BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang dikuasai oleh pohon-pohon yang menempati suatu tempat dimana terdapat hubungan timbal balik antara tumbuhan tersebut dengan lingkungannya. Pepohonan yang tinggi sebagai komponen dasar dari hutan memegang peranan penting dalam menjaga kesuburan tanah dengan menghasilkan serasah sebagai sumber hara penting bagi vegetasi hutan (Ewusie, 1990). Pohon-pohon di hutan membentuk susunan secara vertikal yang dikenal dengan istilah stratifikasi atau pelapisan tajuk. Stratifikasi yang paling dikenal adalah pada ekosistem hutan hujan tropis. Menurut Ewusie (1990), ada 5 stratum yang terdapat pada hutan hujan tropis, yaitu : 1. Stratum A, yaitu lapisan tajuk (kanopi) hutan paling atas yang dibentuk oleh pepohonan yang tingginya lebih dari 30 m. Umumnya tajuk pohon pada stratum ini lebar, tidak bersentuhan ke arah horizontal dengan tajuk pohon lainnya dalam stratum yang sama, sehingga stratum tajuk itu berbentuk lapisan diskontinu dan dapat digunakan untuk identifikasi spesies pohon dalam suatu daerah. 2. Stratum B, yaitu lapisan tajuk kedua dari atas yang dibentuk oleh pepohonan yang tingginya m. Bentuk tajuk pohon pada stratum B membulat atau memanjang dan tidak melebar seperti pada tajuk pohon di stratum A dan cenderung membentuk lapisan yang kontinu. 3. Stratum C, yaitu lapisan tajuk ketiga dari atas yang dibentuk oleh pepohonan yang tingginya 4-20 m. Pepohonan pada stratum ini mempunyai bentuk tajuk yang berubah-ubah tetapi membentuk suatu lapisan tajuk yang tebal. Selain itu, pada stratum C, pepohonan juga berasosiasi dengan berbagai populasi epifit, tumbuhan pemanjat dan parasit (Vickery, 1984 dalam Indriyanto, 2006).

2 22 4. Stratum D, yaitu lapisan tajuk keempat dari atas yang dibentuk oleh spesies tumbuhan semak dan perdu yang tingginya 1-4 m. Stratum ini ditandai oleh spesies pohon yang masih muda atau dalam fase anakan (seedling), terdapat palma-palma kecil, herba besar, dan paku-pakuan besar. 5. Stratum E, yaitu tajuk paling bawah yang dibentuk oleh spesies-spesies tumbuhan penutup tanah (ground cover) yang tingginya 0-1 m. Keanekaragaman spesies disini lebih sedikit dibandingkan dengan stratum lainnya. Kelompok tumbuhan yang ditemukan disini terdiri atas beberapa famili antara lain : Commelinaceae, Zingiberaceae, Acanthaceae, Araceae, dan Maranthaceae. Arief (1994) menambahkan tegakan hutan hujan tropis didominasi oleh pepohonan yang selalu hijau. Tajuk pohon hutan tropis sangat rapat, ditambah lagi adanya tumbuh-tumbuhan yang memanjat, menggantung, dan menempel pada dahan-dahan pohon, misalnya rotan, anggrek, dan paku-pakuan. Hal ini menyebabkan sinar matahari tidak dapat menembus tajuk hutan hingga ke lantai hutan, sehingga tidak memungkinkan bagi semak untuk berkembang di bawah naungan tajuk pohon kecuali spesies tumbuhan di bawah naungan. Ekosistem hutan hujan tropis juga memiliki kecepatan daur ulang yang sangat tinggi, sehingga semua komponen vegetasi hutan tidak mungkin kekurangan unsur hara. Jadi faktor pembatas di hutan tropis adalah cahaya, dan itu pun hanya berlaku bagi bagi tetumbuhan yang terletak di lapisan bawah. Tumbuhan herba dan semak yang ada dalam hutan adalah spesies-spesies yang telah beradaptasi secara baik untuk tumbuh di bawah naungan pohon (Vickery, 1984 dalam Indriyanto, 2006). 2.2 Keanekaragaman vegetasi Vegetasi yaitu kumpulan dari beberapa jenis tumbuhan yang tumbuh bersamasama pada suatu tempat dimana antara individu-individu penyusunnya terdapat interaksi yang erat, baik diantara tumbuh-tumbuhan, maupun hewan-hewan yang hidup dalam vegetasi lingkungan tersebut. Vegetasi tidak hanya kumpulan dari individu-individu tumbuhan melainkan membentuk suatu kesatuan dimana

3 23 individu-individunya saling tergantung satu sama lain, yang disebut sebagai suatu komunitas tumbuh-tumbuhan (Soerianegara dan Indrawan 1978). Menurut Arief (1994), hutan hujan bawah Sumatera dan Kalimantan, banyak dijumpai spesies pohon anggota dari famili Dipterocarpaceae terutama anggota genus Shorea, Dipterocarpus, Hopea, Vatica, Dryobalanops, dan Cotylelobium, sehingga hutan hujan bawah disebut juga hutan Dipterocarps. Selain famili Dipterocarpaceae, terdapat juga beberapa famili lain diantaranya Lauraceae, Myrtaceae, Myristiceae, dan Ebenaceae, serta pohon-pohon anggota genus Agathi, Kompasia, dan Dyera. Ekosistem hutan hujan bawah di Jawa dan Nusa Tenggara terdapat spesies anggota genus Altingea, Bischofia, Castanopsis, Ficus, dan Gassampinus, serta spesies-spesies pohon dari famili Leguminosae. Vegetasi campuran seperti spesies pohon Palagium spp, Pometia pinnata, Intsia spp, Diospyros spp, Koordersiodendron pinnatum, dan Canarium spp. dominan di ekosistem hutan hujan bawah daerah Sulawesi, Maluku, dan Irian Jaya. Tumbuhan merambat yang banyak dijumpai di hutan hujan bawah adalah anggota famili Apocynaceae, Araceae, dan berbagai spesies rotan (Calamus sp.). Ekosistem hutan hujan tengah yang terdapat di sebahagian Indonesia Timur, Aceh dan Sumatera Utara didominasi oleh genus Quercus, Castanopsis, Nothofagus, dan spesies pohon anggota famili Magnoliaceae. Daerah Aceh dan Sumatera Utara, ekosistem hutan hujan tengah tipe ekosistemnya agak khas dimana terdapat spesies pohon Pinus merkusii, dan di Jawa Tengah terdapat spesies pohon Albizzia montana dan Anaphalis javanica. Sementara di Jawa Timur terdapat spesies pohon Cassuarina spp. Tumbuhan famili Dipterocarpaceae hanya terdapat pada daerah dengan ketinggian 1200 mdpl (Soerianegara dan Indrawan, 1978). 2.3 Analisis Komunitas Tumbuhan Analisis komunitas tumbuhan merupakan suatu cara mempelajari susunan atau komposisi jenis dan bentuk atau sruktur vegetasi. Satuan vegetasi dalam ekologi hutan yang dipelajari berupa komunitas tumbuhan yang merupakan asosiasi konkret dari semua spesies tumbuhan yang menempati suatu habitat. Oleh

