HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA"

Transkripsi

1 HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA Dosen : 1. Zainal Muttaqin, S.H., MH. 2. Deden Suryo Raharjo, S.H. PENDAHULUAN Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (Haptun) membahas dan mengkaji bagaimana Hukum Administrasi materiil ditegakan oleh hukum acaranya (dalam hal ini hukum acara peradilan administrasi murni). Materinya meliputi : - Peradilan di Indonesia, - Sengketa administrasi, - Upaya hukum terhadap putusan hakim admnistrasi. Istilah Menurut Prayudi, bahwa Administrasi Negara (AN) dan tata usaha negara (TUN) berbeda, dalam hal ini maka AN memiliki ruang lingkup yang lebih luas. Sjachran Basah memberikan nama yang lain terhadap mata kuliah Haptun, yakni Hukum Acara Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Administrasi (HAPLA), namun istilah ini kurang populer. Adapun alasan pemilihan istilah ini menurutnya, karena dalam Hapla ini pemahamannya lebih luas karena di dalamnya tercakup mengenai peradilan administrasi murni dan semu (kuasi). Hal ini didasarkan pada adanya beberapa kasus yang tidak diselesaikan di Pengadilan Tingkat I namun harus melalui peradilan semu. 1

2 Definisi Haptun adalah adalah hukum yang mengatur tentang cara-cara bersengketa di Peradilan Tata Usaha Negara, serta mengatur hak dan kewajiban pihak-pihak yang terkait dalam proses penyelesaian sengketa tersebut. Pengertian Haptun; formil, sedangkan Hukum Administrasi Negara (HAN); materiil. Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN), maka pengertian HAN dan Hukum Tata Usaha Negara (HTUN) sama. Haptun membahas dan mengkaji bagaimana Hukum Administrasi materiil ditegakan oleh hukum acaranya. Hukum formal berbicara bagaimana peranannya di dalam menegakan hukum materiil dan hal inilah yang merupakan persamaan dari setiap hukum acara. Hubungan kausalitas antara hukum formil dengan hukum materiil yaitu berkaitan dengan peradilan, bahwa peradilan tanpa hukum formil akan menjadi liar, tidak mempunyai arah, dan peradilan tanpa hukum materiil akan menjadi lumpuh. Menurut Sjachran Basah bahwa hukum acara mengabdi pada hukum materiil. Untuk timbulnya hukum acara maka dalam pembentukannya ada pilihan, antara lain : 1. Ketentuan prosedur berperkara diatur bersama dengan hukum materiilnya, 2. Ketentuan prosedur berperkara diatur berbeda-beda/terpisah. Yang ingin ditegakan oleh hukum formal adalah hukum materiil yang akan diproses untuk diungkap mengenai aspek keadilannya melalui pengadilan administrasi murni. Pada hakikatnya hukum formil masuk pada rumpun hukum publik, berdasarkan teori residu dari van Vollenhoven, bahwa hukum acara merupakan bagian dari hukum publik dan merupakan bagian dari hukum Administrasi Negara sehingga pemahamannya yang muncul adalah bahwa hukum formil sebagai sarana hukum publik (publik rechtelijk instrumentarium). Perbedaan Haptun dengan Hukum Acara Perdata (Haper) adalah bahwa Haper Kitab UU hukum materiil dan formilnya dituangkan dalam kitab yang berbeda, sedangkan 2

3 dalam Haptun tidak ada kitab UU hukumnya, yang ada hanya UU saja yaitu UU PTUN. Perbedaan Haptun dengan Haper, diantaranya : 1. Hakim TUN lebih aktif guna memperoleh kebenaran materil mengarah pada pembuktian bebas. 2. Gugatan TUN tidak menunda pelaksanaan keputusan TUN. 3. Adanya berbagai kemudahan seperti dalam hal pihak tidak pandai baca tulis, maka dibantu panitera dalam merumuskan gugatan, dll. Teori residu: HAN adalah keseluruhan hukum dikurangi Hukum pidana materiil, Hukum Perdata materiil, dan Hukum Tata Negara (HTN) materiil. Public rechtelijk instrumentarium melahirkan 5 fungsi, antara lain : 1. Fungsi direktif, Hukum berfungsi sebagai pengarah dalam membangun dan membentuk masyarakat yang hendak dicapai sesuai dengan tujuan hidup bernegara. Pengarah; posisi hukum berada di depan dalam rangka proses pembangunan, ini berkaitan dengan yuridis instrumentarium, yaitu suatu kerangka yang memandang seluruh kaidah hukum dalam satu (harmonisasi) dan supremasi hukum. 2. Fungsi integratif, Hukum berfungsi sebagai pembina persatuan bangsa. Harus adanya kesatuan hukum (unifikasi hukum) yang dijalankan melalui kodifikasi. 3. Fungsi stabilitas, Hukum berfungsi sebagai pemelihara (termasuk di dalamnya hasil-hasil pembangunan), dan menjaga keselarasan, keserasian dan keseimbangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. 4. Fungsi perfektif, Hukum berfungsi sebagai penyempurna terhadap tindakan-tindakan Administrasi Negara maupun sikap tindak warga dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. 3

4 5. Fungsi korektif, Hukum berfungsi sebagai pengoreksi atas sikap tindak baik administrasi maupun warga apabila terjadi pertentangan hak dan kewajiban untuk mendapatkan keadilan. PERADILAN DI INDONESIA Berbicara tentang peradilan itu sendiri maka berdasarkan pasal 10 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, terdapat 4 lingkungan peradilan yaitu : 1. Peradilan Umum, 2. Peradilan Agama, 3. Peradilan Militer, 4. Peradilan Tata Usaha Negara (TUN). Perbedaan keempat lingkungan peradilan tersebut adalah pada objek dan subjeknya : Peradilan Umum : - Peradilan perdata, objeknya; sengketa yang bersifat privat (terjadi karena adanya hubungan hukum yakni hubungan antara subjek hukum dengan subjek hukum lainnya yang akhirnya tertuju pada ganti kerugian). - Peradilan pidana, objeknya; kejahatan. Peradilan Agama : Objeknya; nikah, talak, rujuk, waris (dan wasiat, hibah, wakaf yang masih dalam proses perkawinan). Peradilan Militer : Objeknya; tindak pidana terhadap subjek militer. Peradilan TUN : Objeknya; sengketa yang ditmibulkan oleh suatu keputusan yang dikeluarkan oleh aparatur negara (beschiking). Pelaksanaan fungsi AN, dalam SK yang merugikan rakyat dan rakyat dapat menggugat instansi tersebut. Persamaannya dari keempat bentuk peradilan tersebut adalah bahwa semuanya samasama menegakan hukum materiil dengan menggunakan hukum formil, dan menyelesaikan sengketa hukum. Dalam UUD 1945 tidak dikenal bentuk-bentuk peradilan, mengcnai hal ini baru dikenal setelah lahir UU No 14 tahun

5 PERADILAN TATA USAHA NEGARA Definisi dan Pengertian Rochmat Soemitro membedakan antara peradilan dengan pengadilan, dimana titik berat dari peradilan adalah kepada prosesnya, sedangkan pengadilan kepada acaranya (lembaga). Dasar hukum utama peradilan TUN adalah UU No. 14 Tahun 1970 (pasal 10 ayat (1)), sedangkan UU operasionalnya adalah UU PTUN. Untuk menentukan apakah suatu perkara harus diproses di Pengadilan Negeri ataukah di Pengadilan Tinggi, maka biasanya ditentukan oleh perundang-undangannya sendiri yang mengatur dimana perkara tersebut harus diadili. Peradilan TUN merupakan badan peradilan yang bertugas memeriksa, mengadili, memutus/menyelesaikan sengketa TUN antara orang perorangan atau badan hukum perdata dengan pejabat TUN. Bila kita melihat TAP MPR dan UU No.14 Tahun 1970 (direvisi dengan UU No. 35 Tahun 1999) maka peradilan administrasi merupakan suatu hal yang tidak dapat ditolak. Bila kita lihat pendapat dari Dicey tentang the rule of law-nya yang terdiri dari : 1 Supremacy of law, 2 Human Right, 3 Equality before the law (bahwa semua warga negara adalah sama di depan hukum). Maka dengan melihat point ke-3 ini, maka sebenarnya tidak perlu ada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Tetapi bila kita berpegang pada prinsip negara hukum, maka F.J. Stahl berpendapat bahwa peradilan administrasi merupakan syarat dari suatu negara hukum formal. Berbicara tentang good government, maka orientasi kita lebih kepada eksekutif sedangkan good governnaar bisa ke eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Adapun ciri good govenment diantaranya : 1. Adanya peradilan admmistrasi bebas dan tidak memihak, 2. Terjaminnya HAM, 3. Adanya transparansi. 5

