BAB II. A. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT). Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan adalah kuasa yang diberikan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II. A. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT). Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan adalah kuasa yang diberikan"

Transkripsi

1 28 BAB II KEDUDUKAN HUKUM ATAS SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN KE-DUA (II) DAN BERIKUTNYA SEBAGAI PERPANJANGAN SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN PERTAMA (I) YANG TELAH BERAKHIR JANGKA WAKTU A. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT). Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan adalah kuasa yang diberikan oleh pemberi Hak Tanggungan sebagai pemberi kuasa kepada penerima kuasa khusus untuk membebankan suatu benda dengan Hak Tanggungan. 41 Penjelasan Umum angka 7 dan Penjelasan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan dinyatakan bahwa pemberian Hak Tanggungan wajib dilakukan sendiri oleh pemberi Hak Tanggungan dengan cara hadir di hadapan PPAT. Hanya apabila sesuatu sebab tidak dapat hadir sendiri di hadapan PPAT, ia wajib menunjuk pihak lain sebagai kuasanya, dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (disingkat SKMHT) yang berbentuk akta otentik. Pembuatan SKMHT selain oleh Notaris juga ditugaskan kepada PPAT, karena PPAT ini yang keberadaannya sampai wilayah kecamatan dalam rangka pelayanan di bidang pertanahan. Kewenangan PPAT membuat SKMHT selain tercantum dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan, juga berdasarkan Penjelasan Umum angka 7 Undang-Undang Hak Tanggungan yang antara lain menyatakan : a. PPAT adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta pemindahan hak atas tanah dan akta lain dalam rangka pembebanan hak atas tanah, yang bentuk aktanya hal Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Jaminan, Mandar Maju, Bandung, 2009, 28

2 29 ditetapkan, sebagai bukti dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai tanah yang terletak dalam daerah kerjanya masing-masing. Sebagai pejabat umum tersebut akta-akta yang dibuat PPAT merupakan akta otentik; b. Pembuatan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan selain kepada Notaris, ditugaskan juga kepada PPAT yang keberadaannya sampai pada wilayah kecamatan untuk memudahkan pelayanan kepada pihak pihak yang memerlukan. 42 Notaris berwenang membuat SKMHT untuk tanah-tanah di seluruh wilayah Indonesia, maka PPAT hanya boleh membuat SKMHT untuk tanah-tanah yang berada di dalam wilayah jabatannya terutama di tempat-tempat di mana tidak ada Notaris yang bertugas. Sepertinya tidak logis, kalau untuk SKMHT, kewenangan PPAT harus dibatasi sampai seluas wilayah kerjanya, karena kuasa itu pada umumnya nantinya tidak akan dilaksanakan untuk menandatangani APHT di hadapan PPAT lain yang wilayah kerjanya meliputi letak tanah. Pemberian kuasa tidak ada kaitannya dengan letak tanah, karena bukan merupakan transaksi tanah. Suatu kuasa justru sangat dibutuhkan kalau letak tanah berjauhan dengan tempat tinggal si pemilik. Kalau dekat, mungkin adanya kuasa tidak dibutuhkan atau pada umumnya kebutuhan itu tidak terlalu besar. 43 Terhadap obyek jaminan yang bukan merupakan pemilik dari debitur, maka pemilik tanah juga ikut menyetujui dan bertanda tangan pada perjanjian kredit sebagai penjamin yang menggunakan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan 42 Andrian Sutedi, Hukum Hak Tanggungan, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hal Satrio, Dalam Rachmadi Usman, Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal. 441

3 30 tersebut, karena sebagai penjamin maka yang bertanda tangan dalam SKMHT adalah penjamin tersebut. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan pada dasarnya tidak memuat perbuatan hukum yang lain baik berupa menjual, menyewakan obyek Hak Tanggungan atau memperpanjang hak atas tanah yang di atur dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan, sehingga dapat dikatakan bahwa Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan bukan merupakan jaminan, akan tetapi sebagai upaya awal bagi debitur untuk memberikan kepercayaan kepada pihak bank bahwa debitur mempunyai itikad baik dalam perjanjian kredit dengan memberikan kuasa kepada pihak bank untuk meningkatkan kedudukan tanah yang digunakan untuk agunan ke Akta Pemberian Hak Tanggungan. Perubahan dari Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan menjadi Akta Pemberian Hak Tanggungan, maka posisi agunan berubah menjadi jaminan, sehingga kreditur mempunyai hak untuk melakukan eksekusi atas tanah yang dijaminkan karena adanya sertipikat Hak Tanggungan yang mempunyai kekuatan eksekutorial. 1. Bentuk dan Isi Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Ketentuan bahwa untuk pembuatan SKMHT harus dengan akta otentik yang dibuat oleh Notaris ataupun oleh PPAT yang meliputi wilayah kerjanya. Selain harus dibuat dengan akta otentik mengenai bentuk dan isi SKMHT telah diseragamkan dengan blangko SKMHT sebagaimana yang telah diatur dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 Tentang

4 31 Perubahan atas Peraturan Menteri Negara Agaria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Kententuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah dalam Pasal 96 ayat (1). Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan selain harus berbentuk akta otentik serta sesuai dengan Peraturan tersebut, juga berisi kuasa untuk membuat/dibuatkan serta menandatangani Akta Pemberian Hak Tanggungan serta surat-surat lain yang diperlukan, mandaftarkan Hak Tanggungan tersebut, memberikan dan menyetujui syarat-syarat atau aturan-aturan serta janji-janji yang disetujui oleh Pemberi kuasa dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan. 2. Syarat-syarat Sahnya Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan. Pada asasnya pembebanan Hak Tanggungan wajib dilakukan sendiri oleh pemberi Hak Tanggungan, hanya apabila diperlukan yaitu dalam hal pemberi Hak Tanggungan tidak dapat hadir di hadapan PPAT, maka diperkenankan penggunaan SKMHT. Surat Kuasa tersebut harus diberikan langsung oleh pemberi Hak Tanggungan dan harus memenuhi persyaratan mengenai muatannya. Sahnya suatu SKMHT selain dari harus dibuat dengan akta notariil atau akta PPAT, menurut Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan harus pula memenuhi persyaratan SKMHT yang dibuat itu : a. Tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan lain daripada membebankan Hak Tanggungan; b. Tidak memuat kuasa substitusi;

5 32 c. Mencantumkan secara jelas obyek Hak Tanggungan, jumlah utang dan nama serta identitas krediturnya, nama dan identitas debitur apabila debitur bukan pemberi Hak Tanggungan. Menurut Penjelasan Pasal 15 ayat (1) Undang- Undang Hak Tanggungan, tidak dipenuhinya syarat ini mengakibatkan surat kuasa yang bersangkutan batal demi hukum, yang berarti bahwa surat kuasa yang bersangkutan tidak dapat digunakan sebagai dasar pembuatan Akta Pembuatan Hak Tanggungan. Selanjutnya di dalam juga dikemukakan bahwa PPAT wajib menolak permohonan untuk membuat Akta Pemberian Hak Tanggungan, apabila SKMHT tidak dibuat sendiri oleh pemberi Hak Tanggungan atau tidak memenuhi persyaratan tersebut di atas Penetapan Batas Waktu Berlakunya Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan. Berdasarkan Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Hak Tanggungan bahwa pada asasnya SKMHT terhadap tanah-tanah yang sudah terdaftar hanya berlaku 1 (satu) bulan dan wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan, kecuali untuk tanah-tanah yang belum terdaftar SKMHT berlaku 3 bulan dan wajib diikuti dengan pembuatan Pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (Pasal 15 ayat (4) Undang-Undang Hak Tanggungan). Adanya pembatasan jangka waktu berlakunya SKMHT, membuat sipenerima kuasa (kreditur) tidak bisa berpegang pada kuasa itu saja, tetapi terpaksa harus dalam 44 Remy Syahdeini, Hak Tanggungan Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok Dan Masalah Yang Dihadapi Oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan), Alumni, Bandung, 1999, hal.105

6 33 jangka waktu berlakunya kuasa tersebut, atas nama pemberi kuasa melaksanakan Akta Pemberian Hak Tanggungan. Jadi Hak Tanggungan, yang pada asasnya merupakan hak, dengan dibuatnya SKMHT, sesudah sampai batas waktu tertentu, berubah menjadi suatu kewajiban. 45 Ketentuan batas waktu dalam SKMHT tersebut dan dalam rangka pelaksanaan pembangunan serta mengingat kepentingan golongan ekonomi lemah, maka ketentuan-ketentuan tersebut tidak berlaku terhadap kredit-kredit tertentu, sebagaimana yang telah di atur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 4 Tahun 1996 Tentang Penetapan Batas Waktu SKMHT untuk menjamin pelunasan kredit-kredit tertentu. B. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) Demi Terwujudnya Kepastian Hukum Pengaturan Surat Kuasa Memasang Hipotik yang diatur dalam KUHPerdata tidak menentukan adanya batas waktu terhadap surat kuasa memasang hipotik tersebut menimbulkan suatu ketidak pastian bagi kreditur yang hanya memegang surat kuasa memasang hipotik untuk meningkatkan menjadi akta hipotik. Tidak adanya batas waktu inilah yang menimbulkan tidak adanya kepastian hukum bagi kreditur, sehingga di dalam praktek pada umumnya perbankan tidak langsung mendaftarkan Surat Kuasa Memasang Hipotik tersebut, tetapi pada saat adanya gelagat bahwa debitur akan melakukan wanprestasi, maka ditingkatkannya ke akta 45 Satrio, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan Buku 2, Citra Aditya, Bandung, 1998, hal.196.

