STUDI PENGGUNAAN OBAT GOLONGAN DIPEPTIDYL PEPTIDASE-4 (DPP-4) INHIBITOR PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 SKRIPSI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "STUDI PENGGUNAAN OBAT GOLONGAN DIPEPTIDYL PEPTIDASE-4 (DPP-4) INHIBITOR PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 SKRIPSI"

Transkripsi

1 STUDI PENGGUNAAN OBAT GOLONGAN DIPEPTIDYL PEPTIDASE-4 (DPP-4) INHIBITOR PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 SKRIPSI Oleh : PRADINA PERMATASARI PUTRI PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA FEBRUARI 2018

2 STUDI PENGGUNAAN OBAT GOLONGAN DIPEPTIDYL PEPTIDASE-4 (DPP-4) INHIBITOR PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mencapai gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) Program Studi Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Oleh : PRADINA PERMATASARI PUTRI PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA FEBRUARI 2018

3 ii

4 iii

5 iv

6 HALAMAN PERSEMBAHAN Aku persembahkan karya tulisku ini untuk : Allah SWT. Terimakasih atas rahmat dan karunia-nya Bapak dan Ibu yang selalu mendukung, memotivasi dan yang tidak hentihentinya memberikan do a yang tulus demi kelancaran dan kesuksesanku. Semua orang yang sudah membantu serta mendukung dan memberikan do a nya untuk kelancaran penulisan skripsi ini. v

7 HALAMAN MOTTO Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada tuhanmulah hendaknya kamu berharap. (Q.S. Al Insyirah: 6-7) Berusahalah untuk tidak menjadi manusia yang berhasil tapi berusahalah menjadi manusia yang berguna. (Albert Einstein) Orang-orang yang sukses telah belajar membuat diri mereka melakukan hal yang harus dikerjakan ketika hal itu harus dikerjakan, entah mereka menyukainya atau tidak. (Aldus Huxley) vi

8 KATA PENGANTAR Assalamu alaikum Wr. Wb. Dengan menyebut asma Allah SWT yang Maha pengasih dan Maha penyayang. Segala Puji bagi Allah SWT pemelihara alam dan jagad raya ini. Alhamdulillah, puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. atas limpahan rahmat dan hidayah-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul Studi Penggunaan Obat Golongan Dipeptidyl Peptidase-4 (DPP-4) Inhibitor pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat sesuai dengan apa yang diharapkan penulis. Walaupun dengan segala keterbatasan yang dimiliki. Skripsi ini disusun untuk memenuhi sebagian syarat guna memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Islam Indonesia. Skripsi ini dapat disusun dan diselesaikan dengan baik dan lancar berkat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan banyak terima kasih kepada : 1. Ibu Yosi Febrianti, M.Sc., Apt, selaku dosen pembimbing utama dan Ibu Mir- A Kemila, M.Sc., Apt, selaku dosen pembimbing pendamping atas segala bimbingan arahan, dukungan hingga skripsi ini terselesaikan. 2. Ibu Suci Hanifah M.Si., Ph.D., Apt. dan Ibu Dra. Nurul Ambariyah, M.Sc., Apt. selaku dosen penguji atas arahan dan saran yang membangun sehingga skripsi ini tersusun. 3. Bapak Drs. Allwar, M.Sc. Ph.D., selaku Dekan fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Islam Indonesia. 4. Bapak Pinus Jumaryatno, M.Phil, Ph.D., Apt., selaku Kepala Program Studi Farmasi Universitas Islam Indonesia. vii

9 5. Segenap dosen pengajar Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Islam Indonesia, yang telah memberikan ilmu dan pengalaman yang berharga selama penulis menempuh kuliah. 6. Orangtua penulis yang senantiasa memberikan kasih sayang, doa, motivasi, nasihat dan semangat yang tidak pernah putus, sehingga penulis mampu menyelesaikan studi ini. 7. Direktur Rumah Sakit Panti Rapih beserta jajarannya yang telah berkenan memberikan ijin untuk melakukan penelitian. 8. Ibu Wahyu Wijayanti, S.K.M., selaku pimpinan Rekam Medis Rumah Sakit Panti Rapih, para staf instalasi Rekam Medis dan instalasi Farmasi atas bantuan dalam proses pengambilan data. 9. Sahabat-sahabat penulis, Desy, Fitri Ayu, Sari, Ratih, Endah, Rahma, Anin, Nadia, Andini, Dela, Yulinda, Oza, Afi, Risha, Melinda, Fatiha, Pipit yang meluangkan waktunya untuk membantu dalam proses pengerjaan skripsi, mendoakan dan memberi semangat. 10. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih terdapat kekurangan dan keterbatasan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat dibutuhkan. Namun demikian, merupakan harapan bagi penulis bila skripsi ini dapat memberikan sumbangan pengetahuan dan menjadi salah satu karya yang bermanfaat. Wassalamu alaikum Wr.Wb. Yogyakarta, Februari 2018 Penulis, Pradina Permatasari Putri viii

10 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PERSETUJUAN... ii HALAMAN PENGESAHAN... iii HALAMAN PERNYATAAN... iv HALAMAN PERSEMBAHAN... v HALAMAN MOTTO... vi KATA PENGANTAR... vii DAFTAR ISI... ix DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR TABEL... xiii DAFTAR LAMPIRAN... xiv INTISARI... xv ABSTRACT... xvi BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian BAB II STUDI PUSTAKA Tinjauan Pustaka Diabetes Mellitus Definisi Epidemiologi Tanda dan Gejala Etiologi dan Klasifikasi Faktor Risiko Patofisiologi... 8 ix

11 Diagnosis Komorbid Tatalaksana Terapi Terapi Non Farmakologi Terapi Farmakologi Dipeptidyl Peptidase-4 Inhibitor (DPP 4) Sitagliptin Saxagliptin Vildagliptin Linagliptin BAB III METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian Tempat dan Waktu Penelitian Populasi dan Sampel Populasi Sampel Kiteria Inklusi Kriteria Ekslusi Definisi Operasional Variabel Proses Pengumpulan Data Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan Data Analisis Data Alur Penelitian BAB IV PEMBAHASAN Karakteristik Subyek Penelitian yang Menggunakan Obat Golongan DPP-4 Inhibitor Pola Penggunaan Obat Golongan DPP-4 Inhibitor pada Pasien Diabetes Melitus x

12 4.3 Capaian Kadar Glukosa Darah Pasien Diabetes Melitus yang Menggunakan Obat Golongan DPP-4 Inhibitor Keterbatasan Penelitian BAB V KESIMPULAN Kesimpulan Saran...46 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xi

13 DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Algoritma Pengelolaan DM Tipe Gambar 3.1 Alur Penelitian xii

14 DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Klasifikasi Etiologis Diabetes Melitus... 7 Tabel 2.2 Kriteria Diagnostik Diabetes Melitus Tabel 2.3 Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa dalam Diagnosa DM () Tabel 2.4 Target Penatalaksanaan Diabetes Tabel 2.5 Profil Farmakokinetik Sitagliptin, Saxagliptin, Vildagliptin, dan Linagliptin Tabel 4.1 Karakteristik Pasien DM Tipe 2 yang Mendapatkan Terapi Obat Golongan DPP-4 Inhibitor Tabel 4.2 Karakteristik Pasien Berdasarkan Komorbid Tabel 4.3 Gambaran Pola Penggunaan Obat Antidiabetik pada Pasien DM Tipe 2 sebelum DPP-4 Inhibitor Tabel 4.4 Capaian Kadar Glukosa Darah Pasien berdasarkan Indikator Glukosa Darah sebelum Menggunakan Obat Golongan DPP-4 Inhibitor Tabel 4.5 Gambaran Pola Penggunaan Obat Golongan DPP-4 Inhibitor Tabel 4.6 Durasi Penggunaan Obat Golongan DPP-4 Inhibitor Tabel 4.7 Profil Waktu Ketercapaian Kadar Glukosa Darah Pasien yang Menggunakan Obat Golongan DPP-4 Inhibitor Tabel 4.8 Capaian Kadar Glukosa Darah Pasien Setelah Menggunaan Obat Golongan DPP-4 Inhibitor berdasarkan Indikator Glukosa Darah 43 Tabel 4.9 Pasien dengan Target HbA1C yang Tercapai Berdasarkan Penggunaan Obat Golongan DPP-4 Inhibitor Tabel 4.10 Ketercapaian HbA1C Pasien yang Tercapai Menggunakan Obat Golongan DPP-4 Inhibitor xiii

15 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Ethical Clearance Lampiran 2. Rangkuman Data Rekam Medis Pasien Sebelum Menggunakan Obat Golongan DPP-4 Inhibitor Lampiran 3. Rangkuman Data Rekam Medis Pasien Setelah Menggunakan Obat Golongan DPP-4 Inhibitor Lampiran 4. Rangkuman Data Rekan Medis Pasien yang Langsung Menggunakan Obat Golongan DPP-4 Inhibitor xiv

16 Studi Penggunaan Obat Golongan Dipeptidyl Peptidase-4 (DPP-4) Inhibitor pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Pradina Permatasari Putri Prodi Farmasi INTISARI Diabetes melitus (DM) adalah penyakit metabolik kronis dengan prevalensi yang semakin meningkat tiap nya. Tujuan penatalaksanaan DM bukan untuk menyembuhkan, tetapi untuk mengontrol kadar gula darah dan kondisi pasien. Dipeptidyl Peptidase-4 (DPP-4) inhibitor merupakan antidiabetik yang aman, tanpa resiko hipoglikemia, dan netral terhadap penambahan berat badan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik pasien, pola penggunaan dan profil ketercapaian kadar glukosa darah pasien DM rawat jalan yang menggunakan obat golongan DPP-4 inhibitor. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif non eksperimental. Pengambilan data dilakukan secara retrospektif dari data 100 pasien DM tipe 2 rawat jalan di Rumah Sakit Panti Rapih periode Januari 2010-Agustus Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik pasien yang menggunakan obat golongan DPP 4 inhibitor lebih banyak diderita laki-laki (52%), dengan usia 46-65, dan lama DM 1-5. Jenis DM terbanyak yaitu DM tipe 2 Non Obesitas dengan (80%) memiliki komorbid. Kombinasi antidiabetik digunakan (55%) sebelum menggunakan obat golongan DPP-4 inhibitor. Pola penggunaan obat saxagliptin (7%) dan kombinasi sitagliptin dengan metformin (20%) paling banyak digunakan dengan durasi pemakaian 6 bulan hingga 1 (40%). Profil ketercapaian kadar glukosa darah berdasarkan PERKENI 2015 diperoleh bahwa 43% pasien telah mencapai kadar glukosa darah dalam waktu 24 minggu. Kata Kunci : Diabetes Melitus, dipeptidyl peptidase-4 inhibitor, DPP-4 xv

17 Study of Using Dipeptidyl Peptidase-4 (DPP 4) Inhibitor in Type 2 Diabetes Mellitus Patients Pradina Permatasari Putri Department of Pharmacy ABSTRACT Diabetes mellitus (DM) is a chronic metabolic disease with an increasing prevalence every year. The goal of DM management is not to heal, but to control blood sugar levels and patient conditions. Dipeptidyl Peptidase-4 (DPP-4) inhibitor is a safe antidiabetic, with no risk of hypoglycemia, and is neutral with weight gain. This study aims to determine the characteristics of patients, usage patterns and profile achievement of blood glucose levels of DM patients who use DPP-4 inhibitor class drug. This research is non experimental descriptive research. Retrospective data were collected from data of 100 DM type 2 outpatients at Panti Rapih Hospital from January 2010 to August The results showed that the characteristics of patients using DPP 4 inhibitor group were more likely to be male (52%), with aged years, and long DM 1-5 years. Type DM is a non-obese type 2 diabetes with (80%) have comorbid. An antidiabetic combination was used (55%) before using DPP-4 inhibitor drug group. The pattern of saxagliptin drug use (7%) and the combination of sitagliptin with metformin (20%) was most widely used with duration of 6 months to 1 year (40%). The profile of achievement of blood glucose level based on the 2015 PERKENI resulted in 43% of patients having reached glucose levels within 24 weeks. Keywords: Diabetes Mellitus, dipeptidyl peptidase-4 inhibitor, DPP-4 xvi

18 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Diabetes melitus (DM) adalah penyakit gangguan metabolik kronis yang dikenal sebagai sillent killer atau pembunuh manusia secara diam-diam. Manusia seringkali tidak menyadari dirinya telah menyandang diabetes dan ketika mengetahuinya telah terjadi komplikasi. Diabetes juga dikenal sebagai Mother of Disease yang merupakan induk penyakit-penyakit lain seperti hipertensi, penyakit kardiovaskular, gagal ginjal, dan kebutaan (1). World Health Organisation (WHO) memprediksi adanya peningkatan jumlah penderita DM yang cukup besar pada - mendatang. Kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta pada 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada Senada dengan WHO, International Diabetes Federation (IDF) pada 2014, memprediksi kenaikan jumlah penderita DM dari 9,1 juta pada 2014 menjadi 14,1 juta pada Meskipun terdapat angka prevalensi dari laporan keduanya, tetap menunjukkan adanya peningkatan jumlah penyandang DM sebanyak 2-3 kali lipat pada 2035 (2). Pada hasil Riskesda 2007, prevalensi DM di Indonesia 1,1% dan pada 2013 mengalami peningkatan menjadi 2,1%. Prevalensi DM tipe 2 di DI Yogyakarta menduduki peringkat pertama nasional. Pada Riskesdas 2007 ditemukan prevalensi DM di DI Yogyakarta sebesar 1,6%, angka ini meningkat pada 2013 menjadi 2,6% penderita (3,4). Pilar pelaksanaan DM antara lain dilakukan dengan edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani, dan intervensi farmakologi. Hal terpenting dalam penatalaksanaan DM agar mencapai tujuan adalah perlu dilakukannya pengendalian glukosa darah, tekanan darah, berat badan dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara holistik dengan mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan perilaku (2). Banyak pengidap DM tipe 2 yang tidak mendapatkan terapi yang adekuat, termasuk faktor keamanan, toleransi seperti kemungkinan terjadi 1

19 2 efek samping hipoglikemia, penambahan berat badan dan intoleransi gastrointestinal (5). Kombinasi metformin dan sulfonilurea merupakan terapi lini pertama yang digunakan pada sebagian besar pengidap DM tipe 2. Kedua obat tersebut efektif digunakan sebagai monoterapi maupun kombinasi terapi. Penambahan insulin dan golongan obat thiazolodinedione (TZD) menjadi pilihan yang cukup populer, tetapi kedua obat tersebut memiliki efek samping seperti penambahan berat badan pada populasi yang secara umum sudah termasuk obesitas. Penambahan berat badan pada pengidap DM tipe 2 meningkatkan risiko mortalitas 8 kali lipat pada mereka yang memiliki berat badan >40% target berat badan ideal. Sebaliknya penurunan berat badan pada pengidap DM tipe 2 memiliki dampak positif dengan perbaikan hiperglikemia puasa yang dilaporkan terjadi pada minggu pertama penurunan berat badan dan juga disertai penurunan kadar A1C (6). DPP-4 inhibitor merupakan pengobatan baru untuk DM tipe 2. Pada penelitian Visboll dan Knop (2007) menyatakan hormon intestinal yaitu glucagon like peptide-1 (GLP-1) dan glucose dependent insulinotropic polypeptide (GIP) memiliki peran penting dalam homeostasis glukosa pada orang sehat. Hormon tersebut meningkatkan sekresi insulin postprandial dari sel endokrin L dan K sebagai respon adanya asupan makanan dan mengurangi sekresi glukagon dengan cara mengurangi konsentrasi glukosa dalam darah. Pada penelitian tersebut ditunjukkan hormon GLP-1 dipertahankan pada pengidap DM tipe 2 tetapi hormon GIP terganggu (7). Pemberian GLP-1 secara intravena yang berlangsung kontinyu memiliki kemampuan dalam menormalkan kadar glukosa darah pada pengidap DM tipe 2. Tetapi pemberian GLP-1 secara intravena secara cepat akan mengalami degradasi dan penggunaannya kurang praktis bila diberikan secara rutin. Pemberian GLP-1 alami secara subkutan selama 6 minggu kontinyu dengan menggunakan pompa insulin secara signifikan menurunkan kadar A1C, berat badan dan memperbaiki respon insulin fase pertama. Inaktivasi hormon GLP-1 secara cepat oleh enzim DPP 4, menyebabkan adanya analog GLP-1 yang resisten terhadap DPP 4 secara aksi lama dan adanya penghambatan terhadap DPP 4 yang berguna untuk melindungi hormon endogen dan memperkuat aksinya (8).

20 3 DPP-4 inhibitor memiliki bioavaibilitas oral yang cukup tinggi. Obat ini bekerja secara cepat dan reversible dalam menghambat kerja DPP-4 dengan kapasitas 90% selama periode 24 jam. DPP-4 inhibitor juga bisa memperkuat bentuk aktif GIP dan GLP-1 endogen dalam sirkulasi sehingga dapat memperbaiki sekresi insulin dan glukagon. DPP-4 inhibitor relatif aman, tanpa resiko adanya hipoglikemia, bersifat netral terhadap penambahan berat badan, memelihara sel beta yang masih tersisa pada pengidap DM tipe 2 (7). Dengan melihat fakta bahwa masih banyak pasien DM yang belum mencapai target terapi, penelitian difokuskan kepada karakteristik, pola penggunan dan profil ketercapaian kadar glukosa darah pasien yang menggunakan obat golongan DPP-4 inhibitor Perumusan Masalah 1. Bagaimana karakteristik pasien yang menggunakan obat golongan DPP-4 inhibitor pada pasien DM rawat jalan di Rumah Sakit Panti Rapih? 2. Bagaimana pola penggunaan obat golongan DPP-4 inhibitor pada pasien DM rawat jalan di Rumah Sakit Panti Rapih? 3. Bagaimana profil ketercapaian kadar glukosa darah pada pasien DM yang menggunakan obat golongan DPP-4 inhibitor di Rumah Sakit Panti Rapih? 1.3. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui karakteristik pasien yang menggunakan obat golongan DPP-4 inhibitor pada pasien DM rawat jalan di Rumah Sakit Panti Rapih 2. Mengetahui pola penggunaan obat golongan DPP-4 inhibitor pada pasien DM rawat jalan di Rumah Sakit Panti Rapih. 3. Mengetahui profil ketercapaian kadar glukosa darah pada pasien DM yang menggunakan obat golongan DPP-4 inhibitor di Rumah Sakit Panti Rapih.

21 Manfaat Penelitian 1. Bagi Peneliti Menambah pengetahuan dan wawasan tentang karakteristik pasien, pola penggunaan dan profil ketercapaian kadar glukosa darah pasien yang menggunakan obat golongan DPP-4 inhibitor terhadap penyakit DM serta untuk berlatih menerapkan peran farmasis di bidang farmasi klinis. 2. Bagi Instansi Pelayanan Kesehatan Diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat untuk mengidentifikasi masalah yang timbul dalam pengobatan DM serta menyempurnakan pemilihan intervensi pengobatan sehingga pada pasien lebih optimal dan masalah-masalah terkait pengobatan dapat dicegah dan diminimalkan.

