INSENTIF FINANSIAL PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI LESTARI DARI PERDAGANGAN KARBON SKEMA REDD+ RINA MUHAYAH NOOR PITRI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "INSENTIF FINANSIAL PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI LESTARI DARI PERDAGANGAN KARBON SKEMA REDD+ RINA MUHAYAH NOOR PITRI"

Transkripsi

1 1 INSENTIF FINANSIAL PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI LESTARI DARI PERDAGANGAN KARBON SKEMA REDD+ RINA MUHAYAH NOOR PITRI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

2 2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Insentif Finansial Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari dari Perdagangan Karbon Skema REDD+ adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Januari 2012 Rina Muhayah Noor Pitri E

3 3 ABSTRACT RINA MUHAYAH NOOR PITRI. Financial Incentive of Sustainable Natural Production Forest Management from Scheme of REDD+ Carbon Trading. Under direction of BAHRUNI and DUDUNG DARUSMAN. Carbon trading mechanism for sustainable natural production forest management in REDD+ is part of forestry sector participation in reducing carbon emission. Nevertheless, studies of relationship between carbon stock in sustainable forest management and incentive from REDD+ were limited, therefore the financial benefit from REDD+ could not be predicted. The objective of this research is to know incentive financial REDD+ value toward sustainable natural forest management. Objects of this research are management of natural production forest before getting sustainable certificate (A1), management of natural production forest after getting sustainable certificate (A2), and management of natural production forest have not got sustainable certificate. In general terms, data analysis consisted two major steps: (1) Calculating carbon stock and carbodioxide emission (2) Calculating economic value of carbon. Carbon stock was resulted from comparing A2-1 is ton C/year, A2-B is ton C/year. Carbondioxide emission was resulted from comparing A2-1 is ton CO 2 /year, A2-B is ton CO 2 /year. This results indicate that sustainable natural production forest management (A2) have much more carbon stock and Carbondioxide than unsustainable natural production forest management (A2 and B). Financial incentive could received by A2-1, A2-B at level price over US$ 3,52/tCO 2 and US$ 1,01/tCO 2, respectively. Natural production forest that is managed with sustainable management could be join in REDD+ scheme. Keywords: Sustainable forest management, financial incentive, carbon trading, REDD+

4 4 RINGKASAN RINA MUHAYAH NOOR PITRI. Insentif Finansial Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari dari Perdagangan Karbon Skema REDD+. Dibimbing oleh BAHRUNI DAN DUDUNG DARUSMAN. Pengelolaan hutan alam produksi mempunyai kemampuan yang berbeda dalam mempertahankan simpanan karbon hutan atau mereduksi emisi karbon. Perbedaan tersebut salah satunya disebabkan oleh perbedaan praktek pengelolaan hutan seperti kegiatan pemanenan, penanaman dan perlindungan hutan. COP XIII UNFCCC memasukkan pengelolaan hutan lestari sebagai salah satu mekanisme pengurangan emisi karbon dalam REDD+ sehingga membuka peluang bagi pengelolaan hutan alam produksi lestari untuk memperoleh tambahan insentif dari REDD+. Pengelolaan hutan alam produksi lestari diharapkan mampu mereduksi emisi karbon dan mempertahankan simpanan tegakan atau karbon yang lebih besar daripada pengelolaan hutan tidak lestari karena perbedaan dalam pengelolaannya. Keterbatasan kajian tentang hubungan antara simpanan karbon pengelolaan hutan alam produksi lestari dan biaya mengikuti REDD+ menyebabkan perolehan insentif finansial dari REDD+ belum dapat diprediksi. Penelitan ini bertujuan untuk mengetahui besar insentif finansial dari REDD+ terhadap pengelolaan hutan alam produksi lestari. Penelitian ini dilaksanakan di hutan alam produksi bersertifikat (IUPHHK A) dan hutan alam produksi tidak bersertifikat (IUPHHK B). Pada hutan bersertifikat diambil data sebelum memiliki sertifikat (A1) dan sesudah memiliki sertifikat (A2). Hutan alam produksi bersertifikat mewakili pengelolaan hutan alam produksi lestari dan hutan alam produksi yang belum dan tidak bersertifikat mewakili pengelolaan hutan alam produksi tidak lestari. Komparasi antara IUPHHK A2 dengan IUPHHK A1 diberi symbol A2-1 dan komparasi IUPHHK A2 dengan IUPHHK B diberi symbol A2-B. Metode perhitungan terdiri dari (1) perhitungan simpanan biomassa, karbon dan CO 2 (2) perhitungan nilai ekonomi karbon untuk mengikuti REDD+. Fokus perhitungan simpanan biomassa, karbon dan karbondioksida berasal dari tiga kegiatan yaitu kegitan produksi, kegiatan perlindungan hutan dan kegiatan penanaman. Kegiatan produksi difokuskan pada kegiatan pemanenan (berdasarkan indikator pohon tersedia dan pohon dipanen) dan kerusakan tegakan tinggal. Kegiatan perlindungan hutan menggunakan indikator penutupan lahan dan kegiatan penanaman berdasarkan penanaman yang dilakukan. Struktur biaya dalam perhitungan nilai ekonomi karbon adalah biaya oportunitas dan biaya transaksi. Rasio produksi pengelolaan hutan lestari dan pengelolaan hutan alam produksi tidak lestari 0,2-07 terhadap AAC. Rasio produksi pengelolaan hutan alam produksi tidak lestari cenderung menurun dan rasio produksi pengelolaan hutan alam produksi lestari cenderung meningkat. Kecenderungan produksi pengelolaan hutan alam produksi lestari dalam jangka panjang memiliki tingkat produksi yang relatif meningkat menunjukkan bahwa kelestarian produksi pengelolaan hutan lestari relatif dapat dipertahankan dan kelestarian produksi pengelolaan hutan alam produksi tidak lestari tidak dapat dipertahankan. Pada kegiatan pemanenan dengan indikator pohon tersedia dan pohon dipanen menunjukkan bahwa pengelolaan hutan alam produksi lestari melakukan penebangan lebih rendah dari pengelolaan hutan alam produksi tidak

5 5 lestari. Hal tersebut mengindikasikan bahwa hutan lestari memiliki stok tegakan atau karbon hutan lebih besar daripada hutan tidak lestari sehingga mampu mereduksi kehilangan tegakan akibat kegiatan pemanenan. Pengelolaan hutan alam produksi lestari mampu mengurangi kehilangan biomassa atau karbon sebesar 0,72%-16,85%/tahun dibandingkan dengan pengelolaan hutan alam produksi tidak lestari. Hasil komparasi tegakan tinggal memberikan gambaran bahwa pengelolaan hutan alam produksi lestari lebih mampu mereduksi emisi karbon sebesar ton CO 2 /tahun untuk A2-1 dan sebesar ton CO 2 /tahun untuk A2-B dibandingkan dengan pengelolaan hutan alam produksi tidak lestari. Kerusakan tegakan tinggal pengelolaan hutan alam produksi tidak lestari menyebabkan kehilangan biomassa sebesar 135,55-323,58 ton/ha/tahun. Kerusakan tegakan tinggal pengelolaan hutan alam produksi lestari sebesar 69,43 ton/ha/tahun. Perbedaan teknik yang digunakan untuk pemanenan menyebabkan perbedaan tingkat kerusakan tegakan. Teknik pemanenan Reduce Impact logging (RIL) yang di gunakan pada pengelolaan hutan alam produksi lestari memberikan dampak kerusakan yang lebih rendah daripada teknik konvensional yang digunakan pada pengelolaan hutan alam produksi tidak lestari. Pengelolaan hutan alam produksi lestari mampu meminimalkan kerusakan tegakan tinggal sehingga mampu mengurangi kehilangan karbon sebesar 90,5-190,2 ribu ton C/tahun atau mampu mereduksi emisi karbon 39%- 57%/tahun. Perhitungan biomassa tutupan hutan menunjukkan adanya penurunan total biomassa setiap tahunnya. Kecenderungan perubahan tutupan lahan pengelolaan hutan alam produksi tidak lestari menunjukkan laju perubahan tutupan lahan yang rendah dibandingkan dengan perubahan tutupan lahan pengelolaan hutan alam produksi tidak lestari. Pengelolaan hutan alam produksi lestari mampu mereduksi emisi karbon sebesar 1,39-1,56 juta ton C/tahun atau mampu mengurangi laju degradasi sebasar 1,11-1,20%/tahun dari pengelolaan hutan alam produksi tidak lestari. Upaya dan komitmen pengelola hutan lestari untuk melakukan kegiatan perlindungan hutan terhadap degradasi lebih baik daripada unit manajemen hutan tidak lestari antara lain dibuktikan dari biaya perlindungan dan pengamanan hutan yang lebih besar; membuat menara kebakaran; melakukan pengawasan dan membuat rambu-rambu peringatan dilarang membakar, berladang dan berburu hewan yang dilindungi. Kegiatan penanaman yang dilakukan pengelolaan hutan alam produksi lestari lebih besar dari pengelolaan hutan alam produksi tidak lestari. Rata-rata simpanan biomassa kegiatan penanaman pengelolaan hutan alam produksi tidak lestari sebesar 0,195-0,978 ton/tahun dan simpanan biomassa pengelolaan hutan produksi lestari sebesar 2,544 ton/tahun. Kegiatan penanaman pengelolaan hutan alam produksi lestari yang lebih besar mencerminkan bahwa upaya yang dilakukan untuk meningkatkan stok tegakan dengan menerapkan teknik silvukultur intensif lebih baik dari pengeloaan hutan alam produksi tidak lestari. Hasil komparasi biomassa penanaman menunjukkan bahwa hutan yang dikelola secara lestari mampu meningkatkan stok karbon hutan sebesar 0,78-1,16 tc/tahun. Kemampuan reduksi emisi karbon pengelolaan hutan lestari dari kegiatan produksi, perlindungan hutan dan penanaman sebesar 1,955-2,633 juta ton CO 2 /tahun. Pengelolaan hutan alam produksi lestari mampu mereduksi emisi karbon hutan sebesar 1,76%/tahun hingga 2,37%/tahun atau sebesar 9,03-12,16 ton CO 2Perhitungan /ha/tahun. nilai ekonomi karbon terdiri dari perhitungan biaya oportunitas, biaya transaksi dan insentif dari REDD+. Biaya oportunitas diperoleh

6 6 dari perbedaan keuntungan antara pengelolaan hutan alam produksi lestari dan pengelolaan hutan alam produksi tidak lestari. Biaya oportunitas untuk mengikuti REDD+ antara (12,57) milyar rupiah/tahun dan 24,45 milyar rupiah/tahun. Perhitungan biaya transaksi berdasarkan besarnya transaksi CO 2 yang ditawarkan. Biaya transaksi menggunakan tiga pendekatan yaitu US$ 0,03; US$ 0,63; dan US$ 1,23/tCO 2. Biaya transaksi untuk mengikuti REDD+ sebesar 0,52-28,76 milyar rupiah/tahun. Total biaya mengikuti REDD+ sebesar (4,376)-61,155 milyar rupiah/tahun Insentif yang dapat diperoleh dari perdagangan karbon skema REDD+ dipengaruhi oleh biaya yang harus ditanggung untuk mengikuti REDD+ dan penerimaan dari kompensasi reduksi emisi karbon. Harga kompensasi CO2 yang disimulasikan dalam penelitian ini sebesar US$ 6, US$ 9 dan US$ 12/tCO 2. Penerimaan dari REDD+ sebesar 104,18-280,58 milyar rupiah/tahun. Perhitungan nilai ekonomi karbon menunjukan adanya peluang bagi IUPHHK bersertifikat lestari untuk memperoleh insentif tambahan dari perdagangan karbon skema REDD+. Peluang tersebut diterima pada semua harga kompensasi yang disimulasikan. Insentif finansial paling rendah yang diterima sebesar 43 milyar rupiah/tahun untuk A2-1 dan sebesar 116,6 milyar rupiah/tahun untuk A2-B pada harga kompensasi US$6 dan beban biaya transaksi tertinggi. Insentif finansial tertinggi sebasar 168 milyar rupiah/tahun untuk A2-1 dan sebesar 284,95 milyar rupiah/tahun untuk A2-B pada harga kompensasi US$12/tCO2-e dan beban biaya transasksi paling rendah (US$ 0,03/tCO 2 -e). Titik impas tertinggi terjadi pada harga US$ 3,52/tCO 2 untuk A2-1 dan US$ 1,01/tCO 2 untuk A2-B. Kata kunci: pengelolaan hutan alam produksi lestari, insentif finansial, perdagangan karbon, REDD+

7 7 Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

8 8 INSENTIF FINANSIAL PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI LESTARI DARI PERDAGANGAN KARBON SKEMA REDD+ RINA MUHAYAH NOOR PITRI Tesis sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

9 9 Judul Tesis Nama NRP : Insentif Finansial Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari dari Perdagangan Karbon Skema REDD+ : Rina Muhayah Noor Pitri : E Disetujui Komisi Pembimbing Dr.Ir.Bahruni, MS. Ketua Prof.Dr.Ir. Dudung Darusman, MA. Anggota Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan Dekan Sekolah Pascasarjana Prof.Dr.Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS. Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr Tanggal Ujian: 30 Desember 2011 Tanggal Lulus: 10 Januari 2011

10 10 KATA PENGANTAR Pengelolaan hutan alam produksi lestari menganut prinsip bahwa hutan harus dikelola secara lestari untuk membatasi kerusakan terhadap tegakan dan ekosistem secara keseluruhan. Pengelolaan hutan alam produksi lestari mampu mempertahankan sumberdaya kayu untuk kelestarian produksi jangka panjang dan reduksi emisi karbon. Pertemuan UNFCCC pada COP XIII tahun 2007 menyepakati bahwa pengelolaan hutan lestari menjadi salah satu mekanisme pengurangan emisi karbon dalam skema REDD+ sebagai suatu bentuk apresiasi terhadap kemampuan pengelolaan hutan lestari dalam mempertahankan simpanan karbon dan mengurangi emisi karbon. Kesepakatan tersebut membuka peluang bagi pengelolaan hutan alam produksi lestari untuk memperoleh insentif finansial dari perdagangan karbon skema REDD+. Keterbatasan kajian tentang hubungan antara simpanan karbon pada hutan alam produksi lestari dan insentif REDD+ menyebabkan perolehan manfaat finansial REDD+ bagi pengelolaan hutan alam produksi lestari belum dapat diprediksi. Diperlukan pendugaan simpanan karbon dan biaya untuk memperoleh insentif REDD+ pada hutan alam produksi yang dikelola secara lestari. Lokasi dalam penelitian ini tidak disebutkan secara detil untuk menghargai kerahasiaan informasi perusahaan. Keterbatasan informasi tempat penelitian yang dapat ditampilkan dalam tulisan ini juga berkaitan dengan sedikitnya unit manajemen pengelolaan hutan alam produksi yang memiliki sertifikat pengelolaan hutan lestari sehingga relatif mudah diidentifikasikan. Kerahasiaan ini juga diperlukan untuk tetap membina hubungan baik dalam pelaksanaan penelitian antara Perguruan Tinggi dan Pengelola Hutan Alam Produksi. Tulisan dalam tesis ini menampilkan dua komponen utama, yaitu: (1) Perhitungan pendugaan simpanan biomassa, karbon dan karbondioksida (2) Perhitungan nilai ekonomi karbon dari REDD+. Fokus utama kegiatan pengelolaan yang diperhitungkan adalah kegiatan produksi, kegiatan perlindungan hutan dan kegiatan penanaman. Ucapan terima kasih dan penghargaan Penulis sampaikan kepada: 1. Bapak Dr. Ir. Bahruni MS dan Bapak Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman MA selaku pembimbing

11 11 2. Bapak Prof. Dr. Ir. Elias yang mendukung pendanaan penelitian dari program penelitian Hibah Pascasarjana IPB dan sekaligus sebagai penguji dalam ujian tesis. 3. Ayah H. Mugeni Masda dan Ibu Hj. Taniah atas doa dan kasih sayangnya; suami dan anakku Anita zulfa; serta seluruh keluarga atas dukungan dan bantuannya. 4. Seluruh pimpinan dan karyawan IUPHHK A dan IUPHHK B yang telah berkenan menerima dan memfasilitasi penulis untuk melakukan penelitian 5. Seluruh civitas akademik Institut Pertanian Bogor dan Universitas Lambung Mangkurat, Direktorat Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional melalui bantuan biaya pendidikan BPPS dan semua pihak yang telah membantu penyelesaian tesis ini. Semoga tesis ini bermanfaat dan berguna bagi pengembangan pengelolaan hutan lestari. Bogor, Januari 2012 Rina Muhayah Noor Pitri

12 12 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Gambut (Kalimantan Selatan) pada tanggal 6 Februari 1979 dari ayah Mugeni Masda dan ibu Taniah. Penulis merupakan anak bungsu dari empat bersaudara. Tahun 1997 penulis lulus dari MAN 1 Banjarmasin dan pada tahun 2002 lulus pada program studi Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat. Kesempatan melanjutkan ke program Magister pada program studi Ilmu Pengelolaan Hutan, Institut Pertanian Bogor. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Direktorat Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional. Penulis bekerja di Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru Kalimantan Selatan sejak tahun Penulis bekerja sebagai staf Pengajar pada Program studi Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan.

13 13 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... Halaman I. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Hipotesis Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian... 5 II. TINJAUAN PUSTAKA Biomassa dan Karbon Hutan Perdagangan Karbon di Sektor Kehutanan Pengelolaan Hutan Lestari dan Pengurangan Emisi Karbon Nilai Ekonomi Karbon Hutan. 18 III. METODOLOGI PENELITIAN Lokasi Penelitian Alur Pikir Penelitian Metode Penelitian. 22 xv xvii xviii Rancangan Penelitian Perhitungan Biomassa, Karbon dan Karbondioksida Perhitungan Nilai Ekonomi Karbon Perhitungan harga kayu bersertifikat dan kompensasi harga karbon IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN IUPHHK A Letak Geografis dan Luas IUPHHK A Tanah dan Geologi Topografi Iklim dan Curah Hujan Keadaan Hutan Sistem Silvikultur Keadaan Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat... 31

14 IUPHHK B Letak dan Luas IUPHHK A Tanah dan Geologi Topografi Iklim dan Curah Hujan Keadaan Hutan Sistem Silvikultur Keadaan Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat V. HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Simpanan Karbon IUPHHK A Kegiatan Produksi Kegiatan Perlindungan Hutan Kegiatan Penanaman Deskripsi Simpanan Karbon IUPHHK A Kegiatan Produksi Kegiatan Perlindungan Hutan Kegiatan Penanaman Deskripsi Simpanan Karbon IUPHHK B Kegiatan Produksi Kegiatan Perlindungan Hutan Kegiatan Penanaman Perbedaan Simpanan Biomassa, Karbon dan CO 2 A2-1 dan A2-B Perbedaan Simpanan Biomassa, Karbon dan CO kegiatan Produksi Perbedaan Simpanan Biomassa, Karbon dan CO kegiatan Perlindungan Hutan Perbedaan Simpanan Biomassa, Karbon dan CO kegiatan Penanaman Total Biomassa, Karbon dan CO Nilai Ekonomi dalam Perdagangan Karbon Skema REDD Biaya, Pendapatan dan Keuntungan Pengelolaan Hutan Biaya, Penerimaan dan Insentif Finansial REDD Peluang Insentif berupa Manfaat Finansial bagi Pengelolaan Hutan Alam Lestari dalam Skema REDD

15 15 VI. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 74

16 16 DAFTAR TABEL Halaman 1. Sumber Karbon Hutan Berbagai elemen pada pendekatan bertahap menuju REDD Rata-rata harga kayu bersertifikat dan tidak bersertifikat Keuntungan bersih dari berbagai pilihan penggunaan lahan Rancangan penelitian pada kegiatan produksi Rancangan penelitian pada kegiatan perlindungan hutan Rancangan penelitian pada kegiatan penanaman Rancangan analisis ekonomi karbon Kerusakan tegakan tinggal pada pemanenan konvensional dan RIL Jenis-jenis tanah pada IUPHHK A Distribusi kelas lereng areal IUPHHK A Penutupan lahan IUPHHK A Rincian formasi geologi di areal kerja IUPHHK B Tanah-tanah di areal kerja IUPHHK B Kondisi tofografi IUPHHK B Kondisi penutupan lahan di areal kerja IUPHHK B Biomassa, karbon dan CO 2 pohon tersedia dan pohon dipanen IUPHHK A Potensi biomassa dan karbon IUPHHK A Biomassa, karbon dan CO 2 yang hilang akibat kerusakan tegakan A Biomassa tiap tutupan lahan IUPHHK A Kegiatan penanaman IUPHHK A Biomassa kegiatan penanaman IUPHHK A Biomassa, karbon dan CO 2 pohon tersedia, pohon dipanen IUPHHK A Biomassa, karbon dan CO 2 yang hilang akibat kerusakan tegakan A Biomassa tiap tutupan lahan pada IUPHHK A Kegiatan penanaman IUPHHK A Biomassa pada kegiatan penanaman IUPHHK A Biomassa pohon tersedia dan pohon dipanen pada IUPHHK B Potensi biomassa dan karbon pada IUPHHK B Biomassa yang hilang pada IUPHHK B akibat kerusakan tegakan Biomassa tiap tutupan lahan IUPHHK B Biomassa kegiatan penanaman pada IUPHHK B... 54

