POTENSI REDUKSI EMISI KARBON MELALUI PENERAPAN PENGELOLAAN HUTAN LESTARI DI AREAL HUTAN KONSESI PT SALAKI SUMMA SEJAHTERA, PROVINSI SUMATERA BARAT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "POTENSI REDUKSI EMISI KARBON MELALUI PENERAPAN PENGELOLAAN HUTAN LESTARI DI AREAL HUTAN KONSESI PT SALAKI SUMMA SEJAHTERA, PROVINSI SUMATERA BARAT"

Transkripsi

1 POTENSI REDUKSI EMISI KARBON MELALUI PENERAPAN PENGELOLAAN HUTAN LESTARI DI AREAL HUTAN KONSESI PT SALAKI SUMMA SEJAHTERA, PROVINSI SUMATERA BARAT IWAN HILWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Potensi Reduksi Emisi Karbon melalui Penerapan Pengelolaan Hutan Lestari di Areal Hutan Konsesi PT Salaki Summa Sejahtera, Provinsi Sumatera Barat, adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Agustus 2012 Iwan Hilwan NIM E

3 ABSTRACT IWAN HILWAN. Carbon Emission Reduction Potential through Sustainable Forest Management in Forest Concession of PT Salaki Summa Sejahtera, Province of West Sumatra. Under supervisors of ANDRY INDRAWAN, SUPRIYANTO and TEDDY RUSOLONO. A management unit (MU) of a forest concession holder implementing the sustainable forest management (SFM) principles, could be involved in REDD+ and carbon trading project. The fact, the strategic in implementing the REDD+ and carbon trading in MU level is still lack of pilot project and methodology. Therefore some scenarios must be developed and tested to find out the best potential of carbon credit in MU level. The objectives of the research were: (1) to calculate carbon credit in some SFM scenario, (2) to analyze of carbon trading project feasibility, and (3) to determine carbon stock recovery period of logged over area (LOA). The result revealed that carbon stock and carbon credit of LOA was affected by timber cutting intensity. 6 th scenario with lowest AAC (annual allowable cutting) obtained greater carbon credit and profit coming from timber harvesting income and carbon trading. In other hand, this scenario has shortest duration of carbon stock recovery period (27 years) and shorter than its cutting cycle. In this case, the MU has to recalculate and to decrease its AAC to have highest benefits from carbon trading in the same cutting cycle period. It will provide double benefits from carbon trading, those are contribution in achieving the SFM purposes (production, ecology, social) and climate change mitigation. Keywords: SFM, AAC, carbon stock, recovery period, carbon trading

4 RINGKASAN IWAN HILWAN. Potensi Reduksi Emisi Karbon melalui Penerapan Pengelolaan Hutan Lestari di Areal Hutan Konsesi PT Salaki Summa Sejahtera, Provinsi Sumatera Barat. Dibimbing oleh ANDRY INDRAWAN, SUPRIYANTO dan TEDDY RUSOLONO. Mitigasi perubahan iklim di sektor kehutanan melibatkan berbagai pihak, salah satunya adalah unit manajemen (UM) IUPHHK-HA. Menurut Permenhut No.P.30/Menhut-II/2009, areal kerja IUPHHK-HA menjadi salah satu lokasi pelaksanaan REDD. UM yang akan melaksanakan REDD/REDD+ diwajibkan menerapkan PHL. UM yang telah menerapkan PHL berkesempatan memperoleh manfaat ekonomi dari proyek perdagangan karbon melalui skema REDD+. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: (1) menaksir jumlah stok karbon dan kredit karbon yang dihasilkan melalui beberapa skenario pemanfaatan kayu dalam kerangka PHL, (2) menganalisis kelayakan usaha perdagangan karbon, dan (3) memprediksi durasi periode pulih stok karbon tegakan tinggal. Pengumpulan data primer dan sekunder dilakukan pada bulan November 2011 di areal kerja PT Salaki Summa Sejahtera (PT SSS) di Pulau Siberut, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumatera Barat. Data primer diambil di areal hutan belum ditebang (ABD) dan LOA 2008, 2009, 2010, dan 2011 di blok hutan Tiniti. Disimulasikan enam skenario pemanfaatan kayu (skenario PHL) yang diformulasikan berdasarkan parameter rotasi tebangan, limit diameter setinggi dada (DBH), tanpa gangguan perambah, dan penerapan RIL (reduce impact logging). Sebagai pembandingnya adalah skenario baseline yaitu pemanfaatan kayu dalam pengelolaan hutan yang belum menerapkan PHL dengan intensitas tebangan tertinggi, mendapat gangguan perambah, dan masih menerapkan teknik pembalakan konvensional (CL, conventional logging). Estimasi stok karbon hutan menggunakan gain-loss method. Faktor pengurang simpanan karbon adalah: kegiatan pemanenan, kerusakan tegakan tinggal akibat pembalakan, tegakan yang ditebang saat pembukaan wilayah hutan (PWH), dan perambahan hutan. Sedangkan faktor penambah cadangan karbon hutan adalah: penanaman pengayaan, penanaman rehabilitasi, nekromassa berkayu, serta regrowth.

5 Berdasarkan hasil simulasi, setelah 30 tahun, stok karbon tegakan tinggal mengalami penurunan yang besarnya bergantung pada JPT skenario. Pada skenario baseline dengan JPT terbesar ( m3/th) terjadi pengurangan stok karbon tertinggi yakni 19,22%, sebaliknya pada skenario-6 dengan JPT tekecil ( m3/th), justru terjadi peningkatan stok karbon sebesar 0,79%. Jumlah akumulasi serapan karbon tiap skenario selama 30 tahun merupakan kredit karbon yang berhasil dikumpulkan. Skenario dengan JPT terkecil akan menghasilkan kredit karbon terbesar, seperti tampak pada skenario-6 yang berhasil memperoleh kredit karbon tertinggi yaitu 38,26 MtCO 2 e. Hasil analisis finansial menunjukkan, pada tingkat harga karbon 4, 5, dan 6 USD/tCO 2 e dan tingkat suku bunga diskonto 10%, 12%, an 14% per tahun, proyek karbon pada skenario PHL (skenario 1-6) layak untuk dikembangkan karena memenuhi kriteria NPV 0 dan BCR 1. Pada tingkat harga karbon 4 USD/tCO 2 e dan suku bunga diskonto 12%, jumlah penerimaan dari jasa serapan karbon cukup besar sehingga total penerimaan dari kayu dan jasa sekuestrasi karbon melampaui penerimaan dari kayu saja (skenario baseline). Jika UM menerapkan skenario-6, pendapatan dari hasil pemanfaatan kayu relatif lebih kecil akibat berkurangnya JPT yakni hanya Rp 73,64 milyar, namun penerimaan dari jasa serapan karbon sangat besar yaitu Rp 90,41 milyar sehingga total penerimaannya meningkat tajam menjadi Rp 164,04 milyar atau Rp 5,47 milyar/th, melebihi skenario lainnya. Hasil analisis sensitivitas menunjukkan, perubahan biaya transaksi 20% maupun harga log 15,4%, proyek karbon tetap layak untuk dijalankan. Proyek karbon sangat peka terhadap perubahan harga log, sehingga tingkat harga jual log menjadi variable penting yang akan memengaruhi keuntungan yang diperoleh UM. Durasi periode pulih tegakan LOA untuk setiap skenario berbeda-beda tergantung JPTnya. Semakin besar JPTnya akan semakin lama periode pulihnya, seperti terlihat pada skenario baseline, dan skenario-6. Skenario-6 dengan JPT terkecil memiliki durasi pulih tersingkat yakni hanya 27 th. Durasi priode pulih pada skenario baseline, skenario 1-6 berturut-turut adalah: 137 th, 76 th, 46 th, 54 th, 84 th, 56 th, dan 27 th. Tampak dengan jelas, selain skenario 6, semuanya memiliki durasi periode pulih yang lebih lama dari rotasi tebangnya.

6 Tujuan utama penerapan PHL di hutan produksi adalah tercapainya kelestarian fungsi produksi dengan salah satu kriterianya: kelestarian hasil hutan. Maka dari itu potensi tegakan tinggal harus tetap terjaga dari waktu ke waktu. Dengan kata lain, tegakan yang akan dimanfaatkan pada rotasi berikutnya, kondisinya harus sudah pulih kembali seperti keadaan sebelum ditebang. Dari tujuh skenario, hanya skenario-6 yang memiliki periode pulih lebih singkat dari rotasi tebangnya (27 th). Apabila skenario-6 ini diterapkan, maka kelangsungan produksi akan terjamin karena begitu rotasi pertama selesai, UM dapat langsung memasuki rotasi tebang berikutnya tanpa jeda waktu. Untuk itu, sangat bijaksana jika UM PT SSS memilih skenario 6 karena akan memetik banyak manfaat. Manfaat pertama, tegakan LOA akan pulih dalam jangka waktu kurang dari 30 th, kedua, penerimaan total dari kayu dan karbon tertinggi di antara skenario lainnya, dan ketiga, dengan JPT rendah, akan mengurangi dampak buruk pembalakan terhadap tegakan tinggal maupun kondisi tanah dan air. Manfaat lainnya adalah terlindunginya keanekaragaman hayati dari berbagai gangguan, dan turut serta dalam upaya mitigasi perubahan iklim. Hasil kajian di PT SSS ini diharapkan dapat dijadikan salah satu acuan guna mengatasi masalah penurunan potensi hutan produksi. Langkah pertama seluruh UM IUPHHK-HA yang masih aktif harus menerapkan PHL. Selanjutnya adalah melakukan perhitungan ulang atas JPTnya agar diperoleh besaran JPT yang menghasilkan durasi periode pulih yang lebih singkat dari rotasi tebangnya. Setelah itu, UM perlu didorong untuk segera ambil bagian dalam penyelenggaraan karbon hutan, seperti yang diatur oleh Permenhut No.P.20/Menhut-II/2012. Dengan masuknya UM ke dalam penyelenggaraan karbon hutan, diharapkan kelangsungan usahanya tetap terjamin dan UM memperoleh manfaat finansial yang lebih besar. Langkah terpadu dalam tiga aspek yakni: implementasi PHL, penentuan JPT yang menjamin periode pulih sama dengan rotasi tebangnya, dan keterlibatan UM dalam penyelenggaraan karbon hutan, merupakan salah satu solusi ke arah penyelamatan hutan produksi di Indonesia dari ancaman degradasi. Kata kunci: PHL, JPT, stok karbon, periode pulih, perdagangan karbon

7 (c) Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

8 POTENSI REDUKSI EMISI KARBON MELALUI PENERAPAN PENGELOLAAN HUTAN LESTARI DI AREAL HUTAN KONSESI PT SALAKI SUMMA SEJAHTERA, PROVINSI SUMATERA BARAT IWAN HILWAN Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Silvikultur Tropika SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

9 Judul Disertasi : Potensi Reduksi Emisi Karbon melalui Penerapan Pengelolaan Hutan Lestari di Areal Hutan Konsesi PT Salaki Summa Sejahtera, Provinsi Sumatera Barat Nama : Iwan Hilwan NIM : E Program Studi/Mayor : Silvikultur Tropika Disetujui, Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, M.S. Ketua Dr. Ir. Supriyanto Anggota Dr. Ir. Teddy Rusolono, M.S. Anggota Mengetahui, Ketua Program Studi Silvikultur Tropika Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Basuki Wasis, M.S. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr. Tanggal Ujian: 27 Juli 2012 Tanggal Lulus:

10 PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunianya sehingga karya ilmiah ini berhasil disusun. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November 2011 ini ialah peningkatan simpanan karbon hutan yang dikaitkan dengan pengurangan intensitas tebangan dan Pengelolaan Hutan Lestari, dengan judul Potensi Reduksi Emisi Karbon melalui Penerapan Pengelolaan Hutan Lestari di Areal Hutan Konsesi PT Salaki Summa Sejahtera, Provinsi Sumatera Barat. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, M.S. selaku Ketua Komisi Pembimbing, serta Dr. Ir. Supriyanto, dan Dr. Ir. Teddy Rusolono, M.S. selaku Anggota Komisi Pembimbing, atas arahan dan bimbingannya sejak penyusunan proposal penelitian, selama penelitian dan analisis data, hingga penyusunan disertasi ini. Begitu juga ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr.Ir. Bahruni, M.S. dan Dr.Ir. Upik Rosalina, DEA yang telah bersedia menjadi penguji luar komisi pada ujian tertutup tanggal 17 Juli Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dekan Fakultas Kehutanan IPB dan Rektor IPB yang telah mengijinkan penulis melanjutkan studi doktor di IPB, serta kepada Ketua Departemen Silvikultur dan rekan-rekan staf pengajar di Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB. Terima kasih dan penghargaan juga tidak lupa penulis sampaikan kepada jajaran Direksi PT Salaki Summa Sejahtera beserta staf lapangannya atas segala bantuan dan dukungannya selama pengumpulan data lapangan. Ungkapan terima kasih tak terhingga juga disampaikan kepada ibu penulis, ibu mertua, istri, anak-anak, dan seluruh keluarga besar, atas segala do a dan kasih sayangnya. Mudah-mudhan semua pemikiran yang tertuang di dalam disertasi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak terutama yang sangat peduli terhadap pengelolaan hutan yang lestari di bumi Indonesia. Bogor, Agustus 2012 Iwan Hilwan

11 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 04 Februari 1960 sebagai anak kedua dari tujuh bersaudara dari pasangan Muhammad Zaenuddin (alm.) dan Siti Sholihat. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, lulus pada tahun Pada tahun 1988 penulis menempuh pendidikan S-2 di Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL), dan meraih gelar Magister Sains pada tahun Selama menempuh pendidikan master penulis memperoleh beasiswa TMPD dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Pada tahun 2007 penulis mendapat kesempatan menempuh pendidikan doktor (S- 3) pada Program Studi/Mayor Silvikultur Tropika, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor sekaligus memperoleh beasiswa dari program BPPS Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Sejak tahun 1987 penulis menjadi staf pengajar di Laboratorium Ekologi Hutan, Jurusan Manajemen Hutan dan Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB. Mata kuliah yang diasuh adalah Dendrologi, Ekologi Hutan, dan Ekologi Jenis Pohon Tropika. Penulis pernah mengikuti berbagai kursus, beberapa di antaranya pada tingkat Asia Tenggara, seperti Kursus Taksonomi Tumbuhan (Herbarium Bogoriense, Bogor), Kursus Forest Health Monitoring (SEAMEO-BIOTROP, Bogor), dan Kursus Forest Biodiversity Management (UPLB, Los Banos, Filipina). Organisasi yang pernah diikuti antara lain Persatuan Sarjana Kehutanan Indonesia (Persaki) dan Penggalang Taksonomi Tumbuhah Indonesia (PTTI). Karya ilmiah yang berjudul Potensi Kredit Karbon di Hutan Produksi melalui Pengelolaan Hutan Lestari dan merupakan bagian dari disertasi ini akan diterbitkan pada Jurnal Manajemen Hutan Tropika (JMHT) Volume XVIII Nomor 3 Edisi Desember Pada tahun 1987 penulis menikah dengan Dr.Ir. Mulyorini Rahayuningsih, M.Si. dan telah dikaruniai tiga orang anak, yakni Ghaida Yasmin, SGz., Rindang Khairani, dan Lazuardi Mohammad.

12 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR.. xi DAFTAR LAMPIRAN... xii I. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Hipotesis Penelitian Manfaat Penelitian... 6 II. TINJAUAN PUSTAKA Ruang Lingkup REDD Pelaksanaan REDD/REDD+ di Indonesia Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) Simpanan Karbon melalui PHL Deforestasi dan Degradasi Hutan Dampak Kegiatan Pemanenan Kayu Periode Pulih Stok Karbon Tegakan LOA Perlindungan Keragaman Hayati di dalam REDD Biomassa, Karbon, dan Penyerapan Karbon Pendugaan Simpanan Karbon Metode Pendugaan Karbon Tegakan Analisis Manfaat Perdagangan Karbon Hutan. 27 III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Sejarah Perusahaan Letak dan Luas Topografi dan Tanah Iklim Penataan Areal Kerja Kondisi Vegetasi Kondisi Satwa Liar Potensi Tegakan Sosial Ekonomi 34 IV. METODOLOGI PENELITIAN Kerangka Pemikiran Ruang lingkup Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian Skenario Pemanfaatan Kayu Pengumpulan dan Analisis Data... 39

13 Sumber Data Analisis Vegetasi Nekromassa Berkayu Laju Deforestasi Kerusakan Tegakan Tinggal akibat Pembalakan Jumlah Tebangan dalam Kegiatan PWH Limbah Tebangan Stok Karbon Tanaman Pengayaan Stok Karbon Tanaman Rehabilitasi Perkembangan Potensi dan Stok Karbon Pendugaan Kandungan Karbon Tegakan Analisis Manfaat Proyek Karbon Periode Pulih Stok Karbon Tegakan LOA 52 V. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Vegetasi Hutan di PT SSS Jumlah Spesies Tumbuhan Keanekaragaman dan Kekayaan Jenis Tingkat Kemerataan dan Dominansi Jenis Spesies Dominan dan Kodominan Tingkat Kesamaan Komunitas Struktur Tegakan Unsur-unsur yang Meningkatkan Sumpanan Karbon Hutan Regrowth Nekromassa Berkayu Serapan Karbon Tanaman Rehabilitasi Serapan karbon Tanaman Pengayaan Unsur-unsur yang Mengurangi Simpanan Karbon Hutan Pemanenan Kayu Tingkat Kerusakan Tegakan Tinggal Deforestasi Perubahan Simpanan Karbon Kredit Karbon Analisis Finansial Skenario Baseline Skenario Skenario Skenario Skenario Skenario Skenario Analisis Sensitivitas Periode Pulih Stok Karbon Tegakan LOA Penyelenggaraan Karbon Hutan dan PHL. 97

14 VI. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran 111 DAFTAR PUSTAKA. 112 LAMPIRAN 121

15 DAFTAR TABEL Halaman 1 Karbon yang hilang dan disimpan akibat penerapan metode CL dan RIL Persamaan Biomassa (Biomass Equations) Nilai BCEF berdasarkan kisaran volume tegakan (VOB) Penataan Areal kerja PT Salaki Summa Sejahtera Kerapatan rata-rata per hektar beserta potensinya hasil IHMB Skenario pemanfaatan kayu Jenis dan sumber data yang digunakan dalam analisis Jumlah jenis tumbuhan Indeks Keanekaragaman Jenis (H ) Indeks Kekayaan Jenis (R 1 ) Indeks Kemerataan Jenis (E) Indeks Dominansi Jenis (C) Indeks Kesamaan Komunitas (IS) Jenis tumbuhan dominan dan kodominan Kerapatan (K) setiap tingkat pertumbuhan Persamaan matematis struktur tegakan Bobot nekromassa berkayu setelah penebangan Stok karbon nekromassa di akhir proyek Persamaan regresi linier antara intensitas tebangan dengan panjang JU, JC, dan luas TPn Serapan karbon tanaman rehabilitasi Panjang jalan sarad dan jumlah tanaman pengayaan Intensitas tebangan dan JPT volume pada setiap skenario Jumlah dan volume pohon per hektar yang rusak berat akibat kegiatan pemanenan Luas pembukaan wilayah hutan (PWH) per hektar hutan Potensi stok karbon di awal dan di akhir proyek (di dalam ha) Jumlah kredit karbon di akhir proyek pada setiap scenario Hasil analisis finansial skenario Hasil analisis finansial skenario-2. 82

16 29 Hasil analisis finansial skenario Hasil analisis finansial skenario Hasil analisis finansial skenario Hasil analisis finansial skenario Analisis sensitivitas proyek perdagangan karbon pada skenario-1 (harga karbon 4 USD per tco 2 e) Persamaan garis perkembangan stok karbon tegakan LOA Periode pulih stok karbon tegakan LOA dan JPT Hasil-hasil penelitian tentang periode pulih di hutan tropika.. 96

17 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kerangka berfikir (logical framework) penelitian Bentuk dan Ukuran Petak Contoh Penelitian (PCP) dan Petak Ukur (PU) Metode gain-loss dalam perhitungan perubahan simpanan karbon (Murdiyarso et al. 2008, Rusolono & Tiryana 2011) Indeks Keanekaragaman Jenis (H ) di setiap plot 56 5 Indeks dominansi jenis (C) di setiap plot pengamatan Struktur tegakan di dalam plot pengamatan Regrowth atau riap volume tegakan LOA 64 8 Garis regresi linier antara umur dan diameter sengon Perkembangan stok karbon tanaman sengon Perkembangan stok karbon tanaman Shorea selanica Perkembangan stok karbon tegakan LOA selama proyek Kredit karbon per tahun selama proyek (MtCO 2 e/th) Penerimaan dari proyek perdagangan karbon pada tingkat harga karbon 4 USD/tCO2e dan suku bunga diskonto 12% Periode pulih (recovery period) stok karbon tegakan LOA Hubungan antara periode pulih stok karbon tegakan LOA dan JPT (m 3 /th) Kurva tingkat degradasi hutan dan periode pulih (Sasaki et al. 2011) (A) Ilustrasi asli dari Putz et al. (2008), (B) hasil rekonstruksi dengan memperpanjang garis kurva (garis terputus-putus) Hubungan keterkaitan antara penerapan PHL, penyelenggaraan karbon hutan, dan mitigasi perubahan iklim sektor kehutanan 102

18 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Daftar jenis pohon di areal IUPHHK PT Salaki Summa Sejahtera Perkembangan stok karbon pada tegakan LOA Jumlah kredit karbon tiap skenario Perkembangan stok karbon tanaman rehabilitasi dan pengayaan Perkembangan stok karbon nekromassa Perkembangan stok karbon pada periode pulih berdasarkan persamaan garis regresi kuadratik Foto-foto di lokasi penelitian. 137

19 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan dan perubahan iklim berkaitan sangat erat karena ekosistem hutan memengaruhi iklim melalui penyerapan dan penyimpanan karbon dalam kayu, daun, dan tanah. Ketika hutan terbakar, dipanen kayunya, atau ditebang habis, karbon dilepaskan ke atmosfer (IPCC 2001 dalam Dresner et al. 2007). Dengan demikian, dalam konteks perubahan iklim, hutan memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai sumber emisi (source) dan sebagai penyerap (sink) karbon. Laju deforestasi di Indonesia bervariasi dari 1,7 juta hektar per tahun ( ), kemudian meningkat tajam menjadi 2,8 juta hektar per tahun ( ) dan menurun lagi menjadi 1,2 juta hektar per tahun pada rentang tahun (FAO, 2009 dalam CIFOR 2009). Di Indonesia, laju pengurangan luas hutan (deforestasi) sebesar 6% per tahun yang dua pertiganya diakibatkan oleh degradasi hutan dan sepertiganya disebabkan oleh deforestasi (Schoene 2006 dalam Murdiyarso et al. 2008). Memperhatikan kondisi hutan di Indonesia tersebut, maka diperlukan segera tindakan mitigasi guna mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan penyimpanan karbon dalam rangka mengatasi perubahan iklim. Guna mengurangi 20% emisi yang berkaitan dengan hutan, diperlukan pendekatan konservasi yang baru dan lebih efektif. Salah satu pendekatan tersebut adalah REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) atau pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Inisiatif REDD dihasilkan dalam COP-13 di Bali pada 2007 dan diperluas menjadi REDD+ dalam pertemuan di Poznan, Polandia pada Dalam skema REDD+ ini, transfer finansial tidak hanya digunakan untuk mengurangi deforestasi dan degradasi hutan, namun juga akan digunakan untuk melakukan konservasi cadangan karbon di hutan, pengelolaan hutan lestari (PHL) atau Sustainable Forest Management (SFM), serta peningkatan cadangan karbon hutan melalui kegiatan penanaman pohon dan rehabilitasi lahan yang terdegradasi (CIFOR 2009).

20 2 Sejalan dengan mitigasi perubahan iklim, Pemerintah RI bertekad menindaklanjuti hasil COP-15 pada 2009 di Kopenhagen, Denmark, di antaranya dengan membuat rencana aksi nasional untuk mengurangi emisi karbon sebesar 26% pada tahun Dalam upaya pencapaian target pengurangan emisi tersebut, Kementerian Kehutanan telah menetapkan delapan kebijakan prioritas , salah satunya adalah Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Sektor Kehutanan (Masripatin 2010). Dalam kaitan dengan mitigasi perubahan iklim di sektor Kehutanan, reduksi emisi karbon di hutan produksi sangat mendesak dan paling strategis untuk dilakukan. Sesuai fungsinya sebagai areal produksi hasil hutan, hutan produksi tak luput dari degradasi akibat kegiatan pembalakan yang ditandai oleh berkurangnya tutupan tajuk dan simpanan karbon. Pada rentang waktu , berdasarkan fungsi hutannya, sumber emisi terbesar berasal dari Hutan Produksi (sekitar juta ton CO 2 e), disusul berturut-turut Areal Penggunaan Lain (sekitar 575 juta ton CO 2 e), Hutan Konversi (sekitar 400 juta ton CO 2 e), Hutan Konservasi (sekitar 100 juta ton CO 2 e), dan Hutan Lindung (sekitar 50 juta ton CO 2 e) (Masripatin 2010). Menurut Permenhut No.P.30/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD), hutan produksi dalam areal kerja IUPHHK-HA menjadi salah satu lokasi pelaksanaan REDD. Unit manajemen IUPHHK-HA yang akan melaksanakan REDD diwajibkan menerapkan PHL. Dengan diperluasnya skema REDD menjadi REDD+, maka pemegang IUPHHK-HA diberi ruang yang lebih besar untuk dapat berpartisipasi dan memperoleh manfaat dari perdagangan karbon melalui skema REDD+ ini. Terkait dengan masalah ini, perlu dikaji bagaimana hubungan keterkaitan antara penerapan PHL dengan upaya mengurangi emisi karbon sekaligus untuk meningkatkan penerimaan dana kompensasi jasa reduksi emisi karbon. Kajian ini telah dilakukan di areal PT Salaki Summa Sejahtera (PT SSS) di Pulau Siberut, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumatera Barat.

21 Perumusan Masalah Mitigasi perubahan iklim di sektor kehutanan melibatkan berbagai pihak, salah satunya adalah pengelola atau unit manajemen (UM) Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam (IUPHHK-HA). UM yang akan terlibat dalam REDD (reducing emissions from deforestation and forest degradation) yang sekarang berubah menjadi REDD+, diwajibkan menerapkan PHL. Tanda plus pada REDD+ tersebut meliputi: konservasi stok karbon hutan, PHL, dan peningkatan simpanan karbon hutan. PHL adalah proses pengelolaan hutan untuk mencapai satu atau lebih tujuan pengelolaan tertentu yang jelas dalam menghasilkan barang dan jasa hutan yang diperlukan secara berkelanjutan, tanpa adanya pengurangan terhadap nilai dan produktivitas hutan di masa yang akan datang dan tanpa adanya dampak yang tidak diharapkan terhadap lingkungan fisik dan sosial (ITTO 1998 dalam Suhendang 2002). Dengan demikian, dalam konteks mitigasi perubahan iklim, UM yang telah mengimplementasikan PHL pada hakikatnya telah berperan dalam isu lingkungan global tersebut, baik melalui peningkatan serapan karbon maupun reduksi emisi karbon. Selain itu, UM yang telah menerapkan PHL berkesempatan untuk memperoleh manfaat ekonomi yang sangat menjanjikan dari proyek perdagangan karbon melalui skema REDD+. Potensi manfaat ekonomi karbon hutan diperkirakan sangat besar mengingat tingginya kemampuan hutan dalam menyerap karbon dari atmosfir (carbon sequestration) dan menyimpannya dalam biomassa pohon (carbon sink). UM akan memperoleh manfaat ekonomi jika mampu mengumpulkan sejumlah kredit karbon yang dihasilkan dari berbagai tindakan atau praktik pengelolaan hutan yang bermuara pada peningkatan sekuestrasi karbon hutan. Di dalam Permenhut No.P.36/2009 disebutkan beberapa contoh praktik kelola produksi dalam PHL yang dapat menghasilkan kredit karbon, baik yang akan meningkatkan simpanan karbon seperti: memperpanjang rotasi tebang, menerapkan penebangan ramah lingkungan atau RIL (reduce impact logging), dan memperluas areal perlindungan dan konservasi, maupun yang akan meningkatan serapan karbon, misalnya: penanaman pengayaan (enrichment planting), dan kegiatan penanaman lahan kosong (rehabilitasi). Di dalam Permenhut No.P.20/Menhut-II/2012 tentang

22 4 Penyelenggaraan Karbon Hutan, disebutkan bahwa selain pengelolaan hutan yang menerapkan kegiatan kegiatan penyimpanan dan penyerapan karbon, juga dapat berupa kegiatan penurunan emisi karbon. Dalam kaitan ini, dipandang sangat relevan untuk dikaji seberapa besar kredit karbon yang akan diperoleh UM apabila melakukan beberapa praktik pengelolaan tadi, serta menaksir nilai manfaat ekonominya jika UM terlibat dalam penyelenggaraan karbon hutan. Berbagai tindakan pengelolaan yang akan dikaji tersebut, semuanya akan diformulasikan dalam beberapa skenario pemanfaatan hutan (skenario PHL) yang nantinya dibandingkan dengan skenario baseline (skenario non-phl). Selain itu terkait dengan PHL, dirasakan penting juga menentukan skenario PHL yang mana yang akan menghasilkan periode pulih stok karbon tegakan LOA yang sama atau lebih singkat durasinya dari rotasi tebangan. Sehubungan dengan hal itu, guna memperoleh gambaran yang lebih mendalam perihal keterkaitan antara penerapan beberapa macam praktik PHL dengan kredit karbon yang dihasilkan dan penyelenggaraan karbon hutan dalam skema REDD+, maka perlu dilakukan kajian dan analisis mengenai: 1. Seberapa banyak penurunan emisi karbon hutan dan jumlah kredit karbon yang dihasilkan melalui beberapa skenario pemanfaatan kayu. Praktik-praktik PHL yang digunakan dalam menyusun skenario pemanfaatan kayu adalah: memperpanjang rotasi tebangan, menaikkan batas DBH (diameter setinggi dada) tebangan, menerapkan RIL, mencegah deforestasi, dan mengurangi JPT sebesar 25%. 2. Jika UM telah menghasilkan sejumlah kredit karbon dan kemudian ingin memperdagangkan karbon hutan, maka perlu dianalisis kelayakan usaha perdagangan karbon tersebut dan dihitung besarnya keuntungan finansial yang akan diraih dari berbagai skenario PHL. 3. Setelah dipanen pada tingkat JPT tertentu di setiap skenario pemanfaatan kayu, yang pada hakikatnya memanen sejumlah massa karbon, maka penting untuk diketahui kira-kira berapa lama durasi periode pulih (recovery period) stok karbon pada tegakan tinggal (LOA atau logged over area).

23 5 Secara skematis, kerangka berfikir (logical framework) penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1. Mitigasi Perubahan Iklim Permenhut No.P.36/2009 & P.20/2012 Sektor Kehutanan (REDD+) Permenhut No.P.30/2009 IUPHHK-HA (PT SSS) Perlindungan Keragaman Hayati Implementasi PHL Penerapan Praktikpraktik PHL Stok Karbon Meningkat Penurunan Emisi Karbon Hutan Pengurangan JPT Periode Pulih Stok Karbon Tegakan LOA Kredit Karbon yang Dihasilkan Perdagangan Karbon (Penyelenggaraan Karbon Hutan) Hasil Penjualan Kredit Karbon Hutan Hasil Tebangan Kayu Menurun Pendapatan Hasil Penjualan Kayu Berkurang Penerimaan Total (Kayu + Karbon) Meningkat Gambar 1. Kerangka berfikir (logical framework) penelitian

24 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. Menaksir jumlah penurunan emisi karbon dan kredit karbon yang dihasilkan melalui beberapa skenario pemanfaatan kayu. 2. Menganalisis kelayakan usaha implementasi kegiatan karbon hutan dan menghitung keuntungan finansial yang akan diraih dari berbagai skenario PHL. 3. Memprediksi durasi periode pulih stok karbon tegakan bekas tebangan Hipotesis Penelitian Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: 1. Penerapan beberapa praktik PHL akan menghasilkan sejumlah kredit karbon. 2. Proyek perdagangan karbon di hutan produksi secara finansial layak dikembangkan. 3. Semakin besar pengurangan JPT, semakin singkat durasi pulih stok karbon tegakan tinggal Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini antara lain: 1. Bagi UM PT SSS dan pengelola IUPHHK-HA lainnya, hasil penelitian ini dapat dijadikan salah satu acuan dalam pemanfaatan kayu dan jasa lingkungan berupa karbon dari hutan produksi. Dengan demikian, dalam era multi komoditas hutan seperti sekarang ini, para pengusaha hutan akan tergerak untuk ikut terlibat dalam implementasi kegiatan karbon hutan melalui skema REDD+ sehingga nantinya selain memperoleh keuntungan finansial dari kegiatan karbon hutan juga stok karbon tegakan LOA dapat pulih kembali secara lebih cepat. Hal ini akan mempercepat pencapaian tujuan dan target penerapan PHL di hutan produksi.

25 7 2. Dari aspek pengembangan penelitian, kajian ini diharapkan berkontribusi positif memperluas khasanah pengetahuan dalam bidang pengelolaan hutan alam produksi lestari yang dikaitkan dengan mitigasi perubahan iklim di hutan produksi. 3. Bagi pengambil kebijakan, terutama Kementerian Kehutanan RI, hasil penelitian ini diharapkan menjadi masukan berarti guna melengkapi kebijakan yang sudah ada tentang pelibatan pengelola unit manajemen IUPHHK-HA dalam mitigasi perubahan iklim melalui implementasi kegiatan karbon hutan.

