METODE HERMENEUTIK DALAM PENELITIAN SINKRETISME BENTUK ARSITEKTUR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "METODE HERMENEUTIK DALAM PENELITIAN SINKRETISME BENTUK ARSITEKTUR"

Transkripsi

1 Ashadi METODE HERMENEUTIK DALAM PENELITIAN SINKRETISME BENTUK ARSITEKTUR WHOLE PARTS Arsitektur UMJ Press

2 Ashadi, lahir 25 Pebruari 1966, di Cepu, Jawa Tengah. Pendidikan Tinggi: S1 Arsitektur UNDIP (1991), S2 Antropologi UI (2004), dan S3 Arsitektur UNPAR (2016). Ia aktif sebagai dosen di Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Jakarta (FT-UMJ), sejak tahun Jabatan Struktural yang pernah dan sedang diemban yakni: Kepala Laboratorium Arsitektur FT-UMJ ( ); Ketua Program Studi Arsitektur FT-UMJ ( dan sekarang); Wakil Dekan FT-UMJ ( ); Kepala Pusat Afiliasi, Kajian dan Riset Teknologi FT-UMJ ( ); Kepala Lembaga Pengembangan Bisnis FT- UMJ ( ). Kegiatan ilmiah yang pernah dan sedang dilakukan: Penelitian Hibah Bersaing DIKTI, publikasi jurnal nasional maupun internasional, dan presentasi ilmiah pada forum-forum seminar skala nasional maupun internasional. Jabatan Fungsional Dosen terakhir: Lektor Kepala. Dalam 5 tahun terakhir, buku yang telah diterbitkan: Peradaban dan Arsitektur Dunia Kuno: Sumeria-Mesir-India (2016); Peradaban dan Arsitektur Klasik Yunani-Romawi (2016); Peradaban dan Arsitektur Zaman Pertengahan: Byzantium, Kekristenan, Arab dan Islam (2016); Peradaban dan Arsitektur Modern (2016); Keraton Jawa (2017); Alun-Alun Kota Jawa (2017); Tata Ruang Kauman (2017); dan Tentang Jawa (2017).

3 METODE HERMENEUTIK DALAM PENELITIAN SINKRETISME BENTUK ARSITEKTUR Ashadi Penerbit Arsitektur UMJ Press 2017

4

5 METODE HERMENEUTIK DALAM PENELITIAN SINKRETISME BENTUK ARSITEKTUR arsitekturumjpress Penulis: ASHADI CETAKAN PERTAMA, NOPEMBER 2017 Hak Cipta Pada Penulis Hak Cipta Penulis dilindungi Undang-Undang Hak Cipta 2002 Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun tanpa izin tertulis dari Penerbit. Desain Sampul : Abu Ghozi Tata Letak : Abu Ghozi Perpustakaan Nasional Katalog Dalam Terbitan (KDT) ASHADI Metode Hermeneutik Dalam Penelitian Sinkretisme Bentuk Arsitektur Jumlah Halaman 74 ISBN Diterbitkan Oleh Arsitektur UMJ Press Jln. Cempaka Putih Tengah 27 Jakarta Pusat Tetp , Fax arwityas@yahoo.com Gambar Sampul: Diagram Lingkaran Hermeneutik Dicetak dan dijilid di Jakarta Isi di luar tanggung jawab percetakan

6 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Sanksi Pelanggaran Pasal 72 : 1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/ atau denda paling sedikit Rp ,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp ,00 (lima miliar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp ,00 (limaratus juta rupiah).

7 ABSTRAK Semua bidang ilmu pengetahuan tidak bisa terlepas dari induk ilmu pengetahuan, yaitu ilmu filsafat, termasuk ilmu arsitektur. Salah satu cabang ilmu filsafat yang dapat mempengaruhi dalam beberapa penelitian arsitektur adalah ilmu hermeneutik. Hermeneutik dapat pula digunakan sebagai sebuah metode dalam penelitian arsitektur. Tujuan penelitian ini adalah menelusuri dan memahami metode hermeneutik dan penerapannya dalam penelitian sinkretisme bentuk arsitektur. Tujuan akhirnya adalah memahami makna sinkretisme bentuk pada arsitektur bangunan peribadatan, khususnya bangunan masjid. Kasus studi yang dipilih adalah mesjid Sunan Ampel di Surabaya, Jawa Timur, dengan pertimbangan bahwa mesjid Sunan Ampel adalah mesjid paling tua di Indonesia, dan memiliki fungsi sebagai tempat ibadah umat Islam dari masa awal pembangunannya hingga sekarang ini. Metode yang digunakan adalah gabungan hermeneutik yang digagas oleh Paul Ricoeur, terutama dengan otonomi teksnya, dengan relasi bentukfungsi-makna dalam arsitektur. Dalam penelitian ini, mesjid Sunan Ampel dianggap sebagai otonomi teks, sehingga ia dilepaskan dari: Sunan Ampel sebagai arsiteknya, proses pendiriannya, konteks awalnya, dan para pendukung awalnya. Dalam analisis dan interpretasi, bentuk mesjid Sunan Ampel dibuka pelingkup-pelingkupnya (lantai, dinding, dan atap), kemudian diacukan dengan bentuk arsitektur acuan untuk mengidentifikasi dan menemukan bagian-bagian mana dari pelingkup yang sinkretik. Untuk memahami makna sinkretisme bentuk, maka bentuk arsitektur yang sinkretik tersebut direlasikan dengan fungsi atau kegiatan yang diwadahinya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa makna sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid Sunan Ampel adalah bangunan peribadatan yang dari masa awal pendiriannya hingga sekarang ini memiliki strategi bertahan dengan konsep-konsep adaptasi, toleransi, dan respon. Kata Kunci: Arsitektur, Bentuk, Fungsi, Hermeneutik, Sinkretisme.

8

9 KATA PENGANTAR Dengan mengucap Alhamdulillah, akhirnya buku berjudul Metode Hermeneutik Dalam Penelitian Sinkretisme Bentuk Arsitektur bisa dirampungkan. Buku ini merupakan hasil pengembangan dari penelitian kecil, dan sebagian dari Disertasi pada Program Studi Doktor Arsitektur Universitas Katolik Parahyangan Bandung (2016), berjudul Makna Sinkretisme Bentuk pada Arsitektur Mesjid-Mesjid Walisanga, serta dari materi Kuliah Umum Program Studi Doktor Arsitektur Universitas Katolik Parahyangan Bandung pada 30 September Dalam buku ini ditambahkan gambar-gambar baru untuk memperjelas uraian pembahasan. Buku ini mengeksplorasi beberapa metode hermeneutik yang dapat digunakan dalam penelitian arsitektur, yaitu dengan melibatkan konsep-konsep: empati, penghayatan, pra-struktur, peleburan horizon, dialog, dan otonomi. Penerapan metode otonomi teks dan relasi bentuk-fungsi-makna dalam arsitektur pada kasus studi menghasilkan kesimpulan makna sinkretisme bentuk, yaitu sebagai sebuah strategi bertahan dan berkembang yang melibatkan konsep-konsep adaptasi, toleransi, dan respon. Akhirnya, semoga buku ini dapat bermanfaat sebagai sumbangan ilmu pengetahuan tentang metode hermeneutik dalam penelitian dan makna sinkretisme bentuk pada arsitektur bangunan peribadatan. Jakarta, Nopember 2017 Penulis i

10 ii

11 PENGANTAR PENERBIT Alhamdulillah, tulisan Ashadi yang berjudul Metode Hermeneutik Dalam Penelitian Sinkretisme Bentuk Arsitektur dapat kami terbitkan. Buku ini merupakan hasil pengembangan dari penelitian kecil, dan dari sebagian isi Disertasi pada Program Studi Doktor Arsitektur Universitas Katolik Parahyangan Bandung (Ashadi, 2016), berjudul Makna Sinkretisme Bentuk pada Arsitektur Mesjid-Mesjid Walisanga, serta dari materi Kuliah Umum yang diberikan oleh penulis pada Program Studi Doktor Arsitektur Universitas Katolik Parahyangan Bandung pada 30 September Dalam buku ini, penulis berusaha memahami metode hermeneutik dalam penelitian arsitektur dan makna sinkretisme bentuk pada arsitektur bangunan peribadatan, dengan kasus studi mesjid Sunan Ampel. Dengan menggunakan metode hermeneutik otonomi teks dan relasi bentuk-fungsi-makna dalam arsitektur, menghasilkan kesimpulan bahwa sinkretisme yang terjadi pada bentuk arsitektur bangunan mesjid Sunan Ampel memiliki makna strategi dalam bertahan dan berkembang, dengan melibatkan konsep-konsep adaptasi, toleransi, dan respon. Gambar-gambar yang disertakan dalam pembahasan sangat membantu dalam memahami isi buku ini. Kehadiran buku ini menjadi salah satu sumbangan penting bagi khasanah ilmu pengetahuan, khususnya tentang metode hermeneutik dalam penelitian sinkretisme bentuk arsitektur bangunan peribadatan. Jakarta, Nopember 2017 Penerbit iii

12 iv

13 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR PENGANTAR PENERBIT DAFTAR ISI HAL. i iii v BAGIAN 1 PENDAHULUAN 1 BAGIAN 2 METODE HERMENEUTIK Tinjauan Hermeneutik sebagai Sebuah Metode Metode Hermeneutik dalam Penelitian Arsitektur 12 BAGIAN 3 KONSEP SINKRETISME BENTUK PADA ARSITEKTUR Konsep Sinkretisme dalam Arsitektur Konsep Bentuk Arsitektur Acuan Langkah-Langkah Penelitian 35 BAGIAN 4 EKSPLANASI BENTUK DAN FUNGSI MESJID SUNAN AMPEL Perkembangan Bentuk dalam Latar Sejarah Bentuk dan Fungsi Mesjid Sunan Ampel Fungsi-Fungsi Konseptual 50 v

14 vi BAGIAN 5 ANALISIS DAN INTERPRETASI Menentukan Bentuk Arsitektur yang Dianalisis dan Diinterpretasi Pembukaan Pelingkup Bentuk Arsitektur Membandingkan Bentuk Arsitektur Mesjid Sunan Ampel dengan Bentuk Arsitektur Acuan Berdasarkan Pelingkupnya dan Periodisasi Waktu Keberadaannya Menginterpretasi Hasil Perbandingan Merelasikan Sinkretisme Bentuk pada Arsitektur Mesjid Sunan Ampel dengan Fungsi-Fungsi Konseptual Menginterpretasi Relasi 62 BAGIAN 6 KESIMPULAN 65 DAFTAR PUSTAKA 69

15 BAGIAN 1 PENDAHULUAN Situasi dunia saat ini ditandai oleh suasana keberagaman budaya sebagai akibat kemajuan teknologi yang mempermudah proses globalisasi. Proses globalisasi ini mengakibatkan perjumpaan unsur-unsur keberagaman budaya semakin intens [Kira, 2012]. Percampuran unsur-unsur kebudayaan lokal dengan non lokal tidak bisa dihindari. Arsitektur sebagai bagian dari kebudayaan mengalami pula keragaman bentuk yang semakin intens, yang kemudian memunculkan istilah-istilah both and, hibrida, inkulturasi, dan sinkretisme dalam arsitektur. Berbeda dengan ketiga istilah lainnya, sinkretisme berkaitan erat dengan unsurunsur keyakinan atau kepercayaan. Dalam bidang arsitektur, sinkretisme pada umumnya terjadi pada bangunan-bangunan peribadatan, seperti mesjid, gereja, candi, dan klenteng. Pada kasus lain, seperti perkampungan Kauman, yang keberadaannya memiliki arti penting dalam tata ruang kota tradisional Jawa pada zaman Kolonial, di zaman global ini bisa saja terjadi sinkretisme. Pemahaman terhadap penelitian sinkretisme bentuk pada arsitektur bangunan peribadatan dibutuhkan sudut pandang atau pendekatan dan metode yang dapat menyelami aspek fisik arsitektural bangunannya dan aspek non fisik keyakinan kelompok masyarakat penggunanya atau pendukungnya. Kegiatan memahami membutuhkan keterlibatan peneliti, karena memahami tidak bertujuan memperoleh data belaka, melainkan untuk menangkap makna, bahkan memungkinkan untuk memberikan makna. Sementara metode dibutuhkan sebagai langkah-langkah penelitian secara operasional. Pendekatan dan 1

16 2 metode yang relevan untuk mendekati fenomena budaya sinkretisme bentuk pada arsitektur bangunan peribadatan adalah hermeneutik. Dalam setiap kegiatan penelitian, termasuk penelitian arsitektur, dibutuhkan sebuah pendekatan penelitian atau sudut pandang atau kaca mata yang dianggap paling relevan dan cocok dengan masalah utama dan tujuan penelitiannya. Pendekatan penelitian (research approach) digunakan untuk membaca secara jelas objek penelitian atau fenomena budaya. Pendekatan penelitian berkaitan erat dengan model-model analisis. Metode penelitian berkaitan erat dengan langkah-langkah yang harus ditempuh guna menyelesaikan sebuah kegiatan dan penyusunan laporan penelitian. Pada umumnya, dewasa ini, sebuah laporan penelitian tidak menyertakan pendekatan penelitian yang digunakan, seperti halnya penyertaan teori, metode, dan teknik, padahal ia begitu penting. Pentingnya pendekatan dalam penelitian ditunjukkan secara jelas dalam Laporan Penelitian Disertasi berjudul: Makna Sinkretisme Bentuk pada Arsitektur Mesjid-Mesjid Walisanga [Ashadi, 2016]. Dalam Laporan Penelitian Disertasi ini, pendekatan dan metode menjadi subjudul yang disertakan pada Bab 2 dari keseluruhan 5 Bab. Pendekatan penelitian bersama-sama dengan model-model analasis dan metode yang berupa langkah-langkah penelitian membentuk sebuah bangunan kerangka kerja penelitian (research framework). Sebuah penelitian dengan pendekatan hermeneutik ialah penelitian yang menggunakan ilmu hermneutik sebagai sudut pandang atau kaca mata dalam bagaimana data-data diambil dan dikumpulkan, dianalisis/ditafsir/diinterpretasi, dan dideskripsikan. Kesalahan dalam memilih pendekatan dan metode penelitian, maka dapat mengurangi kecermatan tidak hanya pada hasil akhir penelitian, bahkan pada seluruh proses penelitian, mulai dari pengambilan data hingga deskripsi hasil penelitian.

17 Secara etimologis, istilah hermneutik berasal dari Bahasa Yunani hermeneuein yang memiliki arti menafsirkan. Istilah ini diambil dari peran dewa Hermes dalam mitologi Yunani yang bertugas menyampaikan dan menjelaskan pesan dari Dewa Agung kepada manusia. Hermneutik secara umum didefinisikan sebagai ilmu filsafat tentang penafsiran atau interpretasi makna. Ilmu hermneutik telah berkembang dengan pesat. Hingga pada zaman Schleiermacher, hermeneutik hanya difungsikan sebagai media untuk interpretasi teks-teks Kitab Suci agama. Ia kemudian meluaskan temanya dan merumuskan kaidah-kaidah untuk menafsirkan teks-teks selain agama seperti kesusastraan dan hukum. Setelahnya, Wilhelm Dilthey membuat kajian hermeneutik semakin melebar meliputi segala teks dan pemahaman terhadap masalah-masalah yang berhubungan dengan humaniora (human sciences). Pada akhirnya dengan perantaraan Heidegger dan kemudian Ricoeur, domain hermeneutik menjadi sangat universal yang membahas teks dan non-teks, fenomena-fenomena yang berkaitan dengan metafisika, prilaku manusia, dan alam materi. [Palmer, 1969]. Kegiatan penelitian tentang sinkretisme bentuk pada arsitektur sangatlah langka. Hal ini bisa dimengerti, karena sinkretisme sangat berkaitan erat dengan agama, keyakinan atau kepercayaan kelompok masyarakat tertentu, sehingga tema-tema percampuran agama, keyakinan, dan kepercayaan atau unsurunsurnya yang berpotensi menimbulkan polemik kerap dihindari. Kemungkinan polemik yang muncul adalah sikap menerima dan menolak adanya percampuran agama, keyakinan, dan kepercayaan atau unsur-unsurnya yang melibatkan dua kelompok masyarakat pendukung dari masing-masing sikap tersebut. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana metode hermeneutik dalam penelitian dan makna sinkretisme bentuk pada arsitektur bangunan peribadatan, yang dapat diuraikan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan: [1] bagaimana metode hermeneutik dalam penelitian sinkretisme 3

18 4 bentuk pada arsitektur bangunan peribadatan; dan [2] bagaimana makna sinkretisme bentuk pada arsitektur bangunan peribadatan. Kasus studi adalah mesjid Sunan Ampel di Surabaya. Pemilihan kasus studi didasarkan pada pertimbangan bahwa mesjid Sunan Ampel adalah mesjid tertua di Indonesia yang masih ada dan fungsinya tidak berubah dari waktu berdirinya hingga sekarang, yang sudah mengalami waktu sekitar lima abad. Penelitian ini bertujuan memahami metode dalam penelitian dan makna sinkretisme bentuk pada arsitektur bangunan peribadatan. Tujuan ini dapat dicapai melalui langkahlangkah sebagai berikut: [1] mengeksplorasi metode hermeneutik; [2] mengeksplorasi konsep sinkretisme bentuk pada arsitektur bangunan peribadatan; [3] mengeksplorasi konsep bentuk arsitektur acuan; [4] mengeksplorasi bangunan kasus studi; [5] menerapkan metode hermeneutik pada kasus studi; dan [6] menganalisis dan menginterpretasi proses penerapan metode hermeneutik pada kasus studi. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi: [1] pada pengembangan pengetahuan teoritis dan empiris tentang sinkretisme bentuk pada arsitektur bangunan peribadatan; dan [2] pada pengembangan metode baru untuk memahami makna sinkretisme bentuk pada arsitektur bangunan peribadatan.

