UNIVERSITAS INDONESIA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "UNIVERSITAS INDONESIA"

Transkripsi

1 UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN SISTEM MUSKULOSKELETAL DENGAN PENERAPAN TEORI SELF CARE OREM DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI JAKARTA KARYA ILMIAH AKHIR CHANDRA BAGUS ROPYANTO NPM PROGRAM PENDIDIKAN SPESIALIS KEPERAWATAN KEKHUSUSAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN JAKARTA, 2013

2 UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN SISTEM MUSKULOSKELETAL DENGAN PENERAPAN TEORI SELF CARE OREM DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI JAKARTA Karya Ilmiah Akhir Diajukan sebagai Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Ners Spesialis Keperawatan Medikal Bedah Oleh : CHANDRA BAGUS ROPYANTO NPM PROGRAM PENDIDIKAN SPESIALIS KEPERAWATAN KEKHUSUSAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN JAKARTA, 2013 i

3

4

5

6 KATA PENGANTAR Puji syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan karunia-nya, akhirnya penulisan karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Karya Ilmiah ini berjudul Analisis Praktik Residensi Keperawatan Medikal Bedah pada Pasien dengan Gangguan Sistem Muskuloskeletal dengan Penerapan Teori Self Care Orem di RSUP Fatmawati Jakarta merupakan syarat dalam menyelesaikan Program Ners Spesialis Keperawatan Medikal Bedah di Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. Karya Imiah Akhir ini dalam penyusunannya banyak mendapatkan bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada : 1. DR. Ratna Sitorus, S.Kp., M.App. Sc. selaku supervisor utama yang telah memberikan arahan selama penyusunan karya ilmiah akhir. 2. Masfuri, S,Kp., MN.. selaku supervisor yang juga telah memberikan arahan selama penyusunan karya ilmiah akhir. 3. Ns., Umi Aisyiyah, S.Kep., M.Kep., Sp.KMB., sebagai supervisor klinik yang telah memberikan bimbingan selama praktik residensi di GPS Lantai 1 RSUP Fatmawati Jakarta. 4. Direktur RSUP Fatmawati Jakarta yang telah memberikan izin melaksanakan praktik residensi. 5. Kepala ruangan beserta staff GPS Lantai 1 RSUP Fatmawati Jakarta atas kerjasama dan kebersamaannya selama menjalankan praktik residensi. 6. Orang tua, saudara, istri, dan anak tercinta yang selalu memberikan dukungan selama mengikuti Program Ners Spesialis hingga selesainya karya ilmiah ini. 7. Keluarga besar Jakarta yang telah memberikan bantuan selama mengikuti Program Ners Spesialis hingga selesainya karya ilmiah ini. 8. Rekan-rekan seperjuangan peminatan muskuloskeletal, peminatan endokrin, serta rekan-rekan Program Ners Spesialis Keperawatan Medikal Bedah Angkatan 2012 lainnya yang telah saling mendukung dan membantu selama proses pendidikan. v

7 9. Pimpinan Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Diponegoro yang telah memberikan ijin untuk studi lanjut. 10. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah banyak memberikan bantuan dan motivasi kepada penulis. Semoga segala bantuan dan kebaikan, menjadi amal sholeh yang akan mendapat balasan yang lebih baik dari Allah SWT. Penulis sangat mengharapkan masukan, saran dan kritik demi perbaikan proposal tesis ini sehingga dapat digunakan untuk pengembangan ilmu dan pelayanan keperawatan. Jakarta, Juni 2013 Penulis vi

8

9 ABSTRAK Nama Program Studi Judul : Chandra Bagus Ropyanto : Ners Spesialis Keperawatan Medikal Bedah : Analisis Praktik Residensi Keperawatan Medikal Bedah pada Pasien dengan Gangguan Sistem Muskuloskeletal dengan Penerapan Teori Self Care Orem di RSUP Fatmawati Jakarta Praktik residensi di ruang ortopedi untuk memberikan asuhan keperawatan pada gangguan muskuloskeletal menggunakan teori keperawatan Self Care Orems, menerapkan praktik keperawatan berdasarkan pembuktian, dan melakukan inovasi keperawatan. Kasus kelolaan utama pada gangguan sistem muskuloskeletal adalah osteomielitis kronis. Masalah keperawatan paling banyak adalah nyeri dan mobilitas fisik untuk universal self care requisites serta kurang pengetahuan untuk developmental self care requisites. Intervensi keperawatan berdasarkan pembuktian yang telah diterapkan adalah cold compression therapy yang dapat meningkatkan proses penyembuhan dengan indikator penurunan nyeri dan edema, serta peningkatan rentang gerak sendi. Inovasi keperawatan yaitu penggunaan Clinical Practice Guidline untuk melakukan asuhan keperawatan berdasarkan clinical pathway pada pasca ORIF ekstremitas bawah. Perawat dapat menerapkan teori Self Care Orems, cold compression therapy, serta melakukan kegiatan inovasi untuk meningkatkan kompetensi perawat dan kualitas pelayanan keperawatan. Kata kunci : osteomielitis, teori self care orems, cold compression, clinical practice guidline, asuhan keperawatan viii

10 ABSTRACT Name Study Program Title : Chandra Bagus Ropyanto : Medical Surgical Nurse Specialist : An Analysis of Medical Surgical Nursing Advanced Clinical Practice on Musculosceletal Disorder Patients with Orem s Self Care Theory in Fatmawati Public Hospital Jakarta The advanced clinical practice in orthopaedic ward involved the planning of nursing care for musculoskeletal disorders patients with Orem s Self Care theory, the implementation of evidenced based nursing practice, and the implentation of nursing innovations. The primary case management of the musculoskeletal system disorders is chronic osteomyelitis. Most nursing problems for the universal selfcare requisites are pain and physical mobility, while for the developmental self care requisites is knowledge deficit. The evidence based nursing intervention implemented was cold compression therapy. It can improve the healing process with the indicators of decreased pain and edema, and increased range of motion. The nursing innovation implemented was the use of Clinical Nursing Practice Guidline in giving nursing care based on the clinical pathways post-orif lower extremities. Nurses can apply the Orem s Self Care Theory, cold compression therapy, and innovation activities to improve their competency and also quality of nursing services. Keywords: osteomyelitis, orem s self care theory, cold compression therapy, clinical practice guidline, nursing care. ix

11 DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... LEMBAR PERSETUJUAN... PERNYATAAN ORISINALITAS... HALAMAN PENGESAHAN... KATA PENGANTAR... HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... ABSTRAK... ABSTRACT... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR DIAGRAM... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penulisan Manfaat Penelitian i ii iii iv v vii viii ix x xiii xiv xv xvi TINJAUAN PUSTAKA Konsep Osteomielitis Definisi Etiologi Klasifikasi dan Manifestasi Klinis Osteomielitis Patofisiologi Diagnostik Penatalaksanaan Komplikasi Teori Keperawatan Model Self Care Orem Gambaran Model Self Care Orem Proses Keperawatan Model Self Care Orem Pengkajian Diagnostic Operation Prescreptive Operation Regulatory Operation Control Operation Asuhan Keperawatan pada Osteomielitis dengan Model Self Care Orem Pengkajian Basic Conditioning Factor Universal Self Care Requisites Developmental Self Care Requisites Health Deviation Self Care Requisites Diagnostic Operation Prescreptive Operation... x

12 Regulatory Operation Control Operation... ASUHAN KEPERAWATAN PADA GANGGUAN SISTEM MUSKULOSKELETAL Gambaran Kasus Kelolaan Utama Penerapan Model Self Care Orem pada Asuhan Keperawatan Pasien dengan Osteomielitis Pengkajian Basic Conditioning Factor Universal Self Care Requisites Developmental Self Care Requisites Health Deviation Self Care Requisites Rencana Asuhan Keperawatan Nursing System Design Regulatory Operation Implemetasi Asuhan Keperawatan Evaluasi Asuhan Keperawatan Pembahasan Udara Resiko Syok berhubungan dengan Proses Inflamasi Sistemik Pencegahan Bahaya Gangguan Integritas Jaringan berhubungan dengan Proses Infeksi dan Inflamasi Tulang dan Jaringan Nyeri berhubungan dengan Inflamasi Tulang dan Jaringan Aktivitas dan Istirahat Keterbatasan Mobilitas Fisik berhubungan dengan Penurunan Kemampuan Ekstremitas Bawah Modifikasi Gambaran Diri terhadap Perubahan Status Kesehatan Cemas berhubungan dengan Perubahan Status Kesehatan Analisa Penerapan Teori Self Care Orem pada 35 Kasus Kelolaan Pengkajian Basic Conditioning Factor Universal Self Care Requisites Developmental Self Care Requisites Health Deviation Self Care Requisites Diagnostic Operation Prescreptive Operation Regulatory Operation Control Operation xi

13 ANALISIS PRAKTIK BERBASIS BUKTI Hasil Journal Reading (Critical Review) Praktik Keperawatan berdasarkan Pembuktian Penerapan EBN Hambatan dan Pemecahan Rekomendasi Pembahasan... ANALISIS PERAN PERAWAT SEBAGAI INOVATOR Analisis Situasi Strength Weakness Opportunities Threath Kegiatan Inovasi Persiapan Pelaksanaan Evaluasi Pembahasan... SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA... LAMPIRAN 84 xii

14 DAFTAR TABEL Tabel 3.1 Tabel 3.2 Tabel 3.3 Tabel 3.4 Intake-Output Tn. NK dengan Ostemielitis Kronis Nursing System Design pada Tn. NK dengan Osteomielitis Kronis Regulatory Operations pada Tn. NK dengan Osteomielitis Kronis Definisi operasional variabel penelitian Diagnosa Keperawatan menurut Teori Self Care Orem pada Pasien Gangguan Sistem Muskuloskeletal di RSUP Fatmawati Jakarta xiii

15 DAFTAR DIAGRAM Diagram 4.1 Diagram 4.2 Diagram 4.3 Diagram Tingkat Nyeri Subyek Sebelum dan Setelah Dilakukan Cold Compression Therapy pada Pasien Pasca Bedah Ortopedi di RSUP Fatmawati Jakarta tahun 2013 (n=5) Diagram Tingkat Edema Subyek Sebelum dan Setelah Dilakukan Cold Compression Therapy pada Pasien Pasca Bedah Ortopedi di RSUP Fatmawati Jakarta tahun 2013 (n=5) Diagram Rentang Gerak Sendi Lutut Subyek Sebelum dan Setelah Dilakukan Cold Compression Therapy pada Pasien Pasca Bedah Ortopedi di RSUP Fatmawati Jakarta tahun 2013 (n=5) xiv

16 DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Gambar 2.2 Nursing System Design Perkembangan Infeksi Osteomielitis Varian Osteomielitis dan Jenis Tindakan Pembedahan xv

17 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Lampiran 2 Lampiran 3 Lampiran 4 Lampiran 5 Lampiran 6 Lampiran 7 Pengkajian Keperawatan Model Self Care Orem Implementasi dan Evaluasi Keperawatan Resume Keperawatan pada Gangguan Sistem Muskuloskeletal Proyek Inovasi Clinical Practice Guidline Lembar Observasi EBN Evaluasi Proyek Inovasi Daftar Riwayat Hidup xvi

18 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem muskuloskeletal merupakan sistem yang memiliki peran penting dalam tubuh. Sistem muskulokeletal tidak hanya berfungsi dalam mendukung dan meningkatkan kemampuan tubuh dalam melakukan koordinasi pergerakan. Peran sistem muskuloskeletal adalah melindungi organ vital persediaan mineral, dan memainkan perannya dalam produksi sel darah (Halstead, 2004). Fungsi sistem muskuloskeletal berkaitan dengan organ lain dari tubuh dan organ dari sistem muskuloskeletal sendiri. Sistem muskuloskeletal terdiri dari tulang, sendi, otot, ligamen, dan bursa (Smeltzer & Bare 2006). Tulang berperan melindungi dan mendukung struktur tubuh. Matrik tulang merupakan tempat persediaan kalsium, fosfat, magnesium, dan flouride, dimana 98 % total kalsium tubuh berada dalam tulang. Sumsum merah tulang berada pada rongga tulang yang memproduksi sel darah merah dan sel darah putih dalam proses hematopoesis. Sendi bersama tulang berperan menahan dan mengikuti saat terjadi pergerakan tubuh. Otot melekat pada tulang untuk kontraksi, menggerakan tulang dan memproduksi panas untuk menjada suhu tubuh. Penyakit muskuloskeletal terjadi pada berbagai rentang usia yang diakibatkan oleh kongenital, gangguan perkembangan, trauma, metabolik, degeneratif dan proses infeksi. Masalah yang timbul akibat penyakit muskuloskeletal secara umum tidak mengancam kehidupan, tetapi memberikan dampak yang berarti terhadap aktivitas normal dan produktivitas. Proses penyembuhan pada beberapa kasus sistem muskuloskeletal memerlukan waktu yang cukup lama sehingga mempengaruhi status kesehatan yang berkaitan dengan kualitas hidup, kenyamanan fisik, dan kesehatan psikososial (Maher, Salmond, & Pellino; 2002). 1 Universitas Indonesia

19 2 Infeksi muskulokeletal dapat bersifat berat dan sulit untuk dilakukan terapi karena makrofag dan sistem antibodi sulit untuk menjangkau (Maher, Salmond, & Pellino; 2002). Mikroorganisme dalam jumlah kecil dapat menentukan terjadinya infeksi. Infeksi tulang berpotensi menimbulkan episode yang serius seperti infeksi kronis, kehilangan fungsi, perubahan kualitas hidup, dan kematian. Osteomielitis merupakan infeksi berat pada tulang dan jaringan sekitarnya yang membutuhkan penanganan segera. Penanganan yang lambat dan tidak adekuat akan mengakibatkan infeksi kronis dengan tingkat morbiditas yang signifikan, nyeri berkepanjangan, kehilangan fungsi, amputasi, dan kematian (Maher, Salmond, & Pellino; 2002). Infeksi muskuloskeletal mengalami peningkatan secara bertahap dalam beberapa tahun terakhir (Kneale & Davis, 2008). Peningkatan infeksi muskuloskeletal beresiko terjadi pada penggunaan implan logam sebagai alat fiksasi, fraktur terbuka, dan berbagai penyakit seperti malnutrisi, AIDS, tuberkulosis, dan penyakit infeksi pada organ lain. Insiden dapat meningkat pada kasus resisten penisilin, nosokomial, gram-negatif, dan infeksi bakteri anaerob (Smeltzer & Bare, 2006). Osteomielitis menyerang pada semua tingkat usia dengan angka kejadian lebih banyak pada laki-laki karena meningkatnya insiden trauma. Staphylococcus aureus menyebabkan 60% ostemielitis melalui jalur hematogen, sementara mikroorganisme lain yang ditemukan pada kasus osteomileitis adalah proteus, pseudomonas, dan Eschericia Coli. Staphylococcus epidermidis merupakan patogen utama pada penggunaan material prostetik, seperti implan dan alat fiksasi fraktur (Maher, Pellino, & Salmond, 2002). Osteomielitis merupakan infeksi lokal yang memiliki efek sistemik, sehingga pasien dapat mengalami gejala klasik dan reaksi infeksi lokal (Kneale & Davis, 2008). Gejala lokal ostemoielitis berupa nyeri pada area infeksi, panas, kemerahan pada area terinfeksi, dan efusi sendi. Gejala sistemik meliputi peningkatan suhu tubuh, sakit kepala, sakit tenggorokan, mual, berkeringat, dan malaise. Universitas Indonesia

20 3 Intervensi bedah diindikasikan jika terapi antibiotik tidak efektif dan tekanan materi terinfeksi memerlukan dekompresi untuk melepaskan dari abses medula atau subperiosteal (Lew & Waldgovel. 1997; dalam Kneale & Davis, 2008). Penatalaksanaan bedah pada tulang dan sendi yang terinfeksi meliputi pengeluaran materi terinfeksi dan nekrotik. Pembedahan dapat meliputi debridemen ekstensif untuk mengendalikan infeksi, irigasi area, fiksasi skeletal, tandur tulang, dan penyelamatan ekstremitas. Intervensi sehingga perlu perawatan yang tepat. Masalah keperawatan yang utama berkaitan dengan penatalaksanaan nyeri, terapi antibiotik, infeksi, mobilisasi, dan pemahaman tentang pilihan pembedahan (Kneale & Davis, 2008). Manajemen perawatan meliputi manajemen nyeri, manajemen infeksi, imobilisasi, dan penurunan dampak psikososial (Maher, Pellino, & Salmond, 2002). Osteomielitis membutuhkan perawatan dalam jangka panjang sehingga perawatan mengikuti permasalahan respon fisiologis dan psikologis (Maher, Pellino, & Salmond,2002). Tujuan perawatan adalah mengembalikan pasien untuk hidup secara normal, tanpa infeksi, serta ekstremitas berfungsi senormal mungkin (Kneale & Davis, 2008). Teori keperawatan yang tepat perlu diterapkan pada pengelolaan pasien ostemielitis untuk meningkatkan kemampuan pasien asuhan keperawatan. Teori self care Orem dapat diterapkan pada pasien ostemielitis yang berperan meningkatkan kemandirian pasien. Teori self care Orem dapat membantu pasien untuk mengurangi nyeri yang berkepanjangan dengan mengontrol nyeri secara mandiri, pencegahan infeksi secara mandiri, meningkatkan kemampuan beraktivitas untuk mencegah ketidakberdayaan yang berkepanjangan, serta mampu mengkontrol keadaan psikologis secara tepat. Teori self care Orem juga dapat diterapkan pada berbagai pasien muskuloskeletal lainnya, terutama pada pasien fraktur yang merupakan kasus yang banyak ditemui pada gangguan sistem muskuloskeletal. Pasien gangguan muskoloskeletal yang menjalani rawat inap hampir seluruhnya menjalani tindakan bedah ortopedi. Teori self care Orem merupakan model keperawatan yang tepat diterapkan pada area Universitas Indonesia

21 4 perioperatif, rentang usia yang lebih luas (dari bayi sampai lansia) (Alligood & Tomay, 2006). Pasien dengan gangguan muskuloskeletal akan mengalami proses penyembuhan yang lama sampai pasien pulang, sehingga pasien hidup dengan keterbatasan. Peran perawat dalam aplikasi teori self care Orem adalah membantu meningkatkan kemampuan pasien untuk mandiri pada area klinis yang akan meningkatkan kualitas hidup saat pasien berada pada area komunitas. Peran perawat klinis dalam pemberian asuhan keperawatan perlu dikembangkan karena tuntutan peningkatan kualitas asuhan keperawatan. Pemberian asuhan keperawatan dengan pendekatan Evidence Based Nursing (EBN) mampu meningkatkan kompetensi perawat klinis. EBN merujuk pada Evidence Based Practice yang merupakan pendekatan berdasarkan paradigma bukti terbaik secara keilmuan yang terintegrasi dengan nilai dan pilihan pasien serta keadaan klinis (Salmond, 2007) Penerapan EBN pada sistem muskuloskeletal yang dilakukan adalah cold compression. Cold compression therapy merupakan terapi modalitas yang digunakan pada berbagai manajemen operasi dengan berbagai variasi prosedur ortopedi dimana pembedahan menghasilkan kerusakan jaringan yang sama tetapi berat ringanya tergantung gejala. Cold compression therapy secara langsung ditujukan untuk bengkak, inflamasi, dan nyeri berkaitan dengan cedera dengan berbagai mekanisme (Block, 2010). Aplikasi cold compression yang paling sederhana, murah, dan mungkin dilakukan diruangan adalah kompres dingin dengan ice cold pack serta kompresi dengan elastis verban dalam rentang waktu yang tepat untuk mendapatkan efek komplek yang tepat dan mencegah terjadinya efek samping. Kompresi dengan verban elastis dapat dilakukan langsung setelah pasien dilakukan tindakan pembedahan sebagai penutun balutan luka. Cold therapy dilakukan dalam rentang jam pasca operasi (Metules, 2007). Penelitian yang dilakukan Smith, Stevens, Taylor, & Tibbey (2002) menunjukan bahwa kompres es dengan elastis bandage mengurangi nyeri, edema, meningkatkan rentang gerak sendi, dan mempersingkat lama hari rawat pada Universitas Indonesia

22 5 pasien total knee arthroplasty. Penelitian berjudul Cold and Compression in The Management of Musculosceletal Injuries and Orthopaedic Operative Procedures : a Narrative Review dilakukan pada berbagai prosedur bedah ortopedi. Hasil penelitian menunjukan bahwa terapi merupakan cold compression therapy memberikan manfaat lebih sebagai intervensi pada kerusakan jaringan yang parah akibat pembedahan, edema dan nyeri pasca operasi, dan kehilangan darah dalam jumlah cukup banyak (Block, 2010). Inovasi yang dilakukan berupa Clinical Practice Guidline (CPG) pada kasus pasca Open Reduction Internal Fixation (ORIF) ekstremitas bawah. Karakteristik permasalahan yang berbeda pasca ORIF ekstremitas bawah memerlukan manajemen asuhan keperawatan yang spesifik berdasarkan lokasi fraktur. Manajemen asuhan keperawatan yang tepat adalah berdasarkan clinical pathway. Clinical pathway merupakan rencana multidisiplin sebagai praktik klinik terbaik pada kelompok pasien yang spesifik (Audimoolan, Nair, Gaikwad, & Qing, 2005). Clinical pathway merupakan perangkat yang digunakan untuk mengkoordinasi perawatan yang menetukan outcome sebagai antisipasi berdasarkan rentang waktu dengan menggunakan sumberdaya yang tersedia (Audimoolan, Nair, Gaikwad, Qing, 2005). Pendekatan berdasarkan clincal pathway mampu mereduksi biaya dan lama hari rawat pada perawatan akut berdasarkan outcome pasien (Morris, Benetti, Marro, & Rosenthal, 2010). Clinical practice guidline(cpg) merupakan produk dari clinical pathway, dimana dalam melakukan asuhan keperawatan tidak berdasarkan rutinitas.clinical practice guidline indikasi spesifik yang dikembangkan berdasarkan literatur, penelitian medis, dan clinical yang kompeten (Morris, Benetti, Marro, & Rosenthal, 2010). Penelitian oleh Morris, Benetti, Marro, dan Rosenthal (2010) dilakukan pada pasien primary hip replacement, knee replacement, dan hip resurfacking dengan jumlah responden sebanyak 14 untuk pre CPG dan 30 untuk post CPG. Hasil penelitian menunjukan bahwa dengan aplikasi CPG pasien mampu mobilisasi 6 jam setelah tranfer dari PACU, ambulasi 16 jam setelah transfer dari PACU, Universitas Indonesia

23 6 mereduksi lama hari rawat dari 4,3 hari menjadi 2,8 hari. Nyeri pasien saat aplikasi CPG adalah 3,3 dibandingkan yang tidak dilakukan CPG yaitu 4,7. Penerapan teori keperawatan yang tepat, EBN, dan inovasi membutuhkan peran perawat spesialis. Perawat spesialis merupakan perawat ahli dalam praktik serta mampu mengembangkan dan meningkatkan outcome pasien, standar normal keperawatan, dimana mampu memberikan pengarahan kepada staff perawatan ( National CNS Task Force, 2010). Perawat spesialis ortopedi merupakan perawat yang memiliki pengalaman sebagai praktisioner dalam melakukan asuhan keperawatan sistem muskuloskeletal dengan tingkat pendidikan magister atau doktor yang memiliki keahlian dalam praktik klinik (RCN, 2012). Perawat spesialis dalam melakukan asuhan keperawatan pasien osteomielitis berperan melakukan asuhan keperawatan sesuai rentang respon fisiologis dan psikologis dengan memprediksi dan melakukan pencegahan terhadap resiko komplikasi serta mampu berkolaborasi dengan tim multidisiplin lain. Pemberian asuhan keperawatan dengan teori self care Orem dapat meningkatkan kualitas asuhan keperawatan melalui peningkatan outcome pasien dengan peningkatan kemampuan untuk mandiri dan standar keperawatan yang merupakan fungsi perawat spesialis. Keahlian secara keseluruhan dalam praktik klinik meliputi kemampuan mengembangkan asuhan keperawatan sistem muskuloskeletal secara holistik sampai pada kasus yang komplek, mengembangkan dan memperbaharui EBN, serta melakukan inovasi-inovasi untuk meningkatkan kualitas asuhan keperawatan. Aplikasi peran perawat spesialis dituangkan dalam bentuk laporan karya ilmiah akhir yang berjudul Analisis Praktik Residensi Keperawatan Medikal Bedah pada Pasien dengan Gangguan Sistem Muskuloskeletal dengan Penerapan Teori Self Care Orem di RSUP Fatmawati Jakarta. Universitas Indonesia

24 7 1.2 Tujuan Penulisan Tujuan Umum Memberikan gambaran umum pelaksanaan dan pengalaman praktik residensi dengan menggunakan pendekatan teori keperawatan dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem muskuloskeletal di RSUP Fatmawati Jakarta Tujuan Khusus Melakukan analisis terhadap penerapan asuhan keperawatan menggunan Teori Self Care Orem pada pasien dengan gangguan sistem muskuloskeletal di RSUP Fatmawati Jakarta Melakukan analisis terhadap penerapan evidence based nursing pada pasien dengan gangguan sistem muskuloskeletal di RSUP Fatmawati Jakarta Melakukan analisis terhadap penerapan kegiatan inovasi keperawatan di RSUP Fatmawati Jakarta 1.3 Manfaat Penulisan Pelayanan Keperawatan Menambah pengetahuan dan kompetensi perawat dalam hal aplikasi teori keperawatan, EBN, dan inovasi Masukan bagi institusi untuk meningkatkan kegiatan yang bersifat EBN dan inovasi untuk pengembangan kualitas pelayanan keperawatan Pengembangan Ilmu Keperawatan Memperkuat penerapan teori keperawatan, dan menambah khasanah ilmu keperawatan dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem muskuloskeletal Rujukan bagi institusi pendidikan dalam menerapkan teori keperawatan dan EBN dalam intervensi keperawatan pada asuhan keperawatan gangguan sistem muskuloskeletal Universitas Indonesia

