BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ANAK, LPKA, HAK-HAK ANAK DALAM LPKA DAN PROSES PEMBINAAN ANAK DALAM LPKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ANAK, LPKA, HAK-HAK ANAK DALAM LPKA DAN PROSES PEMBINAAN ANAK DALAM LPKA"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ANAK, LPKA, HAK-HAK ANAK DALAM LPKA DAN PROSES PEMBINAAN ANAK DALAM LPKA 2.1. Anak Pengertian Anak Di Indonesia, apa yang dimaksud dengan anak tidak ada kesatuan pengertian. Hal ini disebabkan oleh peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kepentingan anak, masing-masing memberikan pengertiannya sesuai dengan maksud dikeluarkannya peraturan perundang-undangan tersebut. Sebagai contoh dapat dilihat di bawah ini. 1 a. Menurut UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Pasal 1 angka 2 UU No. 4 Tahun 1979 menentukan : Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin Berdasarkan pengertian anak sebagaimana yang dimaksud Pasal 1 angka 2 UU No. 4 tahun 1979 tersebut dapat diketahui bahwa seseorang dapat disebut anak jika memenuhi syarat sebagai berikut: 1. Belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan 2. Belum pernah kawin Jakarta, h R. Wiyono, 2016, Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Cetakan I, Sinar Grafika, 33

2 34 Oleh penjelasan Pasal 1 angka 3 UU No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak disebutkan bahwa batas umur genap 21 (dua puluh satu) tahun ditetapkan oleh karena berdasarkan pertimbanganpertimbangan usaha kesejahteraan sosial, tahap kematangan sosial, kematangan pribadi, dan kematangan mental seorang anak dicapai pada umur tersebut. Sementara itu, yang dimaksud dengan frasa belum pernah kawin dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak adalah belum pernah kawin atau mengadakan perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 2 b. Menurut UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal 1 angka 1 UU No. 23 Tahun 2002 menentukan : Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan Dari pengertian anak sebagaimana yang dimaksud Pasal 1 angka 1 UU No. 23 Tahun 2002 tersebut dapat diketahui bahwa seseorang dapat disebut anak jika memenuhi syarat sebagai berikut: 1. Belum berusia 18 (delapan belas) tahun; 2. Termasuk anak yang masih dalam kandungan. Frasa berusia 18 (delapan belas) tahun dalam pasal tersebut sama dengan frasa di bawah umur 18 (delapan belas) tahun dalam pasal 1 Konvensi tentang Hak-Hak Anak yang telah diratifikasi dengan 2 Ibid., h. 12.

3 35 UU No. 5 Tahun Sedangkan frasa termasuk anak yang masih dalam kandungan, dikaitkan dengan pasal 2 KUH Perdata yang menentukan bahwa : Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya. Dalam hak ini, yang dianggap kepentingan si anak menghendaki dalam Pasal 2 KUH Perdata, misalnya adalah berkaitan dengan masalah pewarisan atau dengan perkataan lain masalah pengoperan hak-hak (kewajiban-kewajiban) pewarisnya. 3 c. Menurut Konvensi Tentang Hak-Hak Anak Pasal 1 Konvensi tentang Hak-Hak Anak menentukan : Untuk tujuan-tujuan Konvensi ini, seorang anak berarti setiap manusia di bawah umur 18 (delapan belas) tahun, kecuali menurut undang-undang yang berlaku pada anak, kedewasaan dicapai lebih awal. Konvensi tentang Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child), Resolusi Nomor 109 Tahun 1990 yang diratifikasi dengan Keputusan Presiden RI Nomor 36 Tahun 1990 dijadikan salah satu pertimbangan dibentuknya UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menjabarkan Pasal 1 Konvensi tersebut dengan menentukan bahwa yang disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) 3 J. Satrio, 1999, Hukum Pribadi, Bagian Persoon Alamiah, Cetakan II, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 21.

4 36 tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Untuk dapat disebut anak menurut Pasal 1 Konvensi tersebut, tidak perlu mempermasalahkan apakah anak tersebut sudah kawin atau belum kawin. d. Menurut UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Berdasarkan pasal 1 angka 3 UU SPPA, anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.perlu ditekankan bahwa apa yang disebut anak menurut UU SPPA adalah anak menurut pengertian hukum, khusus hanya berlaku untuk UU SPPA saja. Hal ini yang mungkin berlainan dengan pengertian sehari-hari tentang anak atau pengertian yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan lain selain UU SPPA. Dalam merumuskan apa yang dimaksud dengan anak menurut UU SPPA, tidak tergantung apakah anak sudah (pernah) kawin atau belum. Akibatnya, anak yang sudah (pernah) kawin sebelum berumur 12 (dua belas) tahun, bahkan mungkin sudah mempunyai keturunan, anak tersebut masih tetap bukan anak menurut pengertian UU SPPA. Berdasarkan penjelasan tersebut, penulis menggunakan dasar hukum UU SPPA sebagai batasan umur Anak. Penelitian ini berbicara tentang LPKA yang merupakan lembaga/tempat bagi Anak menjalani masa

5 37 pidana. Anak yang dibina tentu bukanlah anak-anak biasa pada umumnya, tetapi anak-anak yang bermasalah. Sehingga pengertian Anak merujuk pada UU SPPA yang memiliki kriteria berbeda dengan pengertian anak pada undang-undang lainnya. Batas usia Anak dalam hal ini adalah telah berumur 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun Anak yang Berhadapan dengan Hukum Jika diperhatikan pengertian Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 1 UU No. 11 Tahun 2012, maka dapat diketahui bahwa Sistem Peradilan Pidana Anak yang diatur dalam UU No. 11 Tahun 2012 adalah sistem mengenai proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum. Anak yang berhadapan dengan hukum yang dimaksud oleh UU SPPA, menurut pasal 1 angka 2 terdiri atas : 1. Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. (Pasal 1 angka 3) 2. Anak yang menjadi korban tindak pidana yang selanjutnya disebut anak korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana. (Pasal 1 angka 4) 3. Anak yang menjadi saksi tindak pidana yang selanjutnya disebut sebagai anak saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan

6 38 penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang di dengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri. (Pasal 1 angka 5) 2.2. Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Pengertian LPKA Anak yang berdasarkan putusan pengadilan dijatuhi pidana penjara ditempatkan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Anak sebagaimana dimaksud berhak memperoleh pelayanan, perawatan, pendidikan dan pelatihan, pembimbingan dan pendampingan serta hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Istilah lembaga pemasyarakatan anak (lapas anak) kini sudah tidak dikenal dalam UU SPPA sebagai pengganti UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (UU Pengadilan Anak). Berdasarkan pasal 1 angka 20 UU SPPA, LPKA adalah lembaga atau tempat Anak menjalani masa pidananya. Setiap Lapas Anak harus melakukan perubahan sistem menjadi Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), sesuai dengan undang-undang ini paling lama 3 (tiga) tahun. Dalam melaksanakan hal sebagaimana dimaksud, petugas di LPKA wajib mengedepankan asas Sistem Peradilan Pidana Anak yang meliputi: 1. Perlindungan 2. Keadilan 3. Non diskriminasi 4. Kepentingan terbaik Anak

7 39 5. Penghargaan terhadap pendapat Anak 6. Kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak 7. Pembinaan dan pembimbingan Anak 8. Proporsional 9. Perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir 10. Penghindaran pembalasan Hak-Hak Anak dalam LPKA Wujud dari suatu keadilan adalah dimana pelaksanaan hak dan kewajiban seimbang. Hak dan kewajiban bagi anak yang melakukan tindak pidana perlu mendapat bantuan dan perlindungan agar seimbang dan manusiawi. Kewajiban bagi anak harus diperlakukan sesuai dengan situasi, kondisi mental dan fisik, keadaan sosial dengan kemampuannya pada usia tertentu. 4 Kedudukan anak dalam proses peradilan pidana sangat penting, oleh karena itu perlu diatur tentang hak dan kewajibannya. Anak berhak mengetahui tentang tindak pidana yang disangkakan dan berhak didampingi ole penasihat hukum pada setiap tahap peradilan pidana. Penanganan kasus-kasus anak cenderung membekaskan stigma atas diri anak, mulai dari tahap penyidikan (tersangka), penuntutan (terdakwa), persidangan sampai pada pelaksanaan pidana (terpidana). Hal ini sangat merugikan anak. Pasal 85 ayat (2) menyatakan bahwa : Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhak memperoleh pembinaan, pembimbingan, pengawasan, pendampingan, pendidikan dan pelatihan, serta hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan 4 Wagiati Sutedjo, op.cit., h. 70.

8 40 Selanjutnya pasal 85 ayat (3) menyatakan bahwa : LPKA wajib menyelenggarakan pendidikan, pelatihan keterampilan, pembinaan, dan pemenuhan hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan Dalam menjalankan tugas dan fungsinya petugas LPKA wajib memperhatikan hak setiap anak dalam proses peradilan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana yang meliputi: 1. Diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya 2. Dipisahkan dari orang dewasa 3. Memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif 4. Melakukan kegiatan rekreasional 5. Bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya 6. Tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup 7. Tidak ditangkap, ditahan atau dipenjara kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat 8. Memperoleh keadilan di muka pengadilan Anak yang objektif, tindak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum 9. Tidak dipublikasikan identitasnya 10. Memperoleh pendampingan orang tua/wali/pengasuh dan orang yang dipercaya oleh Anak

9 Memperoleh advokasi sosial 12. Memperoleh kehidupan pribadi 13. Memperoleh aksesibilitas, terutama bagi Anak cacat 14. Memperoleh pendidikan 15. Memperoleh pelayanan kesehatan 16. Memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan perundang-undangan Petugas LPKA harus pula memperhatikan hak anak yang sedang menjalani pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang meliputi: 1. Mendapat pengurangan masa pidana 2. Memperoleh asimilasi 3. Memperoleh cuti mengunjungi keluarga 4. Memperoleh pembebasan bersyarat 5. Memperoleh cuti menjelang bebas 6. Memperoleh cuti bersyarat 7. Memperoleh hak hak lain sesuai ketentuan 2.3. Proses Pembinaan Anak dalam LPKA Berdasarkan Penjelasan Undang-undang SPPA, Pembinaan adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas, ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, pelatihan keterampilan, profesional, serta kesehatan jasmani dan rohani Anak baik di dalam maupun di luar proses peradilan pidana.

10 Tahapan Proses Pembinaan Awal. a. Tahap Pembinaan Awal Tahap Pembinaan Awal dimulai sejak anak baru diterima di LPKA hingga 1/3 masa pidana atau batas waktu yang ditentukan berdasarkan hasil Litmas. Tahap pembinaan awal dimulai dengan proses registrasi yang terdiri dari kegiatan penerimaan, pendaftaran dan penempatan serta pengenalan lingkungan sebagaimana telah diuraikan dalam proses registrasi sebelumnya. Setelah dilakukan registrasi, masih dalam proses tahapan pembinaan awal dilakukan langkah-langkah sebagai berikut; 5 1) Penelitian Kemasyarakatan dan Asesmen. Penelitian Kemasyarakatan disusun oleh Pembimbing Kemasyarakatan. Setiap anak wajib dilakukan penelitian kemasyarakatan. Penelitian Kemasyarakatan di LPKA dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan. Hasil Penelitian Kemasyarakatan berupa rekomendasi pembinaan atau perlakuan untuk Anak selama di LPKA yang akan disampaikan kepada Kepala LPKA. Penelitian Kemasyarakatan merupakan proses pengumpulan data dan informasi yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan. Penelitian Kemasyarakatan didalamnya mencakup juga hasil 5 Direktorat Bimkemas dan Pengentasan Anak, tanpa tahun terbit, Pedoman Perlakuan Anak di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), Jakarta, h. 18

