BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Transkripsi

1 13 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit campak dikenal juga sebagai morbili atau measles, merupakan penyakit yang sangat menular (infeksius) yang disebabkan oleh virus dan 90% anak yang tidak kebal akan terserang penyakit campak. Manusia diperkirakan sebagai satu-satunya reservoir, walaupun monyet dapat terinfeksi tetapi tidak berperan dalam penyebaran (WHO, 1998). Di seluruh dunia diperkirakan terjadi penurunan 56% kasus campak yang dilaporkan, yaitu kasus pada tahun 2000 menjadi kasus pada tahun Jumlah kasus campak yang tercatat di regional SEARO (South East Asia Region Organization), meningkat dari kasus pada tahun 2000 menjadi pada tahun Sejak vaksinasi campak diberikan secara luas, terjadi perubahan epidemiologi campak terutama di negara berkembang. Walaupun cakupan imunisasi campak cukup tinggi, kejadian luar biasa (KLB) campak mungkin saja masih bisa terjadi. Kejadian ini disebabkan antara lain karena vaccine efficacy campak hanya 85% dari total anak yang mendapatkan imunisasi, sehingga masih ada 15% anak yang diimunisasi tetapi tidak terbentuk kekebalannya (Dep. Kes. 2008). Rencana strategi global maupun regional yang dicanangkan WHO bersama UNICEF (United Nation of Children s Fund) tahun 2006 menyatakan bahwa tujuan program pengendalian penyakit campak adalah mengurangi angka kematian campak sebesar 90% pada tahun 2010 dibandingkan dengan tahun Untuk mencapai tujuan pengendalian penyakit campak tersebut dilakukan upaya-upaya, antara lain : 1) Meningkatkan cakupan imunisasi campak dosis pertama > 90% secara nasional dan minimal > 80% di kabupaten/kota pada tahun 2010; 2) Melaksanakan imunisasi campak kesempatan kedua dengan cakupan lebih dari 90% pada anak usia < 5 tahun pada tahun 2010; 3) penyelidikan dan manajemen kasus pada semua KLB campak dan melaksanakan surveilans campak berbasis kasus individu (case based measles

2 14 surveillance/ CBMS) bagi semua negara yang telah melaksanakan kampanye campak (Depkes, 2008). Program imunisasi campak di Indonesia dimulai pada tahun 1982, kemudian pada tahun 1991 berhasil dicapai status imunisasi dasar lengkap atau universal child immunization (UCI) secara nasional. Sejak tahun 2000 imunisasi campak kesempatan kedua diberikan kepada anak sekolah kelas I-VI (catch up) secara bertahap yang kemudian dilanjutkan dengan pemberian imunisasi campak secara rutin kepada anak sekolah dasar kelas I pada bulan imunisasi anak sekolah (BIAS). Untuk mempercepat tercapainya perlindungan campak pada anak, sejak tahun 2005 sampai Agustus 2007 dilakukan kegiatan crash program campak terhadap anak usia 6-59 bulan dan anak usia sekolah dasar di semua provinsi. Di Indonesia, berdasarkan Profil Kesehatan tahun 2009, cakupan imunisasi campak 83%, incidence rate (IR) 0,77/ penduduk ( kasus) dan frekuensi Kejadian Luar Biasa (KLB) campak 121 kali dengan case fatality rate (CFR) 1,52% (2.770 kasus, meninggal 42 kasus). Pada tahun 2010, cakupan imunisasi campak 85%, IR campak 0,73/ penduduk ( kasus), frekuensi KLB campak 122 kali dan CFR 0,23% (2.570 kasus, meninggal 6 kasus) (Profil Kesehatan Indonesia, 2010). Di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan profil kesehatan , cakupan imunisasi campak selama 5 tahun berturut-turut selalu melebihi angka nasional (80%), sedangkan incidence rate campak yang melebihi angka nasional terjadi pada tahun 2010, yaitu sebesar 2,35/ penduduk (angka nasional, 0,73/ penduduk). KLB campak yang terjadi di Provinsi DIY selama tahun 2009 sampai dengan 2011 adalah 3 kali, 2 kali dan 4 kali (Surveilans Kesehatan DIY, 2010). Di Kabupaten Sleman, berdasarkan profil kesehatan, cakupan imunisasi campak jauh lebih tinggi dibandingkan dengan angka nasional (85%), yaitu tahun 2008 (109%), 2009 (104%) dan tahun 2010 (108%), semuanya sudah mencapai angka UCI dan sebelum tahun 2008 tidak pernah terlaporkan adanya KLB campak. Incidence rate (IR) campak 2010 sebesar 0,91/ dan tahun 2011 sebesar 5,3/ Dan mulai tahun 2009, 2010 dan 2011 selalu terjadi KLB campak meskipun frekuensinya hanya 1 kali,

