PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG"

Transkripsi

1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Polemik terkait kewenangan perhitungan kerugian keuangan negara dalam penanganan kasus korupsi masih terus bergulir, meskipun telah diterbitkannya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 25/PUU-XIV/2016 tanggal 25 Januari 2017 yang menyatakan, frasa kata "dapat" dalam rumusan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang No 31/1999 tentang Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi juncto UU No 20/2001 tentang Perubahan atas UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan konstitusi sehingga "tidak mengikatnya" kata "dapat" menjadikan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor menjadi delik materiil. Terlepas dari polemik di atas, putusan-putusan MK terkait pembaruan hukum pidana yang salah satunya membahas kewenangan perhitungan kerugian keuangan negara dalam kasus korupsi memang menimbulkan pro dan kontra. Namun, dibalik semua perdebatan tersebut, upaya pemberantasan korupsi tetap harus didukung oleh semua elemen masyarakat. B. MAKSUD & TUJUAN Maksud: Diskusi ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman yang komprehensif terkait dengan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, khususnya menyangkut efektivitas dan efisiensi kewenangan lembaga audit dalam perhitungan dan penetapan kerugian keuangan negara. Selain itu, diskusi ini juga bertujuan untuk mendalami landasan filosofis dan yuridis atas Putusan MK serta arah kebijakan politik parlemen dalam menyikapi polemik Putusan MK tersebut. Tujuan: Memberikan pemahaman yang komprehensif terkait dengan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, khususnya menyangkut efektivitas dan efisiensi kewenangan lembaga audit dalam perhitungan dan penetapan kerugian keuangan negara. 1

2 Dengan adanya putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016 yang menyatakan diperlukannya perhitungan kerugian negara oleh BPK terlebih dahulu sebelum KPK dapat menangkap dan menetapkan seseorang sebagai tersangka. Maka kemudian muncul pertanyaan manakah yang lebih efisien dalam pengoptimalan pengembalian keuangan negara. Apakah lebih efektif ketika KPK dapat menangkap seseorang dan menyatakan sebagai tersangka tanpa harus menunggu hasil perhitungan kerugian negara dari BPK/BPKP ataukah KPK harus menunggu hasil perhitungan kerugian negara dari BPK/BPKP. Mendalami landasan filosofis dan yuridis atas Putusan MK. Sebagai bahan pertimbangan arah kebijakan politik parlemen dalam menyikapi polemik Putusan MK tersebut. C. TEMPAT, WAKTU DAN NARA SUMBER Kegiatan workshop yang dimaksud akan dilaksanakan pada: Hari/Tanggal : Kamis, 16 Februari 2017 Waktu : Pukul selesai Tempat : Ruang MKD, Gedung DPR RI Peserta : (daftar peserta terlampir) Moderator : Drs. Helmizar (Kepala Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara) Narasumber : - K. Johnson Rajagukguk, S.H., M.Hum. (Kepala Badan Keahlian DPR RI) - Drs. T. Taufiqulhadi, M.Si (Anggota Komisi III DPR RI) Arah Kebijakan Politik Parlemen Dalam Menyikapi Polemik Putusan Mahkamah Konstitusi No. 25/PUU-XIV/ Supriyono Hadi, S.H., M.Si.(Kasubdit. Kepaniteraan Kerugian Negara Daerah, BPK RI) dan Tri Heriadi, S.H., M.M. (Kadit. Konsultasi Hukum Keuangan Negara, BPK RI) Efektivitas dan Efisiensi Kewenangan BPK Dalam Perhitungan dan Penetapan Kerugian Keuangan Negara. 2

3 PROSES KEGIATAN 3

4 A. RINGKASAN DAN PROSES KEGIATAN Diterbitkannya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 25/PUU-XIV/2016 tanggal 25 Januari 2017 memunculkan polemik terkait siapa yang memiliki kewenangan perhitungan kerugian keuangan negara dalam penanganan kasus korupsi. Pada dasarnya, berdasarkan amanat UUD 1945 Pasal 23E dan Undang Undang No. 15 Tahun 2006 tentang BPK, menyatakan bahwa pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri, yakni BPK. Lebih lanjut, pasal 6 Undang Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK dan Keppres No. 103 tahun 2001 menyebutkan bahwa BPKP diperbolehkan menghitung dan mengaudit kerugian negara. Sebelumnya, MK dalam putusan No. 31/PUU-X/2012 tanggal 23 Oktober 2012, menegaskan bahwa dalam rangka pembuktian suatu tindak pidana korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), bukan hanya dapat berkoordinasi dengan BPK dan BPKP, melainkan dapat juga berkoordinasi dengan instansi lain, bahkan bisa membuktikan sendiri diluar temuan BPK dan BPKP. Artinya, ada tidaknya perhitungan kerugian negara oleh auditor tidak menjadi tolak ukur (KPK dapat membuktikan sendiri), atau serta merta dapat menggugurkan/membatalkan kasus tipikor yang telah diputus oleh pengadilan. Kemudian, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 25/PUU- XIV/2016 tanggal 25 Januari 2017 mengabulkan gugatan pemohon untuk menghapus kata dapat rumusan Pasal 2 dan Pasal 3 Undangundang No 31/1999 jo. UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, berbunyi : Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana... 4

5 Setelah Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016, menjadi : Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana... Pemohon beranggapan bahwa frasa kata dapat menimbulkan ketidakpastian penegakan hukum karena dalam praktiknya, penegak hukum dapat menjerat siapa saja dengan UU Tipikor tanpa adanya perhitungan kerugian negara yang nyata. Secara yuridis, implikasi dari keputusan tersebut adalah bahwa setiap upaya penegakan hukum tipikor sudah harus memiliki perhitungan kerugian negara oleh BPK sebelum dilakukan penetapan tersangka. Notulensi: Kepala Badan Keahlian DPR RI Upaya pemberantasan korupsi di Indonesia bertujuan bukan semata mata untuk memenjarakan pelaku korupsi tetapi bagaimana mengembalikan kerugian negara sehingga tujuan penyelenggaraan negara guna mensejahterakan rakyat dapat tercapai. Perdebatan ini muncul setelah ketetapan MK No. 25/PUU-VI/2016 dimana frase dapat dalam pasal 2 dan 3 UU 31 Tahun 1999 jo. UU 20 Tahun 2001 dinyatakan bertentangan dengan konsesi yang kemudian menjadikan pasal 2 dan 3 delik materil dan dalam pembuktiannya, maka BPK menjadi pihak yang ditetapkan untuk menghitung kerugian negara. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 25/PUU-XIV/2016 terhadap Politik Hukum Penegakan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia oleh Drs. T. Taufiqulhadi, M.Si (Anggota Komisi III DPR RI) Rezim putusan MK tahun 2006 memandang ketentuan Pasal 2 dan 3 UU Tipikor sebagai delik pidana yang bersifat formil, bahwa perbuatan yang 5