6 Sebelumnya bahwa peradilan administrasi merupakan tugas badan itu sendiri, namun setelah lahir UU PTUN maka peradilan Administrasi menjadi peradilan yang mandiri dan berdiri sendiri. Fokus pembahasan dalam peradilan TUN adalah pada sengketa administrasi itu sendiri dari mulai pengajuan gugatan s/d putusan yang disertai dengan pelaksanaannya (eksekusi), juga berbagai upaya hukum yang dapat ditempuh. Suatu sengketa administrasi diajukan ke PTUN karena tidak semua upaya-upaya administrasi yang diselesaikan oleh instansi dapat memuaskan para pihak, dan dalam hal ini maka gugatan tidak dimulai dari tingkat I, tetapi langsung ke tingkat banding. Unsur-unsur Unsur-unsur dari peradilan TUN : 1. Ada ketentuan hukum vang dituju, 2. Ada sengketa hukum yang konkrit, 3. Minimal 2 pihak, 4. Ada lembaga/ badan yang dituju. Unsur-unsur khusus dari peradilantun : 1. Berdasarkan HAN, 2. Pihaknya: a. Antara administrasi negara dan administrasi negara, b. Antara masyarakat dan administrasi negara. (Peradilan murni; apabila memenuhi semua unsur tersebut di atas, peradilan tidak murni; apabila tidak memenuhi salah satu unsur ). Jenis-jenis Ada 2 macam peradilan administrasi, yaitu : 1. Peradilan administrasi murni, Termasuk kewenangan yudikatif. 2. Peradilan administrasi semu, Di luar kewenangan yudikatif. Sengketa administrasi dapat dilakukan oleh : 1. Pengadilan umum, 6

7 2. Pengadilan administrasi yang dibentuk sendiri, 3. Badan-badan khusus yang dibentuk, 4. Badan-badan administrasi eksekutif. Peradilan sebelum dan sesudah UU PTUN : Sebelum UU PTUN : 1. Peradilan Umum, 2. Banding Administrasi, 3. Badan-badan khusus. Setelah UU PTUN : 1. PTUN; 2. Peradilan Umum, 3. Upaya Administrasi, 4. Peradilan Militer. Asas-asas Peradilan TUN Diantaranya meliputi : 1. Asas praeasumptio iustae causa, Pasal 67 (l) UU PTUN. Asas yang mengandung makna bahwa setiap tindakan administrasi negara selalu harus dianggap mempunyai kekuatan hukum sampai ada pembatalan berupa vonis dari pengadilan. Gugatan/proses pengadilan tidak menunda pelaksanaan keputusan TUN. 2. Asas pembuktian bebas, Bahwa pembuktian tidak tergantung argumen/keterangan para pihak, dimana Hakim mempunyai kebebasan untuk menentukan argumen mana yang paling tepat (pasal 107 UU PTUN). Dari pasal 107 tersebut terlihat bahwa peranan Hakim sangat besar dan kebenaran yang diutamakan adalah kebenaran materiil. Yang perlu diperhatikan dalam pembuktian : a. Apa yang harus dibuktikan (objeknya); b. Siapa yang harus dibebani pembuktian (subjeknya), c. Hal apa saja yang harus dibuktikan oleh pihak yang berperkara, 7

8 d. Hal apa saja yang harus dibuktikan oleh Hakim itu sendiri. 3. Asas domimis litis (Hakim aktif), Hakim aktif sangat penting untuk memperoleh kebenaran materiil. Realisasinya yaitu dalam kewenangan Hakim untuk menentukan para pihak dimana Hakim dapat menarik pihak ke-3 dalam perkara yang masih berjalan. Peran aktif Hakim juga dimaksudkan untuk mengimbangi kedudukan para pihak yang tidak seimbang dimana di satu pihak yakni pemerintah/negara yang berhadapan dengan warga negara (peran aktif dari segi subjek) sedangkan peran aktif Hakim dari segi objek terlihat dari tindakan Hakim yang dapat manambah atau memperluas substansi gugatan (ultra petita), yang dalam acara perdata hal ini tidak diperbolehkan. 4. Asas erga omnes (putusan TUN mempunyai kekuatan yang mengikat), Mengikat maksudnya mengikat bagi para pihak, namun menurut pasal 83 UU PTUN; pihak yang intervensi mempunyai hak untuk membela haknya sehingga ia dapat dikecualikan dalam keputusan tersebut yang berarti bahwa hal tersebut dapat mengikat pihak ke-3. Asas-asas lainnya: 5. Kesatuan beracara (tidak tepat), 6. Musyawarah untuk mufakat, 7. Kekuasaan kehakiman yang merdeka; 8. Sederhana, cepat, dan biaya ringan, 9. Keterbukaan, 10. Putusan yang adil. Ciri-ciri Ciri-ciri umum dalam peradilan TUN antara lain : 1. Tidak adanya rekonvensi/gugat balik, Dikarenakan objeknya adalah keputusan TUN (SK), yang mana SK/beschiking tersebut merupakan tindakan sepihak dari pejabat administrasi negara, jadi tidak mungkin ada gugatan balik dari pemerintah kepada warga negaranya. 8

9 2. Tidak adanya jurusita, Dikarenakan objeknya adalah surat keputusan TUN, namun untuk mengurus hal-hal yang bersifat berkaitan dengan administrasi atau prosedural dilakukan oleh paniteranya. 3. Dikenal adanya sidang tertutup, 4. Dikenal adanya pemeriksaan perkara acara cepat (pasal 98 UU PTUN), 5. Dikenal adanya pemeriksaan perkara acara biasa (pasal 70, 74, 75, 100 UU PTUN), 6. Dikenal adanya pemeriksaan perkara acara singkat (pasal 6 UU PTUN), Adapun yang menjadi ciri-ciri khusus peradilan TUN diantaranya adalah : Pihak penggugat, Adalah orang perorangan atau badan hukum perdata ; pasal 53 UU PTUN. Pasal 53 ini merupakan penghubung antara hukum materiil dengan hukum formal. Pihak tergugat, Adalah pejabat atau badan TUN; pasal 1 butir (6) UU PTUN (karena pejabat/badan TUN tersebut yang berwenang mengeluarkan keputusan). Objek gugatan, Adalah surat keputusan TUN yang dapat berbentuk keputusan atau penetapan. Dasar hukumnya pasal 1 Butir (3) UU PTUN. Keputusan TUN adalah surat penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan/pejabat TUN berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang/badan hukum perdata. Tenggang waktu menggugat, Adalah 90 hari. Pasal 35 UU PTUN: Gugatan dapat diajukan dalam tenggang waktu 90 hari terhitung sejak diterimanya atau diumumkannya keputusan pejabat TUN. Dalam hal ini terdapat beberapa kemungkinan pemahaman yaitu : hari sejak dikeluarkan oleh pejabat yang bersangkutan, hari sejak diterima, hari sejak diketahui, hari sejak akibat hukum dirasa kerugiannya. Dismissal process, Berdasarkan pasal 62 UU PTUN : yaitu pemeriksaan administratif terhadap suatu gugatan. Hal ini merupakan ciri dari peradilan TUN yang merupakan cerminan dari asas peradilan TUN bahwa Hakim bersifat aktif, dimana Hakim dapat 9

