang kimia, bioteknologi, biomedis, dan ilmu pangan. Saat ini, teknik kromatografi yang dibutuhkan adalah yang memiliki tingkat selektivitas yang tinggi dan efisien dalam memisahkan campuran senyawa yang kompleks. Fasa stasioner atau material separator pada kromatografi dapat diklasifikasikan berdasarkan matriks materialnya, seperti polimer alam (agarosa, dekstran, selulosa, polimer sintetik (senyawa metakrilat, akrilat, polistirena), bahan anorganik (silika, hidroksiapatit), dan material komposit (Maharjan et al. 2008). Fasa stasioner berbasis polisakarida dapat digunakan sebagai fasa stasioner yang mampu memisahkan senyawa rasemat. Istilah yang digunakan untuk fasa diam seperti ini adalah chiral stationary phase (CSP). Polisakarida (selulosa dan amilosa) adalah polimer alam yang bersifat optik aktif namun selulosa dan amilosa murni bukan selektor senyawa kiral yang efektif. Akan tetapi, apabila senyawa polisakarida ini dikonversi ke senyawa turunannya, misalnya seperti trisester atau lainnya, maka senyawa turunan polisakarida mampu menjadi selektor untuk pemisahan senyawa kiral (Ali dan Aboul-Enein 2007). Polimer akrilamida adalah salah satu material polimer yang dikategorikan sebagai smart polymer. Bahan polimer yang dapat memberikan respon cepat melalui perubahan struktur dan fungsi jika distimulasi oleh rangsangan dari luar seperti rangsangan fisik, kimia, maupun elektrik disebut sebagai smart polymer atau intelligent polymer (Maharjan et al. 2007). Smart polymer seperti ini dapat dicangkokkan (grafting) atau ditautsilangkan (crosslinking) dengan senyawa lain. Apabila stimulasi diberikan, maka rantai polimer tersebut dapat berubah dari water-soluble menjadi water-insoluble akibat perubahan polarisabilitas dari rantai polimer. Pada tahap penelitian ini, polimer alam yang dipilih sebagai polimer backbone potensial adalah polisakarida yang diisolasi dari bagas tebu. Berdasarkan kajian rendemen polisakarida, bagas tebu dapat menghasilkan rendemen polisakarida yang banyak, yaitu 41%. ampir 77,47% dari rendemen yang dihasilkan diketahui sebagai selulosa alfa. Derajat polimerisasi (DP) dan

104 85 bobot molekul (BM) yang paling tinggi di antara ketiga bahan lainnya. Nilai DP dan BM untuk selulosa dari bagas tebu adalah 586,5 dan g/mol. Selulosa bagas tebu relatif stabil secara termal. Dekomposisi selulosa terjadi pada suhu yang relatif lebih tinggi, yaitu 349,76 C. Indeks kristalinitas selulosa bagas tebu adalah 16,69%. Berdasarkan kajian rekayasa melalui teknik kopolimerisasi cangkok dan taut silang, nisbah dan efisiensi pencangkokan yang dihasilkan masih di atas nilai nisbah dan efisiensi pencangkokan dari selulosa jerami padi. Nilai nisbah dan efisiensi pencangkokan untuk produk hasil rekayasa dari bagas tebu adalah 62,98-82,27% dan 13,86-16,45%. Selanjutnya, berdasarkan kajian terhadap pengaruh jumlah penaut silang diketahui bahwa produk rekayasa bagas tebu yang digunakan untuk tahapan evaluasi kinerja adalah produk rekayasa dengan jumlah penaut silang MBAm sebesar 1 g karena produk rekayasa ini memiliki swelling factor yang paling kecil. Tujuan tahapan penelitian ini adalah mengevaluasi kinerja material separator sebagai fasa diam paada kromatografi kolom untuk memisahkan senyawa aktif xantorizol dalam ekstrak kasar temu lawak. Bahan dan Metode Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah produk rekayasa dari bagas tebu dengan MBAm 1 g berukuran 100 mesh. Etanol p.a (E-Merck), heksana p.a (E-Merck), etil asetat p.a (E-Merck), metanol p.a (E-Merck), asam fosfat p.a (E-Merck), asetonitril p.a (E-Merck). Alat yang digunakan adalah peralatan gelas, kolom konvensional, instrumen PLC Shimadzu Class-VPTM. Metode Ekstraksi Temu Lawak Serbuk temu lawak yang telah halus kemudian diekstraksi secara maserasi menggunakan pelarut etanol dengan perbandingan bahan dan pelarut 1:3 selama 3 21 jam. Ekstraksi dihentikan dan selanjutnya ekstrak disaring menggunakan kertas saring dan dipekatkan dengan penguap putar (rotavapor) pada suhu 40 C. Residu yang diperoleh merupakan ekstrak etanol temu lawak.

105 86 Fraksinasi Ekstrak Temulawak dengan Kromatografi Kolom Kolom kromatografi yang berisi produk rekayasa bagas tebu disiapkan. Berikut adalah kondisi yang digunakan saat fraksinasi: Tinggi kolom = 20 cm Diameter kolom internal = 2 cm Laju alir = 0,8 ml/menit Ekstrak etanol temu lawak = 1 ml. Fase gerak yang digunakan adalah heksana, etil asetat, metanol dan kombinasi dari pelarut-pelarut tersebut disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Jenis pelarut pada fraksinasi ekstrak temu lawak Jenis Pelarut Fraksi ke- eksana 1-13 eksana:etil Asetat 75: eksana:etil Asetat 50: eksana Etil Asetat 25: Metanol:Etil Asetat 10: Metanol:Etil Asetat 50: Metanol:Etil Asetat 90: Metanol Ekstrak dielusi dengan mengalirkan pelarut sampai semua fraksi keluar dari kolom. Fraksi yang keluar dari kolom ditampung sebanyak 3 ml di dalam tabung gelap. Setiap fraksi yang diperoleh selanjutnya diidentifikasi menggunakan PLC.

106 87 Pencirian Fraksi Ekstrak Temu lawak a. Penentuan xantorizol sebagai berikut: Fasa gerak : Asam Fosfat dan Asetonitril Laju alir : 1 ml/menit Panjang Gelombang : 210 nm Kolom : Lichrosphere 60 RP Select B 5,0 Mm (125 x 4,0 mm) b. Penentuan kurkuminoid Fasa gerak : Asam Fosfat dan Asetonitril Laju alir : 1,5 ml/menit Panjang Gelombang : 210 nm dan 366 nm Kolom : Waters Nova-Pak C18 (150 x 3,9 mm) asil dan Pembahasan Fraksi yang dihasilkan pada saat fraksinasi menggunakan kromatografi kolom berjumlah 93 fraksi. Selanjutnya, setiap fraksi diidentifikasi menggunakan PLC. Luas area pada kromatogram PLC untuk setiap fraksi kemudian diplot versus waktu retensi (Gambar 46). Berdasarkan kromatogram standar xantorizol (Lampiran 16) dan standar kurkuminoid (Lampiran 17) diperoleh informasi bahwa waktu retensi untuk xantorizol adalah 4,465 menit. Standar kurkuminoid menunjukkan adanya 3 puncak, yaitu puncak bisdemetoksikurkumin pada t R = 15,370 menit, demetoksikurkumin pada t R = 17,294 menit, dan puncak kurkumin pada t R = 19,445 menit. Waktu retensi pemisahan puncak kurkuminoid yang dihasilkan dalam penelitian ini lebih lama dari yang telah dilakukan oleh Jadhav et al. (2007). al ini disebabkan fase gerak yang digunakan dalam penelitian ini berbeda. Dengan menggunakan metode yang sama, yaitu PLC fasa terbalik, Jadhvav et al. (2007) melaporkan waktu retensi bisdemetoksikurkumin, demetoksikurkumin, dan kurkumin berturut-turut 7,2; 8,12; dan 9,0 menggunakan fasa gerak asetonitril: asam trifluoroasetat (TFA) 0,1% = 50:50 v/v. Identifikasi puncak kromatogram yang diperoleh melalui hasil fraksinasi kromatografi kolom (Gambar 46) menunjukkan bahwa puncak pertama adalah xantorizol dengan waktu retensi (t R ) = 22,50 menit, sedangkan puncak kedua

107 88 sebagai bisdemetoksikurkumin dengan t R = 240 menit. Puncak pertama berbentuk simetris. Namun, bentuk puncak pada puncak kedua terlihat tidak simetris, artinya masih terdapat 2 senyawa yang belum terpisahkan dengan baik. Kromatogram untuk ekstrak kasar temu lawak disajikan pada Lampiran 18, sedangkan untuk masing-masing fraksi dapat dilihat pada Lampiran 19. Resolusi Pemisahan Daya pisah yang baik dapat dilihat dari nilai resolusi pemisahannya (R). Resolusi pemisahan dipengaruhi oleh waktu retensi kedua puncak dan lebar alas puncak. Berdasarkan kromatogram pada Gambar 46 diperoleh nilai resolusi pemisahan antara puncak 1 dan puncak 2 sebagai berikut: t R puncak ke-1 = 22,50 menit t R puncak ke-2 = 240 menit lebar alas puncak ke-1 (W 1 ) = 15,0 menit lebar alas puncak ke-2 (W 2 ) = 52,50 menit Resolusi pemisahan diperoleh: R = t R2 t R1 2( t = / 2( W + W ) ( W R2 t R1) + W ) = 2 (240 22,50) (52, ,00) = 6,44 Resolusi pemisahan dari kolom separator berbasis limbah bagas tebu adalah 6,44. Menurut Center for Drug Evaluation and Research (CDER), resolusi pemisahan yang baik adalah > 2. Jadi, resolusi pemisahan dari kolom separator berbasis bagas tebu adalah baik. Efisiensi Kolom Jumlah Pelat Teoritis (N). Efisiensi kolom diukur sebagai jumlah pelat teoritis (N). Kolom yang efisien adalah kolom yang menghasilkan puncak yang sempit (tidak mengalami pelebaran puncak). Jumlah pelat teoritis yang dihasilkan adalah:

108 89 Puncak ke-1 N t R1 = 16 W1 2 22,50 = = 36 Puncak ke-2 N t R1 = 16 W1 2 = ,50 2 = 334,37 Jumlah pelat teoritis yang dihasilkan puncak ke-1 dan ke-2 berturut-turut adalah 36 dan 334,16. Menurut CDER (1994), jumlah pelat teoritis yang baik adalah > Jumlah pelat teoritis yang dihasilkan dalam penelitian ini masih di bawah 2000 sehingga efisiensi kolom berbasis limbah bagas tebu tidak baik. Jumlah pelat teoritis berbanding lurus dengan panjang kolom. Umumnya, kolom yang lebih panjang mempunyai jumlah pelat yang lebih banyak. Akan tetapi, menggunakan kolom yang lebih panjang juga dapat menurunkan tekanan yang lebih besar. The eight equivalent to a theoritical plate (ETP). Tinggi yang setara dengan pelat teoritis merupakan ukuran efisiensi kolom yang lebih sering digunakan. Kolom yang baik adalah kolom yang mempunyai harga ETP yang kecil. Puncak ke-1 L ETP = N 20 = = 36 0,56 Puncak ke-2 L ETP = N = ,37 = 0,06

109 90 Tailing Factor. Puncak ke-2 menunjukkan adanya puncak yang belum terpisah secara sempurna. leh karena itu perlu dilihat tailing factor. Tailing factor dihitung sebagai berikut: T ( a + b) = 2a T adalah tailing factor (diukur pada tinggi puncak 5%) a=jarak ujung puncak awal ke tengah puncak b=jarak tengah puncak ke puncak akhir T ( a + b) = 2a ( ,75) + (281,25 240) = 2( ,75) = 2,3 Puncak ke-2 menunjukkan nilai tailing factor > 2, yaitu 2,3. Menurut CDER (1994), tailing factor yang baik adalah 2. Xantorizol Bisdemetoksikurkumin Demetoksikurkumin Kurkumin Gambar 46 Kromatogram pemisahan xantorizol dan kurkuminoid. Simpulan Material separator berbasis limbah bagas tebu dapat memisahkan senyawa aktif xantorizol dalam ekstrak kasar temu lawak dengan resolusi yang cukup baik, yaitu 6,44. Namun, efisiensi kolom ini masih perlu ditingkatkan karena nilainya berada di bawah standar yang ditetapkan oleh CDER.