25 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan dibahas tentang teori dan konsep yang terkait kasus kelolaan dan model keperawatan. Uraian tinjauan pustaka meliputi konsep osteomielitis dan Model Teori Self Care Orem. 2.1 Konsep Osteomielitis Definisi Osteomielitis merupakan infeksi berat pada tulang dan jaringan sekitarnya yang membutuhkan terapi segera (Halstead, 2004; Maher, Salmond, & Pellino, 2002; Smeltzer & Bare, 2006). Penanganan yang lambat dan tidak adekuat akan mengakibatkan infeksi kronis dengan tingkat morbiditas yang signifikan, nyeri berkepanjangan, kehilangan fungsi, amputasi, dan kematian Etiologi Staphylococcus aureus menyebabkan 60% ostemielitis melalui jalur hematogen, sementara mikroorganisme lain yang ditemukan pada kasus osteomileitis adalah proteus, pseudomonas, dan Eschericia Coli. Staphylococcus epidermidis merupakan patogen utama pada penggunaan material prostetik, seperti implan dan alat fiksasi fraktur (Maher, Pellino, & Salmond, 2002) Klasifikasi dan Manifestasi Klinis Osteomielitis Ostemielitis diklasifikasikan berdasarkan perjalanan penyakit, anatomis, dan kondisi fisiologi penjamu (host). Klasifikasi osteomielitis menentukan tindakan yang dilakukan dan prognosa penyakit. Berdasarkan perjalanan penyakit ostemielitis diklasifikasikan menjadi : a. Ostemielitis Akut Onset osteomielitis dapat mendadak dengan gejala infeksi lokal dan sistemik dan berlangsung dalam waktu kurang dari satu bulan. Infeksi lokal menunjukan gejala pada area terinfeksi berupa bengkak, lembut dan hangat saat disentuh, nyeri hebat saat digerakan, serta kemerahan. Manifestasi secara 8 Universitas Indonesia

26 9 sistemik berupa demam, menggigil, lemah yang merupakan indikasi septikimia, mual, dan berkeringat (Halstead, 2004; Kneale & Davis, 2008). b. Osteomielitis Kronis Osteomielitis akut yang lebih dari satu bulan sampai beberapa tahun dikategorikan osteomielitis kronis. Osteomielitis kronik didiagnosis jika infeksi sebelumnya berulang baik yang telah diberikan terapi maupun tidak dan terdapat nekrosis tulang yang berkaitan. Manifestasi klinis sama dengan osteomielitis akut tetapi intervalnya lebih sering disertai drainase sinus pada area luka (Halstead, 2004; Kneale & Davis, 2008; Maher, Salmond, & Pellino, 2002). Berdasarkan anatomis ostemielitis diklasifikasikan menjadi (Cierny III, Mader, & Penninck, 2003; Cierny III, 2010) : a. Ostemielitis Medullar (Tipe I) Lesi primer terjadi pada endoosteum yang terjadi pada kondisi granulasi kronis, skar iskemik, dan sequestrum pada kanal medulla. b. Osteomielitis Superfisial (Tipe II) Permasalahan pada permukaan tulang karena terpaparnya tulang oleh lingkungan luar pada kondisi fraktur terbuka dan ulkus neuropati. c. Ostemielitis Terlokalisir (Tipe III) Osteomielitis terlokalisir menunjukan adanya kerusakan kulit menyeluruh, kortikal sequestrum, sampai pada cavity. Osteomielitis terlokalisir merupakan kombinasi dari osteomielitis medullar dan superfisial. d. Osteomielitis Difus Osteomielitis difus merupakan kombinasi dari tipe I, II, dan III yang mengakibatkan kerusakan pada jaringan keras dan lunak. Berdasarkan kondisi fisiologi host, ostemielitis diklasifikasikan menjadi (Cierny III, Mader, & Penninck, 2003; Cierny III, 2010) : a. A-Host Kondisi host menunjukan respon normal secara fisiologi dan pembedahan b. B-Host Kondisi host memiliki gejala lokal (B L ), sistemik (B S ), atau kombinasi keduanya (B LS ). Universitas Indonesia

27 10 c. C-Host Memerlukan tindakan suppressive atau tidak dilakukan terapi, ketidakberdayaan, luka yang sulit sembuh, terapi memberikan hasil lebih buruk daripada penyakit, dan bukan kandidat pembedahan Patofisiologi Osteomielitis merupakan infeksi tulang yang dapat mengakibatkan dampak secara serius dan susah untuk dilakukan terapi pada kondisi kronis. Kesulitan terapi disebabkan beberapa faktor dari struktur tulang. Terapi yang tidak tepat pada osteomielitis akut dapat berkembang menjadi osteomielitis kronis yang beresiko mengakibatkan kematian. Mikroorganisme dapat menyebabkan infeksi pada tulang melalui tiga metode, yaitu : ekstensi dari infeksi jaringan lunak, pada infeksi pressure atau vasculer ulcer, dan infeksi insisi. Osteomielitis diakibatkan mikroorganisme yang memasuki jaringan tulang baik dari sumber eksogenus maupun endogenus. Sumber endogenus sering dikenal sebagai hematogenus ostemielitis yang berasal dari tubuh dan aliran darah pada tulang. Sumber eksogenus dapat berasal dari fraktur terbuka, pembedahan, atau luka tusuk (Halstead, 2004). Kontaminasi tulang langsung yang disebabkan pembedahan tulang, fraktur terbuka, atau cedera trauma. Hematogenus (aliran darah) dari infeksi lain seperti tonsil, gigi, saluran respirasi bawah (Smeltzer & Bare, 2006). Mikroorganisme yang mendapat akses menuju tulang, akan terakumulasi pada regio metafisis tempat berproliferasi dan memicu respon awal infeksi. Infeksi mikroorganisme yang memasuki tulang menginisiasi respon inflamasi yang mengakibatkan berkembangnya bengkak dan meningkatkan vaskularisasi. Infeksi yang berkembang meningkatkan jumlah eksudat sehingga meningkatkan penekanan pada yang menimbulkan iskemik pada tulang dan secepatnya menjadi nekrosis. Peningkatan tekanan pada tulang mengakibatkan materi yang terinfeksi bermigrasi menunju korteks, memisahkan periosteum dari tulang yang mendasarinya dan membentuk abses subperiosteal. Sel darah putih tidak dapat Universitas Indonesia

28 11 mengeluarkan materi yang terinfeksi sehingga mengakibatkan akumulasi jaringan yang terinfeksi dan iskemik, sehingga terjadi nekrosis tulang yang mendasarinya (sekuestrum). Sekuestrum menjadi terisolasi, periosteum membentuk tulang baru disekitarnya dan menjadi reservoir infeksi di dalamnya (Kneale & Davis, 2008). Eksudat meluas sampai medullar cavity dan dibawah periosteum, melepaskan periosteum pada tulang dan selanjutnya mengganggu suplay vaskular pada jaringan tulang. Bakteri dapat keluar dari jaringan tulang yang mati menuju jaringan lunak dan invasi sendi terdekat. Jaringan tulang yang mengalami nekrosis disebut sequestrum. Sequestrum memisahkan dari jaringan tulang yang masih hidup. Sequestrum yang berkembang akan mengakibatkan osteomielitis kronis. Destruksi periosteum akan menginisiasi osteoblas untuk menstimulasi pertumbuhan tulang baru. Tulang baru disekitar sequestrum merupakan involucrum (Halstead, 2004). Abses jaringan lunak dan kutaneus dapat berkembang menjadi saluran sinus dari periosteum. Saluran sinus kutaneus dapat berkembang karena peningkatan tekanan dan erosi jaringan lunak. Infeksi dapat menjadi reaksi jaringan fibrosis dan terlokalisir yang dikenal sebagai Brodie s abscess (Maher, Pellino, & Salmond, 2002). Perkembangan infeksi ostemielitis dapat dilihat pada gambar 2.1 Gambar 2.1 Perkembangan Infeksi Osteomielitis Sumber : Heitkemper & Dirksen (2000) dalam Halstead (2004). Orthopaedic Nursing. Universitas Indonesia

29 Diagnostik Pemeriksaan laboratorium penting dalam menentukan mikroorganisme penyebab. Kultur darah, sampel, apusan luka atau biopsi jarum diambil untuk kultur dan sensitivitas sebelum pemberian antibiotik. Tanda adanya infeksi didindikasikan dengan peningkatan hitung sel darah putih, laju endap darah (LED), dan protein C-reaktif (CRP) (Kneale & Davis, 2008). Pemeriksaan diagnostik lain berupa terdiri dari x-ray, CT-Scan, dan MRI yang memiliki kemampuan berbeda-beda. Pemeriksaan x-ray pada awal osteomielitis akut hanya menunjukan perubahan pada jaringan sekitar, bukan pada tulang. Nekrosis tulang dievaluasi 10 sampai 14 hari setelah tulang mengalami nekrosis, dengan gambaran adanya bercak, area decalsifikasi irreguler, dan lebih jelas terlihat pada area metafisis. CT-Scan dapat mengidentifikasi abnormalitas kortek, abses, saluran sinus, dan sekuetrum. MRI berguna untuk menditeksi penyebaran infeksi jaringan lunak dan sumsum tulang (Kneale & Davis, 2008; Maher, Salmond, & Pellino, 2002) Penatalaksanaan Terapi antibiotik dimulai ketika kultur darah atau luka telah didapatkan, sementara dapat digunakan antibiotik spektrum luas. Pemberian antibiotik intravena pada tahap awal diberikan untuk membentuk kadar terapeutik efektif dalam darah. Antibiotik diberikan dari empat minggu sampai beberapa bulan, sehingga perlu pertimbangan untuk pemberian antiemetik reguler pada beberapa pasien yang mengalami mual. Antibiotik osteomielitis kronis sama dengan antibiotik yang diberikan pada osteomielitis akut disertai kombinasi obat yang umumnya digunakan untuk mencegah terjadinya resistensi antibiotik. Alternatif penggunaan antibioticimpregnated beads untuk memfokuskan antibiotik di area yang terinfeksi adalah metode irigasi Lautenbach. Metode ini dilakukan dengan memasukan antibiotik melalaui slang irigasi pada area infeksi setiap empat jam. Antibiotik tetap berada di area tulang sampai dialirkan keluar sebelum diberikan antibiotik selanjutnya. Universitas Indonesia

30 13 Irigasi dilanjutkan selama 3 6 minggu sehingga menjadi prosedur yang lama tetapi efektif (Sims et al, 2001 dalam Kneale & Davis, 2008). Intervensi bedah diindikasikan jika terapi antibiotik tidak efektif dan tekanan materi terinfeksi memerlukan dekompresi untuk melepaskan dari abses medula atau subperiosteal (Lew & Waldgovel. 1997; dalam Kneale & Davis, 2008). Penatalaksanaan bedah pada tulang dan sendi yang terinfeksi meliputi pengeluaran materi terinfeksi dan nekrotik. Pembedahan dapat meliputi debridemen ekstensif untuk mengendalikan infeksi, irigasi area, fiksasi skeletal, tandur tulang, dan penyelamatan ekstremitas. Pembedahan dilakukan berdasarkan klasifikasi tipe anatomis dan fisiologis host ostemielitis (Cierny III, Mader, & Penninck, 2003; Cierny III, 2010). Tindakan pembedahan berdasarkan varian ostemielitis dapat dilihat pada gambar 2.2 Tipe I anatomis dan fisiologi host A, B, C dilakukan pembuangan nidus biofilm dengan debridemen pada medullar dan penutupan pada area kortek. Pasca pembedahan tulang dilakukan proteksi dari kemungkinan terjadinya fraktur dengan penggunaan alat bantu untuk ambulasi. Antibiotik sistemik jangka pendek diberikan apabila terjadi penutupan jaringan secara primer (Cierny III, Mader, & Penninck, 2003; Cierny III, 2010). Tipe IIA,B,C perencanan pre operasi dilakukan untuk mendukung pemulihan penutupan jaringan lunak. Pengkajian klinis, indikasi vaskuler, tekanan oksigen transkutan, dan angiografi digunakan untuk menilai defisit dan masalah potensial yang mungkin timbul. Pembedahan tipe IIA,B,C dilakukan dengan pembuangan jaringan lunak yang komplek dengan pembuangan iskemik jaringan lunak dan permukaan tulang (decortication) yang dilanjutkan dengan penutupan jaringan lunak dengan melakukan flap (Cierny III, Mader, & Penninck, 2003; Cierny III, 2010). Tipe IIIA,B,C pembedahan dilakukan dengan sequestration dan cavitation. Metode debridemen dilakukan dengan sequestrectomy, saucerization, medullary decompression, scar excision, dan superficial decortication. Rekontruksi Universitas Indonesia

31 14 dilakukan apabila terdapat dead space yang meliputi tindakan transfer jaringan lunak, bone graft, dan penutupan luka secara sederhana. Stabilisasi tulang dilakukan dengan menggunakan external fixator atau internal fixator dengan depot antibiotik (Cierny III, Mader, & Penninck, 2003; Cierny III, 2010). Tipe IVA,B,C dilakukan stabilisasi karena beresiko terjadi gangguan penyembuhan luka, nonunion, nekrosis sentral bone graft, infeksi oportunistik, dan stress fracture. Pembedahan dilakukan melalui beberapa tahap rekontruksi secara simultan. Pembedahan tahap pertama dilakukan dengan debridemen, manajemen death space, dan pemasangan external fixation sementara. Pembedahan kedua dan ketiga dilakukan sebagai rekontruksi definitif dengan tindakan memperbaiki dan mempertahankan pembedahan tahap pertama (Cierny III, Mader, & Penninck, 2003; Cierny III, 2010).. Gambar 2.2 Varian Osteomielitis dan Jenis Tindakan Pembedahan Sumber : Greene et al (1990) dalam Chierny III (2010). Surgical Treatment of Osteomyelitis. Universitas Indonesia

32 Komplikasi Penanganan yang lambat dan tidak adekuat akan mengakibatkan nyeri berkepanjangan, kehilangan fungsi, amputasi, dan kematian (Maher, Salmond, & Pellino; 2002). Infeksi kronis akan memberikan dampak secara sistemik sehingga mengakibatkan tingkat morbiditas yang signifikan dan ketunadayaan. 2.2 Teori Keperawatan Model Self Care Orem Gambaran Model Self Care Orem Teori Self Care Deficit dikembangkan oleh Orem sejak tahun 1956 dan telah digunakan pada berbagai setting praktik keperawatan berdasarkan kondisi medis, tingkat perkembangan dan kebutuhan dasar manusia. Model Self Care Orem dikembangkan berdasarkan filosofi bahwa pasien memiliki keinginan untuk mampu melakukan perawatan terhadap dirinya sendiri. Pencapaian kemandirian pasien merupakan perhatian perawat, dimana perawat merupakan seseorang yang melakukan tindakan untuk pemenuhan kebutuhan self care dan melakukan pengelolaan secara berkelanjutan untuk menopang kehidupan dan kesehjateraan, pemulihan dari penyakit atau cedera, serta menanggulangi efek yang ditimbulkan. Tujuan keperawatan secara filosofi adalah mengatasi keterbatasan manusia (Alligood & Tomay, 2006 & 2007). Sudut pandang Model Self Care Orem tidak bisa terlepas dari metaparadigma keperawatan yang terdiri dari perawat, pasien, lingkungan, dan kesehatan. Perawat mempunyai kemampuan dalam merancang dan menentukan manajemen self care untuk meningkatkan kemampuan fungsi manusia sampai level yang efektif berdasarkan metode pemberian bantuan yang tepat. Kesehatan bukan hanya status tubuh tetapi juga kemampuan dalam berfungsi pada setiap rentang kehidupan sampai berkembang secara progresif menuju level yang tinggi dalam integrasi dan fungsi. Lingkungan merupakan unit yang mendukung fungsi manusia dan saling mempengaruhi secara mutualisme yang memberikan dampak terhadap kesehatan dan kesehjateraan individu dan keluarga. Pasien merupakan seseorang yang menerima self care yang mempunyai kapasitas pengetahuan diri, Universitas Indonesia

33 16 potensi untuk belajar dan berkembang, serta belajar untuk memenuhi kebutuhan self care (Alligood & Tomay, 2006 & 2007). Model Self Care Orem disusun berdasarkan tiga teori sentral yang saling berhubungan. Tiga teori sentral yang menyusun meliputi the theory of self care, the theory of self care deficit, dan the theory of nursing system. Theory of self care menggambarkan bagaimana dan cara individu melakukan perawatan terhadap dirinya. Self Care terdiri dari aktivitas untuk untuk mematangkan inisiasi seseorang dengan rentang waktu untuk kepentingan dan ketertarikan memelihara hidup, berfungsi secara sehat, perkembangan individu secara berkelanjutan, dan sejahtera sampai mengetahui kebutuhan funsional dan regulasi (Orem, 2001 dalam Alligood & Tomay, 2006 & 2007). Self care requisites merupakan formula dan ekspresi wawasan mengenai tindakan yang dilakukan dan diketahui atau merupakan hipotesa yang diperlukan sebagai aspek regulasi dari fungsi manusia dan perkembangan yang berkelanjutan atau berada dibawah kondisi dan keadaan spesifik. Formula self care requisites terdiri dari dua elemen, yaitu faktor yang dapat mengkontrol atau mengatur untuk menjaga fungsi manusia dan perkembangannya dimana memperhatikan norma yang tepat sepanjang hidup, kesehatan, dan kesehjateraan seseorang, serta sifat dasar untuk kebutuhan tindakan yang merupkan ekspresi kebutuhan self care sebagai tujuan pencapaian self care (Alligood & Tomay, 2006 & 2007). Self care requisites terdiri dari tiga tipe yang menentukan self care demand. Self care requisites meliputi universal self care requisites, developmental self care requisites, dan health deviation self care requisites. Universal self care requisites merupakan suatu kebutuhan yang ada pada semua individu. Universal self care requisites bertujuan supaya dapat melewati/melakukan self care atau dependent care yang asal mulanya diketahui dan divalidasi berdasarkan struktur manusia dan integritas fungsi pada berbagai variasi siklus kehidupan. Universal self care requisites terdiri dari delapan syarat yang meliputi pemeliharaan kecukupan intake udara, pemeliharaan kecukupan Universitas Indonesia

34 17 intake makanan, pemeliharaan kecukupan intake cairan, ketentuan perawatan yang diasosiasikan dengan proses eliminasi dan ekskresi, pemeliharaan keseimbangan antara aktivitas dan istirahat, pemeliharaan antara keseimbangan kesendirian dan interaksi sosial, pencegahan bahaya pada kehidupan manusia, fungsi manusia, dan kesehjateraan manusia, serta peningkatan fungsi manusia dan perkembangan yang berkaitan dengan kelompok sosial sesuai dengan fungsi manusia, mengetahui keterbatasan manusia, dan keinginan manusia untuk normal (Alligood & Tomay, 2007). Developmental Self Care Requisites merupakan tindakan yang dilakukan berkaitan dengan proses perkembangan manusia, kondisi atau keadaan yang memberikan efek kurang baik terhadap perkembangan. Developmental Self Care Requisites berdasarkan dari tiga elemen, yaitu ketentuan suatu kondisi yang meningkatkan perkembangan, keterikatan dalam perkembangan diri, dan pencegahan atau penanggulangan efek dari kondisi manusia pada situasi kehidupan yang menimbulkan efek kurang baik pada perkembangan manusia (Alligood & Tomay, 2007). Health Deviation Self Care merupakan karakteristik kondisi sepanjang waktu yang ditentukan kebaikan untuk kebutuhan perawatan dimana pengalaman individu sepanjang waktu sebagai dampak kehidupan dari kondisi patologis dan dalam durasi kehidupan. Efek penyakit dan cedera secara spesifik tidak hanya pada struktur manusia secara mekanisme fisiologis dan psikologis, tetapi juga terintegrasi dengan fungsi manusia. Pengkajian perawatan tidak hanya menemukan adanya kesenjangan kebutuhan kesehatan tetapi juga komponen tindakan yang dilakukan dari sistem individu, terhadap self care dan dependen care. Kompleksitas sistem self care dan dependent care dimana meningkatkan jumlah kebutuhan health deviation dan harus berada pada rentang waktu yang spesifik (Alligood & Tomay, 2006 & 2007). Ide sentral Theory Self Care Deficit adalah kebutuhan seseorang akan perawat yang diasosikan dengan subyek matang atau mematangkan seseorang untuk hubungan kesehatan atau perawatan kesehatan berhubungan dengan keterbatasan Universitas Indonesia

35 18 dalam melakukan tindakan. Self care deficit adalah syarat yang mengekspresikan hubungan antara kemampuan tindakan individu dan permintaan untuk perawatan. Self care deficit merupakan konsep abstrak yang mengekspresikan keterbatasan tindakan, menyediakan petunjuk untuk menyeleksi metode pemberian bantuan dan memahami peran pasien dalam self care (Alligood & Tomay, 2007). Self Care Deficit merupakan fokus utama pada teori Orems yang menjelaskan kapan perawat dibutuhkan dan bagaimana seseorang dibantu perawat. Self care deficit ditentukan saat pasien sebagai self care agency tidak dapat melakukan self care terhadap dirinya sendiri. Self Care Deficit merupakan hubungan antara seseorang yang memilki therapeutik self care demand dengan kekuatan sebagai self care agency, dimana unsur pokok perkembangan kemampuan self care oleh self care agency yang tidak dapat dijalankan atau tidak adekuat untuk diketahui dan ditemukan pada beberapa atau seluruhnya komponen yang ada atau memproyeksikan therapeutik self care demand (Alligood & Tomay, 2007). Therapeutik self care demand terdiri dari penyajian akhir pengkajian perlunya perawatan pada waktu yang spesifik atau durasi waktu dengan mempertemukan pengetahuan individu terhadap self care requisites terutama kondisi yang ada. Therapeutik self care demand menggunakan metode pendekatan berdasarkan kontrol atau manajemen faktor identifikasi kebutuhan, nilai dimana merupakan regulator fungsi manusia (kecukupan udara, air, makanan), serta memenuhi element aktivitas kebutuhan (pemeliharaan, promosi, pencegahan, dan ketentuan). Therapeutik self care demand menggambarkan faktor dalam lingkungan pasien dimana harus siap dalam rentang waktu nilai yang dianut dimana berdasarkan rentang waktu kepentingan kehidupan pasien, kesehatan, atau kesehjateraan serta mengetahui derajat kesiapan efektivitas instrumental yang diperoleh dari pilihan tehnologi atau tehnik spesifik yang digunakan, perubahan, atau suatu jalan untuk mengontrol, pasien dan lingkungannya (Alligood & Tomay, 2007). Self care agency merupakan suatu komplek kemampuan yang dibutuhkan untuk mematangkan atau pematangan seseorang untuk tahu dan menemukan kebutuhan yang berkelanjutan secara sengaja, suatu tindakan yang bertujuan untuk mengatur Universitas Indonesia

36 19 fungsi manusia dan perkembangan pada dirinya. Agen berperan dalam memberikan pengajaran mengenai kekuatan yang harus dilakukan. Dependent self care agent merupakan seorang dewasa yang matang, menerima dan memenuhi tanggung jawab untuk tahu dan menemukan therapeutik self care demand yang relevan dengan ketergantungan secara sosial pada regulasi perkembangan atau latihan pada seseorang agen self care (Alligood & Tomay, 2007). Theory nursing system merupakan usulan tindakan perawatan pada manusia, sistem tindakan yang ditampilkan (didesain dan dihasilkan) oleh perawat dimana perawat sebagai agen untuk melatih seseorang dengan kesenjangan kesehatan, atau kesehatan diasosiakan keterbatasan dalam self care atau dependen care. Nursing system merupakan rangkaian dari tindakan praktik secara sengaja/hatihati sebagai penampilan perawat dalam suatu waktu saat koordinasi tindakan pada pasien dengan tujaun untuk mengetahui dan menemukan komponen therapeutik self care demand pasien dan untuk melindungi dan mengatur latihan atau perkembangan sebagai pasien self care agency. Nursing system dihasilkan untuk individu, seseorang dimana merupakan suatu dependent care unit, anggota kelompok yang memiliki therapeutik self care demand dengan komponen atau memiliki keterbatasan yang sama, sebagai ketentuan dalam self care atau dependent care atau untuk unit keluarga atau multipersonal (Alligood & Tomay, 2007). Nursing design merupakan fungsi profesional yang ditampilkan dan dirumuskan baik sebelum atau setelah diagnosa keperawatan, mengijinkan perawat, yang berbasis reflective practice judgement mengenai kondisi yang ada, untuk mensitesa element situasi yang konkret kedalam hubungan perawat untuk unit struktur operasional. Tujuan nursing design adalah menyediakan petunjuk untuk mencapai kebutuhan dan hasil yang diduga sebagai produksi kearah perawatan untuk prestasi dari tujuan perawatan, unit merupakan secara bersama mengambil pola petunjuk produksi perawat (Alligood & Tomay, 2007). Orem mengemukakan adanya tiga tipe sistem keperawatan, yaitu: sistem keperawatan penyeimbang menyeluruh, sebagian, atau mendukung/mendidik. Universitas Indonesia