4 24 karena itu, tujuan yang ingin dicapai dalam analisis komunitas adalah mengetahui komposisi spesies dan struktur komunitas pada suatu wilayah yang dipelajari (Indriyanto, 2006). Struktur komunitas tumbuhan memiliki sifat kualitatif dan kuantitati (Gopal dan Bhardwaj, 1979 dalam Indriyanto, 2006). Deskripsi struktur komunitas tumbuhan dapat dilakukan secara kualitatif dengan parameter kualitatif atau secara kuantitatif dengan parameter kuantitatif. Ada beberapa parameter kualitatif dalam analisis komunitas tumbuhan yaitu: 1. Fisiognomi, adalah penampakan luar dari suatu komunitas tumbuhan yang dapat dideskripsikan berdasarkan kepada penampakan spesies tumbuhan dominan, penampakan tinggi tumbuhan, dan warna tumbuhan yang tampak oleh mata. 2. Fenologi, adalah perwujudan spesies pada setiap fase dalam siklus hidupnya. Bentuk dari tumbuhan berubah-ubah sesuai dengan umurnya, sehingga spesies yang sama dengan tingkat umur yang berbeda akan membentuk struktur komunitas yang berbeda. Spesies yang berbeda pasti memiliki fenologi yang berbeda, sehingga perbedaan keanekaragaman spesies dalam komunitas tumbuhan menimbulkan perbedaan struktur antara komunitas yang satu dengan yang lainnya. 3. Periodisitas, adalah kejadian musiman dari berbagai proses dalam kehidupan tumbuhan. Kejadian musiman pada tumbuhan dapat ditunjukkan oleh perwujudan bentuk daun dan ukurannya, masa pembungaan, masa bertunas, dan peluruhan buah atau biji. 4. Stratifikasi, merupakan distribusi tumbuhan dalam ruangan secara vertikal. 5. Kelimpahan, adalah parameter kualitatif yang mencerminkan distribusi relatif spesies organisme dalam komunitas. Kelimpahan pada umumnya berhubungan dengan densitas berdasarkan penaksiran kualitatif. Menurut penaksiran kualitatif, kelimpahan dapat dikelompokkan menjadi lima yaitu: sangat jarang, kadang-kadang atau jarang, sering atau tidak banyak, banyak atau berlimpahlimpah, dan sangat banyak atau sangat berlimpah.

5 25 6. Penyebaran, adalah parameter kualitataif yang menggambarkan keberadaan spesies organisme pada ruang secara horizontal. Penyebaran tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga, antara lain random, seragam, dan berkelompok. 7. Daya hidup atau vitalitas, adalah tingkat keberhasilan tumbuhan untuk hidup dan tumbuh normal, serta kemampuan untuk bereproduksi. Daya hidup akan menentukan setiap spesies organisme untuk memelihara kedudukannya dalam komunitas. 8. Bentuk pertumbuhan, adalah penggolongan tumbuhan menurut bentuk pertumbuhannya, habitat, atau menurut karakteristik lainnya. Bentuk pertumbuhan yang umum dan mudah disebut misalnya pohon, semak, perdu, herba, dan liana. Parameter kuantitatif dalam analisis komunitas tumbuhan meliputi : 1. Densitas, adalah jumlah individu per unit luas atau per unit volume atau dengan kata lain, densitas merupakan jumlah individu organisme per satuan ruang. Kerapatan sering digunakan untuk kepentingan analisis komunitas tumbuhan yang memiliki makna yang sama dengan densitas. 2. Frekuensi, digunakan untuk menyatakan proporsi antara jumlah sampel yang berisi suatu spesies tertentu terhadap jumlah total sampel. Frekuensi spesies tumbuhan adalah jumlah petak contoh tempat ditemukannya suatu spesies dari sejumlah petak contoh yang dibuat. 3. Luas penutupan (coverage), adalah proporsi antara luas tempat yang ditutupi oleh spesies tumbuhan dengan luas total habitat. Luas penutupan dapat dinyatakan dengan menggunakan luas penutupan tajuk ataupun luas bidang dasar (luas basal area). Beberapa penulis menggunakan istilah dominansi untuk menyatakan luas penutupan suatu spesies tumbuhan karena parameter tersebut merupakan bagian dari parameter yang digunakan untuk menunjukkan spesies tumbuhan yang dominan dalam suatu komunitas. 4. Indeks nilai penting (importance value index), adalah parameter kuantitatif yang dapat dipakai untuk menyatakan tingkat dominansi (tingkat penguasaan) spesies-spesies dalam suatu komunitas tumbuhan. Spesies-spesies yang dominan dalam suatu komunitas tumbuhan akan memiliki indeks nilai penting

6 26 yang tinggi, sehingga spesies yang paling dominan tentu saja memiliki nilai indeks nilai penting paling besar (Soegianto, 1994 dalam Indriyanto, 2006). 5. SDR (Summed Dominance Ratio) atau perbandingan nilai penting, adalah parameter yang identik dengan indeks nilai penting. Oleh karena itu, SDR juga dipakai untuk menyatakan tingkat dominansi spesies-spesies dalam suatu komunitas tumbuhan. 6. Indeks dominansi (index of dominance), adalah parameter yang menyatakan tingkat terpusatnya dominansi spesies dalam suatu komunitas 7. Indeks keanekaragaman. Keanekaragaman spesies dapat diperkirakan dengan menggunakan 3 rumus berikut yaitu indeks Shannon, indeks Margalef, dan indeks Simpson. 8. Indeks kesamaan (index of similarity), kadang-kadang diperlukan untuk mengetahui tingkat kesamaan antara beberapa tegakan, antara beberapa unit sampling atau antara beberapa komunitas yang dipelajari dan dibandingkan komposisi dan struktur komunitasnya. 9. Homogenitas suatu komunitas. Homogen tidaknya suatu komunitas tumbuhan dapat ditentukan dengan menggunakan Hukum Frekuensi (laws of frequency). Frekuensi dapat menunjukkan homogenitas dan penyebaran dari individu-individu spesies dalam komunitas. Menurut Raunkiaer (1934) dalam Indriyanto (2006) untuk mengetahui homogenitas suatu komunitas, nilai frekuensi tiap spesies dikelompokkan ke dalam lima kelas sebagai berikut : a. Kelas A, yaitu spesies-spesies yang mempunyai frekuensi 1-20 % b. Kelas B, yaitu spesies-spesies yang mempunyai frekuensi % c. Kelas C, yaitu spesies-spesies yang mempunyai frekuensi % d. Kelas D, yaitu spesies-spesies yang mempunyai frekuensi % e. Kelas E, yaitu spesies-spesies yang mempunyai frekuensi % Berdasarkan hukum frekuensi Raunkiaer tersebut dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : a. Jika A >B >C > = < D < E, maka spesies-spesies yang menyusun komunitas tumbuhan berdistribusi normal.