17 Simpanan karbon dan CO 2 tegakan tinggal Perbedaan simpanan biomassa, karbon dan CO2 tegakan tinggal Perbedaan simpanan biomassa, karbon dan CO 2 dari kerusakan tegakan tinggal Biomassa, karbon dan CO 2 akibat degradasi hutan Perbedaan simpanan biomassa, karbon dan CO kegiatan perlindungan hutan Perbedaan simpanan biomassa, Karbon dan CO 39. Total biomassa, karbon dan CO kegiatan penanaman Biaya, Pendapatan dan keuntungan pengelolaan hutan Biaya transaksi pada A2-1 dan A2-B Biaya total A2-1 dan A2-B Penerimaan dari konpensasi simpanan CO 2 pada A2-1 dan A2-B Insentif finansial A2-1 dan A2-B dari REDD

18 18 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Emisi karbon tanpa REDD, dengan REDD dan REDD Kerangka pemikiran penelitian Kecenderungan produksi pada IUPHHK A Kecenderungan produksi pada IUPHHK A Kerusakan tegakan tinggal pada IUPHHK A Penanaman yang dilakukan IUPHHK A Rasio produksi terhadap AAC pada IUPHHK B Kerusakan tegakan tinggal pada IUPHHK B... 52

19 19 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Wood density yang digunakan dalam penelitian Target dan realisasi produksi IUPHHK A Target dan realisasi produksi IUPHHK A Target dan realisasi produksi IUPHHK B Pohon tersedia dan pohon dipanen IUPHHK A Pohon tersedia dan pohon dipanen IUPHHK A Pohon tersedia dan pohon dipanen IUPHHK B Persentase biaya, pendapatan dan keuntungan pengelolaan hutan alam produksi Tutupan lahan IUPHHK A Tutupan lahan IUPHHK A Tutupan lahan IUPHHK B Potensi tegakan pada IUPHHK A Potensi tegakan pada IUPHHK B Perhitungan simpanan biomassa kegiatan produksi berdasarkan beda persentase Simpanan biomassa, karbon dan CO 2 kegiatan perlindungan hutan berdasarkan persentase laju degradasi hutan Simpanan biomassa, karbon dan CO2 kegiatan penanaman berdasarkan persentase penanaman Total simpanan biomassa, karbon dan CO 2 berdasarkan persentase perbandingan total Biaya, penerimaan dan insentif finansial berdasarkan perhitungan persentase simpanan biomassa, karbon dan CO Kelompok pohon pada IUPHHK A Kelompok pohon pada IUPHHK B Potensi tegakan dan biomassa hutan primer tingkat pohon pada IUPHHK A tahun Potensi tegakan dan biomassa hutan bekas tebangan tingkat pohon pada IUPHHK A tahun Potensi tegakan dan biomassa hutan primer tingkat tiang pada IUPHHK A tahun Potensi tegakan dan biomassa hutan bekas tebangan tingkat tiang pada IUPHHK A tahun Potensi tegakan dan biomassa hutan primer tingkat pancang pada IUPHHK A tahun

20 Potensi tegakan dan biomassa hutan bekas tebangan tingkat pancang pada IUPHHK A tahun Jenis tingkat semai pada hutan primer IUPHHK A tahun Jenis tingkat semai pada hutan bekas tebangan IUPHHK A tahun Potensi tegakan dan biomassa tingkat semai IUPHHK A tahun Potensi tegakan dan biomassa hutan primer tingkat pohon pada IUPHHK B tahun Potensi tegakan dan biomassa hutan bekas tebangan tingkat pohon pada IUPHHK B tahun Potensi tegakan dan biomassa hutan primer tingkat tiang pada IUPHHK B tahun Potensi tegakan dan biomassa hutan bekas tebangan tingkat tiang pada IUPHHK B tahun Potensi tegakan dan biomassa hutan primer tingkat pancang pada IUPHHK B tahun Potensi tegakan dan biomassa hutan bekas tebangan tingkat pancang pada IUPHHK B tahun Jenis tingkat semai pada hutan primer IUPHHK B tahun Jenis tingkat semai pada hutan bekas tebangan IUPHHK A tahun Potensi tegakan dan biomassa tingkat semai IUPHHK A tahun

21 21 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada KTT Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro 1992 telah disepakati beberapa komitmen, salah satunya adalah menekan laju pemanasan global dan perubahan iklim melalui konvensi PBB untuk perubahan iklim (United Nation Framework Convention on Climate Change - UNFCCC). Pertemuan UNFCCC pada COP III tahun 1997 menghasilkan Protokol Kyoto yang mengatur perdagangan karbon sebagai mekanisme pasar yang diperuntukkan untuk menanggulangi pemanasan global. Pada COP XIII tahun 2007 dihasilkan Bali Road Map dan salah satu kesepakatannya adalah memasukkan pengelolaan hutan lestari menjadi salah satu mekanisme pengurangan emisi karbon dalam skema REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation Plus). Hutan berfungsi sebagai sumber emisi khususnya CO2, tetapi juga dapat berfungsi sebagai penyerap karbon (Ari wibowo dan Rufii 2009). Menurut IPCC (2007), deforestasi dan degradasi hutan menyumbang 12% - 20% emisi karbon dunia. Praktek pengelolaan hutan yang dilakukan sebagai upaya untuk mengurangi laju peningkatan karbondioksida di atmosfer (Brown et al. 1996; Watson et al. 1996), yaitu (1) pengelolaan untuk mengkonservasi karbon (2) pengelolaan untuk pengambilan dan penyimpanan karbon (3) pengelolaan untuk mencari substitusi karbon. Strategi yang dapat dilakukan agar pengelolaan hutan dapat berkontribusi terhadap perubahan iklim sebagai strategi penyerapan CO 2 dari udara melalui: (1) penanaman hutan yang baru pada lahan yang sebelumnya tidak berhutan; (2) penerapan manajemen tegakan yang dapat menambah karbon (3) menghasilkan produksi dan penggunaan produksi kayu yang lebih awet (Maness 2007). Menurut Imai et al. (2009), hutan yang dikelola secara lestari dapat mempertahankan sumberdaya kayunya untuk kontinuitas produksi dan juga dapat menjaga kelestarian cadangan karbon hutan dibandingkan dengan hutan yang dikelola secara tidak lestari. Praktek-praktek kehutanan yang dilaksanakan pada hutan bersertifikat (sebagai pendekatan pengelolaan hutan lestari) dari FSC dapat mengurangi emisi karbon dibandingkan dengan hutan tidak bersertifikat dan besarnya pengurangan emisi tersebut sekurang-kurangnya 10% (Putz et al. 2008). Pengelolaan hutan alam produksi lestari memperhatikan keseimbangan fungsi produksi, ekologi dan sosial (Bahruni 2011). Manfaat dari

22 22 pengelolaan hutan lestari cukup banyak, namun tantangan yang dihadapi untuk mencapai pengelolaan hutan lestari juga cukup besar. Luas kawasan hutan di Indonesia berdasarkan data Statistik Bina Produksi Kehutanan tahun 2009 sebesar hektar dan luas hutan alam produksi yang dibebani hak (IUPHHK_HA) seluas hektar. Hutan alam produksi di Indonesia yang memiliki sertifikat dari FSC hanya 5 unit manajemen dengan luas hektar atau 2,45% dari total luas hutan alam produksi (FSC 2011). Hutan alam produksi yang memiliki sertifikat dari LEI (3 unit; 2 unit diantaranya juga memiliki sertifikat FSC) seluas hektar (LEI 2011) dan sertifikat dari Departemen Kehutanan (48 unit) seluas hektar. Jumlah keseluruhan areal hutan yang memiliki sertifikat lestari seluas hektar atau mewakili 29,69% dari total hutan alam produksi. Rendahnya persentase luas hutan alam produksi yang memiliki sertifikat pengelolaan hutan lestari di Indonesia mengindikasikan rendahnya motivasi pengelola hutan untuk melakukan pengelolaan hutan lestari. Hasil studi Bahruni (2011) menyatakan bahwa kendala yang menyebabkan rendahnya motivasi pengelola hutan untuk melaksanakan pengelolaan hutan lestari disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: (1) faktor tata kelola dan regulasi yang tidak mampu menumbuhkan perilaku pengusahaan hutan yang baik, serta birokrasi yang belum efisien (2) ketidakpastian lahan (3) faktor kemampuan manajerial yang mencakup aspek teknis, manajemen dan finansial yang masih rendah (4) faktor motif ekonomi yang tidak disertai dengan kemauan untuk dapat mempertahankan ketersediaan hutan dalam jangka waktu yang panjang. Hasil studi Darusman dan Bahruni (2004) menyatakan bahwa biaya produksi hutan lestari lebih tinggi dari hutan tidak lestari. Besar kenaikan biaya produksi hutan lestari berkisar antara IDR /m 3 atau sekitar 4-6,5% dari biaya produksi hutan tidak lestari. Perdagangan karbon melalui skema REDD+ pada hutan produksi yang dikelola secara lestari merupakan suatu bentuk keikutsertaan sektor kehutanan dalam upaya pengurangan emisi karbon. Contoh program yang dapat diterapkan dalam pengelolaan hutan lestari adalah perubahan dari sistem penebangan konvensional menjadi pembalakan berdampak rendah/reduced Impact Logging (VCS 2010, di acu dalam Solichin 2010). Kesepakatan COP XIII tentang pengurangan emisi karbon oleh hutan lestari mengarah pada peluang perolehan insentif dari REDD+ untuk pengelola

23 23 hutan alam produksi lestari. Pengelolaan hutan alam produksi lestari diharapkan mampu mengurangi emisi dan mempertahankan simpanan karbon yang lebih besar dibandingkan dengan hutan alam produksi tidak lestari. Informasi yang penting untuk diketahui dan menjadi pertimbangan bagi pengelola hutan alam produksi lestari untuk ikut serta dalam mekanisme perdagangan karbon skema REDD+ adalah perbedaan simpanan karbon dan biaya yang diperlukan untuk memperoleh manfaat finansial Perumusan Masalah Pengelolaan hutan alam produksi mempunyai kemampuan yang berbeda untuk mempertahankan simpanan karbon hutannya. Perbedaan tersebut salah satunya disebabkan oleh perbedaan praktek pengelolaan hutan seperti kegiatan pemanenan, penanaman dan perlindungan hutan. Kegiatan pemanenan yang dilakukan pada hutan alam produksi menyebabkan kerusakan pada tegakan tinggal. Besarnya kerusakan tersebut dipengaruhi oleh sistem pemanenan yang diterapkan oleh pengelola hutan produksi. Kegiatan lain seperti kegiatan penanaman juga mempengaruhi stok karbon hutan karena perbedaan jumlah tanaman atau luas areal penanaman. Kegiatan perlindungan hutan seperti perlindungan terhadap kebakaran dan perambahan mempengaruhi laju degradasi hutan dan simpanan karbon pada hutan alam produksi. Pengelolaan hutan alam produksi dapat dikelompokkan menjadi pengelolaan hutan alam produksi lestari dan pengelolaan hutan alam produksi tidak lestari. Pengelolaan hutan alam produksi lestari merupakan hutan alam produksi yang pengelolaannya dilaksanakan berdasarkan asas-asas kelestarian dengan memperhatikan kelestarian fungsi produksi, ekologi dan sosial. Pengelolaan hutan lestari merupakan proses mengelola hutan untuk mencapai satu atau beberapa tujuan untuk menghasilkan barang atau jasa hutan secara berkelanjutan, tanpa mengurangi nilai dan produktivitas hutan dimasa yang akan dating dan tanpa adanya dampak yang tidak diharapkan terhadap lingkungan dan sosial. Pendekatan terhadap pengelolaan hutan alam produksi lestari dapat ditentukan berdasarkan pada sertifikat lestari yang diperoleh dari lembaga sertifikasi sebagai suatu bukti bahwa unit manajemen telah memenuhi standarstandar yang ditentukan oleh lembaga sertifikasi.

24 24 Hutan produksi yang dikelola secara lestari mempunyai potensi untuk ikut serta dalam REDD+. Pengelolaan hutan alam produksi lestari diharapkan mampu mereduksi emisi karbon dan mempertahankan simpanan tegakan atau karbon yang lebih besar daripada pengelolaan hutan tidak lestari karena perbedaan dalam pengelolaannya. Indikator kelestarian hutan alam produksi lestari di antaranya ditunjukkan oleh tingkat kerusakan tegakan tinggal yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan hutan produksi yang dikelola secara tidak lestari. Kegiatan perlindungan hutan yang dilaksanakan hutan produksi lestari relatif lebih intensif bila dibandingkan dengan hutan produksi tidak lestari. Keterbatasan kajian tentang hubungan antara simpanan karbon pengelolaan hutan alam produksi lestari dan insentif REDD+ menyebabkan perolehan manfaat finansial REDD+ bagi pengelola hutan lestari belum dapat diprediksi. Berdasarkan hal tersebut, diperlukan pendugaan simpanan karbon dan biaya untuk memperoleh insentif REDD+ pada hutan alam produksi lestari. Permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini: apakah skema REDD+ dapat memberikan tambahan insentif atau manfaat finansial yang memadai bagi pengelolaan hutan alam produksi lestari? 1.3. Tujuan Penelitan ini bertujuan untuk mengetahui peluang insentif finansial dari REDD+ sebagai pendorong pelaku usaha IUPHHK-HA melakukan pengelolaan hutan alam produksi lestari Hipotesis Penelitian Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu (1) pengelolaan hutan alam produksi lestari mampu mereduksi emisi karbon dibandingkan dengan pengelolaan hutan alam produksi tidak lestari (2) biaya yang ditanggung pengelola hutan untuk melakukan pengurangan emisi lebih besar dari insentif yang ditawarkan dalam skema REDD Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat baik dari sisi akademis maupun pengelola hutan produksi dalam hal berikut: 1. Memberikan informasi berupa data empirik dampak pengelolaan hutan terhadap emisi karbon dan simpanan karbon di hutan alam produksi.

25 25 2. Memberikan informasi tentang peluang mengikuti perdagangan karbon skema REDD+ dan manfaat finansial yang dapat diperoleh dari pengelolaan hutan alam produksi lestari Ruang Lingkup Penelitian Perhitungan reduksi emisi karbon dalam penelitian ini difokuskan pada kegiatan produksi, perlindungan hutan dan penanaman di hutan alam produksi. Reduksi emisi karbon pada tegakan tinggal dan kegiatan penanaman tidak memperhitungkan pertumbuhan yang terjadi.

26 26 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biomassa dan Karbon Hutan Biomassa merupakan jumlah bahan organik yang diproduksi oleh organisme (tumbuhan) persatuan unit area pada suatu waktu yang dinyatakan dalam berat kering oven ton per ha (Brown 1997). Menurut Whitten et al. (1984), diacu dalam Rizon (2005), biomassa hutan adalah jumlah total bobot kering semua bagian tumbuhan hidup, baik untuk seluruh atau sebagian tubuh organisme, produksi atau komunitas dan dinyatakan dalam berat kering persatuan luas (ton/ha). Biomassa dibedakan ke dalam dua kategori yaitu biomassa di atas permukaan (above ground biomass) dan biomassa bawah permukaan (below ground biomass). Biomassa di atas permukaan tanah adalah berat bahan organik per unit area pada waktu tertentu yang dihubungkan ke suatu fungsi sistem produktifitas, umur tegakan dan distribusi organik. Biomassa tegakan hutan dipengaruhi oleh umur tegakan hutan, sejarah perkembangan vegetasi, komposisi dan struktur tegakan. Faktor iklim seperti curah hujan dan suhu merupakan faktor yang mempengaruhi laju peningkatan biomassa pohon (Kusmana 1993). Pendugaan bomassa di atas permukaan tanah dapat diukur menggunakan metode langsung (destructive) dan metode tidak langsung (non destructive). Pendugaan biomassa pohon dapat dilakukan dengan menggunakan persamaan regresi alometrik biomassa. Pendugaan biomassa dengan metode tidak langsung menggunakan allometrik dapat lebih cepat dilaksanakan dan area yang lebih luas dapat dijadikan contoh. Diperkirakan 45%-50% komponen penyusun biomassa adalah karbon (Brown 1997). Persamaan allometrik yang disesuaikan dengan kondisi nasional sangat disarankan untuk digunakan (IPCC 2006). Upaya pengembangan allometrik lokal berdasarkan kondisi tapak maupun jenis atau kelompok jenis diperlukan untuk meningkatkan akurasi (Kettering 2001). Hutan tropika mengandung biomassa dalam jumlah yang besar sehingga dapat menyediakan simpanan karbon. Selain itu, karbon juga tersimpan dalam material yang sudah mati dalam serasah batang pohon yang jatuh ke permukaan tanah dan sebagai material sukar lapuk di dalam tanah (Whitmore 1985). Suhendang (2002) menyatakan bahwa sumberdaya hutan di Indonesia memiliki potensi tinggi dalam hal keanekaragaman hayati dan potensi

27 27 penyerapan karbon. Diperkirakan hutan di Indonesia dengan luas 120,4 juta hektar mampu menyerap dan menyimpan karbon sebesar 15,05 milyar ton karbon. Lasco (2002) menyatakan bahwa cadangan karbon di hutan tropis Asia berkisar antara ton C/ha untuk vegetasi dan ton C/ha untuk tanah. Sedangkan Murdiyarso et al. (1994) memperkirakan bahwa hutan tropis di Indonesia mempunyai cadangan karbon berkisar antara C/ha. Akumulasi kandungan biomassa hutan dipengaruhi oleh teknik pemanenan kayu dan perlakuan silvikultur yang digunakan. Pinard dan Putz (1997) menyebutkan bahwa kandungan biomassa hutan hujan tropika di Asia Tenggara berkisar antara ton/ha (berat kering oven) termasuk biomassa akar. Beberapa faktor yang mempengaruhi proses pelepasan cadangan karbon ke atmosfir antara lain intensitas pemanenan hutan dan proses dekomposisi (Ojima et al. 1996). Menurut Brown (1999), bagian terbesar gudang karbon dalam proyek berbasis hutan adalah dalam biomassa hidup, biomassa mati, tanah dan produk kayu. Biomassa hidup mencakup komponen bagian atas dan bagian bawah (akar), pohon, palma, tumbuhan herba (rumput dan tumbuhan bawah), semak dan paku-pakuan. Biomassa mati mencakup serasah halus dan sisa kayu kasar, dan tanah mencakup mineral, lapisan organik dan gambut. Kriteria yang harus dipertimbangkan dalam menentukan gudang karbon yang perlu diukur dan dimonitor tergantung kepada proyek yang dilakukan, kapasitas penyimpanan karbon, laju dan arah perubahan persediaan karbon, biaya pengukuran. Berdasarkan IPCC (2006), sumber karbon utama dalam hutan adalah biomassa atas tanah dan bawah tanah, bahan organik mati (kayu mati dan serasah) dan bahan organik tanah. Berikut ini definisi sumber karbon beradasarkan IPCC guideline tahun 2006.

