BAB II LANDASAN TEORI. itu disebut sebagai unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik dan ekstrinsik
|
|
- Widya Tanuwidjaja
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Unsur Pembangun Novel Novel sebagai salah satu genre sastra tentunya memiliki unsur-unsur pembangun. Secara umum menurut Nurgiantoro (2010: 22-23), unsur pembangun itu disebut sebagai unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik dan ekstrinsik sebuah karya sastra tidak dapat dipisakhan begitu saja karena keduanya saling mempengaruhi. Unsur intrinsik terbentuk karena adanya pengaruh dari luar (ekstrinsik). Pengaruh dari luar ini berasal dari pengarang selaku penentu cerita. Asal-usul dan lingkungan pengarang sangat mempengaruhi karya sastra yang diciptakannya. Unsur intrinsik sebuah karya sastra terdiri atas tema, plot (alur), latar, penokohan, sudut pandang, gaya bahasa, dan amanat yang terkadung di dalamnya. Unsur ekstrinsik sebuah karya sastra terdiri atas subjektivitas individu pengarang, psikologi pengarang dan lingkungan pengarang Unsur Intrinsik a) Tema Tema menjadi menjadi dasar pengembangan dalam seluruh cerita yang dibangun, maka tema bersifat menjiwai seluruh bagian cerita itu. Menurut Staton (dalam Nurgiantoro 2010:25), mengartikan tema sebagai makna sebuah cerita yang secara khusus menerangkan sebagian besar unsurnya dengan cara yang sederhana. Tema menurutnya, kurang lebih dapat bersinonim dengan ide utama dan tujuan utama. 11
2 12 Tema sebuah karya sastra selalu berkaitan dengan makna dari kehidupan. Melalui karya sastra pengarang memberikan makna tertentu dalam kehidupan. Pengarang biasanya mengajak kita merasakan arti kehidupan yang sesungguhnya seperti kesedihan, kebahagiaan, dan lain-lain. Pengarang biasanya menganggap masalah itu penting, sehingga dia merasakan arti kehidupan yang sesungguhnya seperti kesedihan, kebahagiaan, dan lain-lain. Tema juga dapat dikatakan sebagai ide yang mendasari suatu cerita sehingga mempunyai peranan sebagai pangkal seorang pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang telah diciptakan. Sebelum pengarang melaksanakan proses kreatif penciptaan sebuah karya sastra, maka ia harus memamhami tema apa yang akan dipaparkan dalam ceritanya. Sementara pembaca baru akan memahami apa tema dari suatu cerita apabila mereka telah selesai memahami unsur-unsur signifikan yang menjadi media pemapar tersebut (Aminuddin, 2011: 91). b) Tokoh Menurut Nurgiantoro (2010: 166), tokoh cerita merupakan orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya sastra baik naratif maupun drama yang oleh pembaca kemudian ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa saja yang dilakukan dalam tindakan. Maka dalam sebuah karya sastra khususnya novel, tokoh sangat berpengaruh dalam menggambarkan sebuah cerita atau keadaan. Melalui tokoh yang diciptakan, pengarang mampu memberi nafas terhapap setiap karyanya. Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai amanat, pesan, moral, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan pengarang
3 13 kepada pembaca. Kehidupan tokoh cerita merupakan kehidupan dalam dunia fiksi, maka ia haruslah bersikap dan bertindak sesuai dengan tuntutan cerita dan perwatakan yang disandangnya. Dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah ceirta novel, dibagi menjadi dua yakni, tokoh utama dan tokoh tambahan (Aminudin, 2011:79). Tokoh utama merupakan tokoh yang paling banyak atau paling sering diceritakan di dalam novel, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Sedangkan tokoh tambahan merupakan tokoh-tokoh yang hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali saja dalam cerita, dan itu pun mungkin dalam porsi penceritaan yang terbatas dan relatif pendek. Aminudin (20122:80) juga mengungkapkan bahwa jika dilihat dari fungsi penampilan, sebuah tokoh dalam suatu cerita di dalam novel dibagi menjadi dua bagian. Bagian yang pertama adalah tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis ialah tokoh yang selalu membawa nilai-nilai kebaikan. Sedangkan tokoh antagonis adalah tokoh yang menyebabkan terjadinya sebuah konflik. Kehadiran tokoh antagonis inilah yang menyebabkan terjadinya peristiwa, konflik, dan ketegangan di dalam sebuah cerita. c) Alur Alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita (Staton, 2007:26). Aminuddin (2012:83) juga mengungkapkan bahwa pada umumnya, alur dalam sebuah karya fiksi merupakan rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh pelaku dalam suatu cerita.
4 14 Sebuah cerita tidak akan sepenuhnya dimengerti tanpa adanya pemahaman terhadap peristiwa-peristiwa yang mempertautkan alur. Alur dapat dikatakan sebuah unggung cerita, karena alur memiliki dua elemen yang sangat penting. Dua elemen tersebut yakni konflik dan klimaks (Staton, 2007:31). Keduanya merupakan unsur yang amat esensial dalam pengembangan sebuah plot atau alur cerita. Demikian pula dengan masalah kualitas dan kemenarikan sebuah cerita dalam novel. Konflik merupakan suatu dramatik yang mengacu pada pertarungan antara dua kekuatan yang seimbang dan menyiratkan adanya aksi dan reaksi. Dengan demikian dalam pandangan hidup yang normal, wajar, dan faktual, artinya bukan dalam cerita yang mengacu pada konotasi negatif atau sesuatu yang tidak menyenangkan. Itulah sebabnya orang lebih memilih menghindari konflik dan mengharapkan kehidupan yang tenang. Klimaks merupakan titik yang mempertemukan kekuatan-kekuatan konflik dan menentukan bagaimana oposisi tersebut dapat terseslesaikan. Klimaks juga merupakan suatu kondisi di mana konflik telah mencapai titik tertinggi, dan saat itu merupakan kondisi yang tidak dapat dihindari kejadiannya. Klimaks juga sangat menentukan arah perkembangan alur cerita. Dalam klimaks, ada pertemuan antara dua atau lebih hal yang dipertentangkan dan hal inilah yang menentukan bagaimana permasalahan atau konflik akan diselesaikan. d) Latar Secara sederhana, latar atau setting merupakan tempat terjadinya peristiwa baik yang berupa fisik, unsur tempat, waktu, dan ruang. Aminuddin (2011: 67) mengemukakan bahwa sebuah latar bukan hanya bersifat fisikal untuk membuat