10 mengarahkan terhadap pengujian gugatan seyogyanya gugatan tersebut layak diproses (sebagai forum konsultasi). Forum konsultasi, yang mana proses ini dibahas dalam rapat permusyawaratan, dimana Ketua Pengadilan mempunyai wewenang untuk memutuskan melalui suatu penetapan, dengan pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan tidak diterima atau tidak mendasar yaitu apabila memenuhi hal-hal sebagai berikut : a. Pokok gugatan nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang pengadilan. b. Syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksud pasal 56 UU PTUN tidak dipenuhi oleh penggugat tersebut harus diberitahukan/diperingatkan oleh pengadilan. c. Gugatan tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak. d. Apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh keputusan TUN yang digugat. e. Gugatan tidak diajukan berdasakan tenggang waktu yang berlaku. Forum konsultasi menyangkut hal-hal yang bersifat formal, misalnya : bentuk gugatan, cara menuangkan gugatan, dsb. Susunan Peradilan TUN Susunan peradilan TUN terdiri dari 2 tingkat, yaitu : 1. Pengadilan TUN, yang merupakan Peradilan Tingkat Pertama, 2. Pengadilan Tinggi TUN, yang merupakan Peradilan Tingkat Banding, Susunan Pengadilan TUN terdiri atas : 1. Pimpinan, 2. Hakim Anggota, 3. Panitera, 4. Sekretaris. UPAYA HUKUM Upaya hukum dalam sengketa administrasi (pasal 48 UU PTUN) : 1. Keberatan, Penyelesaian sengketa dilakukan oleh badan yang mengeluarkan keputusan TUN. 10

11 2. Banding administrasi, Dilakukan oleh pejabat atasan badan yang mengeluarkan keputusan TUN atau badan lain. Pada zaman kolonial keberatan diajukan ke badan yang memberikan keputusan. SEMA No. 2 Tahun 1991; bila peraturan perundang-undangan yang bersangkutan hanya mengenal keberatan saja, dan tidak mengenal banding, maka sengketa tersebut tidak perlu melalui usaha administrasi tetapi langsung ke PTUN. Pasal 51 ayat (3) jo. pasal 48 ayat (2) UU PTUN; bahwa PTUN baru berwenang menyelesaikan sengketa bila usaha keberatan dan banding administrasi telah ditempuh. Dengan demikian telah terjadi kontradiksi, padahal apabila dilihat dari segi hierarki perundang-undangan maka tentunya SEMA ini tidak boleh merubah UU. Keburukan dari pasal 48 ayat (2) UU PTUN ini adalah bahwa pasal ini akan menyulitkan gugatan, sedangkan kebaikannya adalah bahwa dengan pasal ini maka sebelum masuk pengadilan, maka dirasakan perlu untuk mengawasinya (pengawasan intern). GUGATAN Objek Gugatan Objek gugatan diatur dalam pasal 1 butir (3) UU PTUN, syarat-syaratnya antara lain : 1. Harus bersifat tertulis, Untuk mempermudah proses pembuktian 2. Konkrit, Nyata, tidak bersifat abstrak, artinya harus berwujud (objeknya harus tertentu/ ditentukan). 3. Individual, Keputusan TUN tersebut tidak ditujukan kepada umum, tetapi tertentu kepada orang/badan hukum tertentu, maksudnya bahwa identitasnya dapat ditentukan (baik alamat, maupun hal-hal yang menjadi substansi dari keputusan). Mencantumkan nama dari setiap subjek hukum yang terlibat dalam kepentingan tersebut untuk menentukan status hukum dari objek yang dikenai keputusan. 11

12 4. Final, Tidak memerlukan proses selanjutnya, artinya keputusan TUN tersebut dapat dilaksanakan tanpa izin persetujuan dari instansi/pihak lain. Keputusan TUN yang bersifat negatif; tidak ada kejelasannya mengenai dikabulkan atau tidaknya suatu permohonan atas keputusan TUN. Pasal 3 UU PTUN : a. Bila pejabat TUN tidak mengeluarkan keputusan, padahal merupakan wewenangnya, maka hal tersebut dapat disamakan dengan keputusan TUN. b. Keputusan yang dimohonkan padahal jangka waktunya sudah lewat, maka pejabat TUN dianggap menolak mengeluarkan keputusan. Dalam hal peraturan perundang-undangan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 3 ayat (2) UU PTUN, maka setelah lewat waktu 4 bulan setelah permohonan, pejabat TUN dianggap mengeluarkan keputusan penolakan. 5. Dibuat oleh pejabat/badan TUN. Biasanya dibuat secara sepihak. Alasan Mengajukan Gugatan Alasan mengajukan gugatan diatur dalam pada 53 UU PTUN (terutama ayat (2)), alasan-alasan tersebut diantaranya : 1. Keputusan TUN bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, contoh ; dalam pemberhentian pegawai negeri maka prosedurnya adalah bahwa pegawai negeri tersebut harus diberi kesempatan untuk membela diri. Bila prosedur ini tidak dilaksanakan maka keputusan TUN tersebut telah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. 2. Penyalahgunaan wewenang, Keputusan TUN dikeluarkan berdasarkan praktek penyalahgunaan wewenang. Maksudnya pejabat memang berwenang mengeluarkan SK, tapi kewenangan tersebut tidak pada tempatnya, misalnya; dalam mengeluarkan IMB dimana dalam hal ini pejabat tersebut memang berwenang mengeluarkan SK tentang IMB tapi 12

13 ternyata di lapangan, IMB tersebut untuk mendirikan bangunan di jalur hijau, sehingga dalam hal ini terjadi penyalahgunaan wewenang. 3. Perbuatan sewenang-wenang, Misalnya; pejabat/badan TUN yang seharusnya tidak mengeluarkan SK, tetapi ternyata ia mengeluarkan SK, maka perbuatannya tersebut dianggap sebagai perbuatan sewenang-wenang; tidak memproses sebagaimana mestinya. Perbedaan dan persamaan ketiga alasan tersebut berdasarkan kerangka yuridis : Perbedaan : No. 1 dan no. 2 mengacu pada hukum positif, sedangkan no. 3 tidak terjangkau oleh peraturan perundang-undangan dan hanya dapat dijangkau oleh asas-asas umum pemerintahan yang layak. Persamaan : Semuanya masuk ke dalam kategori penyalahgunaan wewenang. Sama-sama mengacu pada peraturan perundang-undangan (no. 1 dan no. 2), hanya no.1 menyangkut peraturan perundang-undangan, sedangkan no.2 menyangkut kewenangan. KEPUTUSAN (Lihat: Catatan Kuliah Hukum Administrasi Negara - Keputusan) Definisi Keputusan TUN; pada pasal 1 ayat (3) UU PTUN. Hal-hal yang tidak termasuk keputusan TUN (pasal 2 UU PTUN), yaitu : 1. Hal-hal yang merupakan perbuatan perdata, bila pejabat/badan TUN melakukan perbuatan hukum perdata dan ternyata menimbulkan kerugian bagi seseorang/badan hukum, maka tidak bisa diajukan ke peradilan TUN akan tetapi ke Peradilan Umum. 2. Hal-hal yang merupakan pengaturan yang bersifat umum, artinya pengaturan tersebut memuat norma hukum yang kekuatan berlakunya mengikat semua orang. 3. Keputusan yang masih memerlukan persetujuan/belum final, yaitu keputusan pejabat/ badan hukum TUN yang untuk dapat berlaku masih membutuhkan persetujuan dari atasan. 13

