BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian PKn Dalam Kehidupan Masyarakat

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian PKn Dalam Kehidupan Masyarakat"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian PKn Dalam Kehidupan Masyarakat Pendidikan Kewarganegaraan dalam pengertian citizenship education diartikan lebih luas. Artinya Pendidikan Kewarganegaraan bukan hanya sebagai suatu mata pelajaran, tetapi mencangkup berbagai pengalaman belajar yang membantu pembentukan totalitas warga negara agar mampu berpartisipasi secara efektif dan bertanggungjawab baik yang terjadi di sekolah, masyarakat, organisasi kemasyarakatan, maupun media massa. Berdasarkan pengertian di atas dapat di artikan bahwa citizenship education digunakan sebagai istilah yang memiliki pengertian yang lebih luas yang mencakup pengalaman belajar di sekolah dan luar sekolah seperti rumah, organisasi keagamaan, organisasi kemasyarakatan, media massa, dan lain-lain yang berperan membantu proses pembentukan totalitas atau keutuhan sebagai warga negara. Pendidikan kewarganegaraan dikembangkan dalam tradisi Citizenship Education yang tujuannya sesuai dengan tujuan nasional masing-masing Negara namun secara umum tujuan Negara mengembangkan pendidikan kewarganegaraan (PKn) adalah agar setiap warga Negara menjadi warga Negara yang baik (to be good citizens) yakni warganegara yang memiliki kecerdasan (Civic Intelligence) baik intelektual, emosional, sosial, maupun spiritual; memiliki rasa bangga dan tanggung jawab (Civic Responsibility), 7

2 8 dan mampu berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara (Civic Participation) agar tumbuh rasa kebangsaan dan cinta tanah air. B. Sifat-sifat Kewarganegaraan 1. Kemampuan mengenali dan mendekati masalah sebagai masyarakat global. 2. Kemampuan bekerja sama dengan orang lain. 3. Kemampuan untuk memahami, menerima dan menghormati perbedaan budaya. 4. Kemampuan berpikir kritis dan sistematis. 5. Kemampuan menyelesaikan konflik dengan cara damai. 6. Kemampuan mengubah gaya hidup dan pola makanan pokok yang sudah biasa guna melindungi lingkungan. 7. Memiliki kepekaan terhadap dan mempertahankan hak asasi manusia 8. Kemauan dan kemampuan berpartisifasi dalam kehidupan politik pada tingkat lokal, nasional dan internasional. Isi Kewarganegaraan (Bronson, 1998 : 5) Civic Knowledge Yaitu kandungan atau apa yang harus diketahui warga Negara Civic Skill Kecakapan warga negara dalam mempraktekkan hak-haknya dan menunaikan kewajiban sebagai anggota masyarakat yang berdaulat yang berupa kecakapan intelektual dan partisifatif yang relevan. Nilai-nilai yang harus dipunya warga negara yang meliputi Civic Disposition (karakter kewarganegaraan) dan Civic Commitment (komitmen kewarganegaraan).

3 9 Istilah kewarganegaraan sering dipakai sebagai terjemahan dari nasionalitas (nationality). Nasionalitas merupakan pengikat hubungan antara individu dan negara. Tanpa nasionalitas individu tidak akan memperoleh perlindungan negara sehingga nasionalitas berfungsi sebagai simbol atau identifikasi individu dalam kaitannya dengan negara tertentu dalam lingkungan internasional. Bukti nasionalitas adalah passport. Tujuan kewarganegaraan adalah partisifasi yang bermutu dan bertanggungjawab dari warga negara dalam kehidupan politik dan masyarakat baik pada tingkat desa, lokal maupun nasional. C. Tujuan dan Isi Civic Knowledge 1. Tujuan kewarganegaraan adalah partisifasi yang bermutu dan bertanggungjawab dari warga negara dalam kehidupan politik dan masyarakat baik pada tingkat desa atau komunitasnya, lokal maupun nasional, maka partisifasi tersebut memerlukan penguasaan sejumlah kompetensi kewarganegaraan yaitu : 2. Penguasaan terhadap pengetahuan dan pemahaman 3. Pengembangan kemampuan intelektual dan partisifatif 4. Pengembangan karakter dan sikap mental 5. Komitmen yang benar terhadap nilai dan prinsip demokrasi konstitutional

4 10 D. Civics Education Adalah mata pelajaran dasar yang dirancang untuk mempersiapkan warga negara muda untuk dapat melakukan peran aktif dalam masyarakat setelah dewasa. Ini merupakan istilah generik yang mencakup pengalaman belajar di sekolah dan di luar sekolah seperti lingkungan keluarga, organisasi keagamaan, ormas dan media. Jadi Civic Education adalah konsep yang lebih luas dan civic education menjadi bagian penting didalamnya. Civic Education sebagai bagian dari Citizenship Education yang dimaksud untuk pengembangan watak dan karakter warga negara yang peka, tanggap dan bertanggungjawab terhadap masyarakat, bangsa dan negara. E. Civic Disposition Sikap dan kebiasaan warga negara dalam bidang privat dan publik yang kondusif bagi berfungsi dan berlangsungnya sistem demokrasi konstitusional secara sehat. Karakter privat meliputi tanggungjawab moral, disiplin, penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia dari setiap individu. Karakter publik meliputi kepeduliaan sebagai warga negara, kesopanan mengindahkan aturan main (Rule of Law) berpikir kritis, kesediaan mendengar, bernegoisasi dan berkompromi F. Karakter Kewarganegaraan 1. Keadaban atau Civility (Kesopanan yang mencakup penghormatan dan partisifasi aktif dalam interaksi manusiawi)

5 11 2. Tanggungjawab individu dan kecendrungan untuk menerima tanggung jawab pribadi dan konsekuensi dari tindakan pribadi 3. Disiplin diri dan penghormatan terhadap peraturan untuk pemeliharaan pemerintahan konstitusional tanpa perlu paksaan dari otoritas eksternal 4. Rasa kewarganegaraan (Civic Mindedness) dan kehendak untuk mendahulukan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi sehingga ada kepeduliaan serta keterbukaan pikiran yang mencakup keterbukaan dan pengenalan terhadap kemerdekaan atau ambiguitas. G. Civic Commitment Artinya kesediaan warga negara untuk mengikatkan diri dengan sadar kepada ide dan prinsip serta fundamental demokrasi konstitusional negara. Identitas pribadi nilai-nilai keuangan negara tersebut sangat dipengaruhi Civic Culture, karena Civic Culture merupakan seperangkat ide yang dapat diwujudkan secara efektif dalam refresentase kebudayaan. Identitas pribadi warga negara yang bersumber dari Civic Culture perlu dikembangkan melalui Civic Education atau pendidikan kewarganegaraan dalam berbagai bentuk dan latar. Pendidikan Kewarganegaraan menurut Branson (1999:4) harus mencakup tiga komponen, yaitu Civic Knowledge (pengetahuan Kewarganegaraan), Civic Skills (keterampilan Kewarganegaraan), dan Civic Disposition (watak-watak Kewarganegaraan).

6 12 Komponen pertama, Civic Knowledge berkaitan dengan kandungan atau nilai apa yang seharusnya diketahui oleh warga negara (Branson, 1999:8). Aspek ini menyangkut kemampuan akademik-keilmuan yang dikembangkan dari berbagai teori atau konsep politik, hukum dan moral. Kedua, Civic Skills meliputi keterampilan intelektual (intelectual skills) dan keterampilan berpartisipasi (participatory skills) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Contoh keterampilan intelektual adalah keterampilan dalam merespon berbagai persoalan politik, misalnya merancang dialog dengan DPRD. Contoh keterampilan berpartisipasi adalah keterampilan menggunakan hak dan kewajibannya di bidang hukum, misalnya segera melapor kepada polisi atas terjadinya kejahatan yang diketahui. Ketiga, Civic Disposition (Watak-Watak Kewarganegaraan), komponen ini sesungguhnya merupakan dimensi yang paling substantif dan esensial dalam mata pelajaran PKn. Dimensi watak Kewarganegaraan dapat dipandang sebagai "muara" dari pengembangan kedua dimensi sebelumnya. H. Pengertian Partisipasi Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Partisipasi diartikan turut berperan serta di suatu kegiatan (Tim Penyusun Kamus Pusat Pembina dan Pengembangan Bahasa, 1990: 650). Menurut Mubyarto (dalam Ndraha, 1990: 102) Partisipasi adalah kesediaan untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai kemampuan setiap orang tanpa berarti mengorbankan diri sendiri.

