BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Diazepam adalah obat esensial golongan benzodiazepin yang tercantum

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Diazepam adalah obat esensial golongan benzodiazepin yang tercantum"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1. Diazepam sebagai obat esensial Diazepam adalah obat esensial golongan benzodiazepin yang tercantum dalam WHO Model List of Essential Medicines Edisi 19 (WHO, 2015) serta Daftar Obat Esensial Nasional (Kemenkes RI, 2015a). Obat esensial adalah obat terpilih yang digunakan dalam pelayanan kesehatan, mencakup upaya diagnosis, profilaksis, terapi dan rehabilitasi, yang diupayakan tersedia di fasilitas kesehatan sesuai dengan fungsi dan tingkatannya (Kemenkes RI, 2015a). Obat esensial harus tersedia setiap saat dalam dosis yang semestinya untuk semua lapisan masyarakat (MSH, 2012). Tidak semua obat golongan benzodizepin termasuk dalam obat esensial. Terdapat tiga senyawa benzodiazepin yang termasuk esensial, yaitu : diazepam, lorazepam dan midazolam (WHO, 2015; INCB, 2015; Kemenkes RI, 2015a). Menurut Formularium Nasional, diazepam harus tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat primer dan rujukan, sedangkan ketersediaan lorazepam dan midazolam untuk fasilitas kesehatan rujukan (Kemenkes RI, 2014). Fasilitas pelayanan kesehatan tingkat primer meliputi puskesmas, klinik, praktik dokter, praktik dokter gigi, klinik pratama atau yang setara serta rumah sakit kelas D pratama atau yang setara. Pelayanan kesehatan tingkat rujukan meliputi klinik utama atau yang setara, rumah sakit umum dan rumah sakit khusus. 1

2 2 Benzodiazepin menimbulkan ketergantungan dan sering disalahgunakan bersama dengan narkotika opioid, alkohol maupun benzodiazepine related drugs (z-drugs) seperti zopiclon, zaleplon dan zolpidem (Jann et al., 2014; Casati et al., 2012; Micallef-Roll et al.,2009; Johansson et al., 2003). Meskipun sering disalahgunakan, pemerintah wajib menjamin ketersediaannya untuk penggunaan medis di semua fasilitas pelayanan kesehatan. 2. Diazepam merupakan obat yang dikontrol Diazepam termasuk dalam senyawa psikotropika, sehingga penggunaannya dikontrol secara nasional dan internasional. Secara nasional dikontrol melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, sedangkan secara internasional melalui Convention on Psychotropic Substance of 1971, yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Pengesahan Konvensi Psikotropika Pengaturan tersebut bertujuan untuk menjamin ketersediaannya guna kepentingan kesehatan dan ilmu pengetahuan, dan pada saat yang sama mencegah terjadinya penyalahgunaan (Pemerintah RI, 1997; United Nations, 2013). Menurut Convention on Psychotropic Substance of 1971, terdapat 35 senyawa yang termasuk dalam golongan benzodiazepin yang dikelompokkan menjadi tiga sesuai dengan indikasi medis, yaitu 12 senyawa benzodiazepin sebagai sedatif hipnotik, 22 senyawa benzodiazepin sebagai ansiolitik dan satu senyawa benzodiazepin sebagai antiepileptik (United Nations, 2013; INCB, 2015). Saat ini terdapat 125 senyawa psikotropika yang dikontrol secara internasional, empat di antaranya termasuk dalam WHO Model List of Essential

3 3 Medicines Edisi 19 Tahun 2015 yaitu, diazepam, lorazepam, midazolam, dan fenobarbital (INCB, 2015; WHO, 2015). Diazepam termasuk dalam golongan benzodiazepin ansiolitik, yang merupakan psikotropik golongan IV menurut Convention on Psychotropic Substance of 1971 maupun Undang-Undang Psikotropika Nomor 5 Tahun Sesuai dengan Konvensi Psikotropika Tahun 1971, penggunaan psikotropika tidak wajib untuk dilaporkan. Kewajiban melaporkan psikotropika golongan III dan IV bagi negara adalah jumlah yang diproduksi, yang diimpor dan yang diekspor. Akan tetapi, negara diperbolehkan melakukan pengawasan dalam negeri secara lebih ketat untuk melindungi kesehatan dan keselamatan masyarakat (United Nations, 2013). 3. Penggunaan diazepam untuk medis Dalam pengobatan, diazepam diindikasikan untuk terapi kecemasan (ansietas) dalam penggunaan jangka lama, karena mempunyai masa kerja panjang (Finkel et al., 2009). Selain itu juga sebagai sedatif dan keadaan psikosomatik yang ada hubungan dengan rasa cemas. Selain sebagai ansietas, diazepam digunakan sebagai hipnotik, antikonvulsi, pelemas otot dan induksi anastesi (Katzung et al., 2012). Diazepam juga digunakan untuk preeklampsia dan eklampsia yang diberikan secara intravena dengan dosis 10 mg (Kemenkes RI, 2007). Sediaan diazepam tersedia dalam bentuk tablet, sirup, injeksi dan enema untuk penggunaan rectal. Hasil survei awal di tiga rumah sakit di Yogyakarta yang dilakukan oleh peneliti pada bulan Mei 2015 menunjukkan bahwa diazepam merupakan

4 4 psikotropika yang masih banyak digunakan. Menurut beberapa penelitian, diazepam juga masih banyak diresepkan di berbagai fasilitas kesehatan di Indonesia. Pemberian psikotropika oleh perawat di puskesmas Kota Padang berupa tablet diazepam sebanyak 23,01% dan fenobarbital 21,51% (Indrawati, 2009), sedangkan di Kota Yogyakarta 2,5% resep racikan di apotek mengandung diazepam (Wiedyaningsih, 2004). Penelitian Syaripuddin (2014) di Rumah Sakit Umum Daerah DKI Jakarta pada tahun 2011 menunjukkan bahwa tablet diazepam 5 mg merupakan sepuluh besar obat yang diresepkan, dan harga tablet diazepam 5 mg merk dagang 50 kali harga tablet generik. Penelitian Ambarsari (2017) tentang peresepan benzodiazepin di salah satu apotek di Yogyakarta selama bulan Juli sampai dengan September 2016 menunjukkan adanya peresepan alprazolam 87,18%, klobazam 4,12%, lorazepam 3,66%, klonazepam 2,29%, estazolam 1,14%, diazepam 0,92% dan nitrazepam 0,69%. Penelitian tentang penggunaan diazepam di beberapa negara adalah di Republik Macedonia, selama tahun konsumsi golongan benzodiazepin didominasi oleh diazepam 5 mg yang mencapai 59% (Petrushevska et al., 2015). Di Bosnia, psikotropika yang sering diresepkan untuk pasien rawat jalan selama tahun adalah diazepam, fenobarbital dan karbamazepin (Markovic et al., 2010). Di Latvia, peresepan psikotropika tertinggi selama tahun adalah diazepam (Vrublevska et al., 2008), sedangkan peresepan pasien rawat jalan di rumah sakit di Singapura selama tahun masih didominasi oleh diazepam, alprazolam dan lorazepam (Lee et al., 2015). Di Australia, peresepan benzodiazepin terbesar selama tahun adalah temazepan 35% dan

