EVALUASI KETERSEDIAAN PELAYANAN INFORMASI OBAT RESEP GLIBENKLAMID SEBAGAI ANTI DIABETES ORAL DI APOTEK-APOTEK WILAYAH KABUPATEN SLEMAN DIY SKRIPSI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "EVALUASI KETERSEDIAAN PELAYANAN INFORMASI OBAT RESEP GLIBENKLAMID SEBAGAI ANTI DIABETES ORAL DI APOTEK-APOTEK WILAYAH KABUPATEN SLEMAN DIY SKRIPSI"

Transkripsi

1 EVALUASI KETERSEDIAAN PELAYANAN INFORMASI OBAT RESEP GLIBENKLAMID SEBAGAI ANTI DIABETES ORAL DI APOTEK-APOTEK WILAYAH KABUPATEN SLEMAN DIY SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) Program Studi Ilmu Farmasi Oleh : Iryana Butar-Butar NIM : FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2012

2 EVALUASI KETERSEDIAAN PELAYANAN INFORMASI OBAT RESEP GLIBENKLAMID SEBAGAI ANTI DIABETES ORAL DI APOTEK-APOTEK WILAYAH KABUPATEN SLEMAN DIY SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) Program Studi Ilmu Farmasi Oleh : Iryana Butar-Butar NIM : FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2012 i

3 EVALUATION OF AVAILABILITY IN PRESCRIPTION DRUG INFORMATION SERVICE OF GLIBENCLAMIDE AS ORAL ANTI DIABETIC IN PHARMACIES AT DISTRICT SLEMAN DIY SKRIPSI Presented as Partitial Fulfilment of the Requirement to obtain Sarjana Farmasi (S.Farm) In Faculty of Pharmacy By : Iryana Butar-Butar NIM : FACULTY OF PHARMACY SANATA DHARMA UNIVERSITY YOGYAKARTA 2012 ii

4 iii

5 iv

6 HALAMAN PERSEMBAHAN TRY and FAIL, but don t FAIL to TRY -Stephen Kaggwa- Know who you are, then rise to who you will become! Live, Laugh, Love Kupersembahkan karya sederhana ini untuk : Jesus Christ, my strength Kedua orang tuaku yang selalu ada untukku Abang dan adikku tecinta Sobatku termanis Almamaterku... v

7 vi

8 vii

9 PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan penyertaan-nya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Evaluasi Ketersediaan Pelayanan Informasi Obat Resep Glibenklamid sebagai Antidiabetes Oral Di Apotek-Apotek Wilayah Kabupaten Sleman DIY. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata Satu Farmasi (S. Farm.), Program Studi Ilmu Farmasi, Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Dalam penulisan skripsi ini penulis telah banyak memperoleh bantuan, bimbingan, dan pengarahan, serta dukungan dari berbagai pihak. Rasa terima kasih penulis haturkan kepada pihak-pihak yang telah mendukung terwujudnya skripsi ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada : 1. Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman yang telah berkenan membantu dalam penyediaan data terkait jumlah apotek di Kabupaten Sleman DIY untuk keperluan data populasi penelitian. 2. dr. Rima Fitriyani dan dr. Agus Prahianto, selaku dokter yang telah membantu membuatkan resep obat glibenklamid sebagai instrumen penelitian. 3. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. 4. Ipang Djunarko, M.Sc.,, selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, waktu, semangat, saran, dan kritik dalam proses penyusunan skripsi. viii

10 5. Phebe Hendra, M.Si., Ph.D., selaku dosen penguji yang telah bersedia memberikan kritik dan saran kepada penulis. 6. Maria Wisnu Donowati, M.Si., selaku dosen penguji yang telah bersedia meluangkan waktu serta memberikan saran dan kritik kepada penulis. 7. Keluarga tercinta Bapak, Mama, Abang, dan Adik yang senantiasa memberikan semangat bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi. 8. Sahabat-sahabat penulis yang telah membantu dalam segala hal, terutama dalam penyusunan skripsi ini. 9. Teman-teman FKK B 2007, terima kasih atas segala kebersamaan, kekompakan, dan keanarkisan yang telah dilalui bersama selama ini. 10. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar skripsi ini menjadi lebih baik. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi semua pihak yang membutuhkan. Yogyakarta, 20 Januari 2012 Penulis ix

11 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... iii HALAMAN PENGESAHAN... iv HALAMAN PERSEMBAHAN... v LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS vi PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... vii PRAKATA... viii DAFTAR ISI... x DAFTAR TABEL... xiii DAFTAR GAMBAR... xiv DAFTAR LAMPIRAN... xvi INTISARI... xvii ABSTRACT... xviii BAB I. PENGANTAR... 1 A. Latar Belakang Permasalahan Keaslian penelitian Manfaat penelitian... 4 B. Tujuan Penelitian... 5 BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA... 6 A. Standar Pelayanan Kefarmasian... 6 x

12 B. Pharmaceutical Care... 7 C. Pelayanan Informasi Obat... 8 D. Apotek... 9 E. Apoteker F. Pelayanan Resep G. Diabetes Mellitus H. Glibenklamid I. Landasan Teori J. Hipotesis BAB III. METODE PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional C. Tempat dan Waktu Penelitian D. Subyek Penelitian E. Sampel dan Populasi F. Bahan atau Materi Penelitian G. Alat atau Instrumen Penelitian H. Tatacara Penelitian BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Profil Pelayanan Resep Obat Glibenklamid di Apotek-Apotek Wilayah Kabupaten Sleman DIY B. Ketersediaan Pelayanan Informasi Obat Resep Glibenklamid BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN xi

13 A. Kesimpulan B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BIOGRAFI PENULIS xii

14 DAFTAR TABEL Tabel I Daftar Apotek Sampel yang Diperoleh dari Populasi Apotek di Kabupaten Sleman DIY xiii

15 DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Contoh Salinan Resep 13 Gambar 2 Anti Diabetes Oral Generik Glibenclamide Produksi Indofarma Gambar 3 Perbandingan Jumlah Apotek yang Melayani Resep dan Tidak Melayani Resep Obat Glibenklamid di Apotek-Apotek Wilayah Kabupaten Sleman DIY Gambar 4 Profil Pelayanan Resep Obat Glibenklamid di Apotek-Apotek Wilayah Kabupaten Sleman DIY Gambar 5 Perbandingan Jumlah Apotek yang Bersedia dan Tidak Bersedia untuk Memberikan Salinan Resep di Apotek-Apotek Wilayah Sleman DIY Gambar 6 Kriteria Kelengkapan Format dan Isi Salinan Resep Yang Diberikan pada Pelayanan Resep Obat Glibenklamid di Apotek- Apotek Wilayah Kabupaten Sleman DIY Gambar 7 Jumlah Apotek yang Menanyakan Alamat dan Nomor Telepon Pasien yang Dapat Dihubungi pada saat Pelayanan Resep Obat Glibenklamid di Wilayah Kabupaten Sleman DIY Gambar 8 Ketersediaan Etiket Obat pada Obat yang Diserahkan Gambar 9 Kriteria Kelengkapan Format dan Isi dari Etiket Obat Resep Glibenklamid Menurut WHO xiv

16 Gambar 10 Perbandingan Pelayanan Resep oleh Asisten Apoteker dan Petugas Lain pada saat Kunjungan ke Apotek-Apotek Wilayah Kabupaten Sleman DIY Gambar 11 Ketersediaan Pelayanan Informasi Obat Resep Glibenklamid di Apotek-Apotek Wilayah Kabupaten Sleman DIY Gambar 12 Profil Ketersediaan Pelayanan Informasi Obat Resep Glibenklamid Menurut Kepmenkes RI No Tahun Gambar 13 Profil Pelayanan Informasi Obat Resep Glibenklamid terkait Pihak Apotek yang Memberikan Pelayanan Informasi Obat dan Benar atau Salah Informasi yang Diberikan xv

17 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Dokumentasi Penelitian Lampiran 2 Daftar Cek Ketersediaan Informasi Obat Resep Glibenklamid menurut Kepmenkes RI No Tahun 2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Lampiran 3 Analisis Salinan Resep Lampiran 4 Analisis Etiket Obat Lampiran 5 Surat Izin Penelitian dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Sleman Lampiran 6 Resep Obat Glibenklamid yang Digunakan dalam Penelitian Lampiran 7 Contoh Salinan Resep Lampiran 8 Contoh Etiket Obat Lampiran 9 Perhitungan Data xvi

18 INTISARI Pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No tahun 2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek dengan tujuan utama adalah untuk melindungi masyarakat dari pelayanan yang tidak profesional. Seluruh tenaga kefarmasian dalam melaksanakan tugas profesinya harus mengacu pada standar ini. Tujuan penelitian adalah menggambarkan profil pelayanan resep obat glibenklamid meliputi ketersediaan pelayanan informasi obat yang diberikan oleh staf farmasi di apotek serta ketersediaan dan kelengkapan salinan resep dan etiket obat. Jenis penelitian adalah non-eksperimental dengan rancangan penelitian bersifat deskriptif melalui pengamatan secara Observasi Partisipatif Partiil. Data berupa jenis informasi obat yang diberikan, salinan resep, etiket obat, dan status pemberi pelayanan resep kemudian dianalisis secara statistik deskriptif. Dari 124 apotek sampel, 3 apotek menolak melayani resep. Profil pelayanan resep yang diberikan, terdapat 30 apotek yang mengembalikan resep, 4 menolak memberikan salinan resep, 1 apotek menyerahkan obat tidak sesuai dengan resep, 21 tidak mencantumkan etiket obat, 8 tidak memberikan informasi obat, dan 53 apotek memberi pelayanan resep bukan oleh Apoteker. Dari 113 apotek yang memberikan pelayanan informasi obat, tidak ada satupun apotek yang memberikan pelayanan informasi obat resep glibenklamid secara lengkap berdasarkan Kepmenkes RI No tahun Kata kunci : pelayanan informasi obat, resep obat glibenklamid, apotek xvii

19 ABSTRACT The Government issued Keputusan Menteri Kesehatan RI No tahun 2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek with one main goal is to protect public from unprofessional service. All pharmacy staff in performing professional duties should refer to these established standards. This study aimed to describe the glibenclamide prescription service profile which includes the availability of glibenclamide prescription information services provided by the pharmacy staff at the pharmacy as well as the availability and completeness of the included prescription copies and the drug label. Type of the research was non-experimental studies or observational descriptive study design through Participatory observation Partial. The data obtained include type of drug information provided, copy of prescription, drug label, and the status of prescribing provider were analyzed by descriptive statistics. From the 124 sample of pharmacies, 3 pharmacies refused to serve prescription. Profil of prescription service given, 30 pharmacies returned the prescription, 4 refused making copy of prescription, 1 pharmacy didn t provided medicine appropriately with prescription, 21 didn t attach drug label, 8 didn t provide drug information service, and 53 pharmacies didn t conduct the prescription service by competent pharmacist. From amount 113 which provide drug information service, that there were not any pharmacies would give drug information service completely based on Kepmenkes RI No tahun Keywords : drug information service, glibenclamide prescription, pharmacies xviii

20 BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah bergeser orientasinya dari obat ke pasien yang mengacu kepada Pharmaceutical Care. Sebagai konsekuensi perubahan orientasi tersebut, apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan perilaku agar dapat melaksanakan interaksi langsung dengan pasien. Salah satu bentuk interaksi tersebut adalah melaksanakan pemberian informasi. Apoteker harus memahami dan menyadari kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (medication error) dalam proses pelayanan. Oleh sebab itu apoteker dalam menjalankan praktik harus sesuai standar. Pelayanan kefarmasian (Pharmaceutical care) merupakan salah satu sub sistem pelayanan kesehatan yang berorientasi pada pasien (patient oriented). Pelayanan kefarmasian ini mengarahkan pasien tentang kebiasaan/pola hidup yang mendukung tercapainya keberhasilan pengobatan, memberi informasi tentang program pengobatan yang harus dijalani pasien, memonitor hasil pengobatan dan bekerja sama dengan profesi lainnya untuk mencapai kualitas hidup yang optimal bagi pasien. Untuk menjamin mutu pelayanan kefarmasian kepada masyarakat, telah disusun dan mulai diberlakukan sejak 15 September 2004 suatu Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek yang bertujuan sebagai pedoman praktik apoteker dalam menjalankan profesi; untuk melindungi masyarakat dari pelayanan yang tidak profesional; dan melindungi profesi dalam menjalankan praktik 1

21 2 kefarmasian. Untuk itu, semua tenaga kefarmasian dalam melaksanakan tugas profesinya harus mengacu pada standar yang telah ditetapkan ini. Berdasarkan hasil penelitian dari Hartini, Sulasmono, Sukmajati, dan Kurniawan tahun 2008 tentang Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek di Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta, mengatakan bahwa apotekapotek di Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta belum sepenuhnya melaksanakan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Hasil ini memungkinkan juga bahwa terkait pelaksanaan pelayanan informasi obat belum memenuhi Kepmenkes No tahun 2004 tersebut. Perubahan gaya hidup menyebabkan perubahan pola penyakit di masyarakat yaitu meningkatnya prevalensi penyakit kronik dan degeneratif. Penyakit kronik dan degeneratif memerlukan terapi seumur hidup selain perubahan pola hidup. Terapi seumur hidup dengan menggunakan obat akan meningkatkan resiko adanya efek samping obat dan interaksi dengan obat penyakit lain atau obat bebas yang mungkin digunakan. Dalam hal ini peran apoteker untuk memberi pelayanan informasi obat dan edukasi kepada pasien sangat penting. Glibenklamid merupakan obat anti diabetes oral golongan keras yang semestinya dalam pendistribusian ke masyarakat harus menggunakan resep dokter. Harga obat glibenklamid generik cukup terjangkau, sehingga karena harganya yang murah memunculkan pemikiran bahwa obat dapat dibeli walaupun tanpa resep dokter. Hal ini harus dihindari mengingat kemungkinan efek samping yang bisa terjadi dalam penggunaan jangka pendek maupun panjang.

22 3 Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan setempat per tahun 2010, Kabupaten Sleman merupakan satu dari dua kabupaten yang memiliki jumlah apotek terbanyak di Provinsi DIY, selain Kota Yogyakarta. Di samping itu, berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman terkait Profil Kesehatan tahun 2010, menunjukkan bahwa rata-rata tingkat kenaikan populasi apotek di Kabupaten Sleman dari tahun adalah 10,35% tiap tahunnya. Hal ini berarti bahwa tingkat populasi apotek di wilayah Kabupaten Sleman DIY termasuk tinggi. Data-data diatas mendorong peneliti memilih Kabupaten Sleman DIY sebagai populasi penelitian, dimana secara khusus melihat gambaran pelayanan kefarmasian di wilayah dengan tingkat pertumbuhan jumlah apotek yang tergolong tinggi. Dari uraian di atas mendorong peneliti untuk mengadakan survei penelitian terhadap pelaksanaan pelayanan kefarmasian di apotek-apotek di wilayah Kabupaten Sleman DIY, khususnya dalam pelayanan informasi obat. Hal ini dapat diperoleh dengan melakukan penelitian berupa evaluasi mengenai ketersediaan pelayanan informasi obat resep glibenklamid sebagai antidiabetes oral berdasarkan standar peraturan yang ada. 1. Permasalahan a. Bagaimanakah profil pelayanan resep obat glibenklamid di apotek-apotek wilayah Kabupaten Sleman DIY? b. Berapa besarkah tingkat ketersediaan pelayanan informasi obat resep glibenklamid menurut Kepmenkes RI No tahun 2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek?

23 4 2. Keaslian penelitian Penelitian mengenai Evaluasi Ketersediaan Pelayanan Informasi Obat Resep Glibenklamid sebagai Anti Diabetes Oral di Apotek-Apotek Wilayah Kabupaten Sleman DIY belum pernah dilakukan dan belum ditemukan penelitian terkait di wilayah Kabupaten Sleman DIY. Penelitian yang telah ditelusuri oleh peneliti terkait ketersediaan pelayanan informasi obat sebelumnya pernah dilakukan berjudul Profil Informasi Resep Obat Glibenklamid di Apotek-Apotek Surabaya oleh Rismawati tahun 2011 dan Informasi Pasien yang Diberikan di Komunitas Apotek di Surabaya (Resep Captopril) oleh Rizkiyah tahun Jumlah sampel pada kedua penelitian ini sebanyak 90 apotek di Surabaya dilakukan berdasar rancangan protokol dan skenario penelitian, serta dilakukan oleh pasien tersimulasi yang telah dilatih sebelumnya. Dari kedua penelitian di atas, diperoleh hasil bahwa tugas apotek sebagai penyedia informasi belum maksimal. Penelitian yang dilakukan penulis ini berbeda dalam beberapa hal diantaranya waktu dan tempat penelitian, tata cara penelitian, dan populasi penelitian. 3. Manfaat penelitian a. Manfaat teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang profil pelayanan resep obat glibenklamid yang dilakukan oleh apotek-apotek di wilayah Kabupaten Sleman DIY. b. Manfaat praktis

24 5 Secara praktis hasil penelitian ini dapat digunakan untuk evaluasi terkait tingkat ketersediaan pelayanan informasi obat resep glibenklamid di apotekapotek wilayah Kabupaten Sleman DIY sehingga dapat meningkatkan kualitas pelayanan informasi obat bagi pihak apotek berdasarkan atas Kepmenkes RI No. 1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. 1. Tujuan umum B. Tujuan Penelitian Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan profil pelayanan resep obat glibenklamid meliputi ketersediaan pelayanan informasi obat resep glibenklamid yang diberikan beserta ketersediaan dan kelengkapan dari salinan resep dan etiket obat. 2. Tujuan khusus Tujuan khusus dari penelitian yang dilakukan yaitu : a. Mengetahui profil pelayanan resep obat glibenklamid di apotek-apotek wilayah Kabupaten Sleman DIY. b. Memperoleh besar tingkat ketersediaan pelayanan informasi obat resep glibenklamid menurut Kepmenkes No tahun 2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek.

