KEWENANGAN BPKP DALAM MENENTUKAN KERUGIAN NEGARA AKIBAT KORUPSI DI INSTANSI PEMERITAHAN DAERAH. (Jurnal Ilmiah) Oleh MERY FARIDA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KEWENANGAN BPKP DALAM MENENTUKAN KERUGIAN NEGARA AKIBAT KORUPSI DI INSTANSI PEMERITAHAN DAERAH. (Jurnal Ilmiah) Oleh MERY FARIDA"

Transkripsi

1 KEWENANGAN BPKP DALAM MENENTUKAN KERUGIAN NEGARA AKIBAT KORUPSI DI INSTANSI PEMERITAHAN DAERAH (Jurnal Ilmiah) Oleh MERY FARIDA Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA HUKUM Pada Bagian Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Lampung FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2018

2

3 ABSTRAK KEWENANGAN BPKP DALAM MENENTUKAN KERUGIAN NEGARA AKIBAT KORUPSI DI INSTANSI PEMERITAHAN DAERAH Oleh Mery Farida, Prof. Dr. Yuswanto, S.H.,M.H, Nurmayani, S.H.,M.H. Bagian Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Lampung Jalan Prof. Dr. Soemantri Brojonegoro No.1 Bandar Lampung, meryfarida95@gmail.com Kerugian negara akibat korupsi di instansi pemerintahan daerah terus meningkat, seiring dengan bertambahnya transfer dana dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, oleh karena itu dibutuhkan suatu lembaga untuk menghitung dan menetapkan kerugian keuangan negara di daerah. Secara konstitusional BPK adalah satu-satunya lembaga yang memiliki kewenanga tersebut, tetapi beberapa tahun terakhir Aparat Penegak Hukum berdasarkan Nota Kesepahaman Antara Kejaksaan RI, Kepolisian Negara RI, dan BPKP Nomor: Kep-109/A/JA/09/2007; No. Pol.: B/2718/ Ix/2007; dan Nomor: Kep-1093/K/D6/2007 tentang Kerjasama Dalam Penanganan Kasus Penyimpangan Pengelolaan Keuangan Negara Yang Berindikasi Tindak Pidana Korupsi meminta bantuan BPKP untuk melakukan penentuan kerugian negara, sehingga hal ini mejadi polemik di masyarakat. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah kewenangan BPKP dalam menentukan kerugian negara Akibat Korupsi di Instansi Pemerintah Daerah? Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, jenis data yaitu data Sekunder dan Analisis data yang digunakan yaitu Analisis deskriptif kualitatif.. BPKP berwenangan melakukan penghitungan kerugian negara yang didasarkan pada Putusan MK No. 31/PUU-X/2012 dan Pasal 3 huruf e Undang-Undang No, 192 Tahun 2014 Tentang Badan Pemeriksaa Keuangan dan pembangunan yang menyatakan penghitungan kerugian negara BPKP melalui Audit Investigasi, tetapi berdasarkan Peraturan Kepala BPKP Nomor: Per-1314/K/D6/2012 tentang Pedoman Penugasan Bidang Investigasi sebelum melakukan penghitungan kerugian negara BKPK harus mendapat permintaan terlebih dahulu oleh APH Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2016 Tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun, menyatakan bahwa BPKP hanya memilki kewenangan Menghitung Kerugian Negara dan yang memiliki kewenangan menghitung kerugian negara adalah hakim dan BPK. Selain itu yang menjadi alasan BPKP tidak berwenang adalah BPKP hanya menerima mandat dari APH, sehingga Laporan BPKP bukan merupakan KTUN dan bersifat informatif. Kata Kunci: Kewenangan, Badan Pemeriksa Keuangan Dan pembangunan, Penentuan Kerugian Negara, Pemerintah Daerah

4 THE AUTHORITY OF THE FINANCIAL AND DEVELOPMENT SUPERVISORY BOARD IN DETERMINING STATE LOSSES DUE TO CORRUPTION IN LOCAL GOVERMENT INSTITUTION By Mery Farida, Prof. Dr. Yuswanto, S.H.,M.H, Nurmayani, S.H.,M.H Legal Section State Administration Faculty of Law University of Lampung. Street Prof. Dr. Soemantri Brojonegoro No.1 Bandar Lampung, meryfarida95@gmail.com State losses due to corruption in local government agencies continue to increase, along with increased transfer of funds from Central government to local governments, therefore it takes an institution to calculate and determine the financial losses of the state in the region. Constitutionally Financial Audit Board is the only institution that has the authority, but the last few years Law Enforcement Apparatus based on a memorandum of understanding between the Attorney General of the Republic of Indonesia, the Indonesian National Police, and The Financial and Development Supervisory Board number: Kep-109/A/JA/09/2007; No. Pol.: B/2718/ Ix/2007; and number: Kep-1093 / K / D6 / 2007 concerning Cooperation in the Handling of Cases of Irregularities in State Financial Management Indicated by Corruption, asks BPKP's assistance to determine the state's loss, so that this becomes a polemic in the community. The problem in this research is how is the authority of The Financial and Development Supervisory Board in determining state losses due to Corruption in Local Government Institution? This study uses the normative juridical approach, the type of data is secondary data and data analysis used is descriptive qualitative analysis. BPKP has the authority to calculate state losses based on Decision of the Constitutional Court No. 31 / PUU-X / 2012 and affirmed in Article 3 letter e Act no. 192 Year 2014 About the Finance and Development Audit Board which states the calculation of state losses The Financial and Development Supervisory Board through Investigation Audit, but based on Regulation of Head of The Financial and Development Supervisory Board Number: Per-1314 / K / D6 / 2012 concerning Guidelines for Assignment of Investigation Field before calculating the loss of State The Financial and Development Supervisory Board shall be requested in advance by Law Enforcement Apparatus Circular Letter of the Supreme Court No. 4 Year 2016 On the Implementation of the Result of the Plenary Meeting of the Supreme Court Chamber of the Year, stating that The Financial and Development Supervisory Board only has the authority to calculate State Losses and that has the authority to calculate state losses is the judge and the Financial Audit Board. In addition, the reason why The Financial and Development Supervisory Board is not authorized is that The Financial and Development Supervisory Board only accepts mandates from Law

5 Enforcement Apparatus, so the The Financial and Development Supervisory Board Report is not a state administrative decision and is informative. Keywords: Authority, The Financial and Development Supervisory Board, Determining State Losses, Local Goverment

6 I. PENDAHULUAN Tujuan Negara Indonesia sebagaimana tercantum dalam alinea ke-iv UUD 1945 yaitu memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social dan untuk mencapai tujuan tersebut maka akan selalu berkaitan dengan pengelolan keuangan Negara sebagai bentuk pembiayaan terhadap penyelenggara - an pemerintahan Negara, akan tetapi dalam pengelolaan keuangan daerah baik pada tingkat pusat maupun daerah terdapat kerugian keuangan negara maupun potensi kerugian negara. Menurut Thedorus M. Tuanakotta terdapat lima sumber yang dapat menimbulkan keuangan negara yaitu: 1 a. Pengadaan barang dan jasa b. Pelepasan Asset c. Pemanfaatan Aset d. Penempatan Aset e. Kredit Macet sumber kerugian keuangan negara tersebut, memungkin kan terjadinya indikasi tindak pinada, oleh karena itu pengelolaan terhadap keuangan Negara harus dilakukan pengawasan. Pengawasan keuangan Negara 2 adalah kegiatan untuk menjamin agar pengumpulan penerimaan-penerimaan Negara, dan penyaluran pengeluaranpengeluaran Negara tidak menyimpang dari rencana yang telah digariskan didalam anggaran. Bentuk pengawasan dalam rangka pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara dalam hal untuk menghitung kerugian keuangan negara dapat berupa: a. Pengawasan Internal 1) Dilakukan oleh atasan terhadap bawahannya dalam suatu lingkungan kerja; 2) Inspektorat Jendral, Inspektorat Provinsi, dan Inspektorat kabupaten kota; 3) Badan Pengawas Keuangan dan Pembanguan; b. Pengawasan Eksternal oleh Badan Pemeriksa Keuangan keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Berdasarkan hasil penghitungan ICW (Indonesia Corruption Watch) ditemukan jumlah kasus korupsi yang menimbulkan kerugian negara terbanyak berada dilevel pemerintahan Kabupaten/Kota. Temuan ICW menunjukan sepanjang tahun 2016 ada 219 kasus tindak pidana korupsi terjadi di Pemerintahan Kabupaten denga total kerugian mencapai Rp. 478 Miliar. Sedangkan Pemerintah Kota beradaa di urutan kedua terbesar yang tersangku kasus korupsi pada tahun yang sama, yakni total 73 kasus dan kerugian Negara mencapai Rp. 247 Miliar rupiah. Salah satu permasalahan yang terjadi mengenai pengawasan terhadap keuangan negara adalah lembaga Negara manakah yang berhak menentukan adanya suatu kerugian negara. khususnya antara BPK dan BPKP sebab perbedaan hasil penghitungan kerugian Negara yang 1 Chandra Ayu Astuti, Anis Chariri, Penentuan Kerugian Negara yang dilakukan Oleh BPKP dalam Tindak Pidana Korupsi, Vol. 4, No. 3, tahun 2015, hlm 3 2 Yuswanto, Hukum Keuangan Negara, 2014, Bandar Lampung: Justice Publisher, hlm. 64