110 ANALISIS NILAI TAMBA DAN PENDAPATAN USAA INDUSTRI MATERIAL SEPARATR BERBASIS BAGAS TEBU Abstrak Material separator berbasis bagas tebu berpotensi dikembangkan untuk mendukung teknologi separasi di Indonesia. Kelayakan finansial dan analisis nilai tambah dilakukan untuk mengevaluasi potensi material separator berbasis bagas tebu secara ekonomi. asil menunjukkan bahwa secara finansial industri material separator berbasis bagas tebu menguntungkan karena memiliki nilai B/C lebih dari satu (1,22), jumlah produksi per tahun adalah kg material separator dengan penerimaan aktual sebesar Rp ,00 jauh lebih besar daripada jumlah produksi saat BEP (2.682 kg) dan penerimaan saat BEP (Rp ,00). Nilai tambah yang diperoleh dari industri material separator berbasis bagas tebu adalah Rp ,44 per kg bagas tebu. Kenaikan pada upah tenaga kerja, harga bahan baku dan bahan kimia, serta sumbangan input lainnya sebesar 10% dengan harga penjualan yang tetap masih dapat menguntungkan perusahaan. Kata kunci: analisis finansial, nilai tambah Abstract Sugarcane bagasse based separator material is potential to develop in order to support separation technology in Indonesia. Financial analysis and added value have been carried out to evaluate the sugarcane bagasse based separator s potential. The results showed that the sugarcane bagasse based separator industry was profitable because of B/C ratio value is bigger than one (1,22), the actual total production was kg and the actual total avenue was Rp ,00. Those numbers were much higher compared to the actual numbers when the BEP is reached, the total production was kg and total avenue was Rp ,00. The added value was found at Rp ,44 per kg sugarcane bagasse. When salary, raw material and chemicals s prices, and other input prices increased for 10%, the company was still have a profit. Keywords: financial analysis, added value

111 92 Pendahuluan Nilai tambah adalah pertambahan nilai yang terjadi karena suatu komoditi mengalami proses pengolahan, pengangkutan, dan penyimpanan dalam suatu proses produksi (penggunaan/pemberian input fungsional). Menurut Gumbira dan Intan (2000), nilai tambah agroindustri adalah nilai yang tercipta dari kegiatan mengubah input pertanian menjadi produk pertanian atau yang tercipta dari kegiatan mengolah hasil pertanian menjadi produk akhir. Nilai tambah dipengaruhi oleh faktor teknis dan nonteknis. Informasi atau keluaran yang diperoleh dari hasil analisis nilai tambah adalah besarnya nilai tambah, rasio nilai tambah, marjin, dan balas jasa yang diterima oleh pemilik-pemilik faktor produksi (ayami et al. 1987). Dalam penelitian ini, model agroindustri material separator berbahan baku bagas tebu dipilih sebagai contoh studi kasus dalam menganalisis kelayakan finansial dan nilai tambah. Nilai tambah yang dihasilkan ditentukan oleh pasokan bahan baku, manajemen produksi, tingkat teknologi yang digunakan, kelembagaan pasar, dan faktor lingkungan. Tahap penelitian ini bertujuan mendapatkan (1) kelayakan finansial produksi material separator dari limbah pertanian berbasis bagas tebu, (2) nilai tambah limbah pertanian berbasis bagas tebu setelah diolah menjadi material separator. Metode Metode Analisis Data Data yang diperoleh dihitung secara matematis, disajikan dalam tabulasi, selanjutnya dianalisis dan dijelaskan secara deskriptif. 1. Analisis Finansial Usaha Produksi Material Separator 1.a Analisis Biaya dan Pendapatan Biaya produksi: TC = TFC + TVC Keterangan: TC = total cost (biaya total) TFC = total fixed cost (biaya tetap total ) TVC = total variable cost (biaya tidak tetap total )

112 93 Penerimaan: TR = P.Q Keterangan: TR = total revenue (penerimaan total) P = price per unit (harga jual per unit) Q = quantity (jumlah produksi) Keuntungan: Π = TR TC Keterangan: Π = pendapatan bersih atau keuntungan TR = total revenue (penerimaan total) TC = total cost (biaya total) 1.b Benefit-Cost Ratio (B/C) B/C ratio merupakan perbandingan antara keuntungan bersih dan biaya total, yang menunjukkan nilai pendapatan bersih yang diperoleh dari setiap rupiah yang dikeluarkan. Adapun B/C ratio dapat dirumuskan sebagai berikut. Π B/C = TC Keterangan: Π = pendapatan bersih atau keuntungan TC = Total cost Kriteria penilaian B/C ratio: B/C < 1 = usaha agroindustri mengalami kerugian B/C > 1 = usaha agroindustri memperoleh keuntungan B/C = 1 = usaha agroindustri mencapai titik impas

113 94 1.c Analisis Titik Impas (BEP) Perhitungan BEP (break even point) atas dasar unit produksi dapat dilakukan dengan menggunakan rumus: BEP(Q) = TFC P/unit VC/unit Keterangan: BEP (Q) = titik impas dalam unit produksi TFC = biaya tetap P = harga jual per unit VC = biaya tidak tetap per unit Perhitungan BEP atas dasar unit rupiah dapat dilakukan dengan menggunakan rumus: TFC BEP(Rp) = 1 (VC/TR) Keterangan: BEP (Rp) = titik impas dalam rupiah TFC = biaya tetap VC = biaya tidak tetap TR = penerimaan total 2. Analisis Nilai Tambah Analisis nilai tambah dilakukan dengan menggunakan metode ayami. Secara matematis, fungsi nilai tambah (NT) menurut metode hayami (1987) dapat dirumuskan sebagai berikut: NT = f (K, B, T,, U, h, L) Keterangan: K= kapasitas produksi (kg) B= jumlah bahan baku yang digunakan (kg) T=jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan (orang) =harga output (Rp/kg)

114 95 U=upah kerja (Rp) h=harga bahan baku (Rp/kg) L=nilai input lain (Rp) Perhitungan nilai tambah secara umum adalah sebagai berikut: NT = N NI Keterangan: NT= nilai tambah (Rp/kg) Y N= nilai ouput ( N = ) J Keterangan: Y=jumlah produksi (kg) =harga ouput (Rp/kg) J=jumlah bahan baku (kg) ha + hb NI=nilai input ( NI = ) J Keterangan: ha=harga bahan baku (Rp) hb=harga bahan pendukung lainnya (Rp) J=jumlah bahan baku (kg)

115 96 Perhitungan analisis nilai tambah secara rinci disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Format analisis nilai tambah pengolahan No Peubah Satuan Formula utput, Input, arga 1 asil produksi kg/tahun A 2 Bahan baku kg/tahun B 3 Tenaga kerja K C 4 Faktor konversi A/B=M 5 Koefisien tenaga kerja C/B=N 6 arga produk Rp/kg D 7 Upah rerata Rp/K E Pendapatan dan Keuntungan 8 arga bahan baku Rp/kg F 9 Sumbangan input lain Rp/kg G 10 Nilai produk Rp/kg MxD=K 11 a. Nilai tambah Rp/kg K-F-G=L b. Rasio nilai tambah % (L/K)%=% 12 a. Imbalan tenaga kerja Rp/kg NxE=P b. Bagian tenaga kerja R% (P/L)%=Q% 13 a. Keuntungan L-P=R b. Tingkat keuntungan % (R/L)%=% Balas Jasa untuk Faktor Produksi 14 Margin Rp/kg K-F=S a. Pendapatan tenaga kerja langsung P/(SX100)=T b. Sumbangan input lain G/(Sx100)=U c. Keuntungan perusahaan R/(Sx100)=V Batasan-batasan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Biaya total (TC, total cost) adalah biaya yang dikeluarkan dalam produksi material separator, terdiri atas biaya tetap total (TFC, total fixed cost) dan biaya variabel total (TVC, total variable cost) (Rp/kg). 2. Biaya tetap total (TFC) adalah biaya yang jumlahnya tidak tergantung pada jumlah produksi material separator, terdiri atas biaya penyusutan peralatan, penyusutan bangunan, dan upah tenaga kerja (Rp/tahun). 3. Biaya variabel total (TVC) adalah biaya yang jumlah nilainya dipengaruhi oleh jumlah produksi material separator, seperti biaya bahan baku, biaya

116 97 bahan baku tambahan/pereaksi, biaya energi (listrik), dan biaya pemasaran (Rp/tahun). 4. Biaya untuk kemasan adalah biaya yang dikeluarkan untuk kemasan plastik ukuran 1 kg, ditambah biaya mencetak label, biaya pengemasan, dan biaya penyimpanan (Rp/kg) 5. Material separator yang diproduksi adalah material separator berbasis bagas tebu dan dikemas dalam kemasan plastik berukuran 1 kg. 6. Penerimaan total (TR, total revenue) adalah total produksi material separator yang dihasilkan dalam 1 (satu) tahun dikalikan dengan harga jualnya (Rp/tahun). 7. Pendapatan total (Π) adalah penerimaan total (TR) dikurangi dengan biaya total produksi material separator (TC). 8. arga pokok material separator (P) adalah total biaya produksi material separator tersebut dibagi dengan jumlah produksinya (Rp/kg) 9. Titik impas (BEP) adalah suatu kondisi dimana usaha dalam keadaan tidak untung dan tidak rugi yang dinyatakan dalam satuan unit (kg) dan/atau dalam satuan rupiah (Rp). 10. Nilai tambah (NT) adalah peningkatan nilai dari pengolahan bahan baku menjadi material separator, diperoleh melalui selisih nilai output dan nilai input yang dihitung dalam Rp/kg bahan baku yang digunakan. 11. Nilai output (N) adalah hasil kali jumlah material separator dengan harga material separator dibagi dengan jumlah bahan baku yang digunakan (Rp/kg). 12. Nilai input (NI) adalah jumlah biaya bahan (bahan baku dan bahan pembantu lainnya) dan biaya lainnya (biaya energi, biaya penyusutan, biaya tenaga kerja) dibagi dengan jumlah bahan baku yang digunakan (Rp/kg)

117 98 asil dan Pembahasan Beberapa asumsi digunakan dalam melakukan analisis nilai tambah material separator. Upah tenaga kerja mengacu pada peraturan pemerintah mengenai upah minimum lokal, bahan baku dan bahan pembantu lainnya berkualitas teknis (industrial grade), sedangkan harga bahan mengacu pada harga yang berlaku saat kajian dilakukan. Asumsi-asumsi yang digunakan meliputi hal-hal sebagai berikut: 1. arga bahan baku bagas tebu Rp ,00/kg 2. Kapasitas produksi dirancang 100 kg material separator berbasis bagas tebu/hari dengan 2 lini produksi. Pabrik beroperasi 8 jam/hari/shift, operator bekerja dengan 1 shift/hari, 6 orang/shift/lini produksi, selama 25 hari kerja per bulan atau 300 hari kerja dalam 1 tahun (sesuai pasal 77 ayat 2.b UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan). 3. arga jual produk material separator lebih rendah dari harga jual produk serupa yang ada di pasaran (silika gel 60) Rp ,00/kg (arga silika gel 60 dengan ukuran partikel 0,040-0,063 mm di pasaran adalah Rp ,00/kg) 4. Jumlah produksi material separator berbasis bagas tebu adalah 100 kg/hari x 300 hari/tahun = kg/tahun 5. Kebutuhan bahan baku bagas tebu dengan tingkat rendemen 41% adalah 122 kg/hari atau kg/tahun 6. Jumlah tenaga kerja langsung yang dilibatkan adalah 12 orang/hari x 300 hari/tahun = 3600 K/tahun 7. Upah rerata tenaga kerja langsung adalah Rp ,00/tahun x 1 tahun/300 hari x 1 hari/12 K = Rp ,00/K (Upah tenaga kerja ditetapkan sesuai dengan upah minimum kerja (UMK) untuk Kab. Bogor, berdasarkan SK Gubernur Jawa Barat No.561/Kep Bangsos/2011 tentang Upah Minimum Kabupaten/Kota di Jawa Barat). 8. Sumbangan input lain terdiri atas biaya tetap dikurangi dengan gaji pengelola dan biaya tidak tetap dikurangi dengan biaya bahan baku, yang nilainya adalah Rp / kg = Rp ,70/kg

118 99 9. Biaya penyusutan dihitung dengan metode garis lurus (straight-line method) ynag disesuaikan dengan umur ekonomi modal tetap, yaitu 10 tahun. 10. Biaya pemeliharaan dan asuransi merupakan komponen dari biaya tetap yang ditetapkan berturut-turut 5% dari nilai investasi barang dan 0,05% dari investasi keseluruhan. Material separator adalah produk akhir yang dijual dalam bentuk granule dengan ukuran partikel 0,040-0,063 mm serta dikemas dalam plastik kemasan berukuran 1 kg. Analisis Biaya dan Pendapatan Besarnya biaya produksi total yang dikeluarkan oleh perusahaan disajikan pada Tabel 10. Penerimaan perusahaan diperoleh dari hasil produksi material separator ( kg/tahun) dikalikan dengan harga jual produk Rp ,00/kg. Pendapatan bersih perusahaan merupakan selisih antara penerimaan dengan biaya total. Pendapatan bersih perusahaan dalam 1 tahun adalah Rp ,00. Tabel 10 Biaya produksi dan pendapatan industri material separator berbasis bagas tebu No Uraian Nilai (Rp) Persentase 1 Biaya Tetap (Rp) ,95 2 Biaya Tidak Tetap (Rp) ,05 Biaya Total (Rp) Volume produksi (kg) arga jual per Kg (Rp) Penerimaan (Rp) Pendapatan bersih (Rp)

119 100 arga pokok merupakan biaya yang dikeluarkan untuk memproduksti tiap produk atau biaya rata-rata untuk tiap unit yang diproduksi. Perhitungan harga pokok dalam penelitian ini menggunakan metode pembagian. arga pokok diperoleh dari jumlah total biaya produksi pada satu satuan waktu tertentu dibagi jumlah produk yang dihasilkan pada satu satuan waktu yang sama. arga pokok, harga jual, dan keuntungan per kilogram produk material separator disajikan pada Tabel 11. Tabel 11 arga pokok, harga jual, dan keuntungan industri material separator berbasis bagas tebu No Uraian Nilai (Rp) 1 Biaya Tetap Total (Rp) Biaya Tidak Tetap Total (Rp) Volume Produksi (Kg) arga pokok per Kg (Rp) arga jual per Kg (Rp) Keuntungan (Rp) arga pokok material separator adalah Rp ,00 per kg. arga pokok dihitung berdasarkan harga proses dan menunjukkan bahwa harga pokok material separator masih di bawah harga jual produknya. Dalam hal ini, industri material separator berbasis bagas tebu mengalami keuntungan, yaitu Rp ,00 per kg produk. Namun demikian, keuntungan akan dipengaruhi oleh jumlah produk material separator yang terjual. Asumsi yang digunakan untuk menghitung keuntungan yang diperoleh perusahaan adalah produk material separator 100% terjual. Analisis B/C Ratio Nilai B/C ratio dari perusahaan material separator berbasis bagas tebu disajikan pada Tabel 12. Nilai perbandingan antara keuntungan dan biaya produksi adalah sebesar 1,22. al ini berarti setiap Rp 1.000,00 biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan Rp 1.220,00. Nilai B/C ratio yang dihasilkan