6 akan dituntut di pengadilan bukan hanya perbuatan yang telah mengakibatkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara secara nyata (actual loss), tetapi sekalipun hanya sifat perbuatan tersebut berpotensi mengakibatkan kerugian negara, maka seseorang dapat dituntut di Pengadilan asalkan unsur lain dalam Pasal 2 dan 3 dapat dibuktikan di Pengadilan. Hal ini jelas berbeda dengan rezim putusan MK tahun 2017 yang memaknai frasa dapat merugikan keuangan negara sebagai suatu unsur yang harus dibuktikan nyata terjadi (actual loss) untuk dapat naik ke tahap penyidikan. Hal ini tentunya memiliki implikasi hukum dalam hal pembuktian, dimana perhitungan jumlah kerugian negara menjadi unsur yang harus dibuktikan sejak tahap penyelidikan. Dengan dikeluarkannya putusan MK rezim 2017, maka menimbulkan dualisme penafsiran. Hal ini dikarenakan putusan MK bersifat akhir dan mengikat (final dan binding) sehingga putusan MK rezim 2017 tidak dapat membatalkan atau menganulir putusan MK sebelumnya selama belum dilakukannya revisi atas UU Tipikor Hal ini merupakan tantangan tersendiri bagi para penegak hukum, polisi, jaksa, KPK untuk membuktikan semua unsur yang ada dalam Pasal 2 an 3 UU tipikor. Langkah awal kebijakan parlemen harus konsisten dengan TAP MPR No. VIII Tahun 2001 tentang Rekomendasi dan Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Menurut Drs. T. Taufiqulhadi, M.Si (2017), jika dibandingkan dengan arah kebijakan dalam TAP MPR No. VIII Tahun 2001 maka putusan MK rezim 2006 lebih memudahkan dalam proses pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Tetapi yang perlu diperhatikan bukanlah perihal mudah atau sulit, melainkan bagaimana konsep pemberantasan korupsi itu berjalan konstitusional dan tidak melanggar hukum. Hal ini merupakan tantangan yang perlu diatur dalam merumuskan revisi UU Tipikor ke depan. Efektivitas dan Efisiensi Kewenangan BPK dalam Perhitungan dan Penetapan Kerugian Negara Oleh Tri Heriadi (Kadit. Konsultasi Hukum Keuangan Negara, BPK RI) &Supriyono Hadi (Kasubdit. Kepanitraan Kerugian Negara Daerah, BPK RI) 6

7 Distribusi LHP tersebut kepada K/L terbagi menjadi tiga tergantung pada sifat dari informasi yang diberikan. Bila ada temuan, maka LHP tersebut terbuka untuk umum dan bisa diakses. Bila ada unsur pidana, maka Informasi tersebut dilimpahkan kepada pihak yang berwenang (Kepolisian, Kejaksaan, KPK) untuk dilakukan penyelidikan dan BPK dihadirkan sebagai saksi ahli. Lalu, apabila mengandung rahasia negara informasi tersebut hanya disampaikan terbatas. Kewenangan BPK terkait kerugian negara terbatas pada pemberian keterangan ahli di persidangan, penetapan kerugian, pemantauan penyelesaian kerugian dan melakukan pemeriksaan investigatif. Keterangan ahli yang dapat diberikan BPK harus berdasarkan LHP atau hasil penilaian kerugian negara yang sudah dihitung. Peran strategis BPK dalam pemberantasan korupsi melalui pemeriksaan atas laporan keuangan tersebut merupakan salah satu bentuk tindakan preventif. Setelah adanya putusan MK No.25/PUU-XIV/2016 yang mengubah pasal 2 ayat 1 dan pasal 3 menjadi delik materiil dan Surat Edaran Mahkamah Agung No.4 Tahun 2016, menjadi tantangan tersendiri bagi BPK dimana BPK menjadi instansi yang berwenang dalam melakukan penghitungan kerugian negara atas permintaan Aparat Penegak Hukum (APH) sebelum APH menetapkan seseorang sebagai tersangka dalam kasus Tipikor (putusan MK No.25/PUU-XIV/2016) dan juga sebagai instansi yang berwenang dalam mendeklarasikan kerugian negara yang telah dihitung oleh BPKP, Inspektorat dan SKPD (SEMA No. 4 tahun 2016). BPK kemudian melakukan laporan investigatif berdasarkan laporan masyarakat atau penegak hukum untuk dijadikan bahan dalam melakukan penyidikan dan sebagai bahan bukti penuntutan di pengadilan. Total ada 446 temuan dengan kerugian 44,62 triliun yang sudah diserahkan kepada penegak hukum dan 420 diantaranya sudah ditindaklanjuti. 7

8 B. KESIMPULAN Semua keputusan MK bersifat final, tidak bisa saling menganulir antar putusan. Untuk itu kedepannya, bisa jadi aparat penegak hukum akan menggunakan semua putusan MK baik putusan rezim 2006 ataupun putusan MK rezim 2017, meskipun akan menjadi kompleks pada prakteknya. Untuk masalah penegakan hukum, masalah kembali atau tidaknya uang negara merupakan masalah strategis, dan hal ini merupakan domainnya kejaksaan dan KPK. Dalam rapat dengan kejaksaan dan KPK, DPR juga selalu mempertanyakan bagaimana persoalan pengembalian uang negara tersebut, karena banyak kritik yang ditujukan kepada KPK yang mengeluarkan biaya sangat tinggi yaitu senilai Rp ,- per kasus, sementara pengembalian uang negara tidak terlalu besar. Berbeda dengan kasus yang diselesaikan oleh Kejaksaan, di Kejaksaan penanganannya lebih efektif dengan anggaran yang lebih rendah. Sesuai dengan keputusan MK tahun 2017, sudah seharusnya kita lebih berhati-hati dan mempersiapkan diri dengan tingkat komplikasinya yang akan datang. Adapun DPR berpendapat bahwa hal ini bukan masuk ke persoalan politik. Kita seharusnya berpegang kepada putusan MK yang terakhir sesuai dengan konstitusi kita, karena ini merupakan masalah penegakan hukum. Mungkin saja kedua putusan tersebut benar, dan kita harus siap menghadapinya. Hal yang dapat kita lakukan adalah melakukan evaluasi lebih lanjut atas putusan terakhir MK, apakah kita akan melakukan revisi atau amandemen terhadap pasal tersebut. Dalam hal ini, DPR berpendapat bahwa KPK tidak akan mengindahkan putusan MK yang terakhir, dan kita akan melihat bagaimana jika KPK tidak mau mengindahkan dan diputuskan berdasarkan pasal ini, dimana KPK boleh melakukan penyidikan dan penyelidikan berdasarkan dengan tetap ada frasa dapat nya. 8

9 C. JADWAL ACARA DAN PESERTA Workshop dilaksanakan selama 1 hari dengan susunan acara sebagai berikut: Hari/ Tanggal Kamis, 16 Feb 2017 Waktu Materi Keterangan Pembukaan K. Johnson Rajagukguk, S.H., M.Hum. (Kepala Badan Keahlian DPR RI) Arah Kebijakan Politik Parlemen Dalam Menyikapi Polemik Putusan Mahkamah Konstitusi No. 25/PUU- XIV/2016 Efektivitas dan Efisiensi Kewenangan BPK Dalam Perhitungan dan Penetapan Kerugian Keuangan Negara Pemaparan Diskusi dan Tanya Jawab Sesi 1 Sesi 2 Drs. T. Taufiqulhadi, M.Si (Anggota Komisi III DPR RI) Supriyono Hadi, S.H., M.Si. (Kasubdit. Kepaniteraan Kerugian Negara Daerah, BPK RI) Tri Heriadi, S.H., M.M. (Kadit. Konsultasi Hukum Keuangan Negara, BPK RI) Peserta workshop berasal dari dalam lingkungan DPR RI, yaitu para Analis, Tenaga Ahli, Assisten, Staf dan para Pegawai Setjen dan Badan Keahlian DPR RI. 9