14 4. Keputusan yang dikeluarkan berdasarkan KUHP/KUHAP/peraturan pidana lainnya. 5. Keputusan yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan, misal; izin penyitaan, dsb. 6. Hal-hal yang berkaitan dengan TUN di bidang militer (masih perlu dikaji), misal; pemecatan KASAD. KOMPETENSI MENGADILI Kompetensi mengadili diatur dalam UU No. 14 Tahun 1970, terdiri dari : 1. Kompetensi relatif, Adalah kewenangan yang didasarkan pada lingkup sama mana yang berhak mengadili (pengadilan yang masih dalam satu lingkup peradilan yang sama); lingkup peradilan yang sama, misal; Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi pada lingkup Peradilan Umum. 2. Kompetensi absolut, Adalah kewenangan yang didasarkan pada lingkup peradilan yang berbeda mana berhak mengadili, lingkup peradilan berbeda, antara lain; Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, atau peradilan TUN. Berdasarkan pasal 47 UU PTUN, Pengadilan TUN bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa TUN. Dalam hal berkaitan dengan perburuhan, maka sengketa dalam perburuhan diselesaikan melalui : - P4P (dipusat), - P4D (didaerah). - Kalau tidak bisa Depnaker dengan mengeluarkan SK Pengadilan TUN (tingkat banding) dengan menggugat SK-nya. 14

15 REFERENSl Hukum Acara Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Administrasi Negara (HAPLA), oleh Dr. Sjachran Basah, S.H.,CN., Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, oleh R. Soegijatno Tjakranegara, S.H., Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, oleh Zainal Harahap, S.H., Mengenal Peradilan Tata Usaha Negara, oleh Prof. B. Lopa, S.H., dan Dr. A. Hamzah, S.H. Dll. 15

KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA BERDASAR UU PERADILAN TATA USAHA NEGARA DAN UU ADMINISTRASI PEMERINTAHAN

KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA BERDASAR UU PERADILAN TATA USAHA NEGARA DAN UU ADMINISTRASI PEMERINTAHAN KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA BERDASAR UU PERADILAN TATA USAHA NEGARA DAN UU ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DEFINISI UU PERATUN UU 51/2009 Psl. 1 angka 9. Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis

Lebih terperinci

Diskusi Mata Kuliah Perkumpulan Gemar Belajar (GEMBEL) HUKUM ACARA TATA USAHA NEGARA

Diskusi Mata Kuliah Perkumpulan Gemar Belajar (GEMBEL) HUKUM ACARA TATA USAHA NEGARA berlaku. 3 Dari definisi berdasar pasal 1 ayat (4) tersebut, maka unsur-unsur yang harus dipenuhi Diskusi Mata Kuliah Perkumpulan Gemar Belajar (GEMBEL) HUKUM ACARA TATA USAHA NEGARA Hukum Acara Tata Usaha

Lebih terperinci

PREDIKSI SOAL UJIAN TENGAH SEMESTER IV TAHUN 2016/2017

PREDIKSI SOAL UJIAN TENGAH SEMESTER IV TAHUN 2016/2017 PREDIKSI SOAL UJIAN TENGAH SEMESTER IV TAHUN 2016/2017 MATA KULIAH HUKUM ACARA PERADILAN T.U.N Disusun oleh MUHAMMAD NUR JAMALUDDIN NPM. 151000126 KELAS D UNIVERSITY 081223956738 muh.jamal08 D070AF70 16jamal

Lebih terperinci

ÉÄx{ Joeni Arianto Kurniawan

ÉÄx{ Joeni Arianto Kurniawan Sistem & Badan- Badan PERADILAN di Indonesia ÉÄx{ Joeni Arianto Kurniawan Sistem Peradilan Kelembagaan peradilan Sarana dan prasarana peradilan Sumber daya manusia lembaga peradilan Tata cara / mekanisme

Lebih terperinci

Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN

Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu peradilan di Indonesia yang berwenang untuk menangani sengketa Tata Usaha Negara. Berdasarkan Undang-Undang

Lebih terperinci

PERADILAN ADMINISTRASI NEGARA (PTUN)

PERADILAN ADMINISTRASI NEGARA (PTUN) PERADILAN ADMINISTRASI NEGARA (PTUN) By. Fauzul Fakultas Hukum UPN Veteran Jatim 7 Desember 2015 12/13/2015 1 POKOK BAHASAN Asas-asas Peradilan Administrasi Negara Karakteristik Peradilan Administrasi

Lebih terperinci

KOMPETENSI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA

KOMPETENSI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA KOMPETENSI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA Oleh : H. Yodi Martono Wahyunadi, S.H., MH. I. PENDAHULUAN Dalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 sekarang (hasil amandemen)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa kekuasaan

BAB I PENDAHULUAN. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa kekuasaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah

Lebih terperinci

Mengenal Sistem Peradilan di Indonesia

Mengenal Sistem Peradilan di Indonesia Mengenal Sistem Peradilan di Indonesia HASRIL HERTANTO,SH.MH MASYARAKAT PEMANTAU PERADILAN INDONESIA DISAMPAIKAN DALAM PELATIHAN MONITORING PERADILAN KBB, PADA SELASA 29 OKTOBER 2013 DI HOTEL GREN ALIA

Lebih terperinci

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA 1 HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA I. Pengertian, asas & kompetensi peradilan TUN 1. Pengertian hukum acara TUN Beberapa istilah hukum acara TUN, antara lain: Hukum acara peradilan tata usaha pemerintahan

Lebih terperinci

Ketetapan atau Keputusan Tata Usaha Negara

Ketetapan atau Keputusan Tata Usaha Negara Ketetapan atau Keputusan Tata Usaha Negara Di Belanda istilah Ketetapan atau Keputusan disebut dengan istilah Beschikking (Van Vollenhoven). Di Indonesia kemudian istilah Beschikking ini ada yang menterjemahkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia adalah negara hukum (Rechstaat). Landasan

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia adalah negara hukum (Rechstaat). Landasan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia adalah negara hukum (Rechstaat). Landasan yuridis sebagai negara hukum ini tertera pada Pasal 1 ayat (3) UUD Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 113/PUU-XII/2014 Keputusan Tata Usaha Negara yang Dikeluarkan atas Dasar Hasil Pemeriksaan Badan Peradilan Tidak Termasuk Pengertian Keputusan Tata Usaha Negara

Lebih terperinci

Hukum Administrasi Negara

Hukum Administrasi Negara Hukum Administrasi Negara ASAS-ASAS HUKUM ADMINISTRASI NEGARA SUMBER-SUMBER HUKUM ADMINISTRASI NEGARA KEDUDUKAN HAN DALAM ILMU HUKUM Charlyna S. Purba, S.H.,M.H Email: charlyna_shinta@yahoo.com Website:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gugatan terhadap pejabat atau badan Tata Usaha Negara dapat diajukan apabila terdapat sengketa Tata Usaha Negara, yaitu sengketa yang timbul karena dirugikannya

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 29/PUU-XV/2017 Perintah Penahanan yang Termuat dalam Amar Putusan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 29/PUU-XV/2017 Perintah Penahanan yang Termuat dalam Amar Putusan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 29/PUU-XV/2017 Perintah Penahanan yang Termuat dalam Amar Putusan I. PEMOHON 1. Elisa Manurung, SH 2. Paingot Sinambela, SH, MH II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Pasal 1

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Gugatan dan Sengketa Tata Usaha Negara 1. Pengertian Pengajuan Permohonan Gugatan Pada asasnya, bahwa gugatan diajukan kepada pengadilan yang berwenang, yang daerah hukumnya

Lebih terperinci

Hukum Administrasi Negara

Hukum Administrasi Negara Hukum Administrasi Negara Pertemuan XI & XII Malahayati, S.H., LL.M. (c) 2014 Malahayati 1 Topik Istilah dan Pengertian Hubungan HAN dengan HTN Sumber HAN Ruang Lingkup HAN Asas Pemerintahan Yang Baik

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. ditarik kesimpulan yakni sebagai berikut :

BAB V PENUTUP. ditarik kesimpulan yakni sebagai berikut : 158 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian permasalahan yang telah dibahas, maka dapat ditarik kesimpulan yakni sebagai berikut : 1. Berdasarkan hukum positif di Indonesia, penyelesaian sengketa