120 101 perusahaan tersebut lebih dari 1 berarti usaha menghasilkan material separator memperoleh keuntungan. Tabel 12 Nilai B/C Ratio industri material separator berbasis bagas tebu No Uraian Nilai (Rp) 1 Penerimaan (Rp) Biaya Produksi Total (Rp) Benefit (Rp) B/C Ratio 1,22 Analisis Titik Impas Titik impas dalam unit terjadi pada saat pengusaha memproduksi 2682 kg material separator dan BEP dalam penerimaan Rp ,00 (Tabel 13). Penerimaan yang diterima oleh pengusaha lebih besar daripada penerimaan pada saat BEP, yang berarti bahwa usaha pembuatan material separator dapat dikatakan menguntungkan. Tabel 13 Titik impas industri material separator berbasis bagas tebu No Uraian Nilai (Rp) 1 Biaya Tetap Total (Rp) Biaya Tidak Tetap Total (Rp) Volume Produksi (Kg) arga jual per Kg (Rp) Penerimaan (Rp) BEP Volume Produksi (Kg) BEP Penerimaan (Rp) BEP harga (Rp)

121 102 Analisis Nilai Tambah Nilai tambah yang terdapat pada setiap kilogram material separator adalah sebesar Rp ,44 atau sebesar 57,30%. Balas jasa atau imbalan untuk pemilik faktor produksi dapat dilihat dari besarnya marjin, yaitu sebesar Rp ,13/kg dengan distribusi marjin untuk pemilik usaha sebesar 56,72%, untuk tenaga kerja 1,29%, dan untuk sumbangan input lain sebesar 41,99%. Pada saat upah tenaga kerja, harga bahan baku, dan sumbangan input lain naik 10% dengan harga jual produk tetap (Rp ,00/kg), maka perusahaan masih memperoleh nilai tambah sebesar Rp ,89/kg produk atau sebesar 53,33% untuk setiap kilogram material separator yang dihasilkan. Balas jasa atau imbalan untuk pemilik faktor produksi, yaitu sebesar Rp ,13 dengan distribusi marjin untuk pemilik usaha sebesar 52,64%, untuk tenaga kerja 1,42%, dan untuk sumbangan input lain sebesar 52,64%. Perhitungan analisis nilai tambah dapat dilihat pada Lampiran Simpulan 1. Industri material separator secara finansial menguntungkan bagi pengusaha karena: a. Rerata penerimaan Rp ,00 lebih besar dari rerata pengeluaran Rp ,00 sehingga diperoleh keuntungan positif sebesar Rp ,00 b. Nilai B/C lebih dari 1 (rasio B/C = 1,22) 2. Jumlah produksi aktual kg dengan penerimaan aktual Rp ,00 telah melebihi titik impasnya, yaitu kg dan Rp , Kegiatan yang dilakukan dalam usaha memproduksi material separator berbasis bagas tebu telah menghasilkan nilai tambah sebesar Rp ,44 atau 57,30%. Kenaikan upah tenaga kerja, bahan baku, dan sumbangan input lain sebesar 10% menghasilkan nilai tambah sebesar Rp ,89/kg atau sebesar 53,33%.

122 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Selulosa berhasil diisolasi dari ela sagu, bagas tebu, dan jerami padi. Tahap isolasi dipantau dengan teknik spektroskopi. Evaluasi keberhasilan juga ditunjukkan melalui nilai rendemen polisakarida, penurunan kadar lignin, dan peningkatan kadar selulosa alfa. 2. Rendemen hasil isolasi untuk ela sagu, bagas tebu, dan jerami padi berturut-turut adalah 5, 41, dan 11% dengan kandungan selulosa alfa 62,53; 72,80; dan 77,47%. 3. Delignifikasi dengan 2 2 5% pada p 12, suhu 70 C, dan waktu 3 jam dengan nisbah bobot contoh dan volume larutan 2 2 sebesar 1:25 mampu menghilangkan lignin sampai lebih dari 90%. 4. Derajat polimerisasi dan bobot molekul isolat selulosa dari ela sagu, bagas tebu, dan jerami padi berturut-turut adalah 194,7 dan ,4 g/mol; 586,5 dan g/mol, serta 67,6 dan ,6 g/mol. Indeks kristalinitas isolat selulosa dari ela sagu, bagas tebu, dan jerami padi berturut-turut adalah 16,01; 16,69; dan 20,96%. Analisis termal menunjukkan semua isolat akan terdegradasi di atas suhu 197 C. 5. Kondisi rekayasa dengan teknik kopolimerisasi cangkok dan taut silang yang menunjukkan swelling factor terkecil adalah kondisi pada jumlah penaut silang MBAm sebesar 1 g, rasio monomer:substrat 1:1, dan inisiator APS 250 mg. 6. Material separator potensial yang dievaluasi kinerjanya adalah material separator berbasis bagas tebu. Material separator menunjukkan kinerja yang baik dan mampu memisahkan komponen aktif dalam ekstrak temu lawak dengan resolusi pemisahan sebesar 6,44. Namun, efisiensi material separator masih perlu ditingkatkan.

123 Material separator berbasis limbah bagas tebu berpotensi untuk dikembangkan dalam rangka mendukung teknologi separasi di Indonesia. Material separator ini memiliki nilai tambah sebesar Rp ,44 per kg bahan baku. Saran 1. ptimasi proses rekayasa perlu dilakukan. Variabel optimasi ditetapkan berdasarkan pengaruh variabel terhadap tujuan akhir yang ingin dicapai, yaitu pola pemisahan yang baik. 2. Kajian lanjut perlu dilakukan terkait dengan karakteristik selulosa sebagai polimer backbone dari material separator, seperti ukuran partikel, tingkat kemurnian, derajat polimerisasi, serta sebaran bobot molekul. 3. Uji coba material separator sebagai fasa stasioner pada instrumen PLC perlu diidentifikasi. 4. Eksplorasi sumber-sumber polisakarida alami lain perlu dilakukan untuk memperoleh beragam karakteristik polimer backbone material separator

124 DAFTAR PUSTAKA [AAC] Association of fficial Analytical Chmistry fficial Methodes of Analysis of AAC International. Ed ke-18. Maryland: AAC International. [ASTM] American Society for Testing and Materials Annual Book of ASTM Standards. Wood: Adhesives.Vol 22. Philadelphia: American Society for Testing and Material. [TAPPI] Technical Association of The Pulp and Paper Industry TAPPI Standards and Suggested Methods. New York: Technical Association of The Pulp and Paper Industry. Abdel-Mohdy FA, Abdel-alim ES, Abu-Ayana YM, El-Sawy SM Rice straw as a new resource for some beneficial uses. Carbohydrate Polymers 75: Achmadi SS Kimia Kayu. Bogor: PAU Ilmu ayat IPB. Aguilar MI, Guillermo D, Maria LV New bioactive derivatives of xanthorizhol. J Mex Chem Soc 45: Ahuja S Chromatography and Separation Science. Vol 4. New York: Elsevier. Ali I, Aboul-Enein Y Immobilized Polysaccharide CSPs: An Advancement in Enantiomeric Separations. Current Pharmaceutical Analysis 3: Awg-Adeni DS, Abd-Aziz S, Bujang K, assan MA Bioconversion of sago residue into value added products. African Journal of Biotechnology 9: Badan Pusat Statistik Produksi Padi Tahun [terhubung berkala]. [28 Agustus 2010] Basta A, Fierro V, El-Saied, Celzard A Steps K Activation of rice straw: An efficient method for preparing high-performance activated carbon. Bioresource Technology 100: Bhattacharya A, Rawlins JW, Ray P Polymer Grafting and Crosslinking. New Jersey:J. Wiley & Sons. Bhattacharya D, Germinario LT, Winter WT Isolation, preparation, and characterization of cellulose microfibers obtained from bagasse. Carbohydrate Polymers 73: Bintoro M Bercocok Tanam Sagu. Bogor:IPB Press.

125 106 Campos MG et al Xanthorrhizol induces endothelium-independent relaxation of rat thoracic aorta. Life Sci 67: Center for Drug Evaluation and Research, U.S. Food and Drug Administration Reviewer Guidance, Validation of Chromatographic Methods. Rockville MD: Food and Drug Administration Chen X, Yu J, Zhang Z, Lu C Study on structure and thermal stability properties of cellulose fibers from rice straw. Carbohydrate Polymers 85: Chung WY et al Xanthorrhizol inhibits 12--tetradecanoylphorbol-13- acetate-induced acute inflammation and two-stage mouse skin carcinogenesis by blocking the expression of ornithine decarboxylase, cyclooxygenase-2, and inducible nitric oxide synthase through mitogen-activated protein kinases and/or the nuclear factor kb. Carcinogen Advance Acces 18: Crini G Recent development in polysaccharide-based materials used as adsorbents in wastewater treatment. Prog. Polym Sci. 30: de Paula MP, Lacerda TM, Frollini E Sisal cellulose acetates obtained from heterogeneous reactions. express Polymer Letters 2: Direktorat Jenderal Perkebunan Luas areal dan produksi perkebunan seluruh Indonesia menurut pengusahaan. [terhubung berkala] [28 Januari 2010] Doane WM Superabsorbent polymers in agricultural applications. US Patent US2009/ A1 Elanthikal S, Gopalakrishnapanicker U, Varghese S, Guthrie JI Cellulose microfibres produces from banana plant wastes: Isolation and Characterization. Carbohydrate Polymers 80: El-Mohdy IA, El-Rehim AA Radiation synthesis of kappacarragenan/acrylamide graft copolimers as superabsorbents and their possible applications. J Polym Res. 16: Enomoto-Rogers Y, Kamitakahara, Nakayama K, Takano T, Nakatsubo F Synthesis and thermal properties of poly(methyl methacrylate)-graft- (cellobiosylamine-c15). Cellulose 16: Fengel D, Wegener G Kayu:Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-Reaksi. Penerjemah. Sastrohamidjojo. Penyunting: S. Prawirohatmodjo. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Ficarra R, Calabró ML, Alcaro S, Tommasini S, Melardi S, Ficarra E Diastereo-enantioseparation of novel 7-lactamic derivatives on cellulose chiral stationary phases. Chromatographia 51:

126 107 Fierro V, Muniz G, Basta A, El-Said, Celzard A Rice straw as precursor of activated carbons: Activation with ortho-phosphoric acid. Journal of azardous Materials 181: Gong R, Zhong K, u Y, Chen J, Zhu G Thermochemical esterifying citric acid onto lignocellulosic for enhancing methylene blue sorption capacity of rice straw. Journal of Environmental Management 88: Gumbira E, Intan A Menghitung nilai tambah produk agribisnis. Komoditas 11(19):48. amid MS, Pandare KV, Nair G, Varma AJ Utilization of sugarcane bagasse cellulose for producing cellulose acetates:novel use of residual hemicellulose as plasticizer. Carbohydrate Polymer 76(1): ayami Y, Kawagoe T, Marooka Y, Siregar M Agricultural Marketing and Processing in Upland Java. A Prespective From A Sunda Village. CGPRT Center:Bogor. ayami Y, Kawagoe T The agrarian origins of commerce and industry (a study of Peaseant Marketing in Indonesia). St Martins s Press. e Y, Pang Y, Liu Y, Li X, Wang K Physicochemical characterization of rice straw pretreated with sodium hidroxide in the solid state for enhancing biogas production. Energy & Fuels 22: esse G, agel R A complete separation of a recemic mixture by elution chromatography on cellulose acetate. Chromatographia 6: esse G, agel R Inclusion Chromatography and a New Retention mechanism for benzene derivatives. Chromatographia 9: iserodt R, artmann TG, o C-T, Rosen RT Characterisation of powered turmeric by liquid chromatography mass spectrometry and gas chromatography mass spectrometry. Chromatogr A 740: olmes P Investment Appraisal International. London: Thomson Business Press. on DNS Chemical Modification of Lignocellulosic Materials. New York: Marcel Dekker, Inc. u G, eitmann JA, Rojas J Feedstock pretreatment strategies for producing ethanol frooom wood, bark, and forest residues. BioResouces 3: uang YF, Kuan W, Lo SL, Lin CF ydrogen-rich fuel gas from rice straw via microwave-induced pyrolysis. Bioresource Technology 101:

127 108 uang Z, Liang X, u, Gao, L Chen Y, Tong Z Influence of mechanical activation on the graft copolymerization of sugarcane bagasse and acrylic acid. Polymer Degradation and Stability 94:1737:1745. usin Ampas Tebu [terhubung berkala]. /2008/04/ampas-tebu.html. [28 Januari 2010] wang JK, penemu; LG ousehold & ealthcare. 24 Feb Antibacterial composition having xanthorhizol. US Patent Irawati I Perbandingan metode penentuan aktivitas antioksidan rimpang Temulawak [Skripsi]. Bogor: Departemen Kimia FMIPA IPB. Itokawa. et al Studies on the antitumor bisabolane sesquiterpene isolated from Curcuma xanthorriza. Chem Pharm Bull: Jadhav BK, Mahadik KR, Paradkar AR Development and validation of improved reversed phase-plc method for simultaneous determination of curcumin, demetoksikurkumin, dan bisdemetoksikurkumin. Chromatographia 65: Jahan MS, Lee ZZ, Jin Y rganic acid pulping of rice straw. I: Cooking. Turk J Agric For 30: Jahan MS, Saeed A, e Z, Ni Y Jute as material for the preparation of microcrystalline cellulose. Cellulose 18: Jiang M, Zhao M, Zhou Z, uang T, Chen X, Wang Y Isolation of cellulose with ionic liquid from steam exploded rice straw. Industrial Crops and Products 33: Kadariah, L. Karlina dan C. Gray Pengantar Evaluasi Proyek. Jakarta:FE UI Kadokawa J, Murakami M, Kaneko Y Preparation of cellulose-starch composite gel and fibrous material from a mixture of the polysaccharides in ionic liquid. Carbohydrate Polymers 75: Kham L, le Bigot Y, Delmas M, Avignon G Delignification of wheat straw using a mixture of carboxylic acids and peroxoacids. Industrial Crops and Products 21:9-15 Khan GMA, Shaheruzzaman M, Rahman M, Razzaque SMA, Islam MS, Alam MS Surface modification of kra bast fiber and its physic-chemical characteristics. Fiber and Polymer. 10: Kim S, Dale BE Global potential bioethanol production from wasted crops and crop residues. Biomass and Bioenergy 26:

128 109 Klemm D, Philipp B, einze T, einze U, dan Wagenknecht W Comprehensive Cellulose Chemistry:Fundamentals and Analytical Methods. Vol.1. Weiheim:Wiley-VC Verlag GmB. Kumar V, Naithani S, Pandey D ptimization of reaction conditions for grafting of α-cellulose isolated from Lantana camara with acrylamide. Carbohydrate Polymers 86: Kuznetsova SA, Danilov VG, Kuznetsov BN, Yatsenkova V, Alexandrova NB, Shambasov VK, Pavlenko NI Environmentally Friendly Catalytic Production of Cellulose by Abies Wood Delignification in Acetic Acid- ydrogen Peroxide-Water media. Chemistry for Sustainable Development 11: Lanthong P, Nuisin R, Kiatkamjornwong S Graft copolymerization, characterization, and degradation of cassava starch-g-acrylamide/itacoic acid superabsorbents. Carbohydrate Polymers 66: Le Digabel F, Avérous L Effects of lignin content on the properties of lignocellulose-based biocomposites. Carbohydrate Polymers 66: Lehninger AL Dasar-Dasar Biokimia. Jilid 1. Thenawidjaja M, penerjemah; Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Principles of Biochemistry. Li A, Zhang J. Wang A Utilization of starch and clay for the preparation of superabsorbent composite. Bioresource Technology 98: Li X, Cai Z, Winandy JE, Basta A Effect of oxalic acid and steam pretreatment the primary properties of UF-bonded rice straw particleboards. Industrial Crops and Products. 33: Liang R, Yuan, Xi G, Zhou Q Synthesis of wheat straw-g-poly(acrylic acid) superabsorbent composite and release of urea from it. Carbohydrate Polymers 77: Lipka E, Descamps C, Vaccher C, Bonte JP Reversed-phase liquid chromatographic separation, on cellulose chiral stationary phases, of the stereoisomers of methoxytetrahydronaphtalene derivatives, New Agonist and Antagonist ligands for melatonin receptors. Chromatographia 61: Liu Z, Miao Y, Wang Z, Yin G Synthesis and characterization of a novel super-absorbent based on chemically modified pulverized wheat straw and acrylic acid. Carbohydrate Polymer 77: Lu P, sieh YL Preparation and characterization of cellulose nanocrystal from rice straw. Carbohydrate Polymer 87:

129 110 Maharjan P. Woonton BW, Bennett LE, Smithers GW, DeSilva K, earn MTW Novel chromatographic separation-the potential of smart polymers. Innovative Food Science and Emerging Tenchnologies 9: Matitaputty PR, Alfons JB Inovasi Teknologi Pakan Berbahan Dasar Ela Sagu Untuk Ternak. Di dalam: etharia MET et al., editor. Prosiding Sagu dalam Revitalisasi Pertanian Maluku; Ambon, Mei Ambon:Badan Penerbit Fakultas Pertanian Universitas Patimura. hlm Matsumura, Sugiyama J, Glasser WG Cellulosic nanocomposites. I. Thermally deformable cellulose hexanoates from heterogeneous reaction. Journal of Applied Polymer Science 78: Miller JM Separation Methods in Chemical Analysis. New York:J.Wiley & Sons, Inc. Mishra A, Clark J, Pal, S Modification of kra mucilage with acrylamide: Synthesis, characterization and swelling behavior. Carbohydrate Polymers 72:608:615. Mostafa KM, Samerkandy AR, El-sanabay Modification of Carbohydrate Polymers Part 2: Grafting of Methacrylamide onto Pregelled Starch Using Vanadium-mercaptosuccinic Acid Redox Pair. J Appl Sci Res 3(8): Mubin A dan Fitriadi R Upaya penurunan biaya produksi dengan memanfaatkan ampas tebu sebagai pengganti bahan penguat dalam proses produksi asbes semen. Gelagar. 16(1): Mulinari DR, da Silva MLCP Adsorption of sulphate ions by modification of sugarcane bagasse cellulose. Carbohydrate Polymers 74: Nada AMA, Alkady M, Fekry M Synthesis and characterization of grafted cellulose for use in water and metal ions sorption. BioResources 3: Nascimento EA, Machado AE, Morais SAL Photochemical hydrogen peroxide bleaching of Eucalyptus organosolv pulp. J. Braz. Chem. Soc 6: Papilaya EC Sagu Untuk Pendidikan Anak Negeri. Bogor:IPB Press. Princi E, Vicini S, Proietti N, Capitani D Grafting polymerization on cellulose based textiles: a 13 C solid state NMR characterization. European Polymer Journal. 41: Pushpamalar V, Langford SJ, Ahmad M, Lim YY ptimization of reaction conditions for preparing carboxymethylcellulose from sago waste. Carbohydrate Polymers 64:

130 111 Ratanakamnuan U, Atong D, Aht-ng D Cellulose esters from waste cotton fabric via conventional and microwave heating. Carbohydrate Polymers 87:84-94 Ravindran PN, Babu KN, Sivaraman K Turmeric: The Genus Curcuma. America: CRC. Rodrigues FG et al Water flux through cellulose triacetate film produced from heterogenous acetylation of sugarcane bagasse. Journal of Membrane Science 177: Rowell RM andbook of Wood Chemistry and Wood Composites. Florida:CRC Pr Saikia CN, Ali F Graft copolymerization of methylmethacrylate onto high α-cellulose pulp extracted from ibiscus sabdariffa and Gmelina arborea. Bioresource Technology 68: Samsuri M, Gozan M, Mardias R, Baiquni M, ermansyah, Wijanarko A, Prasetya B, Nasikin M Pemanfaatan selulosa bagas untuk produksi etanol melalui sakarifikasi dan fermentasi serentak dengan enzim xylase. Makara Teknologi 11(1):17-24 Sangnark A, Noomhorm A Chemical, physical and baking properties of dietary fiber prepared from rice straw. Food Research International. 37: Sastrohamidjojo Kromatografi. Yogyakarta:Liberty Scandinavian Pulp, Paper, and Board Testing Committee SCAN-CM 15:88 Viscosity in cupri-ethylenediamine solution. Scandinavian Pulp, Paper, and Board Testing Committee. Shen DK, Gu S, Bridgwater AV The thermal performance of the polysaccharides extracted from hardwood: cellulose and hemicelullose. Carbohydrate Polymers 82:39-45 Shimizu T, irata, Nakajima K Thin-layer chromatography of inorganic ions on polyethyleneimine cellulose in mixed sulfuric acid-organic solvent media. Chromatographia. 28: Shimizu T, Kogure Y, Arai Thin-layer chromatographic behavior of a number of metals on carboxymethyl-cellulose in sulfuric acid and ammonium sulfate media. Chromatographia. 9: Shimizu T. Miyazaki A, Saitoh I Thin-layer chromatography of inorganic ions phosphate on cellulose in acetic acid and in acetic acid-amonium acetate media. Chromatographia. 13: Sidik, Mulyono MW, Muhtadi A Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb). Jakarta: Yayasan Pengembangan bat Bahan Alam Phytomedica

131 112 Silahooy C Mungkinkan sagu dilirik lagi sebagai makanan pokok masyarakat Maluku. Di dalam: etharia MET et al., editor. Prosiding Sagu dalam Revitalisasi Pertanian Maluku; Ambon, Mei Ambon:Badan Penerbit Fakultas Pertanian Universitas Patimura. hlm Silverstein RM, Bassler GC, Morrill TC Penyidikan Spektrometrik Senyawa rganik. Ed ke-4. artomo AJ dan Purba AV (Penerjemah). Jakarta:Penerbit Erlangga. Song Y. Zhou J, Zhang L, Wu X omogenous modification of cellulose with acrylamide in Na/urea aqueous solutions. Carbohydrate Polymers 73: Su-lian G, Ning-guo Z, Xiu-zhen Z, Wei Z Interfacial Properties of Ethyl Cellulose/Cellulose Acetate Blends by PLC. The Chinese Journal of Process Engineering. 7: Sun JX, Sun XF, Zhao, Sun RC. 2004a. Isolation and characterization of cellulose from sugarcane bagasse. Polymer Degradation and Stability 84: Sun JX, Xu F, Sun XF, Xiao B, Sun RC Physico-chemical and thermal characterization of cellulose from barley straw. Polymer Degradation and Stability 88: Sun RC, Tomkinson J, Ma PL, Liang SF Comparative study of hemicellulose from rice straw by alkali and hydrogen peroxide treatments. Carbohydrate Polymers 42: Sun XF, Sun RC, Fowler P, Baird MS. 2004b. Isolation and characterization of cellulose obtained by a two-stage treatment with organosolv and cynamide activated hydrogen peroxide from wheat straw. Carbohydrate Polymers 55: Supriadi Tumbuhan bat Indonesia: Penggunaan dan Khasiatnya. Jakarta: Pustaka Populer bor. Sutojo S Studi Kelayakan Proyek:Konsep Teknik & Kasus. Jakarta: PT Damar Mulia Pustaka Szcześniak L, Rachocki A. Tritt-Goc J Glass transition temperature and thernal decomposition of cellulose powder. Cellulose 15: Tarmidi AR Pengaruh ransum yang mengandung ampas tebu hasil biokonversi oleh jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) terhadap permformans Doba Priangan. JITV. 9(3): Teli MD, Waghmare NG Synthesis of superabsorbent from carbohydrate waste. Carbohydrate Polymers 78:

132 113 Tong CC, amzah NM Delignification pretreatment of Palm-press fibres by chemical method. Pertanika 12: van Soest PJ Rice straw, the role of silica and treatments to improve quality. Animal Feed Science and technology.130: Viera RGP, Filho GR, Assunc Ao RMN, Meireles C, Viera JG, liviera GS Synthesis and characterization of methylcellulose from sugarcane bagasse cellulose. Carbohydrate polymer 67: Widodo Y Penggunaan bagas tebu teramoniasi dan terfermentasi dalam ransum ternak domba. Lampung: Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. Wijanarko A, Witono JA, Wiguna MS Tinjauan komprehensif perancangan awal pabrik furfural berbasis ampas tebu di Indonesia. Indonesian il and Gas Community 8:1-10 Williams D, Fleming I Spectroscopic Methods in rganic Chemistry. 3 rd Ed. London:McGraw ill Company. Wu J, Wei Y, Lin J, Lin S Study on starch-graft-acrylamide/mineral powder superabsorbent composite. Polymer 44: Yang G, Zhou L, Wei D, Li G, Vazquez PP, Frenich AG Effect of the structure of organic phosponate compounds on chiral separations on derivatized cellulose chiral stationary phase. Chromatographia. 56: Yang, Yan R, Chen, Dong I, Zheng C Characteristic of hemicellulose, cellulose, and lignin pyrolisis. Fuel 86: Yazdani-Pedram M, Lagos A, Retuert PJ Study of the effect of reaction variables on grafting of polyacrylamide onto chitosan. Polymer Bulletin 48: Zayed G, Abdel-Motaal Bio-active composts from rice straw enriched with rock phosphate and their effect on the phosphourous nutrition and microbial coomunity in rhizosphere of cowpea. Bioresource Technology. 96: Zhang M, Qi W, Liu R, Su R, Wu S, e Z Fractionating lignocelloluse by formic acid: Characterization of major components. Biomass and Bioenergy 34: Zhou Y, Stuart-Williams, Farquhar GD, ocart C The use of natural abundance stable isotopic ratio to indicate the presence of oxygen-containing chemical linkages between cellulose and lignin in plant cell walls. Phytochemistry 71:

133 LAMPIRAN

134 116

135 Lampiran 1 Analisis proksimat, komponen kimia, rendemen hasil a. Analisis proksimat dan komponen kimia Ampas Sagu Ampas Tebu Jerami Padi Parameter Bahan Baku Isolat Selulosa Bahan Baku Isolat Selulosa Bahan Baku Isolat Selulosa Metode Acuan Kadar air (%) 10,17 t.d 3,96 t.d 8,42 t.d SNI (Gravimetri) Kadar abu (%) 4,30 t.d 0,77 t.d 26,92 t.d SNI (Gravimetri) Kadar protein (%) 1,01 t.d 1,08 t.d 7,43 t.d IK LT-III G (Titrimetri Kjeldahl) Kadar lemak (%) 0,30 t.d 0,15 t.d 0,58 t.d AAC (2005) ( )- Modified mojonier ether extraction method Kadar Karbohidrat (%) 80,66 t.d 95,45 t.d t.d IK LT-III F 57,04 (Spektrometri) α-selulosa (%) 22,45 72,80 43,06 77,47 34,19 62,53 TAPPI standard T 203 os-61 oloselulosa (%) 33,63 90,87 69,27 98,41 71,26 92,27 TAPPI standard T 9 m-51 emiselulosa (%) 11,18 18,07 26,23 20,94 37,07 29,74 Selisih holoselulosa & α- selulosa Lignin (%) 11,52 1,62 22,28 0,96 32,07 0,81 TAPPI standard T13 m-45 t.d=tidak ditentukan 117

136 118 Lampiran 1 Analisis proksimat, komponen kimia, rendemen hasil b. Rendemen hasil Contoh Bobot Contoh (g) *) Rendemen Bahan Awal Pulp bahan Selulosa (%) Ela Sagu Bagas Tebu Jerami Padi ,5 11 *)Bobot basis kering Contoh perhitungan: Bobot hasil akhir Rendemen hasil (%) = Bobot bahan awal Rendemen hasil (%) = x1 00% = 5% x 100%