5 15 suatu cerita menjadi logis, melainkan juga harus memiliki fungsi psikologis, sehingga suasana-suasana tertentu yang menggerakkan emosi atau aspek kejiwaan pembacanya. Menurut Wiyatmi (2006:40), latar dapat dibedakan menjadi tiga unsur pokok yakni, tempat, waktu, dan sosial. Ketiga unsur itu walau masing-masing menawarkan permasalahan yang bebeda dan dapat dibicarakan sendiri, namun pada kenyataannya ketiganya saling mempengaruhi satu dengna yang lain. Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam novel tersebut. Latar waktu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwaperistiwa yang diceritakan dalam novel. Masalah waktu tersebut juga dapat dihubungkan dengan waktu yang kaitannya dengan peristiwa sejarah misalnya. latar waktu yang menceritakan sejarah itulah yang digunakan pengarang untuk masuk ke dalam jalan cerita. Sedangkan latar sosial hubungannya dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat, yang kemudian dianalogikan di dalma sebuah novel. Latar sosial ini mencakup beberapa permasalahan yang cukup kompleks, yakni dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain yang tergolong spiritual. selain itu, latar sosial juga dapat menggambarkan status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah, menengah, atau atas Unsur Ekstrinsik Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang ada di luar karya sastra yang secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. Secara lebih khusus mempengaruhi bangunan cerita sebuah karya sastra,
6 16 namun tidak ikut menjadi bagian di dalamnya. Unsur ekstrinsik tersebut ikut menjadi bagian di dalamnya. Unsur ekstrinsik tersebut ikut berpengaruh terhadap totalitas sebuah karya sastra. Wellek dan werren (2013: ) menyebutkan ada empat faktor ekstrinsik yang saling berkaitan dalam karya sastra yakni: 1) Biografi pengarang: bahwa karya seorang pengarang tidak akan lepas dari pengarangnya. Karya-karya tersebut dapat ditelusuri melalui biografinya. 2) Psikologis (proses kreatif) adalah aktivitas psikologis pengarang pada waktu menciptakan karyanya terutama dalam penciptaan tokoh dan wataknya. 3) Sosiologis (kemasyarakatan) sosial budaya masyarakat diasumsikan bahwa cerita rekaan adalah potret atau cermin kehidupan masyarakat yaitu, profesi atau intuisi, problem hubungan sosial, adat istiadat antarhubungan manusia satu dengan lainnya, dan sebagainya. 2.2 Hubungan antara Filsafat dan Sastra Dalam hidup, sebenarnya dilingkupi oleh persoalan-persoalan filsafat. Seluruh ilmu pengetahuan, termasuk sastra, hampir tidak pernah lepas dari permasalahan filsafat. Filsafat merupakan ilmu yang menghendaki kearifan dalam menanggapi hidup ini, sedangkan sastra adalah alat (wahana) untuk mengajarkan kearifan hidup. Endraswara (2012: 8) mengungkapkan bahwa sastra merupakan sebuah filsafat hidup yang indah. Satra juga merupakan refleksi pemikiran hidup yang cerdas. Sastra pula yang akan menyatakan berbagai hal dengan sebenarnya, dengan bahasa kias yang khas. Adapun filsafat, adalah suatu
7 17 pemikiran tentang hidup. Filsafat juga sering bernuansa estetis, ketika menyajikan pilar-pilar kehidupan. Esensi antara filsafat dan sastra tertangkap oleh pemahaman kita bahwa unsur indah dan bijak memang inheren di dalamnya. Sastra dan filsafat dapat diolah untuk menemukan pragmatika dalam kehidupan. Fakta dan realitas kehidupan mungkin semakin terangkat lebih tinggi atas jasa nilai sastra dan filsafat. Seorang sastrawan ketika melihat realitas kehidupan yang kurang baik, maka tidak jarang mereka mengungkapkan kritik tajam dalam bentuk bahasa kias yang penuh estetis, dan melalui perenungan pemikiran, sehingga karya sastra tersebut menjadi terkait dengan etika kehidupan. Ketika sastra menyajikan pilihan etika hidup, maka sajian sastra sering berupa sentuhan-sentuhan filsafat. Hal ini tentu bertujuan agar para pembaca dapat tergerak untuk mengikuti keinginan pengarang. Para filsuf pun ketika mengajak manusia untuk memikirkan hidup, sering menyetir karya sastra. Bahkan ungkapan para filsuf hampir selalu dikemas secara estetis. Akibatnya, sekilas memang sulit dibedakan antara sastra dan filsafat (Endraswara, 2012:14). Dalam penelitian sastra, pembeda yang perlu kita ketahui adalah, jangan sampai ketika kita meneliti sastra, tetapi yang dilakukan adalah penelitian filsafat. Sebagai peneliti sastra, maka pengetahuan tentang filsafat sangat bermanfaat, tetapi kedudukan pengetahuan itu sekadar sebagai pengetahuan pembantu. Namun jika peneliti tidak menyadari kesalahannya, maka jadinya akan fatal. Sebab peniliti tidak hanya akan melihat kehidupan. kalau pun ia melihatnya, sesungguhnya yang ia saksikan itu sebenarnya hanyalah ide. Hal ini sejalan
8 18 dengan yang diungkapkan Endraswara (2012: 24), bahwa pengamat dan analisis sastra berusaha mengamati dan menganalisis kehidupan. Tetapi bukan kehidupan yang dia amati, melainkan ide. Sesungguhnya filsafat itu pun juga merupakan suatu cara untuk mengamati kehidupan, tetapi ia menggunkana caranya sendiri, yakni melalui asbtraksi. Sedangkan sastra melalui cara tanpa abstraksi. 2.3 Epistemologi Sebagai cabang ilmu filsafat, epistemologi bermaksud mengkaji dan mencoba menemukan ciri-ciri umum dan hakiki dari pengetahuan manusia. Epistemologi juga bermaksud secara kritis mengkaji pengandaian-pengandaian dan syarat-syarat logis yang mendasari dimungkinkannya pengetahuan serta objektivitasnya (Sudarminta, 2002: 18). Maka dapat dikatakan bahwa epistemologi adalah suatu disipin ilmu yang bersifat evaluatif, normatif, dan kritis. Dikatakan evaluatif karena bersifat menilai apakah suatu keyakinan, sikap, pernyataan pendapat, teori pengetahuan dapat dibenarkan, dijamin kebenarannya, atau bahkan memiliki dasar yang dapat dipertanggungjawabkan secara nalar. Normatif berarti menentukan norma atau tolok ukur kenalaran bagi kebenaran pengetahuan. Sedangkan kritis berarti banyak mempertanyakan dan menguji kenalaran cara maupun hasil kegiatan manusia mengetahui. Berdasarkan cara kerja atau metode pendekatan yang diambil terhadap gejala pengetahuan, maka epistemologi dapat dibedakan menjadi beberapa macam. Epistemologi yang mendekati gejala pengetahuan dengan bertitik tolak dari pangandaian metafisika tertentu disebut epistemologi metafisis. Berangkat dari suatu paham tertentu tentang kenyataan, kemudian membahas tentang bagaimana manusia mengetahui kenyataan tersebut. Epistemologi metafisis secara