25 BAB II PENELAAHAN PUSTAKA A. Standar Pelayanan Kefarmasian Pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan Sediaan Farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. Dalam hal ini yang dimaksud dengan Sediaan Farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetika (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, 2009). Dalam memberikan perlindungan terhadap pasien, pelayanan kefarmasian berfungsi sebagai : 1. Menyediakan informasi tentang obat-obatan kepada tenaga kesehatan lainnya, tujuan yang ingin dicapai mencakup mengidentifikasikan hasil pengobatan dan tujuan akhir pengobatan, agar pengobatan dapat diterima untuk terapi, agar diterapkan penggunaan secara rasional, memantau efek samping obat, dan menentukan metode penggunaan obat. 2. Mendapatkan rekam medis untuk digunakan dalam pemilihan obat yang tepat. 3. Memantau penggunaan obat apakah efektif, tidak efektif, reaksi yang berlawanan, keracunan dan jika perlu memberikan saran untuk memodifikasi pengobatan. 4. Menyediakan bimbingan dan konseling dalam rangka pendidikan kepada pasien. 5. Menyediakan dan memelihara serta memfasilitasi pengujian pengobatan bagi pasien penyakit kronis. 6

26 7 6. Berpartisipasi dalam pengelolaan obat-obatan untuk pelayanan gawat darurat. 7. Pembinaan pelayanan informasi dan pendidikan bagi masyarakat. 8. Partisipasi dalam penilaian penggunaan obat dan audit kesehatan. 9. Menyediakan pendidikan mengenai obat-obatan untuk tenaga kesehatan (Bahfen, 2006). Pelayanan kefarmasian di apotek saat ini telah mempunyai standar dengan diterbitkannya Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1027 tahun 2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Tujuan diterbitkannya Surat Keputusan ini adalah sebagai pedoman praktek apoteker dalam menjalankan profesi, melindungi masyarakat dari pelayanan yang tidak profesional, dan melindungi profesi dalam praktek kefarmasian di apotek sehingga diharapkan pelayanan kefarmasian yang diselenggarakan dapat meningkatkan kualitas hidup pasien. B. Pharmaceutical Care Pharmaceutical care atau asuhan kefarmasian adalah suatu praktek yang dilakukan dengan tanggung jawab kepada kebutuhan yang berhubungan obat individu pasien dan diselenggarakan berdasarkan komitmen tanggung jawab tersebut. Tanggung jawab tersebut dapat dikelompokkan menjadi 2 bagian, yaitu : (1) menjamin semua terapi yang diterima oleh individu pasien sesuai (appropriate), paling efektif (the most effective possible), paling aman (the safest available), dan praktis (convenient enough to be taken as indicated); (2) mengidentifikasi, memecahkan, dan mencegah permasalahan berhubungan terapi

27 8 dengan obat yang menghambat pelaksanaan tanggung yang pertama (Strand, Morley, Cipolle, 2004). Program pharmaceutical care dapat menurunkan kejadian merugikan pada penggunaan obat, terutama obat untuk pengobatan jangka panjang. Dilaporkan pharmaceutical care meningkatkan kesadaran pasien akan efek merugikan dari obat (Fischer et al, 2002). C. Pelayanan Informasi Obat Pelayanan informasi obat merupakan kegiatan penyediaan dan pemberian informasi rekomendasi obat yang independen, akurat, prehensif, dan terkini oleh apoteker kepada pasien, masyarakat, maupun pihak yang memerlukan (Siregar dan Amalia, 2004). Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas, dan mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini. Informasi obat pada pasien sekurang-kurangnya meliputi : cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi (Direktorat Jendral Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2004). Informasi yang dibutuhkan pasien pada umumnya adalah informasi praktis dan kurang ilmiah dibandingkan dengan informasi yang dibutuhkan profesional kesehatan. Pelayanan informasi obat untuk pasien rawat jalan merupakan informasi yang diberikan oleh apoteker sewaktu penyerahan obatnya (Siregar dan Amalia, 2004).

28 9 Prosedur tetap dalam pelayanan informasi obat adalah : 1. Memberikan informasi obat kepada pasien berdasarkan resep atau catatan pengobatan (medication record) baik secara lisan maupun tertulis. 2. Melakukan penelusuran literatur jika diperlukan dan memberikan informasi secara sistematis. 3. Menjawab pertanyaan pasien secara jelas dan mudah dimengerti. 4. Menyediakan informasi aktif (brosur, leaflet dll). 5. Mendokumentasikan setiap kegiatan pelayanan informasi obat (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2006 b ). Pelayanan informasi obat menurut WHO (2004) harus diberikan kepada pasien dengan bahasa yang familiar dan mudah dimengerti. Informasi yang diberikan meliputi beberapa hal, antara lain frekuensi pemberian obat, waktu penggunaan obat, lama penggunaan obat, cara penggunaan obat, cara penyimpanan, anjuran untuk tidak membagikan penggunaan obat kepada orang lain, dan peringatan untuk menjauhkan obat dari jangkauan anak-anak. D. Apotek Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian oleh Apoteker. Pekerjaan kefarmasian dalam hal ini adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu Sediaan Farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan, dan pendistribusi atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta

29 10 pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, 2009). Apotek adalah tempat tertentu, tempat dilakukannya pekerjaan kefarmasian sedangkan prasarana apotek meliputi perlengkapan, peralatan dan fasilitas apotek yang memadai untuk mendukung pelayanan kefarmasian yang berkualitas. Apotek berlokasi pada daerah yang dengan mudah dikenali oleh masyarakat. Perabotan apotek harus tertata rapi, lengkap dengan rak-rak penyimpanan obat dan barang lain, terlindungi dari debu, kelembaban dan cahaya yang berlebihan (Direktorat Jendral Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2004). Sarana dan prasarana yang harus dimiliki oleh apotek untuk meningkatkan kualitas pelayanan adalah : 1. Papan nama apotek yang dapat terlihat dengan jelas, memuat nama apotek, nama Apoteker Pengelola Apotek, nomor izin apotek dan alamat apotek. 2. Ruang tunggu yang nyaman bagi pasien yaitu bersih, ventilasi yang memadai, cahaya yang cukup, tersedia tempat duduk dan ada tempat sampah. 3. Tersedianya tempat untuk mendisplai obat bebas dan obat bebas terbatas serta informasi bagi pasien berupa brosur, leaflet, poster atau majalah kesehatan. 4. Ruang untuk memberikan konseling bagi pasien. 5. Ruang peracikan. 6. Ruang/tempat penyimpanan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya. 7. Ruang/tempat penyerahan obat. 8. Tempat pencucian alat.

30 11 9. Peralatan penunjang kebersihan apotek (Direktorat Jendral Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2004). E. Apoteker Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No tahun 2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek menyatakan bahwa Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus pendidikan profesi dan telah mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku dan berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia sebagai Apoteker. Dalam pengelolaan apotek, apoteker harus memiliki kemampuan menyediakan pelayanan yang baik, mengambil keputusan yang tepat, kemampuan berkomunikasi antar profesi, menempatkan diri sebagai pimpinan dalam situasi multidisipliner, kemampuan mengelola SDM secara efektif, selalu belajar sepanjang karier, dan membantu memberi pendidikan dan memberi peluang untuk meningkatkan pengetahuan (Direktorat Jendral Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2004). Tugas dan tanggung jawab Apoteker yang ditetapkan oleh WHO (1996) untuk pelaksanaan Good Pharmacy Practice adalah : 1. Apoteker harus peduli terhadap kesejahteraan pasien dalam segala situasi dan kondisi. 2. Kegiatan inti Apoteker adalah menyediakan obat, produk kesehatan lain, menjamin kualitas, informasi dan saran yang memadai kepada pasien, dan memonitor penggunaan obat yang digunakan pasien.

31 12 3. Bagian integral farmasi adalah memberikan kontribusi dalam peningkatan peresepan yang rasional dan ekonomis serta penggunaan obat yang tepat. Tujuan tiap pelayanan Apoteker yang dilakukan harus sesuai untuk setiap individu, didefinisikan dengan jelas dan dikomunikasikan secara efektif kepada semua pihak yang terkait (WHO, 1996) Dalam hal membantu masyarakat untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal, maka apoteker di apotek harus senantiasa hadir dan siap untuk melakukan tugas profesionalnya sesuai dengan ilmu yang dimilikinya, yaitu melakukan konseling, pemberian informasi dan esukasi kepada masyarakat tentang obat yang diterimanya. Peran Apoteker di apotek yang tidak kalah penting adalah sebagai manajer yaitu mengelola sumber daya yang ada di apotek dengan maksimal agar apotek dapat berkembang dengan baik. Kedua peran tersebut harus dimiliki oleh seorang Apoteker dan harus dilaksanakan secara beriringan (Hartini dan Sulasmono, 2007). F. Pelayanan Resep Resep adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, dokter hewan kepada apoteker untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian apoteker memberikan pelayanan resep yang merupakan suatu proses pelayanan terhadap permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, dokter hewan, kepada apoteker untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan

32 13 perundangan yang berlaku (Direktorat Jendral Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2004). Resep selalu dimulai dengan tanda R/ yang berarti recipe (ambillah) dan biasa ditulis dalam bahasa latin. Resep yang lengkap harus memuat beberapa syarat dibawah ini : 1. Nama, alamat, dan nomor izin praktek dokter, dokter gigi, atau dokter hewan 2. Tanggal penulisan resep dan nama setiap obat atau komposisi obat 3. Tanda tangan atau paraf dokter yang bersangkutan 4. Nama pasien/jenis hewan, umur, dan alamat pasien atau pemilik hewan 5. Informasi lainnya (Direktorat Jendral Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2004). Gambar 1. Contoh Salinan Resep (Syamsuni, 2006)

33 14 Salinan resep (copy resep/apograph/exemplum/afschrif) adalah salinan yang dibuat oleh apotek kepada pasien yang memuat keterangan yang terdapat pada resep asli (Wibowo, 2009). Selain memuat semua keterangan yang termuat dalam resep asli, kopi resep harus memuat : 1. Nama apotek 2. Alamat apotek 3. Nama APA 4. Nomor SIK APA 5. Tanda tangan atau paraf APA 6. Tanda det (detur) untuk obat yang sudah diserahkan atau tanda nedet (ne detur) untuk obat yang belum diserahkan 7. Nomor resep 8. Tanggal pembuatan (Syamsuni, 2006). Obat yang berdasarkan resep harus dilengkapi etiket warna putih untuk obat dalam dan etiket warna biru untuk obat luar. Obat dalam ialah obat yang digunakan melalui mulut (oral), masuk kerongkongan, kemudian ke perut, sedangkan obat luar adalah obat yang digunakan dengan cara lain, yaitu melalui mata, hidung, telinga, vagina, rektum termasuk pula obat parenteral dan obat kumur (Syamsuni, 2006). Etiket obat yang disertakan pada obat resep yang akan diserahkan kepada pasien harus berisikan beberapa hal yaitu tanggal penyerahan obat, nama pasien, aturan pakai dalam bahasa yang mudah dimengerti, nama generik obat, kekuatan obat, jumlah obat, cautionary label atau peringatan dan nama apotek (WHO, 2004).

34 15 G. Diabetes Mellitus Diabetes mellitus merupakan sekelompok gangguan metabolik yang ditandai oleh hiperglikemia, berhubungan dengan kelainan dalam metabolisme karbohidrat, lemak dan protein, dan menghasilkan komplikasi kronis termasuk mikrovaskular, makrovaskular, dan gangguan neuropatik (Dipiro, 2008). Diabetes mellitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi insulin yang terjadi dapat disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produk insulin oleh sel beta Langerhans kelenjar pankreas, atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin. Beberapa faktor yang menyebabkan munculnya DM adalah genetika atau faktor keturunan; virus dan bakteri; bahan toksik atau beracun; dan nutrisi (WHO, 1999 a ). Terdapat sebanyak 4 macam DM yang diketahui, yaitu DM tipe 1, DM tipe 2, DM gestasional, dan Pra-Diabetes. Diabetes mellitus gestasional Berikut penjelasan dari setiap jenis DM tersebut. 1. DM Tipe 1 Diabetes ini biasa juga dikenal dengan diabetes anak-anak, dicirikan dengan hilangnya sel beta penghasil insulin pada pulau-pulau Langerhans pankreas sehingga terjadi kekurangan insulin pada tubuh. Penyebab terbanyak dari kehilangan sel beta adalah kesalahan reaksi autoimunitas yang

35 16 menghancurkan sel beta pankreas. Reaksi autoimunitas tersebut dapat dipicu oleh adanya infeksi pada tubuh (WHO, 1999 b ). 2. DM Tipe 2 DM tipe 2, biasa disebut non-insulin-dependent diabetes mellitus terjadi karena kombinasi dari kecacatan dalam produksi insulin dan resistensi terhadap insulin atau berkurangnya sensitifitas terhadap insulin yang melibatkan reseptor insulin di membran sel. Sel-sel β kelenjar pankreas mensekresi insulin dalam dua fase. Fase pertama sekresi insulin terjadi segera setelah stimulus atau rangsangan glukosa yang ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa darah, sedangkan sekresi fase kedua terjadi sekitar 20 menit sesudahnya. Pada awal perkembangan DM Tipe 2, sel-sel β menunjukkan gangguan pada sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin (WHO, 1999 b ). 3. DM Gestasional Merupakan keadaan diabetes atau intoleransi glukosa yang timbul selama masa kehamilan, dan biasanya berlangsung hanya sementara atau temporer. Sekitar 4-5% wanita hamil diketahui menderita GDM, dan umumnya terdeteksi pada atau setelah trimester kedua (WHO, 1999 b ). 4. Pra-Diabetes Pra-Diabetes adalah kondisi dimana kadar gula darah seseorang berada diantara kadar normal dan diabetes, lebih tinggi dari pada normal tetapi tidak cukup tinggi untuk dikatagorikan ke dalam diabetes tipe 2 (WHO, 1999 b ).

36 17 Dalam proses pengobatan diabetes, perlu dilakukan terapi dukungan berupa terapi non farmakologis. Biasanya berupa anjuran diet dengan cara membatasi asupan karbohidrat dan total kalori, meningkatkan asupan fiber, mengurangi asupan lemak dan meningkatkanaktivitas fisik yang bertujuan mengurangi berat badan dan menghasilkan normoglikemia (Azzopardi, 2010). H. Glibenklamid Gambar 2. Anti Diabetes Oral Generik Glibenclamide Produksi Indo Farma Glibenklamid merupakan jenis obat sulfonilurea yang bekerja untuk membantu mengontrol kadar gula darah pada pasien diabetes tipe 2 dengan cara menstimulasi sel-sel beta pada pankreas yang bekerja memproduksi insulin. Biasanya digunakan pada terapi kombinasi dengan agen antidiabetes lainnya. Pasien dengan diabetes tipe 2 ini mengalami defisiensi hormon insulin yang diproduksi oleh pankreas dan merupakan hormon yang bertanggung jawab dalam mengontrol kadar gula dalam darah. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperglikemia. Glibenklamid merupakan obat pilihan pertama atau drug of choice dalam terapi diabetes tipe 2 pada pasien yang tidak overweight, atau mereka yang tidak dapat menggunakan metformin. Digunakan pada saat diet dan olah raga

37 18 gagal dalam mengontrol kadar gula darah (Lacy, Amstrong, Goldman, Lance, 2009). Dosis awal penggunaan Glibenklamid adalah 2,5-5 mg per hari, diminum bersama sarapan atau saat makan pertama pada hari itu. Pada pasien yang lebih sensitif dengan obat-obat hipoglikemik, gunakan dosis awal sebesar 1,25 mg/hari. Peningkatan dosis tidak boleh lebih dari 2,5 mg/hari dalam seminggu tergantung respon glukosa darah pasien. Untuk pemeliharaan, dosis yang digunakan sebesar 1,25-2,0 mg/hari diberikan dalam dosis tunggal ataupun dosis terbagi, dimana dosis maksimal adalah 2,0 mg/hari. Pada pasien geriatri, gunakan dosis awal sebesar 1,25-2,0 mg/hari. Tingkatkan dosis sebesar 1,25-2,5 mg/hari tiap 1-3 minggu. Glibenklamid harus diminum bersamaan dengan makan (Lacy et al, 2009). I. Landasan Teori Apotek merupakan sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh Apoteker. Praktek atau pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional (Peraturan Menteri Kesehatan RI, 2011). Pelayanan resep obat adalah pekerjaan kefarmasian yang sepenuhnya adalah tanggung jawab apoteker kepada pasien. Obat resep glibenklamid

38 19 merupakan terapi obat yang ditujukan kepada pasien yang memiliki riwayat diabetes mellitus. Untuk memenuhi salah satu kebutuhan konsumen, apoteker haruslah memberikan pelayanan kefarmasian yang berupa informasi obat terutama kepada pasien penyakit kronik dan degeneratif. Salah satu ketetapan yang berperan penting dalam pelayanan kefarmasian di apotek adalah Keputusan Menteri Kesehatan No.1027 tahun 2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Selain untuk menjamin tersedianya pelayanan kesehatan yang bermutu, keputusan ini dibuat agar para apoteker dapat melaksanakan pelayanan kefarmasian dengan baik. Dengan itu ditetapkan bahwa semua tenaga kefarmasian dalam melaksanakan tugas profesinya di apotek agar mengacu pada standar sebagaimana ditetapkan dalam keputusan ini. Glibenklamid merupakan sediaan obat anti diabetes oral golongan keras yang dapat diberikan hanya dengan resep dokter. Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu dari penyakit degeneratif, dimana dalam penatalaksanaan terapinya dilakukan seumur hidup yang disertai anjuran perubahan gaya hidup. Penyakit degeneratif merupakan suatu penyakit yang muncul akibat proses kemunduran fungsi sel tubuh, yaitu dari keadaan normal menjadi lebih buruk. Pemberian informasi obat yang tepat dan memadai yang disampaikan oleh apoteker, turut berperan dalam mencapai ketaatan dan kepatuhan pasien terhadap terapi yang diterima. Menurut Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, informasi obat yang diberikan adalah meliputi Cara Pemakaian Obat, Cara Penyimpanan Obat, Jangka Waktu Pengobatan, Aktivitas serta Makanan dan minuman yang harus dihindari.