137 119 Lampiran 2 Serapan vibrasi FTIR ela sagu, pulp ela sagu, dan selulosa ela sagu No Bilangan Gelombang (cm -1 ) Ela Sagu Pulp Ela Selulosa Sagu Ela Sagu ulur C ulur t.d* t.d* terjerap Gugus Fungsi ikatan ester dari gugus karboksil senyawa asam ferulat dan asam p-kumarat dari senyawa lignin dan/atau hemiselulosa Gugus asetil dan ester uronat dari senyawa hemiselulosa Acuan Sun et al. (2004a); Sun et al. (2005); Zhang et al. (2010) Sun et al. (2004a); Sun et al. (2005); Zhang et al. (2010) Sun et al. (2004b); Wang et al. (2009); Zhang et al. (2010) Sun et al. (2004a); Sun et al. (2005); Zhang et al. (2010) gugus guaiasil pada senyawa t.d* t.d* Sun et al. (2004b); lignin Sun et al. (2005); cincin aromatik senyawa Zhang et al. (2010) lignin t.d* t.d* gugus C 3 pada cincin aromatik senyawa lignin Wang et al. (2009) C 2 tekuk Pushpamalar et al. (2006) C asimetrik atau Sun et al. (2005); tekuk Wang et al. (2009) C C dan C Wang et al. (2009) 10 t.d* tekuk pada senyawa selulosa Sun et al. (2004a) 11 t.d* gugus samping -C- yang terikat pada suatu cincin Wang et al. (2009) 12 t.d* gugus samping -C- yang terikat pada suatu cincin Wang et al. (2009) C antiasimetrik Sun et al. (2005) C C dari suatu cincin Sun et al. (2004a); piranosa Sun et al. (2005) Sun et al. (2004a); Ikatan β-glikosida antar Sun et al. (2004b); senyawa glukosa pada Sun et al. (2005); selulosa Wang et al. (2009); t.d* *t.d=tidak terdeteksi tekuk dari gugus siringil pada senyawa lignin Zhang et al. (2010)

138 120 Lampiran 3 Serapan vibrasi FTIR bagas tebu, pulp, dan selulosa bagas tebu No Bilangan Gelombang (cm -1 ) Bagas Tebu Pulp Bagas Tebu Selulosa Bagas Tebu ulur C ulur t.d* t.d* t.d* t.d* 5 t.d* terjerap Gugus Fungsi ikatan ester dari gugus karboksil senyawa asam ferulat dan asam p-kumarat dari senyawa lignin dan/atau hemiselulosa Gugus asetil dan ester uronat dari senyawa hemiselulosa Cincin aromatik senyawa lignin Acuan Sun et al. (2004a); Sun et al. (2005); Zhang et al. (2010) Sun et al. (2004a); Sun et al. (2005); Zhang et al. (2010) Sun et al. (2004b); Wang et al. (2009); Zhang et al. (2010) Zhang et al. (2010) Sun et al. (2004a); Sun et al. (2005); Zhang et al. (2010) Sun et al. (2004a); Sun et al. (2005); Zhang et al. (2010) t.d* t.d* gugus guaiasil pada senyawa lignin cincin aromatik senyawa lignin t.d* t.d* gugus C 3 pada cincin aromatik senyawa lignin Wang et al. (2009) C 2 gunting Pushpamalar et al. (2006) C asimetrik atau tekuk Sun et al. (2005); Wang et al. (2009) C C dan C Wang et al. (2009) 11 t.d* tekuk pada senyawa selulosa Sun et al. (2004a) t.d* t.d* Gugus siringil pada lignin Wang et al. (2009) 13 t.d* gugus samping -C- yang terikat pada suatu cincin Wang et al. (2009) C antiasimetrik Sun et al. (2005) C C dari suatu cincin Sun et al. (2004a); piranosa Sun et al. (2005) Sun et al. (2004a); Ikatan β-glikosida antar Sun et al. (2004b); senyawa glukosa pada selulosa Sun et al. (2005); Wang et al. (2009); t.d* t.d* *t.d = tidak terdeteksi tekuk dari gugus siringil pada senyawa lignin Zhang et al. (2010)

139 121 Lampiran 4 Serapan vibrasi FTIR jerami padi, pulp, dan selulosa jerami padi No Bilangan Gelombang (cm -1 ) Jerami Padi Pulp Jerami Padi Selulosa Jerami Padi ulur C ulur t.d* t.d* terjerap t.d* t.d* t.d* t.d* 7 t.d* C 2 tekuk Gugus Fungsi ikatan ester dari gugus karboksil senyawa asam ferulat dan asam p-kumarat dari hemiselulosa Gugus asetil dan ester uronat dari senyawa hemiselulosa gugus guaiasil pada senyawa lignin cincin aromatik senyawa lignin gugus C 3 pada cincin aromatik senyawa lignin C asimetrik atau tekuk C C dan C 10 t.d* t.d* t.d* tekuk pada senyawa selulosa gugus samping -C- yang terikat pada suatu cincin gugus samping -C- yang terikat pada suatu cincin C antiasimetrik C C dari suatu cincin piranosa Acuan Sun et al. (2004a); Sun et al. (2005); Zhang et al. (2010) Sun et al. (2004a); Sun et al. (2005); Zhang et al. (2010) Sun et al. (2004b); Wang et al. (2009); Zhang et al. (2010) Sun et al. (2004a); Sun et al. (2005); Zhang et al. (2010) Sun et al. (2004a); Sun et al. (2005); Zhang et al. (2010); Wang et al. (2009) Pushpamalar et al. (2006) Sun et al. (2004b); Wang et al. (2009) Sun et al. (2004b); Wang et al. (2009) Sun et al. (2004a) Wang et al. (2009) Wang et al. (2009) Sun et al. (2004a); Sun et al. (2005) Sun et al. (2004a); Sun et al. (2005); Zhang et al. (2010) Sun et al. (2004a); Sun et al. (2004b); Ikatan β-glikosida antar senyawa glukosa pada selulosa t.d* t.d* tekuk dari gugus siringil pada senyawa lignin Zhang et al. (2010) Silika (ulur Si--Si) Lu & sieh (2012) t.d* t.d* Silika (ulur Si--Si) Lu & sieh (2012) *t.d = tidak terdeteksi

140 122 Lampiran 5 Serapan vibrasi FTIR dari selulosa ela sagu dan produk hasil rekayasa No Bilangan Gelombang (cm -1 ) Isolat Selulosa Ela Sagu Produk 1 Produk 2 Produk 3 Interpretasi Gugus Fungsi Acuan 1 t.d* N- ulur Teli & Waghmare (2009); Lanthong et al. (2006) ulur Sun et al. (2004a); Sun et al. (2005); Zhang et al. (2010) C ulur Sun et al. (2004a); Sun et al. (2005); Zhang et al. (2010) 4 t.d* Gugus metilena Liu et al. (2009) 5 t.d* Gugus amida Liu et al. (2009) 6 t.d* C= ulur dari amida Lanthong et al. (2006); Song et al. (2008) C 2 tekuk Selulosa amof + selulosa kristal tipe I 8 t.d* C-N ulur Gugus C- simetrik Karbonil ulur Pushpamalar et al. (2006); Wang et al. (2009) Lanthong et al. (2006); Song et al. (2008); Liu et al. (2009) C asimetrik atau tekuk Sun et al. (2005); Wang et al. (2009) C rocking untuk cincin Nada et al. (2007) piranosa C C dan C Wang et al. (2009) C antiasimetrik Sun et al. (2005) C C dari suatu cincin piranosa Sun et al. (2004a); Sun et al. (2005) Ikatan β-glikosida antar senyawa glukosa pada selulosa Sun et al. (2004a); Sun et al. (2004b); Sun et al. (2005); Wang et al. (2009); 15 t.d* N- tekuk Lanthong et al. (2006) *t.d = tidak terdeteksi

141 123 Lampiran 6 Serapan vibrasi FTIR dari selulosa bagas tebu dan produk hasil rekayasa No Bilangan Gelombang (cm -1 ) Isolat Selulosa Bagas tebu Produk 1 Produk 2 Produk 3 Interpretasi Gugus Fungsi Acuan 1 t.d* N- ulur Teli & Waghmare (2009); Lanthong et al. (2006) ulur Sun et al. (2004a); Sun et al. (2005); Zhang et al. (2010) C ulur Sun et al. (2004a); Sun et al. (2005); Zhang et al. (2010) Gugus metilena Liu et al. (2009) 5 t.d* Gugus amida Liu et al. (2009) 6 t.d* C= ulur dari amida Lanthong et al. (2006); Song et al. (2008) C 2 tekuk Selulosa amof + selulosa kristal tipe I 8 t.d* C-N ulur Gugus C- simetrik Karbonil ulur Pushpamalar et al. (2006); Wang et al. (2009) Lanthong et al. (2006); Song et al. (2008); Liu et al. (2009) C asimetrik atau tekuk Sun et al. (2005); Wang et al. (2009) C rocking untuk Nada et al. (2007) cincin piranosa C C dan C Wang et al. (2009) tekuk pada Sun et al. (2004a) selulosa C antiasimetrik Sun et al. (2005) C C dari suatu cincin piranosa Sun et al. (2004a); Sun et al. (2005) Ikatan β-glikosida antar senyawa glukosa pada selulosa Sun et al. (2004a); Sun et al. (2004b); Sun et al. (2005); Wang et al. (2009); 16 t.d* N- tekuk Lanthong et al. (2006) *t.d = tidak terdeteksi

142 124 Lampiran 7 Serapan vibrasi FTIR dari selulosa jerami padi dan produk hasil rekayasa No Bilangan Gelombang (cm -1 ) Isolat Selulosa Jerami padi Produk 1 Produk 2 Produk 3 Interpretasi Gugus Fungsi Acuan 1 t.d* N- ulur Teli & Waghmare (2009); Lanthong et al. (2006) ulur Sun et al. (2004a); Sun et al. (2005); Zhang et al. (2010) C ulur Sun et al. (2004a); Sun et al. (2005); Zhang et al. (2010) 4 t.d* Gugus metilena Liu et al. (2009) 5 t.d* Gugus amida Liu et al. (2009) 6 t.d* C= ulur dari amida Lanthong et al. (2006); Song et al. (2008) C 2 tekuk Selulosa amof + selulosa kristal tipe I 8 t.d* C-N ulur Gugus C- simetrik Karbonil ulur Pushpamalar et al. (2006); Wang et al. (2009) Lanthong et al. (2006); Song et al. (2008); Liu et al. (2009) C asimetrik atau tekuk Sun et al. (2005); Wang et al. (2009) C rocking untuk cincin Nada et al. (2007) piranosa C C dan C Wang et al. (2009) C antiasimetrik Sun et al. (2005) C C dari suatu cincin piranosa Sun et al. (2004a); Sun et al. (2005) Ikatan β-glikosida antar senyawa glukosa pada selulosa Sun et al. (2004a); Sun et al. (2004b); Sun et al. (2005); Wang et al. (2009); 15 t.d* N- tekuk Lanthong et al. (2006) *t.d = tidak terdeteksi

143 125 Lampiran 8 Mikrograf selulosa dan produk hasil rekayasa

144 126 Lampiran 9 Difraktogram selulosa ela sagu dan produk hasil modifikasi Difraktogram Produk 3 Difraktogram Produk 2 Difraktogram Produk 1 Difraktogram omopolimer Difraktogram Isolat Selulosa Ela Sagu

145 127 Lampiran 10 Difraktogram selulosa bagas tebu dan produk hasil modifikasi Difraktogram Produk 3 Difraktogram Produk 2 Difraktogram Produk 1 Difraktogram omopolimer Difraktogram Isolat Selulosa Bagas Tebu

146 128 Lampiran 11 Difraktogram selulosa jerami padi dan produk hasil modifikasi Difraktogram Produk 3 Difraktogram Produk 2 Difraktogram Produk 1 Difraktogram omopolimer Difraktogram Isolat Selulosa Jerami Padi

147 129 Lampiran 12 Kurva DTA selulosa dan produk hasil rekayasa ela sagu DTA (uv) Produk 1 Produk 2 Produk 3 Selulosa T ( C)

148 130 Lampiran 13 Kurva DTA selulosa dan produk hasil rekayasa bagas tebu DTA (uv) Produk 1 Produk 3 Produk 2 Selulosa T ( C)

149 131 Lampiran 14 Kurva DTA selulosa dan produk hasil rekayasa jerami padi DTA (uv) Produk 1 Produk 2 Produk 3 Selulosa T ( C)

150 132 Lampiran 15 asil kurva termogravimetri (a) Ela Sagu Contoh Tawal T50% Kehilangan massa (%) Suhu dekomposisi ( C) Dekomposisi C T1 T2 T3 Isolat selulosa 197,78 304,4 13,88 65,60 20,52 100,22 273,34 351,12 Ela Sagu Produk 1 155,56 308,8 18,13 61,81 15,17 101,87 317,82 397,78 Produk 2 186, ,07 64,74 11,29 105,58 315,28 415,6 Produk 3 182,2 324,44 16,75 65,89 10,28 104,24 304,92 360,8 (b) Bagas Tebu Contoh Tawal T50% Kehilangan massa (%) Suhu dekomposisi ( C) Dekomposisi C T1 T2 T3 Isolat selulosa 246, ,47 79,51 9,15 96,18 349,76 507,37 Bagas Tebu Produk 1 204,44 326,6 15,72 69,8 14,48 105,23 320,15 491,1 Produk 2 202,2 337,78 12,99 69,94 17,07 108,43 305,49 404,4 Produk 3 197,78 328,8 19,15 67,20 13,65 104,63 304,77 415,56 (c) Jerami Padi Contoh Tawal T50% Kehilangan massa (%) Suhu dekomposisi ( C) Dekomposisi C T1 T2 T3 Isolat selulosa 204,4 322,2 12,20 81,5 6,23 115,6 368,8 491,12 Jerami Padi Produk 1 164,44 328,88 12,67 75,62 9,31 102,41 318, Produk 2 162,44 328,88 14,90 76,41 7,26 105,01 315,51 411,11 Produk 3 133,32 314,44 10,33 69,12 12,31 106,6 306,66 402,2

151 Lampiran 16 Kromatogram standar xantorizol 133

152 134 Lampiran 17 Kromatogram standar kurkumin

153 Lampiran 18 Kromatogram ekstrak kasar temu lawak 135

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kajian bioprospeksi senyawa aktif dari bahan alam dan cara memperoleh senyawa aktif murni merupakan salah satu topik penelitian yang terus digali seiring dengan meningkatnya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Struktur kimia selulosa.