7 dilakukan oleh BPK dan BPKP di tingkat pemerintah daerah BPKP adalah lembaga pemerintah non departemen (LPND) yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. berdasarkan Peraturan Presiden No. 192 Tahun 2014 Tentang Badan Pemeriksaan Keuangan Dan Pembangunan yang atur dalam Pasal 2 menyatakan: BPKP mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan keuangan negara/ daerah dan pembangunan nasional. Untuk Menjalankan tugasnya berdasarkan Pasal 54 Keppres No. 103 Tahun 2001, BPKP memiliki kewenangan yaitu: 1) Penyusunan rencana nasional secara makro di bidangnya; 2) Perumusan kebijakan di bidangnya untuk mendukung pembangunan secara makro; 3) Penetapan sistem informasi di bidangnya; 4) Pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan otonomi daerah yang meliputi pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan, arahan, dan supervisi di bidangnya; 5) Penetapan persyaratan akreditasi lembaga pendidikan dan sertifikasi tenaga profesional/ahli serta persyaratan jabatan di bidangnya; 6) Kewenangan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku, yaitu: a. Memasuki semua kantor, bengkel gudang, bangunan, tempat-tempat penimbunan, sebagainya; b. Meneliti semua catatan, data elektronik, dokumen, buku perhitungan, suratsurat bukti, notulen rapat penitia dan sejenisnya, hasil survei laporanlaporan pengelolaan, dan surat-surat lainnya yang diperlukan dalam pengawasan; c. Pengawasan kas, surat-surat berharga, gudang persediaan dan lain-lain; d. Meminta keterangan tentang tindak lanjut hasil pengawasan, baik hasil pengawasan sendiri maupun hasil pengawasan Badan Pemeriksa Keuangan, dan lembaga pengawasan lainnya. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUUX/2012 terkait pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa KPK bukan hanya dapat berkoordinasi dengan BPKP dan BPK dalam rangka pembuktian suatu tindak pidana korupsi, melainkan dapat juga berkoordinasi dengan instansi lain, bahkan Dapat membuktikan sendiri di luar temuan BPKP dan BPK. Maka berdasarkan hal ini BPKP memiliki kewenangan untuk melakukan audit terhadap keuangan Negara. Untuk mengetahui adanya kerugian negara atau tidak, maka kejaksaan berkoordinasi dengan auditor yang mampu menghitungnya yang dalam hal ini adalah BPKP, Penunjukan BPKP sebagai auditor dalam menghitung kerugian negara dalam kasus korupsi bukan tanpa dasar, hal ini didasarkan pada Pasal 4 ayat (4) Nota Kesepahaman Antara Kejaksaan RI, Kepolisian Negara RI, dan BPKP Nomor: Kep-109/A/JA/09/2007; No.

8 Pol.: B/2718/ Ix/2007; dan Nomor: Kep-1093/K/D6/2007 tentang Kerjasama Dalam Penanganan Kasus Penyimpangan Pengelolaan Keuangan Negara Yang Berindikasi Tindak Pidana Korupsi, yang menyatakan Dalam hal dari hasil audit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diketahui adanya penyimpangan yang berindikasi tindak pidana korupsi, maka BPKP melakukan audit investigatif dan melaporkan hasilnya dalam rapat koordinasi maupun kepada Instansi penyidik untuk ditindaklanjuti. Akan tetapi, secara yuridis Kewenagan BPK dalam menentukan kerugian Negara secara Konstitusional diatur dalam Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri. Kemudian di pertegas dengan Pasal 10 ayat (1) Undang- Undang No. 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan yang menyatakan BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara. Sedangkan BPKP merupakan lembaga yang dibentuk berdasarkan Keppres dan kewenangannya diatur melalui Keppres Keppres No. 103 Tahun 2001 dan Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (PPSPIP). Sehingga BPK merupakan lembaga yang lebih berwenang apabila terjadi tabrakan kewenangan antara keduanya. Hal ini merujuk pada teori stuffenbau dan asas lex superior derogate lege inferior. Atas dasar Permasalahan yang berkaitan dengan kerugian negara ini, maka pada akhir tahun 2016 dikeluarlah Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2016 Tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan. Dalam Angka 6 SEMA tersebut dijelaskan Bahwa Instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan Negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan yang memiliki kewenangan konstitusional sedangkan instansi lainnya seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan/ Inspektorat/Satuan Kerja Perangkat Daerah tetap berwenang melakukan pemeriksaan dan audit pengelolaan keuangan Negara namun tidak berwenang menyatakan atau men-declare adanya kerugian keuangan Negara. Dalam hal tertentu Hakim berdasarkan fakta persidangan dapat menilai adanya kerugian Negara dan besarnya kerugian Negara Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis tertarik untuk menulis judul skripsi Kewenangan BPKP Dalam Menentukan Kerugian Negara Akibat Korupsi Di Instansi Pemerintahan Daerah Berdasarkan latar belakang yang telah uraikan diatas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Bagaimanakah kewenangan BPKP dalam menentukan kerugian Negara akibat korupsi di Instansi Pemerintahan Daerah?

9 II. METODE PENELITIAN 2.1. Pendekatan Masalah Pendekatan masalah yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah: Pendekatan secara yuridis normatif 3, Pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan dengan cara menelaah kaidah-kaidah, norma, norma, aturanaturan yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti. Pendeketan tersebut dimaksud untuk mengumpulkan berbagai macam peraturan perundang undangan, teori-teori dan literatur-literatur yang erat hubungan dengan Kewenangan BPKP Dalam Menentukan Kerugian Negara Akibat Korupsi Di Instansi Pemeritahan Daerah 2.2. Data Dan Sumber Data Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekuder adalah data yang bersumber dari bahan-bahan pustaka, yamg antara lain mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian dan seterusnya (library research). Data sekuder yan digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 4 : 1) Bahan Hukum Primer Bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum mengikat seperti peraturan perundang-undangan dan peraturan lainnya 2) Bahan Hukum Sekunder Bahan-bahan yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan-bahan hukum primer. Terdiri dari buku-buku, literatur dan hasil penelitian yang 3 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, 1983, Jakarta: Rineka Cipta, hlm. 27 berkaitan dengan Kewenangan BPKP Dalam Menentukan Kerugian Negara Akibat Korupsi Di Instansi Pemeritahan Daerah 3) Bahan Hukum Tersier Bahan-bahan penunjang lain yang ada relevansinya dengan pokokpokok permasalahan, memberikan informasi, petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia, ensklopedia, bulletin, majalah, artikel-artikel di internet dan bahan-bahan lainnya yang sifatnya seperti karya ilmiah berkaitan dengan Kewenangan BPKP Dalam Menentukan Kerugian Negara Akibat Korupsi Di Instansi Pemeritahan Daerah 2.3 Prosedur Pengumpulan Dan Pengolahan Data 1) Prosedur Pengumpulan Data Pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah prosedur studi pustaka. Studi Kepustakaan adalah Pengkajian tertulis mengenai hukum yang berasal dari berbagai sumber. Pengkajian tersebut dilakukan dengan serangkaian kegiatan seperti membaca, menelaah dan mengutip dari buku-buku literatur, perundangundangan, dokumen, dan pendapat para sarjana dan ahli yang berkaitan dengan Kewenangan BPKP Dalam Menentukan Kerugian Negara Akibat Korupsi Di Instansi Pemeritahan Daerah 2) Prosedur Pengolahan Data pengolahan data yaitu kegiatan merapikan data dari hasil 4 Ibid, hlm. 52

10 pengumpulan data sehingga siap pakai untuk dianalisis. 5 Dengan langkah-langkah sebagai berikut: a. Pemeriksaan data (editing), yaitu mengoreksi data yang terkumpul sudah cukup lengkap, sudah benar, dan sudah sesuai dengan masalah; b. Klasifikasi data, yaitu menempatkan data sesuai dengan kelompok-kelompok yang telah ditentukan dalam bagian-bagian pada pokok bahasan yang akan dibahas, sehingga diperoleh data yang objektif dan sistematis sesuai dengan penelitian yang dilakukan. c. Rekontuksi data (reconstruction), yaitu menyusun ulang data secara teratur, berurutan, dan logis sehingga mudah dipahami dan diinterprestasikan untuk menjawab pokok bahasan yang diteliti. d. Sistematis data (systematizing), yaitu penyusunan data berdasarkan urutan data yang telah ditentukan dan sesuai dengan ruang lingkup pokok bahasan secara sistemastis dengan maksud untuk memudahkan dalam menganalisis data Analisis Data Data yang telah diolah kemudian dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif, yaitu Data yang telah diolah kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif kualitatif. Analisis deskriptif kualitatif adalah analisis yang diwujudkan dengan cara menggambarkan kenyataan atau keadaan-keadaan atas suatu objek dalam bentuk uraian kalimat berdasarkan keterangan-keterangan dari pihak-pihak yang berhubungan langsung dengan penelitian ini. Hasil analisis tersebut kemudian di interprestasikan guna memberikan gambaran yang jelas terhadap permasalahan yang jelas terhadap permasalahan yang diajukan. III. PEMBAHASAN Penentuan Kerugian Negara Oleh BPKP Dalam Tindak Pidana Korupsi di Pemerintahan Daerah 3.1 Penghitungan Kerugian Negara Oleh BPKP Jumlah dana untuk seluruh daerah pada tahun 2016 mencapai Rp. 776, 3 Triliun 6, akan tetapi semakin besarnya dana untuk pemerintah daerah, maka semakin meningkat pula kerugian negara. Berdasarkan laporan hasil pemeriksan BPK pada tahun 2016 menemukan kerugian negara sebanyak permasalahan senilai Rp1,13 triliun dan potensi kerugian negara sebanyak 413 senilai Rp419,60 miliar Kasus tindak pidana korupsi merupakan penyebab kerugian negara terbesar di Indonesia yang sangat berpengaruh kepada turunnya kualitas kehidupan masyarakat maupun 5 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, 2008, Jakarta:Sinar Grafika, hlm , APBN Yang Lebih Kredibel dan berkualitas ditengah ketidakpastian global, Kementrian Keuagang, hlm Direktorat Penyusun APBN, Direktorat Jedral Anggran, Informasi APBN