3 15 kecuali tahun 2011 terjadi 2 kali KLB dan kasusnya cukup banyak. Yang cukup memprihatinkan adalah, cakupan imunisasi campak sudah mencapai UCI (> 80%) tetapi masih terjadi KLB campak dan dari semua kasus campak yang ditemukan pada saat KLB, sebanyak 80% kasusnya belum pernah mendapatkan imunisasi campak dan semua berusia di bawah 5 tahun (balita). Tabel 1. Cakupan imunisasi campak dan incidence rate campak di Provinsi DIY tahun No Tahun Cakupan imunisasi incidence rate campak campak ,34 % 0,45/ pddk * ,78 % 0,11/ pddk ,30 % 2,35/ pddk ,80 % 0,41/ pddk Keterangan : * = campak klinis Pada bulan Juli 2011, berdasarkan laporan dari Puskesmas Ngaglik 2, di wilayah kerjanya terjadi peningkatan jumlah kasus campak yang melebihi dari jumlah biasa. Setelah dilakukan penyelidikan epidemiologi (PE) di lokasi kejadian, yaitu di Kampung Kencuran, ternyata ditemukan 126 kasus campak pada anak balita, yang sebagian besar (87,30%) kasus campak tersebut belum mendapatkan imunisasi campak. Alasan mereka tidak mengimunisasikan anaknya karena mempunyai keyakinan bahwa zaman para Nabi dahulu anak-anak tidak diimunisasi tetapi diberikan madu dan makanan herbal. Mereka tinggal di dalam rumah yang sangat padat penghuninya, rata-rata setiap rumah tipe 36 dihuni oleh 5-9 orang, sehingga memungkinkan penularan penyakit campak sangat mudah terjadi. Berdasarkan penelitian Nuraprilyanti (2009), pengetahuan dan pendidikan ibu berhubungan dengan perilaku ibu dalam memberikan imunisasi campak pada bayinya. Pada penelitian lain (Hartati, 2008) tentang perolehan imunisasi campak di Puskesmas Kuta Baro Kabupaten Aceh Besar pada tahun 2007, faktor yang berpengaruh terhadap cakupan imunisasi adalah pendidikan, ekonomi, pengetahuan dan tindakan petugas imunisasi. Menurut hasil penelitian Khalimah (2007), variabel pendidikan, pekerjaan, sikap, dan pengetahuan ibu mempunyai