22 BAB II STUDI PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka Diabetes Melitus (DM) Definisi Diabetes melitus menurut American Diabetes Association (ADA, 2013) adalah kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan pada sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya. Beberapa proses patologis terlihat dalam proses terjadinya diabetes, mulai dari terjadinya destruksi sel β pankreas yang berakibat defisiensi insulin sampai abnormalitas yang menyebabkan resisten terhadap keja insulin. Hiperglikemia kronik pada diabetes berkaitan dengan komplikasi kronik yang spesifik kerusakan atau kegagalan dari beberapa organ, seperti mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah (9). Pada populasi dengan prevalensi DM yang tinggi seperti individu yang obesitas, resisten insulin telah terjadi jauh sebelum terjadinya gangguan homeostasis glukosa, terutama pada individu yang mempunyai timbunan lemak di perut atau tempat lain seperti otot dan hati. Namun, selama sel beta mampu mensekresi insulin dalam jumlah cukup, toleransi glukosa tetap normal untuk mengimbangi keparahan resistensi insulin (10) Epidemiologi Pada 2000, sekitar 150 juta orang di dunia mengidap DM. Jumlah ini diperkirakan akan meningkat menjadi dua kali lipat pada berikutnya, dan sebagian besar peningkatan ini terjadi di negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia. Kejadian Diabetes menurut data WHO (2) : 1. Tahun 2012 diabetes adalah penyebab langsung dari 1,5 juta kematian. Lebih dari 80% kematian diabetes terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah. 2. Pada 2014, 9% dari orang dewasa usia 18 dan lebih tua menderita diabetes. 5

23 6 3. WHO memproyeksikan bahwa diabetes akan menjadi 7 penyebab utama kematian pada Berikut jumlah perkiraan kejadian diabetes yaitu (11) : 1. Tahun 2013 terdapat 382 juta orang hidup dengan diabetes di dunia dan diperkirakan dari 382 juta orang tersebut, 175 juta diantaranya belum terdiagnosis, sehingga berkembang progresif menjadi komplikasi tanpa disadari dan tanpa pencegahan. 2. Tahun 2035 diperkirakan akan meningkat menjadi 592 juta orang Tanda dan gejala Deteksi dini dan pengobatan diabetes dapat menurukan risiko terjadinya komplikasi diabetes. Berikut ini gejala diabetes yang khas yaitu (9) : 1) Sering buang air kecil 2) Merasa sangat haus 3) Merasa sangat lapar, meskipun telah makan 4) Merasa sangat kelelahan 5) Pandangan kabur 6) Luka/ memar yang sukar sembuh 7) Berat badan menurun drastis, meskipun telah makan lebih banyak (tipe 1) Penegakan diagnosis pada DM dilakukan jika pasien mengalami gejala DM yang khas, seperti polifagia, polidipsia, dan poliuria (12). Keluhan lain juga dapat terjadi pada penderita DM, seperti penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya, lemah, kesemutan, gatal, dan disfungsi ereksi pada pria (2) Etiologi dan Klasifikasi Diabetes tipe 1 dan 2 sulit untuk dibedakan karena secara klinis dan progresifitas penyakit bervariasi. Pasien dengan diabetes tipe 2 mungkin bisa mengalami ketoasidosis. Diabetes tipe 1 mungkin memiliki onset yang terlambat dan progresifitas penyakit yang lambat meskipun merupakan penyakit autoimun (2).

24 7 Klasifikasi diabetes melitus dapat digolongkan sebagai berikut: Tabel 2.1. Klasifikasi Etiologis Diabetes Melitus (2,9) Tipe DM Tipe 1 Tipe 2 Etiologi Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut Autoimun Idiopatik Bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang dominan defek sekresi insulin disertai resistensi insulin defek genetik fungsi sel beta defek genetik kerja insulin penyakit endokrin pankreas endokrinopati Tipe lain karena obat atau zat kimia infeksi sebab imunologi yang jarang sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM Diabetes melitus gestasional Terdiagnosa pada trisemester kedua atau ketiga kehamilan Pada DM tipe 1, pasien biasanya mengalami penurunan berat badan dan biasanya onset tanda dan gejala timbul mendadak disertai insulinopenia sebelum usia 30. Seringkali pasien mengalami ketouria positif kuat dan tergantung pada insulin untuk mencegah ketoasidosis dan mempertahankan hidup. Pasien DM tipe 2 biasanya berusia diatas 40 saat diagnosis, mengalami obesitas dan gejala klasik diabetes relatif sedikit. Selama periode stres bisa terjadi ketoasidosis pada DM tipe 2. Pada MODY (Maturity Onset Diabetes of the Young) memiliki onset lebih awal kurang dari 25. Resistensi insulin yang berat disebabkan oleh mutasi pada reseptor insulin meskipun jarang (9) Faktor Risiko Peningkatan jumlah penderita DM berkaitan dengan beberapa faktor yaitu faktor risiko yang tidak dapat diubah, faktor risiko yang dapat diubah dan faktor lain. DM berkaitan dengan faktor risiko yang tidak dapat diubah meliputi (2) : 1. Riwayat keluarga dengan DM (first degree relative) 2. Usia, usia yang rentan terkena DM adalah sebesar 8,7%, sedangkan usia >65 sebesar 18%

25 8 3. Ras 4. Riwayat melahirkan bayi dengan berat badan lahir bayi > 4000 gram atau riwayat pernah menderita DM gestasional 5. Riwayat lahir dengan berat badan rendah <2,5 kg. Faktor risiko yang dapat diubah meliputi: 1. Obesitas, jika berat badan > 120% BB ideal 2. Kurangnya aktivitas fisik 3. Hipertensi, jika nilai tekanan darah >140/90 mmhg 4. Hiperlipidemia, jika kadar HDL <35 atau kadar lipid > Diet tidak sehat. Sedangkan Faktor lain yang terkait dengan risiko diabetes yaitu: 1. Penderita Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) 2. Penderita sindrom metabolik memiliki riwayat toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT) sebelumnya, 3. Memiliki riwayat penyakit kardiovaskuler seperti stroke, PJK, atau Peripheral Arterial Diseases (PAD) 4. Konsumsi alkohol, faktor stres, kebiasaan merokok, jenis kelamin, konsumsi kopi dan kafein Patofisiologi DM tipe 2 dikarakteristikan dengan tiga patofisiologi yaitu ketidak mampuan sekresi insulin, resistensi insulin perifer dan produksi glukosa hepatik yang berlebihan. Obesitas sangat umum pada DM tipe 2. Sel adiposa mensekresi banyak produk biologi seperti leptin, TNF, asam lemak bebas, resistin dan adiponectin yang memodulasi sekresi insulin dan berkontribusi pada terjadinya resistensi insulin. Pada fase awal kelainan, toleransi glukosa masih memperlihatkan keadaan mendekati normal begitu juga resistensi insulin. Hal ini dikarenakan Sel Beta Pankreas mengkompensasinya dengan peningkatan sekresi insulin. Ketika terjadi resistensi insulin dan dikompensasi dengan hiperinsulinemia dalam waktu lama, pankreas pada kebanyakan individu tidak dapat mempertahankan hiperinsulinemia sehingga membuat seseorang jatuh kedalam kondisi toleransi glukosa terganggu (TGT). Progresifitas perjalanan penyakit dari toleransi glukosa

26 9 yang normal ke toleransi glukosa terganggu pada awalnya akan ditandai dengan peningkatan level glukosa postprandial. Penurunan sekresi insulin dan peningkatan produksi glukosa hepatik akan mengakibatkan kondisi diabetes dengan hiperglikemia puasa. Pada akhirnya kegagalan sel beta pankreas pun terjadi. Penanda inflamasi seperti Il-6 dan C-reactive protein sering meningkat pada DM tipe 2 (13). Resistensi insulin adalah kemampuan insulin untuk bekerja efektif pada jaringan target, terutama otot, hati, dan lemak. Resistensi insulin menunjukkan adanya gangguan respon biologis terhadap insulin baik yang diberikan eksogen atau insulin endogen. Resistensi insulin dimanifestasikan penurunan stimulasi oleh insulin untuk transportasi dan metabolisme glukosa dalam sel lemak dan otot rangka oleh gangguan penekanan keluaran glukosa hati. Manifestasi resistensi insulin dapat dijelaskan sebagai berikut (13) : 1) Mekanisme utama resistensi insulin pada otot skeletal meliputi gangguan aktivasi sintase glikogen, disfungsi regulator metabolis, reseptor downregulation, dan abnormalitas transporter glukosa 2) Mengakibatkan penurunan pengambilan glukosa selular yang dimediasi oleh insulin 3) Hepar menjadi resisten terhadap insulin, yang biasanya akan berespon terhadap hiperglikemia dengan menurunkan produksi glukosa, tetapi pada resistensi insulin, hepar akan terus memproduksi glukosa. Pada DM tipe 2, resistensi insulin pada hati menggambarkan kegagalan hiperinsulinemia untuk menekan glukoneogenesis yang akan menyebabkan kenaikan gula darah puasa dan penurunan penyimpanan glikogen oleh hati saat keadaan postprandial. Peningkatan produksi glukosa hepatik biasanya terjadi pada fase awal rangkaian perkembagan diabetes, namun demikian mungkin juga terjadi setelah kondisi sekresi insulin abnormal dan resistensi insulin otot skelet (13) Diagnosis Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, lemah, dan penurunan berat badan yang tidak dapat

27 10 dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah kesemutan, gatal, mata kabur dan impotensia pada pasien pria, serta pruritus vulvae pada pasien wanita. Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl juga digunakan untuk patokan diagnosis DM. Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis klinis DM. Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan mendapatkan sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu 200 mg/dl pada hari yang lain, atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) yang abnormal. Berikut adalah cara pelaksanaan TTGO menurut WHO 1994 (2) : 1) 3 (tiga) hari sebelumnya makan seperti biasa 2) Kegiatan jasmani secukupnya, seperti yang biasa dilakukan 3) Puasa semalam, selama jam 4) Kadar glukosa darah puasa diperiksa 5) Diberikan glukosa 75 gram atau 1,75 gram/kgbb, dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum selama/dalam waktu 5 menit 6) Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa; selama pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok. Kriteria diagnostik diabetes melitus dapat dijelaskan sebagai berikut: Tabel 2.2. Kriteria Diagnostik Diabetes Melitus (2) Pemeriksaan glukosa plasma puasa 126 mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak ada asupan kalori minimal 8 jam Atau pemeriksaan glukosa plasma 200 mg/dl 2-jam setelah Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram Atau pemeriksaan glukosa plasma sewaktu 200 mg/dl dengan keluhan klasik Atau pemeriksaan HbA1c 6,5 dengan menggunakan metode yang terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP) Tes hemoglobin glikosilasi (HbA1C) merupakan cara yang digunakan untuk menilai efek perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya. Untuk melihat hasil terapi dan rencana perubahan terapi, HbA1C diperiksa setiap 3 bulan, atau tiap

28 11 bulan pada keadaan HbA1C yang sangat tinggi (> 10 %). Pada pasien yang telah memperoleh sasaran terapi disertai kendali glikemik yang stabil HbA1C diperiksa paling sedikit 2 kali dalam 1. HbA1c tidak dapat dipergunakan sebagai alat untuk evaluasi pada kondisi tertentu seperti, anemia, hemoglobinopati, riwayat transfusi darah 2-3 bulan terakhir, keadaan lain yang mempengaruhi umur eritrosit dan gangguan fungsi ginjal (2). Kadar glukosa darah sewaktu dan kadar glukosa darah puasa dalam diagnosa DM dapat dilihat pada tabel 2.3. Tabel 2.3. Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa dalam Diagnosa DM (mg/dl) (2) Kadar glukosa darah sewaktu Bukan DM Belum pasti DM DM Plasma Vena < Darah Kapiler < Kadar glukosa darah puasa Bukan DM Belum pasti DM DM Plasma Vena < Darah Kapiler < Untuk kelompok risiko tinggi yang tidak menunjukkan kelainan hasil, dilakukan ulangan tiap. Usia > 45 tanpa faktor risiko lain pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 (2) Komorbid 1) Dislipidemia Dislipidemia pada penderita diabetes adalah peningkatan trigliserida, penurunan kolesterol HDL, sedangkan kolesterol LDL normal atau meningkat. Dislipidemia pada penyandang diabetes lebih meningkatkan resiko terjadinya penyakit kardiovaskuler. Bagi para penderita diabetes dengan dislipidemia perlu dipertimbangkan untuk mendapatkan terapi farmakologi. Target terapi bagi penderita DM adalah penurunan kadar kolesterol LDL. Target profil lipid berdasarkan kriteria ADA 2015 yaitu kadar LDL untuk pasien tanpa penyakit kardiovaskuler <100 (2,6 mmol/l) dan untuk pasien dengan penyakit ACS atau mempunyai banyak faktor resiko kadar LDL sebesar <70 (1,8 mmol/l),

29 12 kadar trigliserida <150 (1,7 mmol/dl), kadar HDL >40 (1,0 mmol/l) untuk pria dan <50 (1,3 mmol/l) untuk wanita (2). 2) Hipertensi Hipertensi merupakan salah satu faktor resiko DM. Hipertensi dan DM adalah kedua penyakit yang saling mempengaruhi, jika kedua penyakit ini tidak terkendali dengan baik akan saling memperburuk kondisi. Pada penelitian yang dilakukan oleh Gress et al. (2000), diperoleh hasil bahwa orang dengan hipertensi mempunyai kemungkinan 2,5 kali lebih besar menderita DM tipe 2 dengan orang yang mempunyai tekanan darah normal. Pada pasien DM, hipertensi dapat ditemukan sebelum, saat didiagnosis, maupun setelah pasien menderita DM (14). Hipertensi yang tidak terkontrol saat menderita DM menyebabkan kadar glukosa darah target sulit tercapai dan meningkatkan resiko komplikasi DM jangka panjang. Peningkatan tekanan darah juga bervariasi tergantung oleh faktor resistensi insulin dan hiperinsulinemia. Terjadinya hipertensi pada resistensi insulin bisa disebabkan beberapa mekanisme, antara lain (15) : a) Peningkatan reabsorpsi natrium dan air oleh ginjal. b) Hiperinsulinemia meningkatkan aktivitas fisik sistem syaraf simpatis yang menimbulkan vasokonstriksi, meningkatkan curah jantung dan gangguan homeostatik garam dan volume darah. c) Kerja dari pompa natrium menigkat dan dilanjutkan peningkatan vasokonstriksi. d) Merangsang insulin pertumbuhan pada otot polos pembuluh darah dari jantung yang berakibat lumen pembuluh darah mengecil dan hipertrofi jantung. Pasien DM yang tekanan darah sistoliknya >140 mmhg dan tekanan darah diastoliknya >90 mmhg harus diberikan terapi farmakologis secara langsung, serta perubahan gaya hidup. 3) Obesitas Obesitas merupakan peningkatan total lemak tubuh, yaitu apabila ditemui kelebihan berat badan >20% pada pria dan >25% pada wanita karena lemak biasanya diukur menggunakan Indeks Massa Tubuh (IMT), lingkar pinggang, dan rasio lingkar pinggang dengan lingkar panggul (16). Kejadian DM 4 kali lebih besar

30 13 pada mereka yang obesitas dibandingkan orang yang tidak obesitas. Individu dengan DM diketahui sebanyak 80% diantaranya adalah obesitas. Obesitas sentral secara bermakna berhubungan dengan sindrom dismetabolik (dislipidemia, hiperglikemia, hipertensi), yang didasari oleh resistensi insulin. Obesitas menyebabkan reseptor insulin pada target sel di seluruh tubuh kurang sensitif dan jumlahnya berkurang sehingga insulin dalam darah tidak dapat dimanfaatkan (2). 4) Gangguan Koagulasi Pada gangguan koagulasi terapi aspirin digunakan mg/hari sebagai strategi pencegahan primer pada penyandang DM dengan faktor risiko kardiovaskular. Termasuk pada laki-laki usia >50 atau perempuan usia >60 yang memiliki tambahan paling sedikit satu faktor risiko mayor (riwayat penyakit kardiovaskular dalam keluarga, hipertensi, merokok, dislipidemia, atau albuminuria) (2) Tata laksana terapi Tata laksana terapi pada DM bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien DM dengan dua target utama yaitu (17) : 1. menjaga kadar glukosa darah dalam rentang normal 2. mencegah atau meminimalkan terjadinya komplikasi DM Berikut target penatalaksanaan diabetes: Parameter HbA1C Prepradial capillary plasma glucose Peak postprandial capillary plasma Tekanan darah Fasting Lipid Profile LDL Trigliserida HDL Tabel 2.4. Target Penatalaksanaan Diabetes (2) Kadar ideal yang diharapkan <6,5% <200 <200 <140/90 mmhg <100 <150 >50

31 14 PERKENI 2015: Berikut ini merupakan Algoritma Pengelolaan DM Tipe 2 berdasarkan Modifikasi Gaya Hidup Sehat HbA1C < 7,5% HbA1C 7,5% HbA1C > 9% Dalam 3 bulan HbA1C >7% Monoterapi* Dengan salah satu dibawah ini Metformin Agonis GLP-1 DPP-4 Inhibitor Penghamba Glukosidase Alfa Penghambat SGLT-2** Tiazolidindion Sulfonilurea Glinid Jika HbA1C belum mencapai sasaran dalam 3 bulan, tambahkan obat ke 2 (kombinasi 2 obat) Metformin atau obat lini pertama yang lain + monoterapi Dalam 3 bulan HbA1c > 7% kombinasi 2 obat* dengan mekanisme berbeda Agonis GLP-1 DPP-4 Inhibitor Tiazolidindion Penghambat SGLT-2** Insulin basal SU/Glinid Kolesevelam** Bromokriptin- QR Penghambat Glukosidase Alfa Jika HbA1C belum mencapai sasaran dalam 3 bulan, tambahkan obat ke 3 (kombinasi 3 obat) Metformin atau obat lini pertama yang lain kombinasi 3 obat Obat lini kedua Gejala - + Kombinasi 2 obat Kombinasi 3 obat Agonis GLP-1 DPP-4 Inhibitor Tiazolidindion Penghambat SGLT-2** Insulin basal SU/Glinid Kolesevelam Bromokriptin- QR Penghambat Glukosidase Alfa Jika HbA1C belum mencapai sasaran dalam 3 bulan, mulai terapi insulin atau intensifikasi terapi insulin Insulin ± obat lain Tambahkan insulin Atau Intensifikasi insulin Keterangan: *Obat yang terdaftar, pemilihan dan penggunaannya disarankan mempertimbangkan faktor keuntungan, kerugian dan ketersediaan **Penghambat SGLT-2, Kolesevelam belum tersedia di Indonesia dan Bromokriptin-QR umumnya digunakan pada terapi tumor hipofisis Gambar 2.1. Algoritma Pengelolaan DM Tipe 2 (2)