7 13 Partisipasi dirumuskan dalam ketiga hipotesa yang sebagai berikut: Pertama, Partisipasi lebih cenderung ditafsirkan sebagai mobilisasi sosial, tanpa pembagian kekuasaan dalam proses pembuatan keputusan. Kedua, Partisipasi lebih cenderung ditafsirkan sebagai pembagian kekuasaan dalam pembuatan keputusan. Ketiga, Partisipasi lebih cenderung ditafsirkan sebagai kesempatan untuk pengaruh, tanpa pembagian kekuasaan apapun dalam proses pembuatan keputusan. ( Hofsteede, 1994 : 121). Nelson dalam Ndraha (1990: 102) menyebutkan dua macam Partisipasi: 1. Partisipasi antara sesama Warga atau Anggota suatu perkumpulan yang dinamakan Partisipasi Horizontal. 2. Partisipasi yang dilakukan oleh Bawahan dengan Atasan, antara lain Klien dengan Patron atau antara masyarakat sebagai suatu keseluruhan dengan Pemerintah yang diberi nama Partisipasi Vertikal. Berdasarkan pengertian di atas dapat di simpulkan bahwa Partisipasi adalah suatu kelompok atau anggota yang berperan atau kesediaan untuk membantu didalam suatu kegiatan yang akan dilaksanakan tanpa imbalan tetapi dilaksanakan dengan sepenuh hati. I. Partisipasi Masyarakat Partisipasi Masyarakat adalah keterlibatan kelompok orang secara fisik maupun non fisik dalam pembangunan. Partisipasi Masyarakat dalam pembangunan dapat di kategorikan atas tiga bagian yaitu sebagai berikut :

8 14 1. Partisipasi dalam Pengembangan Ide yaitu seseorang atau kelompok orang turut 2. Partisipasi dalam Mengambil Keputusan yaitu seseorang atau kelompok orang yang tidak hanya menerima saja apa yang diterapkan, kepada mereka diberi kesempatan menentukan sikap mau menerima atau tidak. 3. Partisipasi dalam Pelaksanaan yaitu Masyarakat turut terlibat dalam melaksanakan atau menjalankan pembangunan yang ditetapkan. (Siagian, 1998: 100). Bentuk Partisipasi Masyarakat sebagaimana dikemukakan Ndraha (1990: ), sebagai berikut : 1. Partisipasi dalam atau melalui kontak dengan pihak lain (Contact Change) sebagai salah satu titik awal perubahan sosial. 2. Partisipasi dalam memperhatikan atau menyerap dan memberikan tanggapan terhadap informasi, baik dalam menerima (mentaati, memenuhi, melaksanakan). Mengajak, menerima dengan syarat maupun dalam arti menolaknya. 3. Partisipasi dalam perencanaan pembangunan, termasuk pengambilan keputusan (penetapan rencana : Hofsteede, 1971). 4. Partisipasi dalam pelaksanaan operasional. 5. Partisipasi dalam menerima, memelihara dan mengembangkan hasil pembangunan. 6. Partisipasi dalam menilai pembangunan, yaitu keterlibatan masyarakat dalam menilai sejauh mana pelaksanaan pembangunan sesuai dengan

9 15 rencana dan sejauh mana hasilnya dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Cara menggerakan Partisipasi Masyarakat, Menurut Bryant dan White dalam Ndraha (1990 : 105) adalah melalui : 1. Proyek Pembangunan Desa yang dirancang secara sederhan dan mudah dikelola oleh Masyarakat. 2. Organisasi dan Lembaga Kemasyarakatan yang mampu menggerakkan dan mengeluarkan Aspirasi Masyarakat. 3. Peningkatan peranan masyarakat dalam pembangunan. Berdasarkan hasil penelitian Gold Smith dan Blustain di Jamaika, berkesimpulan bahwa masyarakat tergerak untuk berpartisipasi jika : 1. Partisipasi itu dilakukan melalui organisasi yang sudah dikenal atau yang sudah ada ditengah-tengah masyarakat yang bersangkutan. 2. Partisipasi itu memberi manfaat langsung kepada masyarakat yang bersangkutan. 3. Manfaat yang diperoleh melalui partisipasi itu dapat memenuhi kepentingan masyarakat setempat. 4. Dalam proses partisipasi itu terjamin adanya control yang dilakukan oleh masyarakat. (Ndraha, 1990 : 105) Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa partisipasi masyarakat adalah suatu keterlibatan orang terhadap kelompok untuk mewujudkan suatu pembangunan yang diinginkan, yang dilakukan tanpa mengharapkan imbalan.

10 16 J. Pengertian Gotong royong Gotong royong adalah bentuk kerjasama untuk mencapai tujuan tertentu dengan azas timbal balik yang mewujudkan adanya ketentuan sosial dalam bentuk spontan, dilandasi pamrih atau karena memenuhi kewajiban sosial. Wujud dari bentuk kerjasama itu beraneka ragam sesuai dengan bidang dan kegiatan sosial itu. (Geriya, 1982:3). Jika dikaji secara mendalam Gotong Royong itu menunjuk kepada suatu jenis perwujudan suatu rasa kekeluargaan, persaudaraan maupun partisipasi yang tampak jelas dan sebagai ciri khas dalam kehidupan masyarakat pedesaan. Menurut Koentjaraningrat (1990: 57), dijelaskan bahwa dalam kehidupan masyarakat Desa di Jawa, Gotong Royong merupakan suatu sistem pengerahan tenaga tambahan dari luar kalangan keluarga, untuk mengisi kekurangan tenaga pada masa-masa sibuk dalam lingkaran aktivitas produksi bercocok tanam disawah. Menurut Poewadarminta (1984:328) gorong royong berarti bekerja bersama-sama (tolong menolong, bantu membantu). Gotong Royong adalah bekerja tanpa pamrih untuk menyelesaikan suatu kegiatan yang hasilnya dapat bermanfaat bagi semua orang. Sifat gotong royong dan kekeluargaan di daerah pedesaan lebih menonjol dalam pola kehidupan mereka seprti memperbaiki membersihkan jalan, turun kesawah dan memperbaiki rumah. Mereka bekerja tanpa imbalan jasa, untuk kepeningan bersama (Tim PPKn 2002:77).

11 17 Surianingrat (1994:486) gotong royong merupakan kejasama yang spontan dan yang sudah melembaga serta mengandung unsur-unsur timbal balik yang bersifat sukarela antara warga desa dengan warga desa atau warga desa dengan pemerintah desa untuk memenuhi kebutuhan insidentil maupun berkelangsungan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan bersama baik materiil maupun spiritual. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa gotong royong adalah suatu kegiatan yang dikerjakan bersama-sama dengan ikhlas tanpa mengharapkan suatu imbalan demi tercapainya suatu tujuan. Suatu pekerjaan akan terasa mudah dan ringan dengan dilandasi tali persaudaraan yang erat dan dengan bergotong royong juga suatu kerukunan antar sesama dapat tercapai dengan semestinya. K. Bentuk-bentuk Gotong royong Menurut Muhtasim dan kawan-kawan (1992: 5)dalam laporan penelitiannya dijelaskan secara umum kegiatan gotong royong dapat dikatagorikan dalam 2 bentuk, yaitu: 1. Kegiatan Gotong Royong Kerja Bakti. 2. Kegiatan Gotong Royong Tolong Menolong. L. Pengertian Masyarakat Menurut Poerwadarminta (1986: 636) dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, masyarakat adalah pergaulan hidup manusia atau sehimpunan

12 18 orang yang hidup bersama dalam suatu tempat dengan ikatan-ikatan aturan yang tertentu. Menurut pendapat Polak (1979 : 130) masyarakat adalah wadah segenap antar hubungan sosial yang terdiri atas banyak sekali kolektivitas serta kelompok-kelompok. Semua itu tersusun secara hierarkis atau berkesinambungan, sejajar dan setaraf, ataupun saling tembus menembus. Menurut Koentjoroningrat (1987: 45), masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling bergerak atau dengan istilah ilmiah saling berinteraksi. Tetapi hendaknya diperhatikan bahwa tidak semua kesatuan manusia saling bergaul atau berinteraksi itu merupakan masyarakat. Karena masyarakat harus mempunyai ikatan yang khusus, yaitu pola tingkah laku yang khas. Menurut Koentjoroningrat (1987 : 41) masyarakat mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : 1. Interaksi Antar Warga. 2. Adat Istiadat. 3. Norma Hukum dan Aturan yang khas mengatur seluruh pola tingkah laku Warga Negara, Kota dan Desa. 4. Suatu Kontinuitas dalam waktu dan suatu cara identitas kuat yang mengikat seluruh Warga. Menurut Subandiroso (1987: 64) masyarakat mempunyai ciri-ciri umum sebagai berikut : 1. Interaksi antar warga baik secara langsung maupun tidak langsung. 2. Adat Istiadat.

13 19 3. Hukum dan Aturan-aturan khas yang mengatur seluruh tingkah laku manusia. 4. Rasa Identitas yang mengikat semua warga. Menurut Subandiroso (1987: 47), faktor yang menimbulkan terjadinya masyarakat sebagai berikut: 1. Hasrat yang berdasarkan naluri (kehendak di luar pengawasan akal) untuk memelihara keturunan, memiliki dan mengembangkan keturunan. 2. Kelemahan manusia itu sendiri, sehingga berusaha membentuk kehidupan bersama, saling melindungi disamping mecakupi kebutuhan dengan bekrjasam. 3. Manusia lebih senang hidup berteman daripada hidup sendirian. 4. Manusia hidup bersama tidak karena persamaan tetapi karena perbedaan yang terdapat dalam sifat, kedudukan dan lain sebagainnya. Menurut Sadely (1993: 47) mengungkapkan pengertian masyarakat adalah golongan besar atau kecil dari beberapa manusia yang dengan atau karena sendirinya bertahan secara golongan dan pengaruh dan mempengaruhi satu sama lain. Menurut Djojodiguno dalam Mansur (1993: 21) menyebutkan bahwa masyarakat mempunyai arti sempit dan luas. Masyarakat dalam arti sempit ialah masyarakat yang terdiri dari satu golongan saja, misalnya : Masyarakat Indonesia, Arab, Cina. Masyarakat dalam arti luas adalah masyarakat dari semua kebutuhan, semua perkembangan yang mungkin dalam masyarakat yang meliputi semua golongan, misalnya masyarakat Surabaya terdiri dari masyarakat India, Arab, Cina, dan Pelajar.

14 20 M. Penggolongan Masyarakat Secara umum masyarakat (Community) digolongkan dalam dua golongan yaitu : 1. Masyarakat Pedesaaan (Rulal Community) Masyarakat Pedesaan ditandai dengan pemilikan ikatan perasaan batin yang kuat sesama warga desa, yaitu setiap perasaan setiap warga atau anggota masyarakat yang amat kuat yang hakikatnya, bahwa seseorang merasa merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat lain dimana mempunyai perasaan bersedia untuk berkorban setiap waktu demi masyarakatnya atau angota-angota masyarakat, karena beranggapan sama-sama sebagai anggota masyarakat yang saling mencintai, saling menghormati, mempunyai hak tanggung jawab yang sama terhadap keselamatan dan kebahagiaan bersama di dalam masyarakat. Masyarakat desa merupakan kumpulan masyarakat yang bertempat tinggal dalam suatu wilayah, mempunyai sifat-sifat yang hampir sama (homogen). Ciri-ciri masyarakat pedesaan menurut Ahmadi (1988 : 259) adalah sebagai berikut : a. Di dalam masyarakat pedesaan diantara warganya mempunyai hubngan yang lebih dalam dan erat bila dibandingkan dengan hubungan mereka dengan masyarakat lainnya di luar batas wilayahnya.

15 21 b. Sistem kehidupan umunya berkelompok dengan dasar kekeluargaan. c. Sebagaian besar warga masyarakat pedesaan hidup sebagai petani (agraris) pekerjaan di luar pertanian merupakan pekerjaan sampingan yang biasanya sebagai pengisi waktu luang. d. Masyarakat pedesaan bersifat homogeny dalam hal agama, mata pencaharian, adat istiadat, kebudayaan. Di dalam Masyarakat Pedesaan berlaku cara-cara hidup yang bersifat Gotong Royong dan Tolong Menolong. Sifat hakikat masyarakat pedesaan yang banyak kegotong royongan dan tolong menolong. Masyarakat Pedesaan adalah masyarakat yang tenang dan damai penuh keharmonisan cocok untuk tempat pelepasan lelah dari bermacam-macam kesibukan dan kekusutan. Ciri-ciri tradisional Masyarakat Desa menurut Horton (1999:130) sebagai berikut: a. Memiliki sifat yang homogeny dalam hal mata pencaharian, nilanilai kebudayaan, serta dalam sikap dan tingkah laku. b. Kehidupan di Desa lebih menekankan anggota keluarga sebagai unit ekonomi, artinya semua keluarga turut bersama-sama terlibat dalam kegiatan mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangga. c. Faktor Geografis sangat berpengaruh atas kehidupan yang ada. d. Hubungan semua anggota Masyarakat Desa lebih tahan lama dari pada Masyarakat Kota.

16 22 Menurut Sorokin dalam bukunya (Soekanto, 1997: 250) mengungkapkan bahwa pada dasarnya manusia mempunyai derajat yang sama, tapi pada kenyataannya dalam kehidupan masyarakat, terdapat Stratifikasi Sosial (social stratification) yakni perbedaan penduduk atau masyarakat ke dalam lapisan kelas secara bertingkat (hierarkis). Menurut Soekanto (1997: 251), adanya strafikasi sosial dalam masyarakat erat kaitannya dengan penghargaan. Selama dalam masyarakat ada suatu yang dihargai maka hal itu akan menjadi bibit yang dapat menumbuhkan adanya sistem berlapis-lapis dalam masyarakat. 2. Masyarakat Perkotaan (Urban Community) Masyarakat Perkotaan (Urban Community) adalah Masyarakat kota yang tidak tertentu jumlah penduduknya. Masyarakat kota sudah memandang penggunaan kebutuhan hidup, sehubungan dengan pandangan masyarakat sekitarnya. N. Perbedaan Masyarakat Desa dan Masyarakat Kota Pada masyarakat yang modern, sering dibedakan antara masyarakat pedesaan dan masyarakat perkotaan. Perbedaan tersebut sebenarnya tidak mempunyai hubungan dengan pengertian masyarakat sederhana, oleh karena dalam masyarakat modern, betapapun kecilnya suatu desa, pasti ada pengaruh-pengaruh dari kota. Sebaliknya pada masyarakat-masyarakat sederhana pengaruh dari kota secara relatife tidak ada. Pembedaan masyarakat-masyarakat pedesaan dan masyarakat-masyarakat perkotaan, pada hakekatnya bersifat graduil.

17 23 Warga-warga suatu masyarakat pedesaan mempunyai hubungan yang lebih erat dan lebih mendalam daripada hubungan mereka dengan warga masyarakat pedesaan lainnya, diluar batas-batas wilayahnya. Sistem kehidupan biasannya berkelompok, ataupun dari sistem kekeluargaan. Penduduk masyarakat pedesaan pada umumnya hidup dari pertanian. Di luar jawa, misalnya di sumatera, disamping pertanian masyarakat pedesaan juga berkebun, misalnya berkebun lada, kelapa sawit, dan lain sebagainya. Pada umumnya penduduk pedesaan di Indonesia ini apabila ditinjau dari segi kehidupannya sangat terikat dan sangat tergantung pada tanah, maka mereka sama-sama mempunyai kepentingan pokok yang sama, sehingga mereka juga akan bekerja sama untuk mencapai kepentingannya. Misalnya pada musim pembukaan tanah atau pada waktu menanam tiba, mereka akan bersama-sama mengerjakannya. Hal itu mereka lakukan, Karena biasanya satu keluarga saja tidak akan cukup memiliki tenaga kerja untuk mengerjakan tanahnya. Kerjasama tadi, timbulah lembaga kemasyarakatan yang dikenal dengan istilah Gotong Royong, yang bukan merupakan lebaga yang sengaja dibuat. Oleh karena itu, pada masyarakat pedesaan, tidsk sksn dijumai pembagian kerja berdasarkan keahlian, akan tetapi biasanya pembagian kerja didasarkan pada usia. Golongan orang-orang tua pada masyarakat pedesaan, pada umunya memegang peranan yang penting. Orang-orang akan selalu meminta nasehat kepada mereka, apabila ada kesulitan yang dihadapi. Kesukarannya adalah bahwa golongan orang-orang tua itu mempunyai pandangan yang didasarkan pada tradisi yang kuat, sehingga sukar untuk mengadakan perobahan-

18 24 perobahan yang nyata. Pengendalian sosial masyarakat terasa sangat kuat, sehingga perkembangan jiwa individu sangat sukar untuk dilaksanakan. Rasa persatuan erat sekali, yang kemudian menimbulkan saling kenal mengenal dan saling tolong menolong yang akrab. Yang dimaksudkan dengan Masyarakat Perkotaan adalah Masyarakat kota yang tidak tertentu jumlah penduduknya. Antara masyarakat pedesaan dengan masyarakat perkotaan, juga terdapat perbedaan dalam perhatian, khususnya terhadap keperluan-keperluan hidup. Di desa-desa yang di utamakan adalah perhatian khusus terhadap keperluan utama daripada kehidupan, hubungan-hubungan untuk memperhatikan fungsi pakaian, makanan, rumah, dan sebagainya. Lain dengan masyarakat kota yang mempunyai pandangan-pandangan yang berbeda. Masyarakat kota sudah memandang penggunaan kebutuhan hidup, sehubungan dengan pandangan masyarakat sekitarnya. Ada beberapa ciri-ciri yang menonjolkan pada masyarakat kota, yaitu: a. Kehidupan keagamaan berkurang bila dibandingkan dengan kehidupan agama di desa. Adanya cara berfikir yang rasionil, yang didasarkan pada perhitungan eksak yang berhubungan dengan realita masyarakat. b. Orang kota pada umumnya dapat mengurus dirinya sendiri tanpa harus bergantung pada orang-orang lain. Yang penting disini adalah manusia perseorangan atau individu. Di desa orang lebih mementingkan kelompok atau keluarganya. Di kota-kota kehidupan keluarga sering sukar untuk disatukan, karena perbedaan kepentingan, perbedaan faham politik, perbedaan agama dan sebagainya.