7 34 hipotik. Pengaturan seperti itulah yang melahirkan kuranga adanya kepastian hukum, padahal kepastian hukum sebagai salah satu sendi utama dari aturan perundangan disamping aspek keadilan, memiliki kaitan erat dengan soal efisien yang selalu dijadikan acuan oleh kalangan pelaku ekonomi yang seringkali menggunakan jasa hukum dalam perbagai transaksinya. 46 Sehubungan dengan hal tersebut, maka patut mengingat seperti yang dikatakan oleh seorang filsuf hukum mencari hakekat daripada hukum, dia ingin mengetahui apa yang ada di belakang hukum, mencari apa yang tersembunyi di dalam hukum, dia menyelidiki kaidah-kaidah hukum sebagai pertimbangan nilai, dia memberi penjelasan mengenai nilai-nilai, dasar-dasar hukum sampai pada dasar-dasarnya filsafat yang terakhir. Ia berusaha untuk mencapai akarnya dari hukum. 47 Sudikno Mertokusumo 48, sebagaimana dikutip oleh Herowati Poesoko bahwa telaah terhadap prinsip hukum atau asas hukum merupakan unsur yang penting dan pokok dari peraturan hukum, bahkan asas hukum merupakan jantungnya peraturan hukum. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) tidak lepas dari histori hukum jaminan, dalam hal ini tentang Surat Kuasa Memasang Hipotik yang diatur dalam KUHPerdata. maka pembentuk Undang-Undang Hak Tanggungan 46 Herowati Poesoko, Parate Executie Obyek Hak Tanggungan (Inkonsistensi, Konflik Norma Dan Kesesatan Penalaran Dalam UUHT), laksbang PRESSindo, Yogyakarta, 2008, hal Soetiksno, Filsafat Hukum (bagian 1), Cetakan Kesembilan, Pradnya Pramita, Jakarta, 2002, hal Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Cetakan Ketiga, Liberty, yogyakarta, 1991, hal 32

8 35 menetapkan batas waktu SKMHT sebagaimana yang diatur dalam Pasal 15 ayat (3) dan (4) Undang-Undang Hak Tanggungan menentukan sebagai berikut: (3) Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan mengenai hak atas tanah yang sudah terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sesudah diberikan. (4) Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan mengenai hak atas tanah yang belum terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan selambaat-lambatnya 3 (tiga) bulan sesudah diberikan. Ketentuan ini merupakan suatu perwujudan pemberian kepastian hukum, yakni berdasarkan Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Hak Tanggungan bahwa pada asasnya SKMHT terhadap tanah-tanah yang sudah terdaftar hanya berlaku 1 (satu) bulan dan wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan, kecuali untuk tanah-tanah yang belum terdaftar SKMHT berlaku 3 bulan dan wajib diikuti dengan pembuatan Pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (Pasal 15 ayat (4) Undang-Undang Hak Tanggungan). Dengan adanya pembatasan jangka waktu berlakunya SKMHT, maka si penerima kuasa (kreditur) tidak bisa berpegang pada kuasa itu saja, tetapi terpaksa harus dalam jangka waktu berlakunya kuasa tersebut, atas nama pemberi kuasa melaksanakan Akta Pemberian Hak Tanggungan. Jadi Hak Tanggungan, yang pada asasnya merupakan hak, dengan dibuatnya SKMHT, sesudah sampai batas waktu tertentu, berubah menjadi suatu kewajiban. 49 Kewajiban adanya SKMHT untuk ditindaklanjuti dengan Akta Pemberian Hak Tanggungan dalam batas waktu yang telah ditentukan dalam Pasal 15 ayat (3) 49 Satrio, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan Buku 2, Citra Aditya, Bandung, 1998, hal.196.

9 36 dan (4) tersebut tidak dilaksanakan, maka akan mengakibatkan SKMHT tersebut batal demi hukum maksudnya surat kuasa yang bersangkutan tidak dapat digunakan sebagai dasar pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan. 50 Kewajiban SKMHT untuk diikuti dengan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang tentunya juga akan ditingkatkan ke pendaftaran Hak Tanggungan untuk memenuhi asas publisitas merupakan suatu perkembangan dalam hukum jaminan, juga melambangkan bahwa kreditur yang pada awalnya hanya sebagai pemegang SKMHT yang ditindak lanjuti dengan Pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan serta ditindak lanjuti dengan pendaftaran Hak Tanggungan, akan mendapatkan perlindungan serta kepastian hukum bahwa tanah yang dijaminkan oleh pemberi jaminan kepada pemegang jaminan mempunyai kekuatan mengikat bagi para pihak. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh Andrian Sutedi. 51 Bahwa ketentuan SKMHT dalam Undang-Undang Hak Tanggungan merupakan suatu penegasan agar pemberian Hak Tanggungan benar-benar dilaksanakan, sehingga dapat memberikan kepastian hukum baik bagi pemegang maupun bagi pemberi Hak Tanggungan. Wujud dari kepastian hukum disini adalah telah terpenuhinya asas spesialitas dan publisitas terhadap pembebanan Hak Tanggungan secara nyata tersebut, sehingga bagi kreditur mempunyai hak eksekutorial terhadap benda jaminan tersebut, begitu juga terhadap debitur telah adanya kepastian hak atas 50 Penjelasan Pasal 15 Undang-Undang Hak Tanggungan. 51 Andrian Sutedi, Hukum Hak Jaminan, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hal 63.

10 37 tanah yang telah dijaminkan. C. Penerapan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT). Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Negara Agaria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Kententuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, dimana dalam peraturan ini ditetapkan pembuatan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan sesuai bentuk yang ditetapkan oleh Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional tersebut, yang secara tegas dimulai tanggal 2 Januari Sebelum berlakunya Undang-Undang Hak Tanggungan, penggunaan surat kuasa dalam membebankan hipotik seringkali dipergunakan untuk menunda pembebanan hipotik. Sesuai Pasal 24 ayat (3) Undang-Undang Hak Tanggungan, Surat Kuasa Membebankan Hipotik yang dibuat sebelum berlakunya Undang-Undang Hak Tanggungan, dapat digunakan sebagai Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) dalam waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal 9 April Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT), yang dibuat berdasarkan surat kuasa harus tetap memenuhi ketentuan Undang-Undang Hak Tanggungan. Pada dasarnya pembebanan hak tanggungan wajib dilakukan sendiri oleh pemberi hak tanggungan dan hadir di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) apabila benar-benar diperlukan, yaitu karena suatu sebab pemberi hak tanggungan

11 38 tidak dapat hadir dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), diperkenankan penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) dengan cara menunjuk pihak lain sebagai kuasanya. Ketidakhadiran pemberi hak tanggungan di hadapan PPAT pada saat pembuatan APHT merupakan alasan yang memperkenankan pemberi hak tanggungan untuk memperbuat atau mempergunakan SKMHT, oleh karena itu Pasal 15 ayat (1) UUHT menegaskan bahwa surat kuasa dimaksud harus bersifat khusus dan otentik yang harus dibuat di hadapan Notaris atau PPAT. 52 Dengan demikian substansi SKMHT adalah pemberian kuasa dari satu objek hukum (orang/badan hukum) kepada subjek hukum (orang/badan hukum) lainnya (penerima kuasa) untuk melakukan satu urusan tertentu. Berkaitan dengan hal tersebut maka perlu diperhatikan juga pengaturan pemberian kuasa tersebut menurut KUHPerdata yang memberikan dasar umum terhadap semua bentuk pemberian kuasa. Pemberian kuasa, diatur dalam KUHPerdata Pasal 1792 sampai dengan Pasal Lebih jauh pemberian kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1972 KUHPerdata, berbunyi Pemberian Kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seorang memberikan kekuasaan atau wewenang kepada orang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan. Aspek yang perlu diperhatikan dari batasan tersebut di atas bahwa pemberian kuasa harus berupaya menyelenggarakan suatu urusan dalam arti melakukan suatu perbuatan hukum terbuka yang akan melahirkan akibat hukum tertentu. Aspek 52 Ketidakhadiran disini diluar makna ketidakhadiran pada Pasal 463 KUH Perdata.