39 20 J. Hipotesis Pelayanan informasi obat resep glibenklamid berikut ketersediaan informasi yang diberikan oleh Apoteker kepada pasien di apotek-apotek wilayah Kabupaten Sleman DIY telah memenuhi standar yang ditetapkan, yaitu Kepmenkes 1027 tahun 2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek.

40 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian non-eksperimental atau observasional dengan rancangan penelitian yang bersifat deskriptif. Jenis penelitian non eksperimental merupakan penelitian yang observasinya dilakukan terhadap subyek menurut keadaan apa adanya (in nature), tanpa ada manipulasi atau intervensi dari peneliti (Praktiknya, 2001). Rancangan deskriptif digunakan untuk melukiskan secara sistematis fakta atau karakteristik populasi atau bidang tertentu secara aktual dan cermat. Tujuannya adalah untuk mengumpulkan informasi aktual secara rinci yang melukiskan gejala yang ada, mengidentifikasi masalah atau memeriksa kondisi dan praktek-praktek yang berlaku, membuat perbandingan atau evaluasi, dan menentukan apa yang dilakukan orang lain dalam menghadapi masalah yang sama dan belajar dari pengalaman mereka untuk menetapkan rencana dan keputusan pada waktu yang akan datang (Hasan, 2002). Dalam penelitian non-eksperimental deskriptif, penelitian diarahkan untuk mendeskripsikan atau menguraikan suatu keadaan di dalam suatu komunitas atau masyarakat. Oleh karena itu penelitian deskriptif ini sering disebut penelitian penjelajahan (exploratory study). Dalam penelitian deskriptif pada umumnya menjawab pertanyaan bagaimana (how) (Notoatmodjo, 2005). Berdasarkan setting tempat, penelitian ini dilakukan di komunitas yaitu apotek-apotek di wilayah Kabupaten Sleman DIY. Berdasarkan setting waktu, 21

41 22 penelitian ini termasuk dalam penelitian prospektif. Berdasarkan cara dan waktu pengambilan sampel, penelitian ini termasuk dalam penelitian cross-sectional yaitu tiap subyek diobservasi hanya satu kali saja dan tidak berarti harus dalam waktu yang sama (Notoatmodjo, 2005). B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 1. Variabel Penelitian a. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah apotek-apotek di wilayah Kabupaten Sleman DIY. b. Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah jenis-jenis informasi yang harus disampaikan dalam pelayanan informasi obat menurut Kepmenkes RI No tahun 2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. c. Variabel pengacau dalam penelitian ini adalah tingkat keramaian apotek pada saat kunjungan yang mempengaruhi kesibukan Apoteker dalam memberikan pelayanan, dimana hal ini berpengaruh terhadap ketersediaan waktu yang dapat diberikan khususnya dalam memberikan pelayanan informasi obat secara lengkap. 2. Definisi Operasional a. Pelayanan informasi obat resep adalah pelayanan informasi yang diberikan oleh Apoteker pada saat penyerahan obat dengan resep kepada pasien terkait obat yang diserahkan.

42 23 b. Ketersediaan informasi obat di apotek adalah kelengkapan informasi obat yang diberikan oleh Apoteker berdasarkan Kepmenkes 1027 tahun 2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. c. Obat resep glibenklamid adalah permintaan obat yang tertulis dari dokter, kepada apoteker untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien dengan indikasi sebagai antidiabetes. d. Anti Diabetes merupakan obat-obat yang digunakan dalam terapi pengatasan penyakit diabetes. e. Salinan resep adalah suatu salinan yang memuat semua informasi yang tercantum dalam resep asli yang diberikan oleh dokter. f. Etiket obat merupakan informasi tertulis yang dicantumkan pada kemasan obat, baik yang berupa kertas maupun format yang tercetak langsung pada kemasan yang biasanya berbentuk plastik. g. Isi informasi yang tertulis pada etiket obat yang diserahkan kepada pasien berisi aturan pemakaian obat beserta informasi lainnya yang mendukung. h. Jenis-jenis informasi yang digunakan untuk mengisi daftar cek (check list) adalah informasi obat yang harus diberikan oleh Apoteker menurut Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kepmenkes RI Nomor 1027 tahun 2004 berupa cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi.

43 24 i. Apotek-apotek di Wilayah Kabupaten Sleman DIY merupakan populasi penelitian yang digunakan untuk menentukan jumlah sampel dalam penelitian. j. Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, 1996). k. Apoteker adalah Apoteker Pengurus Apotek (APA) atau Apoteker Pendamping yang sedang bertugas di apotek pada saat observasi dilakukan. l. Staf apotek adalah semua tenaga kerja yang bekerja di apotek baik Apoteker, tenaga teknis kefarmasian maupun petugas lain. m. Petugas lain (pekarya) adalah staf apotek yang bukan merupakan bagian dari apoteker maupun tenaga teknis kefarmasian. n. Tenaga teknis kefarmasian adalah tenaga yang membantu Apoteker dalam menjalani pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas sarjana farmasi, ahli madya farmasi, analis farmasi, dan tenaga menengah farmasi / asisten apoteker (Peraturan Pemerintah RI, 2009).

44 25 C. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di 124 apotek sampel yang berada di wilayah Kabupaten Sleman DIY. Penelitian dilakukan dari tanggal 27 April 2011 sampai 20 Juni D. Subyek Penelitian Subyek penelitian adalah staf apotek yang melayani resep obat glibenklamid pada saat aktor/peneliti mengunjungi apotek, yaitu apoteker, tenaga teknis kefarmasian, atau petugas lain (pekarya) yang bekerja di apotek yang dikunjungi. E. Sampel dan Populasi Penetapan jumlah sampel yang ingin diteliti, untuk populasi kecil atau lebih kecil dari menurut Notoatmodjo (2005) dengan rumus 1. n = Keterangan : N = besar Populasi; n= besar Sampel; d = nilai kritis (batas ketelitian) yang diinginkan (0,05) (Notoatmodjo, 2005). Dalam penelitian ini sampel yang akan terlibat sebesar : n = = 120,3 = 120 apotek N = besar populasi atau jumlah apotek yang ada di wilayah Kabupaten Sleman DIY pada tahun 2010 yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman DIY pada 25 Maret 2011 n = besar sampel penelitian atau apotek sampel d = ketepatan yang diinginkan (0,05)

45 26 Jumlah sampel ditambahkan 3% untuk mewakili apotek-apotek baru yang sekiranya muncul pada saat penelitian ini sedang dilakukan, menjadi = 3% x 121 = 3,63 sampel = 4 sampel. Jumlah apotek sampel keseluruhan menjadi 124 apotek. F. Bahan atau Materi Penelitian Bahan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah data-data berupa macam-macam pelayanan informasi yang diberikan apotek yang telah diisikan ke dalam daftar cek, salinan resep hasil penebusan resep obat glibenklamid, etiket obat, dan status pihak apotek yang melayani resep. G. Alat atau Instrumen Penelitian Alat atau instrumen yang digunakan pada penelitian ini berupa daftar cek (check list), resep obat glibenklamid, skenario, dan protokol. Daftar cek adalah berisikan kriteria ketersediaan informasi yang akan diamati. Kriteria tersebut merupakan jenis-jenis pelayanan informasi yang harus diberikan oleh Apoteker berdasarkan Kepmenkes RI No tahun 2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian. Resep obat glibenklamid merupakan resep resmi dari dokter yang telah diakui validitas dan reabilitasnya karena diambil berdasarkan kasus yang sering terjadi di masyarakat dan sering ditangani oleh dokter yang bersangkutan. Protokol yang dirancang untuk penelitian ini adalah :

46 27 1. Peneliti, yang juga bertindak langsung sebagai aktor harus berlatih skenario yang telah disusun. 2. Membawa logistik penelitian (resep, dana, dan daftar cek) ketika berkunjung ke apotek. 3. Tanggal resep paling lama yang diisikan pada resep adalah paling lambat 5 hari sebelum proses observasi. 4. Waktu pengunjungan apotek adalah antara jam , sesuai dengan peraturan yang berlaku mengenai jam operasi apotek. 5. Apabila staf apotek menanyakan alamat dan nomor telepon yang bisa dihubungi, maka aktor/peneliti memberikan salah satu alamat simulasi yang telah ditentukan sebelumnya, yaitu alamat yang sekiranya mudah dijangkau dari apotek yang dikunjungi atau setidaknya berada dalam kecamatan yang sama dengan apotek tersebut. Nomor telepon yang diberikan adalah nomor telepon simulasi yang juga telah dipersiapkan sebelumnya. 6. Apabila staf apotek menanyakan pertanyaan, aktor/peneliti menjawab dengan jawaban yang relevan dan umum. Skenario yang digunakan disusun sedemikian rupa sehingga mempermudah peneliti memperoleh data yang akurat. Skema skenario yang digunakan dalam penelitian ini yaitu : 1. Peneliti yang bertindak sebagai aktor dalam hal ini berperan sebagai keluarga pasien untuk menebuskan resep obat glibenklamid di apotek.

47 28 2. Peneliti/aktor menyerahkan resep obat sekaligus disertai permintaan pembuatan salinan resep pada pihak apotek yang melayani. Apabila pihak apotek menanyakan alasan permintaan pembuatan salinan resep, maka aktor/peneliti akan menjawab bahwa permintaan tersebut merupakan pesan dari pasien. 3. Pada saat penyerahan obat resep oleh pihak apotek, aktor/peneliti akan menyimak dan merekam semua informasi yang diberikan terkait penggunaan obat resep glibenklamid. 4. Aktor/peneliti akan mengajukan pertanyaan tertentu yang gunanya untuk membantu mengetahui apakah yang memberikan pelayanan resep obat glibenklamid adalah seorang apoteker, tenaga kesehatan lain, atau petugas lain. 5. Setelah meninggalkan apotek, aktor/peneliti akan mengisi daftar cek kriteria ketersediaan informasi obat yang berdasar atas RI No tahun 2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian. H. Tata Cara Penelitian sebagai berikut : Cara kerja yang akan dilakukan dalam penelitian ini secara umum adalah

48 29 1. Tahap pra penelitian Tahap ini merupakan tahap awal jalannya penelitian. Tahap ini meliputi proses perijinan, penentuan dan persiapan sampel, pembuatan daftar cek penelitian, observasi posisi apotek sampel, dan latihan skenario penelitian. a. Proses perizinan Perizinan dilakukan dengan mitra Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah yang kemudian diteruskan kepada Direktur Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman DIY guna memperoleh data jumlah apotek yang terdapat di Kabupaten Sleman. Proses perizinan berlangsung selama 2 minggu pada bulan Maret Selain itu juga dilakukan perizinan pemohonan kerja sama dengan seorang dokter umum untuk membuatkan resep Obat Glibenklamid sebagai salah satu instrumen penelitian. Untuk perizinan ini, dilakukan secara lisan dengan langsung bertemu dokter yang bersangkutan. b. Penentuan dan persiapan sampel Penentuan sampel dilakukan secara pengambilan acak sederhana secara undian (simple random sampling lottery technique). Hakikat dari penggunaan teknik ini adalah bahwa setiap anggota dari populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk diseleksi sebagai sampel dengan cara diundi. Perlu diingat bahwa teknik ini hanya boleh digunakan apabila setiap unit atau anggota populasi bersifat homogen (Notoatmodjo, 2005). Proses dilakukan hingga memperoleh sampel apotek sebanyak yang dibutuhkan berdasarkan hasil perhitungan sampel dari populasi apotek di Kabupaten Sleman.

49 30 Setelah itu dilakukan pengelompokkan apotek sampel berdasarkan kesamaan kecamatan. Kemudian dilanjutkan dengan mengurutkan apotek sampel dari alamat yang paling jauh untuk dijangkau hingga yang terdekat. Proses ini dilakukan dengan bantuan peta Kabupaten Sleman. Pengelompokkan ini dilakukan dengan tujuan mempermudah dalam proses pengumpulan data. c. Pembuatan daftar cek penelitian Daftar cek atau check list dibuat guna membantu dalam merekam data hasil observasi yang diperoleh. Macam-macam daftar yang dicantumkan adalah kriteria-kriteria informasi yang harus diberikan oleh staf apotek dalam pelayanan obat menurut Kepmenkes RI No. 1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Kriteria-kriteria tersebut antara lain cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, dan aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama proses terapi. Selain itu ditambahkan juga daftar penyerah dan pemberi informasi obat guna mengetahui apakah staf farmasi yang melayani saat itu adalah apoteker, tenaga kesehatan lain, atau petugas lainnya. d. Observasi posisi apotek sampel Tahap ini dilakukan untuk mengetahui langsung posisi dari apotek sampel yang akan didatangi pada saat pengumpulan data. Mengingat bahwa Kabupaten Sleman DIY memiliki wilayah yang cukup luas, diharapkan tahap ini dapat membantu kelancaran pengumpulan data nantinya. Terutama untuk mengetahui waktu operasi beberapa apotek yang berbeda dari apotek pada umumnya. Sehingga peneliti dapat menentukan waktu kapan waktu yang tepat

50 31 untuk berkunjung. Tahap ini menghabiskan waktu sekitar dua minggu pada bulan April. e. Latihan skenario penelitian Peneliti yang juga sebagai aktor nantinya mempersiapkan diri dengan berlatih skenario penelitian yang telah disusun. Sehingga pada saat pengumpulan data, aktor/peneliti sudah sangat siap dengan apa yang akan diperankan. Untuk menguji hasil latihan, dilakukan uji coba langsung pada apotek yang bukan termasuk dalam apotek sampel. 2. Tahap pengumpulan data Pengumpulan data dilakukan dengan cara pengamatan langsung terhadap staf apotek yang memberikan pelayanan resep Obat Glibenklamid. Jenis pengamatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Observasi Partisipatif Partiil (pengamatan terlibat sebagian), dimana pengamat (observer) benar-benar mengambil bagian dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh sasaran pengamatan (observee/target observation) dan hanya mengambil bagian pada kegiatan tertentu saja. Dengan kata lain, pengamat ikut aktif berpartisipasi pada aktivitas tertentu dalam kontak sosial yang tengah diselidiki. Yang perlu diperhatikan di dalam observasi partisipasi ini adalah jangan sampai sasaran pengamatan tahu bahwa pengamat yang berada di tengah-tengah mereka memperhatikan gerak-gerik mereka (Notoatmodjo, 2005). Peneliti yang berperan sebagai aktor akan berlaku sesuai skenario yang ada. Penyerahan resep obat kepada staf apotek disertai dengan permintaan pembuatan salinan resep. Setelah itu aktor/peneliti akan menyampaikan sebuah

51 32 pertanyaan yang relevan guna mengetahui status staf apotek yang melakukan pelayanan resep obat tersebut. Hal yang paling penting untuk dilakukan adalah menyimak dan merekam dengan seksama semua informasi yang disampaikan staf apotek pada saat pelayanan resep obat. Kemudian langsung didatakan ke dalam daftar cek setelah aktor/peneliti meninggalkan apotek. 3. Tahap pengolahan data Data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah hasil proses pelayanan resep obat yaitu daftar cek, salinan resep, dan etiket obat. Kemudian data yang diperoleh selanjutnya diolah dan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik yang menggambarkan tingkat ketersediaan informasi obat Resep Glibenklamid menurut Kepmenkes RI No. 1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek dan kelengkapan salinan resep dan etiket berdasar syarat yang seharusnya. Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi ketersediaan pelayanan informasi obat Resep Glibenklamid berdasarkan Kepmenkes RI No. 1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Sehingga hasil dari evaluasi ini dapat digunakan untuk mencari cara meningkatkan peran dari pedoman pemerintah ini, diantaranya dalam mengawasi apotek untuk melaksanakan pelayanan resep secara profesional.

