BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang"

Transkripsi

1 BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Pencitraan tomografi seismik didefinisikan sebagai suatu rekonstruksi struktur kecepatan dari observasi besaran fisis (waktu tiba gelombang atau bentuk gelombang (waveform)) yang merepresentasikan efek dari penjalaran suatu bentuk radiasi melalui benda yang diamati. Teknik pencitraan tomografi seismik mulai dikembangkan sejak pertengahan tahun 1970-an. Publikasi pertama tentang tomografi seismik ditulis oleh Aki dan Lee (1976). Sejak itu berbagai tulisan tentang tomografi seismik banyak bermunculan oleh karena keandalan metode ini dalam mendeliniasi struktur 3-D interior bumi (Widiyantoro, 2008). Penelitian tentang struktur 3-D mantel bumi di Indonesia telah dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu, seperti oleh Fukao dkk. (1992), Puspito dkk. (1993), Puspito dan Shimazaki (1995), Widiyantoro dan Van der Hilst (1996), dan Widiyantoro (1997). Studi tomografi menggunakan waktu tempuh gelombang S dan struktur 3D di bawah busur Sunda oleh Widiyantoro dan Puspito (1998) menunjukkan bahwa slab litosfer menembus mantel bumi bagian bawah di bawah busur Sunda, tetapi ada indikasi bahwa slab mantel bagian bawah dan mantel bagian atas kemungkinan terputus di bawah Sumatera dan slab mantel atas menyempit di bawah Jawa. Selain penelitian tomografi skala regional, penelitian tomografi skala lokal telah dilakukan di wilayah Jawa. Penelitian tomografi struktur kecepatan gelombang seismik di wilayah Jawa Barat dilakukan oleh Nugraha dkk. (2013) dengan menggunakan tomografi nonlinier di Gunung Guntur. Mereka menafsirkan bahwa Vp rendah, Vs rendah dan Vp/Vs tinggi di bawah kawah Guntur dan kaldera Gandapura pada interval kedalaman 1-6 km berhubungan dengan struktur berpori berisi batuan leleh (a melt-filled pore rock). Vp rendah, Vs rendah dan Vp/Vs rendah dibawah kaldera Kamojang pada interval kedalaman 3-6 km mungkin berhubungan dengan batu berpori yang mengandung H2O dengan aspek rasio tinggi (lihat Priyono et al., 2011a dan 2011b). 1

2 Kulakov dkk. (2007) melakukan tomografi struktur kecepatan gelombang P dan S kerak bumi dan mantel bagian atas di Jawa bagian tengah. Hasil penelitian Koulakov dkk. (2007) diantaranya menyimpulkan hasil relokasi sumber gempa dengan jelas menunjukkan bentuk zona subduksi di bawah Jawa bagian tengah. Sudut penunjaman slab terhadap kedalaman meningkat secara bertahap dari hampir horisontal hingga sekitar 70 derajat. Selain itu hasil menarik dan penting lainnya adalah teramatinya zona seismik ganda pada kedalaman antara 80 km dan 150 km. Fitur yang paling mencolok dari model struktur kecepatan gelombang P dan S yang dihasilkan adalah adanya anomali kecepatan rendah yang sangat kuat yang dikenal sebagai Merapi-Lawu Anomali (MLA) pada interval kedalaman 5 km hingga 45 km. Nilai Vp/Vs pada zona MLA lebih dari 1,9 (Koulakov dkk., 2007). Ini menunjukkan kemungkinan adanya kandungan fluida yang tinggi dan kemungkinan adanya partial melting dalam lapisan tersebut. Pada mantel bagian atas teramati anomali kecepatan rendah yang menghubungkan kluster kegempaan pada kedalaman 100 km dengan MLA. Anomali ini mungkin mencerminkan migrasi fluida yang dilepaskan dari slab. Penelitian tomografi serupa oleh Wagner dkk. (2007) menggunakan gabungan data gempa aktif dan pasif di wilayah Jawa bagian tengah, dari citra tomografi yang dihasilkan mengindikasikan adanya anomali kecepatan rendah yang kuat (-30%) di lapisan kerak belakang busur utara (backarc) dari gunungapi aktif di Jawa bagian tengah. Akurasi dalam penentuan hiposenter gempa bumi ditentukan oleh beberapa faktor, seperti geometri jaringan, fase gelombang yang ada, akurasi pembacaan waktu tiba dan model struktur kecepatan (Pavlis, 1986). Selain itu, hasil penentuan lokasi hiposenter gempa bumi biasanya mengandung kesalahan terkait struktur kecepatan yang tidak termodelkan. Struktur kecepatan hasil tomografi waktu tunda (delay time) belum memanfaatkan perkembangan teknik relokasi gempa bumi menggunakan WCC yang bertujuan tidak hanya meningkatkan akurasi lokasi absolut tetapi juga akurasi lokasi relatifnya. Oleh karena itu untuk mengatasi masalah akurasi penentuan hiposenter dan struktur kecepatan yang tidak termodelkan dikembangkan teknik relokasi hiposenter yang akurat menggunakan metode double-difference (hypodd). 2

3 Metode relokasi gempa bumi hypodd pertama kali kemukakan Waldhauser dan Ellsworth (2000) yang melakukan inversi lokasi hiposenter dari suatu klaster gempa bumi, sehingga metode ini merupakan metode penentuan lokasi hiposenter relatif. Metode double-difference (DD) melakukan identifikasi stasiun dan setiap pasangan gempa bumi untuk membuat koreksi waktu tiba dari suatu stasiun. Teknik relokasi ini menggunakan baik data katalog gempa bumi maupun data WCC. Pengembangan metode DD pada saat ini tidak hanya digunakan untuk relokasi hiposenter tetapi juga untuk mendapatkan struktur kecepatan atau yang dikenal dengan tomografi double-difference (tomodd). Gempa bumi Yogyakarta 26 Mei 2006 merupakan gempa bumi tektonik yang mengguncang kuat terutama di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menentukan hiposenter berada di 8,03 LS dan 110,32 BT pada kedalaman 11.3 km dan magnitudo 5,9 Mb. Bencana gempa bumi Yogyakarta ini menimbulkan banyak korban jiwa dan harta benda. Oleh karena itu diperlukan tindakan mitigasi bencana sebagai sebuah usaha mereduksi jumlah korban akibat bencana gempa bumi. Salah satu pendekatan yang diperlukan dalam mitigasi bencana gempa bumi dan tsunami adalah dengan mengetahui struktur interior bumi secara terperinci (Widiyantoro, 2008). Informasi struktur yang terperinci dan posisi hiposenter yang akurat sangat diperlukan dalam analisis prediktabilitas gempa bumi karena lokasi rawan gempa bumi dapat diperkirakan dengan baik (Widiyantoro, 2008). Struktur bumi hasil model tomografi memberikan kebaruan dalam memahami proses yang terjadi di dalam bumi. Hasil penelitian pada akhir-akhir ini menunjukkan pencitraan geotomografi menjadi teknik penting dalam mempelajari struktur interior bumi yang dapat menerangkan antara lain fenomena gempa bumi, tsunami dan lumpur panas (Widiyantoro, 2008). 1.2 Rumusan Masalah Penelitian tomografi seismik regional bertujuan untuk mencitrakan struktur kecepatan pada skala regional, sedangkan penelitian tomografi lokal bertujuan mencitrakan strukrur kecepatan pada skala yang lebih kecil. Penelitian tomografi 3

4 lokal terdahulu belum menunjukkan struktur kecepatan di wilayah Jawa bagian tengah bagian barat dan struktur pada kedalaman lebih dari 80 km sehingga belum teridentifikasi subduksi slab di bawah Jawa bagian tengah. Oleh karena itu, masih terbuka ruang penelitian untuk meningkatkan pencitraan struktur kecepatan gelombang seismik di wilayah ini. 1.3 Batasan Masalah Batasan masalah dalam penelitian ini adalah relokasi hiposenter dan pencitraan struktur 3-D kecepatan gelombang seismik di Jawa bagian tengah dari gabungan data gempa bumi yang terekam oleh jaringan seismograf MERAMEX dan BMKG dengan menggunakan metode tomodd. Metode tomodd lokal menggunakan koordinat kartesian dan telah dilengkapi koreksi kelengkungan bumi. 1.4 Asumsi Metode double-difference didasarkan pada asumsi bahwa jika terdapat perbedaan jarak antara dua hiposenter yang sangat kecil dibandingkan dengan jarak antara kedua hiposenter tersebut terhadap stasiun dan kedua hiposenter berada pada skala heterogenitas kecepatan yang sama maka pola sinar gelombang dari kedua hiposenter tersebut dianggap identik. 1.5 Hipotesis Pencitraan struktur kecepatan gelombang seismik dengan menguji metode tomodd dan gabungan data gempa bumi MERAMEX dan BMKG dapat mencitrakan struktur kecepatan gelombang seismik dengan lebih terperinci di wilayah Jawa bagian tengah. Selain itu, struktur kecepatan baru yang diperoleh dapat memberikan kenampakan tektonik yang belum tercitrakan pada penelitian tomografi sebelumnya. 1.6 Tujuan Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini fokus utamanya adalah mencitrakan struktur 3-D kecepatan gelombang sismik dengan terperinci dan mengetahui implikasi struktur tektonik di wilayah Jawa bagian tengah. Selain itu penelitian ini juga bertujuan meningkatkan kualitas relokasi (RMS yang lebih 4

5 kecil daripada sebelum relokasi) gempa bumi untuk keperluan penelitian kegempaan lebih lanjut. 1.7 Kebaruan Inversi tomografi menggunakan gabungan katalog data gempa bumi MERAMEX dan BMKG dengan mengunakan metode tomodd menghasilkan katalog baru relokasi gempa bumi yang akurat dan strukrur 3-D kecepatan gelombang seismik yang terperinci. Adapun kebaruan (novelty) atau kemanfaatan yang diperoleh pada penelitian ini terutama adalah katalog relokasi gempa bumi, identifikasi kenampakan tektonik yang belum ada pada penelitian terdahulu seperti anomali kecepatan rendah di bawah Cilacap-Banyumas, Kebumen (Karangsambung), identifikasi subduksi slab di bagian barat Jawa Tengah dan identifikasi bahwa dominasi aliran magma berasal dari arah selatan di bawah Merapi. Kemanfaatan bagi kerekayasaan dari penelitian ini adalah dengan mendapatkan relokasi sumber gempa bumi yang akurat dan memperoleh struktur 3-D kecepatan yang terperinci dapat menjadi masukan informasi untuk analisis proses tektonik, analisis kegempaan dan pemetaan zonasi bencana gempa bumi dalam rangka usaha mitigasi bencana gempa bumi di wilayah Jawa bagian tengah. 1.8 Sistematika Disertasi Hasil penelitian disajikan dalam naskah disertasi yang terbagi menjadi tujuh bab, dengan sistematika penulisan sebagai berikut: Bab I Pendahuluan Bab pertama menjelaskan latar belakang, rumusan masalah, batasan masalah, hipotesis, asumsi, tujuan, kebaruan, dan sistematika disertasi. Bab II Tinjauan Pustaka Pada bab kedua akan diuraikan kajian pustaka terhadap konsep geologi dan tektonik wilayah Jawa bagian tengah dan studi tomografi terdahulu. 5

6 Bab III Tomografi Seismik Pada bab ketiga akan dipaparkan pengertian dan konsep mengenai tomografi waktu tempuh, tomografi double-difference (tomodd), representasi matriks tomodd, dan metode penentuan Vp/Vs. Bab IV Pencitraan Struktur 3-D Kecepatan Gelombang Seismik Menggunakan Metode Tomografi Double-Difference Dan Katalog Data Gempa Bumi MERAMEX Di Jawa Bagian Tengah Pada bab keempat akan disajikan hasil inversi tomodd menggunakan katalog data gempa bumi MERAMEX di Jawa bagian tengah. Penyajian meliputi data dan metode, uji resolusi dan diskusi hasil yang diperoleh. Bab V Relokasi Hiposenter Gempa Bumi Di Jawa Bagian Tengah Menggunakan Inversi Tomografi Double-Difference Simultan Dan Katalog Data Gempa Bumi MERAMEX Pada bab kelima akan disajikan hasil relokasi hiposenter gempa bumi dari katalog data gempa bumi MERAMEX di Jawa bagian tengah. Relokasi hiposenter ini merupakan hasil inversi simultan antara struktur kecepatan dan relokasi hiposenter menggunakan tomodd. Pada bab ini dibahas sebaran hiposenter relokasi dan implikasi tektoniknya, seperti dengan lebih jelas teridentifikasinya zona seismik ganda. Bab VI Struktur Kecepatan Gelombang Seismik Di Jawa Bagian Tengah Menggunakan Tomografi Double-Difference Dan Inversi Gabungan Katalog Data Gempa Bumi MERAMEX dan BMKG Pada bab keenam akan dipaparkan mengenai inversi tomografi menggunakan gabungan katalog data gempa bumi MERAMEX dan BMKG. Paparan meliputi data gempa bumi, metode yang digunakan, uji resolusi, dan pada bab ini juga dipaparkan interpretasi tomogram dan implikasi tektoniknya. 6

7 Bab VII Kesimpulan dan Saran Pada bab terakhir ini disampaikan kesimpulan dan saran penelitian berdasarkan hasil kajian dan analisis yang telah dilakukan. 7

8 BAB II Tinjauan Pustaka 2.1 Geologi Dan Tektonik Jawa Bagian Tengah Gempa bumi di zona subduksi Indonesia merupakan konsekuensi dari aktivitas penunjaman lempeng India-Australia di bawah lempeng Eurasia yang relatif diam. Lempeng India-Australia diperkirakan bergerak dengan kecepatan 67±7 mm/tahun dengan arah mendekati normal terhadap palung Sunda (Tregoning dkk., 1994). Lempeng India-Australia menunjam dengan kedalaman km di bawah Pulau Jawa dan 600 km di utara Jawa. Zona Benioff pada kedalaman 100 km memiliki dip 65o berarah ke utara di bawah Jawa dan Laut Jawa dan terus menurun hingga kedalaman 650 km (Fitch 1972; Hamilton, 1979). Konsekuensi tunjaman lempeng tersebut adalah tingkat kegempaan yang tinggi (Gambar 2.1) dan terdapat lebih dari 20 gunung api aktif (van Bemmelen, 1949). Selain itu, konsekuensi kondisi tektonik memberikan empat pola busur atau jalur magmatisme yang terbentuk berupa formasi batuan empat jalur magmatisme, yaitu: Jalur vulkanisme Eosen hingga Miosen Tengah yang terwujud sebagai zona pegunungan selatan. Jalur vulkanisme Miosen atas hingga Pliosen terletak di sebelah utara jalur pegunungan selatan yang berupa intrusi lava dan batuan beku; Gambar 2.1. Distribusi episenter gempa bumi dari katalog National Earthquake Information Center (NEIC) dari Januari 1973 hingga Mei 2011 di wilayah Jawa. 8

9 Jalur vulkanisme Kuarter busur samudera terdiri atas sederetan gunung api aktif. Jalur vulkanisme Kuarter busur belakang, berupa sejumlah gunung api yang berumur kuarter yang terletak di belakang busur vulkanik aktif sekarang. Secara geologi Pulau Jawa merupakan hasil suatu proses kompleks meliputi penurunan basin, pensesaran, perlipatan dan vulkanisme di bawah pengaruh stress regime yang berbeda-beda dari waktu ke waktu. Jalur penunjaman KapurPaleosen yang ditunjukkan oleh singkapan batuan kompleks Melange Luk UloKarangsambung (Hamilton, 1979), penunjaman mempunyai arah struktur timurlaut - barat-daya yang mengarah ke arah Pegunungan Meratus di ujung tenggara Kalimantan. Dominasi pola Meratus di kawasan lepas pantai utara Jawa ditunjukkan oleh tinggian Karimunjawa, Bawean, Masalembo dan Pulau Laut. Di pulau Jawa pola Meratus ini terutama ditunjukkan oleh pola struktur batuan pra-tersier di daerah Luk Ulo, Kebumen. Pola Sunda yang berarah utara-selatan terdapat di lepas pantai utara Jawa Barat dan di daratan di bagian barat wilayah Jawa Barat. Pola Jawa yang berarah timur-barat merupakan pola yang mendominasi daratan Pulau Jawa, baik struktur sesar maupun struktur lipatan. Di Jawa Barat pola Jawa ini diwakili sesar Baribis dan sesar sungkup serta lipatan di zona Bogor. Di Jawa bagian tengah sesar sungkup dan lipatan di zona Serayu Utara dan Serayu Selatan mempunyai arah hampir barat-timur (Gambar 2.2). Di Jawa Timur pola Jawa ditunjukkan oleh sesar-sesar sungkup dan lipatan di zona Kendeng. Sebagian besar batuan tertua di Jawa berumur Pra-Tersier sampai Paleogen dan dianggap sebagai batuan dasar Pulau Jawa yang tersingkap di wilayah Jawa bagian timur. Singkapan batuan ditemukan diantaranya di kompleks Melange Luk-Ulo - Karangsambung, Kebumen-Pegunungan Jiwo, Bayat-Klaten. Untuk batuan yang lebih muda yaitu berumur neogen menurut penelitian geologi tersier berupa fenomena struktur atau tektonik yang umumnya berarah timur-barat searah dengan arah memanjang Pulau Jawa sebagai hasil interaksi lempeng dengan zona tunjaman di selatan Jawa. 9

10 Gambar 2.2. Peta wilayah penelitian dan beberapa kenampakan geologi di Jawa bagian tengah (modifikasi dari van Bemmelen, 1949). Gunung Merapi merupakan sebuah gunung api strato yang menunjukkan bukti bahwa erupsi eksplosif terjadi 7000 tahun terakhir (Newhall dkk. 2000). Namun demikian, pendapat lain meyatakan bahwa erupsi vulkanik di Gunung Merapi mulai jauh lebih awal (Camus dkk., 2000). Penelitian seismologi yang dilakukan oleh Ratdomopurbo dan Poupinet (2000) menunjukkan zona aseismik terletak di antara dua zona seismik pada kedalaman antara 1,5 dan 2,5 km di bawah puncak Merapi. Mereka berpendapat bahwa zona aseismik ini disebabkan adanya reservoar magma kecil dangkal yang mendapat suplai magma dari reservoar yang lebih dalam yang terletak di bawah kedalaman 5 km. Berdasarkan penelitian pemodelan data GPS dan tilt-meter, Beauducel dan Cornet (1999) menyimpulkan magma dalam reservoar terletak sekitar 6 km di bawah permukaan laut. Reservoar magma bagian atas seperti yang dikemukakan oleh Ratdomopurbo dan Poupinet (2000) tidak dapat dideteksi pada penelitian oleh Beauducel dan Cornet (1999). Akan tetapi hasilnya tidak menghalangi ide adanya dua reservoar karena penelitian dilakukan pada waktu yang berbeda. Pemodelan gravitasi resolusi tinggi yang dilakukan Tiede dkk. (2005) menunjukkan adanya material berdensitas tinggi yang dapat ditafsirkan sebagai reservoar magma di bawah 10

11 gunung berapi seperti : Gunung Merapi, Gunung Merbabu, dan Gunung Telomoyo. Inversi gabungan data gempa aktif dan pasif oleh Wagner dkk. (2007) mampu meningkatkan resolusi di kerak bagian atas, terutama di wilayah lepas pantai di dibandingkan dengan hanya data gempa pasif saja. Citra yang dihasilkan menunjukkan anomali kuat kecepatan rendah (-30 persen) di kerak belakang busur utara (back-arc) dari gunung api aktif. Di dalam mantel atas di bawah gunung berapi, didapatkan anomali kecepatan rendah yang cenderung bergerak ke atas menuju slab, anomali ini mungkin mencerminkan lintasan material cair (leleh) dan material partially melted di baji (wedge) mantel. Selain itu, hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa kerak di busur muka sangat heterogen. Anomali di wilayah bagian daratan terdiri atas dua blok kecepatan tinggi yang dipisahkan oleh anomali kecepatan rendah yang sempit, yang dapat diartikan sebagai zona kontak yang lemah di antara dua kerak yang rigid. Gempa bumi Yogyakarta pada 26 Mei 2006 UTC terjadi di tepi bawah zona lemah ini. Mekanisme fokus gempa bumi tersebut adalah strike slip konsisten dengan orientasi dari kontak ini. Hasil relokasi gempa bumi pada penelitian Koulakov dkk. (2007) dengan jelas menunjukkan bentuk zona subduksi di bawah Jawa bagian tengah. Sudut penunjaman slab meningkat secara bertahap dari hampir horizontal hingga sekitar 70 derajat. Selain itu, zona seismik ganda teramati pada kedalaman slab antara 80 dan 150 km. Fitur yang paling mencolok dari model P dan S yang dihasilkan adalah adanya anomali kecepatan rendah di kerak, disebelah utara dari busur vulkanik Merapi-Lawu Anomali (MLA). Estimasi nilai amplitudo anomali kecepatan menunjukkan perbedaan antara busur muka dan MLA pada kedalaman 10 km mencapai 30% pada model P dan 36% pada model S. Nilai Vp/Vs dalam MLA lebih dari 1,9. Hal ini menunjukkan adanya kandungan cairan yang tinggi dan kemungkinan adanya partial melting dalam kerak. Di mantel bagian atas teramati anomali kecepatan rendah yang menghubungkan klaster kegempaan pada kedalaman 100 km dengan MLA. Anomali ini kemungkinan mencerminkan jalan naik material leleh yang berasal dari slab. 11

12 2.2 Studi Tomografi Seismik Terdahulu Teknik pencitraan tomografi seismik dapat dibagi dua kelompok yaitu: inversi dengan menggunakan waktu tempuh gelombang seismik dan inversi bentuk gelombang (waveform). Struktur permukaan bumi (kerak dan mantel bagian atas) dapat dengan baik diperoleh melalui inversi bentuk gelombang. Inversi waktu tempuh sangat efektif untuk mendeliniasi struktur dalam (deep structure) seperti zona penunjaman lempeng (Widiyantoro dkk., 1998, Nugraha dan Mori, 2006). Pendekatan yang dilakukan pada tahap inversi dapat dilakukan dengan pendekatan linier maupun nonlinier. Kelemahan pendekatan linier adalah tidak dapat mencitrakan struktur skala kecil dengan baik. Inversi dengan pendekatan nonlinier dapat mencitrakan struktur skala dengan terperinci. Pendekatan nonlinier untuk pertama kali dikembangkan dalam pencitraan tomografi global (seluruh mantel bumi) oleh Bijwaard dan Spakman (2000), dan Widiyantoro dkk. (2000) secara independent dalam waktu yang hampir bersamaan. Tomografi waktu tunda memiliki kelemahan yang disebabkan sebaran sumber gempa bumi dan sebaran seismograf yang terpasang biasanya kurang ideal karena gempa bumi biasanya terkonsentrasi di wilayah seismik aktif saja. Oleh karena itu, penentuan posisi hiposenter gempa bumi yang berada di luar jaringan seismograf menjadi kurang akurat. Selain itu, struktur kecepatan yang dipeoroleh dari hasil tomografi waktu tunda (single-difference) belum memanfaatkan perkembangan pada bidang teknik relokasi gempa menggunakan WCC yang bertujuan meningkatkan akurasi lokasi absolut dan juga akurasi lokasi relatif sumber gempa. Gambar 2.3. (a) Struktur kecepatan di permukaan yang tidak termodelkan pada tomografi waktu tunda, (b) struktur kecepatan dipermukaan yang tidak termodelkan tereleminasi pada tomografi double-difference. 12