11 43 profiling dan assesmen yang dilakukan oleh assessor yang didalamnya ada rekomendasi kepada Kepala LPKA untuk disampaikan kepada Pembimbing Kemasyarakatan (PK) sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari dokumen penelitian kemasyarakatan (LITMAS) untuk menentukan program pembinaan Anak. Hasil Penelitian Kemasyarakatan juga disampaikan kepada Wali/pengasuh untuk dipelajari dalam rangka persiapan sidang TPP. Sebelum Penelitian Kemasyarakatan dilakukan, petugas Pembimbing Kemasyarakatan harus melakukan persiapan yang meliputi beberapa hal, yaitu: a. Penelitian Kemasyarakatan ditujukan kepada Anak yang baru masuk LPKA. b. Penelitian Kemasyarakatan dilakukan pada saat Anak berada di Blok Admisi Orientasi dan selambat-lambatnya 24 jam setelah Anak diterima di LPKA. c. Dalam persiapan pelaksanaan Penelitian Kemasyarakatan, petugas Pembimbing Kemasyarakatan wajib mengumpulkan dan mempelajari data pendukung berupa berkas Litmas proses peradilan, proses diversi (risalah diversi), berkas penahanan, petikan/ putusan pengadilan, hasil profiling, assessment danlain sebagainya.

12 44 Dalam pelaksanaan Penelitian Kemasyarakatan yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan, Pembimbing Kemasyarakatan wajib memperhatikan hal-hal berikut: a. Surat Permintaan atau pemberitahuan permintaan Litmas dari kepala LPKA. b. Pembimbing Kemasyarakatan melakukan wawancara kepada Anak dan mencatat hasilnya kedalam format Litmas. c. Pembimbing Kemasyarakatan melakukan verifikasi melalui berkas/dokumen pendukung dan sumber informasi lainnya d. Pembimbing Kemasyarakatan melakukan analisa secara menyeluruh terhadap hasil wawancara dan verifikasi dokumen pendukung serta sumber rujukan teori yang mendukung. e. Pembimbing Kemasyarakatan mempelajari hasil profiling dan assessment yang dilakukan oleh assessor. f. Pembimbing Kemasyarakatan Membuat rekomendasi sebagai dasar untuk menentukan program pembinaan Anak. Asesmen di LPKA yang dilakukan oleh assessor. merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari dokumen penelitian kemasyarakatan (LITMAS) untuk menentukan program pembinaan. Sebelum asesmen dilakukan, petugas LPKA harus melakukan persiapan yang meliputi beberapa hal, yaitu:

13 45 a. Asesmen dilakukan pada saat Anak berada di Blok Admisi Orientasi dan selambat-lambatnya 24 jam setelah Anak diterima di LPKA. b. Dalam persiapan pelaksanaan asesmen, petugas asesor wajib mengumpulkan dan mempelajari data pendukung berupa berkas Litmas proses peradilan, proses diversi (risalah diversi), berkas penahanan,.petikan/ putusan pengadilan danlain sebagainya. c. Instrumen yang digunakan dalam penyusunan asesmen terdiri dari form asesmen risiko dan kebutuhan Anak serta form isian data diri Anak. Asesmen risiko dan kebutuhan wajib dilakukan secara cermat dan teliti dengan memperhatikan hal-hal berikut: a. Sebelum asesmen risiko dan kebutuhan dilaksanakan, petugas LPKA wajib mendapatkan persetujuan dari Anak yang dibuktikan dengan formulir persetujuan asesmen b. Petugas melakukan wawancara dan mencatat hasilnya dalam form data diri anak c. Petugas melakukan verifikasi melalui berkas/dokumen pendukung dan sumber informasi lainnya d. Petugas melakukan analisa secara menyeluruh terhadap hasil wawancara dan verifikasi dokumen pendukung

14 46 e. Petugas melakukan penilaian dengan menggunakan instrumen asesmen risiko dan kebutuhan f. Hasil asesmen risiko dan hal-hal penting dari verifikasi data Anak wajib dimasukkan ke dalam catatan kasus. Catatan akan selalu dibuat dan dikembangkan selama masa pidana Anak untuk melihat perkembangan perilaku dan program yang diberikan bagi Anak. g. Pelaksanaan asesmen risiko dan kebutuhan dilakukan paling lama 5 (lima) hari dan selama proses berlangsung Anak diizinkan untuk keluar dan berpartisipasi dalam kegiatan yang bersifat rekreatif. h. Hasil asesmen risiko dan kebutuhan yang dilakukan di LPAS wajib dijadikan pertimbangan di LPKA agar dapat diketahui perkembangan kebutuhan Anak untuk menentukan program pembinaan yang tepat baginya. i. Rekomendasi hasil asesmen sekurang-kurangnya harus menjelaskan rekomendasi program yang disarankan serta alasan yang mencakup risiko, kebutuhan, kondisi psikososial, kondisi kesehatan fisik dan psikologis serta daya responsivity Anak. 2) Klasifikasi (Penempatan dan Intensivitas Pengawasan) Untuk kepentingan pemberian program pembinaan selanjutnya, pada saat masa pengamatan dan pengenalan lingkungan paling

15 47 lama 1 (satu) bulan, maka Anak wajib dipindahkan ke dalam kamarnya masing-masing. Penempatan Anak sebagaimana dimaksud harus memperhatikan: a) Rekomendasi litmas, (asesmen risiko dan kebutuhan) b) penggolongan usia, jenis kelamin, status penahanan, tindak pidana, lama penahanan, pengulangan tindak pidana dan kewarganegaraan c) dalam hal terdapat kondisi khusus, maka penempatan Anak memperhatikan ketentuan berikut: (1) Anak yang sakit menular atau berbahaya dan dalam keadaan khusus wajib ditempatkan secara terpisah (2) Anak yang memiliki gangguan kejiwaan harus dikonsultasikan dengan dokter jiwa dan dilaporkan kepada instansi yang menahan untuk mendapatkan perawatan sebagaimana mestinya. (3) Anak yang sakit dapat dirawat di klinik LPKA (4) Anak yang sakit keras dapat dirawat di rumah sakit di luar LPKA setelah melalui pertimbangan dokter LPKA setelah dilakukan pemeriksaan secara teliti dengan seizin instansi yang menahan. (5) Anak yang dianggap dapat membahayakan dirinya atau Anak lain sehingga membahayakan ketertiban di LPKA dapat ditempatkan secara terpisah