7 27 b. Jika E > D, sedangkan A, B, dan C rendah, maka kondisi komunitas tumbuhan homogen. c. Jika E < D, sedangkan A, B, dan C rendah, maka kondisi komunitas tumbuhan terganggu. d. Jika B, C, dan D tinggi, maka kondisi komunitas tumbuhan heterogen (Indriyanto, 2006) 2.4 Produktivitas buah di hutan Tropis Menurut Wich et al. (2011) pola produktivitas buah pada hakikatnya bervariasi diantara hutan tropis. Beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan produktivitas buah diantara benua, tempat dan diantara tipe hutan. Adanya variasi ini dipengaruhi oleh sejumlah faktor antara lain zat hara, curah hujan, perbedaan letak berdasarkan posisi garis lintang, ketinggian, dan radiasi matahari. Perbedaan karakteristik dalam produktivitas buah ini akan mempengaruhi organisme di dalamnya seperti ekologi dari hewan vertebrata, evolusinya, dan biogeografi. Penelitian Reynolds-Hogland etal. (2006) dan Greenberg et al. (2007) menemukan produktivitas buah lebih tinggi pada hutan yang umurnya lebih muda. Penelitian produktivitas tersebut berdasarkan hasil panen dari beberapa tipe hutan, termasuk tumbuhan yang terdapat di daerah pegunungan. Penelitian Greenberg et al. (2012) yang membandingkan produktivitas buah di lima tipe hutan juga menunjukkan adanya perbedaan diantara kelima tipe hutan tersebut. Adapun kelima tipe hutan yang dianalisis dalam penelitian ini meliputi hutan tua yang terdapat di daerah pegunungan, hutan di daerah yang datar, hutan yang didominasi oleh tumbuhan Pinus taeda, daerah penanaman tumbuhan Pinus palustris dan daerah penanaman benih pinus. Hasilnya menunjukkan rata-rata produksi buah pertahun paling tinggi ditemukan di daerah penanaman benih pinus, diikuti hutan daerah datar, daerah pegunungan, dan sedikit di daerah yang didominasi oleh tumbuhan Pinus taeda serta daerah penanaman Pinus palustris. Adanya perbedaan produktivitas buah diantara ke lima tipe hutan di tersebut menurut Greenberg et al. (2012) disebabkan oleh perbedaan waktu berbuah di antara jenis-jenis tumbuhan yang terdapat dalam hutan tersebut serta adanya

8 28 kecenderungan variasi spatial dalam produktivitas buah oleh spesies-spesies tertentu. Anwar et al. (1984) menyatakan setiap komunitas pohon menunjukkan pola produksi yang jelas. Hutan Ulu Gombak di Semenanjung Malaya menghasilkan daun-daun baru dua kali setahun dengan puncak utama pada bulan Maret sampai Juni (setelah masa-masa paling kering setiap tahun). Produksi daun yang paling rendah terjadi pada bulan Oktober sampai bulan Desember yaitu pada saat mulai masa-masa basah sampai paling basah setiap tahun. Pembungaan paling banyak terjadi sesudah masa paling kering setiap tahun, yaitu dari bulan Maret sampai bulan Juli, sehingga tidak mengherankan puncak pembuahan terjadi dari bulan Agustus sampai September, sebelum musim terbasah setiap tahun. Pembungaan berbagai pohon-pohon hutan dataran rendah dimulai dengan adanya kekurangan air. Persentase pohon-pohon yang berbuah lebih tinggi daripada pohon-pohon yang berbunga disebabkan oleh karena untuk menjadi matang, buah membutuhkan waktu yang lebih lama daripada waktu yang dibutuhkan bunga menjadi buah. Pola-pola curah hujan di kebanyakan daerah di Sumatera bagian utara sangat mirip dengan yang terdapat di Ulu Gombak, sehingga siklus pembungaan dan pembuahan diduga hampir serupa. Namun di bagian selatan Sumatera, dimana bulan-bulan paling kering biasanya terjadi pada Juni/Juli siklus tersebut rupanya akan sesuai dengan keadaan iklim tersebut. Produktivitas buah yang dihasilkan suatu tumbuhan di daerah tropis sering tidak teratur. Kebanyakan spesies pola produktivitasnya tidak dapat diprediksikan (Fenner, 1998). Milton (1991) menemukan keempat jenis Ficus (Ficus insipida, Ficusyoponensis, Ficus obtusifolia dan Ficus costaricana) menghasilkan buah sepanjang tahun. Penelitian Chapman et al. (1999) di dua tempat dari Taman Nasional Kibale, Uganda (Kanyawara dan Ngogo) mendapatkan pola produktivitas buah yang dihasilkan dikelompokkan menjadi beberapa tipe berdasarkan pengelompokan yang dilakukan oleh Newstrom et al. (1994) antara lain subannual, annual, supra-annual, irreguler dan kontinyu. Jenis Leptoyichiamildbraedii (Famili Malvaceae) termasuk kelompok subannual di

9 29 daerah Ngogo, sedangkan di Kanyawara dikelompokkan sebagai tumbuhan annual. Tanaman Bosqueia phoberos (Moraceae) memiliki frekuensi berbuah yang tidak teratur sehingga masuk dalam kelompok irreguler baik di Kanyawara maupun di Ngogo. Adanya perbedaaan pola produktivitas buah di kedua tempat tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain ketinggian tempat, curah hujan serta komposisi spesies diantara keduanya (Chapman et al. 1999). Vegetasi penyusun hutan pegunungan di Borneo (Gunung Kinabalu) memiliki pola produktivitas buah yang sedikit berbeda dengan penelitian Chapman et al. (1999). Berdasarkan frekuensi pembungaan dan durasi berbuah Kimura (1996) mendapatkan 6 pola produktivitas buah yang dihasilkan di Gunung Kinabalu meliputi kontinyu, biannual, annual, annual (hanya berbuah), tanpa reproduksi dan lain-lain (termasuk spesies yang berbunga tapi tidak berbuah). Hasil penelitian Kimura (1996) selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.1. berikut ini: Tabel 2.1. Jumlah buah masak yang dihasilkan di tiga lokasi Gunung Kinabalu Pola frekuensi berbuah Lokasi N c a2 a1 a1/fr nr 0 PAKA PHQ PORING c = kontinyu, a2 = biannual, a1 = annual, a1/fr= annual (hanya berbuah), nr = tidak bereproduksi,0 = lain lain (termasuk spesies yang berbunga tanpa berbuah),n = jumlah individu yang diamati Berdasarkan Tabel 2.1. terlihat hutan pegunungan di lokasi PAKA ditandai sedikit periode gagal berbuah, sedangkan di PHQ (dataran rendah) ditandai dengan tingginya masa gagal berbuah. Daerah berbukit (PORING) memiliki pola peralihan diantara PAKA dan PHQ. 2.5 Metode pengukuran produktivitas buah Berdasarkan penelitian Chapman et al. (1992) ada 3 metode yang digunakan dalam menentukan kelimpahan buah di hutan tropis yaitu: 1. Diameter setinggi dada.

10 30 Diameter pohon setinggi dada (DBH) merupakan indikator ukuran pohon, yang diasumsikan dapat mencerminkan kemampuan pohon untuk menghasilkan buah. 2. Volume tajuk. Ketinggian tajuk diukur dengan menggunakan klinometer dan bentuk tajuk ditentukan salah satu dari lima kategori : hemisphere, sphere, elliptical hemisphere, elliptical sphere, dan cone (kerucut). Rumus volumetrik yang tepat digunakan untuk memperkirakan volume dari masing-masing bentuk tersebut. 3. Perhitungan secara Visual. Umumnya, butuh sekitar lima menit untuk membuat perkiraan secara visual. Namun, untuk pohon-pohon besar di mana kanopi itu dikaburkan oleh pohon understory, perkiraan bisa memakan waktu lebih lama. Penelitian Chapman et al. (1994) berikutnya mengukur hubungan antara kelimpahan buah dengan luasnya habitat di hutan tropis dengan menggunakan 3 metoda yang berbeda yaitu perangkap buah, jejak buah dan fenologi. Hasilnya menunjukkan estimasi kelimpahan buah berdasarkan jejak buah tidak berkorelasi dengan dua metode lainnya. Mereka berkesimpulan metode yang dapat digunakan untuk menentukan luas habitat dan kelimpahan buah tergantung pada keakuratan dari metode serta ketersediaan waktu. Keakuratan dari metode akan tampak jika studi tentang daerah jelajah (home range) dari hewan tertentu diikutkan dalam peneltian ini. Berbeda dengan Parado-Roselli (2006) yang mengukur produktivitas buah dengan menggunakan metode perangkap buah dan metode survei kanopi dalam bentuk plot. Hasilnya menunjukkan Jumlah spesies berbuah yang berasal dari survei plot kanopi adalah nyata lebih tinggi daripada yang diperoleh melalui perangkap buah, sementara 62 spesies buah yang dicatat melalui plot kanopi, hanya 28 yang tercatat saat menggunakan perangkapbuah. Hasil penelitian Parado-Roselli et al. (2006) secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 2.2 berikut ini:

