OPTIMASI PENGELOLAAN EKOWISATA PULAU-PULAU KECIL (KASUS GUGUS PULAU TOGEAN TAMAN NASIONAL KEPULAUAN TOGEAN) ALIMUDIN LAAPO

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "OPTIMASI PENGELOLAAN EKOWISATA PULAU-PULAU KECIL (KASUS GUGUS PULAU TOGEAN TAMAN NASIONAL KEPULAUAN TOGEAN) ALIMUDIN LAAPO"

Transkripsi

1 OPTIMASI PENGELOLAAN EKOWISATA PULAU-PULAU KECIL (KASUS GUGUS PULAU TOGEAN TAMAN NASIONAL KEPULAUAN TOGEAN) ALIMUDIN LAAPO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Optimasi Pengelolaan Ekowisata Pulau-Pulau Kecil (Kasus Gugus Pulau Togean Taman Nasional Kepulauan Togean) adalah hasil karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Agustus 2010 Alimudin Laapo NIM C

3 ABSTRACT ALIMUDIN LAAPO. Optimation of Small Islands Ecotourism Management (Cases of Togean Islands Togean Islands National Park). Under supervision of ACHMAD FAHRUDIN, DIETRIECH G. BENGEN, and ARIO DAMAR. The resources of Togean Islands have been used for marine and coastal ecotourism activity. The increasing number of tourist has lead to the increase of tourism activity and its related activity. This condition probably effect coastal water and habitat qualities. This research is aimed to evaluate management effective based on the suitability, carrying capacity of ecology, economy, social and institutional dimension, and to asses sustainability of small islands ecotourism management in Togean Islands. The data were analyzed using spatial analysis with Geographic Information System approach, integrated of carrying capacity analysis, multidimensional scaling with EFANSIEC method and dynamic models used Stella software. The result of the research indicated that most of the Togean Islands were identified as suitable for marine ecotourism activities. Currently, the number of tourist is still under its carrying capacity (492 persons per day). Index of ecotourism management effective show small islands ecotourism management is properly performed effective in ecologic and social dimension, while economic and institutional dimension is ineffective. Attribute of diving and mangrove ecotourism suitable, diversity of ecotourism activity, ecotourism product price, ratio tourist-host and quality of life, infrastructure, and conservation fee and role of resources use in conservation area is sensitive parameters in small islands ecotourism management effective. Basic model analysis indicated that increase of tourist visiting could increase income local people, while marine and coastal resource (coral reef and mangrove) is degradation. Integration of attribute fee conservation (ecologic), economic incentives (price of ecotourism product), participate of local people, and infrastructure attribute in ecotourism management could generate local communities and regional economic, and sustainability of natural resources uses in Togean Islands National Park. Key words: optimation, management, coastal ecotourism, Togean Islands National Park

4 RINGKASAN ALIMUDIN LAAPO. Optimasi Pengelolaan Ekowisata Pulau-Pulau Kecil (Kasus Gugus Pulau Togean Taman Nasional Kepulauan Togean). Dibimbing oleh ACHMAD FAHRUDIN, DIETRIECH G. BENGEN dan ARIO DAMAR. Taman Nasional Kepulauan Togean (TNKT) merupakan salah satu taman nasional yang terletak di wilayah Kabupaten Tojo Una-Una Provinsi Sulawesi Tengah Teluk Tomini. Kawasan ini memiliki potensi sumberdaya alam pulau-pulau kecil (PPK) yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan perikanan dan pariwisata. Kegiatan pariwisata di wilayah ini mengandalkan pariwisata bahari kategori selam, snorkeling, pancing, pantai, jelajah hutan alam (trecking) dan rekreasi hutan mangrove. Meningkatnya aktivitas penduduk, kegiatan perikanan dan wisata, tekanan terhadap ekosistem semakin meningkat dan mengancam eksistensi dan keberlanjutan sumberdaya PPK. Salah satu konsep pariwisata bahari yang secara konsisten mengedepankan kelestarian sumberdaya PPK dan ekonomi masyarakat lokal adalah dengan konsep ekowisata pesisir. Tujuan umum penelitian ini adalah mengevaluasi efektivitas dan keberlanjutan pengelolaan ekowisata PPK di gugus Pulau Togean, ditinjau dari dimensi ekologi, ekonomi, sosial, dan kelembagaan. Penelitian ini secara khusus bertujuan mengevaluasi efektivitas pengelolaan ekowisata PPK di TNKT berdasarkan kesesuaian dan daya dukung ekologi, sosial, ekonomi, dan kelembagaan; dan melakukan optimasi pengelolaan ekowisata bahari di gugus Pulau Togean melalui integrasi dimensi ekologi, sosial, ekonomi dan kelembagaan. Penelitian ini dilakukan di gugus Pulau Togean TNKT pada bulan Nopember 2008 (low season) dan Juni/Juli 2009 (high season). Jenis dan sumber data yang digunakan yakni data primer bersumber dari pengukuran langsung (insitu) dan laboratorium, observasi dan wawancara langsung dengan contoh atau responden (wisatawan, pengusaha wisata, masyarakat lokal dan staf pemerintah) di lapangan. Data sekunder diperoleh dari studi pustaka dan dari instansi terkait. Karakteristik sumberdaya PPK (obyek wisata, kualitas perairan dan masyarakat), usaha wisata, wisatawan, masyarakat lokal dan kondisi kelembagaan dan infrastruktur untuk penunjang kegiatan wisata dianalisis dengan metode deskriptif dan Principal Component Analysis (PCA). Kajian kesesuaian kawasan gugus Pulau Togean untuk pemanfaatan ekowisata menggunakan metode analisis spasial dengan pendekatan Sistem Informasi Geografis (SIG), sedangkan untuk mengestimasi daya dukung kawasan PPK untuk kegiatan wisata secara terpadu digunakan metode linear goal programming. Metode EFANSIEC digunakan untuk mengevaluasi keefektifan pengelolaan ekowisata bahari PPK berdasarkan dimensi ekologi, ekonomi, sosial dan kelembagaan menggunakan perangkat lunak Rapfish2.1. Tujuan dua penelitian dijawab dengan metode analisis dinamik dan analisis skenario pengelolaan yang optimal dengan menggunakan perangkat lunak Stella7. Berdasarkan karakteristik ekologi perairan (kondisi terumbu karang, mangrove, pantai berpasir dan kualitas perairan laut), sosial budaya, ekonomi masyarakat lokal, kegiatan usaha wisata pesisir dan kelembagaan penunjang menunjukkan bahwa gugus Pulau Togean memiliki potensi yang besar dalam kegiatan ekowisata PPK. Hasil analisis kesesuaian kawasan menunjukkan bahwa kawasan gugus Pulau Togean sangat sesuai untuk ekowisata snorkeling, dan wisata

5 rekreasi/berjemur, sementara ekowisata selam dan mangrove masuk dalam kategori sesuai bersyarat. Ini berarti bahwa ada beberapa kawasan mangrove yang memerlukan perlakuan tertentu terhadap persyaratan kesesuaian untuk ditingkatkan levelnya pada kategori sangat sesuai bagi kegiatan ekowisata selam dan mangrove. Total luas kawasan yang sesuai untuk kegiatan ekowisata yakni ha (24.80 ha untuk ekowisata selam, ha untuk ekowisata snorkeling, ha untuk ekowisata mangrove dan 1.37 untuk ekowisata rekreasi). Hasil analisis daya dukung gabungan di kawasan ekowisata gugus Pulau Togean menunjukkan nilai 492 orang ( turis per tahun). Realitas kunjungan turis saat ini (260 per hari) menunjukkan masih berada di bawah daya dukung sehingga diperlukan upaya peningkatan kunjungan. Berdasarkan daya dukung per dimensi per hari, daya dukung ekologi menunjukkan 962 orang, sosial 492 orang, ekonomi 63 orang dan fisik (daya tampung kamar) maksimum 300 orang. Berdasarkan dukungan karakteristik kualitas perairan yang relatif belum tercemar, daya dukung kawasan tersebut masih dapat ditingkatkan besarannya jika luasan tutupan terumbu karang bertambah dan kawasan hutan mangrove dipertahankan dan ditingkatkan keberadaannya. Indeks keefektifan pengelolaan ekowisata PPK (IEPEP) di gugus Pulau Togean melalui metode EFANSIEC menunjukkan nilai 62.50%. Ini berarti bahwa hasil penilaian terhadap 25 atribut dalam 4 dimensi pengelolaan menunjukkan pengelolaan ekowisata pesisir di gugus Pulau Togean Taman Nasional Kepulauan Togean berada pada kategori cukup efektif (IEPEB berkisar 51%-75%). Pengelolaan ekowisata di gugus Pulau Togean termasuk dalam kategori sangat efektif pelaksanaannya jika ditinjau dari dimensi kelestarian sumberdaya lama (ekologi), kategori cukup efektif dalam mengatasi masalah sosial, dan kurang efektif pengelolaannya jika ditinjau dari dimensi ekonomi dan dimensi kelembagaan. Beberapa atribut penting yang mempengaruhi nilai efektivitas pengelolaan ekowisata di gugus Pulau Togean yakni kesesuaian ekowisata selam dan mangrove, diversifikasi kegiatan ekowisata, harga produk ekowisata, perubahan kualitas hidup masyarakat lokal dan kenyamanan turis dan masyarakat lokal, serta efektifitas penggunaan dana (fee) konservasi bagi pengelolaan ekowisata pesisir PPK. Berdasarkan kondisi nilai atribut saat ini, kunjungan wisatawan ke gugus Pulau Togean cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya sehingga terjadi peningkatan pendapatan masyarakat lokal dan penyerapan tenaga kerja lokal. Namun peningkatan kunjungan wisatawan dalam jangka panjang (tahun ke-15) cenderung dapat menurunkan luas kawasan terumbu karang dan mangrove. Degradasi sumberdaya obyek ekowisata ini mengindikasikan pengelolaan ekowisata PPK belum optimal. Hasil simulasi menunjukkan bahwa optimasi pengelolaan ekowisata (keberlanjutan kegiatan ekowisata dan peningkatan ekonomi masyarakat lokal dan daerah) di gugus Pulau Togean dapat dicapai dengan menerapkan kebijakan terpadu antara program konservasi sumberdaya ekowisata (efektivitas penggunaan fee konservasi), optimasi kegiatan ekowisata berbasis terumbu karang, mangrove dan budaya (diversifikasi kegiatan ekowisata dan peningkatan harga produk ekowisata bahari), peningkatan kenyamanan dan partisipasi masyarakat lokal, dan peningkatan penyediaan infrastruktur penunjang. Diperlukan pembatasan dan distribusi kunjungan wisman pada lokasi dan waktu tertentu. Kata Kunci: optimasi, pengelolaan, ekowisata pesisir, Taman Nasional Kepulauan Togean

6 Hak Cipta milik IPB, Tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

7 OPTIMASI PENGELOLAAN EKOWISATA PULAU-PULAU KECIL (KASUS GUGUS PULAU TOGEAN TAMAN NASIONAL KEPULAUAN TOGEAN) ALIMUDIN LAAPO Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

8 Penguji pada Ujian Tertutup : Prof. Dr. Ir. H. Setyo Budi Susilo, M.Sc. : Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA. Penguji pada Ujian Terbuka : Prof. Dr. Ir. Hj. Marhawati Mappatoba, MT. Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc.

9 Judul Disertasi Nama NRP : Optimasi Pengelolaan Ekowisata Pulau-Pulau Kecil (Kasus Gugus Pulau Togean Taman Nasional Kepulauan Togean) : Alimudin Laapo : C Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si. Ketua Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA. Anggota Dr. Ir. Ario Damar, M.Si. Anggota Diketahui, Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S. Tanggal Ujian: 29 Juli 2010 Tanggal Lulus:

10 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak Nopember 2008 ini ialah ekowisata pesisir di pulau-pulau kecil, dengan judul Optimasi Pengelolaan Ekowisata Pulau-Pulau Kecil (Kasus Gugus Pulau Togean Taman Nasional Kepulauan Togean). Disertasi ini memuat lima bab yang terdiri atas pendahuluan, tinjauan pustaka, metode penelitian, hasil dan pembahasan, serta kesimpulan dan saran. Beberapa bagian dari hasil penelitian telah diterbitkan dalam Prosiding ISOI (Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia) dan akan diterbitkan dalam Jurnal Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro dan Jurnal Forum Pascasarjana IPB. Terima kasih penulis ucapkan kepada bapak Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si. sebagai ketua komisi pembimbing dan bapak Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA. dan Dr. Ir. Ario Damar, M.Si., masing-masing sebagai pembimbing anggota yang telah banyak memberi saran. Selain itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tojo Una-Una, dan Sekretaris Balai Taman Nasional Kepulauan Togean, yang telah membantu dalam kelancaran administrasi, akses data sekunder dan fasilitas selama pelaksanaan survei lapangan. Ungkapan terima juga disampaikan kepada bapak Aditiawan, S.Pi. M.Si, ibu Ir. Dwi Sulistiawati, M.P. dan mbak Tuti atas bantuannya dalam pengumpulan data biofisik perairan. Ucapan terima kasih pula penulis haturkan kepada Dirjen DIKTI yang telah memberikan beasiswa BPPS, DP2M atas bantuan hibah penelitian doktor dan pimpinan Universitas Tadulako yang telah memberikan izin studi dan bantuan dana penelitian. Secara khusus ucapan terima kasih tak terhingga kepada seluruh keluarga atas segala doa, dorongan, kasih sayang dan kesabarannya selama proses penyelesaian pendidikan doktor ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Agustus 2010 Alimudin Laapo

11 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Desa Koburu Kepulauan Salabangka Kabupaten Morowali Sulawesi Tengah pada tanggal 21 Juni 1973 sebagai anak sulung dari pasangan Laapo dan Maulid Rabani. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas Hasanuddin, lulus pada tahun Pada tahun 2001 penulis melanjutkan pendidikan magister sains di Program Studi Ekonomi Pertanian Institut Pertanian Bogor dan menamatkannya pada Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan program pascasarjana IPB diperoleh pada tahun Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Penulis bekerja sebagai staf pengajar tetap pada Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian/Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Tadulako sejak tahun Bidang keilmuan yang penulis geluti adalah ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan. Sementara bidang penelitian yang ditekuni sejak penulisan skripsi, tesis sampai disertasi dan penelitian-penelitian hibah (hibah bersaing dan hibah strategis) di tingkat nasional difokuskan pada kajian ekonomi dan manajemen sumberdaya pesisir dan lautan. Karya ilmiah berjudul Karakteristik Sumberdaya Perairan Pulau-Pulau Kecil dalam Mendukung Kegiatan Ekowisata Bahari di Gugus Pulau Togean Taman Nasional Kepulauan Togean telah diterbitkan dalam prosiding dan disajikan pada Seminar Internasional dalam rangka Pertemuan Ilmiah Tahunan Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia (PIT-ISOI) tahun Sebuah artikel berjudul Pengaruh Aktivitas Wisata Bahari terhadap Kualitas Perairan Laut di Kawasan Wisata Gugus Pulau Togean akan diterbitkan pada jurnal Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari disertasi penulis.

12 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan dan Kegunaan Ruang Lingkup Penelitian Kebaruan Penelitian (Novelty)... II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sinopsis Penunjukkan Taman Nasional Kepulauan Togean Karakteristik Pulau-Pulau Kecil Pengelolaan Ekowisata Pesisir di Pulau-Pulau Kecil Konsep Dasar dan Peraturan Pendukung Konsep Ekowisata Pesisir Kawasan Konservasi dan Kegiatan Wisata Pesisir Kesesuaian Pemanfaatan Ekowisata Pesisir di Pulau-Pulau Kecil Kriteria Umum Parameter Kesesuaian Pemanfaatan untuk Ekowisata Pesisir 2.5. Daya Dukung Ekowisata Pesisir di Pulau-Pulau Kecil Daya Dukung Ekologis Daya Dukung Fisik Daya Dukung Sosial Daya Dukung Ekonomi Konsep Efektivitas Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Skala Multidimensi Model Keberlanjutan Pengelolaan Ekowisata Konsep Pemodelan Model Dinamik Dasar Keberlanjutan Wisata Pesisir di Pulau-Pulau Kecil... III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Jenis dan Sumber Data Penelitian Metode Analisis Analisis Deskriptif dan Principal Component Analysis Analisis Kesesuaian dan Daya Dukung Ekowisata Pesisir Analisis Efektivitas Pengelolaan Ekowisata Pesisir Optimasi Pengelolaan Ekowisata Pulau-Pulau Kecil dengan Pendekatan Model Dinamik... Halaman xii xiv xvi

13 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Sumberdaya Gugus Pulau Togean Kondisi Ekologis Karakteristik Usaha Wisata Pesisir Perkembangan Kunjungan Wisatawan Karakteristik Sosial dan Budaya Masyarakat Lokal Kondisi Kelembagaan Pendukung Wisata Pesisir Kesesuaian Kegiatan Ekowisata Pesisir Gugus Pulau Togean Kesesuaian Pemanfaatan untuk Wisata Selam Kesesuaian Pemanfaatan untuk Wisata Snorkeling Kesesuaian Pemanfaatan untuk Wisata Mangrove Kesesuaian Pemanfaatan untuk Wisata Pantai Evaluasi Kesesuaian Kawasan PPK untuk Kegiatan Ekowisata Pesisir Daya Dukung Ekowisata Pesisir di Gugus Pulau Togean Daya Dukung Ekologi Daya Dukung Ekonomi Daya Dukung Sosial Daya Dukung Fisik Integrasi Keempat Dimensi Daya Dukung Efektivitas Pengelolaan Ekowisata Pesisir di Gugus Pulau Togean Realitas Skor Masing-Masing Atribut Menurut Dimensi Indeks dan Status Efektivitas Pengelolaan Ekowisata Pesisir Nilai Sensitivitas Atribut Pengelolaan Ekowisata Pesisir Optimasi Pengelolaan Ekowisata Pesisir di Gugus Pulau Togean Keberlanjutan Pengelolaan Ekowisata Pesisir Kondisi Optimal Basis Pengelolaan Ekowisata Pesisir Penyusunan Skenario Pengelolaan Ekowisata Pesisir Validasi Model Implikasi Kebijakan dalam Keberlanjutan Pengelolaan Ekowisata Pesisir... V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Saran dan Rekomendasi Kebijakan DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xi

14 DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1 Kronologi penunjukkan Taman Nasional Kepulauan Togean Jenis data biofisik yang diukur Jenis data sosial ekonomi dan kelembagaan Matriks kesesuaian area untuk ekowisata pesisir kategori wisata selam Matriks kesesuaian area untuk ekowisata pesisir kategori wisata snorkeling Matriks kesesuaian area untuk wisata pantai kategori wisata mangrove Matriks kesesuaian area untuk wisata pantai kategori wisata rekreasi Potensi maksimum wisatawan per unit area per kategori wisata 58 9 Waktu yang dibutuhkan untuk setiap kegiatan wisata Standar kebutuhan ruang fasilitas pariwisata pesisir Kondisi yang diharapkan dari pengelolaan ekowisata pesisir menurut dimensi dan atribut Pemberian skor setiap atribut berdasarkan empat dimensi pengelolaan Desa dan kawasan pulau yang berpotensi dan memiliki kegiatan wisata pesisir di gugus Pulau Togean Perbandingan nilai kualitas perairan dengan baku mutu wisata pesisir di gugus Pulau Togean Karakteristik ekosistem pantai menurut stasiun pengamatan di gugus Pulau Togean Keadaan usaha wisata di gugus Pulau Togean Tingkat persepsi wisatawan terhadap atraksi dan pelayanan ekowisata pesisir di gugus Pulau Togean Persepsi masyarakat terhadap kegiatan wisata pesisir Kondisi kelembagaan penunjang kegiatan ekowisata pesisir di gugus Pulau Togean Hasil analisis kesesuaian untuk kegiatan ekowisata pesisir kategori wisata selam di gugus Pulau Togean Hasil analisis kesesuaian untuk kegiatan ekowisata pesisir kategori wisata snorkeling di gugus Pulau Togean xii

15 Nomor Halaman 22 Hasil analisis kesesuaian untuk kegiatan ekowisata pesisir kategori wisata mangrove di gugus Pulau Togean Hasil analisis kesesuaian untuk kegiatan ekowisata pesisir kategori wisata pantai di gugus Pulau Togean Evaluasi kesesuaian kawasan PPK untuk kegiatan wisata dan ekowisata pesisir di gugus Togean Nilai daya dukung kawasan ekowisata pesisir gugus Pulau Togean Perbandingan nilai kualitas perairan dengan baku mutu wisata pesisir gugus Pulau Togean Kebutuhan ruang untuk fasilitas wisata pesisir Hasil optimasi keempat daya dukung ekowisata pesisir di gugus Pulau Togean Analisis sensitivitas dan perubahan nilai RMS terhadap atribut pada setiap dimensi pengelolaan dan gabungan dimensi Nilai statistik yang berkaitan dengan hasil analisis Efansiec Perubahan nilai stok pada skenario pesimis gabungan proyeksi 25 tahun Perubahan nilai stok pada skenario optimis gabungan proyeksi 25 tahun Hasil analisis statistik berdasarkan persyaratan validasi Implikasi kebijakan pengelolaan ekowisata pesisir di gugus Pulau Togean TNKT berdasarkan hasil analisis sistem dinamik xiii

16 DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1 Diagram alur pikir penelitian Ekowisata sebagai suatu strategi wisata dan pembangunan berkelanjutan Hubungan daya dukung dengan wisata pesisir Daya dukung ekologi dan daya dukung sosial kegiatan pariwisata Model umum evaluasi efektivitas program pengelolaan kawasan pesisir di USA Sistem ekowisata pulau-pulau kecil (PPK) Peta lokasi penelitian dan stasiun pengamatan di gugus Pulau Togean Prosedur metode EFANSIEC Model konseptual sistem dinamik pengelolaan ekowisata pesisir gugus Pulau Togean berdasarkan dimensi ekologi Model konseptual sistem dinamik pengelolaan ekowisata pesisir gugus Pulau Togean berdasarkan dimensi ekonomi Model konseptual sistem dinamik pengelolaan ekowisata pesisir gugus Pulau Togean berdasarkan dimensi sosial Korelasi antar paramater kualitas perairan menurut stasiun dan waktu pengamatan ((a)= Nopember 2008 dan (b)= Juni/Juli 2009) Tutupan komunitas terumbu karang yang telah dimanfaatkan sebagai kawasan wisata pesisir kategori wisata selam di gugus Pulau Togean Tutupan komunitas terumbu karang yang berpotensi dan telah dimanfaatkan untuk ekowisata snorkeling di gugus Pulau Togean Kerapatan hutan mangrove menurut stasiun pengamatan di gugus Pulau Togean Periode kunjungan wisman dalam setahun di Kepulauan Togean Peta kesesuaian kawasan untuk ekowisata selam di gugus Pulau Togean Peta kesesuaian kawasan untuk ekowisata snorkeling di gugus Pulau Togean Peta kesesuaian kawasan untuk ekisata mangrove di gugus Pulau Togean xiv

17 Nomor Halaman 20 Peta kesesuaian kawasan untuk ekowisata rekreasi/berjemur di gugus Pulau Togean Hasil analisis daya dukung ekonomi kawasan ekowisata pesisir gugus Pulau Togean Indeks efektivitas pengelolaan ekowisata pesisir di gugus Pulau Togean ditinjau dari dimensi ekologi Indeks efektivitas pengelolaan ekowisata pesisir di gugus Pulau Togean ditinjau dari dimensi ekonomi Indeks efektivitas pengelolaan ekowisata pesisir di gugus Pulau Togean ditinjau dari dimensi sosial Indeks efektivitas pengelolaan ekowisata pesisir di gugus Pulau Togean ditinjau dari dimensi kelembagaan Diagram layang nilai indeks efektivitas pengelolaan ekowisata pesisir di gugus Pulau Togean Hasil EFANSIEC yang menunjukkan nilai efektivitas pengelolaan ekowisata pesisir di gugus Pulau Togean Basis model pengelolaan ekowisata pesisir gugus Pulau Togean Perbandingan kunjungan wisman dengan daya dukung kawasan xv

18 DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1 Perhitungan jumlah contoh wisatawan dan masyarakat lokal untuk kegiatan pengumpulan data di lapangan Hasil pengukuran beberapa parameter kualitas perairan di gugus Pulau Togean pada Nopember 2008 dan Juni/Juli Kondisi ekosistem terumbu karang untuk wisata selam dan snorkeling di gugus Pulau Togean Kerapatan mangrove pada enam stasiun di gugus Pulau Togean Komposisi famili, genus, spesies dan kelimpahan ikan pada masing-masing stasiun Perkembangan kegiatan wisata pesisir di Kabupaten Tojo Una- Una selama tahun Hasil analisis spasial menggunakan pendekatan SIG Daya dukung kawasan wisata pesisir per kategori wisata di gugus Pulau Togean Nilai parameter dugaan untuk analisis daya dukung ekonomi Analisis linear goal programming untuk penentuan daya dukung gabungan Nilai skor setiap atribut berdasarkan empat dimensi pengelolaan ekowisata pesisir di gugus Pulau Togean Basis model pengelolaan ekowisata pesisir gugus Pulau Togean Nilai dugaan parameter untuk analisis dinamik dimensi sosial turis Nilai dugaan atribut (parameter) pada model pengelolaan ekowisata pesisir di gugus Pulau Togean Hasil simulasi parsial per dimensi pada skenario pesimis pengelolaan ekowisata pesisir di gugus Pulau Togean Hasil simulasi parsial per dimensi pada skenario optimis pengelolaan ekowisata pesisir di gugus Pulau Togean Perubahan stok obyek ekowisata pesisir dan populasi wisatawan menurut skenario pengelolaan di gugus Pulau Togean Rencana zonasi kawasan Taman Nasional Kepulauan Togean xvi

19 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang diperkirakan memiliki kurang lebih pulau (DKP 2007), dan sebagian besar diantaranya adalah pulau-pulau kecil (PPK). PPK memiliki nilai penting dan tergolong unik bila ditinjau dari sisi sumberdaya alam, geografi, sosial, ekonomi, budaya, politik, pertahanan dan keamanan Indonesia. Umumnya, lingkungan PPK mempunyai lebih dari satu ekosistem dan sangat peka terhadap perubahan, sehingga perubahan satu ekosistem dengan cepat akan mempengaruhi ekosistem lain. Walaupun hanya sebagian kecil saja dari PPK berpenduduk, akan tetapi sulit untuk dikatakan bahwa potensi sumberdaya ini bebas dari eksploitasi atau dampak kegiatan manusia (Bengen dan Retraubun 2006). Hal ini terkait dengan potensi ekonomi sumberdaya dan ekosistem yang dimilikinya, dan sebagai modal dasar pembangunan nasional di masa yang akan datang (Hein 1990). Kawasan PPK menyediakan sumberdaya alam yang produktif seperti terumbu karang, padang lamun, hutan mangrove, sumberdaya ikan dan energi kelautan, dan memberikan jasa lingkungan yang besar karena keindahan alamnya (Dahuri 2003). Sebagai entitas yang memiliki karakteristik dan kerentanan khusus, pembangunan PPK memerlukan format yang berbeda dengan wilayah regional lain, khususnya dengan wilayah daratan utama. Terdapat dua pandangan yang saling bertentangan dalam pemanfaatan PPK, yakni pandangan yang menganggap bahwa kawasan ini harus dilindungi, karena memiliki fungsi ekologi yang penting, dan pandangan yang menyatakan bahwa kawasan PPK merupakan kawasan yang potensial dimanfaatkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi (Bengen dan Retraubun 2006). Meningkatnya kecenderungan pasar pariwisata internasional untuk berwisata di kawasan yang masih alami memberikan peluang besar dalam pengembangan pariwisata PPK. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengamanatkan agar setiap daerah mengembangkan dan mengelola potensi daerahnya masing-masing. Pemerintah Pusat memiliki tanggung jawab dalam menyiapkan kebijakan makro sebagai acuan bagi Pemerintah Daerah. Sementara pemerintah daerah berperan dalam penyusunan peraturan, pengawasan, dan

20 2 pemantauan pengelolaan pariwisata PPK. Sebagai salah satu daerah otonom di Indonesia, Kabupaten Tojo Una-Una Provinsi Sulawesi Tengah diperkirakan memiliki potensi sumberdaya PPK yang cukup besar yakni 211 pulau, dan umumnya berada di Kepulauan Togean (BRKP 2008). Sesuai dengan daya tarik obyek wisata, kegiatan pariwisata di wilayah ini mengandalkan pariwisata bahari kategori wisata selam, snorkeling, pancing, jelajah hutan alam (trecking) dan hutan mangrove. Kegiatan wisata di Kepulauan Togean telah dilakukan sejak 20 tahun lalu dan semakin berkembang pada pertengahan tahun 1990-an. Jumlah wisman yang berkunjung pada tahun 1999 diperkirakan mencapai (665 orang per bulan). Penurunan jumlah wisman terjadi antara tahun (sekitar 20 wisman perbulannya). Proporsi wisatawan yang berkunjung yakni mancanegara (80%) dan domestik (20%) (Disbudpar Kabupaten Tojo Una-Una 2006). Potensi dan pemanfaatan sumberdaya PPK bagi kegiatan wisata pesisir dan bahari seharusnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut. Namun, meningkatnya pertumbuhan penduduk dari 4.45% pertahun ( ) menjadi 6.12% ( ) dan kegiatan pembangunan di Kabupaten Tojo Una- Una, maka tekanan terhadap ekosistem di wilayah pesisir PPK semakin meningkat pula. Kondisi ini dapat mengancam keberadaan dan kelangsungan sumberdaya PPK, baik secara langsung maupun tidak langsung (Bengen 2001). Keprihatinan akan kerusakan lingkungan PPK yang diikuti menurunnya kesejahteraan penduduk, dan kemajuan pembangunan yang bertumpu pada dimensi ekonomi semata, melahirkan paradigma pembangunan pariwisata yang berkelanjutan (Marvell dan Watkins 2005). Saat ini terjadi pergeseran paradigma pembangunan pariwisata dari pariwisata massal (mass tourism) yang cenderung mementingkan ekonomi menjadi pariwisata yang lebih menekankan pada kelestarian sumberdaya alam dan kesejahteraan manusia atau biasa diistilahkan sebagai ekowisata. Ekowisata juga menganut konsep yang secara konsisten mengedepankan interaksi yang positif di antara para pelakunya (Weaver 2001). Terkait dengan hal tersebut, maka pengelolaan ekowisata harus mencakup kegiatan yang mensinergikan kelestarian lingkungan (ekologi), sektor penunjang (fisik), kepentingan masyarakat (sosial ekonomi), dan seperangkat aturan berikut pelaksanaannya (kelembagaan) (Webster 1990).

21 3 Dimensi ekologi menyangkut kualitas lingkungan dalam arti luas, dan memiliki hubungan yang kompleks dengan aktivitas ekowisata bahari. Hubungan antara keberagaman aktivitas ekowisata bahari dapat menghasilkan dampak positif seperti kelestarian alam, kesadaran masyarakat tentang nilai-nilai lingkungan dan implikasi upaya-upaya komprehensif tentang pembiayaan untuk konservasi dan pengelolaannya. Sebaliknya, kegiatan selama pembangunan prasarana fisik (dermaga, jalan, jembatan dan resort) dapat bersifat langsung, atau tidak langsung dapat berpengaruh terhadap penurunan kualitas lingkungan (Tisdell 1998a). Dimensi sosial dan ekonomi dalam ekowisata bahari bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup penduduk lokal. Keberadaan nilainilai budaya masyarakat lokal yang dipertahankan, akan memberikan manfaat langsung secara ekonomi. Dimensi sosial tidak hanya mengidentifikasi pemangku kepentingan yang terlibat, tetapi juga mengorganisasikannya untuk menghasilkan manfaat ekonomi yang optimal bagi masing-masing komponen. Sektor produksi ekowisata secara langsung atau tidak lahir akibat permintaan pasar jasa rekreasi yang spesifik. Permintaan produk ekowisata bagi wisatawan bukan sepenuhnya dilandasi oleh dimensi ekonomi, sehingga harga tidak menjadi variabel yang penting. Pengunjung datang ke kawasan ekowisata ditujukan untuk memperoleh kepuasan, pengetahuan, manfaat lain bagi kepentingan konservasi (Orams 1999). Dimensi kelembagaan dalam kegiatan pariwisata dapat membantu mengendalikan dampak buruk akibat aktivitas kegiatan wisata. Aturan ambang batas jumlah rombongan misalnya, akan secara signifikan mengurangi tekanan terhadap daya dukung lingkungan. Selain daya dukung lingkungan (ekologi), faktor jumlah infrastruktur usaha wisata dan penunjangnya berkontribusi secara tidak langsung terhadap efektivitas dan keberlanjutan pengelolaan ekowisata bahari (Wong 1991). Seberapa besar batas daya dukung tersebut, memerlukan kajian teknis yang teliti dan dinamis terhadap kemungkinan perubahan dalam jangka panjang (keberlanjutan pengelolaan) ekowisata bahari Perumusan Masalah Ekosistem terumbu karang dan mangrove di Kepulauan Togean merupakan ekosistem yang terancam mengalami kerusakan akibat aktivitas manusia dan faktor-faktor alam. Kerusakan pada ekosistem terumbu karang

22 4 disebabkan oleh aktivitas manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung antara lain penggunaan bahan peledak, potasium sianida, penangkapan ikan dengan cara/alat yang merusak, pengambilan karang untuk bahan bangunan, sedimentasi akibat pembukaan lahan di daratan dan sebagainya (Hutabarat 2001). Degradasi terumbu karang teridentifikasi melalui penurunan luasan karang dari ha pada tahun 2001 menjadi ha pada tahun 2007 (Zamani et al. 2007). Permasalahan utama tekanan terhadap ekosistem mangrove di Kepulauan Togean adalah pemanfaatan mangrove untuk perumahan dan untuk kayu bakar (CII 2004). Selain itu, sekitar lima tahun terakhir ini muncul bentuk ancaman lain yakni pengambilan kulit mangrove jenis Rhizopora sp yang berdiameter sekitar cm untuk bahan lirang (pewarna jaring) pada Bagan Perahu. Kegiatan ini terjadi di Teluk Kilat dilakukan dengan menguliti pohon secara melingkar dengan panjang sekitar 1.5 m (CII 2006). Secara keseluruhan penurunan luas mangrove di Kepulauan Togean yakni ha pada tahun 2001 menjadi ha pada tahun 2007 (Zamani et al. 2007). Penurunan luasan mangrove ini dikhawatirkan dapat mempercepat dan meningkatkan tingkat sedimentasi sehingga berdampak pada degradasi sumberdaya pesisir di PPK. Tingginya intensitas pemanfaatan sumberdaya PPK juga diperburuk oleh kurangnya penegakan hukum bagi pelanggar, dan belum adanya rencana tata ruang kawasan Taman Nasional Kepulauan Togean (TNKT) sehingga berpeluang memicu terjadinya konflik antar pengguna sumberdaya PPK. Kebijakan pemerintah dengan diberlakukannya kawasan ini sebagai taman nasional belum mampu mencegah dan mengurangi kegiatan pemanfaatan sumberdaya yang sifatnya merusak. Di lain hal, pengalihan hak penguasaan pulau ke pengusaha wisata menyebabkan aksesibilitas nelayan dalam memanfaatkan sumberdaya ikan dan non-ikan di wilayah tersebut juga terbatas. Usaha wisata pesisir di Kepulauan Togean telah berlangsung selama 10 tahun terakhir (sebelum adanya TNKT) dan dilakukan oleh investor asing. Secara ekologis dan dalam kawasan PPK yang terbatas, kegiatan wisata pesisir yang diselenggarakan oleh pihak swasta mampu menjaga kelestarian ekosistem terumbu karang dan mangrove. Di sisi lain, melalui pendidikan lingkungan yang diperoleh dari LSM, masyarakat setempat juga mulai mampu menjaga kelestarian sumberdaya

23 5 dan lingkungannya melalui pengelolaan Daerah Perlindungan Laut (DPL). Namun, keberadaan DPL belum mampu memberikan manfaat ekonomi dan peningkatan kualitas hidup bagi masyarakat lokal oleh karena belum adanya komitmen yang saling menguntungkan antara pengusaha wisata dengan pengelola DPL sehingga prinsip ekowisata belum dicapai. Rendahnya partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan kegiatan ekowisata PPK berpeluang terjadinya konflik horisontal antara pihak pengusaha wisata dengan masyarakat lokal. Realitas ini menunjukkan bahwa pemanfaatan PPK yang kurang terencana, terintegrasi dan rendahnya penegakan hukum bagi pelanggar, akan menyebabkan degradasi sumberdaya alam dan lingkungan serta kesejahteraan masyarakat lokal. Kondisi penurunan kualitas dan kuantitas sumberdaya akan berdampak pada penurunan daya tarik (attractiveness) kawasan PPK terhadap minat berwisata. Akibatnya, tingkat kesejahteraan masyarakat dan kontribusi sektor wisata terhadap perekonomian masyarakat dan daerah mengalami penurunan dan tidak berkelanjutan. Ini mengindikasikan bahwa pengelolaan ekowisata bahari di TNKT belum sesuai dengan tujuan pada dimensi sosial ekonomi (partisipasi dan kesejahteraan) masyarakat dan dimensi kelembagaan TNKT. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka evaluasi akan efektivitas kebijakan konservasi dan keberlanjutan pengelolaan wisata pesisir di TNKT sangat diperlukan. Agar pengelolaan wisata lebih efektif dan optimal, maka hal yang harus dipertimbangkan adalah tingkat kesesuaian pemanfaatan dan daya dukung ekologi kawasan PPK (Depdagri 2009). Beberapa peneliti menggunakan metode multidimensional scalling (MDS) dalam mengevaluasi status keberlanjutan suatu sumberdaya, baik pada sumberdaya perikanan, terumbu karang maupun PPK. Penelitian ini menggunakan metode MDS dan melalui proses yang berbeda dengan penelitian sebelumnya dalam menganalisis efektivitas pengelolaan ekowisata PPK berdasarkan kesesuaian dan daya dukung kawasan. Sementara, analisis model dinamik dan skenario pengelolaan ekowisata pesisir digunakan untuk mengkaji tingkat keberlanjutan pengelolaan ekowisata di PPK (alur pikir penelitian disajikan pada Gambar 1).

24 6 POTENSI DAN PERMASALAHAN PENGELOLAAN TNKT Potensi sumberdaya alam PPK: - Ekosistem mangrove - Ekosistem terumbu karang - Ekosistem pantai berpasir - Sumberdaya ikan dan non-ikan - Kualitas perairan Belum ada zonasi TNKT Pemanfaatan sumberdaya Gugus Pulau Togean Potensi Sosial Ekonomi: - Jumlah penduduk - Pendidikan dan keterampilan - Peningkatan Pasar wisata - Modal - Infrastruktur dan teknologi Kegiatan lainnya Permasalahan biofisik (ekologi): - Kerusakan ekosistem terumbu karang - Kerusakan ekosistem mangrove - Penurunan potensi perikanan - Pencemaran perairan dan sedimentasi Wisata Pesisir Permasalahan sosial, ekonomi dan kelembagaan: - Rendahnya pendapatan masyarakat - Pengangguran - Konflik antar pemanfaatan Pengelolaan wisata pesisir belum efektif dan berkelanjutan Diperlukan Konsep Ekowisata Pesisir di Pulau-Pulau Kecil Input Identifikasi Potensi, Kesesuaian Pemanfaatan dan Estimasi Daya Dukung berdasarkan: - Dimensi ekologi - Dimensi ekonomi - Dimensi sosial - Dimensi Teknis Evaluasi Efektivitas Pengelolaan Ekowisata Pesisir Analisis Deskriptif, PCA dan Spasial Analisis 4 Dimensi Daya Dukung dan Integrasinya MDS (Metode EFANSIEC) STATUS KEEFEKTIFAN PENGELOLAAN EKOWISATA DI PPK Input untuk keefektifan dan keberlanjutan pengelolaan Input rencana zonasi TNKT Optimasi Pengelolaan Ekowisata Integrasi Sub Model Ekologi, Ekonomi, Sosial dan Kelembagaan Analisis Sistem Dinamik Skenario pengelolaan MODEL PENGELOLAAN EKOWISATA PPK YANG OPTIMAL DI TNKT Gambar 1 Diagram alur pikir penelitian

25 7 Berdasarkan uraian sebelumnya, maka dapat dirumuskan permasalahan dan menjadi kajian dalam penelitian ini, yakni: 1. Apakah pengelolaan ekowisata pesisir di gugus Pulau Togean TNKT sudah efektif berdasarkan kesesuaian pemanfaatan dan daya dukung ekologi, ekonomi, sosial, dan kelembagaan. 2. Bagaimana pengelolaan ekowisata pesisir yang optimal di gugus Pulau Togean TNKT, ditinjau dari dimensi keberlanjutan sumberdaya PPK (ekologi), partisipasi masyarakat (sosial), kesejahteraan masyarakat (ekonomi) dan peningkatan peran seluruh pemangku kepentingan (dimensi kelembagaan) Tujuan dan Kegunaan Tujuan umum dalam penelitian ini adalah mengevaluasi efektivitas dan keberlanjutan pengelolaan ekowisata pesisir di gugus Pulau Togean, ditinjau dari dimensi ekologi, ekonomi, sosial, dan kelembagaan. Berdasarkan tujuan umum tersebut, selanjutnya diuraikan tujuan spesifik penelitian, yakni: 1. Mengevaluasi efektivitas pengelolaan ekowisata pesisir di gugus Pulau Togean TNKT berdasarkan kesesuaian pemanfaatan dan daya dukung ekologi, sosial, ekonomi, dan kelembagaan. 2. Mengoptimasi pengelolaan ekowisata pesisir di gugus Pulau Togean, melalui integrasi dimensi keberlanjutan sumberdaya PPK (ekologi), partisipasi masyarakat (sosial), kesejahteraan masyarakat (ekonomi) dan peningkatan peran seluruh pemangku kepentingan (kelembagaan). Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi: 1. Pengembangan ilmu pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan, terutama bagi pengelolaan wisata berbasis konservasi dan budaya di PPK. 2. Sumber informasi bagi pemerintah dan pemangku kepentingan lain dalam upaya penyusunan zonasi dan rencana pengelolaan TNKT Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini meliputi: 1. Mengingat kawasan TNKT merupakan wilayah administratif Kabupaten Tojo Una-Una, dan pertimbangan keterwakilan kawasan untuk kegiatan

26 8 ekowisata pesisir, maka lingkup wilayah penelitian dibatasi pada gugus Pulau Togean yang merupakan bagian dari wilayah TNKT. 2. Konsep ekowisata PPK dalam kajian ini merupakan suatu bentuk kegiatan wisata yang mengutamakan kealamiahan lingkungan pesisir PPK, serta mendukung upaya konservasi sumberdaya alam dan nilai budaya lokal. 3. Dimensi kajian mencakup efektivitas dan keberlanjutan pengelolaan ekowisata di PPK yang didasarkan pada 4 (empat) dimensi pembangunan yakni dimensi ekologi, ekonomi, sosial, dan kelembagaan. 4. Aspek kajian kualitas perairan akibat kegiatan ekowisata PPK dan kegiatan lainnya tercakup pada aspek daya dukung ekologi. 5. Kajian ekonomi mencakup penerapan konsep keseimbangan antara permintaan dan penawaran produk ekowisata pesisir di PPK. 6. Kajian sosial mencakup penerapan konsep rasio turis dan masyarakat lokal dalam menganalisis daya dukung sosial. 7. Kajian kelembagaan mencakup peran regulasi dan institusi dalam kelestarian sumberdaya PPK dan kesejahteraan masyarakat lokal Kebaruan Penelitian (Novelty) Kebaruan dalam penelitian ini meliputi: 1. Kebaruan dalam penggunaan model probit dalam menduga daya dukung ekologi terhadap pencemaran lingkungan di kawasan ekowisata PPK. 2. Kebaruan dalam penggunaan model keseimbangan permintaan dan penawaran produk ekowisata PPK dalam menduga daya dukung ekonomi. 3. Kebaruan dalam integrasi ke-4 daya dukung melalui metode analisis Linear Goal Programming). 4. Kebaruan dalam analisis kesesuaian ekowisata pesisir di PPK (dimodifikasi dari berbagai sumber) dan mempertimbangkan parameter nilai budaya lokal. 5. Kebaruan dalam mengevaluasi efektivitas pengelolaan ekowisata PPK melalui menggunakan metode EFANSIEC (memodifikasi metode Multidimensional Scaling). 6. Kebaruan dalam analisis keberlanjutan pengelolaan ekowisata pesisir di PPK melalui pengembangan model dinamik pengelolaan pariwisata berkelanjutan (Casagrandi dan Rinaldi 2002; Fauzi dan Anna 2005).

27 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sinopsis Penunjukkan Taman Nasional Kepulauan Togean Sebelum dicetuskan ide kepulauan Togean menjadi TNKT, sejak awal tahun 2004 masyarakat yang difasilitasi oleh Conservation International Indonesia (CII) dan Pemda Kabupaten Tojo Una-Una, telah mengembangkan Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat (DPLBM). Survei biologi dan sosial ekonomi yang dilakukan oleh CII telah menetapkan 2 lokasi sebagai DPLBM yaitu DPL Kabalutan (bagian selatan antara Pulau Togean dan Talatakoh) dan DPL Teluk Kilat (bagian utara Togean). Teluk Kilat memiliki wilayah perairan seluas ha dan secara administratif termasuk wilayah kecamatan Togean. Kawasan ini memiliki perairan yang cenderung tertutup dengan panjang muka teluk sekitar 500 m. Desa Lembanato dan Desa Matobiyai yang berada dalam DPL Teluk Kilat adalah dua desa yang terlibat dalam pengelolaan DPL tersebut bersama CII. Perairan Kabalutan yang dikembangkan untuk DPL seluas ha meliputi 10 lokasi hamparan terumbu karang yang selama ini dimanfaatkan sebagai daerah penangkapan ikan oleh nelayan sekitarnya. Termasuk di dalam 10 lokasi tersebut adalah terumbu karang di Batang Toroh Sidarawi seluas 22 ha yang telah disepakati masyarakat Bajau Kabalutan menjadi zona inti (no-take zone). Gagasan pembentukan DPL Kabalutan timbul dari kesadaran sebagian besar nelayan di Desa Kabalutan bahwa telah terjadi penyusutan hasil tangkapan ikan akibat lokasi-lokasi karang telah dirusak oleh aktifitas pemboman dan pembiusan ikan. Meskipun dalam pelaksanaannya mengalami hambatan, namun dalam beberapa hal mengalami kemajuan pesat dan signifikan dalam upaya pengelolaan DPL di TNKT. Beberapa indikator keberhasilan yang terlihat yakni adanya peningkatan kesadaran, pemahaman dan keterlibatan masyarakat dalam upaya pengelolaan DPL, inisiatif masyarakat membuat sabua (rumah jaga) yang berdekatan dengan zona inti, patroli/pengawasan terhadap kegiatan pemboman dan bius ikan oleh nelayan. Indikator ekologi dan ekonomi juga diperlihatkan adalah peningkatan yang signifikan kepadatan ikan-ikan karang yang bernilai ekonomis, hasil tangkapan dan pendapatan nelayan (CII 2006).

28 10 Beberapa kegiatan masyarakat bersama CII dalam pengembangan DPL di perairan Teluk Kilat maupun Kabalutan telah dilakukan, antara lain (CII 2006): 1. Penetapan lokasi perlindungan, termasuk zona inti melalui pertemuan desa secara partisipatif dan intensif menuju suatu kesepakatan bersama masyarakat. Di Kabalutan telah terdapat zona inti yaitu di Sappa Batang Toroh Sidarawi seluas 22 ha. Di Teluk Kilat terdapat 2 zona inti yang masing-masing dikelola masyarakat Lembanato dan Matobiyai, yaitu di Urung Dolom dan Manggafai dengan total luas areal sekitar ha. 2. Pembuatan Peraturan Desa (Perdes) yang mengatur pemanfaatan dan perlindungan sumberdaya alam dan air. 3. Penyediaan sarana penunjang, seperti papan peringatan, pelampung, sabua (yang berfungsi sebagai pos penjagaan) di sekitar DPL. 4. Studi Banding ke Taman Nasional Bunaken dan DPL berbasis masyarakat di Desa Blongko dan Tumbak, Sulawesi Utara serta pelatihan monitoring dan evaluasi terumbu karang dan hutan mangrove. 5. Peningkatan kapasitas masyarakat lokal dalam melakukan monitoring dan evaluasi terumbu karang dan hutan mangrove. 6. Dialog kebijakan untuk memperoleh dukungan dari pemerintah daerah setempat. 7. Kerjasama dengan Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Sulawesi Tengah untuk pengembangan ekonomi skala kecil (small grant). Eksistensi Kepulauan Togean sebagai salah satu taman nasional di Indonesia pertama kali diatur melalui surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor 418/Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober 2004 tentang penunjukan kepulauan Togean sebagai Taman Nasional seluas ha yang meliputi wilayah laut dan daratan. Hal ini adalah hasil dari usaha panjang pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah dan kabupaten Tojo Una-Una untuk meningkatkan status kawasan kepulauan Togean. Perjuangan itu sendiri sesungguhnya telah dimulai sejak 1989, ketika pemerintah daerah Sulawesi Tengah mengusulkan perubahan status kepulauan Togean menjadi Taman Wisata Alam. Kepulauan Togean merupakan bagian dari sejumlah PPK yang ada di Indonesia. BRKP (2008) menyatakan bahwa Kepulauan Togean memiliki (sebelum verifikasi) 211 PPK

29 (47 teregistrasi dan 164 belum teregistrasi), diantaranya berada di gugus Pulau Togean (45 pulau). Kronologi terbentuknya TNK disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Kronologi penunjukkan Taman Nasional Kepulauan Togean TAHUN DASAR KEBIJAKAN USULAN STATUS 1989 Surat Gubernur Sulawesi Tengah No.503/391/DINHUT/89 tanggal 30 Agustus 1989 kepada Menteri Kehutanan RI merekomendasikan Kawasan Kepulauan Togean seluas 100ribu ha sebagai Taman Wisata Laut (TWL) RePPProT Tahun 1989 mencantumkan Kepulauan Toegan sebagai Suaka Margasatwa yang mencakup seluruh kawasan (darat dan laut) 1990 Surat Keputusan Gubernur KDH I Sulawesi Tengah No /0840/Dephut/90 tanggal 10 Pebruari 1990 tentang Penunjukkan Sementara Kepulauan Togean seluas 100ribu ha sebagai Taman Wisata Alam 1992 Laporan Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup tahun 1992 (Country study on Biological Diversity) yang mengusulkan status Kepulauan Togean sebagai Cagar Alam Laut seluas 100ribu ha Bappenas dalam Biodiversity Action Plan for Indonesia tahun 1993 mengusulkan status Kepulauan Togean sebagai Cagar Alam Multiguna 1997 SK Gubernur KDH Tk. I Sulawesi Tengah No. 556//138/DIPARDA/1997 tanggal 18 Maret 1997 tentang Penetapan Obyek/Kawasan Daya Tarik Wisata di Propinsi Sulawesi, pada salah satu point lampirannya menunjuk Taman Laut Togean sebagai obyek/kawasan daya tarik wisata bahari 2003 Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI Mencanangkan Kepulauan Togean sebagai Kawasan Ekowisata Bahari Unggulan Nasional 2004 Surat Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah Nomor 556/38/Dishut/GST tanggal 21 Pebruari 2004 tentang usul penetapan Taman Wisata Laut (TWL) Kepulauan Togean seluas ha di Kabupaten Tojo Una-Una Provinsi Sulawesi Tengah Surat Bupati Tojo Una-Una No /0144/B-TU Perihal Dukungan Atas Usulan Taman Wisata Laut Kepulauan Togean Surat Gubernur Sulawesi Tengah No.522/283/DISHUT tanggal 14 Oktober 2004 tentang Usulan Penetapan Taman Nasional Kepulauan Togean seluas ribu ha di Kabupaten Tojo Una-Una Provinsi Sulawesi Tengah Surat Keputusan Menteri Kehutanan RI No.418/Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober 2004 tentang perubahan Fungsi dan Penunjukkan Hutan Lindung, Hutan Produksi Terbatas, Hutan Produksi Tetap, Hutan Produksi yang dapat dikonversi dan wilayah perairan laut Kepulauan Togean di Kabupaten Tojo Una-Una Provinsi Sulawesi Tengah seluas ± (tiga ratus enam puluh dua ribu enam ratus lima ) ha sebagai kawasan Taman Nasional Kepulauan Togean. Sumber: CII Taman Wisata Alam Laut (Usulan) Suaka Margasatwa (Usulan) Taman Wisata Alam Laut (Penunjukkan sementara) Cagar Alam Laut (Usulan) Cagar Alam Multiguna (Usulan) Taman Laut Kepulauan Togean (Penetapan sebagai obyek wisata bahari di Sulawesi Tengah) Daerah Tujuan Ekowisata Bahari Unggulan Nasional (Pencanangan) Taman Wisata Laut (Usulan) Taman Wisata Laut (dukungan usulan Gubernur) Taman Nasional (perubahan atas usulan Taman Wisata Laut) Penunjukkan sebagai Taman Nasional Kepulauan Togean

30 12 Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya menyatakan bahwa taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Penunjukkan Kepulauan Togean sebagai kawasan taman nasional merupakan salah satu upaya dalam menjaga keseimbangan dan kelestarian lingkungan di Kabupaten Tojo Una-Una khususnya dan Teluk Tomini pada umumnya (BKSDA Sulawesi Tengah 2004). Perubahan status menjadi TNKT perlu diiringi komitmen kuat terhadap dua kepentingan utama, yaitu keberlanjutan sumberdaya alam dan perbaikan kehidupan masyarakat di dalamnya. Meskipun penunjukkan dan penetapan sebuah kawasan konservasi berada pada pemerintah pusat namun pelibatan masyarakat dan pihak lainnya mendapat porsi yang cukup besar seperti yang termaktub dalam peraturan Menteri Kehutanan Nomor PP.19/Menhut-II/2004 tentang kolaborasi pengelolaan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam. Pemerintah daerah dan taman nasional, dibantu pihak lain seperti pengusaha dan LSM seharusnya lebih berperan dalam membantu tumbuhnya inisiatif-inisiatif perlindungan dari masyarakat, sambil memperkuat kelembagaan-kelembagan lokal yang masih ada. Hal ini dapat dilakukan melalui sebuah jaringan konservasi berbasis masyarakat yang idealnya dapat menjadi unsur utama pengelolaan kawasan TNKT secara keseluruhan. Pengembangan wisata bahari berbasis konservasi di PPK merupakan salah satu bentuk pengelolaan kawasan taman nasional di wilayah perairan laut dengan mengedepankan keterlibatan masyarakat (community base management). Proses inilah bisa menjadi salah satu strategi bagi penguatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNKT Karakteristik Pulau-Pulau Kecil Defenisi pulau menurut UNCLOS (1982, Bab VIII pasal 121 ayat 1), bahwa pulau adalah massa daratan yang terbentuk secara alami, dikelilingi oleh air dan selalu berada/muncul di atas permukaan air pasang tertinggi (IHO 1993 dalam Bengen dan Retraubun 2006). Pulau-Pulau Kecil (PPK) adalah kumpulan pulaupulau (gugusan pulau) yang secara fungsional saling berinteraksi dari sisi ekologis, ekonomi, sosial dan budaya, baik secara individuial maupun secara sinergis dapat

31 13 meningkatkan skala ekonomi dari pengelolaan sumberdayanya (DKP 2002). Berdasarkan luas dan jumlah penduduknya, PPK (small island) memiliki karakteristik yakni: 1. Lebih kecil dari atau sama dengan km 2 (Republik Indonesia 2007) dengan jumlah penduduk lebih kecil atau sama dengan orang (UNESCO 1991 dalam Bengen dan Retraubun 2006). 2. Lebih kecil dari atau sama dengan km 2 dengan jumlah penduduk di bawah orang (Brookfield 1990). 3. Lebih kecil dari atau sama dengan km 2 berpenduduk lebih kecil atau sama dengan orang (Hess 1990; DKP 2002), atau dengan luas yang sama tapi memiliki penduduk lebih kecil dari jiwa (DKP 2000). 4. Pulau-pulau sangat kecil menurut Hess (1990) memiliki luas pulau lebih kecil atau sama dengan km 2 dengan jumlah penduduk di bawah orang. Pulau kecil memiliki karakteristik biofisik yang menonjol (Brookfield 1990), yaitu (1) terpisah dari habitat pulau induk (mainland island), sehingga bersifat insular; (2) sumber air tawar terbatas, dimana daerah tangkapan (catchment area) airnya relatif kecil; (3) peka dan rentan terhadap pengaruh eksternal baik alami (badai dan tsunami) maupun akibat kegiatan manusia; (4) memiliki sejumlah jenis endemik yang bernilai ekologis tinggi dan perkembangannya lambat, sehingga mudah tersaingi oleh organisme tertentu yang datang dari luas pulau, dan (5) memiliki sumberdaya alam daratan yang sangat terbatas, baik yang terkait dengan mineral, air tawar maupun kehutanan dan pertanian. Karakteristik lingkungan yang berkaitan erat dengan proses terbentuknya pulau serta posisi atau letak pulau tersebut, sehingga secara geologi pulau-pulau tersebut memiliki formasi struktur yang berbeda dan dalam proses selanjutnya pulau-pulau tersebut juga akan memiliki kondisi yang spesifik (Bengen dan Retraubun 2006). Karakteristik yang terkait dengan faktor sosial-ekonomi-budaya antara lain adalah memiliki infrastruktur yang terbatas, pasar domestik dan sumberdaya alam kecil sehingga iklim usahanya kurang kompetitif, kegiatan ekonomi sangat terspesialisasi, tergantung pada bantuan luar meskipun memiliki potensi sebagai tempat yang posisinya bernilai strategis dan jumlah penduduk tidak banyak dan biasanya saling mengenal satu sama lain serta terikat oleh hubungan persaudaraan

32 14 (Hein 1990). Masyarakat pulau kecil mempunyai budaya yang berbeda dengan pulau kontinen dan daratan (Beller 1990). Interaksi manusia dengan lingkungan terjadi dalam suatu bentuk pola tingkah laku yang terlembagakan, kemudian menghasilkan sistem adaptasi yang terpola dan merupakan bagian dari sistem yang lebih luas yakni budaya. Selanjutnya budaya terkait dengan adaptasi manusia terhadap lingkungannya melalui sistem teknologi matapencaharian dan pola pemukiman, keduanya disebut juga sebagai cultural core (Bengen dan Retraubun 2006). Kusumastanto (2003), beberapa kendala pembangunan PPK adalah : 1) Ukuran yang kecil dan terisolasi (keterasingan) menyebabkan penyediaan prasarana dan sarana menjadi sangat mahal, sumberdaya manusia yang andal dan mau bekerja di lokasi tersebut sedikit, jumlah pangan yang diproduksi terbatas sehingga diperlukan barang dan jasa dari pulau lain. 2) Kesukaran atau ketidakmampuan untuk mencapai skala ekonomi yang optimal dan menguntungkan dalam hal administrasi, usaha produksi dan transportasi; 3) Ketersediaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan, seperti air tawar, vegetasi, tanah, ekosistem pesisir dan satwa liar, yang pada gilirannya menentukan daya dukung sistem pulau kecil dan menopang kehidupan masyarakat serta segenap kegiatan pembangunan. Sumberdaya air PPK selain sangat tergantung pada curah hujan, bentuk dan penyebaran batuan reservoir, ketebalan tanah pelapukan, dan jenis vegetasi yang ada, juga mendapat pengaruh interaksi air laut dan air tawar yang terdapat di kawasan tersebut, yang dikenal dengan gejala penyusupan air laut. Gejala ini sangat menyolok dan mudah diamati terutama untuk pulau sangat kecil yaitu yang berukuran lebih kecil dari 200 km 2 (Falkland 1991). 4) Produktivitas sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan di setiap unit ruang PPK dan sekitarnya saling terkait satu sama lain secara erat. 5) Budaya lokal kepulauan merupakan kendala tersendiri, terkadang bertentangan dengan kegiatan pembangunan. Di beberapa pulau kecil budaya yang dibawa oleh wisatawan dianggap tidak sesuai dengan adat atau agama setempat. Meskipun demikian, PPK memiliki potensi ekonomi yang tinggi namun dengan karakteristik yang sangat rentan terhadap aktifitas ekonomi. Kesukaran atau

33 15 ketidakmampuan untuk mencapai skala ekonomi yang optimal dan menguntungkan dalam hal administrasi, usaha produksi dan transportasi turut menghambat pembangunan hampir semua pulau kecil di dunia (Kusumastanto 2003). Daya dukung sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang sangat terbatas. Aktifitas sosial dan ekonomi PPK merupakan interaksi kawasan daratan (terrestrial) dengan lingkungan laut, sehingga hampir semua bentuk aktifitas pembangunan akan berdampak negatif terhadap kualitas lingkungan. Bengen dan Retraubun (2006) menyatakan bahwa salah satu bentuk keterkaitan antara ekosistem darat dan laut PPK dapat dilihat dari pergerakan air sungai, aliran air limpasan (run-off), dan aliran air tanah (ground water) dengan berbagai materi yang terkandung di dalamnya (seperti nutrien, sedimen dan bahan pencemar) yang pada akhirnya bermuara di perairan pesisir PPK). Potensi kerusakan sumberdaya alam yang sangat tinggi seperti kenaikan permukaan laut, badai tsunami, dapat dengan mudah terjadi apabila kualitas lingkungan sudah menurun. Untuk itu, pendekatan ekosistem dalam penataan ruang wilayah dan gugus pulau harus berdasarkan daya dukung ekologis, jaringan sosial budaya dan integrasi kegiatan sosial ekonomi (Dahuri 2003) Pengelolaan Ekowisata Pesisir di Pulau-Pulau Kecil Konsep Dasar dan Peraturan Pendukung Pariwisata diartikan sebagai seluruh kegiatan orang yang melakukan perjalanan ke dan tinggal di suatu tempat di luar lingkungan kesehariannya untuk jangka waktu tidak lebih dari setahun untuk bersantai (leisure), bisnis dan berbagai maksud lain (Agenda ). Menurut UU No. 9 Tahun 1990 pasal 1(5), pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata serta usahausaha yang terkait di bidangnya. Pariwisata berkelanjutan adalah penyelenggaraan pariwisata bertanggungjawab yang memenuhi kebutuhan dan aspirasi manusia saat ini, tanpa mengorbankan potensi pemenuhan kebutuhan dan aspirasi manusia di masa mendatang, dengan menerapkan prinsip-prinsip, layak secara ekonomi (economically feasible) dan lingkungan (environmentally feasible, diterima secara sosial (socially acceptable) dan tepat guna secara teknologi (technologically appropriate). Pendekatan pariwisata berkelanjutan disajikan pada Gambar 2 (France 1997 dalam Beeler 2000).

34 16 Pembangunan Lingkungan Memelihara ekologi Ekowisata Kepuasan wisatawan Masyarakat lokal Pembangunan Ekonomi Pembangunan Sosial Gambar 2 Ekowisata sebagai suatu strategi wisata dan pembangunan berkelanjutan (Beeler 2000) Berdasarkan Gambar 2, kegiatan ekowisata adalah sebagian dari pariwisata berkelanjutan. Ini berarti bahwa pariwisata berkelanjutan lebih luas dari ekowisata, mencakup sektor-sektor pendukung kegiatan wisata secara umum. Saling keterkaitan yang dijelaskan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut (Beeler 2000): (1) Menunjukkan sejumlah wisatawan yang berkunjung pada suatu lingkungan alami. Agen perjalanan biasanya elit lokal atau multinasional, dimana profit usaha wisata rasanya sulit masuk ke masyarakat lokal. (2) Biasanya wisma tamu skala kecil setempat memberikan kenyamanan di bawah standar dalam pelayanan. Pemukiman penduduk lokal biasanya memperoleh manfaat langsung dari dampak lingkungan yang buruk. 3) Banyak usaha wisata mempekerjakan penduduk lokal sebagai tenaga kerja yang tidak memiliki keterampilan khusus (unskilled labor). Secara ekonomi dapat memberikan manfaat bagi masyarakat, akan tetapi selalu dengan dampak lingkungan yang tinggi. 4) Titik keseimbangan yang memungkinkan antara ketiga aspek yang secara lokal dapat dikelola dan manfaatnya dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat.

35 17 Penyelenggaraan pengembangan pariwisata di PPK harus menggunakan prinsip berkelanjutan di mana secara ekonomi memberikan keuntungan, memberikan kontribusi pada upaya pelestarian sumberdaya alam, dan sensitif terhadap budaya masyakat lokal. Oleh karena itu, pengembangan pariwisata PPK harus berpegang pada prinsip-prinsip dasar sebagai berikut (Depbudpar 2004): 1. Prinsip keseimbangan; pengelolaan pariwisata di PPK harus didasarkan pada komitmen pola keseimbangan antara pembangunan ekonomi, sosial budaya dan konservasi. 2. Prinsip partisipasi masyarakat; proses pelibatan masyarakat, baik secara aktif maupun pasif, harus dimulai sejak tahap perencanaan hingga tahap pengelolaan dan pengembangan (Damanik dan Weber 2006). Hal ini akan menumbuhkan tanggung jawab dan rasa memiliki yang akan menentukan keberhasilan dan keberlanjutan pengembangan pariwisata di PPK tersebut. 3. Prinsip konservasi; memiliki kepedulian, tanggung jawab dan komitmen terhadap pelestarian lingkungan, mengikut i kaidah-kaidah ekologi dan budaya (peka dan menghormati nilai sosial budaya dan tradisi keagamaan masyarakat lokal). 4. Prinsip keterpaduan; pengelolaan pariwisata di PPK harus direncanakan secara terpadu dengan memperhatikan ekosistem pulau, disesuaikan dengan dinamika sosial budaya masyarakat setempat dan disinergikan dengan pembangunan berbagai sektor, kerangka dan rencana pembangunan daerah. Dilihat dari daya tariknya, keanekaragaman obyek wisata di PPK dapat dibedakan menjadi dua: pertama, daya tarik wisata berbasis sumber daya alam daratan (hutan, gunung, sungai, danau dan pantai) dan sumber daya laut (seperti: terumbu karang, gua dan gunung api bawah laut); kedua, daya tarik wisata yang berbasis warisan maupun pusaka budaya (cultural heritage) baik yang bersifat nyata (tangible) seperti situs, makam, istana, maupun yang bersifat tidak nyata (intagible) seperti pertunjukan budaya atau tradisi budaya masyarakat. Selain kedua jenis pariwisata tersebut, juga terdapat wisata buatan yang pada intinya memberdayakan potensi sumberdaya alam yang ada. Wisata buatan pada hakikatnya merupakan hasil karya cipta manusia yang sengaja dibuat untuk memenuhi kebutuhan tertentu yang secara langsung atau tidak langsung dapat menjadi objek/daya tarik wisata tertentu seperti wisata belanja, pendidikan, olahraga, dan taman rekreasi.