Lebih terperinci

HUKUM ADMINISTRASI NEGARA. Oleh: H. Budi Mulyana, S.IP., M.Si

HUKUM ADMINISTRASI NEGARA. Oleh: H. Budi Mulyana, S.IP., M.Si HUKUM ADMINISTRASI NEGARA Oleh: H. Budi Mulyana, S.IP., M.Si Hukum Administrasi Negara (Prof.Dr. Mr. Prajudi Atmosudirdjo) Dalam arti luas, Hukum Administrasi Negara meliputi: Hukum Tata Pemerintahan Hukum

Lebih terperinci

KEWENANGAN SERTA OBYEK SENGKETA DI PERADILAN TATA USAHA NEGARA SETELAH ADA UU No. 30 / 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN

KEWENANGAN SERTA OBYEK SENGKETA DI PERADILAN TATA USAHA NEGARA SETELAH ADA UU No. 30 / 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN KEWENANGAN SERTA OBYEK SENGKETA DI PERADILAN TATA USAHA NEGARA SETELAH ADA UU No. 30 / 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN Aju Putrijanti Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Jl Prof Soedarto, S.H.,

Lebih terperinci

PENYELESAIAN SENGKETA KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA

PENYELESAIAN SENGKETA KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA PENYELESAIAN SENGKETA KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA Bambang Heriyanto, S.H., M.H. Wakil Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Disampaikan pada Rapat Kerja Kementerian

Lebih terperinci

Susunan Hakim Konstitusi Dalam Psl 24C ayat (3) UUD 1945, MK memiliki 9 orang hakim konstitusi yang ditetapkan o/ Presiden.

Susunan Hakim Konstitusi Dalam Psl 24C ayat (3) UUD 1945, MK memiliki 9 orang hakim konstitusi yang ditetapkan o/ Presiden. Susunan Hakim Konstitusi Dalam Psl 24C ayat (3) UUD 1945, MK memiliki 9 orang hakim konstitusi yang ditetapkan o/ Presiden. 3 orang = diajukan o/ MA 3 orang = diajukan o/ DPR 3 orang = diajukan o/ Presiden

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS KASUS

BAB IV ANALISIS KASUS BAB IV ANALISIS KASUS 4.1. KASUS POSISI Dalam memenuhi kebutuhan jaringan sambungan telepon pedesaan yang semakin meningkat, Departemen Komunikasi dan Informatika melalui Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi

Lebih terperinci

ANALISA PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA JAKARTA NOMOR 40/G/2008/PTUN-JKT

ANALISA PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA JAKARTA NOMOR 40/G/2008/PTUN-JKT ANALISA PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA JAKARTA NOMOR 40/G/2008/PTUN-JKT Para pihak : Penggugat Tergugat : CV. MUTIARA : Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan.

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 39/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 39/PUU-XV/2017 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 39/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 I. PEMOHON Perkumpulan Hisbut Tahrir Indonesia, organisasi

Lebih terperinci

ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA JAMBI NOMOR: 01/ G/ TUN/2003/PTUN.JBI

ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA JAMBI NOMOR: 01/ G/ TUN/2003/PTUN.JBI ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA JAMBI NOMOR: 01/ G/ TUN/2003/PTUN.JBI BY : ANNEKA SALDIAN MARDHIAH Berdasarkan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha

Lebih terperinci

PERAN P.TUN DALAM PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA. Oleh : Nike K. Rumokoy 1

PERAN P.TUN DALAM PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA. Oleh : Nike K. Rumokoy 1 Rumokoy N.K : Peran P.TUN Dalam.. Vol.XX/No.2/Januari-Maret/2012(Edisi Khusus) PERAN P.TUN DALAM PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA Oleh : Nike K. Rumokoy 1 A. PENDAHULUAN Indonesia sebagai negara

Lebih terperinci

I. PEMOHON Imam Ghozali. Kuasa Pemohon: Iskandar Zulkarnaen, SH., MH., berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 15 Desember 2015.

I. PEMOHON Imam Ghozali. Kuasa Pemohon: Iskandar Zulkarnaen, SH., MH., berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 15 Desember 2015. RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 12/PUU-XIV/2016 Waktu Penyelesaian, Produk Hukum penyelesaian BNP2TKI, dan Proses Penyelesaian Sengketa Antara TKI dengan PPTKIS Belum Diatur Di UU 39/2004 I. PEMOHON

Lebih terperinci

I. PEMOHON Imam Ghozali. Kuasa Pemohon: Iskandar Zulkarnaen, SH., MH., berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 15 Desember 2015.

I. PEMOHON Imam Ghozali. Kuasa Pemohon: Iskandar Zulkarnaen, SH., MH., berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 15 Desember 2015. RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 12/PUU-XIV/2016 Waktu Penyelesaian, Produk Hukum penyelesaian BNP2TKI, dan Proses Penyelesaian Sengketa Antara TKI dengan PPTKIS Belum Diatur Di UU 39/2004 I. PEMOHON

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA Nomor : 004/PUU-III/2005 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------------- RISALAH PANEL HAKIM PEMERIKSAAN PENDAHULUAN PERKARA NOMOR 004/PUU-III/2005 PENGUJIAN UU NO. 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 pasal 24 ayat (1) dan (2), dalam rangka menyelenggarakan peradilan guna menegakkan

Lebih terperinci

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Direktori Putusan Mahkamaa P E N E T A P A N NOMOR : 89/G/2012/PTUN-JKT DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta ; ---------------------------------

Lebih terperinci

EKSISTENSI MENGGUGAT PROSEDUR DISMISSAL PADA PERADILAN TATA USAHA NEGARA

EKSISTENSI MENGGUGAT PROSEDUR DISMISSAL PADA PERADILAN TATA USAHA NEGARA EKSISTENSI MENGGUGAT PROSEDUR DISMISSAL PADA PERADILAN TATA USAHA NEGARA Oleh I Gede Kuntara Sidi Anak Agung Ngurah Yusa Darmadhi Bagian Hukum Peradilan Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK Pengadilan

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perseorangan, dan kepentingan masyarakat demi mencapai tujuan dari Negara

BAB I PENDAHULUAN. perseorangan, dan kepentingan masyarakat demi mencapai tujuan dari Negara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar hukum dan untuk mewujudkan kehidupan tata negara yang adil bagi

Lebih terperinci

Sistem Hukum dan Peradilan Nasional

Sistem Hukum dan Peradilan Nasional Sistem Hukum dan Peradilan Nasional 1. Pengertian Sistem Hukum Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sistem adalah perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Kebijakan Umum Peradilan

BAB I PENDAHULUAN A. Kebijakan Umum Peradilan BAB I PENDAHULUAN A. Kebijakan Umum Peradilan Lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama jo. Undang-Undang Nomor 50

Lebih terperinci

Drs. H. Zulkarnain Lubis, MH BAGIAN KEPANITERAAN Judul SOP Pelaksanaan Persidangan Perkara Gugatan Cerai Gugat

Drs. H. Zulkarnain Lubis, MH BAGIAN KEPANITERAAN Judul SOP Pelaksanaan Persidangan Perkara Gugatan Cerai Gugat PENGADILAN AGAMA SIMALUNGUN JLN. ASAHAN KM. 3 TELP/FAX (0622) 7551665 E-MAIL : pasimalungun@gmail.com SIMALUNGUN Nomor SOP W2-A12/ /OT.01.3/I/2017 Tanggal Pembuatan 28 Maret 2016 Tanggal Revisi 03 Januari

Lebih terperinci

BAB III PENGERTIAN UMUM TENTANG PENGADILAN AGAMA. peradilan di lingkungan Peradilan Agama yang berkedudukan di ibu kota

BAB III PENGERTIAN UMUM TENTANG PENGADILAN AGAMA. peradilan di lingkungan Peradilan Agama yang berkedudukan di ibu kota 37 BAB III PENGERTIAN UMUM TENTANG PENGADILAN AGAMA A. Pengertian Pengadilan Agama Pengadilan Agama (biasa disingkat: PA) merupakan sebuah lembaga peradilan di lingkungan Peradilan Agama yang berkedudukan