11 31 Tabel 2.2 Jumlah spesies yang berbuah dan massa buah (Kg ha -1 ) berdasarkan metode perangkap buah dan survei plot dari Desember 1999 Juni 2000 Metode sampling Survei plot kanopi Perangkap buah Semua tahap pohon Tumbuhan Semua tahap pohon Tumbuhan pertumbuhan pemanjat pertumbuhan pemanjat & epifit Total yang tidak berbuah & epifit 2 Spesies yang tidak berbuah Total massa berbuah (kg ha - 1) 46 (74,2%) 463,1 (100%) 29 (46,8%) 444,6 (96,0%) 17 (27,4%) 18,5 (4,0%) 12 (42,9%) 228,5 (100%) = termasuk 8 morpho-spesies yang tidak ditentukan 12 (42,9%) 220,6 (96,5%) 0 (0%) 7,9 (3,5%) Mereka berpendapat data yang diperoleh berdasarkan metode perangkap buah kurang akurat dibandingkan dengan metode plot kanopi dalam menentukan pola pembuahan. Hal ini disebabkan metode perangkap buah tidak dapat mendeteksi kebanyakan epifit dan liana yang menjadi makanan bagi hewan terutama saat proses belajar mencari makan (Morellato dan Leitao-filho, 1996). Metoda perangkap buah dapat digunakan untuk bagian tertentu dari penelitian seperti ketersediaan buah bagi hewan frugivor darat, dan jarak penyebaran biji. 2.6 Fenologi Fenologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang tahap-tahap yang dialami organisme secara berkala dalam siklus hidupnya. Umumnya fenologi berkaitan dengan fase vegetatif dan generatif suatu organisme seperti pembungaan dan pembuahan pada suatu spesies tumbuhan. Fenologi tumbuhan melibatkan waktu, durasi dan kelimpahan dari kejadian yang berulang dari fenomena biologi, termasuk di dalamnya seperti peristiwa pembungaan, pembuahan, penyebaran biji, dan perkecambahan (Bustamante dan Burquez, 2008).

12 32 Menurut Zhao et al. (2013) fenologi tumbuhan diatur oleh 2 faktor yaitu : 1. Faktor intrinsik dari tumbuhan tersebut seperti genom, usia, dan evolusi dalam suatu komunitas tumbuhan yang berasosiasi dengan faktor biotik diantaranya aktivitas fotosintesis, penyerapan nutrien, dan mekanisme metabolisme. 2. Faktor lingkungan antara lain kompetisi, sumber makanan yang terbatas, stres, respirasi, dan faktor usia. Secara umum, sebagian variasi dalam fenologi tumbuhan terutama spesies pohon dibatasi oleh suhu rendah pada garis lintang yang tinggi dan defisit air yang menjadi ciri khas dari daerah gurun (Beaubien dan freeland, 2000; Moser et al. 2010; Visser et al. 2010; Wilczek et al. 2010). Namun demikian peranan fotoperiodisme juga sangat besar bagi spesies pohon-pohon tertentu yang terletak pada garis lintang sedang dan tinggi (Borchert dan Rivera, 2001). Sebagian para ahli juga berpendapat bahwa selain temperatur dan fotoperiodisme, hujan, penyinaran, konsentrasi nutrien tanah dapat mempengaruhi pembungaan. Variasi curah hujan dan ketersediaan air tanah pada hutan tropis dan gurun juga telah dianggap sebagai faktor abiotik utama yang mempengaruhi pola fenologi pada tumbuhan (Bustamante dan Burquez, 2008). Berdasarkan hasil percobaan yang dilakukan oleh Sherry et al. (2007)menemukan bahwa suhu mengubah dari fase reproduksi tunas, berbunga, dan berbuah di musim dingin pada tanaman annual dan perenial. Hal ini terlihat dari lima tumbuhan annual dalam penelitian ini, tiga menunjukkan siklus hidup lebih pendek dan dua tidak berubah. Sedangkan untuk tanaman perenial enam tanaman di bawah kondisi yang sama, tiga siklus hidup yang lebih panjang, satu lebih pendek, dan dua tidak berubah. Meskipun dalam beberapa kasus, fenologi penampilan tunas tidak berubah, tetapi tahap tunas itu berkepanjangan, menunda berbuah dan berbunga. Fitter dan Fitter (2002) melaporkan bahwa suhu di bulan sebelum berbunga berkorelasi dengan waktu berbunga. Merekamenemukan bahwa hampir 60%spesies dalam studi mereka yang berbunga pada Januari-April dipengaruhi

13 33 oleh suhu dua bulan sebelum berbunga dan spesies yang berbunga di musim panas, suhu 4 bulan sebelumnya adalah penting. Fenologi pembungaan adalah sifat kritis reproduksi tanaman karena menentukan jumlah calon pasangan dan dapat menyediakan mekanisme untuk isolasi reproduksi atau spesiasi dari waktu ke waktu. Bunga juga menyediakan sumber makanan penting bagi penyerbuk dan pengunjung lainnya, menyebabkan studi fenologi pembungaan dapat dikaji dari segi ekologi dan evolusi secara signifikan. Secara perspektif ekologi, termasuk di dalamnya (a) kompetisi potensial untuk penyerbuk jika salah satu spesies tumpang tindih dalam waktu berbunga dengan yang lain, (b) konsekuensi berbunga individu pada awal, pertengahan, atau akhir periode pembungaan suatu populasi, dan (c) konsekuensi dari perbedaan fenologi untuk produksi benih. Berdasarkan perspektif evolusi, fenologi terkait dengan urutan berbunga dalam komunitas dan isolasi reproduksi spesies berpotensi interfertile (Inouye et al. 2003). Menurut Tooke dan Battey (2010)pada tumbuhan, waktu berbunga diatur oleh suatu mekanisme yang bertindak untuk memastikan bahwa munculnya bunga terjadi pada kondisi yang cocok. Proses pembungaan di daerah beriklim sedang selaras dengan musim melalui faktor lingkungan, terutama fotoperiodisme dan suhu. Faktor ini juga berlaku untuk induksi bunga dan juga signal terhadap dormansi. Adanya pembungaan dari tumbuhan pada musim yang berbeda menunjukkan jangka waktu yang berbeda selama berbuah. Pembentukan buah terus berlanjut sampai 2-3 bulan setelah puncak waktu berbunga pada spesies yang berbeda. Namun waktu yang dibutuhkan untuk pematangan buah juga bervariasi pada tiap spesies. Tanaman Shorea yang berbunga pada musim dingin memiliki masa phenophase berbuah selama 3-4 bulan. Sementara pada tanaman Dyospyros yang berbunga di musim panas sebelum datangnya hujan menunjukkan masa phenophase berbuah paling lama yaitu sekitar 11 bulan. Umumnya sebagian besar tumbuhan, buah jatuh selama 2-3 bulan terakhir dari masa phenophase berbuah, kecuali Bungur 6 bulan. Buah biasanya jatuh semua