9 19 kritis begitu saja mengandaikan bahwa kita dapat mengetahui kenyataan yang ada, dialami dan dipikirkan, serta hanya menyibukkan diri dengan uraian tentang seperti apa pengetahuan macam itu dan bagaimana diperoleh. Epistemologi yang kedua adalah epistemologi skeptis. Dalam epistemologi ini, seperti misalnya yang dikerjakan oleh Descartes, kita perlu membuktikan dulu apa yang dapat kita ketahui sebagai sungguh nyata atau benar-benar tak dapat diragukan lagi dan menganggap sebagai tidak nyata atau keliru segala sesuatu yang kebenarannya masih dapat diragukan. Kesulitan dengan metode pendekatan ini adalah apabila orang sudah masuk sarang skeptisisme dan konsisten dengan sikapnya, maka tidak mudah menemukan jalan keluar. Sama sekali meragukannya akan membuat seluruh penyelidikan tentang pengetahuan tidak mungkin dilakukan atau sia-sia. Epistemologi kritis merupakan macam epistemologi yang ketiga. Epstemologi ini tidak memprioritaskan metafisika atau epistemologi tertentu, melainkan berangkat dari asumsi, prosedur dan kesimpulan pemikiran akal sehat ataupun pemikiran ilmiah sebagaimana kita temukan dalam kehidupan, yang kemudian kita coba tanggapi secara kritis. Keyakinan-keyakinan dan pendapat yang ada kita jadikan data penyelidikan atau bahan refleksi kritis untuk kita uji kebenarannya di hadapan pengadilan nalar. Untuk pertama-tama berani mempertanyakan apa yang selama ini sudah diterima begitu saja tanpa dinalar atau tanpa dipertanggungjawabkan secara rasional, dan kemudian mencoba menemukan alasan yang sekurang-kurangnya masuk akal untuk penerimaan atau penolakannya, maka diperlukan sikap kritis (Sudarminta, 2002: 18-22). Berdasarkan teori epistemologi tersebut, maka hal ini sejalan dengan nafas
10 20 penelitian ini, yakni mengenai skeptisime tokoh Aku dalam novel Simple Miracles karya Ayu Utami. Teori tersebut dapat dijadikan sebagai acuan dalam menganalsis permasalahan yang ada dalam penelitian ini. 2.4 Skeptisisme Salah satu topik kajian epistemologi adalah penyelidikan tentang hakikat dan ruang lingkup pengetahuan manusia. Salah satu alasan pokok yang mendorong para filsuf menyelidiki hakikat dan ruang lingkup pengetahuan manusia adalah fakta bahwa adanya kekeliruan. Fakta ini di satu pihak dilihat sebagai suatu yang meresahkan, dan di lain pihak menimbulkan teka-teki. Dapat dikatakan meresahkan, karena bagaimana mungkin bahwa dalam hal-hal yang amat penting bagi hidup kita, meskipun kita sudah berusaha dengan sungguhsungguh untuk bekerja dengan teliti, kadang kala kita masih dapat keliru. Bahkan seorang peneliti yang telah dipandang ahli telah bekerja secara teliti dan hati-hati, serta telah mendasarkan diri pada bukti-bukti yang memadai pun dapat keliru. Mereka yang disebut pakar pun sering kali tidak bisa sepakat tentang mana yang benar dan mana yang salah. Bagaimana mungkin bahwa orang-orang yang cerdik, pandai dan terlatih berpikir canggih sering kali tidak hanya mempunyai pendapat yang berbeda tetapi tidak sesuai dan bahkan bertentangan satu sama lain. Mengingat hal tersbut, tidak mengherankan bahwa terhadap klaim kebenaran pengetahuan, orang yang bersikap kritis lalu cenderung mempertanyakan atau meragukannya. Meragukan klaim kebenaran atau menangguhkan persetujuan atau penolakan terhadapnya berarti sikap skeptis. Istilah skeptisisme berasal dari kata Yunani skeptomai yang secara harfiah pertama-tama berarti saya pikirkan dengan seksama atau saya lihat dengan
11 21 teliti. Kemudian dari situ diturunkan arti yang biasa dihubungkan dengan kata tersebut, yakni saya meragukan (Sudarminta, 2002:47). Descartes (2015:53) juga berpendapat bahwa untuk mengetahui pendapat yang sesungguhnya, maka kita harus lebih berpegang pada apa yang mereka lakukan daripada apa yang mereka katakan. Hal ini bukan saja karena hanya sedikit orang yang mau mengatakan apa yang mereka yakini, melainkan juga karena beberapa orang memang tidak mengetahui apa yang mereka yakini. Berdasarkan ungkapan di atas dapat dipahami bahwa skeptisme bukan menolak kebenaran, akan tetapi menolak menerima kebenaran tanpa adanya bukti dan fakta-fakta yang menyatakannya benar. Artinya tidak ada kreteria yang pasti tentang kebenaran terkecuali bila argumen yang dikemukakan itu valid. 2.5 Metode Skeptisisme Descartes Sudarminta (2002:22) mengungkapkan bahwa skeptisisme Descartes adalah skeptisisme metodis, yakni suatu strategi awal untuk meragukan segala sesuatu, justru dengan maksud agar dapat sampai pada kebenaran pengetahuan berdasarkan otoritas (keagamaan) sebagaimana biasa dilakukan pada abad pertengahan dan mendasarkan diri pada daya terang akal budi manusia. Pengetahuan tentang kebenaran pada teori aliran skeptisisme terbagi menjadi beberapa metode yang dikembangkan oleh Descrates, di antaranya: a. Tidak pernah menerima apapun sebagai benar kecuali jika kita tidak mengetahuainya secara jelas bahwa hal itu memang benar; artinya menghindari secara hati-hati penyimpulan terlalu cepat dan prasangka; dan tidak memasukkan apapun dalam pandangan kita kecuali apa yang tampil
12 22 amat jelas dan gamblang di dalam nalar saya, sehingga tidak akan ada kesempatan untuk meragukannya. b. Memilah satu per satu kesulitan yang akan kita telaah menjadi bagianbagian kecil sebanyak mungkin atau sejumlah yang diperlukan, untuk lebih memudahkan penyelesaiannya. c. Berpikir secara runtut, mulai dari objek-objek yang paling sederhana dan paling mudah dikenali, lalu meningkat setahap demi setahap sampai ke masalah yang paling rumit, dan bahkan dengan menata dalam urutan objekobjek yang secara alamiah tidak beraturan. d. Membuat perincian yang selengkap mungkin dan pemeriksaan yang demikian menyeluruh sampai saya yakin bahwa tidak ada yang terlupakan. (Descartes, 2015: 45-46). Jadi dalam metode yang diterapkan oleh Descrates, kebenaran diperoleh dengan sikap ragu. Semakin seseorang meragukan pernyataan atau pengetahuan yang mengandung kebenaran tidak serta-merta diterima namun diperlukan pengklasifikasian persoalan dari hal yang sederhana hingga batas maksimal (paling rumit), dari persoalan yang telah di dapat akan dilakukan pemecahan permasalahannya. Setelah didapat pemecahannya maka permasalahan tersebut diperiksa kembali hingga tidak ada celah (kekeliruan) sedikit pun. 2.6 Macam-macam Skeptisisme Menurut Sudarminta dalam bukunya Epistemologi Dasar (2002:48-49), skeptisisme terbagi menjadi beberapa macam di antaranya sebagai berikut.
13 23 1) Skeptisisme Mutlak atau Universal Skeptisisme mutlak atau universal merupakan bentuk skeptisisme yang secara mutlak mengingkari kemungkinan manusia untuk tahu dan untuk memberi dasar pembenaran bagi pengetahuan yang diyakininya. Skeptisisme mutlak dalam praktiknya memang jarag diikuti orang karena memang merupakan suatu posisi yang sulit dipertahankan. Posisi ini secara eksistensial bersifat kontradiktif dan berlawanan dengan fakta yang eviden (langsung tampak jelas dengan sendirinya). Bahkan, kaum skeptik di jaman Yunani kuno rupanya masih mengecualikan proposisi mengenai apa yang tampak atau langsung dialami dari lingkup keraguannya. Menurut Socrates (dalam Endraswara, 2012: 49), bahwa kaum skeptik atau sofis telah mengingkari pernyataannya sendiri. Dikarenakan dalam teorinya (secara eksplisit) mereka menegaskan kebenaran mengenai pernyataan tersebut. Namun dalam praktiknya atau secara implisit mereka mengingkarinya. Sehingga dapat dikatakan mereka ragu terhadap pernyataan yang telah mereka yakini. Memahami segala hal dalam prespektif keraguan tentu memunculkan banyak pertanyaan. Descartes (2015: 33) pun mengungkapkan bahwa ia ingin membedakan antara yang benar dan yang tidak benar, agar ia mempunyai pandangan yang jelas dalam melakukan tindakan dan mendapatkan kepastian dalam hidup ini. Suatu adat istiadat atau kebiasaan yang sudah mengakar, itu juga sebenarnya tidak menjamin sebuah kebenaran. Maka dari itu, kita harus belajar untuk tidak mempercayai hal-hal yang yang akan ditanamkan ke dalam diri kita hanya berdasarkan teladan dan kebiasaan semata. Lebih lanjut lagi Descartes (dalam Syaifulloh, 2013: 218) berpendapat bahwa jika manusia meragukan
14 24 (kebenaran) sesuatu, maka di saat bersamaan, ia akan menemukan sesuatu yang tidak diragukan. Sikap seperti ini juga digunakan utnuk meragukan kebenaran semua keyakinan, yang dengannya akan ditemukan sebuah kebenaran yang pasti. Ajaran mengenai pengetahuan obyektif itu tidak pernah ada juga diungkapkan Heraclites dan muridnya Cratylus. Keduanya berpendapat bahwa world was in such a state of flux. Kebenaran adalah tetap tentang segala sesuatu yang ada di dalamnya tidak bisa ditemukan, ia sama sekali tidak permanen. dengan itu, tidak ada lagi pengetahuan yang disepakati secara bersama. Semuanya hanya pandangan seseorang/individu saja. Gorgias mengungkapkan bahwa karena yang menilai segala sesuatu adalah manusia, maka sebenarnya pengetahuan itu tidak ada. Jika pun ada, maka itu tidak bisa dipaksakan kepada orang lain (Saifulloh, 2013:218). Dalam novel Simple Miracles rupanya terdapat beberapa hal yang terkait dengan jenis skeptisisme ini. Maka dari itu, mekanisme skeptis terhadap keberadaan Tuhan dan hantu serta segala hal yang bersifat metafisika, ini dapat dikaji lebih dalam lagi dengan menggunakan teori skeptisisme yang ada. 2) Skeptisisme Nisbi atau Partikular Merupakan bentuk skeptisisme yang secara menyeluruh tidak meragukan sesuatu hal. Namun hanya meragukan kemampuan manusia untuk mengetahui dengan pasti dan memberikan dasar pembenaran yang tidak diragukan tentang pengetahuan dalam bidang tertentu. Paham skeptisisme ini masih dianut oleh sebagian besar orang karena tidak bertentangan dengan kodrat manusia sebagai makhluk inteligensi (cerdas). Meskipun demikian manusia adalah makhluk Tuhan
15 25 yang mempunyai keterbatasan dalam menentukan kebenaran. Oleh karena itu, pengetahuan yang didapatnya, masih diperlukan penyelidikan secara lebih teliti untuk menghindari kesalahan yang dapat terjadi. Jenis skeptisisme ini juga dikembangkan oleh kaum skeptis akademik yang dibentuk oleh akademi Plato pada abad III SM. Menurut mereka, informasi terbaik yang bisa diambil hanyalah sebuah kemungkinan, maka hal tersebut juga harus dihukumi berdasarkan kemungkinan juga. Doktrin skeptisisme seperti ini juga diperkuat oleh David Hume yang menyatakan bahwa, asumsi yang pasti, seperti hubungan antara sebab dan akibat, hukum-hukum alam, eksistensi Tuhan dan jiwa, semuanya berada jauh dari kepastian. Hal itu disebabkan karena pengetahuan manusia tentang hal-hal di atas, yang kelihatannya mengandung unsur kepastian, ternyata berdasarkan pada pengamatan dan kebiasaan belaka, yang pada hakekatnya berlawanan dengan logika. Keterbatasan pengamatan dan kebiasaan manusia itulah yang menjadi penghalang untuk mencapai sebuah kepastian (Syaifulloh, 2013: 217). Syaifulloh (2013:217) juga mengungkapkan bahwa menurut Friedrich Nietzsche, Filosuf Jerman, pengetahuan sebagai aktivitas manusia, harus dijustifikasi berdasarakan pada peranannya untuk kehidupan dan bukan pada standar benar atau salah, karena menurut mereka standar untuk menilai sebuah ilmu pengetahuan itu tidak ada. pandangan seperti ini juga diikuti oleh seorang Filosuf Perancis, Jean Paul Sartre dan Filosuf Amerika, George Santayana. Menurutnya, semua keyakinan adalah sebagai manifestasi dari pengetahuan obyektif dan bersifat irasional. Maka dari sinilah terlihat bahwa obyektivitas sebuah pengetahuan itu telah mati.