52 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mengevaluasi gambaran profil pelayanan resep obat glibenklamid meliputi ketersediaan pelayanan informasi yang diberikan beserta ketersediaan dan kelengkapan dari salinan resep dan etiket obat. Hasil dari penelitian ini dibagi menjadi dua bagian. Pertama adalah profil pelayanan resep obat glibenklamid di apotek-apotek wilayah Kabupaten Sleman DIY. Sedangkan bagian kedua menjelaskan tentang ketersediaan pelayanan obat resep glibenklamid. Pada bab ini akan dipaparkan hasil dari penelitian berupa tabel dan diagram jelas beserta pembahasan yang mendukung hasil. A. Profil Pelayanan Resep Obat Glibenklamid di Apotek-Apotek Wilayah Kabupaten Sleman DIY Kabupaten Sleman tersusun atas 17 Kecamatan, yaitu Moyudan, Gamping, Godean, Minggir, Seyegan, Mlati, Tempel, Sleman, Turi, Pakem, Ngaglik, Depok, Ngemplak, Cangkringan, Kalasan, Berbah, dan Prambanan. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman tahun 2011 yang diambil pada tanggal 25 Maret 2011, jumlah apotek yang ada di Kabupaten Sleman adalah sebanyak 172 apotek. Jumlah ini sekaligus menjadi populasi penelitian yang dari dalamnya diambil sebanyak 124 apotek sampel sebagai subyek penelitian. Data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman DIY menunjukkan bahwa terdapat dua kecamatan yang tidak memiliki apotek, 33

53 34 yaitu Kecamatan Minggir dan Kecamatan Cangkringan. Oleh karena itu sampel yang diperoleh merupakan sampel yang mewakili populasi Kabupaten Sleman DIY. Tabel I. Daftar Apotek Sampel yang Diperoleh dari Populasi Apotek di Kabupaten Sleman DIY KECAMATAN APOTEK Berbah 1. A1 2. A2 Depok 1. B1 9. B B B B B55 2. B3 10. B B B B B57 3. B5 11. B B B B B58 4. B7 12. B B B B B59 5. B9 13. B B B B B60 6. B B B B B B61 7. B B B B B53 8. B B B B B54 Gamping 1. C3 3. C5 5. C8 7. C12 9. C16 2. C4 4. C7 6. C9 8. C15 Godean 1. D1 3. D3 5. D6 7. D9 9. D D13 2. D2 4. D4 6. D7 8. D D12 Kalasan 1. E1 3. E5 5. E7 7. E10 2. E2 4. E6 6. E9 Mlati 1. F2 3. F4 5. F8 7. F10 9. F F14 2. F3 4. F7 6. F9 8. F F13 Ngaglik 1. G2 3. G5 5. G8 7. G G G16 2. G3 4. G7 6. G9 8. G12 9. G G17 Ngemplak 1. H1 2. H3 3. H4 4. H6 5. H7 6. H8 Pakem 1. I1 2. I2 3. I3 Prambanan 1. J1 2. J2 3. J3 4. J4 Sleman 1. K3 3. K5 5. K8 7. K10 9. K K14 2. K4 4. K7 6. K9 8. K K13 Tempel 1. L1 2. L3 Resep yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari dua dokter, yaitu dari dr. Rima Fitriyani dan dr. Agus Prahianto. Resep yang dibuatkan oleh dr. Rima Fitriyani terdiri dari tiga jenis yang berbeda dalam hal jumlah obat yang

54 35 harus ditebus, yaitu 10 tablet, 15 tablet dan 30 tablet. Perbedaan ini tidak mempengaruhi nilai valid dari hasil yang diperoleh. Data yang ingin diperoleh adalah terkait jenis-jenis pelayanan informasi yang diberikan sesuai dengan Kepmenkes 1027 tahun Proses pengumpulan data memakan waktu sekitar tiga bulan, yaitu dari bulan April-Juni Dari data yang diperoleh, tidak semua apotek sampel bersedia memberikan pelayanan resep pada saat dikunjungi. Dari sebanyak 124 apotek sampel yang ada, diketahui bahwa tiga diantaranya menolak melayani resep (Gambar 3). Ketiga apotek tersebut menolak dengan cara menyarankan untuk menebus obat di apotek lain sambil memberikan alamat apotek lain yang terdekat. 2% Ketersediaan Apotek Melayani Resep Obat Glibenklamid n = 124 apotek Bersedia = % Tidak bersedia = 3 Gambar 3. Perbandingan Jumlah Apotek yang Melayani Resep dan Tidak Melayani Resep Obat Glibenklamid di Apotek-Apotek Wilayah Kabupaten Sleman DIY Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 922/Menkes/PER/X/1993 tentang Pelayanan Apotek menyatakan bahwa Apoteker wajib melayani resep dokter, dokter gigi, dan dokter hewan. Pelayanan resep ini sepenuhnya atas dasar tanggung jawab Apoteker Pengelola Apotek, sesuai dengan tanggung jawab dan keahlian profesinya yang dilandasi pada kepentingan masyarakat. Menurut World

55 PERSENTASE PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 36 Health Organization tahun 2004 tentang Management of Drugs at Health Centre Level mengatakan bahwa pelayanan obat yang benar adalah memperhatikan beberapa hal, yaitu the right patient is served (tidak keliru pasien), kesesuaian sediaan yang diserahkan dengan resep, kesesuaian dosis dan jumlah obat dengan resep, penggunaan pengemas yang mampu menjaga potensi obat, menambahkan etiket obat pada kemasan, dan memberikan informasi obat yang jelas kepada pasien. n = 121 apotek Mengembalikan Resep = 30 45% 40% 35% 30% 25% 20% 15% 10% 5% 0% 43,8% 24,8% 17,4% 6,6% 3,3% 0,8% PROFIL PELAYANAN RESEP Menolak Memberikan Salinan Resep = 4 Jumlah Obat Tidak Sesuai Resep = 1 Tidak Mencantumkan Etiket pada Kemasan Obat = 21 Tidak Memberikan Informasi Obat = 8 Yang Melayani Bukan Apoteker = 53 Gambar 4. Profil Pelayanan Resep Obat Glibenklamid di Apotek-Apotek Wilayah Kabupaten Sleman DIY Dari 124 apotek sampel yang ada, terdapat sebesar 121 apotek yang kemudian dilihat profil pelayanan resepnya. Obat keras atau obat daftar G menurut bahasa Belanda G singkatan dari Gevaarlijk artinya berbahaya maksudnya obat dalam golongan ini berbahaya jika pemakaiannya tidak berdasarkan resep dokter (Direktorat Bina Farmasi Komunitas Klinik Ditjen Bina

56 37 Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2006a). Definisi obat keras menurut Permenkes RI Nomor 949/Menkes/ Per/IV/2000 adalah obat yang hanya dapat dibeli di apotek dengan resep dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket adalah huruf K dalam lingkaran merah dengan garis tepi berwarna hitam. Obat Glibenklamid adalah termasuk dalam obat keras, yang berarti Glibenklamid pada dasarnya harus dibeli menggunakan resep dokter. Namun pada data hasil penelitian tampak bahwa 30 apotek mengembalikan resep obat pada saat pelayanan resep (Gambar 4). Resep asli yang diserahkan secara langsung dikembalikan pihak apotek kepada peneliti. Padahal dalam prosedur yang seharusnya dikatakan bahwa resep asli akan disimpan dan dikelola oleh pihak apotek. Salinan resep atau Apograph/Exemplum/Afschrift adalah salinan tertulis dari suatu resep yang dibuat oleh apotek. Fungsi dari salinan resep adalah sebagai pengganti resep apabila obat baru diambil sebagian atau untuk mengulang. Pasien berhak meminta untuk dibuatkan salinan resep atas setiap obat yang diterima dari dokter. Pelayanan pembuatan salinan resep ini merupakan bagian dari prinsipprinsip patient safety atau keselamatan pasien. Berdasarkan hasil penelitian sebanyak 4 apotek dari 121 apotek sampel menolak membuatkan salinan resep (Gambar 4). Beberapa diantaranya mengatakan alasannya bahwa obat glibenklamid dapat dibeli tanpa resep, cukup dengan menunjukkan contoh kemasan obat kepada staf apotek. Bahkan ada diantaranya yang memberikan alasan bahwa obat glibenklamid merupakan obat golongan bebas yang tidak memerlukan resep. Berikut diperoleh bahwa dari 91 apotek yang tidak

57 38 mengembalikan resep, sebanyak 87 apotek bersedia memberikan salinan resep dan sebanyak 4 apotek tidak bersedia memberikan salinan resep (Gambar 5). Ketersediaan Salinan Resep n = 91 apotek 4,0% Memberikan salinan resep = 87 apotek 96,0% Tidak memberikan salinan resep = 4 apotek Gambar 5. Perbandingan Jumlah Apotek yang Bersedia dan Tidak Bersedia untuk Memberikan Salinan Resep di Apotek-Apotek Wilayah Sleman DIY Salinan resep harus ditandatangani oleh apoteker (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 1993). Selain itu, perlu diingat bahwa salinan resep harus memuat bagian-bagian antara lain nama, alamat apotek, nama APA, nomor surat izin APA, tanda det/nedet (obat telah ditebus), nomor resep, dan tanggal peresepan. Perlu juga dipastikan bahwa keterangan pada salinan resep harus sama dengan yang ada pada resep.

58 PERSENTASE PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 39 n = 87 apotek 100% 90% 80% 100% 70% 95,4% 60% 100% 50% 100% 93,1% 93,1% 40% 30% 64,4% 95,4% 97,7% 20% 10% 0% KRITERIA KELENGKAPAN SALINAN RESEP Nama apotek = 87 Alamat apotek = 87 Nomor resep = 56 Tanggal pembuatan resep = 83 Nama APA = 83 No. Izin APA = 81 Paraf apoteker = 85 Tanda det/detum = 81 Keterangan sesuai resep = 87 Gambar 6. Kriteria Kelengkapan Format dan Isi Salinan Resep yang Diberikan pada Pelayanan Resep Obat Glibenklamid di Apotek-Apotek Wilayah Kabupaten Sleman DIY Dari grafik di atas (Gambar 6), dapat disimpulkan bahwa rata-rata tingkat kelengkapan dari 87 salinan resep yang ada adalah 93,2%. Hasil ini menunjukkan bahwa salinan resep termasuk cukup lengkap isinya. Bagian yang paling sedikit dicantumkan dalam salinan resep adalah nomor resep, yaitu sebanyak 56 apotek dari 87 apotek sampel yang memberikan salinan resep. Berdasarkan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek (Direktorat Jendral Kefarmasian dan Alat Kesehatan RI, 2004), dikatakan bahwa sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan pemeriksaan akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan resep. Pada hasil (Gambar 4) ditemukan ada 1 apotek dari 121 apotek sampel menyerahkan obat tidak sesuai dengan yang ada pada resep. Pada resep tertulis jumlah obat yang harus ditebus adalah sebanyak 10

59 40 tablet, namun apotek yang bersangkutan menyerahkan obat sejumlah 50 tablet. Hal ini jelas sangat tidak sesuai dengan resep yang diberikan. Apoteker harus melakukan skrining resep sebagai awal dari alur pelayanan resep. Skrining resep sendiri meliputi persyaratan administratif, kesesuaian farmasetik, dan pertimbangan klinis (Direktorat Jendral Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2004). Biasanya apoteker akan menanyakan alamat pasien dan nomor telepon yang bisa dihubungi. Data ini digunakan untuk kelengkapan administrasi yang dibutuhkan oleh apotek. Diketahui dari data bahwa apotek yang menanyakan alamat hanya 45% atau sebanyak 41 apotek dari 91 apotek sampel (Gambar 7). Perhitungan menggunakan nilai 91 berasal dari jumlah apotek yang tidak mengembalikan resep (meliputi apotek yang membuatkan salinan resep dan tidak membuatkan). Jumlah Permintaan Alamat dan No. Telpon Pasien n = 91 apotek 45,1% Menanyakan Alamat Pasien = 41 apotek 54,9% Tidak Menanyakan Alamat Pasien = 50 apotek Gambar 7. Jumlah Apotek yang Menanyakan Alamat dan Nomor Telepon Pasien yang dapat Dihubungi pada saat Pelayanan Resep Obat Glibenklamid di Wilayah Kabupaten Sleman DIY

60 41 Proses terakhir dalam mempersiapkan obat resep sebelum diserahkan kepada pasien adalah pemberian etiket obat. Semua obat harus dikemas dalam wadah yang dapat menjaga potensi dan kualitasnya selama masa terapi. Pemberian etiket berguna untuk menjamin penggunaan obat yang benar, maka itu diharuskan untuk menulis etiket obat secara jelas dan dapat dibaca (Kepmenkes, 2004). Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 21 apotek dari 121 sampel apotek tidak mecantumkan etiket pada obat yang diserahkan pada pasien (Gambar 8). Obat hanya diserahkan begitu saja kepada pasien tanpa disertakan etiket. Bahkan ada yang menyerahkan tanpa kemasan yang sesuai. Sehingga pelayanan yang terjadi nampak sama seperti jika membeli obat golongan bebas. Ketersediaan Etiket Obat n = 121 apotek 17,4% Tersedia = 100 apotek 82,6% Tidak Tersedia = 21 apotek Gambar 8. Ketersediaan Etiket Obat pada Kemasan Obat yang Diserahkan Etiket obat yang disertakan pada obat resep yang akan diserahkan kepada pasien harus berisikan beberapa hal yaitu tanggal penyerahan obat, nama pasien, aturan pakai dalam bahasa yang mudah dimengerti, nama generik obat, kekuatan obat, jumlah obat, cautionary label atau peringatan dan nama apotek (WHO, 2004). Dari hasil diketahui bahwa keterangan yang biasanya selalu tercantum

61 PERSENTASE PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 42 pada etiket obat adalah tanggal pembuatan etiket, nama pasien, cara penggunaan, dan nama apotek. Untuk keterangan nama generik obat, kekuatan obat, jumlah obat, dan peringatan yang mendukung masih jarang dicantumkan dalam etiket. Terutama untuk yang paling rendah nilai persentase nya, yaitu keterangan mengenai kekuatan obat resep yang akan diserahkan. Dari hasil yang diperoleh, diketahui bahwa kekuatan obat sangat jarang dicantumkan dalam etiket. Disamping itu nama generik obat, jumlah obat, dan peringatan pun masih sedikit yang mencantumkan. n = 100 apotek 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% 89,0% 95,0% 99,0% 20,0% 2,0% 15,0% 19,0% 95,0% KRITERIA KELENGKAPAN ETIKET OBAT Tanggal Etiket = 89 Nama Pasien = 95 Aturan Pakai = 99 Nama Generik Obat = 20 Kekuatan Obat = 2 Jumlah Obat = 15 Peringatan = 19 Nama Apotek = 95 Gambar 9. Kriteria Kelengkapan Format dan Isi dari Etiket Obat Resep Glibenklamid Menurut WHO tahun 2004 Terkait isi dari etiket, yang dimaksud dengan peringatan dalam hal ini adalah tentang informasi penegasan yang ditambahkan guna menunjang keberhasilan terapi. Beberapa peringatan yang tercantum dalam etiket-etiket obat Resep Glibenklamid ini adalah : 1. Bacalah aturan pakai

62 43 2. Bacalah dengan baik aturan minumnya 3. Hubungi Apoteker kami bila Anda membutuhkan informasi 4. Hubungi Apoteker untuk mendapat informasi yang aman dan terjamin Pada saat pelayanan resep obat, apoteker wajib memberikan informasi yang (a) berkaitan dengan penggunaan obat yang diserahkan kepada pasien dan (b) penggunaan obat secara tepat, aman, rasional atas permintaan masyarakat (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 1993). Namun ditemukan dalam hasil bahwa terdapat 6,6% dari 121 apotek sampel tidak memberikan informasi obat pada saat menyerahkan obat resep glibenklamid (Gambar 4). Pihak apotek menyerahkan obat tanpa menjelaskan apapun, kemudian akan melayani pengunjung lainnya atau hanya sekedar mengucapkan terima kasih. Informasi obat yang dimaksud adalah informasi yang disampaikan oleh pihak apotek pada saat penyerahan obat dan informasi tersebut berhubungan dengan obat yang diserahkan. Perbandingan Pelayanan yang diberikan oleh AA dan Petugas Lain n = 53 apotek 39,6% 60,4% Asisten Apoteker (AA) = 32 apotek Petugas Lain = 21 apotek Gambar 10. Perbandingan Pelayanan Resep oleh Asisten Apoteker dan Petugas Lain pada Saat Kunjungan ke Apotek-Apotek Wilayah Kabupaten Sleman DIY