36 18 Kegiatan wisata alam daratan diantaranya kegiatan menikmati bentang alam, olah raga pantai, pengamatan satwa, jelajah hutan, dan mendaki gunung. Sementara kegiatan wisata bahari mencakup snorkeling, menyelam (diving), selancar angin (parasailing), selancar (surfing), memancing (fishing), ski-air, berperahu (canoewing), berperahu kayak (sea kayaking) dan lain sebagainya (META 2002). Sedangkan kegiatan wisata yang berbasis budaya seperti kegiatan menangkap ikan, mengolah ikan, mengamati kebiasaan hidup para nelayan sehari-hari, melihat adat istiadat yang berlaku di perkampungan nelayan, melihat bangunan rumah-rumah nelayan, melihat upacara adat yang biasa dilakukan para nelayan, dan lain sebagainya (Depbudpar 2004). Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mewujudkan pembangunan pariwisata yang berkelanjutan dalam pengelolaan lingkungan PPK yakni: a) Pengelolaan limbah meliputi: (1) pengelolaan limbah padat dan cair agar tidak menimbulkan kerusakan dan pencemaran lingkungan dengan menerapkan prinsip 3R yaitu Reduce (reduksi), Reuse (penggunaan kembali), dan Recycle (daur ulang), dan (2) menetapkan satu pulau kosong yang memungkinkan untuk tempat pengolahan limbah, sesuai ketetapan AMDAL. b) Penggunaan air tawar: (1) dilakukan dengan memperhatikan konservasi air yang tersedia di pulau dan akses masyarakat terhadap kebutuhan air tawar, (2) menganjurkan pengembangan sistem pengolahan air laut menjadi air tawar. c) Pelestarian flora dan fauna: melakukan upaya menjaga dan memelihara flora, fauna dan terumbu karang di sekitar pulau dengan cara: (1) pengawasan dan pengamanan sumberdaya kelautan sekitar pulau dari kegiatan yang dapat merusak dan mengurangi populasinya, (2) merencanakan dan melaksanakan program perlindungan dan pemeliharaan flora, fauna dan terumbu karang, (3) tidak memasukkan jenis flora dan fauna yang berasal dari luar pulau tanpa seijin instansi yang berwenang, (4) tidak menggunakan karang, sebagai bahan bangunan untuk sarana dan prasarana di pulau. d) Pelestarian pesisir: (1) tidak melakukan pengerukan, reklamasi dan atau melakukan kegiatan yang dapat merubah kondisi pantai dan pola arus laut, (2) tidak melakukan pengambilan atau pengerukan pasir baik di daratan maupun di

37 19 perairan pulau, (3) semua pembangunan di pesisir harus didasarkan pada studi AMDAL/UPL/UKL. Pengembangan pariwisata di PPK harus dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal sekaligus melibatkan peran aktif masyarakat sejak awal proses pengembangan pariwisata. Hal ini sejalan dengan konsep pengembangan pariwisata berbasis masyarakat (Community Based Tourism Development), yang dilakukan dengan cara: a) Memprioritaskan peluang kerja dan usaha bagi masyarakat lokal. b) Membantu peningkatan pengetahuan dan keterampilan masyarakat antara lain melalui program pelatihan untuk menunjang usaha pariwisata. c) Membangun hubungan kemitraan antara pengusaha dan masyarakat dalam rangka pemanfaatan hasil-hasil produk lokal. d) Mewujudkan sikap saling menghargai dan menghormati di antara pengusaha dan masyarakat lokal. e) Memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menanamkan modal melalui kepemilikan saham perusahaan. Perencanaan ekowisata menurut Boo (1995) memuat tiga strategi yakni: 1. Menilai situasi dan potensi wisata saat ini (status sumberdaya alam, tingkat permintaan dan perekembangan pariwisata, siapa yang mendapat manfaat, apa saja biayanya, dan bagaimana potensi pengembangannya). 2. Menentukan situasi pariwisata yang diinginkan dan mengindentifikasi langkahlangkah mencapai situasi ini (keseimbangan antara pengunjung, sumberdaya alam, masyarakat lokal dan pemerintah). 3. Membuat dokumen strategi ekowisata, menerbitkan dan mengedarkan kepada sumber-sumberdana, bantuan teknis dan pihak-pihak terkait lainnya. Peraturan dan perundang-undangan yang melandasi pengelolaan wisata bahari berbasis konservasi sumberdaya alam dan budaya lokal, meliput i: 1. Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 5 Tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam dan ekosistemnya, secara khusus tentang taman nasional, zona pemanfaatan di taman nasional untuk pariwisata/rekreasi, dan peranserta masyarakat. 2. UU RI Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan.

38 20 3. UU RI Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, secara khusus penataan wilayah perdesaan. 4. UU RI Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil, secara khusus tentang konservasi sumberdaya PPK, rencana zonasi, hak pengusahaan perairan pesisir (HP3), dan pemanfaatan kawasan PPK untuk pariwisata. 5. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor Nomor 18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam. 6. PP Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan, secara khusus tentang penetapan kawasan konservasi perairan, zonasi kawasan konservasi, dan konservasi sumberdaya ikan meliputi konservasi ekosistem, jenis ikan, dan genetik ikan. 7. Instruksi Presiden Nomor 16 Tahun 2005 tentang Kebijakan Pembangunan Kebudayaan dan Pariwisata, secara khusus tentang peran masing-masing kementerian atau setingkatnya, dan peda dalam kegiatan pariwisata. 8. Peraturan dan Keputusan Menteri setingkat dan di bawah Menteri yang terkait dengan pengelolaan wisata di pesisir dan PPK Konsep Ekowisata Pesisir Pendefenisian ekowisata diawali oleh Hetzer (1965) dan Ziffer (1989) dalam Bjork (2000) yang menyatakan ekowisata sebagai suatu bentuk wisata yang mengandalkan atau mengutamakan oleh nilai sumberdaya alam (flora, fauna dan proses geologi) dan budaya (lokasi suatu fosil dan arkeologi sebagai bentuk peradaban), praktek pemanfaatannya bersifat tidak konsumtif, dapat menciptakan lapangan kerja dan pendapatan untuk upaya konservasi dan peningkatan ekonomi masyarakat lokal. Konsep ekowisata selanjutnya dipopulerkan oleh Hector Ceballos-Lascurian pada awal tahun 1980-an yang menyatakan ekowisata sebagai perjalanan ke kawasan yang relatif belum terganggu (alami) dengan tujuan khusus untuk pendidikan, mengagumi dan menikmati pemandangan alam dan isinya (tumbuhan dan hewan), serta sebagai perwujudan (manifestasi) budaya yang ditemukan di kawasan yang dituju (Tisdell 1998). The International Ecotourism Society menyatakan ekowisata sebagai perjalanan wisata yang bertanggungjawab ke

39 21 wilayah-wilayah alami dalam rangka mengkonservasi lingkungan dan memberi penghidupan penduduk lokal (Western 1995; Sørensen et al. 2002). Sementara World Conservation Union (WCU) dalam Wood (2002), ekowisata adalah perjalanan wisata ke wilayah-wilayah yang lingkungan alamnya masih asli, menghargai warisan budaya dan alamnya, mendukung upaya-upaya konservasi, tidak menghasilkan dampak negatif, dan memberikan keuntungan sosial ekonomi serta menghargai partisipasi penduduk lokal. META (2002) mendefinisikan ekowisata sebagai bentuk usaha atau sektor ekonomi yang berorientasi pada lingkungan untuk menjembatani kepentingan perlindungan sumberdaya alam/lingkungan dan industri kepariwisataan. Wight (1993) dan Scace (1993) dalam Bjork (2000), menyatakan ekowisata sebagai suatu pengalaman perjalanan alam yang dapat berkontribusi terhadap konservasi lingkungan guna menjaga dan meningkatkan integritas sumberdaya alam dan elemen sosial dan budaya. Berdasarkan defenisi dan konsep tersebut, maka ekowisata merupakan suatu bentuk pengalaman perjalanan wisata yang dikemas secara profesional, terlatih, memuat unsur pendidikan, suatu sektor ekonomi, yang mempertimbangkan warisan budaya, partisipasi dan kesejahteraan penduduk lokal yang dilakukan untuk upaya mengkonservasi sumberdaya alam dan lingkungan. Ekowisata tidak setara dengan wisata alam oleh karena tidak semua wisata alam dapat memberikan sumbangan positif kepada upaya pelestarian lingkungan, diperlukan persyaratan-persyaratan tertentu untuk menjadi ekowisata dan memiliki pasar khusus (Tisdell 1996). Ekowisata bukanlah merupakan wisata petualang, akan tetapi lebih dari bentuk permintaan wisata. Wisata petualang merupakan kegiatan waktu senggang pada tempat yang eksotik, unik, sifatnya menantang, penuh resiko, dan juga keceriaan misalnya wisata arung jeram, mendaki gunung, diving di lingkungan populasi ikan hiu, dan lainnya. Wisata alam merupakan wisata di kawasan alami dengan fokus pada pengalaman produk wisata berbasis alam (Bjork 2000). Ekowisata menurut Wood (2002) menganut beberapa prinsip, yakni: 1. Meminimalisir dampak negatif terhadap lingkungan dan budaya. 2. Mengutamakan pendidikan bagi pengunjungnya guna kepentingan konservasi. 3. Menekankan pada kepentingan bisnis yang bertanggungjawab melalui pola kemitraan antara yang membutuhkan dan menerima manfaat konservasi.

40 22 4. Penerimaan langsung dari pengelolaan dan konservasi lingkungan serta kawasan yang dilindungi. 5. Menekankan kebutuhan untuk penzonaan wisata lingkup regional dan untuk perencanaan pengelolaan pengunjung kawasan alami. 6. Menekankan pada penggunaan kajian dasar lingkungan dan sosial guna kepentingan program monitoring. 7. Peningkatan manfaat ekonomi maksimum masyarakat, usaha lokal dan negara. 8. Pembangunan pariwisata tidak melebihi batas daya dukung lingkungan sosial. 9. Pembangunan infrastruktur wisata yang harmoni dengan alam, meminimalisir penggunaan bahan bakar dari fosil (BBM), melindungi satwa dan tumbuhan lokal, dan menselaraskan lingkungan dan budaya. Jika dikaitkan dengan semua kegiatan wisata yang mengandalkan daya tarik alami lingkungan pesisir dan lautan baik secara langsung maupun tidak, maka kegiatan pariwisata tersebut dinamakan sebagai wisata pesisir (Wong 1991) atau juga wisata bahari (Orams 1999). Kegiatan langsung diantaranya berperahu, berenang, snorkeling, menyelam dan memancing. Kegiatan tidak langsung meliputi kegiatan olahraga pantai, dan piknik menikmati atmosfer laut (META 2002). Konsep ekowisata pesisir didasarkan pada menikmati keunikan alam, karakteristik ekosistem, kekhasan seni budaya dan karakteristik masyarakat pesisir sebagai kekuatan dasar yang dimiliki oleh masing-masing daerah. Sementara ekowisata bahari merupakan kegiatan wisata pesisir dan laut yang dikembangkan dengan pendekatan konservasi laut (Hutabarat et al. 2009). Kegiatan ekowisata bahari bukan semata-mata untuk memperoleh hiburan dari berbagai suguhan atraksi dan suguhan alami lingkungan pesisir dan lautan. Akan tetapi, diharapkan wisatawan dapat berpartisipasi langsung untuk mengembangkan konservasi lingkungan sekaligus pemahaman yang mendalam tentang seluk-beluk ekosistem pesisir sehingga membentuk kesadaran bagaimana harus bersikap untuk kelestarian wilayah pesisir dan laut di masa kini dan masa yang akan datang. META (2002), merumuskan tujuh prinsip utama pengelolaan ekowisata bahari berkelanjutan, yaitu: 1. Partisipasi masyarakat lokal; ekowisata bahari harus memberikan manfaat ekologi, sosial dan ekonomi langsung kepada masyarakat lokal.

41 23 2. Proteksi lingkungan; ekowisata bertumpu pada lingkungan alam pesisir dan laut, budaya yang relatif belum tercemar atau terganggu. 3. Pendekatan keseimbangan; prinsipnya meliputi maksimum profit, bagaimana ekowisata memberikan manfaat, komitmen industri pariwisata dan lainnya. 4. Pendidikan dan pengalaman; ekowisata harus dapat meningkatkan pemahaman akan lingkungan alam dan budaya dengan adanya pengalaman yang dimiliki. 5. Pendekatan kolaboratif; ekowisata bahari dapat memberikan sumbangan positif bagi keberlanjutan ekologi baik jangka pendek maupun jangka panjang. 6. Tanggungjawab pasar; diperlukan interdependen kegiatan, demand-supply side dan lain sebagainya. 7. Kontinuitas manajemen; ekowisata harus dikelola secara baik dan menjamin keberlanjutan lingkungan alam, budaya yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat saat ini maupun generasi mendatang. Pengelolaan ekowisata bahari adalah bagaimana memelihara dan melindungi sumberdaya alam yang tidak tergantikan (irreplaceable) agar dapat dimanfaatkan untuk generasi sekarang dan (terlebih) untuk generasi mendatang. Konflik kepentingan akan mudah timbul antara dimensi ekonomi dan ekologi pada suatu sumberdaya. Pengelolaan ekowisata bahari mencakup sebagian pengelolaan wisata, yakni kegiatan-kegiatan mensinergikan sektor penunjang ekowisata, menetapkan tujuan wisata, menyiapkan akomodasi hingga mengoptimalkan pemasaran produkproduk wisata. Pengelolaan ekowisata yang memenuhi kaidah konservasi memerlukan penjelasan rinci tentang sistem produksi ekowisata secara keseluruhan (from cradle to grave). Suatu obyek tujuan wisata memiliki karakteristik sistem produksi yang berbeda dengan dengan tujuan wisata lainnya. Ekowisata wilayah pesisir dan laut memiliki karakteristik lahan basah yang berbeda dengan ekowisata pegunungan dengan karakteristik lahan kering (META 2002). Ada empat issu konservasi yang berkaitan dengan ekowisata (Millar 1991 dalam Wood 2002). Pertama, kegiatan wisata yang cenderung massal (mass tourism). Karakteristik sektor wisata umumnya menghasilkan pengaruh yang signifikan dan massal. Di negara-negara sedang berkembang, manfaat ekonomi sektor tourism sangat signifikan sehingga dimensi sosial dan lingkungan seringkali terkorbankan. Kedua, obyek ekowisata yang spesifik. Sektor wisata umumnya

42 24 memiliki sarana akomodasi yang terstandarisasi dengan kenyamanan tertentu, misalnya fasilitas parkir, toilet atau kamar hotel. Keseragaman akomodasi tersebut, sejak masa konstruksi hingga pemanfaatannya, akan cenderung berdampak merugikan bagi ekowisata. Hal tersebut dapat mematikan pengembangan potensi spesifik lokal, juga dapat berlawanan dengan nilai-nilai budaya setempat. Ketiga, pemberdayaan penduduk lokal. Trade-off aliran insentif ekonomi pada sektor tourism umumnya lebih condong ke pemilik modal dibanding ke penduduk lokal. Trade-off tersebut harus mengarah secara proporsional pada kedua belah pihak jika tidak ingin menghancurkan kegiatan ekowisata. Insentif ekonomi bagi penduduk lokal digunakan untuk peningkatan kesejahteraan, pendidikan dan ketrampilan profesional, serta penguatan struktur sosial. Keempat, faktor-faktor yang tidak terhitung (intangible) di dalam sumberdaya alam masih banyak. Pemangku kepentingans, khususnya penduduk lokal memiliki nilai-nilai budaya dan potensi yang belum terungkap dalam bentuk manfaat bagi konservasi dan ekowisata. Implikasinya, harus dilakukan penelitian dan pengembangan untuk menggali ilmu pengetahuan dan menyebarkan informasi dalam rangka membangun kesadaran publik tentang konservasi dan keberlanjutan sumberdaya dan lingkungan Kawasan Konservasi dan Kegiatan Wisata Pesisir Umumnya, penetapan suatu kawasan laut menjadi kawasan konservasi akan merugikan kegiatan ekonomi lainnya. Di lain pihak, kawasan konservasi dapat juga dijadikan sebagai instrumen pengendalian kegiatan pariwisata dan kegiatan lain termasuk perikanan untuk pemanfaatan yang berkelanjutan. Awal tahun 1990, mulai diperkenalkan suatu instrumen yang didesain langsung pada pengendalian pemanfaatan sumberdaya alam, yaitu berupa penentuan suatu kawasan konservasi laut (KKL) atau marine reserve atau Marine Protected Area (MPA). Tujuannya adalah agar input dan output produksi perikanan dan wisata bahari berbasis konservasi diatur dengan menutup sebagian kawasan untuk daerah perlindungan. Banyak dukungan empiris yang menyatakan KKL akan dapat meningkatkan dan memperbaiki ekologi yang mencakup peningkatan komposisi umur dan tingkat stok yang lebih tinggi untuk perbaikan habitat. Manfaat tambahan yang diperoleh dari adanya kawasan konservasi ini adalah untuk keperluan pariwisata, pendidikan, dan konservasi biodiversitas laut (Bohnsack 1993 dalam Sanchirico et al. 2002).

43 25 Manfaat kawasan konservasi laut adalah sebagai biogeografi, keanekaragaman hayati, perlindungan terhadap spesies yang rentan dalam masa pertumbuhan, pengurangan mortalitas akibat penangkapan, peningkatan produksi di wilayah sekitarnya, perlindungan pemijahan, penelitian, ekowisata, pembatasan hasil sampingan ikan-ikan juvenil dan peningkatan produktivitas perairan. Salah satu peran utama kawasan konservasi PPK, yakni menyediakan tempat rekreasi dan pariwisata yang bernilai ekologis dan estetika (Barr et al dalam Bengen dan Retraubun 2006). Perlindungan terhadap tempat-tempat khusus bagi kepentingan rekreasi/pariwisata (seperti pengaturan dermaga perahu/kapal, tempat berjangkar dan jalur pelayaran) akan membantu mengamankan kekayaan dan keragaman daerah pariwisata yang tersedia di sepanjang pesisir PPK. Pemanfaatan suatu kawasan konservasi menjadi kawasan wisata dan kegiatan perikanan harus dapat memberikan manfaat ekonomi yang tinggi. Cesar (1996) menyatakan bahwa KKL di Apo Island Philipina mampu memberikan nilai ekonomi hampir US$400 ribu dari sektor wisata bahari dan perikanan. Masalah utama dalam pengalokasian suatu kawasan konservasi adalah menetapkan batas ekologis yang dapat digunakan untuk mencapai suatu kawasan konservasi. Selama ini batas kawasan konservasi didasarkan pada karakteristik geologis kawasan (batas daratan dan lautan), batas administrasi (nasional, propinsi dan kabupaten), atau biaya (lokasi yang lebih kecil akan memerlukan biaya yang kecil untuk melindungi atau mempertahankan keberadaannya. Kawasan konservasi yang berukuran kecil dapat mendukung kehidupan lebih banyak jenis biota dengan relung yang berbeda-beda serta tidak merusak semua kawasan konservasi secara bersamaan bila terjadi bencana. Kawasan konservasi yang berukuran besar menuntut adanya zonasi kawasan untuk dapat mendukung pengelolaan yang efektif bagi pemanfaatan secara berkelanjutan, termasuk pemanfaatan sumberdaya alam dapat dikontrol secara efektif untuk mencapai sasaran dan tujuan konservasi. Berdasarkan arah pengembangan pariwisata, zonasi yang umum digunakan dalam pengembangan pariwisata di kawasan PPK adalah (Depbudpar 2004): 1. Zona Intensif, yaitu suatu kawasan yang dirancang untuk dapat menerima kunjungan dan tingkat kegiatan yang tinggi dengan memberikan ruang yang luas untuk kegiatan dan kenyamanan pengunjung. Dalam zona ini dapat

44 26 dikembangkan sarana dan prasarana fisik untuk pelayanan pariwisata yang umumnya tidak melebihi 60 % dari luas kawasan zonasi intensif dan memperhatikan daya dukung lingkungan. 2. Zona Ekstensif, yaitu suatu kawasan yang dirancang untuk menerima kunjungan dan tingkat kegiatan terbatas, untuk menjaga kualitas karakter sumber daya alam. Kegiatan pengunjung dalam zona ini harus dapat dikontrol, dan pembangunan sarana dan prasarana terbatas hanya ditujukan untuk pengunjung kegiatan, seperti jalan setapak, tempat istirahat, menara pandang, papan penunjuk dan informasi. 3. Zona Perlindungan, yaitu suatu kawasan yang dirancang untuk tidak menerima kunjungan dan kegiatan pariwisata. Kawasan ini biasanya merupakan kawasan yang menjadi sumber air bagi kawasan seluruh pulau, atau memiliki kerentanan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi Kesesuaian Pemanfaatan Ekowisata Pesisir di Pulau-Pulau Kecil Kriteria Umum Keberadaan PPK yang nampaknya cukup potensial namun pada dasarnya memiliki banyak keterbatasan, sudah mulai banyak dilirik untuk dimanfaatkan seoptimal mungkin. Kondisi keterpencilan, terbatasnya luasan lahan, terbatasnya sumberdaya manusia dan keterbatasan lainnya bukanlah halangan bagi kita untuk dapat memanfaatkan potensi-potensi yang cukup dapat diharapkan, minimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat penghuninya. Kebijakan pulau-pulau kecil yang tidak seimbang akan menghasilkan dampak negatif. Di satu pihak, tidak berkembangnya kawasan PPK akibat kebijakan yang terlalu protektif. Di pihak lain, rusaknya kawasan PPK akibat tekanan pemanfaatan berlebihan. Untuk itu perlu kebijakan yang berimbang, dimana usaha pemanfaatan PPK ditingkatkan, sementara keseimbangan ekologis kawasan masih terjaga (Bengen 2002). Terkait dengan konteks arahan pengelolaan PPK, kegiatan pemanfaatannya hanya diperuntukkan bagi kegiatan berbasis konservasi. Artinya, pemanfaatan untuk berbagai kegiatan yang bersifat eksploratif-destruktif tidak disarankan untuk dilaksanakan. Hal ini mengingat bahwa PPK memiliki sejumlah kendala dan karakteristik yang sangat berbeda dengan pengelolaan pulau besar (mainland). Atas

45 27 dasar karakteristiknya, maka arahan peruntukkan dan pemanfaatan pariwisata memiliki kriteria sebagai berikut (Bengen 2002): 1. Berjarak aman dari kawasan perikanan, sehingga dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan tersebut tidak menyebar/mencapai kawasan wisata. 2. Berjarak aman dengan kawasan lindung, sehingga dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan di kawasan pariwisata tidak menyebar dan mencapai kawasan lindung. 3. Sirkulasi massa air di kawasan pariwisata harus lancar. 4. Pembangunan sarana dan prasarana wisata tidak mengubah kondisi pantai dan daya dukung PPK, sehingga proses erosi atau sedimentasi dapat dihindari. Lebih jauh Fauzi dan Anna (2005), menyatakan bahwa kebijakan menyangkut PPK pada dasarnya haruslah berbasiskan kondisi dan karakteristik bio-geo-fisik serta sosial ekonomi masyarakatnya, mengingat peran dan fungsi kawasan tersebut sangat penting baik bagi kehidupan ekosistem perairan laut maupun bagi kehidupan ekosistem daratan (mainland). Maksudnya agar sumberdaya tersebut dapat dimanfaatkan secara terus-menerus. Salah satu cara yang diterapkan adalah menetapkan Daerah Perlindungan Laut (DPL), dengan maksud: perlindungan sumberdaya perikanan, pelestarian genetik dan plasma nutfah serta mencegah rusaknya bentang alam. Beberapa kriteria umum dalam penentuan pemanfaatan pariwisata di PPK menurut dimensi pembangunan adalah (Bengen 2002): 1. Dimensi sosial: diterimanya secara sosial, kesehatan masyarakat, rekreasi, budaya, estetika, konflik kepentingan, keamanan, aksesibilitas, penelitian dan pendidikan, dan kepedulian masyarakat. 2. Dimensi ekonomi: nilai ekonomi spesies penting, nilai ekonomi kegiatan perikanan, ancaman terhadap alam, dan keuntungan ekonomi, dan pariwisata. 3. Kriteria dalam dimensi ekologi: keanekaragaman hayati, kealamiahan, ketergantungan, keterwakilan, keunikan, produktivitas, dan vulnerabilitas. 4. Kriteria dalam dimensi regional: tingkat kepentingan regional, dan tingkat kepentingan sub-regional. Kriteria khusus suatu wilayah yang diperlukan untuk menentukan zona kegiatan pariwisata:

46 28 1. Mempunyai keindahan alam yang menarik untuk dilihat dan dinikmati sehingga membawa kepuasan dan kenangan manis serta memberikan rasa rileksasi dan memulihkan semangat daya produktifnya; 2. Keaslian panorama alam dan keaslian budaya; 3. Keunikan ekosistemnya; 4. Di dalam lokasi wisata tidak ada gangguan binatang buas, arus berbahaya, angin kencang, dan topografi dasar laut yang curam; dan 5. Tersedia sarana dan prasarana yang mudah dijangkau, baik melalui darat maupun laut (dekat restoran, penjualan cinderamata, penginapan dan air bersih) Parameter Kesesuaian Pemanfaatan untuk Ekowisata Pesisir Kesesuaian pemanfaatan wisata pesisir di PPK berbeda untuk setiap kategori wisata. Kegiatan wisata yang dapat dikembangkan dengan konsep ekowisata PPK dapat dikelompokkan atas wisata bahari dan wisata pantai. Wisata bahari merupakan kegiatan wisata yang mengutamakan potensi sumberdaya laut dan dinamika air laut. Sedangkan wisata pantai merupakan kegiatan wisata yang mengutamakan potensi sumberdaya pantai dan budaya masyarakat pantai (Hutabarat et al. 2009). Berdasarkan kondisi daerah kajian penelitian, setiap kegiatan wisata pesisir di PPK dibagi dua kategori yakni kategori wisata selam dan wisata snorkeling (kegiatan wisata bahari), dan kategori wisata mangrove dan rekreasi pantai (kegiatan wisata pantai), serta wisata berbasis budaya lokal. Potensi utama untuk menunjang kegiatan pariwisata di wilayah pesisir dan laut adalah kawasan terumbu karang, pantai berpasir putih atau bersih, dan lokasilokasi perairan pantai yang baik untuk berselancar. Keragaman spesies pada terumbu karang dan ikan hias merupakan obyek utama yang menciptakan keindahan panorama alam bawah laut yang luar biasa bagi para penyelam dan para wisatawan yang melakukan snorkeling (Dahuri 2003). Secara umum, jenis dan nilai setiap parameter kesesuaian untuk kegiatan wisata bahari kategori wisata selam dan wisata snorkeling hampir sama. Parameter yang dipertimbangkan dalam menilai tingkat kesesuaian pemanfaatan kedua kategori kegiatan wisata bahari tersebut adalah: 1. Kondisi kawasan penyelaman yakni menyangkut keadaan permukaan air (gelombang) dan arus. Gelombang besar dan arus yang kuat dapat membawa

47 29 para penyelam ke luar kawasan wisata. Kekuatan arus yang aman bagi wisatawan maksimum 1 knot (0.51 m/detik), sesuai sampai sangat sesuai yakni di bawah 0.34 m/detik (Davis and Tisdell 1995). 2. Kualitas daerah penyelaman yakni menyangkut jarak pandang yang layak (sesuai) di bawah permukaan air (underwater visibility), dalam hal ini tergantung tingkat kecerahan dan kedalaman perairan, dan tutupan komunitas karang dan life form (marine life) (Davis and Tisdell 1995; Davis Tisdell 1996). Jarak pandang yang layak untuk wisata bahari >10-20 m. Hal ini terkait dengan penetrasi matahari terhadap biota dasar permukaan air maksimum 25 m. Marine National Park Division (2001) menyatakan bahwa kedalaman 2-5 m sangat sesuai untuk melakukan wisata snorkeling, sementara wisata selam biasanya dilakukan pada kedalaman 5-10 m. Di atas kedalaman air tersebut, pengaruh gelombang juga semakin besar dan kemungkinan keberadaan hewan berbahaya sangat besar sehingga dapat mengancam para penyelam dan snorkeler. Davis and Tisdell (1995), alasan orang berpartisipasi dalam melakukan kegiatan Scuba (Self Contained Underwater Breathing Apparatus)-Diving adalah karena hasrat untuk mencari pengalaman di belantara laut, ketertarikan terhadap ekologi perairan laut, sebagai sarana olahraga yang berbeda dan spesial dengan olahraga lainnya, pesona bawah laut (formasi geologi) dan kehidupan laut (terumbu karang, hiu, dan spesies ikan lainnya), untuk tujuan hobi fotografi bawah laut, dan petualang dengan resiko tertentu. Dahuri (2003), sumberdaya hayati pesisir dan lautan seperti populasi ikan hias, terumbu karang, padang lamun, hutan mangrove, dan berbagai benteng alam pesisir (coastal landscape) unik lainnya, membentuk suatu pemandangan alamiah yang begitu menakjubkan untuk kegiatan wisata bahari. Luas kawasan terumbu karang di Indonesia diperkirakan mencapai km 2 dengan keanekaragaman spesies terumbu karang mencapai spesies karang scleractinian (kepulauan Togean 262 spesies) dan 263 spesies ikan hias, umumnya berada di Kawasan Timur Indonesia. Selain kawasan terumbu karang, Indonesia merupakan tempat komunitas mangrove terluas di dunia (4.25 juta ha) yang mewakili 25 % dari luas mangrove dunia (75 % dari luas mangrove di Asia Tenggara), diperkirakan dijumpai 202 jenis vegetasi mangrove. Areal mangrove yang luas tidak hanya berperan dalam

48 30 menyediakan habitat untuk berbagai macam biota, tetapi juga menciptakan keindahan, kenyamanan, dan kesegaran lingkungan atmosfir di wilayah pesisir dan laut. Hutan mangrove sering dijadikan hutan wisata yang dapat berfungsi sebagai tempat rekreasi memancing, lintas alam, dan koleksi flora maupun fauna untuk ilmu pengetahuan (Dahuri 2003). Parameter yang digunakan untuk menilai kesesuaian pemanfaatan wisata bahari kategori wisata mangrove, meliputi (Ayob 2004): 1. Apa yang diharapkan seseorang dengan berkunjung ke kawasan hutan mangrove, tergantung kepentingan dan tingkat pendidikannya. Ada yang berkepentingan melihat sejumlah dan jenis burung (migrasi dan atau menetap), melihat lebih dekat mangrove, dan bagaimana nira diambil langsung dari nipah. 2. Selain itu, beberapa pengunjung lebih suka melakukan trekking di jembatan bakau sambil mendengarkan burung berkicau, dan menggunakan boat untuk menjelajahi setiap bagian hutan mangrove, serta menikmati makanan laut yang diperoleh dari kawasan mangrove (Marine National Park Division 2001). 3. Ketebalan dan kerapatan mangrove dapat mempengaruhi sistem ekologi pada kawasan tersebut, termasuk keberadaan hewan lain seperti burung, kadal, ular, monyet, kepiting, udang dan beberapa moluska (Hutabarat et al. 2009). Bengen dan Retraubun (2006), jenis dan pertumbuhan hutan mangrove di PPK dibatasi oleh ketersediaan air tawar, pasokan sedimen (bahan organik) dari daratan dan jenis substrat pasir, sehingga jenis mangrove yang dominan adalah dari genus Avicennia (api-api) dan Sonneratia. Obyek wisata pesisir di PPK yang berpotensi besar adalah wilayah pantai. Wilayah pantai menawarkan jasa dalam bentuk panorama pantai yang indah, tempat permandian yang bersih, serta tempat melakukan kegiatan berselancar air (Dahuri 2003). Parameter yang digunakan untuk menilai kesesuaian pemanfaatan wisata pesisir kategori rekreasi pantai, meliputi (Wong 1991; Hutabarat et al. 2009): 1. Kondisi geologi pantai menyangkut tipe (substrat pasir), lebih lebar, kemiringan pantai (idealnya <25 o ) dan material dasar perairan pantai (idealnya berpasir). 2. Kondisi fisik menyangkut kedalaman perairan, kecepatan arus dan gelombang, kecerahan perairan dan ketersediaan air tawar (maksimum 2 km). 3. Kondisi biota menyangkut tutupan lahan pantai oleh tumbuhan dan keberadaan biota berbahaya (menyangkut kenyamanan dan keselamatan wisatawan).

49 Daya Dukung Ekowisata Pesisir di Pulau-Pulau Kecil Daya dukung didefinisikan sebagai intensitas penggunaan maksimum terhadap sumberdaya alam yang berlangsung secara terus menerus tanpa merusak alam. Bengen dan Retraubun (2006) menyatakan daya dukung sebagai tingkat pemanfaatan sumberdaya alam atau ekosistem secara berkesinambungan tanpa menimbulkan kerusakan sumberdaya alam dan lingkungannya. Daya dukung dapat diartikan sebagai kondisi maksimum suatu ekosistem untuk menampung komponen biotik (mahluk hidup) yang terkandung di dalamnya, dengan juga memperhitungkan faktor lingkungan dan faktor lainnya yang berperan di alam. Definisi lain menyebutkan bahwa daya dukung adalah batasan untuk jumlah atau massa organisme hidup yang dapat didukung oleh suatu habitat. Batasan daya dukung bagi populasi manusia adalah jumlah individu yang dapat didukung oleh suatu satuan luas kawasan dan lingkungan dalam keadaan sejahtera (Tantrigama 1998). Jadi, daya dukung adalah jumlah batasan yang perlu diperhatikan dari keberadaan suatu biota karena adanya keterbatasan lingkungan seperti makanan, ruang atau tempat berpijah, penyakit, siklus predator, temperatur, cahaya matahari, atau salinitas. Daya dukung lingkungan sangat erat kaitannya dengan kapasitas asimilasi dari lingkungan perairan yang menggambarkan jumlah limbah yang dapat dibuang ke dalam lingkungan tanpa menyebabkan pencemaran (UNEP 1993). Davis and Tisdell (1996), daya dukung lingkungan terbagi atas dua yakni daya dukung ekologis (ecological carrying capacity) dan daya dukung ekonomis (economic carrying capacity). Jika dikaitkan dengan kegiatan wisata, Mathieson and Wall (1989) dalam Zhiyong and Sheng (2009) mendefenisikan daya dukung sebagai jumlah maksimum orang yang dapat menggunakan suatu kawasan tanpa mengganggu lingkungan fisik dan menurunkan kualitas petualangan yang diperoleh pengunjung, serta tanpa sebuah kerugian dari sisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat lokal (Inskeep 1991 dalam Liu 1994). Daya dukung wisata dalam prakteknya merupakan sebuah konsep yang lebih luas yang dapat mencakup tiga bagian yakni daya dukung ekologi, daya dukung ekonomi dan daya dukung psikologi (sosial) (Zhiyong and Sheng 2009). Daya dukung ekologis adalah jumlah maksimum hewan-hewan pada suatu lahan yang dapat didukung tanpa mengakibatkan kematian karena faktor kepadatan, dan terjadinya kerusakan

50 32 lingkungan secara permanen (irreversible). Hal ini ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan. Hal ini sejalan dengan Tantrigama (1998), analisis daya dukung difokuskan pada dimensi ekologi, fisik dan lingkungan. Daya dukung ekonomi adalah tingkat produksi (skala usaha) yang memberikan keuntungan maksimum dan ditentukan oleh tujuan usaha secara ekonomi. Dalam hal ini digunakan paremeterparameter kelayakan usaha secara ekonomi. Pearce and Kirk (1986) dalam Wong (1991) menggambarkan beberapa tipe perbedaan daya dukung (fisik, lingkungan, dan sosial) yang dapat diaplikasikan pada beberapa bagian lingkungan pesisir (daratan, bukit pasir, pantai dan laut), dan dimensi terkait dengan sistem wisata seperti akomodasi dan pelayanan, transit, dan aktivitas rekreasi (Gambar 3). SISTEM PARIWISATA LINGKUNGAN PESISIR DAYA DUKUNG Zona akomodasi dan pelayanan Hinterland Fisik Zona Transit Bukit pasir Lingkungan (Ekologi) Pantai Pantai.... Sosial Zona aktifitas wisata bahari Laut Lingkungan (Ekologi) Gambar 3 Hubungan daya dukung dengan wisata pesisir (Wong 1991) Hal penting yang dapat dijelaskan pada Gambar 3, dimana hubungan ketiga dimensi tersebut umumnya terjadi pada kawasan wisata yang jauh dari pemukiman penduduk, misalnya PPK. Jika kawasan hinterland juga dimanfaatkan untuk pemukiman, maka sistem pariwisata yang berkelanjutan juga tidak hanya memperhatikan daya dukung fisik, akan tetapi juga daya dukung sosial. Kemampuan daya dukung setiap kawasan pesisir berbeda-beda sehingga perencanaan pariwisata di PPK secara spasial akan sangat bermakna dan menjadi penting (Depbudpar 2004). Pengetahuan daya dukung lahan atau lingkungan, harus memperhitungkan semua potensi yang ada di wilayah yang bersangkutan dan faktor kendala apa saja yang mempengaruhi potensi tersebut dalam jangka panjang.

51 33 Mengacu pada batasan-batasan konsep daya dukung sebelumnya, selanjutnya diuraikan beberapa daya dukung kegiatan pengelolaan pariwisata PPK Daya Dukung Ekologis Daya dukung ekologis, menurut McLeod and Cooper (2005) menyatakan sebagai tingkat maksimum penggunaan suatu kawasan atau suatu ekosistem agar tetap lestari, baik dalam jumlah populasi maupun kegiatan yang diakomodasikan di dalamnya, sebelum terjadi suatu penurunan dalam kualitas ekologis ekosistem tersebut. Defenisi daya dukung berdasarkan teori Odum, bahwa batas maksimum biomas yang dapat mendukung seperangkat produksi primer dan satu variabel struktur jaringan makanan yang diperoleh ketika total sistem respirasi sama dengan jumlah produksi primer dan impor detritus (Christensen dan Pauly 1998). Pencemaran perairan pesisir akibat meningkatnya berbagai kegiatan pemanfaatan merupakan indikator terlampauinya daya dukung perairan. Dampak yang timbul akibat pencemaran oleh berbagai jenis polutan dapat langsung meracuni kehidupan biologis dan menyerap banyak jumlah oksigen selama proses dekomposisi (Sumadhiharga 1995). Daya dukung ekologis PPK merupakan tingkat maksimal penggunaan suatu pulau. Pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau untuk kegiatan pariwisata, disamping dampak yang terjadi yang mengganggu kenyamanan atau kepuasan pemakai kawasan/ruang ini, dampak negatif lanjutan lainnya dapat terjadi misalnya menurunnya spesies biota di suatu kawasan. Turner (1988) menyebutkan bahwa daya dukung merupakan maksimum populasi organisme akuatik yang akan ditunjang oleh suatu kawasan atau volume perairan yang ditentukan tanpa mengalami penurunan mutu/kualitas perairan (deteriorasi). Prosser (1986) dalam Davis and Tisdell (1996) menyatakan daya dukung ekologi merupakan tingkat pemanfaatan dimana sumberdaya alam dapat berkelanjutan tanpa sebuah pengurangan dalam karakteristik dan kualitas sumberdaya yang dimanfaatkan. Seidl and Tisdell (1999) mendefenisikan daya dukung sebagai batas maksimum suatu lingkungan dalam mentoleransi tekanan pemanfaatan. Cooper et al. (1998), daya dukung ekologi pada kegiatan wisata merupakan batas maksimum kunjungan yang dapat mempengaruhi kondisi ekologi yang terjadi karena aktifitas yang dilakukan turis. Daya dukung yang terkait dengan pariwisata bahari menunjukkan jumlah

52 34 maksimum wisatawan yang melakukan penyelaman atau berenang tanpa merusak terumbu karang atau kehidupan laut (Tantrigama 1998) Daya Dukung Fisik Daya dukung fisik suatu kawasan atau areal merupakan jumlah maksimum penggunaan atau kegiatan yang dapat diakomodasikan dalam kawasan atau areal tanpa menyebabkan kerusakan atau penurunan kualitas kawasan tersebut secara fisik (Wong 1991; McLeod and Cooper 2005). Daya dukung fisik, yang merupakan jumlah maksimum penggunaan atau kegiatan yang dapat diakomodir tanpa menyebabkan kerusakan atau penurunan kualitas. Daya fisik diperlukan untuk meningkatkan kenyamanan pengunjung. Daya dukung fisik dapat dikaji melalui berapa besar kapasitas dan ruang pesisir yang tersedia untuk membangun infrastruktur pariwisata guna kenyamanan wisatawan (Tantrigama 1998; McLeod and Cooper 2005). Cooper et al. (1998), daya dukung fisik terkait dengan pengalaman pengunjung atau merupakan maksimum level yang tidak dapat diterima dengan penurunan kepuasan dari adanya kelebihan pemanfaatan. Terlampauinya daya dukung fisik wisata pantai akibat meningkatnya jumlah infrastruktur (dermaga melalui reklamasi, hotel, dan lainnya) dan pemukiman penduduk, menyebabkan hilangnya beberapa vegetasi daratan dan ekosistem perairan laut (terumbu karang, sumberdaya ikan dan non ikan). Peningkatan infrastruktur dan jumlah penduduk secara tidak langsung akan mempengaruhi kualitas air, melalui peningkatan jumlah limbah (padat dan air) (Wong 1991) Daya Dukung Sosial Konsep daya dukung sosial pada suatu kawasan merupakan gambaran dari presepsi seseorang dalam menggunakan ruang pada waktu yang bersamaan, atau presepsi pemakai kawasan terhadap kehadiran orang lain secara bersama dalam memanfaatkan suatu area tertentu. Konsep ini berkenaan dengan tingkat confortability atau kenyamanan dan apresiasi pemakai kawasan karena terjadinya atau pengaruh over-crowding pada suatu kawasan. Daya dukung sosial suatu kawasan dinyatakan sebagai batas tingkat maksimum, dalam jumlah dan tingkat penggunaan, dalam suatu kawasan dimana dalam kondisi yang telah melampaui batas daya dukung ini akan menimbulkan penurunan dalam tingkat dan kualitas

53 35 pengalaman atau kepuasan pengguna (pemakai) pada kawasan tersebut. Beeler (2000) menyatakan daya dukung sosial sebagai batas maksimum yang ditoleransi oleh seseorang yang bertindak sebagai tuan rumah (host resident) terhadap dampak negatif yang ditimbulkan kegiatan wisata. Daya dukung sosial di bidang pariwisata dipengaruhi oleh keberadaan infrastruktur wisata, attitude pengunjung (wisatawan) dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat suatu kawasan wisata (McLeod and Cooper 2005). Daya dukung sosial, yang merupakan batas tingkat maksimum dalam jumlah dan tingkat penggunaan yang akan menimbulkan penurunan dalam tingkat kualitas pengalaman atau kepuasan pengunjung di PPK. Satu bentuk illustrasi yang menggambarkan hubungan antar daya dukung sosial, lingkungan dan kualitas pengalaman berekreasi oleh seorang turis disajikan pada Gambar 4. Gambar 4 Daya dukung ekologi dan daya dukung sosial kegiatan ekowisata (Seidl and Tisdell 1999) Gambar 4 menunjukkan bahwa dengan bertambahnya waktu dan jumlah manusia maka kebutuhan manusia, interaksi dan kompetisi antar manusia dalam menempati ruang juga semakin meningkat, akibatnya timbul ketidaknyamanan (ketidakpuasan, utility) antara satu manusia dengan yang lain dan menyebabkan ia merasa terganggu (unsustainable). Ketidaknyaman itulah yang membatasi seseorang untuk menerima orang lain yang masuk untuk berinteraksi sehingga daya dukung sosial (K S ) menjadi lebih rendah tingkatannya dibanding daya dukung biofisik atau ekologisnya (K B ). Selain itu, K B yang memiliki ukuran populasi maksimal dapat bertahan secara biofisik karena besarannya sangat dipengaruhi oleh

54 36 adanya kemampuan teknologi yang mendukungnya (Seidl and Tisdell 1999). Sementara K S yang memiliki ukuran populasi maksimal lebih rendah dapat bertahan dalam setiap sistem sosial cenderung untuk mengkonsumsi dan membebani sumberdaya biofisik sehingga kontra produktif terhadap pertumbuhan sehingga nilainya relatif lebih rendah (Davis and Tisdell 1996). Terganggunya pola, tatanan atau sistem kehidupan dan sosial budaya manusia (individu, kelompok) pemakai ruang tersebut, yang dapat dinyatakan sebagai ruang sosialnya, juga merupakan gambaran telah terlampauinya batas daya dukung sosial ruang tersebut (Seidl and Tisdell 1999). Pada kegiatan pariwisata, terlampauinya daya dukung menyebabkan dampak yang mengganggu kenyamanan atau kepuasan pemakai kawasan/ruang ini. Pada tingkat intensitas pemanfaatan yang tinggi, maka kegiatan tersebut akan mempengaruhi daya dukung ekologi kawasan wisata Daya Dukung Ekonomi Daya dukung ekonomi adalah tingkat produksi (skala usaha) yang memberikan keuntungan maksimum dan ditentukan oleh tujuan usaha secara ekonomi pengelolaan usaha wisata. Dalam hal ini digunakan parameter-parameter kelayakan usaha secara ekonomi, misalnya maksimum keuntungan, maksimum tenaga kerja yang diserap oleh kegiatan pemanfaatan PPK, lama pengembalian investasi dan multiplier effect usaha tersebut (Tisdell 1998a; McLeod and Cooper 2005). Produk wisata diperoleh dari kombinasi antara potensi sumberdaya (resources), modal (capital), tenaga kerja (labour) dan kemampuan mengelola (management) yang akan dipasarkan sebagai barang ekonomi. Sektor ekowisata menyumbang peran ekonomi secara mikro maupun makro. Kegiatan ekowisata dalam aspek mikro ekonomi menghasilkan kajian produkproduk wisata, kemasan, kualitas dan kuantitas, pelaku dan harga. Umumnya produk wisata memiliki karakteristik yang sama dengan barang konsumsi. Produk tersebut disajikan dengan karakteristik yang sangat beragam, dan sangat fleksibel dipilih oleh wisatawan. Pada sisi makro ekonomi, sektor ekowisata membahas tentang share ekonomi, pendapatan dan tenaga kerja, maupun keterkaitan ekonomi. Sektor ekowisata tidak berjalan sendirian dalam perekonomian suatu wilayah. Ia membutuhkan infrastruktur transportasi, telekomunikasi, listrik dan air bersih, selain dukungan dari sektor perdagangan maupun pakaian, makanan dan minuman,

55 37 baik dari dalam maupun luar negeri (Sathiendrakumar 1989). Peran sektor ekowisata dapat dilihat dari ukuran tenaga kerja, pendapatan, PDRB maupun total produksi. Umumnya, besaran pengaruh masing-masing ukuran dari atau terhadap sektor ekowisata diperlihatkan melalui nilai pengganda (multiplier). Makin tinggi nilai pengganda semakin besar peran sektor ekowisata dalam perekonomian wilayah. Nilai income multiplier ekowisata berkisar antara 0.4 hingga 1.2 (Depbudpar 2007). Besaran income multiplier memperlihatkan bahwa ekowisata dapat menggerakkan aktifitas perekonomian lokal dan regional. Manfaat ekonomi lainnya adalah kenaikan kesejahteraan penduduk lokal. Fisik lingkungan dan budaya di sekitar mereka, yang sehari-hari dihadapi, akan memberikan dampak langsung bagi keberlangsungan hidupnya. Karenanya, ukuran ini menjadi penting terutama bagi yang mendiami di sekitar wilayah-wilayah yang terancam kepunahan (protected area). Sebagian pendapatan penduduk lokal yang dapat diidentifikasi adalah jasa pemandu, pemilik penginapan, driver, penjual cindera mata, atau jasa lainnya. Upaya menghitung dampak ekowisata terhadap ekonomi lokal berhasil dilakukan pada Dorrigo National Park di New South Wales, Australia, dengan hasil kontribusi 7 % dari PDRB dan 8.4 % mampu menyerap tenaga kerja (Tisdell 1998a). Selain memperoleh manfaat ekonomi bagi masyarakat dan ekonomi secara nasional, kegiatan ekowisata juga berdampak pada terancamnya kelestarian sumberdaya terutama perairan laut yakni melalui pencemaran. Pencemaran lingkungan dan degradasi sumberdaya perairan laut berdampak pada penurunan nilai ekonomi wisata. Penurunan nilai manfaat ini disebabkan oleh meningkatnya biaya konservasi termasuk biaya pengendalian pencemaran (cost of pollution) dan penurunan penerimaan (revenue) oleh masyarakat dan pajak bagi pemerintah akibat degradasi sumberdaya atau penurunan kualitas produk wisata. Ini berarti bahwa penurunan kualitas produk wisata akibat pencemaran lingkungan perairan laut menyebabkan penurunan permintaan akan produk wisata bahari (Tisdell 1998) Konsep Efektivitas Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Efektivitas menggambarkan keberhasilan dalam melakukan suatu tindakan, atau dapat dikatakan suatu tindakan yang berhasil guna (Anonim 2003). Eriyatno (1999) menyatakan bahwa efektivitas mencakup kegiatan apa yang seyogyanya

56 38 dikerjakan dan menjamin bahwa kriteria yang terpilih adalah yang mempunyai relevansi dengan tujuan. Terkait dengan manajemen organisasi, perbedaan antara berhasil dan efektif seringkali mengungkapkan ihwal mengapa para supervisor dapat memperoleh output yang memuaskan hanya apabila mereka berada di sekitar bawahan dan mengawasi mereka dengan ketat. Tetapi, jika tanpa ada pengawasan maka pelaksanaan sesuatu kegiatan dan tujuannya menjadi tidak tercapai. Jadi, suatu kegiatan dikatakan efektif jika pengaruh yang ditimbulkan oleh keberadaan seseorang ataupun aturan yang berlaku cenderung menghasilkan produktivitas jangka panjang dan perkembangan suatu organisasi (Hersey dan Blanchard 2000). Jika diaplikasikan pada suatu kegiatan pemanfaatan sumberdaya PPK, efektivitas dapat diukur melalui dampak (produktivitas) relatif yang ditimbulkan oleh jenis pemanfaatan yang telah direncanakan dan berlangsung dalam jangka panjang (lestari/sustainable) dan selalu mengalami perkembangan (Hershman et al. 1999). Di Amerika Serikat, ada yang dikenal dengan konsep Effectiveness of Coastal Zone Management (ECZM). Kajian ECZM berlangsung pada tahun 1995 dan 1997 yang dilakukan untuk menggambarkan bagaimana sebaiknya program pengelolaan wilayah pesisir mengimplementasikan lima tujuan aksi (U.S. Coastal Zone Management Act, CZMA). Kelima tujuan aksi tersebut yakni (1) proteksi kawasan estuari dan mangrove; (2) proteksi pantai, bukit pasir, tebing pantai dan pantai berbatu; (3) ketersediaan layanan publik; (4) revitalisasi urban waterfront; dan (5) akomodasi di kawasan pelabuhan laut. Efektivitas dapat diukur melalui pencapaian keseluruhan outcome pelaksanaan dan keputusan program pengelolaan pesisir, proses yang digunakan untuk mencapai hasil dan kepentingan yang memberikan issu bagi program pengelolaan wilayah pesisir (Hershman et al. 1999). Program nasional yang dievaluasi terdiri 4 tahapan dasar indikator proses guna mengestimasi (1) kepentingan relatif dari issu (2) keefektifan potensial dasar program kebijakan, proses dan penggunaan tools, (3) keefektifan hasil yang didasarkan pada seluruh indikator, dan (4) keseluruhan bentuk keefektifan hasil dikomparasikan dengan keefektifan potensi dan issu penting (Good et al. 1999). Model umum dan langkah-langkah yang digunakan dalam kajian tersebut disajikan pada Gambar 5.

57 39 PERTANYAAN PRINSIP PENELITIAN: Seberapa efektif program pengelolaan pesisir baik secara individu maupun kolektif, terutama bagi pencapaian beberapa tujuan utama (core objectives) PENGUMPULAN DATA PRODUK YANG DIHASILKAN ISSU INDIKATOR PENTING (Sosial, Ekonomi, lingkungan dan politik): - Kepentingan issu untuk program pengelolaan pesisir - Perubahan populasi masy.pesisir dan tekanan pembangunan - Faktor spesifik lain untuk tujuan utama individu Konteks membangun untuk merespon kebijakan CZM EVALUASI EFEKTIVITAS PENGELOLAAN PESISIR NASIONAL: - Efektivitas Program pengel.pesisir daerah dan nasional: - Konteks dan issu penting untuk pengelolaan pesisir - Indikator proses sebagai dasar efektivitas - Indikator outcome sebagai dasar efektivitas - Kesimpulan dan Rekomendasi INDIKATOR PROSES (Kebijakan, proses dan tools): - Hukum, regulasi, pelayanan pemerintah dan legal opinions - Penataan kelembagaan dan perantara - Alat kajian dan inventaris - Alat perencanaan dan regulasi - Alat non regulasi dan akuisisi Analisis program daerah dan agregasi hasil dalam perspektif nasional Keputusan dan aksi implementasi kebijakan INDIKATOR OUTCOME: - Area yang dilindungi, direncanakan, yang diperoleh dan direstorasi. - Trend overtime, contoh kasus, hasil lainnya. PROFIL PENGEL. PESISIR DAERAH: - Konteks lingkungan dan sosial - Program dan kebijakan pengel. pesisir - Proses dan tools yang digunakan - Data outcome secara keseluruhan - Contoh kasus yang patut dicontoh Gambar 5 Model umum evaluasi efektivitas program pengelolaan kawasan pesisir di USA (Hershman et al. 1999) Goodwin (1999) menyatakan bahwa sebuah program/kegiatan pengelolaan pesisir dikatakan efektif jika memenuhi 4 syarat yakni: telah diwujudkan dalam bentuk kebijakan formal atau dalam pengertian lainnya (seperti dokumen petunjuk) untuk tujuan membantu kota besar merevitalisasi waterfront yang rusak; telah menyajikan bantuan teknis dan atau keuangan, atau bentuk kemitraan aktif, untuk merencanakan untuk dan menerapkan revitalisasi waterfront; telah meningkatkan manfaat sosial dan ekonomi kepada masyarakat; dan tujuan lain pengelolaan pesisir telah dicapai oleh masyarakat, termasuk penambahan aksesibilitas publik terhadap air, restorasi kerusakan lingkungan, dan memelihara situs dan struktur sejarah. Efektivitas pengelolaan ekowisata bahari menunjukkan optimal-tidaknya peran kelembagaan yang menaungi dan memberikan pedoman pelaksanaan kegiatan

58 40 wisata di PPK. Kelembagaan yang dimaksud adalah suatu organisasi formal ataupun non formal dalam suatu masyarakat (memiliki keanggotaan) dan terikat dalam aturan (hukum) yang berlaku untuk ditaati bersama (Scott 2004) Skala Multidimensi Prinsip dalam analisis statistik adalah kegiatan pengumpulan, organisasi dan interpretasi data berdasarkan prosedur yang tepat. Konsep dasarnya meliputi tipe data, presentasi hasil dan pengukuran hubungan antara dua karakter/variabel. hubungan interdependen atau saling ketergantungan antar variabel/data dapat dilakukan dengan Multidimensioal Scaling (MDS). Tujuan dari Multidimensional scaling adalah untuk menemukan sebuah representasi secara dimensi yang diperkecil dari sebuah kelompok obyek (misalnya titik posisi), sedemikian rupa sehingga dugaan wakil asosiasi obyek-obyek ini (proximities) hampir sama dengan asosiasi awal. MDS telah diaplikasikan pada banyak penelitian dalam pemodelan kimia, ekonomi, sosiologi, ilmu politik, dan secara spesifik pada psikologi matematika dan ilmu perilaku (Cox and Cox 1994 dalam Costa et al. 2005). Berbeda dengan faktor analisis dan cluster analysis, MDS lebih berhubungan dengan objek dari suatu penelitian dan posisinya. Seperti telah disebut, MDS berhubungan dengan pembuatan grafik (map) untuk menggambarkan posisi sebuah obyek dengan obyek yang lain, berdasarkan kemiripan (similarity) obyek-obyek tersebut (Buja et al. 2004). Alat analisis ini sangat berhubungan dengan variabel yang memiliki hubungan interdependen atau saling ketergantungan satu sama lain. Ciri dari MDS adalah perbandingan akan dilakukan dengan diagram atau peta atau grafik, sehingga bisa disebut juga sebagai perceptual map. Analisis multidimensional scaling merupakan salah satu metode multivariate yang dapat menangani data yang non-metric. Metode ini juga dikenal sebagai salah satu metode ordinasi dalam ruang (dimensi) yang diperkecil. Ordinasi sendiri merupakan proses yang berupa plotting titik obyek (posisi) di sepanjang sumbusumbu yang disusun menurut hubungan tertentu (ordered relationship) atau dalam sebuah sistem grafik yang terdiri dari atau lebih sumbu (Legendre dan Legendre 1983 dalam Susilo 2003). Melalui metode ordinasi, keragaman multidimensi dapat diproyeksikan di dalam bidang yang lebih sederhana dan mudah dipahami. Metode ordinasi juga memungkinkan peneliti memperoleh banyak informasi kuantitatif dari

59 41 nilai proyeksi yang dihasilkan. Pendekatan MDS telah banyak digunakan untuk analisis ekologis, ekonomi, sosial dan teknologi (Pitcher and Preikshot 2001). Analisis multidimensional scaling berkaitan dengan permasalahan bahwa untuk sejumlah asosiasi ( distance, dissimilarity, similarity ) yang diamati setiap pasang n obyek (titik posisi), temukan sebuah wakil asosiasi dari obyekobyek tersebut dalam dimensi yang diperkecil sedemikian rupa sehingga dugaan wakil asosiasi obyek-obyek ini (proximities) hampir sama dengan asosiasi awal (Buja et al. 2004). Ketika asosiasi diukur dalam skala interval atau rasio (metrik) maka metodenya disebut metric multidimensional scaling dan jika data diukur dalam skala ordinal ataupun nominal (non metrik), maka metode analisisnya disebut non-metric multidimensional scaling (Steyvers 2001). Metode multidimensional scaling yang dibahas dan digunakan dalam penelitian ini adalah metode non-metric dimensional scaling yang selanjutnya hanya disebut dengan metode multidimensional scaling. Metode ini mencoba membuat representasi dissimilarity atau jarak antar obyek atau titik posisi dalam dimensi yang lebih kecil dengan tetap mempertahankan karakteristik jarak antar obyek dalam banyak dimensi (multidimensi). Karakteristik jarak yang akan dipertahankan dalam hal ini bukan nilai nominal jarak, akan tetapi urutan peringkat jarak. Hal ini karena jarak dari obyek yang diukur secara non-metrik tidak memenuhi persyaratan jarak yang metrik, yaitu (Susilo 2003): 1. Jika a = b, maka D(a,b) = 0 2. Jika a # b, maka D(a,b) > 0 3. D(a,b) = D(b,a) 4. D(a,b) + D(b,c) D(a,c) Jarak yang diukur secara non-metrik dari data ordinal tidak memenuhi syarat ke-4 yang disebut sebagai triangle inequality axiom. Penyimpangan karakteristik jarak setelah ordinasi dibandingkan dengan sebelum ordinasi diukur dalam sebutan standardized residual sum of square ( stress ) adalah persentase penyimpangan dari karakteristik awal (Steyvers 2001). Makin kecil nilai stress semakin besar representasi jarak dapat dipertahankan pada analisis ordinasi dalam ruang yang diperkecil atau hasil analisis makin dapat dipercaya. Johnson dan Wichern (1988) dalam Susilo (2003) memberikan kriteria bahwa stress = 10% dianggap cukup, dan

60 42 stress = 20% dianggap kurang. Namun demikian, RAPFISH menggunakan kriteria stress 25% untuk dapat menerima hasil analisis multidimensional scaling (Clarke and Warwick 1997 dalam Pitcher and Preikshot 2001) Model Keberlanjutan Pengelolaan Ekowisata Konsep Pemodelan Model merupakan sebuah gambaran simplifikasi dari realitas dunia nyata, sebagai sebuah alat untuk memecahkan masalah (Jorgensen 1988). Hal sama, Dimyati dan Dimyati (1987) menyatakan bahwa model merupakan penyederhanaan sistem dan memberikan gambaran ideal dari suatu situasi (dunia) nyata, sehingga sifatnya yang kompleks dapat disederhanakan. Pemodelan (modelling) adalah suatu teknik untuk membantu menyederhanakan suatu sistem dari yang lebih kompleks, dimana hasil pemodelan tersebut disebut juga dengan model. Model yang lengkap akan menggambarkan dengan baik segi tertentu yang penting dari perilaku dunia nyata sehingga dapat mewakili berbagai aspek dari realitas yang sedang dikaji (Eriyatno 1999). Model memperlihatkan atau menyatakan hubungan langsung maupun tidak langsung interaksi dan interdependensi antara satu unsur dengan lainnya yang membentuk suatu sistem (Nasendi dan Anwar 1985; Eriyatno 1999). Para ahli pada umumnya mengelompokkan model kedalam tiga bagian, yaitu model ikonik seperti yang berdimensi dua berupa foto, peta, cetak biru atau tiga dimensi berupa prototip mesin, alat; model analog seperti kurva permintaan, kurva distribusi frekuensi statistik dan diagram alir; dan model simbolik seperti persamaan (equation) (Sinaga 1998). Kenyataannya suatu model dapat bersifat statik dan dinamik. Model statik memberikan informasi tentang peubah-peubah model hanya pada titik tunggal dari waktu, sedangkan model dinamik mampu menelusuri jalur waktu dari peubah-peubah model. Suatu model tidak memerlukan fungsi matematis secara eksplisit untuk merealisasikan variabel-variabel sistem, namun model simulasi dapat digunakan untuk memecahkan sistem kompleks yang tidak dapat diselesaikan secara matematis (Dimyati dan Dimyati 1987). Simulasi model yaitu model yang meniru tingkah laku sistem dengan mempelajari interaksi komponen komponennya. Model simulasi terdiri dari tiga, yaitu :

61 43 1. Model simulasi statis dan dinamis. Model simulasi statis merepresentasikan sistem pada satu titik waktu atau pada kondisi dimana waktu tidak berpengaruh, sedangkan model simulasi dinamis merepresentasikan sistem seiring dengan perubahan waktu. 2. Model simulasi deterministik dan stokastik. Apabila suatu model simulasi tidak mengandung komponen probabilitas, misalnya random, maka model simulasi tersebut deterministik. Output diperoleh pada model deterministik jika besaran input dan hubungan hubungan dalam model telah ditentukan sebelumnya. Sementara beberapa sistem lainnya harus dimodelkan dengan menggunakan input random dan model simulasi pada kondisi ini dinamakan dengan model stokastik. 3. Model simulasi diskrit dan kontinyu. Apabila perubahan status sistem terjadi pada saat saat tertentu maka model simulasi tersebut dinamakan diskrit, sedangkan apabila perubahan sistem terus-menerus sepanjang waktu disebut model simulasi kontinyu. Djojomartono (1993) mengemukakan bahwa dalam proses membangun model simulasi komputer, terdapat enam tahap yang saling berhubungan dan perlu diperhatikan yakni: 1. Identifikasi dan defenisi sistem. Tahap ini mencakup pemikiran dan defenisi masalah yang dihadapi yang memerlukan pemecahan. Pernyataan yang jelas tentang mengapa perlu dilakukan pendekatan sistem terhadap masalah tersebut merupakan langkah pertama yang penting. Karakteristik pokok yang menyatakan sifat dinamik atau stokastik dari permasalahan harus dicakup. Batasan dari permasalahannya juga harus dibuat untuk menentukan ruang lingkup sistem. 2. Konseptualisasi sistem. Tahap ini mencakup pandangan yang lebih dalam lagi terhadap struktur sistem dan mengetahui dengan jelas pengaruh pengaruh penting yang akan beroperasi di dalam sistem. Sistem dalam tahap ini dapat dinyatakan di atas kertas dengan beberapa cara, yaitu: (i) diagram lingkar sebab akibat dan diagram kotak; (ii) menghubungkan secara grafis antara peubah dengan waktu dan bagan alir komputernya. Struktur dan kuantitatif dari model

62 44 digabungkan bersama, sehingga akhirnya kedua-duanya akan mempengaruhi efektivitas model. 3. Formulasi model. Berdasarkan asumsi bahwa simulasi model merupakan keputusan, maka proses selanjutnya dalam pendekatan sistem akan diteruskan dengan menggunakan model. Tahap ini biasanya model dibuat dalam bentuk kode-kode yang dapat dimasukkan ke dalam komputer. Penentuan akan bahasa komputer yang tepat merupakan bagian pokok pada tahap formulasi model. 4. Simulasi model. Tahap simulasi ini, model simulasi komputer digunakan untuk menyatakan dan menentukan bagaimana semua peubah dalam sistem berperilaku terhadap waktu. Tahapan ini perlu menetapkan periode waktu simulasi. Hall dan Day (1997), melalui simulasi dapat diperoleh keputusan dengan cara melakukan eksperimen tanpa mengganggu sistem/ekosistem atau mengadakan perlakuan terhadap sistem yang diteliti. Selanjutnya Grant et al. (1997) menyatakan bahwa simulasi adalah suatu proses yang menggunakan model untuk menirukan atau menelusuri tahap demi tahap tentang perilaku dari suatu sistem yang dipelajari. 5. Evaluasi model. Berbagai uji dilakukan terhadap model yang telah dibangun untuk mengevaluasi keabsahan dan mutunya. Uji berkisar memeriksa konsistensi logis, membandingkan keluaran model dengan data pengamatan, atau lebih jauh menguji secara statistik parameter parameter yang digunakan dalam simulasi. Analisis sensitivitas dapat dilakukan setelah model divalidasi. 6. Penggunaan model dan analisis kebijakan. Tahap ini mencakup aplikasi model dan mengevaluasi alternatif yang memungkinkan dapat dilaksanakan Model Dinamik Dasar Keberlanjutan Wisata Pesisir di Pulau-Pulau Kecil Konsep wisata pesisir meliputi hal-hal yang terkait dengan kegiatan wisata, leisure dan aktivitas rekreasi yang dilakukan di wilayah pesisir dan perairannya (Hall 2001). Kegiatan/aktifitas wisata mengikuti kerangka berpikir yang dikemukakan oleh Orams (1999); Hall (2001), bahwa kegiatan wisata di pesisir dan lautan terbagi atas kegiatan yang berlangsung di pantai (meliputi pemandangan di landbased, wisata pantai dan perjalanan di karang tepi), dan wisata di perairan laut (meliputi menyelam, berenang dan memancing). Dengan demikian perkembangan wisata pesisir dan PPK sangat dipengaruhi oleh dinamika lingkungan dan ekosistem

63 45 dimana wilayah tersebut banyak ditemukan pantai berpasir, terumbu karang, mangrove hingga cagar budaya pelengkap dari wisata pesisir. Selain itu, dalam pengembangannya diperlukan aksesibilitas ke lokasi wisata guna mengoptimalkan potensi sumberdaya wisata dan peluang pasar wisata. Sistem wisata yang dibangun dapat menggunakan kerangka berpikir seperti pada Gambar 6 (Beeler 2000). - Kualitas Lingkungan - + Infrastruktur + Konsumsi + + Ekonomi Ekowisata - - Standar Kehidupan - - Perubahan dalam Norma Sosial Konflik masyarakat + - Wisatawan Gambar 6 Sistem ekowisata PPK (Patterson et al. 2004) Kerangka berpikir secara tersistem pada Gambar 6 menunjukkan hubungan yang saling terkait baik yang sifatnya mendukung (tanda positif) maupun yang saling bertentangan (tanda negatif) antara komponen (dimensi) baik lingkungan, sosial, ekonomi dan kelembagaan (Cavallaro and Ciraolo 2002). Model Casagrandi and Rinaldi (2002); Patterson et al. (2004) menggunakan kerangka berpikir yang mengintegrasikan tiga dimensi yakni lingkungan (environment), sosial (tourism) dan ekonomi (capital). Hubungan tersebut digunakan untuk membangun dan menganalisis model kuantitatif ekowisata PPK yang optimal. Model kuantitatif adalah abstraksi dari suatu sistem atau fenomena bisnis, ekologi dan ekonomi yang diformulasikan dalam bentuk kombinasi hubungan persamaan dan pertidaksamaan (Sinaga 1998). Konstruksi model pariwisata PPK yang berkelanjutan menurut

64 46 Casagrandi and Rinaldi (2002) dibangun dari empat aspek (dimensi) keberlanjutan pengelolaan yakni dimensi lingkungan (ekologi), ekonomi dan sosial. Komponenkomponen variabel dalam setiap sub model diuraikan sebagai berikut: 1. Submodel lingkungan (environment); fungsi lingkungan alamiah diberikan dalam bentuk fungsi logistik dimana variabel daya dukung (carrying capacity) adalah kondisi lingkungan pada saat keseimbangan, artinya sudah ada interaksi antara lingkungan dengan kegiatan manusia dan industri lain (kecuali kegiatan wisata). Apabila kegiatan wisata (wisatawan) dan aktivitas pendukungnya (pembangunan infrastruktur) ikut memanfaatkan sumberdaya alam (lingkungan), maka berimplikasi negatif pada dinamika kualitas sumberdaya alam dan lingkungan. Variabel pembentuk model dalam sub model ekologi yakni: daya dukung, laju pertumbuhan sumberdaya pulih, dan laju degradasi sumberdaya alam pulih yang dipengaruhi oleh aktifitas manusia secara langsung dan pembangunan infrastruktur wisata pesisir. 2. Submodel ekonomi; menggunakan pendekatan maksimisasi keuntungan (Fauzi dan Anna 2005) yang diperoleh usaha wisata dan usaha rumahtangga lokal. Variabel pembentuk model meliputi jumlah produk wisata, harga produk wisata, biaya produksi, tingkat suku bunga (investment rate), upah tenaga kerja (wisata bahari dan kegiatan usaha lain), jumlah modal, jumlah tenaga kerja, dan pertumbuhan tenaga kerja. Mengingat kegiatan ekowisata menekankan pada peningkatan ekonomi masyarakat lokal dan daerah, maka penelitian ini menfokuskan kajian pada ekonomi masyarakat lokal (upah dan penerimaan dari usaha-usaha turunan wisata pesisir) dan daerah (pajak usaha) melalui penerimaan yang diperoleh usaha wisata per kunjungan wisatawan. 3. Submodel sosial; dibangun dari dua komponen yakni wisatawan dan masyarakat lokal. Setiap turis yang datang ke suatu lokasi karena ada faktor penarik (attractive factor). Faktor ini kemudian menjadi salah satu variabel yang mempengaruhi peningkatan jumlah kunjungan (misalnya informasi dari mulut ke mulut). Atraksi relatif wisata pesisir diperoleh dari selisih antara nilai atraksi yang absolut dengan nilai atraksi referensi. Variabel pembentuk model meliputi kualitas obyek wisata pesisir (sumberdaya alam dan budaya), kualitas infrastruktur penunjang kegiatan ekowisata, dan harga lokasi atraktif lainnya.