5 5 diazepam 23% (Islam et al.,2014). Di Departemen Psikiatri Rumah Sakit Pendidikan di Karnataka, India, benzodiazepin merupakan obat psikotropika yang paling banyak diresepkan untuk pasien rawat jalan yang meliputi klonazepam (47,86%), diazepam (21,05%) dan lorazepam (18,95%) (Sabu et al., 2017). Peresepan terbanyak di Departemen Neurologi Rumah Sakit di Tamil Nadu, India adalah fenitoin (92,10%), diazepam (36,84%) dan sodium valproat (7,89%) (Vettikkadan et al., 2014). 4. Tren konsumsi diazepam Data nasional yang dilaporkan ke INCB selama tahun menunjukkan terdapat 11 jenis obat golongan benzodiazepin yang dilaporkan, atau sekitar 31 % dari semua obat golongan benzodiazepin. Sebelas jenis obat tersebut meliputi : alprazolam, bromazepam, klordiazepoksid, klobazam, diazepam, lorazepam, klonazepam, estazolam, midazolam, nitrazepam dan flurazepam (INCB, 2014). Dari 11 jenis tersebut terdapat lima jenis obat yang masuk dalam Formularium Nasional (Fornas), yaitu diazepam, klobazam, alprazolam, midazolam dan lorazepam (Kemenkes RI, 2014), dengan konsumsi terbanyak diazepam (INCB, 2014). Konsumsi nasional penggunaan benzodiazepin selama periode tahun berfluktuasi, konsumsi terbesar adalah diazepam, klordiazepoksid dan klobazam, sedangkan benzodiazepin lain relatif rendah di bawah 100 kg per tahun bahkan ada yang di bawah 10 kg seperti bromazepam, lorazepam, klonazepam, estazolam dan midazolam. Konsumsi benzodiazepin tahun disajikan pada Tabel 1.

6 6 Tabel 1. Konsumsi nasional penggunaan benzodiazepin selama tahun (kg) No Jenis obat Diazepam*# Alprazolam# Bromazepam# Klordiazepoksid# Klobazam# Lorazepam*# Klonazepam Estazolam Midazolam* Nitrazepam Sumber : INCB, 2014; data diolah oleh peneliti. * = obat esensial ; # = golongan benzodiazepin tipe ansiolitik Tren konsumsi global benzodiazepin menunjukkan fluktuasi. International Narcotics Control Board (INCB) melaporkan bahwa rerata konsumsi benzodiazepin tipe ansiolitik selama periode tahun di kawasan Afrika, Amerika dan Oceania mengalami peningkatan. Kawasan Eropa menunjukkan tren konsumsi tertinggi, sedangkan untuk kawasan Asia mengalami penurunan. Total produksi global benzodiazepin tipe ansiolitik pada tahun 2012 didominasi oleh alprazolam (29%), diazepam (26%), lorazepam (21%) dan bromazepam (8%) (INCB, 2014). Rerata konsumsi global pertahun diazepam mengalami penurunan 20% antara periode tahun dibandingkan dengan konsumsi antara periode tahun , yaitu dari 5,2 S-DDD menjadi 4,1 S-DDD per 1000 penduduk per hari. Penurunan konsumsi terbesar di kawasan Asia (70%) dan Amerika (44%). Rerata konsumsi di kawasan Asia pada periode tahun sebesar 2,56 S-DDD dan periode tahun turun menjadi 0,76 S-DDD. Sebaliknya, rerata konsumsi di kawasan Afrika dan Oceania mengalami

7 7 peningkatan, berturut-turut 70% dan 11 % (INCB, 2015). S-DDD adalah singkatan dari define daily doses for statistical purposes, yaitu merupakan unit teknis pengukuran untuk tujuan analisis statistik dan tidak direkomendasikan untuk dosis peresepan (INCB, 2014). Dari 164 negara yang melaporkan ke INCB pada periode tahun , terdapat 37 negara dengan konsumsi diazepam di atas rerata global, dengan konsumsi tertinggi adalah Ghana (50,5 S-DDD), Yugoslavia (26,1 S-DDD) dan Kroasia (25,9 S-DDD), 90 negara dengan konsumsi diazepam di bawah 1 S-DDD per 1000 penduduk per hari serta 22 negara dengan konsumsi diazepam di bawah 0,1 S-DDD (INCB, 2015). Konsumsi diazepam 1 S-DDD berarti konsumsi nasional diazepam 10 mg per hari per 1000 penduduk selama satu tahun (365 hari). Dibandingkan dengan negara lain di lingkungan ASEAN, konsumsi diazepam di Indonesia tergolong rendah. Pada tahun 2011 konsumsi diazepam di Indonesia sebesar 0,35 S-DDD di bawah Thailand (4,17 S-DDD), Singapura (2,11 S-DDD), Laos (0,72 S-DDD) dan Malaysia (0,46 S-DDD), sedangkan konsumsi diazepam untuk negara Kamboja hampir mendekati Indonesia, yaitu 0,33 S-DDD. Negara ASEAN lain dengan konsumsi diazepam lebih rendah dari Indonesia adalah Filipina (0,04 S-DDD) serta Vietnam (0,24 S-DDD) (INCB, 2013, data diolah). Dengan konsumsi nasional yang relatif rendah di antara negara ASEAN tersebut, timbul pertanyaan: Mengapa konsumsinya rendah?, Apakah kebutuhan untuk medis telah terpenuhi?, Apakah kebutuhan diazepam sudah

8 8 digantikan oleh golongan benzodiazepin lainnya?, atau kemungkinan adanya penggunaan benzodiazepin dari jalur tidak resmi atau adanya faktor lain yang mempengaruhi ketersediaan obat tersebut. 5. Penyalahgunaan diazepam Laporan dari Direktorat Tindak Pidana Narkotika Bareskrim Polri menunjukkan barang bukti penyalahgunaan benzodiazepin yang disita selama tahun mengalami penurunan berturut-turut sebanyak ,25 tablet, tablet, ,75 tablet dan tablet (Bareskrim Polri, 2015). Jika diasumsikan barang bukti benzodiazepin tersebut sebagai tablet diazepam 5 mg, maka penyalahgunaan selama empat tahun mencapai 9,242 kg. Barang bukti yang disita sebagai kasus penyalahgunaan psikotropika tersebut mengindikasikan adanya penggunaan dan ketersediaan di jalur tidak resmi, baik yang berasal dari sediaan medis dalam negeri maupun dari luar negeri. Penanganan kasus psikotropika tersebut hanya merupakan fenomena gunung es yang bisa diungkap, kemungkinan masih banyak kasus psikotropika yang belum terungkap oleh pihak kepolisian maupun Badan Narkotika Nasional (BNN) atau Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) mengingat keterbatasan sumber daya. Untuk itu perlu dikaji distribusi diazepam di jalur resmi untuk mengetahui kemungkinan adanya infiltrasi dan kebocorannya. 6. Hambatan ketersediaan psikotropika Ada hambatan yang unik dalam hal ketersediaan dan penggunaan psikotropika, mengingat potensi penyalahgunaan dan sebagai golongan obat yang dikontrol. Menurut survei INCB tahun 2014, hambatan tersebut meliputi