11 mengganggu stabilitas ekonomi 7. Tindak pidana korupsi banyak dilakukan di pemerintah daerah dan terbesar terjadi pada pemerintahan kabupaten/kota. yang didasarkan pada temuan ICW menunjukan sepanjang tahun 2016 ada 219 kasus tindak pidana korupsi terjadi di Pemerintahan Kabupaten denga total kerugian mencapai Rp. 478 Miliar. Sedangkan Pemerintah Kota beradaa di urutan kedua terbesar yang tersangku kasus korupsi pada tahun yang sama, yakni total 73 kasus dan kerugian Negara mencapai Rp. 247 Miliar rupiah. Kerugian negara akibat dari tindak pidana korupsi harus dibuktikan secara nyata adanya kerugian negara. Oleh karena itu untuk menentukan ada tidaknya kerugian negara harus dilakukan penghitungan kerugian negara oleh institusi resmi yang memiliki keahlian dalam hal menghitung kerugian negara yang dalam hal ini adalah lembaga pengawas keuangan negara yaitu BPK selaku pengawas keuangan negara ekstern dan BPKP selaku pengawan keuangan negara Intern. 8 Secara konstitusional lembaga yang berwenang untuk melakukan penghitungan kerugian negara adalah BPK sebagaimana tercantum dalam Pasal 23E UUD 1945, yang kemudian kewenangannya dipertegas dalama Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksaan Keuangan, Berdasarkan penjelasan Undang- Undang No. 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan Dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, BPK diberi kewenangan untuk melakukan 3 (tiga) jenis pemeriksaan, yakni: a. Pemeriksaan keuangan, adalah pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemeriksaan keuangan ini dilakukan oleh BPK dalam rangka memberikan pernyataan opini tentang tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan pemerintah. b. Pemeriksaan kinerja, adalah pemeriksaan atas aspek ekonomi dan efisiensi, serta pemeriksaan atas aspek efektivitas yang lazim dilakukan bagi kepentingan manajemen oleh aparat pengawasan intern pemerintah. Pasal 23E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan BPK untuk melaksanakan pemeriksaan kinerja pengelolaan keuangan negara. c. Pemeriksaan dengan tujuan tertentu, adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan khusus, di luar pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja. Termasuk dalam pemeriksaan tujuan tertentu ini adalah pemeriksaan atas hal-hal lain yang berkaitan dengan keuangan dan pemeriksaan investigatif. Audit dengan tujuan tertentu BPK berkaitan dengan pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan investigasi. Pemeriksaan keuangan adalah audit dengan tujuan tertentu yang dimaksudkan untuk menyatakan 7 Emerson Yuntho, dkk, Penerapan Unsur Merugikan Negara Daam Kasus Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Selatan: Indonesia Corruption Watch, hlm 20 8 Agung Suseno, Eksistensi BPKP Dalam Pengawasan Keuangan Negara, Vol. 17, no. 1 Tahun 2010, hlm. 4

12 pendapat mengenai nilai kerugian keuangan negara yang timbul dari suatu kasus penyimpangan dan digunakan untuk mendukung tindakan litigasi, sedangkan pemeriksaan investigasi adalah proses mencari, menemukan, dan mengumpulkan bukti secara sistematis yang bertujuan mengungkapkan terjadi atau tidaknya suatu perbuatan dan pelakunya guna dilakukan tindakan hukum selanjutnya. Hasil dari pemeriksaan keuangan audit investigasi adalah kerugian negara, potensi kerugian negara dan kekurangan penerimaan. Apabila hasil pemeriksaan berupa potensi kerugian negara ditemukan adanya indikasi tindak pidana korupsi maka berdasarkan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan Dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, BPK segera melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan IHPS I Tahun 2017 terdapat beberapa kasus tidak dapat di tindaklanjuti oleh BPK dikarenakan banyaknya permintaan penghitungan kerugian negara kepada BPK, oleh karena itu APH selain meminta penghitungan kerugian negara/kerugian daerah kepada BPK, APH meminta penghitungan kerugian negara pada pengawas intern pemerintah yaitu Badan Pengawas Keuangan Dan Pembangunan (BPKP), dikarenakan penghitungan kerugian negara merupakan hal yang mendesak dalam rangka pemberantasan korupsi dan terdapat beberapa permintaan APH yang belum sempat di tindaklanjuti oleh BPK maka APH meminta penghitungan kerugian negara kepada BPKP yang berkompeten dalam melakukan penghitungan kerugian negara. Ketentuan mengenai penghitungan kerugian negara meskipun dalam kewenangan BPKP tidak dijelaskan secara eksplisit tetapi berdasarkan Pasal 3 huruf e tentang fungsi BPKP dalam Peraturan Presiden No. 192 Tahun 2014 Tentang Badan Pengawasan Keuangan Dan Pembangunan, BPKP memiliki fungsi menghitung kerugian negara yang dinyatakan sebagai berikut: pengawasan terhadap perencanaan dan pelaksanaan program dan/atau kegiatan yang dapat menghambat kelancaran pembangunan, audit atas penyesuaian harga, audit klaim, audit investigatif terhadap kasus-kasus penyimpangan yang berindikasi merugikan keuangan negara/daerah, audit penghitungan kerugian keuangan negara/daerah, pemberian keterangan ahli, dan upaya pencegahan korupsi; Fungsi BPKP dalam menghitung kerugian keuangan negara pada pemerintah daerah diuraikan dalam Pasal 385 Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah sebagai berikut: 1) Masyarakat dapat menyampaikan pengaduan atas dugaan penyimpangan yang dilakukan oleh aparatur sipil negara di instansi Daerah kepada Aparat Pengawas Internal Pemerintah dan/atau aparat penegak hukum. 2) Aparat Pengawasan Internal Pemerintah wajib melakukan pemeriksaan atas dugaan penyimpangan yang diadukan oleh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

13 3) Aparat penegak hukum melakukan pemeriksaan atas pengaduan yang disampaikan oleh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setelah terlebih dahulu berkoodinasi dengan Aparat Pengawas Internal Pemerintah atau lembaga pemerintah nonkementerian yang membidangi pengawasan. 4) Jika berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditemukan bukti adanya penyimpangan yang bersifat administratif, proses lebih lanjut diserahkan kepada Aparat Pengawas Internal Pemerintah. 5) Jika berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditemukan bukti adanya penyimpangan yang bersifat pidana, proses lebih lanjut diserahkan kepada aparat penegak hukum sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Kewenangan BPKP dalam menghitung kerugian negara, dipertegas dengan Putusan MK Nomor: 31/PUU-X/2012 tanggal 23 Oktober 2012 Menurut MK, dalam rangka pembuktian suatu tindak pidana korupsi, KPK bukan hanya dapat berkoordinasi dengan BPKP dan BPK, melainkan dapat juga berkoordinasi dengan instansi lain, bahkan bisa membuktikan sendiri di luar temuan BPKP dan BPK, melainkan dapat juga berkoordinasi dengan instansi lain, bahkan Dapat membuktikan sendiri di luar temuan BPKP dan BPK. Kerjasama antara BPKP dan APH dituangkan dalam Nota Kesepahaman Antara Kejaksaan RI, Kepolisian Negara RI, dan BPKP Nomor: Kep-109/A/JA/09/2007; No. Pol.: B/2718/ Ix/2007; dan Nomor: Kep-1093/K/D6/2007 tentang Kerjasama Dalam Penanganan Kasus Penyimpangan Pengelolaan Keuangan Negara Yang Berindikasi Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan Pasal 4 ayat (4) nota kesepahaman tersebut menyatakan bahwa Dalam hal dari hasil audit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diketahui adanya penyimpangan yang berindikasi tindak pidana korupsi, maka BPKP melakukan audit investigatif dan melaporkan hasilnya dalam rapat koordinasi maupun kepada Instansi penyidik untuk ditindaklanjuti. BPKP dalam melaksanakan audit investigasi untuk menghitung kerugian negara harus di dasarkan pada permintaan tertulis dari instasi yang membutuhkan audit investigasi. Permintaan audit investigasi berdasarkan Peraturan Kepala BPKP Nomor: Per-1314/K/D6/2012 tentang Pedoman Penugasan Bidang Investigasi dapat bersumber dari : a. Pengembangan Hasil Audit Operasional b. Pengaduan Masyarakat c. Permintaan Instansi Penyidik/Penetapan Pengadilan d. Permintaan Objek Penugasan Peraturan ini menggambarkan bahwa BPKP memiliki peran yang sangat penting dalam kemajuan negara khusus dalam menghitung kerugian negara yang terindikasi korupsi, selain itu peraruran perundang-undangan lain yang medukung kewenanang BPKP untuk melakukan penghitungan kerugian negara melalui audit investigatisi dan yang perlu diperhatikan disini adalah bahwa kewenangan BPKP dalam melakukan audit Investigasi untuk menentukan

14 kerugian negara merupakan kewenangan yang diberikan berdasarkan mandat, dikarenakan dalam melaksanakan audit Investigasi BPKP harus mendapatkan permintaan terlebih dahulu dari APH atau instasni lain yang berwenang sehingga BPKP tidak melanggar kententuan dalam konstitusi. 3.2 Kewenangan BPKP Dalam Menentukan Kerugian Negara Akibat Korupsi di Pemerintahan Daerah Penentuan kerugian negara hanya dapat dilakukan oleh lembaga yang berwenang menurut peraturan perundang-undangan. BPKP merupakan salah satu lembaga yang berwenang melakukan audit investigasi untuk menghitung kerugian negara, kemudian yang menjadi perdebatan adalah apakah hasil penghitungan BPKP tersebut dapat menjadi penetapan kerugian keuangan negara. Berdasarkan peraturan perundangundangan yang mengatur tentang BPKP, BPKP merupakan suatu lembaga yang bertanggung jawab kepada Presiden dan mengenai pengawasan keuangan negara Presiden telah menugaskan BPKP untuk melakukan audit dengan tujuan tertentu melalui Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2014 tentang Peningkatan Kualitas Sistem Pengendalian Intern Dan Keandalan Penyelenggaraan Fungsi Pengawasan Intern Dalam Rangka Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat. Inpres tersebut diterbitkan dalam rangka mempercepat penyelenggaraan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP), yang menyatakan sebagai berikut: Menugaskan Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk melakukan pengawasan dalam rangka meningkatkan penerimaan negara/daerah serta efisiensi dan efektivitas anggaran pengeluaran negara/ daerah, meliputi: a. audit dan evaluasi terhadap pengelolaan penerimaan pajak, bea dan cukai; b. audit dan evaluasi terhadap pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak pada Instansi Pemerintah, Badan Hukum lain, dan Wajib Bayar; c. audit dan evaluasi terhadap pengelolaan Pendapatan Asli Daerah; d. audit dan evaluasi terhadap pemanfaatan aset negara/ daerah; e. audit dan evaluasi terhadap program/kegiatan strategis di bidang kemaritiman, ketahanan energi, ketahanan pangan, infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan; f. audit dan evaluasi terhadap pembiayaan pembangunan nasional/daerah; g. evaluasi terhadap penerapan sistem pengendalian intern dan sistem pengendalian kecurangan yang dapat mencegah, mendeteksi, dan menangkal korupsi; h. audit investigatif terhadap penyimpangan yang berindikasi merugikan keuangan negara/daerah untuk memberikan dampak pencegahan yang efektif; i. audit dalam rangka penghitungan kerugian keuangan negara/daerah dan pemberian keterangan ahli sesuai dengan peraturan perundangan.

15 Berdasarkan Instruksi presiden ini, BPKP hanya diberikan tugas untuk melakukan penghitungan kerugian negara, begitu pula dengan peraturan lainnya hanya menegaskan mengenai kewenangan BPKP dalam menghitung kerugian negara bukan menentukan kerugian keuangan negara baik pusat maupun daerah. Audit Investigasi dalam hal menghitung kerugian negara, sebagaimana dijelaskan sebelumnya harus berdasarkan pada permintaan APH. Sehingga sumber kewenagan BPKP dalam menghitung kerugian negara adalah mandat dari APH. Maka Laporan BPKP bersifat informatif dan bukan merupakan Keputusan Tata Usaha Negara seperti halnya penentuan kerugian negara oleh BPK. Berdasarkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara No. 75 PK/TUN/2015 menyatakan bahwa laporan hasil audit investigatif BKPK bukan merupakan keputusan Tata Usaha Negara. Laporan BPKP bukan merupakan KTUN dikarenakan tidak terpenuhinyan unsur bersifat individual, final dan menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum. Unsur bersifat Individual tidak terpenuhi karena Laporan Hasi Audit Investigasi oleh Deputi BPKP Bidang Investigasi merupakan permintaan penyidik yang dalam hal penghitungan kerugian keuangan negara tanpa memberikan rekomendasi kepada seseorang dan/atau pejabat untuk melakukan perbuatan hukum tertentu, sehingga Lapaoran Audit Investigasi BPKP tidak memenuhi unsur 9 Rita Novita Sari, Penghitungan Kerugian Keuangan Negara Oleh BPKP Sebagai Keputusan Tata Usaha Negara (Analisis individual. Sedangkan tidak terpenuhinya unsur final dikarenakan Laporan Hasi Audit Investigasi BPKP hanya bersifat informatif dan belum bersifat final sebab memuat hasil penghitungan kerugian keuangan negara yang dikeluarkan oleh BPKP masih memerlukan tindak lanjut dari APH selaku instansi yang meminta BPKP untuk melakukan audit investigasi dalam hal penghitungan kerugian negara kemudian unsur Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum tidak terpenuhi dikarena putusan tersebut tidak bersifat final sehingga tidak memiliki akibat hukum. 9 Menurut keputusan mahkamah agung tersebut laporan kerugian keuangan negara BPKP dalam hal ini merupakan keterangan ahli untuk menghitung kerugian negara yang dituangkan dalam bentuk laporan sehingga Nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti keterangan ahli yang dalam hal ini adalah BPKP yaitu mempunyai nilai kekuatan pembuktian "bebas" atau "vrij bewij skracht". Di dalam dirinya tidak ada melekat nilai kekuatan pembuktian yang sempuma dan menentukan. Terserah pada penilaian hakim. Hakim bebas menilainya dan tidak terikat kepadanya. Tidak ada keharusan bagi hakim untuk mesti menerima kebenaran keterangan ahli dimaksud. Akan tetapi, Hakim dalam mempergunakan wewenang kebebasan dalam penilaian pembuktian, harus benar-benar bertanggung jawab atas landasan moral demi terwujudnya kebenaran sejati dan demi tegaknya hukum serta kepastian hukum. Putusan Mahkamah Agung Nomor 75 PK/TUN/2015), Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Lampung, 2016, hlm

16 Maka dengan demikian hanya satu lembaga yang dapat menentukan kerugian negara yaitu BPK sebagaimana tercantum dalam Pasal 23 E ayat (1) UUD 1945, yang kemudia di pertegas dalam Pasal 10 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2006 yang menyatakan BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara. Akan tetapi, karena masih banyaknya pertentangan mengenai kewenangan BPKP dan BPK ini maka Ketentuan mengenai penentuan kerugian keuangan negara ini di pertegas dengan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2016 Tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan. Dalam Angka 6 SEMA tersebut dijelaskan Bahwa : Instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan Negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan yang memiliki kewenangan konstitusional sedangkan instansi lainnya seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan/ Inspektorat/Satuan Kerja Perangkat Daerah tetap berwenang melakukan pemeriksaan dan audit pengelolaan keuangan Negara namun tidak berwenang menyatakan atau mendeclare adanya kerugian keuangan Negara. Dalam hal tertentu Hakim berdasarkan fakta persidangan dapat menilai adanya kerugian Negara dan besarnya kerugian Negara. Dalam SEMA ini dijelaskan bahwa yang memiliki kewenangan menentukan kerugian negara hanya BPK, sedangkan BPKP hanya memiliki kewenangan untuk menghitung kerugian keuangan negara. Namun dalam keadaan tertentu penentuan kerugian keuangan negara tetap berada di tangan hakim. Dikeluarkan SEMA No. 4 tahun 2016, mahkamah agung mengharapakan dapat menghentikan pertentangan tersebut akan tetapi apabila di perhatikan SEMA No. 4 Tahun 2016 menimbulkan multitafsir mengenai lembaga mana yang berwenang penghitungan kerugian negara, karena apabila hasil penghitungan kerugian negara oleh BPKP menyatakan adanya kerugian negara, tetapi BPK menyatakan tidak ada kerugian negara, maka hasil audit BPKP atau BPK yang digunakan sebagai dasar penghitungan kerugian negara? Berdasarkan SEMA tersebutnya kewenangan tersebut kembali pada hakim. Dengan demikian akan tetap terjadi pertentangan yang panjang kembali mengenai kewenangan penentuan kerugian negara, sehingga menghambat proses pemberantasan korupsi dan hal serupa juga telah dinyatakan oleh ICW yang menyebutkan bahwa peran institusi lain di luar BPK untuk menyatakan kerugian negara adalah kebutuhan mendesak dalam upaya pemberantasan korupsi khususnya pada upaya pembuktian di pengadilan. Sedangkan pedoman dari MA itu berpotensi menimbulkan multitafsir perihal institusi mana yang berwenang menghitung kerugian negara, guna pembuktian di pengadilan. Dikhawatirkan upaya penghitungan kerugian negara yang dilakukan BPKP kembali menuai perdebatan.