63 44 Sebesar 43,80% atau sebanyak 53 apotek di wilayah Kabupaten Sleman DIY yang dalam pelayanan resep obat dilakukan bukan oleh apoteker. Hasil ini bertentangan dengan Peraturan Menteri Kesehatan No. 922/Menkes/PER/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotik yang mengatakan bahwa pelayanan resep sepenuhnya atas tanggung jawab Apoteker Pengelola Apotek (APA). Dari 53 apotek yang dalam pelayanannya bukan oleh apoteker, diketahui sebanyak 32 apotek dilayani oleh Asisten Apoteker (AA), sisanya 21 apotek oleh petugas lain diluar apoteker maupun AA (Gambar 10). B. Ketersediaan Pelayanan Informasi Obat Resep Glibenklamid Ketersediaan informasi obat yang ingin diketahui dalam penelitian ini adalah mengacu pada Keputusan Dinas Kesehatan Republik Indonesia No tahun 2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, yaitu pada Bab II No meliputi cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, dan aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi. Idealnya, keempat macam informasi tersebut harus disampaikan kepada pasien pada saat penyerahan obat. Tujuan pemberian informasi obat pada dasarnya adalah untuk meningkatkan efektifitas terapi dan melindungi pasien dari kesalahgunaan obat yang diterima. Tidak semua apotek sampel memberikan pelayanan informasi pada saat penyerahan obat. Seperti yang telah dikemukakan pada profil pelayanan resep, sebanyak 8 apotek dari 121 apotek sampel tidak memberikan pelayanan informasi obat resep glibenklamid (Gambar 11). Yang menjadi data terkait pelayanan

64 45 informasi obat resep glibenklamid dalam penelitian ini adalah informasi yang diberikan secara lisan oleh pihak apotek tanpa diminta terlebih dahulu atau atas kesadaran dari pihak apotek tersebut. Dari data yang ada ditunjukkan bahwa hanya sebanyak 93% atau 113 apotek dari 121 apotek sampel memberikan pelayanan informasi obat resep glibenklamid. Ketersediaan Pelayanan Informasi Obat n = 121 apotek 6,6% Memberikan = 113 apotek 93,4% Tidak memberikan = 8 apotek Gambar 11. Ketersedian Pelayanan Informasi Obat Resep Glibenklamid di Apotek-Apotek Wilayah Kabupaten Sleman DIY Terkait kelengkapan ketersediaan informasi obat resep glibenklamid, diperoleh bahwa kombinasi informasi yang diberikan adalah sebanyak 5 macam, yaitu cara pemakaian saja; cara pemakaian dan jangka waktu pengobatan; cara pemakaian dan aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari; jangka waktu pengobatan saja; serta cara pemakaian, jangka waktu pengobatan, dan aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa informasi yang diberikan oleh apotek-apotek wilayah Kabupaten Sleman terkait penggunaan obat resep glibenklamid belum bisa dikatakan lengkap (Gambar 12). Diketahui bahwa sebagian besar apotek memberikan informasi hanya terkait cara pemakaian obat. Selain itu, tidak ada satupun dari apotek-apotek sampel di Kabupaten Sleman DIY

65 46 yang memberikan pelayanan informasi obat berupa cara penyimpanan obat. Cara penyimpanan glibenklamid adalah disimpan pada suhu kamar. Profil Ketersediaan Pelayanan Informasi n = 113 A (106 apotek) A+C (4 apotek) A+D (1 apotek) C (1 apotek) A+C+D (1 apotek) Gambar 12. Profil Ketersediaan Pelayanan Informasi Obat Resep Glibenklamid Menurut Kepmenkes RI No Tahun 2004 Keterangan : A = Cara pemakaian obat B = Cara penyimpanan obat C = Jangka waktu pengobatan D = Aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus pendidikan profesi dan telah mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan peundangan yang berlaku dan berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia sebagai apoteker. Untuk ujian apoteker, berisi materi tentang aspek Keprofesian, Peraturan Perundangundangan, Perkembangan Praktek Kefarmasian, Farmakoterapi dan Jaminan mutu (ISFI-APTFI, 2009). Dari itu, pastinya seorang apoteker akan lebih berkompetensi dalam pekerjaan kefarmasian dibandingkan dengan yang bukan apoteker.

66 PERSENTASE PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 47 n = 113 apotek 60% 53,0% 50% 40% 30% 27,0% Benar Salah 20% 10% 0% 15,0% 5,0% 0,0% 0,0% Apoteker Asisten Apoteker Petugas Lain PEMBERI PELAYANAN INFORMASI OBAT Gambar 13. Profil Pelayanan Informasi Obat Resep Glibenklamid terkait Pihak Apotek yang Memberikan Pelayanan Informasi Obat dan Benar atau Salah Informasi yang DIberikan Dari gambar di atas diketahui bahwa dari 113 apotek yang memberikan pelayanan informasi obat, sebanyak 66 apotek oleh Apoteker, 30 apotek oleh Asisten Apoteker, dan 17 apotek oleh petugas lain. Diketahui bahwa masih banyak apotek yang menyampaikan informasi obat yang salah. Data yang dikategorikan menjadi informasi yang salah adalah informasi yang pada dasarnya tidak sesuai dengan literatur atau tidak lengkap. Penyampaian informasi cara pemakaian obat sangat berpengaruh terhadap informasi cara pemakaian yang dituliskan di etiket obat. Apabila informasi yang disampaikan salah, maka yang dituliskan pada etiket obat pun pasti salah. Cara penggunaan obat merupakan informasi yang paling banyak disampaikan oleh apotek-apotek di Kabupaten Sleman DIY. Dari sebanyak 113

67 48 apotek yang memberikan pelayanan informasi obat, diketahui bahwa sebanyak 112 memberikan informasi terkait cara pemakaian obat. Acuan yang digunakan terkait cara penggunaan obat glibenklamid yang sesuai dan benar adalah Drug Information Handbook. Dalam buku itu dikatakan bahwa cara pemakaian obat Glibenklamid yang benar adalah 2,5-5 mg/hari, diminum bersama sarapan atau saat makan pertama pada hari itu. Obat glibenklamid harus diminum bersamaan dengan makan. Jadi, jika obat glibenklamid yang akan diberikan adalah yang berkekuatan 5 mg, maka cara pemakaian yang benar adalah sekali sehari 1 tablet diminum pada pagi hari bersamaan dengan makan. Terdapat 5 apotek dari 113 apotek sampel yang memberikan informasi terkait jangka waktu pengobatan. Secara garis besar isi dari informasi yang disampaikan adalah menyarankan untuk kembali memeriksakan diri ke dokter setelah obat habis. Selain itu, ada 2 apotek dari 113 apotek sampel memberikan informasi tentang aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari yaitu anjuran untuk mengurangi konsumsi makanan dan minuman yang manis sebagai bagian dari aksi diet dalam terapi non farmakologis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa informasi yang diberikan oleh apotek-apotek wilayah Kabupaten Sleman terkait penggunaan obat resep glibenklamid belum bisa dikatakan lengkap. Kemudian dapat disimpulkan bahwa penerapan pekerjaan kefarmasian, khususnya pelayanan informasi obat resep glibenklamid, di apotek-apotek wilayah Kabupaten Sleman belum sesuai dengan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kepmenkes RI No. 1027/Menkes/SK/IX/2004.

68 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian Evaluasi Ketersedian Pelayanan Informasi Obat Resep Glibenklamid sebagai Anti Diabetes Oral di Apotek-Apotek Wilayah Kabupaten Sleman DIY maka dapat disimpulkan : 1. Profil pelayanan resep obat glibenklamid apotek-apotek di wilayah Kabupaten Sleman DIY adalah terdapat 3 apotek (2%) dari 124 apotek sampel menolak melayani resep. Dari 121 apotek yang bersedia melayani diperoleh profil pelayanan resep yang diberikan yaitu apotek yang mengembalikan resep (24,80%), menolak memberikan salinan resep (3,30%), menyerahkan obat tidak sesuai resep (0,80%), tidak mencantumkan etiket pada kemasan obat (17,40%), tidak memberikan informasi obat (6,60%), dan pelayanan dilakukan bukan oleh Apoteker (43,80%). 2. Tingkat ketersediaan pelayanan informasi obat yang diberikan oleh apotekapotek di wilayah Kabupaten Sleman DIY berdasarkan Kepmenkes RI No tahun 2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, diketahui sebanyak 113 apotek dari 121 apotek yang memberikan pelayanan informasi obat resep gibenklamid, tidak terdapat apotek yang memberikan pelayanan informasi secara lengkap berdasarkan Kepmenkes 1027 tahun

69 50 B. Saran 1. Informasi hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dalam membantu pengadaan pengawasan terkait pelaksanaan pelayanan resep dan informasi obat di apotek-apotek wilayah Kabupaten Sleman DIY berdasar Kepmenkes 1027 tahun Dilakukan penelitian tentang tingkat kemampuan apotek dalam memberikan informasi obat yang benar kepada pasien.

70 51 DAFTAR PUSTAKA Andayani, T.M., Satibi, H.R.D., 2004, Evaluasi Pelayanan Informasi Obat di Apotek-Apotek Besar di Kota Yogyakarta, Seminar Ilmiah Nasional Hasil Penelitian Farmasi, 54-63, Fakultas Farmasi UGM, Yogyakarta. Anief, M., 2000, Ilmu Meracik Obat Teori dan Praktek, cetakan kesembilan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Anonim, 2008, Glibenclamide, html, diakses tanggal 22 November Anonim, 2011, Profil Kesehatan Kabupaten Sleman Tahun 2010, Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman, DIY. Azzopardi, L.M., 2010, Lecture Notes in Pharmacy Practise, Pharmaceutical Press, London. Bahfen, F., 2006, Aspek Legal Layanan Farmasi Komunitas Konsep Pharmaceutical Care, Majalah Medisina, Ed. I, Vol. I, Jakarta, PT ISFL, 20. Budiarto, E., 2001, Biostatistika untuk Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat, 18-19, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Dipiro, 2008, Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach, 7 th edition, 185, , Mc Graw Hill, New York. Direktorat Jendral Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2004, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1027 Menkes SK IX 2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. Direktorat Bina Farmasi Komunitas Klinis Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2006 a, Pedoman Penggunaan Obat Bebas dan Bebas Terbatas, Departemen Kesehatan Indonesia, Jakarta. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2006 b, Petunjuk Teknis Pelaksanaan Standar Pelaksanaan Kefarmasian di Apotek, 6,7,16, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. Fischer, L.R., Defor T.A., Cooper S., Scott, L.M., Boonstra, D.M., Eelkema, M.A., Goodman, M.J., 2002, Pharmaceutical Care and Health Care Utilization in an HMO, Effective Clinical Practice,

71 52 diakses pada tanggal 03 Oktober Hartini, Y., dan Sulasmono, 2007, Apotek Ulasan Beserta Naskah Peraturan Perundang-undangan Terkait Apotek Termasuk Naskah dan Ulasan Permenkes tentang Apotek Rakyat, Penerbit Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 14-15, 250, 549. Hartini, Y., Sulasmono, Sukmajati, M., Kurniawan, A., 2008, Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Sleman dan Yogyakarta, diakses pada tanggal 15 Juni Harianto, N.K., Supardi, S., 2005, Majalah Ilmu Fefarmasian: Kepuasan Pasien terhadap Pelayanan Resep Obat di Apotek Kopkar Rumah Sakit Budi Asih Jakarta, Vol. II, No.1, 13, diakses pada tanggal 7 Agustus Hasan, I., 2002, Pokok-pokok Materi : Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, Ghalia Indonesia, Jakarta, 22. Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI) dan Asosiasi Pendidikan Tinggi Farmasi Indonesia (APTFI), 2009, Surat Keputusan Bersama Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia dan Asosiasi Pendidikan Tinggi Farmasi Indonesia tentang Program Pendidikan Profesi Apoteker (P3A), Jakarta. Lacy, C.F., Amstrong, L.L., Goldman, M.P., Lance, L.L., Information Handbook, seventeenth edition, ApHA, USA. 2009, Drug Luther U., 2004, Jangan Membeli Obat di Apotek yang Tidak Memiliki Apoteker, diakses pada tanggal 10 September Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 1993, Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 922/Menkes/PER/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotik, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2000, Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 949/Menkes/VI/2000 tentang Registrasi Obat Jadi, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. Notoatmodjo, S., 2005, Metodologi Penelitian Kesehatan, PT Rineka Cipta, Jakarta,

72 53 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, 1996, Peraturan Pemerintah No. 32 tentang Tenaga Kesehatan, Jakarta. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, 2009, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor tentang Pekerjaan Kefarmasian, Jakarta. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2011, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 889/Menkes/Per/V/2011 tentang Registrasi, Izin Praktik, dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian, Jakarta. Praktiknya, A. W., 2001, Dasar-dasar Metodologi Penelitian Kedokteran dan Kesehatan, ed.1, cet.iv, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 11. Rina Wijayanti, 2010, detailberita/harjoberita/17119/di-jogja-hanya-1-apotek-sangatbaikview.html, diakses pada tanggal 25 September Rismawati, E., 2011, Profil informasi Resep Obat Glibenclamide di Apotek- Apotek Surabaya, Fakultas Farmasi Universitas Airlangga, Surabaya. Rizkiyah A., 2011, Informasi Pasien yang Diberikan di Komunitas Apotek di Surabaya : Resep Captopril, Fakultas Farmasi Universitas Airlangga, Surabaya. Siregar, C.J.P., dan Amalia, L., 2004, Farmasi Rumah Sakit Teori dan Penerapan, Penerbit Buku Kedokteran ECG, Jakarta, , 223. Strand, L.M., Morley, P.C., Cipolle, R.J., 2004, Pharmaceutical Care Practice : The Clinical s Guide, 2 nd ed, McGraw-Hill Companies, United States of America, pp Syamsuni, H., 2006, Farmasetika Dasar dan Hitungan Farmasi, 13-14, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Wibowo, A., 2009, Cerdas Memilih Obat dan Mengenali Penyakit, 29, PT Lingkar Pena Kreativa, Jakarta. World Health Organization, 1996, Good Pharmacy Practice (GPP) in Community and Hospital Pharmacy Settings, WHO, Tokyo. World Health Organization, 1999 a, Definition, Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus and its Complications, WHO Department of Noncommunicable Disease Surveillance Geneva.

73 54 World Health Organization, 1999 b, Report of a WHO Consultation Part 1: Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus, WHO Departement, Geneva. World Health Organization, 2004, Management of Drugs at Health Centre Level, WHO, Brazzaville.