16 48 3) Perencanaan Program a) Untuk kepentingan perencanaan program, PK menyusun rekomendasi berdasarkan hasil litmas. b) Rekomendasi Litmas berupa klasifikasi dan perencanaan program pembinaan. c) Rekomendasi perencanaan program yang dibuat oleh PK disampaikan kepada kepala LPKA untuk sidang TPP. d) Sidang TPP wajib mempertimbangkan rekomendasi Litmas mengenai hal-hal yang terdiri dari rencana klasifikasi, rencana penempatan lanjutan, rencana program pembinaan dan rencana pemberian asimilasi jika telah memenuhi persyaratan asimilasi e) Prioritas kebutuhan program bagi Anak. Jika Anak berdasarkan hasil asesmen kebutuhan dan persetujuan direkomendasikan untuk mengikuti kegiatan pendidikan dan pembinaan keterampilan maka: (1) dapat diberikan kedua-duanya (2) dipilih salah satunya berdasarkan prioritas si Anak. f) Anak wajib diupayakan dan dipastikan untuk mendapat program pendidikan dengan memperhatikan kesediaan dan kemampuan Anak untuk mengikuti program. Apabila Anak tidak memiliki minat pada program pendidikan maka Anak wajib diarahkan kepada program pembinaan kemandirian.

17 49 g) Penghargaan terhadap hak dan pendapat Anak. h) Perencanaan program di dalamnya harus meliputi tujuan yang akan dicapai, jenis program dan kegiatan, saran kebutuhan program yang sesuai dengan Anak, dan waktu pelaksanaan program. 4) Sidang TPP Salah satu tugas Tim Pengamat Pemasyarakatan di LPKA adalah memberi saran dan pertimbangan kepada Kepala LPKA mengenai bentuk dan program bagi Anak. Dalam melakukan tugas tersebut, TPP mempunyai fungsi untuk melakukan sidang TPP. Rekomendasi hasil perencanaan program yang sudah dibuat sebelumnya wajib dijadikan bahan pertimbangan oleh TPP untuk memutuskan program yang tepat bagi Anak. Dalam pelaksanaan sidang TPP perlu diperhatikan mengenai: a. Susunan keanggotaan TPP di LPKA terdiri dari : (1) Ketua adalah pejabat struktural di bidang pembinaan (2) Sekretaris adalah pejabat struktural satu tingkat di bawah pejabat bidang pembinaan atau salah satu jabatan fungsional umum di bidang pembinaan (3) Anggota adalah: (a) Pejabat struktural bidang lainnya di LPKA (b) Pembimbing kemasyarakatan

18 50 (c) Jabatan fungsional lainnya di bidang pembinaan yang ditunjuk oleh Kepala LPKA (d) Wali/pengasuh Anak b. Berkas Anak untuk sidang TPP meliputi : (1) Litmas Anak (2) Perencanaan program Anak, c. Sidang TPP terdiri dari: (1) Sidang Rutin yaitu sidang TPP yang dilaksanakan sekurang-kurangnya 2 (dua) kali dalam 1 (satu) bulan untuk membahas perkembangan Anak (2) Sidang Khusus yaitu sidang TPP yang dilaksanakan dan berlangsung setiap waktu sesuai kebutuhan Anak dan membahas persoalan-persoalan yang menyangkut pelaksanan teknis pelayanan, pendidikan dan pelatihan keterampilan maupun penegakan disiplin yang memerlukan penyelesaian cepat. d. Pengambilan keputusan dalam sidang TPP didasarkan atas musyawarah dan mufakat. Dalam hal musyawarah dan mufakat tidak tercapai, maka pengambilan keputusan dilakukan dengan cara pemilihan suara terbanyak dengan ketentuan bahwa keputusan diambil lebih dari setengah ditambah 1 (satu).

19 51 e. Selama persidangan berlangsung, proses pembahasan dan masalah yang berkembang dalam sidang TPP harus dicatat agar dapat diketahui dasar pengambilan keputusan dalam penentuan program pendidikan Anak. f. Ketentuan lebih rinci mengenai pelaksanaan sidang TPP merujuk pada Keputusan Menteri Hukum dan Perundang- Undangan Republik Indonesia Nomor: M.02.PR Tahun 1999 Tentang Pembentukan Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan. 5) Pelaksanaan Program Pembinaan a) Berdasarkan hasil keputusan sidang TPP yang telah disetujui oleh Ka. LPKA maka program pembinaan anak dapat dilaksanakan. b) Pelaksanaan program harus memperhatikan manajemen operasional program yang terdiri dari kesiapan anggaran, ketersediaan anak yang akan mengikuti program pembinaan, kesiapan petugas pemasyarakatan dan tenaga instruktur yang telah memenuhi kompetensi dan kualifikasi, sarana dan prasarana pembinaan, dan jadwal program. c) Dalam hal program dilaksanakan dengan mitra kerjasama, petugas LPKA terlebih dahulu dapat membuat daftar mitra kerjasama, baik pemerintah maupun swasta, yang dapat diajak bekerja sama dalam menyelenggarakan program pendidikan

20 52 bagi Anak di LPKA. Penentuan mitra kerjasama wajib mempertimbangkan prinsip-prinsip kepentingan terbaik bagi Anak. d) Kesepakatan kerjasama dengan pihak ketika wajib mengatur mengenai hubungan kerjasama, jangka waktu kerjasama, tata cara kerjasama peran masing-masing pihak dalam pelaksanaan kerjasama. e) Tugas LPKA dalam pelaksanaan program pendidikan lebih bersifat fasilitatif yaitu menyiapkan sarana prasarana serta peserta didik. Dalam pelaksanaan proses belajar mengajar yang harus diperhatikan adalah petugas LPKA tidak memberikan pembelajaran kecuali petugas tersebut merupakan tenaga fungsional guru/tutor. f) Dalam pelaksanaan program, petugas LPKA wajib melakukan monitoring dan evaluasi program pendidikan untuk mengetahui efektivitas pelaksanaan program terhadap perkembangan perilaku Anak. 6) Pengasuh Pemasyarakatan a) Disetiap lembaga harus ditunjuk beberapa Wali/pengasuh yang terlatih secara khusus petugas dari bagian pembinaan, diangkat oleh kepala untuk mengurus anak-anak dan memberikan dukungan pelaksanaan rencana program pembinaan dan perawatan yang disiapkan oleh manajer kasus

21 53 untuk individualisasi perawatan Anak. Lebih mungkin jika memiliki latar belakang pendidikan psikologi atau pekerja sosial. b) Peran Wali/pengasuh membantu Anak untuk mengidentifikasi dan memenuhi tujuan yang ditetapkan dalam rencana manajemen kasus, dan juga dalam mengajukan permohonan cuti atau untuk proses keluhan, pembebasan lebih awal, dan untuk membantu Anak pada umumnya untuk setiap kebutuhan yang dapat diidentifikasi. c) Wali/pengasuh harus diangkat dengan rasio wajar untuk jumlah anak-anak, setidaknya satu Wali/pengasuh per 10 anak-anak. Selain itu, harus ada setidaknya dua Wali/pengasuh secara penuh waktu di LPKA (Shift) untuk melayani kebutuhan perawatan anak-anak dalam waktu 24 jam). d) Wali/pengasuh harus memeriksa masing-masing anak-anak mereka dan membuat catatan atas kemajuan masing-masing Anak setiap minggunya dalam berkas Anak. Catatan ini adalah untuk ditinjau ulang pada pertemuan bulanan yang dilakukan Wali/pengasuh e) Wali/pengasuh diawasi oleh pejabat pada bagian pembinaan dan bertanggung jawab kepada kepala LPKA. 7) Pelaporan Pelaksanaan Program Pembinaan. a) program dilakukan terhadap:

22 54 (1) Manajemen penyelenggaraan program secara keseluruhan meliputi evaluasi terhadap perencanaan dan pelaksanaan program. (a) Evaluasi manajemen operasional pelaksanaan program terdiri dari pengguna anggaran, jumlah dan kualifikasi anak yang telah mengikuti program pembinaan, kompetensi dan kualifikasi petugas pemasyarakatan dan tenaga instruktur, sarana dan prasarana pembinaan, dan jadwal program. (b) Terkait evaluasi tersebut maka perlu dibuat laporan pelaksanaan program yang dibuat oleh pelaksana program (c) Laporan sebagaimana dimaksud merupakan kompilasi catatan pelaksanaan masing-masing program dan hasil evaluasinya yang dibuat oleh penanggung jawab setiap bulannya. (2) Efektivitas program terhadap perkembangan perilaku Anak yang meliputi evaluasi terhadap tujuan/capaian program, hambatan dan kendala dalam pencapaian tujuan serta rekomendasi tindak lanjut. (a) Terkait evaluasi tersebut, perlu dibuat laporan perkembangan Anak yang dibuat oleh Pengasuh. Laporan sebagaimana dimaksud merupakan

23 55 kompilasi catatan perkembangan Anak yang dibuat setiap harinya. b) Terkait dengan fungsi pengawasan Balai Pemasyarakatan, laporan hasil evaluasi program dan laporan perkembangan Anak dikirimkan kepada Kepala Kanwil cq Kepala Divisi Pemasyarakatan dan PK Bapas 8). Pengawasan Program Pembinaan Anak. Pengawasan Program Pembinaan dilakukan oleh Wali/pengasuh, pejabat atasan langsung di LPKA dan Pembimbing Kemasyarakatan. a. Pengawasan oleh Wali/pengasuh. Wali/pengasuh secara intensif melakukan pengawasan langsung terhadap anak selama mengikuti kegiatan pembinaan. Wali/pengasuh mencatat hasil perkembangan pembinaan dan melaporkan kepada atasan pada bagian pembinaan minimal sekali dalam sebulan atau sesuai dengan kondisi dan kebutuhan. b. Pengawasan oleh Pejabat atasan langsung. Pejabat pada bagian pembinaan melakukan pengawasan terhadap keseluruhan penyelenggaraan program dan melaporkan kepada kepala LPKA. Kepala LPKA juga

24 56 berkewajiban melakukan pengawasan secara langsung terhadap pelaksanaan program. c. Pengawasan oleh Pembimbing Kemasyarakatan. Pembimbing Kemasyarakatan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan program pembinaan untuk memastikan rekomendasi dan perencanaan program yang diberikan kepada anak. Pembimbing Kemasyarakatan menyampaikan hasil pengawasan kepada LPKA untuk dijadikan sebagai bahan evaluasi Tahap Pembinaan Lanjutan 6 1) Tahap pembinaan lanjutan dan Asimilasi dilakukan melalui kegiatan membaurkan anak dengan keluarga, masyarakat dan lingkungan lain di Luar LPKA. 2) Tahapan pembinaan lanjutan dihitung dari 1/3 sampai dengan 1/2 masa pidana. 3) Dalam hal belum mencapai 1/3 masa pidana namun berdasarkan hasil pengawasan PK dan penelitian kemasyarakatan anak sudah menunjukkan perubahan perilaku maka anak didik dapat diberikan asimilasi. 4) Penghitungan ½ masa pidana diberikan selama anak masih berusia di bawah 18 tahun 6 Ibid., h. 25.

25 57 5) Asimilasi terdiri dari asimilasi dalam dan asimilasi luar. Asimilasi dalam adalah program pembauran yang melibatkan masyarakat dari luar untuk melakukan kegiatan didalam LPKA. Asimilasi luar adalah membaurkan anak dengan melakukan kegiatan bersama masyarakat di Luar LPKA. 6) Jika asimilasi diberikan dalam bentuk pelatihan kerja, lamanya tidak boleh melebihi dari 3 jam per hari. 7) Proses pelaksanaan tahap pembinaan lanjutan, dimulai dengan melakukan Litmas, dan melakukan evaluasi pelaksanaan progam pembinaan tahap awal, selanjutnya menyusun Perencanaan Program Lanjutan, menyusun Pelaksanaan Program Lanjutan (jenis program yang diberikan dan dapat diberikan assimilasi) dan terakhir menyusun Evaluasi untuk Program Lanjutan 8) Mekanisme pelaksanaan litmas dan assesmen, perencanaan program lanjutan, pelaksanaan program lanjutan dan evaluasi program lanjutan mengacu kepada pedoman penyusunan litmas dan assesmen, perencanaan program, pelaksanaan program dan evaluasi program pada tahap pembinaan lanjutan dengan memperhatikan jenis dan bentuk serta tujuan program tahap akhir Jenis Pembinaan Anak Pembinaan anak terdiri dari Pembinaan Kepribadian, Pembinaan Ketrampilan dan Pendidikan.

26 58 a. Pembinaan Kepribadian terdiri dari kegiatan Pembinaan kerohanian, kesadaran hukum, jasmani, kesadaran berbangsa dan bernegara dan kegiatan lainnya b. Pembinaan Keterampilan terdiri dari kegiatan pembinaan pertanian, peternakan, pertukangan, kesenian dan Teknologi Informasi (IT), dan kegiatan lainnya c. Pendidikan anak yang diselenggarakan di LPKA terdiri dari Pendidikan Formal dan Non Formal. Pendidikan Formal terdiri dari pendidikan wajib belajar 9 tahun/ SD, SMP dan SMA, sedangkan Pendidikan Non Formal mencakup Kejar Paket A untuk tingkat SD, Paket B untuk tingkat SMP dan Paket C untuk tingkat SMA.

27 59

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak merupakan amanah dan karunia

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.153, 2012 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat: a. bahwa anak merupakan amanah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan bangsa dan negara. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

Lebih terperinci

PEDOMAN PERLAKUAN ANAK DI LEMBAGA PENEMPATAN ANAK SEMENTARA (LPAS) BAB I PENDAHULUAN

PEDOMAN PERLAKUAN ANAK DI LEMBAGA PENEMPATAN ANAK SEMENTARA (LPAS) BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Dengan melihat pada pentingnya peran Anak

Lebih terperinci

PERANAN BALAI PEMASYARAKATAN (BAPAS) DALAM PROSES PERADILAN ANAK DI KOTA JAYAPURA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOmor 11 TAHUN 2012

PERANAN BALAI PEMASYARAKATAN (BAPAS) DALAM PROSES PERADILAN ANAK DI KOTA JAYAPURA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOmor 11 TAHUN 2012 PERANAN BALAI PEMASYARAKATAN (BAPAS) DALAM PROSES PERADILAN ANAK DI KOTA JAYAPURA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOmor 11 TAHUN 2012, SH.,MH 1 Abstrak : Peranan Balai Pemasyarakatan (Bapas) Dalam Proses Peradilan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat: a. bahwa anak merupakan amanah

Lebih terperinci

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyeles

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyeles LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.194, 2015 PIDANA. Diversi. Anak. Belum Berumur 12 Tahun. Pedoman. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5732). PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI DAN PENANGANAN ANAK YANG BELUM BERUMUR 12 (DUA BELAS) TAHUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pada hakikatnya perlakuan terhadap

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI DAN PENANGANAN ANAK YANG BELUM BERUMUR 12 (DUA BELAS) TAHUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG BALAI PERTIMBANGAN PEMASYARAKATAN DAN TIM PENGAMAT PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK I. UMUM Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. DESKRIPSI SINGKAT B. KOMPETENSI UMUM C. KOMPETENSI KHUSUS

BAB I PENDAHULUAN A. DESKRIPSI SINGKAT B. KOMPETENSI UMUM C. KOMPETENSI KHUSUS BAB I PENDAHULUAN A. DESKRIPSI SINGKAT Modul Penanganan ABH di Bapas merupakan bagian dari Modul Penyuluhan penanganan anak yang berhadapan dengan hukum terkait diversi dan keadilan restoratif bagi petugas

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No.5332 TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK I. UMUM Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan

Lebih terperinci

PEDOMAN PERLAKUAN ANAK DI BALAI PEMASYARAKATAN (BAPAS) BAB I PENDAHULUAN

PEDOMAN PERLAKUAN ANAK DI BALAI PEMASYARAKATAN (BAPAS) BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Dengan melihat pada pentingnya peran Anak ini,

Lebih terperinci

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan BAB II KEBIJAKAN HUKUM PIDANA YANG MENGATUR TENTANG SISTEM PEMIDANAAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA DI INDONESIA A. Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan yang Dilakukan Oleh Anak Dibawah

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. IV/No. 7/Ags/2016

Lex Privatum, Vol. IV/No. 7/Ags/2016 SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DI INDONESIA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK 1 Oleh: Karen Tuwo 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.832, 2013 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Remisi. Asimilasi. Syarat. Pembebasan Bersyarat. Cuti. Tata Cara. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK

Lebih terperinci

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR M.01.PK.04-10 TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

2017, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya

2017, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.49, 2017 HUKUM. Anak. Anak Korban. Perkara. Register. Pedoman. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6033) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN REGISTER PERKARA ANAK DAN ANAK KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN REGISTER PERKARA ANAK DAN ANAK KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN REGISTER PERKARA ANAK DAN ANAK KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

2018, No bersyarat bagi narapidana dan anak; c. bahwa Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 21 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata

2018, No bersyarat bagi narapidana dan anak; c. bahwa Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 21 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.282, 2018 KEMENKUMHAM. Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat. Pencabutan. PERATURAN MENTERI HUKUM

Lebih terperinci

1 dari 8 26/09/ :15

1 dari 8 26/09/ :15 1 dari 8 26/09/2011 10:15 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pada hakikatnya

Lebih terperinci

2016, No Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pem

2016, No Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pem BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.810, 2016 KEMENKUMHAM. Remisi. Asimilasi. Cuti Mengunjungi Keluarga. Pembebasan Bersyarat. Cuti Menjelang Bebas. Cuti Bersyarat. Pemberian. Tata Cara. Perubahan. PERATURAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengertian Anak dalam Konsideran Undang-Undang Nomor 11 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Pengertian Anak dalam Konsideran Undang-Undang Nomor 11 Tahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengertian Anak dalam Konsideran Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang selanjutnya disebut dengan UU SPPA menyebutkan bahwa

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 68, 1999 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3842) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. DESKRIPSI SINGKAT B. KOMPETENSI UMUM

BAB I PENDAHULUAN A. DESKRIPSI SINGKAT B. KOMPETENSI UMUM BAB I PENDAHULUAN A. DESKRIPSI SINGKAT Modul Penanganan Anak dalam Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS)/Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA)/Rumah Tahanan Negara (Rutan)/Lembaga Pemasyarakatan (Lapas)

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform KEPUTUSAN MENTERI HUKUM DAN PERUNDANG-UNDANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : M.02.PR.08.03 TAHUN 1999 TENTANG PEMBENTUKAN BALAI PERTIMBANGAN PEMASYARAKATAN DAN TIM PENGAMAT PEMASYARAKATAN MENTERI HUKUM DAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 31 TAHUN 1999 (31/1999) TENTANG PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 31 TAHUN 1999 (31/1999) TENTANG PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN PERATURAN PEMERINTAH (PP) NOMOR 31 TAHUN 1999 (31/1999) TENTANG PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN PRESIDEN, Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 7 ayat (2) Undang-undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 17 BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Umum tentang Anak secara Umum 1. Pengertian Anak Anak adalah generasi penerus bangsa dan penerus pembangunan, yaitu generasi yang dipersiapkan sebagai subjek pelaksanaan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.621, 2015 JAKSA AGUNG. Diversi. Penuntutan. Pelaksanaan. Pedoman. PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER- 006/A/J.A/04/2015 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

TENTANG PENANGANAN ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM

TENTANG PENANGANAN ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM KEPUTUSAN BERSAMA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA, JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA, KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA, MENTERI HUKUM DAN HAM REPUBLIK INDONESIA, MENTERI SOSIAL REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2014 TENTANG PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2014 TENTANG STANDAR LEMBAGA PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL BAGI ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK

NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TERKAIT DIVERSI DALAM PERMA NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

BAB II PENGATURAN HUKUM TERKAIT DIVERSI DALAM PERMA NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK 24 BAB II PENGATURAN HUKUM TERKAIT DIVERSI DALAM PERMA NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK A. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : M.01-PK.04.10 TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS

KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : M.01-PK.04.10 TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : M.01-PK.04.10 TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

Perbandingan Penghukuman Terhadap Anak dengan Minimal yang Disebut sebagai Anak

Perbandingan Penghukuman Terhadap Anak dengan Minimal yang Disebut sebagai Anak Perbandingan Penghukuman Terhadap Anak dengan Minimal yang Disebut sebagai Anak 1. Indonesia Undang-undang yang mengatur tentang anak yang berhadapan dengan hukum adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Juli 2006) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 3, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 3668) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan

Lebih terperinci

BAB III SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK. sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana Undang-

BAB III SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK. sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana Undang- BAB III SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK A. Pengertian Sistem Peradilan Pidana Anak Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Hasil PANJA 12 Juli 2006 Dokumentasi KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI Hasil Tim perumus PANJA, santika 12 Juli

Lebih terperinci

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pada hakikatnya

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 09 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 09 TAHUN 2015 TENTANG PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 09 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN REHABILITASI SOSIAL ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM OLEH LEMBAGA PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.293, 2014 POLHUKAM. Saksi. Korban. Perlindungan. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5602) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa pada hakikatnya Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai insan dan sumber daya manusia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

2015, No Indonesia Tahun 1979 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3143); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Pe

2015, No Indonesia Tahun 1979 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3143); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Pe BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.928, 2015 KEMENSOS. Rehabilitasi Sosial Anak. Hukum. Pedoman. PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 09 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN REHABILITASI SOSIAL ANAK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. Bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM MELALUI PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE. Oleh : Dheny Wahyudhi 1. Abstrak

PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM MELALUI PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE. Oleh : Dheny Wahyudhi 1. Abstrak PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM MELALUI PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE Oleh : Dheny Wahyudhi 1 Abstrak Perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dalam proses peradilan

Lebih terperinci

STANDAR PELAYANAN PERKARA PIDANA

STANDAR PELAYANAN PERKARA PIDANA STANDAR PELAYANAN PERKARA PIDANA Dasar: Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI No. 026/KMA/SK/II/2012 Tentang Standar Pelayanan Peradilan 1. PELAYANAN PERSIDANGAN a. Pengadilan menyediakan ruang tunggu khusus

Lebih terperinci

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBUK INOONESIA NOMOR M.2.PK.04-10 TAHUN 2007 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN ASIMILASI,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

: PAS-HM : PKS LPSWX/2015

: PAS-HM : PKS LPSWX/2015 PERJANJIAN KERJA SAMA ANTARA DIREKTORAT JENDERAL PEMASYARAKATAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA DAN LEMBAGA PERLINDLINGAN SAKSI DAN KORBAN TENTANG PERLINDUNGAN BAGI TAHANAN DAN

Lebih terperinci

PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN 1999 TENTANG SYARAT-SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN WEWENANG, TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB PERAWATAN TAHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. V/No. 3/Mar/2016. PENANGANAN ANAK GUNA KEPENTINGAN PENYIDIKAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DI INDONESIA 1 Oleh : Fernando Reba 2

Lex Crimen Vol. V/No. 3/Mar/2016. PENANGANAN ANAK GUNA KEPENTINGAN PENYIDIKAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DI INDONESIA 1 Oleh : Fernando Reba 2 PENANGANAN ANAK GUNA KEPENTINGAN PENYIDIKAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DI INDONESIA 1 Oleh : Fernando Reba 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana penahanan

Lebih terperinci

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 58 TAHUN 1999 TENTANG SYARAT-SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN WEWENANG, TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB PERAWATAN TAHANAN PRESIDEN, Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Teks tidak dalam format asli. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 95, 2004 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4419)

Lebih terperinci

- - PERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG MAJELIS KEHORMATAN KODE ETIK BADAN PEMERIKSA KEUANGAN

- - PERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG MAJELIS KEHORMATAN KODE ETIK BADAN PEMERIKSA KEUANGAN - - PERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG MAJELIS KEHORMATAN KODE ETIK BADAN PEMERIKSA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK

Lebih terperinci

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga

Lebih terperinci

PENJELASAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN

PENJELASAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN PENJELASAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN UMUM Sebagaimana ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995

Lebih terperinci

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 15 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 15 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 15 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang : a. bahwa setiap

Lebih terperinci

: UPAYA PERLINDUNGAN ANAK BERHADAPAN HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN ANAK FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK

: UPAYA PERLINDUNGAN ANAK BERHADAPAN HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN ANAK FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK Judul : UPAYA PERLINDUNGAN ANAK BERHADAPAN HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN ANAK MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 Disusun oleh : Ade Didik Tri Guntoro NPM : 11100011 FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda

Lebih terperinci

KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI DIREKTORAT JENDERAL PEMASYARAKATAN Jalan Veteran No. 11 Jakarta

KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI DIREKTORAT JENDERAL PEMASYARAKATAN Jalan Veteran No. 11 Jakarta KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI DIREKTORAT JENDERAL PEMASYARAKATAN Jalan Veteran No. 11 Jakarta Yth. 1. Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI 2. Kepala Divisi Pemasyarakatan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH NOMOR 2 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 2 TAHUN TENTANG

LEMBARAN DAERAH NOMOR 2 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 2 TAHUN TENTANG LEMBARAN DAERAH NOMOR 2 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 2 TAHUN TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN BAPAS

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN BAPAS M A S Y A R A K A T Anak PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN BAPAS POLISI JAKSA HAKIM LPAS, LPKA. TINDAKAN 0 1/3 mp LPKA 1/3 1/2 mp 1/2-2/3 mp 2/3 s.d Bebas murni M A S Y A R A K A T LINGKUNGAN UU SPPA mengamanahkan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR :M.01-PK TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS

KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR :M.01-PK TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR :M.01-PK.04.10 TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA. Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERAN KANWIL KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM JAWA TENGAH DALAM PEMENUHAN HAM ANAK BERHADAPAN DENGAN HUKUM (ABH)

PERAN KANWIL KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM JAWA TENGAH DALAM PEMENUHAN HAM ANAK BERHADAPAN DENGAN HUKUM (ABH) PERAN KANWIL KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM JAWA TENGAH DALAM PEMENUHAN HAM ANAK BERHADAPAN DENGAN HUKUM (ABH) 16 APRIL 2015 VISI, MISI DAN TUSI KANWIL KEMENTERIAN. HUKUM & HAM JATENG VISI : Masyarakat memperoleh

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN 1999 TENTANG SYARAT-SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN WEWENANG, TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB PERAWATAN TAHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada hakekatnya anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha

BAB I PENDAHULUAN. Pada hakekatnya anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada hakekatnya anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Untuk menjaga harkat dan

Lebih terperinci

Harkristuti Harkrisnowo Direktur Jenderal HAM Kementrian Hukum dan HAM RI

Harkristuti Harkrisnowo Direktur Jenderal HAM Kementrian Hukum dan HAM RI RUU Pengadilan Pidana Anak: Suatu Telaah Ringkas Harkristuti Harkrisnowo Direktur Jenderal HAM Kementrian Hukum dan HAM RI Anak perlu perlindungan khusus karena Kebelum dewasaan anak baik secara jasmani

Lebih terperinci

NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN

NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa pada hakikatnya Warga Binaan Pemasyarakatan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

BAB II TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN OLEH ANAK. Menurut Moeljatno istilah perbuatan pidana menunjuk kepada makna

BAB II TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN OLEH ANAK. Menurut Moeljatno istilah perbuatan pidana menunjuk kepada makna BAB II TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN OLEH ANAK A. Tindak Pidana Menurut Moeljatno istilah perbuatan pidana menunjuk kepada makna adanya suatu kelakuan manusia yang menimbulkan akibat tertentu yang dilarang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEBUMEN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

QANUN KABUPATEN BIREUEN NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK TERLANTAR

QANUN KABUPATEN BIREUEN NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK TERLANTAR QANUN KABUPATEN BIREUEN NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK TERLANTAR BISMILLAHIRRAHMANIRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA PENGASIH LAGI MAHA PENYAYANG ATAS RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA BUPATI

Lebih terperinci

- 2 - BAB I KETENTUAN UMUM

- 2 - BAB I KETENTUAN UMUM - 2 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Badan ini yang dimaksud dengan: 1. Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Diversi 1. Pengertian Diversi Proses peradilan perkara anak sejak ditangkap, ditahan dan diadili pembinaannya wajib dilakukan oleh pejabat khusus yang memahami

Lebih terperinci

2017, No Mengingat : 1. Undang - Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 77, Tam

2017, No Mengingat : 1. Undang - Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 77, Tam BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.970, 2017 KEMENKUMHAM. Layanan Rehabilitasi Narkotika. Tahanan dan WBP. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2017 TENTANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 3 ayat (1), Bangsa

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 3 ayat (1), Bangsa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mempengaruhi berbagai aspek kehidupan manusia. Perilaku manusia sebagai subjek hukum juga semakin kompleks dan

Lebih terperinci

2017, No Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3547), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2010 tent

2017, No Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3547), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2010 tent BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.571, 2017 BKN. Jabatan Fungsional. Pembimbing Kemasyarakatan. Juklak Pembinaan. PERATURAN KEPALA BADAN KEPEGAWAIAN NEGARA NOMOR 5 TAHUN 2017 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pergeseran paradigma dalam hukum pidana, mulai dari aliran klasik,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pergeseran paradigma dalam hukum pidana, mulai dari aliran klasik, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pergeseran paradigma dalam hukum pidana, mulai dari aliran klasik, aliran neo-klasik, dan aliran modern menandai babak baru dalam wacana hukum pidana. Pergeseran

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat : a. bahwa setiap

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Lebih terperinci