4 16 hubungan dengan pemberian imunisasi campak. Selanjutnya penelitian Duski (2001) menyatakan bahwa ada hubungan status imunisasi campak dengan kejadian campak. Anak yang tidak diimunisasi campak 3,2 kali lebih besar berisiko untuk menderita campak dibandingkan dengan anak yang diimunisasi. Hal ini diperkuat hasil penelitian yang dilakukan oleh Siregar (2003) bahwa faktor risiko utama kejadian penyakit campak adalah anak yang tidak mendapatkan imunisasi. Menurut Gibson, dkk. (1989), persepsi adalah proses kognitif yang dipergunakan oleh individu untuk menafsirkan dan memahami sekitarnya. Gibson juga menjelaskan bahwa persepsi merupakan proses pemberian arti terhadap lingkungan oleh individu. Oleh karena itu, setiap individu memberikan arti kepada stimulus secara berbeda meskipun objeknya sama. Cara individu melihat situasi seringkali lebih penting daripada situasi itu sendiri. Proses menginterpretasikan stimulus ini biasanya dipengaruhi pula oleh pengalaman dan proses belajar individu. Selain itu, persepsi masyarakat terhadap imunisasi campak bisa berbedabeda, tergantung cara seseorang memahami dan mengartikan penting tidaknya tindakan imunisasi dilakukan pada anaknnya. Penelitian Andrea et al. (2006) menunjukkan sebanyak 75% ibu menyatakan setuju anaknya diimunisasi karena tidak ingin menyimpang dari norma dan budaya yang sudah ada serta ingin mematuhi aturan yang ada. Sisanya, 25% ibu, menunda pemberian imunisasi pada bayinya atau menolak anaknya diimunisasi karena mempunyai persepsi yang kurang yakin bahwa vaksin dapat mencegah penyakit serta merasa khawatir terhadap efek samping yang ditimbulkan oleh vaksin. Penelitian Renasari (2006) di Salatiga juga menunjukkan bahwa ketidakmauan orangtua mengimunisasikan anaknya pada Pekan Imunisasi Nasional (PIN) karena adanya perbedaan persepsi tentang PIN polio. Berdasarkan hasil penelitian di Enugu Nigeria oleh Tagbo et al. (2012), ibu-ibu dengan pendidikan yang tinggi dan mempunyai pengetahuan tentang imunisasi yang baik dan persepsi yang positif cenderung untuk menerima imunisasi. Tingkat pendidikan secara signifikan berhubungan dengan penerimaan

5 17 imunisasi (p = 0,000), sedangkan agama tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan penolakan imunisasi (0,056). Penolakan imunisasi di Nigeria bagian tenggara relatif tinggi karena pengetahuan ibu-ibu tentang imunisasi rendah dan mempunyai persepsi bahwa ketidakpatuhan terhadap imunisasi merupakan sesuatu yang biasa atau tidak menjadi masalah. Banyaknya kasus campak yang tidak mendapatkan imunisasi di Kabupaten Sleman, memotivasi penulis untuk mengetahui penyebab banyaknya balita yang tidak mendapatkan imunisasi campak, sehingga menyebabkan terjadinya KLB campak. Penyebabnya karena tempat pelayanan imunisasi jauh dan sulit terjangkau, jadwal pelayanan yang tidak teratur dan tidak sesuai dengan kegiatan masyarakat, kurangnya tenaga kesehatan, rendahnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang manfaat imunisasi atau karena faktor budaya, pendidikan serta kondisi sosial ekonomi. Selain itu juga untuk mengetahui ada atau tidak penolakan oleh masyarakat terhadap imunisasi ataukah ada pemahaman/keyakinan tersendiri tentang imunisasi campak pada masyarakat di Kabupaten Sleman, khususnya di Dusun Kencuran, Desa Sukoharjo serta persepsi masyarakat terhadap imunisasi campak. Menurut hasil penelitian Triratnawati (1996) di Desa Sudorogo, masyarakat memiliki keyakinan dan kepercayaan bahwa penyakit malaria diturunkan oleh Tuhan meskipun mereka sudah melakukan suatu pencegahan. Mereka juga memiliki keyakinan yang kuat bahwa semua penyakit yang diturunkan oleh Tuhan pasti dapat disembuhkan jika Tuhan berkehendak menyembuhkan. Menurut hasil penelitian Fredrickson et al. (2004), dari hasil survei yang dilakukan pada 419 responden, orangtua jarang melakukan penolakan terhadap imunisasi. Beberapa orangtua yang menolak terhadap imunisasi alasannya adalah karena takut efek samping vaksin yang mereka dengar dari media massa, dari mulut ke mulut (tetangga), sebanyak 52%. Alasan keagamaan 28%, filosofis 26% dan karena mempunyai persepsi bahwa penyakit tersebut tidak berbahaya 26%, serta karena sentimen dan anti pemerintah 8%. Yang tidak menolak imunisasi