26 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ruang Lingkup REDD+ Pada tahun 2005, pembahasan terfokus hanya kepada pengurangan emisi dari deforestasi (reducing emissions from deforestation atau RED). Namun ternyata di beberapa negara berkembang, masalah degradasi hutan lebih besar dibandingkan dengan deforestasi, untuk itu pencegahan degradasi hutan (avoid forest degradation) secara resmi disetujui dalam COP-13 di Bali sehingga RED berubah menjadi reducing emissions from deforestation and forest degradation atau REDD (Wertz-Kanounnikoff dan Angelsen 2009). Pada tahun 2008, dalam pertemuan di Poznan, Polandia, dihasilkan konsesus bahwa kegiatan REDD diperluas menjadi REDD+. Menurut UNFCCC, REDD+ adalah serangkaian pendekatan kebijakan dan insentif positif dalam rangka mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, serta peran konservasi hutan, pengelolaan hutan lestari, dan peningkatan cadangan karbon hutan di negara-negara berkembang. Dengan demikian, tanda + mengandung pengertian: peningkatan cadangan karbon hutan, berupa regenerasi dan rehabilitasi hutan, pengurangan/pencegahan degradasi, pengurangan emisi, dan penyerapan karbon. Untuk itu dalam REDD+ terdapat tiga macam perubahan, yaitu: (1) deforestasi, yang bermakna luas areal hutan berkurang, (2) degradasi, yaitu kerapatan karbon berkurang, dan (3) regenerasi dan rehabilitasi hutan, yaitu kerapatan karbon meningkat (Angelsen 2009) Pelaksanaan REDD/REDD+ di Indonesia Proses pelaksanaan REDD/REDD+ di Indonesia diawali dengan membentuk Indonesian Forest-Climate Alliance (IFCA) sebelum berlangsungnya COP-13 di Bali tahun Aliansi ini merupakan suatu forum komunikasi, koordinasi, dan konsultasi bagi sekelompok ahli yang bergerak di bidang kehutanan dan perubahan iklim di Indonesia, terutama untuk menganalisis praktek skema REDD di Indonesia. Menindaklanjuti hasil COP-13 di Bali,

27 9 Indonesia melalui IFCA telah menetapkan Road Map REDD Indonesia (REDDI) yang terbagi ke dalam tiga tahap, yaitu: 1. Fase Persiapan/Readiness (tahun 2007/sebelum COP-13) untuk penyiapan perangkat metodologi atau arsitektur dan strategi implementasi REDDI, komunikasi/koordinasi/konsultasi stakeholders, termasuk penentuan kriteria untuk pemilihan lokasi pilot/percontohan, 2. Fase Pilot/Transisi ( ): menguji metodologi dan strategi, dan transisi dari non-market (fund-based) ke mekanisme pasar (market mechanism), 3. Fase Implementasi Penuh (dari 2012 atau lebih awal tergantung perkembangan negosiasi dan kesiapan Indonesia), dengan tata cara (rules and procedures) berdasarkan keputusan COP dan ketentuan di Indonesia. Indonesia pada COP-15 di Kopenhagen, Denmark pada 2009 berkomitmen menurunkan emisi GRK Indonesia sebesar 26% dengan kemampuan sendiri dan dapat bertambah menjadi 41% bila ada kerja sama internasional pada tahun 2020 yang akan datang. Sejalan dengan target pengurangan emisi karbon sebesar 26% pada tahun 2020 tersebut, Kementerian Kehutanan telah menetapkan Delapan Kebijakan Prioritas , salah satu kebijakan prioritasnya adalah Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Sektor Kehutanan (Masripatin 2010). Pada 26 Mei 2010 di Oslo, Pemerintah RI dan Kerajaan Norwegia telah menandandatangai LoI (Letter of Intent) berisi kesepakatan kerjasama dalam penurunan emisi gas rumah kaca akibat deforestasi dan degradasi hutan (REDD+). Dalam kesepakatan itu Pemerintah Norwegia akan memberikan dana sebesar satu milyar dollar AS kepada Pemerintah RI guna mengimplementasikan semua kesepakatan dalam LoI yang seluruhnya berkaitan dengan upaya pelaksanaan REDD+. Salah satu kewajiban dalam LoI tersebut bagi RI adalah melakukan moratorium terhadap semua perijinan baru untuk konversi lahan gambut dan hutan alam selama dua tahun (tahun ). Sejak penyelenggaraan COP-13 di Bali Pemerintah RI c.q. Kementerian Kehutanan sangat giat mengembangkan perangkat hukum yang terkait langsung dengan pelaksanaan REDD. Di antara perangkat tersebut terdapat empat Peraturan Menteri Kehutanan yang telah resmi diundangkan, yaitu:

28 10 1. Permenhut No. P.68/Menhut-II/2008, tertanggal 11 Desember 2008 tentang Penyelengaraan Implementasi dari Kegiatan Demonstrasi Pengurangan Emisi Karbon dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD). 2. Permenhut No. P.30/Menhut-II/2009, tertanggal 1 Mei 2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD). 3. Permenhut No. P.36/Menhut-II/2009, tertanggal 22 Mei 2009 tentang Tata Cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung. 4. Permenhut No. P.20/Menhut-II/2012, tertanggal 23 April 2012 tentang Penyelenggaraan Karbon Hutan Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) Prinsip Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) ini mengubah secara mendasar cara pandang terhadap hutan, yaitu dari cara pandang hutan sebagai penghasil kayu (dalam sustainable yield principles), yang kemudian disempurnakan menjadi fungsi hutan yang bermanfaat ganda (multiple use of the forest principle); ke arah cara pandang hutan sebagai ekosistem yang secara utuh harus memberikan manfaat ekonomis, ekologis, dan sosial budaya bagi manusia, untuk generasi sekarang dan generasi yang akan datang secara berkelanjutan (Suhendang 2002). Sampai saat ini telah banyak ditetapkan konsep dan definisi mengenai PHL, beberapa di antaranya yang dianggap penting adalah (Helms 1998 dalam Suhendang 2002) : a. Menurut hasil UNCED (Rio de Janeiro 1992) PHL adalah pemanfaatan hasil dan nilai-nilai yang dapat diperoleh dari hutan untuk generasi kini dan tidak boleh mengorbankan kemampuan hutan tersebut untuk memberikan hasil dan nilai-nilai yang sama untuk generasi yang akan datang. b. Menurut International Tropical Timber Organization atau ITTO (1998) PHL adalah proses mengelola hutan untuk mencapai satu atau lebih tujuan pengelolaan tertentu yang jelas dalam menghasilkan barang dan jasa hutan

29 11 yang diperlukan secara berkelanjutan, tanpa adanya pengurangan terhadap nilai dan produktivitas hutan di masa yang akan datang dan tanpa adanya dampak yang tidak diharapkan terhadap lingkungan fisik dan sosial. Jadi, PHL mempunyai tiga ciri, yaitu: (1) kesinambungan produksi dan jasa hutan, (2) kelestarian lingkungan fisik hutan (tanah, flora, fauna, hidrologi, iklim), dan (3) kelestarian lingkungan sosial masyarakat (meliputi sosial, ekonomi, dan budaya) (Soerianegara 1995) Guna kepentingan penerapan prinsip PHL dalam pengurusan hutan di Indonesia, diperlukan seperangkat kriteria dan indikator mengenai PHL, baik untuk pengurusan hutan tingkat nasional maupun pengelolaan hutan pada tingkat kesatuan pengelolaan hutan (Suhendang 2002). Pada saat ini Indonesia telah memiliki kriteria dan indikator PHL untuk pengelolaan hutan produksi alam pada tingkat kesatuan pengelolaan hutan yang disusun dengan mengacu kepada (LEI 2000): (1) ITTO Criteria and Indicators for Sustainable Management of Natural Tropical Forest, (2) The International Organization for Standardization (ISO) Standard Series, dan (3) The Principles and Criteria for Forest Management of Forest Stewardship Council (FSC). Standar Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) dan Pedoman Pelaksanaan Sertifikasi PHPL untuk Indonesia telah ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) pada tahun Kriteria dan indikator yang ditetapkan untuk pengelolaan hutan alam produksi lestari pada tingkat kesatuan pengelolaan hutan di Indonesia sebagaimana dimuat dalam Standar LEI , Sistem Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari, adalah (LEI 2000): 1). Kelestarian Fungsi Produksi, dengan tiga kriteria yaitu: (1) Kelestarian Sumberdaya Hutan, (2) Kelestarian Hasil Hutan, dan (3) Kelestarian Usaha. 2). Kelestarian Fungsi Ekologi, dengan dua kriteria yaitu: (1) Stabilitas Ekosistem, (2) Sintasan (Survival) Spesies Endemik/Langka/Dilindungi. 3). Kelestarian Fungsi Sosial, dengan lima kriteria yaitu: (1) Terjaminnya Sistem Tenurial Hutan Komunitas, (2) Terjaminnya Ketahan dan

30 12 Pengembangan Ekonomi Kemunitas dan Karyawan, (3) Terjaminnya Keberlangsungan Integrasi Sosial dan Cultural Komunitas dan Karyawan, (4) Realisasi Tanggung Jawab Rehabilitasi Status Gizi dan Penanggulangan Dampak Kesehatan, dan (5) Jaminan atas Hak-hak Tenaga Kerja Simpanan Karbon melalui Penerapan PHL Penerapan PHL di suatu areal IUPHHK-HA berpotensi mencegah emisi karbon melalui pencegahan degradasi hutan dan juga meningkatkan penyimpanan karbon melalui pertumbuhan kembali (regrowth) dan restorasi/ rehabilitasi hutan (Rusolono 2009). Di wilayah Peten, Guatemala, konsesi hutan bersertifikat FSC 20 kali lebih rendah laju deforestasi dan laju kebakaran hutannya dibandingkan areal yang dilindungi (Hughell dan Butterfield 2008 dalam Rusolono 2009). Menurut Masripatin (2010), terkait dengan perubahan iklim, selain PHL, semua kegiatan kehutanan Indonesia pada dasarnya masuk dalam kategori pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+), sebagai contoh: 1 Pengurangan emisi dari deforestasi melalui pencegahan atau meminimalkan konversi hutan, pencegahan perambahan yang berakhir dengan perubahan tata guna lahan, 2. Pengurangan degradasi hutan melalui pemanenan kayu ramah lingkungan atau reduce impact logging (RIL), pemberantasan illegal logging, pengendalian kebakaran, dan penanganan perladangan berpindah, 3. Menjaga stok karbon melalui konservasi hutan, 4. Peningkatan stok karbon hutan melalui penanaman dan kegiatan lain yang mendorong peremajaan hutan, misalnya melalui restorasi hutan. Salah satu kriteria pengelolaan hutan produksi lestari (PHPL) adalah penerapan RIL yang merupakan kriteria 2 dan 3 dalam Kriteria dan Indikator Pengelolaan Hutan yang Berkelanjutan seperti yang tertuang dalam SK Menhut Nomor 4795/KPTS-11/2002. Di dalam Standar LEI , Sistem Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari, RIL tertera dalam Aspek Kelestarian Fungsi

31 13 Produksi yaitu pada Kriteria 2: Kelestarian Hasil Hutan dan Indikator P2.8: Penerapan reduce impact logging (LEI 2000). Upaya pengurangan emisi karbon global selain dilakukan melalui pencegahan deforestasi dan degradasi hutan, juga dapat dicapai melalui perbaikan pengelolaan hutan (improved forest management, IFM) (Putz et al. 2008). Salah satu bentuk IFM adalah penerapan RIL di hutan alam produksi. Menurut Hurd (2009), RIL adalah serangkaian tindakan atau praktik guna meminimalkan dampak negatif terhadap hutan dari operasi pemanenan kayu. Adapun menurut CIFOR (2009), RIL atau pembalakan berdampak rendah, adalah penebangan pohon yang dilakukan dengan terencana dan berdasarkan prinsip kehati-hatian untuk meminimalkan dampak terhadap lingkungan di sekitarnya. RIL juga dapat mengurangi emisi gas yang disebabkan oleh kegiatan pembalakan. Berdasarkan kajian Putz et al. (2008) di Malaysia, pada periode 30 tahun setelah penebangan, di kawasan hutan bekas tebangan (LOA) yang dibalak dengan metode RIL diprediksi memiliki simpanan karbon lebih tinggi 30 ton/ha dibandingkan dengan LOA yang dibalak dengan metode pemanenan konvensional (conventional logging, CL). Dengan demikian penerapan RIL akan mengurangi emisi karbon sekitar 30%. Hal yang sama ditemukan pula pada hasil uji coba di kawasan hutan Amazon, Brasil (Tabel 1). Tabel 1 Karbon yang hilang dan disimpan akibat penerapan metode CL dan RIL No. Keterangan Malaysia Brasil 1 Total karbon di hutan yang tidak ditebang (ton C/ha) Intensitas tebangan (m 3 /ha) Karbon yang hilang dan disimpan setelah 30 tahun a. Hilang karena metode CL (ton C/ha) b. Hilang karena metode RIL (ton C/ha) c. Karbon yang disimpan oleh metode RIL (ton C/ha) Karbon yang hilang dan disimpan setelah 60 tahun a. Hilang karena metode CL (ton C/ha) b. Hilang karena metode RIL (ton C/ha) c. Karbon yang disimpan oleh metode RIL (ton C/ha) Sumber: Putz et al. 2008

32 14 Selain itu, penerapan RIL dapat mencegah 50% kerusakan pada tegakan tinggal. Apabila RIL diterapkan di seluruh hutan tropika dunia, akan mengurangi emisi sebesar 0,16 gigaton karbon/tahun, atau sekitar 10% dari total emisi karbon dari deforestasi hutan tropika global sebesar 1,5 gigaton karbon/tahun (atau 20% total emisi karbon antropogenik global). Dari segi pembiayaan, Holmes et al. (1999) dalam Priyadi et al. (2009) mengestimasi biaya pembalakan dengan metode RIL lebih hemat sebesar 12% dibandingkan metode CL Deforestasi dan Degradasi Hutan Definisi Hutan Dalam konteks REDD+ atau mekanisme perdagangan karbon, diperlukan definisi hutan yang lebih teknis dan kuantitatif, dengan memasukkan parameter luas, tinggi pohon, dan tutupan tajuk. Menurut FAO (2005), yang disebut hutan apabila minimal memiliki tutupan tajuk 10%, tinggi pohon 5 meter, dan luas 0,5 hektar. Sedangkan dalam COP 7 tahun 2001 di Marrakech, dirumuskan definisi tentang hutan untuk mendukung implementasi Protokol Kyoto. Definisi hutan versi COP-7 yaitu lahan berhutan dengan luas 0,05-1 hektar, tinggi pohon dewasa in situ 2-5 meter dengan tutupan tajuk % (GOFC-GOLD 2009) Deforestasi Umumnya deforestasi didefinisikan sebagai konversi lahan dari hutan menjadi non-hutan secara permanen atau dalam jangka waktu yang lama. Di dalam Marrakech Accords (COP-7 tahun 2001), deforestasi didefinisikan sebagai perubahan dari lahan berhutan menjadi lahan tidak berhutan akibat langsung campur tangan manusia. Sedangkan FAO mendefinisikan deforestasi sebagai konversi hutan menjadi penggunaan lahan lain, atau pengurangan tutupan tajuk pohon menjadi minimal 10% dalam jangka panjang (Angelsen 2009). Adapun menurut IFCA (2007), deforestasi adalah perubahan tutupan hutan ke bentuk tutupan lain seperti pertanian, pemukiman, dan lainnya. Konversi hutan alam menjadi hutan tanaman atau penebangan hutan di bawah Protokol Kyoto tidak masuk ke dalam kategori deforestasi.

33 15 Konversi secara permanen dari lahan berhutan menjadi bukan hutan di negara sedang berkembang berpengaruh nyata terhadap peningkatan akumulasi gas rumah kaca di atmosfir. Jika emisi karbon dioksida CO 2 ditambah dengan emisi metana (CH 4 ), nitrous oksida (N 2 O), dan gas-gas lainnya, maka emisi tahunan yang berasal dari deforestasi hutan tropika pada dekade 1990-an sebesar 15-25% dari total emisi GRK antropogenik (Brown 1997). Konversi hutan menyumbang sekitar 20% emisi CO 2 tahunan; dan setelah lebih dari 150 tahun kegiatan konversi hutan berlangsung, aktivitas ini diperkirakan berkontribusi sebanyak 30% konsentrasi CO 2 atmosfir (IPCC 2001 dalam Dresner et al. 2007) Degradasi Hutan Degradasi hutan merujuk kepada penurunan cadangan karbon di dalam hutan akibat aktivitas manusia. Sebagai contoh, degradasi bisa terjadi akibat pemanenan hutan sehingga terjadi penurunan stok karbon yang sifatnya sementara (IFCA 2007). Degradasi hutan merupakan sumber utama emisi gas rumah kaca (GRK). Di hutan Amazon Brasil, degradasi hutan bertanggung jawab terhadap 20% total emisi (Asner et al dalam Murdiyarso et al. 2008). Di Afrika, laju degradasi hutan tahunan mendekati 50% dari laju deforestasi tahunan (Lambin et al dalam Murdiyarso et al. 2008). Di Indonesia, laju pengurangan luas hutan sebesar 6 % per tahun yang dua pertiganya diakibatkan degradasi hutan dan sepertiganya disebabkan oleh deforestasi (Schoene 2006 dalam Murdiyarso et al. 2008). Beberapa aktivitas yang menyebabkan terjadinya degradasi hutan di hutan tropis adalah: 1. Tebang pilih (selective logging) baik legal maupun illegal, yang ditandainya adanya rumpang (gaps), jaringan jalan (jalan sarad dan jalan angkutan), TPn, dan TPK. 2. Kebakaran hutan yang secara langsung akan mengurangi simpanan karbon hutan (carbon stock). Besar kecilnya dampak kebakaran terhadap simpanan karbon sangat tergantung kepada intensitas dan luas areal hutan yang terbakar.

34 16 3. Eksploitasi berlebihan terhadap hasil hutan non-kayu dan kayu bakar yang biasanya akan diikuti oleh aktivitas penggembalaan. Hal tersebut akan menghambat regenerasi permudaan alam. Situasi ini umumnya berlangsung di kawasan hutan tropika kering. 4. Invasi jenis tumbuhan asing atau eksotik (alien or exotic species invation) ke dalam areal hutan terdegradasi yang akan menghambat pertumbuhan hutan secara alami. Tumbuhan eksotik yang memiliki kemampuan mengganti jenis tumbuhan asli dan mudah berkembang biak tersebut akan mempercepat proses degradasi hutan baik secara alami ataupun dengan campur tangan manusia (GOFC-GOLD 2009). 5. Pembuatan arang, penggembalaan, dan perladangan berpindah (GOFC- GOLD, 2008 dalam Murdiyarso et al. 2008) Dampak Kegiatan Pemanenan Kayu Kegiatan pemanenan kayu secara langsung akan mengurangi simpanan karbon melalui pembuatan jalan sarad dan TPn, penebangan pohon, dan penyaradan. Aktivitas penebangan pohon memberikan dampak yang cukup besar terhadap terjadinya emisi karbon dan berperan dalam menurunkan cadangan karbon di atas permukaan tanah minimal 50%. Di hutan tropis Asia penurunan cadangan karbon akibat aktivitas pemanenan kayu berkisar antara 22-67%, di Indonesia diperkirakan 38-75% (Lasco 2002). Tingkat kerusakan tegakan tinggal sangat dipengaruhi oleh intensitas tebangan (Elias 2001; Indriyati 2010; Wayana 2011). Tingkat kerusakan berat akibat pemanenan adalah tingkat kerusakan yang mampu mematikan pohon pada tegakan tinggal umumnya tinggi, yaitu 47,49% di PT Sarpatim, Kaltim (Wayana 2011), 67,74% di PT Salaki Summa Sejahtera, Sumbar (Indriyati 2010) dan 82,12% di PT Narkata Rimba, Kaltim (Elias 2001). Kegiatan penebangan pohon per hektar di PT Sarpatim menimbulkan kerusakan berat pada tegakan tinggal sebesar 8,72%. Untuk setiap penebangan satu batang pohon/ha mengakibatkan kerusakan berat pada tegakan tinggal sebanyak 1,21 batang pohon/ha atau setara dengan setiap penebangan 1 m 3 /ha mengakibatkan kerusakan pada tegakan tinggal sebesar 0,14 m 3 /ha (Wayana 2011), sedangkan

35 17 pada setiap penebangan satu batang pohon/ha di PT Salaki Summa Sejahtera mengakibatkan kerusakan berat pada tegakan tinggal sebanyak 0,88 batang pohon/ha (Indriyati 2010). Aktivitas penyaradan di PT Sarpatim menimbulkan kerusakan berat pada tegakan tinggal sebesar 4,40% dari total seluruh kerusakan pohon yang diakibatkan oleh penyaradan. Setiap penyaradan satu batang pohon/ha mengakibatkan kerusakan berat pada tegakan tinggal sebanyak 0,62 batang pohon/ha atau setara dengan setiap penyaradan 1 m 3 /ha mengakibatkan kerusakan berat pada tegakan tinggal sebesar 0,06 m 3 /ha (Wayana 2011). Sedangkan kegiatan penyaradan di PT Salaki Summa Sejahtera mengakibatkan kerusakan pada tegakan tinggal sebesar 10,27% atau 7,89 pohon/ha (Indriyati 2010). Selain menimbulkan kerusakan pada tegakan tinggal, penyaradan kayu juga menciptakan keterbukaan hutan akibat pembuatan jalan-jalan sarad. Keterbukaan hutan akibat pembuatan jalan sarad per hektar pada plot penelitian di PT Sarpatim seluas 0,10 ha atau 10,19% dari luas plot penelitian (Wayana 2011). Hasil penelitian ini lebih tinggi dari hasil penelitian Indriyati (2010) di PT. Salaki Summa Sejahtera seluas 905,77 m 2 /plot atau 0,091 ha/plot (9,32%) dan hasil penelitian Elias (2001) di Kaltim seluas 872,5 m 2 /plot. Adapun luas 1 plot penelitian adalah 1 ha Periode Pulih Stok Karbon Tegakan Tinggal Proses pemulihan tegakan tinggal tiada lain adalah proses suksesi sekunder pascatebangan (Kobayashi 2002), dalam hal ini terjadi dinamika masyarakat tumbuh-tumbuhan yang berlangsung di dalam gap sebagai akibat adanya pohon yang tumbang. Suksesi yang berlangsung dalam rumpang (gap), menurut Whitmore (1991), akan melibatkan dua macam jenis pohon, yakni jenis pionir yang suka cahaya dan jenis klimaks yang mampu hidup di bawah naungan dan akan menggantikan posisi pohon pionir pada fase berikutnya. Masa hidup jenis pohon pionir ada yang pendek dan ada yang panjang. Bila masa hidup jenis pohon pionir lama, maka akan berpengaruh terhadap durasi masa pulih (recovery period) stok karbon tegakan LOA. Sebagai contoh, di hutan tropis wilayah Timur (Asia Tenggara), tajuk Macaranga mulai hancur dan mati setelah mencapai umur

36 18 20 tahun (Kochummen 1966 dalam Whitmore 1991). Sedangkan jenis pohon pionir sengon (Paraserianthes falcataria) dan benuang (Octomeles sumatrana) di sekitar Gunung Victory, Papua, mulai mengalami kematian saat mencapai umur 84 tahun (Taylor 1957 dalam Whitmore 1991). Sementara itu Huc dan Rosalina (1981) di dalam Anwar et al. (1984) menyatakan bahwa ukuran rumpang akan memengaruhi lamanya periode pemulihan hutan atau proses suksesi sekunder yang terjadi. Rumpang yang kecil yang terbentuk hanya oleh tumbangnya satu pohon, memiliki durasi pemulihan yang pendek. Indrawan (2000) menyatakan bahwa sistem pengelolaan hutan alam bekas tebangan bila proses pemulihannya diserahkan pada alam melalui proses suksesi sekunder meghasilkan respons simulasi rotasi tebang I, ± 24 tahun setelah penebangan I dan rotasi tebang II membutuhkan waktu ± 37 tahun setelah penebangan II yang berarti rotasi tebang tidak selalu sama dan akan berubah sejalan dengan komposisi dan struktur tegakan hutan yang terbentuk setelah penebangan dan perkembangannya menurut waktu. Hasil kajian Shearman et al. (2011) menyimpulkan bahwa praktik pemanenan kayu di hutan tropis yang tidak memberi waktu cukup kepada tegakan LOA untuk memulihkan diri, menjadi penyebab utama yang sangat signifikan bagi terciptanya degradasi biodiversitas dan stok karbon. Mereka mengestimasi lamanya periode pulih yang harus ditempuh hutan bekas tebangan menuju ke keadaan hutan primer, yaitu: untuk aspek biomassa hutan selama tahun, potensi tegakan 120 tahun, dan keanekaragaman jenis tahun. Menurut mereka, pohon-pohon di hutan tropis yang berukuran besar (raksasa) telah mencapai umur ratusan tahun, sehingga pemulihan bagi pohon-pohon besar tersebut membutuhkan waktu yang jauh lebih lama dari masa rotasi tebangan tahun yang umum diterapkan di wilayah tropis. Pemulihan tutupan tajuk (canopy cover recovery) hutan bekas tebangan relatif cepat, dimana sangat dipengaruhi oleh proses regenerasi tahap lanjut dari tegakan tinggal atau jenis-jenis pohon pionir yang berkarakter cepat tumbuh. Di Venezuela, hutan yang telah ditebang dengan intensitas 3-7 btg/ha 6 th, pada LOA berumur 1 th mengalami penutupan tajuk sebesar 76,4% dan pada LOA 6 th sebesar 96,6% (Mason 1996 dalam Ghazoul & Hellier 2000), sedangkan

37 19 hasil pengamatan Chapman dan Chapman (1997) di Uganda menunjukkan bahwa hutan yang dipanen dengan intensitas 5-7 btg/ha, mengalami pemulihan tutupan tajuk 100% setelah 25 tahun (Ghazoul & Hellier 2000). Pada dasarnya periode pulih stok karbon tegakan tinggal sangat tergantung kepada simpanan karbon awal, riap tegakan, keanekaragaman jenis, serta intensitas tebangan dan gangguan Perlindungan Keanekaragaman Hayati di dalam REDD+ UN-REDD Programme (2010) menyatakan bahwa saat ini berkembang keyakinan bahwa cadangan karbon di hutan alam yang masih utuh dengan tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi, cenderung memiliki kelentingan (resilience) yang lebih baik terhadap perubahan iklim daripada cadangan karbon di hutan tanaman yang memiliki keanekaragaman hayati yang lebih rendah. Kelentingan dalam konteks ini berarti bahwa hutan alam dapat bertahan dari pengaruhpengaruh negatif perubahan iklim dan/atau mampu kembali ke kondisi seperti semula (recovery). Dengan demikian meningkatkan kelentingan karbon merupakan salah satu cara dimana konservasi keanekaragaman hayati dapat menguntungkan REDD+. Di dalam COP-16 tahun 2010 di Cancun, Meksiko, telah dihasilkan Kesepakatan Cancun (Cancun Agreement) dimana salah satu klausulnya adalah UNFCC (Badan PBB untuk Perubahan Iklim) meminta kepada seluruh peserta untuk mendorong, melaksanakan, dan melaporkan hasil implementasi perlindungan sosial dan lingkungan (social and environmental safeguards) dalam rangka pelaksanaan REDD+. Perlindungan (safeguards) dalam REDD+ adalah serangkaian kebijakan dan tindakan dalam pelaksanaan REDD+ yang berdampak langsung maupun tidak langsung, terhadap masyarakat dan ekosistem. Dalam batasan tentang safeguards tersebut termasuk di dalamnya aspek transparansi tata kelola, penghargaan terhadap hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal yang berpartispasi dalam kegiatan REDD+, serta berbagai aktivitas yang mengurangi resiko hilangnya keanekaragaman hayati, permanensi, dan kebocoran emisi karbon. Pada salah satu kesepakatan tentang perlindungan (safeguards) tersebut dinyatakan bahwa aksi-aksi yang dijalankan dalam REDD+

38 20 harus konsisten dengan konservasi hutan alam dan keanekaragaman hayati (Jagger et al. 2012). Paoli et al. (2010) menyatakan bahwa deforestasi dan degradasi hutan di daerah tropis merupakan sumber utama emsisi gas rumah kaca (GRK) global. Sementara itu hutan tropis mengandung lebih dari setengah jenisjenis terancam punah yang ada di dunia, sehingga upaya reduksi emisi GRK dengan jalan mengurangi deforestasi hutan tropis merupakan langkah penting dalam mewujudkan co-benefit bagi konservasi keanekaragaman hayati. Jadi selain untuk mengurangi emisi GRK sebagai tujuan utama, di dalam penerapan skema REDD+ juga akan dihasilkan beberapa manfaat sampingan (cobenefit). Mafaat sampingan tersebut berupa pengentasan kemiskinan, perbaikan jasa lingkungan termasuk perlindungan keanekaragaman hayati, dan perbaikan tata kelola hutan (forest governance) termasuk kepastian pemilikan lahan (CIFOR 2009) Biomassa, Karbon, dan Penyerapan Karbon Biomassa tumbuhan dibentuk melalui proses fotosintesis. Menurut Salisbury dan Ross (1995), fotosintesis merupakan satu-satunya mekanisme masuknya energi ke dalam dunia kehidupan. Sebagaimana reaksi oksidasi penghasil energi, yaitu tempat bergantungnya semua kehidupan, fotosintesis meliputi reaksi oksidasi dan reduksi. Proses keseluruhan terdiri dari oksidasi air (H 2 O) berupa pemindahan elektron disertai pelepasan O 2 sebagai hasil sampingan, dan reduksi CO 2 untuk membentuk senyawa organik, misalnya karbohidrat. Kloroplas atau zat hijau daun menangkap energi cahaya matahari untuk menghasilkan NADPH (nikotinamida adenin dinukleotida fosfat + H) dan ATP yang berlangsung dalam proses fotofosforilasi (reaksi terang). Kedua molekul ini selanjutnya digunakan untuk mereduksi CO 2 yang ditambat dan menghasilkan karbohidrat (CH 2 O) n. Proses pereduksian CO 2 menjadi karbohidrat ini berlangsung dalam reaksi gelap (reaksi pengikatan karbon). Karbohidrat inilah penyusun utama biomassa tumbuhan. Jumlah biomassa hutan adalah selisih positif antara laju produksi sebagai hasil proses fotosintesis dan laju konsumsi dalam proses respirasi. Perubahan kerapatan biomassa hutan umumnya disebabkan oleh suksesi alami, akitivitas

39 21 manusia seperti silvikultur, pemanenan, dan degradasi, serta dampak kebakaran hutan dan perubahan iklim (Brown 1997). Biomassa tumbuhan adalah berat kering total suatu komunitas tumbuhan, yang terdiri dari daun, cabang, batang, dan akar. Berat kering ini akan meningkat berkat adanya fiksasi karbon dari atmosfer dalam proses fotosintesis (Whitmore 1985). Brown (1997) mendefinisikan biomassa sebagai jumlah total bahan organik mahluk hidup yang berada di atas permukaan tanah yang dinyatakan dalam: berat kering-oven (ton) per satuan luas (hektar), sedangkan Hairiah dan Rahayu (2007) menyatakan bahwa biomassa adalah massa dari bagian vegetasi yang masih hidup yaitu tajuk pohon, tumbuhan bawah atau gulma, dan tanaman semusim. Biomassa hutan sangat relevan dengan isu perubahan iklim. Peranan hutan tropika dalam siklus biogeokimia global khususnya siklus karbon dan kaitannya dengan efek rumah kaca, mengakibatkan pendugaan kerapatan biomassa hutan tropika semakin penting dan dibutuhkan. Ketersediaan data biomassa hutan dapat digunakan untuk menduga kandungan karbon vegetasi hutan karena sekitar 50 % biomassa hutan adalah karbon (Brown 1997). Pada ekosistem daratan, C (karbon) tersimpan dalam tiga komponen pokok, yaitu: 1. Biomassa, yaitu massa dari bagian vegetasi yang masih hidup berupa tajuk pohon, tumbuhan bawah atau gulma, dan tanaman semusim, 2. Nekromassa, yaitu massa dari bagian pohon yang telah mati, baik yang masih tegak bediri (batang atau tanggul pohon), atau telah tumbang/tergeletak di atas permukaan tanah, tonggak atau ranting dan daun-daun gugur (serasah) yang belum melapuk, 3. Bahan organik tanah, yaitu sisa mahluk hidup (tanaman, hewan, dan manusia) yang telah mengalami pelapukan baik sebagian maupun seluruhnya dan telah menjadi bagian dari tanah. Ukuran partikel biasanya lebih kecil dari dua milimeter (Hairiah dan Rahayu 2007). Berdasarkan keberadaannya di alam, ketiga komponen C tersebut dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu: 1. Karbon di atas permukaan tanah, meliputi:

40 22 a. Biomassa pohon. Proporsi terbesar penyimpanan C di daratan umumnya terdapat pada komponen pepohonan, b. Biomassa tumbuhan bawah, yang meliputi semak belukar yang berdiameter < 5 cm, tumbuhan menjalar, rumput-rumputan dan gulma, c. Nekromassa, yaitu massa dari bagian pohon yang telah mati, d. Serasah, meliputi bagian tanaman yang telah gugur berupa daun dan ranting-ranting yang terletak di permukaan tanah. 2. Karbon di dalam tanah, meliputi: (a) Biomassa akar dan (b) Bahan organik tanah (Hairiah dan Rahayu 2007). Melalui proses fotosintesis, CO 2 di udara diserap tumbuhan dan diubah menjadi karbohidrat, kemudian disebarkan ke seluruh bagian tumbuhan dan akhirnya ditimbun dalam batang, cabang, daun, ranting, bunga, dan buah. Proses penimbunan C dalam tubuh tumbuhan disebut proses sekuestrasi atau penyimpanan karbon (C-sequestration). Dengan demikian mengukur jumlah C yang disimpan dalam tubuh tumbuhan hidup (biomassa) pada suatu lahan dapat menggambarkan banyaknya CO 2 di atmosfer yang diserap tumbuhan (Hairiah dan Rahayu 2007). Yang dimaksud dengan sekuestrasi karbon (carbon sequestration) adalah proses pengikatan CO 2 di atmosfer oleh tumbuhan berklorofil melalui fotosintesis kemudian menyimpannya dalam bentuk biomassa di berbagai bagian tumbuhan. Adapun rosot karbon (carbon sink) adalah media atau tempat penyerapan dan penyimpanan karbon dalam bentuk bahan organik, vegetasi hutan, laut, dan tanah (CIFOR 2009) Pendugaan Stok Karbon akibat Deforestasi dan Degradasi Hutan Terdapat lima gudang karbon (carbon pools) yang harus diukur untuk menduga besaran emisi dari deforestasi dan degrafdasi hutan. Kelima kantong karbon tersebut adalah: (1) biomassa di atas permukaan tanah, (2) biomassa di bawah permukaan tanah, (3) serasah, (4) kayu mati (nekromassa), dan (5) karbon organik tanah (Ravindranath & Ostwald 2008). Adapun penentuan gudang karbon mana yang akan diukur dalam rangka memantau perubahan kandungan karbon sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor (GOFC-GOLD 2009) berikut: (1) Ketersediaan sumber dana, (2) Ketersediaan data, (3) Kemudahan dalam

41 23 pengukuran, (4) Nilai potensi perubahan dalam gudang karbon, dan (5) Prinsip kehati-hatian. Metode yang paling praktis di dalam pendugaan emisi cukup hanya dengan menghitung biomassa di atas permukaan tanah. Meskipun begitu, untuk proses degradasi yang diakibatkan oleh pembalakan dan kebakaran hutan, maka gudang karbon lainnya seperti nekromassa dan serasah perlu juga diukur (IIPCC 2003 dalam Murdiyarso et al. 2008). Untuk berbagai formasi atau tipe hutan, pendugaan kepadatan biomassa hanya didasarkan kepada biomassa pohon berdiameter 10 cm sebagai batas diameter terendah yang diukur dalam kegiatan inventarisasi hutan alam (Brown 1997). Apabila pohon ditebang, maka karbon dalam kayu akan menuju ke tiga bentuk simpanan karbon baru, yaitu: kayu mati, produk-produk kayu, dan atmosfer. Dalam kaitan ini timbul beberapa kondisi seperti: 1. Pada semua kasus, deforestasi dan degradasi mengakibatkan penurunan jumlah cadangan karbon pada pohon hidup. 2. Secara alami, degradasi hutan akan diikuti proses pemulihan. Adanya tekanan dari aktivitas manusia atau perubahan lingkungan akan menghambat pertumbuhan pohon. 3. Pengurangan cadangan karbon pada pohon, akan meningkatkan jumlah kayu mati, produk-produk kayu, atau segera teremisi ke atmosfer, 4. Kayu-kayu mati selanjutnya akan mengalami pelapukan (dekomposisi) dalam rentang waktu tertentu, atau terbakar, 5. Produk-produk kayu setelah melewati rentang waktu tertentu akan melapuk, dibakar, atau menjadi rongsokan dan dikubur, 6. Ketika deforestasi terjadi, pohon-pohon akan diganti dengan vegetasi selain pohon seperti rumput-rumputan atau tanaman pertanian. Pada bentuk penggunaan lahan yang baru ini, biomassa tanaman dan karbon tanah lebih rendah, terutama bila dikonversi ke tanaman semusim (Pearson et al dalam GOFC-GOLD 2009 ). Mengkombinasikan pengukuran perubahan luas areal hutan dengan nilai kepadatan karbon dapat menduga besarnya emisi bersih dari perubahan hutan. Tingkat atau level emisi yang dilepaskan sebagai akibat dari perubahan tataguna

42 24 lahan, tidak hanya tergantung kepada tipe hutan, tetapi juga kepada perubahan yang lebih spesifik. Misalnya konversi hutan tropika menjadi areal penanaman kacang kedelai, jagung atau padi akan menghasilkan emisi 60% lebih banyak dibandingkan konversi hutan menjadi kebun sawit (Miles et al dalam Wertz-Kanounnikoff et al. 2008). Metode penghitungan GRK versi IPCC terbaru meliputi dua pendekatan untuk menduga perubahan simpanan karbon (Brown dan Braatz 2008 dalam Wertz-Kanounnikoff et al. 2008), yaitu: a. Pendekatan Perbedaan Simpanan (Stock-difference approach) Metode ini menduga perbedaan cadangan karbon di suatu gudang karbon (carbon pool) tertentu pada dua titik waktu. Pendekatan ini sangat cocok untuk memperkirakan emisi yang disebabkan baik oleh deforestasi maupun degradasi hutan, dan dapat digunakan pula untuk seluruh gudang karbon. Simpanan karbon pada tahun ke-1 (t 1 ) Simpanan karbon pada tahun ke-2 (t 2 ) ΔC = (C t 2 - C t 1 )/ (t 2 - t 1 ) keterangan : ΔC = perubahan simpanan karbon tahunan (ton C/th) ΔC t 1 = simpanan karbon pada t 1 (ton C) ΔC t 2 = simpanan karbon pada t 2 (ton C) b. Pendekatan Bertambah dan Berkurang (Gain-loss approach) Metode ini dibangun berdasarkan pemahaman terhadap ekologi hutan, yaitu bagaimana hutan tumbuh, dan bagaimana proses-proses alami dan antropogenik mengakibatkan kehilangan karbon. Metode ini menghitung penambahan biomassa sebagai riap atau MAI (mean annual increment) dikurangi kehilangan biomassa akibat berbagai aktivitas, seperti pemanenan kayu,

43 25 pembalakan, pengumpulan kayu bakar, pengembalaan ternak, dan kebakaran (Murdiyarso et al. 2008). Serap karbon via pertumbuhan Gangguan Tipe penggunaan lahan Pemanenan ΔC = ΔC gain - ΔC loss keterangan : ΔC = perubahan simpanan karbon tahunan (ton C/thn) ΔC gain = pertambahan karbon tahunan (ton C/thn) ΔC loss = pengurangan karbon tahunan (ton C/thn) Pendekatan ini digunakan untuk menduga keseimbangan bersih (net balance) antara karbon yang diserap dan karbon yang dilepaskan dalam suatu gudang karbon tertentu. Penambahan kandungan karbon (carbon gain) merupakan hasil dari proses pertumbuhan dan perpindahan karbon antar gudang, misalnya: karbon dalam gudang biomassa berpindah ke dalam gudang bahan organik mati (nekromassa) akibat adanya gangguan. Sedangkan pengurangan kandungan karbon (carbon loss) terjadi karena adanya perpindahan karbon dari suatu gudang ke gudang lainnya dan selanjutnya teremisi melalui proses pemanenan kayu, dekomposisi, dan kebakaran (Brown 2009 dalam GOFC- GOLD 2009) Metode Pendugaan Karbon Tegakan di Atas Permukaan Tanah Telah dikenal beberapa metode pendugaan simpanan karbon tegakan di atas permukaan tanah guna menghitung stok karbon tegakan dan perubahannya dalam rentang waktu tertentu. Metode tersebut adalah (Ravindranath dan Ostwald 2008):

44 26 1. Menggunakan Metode Memanen (Harvest Method) 2. Menduga Volume Pohon (Tree Volume) 3. Menggunakan Tabel Volume (Volume Tables) 4. Menggunakan Berat Pohon Rata-rata (Mean Tree Weight) 5. Menggunakan Persamaan Biomassa (Biomass Equations) 6. Menggunakan Faktor Ekspansi dan Konversi Biomassa (Biomass Conversion and Expansion Factors, BCEF). a. Persamaan Biomassa (Biomass Equations) Untuk Persamaan Biomassa telah tersedia untuk beberapa tipe hutan. Khusus untuk hutan tropika lembab (curah hujan mm/th) telah diformulasikan oleh Brown (1989; 1997) maupun Delaney, Brown, Powell (1999) seperti tersaji pada Tabel 2. Tabel 2 Persamaan Biomassa (Biomass Equations) Peneliti Persamaan Biomassa Brown (1997) a Y = 42,69-12,800 (DBH) + 1,242 (DBH) 2 Brown (1997) b Y = 0,118*D 2,53 Brown et al. (1989) c Y = 38, ,7883*DBH + 1,11926*DBH 2 Delaney et al. (1999) d Y = Exp[(-2, ,694*ln (DBH) 0,021*ln (DBH) 2 ] Keterangan: Y = biomassa kering (kg/phn), DBH = diameter setinggi dada a Brown (1997), b Rusolono (2009), c Bismarck et al. (2008), d Ravindranath and Ostwald (2008) b. Faktor Ekspansi dan Konversi Biomassa (BCEF) Menurut GOFC-GOLD (2009), formula untuk mengkonversi potensi hutan (m3/ha) menjadi biomassa di atas permukaan tanah (ton/ha) adalah: W = VOB x BCEF dimana : W = biomassa di atas permukaan tanah (ton/ha) VOB = volume over bark, volume batang (m 3 /ha) BCEF = biomass convertion and expansion factor (ton/m 3 )

45 27 BCEF adalah rasio antara bobot biomassa kering (ton/ha) dengan volume tegakan (m 3 /ha). Nilai BCEF sudah disusun dalam suatu tabel (Tabel 3) berdasarkan kisaran volume tegakan (VOB, m 3 /ha) (IPCC 2006). Tabel 3 Nilai BCEF (rata-rata dan kisaran) berdasarkan kisaran volume tegakan (VOB) (dari IPCC 2006) Tipe Hutan Hutan alam daun lebar Hutan onifer Kisaran volume tegakan (VOB, m 3 /ha) < > 200 4,0 2,8 2,1 1,7 1,5 1,3 1,0 2,5-12 1,8-3,4 1,2-2,5 1,2-2,2 1,0-1,8 0,9-1,6 0,7-1,1 1,8 1,3 1,0 0,8 0,8 0,7 0,7 1,4-2,4 1,0-1,5 0,8-1,2 0,7-1,2 0,6-1,0 0,6-09 0,6-0,9 Sumber: Ravindranath & Ostwald (2008); GOFC-GOLD (2009) Analisis Manfaat Perdagangan Karbon Hutan Implementasi REDD+ termasuk perdagangan karbon di hutan produksi, dapat berhasil apabila pendapatan dari kegiatan REDD+ lebih besar atau minimal sama dengan pendapatan yang diperoleh dari alternatif penggunaan lain (Ginoga et al. 2010). Biaya transaksi dalam pelaksanaan kegiatan karbon hutan atau perdagangan karbon terdiri dari: biaya persiapan REDD+, dan biaya operasional. Berdasarkan data dari Dephut (2009), diperoleh besaran biaya persiapan implementasi REDD+ pada tingkat nasional dan sub-nasional yaitu 32,80 USD per ha. Adapun biaya operasional diperoleh dari data proyek MRPP sebagai DAREDD (plot percontohan REDD) di Provinsi Sumatera Selatan dengan nilai sebesar 22,35 USD per ha, sehingga besarnya biaya transaksi adalah 55,15 USD per ha. (Ginoga et al. 2010). Biaya transaksi banyak dilaporkan dalam bentuk total biaya atau persentase (percent-share) dari keseluruhan budget. Biaya transaksi ini menurut (Wertz-Kanounnikoff 2008 dalam Rochmayanto 2009) meliputi biaya-biaya:

46 28 informasi dan pengadaan, desain skema dan negoisasi, implementasi, monitoring, penyelenggaraan dan perlindungan, serta verifikasi dan sertifikasi. Menurut Dutschke & Wertz-Kanounnikoff (2008), berdasarkan desain mutakhir mekanisme REDD, muncul dua macam kebutuhan pembiayaan utama, yaitu: (1) Biaya persiapan atau pembangunan kapasitas (readiness/upfront capacity building costs), dan (2) Biaya reduksi emisi berjalan (ongoing emission reduction costs). Biaya reduksi emisi berjalan ini terdiri dari: (a) Biaya perlindungan hutan (Forest protection costs), yaitu berupa biaya implementasi kebijakan dan pengukuran (costs of implementing policies and measures), dan (2) Biaya oportunitas (opportunity costs).

