BAB I PENDAHULUAN. Pancasila UUD 1945, bertujuan mewujudkan ketertiban yang berdasarkan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. Pancasila UUD 1945, bertujuan mewujudkan ketertiban yang berdasarkan"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Negara Indonesia sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila UUD 1945, bertujuan mewujudkan ketertiban yang berdasarkan kemerdekaan,keadilan sosial serta perdamaian abadi serta mewujudkan kehidupan negara yang aman, tentram, tertib dan damai. Dalam tata kehidupan itu dijamin persamaan kedudukan warga masyarakat dalam hukum, akan tetapi pelaksanaan berbagai fungsi untuk menjamin persamaan kedudukan tersebut dan hak perseorangan dalam masyarakat harus disesuaikan dengan pandangan hidup bangsa berdasarkan Pancasila sehingga tercapai keserasian, keseimbangan, dan keselarasan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan masyarakat. Karena Indonesia adalah negara hukum, dimana salah satu ciri negara hukum adalah dihormatinya hak-hak warga negara oleh penguasa. Maka dari itu setiap tindakan penguasa haruslah berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku dengan tujuan untuk memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia dari tindakan sewenanang-wenang para penguasa. 1 Menurut teori kedaulatan rakyat, kekuasaan negara harus dibatasi dan dikontrol oleh rakyat secara demokratis melalui kemauan umum (volonte generale). Perlunya suatu kekuasaan dibatasi menurut seorang 1 Rozali Abdulah,1992, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Cet.Pertama, Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hal.9 1

2 pujangga Inggris bernama Lord Action, karena kekuasaan cenderung disalahgunakan dan kekuasaan yang mutlak pasti disalah gunakan ( power tends to corrupt, butabsulute power corrupts absolutely). 2 Menyadari sepenuhnya peran aktif pemerintah dalam kehidupan masyarakat, maka pemerintah perlu mempersiapkan langkah-langkah untuk menghadapi kemungkinan timbulnya perbenturan kepentingan, perselisihan atau sengketa antara badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dengan Masyarakat. Sengketa yang timbul di bidang administrasi diselesaikan antara lain oleh pengadilan administrasi. Peradilan administrasi berfungsi untuk menjaga keseimbangan antara hak perseorangan dengan hak masyarakat atau kepentingan umum, sehingga terciptanya keseimbangan, keselarasan, keserasian dan kerukunan antara pemerintah dan rakyat. 3 Yang dimaksud dengan sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara, antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa Kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada dasarnya yang berhak menggugat atau yang menjadi Pengguagat ialah orang atau badan hukum perdata, yang merasa dirugikan 2 S.F Marbun, 1997, Peradilan Administratif Negara dan Upaya Administratif di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, Hal.7 3 Ibid. Hal.19 2

3 karena dikeluarkannya suatu keputusan Tata Usaha Negara oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan. 4 Sedangkan yang dapat digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara karena badan atau Pejabat Tata Usaha Negara inilah yang dapat mengeluarkan suatu keputusan Tata Usaha Negara. Berdasarkan hal ini maka dalam Peradilan Tata Usaha Negra tidak dikenal adanya gugatan balik atau gugatan rekonvensi, atau dengan kata lain Pejabat Tata Usaha Negara yang merasa dirugikan karena adanya gugatan dari warga masyarakat atau badan hukum perdata, tidak dapat mengajukan gugatan balik atau gugat rekonvensi. Hal ini disebabkan karena sengketa Tata Usah Negra tersebut adalah berkenaan dengan masalah sah atau tidaknya suatu keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh badan atau Pejabat Tata Usah Negara yang telah dikeluarkan oleh badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. 5 Menurut pasal 53 ayat (1) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, seorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang, berisi tuntutan agar keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi. 4 Rozali Abdulah, Op.Cit., Hal.31 5 Rozali Abdulah, Op.Cit., Hal. 32 3

4 Dasar dan alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana disebutkan dalam pasal 53 ayat (2) huruf a dan b Undang-undnag Nomor 9 Tahun 2004 perubahan atas Undangundang Nomor 5 Tahun 1986 sebagai berikut : a. Keptusan Tata Usaha Negara yang digugat tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Dalam proses penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara yang sedang berlangsung, disamping Penggugat dan Tergugat, kadang-kadang ada pihak ketiga yang mempunyai kepentingan juga terhadap penyelesaian sengketa Tata Usaha Negra tersebut sehingga akibatnya kepada pihak ke tiga perlu diberikan kesempatan untuk ikut serta dalam penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara yang dimaksud. 6 Keikut sertaan atau diikutsertakannya pihak ketiga tersebut di dalam proses pemeriksaan perkara yang sedang berjalan, dikarenakan karena alasan tertentu yaitu karena kemauannya sendiri untuk dapat mempertahankan atau membela kepentingannya agar ia jangan sampai dirugikan oleh keputusan pengadilan, disamping itu ada kalanya masuknya pihak ketiga dalam proses perkara yang sedang berjalan dapat terjadi atas prakarsa hakim yang memeriksa perkara itu, hal ini dapat juga dilihat dalam pasal 83 ayat (1), Undang-undang Nomor 5 Tahun R. Wiryono, 2010, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Edisi Kedua,Sinar Grafika, Jakarta, hal.75. 4

5 Masuknya pihak ketiga dalam suatu proses sengketa Tata Usah Negara disamping untuk membela kepentingan salah satu pihak, dapat pula pihak Penggugat atau tergugat menarik pihak ketiga untuk membela kepentingan masing-masing pihak, yang memasukannya ke dalam suatu proses perkara yang sedang berjalan, selain itu pihak ketiga dapat pula melibatkan diri atas kehendaknya sendiri, untuk ikut masuk dalm proses sengketa yang sedang berjalan. Dalam hal Tergugat yang merupakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, meminta pihak ketiga yang merupakan orang atau badan hukum perdata untuk ikut serta dalam proses sengketa Tata Usaha Negara untuk menguatkan kedudukan pihak Tergugat dalam Sengketa Tata Usaha Negara sebagai apakah disini, apakah disebut sebagai Penggugat atau Tergugat. Jika pihak ketiga menggabungkan diri dengantergugat, bukankah dalam Hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara sudah dinyatakan secara tegas yang disebut Tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, sedangkan Penggugat adalah orang atau Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Begitu juga jika pihak ketiga ingin membela kepentingannya secara mandiri, sebagai apakah dia, apakah sebagai Penggugat atau Tergugat Intervensi. Dalam prakteknya, Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara memposisikan pihak ketiga yang bukan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara sebagai Tergugat Intervensi apabila kepentingannya pararel dengan Tergugat atau kepentingannya diuntungkan oleh dikeluarkannya Keputusan 5

6 Tata Usaha Negara tersebut sebaliknya apabila pihak ke tiga kepentingannya dirugikan atas dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara yang dimaksud maka akan didudukan sebagai pihak yang berdiri sendiri ataupun bergabung dengan pihak Penggugat. Jika dikaitkan dengan asas Erga Omnes yang terkandung dalam Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara intervensi tidak mutlak adanya karena Putusan Pengadilan tata Usaha Negara mengikat semua orang, sehingga pihak ketiga yang kepentingannya pararel dengan Tergugat sudah cukup jika didudukan sebagai saksi. Mengingat adanya asas tidak berubah dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara yang tercermin dalam pasal 1 angka 12 Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 dan pasal 53 ayat (1) Undangundang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, maka kedudukan Penggugat haruslah Orang atau Badan Hukum Perdata dan Tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Sehingga penerapan Intervensi dalam Peradilan Tata Usaha Negara semakin membingungkan. Bertitik tolak dari latar belakang tersebut diatas, saya merasa tertarik untu mengangkat persoalan tentang penerapan ikut sertanya pihak ketiga dalam sengketa Tata Usaha Negara dalam bentuk skripsi dengan judul KEDUDUKAN PIHAK KETIGA DALAM PERADILAN TATA USAHA NEGARA 6

7 1.2 Rumusan Masalah Dari latar belakang yang telah diuraikan diatas, timbul beberapa permasalahan yaitu : 1. Apakah yang menjadi dasar hukum keikutsertaan pihak ketiga dalam sengketa Peradilan Tata usaha Negara? 2. Bagaimana penerapan keikutsertaan pihak ketiga dalam sengketa Peradilan Tata Usaha Negara? 1.3 Tujuan Penelitian Dalam suatu penulisan yang bersifat ilmiah biasanya mempunyai suatu tujuan tertentu, demikian pula dalam penulisan skripsi ini juga mempunyai tujuan yaitu : a. Tujuan Umum Untuk melatih mahasiswa dalam usaha menyatakan pikiran ilmiah secara tertulis serta mengembangkan daya nalar mahasiswa mengenai keikutsertaan pihak ketiga dalam sengketa Tata Usaha Negara. b. Tujuan Khusus Untuk mengetahui kedudukan pihak ketiga/intervensi dalam Peradilan Tata Usaha Negara Untuk dapat memahami bagaimana penerapan keikutsertaan pihak ketiga untuk membela kepentingannya di dalam sengketa Tata Usaha Negara. 7