32 Terapi non farmakologi Terapi diabetes melitus dapat diawali dengan terapi non farmakologis seperti terapi nutrisi medis, latihan jasmani dan pengaturan diet. DM tipe 2 umumnya terjadi karena pengaturan hidup dan pola makan yang tidak seimbang. Adanya motivasi untuk memperbaiki hidup dan pola makan tersebut dibutuhkan guna mencapai kualitas hidup yang lebih baik pada penyandang diabetes. Pengetahuan mengenai diabetes, tanda-tanda, cara mengatasinya dan pola hidup yang baik penting untuk diberikan kepada penyandang diabetes. a. Terapi Nutrisi Medis Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Perlu ditekankan mengenai keteraturan makan, jenis makanan, dan jumlah makanan terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun gula darah. Aturan untuk makanan pada DM sebagai berikut (2) : 1. Makan 3 jenis makanan pokok dan 1 jenis snack dengan rutin. 2. Coba untuk makan beberapa karbohidrat pada waktu yang sama setiap hari. 3. Makan makanan dengan porsi kecil 4. Kurangi makanan dengan lemak jenuh b. Latihan Jasmani Latihan jasmani sangat penting untuk pasien dengan diabetes. Latihan jasmani secara rutin menunjukkan dapat meningkatkan kontrol gula darah, mengurangi faktor resiko penyakit kardiovaskular, dan dapat menurunkan berat badan. Seseorang dengan diabetes yang berusia lebih dari 18, sebaiknya melakukan latihan 150 menit/minggu atau 75 menit/minggu untuk latihan aerobik. Sedangkan untuk usia lebih dari 65 dapat disarankan melakukan aktivitas fisik atau latihan jasmani yang dapat dilakukan dengan mudah seperti berjalan kaki atau berlari-lari kecil (9). c. Edukasi Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku,

33 16 dibutuhkan edukasi oleh tim kesehatan yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi. Edukasi dapat dilakukan secara individual dengan pendekatan berdasarkan penyelesaian masalah. Seperti halnya dengan proses edukasi, perubahan perilaku memerlukan perencanaan yang baik, implementasi, evaluasi, dan dokumentasi. Materi edukasi terdiri dari materi edukasi tingkat awal dan materi edukasi tingkat lanjutan. Contoh materi edukasi tingkat awal antara lain perjalanan penyakit DM, intervensi farmakologis dan non farmakologis serta target perawatan, cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa darah atau urin mandiri, mengatasi sementara keadaan gawat darurat seperti rasa sakit, atau hipoglikemia, serta pentingnya latihan jasmani yang teratur. Contoh materi edukasi tingkat lanjut antara lain mengenal dan mencegah penyulit akut dan menahun DM, penatalaksanaan DM selama menderita penyakit lain, makan di luar rumah, serta rencana untuk kegiatan khusus (2) Terapi Farmakologi Terapi farmakologi diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan jamani. Terapi farmakologi terdiri dari suntikan dan obat oral. a. Insulin Insulin merupakan hormon anabolik dan katabolik yang memiliki peran dalam metabolisme protein, karbohidrat, serta lemak. Produksi insulin endogen berasal dari pemecahan peptida proinsulin yang besar di sel beta menjadi bentuk peptida insulin yang aktif dan C-peptida yang digunakan sebagai marker produksi insulin endogen (12). Mekanisme aksi insulin dalam menurunkan kadar glukosa darah dengan memicu pengambilan glukosa perifer dan menghambat produksi glukosa hepatik (18). Insulin yang disekresi terdiri dari insulin basal dan insulin prandial. Defisiensi insulin basal akan menyebabkan hiperglikemia pada kondisi puasa, sedangkan defisiensi insulin prandial akan menyebabkan hiperglikemia setelah makan (2). Terapi insulin merupakan terapi utama yang harus diberikan kepada penderita DM tipe 1. Pasien DM tipe 1 dengan sel beta langerhans yang rusak, tidak dapat memproduksi insulin sehingga diperlukan pasokan insulin eksogen (14). Berdasarkan lama kerja, insulin dibagi menjadi insulin kerja cepat (rapid acting

34 17 insulin), insulin kerja pendek (short acting insulin), insulin kerja menengah (intermediate acting insulin), insulin kerja panjang (long acting insulin), dan insulin campuran tetap (premixed insulin). Pemberian insulin bisa secara tunggal maupun kombinasi disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan respon individu terhadap insulin. Insulin kerja cepat dan insulin kerja pendek digunakan untuk mengoreksi defisiensi insulin prandial, sedangkan insulin kerja menengah dan insulin kerja panjang untuk mengoreksi defisiensi insulin basal (2). b. Obat Hipoglikemik Oral (OHO) Obat Hipoglikemik Oral (OHO) dapat diberikan tunggal maupun kombinasi disesuaikan dengan tingkat keparahan diabetes, penyakit penyerta, dan komplikasi yang ada (17). Berdasarkan mekanisme kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan: 1) Pemicu sekresi insulin (Sulfonilurea, Glinid) A. Sulfonilurea Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal atau kurang. Namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan berlebih. Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea jangka panjang (2). B. Glinid Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalamin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial (2). 2) Peningkat Sensitivitas Terhadap Insulin (Tiazolidindion) Tiazolidindion (pioglitazon) berikatan pada Peroxisome Proliferator Activated Reseptor Gamma (PPAR-g), suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak.

35 18 Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien gagal jantung kelas I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala (2). 3) Penghambat Glukoneogenesis (Metformin) Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin >1,5 ) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis, gagal jantung). Metformin dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat atau sesudah makan (2). 4) Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose) Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbose tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang sering ditemukan adalah kembung dan faltulens (2). 5) DPP IV Inhibitor (Linagliptin, Saxagliptin, Sitagliptin, Vildagliptin) Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormon peptida yang dihasilkan oleh sel mukosa di usus. Peptida yang dihasilkan oleh sel mukosa usus bila ada makanan yang masuk ke dalam saluran pencernaan. GLP-1 merupakan perangsang kuat insulin sekaligus penghambat glukagon. Namun demikian secara cepat GLP-1 diubah oleh enzim dipeptidyl-1 peptidase-4 (DPP-4), menjadi metabolit GLP-1-(9,36)-amide yang tidak aktif. Sekresi GLP-1 menurun pada DM tipe 2, sehingga upaya yang ditujukan untuk meningkatkan GLP-1 bentuk aktif merupakan hal yang rasional bagi pengobatan diabetes tipe 2 (2).

36 19 c. Terapi Kombinasi Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah. Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan dapat dilakukan pemberian OHO kombinasi (secara terpisah ataupun fixed combination dalam bentuk tablet tunggal), harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat pula diberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda atau kombinasi OHO dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis dimana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi dengan kombinasi tiga OHO dapat menjadi pilihan (2). Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak dipergunkan dalah kombinasi OHO dan insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang) yang diberikan pada malam hari menjelang tidur dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerja menengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar glukosa darah puasa keesokan harinya. Bila dengan cara seperti di atas kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali. Maka, OHO dihentikan dan diberikan terapi kombinasi insulin (2) Dipeptidyl Peptidase-4 (DPP-4) Dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4) atau dikenal dengan nama adenosine deaminase complexing protenin 2 atau CD26 pertama kali ditemukan Enzim ini merupakan bagian dari grup prolyl oligopeptidase yang secara struktur berhubungan dengan enzim yang mempunyai kecenderungan sifat untuk melepaskan N-dipeptida dari substrat dan diketahui mempunyai peranan dalam proses biologis baik dalam pengaturan protease ataupun binding protein. DPP-4 adalah enzim yang dapat dideteksi pada endothelium dari berbagai macam organ dan terukur sebagai aktivitas sirkulasi enzim pada plasma (19).

37 20 Secara in vivo, DPP-4 akan memutus ikatan amida dipeptida yang dilepaskan oleh asam amino. GLP-1 dan GIP adalah substrat DPP-4 yang tervalidasi keberadaannya pada manusia. Kedua substrat ini merupakan bagian dari kelompok hormon metabolisme yang disebut incretin. GIP adalah peptida panjang terdiri dari 42 asam amino yang berasal dari gen progip, dan GLP-1 diproduksi dari gen proglukagon yang menghasilkan dua bentuk aktif yaitu perpanjangan glisin GLP dan amida GLP-17e36 (20). Incretin berguna untuk merangsang penurunan kadar gula darah dengan cara menaikkan jumlah insulin yang dihasilkan sel beta pankreas setelah mengkonsumsi makanan. Selain itu incretin juga mempunyai peranan penting lain yaitu menghambat pelepasan glukagon dari alpha sel islets of Langerhans. Incretin bertanggungjawab atas 50-70% dari insulin yang dihasilkan oleh tubuh. DPP-4 diketahui mempunyai aktivitas yang berlawanan dengan hormon yang dihasilkan oleh incretin. Setelah GLP-1 dan GIP dihasilkan incretin, secara cepat DPP-4 akan menghidrolisisnya yang mengakibatkan GLP-1 dan GIP tidak aktif (22). Hal ini yang kemudian mendasari penelitian baru tentang pengobatan DM tipe 2. Penelitian menyatakan bahwa penderita diabetes melitus tipe 2 kandungan enzim DPP-4 tinggi bila dibandingkan dengan orang normal. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa keberadaan DPP-4 telah mengurangi jumlah GLP-1 dan GIP yang berperan menghasilkan insulin. DPP-4 dijadikan sebagai enzim target yang kinerjanya dihambat oleh inhibitor yang bertindak sebagai obat. DPP-4 inhibitor diberikan secara oral. Dapat menaikkan level GLP-1 secara fisiologis 2-3 kali lipat. Mekanisme utama stimulasi reseptor GLP-1 secara berinteraksi dengan reseptor pada saraf aferen (sistem saraf otonom) GIP, Pituitary adenylate cyclase-activating polypeptide (PACAP) dan lainnya. Efek pada pengosongan lambung dan pada apetit tidak berpengaruh. Sedangkan efek pada berat badan yaitu dapat menetralkan berat badan. Reaksi yang merugikan yaitu pada vidagliptin dapat meningkatkan enzim di hepar dan pada sitagliptin dapat menimbulkan reaksi kulit (22).

38 Sitagliptin Sitagliptin merupakan obat DPP-4 inhibitor yang digunakan sebagai terapi pada pasien DM tipe 2. Dipilih sebagai lini kedua bagi pasien yang tidak berespon terhadap monoterapi seperti Sulfonilurea, metformin, atau TZD, dan sebagai pengobatan lini ketiga ketika terapi kombinasi dengan metformin dan sulfonilurea tidak cukup mengontrol gula darah. Dosis Sitagliptin yang direkomendasikan adalah 100 mg per hari. Pada kondisi insufisiensi renal sedang-berat, dosis menjadi 50 mg per hari bila klirens kreatinin <50 ml/menit, dan 25 mg per hari bila klirens kreatinin <30 ml/menit. Pasien yang mendapatkan terapi sitagliptin harus menjalani pemeriksaan fungsi ginjal terlebih dahulu dan secara periodik selama terapi untuk memastikan dosis yang tepat (23). Sitagliptin memiliki kemampuan serupa dengan glipizid yaitu menurunkan nilai A1C. Fix combination Sitagliptin dengan Metformin (dosis 50mg / 500 mg, 50 mg / 850 mg, 50mg / 1000 mg) diberikan dengan dosis 2 kali sehari dengan makanan. Dosis diturunkan perlahanlahan, untuk mengurangi efek samping gastro intestinal yang disebabkan dari Metformin (24). Raz et al (2006) melakukan penelitian 18 minggu pada 521 pasien menggunakan sitagliptin 100 atau 200 mg satu kali per hari sebagai monoterapi dibandingkan dengan plasebo pada pasien dengan kadar A1C awal 8,1% menunjukkan penurunan A1C 0,60% dan 0,48%. Aschner et. al (2006) melakukan penelitian 24 minggu menggunakan sitagliptin 100 atau 200 mg per hari pada pengidap DM tipe 2 baru dengan rerata A1C awal 0,8% menunjukkan penurunan 0,74% dan 0,94%. Penelitian-penelitian tersebut menunjukkan pengaruh sitagliptin pada DM tipe 2 menunjukkan efisiensi baik untuk meningkatkan kontrol glikemik dengan penurunan A1C 0,8%-1,1% selama periode minggu (25). Sitagliptin telah diujikan sebagai kombinasi dengan metformin pada penelitian 6 bulan yang melibatkan 701 pasien, dimana sitagliptin (100 mg per hari) ditambahkan pada pasien yang telah mendapatkan metformin (>1,5 gram per hari) pada subyek dengan rerata A1C 8,0% berkurang sebesar 0,65% pada kelompok sitagliptin dibandingkan dengan plasebo. Pada penelitian besar lainnya melibatkan 1172 pasien, efek sitagliptin 100 mg per hari yang dikombinasikan dengan

39 22 metformin dibandingkan dengan glipizide (sampai 20 mg per hari) sebagai tambahan pada metformin selama periode 52 minggu. Subyek memiliki rerata A1C awal 7,5% dan dilaporkan pada kedua kelompok terjadi penurunan A1C sebesar 0,67%. Penelitian ini melaporkan dua perbedaan penting pada kedua kelompok, yaitu kejadian hipoglikemia lebih tinggi pada kelompok glipizide (32%) dibanding kelompok sitagliptin (4,9%) dan peningkatan berat badan subyek glipizide (1,5 kg) dan penurunan berat bada pada subyek sitagliptin (1,5 kg) (26) Saxagliptin Saxagliptin disetujui sebagai pengobatan farmakologis awal untuk DM tipe 2 atau sebagai agen lini kedua pada pasien yang tidak berespon pada agen monoterapi, seperti Sulfonilurea, Metformin atau TZD. Dosis Saxagliptin adalah 2,5 atau 5 mg sekali sehari, dengan dosis 2,5 mg untuk pasien dengan gagal ginjal kronis moderat-berat (laju filtrasi glomerulus [GFR] 50 ml / menit) dan untuk pasien yang menggunakan sitokrom P450 3A4/5 inhibitor kuat (misalnya ketokonazol). Saxagliptin jika digunakan sebagai monoterapi dapat menurunkan A1C. Pada percobaan acak selama 24 minggu, Saxagliptin (2,5, 5, atau 10 mg per hari) dibandingkan plasebo pada 401 pasien dengan DM tipe 2 tanpa terapi dan ratarata kadar A1C sebesar 7,9%, saxagliptin dapat menurunkan kadar A1C sebesar 0,4%, 0,5%, dan 0,5%, pada setiap dosis dibandingkan dengan peningkatan 0,2% pada plasebo. Saxagliptin diminum tanpa makanan dan tablet tidak boleh dibelah atau dipotong. Saxagliptin-metformin tersedia dalam tablet kombinasi (5 mg / 500 mg) (24) Vildagliptin Vildagliptin dosis umumnya 50 mg dua kali sehari jika digunakan bersama dengan metformin atau TZD, dan 50 mg/hari (pagi hari) dengan sulfonilurea. Pada penderita gagal ginjal ringan (Kreatinin 50 ml / menit) tidak perlu penyesuaian dosis. Sedangkan, pada penderita gagal ginjal sedang atau berat, dosis Vildagliptin 50 mg sekali sehari. Vildagliptin efektif digunakan kombinasi dengan metformin, thiazolidinedione, atau insulin. Pada sebuah studi pasien menggunakan Vildagliptin dapat menurunkan kadar A1C yang mempunyai nilai sama dengan rosiglitazone, namun masih kurang efektif daripada metfomin. Dalam percobaan

40 23 non-inferioritas pada 780 pasien selama 52 minggu, Vildagliptin (100 mg/hari) dibandingkan metformin (dititrasi sampai 2000 mg setiap hari), metformin lebih baik (vildagliptin tidak non-inferior) dalam menurunkan nilai A1C (perbedaan antara kelompok adalah 0,4%, CI 95% 0,28-0,65). Sasaran A1C (<7,0%) dicapai oleh 45% dan 35% pasien yang menerima metformin dan vildagliptin. Bila kombinasi dengan metformin,tzd, metformin dan SU, atau insulin (dengan atau tanpa metformin), dosis harian vildagliptin yaitu 100 mg, diberikan dosis 50 mg di pagi hari dan dosis 50 mg dimalam. Bila digunakan kombinasi dengan sulfonilurea, dosis yang vildagliptin yang disarankan adalah 50 mg/hari di pagi hari. Vildagliptin-metformin tersedia dalam kombinasi tablet (50 mg / 500mg, 50 mg / 850 mg, 50 mg / 1000 mg) (24) Linagliptin Linagliptin digunakan sebagai terapi tambahan untuk diet dan latihan fisik pada orang dewasa dengan diabetes melitus tipe 2. Dosis linagliptin 5 mg sekali sehari, dengan atau tanpa makanan. Linagliptin dieliminasi melalui sistem enterohepatik. perlu penyesuaian dosis penderita gagal ginjal atau disfungsi hati. Reagen CYP3A4 atau p-glikoprotein (misalnya rifampisin) dapat menurun efektivitas linagliptin. Oleh karena itu, pasien yang membutuhkan obat ini harus menerima alternatif. Khasiat linagliptin dalam kombinasi dengan metformin, glimepiride, metformin dan kombinasi SU, atau pioglitazone dilakukan dari beberapa percobaan perbandingan kepala ke kepala. Dalam 2 percobaan non-inferioritas pada glimepiride (1-4 mg, dosis rata-rata 3 mg) dibanding linagliptin (5 mg), keduanya diberikan sekali sehari, pada 1551 pasien DM tipe 2 yang tidak cukup terkontrol dengan metformin (A1C 7,7%), perubahan nilai A1C secara signifikan lebih baik yang ditunjukkan dalam glimepiride (-0,36% vs - 0,16%), meskipun linagliptin secara statistik lebih rendah dari glimepiride. Penurunan nilai A1C untuk kedua obat dalam jangka panjang ini sangat kecil. Hal ini terkait dengan penyesuaian terhadap faktor dasar (nilai A1C, kelompok terapi, dan obat antidiabetes sebelumnya) atau tingkat penurunan yang tinggi (~40%), dan data yang hilang dengan metode terakhir observasi-carry-