47 29 III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1. Sejarah Perusahaan Areal IUPHHK-HA PT Salaki Summa Sejahtera (PT SSS) merupakan ex areal IUPHHK-HA PT Tjirebon Agung seluas ± ha sesuai SK IUPHHK No. 195/Kpts/Um4/1973 dan berakhir 31 Agustus Setelah masa pengelolaan PT Tjirebon Agung selesai, PT SSS mengajukan permohonan pada areal IUPHHK tersebut seluas ± ha. Berdasarkan Surat Rekomendasi dari Bupati Kepulauan Mentawai No /392/Perek-2000 tanggal 9 November 2000, PT SSS mendapat persetujuan pencadangan areal IUPHHK seluas ± ha, serta rekomendasi dari Gubernur Sumatera Barat No /1465/Perek tanggal 20 November Dalam perkembangan terakhir, melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.136/VIII/KP-4.2.1/2001 telah dihitung ulang secara planimetris pencadangan areal seluas ± ha yang merupakan areal yang bebas dari kepemilikan perusahaan atau tidak tumpang tindih dengan perusahaan lain. Berdasarkan kajian AMDAL yang telah disahkan Gubernur Sumatera Barat, dan telah dipenuhinya seluruh kewajiban administrasi perolehan IUPHHK, diterbitkanlah SK IUPHHK melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan RI No.413/Menhut-II/04 tanggal 19 Oktober 2004 tentang Pemberian Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dalam Hutan Alam a.n. PT Salaki Summa Sejahtera di Provinsi Sumatera Barat seluas ± ha. Berkaitan dengan pemberian IUPHHK PT SSS yang terletak di Utara Pulau Siberut dan berbatasan langsung dengan kawasan konservasi Taman Nasional Siberut, Kepala Pusat Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan dan Areal Kebun, Badan Planologi Kehutanan melalui surat No. 136/VIII/KP /2001 tanggal 9 Februari 2001, menegaskan perlunya lahan seluas ha dengan lebar koridor 1 km karena belum dilakukan tata batas sebagai kawasan penyangga (buffer zone) bagi Taman Nasional Siberut. Dengan telah selesainya penataan batas bagi kawasan penyangga Taman Nasional Siberut, disusul dengan keluarnya Surat Keputusan Menteri Kehutanan RI No.654/Menhut-II/2010

48 30 tanggal 22 November 2010, maka sejak saat itu lebar koridor dikurangi menjadi 500 m dan luas areal kerja PT SSS berubah menjadi ha (PT SSS 2011) Letak dan Luas Areal keja IUPHHK-HA PT Salaki Summa Sejahtera termasuk ke dalam kelompok hutan S. Sigep S. Sikabaluan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumatera Barat. Secara geografis areal kerja PT SSS terletak antara sampai dengan LS dan antara sampai dengan BT. Berdasarkan pembagian wilayah administrasi pemeintahan, PT SSS terletak di dalam wilayah Kecamatan Siberut Utara dan Kecamatan Siberut Barat, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumatera Barat. Batas areal kerja PT SSS adalah: Sebelah Utara : Areal Penggunaan Lain (APL) dan Samudera Indonesia Sebelah Timur : Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (HPK) dan APL Sebelah Selatan : Taman Nasional Siberut, Hutan Produksi dan IUPHHK-HA Koperasi Andalas Madani Universitas Andalas, Sumatera Barat Sebelah Barat : Samudera Indonesia Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK) Kepulauan Mentawai maupun dalam revisi RTRWK Tahun 2004, lokasi areal kerja PT SSS berstatus hutan produksi tetap (HP), demikian pula status lahan di sekitarnya yaitu Taman Nasional Siberut tidak mengalami perubahan fungsi maupun batas-batas kawasan (PT SSS 2009) Topografi dan Tanah Berdasarkan deliniasi Citra Radar (DEM SRTM) dengan interval kontur 1:25.000, konfigurasi lapangan areal kerja PT SSS sangat bervariasi, mulai dari datar hingga sangat curam. Lapangan dengan topografi datar (0-8%) sebanyak

49 31 11%, landai (8-15%) 34%, agak curam (15-25%) paling luas yaitu 39%, curam (25-40%) sebanyak 14%, dan sangat curam (> 40%) hanya sedikit yaitu 2%. Jenis tanah yang paling luas di areal kerja PT SSS adalah ultisol (podsolik merah kuning) sebanyak 37%, selanjutnya jenis oxisol (latosol) 32%, dan sisanya adalah jenis aluvial sebanyak 31%. Jenis tanah ultisol tergolong peka terhadap erosi tanah. Dari segi status kesuburan tanahnya, tingkat kesuburannya bervariasi dari rendah hingga sedang (PT SSS 2009) Iklim Berdasarkan klasifikasi iklim menurut Schmidt & Ferguson atau Af-Am Koppen, areal kerja PT SSS beriklim basah (tipe A), yaitu iklim tropis dengan curah hujan tanpa bulan kering yang merata sepanjang tahun. Dari data yang diperoleh dari Stasiun Meteorologi Secincin-Padang Pariaman (data pengukuran Sikakap) diperoleh nilai Q = 2,65% dan IH (Intensitas Hujan) = 18,24 mm/hh, dengan curah hujan rata-rata sebesar 386,21 mm per bulan dengan tingkat minimum yang terjadi pada bulan Juni (269,4 mm per bulan) dan maksimum pada bulan November (478,3 mm per bulan) (PT SSS 2009) Penataan Areal Kerja Areal kerja PT SSS terdiri atas empat bagian yang dipilah-pilah sesuai fungsinya masing-masing. Keempat bagian tersebut adalah: kawasan lindung, areal tidak efektif untuk produksi, kawasan sosial, dan areal efektif untuk produksi. Pemilahan keempat bagian tersebut tersaji pada Tabel 4. Areal efektif yang luasnya ha terdiri atas hutan primer 447 ha, non-hutan ha, dan LOA ha, sehingga dengan menghilangkan non-hutan maka luas areal efektif untuk produksi adalah ha Kondisi Vegetasi Kondisi penutupan lahan pada areal kerja PT SSS dengan luas total ha terdiri dari hutan primer seluas 455 ha (0,96%), hutan bekas tebangan (LOA) ha (89,19%) dan areal tidak berhutan (NH) ha (9,86%).

50 32 Tabel 4 Penataan Areal kerja PT Salaki Summa Sejahtera Luas No. Peruntukan Areal Ha % 1. Kawasan Lindung ,52 Keterangan -Sungai dan sempadan sungai ,13 Sungai besar -Sempadan pantai 387 0,81 -Zona penyangga TN Siberut ,40 Lebar 500 m dari batas HL (sdh tatabatas) -KPPN ,00 -Lereng E (>=40%) ,18 2. Areal Tdk Efektif ,96 -Petak Ukur Permanen (PUP) 600 1,26 -Tegakan Benih 577 1,21 -Sarana prasarana 734 1,54 3. Kawasan Sosial ,02 4. Areal Efektif ( ) ,49 5. Luas Total ,00 Bukan pengurang areal efektif seluas 500 ha Sekitar 2% dari areal efektif Sumber: RKU PHHK-HA pada Hutan Produksi Berbasis IHMB periode tahun PT Salaki Summa Sejahtera (2011) Areal hutan primer berada di bagian selatan (Blok Sotboyak) dekat kawasan penyangga Taman Nasional Siberut. Areal LOA sebagian besar merupakan areal ex PT Tjirebon Agung. Berdasarkan hasil survei IHMB, potensi tegakan LOA tersebut secara umum masih cukup baik, dimana potensi tegakan LOA bagian barat (Blok Tiniti) relatif lebih tinggi dibandingkan dengan bagian timur (Blok Malancan). Formasi hutan di areal kerja PT SSS merupakan hutan hujan tropika dataran rendah (lowland tropical rain forest) yang didominasi jenis-jenis anggota suku Dipterocarpaceae terutama dari marga Dipterocarpus (keruing) dan Shorea (meranti). Oleh karena itu tipe hutan demikian biasa juga disebut sebagai Hutan Dipterokarpa Campuran (Dipterocarps mixed forest). Jenis-jenis Dipterokarpa yang dominan dan bernilai komersial tinggi antara lain: Dipterocarpus elongatus Korth. (koka), Dipterocarpus hasseltii Blume (garau, elagan), Dipterocarpus retusus Blume (mong), dan Shorea pauciflora King (katuka).

51 33 Selain ekosistem hutan hujan dataran rendah, di dalam areal PT SSS juga dijumpai ekosistem hutan rawa, ekosistem hutan mangrove, dan ekosistem muara sungai. Ekosistem hutan rawa terletak di desa Tiniti, yaitu di hulu Sungai Simabae, sedangkan ekosistem hutn mangrove berada di kawasan Tanjung Bulanbalu. Di hutan rawa air tawar ditemukan sagu (Metroxylon sagu), sebagiannya hasil budidaya masyarakat sebagai sumber pangan. Di dalam komunitas mangrove yang banyak tumbuh di sekitar muara sungai ditemukan jenis-jenis: bakau (Rhizophora apiculata, R.mucronata), tancang (Bruguiera gymnorrhiza), pedada (Sonneratia alba), nipah (Nypa fruticans), dan teruntum (Lumnitzera littorale). Jenis lainnya yang juga tumbuh di sekitar muara sungai adalah nibung (Oncosperma tigillaria), durian (Durio carinatus), dan beringin (Ficus benjamina). Keberadaan pohon durian dan beringin ini bernilai ekonomis bagi penduduk karena menyediakan nektar bagi pakan lebah madu. Selain jenisjenis tersebut, beberapa jenis pohon lainnya yang bernilai tinggi serta saat ini dimanfaatkan masyarakat, antara lain: durian toktuk (Durio carinatus), teigeilug (Baccaurea lanceolata), asam kandis (Garcinia dioica), cempedak hutan (Artocarpus sp.), rotan (Calamus sp. dan Daemonorops sp.), dan gaharu (Aquilaria malaccensis) (Fakultas Kehutanan IPB 2009) Kondisi Satwa Liar Di dalam areal PT SSS dijumpai beberapa jenis satwa liar mamalia yang tergolong langka, endemik Pulau Sibaerut, terancam punah atau hampir punah berdasarkan kriteria IUCN serta telah dilindungi undang-undang Pemerintah RI dan masuk di dalam Appendix (CITES). Jenis-jenis satwa liar mamalia penting beserta statusnya adalah: 1. Hylobates klossii (Miller, 1903) atau Bilou dengan status Vulnerable (IUCN), Appendix I (CITES), dilindungi (PP No.7/1999) dan endemik P.Siberut; 2. Macaca pagensis (Miller, 1903) atau Bokoi dengan status Critical Endangered (IUCN), Appendix II (CITES), dilindungi (PP No.7/1999) dan endemik P.Siberut;

52 34 3. Presbytis potenziani (Bonaparte, 1856) atau Joja dengan status Vulnerable (IUCN), Appendix I (CITES), dilindungi (PP No.7/1999) dan endemik P.Siberut; 4. Nasalis concolor (Miller, 1903) atau Simias concolor atau Simakobu dengan status Endangred (IUCN), Appendix I (CITES), dilindungi (PP No.7/1999) dan endemik P.Siberut (Fakultas Kehutanan IPB 2009) Potensi Tegakan Berdasarkan data hasil IHMB Tahun 2010, kerapatan rata-rata per hektar untuk seluruh jenis pohon berdiamater 10 cm ke atas adalah 375,22 btg/ha dimana sebanyak 31,27% di antaranya adalah dari kelompok meranti. Kerapatan pohon per kelas diameter dapat dilihat pada Tabel 5. Pada tabel tersebut dapat diketahui bahwa potensi rata-rata per hektar pohon berdiameter 10 cm ke atas adalah 216,33 m 3 /ha dengan potensi tertinggi terdapat pada kelas diameter 50 cm ke atas yaitu 128,11 m 3 /ha dengan volume rata-rata per pohon sebesar 5,52 m3/pohon, sedangkan pada kelas diameter 60 cm ke atas potensinya 106,90 m3/ha dengan volume rata-rata per pohon 7,25 m 3 /pohon. Tabel 5 Kerapatan rata-rata per hektar beserta potensinya hasil IHMB 2010 Jenis pohon Kelas diameter 10-20cm 20-30cm 30-40cm 40-50cm 60 up 50 up N (btg/ha) N (btg/ha) N(btg/ha) N(btg/ha) N(btg/ha) N(btg/ha) Jumlah Meranti Rimba Camp Kayu Indah Kayu Dilindungi Jumlah (btg/ha) Potensi (m3/ha) Vol/phn (m3/ph) Sumber: RKU PHHK-HA pada Hutan Produksi Berbasis IHMB periode tahun PT Salaki Summa Sejahtera (2011)

53 Sosial Ekonomi Kependudukan Penduduk asli masyarakat yang tinggal di sekitar areal kerja PT SSS adalah orang Mentawai dengan tingkat kepadatan yang masih sangat rendah. Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2010, penduduk Kecamatan Siberut Barat hanya berjumlah orang yang menempati wilayah seluas 1.124,86 km2 sehingga tingkat kepadatannya hanya 6 jiwa/km 2. Adapun Kecamatan Siberut Utara dengan luas wilayah 816,11 km 2 berpenduduk sebanyak orang sehingga tingkat kepadatannya 10 jiwa/km 2. Tingginya populasi penduduk di Kecamatan Siberut Utara terkait dengan laju kenaikan jumlah penduduk yang relatif tinggi yaitu 3% per tahun, sedangkan di Kecamatan Siberut Barat hanya 1% per tahun, sementara untuk tingkat Kabupaten Kepulauan Mentawai laju pertambahan penduduknya sebesar 2,32% per tahun (Badan Pusat Statistik Kepulauan Mentawai 2010). Adapun untuk tingkat desa di Kecamatan Siberut Utara, jumlah penduduk terbanyak berada di desa Sigapokna yakni jiwa dengan tingkat kepadatan 7,81 jiwa/km 2, sementara jumlah penduduk paling sedikit terdapat di desa Simalegi yaitu jiwa dengan tingkat kepadatan hanya 3,09 jiwa/km 2. Jika didasarkan wilayah administratif desa-desa yang terintegrasi langsung dengan kegiatan PT SSS, angkatan kerja terbanyak berdomisili di desa Malancan (735 jiwa), sedangkan angkatan kerja paling sedikit berdomisili di desa Sotboyak (227 jiwa) (PT SSS 2009) Mata Pencaharian Sebanyak 85% penduduk bermatapenaharian di bidang pertanian. Komoditas pertanian yang umumnya dibudidayakan adalah padi dan sagu sebagai sumber pangan pokok, juga pisang, keladi (talas), kelapa, dan buah-buahan. Sekarang mulai dikembangkan pula tanaman cengkeh, pala, dan nilam. Mereka juga memiliki pekerjaan sampingan seperti mencari ikan di laut atau mencari hasil huta non-kayu semisal rotan atau gaharu. Namun beberapa tahun belakangan ini kegiatan mencari hasil hutan non-kayu sudah jauh berkurang (PT SSS 2009).

54 36 IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Kerangka Pemikiran Penelitian ini dilakukan dalam empat langkah, yaitu penyusunan skenario pemanfaatan kayu, pendugaan stok karbon dan kredit karbon, analisis ekonomi perdagangan karbon, dan pendugaan periode pulih stok karbon tegakan tinggal. Langkah pertama adalah menyusun tujuh skenario yang terdiri dari satu buah skenario baseline dan enam buah skenario pemanfaatan kayu dengan menerapkan praktik-praktik PHL. Praktik-praktik PHL yang dimaksud adalah memperpanjang rotasi tebangan, menaikkan batas diameter tebangan, mengurangi JPT, mencegah gangguan petambahan hutan, dan menggunakan teknik pembalakan ramah lingkungan (RIL). Keenam skenario tersebut disebut skenario PHL. Sebagai pembandingnya adalah skenario baseline dengan intensitas tebangan tertinggi (siklus tebang 30 tahun dan limit diameter tebang 40 cm) yang masih menerapkan teknik pembalakan konvensional (conventional logging atau CL), dan mendapat gangguan perambahan hutan, sehingga skenario baseline disebut juga skenario non-phl (Tabel 6). Langkah kedua adalah menduga kandungan karbon di atas permukaan tanah pada akhir proyek dan menghitung jumlah kredit karbon yang dihasilkan. Pada langkah kedua ini digunakan berbagai data sekunder yang relevan. Langkah ketiga adalah analisis ekonomi perdagangan karbon untuk mengetahui kelayakan perdagangan karbon. Pada langkah ini akan diketahui skenario PHL yang akan memberikan keuntungan finansial total terbesar dari hasil pemanfaatan kayu dan penjualan karbon. Terkait dengan analisis kelayakan proyek, maka dilakukan juga analisis sensitivitas untuk melihat pengaruh perubahan satuan biaya terhadap keuntungan yang akan diperoleh. Langkah berikutnya yang berhubungan dengan implementasi PHL adalah pendugaan durasi periode pulih stok karbon pada tegakan LOA. Dari keenam skenario PHL yang dibuat, akan diketahui skenario mana yang memiliki durasi periode pulih stok karbon tegakan LOA yang sama atau lebih singkat dari siklus tebangannya.

55 37 Pendugaan kandungan karbon tegakan di atas permukaan tanah menggunakan metode gain-loss (bertambah-berkurang), sesuai rekomendasi IPCC (2006). Aktivitas unit manajemen (UM) PT SSS yang bersifat meningkatkan stok karbon (gain) adalah berupa penanaman pengayaan (enrichment planting) serta rehabilitasi lahan kosong bekas TPn dan di kanan-kiri jalan (jalan utama dan jalan cabang). Peningkatan stok karbon juga dapat berasal dari nekromassa berkayu dan pertumbuhan kembali (regrowth) tegakan bekas tebangan (LOA) dalam hal ini berupa riap volume tegakan (m 3 /ha/th). Adapun hal-hal yang bersifat mengurangi stok karbon tegakan (loss) adalah kegiatan pemanenan kayu (logging), kerusakan berat (fatal damage) pada tegakan tinggal akibat pembalakan, penebangan pohon saat melakukan pembukaan wilayah hutan (PWH), dan deforestasi akibat perambahan hutan oleh masyarakat untuk dijadikan ladang atau kebun. Potensi atau volume tegakan termasuk kerapatan setiap kelas diameter menggunakan data hasil inventarisasi hutan menyeluruh berkala (IHMB) PT SSS tahun Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dibatasi hanya pada areal efektif untuk produksi seluas ha dimana kegiatan penebangan pohon berlangsung. Jangka waktu implementasi kegiatan karbon hutan ditetapkan selama 30 tahun. Komponen kegiatan pengusahaan hutan yang dikaji adalah yang terkait dengan perubahan stok karbon tegakan seperti: pemanenan kayu yang meliputi penebangan pohon dan penyaradan kayu, pembukaan wilayah hutan (PWH), penerapan RIL, penanaman pengayaan dan rehabilitasi, dan kegiatan perambahan hutan oleh penduduk sekitar hutan yang berpotensi sebagai sumber deforestasi. Data dasar berupa potensi hutan sebelum ditebang berasal dari hasil IHMB PT SSS tahun 2010, adapun pendugaan perubahan stok karbon akibat berbagai kegiatan seperti yang telah disebutkan, menggunakan data skunder dan beberapa asumsi. Pendugaan potensi perambahan hutan didekati dari aspek kependudukan dan kebutuhan lahan untuk berladang.

56 Lokasi dan Waktu Penelitian Bahan yang menjadi obyek penelitian adalah areal efektif untuk produski PT Salaki Summa Sejahtera (PT SSS) seluas ha yang berlokasi di Pulau Siberut, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumatera Barat. Secara geografis IUPHHK-HA ini terletak pada LS dan BT. Pengumpulan data primer dalam analisis vegetasi guna mengkaji berbagai parameter vegetasi hutan serta pencatatan data potensi nekromassa berkayu, dilakukan di beberapa petak yang mewakili tahun tebang, yakni areal hutan belum ditebang (areal Kebun Bibit, petak 158), LOA th 2011 (petak 264), LOA th 2010 (petak 240), LOA th 2009 (petak 157), dan LOA th 2008 (prtak 107). Pengumpulan data primer dan data sekunder di dalam areal PT SSS berlangsung pada tanggal 1-28 November 2011, sedangkan analisis data dilakukan pada bulan Desember 2011-Maret Skenario Pemanfaatan Kayu Di dalam kajian ini ditetapkan enam macam skenario PHL yang diasumsikan telah menerapkan beberapa praktik PHL seperti memperpanjang siklus tebangan, menaikkan batas DBH tebangan, mengurangi JPT, dan menerapkan RIL; serta satu skenario non-phl sebagai skenario baseline yang berfungsi sebagai garis dasar guna mengetahui jumlah kredit karbon yang diperoleh. Mengurangi JPT sebesar 25% seperti pada skenario-3 mengacu kepada voluntary carbon standard (VCS). Aktivitas dalam pelaksanaan kegiatan karbon hutan yang memberikan manfaat haruslah menghasilkan additionality. Additionality berupa kredit karbon (hasil reduksi emisi atau peningkatan stok karbon) sebagai selisih antara tanpa dan dengan proyek REDD+ (Angelsen 2009). Ketujuh skenario tersebut dapat dilihat pada Tabel 6. Skenario baseline dengan siklus tebang 30 th dengan limit diameter tebangan terkecil 40 cm berdasarkan Permenhut No. P.11/2009. Volume tegakan hutan sebelum di tebang (ABD) pada DBH cm diambil dari data hasil IHMB Dari data IHMB juga diketahui volume tegakan masak tebang (DBH 50 cm). Intensitas tebangan (m 3 /ha) ditetapkan sebesar 56% dari volume

57 39 tegakan masak tebang. Jumlah pohon per ha yang ditebang diketahui dari intensitas tebangan dibagi volume rata-rata pohon masak tebang. Volume pohon masak tebang rata-rata sebesar 7,25 m 3 /pohon. JPT luas dihitung berdasarkan luas areal efektif untuk produksi (seluas ha) dibagi siklus tebangnya (30 th atau 35 th). Skenario Tabel 6 Skenario pemanfaatan kayu Siklus tebang (th) Batas DBH (cm) Teknik pemba lakan % JPT Intensitas tebang (m 3 /ha) Pohon/ha yang ditebang JPT luas (ha/th) JPT vol. (m 3 /th) Baseline CL ,21 11, RIL ,74 9, RIL ,86 8, RIL 75 61,66 8, RIL ,21 11, RIL ,74 9, RIL ,86 8, Pengumpulan dan Analisis Data Sumber Data Pendugaan stok karbon berbagai komponen yang akan dimasukkan dalam metode gain-loss akan menggunakan data primer dan sejumlah data sekunder yang relevan. Begitu juga di dalam melakukan analisis finansial perdagangan karbon dalam rangka implementasi kegiatan karbon hutan, selain data sekunder, juga beberapa asumsi dan standar harga akan digunakan (Tabel 7). Tabel 7 Jenis dan sumber data yang digunakan dalam analisis No. Jenis data Parameter Sumber data A Data primer: 1 Nekromassa berkayu dan nama pohon Tinggi/panjang dan diameter pohon/kayu mati (d 10 cm) Petak ukur 1 ha berupa jalur berpetak (20mx500m) 2 Kondisi ekologi tegakan belum ditebang (ABD) & tegakan LOA Beberapa indeks: INP, H, IS, E, R 1, dan C Petak ukur 1 ha berupa jalur berpetak (20mx500m)

58 40 Tabel 7 (lanjutan) No. Jenis data Parameter Sumber data B Data sekunder: 1 Potensi tegakan sebelum ditebang 2 Regrowth tegakan tinggal PT SSS. Kerapatan (btg/ha), potensi (m3/ha) per kelas DBH Riap volume (m3/ha/th) tegakan LOA Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala (IHMB) PT SSS th.2010 di dalam Buku RKU PT SSS Tabel risalah hasil 2 kali pengukuran PUP PT SSS (th 2010 dan 2011) Tingkat kerusakan tegakan tinggal akibat pemanenan. 3 Tingkat kerusakan tegakan tinggal akibat pemanenan dengan RIL Persentase tegakan tinggal yang rusak berat akibat penebangan dan penyaradan. Jumlah pohon yang rusak sebanyak 0.5 kali akibat penggunaan CL 4 Limbah tebangan Jumlah limbah di petak tebangan (m3/ha atau m3/ph) Indriyati (2010) untuk dbh pohon 20 cm di PT SSS Elias (2001) untuk dbh cm (Kaltim) Pinard & Putz (1996) Partiani (2010) di PT SSS 5 Tegakan yang ditebang saat PWH -Panjang/luas jl. utama, jl. cabang, dan TPn yang dibuka -Jumlah pohon yang ditebang Buku Laporan Realisasi RKT PT SSS Th 2008, 2009, dan Tingkat lapuk kayu Kerapatan kayu lapuk Manuri et al di Proyek REDD Merang, Jambi 7 Profil penduduk masyarakat sekitar PT SSS 8 Pertumbuhan tanaman pengayaan (Shorea selanica) Jumlah jiwa per kecamatan (Kec.Siberut Barat dan Kec.Siberut Utara), laju pertambahan penduduk/th, jumlah jiwa/keluarga, luas kebutuhan lahan, program kelola sosial PT SSS -Pertumbuhan diameter dan tinggi S.selanica -BJ kayu S.selanica Laporan Hasil Sensus penduduk Kep. Mentawai 2010 Laporan Kelola Sosial PT SSS Buku RKU PT SSS Istomo et al. (1999) Martawijaya et al. (1981)

59 41 Tabel 7 (lanjutan ) No. Jenis data Parameter Sumber data 9 Pertumbuhan tanaman rehabilitasi (sengon) 10 Bobot biomassa tegakan 11 Bobot karbon dalam biomassa kayu Kelayakan usaha proyek perdagangan karbon Pertumbuhan diameter dan tinggi sengon, BJ kayu sengon, Persamaan alometrik sengon Faktor konversi volume tegakan (m3/ha) menjadi biomassa tegakan (ton/ha) Faktor konversi dari biomassa menjadi karbon Riyanto & Pamungkas (2010), Siringoringo & Siregar 2006, Martawijaya et al. (1989) Biomass conversion and expansion factor (BCEF) (IPCC 2006 dalam GOFC-GOLD 2009) IPCC 2006, Manuri et al. 2011, NPV dan BCR Gittinger Harga karbon Harga per tco 2 e (USD) Proyek Ulu Masen Aceh, Sasaki (2010) 13 Biaya transaksi proyek karbon dan biaya persiapannya Satuan-satuan biaya (per kegiatan, per ha) Lampiran Permenhut No.P.36/2009, Ginoga et al. (2010) Analisis Vegetasi Kegiatan analisis vegetasi dilakukan terhadap komunitas hutan pada areal yang belum ditebang (ABD) yang merupakan hutan sekunder tua, dan hutan bekas tebangan (LOA) tahun tebang 2011, 2010, 2009, dan Luas petak contoh penelitian (PCP) pada setiap lokasi masing-masing 1 ha yang berbentuk jalur berpetak berukuran 20 m x 500 m. PCP ini selanjutnya dibagi-bagi lagi ke dalam petak-petak ukur (PU) yang berukuran lebih kecil, yakni 20 m x 25 m, 10 m x 10 m, 5 m x 5 m, dan 2 m x 2 m (Gambar 3). Data tegakan hutan dikelompokkan ke dalam empat strata, yaitu tingkat pohon (diameter setinggi dada/dbh 20 cm), tiang (dbh 10 19,9 cm), pancang (dbh 2-9,9 cm), dan semai (dbh < 2 cm, tinggi < 1,5 m). Di dalam PU 20 m x 25 m dan PU 10 m x 10 m (tingkat pohon dan tingkat tiang) dicatat nama jenis, dan diameter setinggi dada (dbh) atau kelilingnya (cm). Adapun di dalam PU 5 m x 5

60 42 m (tingkat pancang) dan PU 2 m x 2 m (tingkat semai) dicatat nama jenis dan jumlahnya saja. Parameter vegetasi yang diukur adalah: Jumlah spesies tumbuhan (S), Indeks Nilai Penting (INP), Indeks Keanekaragaman Jenis (Species diversity atau Heteroginity, H ), Indeks Kekayaan Jenis Margalef (Richness, R 1 ), Indeks Kemerataan Jenis Pielou (Evenness, E), Indeks Dominansi (C), dan Indeks Kesamaan Komunitas (Index of Similarity, IS). a. Indeks Nilai Penting (INP) Indeks Nilai Penting merupakan jumlah dari kerapatan relatif (KR), frekuensi relatif (FR), dan dominasi relatif (DR) (Colinvaux 1986, Soerianegara dan Indrawan 2005). Nilai-nilai K, F, D, dan INP, dapat menggambarkan struktur horizontal hutan alam tropika. Kerapatan suatu jenis (K) = Jumlah individu suatu jenis btg/ha Luas petak contoh Kerapatan Relatif (KR) = Kerapatan suatu jenis x 100% Kerapatan seluruh jenis Frekuensi suatu jenis (F) = Jumlah petak ditemukan suatu jenis Jumlah seluruh petak Frekuensi Relatif (FR) = Frekuensi suatu jenis x 100% Frekuensi seluruh jenis Dominasi suatu jenis (D) = Luas bidang dasar suatu jenis cm 2 /ha Luas petak contoh Dominasi Relatif (DR) = Dominasi suatu jenis x 100% Dominasi seluruh jenis Indeks Nilai Penting (INP) = Strata Semai atau Pancang, INP = KR + FR (%)... (1) Strata Tiang atau Pohon, INP = KR + FR + DR (%)... (2)

61 43 Rintisan Jalur berpetak 20 m x 500 m PU 20 m x 25 m 20 m 15 m 25 m a b d c 10 m Keterangan: Petak a (20 m x 25 m) = PU tingkat pohon (dbh 20 cm) & nekromassa berkayu Petak b (10 m x 10 m) = PU tingkat tiang (10 cm dbh < 20 cm) Petak c ( 5 m x 5 m) = PU tingkat pancang (2 cm dbh < 10 cm) Petak d ( 2 m x 2 m) = PU tingkat semai (tinggi < 1,5 m, d < 2 cm) Gambar 2 Bentuk dan Ukuran Petak Contoh Penelitian (PCP) dan Petak Ukur (PU) b. Indeks Keanekaragaman Jenis (H ) H dihitung menggunakan pendekatan Indeks Shannon-Wiener (Krebs 1972 dalam Moore & Chapman 1986) : s H = - Σ ( pi. ln pi), pi = ni... (3) i=1 N

62 44 keterangan: ni = jumlah individu jenis ke-i N = jumlah individu seluruh jenis S = jumlah jenis Kriteria tingkat keanekaragaman jenis adalah: tergolong tinggi bila H > 3,5, sedang bila H = 1,5 3,5 dan rendah bila H < 1,5 (Magurran 1988 dalam Wahyudi 2011). c. Indeks Kekayaan Jenis Margallef (R 1 ) R 1 dapat menggambarkan kelimpahan jenis dalam suatu komunitas tumbuhan yang dihitung melalui persamaan :. R1 = S 1... (4) ln N keterangan : S = jumlah jenis; N = jumlah total individu d. Indeks Kemeratan Jenis Pielou (E) E menggambarkan tingkat kemerataan jumlah individu dalam setiap jenis, yang ditentukan melalui persamaan: E = H... (5) ln S keterangan: H = Indeks Keanekaragaman Jenis; S = jumlah jenis e. Indeks Dominansi Jenis (C) Indeks Dominansi digunakan untuk menentukan dominansi jenis di dalam komunitas sehingga dapat diketahui dimana dominansi dipusatkan. Indeks Dominansi dihitung menggunakan persamaan (Odum 1996): C = (ni/n) 2... (6) keterangan: C = Indeks Dominansi ni = jumlah individu jenis ke-i N = jumlah individu seluruh jenis

63 45 f. Indek Kesamaan Komunitas (IS) Untuk mengetahui tingkat kesamaan komunitas antara hutan belum ditebang (ABD) dan hutan bekas tebangan (LOA), digunakan pendekatan rumus berikut (Odum 1996, Soerianegara & Indrawan 2005): IS = 2 w x 100%... (7) a + b keterangan : IS = Indek Kesamaan Komunitas (Index of Similarity) w = Jumlah nilai yang sama dan nilai trendah dari jenis-jenis yang terdapat pada dua komunitas yang dibandingkan a = Jumlah nilai kuantitatif semua jenis pada komunitas pertama b = Jumlah nilai kuantitatif semua jenis pada komunitas kedua Makin tinggi nilai IS, makin tinggi tingkat kesamaan kedua komunitas tumbuhan yang dibandingkan. Kriteria dalam penentuan sama tidaknya dua komunitas yang dibandingkan adalah bila IS 75% dua komunitas dianggap sama, IS = 50-75% dinilai mirip, dan apabila IS 50% dianggap tidak sama Nekromassa Berkayu Data nekromassa berkayu dikumpulkan bersamaan dengan pelaksanaan analisis vegetasi yaitu di dalam PU 20 m x 500 m. Nekromassa berkayu adalah batang pohon yang sudah mati akibat dari pembalakan (penebangan dan penyaradan) baik berupa tunggak, pohon mati yang masih berdiri, maupun yang sudah rebah di atas permukaan tanah. Nekromassa berkayu yang dicatat, bila masih berdiri memiliki dbh 10 cm dan bila sudah roboh beridameter 10 cm di bagian pangkal dan panjang 0,5 meter. Pendugaan biomasaa atau bobot kering nekromassa berkayu menggunakan rumus: B nk = Π ρ H D 2 k... (8) keterangan: B nk H D = bobot kering nekromassa berkayu (kg) = panjang atau tinggi nekromassa berkayu (cm) = diameter nekromassa berkayu (cm)

64 46 ρ = BJ kayu. Digunakan BJ kayu yang melapuk sedang = 0,453 (Manuri et al. 2011) K = angka bentuk pohon (0,8) Laju dekomposisi nekromassa berkayu merupakan fungsi eksponensial sederhana yang dibangun dari nilai biomassa pohon mati dan koefisien dekomposisi (GOFC-GOLD 2009). Persamaan laju dekomposisi nekromassa berkayu adalah: Xt = Xo e kt... (9) keterangan : Xt = bobot nekromassa berkayu pada tahun ke-t Xo = bobot awal nekromassa berkayu k = koefisien dekomposisi (0,50) e = nilai logaritma dasar (2,7183) t = waktu (tahun) Dalam menghitung penurunan bobot nekromassa berkayu menurut waktu (akibat mengalami pelapukan), nekromassa berkayu dibagi dua kelompok, yaitu A merupakan volume nekromassa berkayu dari plot ABD, dan B merupakan gabungan nekromassa berkayu dari pohon-pohon yang rusak berat dan limbah tebangan. Dengan demikian pendugaan volume nekromassa berkayu pada tahun proyek ke-t mengikuti persamaan berikut : t N t = L [(n A t ) + (B t )]... (10) 1 keterangan: N t = volume nekromassa berkayu pada tahun proyek ke-t L = luas tebangan per tahun (ha) n = rotasi tebang (th) t = tahun proyek ke-t A = bobot nekromassa berkayu dari plot ABD B = bobot nekromassa berkayu dari pohon yang rusak berat dan limbah tebangan Laju Deforestasi Deforestasi adalah luas hutan per tahun yang dibuka oleh masyarakat untuk berkebun atau berladang dalam jangka waktu yang lama. Laju deforestasi sangat terkait dengan laju pertambahan penduduk desa-desa atau kecamatan di sekitar UM, jumlah jiwa per keluarga, jumlah penduduk yang bermata

65 47 pencaharian di bidang pertanian, kebutuhan lahan untuk bertani per keluarga, dan program Kelola Sosial PT SSS. Proyeksi jumlah penduduk pada tahun tertentu dapat diduga melalui persamaan (Rusli 1983): P t = P 0 ( 1 + r ) t (11) keterangan : P t = jumlah penduduk pada tahun ke-t P 0 = jumlah penduduk awal (tahun ke-0) r = laju pertumbuhan penduduk (%/th) t = jangka waktu (th) Untuk menentukan laju deforestasi ini, digunakan beberapa asumsi yaitu: a. Sebanyak 75% dari jumlah petani baru mencari lahan garapan ke dalam hutan PT SSS dan sebanyak 50% dari luas lahan garapan baru tersebut berada di dalam kawasan produksi. b. Jumlah jiwa per keluarga konstan sebanyak 5 orang Kerusakan Tegakan Tinggal akibat Pembalakan Tingkat kerusakan tegakan tinggal akibat pembalakan mengacu kepada Indriyati (2010) yang melakukan kajian di PT SSS. Data yang dipakai adalah tegakan yang mengalami kerusakan kategori berat, karena tegakan demikian akan mengalami kematian dan menjadi sumber nekromassa yang baru. Sumber kerusakan ada dua macam, yaitu kegiatan penebangan dan penyaradan. Tingkat kerusakan berat akibat penebangan menurut Indriyati (2010) sebesar 67,74% pada intensitas tebangan 7,2 phn/ha. Sedangkan akibat penyaradan pada intensitas tebangan yang sama, tingkat kerusakan berat diasumsikan sebesar 60%. Adapun tingkat kerusakan pada strata tiang mengacu kepada Elias et al. (1997) dengan asumsi 70% mengalami rusak berat. Prediksi jumlah pohon yang rusak berat akibat penebangan dan penyaradan sangat terkait dengan intensitas tebangan pada setiap skenario serta teknik pembalakan yang digunakan. Penerapan RIL pada skenario-5 diasumsikan akan mengurangi kerusakan tegakan tinggal sebanyak 50% dibandingkan dengan skenario lain yang memakai CL.

