BAB I PENDAHULUAN. menunjukkan bahwa sektor kehutanan memiliki peran penting terhadap

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. menunjukkan bahwa sektor kehutanan memiliki peran penting terhadap"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki kawasan berhutan sebesar ,8 juta ha atau 51,53% dari total luas daratannya (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2014). Luas daratan setengahnya didominasi oleh hutan tersebut menunjukkan bahwa sektor kehutanan memiliki peran penting terhadap pembangunan nasional (Simon, 2010). Namun, pembangunan seringkali tidak sejalan dengan kelestarian hutan dan lingkungan, khususnya ketika paradigma sustained yield management digunakan dalam pengelolaan hutan pada abad ke-19 (Schlapfer & Elliot, 2000). Kualitas hutan dan lingkungan yang semakin menurun membuat suatu paradigma baru pengelolaan hutan diperlukan. Kondisi tersebut melatarbelakangi diselenggarakannya konferensi the Earth Summit di Rio de Janeiro, Brazil, tahun 1992 (Schlaepfer & Elliot, 2000). Hasil dari konferensi ini adalah kesepakatan antar negara untuk menerapkan konsep sustainable forest management melalui berbagai kriteria dan indikator yang telah ditetapkan. Sejak itu, perkembangan paradigma pengelolaan hutan adalah menekankan pada aspek kelestarian hutan dan lingkungan. Degradasi hutan yang terjadi serta banyaknya lahan kritis memberikan berbagai macam efek buruk, sehingga diperlukan upaya rehabilitasi hutan dan lahan untuk menekan degradasi hutan dan memperbaiki lahan kritis tersebut (Brown, 1994). Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) bertujuan pulihnya 1

2 2 kondisi hutan dan lahan sehingga dapat berfungsi kembali secara normal dan lestari sebagai sistem penyangga kehidupan. Menurut Peraturan Pemerintah No 76 Tahun 2008 tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan, rehabilitasi hutan dan lahan bertujuan untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas dan perananannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga (Anonim, 2008). Rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) merupakan salah satu prioritas utama pengelolaan hutan Indonesia saat ini dan di masa mendatang. Kompleksitas kegiatan RHL di masa mendatang memerlukan kesiapan ilmu pengetahuan dan teknologi dan ketersediaan sumberdaya manusia yang memadai (baik dalam kualitas dan kuantitasnya). Forda (Bogor, 03/04/2015), keberhasilan rehabilitasi hutan dan lahan masih banyak menghadapi kendala karena terbatasnya pengetahuan dan informasi mengenai kesesuaian tempat tumbuh bagi jenis-jenis yang dikembangkan. Berdasarkan permasalahan tersebut, diperlukan strategi pemilihan jenis untuk rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) agar keberhasilan RHL dapat dicapai sesuai tipologi dan kondisi lapangan. Untuk itu diperlukan data dan informasi mengenai persyaratan tempat tumbuh dan teknik silvikultur setiap jenis andalan setempat. Karakteristik kegiatan yang kompleks mengakibatkan proses RHL perlu dilakukan dengan cermat, sistematis, dan menyeluruh. Evaluasi RHL yang sudah pernah dilaksanakan sampai saat ini masih terfokus pada pertanggungjawaban kegiatan, hanya menggunakan ukuran persentase hidup tanaman, tinggi pohon, dan tingkat kesehatan tanaman hasil RHL, yang belum cukup untuk mengevaluasi

3 3 secara total tingkat keberhasilan RHL sebagai sebuah sistem. Untuk mengetahui tingkat keberhasilan RHL sebagai sebuah sistem, maka diperlukan penelitian yang lebih mendalam dan menyeluruh dengan kriteria dan indikator yang lebih lengkap, mencakup seluruh sistem RHL. Perum Perhutani merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang diberi mandat oleh negara untuk mengelola sebagian besar hutan negara di Pulau Jawa. Sebagai pengelola hutan di pulau jawa, Perhutani mempunyai tugas dan peran yang besar dalam ikut serta meningkatkan kesejahteraan dan pendapatan rumah tangga, terutama masyarakat tinggal di sekitar hutan dalam berinteraksi secara langsung dengan hutan dan sumber daya alam yang ada di dalamnya. Kegiatan sistem strategi RHL sebagai salah satu komoditi kehutanan merupakan salah satu solusi yang realistis dalam menghadapi tantangan pengelolaan hutan saat ini. Luasan hutan tidak produktif yang terus bertambah mengharuskan adanya upaya rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) untuk memulihkan kondisi hutan sehingga tetap terjamin fungsinya. Dalam pelaksanaanya kegiatan ini harus mampu mengintegrasikan antara aspek biofisik dan aspek sosial. Kedua aspek tersebut merupakan kesatuan sistem yang harus dipertimbangkan agar kegiatan pengelolaan hutan yang dilakukan mampu mengakomodir kepentingan ekologi, kepentingan ekonomi, dan kepentingan sosial budaya. Oleh karena itu, diperlukan strategi untuk dapat merumuskan tindakan pengelolaan yang tepat dalam mendukung pemulihan fungsi kawasan hutan di RPH Randukuning.

4 4 Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan strategi rehabilitasi dalam mendukung kegiatan pengelolaan hutan dengan menggunakan analisis pendekatan CASM. Analisis CASM merupakan suatu metode untuk perencanaan rehabilitasi hutan dan lahan berbasis pendekatan sistem yang mampu mengintegrasikan antara aspek biofisik dan aspek sosial sehingga dapat menjadi bahan acuan dalam pengambilan keputusan. Oleh karena itu diperlukan strategi rehabilitasi yang tepat untuk mengatasi berbagai jenis masalah dari segala aspek di hutan tanaman kayu putih RPH Randukuning BKPH Jatipohon, KPH Purwodadi. 1.2.Rumusan Masalah Permasalahan pengelolaan hutan yang terjadi di RPH Randukuning merupakan suatu problema sistemik yang hanya dapat diselesaikan dengan pendekatan sistem. Beberapa permasalahan akan dicoba untuk dijawab dalam penelitian ini meliputi : 1. Apa saja aspek-aspek yang mempengaruhi keberhasilan rehabilitasi hutan tanaman kayu putih di RPH Randukuning BKPH Jatipohon, KPH Purwodadi? 2. Bagaimana strategi kegiatan rehabilitasi yang tepat pada hutan tanaman kayu putih dengan menggunakan analisis pendekatan CASM di RPH Randukuning BKPH Jatipohon?

5 Tujuan Penelitian 1. Mengidentifikasi berbagai aspek yang mempengaruhi keberhasilan rehabilitasi hutan tanaman kayu putih di RPH Randukuning BKPH Jatipohon KPH Purwodadi. 2. Merumuskan strategi rehabilitasi yang tepat untuk diterapkan pada hutan tanaman kayu putih di RPH Randukuning BKPH Jatipohon KPH Purwodadi dengan menggunakan pendekatan analisis CASM Manfaat Penelitian 1. Memberikan informasi terkait dengan pengelolaan hutan di RPH Randukuning KPH Purwodadi. 2. Memberikan alternatif strategi RHL berbasis pendekatan sistem.

6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Hutan Hutan mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan, yaitu berupa manfaat langsung yang dirasakan dan manfaat yang tidak langsung. Manfaat hutan tersebut dapat dirasakan apabila hutan terjamin eksistensinya, sehingga dapat berfungsi secara optimal. Fungsi-fungsi ekologi, ekonomi dan sosial dari hutan akan memberikan peranan nyata apabila pengelolaan sumberdaya alam berupa hutan seiring dengan upaya pelestarian guna mewujudkan pembangunan nasional yang berkelanjutan. Hutan menurut Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, pengertian hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungan, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan, sedangkan Kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu. Hutan adalah masyarakat tumbuh-tumbuham yang dikuasai oleh pohon-pohon dan mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda dengan keadaan diluarnya. Hubungan antara masyarakat tumbuh-tumbuhan hutan, marga satwa dan alam lingkungannya begitu erat sehingga hutan dapat dipandang sebagai suatu sistem ekologi atau ekosistem (Soerianegara dan Indrawan, 1998). 6

7 7 Definisi tersebut menekankan bahwa komponen pohon yang dominan terhadap komponen lainnya dari ekosistem itu, dan menginginkan adanya kondisi iklim dan ekologis yang berbeda dengan kondisi luarnya. Penekanan hutan sebagai suatu ekosistem mengandung maksud bahwa didalam hutan terjadi hubungan saling tergantung satu komponen dengan komponen lainnya yang terjalin sebagai suatu sistem. Sehingga salah satu dari komponen sistem tersebut itu rusak (tidak berfungsi) akan menyebabkan komponen yang lainnya terganggu, akibatnya sistem itu tidak dapat berjalan dengan normal. Hutan itu sendiri sebagai bagian dari ekosistem yang lebih besar, sehingga hutan rusak dan akan mengganggu sistem yang lebih besar Rehabilitasi Hutan dan Lahan Lahan kritis atau sering disebut juga lahan marginal merupakan lahan bermasalah yang dalam pemanfaatannya memerlukan teknologi khusus. Lahan kritis atau marginal menurut istilah adalah berhubungan dengan tepi (batas), tidak perlu menguntungkan, dan berada di pinggir (Yuwono, 2009). Produktivitas lahan kritis sangat ditentukan oleh karakteristik fisik, iklim, tanah, hidrologi dan topografi. Kemiringan lereng yang tingggi akan mengakibatkan permasalahan semakin kompleks, karena curah hujan yang tinggi akan meningkatkan laju erosi (Paiman dan Armando, 2010 dalam Eka, 2013). Rehabilitasi hutan dan lahan adalah upaya untuk memulihkan kembali atau mempertahankan kondisi atau meningkatkan produktivitas lahan kawasan hutan dengan cara menanam pohon-pohon agar dapat berfungsi secara optimal sebagai

8 8 unsur produksi, pengatur tata air serta perlindungan alam lingkungan. Kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan dilaksanakan melalui dua kegiatan yaitu; kegiatan pokok dan kegiatan penanaman tanah. Sedangkan kegiatan penunjang antara lain meliputi penyediaan mengenai data dam, waduk, danau atau sungai. Kegiatan pencegahan kerusakan lingkungan mencakup: 1. Sosialisasi kerusakan lingkungan 2. Pemberdayaan masyarakat 3. Penegakan hukum Sedangkan kegiatan penanaman dan konservasi tanah mencakup: 1. Pembibitan 2. Pembuatan tanaman 3. Bangunan konservasi tanah (Dephutbun, 1998). Luas lahan kritis yang semakin meningkat akan mengancam kehidupan di bumi. Reklamasi dan rehabilitasi lahan kritis sangat diperlukan untuk mengembalikan fungsi lahan tersebut secara optimal sesuai dengan fungsinya. Kondisi lahan kritis berbeda-beda sesuai dengan lokasinya, sehingga cara menanganinya juga berbeda. Oleh karena itu dalam kegiatan rehabilitasi lahan kritis memerlukan sumberdaya manusia yang ahli dalam bidangnya. Rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) merupakan bagian dari sistem pengelolaan hutan dan lahan, yang ditempatkan pada kerangka daerah aliran sungai. Rehabilitasi mengambil posisi untuk mengisi kesenjangan ketika sistem perlindungan tidak dapat mengimbangi hasil sistem budidaya hutan dan lahan, sehingga terjadi deforestasi dan degradasi hutan dan lahan. Tujuan

9 9 penyelenggaraan RHL adalah terpulihnya sumberdaya hutan dan lahan yang rusak sehingga berfungsi optimal yang dapat memberikan manfaat kepada seluruh stakeholder, menjamin keseimbangan lingkungan dan tata air DAS, dan mendukung kelangsungan industri kehutanan (Departemen Kehutanan, 2008). Sistem RHL merupakan sistem yang terbuka, yang melibatkan para pihak yang berkepentingan dengan penggunaan hutan dan lahan. Dengan demikian pada prinsipnya RHL, diselenggarakan atas inisiatif bersama para pihak. Berbeda dengan penyelenggaraan RHL, selalu melalui inisiatif pemerintah dan menjadi 19 beban tanggungan pemerintah. Dengan kata lain, ke depannya RHL dilaksanakan oleh masyarakat dengan kekuatan utama dari masyarakat sendiri. Penyelesaian persoalan yang bersifat sistemik harus dilakukan dengan pendekatan beragam disiplin ilmu, sistemik, dan konsisten. Tim Perumus Praktek Perencanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Fakultas Kehutanan UGM (2009) menyebutkan bahwa persoalan rehabilitasi hutan dapat didekati dengan metode CASM. Tim perumus mengklasifikasikan konsideran rehabilitasi ke dalam empat aspek, yaitu aspek kemampuan lahan, ketersediaan lahan, kesesuaian lahan, dan tata kelola lahan. Dalam laporan penelitian Purnamasari (2010) disebutkan bahwa metode CASM adalah metode berbasis pendekatan sistem yang mengintegrasikan aspek biofisik dan sosial dalam perencanaan rehabilitasi hutan dan lahan Karakteristik Minyak Kayu Putih Melaleuca cajuputi dikenal dengan nama daerah Kayu putih merupakan salah satu jenis tanaman yang mempunyai peranan cukup penting dalam industri

10 10 minyak atsiri. Jenis ini dapat tumbuh pada lahan marginal yang pada umumnya di sekitar daerah tersebut dihuni oleh masyrakat dengan kondisi sosial ekonomi yang lemah. Upaya pendayagunaan lahan marginal mempunyai arti yang penting dalam usaha memperbaiki lahan yang rusak sebagai akibat pembangunan atau kerusakan oleh alam. Pemilihan jenis-jenis tanaman untuk upaya rehabilitasi perlu mepertimbangkan beberapa aspek. Selain aspek kesesuaian jenis terhadap lahan (aspek ekologis), perlu juga mempertimbangkan aspek ekonomi, bagaimana jenis tersebut dapat memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan masyarakat disekitarnya. Tanaman kayu putih merupakan salah satu jenis yang cukup berpotensi untuk upaya rehabilitasi lahan, baik dari aspek ekologis maupun aspek ekonomis, Terdapat keuntungan ganda yang diperoleh pada pengembangan tanaman kayu putih di lahan kritis antara lain untuk menunjang usaha konservasi lahan dan pemanfaatan lahan marginal menjadi lahan produktif serta memberikan kesempatan kerja sehingga berimplikasi meningkatkan penghasilan kepada petani. Oleh karenanya penanaman kayu putih perlu dikembangkan karena pertimbanganpertimbangan diatas. Tanaman kayu putih tumbuh baik pada ketinggian m dpl. Pada sebaran alaminya, tanaman kayu putih mampu tumbuh sehingga mencapai ketinggian 45 m. Jenis tanaman ini tidak memerlukan syarat tumbuh yang spesifik sehingga memiliki tingkat tolernasi yang cukup untuk tumbuh dan berkembang pada kondisi lahan yang marginal (Lutony dan Rahmawati, 1994 dalam Suryanto, 2013).