17 Maka berdasarkan uraian diatas, dapatlah di ketahuin bahwa BPKP tidak berwenang menentukan kerugian negara dan yang memiliki kewenangan secara yuridis adalah BPK, akan tetapi apabila dikemudian hari terjadi pertentangan mengenai penentuan kerugian negara dilakukan oleh hakim, dan apabila hakim menggunakan hasil audit BPKP di bandingkan BPK dapatlah dikatakan bahwa hasil audit BPKP adalah second analisis yang menjadi pertimbangan hakim dalam memberikan keputusan kerugian negara. IV. PENUTUP 4.1 Kesimpulan Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan: BPKP berwenang melakukan penghitungan kerugian keuangan negara melalui Audit Investigasi, hal ini didasarkan pada Keputusan Presidenn No. 103 Tahun 2001 Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen, Peraturan Presiden No. 192 Tahun 2014 Tentang Badan Pengawasan Keuangan Dan Pembangunan, Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2014 tentang Peningkatan Kualitas Sistem Pengendalian Intern Dan Keandalan Penyelenggaraan Fungsi Pengawasan Intern Dalam Rangka Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat, dan Undang- Undang No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Dearah. Kemudian dipertegas dengan Putusan MK Nomor: 31/PUU-X/2012 tanggal 23 Oktober 2012 Menurut MK, akan tetapi yang perlu diperhatikan adalah bahwa Penghitungan Kerugian Keuangan Negara harus didasarkan terlebih dahulu oleh permintaan penghitungan oleh instansi yang berwenang salah satunya APH sebagaimana tercantum dalam Peraturan Kepala BPKP Nomor: Per- 1314/K/D6/2012 tentang Pedoman Penugasan Bidang Investigasi. Walaupun demikian BPKP tidak memiliki kewenangan untuk menentukan kerugian keuangan negara, dikarena BPKP hanya menjalankan kewenangan berdasarkan mandat dari APH, sehingga APH memiliki kewenangan untuk menggunakan atau tidak menggunakan hasil laporan kerugian keuangan negara dari BPKP, selain itu Laporan kerugian keuangan negara yang dibuat oleh BPKP bukan merupakan putusan tata negara karena hanya bersifat informatif serta tidak bersifat final sebab masih membutuhkan tindak lanjut dari APH sebagaimana tercantum dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara No. 75 PK/TUN/2015, maka yang dapat menentukan kerugian negara secara yuridis hanyalah BPK yang didasarkan pada Pasal 23 E ayat (1) UUD 1945, Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 Tentang Badan dan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2016 Tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun, yang menyatakan dengan jelas kewenangan antara BPK dan BPKP dan juga dalam keadaan tertentu berdasarkan SEMA tersebut kewenangan menentukan kerugian keuangan negara adalah oleh Hakim. Dengan demikian hasil audit BPKP apabila di pergunakan hakim dalam mempertimbangankan pemberian keputusan penentuan kerugian negara

18 dapat dijadikan second analisis yang tidak mengikat hakim. 4.2 Saran Banyaknya permasalahan mengenai kewenangan BPKP maupun BPK dalam menentukan kerugian negara, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum lembaga mana yang berwenang menentukan kerugian negara. Maka dari itu penulis mengharapkan adanya revisi terhadap SEMA No. 4 Tahun 2016 untuk lebih menekankan lembaga yang bewenang menentukan kerugian negara dan antara BPK dan BPKP lebih meningkatkan kerjasama dalam hal kerugian negara, karena kan apabila dilihat dari perannya masing-masing jika kedua lembaga ini mampu berkerjasama maka akan menciptakan pengawasan keuangan negara yang sangat baik. Negara Oleh BPKP Sebagai Keputusan Tata Usaha Negara (Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 75 PK/TUN/2015), Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Lampung, 2016 Agung Suseno Eksistensi BPKP Dalam Pengawasan Keuangan Negara. Vol. 17, no. 1 Chandra Ayu Astuti, Anis Chariri Penentuan Kerugian Negara yang dilakukan Oleh BPKP dalam Tindak Pidana Korupsi, Vol. 4. No. 3 DAFTAR PUSTAKA Direktorat Penyusun APBN. Direktorat Jedral Anggran, Informasi APBN 2017, APBN Yang Lebih Kredibel dan berkualitas ditengah ketidakpastian global, Kementrian Keuagang Soekanto, Soerjono Pengantar Penelitian Hukum. Rineka Cipta: Jakarta Waluyo, Bambang Penelitian Hukum dalam Praktek. Sinar Grafika: Jakarta Yuntho, emerson, dkk Penerapan Unsur Merugikan Negara Daam Kasus Tindak Pidana Korupsi. Indonesia Corruption Watch: Jakarta Selatan Yuswanto Hukum Keuangan Negara. Justice Publisher: Bandar Lampung Sari, Rita Novita. Penghitungan Kerugian Keuangan

NOTA KESEPAHAMAN ANTARA KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA, KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA, DAN BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN

NOTA KESEPAHAMAN ANTARA KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA, KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA, DAN BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN NOTA KESEPAHAMAN ANTARA KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA, KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA, DAN BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN NOMOR NO. POL. NOMOR : KEP-109/A/JA/09/2007 : B / 2718 /IX/2007

Lebih terperinci

PKSANHAN II PUSAT KAJIAN SISTEM DAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

PKSANHAN II PUSAT KAJIAN SISTEM DAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA POLICY BRIEF PKSANHAN II PUSAT KAJIAN SISTEM DAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA Penguatan Peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) Pasca UU Administrasi Pemerintahan LATAR BELAKANG Disahkannya UU No.

Lebih terperinci

Sub Bagian Hukum dan Humas BPK RI Perwakilan Provinsi Bali

Sub Bagian Hukum dan Humas BPK RI Perwakilan Provinsi Bali Sumber Berita : Harian Nusa Bali, Sidang Perdana PK Winasa Berlangsung 5 Menit, Rabu 18 Juni 2014. Sub Bagian Hukum dan Humas BPK RI Perwakilan Provinsi Bali 1 Sumber Berita: Harian Bali Post, Singkat

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 31/PUU-X/2012 Tentang Kewenangan Lembaga BPKP dan BPK

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 31/PUU-X/2012 Tentang Kewenangan Lembaga BPKP dan BPK RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 31/PUU-X/2012 Tentang Kewenangan Lembaga BPKP dan BPK I. PEMOHON Ir. Eddie Widiono Sowondho,M.Sc., selanjutnya disebut Pemohon. Kuasa Hukum: Dr.

Lebih terperinci

WEWENANG BADAN PENGAWAS KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN (BPKP) MENGHITUNG KERUGIAN KEUANGAN NEGARA

WEWENANG BADAN PENGAWAS KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN (BPKP) MENGHITUNG KERUGIAN KEUANGAN NEGARA WEWENANG BADAN PENGAWAS KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN (BPKP) MENGHITUNG KERUGIAN KEUANGAN NEGARA THE AUTHORITY OF FINANCIAL AND DEVELOPMENT MONITORING AGENCY IN AUDITING THE STATE FINANCIAL LOSSES TRI CAHYA

Lebih terperinci

PERTENTANGAN SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 DENGAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 34/ PUU-XI/ 2013 TERKAIT PENINJAUAN KEMBALI

PERTENTANGAN SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 DENGAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 34/ PUU-XI/ 2013 TERKAIT PENINJAUAN KEMBALI PERTENTANGAN SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 DENGAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 34/ PUU-XI/ 2013 TERKAIT PENINJAUAN KEMBALI Oleh : I Gusti Made Agus Mega Putra Ni Made Yuliartini Griadhi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2017 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2017 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2017 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 31/PUU-X/2012 Tentang Kewenangan Lembaga BPKP dan BPK

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 31/PUU-X/2012 Tentang Kewenangan Lembaga BPKP dan BPK RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 31/PUU-X/2012 Tentang Kewenangan Lembaga BPKP dan BPK I. PEMOHON Ir. Eddie Widiono Sowondho,M.Sc., selanjutnya disebut Pemohon. Kuasa Hukum: Dr. Maqdir Ismail,

Lebih terperinci

Uji Materiil Undang-Undang Keuangan Negara

Uji Materiil Undang-Undang Keuangan Negara Uji Materiil Undang-Undang Keuangan Negara nasional.sindonews.com Perdebatan tentang Undang-Undang Keuangan Negara yang menyatakan aset BUMN 1 menjadi bagian dari kekayaan negara masih terus bergulir.

Lebih terperinci

2017, No Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679); M

2017, No Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679); M No.73, 2017 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PEMERINTAH DAERAH. Penyelenggaraan. Pembinaan. Pengawasan. Pencabutan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6041) PERATURAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengawasan keuangan negara secara konstitusional dilakukan oleh suatu badan

BAB I PENDAHULUAN. Pengawasan keuangan negara secara konstitusional dilakukan oleh suatu badan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengawasan keuangan negara secara konstitusional dilakukan oleh suatu badan yang terlepas dari kekuasaan eksekutif, yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (selanjutnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada mulanya terdapat tiga alternatif lembaga yang digagas untuk diberi kewenangan melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Lebih terperinci

WALIKOTA PONTIANAK PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN WALIKOTA PONTIANAK NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG

WALIKOTA PONTIANAK PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN WALIKOTA PONTIANAK NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG WALIKOTA PONTIANAK PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN WALIKOTA PONTIANAK NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG SISTEM PENANGANAN PENGADUAN (WHISTLEBLOWER SYSTEM) TINDAK PIDANA KORUPSI DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KOTA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Korupsi merupakan salah satu bentuk fraud yang berarti penyalahgunaan

BAB I PENDAHULUAN. Korupsi merupakan salah satu bentuk fraud yang berarti penyalahgunaan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Korupsi merupakan salah satu bentuk fraud yang berarti penyalahgunaan jabatan di sektor publik untuk kepentingan pribadi (Tuanakotta). Korupsi berasal dari bahasa

Lebih terperinci

PERTANGGUNGJAWABAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN Oleh : Andrizal 1 ABSTRACT

PERTANGGUNGJAWABAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN Oleh : Andrizal 1 ABSTRACT PERTANGGUNGJAWABAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2006 Oleh : Andrizal 1 ABSTRACT In the past, the Result of BPK investigation was only reported to The House of Representative.