14 34 pada bulan April-juni, dua bulan sebelum hujan dimulai lagi (Singh dan Kushwaha, 2006). Tumbuhan tropika yang mengalami kekerapan berbunga 2 kali dalam setahun, masa pembungaan yang pertama lebih lama dibandingkan yang kedua. Masa berbunga yang lebih lama itu dari segi fisiologi dianggap sebagai pembungaan pertama spesies itu dalam setahun. Keadaan ini disebabkan karena masa berbunga yang lebih lama itu harus disertai adanya persediaan energi yang lebih besar, yang mungkin terjadi selama musim hujan. Hal inilah yang menyebabkan mengapa pembungaan seperti itu berlangsung pada awal musim kering (Ewusie, 1990). Hasil penelitian Bawa et al. (2003) di La Selva Costa Rica menunjukkan, banyak spesies tumbuhan yang berbunga selama beberapa waktu dalam setahun dan adanya waktu pembungaan yang bervariasi dari tahun ke tahun. Frekuensi pembungaan di La Selva, secara annual dan episodik lebih melimpah dibandingkan secara supra annual dan kontinyu dengan tingkat persentase secara berturut turut 42,3 %, 37, 3 %, 14,1 % dan 6,2 %. Frekuensi pembungaan menurut mereka berkaitan erat dengan phylogeni. Hal ini terlihat dari penelitian mereka kebanyakan spesies dari famili Moraceae berbunga secara episodik (76,9 %), Lauraceae secara annual (75 %) dan Rubiaceae secara kontinyu (4 %). Thomas dan Lafrankie (1993) mengemukakan pendapat yang berbeda. Penelitian mereka terhadap tumbuhan dioecious dari famili Euphorbiaceae di hutan hujan tropis Malaysia menemukan adanya korelasi antara frekuensi pembungaan dengan diameter batang serta jenis kelamin bunga tersebut. Selama 2 tahun penelitian, mereka mendapatkan genus Aporusa berbunga 2 kali terutama individu individu yang berukuran lebih besar. Berbeda dengan Baccaureaparviflora yang memiliki frekuensi berbunga yang sama walaupun diameter batang berbeda. Bunga jantan jenis Baccaurea parviflora dan Aporusamicrostachya secara signifikan lebih sering berbunga dibandingkan bunga betinanya

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hutan merupakan salah satu pusat keanekaragaman jenis tumbuhan yang belum banyak diketahui dan perlu terus untuk dikaji. Di kawasan hutan terdapat komunitas tumbuhan yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taman Nasional Way Kambas Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan lindung. Pendirian kawasan pelestarian alam Way Kambas dimulai sejak tahun 1936

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang dikuasai oleh pohon-pohon yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang dikuasai oleh pohon-pohon yang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang dikuasai oleh pohon-pohon yang menempati suatu tempat dimana terdapat hubungan timbal balik antara tumbuhan tersebut dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. Hutan Hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang dikuasai oleh pohonpohon yang menempati suatu tempat di mana terdapat hubungan timbal balik antara tumbuhan tersebut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hujan Tropis Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya,

Lebih terperinci

BAB II HUTAN SEBAGAI EKOSISTEM

BAB II HUTAN SEBAGAI EKOSISTEM SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN TEKNIK PRODUKSI HASIL HUTAN BAB II HUTAN SEBAGAI EKOSISTEM Dr. Wahyu Surakusuma, M.Si KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tumbuhan Herba Herba adalah semua tumbuhan yang tingginya sampai dua meter, kecuali permudaan pohon atau seedling, sapling dan tumbuhan tingkat rendah biasanya banyak ditemukan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 2.1 Hutan Tropika Dataran Rendah BAB II TINJAUAN PUSTAKA Di dalam Undang Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dijelaskan bahwa hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. Adapun yang membedakannya dengan hutan yang lainnya yaitu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut UU RI No.41 Tahun 1999, hutan merupakan sumberdaya alam

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut UU RI No.41 Tahun 1999, hutan merupakan sumberdaya alam II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Menurut UU RI No.41 Tahun 1999, hutan merupakan sumberdaya alam berupa suatu ekosistem. Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Tentang Struktur Vegetasi Struktur vegetasi merupakan komponen penyusun vegetasi itu sendiri. Struktur vegetasi disusun oleh tumbuh-tumbuhan baik berupa pohon, pancang,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Hutan merupakan suatu wilayah yang ditumbuhi pepohonan, juga termasuk tumbuhan kecil lainnya seperti lumut, paku-pakuan semak belukar, dan herba. Pohon yang paling dominan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari pemanfaatan yang tidak banyak mempengaruhi kondisi ekosistem hutan sampai kepada

BAB I PENDAHULUAN. dari pemanfaatan yang tidak banyak mempengaruhi kondisi ekosistem hutan sampai kepada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan semakin banyak dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia seiring dengan perkembangan zaman. Pemanfaatan hutan biasanya sangat bervariasi, mulai dari

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. rekreasi alam, yang mempunyai fungsi sebagai: Kawasan perlindungan sistem penyangga kehidupan.

TINJAUAN PUSTAKA. rekreasi alam, yang mempunyai fungsi sebagai: Kawasan perlindungan sistem penyangga kehidupan. TINJAUAN PUSTAKA Taman Nasional Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. fungsi pokok sebagai hutan konservasi yaitu kawasan pelestarian alam untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. fungsi pokok sebagai hutan konservasi yaitu kawasan pelestarian alam untuk 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman Taman Hutan Raya (Tahura) adalah hutan yang ditetapkan pemerintah dengan fungsi pokok sebagai hutan konservasi yaitu kawasan pelestarian alam

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci

GEOGRAFI REGIONAL ASIA VEGETASI ASIA PENGAJAR DEWI SUSILONINGTYAS DEP GEOGRAFI FMIPA UI

GEOGRAFI REGIONAL ASIA VEGETASI ASIA PENGAJAR DEWI SUSILONINGTYAS DEP GEOGRAFI FMIPA UI GEOGRAFI REGIONAL ASIA VEGETASI ASIA PENGAJAR DEWI SUSILONINGTYAS DEP GEOGRAFI FMIPA UI Selamat Pagi, Semoga hari ini menjadi hari yang menyenangkan DTI_09 VEGETASI ASIA Iklim merupakan faktor utama yang

Lebih terperinci

Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak

Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak Vol. 2 (1): 1 6 Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak Gustap Baloari 1, Riza Linda 1, Mukarlina 1 1 Program Studi Biologi, Fakultas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. biologi lingkungan karena ekologi menekankan bagaimana fakto-faktor luar

TINJAUAN PUSTAKA. biologi lingkungan karena ekologi menekankan bagaimana fakto-faktor luar TINJAUAN PUSTAKA Ekologi Sundawati (2004) menyatakan bahwa ekologi sering disebut sebagai biologi lingkungan karena ekologi menekankan bagaimana fakto-faktor luar mempengaruhi organisme. Lingkungan adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hutan dapat dipandang sebagai suatu sistem ekologi atau ekosistem yang sangat. berguna bagi manusia (Soerianegara dan Indrawan. 2005).