16 26 Kaum skeptis rupanya selalu meragukan setiap klaim kebenaran pengetahuan, karena memiliki sikap tidak puas dan masih terus mencari kebenaran. Sikap tersebut didorong oleh menyebarnya rasa ketidaksepakatan yang tiada akhir terhadap isu-isu yang fundamental. Syaifulloh (2013: 216) mengungkapkan bahwa pada abad pertengahan, skeptisisme ini diartikan sebagai sebuah sikap ketidakpercayaan, khususnya dalam masalah agama, sehingga pada akhirnya, kaum skeptis disamakan dengan ateis. Jika dikaitkan antara teori dengan data penelitian yang ada, maka novel Simple Miracles ini mengandung banyak sekali keraguan-keraguan tentang ada istiadat, kebiasaan, kebudayaan, bahkan adanya Tuhan dan hantu. Namun, dalam jenis skeptisisme yang kedua ini, hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa yang diragukan bukanlah seluruh ilmu pengetahuan, melainkan meragukan kemampuan manusia utnuk tahu dengan pasti kebenaran tentang adanya Tuhan, hantu, adat, kebiasaan, bahkan sampai kepada hal-hal yang mistis.
BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat,
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sosiologi dan Sastra Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, sedangkan objek ilmu-ilmu kealaman adalah gejala alam. Masyarakat adalah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Karya sastra sebagai hasil pemikiran imajinatif, menceritakan segala
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra sebagai hasil pemikiran imajinatif, menceritakan segala permasalahan yang berasal dari kehidupan manusia. Permasalahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA. Nellasari Mokodenseho dan Dian Rahmasari. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Relevan Sebelumnya Dari beberapa penelusuran, tidak diperoleh kajian yang relevan sebelumnya dengan penelitian ini. Adapun penelitian yang hampir sama adalah penelitian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dari luapan emosional. Karya sastra tidak menyuguhkan ilmu pengetahuan dalam
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra adalah suatu kegiatan kreatif pada sebuah karya seni yang tertulis atau tercetak (Wellek 1990: 3). Sastra merupakan karya imajinatif yang tercipta dari luapan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kajian pustaka adalah paparan atau konsep-konsep yang mendukung pemecahan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kepustakaan Yang Relevan Dalam menyusun sebuah karya ilmiah sangat diperlukan kajian pustaka. Kajian pustaka adalah paparan atau konsep-konsep yang mendukung pemecahan masalah
Lebih terperinciBAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA
BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Penelitian ini melibatkan beberapa konsep, antara lain sebagai berikut: 2.1.1 Gambaran Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:435), gambaran
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI. Secara etimologis psikologi berasal dari bahasa Yunani Psyche dan logos.
7 BAB II LANDASAN TEORI E. Pengertian Psikologi Secara etimologis psikologi berasal dari bahasa Yunani Psyche dan logos. Psyche artinya jiwa dan logos berarti ilmu. Dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tentang kisah maupun kehidupan sehari-hari. Seseorang dapat menggali,
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra adalah hasil imajinasi manusia yang dapat menimbulkan kesan pada jiwa pembaca. Karya sastra merupakan ungkapan pikiran dan perasaan, baik tentang
Lebih terperinciBAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. pemikiran si peneliti karena menentukan penetapan variabel. Berdasarkan Kamus Besar
BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep adalah unsur penelitian yang amat mendasar dan menentukan arah pemikiran si peneliti karena menentukan penetapan variabel. Berdasarkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan hasil kreasi sastrawan melalui kontemplasi dan refleksi setelah menyaksikan berbagai fenomena kehidupan dalam lingkungan sosialnya. Fenomena
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. ekspresi dan kegiatan penciptaan. Karena hubungannya dengan ekspresi, maka
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra merupakan seni dan karya yang sangat berhubungan erat dengan ekspresi dan kegiatan penciptaan. Karena hubungannya dengan ekspresi, maka karya sastra
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Sastra merupakan ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman,
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra merupakan ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkrit yang membangkitkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial yang terdapat di
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial yang terdapat di sekitarnya.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Sastra sebagai cabang dari seni, yang keduanya unsur integral dari
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sastra sebagai cabang dari seni, yang keduanya unsur integral dari kebudayaan. Usianya sudah cukup tua. Kehadiran hampir bersamaan dengan adanya manusia. Karena ia diciptakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berarti di dalamnya bernuansakan suasana kejiwaan sang pengarang, baik
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra merupakan hasil ungkapan kejiwaan seorang pengarang, yang berarti di dalamnya bernuansakan suasana kejiwaan sang pengarang, baik suasana pikir maupun
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI. yang representatif dalam suatu alur atau suatu keadaan yang agak kacau atau kusut.
BAB II LANDASAN TEORI A. Konsep. 1. Pengertian Novel. Novel atau sering disebut sebagai roman adalah suatu cerita prosa yang fiktif dalam panjang yang tertentu, yang melukiskan para tokoh, gerak serta
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan hasil kreasi manusia yang indah, di dalamnya
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan hasil kreasi manusia yang indah, di dalamnya terdapat daya kreatif dan daya imajinasi. Kedua kemampuan tersebut sudah melekat pada jiwa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan seni yang bermediumkan bahasa dan dalam proses terciptanya melalui intensif, selektif, dan subjektif. Penciptaan suatu karya sastra bermula
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. menunjukkan sikap skeptis tokoh Aku. Pendekatan tersebut dapat digunakan
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu menggunakan pendekatan filsafat sastra. Data yang digunakan berupa Adapun data yang diambil dalam
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pengalaman pengarang. Karya sastra hadir bukan semata-mata sebagai sarana
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan bentuk realita dari hasil imajinasi dan pengalaman pengarang. Karya sastra hadir bukan semata-mata sebagai sarana ekspresi pengarang saja,
Lebih terperinciBAHAN PELATIHAN PROSA FIKSI
BAHAN PELATIHAN PROSA FIKSI Ma mur Saadie SASTRA GENRE SASTRA nonimajinatif - esai - kritik - biografi - otobiografi - sejarah - memoar - catatan harian Puisi imajinatif Prosa Fiksi Drama GENRE SASTRA
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Secara etimologis kata kesusastraan berasal dari kata su dan sastra. Su berarti
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara etimologis kata kesusastraan berasal dari kata su dan sastra. Su berarti baik dan sastra (dari bahasa Sansekerta) berarti tulisan atau karangan. Dari pengertian
Lebih terperinciETIKA & FILSAFAT KOMUNIKASI
ETIKA & FILSAFAT KOMUNIKASI Modul ke: Pokok Bahasan : PENGANTAR BIDANG FILSAFAT Fakultas Fakultas Ilmu Komunikasi Yogi Prima Muda, S.Pd, M.Ikom Program Studi (Marcomm) www.mercubuana.ac.id MENGAPA HARUS
Lebih terperinciMENU UTAMA UNSUR PROSA FIKSI PENGANTAR PROSA FIKSI MODERN
ENCEP KUSUMAH MENU UTAMA PENGANTAR PROSA FIKSI MODERN UNSUR PROSA FIKSI CERPEN NOVELET NOVEL GENRE SASTRA SASTRA nonimajinatif Puisi - esai - kritik - biografi - otobiografi - sejarah - memoar - catatan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. manusia tidak cukup dengan tumbuh dan berkembang akan tetapi. dilakukan dengan proses pendidikan. Manusia sebagai makhluk sosial
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan merupakan masalah yang sangat penting bagi manusia, karena pendidikan akan menentukan kelangsungan hidup manusia. Seorang manusia tidak cukup dengan tumbuh
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pengarang ingin menyampaikan nilai-nilai hidup kepada pembaca, karena pada
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Nurgiyantoro (2012:70) dalam penciptaan sebuah karya sastra, pengarang ingin menyampaikan nilai-nilai hidup kepada pembaca, karena pada hakekatnya pengarang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. memberikan atau menyampaikan suatu hal yang di ungkapkan dengan cara
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan wujud dari daya imajinasi pengarang yang dituangkan dalam sebuah wadah. Sastra sendiri adalah bentuk rekaman dari bahasa yang akan disampaikan
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI
10 BAB II LANDASAN TEORI Bab ini berisi tentang struktural sastra dan sosiologi sastra. Pendekatan struktural dilakukan untuk melihat keterjalinan unsur-unsur intrinsik yang membangun karya sastra itu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. karya seni yang memiliki kekhasan dan sekaligus sistematis. Sastra adalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya merupakan hasil kreasi sastrawan melalui kontemplasi dan refleksi setelah menyaksikan berbagai fenomena kehidupan dalam lingkungan sosialnya (Al- Ma ruf 2009:
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. penikmatnya. Karya sastra ditulis pada kurun waktu tertentu langsung berkaitan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra terbentuk atas dasar gambaran kehidupan masyarakat, karena dalam menciptakan karya sastra pengarang memadukan apa yang dialami dengan apa yang diketahui
Lebih terperinciRAGAM TULISAN KREATIF. Muhamad Husni Mubarok, S.Pd., M.IKom
RAGAM TULISAN KREATIF C Muhamad Husni Mubarok, S.Pd., M.IKom HAKIKAT MENULIS Menulis merupakan salah satu dari empat aspek keterampilan berbahasa. Menulis merupakan kemampuan menggunakan pola-pola bahasa
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Sastra merupakan tulisan yang bernilai estetik dengan kehidupan manusia sebagai
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sastra merupakan tulisan yang bernilai estetik dengan kehidupan manusia sebagai objeknya dan bahasa sebagai mediumnya. Menurut Esten (2000: 9), sastra merupakan pengungkapan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. imajinatif yang kemudian ditunjukkan dalam sebuah karya. Hasil imajinasi ini
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan proses kreatif seorang pengarang melalui daya imajinatif yang kemudian ditunjukkan dalam sebuah karya. Hasil imajinasi ini dapat berupa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. memberikan hiburan atau kesenangan juga sebagai penanaman nilai edukatif.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra dipakai untuk menyebutkan gejala budaya yang dapat dijumpai pada semua masyarakat global meskipun secara sosial, ekonomi dan keagamaan keberadaanya tidak merupakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tertentu. Kenyataan ini tidak dapat dipungkiri, bahwa sastra merupakan cerminan. nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat tertentu.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Melalui karya sastra dapat diketahui eksistensi kehidupan suatu masyarakat di suatu tempat pada suatu waktu meskipun hanya pada sisi-sisi tertentu. Kenyataan
Lebih terperinciII. LANDASAN TEORI. dan pengenalan yang tepat, pertimbangan, penilaian dan pernyataan yang
II. LANDASAN TEORI 2.1.Kemampuan Mengapresiasi Cerpen 2.1.1 Pengertian Apresiasi Secara leksikal, appreciation apresiasi mengacu pada pengertian pemahaman dan pengenalan yang tepat, pertimbangan, penilaian
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. pada jiwa pembaca. Karya sastra merupakan hasil dialog manusia dengan
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra merupakan hasil imajinasi manusia yang dapat menimbulkan kesan pada jiwa pembaca. Karya sastra merupakan hasil dialog manusia dengan problematika yang
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA BERFIKIR, DAN HIPOTESIS TINDAKAN
9 BAB II KAJIAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA BERFIKIR, DAN HIPOTESIS TINDAKAN Pada bab ini akan diuraikan empat hal pokok yaitu: (1) kajian pustaka, (2) landasan teori, (3) kerangka berpikir, dan
Lebih terperinciFilsafat Umum. Pengantar ke Alam Filsafat 2. Arie Suciyana S., S.Si., M.Si. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi
Filsafat Umum Modul ke: 02 Pengantar ke Alam Filsafat 2 Fakultas Psikologi Program Studi Psikologi Arie Suciyana S., S.Si., M.Si. Obyek Kajian Filsafat Obyek Materi: segala sesuatu yang ada atau yang mungkin
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Secara etimologi sastra berasal dari bahasa sanskerta, sas artinya mengajar,
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Secara etimologi sastra berasal dari bahasa sanskerta, sas artinya mengajar, memberi petunjuk atau intruksi, tra artinya alat atau sarana sehingga dapat disimpulkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra adalah salah satu bentuk karya seni yang pada dasarnya merupakan sarana menuangkan ide atau gagasan seorang pengarang. Kehidupan manusia dan pelbagai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan cermin dari kehidupan masyarakat dalam satu
1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Karya sastra merupakan cermin dari kehidupan masyarakat dalam satu zaman. Artinya, melalui karya sastra, kita dapat mengetahui bagaimana kehidupan masyarakat
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis kajian penelitian ini harus ada teori
BAB II LANDASAN TEORI Untuk mendeskripsikan dan menganalisis kajian penelitian ini harus ada teori pendukungnya antara lain; hakekat pendekatan struktural, pangertian novel, tema, amanat, tokoh dan penokohan,
Lebih terperinciBAB 2 LANDASAN TEORI. 9 Universitas Indonesia
BAB 2 LANDASAN TEORI Sebagaimana telah disinggung pada Bab 1 (hlm. 6), kehidupan masyarakat dapat mengilhami sastrawan dalam melahirkan sebuah karya. Dengan demikian, karya sastra dapat menampilkan gambaran
Lebih terperinciBAB II KAJIAN TEORI. bagaimana unsur cerita atau peristiwa dihadirkan oleh pengarang sehingga di dalam
BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Drama Sebagai Karya Fiksi Sastra sebagai salah satu cabang seni bacaan, tidak hanya cukup dianalisis dari segi kebahasaan, tetapi juga harus melalui studi khusus yang berhubungan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Karya sastra sebagai karya seni bersifat kreatif, artinya sebagai hasil ciptaan manusia
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Karya sastra sebagai karya seni bersifat kreatif, artinya sebagai hasil ciptaan manusia yang berupa karya bahasa. Dari zaman ke zaman sudah banyak orang
Lebih terperinciKEMAMPUAN MENULIS CERPEN BERDASARKAN PENGALAMAN SISWA DI SMP NEGERI 17 KOTA JAMBI
KEMAMPUAN MENULIS CERPEN BERDASARKAN PENGALAMAN SISWA DI SMP NEGERI 17 KOTA JAMBI Pada hakikatnya belajar bahasa adalah belajar berkomunikasi. Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia diarahkan untuk meningkatkan
Lebih terperinciMODUL BAHASA INDONESIA CERITA PENDEK
YAYASAN WIDYA BHAKTI SEKOLAH MENENGAH ATAS SANTA ANGELA TERAKREDITASI A Jl. Merdeka No. 24 Bandung 022. 4214714 Fax.022. 4222587 http//: www.smasantaangela.sch.id, e-mail : smaangela@yahoo.co.id 043 URS
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. 2.1 Tinjauan Pustaka Dewi Lestari adalah salah seorang sastrawan Indonesia yang cukup
BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka Dewi Lestari adalah salah seorang sastrawan Indonesia yang cukup diperhitungkan karya-karyanya dan dianggap sebagai pengarang produktif
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat di mana penulisnya hadir, tetapi ia juga ikut terlibat dalam pergolakanpergolakan
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra dengan masyarakat mempunyai hubungan yang cukup erat. Apalagi pada zaman modern seperti saat ini. Sastra bukan saja mempunyai hubungan yang erat dengan masyarakat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Karya sastra dapat dikatakan bahwa wujud dari perkembangan peradaban
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Karya sastra dapat dikatakan bahwa wujud dari perkembangan peradaban manusia sesuai dengan lingkungan karena pada dasarnya, karya sastra itu merupakan unsur
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni (Wellek dan Warren, 1990: 3). Karya sastra adalah suatu kegiatan kreatif, hasil kreasi pengarang. Ide
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Karya sastra merupakan kreativitas seseorang terhadap ide, pikiran, dan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra merupakan kreativitas seseorang terhadap ide, pikiran, dan perasaan yang dimilikinya. Karya sastra merupakan hasil imajinasi manusia yang mengambil kehidupan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Karya sastra merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia, selain memberikan hiburan juga sarat dengan nilai, baik nilai keindahan maupun nilai- nilai ajaran
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. teks yang isinya berbagai jenis, baik berupa ide, gagasan, pemikiran suatu tokoh
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Novel merupakan salah satu jenis media dimana penyampaianya berupa teks yang isinya berbagai jenis, baik berupa ide, gagasan, pemikiran suatu tokoh tertentu ataupun
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra bersumber dari kenyataan yang berupa fakta sosial bagi masyarakat sekaligus sebagai pembaca dapat
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra bersumber dari kenyataan yang berupa fakta sosial bagi masyarakat sekaligus sebagai pembaca dapat memberikan tanggapannya dalam membangun karya sastra.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah
digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan suatu karya yang lahir dari hasil perenungan pengarang terhadap realitas yang ada di masyarakat. Karya sastra dibentuk
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. maupun kehidupan sehari-hari. Seseorang dapat menggali, mengolah, dan
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra merupakan ungkapan pikiran dan perasaan, baik tentang kisah maupun kehidupan sehari-hari. Seseorang dapat menggali, mengolah, dan mengekspresikan gagasan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Universitas Darma Persada
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra atau kesusastraan adalah pengungkapan dari fakta artistik dan imajinatif sebagai perwujudan kehidupan manusia dan masyarakat melalui bahasa, sebagai
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka Kajian pustaka merupakan bahan acuan yang dipakai dalam penelitian sekaligus sebagai sumber ide untuk menggali pemikiran dan gagasan
Lebih terperinciBAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA
BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memenuhi hal-hal
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dari banyak karya sastra yang muncul, baik berupa novel, puisi, cerpen, dan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan karya sastra di Indonesia saat ini cukup pesat. Terbukti dari banyak karya sastra yang muncul, baik berupa novel, puisi, cerpen, dan drama. Hasil
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia adalah makhluk hidup ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dan dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu berupa akal, cipta, rasa,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang menciptakan karya sastra sebagai ide kreatifnya. Sebagai orang yang
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra tercipta sebagai reaksi dinamika sosial dan kultural yang terjadi dalam masyarakat. Terdapat struktur sosial yang melatarbelakangi seorang pengarang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. melalui ekspresi yang berupa tulisan yang menggunakan bahasa sebagai
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra merupakan hasil cipta atau karya manusia yang dapat dituangkan melalui ekspresi yang berupa tulisan yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Selain itu sastra
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA. Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari buku-buku pendukung yang relevan
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kepustakaan Yang Relevan Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari buku-buku pendukung yang relevan dengan judul skripsi, buku-buku yang digunakan dalam pengkajian ini adalah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Karya sastra diciptakan berdasarkan gagasan dan pandangan seorang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra diciptakan berdasarkan gagasan dan pandangan seorang pengarang terhadap lingkungan sosial budaya melalui media bahasa. Karya sastra ini hadir sebagai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. indah dan berusaha menyalurkan kebutuhan keindahan manusia, di samping itu
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif manusia dalam kehidupannya, dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Sastra seni kreatif menggunakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. adalah manusia dan kehidupan, yang menggunakan bahasa sebagai medium. Sebagai
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra merupakan bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupan, yang menggunakan bahasa sebagai medium. Sebagai seni kreatif
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan wujud dari pengabdian perasaan dan pikiran pengarang yang muncul ketika ia berhubungan dengan lingkungan sekitar. Sastra dianggap sebagai
Lebih terperinciBAB II KONSEP, LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa konsep, yaitu:
BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa konsep, yaitu: a. psikosastra b. kesepian c. frustasi d. kepribadian a. Psikologi Sastra
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Karya sastra adalah sebuah karya yang indah yang mempunyai banyak
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra adalah sebuah karya yang indah yang mempunyai banyak makna dan banyak aspek didalamnya yang dapat kita gali. Karya sastra lahir karena ada daya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Karya sastra tidak lahir dalam kekosongan budaya (Teew, 1991:
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra tidak lahir dalam kekosongan budaya (Teew, 1991: 11) seperti halnya budaya, sejarah dan kebudayaan sastra yang merupakan bagian dari ilmu humaniora.