66 Jumlah Tebangan dalam Kegiatan PWH Untuk menduga jumlah tebangan saat PWH berlangsung, terlebih dahulu ditentukan luas rata-rata hutan yang dibuka untuk kegiatan PWH berdasarkan realisasi pada RKT 2008, 2009, dan 2010 yang lalu. Dalam PWH, infrastruktur yang dibuat untuk menunjang kegiatan pemanenan kayu adalah jalan utama, jalan cabang, jalan sarad, dan TPn. Persentase luas rata-rata yang dibuka untuk PWH pada RKT yang lalu tersebut digunakan untuk menghitung luas hutan yang dipakai untuk PWH selama proyek. Luas hutan yang dibuka untuk PWH pada RKT yang lalu tidak berkorelasi dengan intensitas tebangan. Berdasarkan hal ini dapat dihitung jumlah pohon yang ditebang ketika PWH berlangsung pada setiap skenario Limbah Tebangan Volume limbah tebangan yang dihasilkan dalam kegiatan pemanenan kayu merujuk kepada Partiani (2010) yang telah melakukan kajian di areal PT SSS. Dalam kaitan ini diasumsikan bahwa seluruh limbah tebangan dihasilkan dan ditinggalkan di petak tebangan, dan tidak ada limbah tebangan yang ditemukan di TPn atau TPK Stok Karbon Tanaman Pengayaan Kegiatan penanaman pengayaan berlokasi di tepi kiri-kanan bekas jalan sarad dengan jarak tanam 5 m. Untuk itu, guna mengetahui jumlah tanaman pengayaan, terlebih dahulu harus dihitung rata-rata panjang jalan sarad per hektar yang telah dibuat pada RKT 2008, 2009, dan 2010 yang lalu. Pendugaan simpanan karbon tanaman pengayaan (enrichment planting) menggunakan data pertumbuhan Shorea selanica Bl. (meranti merah) yang sementara ini paling banyak ditanam oleh UM PT SSS. Data pertumbuhan tanaman S.selanica mengacu kepada Istomo et al. (1999). Data diameter tergambar dalam persamaan garis Y = X 1,13 (R 2 = 0,997) dimana X adalah umur tanaman dan Y diameter setinggi dada. Sedangkan data tinggi diketahui dari persamaan garis Y = 0,4808 X 1,22 (R 2 = 0,995) dimana

67 49 X adalah umur dan Y adalah tinggi tanaman S.selanica. BJ kayu S.selanica sebesar 0,46 (Martawijaya et al. 1981) dan diasumsikan jumlah tanaman yang tumbuh sebanyak 60% Stok Karbon Tanaman Rehabilitasi Di dalam kegiatan rehabilitasi yang sudah dilakukan, digunakan beberapa jenis cepat tumbuh (fast growing species) dan suka cahaya (intolerant), seperti gmelina (Gmelina arborea Roxb.), sungkai (Peronema canescens Jack), dan sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen). Untuk keperluan prediksi simpanan karbon tanaman rehabilitasi di akhir proyek, akan diwakili oleh jenis sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) mengingat pertumbuhannya tergolong baik. Penanaman rehabilitasi akan dilakukan di tepi jalan utama (JU), jalan cabang (JC), dan lahan kosong bekas TPn. Persentase luas hutan yang dibuka untuk pembuatan JU, JC, TPn mengacu pada realisasi PWH pada RKT sebelumnya. Jarak tanam yang dipakai sesuai yang telah diterapkan UM. Kayu sengon memiliki BJ 0,33 (Martawijaya et al. 1989) dan diasumsikan persen tumbuh tanaman sebesar 60 %. Perkembangan diameter sengon hingga akhir proyek (umur tanaman 27 th) diprediksi dengan membuat garis regresi berdasarkan data pertumbuhan sengon hingga berumur 8 th dari Riyanto dan Pamungkas (2010). Untuk menduga nilai biomassanya digunakan persamaan alometrik biomassa sengon : Y = 0,1126*D 2,3445 (Siringoringo & Siregar 2006). Pada umur 10 tahun sengon akan ditebang untuk kemudian lahan yang sudah kosong tersebut ditanami kembali dengan sengon Perkembangan Potensi Tegakan dan Stok Karbon Pada tahun sebelum proyek berjalan (t 0 ), volume tegakan (Vt 0 ) diduga dengan mengalikan volume tegakan per hektar (data IHMB 2010) dengan luas areal produksi ( ha). Pada tahun pertama (t 1 ) sebagai awal proyek berjalan, mulai dilakukan penebangan pada RKT 1. Sejak tahun pertama inilah hingga tahun ke-30 terjadi dinamika atau perubahan stok karbon berdasarkan pendekatan gain-loss (bertambah-berkurang) (Gambar 4). Faktor pengurang potensi tegakan adalah: kegiatan pemanenan, kerusakan tegakan tinggal akibat pembalakan,

68 50 limbah tebangan, tebangan saat PWH, dan deforestasi. Sedangkan faktor penambah potensi tegakan adalah: penanaman pengayaan, rehabilitasi lahan kosong bekas TPn dan di kanan-kiri jalan, nekromassa berkayu, dan riap volume tegakan. Pada tahun pertama (t 1 ) setelah dilakukan penebangan, volume tegakan LOA (Vt 1 ) pada RKT-1 dapat dihitung dengan rumus : Vt 1 = (Vt 0 P - K - T - D) x L (12) keterangan : Vt 1 = volume tegakan LOA th-1 (m 3 ) Vt 0 = volume tegakan awal (IHMB) (m 3 /ha) P = volume kayu yang dipanen (m 3 /ha) K = volume kayu rusak berat akibat pembalakan (m 3 /ha) T = volume tebangan saat PWH (m 3 /ha) D = volume kayu yang hilang akibat deforestasi (m 3 /ha) L = luas JPT (ha/th) Dengan menggunakan program Microsoft Office Excel 2007, Vt 1 dari setiap RKT kemudian diolah dengan menambahkan riap volume (R 2 ) setiap tahunnya, sedangkan areal pada RKT yang belum mendapat giliran ditebang ditambah riap volume (R 1 ) per tahun. R 2 adalah riap tegakan LOA hasil pengukuran pada PUP (tahun 2010 dan 2011), sedangkan R 1 adalah riap ABD yang nilainya sesuai rekomendasi dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Kementerian Kehutanan RI. Nilai R 1 untuk wilayah Sumatera adalah 1,7 m 3 /ha/th. Untuk menghitung perubahan atau perkembangan volume tegakan pada setiap tahunnya, dari tahun pertama (t 1 ) hingga tahun terakhir proyek (t 30 ) digunakan persamaan (13), yang selanjutnya dikonversi ke stok karbon tegakan. t-1 Vt = (n t) (L (V 0 + t.r 1 ) + L (t.v 1 + t i.(r 2 )).... (13) i=1 keterangan : Vt = volume tegakan pada tahun ke-t proyek n = rotasi tebang (th) t = tahun ke-t proyek (t=1, 2,,30) L = luas tebangan tahunan (JPT luas, ha) V 0 = volume tegakan di awal proyek (IHMB) V 1 = volume tegakan LOA R 1 = riap volume ABD (1,7 m 3 /ha/th) R 2 = riap volume LOA (4,2 m 3 /ha/th)

69 51 Loss (-): Penebangan, Kerusakan tegakan tinggal, Tebangan PWH, Deforestasi Gain (+): Riap volume, Pengayaan, Rehabilitasi, Nekromassa C t C t +1 = C t + (C gain -C loss ) Δt Gambar 3 Metode gain-loss dalam perhitungan perubahan simpanan karbon (Murdiyarso et al. 2008, Rusolono & Tiryana 2011) Pendugaan Kandungan Karbon Tegakan Kandungan karbon tegakan diprediksi melalui beberapa tahapan, yaitu : a. Volume tegakan awal mulai DBH 10 cm (pada t 0, sebelum proyek berjalan) diketahui dari hasil IHMB (m 3 /ha) b. Bobot biomassa tegakan ditentukan dengan menggunakan Faktor Ekspansi dan Konversi Biomassa (biomass convertion and expansion factor, BCEF). c. Jumlah simpanan karbon tegakan di atas permukaan dihitung dengan rumus : C = W x 0,47 (IPCC 2006, Manuri et al. 2011) dan selanjutnya dikonversi menjadi CO 2 e melalui persamaan: CO 2 e = C x 3,67 (IPCC 2006), dimana C adalah kandungan karbon (ton/ha) dan W adalah bobot kering biomassa (ton/ha) Analisis manfaat proyek karbon Analisis manfaat proyek karbon di hutan produksi dilakukan melalui perhitungan biaya dan manfaat pada setiap skenario pemanfaatan kayu. Suatu proyek dinilai layak secara finansial apabila nilai NPV (Net Present Value) 0 dan nilai BCR (Benefit Cost Ratio) 1. NPV dan BCR dihitung dengan rumus (Gittinger 2008):

70 52 t = n NPV = Σ Bt - Ct... (14) t = 1 (1 + i ) t t = n Σ t = 1 Bt (1 + i ) t BCR =... (15) t = n Ct Σ t = 1 (1 + i ) t keterangan: NPV = nilai sekarang neto (net present value) BCR = rasio pendapatan dan biaya (benefit cost ratio) Bt = pendapatan yang diperoleh tiap tahun Ct = biaya yang dikeluarkan tiap tahun t = 1, 2, 3,..., n n = umur proyek (tahun ke-n) i = tingkat bunga (diskonto) n = umur proyek sampai tahun ke-n Selama ini, sebelum terlibat dalam proyek karbon, UM memperoleh pendapatan bersih dari hasil penjualan kayu saja (setelah dikurangi biaya produksi). Dengan demikian, selain disyaratkan NPV 0 dan BCR 1, proyek karbon juga seharusnya menghasilkan NPV yang lebih besar dari NPV produksi kayu, serta BCR proyek karbon lebih besar dari BCR produksi kayu bulat (log). Dalam kaitan ini, yang dimaksud dengan pendapatan proyek karbon adalah penerimaan dari hasil penjualan log ditambah penerimaan hasil penjualan karbon atau dana kompensasi jasa reduksi emisi karbon sesuai jumlah emisi karbon yang mampu dihambat. Harga karbon akan mengacu kepada proyek karbon (REDD) Ulu Masen, Aceh, yakni sebesar 4 USD/tCO 2 e serta 5 USD, dan 6 USD/tCO 2 e sebagai variasi harga jika terjadai kenaikan harga karbon. Pada skema VCS, penghitungan ekonomi karbon menggunakan pendekatan nilai ekonomi pada periode proyek (life time) lima tahunan, dimana pembayaran proyek karbon dilakukan dengan mekanisme ex-post full credit (pembayaran penuh di akhir proyek).

71 53 Untuk mengetahui nilai output proyek jika terjadi suatu penyimpangan atau perubahan dalam dasar-dasar perhitungan biaya (cost) maupun manfaat, akan dilakukan analisis sensitivitas (Gray et al dalam Wahyudi 2011). Dalam penelitian ini analisis sensitivitas diujicobakan terhadap beberapa harga karbon (4, 5, 6 USD), tingkat suku bunga diskonto (10, 12, 14%), biaya transaksi (tetap, naik 20% atau turun 20%), dan harga kayu log (tetap, naik atau turun sekitar 15%) Periode Pulih Stok Karbon Tegakan LOA Berdasarkan grafik perkembangan stok karbon setiap skenario selama proyek, dapat dibuat persamaan garis regresi yang akan menggambarkan durasi periode pulih (recovery period) stok karbon tegakan LOA. Dari grafik ini kemudian dapat diketahui skenario pemanfaatan kayu yang memiliki periode pulih yang sama atau lebih singkat dari rotasi tebangan. Selanjutnya dapat pula diformulasikan persamaan garis regresi yang mencerminkan hubungan antara intensitas tebangan dengan durasi periode pulih.

72 54 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Karakteristik Vegetasi Hutan di PT SSS Jumlah Spesies Tumbuhan (S) Jumlah spesies tumbuhan yang tercatat di dalam petak ukur (PU) seluas 1 ha berkisar antara spesies, dimana strata tiang memiliki jumlah terkecil (Tabel 8). Tidak ada perbedaan yang mencolok dalam hal jumlah spesies tumbuhan antara vegetasi hutan bekas tebangan (LOA) dengan vegetasi hutan belum ditebang (ABD). Meskipun begitu, pada Tabel 8 tampak bahwa jumlah jenis tumbuhan pada beberapa strata pertumbuhan di areal LOA lebih banyak dibandingkan dengan ABD. Menurut Whitmore (1990), begitu terjadi pembukaan tajuk akibat penebangan pohon, jenis-jenis pohon pionir akan segera tumbuh berkembang pada tapak yang telah terbuka tersebut dimana benihnya selama ini tersimpan di lantai hutan dalam keadaan dorman. Dengan demikian jumlah spesies tumbuhan terutama di sekitar gap (tajuk yang terbuka) mengalami peningkatan. Jumlah spesies tumbuhan yang tercatat pada penelitian ini lebih sedikit dibandingkan dengan hasil analisis vegetasi yang pernah dilakukan PT SSS pada tahun 2011 di dalam PU seluas 4 ha. Jumlah spesies tumbuhan yang berhasil dicatat di berbagai strata oleh PT SSS jauh lebih tinggi, yakni berkisar antara spesies. No Tabel 8 Jumlah jenis tumbuhan Tingkat pertumbuhan ABD LOA 2011 Jumlah spesies (S) LOA 2010 LOA 2009 LOA Semai Pancang Tiang Pohon Keterangan: ABD = areal belum ditebang

73 55 Sementara itu hasil kajian Bismark et al. (2008) di wilayah Kecamatan Siberut Selatan, di dalam plot-plot pengamatan analisis vegetasi untuk tumbuhan berdiameter > 5 cm masing-masing seluas 0,25 ha, tercatat jumlah jenis sebanyak 28 spesies di hutan primer, 33 spesies di LOA 1 th, dan 26 spesies di LOA 5 th. Jumlah jenis ini lebih rendah dibandingkan hasil pengukuran di lokasi studi. Berdasarkan hasil analisis vegetasi di PT SSS maupun hasil pengamatan Bismark et al. (2008), tampaknya jumlah jenis tumbuhan tidak berkorelasi secara nyta dengan lokasi petak ukur, apakah di hutan primer atau ABD maupun di LOA. Dengan kata lain, hasil pengamatan ini mengindikasikan bahwa kegiatan penebangan, pada tingkat intensitas tebangan yang sama, tidak berpengaruh secara signifikan terhadap perubahan jumlah spesies tumbuhan Keanekaragaman Jenis dan Kekayaan Jenis Tumbuhan Hasil pengukuran menunjukkan, tingkat keanekaragaman jenis tumbuhan sangat bervariasi, namun secara umum bila mengacu pada kriteria Magurran (1988), tergolong sedang hingga tinggi, dengan indeks keanekaragaman jenis (H ) berkisar antara 2,31 3,65. Tegakan LOA 2009 dan LOA 2011 memiliki nilai H lebih tinggi pada keempat strata pertumbuhan dibandingkan dengan ABD. (Tabel 9 dan Gambar 4). No Tabel 9 Indeks keanekaragaman jenis (H ) Tingkat pertumbuhan ABD LOA 2011 H LOA 2010 LOA 2009 LOA Semai 3,12 3,65 2,99 3,38 3,06 2 Pancang 3,23 3,45 2,93 3,35 3,04 3 Tiang 2,17 3,11 2,31 3,24 2,35 4 Pohon 2,90 3,30 2,73 3,42 2,68 Pada Tabel 9 tampak strata semai memiliki tingkat keanekaragaman jenis yang lebih tinggi hampir di seluruh plot pengamatan dibandingkan strata di atasnya. Kondisi ini mengisyaratkan bahwa proses regenerasi alami berjalan baik. Adanya proses suksesi dan persaingan antar-jenis maupun antar-individu,

74 56 mengakibatkan hanya jenis-jenis permudaan tertentu saja, biasanya jenis klimaks, yang mampu bertahan hingga mencapai strata pohon dan hidup dalam jangka waktu lama ABD Semai Pancang Tiang Pohon Gambar 4 Indeks Keanekaragaman Jenis (H ) di setiap plot Indeks Kekayaan Jenis Margalef (Richness Index, R 1 ) berkorelasi positif dengan jumlah spesies (S) dan Indeks Keanekaragaman Jenis (H ). Pada Tabel 10 tampak nilai R 1 vegetasi pada plot pengamatan. Apabila mengacu pada kriteria Magurran (1988) dimana tergolong tinggi bila R 1 >5,0; sedang bila R 1 =3,5-5,0; dan rendah bila R 1 < 3,50, maka tingkat kekayaan jenis tumbuhan di semua plot pengamatan bervariasi, mulai dari rendah, sedang, dan tinggi, namun strata pohon semuanya tergolong tinggi, sedangkan tingkat semai seluruhnya termasuk sedang. Tabel 10 Indeks kekayaan jenis (R 1 ) Tingkat No pertumbuhan LOA LOA LOA LOA ABD Semai Pancang Tiang Pohon R 1

75 Tingkat Kemerataan dan Dominansi Jenis Selain jumlah spesies, parameter lain yang berkorelasi positif dengan tingkat keanekaragaman jenis adalah tingkat kemerataan jenis. Nilai H yang tergolong sedang hingga tinggi, menghasilkan Indeks Kemerataan (E) yang juga tinggi menurut kriteria Magurran (E > 0,60). Nilai E di setiap plot berkisar antara 0,75 0,94, artinya semua tegakan di dalam plot pengamatan memiliki nilai E yang tergolong tinggi. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa distribusi kelimpahan individu pada setiap spesies tergolong cukup hingga hampir merata (Tabel 11). Pada Tabel 11 tampak bahwa secara umum di seluruh plot pengamatan, nilai E strata pohon paling rendah. Kondisi ini dapat dimaknai bahwa tidak ada satupun jenis yang sangat dominan dengan nilai kerapatan yang sangat tinggi. Hal ini terkait erat dengan Indeks Dominansi (C) yang nilainya relatif sangat kecil. Nilai C yang sangat rendah (C << 1) menunjukkan tidak ada satupun jenis yang sangat dominan dan meguasai komunitas hutan sehingga kelimpahan tidak terpusat di satu atau beberapa spesies tumbuhan saja (Tabel 12). No Tabel 11 Indeks Kemerataan Jenis (E) Tingkat pertumbuhan ABD LOA 2011 E LOA 2010 LOA 2009 LOA Semai 0,83 0,94 0,85 0,89 0,84 2 Pancang 0,84 0,90 0,80 0,90 0,88 3 Tiang 0,82 0,90 0,90 0,93 0,83 4 Pohon 0,75 0,87 0,75 0,86 0,75 Tabel 12 Indeks Dominansi Jenis (C) Tingkat C No pertumbuhan LOA LOA LOA LOA ABD Semai 0,055 0,064 0,066 0,041 0,056 2 Pancang 0,054 0,039 0,069 0,052 0,076 3 Tiang 0,195 0,060 0,134 0,050 0,135 4 Pohon 0,156 0,069 0,118 0,054 0,108

76 Semai Pancang Tiang Pohon 0 ABD Gambar 5 Indeks dominansi jenis (C) di setiap plot pengamatan Spesies Dominan dan Kodominan Jenis dominan adalah spesies tumbuhan yang memiliki INP tertinggi, sedangkan kodominan memiliki INP kedua tertinggi. Kedua spesies inilah yang mendominasi suatu komunitas dan sering dijadikan nama asosiasi suatu komunitas hutan. Nama spesies tumbuhan yang dominan dan kodominan di setiap plot pengamatan tersaji pada Tabel 14. Berdasarkan data pada Tabel 14 tersebut, jenis yang mendominasi adalah dari kelompok Dipterocarpaceae, khususnya marga meranti (Shorea sp.) dan keruing (Dipterocarpus sp.), misalnya jenis elagan (Dipterocarpus hasseltii Blume), koka (Dipterocarpus elongatus Korth.) dan katuka (Shorea pauciflora King). Hasil pengukuran Bismark et al. (2008) di wilayah Selatan Pulau Siberut, diketahui bahwa jenis yang dominan di hutan primer dan LOA 1 th adalah koka (Dipterocarpus elongatus Korth.). Apabila mengacu pada kesamaan jenis yang dominan, tampak jenis pohon yang mendominasi tegakan hutan sebelum ditebang (ABD) dan LOA tidak banyak berbeda. Dengan demikian, komposisi jenis tumbuhan khususnya pada jenis-jenis dominan, tidak terlalu terpengaruh oleh kegiatan pemanenan kayu. Tampak pada Tabel 14 jenis yang mendominasi di sebagian besar strata adalah jenis elagan (Dipterocarpus hasseltii Blume). Pada plot ABD, sejak semai hingga strata pohon dikuasasi jenis elagan. Kondisi demikian hampir sama dengan yang dialami tegakan LOA Secara umum anggota suku Dipterocarpaceae tergolong sangat dominan di dalam komposisi jenis tegakan,

77 59 sehingga hutan di areal konsesi PT SSS dapat disebut sebagai Hutan Dipterokarpa Campuran (Dipterocarps Mixed Forest) yang merupakan salah satu varian dari Hutan Hujan Dataran Rendah (Lowland Evergreen Rain Forest) Tingkat Kesamaan Komunitas Tingkat kesamaan antar dua komunitas tumbuhan dapat dicerminkan oleh Indeks Kesamaan Komunitas atau Index of Similarity (IS). Indeks ini menunjukkan tingkat kesamaan komposisi jenis dari dua komunitas yang dibandingkan. Nilai IS berkisar antara 0-100%, semakin mendekati 100% dua komunitas yang dibandingkan tersebut dianggap sama, dan semakin mendekati 0% dianggap berbeda (Soerianegara & Indrawan 1998). Dengan demikian indeks ini dapat dijadikan salah satu tolok ukur besar kecilnya pengaruh suatu kegiatan ataupun gangguan (penebangan pohon, kebakaran, dan sebagainya) terhadap suatu komunitas hutan. Daftar nilai IS setiap strata tersaji pada Tabel 13. Tabel 13 Indeks Kesamaan Komunitas (IS) Tingkat IS (%) No pertumbuhan LOA LOA LOA LOA ABD Semai ,01 28,95 32,65 27,35 2 Pancang ,24 46,47 36,17 43,20 3 Tiang ,06 31,25 35,29 50,00 4 Pohon ,72 58,27 42,36 56,98 Pada Tabel 13 di atas tampak sebagian besar nilai IS pada keempat strata di semua plot pengamatan lebih kecil dari 50%. Hal ini bermakna bahwa komposisi jenis di LOA tidak sama dengan di ABD. Strata tiang dan pohon LOA 2008 tergolong mirip dengan ABD. Apabila PU diperbesar dari 1 ha menjadi 4 ha misalnya, hasilnya akan berbeda. Berdasarkan hasil pengukuran PT SSS pada PU seluas 4 ha, tampak bahwa komunitas vegetasi antara ABD dan LOA 2009 dan 2008 tergolong sama dan mirip. Hal ini menggambarkan bahwa tingkat keanekaragaman jenis di lokasi studi tergolong tinggi, sehingga untuk membandingkan dua komunitas tegakan tidak cukup dengan melakukan pengukuran pada petak ukur seluas 1 ha, tetapi harus lebih luas lagi, yaitu 4 ha.

78 60 Plot Tabel 14 Jenis-jenis tumbuhan dominan dan kodominan Nama jenis tumbuhan K (btg/ha) INP (%) 1. Semai ABD Elagan Dipterocarpus hasseltii Blume ,09 Gutgut Mallotus subpeltatus Muell.Arg , Potsaiguan Cleistanthus sp ,34 Katuka Shorea pauciflora King , Elagan Dipterocarpus hasseltii Blume ,42 Potsaiguan Cleistanthus sp , Potsaiguan Cleistanthus sp ,77 Katuka Shorea pauciflora King , Potsaiguan Cleistanthus sp ,39 Elagan Dipterocarpus hasseltii Blume ,91 2. Pancang ABD Elagan Dipterocarpus hasseltii Blume ,82 Katuka Shorea pauciflora King , Longlongtuba Orophea sp ,52 Potsaiguan Cleistanthus sp , Potsaiguan Cleistanthus sp ,24 Elagan Dipterocarpus hasseltii Blume , Koka Dipterocarpus elongatus Korth ,24 Potsaiguan Cleistanthus sp , Elagan Dipterocarpus hasseltii Blume ,09 Longlongtuba Orophea sp ,18 3. Tiang ABD Elagan Dipterocarpus hasseltii Blume ,15 Posa Baccaurea deflexa Roxb , Potsaiguan Cleistanthus sp ,82 Giling Aporusa sp , Potsaiguan Cleistanthus sp ,64 Giling Aporusa sp , Giling Aporusa sp ,28 Potsaiguan Cleistanthus sp , Elagan Dipterocarpus hasseltii Blume 60 90,49 Potsaiguan Cleistanthus sp ,10 4. Pohon ABD Elagan Dipterocarpus hasseltii Blume ,14 Tumu Campnosperma macrophylla Hook.f , Renggeu Palaquium obovatum Engl ,00 Potsaiguan Cleistanthus sp , Elagan Dipterocarpus hasseltii Blume 61 85,62 Tetepana Hydnocarpus merrilliana Sleum , Tetepana Hydnocarpus merrilliana Sleum ,90 Katuka Shorea pauciflora King 16 34, Elagan Dipterocarpus hasseltii Blume 49 81,06 Tetepana Hydnocarpus merrilliana Sleum ,74

79 Struktur Tegakan Hutan hujan tropika memiliki komposisi jenis yang heterogen dengan struktur umur pohon yang beragam pada setiap satuan tapaknya. Secara teknis hutan demikian disebut sebagai hutan heterogen tidak seumur (uneven-aged forest). Struktur tegakan menyatakan sebaran dimensi tegakan (luas bidang dasar per hektar atau banyaknya pohon per hektar) pada berbagai ukuran diameter pohonnya (Suhendang 1995). Bentuk struktur tegakan hutan alam akan menyerupai kurva huruf J-terbalik dengan persamaan matematis: N = N o e -kd. Pada Tabel 15 dirinci kerapatan tegakan pada setiap strata pertumbuhan di masing-masing plot. Adapun pada Tabel 16 dapat dilihat persamaan matematis struktur tegakan pada setiap plot analisis vegetasi, sedangkan kurvanya disajikan pada Gambar 6. Tabel 15 Kerapatan (K) setiap tingkat pertumbuhan K (btg/ha) Strata ABD LOA LOA LOA LOA pertumbuhan Semai Pancang Tiang Pohon Tabel 16 Persamaan matematis struktur tegakan Plot Persamaan R 2 (%) ABD N = 504,48 e -0,080D 76 LOA 2011 N = 1176,415 e -0,077D 87 LOA 2010 N = 683,589 e -0,094D 69 LOA 2009 N = 976,668 e -0,098D 81 LOA 2008 N = 871,224 e -0,073D 80 Pada Tabel 15 serta Gambar 6 tampak sangat jelas bahwa struktur tegakan di dalam hutan bekas tebangan (LOA) dan hutan belum ditebang (ABD) tidak banyak berbeda, yaitu sama-sama berbentuk kurva huruf J-terbalik.

80 62 Perbedaannya hanya terletak pada tingkat kerapatan di setiap kelas diameter atau strata pertumbuhannya. Kerapatan tegakan (btg/ha) ABD LOA 2011 LOA 2010 LOA 2009 LOA Diameter (cm) Gambar 6 Struktur tegakan di dalam plot pengamatan Data yang tersaji pada Tabel 15 dan Tabel 16 dan Gambar 6 di atas juga menjelaskan adanya korelasi negatif antara kerapatan dengan kelas diameter atau strata pertumbuhan, dimana semakin besar diameter batang maka tingkat kerapatan semakin menurun. Hal demikian merupakan karakteristik tegakan hutan alam tidak seumur dimana kurva struktur tegakannya bersifat eksponensial negatif sehingga berbentuk huruf J-terbalik. Menurut Whitmore (1990), terbentuknya struktur tegakan hutan alam tropis menyerupai huruf J-terbalik tidak terlepas dari berbagai spesies tumbuhan penyusunnya. Pada hutan alam primer maupun hutan bekas tebangan yang masih baik kondisi tegakannya, jenis pohon paling dominan adalah dari jenis klimaks (climax species). Berbeda dengan jenis pionir (pioneer species), jenis klimaks memiliki karakteristik seperti: perkecambahan biji terjadi di bawah tajuk yang kemudian berkembang menjadi semai dalam jumlah melimpah ( seedling bank ), dan mampu hidup di bawah naungan (shade-tolerant). Akibat dari kondisi ini, terjadilah proses regenerasi secara in-situ (di bawah naungan tajuk) sehingga dari strata anakan hingga dewasa berkumpul bersama di satu tempat. Adanya persaingan tempat tumbuh menyebabkan kerapatan pohon yang lebih dewasa semakin berkurang. Hal ini pada gilirannya menciptakan struktur

81 63 tegakan berbentuk huruf J-terbalik pada level individu jenis klimaks. Apabila jenis-jenis klimaks ini berkumpul dalam suatu tapak dan membentuk suatu komunitas, maka terwujudlah hutan alam dengan struktur tegakan berbentuk huruf J-terbalik. Dalam kaitan ini, Whitmore (1990) mengambil contoh pohon Parinari salomonensis sebagai jenis klimaks dan Endospermum medullosum sebagai jenis pionir yang keduanya tumbuh di hutan hujan dataran rendah Kolombangara, Kepulauan Salomon Unsur-unsur yang Meningkatkan Stok Karbon Hutan Regrowth Berdasarkan hasil pengukuran UM PT. SSS sebanyak dua kali yakni pada tahun 2010 dan 2011 terhadap enam buah petak ukur permanen (PUP) di areal bekas tebangan (LOA), diperoleh data regrowth berupa riap volume tegakan tiap PUP dan nilai rata-ratanya. Tercatat riap volume berkisar antara 2,61 m 3 /ha/th sampai dengan 8,82 m 3 /ha/th kecuali pada PUP-1 yang riapnya bernilai negatif. Adanya regrowth yang bernilai negatif diduga akibat adanya kesalahan teknis saat pengukuran DBH. Riap bernilai negatif tersebut juga pernah tercatat pada salah satu PUP di PT. Sari Bumi Kusuma (SBK), Kalimantan Tengah (Rusolono & Tiryana 2011). Apabila dikaitkan dengan volume tegakan (DBH 10 cm) yang totalnya sebesar 216,33 m 3 /ha (hasil IHMB), maka persentase riap volume tersebut sebesar 1,21-4,08% dengan riap volume rata-rata sebesar 4,20 m 3 /ha/th atau 1,94% (Gambar 7). Nilai riap volume tersebut tergolong tinggi, namun tidak berbeda jauh dengan riap volume LOA beberapa IUPHHK-HA di Kalimantan, seperti PT Balikpapan Forest Industries (3,065 m 3 /ha/th), PT Intracawood Manufacturing (4,141 m 3 /ha/th), dan PT Wanasokan Hasilindo (5,719 m 3 /ha/th) (Wahyono 2007). Riap diameternya tergolong rendah yakni sebesar 0,52 cm/th. Riap diameter di IUPHHK-HA PT Koperasi Andalas Madani (PT KAM) yang letaknya berdampingan dengan PT SSS, sebesar 0,79 cm/th pada PUP tanpa dibina dan 0,80 cm/th pada PUP dibina (Aswandi & Harahap 2006). Menurut Sumarna et al. (2002), berdasarkan data dari 10 provinasi, riap rata-rata diameter

82 64 pohon semua jenis sebesar 0,58 cm/th, dan jenis perdagangan 0,59 cm/th. Angka sebesar ini tidak berbeda jauh dengan hasil kajian Santoso (2008) dalam Wahyudi (2011), bahwa riap diameter rata-rata jenis kayu komersial pada hutan alam bekas tebangan 0,60 cm/th. Data tersebut diperoleh berdasarkan hasil rekapitulasi Petak Ukur Permanen pada 199 unit IUPHHK-HA yang dilakukan sejak tahun m 3 /ha/th PUP 1 PUP 2 PUP 3 PUP 4 PUP 5 PUP 6 Riap Volume Persen Riap Gambar 7 Regrowth atau riap volume tegakan LOA (Sumber: PT SSS 2011) Nekromassa Berkayu Bobot nekromassa berkayu yang diperhitungkan adalah yang berada di dalam areal tebangan yakni yang berasal dari tiga sumber, yaitu: (a) pohon yang rusak berat akibat kegiatan pembalakan, (b) pohon yang ditebang di dalam kegaiatan PWH, dan (c) limbah penebangan pohon di areal tebangan yang umumnya berupa tunggak, cabang, dan dahan (Tabel 17). Stok karbon nekromassa berkayu di areal hutan belum ditebang (ABD) sebesar 25,74 tco 2 e. Adapun simpanan karbon nekromassa di akhir proyek baik total maupun rata-rata per hektar tersaji pada Tabel 18. Pada tabel tersebut tampak skenario baseline memiliki stok karbon nekromassa total tertinggi di akhir proyek yakni sebesar 124,52 KtCO 2 e, sedangkan skenario-6 memiliki stok karbon nekromassa terkecil yaitu hanya sebesar 50,97 KtCO 2 e.

83 65 Tabel 17 Bobot nekromassa berkayu setelah penebangan Skenario Rusak berat & tebangan PWH (m 3 /ha) Limbah tebangan (m 3 /ha) Jumlah (m 3 /ha) Bobot Nekromassa (ton/ha) Karbon Nekromassa (tco 2 e/ha) Baseline 15,42 41,22 56, ,32 31,39 37,71 17,08 29,47 2 5,19 21,86 27,05 12,25 21,13 3 6,29 23,19 29, ,04 4 7,71 41,22 48,93 22,17 38,23 5 6,32 31,39 37,71 17,08 29,47 6 5,19 21,86 27,05 12,25 21,13 Tabel 18 Stok karbon nekromassa di akhir proyek Skenario Total (KtCO 2 e) Rata-rata per ha (tco 2 e/ha) Baseline 124,52 3, ,90 2, ,46 1, ,81 1, ,22 2, ,07 2, ,97 1,53 Menurut Chambers et al. (2000), laju pelapukan kayu sangat dipengaruhi oleh kerapatan kayu dan diameter batang, dimana korelasinya bersifat negatif, sehingga apabila nilai kerapatan kayu dan diameter batang besar, maka laju dekomposisinya kecil, atau sebaliknya. Dalam proses pelapukan nekromassa, terdapat tiga faktor penting yang saling berkaitan, yaitu: organisme pelapuk (decomposer), karakteristik bahan organik yang akan dihancurkan, dan faktor lingkungan (iklim dan tanah) (Swift et al dalam Anderson & Swift 1983). Adanya pohon tumbang akibat pembalakan, menimbulkan dampak langsung berupa perubahan intensitas cahaya dan kelembaban udara sehingga merangsang pertumbuhan jenis pohon pionir dan jenis gap-opportunist dari

84 66 kelompok Dipterocarpaceae. Dampak lanjutan dari keterbukaan tajuk (gap) akibat tumbangnya suatu pohon adalah mempercepat laju dekomposisi dan mineralisasi pada lahan tapak yang terbuka tersebut (Whitmore 1985) Simpanan Karbon Tanaman Rehabilitasi Lokasi tanaman rehabilitasi berada di tepi jalan utama (JU), jalan cabang (JC), dan di bekas tempat penimbunan kayu (TPn). Adapun tepi jalan sarad (JS) untuk kepentingan tanaman pengayaan (enrichment planting). Panjang JU, JC, dan luas TPn mengacu kepada realisasi PWH pada RKT 2008, 2009, dan Berdasarkan data pada 30 petak 100 ha dari ketiga RKT tersebut, diketahui tidak ada hubungan yang erat antara intensitas tebangan dengan panjang JU, JC, dan luas TPn (Tabel 19). Dengan demikian, panjang JU, JC, dan TPn pada RKT mendatang diduga dengan mengalikan rata-rata realisasi panjang JU, JC, dan luas TPn pada RKT yang lalu dengan luas RKT yang akan datang. Tabel 19 Persamaan regresi linier antara intensitas tebangan dengan panjang JU, JC, dan luas TPn Hubungan Persamaan garis R 2 Intensitas tebangan dan panjang JU Y = 0,442 X + 2,248 0,016 Intensitas tebangan dan panjang JC Y = 0,049 X + 5,939 0,000 Intensitas tebangan dan panjang JS Y = 3,861 X + 30,49 0,045 Intensitas tebangan dan luas TPn Y = -39,44 X ,002 Keterangan: Persamaan regresi dibuat berdasarkan data realisasi PWH pada RKT 2008, 2009, dan 2010 Untuk kepentingan pendugaan stok karbon tanaman rehabilitasi, jenis tanaman yang dikaji diwakili oleh sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen), karena selain pertumbuhannya tergolong baik, juga ketersediaan data tanaman (umur dan diameter) serta persamaan alometrik biomassa sengon. Sengon tergolong jenis cepat tumbuh (fast growing species) yang telah banyak digunakan di berbagai tempat untuk kegiatan rehabilitasi atau penanaman lahan kosong. Penanaman rehabilitasi dilakukan pada Et+3 (aturan TPTI), dengan jarak tanam 10 m (di tepi kanan-kiri JU dan JC) dan 3m x 3m (di bekas TPn). Sesuai kebijakan pengelola PT SSS, intensitas tanaman rehabilitasi sebesar 50%

85 67 untuk tanaman di tepi JU dan JC, serta 100% untuk tanaman di lahan bekas TPn. Diasumsikan pada umur 10 tahun tanaman sengon ditebang dan lahan yang sudah kosong ditanami kembali dengan jenis sengon. Selain itu diasumsikan pula sebanyak 60% tanaman yang bertahan hidup hingga umur 10 tahun serta tanpa dilakukan penjarangan. Berdasarkan data pertumbuhan sengon hingga berumur 8 tahun dari Riyanto dan Pamungkas (2010), dibuat garis regresi hingga umur 10 tahun untuk menduga pertumbuhan diameternya. Persamaan tersebut adalah Y = 3,182 X + 0,132 (R 2 = 0,973), dimana X adalah umur dan Y adalah diameter batang (Gambar 5). Untuk menduga nilai biomassanya digunakan persamaan allometrik biomassa sengon Y = 0,1126*D 2,3445 (Siringoringo & Siregar 2006). 30 Diameter (cm) y = 3.182x R² = Diameter Linear (Diameter ) Umur (th) Gambar 8 Garis regresi linier antara umur dan diameter sengon Berdasarkan persamaan alometrik tersebut, untuk skenario baseline, skenario 1, 2, dan 3, diperkirakan stok karbon pada umur 10 th adalah sebanyak 1.623,05 tc atau 0,05 tc/ha dan pada umur 7 th sejumlah 528,05 tc atau 0,016 tc/ha, sehingga total stok karbonnya adalah 3.774,15 tc atau rata-rata 0,11 tc/ha. Jumlah stok karbon tanaman sengon selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 20. Grafik perkembangan stok karbon tanaman sengon selama proyek dapat dilihat pada Gambar 9.

86 68 Tabel 20 Jumlah stok karbon tanaman rehabilitasi Skenario baseline,1, 2, 3 Skenario-4, 5, dan 6 Stok karbon di akhir proyek (tc) Rata-rata per th (tc/th) Rata-rata per ha (tc/ha) 3.774, ,62 125,81 107,85 0,11 0, ton C/ha Baseline & Skenario 1,2,3 Skenario 4, 5, 6 Tahun Gambar 9 Perkembangan stok karbon tanaman rehabilitasi Simpanan Karbon Tanaman Pengayaan Berdasarkan realisasi PWH pada RKT 2008, 2009, dan 2010, panjang jalan sarad yang dibangun dalam kegiatan pembalakan adalah 53,75 m/ha. Panjang jalan sarad yang dibangun tersebut tidak berkorelasi dengan intensitas tebangan. Mengacu pada panjang jalan sarad yang telah dibangun pada beberapa RKT yang lalu, dapat diperkirakan panjang jalan sarad yang harus disiapkan pada RKT dengan JPT luas yang berbeda. Jenis tanaman pengayaan yang dipilih adalah meranti merah dari spesies Shorea selanica Bl. Bibit meranti merah ini ditanam di kiri-kanan tepi bekas jalan sarad dengan jarak tanam 5 m. Panjang jalan sarad dan jumlah bibit meranti merah yang akan ditanam pada setiap skenario dapat dilihat pada Tabel 21.

87 69 Tabel 21 Panjang jalan sarad dan jumlah tanaman pengayaan Skenario Luas (ha) Panjang jalan sarad (m/ha) Total panjang jalan sarad (m) Jumlah tanaman (btg) Skenario baseline, dan skenario-1,2, , Skenario-4,5, , Untuk menduga potensi biomassa dan simpanan karbon S.selanica dari awal hingga akhir proyek, digunakan data diameter dan tinggi hasil evaluasi Istomo et al. (1999) terhadap pertumbuhan tanaman meranti (Shorea spp.) di Haurbentes, BKPH Jasinga, KPH Bogor, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat- Banten. Data diameter tergambar dalam sebuah persamaan garis regresi Y = X 1,13 (R 2 = 0,997) dimana X adalah umur tanaman dan Y adalah diameter setinggi dada (DBH) tanaman S.selanica, sedangkan data tinggi tercermin dalam persamaan garis regresi Y = 0,4808 X 1,22 (R 2 = 0,995) dimana X adalah umur dan Y adalah tinggi tanaman S.selanica. Berdasarkan peraturan TPTI, kegiatan pengayaan dilaksanakan 3 tahun setelah pemanenan (Et+3) sehingga di akhir proyek tanaman baru mencapai umur 27 tahun. BJ kayu S.selanica 0,46 dan diasumsikan jumlah tanaman yang tumbuh sebanyak 60%. Di akhir proyek, stok karbon tanaman pengayaan pada skenario baseline dan skenario-1, 2, 3 sebanyak 18,87 KtC atau rata-rata 0,57 tc/ha dengan laju serapan karbon 0,021 tc/ha/th. Adapun pada skenario-4,5,6 stok karbon di akhir proyek sejumlah 16,18 KtC atau 0,49 tc/ha, dengan laju serapan karbon 0,018 tc/ha/th. Dengan demikian di akhir proyek setiap batang pohon S.selanica diperkirakan mengandung 1,32 tc. Pada Gambar 10 diperlihatkan perkembangan simpanan karbon tanaman pengayaan hingga akhir proyek.

88 ton C/ha Skenario baseline,1, 2, 3 Skenario 4, 5, 6 Tahun Gambar 10 Perkembangan stok karbon tanaman pengayaan 5.3. Unsur-unsur yang Mengurangi Stok Karbon Pemanenan Kayu Besar kecilnya volume tebangan (JPT) pada setiap skenario berbeda-beda tergantung pada siklus tebang dan limit DBH tebang yang ditetapkan. JPT diperoleh dari intensitas tebangan per hektar dikalikan JPT luasnya. JPT luas diperoleh dari luas efektif untuk produksi seluas ha dibagi siklus tebangnya. Intensitas tebangan itu sendiri nilainya sebesar 0,56 dari volume kayu pada batas DBH tebangan tertentu berdasarkan data volume tegakan hasil IHMB Pada Tabel 22 disajikan nilai JPT (m 3 /th) dan intensitas tebangan (m 3 /ha) setiap skenario. Skenario baseline dengan menerapkan rotasi tebang 30 th dan batas DBH 40 cm, memiliki JPT tertinggi yakni m 3 /th, dengan intensitas tebangan 82,21 m 3 /ha dan jumlah pohon yang ditebang sebanyak 11,34 btg/ha. Adapun skenario-6 dengan siklus tebang 35 th dan limit DBH 60 cm, memiliki JPT terkecil yaitu sebesar m 3 /th, dengan intensitas tebangan 59,86 m 3 /ha dan jumlah pohon yang ditebang sebanyak 8,26 btg/ha.

89 71 Tabel 22 Intensitas tebangan dan JPT volume pada setiap skenario Skena rio Baseline Rotasi tebang (th) Batas DBH (cm) Intensitas tebang (m 3 /ha) Pohon yg ditebang (btg/ha) JPT luas (ha/th) JPT vol. (m 3 /th) ,21 11, ,74 9, ,86 8, ,66 8, ,21 11, ,74 9, ,86 8, Tingkat Kerusakan Tegakan Tinggal a. Akibat kegiatan pemanenan kayu Hasil kajian Indriyati (2010) di PT SSS menunjukkan bahwa pada intensitas tebangan 7,2 btg/ha jumlah tegakan tinggal (DBH=20-49 cm) yang rusak sebanyak 16,5 btg/ha atau 21,48% dari kerapatan awal (76,8 btg/ha), yang terdiri dari : 9,3 btg/ha akibat penebangan dan 7,2 btg/ha akibat penyaradan. Jadi setiap penebangan 1 pohon mengakibatkan 2,3 pohon rusak (3% dari kerapatan awal). Dari sejumlah tegakan tinggal yang rusak tersebut, sebanyak 10,6 btg/ha mengalami rusak berat atau 13,8% dari kerapatan awal, yang terdiri dari 6,3 btg/ha rusak berat akibat penebangan (8,2%) dan 4,3 btg/ha akibat penyaradan. Dengan demikian setiap penebangan 1 pohon menyebabkan 1,5 pohon rusak berat (2% dari kerapatan awal). Kondisi pohon yang rusak berat tersebut dijumpai pada kelas DBH cm sebanyak 5 batang, pada DBH cm sebanyak 3,2 batang dan pada DBH cm sebanyak 1 batang. Untuk kerusakan pada tingkat tiang (DBH cm) mengacu hasil studi Elias et al. (1997) yakni sebesar 24,6%, dan diasumsikan sebanyak 70% dari tingkat tiang yang rusak tersebut masuk kategori rusak berat. Berdasarkan data tersebut, maka dapat dihitung jumlah pohon per hektar pada tegakan tinggal yang rusak berat. Pohon-pohon yang rusak berat ini diduga kuat semuanya akan mati. Tegakan tinggal yang tingkat kerusakannya sedang atau ringan tidak dihitung karena akan bertahan hidup sehingga tidak akan

90 72 menambah jumlah nekromassa berkayu. Pada Tabel 23 tersaji data jumlah pohon (btg/ha) dan volume pohon (m 3 /ha) yang mengalami kerusakan berat akibat kegiatan penebangan dan penyaradan untuk setiap skenario. Pada tabel tersebut terlihat bahwa limit diameter tebangan selain memengaruhi jumlah pohon yang ditebang dalam satu hektar, juga akan menentukan jumlah tegakan tinggal yang rusak oleh kegiatan pemanenan. Pada tebangan dengan limit diameter 40 cm dimana intensitas tebangannya 11,34 btg/ha mengakibatkan jumlah pohon rusak berat terbanyak yaitu 58,90 btg/ha. Kegiatan pembalakan yang menerapkan RIL, berdasarkan hasil kajian Putz et al. (2008), akan mengurangi kerusakan tegakan tinggal sebesar 50%, sehingga jumlah pohon yang rusak berat pada skenario PHL (dengan RIL) hanya setengahnya dari skenario baseline (dengan CL). b. Akibat kegiatan pembukaan wilayah hutan (PWH) Kegiatan PWH meliputi pembuatan jalan utama, jalan cabang, jalan sarad, dan tempat penimbunan kayu (TPn) yang sangat penting untuk kelancaran aktivitas pemanenan kayu. Berdasarkan realisasi RKT 2008, 2009, dan 2010 yang masing-masing seluas ha, areal hutan yang dibuka untuk keperluan PWH seluas 37,65 ha per tahun atau 3,77% untuk setiap hektar hutan. Rincian luas PWH dan jumlah tegakan hutan yang ditebang dapat dilihat pada Tabel 24. Dalam kegiatan PWH, seluruh vegetasi yang berada di dalam tapak yang akan dijadikan jalan utama, jalan cabang, jalan sarad, maupun TPn, akan ditebang habis. Dengan demikian jika seluas 3,77% yang dibuka per hektar hutan, dimana volume kayu rata-rata 216,33 m 3 /ha (data IHMB 2010), maka jumlah kayu yang ditebang dalam kegiatan PWH per hektar hutan sebesar 8,16 m 3 /ha. Dari kayu yang ditebang sebanyak itu, diasumsikan 50% menjadi limbah tebangan, dan sisanya dimanfaatkan untuk pembuatan infrastruktur, seperti jembatan, camp tarik, dan sebagainya.

91 73 Tabel 23 Jumlah dan volume pohon per hektar yang rusak berat akibat kegiatan pemanenan Skenario Kelas DBH (cm) Rusak berat akibat penebangan (btg/ha) Rusak berat akibat penyaradan (btg/ha) Jlh phn rusak berat akibat penebangan & penyaradan (btg/ha) Vol pohon rusak berat (m 3 /ha) Baseline ,83 R = 30 th ,81 4,05 8,86 3,09 DBH = 40 cm ,08 3,19 6,27 4,74 Phn ditebang 11,33 btg/ha ,97 0,80 1,77 2,72 Jumlah 58,90 14,38 Skenario ,92 R = 30 th ,20 3,54 3,87 1,35 DBH = 50 cm ,69 1,95 2,32 1,77 Phn ditebang 9,89 btg/ha ,84 0,70 0,77 1,18 Jumlah 27,96 6,22 Skenario ,92 R = 30 th ,51 2,95 2,32 1,13 DBH = 60 cm ,25 1,63 1,94 1,46 Phn ditebang 8,26 btg/ha ,70 0,58 0,65 0,98 Jumlah 26,81 5,49 Skenario ,5 1,58 1,43 R = 30 th ,61 3,03 3,33 1,16 DBH = 40 cm ,31 2,39 2,35 1,78 Phn ditebang 0.75 x 11, ,73 0,60 0,66 1,02 btg/ha Jumlah 22,09 5,40 Skenario ,92 R = 35 th ,81 4,05 4,43 1,55 DBH = 40 cm ,08 3,19 3,13 2,37 Phn ditebang 11,33 btg/ha ,97 0,80 0,88 1,36 Jumlah 29,45 7,19

92 Skenario ,92 R = 35 th ,20 3,54 3,87 1,35 DBH = 50 cm ,69 1,95 2,32 1,77 Phn ditebang 9,89 btg/ha ,84 0,70 0,77 1,18 Jumlah 27,96 6,22 kenario ,92 R = 35 th ,51 2,95 2,32 1,13 DBH = 60 cm ,25 1,63 1,94 1,46 Phn ditebang 8,26 btg/ha ,70 0,58 0,65 0,98 Jumlah 26,81 5,49 Tabel 24 Luas pembukaan wilayah hutan (PWH) per hektar hutan RKT Intensi- Jalan Utama Jalan Cabang Jalan Sarad Luas Luas tas teb. (ph/ha) Panjang (m) Luas (ha) Panjang (m) Luas (ha) Panjang (m) Luas (ha) TPn (ha) total (ha) , , , ,35 1,99 30, , , , ,55 2,34 32, , , , ,60 3, Rataan 6, , , ,50 2,54 37,65 Keterangan: Lebar jalan utama 15 m, jalan cabang 10 m, dan jalan sarad 4 m Deforestasi Deforestasi dalam kajian ini diasumsikan hanya bersumber dari aktivitas perambahan hutan saja. Perambahan hutan adalah luas hutan per tahun yang dibuka oleh masyarakat untuk kebutuhan berladang dan bercocok tanam. Besar kecilnya laju deforestasi atau perambahan hutan perlu diperhitungkan karena dalam jangka panjang akan mengurangi luas dan potensi tegakan hutan. Laju deforestasi ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: kepadatan penduduk desa-desa atau kecamatan di sekitar PT SSS, laju pertambahan penduduk (jiwa/th), jumlah jiwa per keluarga, jumlah penduduk yang bermatapencaharian di bidang pertanian, kebutuhan lahan untuk bertani atau berladang per keluarga, dan program Kelola Sosial PT SSS.

93 75 Perhitungan laju deforestasi (ha/th) di dalam areal efektif untuk produksi PT SSS adalah sebagai berikut: a. Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2010, jumlah penduduk Kecamatan Siberut Barat sebanyak jiwa dengan laju pertambahan penduduk 1% per tahun, dan penduduk Kecamatan Siberut Utara sebanyak jiwa dengan laju pertambahan penduduk 3% per tahun (Badan Pusat Statistik Kabupaten Kepulauan Mentawai 2010) b. Rata-rata jumlah jiwa per keluarga sebanyak 5 orang (Monografi Desa-desa Kecamatan Siberut Utara Tahun 2007 dalam Laporan Pertengahan Penilaian Kinerja PHPL PT SSS 2010), maka setiap tahun muncul 60 keluarga baru. c. Mata pencaharian penduduk desa-desa sekitar PT SSS sebagian besar yakni 75% sebagai petani dan rata-rata luas lahan garapan 1,8 hektar (Buku Rencana Umum Kelola Sosial PT SSS 2010). Bila diasumsikan sebanyak 75% dari jumlah petani yang baru tersebut mencari lahan garapan ke dalam hutan PT SSS dan sebanyak 50% dari luas lahan garapan baru tersebut berada di dalam kawasan areal efektif untuk produksi, maka kebutuhan lahan garapan seluas= 0,75 x 0,75 x 0,5 x 60 KK x 1,8 ha = 30,4 ha/tahun. d. Di lain pihak, PT SSS telah mengalokasikan lahannya bagi kegiatan Kelola Sosial seluas ha yang terdiri dari areal non-hutan (NH) seluas 714 ha untuk kepentingan permukiman dan LOA seluas 723 untuk keperluan pertanian menetap. Dengan kata lain untuk keperluan pertanian telah tersedia lahan seluas 723 ha atau 24,1 ha per tahun selama jangka waktu 30 tahun (Buku Rencana Karya Umum (RKU) Pengelolaan IUPHHK-HA PT SSS Tahun 2011). Dengan demikian potensi luas hutan (areal produksi) yang dibuka untuk lahan garapan baru adalah 30,4 24,1 ha = 6,3 ha per tahun atau 0,019% per tahun. Laju deforestasi sebesar 0,019% per tahun tersebut diasumsikan konstan atau linier hingga jangka waktu 30 th ke depan, dan akan dimasukkan ke dalam skenario baseline (skenario non-phl), sedangkan skenario lainnya (skenario PHL) diasumsikan nihil. Laju deforestasi di lokasi penelitian ini tergolong sangat kecil. Hal ini diduga karena lokasi PT SSS relatif masih terisolasi dari pulau-

94 76 pulau di sekitarnya terutama dari daratan Pulau Sumatera. Pulau Siberut dan Pulau Sumatera dipisahkan oleh Samudera Indonesia yang cukup jauh dengan gelombang laut yang dapat membahayakan keselamatan pelayaran. Akibatnya jumlah penduduk yang mendiami desa-desa atau kecamatan di sekitar UM masih sangat jarang. Kondisi populasi penduduk yang demikian rendah tidak menimbulknan ancaman berarti bagi peningkatan laju deforestasi di areal UM. Pada tahun-tahun mendatang, laju deforestasi diperkirakan akan sedikit meningkat di wilayah utara dan timur areal UM karena populasi penduduk di wilayah ini (Kecamatan Siberut Utara) lebih banyak dibandingan di wilayah Barat, serta jalur masuk ke dalam areal UM cukup tersedia terutama melalui alur sungai, misalnya Sungai Sigep, yang mengalir dari Selatan menuju Utara di Muara Sigep Perubahan Stok Karbon selama Proyek Berdasarkan data IHMB tahun 2010, potensi tegakan (standing stock) tiap hektar (DBH 10 cm) untuk areal belum ditebang (sebagai LOA dari PT Tjirebon Agung) sebesar 216,33 m 3 /ha, sehingga potensi total di areal efektif untuk produksi seluas ha adalah m 3 (termasuk di dalamnya hutan primer seluas 447 ha atau 1,35%). Volume tegakan sebesar itu mengandung biomassa sebanyak ton (nilai BCEF=1) yang di dalamnya tersimpan karbon sebanyak ,35 tc (faktor konversi=0,47) atau setara dengan 12,42 MtCO 2 e (faktor konversi=3,67). Pascapemanenan kayu, jumlah volume tegakan LOA setara dengan potensi tegakan sebelum ditebang dikurangi jumlah kayu yang dipanen, jumlah pohon yang rusak berat akibat pembalakan, volume kayu yang hilang saat perambahan, dan jumlah pohon yang ditebang ketika PWH berlangsung (Tabel 25). Selanjutnya biomassa tegakan tinggal akan memperoleh tambahan biomassa dari regrowth, nekromassa berkayu, tanaman pengayaan dan tanaman rehabilitasi. Pada Tabel 25 dapat dilihat potensi stok karbon di awal dan di akhir proyek. Adapun grafik perkembangan stok karbon tegakan tinggal (LOA) selama proyek berlangsung yang dibuat dengan menggunakan persamaan (13) dan metode gain-loss tersaji pada Gambar 11.

95 77 Tabel 25 Potensi stok karbon di awal dan di akhir proyek (di dalam ha) Skenario Baseline Di awal proyek (MtCO 2 e) Di akhir proyek (MtCO 2 e) 12,42 12,42 12,42 12,42 12,42 12,42 12,42 10,03 11,35 12,05 11,86 11,38 11,92 12,52 Penurunan total (%) 19,22 8,61 2,98 4,55 8,39 4,04-0,79 Penurunan rata-rata per thn (KtCO 2 e/th) 79,59 35,63 12,34 18,84 34,73 16,71-3,27 Pada skenario baseline dengan JPT terbesar yaitu m 3 /th terjadi pengurangan stok karbon tertinggi yakni sebesar 19,22% dengan rata-rata penurunan 79,59 KtCO 2 e/th. Sebaliknya pada skenario-6 dengan JPT tekecil yaitu m 3 /th, justru terjadi peningkatan stok karbon di akhir proyek sebesar 0,79% atau peningkatan rata-rata sebesar 3,27 KtCO 2 e/th. Dengan demikian, setelah 30 tahun penebangan, stok karbon tegakan tinggal dapat lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi sebelum ditebang jika intensitas tebangannya relatif kecil seperti pada skenario MtCO 2 e/thn Baseline Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4 Skenario 5 Skenario Tahun Gambar 11 Perkembangan stok karbon tegakan LOA selama proyek

96 Kredit Karbon Meskipun hampir seluruh skenario mengalami penurunan simpanan karbon (kecuali skenario-6), namun jika dibandingkan dengan skenario baseline sebagai garis dasarnya, maka sebenarnya pada keenam skenario tersebut terjadi penurunan emisi karbon hutan. Banyaknya emisi karbon yang berhasil direduksi pada setiap skenario berbanding terbalik dengan intensitas tebangannya. Jumlah akumulasi emisi karbon yang berhasil direduksi selama 30 tahun merupakan kredit karbon yang berhasil dikumpulkan. Dengan demikian skenario dengan JPT terkecil akan menghasilkan kredit karbon terbesar, seperti halnya pada skenario- 6. Dengan JPT terendah yakni m 3 /th, skenario-6 berhasil memperoleh kredit karbon tertinggi sebanyak 38,26 MtCO 2 e dengan rata-rata 38,41 tco 2 e /ha/th (Tabel 26). Jumlah kredit karbon per tahun disajikan pada Gambar 12. Tabel 26 Jumlah kredit karbon di akhir proyek pada setiap skenario Skenario Total akumulasi (MtCO2e) Rata2 /ha/th (tco2e/ha/th) 19,96 30,49 27,54 21,13 29,24 38,26 20,04 30,61 27,64 21,21 29,35 38,41 3 MtCO 2 e/th Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4 Skenario 5 Skenario 6 Tahun Gambar 12 Kredit karbon per tahun selama proyek (MtCO 2 e/th)

97 Analisis Finansial Untuk keperluan analisis finansial ini digunakan sejumlah asusmsi dan standar biaya, sebagai berikut: 1) Biaya produksi kayu bulat (log) per m 3 mengacu kepada Laporan Keuangan PT SSS tahun 2009, 2010, dan pertengahan 2011 yang telah diperiksa (direview) auditor independen. Biaya produksi log rata-rata sebesar Rp ,- per m 3. Adapun beban pemasaran sebesar Rp ,-/m 3 dan beban administrasi umum Rp ,-/m 3. 2) Harga jual log kelompok meranti berdiameter 50 cm ke atas sebesar Rp ,-/m 3 (harga yang diberlakukan UM). 3) Biaya produksi dan harga jual log tidak mengalami perubahan hingga akhir proyek (30 tahun). 4) Biaya penanaman pengayaan dan rehabilitasi diasumsikan sama untuk semua skenario dan telah dimasukkan ke dalam biaya produksi log. 5) Kayu log yang dipanen 100% dari kelompok meranti dan terjual semua. 6) Tarif PSDH dan DR sebesar Rp ,-/m 3 dan 14 USD/m 3, sedangkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebesar Rp ,-/ha/th dan pajak penghasilan sebesar 25% dari laba sebelum pajak. 7) Iuran kepada pihak ke-3 (retribusi daerah) sebesar Rp ,-/m 3, masing untuk Pemerintah Provinsi Rp ,-/m 3 dan Pemerintah Kabupaten Rp ,-/m 3. 8) Dana polajut mone (uang ketuk pintu kepada pemilik hak ulayat lahan sebelum hutan dibalak) rata-rata Rp ,-/tahun dan fee kayu kepada masyarakat sekitar konsesi sebesar Rp ,-/m 3 9) Biaya pelaksanaan IHMB diasumsikan sebesar Rp ,-/ha dimana IHMB dilakukan tiga kali selama proyek yakni pada tahun ke-10, 20, dan ke ) Biaya training untuk menyiapkan operator pelaksana RIL yang handal diasumsikan sebesar 500 USD atau Rp ,- per orang (50% dari standar biaya training operator RIL di Brasil sebesar USD/orang). Training dilakukan sekali di awal proyek yang melibatkan 20 orang dari staf bagian perencanaan dan operator pemanenan kayu.

98 80 11) Biaya transaksi proyek karbon merujuk pada Standar Pengembangan Proyek dan Pemasaran Karbon, lampiran Peraturan Menteri Kehutanan RI No.P.36/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Perijinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan/atau Penyimpanan Karbon pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung. Perhitungan di dalam penelitian ini menggunakan Voluntary Carbon Standard (AFOLU) dengan jangka waktu verifikasi 5 tahun dan bersifat ex-post credit (kompensasi karbon dibayarkan setiap 5 tahun setelah verifikasi). Biaya transaksi setiap 5 tahun terdiri dari: biaya validasi sebesar USD (dalam penelitian ini digunakan USD), biaya verifikasi sebesar USD (dalam penelitian ini digunakan USD), dan upah sertifikasi sebesar 0,04 USD per VER yang terjual (VER= Verified Emission Reduction). Juga termasuk biaya transaksi adalah biaya persiapan implementasi REDD+ sebesar 32,80 USD per ha dan biaya operasional 22,35 USD per ha. Harga karbon atau kompensasi reduksi emisi karbon adalah 4, 5, 6 USD per tco 2 e. Harga karbon 4 USD/tCO 2 e mengacu pada Proyek REDD Ulu Masen, Aceh, adapun harga 5 dan 6 USD/tCO 2 e sebagai variasi harga jika terjadi kenaikan harga. 12) Diasumsikan kredit karbon yang dihasilkan berhasil diverifikasi setiap 5 tahun dan 100% terjual. 13) Kurs 1 USD setara dengan Rp 9.000,- 14) Untuk keperluan analisis sensitivitas, digunakan beberapa asumsi yakni: a. Harga jual kayu bulat mengalami fluktuasi sebesar 15,4% yaitu naik menjadi Rp ,-/m 3 dan turun ke Rp ,-/m 3 b. Biaya transaksi proyek karbon mengalami kenaikan dan penurunan sebesar 20% dari harga semula c. Kompensasi karbon dipilah dalam tiga harga karbon yakni 4, 5, dan 6 USD per tco 2 e d. Tingkat suku bunga diskonto sebesar 10, 12, dan 14% per tahun.

99 Skenario baseline Skenario baseline menggunakan siklus tebang 30 th dan limit diameter tebang 40 cm dengan JPT sebanyak m 3 /th. Berdasarkan hasil analisis finansial terhadap seluruh biaya produksi kayu bulat dan penerimaan hasil penjualan log, skenario baseline ini sangat layak dijalankan dengan indikator nilai NPV 0 dan BCR 1. Pada tingkat suku bunga 10%, keuntungan atau NPV mencapai Rp 137,90 milyar dengan BCR 1,14, adapun pada tingkat suku bunga 12% dan 14%, NPVnya menurun menjadi Rp 117,85 milyar dan Rp 102,47 milyar dengan BCR yang sama yaitu 1, Skenario-1 Skenario-1 menerapkan rotasi tebang 30 th dan limit diameter tebang 50 cm dengan JPT sebesar m 3 /th menghasilkan kredit karbon sebanyak 19,96 MtCO 2 e. Kredit karbon sebesar itu setara dengan jumlah emisi karbon yang berhasil dicegah oleh tegakan hutan. Pada Tabel 27 disajikan hasil analisis finansial pada tingkat harga log Rp 1,3 juta. Pada tabel tersebut ditunjukkan, proyek karbon pada skenario-1 ini layak dijalankan dengan indikator nilai NPV 0 dan BCR 1. Keuntungan dalam proyek karbon meliputi keuntungan dari kegiatan pemanfaatan kayu dan dari perdagangan karbon. BCR proyek karbon umumnya lebih besar dari pemanfaatan kayu. Pada tingkat suku bunga diskonto 12% dan harga karbon 4 USD/tCO 2 e, keuntungan atau NPV total selama proyek sebesar Rp 136,12 milyar yang terdiri dari keuntungan hasil penjualan karbon sebesar Rp 31,65 milyar dan keuntungan dari pemanfaatan kayu sebanyak Rp 104,47 milyar. Harga karbon terendah yang masih layak secara finansial dimana NPV > 0 adalah 1,87 USD/tCO 2 e, adapun tingkat suku bunga maksimum yang masih layak untuk proyek karbon pada skenario-1 ini adalah 16% Skenario-2 Skenario-2 ini menerapkan JPT sebesar m 3 /th dan menghasilkan kredit karbon sebanyak 30,49 MtCO 2 e. Berdasarkan kriteria nilai NPV 0 dan BCR 1, proyek karbon pada skenario-2 ini layak untuk dikembangkan, seperti

100 82 Tabel 27 Hasil analisis finansial skenario-1 Harga karbon (tco2e) 4 USD 5 USD 6 USD NPV/BCR NPV (Rp milyar) BCR NPV (Rp milyar) BCR NPV (Rp milyar) BCR Penerimaan Tingkat Suku Bunga diskonto (%) Pemanfaatan kayu Proyek karbon Penerimaan karbon Pemanfaatan kayu Proyek karbon Kelayakan proyek Layak Layak Layak Pemanfaatan kayu Proyek karbon Penerimaan karbon Pemanfaatan kayu Proyek karbon Kelayakan proyek Layak Layak Layak Pemanfaatan kayu Proyek karbon Penerimaan karbon Pemanfaatan kayu Proyek karbon Kelayakan proyek Layak Layak Layak Tabel 28 Hasil analisis finansial skenario-2 Harga karbon (tco2e) 4 USD 5 USD 6 USD NPV/BCR NPV (Rp milyar) BCR NPV (Rp milyar) BCR NPV (Rp milyar) Penerimaan Tingkat Suku Bunga diskonto (%) Pemanfaatan kayu Proyek karbon Penerimaan karbon Pemanfaatan kayu Proyek karbon Kelayakan proyek Layak Layak Layak Pemanfaatan kayu Proyek karbon Penerimaan karbon Pemanfaatan kayu Proyek karbon Kelayakan proyek Layak Layak Layak Pemanfaatan kayu Proyek karbon Penerimaan karbon

101 83 BCR Pemanfaatan kayu Proyek karbon Kelayakan proyek Layak Layak Layak yang ditunjukkan oleh hasil analisis finansial (Tabel 28). Pada tingkat harga karbon 4 USD/tCO 2 e dan suku bunga diskonto 12%, keuntungan dari penjualan karbon sebesar Rp 67,83 milyar, sementara dari pemanfaatan kayu Rp 86,47 milyar. Harga karbon terendah yang masih layak secara finansial dimana NPV > 0 adalah 1,38 USD/tCO 2 e, adapun tingkat suku bunga maksimum yang masih layak untuk proyek karbon pada skenario-2 ini adalah 19% Skenario-3 Pada skenario-3 ini digunakan JPT sebesar m 3 /th sehingga dihasilkan kredit karbon sebanyak 27,54 MtCO 2 e. Berdasarkan kriteria nilai NPV 0 dan BCR 1, proyek karbon pada skenario-3 ini layak untuk dikembangkan, seperti yang ditunjukkan oleh hasil analisis finansial yang tertera pada Tabel 29. Tabel 29 Hasil analisis finansial skenario-3 Harga karbon (tco2e) 4 USD 5 USD 6 USD NPV/BCR NPV (Rp milyar) BCR NPV (Rp milyar) BCR NPV (Rp milyar) BCR Penerimaan Tingkat Suku Bunga diskonto (%) Pemanfaatan kayu Proyek karbon Penerimaan karbon Pemanfaatan kayu Proyek karbon Kelayakan proyek Layak Layak Layak Pemanfaatan kayu Proyek karbon Penerimaan karbon Pemanfaatan kayu Proyek karbon Kelayakan proyek Layak Layak Layak Pemanfaatan kayu Proyek karbon Penerimaan karbon Pemanfaatan kayu Proyek karbon Kelayakan proyek Layak Layak Layak

102 84 Pada tingkat harga karbon 4 USD/tCO 2 e dan suku bunga diskonto 12%, keuntungan yang diperoleh dari hasil penjualan karbon sebesar Rp 59,89 milyar, sementara dari pemanfaatan kayu Rp 89,17 milyar. Harga karbon terendah yang masih layak secara finansial dimana NPV > 0 adalah 1,42 USD/tCO 2 e, dan tingkat suku bunga maksimum yang masih layak pada skenario-3 ini adalah 19% Skenario-4 Proyek karbon pada skenario-4 ini layak untuk dikembangkan, seperti yang ditunjukkan oleh hasil analisis finansial (Tabel 30). Pada Tabel 30 tampak, pada tingkat harga karbon 4 USD/tCO 2 e dan suku bunga diskonto 12%, keuntungan yang diperoleh dari hasil penjualan karbon sebesar Rp 44,92 milyar, sementara dari pemanfaatan kayu Rp 102,41 milyar. Harga karbon terendah yang masih layak secara finansial dimana NPV > 0 adalah 1,51 USD/tCO 2 e, adapun tingkat suku bunga maksimum yang masih layak untuk proyek karbon pada skenario-4 ini adalah 18,5%. Tabel 30 Hasil analisis finansial skenario-4 Harga karbon (tco2e) 4 USD 5 USD 6 USD NPV/BCR NPV (Rp milyar) BCR NPV (Rp milyar) BCR NPV (Rp milyar) BCR Penerimaan Tingkat Suku Bunga diskonto (%) Pemanfaatan kayu Proyek karbon Penerimaan karbon Pemanfaatan kayu Proyek karbon Kelayakan proyek Layak Layak Layak Pemanfaatan kayu Proyek karbon Penerimaan karbon Pemanfaatan kayu Proyek karbon Kelayakan proyek Layak Layak Layak Pemanfaatan kayu Proyek karbon Penerimaan karbon Pemanfaatan kayu Proyek karbon Kelayakan proyek Layak Layak Layak

103 Skenario-5 Berdasarkan kriteria nilai NPV 0 dan BCR 1, proyek karbon pada skenario-5 ini layak untuk dikembangkan, seperti yang ditunjukkan oleh hasil analisis finansial (Tabel 31). Pada tingkat harga karbon 4 USD/tCO 2 e dan suku bunga diskonto 12%, keuntungan yang diperoleh dari hasil penjualan karbon sebesar Rp 66,36 milyar, sementara dari pemanfaatan kayu Rp 88,93 milyar. Harga karbon terendah yang masih layak secara finansial dimana NPV > 0 adalah 1,38 USD/tCO 2 e, adapun tingkat suku bunga maksimum yang masih layak untuk proyek karbon pada skenario-5 ini adalah 19,5%. Tabel 31 Hasil analisis finansial skenario-5 Harga karbon (tco2e) 4 USD 5 USD 6 USD NPV/BCR NPV (Rp milyar) BCR NPV (Rp milyar) BCR NPV (Rp milyar) BCR Penerimaan Tingkat Suku Bunga diskonto (%) Pemanfaatan kayu Proyek karbon Penerimaan karbon Pemanfaatan kayu Proyek karbon Kelayakan proyek Layak Layak Layak Pemanfaatan kayu Proyek karbon Penerimaan karbon Pemanfaatan kayu Proyek karbon Kelayakan proyek Layak Layak Layak Pemanfaatan kayu Proyek karbon Penerimaan karbon Pemanfaatan kayu Proyek karbon Kelayakan proyek Layak Layak Layak Skenario-6 Pada skenario-6 ini diberlakukan JPT sebesar yang merupakan JPT terkecil di antara skenario lainnya. JPT sebesar ini menghasilkan kredit karbon sebanyak 38,26 MtCO2e, yang merupakan kredit karbon terbesar di antara scenario yang lainnya. Berdasarkan kriteria nilai NPV 0 dan BCR 1,

104 86 proyek karbon pada skenario-6 ini layak untuk dikembangkan, seperti yang ditunjukkan oleh hasil analisis finansial (Tabel 32). Pada tingkat harga karbon 4 USD/tCO 2 e dan suku bunga diskonto 12%, keuntungan yang diperoleh dari hasil penjualan karbon sebesar Rp 90,41 milyar, sementara dari pemanfaatan kayu Rp 73,64 milyar. Harga karbon terendah yang masih layak secara finansial dimana NPV > 0 adalah 2,15 USD/tCO 2 e, adapun tingkat suku bunga maksimum yang masih layak untuk proyek karbon pada skenario-6 ini adalah 20,5%. Tabel 32 Hasil analisis finansial skenario-6 Harga karbon (tco2e) 4 USD 5 USD 6 USD NPV/BCR NPV (Rp milyar) BCR NPV (Rp milyar) BCR NPV (Rp milyar) BCR Penerimaan Tingkat Suku Bunga diskonto (%) Pemanfaatan kayu Proyek karbon Penerimaan karbon Pemanfaatan kayu Proyek karbon Kelayakan proyek Layak Layak Layak Pemanfaatan kayu Proyek karbon Penerimaan karbon Pemanfaatan kayu Proyek karbon Kelayakan proyek Layak Layak Layak Pemanfaatan kayu Proyek karbon Penerimaan karbon Pemanfaatan kayu Proyek karbon Kelayakan proyek Layak Layak Layak Selain memilih satu diantara enam skenario PHL yang telah diuraikan di muka, UM dapat juga menetapkan pilihan lainnya yaitu tidak melakukan penebangan, sehingga UM memperoleh pendapatan hanya dari penjualan karbon saja. Meskipun tidak menjual log, hasil analisis finansial menunjukkan UM tetap akan memperoleh keuntungan dan pilihan ini layak secara finansial untuk dijalankan karena memenuhi kriteria NPV 0 dan BCR 1, hanya saja jumlah total keuntungannya tidak sebesar skenario-skenario PHL lainnya (skenario 1-6)

105 87 yang berasal dari hasil penjualan log dan karbon. Pada tingkat suku bunga diskonto 10%, NPV atau keuntungan yang diperoleh sebesar Rp 175,71 milyar dengan BCR 1,65. Adapun pada tingkat suku bunga diskonto 12% dan 14%, NPVnya masing-masing sebesar Rp 86,32 milyar dan Rp 26,88 milyar, dengan BCR 1,35 dan 1,12. Pada Gambar 13 disajikan jumlah keuntungan atau NPV proyek perdagangan karbon yang terdiri dari keuntungan hasil penjualan log dan penjualan karbon (Rp milyar) pada tingkat harga karbon 4 USD per tco 2 e dan suku bungan diskonto 12%. Kayu Karbon Baseline (Rp M) Skenario 1 (Rp M) Skenario 2 (Rp M) Skenario 3 ( M) Skenario 4 (Rp M) Skenario 5 (Rp M) Skenario 6 ( M) Tdk menebang (Rp M) Gambar 13 Keuntungan dari proyek perdagangan karbon pada tingkat harga karbon 4 USD/tCO 2 e dan suku bungan diskonto 12% 5.7. Analisis Sensitivitas Dari keenam skenario yang menghasilkan kredit karbon, skenario-1 memiliki NPV pemanfatan kayu dan kompensasi karbon terendah. Untuk itu, guna menggambarkan tingkat kepekaan finansial terhadap berbagai perubahan komponen biaya, maka analisis sensitivitas dilakukan terhadap skenario-1 yang dianggap dapat mewakili skenario lainnya pada tingkat harga kompensasi karbon 4 USD per tco 2 e. Hasil analisis sensitivitas menunjukkan, meskipun terjadi perubahan pada komponen biaya transaksi sebesar 20% maupun harga kayu log sebesar 15,4%,

106 88 proyek karbon di hutan produksi PT SSS tetap layak untuk dijalankan. Pada Tabel 33 tampak sangat jelas, perubahan biaya transaksi sebesar 20 % (naik atau turun) dampaknyanya sedikit sekali terhadap NPV yakni hanya bergeser sekitar 4,46% hingga 7,02% saja, sedangkan perubahan harga log sangat nyata pengaruhnya terhadap NPV. Pada tingkat suku bunga 10% dan harga kayu log bergerak 15,4% (naik menjadi Rp ,-/m 3 atau turun menjadi Rp ,-/m 3 ) mampu meningkatkan atau menurunkan NPV sebesar 60,05%. Pada tingkat suku bunga 12% dan 14%, perubahan harga log akan mengakibatkan pergeseran NPV berturut-turut sebesar 67,13% dan 74,91%. Dengan demikian, NPV lebih peka terhadap perubahan harga log dibandingkan dengan perubahan biaya transaksi. Dengan kata lain, perubahan harga log, selain akan berpengaruh nyata terhadap pendapatan UM dari hasil penjualan kayu bulat, juga berdampak besar terhadap perolehan nilai kompensasi dari proyek karbon. Tabel 33 Analisis sensitivitas proyek perdagangan karbon pada skenario-1 (harga karbon 4 USD per tco 2 e) Suku bunga diskonto (%) Harga kayu log Tetap Naik Turun Tetap Naik Turun Tetap Naik Turun NPV/ BCR Biaya transaksi Tetap Naik 20% Turun 20% NPV BCR NPV BCR NPV BCR NPV BCR NPV BCR NPV BCR NPV BCR NPV BCR NPV BCR

107 89 Berdasarkan uraian di atas perihal analisis finansial proyek perdagangan karbon, tampak dengan jelas bahwa berbagai kombinasi praktik PHL yang diformulasikan ke dalam 6 macam skenario pemanfaatan kayu, memberikan keuntungan finansial yang cukup signifikan sehingga proyek perdagangan karbon tersebut layak dikembangkan. Merujuk pada nilai keuntungan total yang tertera pada Gambar 13 di atas, dapat dinyatakan bahwa skenario dengan JPT terkecil, dalam hal ini skenario-6, akan menghasilkan kredit karbon terbesar sehingga memberikan keuntungan finansial total dari proyek perdagangan karbon juga terbesar. Pada skenario-6 keuntungan dari hasil penjualan kayu memang berkurang karena berkurangnya JPT, namun pengurangan keuntungan tersebut kemudian terkompensasi oleh keuntungan hasil penjualan karbon yang nilainya jauh lebih besar, sehingga total keuntungan dari hasil penjualan kayu dan karbon melebihi skenario PHL lainnya yakni Rp 164,04 milyar selama proyek atau sekitar Rp 5,47 milyar per tahun. Berdasarkan hasil analisis ini, maka jika UM PT SSS akan terjun ke dalam penyelenggaraan karbon hutan atau proyek perdagangan karbon melalui skema REDD+ dan mengharapkan keuntungan yang maksimum, maka skenario-6 patut dipertimbangankan untuk dijadikan acuan dalam pemanfaatan kayu Periode Pulih Stok Karbon Tegakan LOA Periode pulih (recovery period) stok karbon adalah lamanya waktu (tahun) yang dibutuhkan LOA untuk kembali memiliki stok karbon tegakan seperti sediakala di awal proyek (ABD). Pendugaan periode pulih karbon dilakukan dengan membuat persamaan garis yang menggambarkan perkembangan stok karbon tegakan LOA seperti di dalam Gambar 14. Berdasarkan Gambar 11, selanjutnya dapat ditentukan persamaan garis regresi kuadratik yang menggambarkan perkembangan stok karbon tegakan LOA dari awal poyek hingga mencapai jumlah seperti sebelum ditebang. Titik waktu dimana potensi stok karbon kembali seperti sediakala, adalah durasi waktu yang dibutuhkan untuk pulih kembali. Pajang pendeknya periode pulih tegakan LOA untuk setiap skenario berbeda-beda tergantung

108 90 JPTnya. Pada Tabel 34 disajikan persamaan garis perkembangan stok karbon, dan pada Gambar 14 dilukiskan garis periode pulih. Tabel 34 Persamaan garis perkembangan stok karbon tegakan LOA Skenario Persamaan garis R 2 Baseline Y = , ,77 X + 767,009 X 2 0,99 1 Y = , ,94 X + 822,94 X 2 0,99 2 Y = , ,62 X + 862,49 X 2 0,99 3 Y = , ,02 X + 853,46 X 2 0,99 4 Y = , ,08 X + 676,66 X 2 0,99 5 Y = , ,73 X + 712,34 X 2 0,99 6 Y = , ,54 X + 746,25 X Keterangan: X = tahun, Y = potensi stok karbon tegakan LOA Pada Gambar 14 tampak bahwa semakin besar volume kayu yang ditebang (JPT) semakin lama durasi periode pulih stok karbon tegakan LOAnya, dan sebaliknya. Hal ini terlihat pada grafik skenario baseline dan skenario-6. Skenario baseline dengan JPT terbesar yaitu m3/th, memiliki durasi periode pulih stok karbon tegakan tinggal terlama yakni 137 th, sebaliknya pada scenario-6, dengan JPT terendah yakni hanya m3/th, durasi periode pulihnya 27 th. Durasi priode pulih pada skenario lainnya, yakni skenario-1, 2, 3, 4, dan 5 berturut-turut adalah: 76, 46, 54, 84, dan 56 th MtCO 2 e/th Baseline Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4 Skenario 5 Skenario 6 Tahun Gambar 14 Periode pulih (recovery period) stok karbon tegakan LOA

109 91 Berdasarkan grafik pada Gambar 14 di atas selanjutnya dapat dibuat garis regresi yang menggambarkan keterkaitan antara durasi periode pulih dengan JPT. Persamaan garis regresi linier sederhana antara periode pulih dengan JPT tersebut adalah: Y = 0,003 X 157,1 (R 2 = 0,949) seperti tampak pada Gambar 15. Y adalah lama priode pulih stok karbon (tahun) dan X adalah JPT (m 3 /ha). Periode pulih (th) y = 0.003x R² = JPT volume (m3/th) Gambar 15 Hubungan antara periode pulih stok karbon tegakan LOA dan JPT (m 3 /th) Berdasarkan persamaan regresi di atas, dapat ditentukan nilai JPT (m 3 /ha) yang akan menghasilkan durasi pulih stok karbon tegakan LOA sesuai dengan siklus tebangnya (Tabel 35). Dengan demikian, UM dapat menetapkan nilai JPT yang dikaitkan dengan periode pulih tegakan LOA dan sesuai dengan siklus tebangan yang telah ditentukan. Sebagai misal, siklus tebangan ditetapkan 30 th maka idealnya UM memilih JPT yang menghasilkan durasi periode pulih selama 30 th juga, yaitu sebesar m 3 /th. Tabel 35 Periode pulih tegakan LOA dan JPT Periode pulih stok karbon (th) JPT (m 3 /th)

110 92 Mengacu pada Tabel 35 di atas juga tampak bahwa setiap peningkatan JPT sebesar m 3 /th akan memperlambat periode pulih stok karbon pada tegakan tinggal selama 5 tahun. Sasaki et al. (2011) menggunakan grafik periode pulih seperti Gambar 14 di atas untuk membuat klasifikasi tegakan LOA berdasarkan tingkat degradasinya dengan tujuan memberi arahan solusi atau langkah-langah strategis agar tegakan LOA kembali pulih seperti sediakala (Gambar 16). Mereka tidak menjabarkan lebih lanjut berapa lama durasi waktu yang dibutuhkan setiap kategori LOA tersebut untuk kembali pulih ke kondisi tegakan semula. Lebih lanjut mereka memperkenalkan istilah periode restorasi (restoration period) yaitu jangka waktu antara titik balik hingga titik waktu dimana kondisi stok karbon semula telah tercapai. Bila menggunakan Gambar 14 di atas, maka lamanya periode restorasi tersebut kira-kira setengah dari periode pulih (recovery periode). Begitu juga Alder (1999) menyampaikan ilustrasi yang sama perihal priode pemulihan tegakan tingggal di hutan tropika lembab (moist tropical forest) dengan menggunakan parameter volume tegakan (untuk jumlah kayu yang dipanen dan tegakan yang rusak akibat pembalakan) serta riap volume. Durasi periode pulih stok karbon maupun biomassa tegakan tinggal di tempat lain umumnya juga lebih lama dari siklus tebangnya. Lama periode pulih hutan bekas tebangan menuju ke keadaan hutan primer, yaitu: tahun untuk biomassa hutan, 120 tahun untuk potensi tegakan, dan tahun untuk keanekaragaman jenis. Hal ini dikarenakan, pohon-pohon di hutan tropis yang berukuran besar telah mencapai umur ratusan tahun, sehingga pemulihan bagi pohon-pohon besar tersebut membutuhkan waktu yang jauh lebih lama dari masa rotasi tebangan tahun yang umum diterapkan di wilayah tropis (Shearman et al. 2011). Menurut Halle (1976) dalam Indrawan (2000), suksesi sekunder di dalam chablis atau gap akan menciptakan komunitas tumbuhan yang sama dengan komunitas di sekitarnya dalam jangka waktu sekitar 200 tahun. Sedangkan Aweto (1981) dalam Indrawan (2000) menyatakan bahwa mature forest (hutan primer) pada suksesi sekunder akan terbentuk kira-kira 80 tahun. Hasil kajian Huc dan Rosalina (1981) dalam Anwar et al. (1984) menunjukkan, suksesi

111 93 sekunder menuju hutan primer yang berlangsung di dalam rumpang di hutan tropis Sumatera (Sumbar, Jambi, Sumsel, dan Lampung) rata-rata membutuhkan waktu 117 th. Gambar 16 Kurva tingkat degradasi hutan dan periode pulih (Sasaki et al. 2011) Blanc et al. (2009) melaporkan hasil pengukurannya di hutan tropika Guyana Perancis, Amerika Latin, bahwa tegakan LOA hasil tebang pilih dengan intensitas 32,5 m 3 /ha atau 10,4 btg/ha yang setara dengan emisi 85 MgC/ha, akan pulih dalam jangka waktu 45 th. Adapun yang ditebang dengan intensitas 53,4 m 3 /ha atau 20,6 btg/ha yang setara dengan emisi 142 MgC/ha membutuhkan periode pulih selama lebih dari 100 th. Sementara itu, Bonnell et al. (2011) yang melakukan penelitian di hutan tropika Uganda, Afrika Timur, menemukan bahwa tegakan LOA yang telah ditebang dengan intensitas 14 m 3 /ha akan pulih dalam periode 95 th, sedangkan hutan yang ditebang dengan intensitas yang lebih tinggi yakni 21 m 3 /ha membutukan waktu selama 112 th untuk memulihkan diri dan kembali seperti hutan primer. Adapun tegakan LOA di hutan Nigeria, yang hampir sama kondisinya dengan hutan-hutan lainnya di Afrika Barat, untuk dapat pulih kembali (steady-state) membutuhkan waktu selama 250 tahun (Jones 1956 dalam Whitmore 1991). Read dan Lawrence (2003) juga melaporkan hasil kajiannya terhadap hutan tropis di Yucatan Mexico. Mereka berkesimpulan

112 94 bahwa biomassa tegakan LOA akan pulih dan mendekati kondisi biomassa sebelum dipanen dalam kurun waktu tahun. Hasil simulasi dampak pembalakan terhadap simpanan karbon di hutan Dipterokarpa Malaysia, Pinard dan Cropper (2000) memprediksi lama periode pulih agar LOA kembali memiliki kandungan karbon seperti sebelum dipanen sekitar 120 tahun. Mereka juga menyatakan bahwa mereduksi kerusakan fatal pada tegakan tinggal dari 40% menjadi 20% setara dengan peningkatan stok karbon sebesar 36 tc per hektar yang mampu dicapai dalam kurun waktu lebih dari 60 tahun. Sama halnya dengan Putz et al. (2008) yang telah melakukan penelitian jangka panjang di Malaysia untuk mengkaji pengaruh penerapan teknik pembalakan konvensional (CL) dan RIL. Temuan mereka menunjukkan, setelah 30 tahun ditebang, tegakan yang dipanen dengan teknik RIL memiliki stok karbon 30 tc lebih banyak dibandingkan dengan yang menggunakan CL (Gambar 13-A). Bila diperhatikan dengan seksama, dalam kurun waktu 30 tahun tersebut jumlah stok karbon tegakan LOA yang dipanen dengan CL baru meningkat ± 20 tc atau sekitar 20%nya saja. Jika Gambar 17-A tersebut direkonstruksi dengan memperpanjang garis kurvanya dan diasumsikan kurva tersebut berupa garis regresi kuadratik, maka diperoleh garis terputus-putus berwarna merah dan biru. Berdasarkan gambar yang baru tersebut (Gambar 17- B), dapat diketahui periode pulih tegakan LOA yang ditebang dengan teknik CL sekitar 80 tahun sedangkan yang menggunakan teknik RIL sekitar 70 tahun. Namun jika kurva tersebut merupakan garis regresi linier, maka bila direkonstruksi akan menghasilkan garis terputus-putus berwarna hitam (a) dan (b). Garis (a) yaitu yang menggunakan teknik CL, periode pulihnya sekitar 200 tahun, sedangkan garis (b) yang menerapkan RIL periode pulihnya sekitar 170 tahun. Labetubun (2004) telah melakukan simulasi pendugaan periode pulih tegakan LOA di areal PT. Telagabakti Persada (PT.TP), Maluku Utara, berdasarkan intensitas penebangan dan jumlah pohon yang ditebang dalam sistem silviultur TPTI dengan menggunakan metode pendekatan dinamika struktur tegakan tinggal. Periode pulih yang diperoleh menjadi dasar penentuan siklus tebang tegakan LOA. Dicapainya periode pemulihan ditandai oleh luas bidang

113 95 dasar (m 2 /ha) yang sama dengan hutan alam primer (31,5 m 2 /ha) dan distribusi tegakan LOA yang mendekati tegakan awal. A B Gambar 17 (A) Ilustrasi asli dari Putz et al. (2008), (B) hasil rekonstruksi dengan memperpanjang garis kurva (garis terputus-putus) Hasil simulasi Labetubun (2004) memperlihatkan bahwa periode pulih di PT. TP lebih singkat dibandingkan dengan hasil prediksi dalam penelitian ini. Sebagai contoh, pada intensitas tebangan pohon (DBH 60 cm) sebanyak 7,84; 9,40; 10,97; dan 12,54 btg/ha, lama periode pulihnya berturut-turut hanya: 19, 21, 23, dan 25 th. Jadi setiap kenaikan satu pohon yang ditebang akan memperpanjang periode pulih 1,09 th. Angka ini sangat kontras bila dibandingkan dengan LOA di PT. SSS, dimana peningkatan satu pohon yang dipanen akan memperlambat periode pulih sekitar 20 th. Hasil kajian Labetubun (2004) juga menunjukkan, meskipun ditebang dengan intensitas yang tergolong tinggi (12,54 btg/ha), tegakan LOA akan pulih kembali pada aspek luas bidang dasar tegakan dalam kurun waktu 25 tahun, artinya 10 tahun lebih cepat dari rotasi tebangannya (35 tahun). Lama periode pulih yang relatif singkat hasil studi Labetubun (2004) tersebut sejalan dengan hasil pengamatan Ghazoul & Hellier

114 96 (2000) yang menyatakan bahwa periode pulih untuk luas bidang dasar berkisar tahun. Nampaknya dalam pendekatan dinamika struktur tegakan tinggal yang menggunakan variabel kerapatan tegakan dan luas bidang dasar (misalnya dalam menentukan ingrowth, upgrowth, dan mortality), akan dihasilkan durasi periode pulih lebih singkat dibandingkan jika menggunakan dimensi volume/biomassa/stok karbon seperti yang dilakukan dalam penelitian ini maupun penelitian-penelitian terdahulu (Tabel 36). Tabel 36 Hasil-hasil penelitian tentang periode pulih di hutan tropis No Peneliti Lokasi Intensitas Tebangan /Parameter Tegakan Periode Pulih (th) 1 Blanc et al. (2009) Hutan tropis Guyana Perancis, Amerika 32,5 m 3 /ha (10,4 btg/ha) 45 53,4 m 3 /ha (20,6 btg/ha) Bonnell et al. (2011) 3 Pinard & Cropper (2000) Hutan tropis Uganda, Afrika Hutan Dipterokarpa Malaysia 14 m 3 /ha m 3 /ha ton karbon (tc) 60 4 Putz et al. (2008) Hutan Dipterokarpa Malaysia 125 m3/ha (asumsi kurvanya berupa garis regresi kuadratik) 125 m3/ha (asumsi kurvanya berupa garis regresi linier) 80 (CL); 70 (RIL) 200 (CL); 170 (RIL) 5 Halle (1976) dalam Indrawan (2000) Gap akibat penebangan pohon Suksesi sekunder menuju kondisi semula Aweto (1981) dalam Indrawan (2000) Tegakan LOA hutan tropis Suksesi sekunder menuju kondisi mature forest (hutan primer) 80 7 Huc & Rosalina (1981) dalam Anwar et al. (1984) Sumatera (Sumbar, Jambi, Sumsel, Lampung Suksesi sekunder di dalam rumpang menuju hutan primer Labetubun Maluku Utara 31,5 m 2 /ha (12,54 (2004) * ) btg/ha) Keterangan: * ) menggunakan pendekatan dinamika struktur tegakan 25

115 Penyelenggaraan Karbon Hutan dan PHL Untuk memulihkan kondisi hutan bekas tebangan agar kembali seperti keadaan semula sehingga dengan begitu kelestarian hasil hutan khususnya kayu akan tercapai, Sasaki et al. (2011) menyarankan tiga langkah penting yang harus dilakukan, yaitu: (1) mencegah atau menghentikan segala bentuk penyebab terjadinya degradasi hutan dan membiarkan hutan memulihkan dirinya, (2) mempercepat regenerasi dan pertumbuhan pohon melalui penerapan beragam perlakuan silvikultur, dan (3) melakukan penanaman pengayaan (enrichment planting) di dalam gap (alami atau buatan) seperti areal terbuka bekas tebangan dan penyaradan. Terkait dengan kegiatan pengayaan, UM PT SSS telah merintis kegiatan pengayaan di kiri-kanan bekas jalan sarad dengan jarak tanam 5 m. Jenis pohon yang dipilih adalah jenis niagawi dari kelompok Dipterocarpaceae terutama meranti dan keruing, dan untuk sementara ini yang banyak ditanam adalah jenis meranti merah (Shorea selanica Bl.). Hasil evaluasi terhadap pertumbuhan tanaman pengayaan yang berumur sekitar satu tahun, hasilnya sangat memuaskan dengan persen tumbuh di atas 90%. Selain kegiatan pengayaan, juga telah dilakukan kegiatan rehabilitasi lahan kosong di bekas TPn, di kanan-kiri jalan utama dan jalan cabang. Jenis tanaman rehabilitasi yang dipilih adalah jenis cepat tumbuh (fast growing species) seperti jenis sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen), gmelina (Gmelina arborea Roxb.) dan sungkai (Peronema canescens Jack.) dengan tujuan agar lahan kosong tersebut segera ternaungi oleh tajuk. Penambahan stok karbon tegakan tinggal melalui penanaman pengayaan dan rehabilitasi mampu mempersingkat durasi periode pulih stok karbon tegakan LOA. Hasil simulasi untuk menghitung periode pulih tegakan LOA di PT SSS menunjukkan durasi periode pulih pada skenario-6 adalah 27 th. Jika hasil serapan karbon dari tanaman pengayaan dan rehabilitasi tidak diperhitungkan, maka durasi periode pulih pada skenario-6 mencapi 30 th.

116 98 Berdasarkan hasil prediksi terhadap stok karbon dan kredit karbon pada enam skenario PHL yang dibuat, dapat diketahui durasi pulih stok karbon di setiap skenario. Durasi pulih antar skenario berbeda-beda tergantung pada JPTnya masing-masing. Semakin kecil JPT yang diterapkan, akan semakin singkat durasi pulih stok karbon pada tegakan tinggalnya. Hal ini tampak pada skenario baseline dan skenario-6. Skenario baseline yang memberlakukan JPT terbesar yakni m3/th menghasilkan durasi periode pulih terlama yaitu 137 th, sebaliknya skenario-6 yang menerapkan JPT terkecil yaitu m3/th menghasilkan durasi priode pulih hanya 27 th saja. Informasi tentang durasi periode pulih stok karbon tegakan tinggal ini dirasakan sangat penting untuk diketahui oleh UM IUPHHK-HA dan dijadikan salah satu bahan pertimbangan di dalam perencanaan pemanenan hutan khususnya saat menetapkan JPT. Dalam kaitan dengan UM PT SSS yang akan menerapkan skenario-1 (siklus tebang 30 th dan limit DBH tebangan 50 cm), maka berdasarkan hasil perhitungan, tegakan LOA membutuhkan waktu selama 76 tahun untuk pulih kembali dari segi stok karbonnya. Artinya begitu siklus tebang pertama selesai (30 th), tegakan LOA harus diberi jeda waktu terlebih dahulu selama 46 tahun untuk memulihkan diri hingga siap dipanen kembali pada rotasi berikutnya (siklus tebang kedua). Jangka waktu 46 tahun untuk masa jeda sambil menunggu tuntasnya pemulihan karbon tegakan LOA, sudah tentu akan menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat besar baik bagi UM, pemerintah, maupun elemen masyarakat sekitar hutan yang kehidupannya sudah bergantung kepada gerak laju roda pengusahaan hutan. Dampak lanjutan dari kondisi ini adalah terhentinya efek ganda (multiplier effect) dari kehadiran suatu unit IUPHHK-HA bagi perekonomian daerah dan regional. Namun di lain pihak, jika ditinjau dari segi kelestarian produksi (kayu, non-kayu, dan jasa lingkungan) dalam kerangka pengelolaan hutan lestari, periode pulih stok karbon tegakan LOA ini sangat penting untuk memberi kesempatan kepada tegakan tinggal memulihkan diri hingga kembali memiliki potensi yang sama dengan keadaan sebelum ditebang. Benturan antara kepentingan ekonomi pengusahaan hutan di satu sisi, dan aspek kelestarian fungsi produksi dan ekologi (berwujud kepedulian terhadap

117 99 periode pemulihan stok karbon tegakan LOA) di sisi lain, dapat diatasi melalui suatu kompromi (trade-off) dalam bentuk tindakan pengelolaan hutan yang mampu mengakomodasi kedua aspek tersebut sehingga keduanya dapat berjalan secara optimal. Bentuk kompromi tersebut adalah UM mengurangi JPTnya, dalam hal ini memilih skenario-6, dengan disertai kesediaan berpartisipasi dalam penyelenggraan karbon hutan (perdagangan karbon hutan). Melalui kompromi ini, secara ekonomi UM mendapatkan keuntungan finansial yang cukup besar, di sisi lain kepentingan fungsi produksi, ekologi, dan sosial tetap terjaga. Menerapkan skenario-6 memang akan mengurangi keuntungan dari hasil pemanfaatan kayu (hanya Rp 73,64 milyar), serta akan mengurangi pasokan bahan baku bagi industri pengolahan kayu yang selama ini membeli log dari PT SSS, sehingga akan menimbulkan efek berantai bagi perekonomian kedua belah pihak. Jika UM ikut dalam penyelenggaraan karbon hutan atau perdagangan karbon, merosotnya keuntungan dari hasil penjualan log pada skenario-6 akan terkompensasi oleh keuntungan dari jasa serapan karbon yang berjumlah paling besar yakni Rp 90,41 milyar, sehingga keuntungan totalnya menjadi yang tertinggi di antara skenario lainnya yaitu Rp 164,05 milyar daam jangka waktu selama 30 tahun atau rata-rata Rp 5,47 milyar per tahun. Tujuan utama PHL di hutan produksi adalah tercapainya kelestarian fungsi produksi dengan salah satu kriterianya: kelestarian hasil hutan. Salah satu penciri dalam pencapaian tujuan tersebut adalah indikator P2.5: kondisi tegakan tinggal (LEI 2000). Dengan demikian dalam konteks PHL, jika diinginkan ekosistem hutan selalu dapat menyediakan barang dan jasa secara berkesinambungan, maka potensi tegakan tinggal harus tetap terjaga dari generasi ke generasi. Dengan kata lain, tegakan yang akan dimanfaatkan pada siklus tebang berikutnya, kondisinya harus sudah pulih kembali seperti keadaan sebelum ditebang. Dalam perspekif karbon, maka tegakan tinggal yang siap kembali dipanen adalah jika stok karbonnya telah pulih seperti sediakala. Keterpulihan stok karbon ini dapat menjadi salah satu instrumen pengelolaan hutan untuk menilai apakah suatu tegakan LOA sudah siap kembali dimanfaatkan pada siklus tebang berikutnya. Hal ini sejalan dengan sistem pengelolaan hutan dengan paradigma kelestarian yang kuat (strong sustainability paradigm) yang

118 100 menetapkan adanya stok yang konstan dari waktu ke waktu, dengan menggunakan prinsip pencegahan penurunan sumberdaya hutan dan kualitas lingkungan (Bahruni 2008). Hasil analisis dalam penelitian ini memperlihatkan, dari enam skenario PHL, hanya skenario-6 yang memiliki periode pulih paling singkat dibandingan dengan skenario lainnya, bahkan lebih singkat dari siklus tebangnya yakni hanya 27 tahun. Hal ini tercapai karena JPTnya paling kecil di antara skenario yang lainnya yaitu hanya m 3 /th. Jika kondisinya sedemikian rupa, maka kelangsungan produksi akan terjamin dimana begitu siklus tebang pertama selesai, UM dapat langsung memasuki siklus tebang berikutnya tanpa jeda waktu. Maka dari itu, terkait dengan implementasi PHL, sangatlah bijaksana jika UM PT SSS memilih skenario-6. Seperti yang telah dijelaskan di muka, penetapan JPT yang relatif rendah seperti pada skenario-6, dipastikan akan mengundang kekhawatiran banyak pihak, termasuk pemerintah, karena akan terjadi penurunan pasokan bahan baku berupa log bagi industri pengolahan kayu sehingga menggangu proses produksi kayu olahan. Meskipun begitu, goncangan yang terjadi pada industri pengolahan kayu akibat merosotnya pasokan bahan baku, kemungkinan besar tidak akan berlangsung lama, karena setelah itu akan terjadi proses adaptasi sehingga tercapai keseimbangan supply-demand yang baru. Selain itu, penyesuaian juga akan berlangsung pada aspek penerapan teknologi pengolahan kayu yang lebih efisien dengan tingkat rendemen yang lebih tinggi serta penggunaan bahan baku kayu yang berasal dari sumber-sumber lain di luar hutan alam seperti hutan tanaman industri (HTI) kayu pertukangan, hutan tanaman rakyat (HTR), maupun hutan rakyat (HR). Jadi dalam jangka pendek, penurunan pasokan log bagi industri pengolahan kayu, dipastikan akan terjadi kerugian secara ekonomi, namun dalam jangka panjang akan memberikan keuntungan dalam dua hal, yaitu manfaat ekonomi dan manfaat lingkungan atau ekosistem hutan. Manfaat ekonomi yang dimaksudkan adalah berupa jaminan ketersediaan biomassa kayu atau stok karbon dalam jangka panjang. Menurut Putz et al. (2012), satu-satunya cara untuk dapat menjamin kelestarian hasil kayu adalah dengan mengurangi frekuensi pemanenan, dimana siklus tebangan diperpanjang

119 101 menjadi tahun agar stok kayu terpulihkan secara penuh (full recovery of timber stocks). Cara ini juga akan sangat bermanfaat bagi stok karbon dan keanekaragaman hayati karena frekuensi gangguan akan jauh berkurang. Sayangnya, meskipun jarang diberitakan, kecenderungannya justru sebaliknya, yakni melakukan premature reentry logging atau pembalakan kembali sebelum waktunya, yang mana akan memberi keuntungan finansial sesaat tetapi akan menguras persediaan kayu, stok karbon, dan keanekaragaman hayati untuk masa depan. Putz et al. (2012) menambahkan, mereduksi intensitas tebangan akan membantu meningkatkan kelestarian hasil kayu, simpanan karbon, serta mempertahankan komposisi jenis dan struktur tegakan tanpa memakan biaya. Penurunan intensitas tebangan dapat dilakukan dengan cara mengurangi volume tebangan, menaikkan batas diameter tebangan, dan memperpanjang siklus tebangan. Dengan demikian, jika dikaitkan dengan hasil kajian dalam penelitian ini, menerapkan JPT yang menghasilkan periode pulih lebih lama dari siklus tebangnya, namun setelah selesai satu siklus tebang kemudian segera masuk ke siklus berikutnya tanpa jeda waktu, maka dapat dikatakan akan terjadi premature reentry logging juga yang akan menguras potensi tegakan secara besar-besaran hingga terjadi degradasi hutan yang sangat berat. Situasi ini dalam jangka panjang akan membuat kolaps berbagai pihak (stakeholders) yang secara ekonomi maupun tradisi sangat tergantung kepada hutan. Berbagai manfaat lingkungan dari penerapan JPT yang rendah banyak ragamnya. Penerapan JPT yang rendah akan mengurangi emisi karbon sehingga membantu dalam mitigasi perubahan iklim. Selain itu juga akan diperoleh manfaat dari segi perlindungan tanah dan air serta keanekaragaman hayati. Hubungan keterkaitan antara penerapan PHL, penyelenggaraan karbon hutan, dan mitigasi perubahan iklim sektor kehutanan dapat dilihat pada Gambar 18. Dengan demikian, apabila UM memutuskan untuk memilih skenario-6, maka UM akan memetik banyak manfaat. Manfaat pertama, tegakan LOA akan pulih dalam jangka waktu kurang dari 30 th, sehingga kelangsungan usaha akan terjamin.

120 102 Implementasi PHL Tujuan utama PHPL: Kelestarian Fungsi Produksi Kriteria: Kelestarian Hasil Hutan Indikator (P.2.5): Kondisi Tegakan Tinggal Potensi hutan konstan dari waktu ke waktu Periode pulih stok karbon rotasi tebang Mitigasi perubahan iklim Perpanjang siklus tebang, peningkatan batas DBH tebang Pengurangan JPT Reduksi emisi karbon Perlindungan tanah-air, keanekaragaman hayati Penylenggaraan karbon hutan (Permenhut P.20/2012 & P.36/2009) Produksi log berkurang Kredit karbon &Manfaat ekonomi hasil penjualan karbon Pasokan bahan baku berkurang Adaptasi thd kurang pasokan bhn baku Goncangan ekonomi (jangka pendek) Kapasitas produksi diturunkan, penggunaan teknologi baru yg lebih efisien, penyesuaian harga jual kayu olahan, sumber bhn baku alternatif (HTI, HTR, HR) Gambar 18 Hubungan keterkaitan antara penerapan PHL, penyelenggaraan karbon hutan, dan mitigasi perubahan iklim sektor kehutanan

121 103 Selain itu intensitas tebangan yang begitu rendah akan mengurangi dampak buruk dari kegiatan pembalakan terhadap tegakan tinggal maupun kondisi tanah dan air. Berdasarkan data IHMB PT SSS tahun 2010, volume ratarata pohon masak tebang sebesar 7,25 m 3 /phn, sehingga dengan JPT sebesar m 3 /th maka hanya sebanyak 8,26 btg/ha pohon saja yang ditebang. Sebagian besar atau 53% kondisi topografi lapangan areal PT SSS tergolong agak curam hingga curam, sehingga banyaknya pohon yang ditebang per hektar menjadi faktor penting yang perlu dipertimbangkan, semakin sedikit pohon yang ditebang akan semakin baik. Manfaat kedua, jika terlibat dalam penyelenggaraan karbon hutan atau proyek perdagangan karbon, UM akan memperoleh keuntungan finansial jauh lebih besar jika dibandingkan dengan skenario lainnya maupun juga dengan skenario baseline. Skenario-6 memberikan keuntungan total sebesar Rp 164,04 milyar atau 39,19% lebih banyak dari pendapatan skenario baseline yang hanya mengandalkan dari hasil penjualan kayu saja dengan keuntungan Rp 117,85 milyar. Manfaat ketiga, terkait isu lingkungan global, jika memilih skenario-6 maka UM telah turut serta dalam upaya mitigasi perubahan iklim. Berdasarkan prediksi yang telah dilakukan, skenario-6 menghasilkan reduksi emisi karbon terbesar akibat dari kegiatan pembalakan jika dibandingakan dengan skenario lainnya. Manfaat keempat, penyelenggaraan karbon hutan atau perdagangan karbon dalam skema REDD+ diperkirakan akan memberikan dampak positif bagi perlindungan keanekaragaman hayati. Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil analisis vegetasi dan mengacu pada kriteria yang digunakan, secara umum karakteristik vegetasi hutan LOA (tahun tebang 2008, 2009, 2010, dan 2011) dan areal belum ditebang (ABD) tidak begitu berbeda. Beberapa parameter atau indeks yang diperbandingkan antara LOA dan ABD seperti: tingkat keanekaragaman jenis (H ), kekayaan spesies (R 1 ), kemerataan jenis (E), dominansi jenis (C), jenis dominan (INP), kemerataan komunitas (IS), dan struktur tegakan, memberi indikasi yang kuat bahwa antara LOA dan ABD banyak memiliki kesamaan. Hal ini menunjukkan

122 104 bahwa aktivitas pemanenan kayu tidak banyak mengubah nilai-nilai berbagai parameter vegetasi. Selain untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebagai tujuan utama, penerapan skema REDD+ juga akan dihasilkan beberapa manfaat sampingan (co-benefit). Mafaat sampingan tersebut dapat berupa pengentasan kemiskinan, perbaikan jasa lingkungan termasuk perlindungan keanekaragaman hayati, dan perbaikan tata kelola hutan (forest governance) serta kepastian pemilikan lahan atau tenurial (CIFOR 2009). Di dalam COP-16 tahun 2010 di Cancun, Meksiko, telah dihasilkan Kesepakatan Cancun (Cancun Agreement) dimana salah satu klausulnya adalah UNFCC (Badan PBB untuk Perubahan Iklim) meminta kepada seluruh peserta untuk mendorong, melaksanakan, dan melaporkan hasil implementasi perlindungan sosial dan lingkungan (social and environmental safeguards) dalam rangka pelaksanaan REDD+. Perlindungan (safeguards) dalam REDD+ adalah serangkaian kebijakan dan tindakan dalam pelaksanaan REDD+ yang berdampak langsung maupun tidak langsung, terhadap masyarakat dan ekosistem. Dalam batasan tentang safeguards tersebut termasuk di dalamnya aspek transparansi tata kelola, penghargaan terhadap hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal yang berpartispasi dalam kegiatan REDD+, serta berbagai aktivitas yang mengurangi resiko hilangnya keanekaragaman hayati, permanensi, dan kebocoran emisi karbon. Pada salah satu kesepakatan tentang perlindungan (safeguards) tersebut dinyatakan bahwa aksi-aksi yang dijalankan dalam REDD+ harus konsisten dengan konservasi hutan alam dan keanekaragaman hayati (Jagger et al. 2012). Sementara itu UN-REDD (2010) menyatakan bahwa saat ini berkembang keyakinan bahwa cadangan karbon di hutan alam yang masih utuh dengan tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi, cenderung memiliki kelentingan (resilience) yang lebih baik terhadap perubahan iklim daripada cadangan karbon di hutan tanaman yang memiliki keanekaragaman hayati yang lebih rendah. Kelentingan dalam konteks ini berarti bahwa hutan alam dapat bertahan dari pengaruhpengaruh negatif perubahan iklim dan/atau mampu kembali ke kondisi seperti semula (recovery). Dengan demikian meningkatkan kelentingan karbon

123 105 merupakan salah satu cara dimana konservasi keanekaragaman hayati dapat menguntungkan REDD+. Paoli et al. (2010) menyatakan bahwa deforestasi dan degradasi hutan di daerah tropis merupakan sumber utama emsisi GRK global. Sementara itu hutan tropis mengandung lebih dari setengah jenis-jenis terancam punah yang ada di dunia, sehingga upaya reduksi emisi GRK dengan jalan mengurangi deforestasi hutan tropis merupakan langkah penting dalam mewujudkan co-benefit bagi konservasi keanekaragaman hayati. UN-REDD (2010) menyimpulkan adanya hubungan yang erat antara tingkat keanekragaman hayati atau biodiversitas dengan kelentingan karbon hutan. Secara rinci UN-REDD (2010) menyatakan: 1. Berdasarkan kajian literatur terdapat bukti yang kuat bahwa biodiversitas berperan di dalam meningkatkan kelentingan karbon. Diduga kuat, hutan yang lebih beragam jenisnya akan memiliki daya tahan yang lebih tinggi dari pengaruh buruk perubahan iklim. 2. Terdapat bukti kuat yang menunjukkan bahwa keutuhan hutan alam tropis akan membantu kelentingan stok karbonnya terhadap perubahan iklim. 3. Untuk kepentingan pengurangan emisi dan juga ketahanan terhadap dampak negatif perubahan iklim, hutan alam tebukti lebih baik dari hutan tanaman. Berdasarkan kesimpulan dari UN-REDD (2010) tersebut di atas, terdapat tiga macam atribut ekologis hutan yang akan mampu bertahan dalam menghadapi dampak buruk perubahan iklim karena memiliki daya lenting (resilience) yang tinggi. Ketiga macam atribut ekologis tersebut adalah: biodiversitas (keanekaragaman hayati), keutuhan hutan, dan ke alamian hutan. Terkait dengan kajian di hutan alam produksi PT SSS, maka yang perlu dianalisis lebih lanjut adalah aspek biodiversitas dan keutuhan hutan. Untuk aspek kealamian, hutan di areal PT SSS seluruhnya masih berupa hutan alam, bukan hutan tanaman atau HTI (hutan tanaman industri). Menurut UN-REDD (2010), hutan dengan biodiversitas yang tinggi memiliki kelimpahan fungsional (functional redundancy) yang tinggi pula, sehingga akan meningkatkan kelentingan cadangan karbon hutan. Berdasarkan hasil analisis vegetasi, hutan produksi di dalam areal PT SSS memiliki tingkat

124 106 biodiversitas yang tergolong tinggi, baik dari segi jumlah spesies tumbuhan (S) maupun indeks biodiversitasnya (H ). Menurut Putz et al. (2012), kekayaan jenis (species richness) tumbuhan, juga burung, invertebrata dan mamalia, pada hutan yang dipanen secara tebang pilih tidak berbeda nyata dengan hutan yang belum ditebang. Sekitar 90% kekayaan jenis tumbuhan dari hutan belum ditebang masih dijumpai pada hutan yang telah ditebang. Sama halnya seperti yang dilaporkan oleh Berry et al. (2010), bahwa hasil pengamatan di Sabah, menunjukkan, lebih dari 90% jenis satwa yang teramati di hutan primer juga dijumpai di tegakan LOA. Dari segi perlindungan biodiversitas tumbuhan, kehadiran REDD+ diduga kuat akan semakin melindungi dan menjaga biodiversitas dari berbagai gangguan, terutama gangguan perambahan (deforestasi), degradasi hutan, dan penebangan liar. Degradasi hutan dapat ditimbulkan dari kegiatan pembalakan dengan intensitas tebangan yang cukup tinggi. Dengan demikian, di hutan produksi kegiatan pemanenan menjadi kunci penentu tinggi rendahnya degradasi hutan yang akan muncul. Pembalakan dengan intensitas rendah dan disertai dengan penerapan RIL akan mampu mencegah degradasi hutan secara nyata. Dengan demikian, meskipun sudah menerapkan PHL serta menggunakan teknik pemanenan RIL, namun jika UM masih menerapkan JPT berintensitas tebangan yang tinggi yang mana akan menghasilkan periode pulih stok karbon lebih lama dari siklus tebangannya, maka tegakan LOA akan terdegradasi dan membutuhkan waktu lama untuk pulih kembali sehingga memiliki daya lenting karbon yang rendah. Kondisi ini angat rentan terhadap dampak buruk perubahan iklim. Oleh karena itu, bila dikaitkan dengan hasil simulasi yang telah dilakukan dimana skenario-6 diketahui memiliki periode pulih tersingkat yakni hanya 27 tahun, maka jika UM ingin memberi perlindungan terhadap biodiversitas tumbuhan pada tegakan LOA, sangat ideal apabila UM memilih skenario-6 di dalam pemanfaatan kayunya saat melaksanakan proyek REDD+. Memilih skenario-6 sangat relevan dan strategis jika dikaitkan dengan perlindungan terhadap biodiversitas satwa liar di areal PT SSS. Di dalam areal PT SSS hidup empat jenis primata yang tergolong endemik Pulau Siberut, dilindungi, dan terancam punah. Keempat jenis primata tersebut adalah:

125 107 (1) Hylobates klossii (Miller, 1903) atau Bilou dengan status Vulnerable (IUCN), Appendix I (CITES), dilindungi (PP No.7/1999) dan endemik P.Siberut; (2) Macaca pagensis (Miller, 1903) atau Bokoi dengan status Critical Endangered (IUCN), Appendix II (CITES), dilindungi (PP No.7/1999) dan endemik P.Siberut; (3) Presbytis potenziani (Bonaparte, 1856) atau Joja dengan status Vulnerable (IUCN), Appendix I (CITES), dilindungi (PP No.7/1999) dan endemik P.Siberut; (4) Nasalis concolor (Miller, 1903) atau Simias concolor atau Simakobu dengan status Endangred (IUCN), Appendix I (CITES), dilindungi (PP No.7/1999) dan endemik P.Siberut (Fakultas Kehutanan IPB 2009). Keempat jenis primata endemik tersebut merupakan satwa arboreal yang hampir seluruh akivitasnya dilakukan di atas tajuk pohon yang tinggi. Pohonpohon yang bertajuk tinggi adalah habitat penting bagi kehidupan mereka. Dengan demikian berkurangnya tajuk pohon-pohon yang tinggi menjadi ancaman serius bagi kelangsungan hidup mereka. Dalam kaitan ini, semua jenis aktivitas manusia yang berdampak pada pengurangan habitat satwa-satwa tersebut termasuk di dalamnya kegiatan pembalakan oleh UM PT SSS, perlu dievaluasi dan dicarikan jalan keluarnya agar dampaknya dapat diminimalisasi sekecil mungkin. Jenis primata yang sangat tergantung pada habitat berupa pohon dan tajuk tinggi adalah H.klossii (bilou) dan S.concolor (simakobu), sehingga kedua jenis ini sangat rentan terhadap kegiatan pemanenan kayu. Selain itu populasi keduanya lebih rendah dari populasi P.potenziani (joja) dan populasi M.pagensis (bokoi) (Bismark 2006). Di Malaysia, John (1983) dalam Meijaard et al. (2006) menemukan bahwa hanya dengan laju penebangan kayu sebesar 3,3%, kegiatan tebang pilih menimbulkan pengaruh serius terhadap primata yang hidup di hutan tersebut. Pengaruh negatif tersebut antara lain berupa: penurunan biomassa primata secara drastis, kematian langsung, penurunan tingkat kelahiran, perubahan pola makan, dan tingginya kematian bayi primata.