8 1.4 Kegunaan Penelitian a. Kegunan Teoritis Untuk dapat mengembangkan wawasan mahasiswa dalam penerapan ilmu hukum serta meningkatkan pengetahuan di bidang Hukum Acara Tata Usaha Negara khususnya mengenai kedudukan pihak ketiga dalam sengketa Peradilan Tata Usaha Negara. b. Kegunaan Praktis Dapat menemukan jawaban terhadap permasalahan yang terjadi, yakni mengenai kedudukan pihak ke tiga dalam sengketa Peradilan Tata Usaha Negara. 1.5 Landasan Teoritis Di dalam pembahasan ini perlu kiranya dikemukakan suatu landasan teoritis yang menjadi landasan berpikir dan yang menjadi pokok permasalahan yang akan dibahas. Menurut Pasal 1 angka 10 Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 yang dimaksud dengan sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orrang atau Badan Hukum Perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat ataupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku. Berdasarkan Pasal 1 angka 8 Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 yang dimaksud dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah 8

9 Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut Rochmat Soemitro, yang dimaksud dengan Badan atau pejabat Tata Usaha Negara adalah badan (Instansi, lembaga) negara atau pejabat negara yang melaksanakan urusan pemerintahan eksekutif berdasarkan peraturan perundnag-undangan yang berlaku 7 Prosedur Peradilan Tata Usaha Negara dimulai dengan gugatan yang diajukan oleh Penggugat, biasanya adalah orang yang dirugikan oleh suatu keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Berdasarkan pasal 53 ayat (1) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 dapat diketahui yang dimaksud dengan gugatan adalah permohonan secara tertulis dari seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara, yang ditujukan kepada Pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara, yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara tersebut dinyatakan batal atau tidak sah dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi. Dalam proses sengketa terdapat dua subjek sengketa atau para pihak yang bersengketa di bidang Hukum administrasi Negara, dan lazimnya disebut sebagai Penggugat dan Tergugat. Mengenai siapa yang mempunyai hak menggugat, dalam ketentuan pasal 53 menyebutkan, bahwa yang dapat menjadi subjek sengketa adalah orang atau Badan Hukum Perdata 7 Rochmat Soemitro, 1997, Peradilan Tata Usaha Negara, Refika Aditama,Jakarta, hal. 7 9

10 yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara. Selanjutnya siapa yang berhak menggugat diperjelas dalam Memori Penjelasan pasal demi pasal, bahwa sesuai dengan ketentuan pasal 1 angka 4, hanya orang atau Badan Hukum Perdata yang dapat berkedudukan sebagai subjek hukum yang dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan, sedangkan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan untuk menggugat Keputusan Tata Usaha Negara. 8 Mengenai siapa yang berkedudukan sebagai tergugat, maka pasal 1 angka 12 UU No.51 Tahun 2009 memberikan jawaban, yaitu Tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata. Dalam Peradilan Tata Usaha Negara tidak dimungkinkan adanya gugatan rekonvensi (gugatan balik) sebagaimana layaknya dalam Peradilan Perdata, hal ini karena dalam gugat rekonvensi berarti kedudukan para pihak semula menjadi terbalik. Kedudukan para pihak dalam hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara tidak berubah-ubah. Penggugat tetap merupakan orang atau Badan Hukum Perdata, sedangkan Tergugat tetap merupakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Hal ini dapat kita temui dalam rumusan pasal 1 angka 12 Undang-undang Nomor 51Tahun 2009 yang menyatakan secara tegas Tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara sedangkan dalam pasal 53 ayat (1) Undang-undang nomor 9 8 Martiman Prodjohamidjojo, 1993, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Ghalia Indonesia, hal.29 10

11 Tahun 2004 menegaskan Penggugat adalah Orang atau Badan Hukum Perdata yang merasa dirugikan akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Dalam Peradilan Tata Usaha Negara terdapat asas putusan pengadilan mempunyai kekuatan mengikat (Erga Omnes), Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa hukum publik, yang tentu akibat hukum yang timbul dari putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap akan mengikat tidak hanya para pihak yang bersengketa namun putusan tersebut akan mengikat siapa saja. Selain asas Erga Omnes tersebut untuk mengimbangi kedudukan para pihak yang tidak seimbang dalam Peradilan Tata Usaha Negara terdapat jugal asas Keaktifan Hakim, dimana pihak Tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara sedangkan pihak Penggugat adalah Orang atau Badan Hukum Perdata yang dalam posisi lemah. Asas ini menjadi sangat penting karena Tergugat pastilah orang yang berkuasa karena Jabatan yang melekat pada dirinya. Jabatan inilah yang memberikan previlege (hak istimewa) sedangkan Penggugat adalah masyarakat (orang atau badan hukum perdata) yang posisinya pasti lebih lemah dibanding dengan Tergugat. Oleh karenanya Penggugat perlu dibimbing dan dilindungi Selama pemeriksaan berlangsung, setiap orang yang berkepentingan dalam sengketa pihak lain yang sedang diperiksa oleh Pengadilan, baik atas prakarsa sendiri dengan mengajukan permohonan maupun atas prakarsa hakim dapat masuk dalam sengketa Tata Usaha negara dan bertindak sebagai pihak yang membela haknya atau peserta yang bergabung dengan 11

12 salah satu pihak yang bersangkutan, hal tersebut dapat kita lihat dalam ketentuan Pasal 83 Undang-undang Nomor 5 Tahun Keikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara, yang di dalam kepustakaan biasa disebut intervensi. 9 Mengigat ketentuan yang terdapat dalam pasal 83 dimungkinkan adanya pihak ketiga yang kepentingannya terkait dengan gugatan suatu Keputusan Tata Usaha Negaradapat ikut serta dalam proses penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara dan duduk memihak Tergugat, padahal yang dapat duduk sebgai tergugat hanyalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, maka menurut Indroharto, ketentua pasal 83 terdapat kekeliruan. 10 Indroharto mengemukakan bahwa sebenarnya sudah cukup kalau pihak ketiga tersebut didenganr saja sebagai saksi yang sangat berkepentingan, sehingga kesaksiaannya secara tidak langsung akan memperkuat dalil-dalil Tergugat yang sedang digugat dan kepentingannya sendiri. Dari pasal 83 ayat (1) tersebut dapat diketahui bahwa keikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara, hanya dapat dilakukan selama pemeriksaan berlangsung. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah yang dimaksud dengan selama pemeriksaan berlangsung dalam pasal 83 ayat (1) tersebut?. Menurut Indroharto yang dimaksud dengan selama pemeriksaan berlangsung adalah selama pemeriksaan persiapan berlangsung, sebab menurut beliau betapa sulitnya kalau pihak ketiga yang berkepentingan itu 9 R. Wiryono,loc,Cit. 10 R. Wiryono, Op.Cit., hal 76 12

13 dibolehkan melakukan intervensi pada saat pemeriksaan sidang sudah mulai atau sudah pada taraf pembuktian dilakukan, mengingat jika sampai ada pihak baru yang menjadi pihak dalam sengketa Tata Usaha Negara, tentunya harus dilakukan pemeriksaan persiapan lagi sebagaimana dimaksud dalam pasal 63 ayat (1), padahal pemeriksaan persiapan dalam sengketa Tata Usaha Negara antara Penggugat dengan Tergugat asal semua sudah selesai dilaksanakan Tinjauan Pustaka a. Pengertian dan Asas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara 1. Pengertian Peradilan Tata Usaha Negara Sesudah diadakan perubahan/amandemen, Pasal 24 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan (1) Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan ; (2) Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Dari sana kita dapat mengetahui bahwa di Indonesia terdapat empat lingkungan peradilan dibawah Mahkamah Agung yaitu : - Lingkungan Peradilan Umum - Lingkungan Peradilan Agama 11 R. Wiryono, Loc.Cit 13