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2014 TENTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2014 TENTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2014 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PELAPORAN PELANGGARAN (WHISTLEBLOWING SYSTEM) DUGAAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN KESEHATAN

Lebih terperinci

PENERAPAN UNSUR DAPAT MERUGIKAN KEUANGAN NEGARA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI. Arif Setiawan *, Umar Ma ruf **

PENERAPAN UNSUR DAPAT MERUGIKAN KEUANGAN NEGARA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI. Arif Setiawan *, Umar Ma ruf ** Jurnal Hukum Khaira Ummah Vol. 12. No. 3 September 2017 Penerapan Unsur Dapat Merugikan Keuangan Negara (Arif Setiawan) PENERAPAN UNSUR DAPAT MERUGIKAN KEUANGAN NEGARA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI Arif

Lebih terperinci

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Hukum tertulis yang berlaku di Indonesia mendapat pengaruh dari hukum Barat, khususnya hukum Belanda. 1 Pada tanggal 1 Mei 1848 di negeri Belanda berlaku perundang-undangan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PADANG LAWAS UTARA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PADANG LAWAS UTARA, SALINAN BUPATI PADANG LAWAS UTARA PROVINSI SUMATERA UTARA PERATURAN BUPATI PADANG LAWAS UTARA NOMOR 21 TAHUN 2017 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH OLEH INSPEKTORAT KABUPATEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil. Kebenaran materil merupakan kebenaran

Lebih terperinci

Keywords: Position, Authority, Governor, Local Government Administration

Keywords: Position, Authority, Governor, Local Government Administration 1 KEDUDUKAN DAN KEWENANGAN GUBERNUR DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH Oleh : Ni Luh Putu Arianti A.A Ariani Program Kekhususan : Hukum Pemerintahan, Fakultas Hukum Universitas Udayana Abstrak;

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tindak pidana korupsi sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang No. 31

BAB I PENDAHULUAN. tindak pidana korupsi sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang No. 31 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Salah satu unsur yang harus dipenuhi dalam mengungkap terjadinya tindak pidana korupsi sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. sistematika, dan pemikiran tertentu dengan jalan menganalisisnya. Metode

METODE PENELITIAN. sistematika, dan pemikiran tertentu dengan jalan menganalisisnya. Metode 32 III. METODE PENELITIAN Penelitian hukum merupakan hal yang ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu dengan jalan menganalisisnya. Metode penelitian hukum merupakan suatu

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 16/PUU-X/2012 Tentang KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 16/PUU-X/2012 Tentang KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 16/PUU-X/2012 Tentang KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI I. Pemohon 1. Iwan Budi Santoso S.H. 2. Muhamad Zainal Arifin S.H. 3. Ardion

Lebih terperinci

KESEPAKATAN BERSAMA BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DAN KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 01/KB/I-VIII.

KESEPAKATAN BERSAMA BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DAN KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 01/KB/I-VIII. KESEPAKATAN BERSAMA BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DAN KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 01/KB/I-VIII.3/07/2007 NOMOR: KEP- 071/A/JA/07/2007 TENTANG TINDAK LANJUT PENEGAKAN HUKUM TERHADAP

Lebih terperinci

PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK)

PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) Oleh : I Gusti Ayu Dwi Andarijati I Nengah Suharta Bagian Peradilan Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK Korupsi adalah masalah

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. penelitian guna mendapatkan, mengolah, dan menyimpulkan data yang dapat

III. METODE PENELITIAN. penelitian guna mendapatkan, mengolah, dan menyimpulkan data yang dapat 26 III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah Metode merupakan suatu bentuk cara yang digunakan dalam pelaksanaan suatu penelitian guna mendapatkan, mengolah, dan menyimpulkan data yang dapat memecahkan

Lebih terperinci

2016, No Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Indonesia Nomor 3851); 2. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang

2016, No Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Indonesia Nomor 3851); 2. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang No.1494, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENAG. Pengawasan Internal. Pencabutan. PERATURAN MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2016 TENTANG PENGAWASAN INTERNAL PADA KEMENTERIAN AGAMA

Lebih terperinci

MEKANISME PEMERIKSAAN LAPORAN KEUANGAN PUSAT DAN KEUANGAN DAERAH YANG DILAKUKAN OLEH BADAN PEMERIKSA KEUANGAN (BPK) ABSTRACT

MEKANISME PEMERIKSAAN LAPORAN KEUANGAN PUSAT DAN KEUANGAN DAERAH YANG DILAKUKAN OLEH BADAN PEMERIKSA KEUANGAN (BPK) ABSTRACT 1 MEKANISME PEMERIKSAAN LAPORAN KEUANGAN PUSAT DAN KEUANGAN DAERAH YANG DILAKUKAN OLEH BADAN PEMERIKSA KEUANGAN (BPK) Oleh : Ni Made Yuliandari I Gusti Nyoman Agung Hukum Pemerintahan Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka mendukung terwujudnya good governance dalam penyelenggaraan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka mendukung terwujudnya good governance dalam penyelenggaraan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Dalam rangka mendukung terwujudnya good governance dalam penyelenggaraan negara, pengelolaan keuangan negara perlu diselenggarakan secara professional, terbuka, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional bertujuan mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia seutuhmya yang adil, makmur, sejahtera dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Polemik terkait kewenangan perhitungan kerugian keuangan negara dalam penanganan kasus korupsi masih terus bergulir, meskipun telah diterbitkannya Putusan Mahkamah Konstitusi

Lebih terperinci

BAB 1 INTRODUKSI. riset, problem riset, pertanyaan riset, motivasi riset, tujuan riset, kontribusi riset,

BAB 1 INTRODUKSI. riset, problem riset, pertanyaan riset, motivasi riset, tujuan riset, kontribusi riset, 1 BAB 1 INTRODUKSI Bab 1 di dalam riset ini berisi tentang latar belakang pemilihan judul, konteks riset, problem riset, pertanyaan riset, motivasi riset, tujuan riset, kontribusi riset, proses riset dan

Lebih terperinci

DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016 Website :

DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016 Website : PERAN BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN (BPKP) DALAM PENYELESAIAN KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI DI PROVINSI JAWA TENGAH Anggun Indah Permatasari*, Pujiyono, Henny Juliani Program Studi S1 Ilmu Hukum,

Lebih terperinci

Oleh : Putu Kartika Sastra Gde Made Swardhana Ida Bagus Surya Darmajaya. Bagian Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana

Oleh : Putu Kartika Sastra Gde Made Swardhana Ida Bagus Surya Darmajaya. Bagian Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana MEKANISME KERJASAMA PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN (PPATK) DAN INSTANSI TERKAIT DALAM PENYELIDIKAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG Oleh : Putu Kartika Sastra Gde Made Swardhana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyidikan tindak pidana merupakan serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif (normative legal

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif (normative legal BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Pendekatan Masalah Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif (normative legal research), dan pendekatan yuridis empiris (empirical legal research). Disebut demikian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan telah menjadi kebutuhan secara global. Salah satu upaya yang dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. dan telah menjadi kebutuhan secara global. Salah satu upaya yang dilakukan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia saat ini terus menerus berupaya memerangi tindak pidana korupsi dan telah menjadi kebutuhan secara global. Salah satu upaya yang dilakukan adalah konvensi internasional

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA EKSISTENSI PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG DALAM SISTEM PERUNDANG-UNDANGAN UNDANGAN DI INDONESIA MATERI DISAMPAIKAN OLEH: HAKIM KONSTITUSI MARIA FARIDA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. benar-benar telah menjadi budaya pada berbagai level masyarakat sehingga

BAB I PENDAHULUAN. benar-benar telah menjadi budaya pada berbagai level masyarakat sehingga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fenomena korupsi yang terjadi di Indonesia selalu menjadi persoalan yang hangat untuk dibicarakan. Salah satu hal yang selalu menjadi topik utama sehubungan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN Untuk menjawab permasalahan tersebut diatas, diperlukan data dan informasi yang relevan terhadap judul dan perumusan masalah serta identifikasi masalah, untuk itu agar diperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera dan tertib berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tangganya sendiri. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. tangganya sendiri. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, pemerintah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan bukan Negara Serikat maupun Negara Federal. Suatu bentuk Negara berdaulat yang diselenggarakan sebagai satu kesatuan tunggal

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Upaya untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam melakukan penelitian

III. METODE PENELITIAN. Upaya untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam melakukan penelitian III. METODE PENELITIAN Upaya untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam melakukan penelitian dibutuhkan metode ilmiah yang merupakan suatu cara yang digunakan dalam pelaksanaan suatu penelitian untuk

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Konsep kinerja auditor dapat dijelaskan dengan menggunakan agency theory.