28 28 Tabel 1 Sumber karbon hutan Sumber Penjelasan Biomassa Atas tanah Semua biomassa dari vegetasi hidup di atas tanah, termasuk batang, tunggul, cabang, kulit, daun serta buah. Baik dalam bentuk pohon, semak maupun tumbuhan herbal. Ket: tumbuhan bawah di lantai hutan yang relatif sedikit, dapat dikeluarkan dari metode penghitungan. Bahan organik mati Tanah Sumber: IPCC, 2006 Bawah Tanah Kayu mati Serasah Bahan organik tanah Semua biomassa dari akar yang masih hidup. Akar yang halus dengan diameter kurang dari 2 mm seringkali dikeluarkan dari penghitungan, karena sulit dibedakan dengan bahan organik mati tanah dan serasah. Semua biomassa kayu mati, baik yang masih tegak, rebah maupun di dalam tanah. Diameter lebih besar dari 10 cm. Semua biomassa mati dengan ukuran > 2 mm dan diameter kurang dari sama dengan 10 cm, rebah dalam berbagai tingkat dekomposisi. Semua bahan organik tanah dalam kedalaman tertentu (30 cm untuk tanah mineral). Termasuk akar dan serasah halus dengan diameter kurang dari 2mm, karena sulit dibedakan. Menurut Thomson (2008), peranan hutan mencegah dan mengurangi emisi karbon atau mitigasi perubahan iklim dapat dilihat dari berbagai kemungkinan berikut: 1. Penggunaan energi dari biomassa kayu dan sisa-sisa industri kayu menggantikan bahan bakar fosil. 2. Penggantian bahan-bahan bangunan yang diproduksi dengan bahan bakar fosil seperti baja, bata dan aluminium dengan produk kayu. 3. Mengurangi kebakaran hutan dan emisi gas rumah kaca. 4. Mempertahankan penutupan hutan dan potensinya untuk mencegah perubahan iklim. 5. Pengaturan kegiatan manajemen hutan untuk menangkap/menyerap tambahan CO 2 di atmosfir 6. Penangkapan dan penyimpanan karbon dalam pool karbon hutan dan penggunaan kayu dalam jangka panjang. 7. Mengembangkan pasar perdagangan karbon dan menciptakan insentif untuk kegiatan kehutanan yang mengurangi emisi industri dan penghasil polutan lainnya.

29 29 Mitigasi perubahan iklim adalah pencegahan dan pengurangan pengaruh perubahan iklim melalui pencegahan emisi gas rumah kaca. Malmsheimer et al. (2008) menyebutkan bahwa pencegahan emisi gas rumah kaca di sektor kehutanan dapat dilakukan dengan substitusi kayu, substitusi biomassa dan menghindari konversi lahan. Pengurangan gas rumah kaca di atmosfir dapat dilakukan melalui penyerapan vegetasi hutan, penyimpanan dalam produksi kayu. Khusus untuk penyerapan karbon di atmosfir melalui vegetasi hutan merupakan fungsi dari produktivitas hutan dalam tapak baik dalam bentuk penyimpanan dalam (pool) tanah, serasah, bahan kayu yang jatuh, kayu mati yang masih tegak, batang hidup, cabang dan dedaunan hidup. Maness (2007) menyebutkan bahwa pengelolaan hutan yang berkontribusi terhadap perubahan iklim dilakukam dalam 3 strategi: 1. Strategi perlindungan stok dengan mencegah emisi (mitigasi) melalui 3 cara yaitu: - menghindarkan konversi lahan yang secara permanen menjadi penggunaan lain. - menunda waktu panen. - mengurangi gangguan kebakaran dan hama penyakit. 2. Strategi penyerapan, yaitu hutan menyerap CO 2 dari udara melalui tiga cara: - Penanaman hutan yang baru pada lahan yang sebelumnya tidak berhutan. - Penerapan pengelolaan hutan yang dapat menambah simpanan karbon. - Menghasilkan produksi dan penggunaan produksi kayu yang lebih awet. 3. Strategi penggunaan energi yang dapat diperbaharui Perdagangan Karbon di Sektor Kehutanan Perhatian dunia internasional terhadap iklim bumi mengemuka pada tahun 1980an terakhir ketika suhu bumi dirasakan meningkat secara nyata (Ojima et al. 1996). Hutan dianggap sebagai salah satu pemecahan untuk perubahan Iklim sekaligus sebagai penyumbang emisi. Deforestasi dan degradasi hutan memberikan 12-20% dari emisi karbon dunia dan merupakan sumber utama emisi bagi banyak negara berkembang tropis (IPCC 2007; Van der Werf et al. 2009; CAIT 2010). Salah satu komitmen yang dihasilkan KTT bumi di Rio de Janeiro tahun 1992 adalah menekan laju pemanasan global dan perubahan iklim melalui

30 30 konvensi PBB untuk perubahan iklim (UNFCCC). Dalam konvensi tersebut disepakati juga untuk membagi negara-negara yang meratifikasi menjadi dua kelompok, yaitu negara-negara Annex I (negara-negara maju) dan negaranegara non-annex I (negara-negara berkembang). Pertemuan UNFCCC pada COP III di Kyoto (Jepang) tahun 1997 menghasilkan Protokol Kyoto yang menegaskan beberapa hal berikut: - Negara-negara Annex I (pada umumnya negara maju/industri) akan mengurangi emisi dari enam gas rumah kaca : karbondioksida, metana, nitrous oxide, sulfur heksafluorida, HFC, dan PFC secara kolektif sebesar 5,2% dibandingkan dengan laporan tahun 1990 untuk diterapkan pada periode Untuk mencapai target yang ditetapkan, Protokol Kyoto dilengkapi dengan emission trading, joint implementation dan mekanisme pembangunan bersih (clean development mechanism -CDM). - Emission trading (ET) merupakan mekanisme tukar menukar kredit emisi antara negara Annex I dalam memenuhi target mereka. - Joint implementation mewadahi mekanisme untuk melakukan investasi proyek pengurangan emisi di suatu negara Annex-I oleh suatu negara Annex- I lainnya. Kredit pengurangan emisi yang diperoleh dari pelaksanaan proyek tersebut akan diberikan kepada negara yang melakukan investasi. Selanjutnya, mekanisme yang melibatkan negara berkembang (bukan negara Annex-I) adalah yang dikenal sebagai mekanisme pembangunan bersih (CDM). - CDM merupakan mekanisme yang memungkinkan negara Annex-I dan negara berkembang bekerja sama untuk melakukan pembangunan bersih. Dengan fasilitas CDM, negara Annex-I dapat memenuhi kewajiban pengurangan emisinya dengan melakukan proyek pengurangan emisi di suatu negara berkembang dan negara berkembang mendapatkan kompensasi finansial dan teknologi dari kerja-sama tersebut. Tujuan CDM Pasal 12 adalah membantu negara berkembang melakukan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan turut menyumbang pencapaian tujuan pengurangan emisi global, serta untuk membantu negara Annex-I mencapai target pengurangan emisi. Investasi negara Annex-I di negara berkembang yang menghasilkan penurunan emisi akan disertifikasi dan kredit

31 31 dari pengurangan emisi yang disertifikasi (certified emission reduction, CER) tersebut akan diberikan kepada negara Annex-I. COP IV UNFCCC di Buenos Aires (Argentina) tahun 1998 menghasilkan Rancangan Aksi Buenos Aires (Buenos Aires Plan of Action BAPA). Para pihak (dalam BAPA) mengalokasikan waktu dua tahun untuk memperkuat komitmen terhadap konvensi dan penyusunan rencana serta pelaksanaan Protokol Kyoto. COP VI Bagian II menghasilkan Kesepakatan Bonn (Bonn Agreement) dalam rangka implementasi BAPA. Bali roadmap sebagai hasil COP XIII UNFCCC di Bali tahun 2007 berisi beberapa hal berikut: 1. Adaptasi Negara-negara peserta bersepakat untuk membiayai proyek adaptasi di negara-negara berkembang melalui metode Clean Development Mechanism. (CDM). 2. Teknologi Negara-negara peserta bersepakat untuk memulai program strategis untuk memfasilitasi teknologi mitigasi dan adaptasi yang dibutuhkan negara-negara berkembang. 3. Reducing emissions from deforestation and degradation in developing countries. 4. Kelangsungan pasca Protocol Kyoto REDD merupakan salah satu agenda penting negosiasi yang mencakup empat (4) isu utama: (1) metode penentuan emisi, preferensi dan pemantauan yang diperlukan sebagai dasar penentuan besar penurunan emisi yang berhasil dicapai dari upaya mencegah konversi dan kerusakan hutan (2) panjang periode waktu yang digunakan untuk menentukan emisi referensi, (3) basis perhitungan penurunan emisi apakah berdasarkan tingkat proyek atau wilayah (4) mekanisme pendanaan. REDD sebagai program pencegahan deforestasi dan degradasi dalam mengurangi emisi karbon untuk mencegah dan mengurangi perubahan iklim kemudian berkembang menjadi REDD plus (REDD+). Perkembangan tersebut seiring dengan adanya konsensus bahwa kegiatan REDD harus diperluas. REDD+ menambahkan strategi mengurangi emisi dengan memasukkan peranan konservasi, pengelolaan hutan lestari dan kegiatan peningkatan stok karbon hutan.

32 32 REDD+ memperluas cakupan kegiatan yang dapat dimasukkan sebagai upaya mengurangi emisi sehingga diharapkan hasil dari kegiatan tersebut mampu mengurangi emisi karbon yang dihasilkan. Gambar berikut memberikan informasi tentang emisi karbon yang dihasilkan tanpa REDD, dengan REDD dan dengan REDD+. Sumber: CIFOR 2009 Gambar 1 Emisi karbon tanpa REDD, dengan REDD dan dengan REDD+ Pemikiran dasar dari REDD+ adalah pembayaran yang sesuai dengan kinerja. Artinya, pembayaran akan bergantung pada hasil dari tindakan-tindakan REDD+. Alasan utama untuk pembayaran berdasarkan hasil (dan bukan pembayaran berdasarkan masukan) adalah bahwa mengaitkan insentif secara langsung dengan masalah akan membawa hasil yang paling efektif. Misalnya, pembayaran atas reformasi kebijakan tidak dapat dilakukan hanya dari keefektifan penerapan suatu kebijakan, atau apakah reformasi tambahan lainnya akan diperlukan. Mewujudkan REDD+ di suatu negara harus memperhatikan tiga unsur pokok yaitu: insentif, informasi dan institusi (3Is). Insentif terdiri dari pembayaran imbalan sesuai kinerja dan berbagai perubahan kebijakan. Insentif REDD+ mengalir dari berbagai sumber internasional ke sebuah dana nasional atau anggaran rutin (misalnya, departemen keuangan), kemudian menuju ke tingkat subnasional melalui anggaran pemerintah atau pembayaran langsung kepada pemegang hak karbon. Pemegang hak karbon mencakup pemilik lahan perorangan, masyarakat, pemegang hak pengusahaan hutan (HPH) dan berbagai lembaga pemerintah. Elemen kedua adalah informasi REDD+, yaitu data pengurangan emisi hutan atau peningkatan cadangan karbon untuk setiap hutan, berdasarkan jenis dan lokasinya. Negara-negara perlu menyediakan informasi yang dapat

33 33 dipercaya tentang perubahan nyata cadangan karbon hutan yang dicapai untuk memperhitungkan dana dari sumber-sumber internasional. Informasi ini akan dikumpulkan dan diproses melalui suatu sistem MRV nasional, regional dan internasional dan menyerahkannya kepada lembaga REDD+ nasional yang berwenang (dana atau kas negara), suatu institusi UNFCCC dan untuk pembeli kredit REDD+ internasional. Pembayaran untuk pemegang hak karbon lokal akan ditetapkan dengan menggunakan informasi ini. Elemen ketiga adalah institusi REDD+ yang akan mengatur aliran informasi tentang perubahan cadangan karbon antar tingkat, dan aliran insentif ke arah pemegang hak karbon. Sejumlah institusi ini dapat berasal dari institusi yang sudah ada dan akan melibatkan lembaga yang berwenang untuk pembayaran REDD+ dan sistem MRV. Lembaga pembayaran REDD+ ini akan menjembatani dana dari tingkat internasional ke tingkat subnasional sesuai dengan volume, lokasi, dan jenis pengurangan emisiinstitusi atau kelembagaan yang efektif dibutuhkan untuk mengelola informasi dan insentif (Angelsen, 2010). Meridian Institute (2009), menerapkan REDD+ dapat dilakukan dalam tiga tahap yaitu: 1. Tahap kesiapan Sejumlah negara menyiapkan strategi REDD+ nasional melalui proses konsultasi yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan; memulai mengembangkan kemampuan dalam pemantauan, pelaporan dan pembuktian (MRV); dan memulai tindakan uji coba. 2. Tahap kesiapan lebih lanjut Fokus pada tahapan ini adalah menerapkan kebijakan dan tindakan untuk mengurangi emisi (seperti yang diatur dalam strategi REDD+ nasional dan yang akan dibuktikan dengan sejumlah indikator tidak langsung (proxy indicators). 3. Tahap ketaatan penuh sesuai dengan UNFCCC Pada tahap ini, negara-negara berhutan tropis akan mendapatkan pembayaran hanya dari pengurangan emisi dan peningkatan cadangan karbon sesuai dengan tingkat rujukan yang telah disepakati bersama. Kelebihan pendekatan REDD+ secara bertahap terletak pada keluwesannya. Berbagai negara dapat turut berpartisipasi menurut kemampuan mereka dan terdapat insentif untuk melanjutkan dari satu tahap ke tahap

34 34 berikutnya. Artinya, sejumlah besar negara berhutan tropis akan dapat turut ambil bagian dalam REDD+. Tabel 2 Berbagai elemen pada pendekatan bertahap menuju REDD+ Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3 Cakupan RED/REDD/REDD+ REDD/REDD+ REDD+ Skala pembayaran Subnasional Indikator kinerja Strategi yang diadopsi. Penilaian legislative dan kebijakan telah selesai. Konsultasi telah dilaksanakan. Institusi telah dibentuk Pendanaan Dukungan awal untuk pengembangan strategi nasional dan kesiapan sejumlah kegiatan (misalnya FCPF, UN- REDD, sejumlah prakarsa bilateral). Terpusat (keduanya, subnasional dan nasional) Kebijakan telah dilaksanakan. Tindakan telah ditegakkan. Faktor pengganti untuk perubahan atas karbon hutan. Pendanaan dari sumber-sumber bilateral dan multilateral dan dana yang dimandatkan oleh COP Sistem MRV Penguatan MRV Penguatan kemampuan dan kemampuan pemantauan dasar Sumber: Meridian institute (2009) 2.3. Pengelolaan Hutan Lestari dan Pengurangan Emisi Karbon Pendekatan terpusat atau nasional Perubahan karbon hutan telah dihitung (tco 2 -e) dibandingkan dengan tingkat rujukan yang disepakati. Awalnya dikaitkan dengan pasar karbon wajib, namun kemungkinan juga akan melalui suatu dana global Kemampuan pemantauan yang telah maju dan menetapkan tingkat rujukan. Prinsip kelestarian menyatakan bahwa hutan produksi harus dikelola secara lestari untuk membatasi kerusakan yang tidak diinginkan sebanyak mungkin terhadap tegakan tinggal dan ekosistem secara keseluruhan. Saat ini, pengelolaan hutan lestari (SFM) dikombinasikan dengan penebangan berdampak rendah (RIL) dan sertifikasi hutan telah diterapkan di beberapa hutan alam produksi. RIL terdiri atas perencanaan sebelum pemanenan yang dilaksanakan secara berhati-hati dan teknik panen yang lebih baik serta perawatan pasca panen melalui tindakan silvikultur (Imai et al, 2009). Biaya produksi hutan lestari lebih tinggi dari hutan tidak lestari. Besar kenaikan biaya produksi hutan lestari berkisar antara IDR /m 3 atau sekitar 4-6,5% dari biaya produksi hutan tidak lestari (Darusman dan Bahruni 2004).

35 35 Kollert dan Lagan (2005) melakukan pengamatan selama 5 tahun mulai bulan Januari 2000 sampai bulan November Pengamatan dilakukan pada tiga unit pengelolaan hutan yang berbeda di Sabah Malaysia. Rata-rata harga kayu pada 3 unit pengelolaan tersebut bervariasi, tetapi secara keseluruhan harga kayu pada unit pengelolaan yang memiliki sertifikat FSC lebih tinggi daripada harga kayu pada unit pengelolaan yang tidak memiliki sertifikat. Tabel 3 Rata-rata harga kayu bersertifikat dan tidak bersertifikat Harga kayu Harga kayu tidak Harga kayu tidak Spesies bersertifikat FSC bersertifikat bersertifikat (FMU 1) (FMU 2) (FMU 3) USD USD USD Selangan Batu 193,35 121,77 108,93 Keruing 160,17 104,34 107,13 Kapur 143,29 96,35 107,13 Seraya 117,82 101,35 108,22 Seraya Merah 141,14 97,95 110,96 Jenis campuran 87,71 70,42 83,88 Sumber: Walter Kollert dan Peter Lagan, Kehadiran sertifikasi pengelolaan hutan lestari merupakan arah baru dalam sejarah panjang upaya untuk meningkatkan pengelolaan hutan tropis. Sertifikasi menuai kecaman dan mekanismenya tidak mulus tetapi telah mempertimbangkan segi sosial, ekologi, dan ekonomi sehingga menghindari beberapa kekurangan dari kebijakan sebelumnya (misalnya, Tropical Forestry Action Plan dan the International Tropical Timber Organization s Year 2000 Objective). Perbedaan utama antara sertifikasi pengelolaan hutan lestari dan tindakan lain ialah bahwa sertifikasi mendorong pengaruh pasar yang menguntungkan secara sosial dan lingkungan terhadap pengelolaan hutan. Walaupun hadiah hijau yang diharapkan dari sertifikasi terlalu dilebih-lebihkan. Pengelola hutan menjadi semakin sadar bahwa sertifikasi sangat meningkatkan akses pasar mereka (Auld, 2008). Kebijakan yang mengaitkan pengurangan emisi karbon yang telah dibuktikan dengan sertifikasi kayu dan hasil hutan lain akan mendapat manfaat dari REDD+. Mendukung sertifikasi pengelolaan hutan lestari tampaknya merupakan cara penggunaan dana REDD+ yang efektif dan efisien. Program-program sertifikasi yang memajukan pengelolaan hutan dan penyimpanan karbon memiliki keterbatasan. Masalah utamanya ialah penebangan liar yang menyebabkan banyak degradasi akibat pembalakan yang buruk tidak mungkin memperoleh sertifikasi. Perusahaan tertentu juga memanen kayu tanpa memperhatikan

36 36 dampak negatif pada tegakan yang tersisa karena mereka tidak mengharapkan memanen di lokasi yang sama lagi. Bagi perusahaan ini, biaya untuk meningkatkan efisiensi melalui teknik RIL (misalnya, pemilihan petak dan rencana panen tahunan) mungkin melebihi keuntungannya. Selain itu, penting untuk mengenali bahwa sertifikasi bukan sekadar peningkatan efisiensi melalui penggunaan teknik RIL yang berarti bahwa bahkan sebagian perusahaan dan masyarakat yang mengelola hutan dengan baik mungkin harus menanggung biaya sertifikasi yang terlalu tinggi. FSC sedang berupaya untuk mengurangi biaya sertifikasi bagi hutan kecil yang dikelola dengan intensitas rendah, khususnya yang dikelola oleh masyarakat, tetapi cara ini akan memerlukan subsidi lebih lanjut. Dana REDD+ untuk sertifikasi dan audit sertifikasi dapat menyediakan insentif ini (Angelsen, 2010). Pengelolaan hutan lestari mampu mempertahankan sumber daya kayu dan menjaga kelestarian cadangan karbon hutan ( Imai et al. 2009). Beberapa praktek kehutanan yang dilaksanakan pada hutan bersertifikat (contoh kasus hutan yang memiliki sertifikat dari FSC) dapat mereduksi emisi karbon sekurangkurangnya 10% dibandingkan dengan hutan tidak bersertifikat (Putz et al. 2008). Rainforest Alliance (2009), beberapa hal yang berbeda dari pengelolaan hutan bersertifikat (contoh kasus hutan bersertifikat FSC) dan tidak bersertifikat, antara lain: a. Pengurangan volume panen Dibandingkan dengan hutan yang ditebang secara konvensional, hutan tropis bersertifikat umumnya melakukan pemanenan lebih rendah per satuan luas hutan yang ditebang. Sebuah skenario yang umum dilakukan pada hutan tidak bersertifikat adalah melakukan praktek penebangan kembali 10 sampai 15 tahun siklus. Akibatnya terjadi penurunan biomassa hidup, kurangnya sumber benih untuk regenerasi jenis-jenis kayu dan penurunan simpanan karbon melalui penebangan konvensional. Hutan bersertifikat melakukan praktek pemanenan berkelanjutan jangka panjang dan tingkat panen yang berkelanjutan dengan melakukan inventarisasi secara sistematis serta pemantauan pertumbuhan (Applegate 2001, diacu dalam Rainforest Alliance 2009). b. Peningkatan kawasan hutan konservasi dan restorasi. Hutan bersertifikat mempertahankan biomassa lebih besar melalui penyediaan kawasan konservasi yang lebih besar, kawasan lindung di

37 37 sepanjang sungai, kawasan lindung hutan bernilai konservasi tinggi dan daerah untuk restorasi hutan. c. Pengurangan dampak kerusakan akibat kegiatan pemanenan. Praktek-praktek pada hutan bersertifikat diperkirakan telah mengurangi emisi sekurang-kurangnya 10% (Putz et al. 2008). Hutan alam produksi bersertifikat menerapkan Reduced Impact Logging (RIL) dalam operasional dukupemanenan dan hutan tidak bersertifikat menerapkan metode penebangan konvensional. RIL adalah pemanenan kayu berdasarkan perspektif hutan dan survey hutan dalam rangka memperoleh data yang diperlukan untuk mendesain lay out petak-petak tebangan, unit-unit inventarisasi dan merencanakan operasi pemanenan kayu. Konsep RIL adalah menekan atau meminimalkan kerusakan akibat pemanenan kayu yang dilakukan mulai dari saat perencanaan, pada saat proses pelaksanaan dan sesudah proses pemanenan kayu selesai, dengan memanfaatkan teknik-teknik perencanaan, teknik-teknik pelaksanaan, teknologi/teknik baru pemanenan kayu dan penerapan prinsip-prinsip ilmiah keteknikan hutan yang dikombinasikan dengan pendidikan dan pelatihan. Pemanenan konvensional adalah praktek pemanenan yang umum dilakukan di hutan tropika Indonesia hingga sat ini. Pemanenan kovensional memiliki ciri-ciri perencanaan yang kurang cukup/akurat, penerapan teknik pemanenan kayu yang kurang tepat dan pengawasan yang kurang. Penerapan teknik reduced impact wood harvesting dapat mengurangi kerusakan hingga 50% (Elias 2002). d. Pemecahan masalah hak milik. Hutan bersertifikat memperhatikan dan menyelesaikan konflik sosial yang mungkin sering menyebabkan degradasi, seperti sengketa kepemilikan dan klaim tanah. e. Langkah-langkah untuk mencegah kegiatan yang illegal dan kebakaran. Hutan bersertifikat menerapkan sistem manajemen pencegahan, langkahlangkah monitoring dan mitigasi yang mengurangi dampak perambahan, ekstraksi illegal, penebangan liar, kebakaran hutan serta hama dan penyakit (FSC 2002). Uraian di atas menunjukkan bahwa hutan yang menerapkan pengelolaan hutan lestari dapat meningkatkan simpanan karbon atau penurunan emisi karbon. Berdasarkan hal tersebut, hutan produksi bersertifikat berpotensi untuk

38 38 dapat ikut serta dalam perdagangan karbon skema REDD+. Informasi tentang kelayakan untuk mengikuti REDD+ sangat diperlukan oleh pengelola hutan. Tabel berikut memberikan informasi tentang perbandingan keuntungan bersih berbagai pilihan penggunaan lahan hasil studi Sasaki dan Yoshimoto (2010). Tabel 4 Keuntungan bersih dari berbagai pilihan penggunaan lahan Pilihan Penggunaan lahan ($ ha -1 ) Pendapatan Biaya Keuntungan BAU-timber 6.556, , ,19 - Company 4.312, ,87-742,67 - Government 2.244,63 70, ,87 REDD-plus 7.820, , ,65 Hutan tanaman Jati 1.000,00 41,25 958,75 Hutan Tanaman Eucalyptus dan Akasia 61,60 688,88-627,28 Kebun Karet - Kasus 1 (MAFF, 2006) - Kasus 2 (Marubeni, 2004) 1.200, ,00 211,93 250,50 988,07 949,50 Kebun Kelapa Sawit 747,60 852,49-104,89 Harga karbon untuk kalkulasi pendapatan pada REDD+ adalah $ 2,00t -1 CO 2 Sumber: Sasaki dan Yoshimoto 2010 Keuntungan bersih pengelolaan hutan produksi lestari dengan REDD+ lebih besar dari pengelolaan hutan konvensional. Besarnya perbedaan keuntungan bersih mencapai 67,74% dari keuntungan besih pengelolaan hutan konvensional. Pendapatan dari kegiatan pengelolaan hutan produksi lestari dan REDD+ diperoleh dari penebangan kayu yang masak tebang sebesar 30% dan kompensasi dari kemampuan mempertahankan simpanan karbon (Sasaki dan Yoshimoto 2010). Hasil penelitian Antinori dan Sathaye (2007) di Cameroon menunjukkan bahwa besarnya biaya transaksi untuk penerapan REDD+ masih kurang menentu. Tercatat dari 11 hutan produksi yang menjadi contoh dalam penelitian tersebut, biaya transaksinya berkisar antara US$ 0,03 sampai US$ 1,23/ton CO 2. Titik impas (break event) mengikuti REDD+ pada harga US$ 2,85 /tco 2 dan economic return untuk pengelolaan hutan alam dipengaruhi oleh biaya, harga kayu dan harga karbon Nilai Ekonomi Karbon Hutan Perhitungan neraca karbon mencakup tahapan berikut: (1) Penetapan garis dasar (baseline) (2) kuantifikasi aliran karbon yang dihasilkan dalam proyek (3) perhitungan additionality (besarnya pengaruh tambahan proyek dari perbedaan antara karbon yang diperoleh dengan garis dasarnya).

39 39 Perhitungan nilai ekonomi karbon umumnya terdiri atas 2 macam yaitu: 1. Biaya oportunitas (opportunity cost) Biaya oportunitas adalah biaya kesempatan yang hilang dari alternatif penggunaan lain. 2. Biaya transaksi (transaction cost) Biaya transaksi adalah biaya pencapaian dan penguatan kesepakatan seperti biaya mendapatkan informasi, biaya tawar menawar, biaya untuk meyakinkan suatu kesepakatan. Biaya transaksi dikorbankan untuk kepentingan proyek mulai dari perencanaan, implementasi dan monitoring. Biaya transaksi menurut Kanounnikoff (2008) meliputi biaya (a) Informasi dan pengadaan (b) Implementasi (c) Monitoring (d) Penyelenggaraan dan perlindungan (e) Verifikasi dan sertifikasi.

40 40 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di hutan alam produksi lestari dan hutan alam produksi tidak lestari di wilayah Kalimantan. Pendekatan yang digunakan untuk hutan alam produksi lestari dalam penelitian ini adalah hutan alam produksi bersertifikat hutan lestari. Pada hutan alam produksi lestari diambil data sebelum memiliki sertifikat (A1) dan sesudah memiliki sertifikat (A2). Hutan alam produksi yang tidak bersertifikat mewakili hutan alam produksi yang pengelolaan hutannya tidak lestari (B). Hasil perhitungan perbedaan simpanan biomassa, karbon dan CO 2 antara IUPHHK A2 dan IUPHHK A1 diberi simbol A2-1 dan hasil perbedaan simpanan biomassa, karbon dan CO 2 antara IUPHHK A2 dan IUPHHK B diberi simbol A2-B. Penelitian dilaksanakan selama enam (6) bulan, mulai dari bulan Mei sampai dengan Oktober Alur Pikir Penelitian Pengelolaan hutan lestari mampu mempertahankan kontinuitas produksi dan keseimbangan fungsi ekologis serta mampu membina hubungan sosial yang baik (Imai et al. 2009). Keutamaan hutan lestari dalam memperhatikan keseimbangan produksi, ekologis dan sosial (Bahruni 2011) memperoleh apresiasi pada COP XIII dengan memasukkan pengelolaan hutan lestari sebagai salah satu mekanisme reduksi emisi karbon dan memiliki peluang untuk memperoleh insentif finansial dari perdagangan karbon skema REDD+. Menindak lanjuti peluang insentif yang ditawarkan dalam REDD+, perlu dipersiapkan data dan informasi yang menjadi unsur pokok dalam perdagangan karbon tersebut. Data karbon tersimpan dari pengelolaan hutan lestari merupakan informasi penting untuk dapat mengikuti REDD+. Selain data tentang simpanan karbon, kuantifikasi kehilangan keuntungan karena melakukan pengelolaan hutan alam produksi secara lestari juga perlu diketahui agar mempunyai gambaran besarnya biaya oportunitas. Sehubungan dengan insentif dari mekanisme REDD+ bagi pengelolaan hutan lestari, maka tambahan biaya transaksi untuk mengikuti REDD+ juga harus dipertimbangkan sehingga manfaat finansial dari mekanisme tersebut dapat diprediksi. Secara skematis, kerangka pikir penelitian tentang insentif finansial terhadap hutan alam produksi lestari dari perdagangan karbon skema REDD+ diringkas pada Gambar 2.

41 IUPHHK 41 IUPHHK A IUPHHK B Sebelum Sertifikasi (A1) Setelah Sertifikasi (A2) Belum Sertifikasi (B) Identifikasi Kegiatan Pengelolaan Hutan Komparasi Produksi IUPHHK A1, A2, B Perlindungan Hutan IUPHHK A1, A2, B Penanaman IUPHHK A1, A2, B Biaya produksi IUPHHK A1, A2, B Pendapatan IUPHHK A1, A2, B A2 > A1, B A2 < A1, B A2 > A1, B A2 > A1, B A2 > A1, B A2 A1, B A2 A1, B A2 A1, B A2 A1, B A2 A1, B Simpanan Karbon Simpanan Karbon Simpanan Karbon Analisis Ekonomi Total Simpanan Karbon Analisis Nilai Ekonomi Karbon Upaya Perbaikan Kelayakan mengikuti REDD+ Gambar 2 Diagram alir kerangka pikir penelitian

42 Metode Penelitian Data yang dikumpulkan meliputi data (1) Potensi tegakan (2) Pohon tersedia (3) Realisasi produksi (4) Penutupan lahan (5) Penanaman (6) Keuangan (7) Hasil penelitian yang relevan. Pengolahan data meliputi dua tahapan (1) Perhitungan simpanan biomassa, karbon dan karbondioksida (2) Perhitungan nilai ekonomi karbon Rancangan Penelitian Rancangan penelitian yang dibuat terdiri dari perhitungan biomassa, karbon, karbondioksida dan analisis ekonomi karbon. Fokus perhitungan simpanan biomassa, karbon dan karbondioksida berasal dari tiga kegiatan yaitu kegiatan produksi, kegiatan perlindungan hutan dan kegiatan penanaman. Analisis ekonomi karbon diperoleh dari perbedaan keuntungan hutan bersertifikat dan hutan tidak bersertifikat (sebagai biaya oportunitas) dan biaya transaksi. Tabel 4 memperlihatkan rancangan penelitian kegiatan produksi yang meliputi (1) kegiatan pemanenan (2) pengurangan kerusakan tegakan tinggal. Tabel 5 Rancangan penelitian kegiatan produksi No. Variabel Sumber Metode analisis Keluaran 1. Kegiatan pemanenan: Pohon tersedia dan pohon dipanen - Jumlah dan LHC dan LHP Pengolahan data: volume pohon tersedia - Jumlah dan volume pohon dipanen 2. Kerusakan Tegakan Tinggal - Jumlah, diameter - Pengukuran dan tinggi tingkat lapangan pohon, tiang, - LHC pancang - Jumlah dan berat basah semai - Persentase kerusakan tegakan tiap tingkat vegetasi - Hasil penelitian Elias Perhitungan biomassa (ton dan %) pohon tersedia dan pohon dipanen - Perhitungan beda biomassa (ton dan %) antara pohon tersedia dan pohon dipanen - Perbedaan biomassa tegakan tinggal (A2 A1, A2 B) Pengolahan data: - Perhitungan kerusakan pohon, tiang, pancang dan semai. - Perhitungan biomassa yang hilang (tingkat pohon, tiang, pancang dan semai) akibat kerusakan - Perbedaan biomassa yang hilang akibat kerusakan (A1 A2, B A2) 3. Karbon dan karbondioksida pada kegiatan produksi Simpanan Pengolahan data: biomassa - Karbon = B x 0,5 kegiatan - CO 2 = C x 3,67 produksi - Simpanan biomassa A2-1 dan A2-B - Simpanan biomassa kerusakan tegakan tinggal Simpanan karbon pada A2-1 dan A2-B

43 43 Kegiatan perlindungan hutan atau kegiatan yang berhubungan dengan upaya penurunan degradasi dilihat berdasarkan indikator penutupan hutan. Rancangan penelitian kegiatan perlindungan hutan ditunjukkan pada Tabel 5. Tabel 6 Rancangan penelitian kegiatan perlindungan hutan No. Variabel Sumber Metode analisis Keluaran 1. - Luas tutupan hutan - Potensi tegakan - Laporan tahunan perusahaan - Hasil pengukuran lapangan 2. Simpanan biomassa perlindungan hutan Pengolahan data: - Menghitung potensi biomassa untuk setiap tutupan hutan - Menghitung beda biomassa dari data perubahan tutupan hutan - Perbedaan biomassa (A1 A2 dan B - A2). Pengolahan data - Karbon= B x 0,5 - CO 2 = C x 3,67 - Simpanan biomassa kegiatan perlindungan hutan. Simpanan karbon kegiatan perlindungan hutan Simpanan biomassa atau karbon hutan alam produksi lestari pada kegiatan penanaman dilihat dari perbedaan jumlah penanaman yang dilakukan. Rancangan penelitian kegiatan penanaman di ringkas pada Tabel 6. Tabel 7 Rancangan penelitian kegiatan penanaman No. Variabel data Sumber Data Metode analisis Keluaran 1. - Jumlah individu - Luas penanaman - Jenis tanaman - Laporan perusahaan - Hasil Pengolahan Data: - Perhitungan biomassa penanaman pada A1, A2 - Simpanan biomassa kegiatan - Lokasi penanaman pengukuran dan B penanaman. lapangan - Perbedaan biomassa penanaman (A1 A2 dan B - A2) 2. Simpanan biomassa penanaman Pengolahan data - Karbon= B x 0,5 - CO 2 = C x 3,67 Simpanan karbon kegiatan penanaman Total simpanan biomassa dan karbon diperoleh dari penjumlahan simpanan biomassa atau karbon pada kegiatan produksi, perlindungan hutan dan penanaman. Rancangan penelitian analisis ekonomi karbon untuk mengikuti perdagangan karbon skema REDD+ ditampilkan pada Tabel 7.

44 44 Tabel 8 Rancangan penelitian untuk analisis ekonomi karbon No. Variabel Sumber Metode analisis Keluaran 1. - Biaya - Pendapatan - Keuntungan - Biaya transaksi - Harga karbon Pengolahan data: - Perbedaan keuntungan (A1, - A2, dan B - A2, ) - Perhitungan biaya transaksi - Laporan Keuangan - Hasil studi Antinori dan Sathaye 2007) - Hasil penelitian Pirard (2005). - Total Biaya= Biaya oportunitas + Biaya transaksi - Perbedaan biaya REDD+ dan kompensasi harga karbon - Biaya REDD+ < harga karbon - Biaya REDD+ harga karbon: simulasi harga kayu bersertifikat dan harga karbon - Beda keuntungan = Biaya oportunitas - Biaya transaksi - Total biaya REDD+ - Manfaat Finansial mengikuti REDD+ - Harga kayu bersertifikat yang layak dan kompensasi karbon Perhitungan Biomassa, Karbon dan Karbondioksida Perhitungan biomassa a. Perhitungan biomassa kegiatan produksi. Simpanan biomassa kegiatan produksi diperoleh dari kegiatan pemanenan dan pengurangan kerusakan tegakan tinggal. - Simpanan biomassa kegiatan pemanenan Simpanan biomassa kegiatan pemanenan dilihat dari indikator pohon tersedia dan pohon dipanen. Perhitungan biomassa menggunakan persamaan Brown dan Lugo (1992): B = V x WD x BEF Keterangan: V : Volume kayu (m 3 ) WD : Kerapatan kayu (kg/cm ) menurut jenis kayu 3 BEF : Biomass Expansion Factor (1,74) Tahapan perhitungan simpanan biomassa kegiatan pemanenan adalah (1) Menghitung biomassa pohon dipanen dan biomassa pohon tersedia pada A1, A2 dan B (2) Menghitung persentase biomassa pohon dipanen terhadap biomassa pohon tersedia (3) Perhitungan beda biomassa (ton dan %) pohon tersedia dan pohon dipanen (4) perbedaan biomassa (A1 - A2, B A2). Simpanan biomassa hutan lestari diperoleh

45 45 dari perbedaan biomassa antara hutan yang dikelola tidak atau belum lestari dengan hutan yang dikelola secara lestari. - Kerusakan tegakan tinggal Perhitungan kerusakan tegakan tinggal menggunakan data potensi tegakan hasil pengukuran lapangan dan persentase kerusakan tegakan tinggal hasil studi Elias (2002). Metode yang digunakan dalam membuat plot pengukuran adalah metode nested sampling. Plot pengukuran dibuat 6 petak ukur yang didalam petak ukur tersebut dibuat sub petak ukur. Vegetasi yang diamati meliputi tingkat pohon, tiang, pancang dan semai. Plot ukur 20 m x 20 m digunakan untuk pengukuran diameter, tinggi dan jenis pohon. Selanjutnya dalam plot ukur 20 x 20 m tersebut, dibuat sub petak ukur ukuran 10 m x 10 m untuk pengukuran diameter, tinggi dan jenis tiang, 5 x 5 m untuk pengukuran diameter, tinggi dan jenis pancang dan 2 x 2 m untuk pengukuran jumlah dan jenis semai. Perhitungan biomassa semai menggunakan metode secara langsung (destruktif). Bobot kering biomassa semai dihitung berdasarkan rumus: Wk = Fk x Wb Fk = BK contoh x 100% BB contoh Keterangan: Wk = bobot kering biomassa (kg) Wb = bobot basah biomassa (kg) Fk = faktor konversi bobot basah ke bobot kering (gr) BK contoh BB contoh = Berat kering contoh (gr) = Berat basah contoh (gr) Perhitungan biomassa yang hilang akibat kerusakan tegakan tinggal menggunakan persentase kerusakan tegakan tinggal pada pemanenan dengan metode konvensional dan RIL. IUPHHK yang tidak bersertifikat lestari (IUPHHK A1 dan IUPHHK B) merupakan IUPHHK yang melakukan pemanenan dengan metode konvensional dan IUPHHK bersertifikat lestari merupakan IUPHHK yang melakukan pemanenan dengan metode RIL.

46 46 Tabel 9 Persentase kerusakan tegakan tinggal Tingkat perkembangan vegetasi Metode Pemanenan Kayu (%) Konvensional RIL - Anakan 33,47 17,65 - Pancang 34,93 19,59 - Tiang dan pohon 40,42 19,08 Sumber: Elias, 2002 Biomassa yang hilang akibat kerusakan tegakan tinggal diperoleh dari perkalian persentase kerusakan tegakan tinggal dengan potensi biomassa pada IUPHHK A1, A2 dan B. Hasil perbedaan biomassa yang hilang setiap tingkatan vegetasi (A1 A2 dan B A2) merupakan simpanan biomassa dari pengurangan kerusakan tegakan tinggal. - Total simpanan biomassa dari kegiatan produksi diperoleh dari simpanan biomassa kegiatan pemanenan dan simpanan biomassa dari pengurangan kerusakan tegakan tinggal. b. Kegiatan perlindungan hutan Data yang digunakan untuk perhitungan simpanan biomassa kegiatan perlindungan hutan adalah luas tutupan lahan IUPHHK A1, IUPHHK A2 dan IUPHHK B pada beberapa tahun yang berbeda. Berdasarkan data penutupan lahan dan potensi biomassa tiap tutupan lahan dihitung (1) biomassa tiap tutupan lahan pada tahun yang berbeda (2) penurunan biomassa tiap tahun (3) perbedaan penurunan biomassa (A1 A2 dan B A2). Perbedaan penurunan biomassa hutan alam produksi lestari dan hutan alam produksi tidak lestari merupakan simpanan biomassa kegiatan perlindungan hutan. c. Simpanan biomassa pada kegiatan penanaman diperoleh dari perhitungan beda biomassa penanaman A2-1 dan A2-B. Perhitungan biomassa pada kegiatan penanaman menggunakan pendekatan rata-rata biomassa dari hasil pengukuran di lapangan Perhitungan simpanan karbon dan karbondioksida Estimasi jumlah C tersimpan pda kegiatan produksi, perlindungan hutan dan penanaman dapat dihitung dengan mengalikan total berat massanya dengan konsentrasi C (Brown 1997). C = Biomassa x 0,5 CO 2 = C x 3,67

47 Perhitungan Nilai Ekonomi Karbon Biaya yang harus ditanggung untuk mengikuti REDD+ adalah biaya oportunitas dan biaya transaksi. Tahapan perhitungan nilai ekonomi karbon yang dilakukan sebagai berikut: Perhitungan Keuntungan Pengelolaan Hutan Keuntungan yang diperoleh pengelola hutan alam produksi A1, A2 dan B merupakan selisih antara pendapatan dan biaya pengelolaan hutan. Secara matematis perhitungan yang dilakukan untuk mengetahui besarnya keuntungan yang diperoleh dari hutan A1, A2 dan B sebagai berikut: Biaya Oportunitas dan Biaya Transaksi dalam Perdagangan Karbon Skema REDD+ Biaya yang dikorbankan untuk mengikuti REDD+ terdiri atas biaya oportunitas dan biaya transaksi. Biaya oportunitas dihitung berdasarkan kehilangan kesempatan memperoleh keuntungan karena melakukan pengelolaan hutan lestari. Biaya Oportunitas = Keuntungan A2 Keuntungan A1 atau B Pendekatan yang digunakan untuk perhitungan besarnya biaya transaksi adalah berdasarkan besarnya transaksi CO2 yang dilakukan yaitu $0,03 dan $1,23 serta rata-ratanya sebesar $ 0,63 per ton CO 2 (Antinori dan Sathaye 2007). Total biaya mengikuti REDD+ adalah penjumlahan dari biaya oportunitas dan biaya transaksi. Total Biaya REDD+ = Biaya oportunitas + Biaya transaksi Manfaat finansial pengelolaan hutan alam produksi lestari dari REDD+ Manfaat finansial mengikuti REDD+ diperoleh dengan membandingkan total biaya dalam mekanisme REDD+ dengan kompensasi harga CO 2. Dalam penelitian ini, pendekatan harga karbon berdasarkan harga hipotetik menurut Pirard (2005) yaitu US$ 6, US$ 9 dan US$ 12/tCO 2. Kemungkinan hasil yang diperoleh: Biaya total < harga karbon maka diperoleh insentif berupa manfaat finansial pengelolaan hutan lestari yang mengikuti REDD+.

48 48 Biaya total harga karbon maka manfaat finansial dari skema REDD+ belum dapat diperoleh pengelola hutan alam produksi lestari Perhitungan harga kayu bersertifikat dan kompensasi harga karbon Jika biaya yang dikorbankan untuk mengikuti REDD+ lebih besar atau sama dengan harga karbon berarti hutan alam produksi lestari belum memperoleh tambahan insentif dari skema REDD+. Berdasarkan hal tersebut, strategi yang dapat dilakukan agar pengelola hutan lestari dapat memperoleh tambahan insentif antara lain (1) meningkatkan harga jual kayu bersertifikat (2) meningkatkan standar harga CO 2. Penentuan harga yang layak untuk kayu bersertifikat dan kompensasi karbon menggunakan teknik simulasi.

49 49 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. IUPHHK A Letak dan Luas IUPHHK A IUPHHK A berada di Kalimantan dan mulai melakukan kegiatan pemanfaatan hutan sejak tahun Semula luas wilayah hanya ha dan meningkat menjadi ha setelah diselesaikan seluruh tata batas luarnya tahun 1994 (Surat Ditjen Intag Nomor 064/A/VII-3/1994 tanggal 22 Januari 1994). Tahun 2004 luas areal kerja IUPHHK A disesuaikan kembali karena adanya konversi areal untuk keperluan perkebunan kelapa sawit dan HTI. IUPHHK A memperoleh ijin perpanjangan IUPHHK definitif berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan (No. 266/Menhut-II/2004 tanggal 21 Juli 2004) dan areal kerja ditetapkan menjadi ha. IUPHHK A berusaha memantapkan status kawasan hutannya dengan menyelesaikan seluruh tata batas luarnya tahun Mulai tahun 2005, IUPHHK A menerapkan sistem silvikultur intensif (SILIN) sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. SK.77/VI-BPHH/2005 tentang Penunjukkan Pemegang IUPHHK pada Hutan Alam Sebagai Model Sistem Silvikultur TPTI-Intensif (TPTII) Tanah dan Geologi Berdasarkan Peta Tanah skala 1 : (PPPG, 1986) jenis tanah yang dijumpai di lokasi penelitian berdasarkan klasifikasi USDA termasuk dalam jenis tanah Dystropepts (Inceptisol; setara kambisol oksik), tropudults (ultisol; setara podsolik kromik), tropaquepts (Inceptisol; setara kambisol distrik) dan tropohemist (histosol; setara organosol). Jenis tanah yang mendominasi areal kerja IUPHHK A adalah jenis tanah podsolik. Bahan geologi pada areal IUPHHK A terdiri atas terobosan batuan andesit, batuan terobosan komplek granit mandahan dan formasi kuayan (sebagian besar areal didominasi oleh batuan terobosan komplek granit mandahan). Tabel 10 Jenis-jenis tanah IUPHHK A Jenis tanah Luas Areal ha % Dystropepts ,01 Tropudults ,99 Jumlah ,00 Sumber : Peta tanah IUPHHK A skala 1:

50 Topografi Topografi daerah penelitian bervariasi dari datar sampai berbukit dan hanya sebagian kecil tanah rawa di sepanjang sungai. Bentuk bentang alam yang bervariasi pada areal IUPHHK A akibat pengaruh faktor struktur dan resistensi batuan yang berperan aktif dalam proses pembentukan bentang alamnya. Rincian sebaran kelerengan lahan areal IUPHHK A disajikan pada Tabel 10. Tabel 11 Distribusi kelas lereng areal IUPHHK A Topografi Kelas lereng (%) Luas areal ha % Datar ,7 Landai ,2 Agak curam ,7 Curam ,3 Sangat curam > ,1 Jumlah Sumber : Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) Ketinggian tempat bervariasi dari meter dari permukaan laut. Areal yang relatif datar berada di bagian Utara dan Selatan. Areal dengan kemiringan lapangan sangat curam (kemiringan > 40%) ditetapkan sebagai kawasan lindung Iklim dan Curah Hujan Berdasarkan data curah hujan tahun 2001 s/d 2008, tipe iklim areal kerja IUPHHK A termasuk tipe iklim A (schmidt & Ferguson). Curah hujan rata-rata mm/tahun dan hari hujan rata-rata 182 hari/tahun Keadaan Hutan Sebagian besar kondisi areal IUPHHK A merupakan kawasan hutan produksi. Hutan di lokasi penelitian termasuk tipe hutan hujan tropika basah yang didominasi oleh Shorea. Selain terdapat berbagai jenis vegetasi, di lokasi penelitian juga ditemukan tumbuhan bawah, yang terdiri atas berbagai jenis anggrek, tumbuhan obat, tumbuhan hias, serta berbagai jenis herba dan liana. Target dan realisasi produksi untuk tebangan RKT Kumulatif IUPHHK A tahun 1981 sampai dengan tahun 2009 dapat dilihat pada Lampiran 2. Kondisi penutupan lahan IUPHHK A sesuai surat Kepala Badan Planologi Kehutanan nomor S.330/IPSDH-2/2010 sebagai berikut:

51 51 Tabel 12 Penutupan lahan IUPHHK A No Penutupan lahan Luas (ha) HPT HPK Jumlah % 1. Hutan primer ,7 2. Hutan bekas tebangan ,6 3. Non hutan ,0 4. Tertutup awan ,7 Jumlah ,0 Sumber: Surat Direktur Inventarisasi dan Pemantauan SDH Nomor S.330/PSDH-2/2010 tanggal 26 Juli 2010 di dalam RKT Sistem Silvikultur Pada awal pengelolaan hutan, IUPHHK A melakukan pengelolaan hutan dengan sistem TPTI (Tebang Pilih dan Tanam Indonesia). Siklus tebang pada IUPHHK A adalah 35 tahun dan melakukan penebangan pada diameter 50 cm ke atas untuk hutan produksi dan 60 cm ke atas untuk hutan produksi terbatas. Penggunaan sistem TPTI berlangsung hampir 35 tahun. Mulai tahun 2005, IUPHHK A menerapkan sistem silvikultur intensif (SILIN) untuk meningkatkan produktivitas hutan alam yang telah terdegradasi dengan melakukan penanaman dan pembinaan tegakan secara intensif. IUPHHK A diijinkan untuk melakukan penebangan pohon berdiameter 40 cm ke atas untuk menyiapkan lahan kegiatan SILIN. Khusus untuk jalur tanaman diijinkan pula menebang seluruh pohon berdiameter 20 cm ke atas. Penentuan jatah produksi kayu ditetapkan dengan rotasi tebang 30 tahun Keadaan Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat Pekerjaan penduduk sekitar areal kerja IUPHHK A didominasi oleh sektor pertanian (± 85%). Jenis pekerjaan lain yang ada di sekitar IUPHHK A antara lain sektor pertambangan, konstruksi, perdagangan, jasa keuangan dan transportasi. Tanaman yang dikembangkan sektor pertanian adalah tanaman pangan, tanaman perkebunan dan tanaman kehutanan. Masyarakat desa sekitar hutan terdiri atas 7 desa. Fasilitas pendidikan umum di sekitar IUPHHK adalah SD dan SLTP. Fasilitas kesehatan berupa balai pengobatan yang terdapat di tiap-tiap kecamatan dikepalai oleh seorang mantri kesehatan.

52 IUPHHK B Letak dan Luas IUPHHK B IUPHHK B terletak di Kalimantan dan mulai melakukan kegiatan pemanfaatan hutan sejak tahun IUPHHK B berada pada ketinggian tempat 30 sampai 200 meter di atas permukaan laut (dpl). Pada awalnya seluruh areal telah ditata batas, namun karena adanya pelepasan areal (hasil telaah BAPLAN), maka sebagian areal menjadi belum ditata batas. Berdasarkan hasil verifikasi Badan Planologi Kehutanan melalui Surat Nomor 1103/VIII-KP/2000 tanggal 18 Desember 2000 luas areal kerja IUPHHK B seluas ha. Berdasarkan Surat Menteri Kehutanan Nomor 856/Menhut-IV/1994 tanggal 8 Juni 1994, IUPHHK B telah mendapat Perpanjangan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam. Tahun 2005 diperoleh izin perpanjangan melalui SK Menhut Nomor SK. 393/Menhut-II/2005 tentang Perpanjangan IUPHHK B atas areal hutan produksi seluas ha Tanah dan Geologi Formasi geologi di areal kerja IUPHHK B berdasarkan Peta Geologi skala 1 : disajikan dalam tabel berikut: Tabel 13 Rincian formasi geologi IUPHHK B Simbol Formasi Bersusunan Luas Ha % Tpl Buntok Batu liat dan batu pasir ,17 Tmpl Teweh Batu pasir dan kuarsa ,82 Jumlah ,00 Sumber: RKUPHHK pada Hutan Alam tahun Tanah di IUPHHK B mempunyai kelas kedalaman bervariasi dari dangkal (< 50 cm) sampai sangat dalam (> 150 cm). Kedalaman tanah IUPHHK B didominasi oleh kelas dalam ( cm) dan kelas dangkal dijumpai pada tanah yang terbentuk dari bahan granit dengan lereng terjal. Tabel 14 Tanah-tanah di areal kerja IUPHHK B Ordo Grup Subgrup Inceptisols Dystrudepts Aquic Dystrudepts Typic Dystrudepts Oxic Dystrudepts Fluventic Dystrudepts Ultisols Kandiudults Typic Kandiudults Hapludults Typic Hapludults

53 Topografi Topografi IUPHHK B bervariasi mulai dari datar hingga berbukit. Topografi yang paling dominan pada IUPHHK B adalah agak curam dengan lereng 15-25%. Rincian luas masing-masing kelerengan IUPHHK B disajikan dalam tabel berikut: Tabel 15 Kondisi topografi IUPHHK B Topografi Bentuk Wilayah Kelas Lereng Luas (%) ha % Datar Datar Berombak ,39 Landai Bergelombang ,25 Agak Curam Agak berbukit ,50 Curam Berbukit ,460 31,86 Sangat Curam Bergunung > Jumlah 92, ,00 Sumber: RKUPHHK pada Hutan Alam tahun Iklim dan Curah Hujan Faktor iklim sangat berpengaruh terhadap rencana kegiatan usaha, baik dalam produksi kayu bulat maupun dalam usaha pemeliharaan kondisi fisik lingkungan. Iklim sangat ditentukan oleh pengaruh curah hujan, hari hujan, suhu udara, radiasi matahari, kecepatan angin, dan arah angin serta evaporasi potensial. Curah hujan rata-rata tahunan IUPHHK B sebesar 2.457,4 mm/tahun dan jumlah hari hujan per tahunnya sebesar 97 hari/tahun. Intensitas hujan rata-rata tahunan sebesar 25,33 mm/hari. Tipe iklim di sekitar areal kerja IUPHHK B adalah tipe A. Hal ini terutama disebabkan hampir tidak pernah terjadi bulan kering yang < 60 mm/bulan (Schmidt and Fergusson, 1951). Suhu udara ratarata di sekitar areal kerja IUPHHK ini adalah 26,4º C dengan kisaran antara 26,1 26,8º C. Kelembaban udara rata-rata tahunan 84,1% dengan kisaran antara 82,6 85,4%. Kelembaban yang rendah pada bulan terkering yaitu bulan September dan kelembaban yang tinggi pada bulan terlembab yaitu bulan Mei Keadaan Hutan Fungsi hutan di areal IUPHHK B dibagi atas hutan produksi terbatas, hutan produksi tetap dan hutan produksi yang dapat dikonversi. Secara rinci kondisi penutupan lahan di areal kerja IUPHHK B disajikan dalam tabel berikut:

54 54 Tabel 16 Kondisi Penutupan Lahan di Areal Kerja IUPHHK B No Penutupan Lahan Luas (ha) HPT HP HPK Jumlah % 1. Hutan Primer ,5 2. Bekas Tebangan ,2 3. Non Hutan ,6 4. Tertutup Awan ,7 Jumlah ,0 Sumber: RKT 2011 Berdasarkan hasil evaluasi terhadap citra landsat tahun sebelumnya dan pengamatan lapangan, areal tertutup awan tersebut sebagian besar merupakan areal hutan bekas tebangan (3.286 ha) dan sebagian kecil (250 ha) merupakan areal non hutan. Target dan realisasi produksi untuk tebangan RKT Kumulatif IUPHHK A tahun 1972 sampai dengan tahun 2009 disajikan pada Lampiran 3. Hutan di areal IUPHHK B termasuk tipe hutan hujan tropika basah dataran tinggi yang dicirikan oleh dominasi famili Dipterocarpaceae (kelompok Meranti). Jenis-jenis dari famili Dipterocarpaceae yang mendominasi antara lain adalah Keruing, Meranti, Bangkirai dan Sarangan Batu. Jenis vegetasi dikelompokkan menjadi (1) Kelompok Kayu Meranti, (2) Kelompok Kayu Rimba Campuran, (3) Kelompok Kayu Indah (4) Kelompok Kayu Dilindungi Sistem Silvikultur IUPHHK B melakukan pengelolaan hutan dengan sistem TPTI. Siklus tebang pada IUPHHK B adalah 35 tahun dan melakukan penebangan pada diameter 50 cm ke atas untuk hutan produksi dan 60 cm ke atas untuk hutan produksi terbatas. Penggunaan sistem TPTI berlangsung mulai awal usaha pemanfaatan hutan tahun 1972 sampai sekarang Keadaan Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat Sebagian besar mata pencaharian penduduk sekitar adalah bertani dengan menerapkan cara-cara tradisional dan apa adanya seperti yang telah disediakan oleh alam, meskipun ada sebagian kecil yang telah menerapkan pertanian terpadu. Mata pencaharian lainnya adalah pedagang, PNS, TNI, jasa angkutan dan lain-lain. Mereka yang bertani berladang menggarap ladang atau lahan mereka di pinggiran hutan atau di areal dekat tebangan atau di sepanjang sungai. Hasil yang mereka peroleh lebih banyak digunakan untuk kebutuhan keluarga.

55 55 Sebagian dari hasil tanaman tahunan mereka dijual ke kota misalnya durian dan rambutan. Mata pencaharian sebagai petani ladang adalah usaha tani yang telah diwarisi secara turun-temurun. Usaha tani ladang merupakan usaha dengan tanaman semusim (padi) dan tanaman tahunan (buah-buahan) yang sebagian besar diusahakan secara tradisional dan pemeliharaan yang minimimal tanpa menggunakan input usaha tani seperti pupuk dan obat-obatan. Sistem pembukaan lahan yang dilakukan adalah tebas, tebang, dan bakar. Sejak lama masyarakat setempat telah memanfaatkan kayu dari hutan untuk berbagai keperluan. Selain itu dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumberdaya hutan adalah kegiatan pengumpulan hasil hutan bukan kayu seperti rotan, getah damar, dan madu. Peluang kerja yang paling banyak menyerap tenaga kerja masyarakat desa sekitar adalah sektor pertanian dan kehutanan. Berdasarkan data monografi Kecamatan tahun 2005, jumlah penduduk sebanyak jiwa yang terdiri atas jiwa laki-laki dan jiwa perempuan. Adapun luas wilayah kecamatan sebesar km 2. Dengan demikian tingkat kepadatannya sebesar 7,5 jiwa/km 2. Mayoritas penduduk sekitar IUPHHK B memeluk agama Islam, dan sebagian kecil beragama Katholik dan Hindu Kaharingan. Kondisi ini menunjukkan bahwa penduduk di desa tersebut umumnya merupakan pendatang. Kebiasaan masyarakat dalam usaha tani adalah budaya usaha tani ladang yang dibuka secara umum tebas bakar yang hingga saat ini masih dianut. Hal ini karena pertimbangan kepraktisan pelaksanaan dan keyakinan adanya abu sisa pembakaran yang dapat meningkatkan kesuburan tanah. Usaha tani yang diterapkan adalah ladang secara tradisional dengan tanaman semusim seperti padi, singkong, jagung, sayuran, dan lain-lain serta tanaman tahunan seperti buah-buahan. Selain usaha tani sebagian penduduk memilih kebiasaan menebang kayu atau bekerja sebagai buruh di perusahaan-perusahaan kayu terdekat. Kegiatan lain yang dilakukan adalah berburu hewan sebagai kegiatan tambahan saja, antara lain: babi hutan, pelanduk, payau, dan lain-lain. Tingkat pendidikan masyarakat sekitar sangat dipengaruhi oleh lokasi pemukiman mereka. Untuk masyarakat yang bermukim di dalam hutan, pada umumnya memiliki tingkat pendidikan yang masih rendah. Hal ini terlihat dari masih banyaknya (85%) penduduk yang masih buta huruf latin. Sedangkan untuk masyarakat yang bermukim di tepi sungai pada umumnya lebih memiliki tingkat

56 56 pendidikan yang maju. Kondisi ini disebabkan oleh adanya transportasi air yang menjadi sarana utama menuju sekolah. Sarana prasarana pendidikan yang cukup lengkap terdapat di Ibukota Kecamatan, sedangkan di desa-desa sekitar areal IUPHHK B hanya ada 3 bangunan Sekolah Dasar (SD).

57 57 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Deskripsi Simpanan Karbon IUPHHK A1 IUPHHK A merupakan IUPHHK yang belum memiliki sertifikat pengelolaan hutan alam produksi lestari. Perhitungan biomassa dilakukan pada kegiatan produksi, kegiatan perlindungan hutan dan kegiatan penanaman. Data yang digunakan untuk menggambarkan hutan yang belum bersertifikat pada IUPHHK A adalah data di bawah tahun Pemilihan tahun tersebut diprediksi dapat merepresentasikan keadaan hutan IUPHHK A yang belum memiliki sertifikat berdasarkan pertimbangan bahwa IUPHHK yang melakukan sertifikasi memerlukan waktu kurang lebih 5 (lima) tahun untuk persiapan sertifikasi. IUPHHK A memperoleh sertifikat hutan alam produksi lestari pada tahun 2008 sehingga data dari IUPHHK A di bawah tahun 2004 merupakan data dari hutan yang pengelolaannya belum berdasarkan pada pengelolaan hutan alam produksi lestari. Pada IUPHHK A1, terdapat 13 jenis pohon yang umumnya dipanen (termasuk jenis rimba campuran yang merupakan gabungan 22 jenis pohon). Berdasarkan volume pohon tersedia dan volume panen tiap jenis pohon pada IUPHHK A1 maka jenis yang paling banyak tersedia dan dipanen (mewakili lebih dari 66% volume keseluruhan) adalah Meranti. Perhitungan besarnya biomassa tiap jenis pohon dipanen dipengaruhi oleh besarnya volume pohon dan nilai wood density (WD). Nilai WD tertinggi pada IUPHHK A adalah jenis Meranti batu dan nilai WD terendah adalah jenis Pulai. Nilai WD yang digunakan pada penelitian ini tersaji pada Lampiran Kegiatan Produksi Kegiatan produksi difokuskan pada kegiatan pemanenan (dengan indicator pohon tersedia dan pohon dipanen) dan kerusakan tegakan tinggal. Kegiatan pemanenan menggunakan indikator pohon tersedia dan pohon dipanen. Perhitungan kerusakan tegakan tinggal IUPHHK B berdasarkan kerusakan tegakan tinggal akibat pemanenan konvensional. Data statistik produksi menunjukkan bahwa realisasi produksi pada IUPHHK A1 antara 50% 98% (kurang dari 100%) dari target produksi. Rekapitulasi target produksi dan realisasi produksi pada IUPHHK A1 (tahun ) dapat dilihat pada Lampiran 2. Hasil studi Bahruni (2011)

58 58 menyebutkan bahwa gambaran kelestarian produksi jangka panjang tidak dapat diukur dengan kriteria rasio rencana (target) dan realisasi produksi tahunan. Rasio rencana dan realisasi produksi tidak mencerminkan kelestarian produksi yang didasarkan potensi tegakan, karena rasio ini hanya menunjukkan kemampuan unit manajemen merealisasi rencana atau target produksi tahunan. Kecenderungan produksi jangka panjang dapat dievaluasi menggunakan rasio antara realisasi produksi dengan Annual Allowable Cutting (AAC). Gambar 3 menyajikan kecenderungan produksi pada IUPHHK A1. Rasio produksi terhadap AAC 0,7 0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0, Gambar 3 Kecenderungan produksi IUPHHK A1 Rasio produksi A1 berada antara 0,36-0,60 terhadap AAC. Gambaran angka rasio produksi pada A1 terhadap AAC sedikit menurun. Kecenderungan produksi jangka panjang IUPHHK A1 menunjukkan tingkat produksi yang relatif menurun. Angka rasio realisasi produksi dan AAC menegaskan bahwa IUPHHK A1 tidak mampu mempertahankan kelestarian produksi jangka panjang Kegiatan Pemanenan: Pohon Tersedia dan Pohon Dipanen Volume pohon tersedia pada IUPHHK A sangat fluktuatif. Pada tahun 2001 volume pohon tersedia sebesar ,34 m 3 dan tahun 2002 hanya ,97 m 3 atau 49% dari volume pohon tersedia tahun Berbeda dengan besarnya volume pohon tersedia, volume pohon dipanen ternyata lebih besar pada tahun 2002 yaitu ,72 m 3 atau 26% lebih besar dari volume panen pada tahun 2001 ( ,58 m 3 ). Rincian pohon tersedia dan pohon dipanen pada IUPHHK A1 dapat dilihat pada Lampiran 4. Luas tebangan tahun 2001 dan 2002 seluas ha dan ha. Ratarata penebangan IUPHHK A1 seluas 2.845,5 ha/tahun. Berdasarkan luas areal penebangan, realisasi pohon dipanen pada tahun 2001 dan 2002 sebesar

59 59 134,73 m 3 /ha dan 51,35 m 3 /ha. Biomassa pohon tersedia dan pohon dipanen IUPHHK A1 dirangkum pada Tabel 16. Tabel 17 Biomassa, karbon dan CO IUPHHK A1 2 pohon tersedia dan pohon dipanen Kegiatan Rata-rata pemanenan Biomassa Karbon CO2 Biomassa (ton) (ton/tahun) (tc/tahun) (tco2/tahun) Pohon tersedia Pohon dipanen Tegakan tinggal Rata-rata biomassa pohon dipanen lebih besar dibandingkan dengan biomassa tegakan tinggal. Simpanan karbon tegakan tinggal IUPHHK A1 sebesar ton C/tahun atau 20,45 ton C/ha. Persentase biomassa pohon dipanen tahun 2001 sebesar 38,65% dan biomassa tegakan tinggal sebesar 61,35%. Persentase biomassa pohon dipanen tahun 2002 sebesar 91,75% dan menyisakan 8,25% tegakan tinggal. Rata-rata kegiatan pemanenan IUPHHK A1 menyisakan 34,8%/tahun tegakan tinggal Kerusakan Tegakan Tinggal Perhitungan kehilangan biomassa akibat kerusakan tegakan tinggal menggunakan data potensi biomassa hasil pengukuran di IUPHHK A dan persentase kerusakan tegakan. Potensi biomassa dan karbon IUPHHK A di hutan primer dan hutan bekas tebangan setiap tingkat perkembangan vegetasi ditampilkan pada Tabel 17. Tabel 18 Potensi biomassa dan karbon pada IUPHHK A pada tahun 2011 Hutan primer Hutan bekas tebangan Tingkat Vegetasi Biomassa Karbon Biomassa Karbon (ton/ha) (ton/ha) (ton/ha) (ton/ha) Pohon 358,30 179,15 279,85 139,93 Tiang 56,78 28,39 36,67 18,34 Pancang 25,73 12,87 20,79 10,39 Semai 0,89 0,44 1,04 0,52 Total 441,70 220,85 338,35 169,18 Potensi biomassa atau karbon tingkat pohon pada hutan primer adalah 82,7% dan hutan bekas tebangan sebesar 81,11% dari total biomassa tegakan. Biomassa tingkat tiang, pancang dan semai pada hutan primer sebesar 12,85%; 5,83% dan 0,20% dan hutan sekunder sebesar 10,84%; 6,14% dan 0,31%.

60 60 Hasil penelitian Junaedi (2007) menunjukkan persentase biomassa yang relatif sama pada semua tingkatan vegetasi di hutan primer. Pada hutan bekas tebangan, persentase biomassa tingkat pohon relatif sama tetapi lebih rendah pada tingkat vegetasi tiang, pancang dan semai (tiang = 4,02%, pancang = 1,98% dan semai = 0,21%) daripada IUPHHK A. Total biomassa dan karbon hutan bekas tebangan menunjukkan penurunan sekitar 23,40%. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Lasco (2002) bahwa aktifitas pemanenan kayu di hutan tropis Asia akan menurunkan cadangan karbon antara 22% - 67%. Kegiatan pemanenan kayu mengakibatkan kerusakan tegakan tinggal. Perhitungan biomassa kerusakan IUPHHK A1 menggunakan persentase kerusakan tegakan hasil studi Elias (2002) dan potensi biomassa dari hasil pengukuran di lokasi penelitian. Pendekatan persentase kerusakan tegakan IUPHHK A1 berdasarkan persentase kerusakan pada blok tebangan yang melakukan pemanenan dengan metode konvensional. Tabel 18 menunjukkan biomassa yang hilang akibat kerusakan tegakan karena menerapkan metode pemanenan konvensional pada IUPHHK A1. Tabel 19 Biomassa, karbon dan CO 2 yang hilang akibat kerusakan tegakan A1 Tingkat Vegetasi Biomassa Biomassa Karbon CO2 (ton/ha) (ton/tahun) (ton C/tahun) (ton CO2/tahun) Pohon 113, Tiang 14, Pancang 7, Semai 0, Total 135, Total biomassa yang hilang akibat kerusakan sebesar 135,55 ton/ha atau sebesar ton/tahun. Tingkat pohon merupakan penyumbang terbesar kehilangan biomassa hutan akibat kerusakan tegakan tinggal. Kerusakan yang terjadi pada tingkat pohon mengakibatkan kehilangan biomassa 83,45%/tahun dari total biomassa yang hilang karena kerusakan tegakan tinggal IUPHHK A1. Tingkat semai memberikan kontribusi terkecil (0,26%/tahun) terhadap kehilangan biomassa akibat kerusakan tegakan tinggal A Perlindungan Hutan Penutupan lahan pada IUPHHK A berdasarkan interpretasi citra landsat dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu hutan primer, hutan bekas tebangan dan tidak berhutan. Pada IUPHHK A1 digunakan data penutupan lahan tahun 1998, 1999

61 61 dan Potensi biomassa IUPHHK A untuk hutan primer sebesar 441,70 ton/ha dan hutan bekas tebangan sebesar 338,35 ton/ha. Berdasarkan data penutupan lahan tersebut terlihat perubahan tutupan lahan tiap tahunnya. Laju degradasi hutan yang meningkat pada hutan tidak lestari diduga disebabkan penggunaan areal hutan untuk kebun, pertambangan, perambahan dan illegal logging lebih tinggi dari hutan lestari (Bahruni 2011). Tabel 20 Biomassa tiap tutupan lahan IUPHHK A1 Tutupan lahan Biomassa (ton) Hutan primer Hutan bekas tebangan Tidak berhutan Total Luas areal kerja IUPHHK A1 seluas ha. Rata-rata biomassa yang hilang pada IUPHHK A1 sebesar ton/tahun atau sebesar 3,91 ton/ha. Kehilangan karbon hutan IUPHHK A1 sebesar ton C/tahun dengan laju degradasi sebesar 1,26%/tahun Kegiatan penanaman Data yang digunakan untuk perhitungan biomassa kegiatan penanaman adalah tahun 2001, 2002 dan Kegiatan penanaman yang dilakukan adalah kegiatan rehabilitasi, penanaman kanan dan kiri jalan serta penanaman tanah kosong. Tabel 21 Kegiatan penanaman IUPHHK A1 Tahun Rehabilitasi Kanan kiri jalan Tanah Kosong Total (batang) (batang) (batang) (batang) Rata-rata penanaman pada IUPHHK A1 adalah batang/tahun. Tingkat keberhasilan kegiatan penanaman pada IUPHHK A sebesar 80%, sehingga rata-rata tanaman yang hidup dari kegiatan penanaman sebesar batang/tahun. Simpanan biomassa kegiatan penanaman IUPHHK A1 ditunjukkan pada Tabel 21.

62 62 Tahun Tabel 22 Biomassa kegiatan penanaman IUPHHK A1 Rehabilitasi (ton) Kanan kiri jalan (ton) Tanah Kosong (ton) Total (ton/tahun) ,337 0,198 0,503 1, ,273 0,198 0,536 1, ,299 0,198 0,394 0,890 Rata-rata biomassa dari kegiatan penanaman sebesar 0,978 ton/tahun. Kegiatan penanaman tanah kosong mempunyai kontribusi 48,83%/tahun dari kegiatan penanaman IUPHHK A1. Biomassa dari kegiatan rehabilitasi dan penanaman kanan kiri jalan memberikan kontribusi sebesar 30,98%/tahun dan 20,19%/tahun Deskripsi Simpanan Karbon IUPHHK A2 IUPHHK A2 mulai menerapkan pengelolaan hutan alam produksi lestari sejak tahun IUPHHK A memperoleh sertifikat hutan alam produksi lestari dari salah satu lembaga sertifikasi tahun Data yang digunakan untuk kegiatan produksi pada IUPHHK A2 adalah (1) Pohon tersedia dan pohon dipanen tahun 2007, 2008 dan 2009 (2) Kerusakan tegakan akibat pemanenan. Data yang digunakan untuk kegiatan perlindungan hutan/penurunan degradasi pada IUPHHK A2 menggunakan data tutupan lahan tahun 2005, 2006 dan Kegiatan penanaman IUPHHK A2 menggunakan data penanaman tahun 2006 sampai dengan tahun Kegiatan Produksi Realisasi produksi pada IUPHHK A2 kurang dari 100% atau hanya sekitar 76%-87% dari rencana atau target produksi. Realisasi tersebut belum dapat menggambarkan bahwa A2 dapat mempertahankan target produksi jangka panjang karena tidak melakukan penebangan melebihi target produksi. Kelestarian produksi jangka panjang dapat dilihat dari rasio realisasi produksi dan AAC.

63 63 Rasio Produksi terhadap AAC 0,80 0,70 0,60 0,50 0,40 0,30 0,20 0,10 0, Gambar 4 Kecenderungan produksi IUPHHK A2 Rasio produksi IUPHHK A2 antara 0, terhadap AAC. Rasio produksi IUPHHK A2 cenderung meningkat. Kecenderungan produksi pengelolaan hutan alam produksi lestari dalam jangka panjang menunjukkan tingkat produksi yang relatif meningkat dengan rasio 0,38 pada tahun 2004 dan terus meningkat hingga mencapai rasio 0,74 terhadap AAC pada tahun Kesimpulan yang dapat diambil adalah kelestarian produksi jangka panjang pengelolaan hutan alam produksi lestari relatif dapat dipertahankan. Kecenderungan produksi tersebut dikuatkan juga oleh data potensi tegakan pada IUPHHK A2 yang sedikit meningkat. Volume pohon tersedia pada IUPHHK A2 tahun 2007 sebesar ,84 m 3. Pada tahun 2008 volume pohon tersedia mengalami peningkatan sebesar 4,94% atau sebesar ,85 m 3 dan pada tahun 2009 meningkat 3,76% atau sebesar ,52 m 3. Luas areal penebangan pada tahun 2007, 2008 dan 2009 sebesar 4.307,68 ha; ha dan 4.138,94 ha. Rata-rata luas penebangan IUPHHK A2 seluas 4.434,21 ha/tahun. Perhitungan biomassa, karbon dan CO kegiatan pemanenan dan kerusakan tegakan tinggal. Kegiatan pemanenan dilihat berdasarkan indikator pohon tersedia dan pohon dipanen pada IUPHHK A Kegiatan Pemanenan: Pohon Tersedia dan Pohon Dipanen Volume pohon tersedia pada IUPHHK A2 tahun 2007 sebesar ,84 m 3 ; tahun 2008 meningkat menjadi ,69 m 3 dan menjadi ,2 m 3 pada tahun Rata-rata pohon tersedia IUPHHK A2 sebesar ,91 m 3 /tahun. 2 kegiatan produksi adalah pada

64 64 Volume pohon dipanen tahun 2007 sebesar ,50 m 3, kemudian meningkat 9,85% pada tahun 2008 menjadi ,53 m 3. Pada tahun 2009, volume pohon dipanen mengalami peningkatan 7,73% menjadi ,71 m 3. Rata-rata pohon dipanen IUPHHK A2 sebesar ,58 m 3 /tahun. Jenis-jenis pohon tersedia IUPHHK A2 relatif sama dengan A1 dan jenisjenis pohon dipanen IUPHHK A2 bertambah 4 jenis (Agathis, Pulai, Resak dan Rengas) selain pohon dipanen yang dipanen pada A1. Perhitungan biomassa pohon tersedia, pohon dipanen dan tegakan tinggal IUPHHK A2 tersaji pada Tabel 22. Tabel 23 Biomassa, karbon dan CO 2 IUPHHK A2 pohon tersedia dan pohon dipanen Rata-rata Kegiatan Biomassa Karbon CO2 pemanenan Biomassa (ton) (ton/tahun) (tc/tahun) (tco2/tahun) Pohon tersedia Pohon dipanen Tegakan tinggal Rata-rata biomassa tegakan tinggal lebih besar daripada biomassa pohon dipanen. Rata-rata biomassa pohon dipanen IUPHHK A2 sebesar ton/tahun dan biomassa tegakan tinggal sebesar ton/tahun. Persentase biomassa pohon dipanen tahun 2007 sebesar 47,02% dan biomassa tegakan tinggal sebesar 52,98%. Pada tahun 2008 dan 2009, persentase biomassa pohon dipanen meningkat menjadi 48,30% dan 49,73%. Peningkatan persentase biomassa pohon dipanen menyebabkan persentase biomassa tegakan tinggal IUPHHK A2 semakin rendah (51,70% pada tahun 2008 dan 50,27% pada tahun 2009). Rata-rata persentase pohon dipanen IUPHHK A2 sebesar 48,35%/tahun dan tegakan tinggal sebesar 51,65%/tahun. Simpanan karbon IUPHHK A2 pada kegiatan pemanenan sebesar tc/tahun atau tco 2 /tahun. Simpanan karbon IUPHHK A2 (absolut dan persentase) lebih besar dari IUPHHK A1. Hasil tersebut menunjukkan bahwa hutan alam produksi yang telah memiliki sertifikat lestari melakukan penebangan lebih rendah dibandingkan dengan sebelum memiliki sertifikat. Menurut Pirard et al. 1995, diacu dalam Elias 2002, intensitas penebangan pada hutan yang dikelola secara lestari dan menerapkan metode RIL sebesar 8,8 batang/ha atau 103 m 3 /ha. Pengelolaan hutan tidak lestari yang

65 65 menerapkan metode pemanenan konvensional memiliki intensitas penebangan sebesar 13,6 batang/ha atau 139 m 3 /ha Kerusakan Tegakan Tinggal Aktifitas pemanenan kayu mengakibatkan kerusakan tegakan tinggal. Persentase kerusakan tegakan berbeda-beda sesuai dengan metode pemanenan yang digunakan. IUPHHK A2 menerapkan teknik RIL dalam kegiatan pemanenan. Menurut Elias (2002), minimalisasi kerusakan akibat pemanenan kayu dengan menerapkan reduced impact wood harvesting dapat mencapai pengurangan hingga 50% dari kerusakan yang diakibatkan praktek pemanenan konvensional. Gambaran kerusakan akibat aktifitas pemanenan IUPHHK A2 dapat dilihat pada Gambar 5. Perhitungan kerusakan tegakan IUPHHK A2 menggunakan persentase kerusakan tegakan tinggal berdasarkan hasil penelitian Elias (2002) dan data potensi biomassa dari hasil pengukuran lapangan. Besarnya biomassa yang hilang akibat kerusakan tegakan IUPHHK A2 ditunjukkan pada Tabel 23. a. Tunggak sisa penebangan b. Kerusakan batang dan kondisi lantai hutan Gambar 5 Kerusakan tegakan tinggal pada IUPHHK A2

66 66 Tabel 24 Biomassa, karbon dan CO 2 yang hilang akibat kerusakan tegakan A2 Tingkat Biomassa Karbon CO 2 Vegetasi (ton/ha) (ton/tahun) (tc/tahun) (tco 2 /tahun) Pohon 53, Tiang 6, Pancang 4, Semai 0, Total biomassa yang hilang akibat kerusakan tegakan sebesar 64,65 ton/ha atau sebesar ton/tahun. Kerusakan tegakan tinggal IUPHHK A2 menyebabkan penurunan potensi karbon tegakan tinggal sebesar ton C/tahun atau sebesar ton CO 2 /tahun. Kerusakan pada tingkat pohon sebesar 82,59% dari total biomassa yang hilang karena kerusakan tegakan. Pemanenan juga menyababkan kerusakan pada tingkat tiang, pancang dan semai sebesar 17,41% Perlindungan Hutan Data tutupan lahan yang digunakan pada IUPHHK A2 adalah tahun 2005, 2006 dan Data tutupan lahan digunakan untuk melihat gambaran perkembangan stok hutan. Berdasarkan data penutupan lahan terlihat perubahan tutupan lahan setiap tahunnya. Perubahan tersebut menyebabkan penurunan potensi tegakan atau karbon. Potensi biomassa IUPHHK A untuk hutan primer sebesar 441,698 ton/ha dan hutan bekas tebangan sebesar 338,354 ton/ha. Biomassa tiap tutupan hutan pada IUPHHK A2 diringkas pada Tabel 24. Tabel 25 Biomassa tiap tutupan hutan pada IUPHHK A2 Penutupan lahan Biomassa (ton/tahun) Hutan Primer Hutan Bekas Tebangan Tidak Berhutan Total Kehilangan biomassa pada tahun 2006 sebesar ton/tahun dan laju degradasi 0,16%. Kehilangan biomassa tahun 2007 sebesar ton/tahun dengan laju degradasi 0,14%. Rata-rata kehilangan biomassa ( ton/tahun) atau karbon ( ton C/tahun) IUPHHK A2 lebih kecil dibandingkan dengan IUPHHK A1. Rata-rata laju degradasi IUPHHK A2 sebesar 0,15%/tahun.

67 67 Rendahnya laju degradasi hutan bersertifikat (IUPHHK A2) memberikan gambaran bahwa IUPHHK A2 mampu melakukan kegiatan perlindungan hutan dan pengamanan hutan lebih baik dibandingkan dengan sebelum memiliki sertifikat. Upaya perlindungan dan pengamanan hutan yang dilakukan IUPHHK A2 antara lain: (1) membuat dan menggunakan menara kebakaran (2) sosialisasi pencegahan kebakaran (3) membuat tata batas yang jelas (4) meningkatkan kegiatan PMDH (5) melakukan pengawasan hutan. Peningkatan upaya perlindungan hutan yang dilakukan IUPHHK A2 dibuktikan juga dari biaya perlindungan dan pengamanan hutan (1,39 milyar/tahun) lebih besar dari IUPHHK A1(416,61 juta/tahun) Kegiatan Penanaman Data kegiatan penanaman yang digunakan untuk perhitungan biomassa penanaman pada IUPHHK A2 adalah tahun 2006 sampai dengan tahun Kegiatan penanaman yang dilakukan pada IUPHHK A2 adalah kegiatan rehabilitasi, penanaman kanan dan kiri jalan, penanaman tanah kosong dan penanaman pada jalur TPTJ. Tahun Rehabilitasi (batang) Tabel 26 Kegiatan penanaman IUPHHK A2 Kanan kiri jalan (batang) Tanah Kosong (batang) TPTJ (batang) Total (batang)

68 68 a. Persemaian b. Tanaman umur 6 bulan a. Tanaman umur 2 tahun b. Tanaman umur 4 tahun Gambar 6 Penanaman yang dilakukan IUPHHK A2 Tingkat hidup kegiatan penanaman pada IUPHHK A sebesar 80% dan rata-rata keberhasilan penanaman sebesar batang/tahun. Biomassa dari setiap kegiatan penanaman pada IUPHHK A2 ditunjukan pada Tabel 26. Tabel 27 Biomassa pada kegiatan penanaman pada IUPHHK A2 Tahun Biomassa (ton/tahun) Rehabilitasi Kanan kiri Tanah TPTJ Total jalan kosong ,234 0,198 0,490 1,078 1, ,227 0,198 0,409 1,965 2, ,047 0,198 0,056 2,021 2, ,141 2,914 3,055 Rata-rata biomassa dari kegiatan penanaman IUPHHK A2 sebesar 2,544 ton/tahun. Kontribusi biomassa terbesar diperoleh dari kegiatan penanaman pada jalur TPTJ. Penanaman jalur TPTJ pada IUPHHK A2 di mulai pada tahun 2006 sampai sekarang. Jumlah penanaman pada jalur TPTJ cenderung meningkat setiap tahunnya. Rata-rata kontribusi biomassa penanaman jalur TPTJ pada IUPHHK A2 terhadap total biomassa penanaman sebesar 76,72%/tahun.

69 Deskripsi Simpanan Karbon IUPHHK B IUPHHK B merupakan IUPHHK yang tidak memiliki sertifikat pengelolaan hutan alam produksi lestari. Simpanan biomassa difokuskan pada kegiatan produksi, perlindungan hutan dan penanaman. Simpanan biomassa kegiatan produksi menggunakan data (1) kegiatan pemanenan berdasarkan indikator pohon tersedia dan pohon dipanen tahun 2007, 2008 dan 2009 (2) Kerusakan tegakan tinggal. Perhitungan kehilangan biomassa akibat degradasi pada kegiatan perlindungan hutan IUPHHK B menggunakan data penutupan lahan tahun 2000, 2003, 2005 dan Data kegiatan penanaman IUPHHK B menggunakan data tahun 2007 hingga tahun Realisasi produksi IUPHHK B menggunakan data produksi tahun 1981 hingga tahun Berdasarkan data target dan realisasi panen, kemampuan IUPHHK B merealisasikan produksi lebih kecil dari target atau rencana produksi. Angka rasio realisasi produksi dan target produksi pada IUPHHK B cenderung menurun. Hasil tersebut memberikan gambaran bahwa kemampuan IUPHHK B merealisasikan rencana atau target produksi tahunan semakin menurun. Kelestarian produksi jangka panjang belum dapat diukur dari gambaran rasio realisasi produksi dan target produksi. Kelestarian produksi jangka panjang dapat dievaluasi dari rasio realisasi produksi dan AAC (Bahruni 2011). Rasio Produksi terhadap AAC 0,30 0,25 0,20 0,15 0,10 0,05 0,00 IUPHHK B Gambar 7 Rasio produksi terhadap AAC pada IUPHHK B Angka rasio produksi terhadap AAC pada IUPHHK B cenderung menurun. Kecenderungan produksi jangka panjang yang relatif menurun menunjukkan bahwa IUPHHK B belum mampu mempertahankan kelestarian produksi jangka panjang.

70 70 Kelestarian produksi juga dapat dilihat dari potensi tegakan. Potensi tegakan IUPHHK B bervariasi sehingga belum dapat memberikan gambaran perkembangan stok tegakan (menurun atau stabil). Diduga IUPHHK B belum mampu mempertahankan tingkat produksi disebabkan keterbatasan modal dan kurangnya (jumlah dan kompetensi) tenaga kerja Kegiatan Produksi Kegiatan Pemanenan: Pohon Tersedia dan Pohon Dipanen Pohon yang dipanen pada IUPHHK B terdiri atas 15 jenis yang terbagi dalam 3 kelompok yaitu (1) Kelompok Meranti terdiri atas 11 jenis dapat dilihat pada lampiran (2) Kelompok rimba campuran dari jenis Kapur naga dan Kempas (3) Kelompok kayu indah dari jenis Sindur dan Ulin. Realisasi luas areal penebangan IUPHHK B tahun 2007, 2008 dan 2009 sebesar ha, ha dan ha. Volume pohon tersedia IUPHHK B sebesar ,12 m 3 pada tahun 2007, sebesar ,72 m 3 pada tahun 2008 dan ,04 m 3 pada tahun Rata-rata pohon tersedia IUPHHK B sebesar ,96 m 3 /tahun. Pada tahun 2007 dan 2008 dilakukan pemanenan pada IUPHHK B 3 sebesar m dan sebesar ,6 m 3. Pada tahun 2009, pemanenan yang dilakukan pada IUPHHK B hanya sebesar ,58 m 3 atau hanya 32,75% dari volume pohon yang tersedia. Rata-rata pohon dipanen IUPHHK B sebesar ,39 m 3 /tahun atau 48,9%/tahun dari rata-rata volume pohon tersedia. Rincian pohon tersedia dan pohon dipanen IUPHHK B disajikan pada Lampiran 7. Biomassa pohon tersedia, pohon dipanen dan tegakan tinggal pada IUPHHK B tersaji pada Tabel 27. Tabel 28 Biomassa pohon tersedia dan pohon dipanen pada IUPHHK B Rata-rata Biomassa atau Biomassa Karbon CO2 karbon Biomassa (ton) (ton/tahun) (tc/tahun) (tco2/tahun) Pohon tersedia Pohon dipanen Tegakan tinggal Rata-rata biomassa pohon dipanen IUPHHK B sebesar ton/tahun atau 49,07%/tahun dari biomassa pohon tersedia. Rata-rata biomassa tegakan tinggal IUPHHK B lebih besar daripada biomassa pohon yang dipanen. Biomassa tegakan tinggal sebesar ton/tahun atau menyisakan 50,93%/tahun dari pohon tersedia untuk tidak dipanen. Simpanan karbon

71 71 tegakan tinggal IUPHHK B sebesar ton C/tahun atau 19,59 ton C/ha. Simpanan karbon IUPHHK B lebih rendah dibandingkan dengan IUPHHK A2. Hasil tersebut menegaskan bahwa hutan alam produksi lestari melakukan penebangan yang lebih rendah dari hutan alam produksi tidak lestari Kerusakan Tegakan Tinggal Perhitungan kerusakan tegakan tinggal akibat kegiatan pemanenan menggunakan data potensi tegakan IUPHHK B dan persentase kerusakan pada penebangan konvensional. Potensi biomassa dan karbon hutan yang ada di IUPHHK B pada hutan primer dan hutan bekas tebangan pada tingkat pohon, tiang, pancang dan semai di rangkum pada Tabel 28. Tabel 29 Potensi biomassa dan karbon IUPHHK B. Hutan primer Bekas tebangan Tingkat vegetasi Biomassa Karbon Biomassa Karbon (ton/ha) (ton C/ha) (ton/ha) (ton C/ha) Pohon 899,32 449,66 714,75 357,38 Tiang 120,40 60,20 71,10 35,55 Pancang 35,30 17,65 15,77 7,88 Semai 0,29 0,15 1,29 0,64 Total 1.055,31 527,66 802,91 401,45 Potensi biomassa atau karbon tertinggi pada hutan primer dan sekunder berasal dari tingkat pohon. Potensi biomassa atau karbon tingkat pohon IUPHHK B sebesar 85,22% pada hutan primer dan sebesar 89,02% pada hutan bekas tebangan. Persentase biomassa tingkat tiang, pancang dan semai pada hutan primer sebesar 11,41%; 3,35% dan 0,03%. Potensi biomassa hutan bekas tebangan tingkat tiang sebesar 8,86%; pancang sebesar 1,96% dan semai sebesar 0,16%. Potensi biomassa dan karbon IUPHHK B lebih tinggi daripada IUPHHK A. Berdasarkan total biomassa dan karbon pada hutan bekas tebangan IUPHHK B menunjukkan adanya penurunan cadangan karbon sekitar 23,92%. Nilai pengurangan cadangan karbon yang hampir sama juga terjadi pada IUPHHK A (23,40%). Aktifitas pemanenan kayu mengakibatkan kerusakan pada tegakan tinggal. Perhitungan kerusakan tegakan IUPHHK B menggunakan persentase kerusakan dari blok tebangan yang menerapkan metode konvensional berdasarkan penelitian Elias (2002) dan potensi tegakan hasil pengukuran di

72 72 IUPHHK B. Tabel 29 menunjukkan biomassa yang hilang akibat kerusakan tegakan di IUPHHK B. a. Kerusakan pada pangkal pohon b. Tunggak sisa penebangan konvensional Gambar 8 Kerusakan tegakan tinggal IUPHHK B Tabel 30 Biomassa, karbon dan CO 2 yang hilang pada IUPHHK B akibat kerusakan tegakan pada tahun 2011 Tingkat Vegetasi CO2 Biomassa Biomassa Karbon (ton (ton/ha) (ton/tahun) (ton C/tahun) CO2/tahun) Pohon 288, Tiang 28, Pancang 5, Semai 0, Total 323, Biomassa yang hilang akibat kerusakan tegakan karena kegiatan pemanenan dengan metode konvensional pada IUPHHK B sebesar 323,58 ton/ha atau sebesar ton/tahun. Kerusakan yang terjadi pada tingkat pohon mengakibatkan kehilangan biomassa 89,28%/tahun dari total biomassa yang hilang. Kontribusi tingkat tiang, pancang dan semai terhadap kehilangan biomassa pohon sebesar 8,88%/tahun; 1,70%/tahun dan 0,13%/tahun. Kerusakan tegakan IUPHHK B menyebabkan kehilangan tc/tahun. Nilai kehilangan potensi karbon tersebut lebih tinggi dari IUPHHK A2. Hal tersebut memberikan gambaran bahwa hutan alam produksi lestari yang menerapkan metode RIL mampu meminimalkan kehilangan biomassa atau karbon sebesar 57%/tahun.

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biomassa dan Karbon Hutan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biomassa dan Karbon Hutan 26 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biomassa dan Karbon Hutan Biomassa merupakan jumlah bahan organik yang diproduksi oleh organisme (tumbuhan) persatuan unit area pada suatu waktu yang dinyatakan dalam berat kering

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan iklim adalah fenomena global yang disebabkan oleh kegiatan manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna lahan dan kehutanan. Kegiatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang. jenis tumbuh-tumbuhan berkayu lainnya. Kawasan hutan berperan

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang. jenis tumbuh-tumbuhan berkayu lainnya. Kawasan hutan berperan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang manfaat serta fungsinya belum banyak diketahui dan perlu banyak untuk dikaji. Hutan berisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) seperti karbon dioksida

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) seperti karbon dioksida BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) seperti karbon dioksida (CO 2 ), metana (CH 4 ), dinitrogen oksida (N 2 O), hidrofluorokarbon (HFC), perfluorokarbon (PFC)

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan konsentrasi karbon di atmosfer menjadi salah satu masalah lingkungan yang serius dapat mempengaruhi sistem kehidupan di bumi. Peningkatan gas rumah kaca (GRK)

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kelestarian lingkungan dekade ini sudah sangat terancam, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate change) yang

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 40 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di hutan alam produksi lestari dan hutan alam produksi tidak lestari di wilayah Kalimantan. Pendekatan yang digunakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Hutan Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Menurut Undangundang tersebut, Hutan adalah suatu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam konteks global emisi gas rumah kaca (GRK) cenderung meningkat setiap tahunnya. Sumber emisi GRK dunia berasal dari emisi energi (65%) dan non energi (35%). Emisi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di dunia,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. mengkonversi hutan alam menjadi penggunaan lainnya, seperti hutan tanaman

PENDAHULUAN. mengkonversi hutan alam menjadi penggunaan lainnya, seperti hutan tanaman PENDAHULUAN Latar Belakang Terdegradasinya keadaan hutan menyebabkan usaha kehutanan secara ekonomis kurang menguntungkan dibandingkan usaha komoditi agribisnis lainnya, sehingga memicu kebijakan pemerintah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. iklim global ini telah menyebabkan terjadinya bencana alam di berbagai belahan

II. TINJAUAN PUSTAKA. iklim global ini telah menyebabkan terjadinya bencana alam di berbagai belahan 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pemanasan Global Pemanasan global diartikan sebagai kenaikan temperatur muka bumi yang disebabkan oleh efek rumah kaca dan berakibat pada perubahan iklim. Perubahan iklim global

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim. Pemanasan tersebut

BAB I. PENDAHULUAN. menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim. Pemanasan tersebut BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peningkatan kadar CO 2 di atmosfir yang tidak terkendali jumlahnya menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim. Pemanasan tersebut disebabkan oleh adanya gas

Lebih terperinci

REDUKSI EMISI KARBON MELALUI PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI LESTARI Carbon Emission Reduction of Sustainable Natural Production Forest Management

REDUKSI EMISI KARBON MELALUI PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI LESTARI Carbon Emission Reduction of Sustainable Natural Production Forest Management Jurnal Hutan Tropis Volume 1 No. 1 Maret 2013 ISSN 2337-7771 E-ISSN 2337-7992 REDUKSI EMISI KARBON MELALUI PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI LESTARI Carbon Emission Reduction of Sustainable Natural Production

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Aktivitas manusia telah meningkatkan emisi gas rumah kaca serta

BAB I. PENDAHULUAN. Aktivitas manusia telah meningkatkan emisi gas rumah kaca serta BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Aktivitas manusia telah meningkatkan emisi gas rumah kaca serta meningkatkan suhu global. Kegiatan yang menyumbang emisi gas rumah kaca dapat berasal dari pembakaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan memiliki banyak fungsi ditinjau dari aspek sosial, ekonomi, ekologi

BAB I PENDAHULUAN. Hutan memiliki banyak fungsi ditinjau dari aspek sosial, ekonomi, ekologi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan memiliki banyak fungsi ditinjau dari aspek sosial, ekonomi, ekologi dan lingkungan yang sangat penting bagi kehidupan manusia baik pada masa kini maupun pada

Lebih terperinci

BERDAGANG KARBON DENGAN MENANAN POHON: APA DAN BAGAIMANA? 1

BERDAGANG KARBON DENGAN MENANAN POHON: APA DAN BAGAIMANA? 1 BERDAGANG KARBON DENGAN MENANAN POHON: APA DAN BAGAIMANA? 1 ONRIZAL Staf Pengajar Departemen Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara Bidang Keahlian: Ekologi dan Rehabilitasi Hutan dan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pemanasan global saat ini menjadi topik yang paling hangat dibicarakan dan mendapatkan perhatian sangat serius dari berbagai pihak. Pada dasarnya pemanasan global merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati. Dengan kata lain manfaat

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati. Dengan kata lain manfaat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan memiliki peranan penting bagi kehidupan manusia, baik yang berupa manfaat ekonomi secara langsung maupun fungsinya dalam menjaga daya dukung lingkungan. Hutan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi prioritas dunia saat ini. Berbagai skema dirancang dan dilakukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemampuan hutan dan ekosistem didalamnya sebagai penyimpan karbon dalam bentuk biomassa di atas tanah dan di bawah tanah mempunyai peranan penting untuk menjaga keseimbangan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Perubahan iklim telah menjadi isu penting dalam peradaban umat manusia saat ini. Hal ini disebabkan karena manusia sebagai aktor dalam pengendali lingkungan telah melupakan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2013 TENTANG BADAN PENGELOLA PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA DARI DEFORESTASI, DEGRADASI HUTAN DAN LAHAN GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan kebutuhan hidup manusia, tidak dapat dipungkiri bahwa tekanan terhadap perubahan lingkungan juga akan meningkat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Sumberdaya hutan tropis yang dimiliki negara Indonesia, memiliki nilai dan peranan penting yang bermanfaat dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Manfaat yang didapatkan

Lebih terperinci

2013, No Mengingat Emisi Gas Rumah Kaca Dari Deforestasi, Degradasi Hutan dan Lahan Gambut; : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Rep

2013, No Mengingat Emisi Gas Rumah Kaca Dari Deforestasi, Degradasi Hutan dan Lahan Gambut; : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Rep No.149, 2013 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN. Badan Pengelola. Penurunan. Emisi Gas Rumah Kaca. Kelembagaan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2013 TENTANG BADAN PENGELOLA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Laporan dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC)

BAB I PENDAHULUAN. Laporan dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pasca runtuhnya Uni Soviet sebagai salah satu negara adi kuasa, telah membawa agenda baru dalam tatanan studi hubungan internasional (Multazam, 2010). Agenda yang awalnya

Lebih terperinci

GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG

GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG STRATEGI DAN RENCANA AKSI PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA DARI DEFORESTASI DAN DEGRADASI HUTAN ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR

Lebih terperinci

Pemerintah Republik Indonesia (Indonesia) dan Pemerintah Kerajaan Norwegia (Norwegia), (yang selanjutnya disebut sebagai "Para Peserta")

Pemerintah Republik Indonesia (Indonesia) dan Pemerintah Kerajaan Norwegia (Norwegia), (yang selanjutnya disebut sebagai Para Peserta) Terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia ini dibuat oleh Center for Internasional Forestry Research (CIFOR) dan tidak bisa dianggap sebagai terjemahan resmi. CIFOR tidak bertanggung jawab jika ada kesalahan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Perubahan iklim merupakan fenomena global meningkatnya konsentrasi

BAB I. PENDAHULUAN. Perubahan iklim merupakan fenomena global meningkatnya konsentrasi 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan iklim merupakan fenomena global meningkatnya konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer akibat berbagai aktivitas manusia di permukaan bumi, seperti

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan gambut merupakan salah satu tipe hutan yang terdapat di Indonesia dan penyebarannya antara lain di Pulau Sumatera, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi dan Pulau

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2013 TENTANG BADAN PENGELOLA PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA DARI DEFORESTASI, DEGRADASI HUTAN DAN LAHAN GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap.

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap. 4 TINJAUAN PUSTAKA Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang di tunjuk dan atau di tetapkan oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap. Kawasan hutan perlu di tetapkan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. intensitas ultraviolet ke permukaan bumi yang dipengaruhi oleh menipisnya

BAB I PENDAHULUAN. intensitas ultraviolet ke permukaan bumi yang dipengaruhi oleh menipisnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perubahan kehidupan paling signifikan saat ini adalah meningkatnya intensitas ultraviolet ke permukaan bumi yang dipengaruhi oleh menipisnya lapisan atmosfer.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Peran dan fungsi jasa lingkungan ekosistem hutan makin menonjol dalam menopang kehidupan untuk keseluruhan aspek ekologis, ekonomi dan sosial. Meningkatnya perhatian terhadap

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2004 TENTANG PENGESAHAN KYOTO PROTOCOL TO THE UNITED NATIONS FRAMEWORK C'ONVENTION ON CLIMATE CHANGE (PROTOKOL KYOTO ATAS KONVENSI KERANGKA KERJA PERSERIKATAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menyebabkan perubahan yang signifikan dalam iklim global. GRK adalah

I. PENDAHULUAN. menyebabkan perubahan yang signifikan dalam iklim global. GRK adalah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK) sejak pertengahan abad ke 19 telah menyebabkan perubahan yang signifikan dalam iklim global. GRK adalah lapisan gas yang berperan

Lebih terperinci

Kepastian Pembiayaan dalam keberhasilan implementasi REDD+ di Indonesia

Kepastian Pembiayaan dalam keberhasilan implementasi REDD+ di Indonesia ISSN : 2085-787X Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN IKLIM Jl. Gunung Batu No.

Lebih terperinci

Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan

Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2004 TENTANG PENGESAHAN KYOTO PROTOCOL TO THE UNITED NATIONS FRAMEWORK CONVENTION ON CLIMATE CHANGE (PROTOKOL KYOTO ATAS KONVENSI KERANGKA KERJA PERSERIKATAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN Hutan berperan penting dalam menjaga kesetabilan iklim global, vegetasi hutan akan memfiksasi CO2 melalui proses fotosintesis. Jika hutan terganggu maka siklus CO2

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karena hutan memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia, hewan dan

BAB I PENDAHULUAN. karena hutan memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia, hewan dan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Hutan merupakan unsur terpenting bagi semua makhluk hidup di bumi, karena hutan memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Hutan juga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan iklim sekarang ini perlu mendapatkan perhatian yang lebih

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan iklim sekarang ini perlu mendapatkan perhatian yang lebih BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan iklim sekarang ini perlu mendapatkan perhatian yang lebih sebagai isu lingkungan global. Salah satu dampak perubahan iklim adalah meningkatnya suhu di bumi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hujan Tropis Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Didorong oleh issue perubahan iklim dunia yang menghangat belakangan ini

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Didorong oleh issue perubahan iklim dunia yang menghangat belakangan ini BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Didorong oleh issue perubahan iklim dunia yang menghangat belakangan ini dan perubahan tersebut terjadi akibat dari ulah manusia yang terus mengambil keuntungan dari

Lebih terperinci

Ilmuwan mendesak penyelamatan lahan gambut dunia yang kaya karbon

Ilmuwan mendesak penyelamatan lahan gambut dunia yang kaya karbon Untuk informasi lebih lanjut, silakan menghubungi: Nita Murjani n.murjani@cgiar.org Regional Communications for Asia Telp: +62 251 8622 070 ext 500, HP. 0815 5325 1001 Untuk segera dipublikasikan Ilmuwan

Lebih terperinci

Pemanfaatan Hutan Mangrove Sebagai Penyimpan Karbon

Pemanfaatan Hutan Mangrove Sebagai Penyimpan Karbon Buletin PSL Universitas Surabaya 28 (2012): 3-5 Pemanfaatan Hutan Mangrove Sebagai Penyimpan Karbon Hery Purnobasuki Dept. Biologi, FST Universitas Airlangga Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem

Lebih terperinci

9/21/2012 PENDAHULUAN STATE OF THE ART GAMBUT DI INDONESIA EKOSISTEM HUTAN GAMBUT KEANEKARAGAMAN HAYATI TINGGI SUMBER PLASMA NUTFAH TINGGI

9/21/2012 PENDAHULUAN STATE OF THE ART GAMBUT DI INDONESIA EKOSISTEM HUTAN GAMBUT KEANEKARAGAMAN HAYATI TINGGI SUMBER PLASMA NUTFAH TINGGI 9/1/1 PEMULIHAN ALAMI HUTAN GAMBUT PASKA KEBAKARAN: OPTIMISME DALAM KONSERVASI CADANGAN KARBON PENDAHULUAN EKOSISTEM HUTAN GAMBUT OLEH: I WAYAN SUSI DHARMAWAN Disampaikan pada acara Diskusi Ilmiah lingkup

Lebih terperinci

tersebut terdapat di atmosfer. Unsur-unsur yang terkandung dalam udara dan

tersebut terdapat di atmosfer. Unsur-unsur yang terkandung dalam udara dan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Udara di bumi memiliki beberapa unsur yang sangat dibutuhkan oleh kehidupan manusia, tumbuhan dan hewan. Udara untuk kehidupan sehari-hari tersebut terdapat di atmosfer.

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. asing. Indonesia telah menjadikan Jepang sebagai bagian penting dalam proses

BAB V KESIMPULAN. asing. Indonesia telah menjadikan Jepang sebagai bagian penting dalam proses BAB V KESIMPULAN Dinamika hubungan diplomatik Indonesia dengan Jepang telah mengalami berbagai perkembangan, mulai dari masa penjajahan, kerjasama ekonomi hingga bidang politik dan keamanan. Politik luar

Lebih terperinci

Kebijakan Pelaksanaan REDD

Kebijakan Pelaksanaan REDD Kebijakan Pelaksanaan REDD Konferensi Nasional terhadap Pekerjaan Hijau Diselenggarakan oleh Organisasi Perburuhan Internasional Jakarta Hotel Borobudur, 16 Desember 2010 1 Kehutanan REDD bukan satu-satunya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Jati (Tectona grandis Linn. f) Jati (Tectona grandis Linn. f) termasuk kelompok tumbuhan yang dapat menggugurkan daunnya sebagaimana mekanisme pengendalian diri terhadap

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Biomassa

II. TINJAUAN PUSTAKA Biomassa 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Biomassa Biomassa merupakan bahan organik dalam vegetasi yang masih hidup maupun yang sudah mati, misalnya pada pohon (daun, ranting, cabang, dan batang utama) dan biomassa

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Lampiran 1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan Kyoto Protocol To The United Nations Framework Convention On Climate Change (Protokol Kyoto Atas Konvensi Kerangka Kerja

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap sumberdaya alam memiliki fungsi penting terhadap lingkungan. Sumberdaya alam berupa vegetasi pada suatu ekosistem hutan mangrove dapat berfungsi dalam menstabilkan

Lebih terperinci

PENAMBATAN KARBON PADA BERBAGAI BENTUK SISTEM USAHA TANI SEBAGAI SALAH SATU BENTUK MULTIFUNGSI

PENAMBATAN KARBON PADA BERBAGAI BENTUK SISTEM USAHA TANI SEBAGAI SALAH SATU BENTUK MULTIFUNGSI PENAMBATAN KARBON PADA BERBAGAI BENTUK SISTEM USAHA TANI SEBAGAI SALAH SATU BENTUK MULTIFUNGSI Rizaldi Boer Laboratorium Klimatologi, Jurusan Geofisika dan Meteorologi, FMIPA IPB Penambatan karbon merupakan

Lebih terperinci

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Kalimantan Tengah

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Kalimantan Tengah Emisi bersih GRK Dugaan emisi bersih tahunan GRK dari penggunaan lahan lahan dan perubahan penggunaan lahan di hutan dan lahan gambut akibat ulah manusia selama 2001-2012. Hasil yang ada menunjukkan jumlah

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 74/Menhut-II/2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 74/Menhut-II/2014 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 74/Menhut-II/2014 TENTANG PENERAPAN TEKNIK SILVIKULTUR DALAM USAHA PEMANFAATAN PENYERAPAN DAN/ATAU PENYIMPANAN KARBON PADA HUTAN PRODUKSI DENGAN

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Papua dengan luas kawasan hutan 31.687.680 ha (RTRW Provinsi Papua, 2012), memiliki tingkat keragaman genetik, jenis maupun ekosistem hutan yang sangat tinggi.

Lebih terperinci

BRIEF Volume 11 No. 01 Tahun 2017

BRIEF Volume 11 No. 01 Tahun 2017 PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN IKLIM BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN POLICY BRIEF Volume 11 No. 01 Tahun

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Menurut Soerianegara dan Indrawan (1988) hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang dikuasai oleh pohon-pohon dan mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda dengan keadaan

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I PENGESAHAN. Agreement. Perubahan Iklim. PBB. Kerangka Kerja. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 204) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ancaman perubahan iklim sangat menjadi perhatian masyarakat dibelahan dunia manapun. Ancaman dan isu-isu yang terkait mengenai perubahan iklim terimplikasi dalam Protokol

Lebih terperinci

Informasi hasil aplikasi perhitungan emisi grk

Informasi hasil aplikasi perhitungan emisi grk Informasi hasil aplikasi perhitungan emisi grk Aplikasi perhitungan grk di wilayah sumatera Aplikasi Perhitungan GRK di Wilayah Sumatera Program : Penelitian dan Pengembangan Produktivitas Hutan Judul

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3. Biomassa dan Karbon Biomassa Atas Permukaan di Kebun Panai Jaya, PTPN IV Tahun 2009

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3. Biomassa dan Karbon Biomassa Atas Permukaan di Kebun Panai Jaya, PTPN IV Tahun 2009 14 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Stok Karbon 4.1.1 Panai Jaya Data stok karbon yang digunakan pada kebun Panai Jaya berasal dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Yulianti (2009) dan Situmorang

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. membiarkan radiasi surya menembus dan memanasi bumi, menghambat

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. membiarkan radiasi surya menembus dan memanasi bumi, menghambat BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemanasan Global Pemanasan bumi disebabkan karena gas-gas tertentu dalam atmosfer bumi seperti karbon dioksida (CO 2 ), metana (CH 4 ), nitro oksida (N 2 O) dan uap air membiarkan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 20/Menhut-II/2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KARBON HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 20/Menhut-II/2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KARBON HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 20/Menhut-II/2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KARBON HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, : a. bahwa

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Rataan suhu di permukaan bumi adalah sekitar K (15 0 C ), suhu

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Rataan suhu di permukaan bumi adalah sekitar K (15 0 C ), suhu PENDAHULUAN Latar Belakang Rataan suhu di permukaan bumi adalah sekitar 288 0 K (15 0 C ), suhu tersebut dapat dipertahankan karena keberadaan sejumlah gas yang berkonsentrasi di atmosfer bumi. Sejumlah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemanasan global merupakan salah satu isu di dunia saat ini. Masalah pemanasan global ini bahkan telah menjadi agenda utama Perserikatan Bangsabangsa (PBB). Kontributor

Lebih terperinci

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Bali

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Bali Emisi bersih GRK Dugaan emisi bersih tahunan GRK dari penggunaan lahan lahan dan perubahan penggunaan lahan di hutan dan lahan gambut akibat ulah manusia selama 2001-2012. Hasil yang ada menunjukkan jumlah

Lebih terperinci

PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk

PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk ALFARED FERNANDO SIAHAAN DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

PENDEKATAN LANSKAP DALAM MITIGASI PERUBAHAN IKLIM

PENDEKATAN LANSKAP DALAM MITIGASI PERUBAHAN IKLIM PENDEKATAN LANSKAP DALAM MITIGASI PERUBAHAN IKLIM Oleh: Dr. Dolly Priatna Yayasan Belantara Seminar Nasional Perubahan Iklim Mengembangkan Program Pendidikan Konservasi dan Lingkungan Hidup Bagi Para Pihak

Lebih terperinci

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan ISSN : 2085-787X Volume 5 No. 2 Tahun 2011 Transfer Fiskal antara Pemerintah

Lebih terperinci

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Nusa Tenggara Timur

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Nusa Tenggara Timur Emisi bersih GRK Dugaan emisi bersih tahunan GRK dari penggunaan lahan lahan dan perubahan penggunaan lahan di hutan dan lahan gambut akibat ulah manusia selama 2001-2012. Hasil yang ada menunjukkan jumlah

Lebih terperinci

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Sulawesi Tenggara

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Sulawesi Tenggara Emisi bersih GRK Dugaan emisi bersih tahunan GRK dari penggunaan lahan lahan dan perubahan penggunaan lahan di hutan dan lahan gambut akibat ulah manusia selama 2001-2012. Hasil yang ada menunjukkan jumlah

Lebih terperinci

2018, No Carbon Stocks) dilaksanakan pada tingkat nasional dan Sub Nasional; d. bahwa dalam rangka melaksanakan kegiatan REDD+ sebagaimana dima

2018, No Carbon Stocks) dilaksanakan pada tingkat nasional dan Sub Nasional; d. bahwa dalam rangka melaksanakan kegiatan REDD+ sebagaimana dima No.161, 2018 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-LHK. Perangkat REDD+. Pencabutan. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.70/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2017 TENTANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem yang terpadu dan saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi pertukaran materi

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 37 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pola Sebaran Pohon Pemetaan sebaran pohon dengan luas petak 100 ha pada petak Q37 blok tebangan RKT 2011 PT. Ratah Timber ini data sebaran di kelompokkan berdasarkan sistem

Lebih terperinci

Kerjasama Internasional Mengenai Perubahan Iklim ME4234 KEBIJAKAN IKLIM

Kerjasama Internasional Mengenai Perubahan Iklim ME4234 KEBIJAKAN IKLIM Kerjasama Internasional Mengenai Perubahan Iklim ME4234 KEBIJAKAN IKLIM Pokok Bahasan Tentang Konvensi Struktur Konvensi Peluang dukungan dan dana Tentang Protokol Kyoto Elemen & Komitmen Protokol Kyoto

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sekitar 60 Pg karbon mengalir antara ekosistem daratan dan atmosfir setiap

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sekitar 60 Pg karbon mengalir antara ekosistem daratan dan atmosfir setiap BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Cadangan Karbon Aliran karbon dari atmosfir ke vegetasi merupakan aliran yang bersifat dua arah, yaitu pengikatan CO 2 ke dalam biomasa melalui fotosintesis dan pelepasan CO

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan Salomon, dalam Rahayu et al. (2006), untuk mengurangi dampak perubahan

BAB I PENDAHULUAN. dan Salomon, dalam Rahayu et al. (2006), untuk mengurangi dampak perubahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanasan global mengakibatkan terjadinya perubahan iklim. Menurut Sedjo dan Salomon, dalam Rahayu et al. (2006), untuk mengurangi dampak perubahan iklim, upaya yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemanenan Hutan Pemanenan hutan merupakan serangkaian kegiatan kehutanan yang mengubah pohon atau biomassa lain menjadi bentuk yang bisa dipindahkan ke lokasi lain sehingga

Lebih terperinci

Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon

Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon 1 Presentasi ini terbagi menjadi lima bagian. Bagian pertama, memberikan pengantar tentang besarnya karbon yang tersimpan di lahan gambut. Bagian kedua membahas

Lebih terperinci

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Jawa Timur

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Jawa Timur Emisi bersih GRK Dugaan emisi bersih tahunan GRK dari penggunaan lahan lahan dan perubahan penggunaan lahan di hutan dan lahan gambut akibat ulah manusia selama 2001-2012. Hasil yang ada menunjukkan jumlah

Lebih terperinci

Kebijakan Fiskal Sektor Kehutanan

Kebijakan Fiskal Sektor Kehutanan Kebijakan Fiskal Sektor Kehutanan Prof. Dr. Singgih Riphat Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan PENYUMBANG EMISI CO 2 TERBESAR DI DUNIA Indonesia menempati urutan ke 16 dari 25 negara penyumbang

Lebih terperinci

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Indonesia

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Indonesia Emisi bersih GRK Dugaan emisi bersih tahunan GRK dari penggunaan lahan lahan dan perubahan penggunaan lahan di hutan dan lahan gambut akibat ulah manusia selama 2001-2012. Hasil yang ada menunjukkan jumlah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia Sampai tahun 2004, Indonesia berada pada urutan ke 15 negara penghasil gas rumah kaca tertinggi di dunia dengan emisi tahunan 378 juta ton

Lebih terperinci

Menyelaraskan hutan dan kehutanan untuk pembangunan berkelanjutan. Center for International Forestry Research

Menyelaraskan hutan dan kehutanan untuk pembangunan berkelanjutan. Center for International Forestry Research Menyelaraskan hutan dan kehutanan untuk pembangunan berkelanjutan Center for International Forestry Research Siapakah kami Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (Center for International Forestry Research)

Lebih terperinci

BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA

BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA 4.1. Landasan Berfikir Pengembangan SRAP REDD+ Provinsi Papua Landasan berpikir untuk pengembangan Strategi dan Rencana Aksi (SRAP) REDD+ di Provinsi

Lebih terperinci

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Jawa Barat

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Jawa Barat Emisi bersih GRK Dugaan emisi bersih tahunan GRK dari penggunaan lahan lahan dan perubahan penggunaan lahan di hutan dan lahan gambut akibat ulah manusia selama 2001-2012. Hasil yang ada menunjukkan jumlah

Lebih terperinci

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Maluku

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Maluku Emisi bersih GRK Dugaan emisi bersih tahunan GRK dari penggunaan lahan lahan dan perubahan penggunaan lahan di hutan dan lahan gambut akibat ulah manusia selama 2001-2012. Hasil yang ada menunjukkan jumlah

Lebih terperinci

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di DKI Jakarta

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di DKI Jakarta Emisi bersih GRK Dugaan emisi bersih tahunan GRK dari penggunaan lahan lahan dan perubahan penggunaan lahan di hutan dan lahan gambut akibat ulah manusia selama 2001-2012. Hasil yang ada menunjukkan jumlah

Lebih terperinci

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Aceh

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Aceh Emisi bersih GRK Dugaan emisi bersih tahunan GRK dari penggunaan lahan lahan dan perubahan penggunaan lahan di hutan dan lahan gambut akibat ulah manusia selama 2001-2012. Hasil yang ada menunjukkan jumlah

Lebih terperinci

REHABILITASI HUTAN DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM SEKTOR KEHUTANAN DI SULAWESI UTARA

REHABILITASI HUTAN DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM SEKTOR KEHUTANAN DI SULAWESI UTARA REHABILITASI HUTAN DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM SEKTOR KEHUTANAN DI SULAWESI UTARA BALAI PENELITIAN KEHUTANAN MANADO Jl. Raya Adipura Kel. Kima Atas Kec.Mapanget Kota Manado Telp : (0431) 3666683 Email

Lebih terperinci

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Papua

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Papua Emisi bersih GRK Dugaan emisi bersih tahunan GRK dari penggunaan lahan lahan dan perubahan penggunaan lahan di hutan dan lahan gambut akibat ulah manusia selama 2001-2012. Hasil yang ada menunjukkan jumlah

Lebih terperinci

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Gorontalo

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Gorontalo Emisi bersih GRK Dugaan emisi bersih tahunan GRK dari penggunaan lahan lahan dan perubahan penggunaan lahan di hutan dan lahan gambut akibat ulah manusia selama 2001-2012. Hasil yang ada menunjukkan jumlah

Lebih terperinci

BAB 1. PENDAHULUAN. Kalimantan Tengah pada tahun 2005 diperkirakan mencapai 292 MtCO2e 1 yaitu

BAB 1. PENDAHULUAN. Kalimantan Tengah pada tahun 2005 diperkirakan mencapai 292 MtCO2e 1 yaitu 1 BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam skenario BAU (Business As Usual) perdagangan karbon di indonesia, Kalimantan Tengah akan menjadi kontributor signifikan emisi gas rumah kaca di Indonesia

Lebih terperinci

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Sulawesi Utara

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Sulawesi Utara Emisi bersih GRK Dugaan emisi bersih tahunan GRK dari penggunaan lahan lahan dan perubahan penggunaan lahan di hutan dan lahan gambut akibat ulah manusia selama 2001-2012. Hasil yang ada menunjukkan jumlah

Lebih terperinci

PUP (Petak Ukur Permanen) sebagai Perangkat Pengelolaan Hutan Produksi di Indonesia

PUP (Petak Ukur Permanen) sebagai Perangkat Pengelolaan Hutan Produksi di Indonesia PUP (Petak Ukur Permanen) sebagai Perangkat Pengelolaan Hutan Produksi di Indonesia Authors : Wahyu Catur Adinugroho*, Haruni Krisnawati*, Rinaldi Imanuddin* * Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan,

Lebih terperinci

ISSN : X Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan

ISSN : X Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan ISSN : 2085-787X Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan Volume 5 No. 8 Tahun 2011 Strategi Penurunan Emisi Gas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gas Rumah Kaca Gas Rumah Kaca (GRK) adalah gas-gas di atmosfer yang bertanggung jawab sebagai penyebab pemanasan global dan perubahan iklim. Gas-gas rumah kaca yang utama adalah

Lebih terperinci