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Struktur kimia selulosa. TINJAUAN PUSTAKA Selulosa Selulosa adalah homopolimer yang tersusun dari subunit D-glukosa yang ditautkan satu sama lain dengan ikatan β-(1 4)-glikosida. Unit penyusun (building block) selulosa adalah

Lebih terperinci

SINTESIS POLIMER SUPERABSORBEN ONGGOK TAPIOKA-AKRILAMIDA: PENGARUH KONSENTRASI MONOMER DAN INISIATOR MUHAMMAD IRVAN SAESARIO

SINTESIS POLIMER SUPERABSORBEN ONGGOK TAPIOKA-AKRILAMIDA: PENGARUH KONSENTRASI MONOMER DAN INISIATOR MUHAMMAD IRVAN SAESARIO SINTESIS POLIMER SUPERABSORBEN ONGGOK TAPIOKA-AKRILAMIDA: PENGARUH KONSENTRASI MONOMER DAN INISIATOR MUHAMMAD IRVAN SAESARIO DEPARTEMEN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. industri minyak bumi serta sebagai senyawa intermediet pada pembuatan bahan

I. PENDAHULUAN. industri minyak bumi serta sebagai senyawa intermediet pada pembuatan bahan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Furfural merupakan salah satu senyawa kimia yang memiliki banyak manfaat, yaitu sebagai pelarut dalam memisahkan senyawa jenuh dan tidak jenuh pada industri minyak bumi

Lebih terperinci

PEMBAHASAN. mengoksidasi lignin sehingga dapat larut dalam sistem berair. Ampas tebu dengan berbagai perlakuan disajikan pada Gambar 1.

PEMBAHASAN. mengoksidasi lignin sehingga dapat larut dalam sistem berair. Ampas tebu dengan berbagai perlakuan disajikan pada Gambar 1. PEMBAHASAN Pengaruh Pencucian, Delignifikasi, dan Aktivasi Ampas tebu mengandung tiga senyawa kimia utama, yaitu selulosa, lignin, dan hemiselulosa. Menurut Samsuri et al. (2007), ampas tebu mengandung

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 46 HASIL DAN PEMBAHASAN Komponen Non Struktural Sifat Kimia Bahan Baku Kelarutan dalam air dingin dinyatakan dalam banyaknya komponen yang larut di dalamnya, yang meliputi garam anorganik, gula, gum, pektin,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Selulosa merupakan bahan atau materi yang sangat berlimpah di bumi ini. Selulosa yang dihasilkan digunakan untuk membuat perabot kayu, tekstil, kertas, kapas serap,

Lebih terperinci

PENENTUAN TEMPERATUR TERHADAP KEMURNIAN SELULOSA BATANG SAWIT MENGGUNAKAN EKSTRAK ABU TKS

PENENTUAN TEMPERATUR TERHADAP KEMURNIAN SELULOSA BATANG SAWIT MENGGUNAKAN EKSTRAK ABU TKS PENENTUAN TEMPERATUR TERHADAP KEMURNIAN SELULOSA BATANG SAWIT MENGGUNAKAN EKSTRAK ABU TKS Padil, Silvia Asri, dan Yelmida Aziz Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik Universitas Riau, 28293 Email : fadilpps@yahoo.com

Lebih terperinci

Gambar 1.1. Tanaman Sagu Spesies Mitroxylon Sago

Gambar 1.1. Tanaman Sagu Spesies Mitroxylon Sago 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanaman sagu (Metroxylon sago) merupakan tanaman yang tersebar di Indonesia, dan termasuk tumbuhan monokotil dari keluarga Palmae, marga Metroxylon, dengan ordo

Lebih terperinci

LAPORAN HASIL PENELITIAN PEMBUATAN BRIKET ARANG DARI LIMBAH BLOTONG PABRIK GULA DENGAN PROSES KARBONISASI SKRIPSI

LAPORAN HASIL PENELITIAN PEMBUATAN BRIKET ARANG DARI LIMBAH BLOTONG PABRIK GULA DENGAN PROSES KARBONISASI SKRIPSI LAPORAN HASIL PENELITIAN PEMBUATAN BRIKET ARANG DARI LIMBAH BLOTONG PABRIK GULA DENGAN PROSES KARBONISASI SKRIPSI OLEH : ANDY CHRISTIAN 0731010003 PROGRAM STUDI TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI

Lebih terperinci

2 Tinjauan Pustaka. 2.1 Polimer. 2.2 Membran

2 Tinjauan Pustaka. 2.1 Polimer. 2.2 Membran 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Polimer Polimer (poly = banyak, meros = bagian) merupakan molekul besar yang terbentuk dari susunan unit ulang kimia yang terikat melalui ikatan kovalen. Unit ulang pada polimer,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber energi berbasis fosil (bahan bakar minyak) di Indonesia diperkirakan hanya cukup untuk 23 tahun lagi dengan cadangan yang ada sekitar 9.1 milyar barel (ESDM 2006),

Lebih terperinci

POLA PELEPASAN UREA DARI SUPERABSORBEN KOPOLIMER ONGGOK-POLIAKRILAMIDA DENGAN BERBAGAI DERAJAT TAUT-SILANG PERTIWI UMUL JANNAH

POLA PELEPASAN UREA DARI SUPERABSORBEN KOPOLIMER ONGGOK-POLIAKRILAMIDA DENGAN BERBAGAI DERAJAT TAUT-SILANG PERTIWI UMUL JANNAH POLA PELEPASAN UREA DARI SUPERABSORBEN KOPOLIMER ONGGOK-POLIAKRILAMIDA DENGAN BERBAGAI DERAJAT TAUT-SILANG PERTIWI UMUL JANNAH DEPARTEMEN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PEMBUATAN ASAM OKSALAT DARI AMPAS TEBU DENGAN PROSES PELEBURAN ALKALI SKRIPSI. Oleh : SITA ARIDEWI

PEMBUATAN ASAM OKSALAT DARI AMPAS TEBU DENGAN PROSES PELEBURAN ALKALI SKRIPSI. Oleh : SITA ARIDEWI PEMBUATAN ASAM OKSALAT DARI AMPAS TEBU DENGAN PROSES PELEBURAN ALKALI SKRIPSI Oleh : SITA ARIDEWI 0831010012 JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAWA

Lebih terperinci

PEMBUATAN HIDROGEL BERBASIS SELULOSA DARI TONGKOL JAGUNG (Zea Mays L) DENGAN METODE IKAT SILANG SKRIPSI MARLINA PURBA

PEMBUATAN HIDROGEL BERBASIS SELULOSA DARI TONGKOL JAGUNG (Zea Mays L) DENGAN METODE IKAT SILANG SKRIPSI MARLINA PURBA PEMBUATAN HIDROGEL BERBASIS SELULOSA DARI TONGKOL JAGUNG (Zea Mays L) DENGAN METODE IKAT SILANG SKRIPSI MARLINA PURBA 130822002 DEPARTEMEN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Selulosa merupakan polisakarida yang berbentuk padatan, tidak berasa, tidak berbau dan terdiri dari 2000-4000 unit glukosa yang dihubungkan oleh ikatan β-1,4 glikosidik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seperti asam karboksilat, karbokamida, hidroksil, amina, imida, dan gugus lainnya

BAB I PENDAHULUAN. seperti asam karboksilat, karbokamida, hidroksil, amina, imida, dan gugus lainnya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Superabsorbent polymer (SAP) merupakan jaringan rantai polimer tiga dimensi dengan ikatan silang ringan yang membawa disosiasi gugus fungsi ionik seperti asam karboksilat,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lignin merupakan polimer alam yang terdapat dalam tumbuhan. Struktur lignin sangat beraneka ragam tergantung dari jenis tanamannya. Namun, secara umum lignin merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tongkol jagung merupakan limbah tanaman yang setelah diambil bijinya tongkol jagung tersebut umumnya dibuang begitu saja, sehingga hanya akan meningkatkan jumlah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. meningkat dari tahun ke tahun. Menurut data yang diperoleh dari Kementerian

I. PENDAHULUAN. meningkat dari tahun ke tahun. Menurut data yang diperoleh dari Kementerian I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Kertas merupakan salah satu kebutuhan yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan yang dilakukan manusia. Hal ini ditunjukan dari tingkat konsumsinya yang makin

Lebih terperinci

PENGHAMBATAN DEGRADASI SUKROSA DALAM NIRA TEBU MENGGUNAKAN GELEMBUNG GAS NITROGEN DALAM REAKTOR VENTURI BERSIRKULASI TEUKU IKHSAN AZMI

PENGHAMBATAN DEGRADASI SUKROSA DALAM NIRA TEBU MENGGUNAKAN GELEMBUNG GAS NITROGEN DALAM REAKTOR VENTURI BERSIRKULASI TEUKU IKHSAN AZMI PENGHAMBATAN DEGRADASI SUKROSA DALAM NIRA TEBU MENGGUNAKAN GELEMBUNG GAS NITROGEN DALAM REAKTOR VENTURI BERSIRKULASI TEUKU IKHSAN AZMI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penggunaan energi secara besar-besaran telah membuat manusia mengalami krisis energi. Hal ini disebabkan karena adanya ketergantungan terhadap bahan bakar fosil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Harga bahan bakar minyak (BBM) dan gas yang semakin meningkat serta

BAB I PENDAHULUAN. Harga bahan bakar minyak (BBM) dan gas yang semakin meningkat serta 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Harga bahan bakar minyak (BBM) dan gas yang semakin meningkat serta isu pelestarian lingkungan telah meningkatkan pamor biomassa sebagai salah satu sumber

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Biogas merupakan gas yang mudah terbakar (flammable), dihasilkan dari

TINJAUAN PUSTAKA. Biogas merupakan gas yang mudah terbakar (flammable), dihasilkan dari 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biogas Biogas merupakan gas yang mudah terbakar (flammable), dihasilkan dari perombakan bahan organik oleh mikroba dalam kondisi tanpa oksigen (anaerob). Bahan organik dapat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. keperluan pendidikan, perkantoran, dan pengemasan dalam perindustrian.

I. PENDAHULUAN. keperluan pendidikan, perkantoran, dan pengemasan dalam perindustrian. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Industri pulp dan kertas merupakan industri yang cukup penting untuk keperluan pendidikan, perkantoran, dan pengemasan dalam perindustrian. Kebutuhan pulp

Lebih terperinci

4 Hasil dan pembahasan

4 Hasil dan pembahasan 4 Hasil dan pembahasan 4.1 Sintesis dan Pemurnian Polistiren Pada percobaan ini, polistiren dihasilkan dari polimerisasi adisi melalui reaksi radikal dengan inisiator benzoil peroksida (BPO). Sintesis

Lebih terperinci

DESAIN DAN SINTESIS AMINA SEKUNDER RANTAI KARBON GENAP DARI ASAM KARBOKSILAT RANTAI PANJANG RAHMAD FAJAR SIDIK

DESAIN DAN SINTESIS AMINA SEKUNDER RANTAI KARBON GENAP DARI ASAM KARBOKSILAT RANTAI PANJANG RAHMAD FAJAR SIDIK DESAIN DAN SINTESIS AMINA SEKUNDER RANTAI KARBON GENAP DARI ASAM KARBOKSILAT RANTAI PANJANG RAHMAD FAJAR SIDIK SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN TENTANG TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini penggunaan plastik di Indonesia sebagai bahan kemasan pangan untuk memenuhi kebutuhan sehari hari sangat besar (mencapai 1,9 juta ton di tahun 2013) (www.kemenperin.go.id),

Lebih terperinci

KARBOHIDRAT DALAM BAHAN MAKANAN

KARBOHIDRAT DALAM BAHAN MAKANAN KARBOHIDRAT KARBOHIDRAT DALAM BAHAN MAKANAN Karbohidrat banyak terdapat dalam bahan nabati, baik berupa gula sederhana, heksosa, pentosa, maupun karbohidrat dengan berat molekul yang tinggi seperti pati,

Lebih terperinci

Dan Kami turunkan dari langit air yang banyak manfaatnya lalu Kami tumbuhkan dengan air itu pohon-pohon dan biji-biji tanaman yang diketam,

Dan Kami turunkan dari langit air yang banyak manfaatnya lalu Kami tumbuhkan dengan air itu pohon-pohon dan biji-biji tanaman yang diketam, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sekam padi merupakan produk samping yang melimpah dari hasil penggilingan padi. Selama ini pemanfaatan sekam padi belum dilakukan secara maksimal sehingga hanya digunakan

Lebih terperinci

= nilai pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j µ = rataan umum α i ε ij

= nilai pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j µ = rataan umum α i ε ij 5 Pengujian Sifat Binderless MDF. Pengujian sifat fisis dan mekanis binderless MDF dilakukan mengikuti standar JIS A 5905 : 2003. Sifat-sifat tersebut meliputi kerapatan, kadar air, pengembangan tebal,

Lebih terperinci

PEMANFAATAN LIMBAH SEKAM PADI MENJADI BRIKET SEBAGAI SUMBER ENERGI ALTERNATIF DENGAN PROSES KARBONISASI DAN NON-KARBONISASI

PEMANFAATAN LIMBAH SEKAM PADI MENJADI BRIKET SEBAGAI SUMBER ENERGI ALTERNATIF DENGAN PROSES KARBONISASI DAN NON-KARBONISASI PEMANFAATAN LIMBAH SEKAM PADI MENJADI BRIKET SEBAGAI SUMBER ENERGI ALTERNATIF DENGAN PROSES KARBONISASI DAN NON-KARBONISASI Yunus Zarkati Kurdiawan / 2310100083 Makayasa Erlangga / 2310100140 Dosen Pembimbing