12 39 lainnya dari pembatasan pemberian kuasa di atas yaitu implisit adanya suatu perbuatan perwakilan, hal dicirikan dari kalimat untuk atas namanya, yang berarti adanya seseorang yang mewakili orang lain dalam melakukan suatu perbuatan hukum tertentu. Apa yang dilakukan itu adalah atas tanggungan si pemberi kuasa, dan segala hak/kewajiban yang timbul dari perbuatan yang dilakukannya itu menjadi hak dan kewajiban orang yang memberi kuasa. 53 Dalam hal seseorang kuasa menerima kuasa dari Pemberi Kuasa hanya dalam hubungan intern antara Pemberi Kuasa dan Penerima Kuasa, di mana penerima kuasa tidak berhak mewakili Pemberi Kuasa untuk melakukan hubungan dengan pihak ketiga, maka perjanjian kuasa ini tidak melahirkan suatu perwakilan atau dengan kata lain bahwa penerima kuasa dapat mewakili Pemberi Kuasa untuk melakukan suatu perbuatan hukum tertentu untuk dan atas nama Pemberi Kuasa. Substansi SKMHT merupakan pemberian kuasa yang sesuai dengan pengertian kuasa tersebut di atas, yaitu untuk melakukan atau menyelenggarakan satu urusan tertentu, dalam hal ini, yaitu membebankan hak tanggungan atau hanya khusus satu perbuatan untuk membebankan hak tanggungan saja ke dalam bentuk APHT (Pasal 15 huruf b UUHT). Sedangkan dalam hal pendaftarannya tidak diperjanjikan dalam SKMHT, karena setelah terbitnya APHT, maka menjadi kewenangan dari pemegang hak tanggungan (kreditur) yang disebutkan dalam APHT tersebut untuk melakukan pendaftarannya di Kantor Pertanahan. Jadi Kantor Pertanahan memproses pendaftaran hak tanggungan hanya berdasarkan APHT tersebut. Memang SKMHT 53 R. Subekti, Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1982, hal. 141.

13 40 masih disertakan dalam pendaftaran APHT tersebut pada Kantor Pertanahan tetapi itu hanya untuk melihat dasar terjadinya APHT tersebut. Pengertian kuasa secara khusus yang terdapat dalam Pasal 1795 KUH Perdata yaitu hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih. Kemudian untuk dapat disebut sebagai bentuk khuasa khusus di depan Pengadilan, maka kuasa tersebut harus disempurnakan terlebih dahulu dengan syarat-syarat dalam Pasal 123 HIR, yang di dalamnya adanya ketentuan cara, bentuk dan isi pemberian kuasa, kewajiban penerima dan pemberi kuasa, serta ketentuan tentang berakhirnya kuasa yang diberikan tersebut kepada penerima kuasa. Demikian juga halnya dalam SKMHT yang diatur dalam UUHT juga mengatur tentang hal tersebut. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang merupakan kewenangan dari Notaris baik itu Notaris yang sudah PPAT maupun Notaris yang belum PPAT ataupun PPAT dalam pembuatan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan harus mengikuti kaedah-kaedah yang berlaku. Hal ini disebabkan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan merupakan Akta Otentik. Sehingga Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) wajib menolak permohonan untuk membuat Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) apabila Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) tidak dibuat sendiri oleh pemberi Hak Tanggungan, atau tidak memenuhi persyaratan sebagaimana ditentukan dalam akta yang diatur dalam Undang-Undang Jabatan Notaris. Dalam hal Akta Pemberian Hak Pemberian Hak Tanggungan (APHT) dibuat berdasarkan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT), maka pejabat pelaksana di dalam membuatnya harus mencermati terlebih dahulu mengenai kondisi

14 41 Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yaitu baik mengenai batas waktu berlakunya, kewenangan pejabat pelaksananya, dan formalitas pembuatan akta. Dapat dikatakan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan wajib dibuat dengan akta otentik yang memuat kuasa untuk membebankan hak tanggungan. Bagi sahnya suatu Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) selain dari harus dibuat dengan akta Notaris atau akta PPAT, menurut Pasal 15 ayat (1) Undang- Undang Hak Tanggungan harus pula dipenuhi persyaratan dalam pembuatan SKMHT sebagaimana disebutkan diatas. Kejelasan mengenai unsur-unsur pokok SKMHT dalam pembebanan Hak Tanggungan sangat diperlukan untuk kepentingan, kepastian dan perlindungan, baik kepada penerima maupun pemberi kuasa. Ini berarti Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) adalah suatu surat kuasa yang benar-benar khusus, hanya terbatas untuk memberikan atau membebankan Hak Tanggungan semata-mata. Dalam hal Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) telah memenuhi syarat formal dan syarat substansi (materiil), maka dalam Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Hak Tanggungan menyatakan bahwa, kuasa untuk membebankan Hak Tanggungan tidak dapat ditarik kembali atau tidak dapat berakhir oleh sebab apapun juga kecuali karena kuasa tersebut telah dilaksanakan atau karena telah habis jangka waktunya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan (4). D. Kedudukan Hukum Atas Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Ke- Dua (II) Dan Berikutnya Sebagai Perpanjangan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Pertama (I) Yang Telah Berakhir Jangka Waktu. Dari hasil wawamcara dari beberapa Notaris dan atau Notaris /PPAT di Medan dapat disimpulkan bahwa Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan

15 42 (SKMHT) Ke-II dan seterusnya (lanjutan) sering dilakukan akan tetapi penandatangganan SKMHT ke-ii dan seterusnya dilakukan pada saat para pihak (baik Kreditor maupun Debitur) datang dihadapan Notaris. Biasanya penandatangganan dilakukan pada waktu SKMHT pertama berakhir ataupun sebelum berakhir dan ada dilakukan pada lewat waktu SKMHT pertama berakhir. Akan tetapi dari Studi Dokumen ada beberapa SKMHT ke II dan seterusnya (lanjutan) ditandatanggani pada saat penandatanggani SKMHT pertama kali atau sering disebut dengan SKMHT cadangan. SKMHT cadangan digunakan pada saat SKMHT Pertama berakhir dan dilanjuti dengan SKMHT cadangan dengan dinomori dan ditanggali pada saat SKMHT pertama berakhir tanpa dihadiri para pihak. Dan ada juga penandatangganan SKMHT dilakukan dimana salah satu pihak yakni Debitur yang hadir, sedangkan pihak Kreditur menandatanggani menyusul. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) yang dibuat oleh Notaris maupun Notaris/PPAT merupakan akta otentik yang dibuat untuk mewujudkan kepastian hukum dalam hukum jaminan. Karena Surat Kuasa Membebanakan Hak Tanggungan merupakan dasar dalam pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang akan didaftarkan ke Badan Pertanahan setempat untuk dipasang Hak Tanggungan. Pemasangan Hak Tanggungan terhadap jaminan Debitur kepada Kreditur mewujudkan kepastian hukum terhadap kreditur itu sendiri. Sebab dengan adanya Sertipikat Hak Tanggungan yang merupakan hasil proses

16 43 pendaftaran Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) di Badan Pertanahan setempat menimbulakan hak priveren dari kreditur sendiri. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) sebagai akta otentik mempunyai pembuktian yang sempurna. Kesempurnaan akta Notaris sebagai alat bukti, maka akta tersebut harus dilihat apa adanya, tidak perlu dinilai atau ditafsirkan lain. Sebagai alat bukti akta otentik harus memenuhi rumusan mengenai sahnya suatu perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata, dan secara materil mengikat para pihak yang membuatnya (Pasal 1338 KUHPerdata) sebagai suatu perjanjian yang harus ditepati oleh para pihak (pacta sunt servanda). Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Akta yang dibuat dihadapan Notaris harus memenuhi sebagaimana yang telah ditentukan dalam Pasal 38 UUJN dan Peraturan Jabatan Notaris (PJN). Di dalam Pasal 38 UUJN ayat (1) huruf a dan b mengenai awal atau kepala akta dan badan akta dan dalam PJN kepala akta hanya memuat keterangan-keterangan atau yang menyebutkan tempat kedudukan Notaris dan nama-nama para pihak yang datang atau menghadap Notaris, dan dalam Pasal 38 ayat (2) UUJN kepala akta memuat judul akta, nomor akta, jam, hari, tanggal, bulan dan tahun dan nama lengkap dan tempat kedudukan Notaris. Dan juga Notaris dalam menjalankan jabatannya wajib bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum (Pasal 16 ayat (1) huruf a). Hal ini sesuai dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan sebagaimana diatur dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Perubahan Peraturan Menteri Negara Agaria

17 44 /Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah Pasal 96 ayat (1) mengenai bentuk Akta dan pembuatan SKMHT sehingga dapat diketahui bahwa hanya ada satu saja bentuk SKMHT, baik yang dibuat oleh PPAT maupun oleh notaris. Dalam bentuk SKMHT yang diatur dalam peraturan tersebut terlihat bahwa bentuk dari SKMHT tersebut mengikuti kaedah-kaedah yang belaku dalam Akta yang dibuat oleh Notaris baik yang diatur dalam Undang-Undang Jabatan Notaris maupun dalam bentuk PJN. Sehingga SKMHT yang dibuat oleh Notaris maupun Notaris yang sudah PPAT harus mengikuti aturan yang telah diatur dalam Undang-undang. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Philipus M. Hadjon, bahwa syarat akta otentik yaitu : Bentuk yang ditentukan oleh undang-undang (bentuknya baku), 2. Dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum. Jadi Dalam pembuat Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) yang dibuat oleh Notaris harus memenuhi PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012, Undang-Undang Jabatan Notaris dan Peraturan Jabatan Notaris. Hal ini juga berlaku pada Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan lanjutan (II dan berikutnya) sebagai perpanjangan SKMHT pertama yang telah berakhir jangka waktunya. SKMHT perpanjangan (II dan berikutnya) harus 54 Philipus M. Hadjon, Philipus M. Hadjon, Formulir Pendaftaran Tanah Bukan Akta Otentik, Surabaya Post, 31 Januari 2001, hal. 3.