65 III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di wilayah administratif Kabupaten Tojo Una-Una Provinsi Sulawesi Tengah. Wilayah penelitian merupakan bagian wilayah TNKT yang memiliki kegiatan pemanfaatan wisata pesisir berbasis konservasi. Berdasarkan data sementara (sebelum verifikasi) Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP) menyebutkan terdapat 45 kategori PPK di gugus Pulau Togean. Zonasi di TNKT masih dalam tahap perencanaan, dan dalam skala kecil telah ditetapkan satu kawasan konservasi yakni Daerah Perlindungan Laut (DPL) Teluk Kilat di gugus Pulau Togean. Penentuan lokasi pengambilan contoh (stasiun) mempertimbangkan posisi obyek wisata (letak kawasan terumbu karang, kawasan mangrove dan pantai berpasir), keberadaan usaha wisata pesisir, pemukiman penduduk dan aksesibilitas masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya PPK, dan kelembagaan masyarakat (letak dan jumlah stasiun pengamatan disajikan pada Gambar 7). Gambar 7 menunjukkan bahwa terdapat 14 stasiun pengamatan, dengan rincian 11 stasiun pengamatan yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya (Allen dan McKenna 2001; CII 2006; Zamani et al. 2007) dan 3 stasiun tambahan. Penentuan stasiun pengamatan disesuaikan dengan peta sebaran terumbu karang, sebaran mangrove, lokasi pantai dan keberadaan usaha wisata pesisir. Pelaksanaan survei penelitian disesuaikan dengan tingkat kedatangan turis yang berlangsung dua periode yakni musim puncak (peak season) mulai Juni sampai Agustus dan musim kedatangan kurang (low season) mulai September sampai Mei setiap tahunnya. Wong (1998), peningkatan intensitas kegiatan wisata pesisir di Asia Tenggara umumnya terjadi pada musim panas (bulan Mei sampai September). Pengukuran kualitas perairan dan wawancara dengan responden pada musim puncak dilaksanakan pada Juni sampai Juli 2009 dan pada musim kedatangan kurang pada Nopember Waktu dan frekuensi pelaksanaan pengukuran dan pengamatan terutama aspek kualitas perairan disesuaikan dengan atribut-atribut yang diamati, misalnya waktu terjadinya pasut dan kedalaman perairan, suhu, salinitas dan kecepatan arus.

66 SULAWESI BARAT LAUTSULAWESI TELUK TOMINI SULAWESI TENGAH SULAWESI SELATAN GORO NTALO SULAWESI TENGGARA SULAWESI UTARA LAUTBANDA '16" '50" '52" '54" '56" '58" ST IX b 122 1'00" 122 3'02" 122 5'04" 0 15'16" PETA LOKASI PENELITIAN PULAU TOGIAN KABUPATEN TOJO UNA-UNA PROVINSI SULAWESI TENGAH N 0 17'18" TELUK TOMINI 0 17'18" W E S Km 0 27'28" 0 25'26" 0 23'24" 0 21'22" 0 19'20" b ST III ST IV b b b # Tg. Pomangana P. Batudaka '50" ST II ST I Tg. Tambun Tg. Timpoon ST V b b Teluk Tondano Selat Tangkian Selat Batudaka '52" ST XIV b '54" ST VI # Teluk Kilat # # P. Togian Tg. Lingogi ST VIII # b b ST VII ST XIII b Tg. Bakar '56" # # # # # Tg. Karanji Tg. Tingaul Teluk Totobi '58" Teluk Onton Tg. Pipingkot # # # Teluk Bangkagi 122 1'00" b ST X b Teluk Poleoma Tg. Pongiutan ST XII P. Tatalakoh Tg. Batulumoto 122 3'02" Selat Kabalutan ST XI b 122 5'04" 0 19'20" 0 21'22" 0 23'24" 0 25'26" 0 27'28" Peta Indeks Legenda : Stasiun Penelitian # Desa Jalan Lingkungan Jalan Lokal Sungai Sungai Musiman Laut Kecamatan Togian Kecamatan Una-Una Kecamatan Walea Kepulauan Sumber : 1. Peta Rupa Bumi Bakosurtanal Tahun 1989 Skala 1 : Survei Lapangan Juni 2009 Singkatan : P : Pulau Tg : Tanjung ST : Stasiun ALIMUDIN LAAPO, SP.,MSi C Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Bogor 2009 Gambar 7 Peta lokasi penelitian dan stasiun pengamatan di gugus Pulau Togean

67 Jenis dan Sumber Data Penelitian Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi data cross section dan data time series. Data cross section bersumber dari data primer yakni data yang dikumpulkan melalui metode observasi dan pengukuran langsung terhadap obyek penelitian di lapangan. Obyek penelitian ini adalah obyek yang terkait dengan kegiatan wisata pesisir antara lain kawasan terumbu karang, hutan mangrove, pantai, kualitas perairan, wisatawan, masyarakat, pengusaha wisata, infrastruktur penunjang, dan instansi terkait dengan pengelolaan TNKT. Jenis data, peralatan dan metode yang digunakan dalam pengumpulan data biofisik, sosial, ekonomi dan kelembagaan, selengkapnya disajikan pada Tabel 2 dan 3. Tabel 2 Jenis data biofisik yang diukur No. Parameter Stasiun Baku mutu *) Alat/Metode Keterangan I... XIV A. Fisika-Kimia 1. BOD 5 (mg/l) 10 Titrasi Lab 2. COD (mg/l) - Titrasi Lab 3. Oksigen terlarut (mg/l) >5 DO meter Insitu 4. Amonia (mg/l) 2 Spektrofotometer Lab 5. Ph phmeter In situ 6. Salinitas ( o /oo) Alami Refraktometer In situ 7. Suhu ( o C) Alami Termometer Insitu 8. Kekeruhan (NTU) 5 Turbidimeter Insitu B. Biologi/Non-biologi 1. Tutupan terumbu karang (%) - Meteran/Line Intercept Transect In situ /Data sekunder 2. Kerapatan dan Luasan mangrove - Meteran/Transek garis In situ/data sekunder 3. Luasan pantai berpasir - Meteran In situ (m 2 ) 4. Jenis ikan - - Data Sekunder C. Hidrooseanografi 1. Kecerahan (m) > 6 Secchi disk In situ 2. Pasang surut (m) - - Data Sekunder 3. Kecepatan arus - Layang-Layang Arus, In situ (cm/det) kompas dan Stopwach 4. Kedalaman air (m) - Tali penduga & meteran In situ Keterangan: *) = Baku Mutu Wisata Pesisir (Kepmen Negara LH No. 51 Tahun 2004). Sumber data sosial ekonomi diperoleh melalui wawancara langsung dengan responden menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner) dan peralatan visual. Kelompok contoh dalam penelitian ini meliputi kelompok pengelola wisata pesisir, wisatawan asing, masyarakat lokal, dan pegawai instansi yang terkait dengan pengelolaan pariwisata, Dinas Perikanan dan Kelautan, dan TNKT.

68 50 Tabel 3 Jenis data sosial ekonomi dan kelembagaan No. KOMPONEN DATA 1. Karakteristik sosial dan budaya masyarakat 2. Operasional usaha wisata pesisir ATRIBUT Pemanfaatan SDA, partisipasi masyarakat dalam pengelolaan wisata pesisir, persepsi dan perilaku masyarakat terhadap wisatawan, pengetahuan tentang ekowisata, jumlah dan pertumbuhan penduduk, konflik, etnis, nilai budaya lokal, dan kualitas hidup masyarakat Profil usaha wisata pesisir, modal dan biaya operasional, harga produk wisata, permintaan dan penawaran produk wisata, upah & tenaga kerja, promosi, cottage/hotel, manajemen wisata, dermaga, sarana penunjang, peralatan wisata, keselamatan, jenis dan penanganan limbah. 3. Kelembagaan Regulasi TNKT, aturan formal DPL Teluk Kilat, pembagian peran stakeholders terkait (pemerintah, swasta dan masyarakat), aturan adat/kelompok, lembaga ekonomi, regulasi usaha wisata, izin tinggal, infrastruktur penunjang, penegakan hukum 4. Profil Wisatawan Karakteristik personal wisatawan, perjalanan turis dan motivasi berkunjung ke wisata togean, persepsi dan perilaku wisatawan, penilaian ekonomi terhadap obyek wisata dan biaya yang dikeluarkan, penilaian terhadap pelayanan dan ketersediaan infrastruktur, dan jumlah wisatawan SUMBER/METODE PENGUMPULAN DATA Sumber: Data primer dan sekunder Metode: Wawancara dan studi literatur Sumber: Data primer Metode: Wawancara dan pengamatan Sumber: Data primer dan sekunder Metode: Wawancara dan studi literatur Sumber: Data primer dan sekunder Metode: Wawancara Pemangku kepentingan dalam kegiatan ekowisata pesisir meliputi penduduk lokal termasuk lembaga swadaya masyarakat (LSM), pemerintah, sektor swasta dan wisatawan (Orams 1999). Mengingat populasi penduduk lokal dan wisatawan cukup besar dengan karakteristik pada setiap kumpulan beragam, maka penentuan contoh keduanya menggunakan metode pengambilan sampel kumpulan (cluster sampling) (Cooper and Emory 1996). Kedua kumpulan populasi tersebut selanjutnya dipilih secara purposive sampling dengan dasar pertimbangan bahwa contoh yang akan diambil masih mempertahankan keterwakilan karakteristik yang beragam (umur, pendidikan, pendapatan, asal negara untuk contoh wisatawan, pengetahuan tentang ekowisata, dan lainnya) dari contoh pada setiap kumpulan. Adapun jumlah contoh (n) untuk setiap kumpulan populasi (masyarakat lokal dan wisatawan) ditentukan dengan menggunakan beberapa persamaan berikut (Scheaffer et al. 1986; Bengen 2000): n = 2 N 2 i= 1 2 ( N i 1) + σ 2 i 4N i 2 i σ i... (3.1) B

69 51 dimana: B = tα / 2( db) Vˆ( θ ) = tα / 2 ( db) Vˆ( X st ) = tα / 2 ( db) 2 2 N i si N i ni... (3.2) ni N i N i = total populasi setiap kumpulan ke-i (orang) n i = jumlah contoh pada setiap kumpulan (orang) n j= 1 ( x j x) 2 σ 2 i = s 2 i = = simpangan baku contoh pada kumpulan ke-i.. (3.3) ni 1 i = 2 kumpulan sampel (1= turis dan 2= masyarakat lokal) Berdasarkan persamaan (3.1) dan (3.2), maka total contoh minimum yang diperlukan dalam penelitian ini adalah 80 orang (30 wisatawan dan 50 penduduk lokal) (perhitungan penentuan contoh disajikan pada Lampiran 1). Berdasarkan pertimbangan kevalidan dan hasil analisis data, maka total contoh yang diambil ditingkatkan sebanyak 120 orang (50 contoh wisatawan dan 70 contoh masyarakat). Mengingat jumlah populasi yang terbatas, penentuan contoh pada usaha wisata dan pegawai instansi pemerintah menggunakan metode penunjukkan langsung (purposive sampling) dengan pertimbangan keterwakilan/kompetensi contoh terhadap informasi pengelolaan wisata pesisir. Kelompok ini menggunakan seluruh anggota populasi sebagai contoh. Total contoh dari instansi terkait berjumlah 11 contoh yang mewakili instansi dari tingkat provinsi sampai desa, dan keseluruhan pengusaha wisata di gugus Pulau Togean yakni berjumlah 6 usaha penginapan. Data time series yang digunakan bersumber dari data sekunder yakni melalui pengumpulan data dari instansi terkait dan pernah melakukan penelitian di wilayah penelitian. Pengumpulan data sekunder dimulai dengan penelusuran data citra satelit (digital) Landsat dan peta dasar guna mengidentifikasi parameter kualitas perairan dalam satuan waktu tertentu dan posisi lokasi di gugus Pulau Togean. Data citra satelit dalam penelitian ini bersumber dari Biotrof dan Bakosurtanal, sementara jenis data sekunder lainnya diperoleh dari Conservation International Indonesia, Balai Taman Nasional Kepulauan Togean, BKSDA Provinsi Sulawesi Tengah, Perguruan Tinggi (hasil penelitian), Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten maupun Provinsi, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Tojo Una- Una, Bappeda Kabupaten Tojo Una-Una dan BPS.

70 Metode Analisis Analisis Deskriptif dan Principal Component Analysis Analisis deskriptif digunakan untuk menggambarkan karakteristik sumberdaya di gugus Pulau Togean. Karakteristik sumberdaya yang dideskripsikan tersebut yakni kondisi geografis dan administrasi, kondisi terumbu karang, mangrove, ikan dan pantai, karakteristik usaha wisata pesisir, perkembangan kunjungan wisatawan, karakteristik sosial budaya dan kelembagaan pendukung kegiatan wisata pesisir. Secara spesifik, analisis kelembagaan dalam penelitian ini akan mengkaji peranan institusi (formal dan non formal) yang terkait dengan pengelolaan ekowisata pesisir di TNKT. Apakah dengan adanya TNKT, kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam menjadi lebih baik dan efektif atau sebaliknya. Tahapan analisis kelembagaan ekowisata pesisir dilakukan sebagai berikut: 1. Identifikasi jenis dan jumlah kelembagaan formal maupun non formal serta upaya legislasi lain yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam di kawasan TNKT. 2. Identifikasi jumlah pelanggaran dan penindakan pelanggar aturan terkait dengan pengelolaan ekowisata pesisir. 3. Analisis terhadap laju penegakan hukum yakni rasio antara jumlah penindakan dengan jumlah pelanggaran aturan. 4. Mengidentifkasi upaya-upaya pemerintah, pengusaha wisata dan lembaga terkait dalam mengoptimalkan potensi sumberdaya alam di gugus Pulau Togean. Principal Component Analysis (PCA) digunakan untuk mengekstraksi data kualitas perairan menjadi suatu informasi dalam bentuk matriks memiliki kemiripan atau hubungan antar atribut dan dalam bentuk grafik yang mudah diintepretasi (Bengen 2000; Pradhan et al. 2009) Analisis Kesesuaian dan Daya Dukung Ekowisata Pesisir Analisis Kesesuaian Pemanfaatan Kegiatan wisata pesisir yang akan dikembangkan dan dikelola hendaknya disesuaikan dengan potensi sumberdaya dan peruntukannya serta persyaratan sumberdaya dan lingkungan (ekologis) yang sesuai dengan obyek wisata (Depdagri 2009). Proses penyusunan kesesuaian lingkungan PPK untuk suatu kegiatan pemanfaatan dilakukan dengan prinsip membandingkan kriteria faktor-faktor

71 53 penentu kesesuaian lingkungan dengan kondisi eksisting, melalui teknik tumpang susun (overlay) dan analisis tabular dengan menggunakan alat (tools) berupa Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan perangkat lunak Arc View (Wahyudi 2006). Penggunaan metode analisis SIG ditujukan untuk mengoleksi, menyimpan dan memperlihatkan informasi, meningkatkan ketepatan estimasi secara spasial dan temporal serta secara otomatis dapat mengurangi pengumpulan data lapangan (Perez et al. 2003). Nilai yang diperoleh dari analisis SIG berupa lokasi dan luasan yang sesuai dipersyaratkan menjadi bahan bagi analisis daya dukung (Bengen dan Retraubun 2006). Setelah memperoleh luasan kesesuaian secara ekologi, penentuan kesesuaian kegiatan ekowisata pesisir juga mempertimbangkan keberadaan nilai budaya masyarakat lokal untuk tujuan konservasi sumberdaya wisata pesisir. Persyaratan nilai budaya lokal dalam kegiatan ekowisata merupakan hal baru dalam penentuan kesesuaian kawasan sehingga merupakan kebaruan (novelty) pertama dalam penelitian ini. Analisis kesesuaian pemanfaatan wisata pesisir berbasis sumberdaya alam PPK mencakup: tahapan pertama, penyusunan matriks kesesuaian setiap kategori ekowisata pesisir (penentuan parameter, pembobotan dan pengharkatan); kedua, analisis indeks kesesuaian setiap kategori wisata pesisir; dan ketiga, melakukan pemetaan kawasan dengan cara operasi tumpang susun (overlay operation). Penentuan parameter kesesuaian untuk kegiatan wisata pesisir didasarkan pada dua hal, yakni parameter yang terkait dengan obyek utama wisata pesisir dan faktor-faktor lingkungan yang terkait dengan kelestarian obyek wisata, dan kenyamanan berwisata (Davis and Tisdell 1995). Penentuan parameter, pembobotan dan skoring ditentukan berdasarkan hasil studi empiris (scientific judgement) dan justifikasi para ahli (expert) yang berkompeten dalam kegiatan ekowisata pesisir (termasuk diver master), baik secara tertulis maupun secara lisan. Besaran nilai bobot paramater tersebut didasarkan pada pertimbangan (Yaakup et al. 2006; Vinh et al. 2008), yaitu: (1) parameter utama kegiatan ekowisata yang pengaruhnya dominan dan relatif tidak dapat berubah (tergantikan), mempunyai faktor pembobot tertinggi (bobot 3); (2) parameter pendukung yang pengaruhnya relatif sama dengan parameter yang lain mempunyai faktor pembobot yang sama (bobot 2); dan (3) parameter pendukung yang kurang dominan mempunyai faktor pembobot yang

72 54 terkecil (bobot 1). Terdapat 3 kelas kesesuaian, dimana pemberian skor dari yang tertinggi (skor 5) untuk parameter yang sesuai/sangat sesuai (Kelas S1), skor 3 untuk sesuai bersyarat (Kelas S2), dan terendah (skor 1) untuk kategori tidak sesuai (Kelas S3), dengan nilai interval per kategori yakni 2 (diadaptasi dari Bengen dan Retraubun 2006). Penyusunan matriks kesesuaian kawasan untuk kegiatan ekowisata pesisir perkategori selengkapnya disajikan pada Tabel 4, 5, 6 dan 7. Tabel 4 Matriks kesesuaian untuk ekowisata pesisir kategori wisata selam No Parameter Bobot Kelas S1 Kelas S2 Kelas S3 Sumber 1. Tutupan karang hidup <75 < 50 a, b, e, f (%), dan keberadaan benda bersejarah di laut 2. Genus karang 3 > < 7 a, b, e 3. Genus ikan karang 2 > < 26 a, b, e, f 4. Kecerahan perairan (%) 2 > <50 a, b 5. Kecepatan arus (m/dt) 2 < 0.1 > > 0,5 c 6. Kedalaman terumbu karang (m) > & 3 - < 5 < 3 & > 30 c, d Nilai maksimum (bobot x skor) = 65 Sumber: a = Davis and Tisdell 1995; b = Davis and Tisdell 1996; c = Hutabarat et al d = Supriharyono 2007; e = Barnes and Hughes 2004; f = devantier &Turak 2004 Tabel 5 Matriks kesesuaian untuk ekowisata pesisir kategori wisata snorkeling No Parameter Bobot Kelas S1 Kelas S2 Kelas S3 Sumber 1. Tutupan karang hidup (%) 3 > < 34 a, b, c, d, e 2. Genus karang 3 > < 6 a, d 3. Kecerahan perairan (%) 2 > < 50 a, b, d, e 4. Genus ikan karang 2 > < 26 a, d, e 5. Kecepatan arus (cm/dt) 2 < 0.1 > > 0.5 b, c, d, e 6. Kedalaman terumbu > 3 5 > 5 & <1 b, c, d karang (m) 7. Lebar hamparan datar karang (m) 1 > < 20 b, e Nilai maksimum (bobot x skor) = 70 Sumber: a = Davis and Tisdell 1995; b = Hutabarat et al.2009 c = Supriharyono 2007; d = Barnes and Hughes 2004 e = Marine National Park Division 2001 Parameter utama obyek kegiatan ekowisata selam dan snorkeling adalah terumbu karang dan obyek wisata sejarah, sedangkan faktor pendukungnya adalah ikan karang, kecerahan/jarak pandang, kecepatan arus dan kedalaman perairan. Nilai-nilai parameter yang diberikan disesuaikan dengan kondisi data yang tersedia di lapangan, seperti komunitas karang (wisata selam), dan genus karang lebih beragam, hanya tersedia data genus ikan karang dan lebar hamparan datar karang relatif kurang dibanding daerah lain dan tingkat kecerahan perairan relatif tinggi.

73 Tabel 6 Matriks kesesuaian area untuk ekowisata pesisir kategori wisata mangrove No Parameter Bobot Kelas S1 Kelas S2 Kelas S3 Sumber 1. Ketebalan mangrove (m) 3 > < 100 a, c, e 2. Kerapatan mangrove 2 > />25 < 5 a, c (100m 2 ) 3. Jenis mangrove 2 > < 3 a, c, d 4. Pasang surut (m) > 1 2 > 2 b, c 5. Obyek biota (reptil, mamalia, burung, ikan, krustacea, moluska, dan lainnya). 1 > 3 biota 2 3 biota Terdapat salah satu biota a, b, c, d Nilai maksimum (bobot x skor) = 45 Sumber: a = Ayob 2004; b = Marine National Park Division 2001 c = Hutabarat et al. 2009; d = Cabahug 2002 e = Yaakup et al Terkait dengan kegiatan ekowisata mangrove, parameter utama yang menjadi obyek wisata adalah hutan mangrove (ketebalan, kerapatan dan jumlah jenis mangrove), sedangkan faktor pendukung adalah pasang surut dan keberadaan biota yang berasosiasi dengan mangrove tetapi dapat dijadikan sebagai obyek wisata. Tabel 7 Matriks kesesuaian area untuk ekowisata pesisir kategori wisata rekreasi No Parameter Bobot Kelas S1 Kelas S2 Kelas S3 Sumber 1. Tipe pantai 3 Agak landai Sedikit terjal Terjal a, c, d 2. Lebar pantai (m) 3 > < 3 a, c 3. Kedalaman perairan (m) > 2 5 > 5 a, c 4. Material dasar perairan 2 Pasir Pasir Berkarang a, c, d berkarang 5. Kecepatan arus (m/dt) 2 < > 0,51 a, c 6 Kemiringan pantai ( 0 ) 2 < 25 > > 45 a, c 7 Kecerahan perairan (%) 1 > < 30 a, c, d 8. Penutupan lahan pantai 1 Kelapa, Semak Hutan, a, c lahan Belukar kawasan terbuka pemanfaatan 9 Biota berbahaya 1 Tidak ada Bulu babi Bulu babi, ikan pari, a, c, d 10 Ketersediaan air tawar (jarak/km) 55 lepu, hiu, dll 1 < >2 a, b, c Nilai maksimum (bobot x skor) = 95 Sumber: a = Wong 1991; b = Supriharyono 2007; c = Hutabarat et al. 2009; d= Daby 2003 Parameter utama obyek ekowisata rekreasi/berjemur adalah eksistensi fisik pantai (tipe, lebar, material dasar dan kedalaman perairan), sedangkan faktor pendukung terkait dengan penutupan lahan, biota berbahaya dan ketersediaan air tawar. Beberapa nilai parameter kesesuaian kegiatan ekowisata pesisir kategori rekreasi disesuaikan dengan karakteristik gugus Pulau Togean, seperti pantai relatif kurang lebar dan pasang surut yang berbeda dengan daerah lain.

74 56 Selanjutnya menentukan indeks kesesuaian pemanfaatan untuk ekowisata pesisir dimodifikasi dari Index Overlay Model- IOM (Bonham and Carter 1994; Vinh et al. 2008), dengan formulasi sebagai berikut: j= 1 ( B S IKEWB = N max x100% dimana: IKWB B S Nmax n j j )... (3.4) = Indeks Kesesuaian Wisata Pesisir kategori ke-i, i = 4 kategori = bobot parameter ke-j = skor setiap parameter ke-j = nilai maksimum bobot dikali skor per kategori wisata pesisir Kelas kesesuaian kawasan PPK dibedakan berdasarkan kisaran nilai indeks kesesuaiannya. Nilai indeks pada setiap kelas kesesuaian (interval, I) ditentukan melalui titik tengah dari selisih nilai indeks tertinggi dengan nilai indeks terendah (rentang, R) dibagi dengan banyaknya kelas kesesuaian (K) atau dapat dirumuskan sebagai I= R/K. Pengelompokkan nilai kelas kesesuaian kawasan PPK untuk masing-masing kegiatan ekowisata pesisir berdasarkan ketentuan: S1 = Sesuai/sangat sesuai, dengan nilai % S2 = Sesuai bersyarat, dengan nilai % S3 = Tidak sesuai, dengan nilai 0 < % Tahapan selanjutnya yakni basis data untuk masing-masing parameter kesesuaian kawasan PPK disusun dalam bentuk tema (layer) dalam bentuk digital yang dapat didigitasi on screen menggunakan software Arc View menjadi peta digital. Tahapannya meliputi: (1) registrasi, koordinat peta analog disamakan terlebih dahulu dengan koordinat peta yang akan didigitasi; (2) digitasi, merubah peta analog menjadi peta digital (digitasi on screen); (3) editing, memperbaiki hasil digitasi; (4) anotasi, untuk memasukkan data atribut; (5) tipologi; (6) transparansi untuk mengubah koordinat (derajat) menjadi koordinat meter UTM dan; (7) edgematching untuk mengembangkan peta jika terdiri atas beberapa lembar (Wahyudi 2006). Penggunaan perangkat lunak Er Mapper untuk merubah posisi geometri. Hasilnya berupa terklasifikasi yang dapat digitasi on screen sehingga menghasilkan peta digital yang dipakai sebagai peta tematik atau layer. Peta hasil digitasi dan peta hasil klasifikasi diintegrasikan untuk menghasilkan peta awal atau peta dasar. Data yang diperoleh dari hasil pengamatan per stasiun digunakan untuk

75 57 interpolasi data yaitu memasukkan setiap data parameter melalui titik-titik pengamatan menjadi suatu area (polygon) dengan menggunakan metode Nearest Neighbour. Data dalam bentuk spasial (peta digital) inilah yang siap dipakai sebagai tematik/layer dalam analisis kesesuaian. Hasil kesesuaian kawasan secara ekologi yang dihasilkan selanjutnya dianalisis kesesuaian ekowisata pesisir dari dimensi sosial budaya. Parameterparameter yang digunakan adalah (Zwirn et al. 2005): (1) jumlah dan jenis potensi kearifan budaya yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya PPK, (2) ketersediaan sumberdaya manusia, dan (3) kelembagaan nonformal Analisis Daya Dukung Ekologi Ekowisata Pesisir Analisis daya dukung ekologi ditujukan untuk menganalis jumlah maksimum wisatawan yang melakukan kegiatan ekowisata pesisir dalam suatu kawasan (terumbu karang, mangrove dan pantai berpasir), tanpa mengganggu keseimbangan ekosistem tersebut. Gangguan keseimbangan diakibatkan oleh kerusakan biofisik secara langsung dari wisata pesisir dan secara tidak langsung melalui pencemaran. Berdasarkan sumber gangguan ekosistem tersebut, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kawasan obyek wisata yang rentan terhadap kerusakan langsung dan pendekatan maksimum beban limbah. A. Pendekatan Pemanfaatan Kawasan Wisata Estimasi daya dukung kegiatan pemanfaatan kawasan konservasi untuk kegiatan mengikuti ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1994 tentang pengusahaan pariwisata alam di zona pemanfaatan taman nasional dan taman wisata alam yakni 10 % dari luas zona pemanfaatan. Berdasarkan pertimbangan tersebut, Hutabarat et al.(2009) membuat suatu formulasi dalam menghitung daya dukung kawasan untuk kegiatan wisata pesisir di kawasan konservasi, yakni: LpWt DDW = 0. 1 K... (3.5) LtWp dimana: DDW = Daya dukung kawasan untuk ekowisata pesisir K = Maksimum wisatawan per satuan unit area Lp = Luas area atau panjang area yang dapat dimanfaatkan Lt = Unit area untuk kategori tertentu Wt = Waktu yang disediakan kawasan untuk kegiatan wisata per hari Wp = Waktu yang dihabiskan oleh pengunjung untuk setiap kegiatan tertentu

76 58 Nilai maksimum wisatawan (K) per satuan unit area (Lt) untuk setiap kategori wisata pesisir disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Potensi maksimum wisatawan per unit area per kategori ekowisata K Unit Area Jenis Kegiatan Keterangan (orang) (Lt) Selam m 2 Setiap 2 org dalam 100 m x 10 m Snorkeling m 2 Setiap 1 org dalam 100 m x 3 m Wisata Mangrove m 2 Dihitung panjang track, setiap 1 org sepanjang 100 m Berjemur/Rekreasi Pantai 1 20 m 2 1 org setiap 10m x 2m Sumber: Hutabarat et al.(2009); devantier and Turak (2004). Selain itu, diperlukan nilai konstanta waktu dalam sehari yang diperlukan oleh setiap wisatawan dalam melakukan kegiatan wisata pesisir, dimana nilai ini merupakan hasil wawancara terhadap seluruh turis per kategori wisata. Waktu yang dibutuhkan untuk setiap kegiatan wisata pesisir disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Waktu yang digunakan untuk setiap kegiatan wisata No. Kegiatan Waktu yang dibutuhkan Total waktu 1 hari Wp-(jam) Wt-(jam) 1. Selam Snorkeling Berjemur Rekreasi Pantai Wisata mangrove 2 8 Sumber: Modifikasi dari devantier and Turak (2004) dan Hutabarat et al. (2009). B. Pendekatan Pencemaran Perairan Laut Kualitas ekosistem di PPK sangat dipengaruhi oleh besarnya tekanan pemanfaatan dari kegiatan wisata pesisir dan pemanfaatan lainnya. Besarnya tekanan pemanfaatan (aktivitas manusia) menyebabkan tingginya laju pembuangan limbah (cair maupun padat) yang melebihi laju penguraiannya sehingga menimbulkan pencemaran. Turner (1988) dan UNEP (1993) menggambarkan daya dukung sebagai jumlah maksimum limbah (akibat aktivitas pemanfaatan) yang dapat dibuang ke dalam lingkungan tanpa menyebabkan pencemaran (pollution) atau penurunan kualitas perairan. Elyazar et al. (2007) menyatakan bahwa terdapat keterkaitan antara aktivitas dan jumlah manusia dengan tingkat pencemaran (penurunan kualitas) perairan pantai. Berdasarkan penelitian empirik tersebut, maka

77 penelitian ini mencoba menganalisis jumlah maksimum populasi manusia yang beraktivitas di kawasan pesisir hubungannya dengan batas maksimum nilai kualitas perairan yang diperbolehkan (baku mutu) untuk wisata pesisir. Baku mutu wisata pesisir yang dimaksud merupakan rentang nilai kualitas perairan yang dapat menopang kehidupan biota perairan. Diasumsikan bahwa wisatawan dan penduduk yang beraktivitas di kawasan wisata gugus Pulau Togean menghasilkan limbah yang mengarah pada peluang untuk mencemarkan perairan (batas baku mutu). Tahapan analisis daya dukung pendekatan pencemaran perairan laut, meliputi: 1. Identifikasi jumlah penduduk lokal dan turis yang berkunjung di lokasi wisata. 2. Pengambilan sampel dan pengukuran parameter perairan laut (DO, ph dan kekeruhan) per stasiun, serta melakukan analisis laboratorium terhadap sampel air untuk pendugaan parameter BOD5, COD dan NH3 pada kondisi eksisting. 3. Membandingkan hasil pengukuran setiap parameter perairan dengan nilai baku mutu air untuk wisata pesisir (sesuai Kepmen Negara LH No. 51 Tahun 2004) per stasiun pengukuran, dan menjumlahkan hasil perbandingan tersebut. 4. Menjumlahkan rasio baku mutu (rasio =1) untuk keenam parameter pengamatan pada stasiun yang sama. 5. Melakukan analisis regresi linear probabilitas (probit) antara populasi penduduk /wisatawan dengan rasio jumlah hasil perbandingan parameter perairan laut (hasil point 3) dengan jumlah rasio baku mutu (hasil point 4). Model persamaan sederhana yang digunakan adalah (Pindyck and Rubinfeld 1998): RasioQBM = a + b( P i )... (3.6) dimana: P i = jumlah populasi manusia pada stasiun i Rasio QBM = perbandingan antara jumlah rasio nilai parameter perairan-baku mutu dengan jumlah rasio baku mutu wisata pesisir pada stasiun i 6. Hasil analisis regresi linear (nilai dugaan konstanta, a dan koefisien regresi, b) dari model probit tersebut selanjutnya dilakukan simulasi (pendugaan) besarnya populasi manusia (daya dukung kawasan) yang menyebabkan konsentrasi parameter perairan sama dengan baku mutu wisata pesisir (nilai rasio = 1) Analisis Daya Dukung Sosial dan Ekonomi Perhitungan daya dukung sosial menggunakan pendekatan Saveriades (2000), dimana bertambahnya waktu dan jumlah manusia maka kebutuhan manusia, 59

78 60 interaksi dan kompetisi antar manusia dalam menempati ruang juga semakin meningkat, akibatnya timbul ketidaknyamanan (ketidakpuasan) antara satu manusia dengan yang lain dan menyebabkan ia merasa terganggu (unsustainable). Beberapa parameter yang diperlukan untuk menganalisis daya dukung sosial yakni persepsi masyarakat terhadap pariwisata, perasaan dan reaksi terhadap kedatangan turis, perubahan pola hidup terkait dengan pariwisata, dan persepsi turis maupun masyarakat lokal terkait dengan kenyamanan dalam berinteraksi dan melakukan kegiatan masing-masing. Metode yang digunakan dalam mengkaji daya dukung ini yakni analisis deskriptif, kesepakatan dan situatif (Saveriades 2000). Daya dukung ekonomi dalam penelitian ini menggunakan pendekatan penawaran dan permintaan, diperoleh dari keseimbangan antara fungsi penawaran dan permintaan yang menghasilkan harga produk wisata pesisir dan jumlah wisatawan yang optimum selama setahun. Berdasarkan kedua nilai dapat diketahui juga besarnya nilai ekonomi sumberdaya ekowisata pesisir. Daya dukung ekonomi dengan pendekatan penawaran merupakan suatu pendekatan yang digunakan untuk menganalisis besarnya potensi ekonomi sumberdaya PPK yang dimanfaatkan sebagai produk ekowisata pesisir. Perhitungan daya dukung ekonomi dengan pendekatan penawaran secara mikro terkait terkait dengan kegiatan pelayanan wisata oleh perusahaan yang berkonsekuensi pada biaya produksi. Total biaya (TC) yang dikeluarkan perusahaan wisata merupakan fungsi penawaran yang nilainya tergantung dari jumlah kunjungan turis (V) atau secara matematis dituliskan TC = f(v). Berdasarkan hal tersebut, maka analisis daya dukung ekonomi ini didukung oleh analisis biaya marjinal. Biaya marjinal (MC) merupakan rasio perubahan total biaya produksi ekowisata pesisir (ӘTC) dengan perubahan jumlah kunjungan turis (ӘV) atau dapat dituliskan: TC MC =... (3.7) V Pendekatan permintaan wisata merupakan suatu pendekatan yang digunakan untuk menganalisis besarnya permintaan produk wisata pesisir oleh wisatawan yang dibatasi oleh biaya perjalanan wisata, pendapatan wisatawan, perubahan harga dan faktor lain. Pendekatan permintaan ini dianalisis dengan mengukur besarnya kemampuan membayar (Willingness to Pay, WTP) oleh wisatawan dalam melaksanakan kegiatan wisata pesisir. Metode yang digunakan untuk mengukur

79 WTP yakni metode biaya perjalanan (Travel Cost Method, TCM) guna memperoleh nilai surplus konsumen. Penerapan metode biaya perjalanan didasarkan pada asumsi berikut (Grigalunas and Congar 1995 dalam Adrianto 2006): 1. Pengunjung menempuh perjalanan dengan satu tujuan yaitu mengunjungi sebuah tempat (site) misalnya pantai. 2. Pengunjung tidak mendapatkan manfaat tertentu selama perjalanan, kecuali manfaat di lokasi yang dituju. 3. Semakin dekat tempat tinggal seseorang yang datang memanfaatkan fasilitas rekreasi, diharapkan lebih banyak meminta produk wisata, karena biaya perjalanan lebih rendah dibandingkan dengan yang tinggal jauh dari tempat tersebut. Dengan demikian, mereka yang bertempat tinggal lebih dekat dan biaya perjalanannya lebih rendah akan memiliki surplus konsumen yang lebih besar. Surplus konsumen adalah selisih antara keinginan konsumen untuk membayar dengan jumlah yang dibayarkan (Adrianto 2006). Prosedur analisis TCM dapat dilakukan sebagai berikut(adrianto 2006): 1. Menentukan laju kunjungan wisata (X), yakni rasio antara jumlah pengunjung (Vi) dengan jumlah populasi dalam setahun (Pi) atau X = Vi/Pi. 2. Menduga biaya perjalanan, dengan asumsi bahwa biaya perjalanan per kilometer jarak adalah konstan. 3. Menduga jumlah kunjungan (Vi) berdasarkan fungsi biaya perjalanan (TC), pendapatan (I) dan kualitas obyek wisata (variabel dummy) atau Vi = f (TC, I, D). Pendugaan parameter diperoleh dari hasil analisis regresi berganda. 4. Menduga surplus konsumen, yakni rasio antara jumlah kunjungan dengan nilai parameter regresi untuk biaya perjalanan, atau secara matematis dituliskan: CS V i i =... (3.8) β 1 TCS = CS i x V t... (3.9) Dimana: V i = tingkat kunjungan individu β i = parameter regresi biaya perjalanan TCS = total surplus konsumen Vt = jumlah kunjungan dalam setahun Barton (1994) menyatakan kelemahan metode biaya perjalanan adalah: (1) kedekatan dan perjalanan yang lebih pendek oleh pengguna merefleksikan sebuah preferensi berwisata, (2) perjalanan dengan multi-tujuan berarti biaya mahal 61

80 62 dibanding dengan hanya satu tujuan, (3) perjalanan itu sendiri mungkin mengandung nilai rekreasi, (4) metode ini menghilangkan nilai eksistensi dan nilai pilihan tanpa penggunaan, (5) kemungkinan kesalahan umum dalam pengukuran variabel, menghilangkan variabel dan mendesain model, (6) terjadi kemungkinan untuk mengabaikan/menghilangkan biaya perjalanan bagi masyarakat lokal. Maksimum jumlah (daya dukung ekonomi) wisatawan yang berkunjung ke gugus Pulau Togean dan harga maksimum yang dapat dibayarkan diperoleh dengan menyeimbangkan antara fungsi penawaran dengan fungsi permintaan produk ekowisata pesisir (Supply = Demand) Analisis Daya Dukung Fisik World tourism organization, WTO (1981) dalam Wong (1991) memberikan standar pembangunan fasilitas wisata (resort dan pendukungnya) di kawasan pantai dan pulau-pulau kecil guna membatasi jumlah kunjungan wisatawan. Hal ini ditujukan agar daya tarik sumberdaya di kawasan tersebut secara sosial berkelanjutan (tidak mengganggu kenyamanan masyarakat lokal). Daya dukung fisik di sini menunjukkan besaran kawasan yang dapat dipakai untuk infrastruktur/fasilitas wisata tanpa mengganggu kenyamanan penduduk setempat atau wisatawan lain. Standar kebutuhan ruang untuk fasilitas wisata pesisir disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Standar kebutuhan ruang untuk fasilitas wisata pesisir No Uraian Satuan Keterangan 1. Kapasitas pantai m 2 Jumlah orang optimum per m 2 pantai Kelas rendah Kelas menengah Kelas mewah Kelas istimewa Fasilitas pantai Fasilitas kebersihan yang setara dengan 5 buah WC, 2 buah bak mandi dan 4 pancuran air untuk setiap 500 orang 4. Kepadatan penginapan tempat tidur/ha 5. Fasilitas marina Ukuran Kapasitas pelabuhan Lahan Sumber: WTO 1981 dalam Wong perahu/kapal wisata perahu/ha 100 perahu/ha, digunakan untuk parkir, penyimpanan dan perbaikan

81 Analisis Daya Dukung Gabungan Analisis daya dukung gabungan dilakukan untuk memperoleh satu nilai daya dukung standar yang akan dijadikan sebagai dasar pengelolaan ekowisata pesisir dengan mempertimbangkan empat dimensi yakni ekologi, sosial, ekonomi dan fisik (Davis and Tisdell 1996; Coccossis et al. 2001). Penentuan daya dukung selama ini masih bersifat parsial per dimensi, sehingga integrasi keempat daya dukung dalam penelitian ini merupakan kebaruan kedua dalam metode analisis. Pendekatan operasional dalam penentuan daya dukung terintegrasi adalah mengoptimasikan nilai-nilai parameter teknis dan daya dukung yang telah dihasilkan keempat dimensi. Optimasi keempat daya dukung menggunakan metode linear goal programming, dengan dasar formulasi sebagai berikut (Nasendi dan Anwar 1985) : Minimumkan : Z = 5 DU i= 1 Syarat ikatan (kendala): 5 i= 1 i i atau DO a X + DU DO = b i i... (3.10) i i... (3.11) X, a i, b i 0... (3.12) DU, DO = 0... (3.13) dimana : DU dan DO = nilai daya dukung yang belum dicapai dan nilai daya dukung terlampaui dari target (b i ) a j = koefisien fungsi kendala setiap parameter daya dukung (i) X = nilai daya dukung yang optimal (gabungan) = nilai target setiap parameter daya dukung b i Beberapa parameter yang mewakili keempat daya dukung yakni: 1. Daya dukung (luasan maksimum) kawasan obyek wisata pesisir (ekologi) 2. Daya dukung kualitas perairan ekowisata pesisir (ekologi) 3. Perbandingan masyarakat lokal dengan turis (sosial) 4. Jumlah maksimum turis secara ekonomi (ekonomi) 5. Ketersediaan sarana akomodasi (fisik) Analisis Efektivitas Pengelolaan Ekowisata Pesisir Analisis efektivitas pada wisata pesisir berbasis konservasi ditujukan untuk mengevaluasi efektif-tidaknya pengelolaan PPK melalui kegiatan pemanfaatan ekowisata pesisir. Analisis efektivitas pengelolaan wisata pesisir berbasis

82 64 konservasi di gugus Pulau Togean menggunakan metode EFANSIEC (Effectivity Analysis of Small Islands Ecotourism). Metode ini dimodifikasi dari metode multivariate atau dikenal dengan multidimensional scaling (MDS). Analisis multidimensi merupakan analisis data yang menggambarkan karakter-karakter kuantitatif dan kualitatif suatu/sekumpulan individu yang disusun berdasarkan suatu orde dan tidak dapat dilakukan operasi aljabar sehingga cenderung lebih dekat pada statistik deskriptif dari pada statistik inferensial (Bengen 2000). Perbedaan antara teknik RAPFISH dan RAPSMILE dengan metode EFANSIEC yakni terletak pada proses memperoleh nilai atribut pengelolaan yang telah dicapai saat ini (digunakan sebagai input analisis), dan proses memperoleh nilai-nilai ideal (yang diharapkan) dari pengelolaan wisata pesisir di kawasan konservasi. Baik nilai eksisting maupun nilai ideal pada setiap atribut diperoleh dari hasil analisis yang bertahap dan sistematis. Hasil yang diperoleh dalam EFANSIEC merupakan besaran tingkat pencapaian saat ini (eksisting) pelaksanaan kegiatan wisata pesisir berbasis konservasi di kawasan TNKT. Atribut-atribut tersebut selanjutnya dievaluasi kesesuaiannya dengan tujuan awal (ideal atau seharusnya). Jika nilai-nilai atribut eksisting cenderung mengarah pada tujuan awal pengelolaan, maka hasil akhir dari analisis ini akan mengarah pada keefektifan pengelolaan ekowisata pesisir. Sebaliknya, jika nilai atribut yang dicapai saat ini menyimpang dari tujuan awal, maka kemungkinannya pengelolaan ekowisata pesisir tidak efektif sehingga perlu ditinjau kembali seluruh dimensi dan atributnya. Dimensi yang tidak memperlihatkan ketidakefektifan diketahui melalui indeks keefektifan pengelolaan yang diperoleh. Indeks yang dihasilkan hasil analisis ini dapat juga diinterpretasikan sebagai tingkat keberlanjutan pengelolaan ekowisata pesisir, yang dicapai sesuai dengan perencanaan dan tujuan awal suatu kegiatan/program, serta selalu mengalami perkembangan (Hershman et al. 1999; Hersey and Blanchard 2000). Dasar penilaian keefektifan pengelolaan ekowisata pesisir ini menggunakan pendekatan Good et al. (1999) yang mengevaluasi efektivitas program pengelolaan pesisir guna melindungi kawasan lahan basah dan estuari di Amerika Utara. Prosedur analisis dalam metode EFANSIEC secara rinci disajikan pada Gambar 8. Berdasarkan Gambar 8, tahapan yang dilalui dalam metode EFANSIEC secara rinci diuraikan sebagai berikut:

83 65 Kondisi Pengelolaan Ekowisata Bahari di Pulau-Pulau Kecil Review atribut (meliputi berbagai kategori dan skoring) Identifikasi dan pendefenisian ekowisata bahari (didasarkan pada kriteria yang konsisten) Skoring ekowisata bahari pada setiap atribut Ordinasi Multidimensional scaling untuk setiap atribut Indeks/Status Keefektifan Pengelolaan Ekowisata Bahari PPK Analisis Sensitivitas Analisis Keberlanjutan Gambar 8 Prosedur metode EFANSIEC (Susilo 2003) A. Review Atribut Berdasarkan Empat Dimensi Tahap pertama dari penelitian ini sudah harus diselesaikan pada saat persiapan pelaksanaan survei/pengamatan di lapangan. Identifikasi kondisi dan pencapaian tujuan pengelolaan wisata pesisir berbasis konservasi di gugus Pulau Togean didasarkan pada dimensi ekologi, ekonomi, sosial dan kelembagaan. Penentuan atribut juga mempertimbangkan prinsip pembangunan pariwisata berkelanjutan yang dianut dalam kegiatan ekowisata (Ross and Wall 1999; Bjork 2000; Hall 2001; Wood 2002). Identifikasi akan menghasilkan beberapa atribut yang akan digunakan untuk mengevaluasi efektif-tidaknya pengelolaan ekowisata pesisir. Atribut-atribut berdasarkan empat dimensi yang dikaji tersebut selanjutnya dibandingkan dengan kondisi ideal guna mengetahui tingkat efektivitas pengelolaan ekowisata pesisir. Kondisi ideal ini diperoleh dari analisis deskriptif, kesesuaian dan daya dukung kawasan untuk kegiatan ekowisata pesisir (selengkapnya disajikan pada Tabel 11).

84 66 Tabel 11 Kondisi yang diharapkan dari pengelolaan ekowisata pesisir yang efektif menurut dimensi dan atribut Dimensi Pengelolaan dan Atribut Dimensi Ekologi Kesesuaian ekowisata pesisir kategori wisata selam Kesesuaian ekowisata pesisir kategori wisata snorkeling Kesesuaian ekowisata pantai kategori wisata mangrove Kesesuaian ekowisata pantai kategori rekreasi Daya dukung ekowisata pesisir kategori wisata selam Daya dukung ekowisata pesisir kategori wisata snorkeling Daya dukung ekowisata pantai kategori wisata mangrove Daya dukung ekowisata pantai kategori rekreasi/berjemur Tingkat pemanfaatan lahan untuk fasilitas wisata pesisir Daya dukung kualitas perairan Kondisi Ideal yang Diharapkan Sesuai dengan karakteristik ekologi kawasan wisata pesisir (Tisdell 1998a; Hall 2001; Vinh et al. 2008;Depdagri 2009) Sesuai dengan karakteristik ekologi kawasan wisata pesisir (Tisdell 1998a; Hall 2001; Vinh et al. 2008;Depdagri 2009) Sesuai dengan karakteristik ekologi kawasan wisata pesisir (Tisdell 1998a; Hall 2001; Vinh et al. 2008;Depdagri 2009) Sesuai dengan karakteristik ekologi kawasan wisata pesisir (Hall 2001; Vinh et al. 2008;Depdagri 2009) Tidak melebihi daya dukung ekowisata pesisir (DDW) (Davis and Tisdell 1996; Tisdell 1998a; Coccosis et al. 2001) Tidak melebihi DDW (Davis and Tisdell 1996; Tisdell 1998a; Coccosis et al. 2001) Tidak melebihi DDW (Davis and Tisdell 1996; Tisdell 1998a; Coccosis et al. 2001) Tidak melebihi DDW (Davis and Tisdell 1996; Tisdell 1998a; Coccosis et al. 2001) Tidak melebihi daya dukung fisik atau sesuai dengan persyaratan fisik wisata pesisir (Wong 1991) Tidak melebihi baku mutu wisata pesisir (Coccosis et al. 2001; Kepmen LH No. 51 Tahun 2004) Dimensi Ekonomi Optimum jumlah kunjungan turis Tidak melebihi DDW (Davis and Tisdell 1996) Optimum harga produk ekowisata Diharapkan harga optimum produk wisata (Tisdell 1996) Diversifikasi/optimasi kegiatan Banyak jenis kegiatan ekowisata pesisir berbasis alam dan ekowisata pesisir budaya (Zwirn et al. 2005) Rasio ketersediaan kamar dengan Tidak melebihi daya dukung ekowisata pesisir (DDW) (Wong jumlah kunjungan 1991; Hall 2001) Nilai upah tenaga kerja terhadap Upah tenaga kerja minimal sama dengan UMP (Tisdell 1996) Upah Minimum Provinsi (UMP) Trend penyerapan tenaga kerja lokal Penyerapan tenaga kerja meningkat (Tisdell 1996) Tingkat pendapatan masyarakat lokal Pendapatan per bulan masyarakat di atas UMP (Tisdell 1996) dari usaha turunan ekowisata pesisir Dimensi Sosial Kenyamanan masyarakat lokal dan Tidak melebihi daya dukung sosial (Seidl and Tisdell 1999; turis Ross and Wall 1999; Saveriades 2000; Coccosis et al. 2001) Sikap dan perilaku masyarakat lokal terhadap keberadaan wisatawan Pengetahuan masyarakat lokal tentang ekowisata Frekuensi konflik dengan pemanfaatan lain Perubahan kualitas hidup masyarakat lokal Dimensi Kelembagaan Keberadaan dan efektivitas penggunaan regulasi fee (insentif) konservasi Senang dengan keberadaan wisatawan (Doxey, 1975 dalam Beeler 2000; Wood 2002) Pengetahuan masyarakat lokal tentang ekowisata lebih baik (Ross and Wall 1999; Hall 2001; Wood 2002) Tidak ada konflik antar pemanfaatan (Coccosis et al. 2001; META 2002) Terjadi peningkatan kualitas hidup masyarakat (Cooper et al. 1998; Ross and Wall 1999) Ada fee/insentif dan efektif penggunaannya bagi konservasi dan peningkatan kualitas hidup masyarakat lokal (Ross and Wall 1999; Greiner et al. 2000) Ada dan dilaksanakan sesuai aturan (Ross and Wall 1999; Hall 2001) Zonasi dan aturan pemanfaatan kawasan Penegakan hukum bagi pelanggar Setiap pelanggar harus ditindak (Ross and Wall 1999; Upadhyay et al. 2002) Penyediaan infrastruktur penunjang Infrastruktur penunjang tersedia cukup (Liu 1994; Rome transportasi & telekomunikasi 1999)

85 B. Pembuatan Skor Pemberian skor atau pemberian peringkat dilakukan pada atribut yang teridentifikasi berdasarkan tujuan pengelolaan potensi kawasan konservasi PPK. Mengacu pada teknik RAPFISH (Pitcher and Preikshot 2001; Susilo 2003), maka skor yang diberikan berupa nilai buruk (bad) yakni mencerminkan kondisi yang paling tidak menguntungkan dalam pengelolaan wisata pesisir, dan juga berupa nilai baik (good) yakni mengkondisikan pengelolaan wisata pesisir yang paling menguntungkan. Diantara dua nilai yang ekstrim ini biasanya terdapat satu atau lebih nilai antara. Mengacu pada pendekatan yang digunakan oleh Good et al. (1999) dan Heershman et al. (1999), maka jumlah peringkat yang diberikan secara konsisten pada setiap atribut yang dievaluasi sebanyak 3 (tiga) yakni nilai buruk diberi skor 0 (nol), nilai antara diberi skor 1 (satu) dan nilai baik diberi skor 2 (dua). Kriteria pembuatan skor per atribut pada keempat dimensi disajikan pada Tabel 12. Tabel 12 Pemberian skor setiap atribut berdasarkan empat dimensi pengelolaan Dimensi dan Atribut Skor Baik Buruk Keterangan Dimensi Ekologi Kesesuaian ekowisata pesisir kategori wisata selam Kesesuaian ekowisata pesisir kategori wisata snorkeling Kesesuaian ekowisata pantai kategori wisata mangrove Kesesuaian ekowisata pantai kategori rekreasi Daya dukung ekowisata pesisir kategori wisata selam Daya dukung ekowisata pesisir kategori wisata snorkeling Daya dukung ekowisata pantai kategori wisata mangrove Daya dukung ekowisata pantai kategori rekreasi/berjemur Tingkat pemanfaatan lahan 67 0; 1; =tidak sesuai; 1= sesuai bersyarat; 2= sesuai 0; 1; =tidak sesuai; 1= sesuai bersyarat; 2= sesuai 0; 1; =tidak sesuai; 1= sesuai bersyarat; 2= sesuai 0; 1; =tidak sesuai; 1= sesuai bersyarat; 2= sesuai 0; 1; = >DDW+0.5*DDW; 1= >DDW - DDW+ 0.5*DDW; 2 = DDW 0; 1; = >DDW+0.5*DDW; 1= >DDW - DDW+ 0.5*DDW; 2 = DDW 0; 1; = >DDW+0.5*DDW; 1= >DDW - DDW+ 0.5*DDW; 2 = DDW 0; 1; = >DDW+0.5*DDW; 1= >DDW - DDW+ 0.5*DDW; 2 = DDW 0; 1; = 3 syarat tidak sesuai; 1= 1-2 syarat sesuai; 2 = 3 syarat sesuai untuk fasilitas wisata pesisir Daya dukung kualitas perairan 0; 1; = >DDW+0.5*DDW; 1= >DDW - DDW+ 0.5*DDW; 2 = DDW Dimensi Ekonomi Optimum jumlah kunjungan turis Optimum harga (Pr) produk wisata Diversifikasi/optimasi kegiatan ekowisata pesisir 0; 1; = <0.5*DDW; 1= 0.5* DDW - < DDW; 2 = DDW) 0; 1; = < 0.5*Pr; 1= 0.5*Pr - < Pr; 2 = Pr 0; 1; = belum dilakukan; 1= kurang dilakukan; 2= banyak dilakukan

86 68 Dimensi dan Atribut Skor Baik Buruk Keterangan Ketersediaan kamar dengan jumlah kunjungan (org/hari) Upah tenaga kerja terhadap UMP Trend penyerapan tenaga kerja lokal Tingkat pendapatan masyarakat lokal dari usaha turunan ekowisata pesisir Dimensi Sosial Kenyamanan masyarakat lokal dan turis Sikap/perilaku masyarakat lokal terhadap keberadaan wisatawan Pengetahuan masyarakat lokal tentang ekowisata Frekuensi konflik dengan pemanfaatan lain Perubahan kualitas hidup masyarakat lokal Dimensi Kelembagaan Keberadaan fee (insentif) dan efektivitas penggunaannya Zonasi dan aturan pemanfaatan kawasan Penegakan hukum bagi pelanggar Penyediaan infrastruktur penunjang terutama transportasi & telekomunikasi Sumber: Good et al. (1999); Heershman et al. (1999) C. Ordinasi Efansiec 0; 1; = >DDW+0.5*DDW; 1= >DDW - DDW+ 0.5*DDW; 2= DDW 0; 1; = <UMP;1=UMP- <UMP+0.5*UMP; 2= >UMP + 0.5*UMP (BPS 2009) 0; 1; =menurun; 1=konstan; 2= meningkat (Data Sekunder yang Diolah 2009) 0; 1; = <UMP;1=UMP- <UMP+0.5*UMP; 2= >UMP + 0.5*UMP (Laapo et al. 2007) 0; 1; = >DDW+0.5*DDW; 1= >DDW - DDW+ 0.5*DDW; 2 = DDW 0; 1; = jengkel/benci; 1= biasa saja/acuh; 2= senang (Data Primer yang Diolah 2009) 0; 1; = rendah; 1= sedang; 2= tinggi (Data Primer yang Diolah 2009) 0; 1; = sering;1= kadang-kadang; 2= tidak pernah (Data Primer yang Diolah 2009) 0; 1; = menurun; 1=konstan; 2= meningkat (Data Primer yang Diolah 2009) 0; 1; =tidak ada; 1=ada tapi kurang efektif; 2=ada dan ditaati/efektif (Data Sekunder yang Diolah 2009) 0; 1; = tidak ada; 1= ada, tidak/belum dijalankan; 2= ada, dijalankan (Data Sekunder yang Diolah 2009) 0; 1; =tidak ada; 1=ada tapi kurang ditegakkan; 2=ada dan ditegakkan (Data Sekunder yang Diolah 2009) 0; 1; =tidak tersedia; 1= tersedia kurang; 2= tersedia banyak (Data Sekunder yang Diolah 2009) Proses ordinasi Efansiec dilakukan setelah pemberian skor pada setiap atribut dan dimensi, serta penentuan titik acuan utama ( baik dan buruk ). Melalui analisis MDS, maka posisi titik keefektifan dapat divisualisasikan dalam dua dimensi (sumbu vertikal dan horisontal). Melalui metode rotasi sumbu maka posisi titik-titik tersebut dapat diproyeksikan pada garis mendatar dimana titik ekstrem buruk diberi nilai skor 0 % dan titik ekstrim baik diberi skor 100 %. Posisi efektivitas pengelolaan ekowisata pesisir yang dikaji akan berada diantara dua titik ekstrim dan dapat dianalisis indeks keefektifannya dengan melihat nilai persentase keefektifan pengelolaan pada garis horisontal tersebut. Proses ordinasi EFANSIEC

87 69 ini menggunakan perangkat lunak RAPFISH (Kavanagh 2001). Proses ordinasi selanjutnya setelah titik acuan utama horisontal adalah (Susilo 2003): 1. Membuat titik acuan utama lainnya yaitu titik tengah merupakan titik tengah buruk dan titik tengah baik. Dua titik acuan utama tambahan ini akan menjadi acuan arah vertikal ( atas atau up dan bawah atau down ) dari ordinasi. 2. Setelah itu dilakukan pembuatan titik acuan tambahan yang disebut dengan titik acuan jangkar (anchors) yang berguna untuk stabilizer dan menempatkan titik pada posisi yang tidak sama pada ruang multidimensi yang sama. 3. Melakukan standarisasi skor untuk setiap atribut sehingga setiap atribut mempunyai bobot yang seragam dan perbedaan antar skala pengukuran dapat dihilangkan. 4. Menghitung jarak antara titik-titik acuan dengan metode euclidean distance squared (seuclied). 5. Membuat ordinasi baik untuk seluruh dimensi (dan seluruh atribut) maupun untuk setiap dimensi pembangunan (ekologi, sosial, ekonomi dan kelembagaan) berdasarkan algoritme analisis MDS. Dalam analisis MDS ini, dimensi atribut yang semula sebanyak p direduksi menjadi 2 (dua) dimensi saja yang akan menjadi sumbu x dan sumbu y. Selanjutnya menghitung kembali jarak antara titik-titik acuan tetapi dengan menggunakan dua dimensi. 6. Menghitung nilai stress (standardized residual sum of square) dengan menggunakan nilai jarak pada saat dua dimensi dan hasil analisis regresi antara jarak dua dimensi dengan nilai jarak pada saat p dimensi (nilai harapan jarak pada saat dua dimensi). Analisis MDS berhenti jika nilai stress telah memenuhi persyaratan yang dikehendaki, dalam hal ini < 0.20 atau jika stress tidak turun lagi didalam interasi. D. Proses Rotasi Proses rotasi dan proses fliping dilakukan agar posisi titik acuan utama buruk dan baik berada sejajar dengan sumbu x, sedangkan atas berada di atas sumbu x dan bawah berada di bawah sumbu x. Untuk menjamin tidak terjadinya kesalahan dalam posisi titik yang bersifat kebalikan cermin, maka dilakukan proses flip untuk titik-titik tertentu yang mengalami kesalahan.