37 20 Sistem keperawatan tergantung pada siapa yang dapat atau harus menjalankan aksi-aksi self care tersebut. Wholly / totally compensatory nursing system merupakan sistem penyeimbang keperawatan menyeluruh dibutuhkan ketika perawat harus menjadi peringan bagi ketidakmampuan total seorang pasien dalam hubungan kegiatan merawat yang membutuhkan tindakan penyembuhan dan manipulasi. Perawat mengambil alih pemenuhan kebutuhan self care secara menyeluruh kepada pasien yang tidak mampu (Alligood & Tomay, 2007). Partially / Partly compensatory nursing system dimana perawat mengambil alih beberapa aktifitas yang tidak dapat dilakukan oleh pasien dalam memenuhi kebutuhan self care-nya. Intervensi dijalankan pada saat perawat dan pasien menjalankan intervensi perawatan atau tindakan lain yang melibatkan tugas manipulatif atau penyembuhan (Alligood & Tomay, 2007). Supportif / Educatif nursing system dimana perawat memberikan pendidikan kesehatan atau penjelasan untuk memotivasi melakukan self care, tetapi yang melakukan self care adalah pasien sendiri. Intervensi diperlukan pada situasi dimana pasien harus belajar untuk menjalankan ketentuan yang dibutuhkan secara eksternal atau internal yang ditujukan oleh therapeutic self care, namun tidak dapat melakukan tanpa bantuan (Alligood & Tomay, 2007). Helping method dalam persepsi keperawatan merupakan rangkaian seri tindakan yang ditampilkan yang akan mengatasi atau mengimbangi kesehatan yang diasosiasikan dengan keterbatasan seseorang untuk melawan dalam tindakan untuk mengatur fungsinya sendiri dan perkembangan atau ketergantungan. Metode bantuan diantaranya: guidance, teaching, support, directing, providing the developmental environment (Alligood & Tomay, 2007). Universitas Indonesia

38 Proses Keperawatan Model Self Care Orem Pengkajian Pengkajian pada Model Self Care Orem mengidentifikasi basic conditioning factor, universal self care requisites, developmental self care requisites, dan health deviation self care requisites. a. Basic Conditioning Factor Pengkajian yang berkaitan dengan basic conditioning factor merupakan pengkajian faktor dasar yang mempengaruhi self care individu. Pengkajian meliputi usia, jenis kelamin, status kesehatan, status perkembangan, orientasi sosial budaya, sistem perawatan kesehatan, sistem keluarga, pola hidup, dan lingkungan. b. Universal Self Care Requisites 1. Udara Udara merupakan gas atmosfir yang dibutuhkan untuk proses kehidupan dan harus didapatkan pada jumlah yang cukup dengan tujuan untuk memenuhi ventilasi. Pengkajian meliputi pola dan karakteristik pernafasan, kondisi kulit, dan perawatan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan (Mentro, 1999). Karakteristik pernafasan meliputi pola nafas, kelainan pada pernafasan, kondisi kulit meliputi warna dan suhu kulit, serta hasil pemeriksaan laboratorium. Perawatan meliputi penggunaan alat bantu untuk memenuhi kebutuhan pernafasan yang dilakukan klien. 2. Cairan Cairan merupakan air murni yang diperlukan untuk proses kehidupan yang dikonsumsi dalam jumlah adekuat sebagai ketersediaan hidrasi tubuh. Pengkajian cairan berkaitan dengan konsumsi cairan setiap hari, penghambat pemenuhan kebutuhan cairan, dan tanda-tanda gangguan pada pemenuhan kebutuhan cairan. Tanda-tanda gangguan pemenuhan kebutuhan cairan meliputi pengkajian pada membran mukosa, dan turgor kulit (Mentro, 1999). 3. Makanan Makanan merupakan material nutrisi untuk pencernaan dalam jumlah cukup yang mendukung pertumbuhan serta kerja, perbaikan, dan Universitas Indonesia

39 22 pemeliharaan proses vital. Pengkajian aspek makanan meliputi konsumsi makanan setiap hari dan kemampuan mencerna makanan. Kemampuan mencerna makanan terdiri dari menkaji faktor penghambat seperti kemampuan menelan, bising usus (Mentro, 1999). 4. Eliminasi Eliminasi diasosiasikan sebagai pembuangan material urine dan feses dari tubuh. Eliminasi mengkaji pola BAK dan BAB serta penggunaan alat bantu untuk eliminasi. Pola eliminasi BAB mengkaji juga mengenai konsistensi, jumlah, dan warna feses. Penggunaan alat bantu baik berupa medikasi seperti laksatif dan alat bantu lain seperti catheter (Mentro, 1999). 5. Istirahat dan Tidur Suatu keseimbangan antara pergerakan energi fisik dengan tidur. Istirahat dan tidur mengkaji pola tidur normal individu, kesulitan saat tidur, serta kemampuan sensorik dan motorik (Mentro, 1999). 6. Interaksi Sosial Suatu keseimbangan antara menyendiri, bergaul, dan kontak dengan teman. Interaksi sosial mengkaji kemampuan dalam melakukan interaksi sosial (Mentro, 1999). 7. Pencegahan Bahaya Pencegahan bahaya merupakan penghindaran pada keadaan, objek, dan situasi yang mengancam yang mengganggu kehidupan, fungsi, dan kesehjateraan manusia. Pencegahan bahaya mengkaji kemungkinan cedera yang akan terjadi pada individu (Mentro, 1999). 8. Promosi kearah Normal Suatu kemajuan dari fungsi normal manusia (tingkat kecerdasan rata-rata, perkembangan, dan fungsi) dengan kelompok sesuai potensi dan keterbatasan. Promosi kearah normal mengkaji langkah-langkah yang dilakukan individu untuk berfungsi secara normal (Mentro, 1999). Universitas Indonesia

40 23 c. Developmental Self Care Requisites 1. Pemeliharaan Kebutuhan Perkembangan Pemeliharaan kebutuhan perkembangan merupakan kesengajaan untuk terlibat dalam proses perkembangan dirinya yang dimanifestasikan sebagai upaya intropeksi, refleksi, generalisasi, produktivitas kinerja, klarifikasi tujuan, emosi positif, dan keseluruhan dari kesehatan mental yang positif. Pengkajian berkaitan dengan kemampuan melakukan perawatan untuk memenuhi kebutuhan perkembangan (Mentro, 1999). 2. Manajemen Kondisi yang Mengancam Perkembangan Manajemen kondisi yang mengancam perkembangan meliputi ketiadaan atau hasil yang positif dari kondisi fisik, lingkungan, dan emosi (kehilangan pendidikan, kematian, kesehataan kurang) yang dapat mempengaruhi siklus perkembangan. Pengkajian meliputi bagaiman perasaan individu terhadap perkembangan dirinya sekarang dan stressor yang dialami individu (Mentro, 1999). d. Health Deviation Self Care Requisites 1. Kepatuhan dalam Pengobatan Suatu efektivitas tindakan pelaksanaan yang menggambarkan terapi medis untuk pencegahan gangguan perkembangan atau kemajuan terhadap status patologis. Pengkajian meliputi tingkat kepatuhan individu dalam menjalani proses perawatan (Mentro, 1999). 2. Kesadaran tentang Masalah Kesehatan Suatu kesadaran dan pengakuan terhadap kondisi patologis dan efek yang ditimbulkan, serta tindakan yang dilakukan. Pengkajian meliputi pengetahuan dan kepercayaan individu terhadap proses perawatan dan pengobatan (Mentro, 1999). 3. Modifikasi Gambaran Diri dalam Perubahan Status Kesehatan Suatu kemampuan individu mengenali dirinya terhadap status kesehatan, kebutuhan perawatan diri, dan diasosiasikan dengan citra tubuh. Pengkajian berkaitan dengan aspek psikososial yang dialami individu terhadap penyakitnya (Mentro, 1999). Universitas Indonesia

41 24 4. Penyesuaian Gaya Hidup Pengkajian meliputi penyesuain gaya hidup individu mengenai penyakitnya (Mentro, 1999) Diagnostic Operations Diagnostic operations merupakan proses untuk menentukan masalah dan diagnosa keperawatan. Diagnosa keperawatan ditentukan berkaitan dengan self care demand. Penentuan self care demand dilakukan dengan dasar pengkajian pada basic conditioning factor yang dilanjutkan universal, developmental, dan deviation self care. Refleksi data dilakukan dengan melihat keadekuatan dari self care sebagai proses akhir dari tahap ini untuk menetukan self care deficit (Alligood & Tomay, 2006) Prescriptive Operation Prescriptive operation merupakan tahapan untuk menentukan jenis bantuan yang akan diberikan dalam melakukan intervensi keperawatan. Fase prescriptive merupakan fase menentukan untuk metode pemberian bantuan yang tepat dengan mempertimbangkan basic conditioning factor. Prioritas self care demand lebih esensial pada proses fisiologis (Alligood & Tomay, 2006) Regulatory Operation Regulatory operation merupakan tahapan dalam menyusun rencana asuhan keperawatan sampai implementasi dari rencana keperawatan. Fase regulator bertujuan untuk mendesain rencana asuhan keperawatan yang tepat berdasarkan fase presciptive. Asuhan keperawatan berdasarkan teori orems terdiri dari outcome atau tujuan, jenis nursing system yang digunakan, serta intervensi berdasarkan jenis bantuan yang akan diberikan. Metode pemberian bantuan merupakan dasar untuk melakukan intervensi dengan mempertimbangkan waktu, frekuensi, dan kondisi pasien dengan tepat (Alligood & Tomay, 2006). Universitas Indonesia

42 Control Operation Control operation merupakan tahapan evaluasi dalam asuhan keperawatan. Evaluasi dilakukan pada fase control, dimana efektivitas regulatory operation dan outcome klien di estimasi (Alligood & Tomay, 2006). 2.3 Asuhan Keperawatan pada Oteomielitis dengan Model Self Care Orem Pengkajian Basic Conditioning Factor Basic conditioning faktor pada osteomielitis mengkaji faktor-faktor yang beresiko meningkatkan terjadinya infeksi pada sistem muskuloskeletal. Faktor-faktor yang meningkatkan resiko infeksi pada sistem muskuloskeletal meliputi usia, jenis kelamin, sosioekonomi/budaya, medikasi, obesitas, malnutrisi, dan gaya hidup (Maher, Salmond, & Pellino; 2002). Faktor usia berkaitan dengan lansia, karena pada Lansia akan terjadi penurunkan respon imun dan meningkatkan kekurangan nutrisi. Jenis kelamin berhubungan dengan karakteristik herediter dan hormonal, dimana laki-laki lebih rentan terkena infeksi. Sosioekonomi dan budaya berkaitan dengan sanitasi lingkungan yang buruk, ketidakcukupan pendapatan untuk biaya kesehatan, dan menunda mencari penanganan medis. Kemoterapi, steroid, dan frekuensi penggunaan antibiotik mengganggu respon imun. Obesitas berpengaruh terhadap suplay darah untuk pengiriman nutrisi dan elemen esensial seluler. Malnutrisi mempengaruhi respon humoral dan sel yang memediasi imunitas, menganggu kemotaksis neutrofil, mengurangi pembersihan bakteri, menekan fungsi bakterisidal neutrofil, menghambat respon inflamasi dan serum yang menunda penyembuhan luka. Gaya hidup berkaitan dengan kebiasaan mengkonsumsi alkohol dan merokok. Alkohol mempengaruhi nutrisi, menunda hipersensitivitas, menurunkan aktivitas neutrofil, dan menekan fungsi sumsum tulang. Merokok menurunkan perfusi oksigen jaringan (Maher, Salmond, & Pellino; 2002). Universitas Indonesia

43 Universal Self Care Requisites a. Udara Gangguan oksigenasi pada ostemielitis terjadi pada saturasi oksigenasi pada tingkat jaringan karena penurunan kadar hemoglobin sebagai dampak infeksi sistemik pada osteomielitis kronis. Nilai hemoglobin menurun karena toksin dari bakteri (Maher, Salmond, & Pellino; 2002). b. Cairan Tindakan bedah yang dilakukan pada osteomielitis akan mempengaruhi status cairan. Tindakan bedah yang dilakukan pada ostemielitis akan mempengaruhi keadekuatan sirkulasi (Smeltzer & Bare, 2006). c. Nutrisi Nutrisi akan mengalami gangguan karena peningkatan kebutuhan metabolisme akibat infeksi. Metabolisme yang meningkat (peningkatan 1 derajat suhu tubuh akan meningkatkan metabolisme 13%) akan menyebabkan peningkatan kebutuhan kalori, protein, karbohidrat, dan vitamin (Maher, Salmond, & Pellino; 2002). d. Eliminasi Gangguan eliminasi fekal terjadi apabila klien berada dalam kondisi imobilisasi dalam jangka waktu yang lama (Maher, Salmond, & Pellino; 2002). e. Aktivitas dan Istirahat Penyebab ketidakmapuan melakukan self care kebutuhan aktivitas berkaitan dengan manifestasi pada area lokal dan sistemik. Osteomielitis akan menyebabkan keterbatasan gerak pada area tulang yang terinfeksi (Maher, Salmond, & Pellino; 2002). Infeksi muskuloskeletal akan menyebabkan kelemahan dan kelelahan. f. Interaksi Sosial Interaksi sosial terhambat karena pasien osteomielitis tidak mampu melakukan mobilisasi. g. Pencegahan Bahaya Bahaya yang paling tinggi pada osteomielitis adalah syok sepsis karena osteomielitis memberikan dampak infeksi secara sistemik terutama pada Universitas Indonesia

44 27 osteomielitis kronis. Nyeri dapat bersifat berat karena sebagai reaksi peradangan dan spasme otot. Integritas jaringan terganggu karena osteomielitis menyebabkan pembentukan eksudat yang purulen (Maher, Salmond, & Pellino; 2002).. h. Promosi ke Arah Normal Ostemielitis kronis memerlukan penyembuhan dalam waktu lama, bahkan memiliki angka morbiditas yang signifikan. Proses penyembuhan yang sulit akan menghambat self care promosi ke arah normal karena berbagai gejala yang ditimbulkan (Maher, Salmond, & Pellino; 2002) Developmental Self Care Requisites Osteomielitis manifestasi klinis sebagai reaksi inflamasi akut dan proses infeksi akan mengkibatkan masalah pada aspek pengetahuan sebagai self care manajemen kondisi yang mengancam bahaya. Kurang pengetahuan pada pasien osteomielitis berupa kurangnya pemahaman mengenai penyakit dan medikasi (Maher, Salmond, & Pellino; 2002) Health Deviation Self Care Requisites Modifikasi gambaran diri merupakan area self care yang terganggu pada fase akut osteomielitis dalam bentuk kecemasan. Fase akut osteomielitis akan menimbulkan nyeri hebat sehingga mengakibatkan ketakutan dalam jangka waktu lama, serta kekhawatiran (Maher, Salmond, & Pellino; 2002) Diagnostic Operation Diagnosa keperawatan yang muncul pada osteomielitis mengacu pada manifestasi klinis yang ditimbulkan baik lokal maupun sistemik. Diagnosa keperawatan yang muncul pada osteomielitis meliputi nyeri, hipertermia, gangguan integritas jaringan, keterbatasan mobilitas fisik, intoleransi aktivitas, kurang pengetahuan, sampai kecemasan. Universitas Indonesia

45 Prescriptive Operation Metode pemberian bantuan ditentukan berdasarkan kemampuan pasien melakukan self care. Metode pemberian bantuan yang dilakukan meliputi guidance, teaching, support, directing, providing the developmental environment Regulatory Operation Regulatory operation ditentukan berdasarkan nursing system yang tepat untuk pasien dengan melihat kemampuan melakukan self care. Masalah keperawatan nyeri, hipertermia, gangguan integritas jaringan, keterbatasan mobilitas fisik dan intoleransi aktivitas nursing system dapat berupa wholly compensatory atau partly compensatory. Kurang pengetahuan dan kecemasan, nursing system yang diterapkan dapat berupa supportive educative compensatory. Intervensi keperawatan nyeri pada osteomielitis adalah manajemen nyeri dengan mengkombinasikan antara manajemen nyeri farmakologis dan non-farmakologis. Intervensi keperawatan hipertemia adalah fever treatment dan manajemen lingkungan. Intervensi keperawatan gangguan integritas jaringan berupa perawatan luka dan kontrol infeksi. Diagnosa keterbatasan fisik dan intoleransi aktivitas, maka intervensi keperawatan berupa bed rest care, manajemen energi, exercise therapy, positioning, dan distraksi. Intervensi keperawatan kecemasan adalah reduksi kecemasan. Defisit pengetahuan intervensi keperawatan berupa pendidikan kesehatan mengenai pencegahan infeksi (Maher, Salmond, & Pellino; 2002) Control Operation Control operation merupakan evaluasi efektivitas dari self care yang dilakukan pada pasien. Evaluasi dilakukan dengan menganalisa efektivitas nursing system dan respon pasien Dimensi Status Fungsional pada Pasca ORIF Fraktur Ekstremitas Bawa Universitas Indonesia

46 BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN PADA GANGGUAN SISTEM MUSKULOSKELETAL 3.1 Gambaran Kasus Kelolaan Utama Tn. N berusia usia 42 tahun dengan alamat Jl Nilam Jatiraden Jatisampurna Bekasi, nomor register : , diagnosa medis : Osteomyelitis Chronic Femur Dextra Klien masuk RS tanggal masuk RS 18 Oktober 2012 dan tanggal dilakukan pengkajian 18 Oktober Keluhan utama yang dirasakan Tn. NK. merasa nyeri pada area lukanya daerah paha. Riwayat penyakit dimulai saat 5 tahun yang lalu klien mengalami fraktur dan dilakukan operasi pemasangan implan dan diperbolehkan pulang. Sekitar satu tahun yang lalu pada daerah yang fraktur terdapat lubang 10 cm diatas lutut dan keluar nanah tetapi klien masih bisa berjalan. Pada 3 bulan yang lalu nanah yang keluar semakin banyak sehingga klien tidak bisa berjalan, fleksi lutut (-), dan dorsofleksi (-). Selama keluar nanah klien mengobatinya dengan membeli antibiotik di warung. Pada tanggal 1 Oktober dilakukan pengangkatan implan. Klien direncanakan untuk dilakukan debridement tetapi menunggu perbaikan kondisi dari klien. Tn. NK tidak mempunyai riwayat penyakit asma, hipertensi, dan jantung. Keluarga klien tidak ada yang menderita menular. 3.2 Penerapan Model Self Care Orem pada Asuhan Keperawatan Pasien dengan Osteomielitis Pengkajian Basic Conditioning Factor a. Status Kesehatan Tn. NK saat ini berada pada fase Kronis Oesteomielitis Femur Dextra dan direncanakan untuk menjalani debridement. b. Kemampuan dalam Memenuhi Kebutuhan Kesehatan Klien mengatakan selama ini klien dalam memenuhi kebutuhan aktifitasnya dibantu oleh istrinya 29 Universitas Indonesia

47 30 c. Status Perkembangan Klien tidak mempunyai masalah dalam pertumbuhan dan perkembangan.klien bisa melewati fase-fase pertumbuhan dan perkembangan dengan baik. d. Orientasi Sosial Budaya Klien berasal dari Bekasi. Bahasa yang digunakan sehari-hari adalah bahasa Indonesia dan sebagian bahasa daerah, pendidikan tamat SMU. Klien beragama Islam. e. Sistem Pelayanan Kesehatan Tempat pelayanan yang terdekat dengan rumah klien adalah Puskesmas dengan jarak kurang 5 km dari rumah klien. f. Lingkungan Rumah klien terbuat dari tembok, dengan lantai dari tegel, terdapat jendela yang bisa setiap saat dibuka, terdapat toilet dan dapur, sumber air bersih didapat dari sumur air tanah. g. Sumber Pendukung Klien biasanya bila ada masalah meminta bantuan pada istrinya dan saudarasaudara lainnya sebagai tempat mengeluh dan konsultasi dan menyelesaikan masalah kesehatannya baik berupa bantuan fisik, psikologis, dan materi. Sumber pendukung utama klien adalah istrinya. h. Sistem Keluarga Klien sudah menikah, mempunyai istri, 2 orang anak, yang masih sekolah, tinggal serumah dengannya. Kedua anak klien mempunyai peran yang kecil dalam membantu klien dan istri klien berperan paling besar terhadap klien selama menjalani perawatan. i. Pola Pendukung Selama ini klien bekerja sebagai tukang ojek dan sejak 3 bulan yang lalu tidak bekerja karena tidak bisa jalan. Selama ini klien tidak pernah mengkonsumsi makanan dalam kemasan yang mengandung bahan-bahan pengawet, klien merokok, tidak minum alkohol dan tidak pernah olahraga. Universitas Indonesia

48 Universal Self Care Requisites a. Udara Kesadaran: CM, GCS: 15, TD: 110/70 mmhg, Suhu: 36,5 o C, RR: 20x/mnt,Nadi 80x/mnt.. Klien tidak merasa sesak saat bernafas.thorak: Paru gerakan simetris, retraksisuprasternal (-), retraksi intercoste (-), perkusi resonan, rhonchi halus -/-, wheezing -/-, vocal fremitus kiri dan kanan sama. Tidak ada benjolan limphe nodul, batas jantung kiri: ics 2 sternal kiri dan ics 4 sternal kiri, batas kanan: ics 2 sternal kanan dan ics 5 sternal kanan, perkusi dullness. Bunyi S1 dan S2 murni, gallop -, mumur -, capillary refill time (CRT) 3 detik, konjungtiva anemis. Kondisi lingkungan ruang perawatan cukup sehat, sirkulasi udara kondisi baik terpasang kipas angin. Ruang perawatan juga terdapat jendela mudah untuk dibuka/tutup, tetapi sinar matahari yang masuk ke ruangan minimal, lingkungan sekitar nyaman dan segar. Hb : 6,5 g/dl (18 Oktober 2012). Kemampuan pemenuhan kebutuhan udara : tergantung b. Cairan Klien mengatakan tidak mengalami gangguan dalam pemasukan cairan hanya saat minum klien masih dibantu. Klien mengalami bengkak pada area paha kanan danturgor kulit normal. Klien tidak merasa mual dan muntah.terapi parenteral klien RL 500 cc/8 jam. Intake Ouput = +100 ml/24 jam, rincian intake-output dapat dilihat pada tabel 3.1. Hasil laboratorium : Hematokrit 22 %, Trombosit : 584 ribu/ul, eritrosit : 2,41 juta/ul, APTT : 40,2 detik, PT : 16,4 detik, Natrium : 132 mmol/l, kalsium total : 8,00 mg/dl. Pemenuhan kebutuhan air/cairan klien : parsial Tabel 3.1 Intake-Output Tn. NK dengan Osteomielitis Kronis Intake Output Peroral 1400 ml/24jam Urine 1700 ml/24jam Parenteral 1300 ml/24jam IWL 600 ml/24jam Pus luka 500 ml/24jam Jumlah 2700 ml/24jam Jumlah 2600 ml/24jam Selisih +100 ml/24jam Universitas Indonesia

49 32 c. Nutrisi BB : 60 kg, TB : 170 cm, dan IMT 20,8. Klien tidak mengeluh mual saat makanan masuk, serta nafsu makan klien kurang, klien makan 3 x/hari dan hanya menghabiskan makanan ½ porsi. Sklera ikterik:-/-, kondisi mulut bersih, stomatitis tidak ada, bibir lembab, lidah bersih, dan bising usus 10x/menit. Klien tidak bisa makan dengan jenis diet berupa nasi dan lauk pauk. Pemenuhan kebutuhan makanan : parsial d. Eliminasi Klien tidak merasakan keluhan baik BAK maupun BAB. BAB terakhir 2 hari yang lalu dengan warna kuning, konsistensi lunak, dan bau khas. Klien BAK di atas tempat tidur dengan jumlah urin klien 1700 cc/hr, warna kuning, bau khas urin. Ureum darah 208 mg/dl dan kreatinin darah 4,7 mg/dl. Pemenuhan kebutuhan eliminasi : parsial e. Aktivitas dan Istirahat Keadaan umum lemah, klien bedrest di tempat tidur dan klien tidur 7-8 jam/hari. Klien lebih sering pada posisi duduk dan miring kiri-kanan dengan dibantu. Aktivitas klien dibantu total dalam hal makan, mandi, perawatan diri, berpakaian, dan toileting, sehingga total skor indeks bartel Tn. N = 20 (dependen total). Kekuatan otot ekstremitas atas : / , ekstremitas bawah : / Ekstremitas kanan : edema (+) dari lutut sampai 1/3 distal cruris, dengan rentang gerak sendi lutut Hasil Pemeriksaan X-ray (18 Oktober 2012) : terdapat gambaran osteomielitis pada femur dextra. Pemenuhan kebutuhan aktivitas dan istirahat : tergantung f. Fungsi Sosial Klien mengatakan interaksinya selama ini dengan tetangga tidak ada masalah. Selama klien dirawat dirumah sakit beberapa tetangganya datang untuk menengoknya. Interaksi dengan tenaga kesehatan tidak ada masalah, klien termasuk pasien yang kooperatif dengan kegiatan perawatan dan kegiatan medis. Pemenuhan kebutuhan fungsi sosial : mandiri Universitas Indonesia

50 33 g. Pencegahan terhadap Bahaya Klien mengeluh nyeri pada paha kanan yang bertambah apabila digerakandan tertekan dan nyeri berkurang setelah obat injeksi diberikan. Klien merasa nyeri seperti nyut-nyutan dengan intensitas nyeri secara terus menerus. Klien merasa nyeri pada paha kanan bagian tengah dan menyebar hampir keseluruh area paha. Nyeri pada skala 8 dan nyeri terjadi sepanjang hari. Klien belum mengetahui mengenai tehnik menurunkan nyeri non farmakologis. Pencegahan bahaya terhadap infeksi : Terdapat luka pada berlubang dengan diameter 1 2 cm dan bengkak pada area paha 5 cm diatas lutut dan tampak rembesan pus dalam jumlah banyak pada balutan klien. Terdapat luka bekas operasi pada area paha kanan, readness (-), ekimosis (-), edema (+), discharge (-), dan approximation (+). Nilai pengkajian resiko jatuh 20 dengan interprestasi tidak beresiko. Hasil laboratorium : Leukosit 47,3 ribu/ul dan SGPT : 25 U/l. Terapi : Tramadol : 3 x 50 mg IV, Ceftriaxon : 3 x 1 gr IV, Gentamycin : 2 x 80 mg IV, Metronidazole : 2 x 500 mg IV (bolus). Pemenuhan kebutuhan pencegahan terhadap bahaya : tergantung h. Promosi kearah Normal Kondisi klien menghambat dilakukannya debridement dan resiko infeksi cukup tinggi sehingga penyembuhan penyakit klien memerlukan waktu. Klien sangat tergantung dengan istrinya. Pemenuhan kebutuhan terhadap promosi ke arah normal : tergantung Developmental Self Care Requisites a. Pemeliharaan Kebutuhan Perkembangan Klien belum mengetahui sepenuhnya mengenai perawatan diri. b. Pencegahan/manajemen Kondisi yang Mengancam Perkembangan Selama ini klien berusaha untuk tidak telalu capek atau nyeri saat beraktivitas Health Deviation Self Care Requistes a. Kebutuhan Perawatan Diri akibat Masalah Kesehatan Selama dirumah sakit klien cukup patuh dengan program pengobatan dan perawatan yang diberikan. Universitas Indonesia