10 D. DOKUMENTASI KEGIATAN Pembicara dalam workshop BKD kiri ke kanan: Tri Heriadi dan Supriyono Hadi (BPK); Taufiqulhadi (Anggota DPR RI); K. Johnson Rajagukguk (Kepala BKD); Helmizar (Kelapa Pusat AKN) 10

11 Forum diskusi Perhitungan dan Penetapan Kerugian Negara Forum diskusi Perhitungan dan Penetapan Kerugian Negara 11

12 MAKALAH DAN MATERI NARASUMBER 12

13 IMPLIKASI PUTUSAN MK NO 25/PUU-XIV/2016 TERHADAP POLITIK HUKUM PENEGAKAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA Oleh : Drs. T. Taufiqulhadi, M.Si. (Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Nasdem) A. Pendahuluan 1. Pada 25 Januari 2017 Pada 25 Januari 2017 MK telah memutuskan perkara tentang pengujian terhadap UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (UU TPK) sebagaimana diubah dalam UU No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. 2. Dalam pengujian tersebut, MK diminta oleh para pemohon untuk menguji konsitusionalitas serta menafsirkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) 1 dan Pasal 3 2 UU TPK, khususnya mengenai frasa dapat, dan frasa orang lain atau suatu korporasi. 3. Sebenarnya, secara historis MK juga telah memutus perkara 1 Pasal 2 ayat (1) UU TPK menyebutkan bahwa, Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp ,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp ,00 (satu milyar rupiah). 2 Pasal 3 UU TPK menyebutkan bahwa, Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp ,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp ,00 (satu milyar rupiah). 13

14 pengujian yang sama, yaitu terkait dengan Pasal 2 dan Pasal 3 UU TPK dalam putusannya No. 003/PUU-IV/2006 yang putusannya dibacakan tanggal 25 Juli Namun, perbedaan antara putusan MK tahun 2017 dengan putusan MK tahun 2006 tentang Pengujian Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU TPK hanyalah perbedaan tentang dasar uji konstitusionalitasnya. 5. Jika pada tahun 2006, MK menguji Pasal 2 dan Pasal 3 UU TPK berdasarkan 28 D ayat (1) UUD 1945, sedangkan dalam putusan MK tahun 2017, Para pemohon ingin menguji konstitusionalitas Pasal 2 dan Pasal 3 UU TPK dengan menggunakan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 G ayat (1), 28 I ayat (4) dan ayat (5) UUD Sekalipun batu uji konstitusionalitasnya berbeda atau norma dalam UUD 1945 yang digunakan untuk mengujinya berbeda, tetapi secara substansi maksud yang hendak diuji sama yaitu Pasal 2 dan Pasal 3 dan berimplikasi sama, yaitu keberlakuan dan penafsiran terhadap keberlakuan Pasal 2 dan Pasal 3 UU TPK dalam penegakan hukum. 7. Jika pada putusannya pada tahun 2006, MK menyatakan dalam putusannya, Pasal 2 dan Pasal 3 UU TPK dinyatakan konstitusional bersyarat, sepanjang ditafsirkan bahwa, unsur kerugian negara harus dibuktikan dan harus dapat dihitung, meskipun digunakan sebagai perkiraan (potential loss) ataupun belum terjadi. 8. Dengan perkataan lain, rezim putusan MK Tahun 2006 memahami dan memaknai frasa dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dengan pemahaman bahwa, perbuatan yang akan dituntut di Pengadilan bukan hanya perbuatan tersebut telah mengakibatkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara secara nyata (actual loss), tetapi sekalipun hanya sifat perbutan tersebut berpontensi atau kemungkinan mengakibatkan kerugian negara (potential loss), maka seseorang dapat dituntut di Pengadilan asalkan unsur lain dalam Pasal 2 dan Pasal 3 dapat dibuktikan di Pengadilan. 9. Artinya bahwa, rezim putusan MK Tahun 2006 memandang ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 UU TPK sebagai suatu delik pidana yang bersifat formil bukan delik materiil. 14

15 10. Hal ini jelas berbeda dengan rezim putusan MK tahun 2017 yang memaknai frasa dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara sebagai sesuatu unsur yang harus dibuktikan ada secara nyata (actual loss) sejak proses penyelidikan untuk dapat naik ke tahap penyidikan. Sehingga dengan demikian, potential loss (kemungkinan kerugian negara) tidak dapat lagi dijadikan acuan dalam penegakan hukum tipikor. 11. Oleh karena harus ada kerugian keuangan negara secara nyata sejak tahap penyelidikan, maka aparat penegak hukum sudah harus punya bukti perbuatan tersebut telah merugikan keuangan negara berdasarkan hasil audit investigatif lembaga yang berwenang. 12. Dengan cara pandang yang demikian, maka sebenarnya rezim putusan MK Tahun 2017, mencoba untuk merubah paradigma kualifikasi delik formil dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU TPK menjadi ketentuan delik materiil. Pilihan tersebut tentu mempunya implikasi hukum yang jelas khususnya dalam pembuktian. B. Implikasi Putusan MK Tahun Dengan adanya putusan MK Tahun 2017, sesungguhnya menjadikan aspek kepastian hukum dari Pasal 2 dan Pasal 3 UU TPK semakin tidak jelas dan mengakibatkan dualisme penafsiran, mengingat pada tahun 2006 MK juga telah menafsirkan ketentuan tersebut. 2. Mengapa disebut terjadi dualisme penafsiran? Sebab sifat dari putusan MK adalah tidak dapat membatalkan atau menganulir putusan sebelumnya, sehingga putusan MK harus dimaknai sama, yaitu terakhir dan mengikat (final dan binding). 3. Bahayanya, selama tidak ada revisi UU TPK tersebut, para penegak hukum dapat memilih tafsir rezim putusan MK Tahun 2006 ataukah rezim putusan MK Tahun Dengan kata lain, penegak hukum boleh saja memahami Pasal 2 dan Pasal 3 UU TPK sebagai suatu delik formil dan tidak memerlukan atau membuktikan kerugian yang nyata (actual loss) dalam proses penyelidikan dari lembaga yang berwenang selama ada keyakinan berpotensi merugikan keuangan negara sebagaimana rezim putusan 15