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN Latar Belakang Papan partikel adalah salah satu jenis produk papan komposit yang dikembangkan untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan bahan baku kayu, serta mengoptimalkan pemanfaatan bahan

Lebih terperinci

PERANAN POLIMER SELULOSA SEBAGAI BAHAN BAKU DALAM PENGEMBANGAN PRODUK MANUFAKTUR MENUJU ERA GLOBALISASI

PERANAN POLIMER SELULOSA SEBAGAI BAHAN BAKU DALAM PENGEMBANGAN PRODUK MANUFAKTUR MENUJU ERA GLOBALISASI KULIAH UMUM 2010 29 Desember 2010 PERANAN POLIMER SELULOSA SEBAGAI BAHAN BAKU DALAM PENGEMBANGAN PRODUK MANUFAKTUR MENUJU ERA GLOBALISASI Oleh: Ir. Yusup Setiawan, M.Eng. Balai Besar Pulp dan KertasBandung

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jagung (Zea mays) Menurut Effendi S (1991), jagung (Zea mays) merupakan salah satu tanaman pangan dunia yang terpenting selain padi dan gandum. Kedudukan tanaman ini menurut

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. LIGNOSELULOSA Lignoselulosa merupakan bahan penyusun dinding sel tanaman yang komponen utamanya terdiri atas selulosa, hemiselulosa, dan lignin (Demirbas, 2005). Selulosa adalah

Lebih terperinci

AN JUDUL ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHA PENGOMPOSAN BERSUBSIDI. Antung Deddy Radiansyah

AN JUDUL ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHA PENGOMPOSAN BERSUBSIDI. Antung Deddy Radiansyah AN JUDUL ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHA PENGOMPOSAN BERSUBSIDI Antung Deddy Radiansyah SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 ii RINGKASAN H. Antung Deddy R. Analisis Keberlanjutan Usaha

Lebih terperinci

PENENTUAN KONDISI OPTIMUM PROSES PEMBUATAN PULP DARI AMPAS TEBU MENGGUNAKAN PROSES ACETOSOLV

PENENTUAN KONDISI OPTIMUM PROSES PEMBUATAN PULP DARI AMPAS TEBU MENGGUNAKAN PROSES ACETOSOLV LAPORAN TUGAS AKHIR PENENTUAN KONDISI OPTIMUM PROSES PEMBUATAN PULP DARI AMPAS TEBU MENGGUNAKAN PROSES ACETOSOLV (Optimum Condition Adjustment of Pulp Making Process From Sweetcane Waste With Acetosolve

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karet alam (Hevea Brasiliensis) merupakan salah satu komoditi pertanian yang memiliki peranan yang penting dalam perekonomian Indonesia. Karet alam pada dasarnya tidak

Lebih terperinci

4. Hasil dan Pembahasan

4. Hasil dan Pembahasan 4. Hasil dan Pembahasan 4.1. Sintesis Polistiren Sintesis polistiren yang diinginkan pada penelitian ini adalah polistiren yang memiliki derajat polimerisasi (DPn) sebesar 500. Derajat polimerisasi ini

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

DEPARTEMEN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN PENGARUH SUHU PIROLISIS TERHADAP KADAR SENYAWA FENOLIK DARI ASAP CAIR CANGKANG SAWIT DAN KARAKTERISASINYA MENGGUNAKAN KROMATOGRAFI GAS SPEKTROMETRI MASSA (GC-MS) SKRIPSI SRI SEPADANY BR. PANJAITAN 110822017

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menurun. Penurunan produksi BBM ini akibat bahan bakunya yaitu minyak

I. PENDAHULUAN. menurun. Penurunan produksi BBM ini akibat bahan bakunya yaitu minyak 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada masa sekarang produksi bahan bakar minyak (BBM) semakin menurun. Penurunan produksi BBM ini akibat bahan bakunya yaitu minyak mentah nasional menipis produksinya.

Lebih terperinci

Rekayasa Biopolimer Jerami Padi dengan Teknik Kopolimerisasi Cangkok dan Taut Silang

Rekayasa Biopolimer Jerami Padi dengan Teknik Kopolimerisasi Cangkok dan Taut Silang Valensi Vol. 2 No. 4, Mei 2012 (489-500) ISSN : 1978-8193 Rekayasa Biopolimer Jerami Padi dengan Teknik Kopolimerisasi angkok dan Taut Silang enny Purwaningsih 1,2, Tun Tedja Irawadi 1,2, Zainal Alim Mas

Lebih terperinci

PRODUKSI GULA REDUKSI DARI BAGASSE TEBU MELALUI HIDROLISIS ENZIMATIK MENGGUNAKAN CRUDE ENZYME SELULASE DAN XYLANASE

PRODUKSI GULA REDUKSI DARI BAGASSE TEBU MELALUI HIDROLISIS ENZIMATIK MENGGUNAKAN CRUDE ENZYME SELULASE DAN XYLANASE PRODUKSI GULA REDUKSI DARI BAGASSE TEBU MELALUI HIDROLISIS ENZIMATIK MENGGUNAKAN CRUDE ENZYME SELULASE DAN XYLANASE Penyusun: Charlin Inova Sitasari (2310 100 076) Yunus Imam Prasetyo (2310 100 092) Dosen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tabel1.1 Luas Panen Pisang Indonesia (dalam Ha)

BAB I PENDAHULUAN. Tabel1.1 Luas Panen Pisang Indonesia (dalam Ha) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara agraris telah menjadi salah satu negara di dunia yang berkontribusi dalam produksi cocok tanam, seperti buah pisang. Sejumlah propinsi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universita Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universita Sumatera Utara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Hartono (1998) komposisi sampah atau limbah plastik yang dibuang oleh setiap rumah tangga adalah 9,3% dari total sampah rumah tangga. Di Jabodetabek rata-rata

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian I. Optimasi Proses Asetilasi pada Pembuatan Selulosa Triasetat dari Selulosa Mikrobial

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian I. Optimasi Proses Asetilasi pada Pembuatan Selulosa Triasetat dari Selulosa Mikrobial HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian I. Optimasi Proses Asetilasi pada Pembuatan Selulosa Triasetat dari Selulosa Mikrobial Selulosa mikrobial kering yang digunakan pada penelitian ini berukuran 10 mesh dan

Lebih terperinci

KARAKTERISASI ASAP CAIR HASIL PIROLISIS AMPAS TEBU SERTA PENGUJIANNYA UNTUK PENGAWETAN DAGING AYAM

KARAKTERISASI ASAP CAIR HASIL PIROLISIS AMPAS TEBU SERTA PENGUJIANNYA UNTUK PENGAWETAN DAGING AYAM KARAKTERISASI ASAP CAIR HASIL PIROLISIS AMPAS TEBU SERTA PENGUJIANNYA UNTUK PENGAWETAN DAGING AYAM Ayu Saputri *, dan Setiadi Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Depok 16424,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Plastik adalah bahan yang banyak sekali di gunakan dalam kehidupan manusia, plastik dapat di gunakan sebagai alat bantu yang relative kuat, ringan, dan mempunyai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan banyak tumbuh di Indonesia, diantaranya di Pulau Jawa, Madura, Sulawesi,

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan banyak tumbuh di Indonesia, diantaranya di Pulau Jawa, Madura, Sulawesi, II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Ubi Kayu Ubi kayu yang sering pula disebut singkong atau ketela pohon merupakan salah satu tanaman penghasil bahan makanan pokok di Indonesia. Tanaman ini tersebar

Lebih terperinci

Pemanfaatan Limbah Jerami Padi dari Boyolali untuk Pembuatan Pulp dengan Proses Soda Menggunakan Digester Batch

Pemanfaatan Limbah Jerami Padi dari Boyolali untuk Pembuatan Pulp dengan Proses Soda Menggunakan Digester Batch LAPORAN TUGAS AKHIR Pemanfaatan Limbah Jerami Padi dari Boyolali untuk Pembuatan Pulp dengan Proses Soda Menggunakan Digester Batch Diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi pada Program

Lebih terperinci

UJI KINERJA DIGESTER PADA PROSES PULPING KULIT JAGUNG DENGAN VARIABEL SUHU DAN WAKTU PEMASAKAN

UJI KINERJA DIGESTER PADA PROSES PULPING KULIT JAGUNG DENGAN VARIABEL SUHU DAN WAKTU PEMASAKAN TUGAS AKHIR UJI KINERJA DIGESTER PADA PROSES PULPING KULIT JAGUNG DENGAN VARIABEL SUHU DAN WAKTU PEMASAKAN (Digester Test Run on Corn s Skin Pulping Process with Temperature and Time Cooking Variable)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada beberapa tahun belakangan ini penelitian mengenai polimer

BAB I PENDAHULUAN. Pada beberapa tahun belakangan ini penelitian mengenai polimer 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada beberapa tahun belakangan ini penelitian mengenai polimer penyimpan air yang biasa disebut superabsorbent polymer (SAP) banyak dilakukan dan dikembangkan oleh

Lebih terperinci

Latar Belakang. Latar Belakang. Ketersediaan Kapas dan Kapuk. Kapas dan Kapuk. Komposisi Kimia Serat Tanaman

Latar Belakang. Latar Belakang. Ketersediaan Kapas dan Kapuk. Kapas dan Kapuk. Komposisi Kimia Serat Tanaman L/O/G/O L/O/G/O Sidang SkripsiTeknik Kimia FTI-ITS PENDAHULUAN Latar Belakang Dosen Pembimbing : Tujuan Penelitian Prof. Dr. Ir. Mahfud, DEA Ir. Rr. Pantjawarni Prihatini Latar Belakang Sumber-Sumber Selulosa

Lebih terperinci

4. Hasil dan Pembahasan

4. Hasil dan Pembahasan 4. Hasil dan Pembahasan 4.1 Analisis Sintesis PS dan Kopolimer PS-PHB Sintesis polistiren dan kopolimernya dengan polihidroksibutirat pada berbagai komposisi dilakukan dengan teknik polimerisasi radikal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Potensi kelapa sawit di Indonesia cukup besar, data tahun1999 menunjukkan

BAB I PENDAHULUAN. Potensi kelapa sawit di Indonesia cukup besar, data tahun1999 menunjukkan 11 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kelapa sawit (Elaeis quineensis Jacq) dari famili Arecaceae merupakan salah satu sumber minyak nabati, dan merupakan primadona bagi komoditi perkebunan. Potensi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dalam meningkatkan ketersediaan bahan baku penyusun ransum. Limbah

TINJAUAN PUSTAKA. dalam meningkatkan ketersediaan bahan baku penyusun ransum. Limbah TINJAUAN PUSTAKA Ampas Sagu Pemanfaatan limbah sebagai bahan pakan ternak merupakan alternatif dalam meningkatkan ketersediaan bahan baku penyusun ransum. Limbah mempunyai proporsi pemanfaatan yang besar

Lebih terperinci

UJI KINERJA DIGESTER DENGAN MENGGUNAKAN VARIABEL TEMPERATUR DAN WAKTU PEMASAKAN PADA PROSES PULPING JERAMI PADI

UJI KINERJA DIGESTER DENGAN MENGGUNAKAN VARIABEL TEMPERATUR DAN WAKTU PEMASAKAN PADA PROSES PULPING JERAMI PADI LAPORAN TUGAS AKHIR UJI KINERJA DIGESTER DENGAN MENGGUNAKAN VARIABEL TEMPERATUR DAN WAKTU PEMASAKAN PADA PROSES PULPING JERAMI PADI (Test of Digester Work by Cooking Temperature and Time Variable in the

Lebih terperinci

Gambar IV 1 Serbuk Gergaji kayu sebelum ekstraksi

Gambar IV 1 Serbuk Gergaji kayu sebelum ekstraksi Bab IV Pembahasan IV.1 Ekstraksi selulosa Kayu berdasarkan struktur kimianya tersusun atas selulosa, lignin dan hemiselulosa. Selulosa sebagai kerangka, hemiselulosa sebagai matrik, dan lignin sebagai

Lebih terperinci

DELIGNIFIKASI KULIT KOPI MENJADI BAHAN BAKU PULP DENGAN METODE ORGANOSOLV SKRIPSI. Oleh: Kanidia Kunta Dena Nurseta

DELIGNIFIKASI KULIT KOPI MENJADI BAHAN BAKU PULP DENGAN METODE ORGANOSOLV SKRIPSI. Oleh: Kanidia Kunta Dena Nurseta DELIGNIFIKASI KULIT KOPI MENJADI BAHAN BAKU PULP DENGAN METODE ORGANOSOLV SKRIPSI Oleh: Kanidia Kunta Dena Nurseta 0931010021 PROGRAM STUDI TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI UNIVERSITAS PEMBANGUNAN

Lebih terperinci

ADSORPSI ION Cr 3+ OLEH SERBUK GERGAJI KAYU ALBIZIA (Albizzia falcata): Studi Pengembangan Bahan Alternatif Penjerap Limbah Logam Berat

ADSORPSI ION Cr 3+ OLEH SERBUK GERGAJI KAYU ALBIZIA (Albizzia falcata): Studi Pengembangan Bahan Alternatif Penjerap Limbah Logam Berat ADSORPSI ION Cr 3+ OLEH SERBUK GERGAJI KAYU ALBIZIA (Albizzia falcata): Studi Pengembangan Bahan Alternatif Penjerap Limbah Logam Berat I NYOMAN SUKARTA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diantaranya adalah padi dan singkong. Indonesia dengan luas area panen ha

BAB I PENDAHULUAN. diantaranya adalah padi dan singkong. Indonesia dengan luas area panen ha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai Negara agraris memiliki produk pertanian yang melimpah, diantaranya adalah padi dan singkong. Indonesia dengan luas area panen 13.769.913 ha dan produktivitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan plastik semakin populer di kalangan masyarakat Indonesia, karena memiliki banyak kegunaan dan praktis. Plastik merupakan produk polimer sintetis yang terbuat