19 25 c. Pembagian kerja di antara warga-warga kota juga lebih tegas dan mempunyai batas-batas yang nyata. Di kota-kota, tinggal orang-orang dengan aneka warna latar belakang social dan pendidikan yang menyebabkan individu memperdalami suatu bidang kehidupan khusus yang menyebabkan suatu gejala bahwa warga kota tidak mungkin hidup sendiri secara individualistis. d. Untuk mendapatkan pekerjaan, lebih banyak diperoleh warga kota daripada warga-warga desa, karena sistem pembagian kerja yang tegas. e. Jalan pikiran rasionil yang pada umumnya dianut masyarakat perkotaan, menyebabkan bahwa interaksi-interaksi yang terjadi lebih didasarkan pada faktor kepentingan daripada faktor pribadi. f. Jalan kehidupan yang cepat di kota-kota, mengakibatkan pentingnya faktor waktu bagi warga kota, sehingga pembagian waktu yang teliti sangat penting, untuk dapat mengejar kebutuhan-kebutuhan seorang individu. g. Perubahan-perubahan sosial tampak dengan nyata di kota-kota, karena kota-kota biasanya menerima pengaruh-pengaruh dari luar. Masyarakat Desa dan Masyarakat Kota juga dapat dibedakan berdasarkan: 1) Lingkungan Umum dan Orientasi Terhadap Alam Masyarakat Pedesaan berhubungan kuat dengan alam, disebabkan oleh lokasi geografisnya di daerah Desa. Masyarakat Desa sulit Mengontrol kenyataan alam yang dihadapinya, padahal bagi petani

20 26 realitas alam ini sangat vital dalam kehidupannya. Masyarakat yang tinggal di Desa akan banyak menentukan kepercayaan-kepercayaan dan hukum-hukum alam, seperti dalam pola berpikir dan falsafah hidupnya. Berbeda dengan Masyarakat Kota, yang kehidupannya Bebas dari realitas alam. Misalnya, dalam bercocok tanam dan menuai harus pada waktunya. 2) Pekerjaan atau Mata Pencaharian Pada umumnya atau mata pencaharian daerah Pedesaan adalah Bertani. Tetapi mata pencaharian berdagang merupakan pekerjaan sekunder dari pekerjaan yang nonpertanian. Sebab beberapa daerah pertanian tidak terlepas dari kegiatan usaha atau industri. Di Masyarakat Kota mata pencaharian cenderung menjadi terspesialisasi. Spesialisasi itu sendiri dapat dikembangkan, mungkin menjadi manager suatu perusahaan, ketua atau pemimpin dalam suatu birokrasi. 3) Ukuran Komunitas Komunitas Pedesaan biasanya lebih kecil dari Komunitas Perkotaan. Dalam mata pencaharian dibidang pertanian, imbangan tanah dengan manusia cukup tinggi bila dibandingkan dengan industri, dan akibatnya daerah Pedesaan mempunyai penduduk yang rendah per kilometer perseginya. Tanah pertanian luasnya bervariasi. Bergantung pada tipe usaha taninya, tanah yang cukup luasanya sanggup menapung usaha tani dan usaha ternak sesuai dengan kemampuannya. Oleh sebab itu Komunitas Pedesaan lebih kecil daripada Komunitas Perkotaan.

21 27 4) Kepadatan Penduduk Penduduk Desa kepdatannya lebih endah bila dibandingkan dengan kepadatan Penduduk Kota. Kepadatan penduduk suatu komunitas kenaikannya berhubungan dengan klasifikasi dari kota itu sendiri. 5) Homogenitas dan Heterogenitas Homogenitas atau persamaan dalam ciri-ciri social dan psikologi, bahasa, kepercayaan, adat istiadat, dan perilaku sering nampak pada Masyarakat Pedesaan bila dibandingkan dengan Masyarakat Perkotaan. Kampong-kampung bagian dari suatu Masyarakat Desa mengenai minat dan pekerjaannya hampir sama, sehingga kontak tatap muka lebih sering. Di Kota sebaliknya, penduduknya heterogen, terdiri dari orang-orang dengan macam-macam subkultur dan kesenangan, kebudayaan, mata pencaharian. 6) Diferensiasi Sosial Keadaan heterogen dari Masyarakat Kota berindikasi pentingnya derajat yang tinggi di dalam diferensi sosial. Fasilitas kota, hal-hal yang berguna, pendidikan, rekreasi, agama, bisnis, dan fasilitas perumahan, menyebabkan terorganisasinya berbagai keperluan, adanya pembagian pekerjaan, dan adanya saling membutuhkan serta saling tergantung. Kenyataan ini bertentangan dengan bagian-bagian kehidupan di Masyarakat Pedesaan. Tingkat homogenitas alami cukup tinggi, dan realtif berdiri sendiri dengan derajat yang rendah daripada diferensi sosial.

22 28 7) Pelapisan Sosial Beberapa perbedaan pelapisan sosial tak resmi di antara Masyarakat Desa dan Masyarakat Kota, yaitu: a) Pada Masyarakat Kota aspek kehidupan pekerjaan, ekonomi, atau sosial politik lebih banyak sistem pelapisannya dibandingkan dengan di Desa. b) Pada Masyarakat Desa kesengajaan antara kelas ekstrem dalam piramida sosial tidak terlalu besar, sedangkan pada Masyarakat Kota jarak antara kelas ekstrem nyang kaya dan miskin cukup besar. Di daerah Pedesaan tingkatnya hanya kaya dan miskin saja. c) Pada umumnya Masyarakat Pedesaan cenderung berada pada kelas menengah menurut ukuran Desa, sebab orang kaya dan orang miskin sering bergeser ke Kota. 8) Mobilitas Sosial Mobilitas sosial berkaitan dengan perpindahan atau pergerakan suatu kelompok sosial ke kelompok sosial lainnya. Mobilitas kerja dari suatu pekerjaan ke pekerjaan lainnya, mobilitas territorial dari daerah Desa ke Kota, dari Kota ke Desa, atau di dearah Desa dan Kota sendiri. 9) Interaksi Sosial Tipe interaksi soisal di Desa dan di Kota perbedaannya sangat kontras, baik aspek kualitas maupun aspek kuantitasnya. Perbedaan yang penting dalam interaksi sosial di dearah Pedesaan dan Perkotaan, di antaranya:

23 29 a) Masyarakat Pedesaan lebih sedikit jumlahnya dan tingkat mobilitas sosialnya rendah, maka kontak pribadi perindividu lebih sedikit. b) Dalam kontak sosial berbeda secara kuantitatif maupun secara kualitataif. Penduduk Kota lebih sering kontak, tetapi cenderung formal sepintas lalu, dan tidak bersifat pribadi, tetapi melalui tugas atau kepentingan yang lain. Di Desa kontak sosial terjadi lebih banyak dengan tatap muka, ramah tamah, dan pribadi. Hal yang lain pada Masyarakat Pedesaan, daerah jangkauan kontak sosialnya biasanya terbatas dan sempit. Di Kota kontak sosial lebih tersebar pada daerah yang luas, melalui perdagangan, perusahaan, industri, pemerintahan, pendidikan, agama, dan sebagainya. Kontak sosial di Kota penyebabnya bermacam-macam dan bervariasi bila dibandingkan dengan dunia kecil atau Masyarakat Pedesaan. 10) Pengawasan Sosial Tekanan sosial oleh Masyarakat di Pedesaan lebih kuat karena kontaknya yang bersifat pribadi dan ramah tamah, dan keadaan masyarakatnya yang homogen. Penyesuaian terhadap norma-norma sosial lebih tinggi dengan tekanan sosial yang informal, dan nantinya dapat berarti sebagai pengawasan sosial. Di Kota pengawasan sosial lebih bersifat formal, pribadi, kurang terkena aturan yang ditegakkan, dan peraturan lebih menyangkut masalah pelanggaran. 11) Pola Kepemimpinan Menentukan kepemimpinan di dearah Pedesaan cenderung banyak ditentukan oleh kualitas pribadi dari individu dibandingkan

24 30 dengan di Kota. Keadaan ini disebabkan oleh lebih luasnya kontak tatap muka, dan individu lebih banyak saling mengetahui daripada mengetahui daripada di daerah Kota. 12) Standar Kehidupan Berbagai alat yang menyenangkan di rumah, keperluan masyarakat, pendidikan, rekreasi, fasilitas agama, dan fasilitas lain akan membahagiakan kehidupan bila disediankan dan cukup nyata dirasakan oleh pendududak yang jumlahnya padat. Di Kota, dengan konsentrasi dan jumlah penduduk yang padat, tersedia dan ada kesanggupan dalam meneydiakan kebutuhan tersebut, sedangkan di desa terkadang tidak demikian. Orientasi hidup dan pola berpikir Masyarakat Desa yang sederhana dan standar hidup demikian kurang mendapat perhatian. 13) Kesetiakawanan Sosial Kesetiakawanan sosial atau kepaduan dan kesatuan, pada Masyarakat Pedesaan dan Masyarakat Perkotaan dapat ditentukan oleh masing-masing faktor yang berbeda. Pada Masyarakat Pedesaan kepaduan dan kesatuan merupakn akibat dari sifat-sifat yang sama, persamaan dalam penegalamn, tujuan yang sama, di mana bagian dari Masyarakat Pedesaan hubungan pribadinya bersifat informal dan tidak bersifat kontrak sosial (perjanjian). Pada Masyarakat Pedesaan ada kegiatan tolong menolong (gotong royong) dan musyawarah, yang pada saat sekarang masih dirasakan mesikpun banyak pengaruh dari gagasan ideologis dan ekonomis (padat karya) ke Pedesaan. Kesatuan dan kepaduan di daerah Perkotaan berbeda. Dasarnya justru ketidaksamaan

25 31 dan perbedaan pembagian tenaga kerja, saling tergantung, spesialisasi, tidak bersifat pribadi, dan bermacam-macam perjanjian serta hubungannya lebih bersifat formal. Pada Masyarakat Pedesaan ada istilah sambat. Dalam bahas Sunda nyambet artinya minta tolong. Dalam bahasa Indonesia adalah gotong royong. Aktivitas kerja sama yang disebut gotong royong ini pengertiannya berkembang. Yang asalnya aktivitas kerja sama antara sejumlah besar warga Masyarakat Desa dalam menyelesaikan sesuatu proyek tertentu bagi kepentingan umum, menjadi bersifat dipaksakan seperti padat karya. Sifat bergotong royong tidak memerlukan keahlian khusus. Semua orang dapat mengerjakannya, dan merupakan gejala sosial yang universal. Kenyataan menunjukkan bahwa jiwa musyawarah merupakn ekspresi gotong royong. 14) Nilai dan Sistem Nilai Nilai dan sistem nilai di Desa dengan di Kota berbeda, dan dapat diamati dalam kebiasaan, cara, dan norma yang berlaku. Pada Masyarakat pedesaan, misalnya mengenai nilai-nilai keluarga, dalam masalah pola bergaul kepada kelurga masih berperan. Nilai-nilai agama masih dipegang kuat dalam bentuk pendidikan agama. Aktivitasnya nampak hidup. Bentuk-bentuk ritual agama yang berhubungan dengan kehidupan atau proses mencapai dewasanya manusia, selalu diikuti dengan upacara-upacara. Nilai-nilai pendidikan belum merupakan orientasi bernilai penuh bagi penduduk Desa, cukup dengan bisa baca tulis dan pendidikan agama. Dalam hal nilai-nilai ekonomi, terlihat pada

26 32 pola usaha taninya yang masih bersifat subsistem tradisonal, kurang berorientasi pada ekonomi. Masi banyak nilai lainnya yang berbeda dengan Masyarakat Kota. Dalam hal ini Masyarakat Kota bertentangan atau tidak sepenuhnya sama dengan sistem nilai di Desa.

BAB I PENDAHULUAN. yang membawa berbagai konsekuensi tidak hanya terhadap dinamika kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. yang membawa berbagai konsekuensi tidak hanya terhadap dinamika kehidupan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem politik Indonesia dewasa ini sedang mengalami proses demokratisasi yang membawa berbagai konsekuensi tidak hanya terhadap dinamika kehidupan politik nasional,

Lebih terperinci

Karakteristik Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan

Karakteristik Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan Karakteristik Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan Sebagaimana lazimnya semua mata pelajaran, mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan memiliki visi, misi, tujuan, dan ruang lingkup isi. Visi mata

Lebih terperinci

Nama :Rayendra Pratama NPM : 1A Kelas : 1 KA 39. Tugas ISB Bab 7

Nama :Rayendra Pratama NPM : 1A Kelas : 1 KA 39. Tugas ISB Bab 7 Nama :Rayendra Pratama NPM : 1A112084 Kelas : 1 KA 39 Tugas ISB Bab 7 Perkotaan,Aspekaspek positif dan negatif Pengertian. Linton : adalah setiap kelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerjasama,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 pasal 3 menyatakan bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan

Lebih terperinci

Masyarakat Perkotaan & Masyarakat Pedesaan

Masyarakat Perkotaan & Masyarakat Pedesaan Masyarakat Perkotaan & Masyarakat Pedesaan 7 Tujuan Instruksional Umum : Mahasiswa dapat memahami dan menghayati kenyataan yang diwujudkan oleh gejolak masyarakat perkotaan, memahami dan menghayati kenyataan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peranan Organisasi Kepemudaan Dalam Pembinaan Pribadi Yang Partisipatif Di Masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Peranan Organisasi Kepemudaan Dalam Pembinaan Pribadi Yang Partisipatif Di Masyarakat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Terbentuknya kepribadian yang partisipatif dalam kehidupan bermasyarakat sudah menjadi suatu keharusan khususnya di kalangan pemuda belakangan ini. Harapan

Lebih terperinci

WAWASAN SOSIAL BUDAYA. Kehidupan Pedesaan Dan Perkotaan

WAWASAN SOSIAL BUDAYA. Kehidupan Pedesaan Dan Perkotaan WAWASAN SOSIAL BUDAYA Kehidupan Pedesaan Dan Perkotaan Disusun Oleh : Nur Fazheera Al Gadri (D0217023) Hendra Lesmana (D0217515) Asmirah (D0217024) Abdillah Resky Amiruddin (D0217514) FAKULTAS TEKNIK PRODI

Lebih terperinci

Sosiologi Komunikasi. Ruang Lingkup & Konseptualisasi Sosiologi Komunikasi serta Struktur dan Proses Sosial

Sosiologi Komunikasi. Ruang Lingkup & Konseptualisasi Sosiologi Komunikasi serta Struktur dan Proses Sosial Sosiologi Komunikasi Ruang Lingkup & Konseptualisasi Sosiologi Komunikasi serta Struktur dan Proses Sosial Manusia Sebagai Makhluk Sosial Makhluk Spiritual Manusia Makhluk individual Makhluk Sosial Manusia

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, REKOMENDASI

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, REKOMENDASI 189 BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, REKOMENDASI A. Simpulan Umum Kampung Kuta yang berada di wilayah Kabupaten Ciamis, merupakan komunitas masyarakat adat yang masih teguh memegang dan menjalankan tradisi nenek

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Peranan Tokoh Masyarakat dalam Menumbuhkan

II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Peranan Tokoh Masyarakat dalam Menumbuhkan II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Teoritis A. Tinjauan Umum Peranan Tokoh Masyarakat dalam Menumbuhkan Kesadaran Tolong Menolong 1. Pengertian Peranan Secara umum peranan adalah perilaku yang dilakukan

Lebih terperinci

BAB II PERSPEKTIF PENDIDIKAN POLITIK

BAB II PERSPEKTIF PENDIDIKAN POLITIK BAB II PERSPEKTIF PENDIDIKAN POLITIK Untuk lebih mendalami hakekat pendidikan politik, berikut ini disajikan lagi beberapa pendapat ahli mengenai pendidikan politik. Alfian (1986) menyatakan pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Erwin Susanto, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Erwin Susanto, 2015 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Membangun watak warganegara (civic disposition) merupakan hal yang sangat penting untuk menjaga eksistensi suatu bangsa atau negara. Maka, tidaklah mengherankan jika

Lebih terperinci

2015 KAJIAN NILAI-NILAI BUDAYA UPACARA ADAT NYANGKU DALAM KEHIDUPAN DI ERA MODERNISASI

2015 KAJIAN NILAI-NILAI BUDAYA UPACARA ADAT NYANGKU DALAM KEHIDUPAN DI ERA MODERNISASI BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang terkenal dengan keanekaragaman budaya, hal ini dikarenakan Indonesia terdiri dari berbagai suku dan adat budaya. Setiap suku

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. dengan judul Nilai-Nilai Moral dalam Novel Nyanyian Lembayung Karya Sin

BAB II LANDASAN TEORI. dengan judul Nilai-Nilai Moral dalam Novel Nyanyian Lembayung Karya Sin 8 BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Sebelumnya yang Relevan Penelitian tentang nilai-nilai moral sudah pernah dilakukan oleh Lia Venti, dengan judul Nilai-Nilai Moral dalam Novel Nyanyian Lembayung Karya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan pendidikan nasional dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan pendidikan nasional dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan pendidikan nasional dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 pada Pasal 3 menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dilakukan secara bersama dengan teman sekelas lainnya. Menurut Hamruni 2009: 290, Model pembelajaran Make A Match adalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dilakukan secara bersama dengan teman sekelas lainnya. Menurut Hamruni 2009: 290, Model pembelajaran Make A Match adalah 5 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Hakekat Teknik Make A Match 2.1.1 Pengertian Teknik Make A Match Make a match merupakan salah satu bagian dari pembelajaran kooperatif. Sebagai bagian dari pembelajaran kooperatif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Negara yang menganut paham demokrasi, pemikiran yang

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Negara yang menganut paham demokrasi, pemikiran yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Negara yang menganut paham demokrasi, pemikiran yang mendasari konsep partisipasi politik adalah bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat yang pelaksanaannya dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki struktur masyarakat majemuk dan multikultural terbesar di dunia. Keberagaman budaya tersebut memperlihatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Tris Yuniar, 2015 Peranan panti sosial asuhan anak dalam mengembangkan karakter kepedulian sosial

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Tris Yuniar, 2015 Peranan panti sosial asuhan anak dalam mengembangkan karakter kepedulian sosial BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Anak-anak merupakan aset bangsa yang tak ternilai harganya, akan menjadi penerus perjuangan bangsa nantinya, tetapi masih banyak sekali anakanak yang kehilangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. aspirasi dan memilih pemimpin dengan diadakannya pemilihan umum.

I. PENDAHULUAN. aspirasi dan memilih pemimpin dengan diadakannya pemilihan umum. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia merupakan suatu negara yang menganut paham demokrasi, dan sebagai salah satu syaratnya adalah adanya sarana untuk menyalurkan aspirasi dan memilih pemimpin

Lebih terperinci

PARADIGMA PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN MENYONGSONG PERUBAHAN KURIKULUM PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN (PPKn) Oleh: SAPARUDDIN

PARADIGMA PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN MENYONGSONG PERUBAHAN KURIKULUM PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN (PPKn) Oleh: SAPARUDDIN PARADIGMA PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN MENYONGSONG PERUBAHAN KURIKULUM PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN (PPKn) Oleh: SAPARUDDIN Widyiswara LPMP Sulawesi Selatan Paradigma dalam hal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sekolah menyelenggarakan proses pembelajaran untuk membimbing, mendidik,

I. PENDAHULUAN. Sekolah menyelenggarakan proses pembelajaran untuk membimbing, mendidik, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Sekolah menyelenggarakan proses pembelajaran untuk membimbing, mendidik, melatih dan mengembangkan kemampuan siswa guna mencapai tujuan pendidikan nasional

Lebih terperinci

Apakah pancasila sebagai pembangunan sudah diterapkan di Indonesia atau belum?

Apakah pancasila sebagai pembangunan sudah diterapkan di Indonesia atau belum? PANCASILA SEBAGAI PEMBANGUNAN BANGSA TEORI Pengertian Paradigma Paradigma adalah cara pandang orang terhadap diri dan lingkungannya yang akan mempengaruhinya dalam berpikir (kognitif), bersikap (afektif),

Lebih terperinci

2015 PEWARISAN NILAI-NILAI BUDAYA SUNDA PADA UPACARA ADAT NYANGKU DI KECAMATAN PANJALU KABUPATEN CIAMIS

2015 PEWARISAN NILAI-NILAI BUDAYA SUNDA PADA UPACARA ADAT NYANGKU DI KECAMATAN PANJALU KABUPATEN CIAMIS 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Struktur masyarakat Indonesia yang majemuk menjadikan bangsa Indonesia memiliki keanekaragaman adat istiadat, budaya, suku, ras, bahasa dan agama. Kemajemukan tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan sebuah proses yang ditempuh oleh peserta didik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan sebuah proses yang ditempuh oleh peserta didik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan sebuah proses yang ditempuh oleh peserta didik melalui proses pembelajaran dengan tujuan untuk memperoleh berbagai ilmu berupa pengetahuan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Hakikat manusia pada dasarnya diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan kedudukan sebagai makhluk individu dan sosial (monodualis). Sebagai makhluk individu,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkarakter dalam mengisi kemerdekaan. Namun, memunculkan jiwa yang

BAB I PENDAHULUAN. berkarakter dalam mengisi kemerdekaan. Namun, memunculkan jiwa yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perjuangan untuk lepas dari tangan penjajah negara asing sudah selesai sekarang bagaimana membangun negara dengan melahirkan generasi-generasi berkarakter dalam

Lebih terperinci

om KOMPETENSI INTI 13. Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang diampu.

om KOMPETENSI INTI 13. Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang diampu. www.kangmartho.c om KOMPETENSI INTI 13. Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang diampu. (PKn) Pengertian Mata PelajaranPendidikan Kewarganegaraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. siswa untuk memahami nilai-nilai warga negara yang baik. Sehingga siswa

BAB I PENDAHULUAN. siswa untuk memahami nilai-nilai warga negara yang baik. Sehingga siswa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan kewarganegaraan sebagai mata pelajaran yang bertujuan untuk membentuk karakter individu yang bertanggung jawab, demokratis, serta berakhlak mulia.

Lebih terperinci

KODE ETIK TENAGA KEPENDIDIKAN STIKOM DINAMIKA BANGSA

KODE ETIK TENAGA KEPENDIDIKAN STIKOM DINAMIKA BANGSA KODE ETIK TENAGA KEPENDIDIKAN STIKOM DINAMIKA BANGSA STIKOM DINAMIKA BANGSA MUKADIMAH Sekolah Tinggi Ilmu Komputer (STIKOM) Dinamika Bangsa didirikan untuk ikut berperan aktif dalam pengembangan ilmu pengetahuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Keluarga merupakan sekumpulan orang yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Keluarga merupakan sekumpulan orang yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan unsur penentu pertama dan utama keberhasilan pembinaan anak sebagai generasi penerus. Keluarga inti adalah keluarga yang terdiri dari ayah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk. Kemajemukan itu dapat dikenali dari keanekaragaman budaya, adat, suku, ras, bahasa, maupun agama. Kemajemukan budaya menjadi

Lebih terperinci

: Pendidikan Kewarganegaraan (PKN)

: Pendidikan Kewarganegaraan (PKN) KTSP Perangkat Pembelajaran Sekolah Menengah Pertama (SMP)/Madrasah Tsanawiyah (MTs) PERANGKAT PEMBELAJARAN STANDAR KOMPETENSI DAN KOMPETENSI DASAR Mata Pelajaran Satuan Pendidikan Kelas/Semester : Pendidikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Bab pendahuluan ini akan difokuskan pada beberapa hal pokok berupa latar

I. PENDAHULUAN. Bab pendahuluan ini akan difokuskan pada beberapa hal pokok berupa latar I. PENDAHULUAN Bab pendahuluan ini akan difokuskan pada beberapa hal pokok berupa latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,

Lebih terperinci

BUPATI ENREKANG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN ENREKANG NOMOR 1 TAHUN 2016

BUPATI ENREKANG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN ENREKANG NOMOR 1 TAHUN 2016 P BUPATI ENREKANG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN ENREKANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN TERHADAP MASYARAKAT HUKUM ADAT DI KABUPATEN ENREKANG DENGAN

Lebih terperinci

2 Kebiasaan (Folksway) Norma yang menunjukan perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang dalam bentuk yang sama

2 Kebiasaan (Folksway) Norma yang menunjukan perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang dalam bentuk yang sama C. Lembaga Sosial 1. Pengertian Lembaga Sosial dan Norma Lembaga Sosial suatu sistem norma yg bertujuan utk mengatur tindakan tindakan maupun kegiatan masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan pokok dan

Lebih terperinci

Sosiologi. Kelompok & Organisasi Sosial MODUL PERKULIAHAN. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh 07

Sosiologi. Kelompok & Organisasi Sosial MODUL PERKULIAHAN. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh 07 MODUL PERKULIAHAN Kelompok & Organisasi Sosial Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh Psikologi Psikologi 07 MK61004 Nurwidiana, SKM MPH Abstract Mata kuliah ini merupakan pengantar bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Fenomena ketidak-konsistenan antara pendidikan dan keberhasilan kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Fenomena ketidak-konsistenan antara pendidikan dan keberhasilan kehidupan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Fenomena ketidak-konsistenan antara pendidikan dan keberhasilan kehidupan memunculkan pertanyaan bagaimana sistem pendidikan yang sangat kompetitif ternyata

Lebih terperinci

PENGARUH MANAJEMEN PEMBELAJARAN REMIDIAL DENGAN TUGAS BERSTRUKTUR TERHADAP HASIL BELAJAR PKN DITINJAU DARI MOTIVASI BELAJAR SISWA

PENGARUH MANAJEMEN PEMBELAJARAN REMIDIAL DENGAN TUGAS BERSTRUKTUR TERHADAP HASIL BELAJAR PKN DITINJAU DARI MOTIVASI BELAJAR SISWA PENGARUH MANAJEMEN PEMBELAJARAN REMIDIAL DENGAN TUGAS BERSTRUKTUR TERHADAP HASIL BELAJAR PKN DITINJAU DARI MOTIVASI BELAJAR SISWA (STUDI EKSPERIMEN DI SMA NEGERI 2 SURAKARTA) PROPOSAL TESIS Diajukan Untuk

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. Kehidupan berbangsa dan bernegara mempengaruhi pembentukan pola

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. Kehidupan berbangsa dan bernegara mempengaruhi pembentukan pola 1 BAB I PENGANTAR 1.1. Latar Belakang Kehidupan berbangsa dan bernegara mempengaruhi pembentukan pola perilaku masyarakat. Perilaku ini tercermin dari perilaku individu selaku anggota masyarakat. Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bagi generasi penerus perjuangan bangsa ini.

BAB I PENDAHULUAN. bagi generasi penerus perjuangan bangsa ini. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting dalam era globalisasi. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut peningkatan mutu pendidikan yang lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya dari aspek jiwa, manusia memiliki cipta rasa dan karsa sehingga dalam tingkah laku dapat membedakan benar atau salah, baik atau buruk, menerima atau menolak

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIS

BAB II KAJIAN TEORITIS BAB II KAJIAN TEORITIS Pada bab ini, peneliti akan memaparkan dan menjelaskan tentang teoriteori yang ditemukan dalam literatur untuk menjelaskan tentang permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sila ketiga dari Pancasila berbunyi Persatuan Indonesia, negara Indonesia dikenal sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai persatuan dan kesatuan bangsa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Zico Oktorachman, 2013

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Zico Oktorachman, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pembangunan nasional pada hakekatnya adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, serta bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur secara materil

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI 101 BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI Berdasarkan gambaran deskripsi hasil penelitian dan pembahasan hasil penelitian dalam Bab IV, maka dapat penulis rumuskan suatu kesimpulan dan rekomendasi yang kiranya

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil penelitian mengenai Implementasi Pendidikan Politik

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil penelitian mengenai Implementasi Pendidikan Politik BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian mengenai Implementasi Pendidikan Politik Melalui Pembelajaran PKn Dalam Mengembangkan Kompetensi (Studi Kasus di SMA Negeri 2 Subang)

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN

BAB II KAJIAN TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN BAB II KAJIAN TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN A. Kebudayaan dan Kesenian. 1. Kebudayaan sebagai proses pembangunan Koentjaraningrat dalam Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan mendeskripsikan bahwa

Lebih terperinci

HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA

HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA KELOMPOK 2: 1. Hendri Salim (13) 2. Novilia Anggie (25) 3. Tjandra Setiawan (28) SMA XAVERIUS BANDAR LAMPUNG 2015/2016 Hakikat Warga Negara Dalam Sistem Demokrasi Warga Negara

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1986

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1986 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1986 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1975 TENTANG PARTAI POLITIK DAN GOLONGAN KARYA SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

II.TINJAUAN PUSTAKA. dengan teori-teori yang telah dikemukakan oleh ahli. Untuk menghubungkan hasil penelitian dengan teori yang dikemukakan oleh

II.TINJAUAN PUSTAKA. dengan teori-teori yang telah dikemukakan oleh ahli. Untuk menghubungkan hasil penelitian dengan teori yang dikemukakan oleh 11 II.TINJAUAN PUSTAKA Setelah merumuskan latar belakang masalah yang menjadi alasan dalam mengambil masalah penelitian, pada bab ini penulis akan merumuskan konsepkonsep yang akan berkaitan dengan objek

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. geosfer dengan sudut pandang kelingkungan atau kewilayahan dalam konteks

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. geosfer dengan sudut pandang kelingkungan atau kewilayahan dalam konteks 9 II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Geografi Geografi adalah ilmu yang mempelajari persamaan dan perbedaan fenomena geosfer dengan sudut pandang kelingkungan atau

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. 135 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian mengenai Peran Pendidikan Kewarganegaraan Dalam Membangun Nasionalisme Peserta didik di SMA Negeri Abepura Kota Jayapura) yang

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

BAB V SIMPULAN DAN SARAN BAB V SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Pada bagian ini akan dikemukan simpulan yang telah dirumuskan dari hasil penelitian dan pembahasan penelitian dalam Bab IV, sebagaimana tersebut diatas. 1. Simpulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, yang isinya disebutkan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, yang isinya disebutkan bahwa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Negara kita (Indonesia) tentang pendidikan juga diatur dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, yang isinya disebutkan bahwa Pendidikan

Lebih terperinci

Unsur - unsur potensi Fisik desa. Keterkaitan Perkembangan Desa & Kota

Unsur - unsur potensi Fisik desa. Keterkaitan Perkembangan Desa & Kota Geografi Pengertian Desa Kota Potensi Desa Kota Unsur - unsur potensi Fisik desa Keterkaitan Perkembangan Desa & Kota Sekian... Pengertian Desa... Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah

Lebih terperinci

dengan pembukaan Undang Undang Dasar 1945 alinea ke-4 serta ingin mencapai

dengan pembukaan Undang Undang Dasar 1945 alinea ke-4 serta ingin mencapai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan cara untuk mencerdaskan bangsa yang sesuai dengan pembukaan Undang Undang Dasar 1945 alinea ke-4 serta ingin mencapai tujuan pendidikan nasional.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial, yaitu makhluk yang saling membutuhkan dan saling berinteraksi. Dalam interaksi antar manusia

Lebih terperinci

KEMITRAAN SEKOLAH. Prof. Dr. Sodiq A. Kuntoro

KEMITRAAN SEKOLAH. Prof. Dr. Sodiq A. Kuntoro KEMITRAAN SEKOLAH Workshop Strategi Pengembangan Mutu Sekolah Bagi Kepala Sekolah dan Pengawas Sekolah diselenggarakan Prodi S2 Manajemen Pendidikan dan S3 Ilmu Pendidikan, Program Pascasarjana Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan dasar negara membawa konsekuensi logis bahwa nilai-nilai Pancasila harus selalu

BAB I PENDAHULUAN. dan dasar negara membawa konsekuensi logis bahwa nilai-nilai Pancasila harus selalu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah mengungkapkan Pancasila sebagai jiwa seluruh rakyat Indonesia, memberi kekuatan hidup serta membimbing dalam mengejar kehidupan lahir batin yang makin

Lebih terperinci

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN V.1. Visi Menuju Surabaya Lebih Baik merupakan kata yang memiliki makna strategis dan cerminan aspirasi masyarakat yang ingin perubahan sesuai dengan kebutuhan, keinginan,

Lebih terperinci

TATA NILAI, BUDAYA KERJA, DAN KODE ETIK PEGAWAI DI LINGKUNGAN KEMENRISTEKDIKTI BIRO SUMBER DAYA MANUSIA KEMENRISTEKDIKTI JAKARTA 2018

TATA NILAI, BUDAYA KERJA, DAN KODE ETIK PEGAWAI DI LINGKUNGAN KEMENRISTEKDIKTI BIRO SUMBER DAYA MANUSIA KEMENRISTEKDIKTI JAKARTA 2018 TATA NILAI, BUDAYA KERJA, DAN KODE ETIK PEGAWAI DI LINGKUNGAN KEMENRISTEKDIKTI BIRO SUMBER DAYA MANUSIA KEMENRISTEKDIKTI JAKARTA 2018 DASAR HUKUM Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Peraturan Pemerintah Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah gerbang yang utama dan pertama dalam usaha

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah gerbang yang utama dan pertama dalam usaha BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah gerbang yang utama dan pertama dalam usaha mewujudkan sumber daya manusia yang lebih baik. Pendidikan harus mampu dalam perbaikan dan pembaharuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. lingkungan masyarakat. Keberagaman tersebut mendominasi masyarakat dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. lingkungan masyarakat. Keberagaman tersebut mendominasi masyarakat dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan masyarakat di Indonesia sangat beragam, mulai dari keberagaman suku, ras, agama, pekerjaan, jenis kelamin, dan warna kulit, hal tersebut tidak menjadi

Lebih terperinci

Aji Wicaksono S.H., M.Hum. Modul ke: Fakultas DESAIN SENI KREATIF. Program Studi DESAIN PRODUK

Aji Wicaksono S.H., M.Hum. Modul ke: Fakultas DESAIN SENI KREATIF. Program Studi DESAIN PRODUK Modul ke: 13 Fakultas DESAIN SENI KREATIF Pancasila Dan Implementasinya Bagian III Pada Modul ini kita membahas tentang keterkaitan antara sila keempat pancasila dengan proses pengambilan keputusan dan

Lebih terperinci

Memahami Budaya dan Karakter Bangsa

Memahami Budaya dan Karakter Bangsa Memahami Budaya dan Karakter Bangsa Afid Burhanuddin Kompetensi Dasar: Memahami budaya dan karakter bangsa Indikator: Menjelaskan konsep budaya Menjelaskan konsep karakter bangsa Memahami pendekatan karakter

Lebih terperinci

PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA

PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA ABSTRAK Prinsip-prinsip pembangunan politik yang kurang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila telah membawa dampak yang luas dan mendasar bagi kehidupan manusia Indonesia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Terbentuknya kepribadian yang partisipatif dalam kehidupan bermasyarakat sudah menjadi suatu keharusan khususnya di kalangan pemuda belakangan ini. Harapan terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keluarga karena setiap manusia besar dan dididik di dalamnya. Tidak hanya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keluarga karena setiap manusia besar dan dididik di dalamnya. Tidak hanya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan hal yang terpenting dalam kehiduan kita, ini berarti bahwa setiap manusia berhak mendapatkan pendidikan dan diharapkan untuk selalu berkembang

Lebih terperinci

Perkenalan, Diskusi dan kesepakatan tentang kontrak perkuliahan. Ruang lingkup mata kuliah kewarganegaraan diperguruan tinggi: Etika Berwarga Negara

Perkenalan, Diskusi dan kesepakatan tentang kontrak perkuliahan. Ruang lingkup mata kuliah kewarganegaraan diperguruan tinggi: Etika Berwarga Negara Modul ke: 01 MH. Fakultas Ekonomi dan Bisnis Perkenalan, Diskusi dan kesepakatan tentang kontrak perkuliahan. Ruang lingkup mata kuliah kewarganegaraan diperguruan tinggi: Etika Berwarga Negara Ikhwan

Lebih terperinci

Soal Pemahaman Nilai-Nilai Pancasila. 2) Bacalah dengan seksama setiap butir pertanyaan

Soal Pemahaman Nilai-Nilai Pancasila. 2) Bacalah dengan seksama setiap butir pertanyaan 88 Lampiran 1. Instrumen Penelitian Soal Pemahaman Nilai-Nilai Pancasila Nama : No Absen : Kelas : Petunjuk Soal 1) Isilah identitas nama anda dengan benar 2) Bacalah dengan seksama setiap butir pertanyaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. generasi penerus. Karakter itu penting, karena banyak masyarakat memiliki

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. generasi penerus. Karakter itu penting, karena banyak masyarakat memiliki BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kemajuan bangsa didasarkan pada karakter yang harus dimiliki oleh generasi penerus. Karakter itu penting, karena banyak masyarakat memiliki kebiasaan-kebiasaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Proses pendidikan diselenggarakan dalam rangka mengembangkan pengetahuan, potensi, akal dan perkembangan diri manuisa, baik itu melalui jalur pendidikan formal,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Landasan hukum upaya pelayanan kesejahteraan sosisal bagi anakanak terlantar diatas menjadi patokan dalam membentuk suatu lembaga pengganti peran dan fungsi

Lebih terperinci

PENGANTAR (PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN) MAKALAH KEWARGANEGARAAN : PENGANTAR (PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN)

PENGANTAR (PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN) MAKALAH KEWARGANEGARAAN : PENGANTAR (PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN) PENGANTAR (PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN) MAKALAH KEWARGANEGARAAN : PENGANTAR (PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN) NAMA : HARRY FITRI USMANTO NPM : 38412209 KELAS : 1ID08 UNIVERSITAS GUNADARMA FAKULTAS TEKNOLOGI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan Kewarganegaraan merupakan salah satu fondasi yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan Kewarganegaraan merupakan salah satu fondasi yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan Kewarganegaraan merupakan salah satu fondasi yang mempelajari tentang moral, etika maupun tingkah laku selain itu Pendidikan Kewarganegaraan mengandung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dimiliki oleh desa dan adat istiadat desa tersebut. Dilihat dari asal katanya, desa