19 BAGIAN 2 METODE HERMENEUTIK 2.1 Tinjauan Hermeneutik sebagai Sebuah Metode Pada awal abad ke-19, dua pakar filologi, yaitu Friedrich Ast dan Friedrich August Wolf mengembangkan hermeneutik dengan mengkhususkan diri pada pemahaman atas makna teks-teks kuno, terutama kitab-kitab suci, karya-karya sastra, dan dokumen-dokumen hukum. Kemudian, Friedrich Daniel Ernst Schleiermarcher memperjelas eksistensi hermeneutik sebagai sebuah ilmu memahami. Hasilnya bukan sekedar hermeneutik filologis, tetapi suatu hermeneutik umum (universal) yang prinsip-prinsipnya dapat menjadi dasar bagi semua bentuk interpretasi teks. Dari sinilah, Schleiermarcher disebut sebagai bapak hermeneutik modern. Menurut Schleiermarcher, penafsir harus menempatkan dirinya baik secara objektif maupun subjektif dalam posisi pengarang. Dari sini muncul istilah interpretasi gramatis dan interpretasi psikologis. Interpretasi gramatis yaitu proses memahami sebuah teks bertolak dari bahasa, struktur kalimatkalimatnya, dan juga hubungan antara teks itu dengan teks-teks lainnya yang bertema sejenis (objektif). Interpretasi psikologis yaitu proses memahami sebuah teks bertolak dari dunia mental pengarangnya (subjektif). Kedudukan keduanya harus setara. Kedudukan setara antara interpretasi gramatis dan psikologis dalam memahami makna teks itulah yang kemudian dikenal dengan istilah lingkaran hermeneutik (hermeneutical circle). [Hardiman, 2015]. Mendekati akhir abad ke-19, Wilhelm Dilthey, mulai melihat hermeneutik sebagai pondasi geisteswissenschaften-yaitu, 5

20 6 semua ilmu sosial dan kemanusiaan, semua disiplin yang menafsirkan ekspresi-ekspresi kehidupan batin manusia, dalam bentuk ekspresi isyarat (sikap), perilaku historis, kodifikasi hukum, satra, dan karya seni. Sebelumnya, Friedrich August Wolf sudah membuat distingsi antara erklaren dan verstehen. Distingsi ini oleh Dilthey kemudian dipakai untuk membedakan cara kerja naturwissenschaften (ilmu alam) dan geisteswissenschaften (ilmu sosial). Ia memikirkan perbedaan itu sebagai persoalan epistemologis, yaitu persoalan cara mengetahui dan memahami realitas yang diteliti. Menurut Dilthey, metode erklaren memusatkan diri pada sisi luar objek penelitian. Erklaren pada akhirnya merupakan analisis-kausal, yaitu analisis atas prosesproses yang berhubungan dengan sebab-akibat untuk menemukan hukum-hukum alam. Sementara metode verstehen memusatkan diri pada sisi dalam objek penelitian, yaitu dunia mental atau penghayatan, maka sesuai untuk masyarakat dan kebudayaan. Di sini, seorang peneliti tidak mengambil distansi penuh, melainkan justru sebaliknya, berpartisipasi di dalam interaksi dan komunikasi sosial dengan hal-hal yang ditelitinya. [Hardiman, 2015]. Dilthey memandang fungsi pemahaman yang terjadi dalam prinsip lingkaran hermeneutik yang dicetuskan Schleiermarcher, memperoleh maknanya dari fungsi bagianbagiannya dan secara resiprokal bagian-bagian tersebut hanya dapat dipahami dengan mangacu kepada keseluruhannya. Menurut Dilthey, makna bersifat historis; ia berubah selaras dengan waktu. Sebuah peristiwa sejarah dapat dipahami maknanya melalui tiga proses: pertama, memahami sudut pandang atau gagasan pelaku asli; kedua, memahami kegiatankegiatan para pelaku asli pada hal-hal yang secara langsung berhubungan dengan peristiwa sejarah; dan ketiga, memahami peristiwa-peristiwa sejarah berdasarkan gagasan yang berlaku pada saat sejarawan itu hidup. Bagi Dilthey, memahami berada pada ranah yang lebih dalam daripada Schleiermarcher. Baginya, memahami sebuah karya, artefak atau fakta bukan sekedar soal

21 menangkap maksud penciptanya, melainkan sesuatu yang lebih luas dan dalam yang meliputi banyak aspek, seperti cara hidup, sikap, cita rasa, wawasan dunia, dan seterusnya. Kesamaan keduanya adalah bahwa memahami diletakkan pada ranah epistemologi. [Hardiman, 2015; Palmer, 1969; Sumaryono, 1999]. Berbeda dengan dua pendahulunya, Martin Heidegger, meletakkan memahami jauh lebih dalam dan menyeluruh lagi pada ranah ontologis. Memahami lalu bukan lagi sebuah metode, melainkan cara kita bereksistensi di dunia ini. Ontologi Heidegger dimaksudkan sebagai kajian yang bertolak dari Dasein- ada di sana. Kehadiran Dasein tidak bersifat statis dan konstan tetapi bersifat dinamis. Heidegger melakukan pengubahan secara mendasar pada hermeneutik dengan mengganti objek penyelidikan yang semula bersifat konstan dan statis dengan sesuatu yang bergerak dalam temporalitas. [Palmer, 1969]. Bagi Heidegger, pemahaman (understanding-verstehen) yang pada dasarnya bersifat pragmatis, eksistensial dan non-metodik, merupakan titik mulai interpretasi (interpretation-auslegung). Pemahaman tidaklah dimulai dengan kepala kosong, tetapi diawali dengan tiga fore-structure, yaitu fore-having, fore-sight, dan fore-conception. Fore-having artinya bahwa sebelum mengangkat sebuah objek khusus secara eksplisit, kita memiliki suatu latar belakang pengalaman keterlibatan pada objek. Namun meski kita memiliki pengalaman itu, belum tentu kita menganggapnya sebagai feature dengan ciri khasnya. Karenanya, pada tingkat fore-sight, kita melihat terlebih dahulu jalan yang menentukan bagaimana sesuatu menampakkan dirinya. Namun, sesuatu menjadi eksplisit seutuhnya dalam tindakan menafsirkan, mestinya terdapat semacam konsep khusus yang mendahuluinya. Dari sinilah muncul semacam fore-conception, yaitu kita telah mengetahui dengan satu dan lain cara secara konseptual tentang sesuatu sebelum secara eksplisit menafsirkanya. Ketiganya membentuk semacam lingkaran hermenutik struktur pra-paham (fore-structure). [Gusmao, 2013]. 7

22 8 Adanya fore-structure of understanding menunjukkan bahwa understanding sangat dipengaruhi oleh keberadaan manusia yang tidak lepas dari lingkup ruang dan waktu, sehingga pluralitas understanding sangat mungkin terjadi. Gagasan hermeneutik Heidegger dilanjutkan dan dikembangkan oleh salah satu muridnya yaitu Hans-Georg Gadamer. Dalam Truth and Method (Kebenaran dan Metode), Gadamer, lewat konsep 'permainan' nya, menunjukkan makna sebagai sesuatu yang terjadi dalam interaksi subyek dan objek, sehingga ditemukan hal-hal baru setelah pengamatan secara mendalam sebagai pengayaan makna. Dengan demikian makna adalah interaksi antara sebuah objek dengan manusia yang melihatnya. Dalam proses interaksi tersebut dipengaruhi oleh fungsi kerja indera manusia, sehingga memperoleh pengayaan makna setelah diamati secara mendalam [Gadamer, 2010]. Gadamer memberikan empat konsep yang dapat menolong seseorang memperkaya pemahamannya, yaitu bildung, sensus communis, pertimbangan, dan selera. Konsep bildung mengandung makna dalam dirinya bahwa setiap orang, termasuk pengarang dan penafsir, hidup dan mengada di dunia berdasar keterlibatannya dalam sejarah. Konsep sensus communis mengandung gagasan tentang pengertian bersama, dalam arti bahwa pengertian atau pemahaman tentang sesuatu dapat dibagi kepada orang lain. Dalam dirinya, sensus communis, bersifat reflektif, mengundang seseorang untuk melakukan perenungan bersama-sama. Perannya dalam hermeneutik ialah membatasi dua wawasan yang bertentangan wawasan penafsir dan wawasan teks yang ditafsir yang melalui proses dialog dan dialektik menciptakan pemahaman bersama. Dari konsep inilah lahir konsep peleburan horizon. Konsep pertimbangan adalah kemampuan untuk memahami hal-hal yang khusus sebagai model yang umum atau universal, dan kemampuan ini melibatkan perasaan, gagasan, prinsip-prinsip, dan aturan-aturan yang dapat diolah menjadi sarana pemahaman. Tanpa memiliki pertimbangan yang baik, seseorang tidak akan dapat memahami

23 dan menafsirkan kehidupan. Konsep selera merupakan hasil dari seimbangnya penyerapan indera dan kebebasan intelektual. Selera dapat menyakinkan kita dalam membuat suatu pertimbangan. [Gadamer, 2010; Hadi, 2014]. Menurut Gadamer, memahami suatu teks tidak dapat lepas dari tradisi dan otoritas yang menghasilkan ataupun yang membaca teks itu, maka memahami selalu merupakan hasil peleburan horizon-horizon tradisi, otoritas, dan penafsir. Pemahaman atas teks tidak pernah steril dari situasi spasiotemporal pembaca dan teks, - seperti misalnya tradisi dan otoritas melainkan selalu merupakan interseksi situasi pembaca dan teks atau apa yang disebut peleburan horizon-horizon. Jadi seorang pembaca atau penafsir melebarkan horizon kekiniannya sampai menjangkau horizon masa silam teks untuk memahami teks itu secara kreatif. Dalam arti ini, makna dan kebenaran bergerak bersama dengan gerak waktu tradisi dan otoritas. [Hardiman, 2015]. Hermeneutik filosofis Gadamer mendapat berbagai penerimaan sekaligus kritik. Salah seorang di antara para pemikir yang mengapresiasi Gadamer dan menunjukkan keberatan terhadapnya adalah Jurgen Habermas. Dalam tanggapan-tanggapan terhadap hermeneutik filosofis Gadamer, Habermas tidak sekedar mengkritik Gadamer, melainkan juga mengambil pendirian sendiri tentang hermeneutik yang kemudian disebut hermeneutik kritis. Bagi hermeneutik kritis, memahami bukanlah sekedar mereproduksi makna yang dimaksud penulis, seperti pada Schleiermarcher dan Dilthey, dan juga bukan sekedar memproduksi makna baru yang terarah ke masa depan, seperti pada Heidegger dan Gadamer, melainkan membebaskan penulis dari komunikasi yang terdistorsi secara sistematis yang telah menghasilkan teksnya. [Hardiman, 2015]. Menurut Jurgen Habermas, pemahaman hermeneutik melibatkan tiga kelas ekspresi kehidupan, yaitu: linguistik (bahasa), tindakan, dan pengalaman. Tentang linguistik (bahasa), 9

24 10 Habermas mengatakan bahwa ekspresi atau ungkapan dapat dipisahkan dari konteks kehidupan konkrit jika tidak berhubungan dengan bagian-bagian khusus dalam konteks tersebut. Dalam hal ini ekspresi linguistik (bahasa) muncul dalam bentuknya yang absolut, yaitu yang menggambarkan pemahaman monologis. Habermas membicarakan tentang pemahaman monologis atas makna, yaitu pemahaman yang tidak melibatkan hubungan-hubungan faktual tetapi mencakup bahasa-bahasa murni, seperti misalnya bahasa simbol. Karenanya hermeneutik adalah pemahaman tentang makna yang mampu mengartikan hubungan-hubungan simbol sebagai hubungan antar fakta. Kemudian tentang tindakan, Habermas menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan hermeneutik bekerja pada tingkat tindakan komunikatif. Dengan kata lain, pada saat interpreter (orang yang memahami) membuat analisis, ia tetap pada tingkatan tindakan komunikatif, sehingga analisisnya akan bersifat dialogal. Pada kelas pengalaman, Habermas menerangkan, terutama dalam reaksi tubuh manusia yang berupa kecenderungan yang tidak dicetuskan atau sebagai ungkapan nonverbal, interpreter memperhitungkan hal-hal itu sebagai salah satu bentuk atau jenis pemahaman. Linguistik (bahasa) dan pengalaman, dalam logika Habermas, harus masuk ke dalam dialektik dengan tindakan. Oleh karena itu, bila kita hendak membuat interpretasi yang benar dan tepat, kita harus mengupayakan dialog antara linguistik (bahasa) dan pengalaman di satu sisi dengan tindakan di sisi lain. [Sumaryono, 1999]. Dalam kancah filsafat dewasa ini, ada salah satu nama yang mendapat perhatian luas, yakni Paul Ricoeur (lahir 1913). Cakrawala pemikirannya melingkupi hampir semua topik filsafat kontemporer. Lebih khusus lagi dalam wilayah studi hermeneutik. Kekhasan kajian hermeneutik Ricoeur, bukan hanya karena ia adalah pemikir mutakhir sehingga memiliki kesempatan untuk meng-up-date pemikiran-pemikiran sebelumnya, melainkan ia juga meng-up-grade dengan corak kajian hermeneutik yang sepenuhnya berbeda dari kajian-kajian

25 yang ada. Ricoeur dapat memadukan dua tradisi filsafat besar, yaitu fenomenologi Jerman dan Strukturalisme Perancis. Dari arah fenomenologi, Ricoeur memadukan antara tendensi metafisik Cartesian Edmund Husserl dan tendensi eksistensial Heidegger. Sedangkan dari strukturalisme ia mengadopsi baik aliran linguistik Ferdinand de Saussure maupun aliran antropologis Claude Levi-Strauss. [Permata, 2012]. Menurut Ricoeur, tugas utama hermeneutik adalah untuk memahami teks. Secara mendasar, Ricoeur mengatakan bahwa teks adalah "any discourse fixed by writing". Dengan istilah discourse, Ricoeur merujuk kepada bahasa sebagai event, yaitu bahasa yang membicarakan tentang sesuatu. Dengan kata lain, discourse adalah bahasa ketika ia digunakan untuk berkomunikasi. Ricoeur menganggap bahwa sebuah teks memiliki kemandirian dan totalitas, yang dicirikan oleh empat hal. Pertama, dalam teks makna yang terdapat pada apa yang dikatakan (what is said) terlepas dari proses pengungkapannya (the act of saying). Kedua, dengan demikian makna sebuah teks juga tidak lagi terikat kepada pembicara. Apa yang dimaksud teks tidak lagi terkait dengan apa yang awalnya dimaksudkan oleh penulisnya. Ketiga, karena tidak lagi terikat pada sebuah sistem dialog, maka sebuah teks tidak lagi terikat oleh konteks semula, ia tidak terikat pada konteks asli dari pembicaraan. Keempat, artinya pula bahwa ia tidak terikat oleh audiens awal. Dengan demikian, apa yang ditunjuk oleh teks adalah dunia imajiner yang dibangun oleh teks itu sendiri - dalam dirinya sendiri maupun dalam hubungan dengan teks-teks yang lain. [Ricoeur, 2012]. Dalam memahami makna teks, Ricoeur menyarankan melalui dua tahap, yaitu tahap pertama, eksplanasi, dan tahap kedua, interpretasi. Tahap eksplanasi dilakukan untuk memahami makna statisnya (makna fungsional), dan tahap interpretasi dilakukan untuk memahami makna dinamisnya, yang bersifat multi-interpretable. [Ghasemi, 2011]. Dalam memahami makna simbol, menurut Ricoeur, ada tiga langkah 11

26 12 pemahaman. Langkah pertama ialah langkah simbolik, atau pemahaman dari simbol ke simbol. Langkah kedua adalah pemberian makna oleh simbol serta penggalian yang cermat atas makna. Langkah ketiga adalah langkah yang benar-benar filosofis, yaitu berpikir dengan menggunakan simbol sebagai titik tolaknya. Ketiga langkah tersebut berhubungan erat dengan langkah-langkah pemahaman makna dalam Bahasa, yaitu semantic, refleksif, dan eksistensial atau ontologis. Langkah semantic adalah pemahaman pada tingkat ilmu Bahasa yang murni. Langkah refleksif adalah pemahaman pada tingkat yang lebih tinggi, mendekati tingkat ontologi. Langkah eksistensial adalah pemahaman pada tingkat being atau keberadaan makna itu sendiri. [Kaelan, 2012; Sumaryono, 1999]. 2.2 Metode Hermeneutik dalam Penelitian Arsitektur Berdasarkan pemikiran hermeneutik para tokoh seperti diuraikan sebelumnya, ada beberapa konsep yang dapat dijadikan model metode dalam sebuah penelitian arsitektur, yaitu sebagai berikut: lingkaran hermeneutik hermeneutik sebagai berarsitektur empati (hermeneutik Schleiermarher) penghayatan (hermenutik Dilthey) pra-struktur (hermeneutik Heidegger) peleburan horizon (hermeneutik Gadamer) dialog (hermeneutik Habermas) otonomi (hermeneutik Ricoeur) Lingkaran Hermeneutik Fungsi pemahaman memperoleh maknanya dari fungsi bagianbagiannya dan secara resiprokal bagian-bagian tersebut hanya dapat dipahami dengan mangacu kepada keseluruhannya [Gambar 01].