14 - Lingkungan Peradilan Militer - Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara Peradilan Tata Usaha Negara pada dasarnya adalah untuk menegakan hukum Administrasi yaitui Hukum Publik. Juga perlu diperhatikan bahwa Peradilan Tata Usaha Negara melalui Undang- Undnag nomor 5 Tahun 1986 tidak hanya melindungi hak individu tetapi juga melindungi hak masyarakat. Peradilan Tata Usaha Negara tidak hanya dimaksudkan sebagai pengawasan interen terhadap pelaksanaan Hukum Administrasi Negara sesuai dengan asas-asas yang berlaku bagi suatu negara Hukum. Akan tetapi, yang benar-benar berfungsi sebagai badan peradilan yang secara bebas dan objektif diberi wewenang menilai dan mengadili pelaksanaan Hukum Administrasi Negara itu dilakukan oleh pejabat eksekutif kita. 12 Menurut Wirjono Prodjodikoro yang dimaksud dengan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara adalah rangkaian peraturanperaturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan dimuka Pengadilan dan cara bagaimana Pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melakukan berjalannya peraturan Hukum Tata Usaha Negara (Hukum Administrasi Negara). Dengan kata lainyang dimaksud dengan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara adalah hukum yang mengatur tentang bagaimana caracara bersengketa di Peradilan Tata Usaha Negara, serta mengatur hak 12 Martiman Prodjohamidjojo, Op.Cit, hal

15 dan kewajiban pihak-pihak yang terkait dalam proses penyelesaian sengketa tersebut. Istilah Tata Usaha Negara pada mulanya saat rancangan Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1986 di bahas di DPR, ada beberapa kalangan masyarakat, kalangan ilmiah, dan kalangan pemerintah sendiri yang mengusulkan untuk menggunakan istilah Administrasi Negara, hal tersebut karena penggunaan istilah hukum administrasi digunakan agar ruang lingkupnya menjadi lebih luas. Jika berbicara tata usaha negara pasti bisa diartikan administrasi. Namun, apabila kita berbicara administrasi, maka tidak hanya mencakup tata usaha saja, tetapi mencakup juga arti yang lebih luas, yakni pengurusan, pemerintahan, manajemen, yang didalamnya tercakup juga pengertian tata usaha, yakni segala sesuatu yang berhubungan dengan surat menyurat. 13 Pada prakteknya istilah yang digunakan adalah Peradilan Tata Usaha Negara, sebagaimana yang dipakai oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun Namun, menurut SF. Marbun dan Moh. Mahfud MD. menyatakan bahwa walaupun dalam prakteknya hanya digunakan istilah Peradilan Tata Usaha Negara, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, juga menggunakan istilah Peradilan Administrasi Negara sebagaimana ditegaskan dalam pasal 144 Undang-Undang Nomor 5 13 Wicipto Setiadi, 1992, Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara Suatu Perbandingan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.39 15

16 Tahun 1986 yang menyatakan undang-undang ini dapat dikatakan Undang-Undang Administrasi Negara Asas-asas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Asas dapat berarti dasar, landasan, fundamen, prinsip, dan jiwa atau cita-cita. Asas adalah suatu dalil umum yang dinyatakan dalam istilah umum dengan tidak menyebutkan secara khusus cara pelaksanaannya. Asas dapat juga disebut pengertian-pengertian dan nilai-nilai yang menjadi titik tolak berfikir tentang sesuatu. Asas hukum adalah prinsip dianggap dasar atau fundamental hukum yang terdiri dari pengertian-pengertian atau nilai-nilai yang menjadi titik tolak berfikir tentang hukum. 15 Berkenaan dengan asas-asas Peradilan administrasi (Murni), Sjachran Basah menurunkan 6 (enam) Asas Hukum Acara Peradilan Administrasi Murni, yakni : Asas Kesatuan beracara, Musyawarah, Kekuasaan Kehakiman yang merdeka, Sederhana, Cepat dan biaya ringan, Sidang terbuka dan Putusan menganndung keadilan. 16 Sedangkan menurut Indroharto, beberapa asas penting dalam Hukum Acara Peradilan Administrasi, antara lain : asas Inguisitoir dalam pemeriksaaan, kompensasi (ongelijkheids compensatie), Kesatuan pemeriksaan (Uniteids beginselen), Presumtio justea causa 14 SF. Marbun dan Moh. Mahfud MD., 1987, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta, hal S.F Marbun, Op.Cit., hal S.F Marbun, Op.Cit. hal

17 atau Vermoden van rechtmatigheid, Pembuktian bebas terikat (Berperktevrijbewijs beginsel). 17 Dari kedua pendapat sarjana tersebut meskipun terdapat perbedaan hanya pada penggunaan istilah dan penyebutannnya saja. Setelah ditambah dan dilengkapi serta disempurnakan akhirnya dapat dirumuskan asas-asas peradilan administrasi sebagai berikut : 1. Asas Negara Hukum Indonesia 2. Asas Demokrasi; 3. Asas Kekeluargaan; 4. Asas Serasi, Seimbang dan Selaras; 5. Asas Persamaan dihadapan Hukum; 6. Asas Peradilan Netral; 7. Asas Sederhana, Cepat, adil, mudah dan Murah; 8. Asas Kesatuan Beracara; 9. Asas Keterbukaan Persidangan; 10. Asas Musyawarah dan Perdamaian; 11. Asas Hakim Aktif; 12. Asas Pembuktian Bebas; 13. Asas Eudi Et Alteram Partem; 14. Asas het Vermoeden van Rechtmatigheid atau Asas Presumtio Justea Causa; 15. Asas Pemeriksaan Segi Rechtmatigheid dan Larangan Pemeriksaan Segi Doelmatigheid; 17 S.F Marbun, Loc. Cit 17

18 16. Asas Pengajuan Ex-tunc; 17. Asas Kompensasi atau Asas Ongelijkheids Compentatie; 18. Asas Hak Uji Materiil; 19. Asas Ultra Petita; 20. Asas Putusan Bersifat Erga Omnes 18 Agar dapat lebih dipahami perlu kiranya diberikan pemaparan atau diimplementasikan kedalam keadaan yang kongkrit mengenai asasasas yang telah disebutkan diatas. 1. Asas Negara Hukum Indonesia Asas Negara Hukum Indonesia merupakan salah satu asas terpenting dari Undang-Undang Dasar Karenanya menjadi salah satu asas penting pula dari Hukum tata negara dan Hukum administrasi serta Peradilan Administrasi. Asas Negara Hukum Indonesia mempunyai korelasi erat dengan peradilan administrasi, sehingga baik secara teoritis maupun yuridis jaminan eksistensi peradilan administrasi itu menemukan landasan, dasar, atau fundamentalnya dalam konsep Negara Hukum indonesia. 2. Asas Demokrasi Kehadiran peradilan administrasi tujuannya adalah melakukan kontrol atau pengawasan juridis terhadap administrasi negara dan sekaligus untuk memberikan perlindungan hukum, baik bagi administrasi sendiri maupun bagi masyarakat. Sesuai dengan konsep demokrasi yang menurut asal katanya yang berarti rakyat yang berkuasa atau 18 S.F Marbun,Op.Cit. hal

19 government or rule by the people, maka lahirnya suatu peradilan administrasi merupakan suatu hal yang semestinya. Kehadiran peradilan administrasi akan memberikan pelunang besar bagi rakyat untuk menggugat tindakan pemerintahnya, yang melakukan tindakan melawan hukum atau tindakan menyalahgunakan wewenang atau tindakan sewenang-wenang, sehingga menimbulkan kerugian bagi warganya. 3. Asas Kekeluargaan Tom Gunadi merumuskan asas kekeluargaan sebagai asas kesatuan dan persatuan manusia sebagai persona individual dan makhluk sosial. 19 Asas Kekeluargaan akan melahirkan kerukunan hubungan pemerintah dengan warga masyarakat, hal ini dapat terlihat dari adanya upaya administratif sebagai bagian dari sistem peradilan administrasi Indonesia. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, asas kekeluargaan ini tercermin dalam pasal 48 dimana di dalam hal suatu Peraturan Perundang-undangan mengharuskan penyelesaiannya secara administratif, maka sengketa Tata Usaha Negara tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melaui upaya upaya administratif yang tersedia. Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara setelah seluruh upaya Administratif yang bersangkutan telah digunakan. 4. Asas Serasi, Seimbang dan Selaras 19 Tom Gunadi, 1981, Sistem Perekonomian Menurut Pancasila dan UUD 1945,Angkasa,Bandung,hal.84 19