9 9 kekhawatiran ketergantungan terhadap psikotropika; keengganan untuk meresepkan atau penyediaan karena efek rasa takut akibat hukum atau sanksi; kurangnya pelatihan terhadap profesi pelayan kesehatan tentang psikotropika; ketakutan adanya diversi; hukum atau peraturan yang terlalu ketat; beban administrasi; keterbatasan sumber daya; permasalahan biaya pengobatan dengan menggunakan psikotropika; faktor budaya dan perilaku sosial; pengendalian dan pengawasan yang berlaku secara internasional; permasalahan fasilitas pelayanan kesehatan, seperti akses terhadap rumah sakit, puskemas, klinik atau apotek (INCB, 2015). Faktor diversi dalam penggunaan psikotropika lebih rendah daripada penggunaan narkotika. Hambatan utama ketersediaan psikotropika adalah kurangnya pengetahuan dan kesadaran di antara tenaga kesehatan tentang konsep penggunaan rasional obat psikotropika. Hal ini memberi kontribusi yang besar terhadap penyediaan dan peresepan psikotropika tersebut. Demikian juga masih kurangnya pengetahuan tentang penggunaan rasional psikotropika pada kurikulum pendidikan kedokteran, mengakibatkan dokter meresepkan obat yang lebih dikenal, khususnya yang tidak dikontrol secara nasional maupun internasional (INCB, 2015). Permasalahan biaya pengobatan juga menjadi penghambat terhadap akses mendapatkan psikotropika. Ternyata biaya pengobatan dengan psikotropika, sebesar 98% ditanggung pasien, 73% oleh pemerintah dan 62% melalui skema asuransi kesehatan. Kebijakan jaminan sosial dan skema asuransi kesehatan nasional menjadi faktor penting untuk meningkatkan akses dan keterjangkauan

10 10 psikotropika (INCB, 2015). Program Jaminan Kesehatan Nasional melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan yang diterapkan di Indonesia sejak tahun 2014 diharapkan dapat meningkatkan akses dan keterjangkauan psikotropika. Berdasarkan permasalahan terhadap diazepam tersebut, peneliti tertarik untuk mengkaji ketersediaan diazepam nasional untuk kebutuhan medis serta mengetahui faktor yang berpengaruh, yaitu melalui pengukuran penggunaan diazepam dan benzodiazepin lain di Indonesia selama periode tahun , mengkaji alur distribusi di jalur resmi, kemungkinan adanya infiltrasi dan kebocoran distribusi serta menganalisis faktor yang mempengaruhi ketersediaan diazepam. Dengan demikian, hasil penelitian ini dapat mengetahui tingkat ketersediaan diazepam selama ini telah memenuhi kebutuhan medis, kurang atau berlebih. Kurangnya ketersediaan akan menurunkan kualitas pelayanan kesehatan serta mendorong terjadinya pengobatan yang tidak rasional karena pasien menerima obat tidak sesuai kebutuhan klinik, sedangkan ketersediaan berlebih dapat menimbulkan pemborosan, berpotensi terjadi penyalahgunaan, diversi serta kebocoran ke jalur distribusi tidak resmi. Penelitian ini penting dilakukan karena ketersediaan, distribusi serta penggunaan obat berkaitan dengan sistem kesehatan dan berkontribusi pada penggunaan obat yang rasional. Menurut McBain (2012), ketersediaan obat psikotropika berkaitan dengan lima komponen sistem kesehatan mental (legislasi kesehatan mental, implementasi hak asasi manusia, pembiayaan dalam pelayanan kesehatan, sumber daya manusia serta peran kelompok advokasi). Penggunaan

11 11 obat yang rasional dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling berkaitan, yaitu faktor sistem pelayanan kesehatan, prescriber, dispenser serta pasien dan masyarakat (MSH, 2012). Ketersediaan obat yang baik mengindikasikan adanya sistem kesehatan yang baik. Dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN) yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2012 menyebutkan bahwa, penyelenggaraan SKN memerlukan keterkaitan unsur-unsur SKN sebagai suatu tata hubungan yang efektif yang dijabarkan melalui penyelenggaraan tujuh subsistem, yaitu: subsistem upaya kesehatan, penelitian dan pengembangan kesehatan, pembiayaan kesehatan, sumber daya manusi kesehatan, sediaan farmasi, alkes dan makanan, manajemen, informasi dan regulasi kesehatan, serta subsistem pemberdayaan masyarakat. Penyelenggaraan subsistem sediaan farmasi, alkes dan makanan dengan cara menjamin keamanan, khasiat dan mutu produk yang beredar, menjamin ketersediaan, pemerataan dan keterjangkauan obat terutama obat esensial, perlindungan masyarakat dari penggunaan yang salah serta penyalahgunaan obat serta penggunaan obat yang rasional (Pemerintah RI, 2012). Dengan demikian, menjamin ketersediaan diazepam sebagai bagian dari penyelenggaran SKN. B. Perumusan Masalah 1. Bagaimana penggunaan diazepam dan benzodiazepin lain untuk kebutuhan medis di Indonesia selama tahun ? 2. Bagaimana alur distribusi diazepam untuk memenuhi kebutuhan medis, serta kemungkinan infiltrasi dan kebocoran distribusi?

12 12 3. Faktor apa yang mempengaruhi tenaga kesehatan dalam menyediakan dan meresepkan diazepam? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum : Memastikan bahwa kebutuhan diazepam untuk medis tercukupi dan penggunaannya di distribusi jalur resmi. 2. Tujuan khusus : a. Mengkaji penggunaan diazepam dan benzodiazepin lain di Indonesia selama tahun , penggunaannya sudah memenuhi kebutuhan medis atau belum. b. Mengkaji alur distribusi diazepam untuk kebutuhan medis serta kemungkinan infiltrasi ketersediaan dan kebocoran distribusi. c. Menganalisis faktor yang mempengaruhi ketersedian diazepam untuk kebutuhan medis. D. Manfaat Penelitian 1. Hasil penelitian ini secara teoritis dapat digunakan untuk mengembangkan teori manajemen obat yang memerlukan pengawasan yang bersifat khusus, seperti psikotropika dan narkotika, karena terdapat hal-hal khusus yang mempengaruhi manajemen obat yang tidak dijumpai pada obat biasa. 2. Manfaat praktis: a. Memberi asupan kepada tenaga medis, tenaga kesehatan, penentu kebijakan, serta akademisi tentang tren penggunaan diazepam, distribusi serta peran tenaga kesehatan dalam menjamin ketersediaannya, sehingga dapat digunakan untuk peningkatan pelayanan kesehatan.

13 13 b. Memberi asupan kepada pemerintah agar dapat menjamin ketersediaan diazepam untuk kebutuhan medis, mencegah penyimpangan ke jalur tidak resmi, maupun mencegah masuknya ketersediaan diazepam dari jalur tidak resmi ke resmi. c. Memberi asupan kepada penentu kebijakan dalam menentukan kebutuhan nasional diazepam yang adekuat serta psikotropika lain untuk menjamin ketersediaan, menentukan kebijakan ekspor dan impor obat psikotropika. d. Meningkatkan penggunaan obat yang rasional, khususnya diazepam dan psikotropika pada umumnya, melalui strategi edukasi dan manajerial yang tepat. E. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian tentang penggunaan benzodiazepin yang telah dilakukan, antara lain adalah sebagai berikut, Hollingworth (2010) mengkaji proporsi peresepan antipsikotik di Australia pada tahun Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya peningkatan dari 61% pada tahun 2002 menjadi 77% pada tahun Laki-laki dengan umur tahun banyak diresepkan obat olanzepin, sedangkan pada wanita paling banyak diresepkan pada umur di atas 75 tahun. Markovic, et al. (2010) meneliti obat-obat yang bekerja pada sistem saraf yang paling banyak digunakan di Srpska, Bosnia. Hasilnya ditemukan bahwa obat golongan psikoleptik, antiepileptik dan psikoanaleptik merupakan obat yang paling banyak digunakan. Diazepam merupakan obat yang terbanyak diresepkan, diikuti oleh fenobarbital dan karbamazepim.

14 14 Sonnenberg, et al. (2012) meneliti tren penggunaan benzodiazepin di Jerman pada tahun , dengan menggunakan data sekunder. Sampel diambil dari pasien yang berumur tahun. Penelitian tersebut juga melihat aspek sosiodemografi, kesehatan fisik serta mental pasien. Hasil penelitian menunjukkan tren penggunaan benzodiazepin selama sepuluh tahun relatif stabil, antara 7,8%-7,9%. Penggunaan didominasi pada wanita dengan tingkat pendidikan rendah, penghasilan rendah, penyakit fisik yang kronis, fungsi tubuh terbatas, gangguan kognitif, depresi, kecemasan, susah tidur serta pengguna antidepresan. Petrushevska, et al. (2015) mengkaji penggunaan kelompok benzodiazepin di Republik Macedonia tahun Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan diazepam 5 mg untuk penggunaan medis mencapai 59%. Holm, et al. (2012) menganalisis penggunaan benzodiazepin di Denmark selama periode tahun , yang terkait dengan umur, jenis kelamin dan penyakit ikutan, dengan menggunakan data nasional pasien yang menerima resep benzodizepin dari rumah sakit. Terjadi penurunan penggunaan benzodiazepin kerja pendek dan kerja panjang oleh penduduk Denmark dari tahun , namun penggunaan non benzodiazepin (benzodiazepine related drugs) seperti zolpidem dan zopiclone meningkat. Satu di antara empat penduduk usia tahun dan satu di antara tiga penduduk usia di atas 85 tahun menggunakan benzodiazepin. Terdapat efek samping yang serius penggunaan benzodiazepin khususnya pasien usia tua.

15 15 Alba, et al. (2015) mengkaji tren konsumsi dan biaya ansiolitik dan hipnotik terhadap pasien yang terdaftar pada Sistem Kesehatan Kolombia antara bulan Januari 2008-Desember Penelitian deskriptif melalui observasi peresepan pasien rawat jalan yang menerima obat ansiolitik atau hipnotik. Hasilnya menunjukkan bahwa pasien menerima obat yang bervariasi, sedangkan jumlah penduduk Kolombia Pasien yang menggunakan klonazepam 44,1%, alprazolam 31,2%, lorazepam 13,2%. Biaya penggunaan obat ansiolitik meningkat dari US$ ,63 pada tahun 2008 menjadi US$ pada tahun 2013, meningkat 135,4%. Biaya obat per seribu penduduk sebesar US$ 0,31 untuk penggunaan benzodiazepin di tahun 2008, dan tahun 2013 sebesar US$ 0,36. Terjadi penurunan biaya obat setelah tahun 2010 karena penggunaan obat generik. Cunningham, et al. (2010) meneliti pola penggunaan benzodiazepin di British Columbia pada penggunaan jangka panjang, menggunakan data peresepan tahun Hasilnya, pada tahun 2006, 8,4% penduduk British Columbia menggunakan benzodiazepin, di antaranya 3,5% penggunaan jangka panjang. Penduduk yang menggunakan lebih banyak wanita, penghasilan rendah, usia tua dan status kesehatan yang buruk. Penggunaan jangka panjang pada penduduk usia di atas 65 tahun, dengan penghasilan yang rendah dan status kesehatan yang buruk. Tren penggunaan menurun dari tahun untuk penduduk usia di atas 70 tahun, tetapi meningkat pada penduduk usia pertengahan. Para peneliti sebelumnya mengkaji tren penggunaan benzodiazepin dengan menggunakan data peresepan. Dalam penelitian ini, tren penggunaan

16 16 diazepam dan benzodiazepin lain (ansiolitik, sedatif-hipnotik dan antiepileptik) dikaji melalui pengumpulan data konsumsi melalui produksi, impor dan ekspor secara nasional setiap tahunnya. Peneliti mengkaji faktor yang mempengaruhi ketersediaannya, menyusun alur distribusi serta kemungkinan adanya penyimpangan distribusi dan penggunaannya, sedangkan persamaannya adalah melihat tren penggunaan obat golongan benzodiazepin untuk jangka waktu lama, lima sampai sepuluh tahun. Faktor yang mempengaruhi ketersediaan diazepam dilakukan survei lokal di Daerah Istimewa Yogyakarta, provinsi dengan jumlah penderita gangguan mental emosional tertinggi di Indonesia.

4. Manajemen obat B. Landasan Teori C. Kerangka Teori D. Kerangka Konsep BAB III. METODE PENELITIAN A.

4. Manajemen obat B. Landasan Teori C. Kerangka Teori D. Kerangka Konsep BAB III. METODE PENELITIAN A. DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii SURAT PERNYATAAN... iii PERNYATAAN... iv KATA PENGANTAR... v DAFTAR ISI... ix DAFTAR TABEL... xii DAFTAR GAMBAR... xiii DAFTAR LAMPIRAN... xiv DAFTAR

Lebih terperinci

BERAPA KEBUTUHAN DIAZEPAM UNTUK MEMENUHI PELAYANAN KESEHATAN DI INDONESIA? STUDI KASUS KONSUMSI DIAZEPAM DI INDONESIA

BERAPA KEBUTUHAN DIAZEPAM UNTUK MEMENUHI PELAYANAN KESEHATAN DI INDONESIA? STUDI KASUS KONSUMSI DIAZEPAM DI INDONESIA p-issn: 2088-8139 e-issn: 2443-2946 BERAPA KEBUTUHAN DIAZEPAM UNTUK MEMENUHI PELAYANAN KESEHATAN DI INDONESIA? STUDI KASUS KONSUMSI DIAZEPAM DI INDONESIA HOW MUCH OF DIAZEPAM IS NECESSARY IN ORDER TO FULFILL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sehat merupakan hak azazi manusia yang harus di lindungi seperti yang tertuang dalam Deklarasi Perserikatan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sehat merupakan hak azazi manusia yang harus di lindungi seperti yang tertuang dalam Deklarasi Perserikatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sehat merupakan hak azazi manusia yang harus di lindungi seperti yang tertuang dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk hak azazi manusia (Declaration

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Apotek sebagai sarana pelayanan kesehatan dapat menyediakan obat bagi pasien melalui pelayanan resep. Resep merupakan perwujudan akhir kompetensi dokter dalam medical

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Obat esensial adalah obat terpilih yang dibutuhkan untuk pelayanan kesehatan, mencakup upaya diagnosis, profilaksis, terapi dan rehabilitasi yang diupayakan tersedia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Petidin merupakan analgesik yang mula kerjanya cepat tetapi bertahan hanya untuk waktu singkat; kurang menimbulkan konstipasi dibanding morfin; tetapi kurang kuat sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kekosongan obat merupakan masalah dalam pelayanan farmasi yang penting untuk ditindaklanjuti dengan segera karena obat merupakan bagian utama dalam proses penyembuhan

Lebih terperinci

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA UMUM Pembangunan kesehatan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional diarahkan guna tercapainya kesadaran, Kemauan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan meningkatnya kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, tuntutan dan kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan yang bermutu serta pemerataan

Lebih terperinci

Pengertian SKN. Maksud dan Kegunaan SKN 28/03/2016. BAB 9 Sistem Kesehatan Nasional (SKN)

Pengertian SKN. Maksud dan Kegunaan SKN 28/03/2016. BAB 9 Sistem Kesehatan Nasional (SKN) BAB 9 Sistem Kesehatan Nasional (SKN) Oleh Adila Prabasiwi, S.K.M, M.K.M Pengertian SKN Pengelolaan kesehatan yang diselenggarakan oleh semua komponen bangsa Indonesia secara terpadu dan saling mendukung

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGGUNAAN OBAT RASIONAL DIREKT0RAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

KEBIJAKAN PENGGUNAAN OBAT RASIONAL DIREKT0RAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEBIJAKAN PENGGUNAAN OBAT RASIONAL DIREKT0RAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN ARAH KEBIJAKAN Program peningkatan pelayanan kefarmasian diarahkan untuk

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.02.02/MENKES/068/I/2010 TENTANG

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.02.02/MENKES/068/I/2010 TENTANG PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.02.02/MENKES/068/I/2010 TENTANG KEWAJIBAN MENGGUNAKAN OBAT GENERIK DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN PEMERINTAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. tahun itu terus meningkat, baik itu pada laki-laki maupun perempuan. Menurut The

BAB 1 : PENDAHULUAN. tahun itu terus meningkat, baik itu pada laki-laki maupun perempuan. Menurut The BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyalahgunaan tembakau pada dasarnya merupakan penyebab kematian yang dapat dihindari. Namun, kecanduan dalam merokok masih belum bisa lepas dari masyarakat di dunia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan manusia dalam hal kelangsungan hidup. Dalam hal ini, kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun

Lebih terperinci

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PO TENTANG

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PO TENTANG KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR : PO.01.01.31.03660 TENTANG PENGATURAN KHUSUS PENYALURAN DAN PENYERAHAN BUPRENORFIN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN, Menimbang : a. bahwa penyediaan

Lebih terperinci

Farmaka Volume 15 Nomor 4 1

Farmaka Volume 15 Nomor 4 1 Volume 15 Nomor 4 1 UPAYA PENGAWASAN BBPOM DI BANDUNG DALAM KEJADIAN POTENSI PENYALAHGUNAAN OBAT Silvi Wulandari, Resmi Mustarichie Progam Studi Profesi Apoteker, Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA KEBUTUHAN TAHUNAN NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA DAN PREKURSOR

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA KEBUTUHAN TAHUNAN NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA DAN PREKURSOR PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA KEBUTUHAN TAHUNAN NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA DAN PREKURSOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Penggunaan obat yang tidak rasional sering dijumpai dalam praktek sehari-hari.

BAB 1 PENDAHULUAN. Penggunaan obat yang tidak rasional sering dijumpai dalam praktek sehari-hari. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan obat yang tidak rasional sering dijumpai dalam praktek sehari-hari. WHO memperkirakan lebih dari separuh dari seluruh obat di dunia yang diresepkan, dibuat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berkembangnya penyakit mendorong masyarakat untuk mencari alternatif pengobatan yang efektif secara terapi tetapi juga efisien dalam hal biaya. Berkenaan dengan

Lebih terperinci

2016, No Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431); 2. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Lemb

2016, No Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431); 2. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Lemb BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1501, 2016 KEMENKES. Terapi Buprenorfina. Penyelenggaraan. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN TERAPI BUPRENORFINA

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Obat, merupakan zat atau bahan yang digunakan untuk permasalahan kesehatan masyarakat antara lain digunakan untuk menyembuhkan penyakit dan mencegah komplikasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. aksesibilitas obat yang aman, berkhasiat, bermutu, dan terjangkau dalam jenis dan

I. PENDAHULUAN. aksesibilitas obat yang aman, berkhasiat, bermutu, dan terjangkau dalam jenis dan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan kesehatan perlu menjamin aksesibilitas obat yang aman, berkhasiat, bermutu, dan terjangkau dalam jenis dan jumlah yang cukup (Kepmenkes,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Obat merupakan kebutuhan dasar manusia yang tidak tergantikan dalam pelayanan kesehatan yang berguna untuk menyelamatkan kehidupan dan meningkatkan kualitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penggunaan suatu obat dapat berpengaruh terhadap kualitas pengobatan, pelayanan dan biaya pengobatan. Penggunaan obat merupakan tahap akhir manajemen obat. Penggunaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit kronis merupakan penyebab utama kematian dan kecacatan di seluruh dunia. WHO (2005) melaporkan penyakit kronis telah mengambil nyawa lebih dari 35 juta orang

Lebih terperinci

Pengobatan Gangguan Ansietas di Klinik

Pengobatan Gangguan Ansietas di Klinik Pengobatan Gangguan Ansietas di Klinik Mustafa M. Amin Departemen Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran USU Kongres PW IDI SUMUT Medan, 11 April 2015 0 Pendahuluan 1 Epidemiologi 2 Etiologi 3 Diagnosis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Panti Rehabilitasi Ketergantungan NAPZA Arsitektur Perilaku. Catherine ( ) 1

BAB I PENDAHULUAN. Panti Rehabilitasi Ketergantungan NAPZA Arsitektur Perilaku. Catherine ( ) 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sepanjang tercatat dalam sejarah manusia, NAPZA dipuja karena manfaatnya bagi manusia tetapi sekaligus dikutuk karena efek buruk yang diakibatkannya. NAPZA alami sudah

Lebih terperinci

REGULASI DI BIDANG KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN UNTUK MENDUKUNG JKN

REGULASI DI BIDANG KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN UNTUK MENDUKUNG JKN REGULASI DI BIDANG KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN UNTUK MENDUKUNG JKN Sekretaris Ditjen Binfar Alkes Sosialisasi Peraturan Perundang-undangan Di Bidang Kefarmasian dan Alat Kesehatan 9-12 November 2015

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap orang berhak atas jaminan sosial untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak dan meningkatkan martabat sehingga pemerintah mengembangkan Sistem Jaminan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. konsekuensi terutama dalam proses penyembuhan penyakit atau kuratif (Isnaini,