41 24 forward. Peningkatan dosis dalam glimepiride dikaitkan dengan risiko hipoglikemia yang lebih tinggi (36% vs 7% pasien) dan peningkatan berat badan (+1,3 vs -1,4 kg dengan linagliptin). Tablet Linagliptin bisa dikonsumsi bersama atau tanpa makanan. Linagliptin-metformin ini tersedia dalam kombinasi tablet (2,5 mg / 500mg, 2,5mg/850mg, 2,5 mg/1000 mg) diminum dua kali sehari dengan makanan (24). Profil farmakokinetik Sitagliptin, Saxagliptin, Vidagliptin, dan Linagliptin dapat dilihat pada tabel 2.5. Tabel 2.5. Profil Farmakokinetik Sitagliptin, Saxagliptin, Vildagliptin, dan Linagliptin (27,28) Sitagliptin Saxagliptin Vildagliptin Linagliptin Nama Dagang Januvia Onglyza Galvus Trajenta Half-life(jam) ,5 1,5-4,5 12 Metabolisme Hepar(CYP3 A4/5) Hepar(CYP3A4/ 5) Hepar (hidrolisis) Hepar(CYP3A4/ 5) Ekskresi Ginjal Ginjal, hati Hati Hati, ginjal Penurunan 0,8 0,7-0,9 0,5-1,0 0,5 HbA1c (%) Efek samping Nyeri perut, mual, diare, nasofaringitis, nyeri punggung, osteoartritis Sakit kepala, infeksi saluran pernapasan bawah, athralgia, batuk, mual infeksi saluran pernapasan bawah, pusing, sakit kepala, Nasofaringitis, batuk, hiperlipidemia, hipertrigliserida, kenaikan berat badan Interaksi obat ada Rendah. Pada pasien dengan dosis 2,5mg yang menggunakan CYP3A4/5 kuat Penyesuaian dosis pada penderita kerusakan ginjal (25-50mg) (2,5 mg) hipoglikemia ada ada

42 BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Rancangan Penelitian Penelitian yang dilakukan bersifat non-eksperimental, cross sectional yang dianalisis secara deskriptif. Pengumpulan data dilakukan secara retrospektif menggunakan data rekam medis seluruh pasien DM tipe 2 rawat jalan yang menggunakan obat golongan DPP-4 inhibitor di Rumah Sakit Panti Rapih pada periode Januari 2010-Agustus Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Instalasi Rekam Medis Rumah Sakit Panti Rapih. Waktu pelaksanaan penelitian adalah September Data rekam medis yang diambil adalah rekam medis pasien DM tipe 2 yang menggunakan obat golongan DPP-4 inhibitor periode Januari 2010-Agustus Populasi dan Sampel Populasi Populasi dalam penelitian ini yaitu seluruh pasien rawat jalan penderita DM tipe 2 yang menggunakan obat golongan DPP-4 inhibitor di rumah sakit Panti Rapih selama periode Januari 2010-Agustus Sampel Sampel merupakan pasien rawat jalan yang menderita DM tipe 2 yang menggunakan obat golongan DPP-4 inhibitor di rumah sakit Panti Rapih yang memenuhi kriterian inklusi Kriteria Inklusi a. Pasien dengan diagnosis utama DM tipe 2 dengan atau tanpa penyakit penyerta. b. Pasien yang mendapatkan terapi obat golongan DPP-4 inhibitor sebagai monoterapi atau kombinasi. c. Tersedia data hasil laboratorium rekam medis pasien, meliputi kadar gula darah puasa, kadar gula darah sewaktu, kadar glukosa darah 2 jam post prandial, dan HbA1C. 25

43 Kriteria Ekslusi Kriteria eksklusi penelitian ini adalah pasien yang mendapatkan terapi kortikosteroid oral jangka panjang. 3.4 Definisi Operasional Variabel Definisi operasional yang digunakan dalam penelitian agar diperoleh keseragaman persepsi adalah sebagai berikut: 1. Karakteristik pasien adalah gambaran pasien DM tipe 2 yang mendapatkan obat golongan DPP-4 inhibitor meliputi jenis kelamin, usia, jenis DM tipe 2, durasi penyakit, komorbid, dan jenis pengobatan antidiabetik. 2. Jenis kelamin dalam penelitian ini adalah jenis kelamin pasien DM tipe 2 yang mendapatkan terapi obat golongan DPP-4 inhibitor yang dibedakan menjadi laki-laki dan perempuan. 3. Usia dalam penelitian ini adalah pasien DM tipe 2 yang diukur saat pertama kali didiagnosis menderita DM tipe 2 4. Jenis Diabetes dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua yaitu Diabetes Melitus Tipe 2 non Obesity (DM2NO) dan Diabetes Melitus Tipe 2 dengan Obesity (DM2O). 5. Durasi penyakit adalah lama pasien terdiagnosa DM dari awal menderita DM hingga menggunakan obat golongan DPP-4 inhibitor. 6. Komorbid adalah penyakit yang muncul sebelum atau setelah DM dan berpengaruh pada terapi yang diberikan. Penyakit tersebut dapat berupa penyakit yang menyebabkan munculnya DM dan/atau muncul akibat DM itu sendiri. 7. Jenis pengobatan antidiabetik adalah pengobatan yang terbagi atas monoterapi atau kombinasi antidiabetik sebelum menggunakan obat golongan DPP-4 inhibitor. 8. Dipeptidyl Peptidase-4 (DPP-4) inhibitor adalah obat hipoglikemik oral yang diresepkan kepada pasien diabetes melitus yaitu sitagliptin, saxagliptin, linagliptin, dan vildagliptin. 9. Pola penggunaan obat adalah gambaran penggunaan obat golongan DPP-4 inhibitor yang diresepkan pada pasien DM tipe 2 (tunggal atau kombinasi) serta

44 27 durasi pemakaian obat golongan DPP-4 inhibitor adalah lama pasien menggunakan obat golongan DPP-4 inhibitor hingga penggantian terapi atau tidak. 10. Profil ketercapaian adalah gambaran ketercapaian target kadar glukosa darah dihubungkan dengan waktu yang dibutuhkan obat golongan DPP-4 inhibitor untuk mencapai target tersebut. 11. Kadar glukosa darah pasien dinyatakan tercapai jika kadar glukosa darah saat kunjungan terakhir sesuai dengan anjuran PERKENI 2015, dan dinyatakan tidak tercapai jika salah satu atau seluruh kadar glukosa darah pasien tidak sesuai anjuran PERKENI Kadar glukosa darah adalah kadar glukosa darah pasien DM yang ditentukan dengan pemeriksaan salah satu indikator pada saat pasien kontrol tiap bulannya. Target kadar glukosa darah menurut PERKENI (2015), yaitu : a. Kadar gula darah puasa <126 b. Kadar gula darah sewaktu <200 c. Kadar glukosa darah 2 jam post prandial <200 d. HbA1C <6,5% 3.5 Proses Pengumpulan Data Pengumpulan sumber data untuk melihat gambaran penggunaan obat golongan DPP-4 inhibitor dilakukan secara retrospektif melalui rekam medis pasien dan database penggunaan obat DPP 4 inhibitor di Rumah Sakit Panti Rapih. Data yang dikumpulkan meliputi 3 hal, yaitu data tentang karakteristik subjek penelitian, penyakit, dan terapi. Data tentang karakteristik subjek penelitian diperoleh dari rekam medik berupa nomor rekam medis, jenis kelamin, tanggal lahir, usia, dan alergi. Data penyakit diperoleh dari rekam medik berupa diagnosa utama, komorbid dan berapa lama menderita penyakit DM dari awal terdiagnosa hingga memakai obat golongan DPP-4 inhibitor. Data tentang terapi diperoleh dari rekam medik berupa terapi (antidiabetik monoterapi atau kombinasi yang digunakan sebelum DPP-4 inhibitor, obat golongan DPP-4 inhibitor, dosis obat, cara pemberian, aturan pakai, durasi

45 28 terapi obat golongan DPP-4 inhibitor), pantauan perkembangan kadar glukosa darah (hasil pemeriksaan laboratorium). 3.6 Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan Data Data yang telah terkumpul kemudian dianalisis untuk melihat gambaran penggunaan obat golongan DPP-4 inhibitor. Data berupa berupa persentase dikelompokkan dan disajikan dalam bentuk tabel Analisis Data Analisis data dilakukan dengan metode deskriptif untuk mengetahui gambaran penggunaan obat golongan DPP-4 inhibitor pada pasien rawat jalan penderita DM tipe 2 di Rumah Sakit Panti Rapih periode periode Januari Agustus Data yang diperoleh diolah untuk mendapatkan gambaran mengenai: 1. Karakteristik Subyek penelitian Data yang diperoleh diolah untuk mendapatkan gambaran tentang: persentase jenis kelamin, persentase usia, persentase jenis DM tipe 2, persentase durasi terapi, persentase komorbid, dan persentase jenis antidiabetik yang digunakan sebelum DPP-4 inhibitor. Gambaran karakteristik subyek penelitian disajikan dalam bentuk persentase antara jumlah subyek penelitian pada suatu kelompok terhadap seluruh subyek penelitian. Gambaran pola penggunaan obat antidiabetik sebelum memakai obat golongan DPP-4 inhibitor disajikan dalam bentuk persentase pada tiap golongan obat terhadap pasien yang tercapai atau tidak tercapai kadar glukosa darahnya. 2. Pola penggunaan obat antidiabetik dan DPP 4 inhibitor Analisis penggunaan obat DPP 4 inhibitor dilakukan dengan melihat obat yang diterima oleh tiap pasien dan dikelompokkan dalam 2 kategori yaitu monoterapi dan terapi kombinasi, serta durasi penggunaan obat golongan DPP 4 inhibitor. Masing-masing dihitung jumlahnya kemudian dihitung persentasenya terhadap jumlah pasien.

46 29 3. Profil ketercapaian kadar glukosa darah pasien DM yang menggunakan obat golongan DPP-4 inhibitor Analisis dilihat dari hasil pemeriksaan salah satu kadar glukosa darah pasien. Hasil pemeriksaan berupa Glukosa Darah Puasa atau Glukosa Darah 2 jam Post Prandial atau HbA1C pada pasien dicocokan dengan target kendali glukosa darah berdasarkan PERKENI 2015 dan dikelompokkan mejadi Tercapai dan Tercapai. Pengukuran indikator glukosa darah dalam waktu kurang dari 3 bulan, antara 3 sampai kurang dari 6 dan 6 bulan pemeriksaan. Pasien dikatakan tercapai jika pada pemeriksaan terakhir indikator glukosa darah sesuai dengan target penurunan glukosa darah menurut PERKENI Masing-masing kategori tersebut dihitung jumlah dan persentasinya kemudian disajikan dalam bentuk tabel. 3.7 Alur Penelitian Pembuatan Proposal Pengajuan Ethical Clearance ke FK Permohonan ijin penelitian ke Rumah Sakit Panti Rapih, serta pihak-pihak terkait lainnya. Pencatatan nomor rekam medis pasien yang menggunakan obat DPP-4 Inhibitor di Instalasi Farmasi Kriteria Inklusi Kriteria Eksklusi Pencatatan data yang dibutuhkan Analisis Data Gambar 3.1. Alur Penelitian

47 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif non-eksperimental dengan rancangan cross sectional yang dilakukan secara retrospektif di Rumah Sakit Panti Rapih. Data yang digunakan adalah data sekunder yaitu data rekam medik pasien DM tipe 2 menjalani rawat jalan yang menggunakan obat golongan DPP-4 inhibitor periode Januari 2010-Agustus Jumlah pasien yang berhasil dikumpulkan sebanyak 156 pasien, yang memenuhi kriteria inklusi sejumlah 100 pasien, dan yang termasuk dalam kriteria eksklusi adalah sejumlah 56 pasien. Pasien yang tidak memenuhi kriteria inklusi karena tidak ada data laboratorium dan penggunaan obat kortikosteroid. 4.1 Karakteristik Subyek Penelitian yang Menggunakan Obat Golongan DPP 4 Inhibitor Karakteristik subyek penelitian yang menggunakan obat golongan DPP-4 inhibitor yang dibahas dalam penelitian ini meliputi jenis kelamin, usia, jenis DM tipe 2, durasi penyakit, komorbid dan jenis pengobatan antidiabetik dapat dilihat pada tabel Jenis Kelamin Karakteristik pasien berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 4.1. Tujuan dilakukannya deskripsi berdasarkan jenis kelamin adalah mengetahui besarnya angka pasien DM tipe 2 yang menggunakan obat golongan DPP-4 inhibitor dengan jenis kelamin tertentu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi DM tipe 2 yang menggunakan obat golongan DPP-4 inhibitor sebagian besar adalah pasien laki-laki sebanyak 52 (52%) sedangkan jumlah pasien perempuan sebanyak 48 (48%). Penelitian ini didukung data Badan Sensus Amerika Serikat (2015) yang menyatakan prevalensi DM pada laki-laki lebih besar yaitu 12,7% dibandingkan dengan perempuan sebesar 11,7% (10). Jika prevalensi pasien perempuan yang lebih banyak dapat dipengaruhi faktor lain seperti kegemukan dan hormonal. Suatu studi melaporkan bahwa kecenderungan 30

48 31 prevalensi DM meningkat dengan bertambahnya usia dan lebih umum terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki (29). ada kecenderungan yang pasti bahwa perempuan lebih rentan menderita DM tipe 2 dibandingkan laki-laki, karena jenis kelamin bukan merupakan faktor risiko terjadinya DM (9). Sedangkan menurut PERKENI (2015), laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk menderita DM (2). Berikut adalah karakteristik pasien DM tipe 2 yang menggunakan terapi obat golongan DPP-4 inhibitor: Tabel 4.1. Karakteristik Pasien DM Tipe 2 yang Mendapatkan Terapi Obat Golongan DPP-4 Inhibitor Karakteristik Jumlah pasien ( n=100) n % Jenis kelamin Laki-laki % Perempuan % Usia % % % SD ±10,02 Jenis DM tipe 2 DM2NO % DM2O % Durasi penyakit () < % % % > % Komorbid Memiliki komorbid Tanpa komorbid Jenis Pengobatan Antidiabetik Monoterapi Kombinasi Langsung memakai DPP-4 inhibitor Usia Karakteristik pasien berdasarkan usia dilakukan untuk megetahui kelompok usia pasien DM yang menggunakan obat golongan DPP-4 inhibitor. Subyek % 20% 27% 62% 11% Keterangan: DM2NO = Diabetes Mellitus Tipe 2 non Obesity, DM2O = Diabetes Mellitus Tipe 2 dengan Obesity, SD = Standar Deviasi

49 32 dikelompokkan menjadi 3 berdasarkan rentang usia dari penelitian Wild et al (2004) yang meneliti tentang prevalensi DM tipe 2 (30). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Schernthaner (2015), Saxagliptin yang dikombinasikan dengan glimepirid cocok untuk pasien usia 65 dengan tujuan utama menghindari hipoglikemia (31). Namun, pada penelitian ini menunjukkan sebagian besar penderita DM tipe 2 berusia yaitu sebesar 66 pasien (66%). Usia merupakan salah satu faktor risiko terjadinya DM. Hal ini sesuai dengan penelitian Zahtamal (2007) yang menunjukkan bahwa kelompok umur diatas 45 adalah kelompok yang terbanyak menderita DM dibanding kelompok umur yang dibawahnya. Angka kasus DM akan meningkat sesuai dengan pertambahan usia (32) Jenis DM tipe 2 Obesitas merupakan salah satu faktor risiko terjadinya DM. Hal ini dikarenakan orang dengan obesitas memiliki keterbatasan melakukan aktivitas sehingga mengurangi proses metabolime di dalam tubuh dan menyebabkan kadar gula dalam darah juga meningkat. Selain itu, obesitas juga mengakibatkan resistensi insulin, di mana kemampuan insulin dalam mengontrol kadar gula di dalam darah menurun. Karakteristik berdasarkan jenis DM tipe 2 yang diderita terdiri dari DM tipe 2 dengan obesitas dan DM tipe 2 tanpa obesitas. Pada penelitian Hisayuki (2014), sitagliptin dapat meningkatkan nilai HbA1C pada pasien obesitas, menurunkan berat badan dan serum trigliserida secara signifikan (33). Namun, pada penelitian ini pasien yang menggunakan obat golongan DPP-4 inhibitor masuk ke dalam kategori DM tipe 2 tanpa obesitas (DM2NO) lebih banyak yaitu 88 pasien (88%) dibandingkan pasien yang masuk ke dalam kategori DM tipe 2 dengan obesitas (DM2O) sebanyak 12 pasien (12%) Durasi Penyakit Karakteristik lainnya adalah durasi penyakit DM yang telah dijalani oleh pasien. Durasi penyakit pada penelitian ini merupakan lama penyakit dari awal terdiagnosis hingga menggunakan obat golongan DPP-4 inhibitor. Dengan waktu paling sebentar 1 bulan dan waktu paling lama 21. Sebagian besar pasien menderita DM selama 1-5 sebanyak 73 pasien (73%) (tabel 4.1). Sebuah

50 33 hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan durasi diabetes yang lebih lama, kontrol gula darah yang tercermin dari tingkat HbA1C lebih parah pada pasien yang sudah lama menderita diabetes dibandingkan dengan yang memiliki durasi diabetes lebih pendek. Namun, glukosa puasa, glukosa plasma 2-jam post prandial, dan sensitivitas protein C-reaktif tidak berbeda secara signifikan antar kelompok (32). Hal ini juga didukung oleh penelitian Ramadona (2011) yang menunjukkan bahwa outcome klinik pasien yang menderita DM dengan durasi lebih lama menjadi lebih buruk bila dibandingkan dengan pasien yang masih tergolong baru (34) Komorbid Berdasarkan ada tidaknya komorbid, dari 100 pasien yang menderita DM tipe 2 terlihat yang menggunakan obat golongan DPP-4 inhibitor bahwa pasien yang mempunyai komorbid lebih banyak dibandingkan pasien yang tidak mempunyai komorbid. Menurut PERKENI (2015), komorbid yang sering dialami oleh pasien DM antara lain hipertensi, dislipidemia, dan obesitas (2). Pasien yang memiliki komorbid berjumlah 80 pasien (80%) dan yang tidak memiliki komorbid ada 20 pasien (20%). Pada tabel 4.2 menunjukkan karakteristik pasien berdasarkan komorbid yaitu hipertensi dan dislipidemia yaitu 28 pasien (28%), pasien yang hanya menderita hipertensi saja sebesar 27 pasien (27%), dan dislipidemia saja 25 pasien (25%). berikut: Karakteristik pasien berdasarkan komorbid dapat dilihat pada tabel 4.2 Tabel 4.2. Karakteristik Pasien Berdasarkan Komorbid Komorbid Jumlah(n=100) % Hipertensi Dislipidemia Hipertensi+Dislipidemia Tanpa Komorbid % 25% 28% 20% Jumlah % Hipertensi merupakan komorbid yang paling umum pada pasien DM, selain itu merupakan faktor resiko mayor terjadinya penyakit kardiovaskular dan komplikasi mikrovaskular. Pada DM tipe 1 hipertensi seringkali merupakan

51 34 dampak dari nefropati, sedangkan pada DM tipe 2 hipertensi biasanya ada bersamaan dengan resiko kardiometabolik lainnya (9). Tingginya prevalensi hipertensi pada pasien DM dapat disebabkan karena terjadinya penurunan fungsi vasodilatasi, peningkatan kekakuan pembuluh darah, retensi natrium, dan peningkatan syaraf simpatik yang disebabkan oleh resistensi insulin (35). Pada penelitian ini selain hipertensi terdapat penyakit kardiovaskular lainnya yaitu Ischemic Heart Disease (IHD), Congestive Heart Failure (CHF), Hypertension Heart Disease (HHD), Coronary Artery Disease (CAD), Angina Pectoris dan Pheripheral Arterial Disease (PAD). Menurut data dari The Framingham Heart Study terjadi peningkatan resiko CHF, IHD, infark miokard, dan kematian mendadak pada individu yang menderita DM (13). Faktor risiko dari penyakit kardiovaskuler adalah penyakit DM itu sendiri disertai komorbid lain seperti hipertensi dan dislipidemia. Kejadian komplikasi kardiovaskular semakin menurun dengan memfokuskan pada terapi hipertensi, hiperlipidemia, dan meningkatkan kontrol glukosa darah (36). Dislipidemia sering dijumpai pada diabetes melitus dan resistensi insulin (37). Pola gambaran dislipidemia yang paling umum pada pasien DM tipe 2 adalah karena ada gangguan lipoprotein yang disebabkan oleh resistensi insulin, defisiensi insulin dan hiperglikemia. Hiperlipidemia pada pasien diabetes dikarakterisasi dengan peningkatan trigliserida yang kaya lipoprotein (VLDL, IDL, dan partikel remnant) dan penurunan kadar kolesterol HDL. Sedangkan konsentrasi kolesterol LDL pada pasien DM tipe 2 biasanya tidak berbeda secara signifikan dengan individu nondiabetes (9,37) Jenis Pengobatan Antidiabetik Pola pengobatan pasien DM dilihat berdasarkan jenis antidiabetik dan jumlah antidiabetik yang digunakan (monoterapi atau kombinasi). Menurut PERKENI (2015) penatalaksanaan DM tipe 2 yang tidak dapat dikendalikan dengan manajemen diet dan gaya hidup dimulai dengan antidiabetik tunggal maupun insulin. Apabila target glukosa darah belum tercapai dapat dilakukan terapi kombinasi antidiabetikyang berbeda golongan ataupun dengan insulin (2).