27 13 Memahami keseluruhan dapat dibantu dengan memahami bagiannya, dan memahami bagian dapat dibantu dengan memahami keseluruhannya KESELURUHAN BAGIAN Gambar 01. Lingkaran Hermeneutik (Hermeneutic Circle) Dalam penelitian arsitektur, lingkaran hermeneutik dapat digunakan sebagai model rancangan penelitian dalam bentuk sebuah alur penelitian [Gambar 02]. Gambar 02. Sebuah model diagram alur penelitian

28 14 Pada umumnya dalam sebuah penelitian disertakan diagram alur penelitian yang memperlihatkan seluruh proses kegiatan penelitian. Pada bagian akhir, hasil penelitian ataupun kesimpulan, dilakukan umpan balik (feedback) ke bagian latar belakang atau permasalahan atau tujuan. Mestinya umpan balik dapat dilakukan pada setiap bagian dalam diagram alur penelitian, misalnya ketika melakukan analisa dan interpretasi bisa saja kita melihat kembali pada bagian-bagian sebelumnya, seperti pada bagian kajian teoritisnya atau pada metode yang digunakan, tidak harus menunggu sampai pada hasil akhir baru melakukan umpan balik. Umpan balik yang dilakukan pada tiaptiap bagian dalam diagram alur penelitian dapat digunakan sebagai kontrol dan sekaligus evaluasi secara terus-menerus, sehingga peneliti memiliki pertimbangan-pertimbangan yang cermat, matang, dan bijaksana dalam setiap keputusan menulis narasi penelitiannya, dari awal hingga akhir. Hermeneutik sebagai Berarsitektur Hermeneutik sebagai seni memahami memiliki hubungan erat dengan arsitektur. Berarsitektur dapat diartikan sebagai seni memahami arsitektur. Untuk keperluan pembahasan dalam penelitian ini, maka arsitektur dapat dipahami sebagai relasi bentuk-fungsi-makna, sehingga berarsitektur adalah memahami relasi-relasi yang terjadi pada ketiganya. Jadi, lingkaran hermeneutik dapat diterjemahkan ke dalam arsitektur sebagai relasi-relasi yang terjadi pada bentuk, fungsi, dan makna [Gambar 03]. Relasi bentuk-fungsi-makna merupakan salah satu tema penting dalam kajian arsitektur. Diawali oleh Marcus Vitruvius Pollio (sekitar abad pertama SM), yang menyebutkan bahwa semua bangunan harus dibangun dengan mengacu kepada: durability (firmitas), convenience (utilitas), dan beauty (venustas) [Morgan, 1914]. Firmitas dapat diartikan sebagai kekuatan, utilitas sebagai kegunaan atau fungsi, dan venustas sebagai estetika atau keindahan.

29 15 Gambar 03. Berarsitektur: memahami relasi bentuk-fungsi-makna Trium Vitruvius kemudian diuji oleh David Smith Capon. Capon menyimpulkan, terdapat enam kategori dalam prinsipprinsip arsitektur (principles of good architecture), yang dikelompokkan ke dalam primary dan secondary categories, yaitu : function, form, meaning sebagai primary categories, dan context, construction, spirit sebagai secondary categories. [Capon, 1999]. Purnama Salura dan Bachtiar Fauzy mengembangkan konsep perputaran fungsi-bentuk-makna. Setiap produk disain arsitektural harus mengutamakan unsur-unsur fungsi-bentukmakna. Ketiga unsur membentuk bangun segitiga, yang selalu dalam keadaan berubah (berputar). Dalam konsep ini menunjukkan bahwa arsitektur selalu mengalami perubahan. [Salura & Fauzy, 2012]. Empati Tugas hermeneutik adalah memahami teks sebaik atau lebih baik daripada pengarangnya, dan memahami pengarang teks sebaik atau lebih baik daripada memahami diri sendiri. Dalam berarsitektur, maka memahami karya arsitektur sebaik atau lebih baik daripada arsiteknya, dan memahami arsiteknya sebaik atau lebih baik daripada dirinya sendiri [Gambar 04].

30 16 Gambar 04. Relasi antara peneliti, karya arsitektur, dan arsitek dalam konsep empati Penghayatan Hermeneutik dalam memahami suatu teks harus menempatkannya di dalam konteks kehidupan penulisnya, yang terdiri atas masyarakat, kebudayaan, dan sejarah. Artinya memahami suatu teks harus melalui penghayatan terhadap penulisnya. Dalam berarsitektur, maka untuk memahami karya arsitektur dengan baik harus melalui penghayatan terhadap arsiteknya [Gambar 05]. Pra-Struktur Understanding atau memahami merupakan power untuk menangkap keberadaan di dunia (being in the world). Untuk memahaminya, maka seseorang atau peneliti tidak memulai dengan kepala kosong, melainkan diawali dengan fore-structure, yang terdiri atas: fore-having, fore-sight, dan fore-conception. Dalam penelitian arsitektur, konsep ini, meskipun mungkin agak sulit penggalian dan penerapannya, dapat memunculkan sebuah metode penelitian yang hasil akhir penelitiannya bersifat ontologis. Dalam hal ini, arsitektur harus diperas untuk dimurnikan menjadi ilmu yang bersifat ontologis.

31 Menangkap makna keberadaan di dunia dapat dimengerti sebagai menangkap makna berarsitektur di dunia. Untuk menangkap makna berarsitektur di dunia, seseorang atau peneliti harus memahami diawali dengan pra-struktur (fore-structure). Memahami berarsitektur di dunia, maksudnya adalah memahami relasi-relasi yang terjadi pada bentuk, fungsi, dan makna, dalam ranah ontologi arsitektur [Gambar 06]. Pada kenyataannya, penelitian arsitektur agak sulit menyentuh ranah ontologis. 17 Gambar 05. Relasi antara peneliti, karya arsitektur, dan arsitek dalam konsep penghayatan Gambar 06. Menangkap makna keberadaan arsitektur (berarsitektur) di dunia

32 18 Peleburan horizon seorang pembaca atau penafsir melebarkan horizon kekiniannya sampai menjangkau horizon masa silam teks untuk memahami teks itu secara kreatif. Horizon yang dimaksud meliputi masyarakat, kebudayaan (tradisi), sejarah, dan otoritas. Dalam arsitektur, seorang peneliti harus melebarkan horizon kekiniannya sampai menjangkau horizon masa silam karya arsitektur untuk memahami karya arsitektur itu secara kreatif [Gambar 07]. Gambar 07. Memahami karya arsitektur secara kreatif dengan konsep peleburan horizon Dialog Pemahaman hermeneutik melibatkan tiga kelas ekspresi kehidupan, yaitu: linguistik (bahasa), tindakan, dan pengalaman. Apabila kita hendak membuat interpretasi yang benar dan tepat, kita harus mengupayakan dialog antara linguistik (bahasa) dan pengalaman di satu sisi dengan tindakan di sisi lain. Pemahaman hermeneutik ini tidak jauh berbeda dengan konsep arsitektur dalam penelitian ini. Linguistik dapat ditempatkan sebagai

33 bentuk, tindakan dapat ditempatkan sebagai fungsi atau kegiatan, dan pengalaman adalah modal pelaku dalam melakukan kegiatan. Dialog dapat ditempatkan sebagai relasi. Jadi, berarsitektur adalah memahami arsitektur melalui dialog-dialog yang terjadi antara bentuk, fungsi, dan makna, dengan modal pengalaman pelakunya [Gambar 08]. 19 Gambar 08. Memahami berarsitektur dengan konsep dialog Otonomi Sebuah teks memiliki kemandirian dan totalitas, yang dicirikan oleh empat hal, yaitu pertama, makna teks terlepas dari proses pengungkapannya; kedua, makna teks terlepas dari pembicaranya; ketiga, makna teks terlepas dari konteks awalnya; dan keempat, makna teks terlepas dari audiens awalnya. Dalam arsitektur otonomi teks ini dapat dielaborasi menjadi otonomi arsitektur, yaitu pertama, makna arsitektur terlepas dari proses pendiriannya; kedua, makna arsitektur terlepas dari arsiteknya; ketiga, makna arsitektur terlepas dari konteks awalnya; dan keempat, makna arsitektur terlepas dari pendukung/pengguna awalnya. Proses hermeneutik dalam memaknai simbol melalui tiga tahap. Proses hermeneutik yang menghasilkan pemaknaan pertama yang berasal dari simbol-simbol yang bersifat literal. Pemaknaan pertama menghasilkan pemaknaan kedua, yang

34 20 bersifat reflektif fenomenologis, yaitu pemaknaan dengan melihat secara kritis dan medasar tentang fenomena yang berasal dari suatu pandangan keagamaan, pandangan hidup, atau pemikiran masyarakat pemilik simbol-simbol tersebut. Pemaknaan kedua menghasilkan pemaknaan ketiga, yaitu pemaknaan eksistensial. Pemaknaan eksistensial adalah pemaknaan yang diperoleh ketika terjadi desubjektivasi atau dekonstruksi pemikiran subjektif masyarakat pemilik simbol. Hasil pemaknaan itu adalah pemaknaan yang hakiki dan filosofis yang berasal dari simbolsimbol milik masyarakat. Langkah-langkah ini bisa dielaborasi untuk kepentingan penelitian arsitektur. Langkah pemaknaan literasi dapat ditempatkan sebagai pemaknaan fungsional. Pemaknaan refleksif dapat ditempatkan sebagai pemaknaan simbolik atau konseptual. Pemaknaan eksistensial dapat ditempatkan sebagai pemaknaan ontologis. [Gambar 09]. Gambar 09. Memahami karya arsitektur dengan konsep otonomi melalui tiga tahap: fungsional-simbolik-ontologis Dalam penelitian arsitektur, tahapan ketiga, yaitu pemaknaan ontologis, seperti disinggung pada bagian sebelumnya, sulit diwujudkan, sehingga pemahaman melalui dua tahapan tetap merupakan pilihan yang baik. Makna fungsional dalam arsitektur, yang bersifat statis, dapat dipahami melalui

35 tahapan pertama, yaitu pemaknaan fungsional dengan cara eksplanasi. Makna simbolik dalam arsitektur, yang bersifat dinamis (multi-interpretable), dapat dipahami melalui tahapan kedua, yaitu pemaknaan simbolik dengan cara interpretasi. [Gambar 10]. 21 Gambar 10. Memahami karya arsitektur dengan konsep otonomi melalui dua tahap: eksplanasi-interpretasi Dari beberapa model metode penelitian sebagaimana diuraikan di atas, maka perlu memilih metode penelitian yang paling cocok dengan permasalahan dan tujuan penelitian. Beberapa pertimbangan dalam memilih metode penelitian yang relevan adalah sebagai berikut. Dalam penelitian ini terdapat kendala-kendala yang bisa menggangu proses penyelesainnya, yaitu pertama, data-data tentang bentuk fisik bangunan mesjid Sunan Ampel, yang dijadikan kasus studi, pada periode awal dan perkembangannya sulit didapatkan, dan kedua, keberadaan mesjid Sunan Ampel dan pendirinya (Sunan Ampel) diselimuti dengan mitos dan dongeng. Oleh Karena itu, penelitian ini berfokus pada bentuk arsitektur mesjid Sunan Ampel dalam keadaannya sekarang ini. Metode interpretasi hermeneutik yang

36 22 paling relevan adalah hermeneutika yang digagas oleh Paul Ricoeur. Mesjid Sunan Ampel dianggap sebagai teks yang otonom. Berdasarkan elaborasi metode interpretasi hermeneutika Ricoeur, maka proses penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu pertama, tahap eksplanasi bentuk dan fungsi arsitektur mesjid Sunan Ampel, dan kedua, tahap analisa dan interpretasi makna sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid Sunan Ampel [Gambar 11]. Kegiatan analisis tidak dipisahkan dari kegiatan interpretasi, karena pada pelaksanaannya, kedua kegiatan tersebut tidak bersifat linier, tapi saling melengkapi dan memperkuat satu dengan lainnya. Kegiatan analisis membutuhkan interpretasi, dan sebaliknya, kegiatan interpretasi membutuhkan analisis. EKSPLANASI ANALISIS & INTERPRETASI Eksplanasi Bentuk dan Fungsi Arsitektur Mesjid Sunan Ampel Makna Sinkretisme Bentuk pada Arsitektur Mesjid Sunan Ampel Tahap pertama Tahap kedua Gambar 11. Diagram tahapan pemahaman makna berdasarkan elaborasi hermeneutik Ricoeur: Eksplanasi-Analisis & Interpretasi

37 BAGIAN 3 KONSEP SINKRETISME BENTUK PADA ARSITEKTUR 3.1 Konsep Sinkretisme dalam Arsitektur Istilah sinkretisme bisa dilacak dari kata Yunani sunkretamos yang artinya kesatuan, dan kata synkerannumi yang berarti mencampur aduk. Istilah tersebut mula-mula adalah istilah politik, yang digunakan oleh Plutarch untuk menggambarkan kesatuan orang-orang dari Pulau Kreta yang melawan musuh bersamanya. Kesatuan tersebut adalah sebagai sinkretismos. Kemudian istilah ini juga dipakai di dalam bidang filsafat dan agama guna menggambarkan suatu keharmonisan dan perdamaian. Di dalam bidang filsafat, pada abad ke-15 Masehi, Kardinal Bessarion menggunakan istilah sinkretisme dalam ungkapannya untuk mendamaikan dan mengharmoniskan filsafat Plato dan Aristoteles. Di dalam bidang keagamaan, pada abad ke- 17 Masehi, Calextus, seorang pengikut Martin Luther, disebut sebagai seorang sinkretis, sebab dia berusaha mendamaikan dan menyatukan teologia-teologia Protestan yang ada. Di sini terkandung arti pula unsur-unsur mencampur-adukkan antara satu dengan lainnya sehingga semuanya menjadi satu. [Levinskaya, 1993; The College Board, 2013; The New American Library, 1957]. Dalam arsitektur istilah sinkretisme bentuk bisa diartikan sebagai perpaduan (mixing /amalgamation /integration /synthesis /blending /hybridization /creolization /fusion /compound) berbagai gaya (style) dalam arsitektur, yang berkaitan dengan aktivitas keagamaan, tradisi, praktek-praktek budaya, unsur-unsur asing 23

38 24 (foreign), dan kolonialisme (kolonialism) [Ali, 2013; Antariksa, 2002; Ascott, 2009; Bailey, 2010; Denhere, 2010; Edginton, 2008; Hoskins, 2014; Moinifar, 2013; Noble, tt; Prijotomo, 1988; von Henneberg, 1996]. Konsep percampuran bentuk arsitektur yang dikaitkan dengan unsur-unsur budaya fisik tidak dapat ditelusuri hanya dengan pendekatan ilmu arsitektur, melainkan harus meminjam ilmu lain, yakni antropologi. Akulturasi terjadi bila kelompokkelompok individu yang memiliki kebudayaan yang berbeda saling berhubungan secara langsung dengan intensif, dan dalam waktu yang lama, dengan timbulnya kemudian pengubahanpengubahan besar pada pola kebudayaan dari salah satu atau kedua kebudayaan yang bersangkutan [Haviland, 1993]. Dalam proses akulturasi, terdapat empat strategi, yaitu proses asimilasi (assimilation), separasi (separation), integrasi (integration), dan marginalisasi (marginalization). Asimilasi terjadi ketika individu tidak ingin mempertahankan identitas budaya mereka dan mencari interaksi sehari-hari dengan budaya lain. Di sini individu lebih memilih untuk menumpahkan budaya warisan mereka, dan menjadi diserap ke dalam masyarakat yang dominan. Separasi terjadi ketika individu menempatkan nilai pada budaya asli mereka, dan pada saat yang sama ingin menghindari interaksi dengan orang lain. Integrasi terjadi ketika individu masih kuat mempertahankan warisan budayanya, dan pada saat yang sama mengadakan interaksi sehari-hari dengan kelompok lain. Marginalisasi terjadi jika individu yang sedikit menjaga warisan budaya, dan pada saat yang sama sedikit minat untuk berhubungan dengan kelompok lain. [Berry, 2005]. [Gambar 12a]. Dalam akulturasi, sikap masyarakat lokal terhadap peradaban asing (luar) terjadi dalam tiga keadaan. Pertama, apabila peradaban diri (lokal) lemah, maka yang terjadi adalah adopsi (adoption), yakni posisi yang selalu didikte oleh peradaban yang lebih kuat (asing). Kedua, apabila peradaban lokal kuat menghadapi peradaban dari luar yang lemah maka terjadilah

39 25 adaptasi (adaptation). Dan ketiga, apabila sama-sama kuat antara peradaban lokal dan asing maka terjadilah sinergi (synergy), artinya saling memberikan masukan yang setara. [Salura, 2015]. [Gambar 12b]. Gambar 12. Diagram konsep akulturasi menurut Berry dan Salura Dalam penelitian ini, dengan mengelaborasi konsep strategi akulturasi Berry dan sikap berakulturasi Salura, ketiga konsep, yaitu konsep adopsi (adoption), adaptasi (adaptation), dan sinergi (synergy) dipergunakan sebagai konsep-konsep sinkretisme bentuk pada arsitektur bangunan peribadatan [Tabel 01]. Adopsi (adoption) dalam sinkretisme bentuk terjadi apabila bentuk dan atau elemen pada bangunan peribadatan merupakan percampuran antara bentuk dan atau elemen arsitektur lokal dan non lokal, yang mana bentuk arsitektur non lokal dominan terhadap bentuk arsitektur lokal. Adaptasi (adaptation) dalam sinkretisme bentuk terjadi apabila bentuk dan atau elemen pada bangunan peribadatan merupakan percampuran antara bentuk dan atau elemen

40 26 arsitektur lokal dan non lokal, yang mana bentuk arsitektur lokal dominan terhadap bentuk arsitektur non lokal. Tabel 01. Konsep sinkretisme bentuk pada arsitektur bangunan peribadatan berdasarkan elaborasi konsep akulturasi Berry dan Salura Konsep akulturasi menurut Berry Konsep akulturasi menurut Salura Konsep sinkretisme bentuk pada arsitektur Asimilasi (assimilation) Adopsi (Adoption) Adopsi Separasi (separation) Adaptasi (Adaptation) Adaptasi Integrasi (integration) Sinergi (Synergy) Sinergi Marginalisasi (marginalization) - - Sinergi (synergy) dalam sinkretisme bentuk terjadi apabila bentuk dan atau elemen pada bangunan peribadatan merupakan percampuran antara bentuk dan atau elemen arsitektur lokal dan non lokal, yang mana tidak terjadi dominasi antara bentuk arsitektur lokal dan bentuk arsitektur non lokal. Dominasi sinkretisme bentuk pada arsitektur bangunan peribadatan ditentukan berdasarkan dua faktor, yaitu pertama, faktor dimensi bentuk arsitektur (dimensi ruang: ketinggian dan keluasan) dan kedua, faktor jumlah bentuk arsitektur. Dari kedua faktor tersebut, bobot yang lebih besar adalah faktor dimensi, dengan pertimbangan bahwa bangunan peribadatan adalah bangunan sakral, yang diekspresikan dengan bentuk-bentuk bangunan tinggi dan besar. Dalam penelitian ini, untuk keperluan analisis dan interpretasi, sinkretisme bentuk pada arsitektur bangunan peribadatan dianggap melibatkan empat bentuk arsitektur acuan, yaitu bentuk arsitektur acuan lokal terdiri atas dua bentuk, dan bentuk arsitektur acuan non lokal terdiri atas dua bentuk. Proses

41 adopsi, adaptasi, dan sinergi di atas dapat diilustrasikan secara grafis sebagai berikut [Gambar 13]. 27 a. Adopsi b. Adaptasi c. Sinergi Gambar 13. Ilustrasi grafis konsep-konsep sinkretisme bentuk pada arsitektur bangunan peribadatan: adopsi, adaptasi, dan sinergi

42 Konsep Bentuk Arsitektur Acuan Sebagaimana disebutkan pada bagian sebelumnya, kasus studi dalam penelitian ini adalah mesjid Sunan Ampel di Surabaya, Jawa Timur. Sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid Sunan Ampel memerlukan bentuk arsitektur acuan. Bentuk arsitektur acuan adalah bentuk arsitektur bangunan-bangunan peribadatan yang pernah hadir dan menjadi bagian dari sejarah perkembangan arsitektur di Indonesia, khususnya di Jawa, yang diduga menjadi acuan dalam proses sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid Sunan Ampel, baik pada masa awal maupun pada masa-masa perkembangannya hingga sekarang ini. Bentukbentuk arsitektur bangunan peribadatan dijadikan bentukbentuk arsitektur acuan dalam penelitian ini, karena konsep sinkretisme bentuk pada arsitektur melibatkan unsur kesakralan. Bangunan peribadatan memiliki unsur-unsur kesakralan karena ia merupakan tempat penyembahan diri manusia kepada Tuhannya. Sinkretisme bentuk pada arsitektur berkait erat dengan Yang sakral. Yang sakral identik dengan hal-hal yang bersifat keilahian (ketuhanan) dan transenden. Semua agama yang dianut manusia di muka bumi ini berurusan dengan penghambaan dirinya kepada Tuhan yang berada di tempat yang tidak terjangkau (transenden). Tempat yang tidak terjangkau ini identik dengan Yang di atas. Yang di atas merupakan orientasi, oleh karenanya Yang sakral memberikan syarat adanya sebuah orientasi. [Akkach, 2005; Eliade, 1959]. Bangunan keagamaan adalah bangunan yang sakral. Bangunan keagamaan, seperti candi, mesjid, dan gereja dapat dianggap sebagai bangunan sakral. Bangunan candi memiliki orientasi memusat dan ke atas; ia sebagai tiruan karya arsitektur surga, yang memiliki eksistensi spiritual surgawi dan abadi. Mesjid memiliki orientasi ke arah Kabah di Mekah dan ke atas. Keberadaan mihrab berbentuk ceruk pada bangunan mesjid menunjukkan arah Kabah. Kabah adalah pusat orientasi umat Islam dalam kegiatan ritualnya (ritual shalat). Langit di atas

43 Kabah dianggap sebagai yang paling sakral. Gereja memiliki orientasi ke empat arah mata angin dan ke atas. Keempat bagian interior gereja menyimbolkan empat arah mata angin. Pada zaman perkembangan arsitektur Gothik, bentuk bangunan gereja dibangun menjulang tinggi untuk menunjukkan kepada sesuatu yang tinggi dan transenden. [Akkach, 2005; Eliade, 1959; van de Ven, 1991]. Bentuk arsitektur acuan dibedakan atas dua bentuk, yaitu bentuk arsitektur lokal dan bentuk arsitektur non lokal. Bentuk arsitektur lokal adalah bentuk arsitektur bangunan peribadatan yang memiliki ekspresi bentuk lokal, yang merupakan hasil olah pikir masyarakat lokal (masyarakat Jawa), yang sudah ada sejak sebelum datangnya pengaruh dari luar. Bentuk arsitektur lokal sudah ada sebelum kehadiran mesjid Sunan Ampel, dan diduga menjadi acuan bentuk-bentuk arsitektur mesjid Sunan Ampel. Bentuk arsitektur lokal dapat dirujuk pada arsitektur tradisional. Arsitektur tradisonal Jawa, yang sudah dimiliki oleh masyarakat Jawa sejak ribuan tahun yang lalu, merupakan local genius, yang selalu berkembang dan secara terus menerus menuju kesempurnaan dalam bentuk arsitektur rumahnya. Arsitektur rumah tradisional Jawa terdiri atas: panggang-pe, kampung, limasan, joglo, dan tajuk [Gambar 14]. 29 a.panggang-pe b.kampung c.tajug d.limasan e.joglo Gambar 14. Tipe rumah tradisional Jawa Sumber: Dakung [1986]

44 30 Berdasarkan penelusuran, maka bangunan tradisonal Jawa yang berhubungan dengan kesakralan adalah limasan dan tajuk. Bentuk limasan direpresentasikan oleh bentuk cungkup makam Fatimah binti Maimun di Gresik, Jawa Timur, yang keberadaannya diperkirakan pada abad 15 Masehi. Bentuk tajuk direpresentasikan oleh bentuk cungkup makam Sunan Bonang di Tuban, Jawa Timur, yang keberadaannya diperkirakan pada abad 16 Masehi. [Ashadi, 2016]. [Gambar 15]. a.cungkup makam Fatimah binti Maimun di Gresik, Jawa Timur a.cungkup makam Sunan Bonang di Tuban, Jawa Timur Gambar 15. Bentuk limasan dan tajuk pada cungkup makam, yang menjadi bentuk arsitektur acuan lokal Bentuk arsitektur non lokal adalah bentuk arsitektur bangunan peribadatan yang memiliki ekspresi bentuk arsitektur non lokal (berasal dari luar Indonesia), yang diduga menjadi acuan bentuk arsitektur mesjid Sunan Ampel. Bentuk arsitektur non lokal, ada yang sudah hadir sebelum keberadaan mesjid Sunan Ampel, dan ada yang hadir sesudahnya. Dalam proses sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid Sunan Ampel, bentukbentuk arsitektur bangunan peribadatan non lokal yang ditengarai menjadi acuan bentuk-bentuk arsitektur masjid Sunan Ampel adalah sebagai berikut: [a] candi Hindu/Budha Jawa; [b] mesjid Nabawi pada periode awal; [c] gereja kolonial; [d] mesjid Pan Islamisme; dan [e] mesjid modern [Ashadi, 2016].

45 Bangunan candi Hindu/Budha sudah hadir di pulau Jawa sebelum keberadaan mesjid Sunan Ampel. Percandian yang paling awal keberadaannya di Jawa adalah candi-candi di Dieng, yaitu pada abad 7-8 Masehi. Kemudian disusul dengan candicandi lainnya seperti Borobudur, Prambanan, Penataran, Jago, dan lain-lain. Kompleks percandian Hindu/Budha di Jawa pada umumnya memiliki pintu gerbang berbentuk gapura paduraksa (tertutup pada bagian atasnya) dan bentar (terbuka pada bagian atasnya). Gapura memiliki fungsi sebagai pintu masuk ke dalam kompleks percandian atau pintu masuk ke zona-zona dalam kompleks percandian. Gapura paduraksa dapat dijumpai pada kompleks percandian Ratu Boko, Klaten, Jawa Tengah (abad 8), dan pada candi Plumbangan, di Blitar, Jawa Timur (abad 14). [Gambar 16]. 31 a. Gapura paduraksa dalam kompleks percandian Ratu Boko c. Gapura paduraksa candi Plumbangan, Blitar Gambar 16. Bentuk gapura paduraksa pada percandian, yang menjadi bentuk arsitektur acuan non lokal Konsep mesjid dalam Islam mengacu pada konsep mesjid Nabawi pada masa awalnya, karena Islam sendiri tidak memberikan konsep baku pada rancangan sebuah mesjid. Mesjid Nabawi yang didirikan pada permulaan penyebaran Islam di

46 32 Madinah, Arab Saudi, sekitar abad 7 Masehi, menjadi acuan dasar dalam perencanaan dan perancangan bangunan mesjid di negerinegeri di luar Jazirah Arab, termasuk di Indonesia. Salah satu persyaratan yang harus dipenuhi bagi sebuah masjid adalah ia harus menghadap ke arah kiblat, yakni Ka bah di Masjidil Haram, Mekah, Arab Saudi. Mesjid Nabawi pada masa permulaan adalah salah satu contoh dari pola mesjid lapangan. [Gambar 17]. rumah Nabi KIBLAT sumur Gambar 17. Bentuk mesjid Nabawi awal, yang menjadi bentuk arsitektur acuan non lokal Arsitektur kolonial Belanda telah memberikan warna dalam perkembangan arsitektur di Indonesia, dan ikut memperkaya arsitektur lokal. Belanda telah banyak menghadirkan bangunan-bangunan yang memiliki gaya arsitektur kolonial, seperti rumah tinggal, vila (rumah peristirahatan), benteng, kantor pemerintah, kantor swasta, bank, stasiun kereta api, pelabuhan, dan gereja. Bangunan gereja banyak dibangun oleh Belanda, yang pada umumnya berlokasi di jantung kota-kota besar, salah satunya adalah gereja Kepanjen di kawasan kota lama Surabaya, tidak jauh dari keberadaan mesjid Sunan Ampel. Gereja Kepanjen berdiri pada tahun 1815 Masehi di Jalan Kepanjen Surabaya. Kekhasan bangunan gereja ini adalah dindingnya tebal berupa pasangan bata tanpa plesteran. [Gambar 18].

47 33 a. Eksterior gereja Kepanjen b. Interior gereja Kepanjen Gambar 18. Bentuk gereja kolonial Kepanjen Surabaya, yang menjadi bentuk arsitektur acuan non lokal Dalam perkembangan sejarah arsitektur mesjid, terdapat satu masa yang kental dengan nuansa politik, yaitu pada periode abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20 Masehi. Pada periode ini, perkembangan arsitektur mesjid menunjukkan gejala hadirnya identitas Pan Islamisme 'Arabia', hampir di seluruh negeri-negeri yang penduduknya mayoritas beragama Islam, sebagai bentuk perlawanan mereka terhadap kolonialisme, tidak terkecuali di Indonesia. Secara arsitektural, klaim untuk menunjukkan eksistensi suatu komunitas muslim sebagai bagian dari komunitas dunia nampak pada pengadopsian bentuk-bentuk arsitektur yang berbau Islam 'Internasional'. Identitas Islam 'Internasional' ini cukup terwakili oleh atap kubah, bentuk lengkungan-lengkungan pada bagian ambang atas antar kolom, dan menara tinggi pada bangunan-bangunan mesjid. Di Indonesia, bangunan mesjid berkubah pertama adalah mesjid Sultan Riau, yang dibangun tahun 1832 Masehi. Sementara di Jawa, mesjid berkubah pertama adalah mesjid Agung Tuban, yang direnovasi tahun 1894 Masehi [Gambar 19]. Dalam perkembangan arsitektur mesjid modern, mesjid hadir dengan konsep rancangan arsitektur yang melepaskan tradisi. Konsep mesjid modern memperlihatkan ekspresi bentuk kotak (atap datar atau miring), simple (sederhana), bergaris

48 34 horisontal maupun vertikal, dan bersih tanpa hiasan dekoratif. Pada periode awal arsitektur modern di Indonesia, tahun an, hadir mesjid Salman Bandung [Gambar 20]. a. Mesjid Sultan Riau b. Mesjid Agung Tuban Gambar 19. Bentuk mesjid Pan Islamisme, yang menjadi bentuk arsitektur acuan non lokal a. Eksterior mesjid Salman b. Interior mesjid Salman Gambar 20. Bentuk mesjid modern, yang menjadi bentuk arsitektur acuan non lokal Periodisasi waktu keberadaan bangunan peribadatan dan perkembangannya dalam kerangka sejarah perkembangan arsitektur di Indonesia, yang diduga menjadi acuan sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid Sunan Ampel, dapat dipetakan berikut ini [Gambar 21].

49 35 Gambar 21. Periodisasi waktu keberadaan bangunan peribadatan di Jawa Dalam kegiatan analisis dan interpretasi makna sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid Sunan Ampel, menggunakan metode gabungan, yaitu metode interpretasi hermeneutika Ricoeur dan metode relasi bentuk-fungsi-makna dalam arsitektur. 3.3 Langkah-Langkah Penelitian Langkah-langkah eksplanasi dan analisis serta interpretasi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut [Gambar 22]: [1] Eksplanasi bentuk dan fungsi mesjid Sunan Ampel [2] menentukan bentuk arsitektur mesjid Sunan Ampel yang dianalisis dan diinterpretasi. [3] membuka pelingkup bentuk arsitektur mesjid Sunan Ampel, yaitu pelingkup bawah, samping, dan atas. Pelingkup bentuk arsitektur ini dianggap sebagai teks yang otonom.

50 36 [4] membandingkan bentuk arsitektur mesjid Sunan Ampel dengan bentuk arsitektur acuan berdasarkan pelingkup bentuk arsitekturnya. [5] menganalisis dan menginterpretasi langkah ke-4, untuk memahami sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid Sunan Ampel. [6] merelasikan sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid Sunan Ampel dengan fungsi yang diwadahi, berdasarkan relasi bentuk-fungsi-makna dalam arsitektur. [7] menganalisis dan menginterpretasi langkah ke-6, untuk memahami makna sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid Sunan Ampel. Gambar 22. Diagram langkah-langkah penerapan metode hermeneutik dan relasi bentuk-fungsi-makna

51 BAGIAN 4 EKSPLANASI BENTUK DAN FUNGSI MESJID SUNAN AMPEL 4.1 Perkembangan Bentuk dalam Latar Sejarah Lokasi mesjid Sunan Ampel berada di Kelurahan Ampel, Kecamatan Simokerto, Kotamadya Surabaya, Provinsi Jawa Timur. Pada umumnya, lokasi ini dicapai dengan berjalan kaki, melewati deretan pedagang makanan dan cindera mata. Kendaraan bus harus diparkir agak jauh dari lokasi. Untuk kendaraan mobil kecil dan motor bisa masuk lokasi hingga pelataran mesjid sebelah barat, namun luasan areal parkirnya terbatas. Mesjid Sunan Ampel dibangun oleh Sunan Ampel bersama murid-muridnya sekitar tahun 1450 Masehi. Mesjid Sunan Ampel beberapa kali telah mengalami perluasan. Perluasan pertama dilakukan oleh Adipati Aryo Cokronegoro dengan menambah bangunan di sebelah utara bangunan bagian selatan. Perluasan kedua dilakukan oleh Adipati Regent Raden Aryo Niti Adiningrat pada tahun 1926, yakni dengan menambah atau memperluas ke bagian utara lagi. Perluasan ketiga dilakukan setelah masa kemerdekaan yang diselenggarakan oleh Panitia Khusus Perluasan Mesjid Agung Sunan Ampel tahun , yakni perluasan di sebelah utara lagi dan di sebelah barat. Perluasan keempat dilakukan tahun 1974 dengan memperluas lagi bagian barat. [Wiryoprawiro, 1986]. Pada tahun dilakukan penambahan bangunan baru di sebelah barat lagi. Kondisi kompleks mesjid Sunan Ampel masa sekarang merupakan hasil perluasan dan renovasi hingga tahun [Gambar 23]. 37

52 38 Gambar 23. Periodisasi waktu perkembangan bentuk mesjid Sunan Ampel 4.2 Bentuk dan Fungsi Mesjid Sunan Ampel Eksplanasi dilakukan terhadap bentuk arsitektur mesjid Sunan Ampel dan fungsi-fungsi yang diwadahinya, pada masa sekarang ini. Eksplanasi dilakukan mulai dari lingkup tapak hingga lingkup bangunan. Mesjid Sunan Ampel menjadi satu tapak dengan area makam, yang di dalamnya terdapat beberapa bangunan penting, yaitu sebagai berikut: menara, tempat wudlu, serambi, ruang utama dan ruang dalam, dan bangunan-bangunan yang berada di areal makam [Gambar 24]. Berikut eksplanasi masing-masing bangunan dan ruang tersebut. a Menara Bentuk. Menara mesjid Sunan Ampel ada dua buah, satu berada di bagian selatan (menara lama) dan yang lainnya berada di

53 bagian barat (menara baru). Kedua menara, konstruksinya berupa beton cor, berbentuk bulat, tinggi menjulang sekitar 24 meter. Menara yang di bagian selatan tidak diketahui kapan didirikan, sementara menara yang di bagian barat didirikan sekitar , bersamaan dengan pembangunan mesjid bangunan baru. [Gambar 25]. 39 Menara lama Makam Sunan Ampel Menara baru Gambar 24. Kompleks mesjid Sunan Ampel a. Menara lama b. Menara baru Gambar 25. Bentuk menara mesjid Sunan Ampel Fungsi. Menara mesjid berfungsi sebagai wadah atau tempat loud speaker untuk mengeraskan kumandang adzan. Kegiatan adzan dilakukan di ruang teknis. Suara adzan berkumandang melalui loud speaker yang ditempatkan di atas menara mesjid.

54 40 b Tempat Wudlu Bentuk. Di sebelah tenggara bangunan mesjid terdapat tempat wudlu pria, dan di sebelah timur-utara bangunan mesjid terdapat tempat wudlu wanita. Bangunan tempat wudlu berbentuk lingkaran, dengan pancuran air pada sisi luarnya. Lantainya dibuat bertanggul dan berbahan keramik. Dindingnya berbentuk melingkar berdiameter 5 meter dilapis dengan bahan marmer, tingginya 2,5 m. Kolom penopang atap berbentuk bulat. Atap bangunan tempat wudlu berbentuk kerucut segi delapan, dengan penutup atap berupa metal roof berwarna hitam, sementara tempat wudlu wanita beratap bahan genteng kodok. Pada puncak atap terdapat memolo atau mustoko dari bahan besi kuningan. [Gambar 26]. Tempat wudlu wanita Tempat wudlu pria a. Tempat wudlu pria b. Denah mesjid Gambar 26. Bentuk tempat wudlu mesjid Sunan Ampel Fungsi. Tempat wudlu, sesuai dengan namanya, berfungsi sebagai wadah kegiatan berwudlu atau bersuci. Kegiatan bersuci merupakan syarat untuk melaksanakan kegiatan shalat. Tempat wudlu untuk pria dan wanita terpisah. c Serambi Bangunan Selatan Serambi mesjid Sunan Ampel adalah ruang terbuka yang mengelilingi bangunan mesjid pada sisi luarnya, berhubungan langsung dengan ruang luar atau pelataran. Secara keseluruhan

55 bentuk mesjid Sunan Ampel, berdasarkan posisinya, dapat dikelompokkan menjadi: bangunan selatan, bangunan tengah, dan bangunan barat. Pembagian ini digunakan untuk keperluan eksplanasi bentuk-bentuk bangunan mesjid Sunan Ampel. Masing-masing bangunan ini memiliki serambi. Berikut diuraikan serambi pada ketiga bangunan. 41 Bentuk. Bangunan selatan luasnya 38 m x 40 m, yaitu m2, terdiri dari ruang dalam, serambi depan (timur), serambi kanan (selatan), dan serambi kiri (utara). Serambi depan luasnya 6 m x 28 m, yaitu 168 m2. Serambi kanan luasnya 6 m x 38 m, yaitu 228 m2. Sebagian serambi kiri (utara) menjadi bagian dari ruang dalam. Serambi kiri luasnya 6 m x 38 m, yaitu 228 m2. Serambi berlantai dari bahan granit, posisinya lebih tinggi 75 cm daripada pelataran. Di serambi terdapat jejeran kolom batu bulat berdiameter 80 cm, jumlahnya 30 buah, 5 di antaranya berada di ruang dalam. Kolom-kolom ini menopang atap serambi berbentuk limasan pada bagian sisi luarnya. Pada bagian sisi dalamnya, atap ditopang oleh dinding setebal 50 cm. Dinding ini juga sebagai penopang atap tajug tumpang pertama pada bagian bawahnya. Pada kolom-kolom serambi terdapat konsol besi berbentuk lengkung yang menopang tritisan serambi. Penutup atap dari bahan metal roof berwarna hitam. Plafon serambi dari bahan kayu lambrisering. Di serambi kanan (selatan) ditempatkan dua buah beduk, yang satu diyakini sebagai peninggalan Sunan Ampel. [Gambar 27]. Fungsi. Serambi bangunan selatan berfungsi sebagai wadah kegiatan shalat, berdoa, berdzikir, dan kegiatan pengajian ilmu agama. Kegiatan shalat yang dilaksanakan di serambi ini, yaitu shalat Lima Waktu, shalat Jumat, dan shalat sunat bagi para peziarah. Kegiatan pengajian ilmu agama dilaksanakan pada setiap bakda shalat subuh setiap hari Kamis. Pengajian ini dihadiri jamaah wanita dan pria, namun tempatnya dipisah

56 42 dengan kain. Kegiatan pengajian ilmu agama tahunan dilaksanankan dalam rangka memperingati hari-hari besar agama Islam, yaitu tahun baru Islam (1 Muharam), nuzulul Al-qur an (17 Ramadhan), hari kelahiran Nabi Muhammad SAW (12 Rabi ul Awwal), dan kegiatan dalam rangka haul Sunan Ampel (13-15 Sya ban). C B Keterangan: A. Bangunan selatan B. Bangunan tengah C. Bangunan barat A a. Serambi mesjid bangunan selatan b. Denah mesjid Gambar 27. Bentuk serambi mesjid Sunan Ampel, bangunan selatan d Serambi Bangunan Tengah Bentuk. Bangunan tengah memiliki ruang dalam dan serambi. Serambi terdiri atas serambi depan (timur) dan serambi kiri (utara). Serambi depan luasnya 4,5 m x 56 m, yaitu 252 m2. Serambi kiri luasnya 6 m x 32,5 m, yaitu 195 m2. Serambi bangunan selatan, bentuknya seperti lorong dan terkesan sempit, karena dimensi lebar serambi relatif kecil dibandingkan dengan dimensi panjangnya. Lantai serambi depan dan serambi kiri berbahan granit, posisinya lebih tinggi 60 centimeter daripada pelataran. Di serambi depan dan serambi kiri terdapat jejeran kolom batu bulat berdiameter 80 centimeter yang menopang atap dak. Kolom di serambi depan jumlahnya 14 buah dan di serambi kiri jumlahnya 6 buah. Plafon serambi dari bahan kayu lambrisering. [Gambar 28].

57 Fungsi. Serambi bangunan tengah berfungsi sebagai wadah kegiatan shalat Lima Waktu dan shalat Jumat. 43 Gambar 28. Bentuk serambi mesjid Sunan Ampel, bangunan tengah e Serambi Bangunan Barat Bentuk. Bangunan barat letaknya di sisi paling barat, terdiri dari ruang utama dan serambi. Serambi terdiri atas serambi depan (timur), serambi belakang (barat), serambi kanan (selatan), dan serambi kiri (utara). Serambi depan menjadi bagian dari ruang dalam. Ketiga serambi bersifat terbuka. Serambi depan luasnya 4 m x 25 m, yaitu 100 m2. Serambi belakang luasnya 3 m x 25 m, yaitu 75 m2. Serambi kiri luasnya 5,5 m x 36 m, yaitu 198 m2. Serambi kanan luasnya 5,5 m x 36 m, yaitu 198 m2. Lantai serambi dari bahan keramik, posisinya lebih tinggi 60 centimeter daripada pelataran. Di serambi terdapat deretan kolom berukuran 80 cm x 80 cm, dengan ketinggian 5 meter. Kolom di serambi depan jumlahnya 8 buah, di serambi belakang jumlahnya 8 buah, di serambi kanan jumlahnya 6 buah, dan di serambi kiri jumlahnya 6 buah. Kolom-kolom ini sebagai penopang atap tajug pada bagian bawahnya. Bentuk atap serambi adalah terusan dari bentuk atap ruang utama. [Gambar 29].

58 44 Fungsi. Serambi bangunan barat berfungsi sebagai wadah kegiatan shalat Lima Waktu dan shalat Jumat. Gambar 29. Bentuk serambi mesjid Sunan Ampel, bangunan barat f Ruang Dalam Bangunan Selatan Mesjid Sunan Ampel memiliki ruang utama dan ruang dalam. Ruang utama dan ruang dalam mesjid adalah ruang yang berada di bagian dalam mesjid, yang pada umumnya dikelilingi oleh serambi pada sisi luarnya. Perbedaannya adalah ruang utama mesjid memiliki fungsi khotbah (tempat di mana seorang khatib berdiri memberikan khotbah agama pada kegiatan shalat Jumat), dan ruang dalam tidak. Bangunan selatan memiliki ruang dalam, bangunan tengah memiliki ruang dalam, dan bangunan barat memiliki ruang utama. Ruang dalam bangunan selatan luasnya sekitar m2. Ruang dalam bangunan tengah luasnya sekitar m2. Ruang utama bangunan barat luasnya sekitar 750 m2. Ruang dalam bangunan selatan berlantai dari bahan granit, posisinya rata dengan lantai serambi. Ruang dalam dikelilingi oleh dinding tembok tingginya 5 m dan tebal 50 cm, dengan beberapa lubang pintu. Lubang-lubang tanpa pintu berjumlah 11 buah, berada di bagian dalam, dan lubang-lubang yang berpintu berjumlah 18 buah, berada di bagian luar, yang membatasi serambi dengan

59 ruang dalam. Lubang-lubang pintu memiliki ukuran lebar 2 meter dan tinggi 4 meter, dan pada bagian atas berbentuk lengkung setengah lingkaran. Pintu-pintu berdaun dua berbahan kayu jati. Pada lengkungan setengah lingkaran terdapat ornamen berbentuk panah yang disusun secara radial. Pada sisi dalam dari dinding ruang dalam terdapat kolom batu bulat berdiameter 80 cm, berjumlah 20 buah, berpelipit kayu warna coklat plituran kayu. Pada ujung atas masing-masing kolom disambung dengan kolom-kolom kayu berbentuk segi delapan berdiameter (jarak ujung lancip) 45 centimeter, berwarna coating kayu. Kolom-kolom ini menopang atap bentuk tajug tumpang pertama pada bagian tengahnya. Pada bagian tengah ruang dalam terdapat 16 kolom kayu berbentuk segi delapan berdiameter (jarak ujung lancip) 45 centimeter, berwarna coating kayu, dengan jarak antar kolom 4 meter. Keenam belas kolom ini merupakan soko guru yang menopang atap berbentuk tajug tumpang kedua (puncak atap). Empat soko guru yang di tengah tingginya 17 meter, dan dua belas soko guru di sisi luar tingginya 13,5 meter. Kedua belas soko guru ini juga menopang bagian atas atap tajug tumpang pertama. Masing-masing kolom yang menopang atap tajug tumpang dihubungkan dengan balok-balok kayu. Bangunan mesjid Sunan Ampel yang paling awal bisa jadi adalah bangunan yang sekarang beratap tajug tumpang kedua ini, dengan luas 12 m x 12 m, yaitu 144 m2. Pada bagian bawah soko guru berupa umpak batu berbentuk seperti setengah buah waloh (segi delapan) berlapis marmer, berdiameter (jarak ujung lancip) 80 centimeter, dan tinggi 50 centimeter. Di atas umpak, pada bidang segi delapan masing-masing kolom sokoguru terdapat ornamen berbentuk tlacapan berwarna kuning emas. Ruang dalam mesjid dinaungi atap berbentuk tajug tumpang dua. Pada bagian puncak atap terdapat memolo atau mustoko dari bahan besi kuningan. Di antara atap tajug tumpang pertama dan tumpang kedua terdapat jendela-jendela kaca. Plafon ruang 45

60 46 dalam dari bahan kayu lambrisering. Penutup atap berupa metal roof berwarna hitam. [Gambar 30]. Fungsi. Ruang dalam bangunan selatan berfungsi sebagai wadah kegiatan shalat, berdoa, berdzikir, dan kegiatan pengajian ilmu agama. Kegiatan shalat yang dilaksanakan di ruang dalam ini, yaitu shalat Lima Waktu, shalat Jumat, dan shalat sunat bagi para peziarah. Kegiatan pengajian tahunan dilaksanankan dalam rangka memperingati hari-hari besar agama Islam, yaitu tahun baru Islam (1 Muharam), nuzulul Al-qur an (17 Ramadhan), hari kelahiran Nabi Muhammad SAW (12 Rabi ul Awwal), dan kegiatan dalam rangka haul Sunan Ampel (13-15 Sya ban). Gambar 30. Bentuk ruang dalam mesjid Sunan Ampel, bangunan selatan g Ruang Dalam Bangunan Tengah Bentuk. Ruang dalam bangunan tengah, lantainya dari bahan marmer, posisinya rata dengan lantai serambi. Di ruang dalam terdapat lubang-lubang berbentuk lengkung pada dinding-dinding pembatas ruangnya. Dinding-dinding ini memiliki ketebalan 40 centimeter yang berfungsi sebagai pemikul beban konstruksi atap. Di sisi dalam terdapat empat deretan lengkungan berjumlah 16 buah, di sisi selatan berjumlah 4 buah, dan di sisi barat

61 berjumlah 11 buah. Ruang dalam dinaungi atap berbentuk susunan tajug tumpang dua yang jumlahnya 12 buah, yang ditopang oleh kolom-kolom bulat berdiameter 80 centimeter, berjumlah 6 buah, dengan ketinggian 5 meter. Kolom-kolom ini ditempatkan dengan cara berpasangan menjadi tiga pasang. Plafon ruang dalam dari bahan kayu lambrisering. [Gambar 31]. 47 Fungsi. Ruang dalam bangunan tengah berfungsi sebagai wadah kegiatan shalat Lima Waktu dan shalat Jumat. Gambar 31. Bentuk ruang dalam mesjid Sunan Ampel, bangunan tengah h Ruang Utama Bangunan Barat Bentuk. Ruang utama bangunan barat, lantainya sama dengan lantai serambi, dari bahan keramik, dan posisinya 60 cm lebih tinggi daripada pelataran. Ruang utama memiliki kolom-kolom batu bulat yang masing-masing berdiameter 80 centimeter. Kolom bagian bawah berupa umpak tinggi 50 centimeter dan bagian tengah dilapis kayu jati berwarna plituran kayu. Di bagian tengah ruangan jumlah kolomnya 12 buah, dengan ketinggian 12 meter, sebagai soko guru. Kedua belas kolom ini menopang konstruksi atap kubah, dan sebagai topangan konstruksi atap tajug pada bagian atasnya. Di sisi-sisi luar soko guru terdapat

62 48 kolom dengan ketinggian 8,5 meter, sebagai penopang konstruksi atap tajug pada bagian tengahnya. Empat kolom di sisi kanan dan empat kolom di sisi kiri soko guru posisinya berada di dalam ruangan, sedangkan kolom di sisi depan dan belakang soko guru menyatu dengan dinding pembatas ruang utama. Pada bagian paling bawah atap tajug ditopang oleh kolom-kolom serambi. Plafon ruang utama, di bawah atap tajug dari bahan kayu lambrisering berwarna plituran kayu. Di dalam ruang utama pada sisi barat terdapat mimbar. Atap bangunan barat, pada bagian bawah berbentuk tajug dengan penutup atap genteng keramik warna merah bata, dan pada bagian atas berbentuk kubah dari bahan tembus pandang warna gelap. Atap kubah berdiameter 9 meter. Pada sisi luarnya dipasang pipa besi berjumlah 64 batang, yang disusun miring berbentuk tajug. Pada tampak luar bangunan, atap kubah tidak begitu terlihat karena terhalang oleh susunan pipa besi yang berbentuk tajuk. Atap kubah dikelilingi dinding batu segi empat setinggi 1 meter, bercat warna putih. Pada puncak atap terdapat memolo dari bahan besi kuningan, yang dipasang di atas susunan batang pipa yang berbentuk tajug. Bentuk tajug susunan pipa ini memperlihatkan ekspresi bentuk atap tajuk tumpang kedua, yang seolah-olah berdiri di atas atap tajug di bawahnya, yang menaungi ruang utama. [Gambar 32]. Fungsi. Ruang utama bangunan barat mesjid Sunan Ampel berfungsi sebagai wadah kegiatan shalat Jumat. Pada hari-hari biasa, ruang utama bangunan barat selalu dalam keadaan tertutup, kecuali pada hari Jumat, karena untuk pelaksanaan shalat Jumat. Dalam kegiatan shalat Jumat, khatib berkhotbah di atas mimbar yang terletak dua meter di depan dinding bagian barat, dan memimpin shalat Jumat di dekat mimbar. Tidak seperti mesjid-mesjid pada umumnya dimana imam memimpin shalat berjamaah di tempat yang disebut mirab. Mesjid Sunan Ampel, baik bangunan selatan, tengah, maupun barat, tidak

63 memiliki mihrab, yaitu lubang di bagian dinding sebelah barat ruangan, yang sekaligus menunjukkan arah kiblat. 49 Gambar 32. Bentuk ruang utama mesjid Sunan Ampel, bangunan barat i Bentuk Bangunan dalam Areal Makam Bentuk. Pada bagian sisi tenggara terdapat gapuro ngamal sebagai pintu gerbang area makam. Berikutnya terdapat gapuro madep dan gapuro paneksen sebagai pintu masuk ke makam Sunan Ampel. Makam Sunan Ampel tidak memiliki cungkup. Makam Sunan Ampel berpasir putih, dikelilingi pagar besi stainless setinggi 1,5 meter. Di dekat gapuro madep terdapat beberapa gentong besar untuk menampung air. [Gambar 33]. Gapuro paneksen Gapuro madep Gambar 33. Bentuk Gapuro di areal makam Sunan Ampel

64 50 Fungsi. Bangunan-bangunan gapura di areal makam merupakan fasilitas makam yang berfungsi sebagai gerbang masuk ke bagianbagian area makam, bagi para peziarah. 4.3 Fungsi-Fungsi Konseptual Fungsi-fungsi mesjid Sunan Ampel dapat dikelompokkan ke dalam fungsi-fungsi konseptual, yaitu fungsi ritual mesjid, syiar, dan ritual makam. Pemukulan beduk, adzan, bersuci, shalat Lima Waktu dan shalat Jumat berkaitan dengan ritual mesjid, sehingga dapat dinamakan fungsi ritual mesjid. Shalat Sunat, berdoa, berdzikir, dan ziarah berkaitan dengan ritual makam, sehingga dapat dinamakan fungsi ritual makam. Kegiatan shalat Sunat, berdoa dan berdzikir pada umumnya dilakukan oleh para peziarah setelah atau sebelum melakukan ziarah ke makam tokoh yang dihormati, yang terletak di dalam atau dekat dengan kompleks mesjid. Pengajian ilmu-ilmu agama Islam berkaitan dengan syiar agama Islam, sehingga dapat dinamakan fungsi syiar. [Tabel 02]. Fungsi ritual mesjid dapat didefinisikan sebagai kegiatan ibadah yang dilakukan oleh jamaah dan pengurus DKM (Dewan Kemakmuran Mesjid) sehari-hari. Fungsi ritual mesjid meliputi kegiatan-kegiatan, yaitu pemukulan beduk, adzan (panggilan untuk shalat), wudlu (bersuci), dan shalat (shalat Lima Waktu dan shalat Jumat). Fungsi-fungsi ini saling berkaitan. Pemukulan beduk dilakukan menjelang tibanya waktu shalat Lima Waktu (Subuh, Dhuhur, Asar, Maghrib, dan Isya), dan shalat Jumat. Kegiatan shalat Hari Raya (Idul Fitri dan Idul Adha) tidak diuraikan, karena secara prinsip tata cara pelaksanaannya sama dengan kegiatan shalat Jumat. Setelah pemukulan beduk dilakukan, beberapa saat kemudian, suara adzan dikumandangkan. Tidak lama setelah adzan dikumandangkan, maka kegiatan shalat Lima Waktu dan shalat Jumat berjamaah dilaksanakan. Sebelum melaksanakan kegiatan shalat, setiap muslim harus melaksanakan kegiatan wudlu.

65 Fungsi syiar dapat didefinisikan sebagai kegiatan pengajian atau pengajaran ilmu-ilmu agama yang dilakukan oleh jamaah dan pengurus DKM (Dewan Kemakmuran Mesjid), yang bertujuan selain memberikan tambahan wawasan ilmu-ilmu agama, juga menyiarkan kegiatan agama Islam di sekitar lingkungan mesjid. Fungsi ritual makam dapat didefinisikan sebagai kegiatan ziarah makam wali dan tokoh yang dihormati. Fungsi ritual makam merupakan petunjuk bahwa dalam kompleks mesjid Sunan Ampel terdapat makam wali atau tokoh yang dihormati, sehingga perlu diziarahi. Dalam hal ini, mesjid bukanlah tempat berziarah, namun para peziarah pada umumnya, setelah atau sebelum berziarah di makam, melakukan shalat Sunat dan berdoa di mesjid. Kegiatan shalat Sunat dan berdoa para peziarah yang dilakukan di mesjid dimasukkan ke dalam kelompok fungsi ritual makam karena kegiatan-kegiatan tersebut berkaitan dengan kegiatan-kegiatan ziarah makam. 51 Tabel 02. Fungsi-Fungsi Konseptual Fungsi-Fungsi Bentuk Arsitektur Mesjid Sunan Ampel Pemukulan beduk Adzan Wudlu Shalat Lima Waktu Shalat Jumat Pengajian ilmu-ilmu agama Islam Shalat Sunat Berdoa Berdzikir Ziarah Fungsi-Fungsi Konseptual Fungsi Ritual Mesjid Fungsi Syiar Fungsi Ritual Makam

66 52

67 BAGIAN 5 ANALISIS DAN INTERPRETASI 5.1 Menentukan Bentuk Arsitektur yang Dianalisis dan Diinterpretasi Penentuan bentuk-bentuk arsitektur mesjid Sunan Ampel yang dianalisis dan diinterpretasi dilakukan dengan pertimbangan bahwa kompleks mesjid Sunan Ampel memiliki banyak bentuk arsitektur. Dalam penelitian ini, untuk keperluan analisis dan interpretasi, ditentukan hanya satu bentuk arsitektur. Penentuan bentuk arsitektur berdasarkan kriteria, yaitu memiliki: [a] dimensi keluasan yang lebih besar; [b] dimensi ketinggian yang lebih besar; dan [c] fungsi yang lebih lengkap (fungsi ritual mesjid, syiar, dan ritual makam). Kriteria yang berdasarkan dimensi ketinggian menjadi pertimbangan utama, karena pada sebuah bangunan peribadatan, unsur keilahian, merupakan unsur paling penting dalam kegiatan peribadatan; ia bersifat transenden, yang selalu dihubungkan dengan sesuatu yang di atas, atau di tempat yang tinggi. Penentuan bentuk-bentuk arsitektur mesjid Sunan Ampel yang dianalisis dan diinterpretasi, dilakukan berdasarkan pada penjelasan Bagian sebelumnya. Kompleks mesjid Sunan Ampel, berdasarkan posisinya, terbagi menjadi tiga bangunan, yaitu bangunan selatan, bangunan tengah, dan bangunan barat. Total luasnya sekitar m2. Bangunan selatan, mesjid Sunan Ampel, memiliki ruangruang, yaitu ruang dalam, serambi, dan tempat wudlu pria. Luas ruang dalam, yaitu m2, serambi, yaitu 224 m2, dan tempat 53

68 54 wudlu pria, yaitu 19,6 m2. Tinggi ruang dalam, yaitu 19 m, serambi, yaitu 8 m, tempat wudlu, yaitu 5 m. Ruang dalam dan serambi bangunan selatan mesjid Sunan Ampel memiliki fungsi ritual mesjid, syiar, dan ritual makam. [Gambar 34]. C B Keterangan: A. Bangunan selatan B. Bangunan tengah C. Bangunan barat D. Makam Sunan Ampel D A Gambar 34. Denah kompleks mesjid Sunan Ampel Bangunan tengah, mesjid Sunan Ampel, terdiri atas ruang dalam, serambi, dan tempat wudlu wanita. Luas ruang dalam, yaitu m2, serambi, yaitu 447 m2, dan tempat wudlu wanita, yaitu 19,6 m2. Tinggi ruang dalam, yaitu 10 m, serambi, yaitu 7 m, tempat wudlu, yaitu 5 m. Ruang dalam dan serambi bangunan tengah mesjid Sunan Ampel memiliki fungsi ritual mesjid. Bangunan barat, mesjid Sunan Ampel, terdiri atas ruang utama dan serambi. Luas ruang utama, yaitu 750 m2, dan serambi, yaitu 571 m2. Tinggi ruang utama, yaitu 22 m, serambi, yaitu 8,5 m, dan menara, yaitu 24 m. Bangunan barat memiliki fungsi ritual mesjid.

69 55 Berdasarkan uraian sebelumnya, kegiatan analisis dan interpretasi dilakukan pada bentuk arsitektur ruang dalam bangunan selatan mesjid Sunan Ampel. [Tabel 03 dan Gambar 35]. Tabel 03. Penentuan Bentuk Arsitektur Mesjid Sunan Ampel yang Dianalisis dan Diinterpretasi Mesjid Sunan Ampel Luas (m2) Tinggi (m) Fungsi (Kegiatan) Bangunan Selatan Bangunan Tengah Bangunan Barat Ruang Dalam Serambi ritual mesjid, syiar, ritual makam ritual mesjid, syiar, Tempat Wudlu Pria 19,6 5 ritual makam ritual mesjid Menara 9,6 24 ritual mesjid Luas Total (tidak termasuk menara) 1.539,6 Ruang Dalam ritual mesjid Serambi ritual mesjid Tempat Wudlu Wanita 19,6 5 ritual mesjid Luas Total 2.034,6 Ruang Utama ritual mesjid Serambi 571 8,5 ritual mesjid Menara Luas Total (tidak termasuk menara) 9, ritual mesjid Bangunan selatan: ruang dalam dan pelingkupnya adalah bentuk arsitektur yang dianalisis dan diinterpretasi Gambar 35. Bentuk arsitektur mesjid Sunan Ampel yang dianalisis dan diinterpretasi

70 Pembukaan Pelingkup Bentuk Arsitektur Pembukaan pelingkup bentuk arsitektur mesjid Sunan Ampel dilakukan terhadap bangunan selatan, yaitu terdiri atas [Gambar 36 dan Gambar 37]: [a] pelingkup bawah, berupa lantai yang berorientasi ke arah kiblat; [b] pelingkup samping, berupa dinding tebal dengan elemen pintu dan jendela besar; dan [c] pelingkup atas, berupa atap dengan bentuk tajuk tumpang (bersusun) dua. Bentuk arsitektur ruang dalam bangunan selatan mesjid Sunan Ampel Gambar 36. Bentuk arsitektur ruang dalam bangunan selatan mesjid Sunan Ampel Pelingkup atas Pelingkup samping Bentuk arsitektur ruang dalam bangunan selatan mesjid Sunan Ampel Pelingkup bawah Gambar 37. Pelingkup bentuk arsitektur ruang dalam bangunan selatan mesjid Sunan Ampel

71 5.3 Membandingkan Bentuk Arsitektur Mesjid Sunan Ampel dengan Bentuk Arsitektur Acuan Berdasarkan Pelingkupnya dan Periodisasi Waktu Keberadaan Bentuk arsitektur mesjid Sunan Ampel diperbandingkan dengan bentuk arsitektur acuan berdasarkan pelingkupnya, yaitu pelingkup bawah, samping, dan atas. Berdasarkan telaah sebelumnya, bentuk-bentuk arsitektur acuan, yaitu pertama, bentuk arsitektur acuan lokal, yang meliputi bangunan tajuk dan bangunan limasan, dan kedua, bentuk arsitektur acuan non lokal, yang meliputi candi Hindu/Budha, mesjid Nabawi Awal, gereja kolonial, mesjid Pan Islamisme, dan mesjid modern. Khusus untuk bentuk arsitektur acuan gereja kolonial adalah gereja kolonial yang lokasinya berada dekat dengan kasus studi, yaitu gereja Kepanjen, Surabaya. [Gambar 38]. Pelingkup bawah, yang berupa lantai bangunan mesjid Sunan Ampel, memiliki acuan bentuk, yaitu denah lantai, sebagai pelingkup bawah, bangunan mesjid Nabawi Awal. Kedua bentuk sama-sama berorientasi ke arah kiblat. Berdasarkan periodisasi waktu keberadaannya, bangunan mesjid Nabawi awal (abad 7 Masehi) lebih dulu dibandingkan dengan mesjid Sunan Ampel (diduga tahun 1926 ketika terjadi perluasan dan perbaikan), sehingga bentuk arsitektur bangunan yang pertama dapat mempengaruhi atau menjadi acuan bentuk arsitektur bangunan yang kedua. Hal ini dimungkinkan terjadi karena orientasi bentuk mesjid Nabawi (mesjid pertama dalam kebudayaan Islam) menjadi acuan mesjid-mesjid di seluruh dunia. Pelingkup samping, yang berupa dinding tebal dengan pintu dan jendela berukuran besar pada bangunan mesjid Sunan Ampel, memiliki acuan bentuk, yaitu dinding, sebagai pelingkup samping, bangunan gereja Kepanjen Surabaya. Berdasarkan periodisasi waktu keberadaannya, bangunan gereja Kepanjen Surabaya (didirikan tahun 1815) lebih dulu dibandingkan dengan mesjid Sunan Ampel (perluasan dan perbaikan tahun 1926), sehingga bentuk arsitektur bangunan pertama bisa 57

72 58 mempengaruhi atau menjadi acuan bentuk arsitektur bangunan kedua. Hal ini dimungkinkan terjadi karena lokasi keberadaan keduanya berdekatan, masih dalam satu lingkup kota. Gambar 38. Proses terjadinya sinkretisme bentuk pada arsitektur ruang dalam bangunan selatan mesjid Sunan Ampel Pelingkup atas, yang berupa atap tajuk tumpang dua bangunan mesjid Sunan Ampel, memiliki acuan bentuk, yaitu bentuk atap bangunan cungkup makam Sunan Bonang. Berdasarkan periodisasi waktu keberadaannya, bangunan

BAB 2 LANDASAN TEORI. 2.1 Teori Hermeneutik dan Perkembangannya

BAB 2 LANDASAN TEORI. 2.1 Teori Hermeneutik dan Perkembangannya 13 BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Teori Hermeneutik dan Perkembangannya Hermeneutik didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan dalam menginterpretasi sesuatu. 24 Sesungguhnya hermeneutik kita terapkan dalam kehidupan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. dan dialog. Berdasarkan objek penelitian yang akan diteliti yaitu fenomena yang

BAB III METODE PENELITIAN. dan dialog. Berdasarkan objek penelitian yang akan diteliti yaitu fenomena yang BAB III METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian Penelitian yang akan penulis lakukan berdasarkan pada apa yang ada di Film Kita Versus Korupsi sebagai bahan utama dari penelitian ini, mulai dari teks, adegan,

Lebih terperinci

KETERBATASAN HERMENEUTIK DALAM STUDI SASTRA

KETERBATASAN HERMENEUTIK DALAM STUDI SASTRA KETERBATASAN HERMENEUTIK DALAM STUDI SASTRA Luwiyanto* Abstrak: Meskipun ada beberapa model, hermeneutik dalam rangka studi sastra dihadapkan sejumlah kesulitan. Kesulitan-kesulitan tersebut terdapat pada

Lebih terperinci

Dr.Ir. Edi Purwanto, MT

Dr.Ir. Edi Purwanto, MT i MEMAHAMI CITRA KOTA TEORI, METODE, DAN PENERAPANNYA Dr.Ir. Edi Purwanto, MT Diterbitkan Oleh: Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang 2014 ii MEMAHAMI CITRA KOTA TEORI, METODE, DAN PENERAPANNYA

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. deskriptif dan dengan pendekatan analisis wacana. Dalam melakukan

METODE PENELITIAN. deskriptif dan dengan pendekatan analisis wacana. Dalam melakukan 25 III. METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian Tipe penelitian yang digunakan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode kualitatif yang bersifat deskriptif dan dengan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sosiologi dan Sastra Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, sedangkan objek ilmu-ilmu kealaman adalah gejala alam. Masyarakat adalah

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian yaitu Negeri 5 Menara dengan cara menonton film tersebut. Dalam

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian yaitu Negeri 5 Menara dengan cara menonton film tersebut. Dalam BAB III METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk memahami isi film yang dijadikan objek pada penelitian yaitu Negeri 5 Menara dengan cara menonton film tersebut. Dalam penelitian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem pemikiran Yoga dapat dilihat sebagai suatu konstelasi pemikiran filsafat, bukan hanya seperangkat hukum religi karena ia bekerja juga mencapai ranah-ranah

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Paradigma Penelitian Paradigma menurut Wimmer dan Dominick, yaitu seperangkat teori, prosedur, dan asumsi yang diyakini tentang bagaimana peneliti melihat dunia. 1 Sedangkan

Lebih terperinci

PENGANTAR METODOLOGI STUDI ISLAM. Tabrani. ZA., S.Pd.I., M.S.I

PENGANTAR METODOLOGI STUDI ISLAM. Tabrani. ZA., S.Pd.I., M.S.I PENGANTAR METODOLOGI STUDI ISLAM Tabrani. ZA., S.Pd.I., M.S.I Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) PENGANTAR METODOLOGI STUDI ISLAM Tabrani. ZA., S.Pd.I., M.S.I ISBN: 978-602-71453-0-6 Editor

Lebih terperinci

1. A. Pengantar. 1. B. Perkembangan Konseptualisasi

1. A. Pengantar. 1. B. Perkembangan Konseptualisasi 1. A. Pengantar Sebagaimana diketahui dengan semakin pesatnya perkembangan metodologi penelitian kualitatif di bawah paradigma interpretivisme, penelitian kualitatif tidak saja meliputi penelitian lapangan

Lebih terperinci

Modul ke: TEORI KOMUNIKASI TEORI INTERPRETIF. Fakultas ILMU KOMUNIKASI SOFIA AUNUL, M.SI. Program Studi BROADCASTING.

Modul ke: TEORI KOMUNIKASI TEORI INTERPRETIF. Fakultas ILMU KOMUNIKASI SOFIA AUNUL, M.SI. Program Studi BROADCASTING. Modul ke: TEORI KOMUNIKASI TEORI INTERPRETIF Fakultas ILMU KOMUNIKASI SOFIA AUNUL, M.SI Program Studi BROADCASTING www.mercubuana.ac.id TEORI INTERPRETIF Teori intrepretif mengasumsikan bahwa makna dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tumpuan serta puncak keagungan bangsa adalah berupa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tumpuan serta puncak keagungan bangsa adalah berupa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu tumpuan serta puncak keagungan bangsa adalah berupa karya sastra lama. Nilai-nilai budaya suatu bangsa yang dalam kurun waktu tertentu sangat dapat

Lebih terperinci

Konversi bangunan tua bersejarah

Konversi bangunan tua bersejarah Konversi bangunan tua bersejarah ari widyati purwantiasning Konversi bangunan tua bersejarah ari widyati purwantiasning arsitekturumjpress Jakarta 2015 ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X Sanksi Pelanggaran Pasal 72:

Lebih terperinci

Hermeneutika Sebagai Interpretasi Makna Dalam Kajian Sastra. Berthin Simega 1

Hermeneutika Sebagai Interpretasi Makna Dalam Kajian Sastra. Berthin Simega 1 Hermeneutika Sebagai Interpretasi Makna Dalam Kajian Sastra Berthin Simega 1 Abstrak Sastra adalah sebuah karya yang terbuka terhadap berbagai interpretasi (penafsiran). Interpretasi merupakan proses menyampaikan

Lebih terperinci

BAB II TEORI SOSIOLOGI PENGETAHUAN

BAB II TEORI SOSIOLOGI PENGETAHUAN BAB II TEORI SOSIOLOGI PENGETAHUAN Pada umumnya manusia dilahirkan seorang diri. Namun demikian, mengapa manusia harus hidup bermasyarakat. Manusia tanpa manusia lainnya pasti akan mati. Bayi misalnya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam artikel Japan s Suicide Generation 1, dikatakan bahwa bunuh diri

BAB I PENDAHULUAN. Dalam artikel Japan s Suicide Generation 1, dikatakan bahwa bunuh diri BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam artikel Japan s Suicide Generation 1, dikatakan bahwa bunuh diri bukanlah suatu hal yang baru dalam masyarakat Jepang. Tingkat bunuh diri di Jepang setiap

Lebih terperinci

ILMU DAN FILSAFAT SOSIAL

ILMU DAN FILSAFAT SOSIAL FILSAFAT ILMU DAN LOGIKA Modul ke: 10Fakultas Dr. PSIKOLOGI ILMU DAN FILSAFAT SOSIAL H. SyahrialSyarbaini, MA. Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id . Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Ilmu Beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra dapat dikatakan bahwa wujud dari perkembangan peradaban

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra dapat dikatakan bahwa wujud dari perkembangan peradaban BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Karya sastra dapat dikatakan bahwa wujud dari perkembangan peradaban manusia sesuai dengan lingkungan karena pada dasarnya, karya sastra itu merupakan unsur

Lebih terperinci

Mengenal Ragam Studi Teks: Dari Content Analysis hingga Pos-modernisme. (Bahan Kuliah Metodologi Penelitian)

Mengenal Ragam Studi Teks: Dari Content Analysis hingga Pos-modernisme. (Bahan Kuliah Metodologi Penelitian) Mengenal Ragam Studi Teks: Dari Content Analysis hingga Pos-modernisme (Bahan Kuliah Metodologi Penelitian) Seiring dengan perkembangan paradigma interpretivisme dan metodologi penelitian lapangan (f ield

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra sebagai karya seni bersifat kreatif, artinya sebagai hasil

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra sebagai karya seni bersifat kreatif, artinya sebagai hasil BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Karya sastra sebagai karya seni bersifat kreatif, artinya sebagai hasil ciptaan manusia yang berupa karya bahasa. Dari zaman ke zaman sudah banyak orang menciptakan

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN. Pada dasarnya Keraton Yogyakarta dibangun berdasarkan. kosmologi Jawa, yang meletakkan keseimbangan dan keselarasan

BAB VI KESIMPULAN. Pada dasarnya Keraton Yogyakarta dibangun berdasarkan. kosmologi Jawa, yang meletakkan keseimbangan dan keselarasan 533 BAB VI KESIMPULAN A. Kesimpulan Pada dasarnya Keraton Yogyakarta dibangun berdasarkan kosmologi Jawa, yang meletakkan keseimbangan dan keselarasan sebagai landasan relasi manusia-tuhan-alam semesta.

Lebih terperinci

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta Pasal 2: 1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta Pasal 2: 1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta Pasal 2: 1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan suatu bangsa dan negara hendaknya sejalan dengan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan suatu bangsa dan negara hendaknya sejalan dengan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pembangunan suatu bangsa dan negara hendaknya sejalan dengan pembangunan dan peningkatan sumber daya manusia. Peningkatan sumber daya manusia dapat dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kualitas sumber manusia itu tergantung pada kualitas pendidikan. Peran

BAB I PENDAHULUAN. Kualitas sumber manusia itu tergantung pada kualitas pendidikan. Peran BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemajuan suatu bangsa sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia. Kualitas sumber manusia itu tergantung pada kualitas pendidikan. Peran pendidikan

Lebih terperinci

Menurut penerbitnya, buku Studying Christian Spirituality ini adalah

Menurut penerbitnya, buku Studying Christian Spirituality ini adalah Tinjauan Buku STUDYING CHRISTIAN SPIRITUALITY Jusuf Nikolas Anamofa janamofa@yahoo.com Judul Buku : Studying Christian Spirituality Penulis : David B. Perrin Tahun Terbit : 2007 Penerbit : Routledge -

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. berasal dari kata Yunani hermeneuine dan hermeneia yang masing-masing berarti

III. METODE PENELITIAN. berasal dari kata Yunani hermeneuine dan hermeneia yang masing-masing berarti 28 III. METODE PENELITIAN A. Metode yang Digunakan Metode penelitian dalam penelitian ini adalah metode hermeneutik. Hermeneutika berasal dari kata Yunani hermeneuine dan hermeneia yang masing-masing berarti

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam suatu kehidupan, bentuk materi maupun non-materi mengalami sebuah siklus perubahan yang natural terjadi dalam segala aspek kehidupan yang mencakup mulai dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indrie Noor Aini, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indrie Noor Aini, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Matematika merupakan salah satu disiplin ilmu yang diajarkan pada setiap jenjang pendidikan, matematika diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam rangka mengembangkan

Lebih terperinci

AGAMA dan PERUBAHAN SOSIAL. Oleh : Erna Karim

AGAMA dan PERUBAHAN SOSIAL. Oleh : Erna Karim AGAMA dan PERUBAHAN SOSIAL Oleh : Erna Karim DEFINISI AGAMA MENGUNDANG PERDEBATAN POLEMIK (Ilmu Filsafat Agama, Teologi, Sosiologi, Antropologi, dan Ilmu Perbandingan Agama) TIDAK ADA DEFINISI AGAMA YANG

Lebih terperinci

Teori-Teori Penunjang dalam Penelitian Kualitatif

Teori-Teori Penunjang dalam Penelitian Kualitatif Teori-Teori Penunjang dalam Penelitian Kualitatif Fenomenologi Hermeneutik Interaksi Simbolik Etnometodologi Teori Budaya Tri Nugroho Adi,M.Si./MPK Kual. 1 FENOMENOLOGI Perspektif ini mengarahkan bahwa

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN Penelitian merupakan kerja akademik yang menuntut penerapan prosedur ilmiah tertentu sehingga hasil riset dapat dipertanggungjawabkan. Atas dasar inilah penulis memandang penting

Lebih terperinci

79. Mata Pelajaran Seni Budaya untuk Sekolah Menengah Atas Luar Biasa Tunadaksa (SMALB D)

79. Mata Pelajaran Seni Budaya untuk Sekolah Menengah Atas Luar Biasa Tunadaksa (SMALB D) 627 79. Mata Pelajaran Seni Budaya untuk Sekolah Menengah Atas Luar Biasa Tunadaksa (SMALB D) A. Latar belakang Muatan seni budaya sebagaimana yang diamanatkan dalam PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kata media berasal dari bahasa latin yaitu medium yang secara harfiah berarti

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kata media berasal dari bahasa latin yaitu medium yang secara harfiah berarti BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Media Kartu Bergambar 2.1.1 Pengertian Media Kartu Bergambar Kata media berasal dari bahasa latin yaitu medium yang secara harfiah berarti perantara. Dengan demikian media dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Karya sastra merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia, selain memberikan hiburan juga sarat dengan nilai, baik nilai keindahan maupun nilai- nilai ajaran

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN Metodologi berasal dari kata Yunani 'methodologia' yang berarti teknik atau prosedur, yang lebih merujuk kepada alur pemikiran umum atau menyeluruh dan juga gagasan teoritis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengalaman pengarang. Karya sastra hadir bukan semata-mata sebagai sarana

BAB I PENDAHULUAN. pengalaman pengarang. Karya sastra hadir bukan semata-mata sebagai sarana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan bentuk realita dari hasil imajinasi dan pengalaman pengarang. Karya sastra hadir bukan semata-mata sebagai sarana ekspresi pengarang saja,

Lebih terperinci

DOMINASI PENUH MUSLIHAT AKAR KEKERASAN DAN DISKRIMINASI

DOMINASI PENUH MUSLIHAT AKAR KEKERASAN DAN DISKRIMINASI H A R Y A T M O K O DOMINASI PENUH MUSLIHAT AKAR KEKERASAN DAN DISKRIMINASI Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta 1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan

Lebih terperinci

Etika dan Filsafat. Komunikasi

Etika dan Filsafat. Komunikasi Modul ke: Etika dan Filsafat Komunikasi Pokok Bahasan Fakultas Ilmu Komunikasi Pengantar Kepada Bidang Filsafat Dewi Sad Tanti, M.I.Kom. Program Studi Public Relations www.mercubuana.ac.id Pengantar Rasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sastra sebagai cabang dari seni, yang keduanya unsur integral dari

BAB I PENDAHULUAN. Sastra sebagai cabang dari seni, yang keduanya unsur integral dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sastra sebagai cabang dari seni, yang keduanya unsur integral dari kebudayaan. Usianya sudah cukup tua. Kehadiran hampir bersamaan dengan adanya manusia. Karena ia diciptakan

Lebih terperinci

Teori Kebudayaan Menurut E.K.M. Masinambow. Oleh. Muhammad Nida Fadlan 1

Teori Kebudayaan Menurut E.K.M. Masinambow. Oleh. Muhammad Nida Fadlan 1 Teori Kebudayaan Menurut E.K.M. Masinambow Oleh. Muhammad Nida Fadlan 1 Sebagai seorang akademisi yang sangat memperhatikan aspek-aspek pengajaran dan pengembangan kebudayaan, E.K.M. Masinambow merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Arni Febriani, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Arni Febriani, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Jepang adalah sebuah negara kepulauan di Asia Timur. Letaknya di ujung barat Samudra Pasifik, di sebelah timur Laut Jepang, dan bertetangga dengan Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Perkembangan arsitektur di Eropa sedikit banyak memberikan pengaruh

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Perkembangan arsitektur di Eropa sedikit banyak memberikan pengaruh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan arsitektur di Eropa sedikit banyak memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan arsitektur di dunia maupun di Indonesia sendiri. Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra sebagai karya seni bersifat kreatif, artinya sebagai hasil ciptaan manusia

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra sebagai karya seni bersifat kreatif, artinya sebagai hasil ciptaan manusia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Karya sastra sebagai karya seni bersifat kreatif, artinya sebagai hasil ciptaan manusia yang berupa karya bahasa. Dari zaman ke zaman sudah banyak orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bangsa yang cerdas ditentukan oleh kualitas pendidikan di negaranya. Semakin

BAB I PENDAHULUAN. Bangsa yang cerdas ditentukan oleh kualitas pendidikan di negaranya. Semakin BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bangsa yang cerdas ditentukan oleh kualitas pendidikan di negaranya. Semakin baik kualitas pendidikan disuatu negara akan menghasilkan bangsa yang cerdas. Keberhasilan

Lebih terperinci

HERMENEUTIKA SEBAGAI SISTEM INTERPRETASI PAUL RICOEUR DALAM MEMAHAMI TEKS-TEKS SENI

HERMENEUTIKA SEBAGAI SISTEM INTERPRETASI PAUL RICOEUR DALAM MEMAHAMI TEKS-TEKS SENI HERMENEUTIKA SEBAGAI SISTEM INTERPRETASI PAUL RICOEUR DALAM MEMAHAMI TEKS-TEKS SENI Abdul Wachid B.S. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Purwokerto Abstract Based on hermeneutics history, it is known that

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia, mitos dan ritual saling berkaitan. Penghadiran kembali pengalaman

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia, mitos dan ritual saling berkaitan. Penghadiran kembali pengalaman BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ritual merupakan suatu proses pelaksanaan tradisi. Meskipun sudah ada ritual tanpa mitos-mitos dalam beberapa periode jaman kuno. Dalam tingkah laku manusia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penciptaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penciptaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penciptaan Seni lukis merupakan salah satu bagian dari cabang seni yang memiliki unsur dua dimensi dan sangat terkait dengan gambar. Secara historis terlihat bahwa sejak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun kehidupan sehari-hari. Seseorang dapat menggali, mengolah, dan

BAB I PENDAHULUAN. maupun kehidupan sehari-hari. Seseorang dapat menggali, mengolah, dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra merupakan ungkapan pikiran dan perasaan, baik tentang kisah maupun kehidupan sehari-hari. Seseorang dapat menggali, mengolah, dan mengekspresikan gagasan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. XVIII dan XIX. Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. XVIII dan XIX. Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Karya sastra merupakan suatu benda budaya yang dapat ditinjau dan ditelaah dari berbagai sudut. Teks-teks sastra bersifat multitafsir atau multiinterpretasi. Isi,

Lebih terperinci

Mendesain 3 Dimensi Secara Cepat dengan AutoCAD 2008

Mendesain 3 Dimensi Secara Cepat dengan AutoCAD 2008 Mendesain 3 Dimensi Secara Cepat dengan AutoCAD 2008 Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang HAK CIPTA 1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. metafisika pada puncaknya. Kemudian pada pasca-pencerahan (sekitar abad ke-

BAB I PENDAHULUAN. metafisika pada puncaknya. Kemudian pada pasca-pencerahan (sekitar abad ke- BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada abad pencerahan (Aufklarung) telah membawa sikap kritis atas metafisika pada puncaknya. Kemudian pada pasca-pencerahan (sekitar abad ke- 19) di Jerman,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut tersebar di daerah-daerah sehingga setiap daerah memiliki kebudayaan yang berbeda-beda.