I. PENDAHULUAN. hutan dapat dipandang sebagai suatu sistem ekologi atau ekosistem yang sangat. berguna bagi manusia (Soerianegara dan Indrawan. 2005). I. PENDAHULUAN Hutan adalah masyarakat tetumbuhan dan hewan yang hidup di lapisan permukaan tanah yang terletak pada suatu kawasan, serta membentuk suatu kesatuan ekosistem yang berada dalam keseimbangan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Tristaniopsis merguensis Griff.

TINJAUAN PUSTAKA. Tristaniopsis merguensis Griff. 3 TINJAUAN PUSTAKA Tristaniopsis merguensis Griff. 1) Nomenklatur dan Nama lokal. T. merguensis pertama kali dideskripsikan oleh Griffit pada tahun 1812 dengan spesimen yang berasal dari Burma (Hooker

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Propinsi Sumatera Utara, dan secara geografis terletak antara 98 o o 30 Bujur

II. TINJAUAN PUSTAKA. Propinsi Sumatera Utara, dan secara geografis terletak antara 98 o o 30 Bujur II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi Lokasi a. Letak dan Luas Taman Wisata Alam (TWA) Sicike-cike secara administratif berada di Dusun Pancur Nauli Desa Lae Hole, Kecamatan Parbuluan, Kabupaten Dairi Propinsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli ` I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli dan dikelola dengan sistem zonasi. Kawasan ini dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia dan kawasan konservasi memiliki korelasi yang kuat. Suatu kawasan konservasi memiliki fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial sedangkan manusia memiliki peran

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Jati (Tectona grandis Linn. f) Jati (Tectona grandis Linn. f) termasuk kelompok tumbuhan yang dapat menggugurkan daunnya sebagaimana mekanisme pengendalian diri terhadap

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Intensitas cahaya dan penutupan tajuk Cahaya digunakan oleh tanaman untuk proses fotosintesis. Semakin baik proses fotosintesis, semakin baik pula pertumbuhan tanaman (Omon

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura 12 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura Wan Abdul Rachman yang memiliki luasan 1.143 ha. Secara geografis terletak

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif, dengan objek penelitian tumbuhan mangrove di Pantai Bama hingga Dermaga Lama, Taman Nasional Baluran, Jawa

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ekologi perilaku ayam hutan hijau (Gallus varius) dilaksanakan di hutan musim Tanjung Gelap dan savana Semenanjung Prapat Agung kawasan Taman

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hutan bukan hanya sekumpulan individu pohon, tetapi sebagai masyarakat tumbuhan yang kompleks, terdiri atas pepohonan, semak, tumbuhan bawah, jasad renik tanah, dan hewan.

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2015 bertempat di kawasan sistem

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2015 bertempat di kawasan sistem III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2015 bertempat di kawasan sistem agroforestry Register 39 Datar Setuju KPHL Batutegi Kabupaten Tanggamus. 3.2 Objek

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas,

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas, 16 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas, Resort Way Kanan, Satuan Pengelolaan Taman Nasional 1 Way Kanan,

Lebih terperinci

EKOLOGI TANAMAN. Pokok Bahasan II KONSEP EKOLOGI (1)

EKOLOGI TANAMAN. Pokok Bahasan II KONSEP EKOLOGI (1) EKOLOGI TANAMAN Pokok Bahasan II KONSEP EKOLOGI (1) Pokok Bahasan II KONSEP EKOLOGI 2.1. Ekosistem 2.2. Proses Produksi dan Dekomposisi 2.3. Konsep Homeostatis 2.4. Energi dalam Ekosistem 2.4.1. Rantai

Lebih terperinci

PENGARUH ELEVASI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN KUALITAS KAYU MUHDI. Program Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

PENGARUH ELEVASI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN KUALITAS KAYU MUHDI. Program Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara PENGARUH ELEVASI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN KUALITAS KAYU MUHDI Program Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara I. PENDAHULUAN Laju pertumbuhan pohon dan macam pohon apa yang tumbuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Serangga merupakan bagian dari keanekaragaman hayati yang harus dijaga kelestariannya dari kepunahan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Serangga merupakan bagian dari keanekaragaman hayati yang harus dijaga kelestariannya dari kepunahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Serangga merupakan bagian dari keanekaragaman hayati yang harus dijaga kelestariannya dari kepunahan maupun penurunan ragam jenisnya. Serangga memiliki beberapa

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa

METODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa 19 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa Cugung, KPHL Gunung Rajabasa, Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Hujan Tropis Hutan hujan tropika merupakan jenis nabatah yang paling subur. Hutan jenis ini terdapat di wilayah tropika atau di dekat wilayah tropika bumi ini yang menerima

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar

BAB I PENDAHULUAN. Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar peranannya dalam Pembangunan Nasional, kurang lebih 70% dari luas daratan berupa hutan. Hutan sangat

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Pegunungan Hutan pegunungan adalah hutan yang tumbuh di daerah ketinggian di atas 1.000 meter di atas permukaan air laut. Daerah pegunungan ini sangat dipengaruhi oleh

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tanaman kecil lainnya seperti, lumut, semak belukar, herba dan paku-pakuan.

TINJAUAN PUSTAKA. tanaman kecil lainnya seperti, lumut, semak belukar, herba dan paku-pakuan. TINJAUAN PUSTAKA Hutan Hutan adalah suatu wilayah yang ditumbuhi pepohonan, juga termasuk tanaman kecil lainnya seperti, lumut, semak belukar, herba dan paku-pakuan. Pohon merupakan bagian yang dominan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kawasan secara umum merupakan permukaan tanah atau air yang sederhana

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kawasan secara umum merupakan permukaan tanah atau air yang sederhana 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kawasan Utara Danau Limboto Kawasan secara umum merupakan permukaan tanah atau air yang sederhana luasnya tetapi lebih besar dari situs. Kawasan adalah istilah yang digunakan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hutan merupakan kumpulan pepohonan yang tumbuh rapat beserta tumbuh tumbuhan memanjat yang berperan sangat penting bagi kehidupan. Kerapatan hutan disebabkan oleh adanya

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terfokus di Desa Tompobulu dan kawasan hutan sekitarnya. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Biomassa

II. TINJAUAN PUSTAKA Biomassa 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Biomassa Biomassa merupakan bahan organik dalam vegetasi yang masih hidup maupun yang sudah mati, misalnya pada pohon (daun, ranting, cabang, dan batang utama) dan biomassa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kelestarian fungsi danau. Mengingat ekosistem danau memiliki multi fungsi dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kelestarian fungsi danau. Mengingat ekosistem danau memiliki multi fungsi dan 6 2.1 Kawasan Timur Danau Limboto BAB II TINJAUAN PUSTAKA Kawasan danau mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi danau. Mengingat ekosistem danau memiliki multi fungsi dan manfaat,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pohon merbau darat telah diklasifikasikan secara taksonomi sebagai berikut

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pohon merbau darat telah diklasifikasikan secara taksonomi sebagai berikut 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Merbau Darat 1. Deskripsi Ciri Pohon Pohon merbau darat telah diklasifikasikan secara taksonomi sebagai berikut (Martawijaya dkk., 2005). Regnum Subregnum Divisi Kelas Famili

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hujan Tropika Hutan adalah masyarakat tumbuh-tumbuhan yang dikuasai pohon-pohon dan mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda dengan keadaan di luar hutan (Soerianegara

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat 2.2 Komunitas Burung

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat 2.2 Komunitas Burung 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat Habitat adalah kawasan yang terdiri dari berbagai komponen baik fisik maupun biotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. inventarisasi adalah kegiatan untuk mengumpulkan data tentang jenis-jenis tumbuhan bawah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. inventarisasi adalah kegiatan untuk mengumpulkan data tentang jenis-jenis tumbuhan bawah BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Inventarisasi Inventarisasi adalah kegiatan pengumpulan dan penyusunan data dan fakta mengenai sumber daya alam untuk perencanaan pengelolaan sumber daya tersebut. Kegiatan