52 35 Berikut ini adalah gambaran pola penggunaan obat antidiabetik pada pasien DM tipe 2 sebelum menggunakan obat golongan DPP-4 inhibitor: Tabel 4.3. Gambaran Pola Penggunaan Obat Antidiabetik pada Pasien Jenis Pengobatan* Monoterapi 1. Biguanid 2. Sulfonilurea 3. Rapid Acting Insulin 4. Premixed Insulin Total Monoterapi DM Tipe 2 Sebelum DPP-4 inhibitor Target Glukosa Darah** Jumlah % tercapai tercapai jumlah % Jumlah % % 7 % 3% 1% 27% ,75% 0% 0% 100% 14,81% ,25% 100% 100% 0% 85,18% Kombinasi 1. Biguanid- Sulfo nilurea 2. Biguanid- Premixed Insulin 3. Biguanid-Rapid Acting Insulin 4. Sulfonilurea- Tiazolidindion 5. Sulfonilurea-Long Acting Insulin 6. Rapid Acting Insulin-Long Acting Insulin 7. Biguanid- Sulfonilurea- Tiazolidindion 8. Sulfonilurea- Tiazodindion-Rapid Acting Insulin Total Kombinasi % 1% 2% 1% 2% 1% 1% 1% 62% ,43% 0% 0% 0% 50% 0% 100% 0% 9,68% ,57% 100% 100% 100% 50% 100% 100% 100% 90,32% Lain-Lain 1. Langsung memakai DPP-4 Inhibitor 11 11% 0 0% 11 11% TOTAL % Keterangan: *Golongan biguanid pada penelitian ini adalah metformin. Sulfonilurea adalah glimepirid, glikuidon, gliclazid, dan glibenklamid. Golongan Tiazolidindion adalah pioglitazon. Golongan rapid acting insulin adalah novorapid. Golongan Premixed Insulin adalah novomix. Golongan long acting insulin adalah Lantus. ** Target glukosa darah pada penelitian ini diambil salah satu indikator dari pasien yaitu glukosa darah puasa atau glukosa darah sewaktu atau HbA1C

53 36 a. Monoterapi Pada tabel 4.3. menunjukkan antidiabetik oral sebelum penggunaan obat golongan DPP-4 inhibitor paling banyak digunakan adalah golongan biguanid yaitu 16 pasien (16%). Pasien dengan terapi golongan biguanid (metformin) yang target kadar glukosa darahnya tercapai 3 pasien (18,75%) dan tidak tercapai 13 pasien (81,25%). Pasien yang mencapai target, selama penggunaan metformin kadar glukosa darahnya selalu stabil. Hampir semua pasien menggunakan indikator glukosa darah puasa dan HbA1C, hanya ada 1 pasien yang menggunakan indikator glukosa darah sewaktu pada pasien yang tidak tercapai target glukosa darahnya. Menurut PERKENI (2015) merekomendasikan kombinasi metformin dengan perubahan gaya hidup sebagai terapi farmakologis awal untuk pasien DM tipe 2 (2). Selain golongan biguanid (metformin), terapi tunggal yang banyak menjadi pilihan adalah sulfonilurea sebanyak 7 pasien (7%). Sulfonilurea yang digunakan baik glimepirid, glikuidon, gliclazid, dan glibenklamid. United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS) menyatakan bahwa penggunaan sulfonilurea dapat menyebabkan terjadinya penurunan sebesar 25% kejadian komplikasi mikrovaskular dan 12% masalah DM lainnya (38). Namun pada penelitian yang dilakukan tidak ada pasien yang kadar glukosa darahnya tercapai menggunakan sulfonilurea. Monoterapi dengan insulin yang digunakan sebagai pilihan yaitu Rapid Acting Insulin (RAI) sebanyak 3 pasien (3%) dan Premixed Insulin sebanyak 1 pasien (1%). Insulin digunakan pada pasien DM tipe 2 bukan disebabkan oleh kegagalan terapi antidiabetik oral, tetapi karena memberikan manfaat bagi pasien DM (2). b. Kombinasi Terapi kombinasi lebih banyak digunakan dibandingkan dengan terapi tunggal, yaitu ada 62 pasien. ADA (2017) menyatakan bahwa bila terapi awal non insulin yang telah mencapai batas toleransi maksimum tidak dapat mencapai target A1C selama 3 bulan, direkomendasikan untuk menambah agen oral kedua atau agonis reseptor GLP-1, atau insulin basal (9). Berdasarkan tabel 4.3, kombinasi golongan biguanid dengan sulfonilurea paling banyak dipilih dalam terapi DM tipe 2 sebelum menggunakan obat golongan DPP-4 inhibitor yaitu 53 pasien (53%).

54 37 Kombinasi golongan biguanid dan sulfonilurea sangat dianjurkan apabila sasaran pengendalian kadar glukosa darah puasa dan setelah makan belum tercapai dengan terapi sulfonilurea tunggal. Kombinasi tersebut dapat memberikan kontrol glikemik yang lebih baik dan memperbaiki level lipid dengan profil toleransi yang lebih baik (39). Namun banyak pasien yang belum mencapai target terapi pada penggunaan kombinasi tersebut. Kombinasi 2 antidiabetik golongan sulfonilurea dengan tiazolidindion sebanyak 1 pasien (1%). Insulin dengan metformin digunakan sebanyak 3 pasien (3%) mendapat kombinasi RAI dengan metformin dan premixed insulin dengan metformin. Kombinasi insulin dengan metformin mampu meningkatkan kontrol glukosa darah dengan mengurangi kebutuhan insulin, mengurangi berat badan, dan menurunkan kadar LDL kolesterol (40). Kombinasi insulin dengan sulfonilurea mampu menurunkan HbA1C dan mengurangi kebutuhan total harian insulin jika fungsi sel beta pankreas masih berfungsi. Sulfonilurea dapat terabsorpsi lebih baik jika kadar glukosa darah ternormalkan dengan insulin (41). Terdapat pasien yang mendapatkan 3 kombinasi antidiabetik, yaitu kombinasi insulin rapid acting dengan sulfonilurea dan tiazolidindion sebanyak 1%, sedangkan kombinasi 3 antidiabetik oral golongan biguanid-sulfonilurea dan tiazolidindion sebanyak 1%. c. Langsung menggunakan obat golongan DPP-4 inhibitor Pada penelitian terdapat pasien yang langsung menggunakan obat golongan DPP-4 inhibitor yaitu sebanyak 11 pasien (11%) (Lampiran 4.). Pasien yang langsung menggunakan obat golongan DPP-4 inhibitor yaitu pasien yang sudah terdiagnosa DM tipe 2 namun lebih memilih untuk melakukan terapi non farmakologi dengan menjaga pola hidup. Pada penelitian ini karakteristik pasien yang langsung menggunakan obat golongan DPP-4 inhibitor paling banyak berusia 45 ke atas. Terdapat pula 2 pasien yang obesitas sehingga obat golongan DPP- 4 inhibitor relatif aman untuk dikonsumsi. Kadar glukosa darah pasien yang langsung menggunakan obat golongan DPP-4 inhibitor juga rata-rata relatif stabil sebelum diberikan terapi. Pada hasil penelitian terlihat bahwa persentase pasien yang belum tercapai lebih tinggi justru pada terapi kombinasi yaitu 90,32% sedangkan pada monoterapi

55 38 sebesar 85,18%. Seharusnya terapi kombinasi diharapkan mampu memberi hasil yang lebih baik karena terdapat efek sinergis dari kombinasi antidiabetik. Banyak pasien yang menggunakan terapi kombinasi belum mencapai target terapi, hal ini disebabkan bukan karena kesalahan kombinasi terapi atau ketidaksesuaian terapi yang diberikan kepada pasien, melainkan banyak faktor yang berkontribusi selama pengobatan yang saling berikatan sehingga mempengaruhi kadar glukosa darah tiap individu pasien seperti kepatuhan. Target glukosa darah pasien yang digunakan dalam penelitian terdiri dari 3 parameter kadar glukosa darah yaitu glukosa darah sewaktu (GDS), glukosa darah puasa (GDP), dan glukosa darah 2 jam postprandial (GD2JPP). Masing-masing memiliki capaian yang berbeda. Selain kadar glukosa darah, indikator pengendalian DM yang digunakan adalah HbA1C, yang merupakan indikator glikemik yang akurat. Capaian kadar glukosa darah pasien sebelum menggunakan obat golongan DPP-4 inhibitor berdasarkan indikatornya dapat dilihat pada tabel 4.4. Tabel 4.4. Capaian Kadar Glukosa Darah Pasien berdasarkan Indikator Glukosa Darah sebelum Menggunakan Obat Golongan DPP-4 Inhibitor Indikator Target menurut Capaian glukosa Jumlah % PERKENI 2015 darah pasien(n) HbA1C Total <6,5% Tercapai Tercapai % 38% 41% GDP Total <126 Tercapai Tercapai % 19% 23 GDP-GD2JPP Total <126 - <200 Tercapai Tercapai % 21% 24% GDS(Glukosa Darah Sewaktu) Total <200 Tercapai Tercapai % 12% 12% Total Pasien % Pada tabel 4.4, terdapat 41 pasien yang menggunakan indikator HbA1C, 24 pasien menggunakan GDP dan GD2JPP, 23 pasien menggunakan GDP, dan 12 pasien menggukanan glukosa darah sewaktu. Berdasarkan secara umum jumlah pasien DM yang telah mencapai kadar glukosa target adalah 10 pasien (10%)

56 39 sedangkan 90 pasien (90%) lainnya belum mencapai kadar glukosa darah target terapi antidiabetik sebelum menggunakan obat golongan DPP-4 inhibitor. Pasien yang tercapai kadar glukosa darahnya menggunakan indikator HbA1C merupakan pasien yang menggunakan monoterapi metformin kombinasi biguanid dengan sulfonilurea (Lampiran 2.). Capaian target kadar glukosa darah masih cukup rendah. Sehingga terapi antidiabetik tersebut digantikan atau dikombinasikan dengan obat golongan DPP-4 inhibitor. 4.2 Pola Penggunaan Obat DPP-4 Inhibitor pada Pasien Diabetes Melitus Pengobatan pasien DM yang menggunakan DPP-4 inhibitor ditambahkan setelah terapi antidiabetik lain tidak berefek atau bila dengan kombinasi 2 macam obat tidak mencapai target kendali maka diberikan 3 kombinasi obat. Pada penelitian sangat jarang pasien yang diberikan obat golongan DPP-4 inhibitor sebagai terapi awal. Berdasarkan tabel 4.5, terapi tunggal digunakan sebanyak 15 pasien (15%). Terapi yang paling banyak digunakan adalah saxagliptin sebanyak 7 pasien (7%). Kontrol glikemik dan efek samping dari keempat golongan obat hampir sama. Namun, saxagliptin memiliki keunggulan untuk kontrol glukosa darah puasa daripada sitagliptin, sementara masih lebih rendah dibanding dengan vildagliptin (42). Dibandingkan dengan terapi tunggal, terapi kombinasi lebih banyak digunakan yaitu ada 85 pasien. Kombinasi obat golongan DPP-4 inhibitor dengan metformin terbentuk dalam Fix Drug Combination (FDC). Kombinasi yang paling banyak digunakan adalah kombinasi 2 obat yaitu sebanyak 56 pasien (56%). Kombinasi 3 obat sebanyak 27 pasien (27%) dan kombinasi 4 obat hanya dipakai oleh 2 orang (2%). Kombinasi 2 obat antara sitagliptin dan golongan biguanid (metformin) paling banyak digunakan yaitu 20 pasien (20%) dan kombinasi antara vildagliptin dan biguanid (metformin) sebanyak 13 pasien (13%). Menurut penelitian Monnier et al (2014) sitagliptin dan vildagliptin ditambahkan pada pasien DM tipe 2 yang memiliki kontrol glikemik yang tidak memadai dengan metformin saja (43). Kombinasi sitagliptin dan metformin memberikan efek sinergis untuk

57 40 perbaikan kontrol glikemik. Kombinasi sitagliptin dengan metformin lebih baik daripada sitagliptin dengan golongan sulfonilurea (44). Berikut tabel 4.5. menunjukkan gambaran pola penggunaan obat golongan DPP-4 inhibitor: Tabel 4.5. Gambaran Pola Penggunaan Obat Golongan DPP-4 Inhibitor Jenis pengobatan Jumlah % Monoterapi 1. Saxagliptin 2. Sitagliptin 3. Vildagliptin 4. Linagliptin Total Monoterapi Kombinasi 2 Obat 1. Sitagliptin- Biguanid 2. Vildagliptin-biguanid 3. Saxagliptin-Biguanid 4. Saxagliptin-Sulfonilurea 5. Saxagliptin-Thiazolidindion 6. Saxagliptin-Long Acting Insulin 7. Linagliptin-Biguanid 8. Linagliptin-Sulfonilurea 9. Linagliptin-Premixed Insulin 10. Vildagliptin-penghambat α glukosidase 11. Vildagliptin-Sulfonilurea 12. Vildagliptin- Rapid Acting Insulin Total Kombinasi 2 Obat Kombinasi 3 Obat 1. Vildagliptin-Biguanid-Sulfonilurea 2. Saxagliptin-biguanid-sulfonilurea 3. Sitagliptin-Biguanid-sulfonilurea 4. Sitagliptin-biguanid-TZD 5. Linagliptin-Biguanid-Sulfonilurea 6. Linagliptin-Biguanid-TZD Total Kombinasi 3 Obat % 3% 3% 2% 15% 20% 13% 3% 5% 3% 1% 1% 2% 1% 1% 4% 2% 56% 9% 8% 3% 1% 5% 1% 27% Kombinasi 4 Obat 1. Saxagliptin-biguanid-sulfonilurea-Long Acting Insulin 1 1% 2. Linagliptin-biguanid-Long Acting Insulin- 1 1% Rapid Acting Insulin Total Kombinasi 4 Obat 2 2% TOTAL %

58 41 Pada penelitian ini, terdapat pasien yang menggunakan kombinasi obat golongan DPP-4 inhibitor dengan golongan thiazolidindion. Kombinasi sitagliptin atau vildagliptin dengan pioglitazone dapat menjadi pendekatan terapeutik yang berguna pada pasien DM tipe 2 yang tidak dapat mentolerir metformin atau sulfonilurea (45). Kombinasi dengan insulin juga digunakan dalam penelitian ini. Frandsen (2014) menyatakan bahwa pasien yang ditambahkan DPP-4 inhibitor yang sudah menerima insulin akan menunjukkan efek penurunan HbA1C. Dosis insulin yang dijaga konstan, sehingga risiko hipoglikemia tidak meningkat saat ditambahkan obat golongan DPP-4 inhibitor (46). Kombinasi 3 obat yang mencakup DPP-4 inhibitor dipilih pada pasien yang tidak terkontrol dengan baik penggunaan kombinasi 2 obat dan insulin sebagai pilihan alternatif. Tujuan pemilihan kombinasi 3 obat juga harus mempertimbangkan efek hipoglikemia (47). Kombinasi tiga obat yang paling banyak digunakan yaitu obat golongan DPP-4 inhibitor dengan golongan biguanid dan sulfonilurea. Dalam penelitian pasien DM yang tidak terkontrol dengan metformin biasanya ditambahkan dengan golongan sulfonilurea. Untuk kombinasi 4 obat digunakan obat golongan DPP-4 inhibitor dengan golongan biguanid atau sulfonilurea dan insulin. Kondisi ini diberikan apabila DM sudah tidak dapat terkontrol dengan baik. Karena insulin dapat secara cepat menurunkan kadar glukosa darah. Berikut tabel 4.6 adalah durasi penggunaan obat golongan DPP-4 inhibitor: Tabel 4.6. Durasi Penggunaan Obat Golongan DPP-4 Inhibitor < 6 bulan bulan bulan Total < 6 bulan 6 bulan 1. 6 bulan Total 6 bulan Durasi Jumlah % % 2% 22% % 21% 3% 78% TOTAL %

59 42 Lamanya penggunaan obat yang diberikan mempengaruhi suatu terapi. Durasi penggunaan obat golongan DPP-4 inhibitor pada pasien DM paling banyak digunakan 6 bulan yaitu sebanyak 78 pasien (78%) dengan waktu terbanyak yaitu 6 bulan hingga 1 yaitu 54 pasien (54%). Untuk waktu penggunaan < 6 bulan digunakan oleh 22 pasien (22%) dengan waktu terbanyak pada 1 hingga 3 bulan yaitu 20 pasien (20%). DPP-4 inhibitor aman digunakan jangka panjang dan efektif untuk mencapai kontrol glikemik. Efek samping seperti kejadian hipoglikemia, gastrointestinal, dan risiko infeksi sangat rendah (48). Penelitian ini didukung oleh Rosenstock (2013) monoterapi atau kombinasi saxagliptin dapat ditoleransi jangkan panjang dengan baik hingga waktu 4 (49). 4.3 Capaian kadar Glukosa Darah Pasien Diabetes Melitus yang Menggunakan Obat Golongan DPP-4 Inhibitor Pemantauan kadar glukosa darah pasien rawat jalan tiap kunjungan dapat menunjukkan apakah terapi berhasil dan telah mencapai target terapi kadar glukosa darah. Pada penelitian indikator yang digunakan pada pasien DM tipe 2 yang menggunakan obat golongan DPP-4 inhibitor yaitu glukosa darah puasa (GDP), glukosa darah 2 jam postprandial (GD2JPP), dan HbA1C. Capaian kadar glukosa darah pasien menurut waktu profil ketercapaian dapat dilihat pada tabel 4.7. Tabel 4.7. Profil Waktu Ketercapaian Kadar Glukosa Darah Pasien yang Menggunakan Obat Golongan DPP-4 inhibitor Waktu Tercapai (%) tercapai(%) < 12 minggu 2% 12% 12 minggu - <24 minggu 6% 2% 24 minggu 43% 35% Total 51% 49% Hasil penelitian yang didapatkan, profil ketercapaian kadar glukosa darah pasien yang menggunakan obat golongan DPP-4 inhibitor paling banyak tercapai pada waktu 24 minggu (43%). Pasien yang menggunakan terapi <12 minggu belum menunjukkan adanya ketercapaian kadar glukosa darah. Sehingga terapi obat golongan DPP-4 inhibitor dapat terlihat efeknya yaitu penggunaan jangka panjang.