6 18 tetapi kurang yakin dengan imunisasi, biasanya berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter/perawat yang akan memberikan imunisasi. Berdasarkan penelitian Loji (2011) yang dilakukan di Papua, masyarakat tidak mau mengimunisasikan anaknya karena beberapa faktor, antara lain tempat tinggal yang jauh dari pelayanan imunisasi, pada saatnya diimunisasi cuaca hujan atau anak sedang sakit, masyarakat belum mengetahui manfaat imunisasi, serta tidak mendapat pemberitahuan jadwal imunisasi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ojakaa et al.(2011) tentang persepsi masyarakat terhadap malaria dan vaksin malaria di daerah endemis di Kenya, menunjukkan bahwa masyarakat mempunyai persepsi bahwa penyakit malaria merupakan masalah yang serius yang tidak ada alat untuk memusnahkan, sehingga pada umumnya mereka menerima rencana penggunaan vaksin untuk mencegah penyakit malaria, tetapi mereka memiliki kekhawatiran terhadap akses pelayanan dan kualitas vaksin. Bahkan, beberapa ibu yang kondisi ekonominya kurang bagus mempunyai kekhawatiran juga terhadap biaya imunisasi, keterbatasan sumber daya petugas kesehatan dan manfaat imunisasi. Dengan berdasar beberapa hal tersebut mereka sulit untuk memutuskan anak mereka akan diimunisasi atau tidak. Keputusan mereka seringkali dipengaruhi oleh tokoh-tokoh masyarakat maupun petugas kesehatan. Beberapa teori tersebut di atas dapat memperkuat bahwa persepsi setiap orang terhadap stimulus yang sama bisa berbeda-beda tergantung cara individu menginterpretasikan stimulus yang diterima. Demikian juga halnya dengan imunisasi campak yang selama ini sudah dianggap sebagai hal yang normatif yang harus diterima oleh semua balita untuk mendapatkan kekebalan terhadap penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, khususnya campak, namun oleh sebagian individu hal tersebut belum tentu dapat diterima dengan mudah. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan yang ada, dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut bagaimanakah persepsi masyarakat di Desa Sukoharjo Ngaglik Sleman terhadap imunisasi campak?

7 19 C. Tujuan penelitian Tujuan dari penelitian ini untuk memperoleh gambaran secara mendalam mengenai persepsi masyarakat terhadap imunisasi campak. Secara lebih terinci tujuan penelitian adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui persepsi masyarakat tentang imunisasi campak 2. Untuk mengetahui persepsi masyarakat tentang penyakit campak 3. Untuk mengetahui tindakan masyarakat mengenai pencegahan penyakit campak D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan / pemikiran kepada pengambil kebijakan, program imunisasi di daerah dan pelaksanaan promosi kesehatan, serta menambah kepustakaan akademis, antara lain : 1. Memberikan sumbangan pemikiran kepada Kementerian Kesehatan dalam kebijakan pemberian imunisasi campak 2. Memberikan masukan kepada program imunisasi, tentang cara meningkatkan imunisasi di masyarakat 3. Memberikan masukan kepada program promosi kesehatan, tentang cara memotivasi masyarakat agar bersedia mengimunisasikan anaknya. 4. Memberikan pengalaman bagi peneliti serta menambah kepustakaan akademis yang bermanfaat bagi mahasiswa dan institusi. 5. Memberikan informasi tambahan bagi peneliti lain, guna penelitian lebih lanjut atau sebagai bahan perbandingan dengan permasalahan dan topik yang serupa. E. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai persepsi masyarakat terhadap imunisasi campak dan penanggulangan campak, sepengetahuan peneliti, di Daerah Istimewa Yogyakarta belum pernah dilakukan lewat metode kualitatif. Beberapa penelitian yang sudah