Lebih terperinci

Pengujian Ketentuan Penghapusan Norma Dalam Undang-Undang Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya)

Pengujian Ketentuan Penghapusan Norma Dalam Undang-Undang Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya) Pengujian Ketentuan Penghapusan Norma Dalam Undang-Undang Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya) Pendahuluan Mahkamah Konstitusi memutus Perkara Nomor 122/PUU-VII/2009

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 26/PUU-XV/2017 Pembatalan Putusan Arbitrase

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 26/PUU-XV/2017 Pembatalan Putusan Arbitrase I. PEMOHON Zainal Abidinsyah Siregar. Kuasa Hukum: RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 26/PUU-XV/2017 Pembatalan Putusan Arbitrase Ade Kurniawan, SH., Heru Widodo, SH., MH., dkk, advokat/ penasehat hukum

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. Dasar pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan dispensasi nikah dibawah umur di Pengadilan Agama Bantul

BAB IV PEMBAHASAN. Dasar pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan dispensasi nikah dibawah umur di Pengadilan Agama Bantul BAB IV PEMBAHASAN Dasar pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan dispensasi nikah dibawah umur di Pengadilan Agama Bantul Dalam Pasal 7 ayat (1) UUP disebutkan bahwa perkawinan hanya dapat diberikan

Lebih terperinci

RENCANA PROGRAM DAN KEGIATAN PEMBELAJARAN SEMESTER (RPKPS)

RENCANA PROGRAM DAN KEGIATAN PEMBELAJARAN SEMESTER (RPKPS) RENCANA PROGRAM DAN KEGIATAN PEMBELAJARAN SEMESTER (RPKPS) 1. Nama mata kuliah : Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara 2. Kode / SKS : HKU 311 A / 2 SKS 3. Prasyarat : Hukum Administrasi Negara. 4. Status

Lebih terperinci

PROSES PELAKSANAAN GUGATAN INTERVENSI DALAM PEMERIKSAAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA PADA PENGADILAN TATA USAHA NEGARA PADANG

PROSES PELAKSANAAN GUGATAN INTERVENSI DALAM PEMERIKSAAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA PADA PENGADILAN TATA USAHA NEGARA PADANG SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Serjana Hukum PROSES PELAKSANAAN GUGATAN INTERVENSI DALAM PEMERIKSAAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA PADA PENGADILAN TATA USAHA NEGARA PADANG

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011: 34 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Judicial Review Kewenangan Judicial review diberikan kepada lembaga yudikatif sebagai kontrol bagi kekuasaan legislatif dan eksekutif yang berfungsi membuat UU. Sehubungan

Lebih terperinci

MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA Jakarta, 9 Juli 1991

MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA Jakarta, 9 Juli 1991 SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2 TAHUN 1991 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN BEBERAPA KETENTUAN DALAM UNDANG- UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

R. Soegijatno Tjakranegara, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, 95. (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), h. 18

R. Soegijatno Tjakranegara, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, 95. (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), h. 18 KAPABILITAS PERADILAN TATA USAHA NEGARA DI INDONESIA EKO HIDAYAT Dosen Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Raden Intan Lampung Jl. Endro Suratmin Sukarame Bandar Lampung Email: eko_hidayat@yahoo.com Abstrak:

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TRENGGALEK,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TRENGGALEK, 1 BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN BANTUAN HUKUM UNTUK MASYARAKAT MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BAB III PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 718 K/AG/2012 TENTANG BIAYA KEHIDUPAN (NAFKAH) BAGI BEKAS ISTRI YANG DIBERIKAN OLEH SUAMI PASCA PERCERAIAN

BAB III PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 718 K/AG/2012 TENTANG BIAYA KEHIDUPAN (NAFKAH) BAGI BEKAS ISTRI YANG DIBERIKAN OLEH SUAMI PASCA PERCERAIAN BAB III PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 718 K/AG/2012 TENTANG BIAYA KEHIDUPAN (NAFKAH) BAGI BEKAS ISTRI YANG DIBERIKAN OLEH SUAMI PASCA PERCERAIAN A. Mahkamah Agung dalam Sistem Peradilan Agama di Indonesia

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor 88/PUU-XII/2014 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

PUTUSAN Nomor 88/PUU-XII/2014 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA PUTUSAN Nomor 88/PUU-XII/2014 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017 Keterangan Saksi Yang Diberikan di Bawah Sumpah dan Tidak Hadir Dalam Persidangan Disamakan Nilainya dengan Keterangan Saksi Di Bawah Sumpah Yang Diucapkan

Lebih terperinci

A. Kronologi pengajuan uji materi (judicial review) Untuk mendukung data dalam pembahasan yangtelah dikemukakan,

A. Kronologi pengajuan uji materi (judicial review) Untuk mendukung data dalam pembahasan yangtelah dikemukakan, 49 BAB III WEWENANG MAHKAMAH KOSTITUSI (MK) DAN PROSES UJIMATERI SERTA DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMPERBOLEHKAN PENINJAUAN KEMBALI DILAKUKAN LEBIH DARI SATU KALI. A. Kronologi pengajuan uji materi

Lebih terperinci

JUDICIAL REVIEW : Antara Trend dan Keampuhan bagi Strategi Advokasi

JUDICIAL REVIEW : Antara Trend dan Keampuhan bagi Strategi Advokasi Seri Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 JUDICIAL REVIEW : Antara Trend dan Keampuhan bagi Strategi Advokasi Tubagus Haryo Karbyanto, S.H. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Jl Siaga II No 31 Pejatien

Lebih terperinci

BAB III KEWENANGAN HAKIM TATA USAHA NEGARA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 2004

BAB III KEWENANGAN HAKIM TATA USAHA NEGARA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 2004 BAB III KEWENANGAN HAKIM TATA USAHA NEGARA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 2004 A. Kedudukan dan Tanggung Jawab Hakim Pada pasal 12 ayat 1 undang-undang No 9 tahun 2004 disebutkan bahwa hakim pengadilan

Lebih terperinci

KEPASTIAN HUKUM DAN TANGGUNG GUGAT ATAS DISKRESI

KEPASTIAN HUKUM DAN TANGGUNG GUGAT ATAS DISKRESI KEPASTIAN HUKUM DAN TANGGUNG GUGAT ATAS DISKRESI Publicadm.blogspot.com I. PENDAHULUAN Salah satu permasalahan pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan dan pengelolaan keuangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, penyelenggaraan

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, penyelenggaraan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, penyelenggaraan negara dengan perantaraan pemerintah harus berdasarkan hukum. 1 Penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

PENGADILAN TINGGI TATA USAHA NEGARA MEDAN

PENGADILAN TINGGI TATA USAHA NEGARA MEDAN Page 1 of 29 PENGADILAN TINGGI TATA USAHA NEGARA MEDAN BIDANG TEKNIS YURIDIS NO. PTTUN MEDAN PTTUN MEDAN 1. Dalam Hal gugatan dikabulkan, - Dalam hal ini ada 2 (dua) pendapat yaitu : kemudian tergugat

Lebih terperinci

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG BANTUAN HUKUM UNTUK MASYARAKAT MISKIN

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG BANTUAN HUKUM UNTUK MASYARAKAT MISKIN SALINAN BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG BANTUAN HUKUM UNTUK MASYARAKAT MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA,

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor 19/PUU-XV/2017 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA. : Habiburokhman S.H., M.H.

PUTUSAN Nomor 19/PUU-XV/2017 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA. : Habiburokhman S.H., M.H. SALINAN PUTUSAN Nomor 19/PUU-XV/2017 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,

Lebih terperinci

BAB III. PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI No. 368 K/AG/1995. A. Ruang Lingkup Kekuasaan Mahkamah Agung

BAB III. PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI No. 368 K/AG/1995. A. Ruang Lingkup Kekuasaan Mahkamah Agung BAB III PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI No. 368 K/AG/1995 A. Ruang Lingkup Kekuasaan Mahkamah Agung Mahkamah Agung adalah pengadilan negara tertinggi di lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan

Lebih terperinci

PROSES PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN JURUS MENGHINDARI BIAYA PERKARA 1. Oleh: Agus S. Primasta, S.H. 2.