20 Keserasian, keseimbangan, dan keselarasan dalam segala aspek dan dimensinya merupakan jiwa dari Pancasila. Dalam undang-undang No.5 Tahun 1986, asas serasi, seimbang dan selaras dijaskan dalam tujuan umum yaitu Peradilan administrasi tidak semata-mata bertujuan memberikan perlindungan hukum terhadap hak-hak perseorangan, melainkan sekaligus melindungi dan meletakan secara serasi, seimbang dan selaras dengan hak-hak masyarakat. 5. Asas Persamaan Dihadapan Hukum Asas persamaan dihadapan hukum melahirkan ketentuan, setiap tindakan yang menimbulkan kerugian bagi orang lain, dapat dituntut pertanggung-jawabannya dihadapan pengadilan, tidak terkecuali tindakan yang menimbulkan kerugian itu dilakukan oleh pemerintah. Hal ini dapat kita temui dalam ketentuan dari Pasal 1 angka 10 Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 yang menentukan bahwa pihak Tergugat dalam sengketa Tata Usaha Negara adalah selalu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Hal ini menunjukan bahwa Tergugatpun dapat digugat dan dibawa ke Persidangan pengadilan. 6. Asas Netral Asas Peradilan Administrasi netral adalah peradilan administrasi yang bebas dan merdeka. Dalam penjelasan umum Undang-undang No.5 Tahun 1986 menunjukan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia. 20

21 7. Asas Sederhana, Cepat, Adil, Mudah dan Murah Asas sederhana, cepat dan mudah maksudnya adalah prosedur beracara dirumuskan dengan sederhana dan mudah dimengerti serta tidak berbelit-belit. Dengan sederhana, mudah dan mengurangi hal-hal formalitas yang tidak perlu, akan melahirkan peradilan cepat dengan tetap memperhatikan segi kepastian hukum dan nilai keadilan. Dalam penjelasan umum Undang-Undang No.5 Tahun 1986 tercermin asas sederhana, cepat, adil dan biaya ringan. 8. Asas Kesatuan Beracara Hukum acara (formal) merupakan sarana untuk menegakan hukum materiil, yang menggambarkan proses atau prosedur yang harus ditempuh dalam proses peradilan administrasi. Untuk itu harus terdapat kesatuan atau keseragaman beracara bagi peradilan administrasi di seluruh Indonesia. 9. Asas Keterbukaan Persidangan Asas keterbukaan persidangan dimaksudkan untuk menjaga agar proses pemeriksaan berjalan dengan terbuka atau fair, sehingga peradilan akan berjalan dengan objektif dan memperoleh pengawasan secara terbuka dari umum. Namun dalam penerapannya ada kalanya hakim menyatakan suatu persidangan tertutup untuk umum, apabila sengketa yang disidangkan menyangkut ketertiban umum, apabila sengketa yang disidangkan menyangkut ketertiban umum atau berkaitan dengan keselamatan negara. 10. Asas Musayawarah dan Perdamaian 21

22 Asas musyawarah bertujuan agar tidak terjadi pemusatan kekuasaan (absolut) kepada seseorang dalam pengambilan keputusan, sehingga dapat merugikan kepentingan umum atau kepentingan rakyat. Asas musyawarah dan perdamaian juga tercermin dalam hukum acara peradilan administrasi negara, misalnya dala Rapat Permusyawaratan dan mekanisme pengambilan putusan oleh Hakim. 11. Asas Hakim Aktif Asas hakim aktif berkaitan dengan Asas Pembuktian Bebas. Peran aktif hakim diberikan karena hakim diserahi tugas dan tanggung jawab yang berat, yakni menemukan kebenaran materiil terhadap sengketa yang diperiksa. Karena itu dalam menemukan kebenaran materiil hakim menggunakan asas pembuktian bebas. Maksud dari asas hakim aktif adalah untuk mengimbangi kedudukan para pihak karena tergugat adalah Pejabat Tata Usaha Negara sedangkan Penggugat adalah orang atau Badan hukum. 12. Asas Pembuktian Bebas Asas pembuktian bebas menjadikan hakim tidak terikat terhadap alatalat bukti yang diajukan para pihak dan penilaian pembuktian diserahkan sepenuhnya kepada hakim. Akibat dari itu peran hakim menjadi melebar karena hakim dapat menguji aspek lainnya diluar sengketa. 13. Asas Audi Et Alteram Partem Asas Audi Et Alteram Partem merupakan implementasi dari asas persamaan, dimana hakim tidak boleh membeda-bedakan antara 22

23 Penggugat dengan Tergugat dan hakim harus bersifat adil terhadap kedua belah pihak. Asas ini mewajibkan Hakim untuk mendengar kedua belah pihak secara bersama-sama. Hakim tidak boleh mendengar keterangan satu pihak saja, tapi harus juga mendengar dan memberi kesempatan kepada pihak lainnya untuk mengemukakan pendapat atau keterangannya. 14. Asas het Vermoeden van Rechtmatigheid atau asas Presumtio Justea Causa Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa demi kepastian hukum, setiap keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan harus dianggap benar menurut hukum, karenanya dapat dilaksanakan terlebih dahulu selama belum dibuktikan sebaliknya dan dinyatakan oleh hakim administrasi sebagai keputusan yang bersifat melawan hukum. Asas ini tercermin dalam pasal 67 Undang-undang No.5 Tahun Asas Pemeriksaan Segi Rechtmatigheid dan Larangan Pemeriksaan Segi Doelmatigheid Pemeriksaan yang dilakukan oleh Peradilan Tata usaha Negara hanya dilakukan terbatas pada segi rechtmatigheid keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan. Artinya pengujian terhadap keputusan tata usaha negara hanya dari segi yuridisnya saja serta dilarang menguji dari segi kebijaksanaan doelmatigheid. 16. Asas Pengujian Ex-tunc 23

24 Asas ini memiliki arti bahwa pengujian dilakukan oleh hakim peradilan Tata Usaha Negara hanya terbatas pada fakta-fakta atau keadaan hukum pada saat keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dikeluarkan. Sedangkan perubahan fakta-fakta dan perubahan keadaan hukum tidak turut dipertimbangkan. 17. Asas Kompensasi Asas kompensasi berhubungan dengan kewajiban Tergugat untuk melaksanakan putusan Pengadilan tata Usaha Negara yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, akan tetapi oleh suatu keadaan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak dapat melaksanakan isi dari Keputusan Tata Usaha Negara. 18. Asas Hak Uji Materiil Asas Hak uji materiil dimaksud disini adalah dalam arti sempit yaitu dilakukan oleh Badan Peradilan Terhadap suatu peraturan perundangundangan dibawah Undang-undang yang dikeluarkan oleh Badan/Pejabat Administrasi Negara. Pengujian dapat dilakukan dari segi materiil dan formal. Dari formal maksudnya adalah apakah telah sesuai dengan tata cara pembentukannya atau aspek prosedural. Sedangkan dari segi materiil adalah pengujian terhadap isi, materiil atau substansinya. 19. Asas Ultra Petita Maksud dari asas ini adalah hakim melakukan penyempurnaan terhadap objek sengketa dengan cara melengkapi objek sengketa yang diajukan para pihak. Dalam penggunaan ultra petita, hakim Peradilan 24

25 Tata Usaha Negara hanya terbatas memperbaiki fakta-fakta yang tidak didalihkan penggugat dan menambahkan yang tidak diminta penggugat. 20. Asas Putusan Bersifat Erga Omnes Karena sengketa Tata Usaha Negara merupaka sengketa yang terletak dalam lapangan hukum publik, maka putusan hakim peradilan Tata Usaha Negara akan menimbulkan konsekwensi mengikat umum dan mengikat terhadap sengketa yang mengandung persamaan, yang mungkin timbul pada masa yang akan datang. Jadi putusan pengadilan Tata Usaha Negara tersebut tidak hanya mengikat para pihak yang bersengketa. 20 b. Subjek dan Objek Peradilan Tata Usaha Negara 1. Subjek Peradilan Tata Usaha Negara Tiap-tiap proses sengketa Tata Usaha Negara selalu dimulai dengan diajukannya surat gugatan oleh Penggugat atau Kuasanya yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara dalam daerah hukum Pengadilan dimana Tergugat bertempat kedudukan. Di dalam proses sengketa itu terdapat dua subjek sengketa atau para pihak yang bersengketa di bidang hukum Tata Usaha Negara, dan lazimnya disebut Penggugat dan Tergugat Pihak Penggugat 20 S.F Marbun,Op.Cit., Hal Martiman Prodjohamidjojo.Op.Cit., hal.49 25

26 Di dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tidak ada ketentuan yang menyebutkan siapa yang dimaksud dengan Penggugat tersebut. Akan tetapi, dari ketentuan yang terdapat dalam pasal 53 ayat (1) dapat diketahui siapa yang dimaksud dengan Penggugat. Pasal 53 ayat (1) Undang Nomor 9 Tahun 2004 menentukan Orang atau Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan atau rehabilitasi Jadi dari uraian pasal tersebut dapat diketahui yang dapat bertindak sebagai Penggugat adalah : a. Orang yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara b. Badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara. Disamping itu mengenai siapa yang berhak menggugat diperjelas dalam Penjelasan pasal demi pasal, bahwa sesuai dengan ketentuan pasal 1 angka 10 Undang-Undang No51. Tahun 2009, hanya orang atau Badan Hukum Perdata yang dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan, sedangkan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan untuk menggugat Keputusan Tata Usaha Negara. 26

27 Setiap orang cakap mempunyai hak-hak dan merupakan subjek hukum. Menurut pasal 16 Algemeene Bepaling van Wetgeving (A.B), kedewasaan seseorang ditentukan menurut hukum nasionalnya. Jadi seorang asing yang berumur 19 tahun, yang dinegeri asal dianggap dianggap dewasa karena menurut hukum negeri itu seorang yang berumur 19 tahun sudah dewasa, juga menurut hukum Indonesia sudah dewasa, meskipun ia belum kawin. Belum Dewasa dalam KUHPerdata diatur dalam pasal 330 ayat (1) yaitu seorang yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan tidak lebih dulu kawin. Orang yang belum dewasa tidak mempunyai kecakapan melakukan perbuatan hukum atau menghadap di muka pengadilan sebagai Tergugat maupun Penggugat tetapi harus diwakili oleh bapak atau ibunya yang melakukan kekuasaan orang tua atau walinya (Pasal 383 KUH Perdata) Begitu pula dianggap yang tidak mampu melakukan perbuatan hukum yaitu mereka yang sakit ingatan, berada di bawah pengampuan dan mereka yang berada dalam keadaan pailit. Badan hukum perdata adalah badan atau perkumpulan atau organisasi atau koperasi dan sebagainya yang didirikan menurut ketentuan-ketentuan hukum Perdata (BW) atau peraturan lain, yang merupakan badan hukum, karena dalam pergaulan hukum ia sebagai subjek hukum. Untuk melakukan perbuatan hukum di muka pengadilan, persekutuan perdata harus merupakan badan hukum Martiman Prodjohamidjojo. Op.Cit, hal 32 27

28 Gugatan ke Pengadilan diajukan karena Penggugat merasa kepentingannya dirugikan akibat tindakan Administrasi Negara yang dituangkan dalam Keputusan Tata Usaha Negara. Unsur kepentingan merupakan salah satu syarat bagi Penggugat dan pihak ketiga dalam proses Peradilan Tata Usaha Negara. Unsur kepentingan dihubungkan dengan kedudukan orang atau Badan Hukum Perdata dan pihak ketiga sebagai subjek hukum mempunyai arti penting Pihak Tergugat Mengenai siapa yang berkedudukan sebagai Tergugat, maka pasal 1 angka 12 Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 memberikan jawaban, siapa siapa saja yang dapat menjadi subjek hukum Tergugat, yang dirumuskan sebagai berikut : Tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang atau Badan Hukum Perdata. Dalam pasal 1 angka 10 Undang-undang nomor 51 Tahun 2009 juga menentukan bahwa sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul di bidang tata usaha negara antaa orang atau Badan Hukum Perdata dengan Pejabat atau Badan Tata Usaha Negara. Kemudian dalam Pasal 53 undang-undang nomor 5 Tahun 1986 dinyatakan juga orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan dapat mengajukan gugatan yang berisi tuntutan agar keputusan Tata Usaha Negara tersebut dinyatakan batal 23 Soegianto Tjakranegara, 1994, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Grafika, hal.24 28

29 atau tidak sah. Dari beberapa ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa yang berkedudukan sebagai pihak Tergugat adalah Pejabat atau Badan Tata Usaha Negara. Pasal 53 Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 juga menyatakan bahwa yang berkedudukan sebagai Tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata usaha Negara yang mengeluarkan keputusan Tata Usaha Negara tersebut. Yang dimaksudkan dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dijelaskan dalam pasal 1 angka 8 Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 yaitu badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah. Pengertian urusan pemerintahan adalah kegiatan yang bersifat eksekutif. Kegiatankegiatan lain diluar kegiatan terutama yang masik dalam pengertian kegiatan legeslatif dan yudikatif tidak masuk di dalam pengertian urusan pemerintahan. Terkait dengan pihak Tergugat di dalam Peradilan Tata Usaha Negara erat kaitannya dengan wewenang yang dimiliki Pejabat atau Badan Tata Usaha Negara tersebut dalam menjalankan tugasnya. Wewenang tersebut ialah wewenang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, jadi wewenang dalam pengertian hukum publik. 24 S.F. Marbun mengemukakan bahwa menurut hukum administrasi, pengertian kewenangan (authority, gezag) adalah kekuasaan yang 24 R. Wiryono, Op.Cit., hal 54 29

30 diformalkan, baik terhadap suatu bidang pemerintaha tertentu yang berasal dari kekuasaan legeslatif atau dari kekuasaan pemerintah sedangkan wewenang (competence, bevoegdheid), hanyalah mengenai onderdil tertentu atau di bidang tertentu saja. Dengan demikian wewenang adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan hukum tertentu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berwenang untuk mengeluarkan Surat Keputusan Tata Usaha Negara, ialah Lembagalembaga atau Instansi-instansi yang memiliki kewenangan menjalankan urusan pemerintahan berdasarkan perundang-undangan yang berlaku. Antara wewenang dengan jabatan selalu terdapat keterkaitan, karena wewenang itu selalu melekat pada suatu jawabatan atau dengan perkataan lain pada suatu jabatan selalu dilekati dengan wewenang. E.Utrecht dan Moh. Saleh Djindang mengemukakan bahwa jabatan adalah pendukung wewenag. Jabatan adalah suatu lingkungan pekerjaan yang tetap yang diadakan dan dilakukan guna kepentingan negara (kepentingan umum) Objek Peradilan Tata Usaha Negara Perselisihan yang terjadi antara individu dengan alat-alat Negara (Pemerintah) maka hal ini akan diselesaikan di Pengadilan Tata Usaha 25 E. Utrecht dan Moh. Saleh Djindang, 1990, Pengantar Hukum administrasi Negara Indonesia, Ichtiar Baru, Jakarta, hal

31 Negara, karena perselisihan antara rakyat dan pemerintah timbul di bidang khusus yaitu dibidang Tata Usaha Negara. 26 Sengketa Tata Usaha Negara ialah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau Badan Hukum Perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usah Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan Tata Usaha Negara termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan perundangundangan yang berlaku (Pasal 1 angka 10 Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009) Mengenai Pengertian Keputuan Tata Usaha Negara dapat dilihat dalam pasal 1 angka 10 Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 yaitu suatu penetapan tertulis yang beriisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat kongkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seorang atau badan hukum perdata. Terdapat beberapa unsur dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara tersebut yaitu : 1. Bentuk Tertulis Suatu ketetapan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diisyaratkan tertulis, tidak menunjuk kepada format melainkan kepada isi (materi) yang menunjuk hubungan hukum. Persyaratn tertulis ini guna memudahkan segi pembuktian serta untuk kepastian hukum. 26 Rochmat Soemitro, Op.Cit., hal

32 2. Materi Berisi Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Tugas administrasi negara melaksanakan penyelenggaraan atau pelayanan publik (umum), di berbagai bidang untuk pembangunan, sehingga administrasi negara melakukan perbuatan penetapan, yang selanjutnya berwujud ketetapan-ketetapan yang seringkali dapat terjadi suatu penyimpangan sehingga dapat mengganggu keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat. 3. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara Keputusan Tata Usaha Negara merupakan hasil perbuatan administrasi negara dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan, dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. 4. Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang Berlaku Dalam mengambil tindakan hukum dan selanjutnya dikeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara harus dilandasi atau bersumber pada ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 5. Bersifat Indiviual, Kongkret dan Final Indiviual maksudnya disini adalah Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak ditujukan kepada umum, tetapi tertentu baik alamat maupun hal yang dituju. Kongkret artinya objek yang diputuskan dalam Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak abstrak tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan. Final artinya sudah definitif dan karenanya dapat menumbulkan akibat hukum. 32

33 6. Menimbulkan Akibat Hukum Bagi Seseorang atau Badan Hukum Perdata Artinya menimbulkan suatu perubahan dalam suasana hubungan hukum yang telah ada. Misalanya melahirkan hubungan hukum baru, menghapuskan hubungan yang telah ada, menetapkan status dan sebagainya. 27 Disamping itu yang dapat menjadi objek Tata Usaha Negara terkait dengan pasal 3 Undang-Undang Nomor tahun 1986 yaitu apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara. Keputusan Tata Usaha Negara seperti ini disebut juga Keputusan Tata Usaha Negara Fiktif, karena keputusan ini seolah-olah ada, padahal secara faktual dalam bentuk penetapan tertulis tidak ada. 28 Selain itu jika Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut telah dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan tersebut atau disebut dengan Keputusan Tata Usaha Negara negatif Martiman Prodjohamidjojo, Op.Cit., hal Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal Siti Soetami.,2001, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Refika Aditama, Bandung, hal.7 33

34 Dalam penerapan pasal 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tersebut diatas terdapat aturan yang mengaturnya dalam Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Tata Usaha Negara yaitu : - Apabila ditentukan jangka waktu untuk memproses permohonan, dianggap ada penolakan jika jangka waktu yang ditentukan tersebut telah lewat Badan/Pejabat Tata Usaha negara tidak meresponnya. - Apabila tidak ditentukan jangka waktu untuk memproses permohonan, dianggap ada penolakan setelah jangka waktu 4 bulan sejak diterimannya permohonan - Apabila terbukti sikap diam yang dilakukan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara cacat hukum, maka Pengadilan mewajibkan agar Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara sesuai prosedur perudang-undangan yang berlaku. Dalam amar putusan dalam gugatan diatas mewajibkan Tergugat untuk memproses permohonan Penggugat yang didiamkan oleh Tergugat menurut Peraturan yang berlaku. Amar putusan tersebut tidak selalu mengabulkan permohonan Penggugat, tetapi juga dapat menolak permohonan Penggugat. Keputusan Tata Usaha Negara yang melalui upaya administrasi (Pasal 48 Udang-undang nomor 5 Tahun 1986) juga termasuk objek Tata Usaha Negara. Apabila peraturan perundang-undangan mengatur penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara melalui upaya administrasi terlebih dahulu, maka sengketa Tata Usaha Negara tersebut harus 34

35 diselesaikan melalui upaya administrasi yang tersedia di lingkungan pemerintahan. Peradilan Tata Usaha Negara baru berwenang memeriksa, memutusdan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tersebut setelah seluruh upaya administrasi telah digunakan. Tidak semua keputusan Tata Usaha Negara termasuk objek gugatan Tata Usaha Negara, hal ini dapat dilihat dalam pasal 2 Undang-undang Nomr 9 Tahun 2004 yaitu : a. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbutan hukum perdata. b. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum. c. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan. d. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan kitab Undang-undang Hukum Pidana atau Kitab Undang undang Hukum Acara Pidana atau peraturan peraturan perundangundangan lainnya yang bersifat hukum pidana. e. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. f. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha angkatan Bersenjata Republik Indonesia g. Keputusan Panitia Pemilihan, baik di pusat maupun di daerah, mengenai hasil pemilihan umum. 35

36 c. Proses Beracara di Peradilan Tata Usaha Negara Proses beracara di Peradilan Tata Usaha Negara didahului dengan dilakukannya pengajuan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara yang berwenang oleh Penggugat. Penggugat disini adalah orang atau Badan Hukum Perdata, yang merasa dirugikan akibat dikeluarkannya suatu Keputusan Tata Usaha Negara oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan. 30 Gugatan tersebut dapat diajukan hanya dalam waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Dalam ketentuan pasal 53 ayat (2) huruf a dan b Undang-undnag Nomor 9 Tahun 2004 perubahan atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 disebutkan alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan yaitu sebagai berikut : a. Keptusan Tata Usaha Negara yang digugat tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Mengenai hal-hal yang harus termuat dalam gugatan dapat dilihat dalam pasal 56 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 yaitu : 1. Nama, kewarganegaraan, tempat tinggal, dan pekerjaan penggugat atau kuasanya. 2. Nama jabatan, dan tempat kedudukan tergugat. 30 Rozali Abdulah,., Op.Cit., hal.31 36

37 3. Dasar gugatan dan hal yang diminta untuk diputuskan oleh Pengadilan. Gugatan yang diajukan diisyaratkan dalam bentuk tertulis dan ditandatangani oleh penggugat atau kuasanya. Sedangkan bilamana mereka tidak pandai baca tulis dapat mengutarakan keinginannya untuk menggugat kepada Panitera Pengadilan yang akan membantu merumuskan gugatan dalam bentuk tertulis. 31 Selanjutnya setelah Penggugat membayar uang muka biaya perkara yang besarnya ditaksir oleh Paniter Pengadilan, dan kemudian gugatan dicatat dalam daftar perkara oleh Panitera Pengadilan. Selambatlambatnya dalam jangka waktu tiga puluh hari sesudah gugatan dicatat, Hakim menentukan hari, jam dan tempat persidangan dan menyuruh memanggil kedua belah pihak untuk hadir pada waktu dan tempat yang telah ditentukan. Dalam proses pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara, terdapat terdapat beberapa tahap, yaitu : 1. Sebelum Pemeriksaan Pokok Perkara Pemeriksaan Pengadilan Tata Usaha Negara mempunyai sifat khusus. Sebelum pemeriksaan pokok perkara diawali dengan Rapat Permusyawaratan (Pasal 62 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986) dan Pemeriksaan Persiapan (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986). a. Rapat Permusyawaratan Rapat Permusyawaratan dipimpin oleh Ketua Pengadilan atau hakim senior lainnya yang ditunjuk oleh Ketua. Rapat Permusyawaratan 31 Martiman Prodjohamidjojo, Op.Cit., hal

38 merupakan prosedure dismissal yaitu memutuskan apakah gugatan yang diajukan diterima atau tidak diterima. 32 Disini Ketua Pengadilan memeriksa apakah gugatan yang masuk sudah memenuhi syarat-syarat sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 dan apakah memang termasuk wewenang Pengadilan Tata Usaha Negara untuk mengadilinya. 33 Penetapan Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara mengenai hal ini diucapkan dalam rapat Permusyawaratan dengan memanggil dua belah pihak untuk mendengarkannya. Apabila terjadi perlawanan terhadap Penetapan Pengadilan dimaksud maka dalam tenggang waktu 14 hari sesudah diucapkan maka harus mengajukan perlawanan dengan memenuhi syarat-syarat seperti gugatan biasa. Apabila perlawanan tersebut dibenarkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara melalui Pemeriksaan Acara singkatt, maka pokok gugatan akan diperiksa dengan acara biasa. 34 b. Pemeriksaan Persiapan Dalam Pemeriksaan Persiapan, hakim berperan lebih aktif dalam memeriksa sengketa, antara lain dengan meminta Penggugat untuk melengkapi alat-alat bukti sebelum sidang berlangsung dan meminta Badan atau Pejabat Tata Usaha negara yang bersangkutan untuk memberikan informasi dan data yang diperlukan oleh Pengadilan Pemeriksaan di Persidangan 32 Martiman Prodjohamidjojo, Op.Cit., hal Rozali Abdulah,, Op.Cit., hal Rozali Abdulah,, Op.Cit. hal Victor Situmorang dan Soedibyo, 1992, Pokok-pokok Peradilan Tata Usaha Negara, Rinjeka Cipta, Jakarta, hal

Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN

Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu peradilan di Indonesia yang berwenang untuk menangani sengketa Tata Usaha Negara. Berdasarkan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB III. Upaya Hukum dan Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara. oleh Pejabat Tata Usaha Negara

BAB III. Upaya Hukum dan Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara. oleh Pejabat Tata Usaha Negara BAB III Upaya Hukum dan Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara oleh Pejabat Tata Usaha Negara A. Upaya Hukum Ada kalanya dengan keluarnya suatu putusan akhir pengadilan sengketa antara Penggugat

Lebih terperinci

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA Dosen : 1. Zainal Muttaqin, S.H., MH. 2. Deden Suryo Raharjo, S.H. PENDAHULUAN Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (Haptun) membahas dan mengkaji bagaimana Hukum

Lebih terperinci

Diskusi Mata Kuliah Perkumpulan Gemar Belajar (GEMBEL) HUKUM ACARA TATA USAHA NEGARA

Diskusi Mata Kuliah Perkumpulan Gemar Belajar (GEMBEL) HUKUM ACARA TATA USAHA NEGARA berlaku. 3 Dari definisi berdasar pasal 1 ayat (4) tersebut, maka unsur-unsur yang harus dipenuhi Diskusi Mata Kuliah Perkumpulan Gemar Belajar (GEMBEL) HUKUM ACARA TATA USAHA NEGARA Hukum Acara Tata Usaha

Lebih terperinci

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA 1 HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA I. Pengertian, asas & kompetensi peradilan TUN 1. Pengertian hukum acara TUN Beberapa istilah hukum acara TUN, antara lain: Hukum acara peradilan tata usaha pemerintahan

Lebih terperinci

KOMPETENSI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA

KOMPETENSI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA KOMPETENSI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA Oleh : H. Yodi Martono Wahyunadi, S.H., MH. I. PENDAHULUAN Dalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 sekarang (hasil amandemen)

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 113/PUU-XII/2014 Keputusan Tata Usaha Negara yang Dikeluarkan atas Dasar Hasil Pemeriksaan Badan Peradilan Tidak Termasuk Pengertian Keputusan Tata Usaha Negara

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gugatan terhadap pejabat atau badan Tata Usaha Negara dapat diajukan apabila terdapat sengketa Tata Usaha Negara, yaitu sengketa yang timbul karena dirugikannya

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 of 24 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA

UNDANG-UNDANG DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA UNDANG-UNDANG DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id

Lebih terperinci

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN UU 4/2004, KEKUASAAN KEHAKIMAN *14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN. TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN. TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN. TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

BAB III KEWENANGAN HAKIM TATA USAHA NEGARA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 2004

BAB III KEWENANGAN HAKIM TATA USAHA NEGARA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 2004 BAB III KEWENANGAN HAKIM TATA USAHA NEGARA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 2004 A. Kedudukan dan Tanggung Jawab Hakim Pada pasal 12 ayat 1 undang-undang No 9 tahun 2004 disebutkan bahwa hakim pengadilan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah institusi yang berperan melakukan kegiatan pengujian konstitusional di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1985 (ADMINISTRASI. KEHAKIMAN. LEMBAGA NEGARA. Mahkamah Agung. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana 1. Kekuasaan Kehakiman Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.98, 2003 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa kekuasaan

BAB I PENDAHULUAN. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa kekuasaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah

Lebih terperinci

Judul buku: Kebatalan dan pembatalan akta notaris. Pengarang: Dr. Habib Adjie, S.H., M.Hum. Editor: Aep Gunarsa

Judul buku: Kebatalan dan pembatalan akta notaris. Pengarang: Dr. Habib Adjie, S.H., M.Hum. Editor: Aep Gunarsa Judul buku: Kebatalan dan pembatalan akta notaris Pengarang: Dr. Habib Adjie, S.H., M.Hum. Editor: Aep Gunarsa Penerbit dan pencetak: PT Refika Aditama (Cetakan kesatu, Juni 2011. Cetakan kedua, April

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan

Lebih terperinci

BAB III PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 718 K/AG/2012 TENTANG BIAYA KEHIDUPAN (NAFKAH) BAGI BEKAS ISTRI YANG DIBERIKAN OLEH SUAMI PASCA PERCERAIAN

BAB III PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 718 K/AG/2012 TENTANG BIAYA KEHIDUPAN (NAFKAH) BAGI BEKAS ISTRI YANG DIBERIKAN OLEH SUAMI PASCA PERCERAIAN BAB III PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 718 K/AG/2012 TENTANG BIAYA KEHIDUPAN (NAFKAH) BAGI BEKAS ISTRI YANG DIBERIKAN OLEH SUAMI PASCA PERCERAIAN A. Mahkamah Agung dalam Sistem Peradilan Agama di Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum pada dasarnya bertujuan untuk mencapai kedamaian hidup bersama, yang merupakan keserasian antara ketertiban dengan ketentraman.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

MEDIASI DALAM RANGKA ASAS PERADILAN CEPAT BIAYA MURAH DALAM UPAYA PENYELESAIAN TERJADINYA SENGKETA DI PERADILAN TATA USAHA NEGARA

MEDIASI DALAM RANGKA ASAS PERADILAN CEPAT BIAYA MURAH DALAM UPAYA PENYELESAIAN TERJADINYA SENGKETA DI PERADILAN TATA USAHA NEGARA MEDIASI DALAM RANGKA ASAS PERADILAN CEPAT BIAYA MURAH DALAM UPAYA PENYELESAIAN TERJADINYA SENGKETA DI PERADILAN TATA USAHA NEGARA Oleh Hervina Puspitosari Abstrak Arti pentingnya Peradilan Tata Usaha Negara,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Mediasi

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan Suatu perjanjian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perseorangan, dan kepentingan masyarakat demi mencapai tujuan dari Negara

BAB I PENDAHULUAN. perseorangan, dan kepentingan masyarakat demi mencapai tujuan dari Negara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar hukum dan untuk mewujudkan kehidupan tata negara yang adil bagi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2018 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peradilan Tata Usaha Negara telah diatur didalam Undang-Undang Nomor

BAB I PENDAHULUAN. Peradilan Tata Usaha Negara telah diatur didalam Undang-Undang Nomor BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peradilan Tata Usaha Negara telah diatur didalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang diundangkan pada tanggal 29 Desember

Lebih terperinci

keseragaman kebijaksanaan seringkali peraturan yang menjadi dasar keputusan menentukan bahwa sebelum berlakunya Keputusan Tata Usaha Negara

keseragaman kebijaksanaan seringkali peraturan yang menjadi dasar keputusan menentukan bahwa sebelum berlakunya Keputusan Tata Usaha Negara PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA I. UMUM Undang-Undang Dasar Negara Republik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

OBYEKTIVITAS PUTUSAN HAKIM PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN ADANYA TAHAPAN PEMERIKSAAN PERSIAPAN

OBYEKTIVITAS PUTUSAN HAKIM PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN ADANYA TAHAPAN PEMERIKSAAN PERSIAPAN Aktifitas Putusan Hakim Peradilan Tata Usaha Negara... OBYEKTIVITAS PUTUSAN HAKIM PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN ADANYA TAHAPAN PEMERIKSAAN PERSIAPAN Abdul Jabbar Dosen Jurusan Syari ah STAIN Jember

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN UMUM PENGADILAN PAJAK. semakin meningkat. Dalam upaya untuk mendapatkan dana dari pajak,

BAB III GAMBARAN UMUM PENGADILAN PAJAK. semakin meningkat. Dalam upaya untuk mendapatkan dana dari pajak, BAB III GAMBARAN UMUM PENGADILAN PAJAK III.1 Sejarah Pengadilan Pajak Pada permulaan abad ke-20 (dua puluh), perdagangan di negeri jajahan Belanda yakni Hindia-Belanda semakin berkembang seiring dengan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.292, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA ADMINISTRASI. Pemerintahan. Penyelengaraan. Kewenangan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5601) UNDANG UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia adalah negara hukum (Rechstaat). Landasan

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia adalah negara hukum (Rechstaat). Landasan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia adalah negara hukum (Rechstaat). Landasan yuridis sebagai negara hukum ini tertera pada Pasal 1 ayat (3) UUD Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 pasal 24 ayat (1) dan (2), dalam rangka menyelenggarakan peradilan guna menegakkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL III - 1 III - 2 Daftar Isi BAB I KETENTUAN UMUM III-9 BAB II TATACARA PENYELESAIAN PERSELISIHAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

Analisis Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Mengeluarkan Putusan Yang Bersifat Ultra Petita Berdasarkan Undang-Undangnomor 24 Tahun 2003

Analisis Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Mengeluarkan Putusan Yang Bersifat Ultra Petita Berdasarkan Undang-Undangnomor 24 Tahun 2003 M a j a l a h H u k u m F o r u m A k a d e m i k a 45 Analisis Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Mengeluarkan Putusan Yang Bersifat Ultra Petita Berdasarkan Undang-Undangnomor 24 Tahun 2003 Oleh: Ayu

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

I. PEMOHON Imam Ghozali. Kuasa Pemohon: Iskandar Zulkarnaen, SH., MH., berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 15 Desember 2015.