16 MK Tahun Di lain pihak, penegakan hukum juga boleh saja menerapkan putusan MK Tahun 2017 dengan pemahaman terhadap Pasal 2 dan Pasal 3 UU TPK sebagai suatu delik materiil dan mengangap penting dan menjadikannya syarat adanya kerugian negara secara nyata sejak tahap penyelidikan kasus tindak pidana korupsi. 6. Di sisi lain, putusan MK Tahun 2017 juga akan lebih rumit dalam proses penegakan hukum tipikor, sebab harus ada kerugian negara yang nyata dan pernyataan tersebut harus bersumber pada lembaga yang berwenang. Permasalahannya adalah lembaga yang berwenang untuk melakukan audit investigatif ada dua, yaitu BPK dan BPKP. Bagaimana jika kedua lembaga tersebut berbeda penafsiran? Maka jelas dugaan tindak pidana korupsi tidak boleh diteruskan ke tahap penyidikan. 7. Selain itu, implikasi putusan MK tahun 2017 yang menafsirkan Pasal 2 dan Pasal 3 UU TPK sebagai suatu delik materiil, maka penegakan kasus tindak pidana korupsi tidak lagi ditekankan pada aspek perbuatannnya, melainkan juga menganggap penting dan lebih menekankan terhadap adanya akibat yang ditimbulkan. Sehingga dalam praktik dan berdasarkan beberapa pandangan pakar hukum pidana, misalnya Prof Moeljatno mengatakan delik-delik pidana yang bersifat materiil jauh lebih sulit dalam proses pembuktian dibandingkan dengan jenis kualifikasi delik pidana yang bersifat formil. 8. Mengapa demikian, karena kualifikasi delik materiil membebankan kepada penegak hukum, Polisi, Jaksa, KPK untuk membuktikan semua unsur yang ada dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU TPK. 9. Berbeda halnya dengan pemahaman delik formil dalam rezim putusan MK tahun 2006 yang menekankan pada perbuatan, sehingga penegak hukum cukup hanya membuktikan unsur-unsur perbuatan yang dilarang tanpa membuktikan akibat yang ditimbulkan. 16

17 C. Ideal arah Politik Kebijakan Parlemen Terhadap Polemik Putusan MK Tahun Langkah awal kebijakan parlemen harus konsisten dengan TAP MPR No. VIII Tahun 2001 tentang Rekomendasi dan Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. 2. Sebagaimana salah satu poin arah kebijakan pemberantasan KKN yang harus dijadikan politik hukum pemberantasan KKN adalah, mencabut, mengubah, atau mengganti semua peraturan perundangundangan serta keputusan- keputusan penyelenggara negara yang berindikasi melindungi atau memungkinkan terjadinya KKN. Lantas pertanyaannya adalah rezim putusan MK yang manakah yang lebih mengarah pada arah kebijakan TAP MPR tersebut? Apakah putusan MK Tahun 2006 ataukah putusan MK Tahun 2017? 3. Menurut pandangan saya, jelas putusan MK tahun 2006 lebih memudahkan dalam proses pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Tetapi yang perlu diperhatikan bukan masalah mudah ataupun sulit, melainkan bagaimana konsep pemberantasan korupsi itu berjalan konstitusional dan tidak melanggar hukum yang perlu diatur dalam revisi UU TPK kedepan. 4. Di sisi lain, penting kiranya kebijakan parlemen kedepan merumuskan dan menentukan lembaga manakah yang paling berwenang untuk melakukan audit investigatif terhadap adanya kerugian negara, sehingga tidak terjadi konflik antar lembaga negara, seperti yang terjadi saat ini antara BPK dan BPKP yang sering berbeda pendapat tentang adanya kerugian negara ataukah tidak. 5. Dengan adanya kejelasan lembaga yang berwenang dalam melakukan audit investigatif sangat menentukan suksesnya dan tidaknya pemberatasan korupsi pasca putusan MK Tahun 2017 yang lebih menekankan pada aspek akibat yang dilarang, yaitu adanya unsur kerugian negara yang nyata. 17

18 MATERI BPK RI 18

19 Oleh: 1. Supriyono Hadi, S.H., M.Si. Kasudit Kepaniteraan Kerugian Negara Daerah, BPK RI 2. Tri Heriadi, S.H., M.M. Kadit Konsultasi Hukum Keuangan Negara, BPK RI 19

20 20

21 21

22 22

23 23

24 24

25 25

26 26

27 27

28 28

29 29

30 30

31 31

32 32

33 33

34 34

Kasus PDAM Makassar, Eks Wali Kota Didakwa Rugikan Negara Rp 45,8 Miliar

Kasus PDAM Makassar, Eks Wali Kota Didakwa Rugikan Negara Rp 45,8 Miliar Kasus PDAM Makassar, Eks Wali Kota Didakwa Rugikan Negara Rp 45,8 Miliar www.kompas.com Mantan Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin didakwa menyalahgunakan wewenangnya dalam proses kerja sama rehabilitasi,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XIV/2016 Frasa dapat merugikan keuangan negara dan Frasa atau orang lain atau suatu korporasi Sebagai Ketentuan Menjatuhkan Hukuman Pidana Bagi Tindak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. benar-benar telah menjadi budaya pada berbagai level masyarakat sehingga

BAB I PENDAHULUAN. benar-benar telah menjadi budaya pada berbagai level masyarakat sehingga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fenomena korupsi yang terjadi di Indonesia selalu menjadi persoalan yang hangat untuk dibicarakan. Salah satu hal yang selalu menjadi topik utama sehubungan

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT (UJI KELAYAKAN) FIT AND PROPER TEST KOMISI III DPR RI TERHADAP CALON HAKIM AD HOC TIPIKOR DI MAHKAMAH AGUNG -------------------------------------------------- (BIDANG HUKUM, HAM

Lebih terperinci

Komisi Pemberantasan Korupsi. Peranan KPK Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Komisi Pemberantasan Korupsi. Peranan KPK Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Komisi Pemberantasan Korupsi Peranan KPK Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam BAB V ANALISIS A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam Perkara No. 97/PID.PRAP/PN.JKT.SEL Setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, maka penetapan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK I. PEMOHON 1. Dr. Harun Al Rasyid, S.H., M.Hum sebagai Pemohon I; 2. Hotman Tambunan, S.T., MBA.sebagai Pemohon II; 3. Dr.

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 86/PUU-XIV/2016 Pemidanaan Bagi Penyedia Jasa Konstruksi Jika Pekerjaan Konstruksinya Mengalami Kegagalan Bangunan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 86/PUU-XIV/2016 Pemidanaan Bagi Penyedia Jasa Konstruksi Jika Pekerjaan Konstruksinya Mengalami Kegagalan Bangunan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 86/PUU-XIV/2016 Pemidanaan Bagi Penyedia Jasa Konstruksi Jika Pekerjaan Konstruksinya Mengalami Kegagalan Bangunan I. PEMOHON Rama Ade Prasetya. II. OBJEK PERMOHONAN

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 31/PUU-X/2012 Tentang Kewenangan Lembaga BPKP dan BPK

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 31/PUU-X/2012 Tentang Kewenangan Lembaga BPKP dan BPK RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 31/PUU-X/2012 Tentang Kewenangan Lembaga BPKP dan BPK I. PEMOHON Ir. Eddie Widiono Sowondho,M.Sc., selanjutnya disebut Pemohon. Kuasa Hukum: Dr.