BAB I PENDAHULUAN. dimiliki oleh desa dan adat istiadat desa tersebut. Dilihat dari asal katanya, desa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di era otonomi daerah ini pemerintah memberikan kewenangan pada masing-masing daerah untuk mengurus daerahnya dengan menggunakan azas demokrasi, mulai dari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. proses penyelenggaraan pemerintahan. Menurut Abdulkarim (2007:15), pemerintah yang berpegang pada demokrasi merupakan pemerintah yang

I. PENDAHULUAN. proses penyelenggaraan pemerintahan. Menurut Abdulkarim (2007:15), pemerintah yang berpegang pada demokrasi merupakan pemerintah yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demokrasi dikenal dengan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sistem demokrasi rakyat memberikan kesempatan yang sama dalam proses penyelenggaraan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan hal yang sangat vital bagi sebuah Negara. Pendidikan

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan hal yang sangat vital bagi sebuah Negara. Pendidikan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan hal yang sangat vital bagi sebuah Negara. Pendidikan memiliki peran yang sangat penting untuk menciptakan sumber daya manusia yang mumpuni.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengikuti dan menaati peraturan-peraturan nilai-nilai dan hukum

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengikuti dan menaati peraturan-peraturan nilai-nilai dan hukum BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Disiplin merupakan kesadaran diri yang muncul dari batin terdalam untuk mengikuti dan menaati peraturan-peraturan nilai-nilai dan hukum yang berlaku dalam satu

Lebih terperinci

LATIHAN PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA

LATIHAN PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA LATIHAN PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA 1. BPUPKI dalam sidangnya pada 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945 membicarakan. a. rancangan UUD b. persiapan kemerdekaan c. konstitusi Republik Indonesia Serikat

Lebih terperinci

SOAL CPNS PANCASILA. Petunjuk! Pilihlah jawaban yang paling tepat!

SOAL CPNS PANCASILA.  Petunjuk! Pilihlah jawaban yang paling tepat! Petunjuk! Pilihlah jawaban yang paling tepat! SOAL CPNS PANCASILA 1. Toleransi dalam kehidupan antar umat beragama berarti. a. Persebaran agama dapat dilakukan kepada siapa saja dan dimana saja b. Setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan usaha yang dilakukan dengan sengaja dan sistematis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan usaha yang dilakukan dengan sengaja dan sistematis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan usaha yang dilakukan dengan sengaja dan sistematis untuk memotivasi, membina, membantu, serta membimbing seseorang untuk mengembangkan segala

Lebih terperinci

13. Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang diampu.

13. Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang diampu. KOMPETENSI INTI 13. Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang diampu. (PKn) Pengertian Mata PelajaranPendidikan Kewarganegaraan Berdasarkan UU Nomor

Lebih terperinci

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan hak bagi semua warga Negara Indonesia.

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan hak bagi semua warga Negara Indonesia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan hak bagi semua warga Negara Indonesia. Pendidikan memiliki peran yang sangat penting dalam menciptakan Sumber Daya Manusiayang berkualitas dan berkarakter.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan kewarganegaraan pada hakekatnya adalah upaya sadar dan terencana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa bagi warga negara dengan menumbuhkan jati

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. menjalankan kehidupan bermasyarakat dan bemegara serta dalam menjalankan

I PENDAHULUAN. menjalankan kehidupan bermasyarakat dan bemegara serta dalam menjalankan 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kerukunan umat beragama merupakan dambaan setiap umat, manusia. Sebagian besar umat beragama di dunia, ingin hidup rukun, damai dan tenteram dalam menjalankan

Lebih terperinci

STRUKTUR KURIKULUM 2013 MATA PELAJARAN PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN SD/MI, SMP/MTS, SMA/MA DAN SMK/MAK

STRUKTUR KURIKULUM 2013 MATA PELAJARAN PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN SD/MI, SMP/MTS, SMA/MA DAN SMK/MAK A. SD/MI KELAS: I STRUKTUR KURIKULUM 2013 MATA PELAJARAN PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN SD/MI, SMP/MTS, SMA/MA DAN SMK/MAK Kompetensi Dasar Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan 1. Menerima

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang kuat, sehingga dapat mengatasi permasalahan dan tantangan yang dihadapi.

BAB I PENDAHULUAN. yang kuat, sehingga dapat mengatasi permasalahan dan tantangan yang dihadapi. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Bekang Masalah Kemajuan yang semakin pesat akan berdampak negative bagi kalangan masyarakat kalau tidak ada pengawasan yang tepat, kita sebagai pendidik harus bersiap dari dini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang berperan penting bagi pembangunan suatu bangsa, untuk itu diperlukan suatu

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang berperan penting bagi pembangunan suatu bangsa, untuk itu diperlukan suatu BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan Indonesia merupakan inti utama untuk menunjang pengembangan sumber daya manusia yang berperan penting bagi pembangunan suatu bangsa, untuk itu diperlukan

Lebih terperinci

26. Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP)/Madrasah Tsanawiyah (MTs)

26. Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP)/Madrasah Tsanawiyah (MTs) 26. Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP)/Madrasah Tsanawiyah (MTs) A. Latar Belakang Pendidikan di Indonesia diharapkan dapat mempersiapkan peserta didik menjadi

Lebih terperinci

a. Hakekat peradaban manusia Koentjaraningrat berpendapat bahwa kata peradaban diistilahkan dengan civilization, yang biasanya dipakai untuk menyebut

a. Hakekat peradaban manusia Koentjaraningrat berpendapat bahwa kata peradaban diistilahkan dengan civilization, yang biasanya dipakai untuk menyebut a. Hakekat peradaban manusia Koentjaraningrat berpendapat bahwa kata peradaban diistilahkan dengan civilization, yang biasanya dipakai untuk menyebut unsur-unsur kebudayaan yang dianggap halus, maju, dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia adalah Bangsa yang heterogen, kita menyadari bahwa bangsa

I. PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia adalah Bangsa yang heterogen, kita menyadari bahwa bangsa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia adalah Bangsa yang heterogen, kita menyadari bahwa bangsa Indonesia memang sangat majemuk. Oleh karena itu lahir sumpah pemuda, dan semboyan bhineka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Suatu negara tentu memiliki tujuan dan cita-cita nasional untuk menciptakan

BAB I PENDAHULUAN. Suatu negara tentu memiliki tujuan dan cita-cita nasional untuk menciptakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Suatu negara tentu memiliki tujuan dan cita-cita nasional untuk menciptakan masyarakat adil dan makmur. Didalam mengisi kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh para

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan, bukan hanya terjadi ketika seseorang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan, bukan hanya terjadi ketika seseorang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Religius (religiosity) merupakan ekspresi spiritual seseorang yang berkaitan dengan sistem keyakinan, nilai, hukum yang berlaku. Religiusitas diwujudkan dalam

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. Sosiologi berasal dari kata Latin socius yang berarti kawan dan

BAB II KAJIAN TEORI. Sosiologi berasal dari kata Latin socius yang berarti kawan dan 7 BAB II KAJIAN TEORI A. Deskripsi Teori 1. Sosiologi Sosiologi berasal dari kata Latin socius yang berarti kawan dan kata Yunani logos yang berarti kata atau berbicara, jadi sosiologi adalah berbicara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Sejarah Kelahiran Pendidikan Kewarganegaraan. pada saat itu merumuskan pengertian Civics dengan:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Sejarah Kelahiran Pendidikan Kewarganegaraan. pada saat itu merumuskan pengertian Civics dengan: 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hakekat Pendidikan Kewarganegaraan 1. Sejarah Kelahiran Pendidikan Kewarganegaraan Pendidikan Kewarganegaraan pada awalnya diperkenalkan di Amerika Serikat pada tahun 1790

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR PENDIDIKAN PANCASILA GOTONG ROYONG SEBAGAI BUDAYA INDONESIA

TUGAS AKHIR PENDIDIKAN PANCASILA GOTONG ROYONG SEBAGAI BUDAYA INDONESIA TUGAS AKHIR PENDIDIKAN PANCASILA GOTONG ROYONG SEBAGAI BUDAYA INDONESIA DISUSUN OLEH : Nama : GUNTUR DUTA PENATAS NIM : 11.11.4700 Kelompok Program Studi Jurusan : C : STRATA SATU : Teknik Informatika

Lebih terperinci

BAB VI PELAPISAN SOSIAL DAN KESAMAAN DERAJAT

BAB VI PELAPISAN SOSIAL DAN KESAMAAN DERAJAT BAB VI PELAPISAN SOSIAL DAN KESAMAAN DERAJAT 1. PELAPISAN SOSIAL a. Pengertian : stratifikasi atau stratification berasal dari kata strata atau stratum yang berarti lapisan. Definisi stratifikasi/ pelapisan

Lebih terperinci

4. KARAKTERISTIK DESA. Pertemuan 5

4. KARAKTERISTIK DESA. Pertemuan 5 4. KARAKTERISTIK DESA Pertemuan 5 TUJUAN PERKULIAHAN 1. Mahasiswa memahami berbagai karakteristik desa 2. Mahasiswa mampu menganalisa berbagai karakteristik desa KARAKTERISTIK DESA Secara umum dapat dilihat

Lebih terperinci