13 Tomografi gempa bumi lokal atau Local Earthquake Tomography (LET) menjadi bidang penelitian yang intensif pada wilayah aktif gempa bumi dimana memiliki jaringan pemantau seismik yang rapat. Algoritma tomografi lokal yang biasa belum memanfaatkan perkembangan terkini dalam bidang teknik penentuan lokasi gempa bumi yang bertujuan meningkatkan akurasi penentuan hiposenter gempa bumi. Selain itu, penentuan lokasi hiposenter gempa bumi biasanya mengandung kesalahan terkait struktur kecepatan yang tidak termodelkan (Gambar 2.3.a). Salah satu teknik relokasi yang saat ini digunakan untuk relokasi hiposenter secara akurat adalah metode double-difference (hypodd) karena mampu mereduksi kesalahan akibat struktur kecepatan yang tidak termodelkan. Teknik hypodd ini secara lengkap dilakukan menggunakan data katalog gempa bumi dan data WCC. Waldhauser dan Ellsworth (2000) mengembangkan hypodd untuk menentukan lokasi hiposenter gempa bumi yang membentuk klaster (Gambar 2.4) menggunakan algoritma DD. Relokasi hiposenter menggunakan metode DD ini telah dilakukan pada sekumpulan data gempa bumi di Hayward fault (Waldhauser dan Ellsworth, 2002). Hiposenter gempa bumi awalnya ditentukan dengan menggunakan metode penentuan hiposenter tunggal, misalnya Geiger Adaptive Dumping (GAD) atau hypoellipse. Metode penentuan hiposenter awal ini membutuhkan model kecepatan a priori. Resultan dari lokasi gempa bumi tersebut umumnya mengandung kesalahan yang berhubungan dengan struktur kecepatan yang tidak termodelkan. Keunggulan penentuan hiposenter menggunakan algoritma DD adalah dapat meningkatkan akurasi lokasi relatif dengan cara menghilangkan efek akibat struktur kecepatan yang tidak termodelkan (Gambar 2.3.b). Pengembangan metode DD selanjutnya tidak hanya digunakan untuk relokasi hiposenter tetapi sekaligus untuk mendapatkan struktur kecepatan atau yang dikenal dengan metode tomodd. Pada realisasinya inversi tomodd dapat menggunakan data waktu tempuh gelombang P dan gelombang S secara bersamaan atau hanya menggunakan gelombang P. Metode DD menggunakan perbedaan antara waktu tiba gelombang diferensial observasi dan teoretis untuk 13

14 dua buah gempa bumi. Waktu tiba diferensial observasi dapat diperoleh dengan menggunakan teknik korelasi silang waveform, sedangkan waktu tiba absolut diperoleh dari katalog gempa bumi. Inversi tomodd menggunakan waktu tiba absolut bertujuan untuk menentukan lokasi absolut selain lokasi relatif gempa bumi dan struktur kecepatan gelombang seismik secara simultan. Beberapa peneliti telah melakukan penelitian menggunakan teknik tomografi double-difference (tomodd). Aplikasi pertama kali dari metode ini dilakukan di wilayah San Andreas fault (Zhang dkk., 2003) yang menghasilkan struktur kecepatan resolusi tinggi dibandingkan dengan struktur kecepatan yang dihasilkan menggunakan teknik tomografi lain. Penelitian tomografi menggunakan metode ini mampu mencitrakan struktur Vp dan Vs secara terperinci terutama di zona subduksi dimana kegempaan terklaster disepanjang zona Wadati-Benioff (Zhang dkk., 2005; Shelly dkk., 2006; Dorbath dkk., 2008). Keberadaan noise pada data (waveform) menyebabkan pembacaan awal (picking) waktu tiba secara manual ataupun otomatis umumnya memiliki galat (Douglas dkk., 1997). Namun demikian, hasil penelitian akhir-akhir ini telah menunjukkan peningkatan subtansial pada penentuan secara presisi lokasi gempa bumi atau ledakan dengan menggunakan WCC dan teknik klastering gempa bumi. Gambar 2.4. Ilustrasi algoritma relokasi gempa bumi double-difference, lingkaran hitam dan putih menunjukkan hiposenter trial yang dihubungkan dengan gempa bumi disekitarnya dengan data korelasi silang (garis utuh) atau katalog (garis putus-putus) (Waldhauser dan Ellsworth, 2000). 14

15 Pada Gambar 2.4 ditunjukkan, misalkan ada dua gempa bumi i dan j, lokasi awal (lingkaran putih) dan vektor slowness-nya, s, dengan mengacu pada dua stasiun k dan l. Tanda panah kecil menunjukkan lintasan dari sumber ke stasiun. Tanda panah tebal (dx) mengindikasikan vektor relokasi untuk gempa bumi i dan j, dt adalah perbedaan waktu tempuh antara gempa bumi i dan j yang teramati pada stasiun k dan l. Zhang dan Thurber (2003) menyatakan tomodd menghasilkan lokasi absolut yang telah disempurnakan dengan menggunakan data relatif tanpa harus membuat asumsi tentang heterogenitas lintasan, karena metode ini menganggap lintasan yang dilalui gelombang adalah sama. Efek heterogenitas kecepatan disepanjang permukaan menuju stasiun dapat diabaikan karena tereleminasi, sehingga metode ini tidak memerlukan koreksi stasiun. TomoDD menggunakan data absolut untuk menentukan struktur kecepatan diluar lokasi sumber gempa bumi, sedangkan data diferensial digunakan untuk menentukan struktur kecepatan di sekitar sumber gempa bumi. Penggunaan data diferensial menyebabkan sebaran hiposenter relokasi lebih fokus dan struktur kecepatan lebih terperinci dan lebih tajam (Zhang dan Thurber, 2003). Kekurangan metode tomodd adalah adanya bias lokasi untuk pasangan gempa bumi yang terpisah jauh, akibat pendekatan heterogenitas kecepatan yang bersifat location independent untuk gempa-gempa berjarak dekat dan tidak berlaku untuk gempa-gempa berjarak jauh. Kekurangan lain adalah konsekuensi penggunaan data diferensial pada tomodd menyebabkan dimensi matrik yang lebih besar sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama dalam proses komputasi dibandingkan tomografi yang biasa (single difference). Selain itu tomodd yang digunakan dalam penelitian ini masih mengunakan koordinat kartesian, meskipun sudah dilengkapi dengan koreksi kelengkungan bumi. 15

16 BAB III Tomografi Seismik Tomografi seismik bertujuan mencitrakan suatu objek heterogen yang dibentuk dengan menganalisis perjalanan dari sinar gelombang yang melewati target yang dicari. Beberapa model referensi bumi (struktur kecepatan) diasumsikan, kemudian variasi dari model ini ditentukan dan biasanya dinyatakan sebagai persentase perubahan kecepatan. 3.1 Tomografi Waktu Tempuh Dalam tomografi waktu tempuh (travel time), masukan yang biasa digunakan dalam inversi adalah waktu tunda dari gelombang tersebut. Waktu tunda yang dimaksud adalah selisih antara waktu tempuh gelombang observasi dan yang dihitung pada model kecepatan bumi tertentu. Waktu tempuh observasi ditentukan dari pembacaan picking waktu tiba suatu gelombang pada seismogram. Waktu tempuh yang dihitung adalah waktu tempuh sintetik berdasarkan model kecepatan bumi yang digunakan. Waktu tempuh (Tik) antara sumber i dan stasiun pengamat k menurut Thurber (1993) dapat diformulasikan sebagai: (3.1) di mana u adalah perlambatan (slowness=1/v) dan ds adalah panjang segmen sinar seismik yang bergantung pada lokasi sumber dan hiposenter serta struktur 3-D bumi yang tidak diketahui. Dengan demikian persamaan (3.1) merupakan persamaan yang tak linier. Waktu tiba observasi (tij) dapat dituliskan sebagai: (3.2) dimana τi adalah origin time atau waktu terjadinya gempa bumi di sumber. Dalam tomografi koordinat pusat gempa bumi (x1,x2,x3), origin times, lintasan-gelombang dan slowness tidak diketahui (unknown). Parameter yang diketahui dalam inversi tomografi hanyalah lokasi stasiun dan waktu tiba observasi (Thurber, 1993). Misfit atau residual antara data observasi tikobs dengan data perhitungan waktu tiba tikcal adalah (3.3) 16

17 Nilai residual dapat dihubungkan dengan perturbasi terhadap hiposenter dan struktur kecepatan dengan sebuah persamaan linier sebagai berikut: (3.4) Jika dimasukkan komponen struktur kecepatan, maka persamaan (3.4) dapat dituliskan menjadi persamaan berikut: (3.5) dimana mn mencerminkan parameter model kecepatan sejumlah N. Turunan parsial model kecepatan Tik/ mn pada dasarnya merupakan integral garis sepanjang lintasan sinar yang mewakili hubungan setiap parameter model mn terhadap waktu tiba Tik. Penggunaan tradisional metode tomografi biasanya untuk mendapatkan struktur kecepatan 3-D dengan menggunakan parameter hiposenter awal tanpa relokasi. Pada inversi tomografi simultan, parameter hiposenter diperbarui atau direlokasi seiring dengan perubahan struktur kecepatan, persamaan inversi simultan bisa ditulis sebagai berikut: (3.6) dimana r adalah residual, A dan X adalah matriks dan vektor turunan parameter hiposenter dan perturbasinya. C dan M adalah matriks dan vektor turunan parameter kecepatan dan perturbasinya. 3.2 Tomografi double-difference (tomodd) Kelinieran yang menghubungkan ketidakcocokan antara waktu tiba observasi dan waktu tiba teoritis terhadap perturbasi hiposenter dan parameter struktur kecepatan dinyatakan pada persamaan (3.4). Ekspresi yang sama juga berlaku untuk gempa bumi ke-j, yang juga terobservasi pada stasiun (3.7) Pengurangan persamaan (3.4) dari persamaan (3.7), didapatkan: (3.8) 17

18 Dengan asumsi kedua gempa bumi tersebut berdekatan satu sama lain sehingga lintasan dari kedua gempa bumi tersebut ke stasiun tertentu dianggap identik dan asumsi bahwa struktur kecepatan diketahui, maka persamaan (3.8) dapat disederhanakan menjadi: (3.9) dimana selanjutnya disebut double-difference (Waldhauser dan Ellsworth, 2000). adalah perbedaan antara waktu tiba gelombang diferensial observasi dan kalkulasi (teoritis) untuk dua gempa bumi, sehingga dapat dituliskan sebagai: (3.10) Persamaan (3.9) dikenal sebagai algoritma lokasi gempa bumi DD (Waldhauser dan Ellsworth, 2000). Penggunaan pendekatan ini berakibat lokasi gempa bumi mungkin bias saat jarak antar gempa bumi melewati skala dari variasi kecepatan. Waldhauser dan Ellsworth (2000) menggunakan sebuah faktor pembobot jarak (distance-weighting faktor) untuk mereduksi atau mengeluarkan data dari pasangan gempa bumi yang terpisah jauh. Meskipun suatu gempa bumi dengan perbedaan waktu tiba yang besar telah disisihkan, data tersebut dapat dipakai dalam inversi sebagai pasangan menengah (intermediate pairs) (Got dkk., 1994). 3.3 Representasi Matriks Tomografi double-difference Wolfe (2002) melakukan analisis yang sangat lengkap dan lugas mengenai penggunaan operator untuk relokasi gempa bumi. Pada penelitian ini dilakukan analisis yang sama yaitu dengan menggunakan data absolut (pada lokasi dan tomografi waktu tunda), data diferensial (pada lokasi dan tomodd) dan kedua jenis data tersebut untuk menentukan lokasi gempa bumi dan struktur kecepatan. Sebagian besar notasi yang digunakan pada penulisan formulasi ini mengikuti Wolfe (2002). Misalkan sekumpulan gempa bumi p = 1,..., P, dengan Np waktu tiba untuk tiap gempa bumi. Untuk setiap individu gempa bumi, persamaan (3.4) dapat dinyatakan dalam bentuk matriks sebagai berikut: (3.11) 18

19 dimana adalah matriks parsial derivatif yang berhubungan dengan hiposenter dan waktu terjadinya gempa bumi (origin time), adalah vektor perturbasi dari lokasi gempa bumi dan waktu terjadinya gempa bumi, adalah matriks model derivatif (panjang lintasan) dari model slowness, adalah vektor perturbasi slowness dan adalah vektor residual waktu tiba. Faktor koreksi stasiun dapat ikut dituliskan yang menggambarkan keheterogenan kecepatan didekat stasiun tetapi faktor koreksi ini tidak digunakan saat inversi, sehingga persamaan dapat dituiskan sebagai: (3.12) dimana adalah vektor koreksi stasiun (nilai ini didefinisikan sebagai anomali lintasan oleh Wolfe (2002). Bentuk matriks dari tomodd selanjutnya dapat dituliskan sebagai berikut: (3.13) Operator difference mempunyai rank, karena operasi menghilangkan satu derajat kebebasan dari waktu tiba yang terobservasi di stasiun (Wolfe, 2002). Rank ini biasanya jauh lebih besar daripada jumlah parameter yang tidak diketahui, seperti: parameter hiposenter gempa bumi, waktu terjadinya gempa bumi (origin time) dan parameter model (slowness). Jika kedua matriks dan mempunyai kolom rank yang penuh (full column ranks), sistem tomodd akan memiliki kemampuan untuk menentukan lokasi absolut gempa bumi dan struktur kecepatan. Jika derivatif parsial dievaluasi dari gempa bumi yang berbeda pada stasiun yang berbeda pula, maka derivatif parsial untuk gempa bumi yang berdekatan adalah serupa, tetapi sebaliknya akan sangat berbeda untuk gempa bumi yang berjauhan. Secara teori, jika menyertakan semua kombinasi yang mungkin untuk seluruh waktu tiba yang tercatat pada stasiun tertentu, maka matriks semestinya mempunyai kolom rank yang penuh. TomoDD diharapkan dapat memberikan struktur di lokasi sumber gempa bumi apabila kita dapat membentuk sebuah kolom rang penuh parameter sumber gempa bumi tersebut. 19 dengan memasukkan

20 Pada algoritma lokasi DD bias anomali lintasan antara gempa bumi tidak diperhitungkan secara eksplisit, sehingga hanya gempa bumi berdekatan yang sebaiknya dipilih untuk mereduksi bias anomali lintasan. Beberapa gempa bumi yang berdekatan, derivatif parsialnya akan serupa sehingga algoritma relokasi DD hanya mampu untuk menghasilkan lokasi relatif di antara gempa bumi (Wolfe, 2002). Pada sistem tomodd, apabila bias anomali lintasan antara gempa bumi ikut diperhitungkan secara eksplisit maka inversi tidak dibatasi hanya untuk gempa bumi yang berdekatan saja. Persamaan (3.13) selanjutnya dapat ditransformasi menjadi bentuk matriks yang lebih singkat, sebagai berikut: (3.14) dimana dimensi mempunyai dimensi, dan memiliki. Parameter yang tidak diketahui meliputi hiposenter, waktu terjadi gempa bumi dan model slowness yang selanjutnya dapat ditentukan dengan persamaan sebagai berikut: (3.15) Bila beberapa gempa bumi memiliki origin time yang sama sehingga derivatif parsial yang terkait adalah sama (sama dengan 1), maka hanya origin time relatif yang dapat diperoleh dari sistem ini (Wolfe, 2002). Apabila hanya waktu tiba diferensial yang digunakan untuk menentukan lokasi gempa bumi (Waldhauser dan Ellsworth, 2000) dan derivatif parsial hiposenter dievaluasi pada lokasi yang berbeda-beda, maka lokasi absolut gempa bumi kemungkinan dapat ditentukan dengan persamaan berikut (Wolfe, 2002). (3.16) Operator derivatif parsial yang digunakan dalam lokasi DD adalah diketahui bahwa sebuah baris dari matriks. Perlu dapat digunakan untuk mengindikasikan keterikatan dari parameter model terkait (dalam kasus ini lokasi dan origin time) untuk seluruh waktu tempuh. Perturbasi lokasi gempa bumi dapat juga ditentukan dari waktu tiba absolut dengan mengasumsikan struktur kecepatan diketahui dan dianggap benar. (3.17) 20

21 Persamaan untuk menentukan lokasi gempa bumi dan struktur kecepatan dari waktu tiba absolut dapat dituliskan sebagai berikut: (3.18) Untuk sistem kombinasi yang menggunakan kedua jenis data yaitu data absolut dan diferensial, persamaan untuk menentukan lokasi gempa bumi adalah: (3.19) dimana w adalah bobot relatif (relatif weighting) antara waktu tempuh absolut dan relatif, dan I adalah matriks identitas. Persamaan lengkap untuk memecahkan secara simultan struktur kecepatan dan lokasi gempa bumi dengan menggunakan data absolut dan data diferensial adalah (3.20) Metode tomodd akan menjadi efektif bila kesalahan acak dapat diminimalkan. Pada prinsipnya hal tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan WCC dari data digital untuk mengurangi ketidakpastian antara pasangan gempa bumi. Prosedur dasar dari relokasi tomodd adalah bagaimana mengidentifikasi stasiun dan setiap pasangan gempa bumi sehingga dapat dihubungkan satu sama lain untuk membuat koreksi waktu tiba pada stasiun tersebut. Pada akhirnya kumpulan pasangan gempa bumi dihubungkan sehingga membentuk klaster, dan solusi kuadrat terkecil setiap klaster dipilih untuk menentukan lokasi relatif dari hiposenter. Pada inversi simultan antara struktur kecepatan dan lokasi gempa bumi, anomali kecepatan dikonstrain dengan mencari model smooth orde pertama. Regularisasi smoothing biasanya memberikan sebuah tampilan minimum model yang memuat hanya sebanyak struktur yang dapat dipecahkan (Constable dkk., 1987; McCaughey dan Singh, 1997). Bobot smoothing dapat diberikan sama pada arah vertikal dan horizontal. Selanjutnya, sistem persamaan linier (3.20) diselesaikan dengan algoritma least sequare atau LSQR (Paige dan Saunders, 1982). 21

22 3.4 Penentuan Vp/Vs Gelombang P adalah gelombang longitudinal yaitu arah penjalaran gelombang searah dengan arah getaran partikel medium. Gelombang S adalah gelombang transversal yaitu arah penjalaran gelombang tegak luruh dengan arah getaran partikel medium. Hubungan antara kecepatan gelombang P dan kecepatan gelombang S dengan beberapa parameter elastisitas dan densitas dapat dinyatakan sebagai berikut (Howell, 1959): (3.21) (3.22) dimana Vp, Vs masing-masing adalah kecepatan gelombang P dan S, ρ adalah densitas, μ adalah shear modulus, K adalah bulk modulus dan λ adalah konstanta Lame. Kecepatan gelombang P bergantung oleh bulk modulus, shear modulus, dan densitas, sedangkan kecepatan gelombang S tidak bergantung bulk modulus, tetapi bergantung pada densitas dan shear modulus sehingga sering disebut shear wave velocity. Shear modulus didefinisikan sebagai perbandingan antara tekanan geser (shear stress) dan perubahan panjang (strain). Young modulus didefinisikan sebagai perbandingan antara tekanan normal (normal stress) dan perubahan panjang, sedangkan bulk modulus didefinisikan sebagai perbandingan antara tekanan normal dan perubahan volume. Konstanta Lame terdiri dari dua konstanta yaitu konstanta elastisitas geser (μ) yang disebut juga sebagai rigiditas dan konstanta elastisitas volume (K). Material tidak sejenis dapat dibedakan berdasarkan densitas dan modulus elastisitasnya, tetapi pada material sejenis densitas dan modulus elasisitas dapat bervariasi bergantung pada kondisi fisiknya. Pada kedalaman dangkal, kecepatan gelombang seismik sangat dipengaruhi oleh porositas, konten porositas dan derajat saturasi. Pengaruh ketiga faktor tersebut masih bertahan hingga kedalaman 22

23 beberapa kilometer (Lushen dkk., 1993). Pada kedalaman yang lebih besar, temperatur merupakan faktor pengontrol kecepatan gelombang seismik yang penting, sebagai contoh adalah perubahan kecepatan gelombang pada saat terjadinya partial melting. Penelitian efek temperatur terhadap kecepatan gelombang seismik telah dilakukan oleh Evan dan Zucca (1993), dan Nur (1987). Konstanta Poisson s ratio (σ) didefinisikan sebagai perbandingan antara perubahan panjang (strain) arah transversal dan perubahan panjang arah longitudinal. Sifat fisis medium dapat diketahui dari nilai konstanta elastisitasnya, nilai konstanta elastisitas dapat diketahui denagn cara pengukuran di laboratorium atau dari analisis hasil pengukuran Vp dan Vs. Nilai Poisson s ratio dapat ditentukan menggunakan kecepatan gelombang P dan S dengan persamaan sebagai berikut: (3.23) Selain merupakan fungsi dari Vp dan Vs, Poisson s ratio adalah fungsi dari konstanta elastisitas geser (μ) dan konstanta elastisitas volume (λ) sehingga dapat dituliskan sebagai: (3.24) Untuk fluida nilai =0, sehingga Poisson s ratio mencapai nilai maksimum, =0,5. Pemahaman mengenai struktur 3-D Vp, Vs, dan Vp/Vs sangat membantu dalam menentukan karakterisasi sifat-sifat mekanis dan identitas geologi dari material kerak bumi dan mantel atas (Thurber, 1993). Variasi Vp/Vs dapat ditentukan secara langsung dari model Vp dan Vs, bila secara esensial keduanya memiliki kuantitas yang sama. Namun, pada umumnya data waktu tiba gelombang S kurang dari segi kuantitas dan kualitas dibandingkan data gelombang P. Oleh sebab itu Vs tidak memiliki resolusi sebaik Vp, hal ini menyebabkan kesulitan pada saat interpretasi variasi Vp/Vs (Eberhart-Philips, 1990). 23

24 BAB IV Pencitraan Struktur 3-D Kecepatan Gelombang Seismik Menggunakan Metode Tomografi Double-Difference Dan Katalog Data Gempa Bumi MERAMEX Di Jawa Bagian Tengah Pada bab ini dibahas hasil penelitian model 3-D struktur kecepatan gelombang seismik (Vp dan Vs) di bawah Jawa bagian tengah yang dicitrakan dengan metode tomodd. Inversi tomografi menggunakan tomodd untuk menentukan model kecepatan dan relokasi hiposenter secara simultan. Model 3-D struktur kecepatan gelombang seismik dan hiposenter relokasi yang akurat hasil dari penelitian ini dapat menjadi masukan bagi penelitian kegempaan lain dan dapat memberikan informasi interpretasi geologi di wilayah penelitian. 4.1 Data dan Metode Data Data katalog gempa bumi yang digunakan berasal dari jaringan seismograf temporal yang dipasang di sekitar Jawa bagian tengah dan Yogyakarta oleh proyek MERAMEX (MERapi Amphibious Experiment), mulai bulan Mei hingga Oktober Penelitian tersebut atas kerjasama dengan GeoForschungsZentrum (GFZ), Potsdam-Jerman. Stasiun perekam berjumlah 134 stasiun yang terdiri atas 106 seismometer short-period (Markus L4-3D), 14 seismometer broad-band (Guralp CMG3T dan CMG3ESP), 9 hydrophone bawah laut dan 5 seismometer dasar laut untuk memperluas jaringan di lepas pantai. Pada pelaksaanaan observasi dilakukan pemindahan beberapa stasiun pada koordinat yang berbeda untuk mendapatkan rekaman yang lebih baik sehingga jumlah data stasiun seismograf jaringan MERAMEX menjadi 169. Jaringan seismograf temporal dipasang dengan distribusi yang rapat dengan jarak antarstasiun sekitar km untuk memantau aktivitas kegempaan di zona tersebut. Jaringan seismograf di darat diroperasikan selama 21 minggu sementara jaringan seismograf gempa bumi lepas pantai dioperasikan selama 18 minggu. Jumlah gempa bumi yang terekam selama periode pengamatan adalah 292 gempa bumi (Gambar 4.1). 24