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi I. PEMOHON Dr. Bambang Widjojanto, sebagai Pemohon. KUASA HUKUM Nursyahbani Katjasungkana,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 31/PUU-X/2012 Tentang Kewenangan Lembaga BPKP dan BPK

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 31/PUU-X/2012 Tentang Kewenangan Lembaga BPKP dan BPK RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 31/PUU-X/2012 Tentang Kewenangan Lembaga BPKP dan BPK I. PEMOHON Ir. Eddie Widiono Sowondho,M.Sc., selanjutnya disebut Pemohon. Kuasa Hukum: Dr. Maqdir Ismail,

Lebih terperinci

RINGKASAN PUTUSAN. Darmawan, M.M Perkara Nomor 13/PUU-VIII/2010: Muhammad Chozin Amirullah, S.Pi., MAIA Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), dkk

RINGKASAN PUTUSAN. Darmawan, M.M Perkara Nomor 13/PUU-VIII/2010: Muhammad Chozin Amirullah, S.Pi., MAIA Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), dkk RINGKASAN PUTUSAN Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010 tanggal 13 Oktober 2010 atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia

Lebih terperinci

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK Materi yang Diatur KUHAP RUU KUHAP Undang TPK Undang KPK Catatan Penyelidikan Pasal 1 angka 5, - Pasal 43 ayat (2), Komisi Dalam RUU KUHAP, Penyelidikan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XVI/2018 Tindakan Advokat Merintangi Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XVI/2018 Tindakan Advokat Merintangi Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XVI/2018 Tindakan Advokat Merintangi Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan I. PEMOHON Barisan Advokat Bersatu (BARADATU) yang didirikan berdasarkan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 47/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 47/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 47/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK I. PEMOHON 1. DR. Busyro Muqoddas 2. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia 3. Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI)

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara I. PEMOHON Bachtiar Abdul Fatah. KUASA HUKUM Dr. Maqdir Ismail, S.H., LL.M., dkk berdasarkan surat

Lebih terperinci

Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa

Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa balinewsnetwork.com Mantan Bupati Jembrana, I Gede Winasa membantah tudingan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menyebut dirinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditetapkannya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang. Undang Nomor 20 Tahun 2001 selanjutnya disebut dengan UUPTPK.

BAB I PENDAHULUAN. ditetapkannya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang. Undang Nomor 20 Tahun 2001 selanjutnya disebut dengan UUPTPK. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Korupsi di Indonesia telah menjadi wabah yang berkembang dengan sangat subur dan tentunya berdampak pada kerugian keuangan Negara. Maraknya korupsi telah mendorong

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874] UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874] BAB II TINDAK PIDANA KORUPSI Pasal 2 (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 16/PUU-X/2012 Tentang KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 16/PUU-X/2012 Tentang KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 16/PUU-X/2012 Tentang KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI I. Pemohon 1. Iwan Budi Santoso S.H. 2. Muhamad Zainal Arifin S.H. 3. Ardion

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 102/PUU-XIII/2015 Pemaknaan Permohonan Pra Peradilan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 102/PUU-XIII/2015 Pemaknaan Permohonan Pra Peradilan RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 102/PUU-XIII/2015 Pemaknaan Permohonan Pra Peradilan I. PEMOHON - Drs. Rusli Sibua, M.Si. ------------------------------- selanjutnya disebut Pemohon. Kuasa Hukum: -

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 99/PUU-XIII/2015 Tindak Pidana Kejahatan Yang Menggunakan Kekerasan Secara Bersama-Sama Terhadap Barang

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 99/PUU-XIII/2015 Tindak Pidana Kejahatan Yang Menggunakan Kekerasan Secara Bersama-Sama Terhadap Barang RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 99/PUU-XIII/2015 Tindak Pidana Kejahatan Yang Menggunakan Kekerasan Secara Bersama-Sama Terhadap Barang I. PEMOHON Mardhani Zuhri Kuasa Hukum Neil Sadek, S.H.dkk., berdasarkan

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 25/PUU-XIV/2016

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 25/PUU-XIV/2016 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 25/PUU-XIV/2016 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada mulanya terdapat tiga alternatif lembaga yang digagas untuk diberi kewenangan melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 40/PUU-XIII/2015

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 40/PUU-XIII/2015 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 40/PUU-XIII/2015 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Lebih terperinci

Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI

Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI Hakim Cepi Iskandar, pada Jumat 29 Oktober 2017 lalu menjatuhkan putusan yang mengabulkan permohonan Praperadilan yang diajukan oleh Setya Novanto,

Lebih terperinci

LAPORAN SINGKAT RAPAT KERJA KOMISI III DPR RI DENGAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA

LAPORAN SINGKAT RAPAT KERJA KOMISI III DPR RI DENGAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT KERJA KOMISI III DPR RI DENGAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA --------------------------------------------------- (BIDANG HUKUM, PERUNDANG-UNDANGAN, HAM DAN KEAMANAN) Tahun

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 85/PUU-XIV/2016 Kewajiban Yang Harus Ditaati Oleh Pelaku Usaha Dalam Melaksanakan Kerjasama Atas Suatu Pekerjaan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 85/PUU-XIV/2016 Kewajiban Yang Harus Ditaati Oleh Pelaku Usaha Dalam Melaksanakan Kerjasama Atas Suatu Pekerjaan RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 85/PUU-XIV/2016 Kewajiban Yang Harus Ditaati Oleh Pelaku Usaha Dalam Melaksanakan Kerjasama Atas Suatu Pekerjaan I. PEMOHON PT. Bandung Raya Indah Lestari.... selanjutnya

Lebih terperinci

III. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI Penjelasan Pemohon mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang adalah:

III. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI Penjelasan Pemohon mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang adalah: RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XV/2017 Pemidanaan Perbuatan Yang Dapat Menimbulkan Gangguan Fisik Dan Elektromagnetik Terhadap Penyelenggaraan Telekomunikasi I. PEMOHON 1. Rusdi (selanjutnya

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XI/2013 Tentang Frasa Pihak Ketiga Yang Berkepentingan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XI/2013 Tentang Frasa Pihak Ketiga Yang Berkepentingan RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XI/2013 Tentang Frasa Pihak Ketiga Yang Berkepentingan I. PEMOHON Organisasi Masyarakat Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), diwakili

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 95/PUU-XV/2017 Penetapan Tersangka oleh KPK Tidak Mengurangi Hak-hak Tersangka

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 95/PUU-XV/2017 Penetapan Tersangka oleh KPK Tidak Mengurangi Hak-hak Tersangka RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 95/PUU-XV/2017 Penetapan Tersangka oleh KPK Tidak Mengurangi Hak-hak Tersangka I. PEMOHON Setya Novanto Kuasa Hukum: DR. Fredrich Yunadi, S.H., LL.M, Yudha Pandu, S.H.,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan I. PEMOHON Raja Bonaran Situmeang Kuasa Hukum Dr. Teguh Samudera, SH., MH.,

Lebih terperinci

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 003/PUU-IV/2006 Perbaikan 3 April 2006

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 003/PUU-IV/2006 Perbaikan 3 April 2006 RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 003/PUU-IV/2006 Perbaikan 3 April 2006 I. PEMOHON/KUASA Ir Dawud Djatmiko II. PENGUJIAN UNDANG-UNDANG Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan

Lebih terperinci

WALIKOTA PONTIANAK PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN WALIKOTA PONTIANAK NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG

WALIKOTA PONTIANAK PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN WALIKOTA PONTIANAK NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG WALIKOTA PONTIANAK PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN WALIKOTA PONTIANAK NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG SISTEM PENANGANAN PENGADUAN (WHISTLEBLOWER SYSTEM) TINDAK PIDANA KORUPSI DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KOTA

Lebih terperinci

MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN.

MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN. MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN www.kompasiana.com Mantan Kepala Divisi Konstruksi VII PT Adhi Karya Wilayah Bali, NTB, NTT, dan Maluku, Imam Wijaya Santosa, kembali mendapat pengurangan

Lebih terperinci

RILIS MEDIA A. Dakwaan B. Tuntutan

RILIS MEDIA A. Dakwaan B. Tuntutan RILIS MEDIA Hasil Eksaminasi Publik Kasus Dugaan Korupsi Dana Hibah Provinsi Jambi Tahun 2009 Putusan Pengadilan Tipikor Nomor: 08/PID.B/TPK/2012/PN.JBI (Terdakwa: Drs. A. Mawardy Sabran, MM, Ketua STIE-ASM

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI 20 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Undang-Undang Dasar 1945 Adapun terkait hal keuangan, diatur di dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 71/PUU-XIV/2016 Hak Konstitusional Terdakwa dan/atau Mantan Narapidana Untuk Dipilih Menjadi Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah I. PEMOHON Drs. H. Rusli Habibie,

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN 1 RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT DENGAR PENDAPAT KOMISI III DPR RI DENGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) ------------------------------------------------------- (BIDANG HUKUM, PERUNDANG-UNDANGAN,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 119/PUU-XII/2014 Pengujian Formil Perppu 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dan Perppu 2/2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 71/PUU-XIV/2016 Hak Konstitusional Terdakwa dan/atau Mantan Narapidana Untuk Dipilih Menjadi Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah I. PEMOHON Drs. H. Rusli

Lebih terperinci

Studi atas Unsur Merugikan Keuangan Negara dalam Delik Tindak Pidana Korupsi

Studi atas Unsur Merugikan Keuangan Negara dalam Delik Tindak Pidana Korupsi Studi atas Unsur Merugikan Keuangan Negara dalam Delik Tindak Pidana Korupsi Penelitian Penyusun Emerson Yuntho - Illian Deta Arta Sari - Jeremiah Limbong - Ridwan Bakar - Firdaus Ilyas Konsultan, Paku

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 36/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 36/PUU-XV/2017 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 36/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK I. PEMOHON 1. Achmad Saifudin Firdaus, SH., (selanjutnya disebut sebagai Pemohon I); 2. Bayu Segara, SH., (selanjutnya disebut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011: 34 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Judicial Review Kewenangan Judicial review diberikan kepada lembaga yudikatif sebagai kontrol bagi kekuasaan legislatif dan eksekutif yang berfungsi membuat UU. Sehubungan

Lebih terperinci

BAB VII SIMPULAN DAN REKOMENDASI. penghitungan kerugian keuangan negara yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa

BAB VII SIMPULAN DAN REKOMENDASI. penghitungan kerugian keuangan negara yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa BAB VII SIMPULAN DAN REKOMENDASI 7.1. Simpulan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan penjelasan mengenai penghitungan kerugian keuangan negara yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 48/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas yang bertentangan dengan Pancasila Dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 48/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas yang bertentangan dengan Pancasila Dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 48/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas yang bertentangan dengan Pancasila Dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 I. PEMOHON Chandra Furna Irawan, Ketua Pengurus Yayasan Sharia

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 23/PUU-XIV/2016 Perselisihan Hubungan Industrial

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 23/PUU-XIV/2016 Perselisihan Hubungan Industrial RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 23/PUU-XIV/2016 Perselisihan Hubungan Industrial I. PEMOHON 1. Joko Handoyo, S.H.,.. Pemohon I 2. Wahyudi, S.E,. Pemohon II 3. Rusdi Hartono, S.H.,. Pemohon III 4. Suherman,.....

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 113/PUU-XII/2014 Keputusan Tata Usaha Negara yang Dikeluarkan atas Dasar Hasil Pemeriksaan Badan Peradilan Tidak Termasuk Pengertian Keputusan Tata Usaha Negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keuangan negara sebagai bagian terpenting dalam pelaksanaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keuangan negara sebagai bagian terpenting dalam pelaksanaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keuangan negara sebagai bagian terpenting dalam pelaksanaan pembangunan nasional yang pengelolaannya diimplemantasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 98/PUU-XIII/2015 Izin Pemanfaatan Hutan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 98/PUU-XIII/2015 Izin Pemanfaatan Hutan RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 98/PUU-XIII/2015 Izin Pemanfaatan Hutan I. PEMOHON - P.T. Inanta Timber & Trading Coy Ltd.yang diwakili oleh Sofandra sebagai Direktur Utama -------------------------------------

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT FIT AND PROPER TEST KOMISI III DPR RI TERHADAP CALON PIMPINAN KPK ------------------------------------- (BIDANG HUKUM DAN PERUNDANG-UNDANGAN, HAM DAN KEAMANAN) Tahun Sidang :

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 31/PUU-XV/2017 Pidana bagi Pemakai/Pengguna Narkotika

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 31/PUU-XV/2017 Pidana bagi Pemakai/Pengguna Narkotika RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 31/PUU-XV/2017 Pidana bagi Pemakai/Pengguna Narkotika I. PEMOHON Sutrisno Nugroho Kuasa Hukum Antonius Sujata, S.H., M.H., dkk berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XII/2014 Alasan Pemberatan Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XII/2014 Alasan Pemberatan Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XII/2014 Alasan Pemberatan Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi I. PEMOHON 1. Doni Istyanto Hari Mahdi, sebagai Pemohon I; 2. Muhammad Umar, S.H.,

Lebih terperinci

KUASA HUKUM Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc., dkk berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 20 Maret 2014.

KUASA HUKUM Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc., dkk berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 20 Maret 2014. RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 54/PUU-XII/2014 Penetapan Tersangka dan Kewenangan Pegawai Internal BPK Sebagai Ahli Dalam Persidangan Atas Hasil Audit Laporan Internal Badan Pemeriksa Keuangan

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT DENGAR PENDAPAT KOMISI III DPR RI DENGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) -------------------------------------------------------------------- (BIDANG HUKUM, PERUNDANG-UNDANGAN,

Lebih terperinci

CATATAN KRITIS REVISI UNDANG-UNDANG MD3 Oleh : Aji Bagus Pramukti * Naskah diterima: 7 Maret 2018; disetujui: 9 Maret 2018

CATATAN KRITIS REVISI UNDANG-UNDANG MD3 Oleh : Aji Bagus Pramukti * Naskah diterima: 7 Maret 2018; disetujui: 9 Maret 2018 CATATAN KRITIS REVISI UNDANG-UNDANG MD3 Oleh : Aji Bagus Pramukti * Naskah diterima: 7 Maret 2018; disetujui: 9 Maret 2018 Undang-undang merupakan salah satu instrumen penting dalam menentukan pembangunan