BAB I PENDAHULUAN. konsekuensi terutama dalam proses penyembuhan penyakit atau kuratif (Isnaini, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada era globalisasi dituntut adanya perubahan berbagai aspek, termasuk perubahan dalam dunia kesehatan. Adanya ketimpangan kualitas di negara maju dan negara berkembang

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENERAPAN FORMULARIUM NASIONAL DALAM JAMINAN KESEHATAN NASIONAL (JKN)

KEBIJAKAN PENERAPAN FORMULARIUM NASIONAL DALAM JAMINAN KESEHATAN NASIONAL (JKN) KEBIJAKAN PENERAPAN FORMULARIUM NASIONAL DALAM JAMINAN KESEHATAN NASIONAL (JKN) Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI LAY OUT LATAR BELAKANG

Lebih terperinci

KEBIJAKAN DITJEN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN MENDUKUNG DAN MENJAMIN AKSES SEDIAAN FARMASI DAN ALAT KESEHATAN

KEBIJAKAN DITJEN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN MENDUKUNG DAN MENJAMIN AKSES SEDIAAN FARMASI DAN ALAT KESEHATAN KEBIJAKAN DITJEN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN MENDUKUNG DAN MENJAMIN AKSES SEDIAAN FARMASI DAN ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN Disampaikan pada RAKERNAS DAN PIT IAI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah

BAB I PENDAHULUAN. asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jaminan Kesehatan Nasional adalah perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang aneh dan tidak beraturan, angan-angan, halusinasi, emosi yang tidak tepat,

I. PENDAHULUAN. yang aneh dan tidak beraturan, angan-angan, halusinasi, emosi yang tidak tepat, I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Skizofrenia merupakan sindrom kronik yang beranekaragam dari pemikiran yang aneh dan tidak beraturan, angan-angan, halusinasi, emosi yang tidak tepat, paham yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkembangan pergaulan masyarakat di Indonesia mengalami peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkembangan pergaulan masyarakat di Indonesia mengalami peningkatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan pergaulan masyarakat di Indonesia mengalami peningkatan yang sangat pesat. Hal ini disebabkan oleh tingginya arus globalisasi yang masuk ke Indonesia baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan salah satu permasalahan kesehatan utama di Indonesia yang mempengaruhi tingginya angka mortalitas dan morbiditas.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pharmaceutical care atau asuhan kefarmasian merupakan bentuk optimalisasi peran yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Pharmaceutical care atau asuhan kefarmasian merupakan bentuk optimalisasi peran yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pharmaceutical care atau asuhan kefarmasian merupakan bentuk optimalisasi peran yang dilakukan oleh apoteker terhadap pasien dalam melakukan terapi pengobatan sehingga

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pasien dengan kasus infeksi dan penggunaannya dapat bersifat empiris atau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pasien dengan kasus infeksi dan penggunaannya dapat bersifat empiris atau BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penggunaan Antibiotik Berdasarkan penggunaannya, antibiotik dibagi menjadi dua yaitu antibiotik terapi dan antibiotik profilaksis. Antibiotik terapi digunakan pada pasien dengan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. efisiensi biaya obat pasien JKN rawat jalan RS Swasta

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. efisiensi biaya obat pasien JKN rawat jalan RS Swasta BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Gambaran umum Penelitian ini bertujuan untuk melihat seberapa besar efisiensi biaya obat pasien JKN rawat jalan RS Swasta Yogyakarta melalui

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. hidup layak, baik dalam kesehatan pribadi maupun keluarganya, termasuk

BAB 1 PENDAHULUAN. hidup layak, baik dalam kesehatan pribadi maupun keluarganya, termasuk BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan hak azasi manusia, dimana setiap orang berhak untuk hidup layak, baik dalam kesehatan pribadi maupun keluarganya, termasuk didalamnya hak untuk

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 39 III. METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasional deskriptif bersifat retrospektif, dengan menggunakan data sekunder di ambil dari data rekam medik di Puskesmas

Lebih terperinci

2017, No Indonesia Nomor 5062); 3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144

2017, No Indonesia Nomor 5062); 3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144 No.206, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKES. Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2016 TENTANG STANDAR PELAYANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kesehatan. Menurut Undang-Undang No. 36 Tahun (2009), kesehatan adalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kesehatan. Menurut Undang-Undang No. 36 Tahun (2009), kesehatan adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Salah satu kebutuhan pokok hidup manusia yang bersifat mutlak adalah kesehatan. Menurut Undang-Undang No. 36 Tahun (2009), kesehatan adalah keadaan sehat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum seperti telah diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang No. 35 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. hukum seperti telah diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang No. 35 Tahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyalahgunaan narkotika sebagai bentuk tindakan yang melanggar hukum seperti telah diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yang

Lebih terperinci

BERITA NEGARA. No.1104, 2013 BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN. Pedoman. Prekursor Farmasi. Obat. Pengelolaan.

BERITA NEGARA. No.1104, 2013 BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN. Pedoman. Prekursor Farmasi. Obat. Pengelolaan. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1104, 2013 BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN. Pedoman. Prekursor Farmasi. Obat. Pengelolaan. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan kesehatan adalah bagian dari pembangunan nasional yang bertujuan meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud

Lebih terperinci

Kebijakan Obat Nasional, Daftar Obat Esensial Nasional, Perundangan Obat. Tri Widyawati_Wakidi

Kebijakan Obat Nasional, Daftar Obat Esensial Nasional, Perundangan Obat. Tri Widyawati_Wakidi Kebijakan Obat Nasional, Daftar Obat Esensial Nasional, Perundangan Obat Tri Widyawati_Wakidi Blok FM_Oktober2009 KONAS Sebagai landasan, arah dan pedoman dalam pembangunan obat yang mencakup tujuan, landasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan kesehatan menuju Indonesia sehat 2010 diselenggarakan dengan berasaskan perikemanusiaan, manfaat, perlindungan dan diarahkan untuk dapat meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masalah besar yang harus benar-benar diperhatikan oleh setiap orang tua. Upaya

BAB I PENDAHULUAN. masalah besar yang harus benar-benar diperhatikan oleh setiap orang tua. Upaya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anak akan menjadi penerus bangsa, dengan punya anak yang sehat dan cerdas maka akan kuatlah bangsa tersebut. Selain itu kesehatan anak merupakan masalah besar yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai obat generik menjadi faktor utama

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai obat generik menjadi faktor utama 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Obat generik sering diasumsikan sebagai obat dengan kualitas yang rendah. Kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai obat generik menjadi faktor utama yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kekebalan tubuh manusia. Acquired Immunodeficiency Syndrome atau AIDS. tubuh yang disebabkan infeksi oleh HIV (Kemenkes RI, 2014).