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Konsep kinerja auditor dapat dijelaskan dengan menggunakan agency theory. BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Teori Agensi Konsep kinerja auditor dapat dijelaskan dengan menggunakan agency theory. Pihak kepala unit organisasi berperan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.400, 2014 ADMINISTRASI. Keuangan. BPKP. Tugas. Fungsi. Pencabutan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 192 TAHUN 2014 TENTANG BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.737, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUB. Pengawasan. Pelaksanaan. Tata Cara Tetap. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 91 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA TETAP

Lebih terperinci

JURNAL IMPLEMENTASI PENGHITUNGAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA OLEH BADAN PEMERIKSA KEUANGAN (BPK) DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI

JURNAL IMPLEMENTASI PENGHITUNGAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA OLEH BADAN PEMERIKSA KEUANGAN (BPK) DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI JURNAL IMPLEMENTASI PENGHITUNGAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA OLEH BADAN PEMERIKSA KEUANGAN (BPK) DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Kasus Putusan Nomor 16/Pid.Sus/2013/P.Tpikor.Yk) Diajukan Oleh :

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 192 TAHUN 2014 TENTANG BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 192 TAHUN 2014 TENTANG BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 192 TAHUN 2014 TENTANG BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kesejahteraan

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 192 TAHUN 2014 TENTANG BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 192 TAHUN 2014 TENTANG BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 192 TAHUN 2014 TENTANG BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam Negara Hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. Persamaan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. penulis akan melakukan pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris.

III. METODE PENELITIAN. penulis akan melakukan pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris. III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah Dalam melakukan penelitian untuk memperoleh bahan penulisan skripsi ini, maka penulis akan melakukan pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris.

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 192 TAHUN 2014 TENTANG BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 192 TAHUN 2014 TENTANG BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 192 TAHUN 2014 TENTANG BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kesejahteraan

Lebih terperinci

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 51 TAHUN 2010 TENTANG

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 51 TAHUN 2010 TENTANG MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 51 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH TAHUN 2011 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini yaitu penelitian yuridis empiris yaitu penelitian terhadap

III. METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini yaitu penelitian yuridis empiris yaitu penelitian terhadap 62 A. Jenis dan Tipe Penelitian III. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini yaitu penelitian yuridis empiris yaitu penelitian terhadap efektivitas hukum, yang membahas bagaimana hukum beroperasi dalam

Lebih terperinci

5. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82,

5. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, S A L I N A N BUPATI LANDAK PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN BUPATI NOMOR 64 TAHUN 2015 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN SISTEM PENANGANAN PENGADUAN (WHISTLEBLOWER SYSTEM) TINDAK PIDANA KORUPSI DI LINGKUNGAN

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK I. PEMOHON 1. Dr. Harun Al Rasyid, S.H., M.Hum sebagai Pemohon I; 2. Hotman Tambunan, S.T., MBA.sebagai Pemohon II; 3. Dr.

Lebih terperinci

KEPUTUSAN BERSAMA KETUA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DAN KEPALA BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN. : 42/KPK-BPKP/IV/2007 : Kep-501/K/D6/2007

KEPUTUSAN BERSAMA KETUA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DAN KEPALA BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN. : 42/KPK-BPKP/IV/2007 : Kep-501/K/D6/2007 KEPUTUSAN BERSAMA KETUA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DAN KEPALA BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN NOMOR NOMOR : 42/KPK-BPKP/IV/2007 : Kep-501/K/D6/2007 TENTANG KERJASAMA DALAM PEMBERANTASAN TINDAK

Lebih terperinci

Kerugian Negara. Unsur dan/atau Kriteria sebuah Korporasi Merugikan Negara. Oleh: Dani Sudarsono. KAP Dani Sudarsono dan Rekan.

Kerugian Negara. Unsur dan/atau Kriteria sebuah Korporasi Merugikan Negara. Oleh: Dani Sudarsono. KAP Dani Sudarsono dan Rekan. Kerugian Negara Unsur dan/atau Kriteria sebuah Korporasi Merugikan Negara Oleh: Dani Sudarsono KAP Dani Sudarsono dan Rekan Hotel Bidakara Jakarta, 30 April 2014 Kerugian Negara Peraturan Perundangan-undangan

Lebih terperinci

KUASA HUKUM Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc., dkk berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 20 Maret 2014.

KUASA HUKUM Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc., dkk berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 20 Maret 2014. RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 54/PUU-XII/2014 Penetapan Tersangka dan Kewenangan Pegawai Internal BPK Sebagai Ahli Dalam Persidangan Atas Hasil Audit Laporan Internal Badan Pemeriksa Keuangan

Lebih terperinci

KAJIAN TERHADAP LEMBAGA PENGAWAS PENGELOLAAN DANA DESA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM KEUANGAN NEGARA

KAJIAN TERHADAP LEMBAGA PENGAWAS PENGELOLAAN DANA DESA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM KEUANGAN NEGARA KAJIAN TERHADAP LEMBAGA PENGAWAS PENGELOLAAN DANA DESA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM KEUANGAN NEGARA Oleh: Ni Kadek Lisna Adnyani Dewi * I Ketut Rai Setiabudhi ** Program Kekhususan Hukum Pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemberantasan tindak pidana korupsi di negara Indonesia hingga saat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemberantasan tindak pidana korupsi di negara Indonesia hingga saat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemberantasan tindak pidana korupsi di negara Indonesia hingga saat ini belum dapat dilaksanakan dengan optimal. Lemahnya penegakan hukum dan dihentikannya

Lebih terperinci

TINJAUAN UMUM AUDIT KEUANGAN NEGARA

TINJAUAN UMUM AUDIT KEUANGAN NEGARA TINJAUAN UMUM AUDIT KEUANGAN NEGARA K E U A N G A N N E G A R A B A T A S A N A U D I T R U A N G L I N G K U P A U D I T P R O S E S A U D I T T E D I L A S T 0 9 / 1 6 Keuangan Negara UU no 17 th 2003

Lebih terperinci

TENTANG KERJASAMA DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

TENTANG KERJASAMA DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI KEPUTUSAN BERSAMA KETUA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DAN KEPALA BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN : 02/KPK-BPKP/V/2008 : KEP - 610/K /D6/2008 TENTANG KERJASAMA DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA

Lebih terperinci

PEDOMAN PENGAWASAN BAB I U M U M. Pasal 1

PEDOMAN PENGAWASAN BAB I U M U M. Pasal 1 LAMPIRAN INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1983 TANGGAL 4 Oktober 1983 PEDOMAN PENGAWASAN BAB I U M U M Pasal 1 (1) Pengawasan bertujuan mendukung kelancaran dan ketepatan pelaksanaan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada

III. METODE PENELITIAN. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada 36 III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau

Lebih terperinci

Revisi UU KPK Antara Melemahkan Dan Memperkuat Kinerja KPK Oleh : Ahmad Jazuli *

Revisi UU KPK Antara Melemahkan Dan Memperkuat Kinerja KPK Oleh : Ahmad Jazuli * Revisi UU KPK Antara Melemahkan Dan Memperkuat Kinerja KPK Oleh : Ahmad Jazuli * Naskah diterima: 18 Februari 2016; disetujui: 10 Maret 2016 Karakteristik korupsi di Indonesia teramat kompleks dan mengakar

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG KEBIJAKAN PEMBINAAN DAN PENGAWASAN DI LINGKUNGAN PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2015 GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan

BAB I PENDAHULUAN. ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembukaan Undang - Undang Dasar 1945 alinea ke- IV terkandung sejumlah tujuan negara yang dirumuskan oleh para pendiri negara Indonesia, diantaranya membentuk

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari

III. METODE PENELITIAN. metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari 31 III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. dilakukan dengan pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris.

III. METODE PENELITIAN. dilakukan dengan pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris. III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah Pendekatan masalah dalam penelitian ini yang berdasarkan pokok permasalahan dilakukan dengan pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan

Lebih terperinci

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (Lemb

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (Lemb BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.233, 2015 BSN. Pengaduan Masyarakat. Penanganan. Pedoman. PERATURAN KEPALA BADAN STANDARDISASI NASIONAL NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PENANGANAN PENGADUAN MASYARAKAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun. politik dan kekuasaan pemerintah.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun. politik dan kekuasaan pemerintah. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah terjadi perubahan yang mendasar salah satunya Pasal 23 ayat (5) yang mengatur kedudukan

Lebih terperinci

PERAN BADAN PENGAWAS KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN (BPKP) SEBAGAI KETERANGAN AHLI TERHADAP PENANGANAN TINDAK PIDANA KORUPSI BENNY KARYA LIMANTARA

PERAN BADAN PENGAWAS KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN (BPKP) SEBAGAI KETERANGAN AHLI TERHADAP PENANGANAN TINDAK PIDANA KORUPSI BENNY KARYA LIMANTARA PERAN BADAN PENGAWAS KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN (BPKP) SEBAGAI KETERANGAN AHLI TERHADAP PENANGANAN TINDAK PIDANA KORUPSI BENNY KARYA LIMANTARA Dosen Fakultas Hukum Universitas Bandar Lampung Jl. ZA Pagar

Lebih terperinci

KEDUDUKAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN DALAM PENGELOLAAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN KEUANGAN NEGARA

KEDUDUKAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN DALAM PENGELOLAAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN KEUANGAN NEGARA KEDUDUKAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN DALAM PENGELOLAAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN KEUANGAN NEGARA www.merdeka.com I. PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara welfare state, dimana negara memiliki tanggung jawab

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. birokrasi pemerintah (Yogi dan M. Ikhsan, 2006). Jika kualitas pelayanan publik

BAB 1 PENDAHULUAN. birokrasi pemerintah (Yogi dan M. Ikhsan, 2006). Jika kualitas pelayanan publik BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemerintah berkewajiban untuk memberikan layanan publik yang memuaskan bagi setiap warga negara.kualitas pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah sangat menentukan

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN STATUS TERSANGKA DALAM PUTUSAN PRAPERADILAN

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN STATUS TERSANGKA DALAM PUTUSAN PRAPERADILAN TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN STATUS TERSANGKA DALAM PUTUSAN PRAPERADILAN Oleh : Wajihatut Dzikriyah I Ketut Suardita Bagian Peradilan, Fakultas Hukum Program Ekstensi Universitas Udayana ABSTRACT

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA MENTERI KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 09/Per/M.KUKM/IX/2015 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN PENGAWASAN

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. digunakan pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris.