Lebih terperinci

SIARAN PERS. Penjelasan MK Terkait Putusan Nomor 36/PUU-XV/2017

SIARAN PERS. Penjelasan MK Terkait Putusan Nomor 36/PUU-XV/2017 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA SIARAN PERS DAPAT SEGERA DITERBITKAN Penjelasan MK Terkait Putusan Nomor 36/PUU-XV/2017 Sehubungan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU- XV/2017 tanggal

Lebih terperinci

Sub Bagian Hukum dan Humas BPK RI Perwakilan Provinsi Bali

Sub Bagian Hukum dan Humas BPK RI Perwakilan Provinsi Bali Sumber Berita : Harian Nusa Bali, Sidang Perdana PK Winasa Berlangsung 5 Menit, Rabu 18 Juni 2014. Sub Bagian Hukum dan Humas BPK RI Perwakilan Provinsi Bali 1 Sumber Berita: Harian Bali Post, Singkat

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 125/PUU-XIII/2015 Penyidikan terhadap Anggota Komisi Yudisial

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 125/PUU-XIII/2015 Penyidikan terhadap Anggota Komisi Yudisial RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 125/PUU-XIII/2015 Penyidikan terhadap Anggota Komisi Yudisial I. PEMOHON Dr. H. Taufiqurrohman Syahuri, S.H Kuasa Hukum Dr. A. Muhammad Asrun, S.H., M.H. dkk berdasarkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

RechtsVinding Online. Naskah diterima: 17 Februari 2016; disetujui: 25 Februari 2016

RechtsVinding Online. Naskah diterima: 17 Februari 2016; disetujui: 25 Februari 2016 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015 Mengenai Hak Mantan Terpidana Untuk Mencalonkan Diri Dalam Pilkada Dan Implikasinya Bagi Pengisian Jabatan Jabatan Publik Lainnya Oleh : Achmadudin Rajab

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 51/PUU-XIII/2015 Pembentukan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015, Pengusungan Pasangan Calon oleh Partai Politik, Sanksi Pidana Penyalahgunaan Jabatan dalam Penyelenggaraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil. Kebenaran materil merupakan kebenaran

Lebih terperinci

KUASA HUKUM Adardam Achyar, S.H., M.H., dkk berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 7 Agustus 2014.

KUASA HUKUM Adardam Achyar, S.H., M.H., dkk berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 7 Agustus 2014. RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 77/PUU-XII/2014 Kewenangan Penyidikan, Penuntutan dan Penyitaan Harta Kekayaan dari Tindak Pidana Pencucian Uang I. PEMOHON Dr. M. Akil Mochtar, S.H., M.H.

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA EKSISTENSI PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG DALAM SISTEM PERUNDANG-UNDANGAN UNDANGAN DI INDONESIA MATERI DISAMPAIKAN OLEH: HAKIM KONSTITUSI MARIA FARIDA

Lebih terperinci

KEWENANGAN KEJAKSAAN SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA KORUPSI

KEWENANGAN KEJAKSAAN SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA KORUPSI KEWENANGAN KEJAKSAAN SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA KORUPSI Sigit Budi Santosa 1 Fakultas Hukum Universitas Wisnuwardhana Malang Jl. Danau Sentani 99 Kota Malang Abstraksi: Korupsi sampai saat ini merupakan

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor 44/PUU-XII/2014 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

PUTUSAN Nomor 44/PUU-XII/2014 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA SALINAN PUTUSAN Nomor 44/PUU-XII/2014 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon I. PEMOHON RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon Kuasa Hukum: Muhammad Ainul Syamsu, SH.,

Lebih terperinci

KADIS PENDIDIKAN MTB DAN PPTK RUGIKAN NEGARA Rp200 JUTA LEBIH.

KADIS PENDIDIKAN MTB DAN PPTK RUGIKAN NEGARA Rp200 JUTA LEBIH. KADIS PENDIDIKAN MTB DAN PPTK RUGIKAN NEGARA Rp200 JUTA LEBIH www.siwalima.com Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Maluku Tenggara Barat (MTB), Holmes Matruty dan Pejabat Pelaksana

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 2/PUU-XVI/2018 Pembubaran Ormas

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 2/PUU-XVI/2018 Pembubaran Ormas RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 2/PUU-XVI/2018 Pembubaran Ormas I. PEMOHON 1. Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia, (Pemohon I) 2. Yayasan Forum Silaturrahim Antar Pengajian Indonesia, (Pemohon II) 3. Perkumpulan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 39/PUU-XVI/2018 Masa Jabatan Pimpinan MPR dan Kewajiban Badan Anggaran DPR Untuk Mengonsultasikan dan Melaporkan Hasil Pembahasan Rancangan UU APBN Kepada Pimpinan DPR

Lebih terperinci

NOTA KESEPAHAMAN ANTARA KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA, KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA, DAN BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN

NOTA KESEPAHAMAN ANTARA KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA, KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA, DAN BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN NOTA KESEPAHAMAN ANTARA KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA, KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA, DAN BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN NOMOR NO. POL. NOMOR : KEP-109/A/JA/09/2007 : B / 2718 /IX/2007

Lebih terperinci

KUASA HUKUM Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc., dkk berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 20 Maret 2014.

KUASA HUKUM Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc., dkk berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 20 Maret 2014. RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN KEDUA Perkara Nomor 54/PUU-XII/2014 Penetapan Tersangka dan Kewenangan Pegawai Internal BPK Sebagai Ahli Dalam Persidangan Atas Hasil Audit Laporan Internal Badan Pemeriksa

Lebih terperinci

Kuasa Hukum Antonius Sujata, S.H., M.H., dkk, berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 29 Mei 2017

Kuasa Hukum Antonius Sujata, S.H., M.H., dkk, berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 29 Mei 2017 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 35/PUU-XV/2017 Nominal Transaksi Keuangan Mencurigakan, Kewajiban Pembuktian Tindak Pidana Asal, Penyitaan Kekayaan Diduga TPPU I. PEMOHON Anita Rahayu Kuasa Hukum Antonius

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 51/PUU-XIII/2015 Pembentukan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015, Pengusungan Pasangan Calon oleh Partai Politik, Sanksi Pidana Penyalahgunaan Jabatan dalam Penyelenggaraan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 58/PUU-XIV/2016 Pengampunan Pajak

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 58/PUU-XIV/2016 Pengampunan Pajak RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 58/PUU-XIV/2016 Pengampunan Pajak I. PEMOHON Yayasan Satu Keadilan yang diwakili oleh Sugeng Teguh Santoso, S. H., dan Syamsul Alam Agus, S.H.,.. selanjutnya disebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengajuan permohonan perkara praperadilan tentang tidak sahnya penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam sidang praperadilan sebagaimana

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 21/PUU-XIV/2016 Frasa Pemufakatan Jahat dalam Tindak Pidana Korupsi

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 21/PUU-XIV/2016 Frasa Pemufakatan Jahat dalam Tindak Pidana Korupsi RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 21/PUU-XIV/2016 Frasa Pemufakatan Jahat dalam Tindak Pidana Korupsi I. PEMOHON Drs. Setya Novanto. Kuasa Pemohon: Muhammad Ainul Syamsu, SH., MH., Syaefullah Hamid,

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor 80/PUU-X/2012 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA. Habiburokhman, S.H.