18 45 ditandatangani dihadapan Pejabat dalam hal ini Notaris dan atau Notaris/PPAT yang dihadiri oleh para Kreditur dan Debitur dan atau pemilik jaminan serta dihadiri oleh saksi-saksi. Dalam pembuatan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Tersebut akan dinomori dan ditanggali sesuai dengan tanggal kapan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) di tandatanggani oleh para pihak, notaris dan juga saksi-saksi. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang tidak dibuat sebagaimana diatur dalam PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012, Undang-Undang Jabatan Notaris dan Peraturan Jabatan Notaris, maka Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) akan menjadi akta dibawah tangan dan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 48 ayat (3) UUJN. 55 Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan merupakan Akta otentik yang dibuat oleh notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, jika seluruh ketentuan prosedur atau tata cara pembuatan akta dipenuhi. Jika ada prosedur yang tidak dipenuhi, dan prosedur yang tidak dipenuhi tersebut dapat dibuktikan, maka akta tersebut dengan proses pengadilan dapat dinyatakan sebagai akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan. Jika sudah berkedudukan seperti itu, maka nilai pembuktiannya diserahkan kepada Hakim. 55 Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengakibatkan suatu Akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan dan dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris.

19 46 Akta yang dibuat di hadapan Notaris berkedudukan sebagai akta otentik menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam UUJN, hal ini sejalan dengan pendapat Philipus M. Hadjon, bahwa syarat akta otentik yaitu : Di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang (bentuknya baku), 2. Dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum. Pasal 1868 KUHPerdata merupakan sumber untuk otensitas akta Notaris juga merupakan dasar legalitas eksistensi akta Notaris, dengan syarat-syarat sebagai berikut : 1. Akta itu harus dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan) seorang pejabat umum, 2. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, 3. Pejabat umum oleh dan atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta tersebut. Menurut C.A.Kraan akta otentik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : 1. Suatu tulisan, dengan sengaja dibuat semata-mata untuk dijadikan bukti atau suatu bukti dari keadaan sebagaimana disebutkan di dalam tulisan dibuat dan dinyatakan oleh pejabat yang berwenang. Tulisan tersebut turut ditandatangani oleh atau hanya ditandatangani oleh pejabat yang bersangkutan saja. 2. Suatu tulisan sampai ada bukti sebaliknya, dianggap berasal dari pejabat yang berwenang. 56 Philipus M. Hadjon, Loc.cit.

20 47 3. Ketentuan perundang-undangan yang harus dipenuhi, ketentuan tersebut mengatur tata cara pembuatannya (sekurang-kurangnya memuat ketentuanketentuan mengenai tanggal, tempat dibuatnya akta suatu tulisan, nama dan kedudukan/jabatan pejabat yang membuatnya dan data dimana dapat diketahui mengenai hal-hal tersebut). 4. Seorang pejabat yang diangkat oleh negara dan mempunyai sifat dan pekerjaan yang mandiri serta tidak memihak dalam menjalankan jabatannya. 5. Pernyataan dari fakta atau tindakan yang disebutkan oleh pejabat adalah hubungan hukum di dalam bidang hukum privat. Apabila meninjau pada prinsip-prinsip kehati-hatian sebelum menyalurkan dan memberikan kredit kepada calon kreditur, maka sekurang-kurangnya terdapat lima (5) prinsip kehati-hatian yaitu : 1. Watak (character). 2. Kemampuan (capacity). 3. Modal (capital). 4. Jaminan (collateral). 5. Kondisi ekonomi (condition of economy). Collateral sendiri meruapakan jaminan kredit yang mempertinggi tingkat keyakinan bank bahwa debitur dengan bisnisnya mampu melunasi kredit, dimana agunan ini berupa jaminan pokok maupun jaminan tambahan yang berfungsi untuk

21 48 menjamin pelunasan utang jika ternyata dikemudian hari debitur tidak melunasi utangnya. Debitur menjanjikan akan menyerahkan sejumlah hartanya untuk pelunasan utang menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku, apabila dalam waktu yang ditentukan terjadi kemacetan pembayaran utangnya. Jaminan ini yang diikat dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dapat menjamin hutang si Debitur. Akan tetapi disebabkan kelemahan dari Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan maka hak Kreditur tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Sehingga sebahagian notaris menandatangani SKMHT lanjutan yang tidak sesuai denagan aturan yang berlaku PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012, Undang-Undang Jabatan Notaris dan Peraturan Jabatan Notaris agar pihak kreditur dapat melaksanakan haknya atas jaminan yang diberikan Debitur sehingga hal ini membuat kepastian ekonomi dalam bidang pembiayaan perbankan, akan tetapi ini melangar kepastian hukum dalam sebagaimana dalam teori hukum positif Menurut ajaran Yuridis Dogmatis bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau kemanfaaan, melainkan semata-mata untuk kepastian. Jadi Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan lanjutan (Ke-II dan berikutnya) yang tidak sesuai denagan aturan yang berlaku PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012, Undang-Undang Jabatan Notaris dan Peraturan Jabatan Notaris dengan alasan apapun tidak dapat dibenarkan.

BAB I PENDAHULUAN. bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan yang sedang giat dilaksanakan melalui rencana bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, baik materiil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai orang perseorangan dan badan hukum 3, dibutuhkan penyediaan dana yang. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai orang perseorangan dan badan hukum 3, dibutuhkan penyediaan dana yang. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. 13 A. Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN Pembangunan ekonomi, sebagai bagian dari pembangunan nasional merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, baik materiil maupun spiritual. Salah satu cara untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, baik materiil maupun spiritual. Salah satu cara untuk meningkatkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan yang sedang giat dilaksanakan melalui rencana bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang merupakan salah satu upaya untuk mencapai masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang merupakan salah satu upaya untuk mencapai masyarakat yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi adalah sebagai bagian dari pembangunan nasional yang merupakan salah satu upaya untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (SKMHT) YANG BERSIFAT KHUSUS DAN UNDANG-

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (SKMHT) YANG BERSIFAT KHUSUS DAN UNDANG- BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (SKMHT) YANG BERSIFAT KHUSUS DAN UNDANG- UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN A. Latar Belakang Lahirnya Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan Nasional yang dilaksanakan selama ini merupakan upaya pembangunan yang berkesinambungan dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan

Lebih terperinci

Heru Guntoro. Perjanjian Sewa Menyewa

Heru Guntoro. Perjanjian Sewa Menyewa Heru Guntoro. Perjanjian Sewa Menyewa... 473 Kewajiban pihak yang satu adalah menyerahkan barangnya untuk dinikmati oleh pihak yang lain, sedangkan kewajiban pihak yang terakhir ini adalah membayar harga

Lebih terperinci

3 Lihat UU No. 4 Tahun 1996 (UUHT) Pasal 20 ayat (1) 4 Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hal. 339

3 Lihat UU No. 4 Tahun 1996 (UUHT) Pasal 20 ayat (1) 4 Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hal. 339 KEWENANGAN MENJUAL SENDIRI (PARATE EXECUTIE) ATAS JAMINAN KREDIT MENURUT UU NO. 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN 1 Oleh: Chintia Budiman 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang yang saat ini tengah. melakukan pembangunan di segala bidang. Salah satu bidang pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang yang saat ini tengah. melakukan pembangunan di segala bidang. Salah satu bidang pembangunan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara berkembang yang saat ini tengah melakukan pembangunan di segala bidang. Salah satu bidang pembangunan yang sangat penting dan mendesak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seseorang yang tidak dapat menjalankan suatu urusan, maka alternatifnya

BAB I PENDAHULUAN. Seseorang yang tidak dapat menjalankan suatu urusan, maka alternatifnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seseorang yang tidak dapat menjalankan suatu urusan, maka alternatifnya adalah menunda urusan tersebut sampai ia mampu melakukannya sendiri atau mewakilkan kepada atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Hal tersebut

BAB I PENDAHULUAN. dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Hal tersebut 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan Ekonomi sebagai bagian dari pembangunan nasional, merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur berdasarkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN. hutang menggunakan kelembagaan jaminan hipotik, karena pada waktu itu hak

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN. hutang menggunakan kelembagaan jaminan hipotik, karena pada waktu itu hak 20 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN A. Pengertian Hak Tanggungan Sebelum lahirnya UUHT, pembebanan hak atas tanah sebagai jaminan hutang menggunakan kelembagaan jaminan hipotik, karena pada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN. Seiring dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN. Seiring dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 23 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN A. Pengertian Hak Tanggungan Seiring dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, maka Undang-Undang tersebut telah mengamanahkan untuk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi suatu alat bukti, maka tulisan tersebut dinamakan akta (acte) 1.

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi suatu alat bukti, maka tulisan tersebut dinamakan akta (acte) 1. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebutuhan akan adanya alat bukti tertulis dalam suatu pembuktian di Pengadilan mengakibatkan semua perbuatan hukum yang dilakukan oleh masyarakat yang menyangkut

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. V/No. 6/Ags/2017

Lex et Societatis, Vol. V/No. 6/Ags/2017 KAJIAN YURIDIS ASAS PEMISAHAN HORISONTAL DALAM HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH 1 Oleh: Gabriella Yulistina Aguw 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana berlakunya asas pemisahan

Lebih terperinci

BAB II. A. Tinjauan Umum Hak Tanggungan. 1. Pengertian Hak Tanggungan. Pengertian Hak Tanggungan secara yuridis yang diatur dalam ketentuan Pasal

BAB II. A. Tinjauan Umum Hak Tanggungan. 1. Pengertian Hak Tanggungan. Pengertian Hak Tanggungan secara yuridis yang diatur dalam ketentuan Pasal 31 BAB II KEDUDUKAN BANK SELAKU PEMEGANG HAK TANGGUNGAN ATAS BERAKHIRNYA SERTIPIKAT HAK GUNA BANGUNAN DIATAS HAK PENGELOLAAN (HPL) YANG MENJADI OBJEK JAMINAN A. Tinjauan Umum Hak Tanggungan 1. Pengertian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Kekuatan Eksekutorial Hak Tanggungan dalam lelang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Kekuatan Eksekutorial Hak Tanggungan dalam lelang BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Kekuatan Eksekutorial Hak Tanggungan dalam lelang Eksekusi 1. Kekuatan Eksekutorial Pengertian kekuatan Eksekutorial menurut Pasal 6 UUHT dapat ditafsirkan sebagai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN, DAN JAMINAN KREDIT. 2.1 Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN, DAN JAMINAN KREDIT. 2.1 Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan 21 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN, DAN JAMINAN KREDIT 2.1 Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan a. Pengertian Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan P engertian mengenai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tahunnya, maka berbagai macam upaya perlu dilakukan oleh pemerintah. lembaga keuangan yang diharapkan dapat membantu meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. tahunnya, maka berbagai macam upaya perlu dilakukan oleh pemerintah. lembaga keuangan yang diharapkan dapat membantu meningkatkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam rangka mengatasi berbagai permasalahan ekonomi di Indonesia terkait dengan meningkatnya jumlah pengangguran di Indonesia di setiap tahunnya, maka berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bidang ekonomi termasuk sektor keuangan dan perbankan harus segera

BAB I PENDAHULUAN. bidang ekonomi termasuk sektor keuangan dan perbankan harus segera BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan perekonomian di Indonesia mempunyai dampak yang sangat positif. Perbaikan sistem perekonomian dalam penentuan kebijakan pemerintah di bidang ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional, salah satu usaha untuk mewujudkan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional, salah satu usaha untuk mewujudkan masyarakat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan di bidang ekonomi merupakan bagian dari pembangunan nasional, salah satu usaha untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan pancasila dan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari manusia tak lepas dari kebutuhan yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari manusia tak lepas dari kebutuhan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan sehari-hari manusia tak lepas dari kebutuhan yang bermacam-macam. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut manusia harus berusaha dengan cara bekerja.

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM PEMEGANG HAK TANGGUNGAN YANG OBYEKNYA DIKUASAI PIHAK KETIGA BERDASARKAN PERJANJIAN SEWA MENYEWA

PERLINDUNGAN HUKUM PEMEGANG HAK TANGGUNGAN YANG OBYEKNYA DIKUASAI PIHAK KETIGA BERDASARKAN PERJANJIAN SEWA MENYEWA PERLINDUNGAN HUKUM PEMEGANG HAK TANGGUNGAN YANG OBYEKNYA DIKUASAI PIHAK KETIGA BERDASARKAN PERJANJIAN SEWA MENYEWA ABSTRAK Dian Pertiwi NRP. 91030805 Dee_967@yahoo.com Tujuan dari penelitian ini adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. setiap tahun akan menimbulkan berbagai macam problema. Salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. setiap tahun akan menimbulkan berbagai macam problema. Salah satunya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang populasi manusianya berkembang sangat pesat.pertumbuhan jumlah penduduk yang meningkat tajam pada setiap tahun akan menimbulkan berbagai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pendapat lain menyatakan bahwa

II. TINJAUAN PUSTAKA. kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pendapat lain menyatakan bahwa II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak, yang isinya adalah hak dan kewajiban, suatu hak untuk menuntut sesuatu

Lebih terperinci

BAB II PROSES PEMBEBANAN HAK TANGGUNGAN ATAS OBJEK HAK TANGGUNGAN SEBAGAI JAMINAN KREDIT

BAB II PROSES PEMBEBANAN HAK TANGGUNGAN ATAS OBJEK HAK TANGGUNGAN SEBAGAI JAMINAN KREDIT 34 BAB II PROSES PEMBEBANAN HAK TANGGUNGAN ATAS OBJEK HAK TANGGUNGAN SEBAGAI JAMINAN KREDIT A. Tinjauan Umum Tentang Hak Tanggungan Sebagai Jaminan Pemberian Kredit Pada Bank Hak Tanggungan adalah salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Beserta Benda Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. Undang undang Hak

BAB I PENDAHULUAN. Beserta Benda Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. Undang undang Hak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Kegiatan pembangunan disegala bidang ekonomi oleh masyarakat memerlukan dana yang cukup besar. Dana tersebut salah satunya berasal dari kredit dan kredit

Lebih terperinci

Sarles Gultom Dosen Fakultas Hukum USI

Sarles Gultom Dosen Fakultas Hukum USI Tinjauan Hukum Hak Milik Atas Tanah Sebagai Objek Hak tanggungan Sarles Gultom Dosen Fakultas Hukum USI Abstrak Hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pinjaman yang mempunyai kelebihan uang bersedia meminjamkan uang kepada

BAB I PENDAHULUAN. pinjaman yang mempunyai kelebihan uang bersedia meminjamkan uang kepada 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kegiatan pinjam meminjam telah dilakukan sejak lama oleh masyarakat yang telah mengenal uang sebagai alat pembayaran yang sah. Pihak pemberi pinjaman yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

BAB I PENDAHULUAN. yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi Indonesia, sebagai bagian dari pembangunan nasional merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyahkt yang adil dan makmur

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM KREDITUR PENERIMA JAMINAN HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH. Oleh Rizki Kurniawan

PERLINDUNGAN HUKUM KREDITUR PENERIMA JAMINAN HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH. Oleh Rizki Kurniawan PERLINDUNGAN HUKUM KREDITUR PENERIMA JAMINAN HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH Oleh Rizki Kurniawan ABSTRAK Jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan obyek benda tetap berupa tanah dengan atau tanpa benda-benda yang

BAB I PENDAHULUAN. dengan obyek benda tetap berupa tanah dengan atau tanpa benda-benda yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam bisnis perbankan, penyaluran kredit merupakan kegiatan utama. Dana yang dihimpun dari para penabung dan para deposan disalurkan kepada penerima kredit.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satu cara yang dapat dilakukan adalah membuka hubungan seluas-luasnya dengan

BAB I PENDAHULUAN. satu cara yang dapat dilakukan adalah membuka hubungan seluas-luasnya dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Dalam perkembangan jaman yang semakin maju saat ini membuat setiap orang dituntut untuk senantiasa meningkatkan kualitas diri dan kualitas hidupnya. Salah

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. ditentukan 3 (tiga) cara eksekusi secara terpisah yaitu parate executie,

BAB III PENUTUP. ditentukan 3 (tiga) cara eksekusi secara terpisah yaitu parate executie, BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan seluruh uraian pada bab sebelumnya, maka dalam bab penutup dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam Pasal 20 UUHT telah ditentukan 3 (tiga) cara eksekusi secara terpisah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG AKTA NOTARIIL. Istilah atau perkataan akta dalam bahasa Belanda disebut acte atau akta