Lebih terperinci

Pemanfaatan Tandan Kosong Kelapa Sawit Untuk Pembuatan Kertas Seni. Faridah, Anwar Fuadi

Pemanfaatan Tandan Kosong Kelapa Sawit Untuk Pembuatan Kertas Seni. Faridah, Anwar Fuadi Pemanfaatan Tandan Kosong Kelapa Sawit Untuk Pembuatan Kertas Seni Faridah, Anwar Fuadi ABSTRAK Kertas seni banyak dibutuhkan oleh masyarakat, kertas seni yang dihasilkan dapat digunakan sebagai kertas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pencapaian sekitar 54 juta ton per tahun yang mencerminkan bahwa negara kita

I. PENDAHULUAN. pencapaian sekitar 54 juta ton per tahun yang mencerminkan bahwa negara kita I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara penghasil padi terbesar ke tiga di dunia dengan pencapaian sekitar 54 juta ton per tahun yang mencerminkan bahwa negara kita adalah negara agraris

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketersediaan sumber bahan bakar fosil yang terus menipis mendorong para

BAB I PENDAHULUAN. Ketersediaan sumber bahan bakar fosil yang terus menipis mendorong para 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ketersediaan sumber bahan bakar fosil yang terus menipis mendorong para peneliti untuk mengembangkan usaha dalam menanggulangi masalah ini diantaranya menggunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia memiliki hasil perkebunan yang cukup banyak, salah satunya hasil perkebunan ubi kayu yang mencapai 26.421.770 ton/tahun (BPS, 2014). Pemanfaatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Digester Digester merupakan alat utama pada proses pembuatan pulp. Reaktor ini sebagai tempat atau wadah dalam proses delignifikasi bahan baku industri pulp sehingga didapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Penggunaan polimer dan komposit dewasa ini semakin meningkat di segala bidang. Komposit berpenguat serat banyak diaplikasikan pada alat-alat yang membutuhkan material

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian 19 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Bagian Kimia Hasil Hutan Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan, Laboratorium Kimia Organik Departemen Kimia Fakultas MIPA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tablet, karena tablet secara fisik lebih stabil, mudah diformulasikan, lebih

BAB I PENDAHULUAN. tablet, karena tablet secara fisik lebih stabil, mudah diformulasikan, lebih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sediaan oral farmasi yang paling banyak beredar dipasaran adalah bentuk tablet, karena tablet secara fisik lebih stabil, mudah diformulasikan, lebih menjamin kestabilan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tebu ( Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman penting sebagai penghasil

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tebu ( Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman penting sebagai penghasil II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Tebu Tebu ( Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman penting sebagai penghasil gula dan lebih dari setengah produksi gula berasal dari tanaman tebu (Sartono, 1995).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah. Menurut Kementerian Pertanian Indonesia (2014) produksi nangka di

BAB I PENDAHULUAN. daerah. Menurut Kementerian Pertanian Indonesia (2014) produksi nangka di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nangka merupakan salah satu buah tropis yang keberadaannya tidak mengenal musim. Di Indonesia, pohon nangka dapat tumbuh hampir di setiap daerah. Menurut Kementerian

Lebih terperinci

PEMANFAATAN LIMBAH POD KAKAO UNTUK MENGHASILKAN ETANOL SEBAGAI SUMBER ENERGI TERBARUKAN

PEMANFAATAN LIMBAH POD KAKAO UNTUK MENGHASILKAN ETANOL SEBAGAI SUMBER ENERGI TERBARUKAN PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA PEMANFAATAN LIMBAH POD KAKAO UNTUK MENGHASILKAN ETANOL SEBAGAI SUMBER ENERGI TERBARUKAN BIDANG KEGIATAN : PKM-GT DIUSULKAN OLEH : LILY KURNIATY SYAM F34052110 (2005) JIHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Energi (M BOE) Gambar 1.1 Pertumbuhan Konsumsi Energi [25]

BAB I PENDAHULUAN. Energi (M BOE) Gambar 1.1 Pertumbuhan Konsumsi Energi [25] BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pertumbuhan populasi penduduk yang semakin meningkat mengakibatkan konsumsi energi semakin meningkat pula tetapi hal ini tidak sebanding dengan ketersediaan cadangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Saat ini persediaan Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia semakin

I. PENDAHULUAN. Saat ini persediaan Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia semakin I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat ini persediaan Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia semakin menipis. Menurut data statistik migas ESDM (2009), total Cadangan minyak bumi Indonesia pada tahun 2009

Lebih terperinci

SINTESIS DAN KARAKTERISASI POLISTIRENA DENGAN BENZOIL PEROKSIDA SEBAGAI INISIATOR

SINTESIS DAN KARAKTERISASI POLISTIRENA DENGAN BENZOIL PEROKSIDA SEBAGAI INISIATOR SINTESIS DAN KARAKTERISASI POLISTIRENA DENGAN BENZOIL PEROKSIDA SEBAGAI INISIATOR Tesis Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Institut Teknologi Bandung Oleh RINA MELATI

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi Nutrien Biskuit Rumput Lapang dan Daun Jagung Komposisi nutrien diperlukan untuk mengetahui kandungan zat makanan yang terkandung di dalam biskuit daun jagung dan rumput

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat ini bahan bakar transportasi umumnya masih bergantung pada sumber daya fosil. Ketergantungan terhadap energi berbasis fosil dialami hampir di setiap negara termasuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. samping itu, tingkat pencemaran udara dari gas buangan hasil pembakaran bahan

BAB I PENDAHULUAN. samping itu, tingkat pencemaran udara dari gas buangan hasil pembakaran bahan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan energi berupa bahan bakar minyak (BBM) berbasis fosil seperti solar, bensin dan minyak tanah pada berbagai sektor ekonomi makin meningkat, sedangkan ketersediaan

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan 4.1 Sintesis Polistirena Polistirena disintesis melalui polimerisasi adisi radikal bebas dari monomer stirena dan benzoil peroksida (BP) sebagai inisiator. Polimerisasi dilakukan

Lebih terperinci

KAJIAN PEMBUATAN EDIBEL FILM KOMPOSIT DARI KARAGENAN SEBAGAI PENGEMAS BUMBU MIE INSTANT REBUS

KAJIAN PEMBUATAN EDIBEL FILM KOMPOSIT DARI KARAGENAN SEBAGAI PENGEMAS BUMBU MIE INSTANT REBUS KAJIAN PEMBUATAN EDIBEL FILM KOMPOSIT DARI KARAGENAN SEBAGAI PENGEMAS BUMBU MIE INSTANT REBUS ENDANG MINDARWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2 0 0 6 Judul Tesis Nama NIM : Kajian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pupuk adalah bahan yang ditambahkan ke dalam tanah untuk menyediakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pupuk adalah bahan yang ditambahkan ke dalam tanah untuk menyediakan 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pupuk Organik Cair Pupuk adalah bahan yang ditambahkan ke dalam tanah untuk menyediakan sebagian unsur esensial bagi pertumbuhan tanaman. Peran pupuk sangat dibutuhkan oleh tanaman

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. terhadap produktivitas, kualitas produk, dan keuntungan. Usaha peternakan akan

PENDAHULUAN. terhadap produktivitas, kualitas produk, dan keuntungan. Usaha peternakan akan 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pakan menjadi salah satu faktor penentu dalam usaha peternakan, baik terhadap produktivitas, kualitas produk, dan keuntungan. Usaha peternakan akan tercapai bila mendapat

Lebih terperinci

Untuk mengetahui pengaruh ph medium terhadap profil disolusi. atenolol dari matriks KPI, uji disolusi juga dilakukan dalam medium asam

Untuk mengetahui pengaruh ph medium terhadap profil disolusi. atenolol dari matriks KPI, uji disolusi juga dilakukan dalam medium asam Untuk mengetahui pengaruh ph medium terhadap profil disolusi atenolol dari matriks KPI, uji disolusi juga dilakukan dalam medium asam klorida 0,1 N. Prosedur uji disolusi dalam asam dilakukan dengan cara

Lebih terperinci

4 Hasil dan Pembahasan

4 Hasil dan Pembahasan 4 asil dan Pembahasan 4.1 Sintesis Polistiren Sintesis polistiren dilakukan dalam reaktor polimerisasi dengan suasana vakum. al ini bertujuan untuk menghindari terjadinya kontak dengan udara karena stiren

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tongkol jagung sebagai limbah tidak bermanfaat yang merugikan lingkungan jika tidak ditangani dengan benar.

BAB I PENDAHULUAN. tongkol jagung sebagai limbah tidak bermanfaat yang merugikan lingkungan jika tidak ditangani dengan benar. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kulit jagung merupakan bagian tanaman yang melindungi biji jagung, berwarna hijau muda saat masih muda dan mengering pada pohonnya saat sudah tua. Tongkol jagung merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian Noor Azizah, 2014

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian Noor Azizah, 2014 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian Energi fosil khususnya minyak bumi merupakan sumber energi utama dan sumber devisa negara bagi Indonesia. Kenyataan menunjukan bahwa cadangan energi

Lebih terperinci

Kromatografi Gas-Cair (Gas-Liquid Chromatography)

Kromatografi Gas-Cair (Gas-Liquid Chromatography) Kromatografi Gas-Cair (Gas-Liquid Chromatography) Kromatografi DEFINISI Kromatografi adalah teknik pemisahan campuran didasarkan atas perbedaan distribusi dari komponen-komponen campuran tersebut diantara

Lebih terperinci

KIMIA. Sesi. Polimer A. PENGELOMPOKAN POLIMER. a. Berdasarkan Asalnya

KIMIA. Sesi. Polimer A. PENGELOMPOKAN POLIMER. a. Berdasarkan Asalnya KIMIA KELAS XII IPA - KURIKULUM GABUNGAN 19 Sesi NGAN Polimer Polimer adalah suatu senyawa raksasa yang tersusun dari molekul kecil yang dirangkai berulang yang disebut monomer. Polimer merupakan kelompok

Lebih terperinci

PEMANFAATAN JERAMI PADI DARI KABUPATEN BOYOLALI SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN PULP DENGAN MENGGUNAKAN NATRIUM HIDROKSIDA

PEMANFAATAN JERAMI PADI DARI KABUPATEN BOYOLALI SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN PULP DENGAN MENGGUNAKAN NATRIUM HIDROKSIDA LAPORAN TUGAS AKHIR PEMANFAATAN JERAMI PADI DARI KABUPATEN BOYOLALI SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN PULP DENGAN MENGGUNAKAN NATRIUM HIDROKSIDA Utilization of Rice Straw from Boyolali Regency as Raw Material

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kartika Mayasai, 2014

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kartika Mayasai, 2014 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Energi merupakan salah satu hal yang sangat penting di dunia. Banyak negara saling bersaing untuk mendapatkan atau mempertahankan sumber-sumber energi tersebut.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Nenas adalah komoditas hortikultura yang sangat potensial dan penting di dunia.

I. PENDAHULUAN. Nenas adalah komoditas hortikultura yang sangat potensial dan penting di dunia. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Nenas adalah komoditas hortikultura yang sangat potensial dan penting di dunia. Buah nenas merupakan produk terpenting kedua setelah pisang. Produksi nenas mencapai 20%

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci : ampas padat brem, hidrolisis, H 2 SO 4, gula cair

ABSTRAK. Kata kunci : ampas padat brem, hidrolisis, H 2 SO 4, gula cair Karina Novita Dewi. 1211205027. 2017. Pengaruh Konsentrasi H 2 SO 4 dan Waktu Hidrolisis terhadap Karakteristik Gula Cair dari Ampas Padat Produk Brem di Perusahaan Fa. Udiyana di bawah bimbingan Dr. Ir.

Lebih terperinci

EKSTRAKSI POLISAKARIDA LARUT AIR KULIT KOPI ROBUSTA (Coffea canephora) BERDASARKAN JUMLAH PELARUT DAN LAMA EKSTRAKSI

EKSTRAKSI POLISAKARIDA LARUT AIR KULIT KOPI ROBUSTA (Coffea canephora) BERDASARKAN JUMLAH PELARUT DAN LAMA EKSTRAKSI EKSTRAKSI POLISAKARIDA LARUT AIR KULIT KOPI ROBUSTA (Coffea canephora) BERDASARKAN JUMLAH PELARUT DAN LAMA EKSTRAKSI SKRIPSI Oleh: Rindang Sari Rahmawati NIM. 081710101017 JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN

Lebih terperinci

Kelompok 2: Kromatografi Kolom

Kelompok 2: Kromatografi Kolom Kelompok 2: Kromatografi Kolom Arti Kata Kromatografi PENDAHULUAN chroma berarti warna dan graphien berarti menulis Sejarah Kromatografi Sejarah kromatografi dimulai sejak pertengahan abad ke 19 ketika

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Jagung digunakan sebagai salah satu makanan pokok di berbagai daerah di Indonesia sebagai tumbuhan yang kaya akan karbohidrat. Potensi jagung telah banyak dikembangkan menjadi berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Pengawet pada produk makanan atau minuman sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan di dalam industri makanan. Apalagi perkembangan zaman menuntut produk makanan

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR. Diajukan Sebagai Persyaratan untuk Menyelesaikan Pendidikan Diploma III Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Sriwijaya

LAPORAN AKHIR. Diajukan Sebagai Persyaratan untuk Menyelesaikan Pendidikan Diploma III Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Sriwijaya LAPORAN AKHIR Pengaruh Delignifikasi Ampas Tebu dan Variasi Konsentrasi Asam Sulfat Pada Proses Hidrolisis Asam menggunakan Campuran Limbah Ampas Tebu dan Ampas Singkong menjadi Etanol Diajukan Sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Keberadaan logam berat sebagai polutan bagi lingkungan hidup diawali dengan meningkatnya populasi dan industrialisasi dari proses modernisasi manusia dan lingkungan

Lebih terperinci