Lebih terperinci

Mata kuliah : Filsafat Kebudayaan Pertemuan ke : 10 (K10) : Kebudayaan sebagai strategi: : Mahasiswea memahami konsep pentahapan kebudayaan dan

Mata kuliah : Filsafat Kebudayaan Pertemuan ke : 10 (K10) : Kebudayaan sebagai strategi: : Mahasiswea memahami konsep pentahapan kebudayaan dan Mata kuliah : Filsafat Kebudayaan Pertemuan ke : 10 (K10) Materi : Kebudayaan sebagai strategi: Tujuan : Mahasiswea memahami konsep pentahapan kebudayaan dan pengertian strategikebudayaan. --------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Estetika sebagai..., Wahyu Akomadin, FIB UI,2009

BAB I. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Estetika sebagai..., Wahyu Akomadin, FIB UI,2009 BAB I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar belakang Berangkat dari sebuah pernyataan yang menyatakan bahwa Estetika sebagai logika, mengantarkan saya untuk mencoba mendalami dan menelusuri tentang keduanya, serta

Lebih terperinci

FILSAFAT SEJARAH BENEDETTO CROCE ( )

FILSAFAT SEJARAH BENEDETTO CROCE ( ) FILSAFAT SEJARAH BENEDETTO CROCE (1866-1952) Filsafat Sejarah Croce (1) Benedetto Croce (1866-1952), merupakan pemikir terkemuka dalam mazhab idealisme historis. Syafii Maarif mengidentifikasi empat doktrin

Lebih terperinci

OLEH ENCEP SUPRIATNA

OLEH ENCEP SUPRIATNA TRADISI INTELEKTUAL BANGSA YUNANI-ROMAWI OLEH ENCEP SUPRIATNA FAKTOR PENDORONG: FAKTOR GEOGRAFIS; SEMENANJUNG YUNANI YANG BERBUKIT-BUKIT, LAHAN SEMPIT, REKATIF SUBUR, BERPINDAH-----PINDAH PELAUT/MARITIM

Lebih terperinci

EKSISTENSIALISME (1) Eksistensialisme:

EKSISTENSIALISME (1) Eksistensialisme: EKSISTENSIALISME (1) Eksistensialisme: Filsafat eksistensialisme merupakan pemberontakan terhadap beberapa sifat dari filsafat tradisional dan masyarakat modern. Eksistensialisme suatu protes terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dibandingkan dengan makhluk hidup yang lain, manusia mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dibandingkan dengan makhluk hidup yang lain, manusia mempunyai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dibandingkan dengan makhluk hidup yang lain, manusia mempunyai banyak kelebihan. Inilah yang disebut potensi positif, yakni suatu potensi yang menentukan eksistensinya,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Metode merupakan cara kerja dalam memahami objek yang menjadi

BAB III METODE PENELITIAN. Metode merupakan cara kerja dalam memahami objek yang menjadi 58 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Metode merupakan cara kerja dalam memahami objek yang menjadi sasaran penelitian. Peneliti dapat memilih salah satu dari berbagai metode yang ada sesuai

Lebih terperinci

Bab I. Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang Masalah

Bab I. Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang Masalah Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa merupakan alat yang digunakan untuk menyampaikan maksud tertentu oleh seseorang kepada orang lain. Dengan kata lain, untuk berkomunikasi. Menurut Keraf

Lebih terperinci

80. Mata Pelajaran Seni Budaya untuk Sekolah Menengah Atas Luar Biasa Tunalaras (SMALB E)

80. Mata Pelajaran Seni Budaya untuk Sekolah Menengah Atas Luar Biasa Tunalaras (SMALB E) 80. Mata Pelajaran Seni Budaya untuk Sekolah Menengah Atas Luar Biasa Tunalaras (SMALB E) A. Latar belakang Muatan seni budaya sebagaimana yang diamanatkan dalam PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Al-Ghazali (w M) adalah salah satu tokoh pemikir paling populer bagi

BAB I PENDAHULUAN. Al-Ghazali (w M) adalah salah satu tokoh pemikir paling populer bagi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Al-Ghazali (w. 1111 M) adalah salah satu tokoh pemikir paling populer bagi umat Islam hingga saat ini. Montgomerry Watt (Purwanto dalam pengantar Al- Ghazali,

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. Adapun kesimpulan tersebut terdapat dalam poin-poin berikut:

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. Adapun kesimpulan tersebut terdapat dalam poin-poin berikut: BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Uraian akhir dari analisa atas pemikiran Frithjof Schuon tentang makna agama dalam perspektif Filsafat Agama adalah bagian kesimpulan, yang merupakan rangkuman jawaban atas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan hasil kreasi yang diciptakan oleh sastrawan melalui kontemplasi dan suatu refleksi setelah menyaksikan berbagai fenomena kehidupan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sastra adalah seni yang tercipta dari tangan-tangan kreatif, yang merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Sastra adalah seni yang tercipta dari tangan-tangan kreatif, yang merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra adalah seni yang tercipta dari tangan-tangan kreatif, yang merupakan jabaran dari kehidupan yang terjadi di muka bumi ini. Sastra merupakan salah satu seni yang

Lebih terperinci

FILSAFAT UNTUK PSIKOLOGI

FILSAFAT UNTUK PSIKOLOGI Nama Mata Kuliah Modul ke: FILSAFAT UNTUK PSIKOLOGI Fakultas Fakultas Psikologi Masyhar, MA Program Studi Program Studi www.mercubuana.ac.id Posisi Filsafat dalam ilmu-ilmu 1) Filsafat dapat menyumbang

Lebih terperinci

Masuknya Hermeneutika dalam Lingkup Ilmu Tafsir (Review atas Artikel Sofyan A.P. Kau) Oleh: Wahidatul Wafa dan Asep Supianudin

Masuknya Hermeneutika dalam Lingkup Ilmu Tafsir (Review atas Artikel Sofyan A.P. Kau) Oleh: Wahidatul Wafa dan Asep Supianudin Masuknya Hermeneutika dalam Lingkup Ilmu Tafsir (Review atas Artikel Sofyan A.P. Kau) Oleh: Wahidatul Wafa dan Asep Supianudin Abstrak Pada awalnya, Tafsir dan Hermeneutik berawal dari tempat dan tradisi

Lebih terperinci

MODUL PERKULIAHAN. Sejarah Desain. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh

MODUL PERKULIAHAN. Sejarah Desain. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh MODUL PERKULIAHAN Sejarah Seni Rupa Prasejarah Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh Fakultas Teknik Perencanaan & Desain Desain Produk 01 Kode MK Abstract Seni rupa dapat dikatakan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memahami isinya dengan baik. Walaupun demikian, isinya harus tetap memikat

BAB I PENDAHULUAN. memahami isinya dengan baik. Walaupun demikian, isinya harus tetap memikat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Cerita anak-anak adalah sebuah cerita yang dibuat untuk konsumsi anakanak, yang dibuat sederhana tanpa tema yang sulit sehingga anak-anak bisa memahami isinya

Lebih terperinci

14. Baum Garten mengungkapkan estetika sebagai suatu ilmu, bahwa estetika adalah ilmu tentang pengetahuan indriawi yang tujuannya adalah keindahan.

14. Baum Garten mengungkapkan estetika sebagai suatu ilmu, bahwa estetika adalah ilmu tentang pengetahuan indriawi yang tujuannya adalah keindahan. Teori Seni 3 Part 5 1. Bagian utama dari ilmu-ilmu seni adalah filsafat seni. Pada mulanya, ilmu ini memang merupakan bagian dari kajian filsafat yang spekulatif. Tetapi dalam perkembangannya, kedudukannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tahun 2014 lalu merupakan tahun yang cukup penting bagi perjalanan bangsa Indonesia. Pada tahun tersebut bertepatan dengan dilaksanakan pemilihan umum yang biasanya

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang

Bab I Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Pesisir Timur pantai Sumatera Utara sejak abad ke-13, merupakan tempat persinggahan bangsa-bangsa asing dan lintas perdagangan. Bangsa India dan Arab datang dengan

Lebih terperinci

PARADIGMA POSITIVISTIK DALAM PENELITIAN SOSIAL

PARADIGMA POSITIVISTIK DALAM PENELITIAN SOSIAL PARADIGMA POSITIVISTIK DALAM PENELITIAN SOSIAL Memahami Paradigma positivistik (fakta sosial) menganggap realitas itu sebagai sesuatu yang empiris atau benar-benar nyata dan dapat diobservasi. Dalam meneliti,

Lebih terperinci

KOMPETENSI INTI KOMPETENSI DASAR. MATA PELAJARAN BAHASA SUNDA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA (SMP) MADRASAH TSANAWIYAH (MTs.)

KOMPETENSI INTI KOMPETENSI DASAR. MATA PELAJARAN BAHASA SUNDA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA (SMP) MADRASAH TSANAWIYAH (MTs.) MATA PELAJARAN BAHASA SUNDA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA (SMP) MADRASAH TSANAWIYAH (MTs.) DINAS PENDIDIKAN PROVINSI JAWA BARAT BALAI PENGEMBANGAN BAHASA DAERAH DAN KESENIAN 2013 DRAFT-1 DAN MATA PELAJARAN

Lebih terperinci

Slide 1. MENGEMBANGKAN PERTANYAAN KRITIS MODEL WAYS OF KNOWING HABERMAS DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH. Oleh: Nana Supriatna

Slide 1. MENGEMBANGKAN PERTANYAAN KRITIS MODEL WAYS OF KNOWING HABERMAS DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH. Oleh: Nana Supriatna Slide 1. MENGEMBANGKAN PERTANYAAN KRITIS MODEL WAYS OF KNOWING HABERMAS DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH Oleh: Nana Supriatna Makalah disajikan dalam seminar Konstruksi Pembelajaran Sejarah Kritis Himas tanggal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Progresif

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Progresif 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan terpaan kapitalisme global dalam sistem dunia, hukum liberal juga semakin mendominasi kehidupan hukum dalam percaturan global. Negara-negara developmentalis,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Melalui perjalanan panjang sejarah, seni sebagai bidang khusus dalam pemahamannya telah mengalami banyak perubahan.

BAB I PENDAHULUAN. Melalui perjalanan panjang sejarah, seni sebagai bidang khusus dalam pemahamannya telah mengalami banyak perubahan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1 Memahami Seni Melalui perjalanan panjang sejarah, seni sebagai bidang khusus dalam pemahamannya telah mengalami banyak perubahan. Pada awalnya seni dipandang

Lebih terperinci

STRUKTUR KURIKULUM 2009 JURUSAN SASTRA INDONESIA PROGRAM PASCASARJANA PRODI S3 PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA

STRUKTUR KURIKULUM 2009 JURUSAN SASTRA INDONESIA PROGRAM PASCASARJANA PRODI S3 PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA STRUKTUR KURIKULUM 2009 JURUSAN SASTRA INDONESIA PROGRAM PASCASARJANA PRODI S3 PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA STRUKTUR KURIKULUM Struktur kurikulum PS S3 PBI terdiri atas: 1. Matakuliah Landasan Keilmuan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Peneliti mengambil penelitian dengan judul Resepsi mahasiswa Jurusan

BAB II LANDASAN TEORI. Peneliti mengambil penelitian dengan judul Resepsi mahasiswa Jurusan BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Yang Relevan Sebelumnya Peneliti mengambil penelitian dengan judul Resepsi mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Terhadap pentas drama Drakula intelek

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. mengenai wacana bentuk analisis yang berkaitan dengan nilai-nilai pendidikan

BAB III METODE PENELITIAN. mengenai wacana bentuk analisis yang berkaitan dengan nilai-nilai pendidikan 36 BAB III METODE PENELITIAN A. Tipe penelitian Penelitian ini dimaksudkan untuk menginterpretasikan atau memaknai film mengenai wacana bentuk analisis yang berkaitan dengan nilai-nilai pendidikan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Buku cerita bilingual Kumpulan Cerita Anak Kreatif - Tales for Creative

BAB I PENDAHULUAN. Buku cerita bilingual Kumpulan Cerita Anak Kreatif - Tales for Creative BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Buku cerita bilingual Kumpulan Cerita Anak Kreatif - Tales for Creative Children merupakan buku cerita bilingual yang menggunakan dua bahasa yaitu bahasa Indonesia

Lebih terperinci

BAB 8 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEILMUAN

BAB 8 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEILMUAN BAB 8 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEILMUAN 8.1. Kesimpulan 1. Selama abad ke-15 hingga ke-19 terdapat dua konsep pusat yang melandasi politik teritorial di Pulau Jawa. Kedua konsep tersebut terkait dengan

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Salah satu hal yang paling penting bagi sebuah agama adalah tempat ibadah. Dan tempat ibadah tersebut dapat berupa gedung ataupun bangunan yang lain. Sebuah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. secara sadar dengan tujuan untuk menyampaikan ide, pesan, maksud,

BAB I PENDAHULUAN. secara sadar dengan tujuan untuk menyampaikan ide, pesan, maksud, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa merupakan rangkaian bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia secara sadar dengan tujuan untuk menyampaikan ide, pesan, maksud, perasaan, dan pendapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Karya sastra adalah sebuah struktur yang kompleks. Oleh karena itu, untuk dapat memahaminya haruslah karya sastra dianalisis. Dalam analisis itu karya sastra diuraikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sejak berabad-abad silam dan beberapa diantaranya sekarang sudah menjadi aset

BAB I PENDAHULUAN. sejak berabad-abad silam dan beberapa diantaranya sekarang sudah menjadi aset BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG Gereja merupakan bangunan ibadat umat kristiani yang mewadahi kegiatan spiritual bagi jemaatnya. Berbagai bentuk desain gereja telah tercipta sejak berabad-abad silam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial yang terdapat di

BAB I PENDAHULUAN. pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial yang terdapat di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial yang terdapat di sekitarnya.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian tersebut maka digunakan metodologi penelitian sebagai berikut:

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian tersebut maka digunakan metodologi penelitian sebagai berikut: BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran secara mendalam mengenai pengalaman psikologis pada remaja yang mengalami perceraian orangtua. Untuk mengetahui hasil dari

Lebih terperinci

BAB I. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I. A. Latar Belakang Penelitian BAB I A. Latar Belakang Penelitian Tingkat apresiasi masyarakat tumbuh dan berkembang dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti rutinitas dari kegiatan Seni Rupa ditengah masyarakat dan pendidikan Seni

Lebih terperinci

HOME OF MOVIE. Ekspresi Bentuk BAB III TINJAUAN KHUSUS. Ekspresi Bentuk. III.1 Pengertian Tema. Pengertian Ekspresi, adalah :

HOME OF MOVIE. Ekspresi Bentuk BAB III TINJAUAN KHUSUS. Ekspresi Bentuk. III.1 Pengertian Tema. Pengertian Ekspresi, adalah : BAB III TINJAUAN KHUSUS III.1 Pengertian Tema Pengertian Ekspresi, adalah : Ungkapan tentang rasa, pikiran, gagasan, cita-cita, fantasi, dan lain-lain. Ekspresi merupakan tanggapan atau rangsangan atas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan cara mencari

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan cara mencari BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Pada dasarnya Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis untuk menguasai kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. A. Kemampuan Representasi Matematis. solusi dari masalah yang sedang dihadapinya (NCTM, 2000).

BAB II KAJIAN TEORI. A. Kemampuan Representasi Matematis. solusi dari masalah yang sedang dihadapinya (NCTM, 2000). BAB II KAJIAN TEORI A. Kemampuan Representasi Matematis Representasi adalah suatu konfigurasi (bentuk atau susunan) yang dapat menggambarkan, mewakili atau melambangkan sesuatu dalam suatu cara (Goldin,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Budaya Menurut Marvin Harris (dalam Spradley, 2007:5) konsep kebudayaan ditampakkan dalam berbagai pola tingkah laku yang dikaitkan dengan kelompokkelompok masyarakat tertentu,

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Rekonstruksi teologi antroposentris Hassan Hanafi merupakan

BAB V PENUTUP. 1. Rekonstruksi teologi antroposentris Hassan Hanafi merupakan 344 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan tiga rumusan masalah yang ada dalam penelitian tesis berjudul Konstruksi Eksistensialisme Manusia Independen dalam Teologi Antroposentris Hassan Hanafi, maka

Lebih terperinci

Sumardjo & Saini (1994: 3) mengungkapkan bahwa sastra adalah ungkapan pribadi

Sumardjo & Saini (1994: 3) mengungkapkan bahwa sastra adalah ungkapan pribadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1. Relasi antara Sastra, Kebudayaan, dan Peradaban Sumardjo & Saini (1994: 3) mengungkapkan bahwa sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman,

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI 318 BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI A. Simpulan Berdasarkan capaian hasil penelitian dan pembahasan seperti yang tertuang pada bab IV, bahwa penelitian ini telah menghasilkan dua analisis, pertama

Lebih terperinci

TANTANGAN FILSAFAT ILMU DALAM PERKEMBANGAN GEOGRAFI YULI IFANA SARI

TANTANGAN FILSAFAT ILMU DALAM PERKEMBANGAN GEOGRAFI YULI IFANA SARI TANTANGAN FILSAFAT ILMU DALAM PERKEMBANGAN GEOGRAFI YULI IFANA SARI RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimana peranan filsafat ilmu dalam perkembangan ilmu pengetahuan? 2. Bagaimana perkembangan ilmu geografi? 3. Apa

Lebih terperinci

CONTOH BAHAN AJAR. A. TOPIK : PENGERTIAN dan RUANG LINGKUP SOSIOLOGI AGAMA

CONTOH BAHAN AJAR. A. TOPIK : PENGERTIAN dan RUANG LINGKUP SOSIOLOGI AGAMA CONTOH BAHAN AJAR A. TOPIK : PENGERTIAN dan RUANG LINGKUP SOSIOLOGI AGAMA 1. Pengantar Pemahaman Sosiologi tentang masyarakat bagaimanapun juga dalamnya dan detailnya tidak akan lengkat tanpa mengikut

Lebih terperinci

DESKRIPSI BUTIR INSTRUMEN 1 (BUKU SISWA) BUKU TEKS PELAJARAN SOSIOLOGI SMA/MA KELAS X

DESKRIPSI BUTIR INSTRUMEN 1 (BUKU SISWA) BUKU TEKS PELAJARAN SOSIOLOGI SMA/MA KELAS X DESKRIPSI BUTIR INSTRUMEN 1 (BUKU SISWA) BUKU TEKS PELAJARAN SOSIOLOGI SMA/MA KELAS X I. KOMPONEN KELAYAKAN ISI A. Kelengkapan Materi Butir 1 Butir 2 Kelengkapan kompetensi Materi yang disajikan mengandung

Lebih terperinci