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG AKTA NOTARIIL. Istilah atau perkataan akta dalam bahasa Belanda disebut acte atau akta BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG AKTA NOTARIIL 2.1 Pengertian Akta Istilah atau perkataan akta dalam bahasa Belanda disebut acte atau akta dan dalam bahasa Inggris disebut act atau deed. Secara etimologi menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Manusia dalam kehidupannya sehari-hari memiliki kebutuhankebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Manusia dalam kehidupannya sehari-hari memiliki kebutuhankebutuhan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Manusia dalam kehidupannya sehari-hari memiliki kebutuhankebutuhan yang harus dipenuhi, seperti kebutuhan akan sandang, pangan, dan papan.dalam usaha untuk memenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jaminan atau agunan yang diajukan atau yang diberikan oleh debitur

BAB I PENDAHULUAN. Jaminan atau agunan yang diajukan atau yang diberikan oleh debitur 9 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jaminan atau agunan yang diajukan atau yang diberikan oleh debitur kepada Bank berupa tanah-tanah yang masih belum bersertifikat atau belum terdaftar di Kantor Pertanahan.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HIPOTIK DAN HAK TANGGUNGAN. Hipotik berasal dari kata hypotheek dari Hukum Romawi yaitu hypotheca yaitu suatu jaminan

BAB II TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HIPOTIK DAN HAK TANGGUNGAN. Hipotik berasal dari kata hypotheek dari Hukum Romawi yaitu hypotheca yaitu suatu jaminan BAB II TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HIPOTIK DAN HAK TANGGUNGAN A. Tinjauan Terhadap Hipotik 1. Jaminan Hipotik pada Umumnya Hipotik berasal dari kata hypotheek dari Hukum Romawi yaitu hypotheca yaitu suatu

Lebih terperinci

PENGIKATAN PERJANJIAN DAN AGUNAN KREDIT

PENGIKATAN PERJANJIAN DAN AGUNAN KREDIT PENGIKATAN PERJANJIAN DAN AGUNAN KREDIT Rochadi Santoso rochadi.santoso@yahoo.com STIE Ekuitas Bandung Abstrak Perjanjian dan agunan kredit merupakan suatu hal yang lumrah dan sudah biasa dilakukan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. spiritual. Salah satu cara untuk meningkatkan taraf hidup adalah dengan mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN. spiritual. Salah satu cara untuk meningkatkan taraf hidup adalah dengan mengembangkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan yang sedang giat dilaksanakan melalui rencana bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, baik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN KREDIT PADA UMUMNYA. A. Pengertian Bank, Kredit dan Perjanjian Kredit

BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN KREDIT PADA UMUMNYA. A. Pengertian Bank, Kredit dan Perjanjian Kredit BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN KREDIT PADA UMUMNYA A. Pengertian Bank, Kredit dan Perjanjian Kredit 1. Pengertian Bank Membicarakan bank, maka yang terbayang dalam benak kita adalah suatu tempat di

Lebih terperinci

NOTARIS TIDAK BERWENANG MEMBUAT SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (SKMHT), TAPI BERWENANG MEMBUAT AKTA KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (AKMHT)

NOTARIS TIDAK BERWENANG MEMBUAT SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (SKMHT), TAPI BERWENANG MEMBUAT AKTA KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (AKMHT) NOTARIS TIDAK BERWENANG MEMBUAT SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (SKMHT), TAPI BERWENANG MEMBUAT AKTA KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (AKMHT) Pasal 15 ayat (1) undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bank merupakan lembaga keuangan yang mempunyai peranan penting

BAB I PENDAHULUAN. Bank merupakan lembaga keuangan yang mempunyai peranan penting 9 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bank merupakan lembaga keuangan yang mempunyai peranan penting dalam mendukung pertumbuhan ekonomi nasional, dan merupakan sarana bagi pemerintah dalam menggalakkan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HAK ISTIMEWA DALAM PERJANJIAN PEMBERIAN GARANSI. Setiap ada perjanjian pemberian garansi/ jaminan pasti ada perjanjian yang

BAB II PENGATURAN HAK ISTIMEWA DALAM PERJANJIAN PEMBERIAN GARANSI. Setiap ada perjanjian pemberian garansi/ jaminan pasti ada perjanjian yang BAB II PENGATURAN HAK ISTIMEWA DALAM PERJANJIAN PEMBERIAN GARANSI A. Perjanjian Pemberian Garansi/Jaminan Setiap ada perjanjian pemberian garansi/ jaminan pasti ada perjanjian yang mendahuluinya, yaitu

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol. IV/No. 4/Apr/2016. PROSES PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN Oleh : Naomi Meriam Walewangko 2

Lex Administratum, Vol. IV/No. 4/Apr/2016. PROSES PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN Oleh : Naomi Meriam Walewangko 2 PROSES PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1996 1 Oleh : Naomi Meriam Walewangko 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana Pendaftaran Pemberian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dan makmur berdasarkan pancasila dan Undang-undang Dasar Dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. dan makmur berdasarkan pancasila dan Undang-undang Dasar Dalam 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan nasional, merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur berdasarkan pancasila

Lebih terperinci

B AB I PENDAHULUAN. peraturan bank tersebut. Sebelumnya, calon nasabah yang akan meminjam

B AB I PENDAHULUAN. peraturan bank tersebut. Sebelumnya, calon nasabah yang akan meminjam 1 B AB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di dunia bisnis, setiap orang butuh modal untuk dapat melanjutkan kegiatan bisnis mereka. Modal merupakan kebutuhan dasar yang diperlukan setiap orang yang ingin

Lebih terperinci

PARATE EXECUTIE PADA HAK TANGGUNGAN SEBAGAI PERLINDUNGAN ASET KREDITOR DAN DEBITOR

PARATE EXECUTIE PADA HAK TANGGUNGAN SEBAGAI PERLINDUNGAN ASET KREDITOR DAN DEBITOR Yusuf Arif Utomo: Parate Executie Pada Hak Tanggungan 177 PARATE EXECUTIE PADA HAK TANGGUNGAN SEBAGAI PERLINDUNGAN ASET KREDITOR DAN DEBITOR Oleh Yusuf Arif Utomo* Abstrak Bank dalam memberikan pinjaman

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN SEBAGAI HAK JAMINAN. A. Dasar Hukum Pengertian Hak Tanggungan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN SEBAGAI HAK JAMINAN. A. Dasar Hukum Pengertian Hak Tanggungan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN SEBAGAI HAK JAMINAN A. Dasar Hukum Pengertian Hak Tanggungan Adanya unifikasi hukum barat yang tadinya tertulis, dan hukum tanah adat yang tadinya tidak tertulis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Tentang Perjanjian Kredit a. Pengertian Perjanjian Kredit Secara etimologi kata kredit berasal dari bahasa Yunani yaitu credere yang berarti kepercayaan.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1.Uraian Teori Beberapa teori akan dipakai sebagai acuan dalam penelitian ini, yaitu pengertian perjanjian, pembiayaan leasing dan teori fidusia. 2.1.1. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. segala kebutuhannya tersebut, bank mempunyai fungsi yang beragam dalam

BAB I PENDAHULUAN. segala kebutuhannya tersebut, bank mempunyai fungsi yang beragam dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan teknologi dan informasi yang terjadi, juga terjadi dalam dunia perekonomian, bahkan perkembangan kebutuhan masyarakat semakin tidak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Di dalam Buku III KUH Perdata mengenai hukum perjanjian terdapat dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis

Lebih terperinci

BAB II LAHIRNYA HAK KEBENDAAN PADA HAK TANGGUNGAN SEBAGAI OBYEK JAMINAN DALAM PERJANJIAN KREDIT

BAB II LAHIRNYA HAK KEBENDAAN PADA HAK TANGGUNGAN SEBAGAI OBYEK JAMINAN DALAM PERJANJIAN KREDIT 56 BAB II LAHIRNYA HAK KEBENDAAN PADA HAK TANGGUNGAN SEBAGAI OBYEK JAMINAN DALAM PERJANJIAN KREDIT 1. Hak Tanggungan sebagai Jaminan atas Pelunasan Suatu Utang Tertentu Suatu perjanjian utang-piutang umumnya

Lebih terperinci

serta mengembangkan perangkat peraturan pendukung, serta pengembangan sistem pendanaan perumahan. Salah satu alternatif dalam pendanaan perumahan yang

serta mengembangkan perangkat peraturan pendukung, serta pengembangan sistem pendanaan perumahan. Salah satu alternatif dalam pendanaan perumahan yang BAB I Dalam perkembangan saat ini kehidupan masyarakat sehari-hari tidak dapat dihindari bahwa tingkat kebutuhan manusia semakin lama akan semakin meningkat. Upaya meningkatkan taraf dan standar hidupnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Keterbatasan finansial atau kesulitan keuangan merupakan hal yang dapat dialami oleh siapa saja, baik orang perorangan maupun badan hukum. Permasalahan