Lebih terperinci

Toleransi di bidang kehutanan berbeda dengan toleransi secara umum. Toleransi secara umum mengacu khusus pada ketahanan terhadap stres lingkungan

Toleransi di bidang kehutanan berbeda dengan toleransi secara umum. Toleransi secara umum mengacu khusus pada ketahanan terhadap stres lingkungan TOLERANSI POHON Toleransi di bidang kehutanan berbeda dengan toleransi secara umum. Toleransi secara umum mengacu khusus pada ketahanan terhadap stres lingkungan Air, keasaman, salinitas, dingin, panas

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan bersifat deskriptif kuantitatif. Pengamatan

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan bersifat deskriptif kuantitatif. Pengamatan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Jenis penelitian yang digunakan bersifat deskriptif kuantitatif. Pengamatan ini mengunakan metode petak. Metode petak merupakan metode yang paling umum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Menurut Suhartini (2009, h.1)

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Menurut Suhartini (2009, h.1) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia terletak di daerah beriklim tropis sehingga memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Menurut Suhartini (2009, h.1) Indonesia menjadi salah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam suatu komunitas atau ekosistem tertentu (Indriyanto, 2006). Relung ekologi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam suatu komunitas atau ekosistem tertentu (Indriyanto, 2006). Relung ekologi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Relung Ekologi Relung (niche) menunjukkan peranan fungsional dan posisi suatu organisme dalam suatu komunitas atau ekosistem tertentu (Indriyanto, 2006). Relung ekologi juga

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di tiga padang golf yaitu Cibodas Golf Park dengan koordinat 6 0 44 18.34 LS dan 107 0 00 13.49 BT pada ketinggian 1339 m di

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pada tumbuhan lain yang lebih besar dan tinggi untuk mendapatkan cahaya

II. TINJAUAN PUSTAKA. pada tumbuhan lain yang lebih besar dan tinggi untuk mendapatkan cahaya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Liana Liana merupakan tumbuhan yang berakar pada tanah, tetapi batangnya membutuhkan penopang dari tumbuhan lain agar dapat menjulang dan daunnya memperoleh cahaya

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah Kecamatan Sukarame Kota Bandar Lampung (Gambar 2) pada bulan Juli sampai dengan

Lebih terperinci

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang. berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang. berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini II. TINJAIJAN PliSTAKA Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Taman Wisata Alam II. TINJAUAN PUSTAKA Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam, kawasan suaka alam terdiri dari kawasan cagar alam

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan 23 III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan Hutan Lindung Batutegi Blok Kali Jernih (Gambar 3), bekerjasama dan di bawah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Vegetasi Hutan Hutan merupakan ekosistem alamiah yang sangat kompleks mengandung berbagai spesies tumbuhan yang tumbuh rapat mulai dari jenis tumbuhan yang kecil hingga berukuran

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Revegetasi di Lahan Bekas Tambang Setiadi (2006) menyatakan bahwa model revegetasi dalam rehabilitasi lahan yang terdegradasi terdiri dari beberapa model antara lain restorasi

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rumput Rumput dapat dikatakan sebagai salah satu tumbuh-tumbuhan darat yang paling berhasil dan terdapat dalam semua tipe tempat tumbuh dan pada bermacam-macam keadaan. Bentuk

Lebih terperinci

Individu Populasi Komunitas Ekosistem Biosfer

Individu Populasi Komunitas Ekosistem Biosfer Ekosistem adalah kesatuan interaksi antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Ekosistem juga dapat diartikan sebagai hubungan timbal balik yang komplek antara organisme dengan lingkungannya. Ilmu yang

Lebih terperinci

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian BAB III METODELOGI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit, SPTN Wilayah II, Taman Nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS.

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe ekosistem hutan yang sangat produktif dan memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi. Kawasan ini terletak di

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Rukmana (1997), sistematika tanaman jagung (Zea mays L.) adalah sebagai

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Rukmana (1997), sistematika tanaman jagung (Zea mays L.) adalah sebagai TINJAUAN PUSTAKA Ekologi Tanaman Jagung berikut : Menurut Rukmana (1997), sistematika tanaman jagung (Zea mays L.) adalah sebagai Kingdom Divisi Subdivisi Kelas Ordo Famili Genus : Plantae : Spermatophyta

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi lahan pertanian (Hairiah dan Rahayu 2007). dekomposisi oleh bakteri dan mikroba yang juga melepaskan CO 2 ke atmosfer.

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi lahan pertanian (Hairiah dan Rahayu 2007). dekomposisi oleh bakteri dan mikroba yang juga melepaskan CO 2 ke atmosfer. TINJAUAN PUSTAKA Perubahan Iklim Perubahan iklim global yang terjadi akhir-akhir ini disebabkan karena terganggunya keseimbangan energi antara bumi dan atmosfer. Keseimbangan tersebut dipengaruhi antara

Lebih terperinci

ASAS- ASAS DAN KONSEP KONSEP TENTANG ORGANISASI PADA TARAF KOMUNITAS

ASAS- ASAS DAN KONSEP KONSEP TENTANG ORGANISASI PADA TARAF KOMUNITAS KOMUNITAS ASAS- ASAS DAN KONSEP KONSEP TENTANG ORGANISASI PADA TARAF KOMUNITAS KONSEP KOMUNITAS BIOTIK Komunitas biotik adalah kumpulan populasi yang menempati suatu habitat dan terorganisasi sedemikian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang dipengaruhi sifat-sifat

BAB I PENDAHULUAN. arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang dipengaruhi sifat-sifat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesisir merupakan daerah pertemuan antara darat dan laut. Wilayah pesisir menuju ke arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang dipengaruhi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 13 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Variabel yang diamati pada penelitian ini adalah diameter pangkal, diameter setinggi dada (dbh), tinggi total, tinggi bebas cabang, tinggi tajuk, panjang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di dua tempat yaitu pengambilan data di lapangan dilakukan di sempadan muara Kali Lamong dan Pulau Galang, serta pengolahan

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. membentuk bagian-bagian tubuhnya. Dengan demikian perubahan akumulasi biomassa

TINJAUAN PUSTAKA. membentuk bagian-bagian tubuhnya. Dengan demikian perubahan akumulasi biomassa TINJAUAN PUSTAKA Produksi Biomassa dan Karbon Tanaman selama masa hidupnya membentuk biomassa yang digunakan untuk membentuk bagian-bagian tubuhnya. Dengan demikian perubahan akumulasi biomassa dengan

Lebih terperinci

Tim Dosen Biologi FTP Universitas Brawijaya

Tim Dosen Biologi FTP Universitas Brawijaya Tim Dosen Biologi FTP Universitas Brawijaya 1. Faktor Genetik : Faktor dalam yang sifatnya turun temurun + 2. Faktor lingkungan: - Tanah - Air - Lingkungan - udara (iklim) Iklim-------- sifat/peradaban

Lebih terperinci

5/4/2015. Tim Dosen Biologi FTP Universitas Brawijaya

5/4/2015. Tim Dosen Biologi FTP Universitas Brawijaya Tim Dosen Biologi FTP Universitas Brawijaya 1. Faktor Genetik : Faktor dalam yang sifatnya turun temurun + 2. Faktor lingkungan: - Tanah - Air - Lingkungan - udara (iklim) Iklim-------- sifat/peradaban