88 70 E. Tahap Skala Indeks Keefektifan Pengelolaan Ekowisata Pesisir Tahap akhir ordinasi adalah pembuatan skala indeks keefektifan pengelolaan ekowisata pesisir (IEPEB) yang mempunyai selang 0%-100%. Jika suatu kawasan kegiatan ekowisata pesisir mempunyai nilai indeks > 50%, maka ekowisata pesisir yang dikelola di lokasi tersebut telah efektif pengelolaannya, dan sebaliknya jika <50%, maka ekowisata pesisir yang dikelola di lokasi tersebut belum efektif atau belum berkelanjutan pengelolaannya. Kategori status efektivitas pengelolaan ekowisata pesisir dapat juga dibuat menjadi empat kategori, yakni (Susilo 2003): - nilai IEPEB 0-25 % (kategori belum efektif/berkelanjutan) - nilai IEPEB % (kategori kurang efektif/berkelanjutan) - nilai IEPEB % (kategori cukup efektif/berkelanjutan) dan - nilai IEPEB % (kategori efektif/berkelanjutan). F. Analisis Sensitivitas Analisis sensitivitas dilakukan untuk melihat atribut apa yang paling sensitif memberikan kontribusi terhadap indeks efektivitas pengelolaan ekowisata pesisir di wilayah penelitian. Peran masing-masing atribut terhadap nilai IEPEB dianalisis dengan attribute leveraging, sehingga terlihat perubahan ordinasi apabila atribut tertentu dihilangkan dari analisis. Peran (pengaruh) setiap atribut dilihat dalam bentuk perubahan Root Mean Square (RMS) ordinasi khususnya pada sumbu-x. Atribut-atribut yang memiliki tingkat kepentingan (sensitivitas) tinggi dari hasil analisis efektivitas pengelolaan ekowisata pesisir ini, akan digunakan sebagai dasar penetapan atribut dalam analisis simulasi model dinamik (keberlanjutan) pengelolaan ekowisata pesisir. Analisis dinamik (keberlanjutan) pengelolaan ekowisata pesisir dilakukan secara terpisah dari metode EFANSIEC. Optimasi Pengelolaan Ekowisata Pulau-Pulau Kecil dengan Pendekatan Model Dinamik Model dinamik yang dibangun untuk menganalisis keberlanjutan pengelolaan ekowisata pesisir di PPK dalam penelitian ini terdiri atas empat submodel, yakni: (1) submodel ekologi memiliki atribut: penambahan dan penurunan kuantitas obyek wisata pesisir (terumbu karang, mangrove dan pantai berpasir), (2) submodel ekonomi memiliki atribut: nilai keuntungan yang diperoleh dari setiap wisatawan, distribusi pendapatan dari usaha wisata pesisir terhadap ekonomi masyarakat lokal

89 71 dan pembangunan infrastruktur dari pajak usaha wisata, dan tingkat penyerapan tenaga kerja, (3) submodel sosial memiliki atribut jumlah dan laju pertumbuhan penduduk, dan beberapa parameter yang mempengaruhi kunjungan dan keluaran wisatawan dan (4) atribut submodel kelembagaan: fee untuk konservasi sumberdaya dan pembiayaan bagi infrastruktur terdistribusi pada ketiga submodel sebelumnya. Analisis model dinamik (keberlanjutan) pengelolaan ekowisata pesisir di gugus Pulau Togean TNKT mengikuti tahapan sebagai berikut: Tahap pertama, mengidentifikasi potensi sumberdaya alam, budaya (daya tarik wisata), sosial ekonomi, dan identifikasi instrumen kebijakan pemerintah (kelembagaan) dalam menunjang kegiatan wisata pesisir di gugus Pulau Togean (sumber data sekunder dan data primer). Tahap kedua, mengkaji keterkaitan antar variabel kegiatan ekowisata pesisir PPK, dan mengintegrasikan hasil analisis potensi sumberdaya, kondisi sosial ekonomi dan instrumen kebijakan ke dalam model dinamik pengelolaan ekowisata pesisir PPK. Berdasarkan uraian sebelumnya bahwa bentuk model dapat berupa persamaan matematis dan diagram yang menunjukkan hubungan antar variabel dalam sebuah sistem. Model dinamik keberlanjutan pengelolaan ekowisata pesisir di gugus Pulau Togean ini dibangun dan dikembangkan dari model matematis sederhana (dasar) berikut (Casagrandi and Rinaldi 2002; Cavallaro dan Ciraolo 2002): 1. SubModel Lingkungan (Environment); merupakan fungsi lingkungan alamiah yang dibangun dalam bentuk fungsi logistik yakni : Ei ( t) Ei ( t) = rei ( t) 1 Di ( T ( t), C( t), E( t) ) K... (3.14) i dimana K = daya dukung lingkungan, E = ketersediaan sumberdaya wisata, D(T(t), C(t), E(t)) melambangkan degradasi sumberdaya akibat kegiatan wisata, dan i merupakan jumlah obyek wisata yang terbarukan (terumbu karang dan mangrove). Fungsi sederhana dari kerusakan atau damage (D) diberikan sebagai berikut: D = E( α C + γt )... (3.15) dimana C adalah modal untuk pembangunan infrastruktur dan aktifitas manusia, α = laju degradasi akibat pembangunan, γ = pertumbuhan populasi manusia, dan T merupakan jumlah populasi wisatawan dan penduduk lokal. Pengembangan

90 72 model; total luasan obyek wisata (E i ) pada waktu t merupakan penjumlahan luasan ketiga obyek wisata (terumbu karang, mangrove dan pantai berpasir). 2. SubModel Ekonomi Lokal; menggunakan pendekatan maksimisasi keuntungan (π), secara matematis (Fauzi dan Anna 2005) diformulasikan sebagai berikut: Max π = py rc-wl... (3.16) dimana, y = C α L β, y = jumlah produk wisata, p = harga produk wisata, r = tingkat suku bunga (investment rate), w = upah tenaga kerja, C= jumlah modal, L = jumlah tenaga kerja, β = pertumbuhan tenaga kerja. Syarat keharusan dari persamaan (3.16) diperoleh dengan menurunkan persamaan π terhadap C dan L, diperoleh: π α 1 β = αpc L r = 0... (3.17) K π α β 1 = βpc L w = 0... (3.18) L Berdasarkan persamaan (3.17) dan (3.18) diperoleh persamaan aliran modal (C) dan jumlah tenaga (L) yang maksimal, yakni: atau C α L = β C * r w... (3.19) αwl =... (3.20) βr sedangkan L diperoleh melalui subtitusi persamaan (3.20) ke persamaan y = C α L β menjadi: y L α αwl β = L sehingga : * = βr y 1/( α + β ) α α α + β w βr... (3.21) Pengembangan model; nilai ekonomi masyarakat lokal dalam submodel ekonomi diperoleh dari upah dan jumlah tenaga kerja yang bekerja pada usaha wisata pesisir dan usaha-usaha turunan lain yang terkait termasuk pembangunan infrastruktur penunjang. Selain itu, dalam atribut harga produk ekowisata terdapat bagian harga yang dibayarkan ke daerah dalam bentuk pajak dan fee konservasi. 3. SubModel Sosial; menyangkut kunjungan turis yang dipengaruhi oleh faktor penarik (attractive factor) yang dapat diformulasikan sebagai:

91 73 dt ( t) T ( t) = = T ( t). A( T ( t), E( t), C( t)) (3.22) dt A adalah relative attractiveness yaitu lag antara nilai atraksi yang absolut dengan nilai atraksi referensi atau dapat diformulasikan: ^ A( T, E, C) = α ( T, E, C) a (3.23) dimana a = harga lokasi atraktif lainnya, ά adalah nilai atraktif yang diinginkan oleh turis, terkait dengan kualitas lingkungan dan infrastruktur. Nilai atraksi yang absolut selengkapnya diformulasikan sebagai: ^ α = µ E( t) C( t) + µ C T a E E( t) + ϕ C( t) + ϕ T ( t ) + ϕ δ E E E... (3.24) dimana ϕ E dan ϕ C = masing-masing merupakan setengah dari konstanta kejenuhan sumberdaya ekowisata dan modal untuk infrastruktur, μ E dan μ C = masing-masing kualitas obyek wisata dan infrastruktur, dan δ adalah koefisien ketidaknyamanan turis terhadap lokasi wisata. Pengembangan model; jumlah kunjungan dipengaruhi oleh atraksi wisata, dimana atraksi wisata terkait dengan keberadaan obyek ekowisata pesisir dalam penelitian ini diagregasi menjadi dua yakni ekowisata alam dan ekowisata budaya, sehingga persamaan 3.24 menjadi: ^ E t Er t C t α = µ ( ) ( ) ( ) + µ + µ C T a E E( t) + ϕ Er Er( t) + ϕ C( t) + ϕ T ( t ) + ϕ δ... (3.25) E r dimana Er = sumberdaya wisata budaya dan ϕ Er = konstanta kejenuhan sumberdaya ekowisata budaya dan μ Er = kualitas ekowisata budaya. Bentuk causal-loop pengembangan model matematis sederhana yang dibangun dari ketiga submodel selanjutnya disajikan pada Gambar 9, 10 dan 11. Tahap ketiga, melakukan analisis model, memilih hasil-hasil analisis terbaik (optimal) dan melakukan uji kepekaan atau postoptimal melalui beberapa skenario pengelolaan. Penyusunan skenario pengelolaan ekowisata pesisir didasari dan mempertimbangkan hasil analisis efektivitas pengelolaan ekowisata pesisir. Output analisis sistem dinamik merupakan salah satu kebaruan dalam model pengelolaan ekowisata pesisir PPK yang digunakan untuk pembangunan pariwisata yang berkelanjutan. Diagram alir model sistem yang dibangun dianalisis dan disimulasi dengan menggunakan software STELLA7. E E

92 74 EKOLOGI Laju Prtumbuhan Daya Dukung Tr Karang Luas Tutupan Tr Karang Pengurangan Tr Karang Lj degradasi TKrang Pertambahan Tr Karang Jumlah Fee konservasi Upaya konservasi Jml penduduk Fraksi fee Luas kawasan Mangrove Fraksi Pencemaran Tot Penduduk Jml Turis Pertambahan Mangrove Luas kawasan ekowisata Luasan Pantai Lj Abrasi Lju Degradasi mangrove Penurunan Mangrove ~ Pengurangan Luas Pantai Gambar 9 Model konseptual sistem dinamik pengelolaan ekowisata pesisir di gugus Pulau Togean berdasarkan dimensi ekologi EKONOMI Infrastruktur Fraksi Infrak Ekonomi Daerah Insentif wisata budaya Alokasi dana wisata budaya Jml Turis RevperTurist Pajak Usaha Wisata Ekonomi Masy Lokal Jumlah Fee konservasi PrPd Penerimaan Pengeluaran Frak upahtk RevTour Fr RevUsahalain RvTour Fraksi Cost Rev lain frtkcap Tot T Kerja Lokal Fr TKTur TK Lokal masuk TK lokal Keluar Gambar 10 Model konseptual sistem dinamik pengelolaan ekowisata pesisir di gugus Pulau Togean berdasarkan dimensi ekonomi

93 75 SOSIAL me Kual Lingkungan Luas kawasan ekowisata mr Kual budaya Insentif wisata budaya Populasi Wisman Harga Prod lain Kual Infrak Datang Pergi mc gc Infrastruktur ge Jml Turis Jml turis perhari Jumlah Penduduk Frak PrLvC Liv Cost Koef kenyamanan Pertambahan penduduk Rasio TouristHost Harga Produk Ekowisata ~ Laju pertambahan Tot Penduduk Gambar 11 Model konseptual sistem dinamik pengelolaan ekowisata pesisir di gugus Pulau Togean berdasarkan dimensi sosial Tahap keempat, validasi ditujukan terpenuhinya syarat kecukupan struktur dari suatu model sistem dinamik, dan pengesahan model menyangkut penilaian terhadap model dengan cara mencocokkan dengan keadaan nyata, menguji dan mengesahkan asumsi-asumsi yang membentuk model dinamik secara struktural (peubah dan hubungan fungsionalnya). Validasi perilaku model dilakukan dengan membandingkan antara perilaku yang dihasilkan oleh model dan perilaku sistem nyata. Eriyatno (1998), validasi model umumnya dimulai dengan pengujian sederhana seperti pengamatan atas: (1) tanda aljabar (sign); (2) tingkat kepangkatan dari besaran (order of magnitude); (3) format respon (linear, eksponensial, sigmoid dan lainnya); (4) arah perubahan peubah apabila input diubah; (5) nilai batas peubah sesuai dengan nilai batas parameter sistem, dan (6) analisis uji perbedaan rata-rata. Tahapan akhir, nilai-nilai optimal yang diperoleh dari analisis dinamik yang dianggap sah dan dipercaya selanjutnya dapat diterapkan dan menjadi masukkan dalam penyusunan zonasi dan rencana pengelolaan Taman Nasional Kepulauan Togean.

94 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Sumberdaya Gugus Pulau Togean Kondisi Ekologis Kondisi ekologis yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah keadaan alam dan lingkungan yang teridentifikasi keberadaannya dan dapat memberikan manfaat terhadap kehidupan biota dan kegiatan ekowisata pesisir. Kondisi ekologi tersebut meliputi kondisi geografis dan administrasi wilayah, iklim dan parameter kualitas perairan laut, pantai, terumbu karang, mangrove dan ikan karang sebagai suatu sistem ekologi yang saling terkait dan mempengaruhi kegiatan ekowisata pesisir Geografis dan Administratif Secara geografis, Kepulauan Togean terletak di tengah Teluk Tomini yang memanjang dari barat ke timur ± km pada posisi koordinat LS dan BT, dengan luas daratan kurang lebih km 2 (CII 2006). BRKP (2008), gugus Pulau Togean memiliki 45 PPK yang tersebar di sekitar wilayah Pulau Togean yang merupakan pulau terluas (29 belum teregistrasi dan 11 telah teregistrasi). Gugus Pulau Togean merupakan salah satu rangkaian pulau-pulau karang yang terletak di punggung tinggi laut dengan kedalaman kurang dari 200 m. Topografi kepulauan ini berupa perbukitan dengan relief rendah sampai sedang dengan ketinggian rata-rata 100 m. Bagian yang bertopografi tinggi memiliki perbukitan dengan puncak tertinggi pada Gunung Benteng yakni 542 m, juga merupakan bagian dari punggung Gunung Api Togean yang sudah tidak aktif lagi (kecuali Pulau Una-Una) (BKSDA Provinsi Sulawesi Tengah 2006). Terkait dengan kegiatan ekowisata pesisir, beberapa desa dan PPK di kawasan ini yang memiliki potensi (peluang) besar dan telah berkembang baik dalam pemanfaatan kawasan wisata pesisir (selengkapnya disajikan pada Tabel 13). Secara administrasi, wilayah Kepulauan Togean memiliki 4 (empat) kecamatan yakni Una-Una, Togean, Walea Besar dan Walea Kepulauan. Total luas wilayah daratan keempat kecamatan tersebut yakni km 2. Secara khusus, Kecamatan Togean memiliki luas wilayah km 2, sementara luas wilayah pulau induk (mainland) Togean yakni km 2.

95 78 Tabel 13 Desa dan kawasan pulau yang berpotensi dan memiliki kegiatan wisata pesisir di gugus Pulau Togean No. Nama Pulau/Lokasi Nama Desa Potensi dan Kegiatan Wisata Pesisir Keterangan 1. Pulau Kadidiri (Pantai Berpasir/Tr.Karang) Tobil - Wisata Selam - Wisata Snorkeling - Wisata Pantai/Berjemur Ada fasilitas wisata dan berkembang baik 2. Pulau Impodi (Enam Tobil - Wisata Selam Tidak ada cottage Kawasan Tr. Karang) - Wisata Snorkeling 3. Barat Pulau Togean Tobil - Wisata Mangrove Potensi 4. Utara Pulau Kadidiri (10 Tobil - Wisata Selam Berkembang baik Kawasan Tr. Karang) - Wisata Snorkeling 5. Pulau Taipi (Pantai Berpasir/Tr.Karang) Tobil - Wisata Selam - Wisata Snorkeling - Wisata Pantai/Berjemur Fasilitas wisata terbatas dan berkembang baik 6. Utara Pulau Togean Matobiayi - Wisata Snorkeling Eksis, tidak ada (Pantai Karina/Tr.Karang) 7. Utara Pulau Togean /Teluk Kilat (Tr.Karang /Mangrove) 8. Pulau Pangempa (Tr.Karang/Pantai Berpasir) 9. Pulau Bolilanga (Tr.Karang/Pantai Berpasir) Lembanato Katupat Katupat - Wisata Pantai/Berjemur - Wisata Selam - Wisata Snorkeling - Wisata Mangrove - Wisata Snorkeling - Wisata Pantai/Berjemur - Wisata Selam - Wisata Snorkeling - Wisata Pantai/Berjemur - Wisata Selam - Wisata Snorkeling - Wisata Selam - Wisata Snorkeling - Wisata Snorkeling - Wisata mangrove cottage Fasilitas terbatas dan tidak berkembang Ada fasilitas wisata dan berkembang baik Ada fasilitas wisata dan berkembang baik 10. Pulau Binangkulong- Monding Tongkabo Potensi 11. Kawasan Terumbu Tongkabo Berkembang baik Karang (Reef 1 dan 2) 12. Teluk Paleoma (Tr. Bangkagi Potensi Karang/Mangrove) /Tongkabo 13. Selat Kabalutan Tumotok- - Wisata Mangrove Potensi (Mangrove) Kabalutan 14. Pulau Mogo Besar/Kecil Bungayo - Wisata Snorkeling Potensi (Tr.Karang-Mangrove) - Wisata Mangrove 15. Pulau Enam (Tr.Karang- Pulau Enam - Wisata Snorkeling Potensi Mangrove) - Wisata Mangrove 16. Lokasi jatuhnya Pesawat Lebiti - Wisata Selam Berkembang baik US Bomber Wreck B-24 - Wisata pendidikan/sejarah 17. Selatan Pulau Togean (Tr. Lebiti - Wisata Selam Berkembang baik Karang-Donut Reef) 18. Selatan Pulau Togean Lebiti - Wisata mangrove Potensi (Mangrove ) 19. Selat Batudaka/Lebiti Lebiti/Wakai - Wisata mangrove Potensi Una-Una Sumber: Data Primer Yang Diolah 2009; Disbudpar Kab.Tojo Una-Una 2006; Bappeda Kabupaten Tojo Una-Una Jumlah desa di wilayah administratif Kecamatan Togean yakni 14 desa, dimana sebanyak 7 desa terdapat di daerah pesisir utara Pulau Togean, 4 desa berada di daerah pesisir pantai selatan Pulau Togean dan 3 desa lainnya berada di daerah pedalaman (Desa Kololio, Awo, dan Urulepe). Sebagian besar desa-desa di

96 79 Kecamatan Togean berada di Pulau Togean sebagai pulau induk sebanyak 12 desa dan sebanyak dua desa berada di Pulau-Pulau Kecil sekitarnya (Desa Pulau Enam sebelah selatan Pulau Togean dan Desa Tongkabo sebelah utara Pulau Togean). Batas administrasi wilayah Kecamatan Togean adalah (BPS 2008): Sebelah Utara dengan Perairan Teluk Tomini dan Provinsi Gorontalo. Sebelah Selatan dengan Perairan Teluk Tomini, daratan utama Kabupaten Tojo Una-Una dan Kabupaten Banggai. Sebelah Timur dengan Kecamatan Walea Kepulauan. Sebelah Barat dengan Perairan Teluk Tomini dan Kecamatan Una-Una Iklim dan Parameter Kualitas Perairan Kepulauan Togean memiliki iklim laut tropis dengan sifat iklim musiman, dimana musim kemarau terjadi antara bulan Juni sampai September, sedangkan musim hujan terjadi antara Oktober sampai Mei. Kawasan Teluk Tomini memiliki bulan basah selama 7-9 bulan dengan bulan kering berlangsung selama 3 bulan. Namun demikian curah hujan tidak merata dan berfluktuasi setiap bulan. Curah hujan yang tinggi umumnya terjadi antara bulan April-Mei dan Oktober-Nopember, sementara curah hujan rendah terjadi pada bulan September dan Desember-Januari. Curah hujan berkisar antara mm/tahun (Bappeda Kabupaten Tojo Una-Una 2007). Perbedaan musim berpengaruh terhadap nilai parameter kualitas perairan (fisik, kimia, biologi dan oseanografi). Nybakken (1999) menyatakan bahwa parameter kualitas perairan memiliki hubungan dan pengaruh antara satu dengan lainnya. Hasil analisis perbandingan antara nilai kualitas perairan di gugus Pulau Togean dengan baku mutu air laut untuk kegiatan ekowisata pesisir disajikan pada Tabel 14 dan pada Lampiran 2. Tabel 14 menunjukkan bahwa nilai rata-rata parameter kualitas perairan laut di gugus Pulau Togean umumnya berada pada kisaran baku mutu atau nilai parameter yang disyaratkan dalam pertumbuhan biota perairan laut dan kegiatan ekowisata pesisir terutama karang, ikan dan mangrove. Nilai tingkat kecerahan di perairan ini sangat tinggi, menjadikan algae zooxanthellae yang terdapat di hewan karang tersebut dapat memperlancar proses fotosintesisnya dan mempengaruhi peningkatan penyebaran ekosistem terumbu karang (Nybakken 1999). Walaupun demikian, ada beberapa parameter yang melebihi batas minimum dan maksimum

97 80 baku mutu atau yang disyaratkan dalam kegiatan ekowisata pesisir seperti ph, kecepatan arus dan kedalaman. Tabel 14 Perbandingan nilai kualitas perairan dengan baku mutu wisata pesisir di gugus Pulau Togean Data Nopember 2008 Data Juni/Juli 2009 Parameter kualitas Rataratrata Rata- perairan Min Maks Min Maks Baku Mutu BOD 5 (mg/liter) , 2 COD (mg/liter) DO (mg/liter) > 5 1 NH3 (mg/liter) Nihil 1 ph , 2 Salinitas ( o / oo) Alami 1 Kekeruhan (NTU) Suhu ( o C) Alami 1 Kecepatan arus (cm/detik) < 5 3 Kedalaman perairan (m) < 15 3, 4 Keterangan: 1 = Kepmen LH No. 51/ = Hutabarat et al = Effendi = Supriharyono Nilai ph dan kecepatan arus meningkat selama musim hujan. Peningkatan kecepatan arus diduga dipengaruhi oleh kecepatan angin yang meningkat pada bulan Nopember (peralihan ke musim hujan) (Wibisono 2005). Nilai BOD5 dan COD meningkat pada awal musim puncak kedatangan turis, sementara nilai DO menurun. Peningkatan salinitas dan temperatur pada musim kemarau (Juni/Juli) juga menyebabkan konsentrasi DO menurun (Valdes and Real 1998; Arun 2005; Pradhan et al. 2009). Peningkatan kekeruhan dan penurunan nilai DO pada musim hujan disebabkan oleh perubahan dalam pengisian air tawar dari daratan ke perairan laut yang dipengaruhi oleh perubahan musim dan kegiatan manusia (antropogenic climate change) (Andreev and Kusakabe 2001; Hii et al. 2006). Lampiran 2 menunjukkan bahwa nilai beberapa parameter pada dua titik waktu (musim) menunjukkan adanya perbedaan, seperti parameter COD, DO, salinitas, kekeruhan dan temperatur, sedangkan nilai parameter BOD5, NH3 dan ph relatif sama di kedua musim. Nilai parameter DO dan kekeruhan lebih tinggi pada musim hujan dibanding pada musim kemarau. Sebaliknya nilai parameter COD, salinitas dan temperatur lebih rendah pada hujan dibanding kemarau. Meningkatnya jumlah wisatawan pada musim kemarau memiliki pengaruh yang kecil pada parameter yang merupakan indikator pencemaran seperti BOD5, COD dan NH3. Rendahnya nilai salinitas air laut dan temperatur, serta tingginya tingkat kekeruhan

98 81 air terkait dengan tingginya curah hujan pada musim hujan. Berdasarkan stasiun pengamatan, nilai kekeruhan tertinggi dan salinitas yang rendah umumnya terjadi di wilayah perairan yang lebih dekat dengan daratan, muara sungai atau di kawasan mangrove. Secara umum, nilai parameter kualitas perairan di gugus Pulau Togean menunjukkan kondisi yang sangat baik untuk pertumbuhan biota perairan setempat. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya, hasil pengamatan dalam penelitian ini menunjukkan nilai parameter kualitas perairan belum mengalami perubahan yang mendasar. Hasil pengamatan kondisi DO yang diukur pada beberapa lokasi di perairan Kepulauan Togean menunjukan nilai rata-rata 6.03 mg/l (Bappeda Kabupaten Tojo Una-Una 2008), sementara hasil penelitian ini menunjukkan nilai kisaran DO antara Kisaran nilai-nilai tersebut masih tergolong memenuhi syarat baku mutu lingkungan. Nilai rata-rata konsentrasi nitrat di perairan Kepulauan Togean yakni mg/l dan rata-rata kandungan phospat yakni mg/l (Bappeda Kabupaten Tojo Una-Una 2008). Terkait dengan kandungan nitrogen yang diukur dalam penelitian ini adalah nitrogen dalam bentuk amonia (NH3). Kandungan amonia di seluruh stasiun pengamatan berkisar antara , tertinggi pada stasiun 7 (kawasan mangrove dekat pemukiman desa Lembanato) dan terendah di stasiun pengamatan yang jauh dari daratan. Kadar ini lebih rendah dibanding nilai baku mutu yang ditetapkan dalam Kepmen LH/51/2004 untuk biota laut sebesar 0.3 mg/l. Umumnya seluruh stasiun pengamatan dicirikan oleh nilai parameter salinitas yang hampir sama (perubahan yang kecil) dengan sebaran rata-rata salinitas permukaan untuk seluruh stasiun pengamatan yakni antara o / oo. Berdasarkan nilai pengukuran tersebut menunjukkan bahwa lokasi studi sedikit menerima limpahan air tawar dan limbah dari aktivitas antropogenik atau karena kondisi pulau (jauh dari mainland) sehingga pengaruh air laut sangat dominan. Zamani et al. (2007) menyatakan nilai salinitas di perairan Kepulauan Togean berkisar antara o / oo. Hasil penelitian BRPL (2004) menunjukkan bahwa distribusi spasial salinitas di perairan Togean pada musim timur bervariasi antara o / oo. Hasil pengukuran nilai ph selama penelitian menunjukkan kisaran nilai , sementara Bappeda Kabupaten Tojo Una-Una (2008) menyatakan nilai ph bervariasi antara dengan nilai rata-rata Ini berarti bahwa kondisi

99 82 perairan Togean relatif lebih baik untuk kehidupan tumbuhan dan hewan air. ph yang baik untuk kehidupan di laut berkisar antara dan untuk pertumbuhan biota air yakni antara 6-9 (Effendi 2000). Hasil pengamatan terhadap nilai kekeruhan (turbiditas) di gugus Pulau Togean menunjukkan kisaran nilai antara NTU, sementara rata-rata kekeruhan perairan di Kepulauan Togean yakni NTU dan tingkat kecerahan hingga sampai 100% (Bappeda Kabupaten Tojo Una-Una 2008). Ini menunjukkan bahwa kawasan ini memiliki kondisi perairan yang relatif jernih, penetrasi cahaya matahari akan relatif lebih besar sehingga dapat meningkatkan produktivitas perairan. Kondisi oseanografi ini disebabkan karena secara geografi pengaruh daratan sangat kecil dan pergerakan massa air relatif lebih besar. Hasil pengamatan terhadap temperatur permukaan air menunjukkan kisaran o C (tertinggi terjadi pada musim kemarau). Pengukuran temperatur air melalui DO-meter pada saat penelitian menunjukkan kisaran o C. BRPL (2005), temperatur udara di sekitar Kepulauan Togean berkisar antara ºC, sementara temperatur laut bervariasi antara o C. Temperatur tertinggi (> 31 o C) di Pulau Enam. Umumnya, suhu permukaan laut (SPL) pada musim barat lebih tinggi dari musim timur dengan perbedaan suhu sekitar 1 o C. Distribusi vertikal suhu di perairan Togean menunjukkan bahwa terjadi penurunan suhu dari permukaan hingga kedalam 40 m dengan perbedaan suhu sekitar 2 o C. Jika dikaitkan dengan distribusi karang di wilayah Pulau Togean, hasil identifikasi di lapangan menunjukkan bahwa terumbu karang masih banyak ditemukan di kedalaman sekitar 40 m (Zamani et al. 2007). Pasang surut (pasut) di perairan Kepulauan Togean memiliki tipe pasut campuran yang cenderung bersifat harian ganda atau sehari terjadi dua kali air pasang dan dua kali surut. Tunggang pasut (tidal range) mencapai maksimum 2.1 meter, sehingga tipe pasut demikian memiliki periode gelombang pasut sekitar 12 jam. Ketinggian air pasang surut akan mencapai maksimum pada hari keenam dan ketujuh tiap bulannya (pada bulan baru dan penuh), dan turun lagi (ketinggian minimum) di hari keempatbelas (pada perempat bulan pertama dan bulan ketiga) (Bappeda Kabupaten Tojo Una-Una 2008). Pola arus di perairan Kepulauan Togean selain dipengaruhi oleh pergerakan pasut, juga dipengaruhi oleh pola arus

100 83 utama di perairan Teluk Tomini. Arus permukaan pada musim timur datang dari arah timur/tenggara, mengalir ke arah barat (bagian dalam teluk), sebaliknya pada musim barat dari barat ke timur. Kecepatan arus pada musim barat relatif stabil dibanding kecepatan arus pada bulan Maret Mei (musim peralihan I) dan pada bulan Juni Agustus (musim timur). Kecepatan arus maksimum terjadi di pesisir Timur-Selatan Kepulauan Togean atau berbatasan langsung dengan mainland Pulau Sulawesi. Hasil pengukuran kecepatan arus terutama di kawasan wisata selam, snorkeling dan pantai menunjukkan nilai berkisar m/detik. Sementara Bappeda Kabupaten Tojo Una-Una (2008) menyatakan kecepatan arus rata-rata mencapai 0.65 m/detik, dan arah arus dominan ke arah barat daya dengan kisaran sudut 200 o o. Di perairan dangkal kecepatan arus rata-rata berkisar antara m/detik. Parameter arus dalam kegiatan wisata pesisir sangat penting karena pergerakan air laut yang secara kontinyu dapat membawa material dan membahayakan bagi penyelam dan perenang (Wong 1991). Keterkaitan antar parameter kualitas perairan di gugus Pulau Togean disajikan pada Gambar 12. Biplot Sumbu 1 & 2 (66% ) Biplot Sumbu 1 & 2 (56% ) -- Sumbu 2 (21% ) --> Dlm 1 Sal 8 2 Tmp ph 3 Arus Trb COD BOD5 DO 4 NH Sumbu 1 (44% ) --> a -- Sumbu 2 (19% ) --> Tmp ph 1 Sal 8 BOD5 COD Dlm Arus DO Trb NH Sumbu 1 (36% ) --> b Gambar 12 Korelasi antar paramater kualitas perairan menurut stasiun dan waktu pengamatan ((a)= Nopember 2008 dan (b)= Juni/Juli 2009) Hasil PCA pada Gambar 12 menunjukkan bahwa determinasi seluruh parameter pada pengukuran Nopember dapat diterangkan sampai pada sumbu

101 84 utama ketiga mencapai 80.37%, sedangkan pada Juni/Juli mencapai 69.78%. Parameter DO, COD, BOD5, kekeruhan dan arus memiliki kontribusi terbesar dalam pembentukan sumbu utama pertama baik di Nopember maupun Juli. Parameter pembentuk sumbu utama kedua pada Juli yakni temperatur dan kedalaman, sementara NH3, salinitas dan ph membentuk sumbu utama ketiga. Sebaliknya, data pada musim hujan menunjukkan salinitas dan kedalaman perairan merupakan pembentuk sumbu utama kedua, sementara parameter pembentuk sumbu utama ketiga yakni NH3, ph dan suhu. Arun (2005) menyatakan bahwa DO, salinitas dan temperatur akan mulai mengalami perubahan cukup besar setelah memasuki musim peralihan di bulan Juni. Parameter NH3 menurut Davies et al. (2008) mengindikasikan sebagai dampak yang disebabkan oleh kegiatan manusia di daratan (antropogenik) dan secara khusus input domestik, yang nilainya meningkat pada musim hujan. Berdasarkan posisi lokasi pengamatan, nilai BOD5, COD, NH3 dan kekeruhan yang rendah ditemukan pada daerah yang jauh dari pantai (offshore), demikian pula sebaliknya. Hii et al. (2006), penurunan nilai BOD pada daerah offshore disebabkan karena proses pengenceran air laut (seawater dilution) Kondisi Terumbu Karang Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem perairan laut yang memiliki peran yang sangat penting dalam kegiatan wisata pesisir. Umumnya wisatawan yang melakukan kegiatan wisata selam dan snorkeling di wilayah perairan dan pulau-pulau kecil menjadikan terumbu karang sebagai obyek utama. Terumbu karang memiliki spesies yang beragam dan sebagian besar spesies tersebut bernilai ekonomi tinggi. Di lain hal, ekosistem ini sangat rentan terhadap gangguan manusia dan pemulihannya memerlukan waktu yang lama. Kondisi terumbu karang pada beberapa stasiun pengamatan yang dapat ataupun berpotensi dimanfaatkan untuk kawasan wisata pesisir di gugus Pulau Togean disajikan pada Gambar 13 dan 14. Gambar 13 menunjukkan bahwa berdasarkan persentase tutupan komunitas karang, potensi kegiatan ekowisata selam dapat dilakukan di stasiun pengamatan III (Coral Garden) dan VIII (desa Katupat). Kawasan perairan Pulau Kadidiri (stasiun II), Teluk Kilat (stasiun VI) dan Bomber 24 (stasiun XIII) menunjukkan tingginya persentase karang mati dan kawasan berpasir sehingga kurang cocok untuk kegiatan wisata selam. Rata-rata persentase tutupan komunitas karang di seluruh lokasi

102 85 pengamatan (lokasi selam dan snorkeling) mencapai %. Secara spesifik, ratarata persentase tutupan komunitas karang di lokasi wisata selam yakni %, dengan tutupan karang keras (hardcoral) mencapai % (Zamani et al. 2007) Persentase Tutupan Hard Coral Dead Coral Rubber Sand Soft Coral Sponges Other Organism Komunitas Karang II (Pulau Kadidiri) III(Coral Garden) VI (Teluk Kilat) VIII (Katupat) XIII (Bomber 24) Gambar 13 Tutupan komunitas terumbu karang yang telah dimanfaatkan sebagai kawasan ekowisata selam di gugus Pulau Togean 100% Persentase Tutupan Karang 80% 60% 40% 20% 0% II (Pulau Kadidiri) III (Coral Garden) IV (Pulau Taipi) VI (Teluk Kilat) VIII (Katupat) IX (Reef 1-2) X (Bangkagi) XII (Mogo Stasiun Pengamatan Hard Coral Dead Coral Rubber Sand Soft Coral Sponges Other Organism Gambar 14 Tutupan komunitas terumbu karang yang berpotensi dan telah dimanfaatkan untuk ekowisata snorkeling di gugus Pulau Togean Besar) Hasil analisis terhadap kawasan wisata selam menunjukkan bahwa persentase tertinggi tutupan terumbu karang juga terdapat pada stasiun pengamatan yang jauh

103 86 dari pemukiman dan intensif dilakukan kegiatan wisata selam, seperti stasiun III (Coral Garden) dan VIII (Katupat). Walaupun stasiun II rendah dalam tutupan terumbu karang, kawasan ini difungsikan sebagai pelatihan diving bagi diver pemula, sementara kawasan terumbu karang Teluk Kilat digunakan sebagai kawasan kegiatan pendidikan terutama dengan adanya Daerah Perlindungan Laut (DPL). Walaupun kawasan wisata Bomber 24 kurang potensial dalam kegiatan wisata selam berdasarkan syarat tutupan komunitas karang, namun karena daerah ini memiliki keunikan (nilai) sejarah sehingga kegiatan wisata selam masih sangat sesuai dan intensif dilakukan. Gambar 14 menunjukkan bahwa persentase tutupan komunitas terumbu karang di lokasi wisata snorkeling gugus Pulau Togean berada kondisi sedang (Stasiun XII) sampai pada kategori sangat baik (stasiun IX). Rata-rata persentase tutupan komunitas karang mencapai %. Persentase tertinggi karang mati ditemukan pada stasiun XII dan yang terendah serta kondisi berpasir tertinggi pada stasiun X. Sementara rata-rata persentase tutupan karang keras di lokasi ekowisata snorkeling mencapai % (Lampiran 3). Lokasi dengan tingkat kerusakan yang tinggi pada terumbu karang umumnya yang tidak jauh dari daratan ataupun daerah pemukiman. Limbah hotel, rumahtangga dan lainnya masuk ke perairan pesisir melalui aliran air tanah dan permukaan, tergantung pada konsentrasi dan jalur aliran air mengalir (Burnett et al. 2003). Hasil Marine Rapid Assessment Program (MRAP) tahun 1998 terhadap 10 lokasi terumbu karang berhasil mengidentifikasi sedikitnya 262 spesies karang yang tergolong ke dalam 19 familia, 76 genus (12 genus= 56% yang dominan) pada 25 titik terumbu karang yang tersebar di Kepulauan Togean. Selain itu, terdapat jenis karang endemik Togean, yaitu Acropora togeanensis pada 11 titik pengamatan terumbu karang, 6 jenis karang baru juga ditemukan di Kepulauan Togean (Allen and McKenna 2001). Berdasarkan hasil penelitian Wallace et al. (2000) dalam Zamani et al. (2007) dari total 91 jenis Acropora yang ditemukan di Indonesia (merupakan tertinggi di dunia), 78 diantaranya terdapat di Kepulauan Togean. Terkait dengan luas terumbu karang di Taman Nasional Kepulauan Togean, hasil estimasi luasan terumbu karang dari citra satelit tahun 2001 adalah ha dan tahun 2007 sebesar ha atau terjadi penurunan sampai ha

104 87 atau 11.72% (1.67% per tahun). Namun menurut Zamani et al. (2007), diperkirakan hasil estimasi ini lebih rendah dari kondisi sebenarnya karena keterbatasan metoda penginderaan jauh yang hanya dapat mendeteksi hingga kedalaman 25 meter dan bagian datar saja, sementara luasan terumbu karang yang berbentuk dinding (wall) sulit dideteksi sensor satelit. Laporan RDTK Togean menyatakan luas terumbu karang di Kepulauan Togean yakni ha dan % berada di pulau Togean. Berdasarkan data MRAP 1998 (Allen and McKenna 2001), Laporan Monitoring dan Evaluasi Biologi tahun 2004 di Teluk Kilat (CII 2006), hasil penelitian Zamani et al. (2007) dan hasil penelitian ini untuk stasiun yang sama, diperoleh laju pertumbuhan terumbu karang sebesar 0.15 dan laju degradasi terumbu karang sebesar 0.05 (Lampiran 3). Kerusakan terumbu karang juga terlihat dari perbandingan hasil survei kelautan yang dilakukan oleh CII tahun 1998 dengan 2004 pada beberapa lokasi yang sama menunjukkan adanya penurunan kualitas terumbu karang di Kepulauan Togean. Penurunan persentase tutupan karang hidup (hard coral) selama 6 tahun terakhir mencapai % atau sekitar 2.09 % tiap tahun, sedangkan tutupan karang mati (dead coral) meningkat sekitar 8.38 % atau ratarata 1.39 % tiap tahun. Namun jika dianalisis secara seksama kondisi riel terumbu karang di Kepulauan Togean pada 10 tahun terakhir, perbandingan hasil pengamatan MRAP pada tahun 1998 dengan hasil survei lapang pada tahun 2007, penurunan luas ini tidak selalu menyebabkan terjadinya penurunan persentase tutupan terumbu karang pada setiap stasiun pengamatan. Penurunan persentase penutupan terumbu karang terjadi di Teluk Kilat dan perairan di sebelah selatan Pulau Togean. Sementara di stasiun pengamatan lainnya menunjukkan penambahan luas persentase penutupan terumbu karang. Penurunan luas penutupan terumbu karang di Teluk Kilat kemungkinan terjadi karena di wilayah tersebut terdapat usaha budidaya tiram dalam skala usaha yang cukup besar, sedangkan di perairan Pulau Togean penurunan luas penutupan terumbu karang terjadi karena adanya aktivitas nelayan yang memakai alat tangkap yang merusak (Zamani et al. 2007). Hasil survei lapang tahun 2007 menunjukkan bahwa perairan di sebelah utara Pulau Togean, di antara Pulau Kadidiri dan Pulau Langkara, terjadi peningkatan persentase penutupan karang yang cukup tinggi, baik dari jenis karang lunak

105 88 maupun karang batu. Kawasan ini merupakan kawasan yang dikelola oleh sebuah resort. Penambahan luas penutupan terumbu karang terutama terjadi pada stasiun yang juga merupakan titik-titik penyelaman wisata diving dari resort-resort yang terdapat di Kepulauan Togean (Zamani et al. 2007). Hal ini menunjukkan bahwa kawasan terumbu karang yang digunakan sebagai titik penyelaman justru lebih terjaga kelestariannya karena masyarakat tidak dapat masuk ke kawasan tersebut untuk menangkap ikan dengan alat-alat yang merusak/bom Mangrove Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem utama PPK sangat berperan bagi fungsi ekologis dan fungsi ekonomis. Salah satu fungsi ekologi mangrove yakni tempat pemijahan dan asuhan bagi berbagai macam biota, sehingga dalam ekosistem ini memiliki keunikan dalam keanekaragaman hayati yang dapat dimanfaatkan secara ekonomis. Kondisi mangrove yang unik dapat dikembangkan sebagai sarana wisata dengan tetap menjaga keaslian hutan serta organisme yang hidup di sana. Secara operasional, hal ini dapat diidentifikasi melalui pengukuran kerapatan mangrove, jenis mangrove, dan fauna yang berasosiasi. Kerapatan hutan mangrove di gugus Pulau Togean disajikan pada Gambar Kerapatan (100m2) Rhizophora apiculata Rhizophora stylosa Rhizophora mucronata Bruguiera gymnorrhyza Sonneratia alba Avicenia alba Xylocarpus granatum Lumnitzera litorrea Ceriops tagal Heritiera littolaris Nipah fruticans Pandanus tectoris Jenis Mangrove ST I (Tobil) ST II (Teluk Kilat) ST III(Bangkagi) ST IV(Sel.Kabalutan) ST V(P.Mogo Besar) ST VI(Selat Lebiti) Gambar 15 Kerapatan hutan mangrove menurut stasiun pengamatan di gugus Pulau Togean

106 89 Gambar 15 menunjukkan bahwa jenis mangrove yang memiliki kerapatan tertinggi untuk seluruh stasiun pengamatan yakni jenis Rhizophora apiculata, lalu jenis Rhizophora mucronata. Beberapa stasiun pengamatan yang memiliki tingkat kerapatan mangrove tertinggi dari jenis Rhizophora apiculata yakni stasiun VII (Teluk Kilat), X(Bangkagi), XI(Selat Kabalutan) dan XIV(selat Lebiti). Namun jika diperbandingkan antar stasiun tanpa melihat jenis mangrove yang dominan, diketahui stasiun VII memiliki total kerapatan mangrove tertinggi yakni individu/100 m 2, lalu stasiun XI individu/100 m 2, sementara yang terendah yakni stasiun XII sebesar 9.52 individu/100 m 2 (Lampiran 4). Hasil penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya, ditemukan 33 spesies mangrove di Kepulauan Togean yang terdiri dari 19 spesies mangrove sejati (true mangrove) dan 14 spesies mangrove ikutan (asociate mangrove). Ke-33 jenis mangrove tersebut dikelompokkan dalam 26 genus dan 21 familia. Sementara luas hutan mangrove Kepulauan Togean diperkirakan sekitar ha yang tersebar di beberapa pulau besar seperti Talatakoh, Togean, Batudaka, dan sebagian pulau Walea Bahi. Keberadaan hutan mangrove di Kepulauan Togean selain menjaga keutuhan garis pantai juga menyokong potensi perikanan dan ekosistem terumbu karang yang menjadi andalan kehidupan masyarakat Togean (BKSDA dalam Adhiasto 2001). Luasan mangrove yang diestimasi dari hasil klasifikasi citra satelit tahun 2001 dibandingkan dengan hasil klasifikasi peta citra tahun 2007 menunjukkan bahwa terjadi penurunan luas mangrove dari ha turun menjadi ha, atau selama 6 tahun terjadi penurunan luas mangrove sebesar ha (5.11 % dari luas pada tahun 2001 atau % per tahun). Ekosistem mangrove tersebar hampir di sepanjang garis pantai pulau-pulau yang ada di Kepulauan Togean. Wilayah pesisir yang paling banyak memiliki ekosistem mangrove berturut-turut adalah sepanjang garis pantai Pulau Togean (hutan mangrove terluas); kawasan pesisir antara Pulau Togean dengan Pulau Batudaka (Selat Lebiti) dan antara Pulau Talatakoh dengan Pulau Togean (Selat Kabalutan) (Zamani et al. 2007). Laporan RDTK Togean tahun 2007, luas mangrove Pulau Togean diperkirakan ha atau 58.48% dari total luas mangrove di TNKT. Atraksi wisata alam terkait dengan keberadaan hutan mangrove di gugus Pulau Togean yakni pembuatan jembatan kayu (mangrove boardwalk) menyusuri hutan bakau di desa Lembanato. Kegiatan

107 90 tersebut tahun 1999 Jembatan Ekowisata Togean (JET) dianugerahi British Airways Award untuk kategori Highly Recommended Tourism for Tomorrow. Atraksi jembatan bakau dikelola kelompok Wakatan, namun karena pengelolaan yang tidak efektif dan optimal, jembatan kayu tersebut telah mengalami kerusakan. Jenis fauna yang dapat dijadikan atraksi ekowisata di kawasan mangrove Kepulauan Togean meliputi (BKSDA 2004): (1) jenis mamalia: rusa (Cervus timorensis), monyet togean (Macaca togeanus), kus-kus beruang (Phalanger ursinus), tarsius (Tarsius spectrum), dan babi rusa (Babyrousa babirussa), (2) jenis burung: bangau hitam (Ciconia episcopus), bangau tongtong (Leptoptilus javanicus), roko-roko (Plegadis falcinellus), elang laut (Haliastur indus), maleo (Macrocephalon maleo), ayam hutan (gallus gallus), nuri (Trichoglossus ornatus), dan gosong (Megapodius cumingii), (3) jenis reptil: biawak togean (Varanus salvator togeanesis), dan buaya muara (Crocodilus porosus) Ikan Karang Kepulauan Togean mempunyai keragaman jenis ikan yang sangat tinggi. Ikanikan yang ada di Kepulauan Togean umumnya berasosiasi dengan ekosistem terumbu karang, sehingga kesehatan terumbu karang juga akan menentukan keberadaan dari ikan tersebut. Hasil MRAP di Kepulauan Togean tahun 1998 yang dilakukan oleh Allen and McKenna (2001) berhasil mengidentifikasi jenis ikan terumbu karang di Kepulauan Togean tercatat 596 spesies ikan yang termasuk dalam 62 familia. Jenis Paracheilinus togeanensis dan Escenius sp. diduga kuat merupakan endemik yang hanya bisa ditemukan di Kepulauan Togean. Selain itu juga tercatat 555 spesies molusca dari 103 familia, 336 gastropoda, 211 bivalvia, 2 chephalopoda, 2 schaphopoda, dan 4 spesies chiton. Zamani et al. (2007) melakukan pengamatan ikan karang dengan mendata sebanyak 307 spesies dari 107 genus yang tergolong ke dalam 42 famili dari 13 lokasi di Kepulauan Togean yang umumnya merupakan jenis ikan yang berasosiasi dengan terumbu karang. Hasil pengamatan ini juga menemukan 10 famili ikan yang mempunyai kelimpahan yang paling tinggi (menguasai 72.3 % dari total ikan yang terdata) berdasarkan jumlah jenis adalah Pomacentridae (Damselfish), Acanthuridae (Surgeonfish), Chaetodontidae (Butterflyfish), Labridae (Wrasse), Serranidae (Groupers), Pomacanthidae (Angelfish), Scaridae (Parrotfish), Lutjanidae

108 91 (Snappers), Apogonidae (Cardinalfish), dan Holocentridae. Secara umum kondisi komunitas ikan karang termasuk dalam kategori sedang dan baik, hal ini dilihat dari stabilnya nilai indeks keseragaman (E) dan rendahnya nilai indeks dominansi (C) dengan nilai indeks keanekaragaman (H ) tergolong tinggi (Zamani et al. 2007). Berdasarkan lokasi pengamatan, Zamani et al. (2007) menemukan keragaman ikan karang yang tinggi di bagian utara Pulau Batudaka, bagian barat Pulau Una- Una dan selatan Pulau Togean. Rata-rata daerah ini memiliki penutupan karang diatas 50 %. Kelimpahan ikan karang di perairan Kepulauan Togean berkisar dari 114 individu/250 km 2 sampai dengan individu/250 km 2. Kelimpahan tertinggi terdiri dari 63 jenis sedangkan yang terendah terdiri dari 15 jenis. Adapun jumlah jenis tertinggi (76 jenis) dijumpai pada stasiun 3 dengan kelimpahan sebesar individu/250 km 2 (Lampiran 5). Berdasarkan genus ikan, jenis-jenis ikan karang di Kepulauan Togean juga cukup beragam, ditemukan 38 genus ikan yang ditemukan di 13 titik pengamatan, dan secara spasial kelimpahan tertinggi terdapat di utara perairan Kepulauan Togean (Zamani et al. 2007) Karakteristik Pantai Ekosistem pantai terletak antara garis surut terendah dan air pasang tertinggi dengan kondisi daerah substrat berbatu dan berkerikil hingga daerah berpasir aktif dan bersubstrat liat dan lumpur. Keempat kondisi pantai tersebut umumnya ditemukan di gugus Pulau Togean, namun pantai berpasir banyak dimanfaatkan untuk kegiatan wisata pantai/rekreasi di daerah ini. Berdasarkan pertimbangan tersebut, penelitian hanya mengkaji kawasan pantai yang memiliki potensi untuk kegiatan wisata rekreasi dan berjemur, sementara pantai yang memiliki karakteristik berlumpur dengan keberadaan hutan mangrove dilakukan kajian untuk wisata mangrove. Kondisi pantai di gugus Pulau Togean disajikan pada Tabel 15. Tabel 15 menunjukkan bahwa umumnya kawasan wisata pantai di gugus Pulau Togean merupakan pantai berpasir putih dengan panjang dan lebar pantai yang relatif terbatas jika dibanding dengan kawasan wisata di daerah lain. Kondisi pantai yang bervariasi dari yang relatif terjal, berbatu, dan pantai yang landai (berpasir putih dan ditumbuhi mangrove) serta di bagian teluk dan selat cukup banyak ditemukan mangrove dalam bentuk spot-spot dan lebar kawasan yang terbatas. Kepulauan Togean (kecuali Pulau Una-Una) merupakan bagian dari

109 92 rangkaian pulau karang yang membentang dari gugusan Pulau Peleng menuju daratan Sulawesi ke arah barat laut sampai Pulau Batudaka. Pulau-pulau karang di kawasan Teluk Tomini ini diduga terbentuk dari permukaan terumbu karang pada masa tersier dan kuarter (Bengen dan Retraubun 2006). Tabel 15 Karakteristik ekosistem pantai menurut stasiun pengamatan di gugus Pulau Togean Stasiun Pengamatan: No. Parameter II IV VIII XII(Mogo V (Karina) (P.Kadidiri) (P.Taipi) (Katupat) Besar) 1. Kedalaman perairan < 1 < 1 <1 < 1 < 1.5 pantai (m) 2. Lebar pantai (m) Panjang pantai (m) Kecepatan arus (m/dt) Ketinggian pantai (mdpl) 6. Kemiringan pantai ( o ) Kecerahan perairan (%) Material dasar perairan Pasir Pasir Pasir Pasir Batu 9. Tipe pantai Pasir putih, landai 10. Penutupan lahan pantai Lahan terbuka dan kelapa Pasir putih, landai Lahan terbuka dan kelapa Pasir putih, landai Lahan terbuka dan kelapa Pasir putih, landai Lahan terbuka dan kelapa berpasir Karang, lumpur, kurang landai Semak belukar, sedikit mangrove 11. Jenis Biota berbahaya Bulu babi Sumber: Data Primer Yang Diolah Kawasan pesisir di sekitar kepulauan Togean ditutupi oleh terumbu karang yang makin ke timur masih dapat ditemukan sampai kedalaman 100 m dan bagian barat di kedalaman 50 m. Rataan terumbu (reef flat) setelah kawasan pantai berpasir menuju laut relatif terbatas dan hampir tidak pernah melebihi 200 m (Pramono 1996). Suhardi (2004), bahwa rombakan terumbu karang merupakan sumber sedimen yang penting untuk pantai-pantai berpasir pada PPK Indonesia. Sedangkan untuk pulau-pulau besar, deposit sedimen sementara (sediment storage) dijumpai dalam bentuk delta yang selanjutnya didistribusikan oleh energi gelombang lokal akibat angin musim. Sedimen di kawasan hutan mangrove mengindikasikan tempat sedimen akhir diendapkan (sediment sink) (Pramono 1996). Secara alami pantai berfungsi sebagai pelindung kawasan pesisir secara alami terhadap serangan energi gelombang. Terjadinya perubahan garis dan kedalaman

110 93 pantai menurut Suhardi (2004) disebabkan oleh ketidakseimbangan antara kekuatan energi gelombang dan energi lain dengan kemampuan sedimen di pantai dalam menyerap dan memantulkan energi tersebut. Terkait dengan kegiatan wisata, keberadaan pantai sangat penting dalam kenyamanan dan keberlanjutan berwisata, serta sebagai perlindung bagi fasilitas wisata pesisir. Oleh karena keterbatasan data series mengenai perubahan garis pantai setiap tahun, maka dalam penelitian ini menggunakan sumber data primer. Data primer ini berasal dari pengalaman pengelola wisata yang telah menjalankan usahanya lebih dari 10 tahun terhadap perubahan garis pantai berpasir, dimana berkisar antara cm per tahun. Somerville et al. (2003) menyatakan bahwa selain karakteristik fisik pantai berpasir, kesesuaian wisata pantai juga memerlukan pengukuran terhadap estetika kebersihan (kesehatan) pantai dari sisi unsur yang dapat menyebabkan penyakit bagi turis. Terkait dengan kesehatan pantai tersebut, diperlukan 7(tujuh) parameter khusus yakni sisa-sisa kotoran rumahtangga, sampah dengan zat berbahaya (ada unsur melukai, misalnya pecahan kaca), sampah ukuran besar (pohon), sampah umum (kertas, botol dan lainnya), sampah berbahan bakar minyak, feces, dan sampah bentuk lain. Wong (1991), beberapa faktor fisik yang dapat dipertimbangkan dalam mengelola wisata pantai yakni pasang surut, gelombang, pola arus, karakteristik pesisir dan pantai, serta zonasi lingkungan pesisir. Terkait dengan kebutuhan air bersih untuk kegiatan wisata pesisir di Kepulauan Togean, umumnya memperoleh air bersih yang bersumber dari mata air, atau pengadaannya dari desa lain seperti Wakai dan Katupat dengan sistem penampungan air, diangkut menggunakan speedboat dari sumber ke lokasi wisata. Kendala sumber dari mata air, pada musim kemarau air bersih umumnya mengering, sementara sumber air dari aliran sungai terbatas dengan menyusutnya daerah tangkapan air terutama di sekitar mata air dan aliran sungai akibat pembukaan hutan untuk lahan-lahan perkebunan Karakteristik Usaha Wisata Pesisir Beberapa usaha wisata pesisir yang cukup dikenal oleh para wisatawan di gugus Pulau Togean adalah Black Marlin Dive, Paradise Cottages, Lestari Cottages, Bolilanga Cottages dan Togean Dive Resort. Beberapa investor telah mengembangkan usaha jasa wisata, terutama penyediaan tempat penginapan dan

111 94 penyewaan peralatan diving dan snorkeling. Selain menyediakan akomodasi, dan penyewaan alat-alat wisata pesisir, cottages ini juga melayani perjalanan wisatawan dari dan ke daerah wisata lainnya atau pun kepulangan di negara asal. Keadaan usaha wisata di gugus Pulau Togean selengkapnya disajikan pada Tabel 16. Tabel 16 Keadaan usaha wisata di gugus Pulau Togean No. Uraian Rata-rata Kisaran Standar Deviasi Keterangan 1. Umur Usaha (tahun) Total Modal Awal (Rp juta) Modal Sendiri = %; Modal Sendiri + Pinjaman = %; Akses modal = 3. Penerimaan per turis (Rp juta) Susah (50 %) Belum termasuk keuntungan dari kursus diving 4. Keuntungan per turis (Rp ribu) Setelah dikurangi pajak 5. Lama menginap (hari) Tergantung rute perjalanan 6. Pajak usaha (Rp ribu) % dari penerimaan /turis/kunjungan 7. Jumlah kunjungan wisman (orang/tahun) Berfluktuasi antar usaha wisata 8. Jumlah tenaga kerja (orang) Sumber TK: Lokal = 50%. Lokal+Luar = 50% 9. Upah Tenaga Kerja Lokal (Rp ribu/bulan) Upah TK luar > TK lokal - UMP = Rp /bln 10. Nilai ekonomi wisata pesisir bagi masyarakat lokal per tahun Rp Trend bisnis usaha wisata pesisir Meningkat = 33.33%; Konstan = 66.67% 12. Kepemilikan usaha 66.67% Lokal Togean 33.33% Luar Togean 13. Trend permintaan wisatawan mancanegara Meningkat = 83.33%; Konstan = 16.67% 14. Trend permintaan wisatawan lokal Konstan=100% 15. Dukungan promosi dan prasarana dari pemerintah Ada kurang = 66.67%; Tidak ada = 33.33% 16. Usaha turunan yang terkait dengan masyarakat lokal Ada kurang =33.33%; Tidak ada = 66.67% 17. Tingkat pengetahuan pengusaha terhadap ekowisata pesisir Tahu = 66.67% Tidak Tahun = 33.33% 18. Adakah konflik penggunaan wilayah untuk wisata Kadangkadang=66.67%; Tidak ada = 33.33% 19. Rataan Pajak usaha wisata (Rp per tahun) juta 20. Ketersediaan fasilitas yang terkait dengan pengolahan limbah (Septictank, bak sampah dan penanganannya) Catatan: Jumlah usaha wisata (N) = 6 unit usaha wisata Sumber: Data Primer Yang Diolah Ada=100%

112 95 Tabel 16 menunjukkan bahwa keberadaan usaha wisata di gugus Pulau Togean telah ada sejak 20 tahun yang lalu, sehingga berdasarkan pengalaman berusaha tersebut diharapkan mampu mengembangkan usahanya seiring peningkatan kunjungan wisatawan secara global nasional. Namun jika dilihat kontribusi usaha wisata terhadap perekonomian daerah, nampaknya keberadaan usaha wisata tersebut belum memiliki dampak yang signifikan. Hal ini ditunjukkan oleh minimnya usaha-usaha turunan yang tumbuh di masyarakat lokal. Usaha yang dilakukan masyarakat saat ini masih terbatas pada penyediaan homestay dan penyewaan perahu saja, serta penyediaan bahan baku makanan terutama penyediaan ikan bagi usaha cottage. Usaha homestay hanya dilakukan jika wisatawan asing memilih untuk menginap di rumah penduduk dibandingkan cottage. Usaha penyewaan perahu dilakukan oleh masyarakat sekitar banyak diminati oleh wisatawan karena lebih murah dibandingkan penyewaan speedboat yang digunakan untuk transpor lokal di berbagai kawasan wisata di Kepulauan Togean. Namun, penyediaan homestay, penyewaan perahu dan kelebihan tenaga kerja hanya berlangsung pada saat musim puncak (peak season), dimana seluruh cottage telah terisi penuh. Saat low season, satu dari delapan tenaga kerja yang dipakai di usaha wisata (biasanya tenaga kerja harian) biasanya mencari pekerjaan lain di luar usaha wisata, misalnya sebagai nelayan dan ojek darat. Kontribusi ekonomi usaha wisata bagi pemerintah daerah diperoleh dalam bentuk pajak per tahun. Sistem pembayaran pajak usaha yakni 25 % dari penerimaan usaha wisata dari seorang turis merupakan penerimaan daerah setempat. Diperkirakan setiap tahun untuk seluruh usaha wisata pesisir di gugus Pulau Togean menyetorkan pajaknya (pajak restoran dan penginapan) rata-rata Rp juta (kisaran Rp juta). Namun hasil wawancara dengan pejabat (di tingkat kecamatan) terkait dengan pengumpulan pajak, ada oknum pengusaha wisata yang melaporkan jumlah wisatawan yang berkunjung dan penerimaannya dari usaha wisata di bawah dari realitas. Ini berarti bahwa nilai pajak yang seharusnya dibayarkan dapat melebihi nilai tersebut di atas. Selain itu, diperoleh informasi bahwa 25 % dari total penerimaan pajak usaha wisata akan dialokasikan sebagai dana konservasi sumberdaya alam di TNKT.

113 Perkembangan Kunjungan Wisatawan Kepulauan Togean memiliki potensi besar di sektor pariwisata, khususnya bagi wisatawan yang ingin menikmati pemandangan bawah laut. Wisatawan mancanegara (wisman) sangat tertarik mengunjungi Togean karena sekaligus dapat menikmati keindahan di darat dan laut. Kedatangan wisman berlangsung sejak lebih dari 10 tahun lalu, dan makin berkembang pada pertengahan tahun 1990-an. Kebanyakan dari mereka adalah wisatawan lepas (backpacker) yang datang ke Indonesia tanpa melalui Biro Perjalanan Wisata (BPW). Selain wisman, wisatawan domestik yang datang ke Togean untuk tujuan wisata masih sangat terbatas jumlahnya dan belum terdata dengan baik. Kedatangan wisatawan domestik pun umumnya untuk tujuan berusaha/wiraswasta dan kunjungan kerja (instansi pemerintah). Kunjungan wisman berfluktuasi dalam setahun, dimana musim puncak kedatangan biasanya terjadi pada bulan Agustus dan terendah pada bulan Desember setiap tahun. Fluktuasi kunjungan wisman berdasarkan data bulan oktober tahun 2007 sampai september 2008 disajikan pada Gambar 16. Jumlah Turis Asing (orang) OKT NOP DES JAN PEB MAR APRL MEI JUNI JULI AGST SEPT Bulan Gambar 16 Periode kunjungan wisman dalam setahun di Kepulauan Togean (Disbudpar Kabupaten Tojo Una-Una 2008) Gambar 16 menunjukkan bahwa penurunan kunjungan pada September sampai Mei selain disebabkan oleh akhir dari periode liburan, juga disebabkan oleh cuaca yang kurang baik di wilayah Kepulauan Togean pada umumnya seperti masuknya musim hujan, badai dan ombak yang tinggi. Dinamika kunjungan wisatawan dan kegiatan wisata pesisir di kawasan wisata PPK tropis umumnya

114 97 ditentukan kondisi iklim (hujan dan matahari) dan perubahan faktor hidrooseanografi (Dodds 2007). Wong (1998) menyatakan bahwa perubahan (pergantian) dalam hal kondisi gelombang laut, pergeseran pasir dan arus, level air sungai dan musim penangkapan ikan di Asia Tenggara, secara umum terkait dengan sistem musim angin. Wisman yang berkunjung ke wilayah kepulauan tropis umumnya melakukan kegiatan wisata yang terkait dengan laut (terumbu karang, mangrove dan biota lainnya), matahari (berjemur) dan pantai berpasir atau dikenal dengan 3S (sea, sun dan sand). Mieczkowski s (1985) dalam Scott et al. (2004) memperkenalkan tourism climate index (TCI) yang memberikan bobot 50 % pengaruh hujan, matahari dan angin dalam kegiatan wisata pesisir. Kegiatan wisata pesisir yang baik (sesuai) dan umum dilakukan turis menurut Scott et al. (2004) yakni intensitas dan lama hari hujan lebih sedikit, matahari bersinar lebih lama dan angin disesuaikan dengan kondisi. Kunjungan wisatawan mancanegara ke Kepulauan Togean dalam kurun waktu tahun jumlahnya berfluktuasi. Peningkatan kedatangan wisman tertinggi terjadi pada tahun 2001 (186 %) dan menurun drastis sampai 38 % pada 2002 (Lampiran 6). Penurunan jumlah kunjungan ini disebabkan karena terjadinya kerusuhan Poso pada tahun Namun karena lingkungan yang sangat alami sehingga daya tarik utama wisata berada pada karakteristik sehingga pada 2003 jumlah kunjungan kembali meningkat mencapai angka wisman. Selain mengkaji jumlah kunjungan wisatawan, penelitian ini juga menganalisis perilaku wisatawan yang berkunjung ke Pulau Togean. Perilaku tersebut terkait dengan persepsi turis terhadap atraksi (obyek) wisata, penilaian terhadap perilaku masyarakat lokal, pelayanan usaha wisata, ketersediaan prasarana dan sarana serta peranan kelembagaan pemerintah dalam pengelolaan ekowisata pesisir (selengkapnya disajikan pada Tabel 17). Tabel 17 menunjukkan bahwa wisatawan yang berkunjung ke Togean umumnya berasal dari negara-negara di Benua Eropa. Secara spesifik, negara asal wisatawan yang terbanyak berasal dari Jerman (12.00 %), selanjutnya Perancis dan Spanyol masing-masing %. Rata-rata pendapatan per bulan wisman yang berkunjung ke gugus Pulau Togean US$ atau berkisar antara US$ dengan pekerjaan wisatawan didominasi pekerjaan di bidang swasta (tidak

115 98 diperinci secara jelas oleh wisatawan). Terkait dengan obyek wisata, wisatawan memiliki persepsi yang baik tentang alam dan lingkungan masyarakat sebagai atraksi wisata di Togean sehingga untuk mempertahankan kelestarian alam tersebut, seluruh wisatawan bersedia membayar fee untuk upaya konservasi. Sebaliknya upaya melakukan promosi akan eksistensi obyek wisata pesisir dan Taman Nasional Kepulauan Togean oleh pihak pemerintah dinilai oleh wisatawan masih sangat minim. Hal ini juga dikemukakan oleh Kasim (2008) bahwa pengetahuan dan sumber informasi tentang obyek wisata Pulau Togean oleh wisatawan umumnya diperoleh dari promosi pengelola cottage dan informasi teman yang pernah berkunjung ke lokasi ini. Tabel 17 Tingkat persepsi wisatawan terhadap atraksi dan pelayanan ekowisata pesisir di gugus Pulau Togean No. Uraian Keterangan 1. Distribusi asal wisatawan Eropa=86.62%; Amerika=6.02%;Afrika=0.33%; Asia=3.01% Australia-Oceania=4.01% 2. Umur (tahun) Rata-rata= 36; kisaran= Income/bulan wisman (US$) Rata-rata= ; Kisaran= Distribusi jenis pekerjaan wisatawan Swasta=42%; Pelajar=10%; Pengajar= 14%; Pensiunan=8%; Pekerja Bank=6%, lainnya=6% sisanya = peneliti, enginer, tenaga medis, diver dan pelaut. 5. Alasan berwisata ke Togean Keindahan dan kealamiahan alam=100% 6. Penilaian terhadap obyek wisata Sangat baik = 100% 7. Penilaian obyek wisata Togean dibanding Lokasi lain Better = 32%; Same= 48%; Worse= 16%; Raguragu= 4% 8. Persepsi turis terhadap masyarakat lokal Baik = 91.3%; Sedang = 8.7% 9. Pelayanan usaha wisata terhadap wisatawan Sedang = 50% 10. Penilaian terhadap living cost di Togean Rendah-sedang (US$ ) 11. Kesediaan membayar fee untuk konservasi Bersedia= 100%; Tidak bersedia=0% sumberdaya alam di TNKT 12. Penilaian terhadap promosi wisata Baik =0%; sedang=80%;buruk=20% Catatan: Jumlah Contoh Wisatawan (N) 50 orang Sumber: Data Primer Yang Diolah Karakteristik Sosial dan Budaya Masyarakat Lokal Karakteristik sosial budaya masyarakat lokal yang dikaji dalam penelitian ini terkait dengan kondisi penduduk, etnis dan nilai budaya serta sistem interaksi sosial. Karakteristik sosial budaya ini selanjutnya dapat mempengaruhi penerimaan atau pun penolakan kehadiran orang luar di lingkungannya, produktivitas kerja, dan nilai tambah bagi kepariwisataan di daerah setempat.

