BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN. Bab ini terdiri dari empat sub-bab yakni sub-bab kajian pustaka, kerangka

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN. Bab ini terdiri dari empat sub-bab yakni sub-bab kajian pustaka, kerangka"

Transkripsi

1 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN Bab ini terdiri dari empat sub-bab yakni sub-bab kajian pustaka, kerangka berpikir dan konsep, landasan teori serta model penelitian. Kajian pustaka menguraikan kajian terhadap penelitian mutakhir sebelunya yang relevan dengan penelitian yang dilakukan, kerangka berpikir merupakan hasil abstraksi dan sintesis dari teori yang dikaitkan dengan masalah penelitian, konsep memberikan batasan terhadap terminologi teknis yang merupakan komponen dari kerangka teori, landasan teori adalah landasan berpikir yang bersumber dari suatu teori yang diperlukan untuk memecahkan permasalahan dan model penelitian merupakan abstraksi dan sintesis antara teori dan permasalahan penelitian. 2.1 Kajian Pustaka Kajian pustaka ini dilakukan terhadap hasil penelitian dari beberapa peneliti diantaranya hasil penelitian dari Adhika (2011), Program Pascasarjana Universitas Udayana dalam disertasi yang berjudul Komodifikasi Kawasan Suci Pura Uluwatu di Kuta Selatan Kabupaten Badung dalam Era Globalisasi. Penelitian ini membahas tentang bentuk, proses, dampak dan makna komodifikasi kawasan suci Pura Uluwatu dengan tujuan untuk mengkaji dan memahami tentang fenomena komodifikasi kawasan suci Pura Uluwatu dalam pengembangan kawasan sebagai destinasi wisata dari bentuk, proses, dampak dan makna komodifikasi. Penelitian ini dilakukan di kawasan suci Pura Uluwatu,

2 menggunakan metode kualitatif yang dibahas dengan teori komodifikasi, teori hegemoni, teori diskursus kekuasaan/pengetahuan, dan teori komunikasi. Hasil dari penelitian ini berupa: (1) bentuk komodifikasi berupa (a) pemanfaatan religiusitas Pura Uluwatu dan lingkungannya telah dikomodifikasikan untuk wisatawan, (b) distribusi kawasan suci berupa alih kepemilikan yang dijadikan tempat pembangunan vila dan fasilitas penunjang pariwisata, (c) kawasan dinikmati oleh wisatawan maupun masyarakat. (2) proses komodifikasi diawali dengan (a) diskursus pembangunan pariwisata, (b) hegemoni pemerintah Kabupaten Badung dalam pemanfaatan kawasan, (c) hegemoni pemerintah Provinsi Bali dalam mempertahankan kawasan suci, serta (d) hegemoni pemerintah Desa Pecatu terhadap masyarakatnya, dan hegemoni juga telah menimbulkan kontra hegemoni yang dilakukan masyarakat Desa Pecatu terhadap pemerintah. Hasil penelitian ini juga menyampaikan bahwa komodifikasi berdampak positif, seperti (1) kunjungan wisatawan meningkat, (2) infrastruktur diperbaiki, (3) muncul kesenian, dan (4) tumbuh sektor informal. Sebaliknya terjadi dampak negatif, berupa (1) konflik lahan, (2) petani penggarap tergusur, (3) hubungan disharmonis berbagai pihak, (4) friksi internal, (5) timbul kekuasaan baru. Disisi lain makna komodifikasi kawasan bagi (1) sebagian masyarakat Desa Pecatu ketidakberdayaan mempertahankan asetnya karena kenaikan pajak seiring nilai jual objek pajak (NJOP), (2) bagi sebagian masyarakat Desa Pecatu dan pemerintah Kabupaten Badung adalah berkah ekonomi, (3) bagi pemerintah Provinsi Bali adalah pembangkangan dan desakralisasi kawasan, dan (4) keterbelengguan bagi pemangku kepentingan.

3 Penelitian ini memiliki kesamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis terkait pada konsep pendekatan berpikir dimana kondisi pemanfaatan lahan dikawasan pura tentunya dapat berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap keberadaan pura dan kegiatan keagaaman yang dilaksanakan. Namun demikian hal yang membedakan adalah lokasi penelitian yang dilakukan oleh peneliti berbeda dengan yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Peneliti sebelumnya melakukan penelitian pada Pura yang berstatus pura Sad Kahyangan sedangkan peneliti melakukan penelitian pada Pura yang berstatus Pura Dang Kahyangan. Perbedaan lokasi ini tentunya sangat menentukan perbedaan pada perlakuan terhadap pura yang bersangkutan, dimana pada Pura Sad Kahyangan diterapkan radius 5 (lima) kilometer sedangkan pada Pura Dang Kahyangan diterapkan radius 2 (dua) kilometer. Selain itu perbedaan juga terjadi pada tema penelitian oleh peneliti sebelumnya membahas tentang bentuk, proses, dampak dan makna komodifikasi kawasan suci Pura Uluwatu sedangkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti memfokuskan pada kegiatan pelanggaran yang dilakukan di sekitar kawasan pura, penyebab terjadinya pelanggaran dan dampak yang ditimbulkan oleh pelanggaran tersebut. Penelitian kedua berjudul Pengaturan Kawasan Tempat Suci Pura Uluwatu dengan Pendekatan Zoning Regulation oleh Kurniawan (2009), Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh November, Surabaya. Penelitian ini bermaksud untuk menyelesaikan konflik yang terjadi antara masyarakat Desa Adat Pecatu dengan Pemerintah Kabupaten Badung melalui pendekatan spasial. Pendekatan yang digunakan berupa perumusan prinsip-prinsip peraturan zoning.

4 Tahap analisis yang dilakukan yaitu pertama dengan analisis stakeholder untuk menentukan siapa saja pihak-pihak yang berkonflik kemudian dilanjutkan dengan pemetaan konflik untuk menentukan posisi pihak yang berkonflik serta kemungkinan ada pihak lain yang juga ikut terlibat. Setelah pihak yang berkonflik telah diketahui, dilanjutkan dengan analisis Delphi untuk menentukan peraturan zoning berdasarkan kesepakatan antar pihak yang berkonflik. Berdasarkan hasil analisis diketahui pihak yang berkonflik adalah PHDI Provinsi Bali, Masyarakat Desa Pecatu, Bappeda Kabupaten Badung serta Dinas PU Cipta Karya dan Pemukiman Kabupaten Badung. Berdasarkan hasil analisis dan kajian pustaka, zonasi wilayah penelitian dibagi menjadi 3 zona yaitu zona 1, zona 2 dan zona 3 sesuai dengan SK Bupati Badung No. 79 Tahun Berdasarkan hasil analisis dan kajian pustaka pengaturan zonasi wilayah penelitian didasarkan pada 5 komponen yaitu: Jenis kegiatan dan penggunaan lahan, intensitas pemanfaatan ruang, tata massa bangunan, prasarana minimum dan aturan khusus. Berdasarkan hasil penelitian diketahui untuk zona 1 adalah zona netral dari kegiatan dan penggunaan lahan, zona 2 hanya pemukiman, kios dan rumah makan yang diijinkan berlangsung sedangkan untuk zona 3 hampir seluruh kegiatan diijinkan kecuali yang berskala besar seperti hotel, villa, supermarket, industri besar dan menengah. Pada penelitian ini difokuskan untuk mengidentifikasi permasalahan konflik yang terjadi antara pihak yang terkait dan merumuskan alternatif penyelesaian permasalahan tersebut melalui pengaturan zonasi kawasan sedangkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah untuk mengidentifikasi

5 pelanggaran pemanfaatan ruang pada radius kesucian pura, penyebab pelanggaran dan dampak yang ditimbulkan oleh pelanggaran tersebut. Sucita (2011), Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Institut Teknologi Bandung sebagai kajian pustaka ketiga dengan judul Alternatif Strategi Manajemen Konflik Ruang Di Kawasan Pesisir Teluk Benoa, Provinsi Bali (Studi Kasus: Pengembangan Pelabuhan Benoa Sebagai Pelabuhan Internasional). Studi ini bertujuan memberikan usulan pengelolaan konflik bagi pihakpihak yang terlibat dalam upaya PT. Pelindo III mengembangkan Pelabuhan Benoa sebagai pelabuhan internasional dan pelabuhan kapal pesiar. Tujuan dari penelitian ini yaitu memberikan alternatif strategi pengelolaan konflik pengembangan Pelabuhan Benoa sebagai pelabuhan internasional. Sedangkan output penelitian ini yaitu dihasilkan usulan strategi tindakan pengelolaan konflik pengembangan Pelabuhan Benoa sebagai pelabuhan internasional. Sasaran yang ingin dicapai guna keberhasilan pencapaian tujuan penelitian terdiri atas: mengidentifikasi kepentingan pihak yang terlibat konflik; mengidentifikasi siapa saja pihak yang berkonflik; mengidentifikasi faktor penyebab konflik, permasalahan inti konflik dan dampak konflik; dan mengusulkan strategi tindakan pengelolaan konflik. Metode yang digunakan adalah menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif dengan menggunakan teknik analisis bawang bombay untuk memperjelas kepentingan-kepentingan pihak yang berkonflik dan teknik analisis pohon konflik untuk mengetahui sumber konflik. Pada penelitian ini difokuskan untuk merumuskan usulan pengelolaan konflik bagi pihak-pihak yang terlibat dalam upaya PT. Pelindo III mengembangkan Pelabuhan Benoa sebagai

6 pelabuhan internasional dan pelabuhan kapal pesiar sedangkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah mengidentifikasi pelanggaran pemanfaatan ruang pada radius kesucian pura, penyebab pelanggaran dan dampak yang ditimbulkan oleh pelanggaran tersebut sehingga paling tidak dapat dirumuskan upaya untuk mengantisipasi ataupun meminimalisir permasalahan yang mungkin akan terjadi. Berdasarkan ketiga penelitian terdahulu, peneliti memfokuskan penelitian pada penerapan Bhisama kesucian pura sebagaimana diatur dalam Perda Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009 tentang RTRWP Bali yang mengisyaratkan batasan pemanfaatan ruang dalam radius tertentu untuk Pura Dang Kahyangan, penyebab terjadinya pelanggaran serta dampak pelanggaran Bhisama kesucian pura ditinjau dari aspek fisik, ekonomi maupun sosial budaya di sekitar Pura Dang Kahyangan di Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung. 2.2 Konsep Sebagai batasan yang dimaksud dengan konsep adalah terminologi teknis yang merupakan komponen-komponen dari kerangka teori. Dalam penelitian ini ada dua konsep utama yang dipergunakan yakni konsep terkait Pura Dang Kahyangan dan Bhisama Kesucian Pura Pura Dang Kahyangan Pura pada awalnya di Bali bukan untuk menyatakan tempat suci sebagai tempat pemujaan pada Tuhan. Istilah pura di Bali berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya tempat yang dikelilingi tembok pembatas (Wiana, 2009). Perubahan penyebutan kata pura untuk tempat persembahyangan dan puri untuk tempat

7 kediaman raja dimulai dari kedatangan Mpu Dang Hyang Dwijendra sebagai bhagawanta kerajaan mendampingi Raja Dalem Waturenggong dibidang keagamaan. Pengertian tentang pura sebagaimana diungkapkan dalam Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir terhadap aspek-aspek Agama Hindu dimaksud adalah tempat suci untuk memuja Hyang Widhi Wasa dalam segala Prabhawa (manifestasi-nya) dan atma sidha dewata (roh suci leluhur). Disamping dipergunakan istilah pura untuk menyebut tempat suci atau tempat pemujaan, dipergunakan juga istilah kahyangan atau parahyangan yang berarti suci dalam bahasa Jawa Kuna. Pura kahyangan jagat sebagai pemujaan publik sangat banyak sekali bertebaran di Bali, namun eksistensi pura kahyangan jagat digolongkan ke dalam tiga konsepsi sebagaimana diuraikan dalam seminar kesatuan tafsir terhadap aspek-aspek Agama Hindu. Ketiga konsepsi dimaksud yaitu (1) konsepsi Rwabhineda (Pura Besakih berstatus sebagai Purusa dan pura Batur berstatus sebagai Pradhana, (2) konsepsi Catur Lokapala (pura Lempuyang Luhur di timur sebagai sthana Dewa Iswara, pura Andakasa di selatan sebagai sthana Dewa Brahma, pura Batukaru di barat sebagai sthana Dewa Mahadewa, pura Pucak Mangu di utara sebagai sthana Dewa Wisnu), (3) konsepsi Sad Winayaka (Pura Besakih, Pura Lempuyang Luhur, Pura Goa Lawah, Pura Uluwatu, Pura Batukaru, dan Pura Puser Tasik/Pura Pusering Jagat). Pura dang kahyangan sebagai bagian dari pura kahyangan jagat, sangat sedikit sekali ditemukan bahan tulisan tentang pura tersebut. Namun demikian berdasarkan pendapat dari PHDI Badung dan pengamat sosial budaya, Wastawa (2007) bahwa pura dang kahyangan adalah pura yang didirikan atas pengaruh

8 orang suci yang berasal dari luar Pulau Bali. Seperti Dang Hyang Dwijendra maupun orang suci lainnya yang telah diakui keterlibatannya dalam menyebarkan ajaran agama Hindu Bhisama Kesucian Pura Bhisama kesucian pura merupakan hasil musyawarah para anggota Pesamuhan Sulinggih dan Pesamuhan Walaka yang didasari adanya kekhawatiran akan pelaksanaan pembangunan yang mengganggu kesucian pura. Pemahaman tentang Bhisama kesucian terkait dengan konsep arsitektur Bali dan penafsiran akan kesucian itu sendiri didasarkan pada hasil Keputusan Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat tahun 1994, No. 11/Kep./1/PHDIP/1994 tentang Bhisama Kesucian Pura pada tanggal 25 Januari Bhisama kesucian pura ini dikeluarkan dipicu oleh adanya permasalahan pembangunan Bali Nirwana Resort (BNR) di kawasan daya tarik wisata Tanah Lot. Selanjutnya oleh Pemerintah Provinsi Bali Bhisama ini dituangkan dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Bali Kesucian dan Kawasan suci Suci adalah suatu keadaan yang diyakini dan dipercaya oleh umat Hindu baik terhadap tempat, wilayah, benda, ruang, waktu yang memberikan rasa aman, tentram, rasa tenang, rasa hening dan telah mendapat upacara secara Agama Hindu sehingga tercapainya keseimbangan, keselarasan dan ketentraman hidup (Dalem, 2007). Sedangkan benda-benda yang dianggap suci sebagaimana

9 dituangkan dalam Seminar kesatuan tafsir terhadap aspek-aspek Agama Hindu adalah benda-benda yang memang disucikan dengan suatu upacara pensucian tertentu, yang fungsi dan penggunaannya semata-mata untuk tujuan suci dan ditempatkan pada tempat-tempat yang dipandang suci. Hal ini sesuai dengan jiwa yang termuat dalam Bhisama PHDIP Ukuran dari suatu kesucian sebagaimana diuraikan dalam Perda Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009 tentang RTRWP Bali adalah sangat relatif dan sulit ditentukan, tetapi untuk adanya suatu kebersamaan sikap, prilaku dalam menghayati sesuatu perlu adanya keyakinan terhadap apa yang dipercaya di dalam pelaksanaan Agama Hindu. Bhisama PHDIP 1994 menguraikan tentang apa yang disebut dengan tempat-tempat suci dan kawasan suci. Gunung, danau, campuhan (pertemuan dua sungai), pantai, laut dan sebagainya diyakini memiliki nilai-nilai kesucian. Oleh karena itu pura dan tempat-tempat suci umumnya didirikan di tempat tersebut. Di tempat itulah orang suci dan umat Hindu mendapatkan pikiran-pikiran suci (wahyu). Tempat-tempat suci tersebut telah menjadi pusat-pusat bersejarah yang melahirkan karya-karya besar dan abadi lewat tangan orang suci dan para pujangga untuk kedamaian dan kesejahteraan umat manusia, maka didirikanlah Pura Sad Kahyangan, Dang Kahyangan, Kahyangan Tiga dan lain-lain. Kawasan Suci sebagaimana diuraikan dalam Ketentuan Umum Perda Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009 tentang RTRWP Bali adalah suatu wilayah yang melengkapi bangunan suci maupun wilayah pendukung kegiatan pada bangunan suci tersebut yang telah mendapatkan upacara bhumi Sudha yaitu upacara untuk menarik kekuatan Ida Sanghyang Widhi dan menghilangkan segala kekotoran

10 secara spiritual terhadap wilayah/kawasan suci tersebut, seperti ; danau, hutan, laba pura, mata air suci (beji), sungai, jurang, ngarai atau campuhan (pertemuan sungai), pantai, setra dan perempatan agung Penerapan Bhisama kesucian pura. Bhisama Kesucian pura merupakan hasil musyawarah para anggota pesamuhan Sulinggih dan Pesamuhan Walaka serta Pengurus Harian Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat yang diselenggarakan pada tanggal 25 Januari 1994 di Universitas Hindu Indonesia dengan acara membahas Kesucian Pura bagi umat Hindu. Bhisama Kesucian Pura adalah norma agama yang ditetapkan oleh Sabha Pandita PHDI Pusat, sebagai pedoman pengamalan ajaran Agama Hindu tentang kawasan kesucian pura yang belum dijelaskan secara lengkap dalam kitab suci Weda. Bhisama Parisadha Hindu Dharma Indonesia Pusat (PHDIP) mengenai Kesucian Pura No. 11/Kep/I/PHDI/1994 tertanggal 25 Januari 1994, menyatakan bahwa tempat-tempat suci tersebut memiliki radius kesucian yang disebut daerah Kekeran, dengan ukuran apeneleng, apenimpug, dan apenyengker. Apeneleng adalah wilayah yang bisa diteleng (dilihat) dari pura. Ini mengandung pengertian dalam batas mana kita bisa memandang dari pura sehingga yang dipandang bisa kita ketahui wujudnya. Apenimpug adalah wilayah yang bisa diukur sejauh seseorang bisa melemparkan sesuatu dari pura. Apenyengker merupakan ukuran yang paling jelas yakni sampai batas terluar tembok pura. Rinciannya adalah (1) untuk Pura Sad Kahyangan dipakai ukuran apeneleng agung (minimal 5 km dari Pura), (2) untuk Pura Dang Kahyangan dipakai ukuran

11 apeneleng alit (minimal 2 km dari Pura), (3) untuk Pura Kahyangan Tiga dan lainlain dipakai ukuran apenimpug atau apenyengker (tanpa menyebut jarak minimal dari Pura) Apenyengker 2 km 5 km Apeneleng Alit (2 kilometer) Apeneleng Agung (5 kilometer) Gambar 2.1 Skema Radius Kesucian Pura Sumber: diolah dari Keputusan Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat No. 11/Kep./1/PHDIP/1994 tentang Bhisama Kesucian Pura Selanjutnya Bhisama Kesucian Pura juga mengatur zonasi pemanfaatan ruang di sekitar pura yang berbunyi: Berkenaan dengan terjadinya perkembangan pembangunan yang sangat pesat, maka pembangunan harus dilaksanakan sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. Di daerah radius kesucian pura (daerah Kekeran) hanya boleh ada bangunan yang terkait dengan kehidupan keagamaan Hindu, misalnya didirikan darmasala, pasraman dan lain-lain, bagi kemudahan umat Hindu melakukan kegiatan keagamaan (misalnya tirtayatra, dharmawacana, dharmagitha dan lainlain). Pengertian terkait Bhisama Kesucian Pura sebagaimana diungkapkan Gelebet dalam harian Bali Post tangggal 19 Mei 2008, sebagai berikut: Bhisama adalah Sumpah Pemastu, diuraikan lebih rinci dalam Sabha Pandita PHDI Pusat yakni norma agama yang ditetapkan sebagai pedoman pengamalan ajaran Agama Hindu tentang kawasan kesucian pura. Bhisama ini dikeluarkan mengingat belum dijelaskan secara lengkap dalam kitab suci.

12 Terkait dengan pengertian tersebut, maka Bhisama Kesucian Pura dapat diartikan sebagai sebuah janji suci umat Hindu kepada Bali, bahwa dalam radius kesucian pura yang telah ditetapkan telah diatur penggunaannya sesuai arahan peraturan zonasi di atas. Arahan peraturan zonasi di atas bila diterjemahkan dalam fungsi ruang mempunyai pengertian bahwa dalam radius kesucian pura hanya diperbolehkan untuk pembangunan fasilitas keagamaan, dan ruang terbuka yang dapat berupa ruang terbuka hijau maupun budidaya pertanian. Zonasi pemanfaatan ruang di sekitar pura diatur secara gamblang dalam Peraturan Daerah No. 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali pada Pasal 108 ayat a, b, c dan d yakni: (a) zona inti adalah zona utama karang kekeran sesuai dengan konsep maha wana; (b) zona penyangga adalah zona madya karang kekeran yang sesuai konsep tapa wana; (c) zona pemanfaatan adalah zona nista karang kekeran yang sesuai konsep sri wana. Pemanfaatan dari masing-masing zona tersebut yakni: (a) zona inti diperuntukkan sebagai hutan lindung, ruang terbuka hijau, kawasan pertanian dan bangunan penunjang kegiatan keagamaan; (b) zona penyangga diperuntukkan sebagai kawasan hutan, ruang terbuka hijau, kawasan budidaya pertanian, fasilitas darmasala, pasraman, dan bangunan fasilitas umum penunjang kegiatan keagamaan; (c) zona pemanfaatan diperuntukkan sebagai kawasan budidaya pertanian, bangunan permukiman bagi pengempon, penyungsung dan penyiwi pura, bangunan fasilitas umum penunjang kehidupan sehari-hari masyarakat setempat serta melarang semua jenis kegiatan usaha dan/atau kegiatan yang dapat menurunkan kualitas lingkungan hidup dan nilai-nilai kesucian tempat suci.

13 Penentuan batas-batas terluar tiap zona radius kawasan tempat suci didasarkan atas batas-batas fisik yang tegas berupa batas alami atau batas buatan, disesuaikan dengan kondisi geografis masing-masing kawasan. Selain batas fisik juga harus dipertimbangkan panjang radius antara garis lingkaran terluar zona pemanfaatan dan titik pusat lingkaran sekurang-kurangnya sama dengan radius kawasan tempat suci sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50, ayat (2). 2.3 Landasan Teori Untuk menjawab tiga pertanyaan penelitian yang sudah dirumuskan maka dipergunakan beberapa teori yang terkait yakni teori tentang teritori, penataan ruang, konflik dan pengendalian pemanfaatan ruang. Selain itu juga dipergunakan beberapa teori terkait lainnya sebagai pendukung analisis. Berikut diuraikan teori utama yang dipergunakan sebagai acuan Teritori Konsepsi mengenai teritori sangat penting dalam studi arsitektur lingkungan dan perilaku sebagaimana diuraikan Haryadi dan Setiawan (2010) karena disamping menyangkut tuntutan akan suatu daerah secara spasial dan fisik juga menyangkut perceived environment serta imaginary environment. Hal ini menunjukkan bahwa teritori lebih dari sekadar tuntutan atas suatu area untuk memenuhi kebutuhan fisik saja tetapi juga kebutuhan emosional dan kultural. Berkaitan dengan kebutuhan emosional, konsep teritori berkaitan dengan isu-isu mengenai ruang privat (personal space) dan ruang umum/publik (public) serta konsep mengenai privasi. Sementara itu berkaitan dengan aspek kultur, konsep

14 teritori menyangkut isu-isu mengenai areal sakral (suci) dan profan (umum). Ruang Sakral pada umumnya adalah tempat yang digunakan untuk kegiatan pemujaan terhadap Tuhan atau benda dan manusia yang dianggap suci (Eliade, 2002). Sedangkan ruang profan berada di luar ruang sakral. Selanjutnya Eliade (2002) membagi teritori menjadi tiga kategori yakni primary, secondary dan public territory. Teritori utama (primary) adalah suatu area yang dimiliki, digunakan secara ekslusif, disadari oleh orang lain, dikendalikan secara permanen, serta menjadi bagian utama dalam kehidupan sehari-hari penghuninya, sedangkan teritori sekunder (secondary) adalah suatu area yang tidak terlalu digunakan secara eksklusif oleh seseorang atau sekelompok orang, mempunyai cakupan area yang relatif luas, dikendalikan secara berkala oleh kelompok yang menuntutnya. Dan teritori publik adalah suatu area/kawasan yang dapat digunakan atau dimasuki oleh siapapun, tetapi ia harus mematuhi norma-norma serta aturan yang berlaku di area tersebut. Dalam kamus penataan ruang yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum (2009) menguraikan definisi zona yang memiliki pemahaman senada dengan teritori. Diuraikan bahwa kawasan dengan peruntukan khusus yang memiliki batasan ukuran atau standar tertentu, dan pembagian lingkungan/kawasan ke dalam zona-zona tertentu disebut dengan zoning. Pengaturan tentang kawasan/zona disebut Peraturan Zonasi (zoning regulation) yang mengatur ketentuan tentang klasifikasi zona, pengaturan lebih rinci mengenai pemanfaatan lahan dan prosedur pelaksanaan pembangunan. Teori ini akan dipergunakan untuk menelusuri ruang/zona dari masingmasing fungsi kegiatan sebagai tuntutan atas suatu area untuk memenuhi

15 kebutuhan fisik kegiatan baik sebagai kebutuhan emosional maupun kebutuhan kultural pengguna ruang tersebut. Sehingga batasan ruang yang dibutuhkan oleh suatu kegiatan akan dapat digambarkan secara geometrik dengan aturan pemanfaatan dan pengendalian ruang yang spesifik Penataan Ruang Ruang berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang, adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan di dalam wilayah, tempat manusia dan mahluk lain hidup, melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan hidup. Adisasmita (2010) mendefinisikan ruang berdasarkan aspek geografi umum dan geografi regional. Menurut aspek geografi umum, ruang (space) adalah permukaan bumi yang merupakan lapisan biosfera, tempat hidup tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia. Berdasarkan geografi regional, ruang yang merupakan suatu wilayah yang mempunyai batas geografi, yaitu batas menurut keadaan fisik, sosial atau pemerintahan yang terjadi dari sebagian permukaan bumi dan lapisan tanah di bawahnya serta udara di atasnya. Tarigan (2008) mendefinisikan ruang adalah tempat untuk suatu benda/kegiatan atau apabila kosong bisa diisi dengan suatu benda/kegiatan. Dalam hal ini kata tempat adalah berdimensi tiga dan kata benda/kegiatan berarti benda/kegiatan apa saja tanpa batas. Disamping itu, Tarigan memberikan definisi lain tentang ruang yaitu ruang adalah permukaan bumi, baik yang ada di atasnya maupun di bawahnya sepanjang manusia masih bisa menjangkaunya.

16 Ruang adalah wujud fisik wilayah dalam dimensi geografis dan geometris yang merupakan wadah bagi manusia dalam melaksanakan kegiatan kehidupannya dalam suatu kualitas hidup yang layak (Budiharjo, 1997). Dari beberapa teori tentang definisi ruang, dapat dirumuskan bahwa ruang adalah tempat hidup manusia dan mahluk lainnya dalam melakukan kegiatan dan kelangsungan hidupnya. Namun dalam hal ini yang ingin dibahas adalah ruang sebagai wilayah/kawasan. Selanjutnya Adisasmita (2010), menjelaskan tata ruang adalah wujud struktur dan pola pemanfaatan ruang baik direncanakan maupun tidak direncanakan. Tata ruang perlu direncanakan dengan maksud agar lebih mudah menampung kelanjutan perkembangan kawasan yang bersangkutan. Berdasarkan Undang Undang No. 26 Tahun 2007, penataan ruang merupakan suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang, pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya. Sedangkan pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang. Skema penataan ruang dapat digambarkan dalam Gambar 2.2 berikut.

17 Diagram 2.2. Proses Penataan Ruang Sumber: UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Berdasarkan pemahaman tersebut, teori ini akan dipergunakan untuk menelusuri rencana pemanfaatan ruang yang digariskan oleh pemerintah daerah, pemanfaatan ruang yang ada disekitar kawasan radius kesucian pura, serta bentukbentuk pengendalian pemanfaatan ruang yang ada dalam menjaga keseimbangan masing-masing fungsi kegiatan sehingga dapat mengendalikan dan mengantisipasi dampak negatif yang kemungkinan akan muncul dari masing-masing jenis pemanfaatan ruang yang ada.

18 Pengendalian Pemanfaatan Ruang Berdasarkan Undang Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, diuraikan bahwa penataan ruang merupakan suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang. Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya. Sedangkan pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang. Untuk dapat mewujudkan tertib tata ruang sebagaimana diuraikan Sulistyawati (1995) dibutuhkan adanya peraturan/regulasi yang sesuai dengan perencanaan yang ada, sesuai dengan pengembangan yang diijinkan, memiliki hukum legal formal yang kuat, tepat dan terjangkau/dapat diterima dalam semua aspek kehidupan. Terkait dengan adanya peraturan yang harus terjangkau atau dapat diterima dalam semua aspek kehidupan lebih lanjut diuraikan selaras dengan konsep penerapan peraturan arsitektur Bali yang juga harus memperhatikan konsep desa, kala, patra yakni memperhatikan tempat, kondisi dan waktu penerapannya. Pengendalian pemanfaatan ruang dalam upaya mewujudkan tertib tata ruang dilaksanakan melalui Peraturan Zonasi (Undang Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang). Peraturan Zonasi ini merupakan pedoman aturan pemanfaatan ruang yang bersifat operasional teknis yang mencakup gabungan

19 definisi hukum, standar, kebijakan, dan prosedur untuk memandu aparat daerah dan pemilik lahan dalam pengembangan dan pertumbuhan kota. Peraturan zonasi terdiri atas zoning map dan zoning text. Zoning map berupa rencana geometrik pemanfaatan ruang perkotaan, berisi pembagian blok peruntukan (zona). Zoning text/statement/legal text berupa aturan pemanfaatan dan pengendalian ruang (regulation) untuk tiap blok peruntukan tersebut. Terkait dengan upaya pengaturan bangunan melalui undangundang/peraturan, Wright (1983) dalam Sulistyawati (1995) mengemukakan tiga komponen bagi semua tipe sistem yang secara bersama membentuk kelengkapan pengaturan. Ketiganya diwujudkan dalam beberapa bentuk, namun dengan penekanan dan penyeimbangan yang berbeda, yakni: (1) The first component is the expression of will of the public by means of the enactment of law, (2)the second component is the statement of regulations, rules, or criteria to which buildings must conform, (3) the third component is the function of enforcement, the process of checking that teh rules or regulations have been, or are being, complied with. Bahwa komponen yang pertama merupakan ungkapan keinginan publik yang diatur melalui penetapan hukum/perundang-undangan, komponen kedua yaitu kebijakan atau peraturan yang dibuat berdasarkan kriteria acuan yang jelas dan komponen ketiga yakni fungsi pelaksana tugas, dimana proses pengendalian telah dilaksanakan dengan tepat. Lebih lanjut Wright juga menegaskan bahwa peraturan perundangan tentang bangunan menyatakan:... the purposes of control... how the (regulations) should be administered, and how the constraints dan penalties should work. Bahwa fungsi pengaturan, bagaimana peraturan perundangan tersebut harus dijalankan secara administratif dan bagaimana sanksinya harus dijalankan dengan tegas. Lebih lanjut Wright dalam Sulistyawati (1995) mengemukakan

20 setiap persyaratan dalam peraturan perundangan harus dinyatakan secara jelas, detail, tanpa pemaknaan ganda sehingga maknanya jelas dan tidak menimbulkan keraguan. Semua peraturan perundangan tersebut harus dirangkai dalam satu cara sehingga dapat dilaksanakan secara praktis dalam kompetensi metode terpilih, dan bahwa harus memungkinkan bagi pelaksana peraturan perundangan untuk menjalankan secara tepat dan dengan cara yang praktis dan ekonomis. Hal ini diungkapkan sebagai berikut: Every requirement of the regulation must be stated clearly, directly and without ambiquity, so that its meaning is uneuivocal and never in doubt. All regulations should be framed in a way that makes enforcement practicable within the competence of the chosen methods or surveillance.. that is should be possible for compliance with a regulation to be checked properly and in a practical and economic way. Pengendalian pemanfaatan ruang dapat diuraikan sebagai upaya mengatur kegiatan pembangunan yang meliputi pelaksanaan kegiatan pendirian bangunan, mengadakan perubahan penggunaan pada bangunan atau lahan tertentu, pertambangan maupun kegiatan sejenis lainnya. Dalam hal ini pengendalian pemanfaatan lahan merupakan mekanisme untuk memastikan rencana tata ruang dan pelaksanaanya telah berlangsung sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan (Zulkaidi, 2011) Dampak Pembangunan Dampak sebagaimana dituliskan Soemarwoto (2001) didefinisikan sebagai perubahan yang terjadi akibat adanya kegiatan pada lingkungan tertentu. Dampak dapat dilihat dari sisi positif dan negatif. Sisi positif atau hal yang menguntungkan atau sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan dan dampak negatif

21 adalah akibat yang tidak menguntungkan atau tidak sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan. Pengelolaan lingkungan yang baik tentunya akan dapat meminimalisasi dampak negatif yang dapat ditimbulkan oleh suatu kegiatan. Dalam perkembangan pembangunan di Bali, pariwisata adalah kegiatan yang memiliki dampak ekonomi, budaya dan lingkungan (Anom, 2010). Peran pariwisata cukup besar dalam pembangunan ekonomi (Amalia,2007), namun tidak berarti ada pembenaran untuk mengeksploitasi sumber daya lokal hanya semata-mata untuk mengejar keberhasilan pembangunan ekonomi. Dalam beberapa kasus terkait permasalahan lingkungan khususnya yang berada di sekitar pura, kegiatan pariwisata seringkali menjadi penyebab permasalahan tersebut. Untuk itu, mengingat pelanggaran pada radius kesucian pura cenderung lebih banyak disebabkan oleh kegiatan pariwisata (Mulyadi, 2011) maka pembahasan dampak penerapan Bhisama Kesucian Pura di sekitar Pura Dang Kahyangan akan dibahas berdasarkan dampak positif dan dampak negatif yang ditimbulkannya dikaji berdasarkan aspek lingkungan yang ada di sekitar pura. 2.4 Model Penelitian Model penelitian merupakan abstraksi dan sintesis antara teori dan permasalahan penelitian yang digambarkan dalam bentuk gambar (bagan, grafik dan lain-lain). Pada Diagram 2.3 berikut digambarkan model penelitian yang akan dilakukan.

22 Kondisi Internal Kebutuhan ekonomi masyarakat bali Potensi pengembangan Bhisama kesucian pura Kondisi Eksternal Kebutuhan akomodasi wisata Serbuan Investor/Penanam Modal Kebijakan pemerintah Pelanggaran Bhisama Kesucian Pura di sekitar Pura Dang Kahyangan di Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung Tipologi pelanggaran pada radius kesucian pura Faktor penyebab pelanggaran pada radius kesucian pura Dampak pelanggaran Bhisama Kesucian Pura di sekitar Pura Dang Kahyangan Jenis kegiatan Jenis pemanfaatan lahan Kebijakan/peraturan Sosial Budaya Ekonomi Positif Negatif Teritori Penataan ruang Pengendalian pemanfaatan ruang Dampak pembangunan Metode Analisis Kualitatif Temuan dan Rekomendasi Diagram 2.3 Model Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Seminar Tugas Akhir 2015 Penataan Pantai Purnama Gianyar 1

BAB I PENDAHULUAN. Seminar Tugas Akhir 2015 Penataan Pantai Purnama Gianyar 1 BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini akan dijelaskan segala sesuatu yang melatarbelakangi penataan dan pengembangan daya tarik wisata di Pantai Purnama, rumusan masalah, tujuan, dan metode perancangan yang akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebuah permasalahan penataan ruang yang hampir dihadapi oleh semua

BAB I PENDAHULUAN. sebuah permasalahan penataan ruang yang hampir dihadapi oleh semua BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya alih fungsi ruang hijau menjadi ruang terbangun, merupakan sebuah permasalahan penataan ruang yang hampir dihadapi oleh semua Kabupaten Kota di Indonesia.

Lebih terperinci

DRAFT UNTUK BAHAN DISKUSI HASIL KONSULTASI DENGAN KEMENTERIAN PU TANGGAL 10 NOVEMBER 2011_Clean- Final

DRAFT UNTUK BAHAN DISKUSI HASIL KONSULTASI DENGAN KEMENTERIAN PU TANGGAL 10 NOVEMBER 2011_Clean- Final PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR [*****] TAHUN [*****] TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 16 TAHUN 2009 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROVINSI BALI TAHUN 2009 2029 DENGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian. Latar belakang merupakan

BAB I PENDAHULUAN. masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian. Latar belakang merupakan BAB I PENDAHULUAN Bab pendahuluan merupakan pemaparan dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian. Latar belakang merupakan uraian tentang konteks permasalahan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan studi ini dilatarbelakangi oleh terjadinya satu dilema yang

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan studi ini dilatarbelakangi oleh terjadinya satu dilema yang 1 BAB I PENDAHULUAN Pelaksanaan studi ini dilatarbelakangi oleh terjadinya satu dilema yang sangat sering dihadapi dalam perencanaan keruangan di daerah pada saat ini, yaitu konversi kawasan lindung menjadi

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata Kunci: pendidikan, Pasraman, pengetahuan, agama Hindu

ABSTRAK. Kata Kunci: pendidikan, Pasraman, pengetahuan, agama Hindu ABSTRAK Perancangan Pasraman Hindu di Buleleng merupakan suatu upaya dalam memberikan pembinaan serta pendidikan secara mental dan fisik baik jasmani maupun rohani kepada seluruh masyarakat Hindu, khususnya

Lebih terperinci

KETENTUAN TEKNIS MUATAN RENCANA DETAIL PEMBANGUNAN DPP, KSPP DAN KPPP

KETENTUAN TEKNIS MUATAN RENCANA DETAIL PEMBANGUNAN DPP, KSPP DAN KPPP LAMPIRAN II PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN PROVINSI

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGASEM NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGASEM NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGASEM NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGASEM NOMOR 8 TAHUN 2003 TENTANG RENCANA DETAIL TATA RUANG (RDTR) KAWASAN PARIWISATA CANDIDASA

Lebih terperinci

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 33 TAHUN 2012 TENTANG

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 33 TAHUN 2012 TENTANG GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 33 TAHUN 2012 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENETAPAN JALUR DAN SYARAT KETINGGIAN PENERBANGAN UNTUK KEGIATAN WISATA UDARA ATAU OLAH RAGA DIRGANTARA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 64 TAHUN 2014 TENTANG

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 64 TAHUN 2014 TENTANG GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 64 TAHUN 2014 TENTANG TATA CARA DAN MEKANISME PEMBERIAN INSENTIF DAN DISINSENTIF PENATAAN RUANG PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan 1.1. Latar Belakang

Bab I Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Bab I Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Perkembangan kepariwisataan dunia yang terus bergerak dinamis dan kecenderungan wisatawan untuk melakukan perjalanan pariwisata dalam berbagai pola yang berbeda merupakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

KEWENANGAN PEMERINTAH KABUPATEN DI BIDANG IZIN PEMANFAATAN RUANG (IPR) (DI KABUPATEN BADUNG-BALI) GUSTI AYU RATIH DARMAYANTI

KEWENANGAN PEMERINTAH KABUPATEN DI BIDANG IZIN PEMANFAATAN RUANG (IPR) (DI KABUPATEN BADUNG-BALI) GUSTI AYU RATIH DARMAYANTI KEWENANGAN PEMERINTAH KABUPATEN DI BIDANG IZIN PEMANFAATAN RUANG (IPR) (DI KABUPATEN BADUNG-BALI) GUSTI AYU RATIH DARMAYANTI Fakultas Hukum Universitas Islam Al-Azhar Mataram e-mail : gek_ratihdarmayanti@yahoo.com

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN PACITAN TAHUN

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN PACITAN TAHUN PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN PACITAN TAHUN 2009-2028 I. UMUM 1. Ruang wilayah Kabupaten Pacitan, baik sebagai kesatuan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 45 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG KAWASAN PERKOTAAN DENPASAR, BADUNG, GIANYAR, DAN TABANAN

Lebih terperinci

PELANGGARAN BHISAMA KESUCIAN PURA DI SEKITAR PURA DANG KAHYANGAN DI KECAMATAN KUTA SELATAN, KABUPATEN BADUNG

PELANGGARAN BHISAMA KESUCIAN PURA DI SEKITAR PURA DANG KAHYANGAN DI KECAMATAN KUTA SELATAN, KABUPATEN BADUNG PELANGGARAN BHISAMA KESUCIAN PURA DI SEKITAR PURA DANG KAHYANGAN DI KECAMATAN KUTA SELATAN, KABUPATEN BADUNG Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister, Program Studi Arsitektur, Program

Lebih terperinci

Wedding Chapel di Kuta Selatan BAB I PENDAHULUAN

Wedding Chapel di Kuta Selatan BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bali merupakan salah satu pulau di Indonesia yang mempunyai keanekaragaman jenis budaya, adat istiadat dan seni, dilengkapi dengan pesona wisata alamnya yang sangat

Lebih terperinci

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN AUDIT

Lebih terperinci

Pengendalian pemanfaatan ruang

Pengendalian pemanfaatan ruang Assalamu alaikum w w Pengendalian pemanfaatan ruang Surjono tak teknik UB Penyelenggaraan penataan ruang (UU no 26 /2007) PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG PENGATURAN PEMBINAAN PELAKSANAAN PENGAWASAN Pasal

Lebih terperinci

PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG:

PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG: MATERI 1. Pengertian tata ruang 2. Latar belakang penataan ruang 3. Definisi dan Tujuan penataan ruang 4. Substansi UU PenataanRuang 5. Dasar Kebijakan penataan ruang 6. Hal hal pokok yang diatur dalam

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.121, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA SERBAGITA. Kawasan Perkotaan. Tata Ruang. Perubahan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN

Lebih terperinci

2017, No Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nom

2017, No Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nom No.1513, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-ATR/BPN. Audit Tata Ruang. PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2017 TENTANG

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini membahas mengenai latar belakang permasalahan, rumusan masalah, tujuan penelitian, serta metodologi penyusunan landasan konseptual laporan seminar tugas akhir dengan judul

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menentukan arah/kebijakan pembangunan. 2

BAB I PENDAHULUAN. menentukan arah/kebijakan pembangunan. 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pulau Bali sebagai daerah yang terkenal akan kebudayaannya bisa dikatakan sudah menjadi ikon pariwisata dunia. Setiap orang yang mengunjungi Bali sepakat bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. standar hidup serta menstimulasikan sektor-sektor produktif lainnya (Pendit,

BAB I PENDAHULUAN. standar hidup serta menstimulasikan sektor-sektor produktif lainnya (Pendit, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata adalah salah satu jenis industri baru yang mampu mempercepat pertumbuhan ekonomi dan penyediaan lapangan kerja, peningkatan penghasilan, standar hidup

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 45 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG KAWASAN PERKOTAAN DENPASAR, BADUNG, GIANYAR, DAN TABANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penataan Ruang sebagai suatu sistem proses perencanaan tata ruang,

BAB I PENDAHULUAN. Penataan Ruang sebagai suatu sistem proses perencanaan tata ruang, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penataan Ruang sebagai suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

MATA KULIAH PRASARANA WILAYAH DAN KOTA I (PW ) Jur. Perencanaan Wilayah dan Kota FTSP INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA

MATA KULIAH PRASARANA WILAYAH DAN KOTA I (PW ) Jur. Perencanaan Wilayah dan Kota FTSP INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA MATA KULIAH PRASARANA WILAYAH DAN KOTA I (PW 09-1303) RUANG TERBUKA HIJAU 7 Oleh Dr.Ir.Rimadewi S,MIP J P Wil h d K t Jur. Perencanaan Wilayah dan Kota FTSP INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA

Lebih terperinci

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN

Lebih terperinci

2016, No Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nom

2016, No Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nom BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1873, 2016 KEMEN-ATR/BPN. RTRW. KSP. KSK. Penyusunan. Pedoman. PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai luas daratan ± 5.632,86 Km². Bali dibagi menjadi 8 kabupaten dan 1 Kota

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai luas daratan ± 5.632,86 Km². Bali dibagi menjadi 8 kabupaten dan 1 Kota BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Bali merupakan sebuah pulau kesatuan wilayah dari Pemerintah Propinsi yang mempunyai luas daratan ± 5.632,86 Km². Bali dibagi menjadi 8 kabupaten dan 1 Kota madya dengan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pemanfaatan ruang wilayah nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kawasan wisata primadona di Bali sudah tidak terkendali lagi hingga melebihi

BAB I PENDAHULUAN. kawasan wisata primadona di Bali sudah tidak terkendali lagi hingga melebihi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jika dilihat secara nyata, saat ini pembangunan yang terjadi di beberapa kawasan wisata primadona di Bali sudah tidak terkendali lagi hingga melebihi daya tampung dari

Lebih terperinci

PROFILE PELABUHAN PARIWISATA TANAH AMPO

PROFILE PELABUHAN PARIWISATA TANAH AMPO PROFILE PELABUHAN PARIWISATA TANAH AMPO 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Terminal Kapal Pesiar Tanah Ampo Kabupaten Karangasem dengan sebutan "Pearl from East Bali" merupakan tujuan wisata ketiga setelah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, karena Indonesia merupakan Negara kepulauan dengangaris pantai mencapai sepanjang 81.000 km. Selain

Lebih terperinci

Peran Pemerintah dalam Perlindungan Penataan Ruang

Peran Pemerintah dalam Perlindungan Penataan Ruang Peran Pemerintah dalam Perlindungan Penataan Ruang Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pranata (TKP162P) Dikerjakan Oleh Nur Hilaliyah 21040111060045 DIPLOMA III PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PESAMUHAN SABHA PANDITA PARISADA HINDU DHARMA INDONESIA

KEPUTUSAN PESAMUHAN SABHA PANDITA PARISADA HINDU DHARMA INDONESIA KEPUTUSAN PESAMUHAN SABHA PANDITA PARISADA HINDU DHARMA INDONESIA Nomor: 03/Sabha Pandita Parisada/IV/2016 Tentang REKOMENDASI KAWASAN STRATEGIS PARIWISATA NASIONAL (KSPN) BESAKIH DAN KAWASAN TELUK BENOA

Lebih terperinci

Arahan Pengendalian Pembangunan Kawasan Cagar Budaya Candi Tebing Gunung Kawi Tampak Siring Kabupaten Gianyar

Arahan Pengendalian Pembangunan Kawasan Cagar Budaya Candi Tebing Gunung Kawi Tampak Siring Kabupaten Gianyar Arahan Pengendalian Pembangunan Kawasan Cagar Budaya Candi Tebing Gunung Kawi Tampak Siring Kabupaten Gianyar PREVIEW IV TUGAS AKHIR I NYOMAN ARTO SUPRAPTO 3606 100 055 Dosen Pembimbing Putu Gde Ariastita,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Aktifitas kegiatan di perkotaan seperti perdagangan, pemerintahan, persaingan yang kuat di pusat kota, terutama di kawasan yang paling

I. PENDAHULUAN. Aktifitas kegiatan di perkotaan seperti perdagangan, pemerintahan, persaingan yang kuat di pusat kota, terutama di kawasan yang paling 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aktifitas kegiatan di perkotaan seperti perdagangan, pemerintahan, pemukiman semakin lama membutuhkan lahan yang semakin luas. Terjadi persaingan yang kuat di pusat kota,

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SINTANG

PEMERINTAH KABUPATEN SINTANG 1 PEMERINTAH KABUPATEN SINTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINTANG NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN DAERAH KABUPATEN SINTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SINTANG,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROVINSI, KABUPATEN, DAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

Pembangunan pariwisata di Indonesia berdasarkan Undang Undang No. 10. Tahun 2009 tentang Kepariwisataan mempunyai tujuan antara lain: (a)

Pembangunan pariwisata di Indonesia berdasarkan Undang Undang No. 10. Tahun 2009 tentang Kepariwisataan mempunyai tujuan antara lain: (a) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pariwisata di Indonesia berdasarkan Undang Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan mempunyai tujuan antara lain: (a) meningkatkan pertumbuhan ekonomi,

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KOTA BEKASI

BERITA DAERAH KOTA BEKASI BERITA DAERAH KOTA BEKASI NOMOR : 42 2012 SERI : E PERATURAN WALIKOTA BEKASI NOMOR 42 TAHUN 2012 TENTANG BADAN KOORDINASI PENATAAN RUANG DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BEKASI, Menimbang

Lebih terperinci

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2012 TENTANG

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2012 TENTANG SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROVINSI

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENATAAN RUANG DI PERAIRAN LAUT

KEBIJAKAN PENATAAN RUANG DI PERAIRAN LAUT KEBIJAKAN PENATAAN RUANG DI PERAIRAN LAUT Berdasarkan UU No. 26 Tahun 2007 oleh Eko Budi Kurniawan Kasubdit Pengembangan Perkotaan Direktorat Perkotaan Direktorat Jenderal Penataan Ruang disampaikan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari pulau dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari pulau dan BAB I BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari 17.000 pulau dan wilayah pantai sepanjang 80.000 km atau dua kali keliling bumi melalui khatulistiwa.

Lebih terperinci

PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 6 TAHUN 2002 TENTANG

PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 6 TAHUN 2002 TENTANG PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 6 TAHUN 2002 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA SIAK SRI INDRAPURA KABUPATEN SIAK TAHUN 2002-2011 I. PENJELASAN UMUM Pertumbuhan penduduk menyebabkan

Lebih terperinci

BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 31 TAHUN 2013

BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 31 TAHUN 2013 1 BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PENGATURAN INTENSITAS PEMANFAATAN RUANG KORIDOR JALAN LETJEND S. PARMAN - JALAN BRAWIJAYA DAN KAWASAN SEKITAR TAMAN BLAMBANGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN Pada Bab I ini akan diuraikan alasan pemilihan judul pada latar belakang yang dilengkapi juga dengan fakta-fakta pendukungnya, rumusan masalah, tujuan, dan metode penelitian yang digunakan.

Lebih terperinci

20. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3445 Tahun 1991);

20. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3445 Tahun 1991); RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR : 1 TAHUN 2002 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SIAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIAK Menimbang : a. bahwa untuk mengarahkan pembangunan

Lebih terperinci

Kabar dari Tim Pendamping Pengelolaan Hutan Bersama Hulu Sungai Malinau

Kabar dari Tim Pendamping Pengelolaan Hutan Bersama Hulu Sungai Malinau Kabar dari Tim Pendamping Pengelolaan Hutan Bersama Hulu Sungai Malinau No. 6, September 2001 Bapak-bapak dan ibu-ibu yang baik, Salam sejahtera, jumpa lagi dengan Tim Pendamping Pengelolaan Hutan Bersama.

Lebih terperinci

KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31/DPD RI/II/ TENTANG PANDANGAN DAN PENDAPAT

KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31/DPD RI/II/ TENTANG PANDANGAN DAN PENDAPAT DEWAN PERWAKILAN DAERAH KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH NOMOR 31/DPD RI/II/2013-2014 TENTANG PANDANGAN DAN PENDAPAT DEWAN PERWAKILAN DAERAH TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terhadap penduduk kota maupun penduduk dari wilayah yang menjadi wilayah

BAB I PENDAHULUAN. terhadap penduduk kota maupun penduduk dari wilayah yang menjadi wilayah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkotaan sebagai pusat permukiman dan sekaligus pusat pelayanan (jasa) terhadap penduduk kota maupun penduduk dari wilayah yang menjadi wilayah pengaruhnya (hinterland)

Lebih terperinci

Rencana Tata Ruang Wilayah kota yang mengatur Rencana Struktur dan

Rencana Tata Ruang Wilayah kota yang mengatur Rencana Struktur dan RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA BANJARMASIN 2013-2032 APA ITU RTRW...? Rencana Tata Ruang Wilayah kota yang mengatur Rencana Struktur dan Pola Ruang Wilayah Kota DEFINISI : Ruang : wadah yg meliputi

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15/PERMEN/M/2006 TENTANG

PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15/PERMEN/M/2006 TENTANG PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15/PERMEN/M/2006 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENYELENGGARAAN PENGEMBANGAN KAWASAN NELAYAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT, Menimbang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Propinsi Sumataera Utara memiliki 2 (dua) wilayah pesisir yakni, Pantai

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Propinsi Sumataera Utara memiliki 2 (dua) wilayah pesisir yakni, Pantai I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Propinsi Sumataera Utara memiliki 2 (dua) wilayah pesisir yakni, Pantai Timur dan Pantai Barat. Salah satu wilayah pesisir pantai timur Sumatera Utara adalah Kota Medan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sudah selayaknya kawasan-kawasan yang berbatasan dengan laut lebih menekankan

BAB I PENDAHULUAN. sudah selayaknya kawasan-kawasan yang berbatasan dengan laut lebih menekankan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Seiring dengan di galakkannya kembali pemberdayaan potensi kelautan maka sudah selayaknya kawasan-kawasan yang berbatasan dengan laut lebih menekankan

Lebih terperinci

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG LAMBANG DAERAH KABUPATEN BADUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG LAMBANG DAERAH KABUPATEN BADUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG LAMBANG DAERAH KABUPATEN BADUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang Mengingat : a. bahwa nilai sosial

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KOTA BEKASI

BERITA DAERAH KOTA BEKASI BERITA DAERAH KOTA BEKASI NOMOR : 5 2015 SERI : E PERATURAN WALIKOTA BEKASI NOMOR 05 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN INSENTIF DAN DISINSENTIF DALAM PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG DI KOTA BEKASI

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN PACITAN

KATA PENGANTAR RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN PACITAN KATA PENGANTAR Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, mengamanatkan bahwa RTRW Kabupaten harus menyesuaikan dengan Undang-undang tersebut paling lambat 3 tahun setelah diberlakukan.

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II PURBALINGGA NOMOR 17 TAHUN 1999 SERI D NO. 7

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II PURBALINGGA NOMOR 17 TAHUN 1999 SERI D NO. 7 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II PURBALINGGA NOMOR 17 TAHUN 1999 SERI D NO. 7 PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II PURBALINGGA NOMOR 6 TAHUN 1999 TENTANG TAPAK KAWASAN OBYEK WISATA GUA

Lebih terperinci

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun No.573, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-ATR/BPN. Pertanahan. Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Penataan. PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK

Lebih terperinci

Ketentuan Umum Istilah dan Definisi

Ketentuan Umum Istilah dan Definisi Ketentuan Umum 2.1. Istilah dan Definisi Penyusunan RDTR menggunakan istilah dan definisi yang spesifik digunakan di dalam rencana tata ruang. Berikut adalah daftar istilah dan definisinya: 1) Ruang adalah

Lebih terperinci

LAMPIRAN I CONTOH PETA RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH KABUPATEN L - 1

LAMPIRAN I CONTOH PETA RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH KABUPATEN L - 1 LAMPIRAN I CONTOH PETA RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH KABUPATEN L - 1 LAMPIRAN II CONTOH PETA RENCANA POLA RUANG WILAYAH KABUPATEN L - 2 LAMPIRAN III CONTOH PETA PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS KABUPATEN L

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau merevisi peraturan daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).