126 108 Di hutan produksi, kegiatan pembalakan merupakan aktivitas utama dalam rangka memanen kayu untuk selanjutnya diolah oleh industri pengolahan kayu. Terkait dengan perlindungan habitat satwa langka dan endemik, maka dalam melakukan pembalakan seyogyanya diupayakan seminimal mungkin dampak yang ditimbulkannya. Salah satu cara mereduksi dampak buruk tersebut adalah dengan mengurangi intensitas tebangan termasuk di dalamnya menerapkan RIL. Jika dihubungkan dengan hasil simulasi pemanfaatan kayu yang telah dilakukan, maka skenario-6 dengan JPT terkecil merupakan pilihan tepat. Dengan demikian, berdasarkan uraian di muka, dalam kaitan dengan pelaksanaan REDD+, menerapkan JPT rendah seperti pada skenario-6 akan mendatangkan multi manfaat, yaitu: 1. Menghasilkan kredit karbon terbesar, sehingga jika terlibat dalam proyek perdagangan karbon akan memberikan keuntungan finansial yang sangat signifikan. 2. Menghasilkan periode pulih stok karbon tegakan LOA tersingkat yakni 27 tahun dan lebih singkat dari rotasi tebangnnya. Hal ini akan meningkatkan daya lenting cadangan karbon hutan sehingga lebih tahan dalam menghadapi dampak buruk perubahan iklim. 3. JPT yang relatif rendah akan menciptakan intensitas pembalakan yang rendah pula sehingga dampak yang ditimbulkan terhadap habitat satwa primata yang dilindungi juga tergolong rendah. Menurut Bismark (2006), hutan sekunder tua bekas tebangan 30 th yang lalu yang berada di Desa Tiniti, Kecamatan Siberut Barat, tergolong habitat yang cukup baik bagi kempat jenis primata endemik karena cukup tersedianya jumlah pohon tidur dan sumber pakan primata sepanjang tidak terjadi gangguan penebangan liar. Dengan demikian biodiversitas satwa liar tersebut terlindungi dari berbagai gangguan. 4. Pemilihan JPT yang rendah akan mengurangi dampak buruk pembalakan terhadap degradasi hutan (pengurangan biomassa tegakan dan pembukaan tajuk) sehingga tegakan hutan relatif utuh. Tingkat keutuhan hutan alam

127 109 yang tinggi akan menjamin kelentingan stok karbon hutan dan mampu bertahan terhadap pengaruh negatif dari perubahan iklim. Pada tataran lebih luas, hasil kajian ini dapat dijadikan salah satu acuan guna mengatasi masalah degradasi atau penurunan potensi hutan produksi di suatu UM IUPHHK-HA. Langkah pertama dan paling utama adalah jika seluruh UM IHPHHK-HA yang masih aktif telah menerapkan PHL. Selanjutnya guna mewujudkan kelestarian produksi secara lintas generasi, maka potensi tegakan LOA (biomassa atau stok karbonnya) harus dipastikan telah pulih kembali seperti sediakala sebelum dipanen kembali, sehingga dalam jangka panjang tidak akan mengalami degradasi. Untuk itu dipandang perlu kepada seluruh UM IUPHHK-HA, terutama yang telah bersertifikat PHL, untuk melakukan perhitungan ulang atas JPTnya agar diperoleh besaran JPT yang menghasilkan durasi periode pulih stok karbon tegakan LOA yang sama atau lebih singkat dari siklus tebangnya. Program rekalkulasi JPT ini perlu didukung oleh suatu regulasi yang mengikat dan dipatuhi semua pihak. Selanjutnya, kepada UM yang telah bersedia mengoreksi JPTnya dengan menurunkan intensitas tebangannya, perlu didorong untuk segera terjun ke dalam proyek perdagangan karbon. Untuk keperluan tersebut pemerintah telah menyediakan instrumen kebijakan berupa Permenhut No.P.36/2009, dimana UM dapat terlibat dalam Usaha Pemanfaatan Penyimpanan atau Penyerapan Karbon (UP PAN-RAP KARBON) sebagai bentuk proyek perdagangan karbon di hutan produksi melalui mekanisme REDD+. Selain itu dapat pula UM menyelenggarakan karbon hutan sesuai Permenhut No.P.20/Menhut-II/2012. Menurut Permenhut yang baru tersebut, dalam penyelenggaraan karbon hutan UM IUPHHK-HA dapat melakukan salah satu dari dua kegiatan yang diijinkan, yaitu: (1) demonstration activities, atau (2) implementasi kegiatan karbon hutan. Dengan masuknya UM ke dalam proyek perdagangan karbon atau pelaksanaan kegiatan karbon hutan, diharapkan kelangsungan usahanya tetap terjamin dan UM memperoleh manfaat finansial yang lebih besar, jika dibandingkan dengan tanpa proyek karbon. Dengan demikian langkah terpadu dalam tiga aspek yakni: implementasi PHL, penentuan

128 110 JPT yang menjamin periode pulih stok karbon yang sama dengan siklus tebangnya, dan keterlibatan dalam proyek perdagangan karbon, merupakan salah satu solusi ke arah penyelamatan hutan produksi di Indonesia dari ancaman degradasi.

129 111 VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Hasil analisis yang telah dipaparkan di muka memberikan beberapa kesimpulan: 1. Potensi kredit karbon di akhir proyek bervariasi antar skenario, tergantung JPTnya masing-masing. Penerapan JPT yang kecil seperti pada skenario-6 (siklus tebang 35 th dan batas DBH tebangan 60 cm) menghasilkan kredit karbon terbesar. 2. Proyek perdagangan karbon di areal kerja PT SSS, layak untuk dikembangkan. Keuntungan total dari proyek karbon (hasil penjualan kayu dan karbon) meningkat secara signifikan dibandingkan dengan pendapatan dari usaha kayu saja (skenario baseline). 3. Penerapan JPT yang rendah seperti pada skenario-6, menghasilkan durasi periode pulih stok karbon tegakan LOA lebih singkat dari siklus tebangannya (27 tahun) sehingga menjamin kelangsungan kegiatan pengusahaan hutan Saran 1. Demi kesinambungan fungsi produksi hutan yang sangat erat terkait dengan kelangsungan usaha, dilihat dari berbagai sudut pandang (keterpulihan tegakan LOA, keuntungan finansial, dan perlindungan keanekaragaman hayati) sebaiknya UM PT SSS menerapkan skenario-6 (siklus tebang 35 th dan batas DBH tebangan 60 cm) dan segera mempersiapkan diri masuk ke dalam penyelenggaraan karbon hutan atau proyek perdagangan karbon. 2. Guna menyelamatkan hutan produksi dari ancaman degradasi, maka selain diwajibkan menerapkan PHL, UM IUPHHK-HA yang masih aktif juga perlu: (a) merekalkulasi JPTnya yang menjamin durasi periode pulih stok karbon tegakan LOA sama dengan rotasi tebangnya, dan (b) didorong untuk segera melibatkan diri ke dalam penyelenggaraan kabon hutan atau proyek perdagangan karbon.

130 112 DAFTAR PUSTAKA Alder D Some Issues in The Yield Regulation of Moist Tropical Forest. Paper presented to a workshop on Humid and semi-humid tropical forest yield regulation with minimal data at CATIE, Turrialba, Costa Rica. Angelsen Introduction. Di dalam: Angelsen A. editor. Realising REDD+. National strategy and policy options. Bogor: CIFOR. hlm 1-12 ANTARA News Indonesia Bisa Jadi Penyerap Emisi Murni. REDD News ( [06 Janauari 2010] Anwar J, Damanik SJ, Hisyam N, Whitten AJ Ekologi Ekosistem Sumatera. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Aswandi, Harahap RMS Kajian Sistem Silvikultur dan Pertumbuhan Hutan Bekas tebangan pada Berbagai Tipe Hutan di Sumatera Bagian Utara. Makalah Penunjang pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian: Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan, Padang. Bahruni Pendekatan Sistem dalam Pendugaan Nilai Ekonomi Total Ekosistem Hutan: Studi Kasus Hutan Alam Produksi Bekas Tebangan [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Berry NJ, Phillips OL, Lewis SL, Hill JK, Edwards DP, Tawatao NB, Ahmad N, Magintan D, Khen CV, Maryati M The High Value of Logged Tropical Forest: Lessons from Northern Borneo. Biodiversity and Conservation Vol.19, No.4 (2010), , DOI: /s z [BPS] Badan Pusat Statistik Kepulauan Mentawai Hasil Sensus Penduduk 2010 Kepulauan Mentawai. Angka Sementara. Tuapejat: BPS Kepulauan Mentawai. Bismark M, Heriyanto NM, Iskandar S Biomasa dan Kandungan Karbon pada Hutan Produksi di Cagar Alam Pulau Siberut, Sumatera Barat. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam V(5): Bismark M Konservasi Primata Endemik Mentawai: Analisis Habitat dan Populasi Primata di Siberut Utara. Makalah Utama pada Ekspose Hasilhasil Penelitian: Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. Padang, 20 September 2006.

131 113 Blanc L et al Dynamics of Aboveground Carbon Stocks in A Selectively Logged Tropical Forest. Ecological Applications 19(6): Bonnell TR, Reyna-Hurtado R, Chapman CA Post-logging Recovery Time is Longer than Expected in an East African Tropical Forest. Forest Ecology and Management 261: Brown S Estimating Biomass and Biomass Change of Tropical Forest: A Primer. FAO Forestry Paper 134. Rome, Italy Brown D, Seymour F, Peskett L How do we achieve REDD co-benefits and avoid doing harm? Di dalam: Angelsen, A. editor. Moving Ahead with REDD. Issues, Options, and Implications. Bogor: CIFOR. hlm Chambers JQ, Higuchi N, Schimel JP, Ferreira LV, Melack JM Decomposition and Carbon Cycling of Dead Trees in Tropical Forest of The Central Amazon. Oecologia 122: [CIFOR] Center for International Forestry Research REDD: Apakah itu? Pedoman CIFOR tentang Hutan, Perubahan Iklim dan REDD. Bogor: CIFOR Colinvaux P Ecology. Singapore: John Wiley & Sons. [Dephut] Kementerian Kehutanan Republik Indonesia Peraturan Menteri Kehutanan No.P.20/Menhut-II/2012 tentang Penyelenggaraan Karbon Hutan. Kementerian Kehutanan RI, Jakarta [Dephut] Departemen Kehutanan Republik Indonesia Peraturan Menteri Kehutanan No.P.30/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD). Departemen Kehutanan RI, Jakarta [Dephut] Departemen Kehutanan Republik Indonesia Peraturan Menteri Kehutanan No.P.36/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Perijinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung. Departemen Kehutanan RI, Jakarta Dresner S, Ekins P, McGeevor K, Tomei J Forest and Climate Change: Global Understanding and Possible Response. In: Freer-Smith PH, Broadmeadow MSJ, Lynch JM, editors. Forestry and Climate Change. CAB International

132 114 Dutschke M and Wertz-Kanounnikoff S Financing REDD. Linking country needs and financing resources. Info Brief No.17, November Bogor: CIFOR. Elias Reduce Impact Logging. Buku 1. Bogor: Penerbit IPB Press. [Fahutan IPB] Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Laporan Kegiatan Baseline Appraisal Pengelolaan Hutan menuju Pengelolaan Hutan Lestari PT Salaki Summa Sejahtera. Bogor: Fahutan IPB Ghazoul J, Hellier A Setting Critical Limits to Ecological Indicators of Sustainable Tropical Forestry. International Forestry Review 2(4): Ginoga K dan Masripatin N Potensi Perdagangan Karbon pada Lahan Bekas Tambang. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Kementerian Kehutanan. Ginoga K, Nurfatrini F, dan Indartik Mekanisme Insentif dan Pendanaan REDD+ di dalam: REDD+ dan Forest Governance (Masripatin N., dan Wulandari C. editor). Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Kementerian Kehutanan. [GOFC-GOLD] Global Observation of Forest and Land Cover Dynamics A sourcebook of methods and procedures for monitoring and reporting anthropogenic greenhouse gas emissions and removals caused by deforestation, gains and losses of carbon stock in forest remaining forest, and forestations. Natural Resources Canada, Alberta, Canada. Hairiah K, dan Rahayu S Petunjuk Praktis Pengukuran Karbon Tersimpan di Berbagai Macam Penggunaan Lahan. Bogor: World Agroforestry Centre-ICRAF, SEA Regional Office, University of Brawijaya. Haruni K, Suhendang E, Parthama IBP Model Pertumbuhan Matriks Transisi untuk Hutan Bekas Tebangan di Kalimantan Tengah. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 2008 Vol.V No.2 Hurd J Reduce Impact Logging Helps Fight Climate Change, Promotes Sustainable Livelihoods. The Nature Conservancy

133 115 [IFCA] Indonesia Forest Climate Alliance Laporan Konsolidasi Studi tentang Metodologi dan Strategi Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dari Deforestasi dan Degradasi Hutan di Indonesia (REDDI) [Draft]. Jakarta Indrawan A Perkembangan Suksesi Tegakan Hutan Alama Setelah Penebangan dalam Sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Indriyati IN Kerusakan tegakan Tinggal Akibat Pemanenan Hutan di PT. Salaki Summa Sejahtera, Pulau Siberut, Sumatera Barat [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor Istomo, Wibowo C, Hidayati N Evaluasi Pertumbuhan Tanaman Meranti (Shorea spp.) di Haurbentes, BKPH Jasinga, KPH Bogor, Perum Perhutani Unit III Jabar. Jurnal Manajemen Hutan Tropika 5(2): Junaedi A Dampak Pemanenan Kayu dan Perlakuan Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) terhadap Potensi Kandungan Karbon dalam Vegetasi Hutan Alam Tropika [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor Krisnawati H, Varis E, Kallio M, Kanninen M Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen. Ekologi, Silvikultur dan Produktivitas. Bogor: Center for International Forestry Research (CIFOR) Labetutubun MS Metode Pengaturan Hasil Hutan Tidak Seumur melalui Pendekatan Model Dinamika Sistem (Kasus Hutan Alam Bekas Tebangan) [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Lasco RD Forest Carbon Budget in Southeast Asia Following Harvesting and Land Cover Change. Science in China (series C) 45: Lasco RD, MacDicken KG, Pulhin FB, Guillermo IQ, Sales RF et al Carbon Stock Assessment of A Selectively Logged Dipterocarps Forest and Wood Processing Mill in The Philippines. Journal of Tropical Forest Science 18 (4): Lebrija-Trejos E, Bongers F, Perez-Garcia A, Meave JA Successional Change and Resilience of a Very Dry Tropical Deciduous Forest Following Shifting Agriculture. BIOTROPICA 40(4): [LEI] Lembaga Ekolabel Indonesia Standar LEI Seri 5000: Kerangka Sistem Pengelolaan Hutan Produksi Lestari. Bogor: LEI.

134 116 Manuri S, Putra CAS, Saputra AD Teknik Pendugaan Cadangan Karbon Hutan. Palembang: Merang REDD Pilot Project-German International Cooperation (MRPP-GIZ). Martawijaya A, Kartasujana I, Kadir K, Prawira SA Atlas Kayu Indonesia Jilid I. Bogor: Balai Penelitian Hasil Hutan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian RI. Martawijaya A, Kartasujana I, Mandang YI, Prawira SA, Kadir K Atlas Kayu Indonesia Jilid II. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan RI. Masripatin N Merespon Bali Action Plan: Program Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim di Sektor Kehutanan. Makalah Seminar Nasional "Merespon Konvensi Perubahan Iklim Bali dan Bencana Banjir-Longsor di Indonesia". Bogor Masripatin N Hutan Indonesia: Penyerap atau Penyumbang Emisi Dunia? Majalah Prisma 29(2): Meijaard E, Sheil D, Nasi R, Angeri D, Rosenbaum B Hutan Pasca Pemanenan. Melindungi Satwa Liar dalam Kegiatan Hutan Produksi di Kalimantan. Bogor: CIFOR. 384 hal. Moore PD and Chapman SB Methods in Plant Ecology. Second Edition. Oxford: Blackwell Scientific Publication. Murdiyarso D et al How Do We Measure and Monitor Forest Degradation? Di dalam: Angelsen, A. editor. Moving Ahead with REDD. Issues, Options, and Implications. Bogor: CIFOR. hlm Nawari Analisis Regresi dengan MS Excel 2007 dan SPSS 17. Jakarta: Penerbit PT Elex Media Komputindo. Ngadiono Tahun Pengelolaan Hutan Indonesia. Refleksi dan Prospek. Bogor: Yayasan Adi Sanggoro Odum EP Dasar-dasar Ekologi. Samingan, T, penerjemah; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Fundamentals of Ecology. Paoli GD, Wells PL, Meijaard E, Struebig MJ, Marshall AJ, Obidzinski K, Tan A, Rafiastanto A, Yaap B, Slik JWF, Morel A, Perumal B, Wielaard N, Husson S, D Arcy L Biodiversity Conseration in REDD. Carbon Balanced and Management 2010, 5:7

135 117 [PT SSS] PT Salaki Summa Sejahtera Revisi I Rencana Kerja Usaha Pemanfaatanan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam pada Hutan Produksi Periode 2008 s/d Jakarta: PT SSS. [PT SSS] PT Salaki Summa Sejahtera Laporan Tahunan Kegiatan Pengusahaan Hutan IUPHHK-HA pada Hutan Produksi. Kabupaten Kepulauan Mentawai: PT SSS. [PT SSS] PT Salaki Summa Sejahtera Laporan Tahunan Kegiatan Pengusahaan Hutan IUPHHK-HA pada Hutan Produksi. Kabupaten Kepulauan Mentawai: PT SSS. [PT SSS] PT Salaki Summa Sejahtera Laporan Tahunan Kegiatan Pengusahaan Hutan IUPHHK-HA pada Hutan Produksi. Kabupaten Kepulauan Mentawai: PT SSS. [PT SSS] PT Salaki Summa Sejahtera Rencana Karya Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Produksi Berbasis IHMB Periode Tahun Jakarta: PT SSS. Partiani T Limbah Pemanenan Kayu dan Faktor Eksploitasi di Hutan Alam PT Salaki Summa Sejahtera, Pulau Siberut, Sumatera Barat [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Priyadi H, Sist P, Gunarso P et al Pembalakan Ramah Lingkungan, Manfaat dan Hambatan. Di dalam: Gunarso P et al. editor Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Era Desentralisasi. Pelajaran yang Dipetik dari Hutan Penelitian Malinau, Kalimantan Timur, Indonesia. CIFOR dan ITTO, Bogor, Indonesia Putz FE, Zuidema PA, Synnott T, Pena-Claros M, Pinard MA, Sheil D, Vanclay JK, Sist P, Gourlet-Fleury S, Griscom B, Palmer J, Zagt R Sustaining Conservation Values in Selectively Logged Tropical Forest: The Attained and The Attainable. Conservation Letters 0 (2012) 1-8, DOI: /j X x Putz FE, Sist P, Fredericksen T, Dykstra D Reduced Impact Logging: Challenges and Opportunities. Forest Ecology and Management 256: Putz FE et al Improved Tropical Forest Management for Carbon Retention. PLoS Biol 6 (7): e 166. doi: /journal.pbio

136 118 Rahayu S, Lusiana B, van Noordwijk M Pendugaan Cadangan Karbon di Ata Permukaan Tanah pada Berbagai Sistem Penggunaan Lahan di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur. Bogor: ICRAF. Ravindranath NH. and Ostwald M Carbon Inventory Methods. Handbook for Greenhouse Gas Inventory, Carbon Mitigation and Roundwood Production Project. Springer Scince and Business Media B.V. Rochmayanto Y Perubahan Kandungan Karbon dan Nilai Ekonominya pada Konversi Hutan Rawa Gambut menjadi Hutan Tanaman Industri Pulp [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Rusli S Pengantar Ilmu Kependudukan. Jakarta: Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Rusolono T Model Pendugaan Persediaan Karbon Tegakan Agroforestri untuk Pengelolaan Hutan Milik melalui Skema Perdagangan Karbon [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Rusolono T Pengelolaan Hutan Lestari di Pulau Siberut untuk Mitigasi Emisi Karbon. Makalah Seminar Nasional Best Practice SFM to Address Climate Change Issues (Road to Copenhagen). Jakarta Rusolono T, Tiryana T Telaah terhadap Proyek-proyek Berbasis Pengelolaan Hutan Lestari di Indonesia. Jakarta: Kementerian Kehutanan Republik Indonesia-International Tropical Timber Organizatioan (ITTO) Salisbury FB dan Ross CW Fisiologi Tumbuhan, Jilid 2. R.Lukman dan Sumaryono, penerjemah; Bandung: Penerbit ITB. Terjemahaan dari: Plant Physiology. Sasaki N, Yoshimoto A Benefits of tropical Forest Management under The New Climate Change Agreement- A Case Study in Cambodia. Environmental Science & Policy 13: Sasaki N Potential Carbon Sinks in Tropical Forest under the REDD+ Mechanism. FORMATH Vol.10: xxx-xxx Sasaki N Estimating Reference Emission Level and Project Emission Level for REDD+ Project in Tropical Forest. SSRN: /abstract= Sasaki N et al Approaches to Classifying and Restoring Degraded Tropical Forest for The Anticipated REDD+ Climate Change Mitigation Mechanism. Special Reports. Maryland: International Society of Tropical Foresters (ISTF).

137 119 Shearman P, Bryan J, Laurance WF Are We Approaching Peak Timber in The Tropics? Biol.Conserv.(2011), doi: /j.biocon Soekotjo Teknik Silvikultur Intensif (SILIN). Gadjah Mada University Press, Yogyakarta Siswanto W Keynote Address in AKECOP Forum on REDD in ASEAN Region: Strengthening The Enabling Conditions for REDD Implementation in ASEAN. Bogor, Indonesia Siswanto W REDD Indonesia. Makalah Seminar Nasional Best Practice SFM to Address Climate Change Issues (Road to Copenhagen). Jakarta Soerianegara I Aspek Ekologi dalam Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari. Di dalam: Suhendang E, Haeruman H, Soerianegara I, Editor. Pengelolaan Hutan Produksi Lestari di Indonesia. Konsep, Permasalahan dan Strategi menuju Era Ekolabel. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB, Yayasan Gunung Menghijau dan Yayasan Pendidikan Ambarwati. Suhendang E Ukuran Kenormalan pada Hutan Tidak Seumur. Di dalam: Suhendang E, Haeruman H, Soerianegara I, editor. Pengelolaan Hutan Produksi Lestari di Indonesia. Konsep, Permasalahan dan Strategi Menuju Era Ekolabel. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB, Yayasan Gunung Menghijau, dan Yayasan Pendidikan Ambarwati. Suhendang E Pengantar Ilmu Kehutanan. Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor Sumarna K, Wahjono J, Krisnawati H Proyeksi Potensi Hutan Alam Produksi Bekas Tebang Pilih dan Konsep Perhitungan Jatah Produksi Kayu Tahunan. Lokakarya Pengaturan Hasil: Kebijakan Pemeritah dalam Pengurangan AAC secara Bertahap. Jakarta Tresnawan H, Rosalina U Pendugaan Biomassa di atas Tanah di Ekosistem Hutan Primer dan Bekas Tebangan. Studi Kasus Hutan Dusun Aro, Jambi. Jurnal Manajemen Hutan Tropika 8(1): [UN-REDD] UN-REDD Programme Ringkasan Eksekutif. Peluang yang Lebih Baik untuk REDD+: Kajian terhadap Bukti-bukti mengenai Adanya Hubungan diantara Keanekaragaman Hayati dan Kelentingan Cadangan Karbon Hutan. Working Paper. Multiple Benefits Series 10 Wahyono J Pertumbuhan dan Riap Tegakan Tinggal di Beberapa Unit Pengelolaan Hutan Alam Produksi. Info Hutan 4(5):

138 120 Wahyudi Pertumbuhan Tanaman dan Tegakan Tinggal pada Sistem TPTI Intensif. [Disertasi] Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tidak diterbitkan. Warsito S Annual Allowable Cutting, Penetapan dan Masalah Umum. Yogyakarta: Intip Hutan edisi Februari. Wayana PA Pendugaan Emisi Karbon Potensial Akibat Pemanenan Kayu secara Mekanis pada Hutan Alam Tropis. Studi Kasus di IUPHHK PT. Sarmiento Parakantja Timber, Kalimantan Tengah [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor Wertz-Kanounnikoff S, Verchot LV, Kanninen M, Murdiyarso D How can we monitor, report and verify carbon emission from forest? Di dalam: Moving Ahead with REDD. Issues, Options, and Implications (Angelsen, A. editors). CIFOR, Bogor, Indonesia. hlm Wertz-Kanounnikoff S, Angelsen A Global and national REDD+ architecture. Linking institutions and actions. Di dalam: Realising REDD+. National strategy and policy options (Angelsen A. et al. editors). CIFOR, Bogor, Indonesia. hlm Whitmore TC An Intoduction to Tropical Rain Forest. New York: Oxford University Press. Whitmore TC.1991.Tropical Rain Forest Dynamics and Its Implication for Management. Di dalam: Gomes-Pompa A, Whitmore TC, Hadley M, editors. Rain Forest Regeneration and Management. Paris: UNESCO & The Parthenon Publishing Group. [Yuwono H & Rekan] Yuwono H dan Rekan Laporan Auditor Independen dan Catatan atas Laporan Keuangan PT Salaki Summa Sejahtera untuk Tahun yang Berakhir pada Tanggal 31 Desember 2010 dan Jakarta: Yuwono H & Rekan. [Yuwono H & Rekan] Yuwono H dan Rekan Laporan Keuangan Interim 30 Juni 2011 dan Laporan Auditor Independen untuk PT Salaki Summa Sejahtera. Jakarta: Yuwono H & Rekan.

139 LAMPIRAN 121

140 122 Lampiran 1 Daftar jenis pohon di areal IUPHHK PT Salaki Summa Sejahtera No Nama Lokal Nama Umum Nama Ilmiah Famili 1 Ailoppat leleu/ailopat onaja Jambu hutan Memecylon costatum Miq. Melastomataceae 2 Alatna - Gymnacranthera forbesii King. Myristicaceae 3 Alosit/Darat akenen - Eleutherandra sp. Flacourtiaceae 4 Anggaikan Sarere Ara Ficus lepicarpa Blume Moraceae 5 Ataran - Gironniera subaequalis Planch. Ulmaceae 6 Ateiponggak - Eleutherandra sp. Flacourtiaceae 7 Attipan Mendarahan Knema cinerea Warb. Myristicaceae 8 Attui Glodogan Polyalthia lateriflora King. Annonaceae 9 Babaen - Euphoria malaccensis Radlk. Sapindaceae 10 Babaun Kisereh Cinnamomum parthenoxylon Mussn. Lauraceae 11 Bagusen Bacang Mangifera foetida Lour. Anacardiaceae 12 Bailiu Bairuk Bakkaju/toktuk Durian Durio zibertinus Bombacaceae 15 Balutcei Nyamplung Calophyllum soulattri Burm.f. Clusiaceae 16 Batti Rambutan htn Nephelium glabrum Noronha Sapindaceae 17 Beilulu/belete/ onam Bere Bacang Mangifera foetida Lour. Anacardiaceae 19 Bettik - Petunga microcarpa Blume Rubiaceae 20 Bitsaubit Boiko - Alangium javanicum Wang. Alangiaceae 22 Bolasi Boona Simpur Dillenia reticulata King. Dilleniaceae 24 Buka - Aphanamixis grandifolia Blume Meliaceae 25 Bukbuk Mersawa Shorea retinodes Sloot Dipterocarpaceae 26 Bulubua - Saurania nodiflora Dc. Actinidiaceae 27 Bulung boiko Medang Litsea brachystachya Boerl. Lauraceae 28 Darat Akenen - Eleutherandra pes cervi Sloot Flacourtiaceae 29 Delek parot DheDhebu Ara Ficus variegata Blume Moraceae

141 123 No Nama Lokal Nama Umum Nama Ilmiah Famili 31 Dudure Elagan Garau/keruing daun kecil Dipterocarpus sublamellatus Foxw. Dipterocarpaceae 33 Embet Ara Ficus padana Burm.f Moraceae 34 Eneu balgua Medang Litsea mappacea Boerl. Lauraceae 35 Erand Merawan Hopea dryobalanoides Miq. Dipterocarpaceae 36 Ettet Gappotkalibobo - Abarema clypearia (Jack.) Kosterm 38 Gatah Leguminosae 39 Giling - Aporusa sp. Euphorbiaceae 40 Gite Pulai Alstonia angustiloba Miq. Apocynaceae 41 Gombiat Gutgut - Mallotus subpeltatus Muell Arg. Euphorbiaceae 43 Ingeu keru - Nauclea orientalis L. Rubiaceae 44 Iwana Kabid Terap Artocarpus elasticus Reinw. Moraceae 46 Kabid raba Nangka htn Artocarpus rigidus Reinw. Moraceae 47 Kajut kalumantei Kalabatti Rambutan Nephelium elasticus Sapindaceae 49 Kalap papaik Pasak bumi Eurycoma longifolia Jack Simaroubaceae Kalap pupuk sibulung ambangan Kalap pupuk sibulung bere 52 Kalibangbang Sesendok - Cryptocarpa sp (31) Lauraceae Endospermum diadenum A. Shaw Euphorbiaceae 53 Kalumanang Mendarahan Myristica maxima Warb. Myristicaceae 54 Kalumanang sijokjok Mendarahan Myristica maxima Warb. Myristicaceae 55 Kalumangga Ara Ficus fistulosa Reinw. Moraceae 56 Kandom Pulai Alstonia scholaris (L.) R.Br. Apocynaceae 57 Kapenei Mendarahan Myristica maxima Warb. Myristicaceae 58 Karai/Karigit camay Meranti putih Shorea ovalis Blume Dipterocarpaceae 59 Karai bilew Merawan Hopea dryobalanoides Miq. Dipterocarpaceae 60 Karigit samaik - Plectronia sp. Rubiaceae

142 124 No Nama Lokal Nama Umum Nama Ilmiah Famili 61 Kasang makoko Katatareng - Bhesa paniculata Arn. Celasteraceae 63 Katkailaba Katongairi - Plectronia sp. Rubiaceae 65 Katsli - Cryptocarpa sp (37) Lauraceae 66 Katuka Meranti merah Shorea pauciflora King Dipterocarpaceae 67 Koanna - Orophea sp. Annonaceae 68 Kokah Keruing Dipterocarpus elongatus Korth. Dipterocarpaceae 69 Korai batek - Cryptocarya crasinervia Miq. Lauraceae 70 Kubeu Medang Litsea artocarfifolia Gamble Lauraceae 71 Kulitkalu mantei - Plectronia didyma Kurz. Rubiaceae 72 Kumbuk - Aporusa prainiana King Euphorbiaceae 73 Kumbuk merah Kurutna - Xylopia malayana Oliv. Annonaceae 75 Labin bebegen - Memecylon costatum Miq. Melastomataceae 76 Laggepukna - Alseodaphne umblelliflora Hk.f. Lauraceae 77 Lak Komak Manggis hutan Garcinia mangostana Clusiaceae 78 Lakkau Mangga hutan Mangifera indica Anacardiaceae 79 Lakun bileu Kepuh Sterculia rubiginosa Vent Sterculiaceae 80 Langbeng Lapolainung - Aporusa sp. Euphorbiaceae 82 Leba - Symplocos fasciculata Zoll. Symplocaceae 83 Leset Glodogan Polyalthia hypoleuca Hook.f.et.Th. Annonaceae 84 Letaik - Tricalysia sp. Rubiaceae 85 Lilangeupak Logau ngorun Mendarahan Knema cinerea Warb. Myristicaceae 87 Logauna Mendarahan Horsfieldia irya Myristicaceae 88 Loingat teiteisirauma - Swintonia schwenkii T.&.B. Anacardiaceae 89 Lom-Lom Kulit Resak Vatica sp Dipterocarpaceae 90 Longlong tuba - Orophea sp. Annonaceae 91 Lotlot Binuang Octomeles sumatrana Miq. Datiscaccae 92 Magri Jengkol Archidendron jiringa Wilson Fabaceae

143 125 No Nama Lokal Nama Umum Nama Ilmiah Famili 93 Mainuang Binuang Malai bibi Malei Rambutan Mamawak Mamawak merah Mangarajo Mantei porak Matan anggem - Ardisia attenuata Miq. Myrsinaceae 101 Matan manuk Kenari hutan Santiria tomentosa Blume Burseraceae 102 Mencemen Meranti Shorea sosoria Dipterocarpaceae 103 Mong Keruing Dipterocarpus retusus Blume Dipterocarpaceae 104 Motek - Neonauclea calycina Merr. Rubiaceae 105 Muno Jangkang Xylopia malayana Oliv. Annonaceae 106 Neteu - Neonauclea calycina Merr. Rubiaceae 107 Pailungga Jambu hutan Syzygium jamboloides K.et.V. Myrtaceae 108 Paipai limendew 109 Pakkaleniba Kenari hutan Dacryodes rostrata (Bl.) Lamk. Burseraceae 110 Palit seut Sampang Evodia latifolia Dc. Rutaceae 111 Paluga - Sagerala lanceolata Miq. Annonaceae 112 Panaba 113 Panitilan - Wendlandia dasythyrsa Miq. Rubiaceae 114 Panurup langgung 115 Pasekkak Medang Litsea sp. Lauraceae 116 Pasese - Millettia atropurpurea B.et.H. Fabaceae 117 Patakkup - Lasianthus laevigatus Blume Rubiaceae 118 Patpat Mundu Garcinia dulcia Kurz. Clusiaceae 119 Patumanggei Mahang Macaranga sp. Euphorbiaceae 120 Peiki Cempedak Artocarpus integer (Thumb). Merr. 121 peipei Moraceae 122 Pepepetai - Prainea limpato (Miq.) Blume. Moraceae 123 petpet nuit Pitsauru - Kayea sp. Clusiaceae

144 126 No Nama Lokal Nama Umum Nama Ilmiah Famili 125 Pligut Poang Kenanga Cananga odorata Hk.f. Annonaceae 127 Pokaulau Pokitoktung Durian Durio malaccensis Planch. Bombacaceae 129 Polaga Medang Litsea brachystachya Boerl. Lauraceae 130 Polenggu Simpur Dillenia indica L. Dilleniaceae 131 Pondik - Vernonia arborea Ham. Asteraceae 132 Ponganga Pongunung - Beilschmiedia kunstleri Gamble Lauraceae 134 Posa Rambai Baccaurea deflexa Roxb. Euphorbiaceae 135 Potsaiguan - Cleistanthus sp Euphorbiaceae 136 Pratutunan - Kibessia azurea Dc. Melastomataceae 137 Puilut - Cyanthocalyx bancana Boerl Annonaceae 138 Puput Pasang Quercus lineata Blume Fagaceae 139 Putti Renggeu Nyatoh Palaquium obovatum Engl. Sapotaceae 141 Rimbu - Glochidion capitatum J.J.S. Euphorbiaceae 142 Roan Mendarahan Myristica sp. Myristicaceae 143 Rou Sagkla Manggis hutan Garcinia hombroniana Piere Clusiaceae 145 Sanggegei Janitri Elaeocarpus stipularis Blume Elaeocarpaceae 146 Sapailimendeu Medang Dehaasia firma Blume Lauraceae 147 Sembui - Saurauia bracteosa Dc. Actinidiaceae 148 Sialai - Pleomele angustifolia N.E.Br. Liliaceae 149 Sibeu kunang - Cyptocarya sp. Lauraceae 150 Sibeu lak Kayu arang Diospyros bantamensis Koord.ex.Val Ebenaceae 151 Sibeu lakau - Cryptocarya ferrea Blume Lauraceae 152 Sibeu langgurek - Ryparosa javanica Kurz. Flacourtiaceae 153 Sibeu latsit - Cleistanthus myrianthus Kurz. Euphorbiaceae 154 Sibeu muntei Jambu hutan Syzygium grandis L.f. Myrtaceae 155 Sibocboc - Leea indica Merr. Leaceae 156 Sibububun - Leea indica Merr. Leaceae

145 127 No Nama Lokal Nama Umum Nama Ilmiah Famili 157 Sibulung babaen - Aglaia tomentosa T.et.B. Meliaceae 158 Sibulung bati/kalabatti Rambutan Nephelium elasticus Sapindaceae 159 Sibulung boiko Medang Litsea brachypachya Boerl Lauraceae 160 Sibulung Kokah Sibulung siataran Sibulung Ungla Sielang Buana Mendarahan Knema curtisii Warb. Myristicaceae 164 Sigaugabi Sileu Menteng 166 Simabacbac/ sibabakbak Baccaurea sumatrana (Miq.) M.A. Euphorbiaceae Kenari hutan Santiria oblongifolia Blume Burseraceae 167 Simangga Simekmek Simoite Gaharu Aqularia microcarpa Baill. Thymelaeaceae 170 Simondiki Jambu hutan Syzygium cuprea K.et.V. Myrtaceae 171 Sinailub Sinailup Sinakak/ sinakak Sibeu Jambu hutan Syzygium glomerata K.et.V Myrtaceae 174 Siobaiki - Croton argyratus Blume Euphorbiaceae 175 Sipaligei Sipeu Sipoailoppak/Sipop ailungga/simondiki Jambu hutan Syzygium cuprea K. et Vl. Myrtaceae 178 Sipobelekbek - Aporusa falcifera Hook.f Euphorbiaceae 179 Sipogutgut - Mallotus subpellatus Muel.Arg. Euphorbiaceae 180 Sipokarigi Sipomagri Jengkol hutan Archidendron havilandii Nielsen Fabaceae 182 Sipopailungga Sipotaran Sipotelengguak - Hydnocarpus merrilliana Sleum. Flacourtiaceae 185 Sipotinanggau Sipotiten - Aphanamixis grandifolia Blume Meliaceae 187 Sipotojen - - -