8 20 dilakukan adalah penelitian secara kuantitatif. Beberapa penelitian yang menyerupai dan sudah dilakukan oleh peneliti lain, antara lain adalah: 1. Faktor-faktor risiko kejadian penyakit campak pada anak balita di Kabupaten Toli-Toli Provinsi Sulawesi Tengah, (Suardiyasa, 2008). Hasilnya menunjukkan anak yang belum pernah menderita penyakit campak akan meningkatkan risiko terjadinya penyakit campak sebesar 18,266 kali dibandingkan dengan anak yang sudah pernah menderita penyakit campak. Persamaan dengan penelitian ini adalah tentang penyakit campak. Perbedaannya, jenis penelitian analitik observasional, rancangan penelitian case control dan populasi sampelnya adalah balita dengan gejala campak. Anak yang status imunisasinya tidak lengkap berisiko menderita penyakit campak sebesar 22,9 kali dibandingkan dengan anak yang status imunisasinya lengkap. Status imunisasi berpengaruh paling besar terhadap kejadian penyakit campak. 2. Hubungan antara status imunisasi campak dengan kejadian campak pada anak usia kurang dari 5 tahun saat peristiwa KLB campak di Desa Pageragung Kecamatan Pageragung, Kabupaten Tasikmalaya diteliti oleh Duski pada tahun Persamaan dengan penelitian ini imunisasi campak dan kejadian penyakit campak. Perbedaannya, metode penelitiannya kohort yang dimulai dari keterpaparan. Hasil penelitian menunjukkan, anak yang tidak diimunisasi campak 3,2 kali lebih besar berisiko menderita campak dibandingkan dengan anak yang mendapatkan imunisasi. 3. Faktor risiko utama yang dapat menimbulkan kejadian penyakit campak pada anak umur 9 bulan 6 tahun pada saat KLB di Kabupaten Bogor yang diteliti oleh Siregar pada tahun 2003, menggunakan rancangan penelitian kasus kontrol dan menemukan bahwa faktor risiko utama yang menimbulkan kejadian penyakit campak adalah tidak diimunisasi (OR = 46,06, 95 % CI; 22,00-96,24), p < 0,05. Perbedaan dengan penelitian ini adalah metode kuantitatif. Persamaannya adalah penelitian tentang penyakit campak. 4. Mariati pada tahun 2012 meneliti hubungan antara status imunisasi dan ketepatan imunisasi campak dengan kejadian penyakit campak di Kabupaten

9 21 Banyumas. Persamaan penelitian, meneliti imunisasi campak dan penyakit campak, sedangkan perbedaannya adalah metode yang digunakan kuantitatif observational analitik dengan pendekatan case control study dengan hasil bahwa balita yang tidak mendapat imunisasi campak mempunyai risiko 2,77 kali terserang campak dibandingkan dengan yang mendapat imunisasi. 5. Analisis faktor risiko ketidaklengkapan imunisasi bayi di Kecamatan Tirtomoyo Kabupaten Wonogiri diteliti Rois tahun Persamaan penelitiannya adalah tentang imunisasi pada bayi, perbedaannya penelitian dilakukan dengan mix method, yaitu jenis penelitian observasional dengan rancangan cross sectional. Menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan ketidaklengkapan imunisasi bayi dan mendapatkan gambaran pelayanan imunisasi yang diterima oleh ibu yang mempunyai anak sebagai pengguna imunisasi. Hasilnya adalah jarak pelayanan > 0,5 km, pengetahuan ibu di bawah rata-rata dan keanggotaan organisasi sosial merupakan faktor risiko ketidaklengkapan imunisasi bayi. Organisasi sosial di desa, seperti selapanan, merupakan media komunikasi yang sangat baik, mendorong perilaku ibu untuk mengimunisasikan anaknya. Pengelolaan pelayanan imunisasi di puskesmas yang kurang baik menyebabkan pelayanan imunisasi tidak berhasil menjangkau seluruh sasaran 6. Qualitative Analysis of Mother s Decision-Making about Vaccines for Infants: The Importance of Trust diteliti oleh Andrea et al., tahun Tujuan penelitian untuk mengetahui pengambilan keputusan pemberian imunisasi pada bayi oleh para ibu yang baru melahirkan di rumah sakit Yale New York. Persamaannya adalah topik tentang imunisasi dan jenis penelitiannya kualitatif deskriptif. Perbedaannya adalah tujuan dari penelitian Andrea et al. untuk mengetahui pengambilan keputusan pemberian imunisasi pada bayi oleh ibu, anak yang dilahirkan akan diberi imunisasi atau tidak. Hasil penelitian tersebut menunjukkan 75% ibu menyatakan setuju anaknya diimunisasi karena tidak ingin menyimpang dari norma dan budaya yang sudah ada serta ingin mematuhi aturan yang ada. Sebanyak 25% ibu menunda

10 22 pemberian imunisasi pada bayinya atau menolak anaknya diimunisasi karena mempunyai persepsi yang kurang yakin bahwa vaksin dapat mencegah penyakit serta khawatir terhadap efek samping vaksin.