BAB I PENDAHULUAN. atau merevisi peraturan daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Undang-undang tentang Penataan Ruang Nomor 26 tahun 2007 mewajibkan setiap wilayah provinsi dan juga kabupaten/kota untuk menyusun atau merevisi peraturan daerah tentang

Lebih terperinci

Keterkaitan Rencana Strategis Pesisir dengan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kabupaten Kutai Timur

Keterkaitan Rencana Strategis Pesisir dengan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kabupaten Kutai Timur P E M E R I N T A H KABUPATEN KUTAI TIMUR Keterkaitan Rencana Strategis Pesisir dengan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kabupaten Kutai Timur Oleh: Ir. Suprihanto, CES (Kepala BAPPEDA Kab. Kutai Timur)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan teknologi, sehingga keadaan ini menjadi perhatian besar dari para ahli dan

BAB I PENDAHULUAN. dan teknologi, sehingga keadaan ini menjadi perhatian besar dari para ahli dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pariwisata merupakan salah satu fenomena sosial, ekonomi, politik, budaya, dan teknologi, sehingga keadaan ini menjadi perhatian besar dari para ahli dan perencana

Lebih terperinci

BAB VIII PENUTUP Kesimpulan

BAB VIII PENUTUP Kesimpulan BAB VIII PENUTUP Bab VIII memaparkan pembahasan mengenai kesimpulan dari hasil penelitian, serta implikasi dan saran dalam ranah akademik dan praktis sesuai dengan kesimpulan hasil penelitian. Pada bagian

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA JAMBI

LEMBARAN DAERAH KOTA JAMBI LEMBARAN DAERAH KOTA JAMBI NOMOR 06 TAHUN 2009 SERI E NOMOR 02 PERATURAN DAERAH KOTA JAMBI NOMOR 06 TAHUN 2009 TENTANG HUTAN KOTA Menimbang DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA JAMBI, : a. bahwa

Lebih terperinci

TUGAS MATA KULIAH PERENCANAAN SISTEM INFRASTRUKTUR WILAYAH DAN KOTA. ARAH KEBIJAKAN REVITALISASI PANTAI LOSARI KOTA MAKASSAR (Kasus Reklamasi Pantai)

TUGAS MATA KULIAH PERENCANAAN SISTEM INFRASTRUKTUR WILAYAH DAN KOTA. ARAH KEBIJAKAN REVITALISASI PANTAI LOSARI KOTA MAKASSAR (Kasus Reklamasi Pantai) TUGAS MATA KULIAH PERENCANAAN SISTEM INFRASTRUKTUR WILAYAH DAN KOTA ARAH KEBIJAKAN REVITALISASI PANTAI LOSARI KOTA MAKASSAR (Kasus Reklamasi Pantai) Disusun oleh Kaharuddin Disusun oleh SUKARDI PROGRAM

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 10 TAHUN 2006 TENTANG

PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 10 TAHUN 2006 TENTANG PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 10 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 6 TAHUN 2000 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA KUPANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN 2011-2031 I. UMUM Proses pertumbuhan dan perkembangan wilayah Kabupaten

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Sibolga terletak di kawasan pantai Barat Sumatera Utara, yaitu di Teluk Tapian Nauli. Secara geografis, Kota Sibolga terletak di antara 01 0 42 01 0 46 LU dan

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR : 1 TAHUN 2002 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SIAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR : 1 TAHUN 2002 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SIAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR : 1 TAHUN 2002 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SIAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIAK Menimbang : a. bahwa untuk mengarahkan pembangunan

Lebih terperinci

W A L I K O T A Y O G Y A K A R T A

W A L I K O T A Y O G Y A K A R T A W A L I K O T A Y O G Y A K A R T A PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 87 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN BADAN KOORDINASI PENATAAN RUANG DAERAH KOTA YOGYAKARTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota seringkali menyebabkan terjadinya perubahan kondisi ekologis lingkungan perkotaan yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota seringkali menyebabkan terjadinya perubahan kondisi ekologis lingkungan perkotaan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota seringkali menyebabkan terjadinya perubahan kondisi ekologis lingkungan perkotaan yang mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan. Oleh karena itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Taman Nasional menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau kecil yang biasanya menunjukkan karakteristik keterbatasan sumber daya dan tidak merata yang membatasi kapasitas mereka untuk merangkul pembangunan. Hal ini terutama

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA PEKALONGAN

PEMERINTAH KOTA PEKALONGAN PEMERINTAH KOTA PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 6 TAHUN 2005 TENTANG IZIN PERUBAHAN PEMANFAATAN RUANG KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PEKALONGAN Menimbang : a. bahwa dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Program pembangunan di Indonesia telah berlangsung kurang lebih

I. PENDAHULUAN. Program pembangunan di Indonesia telah berlangsung kurang lebih 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Program pembangunan di Indonesia telah berlangsung kurang lebih selama lima puluh tahun, namun sebagian besar kegiatannya masih mengarah pada eksploitasi sumberdaya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang 4 TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang Ruang (space) dalam ilmu geografi didefinisikan sebagai seluruh permukaan bumi yang merupakan lapisan biosfer, tempat hidup tumbuhan, hewan dan manusia (Jayadinata

Lebih terperinci

BUPATI BANGKA TENGAH

BUPATI BANGKA TENGAH BUPATI BANGKA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN TERUMBU KARANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA TENGAH, Menimbang : a. bahwa ekosistem

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN JOMBANG

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN JOMBANG I. UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN JOMBANG Sesuai dengan amanat Pasal 20 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang

Lebih terperinci

tersendiri sebagai destinasi wisata unggulan. Pariwisata di Bali memiliki berbagai

tersendiri sebagai destinasi wisata unggulan. Pariwisata di Bali memiliki berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Bali sebagai ikon pariwisata Indonesia, telah menjadi daya tarik tersendiri sebagai destinasi wisata unggulan. Pariwisata di Bali memiliki berbagai keunggulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Meureudu, 28 Mei 2013 Bupati Pidie Jaya AIYUB ABBAS

KATA PENGANTAR. Meureudu, 28 Mei 2013 Bupati Pidie Jaya AIYUB ABBAS KATA PENGANTAR Sesuai Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 11 ayat (2), mengamanatkan pemerintah daerah kabupaten berwenang dalam melaksanakan penataan ruang wilayah kabupaten

Lebih terperinci

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. SAMBUTAN MENTERI AGAMA RI PADA SOSIALISASI PERATURAN BERSAMA MENTERI AGAMA DAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 9 TAHUN 2006/NOMOR 8 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN TUGAS KEPALA DAERAH/WAKIL KEPALA DAERAH

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 15 2002 SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 4 TAHUN 2002 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN GARUT DENGAN MENGHARAP BERKAT DAN RAHMAT ALLAH SUBHANAHU

Lebih terperinci

kita bisa mengetahui dan memperoleh informasi mengenai destinasi pariwisata yang ada dan baru ada di Bali. Mengenai banyaknya jumlah biro perjalanan

kita bisa mengetahui dan memperoleh informasi mengenai destinasi pariwisata yang ada dan baru ada di Bali. Mengenai banyaknya jumlah biro perjalanan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bali sebagai daerah pariwisata mempunyai berbagai hal yang menarik untuk di kunjungi. Hal menarik tersebut mulai dari obyek wisata, bermacam kreasi budaya, adat istiadat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan wilayah dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pertumbuhan infrastruktur, pembangunan ekonomi,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan wilayah dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pertumbuhan infrastruktur, pembangunan ekonomi, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan wilayah dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pertumbuhan infrastruktur, pembangunan ekonomi, pertumbuhan penduduk, dan industrialisasi (Kigundu, 2012).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Denpasar. Pada zaman dahulu, perempuan wangsa kesatria yang menikah dengan

BAB I PENDAHULUAN. Denpasar. Pada zaman dahulu, perempuan wangsa kesatria yang menikah dengan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak dahulu masalah kasta atau wangsa merupakan permasalahan yang tak kunjung sirna pada beberapa kelompok masyarakat di Bali, khususnya di Denpasar. Pada zaman

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 11 /PRT/M/2009 TENTANG

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 11 /PRT/M/2009 TENTANG MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 11 /PRT/M/2009 TENTANG PEDOMAN PERSETUJUAN SUBSTANSI DALAM PENETAPAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG RENCANA TATA RUANG

Lebih terperinci

Gambar 1. Kedudukan RD Pembangunan DPP, KSPP, KPPP dalam Sistem Perencanaan Tata Ruang dan Sistem Perencanaan Pembangunan RIPPARNAS RIPPARPROV

Gambar 1. Kedudukan RD Pembangunan DPP, KSPP, KPPP dalam Sistem Perencanaan Tata Ruang dan Sistem Perencanaan Pembangunan RIPPARNAS RIPPARPROV LAMPIRAN I PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN PROVINSI

Lebih terperinci