Lebih terperinci

Bab 1 PENDAHULUAN. merupakan suatu usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, salah satu

Bab 1 PENDAHULUAN. merupakan suatu usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, salah satu Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam kehidupan ekonomi dan perdagangan dewasa ini, sulit dibayangkan bahwa pelaku usaha, baik perorangan maupun badan hukum mempunyai modal usaha yang cukup untuk

Lebih terperinci

HAK TANGGUNGAN TANAH & BANGUNAN SEBAGAI JAMINAN PELUNASAN UTANG

HAK TANGGUNGAN TANAH & BANGUNAN SEBAGAI JAMINAN PELUNASAN UTANG HAK TANGGUNGAN TANAH & BANGUNAN SEBAGAI JAMINAN PELUNASAN UTANG Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA DEFINISI Hak Tanggungan adalah: Hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah, berikut/tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan oleh bank, salah satunya dengan memberikan fasilitas kredit untuk

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan oleh bank, salah satunya dengan memberikan fasilitas kredit untuk 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegiatan pinjam meminjam telah dilakukan sejak lama oleh masyarakat yang telah mengenal uang sebagai alat pembayaran yang sah. Pada perkembangan masyarakat saat ini,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyalurkan dana dari masyarakat secara efektif dan efisien. Salah satu

BAB I PENDAHULUAN. menyalurkan dana dari masyarakat secara efektif dan efisien. Salah satu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Kebutuhan masyarakat baik perorangan maupun badan usaha akan penyediaan dana yang cukup besar dapat terpenuhi dengan adanya lembaga perbankan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan jangka panjang adalah di bidang ekonomi. Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan jangka panjang adalah di bidang ekonomi. Undang-Undang 1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan A. Latar Belakang Garis Besar Haluan Negara (GBHN) menyebutkan bahwa titik berat pembangunan jangka panjang adalah di bidang ekonomi. Undang-Undang Dasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Dalam. rangka upaya peningkatan pembangunan nasional yang bertitik berat

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Dalam. rangka upaya peningkatan pembangunan nasional yang bertitik berat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perekonomian sebagai bagian dari pembangunan nasional, merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila

Lebih terperinci

PENYELESAIAN KREDIT MACET DENGAN JAMINAN FIDUSIA

PENYELESAIAN KREDIT MACET DENGAN JAMINAN FIDUSIA PENYELESAIAN KREDIT MACET DENGAN JAMINAN FIDUSIA http://www.thepresidentpostindonesia.com I. PENDAHULUAN Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. begitu besar meliputi bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang

BAB I PENDAHULUAN. begitu besar meliputi bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang memiliki kekayaan sumber daya alam yang begitu besar meliputi bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang diintrodusir oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang. Perdata. Dalam Pasal 51 UUPA ditentukan bahwa Hak Tanggungan dapat

BAB I PENDAHULUAN. yang diintrodusir oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang. Perdata. Dalam Pasal 51 UUPA ditentukan bahwa Hak Tanggungan dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hak Tanggungan adalah suatu istilah baru dalam Hukum Jaminan yang diintrodusir oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat menyalurkan kredit secara lancar kepada masyarakat. Mengingat

BAB I PENDAHULUAN. dapat menyalurkan kredit secara lancar kepada masyarakat. Mengingat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bank sebagai lembaga keuangan yang menggerakkan roda perekonomian, dikatakan telah melakukan usahanya dengan baik apabila dapat menyalurkan kredit secara lancar kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan terencana dan terarah yang mencakup aspek politis, ekonomi, demografi, psikologi, hukum, intelektual maupun teknologi.

BAB I PENDAHULUAN. perubahan terencana dan terarah yang mencakup aspek politis, ekonomi, demografi, psikologi, hukum, intelektual maupun teknologi. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu usaha untuk mencapai taraf kehidupan yang lebih baik daripada apa yang telah dicapai, artinya bahwa pembangunan merupakan perubahan terencana

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT A. Pengertian Hukum Jaminan Kredit Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, zekerheidsrechten atau security of law. Dalam Keputusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum membutuhkan modal untuk memulai usahanya. Modal yang diperlukan

BAB I PENDAHULUAN. hukum membutuhkan modal untuk memulai usahanya. Modal yang diperlukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dunia modern seperti sekarang ini, banyak orang atau badan hukum yang memerlukan dana untuk mengembangkan usaha, bisnis, atau memenuhi kebutuhan keluarga (sandang,pangan,dan

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol. V/No. 9/Nov/2017. PEMBEBANAN HAK TANGGUNGAN ATAS PEMILIKAN RUMAH OLEH ORANG ASING DI INDONESIA 1 Oleh: Winerungan Julio 2

Lex Administratum, Vol. V/No. 9/Nov/2017. PEMBEBANAN HAK TANGGUNGAN ATAS PEMILIKAN RUMAH OLEH ORANG ASING DI INDONESIA 1 Oleh: Winerungan Julio 2 PEMBEBANAN HAK TANGGUNGAN ATAS PEMILIKAN RUMAH OLEH ORANG ASING DI INDONESIA 1 Oleh: Winerungan Julio 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana prosedur pembebanan Hak

Lebih terperinci

TINJAUAN MENGENAI PELAKSANAAN PERJANJIAN KREDIT DENGAN HAK TANGGUNGAN ABSTRAK. Keywords: Credit Agreement, Bail Right, Banking ABSTRAK

TINJAUAN MENGENAI PELAKSANAAN PERJANJIAN KREDIT DENGAN HAK TANGGUNGAN ABSTRAK. Keywords: Credit Agreement, Bail Right, Banking ABSTRAK 1 TINJAUAN MENGENAI PELAKSANAAN PERJANJIAN KREDIT DENGAN HAK TANGGUNGAN Alves Simao L.F.S, Bernina Larasati, Demitha Marsha Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta berninalarasati@gmail.com

Lebih terperinci

PENGATURAN KEWENANGAN PEMBUATAN SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (SKMHT) LINGGA CITRA HERAWAN NRP :

PENGATURAN KEWENANGAN PEMBUATAN SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (SKMHT) LINGGA CITRA HERAWAN NRP : PENGATURAN KEWENANGAN PEMBUATAN SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (SKMHT) LINGGA CITRA HERAWAN NRP : 91130919 Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Surabaya linggaherawan@gmail.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ini jasa perbankan melalui kredit sangat membantu. jarang mengandung risiko yang sangat tinggi, karena itu bank dalam memberikannya

BAB I PENDAHULUAN. ini jasa perbankan melalui kredit sangat membantu. jarang mengandung risiko yang sangat tinggi, karena itu bank dalam memberikannya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam pembangunan terutama pembangunan secara fisik, dana selalu merupakan masalah baik bagi pengusaha besar, menengah ataupun kecil. Dalam hal ini jasa perbankan melalui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kewenangan lainnya, pengaturan mengenai Notarisdiatur dalamundangundang

BAB I PENDAHULUAN. kewenangan lainnya, pengaturan mengenai Notarisdiatur dalamundangundang 1 BAB I A. Latar Belakang PENDAHULUAN Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) merupakan pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan memiliki kewenangan lainnya, pengaturan mengenai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, pembangunan di bidang ekonomi, merupakan bagian dari pembangunan nasional. Salah satu upaya untuk mewujudkan pembangunan

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. IV/No. 1/Jan/2016

Lex Privatum, Vol. IV/No. 1/Jan/2016 HAMBATAN DALAM PELAKSANAAN LELANG ATAS JAMINAN KEBENDAAN YANG DIIKAT DENGAN HAK TANGGUNGAN 1 Oleh : Susan Pricilia Suwikromo 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS KEDUDUKAN SURAT KUASA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN MOH. REZAH / D

TINJAUAN YURIDIS KEDUDUKAN SURAT KUASA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN MOH. REZAH / D TINJAUAN YURIDIS KEDUDUKAN SURAT KUASA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN MOH. REZAH / D 101 07 206 ABSTRAK Surat Kuasa adalah kuasa yang bersifat khusus, tidak memuat kuasa

Lebih terperinci

DAMPAK PELAKSANAAN EKSEKUSI TERHADAP OBYEK JAMINAN FIDUSIA BERDASARKAN PASAL 29 UNDANG UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA

DAMPAK PELAKSANAAN EKSEKUSI TERHADAP OBYEK JAMINAN FIDUSIA BERDASARKAN PASAL 29 UNDANG UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA DAMPAK PELAKSANAAN EKSEKUSI TERHADAP OBYEK JAMINAN FIDUSIA BERDASARKAN PASAL 29 UNDANG UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA Oleh Rizki Kurniawan ABSTRAK Jaminan dalam arti luas adalah jaminan