25 Gambar 4.1. Distribusi episenter gempa bumi (lingkaran) hasil rekaman dari pemasangan seismograf temporal (segitiga kuning) MERAMEX 1994 yang digunakan pada penelitian ini Metode Metode inversi tomodd yang lengkap menggunakan tiga tipe data masukan yaitu waktu tiba absolut, waktu tiba diferensial, dan data WCC. Pada penelitian ini inversi tomodd dilakukan hanya menggunakan data absolut dan data diferensial waktu tiba yang berasal dari data katalog gempa bumi. Data diferensial diperoleh dengan melakukan klastering data gempa bumi menggunakan program ph2dt. Inversi tomografi menggunakan kode program tomodd yang dikembangkan oleh Zhang dan Thurber sejak 2003, program ini telah dilengkapi dengan koreksi kolengkungan bumi. Dari 292 gempa bumi yang ada tereduksi menjadi 231 gempa bumi setelah dilakukan klastering. Reduksi jumlah gempa bumi ini akibat pemilihan parameter MAXDIST yaitu 500 pada saat inversi tomodd. Data absolut yang digunakan untuk proses inversi tomografi terdiri atas data waktu tiba gelombang P sebanyak 1318 dan data waktu tiba gelombang S sebanyak Data diferensial (dt.ct) yang diperoleh dari proses klastering menggunakan program ph2dt, yaitu data diferensial waktu tiba gelombang P sebanyak 5972 dan data diferensial waktu tiba gelombang S sebanyak

26 Gambar 4.2. Peta wilayah penelitian yaitu Jawa bagian tengah dan parameterisasi model untuk inversi tomodd. Ukuran grid di bagian dalam wilayah penelitian adalah 15 km x 15 km dan ukuran dua grid terluar berjarak 20 km dari grid bagian dalam. Lingkaran warna merah menunjukkan episenter gempa bumi, segitiga warna kuning adalah stasiun. 26

27 Selanjutnya inversi tomodd dilakukan dengan mengombinasikan dua tipe data, yaitu data absolut dan data diferensial dengan menggunakan skema pembobotan. Besarnya nilai bobot ditentukan dengan memperhatikan perubahan perturbasi model akibat nilai bobot yang diberikan. Dari beberapa kombinasi pembobotan dipilih nilai bobot 1 untuk data absolut dan 0,1 untuk data diferensial katalog. Selanjutnya data diferensial dapat diberi bobot lebih besar untuk memperbaiki lokasi gempa bumi dan struktur kecepatan di dekat sumber gempa bumi. Pada realisasi inversi tomografi dilakukan dengan parameterisasi model menggunakan jarak antargrid yang tidak sama (Gambar 4.2), yaitu dengan jarak antargrid (15 km x 15 km) dan bagian luar (15 km x 20 km). Jumlah lapisan vertikal adalah 10, dengan masing-masing kedalaman lapisan yaitu 5 km, 10 km, 15 km, 25 km, 35 km, 45 km, 60 km, 100 km, 160 km dan 210 km. Model kecepatan awal gelombang P untuk proses inversi tomodd yang digunakan pada penelitian ini yaitu model kecepatan 1-D dari penelitian Wagner dkk. (2007) untuk permukaan hingga kedalaman 20 km. Untuk kedalaman lebih dari 20 km menggunakan model AK135 (Kennett dkk., 1995). Model awal 1-D kecepatan gelombang S diperoleh dengan asumsi Vp/Vs =1,74. Model referensi yang digunakan pada peneliti ini ditunjukkan pada Gambar 4.3. Gambar 4.3. Model referensi 1-D struktur kecepaan gelombang P dan S yang digunakan pada inversi tomodd. 27

28 Gambar 4.4. a) Pengaruh nilai damping dan jumlah iterasi pada proses inversi tomodd, untuk nilai damping mulai dari 90 hingga 140 memberikan nilai RMS yang kecil, nilai RMS terkecil diperoleh pada nilai damping 100. b) RMS dari variasi nilai damping 70 hingga 140 dengan nilai pembobotan data 10 untuk data absolut dan nilai 1 untuk data diferensial. Perhitungan waktu tempuh teoretis melewati model struktur kecepatan referensi dari sumber ke penerima dengan menggunakan metode ray tracing pseudo bending (Um dan Thurber, 1987). Inversi tomodd menggunakan teknik inversi LSQR (Paige dan Saunders, 1982). Pemilihan damping yang sesuai dilakukan dengan melakukan inversi menggunakan variasi nilai damping untuk memperoleh nilai RMS yang terkecil (Gambar 4.4) Uji Resolusi Model Uji resolusi diperlukan sebelum dilakukan interpretasi terhadap tomogram hasil inversi data observasi. Hasil inversi data biasanya tidak seluruh bagian dari model yang dihasilkan mempunyai resolusi yang baik. Hal ini disebabkan terutama oleh distribusi gempa bumi dan seismograf yang acak atau terkonsentrasi pada area tertentu saja. Selanjutnya interpretasi hanya dapat dilakukan pada bagian model yang mempunyai resolusi tinggi atau nilai Derivative Weight Sum (DWS) yang tinggi. 28

29 4.1.3.a Uji Checkerboard Uji checkerboard (Humphreys dan Clayton, 1988) dilakukan dengan memilih konfigurasi geometri dari distribusi sumber gempa bumi, posisi stasiun, ukuran grid dan struktur kecepatan referensi yang paling baik. Hal ini ditunjukkan oleh kemampuan rekontruksi hasil inversi data sintetik terhadap model awalnya. Model checkerboard merupakan model papan catur yang terdiri atas anomali ±10 % relatif terhadap model kecepatan 1-D. Waktu tempuh sintetik melalui model checkerboard dihitung pada saat proses pemodelan kedepan dengan menggunakan posisi sumber dan penerima dari data observasi. Selanjutnya, inversi dilakukan dengan model kecepatan 1-D untuk melihat seberapa besar model checkerboard bisa direkonstruksi. Hasil yang diperoleh untuk model checkerboard Vp tampak pada Gambar 4.5, terlihat bahwa pada interval kedalaman 5 km hingga 60 km sebagian besar model memiliki resolusi yang tinggi. Resolusi yang tinggi ditandai oleh pola anomali inversi checkerboard yang memiliki pola rekontruksi mendekati model awal. Hasil uji checkerboard menunjukkan bahwa rekontruksi pola anomali checkerboard di daratan bagian selatan lebih baik daripada rekontruksi pola anomali di daratan bagian utara, karena distribusi sumber gempa bumi dan distribusi stasiun lebih padat di daratan bagian selatan. Pada Gambar 4.6 ditunjukkan hasil uji checkerboard untuk Vs, bahwa secara umum pola rekontruksi untuk Vs ini lebih rendah dari pada pola rekontruksi checkerboard untuk Vp karena jumlah data Vs lebih sedikit. Namun demikian, pola distribusi hasil uji checkerboard Vs memiliki pola yang mirip dengan pola distribusi checkerboard Vp b DWS (Derivative Weight Sum) Toomey dan Foulger (1989) mendefinisikan sebuah ukuran sampling di titik grid (grid node) sebagai derivative weight sum (DWS). DWS menunjukkan ukuran jumlah rata-rata relatif dari densitas sinar gelombang (ray) di dekat sebuah titik grid. DWS dari parameter titik grid (node) ke-n yaitu αn didefinisikan sebagai (4.1) 29

30 dengan i dan j masing-masing adalah posisi gempa bumi ke-i dan stasiun ke-j, ω adalah bobot yang digunakan dalam interpolasi linier dan bergantung pada posisi koordinat. Pij adalah ray-path antara i dan j dan N adalah faktor normalisasi yang ikut diperhitungkan dalam volume yang dipengaruhi oleh αn. Gambar 4.5. Hasil uji checkerboard untuk Vp dengan amplitudo perturbasi model awal ±10% untuk setiap kedalaman. Warna biru menunjukkan anomali positif, sedangkan warna merah menunjukkan anomali negatif (% perturbasi relatif terhadap model 1-D). 30

31 Gambar 4.6. Hasil uji checkerboard untuk Vs dengan amplitudo perturbasi model awal ±10% untuk setiap kedalaman. Warna biru menunjukkan positif, sedangkan warna merah menunjukkan anomali negatif (% perturbasi relatif terhadap model 1-D). Gambar 4.7. Distribusi nilai DWS gelombang S pada pada kedalaman 10, 15, 25, 35, 45, dan 60 km, warna hitam menunjukkan nilai DWS yang relatif tinggi, segitiga kuning adalah stasiun pencatat. 31

32 Pada peta pola distribusi DWS (Gambar 4.7) ditunjukkan bahwa nilai DWS yang relatif tinggi ditunjukkan dengan warna yang lebih hitam. Biasanya nilai DWS yang tinggi bersesuaian dengan rekontruksi checkerboard yang baik. Oleh karena itu, citra tomogram yang dapat diinterpretasi yaitu pada wilayah dengan rekonstruksi checkerboard yang baik dan memiliki DWS tinggi. Nilai perturbasi anomali yang diinterpretasi pada penelitian ini adalah yang memiliki nilai DWS lebih dari Hasil dan Diskusi Penampang Horizontal Vp dan Vs Zona Kendeng merupakan cekungan yang berisi sedimen dengan tebal lebih dari 8 km (Untung dan Sato 1978; Smyth dkk., 2005). Peta gravitasi Bouguer wilayah Jawa bagian tengah (Untung dan Sato, 1978; Smith dan Sandwell, 1997; Smyth dkk., 2005) menunjukkan anomali negatif Bouguer yang kuat melebihi -580 μms-2 teridentifikasi di zona Kendeng. Rendahnya gravitasi tersebut memiliki korelasi yang kuat dengan anomali kecepatan rendah di zona Merapi-Lawu Anomali (MLA) baik dari segi ukuran ataupun lokasi dimana anomali berada (Wagner dkk., 2007). Amplitudo anomali kecepatan rendah MLA yang sangat tinggi di permukaan hingga kedalaman 10 km disebabkan lava tebal dan deposit sedimen di zona Kendeng (Wagner dkk., 2007). Namun demikian, keberadaan deposit sedimen ini tidak dapat menjelaskan mengapa MLA terdeteksi hingga mantel, karena keberadaan deposit saja tidak dapat mencegah penetrasi magma ke permukaan dan tidak bisa menjelaskan anomali gravitasi dengan baik. Selain itu, keberadaan deposit sedimen tidak dapat menjelaskan mengapa pada wilayah di atas MLA ini tidak ada kenampakan vulkanisme. Dari komunikasi pribadi Wagner dengan Troll (2006), dinyatakan bahwa material dalam MLA sebenarnya pada tahap pendinginan, yang menghasilkan matriks rigid berisi kantong-kantong material leleh (melted material) sehingga zona ini menjadi cukup rigid dan memiliki kecepatan rendah. Dengan kondisi demikian, fluida dan lelehan dari mantle wedge tidak bisa menembus batas bawah MLA. Migrasi fluida ke atas hanya terjadi mengikuti jalan terpendek menuju zona kontak antara MLA 32

33 dan forearc, tempat gunung berapi aktif berada. Selain itu, hanya menunjukkan sejumlah kecil fluida membentuk mud vulkano di zona Kendeng setelah melewati matriks dari deposit sedimen dan kantong-kantong magma (Wagner dkk., 2007). Namun dari hasil penelitian ini (Gambar 4.8 dan 4.9), zona anomali kecepatan rendah teridentifikasi semakin bergeser ke selatan terhadap kedalaman, terutama setelah kedalaman 10 km. Hal ini menguatkan penelitian Untung dan Sato 1978; Smyth dkk., 2005 bahwa zona anomali MLA kemungkinan adalah fluida atau melted material yang tertutup sedimen tebal. Fluida tidak mampu menembus ke atas disebabkan tidak adanya gaya dorong yang masif untuk mampu membentuk vulkanisme, fluida yang baru terbentuk dan memiliki energi tinggi berada di bawah Merapi. Suplai magma Gunung Merapi tidak berasal dari MLA tetapi akibat migrasi fluida langsung dari slab. Keberadaan MLA memang didukung kenampakan mud vulcano pada batas bagian utara zona anomali tepatnya di Bledug-Kuwu (Wagner dkk. 2007). Selain itu hasil inversi menggunakan tomodd tidak menunjukkan keberadaan anomali kecepatan rendah bertahan hingga kedalaman lebih dari 25 km di wilayah MLA atau zona Kendeng. Pada Gambar 4.10 ditunjukkan citra tomogram pada kedalaman 35 km untuk Vp dan Vs. Pada tomogram tersebut ditunjukkan adanya dua blok zona anomali kecepatan rendah yang dibatasi kerak rigid. Zona batas anomali seperti ini merupakan zona lemah dan berpotensi sebagai sumber gempa bumi. Posisi hiposenter gempa bumi Yogyakarta 2006 kemungkinan pada kedalaman 35 km yaitu pada kerak rigid batas antara dua blok anomali kecepatan rendah. Kedalaman hiposenter 35 km ini sesuai dengan hasil inversi waveform pada saat penentuan solusi mekanisme fokal (CMT Harvard Moment Tensor). Solusi momen tensor gempa bumi Yogyakarta 2006 menunjukkan pola strike-slip, akibat efek dorongan slab (Gambar 4.10). Pada Gambar 4.11 ditunjukkan kartun sketsa yang mengindikasikan kompresi masif akibat gaya dorong slab komponen horisontal (Fx) pada zona batas anomali yang merupakan zona lemah, kompresi ini kemungkinan sebagai pemicu gempa bumi Yogyakarta, 27 Mei

34 Gambar 4.8. Irisan horizontal anomali kecepatan gelombang P relatif terhadap model awal. Segitiga berwarna coklat adalah gunung api. Gambar 4.9. Irisan horizontal anomali kecepatan gelombang S relatif terhadap model awal. Segitiga berwarna coklat adalah gunung api. 34

35 Gambar Irisan horizontal anomali Vp (kiri) dan Vs (kanan) pada kedalaman 35 km serta mekanisme sumber gempa bumi Yogyakarta 27 Mei Segitiga berwarna coklat adalah gunung api. Gambar Sketsa interpretasi yang mengindikasikan adanya gaya dorong slab komponen horisontal (Fx) pada zona batas anomali yang merupakan zona lemah, kompresi ini kemungkinan sebagai pemicu gempa bumi Yogyakarta, 27 Mei R adalah gaya dorong slab, Fx dan Fy masing-masing adalah komponen horisontal dan vertikalnya Distribusi Vertikal Anomali Vp Gambar 4.12 adalah irisan vertikal tomogram Vp dan hasil uji checkerboard di sekitar bawah Merapi dan Lawu. Pada Gambar 4.13 ditunjukkan distribusi 35

36 anomali kecepatan rendah Vp dan Vs pada kedalaman 35 km serta mekanisme fokal gempa bumi Yogyakarta 27 Mei Pada tomogram tersebut terlihat anomali kecepatan rendah yang memanjang cukup jelas yang mengindikasikan adanya migrasi fluida atau partial melting material dari slab menuju Gunung Merapi. Posisi hiposenter gempa bumi Yogyakarta 27 Mei 2006 terletak tepat di batas zona kontak antara forearc kecepatan tinggi dan zona anomali kecepatan rendah yang mengarah ke Gunung Merapi di bagian utara. Dengan kondisi posisi sumber gempa bumi seperti ini dapat dipahami bila sebelum terjadi gempa bumi didahului tingginya aktivitas dari Gunung Merapi. (Setijadji dan Watanabe, 2007) Menurut Wagner dkk. (2007), anomali kecepatan rendah pada kedalaman 15 km mungkin disebabkan fracturing rocksin dari bagian kerak paling atas (uppermost crust). Hiposenter gempa bumi berada di kerak rigid yang terletak sedikit di bawah zona ini (~ 17 km), tepat di bawah zona lemah yang dianggap lokasi paling mungkin untuk akumulasi stress dan terjadinya fracturing. Hiposenter gempa bumi terletak tepat di atas zona kontak antara forearc kecepatan tinggi dan anomali kecepatan rendah Merapi Lawu Anomaly (MLA) yang mengarah ke Gunung Merapi di bagian utara. Dari hasil penelitian ini, penunjaman slab di bawah Jawa hanya sedikit teridentifikasi, kemungkinan karena kurangnya data gempa bumi yang memiliki kedalaman gempa bumi lebih dari 100 km. Namun demikian terlihat adanya double seismic zone dari plot overlay data gempa bumi pada citra tomogram pada lintasan AA meskipun hanya terbatas pada kedalaman hingga 100 km (Gambar 4.13). Pada penelitian terdahulu oleh Widiyantoro dan Van der Hilst (1996 dan 1997), slab litosfer yang menunjam di bawah busur Sunda bagian timur (dari Jawa sampai Flores) masih kontinu tetapi ada indikasi bahwa slab litosfer mantel atas menyempit (necking) terutama di bawah Jawa. 36

37 Gambar Irisan tomogram vertikal anomali kecepatan gelombang P, a) AA di sekitar bawah Merapi, b) BB di sekitar bawah Lawu, c) checkerboard irisan AA, dan d) checkerboard irisan BB. 37

38 Gambar Irisan tomogram vertikal AA di sekitar bawah Merapi dan kartun subduksi slab serta overlay slab (USGS) warna abu-abu. Posisi sumber gempa bumi Yogyakarta 27 Mei 2006 berada pada kedalaman 35 km di tepian zona anomali kecepatan rendah. Nilai residual dari iterasi terakhir inversi tomografi untuk keseluruhan data gempa bumi ditunjukkan oleh histogram pada Gambar 4.14 Residual waktu tempuh dihitung relatif terhadap model yang digunakan, hasilnya sebagian besar dari residual waktu tempuh mendekati nol. Rata-rata residual dari tiap-tiap gempa bumi adalah 0, dengan residual minimum -6,3 dan residual maksimum adalah 6,8 detik. Nilai residual maksimum mengindikasikan pergeseran pusat gempa bumi setelah relokasi sejauh 47,6 km dengan asumsi rata-rata kecepatan gelombang P adalah 7 km/detik. Nilai residual yang besar ini kemungkinan disebabkan karena akurasi yang rendah dari picking waktu tiba gelombang P. Tampak pula pada histogram bahwa residual positif sedikit lebih besar daripada residual negatifnya. Hal ini berarti bahwa ada kecenderungan waktu tempuh observasi lebih besar daripada waktu tempuh kalkulasi. Selain itu, histogram residual ini secara langsung merefleksikan pengaruh struktur atau anomali kecepatan terhadap penjalaran gelombang P. Namun demikian, potensi peningkatan akurasi menjadi menarik sebagai wacana pengembang dari penelitian ini. Akurasi picking ini dapat ditingkatkan dengan menggunakan WCC. 38

39 Gambar Histogram residual dari waktu tempuh gelombang P yaitu perbedaan antara waktu tempuh observasi dan kalkulasi berdasarkan model kecepatan seismik dan lokasi gempa bumi dari a) ray tracing 1-D, dan b) inversi tomodd. 4.3 Simpulan Berdasarkan hasil inversi tomografi data gempa bumi di Jawa bagian tengah (MERAMEX) dengan menggunakan tomodd diperoleh bahwa zona anomali kecepatan rendah menunjukkan indikasi semakin bergeser ke selatan terhadap kedalaman setelah kedalaman 10 km. Zona anomali MLA kemungkinan adalah fluida atau melted material yang tertutup sedimen tebal. Fluida pada zona MLA tidak mampu menembus ke atas yang kemungkinan disebabkan tidak adanya gaya dorong yang cukup kuat untuk mampu membentuk aktivitas vulkanisme. Fluida yang baru terbentuk dan memiliki energi tinggi berada di bawah Gunung Merapi, sedangkan suplai magma Gunung Merapi tidak berasal dari MLA tetapi kemungkinan akibat migrasi fluida langsung dari slab. Pada kedalaman 35 km mengindikasikan adanya dua blok zona anomali kecepatan rendah yang dibatasi oleh kerak rigid. Posisi hiposenter gempa bumi Yogyakarta 2006 kemungkinan pada kedalaman 35 km yaitu pada kerak rigid di batas antara dua blok anomali kecepatan rendah. Solusi momen tensor gempa bumi Yogyakarta 2006 menunjukkan pola strike-slip, mekanisme strike-slip kemungkinan terjadi akibat kompresi masif di kerak forearc (dari arah selatan) pada media yang heterogen. 39

40 BAB V Relokasi Hiposenter Gempa Bumi Di Jawa Bagian Tengah Menggunakan Inversi Tomografi Double-Difference Simultan Dan Katalog Data Gempa Bumi MERAMEX Pada bab ini disajikan relokasi hiposenter hasil inversi simultan menggunakan tomodd dari katalog data gempa bumi MERAMEX. Akurasi penentuan posisi hiposenter gempa bumi sangat dipengaruhi beberapa faktor, diantaranya: geometri jaringan, fase gelombang yang digunakan, ketelitian pembacaan waktu tiba dan model struktur kecepatan. Penentuan hiposenter yang akurat dan konsisten merupakan kebutuhan mutlak untuk analisis kegempaan lebih lanjut. Oleh karena itu dibutuhkan teknik relokasi gempa bumi yang mampu menghasilkan lokasi hiposenter gempa bumi yang akurat. Pada saat ini telah dikembangkan teknik relokasi hiposenter untuk mendapatkan hiposenter yang akurat, salah satunya yaitu menggunakan metode hypodd dari data katalog gempa bumi dan data WCC. Namun demikian pada penelitian ini hanya menggunakan data katalog gempa bumi untuk inversi relokasi gempa bumi. Lokasi hiposenter gempa bumi yang diperoleh dengan metode geiger adaptive dumping (GAD) atau hypoellipse umumnya masih mengandung kesalahan akibat struktur kecepatan yang tidak termodelkan. Namun demikian, dengan menggunakan algoritma DD, efek terkait struktur kecepatan yang tidak termodelkan dapat dihilangkan sehingga meningkatkan akurasi posisi hiposenter relokasi. Algoritma ini telah diuji oleh Waldhauser dan Ellsworth (2000) menggunakan data gempa bumi di bagian utara Hayward fault California, hasilnya menunjukkan terbentuk dua klaster gempa bumi di wilayah tersebut yang sebelum dilakukan relokasi tidak terlihat. Hasil relokasi juga menunjukkan adanya perubahan dari distribusi hiposenter gempa bumi yang acak menjadi sebaran yang fokus. Sebaran hiposenter relokasi mengungkap lineasi distribusi hiposenter yang secara horizontal mengarah pada suatu area sempit pada fault yang merupakan zona lemah tempat akumulasi stress biasanya dilepaskan. 40

41 Pembacaan (picking) waktu tiba gelombang umumnya memiliki galat (error) yang diakibatkan oleh noise. Peningkatan presisi penentuan waktu tiba gelombang gempa bumi ataupun ledakan dapat dilakukan dengan menggunakan teknik WCC dan teknik klastering. Teknik WCC mengasumsikan bahwa gelombang yang pancarkan oleh dua sumber yang identik dan menjalar melewati lintasan yang sama dianggap memiliki bentuk gelombang (waveform) yang serupa sehingga teknik ini dapat digunakan untuk menentukan waktu tiba relatif secara presisi. Pengembangan lebih lanjut dari metode tomodd adalah tomodd spherical oleh Pesicek (2010) dengan menggunakan fase gempa bumi dalam, waktu diferensial, dan model realistis kecepatan 3-D. Hasil relokasi menggunakan metode ini menunjukkan peningkatan akurasi dan presisi dari episenter dan kedalaman fokus, dimana secara sistematis relokasi menggeser posisi gempa bumi menjadi tegak lurus trench dan lebih dangkal. Selain itu, relokasi mampu mengungkap beberapa fitur diskrit yang tidak tampak pada katalog teleseismik dan juga mengungkap adanya lineasi dari jalur kedalaman subduksi dari Investigator Fracture Zone. Hasil inversi menggunakan metode ini juga menunjukkan geometri dan fitur struktur dari zona subduksi yang belum pernah terungkap secara terperinci sebelumnya. 5.1 Data dan Metode Pada penelitian ini digunakan data gempa bumi yang terekam oleh jaringan seismograf temporal MERAMEX (Gambar 5.1) di Jawa bagian tengah dan sekitarnya (seperti pada bab IV). Karena tidak adanya informasi model gelombang S, untuk mendapatkan model referensi gelombang S digunakan nilai rasio yang ditetapkan yaitu 1,74. Inversi relokasi hiposenter menggunakan metode tomodd, metode ini menggunakan koordinat kartesian tetapi telah dilengkapi dengan koreksi kelengkungan bumi. Model referensi kecepatan gelombang P menggunakan model kecepatan kombinasi hasil penelitian Wagner dkk. (2007) dan model ak135 (Kennet dkk., 1995) (Gambar 4.3). 41