Lebih terperinciKLASIFIKASI EMOSI PEREMPUAN YAN TERPISAH DARI RAGANYA DALAM NOVEL KOMA KARYA RACHMANIA ARUNITA (SEBUAH KAJIAN PSIKOLOGI)
KLASIFIKASI EMOSI PEREMPUAN YAN TERPISAH DARI RAGANYA DALAM NOVEL KOMA KARYA RACHMANIA ARUNITA (SEBUAH KAJIAN PSIKOLOGI) Disusun Oleh: JOANITA CITRA ISKANDAR - 13010113130115 FAKULTAS ILMU BUDAYA, UNIVERSITAS
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan sebuah karya fiksi yang berisi imajinasi seorang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra merupakan sebuah karya fiksi yang berisi imajinasi seorang pengarang dalam memaparkan berbagai permasalahan-permasalahan dan kejadian-kejadian dalam kehidupan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah
digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra merupakan suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya, dengan medium bahasa. Sebagai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan karena
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Bahasa digunakan oleh manusia untuk berkomunikasi dengan manusia lain. Bahasa mempunyai fungsi intelektual,
Lebih terperinciPara Filsuf [sebahagian kecil contoh] Oleh Benny Ridwan
Para Filsuf [sebahagian kecil contoh] Oleh Benny Ridwan 1 Socrates adalah filsuf Yunani. Ia sangat berpengaruh dan mengubah jalan pikiran filosofis barat melalui muridnya yang paling terkenal, Plato. Socrates
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut tersebar di daerah-daerah sehingga setiap daerah memiliki kebudayaan yang berbeda-beda.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Karya satra merupakan hasil dokumentasi sosial budaya di setiap daerah. Hal ini berdasarkan sebuah pandangan bahwa karya sastra mencatat kenyataan sosial budaya
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA. Kajian yang relevan dengan penelitian tentang novel Bumi Cinta karya
1 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Yang Relevan Kajian yang relevan dengan penelitian tentang novel Bumi Cinta karya Habiburrahman El Shirazy sesuai dengan tinjauan terhadap penelitian sebelumnya yaitu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Jepang juga dikenal sebagai negara penghasil karya sastra, baik itu karya sastra
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Jepang selain dikenal sebagai negara maju dalam bidang industri di Asia, Jepang juga dikenal sebagai negara penghasil karya sastra, baik itu karya sastra prosa,
Lebih terperinciBAB 2 LANDASAN TEORI. 12 Universitas Indonesia
BAB 2 LANDASAN TEORI Kehidupan sosial dapat mendorong lahirnya karya sastra. Pengarang dalam proses kreatif menulis dapat menyampaikan ide yang terinspirasi dari lingkungan sekitarnya. Kedua elemen tersebut
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI. berjudul Citra Perempuan dalam Novel Hayuri karya Maria Etty, penelitian ini
12 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Penelitian Sejenis Penelitian lain yang membahas tentang Citra Perempuan adalah penelitian yang pertama dilakukan oleh Fitri Yuliastuti (2005) dalam penelitian yang berjudul
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Sastra dalam keutuhan bentuknya menyentuh seluruh kehidupan. manusia. Karya sastra dalam bentuknya memuat berbagai aspek dimensi
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra dalam keutuhan bentuknya menyentuh seluruh kehidupan manusia. Karya sastra dalam bentuknya memuat berbagai aspek dimensi kehidupan manusia. Ia tidak
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. karya sastra yang bersifat imajinasi (fiksi) dan karya sastra yang bersifat non
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra berdasarkan sifatnya dibagi menjadi dua macam sifat yaitu, karya sastra yang bersifat imajinasi (fiksi) dan karya sastra yang bersifat non imajinasi
Lebih terperinciBAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. aspek-aspek kemasyarakatannya, baik yang berhubungan denga penciptanya, gambaran
BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep A. Sosiologi Sastra Ratna (2004:339) mengatakan, Sosiologi sastra adalah analisis karya sastra dalam kaitannya dengan manusia. Jadi, sosiologi
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. sudah banyak yang meneliti, diantaranya : unsur-unsur intrinsik dalam novel 鸿 三代中国女人的故事
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka Penelitian tentang tokoh utama dalam novel tentu sudah banyak diteliti. Berikut ini peneliti memaparkan mengenai penelitian-penelitian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. imajinatif peran sastrawan dan faktor-faktor yang melingkupi seorang sastrawan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra adalah karya kreatif dan imajinatif dengan fenomena hidup dan kehidupan manusia sebagai bahan bakunya. Sebagai karya yang kreatif dan imajinatif
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sastra adalah karya fiksi yang merupakan hasil kreasi berdasarkan luapan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra adalah karya fiksi yang merupakan hasil kreasi berdasarkan luapan emosi yang spontan yang mampu mengungkapkan aspek estetik baik yang berdasarkan aspek kebahasaan
Lebih terperinciBAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. diabstrakkan dari peristiwa konkret; gambaran mental dari objek atau apapun
BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep dan Landasan Teori 2.1.1 Konsep Konsep adalah rancangan atau buram surat; ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkret; gambaran
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. karya sastra tidak lahir dalam situasi kekosongan budaya, budaya tidak hanya. konvensi atau tradisi yang mengelilinginya.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra diciptakan oleh pengarang untuk dipahami dan dinikmati oleh pembaca pada khususnya dan oleh masyarakat pada umumnya. Hal-hal yang diungkap oleh
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. a. Latar Belakang Permasalahan
BAB I PENDAHULUAN a. Latar Belakang Permasalahan Jean Paul Sartre seorang filsuf eksistensialis dari Perancis mengatakan bahwa manusia dilahirkan begitu saja ke dalam dunia ini, dan ia harus segera menanggung
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan hasil imajinasi seseorang yang berasal dari pengalaman, pemikiran, perasaan yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan hasil imajinasi seseorang yang berasal dari pengalaman, pemikiran, perasaan yang dituangkan dalam bentuk bahasa dan dilukiskan dalam bentuk
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan termasuk salah satu dasar pengembangan karakter seseorang. Karakter merupakan sifat alami jiwa manusia yang telah melekat sejak lahir (Wibowo, 2013:
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan sastra berhubungan erat dengan masyarakatnya. Pernyataan tersebut sejalan dengan munculnya berbagai hasil karya sastra yang mengangkat tentang
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI Dalam bab ini peneliti akan memaparkan tentang peneliti penelitian sebelumnya, konsep dan landasan teori. Peneliti penelitian sebelumnya berisi tentang
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI. suatu karya seni yang berhubungan dengan ekspresi dan keindahan. Dengan kata
BAB II LANDASAN TEORI Seperti yang telah disebutkan dalam bab pendahuluan bahwa sastra adalah suatu karya seni yang berhubungan dengan ekspresi dan keindahan. Dengan kata lain, kegiatan sastra itu merupakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Karya sastra lahir karena adanya daya imajinasi yang di dalamnya terdapat ide, pikiran, dan perasaan seorang pengarang. Daya imajinasi inilah yang mampu membedakan karya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Banyak pelajaran tentang pengalaman hidup yang dapat menginspirasi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banyak pelajaran tentang pengalaman hidup yang dapat menginspirasi lahirnya sebuah karya sastra yang akhirnya dijadikan sebagai media untuk menyampaikan aspirasi, gagasan,
Lebih terperinci