Lebih terperinci

Hak Tanggungan. Oleh: Agus S. Primasta 2

Hak Tanggungan. Oleh: Agus S. Primasta 2 1 Oleh: Agus S. Primasta 2 Pengantar Secara awam, permasalahan perkreditan dalam kehidupan bermasyarakat yang adalah bentuk dari pembelian secara angsuran atau peminjaman uang pada lembaga keuangan atau

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. IV/No. 2/Feb/2016

Lex Privatum, Vol. IV/No. 2/Feb/2016 KAJIAN HUKUM HAK TANGGUNGAN TERHADAP HAK ATAS TANAH SEBAGAI SYARAT MEMPEROLEH KREDIT 1 Oleh : Nina Paputungan 2 ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana aturan hukum pelaksanaan Hak

Lebih terperinci

EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN BERDASARKAN TITLE EKSEKUTORIAL DALAM SERTIFIKAT HAK TANGGUNGAN

EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN BERDASARKAN TITLE EKSEKUTORIAL DALAM SERTIFIKAT HAK TANGGUNGAN EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN BERDASARKAN TITLE EKSEKUTORIAL DALAM SERTIFIKAT HAK TANGGUNGAN Evie Hanavia Email : Mahasiswa S2 Program MknFH UNS Widodo Tresno Novianto Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbuat semaksimal mungkin dan mengerahkan semua kemampuannya untuk

BAB I PENDAHULUAN. berbuat semaksimal mungkin dan mengerahkan semua kemampuannya untuk 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang populasi manusianya berkembang sangat pesat. Pertumbuhan jumlah penduduk yang meningkat tajam pada setiap tahun akan menimbulkan

Lebih terperinci

Imma Indra Dewi Windajani

Imma Indra Dewi Windajani HAMBATAN EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN DI KANTOR PELAYANAN KEKAYAAN NEGARA DAN LELANG YOGYAKARTA Imma Indra Dewi Windajani Abstract Many obstacles to execute mortgages by auctions on the Office of State Property

Lebih terperinci

PERANAN NOTARIS DALAM PENGIKATAN AGUNAN DENGAN HAK TANGGUNGAN ( STUDI KASUS PADA KSPPS BMT BAHTERA KOTA PEKALONGAN )

PERANAN NOTARIS DALAM PENGIKATAN AGUNAN DENGAN HAK TANGGUNGAN ( STUDI KASUS PADA KSPPS BMT BAHTERA KOTA PEKALONGAN ) Peranan Notaris Dalam Pengikatan Agunan...( Zaky Mushaffa Mushafa) ABSTRAK PERANAN NOTARIS DALAM PENGIKATAN AGUNAN DENGAN HAK TANGGUNGAN ( STUDI KASUS PADA KSPPS BMT BAHTERA KOTA PEKALONGAN ) Muhammad

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perumahan mengakibatkan persaingan, sehingga membangun rumah. memerlukan banyak dana. Padahal tidak semua orang mempunyai dana yang

BAB I PENDAHULUAN. perumahan mengakibatkan persaingan, sehingga membangun rumah. memerlukan banyak dana. Padahal tidak semua orang mempunyai dana yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rumah merupakan salah satu kebutuhan paling pokok dalam kehidupan manusia. Rumah sebagai tempat berlindung dari segala cuaca sekaligus sebagai tempat tumbuh kembang

Lebih terperinci

MUHAMMAD IQBAL ABSTRACT

MUHAMMAD IQBAL ABSTRACT MUHAMMAD IQBAL 1 KAJIAN YURIDIS TERHADAP SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN KEDUA (II) DAN BERIKUTNYA SEBAGAI PERPANJANGAN SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN PERTAMA (I) YANG TELAH BERAKHIR JANGKA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendesak para pelaku ekonomi untuk semakin sadar akan pentingnya

BAB I PENDAHULUAN. mendesak para pelaku ekonomi untuk semakin sadar akan pentingnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini, globalisasi ekonomi guna mencapai kesejahteraan rakyat berkembang semakin pesat melalui berbagai sektor perdangangan barang dan jasa. Seiring dengan semakin

Lebih terperinci

BAB 3 PARATE EKSEKUSI DALAM KAITANNYA DENGAN JANJI EKSEKUTORIAL DALAM HAK TANGGUNGAN, PERMASALAHAN YANG ADA SERTA PEMBAHASANNYA

BAB 3 PARATE EKSEKUSI DALAM KAITANNYA DENGAN JANJI EKSEKUTORIAL DALAM HAK TANGGUNGAN, PERMASALAHAN YANG ADA SERTA PEMBAHASANNYA BAB 3 PARATE EKSEKUSI DALAM KAITANNYA DENGAN JANJI EKSEKUTORIAL DALAM HAK TANGGUNGAN, PERMASALAHAN YANG ADA SERTA PEMBAHASANNYA 3.3 Tinjauan Umum Parate Eksekusi Dalam hal tidak diperjanjikan suatu jaminan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Dalam rangka memelihara

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Dalam rangka memelihara BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Pembagunan di bidang ekonomi, merupakan bagian dari pembangunan nasional, salah satu upaya untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila

Lebih terperinci

seperti yang dimaksud dalam ketentuan Undang-Undang tentang definisi dari kredit ini sendiri

seperti yang dimaksud dalam ketentuan Undang-Undang tentang definisi dari kredit ini sendiri seperti yang dimaksud dalam ketentuan Undang-Undang tentang definisi dari kredit ini sendiri dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang

Lebih terperinci

BAB III KEABSAHAN JAMINAN SERTIFIKAT TANAH DALAM PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM DI SLEMAN. A. Bentuk Jaminan Sertifikat Tanah Dalam Perjanjian Pinjam

BAB III KEABSAHAN JAMINAN SERTIFIKAT TANAH DALAM PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM DI SLEMAN. A. Bentuk Jaminan Sertifikat Tanah Dalam Perjanjian Pinjam BAB III KEABSAHAN JAMINAN SERTIFIKAT TANAH DALAM PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM DI SLEMAN A. Bentuk Jaminan Sertifikat Tanah Dalam Perjanjian Pinjam Meminjam Di Kabupaten Sleman Perjanjian adalah suatu hubungan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. yang sangat mendukung pertumbuhan ekonomi. Pengertian kredit menurutundang-undang

BAB 1 PENDAHULUAN. yang sangat mendukung pertumbuhan ekonomi. Pengertian kredit menurutundang-undang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Peranan perbankan dalam lalu lintas bisnis, dapat dianggap sebagai kebutuhan yang mutlak diperlukan oleh hampir semua pelaku bisnis, baik pengusaha besar maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelebihan dana kepada pihak-pihak yang membutuhkan dana, dalam hal ini bank

BAB I PENDAHULUAN. kelebihan dana kepada pihak-pihak yang membutuhkan dana, dalam hal ini bank 9 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perbankan memegang peranan sangat penting dalam bidang perekonomian seiring dengan fungsinya sebagai penyalur dana dari pihak yang mempunyai kelebihan dana kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan nasional. merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan nasional. merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan nasional merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan

Lebih terperinci

SKRIPSI Skripsi Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Meraih Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Program Reguler Mandiri Universitas Andalas

SKRIPSI Skripsi Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Meraih Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Program Reguler Mandiri Universitas Andalas SKRIPSI PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KREDITOR DALAM HAL TERJADI PERUBAHAN STATUS HAK ATAS TANAH YANG DIBEBANI HAK TANGGUNGAN ((Studi di PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN) Tbk) SKRIPSI Skripsi Diajukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. usaha dan pemenuhan kebutuhan taraf hidup. Maka dari itu anggota masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. usaha dan pemenuhan kebutuhan taraf hidup. Maka dari itu anggota masyarakat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Meningkatnya pertumbuhan perekonomian menciptakan motivasi masyarakat untuk bersaing dalam kehidupan. Hal ini di landasi dengan kegiatan usaha dan pemenuhan

Lebih terperinci

BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA 25 BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Hukum perjanjian

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Tulungagung. sebagai barang yang digunakan untuk menjamin jumlah nilai pembiayaan

BAB V PEMBAHASAN. Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Tulungagung. sebagai barang yang digunakan untuk menjamin jumlah nilai pembiayaan 1 BAB V PEMBAHASAN A. Faktor-faktor yang mendukung dan menghambat BMT Istiqomah Unit II Plosokandang selaku kreditur dalam mencatatkan objek jaminan di Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Tulungagung.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pasal 1 ayat (3) Undang -Undang Dasar Negara Republik Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pasal 1 ayat (3) Undang -Undang Dasar Negara Republik Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasal 1 ayat (3) Undang -Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan secara tegas bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum. Prinsip negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. salah satu perjanjian accsoir yang ada dalam suatu perjanjian kredit.

BAB I PENDAHULUAN. salah satu perjanjian accsoir yang ada dalam suatu perjanjian kredit. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam suatu Perjanjian Kredit biasanya terdapat perjanjian accesoir (perjanjian ikutan) yang mengikuti perjanjian kredit tersebut. Fidusia merupakan salah satu perjanjian

Lebih terperinci