116 99 A. Perkembangan Jumlah Penduduk Penelitian ini mengkaji jumlah penduduk dan karakteristik sosial budaya masyarakat yang berdiam di gugus Pulau Togean. Perkembangan jumlah dan kepadatan penduduk di Kecamatan Togean disajikan pada Lampiran 6. Lampiran 6 menunjukkan bahwa jumlah penduduk di Kecamatan Togean pada tahun 2007 adalah berjumlah jiwa yang tesebar di 14 Desa dengan kepadatan rata-rata 43 jiwa per km 2. Jumlah kepadatan tertinggi berada di Desa Tongkabo (222 jiwa per km 2 ) dan yang terendah berada di Desa Benteng (14 jiwa per km 2 ). Jumlah rumahtangga terdiri atas rumah tangga, dengan rata-rata jumlah jiwa perumahtangganya adalah 4 jiwa. Kecuali Desa Bangkagi dan Desa Tobil sebanyak 5 jiwa per rumah tangga. Berdasarkan data tahun , ratarata laju pertumbuhan penduduk di Kecamatan Togean yakni 3.81 % pertahun. Secara umum perkembangan jumlah dan kepadatan penduduk di Kecamatan Togean meningkat, namun trend pertumbuhan menurun setiap tahunnya. B. Etnis dan Nilai Budaya Lokal Terkait dengan etnis dan nilai budaya, penduduk Togean memiliki latar belakang etnis yang beragam seperti Bobongko, Bajau, Saluan, Togean, Kaili, Bare e, Taa, Gorontalo dan Bugis. Etnis Bobongko, Bajau, Saluan dan Togean sering dianggap sebagai kelompok masyarakat asli Kepulauan Togean. Etnis Togean banyak mendiami wilayah bagian barat; etnis Saluan tersebar di beberapa desa kecamatan Walea Kepulauan. Masyarakat Bajau antara lain Kabalutan, Pulau Anam, Siatu, Milok; sementara etnis Bobongko tersebar di beberapa desa seperti Lembanato, Matobiyai dan Tumbulawa. Masyarakat Togean masih memiliki beberapa aturan dan praktek pengelolaan sumberdaya alam yang ramah lingkungan di daratan yang diperoleh secara turuntemurun guna kelestarian alam Togean. Ini merupakan bentuk-bentuk budaya lokal hasil dari proses adaptasi dan interaksi antara masyarakat Togean dan alamnya selama bertahun-tahun. Etnis Bajau dan Bobongko sangat mengenal lapangan kehidupan mereka, sehingga mereka mampu mensosialisasikan dan mempersepsikan lingkungan menjadi bagian dari sistem pengetahuannya. Laut bagi etnis Bajau dipandang sebagai bagian dari kehidupan, sehingga harus dijaga kelestariannya. Masyarakat Bajau juga melakukan bapongka, yaitu suatu kegiatan

117 100 mengumpulkan hasil laut yang dilakukan secara berkelompok, biasanya pergi untuk beberapa hari (atau minggu) (Hutabarat 2001). Etnis Bajau percaya dengan Umboh yang digambarkan sebagai lelaki perkasa yang melindungi kehidupan orang Bajau. Proses alam yang terjadi seperti gelombang laut yang tinggi, dan badai serta ikan yang berlimpah diyakini sebagai kemarahan kemurahan dari Umboh, sehingga kepercayaan ini diwujudkan dalam suatu pemberian sesajennya. Peralatan penangkapan ikan yang digunakan masyarakat Bajau umumnya ramah lingkungan seperti pancing (layang-layang, ladung dan tonda) pukat, bubu, sero, kanjai, panah, dan gogoro. Orang Bajau pergi melaut bukan semata-mata memburu atau menangkap ikan sebanyak-banyaknya, melainkan lebih kepada menikmati kehidupan laut dengan mengambil ikan secukupnya untuk dimakan. Sejauh kayuh sampan, sekuat tangan mendayung itulah prinsip seorang Bajau dalam melaut. Seperangkat aturan dalam mengatur tatacara melaut menunjukkan bahwa masyarakat Bajau tidak hanya mengambil ikan, tetapi juga membudidayakan ikan secara alami dengan cara mengembalikan ikan-ikan yang masih muda ke laut (Darnaedi 1996). Nilai dan kegiatan-kegiatan budaya tersebut dapat dijadikan sebagai modal konservasi dan potensi atraksi ekowisata yang berbasis budaya lokal. Etnis Bobongko memandang hutan (termasuk hutan mangrove) sebagai tempat keramat, karena hutan diyakini sebagai tempat tinggal leluhur yang merupakan pelindung dari kekuatan jahat atau malapetaka. Guna menjaga sistim perlindungan ini, maka daerah hutan keramat, disakralkan dan pantang dibuka. Hutan yang dapat dibuka adalah hutan Pangale dan Yopo (Darnaedi 1996). Pangale adalah hutan yang kondisi geografisnya tidak terlalu curam dan tidak terdapat tanda-tanda atau benda-benda yang dikeramatkan, dan dikelola secara bersama-sama. Sementara Yopo adalah hutan dengan kondisi yang sama, tetapi pengelolaannya secara privat dan sebagian dari hasil hutan tersebut dimasukkan sebagai kas desa. Aturan adat ini merupakan bagian dari penerapan hukum bayan dan aturan adat yang disebut gonggan pagaluman dalam pemanfaatan hutan sagu. Gonggan pogalumun merupakan salah satu contoh bahwa sistem adat memiliki kemampuan mengatur sumberdaya milik bersama secara berkelanjutan. Nilai kearifan lokal yang berlaku di kawasan hutan mangrove adalah setiap masyarakat dilarang melakukan penebangan hutan mangrove untuk tujuan

118 101 komersialisasi. Penggunaan mangrove (terutama kayu bakau, Rhizophora sp.) hanya ditujukan untuk keperluan masak dan bangunan rumah dengan aturan-aturan non formal. Aturan tersebut adalah (1) tidak boleh mengambil kayu bakau pada bagian luar (berbatasan langsung dengan laut), tetapi pada bagian dalam, (2) kayu bakau yang ditebang diutamakan pada pohon yang akan mengalami kematian dengan lingkar batang bawah lebih dari 1 meter, (3) volume penebangan dibatasi hanya untuk kebutuhan 1 (satu) rumahtangga, dan (4) pelanggaran ketiga ketentuan tersebut akan diselesaikan secara adat-istiadat dan jika tidak terselesaikan secara adat maka dilanjutkan ke pihak yang berwajib. Kearifan budaya pada dua kelompok masyarakat (etnis) ini terletak pada cara mengatur keseimbangan antara kebutuhan dan kesinambungan. Adat dan sistem kepercayaan/religi telah membungkus kearifan budaya melalui berbagai pantangan, kewajiban, dan sanksi, serta menjadi sistem pengetahuan dalam sistem budaya yang diyakini kebenarannya. Walaupun demikian, keberadaan nilai budaya lokal tersebut tidak selamanya langsung menghilangkan pelanggaran nilai budaya, oleh karena ada saja segelintir nelayan yang masih menggunakan bahan peledak untuk menangkap ikan karang di kawasan perairan gugus Togean. Selain itu, Laapo et al. (2007) menemukan masih adanya nelayan yang mengumpulkan teripang dan penangkapan ikan karang (umumnya kerapu) sampai kedalaman 20 m dilakukan pada malam hari dengan menggunakan alat kompresor dan cara bius. Pelanggaran sistem nilai budaya lokal atau penyimpangan perilaku segelintir masyarakat lokal dalam pemanfaatan sumberdaya alam disebabkan karena adanya intervensi dari orang luar. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian dari Sangadji (2010), adanya desakan kebutuhan dari dalam rumahtangga dan masuknya pihak luar sebagai pesaing dalam pemanfaatan sumberdaya alam menjadi penyebab penyimpangan perilaku dan terkikisnya budaya masyarakat Togean. Bahkan diduga bahwa pihak luarlah yang membawa bahan dan alat berbahaya (bom, potasium dan kompresor) untuk dioperasionalkan oleh nelayan lokal dengan sistem bagi hasil yang tidak menguntungkan nelayan. Satria (2009) menyatakan bahwa permasalahan praktek pemanfaatan sumberdaya PPK yang tidak bertanggungjawab terkait dengan persoalan ekonomi politik nelayan dengan pemodal, dan penegakan hukum.

119 102 C. Persepsi Masyarakat Lokal terhadap Kegiatan Wisata Persepsi masyarakat lokal terhadap keberadaan wisatawan terkait dengan tanggapan masyarakat akan nilai manfaat dan biaya sosial dan ekonomi yang akan diperoleh dari kunjungan wisatawan. Terkait dengan persepsi masyarakat terhadap ekowisata pesisir dan kehadiran wisatawan selengkapnya disajikan pada Tabel 18. Tabel 18 Persepsi masyarakat terhadap kegiatan wisata pesisir No. Uraian Keterangan 1. Pengetahuan tentang ekowisata Tahu & mengerti = 10%; Tahu, Tidak mengerti= 84%; Tidak tahu= 6% 2. Kontribusi usaha wisata ke masyarakat lokal Ada kontribusi= 30%; Tidak ada=70% 3. Masyarakat lokal yang bekerja di usaha wisata Ada= 38%; Tidak ada=62% 4. Partisipasi masyarakat terkait pengel SDA Ada=26%; Tidak ada= 74% 5. Persepsi ekonomi masyarakat dengan keberadaan wisatawan Menguntungkan= 28 %; Tidak ada pengaruh= 72%; Merugikan= 0% 6. Perubahan perilaku masyarakat dgn adanya turis Ada=18%;Tidak ada = 68%; Tidak tahu= 14% 7. Sikap masyarakat dengan kedatangan wisatawan Senang= 24%; Biasa saja= 72%; Acuh= 4% 8. Perubahan kualitas hidup masyarakat dengan Ada perubahan= 8%; Tidak ada= 82% adanya kegiatan wisata pesisir 9. Rasio wisatawan dengan masyarakat lokal 1:<10=10%; 1:<20=64%; 1:30=20%; 1:40=2%; 1:50=4% 10. Frekuensi konflik Sering = 4%; kadang-kadang=78; Tidak pernah= 18% Jumlah responden wisatawan (n) 50 orang (mancanegara) Sumber: Data Primer Yang Diolah Tabel 18 menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang wisata yang berbasis konservasi masih rendah. Selain itu, keberadaan usaha wisata pesisir dan wisatawan yang berkunjung ke kawasan wisata Togean belum memberikan kontribusi dan pengaruh yang nyata terhadap kualitas hidup masyarakat lokal. Tingkat partisipasi masyarakat dalam mengelola lingkungan dan usaha wisata pesisir masih rendah. Keberadaan wisman bagi masyarakat lokal masih dianggap biasa saja atau belum mempengaruhi secara nyata budaya lokal. Namun demikian, keberadaan wisman relatif menguntungkan, dimana beberapa pengelola transportasi lokal dan usaha wisata berupaya untuk meningkatkan pengetahuan mereka (belajar langsung dengan turis) terhadap bahasa umum yang digunakan untuk berkomunikasi dengan wisatawan. Keberadaan wisman juga belum memberikan pengaruh yang nyata terhadap pola dan gaya hidup masyarakat lokal. Hal ini disebabkan oleh antara lokasi usaha wisata dengan pemukiman masyarakat lokal relatif jauh, sehingga tingkat

120 103 pembauran antara turis dengan penduduk rendah dan pengetahuan masyarakat secara mendalam tentang pola hidup wisman juga sangat terbatas. Terkait dengan dampak kegiatan ekowisata pesisir terhadap kualitas hidup masyarakat lokal, menunjukkan bahwa pengaruhnya masih sangat kecil (8 %). Kelompok masyarakat yang memperoleh manfaat dan meningkat kualitas hidupnya dari kegiatan wisata pesisir adalah masyarakat lokal yang terkait langsung dengan pengelolaan usaha wisata seperti tenaga kerja lokal di cottage, sebagian kecil nelayan penyuplai ikan, pengusaha homestay dan transporter ataupun tourist guide (Depbudpar 2007) Kondisi Kelembagaan Pendukung Wisata Pesisir Kelembagaan merupakan suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Jika dikaitkan defenisi tersebut dengan ekowisata pesisir, maka kelembagaan dalam ekowisata pesisir adalah suatu sistem yang mengatur tata kelakuan dan hubungan (aturan) antara aktivitas wisata pesisir, pengusaha wisata, pemerintah dan masyarakat guna memperoleh manfaat (ekologi, ekonomi dan sosial) dari aktivitas wisata tersebut. Komponen kelembagaan ekowisata pesisir yang dikaji dalam penelitian ini yakni aturan pengelolaan sumberdaya di kawasan TNKT (tujuan konservasi SDA dan kesejahteraan masyarakat), aturan kegiatan usaha wisata pesisir, hak dan kewajiban seluruh pemangku kepentingan, peran fasilitator pemerintah, dan peran masyarakat terhadap kelestarian sumberdaya di gugus Pulau Togean. Untuk lebih jelasnya kondisi kelembagaan penunjang kegiatan ekowisata pesisir di gugus Togean disajikan pada Tabel 19. Tabel 19 menunjukkan bahwa belum ada aturan yang terkait langsung dengan pengelolaan TNKT secara khusus Rencana Pengelolaan Taman Nasional (RPTN) (dalam proses penyusunan kebijakan). Keterbatasan payung hukum tersebut dapat dieliminir dengan keberadaan tataruang wilayah dan pedoman pengelolaan sumberdaya di kawasan TNKT termasuk di dalamnya kegiatan pariwisata bahari di daerah, seperti Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kabupaten Tojo Una-Una, Rencana Detail Tata Ruang Kawasan (RDTK) Togean dan Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPPDA) Kabupaten Tojo Una-Una.

121 104 Tabel 19 Kondisi kelembagaan penunjang kegiatan ekowisata pesisir di gugus Pulau Togean No. Uraian 1. Peraturan dan pedoman pengelolaan pariwisata di Taman Nasional Kepulauan Togean Keterangan - SK Menteri Kehutanan RI No.418 /Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober 2004 tentang perubahan Fungsi dan Penunjukkan sebagai kawasan TNKT. - RTRW Kab. Tojo Una-Una - RDTRK Kepulauan Togean - Master Plan Pengembangan Pariwisata Daerah Kab. Tojo Una-Una - Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah yang terkait 2. Zonasi Taman Nasional Kepulauan Togean Belum ada 3. Keberadaan Daerah Perlindungan Laut (DPL) 1 kawasan di Desa Lembanato 4. Penyuluhan konservasi, ekowisata dan hukum 1-2 kali setahun 5. Ketersediaan personil penegak hukum di TNKT 2 orang per kecamatan/uptd 6. Intensitas pelanggaran hukum 1-2 kali setahun 7. Fungsi penegakan hukum oleh aparat Kadang-kadang (1 dari 3 pelanggaran) 8. Peran pemerintah dalam promosi Festival Togean (1x setahun) 9. Penyediaan prasarana penunjang Kurang tersedia (60.00%) Sumber: Data Primer Yang Diolah 2009; TNKT Sistem zonasi untuk tujuan konservasi sumberdaya laut di kawasan TNKT masih dilakukan dalam lingkup (skala) kecil yakni dengan keberadaan Daerah Perlindungan Laut (DPL), dan terbatas pada dua desa. Sementara desa lain menilai keberadaan DPL sebagai salah satu cara pemerintah dalam membatasi masyarakat lokal dalam pemanfaatan SDA di Kepulauan Togean. Di lain pihak, keberadaan DPL harus dioptimalkan sehingga target mengurangi degradasi, mempertahankan dan meningkatkan luas kawasan konservasi. Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahap II, Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut memfokuskan tugas pokok dan fungsi di bidang pengelolaan konservasi kawasan dan jenis ikan sampai luas 5 % dari total wilayah perairan Indonesia dapat terpenuhi. Secara nasional program konservasi dan pemanfaatan PPK untuk tujuan konservasi sumberdaya didukung oleh UU RI No.5/1990 tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, UU RI No.27/2007 tentang pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil, UU RI No.45/2009 tentang Perikanan, dan PP No.60/2007 tentang konservasi sumberdaya ikan. Upaya penyuluhan dan pemberian pemahaman tentang konservasi SDA dan hukum oleh pihak pemerintah dan non-pemerintah (NGO) kepada masyarakat lokal masih sangat sulit dan terbatas. Hasil penelitian Sangadji (2010), bahwa terjadi bias

122 105 dan distorsi dalam proses penyampaian informasi yang sangat tajam tentang fungsi, peran, manfaat dan pengelolaan TNKT kepada masyarakat mulai dari proses sosialisasi hingga pengadopsian informasi tentang TNKT. Selain itu, persepsi dan koordinasi (program dan budget) antar pelaku penyelenggara baik tingkat pusat (Balai TNKT) maupun pemda nampak belum berjalan dengan baik sehingga terjadi reaksi prokontra yang mengarah pada opini negatif terhadap keberadaan TNKT. Terkait dengan peran dan keterlibatan pemangku kepentingan lain seperti NGO, swasta dan masyarakat lokal dalam proses pembentukan TNKT, juga memberi perbedaan bahkan lebih bersifat antagonistik. Hal ini ditunjukkan dengan terjadinya beberapa kasus seperti ketidak-sepahaman antara pemerintah pusat dan daerah tentang pengelola TNKT, NGO lokal yang tidak sepenuhnya percaya tentang maksud baik pembentukan TNKT, lalu NGO lain (CII) yang selama ini mendampingi masyarakat Pulau Togean dan dianggap memiliki andil dalam penetapan TNKT, serta merta meninggalkan kawasan ini dengan alasan masa kontrak selesai. Selain itu, terjadi konflik horisontal antar pengguna sumberdaya laut seperti pihak swasta (perusahaan mutiara dan usaha wisata Walea Dive Resort) dengan masyarakat lokal. Kondisi ini memunculkan opini di dalam masyarakat bahwa keberadaan TNKT dan pemberian izin kepada swasta akan menyebabkan hilangnya pekerjaan yang turun-temurun digeluti akibat adanya pembatasan akses dalam memanfaatkan sumberdaya laut. Peran pemerintah (pusat dan daerah) dalam penyediaan prasarana pariwisata didasarkan pada INPRES No.16/2005 tentang kebijakan pembangunan kebudayaan dan pariwisata. Sarana transportasi yang menuju daratan Sulawesi (Ampana dan Gorontalo) atau pulau lain melalui kapal-kapal penumpang umum yang tersedia saat ini melayani rute pelayaran Ampana-Togean-Gorontalo-Pangimana-Bunta, atau sebaliknya. Selain itu terdapat rute yang melayani Ampana ke dalam kawasan Kepulauan Togean, seperti Wakai, Katupat, Malenge, Lebiti, Dolong, Popolii dan Pasokan, serta sebaliknya ke Ampana dengan jalur yang sama, dimana frekuensi pemberangkatan 3 kali/hari per minggu. Sementara sarana pendukung transportasi lokal umumnya menggunakan perahu katinting 5.5 PK. Lama perjalanan dari Ampana ke Kecamatan Wakai yaitu ± 5 jam menggunakan kapal penumpang reguler. Jika rute laut menggunakan speedboat

123 106 maka waktu tempuh akan lebih pendek yaitu ± 2 jam. Kedua sarana transportasi tersebut merupakan sarana utama digunakan oleh wisatawan dari daratan utama Sulawesi menuju lokasi wisata Togean. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jalur perjalanan turis ke Kepulauan Togean umumnya (40 %) melalui Makassar-Toraja- Tentena-Togean, dan melalui Gorontalo (30 %) setelah dari Bali dan atau Menado. Sementara turis yang masuk via kota Palu (22 %) dan sebagian kecil via Gorontalo merupakan turis yang menjadwalkan kunjungan wisatanya langsung ke Pulau Togean. Ini menunjukkan bahwa umumnya turis yang berkunjung ke kawasan wisata Togean merupakan rangkaian perjalanan yang tidak hanya mengunjungi satu lokasi dan menikmati satu jenis atraksi wisata saja. Selain ketersediaan prasarana dan sarana transportasi, penerangan listrik dan sarana telekomunikasi juga merupakan fasilitas penunjang yang perlu diperhatikan. Keberadaan umumnya hanya di ibukota kecamatan, dengan sumber penerangan listrik diperoleh dari Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD). Namun di desadesa lainnya, listrik diperoleh lewat generator bantuan pemerintah maupun perusahaan, atau diupayakan secara swadaya oleh satu atau dua orang penduduk yang memiliki generator. Demikian pula untuk keperluan usaha wisata pesisir, sumber listrik berasal dari generator yang diatur jadwal penerangannya. Untuk sarana telekomunikasi, hampir setiap usaha wisata menyediakan jasa warung telepon (Wartel) satelit, kecuali di Pulau Kadidiri masih terjangkau oleh jaringan selular dengan kondisi yang terbatas Kesesuaian Kegiatan Ekowisata Pesisir di Gugus Pulau Togean Kegiatan ekowisata pesisir merupakan kegiatan rekreasi yang memanfaatkan potensi sumberdaya pesisir dan lingkungan perairan laut yang dilakukan di sekitar pantai dan lepas pantai, antara lain seperti berenang, berjemur, menyelam, snorkeling dan treking di hutan mangrove. Selain memanfaatkan potensi sumberdaya pesisir dan lautan (Dodds 2007), kegiatan ekowisata pesisir di PPK juga terkait dengan pemanfaatan potensi sumberdaya manusia yang dimiliki melalui nilai-nilai adat istiadat (budaya). Penentuan kesesuaian ekowisata pesisir dilakukan dengan pemberian skoring terhadap parameter yang mendukung kegiatan wisata pesisir perkategori dan kesesuaian nilai budaya masyarakat setempat. Hasil analisis kesesuaian ekowisata di PPK disajikan pada sub-sub bab berikut.

124 Kesesuaian Pemanfaatan untuk Ekowisata Selam Komunitas terumbu karang dan obyek menarik lain dapat dimanfaatakn sebagai atraksi ekowisata bahari kategori wisata selam. Keberadaan obyek wisata terumbu karang umumnya terdapat di kedalaman perairan di bawah 20 meter (Barnes and Hughes 2004; Kinsman 1964 dalam Supriharyono 2007). Romimohtarto dan Juwana (2009), terumbu karang masih dapat tumbuh baik sampai pada kedalaman maksimum m, tergantung sebagian besar pada kecerahan air. Selain kedua parameter sebelumnya, persyaratan lain penilaian kesesuaian lokasi wisata selam yakni persentase tutupan komunitas terumbu karang, jumlah genus karang, jumlah genus ikan karang dan kecepatan arus. Terdapat 5 (lima) stasiun pengamatan dalam studi ini yang dianalisis kesesuaiannya bagi kegiatan ekowisata selam. Kelima stasiun tersebut adalah stasiun II (Pulau Kadidiri), stasiun III (Coral Garden), stasiun VI (Teluk Kilat), stasiun VIII (Desa Katupat), dan stasiun XIII (Bomber). Khusus stasiun XIII, memiliki atraksi wisata sejarah yakni bekas pesawat tempur Amerika Serikat (B24) (bukan komunitas terumbu dan asosiasinya), sementara parameter jarak pandang di dalam perairan, kedalaman dan kecepatan arus masih tetap sama dengan keempat stasiun lainnya. Hasil analisis kesesuaian pemanfaatan perairan gugus Pulau Togean untuk wisata selam menurut stasiun pengamatan disajikan pada Tabel 20 dan Gambar 17. Tabel 20 Hasil analisis kesesuaian untuk kegiatan ekowisata bahari kategori wisata selam di gugus Pulau Togean Stasiun Lokasi Stasiun Pengamatan Nilai Kesesuaian Wisata Selam Indeks (%) Kelas II Pulau Kadidiri (S2) Sesuai Bersyarat III Coral Garden (S1) Sesuai VI Teluk Kilat (S2) Sesuai Bersyarat VIII Desa Katupat (S1) Sesuai XIII Bomber (S1) Sesuai Rata-rata (S2) Sesuai Bersyarat Sumber: Data Primer yang Diolah Berdasarkan Tabel 20, ketiga stasiun yang sesuai untuk kegiatan ekowisata selam memiliki ciri pada kealamiahan terumbu karang, ikan dan parameter kualitas perairan (stasiun III), dan stasiun VIII dicirikan pada kualitas perairan yang sesuai, terumbu karang yang ditunjang oleh nilai budaya yang menjaga obyek wisata.

125 108 Gambar 17 Peta kesesuaian kawasan untuk ekowisata selam di gugus Pulau Togean

126 109 Stasiun XIII memiliki keunggulan dalam hal nilai sejarah, pendidikan dan masyarakat yang menjaga situs sejarah tersebut. Davis and Tisdell (1995), salah satu alasan turis untuk melakukan kegiatan wisata selam adalah ketertarikan akan keunikan bawah laut secara khusus seperti formasi geologi, bongkahan kapal yang tenggelam (shipwrecks) termasuk juga pesawat terbang, dan kehidupan bawah laut. Lokasi yang berada pada kategori sesuai bersyarat untuk kegiatan wisata selam adalah stasiun II dan VI. Hal ini disebabkan karena hanya 2 parameter ekologi di wilayah perairan ini termasuk dalam kategori sesuai yakni kecerahan dan kedalaman air, sementara dari sisi terumbu karang termasuk pada kategori sesuai bersyarat. Berdasarkan parameter sosial, stasiun II termasuk kategori sesuai bersyarat, sedangkan satasiun VI sesuai untuk ekowisata selam (kawasan DPL). Kategori sesuai bersyarat dapat ditingkatkan kelasnya menjadi sesuai jika dilakukan upaya pengelolaan sumberdaya alam dan budaya, baik yang sifatnya merehabilitasi dan mengkonservasi sumberdaya alam yang rusak maupun mengoptimalkan prasarana dan sarana pendukung wisata selam. Perbedaan kelas kesesuaian wisata selam ditentukan oleh parameter-parameter yang memiliki bobot yang lebih besar dibanding lainnya. Parameter yang terkait dengan obyek wisata (terumbu karang dan keberadaan obyek wisata sejarah) memiliki bobot tertinggi oleh karena faktor-faktor tersebut merupakan daya tarik utama kegiatan wisata selam, sementara persyaratan lainnya berperan dalam menunjang kesehatan ekosistem terumbu karang. Berdasarkan persyaratan kesesuaian kegiatan wisata selam, selain kelima stasiun yang dikaji pada dasarnya terdapat 5 stasiun lain (stasiun IV, V, IX, XI dan XII) yang memungkinkan untuk dianalisis kesesuaiannya. Stasiun X, secara keseluruhan parameter tidak memenuhi persyaratan ekologi wisata selam tetapi memenuhi persyaratan sosial. Hasil wawancara terhadap dive master, stasiun IV, IX dan XII dapat memenuhi persyaratan kegiatan wisata selam walaupun terdapat faktor pembatas yang permanen yakni kecepatan arus yang tinggi (tidak sesuai), dan secara sosial perlu kerjasama dengan masyarakat lokal. Stasiun V dan X memiliki faktor pembatas dalam hal komunitas terumbu karang, kedalaman dan kecepatan arus, dan serta kurangnya data terkait dengan kondisi tutupan dan genus terumbu karang, serta jumlah genus ikan. Hasil analisis spasial menunjukkan bahwa luas kawasan yang sesuai untuk ekowisata bahari kategori selam yakni ha, kategori sesuai bersyarat ha dan kategori tidak sesuai ha.

127 Kesesuaian Pemanfaatan untuk Ekowisata Snorkeling Jenis obyek wisata yang dimanfaatkan dalam kegiatan wisata snorkeling yakni komunitas terumbu karang dan obyek menarik lain yang umumnya terdapat di kedalaman perairan kurang dari 3 meter. Terdapat 8 (delapan) stasiun pengamatan yang dianalisis guna menentukan kesesuaian lingkungan perairan gugus Pulau Togean yang cocok bagi kegiatan wisata pesisir kategori wisata snorkeling. Hasil analisis kesesuaian wisata snorkeling menurut stasiun pengamatan di gugus Pulau Togean disajikan pada Tabel 21 dan Gambar 18. Tabel 21 Hasil analisis kesesuaian untuk kegiatan ekowisata pesisir kategori wisata snorkeling di gugus Pulau Togean Stasiun Lokasi Stasiun Pengamatan Nilai Kesesuaian Wisata Snorkeling Indeks (%) Kelas II Pulau Kadidiri (S1) Sesuai Bersyarat III Coral Garden (S1) Sesuai IV Pulau Taipi (S1) Sesuai VI Teluk Kilat (S1) Sesuai VIII Desa Katupat (S1) Sesuai IX Reef (S1) Sesuai X Bangkagi (S2) Sesuai Bersyarat XII Pulau Mogo Besar (S2) Sesuai Bersyarat Rata-rata (S1) Sesuai Sumber: Data Primer yang Diolah Berdasarkan Tabel 21 menunjukkan bahwa secara umum, kawasan perairan laut di gugus Pulau Togean sangat sesuai dari sisi ekologi untuk kegiatan wisata snorkeling. Namun jika dianalisis secara parsial kawasan, diantara 8 stasiun pengamatan terdapat dua stasiun yang berada pada kategori sesuai bersyarat yakni stasiun X dan XII. Hal ini disebabkan karena hanya dua parameter dari 7 persyaratan kesesuaian yang memenuhi kategori sesuai yakni kedalaman dan genus karang (parameter ekologi), dari sisi syarat sosial budaya termasuk kategori sesuai. Kondisi sesuai bersyarat ini masih dapat ditingkatkan statusnya menjadi sesuai jika dilakukan upaya peningkatan persentase tutupan karang yang berbanding lurus dengan peningkatan genus ikan karang serta faktor kualitas perairan mendukung. Hasil analisis spasial terhadap kawasan terumbu karang di gugus Pulau Togean menunjukkan bahwa luas kawasan yang sesuai untuk ekowisata pesisir kategori snorkeling yakni ha, kategori sesuai bersyarat ha dan kategori tidak sesuai ha.

128 Gambar 18 Peta kesesuaian kawasan untuk ekowisata snorkeling di gugus Pulau Togean 111

129 Kesesuaian Pemanfaatan untuk Ekowisata Mangrove Jenis obyek wisata yang dimanfaatkan dalam kegiatan wisata mangrove yakni mangrove, burung, monyet, dan biota menarik lainnya di kawasan ekosistem mangrove. Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan dan verifikasi di lapangan, dilakukan sampling terhadap seluruh kawasan mangrove di gugus Pulau Togean sehingga diperoleh (enam) stasiun pengamatan. Keenam stasiun yang dianalisis tersebut yakni stasiun I, stasiun VII, stasiun X, stasiun XI, XII dan stasiun XIV. Hasil analisis kesesuaian pemanfaatan gugus Pulau Togean untuk wisata mangrove berdasarkan stasiun pengamatan disajikan pada Tabel 22 dan Gambar 19. Tabel 22 Hasil analisis kesesuaian untuk kegiatan ekowisata pesisir kategori wisata mangrove di gugus Pulau Togean Stasiun Lokasi Stasiun Pengamatan Nilai Kesesuaian Wisata Mangrove Indeks (%) Kelas I Desa Tobil (S2) Sesuai Bersyarat VII Desa Lembanato (S1) Sesuai X Desa Bangkagi (S1) Sesuai XI Selat Kabalutan (S1) Sesuai XII Pulau Mogo Besar (S2) Sesuai Bersyarat XIV Selat Lebiti (S2) Sesuai Bersyarat Rata-rata (S2) Sesuai Bersyarat Sumber: Data Primer yang Diolah Tabel 22 menunjukkan bahwa umumnya potensi kegiatan ekowisata mangrove di gugus Pulau Togean berada pada kategori sesuai bersyarat. Secara parsial, stasiun yang sesuai untuk kategori wisata mangrove adalah stasiun VII, X dan XI. Berdasarkan realitasnya, mangrove di stasiun VII sejak tahun 2006 sampai saat ini digunakan sebagai salah satu obyek wisata di gugus Pulau Togean dan pernah memiliki jembatan mangrove. Akibat pengelolaan yang tidak efektif, jembatan tidak terpelihara dan menjadi rusak. Sementara dua stasiun lainnya memiliki potensi yang sangat besar untuk dijadikan wahana kegiatan treking di jembatan mangrove. Obyek wisata selain hutan mangrove yang dapat ditemukan di tiga stasiun ini adalah wisata burung, monyet togean dan tarsius (walaupun semakin langka keberadaannya), babi hutan, rusa, buaya muara dan biawak. Kegiatan ekowisata pancing di sekitar kawasan mangrove juga dapat dipertimbangkan keberadaannya, serta kegiatan budaya masyarakat yang terkait dengan pemanfaatan mangrove, seperti wisata ke lokasi pengrajin anyaman nipah dan pandan.

130 ' ' ' ' 122 3' Teluk Tomini Pulau Angkaiyo PETA KESESUAIAN LAHAN UNTUK MANGROVE KEPULAUAN TOGEAN KABUPATEN TOJO UNA UNA PROVINSI SULAWESI TENGAH U 0 18' Pulau Bolelangu Pulau Binangkulong 0 18' 0 21' Pulau Tangkian lau Embodi Pulau Batongo adidi Pulau Dadapat Pulau Pangempang Pulau Tongkabo Pulau Talawanga Pulau Monding Pulau Panabali Pulau Pailowa Pulau Pinatang Pu 0 21' Km LEGENDA Garis Pantai Batas Desa Batas Kecamatan Jalan Sesuai Sesuai Bersyarat Tidak Sesuai Darat Laut dongan Pulau Togean INSET 0 24' ep. Sunsuri p. Salaka 0 24' SULAWESI LOKASI PENELITIAN Pulau Kukumbi Pulau Enam Pulau Ogu Pulau Mogo Besar Kep. Kaba 0 27' Pulau Tombalang 0 27' Sumber: 1. Peta Rupa Bumi Bakosurtanal Tahun 1989 Skala 1: Survei lapangan Juni 2009 Pulau Batudaka Pulau Takulak Disusun oleh: Alimudin Lapoo, SP, M.Si C Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor ' ' ' ' 122 3' Gambar 19 Peta kesesuaian kawasan untuk ekowisata mangrove di gugus Pulau Togean

131 114 Terdapat 3 stasiun pengamatan yang berada pada kategori sesuai bersyarat untuk ekowisata di kawasan mangrove, dimana stasiun tersebut dapat ditingkatkan kelasnya menjadi sesuai jika dilakukan upaya konservasi dan rehabilitasi hutan mangrove yang rusak melalui pelibatan masyarakat lokal. Jika dianalisis dari persyaratan ketebalan mangrove, maka parameter ini masuk sebagai faktor pembatas permanen dan sulit untuk dirubah. Hal ini disebabkan karena kondisi geologi pulau yang bergunung sehingga lebar pantai juga terbatas untuk ditumbuhi mangrove. Hasil analisis spasial terhadap seluruh kawasan mangrove menunjukkan bahwa luas kawasan yang sesuai untuk ekowisata pesisir kategori wisata mangrove yakni ha, kategori sesuai bersyarat ha dan kategori tidak sesuai ha Kesesuaian Pemanfaatan untuk Ekowisata Pantai Wisata pantai merupakan salah satu jenis kategori wisata pesisir yang sifatnya rekreasi, menikmati pemandangan alam (sunset dan sunrise), dan berjemur di kawasan pantai. Terdapat 5 (lima) stasiun dalam studi ini yang dianalisis guna menentukan kesesuaian bagi kegiatan ekowisata pantai yakni stasiun II, stasiun IV, stasiun V, stasiun VIII, dan stasiun XII. Analisis kesesuaian pemanfaatan kawasan pantai di gugus Pulau Togean untuk wisata pantai berdasarkan stasiun pengamatan disajikan pada Tabel 23 dan Gambar 20. Tabel 23 Hasil analisis kesesuaian untuk kegiatan ekowisata pesisir kategori wisata pantai di gugus Pulau Togean Stasiun Nama Stasiun Pengamatan Nilai Kesesuaian Wisata Pantai Indeks Kelas II Pantai Kadidiri (S1) Sesuai IV Pantai Taipi (S1) Sesuai V Pantai Karina (S1) Sesuai VIII Katupat (S1) Sesuai XII Mogo Besar (S2) Sesuai Bersyarat Rata-rata (S1) Sesuai Sumber: Data Primer yang Diolah Tabel 23 menunjukkan bahwa walaupun memiliki pantai berpasir relatif terbatas, namun sebagian besar pantai berpasir di gugus Pulau Togean berada pada kategori sesuai untuk ekowisata pesisir kategori rekreasi. Jika ditinjau dari kelima stasiun pengamatan, pantai pulau Pangempa dan Bolilanga Desa Katupat merupakan pantai yang memiliki indeks tertinggi (syarat ekologi) dan dikelola masyarakat lokal,

132 Gambar 20 Peta kesesuaian kawasan untuk ekowisata rekreasi/berjemur di gugus Pulau Togean 115

133 116 lalu tertinggi kedua Pantai Kadidiri dan indeks terkecil yakni pantai di Pulau Mogo Besar. Pantai di Pulau Mogo Besar (XII) memiliki indeks terkecil dan berada pada kategori sesuai bersyarat untuk kegiatan ekowisata rekreasi/pantai. Hal ini disebabkan karena tipe pantai landai sampai terjal, material dasar berlumpur dan berkarang, terdapat semak dan sedikit mangrove, keberadaan biota berbahaya serta keterbatasan air tawar menyebabkan stasiun XII agak sulit untuk ditingkatkan ke kategori sesuai untuk ekowisata pantai, walaupun jarak dengan pemukiman penduduk relatif dekat. Pantai Karina memiliki potensi yang cukup besar untuk kegiatan ekowisata pesisir, oleh karena lokasi ini belum memiliki fasilitas cottage. Hasil analisis spasial terhadap kesesuaian kawasan pantai menunjukkan bahwa luas kawasan yang sangat sesuai untuk ekowisata pesisir kategori wisata rekreasi/berjemur yakni 1.37 ha, kategori sesuai bersyarat ha dan kategori tidak sesuai ha. Parameter fisik penentu kesesuaian ekowisata pantai menurut Daby (2003) terkait dengan keruhnya air dan keberadaan biota berbahaya di atas dan di dalam sedimen pada musim tertentu yang menunjukkan kualitas lingkungan di sekitar pantai yang buruk dan dapat mengancam keselamatan para turis. Sementara untuk mempertahankan status kawasan yang sesuai untuk ekowisata pantai, maka diperlukan upaya untuk menjaga kelestarian hutan di upland guna mencegah erosi, memelihara kelestarian terumbu karang guna mencegah abrasi dan pengaturan bangunan wisata di kawasan pantai (Wong 1991) Evaluasi Kesesuaian Kawasan PPK untuk Kegiatan Ekowisata Pesisir Evaluasi kesesuaian kawasan PPK untuk kegiatan ekowisata pesisir ditujukan untuk mengetahui kawasan gugus Pulau Togean yang telah termanfaatkan untuk kegiatan wisata pesisir dan yang berpotensi untuk ekowisata pesisir (sesuai dengan hasil analisis kesesuaian). Kondisi pemanfaatan untuk kegiatan wisata pesisir tidak hanya memanfaatkan potensi sumberdaya pesisir dan laut tetapi juga lingkungan budaya dan partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaannya untuk kepentingan konservasi sumberdaya. Untuk itu dilakukan evaluasi pemanfaatan kawasan PPK untuk kegiatan wisata dan ekowisata pesisir disajikan pada Tabel 24.

134 Tabel 24 Evaluasi kesesuaian kawasan PPK untuk kegiatan wisata dan ekowisata pesisir di gugus Pulau Togean 117 Kesesuaian kawasan dan jenis kegiatan ekowisata pesisir Stasiun Lokasi Stasiun yang dapat dioptimalkan Pengamatan Eksisting/potensi Kesesuaian Optimasi Kegiatan wisata pesisir ekowisata ekowisata alternatif A. Kategori Ekowisata Selam II Pulau Kadidiri Dimanfaatkan Sesuai Bersyarat Wisata pancing III Coral Garden Dimanfaatkan Sesuai VI Teluk Kilat Dimanfaatkan Sesuai Bersyarat Wisata pancing dan pendidikan VIII Desa Katupat Dimanfaatkan Sesuai Wisata perahu/layar XIII Bomber-24 Dimanfaatkan Sesuai tradisional Perkiraan luas kawasan yang sesuai (ha) = B. Kategori Ekowisata Snorkeling II Pulau Kadidiri Dimanfaatkan Sesuai Bersyarat Wisata Balobe dan pancing III Coral Garden Dimanfaatkan Sesuai IV Pulau Taipi Dimanfaatkan Sesuai VI Teluk Kilat Kurang dimanfaatkan Sesuai Wisata Balobe, pendidikan, pancing, dan dayung VIII Desa Katupat Dimanfaatkan Sesuai Wisata dayung IX Reef 1-2 Dimanfaatkan Sesuai X Bangkagi Tidak dimanfaatkan Sesuai Bersyarat Upacara tradisional melaut, Wisata Balobe dan pancing XII Mogo Besar Tidak dimanfaatkan Sesuai Bersyarat Upacara tradisional melaut, Wisata Balobe dan pancing Perkiraan luas kawasan yang sesuai (ha) = C. Kategori Ekowisata Mangrove I Desa Tobil Tidak dimanfaatkan Sesuai Bersyarat Wisata Balobe kepiting VII Desa Lembanato Dimanfaatkan Sesuai Wisata pendidikan dan pembuatan kerajinan dari daun nipah dan pandan X Desa Bangkagi Tidak dimanfaatkan Sesuai Balobe kepiting dan pembuatan kerajinan dari daun nipah dan pandan XI Selat Kabalutan Tidak dimanfaatkan Sesuai Wisata Balobe XII Mogo Besar Tidak dimanfaatkan Sesuai Bersyarat Wisata Balobe XIV Selat Lebiti Tidak dimanfaatkan Sesuai Bersyarat Wisata Balobe Perkiraan luas kawasan yang sesuai (ha)= D. Kategori Ekowisata Pantai II Pantai Kadidiri Dimanfaatkan Sesuai Kesenian tradisional IV Pantai Taipi Dimanfaatkan Sesuai V Pantai Karina Dimanfaatkan Sesuai VIII Katupat Dimanfaatkan Sesuai Kesenian tradisional XII Mogo Besar Tidak dimanfaatkan Sesuai Bersyarat Wisata Balobe Perkiraan luas kawasan yang sesuai (ha)= 1.37 Sumber: Data Primer yang Diolah Tabel 24 menunjukkan beberapa kegiatan ekowisata pesisir yang berbasis sumberdaya terumbu karang, mangrove dan budaya lokal, serta saat ini berada pada kategori sesuai bersyarat dan sesuai tapi belum dimanfaatkan, adalah:

135 Jenis kegiatan wisata pesisir berbasis sumberdaya terumbu karang dan budaya yakni kegiatan memancing ikan, mencari ikan pada malam hari menggunakan tombak (istilah daerah: balobe ) dan untuk pendidikan. Selain itu, terdapat juga atraksi wisata budaya yakni upacara adat oleh nelayan Bajau saat persiapan melaut dan mensyukuri panen hasil laut (dengan cara penyerahan sesajen ke laut), dan upacara memandikan bayi yang baru lahir ke laut. Kegiatan yang berbasis wisata pesisir umumnya dilakukan pada siang hari (pukul ). Sementara kegiatan perikanan tangkap yang dilakukan oleh nelayan pancing dan kegiatan balobe di Kepulauan Togean umumnya dilakukan pada sore, malam dan pagi hari sehingga potensi konflik antar pemanfaatan dapat dikurangi (Laapo et al. 2007). 2. Jenis kegiatan wisata pesisir berbasis sumberdaya mangrove dan budaya yakni mencari kepiting dan ikan ( balobe ), wisata pendidikan dan berwisata pada kawasan pembuatan kerajinan dari nipah dan pandan (produk yang dihasilkan berupa atap rumah, topi, tikar dan bakul). Kawasan Teluk Kilat dapat dimanfaatkan untuk ekowisata pesisir karena memiliki DPL, sementara mangrove Bangkagi dan Selat Kabalutan sesuai untuk ekowisata karena memenuhi persyaratan ekologi dan dekat dengan pemukiman penduduk yang memelihara mangrove dengan baik. 3. Jenis kegiatan wisata pesisir berbasis sumberdaya pantai berpasir dan budaya yakni terbatas pada kegiatan mancing dan mencari ikan pada malam hari, serta perlombaan dayung dan perahu layar tradisional. Secara umum, kawasan pantai yang telah dikuasai oleh usaha wisata atau terdapat bangunan wisata, umumnya sangat sukar melibatkan atraksi budaya yang dapat juga dikonsumsi publik. Dicontohkan, ketiga kawasan pantai yang disebutkan merupakan kawasan yang pengelolaannya dilakukan/dikuasai oleh investor (pengusaha cottage), sehingga akses masyarakat lokal sangat dibatasi. Potensi budaya yang dapat dioptimalkan dengan kerjasama pengusaha cottage adalah suguhan kesenian daerah (nyanyian dan tarian) secara langsung ke wisatawan yang menginap di cottage tersebut. 4. Adanya pertimbangan konservasi sumberdaya alam dan lingkungan yang relatif masih alami dan pertimbangan keterlibatan masyarakat lokal dalam pengelolaan wisata pesisir menyebabkan luas kawasan yang sesuai untuk kegiatan ekowisata

136 119 pesisir (70.39 ha) lebih kecil dibanding luas kawasan yang berpotensi dimanfaatkan untuk kegiatan wisata pesisir ( ha). Luasan tersebut dapat meningkat seiring dengan perbaikan dalam pengelolaan wisata pesisir berbasis sumberdaya alam dan nilai budaya lokal. Persentase kegiatan ekowisata pesisir (yang sudah berlangsung saat ini dan alternatif disajikan pada Lampiran 7) Daya Dukung Ekowisata Pesisir di Gugus Pulau Togean Daya Dukung Ekologi Daya dukung ekologi dalam penelitian ini merupakan jumlah maksimum pengunjung yang dapat ditolelir oleh suatu kawasan ekowisata untuk waktu tertentu tanpa menimbulkan degradasi sumberdaya alam (obyek wisata). Mengingat kajian pengelolaan wisata pesisir berada di kawasan konservasi (TNKT), kegiatan wisatanya tidak bersifat mass tourism, dan ruang pengunjung sangat terbatas, maka penentuan daya dukung kawasan harus mempertimbangkan aspek kelestarian lingkungan. Dasar kajian ekowisata ini menggunakan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1994 tentang pengusahaan pariwisata alam di zona pemanfaatan taman nasional dan taman wisata alam, maka areal yang diizinkan untuk dikelola yakni 10% dari luas zona pemanfaatan. Luas zona pemanfaatan wisata menggunakan hasil analisis kesesuaian kawasan ekowisata pesisir. Beberapa nilai yang dipakai dalam kajian DDK ini disesuaikan dengan kondisi dan persepsi pelaku wisata di lokasi penelitian, misalnya rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk kegiatan wisata selam, snorkeling, mangrove dan berjemur/rekreasi pantai. Hasil analisis daya dukung ekowisata dari sisi ekologi di gugus Pulau Togean TNKT disajikan pada Tabel 25. Tabel 25 Nilai daya dukung kawasan ekowisata pesisir di gugus Pulau Togean No. Jenis Kategori Ekowisata Nilai DDK Pemanfaatan saat Pesisir (orang/hari) ini (org/hari) Keterangan 1. Selam Di bawah Daya Dukung 2. Snorkeling Di bawah Daya Dukung 3. Mangrove Di bawah Daya Dukung 4. Berjemur/rekreasi pantai Di bawah Daya Dukung Total 962 Maximum 260 Di bawah Daya Dukung Sumber: Data Primer Setelah Diolah Tabel 25 menunjukkan bahwa daya dukung ekologi untuk kegiatan wisata pesisir (wisata selam, snorkeling, trekking atau board walk di kawasan mangrove,

137 120 dan rekreasi/berjemur di pantai) di gugus Pulau Togean yakni 962 orang per hari atau turis per tahun (Lampiran 8). Berdasarkan kegiatan pemanfaatan saat ini, diketahui kegiatan wisata pesisir masih berada di bawah daya dukung ekologi sehingga masih dapat ditingkatkan kuantitasnya. Daya dukung wisata pantai memiliki jumlah yang lebih kecil dibanding ketiga kegiatan wisata lainnya, oleh karena keterbatasan kawasan pantai yang sesuai. Jika dilihat dari pemanfaatan saat ini dan dengan peningkatan kunjungan setiap tahun, maka kemungkinan pemanfaatan wisata pantai akan mencapai daya dukung sampai lebih terutama pada musim puncak (peak season). Terkait daya dukung ekologi, kawasan mangrove di gugus Pulau Togean yang biasanya dijadikan sebagai obyek wisata trekking hanya terdapat pada stasiun VII (Teluk Kilat), sementara kawasan mangrove lainnya belum dimanfaatkan. Saat jumlah turis berada pada musim puncak dan jembatan mangrove masih berfungsi dengan baik, jumlah pengunjung dapat mencapai 10 orang per hari. Secara spesifik Davis and Tisdell (1996) menyatakan daya dukung kegiatan wisata selam masih dapat ditingkatkan tergantung dari pengetahuan penyelam dalam berinteraksi dengan terumbu karang. Makin tinggi pengetahuan dan pengalaman menyelam seorang diver semakin rendah tingkat kerusakan terumbu karang dan daya dukung kegiatan wisata selam juga meningkat. Selain pengetahuan dan pengalaman, daya dukung wisata juga dapat ditingkatkan dengan pengelolaan yang baik kawasan taman nasional laut. Zakai and Chadwick-Furman (2002) merekomendasikan 5 (lima) upaya pengelolaan wisata selam dalam meminimalisasi kerusakan terumbu karang yakni: (1) pembatasan jumlah penyelam per lokasi per tahun, (2) diperlukan guide untuk seluruh penyelaman, (3) transfer keterampilan bagi penyelam pemula mulai dari kawasan terumbu karang yang rentan kerusakan sampai kawasan berpasir, (4) mengalihkan tekanan penyelaman dari kawasan terumbu karang alami ke terumbu karang buatan, dan (5) pengembangan pendidikan lingkungan bagi penyelam melalui kursus keterampilan mengenai tatacara dan perintah yang dilakukan bersama selama melakukan kegiatan di bawah air. Upaya peningkatan kunjungan wisatawan sampai ke daya dukung kawasan juga didukung oleh kondisi perairan di kawasan wisata gugus Pulau Togean, dimana hasil analisis kualitas perairan dan dibandingkan dengan baku mutu menunjukkan di bawah baku mutu (Kepmen Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004). Hasil analisis

138 linear probit untuk mengkaji daya dukung dengan pendekatan kualitas perairan menunjukkan nilai maksimum jumlah penduduk sebanyak orang per hari (Lampiran 12 point c). Ini menunjukkan bahwa dengan tingkat pengetahuan lingkungan pada kondisi saat ini dan dengan jumlah penduduk tersebut, kondisi kualitas perairan akan mencapai baku mutu maksimum (kegiatan wisata pesisir). Jika dibandingkan populasi penduduk kecamatan Togean saat ini mencapai orang, maka nilai parameter kualitas perairan laut masih di bawah baku mutu. Hal ini didukung oleh hasil rasio kualitas perairan dengan baku mutu di gugus Pulau Togean seperti disajikan pada Tabel 26. Tabel 26 Perbandingan nilai kualitas perairan dan baku mutu wisata pesisir di gugus Pulau Togean Stasiun Nilai Kondisi/Status Mutu Lokasi Stasiun Rata-rata maksimum Perairan Pengamatan Nop. Juli Nop. Juli Nop. Juli I Mangrove Desa Tobil Baik Baik II Pulau Kadidiri Baik Baik III Coral Garden Baik Baik IV Pulau Taipi Baik Baik V Pantai Karina * * Baik Baik VI Teluk Kilat Baik Baik VII Mangrove Lembanato Baik Baik VIII Desa Katupat Baik Baik IX Reef Baik Baik X Desa Bangkagi Baik Baik XI Selat Kabalutan Baik Baik XII P. Mogo Besar Baik Baik XIII Bomber Baik Baik XIV Selat Lebiti/Batudaka Baik Tercemar ringan Rata-rata Keterangan: * = tidak ada data Sumber: Data Primer Yang Diolah Tabel 26 menunjukkan bahwa secara umum kondisi perairan laut di gugus Pulau Togean masih dalam kondisi baik (tidak tercemar). Peningkatan jumlah wisatawan mulai Juni sampai September setiap tahun belum banyak berpengaruh terhadap peningkatan nilai parameter kualitas perairan. Namun jika dikaji secara parsial setiap stasiun, pada stasiun XIV (Selat Lebiti/Batudaka) nilai indeks pada kemarau telah melebihi baku mutu (kategori tercemar ringan). Hal ini kemungkinan terkait dengan meningkatnya aktivitas masyarakat termasuk wisata dan kegiatan pemanfaatan lain (perikanan dan transportasi). Selain itu, stasiun ini merupakan

139 122 pusat kegiatan masyarakat di Kepulauan Togean (ibukota kecamatan Una-Una atau Desa Wakai) dan memiliki fasilitas penunjang (pelabuhan kapal Ferry Gorontalo- Wakai-Ampana dan kapal penumpang lainnya, pusat informasi dan komunikasi, fasilitas penginapan) yang lebih baik dibanding ibukota kecamatan lain. Ibukota kecamatan Una-Una merupakan titik awal (entri point) wisatawan yang dari ibukota Kabupaten Tojo Una-Una (Kota Ampana) ke pusat-pusat wisata pesisir (cottage) di Kepulauan Togean. Kawasan wisata yang dekat dengan cottage dan pemukiman penduduk memiliki nilai indeks pencemaran yang tinggi. Elyazar et al. (2007), kawasan wisata pantai yang menganut konsep mass-tourism seperti pantai Kuta Bali, kecenderungan peningkatan indeks pencemaran lingkungan sangat besar. Indeks pencemaran perairan akan semakin meningkat selama periode musim hujan (Pradhan et al. 2009). Limbah hotel, rumahtangga dan cairan lainnya dapat memasuki perairan laut melalui aliran air tanah (melalui perkolasi atau melalui akifer), tergantung pada konsentrasi dan jalur air mengalir dari air tanah dan memberikan dampak terhadap ekologi perairan pesisir dan laut (Burnett et al. 2003). Trisnawulan et al. (2007), pembuangan limbah rumahtangga melalui septictank yang dekat dengan sumber air (sumur, sungai, danau dan laut) dapat menyebabkan terjadinya proses resapan dalam tanah sehingga terkontaminasi dengan sumber air Daya Dukung Ekonomi Daya dukung ekonomi dalam pengelolaan ekowisata pesisir di gugus Pulau Togean merupakan besaran nilai ekonomi maksimum yang diperoleh dari suatu sumberdaya yang digunakan untuk kegiatan wisata pesisir. Estimasi manfaat ekonomi ini menggunakan pendekatan penawaran dan permintaan obyek ekowisata pesisir, dimana keseimbangan dari keduanya menghasilkan jumlah turis dan harga produk wisata yang maksimum. Hasil analisis daya dukung ekonomi dari sisi permintaan turis akan produk ekowisata pesisir diperoleh nilai surplus konsumen per tahun sebesar Rp ribu per turis atau Rp juta per turis (Lampiran 9). Rata-rata biaya yang dikeluarkan oleh turis saat ini yakni Rp 310 ribu perhari. Ini berarti bahwa nilai ekonomi sumberdaya wisata pesisir yang ingin dibayarkan oleh turis saat ini masih lebih kecil dari harga yang ditetapkan oleh pengusaha wisata. Hal ini terkait dengan rendahnya aksesibilitas (keterbatasan prasarana) ke lokasi wisata Togean, dan kurangnya promosi oleh pemerintah daerah.

140 123 Tisdell (1995) menyatakan bahwa nilai surplus konsumen ini dapat bertambah jika dilakukan perbaikan dalam pelayanan dan fasilitas pendukung. Daya dukung ekonomi dalam penelitian ini juga mengkaji nilai produk wisata pesisir pada posisi keseimbangan antara permintaan dan penawaran produk ekowisata pesisir. Nilai daya dukung ekonomi ini merupakan besarnya keinginan konsumen untuk membayar (willingness to pay) obyek ekowisata pesisir gugus Pulau Togean yang ditawarkan (sesuai potensi sumberdaya). Hasil analisis daya dukung ekonomi dalam posisi keseimbangan disajikan pada Gambar 21. Harga produk ekowisata bahari (Rp) Jumlah Turis (orang) Gambar 21 Hasil analisis daya dukung ekonomi kawasan ekowisata pesisir di gugus Pulau Togean Gambar 21 menunjukkan bahwa daya dukung wisatawan di gugus Pulau Togean adalah turis per tahun dengan harga optimal produk ekowisata pesisir yang dapat diberlakukan untuk setiap pengunjung mencapai US$ per kunjungan atau Rp juta (nilai tukar Rp10 000/US$). Nilai ekonomi maksimum yang dapat diperoleh dalam memanfaatkan obyek wisata pesisir di gugus Pulau Togean sebesar US$ 4.22 juta atau Rp milyar per tahun. Berdasarkan nilai tersebut, jumlah maksimum turis yang berkunjung dan dilayani oleh usaha wisata (cottage) Togean yakni 63 orang per hari (Lampiran 9). Nilai daya dukung ini jauh

141 124 lebih kecil dibanding dengan daya dukung ekologi. Ini menunjukkan bahwa walaupun penawaran (daya dukung ekologi) produk ekowisata pesisir cukup besar, namun permintaan akan produk ekowisata pesisir tersebut masih sangat terbatas, sehingga jumlah kunjungan pada saat keseimbangan relatif masih kecil. Kondisi ini juga menunjukkan adanya ekses permintaan wisata, dimana selisih antara daya dukung ekologi dengan ekonomi merupakan peluang ekonomi yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat lokal. Kondisi ini dapat dilakukan dengan pengelolaan ekowisata yang efektif dan integrasi antar aspek melalui upaya konservasi sumberdaya (obyek wisata), penurunan biaya perjalanan wisata, perbaikan kualitas pelayanan, dan promosi kawasan wisata Togean. Davis and Tisdell (1996), nilai daya dukung ekonomi suatu kawasan konservasi masih dapat ditingkatkan melalui pengelolaan yang efektif dan optimal (dari sisi pengelola kawasan konservasi) dan peningkatan pengetahuan wisatawan. Peningkatan pengetahuan tentang ekowisata bahari terutama kegiatan wisata selam, distribusi dan rotasi setiap penyelaman, pengaturan ruang dan waktu bagi snorkeler dan fotografer bawah laut diharapkan dapat memberikan dampak kerusakan yang relatif kecil. Kombinasi keduanya diharapkan dapat mempertahankan dan meningkatkan eksistensi obyek wisata bahari dan menghasilkan nilai ekonomi yang tinggi. Kesediaan membayar (WTP) oleh turis terhadap nilai obyek wisata merupakan bentuk partisipasi finansial dalam pengelolaan sumberdaya alam bagi kepentingan industri pariwisata dalam jangka panjang. Besar-kecilnya nilai WTP suatu obyek wisata berbeda pada setiap kawasan wisata dan negara (Davis 1998) Daya Dukung Sosial Kajian daya dukung sosial dalam penelitian ini adalah tingkat penerimaan masyarakat lokal (host) dengan datangnya para pengunjung (tourist) tanpa mengganggu kenyamanan yang telah ada. Diasumsikan bahwa ada jumlah maksimum jumlah wisatawan yang berkunjung ke gugus Pulau Togean, sehingga masyarakat lokal belum merasa terganggu dengan kedatangan wisatawan. Hasil penelitian menunjukkan % masyarakat lokal memberikan persepsi bahwa tidak ada perubahan perilaku masyarakat lokal sejak adanya wisatawan terutama wisman dan 18 % masyarakat menyatakan ada perubahan perilaku masyarakat lokal. Perubahan perilaku tersebut menyangkut segala sesuatu yang

142 125 terkait dengan kegiatan yang selalu dinilai dengan uang atau ada kecenderungan pergeseran nilai individualis (kurangnya rasa saling tolong-menolong), dan perubahan cara berpakaian. Selain itu, keberadaan wisatawan belum memberikan pengaruh yang signifikan dalam sisi ekonomi dan perubahan kualitas hidup masyarakat lokal sehingga keberadaan wisatawan disikapi dengan biasa saja. Terkait dengan kenyamanan masyarakat lokal dengan keberadaan wisatawan, hasil penelitian menunjukkan bahwa beragam pendapat maupun penilaian masyarakat lokal dan wisatawan tentang rasio yang optimum antara wisatawan dengan masyarakat lokal. Umumnya masyarakat lokal menyatakan bahwa selain karena pertambahan jumlah kunjungan wisatawan, ketidaknyamanan masyarakat dapat terganggu terutama disebabkan oleh cara berpakaian wisatawan dan interaksi sosial. Namun jika masyarakat diberi keleluasaan memilih rasio wisman dengan masyarakat lokal, maka sebanyak 94 % responden menyatakan satu wisatawan berbanding 1-30 orang penduduk lokal (64% memilih 1 berbanding 20). Ini berarti bahwa ada kemungkinan keberadaan seorang wisman dapat mengganggu kenyamanan 1 atau pun 30 orang masyarakat lokal, tergantung cara interaksi antar wisatawan dengan penduduk lokal dan perilaku individu wisman. Jika diasumsikan jumlah penduduk usia produktif dan lanjut di Kecamatan Togean (wilayah gugus Pulau Togean) pada tahun 2009 sebanyak jiwa, dan bahwa ada interaksi antara wisatawan dengan masyarakat setempat, maka maksimum jumlah wisatawan berkunjung ke kawasan wisata Togean 492 orang per hari masih lebih kecil dari daya dukung ekologi 692 orang). Hal ini sesuai dengan Saveriades (2000), bahwa ketidaknyamanan seseorang dapat membatasi penerimaannya ketika orang lain masuk untuk berinteraksi (Social Carrying Capacity), walaupun secara ekologi (Biological Carrying Capacity) masih tersedia relung untuk orang tersebut masuk berinteraksi Daya Dukung Fisik Daya dukung fisik terkait dengan kebutuhan ruang untuk fasilitas wisata pesisir tanpa mengganggu kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan serta kenyamanan penggunanya. Cara yang dilakukan adalah membandingkan antara standar kebutuhan ruang (WTO 1981 dalam Wong 1991) dengan realitas penggunaan kawasan pulau untuk wisata saat ini. Beberapa indikator penting yang

143 126 digunakan adalah kapasitas pantai, kapasitas kamar, kepadatan penginapan, dan keberadaan fasilitas marina (selengkapnya disajikan pada Tabel 27). Tabel 27 Kebutuhan ruang untuk fasilitas wisata pesisir No Uraian Realitas di Gugus Pulau Togean 1. Fasilitas pantai Setiap kamar 2 penghuni, memiliki 1 buah WC, 1 bak mandi, dan 1 pancuran. 1 unit pancuran disediakan di luar cottage untuk memenuhi 10 orang 2. Kepadatan penginapan 3. Fasilitas marina - Ukuran - Kapasitas pelabuhan - Lahan - 93 tempat tidur per hektar - Tersedia 300 tempat tidur (total 150 kamar) Setiap usaha wisata memiliki 1 tambat kapal dengan jumlah 1 3 boat/jetty Sumber: Data Primer Yang Diolah Standar Kebutuhan Fasilitas Wisata Pesisir Fasilitas kebersihan yang setara dengan 5 buah WC, 2 buah bak mandi dan 4 pancuran air untuk setiap 500 orang tempat tidur/hektar perahu/kapal wisata perahu/ha perahu/ha untuk parkir, penyimpanan dan perbaikan Keterangan Sesuai Sesuai Sesuai Tabel 27 menunjukan bahwa secara fisik, fasilitas wisata pesisir di setiap lokasi usaha wisata pesisir belum melebihi daya dukung (standar kebutuhan fasilitas). Setiap kamar yang disediakan oleh pengusaha wisata dipakai untuk 2 orang turis. Namun pada musim puncak dan cottage tertentu, kebutuhan hunian terkadang melebihi daya tampung kamar (150 kamar) yang mencapai 300 orang per hari atau orang per tahun, sehingga wisatawan menggunakan ruang tunggu, restoran dan pantai (menggunakan tenda) sebagai tempat tidur darurat. Kondisi ini harusnya dimanfaatkan oleh penduduk lokal untuk melayani turis, menyediakan transportasi ke obyek wisata pesisir dan peralatan standar wisata pesisir (misalnya alat snorkeling) sesuai keinginan turis Integrasi Keempat Dimensi Daya Dukung Daya dukung dapat diukur dalam sebuah level kunjungan turis, dimana kegiatannya dikaitkan dengan individu, fasilitas dan pelayanan khusus. Daya dukung dikarakteristikkan oleh atribut-atribut ekonomi, fisik dan sosial. Setiap tipe daya dukung bervariasi secara nyata antara satu tempat dengan lainnya, tergantung ciri kealamiahan yang dimiliki suatu kawasan, pemanfaatan dan tujuan yang ingin

144 127 dicapai (Jovicic and Dragin 2008). Integrasi keempat daya dukung ditujukan untuk memperoleh satu nilai optimal dari daya dukung wisata pesisir yang telah mempertimbangkan keempat aspek tersebut. Secara operasional berarti bahwa jumlah wisatawan yang masuk ke gugus Pulau Togean berdasarkan daya dukung integrasi, mampu meminimalisir degradasi sumberdaya pulau, secara ekonomi menguntungkan, sesuai dengan kapasitas penginapan (cottage), turis dan masyarakat merasa nyaman dengan kegiatannya masing-masing. Davis and Tisdell (1996), bahwa daya dukung pada kegiatan wisata scuba-diving tidak hanya dihasilkan dari keterkaitan langsung antara aspek biologi (biological carrying capacity) dan manusia (social carrying capacity), akan tetapi diperlukan juga dimensi lain yakni dimensi ekonomi. Hasil analisis optimasi keempat aspek daya dukung disajikan pada Tabel 28 dan Lampiran 10. Tabel 28 Hasil optimasi keempat daya dukung ekowisata pesisir di gugus Pulau Togean No. Uraian Sumberdaya Terpakai Sisa/Lebih Keterangan 1. Daya Dukung Terpadu (orang) 492 Alokasi optimal 2. Luas kawasan ekowisata pesisir Tersedia = 7.04 ha yang termanfaatkan (ha) 3. Tingkat pencemaran perairan di gugus Pulau Togean Baku mutu maksimum = 1 4. Optimasi jumlah masyarakat Penduduk = org dengan turis (orang) 5. Nilai daya dukung ekonomi (US$) DDEkonomi per hari = US$ Kapasitas akomodasi (unit) Tersedia = 150 Sumber: Data Primer Setelah Diolah Tabel 28 menunjukkan bahwa dengan mempertimbangkan keempat aspek daya dukung, maksimum wisatawan yang masuk ke kawasan wisata pesisir gugus Pulau Togean yakni 492 orang per hari ( turis per tahun) (Lampiran 10). Nilai daya dukung gabungan ini menunjukkan nilai optimal yang mengakomodir dan mampu mengeliminir trade off kepentingan ekologi, sosial, ekonomi dan fisik dalam pengelolaan ekowisata pesisir. Ini menunjukkan bahwa jika kegiatan ekowisata pesisir hanya mempertimbangkan aspek konservasi sumberdaya alam, jumlah kunjungan turis ke kawasan PPK Togean akan lebih besar atau mencapai 962 orang per hari dengan potensi pencemaran yakni 0.03 dan tingkat pemanfaatan kawasan ha (melebihi total kawasan yang sesuai untuk kegiatan ekowisata pesisir).