42 Gambar 5.1. Grid pengolahan data, ukuran grid di bagian dalam adalah 15 km x 15 km dan ukuran dua grid terluar berjarak 20 km dari grid bagian dalam, lingkaran warna merah menunjukkan gempa bumi, segitiga warna kuning adalah stasiun seismograf (atas). Contoh sinyal rekaman gempa bumi dari 5 stasiun yang dipilih secara acak (bawah). 5.2 Hasil dan Diskusi Pada realisasi inversi tomodd dari data gempa bumi MERAMEX dilakukan regularisasi dengan menentukan damping dan pembobotan yang sesuai berdasarkan nilai residualnya. Dari regularisasi diperoleh kurva trade-off (Gambar 42

43 4.4), berdasarkan kurva tersebut dipilih damping 110, sedangkan pembobotan untuk smoothing kecepatan adalah 5. Data diferensial diperoleh menggunakan program ph2dt dengan kriteria MAXDIST adalah 500 km. Selanjutnya inversi dilakukan hingga diperoleh residual minimum. Hasil inversi simultan tomodd adalah struktur kecepatan 3-D dan hiposenter relokasi. Proses relokasi hiposenter sudah optimum secara kuantitatif yaitu bila nilai residual dari waktu tempuh observasi dan waktu tempuh teoretis sudah mencapai minimum pada iterasi yang ditentukan. Pada Gambar 5.2.a-c ditunjukkan posisi hiposenter awal dan posisi hiposenter setelah relokasi menggunakan tomodd. Perubahan posisi gempa bumi secara horizontal (Gambar 5.2.c) menunjukkan bahwa posisi hasil relokasi (warna biru) lebih mengumpul (fokus) daripada posisi awal (warna merah), kumpulan gempa bumi yang membentuk klaster terutama terdapat di bagian tengah dari wilayah penelitian. Pada Gambar 5.3.a ditunjukkan diagram kompas yang menggambarkan arah dan besarnya pergeseran episenter setelah relokasi; pergeseran maksimum dari relokasi adalah sekitar 50 km; dimana 4 gempa bumi mengalami pergeseran lebih dari 20 km. Arah pergeseran posisi gempa bumi yang dominan yaitu ke arah tenggara, terdapat 3 gempa bumi pada arah ini dan mengalami pergeseran lebih dari 20 km. Pada Gambar 5.3.b ditunjukkan diagram rose yang menggambarkan distribusi jumlah gempa bumi dan arah pergeserannya. Dari diagram tersebut terlihat bahwa sebagian besar posisi gempa bumi bergeser ke arah barat dari posisi sebelumnya, sedangkan pergeseran pada arah tenggara jumlahnya sedikit tetapi mengalami pergeseran yang relatif besar dibandingkan pergeseran kearah yang lain. Pada Gambar 5.4.a-c ditunjukkan besarnya pergeseran dari posisi hiposenter gempa bumi setelah relokasi menggunakan tomodd. Pergeseran maksimum posisi episenter gempa bumi pada arah utara-selatan adalah sekitar 35 km (Gambar 5.4.a). Jumlah gempa bumi yang mengalami pergeseran lebih dari 10 km pada arah ini sebanyak 8 gempa bumi. Pergeseran sekitar 35 km terjadi pula pada arah timur-barat, pada arah ini hanya 4 gempa bumi yang mengalami pergeseran lebih dari 10 km. Perubahan kedalaman sumber gempa bumi maksimum adalah 60 km dan pergeseran rata-rata tidak lebih dari 10 km. 43

44 Gambar 5.2. Plot posisi sumber gempa bumi: a) plot posisi awal gempa bumi, b) posisi gempa bumi setelah relokasi dengan tomodd, dan c) gabungan posisi gempa bumi awal dan posisi hasil relokasi. Warna biru adalah posisi gempa bumi awal dan warna merah adalah posisi gempa bumi setelah relokasi. Gambar 5.3. Diagram pergeseran hiposenter: a) diagram kompas menunjukkan arah pergeseran dari posisi awal, terdapat 4 gempa bumi dengan pergeseran lebih dari 20 km, dan b) diagam rose dengan bin azimuth 18º yang menunjukkan besarnya pergeseran relatif antara posisi episenter hasil relokasi dan posisi sebelum relokasi, dimana pergeseran maksimum adalah 50 km pada arah tenggara. 44

45 Gambar 5.4. Pergeseran posisi sumber gempa bumi sebelum dan setelah relokasi: a) pada arah utara-selatan, b) pada arah timur-barat, c) kedalaman sumber gempa bumi setelah relokasi menggunakan tomodd. Pada Gambar 5.5. a-b ditunjukkan distribusi penyebaran hiposenter gempa bumi awal dan hiposenter setelah relokasi. Distribusi ini menunjukkan distribusi sumber gempa bumi menurut irisan vertikal utara-selatan dan irisan vertikal timur-barat. Distribusi hiposenter setelah relokasi untuk gempa bumi dengan kedalaman kurang dari 50 km terlihat pada irisan timur-barat distribusi hiposenter membentuk klaster ditengah-tengah wilayah. 45

46 Gambar 5.5. Plot posisi hiposenter gempa bumi: a) sebelum relokasi dan b) setelah relokasi menggunakan tomodd. Gambar 5.6. Plot besarnya pergeseran kedalaman sumber gempa bumi terhadap kedalaman awal. Pada kedalaman sekitar 10 km terdapat kedalaman beberapa gempa bumi setelah relokasi yang bergeser lebih dangkal daripada kedalaman sebelum relokasi. Pada Gambar 5.6 ditunjukkan hubungan kedalaman awal sumber dan besarnya perubahan kedalaman. Perubahan kedalaman terjadi terutama pada kedalaman 20 km hingga 30 km dengan perubahan kedalaman mencapai hampir 20 km. Gempa bumi yang mengalami perubahan kedalaman ini terutama gempa bumi yang relatif 46

47 dangkal dan posisinya di sekitar trench. Hal tersebut karena jumlah gempa bumi banyak dan membentuk klaster sehingga ada koreksi yang ditimbulkan dari pasangan gempa bumi yang terbentuk sehingga mereduksi scattering sebaran hiposenter (Waldhauser dan Ellsworth, 2000; Pesicek dkk, 2010). Pada kedalaman sekitar 60 km juga mengalami perubahan kedalaman karena terbentuk klaster pada kedalaman ini. Sedangkan untuk gempa bumi dengan kedalaman lebih dari 100 km tidak mengalami perubahan kedalaman karena jumlah data sedikit dan jaraknya. Pada penelitian terdahulu di wilayah yang berbeda menggunakan metode tomodd didapatkan bahwa terjadi reduksi scattering distribusi hiposenter dan sekaligus membentuk lineasi geologi dan tektonik Waldhauser dkk, (2000). Pada Gambar 5.6.a-c ditunjukkan irisan vertikal dari posisi sumber gempa bumi pada garis AA, dimana posisi gempa bumi diproyeksikan pada garis tersebut. Pada gambar tersebut tampak indikasi yang jelas adanya lineasi sumber gempa bumi setelah relokasi. Lineasi ini menggambarkan dengan lebih jelas arah subduksi. Posisi sumber gempa bumi pada kedalaman sekitar 20 km hingga 30 km yang semula terdistribusi cenderung horizontal menjadi terdistribusi mengikuti arah subduksi. Relokasi menggunakan metode DD mengindikasikan mampu meningkatkan akurasi dan presisi dari hiposenter. Hasil relokasi gempa bumi terdahulu di wilayah lain menggunakan metode tomodd spherical secara sistematis menggeser posisi gempa bumi tegak lurus trench dan lebih dangkal (Pesicek dkk., 2010). Pada Gambar 5.7.a ditunjukkan posisi awal distribusi hiposenter gempa bumi yang cenderung horizontal pada kedalaman 20 km hingga 25 km. Pada Gambar 5.8 dan pada kartun Gambar 5.9 ditunjukkan indikasi adanya lineasi distribusi sumber gempa bumi terhadap subduksi slab serta indikasi zona seismik ganda (double seismic zone atau double Benioff zone) dengan lebih jelas. 47

48 Gambar 5.7. Plot irisan vertikal posisi sumber gempa bumi: a) sebelum relokasi, b) setelah relokasi, dan c) gabungan sebelum dan setelah relokasi menggunakan tomodd. Lineasi atau bentuk geometri tertentu secara kualitatif mengindikasikan hasil sudah optimum karena distribusi gempa bumi secara spasial sesuai dengan pola geologi atau tektonik di wilayah tersebut. Jadi lineasi dapat menjadi justifikasi atau validasi hasil relokasi hiposenter terhadap kondisi geotektonik setempat. Zona seismik ganda telah diidentifikasi pada penelitian terdahulu oleh Koulakov dkk (2007). Perubahan distribusi kedalaman pada 20 km hingga 40 km setelah relokasi menunjukkan metode ini mampu memberikan akurasi yang lebih baik daripada metode yang digunakan sebelumnya. Hal ini dibuktikan dengan pola distribusi sumber gempa bumi terhadap kedalaman yang konsisten dengan arah subduksi slab. 48

49 Gambar 5.8. Plot irisan vertikal posisi sumber gempa bumi dengan lebar proyeksi 100 km: a) sebelum relokasi, b) setelah relokasi, posisi sumber gempa bumi memiliki distribusi yang lebih terfokus dan menunjukkan dengan lebih jelas double seismic zone. Hasil relokasi yang menunjukkan lineasi dengan baik terhadap kondisi geologi dan tektonik membantu interpretasi yang logis, misalnya terkait dengan pola subduksi dan aktivitas vulkanisme. Oleh karena itu, arti penting relokasi hiposenter utamanya adalah dapat membantu menyimpulkan kondisi geologi dan tektonik di suatu wilayah. Selain itu, hasil relokasi sangat penting untuk keperluan penelitian selanjutnya seperti tomografi seismik, pembuatan peta hazard dan pembuatan peta seismisitas. Penelitian zona seismik ganda diawali oleh Hasegawa dkk. (1978) mengenai adanya bidang ganda zona gempa bumi di Northeastern Japan Arc. Mereka menganalisi konversi fase gelombang seismik yang melewati zona tersebut dan menyimpulkan reverse faulting atau down-dip compressional stresses terjadi pada bidang bagian atas dari slab yang menunjam. Penelitian zona seimik ganda oleh Kanamori dan Fujita dan Kanamori (1981) menggunakan data solusi fokal mekanisme menyatakan gempa bumi pada bagian yang berbeda dari segmen slab adalah akibat dari orientasi stress yang berbeda. Mekanisme fokus untuk gempa bumi kedalaman menengah menunjukkan bahwa stres pada lempeng dikontrol oleh usia slab dan laju konvergensi Kanamori dan Fujita (1981). Slab tua dan 49

50 memiliki laju konvergensi lambat dipengaruhi oleh stress tension dan kompresi. Kompresi pada lempeng bertambah dengan meningkatnya laju konvergensi atau berkurangnya umur slab. Slab muda dengan laju konvergensi cepat, pada umumnya orientasi stress seluruhnya adalah down-dip tension. Oleh karena itu bila slab mengalami subduksi di bawah lempeng benua, maka slab akan membengkok akibat beban kontinen. Zona seismik ganda tidak selalu terbentuk di zona subduksi. Zona seismik ganda hanya teramati pada slab yang tidak didominasi oleh stress tension atau kompresi. Lithosfer yang tidak mengalami pembengkokan dan tidak mengalami perubahan fase pada mantel bukan menjadi penyebab utama dari adanya zona seismik ganda, namun berkontribusi dalam menghasilkan karakteristiknya. Pengaruh thermal yang berasal dari pergerakan relatif astenosfer kemungkinan mengakibatkan stress deviatoric yang menyebabkan terbentuknya zona seismik ganda (Kanamori dan Fujita, 1981). Gambar 5.9. Kartun sketsa interpretasi penampang vertikal plot hiposenter relokasi, sketsa menggambarkan subduksi slab, magma G. Merapi, dan double seismic zone. Lingkaran biru adalah hiposenter setelah relokasi, bintang merah adalah fokus gempa bumi Yogyakarta

51 Pada beberapa zona subduksi, gempa bumi pada kedalaman 50 hingga 200 km menunjukkan adanya dua bidang distribusi dari sumber gempa bumi yang dipisahkan jarak 20 hingga 40 km. Pada bidang bagian atas menyiratkan gempa bumi terjadi pada subducting oceanic crust, sedangkan gempa bumi bidang bagian bawah terjadi pada subducting oceanic mantle. Pada bidang bagian bawah tersebut bersesuaian dengan lokasi proses reaksi antigorite (serpentine) yang menghasilkan forsterite, enstatite dan H2O. Hal ini menyiratkan gempa bumi pada bidang bagian bawah dari zona seismik ganda kemungkinan dipicu oleh dehydration embrittlement, yang berarti bahwa subducting oceanic mantle mengalami dehidrasi parsial (Simon, 2001). Brudzinski dkk (2007) menganalisis 30 segmen zona seismik ganda di 16 zona subduksi dengan usia lempeng dan orientasi stress yang bervariasi. Mereka menyimpulkan bahwa jarak antara dua bidang dari sumber gempa bumi dari zona seismik ganda bertambah dengan bertambahnya usia lempeng. Selain itu dinyatakan bahwa terbentuknya zona seidmik ganda lebih konsisten terhadap dehidrasi antigorite daripada chlorite. Pada Gambar 4.14.a dan 4.14.b ditunjukkan masing-masing adalah histogram residual waktu tempuh tanpa menggunakan data diferensial dan histogram residual menggunakan data diferensial (tomodd). Residual waktu tempuh (tomodd) dihitung relatif terhadap model yang digunakan. Hasilnya sebagian besar dari residual waktu tempuh mendekati nol. Rata-rata residual dari tiap-tiap gempa bumi adalah 0, detik, residual negatif terbesar adalah -6,3 detik dan residual positif terbesar adalah 6,8 detik. Nilai residual maksimum mengindikasikan pergeseran pusat gempa bumi setelah relokasi sejauh 47,6 km dengan asumsi rata-rata kecepatan gelombang P adalah 7 km/detik. Residual yang besar kemungkinan disebabkan akurasi yang rendah saat picking waktu tiba gelombang P. Oleh karena itu, histogram residual ini secara langsung merefleksikan pengaruh struktur atau anomali kecepatan terhadap penjalaran gelombang P. Relokasi hiposenter gempa bumi pada penelitian ini dilakukan secara inversi simultan dengan struktur kecepatan gelombang seismik. Oleh karena itu hasil 51

52 relokasi hiposenter dipengaruhi struktur kecepatan awal, jumlah dan distribusi gempa bumi, jumlah dan distribusi stasiun serta geometri antara posisi gempa bumi dan posisi stasiun pencatat. Oleh karena itu, posisi sumber gempa bumi yang berada di tengah atau dalam jaringan seismograf akan memberikan hasil penentuan lokasi hiposenter ataupun relokasi hiposenter yang relatif lebih akurat. Relokasi hiposenter secara umum dilakukan untuk memperbaiki hiposenter hasil perhitungan cepat. Seiring dengan perjalanan waktu akan terdapat penambahan data sehingga dapat digunakan untuk relokasi hiposenter untuk mendapatkan hasil relokasi yang diharapkan lebih akurat. Pada penelitian ini relokasi dilakukan dengan menggunakan metode double-difference yang memerlukan jumlah gempa bumi tertentu sehingga pada akhirnya akan membentuk klaster hiposenter yang berasal dari sumber dan mekanisme yang mirip. Dari hasil proses relokasi gempa bumi akan diperoleh katalog gempa bumi yang berkualitas yang berguna untuk penelitian kegempaan lebih lanjut. 5.3 Simpulan Dari hasil relokasi gempa bumi katalog MERAMEX menggunakan tomodd dapat disimpulkan bahwa episenter hasil relokasi memiliki pergeseran maksimum 50 km dan hanya 4 gempa bumi yang memiliki pergeseran lebih dari 20 km. Pergeseran yang relatif besar dari posisi gempa bumi ini kemungkinan disebabkan kekurang-tepatan picking waktu tiba gelombang gempa bumi. Perubahan lokasi hiposenter gempa bumi, terutama pada kedalaman 10 hingga 30 km, mengindikasikan adanya lineasi yang jelas arah/kemiringan subduksi lempeng. Distribusi hiposenter terlihat lebih terfokus setelah proses relokasi. Pemisahan dua bidang posisi gempa bumi pada zona seismik ganda teridentifikasi dengan lebih jelas dari hasil relokasi mengunakan inversi simultan tomodd. 52

53 BAB VI Struktur Kecepatan Gelombang Seismik Di Bawah Jawa Bagian Tengah Menggunakan Tomografi DoubleDifference Dan Inversi Gabungan Katalog Data Gempa Bumi MERAMEX dan BMKG Hasil penelitian tomografi oleh Widiyantoro dan van der Hilst (1996, 1997) menunjukkan slab litosfer di bawah Jawa kemungkinan kontinyu dari permukaan hingga ke dalam mantel bagian bawah. Hasil penelitian tomografi skala regional terdahulu di bawah Jawa menunjukkan struktur kerak bumi bagian dalam dengan jelas hingga kedalaman sekitar 1200 km. Tomografi regional yang telah dilakukan menggunakan ukuran grid yang besar (0,5º) dan tujuannya untuk memetakan struktur dengan skala luas. Tomografi skala lokal menggunakan ukuran grid (20 km) menghasilkan struktur kerak bumi dangkal dengan terperinci tetapi terbatas pada kedalaman kurang dari 100 km. Penelitian tomografi lokal di Jawa bagian tengah oleh Wagner dkk. (2007) dan Koulakov dkk. (2007) belum mencakup struktur di Jawa bagian tengah bagian barat dan belum menunjukkan penunjaman slab dengan jelas. Beberapa penelitian tomografi lokal terdahulu dilakukan dengan tidak memanfaatkan gempa bumi jauh di luar wilayah penelitian karena gempa bumi ini dapat meningkatkan kesalahan waktu residualnya (Thurber et al, 1995;. Husen et al, 2000 dan 2003;. Paul dkk., 2001; Husen dan Smith, 2004; Reyners et al, 2006;. Dias et al, 2007). Sebaliknya, penelitian Koulakov (2009) menyimpulkan gempa bumi di luar wilayah penelitian mungkin tidak menimbulkan masalah dalam tomografi lokal, tetapi bisa meningkatkan resolusi spasial dari model kecepatan yang dihasilkan. Dengan melakukan pemodelan sintetik, Koulakov (2009) menyatakan kombinasi dari jejak sinar gempa bumi lokal dan regional yang datang dari arah yang berbeda akan meningkatkan resolusi spasial dan meningkatkan penetrasi kedalaman model tomografi, namun penelitian Koulakov (2009) tidak melakukan inversi data riil. Penelitian tomografi gabungan katalog data gempa bumi lokal (MERAMEX) dan regional (BMKG) diharapkan mampu 53

54 mencitrakan struktur kecepatan gelombang P dan S di bawah Jawa bagian tengah secara terperinci. Implikasi struktur tersebut berupa fitur tektonik baru yang belum pernah terungkap pada hasil penelitian sebelumnya. 6.1 Data dan Metode Dalam penelitian ini dilakukan inversi gabungan dari katalog data gempa bumi MERAMEX dan BMKG (Gambar 6.1). Data gempa bumi regional yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari buletin bulanan gempa bumi hasil rekaman jaringan seismograf permanen regional dari Sistem Peringatan Dini Tsunami Indonesia (InaTEWS), BMKG. Hiposenter dari katalog data gempa bumi BMKG pada awal penentuannya diperoleh secara otomatis kemudian dilakukan reanalisis (picking) ulang secara manual (quality control). Jumlah stasiun seismograf BMKG yang digunakan adalah 36 stasiun (Tabel I), yang terletak di Lampung, Jawa dan Bali. Katalog data gempa bumi BMKG berjumlah gempa bumi yaitu gempa bumi yang terjadi di wilayah Jawa (5º - 11º LS dan 105º - 115º BT) dari April 2009 hingga Februari Magnitudo gempa bumi tersebut berkisar 2-7,5 pada skala Richter dan kedalaman berkisar km. Dari katalog data gempa bumi BMKG dilakukan seleksi dengan kriteria setiap gempabumi memiliki rekaman minimal 10 fase gelombang P atau S sehingga diperoleh 882 gempa bumi. Tahapan berikutnya adalah melakukan relokasi hiposenter gempa bumi menggunakan hypodd untuk memperoleh hiposenter yang lebih akurat. Hiposenter relokasi ini kemudian diseleksi dimana stasiun dengan RMS lebih besar 6 detik selanjutnya tidak digunakan pada inversi tomodd. Jumlah data waktu tempuh dari gabungan katalog data gempa bumi MERAMEX dan BMKG adalah untuk gelombang P dan untuk gelombang S. Model kecepatan referensi gelombang P dari permukaan hingga kedalaman 20 km merupakan interpolasi dari model oleh Wagner dkk. (2007), sedangkan untuk kedalaman lebih dari 20 km berasal dari interpolasi dari ak135 Model (Kennett et al., 1995). Model referensi gelombang S diperoleh menggunakan nilai yang ditentukan dari Vp/Vs yaitu 1,74 (Gambar 6.2). 54

55 Tabel I. Daftar nama dan koordinat stasiun jaringan seismograf InaTEWS Gambar 6.1. Distribusi gabungan katalog data gempa bumi MERAMEX (292 gempa bumi) dan BMKG (882 gempa bumi) yang digunakan dalam penelitian ini (lingkaran hitam). Segitiga magenta dan kuning menunjukkan masing-masing 169 seismograf MERAMEX dan 36 seismograf BMKG. 55

56 Gambar 6.2. Model referensi 1-D kecepatan gelombang P dan S, modifikasi dari model Wagner dkk. (2007) dan model ak135 oleh Kennett dkk. (1995). Parameterisasi model horizontal untuk inversi tomodd menggunakan titik-titik grid (grid nodes) berjumlah 18 titik grid (timur-barat) dan 16 titik grid (utaraselatan), dengan rotasi 10º dari arah utara seperti yang ditunjukkan pada Gambar 6.3. Jarak antargrid horizontal dan antargrid vertikal tidak seragam. Distribusi grid horizontal adalah 20 km x 20 km di bagian timur dari wilayah penelitian di mana distribusi stasiun seismograf cukup padat, dan distribusi grid berukuran 25 km x 25 km di bagian barat Jawa bagian tengah, dimana hanya ada stasiun seismograf BMKG, sedangkan jumlah lapisan vertikal adalah 14. Pada penelitian ini data yang digunakan adalah data absolut dan diferensial yang berasal dari katalog dan tidak menggunakan data korelasi silang waveform. Perhitungan waktu tempuh teoretis dari sumber ke penerima melalui model kecepatan referensi dilakukan dengan menggunakan ray tracing metode pseudo bending (Um dan Thurber, 1987). Inversi dilakukan dengan menggunakan teknik LSQR mengikuti Paige dan Saunders (1982). Uji resolusi dari citra yang dihasilkan dikontrol menggunakan uji sintetik checkerboard dan analisis distribusi nilai Derivative Weigth Sum (DWS) dari inversi data riil gelombang P dan S. 56

57 Gambar 6.3. Peta wilayah penelitian. Tanda plus hitam menggambarkan grid node jaringan yang digunakan dalam inversi tomografi. Jarak antara titik grid di bagian timur Jawa bagian tengah adalah 20 km x 20 km, dan 25 km x 25 km di bagian barat. Lingkaran hitam menunjukkan distribusi episenter gempa bumi. Segitiga kuning dan magenta masing-masing adalah stasiun MERAMEX dan BMKG. Uji checkerboard dilakukan dengan memberikan perturbasi kecepatan positif dan negatif sebesar ±10% secara bergantian untuk tiap grid node. Selanjutnya waktu tempuh gelombang dihitung melewati model uji tersebut untuk menghasilkan data waktu tempuh sintetik. Data sintetik kemudian diinversi dengan menggunakan model kecepatan referensi. Gambar 6.4 menunjukkan hasil uji checkerboard untuk gelombang P dan S, pada gambar tersebut ditunjukkan bahwa rekontruksi model awal meningkat secara signifikan dari kerak dangkal hingga kedalaman 165 km dari inversi gabungan data MERAMEX dan BMKG. 57

58 Gambar 6.4. (a-f) Hasil uji checkerboard gelombang P dan S pada beberapa kedalaman, gambar pada kolom bagian sebelah kiri, tengah dan kanan masing-masing adalah dari data MERAMEX, data BMKG, dan gabungan data MERAMEX dan BMKG. Gambar (g-l) sama seperti (a-f), tetapi untuk gelombang S. Selain uji checkerboard, kami juga menganalisis nilai Derivative Weigth Sum (DWS) yang menunjukkan ukuran sampling sinar gelombang dari setiap node (Gambar 6.5). Nilai DWS ini dapat berfungsi sebagai ukuran estimasi resolusi (Zhang dan Thurber, 2003, 2006). Wilayah dengan resolusi tinggi biasanya memiliki nilai DWS besar dan bersesuaian dengan zona yang memiliki rekonstruksi checkerboard. 58

59 Gambar 6.5. Plot sebaran nilai DWS inversi data riil gelombang P dan S dari gabungan katalog data gempa bumi MERAMEX dan BMKG pada kedalaman 5, 10, 15 dan 25 km. 59

60 6.2 Hasil dan Diskusi Inversi data riil menggunakan cakupan data dan parameterisasi model yang sama seperti yang digunakan untuk uji resolusi. Peningkatan resolusi hasil inversi gabungan data riil untuk gelombang P menggunakan tomodd ditunjukkan pada Gambar 6.6.b. Beberapa fitur yang tidak teridentifikasi pada inversi hanya menggunakan data MERAMEX (6.6.a) terutama wilayah Jawa Tengah bagian barat dapat dengan jelas dicitrakan dari inversi menggunakan gabungan katalog data gempa bumi MERAMEX dan BMKG. Gambar 6.6.c adalah tomogram selisih antara hasil inversi menggunakan gabungan katalog data gempa bumi dan hasil inversi hanya menggunakan data MERAMEX. Gambar 6.7 (a-c) menunjukkan peta tomogram distribusi horizontal, masingmasing adalah distribusi Vp, Vs dan Vp/Vs. Hasil inversi tomografi mengungkapkan zona anomali kecepatan rendah di permukaan (5 km) pada zona Lawu-Merapi. Keberadaan anomali ini konsisten dengan hasil penelitian sebelumnya oleh Koulakov dkk. (2007). Tomogram struktur kecepatan gelombang seismik yang diperoleh juga menunjukkan beberapa fitur penting yang belum diidentifikasi pada penelitian sebelumnya, seperti zona anomali kecepatan rendah di wilayah Cilacap-Banyumas dan zona anomali kecepatan rendah di Kebumen (Karangsambung). Gambar 6.7 (b) menunjukkan tomogram hasil inversi gelombang S yang memiliki pola yang mirip dengan tomogram gelombang P. Perbedaan pola tomogram kemungkinan disebabkan jumlah sinar gelombang dan lintasan gelombang yang dilalui. Namun demikian, amplitudo perturbasi gelombang S lebih kecil bila dibandingkan dengan amplitudo perturbasi gelombang P, amplitudo perturbasi gelombang S yang rendah dapat diartikan bahwa zona tidak mengandung material panas atau suhu tinggi. Hal ini mendukung hasil inversi hanya menggunakan data MERAMEX (Rohadi dkk, 2012) yang berpendapat bahwa zona anomali Merapi-Lawu di bagian permukaan (5 km) merupakan basin yang terisi sedimen. Patahan Opak pada penelitian ini dengan jelas teridentifikasi pada kisaran kedalaman 5-15 km sebagai suatu kontras anomali. Widiyantoro (2006) juga 60

61 mengamati batas yang tajam antara kecepatan gelombang S rendah dan tinggi di kisaran kedalaman km di dekat sesar tersebut. Berdasarkan hasil penelitiannya diperkirakan batas tersebut adalah tepi landas kontinen selama Oligo-Miosen seperti yang diidentifikasi oleh Hamilton (1979). Namun, Clements dkk. (2009) menyatakan adanya perubahan mendadak dalam orientasi shelf edge dan berpendapat bahwa diskontinuitas seismik ini terlebih mungkin mencerminkan perbedaan antara kerak benua tua dan kerak benua muda ophiolitic yang tipis. Beberapa penelitian telah dilakukan terkait dengan variasi Vp, Vs dan Vp/Vs (misalnya, O'Connell dan Budiansky, 1974; Mavko, 1980; Schmeling, 1985; Nakajima dkk, 2001;. Takei, 2002; Kurashimo dan Hirata, 2004; Nakajima dkk, 2006, Nugraha dan Mori, 2006). Mereka mencatat nilai Vp/Vs, yang proporsional dengan Poisson s ratio, merupakan parameter elastis penting yang sensitif terhadap kondisi termal Bumi. Pada Gambar 6.7 (c) ditunjukkan distribusi horizontal nilai Vp/Vs, meskipun secara teoritis penentuan Vp/Vs kurang fair karena berbeda jumlah sinar gelombang P dan S yang melalui setiap node jaringan. Namun, untuk mensiasati hal tersebut model Vp/Vs diplot hanya untuk titik grid dengan DWS tinggi (DWS> 500) baik gelombang P ataupun S. Zona anomali kecepatan rendah yang kuat dengan Vp rendah, Vs rendah dan Vp/Vs rendah (<1,6) teridentifikasi antara zona Cilacap-Banyumas. Kami menafsirkan fitur ini kemungkinan sebagai material fluida dengan rasio aspek tinggi (high aspect ratio) atau sedimen. Zona ini memiliki kesesuaian dengan keberadaan basin yang berisi sedimen di wilayah tersebut. Zona anomali negatif di Kebumen bersesuaian dengan zona yang diperkirakan sebagai ekstensi basin laut di permukaan (van Bemmelen, 1949). Vp rendah, Vs rendah dan Vp/Vs rendah dalam kerak bumi tepat di bawah gunung api aktif di wilayah penelitian dapat mengindikasikan adanya H2O dengan rasio aspek tinggi (bukan hanya material leleh). Londono (2002) mengidentifikasi zona anomali Vp dan Vp/Vs rendah ditemukan disekitar kawah aktif pada kedalaman 0-2 km dari puncak Gunung Nevada del Ruis (Columbia), zona anomali ini berasosiasi dengan sistem 61

62 geotermal yang didominasi oleh uap. Zona dengan Vp dan Vp/Vs yang tinggi dibawah kawah aktif pada kedalaman 5 km berasosiasi dengan intrusi magma. Laigle dkk. (2000) melakukan penelitian tomografi di Mount Etna menyatakan bahwa material masif dengan Vp tinggi memiliki Vp/Vs heterogen, pada zona tersebut bila nilai Vs relatif rendah dicurigai merupakan material leleh atau fractured dan berperan sebagai penghubung tekanan atau zona transpor. Penelitian tomografi lokal Husen dkk. (2000) di subduksi dangkal di Chile utara menyimpulkan bahwa nilai Vp/Vs tinggi pada oceanic crust mungkin mengindikasikan naiknya konten fluida. Takei (2002) menyatakan bahwa sangat penting mempertimbangkan geometri porositas skala kecil pada saat interpretasi Vp, Vs, dan nilai d (ln Vs)/d (ln Vp) untuk menganalisis perilaku keberadaan fluida. Nilai Vp/Vs tinggi dimana terjadi gempa bumi low frequency, di wilayah tersebut ditemukan perubahan Vs yang lebih besar daripada Vp. Takei memperkirakan bahwa pergerakan fluida kemungkinan sebagai penyebab gempa bumi low frequency. Zona dengan nilai Vp rendah, Vs rendah, dan Vp/Vs tinggi terdistribusi disepanjang front vulkanik pada mantel atas dan menurun menuju ke sisi back-arc di tepian atau di ujung batas mantel. Nilai Vp rendah, Vs rendah, dan Vp/Vs tinggi ditafsirkan sebagai material leleh (partial melted). Penelitian Nakajima dkk. (2005) tentang struktur 3-D Vp/Vs dan implikasinya terhadap busur magmatik dan fluida di timur laut Jepang menyatakan bahwa nilai rata-rata Vp/Vs ~1,69 di kerak atas, ~1,75 di kerak yang lebih dalam, dan ~1,77 di mantel atas. Sebagai bahan perbandingan nilai Vp/Vs dari beberapa batuan dapat dilihat pada Lampiran (Tabel 3.1). Perbedaan nilai Vp/Vs tersebut terutama mencerminkan variasi litologi terhadap kedalaman. Penelitian struktur 3-D Bungo Channel dan Shikoku oleh Nugraha dkk. (2006) menyatakan bahwa gempa low frequency terjadi di wilayah dengan nilai Vp/Vs tinggi, yaitu dibagian atas subduksi slab. Material kuat pada region tersebut terlalu lambat dalam mengakumulasi stress, sehingga disimpulkan material tersebut adalah batuan sedimen muda tersaturasi air. Daly dkk. (2008) mendapatkan bahwa keberadaan Vp/Vs yang tinggi pada suatau interval kedalaman tertentu menyiratkan bahwa terdapat intrusi cooled mafic. 62

63 Gambar 6.6. Hasil inversi tomodd gelombang P menggunakan data: (a) MRX (MERAMEX), (b) MRX (MERAMEX) dan BMKG, dan (c) selisih antara dua model, yaitu (b) - (a). 63

64 Gambar 6.7. Hasil inversi tomodd: (a) gelombang P, (b) gelombang S dan (c) Vp/Vs, plot tomogram hanya untuk grid node dengan nilai DWS lebih besar dari 500. Segitiga berwarna coklat adalah lokasi gunung berapi. 64

65 Gambar 6.8. Penampang vertikal: (a) tomogram gelombang P dan (b) hasil uji checkerboard. Lingkaran coklat adalah hiposenter setelah relokasi, garis abu-abu adalah slab model global USGS. Pada Gambar 6.8 disajikan penampang vertikal tomografi Vp, tomogram ini mengindikasikan adanya beberapa fitur struktural yang menonjol. Misalnya, penampang vertikal A-A' menggambarkan anomali kecepatan tinggi di bawah bagian barat Jawa Tengah, yang mungkin berhubungan dengan subduksi lempeng 65

66 Indo-Australia. Penampang vertikal C-C' menegaskan perbedaan dari interpretasi penelitian sebelumnya oleh Koulakov dkk. (2007) yaitu bahwa magma berasal vertikal dari bawah Merapi, tetapi dari tomogram tampak bahwa magma cenderung berasal dari arah selatan bawah Merapi (Gambar 6.8 dan 6.9). Anomali kecepatan rendah di bawah Cilacap, Banyumas dan Kebumen yang dengan jelas teridentifikasi mengindikasikan zona tersebut berbatasan dengan zona anomali kecepatan tinggi. Zona anomali seperti ini merupakan zona lemah sehingga bila terjadi akumulasi stress maka sangat berpotensi terjadi gempa bumi. Stress pada zona ini dapat berasal dari aktivitas subduksi dan dinamika kerak bumi oleh pengaruh temperatur dan tekanan tinggi dari material dalam kerak bumi. Hasil relokasi hiposenter ditunjukkan pada Gambar 6.10, distribusi sumber gempa bumi hasil relokasi tomodd lebih fokus dibandingkan dengan katalog awal, terutama di ruang tempat gempa bumi ini terklaster dengan baik. Gambar 6.9. Kartun sketsa interpretasi penampang vertikal tomogram kecepatan gelombang P, sketsa menggambarkan subduksi slab (anomali positif), magma (anomali negatif), fokal mekanisme gempa bumi Yogyakarta

67 Gambar Perbandingan antara (a) distribusi dari sumber gempa bumi sebelum relokasi dan (b) Posisi sumber gempa bumi setelah relokasi menggunakan tomodd. Gambar Perbandingan histogram dari residual waktu tempuh berdasarkan hasil inversi tomodd menggunakan (a) struktur kecepatan 3-D konstan dan (b) struktur kecepatan 3-D diperbarui. Pencaran sumber gempa bumi hasil relokasi gempa bumi jauh merupakan konsekuensi dari pendekatan umum oleh Zhang dan Thurber (2003), dengan asumsi bahwa untuk gempa bumi berjarak dekat (klaster) heterogenitas kecepatan adalah independen terhadap lokasi, tetapi tidak berlaku untuk gempa bumi yang berjarak jauh. Konsekuensi asumsi ini menyebabkan lokasi gempa bumi dapat bias untuk gempa bumi yang berjarak jauh. 67

68 Pada saat inversi relokasi hiposenter menggunakan tomodd dicoba dilakukan dengan dua skema inversi yang berbeda. Skema inversi pertama, inversi hanya untuk relokasi hiposenter sehingga perturbasi hanya untuk parameter hiposenter sedangkan struktur model kecepatan 3-D dibuat tetap. Pada skema inversi kedua, inversi dilakukan secara simultan antara relokasi hiposenter dan struktur kecepatan 3-D. Hasil perbandingan residual waktu tempuh disajikan pada Gambar Dari histogram tersebut ditunjukkan residual waktu tempuh tampak lebih dominan mendekati nol ketika skenario kedua dijalankan. 6.3 Simpulan Dari hasil inversi tomografi menggunakan tomodd dan gabungan data MERAMEX dan BMKG mengindikasikan adanya anomali kecepatan rendah di zona Merapi-Lawu yang konsisten dengan hasil penelitian terdahulu. Zona anomali tersebut kemungkinan sebagai basin besar berisi sedimen di permukaan. Zona anomali kecepatan rendah yang kuat dengan Vp rendah, Vs rendah dan Vp/Vs rendah juga teridentifikasi dari Cilacap hingga Banyumas. Zona anomali kecepatan rendah di Banyumas ini kemungkinan merupakan material yang memiliki aspek rasio besar atau lapisan sedimen. Zona anomali ini mengindikasikan kesesuaian dengan keberadaan basin yang berisi sedimen seperti yang diungkapkan ahli geologi sebelumnya. Sebuah zona anomali kecepatan rendah juga terdeteksi di Karangsambung, Kebumen, yang bersesuaian dengan tempat ekstensi basin samudera di permukaan. Penampang vertikal tomogram Vp dan Vp/Vs mengindikasikan bahwa sumber magma Gunung Merapi tidak vertikal dari bawah tetapi cenderung muncul dari selatan bawah Gunung Merapi. Penampang vertikal di bawah bagian barat Jawa Tengah teridentifikasi pola anomali kecepatan tinggi, yang mungkin mengindikasikan subduksi lempeng Indo-Australia. Meskipun demikian dari hasil penelitian ini, beberapa fitur terperinci tetap belum dapat terungkap. Oleh karena itu, penelitian lebih lanjut sangat diperlukan, misalnya dengan meningkatkan cakupan data seismik dari jaringan seismograf baru. Selain itu, penelitian pemodelan gravitasi dan magnetik untuk menghasilkan model yang realistis terkait dengan zona anomali yang baru teramati. 68

69 BAB VII Kesimpulan dan Saran Berdasarkan hasil inversi tomodd dari katalog data gempa bumi MERAMEX di Jawa bagian tengah teridentifikasi zona anomali kecepatan rendah di sekitar wilayah Merapi-Lawu (MLA) yang konsisten dengan hasil penelitan terdahulu. Tomogram struktur kecepatan mengindikasikan bahwa Zona anomali kecepatan rendah semakin bergeser ke selatan terhadap kedalaman. Zona anomali MLA kemungkinan adalah fluida atau melted material yang tertutup sedimen tebal. Fluida pada zona MLA tidak mampu menembus ke atas yang kemungkinan disebabkan tidak adanya gaya dorong yang cukup kuat untuk mampu membentuk kenampakan vulkanisme. Fluida yang baru terbentuk dan memiliki energi tinggi berada di bawah Merapi. Selain itu terdapat indikasi suplai magma Gunung Merapi tidak berasal dari MLA tetapi akibat migrasi fluida langsung dari slab dari arah selatan bawah Gunung Merapi. Posisi hiposenter gempa bumi Yogyakarta 2006 kemungkinan pada kedalaman 35 km yaitu pada kerak rigid di batas antara dua blok anomali kecepatan rendah. Solusi momen tensor gempa bumi Yogyakarta 2006 menunjukkan pola strike-slip, mekanisme strike-slip kemungkinan terjadi akibat kompresi masif di kerak forearc (dari arah selatan) pada media yang heterogen. Hasil relokasi katalog data gempa bumi MERAMEX menggunakan tomodd menunjukkan adanya pergeseran episenter relokasi maksimum 50 km dan 4 gempa bumi memiliki pergeseran lebih dari 20 km. Pergeseran yang relatif besar dari posisi relokasi gempa bumi ini kemungkinan disebabkan kekurang-tepatan picking waktu tiba gelombang gempa bumi atau gempa bumi tidak membentuk klaster dengan gempa bumi yang lain. Perubahan lokasi hiposenter gempa bumi terutama pada kedalaman 10 hingga 30 km mengindikasikan adanya lineasi yang jelas arah/kemiringan subduksi lempeng. Distribusi hiposenter secara umum terlihat lebih fokus setelah proses relokasi. Selain itu, relokasi mengunakan inversi tomodd menghasilkan sebaran kedalaman yang mengindikasikan dengan lebih jelas zona seismik ganda. 69

70 Hasil inversi tomografi menggunakan gabungan katalog data gempa bumi MERAMEX dan BMKG mengindikasikan adanya zona anomali kecepatan rendah gelombang seismik di wilayah Merapi-Lawu, zona anomali ini kemungkinan adalah sebuah basin besar berisi sedimen. Zona anomali di zona Merapi-Lawu konsisten dengan hasil inversi hanya menggunakan data MERAMEX menggunakan inversi tomodd dan konsisten dengan hasil penelitian tomografi sebelumnya. Zona anomali kecepatan rendah yang kuat dengan Vp rendah, Vs rendah dan Vp/Vs rendah di beberapa zona dari wilayah penelitian kemungkinan merupakan material yang memiliki aspek rasio besar atau lapisan sedimen. Zona anomali Vp rendah, Vs rendah dan Vp/Vs di Banyumas bersesuaian dengan keberadaan basin yang berisi sedimen. Zona anomali kecepatan rendah di Karangsambung, Kebumen bersesuaian dengan ekstensi basin samudera di permukaan yang merupakan palung samudera di masa Kapur. Penampang vertikal dari tomogram Vp dan Vp/Vs mengindikasikan bahwa suplai magma Gunung Merapi tidak vertikal dari bawah tetapi cenderung muncul dari selatan bawah Gunung Merapi pada kedalaman sekitar 40 hingga 50 km. Subduksi lempeng Indo-Australia jelas teridentifikasi di bawah bagian barat Jawa bagian tengah yang dicitrakan sebagai pola anomali kecepatan tinggi. Meskipun demikian dari hasil penelitian ini, beberapa fitur terperinci tetap belum dapat terungkap disebabkan keterbatasan cakupan data gempa bumi dan densitas stasiun. Oleh karena itu, penelitian lebih lanjut sangat diperlukan dengan meningkatkan cakupan data seismik dari jaringan seismograf yang lebih rapat. Selain itu penelitian pemodelan gravitasi dan magnetik untuk menghasilkan model yang realistis terkait dengan zona anomali terutama di wilayah CilacapBanyumas dan Kebumen. 70

71 DAFTAR PUSTAKA Beauducel, F. dan Cornet, F. H. (1999): Collection and three-dimensional modeling of GPS and tilt data at Merapi volcano, Java, Journal of Geophysical Research 104 (B1), Camus, G. A., Gourgaud, P. C., Mossand-Berthommier, P. C., dan Vincent, P. M. (2000): Merapi (Central Java, Indonesia): an outline of the structural and magmatological evolution, with a special emphasis to the major pyroclastic events. J. Volcanol. Geother. Res. 100, Clements, B., Hall, R., Smyth, H. R., dan Cottam, M. A. (2009): Thrusting of a volcanic arc: a new structural model for Java, Petroleum Geoscience 15, Daly, E., Keir, D., Ebinger, C. J., Stuart, G. W., Bastow, I. D., dan Ayele, A. (2008): Crustal tomographic imaging of a transitional continental rift: the Ethiopian rift, Journal of Geophysical Research 172, Dias, N. A., Matias, L., Lourenço, N., Madeira, J., Carrilho, F., dan Gaspar, J. L. (2007): Crustal seismic velocity structure near Faial and Pico Islands (AZORES), from local earthquake tomography, Tectonophysics 445, Domenico, S. N. (1984): Rock lithology and porosity determination from shear and compressional wave velocity, Geophysics 49, 182, 266 Dorbath, C., Gerbault, M., Carlier, G., dan Guiraud, M. (2008): Double seismic zone of the Nazca plate in northern Chile: High-resolution velocity structure, petrological implications, and thermomechanical modelling. Geochemistry Geophysisc Geosystem 9, Dunn, M. (2004): Relocation of Eastern Tennessee Earthquakes using HypoDD. Master thesis, Virginia Polytechnic Institute and State University, Blackburg. Evans, J. R., dan Zucca, J. J. (1993): Active source, high resolution (NeHT) tomography: Velocity and Q, In: Iyer, H. M., and K. Hirahara (editors) (1993): Seismic Tomography: Theory and Practice, Chapman and Hall, London,

72 Fukao, Y., Obayashi, M., Inoue, H., dan Nenbai, M. (1992): Subducting slabs stagnant in the mantle transition zone, Journal of Geophysical Research 97, Hamilton, W. (1979): Tectonics of Indonesian region. USGS Prof. Paper 1078, 345. Hasegawa, A., Umino, N., dan Takagi, A. (1978): Double- planed deep seismic zone and upper-mantle structure in the Northeastern Japan Arc, Journal of Geophysical Research 54, Howell, B. F. JR. (1959): Introduction to Geophysics, McGraw-Hill Book Company, New York-Toronto-London. Husen, S., Kissling, E., dan Flueh, E. R. (2000): Local earthquake tomography of shallow subduction in north Chile: A combined onshore and offshore study, Journal of Geophysical Research 105, 28,183 28,198. Husen, S., Quintero, R., Kissling, E., dan Hacker, B. (2003): Subduction-zone structure and magmatic processes beneath Costa Rica constrained by local earthquake tomography and petrological modeling, Geophys. J. Int. 155, Husen, S., dan Smith, R. B. (2004): Probabilistic earthquake relocation in threedimensional velocity models for the Yellowstone National Park region, Wyoming, Bull. Seism. Soc. Am. 94, Kennett, B. L. N., Engdahl, E. R., dan Buland, R. (1995): Constraints on seismic velocities in the Earth from traveltimes, Geophys. J. Int. 122, Koulakov, I., Bohm, M., Asch, G., Luhr, B. G., Manzanares, A., Brotopuspito, K. S., Fauzi, Purbawinata, M. A., Puspito, N. T., Ratdomopurbo, A., Kopp, H., Rabbel, W, dan Shevkunova, E. (2007): P- and S-velocity structure of the crust and the upper mantle beneath central Java from local tomography inversion, Journal of Geophysical Research 112, B08310, doi: /2006jb Koulakov, I. (2009): Out-of-network events can be of great importance for improving results of local earthquake tomography, Bull. Seism. Soc. Am. 99,

73 Kurashimo, E., dan Hirata, N. (2004): Low Vp and Vp/Vs zone beneath the northern Fossa Magna basin, central Japan, derived from a dense array observation, Earth Planets Space 56, Laigle, M., Hirn A., Sapin M., dan Lepine J. C. (2000): Mount Etna dense array locall earthquake P and S tomography and implication for volcanic plumbing, Journal of Geophysical Research 105, 21,633-21,646. Londono, J. M. (2002): A Seismic Model for the Volcanic Activity of Nevado del Ruiz Volcano, Colombia, Ph.D Thesis, Kyoto University. Luschen, E., Sobolev, S., Werner, U., Sollner, W., Fuchs, K., Gurevich, B., dan Hubral, P. (1993): Fluid reservoir (?) beneath the KTB Drillbit indicated by seismic shear-wave observations, Geophys. Res. Lett. 20, Mavko, G. M. (1980): Velocity and attenuation in partially molten rocks, Journal of Geophysical Research 85, Nakajima, J., Takei Y., dan Hasegawa A. (2005): Quantitative analysis of the inclined low-velocity zone in the mantle wedge of northeastern Japan: A systematic change of melt-filled pore shapes with depth and its implications for melt migration, Earth Planet. Sci. Lett. 234, Nakajima, J., Hasegawa, A., Horiuchi, S., Yoshimoto, K., Yoshida, T., dan Umin, N. (2006): Crustal heterogeneity around the Nagamachi-Rifu fault, northeastern Japan, as inferred from travel-time tomography, Earth Planets Space 58, Nakajima, J., Matsuzawa, T., dan Hasegawa, A. (2001): Three-dimensional structure of Vp, Vs and Vp/Vs beneath northeastern Japan: Implications for arc magmatism and fluids, Journal of Geophysical Research 106, 21,843 21,857. Newhall, C. G., Bronto, S., Alloway, B., Banks, N. G., Bahar, I., dan Marmol, M. A. D. (2000): 10000Years of explosive eruptions of Merapi volcano, Central Java: archaeological and Modern Implications, J. Volcanol. Geother. Res. 100, Nugraha, A. D., dan Mori, J. (2006): Three-dimensional velocity structure in the Bungo Channel and Shikoku area, Japan, and its relationship to low 73

74 frequency earthqauke, Geophys. Res. Lett. 33, L24307, doi: /2006gl Nugraha, A. D., Widiyantoro, S., Gunawan, A., dan Suantika, G. (2013): Seismic velocity structures beneath the Guntur volcano complex, West Java, derived from simultaneous tomographic inversion and hypocenter relocation, ITB J. Sci. 45A. No.1, Nur, A. (1987): Seismic rock properties for reservoir descriptions and monitoring. In: Nolet, G. (editor), Seismic Tomography, D. Reidel Publishing Company, Dordrecht, O Connell, R. J., dan Budiansky, B. (1974): Seismic velocities in dry and saturated cracked solids, Journal of Geophysical Research, 79, Paige, C. C., dan Saunders, M. A. (1982): LSQR: Sparse linier equations and least squares problems, ACM Transactions on Mathematical Software, 8/2, Paul, A., Cattaneo, M., Thouvenot, F., Spallarossa, D., Bethoux, N., dan Frechet, J. (2001): A three-dimensional crustal velocity model of the south-western Alps from local earthquake tomography, Journal of Geophysical Research 106, No. B9 19,367 19,389. Pavlis, G. L. (1986): Appraising earthquake hypocenter location errors: a complete practical approach for single-event location. Bull Seism. Soc. Am. 76, Priyono, A., Suantika, G., Widiyantoro, S., dan Surono (2011a): Threedimensional P- and S-wave velocity structure of Mt. Guntur, West Java, Indonesia, from seismic tomography, International Journal of Tomography and Statistics 16, No. W11, Priyono, A., Suantika, G., Widiyantoro, S., dan Nugraha, A. D. (2011b): Threedimensional seismic attenuation structure of Mt. Guntur, West Java, Indonesia, International Journal of Tomography and Statistics 17(S11), Puspito, N. T., Yamanaka, Y., Miyatake, T., Shimasaki, K., dan Hirahara, K. (1993): Three-dimensional P-wave velocity structure beneath the Indonesian region, Tectonophysics 220,

75 Puspito, N. T. dan Shimazaki, K. (1995): Mantel structure and seismo-tectonics of the Sunda and Banda arcs, Tectonophysics 251, Reyners, M., Eberhart-Phillips, D., Stuart, G., dan Nishimura, Y. (2006): Imaging subduction from the trench to 300 km depth beneath the central North Island, New Zealand, with Vp and Vp/Vs, Journal of Geophysical Research 87, No. B5, Rohadi, S., Widiyantoro, S., Nugraha, A. D., dan Masturyono (2012): Pencitraan Struktur 3-D Kecepatan Gelombang Seismik Menggunakan Metode Tomografi Double-Difference dan Data Gempa di Jawa Tengah, JTM, Vol XIX, No.2, Schmeling, H. (1985): Numerical models on the influence of partial melt on elastic, anelastic and electric properties of rocks, Part 1: Elasticity and anelasticity, Phys. Earth Planet. Inter. 41, Setijadji, L. D. dan Watanabe, K. (2007): Assessing impacts of Yogyakarta earthquake 27 May 2006 on volcanic eruptions of Merapi volcano (central Java, Indonesia) and consequences on future volcanic risk mitigation, Geophysical Research Abstracts, Vol. 9, Shelly, D. R., Beroza, G. C., Zhang, H., Thurber, C. H., dan Ide, S. (2006): Highresolution subduction zone seismicity and velocity structure beneath Ibaraki Prefecture, Japan, Journal of Geophysical Research 111, B Takei, Y. (2002): Effect of pore geometry on Vp/Vs: From equilibrium geometry to crack, Journal of Geophysical Research 107 (B2), 2043, doi: /. 2001JB Thurber, C. H., Atre, S. R., dan Eberhart Phillips, D. (1995): Three-dimensional Vp and Vp/Vs structure at Loma Prieta, California, from local earthquake tomography, Geophys. Res. Lett. 22, No. 22, Tiede, C., Camacho, A. G., Gerstenecker, C., dan Fernandez, J. (2005): Modelling the density at Merapi volcano area, Indonesia, via the inverse gravimetric problem, Geochem., Geophys., Geosys. (G3), 6(9), Um, J., dan Thurber, C. H. (1987): A fast algorithm for two-point seismic ray tracing, Bull. Seism. Soc. Am. 77,

76 Van Bemmelen, R. W. (1949): The Geology of Indonesia, Vol. 1A, 732 pp., Government Printing Office, The Hague, Netherlands. Volarovich, P., dan Budnikov, V. A. (1978/79): Velocities of Elastic Waves and Vp/Vs Ratios in Dry and Water-Saturated Rock Samples at High Pressure, Pageoph Wagner, D., Koulakov, I., Rabbel, W., Luehr, B. G., Wittwer, A., Kopp, H., Bohm, M., dan Asch, G. (2007): Joint inversion of active and passive seismic data in central Java, Geophys. J. Int. 170 (2), , doi: /j X x. Waldhauser, F., dan Ellsworth, W. L. (2000): A double-difference earthquake location algorithm: Method and application to the Northern Hayward Fault, California, Bull. Seism. Soc. Am. 90, Wessel, P., dan Smith, W. M. F. (1991): Free software helps map and display data, Eos Trans. AGU 72 (41), 441. Wessel, P., dan Smith, W. H. F. (2003): The Generic Mapping Tools Version Widiyantoro, S. (2008): Seismisitas dan Model Zona Subduksi di Indonesia Resolusi Tinggi, Seminar Haki. Widiyantoro, S. (2006): Learning from the May 27, 2006 Yogya-central Java destructive earthquake, In: Proceedings, The 31st Indonesian Association of Geophysicists (HAGI) Annual Convention and Exhibition, Semarang, Indonesia. Widiyantoro, S., Pesicek, J. D., dan Thurber, C. H. (2011): Subducting slab structure below the eastern Sunda arc inferred from non-linear seismic tomographic imaging, J. Geol. Soc. London 355, Widiyantoro, S., dan van der Hilst, R. D. (1996): Structure and evolution of lithospheric slab beneath the Sunda arc, Indonesia, Science 271, Widiyantoro, S., dan van der Hilst, R. D. (1997): Mantle structure beneath Indonesia inferred from high-resolution tomographic imaging, J. Geophys. Int. 130,

77 Widiyantor, S., dan Puspito, N. T. (1998): Tomografi Waktu Tempuh Gelombang S dan Struktur 3-D Zona Penunjaman Di Bawah Busur Sunda, JMS, Vol. 3 No. 2, Wolfe, C. J. (2002): On the mathematics of using difference operators to relocate earthquakes, Bull. Seism. Soc. Am. 92, Zhang, H., dan Thurber, C. H. (2003): Double-difference tomography: The method and its application to the Hayward fault, California, Bull. Seism. Soc. Am. 93(5), Zhang, H., dan Thurber, C. H. (2005): Adaptive mesh seismic tomography based on tetrahedral and Voronoi diagrams: Application to Parkfield, California, Journal of Geophysical Research 110, Issue B4, CiteID B04303 Zhang, H., dan Thurber, C.H. (2006): Development and applications of doubledifference seismic tomography, Pure appl. Geophys. 163, Global CMT Catalog, Global CMT web page. Web BMKG, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. SAC Software, IRIS web page. United States Geological Survey web page. earthquakes/eqarchives/epic/epic_rect.php. United States Geological Survey web page. data/slab/ 77

78 Riwayat Hidup Ia dilahirkan pada tanggal 28 Oktober 1969 di Purworejo, Jawa tengah. Ia lulus dari SMA Negeri I Purworejo pada tahun 1989 dan memperoleh gelar Diploma III Geofisika pada tahun 1994 di Akademi Meteorologi dan Geofisika. Pada tahun 2000 ia memperoleh gelar Sarjana Fisika di Universitas Indonesia. Gelar S2 sains Kebumian ITB diraih pada tahun Sejak tahun 1995 ia bekerja di Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) sebagai staf pada Balai Besar Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Wilayah II Ciputat sampai sekarang. Dari pernikahannya dengan Pudji Setyani, penulis dikarunia tiga orang puteri, Nurul Alma Febriyanti (15 tahun), Nurul Hana Wulandari (12 tahun) dan Nurul Risa Danastri (3 tahun). 78

79 Daftar publikasi selama penelitian: 1. Rohadi, S., Widiyantoro, S., Nugraha A. D., dan Masturyono (2013): Tomographic Imaging of P- and S-wave Velocity Structure Beneath Central Java, Indonesia: Joint Inversion of the MERAMEX and MCGA Earthquake Data, the International Journal of Tomography and Simulations, IJTS, Issue No. 3, Vol Rohadi, S., Widiyantoro, S., Nugraha A. D., dan Masturyono (2013): Tomographic Imaging of Central Java, Indonesia: Preliminary Result of Joint Inversion of the MERAMEX and MCGA Earthquake Data, AIP Conference Proceedings. 3. Rohadi, S., Widiyantoro, S., Nugraha A. D., dan Masturyono (2012): Relokasi Hiposenter Menggunakan Inversi Tomografi Double-Difference Simultan dan Data Dari Katalog MERAMEX, JTM Vol.XIX ITB. 4. Rohadi, S., Widiyantoro, S., Nugraha A. D., dan Masturyono (2012): Pencitraan Struktur 3-D Kecepatan Gelombang Seismik Menggunakan Metode Tomografi Double-Difference dan Data Gempa di Jawa Tengah, JTM Vol.XIX ITB. 5. Nugraha, A. D., Sakti, A. P., Rohadi, S., dan Widiyantoro, S. (2012): Geological Features Inferred from Local Seismic Tomography in the Sunda Strait and West Java regions, Indonesia, Poster Session, AGU Fall Meeting, 2, San Francisco. 6. Rohadi, S., Widiyantoro, S., Nugraha A. D., dan Masturyono (2012): Pencitraan Struktur 3-D Kecepatan Gelombang Seismik Menggunakan Metode Tomografi Double-Difference dan Data Gempa di Jawa Tengah (Preliminary Result), PROCEEDINGS PIT IAGI ke 41, Yogyakarta. 7. Rohadi, S., Widiyantoro, S., Nugraha A. D., dan Masturyono (2012): Pencitraan Struktur 3-D Kecepatan Gelombang Seismik Menggunakan Metode Tomografi Double-Difference dan Data Gempa di Jawa Tengah, Abstrak PIT HAGI ke 37, Palembang. 8. Rohadi, S., Widiyantoro, S., Nugraha A. D., dan Masturyono (2011): Relokasi Gempa Menggunakan Metode Tomografi Double-Difference Dan Data Gempa Di Jawa Tengah, Abstrak PIT HAGI ke 36, Palembang. 79

80 9. Yadnya, P. K., Nugraha, A. D., dan Rohadi, S. (2012): Pencitraan Struktur 3D Vp, Vs, Rasio Vp/Vs Menggunakan Tomografi Double Difference di Wilayah Bali, J. Geofisika Vol. 13 No.1. Daftar seminar dan konferensi yang diikuti selama penelitian: 1. Workshop and International Seminar of Earthquake and Precursor Preparedness, Bukit Tinggi, Indonesia, November 2009, pembicara. 2. ITB NTU Earth Sciences Seminar, Singapore, April 2011, pembicara. 3. Simposium Nasional Gempa bumi dan Tektonik Aktif, GREAT ITB, Aula Barat ITB, Januari 2012, pembicara. 4. AOGS-AGU joint Assembly, Agustus 2012, Singapore, pembicara. 5. Seminar PIT HAGI ke-36, September 2011, Makasar, pembicara. 6. Seminar PIT HAGI ke-37, September 2012, Palembang, pembicara. 7. Seminar PIT IAGI ke-41, September 2012, Yogyakarta, pembicara. 8. Simposium Nasional II Gempa bumi dan Tektonik Aktif, GREAT ITB, Nopember 2012, Aula Timur ITB, pembicara. 9. AOGS Annual Meeting, Juni 2013, Brisbane, Australia, poster session. 10. Padjadjaran International Physics Symposium 2013, 7-9 Mei 2013, Jatinangor-Bandung, Jawa Barat, pembicara. 80

81 LAMPIRAN 81

82 LAMPIRAN A Data Gempa Bumi dan Stasiun Jaringan Seismograf MERAMEX dan BMKG Pada lampiran ini ditunjukkan distribusi stasiun MERAMEX dan BMKG serta episenter sumber gempa yang direkam oleh kedua jaringan seismograf tersebut. Selain itu, ditunjukkan struktur kecepatan gelombang seismik yang digunakan pada penelitian ini. Gambar A.1. Plot lokasi stasiun dan sebaran episenter. Segitiga abu-abu adalah stasiun MERAMEX, segitiga kuning adalah stasiun BMKG, lingkaran biru adalah gempa bumi katalog MERAMEX, dan lingkaran merah adalah gempa bumi katalog BMKG. Tabel II. Model awal (1-D) kecepatan gelombang P sebagai model referensi pada inversi gabungan katalog data gempa bumi MERAMEX dan BMKG. 82

83 LAMPIRAN B Diagram Alir Tomografi Realisasi tomografi dilakukan dengan tahapan yang sistimatis, berikut ini adalah diagram alir yang menunjukkan tahapan inversi tomografi waktu tunda (singledifference) dan double-difference. Gambar B.1. Diagram alir inversi tomografi waktu tunda (single-difference). Gambar B.2. Diagram alir inversi tomografi double-difference. 83

84 Gambar B.3. Blok diagram tahapan inversi tomografi data gempa MERAMEX. bumi Gambar B.4. Blok diagram tahapan inversi tomografi data gempa bumi BMKG. 84

85 LAMPIRAN C Program Klastering ph2dt Tiga tahapan penting yang terlibat ketika melakukan relokasi gempa bumi menggunakan metode double-difference (hypodd atau tomodd), yaitu tahapan pertama membentuk pasangan gempa bumi dan menghubungkannya dengan pasangan gempa bumi sekitarnya. Tahapan kedua adalah membentuk klaster gempa bumi dan tahapan yang ketiga adalah relokasi hiposenter menggunakan hypodd atau tomodd. Untuk langkah yang pertama menggunakan program ph2dt yang membentuk hubungan (link) untuk setiap pasangan gempa bumi dengan pasangan gempa bumi di sekitarnya. Ph2dt adalah program untuk menentukan pasangan gempa bumi data fase gelombang P dan S berdasarkan informasi waktu tempuh di suatu stasiun. Tujuan tahap ini adalah mengoptimalkan kualitas pasangan fase dan konektivitas antar gempa bumi. Program ph2dt dibuat untuk menghitung waktu diferensial pasangan gempa bumi dengan memperhitungkan jarak antar hiposenter apakah kurang dari atau sama dengan jarak yang telah ditentukan. Pada program ph2dt terdapat beberapa parameter yang memungkinkan pasangan gempa bumi dibentuk dari gempa bumi yang ada di sekitarnya. MAXDIST adalah jarak maksimum yang dapat diizinkan antara pasangan gempa bumi dengan stasiun. MAXNGH yaitu jumlah maksimum gempa bumi di sekitarnya yang diizinkan pasangan-pasangan untuk dimiliki. MAXOBS adalah jumlah maksimum dari pasangan yang berhubungan. Pasangan-pasangan gempa bumi yang dijadikan pasangan terhadap pasangan lain di sekitarnya akan diurutkan dari yang terdekat hingga yang terjauh. Ph2dt membentuk suatu klaster dengan membangun hubungan setiap gempa bumi hingga mencapai jumlah maksimal gempa bumi tetangga (neighboring events) seperti ditunjukkan nilai parameter MAXNGH dalam radius pencarian yang didefinisikan oleh besarnya nilai MAXSEP. 85

86 Gambar C.1. Skema klustering gempa bumi pada program ph2dt (modifikasi dari Dunn, 2004). Keluaran (output) dari program ph2dt terdiri dari lima file, yaitu dt.ct, dt.cc, gempa bumi.sel, gempa bumi.dat dan ph2dt.log. File dt.ct menyimpan data katalog dan waktu tempuh absolut dari pasangan-pasangan gempa bumi yang dipilih. File dt.cc berisikan perbedaan waktu tempuh bila menggunakan data WCC. Keluaran (output) dari program tomodd terdiri dari tujuh file, yaitu: - tomodd.vel adalah file yang memuat hasil model kecepatan - tomodd.loc adalah file yang memuat hiposenter awal - tomodd.reloc adalah file yang memuat hiposenter relokasi - tomodd.sta adalah file yang memuat residual stasiun - tomodd.res adalah file yang memuat residual data - tomodd.src adalah file yang memuat parameter sumber - tomodd.log adalah file yang memuat informasi waktu yang dibuuhkan untuk running program 86

87 LAMPIRAN D Contoh Format File Kontrol tomodd Lampiran berikut merupakan contoh file kontrol inversi tomodd, dalam file tersebut memuat nama file data stasiun, nama file data gempa bumi, penentuan nilai damping dan pembobotan data. * RELOC.INP: *--- input file selection * cross correlation diff times: * *catalog P diff times: dt.ct10plus282.dat * event file: EventReal_d_BMKG_join.dat * * station file: Stasiun_bmkgmrx_join_urutnomor.dat * *--- output file selection * original locations: syn_noise.loc * relocations: syn_noise.reloc * station information: syn.sta * residual information: syn.res * source paramater information: *hypo3vdd.src *Output velocity new.syn.vel *absolute data ABSReal_MRX_BMKG_joinurutnomor.dat *--- data type selection: * IDAT: 0 = synthetics; 1= cross corr; 2= catalog; 3= cross & cat * IPHA: 1= P; 2= S; 3= P&S * DIST:max dist [km] between cluster centroid and station * IDAT IPHA DIST * *--- event clustering: * OBSCC: min # of obs/pair for crosstime data (0= no clustering) * OBSCT: min # of obs/pair for network data (0= no clustering) * OBSCC OBSCT CC_format * *--- solution control: * ISTART: 1 = from single source; 2 = from network sources * ISOLV: 1 = SVD, 2=lsqr * NSET: number of sets of iteration with specifications following * ISTART ISOLV NSET weight1 weight weight3 air_depth 87

88 * i3d delt1 ndip iskip scale1 scale2 iusep iuses iuseq * invdel ifixl xfac tlim nitpb(1) nitpb(2) stepl * lat_orig lon_orig Z_Orig iorig rota * *--- data weighting and re-weighting: * NITER: last iteration to used the following weights * WTCCP, WTCCS: weight cross P, S * WTCTP, WTCTS: weight catalog P, S * WRCC, WRCT: residual threshold in sec for cross, catalog data * WDCC, WDCT: max dist [km] between cross, catalog linked pairs * DAMP: damping (for lsqr only) * --- CROSS DATA CATALOG DATA ---* NITER WTCCP WTCCS WRCC WDCC WTCTP WTCTS WRCT WDCT WTCD DAMP JOINT THRES * *--- event selection: * CID: cluster to be relocated (0 = all) * ID: cuspids of event to be relocated (8 per line) * CID 0 * ID 88 1

89 LAMPIRAN E Jumlah Data Gempa Bumi Yang Digunakan Pada Inversi tomodd Pada lampiran berikut ditunjukkan jumlah data gempa bumi yang digunakan untuk inversi tomografi baik jumlah data absolut maupun jumlah data diferensial, tahap pertama inversi menggunakan data gempa bumi MERAMEX (MRX), tahap kedua inversi menggunakan data gempa bumi BMKG pada tahap selanjutnya dilakukan inversi gabungan data gempa bumi MERAMEX dan BMKG. 1. Data MRX, jumlah data katalog MERAMEX Reading data... Fri Sep 7 00:57: H # events = 231 # stations < maxdist = 169 MAXDATA= # Absolute catalog P dtimes = 5088 # Absolute catalog S dtimes = 3700 # dtimes total = 8788 # events after dtime match = 193 # stations = Data BMKG, jumlah data katalog BMKG Reading data... Wed Oct 31 02:35: ï ½ # events = 882 # stations < maxdist = 36 MAXDATA= # catalog P dtimes = 72 # catalog S dtimes = 26 # Absolute catalog P dtimes = 9358 # Absolute catalog S dtimes = 3807 # dtimes total = # events after dtime match = 882 # stations = Data BMKGMRX, jumlah gabungan katalog MERAMEX dan BMKG Reading data... Thu Nov 8 07:48: # events = 1114 # stations < maxdist = 205 MAXDATA = # catalog P dtimes = 1390 # catalog S dtimes = 1069 # Absolute catalog P dtimes = # Absolute catalog S dtimes = 8298 # dtimes total = # events after dtime match = 1114 # stations =

90 LAMPIRAN F Hasil Uji Checkerboard Lampiran berikut ini menunjukkan hasil uji checkerboard gelombang P dan S hasil inversi data sintetik untuk MERAMEX (MRX), BMKG dan gabungan MERAMEX dan BMKG. Gambar F.1. Hasil uji checkerboard gelombang P pada kedalaman 5, 10, 15 dan 25 km. 90

91 Gambar F.2. Sama dengan F.1 pada kedalaman 35, 45, 65 dan 75 km. 91

92 Gambar F.3. Sama dengan F.1 pada kedalaman 90, 105, 120 dan 165 km. 92

93 Gambar F.4. Sama dengan F.1 pada kedalaman 210 dan 450 km. 93

94 Gambar F.5. Hasil uji checkerboard gelombang S pada kedalaman 5, 10, 15 dan 25 km. 94

95 Gambar F.6. Sama dengan F.5 pada kedalaman 35, 45, 60 dan 75 km. 95

96 Gambar F.7. Sama dengan F.5 pada kedalaman 90, 105, 120 dan 165 km. 96

97 Gambar F.8. Sama dengan F.5 pada kedalaman 210 dan 450 km. 97

98 LAMPIRAN G Distribusi Nilai DWS Pada lampiran berikut ditunjukkan distribusi nilai DWS hasil inversi data riil MERAMEX (MRX), BMKG dan gabungan MERAMEX dan BMKG. Gambar G.1. Distribusi nilai DWS gelombang P pada kedalaman 5, 10, 15 dan 25 km. 98

99 Gambar G.2. Sama dengan G.1 pada kedalaman 35, 45, 65 dan 75 km. 99

100 Gambar G.3. Sama dengan G.1 pada kedalaman 90, 105, 120 dan 165 km. 100

101 Gambar G.4. Sama dengan G.1 pada kedalaman 210 dan 450 km. 101

102 Gambar G.5. Distribusi nilai DWS gelombang S pada kedalaman 5, 10, 15 dan 25 km 102

103 Gambar G.6. Sama dengan G.5 pada kedalaman 35, 45, 65 dan 75 km. 103

104 Gambar G.7. Sama dengan G.5 pada kedalaman 90, 105, 120 dan 165 km. 104

105 Gambar G.8. Sama dengan G.5 pada kedalaman 210 dan 450 km. 105

106 LAMPIRAN H Tomogram Hasil Inversi Gabungan Data Gempa bumi MERAMEX dan BMKG Pada lampiran berikut disajikan tomogram Vp, Vs. Gambar H.1. Tomogram Vp pada kedalaman 45, 60, 75, 90 dan 105 km. 106

107 Gambar H.2. Sama dengan H.1 pada kedalaman 120, 165, 210 dan 450 km. 107

108 Gambar H.3. Sama dengan H.1 untuk gelombang S. 108

109 Gambar H.4. Sama dengan H.2 untuk gelombang S. 109

110 Plot tomogram Vp, Vs dan overlay episenter gempa bumi Yogya (2006) dan gempa bumi Brebes (2013). Gambar H.5. Plot episenter gempa bumi Yogya (2006) dan gempa bumi Brebes (2013) pada tomogram kecepatan gelombang P dan S. 110

111 Gambar H.6. Sama dengan Gambar H.5 pada kedalaman 15 dan 25 km. 111

112 Gambar H.7. Irisan vertikal: (a) tomogram kecepatan gelombang P dan (b) hasil uji checkerboard. Gambar H.8. Plot posisi sumber gempa bumi Yogya (2006) dan gempa bumi Brebes (2013) pada irisan vertikal tomogram kecepatan gelombang P. 112

113 Gambar H.9. Kartun struktur kecepatan di bawah Merapi. Kerak samudera (IndoAustralia) mendorong kearah utara dan menunjam di bawah kerak kontinen (Eurasia), konsekuensi tunjaman menghasilkan material leleh pada kedalaman sekitar 40 km, lelehan naik ke atas menjadi suplai magma bagi gunung Merapi. Lingkaran merah adalah gempa bumi dari katalog MERAMEX dan BMKG, plot bola fokal gempa bumi Yogya (2006) pada kedalaman 35 km. 113

114 LAMPIRAN I Relokasi Hiposenter Pada lampiran ini disajikan plot sumber gempa bumi sebelum dan sesudah relokasi. Gambar I.1. Plot proyeksi hiposenter pada jarak 50 km di kiri dan kanan dari garis proyeksi A-A dan B-B (a) sebelum dan (b) setelah relokasi. Gambar I.2. Plot proyeksi seluruh gempa bumi di Jawa bagian tengah (a) sebelum dan (b) setelah relokasi hiposenter. 114

115 Gambar I.3. Proyeksi hiposenter (i) A-A, (ii) B-B, (iii) C-C dan (d) D-D. Gambar I.4. Sebaran episenter: (a) sebelum relokasi dan (b) setelah relokasi. 115

116 LAMPIRAN J Contoh Format Katalog Relokasi Output tomodd Lampiran berikut ini adalah contoh format hasil relokasi hiposenter keluaran (output) dari program tomodd, dimana kolom dari kiri ke kanan adalah nomor, lintang, bujur, kedalaman, tiga kolom berikutnya adalah pergeseran hiposenter dari posisi awal, dan kolom selanjutnya menunjukkan waktu terjadinya gempa bumi. 116

117 LAMPIRAN K Penurunan Persamaan Poisson s Ratio Poisson s ratio merupakan fungsi dari nilai Vp/Vs. Pada lampiran ini akan dipaparkan persamaan yang menyatakan hubungan antara Vs/Vs dan Poisson s ratio. Pers. (3.24) diperoleh Pers. (3.22) dan Pers. (3.23) sebagai berikut: Poisson s ratio juga merupakan fungsi shear modulus atau konstanta elastisitas geser (μ) dan konstanta Lame (λ), persamaan (3.25) diperoleh dari relasi sebagai berikut: 117

118 118

119 LAMPIRAN L Nilai Vp/Vs Beberapa Batuan Lampiran berikut adalah nilai Vp/Vs beberapa batuan atau litologi yang penting, nilai Vp/Vs secara langsung berhubungan dengan harga Poisson s ratio yang berguna untuk mengkarakterisasi berbagai sifat batuan. Tabel III. Nilai Vp/Vs beberapa batuan. (setelah Volarovich and Budnikov (1978/79)) Tabel IV. Interval nilai Vp/Vs untuk beberapa litologi. (Domenico, 1984) Tabel V. Densitas dan kecepatan gelombang Seismik pada batuan upper-mantle. (Anderson, 2007) 119

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL.... i HALAMAN PENGESAHAN.... ii PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH.... iii KATA PENGANTAR.... iv ABSTRAK.... v ABSTRACT.... vi DAFTAR ISI.... vii DAFTAR GAMBAR.... ix DAFTAR TABEL....

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang I.1.1 Lokasi Kompleks Gunung Guntur

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang I.1.1 Lokasi Kompleks Gunung Guntur Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang I.1.1 Lokasi Kompleks Gunung Guntur Daerah penelitian meliputi Kompleks Gunung Guntur terdiri dari Kaldera Pangkalan atau Kamojang, Kaldera Gandapura, dan puncak-puncak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara tektonik, Indonesia terletak pada pertemuan lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia, lempeng Pasifik, dan lempeng mikro Filipina. Interaksi antar lempeng mengakibatkan

Lebih terperinci

RELOKASI SUMBER GEMPABUMI DI WILAYAH PROVINSI ACEH PERIODE MARET Oleh ZULHAM SUGITO 1, TATOK YATIMANTORO 2

RELOKASI SUMBER GEMPABUMI DI WILAYAH PROVINSI ACEH PERIODE MARET Oleh ZULHAM SUGITO 1, TATOK YATIMANTORO 2 RELOKASI SUMBER GEMPABUMI DI WILAYAH PROVINSI ACEH PERIODE MARET 2018 Oleh ZULHAM SUGITO 1, TATOK YATIMANTORO 2 1 Stasiun Geofisika Mata Ie Banda Aceh 2 Bidang Mitigasi Gempabumi dan Tsunami Pendahuluan

Lebih terperinci

Bab IV Kegempaan dan Cakupan Sinar Gelombang di Kompleks Gunung Guntur

Bab IV Kegempaan dan Cakupan Sinar Gelombang di Kompleks Gunung Guntur Bab IV Kegempaan dan Cakupan Sinar Gelombang di Kompleks Gunung Guntur IV.1 Seismisitas Gunung Guntur Seismisitas atau kegempaan Gunung Guntur diamati secara menerus dari Pos Pengamatan Gunungapi Guntur

Lebih terperinci

PENENTUAN HIPOSENTER GEMPABUMI DI WILAYAH PROVINSI ACEH PERIODE JANUARI Oleh ZULHAM SUGITO 1

PENENTUAN HIPOSENTER GEMPABUMI DI WILAYAH PROVINSI ACEH PERIODE JANUARI Oleh ZULHAM SUGITO 1 PENENTUAN HIPOSENTER GEMPABUMI DI WILAYAH PROVINSI ACEH PERIODE JANUARI 2018 Oleh ZULHAM SUGITO 1 1 PMG Stasiun Geofisika Mata Ie Banda Aceh Pendahuluan Aktifitas tektonik di Provinsi Aceh dipengaruhi

Lebih terperinci

Bab VI Interpretasi Tomogram Bawah Permukaan Kompleks Gunung Guntur

Bab VI Interpretasi Tomogram Bawah Permukaan Kompleks Gunung Guntur Bab VI Interpretasi Tomogram Bawah Permukaan Kompleks Gunung Guntur VI.1 Hasil Studi Tomografi di Daerah Tektonik dan Vulkanik Beberapa keberhasilan studi tomografi baik di daerah tektonik maupun daerah

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. BAB III. DASAR TEORI 3.1. Seismisitas Gelombang Seismik Gelombang Badan... 16

DAFTAR ISI. BAB III. DASAR TEORI 3.1. Seismisitas Gelombang Seismik Gelombang Badan... 16 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH... iii KATA PENGANTAR... iv ABSTRAK... v ABSTRACT... vi DAFTAR ISI... vii DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR TABEL... xv DAFTAR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB I PENDAHULUAN I.1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang dan Permasalahan Struktur kerak bumi merupakan subjek mendasar dan penting dalam seismologi karena sering digunakan sebagai informasi awal untuk penelitian geologi

Lebih terperinci

DAFTAR ISI PERNYATAAN... ABSTRAK... KATA PENGANTAR... UCAPAN TERIMA KASIH... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL... DAFTAR LAMPIRAN...

DAFTAR ISI PERNYATAAN... ABSTRAK... KATA PENGANTAR... UCAPAN TERIMA KASIH... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL... DAFTAR LAMPIRAN... vi DAFTAR ISI PERNYATAAN... ABSTRAK... KATA PENGANTAR... UCAPAN TERIMA KASIH... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL... DAFTAR LAMPIRAN... BAB I PENDAHULUAN... A. Latar Belakang... B. Rumusan Masalah...

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 52 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Distribusi Hiposenter Gempa dan Mekanisme Vulkanik Pada persebaran hiposenter Gunung Sinabung (gambar 31), persebaran hiposenter untuk gempa vulkanik sangat terlihat adanya

Lebih terperinci

PENENTUAN POSISI HIPOSENTER GEMPABUMI DENGAN MENGGUNAKAN METODA GUIDED GRID SEARCH DAN MODEL STRUKTUR KECEPATAN TIGA DIMENSI

PENENTUAN POSISI HIPOSENTER GEMPABUMI DENGAN MENGGUNAKAN METODA GUIDED GRID SEARCH DAN MODEL STRUKTUR KECEPATAN TIGA DIMENSI PENENTUAN POSISI HIPOSENTER GEMPABUMI DENGAN MENGGUNAKAN METODA GUIDED GRID SEARCH DAN MODEL STRUKTUR KECEPATAN TIGA DIMENSI Hendro Nugroho 1, Sri Widiyantoro 2, dan Gunawan Ibrahim 2 1 Program Magister

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bertipe komposit strato (Schmincke, 2004; Sigurdsson, 2000; Wilson, 1989).

BAB I PENDAHULUAN. bertipe komposit strato (Schmincke, 2004; Sigurdsson, 2000; Wilson, 1989). BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Dinamika aktivitas magmatik di zona subduksi menghasilkan gunung api bertipe komposit strato (Schmincke, 2004; Sigurdsson, 2000; Wilson, 1989). Meskipun hanya mewakili

Lebih terperinci

Gempabumi Sumba 12 Februari 2016, Konsekuensi Subduksi Lempeng Indo-Australia di Bawah Busur Sunda Ataukah Busur Banda?

Gempabumi Sumba 12 Februari 2016, Konsekuensi Subduksi Lempeng Indo-Australia di Bawah Busur Sunda Ataukah Busur Banda? Gempabumi Sumba 12 Februari 2016, Konsekuensi Subduksi Lempeng Indo-Australia di Bawah Busur Sunda Ataukah Busur Banda? Supriyanto Rohadi, Bambang Sunardi, Rasmid Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG

Lebih terperinci

(Analisis model geomekanika pada zona penunjaman lempeng untuk estimasi potensi gempa besar di Indonesia)

(Analisis model geomekanika pada zona penunjaman lempeng untuk estimasi potensi gempa besar di Indonesia) 1. Judul dan Deskripsi Riset I (Analisis model geomekanika pada zona penunjaman lempeng untuk estimasi potensi gempa besar di Indonesia) 1.1 Deskripsi singkat Pencitraan tomografi gempa bumi untuk zona

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Data Gempa di Pulau Jawa Bagian Barat. lempeng tektonik, yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Indo Australia, dan

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Data Gempa di Pulau Jawa Bagian Barat. lempeng tektonik, yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Indo Australia, dan BAB I PENDAHULUAN I.1. Judul Penelitian Penelitian ini berjudul Analisa Sudut Penunjaman Lempeng Tektonik Berdasarkan Data Gempa di Pulau Jawa Bagian Barat. I.2. Latar Belakang Indonesia merupakan negara

Lebih terperinci

RELOKASI DAN KLASIFIKASI GEMPABUMI UNTUK DATABASE STRONG GROUND MOTION DI WILAYAH JAWA TIMUR

RELOKASI DAN KLASIFIKASI GEMPABUMI UNTUK DATABASE STRONG GROUND MOTION DI WILAYAH JAWA TIMUR RELOKASI DAN KLASIFIKASI GEMPABUMI UNTUK DATABASE STRONG GROUND MOTION DI WILAYAH JAWA TIMUR Rian Mahendra 1*, Supriyanto 2, Ariska Rudyanto 2 1 Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jakarta

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 41 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Pengumpulan Data Dalam penyusunan skripsi ini, penulis membutuhkan data sebagai input untuk dianalisis lebih lanjut. Data yang diperoleh penulis adalah data sekunder

Lebih terperinci

Pemograman Ray Tracing Metode Pseudo-Bending Medium 3-D Untuk Menghitung Waktu Tempuh Antara Sumber Dan Penerima

Pemograman Ray Tracing Metode Pseudo-Bending Medium 3-D Untuk Menghitung Waktu Tempuh Antara Sumber Dan Penerima Pemograman Ray Tracing Metode Pseudo-Bending Medium 3-D Untuk Menghitung Waktu Tempuh Antara Sumber Dan Penerima Ahmad Syahputra dan Andri Dian Nugraha Teknik Geofisika, Fakultas Teknik Pertambangan dan

Lebih terperinci

INTERPRETASI EPISENTER DAN HIPOSENTER SESAR LEMBANG. Stasiun Geofisika klas I BMKG Bandung, INDONESIA

INTERPRETASI EPISENTER DAN HIPOSENTER SESAR LEMBANG. Stasiun Geofisika klas I BMKG Bandung, INDONESIA INTERPRETASI EPISENTER DAN HIPOSENTER SESAR LEMBANG Rasmid 1, Muhamad Imam Ramdhan 2 1 Stasiun Geofisika klas I BMKG Bandung, INDONESIA 2 Fisika Fakultas Sains dan Teknologi UIN SGD Bandung, INDONESIA

Lebih terperinci

SEISMISITAS DAN MODEL ZONA SUBDUKSI DI INDONESIA RESOLUSI TINGGI

SEISMISITAS DAN MODEL ZONA SUBDUKSI DI INDONESIA RESOLUSI TINGGI SEISMISITAS DAN MODEL ZONA SUBDUKSI DI INDONESIA RESOLUSI TINGGI Sri Widiyantoro KK (Kelompok Keahlian) Ilmu dan Teknik Geofisika Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan Institut Teknologi Bandung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permukaan bumi mempunyai beberapa lapisan pada bagian bawahnya, masing masing lapisan memiliki perbedaan densitas antara lapisan yang satu dengan yang lainnya, sehingga

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. dengan menggunakan metode Single Event Determination(SED), alur kedua

BAB III METODE PENELITIAN. dengan menggunakan metode Single Event Determination(SED), alur kedua 38 BAB III METODE PENELITIAN Tahapan pengolahan data gempa mikro dilakukan seperti yang ditunjukkan pada gambar berikut. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa terdapat tiga alur pengolahan data. Alur

Lebih terperinci

2014 INTERPRETASI STRUKTUR GEOLOGI BAWAH PERMUKAAN DAERAH LEUWIDAMAR BERDASARKAN ANALISIS SPEKTRAL DATA GAYABERAT

2014 INTERPRETASI STRUKTUR GEOLOGI BAWAH PERMUKAAN DAERAH LEUWIDAMAR BERDASARKAN ANALISIS SPEKTRAL DATA GAYABERAT BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Satuan tektonik di Jawa Barat adalah jalur subduksi Pra-Eosen. Hal ini terlihat dari batuan tertua yang tersingkap di Ciletuh. Batuan tersebut berupa olisostrom yang

Lebih terperinci

ANALISIS RELOKASI HIPOSENTER GEMPABUMI MENGGUNAKAN ALGORITMA DOUBLE DIFFERENCE WILAYAH SULAWESI TENGAH (Periode Januari-April 2018)

ANALISIS RELOKASI HIPOSENTER GEMPABUMI MENGGUNAKAN ALGORITMA DOUBLE DIFFERENCE WILAYAH SULAWESI TENGAH (Periode Januari-April 2018) ANALISIS RELOKASI HIPOSENTER GEMPABUMI MENGGUNAKAN ALGORITMA DOUBLE DIFFERENCE WILAYAH SULAWESI TENGAH (Periode Januari-April 2018) Oleh Mariska N. Rande 1, Emi Ulfiana 2 1 Stasiun Geofisika Kelas I Palu

Lebih terperinci

Analisis Mekanisme Sumber Gempa Vulkanik Gunung Merapi di Yogyakarta September 2010

Analisis Mekanisme Sumber Gempa Vulkanik Gunung Merapi di Yogyakarta September 2010 Analisis Mekanisme Sumber Gempa Vulkanik Gunung Merapi di Yogyakarta September 2010 Emilia Kurniawati 1 dan Supriyanto 2,* 1 Laboratorium Geofisika Program Studi Fisika FMIPA Universitas Mulawarman 2 Program

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng besar dunia, antara lain Lempeng Indo-Australia, Lempeng Pasifik dan Lempeng Eurasia. Karena pertemuan ketiga

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Dengan batas koordinat UTM X dari m sampai m, sedangkan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Dengan batas koordinat UTM X dari m sampai m, sedangkan V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Distribusi Data Gayaberat Daerah pengukuran gayaberat yang diambil mencakup wilayah Kabupaten Magelang, Semarang, Salatiga, Boyolali, Klaten dan Sleman,Yogyakarta. Dengan batas

Lebih terperinci

Persebaran Hiposenter Maluku Selatan Menggunakan Metode Double Difference

Persebaran Hiposenter Maluku Selatan Menggunakan Metode Double Difference JURNAL SAINS DAN SENI ITS Vol. 5 No. 2 (2016) 2337-3520 (2301-928X Print) B-11 Persebaran Hiposenter Maluku Selatan Menggunakan Metode Double Difference Ryandi Bachrudin Yusuf, Bagus Jaya Santosa. Jurusan

Lebih terperinci

1. Deskripsi Riset I

1. Deskripsi Riset I 1. Deskripsi Riset I (Karakterisasi struktur kerak di bawah zona transisi busur Sunda-Banda menggunakan metoda inversi gabungan gelombang permukaan dan gelombang bodi dari data rekaman gempa dan bising

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK GEMPABUMI DI SUMATERA DAN JAWA PERIODE TAHUN

KARAKTERISTIK GEMPABUMI DI SUMATERA DAN JAWA PERIODE TAHUN KARAKTERISTIK GEMPABUMI DI SUMATERA DAN JAWA PERIODE TAHUN 1950-2013 Samodra, S.B. & Chandra, V. R. Diterima tanggal : 15 November 2013 Abstrak Pulau Sumatera dan Pulau Jawa merupakan tempat yang sering

Lebih terperinci

matematis dari tegangan ( σ σ = F A

matematis dari tegangan ( σ σ = F A TEORI PERAMBATAN GELOMBANG SEISMIk Gelombang seismik merupakan gelombang yang merambat melalui bumi. Perambatan gelombang ini bergantung pada sifat elastisitas batuan. Gelombang seismik dapat ditimbulkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lempeng besar (Eurasia, Hindia-Australia, dan Pasifik) menjadikannya memiliki

BAB I PENDAHULUAN. lempeng besar (Eurasia, Hindia-Australia, dan Pasifik) menjadikannya memiliki BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Posisi Kepulauan Indonesia yang terletak pada pertemuan antara tiga lempeng besar (Eurasia, Hindia-Australia, dan Pasifik) menjadikannya memiliki tatanan tektonik

Lebih terperinci

SIMULASI PERHITUNGAN WAKTU TEMPUH GELOMBANG DENGAN METODA EIKONAL : SUATU CONTOH APLIKASI DALAM ESTIMASI KETELITIAN HIPOSENTER GEMPA

SIMULASI PERHITUNGAN WAKTU TEMPUH GELOMBANG DENGAN METODA EIKONAL : SUATU CONTOH APLIKASI DALAM ESTIMASI KETELITIAN HIPOSENTER GEMPA SIMULASI PERHITUNGAN WAKTU TEMPUH GELOMBANG DENGAN METODA EIKONAL : SUATU CONTOH APLIKASI DALAM ESTIMASI KETELITIAN HIPOSENTER GEMPA Yasa SUPARMAN dkk Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Badan

Lebih terperinci

V. INTERPRETASI DAN ANALISIS

V. INTERPRETASI DAN ANALISIS V. INTERPRETASI DAN ANALISIS 5.1.Penentuan Jenis Sesar Dengan Metode Gradien Interpretasi struktur geologi bawah permukaan berdasarkan anomali gayaberat akan memberikan hasil yang beragam. Oleh karena

Lebih terperinci

ANALISIS HIPOSENTER GEMPABUMI DI WILAYAH PROVINSI ACEH PERIODE FEBRUARI 2018 (GEMPABUMI PIDIE 08 FEBRUARI 2018) Oleh ZULHAM SUGITO 1

ANALISIS HIPOSENTER GEMPABUMI DI WILAYAH PROVINSI ACEH PERIODE FEBRUARI 2018 (GEMPABUMI PIDIE 08 FEBRUARI 2018) Oleh ZULHAM SUGITO 1 ANALISIS HIPOSENTER GEMPABUMI DI WILAYAH PROVINSI ACEH PERIODE FEBRUARI 2018 (GEMPABUMI PIDIE 08 FEBRUARI 2018) Oleh ZULHAM SUGITO 1 1 PMG Stasiun Geofisika Mata Ie Banda Aceh Pendahuluan Aceh merupakan

Lebih terperinci

BAB IV PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA GEOFISIKA

BAB IV PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA GEOFISIKA BAB IV PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA GEOFISIKA Pada penelitian ini, penulis menggunakan 2 data geofisika, yaitu gravitasi dan resistivitas. Kedua metode ini sangat mendukung untuk digunakan dalam eksplorasi

Lebih terperinci

BAB IV PENGOLAHAN DAN ANALISA ANOMALI BOUGUER

BAB IV PENGOLAHAN DAN ANALISA ANOMALI BOUGUER BAB IV PENGOLAHAN DAN ANALISA ANOMALI BOUGUER Tahapan pengolahan data gaya berat pada daerah Luwuk, Sulawesi Tengah dapat ditunjukkan dalam diagram alir (Gambar 4.1). Tahapan pertama yang dilakukan adalah

Lebih terperinci

batuan pada kulit bumi secara tiba-tiba akibat pergerakaan lempeng tektonik.

batuan pada kulit bumi secara tiba-tiba akibat pergerakaan lempeng tektonik. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gempa bumi merupakan peristiwa bergetarnya bumi karena pergeseran batuan pada kulit bumi secara tiba-tiba akibat pergerakaan lempeng tektonik. Pergerakan tiba-tiba

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Sebaran episenter gempa di wilayah Indonesia (Irsyam dkk, 2010). P. Lombok

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Sebaran episenter gempa di wilayah Indonesia (Irsyam dkk, 2010). P. Lombok 2 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gempabumi sangat sering terjadi di daerah sekitar pertemuan lempeng, dalam hal ini antara lempeng benua dan lempeng samudra akibat dari tumbukan antar lempeng tersebut.