III. METODE PENELITIAN. digunakan pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris. III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah Proses pengumpulan dan penyajian sehubungan dengan penelitian ini maka digunakan pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris. 1. Pendekatan Yuridis

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.806, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN. Informasi. Permintaan. Tata Cara. PERATURAN KEPALA PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN NOMOR PER-08/1.02/PPATK/05/2013

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terkait korupsi merupakan bukti pemerintah serius untuk melakukan

BAB I PENDAHULUAN. terkait korupsi merupakan bukti pemerintah serius untuk melakukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Persoalan korupsi yang terjadi di Indonesia selalu menjadi hal yang hangat dan menarik untuk diperbincangkan. Salah satu hal yang selalu menjadi topik utama

Lebih terperinci

Tugas dan Wewenang BPK dalam Peraturan Perundang-Undangan dan Implementasinya

Tugas dan Wewenang BPK dalam Peraturan Perundang-Undangan dan Implementasinya Tugas dan Wewenang BPK dalam Peraturan Perundang-Undangan dan Implementasinya Diajukan sebagai Tugas Akhir Mata Kuliah Hukum Tentang Lembaga Negara Dosen: Dr. Hernadi Affandi, SH., LL. M. Disusun Oleh:

Lebih terperinci

KEPUTUSAN BERSAMA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAN KEPALA BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN

KEPUTUSAN BERSAMA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAN KEPALA BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN KEPUTUSAN BERSAMA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAN KEPALA BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN NO. POL : Kep/ 12/ IV/ 2002, TgI. 29 April 2002 NOMOR : Kep. 04.02.00-219/K/2002, TgI.

Lebih terperinci

DASAR HUKUM KEWENANGAN PRAPERADILAN DALAM MEMUTUS PENETAPAN TERSANGKA

DASAR HUKUM KEWENANGAN PRAPERADILAN DALAM MEMUTUS PENETAPAN TERSANGKA DASAR HUKUM KEWENANGAN PRAPERADILAN DALAM MEMUTUS PENETAPAN TERSANGKA oleh Cok Istri Brahmi Putri Biya Anak Agung Sri Utari Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT Article titled

Lebih terperinci

HAK UNTUK MEMPEROLEH NAFKAH DAN WARIS DARI AYAH BIOLOGIS BAGI ANAK YANG LAHIR DARI HUBUNGAN LUAR KAWIN DAN PERKAWINAN BAWAH TANGAN

HAK UNTUK MEMPEROLEH NAFKAH DAN WARIS DARI AYAH BIOLOGIS BAGI ANAK YANG LAHIR DARI HUBUNGAN LUAR KAWIN DAN PERKAWINAN BAWAH TANGAN HAK UNTUK MEMPEROLEH NAFKAH DAN WARIS DARI AYAH BIOLOGIS BAGI ANAK YANG LAHIR DARI HUBUNGAN LUAR KAWIN DAN PERKAWINAN BAWAH TANGAN oleh Bellana Saraswati I Dewa Nyoman Sekar Hukum Bisnis Fakultas Hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menemukan temuan yang memuat permasalahan, yang meliputi

BAB I PENDAHULUAN. menemukan temuan yang memuat permasalahan, yang meliputi BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Dalam Laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I tahun 2015, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan adanya potensi kehilangan keuangan Negara/Daerah Rp.33,46

Lebih terperinci

SIARAN PERS. Penjelasan MK Terkait Putusan Nomor 36/PUU-XV/2017

SIARAN PERS. Penjelasan MK Terkait Putusan Nomor 36/PUU-XV/2017 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA SIARAN PERS DAPAT SEGERA DITERBITKAN Penjelasan MK Terkait Putusan Nomor 36/PUU-XV/2017 Sehubungan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU- XV/2017 tanggal

Lebih terperinci

EKSISTENSI KOMISI PENYIARAN INDONESIA SEBAGAI LEMBAGA NEGARA BANTU (STATE AUXILIARY BODIES) DALAM SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA

EKSISTENSI KOMISI PENYIARAN INDONESIA SEBAGAI LEMBAGA NEGARA BANTU (STATE AUXILIARY BODIES) DALAM SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA EKSISTENSI KOMISI PENYIARAN INDONESIA SEBAGAI LEMBAGA NEGARA BANTU (STATE AUXILIARY BODIES) DALAM SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA Oleh : Luh Putu Ade Suandewi Gede Marhaendra Wija Atmaja Ni Luh Gede Astariyani

Lebih terperinci

Andri Williyanto Prawira Sitorus SE.,Ak

Andri Williyanto Prawira Sitorus SE.,Ak PERAN APARATUR PEMERINTAH DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI I. Pemberantasa Tindak Pidana Korupsi Undang-undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pemberantasan tindak pidana

Lebih terperinci

2015, No Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3852); 2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 t

2015, No Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3852); 2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 t No. 110, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENPAR. Pengaduan Internal. Penanganan. Tata Cara. PERATURAN MENTERI PARIWISATA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PENGADUAN

Lebih terperinci

Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 39 TAHUN 2011 TENTANG KEBIJAKAN PENGAWASAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA BARAT TAHUN 2011

Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 39 TAHUN 2011 TENTANG KEBIJAKAN PENGAWASAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA BARAT TAHUN 2011 Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 39 TAHUN 2011 TENTANG KEBIJAKAN PENGAWASAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA BARAT TAHUN 2011 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. pelaksanaan penelitian dibutuhkan metode ilmiah yang merupakan suatu cara

III. METODE PENELITIAN. pelaksanaan penelitian dibutuhkan metode ilmiah yang merupakan suatu cara III. METODE PENELITIAN Upaya untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam melakukan penelitian dibutuhkan metode ilmiah yang merupakan suatu cara yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian dibutuhkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup masyarakat Indonesia sejak dahulu hingga sekarang. banyaknya persoalan-persoalan yang mempengaruhinya. Salah satu persoalan

BAB I PENDAHULUAN. hidup masyarakat Indonesia sejak dahulu hingga sekarang. banyaknya persoalan-persoalan yang mempengaruhinya. Salah satu persoalan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah merupakan negara hukum yang berlandaskan pada falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

MEKANISME KOORDINASI PENINDAKAN TINDAK PIDANA KORUPSI

MEKANISME KOORDINASI PENINDAKAN TINDAK PIDANA KORUPSI MEKANISME KOORDINASI PENINDAKAN TINDAK PIDANA KORUPSI Badan Reserse Kriminal Kepolisian Republik Indonesia oleh : BRIGJEN POL Dr. Akhmad Wiyagus Msi, M.M Dir TIPIDKOR BARESKRIM POLRI TANNAS GLOBAL BANGNAS

Lebih terperinci

Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat

Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat - 1 - Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA NOMOR 93 TAHUN 2016 TENTANG KEBIJAKAN PENGAWASAN ATAS PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KOTA TASIKMALAYA

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.763, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BADAN NARKOTIKA NASIONAL. Pokok-Pokok. Pengawasan. BNN. PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG POKOK-POKOK PENGAWASAN DI LINGKUNGAN

Lebih terperinci

KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DALAM UPAYA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DALAM UPAYA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DALAM UPAYA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA Oleh : I Wayan Yuda Satria I Wayan Suardana Ida Bagus Surya Darmajaya Bagian Hukum Pidana Fakultas

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Untuk memecahkan masalah guna memberikan petunjuk pada permasalahan yang

III. METODE PENELITIAN. Untuk memecahkan masalah guna memberikan petunjuk pada permasalahan yang III. METODE PENELITIAN Untuk memecahkan masalah guna memberikan petunjuk pada permasalahan yang akan dibahas dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, maka dalam penelitian ini diperlukan metode tertentu.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keuangan negara sebagai bagian terpenting dalam pelaksanaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keuangan negara sebagai bagian terpenting dalam pelaksanaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keuangan negara sebagai bagian terpenting dalam pelaksanaan pembangunan nasional yang pengelolaannya diimplemantasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum yuridis normatif ( normative legal reserch) yaitu

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum yuridis normatif ( normative legal reserch) yaitu BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum yuridis normatif ( normative legal reserch) yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara melakukan pengkajian

Lebih terperinci