PROSES PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN JURUS MENGHINDARI BIAYA PERKARA 1. Oleh: Agus S. Primasta, S.H. 2. PROSES PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN JURUS MENGHINDARI BIAYA PERKARA 1 Oleh: Agus S. Primasta, S.H. 2 Abstraksi Perselisihan Hubungan Industrial yang sebelumnya diatur didalam UU No.22

Lebih terperinci

SENGKETA TATA USAHA NEGARA

SENGKETA TATA USAHA NEGARA 625 SENGKETA TATA USAHA NEGARA Oleh : Wicipto Setiadi S.H. gara dan juga dengan memperhatikan Sejak Indonesia menyatakan kemerdekaannya tanggal 17 Agustus 1945 sampai di penghujung tahun 1986 Indonesia

Lebih terperinci

Dualisme melihat Kedudukan hukum Pemohon Informasi

Dualisme melihat Kedudukan hukum Pemohon Informasi Dualisme melihat Kedudukan hukum Pemohon Informasi Komisi Informasi Provinsi Jawa Barat dan Forum Wakcabalaka (Forum penggiat keterbukaan informasi publik di Jawa Barat) telah melaksanakan diskusi mengenai

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 34/PUU-XVI/2018 Langkah Hukum yang Diambil DPR terhadap Pihak yang Merendahkan Kehormatan DPR

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 34/PUU-XVI/2018 Langkah Hukum yang Diambil DPR terhadap Pihak yang Merendahkan Kehormatan DPR RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 34/PUU-XVI/2018 Langkah Hukum yang Diambil DPR terhadap Pihak yang Merendahkan Kehormatan DPR I. PEMOHON Nining Elitos...(Pemohon 1) Sunarno...(Pemohon 2) Eduard

Lebih terperinci

BAB IV. rumah tangga dengan sebaik-baiknya untuk membentuk suatu kehidupan. tangga kedua belah pihak tidak merasa nyaman, tenteram dan mendapaatkan

BAB IV. rumah tangga dengan sebaik-baiknya untuk membentuk suatu kehidupan. tangga kedua belah pihak tidak merasa nyaman, tenteram dan mendapaatkan 58 BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERTIMBANGAN HUKUM PENGADILAN AGAMA SIDOARJO DALAM MEMUTUSKAN PERCERAIAN PASANGAN YANG MENIKAH DUA KALI DI KUA DAN KANTOR CATATAN SIPIL NOMOR: 2655/PDT.G/2012/PA.SDA

Lebih terperinci

Mengenal Mahkamah Agung Lebih Dalam

Mengenal Mahkamah Agung Lebih Dalam TUGAS AKHIR SEMESTER Mata Kuliah: Hukum tentang Lembaga Negara Dosen: Dr. Hernadi Affandi, S.H., LL.M Mengenal Mahkamah Agung Lebih Dalam Oleh: Nurul Hapsari Lubis 110110130307 Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 88/PUU-XII/2014 Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 88/PUU-XII/2014 Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 88/PUU-XII/2014 Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum I. PEMOHON Dr. Heru Cahjono KUASA HUKUM Albert Riyadi suwono, S.H., M.Kn., dan Adner Parlindungan, S.H., berdasarkan

Lebih terperinci

PERADILAN TATA USAHA NEGARA dan PROSES BERPERKARA di PENGADILAN TATA USAHA NEGARA. Diterbitkan Oleh PTUN PALEMBANG

PERADILAN TATA USAHA NEGARA dan PROSES BERPERKARA di PENGADILAN TATA USAHA NEGARA. Diterbitkan Oleh PTUN PALEMBANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA dan PROSES BERPERKARA di PENGADILAN TATA USAHA NEGARA Diterbitkan Oleh PTUN PALEMBANG Alamat : Jalan Jenderal A. Yani No. 67 Palembang (30264) Telp. (0711) 516935 TIM PENYUSUN

Lebih terperinci

Drs. H. Zulkarnain Lubis, MH BAGIAN KEPANITERAAN Judul SOP Pelaksanaan Persidangan Perkara Gugatan Cerai Talak

Drs. H. Zulkarnain Lubis, MH BAGIAN KEPANITERAAN Judul SOP Pelaksanaan Persidangan Perkara Gugatan Cerai Talak PENGADILAN AGAMA SIMALUNGUN JLN. ASAHAN KM. 3 TELP/FAX (0622) 7551665 E-MAIL : pasimalungun@gmail.com SIMALUNGUN Nomor SOP W2-A12/ /OT.01.3/I/2017 Tanggal Pembuatan 28 Maret 2016 Tanggal Revisi 03 Januari

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 92/PUU-XIII/2015 Prinsip Sidang Terbuka Untuk Umum Bagi Pengujian Undang-Undang Terhadap Undang-Undang di Mahkamah Agung I. PEMOHON Forum Kajian Hukum dan Konstitusi

Lebih terperinci

RUMUSAN HASIL DISKUSI KOMISI II BIDANG URUSAN LINGKUNGAN PERADILAN AGAMA RAKERNAS MAHKAMAH AGUNG RI TAHUN 2010

RUMUSAN HASIL DISKUSI KOMISI II BIDANG URUSAN LINGKUNGAN PERADILAN AGAMA RAKERNAS MAHKAMAH AGUNG RI TAHUN 2010 RUMUSAN HASIL DISKUSI KOMISI II BIDANG URUSAN LINGKUNGAN PERADILAN AGAMA RAKERNAS MAHKAMAH AGUNG RI TAHUN 2010 A. Permasalahan Teknis Yustisial 1. Semua hasil rumusan Rekernas tahun 2009 di Palembang kecuali

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA TENTANG NEGARA HUKUM, KEKUASAAN KEHAKIMAN, PERADILAN TATA USAHA NEGARA, DAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA TENTANG NEGARA HUKUM, KEKUASAAN KEHAKIMAN, PERADILAN TATA USAHA NEGARA, DAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN BAB II KAJIAN PUSTAKA TENTANG NEGARA HUKUM, KEKUASAAN KEHAKIMAN, PERADILAN TATA USAHA NEGARA, DAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN A. Negara Hukum Negara Hukum merupakan esensi yang menitikberatkan pada tunduknya

Lebih terperinci

KESIMPULAN. Berdasarkan analisis data dapatlah dikemukakan kesimpulan-kesimpulan. 1.1 Pelaksanaan fungsi Peradilan Tata Usaha Negara dalam memberikan

KESIMPULAN. Berdasarkan analisis data dapatlah dikemukakan kesimpulan-kesimpulan. 1.1 Pelaksanaan fungsi Peradilan Tata Usaha Negara dalam memberikan 171 KESIMPULAN A. Kesimpulan Berdasarkan analisis data dapatlah dikemukakan kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut : 1. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan melalui penelitian disertasi ini dapat ditarik

Lebih terperinci

BAB III PUTUSAN MAHKMAH AGUNG NO. 184 K/AG/1995 TENTANG KEDUDUKAN AHLI WARIS ANAK PEREMPUAN BERSAMA SAUDARA PEWARIS

BAB III PUTUSAN MAHKMAH AGUNG NO. 184 K/AG/1995 TENTANG KEDUDUKAN AHLI WARIS ANAK PEREMPUAN BERSAMA SAUDARA PEWARIS BAB III PUTUSAN MAHKMAH AGUNG NO. 184 K/AG/1995 TENTANG KEDUDUKAN AHLI WARIS ANAK PEREMPUAN BERSAMA SAUDARA PEWARIS A. Sekilas Profil Mahkamah Agung Pembentukan Mahkamah Agung (MA) pada pokoknya memang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.292, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA ADMINISTRASI. Pemerintahan. Penyelengaraan. Kewenangan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5601) UNDANG UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Analisis Yuridis Putusan Hakim Praperadilan Mengenai Penetapan Status Tersangka Menurut Pasal 77 Kuhap Jo Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-VIII/2014 tentang Perluasan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 48/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas yang bertentangan dengan Pancasila Dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 48/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas yang bertentangan dengan Pancasila Dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 48/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas yang bertentangan dengan Pancasila Dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 I. PEMOHON Chandra Furna Irawan, Ketua Pengurus Yayasan Sharia