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara umum wilayah utara Jawa Barat merupakan daerah dataran rendah, sedangkan kawasan selatan merupakan bukit-bukit dengan sedikit pantai serta dataran tinggi.

Lebih terperinci

ULASAN GUNCANGAN TANAH AKIBAT GEMPA BARAT LAUT KEP. SANGIHE SULAWESI UTARA

ULASAN GUNCANGAN TANAH AKIBAT GEMPA BARAT LAUT KEP. SANGIHE SULAWESI UTARA ULASAN GUNCANGAN TANAH AKIBAT GEMPA BARAT LAUT KEP. SANGIHE SULAWESI UTARA ULASAN GUNCANGAN TANAH AKIBAT GEMPA BUMI BARAT LAUT KEP. SANGIHE SULAWESI UTARA Oleh Artadi Pria Sakti*, Robby Wallansha*, Ariska

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara fisiografis, van Bemmelen (1949) membagi Jawa Barat menjadi 4 bagian yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung, dan Zona Pegunungan Selatan Jawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lempeng tektonik kepulauan Indonesia terletak di pertemuan tiga lempeng utama yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Interaksi dari ke tiga lempeng tersebut

Lebih terperinci

BAB 4 PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA GEOFISIKA

BAB 4 PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA GEOFISIKA BAB 4 PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA GEOFISIKA Pengolahan dan interpretasi data geofisika untuk daerah panas bumi Bonjol meliputi pengolahan data gravitasi (gaya berat) dan data resistivitas (geolistrik)

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Menurut Van Bemmelen (1949), secara fisiografis dan struktural daerah Jawa Barat dapat di bagi menjadi 4 zona, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung

Lebih terperinci

Kelompok VI Karakteristik Lempeng Tektonik ATRIA HAPSARI DALIL MALIK. M HANDIKA ARIF. P M. ARIF AROFAH WANDA DIASTI. N

Kelompok VI Karakteristik Lempeng Tektonik ATRIA HAPSARI DALIL MALIK. M HANDIKA ARIF. P M. ARIF AROFAH WANDA DIASTI. N Kelompok VI Karakteristik Lempeng Tektonik Created By: ASRAWAN TENRIANGKA ATRIA HAPSARI DALIL MALIK. M HANDIKA ARIF. P M. ARIF AROFAH WANDA DIASTI. N 1. JENIS LEMPENG Berdasarkan jenis bahan batuan pembentuknya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama, yaitu lempeng Indo-Australia di bagian Selatan, lempeng Eurasia di bagian

BAB I PENDAHULUAN. utama, yaitu lempeng Indo-Australia di bagian Selatan, lempeng Eurasia di bagian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kepulauan Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik utama, yaitu lempeng Indo-Australia di bagian Selatan, lempeng Eurasia di bagian Utara, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Posisi Kepulauan Indonesia yang terletak pada pertemuan antara tiga

BAB I PENDAHULUAN. Posisi Kepulauan Indonesia yang terletak pada pertemuan antara tiga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Posisi Kepulauan Indonesia yang terletak pada pertemuan antara tiga lempeng besar (Eurasia, Hindia Australia, dan Pasifik) menjadikannya memiliki tatanan tektonik

Lebih terperinci

M MODEL KECEPATAN BAWAH PERMUKAAN MENGGUNAKAN METODE TOMOGRAFI DATA MICROEARTHQUAKE DI LAPANGAN PANAS BUMI ALPHA

M MODEL KECEPATAN BAWAH PERMUKAAN MENGGUNAKAN METODE TOMOGRAFI DATA MICROEARTHQUAKE DI LAPANGAN PANAS BUMI ALPHA BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Energi panas bumi telah lama menjadi sumber kekuatan di daerah vulkanik aktif yang berasal dari aktivitas tektonik di dalam bumi. Indonesia merupakan negara dengan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara umum Jawa Barat dibagi menjadi 3 wilayah, yaitu wilayah utara, tengah, dan selatan. Wilayah selatan merupakan dataran tinggi dan pantai, wilayah tengah merupakan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Menurut Van Bemmelen (1949), secara fisiografis dan struktural daerah Jawa Barat dapat di bagi menjadi 4 zona, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI STRUKTUR BAWAH PERMUKAAN BERDASARKAN DATA GAYABERAT DI DAERAH KOTO TANGAH, KOTA PADANG, SUMATERA BARAT

IDENTIFIKASI STRUKTUR BAWAH PERMUKAAN BERDASARKAN DATA GAYABERAT DI DAERAH KOTO TANGAH, KOTA PADANG, SUMATERA BARAT IDENTIFIKASI STRUKTUR BAWAH PERMUKAAN BERDASARKAN DATA GAYABERAT DI DAERAH KOTO TANGAH, KOTA PADANG, SUMATERA BARAT Diah Ayu Chumairoh 1, Adi Susilo 1, Dadan Dhani Wardhana 2 1) Jurusan Fisika FMIPA Univ.

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi 6 zona fisiografi yang berarah barat-timur (van Bemmelen, 1949) (Gambar 2.1). Zona-zona tersebut dari utara ke selatan yaitu:

Lebih terperinci

HIPOSENTER RELOKASI DI WILAYAH JAWA

HIPOSENTER RELOKASI DI WILAYAH JAWA LINEASI PATAHAN GEOLOGI BERDASARKAN DISTRIBUSI HIPOSENTER RELOKASI DI WILAYAH JAWA GEOLOGICAL LINEATIONS OF THE HYPOCENTER RELOCATION DISTRIBUTION IN JAVA 1* 2 Supriyanto Rohadi, Masturyono 1 Puslitbang

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Geografis Regional Jawa Tengah berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara, Samudra Hindia dan Daerah Istimewa Yogyakarta di sebelah selatan, Jawa Barat di sebelah barat, dan

Lebih terperinci

Tomografi Waktu Tempuh Gelombang S dan Struktur 3-D Zona Penunjaman Di Bawah Busur Sunda

Tomografi Waktu Tempuh Gelombang S dan Struktur 3-D Zona Penunjaman Di Bawah Busur Sunda JMS Vol. 3 No. 2, hal. 97-104, Oktober 1998 Tomografi Waktu Tempuh Gelombang S dan Struktur 3-D Zona Penunjaman Di Bawah Busur Sunda Sri Widiyantoro dan Nanang T. Puspito Jurusan Geofisika dan Meteorologi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tatanan tektonik terletak pada zona pertemuan lempeng lempeng tektonik. Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. tatanan tektonik terletak pada zona pertemuan lempeng lempeng tektonik. Indonesia BAB I PENDAHULUAN I.1. Judul Penelitian Penelitian ini berjudul Analisis Sudut Penunjaman Lempeng Tektonik Berdasarkan Data Gempa di Pulau Seram dan Pulau Buru. I.2. Latar Belakang Fenomena gempabumi merupakan

Lebih terperinci

Dalam pengembangannya, geodinamika dapat berguna untuk : a. Mengetahui model deformasi material geologi termasuk brittle atau ductile

Dalam pengembangannya, geodinamika dapat berguna untuk : a. Mengetahui model deformasi material geologi termasuk brittle atau ductile Geodinamika bumi 9. GEODINAMIKA Geodinamika adalah cabang ilmu geofisika yang menjelaskan mengenai dinamika bumi. Ilmu matematika, fisika dan kimia digunakan dalam geodinamika berguna untuk memahami arus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyertai kehidupan manusia. Dalam kaitannya dengan vulkanisme, Kashara

BAB I PENDAHULUAN. menyertai kehidupan manusia. Dalam kaitannya dengan vulkanisme, Kashara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Aktivitas vulkanisme dapat mengakibatkan bentuk bencana alam yang menyertai kehidupan manusia. Dalam kaitannya dengan vulkanisme, Kashara (Hariyanto, 1999:14) mengemukakan

Lebih terperinci

BAB IV PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA GEOFISIKA

BAB IV PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA GEOFISIKA BAB IV PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA GEOFISIKA Dalam penelitian ini, penulis menggunakan 2 metode geofisika, yaitu gravitasi dan resistivitas. Dimana kedua metode tersebut saling mendukung, sehingga

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Metode Penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitik. Sebagaimana ditunjukkan pada gambar berikut: Studi Literatur dan Konsultasi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi dan Geomorfologi Regional Secara fisiografis, daerah Jawa Barat dibagi menjadi 6 zona yang berarah timur-barat ( van Bemmelen, 1949 ). Zona tersebut dari arah utara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Judul Penelitian I.2. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN I.1. Judul Penelitian I.2. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN I.1. Judul Penelitian Penelitian ini berjudul Hubungan Persebaran Episenter Gempa Dangkal dan Kelurusan Berdasarkan Digital Elevation Model di Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta I.2.

Lebih terperinci

Pemodelan Gravity Kecamatan Dlingo Kabupaten Bantul Provinsi D.I. Yogyakarta. Dian Novita Sari, M.Sc. Abstrak

Pemodelan Gravity Kecamatan Dlingo Kabupaten Bantul Provinsi D.I. Yogyakarta. Dian Novita Sari, M.Sc. Abstrak Pemodelan Gravity Kecamatan Dlingo Kabupaten Bantul Provinsi D.I. Yogyakarta Dian Novita Sari, M.Sc Abstrak Telah dilakukan penelitian dengan menggunakan metode gravity di daerah Dlingo, Kabupaten Bantul,

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL II.2 Fisiografi Regional Secara fisiografis, daerah Jawa Barat dibagi menjadi 4 zona (Gambar 2.1), pembagian zona tersebut berdasarkan sifat-sifat morfologi dan tektoniknya (van

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL 1 BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Daerah Penelitian Penelitian ini dilakukan di daerah Subang, Jawa Barat, untuk peta lokasi daerah penelitiannya dapat dilihat pada Gambar 2.1. Gambar 2.1 Peta Lokasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. vulkanik aktif yang berasal dari aktivitas tektonik di dalam bumi.indonesia

BAB I PENDAHULUAN. vulkanik aktif yang berasal dari aktivitas tektonik di dalam bumi.indonesia 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Energi panas bumi telah lama menjadi sumber kekuatan di daerah vulkanik aktif yang berasal dari aktivitas tektonik di dalam bumi.indonesia merupakan negara dengan

Lebih terperinci

BAB II Studi Potensi Gempa Bumi dengan GPS

BAB II Studi Potensi Gempa Bumi dengan GPS BAB II Studi Potensi Gempa Bumi dengan GPS 2.1 Definisi Gempa Bumi Gempa bumi didefinisikan sebagai getaran pada kerak bumi yang terjadi akibat pelepasan energi secara tiba-tiba. Gempa bumi, dalam hal

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Magnitudo Gempabumi Magnitudo gempabumi adalah skala logaritmik kekuatan gempabumi atau ledakan berdasarkan pengukuran instrumental (Bormann, 2002). Pertama kali, konsep magnitudo

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia terletak di antara tiga lempeng aktif dunia, yaitu Lempeng

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia terletak di antara tiga lempeng aktif dunia, yaitu Lempeng BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia terletak di antara tiga lempeng aktif dunia, yaitu Lempeng Eurasia, Indo-Australia dan Pasifik. Konsekuensi tumbukkan lempeng tersebut mengakibatkan negara

Lebih terperinci

Pemodelan Tinggi dan Waktu Tempuh Gelombang Tsunami Berdasarkan Data Historis Gempa Bumi Bengkulu 4 Juni 2000 di Pesisir Pantai Bengkulu

Pemodelan Tinggi dan Waktu Tempuh Gelombang Tsunami Berdasarkan Data Historis Gempa Bumi Bengkulu 4 Juni 2000 di Pesisir Pantai Bengkulu 364 Pemodelan Tinggi dan Waktu Tempuh Gelombang Tsunami Berdasarkan Data Historis Gempa Bumi Bengkulu 4 Juni 2000 di Pesisir Pantai Bengkulu Rahmad Aperus 1,*, Dwi Pujiastuti 1, Rachmad Billyanto 2 Jurusan

Lebih terperinci

S e l a m a t m e m p e r h a t i k a n!!!

S e l a m a t m e m p e r h a t i k a n!!! S e l a m a t m e m p e r h a t i k a n!!! 14 Mei 2011 1. Jawa Rawan Gempa: Dalam lima tahun terakhir IRIS mencatat lebih dari 300 gempa besar di Indonesia, 30 di antaranya terjadi di Jawa. Gempa Sukabumi

Lebih terperinci

Pencitraan Struktur 3-D Vp, Vs, Rasio Vp/Vs Menggunakan Tomografi Double Difference di Wilayah Bali

Pencitraan Struktur 3-D Vp, Vs, Rasio Vp/Vs Menggunakan Tomografi Double Difference di Wilayah Bali Pencitraan Struktur 3-D Vp, Vs, Rasio Vp/Vs Menggunakan Tomografi Double Difference di Wilayah Bali Putu Kusuma Yadnya 1, Andri Dian Nugraha 1, Supriyanto Rohadi 2 1) Teknik Geofisika, Fakultas Teknik

Lebih terperinci

Tugas Akhir. Institut Teknologi Bandung. Disusun oleh : Rexha Verdhora Ry

Tugas Akhir. Institut Teknologi Bandung. Disusun oleh : Rexha Verdhora Ry Aplikasi Metode Inversi Simulated Annealing pada Penentuan Hiposenter Gempa Mikro dan Tomografi Waktu Tunda 3-D Struktur Kecepatan Seismik untuk Studi Kasus Lapangan Panas Bumi RR Tugas Akhir Diajukan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Cekungan Jawa Barat Utara merupakan cekungan sedimen Tersier yang terletak tepat di bagian barat laut Pulau Jawa (Gambar 2.1). Cekungan ini memiliki penyebaran dari wilayah daratan

Lebih terperinci

Relokasi Gempabumi di Wilayah Laut Maluku Menggunakan Metode Double Difference (Hypodd)

Relokasi Gempabumi di Wilayah Laut Maluku Menggunakan Metode Double Difference (Hypodd) Relokasi Gempabumi di Wilayah Laut Maluku Menggunakan Metode Double Difference (Hypodd) Tio Azhar Prakoso Setiadi 1, Iman Suardi 1 1 Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (STMKG), Tangerang

Lebih terperinci

BAB III METODA PENELITIAN

BAB III METODA PENELITIAN 44 BAB III METODA PENELITIAN 3.1. Metoda Pembacaan Rekaman Gelombang gempa Metode geofisika yang digunakan adalah metode pembacaan rekaman gelombang gempa. Metode ini merupakaan pembacaan dari alat yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. komplek yang terletak pada lempeng benua Eurasia bagian tenggara (Gambar

BAB I PENDAHULUAN. komplek yang terletak pada lempeng benua Eurasia bagian tenggara (Gambar BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara yang memiliki tatanan geologi yang cukup komplek yang terletak pada lempeng benua Eurasia bagian tenggara (Gambar I.1). Indonesia dibatasi

Lebih terperinci

III. TEORI DASAR. A. Tinjauan Teori Perambatan Gelombang Seismik. akumulasi stress (tekanan) dan pelepasan strain (regangan). Ketika gempa terjadi,

III. TEORI DASAR. A. Tinjauan Teori Perambatan Gelombang Seismik. akumulasi stress (tekanan) dan pelepasan strain (regangan). Ketika gempa terjadi, 1 III. TEORI DASAR A. Tinjauan Teori Perambatan Gelombang Seismik Gempa bumi umumnya menggambarkan proses dinamis yang melibatkan akumulasi stress (tekanan) dan pelepasan strain (regangan). Ketika gempa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia termasuk daerah yang rawan terjadi gempabumi karena berada pada pertemuan tiga lempeng, yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik. Aktivitas kegempaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dzikri Wahdan Hakiki, 2015

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dzikri Wahdan Hakiki, 2015 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia terdiri dari 3 lempeng tektonik yang bergerak aktif, yaitu lempeng Eurasia diutara, lempeng Indo-Australia yang menujam dibawah lempeng Eurasia dari selatan,

Lebih terperinci

Bambang Sunardi *, Supriyanto Rohadi, Masturyono, Sri Widiyantoro, Sulastri, Pupung Susilanto, Thomas Hardy, Wiko Setyonegoro 1

Bambang Sunardi *, Supriyanto Rohadi, Masturyono, Sri Widiyantoro, Sulastri, Pupung Susilanto, Thomas Hardy, Wiko Setyonegoro 1 RELOKASI HIPOSENTER GEMPABUMI WILAYAH JAWA MENGGUNAKAN TEKNIK DOUBLE DIFFERENCE THE RELOCATION OF EARTHQUAKE HYPOCENTER OF JAWA REGION USING DOUBLE DIFFERENCE TECHNIQUE 1 2 1 3 1 Bambang Sunardi *, Supriyanto

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Indonesia merupakan tempat pertemuan antara tiga lempeng besar, yaitu Lempeng Eurasia yang relatif diam, Lempeng Pasifik yang relatif bergerak ke arah Barat Laut, dan Lempeng Hindia

Lebih terperinci

Estimasi Zona Sesar Segmen Aceh Dengan Metode Relokasi Double Difference Dan Metode Local Earthquakes Tomography

Estimasi Zona Sesar Segmen Aceh Dengan Metode Relokasi Double Difference Dan Metode Local Earthquakes Tomography 1 Estimasi Zona Sesar Segmen Aceh Dengan Metode Relokasi Double Difference Dan Metode Local Earthquakes Tomography Jordan Eko Setiyawan, dan Prof. Dr.rer.nat Bagus Jaya Santosa, S.U Jurusan Fisika, Fakultas

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Indonesia merupakan tempat pertemuan antara tiga lempeng, yaitu Lempeng Eurasia yang relatif diam, Lempeng Pasifik Barat yang relatif bergerak ke arah baratlaut, dan Lempeng Hindia

Lebih terperinci

TOMOGRAFI SEISMIK 3-D PADA LAPANGAN PANAS BUMI X

TOMOGRAFI SEISMIK 3-D PADA LAPANGAN PANAS BUMI X TOMOGRAFI SEISMIK 3-D PADA LAPANGAN PANAS BUMI X Akino Iskandar,Lantu, Sabrianto Aswad,Andri Dian Nugrah Program Studi Sarjana Geofisika Universitas Hasanuddin, iskandar.akino@gmail.com SARI BACAAN Perubahan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI Menurut van Bemmelen (1949), fisiografi Jawa Barat dibagi menjadi enam zona, yaitu Zona Dataran Aluvial Utara Jawa Barat, Zona Antiklinorium Bogor, Zona Gunungapi

Lebih terperinci

PEMETAAN BAHAYA GEMPA BUMI DAN POTENSI TSUNAMI DI BALI BERDASARKAN NILAI SESMISITAS. Bayu Baskara

PEMETAAN BAHAYA GEMPA BUMI DAN POTENSI TSUNAMI DI BALI BERDASARKAN NILAI SESMISITAS. Bayu Baskara PEMETAAN BAHAYA GEMPA BUMI DAN POTENSI TSUNAMI DI BALI BERDASARKAN NILAI SESMISITAS Bayu Baskara ABSTRAK Bali merupakan salah satu daerah rawan bencana gempa bumi dan tsunami karena berada di wilayah pertemuan

Lebih terperinci

III. TEORI DASAR. Gelombang seismik merupakan gelombang yang menjalar di dalam bumi

III. TEORI DASAR. Gelombang seismik merupakan gelombang yang menjalar di dalam bumi III. TEORI DASAR 3.1. Gelombang Seismik Gelombang seismik merupakan gelombang yang menjalar di dalam bumi disebabkan adanya deformasi struktur di bawah bumi akibat adanya tekanan ataupun tarikan karena

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Kabupaten Brebes terletak di Jawa Tengah bagian barat. Fisiografi Jawa Tengah berdasarkan Van Bemmelen (1949) terbagi atas 6 zona (Gambar 2.1), yaitu: 1.

Lebih terperinci

DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR.

DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR. DAFTAR ISI PRAKATA DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR. DAFTAR LAMPIRAN INTISARI ABSTRACT. iv vi viii ix xvii xviii xix BAB I PENDAHULUAN 1 1.1 Latar Belakang dan Permasalahan. 1 1.2 Tujuan dan Manfaat

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Fisiografi Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi 6 zona yang berarah barattimur (van Bemmelen, 1949 dalam Martodjojo, 1984). Zona-zona ini dari utara ke

Lebih terperinci

BAB II STRATIGRAFI REGIONAL

BAB II STRATIGRAFI REGIONAL BAB II STRATIGRAFI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI JAWA TIMUR BAGIAN UTARA Cekungan Jawa Timur bagian utara secara fisiografi terletak di antara pantai Laut Jawa dan sederetan gunung api yang berarah barat-timur

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Jawa Barat menjadi 4 bagian besar zona fisiografi (Gambar II.1) yaitu: Zona Bogor, Zona Bandung, Dataran Pantai Jakarta dan

Lebih terperinci

BAB III TEORI DASAR. 3.1 Tinjauan Teori Perambatan Gelombang Seismik. Seismologi adalah ilmu yang mempelajari gempa bumi dan struktur dalam bumi

BAB III TEORI DASAR. 3.1 Tinjauan Teori Perambatan Gelombang Seismik. Seismologi adalah ilmu yang mempelajari gempa bumi dan struktur dalam bumi 20 BAB III TEORI DASAR 3.1 Tinjauan Teori Perambatan Gelombang Seismik Seismologi adalah ilmu yang mempelajari gempa bumi dan struktur dalam bumi dengan menggunakan gelombang seismik yang dapat ditimbulkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.3 Batasan Masalah Penelitian ini dibatasi pada aspek geologi serta proses sedimentasi yang terjadi pada daerah penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. 1.3 Batasan Masalah Penelitian ini dibatasi pada aspek geologi serta proses sedimentasi yang terjadi pada daerah penelitian. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tugas Akhir mahasiswa merupakan suatu tahap akhir yang wajib ditempuh untuk mendapatkan gelar kesarjanaan strata satu di Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Ilmu

Lebih terperinci

KAJIAN TREND GEMPABUMI DIRASAKAN WILAYAH PROVINSI ACEH BERDASARKAN ZONA SEISMOTEKTONIK PERIODE 01 JANUARI DESEMBER 2017

KAJIAN TREND GEMPABUMI DIRASAKAN WILAYAH PROVINSI ACEH BERDASARKAN ZONA SEISMOTEKTONIK PERIODE 01 JANUARI DESEMBER 2017 KAJIAN TREND GEMPABUMI DIRASAKAN WILAYAH PROVINSI ACEH BERDASARKAN ZONA SEISMOTEKTONIK PERIODE 01 JANUARI 2016 15 DESEMBER 2017 Oleh ZULHAM. S, S.Tr 1, RILZA NUR AKBAR, ST 1, LORI AGUNG SATRIA, A.Md 1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bagian tepi lempeng Eurasia. Batas lempeng ini merupakan tempat bertemunya tiga

BAB I PENDAHULUAN. bagian tepi lempeng Eurasia. Batas lempeng ini merupakan tempat bertemunya tiga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah Indonesia memiliki tatanan tektonik yang aktif yang berada pada bagian tepi lempeng Eurasia. Batas lempeng ini merupakan tempat bertemunya tiga lempeng besar,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Lampung Selatan tepatnya secara geografis, terletak antara 5 o 5'13,535''-

II. TINJAUAN PUSTAKA. Lampung Selatan tepatnya secara geografis, terletak antara 5 o 5'13,535''- 4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Lokasi Penelitian Tempat penelitian secara administratif terletak di Gunung Rajabasa, Kalianda, Lampung Selatan tepatnya secara geografis, terletak antara 5 o 5'13,535''-

Lebih terperinci