BAB 1 PENDAHULUAN. kekebalan tubuh manusia. Acquired Immunodeficiency Syndrome atau AIDS. tubuh yang disebabkan infeksi oleh HIV (Kemenkes RI, 2014). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus atau HIV adalah sejenis virus yang menyerang/menginfeksi sel darah putih yang menyebabkan menurunnya kekebalan tubuh manusia. Acquired

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. anak-anak dan dewasa muda. Penyakit ini mencapai lebih dari 13 juta kematian per

BAB I PENDAHULUAN. anak-anak dan dewasa muda. Penyakit ini mencapai lebih dari 13 juta kematian per 11 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemakaian antibiotik pada saat ini sangat tinggi, hal ini disebabkan penyakit infeksi masih mendominasi. Penyakit infeksi sekarang pembunuh terbesar di dunia anak-anak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Indikator WHO 1993 Indikator WHO 1993 adalah suatu metode untuk melihat pola penggunaan obat dan dapat secara langsung menggambarkan tentang penggunaan obat yang tidak sesuai.

Lebih terperinci

Aspek Medikologal LSD JENIS-JENIS NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA (NAPZA/NARKOBA)

Aspek Medikologal LSD JENIS-JENIS NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA (NAPZA/NARKOBA) Aspek Medikologal LSD JENIS-JENIS NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA (NAPZA/NARKOBA) GOLONGAN NARKOTIKA 1. Narkotika Golongan I : Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan, dan tidak ditujukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 13 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keberhasilan pembangunan kesehatan ditentukan antara lain oleh ketersediaan biaya kesehatan. Biaya kesehatan ditinjau dari sisi pemakai jasa pelayanan kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1948 tentang Hak Azasi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1948 tentang Hak Azasi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1948 tentang Hak Azasi Manusia, pada pasal 25 Ayat (1) dinyatakan bahwa setiap orang berhak atas derajat hidup yang memadai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Disisi lain, apabila disalahgunakan narkoba dapat menimbulkan ketergantungan dan

BAB I PENDAHULUAN. Disisi lain, apabila disalahgunakan narkoba dapat menimbulkan ketergantungan dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Penyalahgunaan narkoba merupakan penyakit endemik dalam masyarakat modern, dapat dikatakan bahwa penyalahgunaan narkoba merupakan penyakit kronik yang berulang kali

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pencegahan dan pengobatan penyakit (Depkes RI, 2009). yang tidak rasional bisa disebabkan beberapa kriteria sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN. pencegahan dan pengobatan penyakit (Depkes RI, 2009). yang tidak rasional bisa disebabkan beberapa kriteria sebagai berikut : BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengobatan adalah ilmu dan seni penyembuhan dalam bidang keilmuan ini mencakup berbagai praktek perawatan kesehatan yang secara kontinu terus berubah untuk mempertahankan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Apotek Definisi apotek menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1332/MENKES/SK/X/2002 yaitu sebagai suatu tempat dilakukannya pekerjaan kefarmasian, penyaluran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap manusia memiliki hak asasi yang salah satunya adalah kesehatan. Pengertian dari kesehatan tidak hanya sebatas sehat secara jasmani dan rohani, namun sehat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan hal yang penting dan menjadi hak semua orang. Kesehatan yang dimaksud tidak hanya sekedar sehat secara fisik atau jasmani, tetapi juga secara mental,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Universal Health Coverage (UHC) sebagai bagian dari reformasi sistem kesehatan pada saat ini telah dilaksanakan oleh hampir setengah negara di dunia dengan berbagai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. seluruh dunia. Jumlah kasus TB pada tahun 2014 sebagian besar terjadi di Asia

BAB 1 PENDAHULUAN. seluruh dunia. Jumlah kasus TB pada tahun 2014 sebagian besar terjadi di Asia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuberkulosis masih menjadi masalah kesehatan di dunia. 1,5 juta orang meninggal akibat tuberkulosis pada tahun 2014. Insiden TB diperkirakan ada 9,6 juta (kisaran 9,1-10

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada umumnya rumah sakit atau pihak asuransi kesehatan memiliki suatu formularium atau daftar obat, tetapi pemanfaatan formularium tersebut sebagai salah satu alat untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekurangan nafkah, yang berada di luar kekuasaannya (Kemenkes RI, 2012).

BAB I PENDAHULUAN. kekurangan nafkah, yang berada di luar kekuasaannya (Kemenkes RI, 2012). 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hak tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya merupakan hak asasi manusia dan diakui oleh segenap bangsabangsa didunia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau. Pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau. Pengelolaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan menegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Adiktif lainnya. Kata lain yang sering dipakai adalah Narkoba (Narkotika,

BAB I PENDAHULUAN. Adiktif lainnya. Kata lain yang sering dipakai adalah Narkoba (Narkotika, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang NAPZA adalah singkatan untuk Narkotika, Alkohol, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya. Kata lain yang sering dipakai adalah Narkoba (Narkotika, Psikotropika dan Bahan-bahan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif dengan menggunakan data

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif dengan menggunakan data 32 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif dengan menggunakan data sekunder berupa rekam medik yang diambil dari Rawat Inap Simpur Kota Bandar Lampung.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. rumah sakit. Rumah sakit adalah suatu organisasi yang kompleks, menggunakan

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. rumah sakit. Rumah sakit adalah suatu organisasi yang kompleks, menggunakan BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT 2.1 Definisi Rumah Sakit Salah satu sarana untuk penyelenggaraan pembangunan kesehatan adalah rumah sakit. Rumah sakit adalah suatu organisasi yang kompleks, menggunakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesehatan merupakan suatu indikator yang menggambarkan tingkat

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesehatan merupakan suatu indikator yang menggambarkan tingkat BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesehatan merupakan suatu indikator yang menggambarkan tingkat keberhasilan pembangunan suatu negara. Tujuan pembangunan kesehatan adalah untuk mencapai derajat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepatuhan Kepatuhan menyatakan kesesuaian perilaku dan pelaksanaan kegiatan terhadap ketentuan atau standar yang berlaku. Kepatuah dokter menulis resep dipengaruhi faktor-faktor

Lebih terperinci

DAFTAR ISI PENGESAHAN SKRIPSI iii PERNYATAAN...v DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... viii DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR LAMPIRAN... xiii INTISARI...

DAFTAR ISI PENGESAHAN SKRIPSI iii PERNYATAAN...v DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... viii DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR LAMPIRAN... xiii INTISARI... DAFTAR ISI PENGESAHAN SKRIPSI iii PERNYATAAN....v DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... viii DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR LAMPIRAN... xiii INTISARI... xiv ABSTRACT...xv BAB I PENDAHULUAN... 1 A. LATAR BELAKANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rumah sakit adalah salah satu contoh sarana kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang bertujuan untuk mewujudkan derajat kesehatan optimal bagi masyarakat.

Lebih terperinci

PENGUATAN REGULASI KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

PENGUATAN REGULASI KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN PENGUATAN REGULASI KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN Dr. Dra. Agusdini Banun S., Apt, MARS SEKRETARIS DIREKTORAT JENDERAL KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN Contents LANDASAN PENGATURAN ASPEK PENGATURAN TUJUAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penggunaan obat yang rasional didefinisikan sebagai suatu kondisi jika pasien menerima pengobatan sesuai dengan kebutuhan klinisnya, baik dilihat dari regimen

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pelayanan Farmasi Pelayanan farmasi rumah sakit merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang berorientasi kepada pelayanan pasien,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Joint United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS, 2013) melaporkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Joint United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS, 2013) melaporkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Joint United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS, 2013) melaporkan bahwa terdapat negara dengan beban Human Immunodeficiency Virus (HIV) tertinggi dan kasus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hak tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hak tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hak tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya merupakan hak asasi manusia dan diakui oleh segenap bangsa-bangsa di dunia,

Lebih terperinci

Stabat dalam rangka pembinaan Puskesmas. BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pusat Kesehatan Masyarakat yang disingkat puskesmas adalah unit

Stabat dalam rangka pembinaan Puskesmas. BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pusat Kesehatan Masyarakat yang disingkat puskesmas adalah unit Puskesmas dan sebagai bahan masukan kepada Dinas Kesehatan Kota Stabat dalam rangka pembinaan Puskesmas. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Puskesmas Pusat Kesehatan Masyarakat yang disingkat puskesmas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1948 tentang Hak Azasi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1948 tentang Hak Azasi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1948 tentang Hak Azasi Manusia, pada pasal 25 Ayat (1) dinyatakan bahwa setiap orang berhak atas derajat hidup yang memadai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sakit (illness) berbeda dengan penyakit (disease). Sakit berkaitan dengan

BAB I PENDAHULUAN. Sakit (illness) berbeda dengan penyakit (disease). Sakit berkaitan dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sakit (illness) berbeda dengan penyakit (disease). Sakit berkaitan dengan keluhan yang dirasakan seseorang dan bersifat subjektif, sedangkan penyakit berkaitan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat menurut Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat menurut Undang-Undang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rumah sakit merupakan salah satu peranan penting dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat

Lebih terperinci

UU 22/1997, NARKOTIKA. Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 22 TAHUN 1997 (22/1997) Tanggal: 1 SEPTEMBER 1997 (JAKARTA) Tentang: NARKOTIKA

UU 22/1997, NARKOTIKA. Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 22 TAHUN 1997 (22/1997) Tanggal: 1 SEPTEMBER 1997 (JAKARTA) Tentang: NARKOTIKA UU 22/1997, NARKOTIKA Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 22 TAHUN 1997 (22/1997) Tanggal: 1 SEPTEMBER 1997 (JAKARTA) Tentang: NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkembang dengan pesat, secara garis besar masalah kesehatan jiwa. Masalah psikososial membutuhkan kemampuan penyesuaian dan

BAB I PENDAHULUAN. berkembang dengan pesat, secara garis besar masalah kesehatan jiwa. Masalah psikososial membutuhkan kemampuan penyesuaian dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah kesehatan jiwa di masyarakat sedemikian luas dan kompleks, saling berhubungan dengan segala aspek kehidupan manusia. Mengacu pada UU no. 23 Tahun 1992 tentang

Lebih terperinci

2 Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 3. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkot

2 Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 3. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkot No.906, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKES. Kefarmasian. Puskesmas. Standar Pelayanan. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN

Lebih terperinci

SUBSISTEM OBAT DAN PERBEKALAN KESEHATAN

SUBSISTEM OBAT DAN PERBEKALAN KESEHATAN SUBSISTEM OBAT DAN PERBEKALAN KESEHATAN Oleh: Dian Kusuma, SKM, MPH Kuliah: Sistem dan Manajemen Kesehatan Palembang, Indonesia 2007 PENGERTIAN = tatanan yg mhimpun bbagai upaya yg mjamin ketersediaan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang semula hanya berfokus kepada pengelolaan obat (drug oriented)

BAB I PENDAHULUAN. yang semula hanya berfokus kepada pengelolaan obat (drug oriented) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelayanan kefarmasian merupakan salah satu kunci pokok suksesnya sistem kesehatan. Pelayanan kefarmasian telah mengalami perubahan yang semula hanya berfokus kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan sistem ekonomi dari perekonomian tertutup menjadi perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. perubahan sistem ekonomi dari perekonomian tertutup menjadi perekonomian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Fenomensa globalisasi dalam bidang ekonomi mendorong perkembangan ekonomi yang semakin dinamis antar negara. Dengan adanya globalisasi, terjadi perubahan sistem ekonomi

Lebih terperinci

Jalur Distribusi Obat

Jalur Distribusi Obat Jalur Distribusi Obat Berikut jalur distribusi obat: Apotik &Toko Obat Apotik & Toko Obat Pedagang Besar Farmasi RS dan Puskesmas Industri Registrasi BPOM Izin Edar Pedagang Eceran Dokter yg pny SIMO PBF

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA [LN 1997/10, TLN 3671]

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA [LN 1997/10, TLN 3671] UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA [LN 1997/10, TLN 3671] Pasal 59 (1) Barang siapa : a. menggunakan psikotropika golongan I selain dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) 1 ; atau b. memproduksi

Lebih terperinci

KEBIJAKAN OBAT NASIONAL (KONAS) Kepmenkes No 189/Menkes/SK/III/2006

KEBIJAKAN OBAT NASIONAL (KONAS) Kepmenkes No 189/Menkes/SK/III/2006 KEBIJAKAN OBAT NASIONAL (KONAS) Kepmenkes No 189/Menkes/SK/III/2006 Oleh : Drs. Richard Panjaitan, Apt., SKM DISAMPAIKAN PADA WORKSHOP KETERSEDIAAN, KETERJANGKAUAN DAN PEMERATAAN OBAT ESENSIAL GENERIK

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif retrospektif non analitik

III. METODE PENELITIAN. Desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif retrospektif non analitik 44 III. METODE PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian Desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif retrospektif non analitik yaitu suatu metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan utama membuat gambaran

Lebih terperinci

KEPPRES 116/1999, BADAN KOORDINASI NARKOTIKA NASIONAL

KEPPRES 116/1999, BADAN KOORDINASI NARKOTIKA NASIONAL Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 116/1999, BADAN KOORDINASI NARKOTIKA NASIONAL *49090 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES) NOMOR 116 TAHUN 1999 (116/1999) TENTANG BADAN KOORDINASI NARKOTIKA NASIONAL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan dan kemajuan teknologi. Adanya perkembangan dan kemajuan

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan dan kemajuan teknologi. Adanya perkembangan dan kemajuan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada zaman reformasi sekarang ini, berbicara mengenai anak adalah sangat penting karena anak merupakan potensi nasib manusia hari mendatang, dialah yang ikut

Lebih terperinci

SOP. KOTA dr. Lolita Riamawati NIP

SOP. KOTA dr. Lolita Riamawati NIP Halaman : 1 UPTD Puskesmas KOTA SURABAYA 1. Pengertian Pelayanan program rujuk balik adalah pelayanan kesehatan yang diberikan kepada penderita penyakit kronis dengan kondisi stabil dan masih memerlukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan formal yaitu di puskesmas, rumah sakit, dan di apotek. Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan formal yaitu di puskesmas, rumah sakit, dan di apotek. Permasalahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan dalam farmasi klinik terutama muncul karena penggunaan obat. Penelitian terhadap masalah dalam terapi obat merupakan kajian yang cukup menarik dan penting.

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif dengan metode survei

III. METODE PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif dengan metode survei III. METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif dengan metode survei retropektif dan menggunakan data sekunder (data peresepan obat demam tifoid). B. Tempat

Lebih terperinci