11 11 Lukito (2011) menjelaskan tanaman kayu putih termasuk dalam komoditas hasil hutan non kayu (HHNK) karena tanaman ini memiliki kandungan minyak kayu putih yang berasal dari daun. Tanaman kayu putih mampu tumbuh di daratan rendah dan daerah rawa, tetapi jarang ditemukan di daerah pegunungan. Prastyono (2010) menyatakan kemampuan tanaman kayu putih untuk tumbuh di lahan marginal yang tidak produktif dapat dijadikan alternatif untuk kegiatan rehabilitasi lahan dan memiliki fungsi ganda sebagai komoditas produksi HHNK Pengololaan Tanaman Kayu Putih Kegiatan pengelolaan tanaman kayu putih pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan produktivitasnya lahan dan kualitas lingkungan hidup serta memperluas lapangan pekerjaan. Hal ini dilandasi dengan sifat pertumbuhan tanaman kayu putih yang cepat dan mampu beradaptasi secara baik pada lahan kritis (Anjasari, 2009). Luas hutan tanman kayu putih di Indonesia sampai saat ini diprediksi mencapai ha. Akan tetapi, aktivitas pengelolaan hutan tanaman kayu putih yang diterapkan saat ini masih belom optimal (Sunanto, 2003 dalam Astana, dkk., 2007). Semakin diperkutat dengan adanya suplai minyak kayu putih yang masih sangat defisit dan belum mampu mencukupi permintaan pasa dalam negeri. Permintaan saat ini kebutuhan minyak kayu putih dari dalam negeri sangatlah tinggi terutama dari industri farmasi yang mencapai ton per tahun. Namun, suplai minyak kayu putih dari dalam negeri hanya mampu mencapai 500 ton per tahun. Oleh karena itu, potensi pengembangan sektor kehutanan melalui budidaya tanaman kayu putih masih sangat menjanjikan (Prastyono, 2010).

12 12 Masalah pengelolaan pada hutan tanaman minyak kayu putih saat ini meliputi kondisi tegakan yang kurang produktif, tekanan penduduk yang tinggi terhadap lahan, dan sektor pengelolaan produk yang masih dalam skala kecilmenengah. Tingginya tekanan penduduk terhadap lahan, mengakibatkan praktik penggarapan lahan berjalan secara tidak terstruktur dengan dominasi tanaman semusim dan mengakibatkan tanaman kehutanan. Dampak dari pola penggarapan lahan tersebut mengurangi jumlah pohon kayu putih sehingga jumlah tegakan jauh dari normal. Disamping itu juga sektor pengelohan produk yang masih dalam skala kecil-menengah mengakibatkan kapasitas produksi yang terbatas belum mampu memenuhi permintaan pasar. permasalahan dari kegiatan pengelolaan tanaman kayu putih adalah ketidakpastian daur optimum dari tegakan. Banyak tegakan kayu putih tidak produktif masih dipertahankan hingga berumur puluhan tahun. Hal ini tentu dapat menurunkan produktivitas daun hasil pemangkasan. (Prastyono, 2010) Konsep Strategi Strategi merupakan alat untuk mencapai suatu tujuan. Beberapa batasan mengenai strategi disebutkan oleh Rangkuti (2008), sebagai berikut: Argyis (1985), Mintsberg (1979), Steiner dan Miner (1997): Strategi merupakan respon secara terus menerus maupun adaptif terhadap peluang dan ancaman eksternal serta kekuatan dan kelemahan internal yang dapat mempengaruhi organisasi. Hamel dan Prahalad (1995) : Strategi merupakan tindakan yang bersifat incremental (senantiasa meningkat) dan terus menerus dan dilakukan

13 13 berdasarkan sudut pandang tentang apa yang diharapkan oleh para pelanggan masa depan. Dengan demikian perencanaan strategi hampir selalu dimulai dari apa yang dapat terjadi, bukan dimulai dari apa yang terjadi. Terjadi kecepatan inovasi pasar baru dan perubahan pola konsumen memerlukan kompetensi inti. Perusahaan perlu mencari kompetensi inti di dalam bisnis yang dilakukan. Dengan demikian, strategi rehabilitasi merupakan alat yang digunakan untuk mencapai tujuan rehabilitasi. Strategi rehabilitasi harus bisa digunakan untuk memulihkan, memperthankan, dan meningkatkan fungsi hutan sehingga daya dukung, produktivitas, dan pernannya dalam menudkung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Rangkuti juga menambahkan bahwa pada prinsipnya strategi dapat dikelompokkan berdasarkan tiga tipe strategi, yaitu strategi manajemenm, investasi, dan strategi bisnis. Strategi manajemen meliputi strategi yang dapat dilakukan oleh manajemen dengan orientasi pengembangan startegi makro. Strategi investasi merupakan kegiatan yang berorientasi pada investasi, sedangkan startegi bisnis sering disebut juga sebagai strategi bisnis secara fungsional karena strategi ini berorientasi pada fungsi manajemen. Strategi rehabilitasi tergolong dalam tipe strategi manajemen karena mencakupi strategi dalam planning, managing, serta controling. Seperti yang dikatakan Rangkuti (2008), strategi merupakan meliputi strategi yang dapat dilakukan oleh manajemen dengan orientasi pengembangan strategi secara makro misalnya : strategi pengembangan produk, strategi penerapan harga, strategi

14 14 akuisisi, strategi pengembangan pasar, strategi mengenai keuangan, dan sebagainya Pendekatan CASM Berdasarkan berbagai pemahaman terhadap konsep RHL dan pemaham terhadap pendekatan sistem dan prinsip-prinsip dasar perencanaan, maka metodologi RHL yang dapat menjawab tujuan implemantasi prinsip-prinsip RHL adalah pendekatan sistem. CASM (Capability, Avaibility, Suitability, Manageability) adalah salah satu pendekatan untuk perencanaan RHL berbasis pendekatan sistem yang mengintegrasikan aspek biofisik dan soisal dalam RHL. Pendekatan ini secara sistemik memadukan analisis kemampuan Lahan, analisis Avaibility, analisis Suitability, dan analisis Manageability (Soeprijadi dkk, 2012). Hubungan sistemik ke-empat analisis ini dipresentasikan oleh gambar 2.1 berikut:

15 15 Indentifikasi A Identifikasi C Identifikasi S Identifikasi M Kepastian Kawasan Klaster Produktivitas lahan Pilihan jenis (kriteria: biofisik) Sosekbud Masyarakat Strategi Kelola lahan Strategi Kelola tanaman Identifikasi Permasalahan Strategi kelola Strategi Kelola bisnis Gambar 2.1. Hubungan Sistemik Analisis CASM Analisis Capability (Kemampuan Lahan) Analisis capability merupakan proses identifikasi dan penilaian produktifitas tingkat produktivitas lahan. Dalam proses ini informasi yang masuk adalah kondisi fisik lahan. Identifikasi Kemampuan Lahan, dimaksudkan untuk mengetahui kondisi fisik lahan dalam satuan kawasan disekitarnya. Informasi yang diperlukan meliputi jenis tanah, kelerengan, informasi penggunaan lahan. Kelengkapan data dan informasi biofisik dapat diperoleh dari pengamatan lapangan maupun data sekunder yang tersedia. K Kemampuan Lahan digunakan untuk menilai baik atau buruknya suatu misalnya untuk kemampuan tanahnya. Didalam Kemampuan Lahan juga dibutuhkan data misalnya data curah hujan,

16 16 solum dan lereng (Soeprijadi dkk, 2012). Proses identifikasi Kemampuan Lahan memberikan keluaran berupa cluster kesesuaian lahan yang berupa LMU atau Land Mapping Unit. Pada tataran teknis LMU merupakan peta hasil overlay dari peta penggunaan lahan, peta jenis tanah dan peta kelerengan. LMU ini menunjukkan jenis karaktersistik lahan seperti jenis tanah, tekstur tanah, kelerengan, drainase, kedalaman tanah, kepekaan erosi, tingkat bahaya erosi, permeabilitas tanah dan tingkat kekritisan. (Soeprijadi dkk, 2012). Informasi tersebut dijadikan dasar dalam menentukan karateristik kelola konservasi tanah dan air serta karateritik model teknik rehabilitasi hutan dan lahan di LMU tersebut Analisis Availability Analisis availability bertujuan untuk menilai dan mengidentifikasi ketersediaan lahan sasaran RHL.Inti dari analisis ini adalah penilaian keberadaan dan potensi lahan kritis yang disesuaikan dengan ketersediaan teknologi RHL serta kesiapan partisipasi parapihak. Pada tataran teknis Informasi yang informasi yang diperlukan antara lain partisipasi pemilik lahan untuk RHL dan bentuk penggunaan lahan yang berasal dari pemilik lahan, data kepemilikan dan luas lahan yang definitif (bebas dari konflik). Hasil dari proses identifikasi availability berupa lokasi dan batas definitif kawasan untuk RHL pada berbagai tingkat ketersediaan. Lokasi sasaran RHL definitif merupakan informasi dalam bentuk peta dan kejelasan lokasi (batas dan luas). Pada analisis ini dicari tahu apa yang tersedia, misalnya seperti

17 17 ketersedian lahan untuk direhabilitasi atau ada tidak. Selain ini misalnya juga ketersedian dari tenaga kerja (dibutuhkan data kependudukan) yang akan melakukan rehabilitasi tersebut ada atau tidak. (Soeprijadi dkk, 2012) Analisis Suitability Analisis ini terdiri dari identifikasi alternatif berbagai pola tanam dan tingkat kesesuaiannya di berbagai LMU dengan mempertimbangkan input dan teknologi silvikultur dan konservasi tanah dan air (KTA). Secara teknis, informasi yang diperlukan adalah informasi yang diperlukan untuk matching pola tanaman untuk berbagai kondisi LMU yang ada. Keluaran dari analisis ini adalah sebaran berbagai alternatif pola tanaman tiap LMU tingkat kesesuaiannya. (Soeprijadi dkk, 2012) Analisis Manageability Analisis ini pada dasarnya dilakukan untuk: 1. Menentukan klaster kawasan berdasarkan tingkat manageabilitas berdasarkan kondisi sosial, budaya, dan kelembagaan masyarakat dalam kawasan efektif. 2. Mengoverlay klaster kawasan ini dan klaster kesesuaian pola tanam dan memfilter berbagai berbagai kemungkinan alternative pengubahan pola tanam berdasarkan tingkat manageabilitas. 3. Mengidentifikasi berbagai kemungkinan rekayasa social ekonomi, rekayasa kelembagaan dan rekayasa budaya dalam konteks keberhasilan RHL (Soeprijadi dkk, 2012). Permasalahan yang ingin dipecahkan dalam praktikum ini terkait

18 18 dengan RHL. Pemahaman terhadap konsep RHL dan pemahaman terhadap pendekatan sistem dan prinsip prinsip dasar perencanaan, maka metodologi RHL yang dapat menjawab tujuan implementasi prinsip prinsip RHL adalah pendekatan sistem. Dalam praktikum ini, metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan CASM (Capability, Availability, Suitability, Manageability). Pendekatan ini secara sistemik memadukan analisis Kemampuan Lahan, analisis Availability, analisis Suitability, dan analisis Manageability. Identifikasi Kemampuan Lahan, dimaksudkan untuk mengetahui kondisi fisik lahan dalam satuan kawasan disekitarnya. Informasi yang diperlukan meliputi jenis tanah, kelerengan, informasi penggunaan lahan.analisis availability bertujuan untuk menilai dan mengidentifikasi ketersediaan lahan.analisis suitability terdiri dari identifikasi alternatif berbagai pola tanam dan tingkat kesesuaiannya di berbagai LMU dengan mempertimbangkan input dan teknologi silvikultur dan konservasi tanah dan air (KTA). Sedangkan analisis Manageabilitymeliputi pengamatan sosial budaya dan kelembagaan masyarakatnya. Pendekatan Kemampuan Lahan dan manageability digunakan untuk menetukan titik sampel biofisik. Sehingga dapat diketahui titik plot sampel untuk pengambilan data lapangan. Sedangkan analisis availability dan suitability digunakan sebagai acuan pengambilan data sosial dan ekonomi, yang selanjutnya dapat dihasilkan peta kebutuhan lahan dan ketersediaan lahannya. Selain itu, selanjutnya dilakukan pengambilan data biofisik, sosial, dan ekonomi. Baik berupa data primer maupun sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan, pengukuran dan wawancara langsung di lapangan.

19 19 Sedangkan data sekunder diperoleh dari keterangan narasumber Logical Framework Analisis Salah satu metode pengambilan keputusan yang memenuhi prinsip-prinsip optimasi dan dapat diterapkan dalam perencanaan RHL adalah logical Framework Analisis (LFA). Des Gasper (1999) menjelaskan LFA adalah suatu metode yang berfungsi untuk menyediakan serangkaian alat pengambilan keputusan dalam kegiatan manajemen yang meliputi perencanaan, perancngan, implemantasi, dan evaluasi suatu program. Penggunaan LFA dalam teknik pengambilan keputusan melibatkan 3 tahapan utama yaitu analisis situasi, analisis strategi, dan identifikasi kegiatan Analisis Situasi Des Gasper (1999) menyatakan tujuan dari analisis situasi adalah untuk menemukan kondisi sebenarnya terkait dengan amsalah yang dihadapi. Analisis ini memfokuskan pada permasalahan dan usaha usaha untuk memahami sistem yang menentukan kondisi atau keberadaan masalah. Tahapan ini merupakan tahapan kritis yang terdiri 3 fase sebagai berikut : a. Analisis Stakeholder (para pihak) Keberhasilan suatu program dipengaruhi oleh berbagai hal, salah satu diantaranya adalah keberadaan kelompok-kelompok tertentu yang memiliki peran terhadap pelaksanaan program. Analisis stakeholder dilakukan untuk memetakan dan menganilisis setiap stakeholder yang terkait dengan keberhasilan program. Stakeholder yang dimaksud mencakup kelompok, organisasi dan institusi,

20 20 lembaha implemantasi, individu, atau program lain yang berpengaruh terhadap keberhasilan pelaksanaan program (Des Gasper, 1999). Berdasarkan intensitas pengaruhnya terhadap suatu program, Soeprijadi, dkk. (2012) membagi stakeholder menjadi 3 kelompok yaitu : 1. Stakeholder utama, yaitu para pihak yang berpengaruh langsung terhadap keberhasilan program. 2. Stakeholder sekunder, yaitu pihak-pihak yang berpengaruh tidak langsung terhadap keberhasilan program 3. Stakeholder tersier, yaitu berbagai pihak yang terjadi tidak terkait program tetapi menerima dampak dari pelaksanaan program. Untuk mempermudah dalam analisis stakeholder dapat digunakan matriks bantuan sebagai berikut: Tabel 2.1. Matriks Stakeholder Urutan Stakeholder Stakeholder Utama Stakeholder Sekunder Stakeholder Tertier Pegalaman, Keahlian dan Sumberdaya Kepentingan dan Keinginan Hambatan dan isu Kontrubusi dalam program b. Analisis Masalah Soeprijadi, dkk, (2012) menjelaskan analisis dalam LFA bertujuan untuk mengidentifikasi permasalahan utama visualisasi diagram pohon masalah dengan

21 21 konsep sebab-akibat (Gambar 2.1). Tahapan dari analisis ini adalah sebagai berikut: 1. Menyusun List permasalahan yang akan menjadi dasar dalam penyusunan program 2. Merumuskan permasalahan dalm bentuk diagram pohon masalah yang dimulai dengan menentukan permasalahan utama. 3. Merumuskan penyebab dari permasalahan utama 4. Merumuskan akibat adanya permasalahan utama. c. Analisis Tujuan Analisis tujuan adalah proses mengenali, memilah, dan menjelaskan secara rinci tujuan dari seluruh pihak yang terlibat dalam pelaksanaan program. Analisis ini dilakukan dengan mentransformasikan pohon maslah menjadi pohon tujuan tertentu yang mungkin tidak relevan dan berada di luar lingkup permasalahan yang sedang dihadapi (Soeprijadi dkk, 2012) Analisis Strategi Analisis strategi merupakan mekanisme sistematik untuk mencari dan menentukan solusi permasalahan. Proses ini melibatkan seleksi strategi yang diasumsikan efektif dan efisiensi untuk mencapai hasil yang diinginkan, Proses pemilihan strategi ini harus mempertimbangkan berbagai aspek yang didasarkan pada formulasi analisis tujuan. Hal ini dikarenakan tidak semua kelompok tujaun dalam diagram pohon tujuan dapat dipilih sebagai elemen strategi karena berbagai faktor (Soeprijadi, dkk., 2012).

22 Matriks LFA Hasil dari analisis startegi digunakan untuk penyusunan matriks LFA. Penyusunan matriks LFA ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenis-jenis kgiatan yang dapat diterapkan untuk mendukung pelaksanaan program sehingga implementasi pelaksanaan program akan lebih terarah (Des Gasper, 1999). Visualisasi matriks LFA pada Tabel sebagai berikut: Tabel 2.2. Matrik LFA Hirarki Logis Goal/Tujuan Indikator (Objectively Verifiable Indicators) Indikator yang menunjukkan ukuran pencapaian tujuan Purpose/maksud Status yang diinginkan pada saat berakhirnya proyek/ program Alat verifikasi Indikator (Means of Verification) Berbagai sumber dari informasi, metode yang digunakan Berbagai sumber dari informasi, metode yang di gunakan Outpit/keluaran Magnitud keluaran Berbagai sumber dari informasi, metode yang Digunakan Kegiatan/Input Tipe/tingkatkan sumberdaya Data proyek, sumber informasi lain Asumsi dan Resiko Important Assumption) Asumsi yang digunakan denga melihat faktor eksternal, Keterkaitan Goal/Purpose Keterkaitan Output/Purpose Keterkaitan Input/Output Asumsi awal yang terkait kausalitas program Sumber: Petunjuk Praktek Manajemen Hutan Perencanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan

BAB I PENDAHULUAN. Pemanfaatan tanaman kayu putih sebagai salah satu komoditi kehutanan

BAB I PENDAHULUAN. Pemanfaatan tanaman kayu putih sebagai salah satu komoditi kehutanan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemanfaatan tanaman kayu putih sebagai salah satu komoditi kehutanan merupakan salah satu solusi yang realistis dalam menghadapi tantangan pengelolaan hutan saat ini.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat memberikan berbagai manfaat bagi kehidupan manusia, yaitu manfaat ekologis, sosial maupun ekonomi. Tetapi dari berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya dan ekonomi. Fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. harus segera diselesaikan. Berdasarkan data Ditjen BPDAS PS pada tahun 2011,

BAB I PENDAHULUAN. harus segera diselesaikan. Berdasarkan data Ditjen BPDAS PS pada tahun 2011, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan lahan kritis di Indonesia merupakan permasalahan yang harus segera diselesaikan. Berdasarkan data Ditjen BPDAS PS pada tahun 2011, total luasan lahan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Laswell dan Kaplan (1970) mengemukakan bahwa kebijakan merupakan suatu program yang memroyeksikan tujuan, nilai, dan praktik yang terarah. Kemudian Dye (1978) menyampaikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-undang No.41 Tahun 1999 hutan memiliki fungsi

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-undang No.41 Tahun 1999 hutan memiliki fungsi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-undang No.41 Tahun 1999 hutan memiliki fungsi konservasi, fungsi lindung dan fungsi produksi. Hutan dengan fungsi lindung yaitu hutan sebagai satu kesatuan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masyarakat dengan memperhatikan tiga prinsip yaitu secara ekologi tidak merusak. waktu, aman dan terjangkau bagi setiap rumah tangga.

I. PENDAHULUAN. masyarakat dengan memperhatikan tiga prinsip yaitu secara ekologi tidak merusak. waktu, aman dan terjangkau bagi setiap rumah tangga. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan sektor pertanian, perkebunan dan kehutanan bertujuan untuk perbaikan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pendapatan masyarakat dengan memperhatikan

Lebih terperinci

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang PENDAHULUAN BAB A. Latar Belakang Pemerintah telah menetapkan bahwa pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) menjadi salah satu prioritas nasional, hal tersebut tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA)

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG NORMA, STANDAR, PROSEDUR DAN KRITERIA PENGELOLAAN HUTAN PADA KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG (KPHL) DAN KESATUAN PENGELOLAAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai dan Permasalahannya Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan pertumbuhan ekonomi nasional tekanan terhadap sumber daya hutan semakin

BAB I PENDAHULUAN. dan pertumbuhan ekonomi nasional tekanan terhadap sumber daya hutan semakin BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan di Indonesia mempunyai peranan baik ditinjau dari aspek ekonomi, sosial budaya, maupun secara ekologis. Sejalan dengan pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi

Lebih terperinci

PERENCANAAN PENGELOLAAN DAS TERPADU. Identifikasi Masalah. Menentukan Sasaran dan Tujuan. Alternatif kegiatan dan implementasi program

PERENCANAAN PENGELOLAAN DAS TERPADU. Identifikasi Masalah. Menentukan Sasaran dan Tujuan. Alternatif kegiatan dan implementasi program Konsep Perencanaan Pengelolaan DAS Terpadu, dengan ciri-ciri sebagai berikut (1) hutan masih dominant, (2) satwa masih baik, (3) lahan pertanian masih kecil, (4) belum ada pencatat hidrometri, dan (5)

Lebih terperinci

REFORMA AGRARIA SEBAGAI BAGIAN INTEGRAL DARI REVITALISASI PERTANIAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN

REFORMA AGRARIA SEBAGAI BAGIAN INTEGRAL DARI REVITALISASI PERTANIAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN REFORMA AGRARIA SEBAGAI BAGIAN INTEGRAL DARI REVITALISASI PERTANIAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN Krisis ekonomi yang sampai saat ini dampaknya masih terasa sebenarnya mengandung hikmah yang harus sangat

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.17/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN NOMOR P.12/MENLHK-II/2015

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi lahan kering untuk menunjang pembangunan pertanian di Indonesia sangat besar yaitu 148 juta ha (78%) dari total luas daratan Indonesia sebesar 188,20 juta ha

Lebih terperinci

2012, No.62 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang K

2012, No.62 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang K LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.62, 2012 LINGKUNGAN HIDUP. Pengelolaan. Daerah Aliran Sungai. Pelaksanaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5292) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Sumberdaya hutan tropis yang dimiliki negara Indonesia, memiliki nilai dan peranan penting yang bermanfaat dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Manfaat yang didapatkan

Lebih terperinci

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki nilai ekonomi, ekologi dan sosial yang tinggi. Hutan alam tropika

Lebih terperinci

2017, No Pengolahan Air Limbah Usaha Skala Kecil Bidang Sanitasi dan Perlindungan Daerah Hulu Sumber Air Irigasi Bidang Irigasi; Mengingat : 1.

2017, No Pengolahan Air Limbah Usaha Skala Kecil Bidang Sanitasi dan Perlindungan Daerah Hulu Sumber Air Irigasi Bidang Irigasi; Mengingat : 1. No.247, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-LHK. Penggunaan DAK. Pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah Usaha Skala Kecil Bidang Sanitasi dan Perlindungan Daerah Hulu Sumber Air Irigasi bidang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 22 PENDAHULUAN Latar Belakang Fenomena kerusakan sumberdaya hutan (deforestasi dan degradasi) terjadi di Indonesia dan juga di negara-negara lain, yang menurut Sharma et al. (1995) selama periode 1950-1980

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Paradigma pembangunan berkelanjutan mengandung makna bahwa pengelolaan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan sekarang tidak boleh mengurangi kemampuan sumberdaya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) merupakan sistem yang kompleks dan terdiri dari komponen utama seperti vegetasi (hutan), tanah, air, manusia dan biota lainnya. Hutan sebagai

Lebih terperinci

SESI : 7. Kualitas Air dan Pemulihan Ekosistem Topik : 7.1. Konservasi Tanah dan Air. Jadwal : Selasa, 25 November 2014 Jam : WIB.

SESI : 7. Kualitas Air dan Pemulihan Ekosistem Topik : 7.1. Konservasi Tanah dan Air. Jadwal : Selasa, 25 November 2014 Jam : WIB. SESI : 7. Kualitas Air dan Pemulihan Ekosistem Topik : 7.1. Konservasi Tanah dan Air Jadwal : Selasa, 25 November 2014 Jam : 08.00 12.00 WIB. Oleh : HARRY SANTOSO Kementerian Kehutanan -DAS adalah : Suatu

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.42/Menhut-II/2010 TENTANG SISTEM PERENCANAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.42/Menhut-II/2010 TENTANG SISTEM PERENCANAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.42/Menhut-II/2010 TENTANG SISTEM PERENCANAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, salah satu pengelompokan hutan berdasarkan fungsinya adalah hutan konservasi. Hutan konservasi merupakan

Lebih terperinci

TATA CARA PENYUSUNAN DAN PENETAPAN RENCANA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

TATA CARA PENYUSUNAN DAN PENETAPAN RENCANA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, 1 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.60/Menhut-II/2013 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN DAN PENETAPAN RENCANA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumberdaya alam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu ekosistem, yaitu lingkungan tempat berlangsungnya hubungan timbal balik antara makhluk hidup yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. merupakan konsekuensi logis untuk menjaga kesinambungan pengelolaan sumber

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. merupakan konsekuensi logis untuk menjaga kesinambungan pengelolaan sumber BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai unit perencanaan yang utuh merupakan konsekuensi logis untuk menjaga kesinambungan pengelolaan sumber daya alam. Sub sistem ekologi,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai ketentuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sumber mata pencahariannya. Mereka memanfaatkan hasil hutan baik hasil hutan

BAB I PENDAHULUAN. sumber mata pencahariannya. Mereka memanfaatkan hasil hutan baik hasil hutan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan alam dan keanekaragaman hayati yang melimpah. Sebagian besar dari masyarakat Indonesia, terutama yang tinggal di

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pertambahan penduduk Indonesia setiap tahunnya berimplikasi pada semakin meningkatkan kebutuhan pangan sebagai kebutuhan pokok manusia. Ketiadaan pangan dapat disebabkan oleh

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Hutan sebagai sumberdaya alam mempunyai manfaat yang penting bagi

PENDAHULUAN. Hutan sebagai sumberdaya alam mempunyai manfaat yang penting bagi PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai sumberdaya alam mempunyai manfaat yang penting bagi kehidupan manusia baik secara ekonomi, ekologi dan sosial. Dalam Undangundang Nomor 41 Tahun 1999 disebutkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya bagi kesejahteraan manusia. Keberadaan sumber daya alam dan manusia memiliki kaitan yang sangat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan konservasi merupakan kawasan yang dilindungi dengan fungsi pokok konservasi biodiversitas dalam lingkungan alaminya, atau sebagai konservasi in situ, yaitu konservasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengelolaan sumberdaya hutan pada masa lalu banyak menimbulkan kerugian baik secara sosial, ekonomi, dan ekologi. Laju angka kerusakan hutan tropis Indonesia pada

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Pembangunan di bidang kehutanan diarahkan untuk memberikan manfaat sebesarbesarnya

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Pembangunan di bidang kehutanan diarahkan untuk memberikan manfaat sebesarbesarnya PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu kriteria keberhasilan pembangunan adalah meningkatnya kualitas hidup masyarakat melalui peningkatan partisipasinya dalam pembangunan itu sendiri. Pembangunan di bidang

Lebih terperinci

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 07/Permentan/OT.140/2/2012

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 07/Permentan/OT.140/2/2012 MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 07/Permentan/OT.140/2/2012 TENTANG PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan wilayah di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan dengan dua

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.326, 2015 KEHUTANAN. Hutan. Kawasan. Tata Cara. Pencabutan (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5794). PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR, GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 33 TAHUN 2005 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2005 TENTANG PENERTIBAN DAN PENGENDALIAN HUTAN PRODUKSI

Lebih terperinci

PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN 2012, No.205 4 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07/Permentan/OT.140/2/2012 TENTANG PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN, PANGAN

Lebih terperinci

FOREST LANDSCAPE RESTORATION

FOREST LANDSCAPE RESTORATION FOREST LANDSCAPE RESTORATION Indonesia Disampaikan dalam Workshop di Wanagama, 7-8 Desember 2009 Forest Landscape Restoration? Istilah pertama kali dicetuskan pada tahun 2001 oleh para ahli forest landscape

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri pengolahan kayu merupakan salah satu sektor penunjang perekonomian di Provinsi Jawa Timur. Hal ini terlihat dengan nilai ekspor produk kayu dan barang dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang yang dibutuhkan manusia, dengan cara budidaya usaha tani. Namun pertumbuhan manusia dan

Lebih terperinci

IV.C.3 Urusan Pilihan Kehutanan

IV.C.3 Urusan Pilihan Kehutanan 3. URUSAN KEHUTANAN Sumber daya hutan di Kabupaten Wonosobo terdiri dari kawasan hutan negara seluas + 20.300 Ha serta hutan rakyat seluas ± 19.481.581 Ha. Kawasan hutan negara di wilayah Wonosobo secara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang TAHURA Bukit Soeharto merupakan salah satu kawasan konservasi yang terletak di wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara dengan luasan 61.850 ha. Undang-Undang

Lebih terperinci

sumber daya lahan dengan usaha konservasi tanah dan air. Namun, masih perlu ditingkatkan intensitasnya, terutama pada daerah aliran sungai hulu

sumber daya lahan dengan usaha konservasi tanah dan air. Namun, masih perlu ditingkatkan intensitasnya, terutama pada daerah aliran sungai hulu BAB I PENDAHULUAN Pembangunan pertanian merupakan bagian integral daripada pembangunan nasional yang bertujuan mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur (Ditjen Tanaman Pangan, 1989). Agar pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA

BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA 4.1. Landasan Berfikir Pengembangan SRAP REDD+ Provinsi Papua Landasan berpikir untuk pengembangan Strategi dan Rencana Aksi (SRAP) REDD+ di Provinsi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Air merupakan kebutuhan dasar makhluk hidup dan sebagai barang publik yang tidak dimiliki oleh siapapun, melainkan dalam bentuk kepemilikan bersama (global commons atau common

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan merupakan sumberdaya alam anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa yang tidak terhingga nilainya bagi seluruh umat manusia. Sebagai anugerah, hutan mempunyai nilai filosofi yang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lapangan kerja dan memberikan kesempatan membuka peluang berusaha hingga

BAB I PENDAHULUAN. lapangan kerja dan memberikan kesempatan membuka peluang berusaha hingga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya hutan dari masa ke masa senantiasa memberikan kontribusi dalam mendukung pembangunan nasional. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya peranan sumberdaya hutan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. penyedia bahan baku untuk industri kayu nasional dan peningkatan. ketahanan pangan masyarakat di desa sekitar hutan.

I. PENDAHULUAN. penyedia bahan baku untuk industri kayu nasional dan peningkatan. ketahanan pangan masyarakat di desa sekitar hutan. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan tanaman hutan Jati di Jawa khususnya di Perum Perhutani merupakan pengembangan komoditas di bidang kehutanan yang mempunyai peranan penting dalam pembangunan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.46/Menhut-II/2013 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.46/Menhut-II/2013 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.46/Menhut-II/2013 TENTANG TATA CARA PENGESAHAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG DAN KESATUAN PENGELOLAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memperbaiki berbagai aspek kehidupan masyarakat. Sebagai proses perubahan

BAB I PENDAHULUAN. memperbaiki berbagai aspek kehidupan masyarakat. Sebagai proses perubahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Komunikasi dan pembangunan merupakan dua hal yang saling berhubungan sangat erat. Pembangunan adalah proses perubahan yang direncanakan untuk memperbaiki berbagai

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sesuai ketentuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. topografi dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung air hujan

BAB I PENDAHULUAN. topografi dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung air hujan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang secara topografi dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung air hujan kemudian mengalirkan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.202,2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.6/Menhut-II/2012 TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN (DEKONSENTRASI) BIDANG KEHUTANAN TAHUN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemukiman, pertanian, kehutanan, perkebunan, penggembalaan, dan

BAB I PENDAHULUAN. pemukiman, pertanian, kehutanan, perkebunan, penggembalaan, dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan penduduk di Indonesia tergolong besar. Saat ini berdasarkan survey terakhir, jumlah penduduk Indonesia adalah 230 juta lebih. Laju pertumbuhan penduduk

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN I. UMUM Ketersediaan lahan untuk usaha pertanian merupakan

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5292 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI I. UMUM Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disingkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN tentang Kehutanan, hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa

BAB I PENDAHULUAN tentang Kehutanan, hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan kumpulan pepohonan yang tumbuh rapat beserta tumbuhtumbuhan memanjat dengan bunga yang beraneka warna yang berperan sangat penting bagi kehidupan di

Lebih terperinci

Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara 2008

Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara 2008 KARYA TULIS KEBUTUHAN SUMBERDAYA MANUSIA (SDM) MENUJU KEMANDIRIAN KPH Oleh : Nurdin Sulistiyono, S.Hut, MSi NIP. 132 259 567 Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara 2008 DAFTAR

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dititikberatkan pada pertumbuhan sektor-sektor yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Tujuan pembangunan pada dasarnya mencakup beberapa

Lebih terperinci

Pelayanan Terbaik Menuju Hutan Lestari untuk Kemakmuran Rakyat.

Pelayanan Terbaik Menuju Hutan Lestari untuk Kemakmuran Rakyat. BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN STRATEGIS DAN KEBIJAKAN 4.1. Visi dan Misi Visi Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah adalah Pelayanan Terbaik Menuju Hutan Lestari untuk Kemakmuran Rakyat. Pelayanan

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA PENDEKATAN TEORI

BAB II KERANGKA PENDEKATAN TEORI BAB II KERANGKA PENDEKATAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Gambaran Umum Lahan Kering Tantangan penyediaan pangan semakin hari semakin berat. Degradasi lahan dan lingkungan, baik oleh gangguan manusia maupun

Lebih terperinci

V. PENDEKATAN SISTEM 5.1. Analisis Kebutuhan Pengguna 1.) Petani

V. PENDEKATAN SISTEM 5.1. Analisis Kebutuhan Pengguna 1.) Petani V. PENDEKATAN SISTEM Sistem merupakan kumpulan gugus atau elemen yang saling berinteraksi dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau serangkaian tujuan. Pendekatan sistem merupakan metode pemecahan

Lebih terperinci

BAB II. PERENCANAAN KINERJA

BAB II. PERENCANAAN KINERJA BAB II. PERENCANAAN KINERJA A. Rencana Strategis Organisasi Penyelenggaraan pembangunan kehutanan di Sumatera Selatan telah mengalami perubahan paradigma, yaitu dari pengelolaan yang berorientasi pada

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan sub-sektor perikanan tangkap merupakan bagian integral dari pembangunan kelautan dan perikanan yang bertujuan untuk : (1) meningkatkan kesejahteraan masyarakat

Lebih terperinci

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG SALINAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI DAN HUTAN LINDUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai ketentuan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumberdaya alam seperti air, udara, lahan, minyak, ikan, hutan dan lain - lain merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Penurunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bagi kehidupan manusia. Pengelolaan hutan merupakan sebuah usaha yang

BAB I PENDAHULUAN. bagi kehidupan manusia. Pengelolaan hutan merupakan sebuah usaha yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia. Pengelolaan hutan merupakan sebuah usaha yang dilakukan untuk memperoleh

Lebih terperinci

MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2)

MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2) MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2) 1) Disampaikan pada Lokakarya Nasional Rencana Pembangunan Jangka

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA SELATAN, Menimbang : a. bahwa Daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sistem penyangga kehidupan, sehingga perlu dijaga kelestariannya. Hal tersebut

BAB I PENDAHULUAN. sistem penyangga kehidupan, sehingga perlu dijaga kelestariannya. Hal tersebut BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai sumber daya memiliki peranan penting dalam mendukung sistem penyangga kehidupan, sehingga perlu dijaga kelestariannya. Hal tersebut sejalan dengan Undang-Undang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Lanskap Hutan. Istilah lanskap secara umum dipahami sebagai bentang alam yang

TINJAUAN PUSTAKA. Lanskap Hutan. Istilah lanskap secara umum dipahami sebagai bentang alam yang 5 TINJAUAN PUSTAKA Lanskap Hutan Istilah lanskap secara umum dipahami sebagai bentang alam yang memiliki karakter unik sebagai resultante aksi dan interaksi dari berbagai faktor, baik alami maupun pengaruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di Indonesia memberikan berbagai macam efek buruk, sehingga diperlukan

BAB I PENDAHULUAN. di Indonesia memberikan berbagai macam efek buruk, sehingga diperlukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Degradasi hutan yang terjadi di Indonesia serta banyaknya lahan kritis di Indonesia memberikan berbagai macam efek buruk, sehingga diperlukan upaya untuk menekan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas 49 307,19 km 2 memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi. Luas laut 29 159,04 Km 2, sedangkan luas daratan meliputi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. berupa manfaat langsung yang dirasakan dan manfaat yang tidak langsung.

PENDAHULUAN. berupa manfaat langsung yang dirasakan dan manfaat yang tidak langsung. PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan,yaitu berupa manfaat langsung yang dirasakan dan manfaat yang tidak langsung. Manfaat hutan tersebut boleh dirasakan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA MOR : P.25/Menhut-II/2013 TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN (DEKONSENTRASI) BIDANG KEHUTANAN TAHUN 2013 KEPADA 33 GUBERNUR PEMERINTAH PROVINSI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu kawasan yang mempunyai berbagai macam jenis tumbuhan dan hewan yang saling berinteraksi di dalamnya. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan utama pengelolaan taman nasional adalah sebagai kekuatan pendorong untuk menjamin kelestarian fungsi ekologi kawasan dan sekitarnya serta kemanfaatannya bagi manusia

Lebih terperinci

Sosialisasi Undang-Undang 41/2009 beserta Peraturan Perundangan Turunannya

Sosialisasi Undang-Undang 41/2009 beserta Peraturan Perundangan Turunannya Sosialisasi Undang-Undang 41/2009 beserta Peraturan Perundangan Turunannya Latar Belakang Permasalahan yang menghadang Upaya pencapaian 10 juta ton surplus beras di tahun 2014 : Alih fungsi lahan sawah

Lebih terperinci

MATRIKS ARAH KEBIJAKAN WILAYAH PAPUA

MATRIKS ARAH KEBIJAKAN WILAYAH PAPUA MATRIKS ARAH KEBIJAKAN WILAYAH PAPUA Provinsi Papua PRIORITAS NASIONAL MATRIKS ARAH KEBIJAKAN BUKU III RKP 2012 WILAYAH PAPUA 1 Pendidikan Peningkatan akses pendidikan dan keterampilan kerja serta pengembangan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai ketentuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Selain isu kerusakan hutan, yang santer terdengar akhir - akhir ini adalah

BAB I PENDAHULUAN. Selain isu kerusakan hutan, yang santer terdengar akhir - akhir ini adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Selain isu kerusakan hutan, yang santer terdengar akhir - akhir ini adalah degradasi Daerah Aliran Sungai (DAS) berupa : lahan kritis, lahan gundul, erosi pada lereng-lereng

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia dihadapkan pada tantangan besar untuk memperbaiki sektor pertanian dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan, peningkatan pendapatan masyarakat pedesaan serta mengatasi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon bakau yang mampu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan rakyat memiliki peran yang penting sebagai penyedia kayu. Peran hutan rakyat saat ini semakin besar dengan berkurangnya sumber kayu dari hutan negara. Kebutuhan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

GUBERNUR SULAWESI SELATAN,

GUBERNUR SULAWESI SELATAN, 1 GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG PENGENDALIAN LAHAN KRITIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI SELATAN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

ARAHAN PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN HUTAN RAYA NGARGOYOSO SEBAGAI OBYEK WISATA ALAM BERDASARKAN POTENSI DAN PRIORITAS PENGEMBANGANNYA TUGAS AKHIR

ARAHAN PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN HUTAN RAYA NGARGOYOSO SEBAGAI OBYEK WISATA ALAM BERDASARKAN POTENSI DAN PRIORITAS PENGEMBANGANNYA TUGAS AKHIR ARAHAN PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN HUTAN RAYA NGARGOYOSO SEBAGAI OBYEK WISATA ALAM BERDASARKAN POTENSI DAN PRIORITAS PENGEMBANGANNYA TUGAS AKHIR Oleh : AGUSTINA RATRI HENDROWATI L2D 097 422 JURUSAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan lebih lanjut ketentuan Bab IV Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 7/2004, SUMBER DAYA AIR *14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terjadinya perubahan kondisi lingkungan yang gradual. Hal ini kemudian akan

BAB I PENDAHULUAN. terjadinya perubahan kondisi lingkungan yang gradual. Hal ini kemudian akan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Degradasi lahan merupakan suatu proses alami yang cenderung menurunkan fungsi lahan. Proses ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang secara prinsip berkaitan erat

Lebih terperinci

2014, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik I

2014, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik I No.2023, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN LHK. Pelimpahan. Urusan. Pemerintahan. (Dekonsentrasi) Bidang Kehutanan. Tahun 2015 Kepada 34 Gubernur. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

Lebih terperinci