I. PEMOHON Imam Ghozali. Kuasa Pemohon: Iskandar Zulkarnaen, SH., MH., berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 15 Desember 2015. RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 12/PUU-XIV/2016 Waktu Penyelesaian, Produk Hukum penyelesaian BNP2TKI, dan Proses Penyelesaian Sengketa Antara TKI dengan PPTKIS Belum Diatur Di UU 39/2004 I. PEMOHON

Lebih terperinci

KEWENANGAN SERTA OBYEK SENGKETA DI PERADILAN TATA USAHA NEGARA SETELAH ADA UU No. 30 / 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN

KEWENANGAN SERTA OBYEK SENGKETA DI PERADILAN TATA USAHA NEGARA SETELAH ADA UU No. 30 / 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN KEWENANGAN SERTA OBYEK SENGKETA DI PERADILAN TATA USAHA NEGARA SETELAH ADA UU No. 30 / 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN Aju Putrijanti Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Jl Prof Soedarto, S.H.,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tanah adalah sumber daya alam terpenting bagi bangsa Indonesia untuk

BAB I PENDAHULUAN. Tanah adalah sumber daya alam terpenting bagi bangsa Indonesia untuk 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bumi, air, ruang angkasa beserta kekayaan alam yang terkandung di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikaruniakan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENGAJUAN KEBERATAN DAN PENITIPAN GANTI KERUGIAN KE PENGADILAN NEGERI DALAM PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara-negara Welfare State (Negara Kesejahteraan) merupakan suatu

BAB I PENDAHULUAN. negara-negara Welfare State (Negara Kesejahteraan) merupakan suatu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Peradilan administrasi merupakan salah satu perwujudan negara hukum, peradilan administrasi di Indonesia dikenal dengan sebutan Pengadilan Tata Usaha Negara.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang

Lebih terperinci

KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA ANCANGAN

KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA ANCANGAN KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA ANCANGAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA PEMILIHAN DAN SENGKETA PELANGGARAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pelanggaran hak asasi manusia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pelanggaran hak asasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Gugatan dan Sengketa Tata Usaha Negara 1. Pengertian Pengajuan Permohonan Gugatan Pada asasnya, bahwa gugatan diajukan kepada pengadilan yang berwenang, yang daerah hukumnya

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1991 Tentang : Ganti Rugi Dan Tata Cara Pelaksanaannya Pada Peradilan Tata Usaha Negara

Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1991 Tentang : Ganti Rugi Dan Tata Cara Pelaksanaannya Pada Peradilan Tata Usaha Negara Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1991 Tentang : Ganti Rugi Dan Tata Cara Pelaksanaannya Pada Peradilan Tata Usaha Negara Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 43 TAHUN 1991 (43/1991) Tanggal : 5

Lebih terperinci

BAB IV. ANALISIS TERHADAP PUTUSAN NO. 0688/Pdt.G/2011/PA.Tbn TENTANG PENCABUTAN GUGATAN TANPA PERSETUJUAN TERGUGAT DALAM PERKARA CERAI GUGAT

BAB IV. ANALISIS TERHADAP PUTUSAN NO. 0688/Pdt.G/2011/PA.Tbn TENTANG PENCABUTAN GUGATAN TANPA PERSETUJUAN TERGUGAT DALAM PERKARA CERAI GUGAT BAB IV ANALISIS TERHADAP PUTUSAN NO. 0688/Pdt.G/2011/PA.Tbn TENTANG PENCABUTAN GUGATAN TANPA PERSETUJUAN TERGUGAT DALAM PERKARA CERAI GUGAT A. Dasar Hukum Hakim dalam Penerapan Pencabutan Cerai Gugat Pengadilan

Lebih terperinci

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN I. UMUM Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum.

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan I. PEMOHON 1. Damian Agatha Yuvens 2. Rangga Sujud Widigda 3. Anbar Jayadi 4. Luthfi Sahputra 5. Ryand, selanjutnya disebut Para Pemohon.

Lebih terperinci

PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA PEMILU. Oleh; YOSRAN,S.H,M.Hum

PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA PEMILU. Oleh; YOSRAN,S.H,M.Hum PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA PEMILU OLEH PENGADILAN TINGGI TATA USAHA NEGARA Oleh; YOSRAN,S.H,M.Hum Kewenangan absolut pengadilan dilingkungan peradilan tata usaha negara adalah memeriksa, memutus

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG IKATAN KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG IKATAN KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG IKATAN KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA Menimbang

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 21/PUU-XVI/2018

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 21/PUU-XVI/2018 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 21/PUU-XVI/2018 Wewenang DPR Memanggil Paksa Setiap Orang Menggunakan Kepolisian Negara Dalam Rapat DPR Dalam Hal Pihak Tersebut Tidak Hadir Meskipun Telah Dipanggil

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor 88/PUU-XII/2014 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

PUTUSAN Nomor 88/PUU-XII/2014 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA PUTUSAN Nomor 88/PUU-XII/2014 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

SENGKETA TATA USAHA NEGARA PEMILU DAN PENYELESAINNYA OLEH PERADILAN TATA USAHA NEGARA

SENGKETA TATA USAHA NEGARA PEMILU DAN PENYELESAINNYA OLEH PERADILAN TATA USAHA NEGARA SENGKETA TATA USAHA NEGARA PEMILU DAN PENYELESAINNYA OLEH PERADILAN TATA USAHA NEGARA Oleh : Herma Yanti ABSTRAK Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum anggota DPR, DPD dan DPRD telah

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara I. PEMOHON Bachtiar Abdul Fatah. KUASA HUKUM Dr. Maqdir Ismail, S.H., LL.M., dkk berdasarkan surat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA

BAB II TINJAUAN TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA BAB II TINJAUAN TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA A. Arti Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia Ketentuan Tentang Kekuasaan Kehakiman Diatur Dalam Bab IX, Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-undang Dasar 1945.

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 52, 1991 (KEHAKIMAN. PENGADILAN. ADMINISTRASI. Peradilan Tata Usaha Negara. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM TENTANG DISKRESI PEJABAT PEMERINTAHAN, LARANGAN PENYALAHGUNAAN WEWENANG TERKAIT DISKRESI MENURUT UUAP

TINJAUAN HUKUM TENTANG DISKRESI PEJABAT PEMERINTAHAN, LARANGAN PENYALAHGUNAAN WEWENANG TERKAIT DISKRESI MENURUT UUAP TINJAUAN HUKUM TENTANG DISKRESI PEJABAT PEMERINTAHAN, LARANGAN PENYALAHGUNAAN WEWENANG TERKAIT DISKRESI MENURUT UUAP Sumber: http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt57b510afc8b68/bahasa-hukum--diskresi-pejabatpemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan olehnya dapat di pertanggung jawabkan dihadapan hukum.

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan olehnya dapat di pertanggung jawabkan dihadapan hukum. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia adalah negara hukum sebagaimana termuat dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (selanjutnya disebut UUD RI 1945).

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA OLEH PEJABAT TATA USAHA NEGARA

BAB III PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA OLEH PEJABAT TATA USAHA NEGARA BAB III PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA OLEH PEJABAT TATA USAHA NEGARA A. Putusan PTUN Tujuan diadakannya suatu proses di pengadilan adalah untuk memperoleh putusan hakim. 62 Putusan hakim

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mencabut: UU 14-1970::UU 35-1999 file PDF: [1] LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.8, 2004 HUKUM. KEHAKIMAN. Lembaga Peradilan. Badan-badan Peradilan.

Lebih terperinci

1 / 25 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Y A Y A S A N Diubah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

I. PEMOHON Imam Ghozali. Kuasa Pemohon: Iskandar Zulkarnaen, SH., MH., berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 15 Desember 2015.

I. PEMOHON Imam Ghozali. Kuasa Pemohon: Iskandar Zulkarnaen, SH., MH., berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 15 Desember 2015. RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 12/PUU-XIV/2016 Waktu Penyelesaian, Produk Hukum penyelesaian BNP2TKI, dan Proses Penyelesaian Sengketa Antara TKI dengan PPTKIS Belum Diatur Di UU 39/2004 I. PEMOHON

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace dicabut: UU 40-2007 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 13, 1995 ( Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3587) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 108/PUU-XIV/2016 Peninjauan Kembali (PK) Lebih Satu Kali

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 108/PUU-XIV/2016 Peninjauan Kembali (PK) Lebih Satu Kali RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 108/PUU-XIV/2016 Peninjauan Kembali (PK) Lebih Satu Kali I. PEMOHON Abd. Rahman C. DG Tompo Kuasa Hukum DR. Saharuddin Daming. SH.MH., berdasarkan surat kuasa khusus

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA) Sumber: LN 1974/1; TLN NO. 3019 Tentang: PERKAWINAN Indeks: PERDATA. Perkawinan.

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR : M.02.PR.08.10 TAHUN 2004 TENTANG TATA CARA PENGANGKATAN ANGGOTA, PEMBERHENTIAN ANGGOTA, SUSUNAN ORGANISASI, TATA KERJA, DAN TATA

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Dasar Hukum Pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara. dan lain-lain Badan Kehakiman menurut undang-undang.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Dasar Hukum Pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara. dan lain-lain Badan Kehakiman menurut undang-undang. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tentang Peradilan Tata Usaha Negara 1. Dasar Hukum Pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara Pada mulanya dasar konstitusional pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara ini adalah

Lebih terperinci