145 128 Namun demikian, konsep ekowisata pesisir tidak hanya ditujukan untuk konservasi sumberdaya pesisir dan laut, akan tetapi juga mempertimbangkan daya dukung sosial (harmonisasi hubungan host- tourist) sebanyak 492 turis per hari, dan budaya lokal (partisipasi masyarakat dalam menjaga sumberdaya pesisir dan laut atau obyek wisata). Daya dukung yang terintegrasi juga mampu meningkatkan daya dukung ekonomi saat ini (63 turis per hari) dan peningkatan ini diharapkan dapat berkontribusi terhadap ekonomi masyarakat lokal (pendapatan dari usaha wisata pendukung dan turunannya). Pengelolaan ekowisata pesisir juga memerlukan dukungan fasilitas akomodasi (daya dukung fisik) untuk kenyamanan selama berwisata. Total ketersediaan kamar cottage yang sesuai standar di gugus Pulau Togean yakni 150 kamar, dimana setiap kamar dapat dihuni sebanyak 2 turis sehingga maksimum daya tampung kamar sebanyak 300 turis. Jika pada musim puncak kunjungan turis tingkat hunian melebihi kapasitas kamar, maka pihak pengusaha wisata menggunakan kamar karyawan cottage (pelayan, guide, master dive lokal, dan teknisi untuk ditempati atau turis memilih pindah ke cottage luar Togean (misalnya di Pulau Batudaka). Hasil analisis daya dukung integrasi menunjukkan bahwa terdapat kelebihan turis sebanyak 96 orang. Keterbatasan kamar tersebut harusnya dapat diatasi dengan mengoptimalkan potensi akomodasi yang dimiliki penduduk lokal. Tisdell (1996) dan Wood (2002), salah satu prinsip ekowisata dari sisi ekonomi adalah pengusaha dan masyarakat harus bekerja sama dalam pengelolaan kunjungan wisata guna memaksimumkan manfaat ekonomi wisata. Manfaat ekonomi masyarakat lokal dapat dicapai dengan tumbuhnya usaha-usaha penginapan baru dan pendukungnya, sebagai multiplier effect dari kegiatan ekowisata. Permasalahannya, manajemen wisata masyarakat lokal kurang mendukung akibat rendahnya kualitas sumberdaya manusia. Nilai efektifitas pengelolaan ekowisata dan daya dukung yang diperoleh ini diharapkan dapat digunakan sebagai pedoman dalam pengelolaan ekowisata pesisir termasuk bagaimana memberikan pemahaman tentang ekowisata bagi masyarakat lokal. Tisdell (1998) menyatakan bahwa pengelolaan ekowisata selalu mempertimbangkan aspek ekologi, sosial dan ekonomi, oleh karena secara ekologi kegiatan wisata bahari sangat rentan akan kerusakan sumberdaya laut dan secara sosial dapat memunculkan ketidaknyamanan bagi masyarakat lokal.

146 Efektivitas Pengelolaan Ekowisata Pesisir di Gugus Pulau Togean Analisis efektivitas pengelolaan ekowisata pesisir di gugus Pulau Togean Taman Nasional Kepulauan Togean menggunakan metode Multidimensional Scalling,MDS. Metode MDS yang digunakan selanjutnya dimodifikasi berdasarkan aspek dan obyek yang dikaji dalam studi ini menjadi Effectivity Analysis of Small Islands Ecotourism (EFANSIEC). Hasil EFANSIEC menghasilkan status dan indeks keefektifan pengelolaan ekowisata pesisir pada masing-masing dimensi pembangunan yaitu dimensi ekologi, sosial, ekonomi dan kelembagaan. Status keefektifan yang dimaksud adalah apakah pengelolaan ekowisata pesisir saat ini telah efektif atau belum efektif berdasarkan keempat dimensi pengelolaan yang dikaji dan indeks yang diperoleh. Nilai indeks yang dihasilkan merupakan gambaran efektivitas pengelolaan ekowisata pesisir saat ini oleh seluruh pemangku kepentingan. Hasil EFANSIEC berdasarkan tahapan analisis yang dihasilkan selanjutnya dijelaskan pada subsub bab berikut Realitas Skor Masing-Masing Atribut Menurut Dimensi Penentuan parameter masing-masing atribut menurut dimensi ekologi, sosial, ekonomi dan kelembagaan mengacu pada kriteria umum yang diperoleh dari beberapa penelitian empiris (Tabel 12), sementara penentuan skor dan kategori dimodifikasi dan mengacu pada kriteria umum yang telah dibuat oleh Good et al. (1999) dan Heershman et al. (1999) (evaluasi efektivitas pengelolaan sumberdaya pesisir Amerika Serikat). Pemberian skor per atribut dan dimensi disesuaikan dengan kondisi riil pengelolaan wisata pesisir di gugus Pulau Togean. Hasil survei dan pengukuran terhadap masing-masing atribut per dimensi di gugus Pulau Togean disajikan pada Lampiran 11. Nilai-nilai atribut yang diperoleh pada Lampiran 11 bersumber dari hasil analisis sebelumnya sehingga bagian ini hanya dijelaskan secara ringkas. Dimensi ekologi, nilai atribut diperoleh dari hasil analisis kesesuaian kawasan PPK dan daya dukung untuk empat kategori kegiatan ekowisata pesisir. Terdapat dua kategori ekowisata pesisir yang sesuai untuk dikelola saat ini dan dua kegiatan wisata yang sesuai bersyarat. Atribut tingkat pemanfaatan sumberdaya PPK untuk wisata pesisir umumnya masih di bawah daya dukung. Kondisi pemanfaatan sumberdaya alam

147 130 saat ini, baik dari kegiatan wisata maupun kegiatan lain belum melampaui baku mutu wisata pesisir atau belum menunjukkan terjadinya pencemaran perairan. Terkait dengan dimensi ekonomi, kunjungan optimal dan harga produk wisman saat ini masih rendah dibanding kunjungan dan harga optimum. Wisman menilai sumberdaya (obyek wisata) gugus Pulau Togean masih sangat baik sehingga secara ekonomi juga memiliki nilai sumberdaya yang tinggi. Keberadaan usaha wisata pesisir belum dapat memberikan kontribusi yang nyata bagi perekonomian lokal terutama dalam penyediaan tenaga kerja, dan tumbuhnya usaha-usaha baru masyarakat lokal. Upah tenaga kerja cukup besar walaupun demikian tingkat penyerapan tenaga kerja rendah. Berdasarkan dimensi sosial, rasio wisman dengan masyarakat lokal belum melebihi daya dukung sosial, sehingga respon masyarakat dengan keberadaan wisman masih sangat baik dan belum mengganggu tatanan kehidupan, perilaku dan pola hidup masyarakat setempat. Walaupun tingkat pengetahuan lingkungan masyarakat lokal terhadap ekowisata pesisir masih rendah, namun beberapa etnis masih mempertahankan budaya lokal untuk konservasi sumberdaya. Wilayah pemanfaatan sumberdaya yang sama antar pengusaha wisata dan masyarakat menyebabkan terjadinya konflik horisontal. Ini menunjukkan bahwa kegiatan usaha wisata belum meningkatkan kualitas hidup masyarakat di gugus Pulau Togean. Terkait dengan dimensi kelembagaan, realitas menunjukkan lambatnya penyusunan rencana pengelolaan taman nasional (RPTN) sehingga aturan formal (RTRW, RTDK, Master Plan Pariwisata) dan nonformal (DPL) mampu memberikan kontribusi terhadap efektivitas pengelolaan wisata pesisir yang berkelanjutan. Pajak usaha wisata (25 % dari total penerimaan per wisman) yang dibayarkan oleh pengusaha wisata masih relatif kecil dibanding yang seharusnya dibayarkan. Efektivitas pengelolaan fee konservasi belum transparan sehingga dampak keberadaan kebijakan tersebut belum nyata terhadap kelestarian terumbu karang dan mangrove. Intensitas pelanggaran hukum dalam pemanfaatan sumberdaya perairan pada dasarnya semakin menurun, demikian pula dengan membaiknya penegakan hukum. Peran pemerintah juga menunjukkan masih sangat rendah dalam penyediaan fasilitas transportasi, telekomunikasi dan promosi wisata.

148 Indeks dan Status Efektivitas Pengelolaan Ekowisata Pesisir Indeks pengelolaan ekowisata pesisir menunjukkan besaran persentase pencapaian pengelolaan ekowisata pesisir saat ini. Sementara status efektivitas pengelolaan menunjukkan apakah pengelolaan ekowisata pesisir saat ini mengarah pada kondisi baik ataukah buruk. Evaluasi status pengelolaan ekowisata pesisir dilakukan pada keempat dimensi pembangunan baik secara parsial maupun gabungan. Berdasarkan skor setiap atribut yang tercantum pada Lampiran 11, selanjutnya dilakukan analisis efektivitas pengelolaan ekowisata pesisir terhadap empat dimensi pengelolaan dengan menggunakan metode EFANSIEC. Hasil analisis metode EFANSIEC selengkapnya diuraikan sebagai berikut: 1. Dimensi ekologi; hasil EFANSIEC terhadap 10 atribut pada dimensi ekologi disajikan pada Gambar Batas Atas Sumbu Y Buruk Baik Batas Baw ah Status Keefektifan Pengelolaan Ekowisata PPK Real Ekow isata Titik Acuan Utama Titik Acuan Tambahan Gambar 22 Kondisi eksisting indeks efektivitas pengelolaan ekowisata pesisir di gugus Pulau Togean ditinjau dari dimensi ekologi Gambar 22 menunjukkan bahwa nilai indeks yang diperoleh dari hasil EFANSIEC sebesar %. Nilai % untuk IEPEP menunjukkan bahwa

149 132 pengelolaan ekowisata pesisir berdasarkan dimensi ekologi di gugus Pulau Togean saat ini dikategorikan sangat efektif sehingga diharapkan keberlanjutan obyek ekowisata pesisir PPK di kawasan ini tersebut masih tetap terjaga. Indeks yang diperoleh juga menunjukkan bahwa kegiatan ekowisata pesisir kategori wisata selam, snorkeling, wisata mangrove, wisata pantai saat ini umumnya telah berada pada kondisi yang sesuai dengan kondisi kawasan gugus Pulau Togean, kegiatan wisata pesisir belum melebihi daya dukung, pemanfaatan bangunan wisata telah sesuai dan kondisi perairan laut belum tercemar (sesuai baku mutu). Berdasarkan titik acuan tambahan, status keefektifan pengelolaan ekowisata pesisir berada di bawah garis horisontal (batas bawah). Ini berarti bahwa lima atribut pertama pada titik acuan baik ( good ) memiliki skoring yang lebih rendah (cenderung ke arah skor 0) dibanding lima atribut kedua. Atribut-atribut yang memiliki skor rendah (bernilai 1) tersebut yakni kesesuaian ekowisata selam dan kesesuaian ekowisata mangrove, sementara atribut lainnya memiliki rata-rata skor 2. Rendahnya nilai skor terkait dengan parameter kesesuaian kawasan terhadap kegiatan ekowisata tersebut antara lain berkurangnya tutupan terumbu karang dan mangrove, serta kurangnya keberadaan atraksi jenis wisata budaya yang terkait. 2. Dimensi ekonomi; status efektivitas pengelolaan ekowisata pesisir berdasarkan dimensi ekonomi disajikan pada Gambar 23. Gambar 23 menunjukkan bahwa nilai indeks keefektifan pengelolaan yang diperoleh dari metode EFANSIEC terhadap 7 atribut dimensi ekonomi sebesar %. Ini berarti bahwa baru % kegiatan ekowisata pesisir di gugus Pulau Togean dikelola secara efektif dari sisi ekonomi. Berdasarkan nilai IEPEP, persentase keefektifan pengelolaan tersebut berada pada kategori kurang efektif. Nilai indeks pengelolaan ekowisata pesisir dari sisi ekonomi berada pada garis horisontal. Ini berarti bahwa nilai-nilai skor pada setiap atribut dalam dimensi ekonomi memiliki nilai yang merata dan cenderung ke arah nilai satu (kategori sedang). Hal ini menunjukkan bahwa tujuan yang diharapkan dari keberadaan kegiatan usaha wisata pesisir saat ini belum memberikan dampak ekonomi yang signifikan bagi masyarakat lokal dan daerah. Secara umum, upah dan pendapatan yang diterima dari usaha turunan kegiatan wisata cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Penyerapan tenaga kerja cenderung konstan, dan harga

150 133 produk wisata relatif rendah sehingga multiplier effect ekowisata pesisir tidak signifikan pada masyarakat lokal. Dampak yang ditimbulkan ini hanya dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat yang terkait dengan kegiatan wisata, seperti transporter guide lokal, sebagian kecil nelayan, homestay dengan tingkat hunian yang terbatas (tergantung kelebihan daya tampung cottage) dan sebagian kecil pedagang makanan/minuman kecil. 60 Batas Atas Sumbu Y Buruk Baik Batas Baw ah Status Keefektifan Pengelolaan Ekowisata PPK Real Ekow isata Titik Acuan Utama Titik Acuan Tambahan Gambar 23 Kondisi eksisting indeks efektivitas pengelolaan ekowisata pesisir di gugus Pulau Togean ditinjau dari dimensi ekonomi 3. Dimensi sosial; status efektivitas pengelolaan ekowisata pesisir berdasarkan dimensi sosial selanjutnya disajikan pada Gambar 24. Gambar 24 menunjukkan bahwa berdasarkan dimensi sosial, pengelolaan ekowisata pesisir di gugus Pulau Togean berada pada kategori cukup efektif, oleh karena indeks efektivitas menunjukkan nilai % (di atas 50 %). Posisi status keefektifan pengelolaan berada pada batas atas atau dapat dikatakan kecenderungan hasil pengelolaan ekowisata pesisir saat ini mengarah pada kondisi yang cukup

151 134 baik. Status keefektifan pengelolaan dalam posisi ini masih perlu ditingkatkan dengan mengoptimalkan seluruh atribut dalam dimensi sosial. 60 Batas Atas Sumbu Y Buruk Baik Batas Baw ah Status Keefektifan Pengelolaan Ekowisata PPK Real Ekow isata Titik Acuan Utama Titik Acuan Tambahan Gambar 24 Kondisi eksisting indeks efektivitas pengelolaan ekowisata pesisir di gugus Pulau Togean ditinjau dari dimensi sosial Kondisi ril menunjukkan bahwa keberadaan wisman bagi masyarakat belum memberikan dampak yang nyata baik dari sisi perubahan perilaku maupun perubahan kualitas hidup. Terkait dengan interaksi sosial, wisman merasakan bahwa masyarakat lokal memiliki tingkat penerimaan dan persahabatan yang tinggi terhadap mereka. Interaksi masyarakat lokal dengan wisman belum nyata menyebabkan pergeseran nilai-nilai dan norma di masyarakat lokal. Pengetahuan masyarakat lokal tentang ekowisata yang masih rendah menyebabkan potensi sosial budaya belum dioptimalkan untuk menjadi atraksi ekowisata di daerah ini, kecuali pelaksanaan festival togean yang dilaksanakan sekali dalam setahun. 4. Dimensi kelembagaan; status efektivitas pengelolaan ekowisata pesisir berdasarkan dimensi kelembagaan disajikan pada Gambar 25.

152 Batas Atas Sumbu Y Buruk Baik Batas Baw ah Status Keefektifan Pengelolaan Ekowisata PPK Real Ekow isata Titik Acuan Utama Acuan Tambahan Gambar 25 Kondisi eksisting indeks efektivitas pengelolaan ekowisata pesisir di gugus Pulau Togean ditinjau dari dimensi kelembagaan Gambar 25 menunjukkan bahwa dari sisi kelembagaan, pengelolaan kegiatan wisata pesisir di gugus Pulau Togean masuk dalam kategori kurang efektif. Hal ini ditunjukkan oleh nilai indeks keefektifan pengelolaan sebesar %, yang berarti bahwa baru % dimensi kelembagaan memberikan peran dalam pencapaian pengelolaan ekowisata pesisir yang efektif di gugus Pulau Togean. Status keefektifan pengelolaan berdasarkan titik acuan tambahan dalam dimensi ini menunjukkan terdapat atribut yang kinerjanya belum sesuai dengan tujuan awal, sementara pencapaian tujuan bagi atribut masih berada pada posisi antara baik dan buruk (sedang atau skor 1). Atribut yang belum optimal kinerjanya berdasarkan skor yang diperoleh saat ini (skor 0) adalah pelaksanaan regulasi fee untuk konservasi yang belum memberikan pengaruh yang nyata terhadap upaya kelestarian terumbu karang, mangrove dan nilai budaya (obyek ekowisata). Hasil EFANSIEC guna mengetahui status efektivitas pengelolaan ekowisata selanjutnya ditampilkan dalam bentuk diagram layang pada Gambar 26.

153 136 Ekologi Kelembagaan Ekonomi Sos ial Gambar 26 Diagram layang nilai indeks efektivitas pengelolaan ekowisata pesisir di gugus Pulau Togean Berdasarkan nilai-nilai status efektivitas pengelolaan yang diperoleh bagi keempat dimensi memperlihatkan bahwa ternyata dimensi ekonomi dan kelembagaan merupakan dimensi yang paling lemah (di bawah nilai 50 %) dalam menunjang keefektifan pengelolaan ekowisata pesisir secara umum. Ini berarti bahwa kedua dimensi tersebut harus ditingkatkan dan atau dipertahankan statusnya guna keberlanjutan pengelolaan ekowisata pesisir di gugus Pulau Togean. Sebaliknya, ada 2 (dua) dimensi pengelolaan yang masuk dalam kategori cukup efektif (sosial) dan sangat efektif pengelolaannya (ekologi). Diagram layang-layang juga dapat memberikan informasi bahwa semakin ke arah titik pusat kedudukan/nilai status keefektifan pengelolaan, semakin buruk peran dimensi tersebut dalam efektivitas pengelolaan ekowisata pesisir. Indeks keefektifan pengelolaan pada dimensi ekonomi, sosial dan kelembagaan dapat ditingkatkan kontribusinya ke arah kategori yang lebih efektif (baik) dengan melakukan analisis tingkat kepentingan atau sensitivitas ( leverage ) terhadap atribut penyusunnya. Hasil analisis sensitivitas selanjutnya dibahas pada sub-sub bab analisis sensitivitas pengelolaan ekowisata pesisir.

154 137 Hasil EFANSIEC per dimensi gabungan seluruh atribut (dimensi) efektivitas pengelolaan ekowisata pesisir di gugus Pulau Togean disajikan pada Gambar Batas Atas Sumbu Y Buruk Baik Batas Bawah Status Keefektifan Pengelolaan Ekowisata PPK Real Ekow isata Titik Acuan Utama Titik Acuan Tambahan Gambar 27 Hasil EFANSIEC yang menunjukkan nilai efektivitas pengelolaan ekowisata pesisir pada kondisi eksisting di gugus Pulau Togean Hasil analisis untuk gabungan seluruh dimensi pengelolaan pada Gambar 27 menunjukkan bahwa indeks keefektifan pengelolaan ekowisata pesisir (IEPEP) di gugus Pulau Togean mencapai % pada skala 0 % 100 %. Ini berarti bahwa hasil penilaian terhadap 20 atribut penting yang tercakup dalam 4 dimensi pembangunan ekowisata, menunjukkan pengelolaan ekowisata pesisir di gugus Pulau Togean kawasan TNKT berada pada kategori cukup efektif (nilai IEPEP pada kategori 51 % - 75 %). Berdasarkan titik acuan tambahan untuk seluruh dimensi menunjukkan bahwa sepuluh atribut pertama titik acuan utama baik ( good ) yang digunakan untuk titik acuan tambahan batas atas ( up ), memiliki nilai skor yang besar atau cenderung mengarah pada kondisi baik (skor 2) sehingga kondisi ini dicapai tersebut harus dijaga, sementara sepuluh atribut sisanya harus

155 138 ditingkatkan pencapaian tujuannya. Atribut-atribut yang telah dikelola secara baik tersebut umumnya terkait dengan atribut ekologi, sementara pencapaian tujuan pengelolaan bagi atribut yang terkait dengan dimensi pembangunan ekonomi, sosial dan kelembagaan masih berada pada kondisi yang buruk (skor 0) sampai sedang (skor 1). Berdasarkan nilai IEPEP gabungan yang diperoleh dari empat dimensi, maka indeks pengelolaan ekowisata yang dicapai saat ini harus ditingkatkan nilainya melalui perbaikan pada atribut-atribut penting yang mempengaruhi pengelolaan ekowisata pesisir Nilai Sensitivitas Atribut Pengelolaan Ekowisata Pesisir Analisis sensitivitas atribut (analisis leverage) ditujukan untuk mengetahui peranan setiap atribut dalam membentuk nilai IEPEP. Nilai RMS yang diperoleh merupakan nilai absolut dari perubahan indeks keefektifan pengelolaan jika salah satu atribut pada setiap dimensi dihilangkan. Makin besar nilai perubahan RMS akibat hilangnya atribut tertentu, semakin besar pula peranan atribut tersebut dalam pembentukan nilai indeks (Susilo 2003). Metode EFANSIEC dalam penelitian ini mencoba mensimulasi apakah nilai RMS yang dimiliki suatu atribut penting jika dihilangkan dapat mempengaruhi indeks yang diperoleh. Namun perlu diketahui bahwa jika ada beberapa atribut yang penting bukan berarti atribut lain tidak penting, akan tetapi atribut penting tersebut dapat saja mewakili atribut lainnya (Susilo 2003). Hasil analisis sensitivitas dan perubahan nilai RMS pada setiap dimensi pengelolaan dan gabungan selengkapnya disajikan Tabel 29. Tabel 29 menunjukkan bahwa besar-kecilnya perubahan nilai RMS pada setiap atribut dan indeks dipengaruhi oleh nilai skor atribut yang bersangkutan. Hasil EFANSIEC memperlihatkan beberapa kecenderungan yakni: (1) Jika skor yang dimiliki setiap atribut dalam satu dimensi didominasi oleh skor yang tinggi atau kategori baik (skor 2) sementara atribut lainnya memiliki memiliki skor buruk sampai sedang (skor 0-1), maka ada kecenderungan hasil analisis untuk atribut yang buruk memiliki nilai perubahan RMS yang tinggi, misalnya pada dimensi ekologi dan gabungan. Jika atribut yang memiliki skor buruk dan memiliki nilai perubahan RMS tinggi dikeluarkan dari analisis, maka akan meningkatkan nilai IEPEP. Hal ini ini diperlihatkan oleh hasil simulasi (2)

156 139 dimensi ekologi dan gabungan, dimana terjadi peningkatan nilai IEPEP masingmasing dari 88.47% menjadi 95.17% dan dari 62.50% menjadi 65.91%. Tabel 29 Analisis sensitivitas dan perubahan nilai RMS terhadap atribut pada setiap dimensi pengelolaan dan gabungan dimensi No Atribut per Dimensi Pengelolaan dan Indeks Efektivitas Pengelolaan Ekowisata Pesisir (IEPEP) Data Skor Persentase Perubahan RMS Analisis per Dimensi Analisis Gabungan Basis 1 2 Basis Ekologi Kesesuaian ekowisata selam Kesesuaian ekowisata snorkeling Keluar 0.28 Keluar Keluar Keluar Kesesuaian ekowisata mangrove Keluar 0.48 Keluar 0.30 Kesesuaian ekowisata rekreasi Daya dukung ekowisata selam Daya dukung ekowisata snorkeling Daya dukung ekowisata mangrove Daya dukung ekowisata rekreasi Pemanf. lahan untuk fasil.wisata Daya dukung kualitas Perairan IEPEP (%) Ekonomi Optimum jumlah wisman Keluar 0.08 Keluar Keluar Keluar Optimum harga produk wisata Diversifikasi/optimasi ekow.pesisir Keluar Keluar Kamar dan jumlah kunjungan Upah tenaga kerja lokal thd UMP Trend jml tenaga kerja lokal Pendapatan masyarakat dari usaha turunan Keluar Keluar Keluar IEPEP (%) Sosial Kenyamanan masyarakat dan wisman Perub.sikap/perilaku masyarakat terhadap wisman Keluar 2.40 Keluar Keluar Keluar Pengetahuan ekowisata Konflik dgn pemanfaatan lain Keluar Keluar Keluar Perubahan kualitas hidup masy Keluar IEPEP (%) Kelembagaan Efektif. Regulasi fee konservasi Zonasi & Aturan Pemanfaatn Keluar 9.47 Keluar Keluar Keluar Penegakan hokum Penyediaan Infrastruk. Penunjang Keluar IEPEP (%) IEPEP GABUNGAN (%) Keterangan: 1 atau bold = simulasi menghilangkan atribut yang memiliki nilai perubahan RMS terendah 2 atau italic bold = simulasi menghilangkan atribut yang memiliki nilai perubahan RMS tertinggi

157 140 (2) Sebaliknya jika atribut yang memiliki nilai perubahan RMS rendah dengan skor tertinggi dikeluarkan dari analisis, maka perubahan IEPEP cukup kecil (simulasi 1 dimensi ekologi dan gabungan). Ini berarti bahwa atribut yang sudah baik pengelolaannya harus dipertahankan, sedangkan yang buruk harus ditingkatkan dan menjadi prioritas pengelolaan. (3) Jika atribut-atribut pada suatu dimensi didominasi oleh skor sedang (skor 1), sementara sisanya terdapat skor baik (skor 2) dan skor buruk (skor 0), nilai perubahan RMS atribut sisa tersebut cenderung tinggi dan paling rendah. Atribut dengan skor baik cenderung memiliki nilai perubahan RMS rendah, sebaliknya atribut dengan skor rendah cenderung memiliki nilai perubahan RMS tinggi dalam mempengaruhi IEPEP. Kasus ini diperlihatkan oleh dimensi ekonomi, dimana atribut optimum jumlah kunjungan wisman menunjukkan kondisi baik untuk saat ini (dengan kondisi prasarana yang ada), sementara itu diversifikasi dan harga produk ekowisata skor masih sangat rendah sehingga perlu ditingkatkan nilainya. Jika atribut yang memiliki skor buruk dihilangkan dari analisis leverage, maka terjadi peningkatan nilai IEPEP. (4) Jika pada suatu dimensi pengelolaan memiliki jumlah atribut terbatas (dalam penelitian ini di bawah 6 atribut), nilai-nilai perubahan RMS setiap atribut yang dianalisis secara tidak nyata memiliki keterkaitan dengan skor awal yang dimiliki. Walaupun demikian, kecenderungan atribut yang memiliki skor buruk dan skor baik memiliki nilai perubahan RMS yang tinggi. Hal ini diperlihatkan oleh dimensi sosial dan dimensi kelembagaan. Satu atribut pada dimensi sosial yang memiliki skor baik dan sedang memiliki nilai RMS tinggi dan satu atribut yang memiliki skor sedang memiliki nilai RMS tinggi. Demikian pula pada dimensi kelembagaan, satu atribut dengan skor rendah memiliki nilai RMS cukup tinggi walaupun ada atribut lain yang memiliki skor sedang bernilai RMS lebih tinggi. Hal penting lain terkait dengan pembentukan nilai IEPEP dalam kondisi ini, bahwa dikeluarkannya satu atribut dengan RMS terendah (skor sedang) pada dimensi sosial (perubahan kualitas hidup) menyebabkan peningkatan nilai IEPEP. Sebaliknya dikeluarkannya satu atribut dengan RMS terendah (skor sedang) pada dimensi kelembagaan (penyediaan infrastruktur penunjang kegiatan ekowisata dan regulasi fee konservasi) menyebabkan

158 141 penurunan nilai IEPEP. Namun, secara umum atribut yang dikeluarkan dari analisis EFANSIEC dapat dikatakan penting dalam mempengaruhi perubahan indeks pengelolaan ekowisata pesisir. Atribut-atribut pengungkit (penting) untuk setiap dimensi pengelolaan ekowisata pesisir secara berturut-turut dapat dijelaskan sebagai berikut. a. Dimensi Ekologi Atribut pada dimensi ekologi yang perlu ditingkatkan efektivitas pengelolaannya dalam kegiatan ekowisata pesisir di gugus Pulau Togean adalah kesesuaian kawasan PPK untuk ekowisata mangrove dan kesesuaian kawasan untuk ekowisata selam. Kedua atribut tersebut memiliki peran dalam penentuan posisi kegiatan ekowisata pesisir secara langsung saat ini (wisata mangrove dan wisata selam). Jika aktivitas ekowisata selam menunjukkan arah yang tidak sesuai secara ekologi, ini berarti bahwa parameter yang terkait langsung dengan obyek ekowisata selam (terumbu karang) terjadi gangguan. Demikian pula kegiatan ekowisata mangrove yang sudah tidak sesuai, menunjukan bahwa terdapat parameter kesesuaian yang telah terganggu misalnya kerapatan, jenis mangrove dan asosiasinya yang berkurang. Dikhawatirkan, ketidaksesuaian kegiatan ekowisata mangrove dan selam memberikan pengaruh negatif terhadap kegiatan lain seperti ekowisata snorkeling dan pantai. Wong (1998), penurunan luasan mangrove menyebabkan peningkatan erosi pantai yang selanjutnya berpengaruh terhadap keberadaan cottage dan wisata pantai. Hal ini disebabkan oleh adanya interaksi antara ekosistem mangrove dengan ekosistem terumbu karang melalui 5 (lima) tipe interaksi yakni fisik, bahan organik terlarut, bahan organik partikel, migrasi fauna, dan dampak manusia (Ogden dan Gladfelter dalam Bengen 2001). Chazottes et al. (2002); ISRS (2004) menyatakan bahwa persentase karang yang terancam oleh aliran permukaan dari daratan (antropogenik) diperkirakan mencapai lebih dari 50 %, sedangkan menurunnya kualitas air akibat pencemaran menambah tekanan terhadap karang hingga mencapai 30 %. Iftekhar and Islam (2004), pengelolaan mangrove dapat menggunakan pendekatan integrated coastal zone management (ICM) guna mencegah dampak kerusakan alami seperti sedimentasi, erosi maupun minimalisir dampak badai dan tsunami. Salah pendekatan yang digunakan dalam ICM adalah konsep ekowisata yang memuat tentang perlunya kegiatan wisata

159 142 berbasis konservasi sumberdaya alam guna meningkatkan kualitas obyek wisata dan peningkatan nilai ekonomi dan sosial (Katon et al. 2000). b. Dimensi Ekonomi Atribut dalam dimensi ekonomi yang dianggap penting untuk dikelola adalah diversifikasi kegiatan ekowisata, atribut optimum harga produk wisata pesisir dan atribut upah tenaga kerja terhadap UMP. Upah tenaga kerja sangat penting dalam kegiatan ekowisata karena terkait dengan peningkatan kualitas hidup rumahtangga tenaga kerja lokal. Makin tinggi upah yang dibayarkan ke pekerja wisata, semakin banyak kebutuhan utama rumahtangga yang dapat dipenuhi, seperti kebutuhan untuk pangan, pendidikan, kesehatan, perumahan, pakaian dan tabungan. Diversifikasi dan harga produk wisata (dalam hal ini biaya yang dikeluarkan selama menikmati obyek wisata) berpengaruh terhadap perubahan permintaan wisman dan efek pengganda terhadap produk turunan wisata lain. Efek yang ditimbulkan adalah menstimulir tumbuhnya usaha-usaha turunan dalam skala kecil dan rumahtangga yang mampu meningkatkan pendapatan dan kualitas hidup masyarakat lokal. Jika obyek wisata sebagai proksi dari sumberdaya alam mengalami degradasi, maka akan terjadi penurunan dalam kesediaan wisman mancanegara untuk membayar nilai obyek wisata tersebut. Terkait dengan kondisi sumberdaya alam (obyek wisata) yang relatif masih baik, nilai ekonomi obyek ekowisata gugus Pulau Togean mampu dibayar oleh wisman sebesar US$ Produk yang dihasilkan oleh sumberdaya PPK (langsung ataupun secara langsung) pada dasarnya sangat beragam sehingga memiliki nilai produk yang besar. Keragaman produk wisata termasuk ekowisata budaya dan pangsa pasar dapat meningkatkan nilai ekonomi dan jika dimanfaatkan secara optimal akan meningkatkan kontribusi ekonomi daerah (Iftekhar and Islam 2004). Selain itu, kegiatan ekowisata mampu mengurangi dampak kerusakan, dan jika dikelola dengan baik akan cocok untuk tujuan konservasi biodiversitas (Salam et al. 2000). c. Dimensi Sosial Berdasarkan nilai skor dan perubahan nilai RMS, atribut yang memiliki peran penting dalam dimensi sosial yakni perubahan kualitas hidup masyarakat lokal dan kenyamanan wisman dan masyarakat lokal dalam melaksanakan kegiatannya masing-masing. Kenyataan menunjukkan bahwa kualitas hidup

160 143 masyarakat di Kepulauan Togean masih sangat rendah. Hal ini dapat ditunjukkan oleh tingkat pendidikan masyarakat lokal (terutama etnis Bajau) yang umumnya adalah sekolah dasar, dan fasilitas pendidikan hanya sampai pada sekolah lanjutan pertama (SLTP), sementara setingkat tingkat atas berada di kecamatan lain (aksesibilitas yang sulit). Hal ini disebabkan karena pola matapencaharian sebagai nelayan yang menyebabkan seluruh anggota keluarga ikut pindah ke wilayah lain dengan tidak menetap menurut musim penangkapan ikan. Selain itu, saat anak masih dalam usia prasekolah, kegiatan melaut telah diakulturasikan ke anak sehingga lingkungan kehidupan laut identik dengan kegiatan sehari-hari. Dari sisi kesehatan, hanya beberapa desa memiliki sumber air bersih dan prasarana kesehatan yang cukup, sementara limbah rumahtangga umumnya dibuang ke laut. Permasalahan ini dapat menjadi faktor penghambat dalam upaya mobilitas vertikal sosial masyarakat, sehingga diperlukan pendekatan kultural dan struktural dalam pemecahannya (Satria 2002). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kenyamanan wisman dan masyarakat lokal merupakan atribut penting yang terkait dengan terjadinya perubahan sikap dan perilaku dalam masyarakat. Perilaku wisman dari sisi pengetahuan dan penghargaan terhadap alam yang sangat besar diharapkan dapat diserap oleh masyarakat lokal, secara ekologi dan ekonomi mampu meningkatkan efektivitas pengelolaan ekowisata pesisir. Pengetahuan masyarakat terhadap kegiatan wisata pesisir berbasis ekosistem dan nilai budaya sangat penting dalam melestarikan sumberdaya alam (atraksi utama ekowisata pesisir). Disadari bahwa ada kecenderungan pelaksanaan nilai budaya lokal dalam pemanfaatan sumberdaya alam di Kepulauan Togean mengalami pergeseran (Sangadji 2010). Sebaliknya, kehadiran wisman dalam jumlah besar (melebihi daya dukung) berpotensi merubah nilai-nilai sosial budaya (cultural identity) masyarakat lokal (Orams 1999). d. Dimensi Kelembagaan Tabel 29 juga menunjukkan bahwa atribut yang memberikan nilai sensitivitas tertinggi dalam mempengaruhi efektivitas pengelolaan wisata pesisir berbasis ekosistem ditinjau dari dimensi kelembagaan adalah efektivitas regulasi tentang pembayaran fee untuk konservasi dan ketersediaan infrastruktur penunjang kegiatan ekowisata pesisir. Kenyataan menunjukkan bahwa aturan pembayaran fee

161 144 untuk konservasi bagi pengusaha melalui pembayaran pajak usaha wisata (hotel dan restoran) bagi setiap pengunjung telah diatur oleh pemerintah daerah. Namun wujud program yang ditujukan untuk konservasi terumbu karang dan mangrove belum nyata keberadaannya. Di lain pihak masih ditemukan beberapa pelanggaran pemanfaatan sumberdaya PPK baik di kawasan terumbu karang (penangkapan ikan menggunakan bom dan kompresor). Terkait dengan penyediaan infrastruktur, kebutuhan akan transportasi yang efisien sangat diperlukan di kawasan ini guna meminimalkan biaya perjalanan. Selain itu, diperlukan ketersediaan prasarana air bersih, kelistrikan dan telekomunikasi yang memadai. Program pengadaan prasarana perlu melibatkan pemerintah pusat, oleh karena membutuhkan biaya yang cukup besar. Keberadaan prasarana tersebut diharapkan dapat meminimalisir biaya bagi usaha wisata dan juga bagi penduduk secara umum. Hall (2001) menyatakan bahwa salah satu strategi pengelolaan wisata pesisir berkelanjutan yakni dengan pemberlakuan insentif keuangan (financial incentives) seperti pajak, harga, subsidi, dan bantuan yang diperuntukkan bagi pembangunan infrastruktur wisata dan pemberdayaan masyarakat lokal. Perencanaan pengelolaan kegiatan ekowisata mangrove yang terpadu tidak akan berhasil tanpa adanya intervensi ekonomi dan regulasi serta peningkatan pengawasan oleh masyarakat lokal dalam mengimplementasikan rencana tersebut (Ellison 2008). Ekowisata juga memiliki prinsip menjaga nilai budaya dalam masyarakat guna menjaga kelestarian sumberdaya PPK. Bentuk kepedulian kegiatan wisata atas nilai budaya tersebut adalah insentif ekonomi yang diperoleh seharusnya juga dinikmati oleh masyarakat yang menjaga kulturnya. Nilai kearifan lokal yang dianut oleh etnis Bajau dan Bobongko dalam menjaga kelestarian terumbu karang dan mangrove harus dijaga dan dihargai keberadaannya. Nilai kearifan lokal ini memiliki aturan yang mampu mengontrol/mengawasi pemanfaatan sumberdaya, penzonaan dan konsekuensi yang ditanggung jika melanggar aturan nonfomal yang telah disepakati secara turun-temurun. Sudarmadji (2001), bahwa pendekatan bottom up akan menjadikan masyarakat enggan untuk memotong kayu atau hutan mangrove yang telah mereka pelihara, sekalipun tidak ada yang mengawasinya; karena masyarakat sadar bahwa kayu yang mereka potong tersebut sebenarnya

162 145 adalah milik mereka bersama. Tugas pemerintah saat ini adalah memberikan arahan yang jelas tentang fungsi dan manfaat hutan mangrove agar tidak terjadi konflik kepentingan dalam pengelolaan mangrove dalam jangka panjang. e. Gabungan Dimensi Hasil analisis leverage menggunakan metode EFANSIEC menunjukkan bahwa atribut-atribut yang memiliki nilai perubahan RMS yang tinggi adalah harga produk ekowisata pesisir (dimensi ekonomi), daya dukung ekowisata pesisir dan kualitas perairan (dimensi ekologi), kenyamanan wisman dan masyarakat lokal (sosial) dan efektivitas pelaksanaan aturan fee bagi konservasi sumberdaya. Hasil simulasi (1) menunjukkan bahwa jika atribut dengan nilai perubahan RMS terendah dikeluarkan dari analisis leverage menyebabkan penurunan IEPEP. Namun perubahan nilai IEPEP pada simulasi (1) masih lebih kecil dibanding perubahan nilai IEPEP pada simulasi (2), dimana atribut diversifikasi kegiatan ekowisata dikeluarkan dalam analisis leverage. Peningkatan nilai IEPEP (dari % menjadi %) disebabkan karena skor diversifikasi kegiatan ekowisata sangat rendah. Ini menunjukkan bahwa atribut diversifikasi kegiatan ekowisata memiliki peran penting dalam perubahan nilai indeks pengelolaan ekowisata sehingga pengelolaannya dilakukan dengan mengoptimalkan kegiatan ekowisata pesisir baik yang sudah sesuai dengan kawasan dan yang berpotensi dikembangkan. Selain atribut harga, diperlukan juga perbaikan pengelolaan pada pelaksanaan regulasi fee konservasi guna mempertahankan dan meningkatkan kelestarian obyek wisata pesisir. Kegiatan yang dilakukan adalah mengoptimalkan penggunaan dana konservasi untuk menjaga dan rehabilitasi terumbu karang dan mangrove, serta mengoptimalkan kegiatan wisata budaya lokal. Pengaturan dalam kunjungan wisman pada musim puncak diharapkan dapat memberi kenyamanan berwisata dan kenyamanan bagi tuan rumah (masyarakat lokal). Beberapa nilai statistik terkait dengan kevalidan metode analisis skala multidimensi disajikan pada Tabel 30. Tabel 30 menunjukkan bahwa nilai-nilai statistik yang diperoleh dari hasil analisis ini dapat diandalkan untuk menyatakan bahwa hasil penelitian ini baik dan valid untuk diaplikasikan. Nilai stress yang diperoleh dari prosedur MDS pada metode EFANSIEC per dimensi dan gabungan menunjukkan nilai stress di

163 146 bawah 20 %. Nilai koefisien determinasi (R 2 ) yang diperoleh cukup besar dan relatif sama untuk seluruh dimensi sehingga hasil analisis dalam penelitian ini dianggap valid. Namun secara umum jika salah satu atribut dalam suatu dimensi dihilangkan dalam analisisnya, maka akan mengurangi tingkat kevalidan hasil (R 2 menurun dan nilai stress meningkat). Tabel 30 Nilai statistik yang berkaitan dengan hasil EFANSIEC No. Dimensi Pengelolaan Hasil Analisis Efansiec dan Statistik Terkait Basis Ekologi Stress R Iterasi Ekonomi Stress R Iterasi Sosial Stress R Iterasi Kelembagaan Stress R Iterasi Gabungan Stress R Iterasi Keterangan: 1 = Simulasi menghilangkan atribut yang memiliki persentase perubahan RMS terendah 2 = Simulasi menghilangkan atribut yang memiliki persentase perubahan RMS tertinggi Berdasarkan hasil metode Efansiec, maka penilaian kepentingan (sensitivitas) suatu atribut tidak hanya didasarkan pada nilai perubahan RMS dan indeks saja, akan tetapi juga didasarkan pada skor atribut dan nilai-nilai statistik yang dihasilkan. Nilai skor yang rendah cenderung menyebabkan nilai RMS tinggi, nilai indeks dan R 2 yang rendah. Sebaliknya nilai skor yang tinggi cenderung menyebabkan nilai RMS rendah, nilai indeks dan R 2 yang tinggi. Kedua kondisi tersebut dapat dijadikan dasar penentuan sebuah atribut dikatakan penting.

164 Optimasi Pengelolaan Ekowisata Pesisir di Gugus Pulau Togean Keberlanjutan Pengelolaan Ekowisata Pesisir Keberlanjutan pengelolaan ekowisata pesisir dikembangkan melalui dinamika inter-koneksi(inter-relasi) antara elemen vital seiring dengan perubahan waktu dari sistem ekologi-ekonomi-sosial-kelembagaan yang dikaji dalam penelitian ini. Konsep dasar perumusan model mengacu pada efek berantai (cyclic effect), dimana terjadinya perubahan dalam indeks dan atribut keefektifan pengelolaan dapat mempengaruhi sistem keberlanjutan pengelolaan ekowisata pesisir. Pengembangan dalam perumusan model yang dibangun didasarkan pada model matematika sederhana dengan menggunakan persamaan pada sub bab Perangkat lunak yang digunakan untuk merumuskan dan menganalisis model yang dibangun dalam penelitian ini yakni Stella versi 7.4 (basis model disajikan pada Lampiran 12). Seperti yang telah dikemukakan dalam metode analisis, langkah awal pengembangan model keberlanjutan pengelolaan ekowisata pesisir di gugus Pulau Togean adalah merumuskan model secara matematis, lalu memasukkan nilai-nilai parameter yang diperoleh pada analisis sebelumnya ke dalam model yang dibangun dan terakhir dilakukan analisis model. Penyusunan dan analisis skenario model pengelolaan ekowisata pesisir untuk melakukan optimasi, didasarkan model dasar yang telah dibangun dan dikembangkan dalam penelitian ini (berdasarkan hasil kajian sebelumnya), dan atribut yang sensitif dari keempat dimensi pembangunan serta memilih skenario yang terbaik untuk diaplikasikan. Nilai-nilai atribut yang digunakan dalam menganalisis keberlanjutan pengelolaan ekowisata pesisir yang optimal berasal dari penelusuran literatur, hasil (output) analisis karakterisitik sumberdaya, analisis kesesuaian dan daya dukung ekowisata pesisir. Nilai-nilai atribut ini diperoleh dari metode pendugaan yang sifatnya ilmiah. Disadari bahwa keakuratan pendugaan parameter tergantung dari ketersediaan data dari sumbernya, cara dan peralatan pengambilan data di lapangan, dan metode analisis yang digunakan. Nilai level (stock), variabel driving, auxiliary dan konstanta yang digunakan untuk membangun dan menganalisis model optimasi pengelolaan ekowisata pesisir di gugus Pulau Togean disajikan pada Lampiran 14.

165 148 Nilai-nilai parameter pada Lampiran 14 dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Atribut pada Dimensi Ekologi Atribut yang berfungsi sebagai stok dalam dimensi ekologi ini yakni sumberdaya ekowisata. Nilai awal (initial) level diperoleh dari hasil analisis kesesuaian kawasan ekowisata, baik untuk kawasan terumbu karang (57.69 ha) dan mangrove (11.33 ha) maupun kawasan pantai (1.37 ha). Daya dukung kawasan terumbu karang yang berpotensi untuk ekowisata pesisir yakni ha, diperoleh dari hasil analisis dugaan yang diproksi dari luasan DPL 19.4 ha per desa dikali 5 desa (CII 2006). Laju pertumbuhan (0.146) dan degradasi terumbu karang (0.052) diperoleh dari analisis data series MRAP 1998, Laporan Monitoring dan Evaluasi Biologi 2004 di Teluk Kilat, hasil penelitian Zamani et al. (2007) dan hasil survei dalam penelitian ini (Lampiran 3). Proporsi (50%) fee konservasi diperoleh dari informasi dari pemerintah daerah dan pengelola TNKT tentang persentase dana bagi konservasi terumbu karang dan mangrove. Laju degradasi mangrove diperoleh dari data citra satelit, sementara abrasi pantai diperoleh dari wawancara terhadap pemilik cottage mengenai perubahan garis pantai di kawasan wisata. Fraksi pencemaran perairan laut diperoleh dari analisis regresi probit antara rasio kualitas air dan baku mutu dengan jumlah penduduk pada 10 stasiun pengamatan contoh yakni Fee konservasi adalah persentase dana (25 %) yang diperoleh dari pajak usaha wisata (25 %) per wisman. Fraksi fee konservasi adalah perbandingan antara besarnya dana dari fee konservasi (program rehabilitasi) karang dengan luasan terumbu karang yang dihasilkan dari program tersebut. Fee konservasi belum dikelola dengan baik sehingga belum nyata memberikan dampak pada keberlanjutan sumberdaya terumbu karang dan mangrove. 2. Atribut pada Dimensi Ekonomi Nilai awal (initial) ekonomi masyarakat lokal merupakan dampak langsung dan tidak langsung dari sektor pariwisata pesisir diperkirakan mencapai Rp juta. Nilai ini diperoleh dari upah 47 tenaga kerja wisata di enam cottage selama setahun dengan upah Rp per bulan dan pendapatan dari usaha lain yang berinteraksi dengan usaha ekowisata pesisir (perikanan dan perdagangan). Fraksi biaya terhadap pendapatan masyarakat lokal sebesar diperoleh dari pangsa biaya usaha perikanan terhadap total penerimaan nelayan. Kontribusi usaha wisata

166 149 bagi penerimaan daerah berbentuk pajak usaha, dibayarkan per tahun yang diperoleh dari 25 % biaya akomodasi dan restoran per wisman. Harga produk yang diterima dari wisman adalah besarnya penerimaan usaha wisata sebelum dikurangi biaya-biaya akomodasi dan konsumsi serta pajak usaha yang diperoleh dari seorang wisman selama menginap di usahanya yakni rata-rata Rp1.86 juta per orang. Dari total penerimaan per wisman tersebut, 1.41 % merupakan bagian dari upah tenaga kerja dan 3.88 % adalah bagian yang diterima oleh usaha-usaha turunan pendukung kegiatan ekowisata pesisir. Tax 0.25 merupakan persentase pajak usaha yang diberlakukan oleh pemerintah daerah terhadap seluruh usaha perhotelan dan restoran untuk satu orang pengunjung per sekali kunjungan di wilayah Kabupaten Tojo Una-Una, dimana 25 % dari penerimaan pajak dialokasikan untuk konservasi sumberdaya, sisanya (75 %) merupakan penerimaan daerah dari sektor pariwisata. Nilai auxilary 0.5 menunjukkan besarnya dana dari penerimaan usaha wisata yang digunakan untuk pembangunan infrastruktur penunjang pariwisata pesisir. Terkait dengan tenaga kerja lokal, laju tenaga kerja diperoleh jumlah tenaga kerja karena adanya investasi dalam usaha wisata dan karena kebutuhan wisman akan tenaga kerja yang digunakan untuk pemandu wisata (guide) dan tumbuhnya usaha-usaha baru. Nilai pada fraksi tenaga kerja per modal berarti bahwa setiap Rp penerimaan dari usaha wisata, akan dialokasikan untuk pengembangan usaha yang mampu menyerap tenaga kerja lokal sebanyak 1 orang. Nilai ini diperoleh dari perbandingan antara rata-rata modal yang diinvestasikan di usaha wisata yakni Rp dengan jumlah tenaga kerja lokal yang terserap rata-rata 7.83 orang. Nilai pada fraksi tenaga kerja per wisman merupakan hasil dari perbandingan antara kebutuhan 1(satu) tenaga kerja per 350 wisman. Ini berarti bahwa jika terjadi kelebihan sebanyak 50 dari orang wisman dari kapasitas daya tampung akomodasi (300 orang) yang tersedia, akan memerlukan 1 orang tambahan tenaga kerja. Setiap kelebihan 50 orang wisman, akan memerlukan 1 tenaga kerja sebagai pelayan homestay milik penduduk dan pemandu wisata di usaha transportasi lokal selam mengunjungi obyek-obyek wisata di Togean. Nilai konstanta pada outflows tenaga kerja lokal diperoleh dari 1 (satu) dari 8 orang tenaga kerja lokal pada usaha wisata akan keluar mencari pekerjaan lain jika kondisi kunjungan wisman memasuki low season.

167 Atribut pada Dimensi Sosial Dimensi sosial pada model pengelolaan ekowisata pesisir ini menfokuskan pada keberadaan wisman yang berkunjung ke lokasi wisata di gugus Pulau Togean. Berdasarkan data statistik tahun 2007 diperoleh kunjungan wisman mancanegara ke Kepulauan Togean sebanyak orang, namun yang berkunjung ke gugus Pulau Togean berdasarkan hasil wawancara 6 usaha wisata mencapai orang per tahun Nilai-nilai koefisien variabel dan konstanta dari sumberdaya ekowisata dan infrastruktur diperoleh dari nilai-nilai koefisien regresi linear berganda (untuk data series kunjungan, perubahan luasan terumbu karang, biaya akomodasi dan aksesibilitas/transportasi), analisis deskriptif (hasil analisis pada bab sebelumnya) dan referensi terkait. Penggunaan 2 (dua) metode pertama didasarkan pada konsep dasar yang dibangun dalam penelitian ini yakni kunjungan wisman pada suatu kawasan wisata pesisir dipengaruhi oleh faktor-faktor penarik dan faktor lain sebagai pilihan alternatif. Faktor-faktor penarik wisman untuk ke lokasi wisata togean terdiri atas kepuasan terhadap kualitas sumberdaya alam togean (terumbu karang, pantai dan mangrove), kualitas ekowisata budaya dan kualitas infrastruktur penunjang (ketersediaan akomodasi dan aksesibilitas). Faktor-faktor luar yang menyebabkan wisman keluar (memilih) obyek wisata lain terdiri atas living cost, kenyamanan wisman dan harga produk wisata di kawasan lain. Nilai-nilai atribut ketersediaan obyek ekowisata pesisir (me) sebesar 1.91, ketersediaan wisata budaya 0.63, ketersediaan infrastruktur penunjang wisata (mc) sebesar 4.26, harga produk wisata lokasi lain (0.0022) dan biaya hidup selama berwisata atau living cost ( ) diperoleh dari hasil analisis regresi berganda (hasil analisis disajikan pada Lampiran 13). Koefisien regresi living cost merupakan nilai yang diperoleh jika harga produk wisata saat ini sebesar Rp1.86 juta. Jika terjadi peningkatan harga produk wisata karena ketidakpastian ekonomi dan atau kerusuhan (ketidaknyamanan), maka seharusnya nilai koefisien living cost meningkat atau pun jika terjadi sebaliknya. Diasumsikan harga produk (koefisien ketidaknyamanan) naik sebesar Rp3.00 juta, perubahan peningkatan dalam living cost sebesar Nilai atribut kepuasan keberadaan ekowisata alam (ge), ekowisata budaya (gr) dan infrastruktur (gc) masing-masing 0.5 merupakan

168 151 setengah dari nilai dari konstanta saturasi hubungan antara laju kunjungan dengan kualitas SDA, kualitas atraksi nilai budaya dan kualitas infrastruktur setempat, dimana konstanta ini menggunakan nilai dari Casagrandi and Rinaldi (2002). Modal, nilai dan luas kawasan awal yang digunakan sebagai pembagi koefisien kualitas obyek ekowisata dan infrastruktur diperoleh dari nilai proporsi awal untuk pengembangan ekowisata budaya dan dana infrastruktur, serta penjumlahan luas obyek ekowisata (terumbu karang, mangrove dan pantai berpasir). Initial jumlah penduduk kecamatan Togean menunjukkan jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk 3.8 % pertahun (BPS Kabupaten Tojo Una-Una 2008). Keberadaan level jumlah penduduk memiliki kepentingan terhadap laju pencemaran, dan menilai rasio antara wisman dengan masyarakat lokal Kondisi Optimal Basis Pengelolaan Ekowisata Pesisir Kondisi optimal basis pengelolaan ekowisata pesisir merupakan hasil optimal kondisi sumberdaya alam, jumlah kunjungan wisman, ekonomi masyarakat lokal dan penyerapan tenaga kerja yang dicapai dari pengelolaan ekowisata pesisir berdasarkan kondisi riel saat ini. Hasil analisis terhadap basis model pengelolaan ekowisata pesisir gugus Pulau Togean dan simulasi kondisi sampai 25 tahun ke depan disajikan pada Gambar 28. Gambar 28 Basis model pengelolaan ekowisata pesisir di gugus Pulau Togean

169 152 Gambar 28 menunjukkan bahwa berdasarkan hasil optimasi, kunjungan wisman ke Kepulauan Togean cenderung meningkat walaupun dalam trend yang relatif kecil. Hal ini juga ditunjukkan oleh data ril kunjungan tahun 2001 sebanyak wisman meningkat wisman pada tahun 2007 atau meningkat 3.04 % pertahun (Disbudpar Kabupaten Tojo Una-Una 2008). Peningkatan jumlah wisman setiap tahun tersebut diperkirakan berpengaruh secara langsung terhadap peningkatan ekonomi masyarakat lokal melalui tumbuhnya usaha-usaha turunan sektor pariwisata, seperti usaha homestay, guide, usaha transpotasi lokal, dan penyerapan tenaga kerja lokal. Namun demikian, peningkatan kunjungan wisman tersebut dalam jangka panjang (diperkirakan pada tahun ke-20) akan menyebabkan penurunan kuantitas luas kawasan obyek ekowisata pesisir yang sesuai. Penurunan luasan obyek ekowisata pesisir perlu diperhatikan melalui upaya pengelolaan agar atraksi dan kunjungan wisata tidak menurun. Hasil analisis dinamik untuk model basis dan simulasi model pengelolaan berdasarkan beberapa skenario baik secara parsial maupun terintegrasi selengkapnya diuraikan pada sub-sub bab Penyusunan Skenario Pengelolaan Ekowisata Pesisir Penyusunan skenario dalam model pengelolaan ekowisata pesisir ditujukan untuk memilih alternatif rencana kebijakan yang memungkinkan ditempuh dalam menyelesaikan masalah yang dapat terjadi di kemudian hari berdasarkan kondisi saat ini. Prosedur operasional yang dapat dilakukan dalam penyusunan skenario pengelolaan melalui simulasi model yakni berdasarkan kondisi (nilai) aktual yang diperoleh dari analisis basis model pada setiap level (stok), nilai sensitivitas setiap atribut, dan nilai koefisien parameter yang dibangun pada setiap dimensi. Berdasarkan hasil EFANSIEC (parameter yang sensitif/penting dalam keefektifan pengelolaan) dan analisis basis model, diidentifikasi beberapa atribut yang berpengaruh terhadap keberlanjutan pengelolaan ekowisata pesisir, yakni: 1. Dimensi ekologi terdapat 2 (dua) atribut sensitif yang mempengaruhi indeks keefektifan pengelolaan ekowisata pesisir yakni kesesuaian ekowisata mangrove dan ekowisata selam (sumberdaya terumbu karang). Kedua atribut tersebut terkait langsung dengan eksistensi obyek wisata pesisir, sehingga perubahan dalam luasannya akan berdampak pada kualitas obyek wisata pesisir dan kunjungan wisman. Hasil analisis basis model pengelolaan ekowisata

170 153 pesisir menunjukkan bahwa dalam jangka panjang terdapat kecederungan penurunan luasan obyek ekowisata seiring dengan peningkatan kunjungan wisman sehingga diperlukan kebijakan untuk mempertahankan dan meningkatkan luasan terumbu karang dan mangrove yang sesuai. Untuk itu, skenario pengelolaan yang dilakukan meliputi: pertama, skenario pesimis yakni tidak dilakukan upaya konservasi sumberdaya, terjadi degradasi sumberdaya terumbu karang dan mangrove, dan peningkatan pencemaran (dua kali dari koefisien awal). Kedua, skenario optimis yakni efektivitas penggunaan fee konservasi, terjadi penurunan degradasi sumberdaya terumbu karang dan mangrove, dan tingkat pencemaran (dua kali dari koefisien awal). 2. Dimensi ekonomi terdapat (dua) atribut penting yakni diversifikasi kegiatan ekowisata dan harga produk wisata. Hasil analisis basis model menunjukkan trend peningkatan kunjungan wisman ke kawasan wisata Togean menyebabkan peningkatan peningkatan ekonomi masyarakat lokal dan tenaga kerja. Namun, sebaliknya peningkatan tersebut dalam jangka panjang dapat menurunkan kuantitas sumberdaya ekowisata. Skenario yang dapat dilakukan yakni dengan menurunkan harga produk ekowisata dan alokasi dana untuk diversifikasi obyek ekowisata pesisir PPK (skenario pesimis), dan skenario optimis dengan cara meningkatkan nilai koefisien kedua atribut pada skenario pesimis (dua kali dari nilai awal). Diversifikasi produk ekowisata sangat penting mengingat adanya potensi ekowisata alternatif (wisata mancing, perahu layar tradisional, berburu, dan upacara tradisional melaut), dan meningkatkan kesesuaian kawasan untuk kegiatan ekowisata pesisir (ekowisata selam dan mangrove). 3. Dimensi sosial terdapat 2 (dua) atribut sensitif yakni kenyamanan wisman dan masyarakat lokal dalam melakukan kegiatan masing-masing, dan perubahan kualitas hidup masyarakat lokal. Hasil analisis basis model menunjukkan bahwa trend peningkatan kunjungan wisman ke obyek wisata Togean karena suasana yang nyaman untuk berwisata di daerah tersebut. Skenario optimis yang dibangun dalam mendukung tujuan tersebut yakni meningkatkan nilai kualitas kenyamanan berwisata (dari Rp 3 juta ke Rp 4 juta) dan peningkatan partisipasi masyarakat lokal dalam kegiatan ekowisata (dari menjadi ). Selain itu, dilakukan pula skenario pesimis dengan cara menurunkan

171 154 ketidaknyamanan berwisata (dari Rp 3 juta ke Rp 1.5 juta) dan partisipasi masyarakat dalam kegiatan ekowisata pesisir (0.0154). 4. Dimensi kelembagaan terdapat dua atribut yang penting bagi konservasi obyek ekowisata (efektivitas regulasi fee konservasi) dan penunjang kelancaran kunjungan wisman (penyediaan infrastruktur penunjang). Skenario pesimis yang dibangun adalah penurunan alokasi dana pembangunan infrastruktur dua kali dari nilai awal (0.5), sementara fee bernilai 0. Skenario optimis yakni meningkatkan keefektifan penggunaan fee bagi konservasi dari 0 menjadi dan meningkatkan porsi dana pembangunan infrastruktur penunjang dari 0.5 menjadi Gabungan atribut penting keempat dimensi baik skenario pesimis maupun skenario optimis yang dilakukan sebanyak dua kali simulasi yakni dengan peningkatan atau penurunan nilai koefisien maupun nilai mutlak sebanyak dua kali dan tiga kali dari nilai awal (kenyamanan ditingkatkan ke 4 juta dengan dasar saat ini keamanan dan kenyamanan di lokasi wisata cukup kondusif). Beberapa skenario yang diperoleh dari analisis model pengelolaan ekowisata pesisir di gugus Pulau Togean, yakni: A. Skenario Pesimis Skenario pesimis dalam penelitian ini dimaksudkan sebagai suatu skenario kebijakan yang dilakukan dengan tidak mempertimbangkan keberlanjutan salah satu atau seluruh dimensi pengelolaan (besar kemungkinan terburuk pada satu atau lebih dimensi). Skenario pesimis yang dibangun disajikan sebagai berikut: 1. Skenario Pesimis dalam Dimensi Ekologi Skenario pesimis dalam aspek ekologi ditujukan untuk mengetahui kondisi yang terjadi jika pengelolaan ekowisata pesisir mengabaikan aspek kelestarian lingkungan. Skenario yang dibangun adalah terjadi degradasi terumbu karang dan mangrove, serta laju pencemaran meningkat dua kali dari nilai koefisien awal (basis) yakni masing-masing dari menjadi 0.102, menjadi 0.017, dan dari menjadi (hasil analisis selengkapnya disajikan pada Lampiran 15). Hasil simulasi menunjukkan bahwa peningkatan pencemaran dan degradasi sumberdaya alam (terumbu karang dan mangrove) akibat aktivitas pemanfaatan

172 155 sumberdaya PPK yang tidak terkontrol menyebabkan penurunan luasan yang sesuai bagi ekowisata pesisir dari ha menjadi ha pada tahun ke-25. Penurunan tertinggi luasan sumberdaya wisata yang sesuai untuk ekowisata terjadi pada obyek wisata terumbu karang. Namun demikian, penurunan belum berdampak pada penurunan kunjungan wisman dan ekonomi masyarakat lokal. Kondisi ini menunjukkan bahwa jika kawasan ekowisata pesisir yang berbasis ekologi (alam) mengalami penurunan, maka ekowisata budaya dapat menjadi atraksi alternatif. Penurunan jumlah dalam keempat level sumberdaya tersebut masih lebih kecil dibanding pada kondisi optimal basis. 2. Skenario Pesimis dalam Dimensi Ekonomi Skenario pesimis dalam dimensi ekonomi yakni penurunan produk wisata dan atraksi ekowisata alternatif. Skenario penurunan harga produk juga dimaksudkan untuk mengkaji konsep harga dan produk dalam konsep permintaan, dimana penurunan harga dapat meningkatkan permintaan produk bagi wisman yang berkunjung ke lokasi wisata Pulau Togean. Hasil analisis model dinamik terhadap pengelolaan ekowisata pesisir di gugus Pulau Togean jika harga produk wisata diturunkan dari Rp1.86 juta menjadi Rp1.00 juta dan proporsi pengembangan ekowisata alternatif menjadi 0.2, selengkapnya disajikan pada Lampiran 15. Hasil simulasi menunjukkan bahwa jika harga produk wisata pesisir diturunkan dan porsi pengembangan ekowisata pesisir alternatif dikurangi, maka terjadi penurunan ekonomi masyarakat lokal dalam jumlah yang relatif kecil. Sebaliknya terjadi peningkatan kunjungan wisman dalam jumlah yang relatif kecil dan penyerapan tenaga kerja lokal. Peningkatan kedua level tersebut masih lebih kecil dari simulasi atribut ekologi. Walaupun peningkatan kunjungan wisman relatif kecil, namun dalam jangka panjang (tahun ke-20an) terjadi penurunan luas kawasan ekowisata pesisir yang sesuai. Hal ini kemungkinan terjadi akibat peningkatan aktivitas masyarakat dengan meningkatnya jumlah wisman, sehingga terjadi peningkatan laju pencemaran dan degradasi sumberdaya. Terkait dengan penyerapan tenaga kerja, hasil simulasi menunjukkan bahwa walaupun proporsi upah tenaga kerja lokal tetap dan harga produk menurun namun penyerapan tenaga kerja juga meningkat.