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan pada bab-bab sebelumnya, maka

BAB V PENUTUP. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan pada bab-bab sebelumnya, maka BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan analisis yang telah dilakukan pada bab-bab sebelumnya, maka hasilnya dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Pembatasan hak kasasi dalam sistem peradilan TUN yang

Lebih terperinci

PROSES PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN JURUS MENGHINDARI BIAYA PERKARA 1 Oleh: Agus S. Primasta, S.H. 2

PROSES PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN JURUS MENGHINDARI BIAYA PERKARA 1 Oleh: Agus S. Primasta, S.H. 2 PROSES PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN JURUS MENGHINDARI BIAYA PERKARA 1 Oleh: Agus S. Primasta, S.H. 2 Abstraksi Perselisihan Hubungan Industrial yang sebelumnya diatur didalam UU No.22

Lebih terperinci

Analisis Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Mengeluarkan Putusan Yang Bersifat Ultra Petita Berdasarkan Undang-Undangnomor 24 Tahun 2003

Analisis Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Mengeluarkan Putusan Yang Bersifat Ultra Petita Berdasarkan Undang-Undangnomor 24 Tahun 2003 M a j a l a h H u k u m F o r u m A k a d e m i k a 45 Analisis Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Mengeluarkan Putusan Yang Bersifat Ultra Petita Berdasarkan Undang-Undangnomor 24 Tahun 2003 Oleh: Ayu

Lebih terperinci

Setiap orang yang melaksanakan perkawinan mempunyai tujuan untuk. pada akhirnya perkawinan tersebut harus berakhir dengan perceraian.

Setiap orang yang melaksanakan perkawinan mempunyai tujuan untuk. pada akhirnya perkawinan tersebut harus berakhir dengan perceraian. BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PELAKSANAAN PUTUSAN PERCERAIAN ATAS NAFKAH ISTRI DAN ANAK DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA UTARA DAN PENYELESAIANYA JIKA PUTUSAN TERSEBUT TIDAK DILAKSANAKAN A. Pelaksanaan Putusan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA

BAB II TINJAUAN TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA BAB II TINJAUAN TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA A. Arti Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia Ketentuan Tentang Kekuasaan Kehakiman Diatur Dalam Bab IX, Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-undang Dasar 1945.

Lebih terperinci

Kecamatan yang bersangkutan.

Kecamatan yang bersangkutan. 1 PENCABUTAN PERKARA CERAI GUGAT PADA TINGKAT BANDING (Makalah Diskusi IKAHI Cabang PTA Pontianak) =========================================================== 1. Pengantar. Pencabutan perkara banding dalam

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 38/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 38/PUU-XV/2017 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 38/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 I. PEMOHON Afriady Putra S.,SH., S.Sos. Kuasa Hukum: Virza

Lebih terperinci

EFEKTIFITAS EKSEKUSI PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA. Maisara Sunge Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Gorontalo

EFEKTIFITAS EKSEKUSI PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA. Maisara Sunge Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Gorontalo EFEKTIFITAS EKSEKUSI PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA Maisara Sunge Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Gorontalo Abstrak : Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang dapat dilaksanakan adalah putusan

Lebih terperinci

keseragaman kebijaksanaan seringkali peraturan yang menjadi dasar keputusan menentukan bahwa sebelum berlakunya Keputusan Tata Usaha Negara

keseragaman kebijaksanaan seringkali peraturan yang menjadi dasar keputusan menentukan bahwa sebelum berlakunya Keputusan Tata Usaha Negara PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA I. UMUM Undang-Undang Dasar Negara Republik

Lebih terperinci

Diskresi dalam UU Administrasi Pemerintahan. Prof. Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D.

Diskresi dalam UU Administrasi Pemerintahan. Prof. Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D. Diskresi dalam UU Administrasi Pemerintahan Prof. Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D. Dasar Hukum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Diundangkan 17 Oktober 2014, tiga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Kebijakan Umum Peradilan

BAB I PENDAHULUAN A. Kebijakan Umum Peradilan BAB I PENDAHULUAN A. Kebijakan Umum Peradilan Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pancasila UUD 1945, bertujuan mewujudkan ketertiban yang berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. Pancasila UUD 1945, bertujuan mewujudkan ketertiban yang berdasarkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Negara Indonesia sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila UUD 1945, bertujuan mewujudkan ketertiban yang berdasarkan kemerdekaan,keadilan sosial serta

Lebih terperinci

OBYEKTIVITAS PUTUSAN HAKIM PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN ADANYA TAHAPAN PEMERIKSAAN PERSIAPAN

OBYEKTIVITAS PUTUSAN HAKIM PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN ADANYA TAHAPAN PEMERIKSAAN PERSIAPAN Aktifitas Putusan Hakim Peradilan Tata Usaha Negara... OBYEKTIVITAS PUTUSAN HAKIM PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN ADANYA TAHAPAN PEMERIKSAAN PERSIAPAN Abdul Jabbar Dosen Jurusan Syari ah STAIN Jember

Lebih terperinci

KEDUDUKAN UU ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DALAM MENDORONG PELAKSANAAN REFORMASI BIROKRASI

KEDUDUKAN UU ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DALAM MENDORONG PELAKSANAAN REFORMASI BIROKRASI KEDUDUKAN UU ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DALAM MENDORONG PELAKSANAAN REFORMASI BIROKRASI POKOK-POKOK BAHASAN 2 1 REFORMASI BIROKRASI 2 KEDUDUKAN UU ADMINISTRASI PEMERINTAHAN 3 GAGASAN PENTING UU ADMINISTRASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berdasarkan perspektif sejarah, ide dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berdasarkan perspektif sejarah, ide dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan perspektif sejarah, ide dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara adalah untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi antara pemerintah dengan warga negaranya

Lebih terperinci

5. Kosmas Mus Guntur, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon V; 7. Elfriddus Petrus Muga, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon VII;

5. Kosmas Mus Guntur, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon V; 7. Elfriddus Petrus Muga, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon VII; RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 26/PUU-XVI/2018 Ketentuan Pemanggilan Paksa oleh DPR, Frasa merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR dan Pemanggilan Anggota DPR Yang Didasarkan Pada Persetujuan Tertulis

Lebih terperinci

Mahkamah Agung yang berfungsi untuk melaksanakan kekuasaan. wewenang yang dimiliki Pengadilan Agama yaitu memeriksa, mengadili,

Mahkamah Agung yang berfungsi untuk melaksanakan kekuasaan. wewenang yang dimiliki Pengadilan Agama yaitu memeriksa, mengadili, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peradilan Agama merupakan salah satu badan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang berfungsi untuk melaksanakan kekuasaan kehakiman dalam lingkup khusus. 1 Kekhususan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyelesaikan perkara di lingkungan peradilan agama, khususnya di pengadilan

BAB I PENDAHULUAN. menyelesaikan perkara di lingkungan peradilan agama, khususnya di pengadilan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyelesaian perkara di lingkungan peradilan agama sebagaimana lingkungan peradilan lainnya tidak hanya dilakukan oleh hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 21/PUU-XVI/2018

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 21/PUU-XVI/2018 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 21/PUU-XVI/2018 Wewenang DPR Memanggil Paksa Setiap Orang Menggunakan Kepolisian Negara Dalam Rapat DPR Dalam Hal Pihak Tersebut Tidak Hadir Meskipun Telah Dipanggil

Lebih terperinci