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di

PENDAHULUAN. Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di Indonesia. Hutan rawa gambut mempunyai karakteristik turnbuhan maupun hewan yang khas yaitu komunitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai sumber daya alam untuk keperluan sesuai kebutuhan hidupnya. 1 Dalam suatu

BAB I PENDAHULUAN. sebagai sumber daya alam untuk keperluan sesuai kebutuhan hidupnya. 1 Dalam suatu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Organisme atau makhluk hidup apapun dan dimanapun mereka berada tidak akan dapat hidup sendiri. Kelangsungan hidup suatu organisme akan bergantung kepada organisme lain

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian tentang Perkembangan Tegakan Pada Hutan Alam Produksi Dalam Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) dilaksanakan di areal

Lebih terperinci

STRUKTUR VEGETASI. Boy Andreas Marpaung / DKK-002

STRUKTUR VEGETASI. Boy Andreas Marpaung / DKK-002 STRUKTUR VEGETASI Boy Andreas Marpaung / DKK-002 andre.marp@yahoo.com Pemahaman tentang struktur vegetasi penting dalam kegiatan penelitian ekologi hutan. Kesalahan identifikasi struktur akan menyebabkan

Lebih terperinci

EKOSISTEM. Yuni wibowo

EKOSISTEM. Yuni wibowo EKOSISTEM Yuni wibowo EKOSISTEM Hubungan Trofik dalam Ekosistem Hubungan trofik menentukan lintasan aliran energi dan siklus kimia suatu ekosistem Produsen primer meliputi tumbuhan, alga, dan banyak spesies

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 28 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Komposisi dan Struktur Tegakan 5.1.1. Komposisi Jenis Komposisi jenis merupakan salah satu faktor yang dapat digunakan untuk mengetahui proses suksesi yang sedang berlangsung

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistematika dan Botani Tanaman Jagung Manis Tanaman jagung manis termasuk dalam keluarga rumput-rumputan dengan spesies Zea mays saccharata Sturt. Dalam Rukmana (2010), secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Lumut kerak merupakan salah satu anggota dari tumbuhan tingkat rendah yang mana belum mendapatkan perhatian yang maksimal seperti anggota yang lainnya. Organisme

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Keragaman Vegetasi Mangrove Dari hasil pengamatan yang dilakukan pada 20 plot yang masing-masing petak ukur 5x5 m, 10x10 m dan 20x20 m diketahui bahwa vegetasi mangrove

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Lichenes yang lazim dikenal dengan nama lumut kerak merupakan jenis tumbuhan yang belum banyak diketahui oleh sebagian orang. Dan sesungguhnya berbeda dari

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Pembangunan hutan tanaman bertujuan untuk meningkatkan. produktivitas lahan yang kurang produktif, meningkatkan kualitas lingkungan

PENDAHULUAN. Pembangunan hutan tanaman bertujuan untuk meningkatkan. produktivitas lahan yang kurang produktif, meningkatkan kualitas lingkungan A B I B PENDAHULUAN Pembangunan hutan tanaman bertujuan untuk meningkatkan produktivitas lahan yang kurang produktif, meningkatkan kualitas lingkungan hidup serta menjamin tersedianya secara lestari bahan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-ekologi Ungko (Hylobates agilis) dan Siamang (Symphalangus syndactylus) 2.1.1 Klasifikasi Ungko (Hylobates agilis) dan siamang (Symphalangus syndactylus) merupakan jenis

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN KERAPATAN EDELWEIS (Anaphalis javanica) DIGUNUNG BATOK TAMAN NASIONAL BROMO TENGGER SEMERU DIDIK WAHYUDI

DISTRIBUSI DAN KERAPATAN EDELWEIS (Anaphalis javanica) DIGUNUNG BATOK TAMAN NASIONAL BROMO TENGGER SEMERU DIDIK WAHYUDI DISTRIBUSI DAN KERAPATAN EDELWEIS (Anaphalis javanica) DIGUNUNG BATOK TAMAN NASIONAL BROMO TENGGER SEMERU DIDIK WAHYUDI ABSTRAK Gunung Batok merupakan satu diantara gunung-gunung di Taman Nasional Bromo

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hutan merupakan kumpulan pepohonan yang tumbuh rapat beserta tumbuh tumbuhan memanjat dengan bunga yang beraneka warna yang berperan sangat penting bagi kehidupan di bumi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anggapan ini terbentuk berdasarkan observasi para ahli akan keanekaragamannya

BAB I PENDAHULUAN. Anggapan ini terbentuk berdasarkan observasi para ahli akan keanekaragamannya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hutan tropis adalah maha karya kekayaaan species terbesar di dunia. Anggapan ini terbentuk berdasarkan observasi para ahli akan keanekaragamannya flora dan faunanya.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hujan Tropis Hutan adalah masyarakat tumbuh-tumbuhan yang dikuasai pohon-pohon dan mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda dengan keadaan di luar hutan (Soerianegara

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biodiversitas ( Biodiversity

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biodiversitas ( Biodiversity II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biodiversitas (Biodiversity) Biodiversitas atau keanekaragaman hayati adalah berbagai macam bentuk kehidupan, peranan ekologi yang dimilikinya dan keanekaragaman plasma nutfah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi tegas, kering, berwarna terang segar bertepung. Lembab-berdaging jenis

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi tegas, kering, berwarna terang segar bertepung. Lembab-berdaging jenis 16 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Ada 2 tipe akar ubi jalar yaitu akar penyerap hara di dalam tanah dan akar lumbung atau umbi. Menurut Sonhaji (2007) akar penyerap hara berfungsi untuk menyerap unsur-unsur

Lebih terperinci

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.1

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.1 SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.1 1. Akar tumbuhan selalu tumbuh ke bawah. Hal ini dipengaruhi oleh... Cahaya matahari Tekanan udara

Lebih terperinci

BAB V. PENGARUH EKOLOGIS RAGAM TEMPORAL RADIASI MATAHARI

BAB V. PENGARUH EKOLOGIS RAGAM TEMPORAL RADIASI MATAHARI BAB V. PENGARUH EKOLOGIS RAGAM TEMPORAL RADIASI MATAHARI A. Pendahuluan Ketahanan hidup suatu organisme dalam suatu ekosistem ditentukan oleh baik faktor lingkungan fisik maupun faktor organisme lain yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tumbuhan paku (Pteridophyta) merupakan salah satu golongan tumbuhan yang hampir dapat dijumpai pada setiap wilayah di Indonesia. Tumbuhan paku dikelompokkan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove adalah suatu lingkungan yang memiliki ciri khusus yaitu lantai hutannya selalu digenangi air, dimana air tersebut sangat dipengaruhi oleh pasang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. bumi, namun demikian keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya sangat

BAB I PENDAHULUAN UKDW. bumi, namun demikian keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya sangat BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan Tropis di dunia, walaupun luas daratannya hanya 1.32% dari luas daratan di permukaan bumi, namun demikian

Lebih terperinci

II.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun

II.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun II.TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun demikian burung adalah satwa yang dapat ditemui dimana saja sehingga keberadaanya sangat sulit dipisahkan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hutan dapat diberi batasan sesuai dengan sudut pandang masing-masing pakar. Misalnya dari sisi ekologi dan biologi, bahwa hutan adalah komunitas hidup yang terdiri dari

Lebih terperinci