173 Skenario Pesimis dalam Dimensi Sosial Skenario pesimis dalam dimensi sosial yakni penurunan tingkat kenyamanan beraktifitas (wisman dan masyarakat lokal) dan partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan kegiatan ekowisata pesisir. Simulasi ini ditujukan untuk mengkaji dampak skenario pengelolaan terhadap kualitas hidup (melalui penyerapan tenaga kerja dan ekonomi masyarakat lokal). Bentuk operasional skenario yakni ketidaknyamanan karena prasarana dan sarana yang terbatas, lokasi wisata yang kurang aman, dan seluruh kegiatan ekowisata yang seharusnya dilakukan oleh masyarakat (guide, transporter dan nelayan untuk pemenuhan kebutuhan makanan bagi wisman) diambil alih oleh usaha wisata. Hasil analisis model dinamik skenario pada dimensi sosial terhadap pengelolaan ekowisata pesisir di gugus Pulau Togean disajikan pada Lampiran 13. Hasil simulasi dalam dimensi sosial dengan menurunnya kenyamanan beraktivitas dan tingkat partisipasi masyarakat yang rendah akan menyebabkan penurunan dalam kunjungan wisman, pendapatan (ekonomi) yang diterima masyarakat lokal, dan jumlah tenaga kerja yang terserap dalam kegiatan ekowisata pesisir sehingga berdampak pada penurunan kualitas hidup. Penurunan kunjungan wisman dan ekonomi masyarakat lokal dalam jangka panjang, menyebabkan penurunan luas kawasan ekowisata pesisir yang sesuai dalam jumlah yang relatif kecil. Hal ini menunjukkan bahwa rendahnya aktivitas wisata pesisir dapat melestarikan sumberdaya perairan di PPK (terumbu karang dan mangrove). Di lain pihak, ada indikasi bahwa penurunan kualitas hidup masyarakat lokal menyebabkan terjadinya konsentrasi masyarakat pada satu pekerjaan (perikanan misalnya) yang kecenderungan pada pemanfaatan sumberdaya alam yang berlebihan. Ketidaknyamanan juga dapat disebabkan karena adanya regulasi yang belum memihak pada masyarakat umum. Issu tentang pembatasan dalam pemanfaatan sumberdaya alam dan rendahnya keterlibatan masyarakat dalam kegiatan ekowisata saat ini menyebabkan sebagian masyarakat tidak setuju dengan keberadaan TNKT. 4. Skenario Pesimis dalam Dimensi Kelembagaan Skenario pesimis dalam dimensi kelembagaan adalah tidak ada perbaikan dalam pengelolaan regulasi fee konservasi dan penambahan infrastruktur

174 157 penunjang ekowisata pesisir yang berdampak pada tidak kompetitifnya kawasan ekowisata pesisir Togean. Infrastruktur penunjang yang dimaksud adalah prasarana transportasi, akomodasi dan telekomunikasi. Hasil analisis model dinamik dari skenario kurangnya ketersediaan infrastruktur terhadap pengelolaan ekowisata pesisir di gugus Pulau Togean disajikan pada Lampiran 15. Hasil simulasi ketersediaan infrastruktur penunjang menunjang bahwa terjadi peningkatan kunjungan wisman dalam jumlah yang relatif kecil dibanding pada skenario dimensi ekologi dan ekonomi. Skenario ini juga memperlihatkan bahwa peningkatan jumlah wisman dan ekonomi masyarakat lokal dalam jangka panjang berdampak pada penurunan luas kawasan ekowisata pesisir yang sesuai. Peningkatan ekonomi lokal relatif lebih kecil dari skenario ekologi, namun masih lebih besar dari skenario ekonomi dan sosial. Perbedaan ini disebabkan oleh pengaruh langsung dari penurunan harga produk (skenario ekonomi) dan ketidaknyamanan menyebabkan penurunan dalam jumlah wisman dan pendapatan usaha wisata. Namun demikian terdapat kecenderungan bahwa dengan infrastruktur penunjang yang terbatas, kunjungan wisman ke kawasan ekowisata pesisir Togean masih tetap meningkat setiap tahunnya. 5. Skenario Pesimis Gabungan Skenario pesimis gabungan dilakukan untuk mengetahui kondisi terburuk dari seluruh level (dimensi) pengelolaan ekowisata pesisir akibat ditiadakannya upaya konservasi, peningkatan laju pencemaran dan degradasi sumberdaya PPK, penurunan harga produk ekowisata pesisir, rendahnya partisipasi masyarakat lokal, ketidaknyamanan wisman dan masyarakat lokal, dan keterbatasan infrastruktur penunjang kegiatan ekowisata. Hasil analisis model dinamik dalam skenario pengelolaan pesimis gabungan terhadap kegiatan ekowisata pesisir di gugus Pulau Togean disajikan pada Tabel 31. Tabel 31 menunjukkan bahwa akibat pengelolaan ekowisata yang kurang baik dalam atribut ekologi, ekonomi, sosial dan kelembagaan menyebabkan seluruh level dimensi mengalami penurunan kuantitas baik dalam hal luasan obyek ekowisata pesisir yang sesuai, ekonomi masyarakat lokal dan kunjungan wisman. Pada skenario 1, penurunan kualitas dan kuantitas obyek ekowisata pesisir sampai pada tahun ke-20 belum menyebabkan penurunan kunjungan wisman, namun

175 158 setelah tahun tersebut jumlah kunjungan wisman mengalami penurunan. Sementara dampak dari skenario 2 dan 3, terjadi penurunan jumlah wisman dari tahun ke-1 sampai ke-25, dengan perubahan terbesar pada skenario 3. Peningkatan dalam kunjungan wisman pada skenario 1 disebabkan oleh keberadaan atraksi ekowisata budaya dan sisa kawasan ekowisata pesisir yang sesuai (26.20 ha pada tahun ke- 20). Penurunan luasan obyek ekowisata pesisir, ekonomi masyarakat dan penyerapan tenaga kerja lokal pada skenario 2 lebih besar dari skenario pada tahun pertama sampai tahun ke 5 mengalami perubahan yang cukup besar dan signifikan, selanjutnya mengalami perubahan yang relatif kecil sampai konstan. Tabel 31 Perubahan nilai stok pada skenario pesimis gabungan proyeksi 25 Tahun No Dimensi dan Jenis Tahun ke- Stok Total sumberdaya wisata (ha) - Optimal Basis Skenario pesimis Skenario pesimis Skenario pesimis Ekonomi masyarakat lokal (Rp juta) - Optimal Basis Skenario pesimis Skenario pesimis Skenario pesimis Tenaga kerja lokal (orang) - Optimal Basis Skenario pesimis Skenario pesimis Skenario pesimis Populasi wisman (orang) - Optimal Basis Skenario pesimis Skenario pesimis Skenario pesimis Keterangan untuk simulasi: - Optimal basis : nilai stok berdasarkan kondisi eksisting - Skenario pesimis 1: peningkatan pencemaran air, degradasi sumberdaya, harga produk ekowisata dan kenyamanan turun, serta penyediaan infrastruktur berubah 2 kali dari nilai awal - Skenario pesimis 2: peningkatan pencemaran air, degradasi sumberdaya, harga produk ekowisata dan kenyamanan turun, serta penyediaan infrastruktur berubah 3 kali dari nilai awal - Skenario pesimis 3: peningkatan pencemaran air, degradasi sumberdaya, harga produk ekowisata turun, dan penyediaan infrastruktur berubah 2 kali dari nilai awal, nilai kenyamanan memburuk. Dampak terbesar akibat skenario 2 adalah penurunan luasan yang sesuai untuk obyek ekowisata pesisir terutama yang sifatnya sumberdaya terbarukan seperti terumbu karang dan mangrove. Skenario 2, luasan terumbu karang yang sesuai bagi

176 159 kegiatan ekowisata akan mengalami kerusakan parah (collaps) pada tahun ke-14, sementara mangrove yang sesuai masih tersisa 5.96 ha pada tahun ke-25. Kawasan pantai relatif tidak berubah oleh karena koefisien perubahan luasannya relatif kecil sehingga sampai pada tahun ke-25 belum menunjukkan adanya perubahan (Lampiran 17). Hasil simulasi pada skenario 3 menunjukkan bahwa terjadi perubahan yang signifikan dalam ekonomi masyarakat lokal, penyerapan jumlah tenaga kerja lokal dan kunjungan wisman. Besarnya perubahan ini disebabkan oleh menurunnya ketidaknyamanan wisaman dalam berwisata dan terganggunya masyarakat lokal dalam melakukan aktivitas. Skenario ketidaknyamanan dalam penelitian ini diasumsikan terjadi gangguan keamanan di lokasi ekowisata maupun dalam negeri Indonesia sehingga terjadi penurunan dalam nilai kenyamanan beraktivitas atau peningkatan dalam biaya berekowisata oleh turis. Di lain pihak penurunan dalam jumlah kunjungan wisman, mampu mengurangi perubahan dalam kuantitas dan kualitas obyek ekowisata (nilai luasan obyek ekowisata pada skenario 3 lebih besar dari skenario 1 dan 2). B. Skenario Optimis Skenario optimis dalam penelitian ini dimaksudkan sebagai suatu skenario kebijakan yang dilakukan dengan mempertimbangkan keberlanjutan seluruh dimensi pengelolaan ekowisata pesisir. Ini berarti bahwa skenario ini dilakukan untuk mengoptimalkan semua dimensi (melalui atribut-atributnya) sehingga pengelolaan ekowisata pesisir menjadi lebih efektif dan berkelanjutan. Skenario pengelolan optimis yang disimulasikan dalam penelitian ini merupakan kebalikan dari skenario pesimis (selengkapnya dijelaskan pada bagian berikut). 1. Skenario Optimis dalam Dimensi Ekologi Skenario optimis dalam dimensi ekologi yang disimulasikan dalam optimasi pengelolaan ekowisata pesisir adalah peningkatan efektivitas penggunaan dana (fee) konservasi (dari 0 menjadi ), penurunan pencemaran, degradasi terumbu karang dan mangrove sebanyak dua kali dari nilai koefisien awal. Hasil analisis model dinamik dalam skenario optimis dimensi ekologi pengelolaan ekowisata pesisir yang optimal di gugus Pulau Togean disajikan pada Lampiran 16.

177 160 Hasil simulasi menunjukkan bahwa dengan efektivitas penggunaan dana (fee) konservasi dan penurunan tingkat pencemaran, degradasi terumbu karang dan mangrove dikurangi menyebabkan seluruh level dimensi pengelolaan ekowisata pesisir mengalami peningkatan. Jika pada pengelolaan wisata pesisir saat ini luas kawasan yang sesuai untuk obyek ekowisata pesisir mencapai ha, maka dalam tahun ke-10 dan ke-20 luas kawasan ekowisata pesisir (terumbu karang dan mangrove) meningkat masing-masing ha dan ha. Peningkatan luasan kawasan ekowisata pesisir yang sesuai juga memacu peningkatan ekonomi masyarakat lokal, penyerapan tenaga kerja, dan kunjungan wisman. Implikasi dari skenario pengelolaan ini adalah efektivitas dan kepastian pendanaan bagi program konservasi sumberdaya terumbu karang dan mangrove sangat dibutuhkan guna meningkatkan dan menjaga kelestarian obyek ekowisata. Nilai auxilary fee konservasi menunjukkan bahwa jika dana konservasi dari usaha wisata sebesar Rp100 juta diefektifkan penggunaannya, akan meningkatkan luasan kawasan ekowisata pesisir yang sesuai sampai 1 ha per tahun. Fee konservasi akan lebih efektif lagi jika dengan jumlah dana yang lebih rendah dapat mempertahankan keberadaan ekowisata pesisir. Salah satu upaya konservasi yang efektif dilakukan adalah keberadaan Daerah Perlindungan Laut berbasis masyarakat lokal. Walaupun nilai nominal fee konservasi cukup kecil, namun jika diserahkan ke masyarakat lokal untuk tujuan menjaga budaya lokal yang berbasis konservasi dan untuk tumbuhnya kesadaran masyarakat dalam menjaga sumberdaya perairan PPK, maka manfaatnya akan sangat besar. Terkait dengan dukungan kelestarian terumbu karang dan mangrove, terdapat atribut yang saling terkait yakni kesesuaian ekowisata mangrove, ekowisata selam dan penggunaan lahan pantai untuk bangunan wisata. Penurunan luas mangrove mengakibatkan berbagai dampak baik fisik seperti abrasi dan sedimentasi, maupun dampak biologi seperti hilangnya zonasi dan habitat fauna mangrove, penurunan drastis frekuensi, diversitas, densitas, dan dominansi mangrove (Adhiasto 2001). Penurunan luasan mangrove menyebabkan juga penurunan tingkat kesesuaian untuk wisata mangrove. Perubahan dalam pemanfaatan kawasan pantai menyebabkan terjadinya sedimentasi yang mempengaruhi kehidupan terumbu karang dan kesesuaiannya untuk wisata selam dan snorkeling.

178 161 Berdasarkan nilai yang diperoleh dari hasil EFANSIEC dan hasil analisis model dinamik yang didasarkan pada kondisi terkini (basis) dan simulasi atribut dalam dimensi ekologi, maka beberapa hal yang perlu dipertimbangkan untuk menjadi sebuah kebijakan daerah maupun nasional: 1. Efektivitas penggunaan dana konservasi sumberdaya terumbu karang dan mangrove sebagai obyek utama wisata pesisir di gugus Pulau Togean sangat dibutuhkan oleh karena dapat meningkatkan luasan terumbu karang dan mangrove yang sesuai untuk kegiatan ekowisata pesisir, mampu meningkatkan ekonomi masyarakat, penyerapan tenaga kerja lokal dan kunjungan wisman. 2. Wujud operasional dalam mengefektifkan dana konservasi yakni program konservasi yang telah direncanakan oleh pemda dan balai TNKT menggunakan dana konservasi. Bentuk kegiatannya adalah pemerintah dan pengusaha wisata bekerjasama dengan lembaga penelitian dan pengembangan, LSM dan masyarakat lokal untuk melaksanakan kegiatan rehabilitasi (metode transplantasi, dan lainnya). Dana konservasi dapat digunakan sebagai bantuan modal awal dalam penyelenggaraan kegiatan ekowisata pesisir (lomba perahu, memancing, berburu dan upacara adat melaut), dan sebagai biaya pengawasan pemanfaatan sumberdaya PPK (terumbu karang, mangrove dan ikan) secara melembaga guna meminimalkan dampak kegiatan yang merusak sumberdaya. 2. Skenario Optimis dalam Dimensi Ekonomi Skenario optimis dalam dimensi ekonomi ditujukan untuk mengendalikan jumlah wisman yang berkunjung, meningkatkan ekonomi masyarakat lokal dan untuk mempertahankan dan atau meningkatkan luasan terumbu karang dan mangrove. Skenario yang dibangun adalah harga produk ekowisata pesisir dan diversifikasi kegiatan ekowisata guna mengoptimalkan potensi wisata pesisir dan wisata budaya yang terkait. Hasil simulasi peningkatan upah tenaga kerja lokal dan harga produk ekowisata pesisir disajikan Lampiran 16. Hasil simulasi menunjukkan bahwa peningkatan harga produk ekowisata pesisir yang berdampak pada peningkatan biaya hidup wisman (living cost) tidak menyebabkan penurunan dalam kunjungan wisman. Sebaliknya dalam jangka panjang, peningkatan harga produk ekowisata dan diversifikasi kegiatan ekowisata berdampak pada penurunan luas kawasan ekowisata pesisir (tahun ke-20an).

179 162 Peningkatan kunjungan wisman secara langsung berdampak pada peningkatan ekonomi masyarakat lokal dan penyerapan tenaga kerja. Dampak yang ditimbulkan dari skenario ini berbeda dengan skenario dimensi ekologi, dimana skenario tersebut secara simultan mampu meningkatkan seluruh level sumberdaya (walaupun dalam jumlah yang lebih kecil dari skenario dimensi ekonomi). Ini menunjukkan bahwa peningkatan harga produk tanpa upaya konservasi yang lebih intensif kurang berpengaruh terhadap perbaikan sumberdaya alam, namun lebih ke arah perbaikan ekonomi masyarakat lokal dan penyerapan tenaga kerja. Berdasarkan hasil analisis efektivitas pengelolaan ekowisata pesisir dalam dimensi ekonomi dan hasil analisis dinamik, dalam menyusun kebijakan ekonomi perlu memperhatikan: 1. Diversifikasi kegiatan ekowisata pesisir dapat mengoptimalkan potensi sumberdaya alam dan budaya PPK, serta menstimulus tumbuhnya usaha-usaha ekonomi masyarakat lokal dalam skala mikro sehingga mampu menyediakan lapangan kerja baru bagi tenaga kerja lokal. 2. Kebijakan untuk meningkatkan harga produk wisata sangat baik untuk tujuan peningkatan nilai nominal ekonomi masyarakat lokal melalui jenis usaha yang terkait langsung dengan kegiatan ekowisata (perikanan, perdagangan dan transportasi), dan ekonomi daerah melalui pajak yang dibayarkan oleh usaha wisata yang nantinya dapat digunakan kembali oleh masyarakat lokal melalui penyediaan prasarana pendidikan, kesehatan dan transportasi. 3. Kebijakan diversifikasi kegiatan ekowisata pesisir juga dapat memacu peningkatan kunjungan wisman dan peningkatan ekonomi masyarakat lokal melalui tumbuhnya usaha-usaha turunan seperti jasa guide, usaha cinderamata, nelayan, homestay, ojek laut (transporter) ke lokasi wisata dan lainnya. Peningkatan kedua level ini secara ekonomi dapat meningkatkan investasi dalam bentuk infrastruktur wisata dan jasa tenaga kerja pelayanan terhadap para wisman dan kualitas hidup. 4. Skenario dalam dimensi ekonomi ini tidak serta merta dapat meningkatkan ketersediaan (kelestarian) sumberdaya ekowisata, sehingga diperlukan kebijakan lain yang dapat meminimalisir dampak negatif dari kebijakan ekonomi. Ini berarti bahwa kebijakan pembangunan dari sisi keberlanjutan

180 163 ekonomi tidak dapat berdiri-sendiri tanpa kebijakan lain karena berdampak negatif bagi kelestarian sumberdaya sehingga diperlukan kebijakan konservasi sumberdaya dan penerapan aturan (kelembagaan yang efektif dan konsisten). 3. Skenario Optimis dalam Dimensi Sosial Skenario optimis dalam dimensi sosial adalah peningkatan partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan ekowisata pesisir dan mempertahankan kenyamanan wisman dan masyarakat dalam beraktivitas. Operasional atribut yakni pembagian kegiatan yang terkait dengan ekowisata seperti penyediaan transportasi lokal dalam melayani kunjungan wisman ke kawasan wisata berbasis pesisir dan laut (terumbu karang, mangrove dan pantai) dan kawasan wisata yang berbasis budaya dan sejarah (etnis Bajau dan Bobongko serta pesawat pembom Amerika Serikat). Simulasi ini diharapkan dapat meningkatkan ekonomi masyarakat lokal yang diiringi dengan peningkatan kualitas hidup (tingkat pendidikan yang tinggi, kesehatan yang baik dan perumahan yang layak). Hasil simulasi kenyamanan dan peningkatan partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan kegiatan ekowisata pesisir disajikan pada Lampiran 16. Hasil simulasi menunjukkan bahwa peningkatan partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan ekowisata pesisir mampu meningkatkan ekonomi masyarakat lokal dan penyerapan tenaga kerja serta kunjungan wisman (jumlahnya relatif kecil dibanding skenario ekologi dan ekonomi). Dampak skenario dalam dimensi sosial terhadap luas kawasan ekowisata pesisir relatif sama dengan skenario dimensi ekonomi yakni kecenderungan penurunan luas obyek ekowisata pesisir dalam jangka panjang. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan kebijakan yang terkait dengan atribut sosial dan ekonomi harus selalu diiringi dengan kebijakan dari dimensi ekologi guna meningkatkan keberlanjutan obyek ekowisata pesisir. Tisdell (1998a) menyatakan bahwa penerimaan dan keterlibatan masyarakat lokal (social acceptability) dalam kegiatan ekowisata dapat berpengaruh terhadap keberlanjutan ekonomi masyarakat walaupun dalam jumlah yang relatif kecil. Namun demikian, peningkatan keterlibatan masyarakat lokal harus diiringi dengan perbaikan dalam aspek lain terutama dimensi ekologi Oleh sebab itu, beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam penyusunan kebijakan adalah:

181 Keterbukaan masyarakat Togean dengan masuknya wisman sangat dibutuhkan eksistensinya dalam pengelolaan ekowisata pesisir yang optimal. 2. Namun karakteristik sosial budaya ini dapat memberikan peluang besar bagi peningkatan kunjungan ke kawasan obyek wisata Togean. Jika tidak dilakukan upaya konservasi sumberdaya alam, maka peningkatan kunjungan dapat mengancam kelestarian sumberdaya alam (terumbu karang dan mangrove). 3. Ini berarti bahwa kebijakan dari sisi sosial budaya tidak dapat berjalan sendiri tanpa diiringi dengan kebijakan dari sisi ekologi (konservasi). 4. Fluktuasi kunjungan wisman juga dipengaruhi faktor sosial lain (di luar model dinamik yang dibangun) yakni faktor keamanan dan kenyamanan di daerah (Kepulauan Togean Kabupaten Tojo Una-Una) dan dalam negeri Indonesia. 4. Skenario Optimis dalam Dimensi Kelembagaan Skenario optimis dalam dimensi kelembagaan adalah efektivitas penggunaan fee untuk upaya konservasi dan penyediaan infrastruktur penunjang ekowisata pesisir yang berdampak pada harga produk wisata menjadi lebih kompetitif. Infrastruktur penunjang yang diperbaiki adalah prasarana transportasi guna menurunkan biaya perjalanan, dan akomodasi untuk meningkatkan kepuasan wisman. Hasil simulasi optimis dimensi kelembagaan melalui perbaikan infrastruktur penunjang kegiatan ekowisata pesisir disajikan pada Lampiran 16. Hasil simulasi menunjukkan bahwa efektivitas penggunaan dana konservasi dan penyediaan infrastruktur penunjang kegiatan ekowisata dapat meningkatkan keberlanjutan obyek ekowisata pesisir, kunjungan wisman yang secara langsung juga dapat meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat lokal dan penyerapan tenaga kerja. Peningkatan luas kawasan ekowisata pesisir lebih kecil dibanding dengan skenario ekologi. Namun dari sisi pencapaian peningkatan ekonomi lokal, penyerapan tenaga kerja dan kunjungan wisman, skenario dimensi kelembagaan masih lebih besar nilainya. Ini menunjukkan bahwa diperlukan perhatian yang lebih besar dari pemerintah dalam memanfaatkan secara optimal sumber-sumber dana bagi konservasi sumberdaya alam dan budaya, dan dalam penyediaan infrastruktur penunjang yang memadai bagi kegiatan ekowisata pesisir.

182 Skenario Optimis Gabungan Skenario optimis gabungan merupakan simulasi yang dilakukan dengan cara menggabungkan dua atau lebih atribut untuk dianalisis dalam model yang dibangun. Seperti diketahui dalam analisis parsial sebelumnya bahwa peningkatan harga produk ekowisata pesisir, mempertahankan tingkat kenyamanan dan meningkatkan partisipasi masyarakat lokal belum dapat meningkatkan luas kawasan ekowisata pesisir dalam jangka panjang sehingga diperlukan upaya konservasi baik dari pendekatan ekologi secara langsung maupun pendekatan kelembagaan. Posisi keempat level sumberdaya jika terjadi peningkatan atribut penting pada keempat dimensi pengelolaan disajikan pada Tabel 32. Tabel 32 Perubahan nilai stok pada skenario optimis gabungan proyeksi 25 tahun No Dimensi dan Jenis Tahun ke- Stok Total sumberdaya wisata (ha) - Optimal Basis Skenario optimis Skenario optimis Skenario optimis Ekonomi masyarakat lokal (Rp juta) - Optimal Basis Skenario optimis Skenario optimis Skenario optimis Tenaga kerja lokal (orang) - Optimal Basis Skenario optimis Skenario optimis Skenario optimis Populasi wisman (orang) - Optimal Basis Skenario optimis Skenario optimis Skenario optimis Keterangan untuk simulasi: - Optimal basis : nilai stok berdasarkan kondisi eksisting - Skenario optimis 1: penurunan degradasi sumberdaya, harga dan diversifikasi produk ekowisata, dan penyediaan infrastruktur meningkat 2 kali dari nilai awal, efektivitas fee konservasi dari 0 ke 1.0E-008, serta kenyamanan sama dengan kondisi basis. - Skenario optimis 2: penurunan degradasi sumberdaya, harga dan diversifikasi produk ekowisata, dan penyediaan infrastruktur meningkat 3 kali dari nilai awal, serta efektivitas fee konservasi dari 0 ke 1.0E-007, serta kenyamanan sama dengan kondisi basis. - Skenario optimis3: penurunan degradasi sumberdaya, harga dan diversifikasi produk ekowisata meningkat, penyediaan infrastruktur berubah 3 kali dari nilai awal, efektivitas fee konservasi dari 0 ke 5.0E-007 serta kenyamanan meningkat.

183 166 Tabel 32 menunjukkan bahwa skenario 3 pengelolaan ekowisata pesisir merupakan hasil yang terbaik jika dibandingkan dengan skenario 1 dan 2. Hal ini disebabkan oleh nilai yang diperoleh dari setiap level sumberdaya umumnya (ekonomi masyarakat lokal, tenaga kerja dan jumlah wisman) lebih tinggi pada skenario 3 dibanding pada skenario 1 dan 2 (kecuali luasan obyek ekowisata pesisir). Tingginya luasan ekowisata pesisir yang diperoleh pada skenario 2 disebabkan karena efektivitas penggunaan fee konservasi lebih besar dibanding skenario 3 dan 1. Pemilihan skenario 3 sebagai yang terbaik juga didasarkan oleh evaluasi model terhadap rasionalitas nilai luas kawasan obyek ekowisata pesisir. Diketahui bahwa kawasan ekowisata pesisir yang sesuai lebih terbatas luasnya dibanding kawasan untuk wisata pesisir. Hal ini disebabkan oleh kegiatan ekowisata pesisir PPK tidak hanya menyangkut kegiatan wisata di perairan laut akan tetapi juga wisata di daratan terutama wisata budaya (dimensi masyarakat) yang terkait dengan potensi sumberdaya perairan laut. Hasil yang diperoleh dari simulasi pada skenario 3 menunjukkan bahwa nilai tutupan terumbu karang dan kawasan mangrove yang sesuai untuk kegiatan ekowisata pesisir dapat ditingkatkan sampai ha dan ha di tahun ke-25 (Lampiran 15). Hasil ini mendekati luasan rencana zonasi TNKT untuk pemanfaatan terbatas yang diperkirakan mencapai ha atau 10 % dari total luas gugus Pulau Togean (Bappeda Kabupaten Tojo Una-Una 2008). Penggunaan fee konservasi yang efektif diartikan sebagai pencapaian terbaik suatu program konservasi sumberdaya walaupun dana yang digunakan terbatas. Namun demikian peningkatan dalam luasan obyek ekowisata pesisir pada skenario 2 tidak secara langsung dapat meningkatkan level sumberdaya lainnya (ekonomi masyarakat lokal, tenaga kerja dan kunjungan wisman). Skenario 3 menunjukkan bahwa dengan fraksi fee yang lebih rendah dibanding pada skenario 2, namun karena kenyamanan (prasarana transportasi, perbaikan pelayanan, dan keamanan) dalam kegiatan berwisata ditingkatkan, maka kunjungan wisman pun meningkat dan secara langsung dapat meningkatkan ekonomi lokal dan daerah. Peningkatan ekonomi lokal tersebut didukung secara langsung oleh peningkatan harga produk ekowisata, dan tumbuhnya usaha-usaha ekowisata alternatif dan mengoptimalkan kegiatan ekowisata pesisir. Pencapaian maksimum jumlah kunjungan (daya dukung

184 167 sosial dan integrasi kunjungan per tahun) pada skenario 3 diperoleh pada tahun ke-25. Nilai ekonomi lokal yang diperoleh dari total kunjungan tersebut mencapai Rp5.42 milyar dan penyerapan tenaga kerja mencapai 974 orang. Potensi penerimaan daerah melalui pajak berdasarkan skenario ini mencapai Rp17.25 milyar dan dana konservasi sebesar Rp 4.31 milyar per tahun (dengan asumsi pengeluaran per wisman per kunjungan sebesar Rp 3 juta). Penelitian ini juga membandingkan antara jumlah kunjungan wisman dengan daya dukung dengan asumsi bahwa harga produk ekowisata dan sarana akomodasi dianggap tetap (ceteris paribus), oleh karena pasar ekowisata adalah pasar persaingan sempurna, dimana harga ditentukan oleh mekanisme pasar. Sementara akomodasi dianggap tetap karena keterbatasan lahan untuk mendirikan bangunan mengingat keadaan topografi lahan pulau Togean yang berbukit. Terkait dengan hal tersebut, kunjungan wisman akan melebihi daya dukung ekonomi pada tahun ke-7 pada (skenario 2 dan 3), ke-25 (skenario 1), serta melebihi daya dukung fisik pada tahun ke-23 (skenario 3). Peningkatan jumlah kunjungan yang melebih daya dukung ekonomi tersebut harus dikelola dengan baik agar tidak terjadi over capacity pada bulan dan hari tertentu dalam pelaksanaan kegiatan ekowisata. Kondisi daya dukung kawasan ekowisata Togean terkait dengan peningkatan jumlah kunjungan disajikan pada Gambar 29. Ekses demand Gambar 29 Perbandingan kunjungan wisman dengan daya dukung kawasan

185 168 Gambar 29 menunjukkan bahwa akibat peningkatan kunjungan wisman menyebabkan jumlah wisman yang berkunjung ke Togean akan melebihi daya dukung ekonomi setelah tahun ke-7, dan melebihi daya dukung fisik pada tahun ke- 23. Kencederungan kunjungan wisman yang terus meningkat akan menyebabkan terganggunya kenyamanan beraktivitas antara masyarakat lokal dengan wisman (daya dukung sosial) pada tahun ke-25, dimana jumlah kunjungan wisman per hari pada saat itu sebanyak 610 orang. Jumlah kunjungan wisman tersebut masih di bawah daya dukung ekologi (962 orang per hari). Hal ini sesuai dengan pernyataan Seidl and Tisdell (1999), bahwa faktor psikologi (sosial) dapat membatasi masuknya seseorang pada suatu kawasan, walaupun secara ekologi masih tersedia ruang untuk beraktivitas. Ekses demand (permintaan) menunjukkan terdapat kelebihan kunjungan wisman (310 wisman pada tahun ke-25) yang tidak dapat dilayani oleh pengusaha wisata (karena keterbatasan fasilitas akomodasi), dan merupakan multiplier effect ekonomi yang dapat dimanfaatkan masyarakat lokal melalui usaha-usaha turunan wisata (usaha homestay, guide, usaha transportasi lokal, dan lainnya). Implikasi dari skenario optimis dari empat dimensi yang terintegrasi adalah diversifikasi produk ekowisata pesisir, peningkatan kenyamanan di kawasan wisata, upaya konservasi sumberdaya dan ketersediaan prasarana harus menjadi fokus perhatian bagi seluruh pemangku kepentingan. Peningkatan partisipasi masyarakat lokal dan perbaikan dalam atribut dimensi kelembagaan (fee konservasi) diperlukan guna kelestarian sumberdaya, nilai budaya dan kualitas hidup masyarakat lokal (Damanik dan Weber 2006). Tisdell (1996) menyatakan bahwa jika kegiatan wisata dikombinasikan secara efektif dengan kegiatan konservasi dalam kawasan alami secara terencana, akan meminimalisir dampak kerusakan lingkungan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara: (1) zonasi kawasan yang dilindungi, (2) menjamin struktur bangunan wisata dapat meminimalisir dampak terhadap lingkungan alami, (3) pembatasan jumlah dan tipe wisman yang berkunjung, (4) ketepatan dari sisi pendidikan wisata sehingga dapat mereduksi kerusakan lingkungan oleh wisman, dan (5) tidak semua kegiatan ekowisata memiliki tipe yang sama dan mencari pengalaman yang sama. Upadhyay et al. (2002), strategi yang dapat dilakukan untuk tujuan konservasi sumberdaya dan

186 169 pencegahan konflik antar pemanfaatan adalah dengan menetapkan zona kawasan yang dibagi dalam dua kategori umum yakni zona pemanfaatan tradisional dan perikanan komersil. Katon et al. (2000), dukungan secara terus-menerus dari struktur kekuatan politik legislatif dan eksekutif merupakan suatu kebutuhan ketika hukum benar-benar dijalankan dan capaian pengelolaan sumberdaya ingin tetap terjaga (berkesinambungan). Manfaat sosial ekonomi yang diperoleh dari kegiatan ekowisata tersebut terkait dengan penyediaan lapangan kerja melalui optimasi kegiatan ekowisata yang telah sesuai dan alternatif (ekowisata pancing (mina wisata), perahu layar tradisional, berburu), pengelolaan aset ekowisata budaya (peninggalan bersejarah, musik dan tarian tradisonal upacara adat melaut). Selain itu menstimulir peningkatan pendapatan dan pertumbuhan ekonomi lokal melalui kegiatan turunan wisata (penginapan, souvenir, jasa transportasi dan rumah makan), memperlancar pertukaran mata uang asing, menumbuhkan diversifikasi usaha, menumbuhkan sistem tarnasportasi dan komunikasi, meningkatkan permintaan produk lokal, sarana penyedia ekonomi guna mendukung pemeliharaan budaya lokal dan menfasilitasi saling pengertian dan komunikasi antar budaya (Tisdell 1996) Validasi Model Model divalidasi dengan membandingkan perfomansi model dari hasil analisis basis model dari beberapa level (stok) sumberdaya dengan hasil analisis data pengamatan dan sekunder melalui pengujian secara statistik. Level sumberdaya yang digunakan untuk validasi model adalah jumlah wisman dan kuantitas obyek ekowisata pesisir (terumbu karang dan mangrove). Persyaratan statistik yang diuji adalah tanda aljabar (sign), besaran koefisien determinasi (R 2 ), dan rata-rata nilai prediksi dari level (Y). Nilai statistik untuk uji validasi model disajikan pada Tabel 33. Tabel 33 menunjukkan bahwa baik persyaratan tanda aljabar (sign) maupun rata-rata nilai prediksi level (kunjungan wisman dan sumberdaya) umumnya menunjukkan nilai yang relatif sama, kecuali pada nilai koefisien determinasi (R 2 ) kunjungan wisman terhadap perubahan luas terumbu karang. Perbedaan ini terkait dengan penggunaan data hasil analisis dinamik terumbu karang yang diperoleh dari analisis kesesuaian kawasan untuk ekowisata pesisir yang memiliki nilai relatif

187 170 kecil (Lampiran 17) dibanding data lapangan yang menggunakan data luas terumbu karang di Kepulauan Togean (Lampiran 3 point E.). Nilai R 2 yang cukup kecil pada hasil analisis data lapangan menunjukan bahwa pada kondisi ril lapangan, variasi nilai kunjungan wisman dan luasan terumbu karang tidak hanya dipengaruhi oleh salah satu atribut tersebut, akan tetapi dipengaruhi juga oleh faktor lain yang tidak dimasukan dalam model ini. Tabel 33 Hasil analisis statistik berdasarkan persyaratan validasi No. Jenis persyaratan statistik Nilai hasil analisis data Nilai hasil analisis dinamik lapangan Tanda R 2 Rataan Rataan Y Tanda R Y predik predik 1. Luas karang (X) terhadap kunjungan wisman (Y) 2. Kunjungan wisman (X) terhadap luas karang (Y) 3. Infrastruktur (X) terhadap kunjungan wisman (Y) Sumber: Data Sekunder yang Diolah Implikasi Kebijakan dalam Keberlanjutan Pengelolaan Ekowisata Pesisir Implikasi hasil analisis dalam penelitian ini pada dasarnya ditujukan untuk melihat kondisi stok sumberdaya (dimensi) akibat perubahan dalam atribut dan pengaruhnya terhadap pengelolaan ekowisata pesisir di gugus Pulau Togean. Atribut penting ini dinilai dari aspek kepentingan dan besarnya pengaruh terhadap perubahan keempat dimensi setelah dilakukan analisis dinamik. Apabila kedua persyaratan tersebut terpenuhi, maka atribut yang dianalisis dapat diimplementasikan dalam suatu program yang berkaitan dengan pengelolaan kegiatan wisata pesisir yang berbasis ekosistem. Implikasi kebijakan pengelolaan ekowisata pesisir di gugus Pulau Togean disajikan pada Tabel 34. Implikasi dari skenario atau simulasi yang dilakukan berdasarkan Tabel 34 menunjukkan bahwa diperlukan suatu kebijakan dalam wujud program yang terpadu. Kebijakan terpadu dimaksudkan sebagai suatu tindakan dapat dilakukan secara simultan bagi seluruh dimensi yang memiliki atribut penting (sensitif) guna keberlanjutan pengelolaan ekowisata pesisir (Orams 1999). Ini berarti bahwa rencana dan pelaksanaan program aksi pada satu dimensi pembangunan diharapkan dapat meningkatkan kuantitas dan kualitas dimensi lainnya.

188 171 Tabel 34 Implikasi kebijakan pengelolaan ekowisata pesisir di gugus Pulau Togean TNKT berdasarkan hasil analisis sistem dinamik Dimensi No. pembangunan dan atribut penting 1. Ekologi - Kesesuaian ekowisata mangrove - Kesesuaian ekowisata selam - Pemanfaatan lahan untuk bangunan wisata 2. Ekonomi - Diversifikasi kegiatan ekowisata - Harga produk ekowisata pesisir - Upah tenaga kerja Tujuan Program Output yang Diinginkan Wujud Kegiatan/Program - Melakukan upaya konservasi sumberdaya PPK atau obyek ekowisata pesisir (mangrove, terumbu karang, pantai dan lingkungan perairan) dan lingkungan perairannya - Meningkatkan ekonomi masyarakat lokal dan daerah - Meningkatkan dana konservasi - Kuantitas (luasan) dan kualitas sumberdaya PPK (mangrove dan terumbu karang) terjaga dan meningkat - Tingkat abrasi pantai dikurangi - Eksistensi obyek ekowisata sejarah (Bangkai Pesawat AS B24) terpelihara/terjaga - Kualitas perairan sesuai dan di bawah baku mutu - Kesejahteraan masyarakat lokal meningkat - Pendapatan usaha wisata meningkat - Perekonomian daerah meningkat - Diversifikasi usaha (rumahtangga dan kecil) meningkat dan menguntungkan - Rehabilitasi mangrove dan terumbu karang. - Ekowisata pancing (ekomina wisata), perahu layar tradisional, dayung, wisata balobe di kawasan mangrove dan terumbu karang, serta wisata burung dan fauna lainnya. - Menfasilitasi terbentuknya DPL-DPL baru. - Pengelolaan situs bersejarah. - Aturan pendirian bangunan di kawasan pantai PPK. - Pembuatan breakwater. - Pendidikan lingkungan bagi masyarakat lokal termasuk cara penanganan limbah. - Pembatasan kunjungan wisman di kawasan wisata yang melebihi daya dukung dan distribusi ke kawasan yang masih kurang. - Penelitian dan pengembangan masyarakat secara berkala. - Diversifikasi produk ekowisata budaya lokal (upacara adat melaut, kerajinan nipah/pandan, seni dan tarian adat) - Melibatkan masyarakat lokal dalam kegiatan ekowisata pesisir dan budaya seperti: transportasi lokal, homestay, guide, usaha cinderamata dan lainnya. - Peningkatan Upah Minimum Daerah. - Peningkatan harga produk ekowisata dan fee untuk konservasi. - Terbentuknya pola kemitraan antara pengusaha wisata dengan masyarakat lokal. Stakeholders yang terlibat - Masyarakat lokal - TNKT - Pemerintah kabupaten dan provinsi - LSM - Pengusaha wisata (swasta) - Perguruan Tinggi - Pemerintah kabupaten dan provinsi - Masyarakat lokal - Pengusaha wisata (swasta) - Lembaga keuangan

189 172 Dimensi No. pembangunan dan atribut penting 3. Sosial - Kenyamanan masyarakat lokal dan wisman - Perubahan kualitas hidup masyarakat lokal 4. Kelembagaan - Efektivitas fee konservasi sumberdaya - Ketersediaan infrastruktur pendukung Tujuan Program Output yang Diinginkan Wujud Kegiatan/Program - Mempertahankan sistem sosial (sikap dan perilaku) dan nilai budaya lokal - Peningkatan partisipasi masyarakat lokal - Meningkatkan peran lembaga masyarakat dan kelembagaan taman nasional - Mengurangi konflik antar pengguna sumberdaya - Keberlanjutan sistem sosial masyarakat - Keberlanjutan nilai budaya lokal yang berbasis konservasi sumberdaya - Peningkatan kualitas hidup masyarakat (pendidikan, kesehatan, dan perumahan) - Keberlanjutan sumberdaya PPK bagi kegiatan ekowisata pesisir dan kegiatan terkait lainnya - Keamanan dan kenyamanan masyarakat lokal dalam berusaha - Keamanan dan kenyamanan wisman dalam aktivitas ekowisata pesisir - Pendidikan keagamaan dan sosial budaya. - Penyelenggaraan event budaya yang kontinyu (saat ini Festival Togean ). - Mendirikan sanggar seni dan budaya. - Pelatihan manajemen wisata bagi tenaga kerja lokal dan peningkatan jumlah penggunaan tenaga kerja lokal. - Bantuan biaya pendidikan, kesehatan dan perumahan bagi rumahtangga yang tidak mampu (miskin). - Optimasi penggunaan fee konservasi untuk rehabilitasi mangrove dan terumbu karang. - Fee konservasi digunakan untuk membiayai pengawasan penggunaan sumberdaya PPK oleh masyarakat lokal (PAM SWAKARSA). - Penyusunan peraturan tentang pembatasan /pengaturan jumlah kunjungan wisman pada musim puncak. - Koordinasi dan komunikasi aktif antara masyarakat lokal dan pemerintah tentang keberadaan TNKT. - Perbaikan infrastruktur penunjang seperti jalan desa, pelabuhan, jadwal transportasi, penambahan prasarana komunikasi, penyediaan air bersih, prasarana kesehatan (poliklinik/puskesmas, WC umum dan rumahtangga), dan pengolah limbah. - Intensitas promosi wisata Togean ditingkatkan. - Penindakan tegas bagi pelanggar aturan (formal dan nonformal). Stakeholders yang terlibat - Masyarakat lokal - Pemda dan TNKT - LSM - Usaha wisata - Perguruan Tinggi - Masyarakat lokal - Pemda, pemerintah pusat (termasuk TNKT) - LSM - Usaha wisata - Perguruan Tinggi

190 173 Keberlanjutan (optimasi) pengelolaan ekowisata pesisir yang dimaksud dalam penelitian ini adalah ketercapaian tujuan pengelolaan sumberdaya PPK (kelestarian sumberdaya alam, budaya dan peningkatan kualitas hidup masyarakat dan daerah). Hasil analisis dinamik menunjukkan bahwa jika atribut upaya konservasi diefektifkan, diversifikasi kegiatan ekowisata dan harga produk ekowisata ditingkatkan, partisipasi masyarakat lokal ditingkatkan dan infrastruktur penunjang diperbaiki/ditambah akan melestarikan sumberdaya terumbu karang dan kualitas hidup (kesejahteraan) masyarakat lokal. Nilai-nilai stok yang diperoleh dari hasil kombinasi seluruh atribut tersebut lebih tinggi jika dibandingkan nilai stok yang diperoleh jika skenario optimis dilakukan secara parsial (per atribut). Terkait kondisi tersebut, ada beberapa pertimbangan dalam penyusunan kebijakan pengelolaan ekowisata pesisir yang optimal yakni: 1. Jika pengelolaan ekowisata pesisir mengutamakan pencapaian tujuan dan besaran kuantitas (output akhir) keempat dimensi pengelolaan ekowisata pesisir di kawasan konservasi, maka diperlukan penggabungan atribut-atribut penting terutama terkait dengan upaya konservasi (optimasi pengelolaan fee konservasi dan bentuk lain program konservasi), diversifikasi dan peningkatan harga produk ekowisata, partisipasi masyarakat lokal dan perbaikan infrastruktur). Konsekuensinya, diperlukan koordinasi dan kerjasama yang baik untuk seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) dalam menjalankan seluruh program dan dibutuhkan pembiayaan yang lebih besar dan waktu yang relatif lama. Peningkatan biaya konservasi dapat diminimalisir iuran (fee) wisman bagi program konservasi sumberdaya. Fee yang dikenakan harus memenuhi prinsip: pengguna dan poluter yang membayar (user and polluter pay), biaya bersama (cost sharing), perasaan, pemilikan dan mengurus bersama, sistim adaptif dan pendekatan ekosistem (Greiner et al. 2000). 2. Jika pengelolaan ekowisata pesisir dihadapkan pada kendala minimnya biaya konservasi sumberdaya, maka penggabungan atribut yang terkait dengan aspek sosial budaya dapat diandalkan untuk dapat mengoptimalkan pengelolaan ekowisata pesisir. Atribut-atribut tersebut yakni efektivitas nilai budaya lokal yang berbasis konservasi melalui atraksi wisata budaya PPK (memancing, balobe, pusat kerajinan anyaman nipah/pandan, upacara adat tradisional dan

191 174 kesenian tradisional), peningkatan keterlibatan dan peran masyarakat lokal dalam kegiatan ekowisata (guide, transport lokal, dan homestay), penegakan aturan formal yang ada, dan meningkatkan kepercayaan wisman akan kenyamanan dan keamanan dalam negeri Indonesia terutama dalam wilayah Kabupaten Tojo Una-Una dan khususnya kawasan obyek wisata gugus Pulau Togean. Kekurangannya, pencapaian peningkatan luasan terumbu karang dan mangrove diketahui dalam jangka panjang. Kelebihannya, peningkatan wisman setiap tahun dapat meningkatkan ekonomi masyarakat lokal dan penyerapan tenaga kerja. 3. Peningkatan kualitas hidup masyarakat lokal dan mengurangi konflik antar pengguna sumberdaya PPK dapat dilakukan dengan pemberian bantuan prasarana dan sarana kesehatan, pendidikan, dan transportasi (laut dan darat). 4. Bantuan dana untuk tujuan konservasi terumbu karang dan mangrove (diperkirakan mampu mempertahankan luas kawasan 1 ha per tahun) yang diperoleh dari fee konservasi minimal Rp100 juta pertahun. 5. Harga produk ekowisata pesisir dapat ditingkatkan sampai Rp3 juta per wisman per kunjungan yang selanjutnya dapat meningkatkan dana fee konservasi dan ekonomi lokal. 6. Jenis kegiatan ekowisata berbasis budaya lokal dengan penggunaan modal yang relatif kecil dikelola masyarakat lokal yakni ekowisata pesisir kategori wisata mangrove, rekreasi pantai, snorkeling, kerajinan anyaman nipah, balobe, kesenian tradisional, dan wisata dayung (kayak) dan perahu layar tradisional. Keseluruh pertimbangan tersebut dapat dilakukan secara terintegrasi dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan dalam kegiatan ekowisata PPK yakni masyarakat lokal (pelaku utama), pengusaha wisata, perguruan tinggi, LSM, pemerintah (daerah dan pusat), dan kelembagaan pendukung (terutama pemodal).

192 V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan, maka hal-hal yang dijadikan sebagai kesimpulan dalam penelitian ini adalah: 1. Pengelolaan ekowisata pesisir di gugus Pulau Togean berdasarkan kondisi saat ini (analisis statis) berada dalam kategori cukup efektif (62.50%). Secara parsial, dimensi yang sangat efektif pengelolaannya saat ini adalah dimensi ekologi, dimensi sosial cukup efektif, dimensi ekonomi dan kelembagaan pengelolaannya kurang efektif. Berdasarkan kondisi saat ini, akibat peningkatan kunjungan wisman dalam jangka panjang diperkirakan pada tahun ke-15 luas kawasan ekowisata pesisir mengalami penurunan. Atribut penting untuk dioptimalkan dalam meningkatkan keefektifan pengelolaan ekowisata pesisir di gugus Pulau Togean yakni kesesuaian ekowisata selam dan ekowisata mangrove, daya dukung ekologi dan sosial dipertahankan, harga dan diversifikasi produk/kegiatan ekowisata, perubahan kualitas hidup masyarakat dan kenyamanan beraktivitas, penyediaan infrastruktur penunjang dan efektivitas pengelolaan dana (fee) konservasi bagi obyek ekowisata pesisir. 2. Optimasi pengelolaan ekowisata pesisir dapat dilakukan melalui integrasi atribut-atribut dari keempat dimensi pembangunan (hasil simulasi), yakni: (a) Mengoptimalkan penggunaan fee konservasi bagi kelestarian terumbu karang, mangrove dan nilai budaya lokal, mengoptimalkan potensi obyek ekowisata saat ini (ekowisata selam, dan mangrove) dan ekowisata alternatif melalui diversifikasi kegiatan ekowisata berbasis budaya lokal, peningkatan harga produk ekowisata, peningkatan partisipasi masyarakat lokal dalam kegiatan ekowisata dan kenyamanan di lokasi ekowisata, dan didukung oleh ketersediaan infrastruktur penunjang. (b) Integrasi atribut tersebut dapat meningkatkan luas kawasan ekowisata pesisir dari ha menjadi ha, peningkatan ekonomi masyarakat lokal dan daerah dari Rp juta menjadi Rp 5.42 milyar, penyerapan tenaga kerja dari 47 orang menjadi 974 orang dan peningkatan kunjungan wisman dari menjadi orang.

193 176 (c) Peningkatan kunjungan wisman akibat meningkatnya upaya pengelolaan ekowisata akan mencapai daya dukung ekonomi pada tahun ke-7, daya dukung fisik pada tahun ke-23 dan daya dukung sosial pada tahun ke-25. Kelebihan kunjungan wisman akibat keterbatasan akomodasi (daya dukung fisik) yang disediakan oleh pengusaha wisata dapat menjadi potensi ekonomi besar (multiplier effect) bagi masyarakat lokal Saran dan Rekomendasi Kebijakan Berdasarkan hasil dan pembahasan serta kesimpulan yang telah diuraikan sebelumnya, maka penelitian ini menyarankan dan merekomendasikan: 1. Beberapa saran terkait dengan kesimpulan satu penelitian: a. Keefektifan pengelolaan ekowisata pesisir berdasarkan dimensi ekonomi dan sosial dapat ditingkatkan melalui diversifikasi kegiatan ekowisata pancing (ekominawisata), lomba dayung dan perahu layar tradisional, balobe dan treking dan budaya (upacara tradisional melaut, wisata benda bersejarah, pembuatan cindermata dari hasil laut, dan anyaman daun nipah/pandan), peningkatan harga produk ekowisata dari Rp1.86 juta menjadi Rp3 juta, pelatihan manajemen ekowisata untuk peningkatan kualitas pelayanan, kemitraan masyarakat lokal, pengusaha wisata dan pemerintah. b. Keefektifan pengelolaan ekowisata dari dimensi kelembagaan dilakukan melalui perbaikan prasarana dan sarana transportasi, penyelenggaraan event ekowisata PPK dan upaya promosi, serta upaya-upaya percepatan penyusunan rencana zonasi TNKT. c. Peningkatan kesesuaian kawasan untuk kegiatan ekowisata selam dan ekowisata mangrove dapat dilakukan dengan mengkonservasi terumbu karang dan mangrove melalui penggunaan dana fee konservasi minimal Rp100juta per tahun per kawasan gugus Pulau Togean. 2. Saran dan rekomendasi berdasarkan kesimpulan dua penelitian, yakni: a. Optimasi penggunaan dana konservasi (conservation fee) sebesar 25 % dapat dialokasikan untuk merehabilitasi (transplantasi) terumbu karang dan mangrove yang rusak (penanaman kembali), pelaksanaannya diberikan pada pihak profesional, independen dan bertanggung-jawab (misalnya perguruan

194 177 tinggi dan LSM), mengalokasikan dana konservasi ke masyarakat lokal untuk membiayai pengawasan, pemeliharaan, pendidikan konservasi bagi masyarakat, dan untuk program peningkatan kualitas hidup masyarakat lokal melalui penyediaan prasarana kesehatan, air bersih, pengobatan gratis, dan dana pendidikan bagi yang tidak mampu secara ekonomi. b. Agar kualitas hidup (kesejahteraan) masyarakat gugus Pulau Togean dan Kabupaten Tojo Una-Una meningkat, maka beberapa jenis kegiatan yang terkait kegiatan ekowisata pesisir yang saat ini dikelola oleh pengusaha wisata dan LSM diserahkan ke masyarakat lokal seperti: pengelolaan ekowisata mangrove dan pantai, ekowisata pesisir alternatif, transportasi lokal ke obyek wisata, homestay pada musim puncak, dan guide lokal. Selain itu, diperlukan peningkatan stimulus modal usaha ke masyarakat lokal dalam memberdayakan kegiatan ekowisata alternatif dan berbasis budaya lokal. c. Kenyamanan berwisata dan kegiatan lain oleh masyarakat dapat dilakukan dengan pembatasan kunjungan wisman pada musim puncak dan distribusi kunjungan wisman pada lokasi yang belum padat pengunjungnya, peningkatan kualitas pelayanan oleh usaha wisata dan masyarakat, zonasi kawasan pemanfaatan, penegakan hukum bagi pelanggar, menjaga keamanan di sekitar kawasan ekowisata dan daerah atau negara, dan ketersediaan prasarana transportasi dan akomodasi yang memadai.

195 DAFTAR PUSTAKA Adhiasto Laporan penelitian mangrove di Kepulauan Togean. Palu: Conservation International Indonesia Yayasan Pijak. Adrianto L Sinopsis: pengenalan konsep dan metodologi valuasi ekonomi sumberdaya pesisir dan laut. Bogor: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor. Agenda The travel tourism industry; towards environmentaly sustainable development. WTTC, WTO, The Earth Council. Allen GR, McKenna SA A marine rapid assessment of the Togean and Banggai Islands, Sulawesi, Indonesia. Washington DC: RAP Bulletin of Biological Assessment 20, Conservation International. Andreev AG, Kusakabe M Interdecadal variability in dissolved oxygen in the intermediate water layer of the Western Subarctic Gyre and Kuril Basin (Okhotsk Sea). Geophysical Research Letter, 28 (12): Anonim Kamus besar bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Arun AU Impact of artificial structures on biodiversity of estuaries: a case study from cochin estuary with emphasis on clam beds. Applied Ecology and Environmental Research, 4(1): Ayob AM Mangroves and ecotourism: ecological or economical? Athens Ohio: Southeast Asian Studies at Ohio University. Bappeda Kabupaten Tojo Una-Una Rencana tata ruang wilayah Kabupaten Tojo Una-Una. Ampana: Pemda Kabupaten Tojo Una-Una Rencana detail tata ruang kawasan Kepulauan Togean. Ampana: Pemda Kabupaten Tojo Una-Una. Barnes R, Huges R An introduction to marine ecology (eds). Blackwell Publishing. Barton DN Economic factors and valuation of tropical coastal resources. Norway: University of Bergen. Beeler BG Opportunities and threats to local sustainable development: Introducing ecotourism to Venado Island, Costa Rica. Submitted To The Lund University's International Master's Programme In Environmental Sciences. Beller W How to sustain a small island, In Beller, et al. Sustainable Development and Environment Management of Small Islands. Man and The Biosphere Series, Vol. 5, UNESCO and The Parthenon Publishing Group. Bengen DG Sinopsis teknik pengambilan contoh dan analisis data biofisik Sumberdaya Pesisir. Bogor: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Faperikan, Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB) Sinopsis ekosistem dan sumberdaya alam pesisir dan Laut. Bogor: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor.

196 Potensi sumberdaya pulau-pulau kecil. Makalah disampaikan dalam seminar sehari Peluang Pengembangan Investasi Pulau-Pulau Kecil di Indonesia, Hotel Indonesia, Jakarta 10 Oktober dan Retraubun ASW Menguak realitas dan urgensi pengelolaan berbasis eko-sosio sistem pulau-pulau kecil. Bogor: Pusat Pembelajaran dan Pengembangan Pesisir dan Laut (P4L). Bjork P Ecotourism from a conceptual perspective, an extended definition of a unique tourism form. International Journal of Tourism Research, 2 (2000): BKSDA (Balai Konservasi Sumberdaya Alam) Provinsi Sulawesi Tengah Taman Nasional Laut Kepulauan Togean. Palu: BKSDA Sulawesi Tengah. Bonham GF, Carter Geographic information system for geoscientist; modeling with GIS. Ottawa Ontario Canada: Pergamon, 9 : p. Boo E Pelaksanaan ekoturisme untuk kawasan-kawasan yang dilindungi, dalam Lindberg K, Hawkins DE. Ekoturisme: petunjuk untuk perencana dan pengelola (terjemahan). North Bennington: The Ecotourism Society. BPS Kecamatan Togean dalam angka. Ampana: Badan Pusat Statistik Kabupaten Tojo Una-Una Indikator kesejahteraan rakyat provinsi Sulawesi Tengah. Palu: Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tengah. BRKP (Badan Riset Kelautan dan Perikanan) Laporan toponimi pulaupulau kecil Indonesia. (Belum Dipublikasikan). Jakarta: BRKP-DKP. Brookfield HC An approach to islands, In Beller, et al. Sustainable Development and Environment Management of Small Islands. Man and The Biosphere Series, Vol. 5, UNESCO and The Parthenon Publishing Group. BRPL (Balai Riset Perikanan Laut) Teluk Tomini: ekologi, potensi sumberdaya, profil perikanan dan biologi beberapa komoditi yang penting. Jakarta: Pusat Riset Perikanan Tangkap DKP. Buja A, Swayne DF, Littman ML, Dean N, Hofmann H Interactive data visualization with multidimensional scaling. dfs@research.att.com, Burnett WC, Bokuniewicz H, Huettel M, Moore WS, Taniguchi M Groundwater and pore water inputs to the coastal zone. Biogeochemistry, 66: Cabahug DM Community-based mangrove rehabilitation and ecotourism Development and management in the red sea coast, Egypt. Kairo: Ministry of Agriculture & Land Reclamation Ministry of State For Environment Food and Agriculture Organization of The United Nations. Casagrandi R, Rinaldi S A Theoretical approach to tourism sustainability. Conservation. Ecology, 6(1): 13.

197 181 Cavallaro F, Ciraolo L Economic and environmental sustainability: a dynamic approach in insular systems. The Fondazione Eni Enrico Mattei Note di Lavoro Series Index: Cesar H Economic analysis of Indonesian coral reef. Environment Department Work in Progress, Toward Environmentally and socially Sustainable Development. Chazottes V, LeCampion-Alsumard T, Peyrot-Clausade M, Cuet P The effects of eutrophication-related alterations to coral reef communities on agents and rates of bioerosion (Reunion Island, Indian Ocean). Coral Reefs, 21: Christensen V, Pauly D Changes in models aquatic ecosystems approaching carrying capacity. Ecological Applications, 8 (1): CII (Conservation International Indonesia) Promoting Community-based Marine Protected Areas in Togean Islands Sulawesi Indonesia. Jakarta: CII Konservasi berbasis masyarakat melalui Daerah Perlindungan Laut di Kepulauan Togean Sulawesi Tengah. Palu: CII Togean Program. Coccosis H, Parpairis A "Carrying capacity: catalyst of configuration of harmonious relations of tourism and environment", Technical Quarterly, 5:68 79., Mexa A, Parpairis A, Konstandoglou M Defining, measuring and evaluating carrying capacity In european tourism destinations. Greece: Environmental Planning Laboratory of the University of the Aegean. Cooper C, Fletcher J, Gilbert D, Wanhill S Tourism: principles and practice (2 nd ). New York: Addison Wesley Longman Publishing. Cooper DR, Emory CW Metode Penelitian Bisnis (terjemahan). Jakarta: Erlangga. Costa JA, Patwari N, HeroIII AO Distributed weighted-multidimensional scaling for node localization in sensor networks. ACM Journal, 5(N): Daby D Effects of seagrass bed removal for tourism purposes in a Mauritian Bay. Environmental Pollution, 125: Dahuri R Keanekaragaman hayati laut; aset pembangunan berkelanjutan Indonesia. Jakarta: Gramedia. Damanik J, Weber HF Perencanaan ekowisata: dari teori ke aplikasi. Jogyakarta: Puspar UGM dan Andi. Darnaedi SY Masyarakat Kepulauan Togean: potensi dan kearifan budaya. Prosiding Seminar dan Lokakarya Pengembangan Terpadu Kawasan Kepulauan Togean Sulawesi Tengah, Palu 6-7 Mei Davies OA, Ugwumba AAA, Abolude DS Physico-chemistry quality of Trans-Amadi (Woji) Creek Port Harcourt, Niger Delta, Nigeria. Journal of Fisheries International, 3 (3):91-97.

198 182 Davis D, Tisdell C Recreational scuba-diving and carrying capacity in marine protected areas. Ocean and coastal Management, 26 (1): 19-40, in. Tisdell C. Tourism economics, the environment and development: analysis and policy. Brisbane: Department of Economics University of Queensland Economic management of recreational scuba diving and the environment. Journal of Environmental Management, 48: , in. Tisdell C. Tourism economics, the environment and development: analysis and policy. Brisbane: Department of Economics University of Queensland. Davis D Tourist levies and willingness to pay for a whale shark experience. Tourism Economics, 5: , in. Tisdell C. Tourism economics, the environment and development: analysis and policy. Brisbane: Department of Economics University of Queensland. Depbudpar (Departemen Kebudayaan dan Pariwisata) Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No. Km.67/Um.001/Mkp/2004 Tentang Pedoman Umum Pengembangan Pariwisata di Pulau-Pulau Kecil. Jakarta: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Dukungan pengembangan pariwisata Tojo Una-Una Togean Sulawesi Tengah. Jakarta: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Depdagri (Departemen Dalam Negeri) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengembangan Ekowisata di Daerah. Jakarta: Departemen Dalam Negeri. devantier L, Turak E Managing marine tourism in Bunaken National Park and Adjacent Waters North Sulawesi Indonesia. Jakarta: Technical Report, the Natural Resources Management (NRM III) Program s Protected Areas and Agriculture Team (PA & AT). DKP (Departemen Kelautan dan Perikanan) Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No 41 Tahun 2000 tentang Pedoman Umum Pengelolaan PPK yang Berkelanjutan dan berbasis Masyarakat. Jakarta: Departemen Perikanan dan Kelautan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No 34 tahun 2002 tentang Pedoman Umum Penataan Ruang Pesisir dan PPK. Jakarta: Departemen Perikanan dan Kelautan Keputusan Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir dan Palau-Pulau Kecil tentang Petunjuk Teknis Perencanaan Tata Ruang Pulau-Pulau Kecil. Jakarta: Departemen Perikanan dan Kelautan. Dimyati TT, Dimyati A Operation research: model-model pengambilan keputusan. Bandung: Sinar Baru. Disbudpar Kabupaten Tojo Una-Una Rencana induk pengembangan pariwisata daerah Kabupaten Tojo Una-Una. Ampana: Pemda Tojo Una-Una Laporan tahunan Dinas Pariwisata Kabupaten Tojo Una-Una. Ampana: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Touna.

199 183 Djojomartono M Pengantar umum analisis sistem. Makalah pelatihan analisis sistem dan informasi pertanian. Bogor: Kerjasama BPP Teknologi- Fakultas Teknologi Pertanian IPB. 29 Juni 26 Juli Dodds R Malta s tourism policy: standing still or advancing towards sustainability? Island Studies Journal, 2(1): Effendi H Telaah kualitas air bagi pengelolaan sumberdaya dan lingkungan perairan. Yogyakarta: Kanisius. Ellison AM Managing mangroves with benthic biodiversity in mind: Moving beyond roving banditry. Journal of Sea Research, 59: Elyazar N, Mahendra MS, Wardi IN Dampak aktivitas masyarakat terhadap tingkat pencemaran air laut di pantai Kuta Kabupaten Badung serta upaya pelestarian lingkungan. Ecotrophic, 2(1):1-18. Eriyatno Ilmu sistem: meningkatkan mutu dan efektivitas manajemen. Bogor: IPB Press. Falkland A Hydrology and water resources of small islands : a practical guide. Paris: IHP-UNESCO. Fauzi A, Anna S Pemodelan sumberdaya perikanan dan kelautan untuk analisis kebijakan. Jakarta: Gramedia. Good JW, Weber JW, Charland JW Protecting estuaries and coastal wetlands through state coastal zone management programs. Coastal Management, 27: Goodwin RF Redeveloping deteriorated urban waterfronts: the effectiveness of U.S. coastal management programs. Journal Coastal Management, 27: Grant WE, Pedersen EK, Martin SL Ecology and natural resources management: system analysis and simulation. New York: John Wiley & Sons Inc, 373 p. Greiner R, Young D, McDonald AD, Brooks M Incentive instruments for the sustainable use of marine resources. Ocean & Coastal Management, 43: Hall CAS, JrDay JW. (eds), Ecosystem modeling in theory and practice : An introduction with case histories. New York: John Wiley & Sons, 684p. Hall CM Trends in ocean and coastal tourism: the end of the last frontier? Ocean & Coastal Management, 44 : Heershman MJ, Good JW, Bernd-Cohen T, Goodwin RF, Lee V, Pogue P The effectiveness of coastal zone management in the United States. Journal Coastal Management, 27: Hein PL Economic problems and prospect of small islands, In Beller, et al. Sustainable Development and Environment Management of Small Islands. Man and The Biosphere Series, Vol. 5, UNESCO and The Parthenon Publishing Group.