74 55 LAMPIRAN

75 56 Lampiran 1. Dokumentasi Penelitian 1. Gambar obat-obat Glibenklamid hasil Penelitian 2. Gambar Salinan-Salinan Resep Hasil Penelitian 3. Gambar Etiket-Etiket Obat hasil Penelitian

76 57 Lampiran 2. Daftar Cek Ketersediaan Informasi Obat Resep Glibenklamid menurut Kepmenkes RI No tahun 2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek APOTEK A1 A2 B3 KECAMAT AN Berbah Berbah Depok KRITERIA KETERSEDIAAN INFORMASI A B C D 1x1 (pagi) 1x1 (pagi) stlh mkn 2x1 (pagi malam) B26 Depok (pagi) B5 B7 B9 B11 B12 Depok Depok Depok Depok Depok 1x1 (pagi) stlh mkn 1x1 (pagi) stlh mkn 1x1 (pagi) sblm mkn 1x1 (pagi) 1x1 (pagi) stlh mkn B13 Depok - B59 B15 B57 B17 B18 B20 B41 Depok Depok Depok Depok Depok Depok Depok 1x1 (pagi) 1x1 (pagi) 1x1 (pagi) stlh mkn 2x1 (pagi,sia ng) stlh mkn 1x1 (pagi) stlh mkn 1x1 (pagi) stlh mkn 1x1 (pagi) stlh mkn PENYERAH OBAT AA Lainnya (resep balik) Lainnya (resep balik) Lainnya AA AA Lainnya

77 58 B23 B24 B25 B27 B28 B29 B30 B31 B32 B33 Depok Depok Depok Depok Depok Depok Depok Depok Depok Depok 2x1 (pagi,sia ng) sblm mkn 1x1 sblm mkn 1x1 (pagi) stlh mkn 1x1 (pagi) stlh mkn 1x1 stlh mkn 1x1 (pagi) segera stlh mkn 1x1 (pagi) sblm mkn 1x1 (pagi) 1x1 (pagi) sblm mkn 1x1 (pagi) B34 Depok B37 B38 B39 B61 B40 Depok Depok Depok Depok Depok 1x1 (pagi) 1x1 (pagi/m alam terserah) 1x1 (pagi) sblm mkn 1x1 (pagi) stlh mkn 1x1 (pagi) segera stlh mkn Kembali ke dokter setelah obat habis - Kembali ke dokter stlh obat habis - AA AA AA Lainnya Lainnya (resep balik) AA Lainnya AA B41 Depok 1x1

78 59 B42 B43 Depok Depok (pagi) sblm mkn 1x1 (pagi) Sekali (pagi) sblm mkn B44 Depok RESEP DITOLAK Kembali B45 Depok 1x1 (pagi) stlh mkn - ke dokter setelah obat habis B50 B51 B52 B53 B54 B55 B60 B58 Depok Depok Depok Depok Depok Depok Depok Depok 2x1 (pagi, sore) stlh mkn Sblm mkn 1x1 (pagi) stlh mkn 1x1 (pagi) sblm mkn (pagi) stlh mkn 1x1 (pagi) 1x1 (pagi) stlh mkn 1x1 (pagi) - Kembali ke dokter setelah obat habis - Kurangi konsumsi makanan dan minuman manis B1 Depok RESEP DITOLAK B48 Depok 1x1 (pagi) C3 Gamping 1x1 (pagi) C4 Gamping 1x1 (pagi) C5 Gamping Pagi 1 tablet C7 Gamping 1x1 (pagi) (resep balik) AA AA Lainnya (resep balik) AA AA (tidak dibuatkan kopi resep) AA (resep balik) (resep balik) AA AA (resep balik)

79 60 C8 Gamping 1x1 (pagi) C9 Gamping 1x1 (pagi) C12 C15 Gamping Gamping 1x1 (pagi) sblm mkn 1x1 (pagi) stlh mkn C16 Gamping Stlh mkn D1 Godean 1x1 (pagi) D2 Godean 1x1 (pagi) stlh mkn D3 Godean 1x1 (pagi) D6 Godean 1x1 (pagi) stlh 2 suap mkn - - Kurangi konsumsi manis D7 Godean - D9 Godean 1x1 (pagi) sesaat makan (resep balik) AA Lainnya (resep balik) Lainnya (tidak dibuatkan kopi resep) D10 Godean 1x1 (pagi) D12 Godean (pagi) AA D13 Godean 1x1 (pagi) D11 Godean 1x1 (pagi) Lainnya (resep balik) D4 Godean 1x1 (pagi) Lainnya (resep balik) E1 Kalasan - Lainnya (resep balik) E2 Kalasan 1x1 (pagi) (resep balik) E5 Kalasan 1x1 stlh mkn E6 Kalasan 1x1 (sblm/stlh AA mkn, (resep balik) terserah) E7 Kalasan 2x1 (pagi, AA siang) stlh mkn E9 Kalasan 1x1 (pagi) AA E10 Kalasan 1x1 (pagi) sblm mkn F2 Mlati 1x1 (pagi) AA

80 61 stlh mkn F4 Mlati 1x1 (pagi) F7 F13 F8 F9 F10 F11 F12 F14 F3 G2 Mlati Mlati Mlati Mlati Mlati Mlati Mlati Mlati Mlati Ngaglik 1x1 (pagi) stlh mkn 1x1 (pagi) stlh mkn 1x1 (pagi) 20 menit stlh mkn 1x1 (pagi) sblm mkn 1x1 (pagi) stlh mkn 1x1 (sblm mkn) 1x1 (pagi) stlh mkn 1x1 (pagi) stlh mkn 1x1 sewaktu makan (pagi) atlh mkn G3 Ngaglik 1x1 (pagi) G5 Ngaglik 1x1 stlh mkn 1x1 (pagi) G7 Ngaglik sewaktu makan G9 Ngaglik 1x1 (pagi) sblm mkn G12 Ngaglik 1x1 (pagi) stlh mkn G13 Ngaglik 1x1 (pagi) stlh mkn G14 Ngaglik (pagi) stlh mkn G16 Ngaglik RESEP DITOLAK 1x1 (pagi) G8 Ngaglik 10 menit sblm mkn G17 Ngaglik 1x1 stlh mkn G10 Ngaglik 1x1 (pagi) H1 Ngemplak 1x1 sblm mkn H3 Ngemplak 1x1 (pagi) H4 Ngemplak - AA AA (resep balik) Lainnya (resep balik) (resep balik) AA AA (resep balik) Lainnya (resep balik) AA Lainnya (tidak

81 62 H6 Ngemplak 1x1 (pagi) H8 H7 I1 Ngemplak Ngemplak Pakem 2x1 (pagi, sore) stlh mkn 1x1 (pagi) stlh mkn 2x1 (pagi, sore) sblm mkn I3 Pakem - I2 J4 Pakem Prambanan 1x1 (pagi) sblm mkn 1 tablet (pagi) J1 Prambanan - J2 J3 K3 K4 Prambanan Prambanan Sleman Sleman 1x1 (pagi) stlh mkn 1x1 (pagi) stlh mkn 1x1 (pagi) stlh mkn 1x1 saat mkn K5 Sleman 1x1 (pagi) K7 Sleman 1x1 (pagi) stlh mkn K9 Sleman 1x1 (pagi) K10 Sleman - K11 K12 Sleman Sleman 1x1 stlh mkn 1x1 stlh mkn K13 Sleman - K14 Sleman 1x1 K8 Sleman pagi L1 Tempel 1x1 (pagi) stlh mkn L3 Tempel 1x1 (pagi) dibuatkan kopi resep) Lainnya (resep balik) Lainnya (resep balik) (resep balik) AA (resep balik) Lainnya (resep balik) AA Lainnya (resep balik) AA obat diberi 5 strip AA (resep balik) AA (resep balik) AA (tidak dibuatkan kopi resep)

82 63 Keterangan : A = Cara Pemakaian Obat B = Cara Penyimpanan Obat C = Jangka Waktu Pengobatan D = Aktivitas serta Makanan dan Minuman yang Harus Dihindari = Apoteker AA = Asisten Apoteker Lainnya = Selain Apoteker dan AA

83 64 Lampiran 3. Analisis Salinan Resep ISI SALINAN RESEP APOTEK KECAMATAN NAMA NOMOR TANGGA NAMA NO. IZIN PARAF TANDA ALAMAT APOTEK RESEP L RESEP A.P.A A.P.A det A1 BERBAH A2 BERBAH - - B3 DEPOK AA B5 DEPOK B7 DEPOK - B9 DEPOK B11 DEPOK RESEP DIKEMBALIKAN B12 DEPOK B13 DEPOK RESEP DIKEMBALIKAN B26 DEPOK B15 DEPOK - Lainnya B57 DEPOK - B17 DEPOK - - AA B18 DEPOK AA B20 DEPOK Lainnya B21 DEPOK B23 DEPOK AA B24 DEPOK - AA

84 65 B25 DEPOK B27 DEPOK AA B28 DEPOK Lainnya B29 DEPOK B30 DEPOK RESEP DIKEMBALIKAN B31 DEPOK AA B32 DEPOK - B33 DEPOK B34 DEPOK - B37 DEPOK B38 DEPOK Lainnya - B39 DEPOK AA B59 DEPOK - B40 DEPOK B41 DEPOK B42 DEPOK B43 DEPOK RESEP DIKEMBALIKAN B44 DEPOK MENOLAK PELAYANAN RESEP B45 DEPOK RESEP DIKEMBALIKAN B50 DEPOK B51 DEPOK RESEP DIKEMBALIKAN B52 DEPOK AA

85 66 B53 DEPOK AA B54 DEPOK RESEP DIKEMBALIKAN B55 DEPOK B60 DEPOK B58 DEPOK - AA B1 DEPOK MENOLAK PELAYANAN RESEP B48 DEPOK TIDAK DIBUATKAN SALINAN RESEP B61 DEPOK C3 GAMPING RESEP DIKEMBALIKAN C4 GAMPING RESEP DIKEMBALIKAN C5 GAMPING - AA C7 GAMPING RESEP DIKEMBALIKAN C8 GAMPING RESEP DIKEMBALIKAN C9 GAMPING AA C12 GAMPING C15 GAMPING C16 GAMPING D1 GODEAN RESEP DIKEMBALIKAN D2 GODEAN - D3 GODEAN TIDAK DIBUATKAN SALINAN RESEP D6 GODEAN D7 GODEAN -

86 67 D9 GODEAN D10 GODEAN - D12 GODEAN - AA D13 GODEAN - D11 GODEAN RESEP DIKEMBALIKAN D4 GODEAN RESEP DIKEMBALIKAN E1 KALASAN RESEP DIKEMBALIKAN E2 KALASAN RESEP DIKEMBALIKAN E5 KALASAN - E6 KALASAN RESEP DIKEMBALIKAN E7 KALASAN AA E9 KALASAN AA - E10 KALASAN F2 MLATI AA F4 MLATI - AA F7 MLATI F13 MLATI F8 MLATI F9 MLATI F10 MLATI - F11 MLATI - - F12 MLATI RESEP DIKEMBALIKAN

87 68 F14 MLATI F3 MLATI G2 NGAGLIK RESEP DIKEMBALIKAN G3 NGAGLIK G5 NGAGLIK RESEP DIKEMBALIKAN G7 NGAGLIK G9 NGAGLIK G12 NGAGLIK AA G13 NGAGLIK G14 NGAGLIK G16 NGAGLIK MENOLAK PELAYANAN RESEP G8 NGAGLIK RESEP DIKEMBALIKAN G17 NGAGLIK G10 NGAGLIK H1 NGEMPLAK RESEP DIKEMBALIKAN H3 NGEMPLAK AA H4 NGEMPLAK TIDAK DIBUATKAN SALINAN RESEP H6 NGEMPLAK RESEP DIKEMBALIKAN H8 NGEMPLAK H7 NGEMPLAK - I1 PAKEM I3 PAKEM RESEP DIKEMBALIKAN

88 69 I2 PAKEM J4 PRAMBANAN RESEP DIKEMBALIKAN J1 PRAMBANAN AA J2 PRAMBANAN RESEP DIKEMBALIKAN J3 PRAMBANAN - K3 SLEMAN - - K4 SLEMAN - Lainnya K5 SLEMAN RESEP DIKEMBALIKAN K7 SLEMAN - AA K9 SLEMAN K10 SLEMAN RESEP DIKEMBALIKAN K11 SLEMAN K12 SLEMAN - K13 SLEMAN - AA - K14 SLEMAN K8 SLEMAN RESEP DIKEMBALIKAN L1 TEMPEL RESEP DIKEMBALIKAN L3 TEMPEL TIDAK DIBUATKAN SALINAN RESEP

89 70 Lampiran 4. Analisis Etiket Obat KRITERIA KELENGKAPAN ETIKET APOTEK KECAMATAN TANGGAL NAMA ATURAN NAMA KEKUATAN JUMLAH NAMA PERINGATAN ETIKET PASIEN PAKAI GENERIK OBAT OBAT APOTEK A1 BERBAH - A2 BERBAH - B3 DEPOK - B26 DEPOK B5 DEPOK - - B7 DEPOK - B9 DEPOK - B11 DEPOK TIDAK DIBUATKAN ETIKET B12 DEPOK - B13 DEPOK TIDAK DIBUATKAN ETIKET B59 DEPOK - B15 DEPOK - B57 DEPOK - B17 DEPOK B18 DEPOK - - B20 DEPOK - B21 DEPOK B23 DEPOK - B24 DEPOK - - B25 DEPOK - - B27 DEPOK - - B28 DEPOK - B29 DEPOK - B30 DEPOK B31 DEPOK -

90 71 B32 DEPOK - B33 DEPOK - B34 DEPOK - B37 DEPOK - B38 DEPOK B39 DEPOK - B61 DEPOK B40 DEPOK - B41 DEPOK - B42 DEPOK - B43 DEPOK - B44 DEPOK MENOLAK PELAYANAN RESEP B45 DEPOK - B50 DEPOK B51 DEPOK - B52 DEPOK - - B53 DEPOK B54 DEPOK - B55 DEPOK - B60 DEPOK - - B58 DEPOK - B1 DEPOK B48 DEPOK - C3 GAMPING TIDAK DIBUATKAN ETIKET C4 GAMPING TIDAK DIBUATKAN ETIKET C5 GAMPING - C7 GAMPING TIDAK DIBUATKAN ETIKET C8 GAMPING - C9 GAMPING - - C12 GAMPING -

91 72 C15 GAMPING C16 GAMPING - - D1 GODEAN - D2 GODEAN - - D3 GODEAN - - D6 GODEAN - D7 GODEAN - D9 GODEAN - D10 GODEAN - D12 GODEAN - D13 GODEAN - D11 GODEAN TIDAK DIBUATKAN ETIKET D4 GODEAN TIDAK DIBUATKAN ETIKET E1 KALASAN E2 KALASAN TIDAK DIBUATKAN ETIKET E5 KALASAN E6 KALASAN - E7 KALASAN - - E9 KALASAN - E10 KALASAN - F2 MLATI - F4 MLATI - F7 MLATI - - F13 MLATI F8 MLATI - F9 MLATI - F10 MLATI - F11 MLATI - F12 MLATI TIDAK DIBUATKAN ETIKET

92 73 F14 MLATI - - F3 MLATI - G2 NGAGLIK TIDAK DIBUATKAN ETIKET G3 NGAGLIK G5 NGAGLIK TIDAK DIBUATKAN ETIKET G7 NGAGLIK - - G9 NGAGLIK G12 NGAGLIK - G13 NGAGLIK - G14 NGAGLIK - G16 NGAGLIK MENOLAK PELAYANAN RESEP G8 NGAGLIK TIDAK DIBUATKAN ETIKET G17 NGAGLIK - G10 NGAGLIK H1 NGEMPLAK TIDAK DIBUATKAN ETIKET H3 NGEMPLAK - H4 NGEMPLAK TIDAK DIBUATKAN ETIKET H6 NGEMPLAK TIDAK DIBUATKAN ETIKET H8 NGEMPLAK - H7 NGEMPLAK - I1 PAKEM - I3 PAKEM TIDAK DIBUATKAN ETIKET I2 PAKEM - J4 PRAMBANAN - - J1 PRAMBANAN - - J2 PRAMBANAN TIDAK DIBUATKAN ETIKET J3 PRAMBANAN - K3 SLEMAN - K4 SLEMAN - K5 SLEMAN TIDAK DIBUATKAN ETIKET

93 74 K7 SLEMAN - K9 SLEMAN - - K10 SLEMAN TIDAK DIBUATKAN ETIKET K11 SLEMAN - K12 SLEMAN - - K13 SLEMAN TIDAK DIBUATKAN ETIKET K14 SLEMAN - - K8 SLEMAN TIDAK DIBUATKAN ETIKET L1 TEMPEL L3 TEMPEL - - -

94 75 Lampiran 5. Surat Ijin Penelitian dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Sleman

95 76 Lampiran 6. Resep Obat Glibenklamid yang Digunakan dalam Penelitian

96 77 Lampiran 7. Contoh Salinan Resep Isi yang Lengkap Isi yang Kurang Lengkap

97 78 Lampiran 8. Contoh Etiket Obat Contoh Lengkap Contoh Kurang Lengkap

98 79 Sampel Penelitian Lampiran 9. Perhitungan Data Jumlah populasi : 172 Jumlah sampel : n = n = = 120,3 = 120 sebagai cadangan ditentukan 4, maka = 124 apotek sampel. Sebanyak 3 apotek sampel menolak memberikan pelayanan resep, maka : = 121 n = 121 apotek sampel Profil Pelayanan Obat (n = 121) Apotek yang mengembalikan resep = 30 apotek, maka 30/121 x 100% = 24,8% Apotek yang menolak memberikan salinan resep = 4 apotek, maka : 4/121 x 100% = 3,3% Apotek yang menyerahkan obat tidak sesuai resep = 1 apotek, maka : 1/121 x 100% = 0,8% Apotek yang tidak mencantumkan etiket obat pada obat resep yang diserahkan = 21 apotek, maka : 21/121 x 100% = 17,4% Apotek yang tidak memberikan informasi obat pada saat penyerahan obat resep = 8 apotek, maka : 8/121 x 100% = 6,6% Apotek yang dalam pelayanan obat resep dilayani bukan oleh Apoteker = 53 apotek, maka :

99 80 53/121 x 100% = 43,8% terbagi atas Asisten Apoteker (AA = 32 apotek) dan petugas lain (Lainnya = 21 apotek), n = 53 AA = 32/53 x 100% = 60,4% Lainnya = 21/53 x 100% = 34,6% Salinan Resep (n = 121) Mengembalikan resep = 30 apotek, maka : 30/121 x 100% = 24,8% Memberikan salinan resep = 87 apotek, maka : 87/121 x 100% = 71,9% Tidak memberikan salinan resep = 4 apotek, maka : 4/121 x 100% = 3,3% Kelengkapan isi salinan resep yang dicantumkan (n = 87) : Nama apotek : 87 apotek, maka : 87/87 x 100% = 100% Alamat apotek : 87 apotek, maka : 87/87 x 100% = 100% Nomor resep : 56 apotek, maka : 56/87 x 100% = 64,4% Tanggal pembuatan resep : 83 apotek, maka: 83/87 x 100% = 95,4% Nama A.P.A : 83 apotek, maka: 83/87 x 100% = 95,4% Nomor izin A.P.A : 81 apotek, maka : 81/87 x 100% = 93,1% Paraf Apoteker = 85 apotek, maka:

100 81 85/87 x 100% = 97,7% Terdapat simbol det : 81 apotek, maka: 81/87 x 100% = 93,1% Etiket (n = 121) Mencantumkan etiket obat = 100 apotek, maka: 100/121 x 100% = 82,6% Tidak mencantumkan etiket obat = 21 apotek, maka: 21/121 x 100% = 17,4% Kelengkapan isi etiket yang dicantumkan (n = 100) : Tanggal etiket : 89 apotek, maka: 89/100 x 100% = 89% Nama pasien : 95 apotek, maka: 95/100 x 100% = 95% Aturan pakai obat : 99 apotek, maka: 99/100 x 100% = 99% Nama generik obat : 20 apotek, maka: 20/100 x 100% = 20% Kekuatan obat : 2 apotek, maka: 2/100 x 100% = 2% Jumlah obat : 15 apotek, maka: 15/100 x 100% = 15% Peringatan : 19 apotek, maka: 19/100 x 100% = 19% Nama apotek : 95 apotek, maka: 95/100 x 100% = 95% Pelayanan Informasi Obat (n=121)

101 82 Memberikan pelayanan informasi obat pada saat menyerahkan obat = 113 apotek, maka: 113/121 x 100% = 93,4% Tidak memberikan pelayanan informasi obat pada saat menyerahkan obat = 8 apotek, maka: 8/121 x 100% = 6,6% Kelengkapan Informasi yang Diberikan (n = 113) (A = cara pemakaian obat; B = cara penyimpanan obat; C = jangka waktu pengobatan; D = aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari) : A = 106 apotek, maka 106/113 x 100% = 93,8% A + C = 4 apotek, maka 4/113 x 100% = 3,5% A + D = 1 apotek, maka 1/113 x 100% = 0,9% C = 1 apotek, maka 1/113 x 100% = 0,9% A + C + D = 1 apotek, maka 1/113 x 100% = 0,9% Profil pelayanan informasi obat dilihat dari pihak yang memberikan pelayanan dan benar/salahnya informasi yang disampaikan : Yang memberikan pelayanan informasi obat : 113 apotek Apoteker : 66 apotek Informasi yang diberikan benar = 6, maka 6/113 x 100% = 5% Informasi yang diberikan salah = 60, maka 60/113 x 100% = 53,0% Non-apoteker : 47 apotek Asisten Apoteker : 30 apotek o Informasi yang diberikan benar = 0, maka 0/113 x 100% = 0% o Informasi yang diberikan salah = 30, maka 30/113 x 100% = 26,6% Petugas Lain : 17 apotek o Informasi yang diberikan benar = 0, maka 0/113 x 100% = 0%

102 83 o Informasi yang diberikan salah = 17, maka 17/113 x 100% = 15% Jumlah apotek yang menanyakan alamat dan nomor telepon pada saat pelayanan resep Jumlah apotek yang tidak mengembalikan resep obat kepada pasien : n = 91 apotek. Menanyakan = 41 apotek, maka 41/91 x 100% = 45,1% Tidak menanyakan = 50 apotek, maka 50/91 x 100% = 54,9%

103 84 BIOGRAFI PENULIS Iryana Butar-Butar, penulis skripsi berjudul Evaluasi Ketersediaan Pelayanan Informasi Obat Resep Glibenklamid Sebagai Anti Diabetes Oral Di Apotek-Apotek Wilayah Kabupaten Sleman, lahir di kota Nabire, Papua pada tanggal 22 Juni 1989, merupakan anak kedua dari pasangan Rustam Butar-Butar dan Meria Sinaga. Awal pendidikannya ditempuh di TK Nuri Manis Nabire ( ). Selanjutnya penulis menempuh pendidikannya di SD YPPK Santo Petrus Nabire ( ), SMP Negeri 01 Nabire ( ). Kemudian masa SMA penulis ditempuh di SMA Santa Maria Yogyakarta ( ). Setelah lulus dari pendidikan di tingkat SMA, penulis melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta ( ). Selama menjalani pendidikan di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, penulis pernah mengikuti kegiatan kemahasiswaan seperti UKM Basket Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, UKF Basket Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, dan anggota Paduan Suara Fakultas Farmasi Veronica (2009) serta berbagai kegiatan lainnya yang masih dalam lingkup Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

EVALUASI KETERSEDIAAN PELAYANAN INFORMASI OBAT RESEP GLIBENKLAMID SEBAGAI ANTI DIABETES ORAL DI APOTEK-APOTEK WILAYAH KABUPATEN SLEMAN DIY

EVALUASI KETERSEDIAAN PELAYANAN INFORMASI OBAT RESEP GLIBENKLAMID SEBAGAI ANTI DIABETES ORAL DI APOTEK-APOTEK WILAYAH KABUPATEN SLEMAN DIY Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi, Vol. 17, No.2, 2012, halaman 137-146 ISSN : 1410-0177 EVALUASI KETERSEDIAAN PELAYANAN INFORMASI OBAT RESEP GLIBENKLAMID SEBAGAI ANTI DIABETES ORAL DI APOTEK-APOTEK WILAYAH

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA. Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 TENTANG STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA. Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 TENTANG STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 TENTANG STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA MENIMBANG : bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masalah kesehatan di Indonesia sebagai salah satu negara berkembang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masalah kesehatan di Indonesia sebagai salah satu negara berkembang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah kesehatan di Indonesia sebagai salah satu negara berkembang menjadi prioritas utama program pemerintah menuju masyarakat yang sehat dan sejahtera. Untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. hidup layak, baik dalam kesehatan pribadi maupun keluarganya termasuk di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. hidup layak, baik dalam kesehatan pribadi maupun keluarganya termasuk di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesehatan merupakan hak asasi manusia, setiap orang mempunyai hak untuk hidup layak, baik dalam kesehatan pribadi maupun keluarganya termasuk di dalamnya mendapat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Apotek Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh apoteker. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus dan telah

Lebih terperinci

SURVEI KESALAHAN DALAM PENULISAN RESEP DAN ALUR PELAYANANNYA DI APOTEK KECAMATAN AMPEL KABUPATEN BOYOLALI SKRIPSI

SURVEI KESALAHAN DALAM PENULISAN RESEP DAN ALUR PELAYANANNYA DI APOTEK KECAMATAN AMPEL KABUPATEN BOYOLALI SKRIPSI SURVEI KESALAHAN DALAM PENULISAN RESEP DAN ALUR PELAYANANNYA DI APOTEK KECAMATAN AMPEL KABUPATEN BOYOLALI SKRIPSI Oleh : DWI KURNIYAWATI K 100 040 126 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

Lebih terperinci

Apoteker berperan dalam mengelola sarana dan prasarana di apotek. Selain itu, seorang apoteker juga harus menjamin bahwa:

Apoteker berperan dalam mengelola sarana dan prasarana di apotek. Selain itu, seorang apoteker juga harus menjamin bahwa: I.PENDAHULUAN Apotek adalah suatu tempat tertentu yang digunakan untuk melakukan pekerjaan kefarmasian berupa penyaluran perbekalan farmasi kepada masyarakat dan tempat dilakukannya praktik kefarmasian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. langsung profesi apoteker dalam pekerjaan kefarmasian untuk meningkatkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. langsung profesi apoteker dalam pekerjaan kefarmasian untuk meningkatkan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pelayanan Kefarmasian Pelayanan kefarmasian adalah bentuk pelayanan dan tanggung jawab langsung profesi apoteker dalam pekerjaan kefarmasian untuk meningkatkan kualitas hidup

Lebih terperinci

MEHTERIKESEHATAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KESEHAT AN REPUBLIK INDONESIA. Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 TENTANG

MEHTERIKESEHATAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KESEHAT AN REPUBLIK INDONESIA. Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 TENTANG .. MEHTERIKESEHATAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KESEHAT AN REPUBLIK INDONESIA Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 TENTANG STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN 01 APOTEK MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan terapi, paradigma pelayanan kefarmasian di Indonesia telah bergeser dari pelayanan yang berorientasi pada obat (drug

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hasil Penelitian Terdahulu Pada penelitian sebelumnya dengan judul pengaruh keberadaan apoteker terhadap mutu pelayanan kefarmasian di Puskesmas wilayah Kabupaten Banyumas berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes Mellitus (DM) adalah penyakit kronis gangguan metabolisme yang ditandai dengan kadar glukosa darah melebihi nilai normal (hiperglikemia), sebagai akibat dari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Pengetahuan Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu dan ini setelah orang melakukan penginderaan terhadap obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Izin Apotek Pasal 1 ayat (a): Apotek adalah tempat tertentu, tempat dilakukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Izin Apotek Pasal 1 ayat (a): Apotek adalah tempat tertentu, tempat dilakukan 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Apotek Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1332/Menkes/SK/X/2002 Tentang Perubahan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 922/Menkes/Per/X/1993

Lebih terperinci

Stabat dalam rangka pembinaan Puskesmas. BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pusat Kesehatan Masyarakat yang disingkat puskesmas adalah unit

Stabat dalam rangka pembinaan Puskesmas. BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pusat Kesehatan Masyarakat yang disingkat puskesmas adalah unit Puskesmas dan sebagai bahan masukan kepada Dinas Kesehatan Kota Stabat dalam rangka pembinaan Puskesmas. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Puskesmas Pusat Kesehatan Masyarakat yang disingkat puskesmas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mendorong masyarakat untuk semakin memperhatikan derajat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mendorong masyarakat untuk semakin memperhatikan derajat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mendorong masyarakat untuk semakin memperhatikan derajat kesehatan demi peningkatan kualitas hidup yang lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Adanya perkembangan dan perubahan pola hidup pada manusia (lifestyle) dapat berdampak langsung salah satunya pada kesehatan, sehingga kesehatan menjadi salah satu hal

Lebih terperinci

EVALUASI STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK WILAYAH KOTA SALATIGA TAHUN 2011 SESUAI PERUNDANGAN YANG BERLAKU NASKAH PUBLIKASI

EVALUASI STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK WILAYAH KOTA SALATIGA TAHUN 2011 SESUAI PERUNDANGAN YANG BERLAKU NASKAH PUBLIKASI EVALUASI STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK WILAYAH KOTA SALATIGA TAHUN 011 SESUAI PERUNDANGAN YANG BERLAKU NASKAH PUBLIKASI Oleh : DEWI MARYATI K 100 040 014 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH

Lebih terperinci

POLA PENGGUNAAN OBAT ANTIDIABETIK ORAL DAN EVALUASI KETEPATAN DOSIS PADA PASIEN PROLANIS DI PUSKESMAS KARANGPANDAN KABUPATEN KARANGANYAR

POLA PENGGUNAAN OBAT ANTIDIABETIK ORAL DAN EVALUASI KETEPATAN DOSIS PADA PASIEN PROLANIS DI PUSKESMAS KARANGPANDAN KABUPATEN KARANGANYAR POLA PENGGUNAAN OBAT ANTIDIABETIK ORAL DAN EVALUASI KETEPATAN DOSIS PADA PASIEN PROLANIS DI PUSKESMAS KARANGPANDAN KABUPATEN KARANGANYAR TUGAS AKHIR Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Apotek Definisi apotek menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1332/MENKES/SK/X/2002 yaitu sebagai suatu tempat dilakukannya pekerjaan kefarmasian, penyaluran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit metabolik yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit metabolik yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit metabolik yang berlangsung kronik progresif, dengan manifestasi gangguan metabolisme glukosa dan lipid, disertai oleh komplikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Asuhan kefarmasian atau disebut pharmaceutical care merupakan suatu kebutuhan yang penting dalam aspek pelayanan kesehatan terhadap masyarakat. Asuhan kefarmasian

Lebih terperinci

GAMBARAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK WILAYAH KECAMATAN LAWEYAN KOTA SOLO TAHUN 2007 SKRIPSI

GAMBARAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK WILAYAH KECAMATAN LAWEYAN KOTA SOLO TAHUN 2007 SKRIPSI GAMBARAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK WILAYAH KECAMATAN LAWEYAN KOTA SOLO TAHUN 2007 SKRIPSI Oleh: ROSY MELLISSA K.100.050.150 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, terapi, serta adanya perubahan paradigma kefarmasian, yaitu Pharmaceutical Care, dimana kegiatan pelayanan semula hanya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pelayanan Kefarmasian Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah bergeser orientasinya dari obat ke pasien yang mengacu kepada Pharmaceutical Care. Kegiatan pelayanan kefarmasian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia sebagai apoteker (Presiden, RI., 2009).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia sebagai apoteker (Presiden, RI., 2009). BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Apotek Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh apoteker. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus dan telah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Apotek Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh Apoteker (Presiden RI, 2009). Praktik kefarmasian meliputi pembuatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan kebutuhan yang esensial dari setiap individu, keluarga, dan masyarakat. Kesehatan juga merupakan perwujudan dari tingkat kesejahteraan suatu masyarakat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Apotek Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh Apoteker. (Peraturan Pemerintah no 51 tahun 2009). Sesuai ketentuan perundangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mewujudkan tercapainya derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mewujudkan tercapainya derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Apotek merupakan salah satu sarana pelayanan kesehatan dalam membantu mewujudkan tercapainya derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat. Pelayanan kesehatan adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengetahuan masyarakat akan pentingnya kesehatan terus meningkat seiring perkembangan zaman. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan masyarakat senantiasa diupayakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan salah satu hak asasi manusia dan kebutuhan hidup yang diwujudkan dan dilaksanakan dalam mencapai kesejahteraan kehidupan dalam masyarakat. Menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan adalah salah satu faktor yang sangat penting bagi kehidupan setiap umat manusia karena aktivitasnya dapat terhambat apabila kondisi kesehatan tidak baik.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes adalah penyakit kronis, yang terjadi ketika pankreas tidak menghasilkan insulin yang cukup, atau ketika tubuh tidak dapat secara efektif menggunakan insulin

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI POTENSI INTERAKSI OBAT ANTIDIABETES PADA RESEP PASIEN DI APOTEK RAHMAT BANJARMASIN

IDENTIFIKASI POTENSI INTERAKSI OBAT ANTIDIABETES PADA RESEP PASIEN DI APOTEK RAHMAT BANJARMASIN INTISARI IDENTIFIKASI POTENSI INTERAKSI OBAT ANTIDIABETES PADA RESEP PASIEN DI APOTEK RAHMAT BANJARMASIN Salah satu penyakit degeneratif terbesar adalah Diabetes Mellitus. Diabetes Meliitus yang tidak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Profesi adalah kelompok disiplin individu yang mematuhi standar etika dan mampu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Profesi adalah kelompok disiplin individu yang mematuhi standar etika dan mampu BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Profesi Profesi adalah kelompok disiplin individu yang mematuhi standar etika dan mampu menegakkan diri dan diterima oleh masyarakat sebagai seorang yang memiliki ketrampilan

Lebih terperinci

TINJAUAN ASPEK ADMINISTRASI PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KABUPATEN PEMALANG PERIODE JANUARI - JUNI 2008 SKRIPSI

TINJAUAN ASPEK ADMINISTRASI PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KABUPATEN PEMALANG PERIODE JANUARI - JUNI 2008 SKRIPSI TINJAUAN ASPEK ADMINISTRASI PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KABUPATEN PEMALANG PERIODE JANUARI - JUNI 2008 SKRIPSI Oleh : LINDA WIDYA RETNA NINGTYAS K 100 050 110 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kesehatan adalah salah satu tujuan dari pembangunan suatu bangsa. Kesehatan sendiri adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini masyarakat mulai menyadari pentingnya menjaga kesehatan, dimana kesehatan merupakan salah satu faktor penting yang dapat mendukung dan mempengaruhi pekerjaan

Lebih terperinci

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Uji Validitas dan Reliabilitas Uji validitas dan reliabilitas dilakukan sebelum penelitian dimulai. Kuisioner divalidasi dengan cara diuji coba pada 30 orang yang mana 20

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang kefarmasian serta makin tingginya kesadaran masyarakat dalam meningkatkan kesehatan, maka dituntut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. demografi, epidemologi dan meningkatnya penyakit degeneratif serta penyakitpenyakit

BAB I PENDAHULUAN. demografi, epidemologi dan meningkatnya penyakit degeneratif serta penyakitpenyakit BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan dan kemajuan zaman membawa dampak yang sangat berarti bagi perkembangan dunia, tidak terkecuali yang terjadi pada perkembangan di dunia kesehatan. Sejalan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam kehidupan sekarang ini, dunia kesehatan semakin berkembang pesat dengan ditemukannya berbagai macam penyakit yang ada di masyarakat dan segala upaya untuk mengatasinya.