60 43 Hal ini sesuai dengan penelitian Esposito (2011) yang meneliti target HbA1C pada obat golongan DPP-4 inhibitor rata-rata tercapai dengan waktu 12 minggu, 24 minggu, dan 52 minggu (50). Capaian kadar glukosa darah pasien berdasarkan indikator glukosa darah dapat dilihat pada tabel 4.8. Tabel 4.8. Capaian Kadar Glukosa Darah Pasien Setelah Menggunakan Obat Indikator HbA1C Total GDP Total GDP-GD2JPP Golongan DPP-4 Inhibitor berdasarkan Indikator Glukosa Darah Target menurut PERKENI 2015 Capaian glukosa darah <6,5% Tercapai Tercapai <126 Tercapai Tercapai Jumlah pasien(n) % 15% 16% 31% 11% 10% 21% 25% 23% 48% <126 - <200 Tercapai Tercapai Total Total Pasien % Secara umum jumlah pasien yang mencapai kadar glukosa darah target pada penggunaan obat golongan DPP-4 inhibitor adalah 51 pasien (51%), sedangakan 49 pasien (49%) lainnya belum mencapai kadar target terapi. Indikator glukosa darah puasa dan glukosa darah 2 jam post-prandial digunakan 48 pasien (tabel 4.8). Hasil yang tercapai lebih besar daripada hasil yang tidak tercapai. Terdapat pasien yang hanya menggunakan satu indikator yaitu kadar glukosa darah puasa yaitu sebesar 21 pasien. Pemeriksaan HbA1C sebagai penguat pasien akan ketercapaian glukosa darah. Untuk pasien yang menggunakan indikator HbA1C sejumlah 31 pasien. Capaian target glukosa darah pasien DM tipe 2 yang menggunakan obat golongan DPP-4 inhibitor cukup banyak yang mencapai target. Obat golongan DPP-4 inhibitor berkorelasi dengan penurunan kadar HbA1C yang lebih besar daripada placebo dan penurunan kadar glukosa plasma puasa lebih tinggi daripada placebo (51).

61 44 Berikut adalah pasien dengan target HbA1C yang tercapai berdasarkan penggunaan obat golongan DPP-4 inhibitor: Tabel 4.9. Pasien dengan Target HbA1C yang Tercapai Berdasarkan Penggunaan Obat Golongan DPP-4 Inhibitor DPP-4 inhibitor Nomor Pasien Jumlah Pasien Saxagliptin Saxagliptin-Metformin-Glimepirid Sitagliptin-Metformin Linagliptin Vildagliptin Vildagliptin-Glimepirid Vildagliptin-Metformin-Glipizide 4,16 18, 90, 92 24, 83, 88 42, , 80 82, TOTAL 15 Pasien yang tercapai target glukosa darah memakai indikator HbA1C ada 15 pasien. Terdapat 5 pasien yaitu nomor 4, 52, 70, 83, dan 99 yang sebelum menggunakan obat golongan DPP-4 inhibitor melakukan pemeriksaan HbA1C. Berikut tabel 4.10., adalah ketercapaian HbA1C pasien yang tercapai menggunakan obat golongan DPP-4 inhibitor: Tabel Ketercapaian HbA1C Pasien yang Tercapai Menggunakan Obat Golongan DPP-4 Inhibitor HbA1C Nomor Sebelum DPP-4 Setelah DPP-4 Pasien Inhibitor Inhibitor % Penurunan 4 6,4% 6,2% 0,2% 52,99 7,9% 6,2% 1,7% 70 12,5% 6,2% 6,3% 83 8,0% 6,3% 1,7% Pada pasien nomor 4 menggunakan saxagliptin 5 mg sebagai monoterapi, sebelum memakai obat golongan DPP-4 inhibitor kadar glukosa darahnya sudah terkontrol. Menurut Rosenstock (2009), monoterapi saxagliptin dosis 5 mg mampu menurunkan HbA1C sebesar 0,46% dalam waktu 24 minggu (52). Vildagliptin sebagai monoterapi digunakan pasien nomor 99 dengan penurunan 1,7% yang sama penurunannya dengan pasien nomor 52 yang mendapat 3 kombinasi vildagliptin,

62 45 metformin, glipizid. Pasien nomor 99 baru terdiagnosis DM dan langsung mendapatkan terapi DPP-4 inhibitor yang dalam waktu 2 bulan target kadar glukosanya tercapai. Kombinasi 2 obat vildagliptin dengan glimepirid digunakan pada pasien nomor 70 mampu menurunkan HbA1C sebesar 6,3% dalam waktu 3 bulan. Monoterapi vildagliptin menurut Rosenstock (2006) mampu menurunkan HbA1C sebesar 0,53% (baseline HbA1c 7,2%) dalam 4 minggu. Sedangkan kombinasi vildagliptin dengan glimepirid dapat menurunkan 0,9% dalam 24 minggu (53). Pada pasien nomor 94 penurunkan kadar HbA1C dari 8,0% menjadi 6,3% mampu diturunkan dalam jangka waktu 6 bulan dengan penggunaan kombinasi sitagliptin dan metformin. Hal ini didukung oleh penelitian Ahren (2008), dimana kombinasi sitagliptin dengan metformin dapat menurunkan kadar HbA1c sebesar 0,65% -1,1% (baseline HbA1c 7,2-8,7%) dalam waktu 52 minggu (25). 4.4 Keterbatasan Penelitian 1. Peneliti tidak dapat menemukan indikator pemeriksaan glukosa darah yang sama pada setiap pasien, terutama pengukuran HbA1C pada tiap pasien. 2. Peneliti tidak mengamati pola hidup dan kebiasaan pasien selama menjalani pengobatan dengan obat golongan DPP-4 inhibitor, sehingga mempengaruhi gula darah pasien. 3. Peneliti tidak menggali secara langsung terhadap pasien pasien terkait kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat golongan DPP 4 inhibitor.

63 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan 1. Dari 100 pasien DM tipe 2 yang mengkonsumsi obat golongan DPP-4 inhibitor di RS Panti Rapih dalam penelitian ini, berdasarkan karakteristik pasien jenis kelamin terbanyak adalah laki-laki sebesar 52 pasien (52%), usia terbanyak yaitu usia sebesar 66 pasien (66%), jenis DM terbanyak yaitu DM2NO yaitu 88 pasien (88%), durasi penyakit terbanyak yang menderita DM yaitu 1-5 sebesar 73 pasien (73%), sejumlah 80 pasien (80%) memiliki komorbid, dan 62 pasien (62%) menggunakan jenis pengobatan kombinasi antidiabetik lain sebelum menggunakan DPP-4 inhibitor. 2. Pola penggunaan obat DPP-4 inhibitor terbanyak pada monoterapi yaitu saxagliptin sebesar 7 pasien (7%) dan kombinasi 2 obat sebesar 56 pasien (56%) pada penggunaan sitagliptin dengan biguanid yaitu 20 pasien (20%). Durasi pemakaian obat DPP-4 inhibitor paling lama digunakan >6 bulan (rentang 6 bulan-1 ) sebanyak 54 pasien (54%). 3. Profil ketercapaian kadar glukosa darah pasien yang menggunakan obat golongan DPP-4 inhibitor paling banyak tercapai pada waktu 24 minggu (43%) 5.2 Saran 1. Perlu disamakan pemeriksaan glukosa darah pasien dan dilakukan pengukuran HbA1C setiap 3 bulan sekali pada setiap pasien yang menggunakan obat golongan DPP-4 inhibitor. 2. Perlu dilakukan pengamatan terhadap sampel penelitian dalam hal pola hidup dan kebiasaan pasien selama menjalani pengobatan dengan obat golongan DPP-4 inhibitor untuk memastikan faktor yang berperan dalam ketercapaian kadar glukosa darah. 3. Perlu dilakukan pengamatan secara langsung terhadap sampel penelitian terkait kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat golongan DPP-4 inhibitor. 46

64 47 DAFTAR PUSTAKA (1) Depkes RI Pedoman Pengendalian Diabetes Melitus dan Penyakit Metabolik. Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan - Departemen Kesehatan RI. Jakarta. (2) PERKENI Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. PERKENI. Jakarta. (3) Riset Kesehatan Dasar Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan, Republik Indonesia. Hal: 157 (4) Riset Kesehatan Dasar Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan, Republik Indonesia. Hal: 89 (5) Sharma, A., Paliwal, G., Upadhyay, N., Tiwari, A., Therapeutic stimulation of GLP-1 and GIP protein with DPP-4 inhibitors for type-2 diabetes treatment. J Diabetes Metab Disord. (6) Maggio, C. A., Pi-Sunyer, F.X Obesity and type 2 diabetes. Endocrinol Metab Clin North Am. 32: (7) Visboll, T., Knop, F.K Review: DPP IV Inhibitors current evidende and future direction. Brit J Diabet Vasc Dis. 7(69): (8) Zander, M., Madsbad, S., Madsen, J. L., Holst, J. J Effect of 6-week course of glucagon-like peptide 1 on glycaemic control, insulin sensitivity, and β-cell function in type 2 diabetes: parallel-group study. Lancet. 359: (9) American Diabetes Association, 2017, Standards of Medical Care in Diabetes 2017, Diabetes Care, 40, Supp. 1 (10) CDC, 2014, National Diabetes Statistic Report, National Center for Chronic Disease Prevention and Health Promotion, 16 Juli (11) IDF. (2015). Idf diabetes atlas sixth edition. Diakses pada tanggal 16 Juli 2017 dari (12) Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G.y, L.M Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach, In Talbert, R. L., 7 th ed., McGraw-Hill, New York (13) Powers, C.A., 2012, Diabetes Melitus dalam Longo, et al., Harrioson s Principle of Internal Medicine, 18th Edition, Mc Graw Hill Companies, USA.Wild, S., Roglic., Green, A., Sicree, R. & King, H., 2004, Global Prevelance of Diabetes: Estimate for the Year 2000 and Projections for 2030, Diabetes Care, 25:5, (14) Gress, T.W., Nieto, F.J., Shahar, E., Wofford, M.R., & Brancati, f.l., 2000, Hypertension and Antihypertensive Therapy as Risk Factor for Type 2 Diabetes Melitus, The New England Journal of Medicine, 342 (13), (15) Puspita, C., Sinorita, H., dan Husda, S., 2009, Faktor-faktor Kejadian Diabetes Melitus Tipe 2 Pada Pasien Diabetes Melitus Obes dan non Obes di RSUP DR Sardjito Yogyakarta, Skripsi, Universitas Gadjah Mada (16) Suastika, K., 2006, Update in The Management of Obesity, Acta Med Indones Indones J Intern Med, 38,

65 (17) Departemen Kesehatan RI, 2005, Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Diabetes Mellitus, Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Halaman , 32. (18) Sukandar, E. Y., Andrajati, R., Sigit, J.L., Adnyana, I.K., Setiadi, A.A.P. & Kusnandar ISO Farmakoterapi, PT. ISFI Penerbitan, Jakarta. (19) Thoma, R., `7Loffler, B., Stihle, M., Huber, W., Ruf, A., and Henning, M., 2003, Structural Basis of Proline-Specific Exopeptidase Activity as Observed in Human Dipeptidyl Peptidase-IV, Structure, Volume 11, Issue 8, (20) Tasyurek, H. M., Altunbas, H. A., Balci, M. K., and Sanlioglu, S., 2014, Incretins: Their Physiology and Application in The Treatment of Diabetes Mellitus, Diabetes Metabolism Research and Reviews, Volume 30, (21) Baggio, L. L., and Drucker, D. J., 2007, Biology o Incretins: GLP-1 and GIP, Gastroenterology, Volume 132, (22) Nauck, Michael A, Tina Vilsbøll, Baptist Gallwitz, Alan Garber, Sten Madsbad Incretin-Based Therapies: Viewpoints on the way to consensus. Diabetes Care. Alexandria: Nov Vol. 32 pg. S223, 9 pgs. (23) Hermansen K, Kipnes M, Luo E, Fanurik D, Khatami H, Stein P Efficacy and safety of the dipeptidyl peptidase-4 inhibitor, sitagliptin, in patients with type 2 diabetes mellitus inadequately controlled on glimepiride alone or on glimepiride and metformin. Diabetes Obes Metab; 9(5): (24) Kristin, Erna Dipeptidyl Peptidase 4 (DPP-4) Inhibitors for Treatment of Type 2 Diabetes Mellitus. J Med Sci, Volume 48, No. 2, 2016 April: (25) Ahrén B, Novel combination treatment of type 2 diabetes DPP-4 inhibition + metformin. Vascular Health and Risk Management 2008:4(2) (26) Nauck MA, Meininger G, Sheng D, et al Efficacy and safety of the dipeptidyl pepti dase-4 inhibitor, sitagliptin, compared with the sulfonylurea, glipizide, in patients with type 2 diabetes inadequately controlled on metformin alone: a randomized dou ble-blind, non-inferiority trial. Diabet Obes Metab, 9: (27) A.J. Scheen, Pharmacokinetics of dipeptidyl peptidase-4 inhibitors. Diabetes, obesity & metabolism, 12: (28) Garg, K., Tripathi, C.D., Kumar, S., Clinical Review of Sitagliptin: A DPP-4 Inhibitor. Journal of the Association of Physicians of India., Vol.61:648. (29) Dipiro, J.T., Wells, B.G., dan Schwinghammer, T.L., Diabetes Mellitus, dalam: Pharmacotherapy, A Pathophysiologic Approach. Mc Graw Hill, hal 161 (30) Wild, S., Roglic, G., Green, A., Sincree, R., King, H., Global Prevalence of Diabetes: Estimates for the Year 2000 and Projections for 2030, Diabetes Care, 27, (31) Schernthaner, G., Durán-Garcia, S., Hanefeld, M., Langslet, G., et al., Efficacy and tolerability of saxagliptin compared with glimepiride in elderly patients with type 2 diabetes: a randomized, controlled study (GENERATION). Diabetes Obes Metab. 17(7):

66 (32) Zahtamal, Chandra, F., Restuastuti, T., dan Suyanto, Faktor-Faktor Risiko Pasien Diabetes Melitus. Berita Kedokteran Masyarakat, 23: (33) Hisayuki, K., Hiroki, A., Hidetaka, H., Sumie, M., Akahito, S., Hidekatsu, Y., Significant Differences in Effects of Sitagliptin Treatment on Body Weight and Lipid Metabolism Between Obese and Non-Obese Patients With Type 2 Diabetes. Journal of Endocrinology and Metabolism. Volume 4: (34) Ramadona, A, Pengaruh Konseling Obat Terhadap Kepatuhan Pasien Diabetes Mellitus tipe 2 di Poliklinik Khusus Rumah Sakit Umum Pusat DR. M. Djanil Padang. Universitas Padang, (35) Horita, S., Seki., mada, H., Suzuki, M., Koike, K., & Fujita., 2011, Insulin Resistance, Obesity, Hypertenssion, and Renal Sodium Transport, Review Article, Faculty of Medicine, Tokyo University, Japan. (36) Dokken, B., 2008, The Pathophysiology of Cardiovascular Disease and Diabetes: Beyond Blood Pressure and Lipids, Diabetes Spectrum, 21, (37) Betteridge, D.J., 2007, Management of Diabetic Dyslipidemia, Spriinger, Denmark (38) U.K Prospective Diabetes Study (Ukpds) Group Intensive Blood- Glucose Control With Sulphonylureas Or Insulin Compared With Conventional 60 Treatment And Risk Of Complications In Patients With Type 2 Diabetes (Ukpds 33). Lancet;352(9131): (39) Hadeel, D. N., Ibrahim, A. M., Abbas, M. R., Effects of Metformin, Glimepiride and their Combination on Glycemia and Lipid Profile of NIDDM Patients- A study in Iraqis. IJAPBC. Vol. 2(2): (40) Mayfield, J.A., & Rossell D.W., 2002, Insulin Therapy for Type 2 Diabetes Rescue, Argumentation and Replacement of Beta-Cell Pancreas, American Family Physician, 70 (3), (41) Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G.y, L.M Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach, In Talbert, R. L., 9 th ed., McGraw-Hill, New York (42) Chun-Jun, L., Xiao-Juan, L., Lian, B., Qian, Y., et al Efficacy and safety of vildagliptin, Saxagliptin or Sitagliptin as add-on therapy in Chinese patients with type 2 diabetes inadequately controlled with dual combination of traditional oral hypoglycemic agents. Diabetol Metab Syndr. 6: 69. (43) Monnier, L., Dejager, S., Serusclat, P., et al., Vildagliptin versus sitagliptin in add-on to metformin: Are they equivalent? Results of the OPTIMA study. Médecine des Maladies Métaboliques. 8(4): (44) Erin, L., Shannon, M., Elizabeth, C., Sitagliptin/Metformin (Janumet) as Combination Therapy In the Treatment of Type-2 Diabetes Mellitus. Pharmacy and Theraupetic. 37(12): (45) Mikhail, N., Combination therapy with DPP-4 inhibitors and pioglitazone in type 2 diabetes: theoretical consideration and therapeutic potential. Vasc Health Risk Manag. 4(6):

67 (46) Frandsen CSS and Madsbad S Efficacy and safety of dipeptidyl peptidase-4 inhibitors as an add-on to insulin treatment in patients with Type 2 diabetes: a review. Diabetic Medicine. (47) Barnett, A. H., Charbonnel, B., Moses, R. G., Kalra, S., Dipeptidyl peptidase-4 inhibitors in triple oral therapy regimens in patients with type 2 diabetes mellitus. Curr Med Res Opin. 31(10): (48) Liu, X., Xiao, Q., Zhang, L., ng, Q., Liu, X., Xu, L., Cheng, W., The long-term efficacy and safety of DPP-IV inhibitors monotherapy and in combination with metformin in patients with type-2 diabetes mellitus - a meta-analysis. Pharmacoepidemiology and Drug Safety. 23(7): (49) Rosenstock, J., Gross, J. L., Aguilar-Salinas, C., Hissa, M., Berglind, N., Ravichandran, S., Fleming, D Long-term 4-year safety of saxagliptin in drug-naive and metformin-treated patients with Type 2 diabetes. Diabet Med. (12): (50) Esposito, K., Cozzolino, D., Bellastella, G., Mariorino, M. I., Chiodini, P., Dipeptidyl Peptidase-4 Inhibitor and HbA1C target of <7% in Type 2 Diabetes: Meta-Analysis of Randomized Controlled Trials. Diabetes, Obesity and Metabolism. (13): (51) Lingyu, H., Shu, L., Chun, S., Yingmei, T., Zhengqing, L., Xiaohua, D., Differential HbA1c response in the placebo arm of DPP-4 inhibitor clinical trials conducted in China compared to other countries: a systematic review and meta-analysis. BMC Pharmacol Toxicol. 17(1): 40. (52) Rosenstock, J., Gross, J. L., Aguilar-Salinas, Klein, E., Nepal, S., List, J., and Chen, R Effect of Saxagliptin monotherapy in Treatment-Naive Patients with Type 2 Diabetes. Current Medical Research and Promotions. (25): (53) Rosenstock, J., Kim, S.W., Baron M.A., et al., Efficacy and Tolerability of Initial Combination Therapy with Vildagliptin and Pioglitazone Compared with Component Monotherapy in Patients with Type 2 Diabetes. Diabetes, Obesity and Metabolism, 9:

68 Lampiran 1. Ethical Clearance 51

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi akibat sekresi insulin yang tidak adekuat, kerja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes Melitus (DM) atau kencing manis, disebut juga penyakit gula merupakan salah satu dari beberapa penyakit kronis yang ada di dunia (Soegondo, 2008). DM ditandai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI... ii PENETAPAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI... iii PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TULIS SKRIPSI.... iv ABSTRAK v ABSTRACT. vi RINGKASAN.. vii SUMMARY. ix

Lebih terperinci

DIAGNOSIS DM DAN KLASIFIKASI DM

DIAGNOSIS DM DAN KLASIFIKASI DM DIAGNOSIS DM DAN KLASIFIKASI DM DIAGNOSIS DM DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemi yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Diabetes Melitus (DM) adalah penyakit kronis, metabolik yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah (atau gula darah), yang mengarah dari waktu ke waktu untuk

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut American Diabetes Association, diabetes melitus merupakan suatu kelompok

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut American Diabetes Association, diabetes melitus merupakan suatu kelompok BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus 2.1.1. Definisi Menurut American Diabetes Association, diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang

Lebih terperinci

Diabetes Mellitus Type II

Diabetes Mellitus Type II Diabetes Mellitus Type II Etiologi Diabetes tipe 2 terjadi ketika tubuh menjadi resisten terhadap insulin atau ketika pankreas berhenti memproduksi insulin yang cukup. Persis mengapa hal ini terjadi tidak

Lebih terperinci

CLINICAL SCIENCE SESSION DIABETES MELITUS

CLINICAL SCIENCE SESSION DIABETES MELITUS CLINICAL SCIENCE SESSION DIABETES MELITUS Lhara raffany 12100114097 Lina yuliana 12100114098 Lisa Valentin Sihombing 12100113001 Maretta Prihardini Hendriawati 12100113025 Preseptor : dr Dartyaman, Sp.PD

Lebih terperinci

BAB I TINJAUAN PUSTAKA

BAB I TINJAUAN PUSTAKA BAB I TINJAUAN PUSTAKA 1.1. Okra (Abelmoschus esculentus (L.) Moench) Gambar I.1. Daun dan Buah Okra 1.1.1. Klasifikasi Tanaman Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga) Kelas : Magnoliopsida (berkeping

Lebih terperinci

DIABETES MELLITUS I. DEFINISI DIABETES MELLITUS Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen

DIABETES MELLITUS I. DEFINISI DIABETES MELLITUS Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen DIABETES MELLITUS I. DEFINISI DIABETES MELLITUS Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Diabetes Melitus Diabetes adalah gangguan metabolisme kronis, ditandai dengan kadar gula darah tinggi, serta adanya gangguan metabolisme karbohidrat, lipid, dan protein akibat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Diabetes melitus (DM) atau yang dikenal masyarakat sebagai penyakit kencing manis merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan kadar glukosa darah (gula darah) melebihi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. penduduk dunia meninggal akibat diabetes mellitus. Selanjutnya pada tahun 2003

BAB 1 PENDAHULUAN. penduduk dunia meninggal akibat diabetes mellitus. Selanjutnya pada tahun 2003 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada tahun 2000, World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa dari statistik kematian didunia, 57 juta kematian terjadi setiap tahunnya disebabkan oleh penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang ditandai dengan meningkatnya glukosa darah sebagai akibat dari

BAB I PENDAHULUAN. yang ditandai dengan meningkatnya glukosa darah sebagai akibat dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit gangguan metabolisme yang ditandai dengan meningkatnya glukosa darah sebagai akibat dari gangguan produksi insulin atau gangguan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kurangnya sekresi insulin, menurunnya daya kerja insulin, atau keduanya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kurangnya sekresi insulin, menurunnya daya kerja insulin, atau keduanya BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Diabetes Melitus 1. Definisi Diabetes melitus merupakan kumpulan dari gangguan metabolisme yang ditandai dengan hiperglikemia dan sekresi glukosa dalam urin akibat kurangnya

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang American Diabetes Association (ADA) menyatakan bahwa Diabetes melitus

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang American Diabetes Association (ADA) menyatakan bahwa Diabetes melitus BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang American Diabetes Association (ADA) menyatakan bahwa Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hiperglikemia / tingginya glukosa dalam darah. 1. Klasifikasi DM menurut Perkeni-2011 dan ADA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hiperglikemia / tingginya glukosa dalam darah. 1. Klasifikasi DM menurut Perkeni-2011 dan ADA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Diabetes Melitus 2.1.1. Definisi Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu penyakit metabolik yang disebabkan karena terganggunya sekresi hormon insulin, kerja hormon insulin,

Lebih terperinci

KETEPATAN PENGGUNAAN OBAT HIPOGLIKEMIK ORAL PADA PASIEN DIABETES MELLITUS TIPE II DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA PERIODE JANUARI JUNI 2013 SKRIPSI

KETEPATAN PENGGUNAAN OBAT HIPOGLIKEMIK ORAL PADA PASIEN DIABETES MELLITUS TIPE II DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA PERIODE JANUARI JUNI 2013 SKRIPSI KETEPATAN PENGGUNAAN OBAT HIPOGLIKEMIK ORAL PADA PASIEN DIABETES MELLITUS TIPE II DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA PERIODE JANUARI JUNI 2013 SKRIPSI Oleh : NADEEYA BAKA K 100100112 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengetahuan 2.1.1 Pengertian Pengetahuan Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Diabetes Melitus disebut juga the silent killer merupakan penyakit yang akan

I. PENDAHULUAN. Diabetes Melitus disebut juga the silent killer merupakan penyakit yang akan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes Melitus disebut juga the silent killer merupakan penyakit yang akan memicu krisis kesehatan terbesar pada abad ke-21. Negara berkembang seperti Indonesia merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Masalah. Diabetes melitus tipe 2 adalah sindrom metabolik. yang memiliki ciri hiperglikemia, ditambah dengan 3

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Masalah. Diabetes melitus tipe 2 adalah sindrom metabolik. yang memiliki ciri hiperglikemia, ditambah dengan 3 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Diabetes melitus tipe 2 adalah sindrom metabolik yang memiliki ciri hiperglikemia, ditambah dengan 3 patofisiologi dasar : sekresi insulin yang terganggu, resistensi

Lebih terperinci

ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA ANTIDIABETIK ORAL PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2 RAWAT JALAN PESERTA BPJS DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR

ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA ANTIDIABETIK ORAL PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2 RAWAT JALAN PESERTA BPJS DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA ANTIDIABETIK ORAL PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2 RAWAT JALAN PESERTA BPJS DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI TAHUN 2014 SKRIPSI Oleh : ALISA PRIHARSI K 100110045

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Pendahuluan Diabetes mellitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetes mellitus (DM) adalah sekelompok gangguan metabolik. dari metabolisme karbohidrat dimana glukosa overproduksi dan kurang

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetes mellitus (DM) adalah sekelompok gangguan metabolik. dari metabolisme karbohidrat dimana glukosa overproduksi dan kurang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Diabetes mellitus (DM) adalah sekelompok gangguan metabolik dari metabolisme karbohidrat dimana glukosa overproduksi dan kurang dimanfaatkan sehingga menyebabkan hiperglikemia,

Lebih terperinci

Obat Diabetes Farmakologi. Hipoglikemik Oral

Obat Diabetes Farmakologi. Hipoglikemik Oral Obat Diabetes Farmakologi Terapi Insulin dan Hipoglikemik Oral Obat Diabetes Farmakologi Terapi Insulin dan Hipoglikemik Oral. Pengertian farmakologi sendiri adalah ilmu mengenai pengaruh senyawa terhadap

Lebih terperinci

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan ada tiga bentuk diabetes mellitus, yaitu diabetes mellitus tipe 1 atau disebut IDDM (Insulin Dependent

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan ada tiga bentuk diabetes mellitus, yaitu diabetes mellitus tipe 1 atau disebut IDDM (Insulin Dependent BAB 1 PENDAHULUAN Hiperglikemia adalah istilah teknis untuk glukosa darah yang tinggi. Glukosa darah tinggi terjadi ketika tubuh memiliki insulin yang terlalu sedikit atau ketika tubuh tidak dapat menggunakan

Lebih terperinci

Definisi Diabetes Melitus

Definisi Diabetes Melitus Definisi Diabetes Melitus Diabetes Melitus berasal dari kata diabetes yang berarti kencing dan melitus dalam bahasa latin yang berarti madu atau mel (Hartono, 1995). Penyakit ini merupakan penyakit menahun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. usia harapan hidup. Dengan meningkatnya usia harapan hidup, berarti semakin

I. PENDAHULUAN. usia harapan hidup. Dengan meningkatnya usia harapan hidup, berarti semakin I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu indikator utama tingkat kesehatan masyarakat adalah meningkatnya usia harapan hidup. Dengan meningkatnya usia harapan hidup, berarti semakin banyak penduduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit kronis yang kompleks dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit kronis yang kompleks dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit kronis yang kompleks dan memerlukan perawatan medis secara terus-menerus dengan strategi pengurangan risiko multifaktorial

Lebih terperinci

Diabetes tipe 2 Pelajari gejalanya

Diabetes tipe 2 Pelajari gejalanya Diabetes tipe 2 Pelajari gejalanya Diabetes type 2: apa artinya? Diabetes tipe 2 menyerang orang dari segala usia, dan dengan gejala-gejala awal tidak diketahui. Bahkan, sekitar satu dari tiga orang dengan

Lebih terperinci

Pencegahan Tersier dan Sekunder (Target Terapi DM)

Pencegahan Tersier dan Sekunder (Target Terapi DM) Pencegahan Tersier dan Sekunder (Target Terapi DM) PENDAHULUAN Mengenai pencegahan ini ada sedikit perbedaan mengenai definisi pencegahan yang tidak terlalu mengganggu. Dalam konsensus yang mengacu ke

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Diabetes melitus (DM) merupakan suatu penyakit yang banyak dialami oleh

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Diabetes melitus (DM) merupakan suatu penyakit yang banyak dialami oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Diabetes melitus (DM) merupakan suatu penyakit yang banyak dialami oleh orang di seluruh dunia. DM didefinisikan sebagai kumpulan penyakit metabolik kronis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perekonomiannya telah mengalami perubahan dari basis pertanian menjadi

BAB I PENDAHULUAN. perekonomiannya telah mengalami perubahan dari basis pertanian menjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang perekonomiannya telah mengalami perubahan dari basis pertanian menjadi industri. Salah satu karakteristik dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkat. Peningkatan asupan lemak sebagian besar berasal dari tingginya

BAB I PENDAHULUAN. meningkat. Peningkatan asupan lemak sebagian besar berasal dari tingginya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konsumsi diet tinggi lemak dan fruktosa di masyarakat saat ini mulai meningkat. Peningkatan asupan lemak sebagian besar berasal dari tingginya konsumsi junk food dan

Lebih terperinci

ANALISA KASUS. Apabila keton ditemukan pada darah atau urin, pengobatan harus cepat dilakukan karena

ANALISA KASUS. Apabila keton ditemukan pada darah atau urin, pengobatan harus cepat dilakukan karena ANALISA KASUS 1. Diabetes Melitus tipe I Diabetes Melitus adalah suatu penyakit metabolic yang ditandai dengan terjadinya keadaan hiperglikemi akibat kekurangan sekresi insulin, kerja insulin, maupun keduanya.

Lebih terperinci

DAFTAR ISI Halaman SAMPUL DALAM... i LEMBAR PENGESAHAN... ii PENETAPAN PANITIA PENGUJI... iii KATA PENGANTAR... iv PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TULIS

DAFTAR ISI Halaman SAMPUL DALAM... i LEMBAR PENGESAHAN... ii PENETAPAN PANITIA PENGUJI... iii KATA PENGANTAR... iv PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TULIS DAFTAR ISI Halaman SAMPUL DALAM... i LEMBAR PENGESAHAN.... ii PENETAPAN PANITIA PENGUJI... iii KATA PENGANTAR... iv PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TULIS SKRIPSI... v ABSTRAK... vi ABSTRACT... vii RINGKASAN...

Lebih terperinci

Patogenesis Diabetes Melitus Tipe 2

Patogenesis Diabetes Melitus Tipe 2 Patogenesis Diabetes Melitus Tipe 2 Dr. Syazili Mustofa, M. Biomed Lektor Mata Kuliah Ilmu Biomedik Departemen Biokimia, Biologi Molekuler dan Fisiologi Fakultas Kedokteran Unila Kerja insulin terhadap

Lebih terperinci

ABSTRAK PREVALENSI DIABETES MELITUS TIPE 2 DENGAN HIPERTENSI DI RSUP SANGLAH DENPASAR TAHUN 2015

ABSTRAK PREVALENSI DIABETES MELITUS TIPE 2 DENGAN HIPERTENSI DI RSUP SANGLAH DENPASAR TAHUN 2015 ABSTRAK PREVALENSI DIABETES MELITUS TIPE 2 DENGAN HIPERTENSI DI RSUP SANGLAH DENPASAR TAHUN 2015 Diabetes melitus tipe 2 didefinisikan sebagai sekumpulan penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemik

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini dilakukan Rumah Sakit Umum Daerah Toto Kecamatan Kabila Kabupaten

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini dilakukan Rumah Sakit Umum Daerah Toto Kecamatan Kabila Kabupaten BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan Rumah Sakit Umum Daerah Toto Kecamatan Kabila Kabupaten Bone Bolango. Rumah Sakit ini merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit metabolisme dari karbohidrat,

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit metabolisme dari karbohidrat, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit metabolisme dari karbohidrat, lemak, protein sebagai hasil dari ketidakfungsian insulin (resistensi insulin), menurunnya fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes melitus adalah penyakit kronis yang disebabkan ketiadaan atau kurangnya insulin. Karakteristik dari diabetes melitus ditandai dengan peningkatan kadar gula

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan perolehan data Internatonal Diabetes Federatiaon (IDF) tingkat

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan perolehan data Internatonal Diabetes Federatiaon (IDF) tingkat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diabetes mellitus (DM) merupakan salah satu jenis penyakit metabolik yang selalu mengalami peningkat setiap tahun di negara-negara seluruh dunia. Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Diabetes Melitus 2.1.1 Definisi Diabetes Melitus Menurut ADA (2010) DM merupakan penyakit metabolisme yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah akibat gangguan pada sekresi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes Melitus (DM) merupakan sekelompok kelainan heterogen yang

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes Melitus (DM) merupakan sekelompok kelainan heterogen yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes Melitus (DM) merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia (Smeltzer, 2013). Penyakit ini

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. yang saat ini makin bertambah jumlahnya di Indonesia (FKUI, 2004).

BAB 1 PENDAHULUAN. yang saat ini makin bertambah jumlahnya di Indonesia (FKUI, 2004). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu penyakit degeneratif yang saat ini makin bertambah jumlahnya di Indonesia (FKUI, 2004). Diabetes Mellitus merupakan

Lebih terperinci

04/09/2013. Proyeksi WHO Populasi Diabetes Melitus

04/09/2013. Proyeksi WHO Populasi Diabetes Melitus Definisi DM DIABETES MELITUS (DM) Nitta Isdiany American Diabetes Association (ADA), 2011: Diabetes Melitus merupakan kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia, terjadi karena kelainan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Diabetes Melitus (DM) merupakan salah satu penyakit metabolik yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Diabetes Melitus (DM) merupakan salah satu penyakit metabolik yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diabetes Melitus (DM) merupakan salah satu penyakit metabolik yang prevalensinya semakin meningkat dari tahun ke tahun. Diabetes melitus didefinisikan sebagai

Lebih terperinci

4. Tiazolidindion Insulin VI. Komplikasi Diabetes B. Landasan Teori C. Hipotesis BAB III Metodologi Penelitian...

4. Tiazolidindion Insulin VI. Komplikasi Diabetes B. Landasan Teori C. Hipotesis BAB III Metodologi Penelitian... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERNYATAAN... iii HALAMAN PERSEMBAHAN... iv KATA PENGANTAR... v DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR LAMPIRAN...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut International Diabetes Federation (IDF, 2015), diabetes. mengamati peningkatan kadar glukosa dalam darah.

BAB I PENDAHULUAN. Menurut International Diabetes Federation (IDF, 2015), diabetes. mengamati peningkatan kadar glukosa dalam darah. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut International Diabetes Federation (IDF, 2015), diabetes merupakan kondisi kronik yang terjadi ketika tubuh tidak dapat memproduksi insulin yang cukup atau tidak

Lebih terperinci

EVALUASI PEMILIHAN OBAT ANTIDIABETES PADA PENDERITA DIABETES MELLITUS DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA SALATIGA TAHUN 2008 SKRIPSI

EVALUASI PEMILIHAN OBAT ANTIDIABETES PADA PENDERITA DIABETES MELLITUS DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA SALATIGA TAHUN 2008 SKRIPSI EVALUASI PEMILIHAN OBAT ANTIDIABETES PADA PENDERITA DIABETES MELLITUS DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA SALATIGA TAHUN 2008 SKRIPSI Oleh : AYU WULANDARI K 100 050 291 FAKULTAS FARMASI

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. produksi glukosa (1). Terdapat dua kategori utama DM yaitu DM. tipe 1 (DMT1) dan DM tipe 2 (DMT2). DMT1 dulunya disebut

BAB 1 PENDAHULUAN. produksi glukosa (1). Terdapat dua kategori utama DM yaitu DM. tipe 1 (DMT1) dan DM tipe 2 (DMT2). DMT1 dulunya disebut BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Diabetes melitus (DM) adalah sekelompok penyakit metabolik yang ditandai dengan hiperglikemia akibat berkurangnya sekresi insulin, berkurangnya penggunaan glukosa,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 6 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Diabetes 2.1.1 Definisi Diabetes Diabetes melitus, atau hanya diabetes, adalah penyakit kronis yang terjadi ketika pankreas tidak lagi mampu untuk memproduksi insulin, atau

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu gangguan kronik pada metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak yang terjadi karena sekresi insulin berkurang dengan disertai

Lebih terperinci

DIABETES MELITUS GESTASIONAL

DIABETES MELITUS GESTASIONAL DIABETES MELITUS GESTASIONAL Farid Kurniawan Division of Endocrinology and Metabolism Department of Internal Medicine Faculty of Medicine Universitas Indonesia/Cipto Mangunkusumo General Hospital 1 dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Gaya hidup modern dengan kesibukan tinggi dan serba otomatisasi menyebabkan masyarakat cenderung lebih suka mengonsumsi makanan cepat saji dan kurang aktivitas fisik

Lebih terperinci

PENYAKIT DEGENERATIF V I L D A A N A V E R I A S, M. G I Z I

PENYAKIT DEGENERATIF V I L D A A N A V E R I A S, M. G I Z I PENYAKIT DEGENERATIF V I L D A A N A V E R I A S, M. G I Z I EPIDEMIOLOGI WHO DEGENERATIF Puluhan juta ORANG DEATH DEFINISI Penyakit degeneratif penyakit yg timbul akibat kemunduran fungsi sel Penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik kronik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes Mellitus (DM) merupakan gangguan metabolisme dengan. yang disebabkan oleh berbagai sebab dengan karakteristik adanya

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes Mellitus (DM) merupakan gangguan metabolisme dengan. yang disebabkan oleh berbagai sebab dengan karakteristik adanya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes Mellitus (DM) merupakan gangguan metabolisme dengan karakteristik adanya tanda-tanda hiperglikemia akibat ketidakadekuatan fungsi dan sekresi insulin (James,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat berpengaruh terhadap kualitas hidup dari pasien DM sendiri.

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat berpengaruh terhadap kualitas hidup dari pasien DM sendiri. digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Selain kematian, Diabetes Mellitus (DM) juga menyebabkan kecacatan, yang sangat berpengaruh terhadap kualitas hidup dari pasien DM sendiri.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut World Health Organisation WHO (2014) prevalensi penyakit DM

BAB I PENDAHULUAN. Menurut World Health Organisation WHO (2014) prevalensi penyakit DM BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut World Health Organisation WHO (2014) prevalensi penyakit DM seluruh dunia sebanyak 171 juta penderita pada Tahun 2000, dan meningkat, menjadi 366 juta pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. kasus terbanyak yaitu 91% dari seluruh kasus DM di dunia, meliputi individu

BAB I PENDAHULUAN UKDW. kasus terbanyak yaitu 91% dari seluruh kasus DM di dunia, meliputi individu BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Diabetes Melitus (DM) merupakan kelainan metabolisme dari karbohidrat, protein dan lemak yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya

Lebih terperinci

Pengobatan diabetes tipe 2 yang agresif. Lebih dini lebih baik. Perjalanan penyakit Diabetes tipe 2 : Keadaan patologik yang mendasarinya

Pengobatan diabetes tipe 2 yang agresif. Lebih dini lebih baik. Perjalanan penyakit Diabetes tipe 2 : Keadaan patologik yang mendasarinya Pengobatan diabetes tipe 2 yang agresif. Lebih dini lebih baik Augusta L.Arifin Pendahuluan Epidemi diabetes tipe 2 pada ahir abad ke 20 dan awal abad ke 21, dan pengetahuan tentang pentingnya pengendalian

Lebih terperinci

FREDYANA SETYA ATMAJA J.

FREDYANA SETYA ATMAJA J. HUBUNGAN ANTARA RIWAYAT TINGKAT KECUKUPAN KARBOHIDRAT DAN LEMAK TOTAL DENGAN KADAR TRIGLISERIDA PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RUANG MELATI I RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI Skripsi Ini Disusun

Lebih terperinci

PREVALENSI DAN FAKTOR RISIKO PENYAKIT JANTUNG KORONER PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI DESEMBER

PREVALENSI DAN FAKTOR RISIKO PENYAKIT JANTUNG KORONER PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI DESEMBER ABSTRAK PREVALENSI DAN FAKTOR RISIKO PENYAKIT JANTUNG KORONER PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI DESEMBER 2010 Shiela Stefani, 2011 Pembimbing 1 Pembimbing

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka 1. Diabetes Melitus a. Definisi Menurut American Diabetes Association (ADA), diabetes adalah sekelompok penyakit metabolik yang ditandai dengan hiperglikemia

Lebih terperinci

PREVALENSI DIABETES MELLITUS

PREVALENSI DIABETES MELLITUS DIABETES MELLITUS 1 PREVALENSI DIABETES MELLITUS -Meningkat dari tahun ke tahun utama daerah urban -Data epidemiologi 1980 1,2 2,3 % dari jumlah penduduk 1982 Jakarta 1,7% 1993 Jakarta 5,7% -Diabetes Atlas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Glukosa Darah Karbohidrat merupakan sumber utama glukosa yang dapat diterima dalam bentuk makanan oleh tubuh yang kemudian akan dibentuk menjadi glukosa. Karbohidrat yang dicerna

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. absolute atau relatif. Pelaksanaan diet hendaknya disertai dengan latihan jasmani

BAB I PENDAHULUAN. absolute atau relatif. Pelaksanaan diet hendaknya disertai dengan latihan jasmani 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes Mellitus adalah kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang mengalami peningkatan kadar gula darah akibat kekurangan hormon insulin secara absolute atau

Lebih terperinci

Pengetahuan Mengenai Insulin dan Keterampilan Pasien dalam Terapi

Pengetahuan Mengenai Insulin dan Keterampilan Pasien dalam Terapi Pengetahuan Mengenai Insulin dan Keterampilan Pasien dalam Terapi Komala Appalanaidu Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana (ria_not_alone@yahoo.com) Diterima: 15 Maret

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes mellitus merupakan salah satu masalah kesehatan yang berdampak pada produktivitas dan dapat menurunkan sumber daya manusia. Penyakit ini tidak hanya berpengaruh

Lebih terperinci

KAJIAN PENGGUNAAN OBAT HIPOGLIKEMIK ORAL PADA PASIEN DIABETES MELLITUS TIPE 2 DI PUSKESMAS TEMINDUNG SAMARINDA

KAJIAN PENGGUNAAN OBAT HIPOGLIKEMIK ORAL PADA PASIEN DIABETES MELLITUS TIPE 2 DI PUSKESMAS TEMINDUNG SAMARINDA KAJIAN PENGGUNAAN OBAT HIPOGLIKEMIK ORAL PADA PASIEN DIABETES MELLITUS TIPE 2 DI PUSKESMAS TEMINDUNG SAMARINDA Adam M. Ramadhan, Laode Rijai, Jeny Maryani Liu Laboratorium Penelitian dan Pengembangan FARMAKA

Lebih terperinci

BAB I. Pendahuluan. diamputasi, penyakit jantung dan stroke (Kemenkes, 2013). sampai 21,3 juta orang di tahun 2030 (Diabetes Care, 2004).

BAB I. Pendahuluan. diamputasi, penyakit jantung dan stroke (Kemenkes, 2013). sampai 21,3 juta orang di tahun 2030 (Diabetes Care, 2004). BAB I Pendahuluan 1. Latar Belakang Penyakit Tidak Menular (PTM) sudah menjadi masalah kesehatan masyarakat, baik secara global, regional, nasional dan lokal. Salah satu PTM yang menyita banyak perhatian

Lebih terperinci

Journal of Diabetes & Metabolic Disorders Review Article

Journal of Diabetes & Metabolic Disorders Review Article Journal of Diabetes & Metabolic Disorders Review Article Gestational Diabetes Mellitus : Challenges in diagnosis and management Bonaventura C. T. Mpondo, Alex Ernest and Hannah E. Dee Abstract Gestational

Lebih terperinci

EPIDEMIOLOGI DIABETES MELLITUS

EPIDEMIOLOGI DIABETES MELLITUS EPIDEMIOLOGI DIABETES MELLITUS Diabetes mellitus, DM diabaínein (bhs yunani): διαβαίνειν,, tembus atau pancuran air Mellitus (bahasa Latin): rasa manis dikenal di Indonesia dengan istilah penyakit kencing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diabetes melitus merupakan penyakit menahun yang menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Diabetes melitus ditandai oleh adanya hiperglikemia kronik

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Jogja yang merupakan rumah sakit milik Kota Yogyakarta. RS Jogja terletak di

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Jogja yang merupakan rumah sakit milik Kota Yogyakarta. RS Jogja terletak di BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Deskripsi Umum Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di RSUD Kota Yogyakarta atau Rumah Sakit Jogja yang merupakan rumah sakit milik Kota

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. LEMBAR PERSETUJUAN... ii. PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN... v. ABSTRAK... vi. ABSTRACT... vii. RINGKASAN... viii. SUMMARY...

DAFTAR ISI. LEMBAR PERSETUJUAN... ii. PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN... v. ABSTRAK... vi. ABSTRACT... vii. RINGKASAN... viii. SUMMARY... DAFTAR ISI Halaman SAMPUL DALAM... i LEMBAR PERSETUJUAN... ii PENETAPAN PANITIA PENGUJI... iii KATA PENGANTAR... iv PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN... v ABSTRAK... vi ABSTRACT... vii RINGKASAN... viii SUMMARY...

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masalah utama dalam dunia kesehatan di Indonesia. Menurut American. Diabetes Association (ADA) 2010, diabetes melitus merupakan suatu

I. PENDAHULUAN. masalah utama dalam dunia kesehatan di Indonesia. Menurut American. Diabetes Association (ADA) 2010, diabetes melitus merupakan suatu 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit kronis yang masih menjadi masalah utama dalam dunia kesehatan di Indonesia. Menurut American Diabetes Association (ADA) 2010,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dikenal sebagai sillent killer atau pembunuh manusia secara diam-diam.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dikenal sebagai sillent killer atau pembunuh manusia secara diam-diam. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes melitus (DM) adalah penyakit gangguan metabolik kronis yang dikenal sebagai sillent killer atau pembunuh manusia secara diam-diam. Manusia seringkali tidak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. WHO (2006) menyatakan terdapat lebih dari 200 juta orang dengan Diabetes

I. PENDAHULUAN. WHO (2006) menyatakan terdapat lebih dari 200 juta orang dengan Diabetes 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang WHO (2006) menyatakan terdapat lebih dari 200 juta orang dengan Diabetes Mellitus (DM) di dunia. Angka ini diprediksikan akan bertambah menjadi 333 juta orang pada tahun

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit yang telah merambah ke seluruh lapisan dunia. Prevalensi penyakit ini meningkat setiap tahunnya. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kelompok penyakit metabolic dengan karakteristik hiperglikemia yang

BAB 1 PENDAHULUAN. kelompok penyakit metabolic dengan karakteristik hiperglikemia yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit dengan gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat

Lebih terperinci

glukosa darah melebihi 500 mg/dl, disertai : (b) Banyak kencing waktu 2 4 minggu)

glukosa darah melebihi 500 mg/dl, disertai : (b) Banyak kencing waktu 2 4 minggu) 14 (polidipsia), banyak kencing (poliuria). Atau di singkat 3P dalam fase ini biasanya penderita menujukan berat badan yang terus naik, bertambah gemuk karena pada fase ini jumlah insulin masih mencukupi.

Lebih terperinci

D. Definisi Operasional Variabel 39 E. Pengumpulan Data.. 41 F. Pengolahan Data dan Analisa. 42 BAB IV. HASIL DAN PENELITIAN A. Gambaran Umum...

D. Definisi Operasional Variabel 39 E. Pengumpulan Data.. 41 F. Pengolahan Data dan Analisa. 42 BAB IV. HASIL DAN PENELITIAN A. Gambaran Umum... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL i HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING iii DALAMAN PENGESAHAN PENGUJI... iv HALAMAN PERNYATAAN v HALAMAN PERSEMBAHAN... vi KATA PENGANTAR... vii DAFTAR ISI... ix DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR

Lebih terperinci

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Tanya-Jawab seputar. Diabetes

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Tanya-Jawab seputar. Diabetes Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Tanya-Jawab seputar Diabetes Diabetes adalah suatu kondisi di mana kadar gula (glukosa) dalam darah tinggi. Tubuh memproduksi insulin, suatu hormon yang dikeluarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. insulin dan kerja dari insulin tidak optimal (WHO, 2006).

BAB I PENDAHULUAN UKDW. insulin dan kerja dari insulin tidak optimal (WHO, 2006). 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Diabetes Melitus (DM) adalah sindrom kelainan metabolik dengan tanda terjadinya hiperglikemi yang disebabkan karena kelainan dari kerja insulin, sekresi

Lebih terperinci

BAB 2 DATA DAN ANALISA

BAB 2 DATA DAN ANALISA BAB 2 DATA DAN ANALISA 2.1 Sumber Data Data mengenai jumlah serta tingkat penderita diabetes di Indonesia didapat dari beberapa website berita dan pengetahuan di media internet : - www.nationalgeographic.co.id

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Dasar Teori 1. Diabetes Melitus a. Definisi Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh kelainan sekresi insulin, ketidakseimbangan antara suplai dan

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh kelainan sekresi insulin, ketidakseimbangan antara suplai dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus (DM) adalah suatu penyakit gangguan metabolisme yang disebabkan oleh kelainan sekresi insulin, ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan insulin,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau berlebih yang dapat mengganggu kesehatan. Dahulu obesitas identik dengan

BAB I PENDAHULUAN. atau berlebih yang dapat mengganggu kesehatan. Dahulu obesitas identik dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Overweight dan obesitas didefinisikan sebagai akumulasi lemak abnormal atau berlebih yang dapat mengganggu kesehatan. Dahulu obesitas identik dengan kemakmuran, akan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetic foot merupakan salah satu komplikasi Diabetes Mellitus (DM).

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetic foot merupakan salah satu komplikasi Diabetes Mellitus (DM). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Diabetic foot merupakan salah satu komplikasi Diabetes Mellitus (DM). Diabetic foot adalah infeksi, ulserasi, dan atau destruksi jaringan ikat dalam yang berhubungan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. pada tahun 2002 dan peringkat ke 5 di seluruh dunia (Fauci et al., 2008).

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. pada tahun 2002 dan peringkat ke 5 di seluruh dunia (Fauci et al., 2008). BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Diabetes merupakan penyebab kematian nomor 6 di Amerika Serikat (AS) pada tahun 2002 dan peringkat ke 5 di seluruh dunia (Fauci et al., 2008). Sekitar 30%

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. modernisasi terutama pada masyarakat kota-kota besar di Indonesia menjadi

BAB I PENDAHULUAN. modernisasi terutama pada masyarakat kota-kota besar di Indonesia menjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perubahan gaya hidup dan sosial ekonomi akibat urbanisasi dan modernisasi terutama pada masyarakat kota-kota besar di Indonesia menjadi penyebab meningkatnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. adekuat untuk mempertahankan glukosa plasma yang normal (Dipiro et al, 2005;

I. PENDAHULUAN. adekuat untuk mempertahankan glukosa plasma yang normal (Dipiro et al, 2005; I. PENDAHULUAN Diabetes melitus tipe II merupakan penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia dimana penyakit ini dapat menimbulkan gangguan ke organ-organ tubuh lainnya karena terjadi defisiensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tipe 2. Diabetes tipe 1, dulu disebut insulin dependent atau juvenile/childhoodonset

BAB I PENDAHULUAN. tipe 2. Diabetes tipe 1, dulu disebut insulin dependent atau juvenile/childhoodonset BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus (DM) atau disebut diabetes saja merupakan penyakit gangguan metabolik menahun akibat pankreas tidak memproduksi cukup insulin atau tubuh tidak dapat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 2004). Penyakit ini timbul perlahan-lahan dan biasanya tidak disadari oleh

I. PENDAHULUAN. 2004). Penyakit ini timbul perlahan-lahan dan biasanya tidak disadari oleh I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes melitus (DM) merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan kadar glukosa darah melebihi normal akibat tubuh kekurangan insulin (Sidartawan, 2004). Penyakit ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pola penyakit yang diderita masyarakat telah bergeser ke arah. penyakit tidak menular seperti penyakit jantung dan pembuluh darah,

BAB I PENDAHULUAN. Pola penyakit yang diderita masyarakat telah bergeser ke arah. penyakit tidak menular seperti penyakit jantung dan pembuluh darah, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pola penyakit yang diderita masyarakat telah bergeser ke arah penyakit tidak menular seperti penyakit jantung dan pembuluh darah, serta kanker dan Diabetes Melitus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manifestasi berupa hilangnya toleransi kabohidrat (Price & Wilson, 2005).

BAB I PENDAHULUAN. manifestasi berupa hilangnya toleransi kabohidrat (Price & Wilson, 2005). BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Diabetes melitus (DM) adalah penyakit dengan gangguan metabolisme yang secara genetik dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi kabohidrat

Lebih terperinci

POLA PENGGUNAAN OBAT ANTIDIABETIK ORAL DAN EVALUASI KETEPATAN DOSIS PADA PASIEN PROLANIS DI PUSKESMAS KARANGPANDAN KABUPATEN KARANGANYAR

POLA PENGGUNAAN OBAT ANTIDIABETIK ORAL DAN EVALUASI KETEPATAN DOSIS PADA PASIEN PROLANIS DI PUSKESMAS KARANGPANDAN KABUPATEN KARANGANYAR POLA PENGGUNAAN OBAT ANTIDIABETIK ORAL DAN EVALUASI KETEPATAN DOSIS PADA PASIEN PROLANIS DI PUSKESMAS KARANGPANDAN KABUPATEN KARANGANYAR TUGAS AKHIR Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A Dislipidemia 1. Definisi Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan peningkatan atau penurunan fraksi lipid dalam plasma. Kelainan fraksi lipid yang

Lebih terperinci