200 184 Hersey P, Blanchard KH Manajemen perilaku organisasi: pendayagunaan sumberdaya manusia. (terjemahan A. Dharma) Jakarta: Erlangga. Hess AL Overview: sustainable development and environmental management of small islands. In Beller, et al. Sustainable development and environmental management of small islands. Man and The Biosphere Series, Vol. 5, UNESCO and The Parthenon Publishing Group. Hii YS, Law AT, Shazili NAM, Rashid MKA, Lokman HM, Yusoff FM, Ibrahim HM The Straits of Malacca: hydrological parameters, biochemical oxygen demand and total suspended solids. Journal of Sustainability Science and Management, 1(1):1-14. Huda M Legalisasi dan legitimasi rencana tata ruang laut tentukan efektivitas implementasinya. Jakarta: Direktorat Tata Ruang Laut Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil, DKP. Hutabarat CMTU Teknik tangkap tradisional masyarakat bajau kabalutan di Perairan Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah dan Dampaknya terhadap terumbu karang. Jakarta: Tesis Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Hutabarat A, Yulianda F, Fahrudin A, Harteti S, Kusharjani Pengelolaan pesisir dan laut secara terpadu. Bogor: Edisi I Pusdiklat Kehutanan, Deptan, SECEN-KOREA International Cooperation Agency. Iftekhar MS, Islam MR Managing mangroves in Bangladesh: A strategy analysis. Journal of Coastal Conservation, 10: ISRS (International Society for Reef Studies), The effects of terrestrial runoff of sediments, nutrients and other pollutants on coral reefs. Briefing Paper 3, International Society for Reef Studies, pp: 18. Jorgensen SE Fundamental of Ecological modelling. Amsterdam: Elsevier. Jovicic D, Dragin A The assessment of carrying capacity a crucial tool for managing tourism effects in tourist destinations. Turizam Journal, 12: Kasim H Analisis pengaruh mutu layanan kepariwisataan terhadap loyalitas wisatawan di kawasan wisata Kepulauan Togean. Palu: Tesis Pascasarjana Universitas Tadulako. Katon BM, Pomeroy RS, Garces, LR, Ring MW Rehabilitating the mangrove resources of Cogtong Bay, Philippines: a comanagement perspective. Coastal Management, 28: Kavanagh P, Pitcher TJ Implementing microsoft excel software for Rapfish: A technique for the rapid appraisal of fisheries status. Fisheries Centre Research Report, 12 (2):1-75. Kepmen Negara LH Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut untuk Wisata Bahari. Jakarta: KLH. Kusumastanto T Ocean policy dalam membangun negeri bahari di era otonomi daerah. Jakarta: Gramedia.

201 185 Laapo A, Masyahoro A, Nilawati J Estimasi potensi ekonomi sumberdaya perikanan tangkap di perairan Kabupaten Tojo Una-Una. Jurnal Agroland, 14 (2): Liu JC Pacific Islands Ecotourism: A public policy and planning guide: the ecotourism planning kit. Honolulu: Pacific Business Center Program, College of Business Administration, University of Hawai i. Marine National Park Division The handbook of Marine National Park tourism-ecotourism activity. Thailand: The Royal Forest Department, The Ministry of Agriculture and Cooperatives. Marvell A, Watkins C Marine tourism: a case study of sustainable marine tourism in the Maldives. Geography Matters, 8 (1):6-9. McLeod M, Cooper JAG Carrying capacity in coastal area. Encyclopedia of Coastal Sciense, Springer, XXXI, 1211p. 796 illus. META Planning for marine ecotourism in the EU Atlantic area good practice guidance. Bristol: University of the West of England. Nasendi BD, Anwar A Program linear dan variasinya. Jakarta: Gramedia. Nybakken JW Biologi laut; suatu pendekatan ekologis. Jakarta: Gramedia. Orams M Marine tourism, development, impacts and management. London: Routledge. Patterson T, Gulden T, Cousins K, Kraev E Integrating environmental, social and economic systems: a dynamic model of tourism in Dominica. Ecological Modelling, 175: Pérez OM, Telfer TC, Ross LG Use of GIS-Based models for integrating and developing marine fish cages within the tourism industry in Tenerife (Canary Islands). Coastal Management, 31: Pindyck RS, Rubinfeld DL Econometric models and economic forecast. Irwin McGraw-Hill. Pitcher TJ, Preikshot D RAPFISH: a rapid appraisal technique to evaluate the sustainability status of fisheries. Fisheries Research, 49: Pradhan UK, Shirodkar PV, Sahu BK Physico-chemical characteristics of the coastal water off Devi estuary, Orissa and evaluation of its seasonal changes using chemometric techniques. Current Science, 96 (9): Pramono AH Pengembangan terpadu kawasan Kepulauan Togean: sebuah gagasan. Prosiding Seminar dan Lokakarya Pengembangan Terpadu Kawasan Kepulauan Togean Sulawesi Tengah, Palu 6-7 Mei Republik Indonesia Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Jakarta: RI. Rome A Ecotourism impact monitoring: A review of methodologies and recommendations for developing monitoring programs in Latin America. Ecotourism Technical Report Series Number 1, AC Walker Foundation- TNC-USAID.

202 186 Romimohtarto K, Juwana S Biologi laut: Ilmu pengetahuan tentang biota laut. Jakarta: Djambatan. Ross S, Wall G Ecotourism: towards congruence between theory and practice. Tourism Management, 20: Salam MA, Lindsay, Ross G, Beveridge MCM Ecotourism to protect the reserve mangrove forest the Sundarbans and its flora and fauna. Anatolia Journal, 11 (1): Sanchirico JM, Cohran KA, Emerson PM Marine protected area: economi and social implication. Washington DC: Resource for the Future. Sangadji MN Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan Taman Nasional dengan pola kemitraan di Kepulauan Togean Sulawesi Tengah. Bogor: Disertasi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Sathiendrakumar R Tourism and the economic development of the Maldives. Annals of Tourism Research, 16: Satria A Pengantar sosiologi masyarakat pesisir. Jakarta: Cidesindo. Saveriades A Establishing the social tourism carrying capacity for the tourist resorts of the east coast of the Republic of Cyprus. Journal of Tourism Management, 21 : Scheaffer RL, Mendenhall W, Ott L Elementary survey sampling. Boston: Duxbury Perss. Scott DG, McBoyle, Schwartzentruber M Climate change and the distribution of climatic resources for tourism in North America. Climate Research, 27: Scott WR Institutional theory: contributing to a theoretical research program. In Smith, K. G. and M. A. Hitt, Great minds in management: The process of theory development (eds). Oxford UK: Oxford University Press. Seidl I, Tisdell CA Carrying capacity reconsidered: from Malthus population theory to cultural carrying capacity. Ecological Economics, 31: Sinaga BM Pendekatan kuantitatif dalam agribisnis. Bogor : Jurusan Ilmu- Ilmu Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Soeriaatmadja RE Strategi pengembangan wisata bahari Indonesia. Jakarta: Pusat Keparawisataan Indonesia. Somerville SE, Miller KL, Mair JM Assessment of the aesthetic quality of a selection of beaches in the Firth of Forth, Scotland. Marine Pollution Bulletin, 46: Sørensen SB, Baraza AI, Mirovsky O, Van CN Ecotourism as a sustainable way to protect nature. Aarhus: Center For Environmental Studies University of Aarhus. Steyvers M Multidimensional scaling. In: Encyclopedia of cognitive science. Macmillan Reference Ltd.

203 187 Sudarmadji Rehabilitasi hutan mangrove dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat pesisir. Jurnal Ilmu Dasar, 2(2): Suhardi I Peran sel sedimen (sediment cell) dalam perencanaan dan penataan ruang pesisir di Indonesia, dalam Rais dkk. Menata ruang laut terpadu. Jakarta: Pradnya Paramita. Sumadhiharga K Zat-zat yang menyebabkan pencemaran di Laut. Jurnal Lingkungan dan Pembangunan, 15 (4): Supriharyono Pengelolaan ekosistem terumbu karang. Jakarta: Djambatan. Susilo SB Keberlanjutan pembangunan pulau-pulau kecil: studi kasus Kelurahan Pulau Panggang dan Pulau Pari Kepulauan Seribu. Bogor: Disertasi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tantrigama G Carrying capacity of coastal tourism sites: A methodological approach. Paper presented at the First Annual Sessions of the Faculty of Graduate Studies, University of Sri Jayewardenepura, 27th March, Tisdell C Ecotourism, economic, and the environment: Observation from China. Journal of Travel Research, 34 (4): in. Tisdell C. Tourism economics, the environment and development: analysis and policy. Brisbane: Department of Economics University of Queensland Measuring the costs to tourism of pollution, especially marine pollution: analysis and concept, in. Tisdell C. Tourism economics, the environment and development: analysis and policy. Brisbane: Department of Economics University of Queensland. 1998a. Ecotourism: aspects of its sustainability and compatibility with conservation, social and other objectivities. Australian Journal of Hospitality Management, 5(2):11-21, in. Tisdell C. Tourism economics, the environment and development: analysis and policy. Brisbane: Department of Economics University of Queensland. TNKT (Taman Nasional Kepulauan Togean) Draft rencana pengelolaan Taman Nasional Kepulauan Togean. Ampana: Balai Taman Nasional Kepulauan Togean. Trisnawulan IAM, Suyasa IWB, Sundra IK Analisis kualitas air sumur gali di Kawasan Pariwisata Sanur. Ecotrophic, 2 (2):1-9. Turner GE Codes of practice and manual of procedures for consideration on introductions and transfer of marine and freshwater organisms. EIFAC/CECPI, Occasional Paper No.23, 44pp. UNEP Training manual on assessment of the quantity and type of landbased pollutant discharges into the marine and coastal environment. Bangkok: RCU/EAS Technical Reports Series, No.1, 65p. Upadhyay VP, Ranjan R, Singh JS Human mangrove conflicts: The way out. Current S cience, 83(11):

204 188 Valdes DS, Real E Variations and relationships of salinity, nutrients and suspended solids in Chelem Coastal Lagoon at Yucatan, Mexico. Indian Journal of Marine Science, 27: Vinh MK, Shrestha R, Berg H GIS-Aided marine conservation planning and management: A case study in Phuquoc Island, Vietnam. International Symposium on Geoinformatics for Spatial Infrastructure Development in Earth and Allied Sciences Wahyudi Y Arcview sebagai perangkat lunak analisis Sistem Informasi Geografis (modul dasar). Bogor: FPIK IPB dan Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam Bidang Teknologi Pengembangan Sumberdaya Alam BPPT. Weaver DB Ecotourism as mass tourism: contradiction or reality? Hotel and Restaurant Administration Quarterly: Webster J The ecological sustainability of economic growth in the Isle of Man. In Beller, et al. Sustainable Development and Environment Management of Small Islands. Man and The Biosphere Series, Vol. 5, UNESCO and The Parthenon Publishing Group. Western D Memberi batasan tentang ekoturisme, dalam Lindberg K, Hawkins DE. Ekoturisme: petunjuk untuk perencana dan pengelola (terjemahan). North Bennington: The Ecotourism Society. Wibisono MS Pengantar ilmu kelautan. Jakarta: Grasindo. Wong PP Coastal tourism in Southeast Asia. ICLARM, Education Series 13, 40p, Manila Coastal tourism development in Southeast Asia: relevance and lessons for coastal zone management. Ocean and Coastal Management, (38): Wood ME Ecotourism: principles, practices and policies for sustainability. UNEP dan TIES UN Publications. Yaakup A, Che Man N, Hosni N, Haron HW, Sulaiman S A GIS Approach in evaluation of metropolitan green area: a case of Sungai Pulai Wetland. Urban Forestry Conference: Managing Urban Green For Sustainable Cities Kuala Lumpur, 6-7 June, Zakai D, Chadwick-Furman NE Impacts of intensive recreational diving on reef corals at Eilat, northern Red Sea. Biological Conservation, 105: Zamani NP, Gaol JL, Madduppa H, Arhatin RE, Putra KS, Khazali M, Anwar K, Zulkah L Profil sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil di Kepulauan Togean. CII, BTNKT, TKL IPB dan Pemda Tojo Una-Una. Zhiyong F, Sheng Z Research on psychological carrying capacity of Tourism destination. Chinese Journal of Population, 7(1): Zwirn M, Pinsky M, Rahr G Angling ecotourism: issues, guidelines and experience from Kamchatka. Journal of Ecotourism, 4 (1):16-31.

205 LAMPIRAN

206 190 Lampiran 1 Perhitungan jumlah contoh wisatawan dan masyarakat lokal untuk kegiatan pengumpulan data di lapangan Diketahui: 2 Nt = 88 s t = 78,409 2 Nh = 1239 s h = 37,876 n t awal = 30 n h awal = 50 Tentukanlah total contoh (n), kelompok contoh turis (n t ), kelompok contoh masyarakat lokal (n h )? 2 2 N i si N i ni B = = i tα / 2 ( db) Vˆ( X st ) tα / 2 ( db) ni N i B t = 2 2 (88) (78.409) = (1239) (37.876) B 2 = h = 1239 Menghitung jumlah contoh per kumpulan: 2 N i σ i ni = 2 B 2 ( N i 1) + σ 2 i 4N i (88)(78.409) nt = = 30 orang (88 1) + (78.409) 2 4(88) (1239)(37.876) nh = = 50 orang (1239 1) + (37.876) 2 4(1239) Menghitung total contoh: 2 2 N i σ i n = 2 i= 1 B 2 ( N i 1) + σ 2 i 4N i n = = 80 orang Ini berarti bahwa minimum 80 orang turis dan masyarakat lokal untuk dijadikan sebagai contoh.

207 191 Lampiran 2 Hasil pengukuran beberapa parameter kualitas perairan di gugus Pulau Togean pada Nopember 2008 dan Juni/Juli 2009 Stasiun BOD5 COD DO NH3 ph Salinitas Turbiditas Suhu Kec. Arus Kedalaman A B A B A B A B A B A B A B A B A B A B I II III IV V VI VII VIII IX X XI XII XIII XIV Keterangan: - = Tidak melakukan pengukuran A = Pengukuran Nopember 2008 B = Pengukuran Juni 2009

208 192 Lampiran 3 Kondisi ekosistem terumbu karang untuk wisata selam dan snorkling di gugus Pulau Togean A. Persentase Penutupan Substrat Dasar Habitat Terumbu Karang di kawasan Wisata Selam Stasiun Hard Dead Soft Other Rubber Sand Sponges Coral Coral Coral Organism Total D 2 (Pulau Kadidiri) (Coral Garden) (Teluk Kilat) (Katupat) (Bomber 24) Sumber: Zamani dkk. (2007) B. Data Komunitas Karang untuk Wisata Snorkeling TUTUPAN KOMUNITAS KARANG PER STASIUN No. Komunitas PENGAMATAN (%) Karang II III IV VI VIII IX X XII Rataan 1 Acropora Astreopora Ctenactis Echinopora Favites Fungia Montastrea Montipora Oulophyllia Pavona Platygyra Porites Psammocora Rubble Seriatopora Sedimen/sand Lamun Soft Coral Sponges Dead Coral Total C. Persentase Penutupan Substrat Dasar Habitat Terumbu Karang Stasiun Hard Dead Soft Other Rubber Sand Sponges Coral Coral Coral Organism Total II(Pulau Kadidiri) III(Coral Garden) IV (Pulau Taipi) VI (Teluk Kilat) VIII (Katupat) IX (Reef 1-2) X (Bangkagi) XII(Mogo Besar) Sumber: Hasil Pengamatan Menggunakan Metode LIT 2008.

209 193 Lampiran 3 Lanjutan D. Persentase Tutupan Hard Coral NO Nama stasiun Tahun Pengamatan Mini Canyon * * 2 Coral Garden * Katupat * Teluk Kilat Utara P. Kadidiri * E. Laju Pertumbuhan Tahun Pengamatan NO Nama stasiun Rataan 1 Mini Canyon * * Coral Garden * Katupat * Teluk Kilat Utara P. Kadidiri * Rataan Laju pertumbuhan= 0.15 Rataan Laju Penurunan = Keterangan: * = Tidak ada data Sumber: MRAP 1998 (Allen and McKenna 2001), Laporan Monitoring dan Evaluasi Biologi tahun 2004 di Teluk Kilat (CII 2006), Zamani dkk (2007); Data Primer Setelah Diolah (2009). E. Luasan terumbu karang dan mangrove untuk 8 tahun terakhir di Kepulauan Togean Tahun Luasan di Kep. Togean (ha) Luasan di P. Togean (ha) T. Karang Mangrove T. Karang Mangrove Sumber: Bappeda Kabupaten Tojo Una-Una 2008.

210 194 Lampiran 4 Kerapatan mangrove pada enam stasiun di gugus Pulau Togean Untuk Luasan Plot = 1 m 2 No Jenis Mangrove I (Tobil) VII (Teluk Kilat) STASIUN PENGAMATAN X (Bangkagi) XI (Selat.Kabalutan) XII (P.Mogo Besar) XIV (Selat Lebiti) Rataan 1. Rhizophora apiculata Rhizophora stylosa Rhizophora mucronata Bruguiera gymnorrhyza Sonneratia alba Avicenia alba Xylocarpus granatum Lumnitzera litorrea Ceriops tagal Heritiera littolaris Nipah fruticans Pandanus tectoris Total kerapatan Untuk Luasan Plot = 100 m 2 No Jenis Mangrove I (Tobil) VII (Teluk Kilat) STASIUN PENGAMATAN X (Bangkagi) XI (Selat.Kabalutan) XII (P.Mogo Besar) XIV (Selat Lebiti) Rataan Rhizophora 1. apiculata Rhizophora stylosa Rhizophora 3. mucronata Bruguiera gymnorrhyza Sonneratia alba Avicenia alba Xylocarpus granatum Lumnitzera litorrea Ceriops tagal Heritiera littolaris Nipah fruticans Pandanus tectoris Total kerapatan

211 195 Lampiran 5 Komposisi famili, genus, spesies dan kelimpahan ikan pada masingmasing stasiun Stasiun Family Genus Species Kelimpahan (ind/250 m 3 ) Keterangan Mini Canyon, Utara Pulau Togean Goral Garden, Utara Pulau Togean Menara 2, Timur Pulau Una Una Pinnacle, Selatan Pulau Una Una Bomber 24, Desa Lebiti, Selatan Pulau Togean Library Wall, Selatan Pulau Togean Atoll, Utara Pulau Malenge Timur Pulau Malenge Katupat, Utara Pulau Togean Timur Pulau Taupan Atoll Goa-goa, Utara Pulau Batudaka Teluk Kilat, Utara Pulau Togean Utara Pulau Kadidiri Sumber: Zamani dkk. (2007)

212 196 Lampiran 6 Perkembangan kegiatan wisata pesisir di Kabupaten Tojo Una-Una selama tahun a. Trend Kunjungan Wisatawan dan Ketersediaan Infrastruktur Penunjang Tahun Jumlah Ketersediaan Trend Jumlah Trend Trend Usaha Infrastruktur Wisman usaha wisman Wisata (kamar) (orang) wisata (unit) Rata-rata Sumber: Disbudpar Provinsi Sulawesi Tengah 2008 dalam Kasim b. Perkembangan Jumlah dan Kepadatan Penduduk di Kecamatan Togean Tahun Jumlah Kepadatan Trend penduduk penduduk Trend Rataan Sumber: BPS 2008.

213 197 Lampiran 7 Hasil analisis spasial menggunakan pendekatan SIG a. Luas kawasan menurut kategori kesesuaian No. Kelas Kesesuaian Luasan (ha) Per Jenis Kegiatan Ekowisata Pesisir Pemanfaatan Selam Snorkeling Mangrove Pantai 1. Darat Sesuai Sesuai Bersyarat Tidak Sesuai Total b. Persentase kegiatan ekowisata pesisir yang dikelola saat ini Jenis ekowisata eksisting dan alternatif Persentase Stasiun Rataan I II III IV V VI VII VIII IX X XI XII XIII XIV Persentase Rataan Keterangan: 1 = ekowisata selam 6 = ekowisata perahu/layar tradisional 2 = ekowisata snorkeling 7 = ekowisata "balobe"/berburu babi hutan 3 = ekowisata mangrove 8 = ekowisata upacara dan kesenian tradisional 4 = ekowisata rekreasi/pantai 9 = ekowisata kerajinan dari daun nipah dan kulit kerang 5 = ekowisata pancing 10= ekowisata pendidikan - Ketentuan penilaian: 1. Nilai 100 = jika kegiatan ekowisata pesisir intensif dikelola atau diselenggarakan (> 1 kali/thn) 2. Nilai 50 = jika kegiatan ekowisata pesisir kurang dikelola atau diselenggarakan ( 1 kali/thn) 3. Nilai 0 = jika kegiatan ekowisata pesisir intensif tidak dikelola atau diselenggarakan

214 198 Lampiran 8 Daya dukung kawasan wisata pesisir per kategori wisata di gugus Pulau Togean Persamaan: LpWt DDW = 0. 1 K LtWp 1. Potensi Maksimum Wisatawan per Unit Area per Kategori Wisata Jenis Kegiatan K (orang) Unit Area (Lt) Keterangan Selam m 2 Setiap 2 org dalam 100 m x 10 m Snorkeling m 2 Setiap 1 org dalam 100 m x 3 m Wisata Mangrove m 2 Dihitung panjang track, setiap 1 org sepanjang 100 m Berjemur/Rekreasi Pantai 1 20 m 2 1 org setiap 10m x 2m 2. Waktu yang Digunakan untuk setiap Kegiatan Wisata No. Kegiatan Waktu yang dibutuhkan, Wp-(jam) Total waktu 1 hari, Wt-(jam) 1. Selam Snorkeling Berjemur Rekreasi Pantai Wisata mangrove Hasil Analisis Daya Dukung Kawasan No. Jenis Kegiatan Ekowisata Pesisir Luasan areal Luasan dalam Daya Dukung yang sesuai (ha) m2 Kawasan (orang) 1. Selam Snorkling Mangrove Rekreasi Total Grand Total Daya Dukung Kawasan (ekologi) = 962 orang per hari - Daya dukung per tahun (hari efektif kegiatan wisata per tahun 46 hari) = orang

215 199 Lampiran 9 Nilai parameter dugaan untuk analisis daya dukung ekonomi A. Pendekatan Permintaan Obyek Ekowisata Pesisir 1. Nilai-nilai statistik yang diperlukan No. Uraian Keterangan 1. Total jumlah wisman sampel (orang) R R F-hit dan significance F dan Konstanta Koefisien regresi biaya transportasi lokal (RC) (p-value) (0.0032) 7. Variabel Y jumlah kunjungan 8. Jumlah n (sampel) Persamaan permintaan produk ekowisata pesisir: Demand = RC 3. Perhitungan nilai surplus konsumen: Diketahui: Total kunjungan turis sampel (V) = 1866 orang Koefisien regresi biaya perjalanan ke Togean (b) = Surplus konsumen (SC) = -V/b= -1866/ = Rp per turis/tahun Total surplus konsumen (TCS) = SC x TVi, dimana TVi = total kunjungan turis pada tahun 2009 yakni orang, sehingga TCS = Rp juta per tahun 4. Kurva Permintaan produk ekowisata pesisir:

216 200 Lampiran 9 Lanjutan B. Pendekatan Penawaran Produk oleh Pengusaha Wisata 1. Nilai-nilai statistik yang diperlukan No. Uraian Keterangan 1. R R F-hit dan significance F dan Konstanta Biaya akomodasi dan konsumsi (p-value) (0.0078) 6. Biaya pemeliharan (p-value) (0.0207) 7. Variabel Y Total cost (TC) 8. Jumlah sampel (n) 6 2. Persamaan Penawaran Produk Wisata Pesisir: TC=S = V (V) 2 ds/dv = V 3. Kurva penawaran produk ekowisata pesisir: C. Perhitungan Daya Dukung Ekowisata Pesisir dari Keseimbangan antara Permintaan dan Penawaran Produk Ekowisata Pesisir Demand (D) = Supply (S) V = V V = atau orang turis per tahun Dengan menggunakan persamaan permintaan, diperoleh harga produk pada saat V keseimbangan yakni : D = P = V = ( ) = US$

217 201 Lampiran 9 Lanjutan D. Nilai daya dukung ekonomi dalam keseimbangan: No Uraian Nilai Keterangan 1. Hari Efektif Berwisata Bahrai 275 Bulan kunjungan Maret sampai Nopember 2. Konstanta kegiatan ekowisata pesisir per tahun 46 Rasio Hari Efektif Wisata Pesisir (275 hari) dengan Rata-rata lama kunjungan (6 hari) 3. DD kawasan secara ekonomi per hari (orang) 63 Rasio DD Ekonomi (2 917 orang) dengan konstanta kegiatan ekowisata pesisir (46) 4. Nilai ekonomi obyek ekowisata pesisir Rp milyar per tahun Hasil kali harga produk (US$ per turis) dengan DD ekonomi = US$ 4.21juta 5. Nilai ekonomi obyek ekowisata pesisir Rp juta per hari (kurs Rp per US$) Hasil kali harga produk dengan DD kawasan per hari = US$ (kurs Rp per US$)

218 202 Lampiran 10 Analisis linear goal programming untuk penentuan daya dukung gabungan Model : Title : DD Gabungan MIN DO1 + DO2 + DU3 + DO4 + DO5 SUBJECT TO 2) X + DU1 - DO1 = ) X + DU2 - DO2 = ) 20X + DU3 - DO3 = ) X + DU4 - DO4 = ) 0.5X + DU5 - DO5 = END Keluaran/output: LP OPTIMUM FOUND AT STEP 4 OBJECTIVE FUNCTION VALUE 1) VARIABLE VALUE REDUCED COST DO DO DU DO DO X DU DU DO DU DU ROW SLACK OR SURPLUS DUAL PRICES 2) ) ) ) ) NO. ITERATIONS= 4 Keterangan: Estimasi daya dukung per tahun (hari efektif 46 hari) berdasarkan nilai optimasi sebesar 492 turis per hari yakni 46 x 492 = orang.

219 203 Lampiran 11 Nilai skor setiap atribut berdasarkan empat dimensi pengelolaan ekowisata pesisir di gugus Pulau Togean No. Dimensi dan Atribut Skor Baik Buruk A. Dimensi Ekologi 1. Kesesuaian ekowisata pesisir kategori wisata selam 2. Kesesuaian ekowisata pesisir kategori wisata snorkeling 3. Kesesuaian ekowisata pantai kategori wisata mangrove 4. Kesesuaian ekowisata pantai kategori rekreasi 5. Daya dukung ekowisata pesisir kategori wisata selam 6. Daya dukung ekowisata pesisir kategori wisata snorkeling 7. Daya dukung ekowisata pantai kategori wisata mangrove 8. Daya dukung ekowisata pantai kategori rekreasi/berjemur 9. Tingkat pemanfaatan lahan untuk fasilitas wisata pesisir 10. Daya dukung dengan pendekatan kualitas perairan (org/hari) B. Dimensi Ekonomi 1. Jumlah optimum kunjungan wisman (orang/hari) 2. Optimum harga produk wisata (US$/wisman) 3. Diversifikasi/optimasi ekowisata pesisir 4. Jumlah kunjungan terhadap ketersediaan kamar (org/hari) 5. Upah tenaga kerja lokal terhadap UMP(Rp/bulan) 6. Trend penyerapan tenaga lokal 7. Pendapatan usaha turunan terhadap UMP(Rp/bulan) C. Dimensi Sosial 1. Kenyamanan masyarakat lokal dan wisman (orang/hari) Realitas saat ini 0; 1; Sesuai Bersyarat = skor 1 0; 1; Sesuai = skor 2 0; 1; Sesuai Bersyarat = skor 1 0; 1; Sesuai = skor 2 0; 1; orang = skor 2 0; 1; orang = skor 2 0; 1; orang = skor 2 0; 1; < 50 orang = skor 2 0; 1; syarat sesuai= skor 2 0;1; orang = skor 2 0; 1; orang = skor 2 Keterangan 0= tidak sesuai; 1= sesuai bersyarat; 2= sesuai 0= tidak sesuai; 1= sesuai bersyarat; 2= sesuai 0= tidak sesuai; 1= sesuai bersyarat; 2= sesuai 0= tidak sesuai; 1= sesuai bersyarat; 2= sesuai 0 = > 297 org/hari; 1= org/hari; 2 = 198 org/hari 0= > 329org/hari; 1= org/hari; 2= 219 org/hari 0= > 680 org/hari; 1= org/hari; 2= 453 org/hari) 0= > 137 org/hari; 1= org/hari; 2= 91 org/hari) 0= 3 syarat tidak sesuai; 1= 1-2 syarat sesuai; 2 = 3 syarat sesuai 0= > ; 1= ;2= = < 32; 1= 32-62; 2 = 63 0; 1; = Skor 0 0= < ; 1 = ; 2= ; 1; % = 0 0= %;1=33, %; 2 = % 0; 1; = 0= < 150; 1 = 150 Skor 1 299; 2 = 300 0; 1; Rp. 700ribu = skor 1 0; 1; Konstan = skor 1 0; 1; ribu = skor 1 0; 1; < 260 = skor 2 0= < 360ribu; 1= < 720ribu; 2= 720ribu 0=menurun; 1=konstan; 2= meningkat 0= < 360ribu; 1= < 720ribu; 2= 720ribu 0 = > 738; 1 = ; 2 = 492

220 204 No. Dimensi dan Atribut Skor Baik Buruk Realitas saat ini 2. Sikap/perilaku 0; 1; % dijawab masyarakat lokal terhdp biasa saja = keberadaan wisman skor 1 3. Tingkat pengetahuan 0; 1; % tahu tp masyarakat tentang tdk mengerti ekowisata = skor 1 4. Konflik wisata dengan pemanfaatan lain 5. Perubahan kualitas hidup masyarakat lokal D. Dimensi Kelembagaan 1. Keberadaan dan efektivitas regulasi fee konservasi 2. Zonasi dan aturan lain pemanfaatan kawasan TNKT 3. Penegakan hukum oleh aparat bagi pelanggar 4. Penyediaan infrastruktur penunjang Sumber: Data Primer Yang Diolah ; 1; % dijawab kadang-kadang = skor 1 0; 1; % dijawab konstan=skor 1 0; 1; Tidak efektif = skor 0 0; 1; Ada, tidak djalankan = skor 1 0; 1; Ada, kurang ditegakkan = skor 1 0; 1; Tersedia kurang = skor 1 Keterangan 0= jengkel /benci; 1= biasa saja/acuh; 2= senang 0= tidak tahu; 1= tahu tapi tidak mengerti; 2= tahu dan mengerti 0 = sering; 1 = kadangkadang; 2 = tidak ada/pernah 0 = menurun; 1 = konstan; 2 = tinggi 0=tidak ada; 1=ada, tidak efektif; 2=ada, efektif 0= tidak ada; 1= ada, tidak/belum dijalankan; 2= ada, dijalankan 0=tidak ada; 1=ada tapi kurang ditegakkan; 2=ada dan ditegakkan 0= tidak tersedia; 1=tersedia kurang; 2 = tersedia banyak

221 205 Lampiran 12 Basis model pengelolaan ekowisata pesisir di gugus Pulau Togean EKOLOGI Luasan Pantai(t) = Luasan Pantai(t - dt) + (- Pengurangan Luas_Pantai) * dt INIT Luasan Pantai = 1.37 OUTFLOWS: Pengurangan Luas_Pantai = Luasan Pantai*Lj_Abrasi Luas_kawasan_Mangrove(t) = Luas_kawasan_Mangrove(t - dt) + (Pertambahan_Mangrove - Penurunan_Mangrove) * dt INIT Luas_kawasan_Mangrove = INFLOWS: Pertambahan_Mangrove = Upaya_konservasi*0.5 OUTFLOWS: Penurunan_Mangrove = Lju_Degradasi mangrove*luas_kawasan_mangrove Luas_Tutupan Tr_Karang(t) = Luas_Tutupan Tr_Karang(t - dt) + (Pertambahan_Tr_Karang + Upaya_konservasi - Pengurangan Tr_Karang) * dt INIT Luas_Tutupan Tr_Karang = INFLOWS: Pertambahan_Tr_Karang = (Laju_Prtumbuhan*Luas_Tutupan Tr_Karang)*(1- (Luas_Tutupan Tr_Karang/Daya_Dukung Tr_Karang)) Upaya_konservasi = (Jumlah_Fee konservasi*fraksi_fee)*0.5 OUTFLOWS: Pengurangan Tr_Karang = Fraksi_Pencemaran*Jml_penduduk+Lj_degradasi_TKrang*Luas_Tutupan Tr_Karang Daya_Dukung Tr_Karang = Fraksi_fee = 0 Fraksi_Pencemaran = Jml_penduduk = Tot_Penduduk+Jml_Turis Laju_Prtumbuhan = Lju_Degradasi mangrove = Lj_Abrasi = Lj_degradasi_TKrang = Luas_kawasan ekowisata = Luas_Tutupan Tr_Karang+Luas_kawasan_Mangrove+Luasan Pantai EKONOMI Ekonomi_Masy_Lokal(t) = Ekonomi_Masy_Lokal(t - dt) + (Penerimaan - Pengeluaran) * dt INIT Ekonomi_Masy_Lokal = INFLOWS: Penerimaan = Frak_upahTK_RevTour*RevperTurist+Fr_RevUsahalain_RvTour*RevperTurist OUTFLOWS: Pengeluaran = Fraksi_Cost_Rev_lain*Ekonomi_Masy_Lokal Tot_T_Kerja_Lokal(t) = Tot_T_Kerja_Lokal(t - dt) + (TK_Lokal_masuk - TK_lokal_Keluar) * dt INIT Tot_T_Kerja_Lokal = 47 INFLOWS: TK_Lokal_masuk = frtkcap+fr_tktur

222 206 Lampiran 12 Lanjutan OUTFLOWS: TK_lokal_Keluar = 0.125*Tot_T_Kerja_Lokal Alokasi_dana wisata_budaya = 0.2 Ekonomi_Daerah = 0.75*Pajak_Usaha_Wisata Fraksi_Cost_Rev_lain = Fraksi_Infrak = 0.5 Frak_upahTK_RevTour = frtkcap = *Ekonomi_Masy_Lokal Fr_RevUsahalain_RvTour = Fr_TKTur = *Jml_Turis Harga_Produk Ekowisata = Infrastruktur = Fraksi_Infrak*Ekonomi_Daerah Insentif wisata_budaya = Alokasi_dana wisata_budaya*ekonomi_daerah Jumlah_Fee konservasi = 0.25*Pajak_Usaha_Wisata Pajak_Usaha_Wisata = 0.25*RevperTurist RevperTurist = Harga_Produk Ekowisata*Jml_Turis SOSIAL Jumlah_Penduduk(t) = Jumlah_Penduduk(t - dt) + (Pertambahan_penduduk) * dt INIT Jumlah_Penduduk = 9839 INFLOWS: Pertambahan_penduduk = Jumlah_Penduduk*Laju_pertambahan Populasi_Wisman(t) = Populasi_Wisman(t - dt) + (Datang - Pergi) * dt INIT Populasi_Wisman = 2050 INFLOWS: Datang = (Luas_kawasan ekowisata/(luas_kawasan ekowisata+ge))*kual_lingkungan +(Insentif wisata_budaya/((insentif wisata_budaya+ge))*kual_budaya+infrastruktur/(in frastruktur+gc*populasi_wisman+gc))*kual_infrak OUTFLOWS: Pergi = Liv_Cost*Populasi_Wisman+Harga_Prod_lain Frak_PrLvC = Harga_Produk Ekowisata* gc = 0.5 ge = 0.5 Harga_Prod_lain = Jml_Turis = Populasi_Wisman Jml_turis_perhari = Jml_Turis/46 Koef_kenyamanan = Kual_budaya = (mr*insentif wisata_budaya)/1.6634e+008 Kual_Infrak = (mc*infrastruktur)/ e+008 Kual_Lingkungan = (me*luas_kawasan ekowisata)/70.39 Liv_Cost = Frak_PrLvC/Koef_kenyamanan mc = 4.26 me = 1.91 mr = 0.63 Rasio_TouristHost = Jml_turis_perhari/Tot_Penduduk Tot_Penduduk = Jumlah_Penduduk Laju_pertambahan = GRAPH(Jumlah_Penduduk) (0.00, 0.038), (1800, 0.036), (3600, 0.033), (5400, 0.029), (7200, 0.024), (9000, 0.018), (10800, 0.011), (12600, 0.003), (14400, ), (16200, 2e-005), (18000, 0.00) Not in a sector

223 207 Lampiran 13 Nilai dugaan parameter untuk analisis dinamik dimensi sosial turis a. Koefisien untuk Sub Model Sosial bagian Atraksi Wisata No. Uraian Keterangan 1. R R F-hit dan significance F dan Konstanta Luas terumbu karang (p-value) (0.6313) 6. Infrastruktur (p-value) (0.058) 7. Dummy keberadaan wisata budaya(p-value) (0.2898) 8. Variabel Y Jumlah kunjungan 9. Data series dengan jumlah sampel (n) 8 b. Koefisien untuk Sub Model Sosial Bagian Faktor Penghambat Kunjungan No. Uraian Keterangan 1. R R F-hit dan significance F dan Konstanta Biaya hidup (p-value) (0.0569) 6. Harga produk wisata lain (p-value) (0.0279) 7. Variabel Y Jumlah kunjungan 8. Data series dengan jumlah sampel (n) 8 c. Pendugaan Daya Dukung Ekologi Pendekatan Pencemaran Perairan menggunakan Metode Regresi Linear Probit No. Uraian Keterangan 1. R R F-hit dan significance F dan Konstanta Koefisien total populasi dan (p-value) (0.0003) 6. Variabel Y Rasio QBM 7. Data series dengan jumlah sampel (n) 20

224 208 Lampiran 13 Lanjutan Tahapan simulasi jumlah populasi manusia terhadap kualitas perairan: a. Persamaan regresi: Rasio QBM = *Tot Pop b. Hasil simulasi: Tot Pop Rasio QBM Hasil interpolasi diperoleh dari besaran jumlah penduduk (Tot Pop) pada saat kualitas perairan sama dengan baku mutu (Rasio QBM) = 1 yakni Ini berarti daya dukung ekologi dengan pendekatan pencemaran air menunjukkan nilai maksimum jumlah populasi manusia sebanyak orang per hari.

225 209 Lampiran 14 Nilai dugaan atribut (parameter) pada model pengelolaan ekowisata pesisir di gugus Pulau Togean No. Dimensi dan Atribut I. EKOLOGI 1. Initial sumberdaya terumbu karang untuk ekowisata pesisir(ha) II. Nilai Dugaan Keterangan Hasil analisis kesesuaian kawasan ekowisata pesisir 2. Daya dukung terumbu karang (ha) Hasil analisis kesesuaian kawasan ekowisata pesisir 3. Laju pertumbuhan terumbu karang Hasil Analisis Deskriptif (Data Series yang Diolah 2009) 4. Laju degradasi terumbu karang Hasil Analisis Deskriptif (Data Series yang Diolah 2009) 5. Proporsi upaya konservasi untuk terumbu karang 0.50 Hasil Analisis Deskriptif (Data Sekunder Yang Diolah 2009) 6. Initial sumberdaya mangrove untuk ekowisata pesisir (ha) Hasil analisis kesesuaian kawasan ekowisata pesisir 7. Proprosi upaya konservasi untuk mangrove 0.50 Hasil Analisis Deskriptif (Data Sekunder Yang Diolah 2009) 8. Laju degradasi mangrove Analisis trend (Data Series yang Diolah 2009) 9. Initial sumberdaya pantai yang sesuai untuk ekowisata pesisir (ha) 1.37 Hasil analisis kesesuaian kawasan ekowisata pesisir 10. Laju Abrasi Hasil Analisis Deskriptif (Data Primer Yang Diolah 2009) 11. Fraksi pencemaran perairan laut Hasil Analisis regresi linear probit (Data Primer Yang Diolah 2009) 12. Fraksi fee konservasi 0 Hasil analisis deskriptif (Data Primer Yang Diolah 2009) EKONOMI 1. Initial ekonomi masyarakat lokal (Rp.juta/tahun) Analisis Deskriptif (Data Primer Yang Diolah 2009) 2. Fraksi biaya-manfaat usaha lainnya 0.53 Analisis Deskriptif (Data Primer Yang Diolah 2009) 3. Harga produk ekowisata per wisman (Rp juta) 1.86 Analisis Deskriptif (Data Primer Yang Diolah 2009) 4. Fraksi pendapatan (revenue) usaha lain terhadap revenue per wisman Hasil Analisis Deskriptif (Data Primer Yang Diolah 2009) 5. Fraksi alokasi dana infrastruktur terhadap harga produk per wisman 0.5 Analisis Deskriptif (Data Primer Yang Diolah 2009) 6. Pajak (tax) usaha per wisman (%) 25 Peraturan daerah Kab. Tojo Una-Una tentang pajak perhotelan dan restoran 7. Kontribusi pajak wisata ke ekonomi daerah 0.75 Analisis Deskriptif (Data Primer Yang Diolah 2009) 8. Fee untuk konservasi dari total pajak (%) 25 Peraturan daerah Kabupaten Tojo Una-Una 9. Initial tenaga kerja lokal 47 Analisis Deskriptif (Data Primer Yang Diolah 2009) 10.Tenaga kerja yang keluar dari usaha wisata Analisis Deskriptif (Data Primer Yang Diolah 2009) 11.Fraksi tenaga kerja per ekonomi lokal 12.Fraksi tenaga kerja per wisman 4.0E-08 Analisis Deskriptif (Data Primer Yang Diolah 2009) Analisis Deskriptif (Data Primer

226 210 No. Dimensi dan Atribut Nilai Dugaan Keterangan Yang Diolah 2009) 13.Fraksi upah terhadap total revenu per wisman Analisis Deskriptif (Data Primer Yang Diolah 2009) III. SOSIAL 1. Initial wisman (orang) Hasil Deskriptif (Data Primer Yang Diolah 2009) 2. Kepuasan wisman terhadap kualitas wisata alam (ge) = wisata budaya (gr) = kualitas infrastruktur (gc) 0.5 Setengah dari konstanta saturasi (Cassagrandi dan Rinaldi 2002) 3. Koefisien ketersediaan obyek wisata alam (me) 1.91 Hasil analisis regresi berganda (Data Series Yang Diolah 2009) 4. Koefisien ketersediaan obyek wisata budaya (mr) 0.63 Hasil analisis regresi berganda (Data Series Yang Diolah 2009) 5. Koefisien ketersediaan infrastruktur (mc) 4.26 Hasil analisis regresi berganda (Data Series Yang Diolah 2009) 6. Koefisien harga produk wisata lain Hasil analisis regresi berganda (Data Series Yang Diolah 2009) 7. Perubahan living cost di lokasi ekowisata Hasil analisis regresi berganda (Data Series Yang Diolah 2009) 8. Koefisien ketidaknyamanan 3.0E+06 Analisis Deskriptif (Data Primer Yang Diolah 2009) 9. Modal awal kualitas wisata budaya 1.66e+008 Analisis Deskriptif (Data Primer Yang Diolah 2009) 10.Nilai awal kualitas infrastruktur 3.96e+008 Analisis Deskriptif (Data Primer Yang Diolah 2009) 11.Luas awal obyek ekowisata alam Analisis Deskriptif (Data Primer Yang Diolah 2009) 12. Initial jumlah penduduk (orang) (BPS Kabupaten Tojo Una-Una 2008) 13. Laju pertumbuhan penduduk BPS Kab. Tojo Una-Una 2008

227 211 Lampiran 15 Hasil simulasi parsial per dimensi pada skenario pesimis pengelolaan ekowisata pesisir di gugus Pulau Togean No Dimensi dan Jenis Stok A. Optimal Basis 1. Total sumberdaya wisata (ha) 2. Ekonomi masyarakat Tahun ke lokal (Rp juta) 3. Tenaga kerja lokal (orang) Populasi wisman (orang) B. Simulasi atribut ekologi 1. Total Sumberdaya wisata (ha) 2. Ekonomi masyarakat lokal (Rp juta) 3. Tenaga kerja lokal (orang) Populasi wisman (orang) C. Simulasi atribut ekonomi 1. Total Sumberdaya wisata (ha) 2. Ekonomi masyarakat lokal (Rp juta) 3. Tenaga kerja lokal (orang) Populasi wisman (orang) D. Simulasi atribut sosial 1. Total Sumberdaya wisata (ha) 2. Ekonomi masyarakat lokal (Rp juta) 3. Tenaga kerja lokal (orang) Populasi wisman (orang) E. Simulasi atribut kelembagaan 1. Total Sumberdaya wisata (ha) Ekonomi masyarakat lokal (Rp juta) 3. Tenaga kerja lokal (orang) Populasi wisman (orang) Keterangan untuk simulasi: a. Skenario dimensi ekologi: peningkatan pencemaran perairan dari menjadi dan degradasi terumbu karang dari 0.05 menjadi 0.5, dan mangrove dari menjadi b. Skenario dimensi ekonomi: penurunan harga produk ekowisata pesisir dari Rp1.86 juta menjadi Rp1 juta dan upah tenaga kerja dari menjadi c. Skenario dimensi sosial: penurunan tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan ekowisata pesisir melalui fraksi tenaga kerja terhadap turis dari menjadi , dan porsi pendapatan usaha-usaha turunan wisata menurun dari menjadi d. Skenario dimensi kelembagaan: keterbatasan infrastruktur penunjang dari 0.5 menjadi 0.05 sehingga harga produk lain meningkat kompetitifnya dari menjadi 1.00.

228 212 Lampiran 16 Hasil simulasi parsial perdimensi pada skenario optimis pengelolaan ekowisata pesisir di gugus Pulau Togean No Dimensi dan Jenis Stok A. Optimal Basis 1. Total Sumberdaya wisata (ha) 2. Ekonomi masyarakat Tahun ke lokal (Rp juta) 3. Tenaga kerja lokal (orang) Populasi wisman (orang) B. Simulasi atribut ekologi 1. Total Sumberdaya wisata (ha) 2. Ekonomi masyarakat lokal (Rp juta) 3. Tenaga kerja lokal (orang) Populasi wisman (orang) C. Simulasi atribut ekonomi 1. Total Sumberdaya wisata (ha) 2. Ekonomi masyarakat lokal (Rp juta) 3. Tenaga kerja lokal (orang) Populasi wisman (orang) D. Simulasi atribut sosial 1. Total Sumberdaya wisata (ha) 2. Ekonomi masyarakat lokal (Rp juta) 3. Tenaga kerja lokal (orang) Populasi wisman (orang) E. Simulasi atribut kelembagaan 1. Total Sumberdaya wisata (ha) Ekonomi masyarakat lokal (Rp juta) 3. Tenaga kerja lokal (orang) Populasi wisman (orang) Keterangan untuk simulasi: a. Efektifitas pengelolaan fee konservasi dari 0 ke dan penurunan pencemaran perairan dari ke (dimensi ekologi) b. Peningkatan harga produk ekowisata pesisir dari Rp 1.86juta ke Rp 3.00juta dan fraksi upah tenaga kerja dari menjadi (dimensi ekonomi) c. Peningkatan partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan ekowisata pesisir melalui fraksi tenaga kerja terhadap turis dari menjadi 0.005, dan pendapatan usahausaha turunan wisata guna peningkatan kualitas hidup dari menjadi (dimensi sosial) d. Peningkatan ketersediaan infrastruktur dari 0.5 menjadi 3.00 sehingga harga produk lain menurun kompetitifnya dari menjadi (dimensi kelembagaan)

229 213 Lampiran 17 Perubahan stok obyek ekowisata pesisir dan populasi wisatawan menurut skenario pengelolaan di gugus Pulau Togean Kondisi Optimal Basis Skenario Pesimis 2 Skenario Optimis 3 Tahun Populasi Turis Luas T.karang Luas Mangrove Luas Pantai Rasio H-T Populasi Turis Luas T.karang Luas Mangrove Luas Pantai Rasio H-T Populasi Turis Luas T.karang Luas Mangrove Luas Pantai Rasio H-T Final

230 214 Lampiran 18 Rencana zonasi kawasan Kepulauan Togean (Bappeda 2008)

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang diperkirakan memiliki kurang lebih 17 504 pulau (DKP 2007), dan sebagian besar diantaranya adalah pulau-pulau kecil

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang besar karena didukung oleh letaknya yang strategis dari aspek ekonomi, pertahanan dan keamanan serta adanya ekosistem

Lebih terperinci

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. MUNTADHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS SYARIF IWAN TARUNA ALKADRIE SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengembangan pulau pulau kecil merupakan arah kebijakan baru nasional dibidang kelautan. Berawal dari munculnya Peraturan Presiden No. 78 tahun 2005 tentang Pengelolaan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas 49 307,19 km 2 memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi. Luas laut 29 159,04 Km 2, sedangkan luas daratan meliputi

Lebih terperinci

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pulau-Pulau Kecil 2.1.1 Karakteristik Pulau-Pulau Kecil Definisi pulau menurut UNCLOS (1982) dalam Jaelani dkk (2012) adalah daratan yang terbentuk secara alami, dikelilingi

Lebih terperinci

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi

Lebih terperinci

KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH

KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir pulau kecil pada umumnya memiliki panorama yang indah untuk dapat dijadikan sebagai obyek wisata yang menarik dan menguntungkan, seperti pantai pasir putih, ekosistem

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH BUNGA PRAGAWATI Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu bentuk pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan adalah melalui pengembangan kegiatan wisata bahari. Berbicara wisata bahari, berarti kita berbicara tentang

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan adanya kecenderungan menipis (data FAO, 2000) terutama produksi perikanan tangkap dunia diperkirakan hanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. besar sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, disisi lain masyarakat yang sebagian

BAB I PENDAHULUAN. besar sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, disisi lain masyarakat yang sebagian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu Negara kepulauan, yang memiliki potensi besar sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, disisi lain masyarakat yang sebagian besar bertempat

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL (Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Tual adalah salah satu kota kepulauan yang ada di Provinsi Maluku dengan potensi sumberdaya kelautan dan perikanan yang cukup melimpah serta potensi pariwisata yang

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir dan laut merupakan daerah dengan karateristik khas dan bersifat dinamis dimana terjadi interaksi baik secara fisik, ekologi, sosial dan ekonomi, sehingga

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor

I. PENDAHULUAN. manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor pariwisata bagi suatu negara

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kabupaten Lombok Barat-Propinsi Nusa Tenggara Barat, yaitu di kawasan pesisir Kecamatan Sekotong bagian utara, tepatnya di Desa Sekotong

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di Dunia, yang terdiri dari 17.508 pulau dan garis pantai sepanjang 95.181 km (terpanjang ke empat di Dunia setelah Canada,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut Menurut UU No. 26 tahun 2007, ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia yang dikenal dengan negara kepulauan memiliki lebih dari 18.000 pulau, memiliki luasan hutan lebih dari 100 juta hektar dan memiliki lebih dari 500 etnik

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Indonesia merupakan negara maritim dengan garis pantai sepanjang 81.290 km dan luas laut termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 5,8 juta km 2 (Dahuri et al. 2002).

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan, telah dikenal memiliki kekayaan alam, flora dan fauna yang sangat tinggi. Kekayaan alam ini, hampir merata terdapat di seluruh wilayah

Lebih terperinci

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU INDAH HERAWANTY PURWITA DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki 18 306 pulau dengan garis pantai sepanjang 106 000 km (Sulistiyo 2002). Ini merupakan kawasan pesisir terpanjang kedua

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dan terletak di garis khatulistiwa dengan luas daratan 1.910.931,32 km 2 dan memiliki 17.504 pulau (Badan Pusat Statistik 2012). Hal

Lebih terperinci

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Taman Nasional Teluk Cenderawasih (TNTC) merupakan salah satu kawasan pelestarian alam memiliki potensi untuk pengembangan ekowisata. Pengembangan ekowisata di TNTC tidak

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang . 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di wilayah pesisir yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai sebuah negara yang sebagian besar wilayahnya terdiri atas lautan, Indonesia memiliki potensi sumberdaya perikanan yang potensial untuk dikembangkan sebagai salah

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA PANTAI, SELAM DAN SNORKELING DI PULAU BERHALA KABUPATEN SERDANG BEDAGAI PROVINSI SUMATERA UTARA

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA PANTAI, SELAM DAN SNORKELING DI PULAU BERHALA KABUPATEN SERDANG BEDAGAI PROVINSI SUMATERA UTARA 1 ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA PANTAI, SELAM DAN SNORKELING DI PULAU BERHALA KABUPATEN SERDANG BEDAGAI PROVINSI SUMATERA UTARA SKRIPSI OLEH : AMRULLAH ANGGA SYAHPUTRA 110302075 PROGRAM

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR 5.1. Visi dan Misi Pengelolaan Kawasan Konservasi Mengacu pada kecenderungan perubahan global dan kebijakan pembangunan daerah

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau sebanyak 13.466 dan garis pantai sepanjang 95.18 km, memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA DUKUNG MINAWISATA DI KELURAHAN PULAU TIDUNG, KEPULAUAN SERIBU

ANALISIS DAYA DUKUNG MINAWISATA DI KELURAHAN PULAU TIDUNG, KEPULAUAN SERIBU ANALISIS DAYA DUKUNG MINAWISATA DI KELURAHAN PULAU TIDUNG, KEPULAUAN SERIBU Urip Rahmani 1), Riena F Telussa 2), Amirullah 3) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan USNI Email: urip_rahmani@yahoo.com ABSTRAK

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang 4 TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang Ruang (space) dalam ilmu geografi didefinisikan sebagai seluruh permukaan bumi yang merupakan lapisan biosfer, tempat hidup tumbuhan, hewan dan manusia (Jayadinata

Lebih terperinci

KAJIAN PROSPEK DAN ARAHAN PENGEMBANGAN ATRAKSI WISATA KEPULAUAN KARIMUNJAWA DALAM PERSPEKTIF KONSERVASI TUGAS AKHIR (TKP 481)

KAJIAN PROSPEK DAN ARAHAN PENGEMBANGAN ATRAKSI WISATA KEPULAUAN KARIMUNJAWA DALAM PERSPEKTIF KONSERVASI TUGAS AKHIR (TKP 481) KAJIAN PROSPEK DAN ARAHAN PENGEMBANGAN ATRAKSI WISATA KEPULAUAN KARIMUNJAWA DALAM PERSPEKTIF KONSERVASI TUGAS AKHIR (TKP 481) Oleh : GITA ALFA ARSYADHA L2D 097 444 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Sibolga terletak di kawasan pantai Barat Sumatera Utara, yaitu di Teluk Tapian Nauli. Secara geografis, Kota Sibolga terletak di antara 01 0 42 01 0 46 LU dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia yang merupakan pusat dari segitiga terumbu karang (coral triangle), memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia (megabiodiversity). Terumbu karang memiliki

Lebih terperinci

STUDI PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR UNTUK KEGIATAN WISATA PANTAI (KASUS PANTAI TELENG RIA KABUPATEN PACITAN, JAWA TIMUR)

STUDI PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR UNTUK KEGIATAN WISATA PANTAI (KASUS PANTAI TELENG RIA KABUPATEN PACITAN, JAWA TIMUR) STUDI PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR UNTUK KEGIATAN WISATA PANTAI (KASUS PANTAI TELENG RIA KABUPATEN PACITAN, JAWA TIMUR) ANI RAHMAWATI Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Taman Nasional menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem

Lebih terperinci

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya 1 Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya PENDAHULUAN Wilayah pesisir merupakan ruang pertemuan antara daratan dan lautan, karenanya wilayah ini merupakan suatu

Lebih terperinci

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN WULANING DIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH (Kasus Program Community Development Perusahaan Star Energy di Kabupaten Natuna dan Kabupaten Anambas) AKMARUZZAMAN

Lebih terperinci

KAJIAN KESESUAIAN PEMANFAATAN KAWASAN TERUMBU KARANG PADA ZONA PEMANFAATAN WISATA TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU OLEH PERSADA AGUSSETIA SITEPU

KAJIAN KESESUAIAN PEMANFAATAN KAWASAN TERUMBU KARANG PADA ZONA PEMANFAATAN WISATA TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU OLEH PERSADA AGUSSETIA SITEPU KAJIAN KESESUAIAN PEMANFAATAN KAWASAN TERUMBU KARANG PADA ZONA PEMANFAATAN WISATA TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU OLEH PERSADA AGUSSETIA SITEPU SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SEMINAR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia Timur. Salah satu obyek wisata yang terkenal sampai mancanegara di

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia Timur. Salah satu obyek wisata yang terkenal sampai mancanegara di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah salah satu provinsi yang terletak di Indonesia Timur. Salah satu obyek wisata yang terkenal sampai mancanegara di provinsi ini adalah

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Eksploitasi sumberdaya pesisir dan laut dalam dekade terakhir ini menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat, bahkan telah mendekati kondisi yang membahayakan kelestarian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-Undang No. 05 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya (KSDHE), Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kepadatan penduduk di Kota Bandung yang telah mencapai 2,5 juta jiwa pada tahun 2006 memberikan konsekuensi pada perlunya penyediaan perumahan yang layak huni. Perumahan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir dan laut Indonesia merupakan wilayah dengan potensi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan

Lebih terperinci

ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN

ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN (Studi Kasus di Bungakondang Kabupaten Purbalingga) BUDI BASKORO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem di wilayah pesisir yang kompleks, unik dan indah serta mempunyai fungsi biologi, ekologi dan ekonomi. Dari fungsi-fungsi tersebut,

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekowisata bagi negara-negara berkembang dipandang sebagai cara untuk mengembangkan perekonomian dengan memanfaatkan kawasan-kawasan alami secara tidak konsumtif. Untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013).

BAB I PENDAHULUAN. positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata memiliki peran yang semakin penting dan memiliki dampak positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013). Dengan adanya misi

Lebih terperinci

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah yang memberikan kontribusi produksi perikanan yang sangat besar dan tempat aktivitas manusia paling banyak dilakukan; bahkan menurut

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Selat Lembeh merupakan suatu kawasan khas yang terletak di wilayah Indonesia bagian timur tepatnya di Kota Bitung, Provinsi Sulawesi Utara dengan berbagai potensi sumberdaya

Lebih terperinci

KERENTANAN TERUMBU KARANG AKIBAT AKTIVITAS MANUSIA MENGGUNAKAN CELL - BASED MODELLING DI PULAU KARIMUNJAWA DAN PULAU KEMUJAN, JEPARA, JAWA TENGAH

KERENTANAN TERUMBU KARANG AKIBAT AKTIVITAS MANUSIA MENGGUNAKAN CELL - BASED MODELLING DI PULAU KARIMUNJAWA DAN PULAU KEMUJAN, JEPARA, JAWA TENGAH KERENTANAN TERUMBU KARANG AKIBAT AKTIVITAS MANUSIA MENGGUNAKAN CELL - BASED MODELLING DI PULAU KARIMUNJAWA DAN PULAU KEMUJAN, JEPARA, JAWA TENGAH oleh : WAHYUDIONO C 64102010 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

KAJIAN POTENSI KAWASAN PESISIR BAGI PENGEMBANGAN EKOWISATA DI SEKOTONG, KABUPATEN LOMBOK BARAT - NTB ARTIKA RATNA WARDHANI

KAJIAN POTENSI KAWASAN PESISIR BAGI PENGEMBANGAN EKOWISATA DI SEKOTONG, KABUPATEN LOMBOK BARAT - NTB ARTIKA RATNA WARDHANI KAJIAN POTENSI KAWASAN PESISIR BAGI PENGEMBANGAN EKOWISATA DI SEKOTONG, KABUPATEN LOMBOK BARAT - NTB ARTIKA RATNA WARDHANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Natuna memiliki potensi sumberdaya perairan yang cukup tinggi karena memiliki berbagai ekosistem laut dangkal yang merupakan tempat hidup dan memijah ikan-ikan

Lebih terperinci

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Indikator Perkuliahan Menjelaskan kawasan yang dilindungi Menjelaskan klasifikasi kawasan yang dilindungi Menjelaskan pendekatan spesies Menjelaskan

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan 29 BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN 3.1. Kerangka Berpikir Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan ekosistem laut. Mangrove diketahui mempunyai fungsi ganda

Lebih terperinci

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

Bab 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang

Bab 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Bab 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Diketahui bahwa Papua diberi anugerah Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah. Sumberdaya tersebut dapat berupa sumberdaya hayati dan sumberdaya non-hayati. Untuk sumberdaya

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Isu konservasi sumberdaya hayati menjadi salah satu bagian yang dibahas dalam Agenda 21 pada KTT Bumi yang diselenggarakan di Brazil tahun 1992. Indonesia menindaklanjutinya

Lebih terperinci

Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir

Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir Daerah peralihan (interface area) antara ekosistem daratan dan laut. Batas ke arah darat: Ekologis: kawasan yang masih dipengaruhi oleh proses-proses laut seperti pasang

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Industri pariwisata di Indonesia merupakan salah satu penggerak perekonomian nasional yang potensial untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian nasional di masa kini dan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan sub-sektor perikanan tangkap merupakan bagian integral dari pembangunan kelautan dan perikanan yang bertujuan untuk : (1) meningkatkan kesejahteraan masyarakat

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang...

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang... DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... x xiii xv xvi I. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Rumusan Masalah... 5 1.3.Tujuan dan Kegunaan Penelitian...

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Banyak pakar dan praktisi yang berpendapat bahwa di milenium ketiga, industri jasa akan menjadi tumpuan banyak bangsa. John Naisbitt seorang futurist terkenal memprediksikan

Lebih terperinci

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH Oleh: Livson C64102004 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

PEMETAAN KAWASAN EKOWISATA SELAM DI PERAIRAN PULAU PANJANG, JEPARA, JAWA TENGAH. Agus Indarjo

PEMETAAN KAWASAN EKOWISATA SELAM DI PERAIRAN PULAU PANJANG, JEPARA, JAWA TENGAH. Agus Indarjo Jurnal Harpodon Borneo Vol.7. No.. Oktober. 04 ISSN : 087-X PEMETAAN KAWASAN EKOWISATA SELAM DI PERAIRAN PULAU PANJANG, JEPARA, JAWA TENGAH Agus Indarjo Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. keterbelakangan ekonomi, yang lebih dikenal dengan istilah kemiskinan, maka

I. PENDAHULUAN. keterbelakangan ekonomi, yang lebih dikenal dengan istilah kemiskinan, maka 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional di banyak negara berkembang pada umumnya ditekankan pada pembangunan ekonomi. Hal ini disebabkan karena yang paling terasa adalah keterbelakangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan subtropis yang

I. PENDAHULUAN. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan subtropis yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan subtropis yang didominasi oleh beberapa jenis mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang

Lebih terperinci

GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU

GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU 1 GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR MALUKU, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENENTUAN BENTUK DAN LUAS PLOT CONTOH OPTIMAL PENGUKURAN KEANEKARAGAMAN SPESIES TUMBUHAN PADA EKOSISTEM HUTAN HUJAN DATARAN RENDAH : STUDI KASUS DI TAMAN NASIONAL KUTAI SANDI KUSUMA SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan yang merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan taraf hidup manusia tidak terlepas dari aktifitas pemanfaatan sumberdaya alam (Bengen 2004). Peluang

Lebih terperinci

3. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

3. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 3. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 3.1 Kerangka Pemikiran Pembangunan pulau kecil menjadi kasus khusus disebabkan keterbatasan yang dimilikinya seperti sumberdaya alam, ekonomi dan kebudayaannya. Hal

Lebih terperinci

MANAGEMENT OF THE NATURAL RESOURCES OF SMALL ISLAND AROUND MALUKU PROVINCE

MANAGEMENT OF THE NATURAL RESOURCES OF SMALL ISLAND AROUND MALUKU PROVINCE MANAGEMENT OF THE NATURAL RESOURCES OF SMALL ISLAND AROUND MALUKU PROVINCE (Environmental Study of University of Pattimura) Memiliki 1.340 pulau Pulau kecil sebanyak 1.336 pulau Pulau besar (P. Seram,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari pulau dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari pulau dan BAB I BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari 17.000 pulau dan wilayah pantai sepanjang 80.000 km atau dua kali keliling bumi melalui khatulistiwa.

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pulau Madura merupakan wilayah dengan luas 15.250 km 2 yang secara geografis terpisah dari Pulau Jawa dan dikelilingi oleh selat Madura dan laut Jawa. Sebagai kawasan yang

Lebih terperinci

MODEL IMPLENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN MANGROVE DALAM ASPEK KAMANAN WILAYAH PESISIR PANTAI KEPULAUAN BATAM DAN BINTAN.

MODEL IMPLENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN MANGROVE DALAM ASPEK KAMANAN WILAYAH PESISIR PANTAI KEPULAUAN BATAM DAN BINTAN. MODEL IMPLENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN MANGROVE DALAM ASPEK KAMANAN WILAYAH PESISIR PANTAI KEPULAUAN BATAM DAN BINTAN Faisyal Rani 1 1 Mahasiswa Program Doktor Ilmu Lingkungan Universitas Riau 1 Dosen

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. dan juga nursery ground. Mangrove juga berfungsi sebagai tempat penampung

PENDAHULUAN. dan juga nursery ground. Mangrove juga berfungsi sebagai tempat penampung PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia kaya dan beranekaragam sumberdaya alam. Satu diantara sumberdaya alam di wilayah pesisir adalah ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove merupakan ekosistem

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.02/MEN/2009 TENTANG TATA CARA PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.02/MEN/2009 TENTANG TATA CARA PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.02/MEN/2009 TENTANG TATA CARA PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting dan memiliki peran strategis bagi pembangunan Indonesia saat ini dan dimasa mendatang. Indonesia

Lebih terperinci