Lebih terperinci

PERANAN APOTEKER DI RUMAH SAKIT

PERANAN APOTEKER DI RUMAH SAKIT PERANAN APOTEKER DI RUMAH SAKIT Peranan Apoteker Farmasi Rumah Sakit adalah : 1. Peranan Dalam Manajemen Farmasi Rumah Sakit Apoteker sebagai pimpinan Farmasi Rumah Sakit harus mampu mengelola Farmasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi insulin dapat

I. PENDAHULUAN. sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi insulin dapat I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Diabetes melitus didefinisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masyarakat pada umumnya, mulai memperhatikan kesehatannya dengan cara mengatur pola makan serta berolahraga secara teratur. Kesadaran mengenai pentingnya kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes Melitus (DM) merupakan salah satu penyakit kronis yang menjadi masalah utama di dunia termasuk Indonesia karena angka prevalensinya dari tahun ketahun semakin

Lebih terperinci

ABSTRAK GAMBARAN PENGETAHUAN TENTANG PENGGUNAAN OBAT GLIBENKLAMID PADA PASIEN DIABETES MELLITUS TIPE-2 DI PUSKESMAS ALALAK SELATAN BANJARMASIN

ABSTRAK GAMBARAN PENGETAHUAN TENTANG PENGGUNAAN OBAT GLIBENKLAMID PADA PASIEN DIABETES MELLITUS TIPE-2 DI PUSKESMAS ALALAK SELATAN BANJARMASIN ABSTRAK GAMBARAN PENGETAHUAN TENTANG PENGGUNAAN OBAT GLIBENKLAMID PADA PASIEN DIABETES MELLITUS TIPE-2 DI PUSKESMAS ALALAK SELATAN BANJARMASIN Muhammad Yusuf¹; Aditya Maulana Perdana Putra² ; Maria Ulfah³

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kehidupan manusia dalam melakukan segala aktivitas dengan baik dan maksimal yang harus diperhatikan salah satu hal yaitu kesehatan. Kesehatan merupakan Hak Asasi Manusia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia. Setiap orang mempunyai hak untuk hidup layak, baik dalam kesehatan pribadi maupun keluarganya termasuk didalamnya hak untuk mendapatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Apotek merupakan salah satu sarana pelayanan kesehatan dalam membantu mewujudkan tercapainya derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat. Pelayanan kesehatan adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Diabetes Melitus (DM) merupakan salah satu penyakit metabolik yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Diabetes Melitus (DM) merupakan salah satu penyakit metabolik yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diabetes Melitus (DM) merupakan salah satu penyakit metabolik yang prevalensinya semakin meningkat dari tahun ke tahun. Diabetes melitus didefinisikan sebagai

Lebih terperinci

TINJAUAN ASPEK KLINIS PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KOTA SURAKARTA PERIODE JANUARI-JUNI 2008 SKRIPSI

TINJAUAN ASPEK KLINIS PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KOTA SURAKARTA PERIODE JANUARI-JUNI 2008 SKRIPSI TINJAUAN ASPEK KLINIS PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KOTA SURAKARTA PERIODE JANUARI-JUNI 2008 SKRIPSI Oleh : HAPSARI MIFTAKHUR ROHMAH K 100 050 252 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SURAKARTA

Lebih terperinci

GAMBARAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KABUPATEN SRAGEN TAHUN 2008 SKRIPSI

GAMBARAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KABUPATEN SRAGEN TAHUN 2008 SKRIPSI GAMBARAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KABUPATEN SRAGEN TAHUN 2008 SKRIPSI Oleh: WAHID BEKTI FITRIANTO K 100 040 146 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SURAKARTA

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan serta adanya perubahan paradigma kefarmasian, yaitu Pharmaceutical Care, konsekuensi dari perubahan orientasi tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan semakin berkembangnya zaman, pengetahuan masyarakat akan pentingnya kesehatan juga meningkat. Menurut Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Diabetes Melitus disebut juga the silent killer merupakan penyakit yang akan

I. PENDAHULUAN. Diabetes Melitus disebut juga the silent killer merupakan penyakit yang akan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes Melitus disebut juga the silent killer merupakan penyakit yang akan memicu krisis kesehatan terbesar pada abad ke-21. Negara berkembang seperti Indonesia merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes Mellitus (DM) merupakan gangguan metabolisme dengan. yang disebabkan oleh berbagai sebab dengan karakteristik adanya

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes Mellitus (DM) merupakan gangguan metabolisme dengan. yang disebabkan oleh berbagai sebab dengan karakteristik adanya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes Mellitus (DM) merupakan gangguan metabolisme dengan karakteristik adanya tanda-tanda hiperglikemia akibat ketidakadekuatan fungsi dan sekresi insulin (James,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah bergeser orientasinya dari pelayanan obat (drug oriented) menjadi pelayanan pasien (patient

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia dalam melakukan kegiatan perlu memperhatikan masalah kesehatan. Kesehatan merupakan keadaan dimana tubuh dan mampu melakukan kegiatan yang produktif, oleh

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia nomor 36 tahun 2014, tentang Kesehatan, adalah. setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan 1

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia nomor 36 tahun 2014, tentang Kesehatan, adalah. setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan citacita Bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila

Lebih terperinci

KERANGKA ACUAN PELAYANAN KEFARMASIAN DI PUSKESMAS CILEDUG

KERANGKA ACUAN PELAYANAN KEFARMASIAN DI PUSKESMAS CILEDUG KERANGKA ACUAN PELAYANAN KEFARMASIAN DI PUSKESMAS CILEDUG a. PENDAHULUAN Pelayanan kefarmasian merupakan bagian integral dari sistem pelayanan kesehatan termasuk didalamnya pelayanan kefarmasian di Puskesmas

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mewujudkan suatu negara yang lebih baik dengan generasi yang baik adalah tujuan dibangunnya suatu negara dimana

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mewujudkan suatu negara yang lebih baik dengan generasi yang baik adalah tujuan dibangunnya suatu negara dimana BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mewujudkan suatu negara yang lebih baik dengan generasi yang baik adalah tujuan dibangunnya suatu negara dimana untuk memperoleh generasi yang baik perlu adanya peningkatan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

KETEPATAN PENGGUNAAN OBAT HIPOGLIKEMIK ORAL PADA PASIEN DIABETES MELLITUS TIPE II DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA PERIODE JANUARI JUNI 2013 SKRIPSI

KETEPATAN PENGGUNAAN OBAT HIPOGLIKEMIK ORAL PADA PASIEN DIABETES MELLITUS TIPE II DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA PERIODE JANUARI JUNI 2013 SKRIPSI KETEPATAN PENGGUNAAN OBAT HIPOGLIKEMIK ORAL PADA PASIEN DIABETES MELLITUS TIPE II DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA PERIODE JANUARI JUNI 2013 SKRIPSI Oleh : NADEEYA BAKA K 100100112 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Pengetahuan Pengetahuan (knowledge) merupakan hasil penginderaan manusia atau hasil dari tahu seseorang terhadap obyek melalui indera yang dimilikinya (mata, telinga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap masyarakat berhak untuk memperoleh pelayanan kesehatan terbaik bagi dirinya. Pengertian kesehatan berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 36 Tahun

Lebih terperinci

GAMBARAN TINGKAT PENGETAHUAN DAN KARAKTERISTIK PASIEN DIABETES MELLITUS PADA PEMAKAIAN INSULIN DI APOTEK MEDIKA FARMA BARABAI.

GAMBARAN TINGKAT PENGETAHUAN DAN KARAKTERISTIK PASIEN DIABETES MELLITUS PADA PEMAKAIAN INSULIN DI APOTEK MEDIKA FARMA BARABAI. ABSTRAK GAMBARAN TINGKAT PENGETAHUAN DAN KARAKTERISTIK PASIEN DIABETES MELLITUS PADA PEMAKAIAN INSULIN DI APOTEK MEDIKA FARMA BARABAI. Noor Wartini 1 ; AdityaM.P.P 2 ; Wenny Afriedha 3 Penyakit Diabetes

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan secara sendiri atau bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akibat insufisiensi fungsi insulin (WHO, 1999). Berdasarkan data dari WHO

BAB I PENDAHULUAN. akibat insufisiensi fungsi insulin (WHO, 1999). Berdasarkan data dari WHO 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Diabetes melitus (DM) adalah suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan multietiologi yang ditandai dengan tingginya kadar glukosa darah disertai dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat, pemerintah melakukan berbagai upaya diantaranya menyediakan sarana pelayanan kesehatan seperti farmasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesejahteraan manusia tidak pernah terlepas dari kesehatan. Kesehatan merupakan keadaan yang sehat secara fisik, mental, spiritual dan sosial yang memungkinkan setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penduduk serta penyelenggaraannya sesuai dengan kode etik dan standar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penduduk serta penyelenggaraannya sesuai dengan kode etik dan standar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelayanan kesehatan yang bermutu adalah pelayanan kesehatan yang dapat memuaskan setiap pemakai jasa pelayanan sesuai dengan tingkat kepuasan ratarata penduduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pola penyakit yang diderita masyarakat telah bergeser ke arah. penyakit tidak menular seperti penyakit jantung dan pembuluh darah,

BAB I PENDAHULUAN. Pola penyakit yang diderita masyarakat telah bergeser ke arah. penyakit tidak menular seperti penyakit jantung dan pembuluh darah, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pola penyakit yang diderita masyarakat telah bergeser ke arah penyakit tidak menular seperti penyakit jantung dan pembuluh darah, serta kanker dan Diabetes Melitus

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Periode Zaman Penjajahan sampai Perang Kemerdekaaan Tonggak sejarah. asisten apoteker semasa pemerintahan Hindia Belanda.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Periode Zaman Penjajahan sampai Perang Kemerdekaaan Tonggak sejarah. asisten apoteker semasa pemerintahan Hindia Belanda. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan Profesi Kefarmasian Secara historis perubahan mendasar dalam profesi kefarmasian dapat dibagi dalam beberapa periode. 1. Periode Zaman Penjajahan sampai Perang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan salah satu unsur kesejahteraan umum yang sangat penting bagi setiap orang. Tanpa adanya kesehatan yang baik, setiap orang akan mengalami kesulitan

Lebih terperinci

TINJAUAN ASPEK ADMINISTRATIF PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KOTA SURAKARTA PERIODE JANUARI-JUNI TAHUN 2008 SKRIPSI

TINJAUAN ASPEK ADMINISTRATIF PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KOTA SURAKARTA PERIODE JANUARI-JUNI TAHUN 2008 SKRIPSI TINJAUAN ASPEK ADMINISTRATIF PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KOTA SURAKARTA PERIODE JANUARI-JUNI TAHUN 2008 SKRIPSI Oleh : MAYA DAMAYANTI K 100 050 191 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

Lebih terperinci

ABSTRAK PREVALENSI DIABETES MELITUS TIPE 2 DENGAN HIPERTENSI DI RSUP SANGLAH DENPASAR TAHUN 2015

ABSTRAK PREVALENSI DIABETES MELITUS TIPE 2 DENGAN HIPERTENSI DI RSUP SANGLAH DENPASAR TAHUN 2015 ABSTRAK PREVALENSI DIABETES MELITUS TIPE 2 DENGAN HIPERTENSI DI RSUP SANGLAH DENPASAR TAHUN 2015 Diabetes melitus tipe 2 didefinisikan sebagai sekumpulan penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Fluktuasi politik dan ekonomi saat ini mengakibatkan perubahan pada tingkat

BAB I PENDAHULUAN. Fluktuasi politik dan ekonomi saat ini mengakibatkan perubahan pada tingkat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fluktuasi politik dan ekonomi saat ini mengakibatkan perubahan pada tingkat kesejahteraan masyarakat, demikian halnya dengan fokus perhatian masalah kesehatan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini masyarakat pada umumnya semakin sadar akan pentingnya kesehatan dalam kehidupan. Kesehatan merupakan salah satu kunci utama bagi seseorang dalam melaksanakan

Lebih terperinci

MAKALAH FARMASI SOSIAL

MAKALAH FARMASI SOSIAL MAKALAH FARMASI SOSIAL KONDISI SOSIAL MASYARAKAT DENGAN ASUHAN KEFARMASIAN DAN KESEHATAN DISUSUN OLEH KELOMPOK 1 DIANSARI CITRA LINTONG ADE FAZLIANA MANTIKA JURUSAN FARMASI FAKULTASMATEMATIKA DAN ILMU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Usaha untuk mewujudkan masyarakat sehat yang mandiri dan berkeadilan merupakan visi dari Kementerian Kesehatan RI dan telah dirumuskan dalam UU RI No. 36 tahun 2009

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Periode zaman penjajahan sampai perang kemerdekaaan tonggak sejarah. apoteker semasa pemerintahan Hindia Belanda.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Periode zaman penjajahan sampai perang kemerdekaaan tonggak sejarah. apoteker semasa pemerintahan Hindia Belanda. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan Profesi Kefarmasian Secara historis perubahan mendasar dalam profesi kefarmasian dapat dibagi dalam beberapa periode (Anonim. 2008 b ). 1. Periode zaman penjajahan

Lebih terperinci

POLA PERESEPAN DAN RASIONALITAS PENGOBATAN PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RSUD SULTAN SYARIF MOHAMAD ALKADRIE PONTIANAK

POLA PERESEPAN DAN RASIONALITAS PENGOBATAN PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RSUD SULTAN SYARIF MOHAMAD ALKADRIE PONTIANAK 1 POLA PERESEPAN DAN RASIONALITAS PENGOBATAN PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RSUD SULTAN SYARIF MOHAMAD ALKADRIE PONTIANAK Robiyanto*, Nur Afifah, Eka Kartika Untari Prodi Farmasi, Fakultas Kedokteran,

Lebih terperinci

EVALUASI IMPLEMENTASI KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 35/MENKES/SK/2014 TENTANG PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KABUPATEN SLEMAN

EVALUASI IMPLEMENTASI KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 35/MENKES/SK/2014 TENTANG PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KABUPATEN SLEMAN EVALUASI IMPLEMENTASI KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 35/MENKES/SK/2 TENTANG PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KABUPATEN SLEMAN EVALUATION OF THE IMPLEMENTATION OF THE MINISTER OF HEALTH No. 35 / MENKES/

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan hal yang sangat penting bagi setiap manusia karena tanpa kesehatan yang baik, maka setiap manusia akan sulit dalam melaksanakan aktivitasnya sehari-hari.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengetahuan masyarakat akan pentingnya kesehatan semakin meningkat dengan berkembangnya ilmu tekhnologi yang ada. Kesehatan saat ini dipandang sebagai suatu hal yang

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Penelitian

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Penelitian Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Penelitian Menurut American Diabetes Association (ADA), diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik yang disebabkan karena terjadinya gangguan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan kesehatan menuju Indonesia sehat 2010 diselenggarakan dengan berasaskan perikemanusiaan, manfaat, perlindungan dan diarahkan untuk dapat meningkatkan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

2. Bagi Apotek Kabupaten Cilacap Dapat dijadikan sebagai bahan masukan sehingga meningkatkan kualitas dalam melakukan pelayanan kefarmasian di Apotek

2. Bagi Apotek Kabupaten Cilacap Dapat dijadikan sebagai bahan masukan sehingga meningkatkan kualitas dalam melakukan pelayanan kefarmasian di Apotek 2. Bagi Apotek Kabupaten Cilacap Dapat dijadikan sebagai bahan masukan sehingga meningkatkan kualitas dalam melakukan pelayanan kefarmasian di Apotek Cilacap. 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Focus Group Discusion

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pharmaceutical care atau asuhan kefarmasian merupakan bentuk optimalisasi peran yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Pharmaceutical care atau asuhan kefarmasian merupakan bentuk optimalisasi peran yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pharmaceutical care atau asuhan kefarmasian merupakan bentuk optimalisasi peran yang dilakukan oleh apoteker terhadap pasien dalam melakukan terapi pengobatan sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Sumber daya manusia yang baik dan berkualitas diperoleh dari tubuh yang sehat. Kesehatan sendiri merupakan salah satu unsur kesejahteraan umum yang harus diwujudkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara dengan status kesehatan yang masih tergolong rendah. Hal ini dapat disebabkan kurangnya kepedulian dan pemahaman masyrakat Indonesia akan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pelayanan Farmasi Pelayanan farmasi rumah sakit merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang berorientasi kepada pelayanan pasien,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1 1.1 Latar Belakang Seiring dengan perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan, saat ini paradigma pelayanan kefarmasian telah bergeser dari pelayanan yang berorientasi pada obat (drug oriented)

Lebih terperinci

INTISARI. Madaniah 1 ;Aditya Maulana PP 2 ; Maria Ulfah 3

INTISARI. Madaniah 1 ;Aditya Maulana PP 2 ; Maria Ulfah 3 INTISARI PENGARUH PELAYANAN INFORMASI OBAT KEPADA ORANG TUA PASIEN TERHADAP TINGKAT PENGETAHUANNYA PADA PENGGUNAAN SUSPENSI KERING ANTIBIOTIK CEFADROXIL 125 MG DI APOTEK AMANDIT FARMA BANJARMASIN Madaniah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1,5 juta kasus kematian disebabkan langsung oleh diabetes pada tahun 2012.

BAB I PENDAHULUAN. 1,5 juta kasus kematian disebabkan langsung oleh diabetes pada tahun 2012. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini, banyak penyakit yang diakibatkan oleh gaya hidup yang buruk dan tidak teratur. Salah satunya adalah diabetes melitus. Menurut data WHO tahun 2014, 347 juta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Pendahuluan Diabetes mellitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya

Lebih terperinci