146 128 No Nama Lokal Nama Umum Nama Ilmiah Famili 188 Sipu gombiat Sipusang gelei Siputanosik Siramuni Siroromang Sampang Evodia latifolia Dc. Rutaceae 193 Sirugui Medang Actinodaphne glomerata Nees. Lauraceae 194 Soisoy Solai Sonbailiu - Cryptocarya sp Euphorbiaceae 197 Suattotot Ara Ficus vasculosa Wall. Ex. Miq. Moraceae 198 Suletparot - Aglaia sp Meliaceae 199 Sunbeilik - Aporusa falcifera Hook.f Euphorbiaceae 200 Susuken - Platea latifolia Blume Icacynaceae 201 Taibelek silak-lak Tainana - Mallotus penangensis Muell Arg. Blumeodendron kurzii (Hk.f.) J.J.Sm Euphorbiaceae Euphorbiaceae 203 Taingetngetek Kayu bawang Disoxylum alliaceum Blume Meliaceae 204 Tainingting Buni Antidesma tetandrum Blume. Euphorbiaceae 205 Talinga Tasese Tebengen/ Lambodok Rambutan Nephelium mutabile Sapindaceae 208 Telengguak Rambai Baccaurea sp. Euphorbiaceae 209 Teppek Teputepuk Kacapiring Gardenia sp. Rubiaceae 211 Tetepana/Siputelen gguak/unggla - Hydnocarpus merrillianus Sleum. 212 Thuit Thuthunung Oinan Flacourtiaceae 214 Tinanggau sikailak Rukem Flacourtia rukam Z.et.M. Flacourtiaceae 215 Tinanggau sikailak Tititen Toilan Toktuk lelew Durian hutan Durio graffithii Bombacaceae

147 129 No Nama Lokal Nama Umum Nama Ilmiah Famili 219 Tolobo - Blumeodendron tokbrai Kurz. Euphorbiaceae 220 Tomboi - Pterospermum javanicum Jungh. Sterculiaceae 221 Tombo-tombo Tummu Terentang Campnosperma macrophylla Hook.f. Anacardiaceae 223 Tundukan Laban Vitex pubescens Vahl. Verbenaceae 224 Ungla Resak Vatica sp Dilleniaceae 225 Usukulit Pelawan Tristania obovata Myrtaceae 226 Vittango Pasang Lithocarpus gracilis (Korth.) Soepadmo 227 Sibulung cengkeh Sibulung karigi Fagaceae

148 130 Lampiran 2 Perkembangan stok karbon pada tegakan LOA (MtCO 2 e/th) Tahun Baseline Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4 Skenario 5 Skenario

149 131 Lampiran 3 Jumlah kredit karbon tiap skenario (MtCO 2 e/th) Tahun Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4 Skenario 5 Skenario

150 132 Lampiran 4 Perkembangan stok karbon tanaman rehabilitasi dan tanaman pengayaan (tco 2 e) Tahun Tanaman rehabilitasi Baseline & Skenario 1,2,3 Skenario 4, 5, 6 Tanaman pengayaan Skenario baseline, 1, 2, 3 Skenario 4, 5, Jumlah Rata2/ha (tco 2 e/ha) Rata2/th (tco 2 e/th)

151 133 Thn Lampiran 5 Perkembangan stok karbon nekromassa (KtCO 2 e) Baseline Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4 Skenario 5 Skenario

152 134 Lampiran 6 Perkembangan stok karbon pada periode pulih setiap skenario berdasarkan persamaan garis regresi kuadratik (tco 2 e) Thn Baseline Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4 Skenario 5 Skenario

153 135 Thn Baseline Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4 Skenario 5 Skenario

154 136 Thn Baseline Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4 Skenario 5 Skenario

155 137 Thn Baseline Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4 Skenario 5 Skenario

156 138 Lampiran 7 Foto-foto di lokasi penelitian Gambar 1 Data umum perusahaan terpampang di tepi jalan menuju ke basecamp Gambar 2 Tegakan hutan di dalam areal yang tidak ditebang (Kebun Bibit) dengan kondisi yang masih baik

157 139 Gambar 3 Bentuk batang pohon kokah, sejenis keruing daun lebar (Dipterocarpus elongatus Korth.) yang lurus dan silindris dengan DBH 100 cm Gambar 4 Pengukuran diameter pohon setinggi dada pada saat analisis vegetasi

158 140 Gambar 5 Pengumpulan data nekromassa berkayu: tunggak pohon (kiri) dan pohon bediri yang sudah mati dan dipenuhi jamur pelapuk kayu (kanan) Gambar 6 Nekromassa berkayu berupa limbah tebangan di dalam areal hutan bekas tebangan (LOA) yang berada di tepi bekas jalan sarad

159 141 Gambar 7 Kondisi tanaman pengayaan Shorea selanica di tepi bekas jalan sarad yang cukup baik pertumbuhannya Gambar 8 Tumpukan log di TPn yang didominasi oleh jenis keruing dan meranti yang siap diangkut menuju TPK

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kelestarian lingkungan dekade ini sudah sangat terancam, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate change) yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di dunia,

Lebih terperinci

PENGELOLAAN HUTAN LEST PENGELOLAAN HUT ARI DI AN LEST PULAU SIBERUT UNTUK MITIGASI EMISI KARBON

PENGELOLAAN HUTAN LEST PENGELOLAAN HUT ARI DI AN LEST PULAU SIBERUT UNTUK MITIGASI EMISI KARBON PENGELOLAAN HUTAN LESTARI DI PULAU SIBERUT UNTUK MITIGASI EMISI KARBON 1) oleh Teddy Rusolono 2) ---------------------------------------------------- 1) Disampaikan dalam Seminar Nasional Best Practice

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam konteks global emisi gas rumah kaca (GRK) cenderung meningkat setiap tahunnya. Sumber emisi GRK dunia berasal dari emisi energi (65%) dan non energi (35%). Emisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang. jenis tumbuh-tumbuhan berkayu lainnya. Kawasan hutan berperan

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang. jenis tumbuh-tumbuhan berkayu lainnya. Kawasan hutan berperan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang manfaat serta fungsinya belum banyak diketahui dan perlu banyak untuk dikaji. Hutan berisi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. mengkonversi hutan alam menjadi penggunaan lainnya, seperti hutan tanaman

PENDAHULUAN. mengkonversi hutan alam menjadi penggunaan lainnya, seperti hutan tanaman PENDAHULUAN Latar Belakang Terdegradasinya keadaan hutan menyebabkan usaha kehutanan secara ekonomis kurang menguntungkan dibandingkan usaha komoditi agribisnis lainnya, sehingga memicu kebijakan pemerintah

Lebih terperinci

PUP (Petak Ukur Permanen) sebagai Perangkat Pengelolaan Hutan Produksi di Indonesia

PUP (Petak Ukur Permanen) sebagai Perangkat Pengelolaan Hutan Produksi di Indonesia PUP (Petak Ukur Permanen) sebagai Perangkat Pengelolaan Hutan Produksi di Indonesia Authors : Wahyu Catur Adinugroho*, Haruni Krisnawati*, Rinaldi Imanuddin* * Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi prioritas dunia saat ini. Berbagai skema dirancang dan dilakukan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemanenan Hutan Pemanenan hutan merupakan serangkaian kegiatan kehutanan yang mengubah pohon atau biomassa lain menjadi bentuk yang bisa dipindahkan ke lokasi lain sehingga

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan kebutuhan hidup manusia, tidak dapat dipungkiri bahwa tekanan terhadap perubahan lingkungan juga akan meningkat

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Perubahan iklim merupakan fenomena global meningkatnya konsentrasi

BAB I. PENDAHULUAN. Perubahan iklim merupakan fenomena global meningkatnya konsentrasi 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan iklim merupakan fenomena global meningkatnya konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer akibat berbagai aktivitas manusia di permukaan bumi, seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati. Dengan kata lain manfaat

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati. Dengan kata lain manfaat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan memiliki peranan penting bagi kehidupan manusia, baik yang berupa manfaat ekonomi secara langsung maupun fungsinya dalam menjaga daya dukung lingkungan. Hutan

Lebih terperinci

2 dilakukan adalah redesign manajemen hutan. Redesign manajemen hutan mengarah pada pencapaian kelestarian hutan pada masing-masing fungsi hutan, teru

2 dilakukan adalah redesign manajemen hutan. Redesign manajemen hutan mengarah pada pencapaian kelestarian hutan pada masing-masing fungsi hutan, teru I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keterpurukan sektor kehutanan sudah berjalan hampir 14 tahun belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Masih besarnya angka laju kerusakan hutan serta bangkrutnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan iklim adalah fenomena global yang disebabkan oleh kegiatan manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna lahan dan kehutanan. Kegiatan

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 40 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di hutan alam produksi lestari dan hutan alam produksi tidak lestari di wilayah Kalimantan. Pendekatan yang digunakan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Tegakan Sebelum Pemanenan Kegiatan inventarisasi tegakan sebelum penebangan (ITSP) dilakukan untuk mengetahui potensi tegakan berdiameter 20 cm dan pohon layak tebang.

Lebih terperinci

PEMBELAJARAN PENERAPAN RIL-C DI PERUSAHAAN (PENERAPAN PRAKTEK PENGELOLAAN RENDAH EMISI DI HUTAN PRODUKSI DI AREAL PT. NARKATA RIMBA DAN PT.

PEMBELAJARAN PENERAPAN RIL-C DI PERUSAHAAN (PENERAPAN PRAKTEK PENGELOLAAN RENDAH EMISI DI HUTAN PRODUKSI DI AREAL PT. NARKATA RIMBA DAN PT. PEMBELAJARAN PENERAPAN RIL-C DI PERUSAHAAN (PENERAPAN PRAKTEK PENGELOLAAN RENDAH EMISI DI HUTAN PRODUKSI DI AREAL PT. NARKATA RIMBA DAN PT. BELAYAN RIVER TIMBER) Bogor, Mei 2018 LEGALITAS/PERIZINAN PT.

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Perubahan iklim telah menjadi isu penting dalam peradaban umat manusia saat ini. Hal ini disebabkan karena manusia sebagai aktor dalam pengendali lingkungan telah melupakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Peran dan fungsi jasa lingkungan ekosistem hutan makin menonjol dalam menopang kehidupan untuk keseluruhan aspek ekologis, ekonomi dan sosial. Meningkatnya perhatian terhadap

Lebih terperinci

PENDUGAAN SERAPAN KARBON DIOKSIDA PADA BLOK REHABILITASI CONOCOPHILLIPS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI PRASASTI RIRI KUNTARI

PENDUGAAN SERAPAN KARBON DIOKSIDA PADA BLOK REHABILITASI CONOCOPHILLIPS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI PRASASTI RIRI KUNTARI PENDUGAAN SERAPAN KARBON DIOKSIDA PADA BLOK REHABILITASI CONOCOPHILLIPS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI PRASASTI RIRI KUNTARI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Aktivitas manusia telah meningkatkan emisi gas rumah kaca serta

BAB I. PENDAHULUAN. Aktivitas manusia telah meningkatkan emisi gas rumah kaca serta BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Aktivitas manusia telah meningkatkan emisi gas rumah kaca serta meningkatkan suhu global. Kegiatan yang menyumbang emisi gas rumah kaca dapat berasal dari pembakaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) seperti karbon dioksida

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) seperti karbon dioksida BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) seperti karbon dioksida (CO 2 ), metana (CH 4 ), dinitrogen oksida (N 2 O), hidrofluorokarbon (HFC), perfluorokarbon (PFC)

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan konsentrasi karbon di atmosfer menjadi salah satu masalah lingkungan yang serius dapat mempengaruhi sistem kehidupan di bumi. Peningkatan gas rumah kaca (GRK)

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim. Pemanasan tersebut

BAB I. PENDAHULUAN. menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim. Pemanasan tersebut BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peningkatan kadar CO 2 di atmosfir yang tidak terkendali jumlahnya menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim. Pemanasan tersebut disebabkan oleh adanya gas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemampuan hutan dan ekosistem didalamnya sebagai penyimpan karbon dalam bentuk biomassa di atas tanah dan di bawah tanah mempunyai peranan penting untuk menjaga keseimbangan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 74/Menhut-II/2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 74/Menhut-II/2014 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 74/Menhut-II/2014 TENTANG PENERAPAN TEKNIK SILVIKULTUR DALAM USAHA PEMANFAATAN PENYERAPAN DAN/ATAU PENYIMPANAN KARBON PADA HUTAN PRODUKSI DENGAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. iklim global ini telah menyebabkan terjadinya bencana alam di berbagai belahan

II. TINJAUAN PUSTAKA. iklim global ini telah menyebabkan terjadinya bencana alam di berbagai belahan 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pemanasan Global Pemanasan global diartikan sebagai kenaikan temperatur muka bumi yang disebabkan oleh efek rumah kaca dan berakibat pada perubahan iklim. Perubahan iklim global

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan memiliki banyak fungsi ditinjau dari aspek sosial, ekonomi, ekologi

BAB I PENDAHULUAN. Hutan memiliki banyak fungsi ditinjau dari aspek sosial, ekonomi, ekologi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan memiliki banyak fungsi ditinjau dari aspek sosial, ekonomi, ekologi dan lingkungan yang sangat penting bagi kehidupan manusia baik pada masa kini maupun pada

Lebih terperinci

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM Muhdi Staf Pengajar Program Studi Teknologi Hasil Hutan Departemen Kehutanan USU Medan Abstract A research was done at natural tropical

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biomassa dan Karbon Hutan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biomassa dan Karbon Hutan 26 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biomassa dan Karbon Hutan Biomassa merupakan jumlah bahan organik yang diproduksi oleh organisme (tumbuhan) persatuan unit area pada suatu waktu yang dinyatakan dalam berat kering

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan gambut merupakan salah satu tipe hutan yang terdapat di Indonesia dan penyebarannya antara lain di Pulau Sumatera, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi dan Pulau

Lebih terperinci

BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA

BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA 4.1. Landasan Berfikir Pengembangan SRAP REDD+ Provinsi Papua Landasan berpikir untuk pengembangan Strategi dan Rencana Aksi (SRAP) REDD+ di Provinsi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pemanasan global saat ini menjadi topik yang paling hangat dibicarakan dan mendapatkan perhatian sangat serius dari berbagai pihak. Pada dasarnya pemanasan global merupakan

Lebih terperinci

INSENTIF FINANSIAL PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI LESTARI DARI PERDAGANGAN KARBON SKEMA REDD+ RINA MUHAYAH NOOR PITRI

INSENTIF FINANSIAL PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI LESTARI DARI PERDAGANGAN KARBON SKEMA REDD+ RINA MUHAYAH NOOR PITRI 1 INSENTIF FINANSIAL PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI LESTARI DARI PERDAGANGAN KARBON SKEMA REDD+ RINA MUHAYAH NOOR PITRI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Hutan Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Menurut Undangundang tersebut, Hutan adalah suatu

Lebih terperinci

Ilmuwan mendesak penyelamatan lahan gambut dunia yang kaya karbon

Ilmuwan mendesak penyelamatan lahan gambut dunia yang kaya karbon Untuk informasi lebih lanjut, silakan menghubungi: Nita Murjani n.murjani@cgiar.org Regional Communications for Asia Telp: +62 251 8622 070 ext 500, HP. 0815 5325 1001 Untuk segera dipublikasikan Ilmuwan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ancaman perubahan iklim sangat menjadi perhatian masyarakat dibelahan dunia manapun. Ancaman dan isu-isu yang terkait mengenai perubahan iklim terimplikasi dalam Protokol

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaturan hasil saat ini yang berlaku pada pengelolaan hutan alam produksi di Indonesia menggunakan sistem silvikultur yang diterapkan pada IUPHHK Hutan Produksi dalam P.11/Menhut-II/2009.

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.128, 2009 DEPARTEMEN KEHUTANAN. Tata Cara. Perizinan. Karbon. Hutan Lindung. Produksi. Pemanfaatan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.128, 2009 DEPARTEMEN KEHUTANAN. Tata Cara. Perizinan. Karbon. Hutan Lindung. Produksi. Pemanfaatan. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.128, 2009 DEPARTEMEN KEHUTANAN. Tata Cara. Perizinan. Karbon. Hutan Lindung. Produksi. Pemanfaatan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.36/Menhut-II/2009

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Sumberdaya hutan tropis yang dimiliki negara Indonesia, memiliki nilai dan peranan penting yang bermanfaat dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Manfaat yang didapatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN Hutan berperan penting dalam menjaga kesetabilan iklim global, vegetasi hutan akan memfiksasi CO2 melalui proses fotosintesis. Jika hutan terganggu maka siklus CO2

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN LOI RI-NORWAY DINAS KEHUTANAN PROVINSI RIAU

PERKEMBANGAN LOI RI-NORWAY DINAS KEHUTANAN PROVINSI RIAU PERKEMBANGAN LOI RI-NORWAY DINAS KEHUTANAN PROVINSI RIAU PEKANBARU, JULI 2010 Kawasan Hutan Provinsi Riau berdasarkan TGHK SK Menhut No. 173/Kpts-II/1986, 6 Juni 1986 No PERUNTUKAN LUAS (Ha) ( % ) 1. Hutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peradaban umat manusia di berbagai belahan dunia (Maryudi, 2015). Luas hutan

BAB I PENDAHULUAN. peradaban umat manusia di berbagai belahan dunia (Maryudi, 2015). Luas hutan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki peran penting bagi keberlangsungan hidup umat manusia di muka bumi. Peran penting sumberdaya hutan

Lebih terperinci

2013, No Mengingat Emisi Gas Rumah Kaca Dari Deforestasi, Degradasi Hutan dan Lahan Gambut; : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Rep

2013, No Mengingat Emisi Gas Rumah Kaca Dari Deforestasi, Degradasi Hutan dan Lahan Gambut; : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Rep No.149, 2013 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN. Badan Pengelola. Penurunan. Emisi Gas Rumah Kaca. Kelembagaan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2013 TENTANG BADAN PENGELOLA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2013 TENTANG BADAN PENGELOLA PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA DARI DEFORESTASI, DEGRADASI HUTAN DAN LAHAN GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Metode Pendugaan Karbon Pada Perubahan Penggunaan Lahan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Metode Pendugaan Karbon Pada Perubahan Penggunaan Lahan 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Metode Pendugaan Karbon Pada Perubahan Penggunaan Lahan Metode pendugaan karbon tersimpan pada berbagai jenis penggunaan lahan adalah hal penting dalam menduga besarnya perubahan

Lebih terperinci

West Kalimantan Community Carbon Pools

West Kalimantan Community Carbon Pools Progress Kegiatan DA REDD+ Mendukung Target Penurunan Emisi GRK Kehutanan West Kalimantan Community Carbon Pools Fauna & Flora International Indonesia Programme Tujuan: Pengembangan proyek REDD+ pada areal

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian ini dilakukan di IUPHHK HA (ijin usaha pemamfaatan hasil hutan kayu hutan alam) PT. Salaki Summa Sejahtera, Pulau Siberut,

Lebih terperinci

Pembangunan Kehutanan

Pembangunan Kehutanan KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Pembangunan Kehutanan Sokoguru Pembangunan Nasional Berkelanjutan Dr. Ir. Hadi Daryanto, DEA (Sekretaris Jenderal) Disampaikan dalam Seminar

Lebih terperinci

REDUKSI EMISI KARBON MELALUI PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI LESTARI Carbon Emission Reduction of Sustainable Natural Production Forest Management

REDUKSI EMISI KARBON MELALUI PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI LESTARI Carbon Emission Reduction of Sustainable Natural Production Forest Management Jurnal Hutan Tropis Volume 1 No. 1 Maret 2013 ISSN 2337-7771 E-ISSN 2337-7992 REDUKSI EMISI KARBON MELALUI PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI LESTARI Carbon Emission Reduction of Sustainable Natural Production

Lebih terperinci

Kebijakan Fiskal Sektor Kehutanan

Kebijakan Fiskal Sektor Kehutanan Kebijakan Fiskal Sektor Kehutanan Prof. Dr. Singgih Riphat Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan PENYUMBANG EMISI CO 2 TERBESAR DI DUNIA Indonesia menempati urutan ke 16 dari 25 negara penyumbang

Lebih terperinci

PERAN BENIH UNGGUL DALAM MITIGASI PERUBAHAN IKLIM

PERAN BENIH UNGGUL DALAM MITIGASI PERUBAHAN IKLIM PERAN BENIH UNGGUL DALAM MITIGASI PERUBAHAN IKLIM Ari Wibowo ariwibowo61@yahoo.com PUSLITBANG PERUBAHAN IKLIM DAN KEBIJAKAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN KEMENTERIAN KEHUTANAN SEMINAR NASIONAL

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2013 TENTANG BADAN PENGELOLA PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA DARI DEFORESTASI, DEGRADASI HUTAN DAN LAHAN GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menyebabkan perubahan yang signifikan dalam iklim global. GRK adalah

I. PENDAHULUAN. menyebabkan perubahan yang signifikan dalam iklim global. GRK adalah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK) sejak pertengahan abad ke 19 telah menyebabkan perubahan yang signifikan dalam iklim global. GRK adalah lapisan gas yang berperan

Lebih terperinci

ISU ISU STRATEGIS KEHUTANAN. Oleh : Ir. Masyhud, MM (Kepala Pusat Humas Kemhut) Pada Orientasi Jurnalistik Kehutanan Jakarta, 14 Juni 2011

ISU ISU STRATEGIS KEHUTANAN. Oleh : Ir. Masyhud, MM (Kepala Pusat Humas Kemhut) Pada Orientasi Jurnalistik Kehutanan Jakarta, 14 Juni 2011 ISU ISU STRATEGIS KEHUTANAN Oleh : Ir. Masyhud, MM (Kepala Pusat Humas Kemhut) Pada Orientasi Jurnalistik Kehutanan Jakarta, 14 Juni 2011 1 11 PRIORITAS KIB II (2010-2014) 1. Mewujudkan reformasi birokrasi

Lebih terperinci

MAKSUD DAN TUJUAN. Melakukan dialog mengenai kebijakan perubahan iklim secara internasional, khususnya terkait REDD+

MAKSUD DAN TUJUAN. Melakukan dialog mengenai kebijakan perubahan iklim secara internasional, khususnya terkait REDD+ MENTERI KEHUTANAN LETTER OF INTENT (LOI) ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DENGAN PEMERINTAH NORWEGIA TENTANG KERJASAMA PENGURANGAN EMISI GAS RUMAH KACA DARI DEFORESTASI DAN DEGRADASI KEHUTANAN JAKARTA,

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Papua dengan luas kawasan hutan 31.687.680 ha (RTRW Provinsi Papua, 2012), memiliki tingkat keragaman genetik, jenis maupun ekosistem hutan yang sangat tinggi.

Lebih terperinci

KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL AKIBAT PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM RAWA GAMBUT

KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL AKIBAT PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM RAWA GAMBUT J. MANUSIA DAN LINGKUNGAN, Vol. 21, No.1, Maret. 2014: 83-89 KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL AKIBAT PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM RAWA GAMBUT (Residual Stand Damage Caused by Timber Harvesting in Natural Peat

Lebih terperinci

Pemerintah Republik Indonesia (Indonesia) dan Pemerintah Kerajaan Norwegia (Norwegia), (yang selanjutnya disebut sebagai "Para Peserta")

Pemerintah Republik Indonesia (Indonesia) dan Pemerintah Kerajaan Norwegia (Norwegia), (yang selanjutnya disebut sebagai Para Peserta) Terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia ini dibuat oleh Center for Internasional Forestry Research (CIFOR) dan tidak bisa dianggap sebagai terjemahan resmi. CIFOR tidak bertanggung jawab jika ada kesalahan

Lebih terperinci

Restorasi Ekosistem di Hutan Alam Produksi: Implementasi dan Prospek Pengembangan

Restorasi Ekosistem di Hutan Alam Produksi: Implementasi dan Prospek Pengembangan Restorasi Ekosistem di Hutan Alam Produksi: Implementasi dan Prospek Pengembangan Perhimpunan Pelestarian Burung Liar Indonesia (Burung Indonesia) Mendefinisikan restorasi ekosistem (di hutan alam produksi)

Lebih terperinci

ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT

ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT. SARMIENTO PARAKANTJA TIMBER KALIMANTAN TENGAH Oleh : SUTJIE DWI UTAMI E 14102057 DEPARTEMEN MANAJEMEN

Lebih terperinci

1 BAB I. PENDAHULUAN. tingginya tingkat deforestasi dan sistem pengelolan hutan masih perlu untuk

1 BAB I. PENDAHULUAN. tingginya tingkat deforestasi dan sistem pengelolan hutan masih perlu untuk 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan tropis merupakan sumber utama kayu dan gudang dari sejumlah besar keanekaragaman hayati dan karbon yang diakui secara global, meskupun demikian tingginya

Lebih terperinci

BAB 1. PENDAHULUAN. Kalimantan Tengah pada tahun 2005 diperkirakan mencapai 292 MtCO2e 1 yaitu

BAB 1. PENDAHULUAN. Kalimantan Tengah pada tahun 2005 diperkirakan mencapai 292 MtCO2e 1 yaitu 1 BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam skenario BAU (Business As Usual) perdagangan karbon di indonesia, Kalimantan Tengah akan menjadi kontributor signifikan emisi gas rumah kaca di Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 3,2 juta ha (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera,

Lebih terperinci

Dampak moratorium LoI pada hutan alam dan gambut Sumatra

Dampak moratorium LoI pada hutan alam dan gambut Sumatra Dampak moratorium LoI pada hutan alam dan gambut Sumatra - Analisa titik deforestasi Riau, Sumatra- 16 Maret 2011 oleh Eyes on the Forest Diserahkan kepada : Dr. Ir. Kuntoro Mangkusubroto, Kepala Unit

Lebih terperinci

INDONESIA - AUSTRALIA FOREST CARBON PARTNERSHIP (IAFCP)

INDONESIA - AUSTRALIA FOREST CARBON PARTNERSHIP (IAFCP) INDONESIA - AUSTRALIA FOREST CARBON PARTNERSHIP (IAFCP) I. PENDAHULUAN - IAFCP didasarkan pada Kesepakatan Kerjasama ditandatangani oleh Presiden RI dan Perdana Menteri Australia 13 Juni 2008, jangka waktu

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Kegiatan penelitian ini dilaksanakan di IUPHHK HA PT. Salaki Summa Sejahtera, Pulau Siberut, Propinsi Sumatera Barat. Penelitian dilakukan pada bulan Nopember

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 37 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pola Sebaran Pohon Pemetaan sebaran pohon dengan luas petak 100 ha pada petak Q37 blok tebangan RKT 2011 PT. Ratah Timber ini data sebaran di kelompokkan berdasarkan sistem

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemanasan global merupakan salah satu isu di dunia saat ini. Masalah pemanasan global ini bahkan telah menjadi agenda utama Perserikatan Bangsabangsa (PBB). Kontributor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia dan kawasan konservasi memiliki korelasi yang kuat. Suatu kawasan konservasi memiliki fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial sedangkan manusia memiliki peran

Lebih terperinci

PERJALANAN PANJANG PERKEMBANGAN KONSEPSI PENGELOLAAN HUTAN LESTARI

PERJALANAN PANJANG PERKEMBANGAN KONSEPSI PENGELOLAAN HUTAN LESTARI 2. Pengusahaan hutan diartikan sebagai kegiatan pemanfaatan hutan yang didasarkan atas azas kelestarian dan azas perusahaan yang meliputi penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pemanenan hasil, pengolahan

Lebih terperinci

Perubahan Stok Karbon dan Nilai Ekonominya pada Konversi Hutan Rawa Gambut Menjadi Hutan Tanaman Industri Pulp

Perubahan Stok Karbon dan Nilai Ekonominya pada Konversi Hutan Rawa Gambut Menjadi Hutan Tanaman Industri Pulp Perubahan Stok Karbon dan Nilai Ekonominya pada Konversi Hutan Rawa Gambut Menjadi Hutan Tanaman Industri Pulp Change of The Carbon Stock and It s Economic Value on the Conversion of Peat Swamp Forest

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli ` I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli dan dikelola dengan sistem zonasi. Kawasan ini dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu

Lebih terperinci

SAMBUTAN MENTERI KEHUTANAN PADA PEMBUKAAN RAPAT KOORDINASI TEKNIS PEMBANGUNAN KEHUTANAN BIDANG BINA PRODUKSI KEHUTANAN (Jakarta, 14 Juli 2010)

SAMBUTAN MENTERI KEHUTANAN PADA PEMBUKAAN RAPAT KOORDINASI TEKNIS PEMBANGUNAN KEHUTANAN BIDANG BINA PRODUKSI KEHUTANAN (Jakarta, 14 Juli 2010) SAMBUTAN MENTERI KEHUTANAN PADA PEMBUKAAN RAPAT KOORDINASI TEKNIS PEMBANGUNAN KEHUTANAN BIDANG BINA PRODUKSI KEHUTANAN (Jakarta, 14 Juli 2010) Para pejabat Eselon I dan II Lingkup Dephut yang saya hormati,

Lebih terperinci

POTENSI JASA LINGKUNGAN TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus hybrid) DALAM PENYIMPANAN KARBON DI PT. TOBA PULP LESTARI (TPL). TBK

POTENSI JASA LINGKUNGAN TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus hybrid) DALAM PENYIMPANAN KARBON DI PT. TOBA PULP LESTARI (TPL). TBK POTENSI JASA LINGKUNGAN TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus hybrid) DALAM PENYIMPANAN KARBON DI PT. TOBA PULP LESTARI (TPL). TBK SKRIPSI Tandana Sakono Bintang 071201036/Manajemen Hutan PROGRAM STUDI KEHUTANAN

Lebih terperinci

Strategi dan Rencana Aksi Pengurangan Emisi GRK dan REDD di Provinsi Kalimantan Timur Menuju Pembangunan Ekonomi Hijau. Daddy Ruhiyat.

Strategi dan Rencana Aksi Pengurangan Emisi GRK dan REDD di Provinsi Kalimantan Timur Menuju Pembangunan Ekonomi Hijau. Daddy Ruhiyat. Strategi dan Rencana Aksi Pengurangan Emisi GRK dan REDD di Provinsi Kalimantan Timur Menuju Pembangunan Ekonomi Hijau Daddy Ruhiyat news Dokumen terkait persoalan Emisi Gas Rumah Kaca di Kalimantan Timur

Lebih terperinci

PELUANG IMPLEMENTASI REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation) DI PROVINSI JAMBI

PELUANG IMPLEMENTASI REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation) DI PROVINSI JAMBI PELUANG IMPLEMENTASI REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation) DI PROVINSI JAMBI Oleh Ir. H. BUDIDAYA, M.For.Sc. (Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi) Disampaikan pada Focus Group

Lebih terperinci

GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG

GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG STRATEGI DAN RENCANA AKSI PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA DARI DEFORESTASI DAN DEGRADASI HUTAN ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR

Lebih terperinci

BRIEF Volume 11 No. 01 Tahun 2017

BRIEF Volume 11 No. 01 Tahun 2017 PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN IKLIM BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN POLICY BRIEF Volume 11 No. 01 Tahun

Lebih terperinci

DEGRADASI DAN REHABILITASI HUTAN TROPIKA BASAH (KAJIAN FALSAFAH SAINS) PAPER INDIVIDU MATA AJARAN PENGANTAR FALSAFAH SAINS OLEH PRIJANTO PAMOENGKAS

DEGRADASI DAN REHABILITASI HUTAN TROPIKA BASAH (KAJIAN FALSAFAH SAINS) PAPER INDIVIDU MATA AJARAN PENGANTAR FALSAFAH SAINS OLEH PRIJANTO PAMOENGKAS DEGRADASI DAN REHABILITASI HUTAN TROPIKA BASAH (KAJIAN FALSAFAH SAINS) PAPER INDIVIDU MATA AJARAN PENGANTAR FALSAFAH SAINS OLEH PRIJANTO PAMOENGKAS IPK 14600003 PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

Oleh: PT. GLOBAL ALAM LESTARI

Oleh: PT. GLOBAL ALAM LESTARI Izin Usaha Pemanfaatan Penyerapan Karbon dan/atau Penyimpanan Karbon (PAN-RAP Karbon) Nomor: SK. 494/Menhut-II/2013 Hutan Rawa Gambut Tropis Merang-Kepayang Sumatera Selatan, Indonesia Oleh: PT. GLOBAL

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3. Biomassa dan Karbon Biomassa Atas Permukaan di Kebun Panai Jaya, PTPN IV Tahun 2009

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3. Biomassa dan Karbon Biomassa Atas Permukaan di Kebun Panai Jaya, PTPN IV Tahun 2009 14 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Stok Karbon 4.1.1 Panai Jaya Data stok karbon yang digunakan pada kebun Panai Jaya berasal dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Yulianti (2009) dan Situmorang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan Indonesia seluas 120,35 juta hektar merupakan salah satu kelompok hutan tropis ketiga terbesar di dunia setelah Brazil dan Zaire, yang mempunyai fungsi utama sebagai

Lebih terperinci

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal TINJUAN PUSTAKA Ekosistem Mangrove Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen, dan hutan payau (bahasa Indonesia), selain itu, hutan mangrove oleh masyarakat

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG 133 PROSIDING Workshop Nasional 2006 134 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG PERTAMA KESIMPULAN 1. Ramin dan ekosistemnya saat ini terancam kelestariannya. Hal ini disebabkan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian tentang Perkembangan Tegakan Pada Hutan Alam Produksi Dalam Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) dilaksanakan di areal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan Salomon, dalam Rahayu et al. (2006), untuk mengurangi dampak perubahan

BAB I PENDAHULUAN. dan Salomon, dalam Rahayu et al. (2006), untuk mengurangi dampak perubahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanasan global mengakibatkan terjadinya perubahan iklim. Menurut Sedjo dan Salomon, dalam Rahayu et al. (2006), untuk mengurangi dampak perubahan iklim, upaya yang

Lebih terperinci

PROGRAM HUTAN DAN IKLIM WWF

PROGRAM HUTAN DAN IKLIM WWF PROGRAM HUTAN DAN IKLIM WWF LEMBAR FAKTA 2014 GAMBARAN SEKILAS Praktek-Praktek REDD+ yang Menginspirasi MEMBANGUN DASAR KERANGKA PENGAMAN KEANEKARAGAMAN HAYATI DI INDONESIA Apa» Kemitraan dengan Ratah

Lebih terperinci

2018, No Carbon Stocks) dilaksanakan pada tingkat nasional dan Sub Nasional; d. bahwa dalam rangka melaksanakan kegiatan REDD+ sebagaimana dima

2018, No Carbon Stocks) dilaksanakan pada tingkat nasional dan Sub Nasional; d. bahwa dalam rangka melaksanakan kegiatan REDD+ sebagaimana dima No.161, 2018 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-LHK. Perangkat REDD+. Pencabutan. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.70/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2017 TENTANG

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia Sampai tahun 2004, Indonesia berada pada urutan ke 15 negara penghasil gas rumah kaca tertinggi di dunia dengan emisi tahunan 378 juta ton

Lebih terperinci

Kemitraan untuk REDD+ : Lokakarya Nasional bagi Pemerintah dan Masyarakat Sipil MEMAHAMI KONSEP REDD : ADDITIONALITY, LEAKAGE & PERMANENCE

Kemitraan untuk REDD+ : Lokakarya Nasional bagi Pemerintah dan Masyarakat Sipil MEMAHAMI KONSEP REDD : ADDITIONALITY, LEAKAGE & PERMANENCE Kemitraan untuk REDD+ : Lokakarya Nasional bagi Pemerintah dan Masyarakat Sipil MEMAHAMI KONSEP REDD : ADDITIONALITY, LEAKAGE & PERMANENCE Muhammad Ridwan 17 Maret 2010 Bahan disarikan dari beberapa tulisan

Lebih terperinci

(Reduced Impact Logging) di Kalimantan

(Reduced Impact Logging) di Kalimantan Pembalakan dengan Dampak Dikurangi (Reduced Impact Logging) di Kalimantan Timur: Sebuah Cara untuk Melestarikan Hutan dan Keuntungan Metode pembalakan dengan dampak dikurangi dapat mengurangi emisi CO

Lebih terperinci

Pemanfaatan Hutan Mangrove Sebagai Penyimpan Karbon

Pemanfaatan Hutan Mangrove Sebagai Penyimpan Karbon Buletin PSL Universitas Surabaya 28 (2012): 3-5 Pemanfaatan Hutan Mangrove Sebagai Penyimpan Karbon Hery Purnobasuki Dept. Biologi, FST Universitas Airlangga Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem

Lebih terperinci

PERANCANGAN JALAN SAARAD UNTUK MEMINIMALKAN KERUSAKAN LINGKUNGAN MUHDI. Program Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

PERANCANGAN JALAN SAARAD UNTUK MEMINIMALKAN KERUSAKAN LINGKUNGAN MUHDI. Program Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara PERANCANGAN JALAN SAARAD UNTUK MEMINIMALKAN KERUSAKAN LINGKUNGAN MUHDI Program Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara PENDAHULUAN Pemanenan kayu konvensional merupakan teknik pemanenan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingginya kebutuhan lahan dan semakin terbatasnya sumberdaya alam menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih guna hutan sering terjadi

Lebih terperinci

2 ekonomi biaya tinggi sebagaimana hasil kajian Komisi Pemberantasan Korupsi Tahun 2013, perlu pengaturan kembali mengenai Inventarisasi Hutan Menyelu

2 ekonomi biaya tinggi sebagaimana hasil kajian Komisi Pemberantasan Korupsi Tahun 2013, perlu pengaturan kembali mengenai Inventarisasi Hutan Menyelu No.690, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUT. Hutan Alam. Pemanfaatan. Hutan Kayu. Inventarisasi. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.33/Menhut-II/2014 TENTANG

Lebih terperinci

PENDEKATAN LANSKAP DALAM MITIGASI PERUBAHAN IKLIM

PENDEKATAN LANSKAP DALAM MITIGASI PERUBAHAN IKLIM PENDEKATAN LANSKAP DALAM MITIGASI PERUBAHAN IKLIM Oleh: Dr. Dolly Priatna Yayasan Belantara Seminar Nasional Perubahan Iklim Mengembangkan Program Pendidikan Konservasi dan Lingkungan Hidup Bagi Para Pihak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. klimaks pada daerah dengan curah hujan mm per tahun, rata-rata

BAB I PENDAHULUAN. klimaks pada daerah dengan curah hujan mm per tahun, rata-rata 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu

Lebih terperinci

Menguji Rencana Pemenuhan Target Penurunan Emisi Indonesia 2020 dari Sektor Kehutanan dan Pemanfaatan Lahan Gambut

Menguji Rencana Pemenuhan Target Penurunan Emisi Indonesia 2020 dari Sektor Kehutanan dan Pemanfaatan Lahan Gambut www.greenomics.org KERTAS KEBIJAKAN Menguji Rencana Pemenuhan Target Penurunan Emisi Indonesia 2020 dari Sektor Kehutanan dan Pemanfaatan Lahan Gambut 21 Desember 2009 DAFTAR ISI Pengantar... 1 Kasus 1:

Lebih terperinci

Kepastian Pembiayaan dalam keberhasilan implementasi REDD+ di Indonesia

Kepastian Pembiayaan dalam keberhasilan implementasi REDD+ di Indonesia ISSN : 2085-787X Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN IKLIM Jl. Gunung Batu No.

Lebih terperinci