51 34 b. Kesadaran tentang Masalah Status Kesehatan Klien kurang menyadari bahwa penyakit yang dideritanya memerlukan waktu untuk penyembuhan yang lama, sehingga klien seperti mengeluh kenapa penyakitnya tidak ada perbaikan secara cepat dari hari ke hari. c. Modifikasi Gambaran Diri dalam Perubahan Status Kesehatan Menurut keluarganya klien merasa sedih dan khawatir mengenai kondisi penyakit yang dialaminya. Keluarga klien mengatakan bahwa klien kadang marah-marah saat berada di rumah sakit. d. Penyesuaian Gaya Hidup untuk Mengakomodasi Perubahan Status Kesehatan dan Pengobatan Sejak klien sakit dan harus dirawat di RS, klien tidak lagi bisa bekerja, selama di RS klien tidak bisa banyak bergerak Rencana Asuhan Keperawatan Analisis pengkajian yang meliputi basic conditioning factor, universal self care requisites, developmental self care requisites, dan deviation health self care requisites merupakan dasar dalam menyusun rencana asuhan keperawatan. Rencana asuhan keperawatan teori self care Orem pada Tn. NK terdiri dari nursing system design dan requlatory operation Nursing System Design Nursing system design merupakan tahapan yang terdiri dari diagnostic operation dan prescription operation. Nursing system design pada kasus Tn. NK dapat dilihat pada tabel Regulatory Operation Regulatory operation merupakan tahapan dalam menyusun rencana asuhan keperawatan. Regulatory operation pada Tn. NK dapat dilihat pada tabel Impelementasi Asuhan Keperawatan Implementasi pada teori self care Orems merupakan bagian dari regulatory operation. Dokumentasi implementasi pada Tn. NK dapat dilihat pada lampiran Evaluasi Asuhan Keperawatan Evaluasi keperawatan pada teori self care Orems merupakan bagian dari control operation. Analisa yang dilakukan pada teori self care Orem bukan hanya catatan Universitas Indonesia

52 35 perkembangan tetapi juga efektivitas dari nursing system yang digunakan. Evaluasi asuhan keperawatan pada Tn. NK dapat dilihat pada lampiran 2. Tabel 3.2 Nursing System Design pada Tn. NK dengan Osteomielitis Kronis Diagnostic Operation Therapeutic Self Care Demand Adequacy of Self Care Udara Tidak Mempertahankan respirasi efektif Adekuat Cairan Tidak Mempertahankan kecukupan Adekuat cairan Nutrisi Tidak Mempertahankan kecukupan Adekuat nutrisi Eliminasi urine Tidak Menyesuaikan pola eliminasi Adekuat dengan alat bantu: Eliminasi faeces Adekuat Mempertahankan pola eliminasi faeces normal Aktivitas/istirahat Tidak Mempertahankan kemampuan Adekuat beraktivitas tetap seimbang Nursing Diagnosis Prescription Operation Methode of Helping Resiko syok Guiding, teaching, directing, support Resiko syok Guiding, teaching, directing, support Resiko syok Guiding, teaching, directing, support Resiko syok Guiding, teaching, directing, support Keterbatasan mobilitas fisik Guiding, directing, support teaching, Interaksi sosial Mempertahankan keseimbangan interaksi sosial Mencegah bahaya akibat kondisi Promosi kearah normal Memperbaiki lingkungan dan gaya hidup Pemeliharaan kebutuhan perkembangan Pencegahan /managemen kondisi yang mengancam perkembangan Kesadaran dalam pengobatan Kesadaran tentang masalah dan status kesehatan Modifikasi gambaran diri dalam perubahan status kesehatan Penyesuaian gaya hidup untuk mengakomodasi perubahan status kesehatan dan pengobatan. Adekuat Tidak adekuat Adekuat Adekuat Adekuat Adekuat Adekuat Tidak Adekuat Adekuat Gangguan integritas jaringan Nyeri akut Guiding, teaching, directing, support, dan providing the development environment Cemas Guiding, teaching, directing, support, dan providing the development environment Universitas Indonesia

53 36 Tabel 3.3 Regulatory Operations pada Tn. NK dengan Osteomielitis Kronis 1. Resiko syok berhubungan dengan respon inflamsi sistemik akibat ostemielitis kronis Area defisit Mencegah bahaya akibat kondisi Keadekuatan Tidak adekuat Diagnosa keperawatan Resiko syok berhubungan dengan respon inflamasi sistemik akibat oeteomielitis kronis, ditandai dengan: DS: Klien merasa lemah dan lemas kadang-kadang pusing DO: Klien terlihat lemah dan lemas Konjungtiva anemis Hb : 6,5 g/dl; Ht : 22 %; Tc : 584 ribu/ul; Eritrosit : 2,41 juta/dl; KHER 30,2 g/dl; APTT : 40,2 detik; PT : 16,4 detik; Ureum darah : 208 mg/dl; Kreatinin darah : 4,7 mg/dl; Natrium : 132 mmol/l; Leukosit : 47,3 ribu/ul; Ureum darah : 208 mg/dl; Kreatinin : 4,7 mg/dl Intake-Output : cc/24 jam Tujuan dan kriteria hasil Tujuan: Syok tidak terjadi selama 3 x 24 jam Kriteria hasil: Tanda Vital Normal : TD (S : mmhg; D : mmhg); N ( x/menit); R (16 20 x/menit); dan S ( C) Konjungtiva tidak anemis Capillary refill < 3 detik Intake-Output adekuat (minimal 0 ml) Intake nutrisi adekuat (minimal menghabiskan porsi makan 3 x/hari dari RS) Tidak terdapat tanda-tanda sepsis infeksi sistemik : leukosit normal (4,5 13 ribu/ul), suhu : C Hb : 13,2 17,3 g/dl; Ht : 22 %; Tc : ribu/ul; Eritrosit : 4,40 5,90 juta/ul; KHER : 32 36ng/dL; APTT : 27,4 39,3 detik; PT : 11,3 14,7 detik, Na : mmol/l; K : 3,10 5,10 mmol/l ; Ureum darah : mg/dl; Kreatinin darah : 0,6-1,5 mg/dl Desaign of nursing system Wholly compensatory Method of helping Preventif Syok (4260) : Guidance Monitor tanda-tanda vital Monitor tanda-tanda awal syok sepsis Monitor hasil laboratorium Circulatory Prevention (4070) : Monitor sirkulasi perifer secara adekuat Monitor area ekstremitas Pertahankan hidrasi yang adekuat Manajemen Cairan (4120) : Monitor intake-output Monitor tanda-tanda perdarahan Memonitor hasil laboratorium Monitor pemberian cairan IV Monitor pemberian transfusi darah apabila diperlukan Manajemen Nutrisi (1100) : Monitor intake nutrisi klien Monitor status atopometri Universitas Indonesia

54 37 Monitor hasil laboratorium Manajemen Sensasi Perifer (2660) : Monitor status neurovaskuler ekstremitas klien Monitor faktor yang mempengaruhi status neurovaskuler pada ekstremitas klien Support Manajemen cairan (4260): Arahkan klien untuk meningkatkan intake cairan Manajemen nutrisi Anjurkan klien untuk meningkatkan intake nutrisi Teaching Manajemen nutrisi (1100) : Ajari klien dan keluarga untuk nutrisi yang meningkatkan hemoglobin Directing Manajemen nutrisi (1100) : Arahkan klien dan keluarga untuk makan sedikit tapi sering Manajemen cairan (4120): Arahkan klien untuk meningkatkan intake cairan 2. Gangguan integritas jaringan berhubungan dengan proses infeksi dan inflamasi tulang dan jaringan Area defisit Mencegah Bahaya akibat Kondisi Keadekuatan Diagnosa keperawatan Tujuan dan kriteria hasil Desaign of nursing system Method of helping Guidance Tidak adekuat Gangguan integritas jaringan berhubungan dengan proses penyakit dan inflamasi tulang dan jaringan akibat ostemielitis kronis, ditandai dengan: DS: Klien mengatakan bahwa pahanya bengkak dan keluar nanah yang merembes lewat balutan dalam jumlah cukup banyak Klien merasa lemah dan lemas DO: Terdapat luka pada berlubang dengan diameter 1 2 cm dan bengkak pada area paha 5 cm diatas lutut dan tampak rembesan pus dalam jumlah sekitar 500 cc. Tujuan: Integritas jaringan meningkat selama 3 x 24 jam Kriteria hasil : Penyembuhan luka baik : luka menyatu, kering, kemerahan (-). edema (-), darah (-), pus berkurang Klien mampu melakukan tindakan untuk menjaga kebersihan lukanya Wholly compensatory Infection control (6540) : Memonitor faktor-faktor yang meningkatkan infeksi dan menurunkan daya tahan tubuh klien Kolaborasi pemberian antibiotik Monitor efek samping pemberian antibiotik Kontrol lingkungan yang beresiko meningkatkan infeksi Wound Care (3660) : Kaji faktor-faktor yang meningkatkan dan menghambat penyembuhan luka Kaji luka klien Lakukan ganti balut dengan tehnik dan waktu yang tepat Support Infection control (6540): Anjurkan klien untuk menjaga kebersihan pada Universitas Indonesia

55 38 daerah sekitar luka Teaching Infection control (6540) : Ajari klien untuk meningkatkan kemampuan daya tahan tubuh klien Directing Infection control (6540) : Arahkan klien dan keluarga untuk menjaga kebersihan pada daerah luka klien Arahkan klien untuk meningkatkan kemampuan daya tahan tubuh Providing the developmental environment Wound Care (3660) : Anjurkan klien untuk melakukan perawatan luka secara rutin saat dirumah pada tenaga kesehatan 3. Nyeri berhubungan dengan inflamasi tulang dan jaringan akibat ostemomielitis Area defisit Mencegah bahaya akibat kondisi Keadekuatan Tidak adekuat Diagnosa keperawatan Nyeri berhubungan dengan inflamasi tulang dan jaringan akibat ostemomielitis, ditandai dengan: DS: Klien mengatakan nyeri pada paha kanannya yang bengkak DO: P : Klien mengeluh nyeri pada paha kanan yang bertambah apabila digerakandan tertekan dan nyeri berkurang setelah obat injeksi diberikan. Q : Klien merasa nyeri seperti nyut-nyutan dengan intensitas nyeri secara terus menerus. R : Klien merasa nyeri pada paha kanan bagian tengah dan menyebar hampir keseluruh area paha S : Nyeri pada skala 8dari 10 T : Nyeri terjadi sepanjang hari Klien belum mengetahui mengenai tehnik menurunkan nyeri non farmakologis. Tujuan dan kriteria hasil Tujuan: Kebutuhan rasa nyaman terpenuhi dalam 3 x 24 jam Kriteria hasil: Nyeri berkurang : intensitas nyeri menurun, area nyeri berkurang, dengan skala kurang dari 3 Dapat melakukan tindakan non farmakologis untuk mengurangi nyeri Desaign of nursing system Wholly compensatory Method of helping Guidance Manajemen nyeri (1400) : Kaji nyeri secara komprehensif Kolaborasi pemberian analgetik Monitor efek samping pemberian analgetik Kontrol lingkungan yang meningkatkan rasa nyaman Kaji hambatan klien melakukan tehnik nyeri nonfarmakologis : relaksasi Support Manajemen nyeri (1400) : Anjurkan klien untuk melakukan tehnik nyeri nonframakologis Teaching Manajemen nyeri (1400) : Ajari klien untuk melakukan tehnik nyeri non farmakologis yang tepat (relaksasi) Directing Manajemen nyeri (1400) : Arahkan klien melakukan tehnik nyeri non farmakologis Universitas Indonesia

56 39 Arahkan klien untuk menggunakan analgetik pada saat yang tepat 5. Keterbatasan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kemampuan ekstremitas bawah Area defisit Aktivitas dan istirahat Keadekuatan Tidak adekuat Diagnosa keperawatann Keterbatasan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kemampuan ekstremitas bawah, ditandai dengan: DS: Klien mengatakan semua aktivitasnya dibantu dan masih merasa susah untuk bergerak Klien mengatakan belum dapat mandiri melakukan aktivitas dan mobilisasi DO: Kekuatan otot ekstremitas bawah kanan Rentang gerak sendi lutut (-), pedis (-) Kemampuan aktivitas : dependen total (nilai Barthel index : 20) Klien tidak beresiko jatuh (Nilai Resiko Jatuh : 20) Tujuan: Kebutuhan mobilisasi terpenuhi dalam 3 x 24 jam Kriteria hasil: Kekuatan otot ekstremitas bawah kanan Nilai Barthel index lebih dari 40 Klien dapat melakukan latihan untuk meningkatkan mobilisasi Resiko jatuh < 25 Desaign of nursing system Method of helping Guidance Wholly compensatory Bedrest care (740): Posisikan dengan body allignment yang tepat Monitor akibat bedrest Monitor kemungkinan resiko cedera klien Manajemen energi (180) : Kaji keterbatasan klien Kaji adanya kelelahan Kelola antara aktivitas dan istirahat klien Exercise therapy (202) : Kaji pandangan klien untuk melakukan latihan Kaji kemampuan klien melakukan latihan Lakukan latihan untuk meningkatkan kekuatan otot Lakukan latihan untuk meningkatkan kemampuan mobilisasi Lakukan latihan untuk meningkatkan kemampuan ambulasi Self care assistance (1800) : Monitor kemampuan ADL Monitor pemenuhan ADL oleh keluarga Monitor peran keluarga dalam ADL Support Exercise therapy (202) : Motivasi untuk melakukan latihan kekuatan otot Motivasi untuk melakukan latihan mobilisasi Motivasi untuk melakukan latihan ambulasi Self care assistance (1800) : Dukung keluarga untuk meningkatkan kemampuan ADL Universitas Indonesia

57 40 Teaching Exercise therapy (202): Ajari latihan posisi (posisi miring kiri dan kanan serta duduk) Ajari latihan isometris Ajari latihan isotonis (latihan ROM pada ekstremitas yang sehat) Self care assistance (1800) : Ajari keluarga untuk meningkatkan kemampuan ADL klien Directing Exercise therapy (202): Arahkan klien untuk melakukan latihan isotonik (latihan ROM pada ekstremitas yang sehat) Arahkan klien untuk latihan mobilisasi Arahkan klien untuk latihan ambulasi Manajemen energi (180) : Arahkan keluarga untuk membantu aktivitas klien secara adekuat Self care assistance (1800) : Arahkan keluarga untuk meningkatkan kemampuan ADL 6. Cemas berhubungan dengan perubahan status kesehatan Area defisit Modifikasi gambaran diri dalam perubahan status kesehatan Keadekuatan Diagnosa keperawatan Tujuan dan kriteria hasil Desaign of nursing system Method of helping Guidance Tidak adekuat Cemas berhubungan dengan perubahan status kesehatan ditandai dengan: DS: Klien mengeluhkan mengenai penyakitnya karena merasa takut dan khawatir Keluarga klien mengatakan klien sering marahmarah saat di rumah sakit akhir-akhir ini DO: Klien terlihat lemah dan lemas, marah-marah dengan istrinya Tujuan: Cemas klien teratasi Kriteria hasil: Klien meningkatkan kemampuan penerimaan dirinya Klien melakukan mekanisme koping yang efektif Wholly compensatory Anxiety reduction (5820) : Bina hubungan saling percaya Kaji kecemasan secara verbal dan non verbal Kaji perilaku klien Kaji persepsi klien mengenai penyakitnya Kaji support sistem klien Sampaikan informasi mengenai kondisi klien Manajemen koping (5230) : Kaji penerimaan klien Eksplorasi perasaan klien mengenai kondisi dirinya Kaji mekanisme koping klien Tingkatkan support sistem klien Teaching (5620) : Kaji pengetahuan mengenai proses penyakit Kaji pengetahuan mengenai persiapan operasi Universitas Indonesia

58 41 Support Manajemen koping (5230) : Motivasi klien untuk mengungkapkan perasaannya Motivasi klien untuk menggunakan koping yang efektif Teaching Manajemen koping (5230) : Ajari klien untuk melakukan latihan relaksasi Teaching (5620) : Menjelaskan mengenai proses penyakit Menjelaskan mengenai persiapan operasi Directing Manajemen koping (5230) : Arahkan klien dan keluarga untuk melakukan pendekatan spiritual Providing the developmental environment Manajemen koping (5230) : Motivasi keluarga klien untuk membantu meningkatkan mekanisme koping yang efektif bagi klien 3.3 Pembahasan Keluhan utama yang dirasakan Tn. NK. merasa nyeri pada area lukanya daerah paha. Riwayat penyakit dimulai saat 5 tahun yang lalu klien mengalami fraktur dan dilakukan operasi pemasangan implan dan diperbolehkan pulang. Sekitar satu tahun yang lalu pada daerah yang fraktur terdapat lubang 10 cm diatas lutut dan keluar nanah tetapi klien masih bisa berjalan. Pada 3 bulan yang lalu nanah yang keluar semakin banyak sehingga klien tidak bisa berjalan, fleksi lutut (-), dan dorsofleksi (-). Selama keluar nanah klien mengobatinya dengan membeli antibiotik di warung. Pada tanggal 1 Oktober dilakukan aff implan. Klien direncanakan untuk dilakukan debridement tetapi menunggu perbaikan kondisi dari klien. Tn. NK tidak mempunyai riwayat penyakit asma, hipertensi, dan jantung. Keluarga klien tidak ada yang menderita menular. Data hasil pengkajian keluhan utama dan riwayat pasien menunjukan bahwa pasien termasuk kategori osteomielitis kronis. Eksudasi sudah terjadi pada 1 tahun yang lalu, serta ditandai beberapa gejala yang bersifat sistemik. Osteomielitis akut yang lebih dari satu bulan sampai beberapa tahun dikategorikan osteomielitis kronis. Osteomielitis kronik didiagnosis jika infeksi sebelumnya berulang baik yang telah diberikan terapi maupun tidak dan terdapat nekrosis tulang yang berkaitan. Manifestasi klinis sama dengan osteomielitis akut tetapi intervalnya lebih sering disertai drainase sinus pada area luka (Halstead, 2004; Kneale & Universitas Indonesia

59 42 Davis, 2008; Maher, Salmond, & Pellino, 2002). Klien termasuk dalam klasifikasi C-host karena luka klien sulit untuk sembuh, sehingga untuk dilakukan debridement harus dilakukan perbaikan kondisi terlebih dahulu. Osteomielitis C- host memerlukan tindakan suppressive atau tidak dilakukan terapi, ketidakberdayaan, luka yang sulit sembuh, terapi memberikan hasil lebih buruk daripada penyakit, dan bukan kandidat pembedahan (Cierny III, Mader, & Penninck, 2003; Cierny III, 2010). Pengkajian Basic Conditioning Factor mendukung untuk terjadinya peningkatan resiko infeksi sehingga memperberat gejala osteomielitis. Riwayat merokok dan kebiasaan minum obat antibiotik warung merupakan faktor yang memperberat osteomielitis pasien. Frekuensi penggunaan antibiotik mengganggu respon imun dan merokok menurunkan perfusi oksigen jaringan (Maher, Salmond, & Pellino; 2002) Udara Resiko Syok berhubungan dengan Proses Inflamasi Sistemik. Inflamasi merupakan proses yang berakibat pada manifestasi lokal dan sistemik (Maher, Salmond, & Pellino, 2002). Manifestasi sistemik meliputi demam, leukositosis, perubahan cardiovaskuler, kelemahan, dan anemia. Klien saat dilakukan pengkajian telah didapatkan data adanya respon inflamasi sistemik. Lamanya osteomielitis yang diderita klien serta beratnya gejala yang dialami meningkatkan resiko untuk terjadinya sepsis yang dapat berlanjut terjadinya syok. Resiko syok adalah resiko inadekuatnya aliran darah pada jaringan tubuh dimana harus didahului tindakan untuk menjaga kehidupan fungsi seluler (Herdman, 2012). Diagnosa resiko syok menurut Teori Self Care Orems termasuk pemenuhan pada kebutuhan udara, tetapi pada NANDA termasuk domain keamanan dan proteksi pada klasifikasi cedera fisik. Diagnosa resiko syok merupakan prioritas utama karena merupakan akumulasi dari ketidakadekuatan self care udara, cairan, nutrisi, dan eliminasi sehingga memberikan dampak secara sistemik dan mencegah terjadinya resiko komplikasi yang mengakibatkan morbiditas secara signifikan. Universitas Indonesia

60 43 Nursing system yang digunakan pada klien adalah wholly compensatory karena klien tidak mampu melakukan upaya self care udara secara mandiri. Intervensi keperawatan semuanya dilakukan oleh perawat dan keluarga, dengan metode pemberian bantuan dari guiding, teaching, directing, sampai support. Intervensi yang dilakukan merujuk pada NIC (Nursing Interventin Classification) meliputi preventif sirkulasi, manajemen cairan, manajemen nutrisi, dan manajemen sensasi perifer. Preventif sirkulasi merupakan proteksi pada area dengan keterbatasan perfusi. Manajemen cairan merupakan promosi keseimbangan cairan dan pencegahan komplikasi sebagai hasil level cairan yang abnormal. Manajemen nutrisi adalah mendukung atau meningkatkan keseimbangan intake diet atau makanan. Manajemen sensasi perifer adalah preventif atau meminimalkan cedera atau rasa tidak nyaman pada pasien gangguan sensasi. Fokus intervensi adalah mencegah terjadinya sepsis dan mengurangi eksudasi pada luka klien. Preventif syok merupakan deteksi dan tindakan pada pasien dengan resiko untuk terkena syok. Preventif syok meliputi monitor tanda-tanda vital, monitor tanda-tanda awal syok sepsis, dan monitor hasil laboratorium. Monitoring diharapkan dapat mengenali tanda-tanda awal syok sehingga dapat dilakukan intervensi untuk mencegah terjadinya syok lebih lanjut. Tanda-tanda inflamasi sistemik merupakan indikator terjadinya syok sepsis. Syok sepsis terdiri dari dua fase yang memiliki manifestasi berbeda. Fase awal dikenal sebagai hiperdinamik, fase progresif dengan karakteristik peningkatan cardiac output, dengan vasodilatasi sistemik, peningkatan respirasi, hipertermia, dan urine output normal atau turun (Smeltzer & Bare,2006). Proses inflamasi akibat osteomielitis pada Tn. NK juga mengakibatkan penurunan perfusi jaringan yang merupakan penunjang terjadinya syok sepsis., sehingga intervensi untuk mengatasi perfusi jaringan perlu dilakukan. Perfusi jaringan berfungsi untuk mencegah terjadinya komplikasi lebih lanjut karena penurunan kadar hemoglobin membawa pengaruh yang sistemik. Universitas Indonesia

61 44 Data hasil pengkajian menunjukan bahwa klien anemis, mengeluh pusing, penurunan Hb yang berat (6,5 g/dl), hematokrit (22 %), eritrosit (2,41 juta/ul), peningkatan trombosit (584 ribu/ul), APTT (40,2 detik), dan PT (16,4 detik). Tanda-tanda perdarahan tidak ditemukan pada klien sehingga perlu diduga adanya gangguan hematopoetik akibat osteomielitis pada femur. Produksi sel darah dihasilkan pada sumsum merah tulang sebagai proses hematopoetik (Smeltzer & Bare, 2006). Toksin bakteri dapat menurunkan kadar hemoglobin darah (Maher, Salmond, & Pellino; 2002). Kegiatan intervensi manajemen cairan adalah meningkatkan kadar hemoglobin klien dengan pemberian transfusi PRC sampai 5 kolf. Pemberian PRC tidak meningkatkan nilai hemoglobin klien sampai mendekati normal sehingga perlu upaya untuk meningkatkan melalui manajemen nutrisi karena pentingnya hemoglobin bagi peningkatan kondisi klien. Penurunan hemoglobin berpengaruh terhadap penyembuhan luka. Klien mengalami fase inflamasi yang memanjang sehingga eksudasi terus terjadi. Faktor yang menghambat penyembuhan luka pada klien yang perlu mendapatkan perhatian adalah nutrisi dimana kadar hemoglobin yang dibawah normal yang akan mempengaruhi perfusi jaringan perifer termasuk pada area luka. Protein dan karbohidrat dibutuhkan untuk memenuhi suplay energi karena penghancuran jaringan akan menghasilkan keseimbangan nitrogen negatif. Kesimbangan nitrogen negatif mengakibatkan gangguan immun dan beresiko infeksi (Dealey, 2005). Menganjurkan klien untuk meningkatkan nutrisi yang mengandung karbohidrat, protein, vitamin C, dan Zinc berperan untuk mencegah infeksi pada luka sehingga mempercepat penyembuhan luka. Karbohidrat berkontribusi sebagai energi untuk meningkatkan fungsi leukosit, makrofag, dan fibroblast. Protein berperan sebagai respon immun fagositosit, angiogenesisi, fibroblas, proliferasi, sisntesis kolagen, dan remodelling luka. Vitamin C akan memberikan efek pada sistesis kolagen, kekuatan luka, fungsi neutrofil, migrasi makrofage, dan respon imun. Zinc berguna untuk proliferasi sel, meningkatkan epitelisasi, dan meningkatkan kekuatan kolagen (Daeley, 2005). Universitas Indonesia

62 45 Nilai albumin klien 2,7 g/dl berpengaruh terhadap keberhasilan terapi osteomielitis. Efektifitas antibiotik akan terhambat karena penurunan protein dalam darah. Protein dalam darah berperan untuk mengikat antibiotik (Lee & Hayes, 2006). Evaluasi dari intervensi yang telah dilakukan menunjukan bahwa tidak terdapat peningkatan signifikan pada kadar hemoglobin klien sehingga memperburuk keadaan klien dan self care pemenuhan kebutuhan udara klien mengalami gangguan lebih berat. Evaluasi dari intervensi yang telah dilakukan menunjukan bahwa klien mengalami syok sepsis dimana terjadi penurunan tekanan darah (80/50 mmhg), peningkatan respirasi (24 x/menit), peningkatan nadi (100 x/menit), kenaikan suhu (39 0 C). Klien mengalami alkalosis repiratori dengan tanda-tanda sebagai berupa peningkatan ph (7,472), penurunan pco 2 (26,2mmHg), penurunan HCO 3 (18,7mmol/l), penurunan saturasi O 2 (93,4%), dan penurunan Base Exces ( -3,1). Intervensi selanjutnya mengacu pada manajemen syok sepsis. Evaluasi nursing system pada klien didapatkan bahwa self care klien tidak mengalami peningkatan atau tetap pada wholly compensatory Pencegahan Bahaya Gangguan Integritas Jaringan berhubungan dengan Proses Infeksi dan Inflamasi Tulang dan Jaringan Gangguan integritas jaringan merupakan berkaitan dengan adanya luka beresiko menimbulkan berbagai resiko komplikasi lebih lanjut karena kulit sampai jaringan merupakan mekanisme pertahanan primer. Gangguan integritas jaringan merupakan diagnosa prioritas utama pasca operasi. Resiko infeksi tidak diangkat menjadi diagnosa karena klien sudah mengalami infeksi, tetapi intervensi untuk mengatasi infeksi merupakan intervensi diagnosa gangguan integritas jaringan. Diagnosa gangguan integritas jaringan menurut Teori Self Care Orems termasuk pemenuhan pada kebutuhan pencegahan bahaya sesuai dan pada klasifikasi NANDA termasuk pada kategori keamanan dan proteksi. Intervensi yang dilakukan merujuk pada NIC (Nursing Interventin Classification) meliputi kontrol infeksi dan wound care. Kontrol infeksi adalah meminimalkan tambahan dan transmisi agen infeksi (Dochterman & Bulechek, 2004). Wound care Universitas Indonesia

63 46 merupakan pencegahan komplikasi luka dan meningkatkan penyembuhan luka (Dochterman & Bulechek, 2004). Nursing system yang digunakan pada klien adalah wholly compensatory karena klien tidak mampu melakukan upaya self care pencegahan bahaya secara mandiri. Intervensi keperawatan semuanya dilakukan oleh perawat dan keluarga, dengan metode pemberian bantuan dari guiding, teaching, directing, support, sampai providing the development environment. Intervensi yang dilakukan merujuk pada NIC (Nursing Interventin Classification) meliputi preventif syok, kontrol infeksi, dan wound care. Kontrol infeksi adalah meminimalkan tambahan dan transmisi agen infeksi (Dochterman & Bulechek, 2004). Wound care merupakan pencegahan komplikasi luka dan meningkatkan penyembuhan luka (Dochterman & Bulechek, 2004). Aktivitas pada intervensi kontrol infeksi pada kasus meliputi monitor monitor tanda-tanda terjadinya infeksi, monitor faktor-faktor yang meningkatkan infeksi dan menurunkan daya tahan tubuh, kolaborasi pemberian antibiotik, monitor efek samping pemberian antibiotik, kontrol lingkungan, menganjurkan dan mengarahkan klien menjaga kebersihan, serta menganjurkan dan mengarahkan klien menigkatkan daya tahan tubuh. Aktivitas yang dilakukan diharapkan akan mencegah terjadinya infeksi secara sistemik yang akan beresiko terjadinya sepsis dan mempercepat penyembuhan luka. Pemberian antibiotik sistemik merupakan terapi untuk infeksi pada luka karena untuk mendukung antibiotik topikal yang tidak memiliki penetrasi sampai dalam (Daley, 2005). Pemberian antibiotik perlu monitor karena beresiko menimbulkan resistensi. Klien diberikan antibiotik injeksi intravena berupa ceftriaxon 1 gr IV, gentamycin 2 x 80 mg, dan metronidazole 2 x 500mg. Infeksi lokal pada luka akan memperlama fase inflamasi pada penyembuhan luka karena sel akan dihancurkan bakteri dalam besar dimana akan menghambat kemampuan fibroblas untuk memproduksi kolagen (Senter & Pringele, 1985 dalam Dealey, 2005). Infeksi sistemik akan membutuhkan sel darah putih dan nutrisi dalam jumlah banyak sehingga mempengaruhi penyembuhan luka. Infeksi Universitas Indonesia

64 47 sistemik akan meningkatkan metabolisme sehingga akan meningkatkan katabolisme atau penghancuran jaringan. Intervensi kontrol infeksi meliputi monitor faktor-faktor yang meningkatkan dan menurunkan infeksi, kolaborasi penggunaan antibiotik, monitor efek samping antibiotik, dan kontrol lingkungan yang beresiko meningkatkan infeksi. Faktor yang meningkatkan infeksi klien adalah kondisi umum klien yang kurang mendukung. Antibiotik merupakan terapi yang digunakan dalam osteomielitis. Antibiotik yang diberikan klien memerlukan waktu karena ostemielitis kronis memerlukan terapi antibiotik dalam waktu lama. Antibiotik intravena memerlukan waktu selama 6 minggu pada terapi osteomielitis (Halstead, 2004). Struktur tulang mempengaruhi efektifitas antibiotik. Tulang memiliki struktur mikrosirkulasi yang mudah rusak karena toksin bakteri dan tidak memiliki sel pertahanan natural. Terapi klien hanya berupa pemberian antibiotik saja karena tindakan pembedahan belum memungkinkan dilakukan karena kondisi klien. Pemberian antibiotik pada klien perlu dilakukan observasi terhadap efek samping yang mungkin timbul. Test resistensi terhadap antibiotik tidak dilkukan terhadap klien, demikian juga kultur sehingga terapi antibiotik yang diberikan terdapat kemungkinan tidak tepat. Aktivitas pada intervensi wound care pada kasus meliputi mengkaji faktor-faktor yang meningkatkan dan menghambat penyembuhan luka, mengkaji luka klien, meningkatkan serta melakukan ganti balut. Aktivitas pada intervensi mempertimbangkan internal dan eksternal faktor. Faktor yang menghambat penyembuhan luka pada klien yang perlu mendapatkan perhatian adalah nutrisi dimana kadar hemoglobin yang dibawah normal yang akan mempengaruhi perfusi jaringan perifer termasuk pada area luka. Kondisi pasca operasi juga perlu menjadi pertimbangan. Protein dan karbohidrat dibutuhkan untuk memenuhi pasokan energi karena penghancuran jaringan akan menghasilkan keseimbangan nitrogen negatif. Kesimbangan nitrogen negatif mengakibatkan gangguan immun dan beresiko infeksi (Dealey, 2005). Universitas Indonesia

65 48 Pemberian cairan intravena RL pada klien membantu tercukupinya kebutuhan nutrisi pasca operasi. Menganjurkan klien untuk meningkatkan nutrisi yang mengandung karbohidrat, protein, vitamin C, dan Zinc berperan untuk mencegah infeksi pada luka sehingga mempercepat penyembuhan luka. Karbohidrat berkontribusi sebagai energi untuk meningkatkan fungsi leukosit, makrofag, dan fibroblast. Protein berperan sebagai respon immun fagositosit, angiogenesisi, fibroblas, proliferasi, sisntesis kolagen, dan remodelling luka. Vitamin C akan memberikan efek pada sistesis kolagen, kekuatan luka, fungsi neutrofil, migrasi makrofage, dan respon imun. Zinc berguna untuk proliferasi sel, meningkatkan epitelisasi, dan meningkatkan kekuatan kolagen (Daeley, 2005). Metode pencucian luka dengan cairan NaCl 0,9 % digunakan karena merupakan cairan fisiologis. Luka pasca operasi merupakan luka bersih sehingga dalam pencucian tidak perlu digunakan cairan antiseptik. Penggunaan darryantule sebagai primary dressing berfungsi untuk mencegah infeksi superfisial. Kandungan antibiotik (firacetin sulfat) dalam tulle perlu dimonitor karena akan menimbulkan masalah pada sensitivitas dan resistensi terhadap bakteri. Penggunaan kompres NaCl 0,9 % dan Metronidazole sebagai secondary dressing berfungsi untuk menciptakan suasana lembab pada saat luka masih basah tetapi ketika luka sudah mulai kering tidak dilakukan. Suasana lembab akan mendukung migrasi epidermal, meningkatkan ph dan level oksigen, menjaga electrical gradient, dan menahan cairan luka dari permukaan kulit (Schultz et al, 2003 dalam Daeley, 2005). Penggunaan antibiotik sebagai agen topikal berperan menekan pertumbuhan bakteri dan mengurangi bau akibat eksudasi. Osteomielitis apabila jaringan lunak telah mengalami nekrosis, penggunaan antibiotik sistemik kurang efektif karena vaskularisasi yang menurun (Maher, Salmond, & Pellino; 2002). Luka juga beresiko meningkatkan infeksi karena pertahanan primer tidak adekuat sementara adanya perdarahan berperan terhadap terjadinya infeksi karena ketidakadekuatan pertahanan sekunder (Herdman, 2012). Komplikasi pada pasca bedah berkaitan dengan adanya luka meliputi perdarahan dan infeksi (Smeltzer & Bare, 2008). Infeksi dapat terjadi karena tindakan bedah dan kontaminasi balutan Universitas Indonesia

66 49 pasca trauma. Perdarahan beresiko terjadi karena kerusakan pembuluh darah besar yang menyebabkan perdarahan masif. Komplikasi pasca operasi perlu dimonitor karena leukosit pada tanggal 6 Oktober sempat naik menjadi 16,4 ribu/dl dan hemoglobin turun menjadi 11,9 g/dl sehingga perlu mewaspadai resiko infeksi dan perdarahan. Perawatan luka merupakan tindakan meminimalkan syok sepsis karena mencegah pertumbuhan bakteri (smeltzer & Bare, 2006). Metronidazole digunakan sebagai agen topikal dalam perawatan luka perlu diobservasi. Antibiotik digunakan sebagai agen topikal apabila antibiotik sistemik tidak efektif (Dealey, 2005). Kebersihaan area sekitar luka perlu dilakukan. Flora normal pada kulit dapat meningkatkan perkembangan mikroorganisme pada luka. Staphylococcus epidermidis merupakan patogen utama terjadinya infeksi pada tulang (Maher, Salmond, & Pellino, 2002). Staphylococcus epidermidis merupakan flora normal pada kulit tetapi menjadi patogen apabila berada pada tulang karena mempunyai sifat komensal. Evaluasi dari intervensi yang telah dilakukan menunjukan bahwa penyembuhan luka tidak maksimal. Kondisi luka diameter 1 2 cm dan bengkak pada area paha 5 cm diatas lutut dan masih tampak rembesan pus dalam jumlah banyak pada balutan klien. Status nutrisi klien perlu ditingkatkan untuk mendukung penyembuhan luka. Nursing system klien tidak mengalami perubahan karena tidak ada peningkatan dalam melakukan self care sehingga nursing system klien tetap pada area wholly compensatory Nyeri berhubungan dengan Inflamasi Tulang dan Jaringan Nyeri terjadi karena proses inflamsi yang mengakibatkan penekanan pada jaringan sekitar selain pelepasan mediator kimia. Klien merasa nyeri seperti nyut-nyutan dengan intensitas nyeri secara terus menerus. Nyeri bertambah saat dilakukan ganti balut yang melakukan penekanan pada area yang bengkak, nyeri terus menerus dan berkurang sedikit setelah diberikan analgesik. Nyeri pada daerah paha kanan dan menyebar hampir ke seluruh area paha hanya pada area sekitar Universitas Indonesia

67 50 yang mengalami fraktur. Nyeri dengan skala 8 dari 10. Nyeri timbul sepanjang hari. Nyeri merupakan pengalaman universal individu, yang didefinisikan sebagai pengalaman individu dan melaporkan adanya sensasi rasa nyaman dan tidak nyaman yang bersifat subjektif tergantung persepsi individu (DeLaune & Ladner,2002). Diagnosa nyeri menurut Teori Self Care Orems termasuk pemenuhan pada kebutuhan pencegahan bahaya tetapi berbeda pada klasifikasi NANDA dimana termasuk pada kategori kenyamanan. Nursing system yang digunakan pada klien adalah wholly compensatory karena klien tidak mampu melakukan upaya self care pencegahan bahaya mengenai nyeri secara mandiri seperti tehnik penurunan rasa nyeri nonfarmakologi. Intervensi keperawatan semuanya dilakukan oleh perawat dan keluarga, dengan metode pemberian bantuan dari guiding, teaching, directing, support, sampai providing the development environment. Intervensi gangguan rasa nyaman (nyeri) adalah manajemen nyeri yang terdiri dari beberapa kegiatan menurut Nursing Intervention Classification antara lain observasi status nyeri dan faktor yang berkaitan, pendidikan kesehatan, manajemen lingkungan, tehnik penuruna nyeri nonfarmakologis, serta kolaborasi medis. Observasi status nyeri dan faktor-faktor yang berkaitan terdiri dari observasi tanda-tanda vital, status nyeri berdasarkan PQRST, sirkulasi, serta status psikososial. Pendidikan kesehatan berupa mengajarkan tehnik mengurangi nyeri non invasif berupa tehnik relaksasi dengan nafas dalam. Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa tehnik relaksasi dapat menurunkan nyeri. Penelitian oleh Seers, Chricthon, Tutton, Smith, & Saunders (2008) dengan judul Effectiveness of Relaxation for Postoperative Pain and Anxiety : Randomized Controlled Trial dilakukan pada 118 responden bedah ortopedi. Hasil penelitian menunjukan bahwa relaksasi yang dilakukan mampu mengurangi nyeri dan kecemasan setelah 1, 2, 3, dan 4 jam setelah dilakukan relaksasi dan Universitas Indonesia

68 51 terdapat perbedaan signifikan dengan kelompok kontrol. Penelitian oleh Persson, Veenhuizen, Zachrison, & Gard (2008) dengan judul Relaxation as Treatment for Chronic Musculoskeletal Pain A Systematic Review of Randomised Controlled Studies dilakukan pada 12 penelitian mengenai tehnik relaksasi. Hasil review pada penelitian sebelumnya menunjukan bahwa tehnik relaksasi mampu mengurangi nyeri dan kecemasan pada nyeri muskuloskeletal. Relaksasi bertujuan menenangkan klien secara emosional sehingga menghambat sekresi adrenalin dan meningkatkan sekresi kortisol yang menimbulkan efek mengurangi nyeri. Persepsi individu menentukan kemampuan mengontrol nyeri berdasarkan komponen kognitif, sensori, dan emosional.nyeri adalah perasaan tidak menyenangkan secara sensori dan emosional yang timbul karena kerusakan jaringan baik aktual maupun potensial baik dengan onset secara tiba-tiba atau lambat, intensitas ringan sampai berat, baik bisa diantisipasi atau diprediksi subkutan (Moorhead et al, 2004). Kemampuan mengontrol nyeri mendukung penggunaan analgetik untuk meningkatkan kemampuan aktivitas. Tingkat nyeri tidak hanya ditentukan berdasarkan aspek fisiologis tetapi aspek psikologis berperan penting karena nyeri bersifat subjektif. Gate control pain theory menjelaskan bahwa persepsi individu menentukan kemampuan mengontrol nyeri berdasarkan komponen kognitif, sensori, dan emosional individu (DeLaune & Ladner, 2002). Individu mampu mengontrol nyeri saat melakukan aktivitas, kemampuan fungsional akan meningkat walaupun tingkat nyeri bertambah. Kolaborasi medis pemberian analgetik dengan berbagai jenis sesuai indikasi dengan mengobservasi respon pasien. Kerja analgetik berkaitan dengan menghambat cyclooxygenase 1 dan 2 (COX-1 dan COX-2). Inhibisi COX-1 mengakibatkan proteksi membran mukosa saluran pencernaan berkurang dan mencegah pembekuan darah, sedangkan COX-2 mengurangi nyeri dan mensupresi inflamasi sehingga berperan juga mengurangi bengkak (Kee & Hayes, 2006). Penggunaan ranitidin pada klien meminimalkan terjadinya mual dan muntah seingga berperan meminimalkan efek supresi COX-1 dan COX-2. Evaluasi dari intervensi yang telah dilakukan menunjukan bahwa nyeri klien saat dilakukan perawata luka berkurang walaupun masih skala 6, timbul secara terus Universitas Indonesia

69 52 menerus tetapi intesitasnya menurun dibandingkan sebelumnya. Klien perlu diarahkan untuk lebih mengontrol nyerinya dirumah dengan tehnik relaksasi dan mengurangi penggunaan anagetik. Nursing system mengalami perubahan dari sebelumnya wholly compensatory menjadi partly compensatory Aktivitas dan Istirahat Keterbatasan Mobilitas Fisik berhubungan dengan Penurunan Kemampuan Ekstremitas Bawah Definisi Mobilisasi dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk bergerak dengan bebas, sedangkan imobilisasi mengacu pada ketidakmampuanseseorang untuk bergerak bebas. North American Nursing Association(NANDA) mendefinisikan imobilisasi sebagai suatu keadaan ketika individu mengalami atauberisiko keterbatasan gerak fisik (Moorhead et al, 2004). Diagnosa keterbatasan mobilitas fisik menurut Teori Self Care Orems termasuk pemenuhan pada kebutuhan aktivitas dan istirahat sesuai pada klasifikasi NANDA.Data pada klien menunjukan bahwa kekuatan otot pada ekstremitas yang mengalami osteomielitis adalah dan nilai Barthel Index 20 (dependen total). Nursing system yang digunakan pada klien adalah wholly compensatory karena klien tidak mampu melakukan upaya self care aktivitas dan latihan secara mandiri. Intervensi keperawatan semuanya dilakukan oleh perawat dan keluarga, dengan metode pemberian bantuan dari guiding, teaching, directing, support, sampai providing the development environment. Intervensi terdiri dari beberapa kegiatan menurut Nursing Intervention Classification antara lain bedrest care, terapi aktivitas, manajemen energi, manajemen perawatan diri, serta manajemen latihan. Intervensi tidak hanya pada kemampuan mobilisasi tetapi mencakup kemandirian dalam ADL. Intervensi tidak maksimal karena kondisi klien dan klien mengalami kelelahan. Klien dengan infeksi selalu menampilkan gejala kelelahan dan kelemahan (Maher, Salmond, & Pellino, 2002). Universitas Indonesia

70 53 Terapi aktivitas terdiri dari observasi kemampuan aktivitas, kemungkinan peningkatan aktivitas, meningkatkan aktivitas secara bertahap, serta kolaborasi dengan dokter dan fisioterapis. Manajemen energi terdiri dari mengkaji pemenuhan kebutuhan oksigenasi, cairan, elektrolit, nutrisi, istirahat, dan tidur. Manajemen energi perlu dilakukan karena peningkatan aktivitas memerlukan energi yang adekuat. Kekurangan energi akan memperberat kondisi klien. Manajemen energi memberikan outcome yang positif pada individu dengan kesulitan ADL pada kanker (Ackley et al, 2006). Latihan yang memungkinkan dilakukan adalah latihan isometrik, sementara latihan isotonik dilakukan dengan pertimbangan klien sudah mengalami perbaikan kondisi. Latihan isometrik dilakukan untuk ekstremitas dan sendi-sendi yang lain metode aktif-assisif. ROM pasif bertujuan mencegah kelemahan otot dan mencapai keseimbangan energi. Perubahan posisi yang mungkin dilakukan adalah posisi semi fowler, fowler, dan duduk. Posisi miring kiri dan kanan perlu pertimbangan karena melibatkan paha kanan yang mengalami infeksi. Manajemen perawatan diri terdiri dari mengkaji kemandirian ADL, observasi alat bantu ADL, melibatkan keluarga untuk memenuhi ADL, dan mengajari klien untuk mandiri. WHO (2006) menyatakan kondisi disability muskuloskeletal yang menyebabkan peningkatan 25 % cacat kronis dari dekade sebelumnya, yang pada dasarnya memerlukan intervensi-intervensi penghematan biaya untuk mencegah dan mengobatikondisi muskuloskeletal yang terjadi. Charlon et al (1983 dalam Hoeman, 2006) menyatakan bahwa (seseorang) disability harus dilatih untuk beraktifitas agar tidak menjadi bergantung dan lebih mandiri dalam melakukan aktifitas dengan rehabilitasi. Manajemen latihan antara lain mengobservasi kemampuan ROM dan mobilisasi, melakukan latihan ROM secara bertahap dengan mengobservasi respon, memotivasi, serta meningkatkan kemampuan mobilisasi. Mobilisasi yang dilakukan bertujuan mengekspresikan emosi dengan gerakan nonverbal untuk pertahanan diri dan pemenuhan kebutuhan dasar serta aktivitas hidup sehari-hari. Mempertahankan mobilisasi fisik secara optimal maka sistem saraf, otot dan skeletal harus tetap utuh dan berfungsi baik. Pelayanan keperawatan ditujukan Universitas Indonesia

71 54 pada pemberian kenyamanan, mengevaluasi status neurovaskuler, dan melindungi sendi selama masa penyembuhan. (Smeltzer & Bare 2008). Mobilisasi memberikan beberapa manfaat yaitu dapat menstimulasi sirkulasiperifer, mengembalikan fungsi normal organ, mengurangi nyeri, menurunkan kejadian komplikasi (atelektasis, pneumonia,gangguan gastrointestinal dan masalah sirkulasi), mempertahankan dan meningkatkan (massa) tonus otot, mengurangi kehilangan tulang, memperlancar eliminasi buang air besar dan buang air kecil, mencegah kelemahan dan kecacatan, meningkatkan penyembuhan, memberikan perasaan sehat, mengembalikan aktivitas tertentu sehingga pasien dapat kembali normal atau setidaknya dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari serta mempercepat hari rawat. Hasil evaluasi menunjukan bahwa kemampuan mobilisasi klien tidak mengalami kemajuan bahkan cenderung menurun. Evaluasi kekuatan otot klien yang mengalami ostemielitis adalah dan nilai Barthel Index 20 (dependen total). Nursing system mengalami perubahan dari wholly compensatory menjadi partly compensatory, walaupun klien masih harus diarahkan untuk melakukan berbagai latihan seperti latihan isometrik dan latihan ROM baik pasif maupun aktif Modifikasi Gambaran Diri terhadap Perubahan Status Kesehatan Cemas berhubungan dengan Perubahan Status Kesehatan Cemas merupakan perasaan gelisah dari ketidaknyaman atau rasa takut berhubungan dengan respon autonomik; perasaan keprihatinan karena antisipasi dari bahaya (Herdman, 2012). Klien merasa cemas karena perkembangan kesembuhan penyakitnya berjalan lambat. Nyeri yang dirasakan klien meningkatkan rasa gelisah klien. Kondisi klien yang buruk sehingga operasi tidak dapat segera dilakukan menimbulkan kekhawatiran klien karena merupakan ancaman bagi kehidupan klien. Ostemielitis akan menyebabkan nyeri hebat sehingga menimbulkan kecemasan pada pasien (Kneale & Davis, 2008). Nursing system yang digunakan pada klien adalah wholly compensatory karena klien tidak mampu melakukan upaya self care gambaran diri akibat proses perubahan penyakit secara mandiri. Intervensi keperawatan semuanya dilakukan Universitas Indonesia

72 55 oleh perawat dan keluarga, dengan metode pemberian bantuan dari guiding, teaching, directing, support, sampai providing the development environment. Data hasil pengkajian menunjukan bahwa klien masih merasa takut dan khawatir, serta sering marah-marah. Klien hanya menunjukan tanda-tanda cemas secara verbal tetapi secara fisik tidak ada. Intervensi yang dilakukan berupa identifikasi reduksi kecemasan dan manajemen koping. Reduksi kecemasan meliputi membina hubungan saling percaya, mengkaji kecemasan, mengkaji perilaku, mengkaji persepsi, mengkaji support sistem, dan memberikan informasi yang adekuat. Manajemen koping meliputi mengkaji respon kehilangan, tahapan kehilangan, eksplorasi perasaan, dan mekanisme koping. Reduksi kecemasan adalah meminimalkan rasa gelisah, tidak nyaman, rasa takut, dan khawatir dalam mengantisipasi sumber bahaya. Pemberian informasi dan komunikasi yang tepat dalam melakukan intervensi akan meningkatkan ketenangan klien (Maher, Salmond, & Pellino, 2002). Manajemen koping adalah membantu pasien beradaptasi untuk menerima stressor, perubahan, atau terapi yang mengganggu fungsi kehidupan dan peran (Dochterman & Bulechek, 2004). Manajem koping perlu dilakukan dengan pendekatan budaya, sosial, dan personal. Klien manajemen koping dilakukan dengan meningkatkan pendekatan spiritual karena menurut klien dengan lebih banyak menyebut nama Tuhan dan beribadah klien merasa kondisinya lebih baik. Kurang Pengetahuan merupakan kehilangan atau kekurangan informasi kognitif yang bersifat spesifik (Herdman, 2012). Klien kurang mengetahui mengenai proses perjalanan penyakit dan prosedur persiapan operasi maupun kondisi pasca operasi. Intervensi terdiri dari beberapa kegiatan menurut Nursing Intervention Classification pendidikan preoperasi. Pendidikan pre operasi yang dilakukan meliputi latihan nafas dalam dan abtuk efektif serta latihan rentang gerak. Universitas Indonesia

73 56 Latihan mobilisasi dapat dilakukan dengan cara/macam latihan yaitu latihan nafas dalam dan batuk efektif, merubah posisi/ambulasi, latih gerak sendi (LGS)/ROM. (Perry & Potter, 2006). Latihan nafas dalam sangat bermanfaat bagi pasien untuk mengurangi nyeri setelah operasi dan dapat membantu pasien relaksasi sehingga pasien lebih mampu beradaptasi dengan nyeri dan dapat meningkatkan kualitas tidur. Selain itu teknik ini juga dapat meningkatkan ventilasi paru dan oksigenasi darah setelah anastesi umum. Latihan tarik nafas dalam secara efektif dan benar maka pasien akan segera mempraktekkan segera setelah operasi sesuai dengan kondisi dan kebutuhan pasien. Latihan harian ringan dapat memperbaiki aliran darah pada jaringan perifer dan mempercepat rehabilitasi (Smeltzer & Bare, 2009). Pendidikan kesehatan yang diberikan pada klien bertujuan untuk mengurangi resiko komplikasi dan meningkatkan kemampuan pasca operasi. Pedidikan kesehatan yang diberikan berupa latihan nafas dalam, batuk efektif, dan isometrik. Penelitian oleh Eldawati (2011) mengenai pengaruh pendidikan pre operasi pada fraktur ekstremitas bawah terhadap kemampuan ambulasi dilakukan pada 28 responden pasca operasi ortopedi ekstremitas bawah. Hasil penelitian menunjukan bahwa kelompok yang diberikan pendidikan kesehatan berupa latihan isometrik (gluteal, quadriceps, dan ankel setting) saat preoperasi memiliki kemampuan ambulasi lebih baik. Penelitian oleh Johannsson, Nuutila, Virtanen, Katajisto, & Salantera menunjukan dengan judul Preoperative Education for Orthopaedic Patients : Systematic Review dilakukan dengan mengkaji 11 artikel yang mencakup 1044 partisipan. Hasil penelitian menunjukan bahwa pendidikan pre operasi mampu memberikan pengaruh terhadap kecemasan dan level pengetahuan. Evaluasi menunjukan bahwa klien tidak cemas dan klien lebih tahu dibandingkan sebelumnya mengenai operasinya. Pasca operasi perlu monitoring pelaksanaan dari latihan-latihan yang dilakukan pada pendidikan kesehatan pre operasi. Evaluasi menunjukan bahwa rasa cemas klien berkurang, klien terlihat lebih tenang saat merasa nyeri. Nursing system klien mengalami perubahan dari wholly compensatory menjadi partly compensatory. Universitas Indonesia

74 Analisa Penerapan Teori Self Care Orems pada 35 Kasus Kelolaan Resume 35 kasus kelolaan penerapan teori self care Orem pada gangguan sistem muskloskeletal dapat dilihat pada lampiran 3. Informasi umum yang diperoleh dari 35 kasus gangguan sistem muskuloskeletal adalah sebanyak 17 orang (48,6%) dengan fraktur ekstremitas bawah, 8 orang(22,9%) multipel fraktur, 5 orang (14,3%) fraktur vertebra, 3 orang (8,6%) fraktur ekstremitas atas, 1 orang (2,8%) rhadmiosarkoma, dan 1 orang (2,8%) dengan osteomielitis. Jenis tindakan medis ortopedi yang dilakukan terhadap 35 kasus kelolaan meliputi ORIF sebanyak 7 orang (20%); traksi dan ORIF sebanyak 7 orang (20%); Total Hip Replacement sebanyak 4 orang (11,4%); Stabilisasi vertebra sebanyak 4 orang (11,4%); Debridemen dan ORIF sebanyak 3 orang (8,6%); Total Knee Replacement sebanyak 2 orang (5,7%); debridemen dan gips 2 orang (5,7%); dan amputasi sebanyak 1 orang (2,8%). Penyebab gangguan sistem muskuloskeletal pada pasien sebagian besar adalah trauma atau kecelakaan lalu lintas. Keluhan utama yang dirasakan pasien sebagian besar adalah nyeri Pengkajian Basic Conditioning Factor Usia pasien rata-rata 38,7 tahun, dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 28 orang (80%) dan wanita sebanyak 7 orang (20%). Tingkat pendidikan pasien terdiri dari SMA sebanyak 15 orang (42,9%), SD 11 orang (31,4%), SMP sebanyak orang (11,4%), Akademi sebanyak (8,6%), dan Sarjana sebanyak 2 orang (5,7%). Sumber pendukung pasien sebagian besar adalah keluarga inti pasien yang meliputi istri atau suami, dan anak-anaknya, kemudian anggota keluarga lain seperti orang tua, adik, kakak, dan keluarga dari orang tua pasien. Pasien rata-rata menggunakan Puskesmas sebagai pemanfaatan sarana kesehatan Universal Self Care Requisites Kebutuhan self care udara pada pasien kelolaan yang mengalami gangguan berupa respirasi dan perfusi jaringan. Respirasi terganggu pada kasus adanya fraktur pada costa dan vertebra. Kebutuhan perfusi jaringan yang terganggua Universitas Indonesia

75 58 adalah adanya penurunan kadar hemoglobin sebagai akibat perdarahan akibat trauma dan tindakan pembedahan. Kebutuhan self care cairan yang terganggu dilihat dengan manifestasi berupa ketidakseimbangan intake-output. Intake-output tidak seimbang karena pasien kehilangan cairan sebagai akibat trauma dan tindakan pembedahan. Penuruna tekanan turgor tidak didapatkan pada kasus kelolaan. Nilai elektrolit yang terlihat pada gangguan cairan adalah penurunan hematokrit dan elektrolit (natrium, kalium, dan chlorida). Kebutuhan self care nutrisi pada kasus kelolaan yang terganggu terlihat dengan manifestasi klinis berupa penurunan nilai Body Mass Index (BMI) menjadi kurang dari 20. Nilai BMI yang kurang dari normal terjadi pada pasien infeksi TB dan rhabdomiosarkoma. Gejala berkaitan dengan kebutuhan self care nutrisi yang sering terlihat adalah adanya mual dan muntah pada kondisi pasca operasi. Kebutuhan self care eliminasi pada kasus kelolaan berupa elimiasi urin dan eliminasi fekal. Pasien pasca bedah terpasang kateter urin sampai hari kedua pasca operasi walaupun fungsi berkemih pasien normal. Pasien ditemukan mengalami gangguan setelah pelepasan kateter urin sebanyak 2 orang dengan gangguan berupa nyeri pada kandung kemih dan urine tidak keluar. Gangguan eliminasi fekal adalah konstipasi dengan tanda tidak bisa BAB lebih dari 3 hari. Kasus cedera tulang belakang ditemukan beberapa pasien mengalami masalah dalam pemenuhan kebutuhan eliminasi urin dan fekal. Aktivitas dan istirahat pada pasien gangguan pemenuhan self care terlihat jelas pada area yang mengalami fraktur. Data hasil pengkajian yang didapatkan pada kasus kelolaan berupa penurunan kekuatan otot dan rentang gerak sendi. Indikator pemenuhan kebutuhan aktivitas pada kasus kelolaan menggunakan barthel index dengan indikator kemampuan melakukan aktivias makan, perawatan diri, berpakaian, mandi, BAK, BAB, toileting, transfer, mobilitas, dan ambulasi,. Penilaian barthel index menunjukan bahwa nilai barthel index pasien kurang dari 60, yang berarti kemampuan pasien melakukan aktivitas tidak mandiri. Pengkajian resiko jatuh dilakukan sebagai indikator untuk memprediksi tingkat keamanan Universitas Indonesia

76 59 pasien dalam melakukan self care aktivitas. Pengkajian resiko jatuh dilakukan dengan menggunakan skala morse. Pemenuhan kebutuhan self care pada pencegahan terhadap bahaya terganggu dengan bentuk gangguan pada kasus kelolaan berupa nyeri, peningkatan tandatanda infeksi, dan adanya luka. Nyeri pasien bertambah hebat setelah dilakukan tindakan pembedahan, tetapi berkurang setelah dilakukan traksi. Luka klien sebagian besar berbentuk luka insisi sebagai akibat tindakan pembedahan. Luka dekubitus didapatkan pada 1 kasus pasien dengan cedera medula spinalis akibat tirah baring dalam waktu lama. Peningkatan tanda-tanda infeksi pada pasien didapatkan dari data berupa peningkatan nilai leukosit, suhu, dan adanya eksudat pada luka. Pemenuhan self care promosi kearah normal pada pasien kelolaan merupakan kemampuan pasien untuk meningkatkan fungsi. Pada beberapa pasien memperlihatkan masih kesulitan untuk meningkatkan kemampuannya pada area yang mengalami gangguan. Pemenuhan kebutuhan self care interaksi sosial pada pasien kelolaan tidak mengalami gangguan. Pasien dapat berinteraksi dengan baik dengan keluarga dan tenaga kesehatan Developmental Self Care Requisites Pemenuhan kebutuhan self care pemeliharaan perkembangan terhambat karena pasien kelolaan masih tidak mampu untuk melakukan beberapa kegiatan untuk mendukung perkembangan dirinya terutama dalam melakukan aktivitas seharihari. Pemenuhan kebutuhan self care manajemen pencegahan bahaya pasien kelolaan tidak adekuat dengan data berupa ketidaktahuan pasien mengenai penyakitnya, persiapan operasi, dan kondisi pasca operasi Health Deviation Self Care Requisites Kepatuhan pasien saat menjalani perawatan di rumah sakit cukup baik dimana pasien mematuhi anjuran-anjuran perawat dan tenaga kesehatan lain. Pemenuhan kebutuhan self care modifikasi gambaran diri mengalami gangguan berupa kehilangan dan kecemasan. Kehilangan terjadi pada pasien pasca amputasi, Universitas Indonesia

77 60 sementara kecemasan pada pasien pre operasi 1 orang dan osteomielitis 1 orang. Pasien yang akan dilakukan tindakan operasi pada kasus kelolaan didapatkan bahwa pasien tidak merasa cemas untuk dilakukan tindakan pembedahan berupa ORIF, debridemen, dan stabilisasi vertebra Diagnostic Operation Diagnosa keperawatan menggambarkan akan ketidakadekuatan pemenuhan self care terhadap universal self care requisites, developmental self care requisites, dan health deviation self care requisites. Jumlah seluruh diagnosa keperawatan pada 35 pasien kelolaan adalah 22 diagnosa keperawatan. Diagnosa keperawatan pada pasien gangguan sistem muskuloskeletal dapat dilihat pada tabel 3.4. Berdasarkan tabel 3.4 menggambarkan bahwa diagnosa keperawatan yang paling banyak adalah nyeri dimana semua kasus kelolaan mengalami nyeri sebanyak 35 orang (100%), apabila berdasarkan jumlah seluruh diagnosa kasus kelolaan nyeri sebanyak 35 diagnosa (19,34%). Diagnosa keperawatan kedua yang paling banyak ditegakan selanjutnya adalah keterbatasan mobilitas fisik sebanyak 34 diagnosa (18,78%), yang ditemukan pada 34 kasus kelolaan (97,14%).Diagnosa keperawatan ketiga yang paling banyak ditegakan selanjutnya adalah gangguan integritas jaringan sebanyak 31 diagnosa (17,13%), yang ditemukan pada 31 kasus kelolaan (88,57%). Diagnosa keperawatan pada universal self care requisitea pemenuhan kebutuhan udara yang paling banyak adalah resiko penurunan perfusi jaringan, sementara pada nutrisi yaitu resiko gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan, serta pada eliminasi yaitu konstipasi. Diagnosa keperawatan pada developmental self care resuisites pemenuhan kebutuhan manajemen kondisi yang mengancam perkembangan berupa kurang pengetahuan merupakan yang terbanyak Prescriptive Operation Prescriptive operation merupakan tahapan untuk menentukan metode pemberian bantuan. Metode pemberian bantuan yang paling banyak dilakukan adalah guidance sebanyak 24 %, teaching (24 %), directing (24%), supporting (17%), dan prevention developmental environment (9,9%). Universitas Indonesia

78 61 Tabel 3.4 Diagnosa Keperawatan menurut Teori Self Care Orems pada Pasien Gangguan Sistem Muskuloskeletal di RSUP Fatmawati Jakarta Universal Self Care Requisites Udara 1. Resiko perfusi jaringan tidak efektif 2. Resiko perfusi jaringan cerebral 3. Perubahan pola nafas 4. Resiko syok Nursing Diagnosis n % (jumlah pasien) ,86 5,71 5,71 2,86 % (jumlah diagnosa) Cairan 5. Resiko ketidakseimbangan volume cairan 1 2,86 0,55 Nutrisi 6. Resiko gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan 7. Gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan 8. Gangguan menelan Eliminasi 9. Konstipasi 10. Gangguan Eliminasi urin 11. Diare Aktivitas dan istirahat 12. Keterbatasan mobilitas fisik 13. Defisit perawatan diri 14. Gangguan pola tidur Mencegah bahaya akibat kondisi 15. Nyeri 16. Gangguan integritas jaringan 17. Resiko infeksi 18. Perubahan suhu tubuh : hipertermia 19. Resiko cedera ,71 2,86 2,86 25,71 8,57 2,86 97,14 14,29 2, ,57 31,43 2,86 2,86 4,42 1,11 1,11 0,55 1,11 0,55 0,55 4,97 1,66 0,55 18,78 2,76 0,55 19,34 17,13 6,08 0,55 0,55 Developmental Self Care Requisites Pencegahan /managemen kondisi yang mengancam perkembangan 20. Kurang pengetahuan ,47 Developmental Self Care Requisites Modifikasi gambaran diri dalam perubahan status kesehatan 21. Kecemasan 22. Kehilangan 2 1 5,17 2,86 1,11 0, Regulatory Operation Regulatory operation pada kasus kelolaan memberikan gambaran nursing system dan jenis intervensi keperawatan. Jumlah jenis intervensi pada kasus kelolaan sebanyak 41 jenis intervensi. Nursing system yang digunakan pada kasus kelolaan saat ditentukan diagnosa keperawatan antara lain : wholly compensatory sebanyak 48,76% dari seluruh diagnosa keperawatan; partly compensatory sebanyak 30,86%; dan supportive educative sebanyak 20,37%. Wholly compensatory digunakan sebagian besar pada kasus kelolaan pasien pasca bedah ortopedi dan multipel fraktur. Whooly compensatory berubah menjadi partly compensatory pada kasus kelolaan dalam rentang waktu rata-rata 2 5 hari. Universitas Indonesia

79 62 Partly compensatory berubah menjadi supportive-educative compensatory dalam rentang waktu 3 7 hari. Nursing system bersifat dinamis dalam pelayanan keperawatan yang bertujuan meningkatkan kemampuan pasien baik fisiologis maupun psikologis, wholly compensatory sewajarnya hanya dalam beberapa hari (Bromley, 1980; dalam Mentro, 1999). Hambatan untuk meningkatkan kemampuan pasien adalah kesadaran pasien dan keluarga. Pasien masih harus diarahkan untuk melakukan beberapa kegiatan intervensi. Keluarga masih membantu pasien walaupun sebenarnya pasien dapat melakukannya secara mandiri sehingga bantuan keluarga merupakan bentuk ketergantungan secara sosial. Keterbatasan didefinisikan sebagai ketergantungan secara sosial terhadap orang lain untuk ketercapaian kehidupan dan kesehjateraan yang dipengaruhi persepektif fungsional dan sosial (Orem, 1991 dalam Schmidt, 2008) Intervensi keperawatan yang paling banyak dilakukan adalah manajemen nyeri yang dilakukan pada seluruh pasien kelolaan, kemudian wound care dilakukan pada 31 kasus kelolaan. Manajemen nyeri yang dilakukan berupa menurunkan nyeri dengan medikasi dan non farmakologis. Relaksasi berupa nafas dalam digunakan sebagai manajemen nyeri non farmakologis karena paling mudah diberikan dan pada kasus kelolaan berhasil menurunkan nyeri pasien. Sebagian besar pasien sudah pernah diajari tehnik relaksasi tetapi untuk melakukannya masih perlu diarahkan untuk beberapa waktu, sehingga kemandirian pasien dalam upaya melakukan self care pencegahan bahaya memerlukan waktu yang lebih lama. Wound care yang diimplementasikan pada kasus kelolaan berupa monitor faktorfaktor yang menghambat penyembuhan luka dan tehnik perawatan luka. Perawatan luka dilakukan dengan irigasi NaCl 0,9%, kemudian balutan yang digunakan berupa sofratulle. Beberapa pasien dengan kondisi luka yang buruk (terdapat pus dan jaringan nekrosis) digunakan madu sebagai kompres. Universitas Indonesia

80 Control Operation Pasien gangguan sistem muskuloskeletal dilakukan evaluasi berdasarkan efektivitas nursing system dan respon pasien. Evaluasi nursing system pada kasus kelolaan efektif dan perubahan nursing system menuju kearah yang lebih mandiri bagi pasien. Hasil evaluasi menunjukan perbedaan nursing system dibandingkan saat awal menentukan diagnosa keperawatan dengan perubahan sebagai berikut : wholly compensatory sebesar 16%, partly compensatory 50%, dan supportiveeducative compensatory 34%. Intervensi keperawatan memberikan hasil yang lebih baik terhadap respon pasien. Perbaikan yang nampak adalah penurunan nyeri pada pasien, penyembuhan jaringan yang optimal, peningkatan kekuatan otot dan rentang gerak sendi, serta kemampuan melakukan aktivitas. Universitas Indonesia

81 BAB 4 ANALISIS PRAKTIK BERBASIS BUKTI Pasca bedah ortopedi dapat menimbulkan berbagai masalah karena merupakan suatu trauma pada berbagai jaringan muskuloskeletal. Permasalahan pasca pembedahan ortopedi berkaitan dengan nyeri, perfusi jaringan, promosi kesehatan, mobilitas fisik, dan konsep diri. Trauma akibat pembedahan pada tulang, otot, jaringan, atau sendi akan mengakibatkan nyeri secara signifikan. Pembedahan menimbulkan trauma jaringan lunak dan struktur yang sebelumnya tidak mengalami cedera.nyeri pasca pembedahan ekstremitas bawah memiliki intensitas nyeri hebat dengan kejadian sampai 70 % dengan durasi 3 hari (Smeltzer & Bare, 2005). Nyeri pasca bedah ortopedi saat berada diruang perawatana dalah 4,7 dengan menggunakan skala 0 sampai 10, dan nyeri berkontribusi terhadap aktivitas paskaoperasi (Morris et al, 2010). Trauma jaringan menyebabkan perdarahan dan menimbulkan reaksi inflamasi sebagai mekanisme pertahanan tubuh yang berpotensi menimbulkan komplikasi. Perfusi jaringan diakibatkan dengan adanya edema dan perdarahan yang menghasilkan gangguan sirkulasi dan sindrom kompartemen. Inaktivitas berkontribusi terhadap stasis vena dan berkembang menuju DVT (Bare & Smeltzer, 2006). Keterbatasan rentang gerak sendi terjadi karena cedera pada otot, spasme otot, dan reaksi pasien karena merasa nyeri saat digerakan. Keterbatasan rentang gerak sendi berpengaruh terhadap kemampuan mobilisasi pasien yang pada akhirnya menimbulkan ketidakberdayaan dan ketergantungan. Homeostasis, bengkak, nyeri, rasa tidak nyaman, peningkatan mobilisasi dini dan rencana pulang merupakan fokus utama pada periode akut pasca operasi (Smith, Stevens, Taylor, & Tibbey; 2002). Pendekatan famakologis perlu dikombinasikan dengan pendekatan non farmakologis untuk meningkatkan penyembuhan pasien sehingga mempersingkat lama hari rawat. 64 Universitas Indonesia

82 65 Perawatan fase pasca operasi ortopedi merupakan upaya untuk menanggulangi efek operasi dan meningkatkan penyembuhan. Manajemen trauma jaringan lunak meliputi proteksi, istirahat, dingin, kompresi, dan elevasi. Cold compression therapy merupakan terapi modalitas yang digunakan pada berbagai manajemen operasi dengan berbagai variasi prosedur ortopedi dimana pembedahan menghasilkan kerusakan jaringan yang sama tetapi berat ringannya tergantung gejala (Block, 2010). Cold compression therapy secara langsung ditujukan untuk bengkak, inflamasi, dan nyeri berkaitan dengan cedera dengan berbagai mekanisme (Block, 2010). Cold compression akan mengakibatkan efek secara lokal menurunkan tingkat metabolisme jaringan lunak sehingga mereduksi aktivitas enzimatik mencegah kerusakan jaringan yang diakibatkan hipoksia. Lokal hipotermia merangsang vasokontriksi dan penurunan mikrosirkulasi lebih dari 60 % sehingga mereduksi ekstravasasi darah melingkupi jaringan, inflamasi lokal, dan produksi edema. Penurunan formasi edema akan menurunkan konduksi saraf sensorik dan motorik sehingga nyeri menurun. Reduksi aliran darah dan bengkak akan tercapai dengan kompresi pada area yang cedera. Kompresi akan meningkatkan tingkat, besaran, dan kedalaman reduksi temperatur yang akan mempercepat vakuasi limfe. Dingin meningkatkan rentang gerak sendi dengan mengurangi nyeri, menghambat spasme otot, dan mengurangi tegangan otot (Lin, 2002). Penelitian yang dilakukan Smith, Stevens, Taylor, & Tibbey (2002) menunjukan bahwa kompres es dengan elastis bandage mengurangi nyeri, edema, meningkatkan rentang gerak sendi, dan mempersingkat lama hari rawat pada pasien total knee arthroplasty. Penelitian berjudul Cold and Compression in The Management of Musculosceletal Injuries and Orthopaedic Operative Procedures : a Narrative Review dilakukan pada berbagai prosedur bedah ortopedi. Hasil penelitian menunjukan bahwa terapi merupakan cold compression therapy memberikan manfaat lebih sebagai intervensi pada kerusakan jaringan yang parah akibat pembedahan, edema dan nyeri pasca operasi, dan kehilangan darah dalam jumlah cukup banyak (Block, 2010). Universitas Indonesia

83 66 Cold compression merupakan intervensi keperawatan yang sudah dikenal cukup lama sebagai terapi modalitas, bahkan menjadi standar asuhan keperawatan pada pasca bedah ortopedi. Penelitian-penelitan sebelumnya sudah tidak membahas mengenai efektivitas cold compression, tetapi lebih menekankan pada efektivitas berbagai metode cold compression. Kenyataan yang ditemukan, ternyata cold compression therapy belum dilaksanakan diruangan. Aplikasi cold compression yang paling sederhana, murah, dan mungkin dilakukan diruangan adalah kompres dingin dengan ice cold pack serta kompresi dengan elastis verban. Penerapan cold compression therapy pada pasien pasca bedah orthopedi dilakukan berdasarkan hasil penelitian Smith, Stevens, Taylor, & Tibbey (2002). Aplikasi pemberian terapi dingin pada penelitian yang dilakukan Smith, Stevens, Taylor, & Tibbey (2002) memiliki rentang waktu dan metode yang berbeda. Terapi dingin yang dilakukan dengan kompres es dilakukan saat jam pasca operasi sebanyak 3 kali perhari dalam waktu 15 menit. Penggunaan cryopad dilakukan saat 6-48 jam pasca operasi dengan suhu C selama 15 menit. Aplikasi dilakukan dengan melakukan kompres es saat jam pasca operasi dengan frekuensi 3 kali per hari dalam waktu 15 menit setiap terapi. Hasil analisa sebelum dilakukan EBN dengan melakukan analisa PICO (Problem, Intervensi, Comparation, dan Output). Berikut ini merupakan analisa PICO pada EBN yang diterapkan : a. Problem (P) Permasalahan pada pasien pasca bedah ortopedi ekstremitas bawah yang menjalani perawatan di GPS Lt 1 RSUP Fatmawati Jakarta yang ditemukan berupa rasa nyeri dari skala sedang sampai berat, edema pada area pembedahan, serta keterbatasan mobilitas fisik termasuk keterbatasan rentang gerak sendi. Homeostasis, bengkak, nyeri, rasa tidak nyaman, peningkatan mobilisasi dini dan rencana pulang merupakan fokus utama pada periode akut pasca operasi (Smith, Stevens, Taylor, & Tibbey; 2002). Upaya yang dilakukan untuk meningkatkan proses penyembuhan dengan cold compression therapy. Namun, perawat di ruangan belum terpapar dengan Universitas Indonesia

84 67 cold compression therapy yang merupakan intervensi keperawatan yang sudah banyak dilakukan penelitian sebelumnya. b. Intervensi (I) Intervensi dalam penelitian tersebut adalah melakukan cold compression therapy pada pasien pasca pembedahan ekstremitas bawah. Cold compression therapy dapat dijadikan sebagai terapi komplementer untuk meningkatkan proses penyembuhan pada pasien pasca bedah ortopedik. Intervensi yang digunakan adalah kompres es dengan menggunakan ice cold pack sebagai cold therapy dan melakukan verban elastis sebagai bentuk kompresi. c. Comparation (C) EBN dilakukan setelah mengkaji intervensi yang dilakukan ruangan dengan beberapa indikator yang berdasarkan analisa perbandingan fenomena di GPS Lt. 1 RSUP Fatmawati dengan studi literatur jurnal penelitian. Intervensi yang dilakukan di ruangan berupa tehnik relaksasi dan pemberian analgetik untuk mengurangi nyeri, memposisikan ekstremitas yang dilakukan pembedahan lebih tinggi dan melakukan verban elastis untuk mengurangi edema, dan latihan rentang gerak sendi lutut tidak dilakukan pada 24 jam 48 jam pasca pembedahan. Intervensi yang dilakukan di ruangan kurang memberikan hasil yang optimal. Penelitian Smith, Stevens, Taylor, & Tibbery (2002) membandingkan nyeri, edema, rentang gerak sendi, dan lama hari rawat antara kelompok cold therapy dengan cryo-pad dengan hasil akhir kedua perlakuan tersebut mampu mengurangi nyeri, edema, lama hari rawat, dan meningkatkan rentang gerak sendi. Penerapan EBN ini akan membandingkan nyeri, edema, dan rentang gerak sendi sebelum dan setelah dilakukan cold compression therapy. d. Output (O) Cold compression herapy meningkatkan proses penyembuhan dengan indikator nyeri yang diukur dengan numeric rating scale, mengurangi edema yang diukur dengan lingkar kaki 2 cm diatas area operasi, dan rentang gerak sendi lutut. Hasil penelitian yang dilakukan Smith, Stevens, Taylor, & Tibbery (2002), menyatakan bahwa cold compression therapy mampu menurunkan tingkat nyeri sampai nyeri ringan, menurunkan edema, dan Universitas Indonesia

85 68 meningkatkan rentang gerak sendi. Berdasarkan hal tersebut, pertanyaan klinis Apakah cold compression therapy memberikan pengaruh terhadap proses penyembuhan pasien pasca bedah ortopedik ekstremitas bawah di Lt 1 GPS RSUP Fatmawati Jakarta? 4.1 Hasil Journal Reading (Critical Review) Peneulusuran literatur mengggunakan Elton B. Stephens Company (EBSCO) dan The Cumulative Index to Nursing and Allied Health Literature (CINAHL) dengan menggunakan keyword cold therapy ditemukan 20 artikel. Artikel yang ditemukan antara lain Penelurusan dengan menggunakan Proquest ditemukan 11 artikel. Penelitian yang oleh Smith, Stevens, Taylor, & Tibbey (2002) dengan judul A randomized, controlled trial comparing compression bandaging and cold therapy in postoperative total knee replacement surgery dilakukan terhadap 84 pasien pasca total knee replacement unilateral, 40 pasien mendapatkan kompres dingin dan balutan kompresi serta 44 pasien mendapatkan terapi dingin berupa cryo-pad therapy. Penelitian dilakukan pada area rumah sakit di Australia. Tujuan penelitian ini adalah melakukan evaluasi terhadap perbedaan antara kompres es dan balutan kompresi dibandingkan terhadap cryo-pad therapy pada pasien pasca total knee arhtroplasty. Hasil penelitian yang dilakukan Smith, Stevens, Taylor, & Tibbey (2002) berdasarkan parameter nyeri, edema, fleksi lutut, dan lama hari rawat. Nyeri pada responden yang mendapat terapi kompres es pada hari pertama (4,2±2), kedua (4,8±1,9), dan pada hari ketiga (3,5±1,9), sementara tingkat nyeri yang menggunakan cryo-padpada hari pertama (4,3±1,8), kedua (4,3±2), dan ketiga (4,2±1,8). Edema responden yang mendapat terapi kompres es saat preoperasi (410mm±38), 24 jam pasca operasi (439mm±1,9), dan 48 jam pasca operasi (445mm±38), sementara edema yang mendapatkan cryo-pad saat preoperasi (412mm±34), 24 jam pasca operasi (438mm±33), dan 48 jam pasca operasi (439mm±26). Rentang gerak sendi lutut responden yang mendapat terapi kompres es saat preoperasi (75,8±15,4), 24 jam pasca operasi (83,6mm±12,9), dan 48 jam Universitas Indonesia

86 69 pasca operasi (86,6mm±12,3), sementara pada responden yang dilakukan cryopad saat preoperasi (71,7±15,8), 24 jam pasca operasi (81,3±11,8), dan 48 jam pasca operasi (84,9±13,4). Lama hari rawat responden yang dilakukan terapi kompres selama (8,0 hari±1,9), sementara yang mendapatkan cryo-pad selama (7,8±2,7). Hasil penelitian berdasarkan nilai p menunjukan bahwa tidak ada perbedaan secara signifikan diantara dua perlakuan. Nilai p pada nyeri responden saat perlakuan hari pertama (0,320), kedua (0,720), dan pada hari ketiga (0,665). Edema responden yang mendapatkan perlakuan memiliki nilai saat preoperasi (0,294), 24 jam pasca operasi (0,837), dan 48 jam pasca operasi (0,512). Nilai p rentang gerak sendi lutut responden yang mendapat perlakuan saat preoperasi (0,443), 24 jam pasca operasi (0,384), dan 48 jam pasca operasi (0,950). Lama hari rawat responden yang dilakukan perlakuan memiliki nilai p=0,909. Hasil penelitian tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan Block (2010) dengan judul Cold and compression in the management of musculosceletal injuries and orthopaedic operative procedures : a narative review. Penelitian merupakan penelitian systematic review berdasarkan penelusuran berbagai jurnal penelitian mengenai cold compression pada berbagai kasus prosedur bedah ortopedik sebanyak 33 penelitian dan 21 diantaranya randomized controlled trial. Hasil penelusuran menunjukan bahwa 21 penelitian menunjukan penurunan nyeri, serta bengkak dan rentang gerak sendi menunjukan hasil yang bervariasi. Penelitian oleh Kullenberg, Ylippa, Soderlund, dan Resch (2006) di Swedia meneliti tentang peran cold compression pada pasien total knee arthroplasty (TKA). Penelitian dilakukan terhadap 86 pasien TKA dengan 43 pasien mendapatkan cold compression therapy, sedangkan 43 pasien sebagai kelompok kontrol dengan metode sampel berupa randomized controlled trial. Cold compression dilakukan setiap 60 menit selama 3 hari oleh perawat. Hasil penelitian menunjukan bahwa nyeri saat hari ketiga pasca operasi pada kelompok cold compression lebih ringan dibandingkan kelompok kontrol (0,8±0,11 vs 1,2±0,7). Rentang gerak sendi saat kepulangan pasien pada kelompok cold compression lebih baik dibandingkan kelompok kontrol (75,1±10,5 vs 62,9±12,8) Universitas Indonesia

87 70 dengan nilai p=0,0019. Lama hari rawat kelompok cold compression lebih singkat jika dibandingkan kelompok kontrol (4,8±0,9 vs 6,2±1,5). 4.2 Praktek Keperawatan Berdasarkan Pembuktian Penerapan EBN EBN diaplikasikan setelah dilakukan uji validitas untuk mengukur kemamputerapan EBN berdasarkan studi sistematik review yang dilakukan oleh Block (2010). Hasil sistematik review menunjukan bahwa cold compression therapy berupa penggunaan ice cold pack selama 24 jam dengan elastis verban pada area mampu mengurangi bengkak sebesar 17 %. dan dengan menggunakan cryocuff sebesar 33 %. Nilai NNT digunakan untuk yang mengukur hasil uji klinis. Berdasarkan hasil tersebut maka nilai NNT pada penelitian ini adalah : NNT = 100 / ARR (%) = 100 / (33 17) = 100 / 16 = 6,25 = 6 ARR : Absolute Risk Reduction Hasil perhitungan nilai NNT=6, berarti setiap 6 orang yang mendapatkan terapi ice cold pack dengan balutan elastis dibandingkan menggunakan cryocuff, 1 orang mampu berkurang edemanya. Subyek dalam penerapan cold compression therapy adalah pasien pasca bedah ortopedi yang dirawat di Lantai 1 Gedung Prof Soelarto RSUP Fatmawati Jakarta yang memenuhi kriteria inklusi selama EBN berlangsung. Kriteria sampel adalah pasien pasca bedah ortopedi ekstremitas bawah pada area femur, lutut, tibia, dan fibula, usia > 18 tahun, dapat berkomunikasi dengan baik, serta bersedia dilakukan EBN. Kriteria eksklusi meliputi pasien yang menjalani bedah ortopedi lebih pada satu area, pasien dengan alergi dingin, suhu tubuh kurang dari 36 0 C. Jumlah subyek dalam penerapan EBN mempertimbangkan karakteristik pasien yang menjadi responden dibandingkan dengan subyek uji klinis yang telah ditelaah. Metode penghitungan adalah dengan menggunakan nilai f, yaitu faktor Universitas Indonesia

88 71 yang menunjukan seberapa berat pasien kita (relatif terhadap prognosis) dibanding rerata pasien pada uji klinis. Rerata pasien sama dengan rerata pasien uji klinis maka f=1, apabila rerata pasien lebih berat maka f < 1, dan jika rerata pasien lebih ringan maka f > 1. Berdasarkan hal tersebut, dengan nilai NNT=1, f=1, maka jumlah pasien yang dibutuhkan adalah 6,25/1=6 orang. EBN dilakukan di GPS Lt. 1 RSUP Fatmawati selama empat minggu dengan jumlah pasien yang menjalani pasca bedah ortopedi sebanyak lima orang. Sebelum EBN dilakukan, penulis meminta ijin terlebih dahulu dengan pasien dan mengkaji resiko kontraindikasi pasien. EBN dilakukan dalam rentang waktu jam pasca operasi. Cara melakukan cold compression adalah : 1. Persiapan alat dengan membungkus ice cold pack dengan tissue. 2. Melakukan pengukuran awal tingkat nyeri, edema, dan rentang gerak sendi. 3. Kompres dilakukan pada area sekitar luka pasca operasi, tanpa membuka elastis verban selama 15 menit. 4. Saat dilakukan kompres respon pasien dan sensasi suhu ice cold pack dimonitor. 5. Setelah selesai ice cold pack dilakukan disinfektan dengan alkohol dan chlorhexidine 2 %. 6. Kompres diulangi sebanyak dua kali. 7. Melakukan pengukuran akhir tingkat nyeri, edema, dan rentang gerak sendi. Karakteristik subyek yang mengikuti cold compression antara lain rentang usia antara tahun, 60 % berjenis kelamin laki-aki, 60 %, dan berpendidikan SMA. Berdasarkan kasus 80 % fraktur femur dan 20 % Osteoarthritis Genu, dengan tindakan ORIF 80 % dan 20 % Total Knee Replacement, serta 60 % dengan anastesi regional dan 20 % anastesi general. Hasil penerapan cold compression therapy diukur berdasarkan indikator proses penyembuhan. Indikator proses penyembuhan meliputi : nyeri, edema, dan rentang gerak sendi lutut. Hasil observasi berdasarkan respon pasien saat dilakukan cold compression therapy, pasien merasa cukup nyaman dengan suhu Universitas Indonesia

89 72 ice cold pack serta menyatakan bahwa nyeri berkurang, sirkulasi lebih lancar, dan otot-ototnya berkurang ketegangannya. Nyeri sebelum dilakukan cold compression therapy rata-rata 6,6 dan setelah dilakukan cold compression turun menjadi 3,2. Semua subyek mengalami penurunan tingkat nyeri, gambaran tingkat nyeri sebelum dan setelah terapi dapat dilihat pada diagram Diagram Tingkat Nyeri Subyek Sebelum dan Setelah Dilakukan Cold Compression Therapy pada Pasien Pasca Bedah Ortopedi di RSUP Fatmawati Jakarta tahun 2013 (n=5) Edema saat sebelum dilakukan cold compression rata-rata 49,3 cm dan setelah dilakukan cold compression turun menjadi 48 cm. Hampir semua subyek mengalami penurunan edema kecuali 1 orang, gambaran tingkat edema sebelum dan setelah terapi dapat dilihat pada diagram Diagram Tingkat Edema Subyek Sebelum dan Setelah Dilakukan Cold Compression Therapy pada Pasien Pasca Bedah Ortopedi di RSUP Fatmawati Jakarta tahun 2013 (n=5) Universitas Indonesia

ANALISIS PENERAPAN TEORI SELF CARE OREM PADA ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN GANGGUAN SISTEM MUSKULOSKELETAL. Chandra Bagus Ropyanto

ANALISIS PENERAPAN TEORI SELF CARE OREM PADA ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN GANGGUAN SISTEM MUSKULOSKELETAL. Chandra Bagus Ropyanto PROSIDING KONFERENSI NASIONAL II PPNI JAWA TENGAH 04 ANALISIS PENERAPAN TEORI SELF CARE OREM PADA ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN GANGGUAN SISTEM MUSKULOSKELETAL Email: chandra_undip@yahoo.com Program

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. beraktivitas, dan adanya kemungkinan terjadinya kecacatan karena proses

BAB I PENDAHULUAN. beraktivitas, dan adanya kemungkinan terjadinya kecacatan karena proses BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Osteomielitis kronis telah menjadi masalah yang sulit bagi pasien dan dokter yang merawat. Seringnya angka kekambuhan menyebabkan pasien sering memerlukan perawatan

Lebih terperinci

BAB I KONSEP DASAR. Selulitis adalah infeksi streptokokus, stapilokokus akut dari kulit dan

BAB I KONSEP DASAR. Selulitis adalah infeksi streptokokus, stapilokokus akut dari kulit dan 1 BAB I KONSEP DASAR A. Pengertian Selulitis adalah infeksi streptokokus, stapilokokus akut dari kulit dan jaringan subkutan biasanya disebabkan oleh invasi bakteri melalui suatu area yang robek pada kulit,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas tulang atau tulang rawan umumnya di karenakan rudapaksa (Mansjoer, 2008). Dikehidupan sehari hari yang semakin

Lebih terperinci

serangan yang cepat dan penyembuhannya dapat diprediksi (Lazarus,et al., 1994).

serangan yang cepat dan penyembuhannya dapat diprediksi (Lazarus,et al., 1994). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap kulit sehat memiliki risiko mengalami kerusakan yang disebabkan oleh faktor mekanis, bahan kimia, vaskular, infeksi, alergi, inflamasi, penyakit sistemik, dan

Lebih terperinci

Kekurangan volume cairan b.d kehilangan gaster berlebihan, diare dan penurunan masukan

Kekurangan volume cairan b.d kehilangan gaster berlebihan, diare dan penurunan masukan F. KEPERAWATAN Kekurangan volume cairan b.d kehilangan gaster berlebihan, diare dan penurunan masukan Kaji TTV, catat perubahan TD (Postural), takikardia, demam. Kaji turgor kulit, pengisian kapiler dan

Lebih terperinci

BAB 2 OSTEOMIELITIS KRONIS PADA RAHANG. infeksi yang terjadi dapat disebabkan oleh infeksi odontogenik. Osteomielitis dibagi

BAB 2 OSTEOMIELITIS KRONIS PADA RAHANG. infeksi yang terjadi dapat disebabkan oleh infeksi odontogenik. Osteomielitis dibagi BAB 2 OSTEOMIELITIS KRONIS PADA RAHANG Osteomielitis adalah inflamasi yang terjadi pada tulang dan sumsum tulang, infeksi yang terjadi dapat disebabkan oleh infeksi odontogenik. Osteomielitis dibagi menjadi

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN DAN SIMPULAN

BAB IV PEMBAHASAN DAN SIMPULAN BAB IV PEMBAHASAN DAN SIMPULAN A. Pembahasan Pada bab ini penulis akan membahas tentang kesenjangan teori dan proses asuhan keperawatan yang dilakukan pada tanggal 7-9 Agustus 2014 di Ruang Prabu Kresna

Lebih terperinci

cairan berlebih (Doenges, 2001). Tujuan: kekurangan volume cairan tidak terjadi.

cairan berlebih (Doenges, 2001). Tujuan: kekurangan volume cairan tidak terjadi. I. Rencana Tindakan Keperawatan 1. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan berlebih (Doenges, 2001). Tujuan: kekurangan volume cairan tidak terjadi. a. Tekanan darah siastole

Lebih terperinci

: Ikhsanuddin Ahmad Hrp, S.Kp., MNS. NIP : : Kep. Medikal Bedah & Kep. Dasar

: Ikhsanuddin Ahmad Hrp, S.Kp., MNS. NIP : : Kep. Medikal Bedah & Kep. Dasar Nama : Ikhsanuddin Ahmad Hrp, S.Kp., MNS. NIP : 19720826 200212 1 002 Departemen Mata Kuliah Topik : Kep. Medikal Bedah & Kep. Dasar : Kep. Medikal Bedah : Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketika kulit terpapar suhu atau ph, zat kimia, gesekan, trauma tekanan dan radiasi.

BAB I PENDAHULUAN. ketika kulit terpapar suhu atau ph, zat kimia, gesekan, trauma tekanan dan radiasi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Luka merupakan suatu kerusakan integritas kulit yang dapat terjadi ketika kulit terpapar suhu atau ph, zat kimia, gesekan, trauma tekanan dan radiasi. Respon tubuh

Lebih terperinci

PERENCANAAN PASIEN PULANG (DISCHARGE PLANNING) Mira Asmirajanti, SKp, MKep

PERENCANAAN PASIEN PULANG (DISCHARGE PLANNING) Mira Asmirajanti, SKp, MKep PERENCANAAN PASIEN PULANG (DISCHARGE PLANNING) Mira Asmirajanti, SKp, MKep A. Pengertian Discharge Planning (Perencanaan Pasien Pulang) merupakan komponen sistem perawatan berkelanjutan, pelayanan yang

Lebih terperinci

memfasilitasi sampel dari bagian tengah telinga, sebuah otoscope, jarum tulang belakang, dan jarum suntik yang sama-sama membantu. 4.

memfasilitasi sampel dari bagian tengah telinga, sebuah otoscope, jarum tulang belakang, dan jarum suntik yang sama-sama membantu. 4. KONSEP MEDIK A. Pengertian Mastoiditis Mastoiditis adalah inflamasi mastoid yang diakibatkan oleh suatu infeksi pada telinga tengah, jika tak diobati dapat terjadi osteomielitis. Mastoiditis adalah segala

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu aspek penting dalam pelayanan keperawatan adalah menjaga dan mempertahankan integritas kulit klien agar senantiasa terjaga dan utuh. Intervensi dalam perawatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di rumah sakit. Anak biasanya merasakan pengalaman yang tidak menyenangkan

BAB I PENDAHULUAN. di rumah sakit. Anak biasanya merasakan pengalaman yang tidak menyenangkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keadaan sakit pada anak usia prasekolah dan anak usia sekolah banyak ditemui di rumah sakit. Anak biasanya merasakan pengalaman yang tidak menyenangkan selama dirawat

Lebih terperinci

KEBUTUHAN FISIOLOGIS KESELAMATAN DAN KEMANAN. FATWA IMELDA, S.Kep, Ns

KEBUTUHAN FISIOLOGIS KESELAMATAN DAN KEMANAN. FATWA IMELDA, S.Kep, Ns KEBUTUHAN FISIOLOGIS KESELAMATAN DAN KEMANAN FATWA IMELDA, S.Kep, Ns PENGERTIAN Keselamatan adalah suatu keadaan seseorang atau lebih yang terhindar dari ancaman bahaya / kecelakaan. ( Tarwoto dan Wartonah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang

BAB I PENDAHULUAN. Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya

Lebih terperinci

Mengingat : 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit. 2. PMK RI Nomor 49 Tahun 2013 Tentang Komite Keperawatan.

Mengingat : 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit. 2. PMK RI Nomor 49 Tahun 2013 Tentang Komite Keperawatan. KEPUTUSAN DIREKTUR RUMAH SAKIT NUR HIDAYAH TENTANG SURAT PENUGASAN KLINIS (SPK) TENAGA KEPERAWATAN NOMOR:.../RSNH/SK-DIR/XII/2013 DIREKTUR RUMAH SAKIT NUR HIDAYAH Menimbang : 1. Bahwa setiap tenaga keperawatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tahun. Data rekam medis RSUD Tugurejo semarang didapatkan penderita

BAB I PENDAHULUAN. tahun. Data rekam medis RSUD Tugurejo semarang didapatkan penderita BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi pada tonsil atau yang biasanya dikenal masyarakat amandel merupakan masalah yang sering dijumpai pada anak- anak usia 5 sampai 11 tahun. Data rekam medis RSUD

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun mental. Akan tetapi, olahraga yang dilakukan tanpa mengindahkan

BAB I PENDAHULUAN. maupun mental. Akan tetapi, olahraga yang dilakukan tanpa mengindahkan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Olahraga, baik yang bersifat olahraga prestasi maupun rekreasi merupakan aktivitas yang dapat memberikan manfaat bagi kesehatan fisik maupun mental. Akan tetapi,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. aktivitas sel tubuh melalui impuls-impuls elektrik. Perjalanan impuls-impuls

BAB 1 PENDAHULUAN. aktivitas sel tubuh melalui impuls-impuls elektrik. Perjalanan impuls-impuls BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sistem persarafan terdiri dari otak, medulla spinalis, dan saraf perifer. Struktur ini bertanggung jawab mengendalikan dan mengordinasikan aktivitas sel tubuh melalui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jumlah penduduk Indonesia sampai tahun ini mencapai 237,56 juta orang (Badan

BAB I PENDAHULUAN. jumlah penduduk Indonesia sampai tahun ini mencapai 237,56 juta orang (Badan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Jumlah penduduk di Indonesia setiap tahunya mengalami peningkatan, total jumlah penduduk Indonesia sampai tahun ini mencapai 237,56 juta orang (Badan pusat statistik,

Lebih terperinci

LAPORAN PENDAHULUAN. PADA PASIEN DENGAN KASUS CKR (Cedera Kepala Ringan) DI RUANG ICU 3 RSUD Dr. ISKAK TULUNGAGUNG

LAPORAN PENDAHULUAN. PADA PASIEN DENGAN KASUS CKR (Cedera Kepala Ringan) DI RUANG ICU 3 RSUD Dr. ISKAK TULUNGAGUNG LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN DENGAN KASUS CKR (Cedera Kepala Ringan) DI RUANG ICU 3 RSUD Dr. ISKAK TULUNGAGUNG A. DEFINISI CKR (Cedera Kepala Ringan) merupakan cedera yang dapat mengakibatkan kerusakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm

BAB I PENDAHULUAN. Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm 13 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm (kisaran 3-15 cm), dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagian besar penyakit yang menyebabkan penderita mencari pertolongan

BAB I PENDAHULUAN. sebagian besar penyakit yang menyebabkan penderita mencari pertolongan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gangguan pada saluran pencernaan (gastrointestinal) merupakan sebagian besar penyakit yang menyebabkan penderita mencari pertolongan medik. Kasus pada sistem gastrointestinal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tindakan operasi merupakan pengalaman yang sulit bagi sebagian pasien

BAB I PENDAHULUAN. Tindakan operasi merupakan pengalaman yang sulit bagi sebagian pasien BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindakan operasi merupakan pengalaman yang sulit bagi sebagian pasien karena kemungkinan hal buruk yang membahayakan pasien bisa saja terjadi, sehingga dibutuhkan peran

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. maupun luka kronis. Sebuah penelitian terbaru di Amerika menunjukkan

BAB 1 PENDAHULUAN. maupun luka kronis. Sebuah penelitian terbaru di Amerika menunjukkan BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Angka kejadian luka setiap tahun semakin meningkat, baik luka akut maupun luka kronis. Sebuah penelitian terbaru di Amerika menunjukkan prevalensi pasien dengan luka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Diperkirakan 80% populasi akan mengalami nyeri punggung bawah pada

BAB I PENDAHULUAN. Diperkirakan 80% populasi akan mengalami nyeri punggung bawah pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diperkirakan 80% populasi akan mengalami nyeri punggung bawah pada suatu saat dalam hidup mereka. Kerusakan punggung dan tulang belakang, suatu masalah kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pasien tersebut. Pasien dengan kondisi semacam ini sering kita jumpai di Intensive

BAB I PENDAHULUAN. pasien tersebut. Pasien dengan kondisi semacam ini sering kita jumpai di Intensive BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Pasien kritis adalah pasien dengan penyakit atau kondisi yang mengancam jiwa pasien tersebut. Pasien dengan kondisi semacam ini sering kita jumpai di Intensive Care

Lebih terperinci

- Nyeri dapat menyebabkan shock. (nyeri) berhubungan. - Kaji keadaan nyeri yang meliputi : - Untuk mengistirahatkan sendi yang fragmen tulang

- Nyeri dapat menyebabkan shock. (nyeri) berhubungan. - Kaji keadaan nyeri yang meliputi : - Untuk mengistirahatkan sendi yang fragmen tulang 3. PERENCANAAN TINDAKAN PERAWATAN NO DIAGNOSA KEPERAWATAN Gangguan rasa nyaman TUJUAN DAN HASIL YANG DIHARAPKAN Tujuan : RENCANA TINDAKAN - Kaji keadaan nyeri yang meliputi : RASIONAL - Nyeri dapat menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Otak merupakan organ yang sangat vital bagi seluruh aktivitas dan fungsi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Otak merupakan organ yang sangat vital bagi seluruh aktivitas dan fungsi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otak merupakan organ yang sangat vital bagi seluruh aktivitas dan fungsi tubuh, karena di dalam otak terdapat berbagai pusat kontrol seperti pengendalian fisik, intelektual,

Lebih terperinci

BAB I KONSEP DASAR A.

BAB I KONSEP DASAR A. 1 BAB I KONSEP DASAR A. Pengertian Osteomyelitis adalah infeksi dari jaringan tulang yang mencakup sumsum dan atau kortek tulang dapat berupa eksogen (infeksi masuk dari luar tubuh) atau hemotogen (infeksi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Fraktur dapat terjadi pada semua tingkat umur (Perry & Potter, 2005).

BAB 1 PENDAHULUAN. Fraktur dapat terjadi pada semua tingkat umur (Perry & Potter, 2005). BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang mendapatkan peringkat kelima atas kejadian kecelakaan lalulintas di dunia. Kecelakaan lalulintas dapat menyebabkan berbagai dampak, baik

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, retak atau patahnya tulang yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, retak atau patahnya tulang yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, retak atau patahnya tulang yang utuh, yang biasanya disebabkan oleh trauma /ruda paksa atau tenaga fisik yang ditentukan

Lebih terperinci

LAPORAN PENDAHULUAN Soft Tissue Tumor

LAPORAN PENDAHULUAN Soft Tissue Tumor LAPORAN PENDAHULUAN Soft Tissue Tumor A. DEFINISI Jaringan lunak adalah bagian dari tubuh yang terletak antara kulit dan tulang serta organ tubuh bagian dalam. Yang tergolong jaringan lunak antara lain

Lebih terperinci

GRAND THEORY BETTY NEUMAN. KLP II Ayu Lestari Rasdin Suarni Tutik Agustini Mardin Paridah Lairing Andan Firmansyah

GRAND THEORY BETTY NEUMAN. KLP II Ayu Lestari Rasdin Suarni Tutik Agustini Mardin Paridah Lairing Andan Firmansyah GRAND THEORY BETTY NEUMAN KLP II Ayu Lestari Rasdin Suarni Tutik Agustini Mardin Paridah Lairing Andan Firmansyah Grand teori Grand teori adalah struktur konseptual model keperawatan yang hampir abstrak,

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN DEMAM TIFOID

ASUHAN KEPERAWATAN DEMAM TIFOID ASUHAN KEPERAWATAN DEMAM TIFOID Definisi: Typhoid fever ( Demam Tifoid ) adalah suatu penyakit umum yang menimbulkan gejala gejala sistemik berupa kenaikan suhu dan kemungkinan penurunan kesadaran. Etiologi

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN DEMAM CHIKUNGUNYA Oleh DEDEH SUHARTINI

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN DEMAM CHIKUNGUNYA Oleh DEDEH SUHARTINI ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN DEMAM CHIKUNGUNYA Oleh DEDEH SUHARTINI A. PENGERTIAN Chikungunya berasal dari bahasa Shawill artinya berubah bentuk atau bungkuk, postur penderita memang kebanyakan membungkuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Penyakit infeksi merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di dunia.

I. PENDAHULUAN. Penyakit infeksi merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di dunia. I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Penyakit infeksi merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di dunia. Sekitar 53 juta kematian di seluruh dunia pada tahun 2002, sepertiganya disebabkan oleh

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. fisik yang dapat menyebabkan terjadinya fraktur. Kebanyakan fraktur

BAB 1 PENDAHULUAN. fisik yang dapat menyebabkan terjadinya fraktur. Kebanyakan fraktur BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam kehidupan masyarakat ada beberapa kegiatan atau aktivitas fisik yang dapat menyebabkan terjadinya fraktur. Kebanyakan fraktur disebabkan oleh trauma dimana terdapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Semua pasien yang dirawat di rumah rakit setiap tahun 50%

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Semua pasien yang dirawat di rumah rakit setiap tahun 50% BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semua pasien yang dirawat di rumah rakit setiap tahun 50% mendapat terapi intravena (IV). Namun, terapi IV terjadi di semua lingkup pelayanan di rumah sakit yakni IGD,

Lebih terperinci

INTENSITAS NYERI PASIEN PASCA OPERASI FRAKTUR EKSTREMITAS BAWAH DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. PIRNGADI MEDAN

INTENSITAS NYERI PASIEN PASCA OPERASI FRAKTUR EKSTREMITAS BAWAH DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. PIRNGADI MEDAN INTENSITAS NYERI PASIEN PASCA OPERASI FRAKTUR EKSTREMITAS BAWAH DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. PIRNGADI MEDAN SKRIPSI OLEH : ANWAR SYAHDAM H NIM 111121092 PROGRAM STUDI KEPERAWATAN FAKULTAS KEPERAWATAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. adalah mempertahankan integritas kulit. Hal ini dapat tercapai dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. adalah mempertahankan integritas kulit. Hal ini dapat tercapai dengan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu aspek utama dalam pemberian asuhan keperawatan pada pasien adalah mempertahankan integritas kulit. Hal ini dapat tercapai dengan memberikan perawatan kulit

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan tangan terentang. Sebagian besar fraktur tersebut ditangani dalam unit

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan tangan terentang. Sebagian besar fraktur tersebut ditangani dalam unit BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fraktur ekstremitas atas cukup sering terjadi, biasanya disebabkan karena jatuh dengan tangan terentang. Sebagian besar fraktur tersebut ditangani dalam unit rawat

Lebih terperinci

Apakah Anda menderita nyeri. MAKOplasty. pilihan tepat untuk Anda

Apakah Anda menderita nyeri. MAKOplasty. pilihan tepat untuk Anda Apakah Anda menderita nyeri MAKOplasty pilihan tepat untuk Anda Jangan biarkan radang sendi menghambat aktivitas yang Anda cintai. Tingkatan Radang Sendi Patellofemoral compartment (atas) Medial compartment

Lebih terperinci

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN AKTIVITAS DAN LATIHAN Di Ruang Dahlia 2 RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN AKTIVITAS DAN LATIHAN Di Ruang Dahlia 2 RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN AKTIVITAS DAN LATIHAN Di Ruang Dahlia 2 RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tugas Mandiri Stase Praktek Keperawatan Dasar Disusun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kerusakan jaringan tubuh yang disebabkan oleh energi panas, bahan kimia,

BAB I PENDAHULUAN. kerusakan jaringan tubuh yang disebabkan oleh energi panas, bahan kimia, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Luka bakar adalah suatu kerusakan integritas pada kulit atau kerusakan jaringan tubuh yang disebabkan oleh energi panas, bahan kimia, radiasi dan arus listrik. Berat

Lebih terperinci

Metodologi Asuhan Keperawatan

Metodologi Asuhan Keperawatan Metodologi Asuhan Keperawatan A. Pendahuluan Peran sebagai pemberi asuhan keperawatan dapat dilakukan perawat dengan memperhatikan keadaan kebutuhan dasar manusia yang dibutuhkan melalui pemberian pelayanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyakit sendi yang menyerang sendi sendi penopang berat. (American Academy of Orthopedic Surgeons, 2004).

BAB I PENDAHULUAN. penyakit sendi yang menyerang sendi sendi penopang berat. (American Academy of Orthopedic Surgeons, 2004). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Total Knee Replacement (TKR) adalah tindakan pembedahan umum yang dilakukan untuk mengobati pasien dengan nyeri dan immobilisasi yang disebabkan oleh osteoartritis dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Payudara atau kelenjar mammae merupakan pelengkap alat reproduksi wanita dan

BAB I PENDAHULUAN. Payudara atau kelenjar mammae merupakan pelengkap alat reproduksi wanita dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Payudara atau kelenjar mammae merupakan pelengkap alat reproduksi wanita dan berfungsi memproduksi susu untuk nutrisi. Terletak diantara tulang iga kedua dan keenam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pankreas tidak lagi memproduksi insulin atau ketika sel-sel tubuh resisten

BAB I PENDAHULUAN. pankreas tidak lagi memproduksi insulin atau ketika sel-sel tubuh resisten BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit kronis yang terjadi ketika pankreas tidak lagi memproduksi insulin atau ketika sel-sel tubuh resisten terhadap kerja insulin

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kecacatan yang lain sebagai akibat gangguan fungsi otak (Muttaqin, 2008).

BAB 1 PENDAHULUAN. kecacatan yang lain sebagai akibat gangguan fungsi otak (Muttaqin, 2008). BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Stroke adalah penyakit atau gangguan fungsional otak berupa kelumpuhan saraf (deficit neurologic) akibat terhambatnya aliran darah ke otak (Junaidi, 2011). Menurut Organisasi

Lebih terperinci

BAB I DEFENISI. Tujuan Discharge Planning :

BAB I DEFENISI. Tujuan Discharge Planning : BAB I DEFENISI Pelayanan yang diberikan kepada pasien di unit pelayanan kesehatan rumah sakit misalnya haruslah mencakup pelayanan yang komprehensif (bio-psiko-sosial dan spiritual). Disamping itu pelayanan

Lebih terperinci

A. Kriteria Discharge Planning Pemulangan pasien dari Rumah Sakit Amal Sehat Wonogiri dilakukan kepada :

A. Kriteria Discharge Planning Pemulangan pasien dari Rumah Sakit Amal Sehat Wonogiri dilakukan kepada : BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam rangka memberikan pelayanan kesehatan yang profesional serta bermutu dan berkelanjutan di Rumah Sakit Amal Sehat Wonogiri maka perlu dilakukan discharge planning

Lebih terperinci

PENGARUH TEKNIK RELAKSASI GUIDED IMAGERY TERHADAP PENURUNAN NYERI PADA PASIEN PASCA OPERASI FRAKTUR DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI

PENGARUH TEKNIK RELAKSASI GUIDED IMAGERY TERHADAP PENURUNAN NYERI PADA PASIEN PASCA OPERASI FRAKTUR DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI PENGARUH TEKNIK RELAKSASI GUIDED IMAGERY TERHADAP PENURUNAN NYERI PADA PASIEN PASCA OPERASI FRAKTUR DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat Untuk meraih gelar Sarjana

Lebih terperinci

BAB 3 SUBJEK DAN METODE PENELITIAN

BAB 3 SUBJEK DAN METODE PENELITIAN BAB 3 SUBJEK DAN METODE PENELITIAN 3.1. Subjek Penelitian 3.1.1. Kriteria Subjek Penelitian Subjek penelitian ini ialah pasien yang mengalami fraktur femur di Rumah Sakit Haji Adam Malik pada tahun Januari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kulit agar senantiasa terjaga dan utuh adalah salah satu aspek penting di

BAB I PENDAHULUAN. kulit agar senantiasa terjaga dan utuh adalah salah satu aspek penting di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam dunia keperawatan menjaga dan mempertahankan integritas kulit agar senantiasa terjaga dan utuh adalah salah satu aspek penting di dalamnya. Intervensi

Lebih terperinci

TINDAKAN PERAWAT DALAM PENCEGAHAN INFEKSI NOSOKOMIAL LUKA PASCA BEDAH

TINDAKAN PERAWAT DALAM PENCEGAHAN INFEKSI NOSOKOMIAL LUKA PASCA BEDAH TINDAKAN PERAWAT DALAM PENCEGAHAN INFEKSI NOSOKOMIAL LUKA PASCA BEDAH Rahmat Ali Putra Hrp*Asrizal** *Mahasiswa **Dosen Departemen Keperawatan Medikal bedah Fakultas Keperawatan, Universitas Sumatera Utara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melalui suatu defek pada fasia dan muskuloaponeuretik dinding perut, secara

BAB I PENDAHULUAN. melalui suatu defek pada fasia dan muskuloaponeuretik dinding perut, secara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hernia merupakan suatu penonjolan isi perut dari rongga yang normal melalui suatu defek pada fasia dan muskuloaponeuretik dinding perut, secara kongenital yang memberi

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Immunitas Niken Andalasari Sistem Imunitas Sistem imun atau sistem kekebalan tubuh

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. ditandai oleh kenaikan kadar glukosa darah atau hiperglikemia, yang ditandai

BAB 1 PENDAHULUAN. ditandai oleh kenaikan kadar glukosa darah atau hiperglikemia, yang ditandai BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Penelitian Diabetes mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa darah atau hiperglikemia, yang ditandai dengan berbagai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Stroke adalah gangguan di dalam otak yang ditandai dengan hilangnya fungsi dari bagian tubuh tertentu (kelumpuhan), yang disebabkan oleh gangguan aliran darah pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tergantung dimana kanker tersebut tumbuh dan tipe dari sel kanker tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. tergantung dimana kanker tersebut tumbuh dan tipe dari sel kanker tersebut. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker adalah suatu penyakit pertumbuhan sel, akibat adanya onkogen yang menyebabkan sel normal menjadi sel kanker (Karsono, 2006). Kanker merupakan salah satu jenis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat

BAB I PENDAHULUAN. Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual maupun potensial (Brunner & Suddarth, 2005).

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dipisahkan dengan praktik kedokteran modern. Saat ini penggunaan kateter

BAB 1 PENDAHULUAN. dipisahkan dengan praktik kedokteran modern. Saat ini penggunaan kateter BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan kateter intravena sudah menjadi hal yang tidak dapat dipisahkan dengan praktik kedokteran modern. Saat ini penggunaan kateter intravena merupakan bagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satu penyebab kematian utama di dunia. Berdasarkan. kematian tertinggi di dunia. Menurut WHO 2002,

BAB I PENDAHULUAN. satu penyebab kematian utama di dunia. Berdasarkan. kematian tertinggi di dunia. Menurut WHO 2002, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi adalah invasi dan multiplikasi mikroorganisme atau parasit dalam jaringan tubuh (1). Infeksi tidak hanya menjadi masalah kesehatan bagi Indonesia bahkan di

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY. Y DENGAN GASTRITIS EROSIF DI RUANG BOUGENVILE RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BANYUMAS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY. Y DENGAN GASTRITIS EROSIF DI RUANG BOUGENVILE RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BANYUMAS ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY. Y DENGAN GASTRITIS EROSIF DI RUANG BOUGENVILE RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BANYUMAS TUGAS AKHIR Diajukan untuk memenuhi sebagai syarat mencapai derajat Ahli Madya Oleh : WISNU DWI

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kehidupan manusia tidak dapat lepas dari keberadaan mikroorganisme. Lingkungan di mana manusia hidup terdiri dari banyak jenis dan spesies mikroorganisme. Mikroorganisme

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR. Diajukan untuk memenuhi sebagai syarat. Mencapai Derajat Ahli Madya. Oleh : IMAM BUKHORI PROGRAM STUDI KEPERAWATAN DIII

TUGAS AKHIR. Diajukan untuk memenuhi sebagai syarat. Mencapai Derajat Ahli Madya. Oleh : IMAM BUKHORI PROGRAM STUDI KEPERAWATAN DIII ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. A DENGAN DEFISIT PERAWATAN DIRI (Eliminasi) Et Causa POST OP PROSTATECTOMY DI RUANG DAHLIA RSUD dr. R GOETHENG TAROENADIBRATA PURBALINGGA TUGAS AKHIR Diajukan untuk memenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sampai evaluasi selanjutnya (Uliyah & Hidayat, 2008). Keluhan yang

BAB I PENDAHULUAN. sampai evaluasi selanjutnya (Uliyah & Hidayat, 2008). Keluhan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Post operasi merupakan masa setelah dilakukan pembedahan yang dimulai saat pasien dipindahkan ke ruang pemulihan dan berakhir sampai evaluasi selanjutnya (Uliyah & Hidayat,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Proses menjadi tua merupakan suatu proses menghilangnya secara bertahap

BAB 1 PENDAHULUAN. Proses menjadi tua merupakan suatu proses menghilangnya secara bertahap 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang masalah Proses menjadi tua merupakan suatu proses menghilangnya secara bertahap kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri, mempertahankan struktur dan fungsi normalnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang manifestasi utamanya melibatkan seluruh organ tubuh yang dapat terjadi

BAB I PENDAHULUAN. yang manifestasi utamanya melibatkan seluruh organ tubuh yang dapat terjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rematoid Artritis merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik kronik yang manifestasi utamanya melibatkan seluruh organ tubuh yang dapat terjadi pada semua umur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hingga kematian. Proses menua berlangsung secara alamiah dalam tubuh yang

BAB I PENDAHULUAN. hingga kematian. Proses menua berlangsung secara alamiah dalam tubuh yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Proses menua (aging process) adalah akumulasi secara progresif dari berbagai perubahan patofisiologi organ tubuh yang berlangsung seiring dengan berlalunya waktu dan

Lebih terperinci

1. Bab II Landasan Teori

1. Bab II Landasan Teori 1. Bab II Landasan Teori 1.1. Teori Terkait 1.1.1. Definisi kecemasan Kecemasan atau dalam Bahasa Inggrisnya anxiety berasal dari Bahasa Latin angustus yang berarti kaku, dan ango, anci yang berarti mencekik.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penulisan, dan

BAB I PENDAHULUAN. terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penulisan, dan BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini akan dibahas mengenai pendahuluan penulisan laporan kasus ini yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penulisan, dan ruang lingkup penelitian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. angka yang pasti, juga ikut serta dalam mengkontribusi jumlah kejadian infeksi. tambahan untuk perawatan dan pengobatan pasien.

BAB I PENDAHULUAN. angka yang pasti, juga ikut serta dalam mengkontribusi jumlah kejadian infeksi. tambahan untuk perawatan dan pengobatan pasien. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Di berbagai belahan dunia, masalah infeksi masih menjadi masalah yang belum dapat ditanggulangi sepenuhnya. Di Indonesia sendiri, kejadian penyakit infeksi merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai sumber infeksi, seperti: gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga

BAB I PENDAHULUAN. berbagai sumber infeksi, seperti: gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Abses leher dalam adalah terkumpulnya nanah (pus) di dalam ruang potensial yang terletak di antara fasia leher dalam, sebagai akibat penjalaran dari berbagai sumber

Lebih terperinci

DAFTAR TABEL JUDUL. Distribusi frekuensi klien DM berdasarkan usia. Distribusi frekuensi klien DM berdasarkan jenis kelamin

DAFTAR TABEL JUDUL. Distribusi frekuensi klien DM berdasarkan usia. Distribusi frekuensi klien DM berdasarkan jenis kelamin DAFTAR TABEL NO JUDUL HAL 3.1 3.2 3.3 3.4 3.5 3.6 3.7 3.8 3.9 3.10 3.11 3.12 3.13 3.14 3.15 3.16 Distribusi frekuensi klien DM berdasarkan usia Distribusi frekuensi klien DM berdasarkan jenis kelamin Distribusi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. secara garis besar memberikan pelayanan untuk masyarakat berupa pelayanan

BAB I PENDAHULUAN. secara garis besar memberikan pelayanan untuk masyarakat berupa pelayanan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah Rumah sakit sebagai salah satu bagian sistem pelayanan kesehatan yang secara garis besar memberikan pelayanan untuk masyarakat berupa pelayanan kesehatan mencakup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. panjang, baik mikroangiopati maupun makroangiopati ( Hadisaputro &

BAB I PENDAHULUAN. panjang, baik mikroangiopati maupun makroangiopati ( Hadisaputro & BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu penyakit menahun yang ditandai oleh kadar glukosa darah melebihi normal dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA PENGALAMAN PASIEN DIABETES MELITUS LANJUT USIA DALAM KEPATUHAN DAN MENJALANI SELF CARE TERHADAP TERAPI HIPOGLIKEMI ORAL DAN INSULIN TESIS MARIA THERESIA ARIE LILYANA NPM. 1206303310

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Stroke merupakan sindrom klinis dengan gejala gangguan fungsi otak

BAB I PENDAHULUAN. Stroke merupakan sindrom klinis dengan gejala gangguan fungsi otak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Stroke merupakan sindrom klinis dengan gejala gangguan fungsi otak secara fokal dan atau global yang berlangsung 24 jam atau lebih dan dapat mengakibatkan kematian atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kedokteran disebut dengan Systemic Lupus Erythematosus (SLE), yaitu

BAB I PENDAHULUAN. kedokteran disebut dengan Systemic Lupus Erythematosus (SLE), yaitu BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Saat ini masyarakat dihadapkan pada berbagai penyakit, salah satunya adalah penyakit Lupus, yang merupakan salah satu penyakit yang masih jarang diketahui oleh masyarakat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. aktifitas ini berkepanjangan akan mengakibatkan luka. regangan dan gesekan (Potter dan Perry, 2005; Hidayat, 2006).

BAB I PENDAHULUAN. aktifitas ini berkepanjangan akan mengakibatkan luka. regangan dan gesekan (Potter dan Perry, 2005; Hidayat, 2006). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Faktor yang mempengaruhi durasi dan intensitas tekanan diatas tulang yang menonjol adalah imobilitas, inaktifitas, dan sensori persepsi, bila aktifitas ini berkepanjangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. industrilisasi tentunya akan mempengaruhi peningkatan mobilisasi masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. industrilisasi tentunya akan mempengaruhi peningkatan mobilisasi masyarakat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan Negara berkembang dan menuju industrilisasi tentunya akan mempengaruhi peningkatan mobilisasi masyarakat terutama dalam bidang penggunaan

Lebih terperinci

SOP PERAWATAN LUKA A. KLASIFIKASI LUKA BEDAH

SOP PERAWATAN LUKA A. KLASIFIKASI LUKA BEDAH SOP PERAWATAN LUKA A. KLASIFIKASI LUKA BEDAH 1. Luka bersih Luka operasi yang tidak terinfeksi, dimana tidak ditemukan adanya inflamasi dan tidak ada infeksi saluran pernafasan, pencernaan, dan urogenital.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa neonatus adalah masa kehidupan pertama diluar rahim sampai dengan usia

BAB I PENDAHULUAN. Masa neonatus adalah masa kehidupan pertama diluar rahim sampai dengan usia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa neonatus adalah masa kehidupan pertama diluar rahim sampai dengan usia 28 hari atau satu bulan,dimana pada masa ini terjadi proses pematangan organ, penyesuaian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Muti ah, 2016

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Muti ah, 2016 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Kejang demam adalah kejang yang terjadi karena adanya suatu proses ekstrakranium tanpa adanya kecacatan neurologik dan biasanya dialami oleh anak- anak.

Lebih terperinci

HOME HEALTH CARE. Perawatan Kesehatan Rumah Diterjemahkan dari handout materi keperawatan komunitas oleh Bapak Sigit Mulyono, MN

HOME HEALTH CARE. Perawatan Kesehatan Rumah Diterjemahkan dari handout materi keperawatan komunitas oleh Bapak Sigit Mulyono, MN HOME HEALTH CARE Perawatan Kesehatan Rumah Diterjemahkan dari handout materi keperawatan komunitas oleh Bapak Sigit Mulyono, MN Target Pembelajaran Menggambarkan perawatan pasien berkelanjutan Eksplorasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Angka morbiditas dan mortalitas pneumonia di seluruh dunia sangat

BAB I PENDAHULUAN. Angka morbiditas dan mortalitas pneumonia di seluruh dunia sangat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angka morbiditas dan mortalitas pneumonia di seluruh dunia sangat tinggi. Pneumonia merupakan penyakit radang akut paru yang disebabkan oleh mikroorganisme yang mengakibatkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mengiris anggota tubuh yang sakit. Biasanya dilaksanakan dengan anastesi,

BAB 1 PENDAHULUAN. mengiris anggota tubuh yang sakit. Biasanya dilaksanakan dengan anastesi, BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Operasi merupakan penyembuhan penyakit dengan jalan memotong dan mengiris anggota tubuh yang sakit. Biasanya dilaksanakan dengan anastesi, dirawat inap dan jenis operasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupan manusia sebagai alat pergerakan yang membantu manusia untuk

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupan manusia sebagai alat pergerakan yang membantu manusia untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tulang merupakan bagian tubuh manusia yang memiliki peran penting dalam kehidupan manusia sebagai alat pergerakan yang membantu manusia untuk melakukan aktivitas sehari-harinya.

Lebih terperinci

KARYA TULIS ILMIAH. Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat untuk Menyelesaikan Program Pendidikan Diploma III Fisioterapi

KARYA TULIS ILMIAH. Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat untuk Menyelesaikan Program Pendidikan Diploma III Fisioterapi 1 KARYA TULIS ILMIAH PENATALAKSANAAN TERAPI LATIHAN PADA KASUS FRAKTUR 1/3 DISTAL HUMERI DEXTRA POST ORIF (OPEN REDUCTION INTERNAL FIXATION) DI RSUP Dr. SARDJITO Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan

Lebih terperinci

LAPORAN PENDAHULUAN (KONTRAKTUR)

LAPORAN PENDAHULUAN (KONTRAKTUR) LAPORAN PENDAHULUAN (KONTRAKTUR) I. KONSEP DASAR MEDIS A. Definisi 1. Kontraktur merupakan suatu keadaan patologis tingkat akhir dari suatu kontraksi. Umumnya kontraktur terjadi apabila pembentukan sikatrik

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dan sangat susah ditanggulangi, sebagian besar berakhir dengan kematian

BAB 1 PENDAHULUAN. dan sangat susah ditanggulangi, sebagian besar berakhir dengan kematian BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingginya angka kurang gizi pada pasien yang dirawat di bagian bedah adalah karena kurangnya perhatian terhadap status gizi pasien yang memerlukan tindakan bedah, sepsis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada pasien yang mengalami gangguan mobilitas, seperti pasien stroke, injuri

BAB I PENDAHULUAN. pada pasien yang mengalami gangguan mobilitas, seperti pasien stroke, injuri BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Luka tekan (pressure ulcer) merupakan masalah serius yang sering terjadi pada pasien yang mengalami gangguan mobilitas, seperti pasien stroke, injuri tulang belakang

Lebih terperinci

APPENDISITIS. Appendisitis tersumbat atau terlipat oleh: a. Fekalis/ massa keras dari feses b. Tumor, hiperplasia folikel limfoid c.

APPENDISITIS. Appendisitis tersumbat atau terlipat oleh: a. Fekalis/ massa keras dari feses b. Tumor, hiperplasia folikel limfoid c. APPENDISITIS I. PENGERTIAN Appendisitis adalah inflamasi akut pada appendisits verniformis dan merupakan penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat (Brunner & Suddart, 1997) II. ETIOLOGI Appendisitis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kaki diabetik merupakan komplikasi dari diabetes melitus (DM) yang

BAB I PENDAHULUAN. Kaki diabetik merupakan komplikasi dari diabetes melitus (DM) yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kaki diabetik merupakan komplikasi dari diabetes melitus (DM) yang sampai saat ini masih memberikan masalah berupa luka yang sulit sembuh dan risiko amputasi yang tinggi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis sebagian besar bakteri ini menyerang

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis sebagian besar bakteri ini menyerang BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Penyakit Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis sebagian besar bakteri ini menyerang bagian paru, namun tak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelompok penyakit yang berhubungan dengan infeksi. Penyakit ini banyak ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. kelompok penyakit yang berhubungan dengan infeksi. Penyakit ini banyak ditemukan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pneumonia komunitas merupakan salah satu penyebab kematian utama pada kelompok penyakit yang berhubungan dengan infeksi. Penyakit ini banyak ditemukan dan dapat menimbulkan

Lebih terperinci