PUTUSAN Nomor 80/PUU-X/2012 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA. Habiburokhman, S.H. PUTUSAN Nomor 80/PUU-X/2012 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 103/PUU-XIII/2015 Penolakan Pendaftaran Calon Peserta Pemilukada

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 103/PUU-XIII/2015 Penolakan Pendaftaran Calon Peserta Pemilukada RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 103/PUU-XIII/2015 Penolakan Pendaftaran Calon Peserta Pemilukada I. PEMOHON 1. Imran, SH. (Pemohon I); 2. H. Muklisin, S.Pd. (Pemohon II); Secara bersama-sama disebut

Lebih terperinci

RechtsVinding Online

RechtsVinding Online IMPLIKASI PUTUSAN MK NOMOR 92/PUU-XIV/2016 DI DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN KPU Oleh: Achmadudin Rajab * Naskah Diterima: 18 Juli 2017, Disetujui: 26 Juli 2017 Pasal yang diuji dan dibatalkan dalam perkara

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 52/PUU-XIV/2016 Penambahan Kewenangan Mahkamah Kontitusi untuk Mengadili Perkara Constitutional Complaint

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 52/PUU-XIV/2016 Penambahan Kewenangan Mahkamah Kontitusi untuk Mengadili Perkara Constitutional Complaint RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 52/PUU-XIV/2016 Penambahan Kewenangan Mahkamah Kontitusi untuk Mengadili Perkara Constitutional Complaint I. PEMOHON Sri Royani II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil

Lebih terperinci

PENDAPAT AKHIR FRAKSI PARTAI DEMOKRAT T E R H A D A P RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG OMBUDSMAN

PENDAPAT AKHIR FRAKSI PARTAI DEMOKRAT T E R H A D A P RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG OMBUDSMAN PENDAPAT AKHIR FRAKSI PARTAI DEMOKRAT T E R H A D A P RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG OMBUDSMAN Juru Bicara : H. DADAY HUDAYA, SH, MH Nomor Anggota : A- 92 Assalamu`alaikum Wr. Wb. Salam Sejahtera untuk

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tindak pidana korupsi

Lebih terperinci

Analisis Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Mengeluarkan Putusan Yang Bersifat Ultra Petita Berdasarkan Undang-Undangnomor 24 Tahun 2003

Analisis Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Mengeluarkan Putusan Yang Bersifat Ultra Petita Berdasarkan Undang-Undangnomor 24 Tahun 2003 M a j a l a h H u k u m F o r u m A k a d e m i k a 45 Analisis Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Mengeluarkan Putusan Yang Bersifat Ultra Petita Berdasarkan Undang-Undangnomor 24 Tahun 2003 Oleh: Ayu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi 1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi meskipun telah diatur

Lebih terperinci

KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI PENINGKATAN JALAN NANTI AGUNG - DUSUN BARU KECAMATAN ILIR TALO KABUPATEN SELUMA

KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI PENINGKATAN JALAN NANTI AGUNG - DUSUN BARU KECAMATAN ILIR TALO KABUPATEN SELUMA KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI PENINGKATAN JALAN NANTI AGUNG - DUSUN BARU KECAMATAN ILIR TALO KABUPATEN SELUMA http://www.beritasatu.com 1 Bengkulu - Kepala Polda Bengkulu, Brigjen Pol. M. Ghufron menegaskan,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 132/PUU-XIII/2015 Ketentuan Pidana Bagi Penyedia Jasa dan Pemakai Pada Tindak Pidana Prostitusi

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 132/PUU-XIII/2015 Ketentuan Pidana Bagi Penyedia Jasa dan Pemakai Pada Tindak Pidana Prostitusi RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 132/PUU-XIII/2015 Ketentuan Pidana Bagi Penyedia Jasa dan Pemakai Pada Tindak Pidana Prostitusi I. PEMOHON Robby Abbas. Kuasa Hukum: Heru Widodo, SH., M.Hum., Petrus

Lebih terperinci

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 006/PUU-I/2003

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 006/PUU-I/2003 RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 006/PUU-I/2003 I. PEMOHON - Para Anggota KPKPN (Pemohon I) - Ir. H. Muchyat, H. Paiman Manansastro, Ph.D dkk (Pemohon II) KUASA HUKUM Amir Syamsuddin, SH., MH. Dkk II. PENGUJIAN

Lebih terperinci

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 016/PUU-IV/2006 Perbaikan 11 September 2006

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 016/PUU-IV/2006 Perbaikan 11 September 2006 RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 016/PUU-IV/2006 Perbaikan 11 September 2006 I. PARA PEMOHON Prof. DR. Nazaruddin Sjamsuddin sebagai Ketua KPU PEMOHON I Prof. DR. Ramlan Surbakti, M.A., sebagai Wakil Ketua

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 65/PUU-XIV/2016 Konstitusinalitas KPU Sebagai Penyelenggara Pemilihan Kepala Daerah Pada Rezim Pemilihan Kepala Daerah Bukan Pemilihan Umum I. PEMOHON 1. Muhammad Syukur

Lebih terperinci

ASPEK HUKUM DALAM SISTEM MANAJEMEN MUTU KONSTRUKSI

ASPEK HUKUM DALAM SISTEM MANAJEMEN MUTU KONSTRUKSI ASPEK HUKUM DALAM SISTEM MANAJEMEN MUTU KONSTRUKSI Disampaikan dalam kegiatan Peningkatan Wawasan Sistem Manajemen Mutu Konsruksi (Angkatan 2) Hotel Yasmin - Karawaci Tangerang 25 27 April 2016 PENDAHULUAN

Lebih terperinci

PKSANHAN II PUSAT KAJIAN SISTEM DAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

PKSANHAN II PUSAT KAJIAN SISTEM DAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA POLICY BRIEF PKSANHAN II PUSAT KAJIAN SISTEM DAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA Penguatan Peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) Pasca UU Administrasi Pemerintahan LATAR BELAKANG Disahkannya UU No.

Lebih terperinci

KUASA HUKUM Dr. A. Muhammad Asrun, S.H., M.H., dan Vivi Ayunita Kusumandari, S.H., berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 7 Oktober 2014.

KUASA HUKUM Dr. A. Muhammad Asrun, S.H., M.H., dan Vivi Ayunita Kusumandari, S.H., berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 7 Oktober 2014. RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 106/PUU-XII/2014 Larangan Rangkap Jabatan di Lembaga Negara Lain dan Menjadi Anggota Partai Politik bagi Anggota BPK I. PEMOHON 1. Ai Latifah Fardhiyah 2. Riyanti,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor 81/PUU-X/2012 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

PUTUSAN Nomor 81/PUU-X/2012 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA PUTUSAN Nomor 81/PUU-X/2012 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT DENGAR PENDAPAT KOMISI III DPR RI DENGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) -------------------------------------------------------------------- (BIDANG HUKUM, PERUNDANG-UNDANGAN,

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.737, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUB. Pengawasan. Pelaksanaan. Tata Cara Tetap. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 91 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA TETAP

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci